pengembangan agribisnis tanaman...
TRANSCRIPT
PENGEMBANGAN AGRIBISNIS TANAMAN TEMULAWAK DAN
PRODUK ANTARA SEBAGAI BAHAN BAKU INDUSTRI OBAT HERBAL
DI LAHAN HUTAN KABUPATEN BLORA
Agus Sudiman Tjokrowardojo , Nur Maslahah dan Raffi Paramawati
ABSTRAK
PENDAHULUAN
1 1 2
1
2
Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik
Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian
E-mail: [email protected]
Temulawak ( Roxb.) merupakan tanaman asli Indonesia mengandung
bahan aktif xanthorrhizol dan curcumin yang berkhasiat obat. Agribisnis temulawak dapat
dikembangkan melalui pengembangan teknologi budidaya dan pengolahan temulawak menjadi
berbagai produk. Kegiatan ini dirancang mulai dari hulu sampai ke hilir. Pelaksanaan kegiatan
melalui beberapa tahapan mulai 2007 - 2009 di Perum Perhutani Unit I Kesatuan Pemangku Hutan
(KPH) Randublatung. Tahap I pelatihan budidaya dan olah produk temulawak. Tahap II Pelatihan
teknologi lanjutan dengan fokus olah produk sesuai dengan GMP. Tahap III perluasan budidaya,
hasil perluasan budidaya mencapai 135 ha, sedangkan pendirian unit pengolah rimpang tidak ada
dan Tahap IV pendirian unit pengolah rimpang temulawak.
Hasil panen contoh demplot budidaya sesuai SOP adalah 450-1400 g/rumpun dengan kadar
xanthorrhizol dan curcumin masing-masing meningkat 90,90 dan 6,25%, dibandingkan dengan
cara petani yang hasilnya 50-160 g/rumpun dengan kadar xanthorrhizol 0.22% dan curcumin 1.2%.
Rumah pengering 6m x 8m, mesin pencuci rimpang, perajang rimpang, penepung, pemarut dan
pengemas dilakukan di desa Ngliron, kolaborasi dengan BB Mektan.
Pengembangan kebun temulawak rakyat serta pendirian pabrik mini pengolah rimpang
temulawak ini terwujud atas kerja sama multi fihak Tim P4MI Balittro-BB Mektan-Perum
Perhutani, Unit I, KPH Randublatung, Assosiasi LMDH Makarti Wana lestari, LMDH
Sidodadimulyo Ngliron, LMDH Wonosumber rejeki Semanggi, LMDH Sidomakmur Jaiklampok,
LMDH Jatimulyo Singget dan LMDH Wonotani Temulus. Diharapkan akan dapat menyerap
tenaga kerja pedesaan, meningkatkan pendapatan petani dan secara tidak langsung akan
mengingkatkan pendapatan regional bruto (PDRB) kabupaten Blora.
Kata kunci: Hutan, Temulawak, Obat herbal, Produk Antara, Budidaya
Curcuma xanthorrhiza
Tipologi agroforestry sudah banyak dikembangkan, yang pada dasarnya adalah
menggabungkan dua atau lebih komoditi tanaman semusim dengan tanaman hutan
secara simultan dengan mengatur jarak tanam. Dengan demikian terjadi pemanfaatan
lahan maupun intersepsi cahaya matahari yang optimal. Dalam hal ini ada tiga
66 Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat
komponen jenis tanaman yaitu: pertama: tanaman tahunan yang menghasilkan kayu
sebagai tanaman pokok, kedua: tanaman berumur sedang seperti pisang, temu-temuan
(temulawak, lempuyang wangi dan lain-lain), nilam, dan ketiga: tanaman berumur
pendek seperti padi gogo, jagung, kedelai, cabai, semangka,. Tanaman tersebut
ditumpangsarikan secara serasi di gawangan pohon/tanaman hutan, sehingga
memberikan nilai tambah bagi petani desa hutan. Dalam jangka panjang berdampak
terhadap terjaga dan terawatnya hutan serta konservasi lahan.
Temulawak ( Roxb.) merupakan tanaman asli Indonesia
(Prana, 1985) berkhasiat obat karena mengandung bahan aktif xanthorrhizol dan
curcumin. Tanaman tersebut termasuk satu diantara sembilan tanaman obat utama di
Indonesia yang tumbuh tersebar diseluruh pelosok Nusantara. Pada tahun 2004 Badan
POM mencanangkan temulawak sebagai minuman nasional, karena memilki multi
khasiat antara lain: memperbaiki fungsi percernaan/meningkatkan nafsu makan, fungsi
hati. Mengurangi nyeri sendi dan tulang, menurunkan lemak darah, menghambat
penggumpalan darah dan sebagai antioksidan (Badan POM, 2004). Hal demikian ini
memberikan peluang untuk melestarikan temulawak melalui budidaya dengan
menerapkan teknologi sesuai standar operasional prosedur (SOP) agar mutu dan
produktivitasnya meningkat sehingga memenuhi standar yang diminta oleh
pabrik/industri obat herbal/jamu.
Kabupaten Blora memiliki luas teritorial 181.923,54 ha yang 49,7% (90 - 416 ha)
berupa hutan. Hutan tersebut sebagian besar (82.000 ha) adalah hutan jati yang dikelola
oleh Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah yang meliputi tiga kesatuan pemangku hutan
(KPH) Blora, Cepu dan Randublatung, sisanya adalah hutan rakyat (Anonim, 2004).
Perum Perhutani sejak tahun 1972 sudah menerapkan pola tumpangsari pada
tanaman jati dan sengon yang dikenal dengan istilah Wanatani, kemudian tumpangsari
dengan tanaman obat dikenal dengan istilah Wanafarma. Perum Perhutani melalui
program pengelolaan sumber daya hutan bersama masyarakat (PHBM) yang merupakan
bentuk aktivitas (CSR) membentuk Lembaga Masyarakat
Desa Hutan (LMDH) dan berbadan hukum. Sejak 2001 Perum Perhutani bekerjasama
dengan LMDH mengembangkan budidaya tanaman pangan tumpangsari dengan
tanaman hutan antara lain padi gogo, jagung, kedelai maupun tanaman lain seperti
porang dan nilam (Puryono, 2008). Dewasa ini budidaya tanaman pangan (padi gogo,
jagung, kedelai) pola tumpangsari dengan tanaman hutan semakin digalakkan dalam
mendukung ketahanan pangan nasional. Budidaya wanafarma belum berkembang
dengan baik karena keterbatasan pengetahuan dan minat petani desa hutan, yang selama
ini hanya menambang hasil tanaman obat (temulawak, temu kunci, lempuyang wangi,
jati belanda, secang dan lain-lain) yang tumbuh liar di hutan. Akibatnya dalam dasa
warsa terakhir empon-empon dan tanaman obat lainnya semakin sulit didapatkan,
bahkan cenderung punah akibat penjarahan yang merajalela beberapa tahun yang lalu.
Menurut Sri Sulastri (komunikasi pribadi 2007) pada masa lalu cukup mudah memenuhi
quota pasokan 300 kg/hari empon-empon terutama temulawak ke industri jamu di
Curcuma xanthorrhiza
corporate society responsibility
Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat 67
Surabaya, tetapi sekarang sangat sulit untuk mendapatkan temulawak 100 kg/hari.
Menurut Kemala . (2003) kebutuhan temulawak sebagai bahan baku industri obat
tradisional tahun 2002 di Jawa Tengah menduduki urutan kedua terbanyak setelah Jawa
Timur.
Proses pengolahan simplisia rimpang pada prinsipnya meliputi tahap-tahap:
pencucian, pengecilan ukuran (perajangan/pemotongan), dan pengeringan (Paramawati
., 2006). Pada tahap awal rimpang dicuci (kadar air diperkirakan sekitar 85-90%),
diiris dengan ketebalan 7-8 mm. Setelah pengeringan dengan cara dijemur diperoleh
kadar air 10-25% bb dengan ketebalan 5-6 mm (Ketaren, 1985). Rimpang kering
mengalami penyusutan bobot sekitar 60-70%. Serbuk atau tepung temulawak yang
banyak digunakan untuk keperluan industri jamu dan farmasi biasanya berasal dari
simplisia rajangan kering, yang digiling dengan ukuran 40-80 Untuk keseragaman
ukuran, SNI mensyaratkan partikel yang lolos ayakan 40 mesh minimal 90%.
1. Pengembangan budidaya temulawak di bawah tegakan jati akan dapat memberikan
nilai tambah bagi petani desa hutan. Petani khususnya para pesanggem belum
mengenal budidaya empon-empon termasuk temulawak, dan selama ini hanya
memanen beberapa jenis tanaman obat yang tumbuh liar di hutan tanpa melakukan
penanaman kembali (hanya menyisakan sedikit rimpang agar tumbuh kembali
secara alami). Hasil pencarian dari hutan tersebut jumlahnya terbatas dan
kualitasnya rendah, yang dijual dalam bentuk rimpang segar atau simplisia sehingga
tidak memiliki nilai tambah yang memadai.
2. Populasi tanaman obat termasuk temulawak akhir-akhir ini semakin berkurang
bahkan cenderung punah, akibat pembalakan liar yang merusak habitat tanaman
empon-empon. Hal ini terbukti dari keluhan para pengepul simplisia dalam rangka
memenuhi pasokan ke industri jamu secara kontinu, dalam jumlah yang diminta.
3. Temulawak dicanangkan sebagai minuman nasional oleh Badan POM, sehingga
dapat memotivasi petani untuk melakukan budidaya temulawak, serta
menumbuhkan industri minuman skala pedesaan. Diharapkan terwujud desa
mandiri industri minuman sehat atau bahan baku obat herbal.
4. Rintisan budidaya temulawak sebagai inisiasi kebun temulawak rakyat, serta
industri minuman instan atau sirup temulawak dan bahan baku obat herbal sebagai
inisiasi pabrik pengolah rimpang temulawak.
5. Apabila kebun temulawak rakyat dan pabrik mini pengolah rimpang dapat terwujud
maka akan menyerap tenaga kerja regional, menumbuhkembangkan perkonomian
baru di pedesaan niscaya akan dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan
petani. Disamping itu juga akan meningkatkan pendapatan domestik regional bruto
PDRB) kabupaten Blora.
et al
et al
mesh.
Dasar pertimbangan
68 Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat
TUJUAN, SASARAN DAN LUARAN
Tujuan kegiatan
Sasaran kegiatan
Luaran kegiatan
Dampak
Untuk mengatasi permasalahan kurangnya pasokan bahan baku idustri
obat herbal perlu diperkenalkan teknologi budidaya tanaman temulawak sebagai salah
satu bahan baku obat herbal dengan pola tumpangsari di hutan jati.
1. Memotivasi dan memberdayakan masyarakat desa hutan untuk mengelola lahan
tidur di bawah tegakan hutan jati dengan budidaya tanaman temulawak.
2. Menginisiasi kebun temulawak rakyat (kebun bibit dan produksi) desa hutan.
3. Membangun unit pengolah rimpang temulawak sebagai inisasi pabrik/industri
bahan baku obat herbal/jamu
4. Dalam jangka panjang menumbuhkan perekonian baru di pedesaan yang dapat
meningkatkan pendapatan petani, dan konservasi lahan hutan mendukung program
hutan lestari (PHL).
Sasaran kegiatan adalah petani desa hutan (pesanggem) dalam rangka
meningkatkan pendapatan maupun taraf hidup masyarakat melalui PHBM oleh Perum
Perjutani dengan memanfaatkan lahan di bawah tegakan hutan jati untuk budidaya
tanaman temulawak dari hulu sampai ke hilir.
1. Termotivasinya petani pesanggem untuk mengelola lahan tidur di bawah tegakan
hutan jati dengan budidaya temulawak.
2. Produktivitas dan mutu temulawak yang dikelola oleh petani meningkat.
3. Petani mampu mengolah temulawak menjadi minuman sehat sesuai GMP.
4. Terwujudnya kebun temulawak rakyat, dimasa mendatang menjadi sentra
temulawak di Indonesia.
5. Berdirinya unit pengolah rimpang temulawak menjadi pabrik mini.
6. Tumbuh perekonomian baru di kawasan hutan .
Masyarakat desa hutan termotivasi untuk memanfaatkan lahan hutan secara
optimal untuk budidaya tanaman temulawak sebagai pasokan bahan baku industri obat
herbal/jamu maupun minuman sehat. Pendapatan petani desa hutan akan meningkat
yang bermuara pada masyarakat yang sejahtera. Dalam jangka panjang akan tumbuh dan
berkembangnya sektor perekonomian baru di pedesaan khususnya kawasan hutan, yang
secara tidak langsung dapat meningkatkan pendapatan daerah regional bruto (PDRB)
69Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat
kabupaten Blora.
Kegiatan dilaksanakan di Perum Perhutani Unit I KPH Randublatung kabupaten
Blora mulai bulan Juli 2007 - 2009.
1. Bahan dan peralatan yang diperlukan untuk kegiatan budidaya temulawak mulai
dari tanam, pemeliharaan sampai dengan panen dan pasca panen.
2. Bahan dan peralatan yang diperlukan untuk pembuatan mesin-mesin: 1. pencuci
rimpang, 2. pemarut rimpang, 3. perajang rimpang, 4. penepung, 5. rumah pengering
dan 6. alat pengemas produk berbasis temulawak (kering dan cair).
Kegiatan ini dirancang mulai dari hulu (demplot budidaya temulawak sesuai SOP,
pengembangan budidaya inisiasi kebun bibit dan produksi) sampai ke hilir (pendirian
unit pengolah temulawak sebagai inisiasi pabrik). Kegiatan dilaksanakan melalui tiga
tahapan, bekerjasama dengan Perum peruhutani Unit I KPH Randublatung.
Tahap I tahun 2007
1. Pelatihan teknologi budidaya sesuai dengan SOP, dan olah produk simplisia, instan
dan sirup temulawak.
2. Penanaman temulawak sesuai SOP berupa Demplot.
Tahap II tahun 2008
1. Pelatihan teknologi lanjutan dengan fokus olah produk sesuai dengan GMP.
2. Kegiatan budidaya meliputi: panen temulawak Demplot, analisis mutu rimpang dan
seleksi rimpang untuk bibit dalam perluasan budidaya temulawak.
3. Merancang site plan unit pengolah rimpang temulawak (pabrik mini).
Tahap III tahun 2008/09
1. Perluasan budidaya temulawak sebagai perwujudan kebun temulawak rakyat.
2. Survai dan penentuan lokasi pendirian unit pengolah rimpang temulawak.
3. Membangun unit pengolah rimpang temulawak.
4. Pelatihan operasional mesin-mesin pengolah rimpang temulawak menjadi “produk
antara” bahan baku obat herbal.
BAHAN DAN METODE
Waktu dan tempat
Bahan dan alat
Prosedur pelaksanaan
70 Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tahap I tahun 2007
Pelatihan pembuatan minuman dan instan temulawak
Tahap II tahun 2008
1. Pelatihan teknologi budidaya dan olah produk lanjutan
Pelatihan teknologi budidaya dan olah produk temulawak menjadi minuman
sehat dilaksanakan di Aula Wana Graha KPH Randublatung tanggal 22 - 23 Agustus 2007
dengan peserta tujuh perwakilan dari LMDH desa Ngliron, Singget, Bangkleyan, Bodeh,
Tanggel, Jegong, dan Gempol. Narasumber dari Balai Penelitian Tanaman Obat dan
Aromatik (Balittro), Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Tengah, Dinas
Pertanian kabupaten Blora. Hasil evaluasi oleh Tim penilai (wakil KPH Randublatung,
wakil LSM lokal, wakil P4MI Pusat, Penanggung jawab kegiatan dan Instruktur), peserta
dari Ngliron, Singget dan Gempol berturut-turut meraih juara I, II dan III, mendapatkan
hadiah yang disponsori oleh Assosiasi LMDH Wahana Makarti Wana KPH
Randublatung. Perangkat pengolah produk temulawak dihadiahkan kepada peserta
agar dipergunakan sebagai modal usaha/kerja kelompok dalam mengolah produk
temulawak.
Hasil dialog interaktif (monitoring) diperoleh gambaran bahwa: 1) peserta sangat
respon dan antusias untuk mengelola tanaman temulawak yang semula tidak
diperhatikan sama sekali karena dinilai tidak menguntungkan bagi petani, 2) peserta
termotivasi untuk mendapatkan nilai tambah temulawak dengan mengolah menjadi
produk minuman sehat, 3) kelompok tani dari desa Singget didukung oleh LMDH Jati
Mulyo melanjutkan proses produksi instan dan sirup temulawak skala rumah tangga dan
dipasarkan secara getok tular (aktif) dengan harga masing-masing Rp 1000,-/sachet dan
Rp 6000,-/botol, sedangkan kelompok desa ngliron memproduksi instan dan sirup
temulawak berdasarkan atas pesanan (pasif).
Demplot budidaya temulawak di bawah tegakan jati berumur di atas 50 tahun
dilaksanakan di desa Ngliron BKPH Ngliron KPH Randublatung. Penanaman sesuai SOP
dan konvensional masing-masing seluas 1.000 m dilaksanakan adalah petani LMDH
”Sidodadi Mulyo” BKPH Ngliron KPH Randublatung.
Pelatihan teknologi lanjutan dengan fokus olah produk sesuai dengan
(GMP) dilaksanakan tanggal 17 - 18 Juni 2008 diAula Wana Graha
KPH Randublatung dengan peserta perwakilan dari 10 LMDH desa Ngliron, Singget,
Bangkleyan, Bodeh, Tanggel, jegong, Gempol, Kutukan, Kediren dan Randublatung.
Narasumber dari Balittro, BB Pasca Panen, BPTP Jateng, Dinas Pertanian & Perkebunan,
Dinas Perindustrian, Perdagangan & Koperasi, Dinas Kesehatan kabupaten Blora. Hasil
2
good
manufacturring practices
71Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat
evaluasi oleh tim penilai terdiri dari Balittro, BB Pasca Panen, KPH Randublatung,
Assosiasi LMDH dan Perwakilan BPTP Jawa Tengah, kelompok tani dari desa Singget,
Bangkleyan dan kelompok gabungan (desa: Kutukan, Kediren, Randublatung) masing-
masing meraih juara I, II dan III.
Panen demplot temulawak di desa Ngliron dilakukan pada umur 9 BST,
menggunakan garpu agar tidak merusak rimpang. Hasil sampel panen budidaya sesuai
SOP adalah: 450-1400 g/rumpun (Gambar 1), dengan kadar xanthorrhizol dan curcumin
masing-masing meningkat 90,90 dan 6,25%, dibandingkan dengan konevensional 50 - 160
2. Panen temulawak musim tanam 2007
Gambar 1. Temulawak konvensional bobot rimpang 50 -160 g/tanaman (atas), dan SOP
450 -1400 g/tanaman (bawah). KPH Randublatung.2008
Tabel 1. Mutu rimpang temulawak lokal Purworejo SOP dan konvensiomal
BudidayaNo. Karateristik Mutu (%)
SPO konvensional
123
45
678
910
Kadar airKadar minyak atsiriKadar abu
Kadar abu tidak larut asamKadar sari larut air
Kadar sari larut alkoholKadar patiKadar serat
Kadar curcuminKadar xanthorrhizol
:::
::
:::
::
8,567,236,89
1,2723,26
2,8848,01
2,43
1,190,42
7,686,167,34
3,8922,94
3,1843,13
2,43
1,120,22
72 Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat
3. Penanaman temulawak musim tanam 2008
Penanaman temulawak seluas 4 ha melibatkan empat kelompok tani dari desa
Ngliron yang tergabung dalam LMDH Sido Dadi Mulyo yaitu: I. kelompok tani dukuh
Ngliron, II. Kelompok tani dukuh Klampok, III. Kelompok tani dukuh Kedung Glagah,
dan IV. Kelompok tani Dukuh Kaliwader. Kelompok I menanam dan mengelola
temulawak perluasan 1 ha sebagai inisiasi kebun produksi bibit berasal dari hasil panen
demplot, sedang kelompok II, III dan IV menanam dan mengelola temulawak seluas 1 ha
masing-masing menggunakan benih Cursina A, E dan F (jenis unggul Balittro) sebagai
inisiasi kebun bibit. Selain di Ngliron perluasan 1 ha menggunakan benih hasil panen
demplot dilakukan oleh petani yang tergabung dalam LMDH Jatimulyo desa Singget
BKPH Kemadoh KPH Randublatung. Penampilan tanaman temulawak kebun bibit
berumur 3 BST (Gambar 1) dan kebun produksi berumur 4 BST (Gambar 2).
Gambar 1. Temulawak 3 BST dibawah tegakan Jati 50 tahun
(Kebun bibit 3 ha, BKPH Ngliron 2008).
Gambar 2. Temulawak 4 BST dibawah tegakan Jati 50 tahun
(Kebun produksi 1 Ha, BKPH Ngliron 2008)
Tabel 2. Mutu rimpang temulawak di bawah pengaruh umur tanaman dan cara
penyiapan lahan
Umur tanaman dan teknik budidaya /penyiapan lahan
9 BST
2008
12 BST
2009
6 BST Regrowth
2010
SOP Petani Cara Petani Cara Petani
Analisa
P P P A E F P A E F
1. Minyak atsiri (%)
2. Kurkumin (%)
3. Xanthorrhizol (%)4. Kadar air (%)
7,23
1,19
0,428.56
6,16
1,12
0,227.68
5,31
1,03
1,835.68
5,75
1,07
0,908.55
6,88
1,19
1,767.16
5,43
1,30
0,586.59
5,24
1,08
0,847.87
4,09
0,81
0,727.78
4,66
0,93
0,476.59
5,29
1,05
0,628.59
BST: Bulan setelah tanam; SOP: standar operasional prosedur;
73Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat
4. Survai sosial ekonomi
Melalui metode keragaan lapang dan pendekatan LMDH dapat dilihat tingkat
adopsi yang diterima oleh masyarakat desa hutan (MDH) yang terlibat dalam kegiatan
budidaya tanaman temulawak dan olah produk instant dan sirup temulawak (Tabel 2).
Besarnya tingkat adopsi teknologi dinyatakan dalam skore 1 - 100%. Sebagai pembanding
digunakan teknologi Balittro(SOP) yang dianggap teknologi standar (100%).
Dari Tabel 2 terlihat bahwa petani belum sepenuhnya menguasai teknologi
budidaya temulawak yang diberikan dalam bentuk pelatihan yang tercermin dari nilai
skore 46,3%. Sedangkan penanaman kedua pada bulan November 2008 nilai skorenya
naik menjadi 56,8%. Hasil evaluasi dan survai terhadap proses produksi skala rumah
tangga di beberapa kelompk tani Ngliron dan Singget menunjukkan bahwa olah produk
instan dan sirup temulawak mampu memberikan nilai tambah cukup besar. Untuk sirup
temulawak nilai tambahnya sebesar Rp 4.077,77/botol dan instan Rp 23.330,-/kg.
Penjualan instan lebih laku daripada sirup, dan kebanyakan berdasarkan atas pesanan,
ikut pameran dan lain sebagainya. Hasil analisis usaha instan dan sirup temulawak
(Tabel lampiran 1 dan 2).
Tabel 2. Rata-rata tingkat adopsi teknologi budidaya dan olah produk temulawak (%)
pada LMDH di KPH Randublatung Blora
Angka skore Th I Angka Skore Th II
Standar MDH Standar MDHNo. Uraian
(%)
1 Penyiapan lahan 100 54 100 80
2 Pemilihan bibit 100 45 100 60
3 Cara penanaman 100 59 100 70
4 Jarak tanam 100 60 100 75
5 Pemupukan 100 40 100 50
6 Penyiangan 100 55 100 68
7 Pembumbunan 100 55 100 55
8 Pengendalian H &P 100 40 100 35
9 Panen&Pasca panen 100 55 100 75
10 Rata-rata 100 46.3 100 56.8
Tahap III tahun 2008/09
Perluasan budidaya temulawak seluas 13.5 ha dengan rincian:1) desa Ngliron
bekerjasama dengan LMDH Sidodadimulyo BKPH Ngliron 4 ha terdiri dari 1 ha inisiasi
kebun bibit dan 3 ha inisiasi kebun produksi, 2) desa Singget bekerjasama dengan LMDH
Jatimulyo BKPH Jati 1 ha (kebun produksi), dan 3) desa Temulus kerjasama dengan
LMDH Wonotani BKPH Beran secara swadaya 8.5 ha (kebun produksi) bulan Februari-
74 Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat
Maret 2009. Penanaman temulawak dilakukan dengan sistem tanpa olah tanah (TOT),
gulma disemprot herbisida glifosat 485 SL dosis 6 l/ha dua minggu sebelum tanam.
Dalam hal ini mendapat bantuan herbisida berbahan aktif glifosat sebanyak 40 liter dari
PT. Surat Tani Jakarta dan bantuan benih temulawak sebanyak 5 ton dari Balttro/P4MI.
Penampilan tanaman temulawak TOT berumur 3 dan 6 bulan setelah tanam di desa
temulus (Gambar 3 dan 4).
Tahun 2009 “Tim P4MI Balittro” berkolaborasi dengan Balai Besar Pengembangan
Mekanisasi Pertanian (BB Mektan) mendirikan unit pengolah rimpang temulawak yang
terdiri dari enam unit yaitu: rumah pengering 7m x 8m tipe ERK (efek rumah kaca) hibrid
dengan tungku biomas, mesin pencuci rimpang tipe drum, mesin perajang rimpang tipe
horisontal, mesin penepung tipe , mesin pemarut dan pengemas
produk di desa Ngliron.
double jacket sealer
Gambar 3. Perluasan 8.5 ha temulawak 3 BST (kiri) 6 BST (kanan) di bawah tegakan Jati
umur 10 tahun Desa Temulus KPH Randublatung, 2009
Kegiatan dilaksanakan 18 Agustus - 10 Oktober 2009 melibatkan tiga LMDH yaitu
LMDH Sidodadimulyo desa Ngliron, LMDH Sidomakmur desa Jatiklampok dan LMDH
Wono Sumber Rejeki desa Semanggi BKPH Ngliron sebagai penyangga pabrik mini telah
membangun lantai rumah pengering 7 m x 8 m, rumah untuk pabrik mini yang berisi lima
unit mesin pengolah temulawak dan gudang. Pelatihan olah produk menggunakan
mesin dilaksanakan 22 - 23 Oktober 2009 oleh Tim BB Mektan dengan narasumber dari BB
Mektan, Balittro, BPTP Jateng, dan Perhutani Unit I KPH Randublatung (Gambar 4).
75Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat
Gambar 6. Pengoperasian mesin penepung rimpang
temulawak, disaksikan perwakilan Direksi
Perum Perhutani
Pada saat yang sama KPH Randublatung mencanangkan ”gerakan tanam
temulawak” dan terujud perluasan budidaya temulawak di bawah tegakan jati mencapai
34,5 ha yang tersebar di 9 desa/LMDH pada tahun 2009/10.
Dalam pengembangan budidaya tanaman temulawak di bawah tegakan jati antara
lain tingkat pendidikan yang mayoritas rendah sehingga berpengaruh terhadap daya
serap atau tingkat adopsi teknologi olah petani yang telah dibina. Sebagai contoh adalah
tanaman temulawak tahun II yang dipanen secara konvensional yaitu mengambil
rimpang dengan menyisakan sebagian kecil rimpang (sebagai benih) agar nantinya
tumbuh kembali. Penampilan tanaman temulawak regrowth berumur 6 BST di kebun
bibit, desa Ngliron (Gambar 7-10). Dengan cara konvensional demikian maka rimpang
menjadi tidak berkembang optimal untuk cursina A, E, F dan lokal Purworejo masing-
masing bobotnya 410,5, 385,0, 430,0 dan 229,5 g/tanaman lebih ringan dibandingkan
dengan yang sesuai SOP bobot berkisar antara SOP 450 -1400 g/tanaman (Gambar11).
KENDALA
76 Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat
Gambar 7. Temulawak Cursina A tahun II regrowth
umur 6 BST Ngliron Mei 2010
Gambar 9. Temulawak Cursina F tahun II regrowth umur
6 BST Ngliron Mei 2010
Gambar 8. Temulawak Cursina E tahun II regrowth
umur 6 BST Ngliron Mei 2010
Gambar 10. Temulawak Purworejo tahun II regrowth
umur 6 BST Ngliron Mei 2010
Gambar 11. Temulawak regrowth Cursina A, E, F dan P masing-
masing 410,5, 385,0, 430,0 dan 229,5 g/tanaman.
Ngliron.2010
77Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
1. Masyarakat desa hutan kawasan KPH Randublatung merasa tergugah dan bangkit
untuk membudidayakan temulawak sebagai bahan baku industri obat herbal
disamping memproduksi minuman sehat instan dan sirup temulawak skala rumah
tangga. Bahkan Administratur KPH Randublatung menginginkan agar temulawak
bisa menjadi ikon bagi Perhutani.
2. Pendirian pabrik mini pengolah rimpang temulawak hasil kolaborasi Tim P4MI
Balittro dengan BB. Mektan mendapat dukungan dari Perum Perhutani Unit I jawa
Tengah khususnya KPH Randublatung maupun Perum Perhutani Jakarta. Tiga
LMDH Sidomakmur desa Jatiklampok, Sidodadi Mulyo desa Ngliron dan
Wonosumber Rejeki desa Semanggi, BKPH Ngliron mewujudkan bangunan lantai
rumah pengering, rumah untuk pabrik mini yang berisi lima unit mesin pengolah
temulawak dan gudang.
3. Inisiasi kebun temulawak rakyat dan inisiasi pabrik pengolah rimpang dibangun di
desa Ngliron atas kerja sama multi fihak: LMDH Sidodadi Mulyo, Wonosumber
Rejeki, Sidomakmur, Jati Mulyo, Wono Tani dan Asosiasi LMDH Wahana Makarti
Wana.
4. Masyarakat desa hutan KPH Randublatung berencana mengembangkan budidaya
tanaman temulawak untuk memenuhi pasokan bahan baku pabrik mini untuk
memproduksi produk antara berupa simplisia, tepung sebagai bahan baku obat
herbal.
Anomious. 2003. Geliat petani empon-empon: Membuka peluang pasar melalui
kemitraan dengan PT. Sido Muncul Semarang. Majalah Agribisnis Agrimustika IV
(02):9-10.
Anonimous. 2004. Provinsi Jawa Tengah Kabupaten Blora. Http://pilkada.golkar.or.id/
index.php?action=view&pid=kota&idk=184. Download 3 Mei 2007.
Badan Pengawas Obat dan Makanan RI. 2004. Informasi Temulawak Indonesia. 36p.
Bangun, P., A.Pirngadi, Pakim dan H.M.Toha. 1998. Pengaruh persiapan tanam dan
sistem pengendalian gulma terhadap pertumbuhan dan hasil gabah kering padi
gogo pada tegakan tanaman sengon dan kelapa sawit. SemNas VI BDP-OTK.
Padang 24 - 26 Maret 1998.
De Padua, L.S., N. Bunyapraphatsara and R.H.M.J. Lemmens. 1999. Medicinal and
Poisonous plant I.Prosea 12 (1).
78 Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat
Kemala, S., Sudiarto, E.R. Pribadi, JT. Yuhono, M. Yusron, L. Mauludi, M. Rahardjo, B.
Waskito dan H. Nurhayati. 2003. Studi serapan, Pasokan dan pemanfaatan tanaman
obat di Indonesia. Laporan teknis penelitian Bagian proyek penelitian tanaman
rempah dan obat.APBN 2003.61 hal.
Ketaren, S. 1985. Pengantar Teknologi MinyakAtsiri, PN Balai Pustaka, Jakarta.
Paramawati, R., S. Triwahyudi, R. J. Gultom dan Mardison. 2006. RekayasaAlsin Pengolah
Biofarmaka Penyakit Degeneratif. Laporan Akhir. Balai Besar Pengembangan
Meknaisasi Pertanian.
Prana, M.S. 1985. Beberapa aspek biologi temulawak ( Roxb.)
prosisidng symposium nasional temulawak. Bandung 17 - 18 September 1985. p. 42
- 48.
Puryono, KS. 2008. Pengelolaan hutan bersama masyarakat sebagai upaya mitigasi
perubahan iklim global. Duta Rimba Eds.28/th 3/Okt./2008. p. 17 - 21.
Curcuma xanthorrhiza
79Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat
Tabel Lampiran 1. Analisis usaha pembuatan instan temulawak
No. Uraian Fisik VolumeHarga
Satuan
Jumlah
(Rp)
1. Upah- Mencuci, mengupas dan
mengolah bahan baku- Memasak/processing
- Packing & membungkus
HOK
HOK
HOK
1
1
3
20.000
20.000
20.000
20.000
20.000
60.000
Sub jumlah (1) 100.000
2. Bahan- Rimpang temulawak- Gula pasir
- Jeruk nipis- Pandan
- Serai wangi- Minyak tanah
- Sachet kosong/bungkus
kgkg
buahikat
ikatliter
lembar
1520
5010
1010
1.600
3.0008.000
1.000500
5003.500
150
45.000160.000
50.0005.000
5.00035.000
240.000
Sub jumlah (2) 540.000
3. Peralatan
- Penyusutan peralatan masak Unit 0,01 1.000.000 10.000
4. Total biaya (1 + 2 + 3) 650.000
5. Produksi- Bentuk instan- Bentuk sachet @ 20 gram
kgsachet
201 000 1000 1 000.000
6. Nilai tambah/keuntungan (5 -4) setiap 15 kg bahan 350.000
7. B/C rasio = 1,54
Keterangan :
1. Satu kali proses produksi menggunakan bahan baku temulawak segar sebanyak 15 kg.
2. Harga jual instan temulawak / sachet, berat 20gram = Rp.1 000,-
3. Nilai tambah yang diperoleh / kg bahan = Rp. 23.330,-
80 Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat
Tabel Lampiran 2. Analisis usaha pembuatan sirup temulawak
No. Uraian Fisik VolumeHarga
Satuan
Jumlah
(Rp)
1. Upaha.Penyiapan bahan, alat,
mencuci, kupas dllb.Mengolah / prosesing
c. Mengemas & paking
HOK
HOK
HOK
1
1
2
20.000
20.000
20.000
20.000
20.000
40.000
Sub jumlah (1) 80.000
2. Bahan- Rimpang temulawak- Gula pasir
- Jeruk nipis- Pandan
- Serai wangi- Minyak tanah
- Botol
kgkg
kgikat
ikatliter
buah
1030
810
108
90
1.0008.000
7.500500
5003.500
1.000
10.000240.000
60.0005.000
5.00028.000
90.000
Sub jumlah (2) 438.000
3. Alat
- Penyusutan alat memasakdan sealer
Unit 0,01 1.500.000 15.000
4. Total biaya (1 + 2 + 3) 533.000
5. Produksi sirup = 60 liter setara ± 90 botol marjan
6. Harga pokok pro ses = 533.000 / 90 = Rp. 5.922 / botol
7. Harga jual per botol ± Rp. 10.000, -
8. Nilai tambah / botol = Rp. 4.078, - atau Nilai Tambah Total sebesarRp 367 000, -
9. B/C rasio = 1,68
Keterangan :
1. Satu kali proses pembuatan sirup temulawak, menggunakan 10 kg temulawak segar.
81Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat
Lampiran 3.
Skenario Kegiatan
Temulawak
Demplot Budidaya
tanam 4.11.07
Pemeliharaan
Swadaya & Tim
Panen 4.8.08
Data Produksi
Seleksi bibit &
konsumsi
Perluasan Budidaya
- SOP di bawah Jati
Inisiasi KTR.2008/09
Pemeliharaan Swadaya
2009
Rimpang
Pelatihan proses produksi GMP &
Pemantaban Keterampilan
Budidaya & olah produk
-Perencanaan Site Plan pabrik
-Inisisasi pabrik &Kebun
Temulawak
Rakyat (KTR)
Survai/Penentuan Lokasi
pendirian pabrik mini & K T R
Aspek:
1.Sosial Budaya2.Agroekosistem
3.Sarana prasarana
4.Pasca panenDukungan Teknologi Proses:
1.Pasokan bahan baku
2.Teknologi pengolahan3.Peluang pasar
Kerjasama Strategi:
1.Perhutani KPH Randublatung2.Asosiasi LMDH Wahana Makarti Wana
3.Multi LMDH4.Balittro /P4MI
5.BB.Mektan
6.Pemda Kab. Blora (blm)
82 Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat
Diagram Alir Pengolahan Produk Temulawak
Lampiran 4.
Rimpang Temulawak segar
Pencuci rimpang
Rimpang Bersih
Perajang Rimpang
Pengering
Penepung
Serbuk/tepung40/80 mesh
Pengemasan
dalam
karung/kantong
plastik
Serbuk/tepung
dalam kemasan siap
jual(10-25kg)
Sirup
Penambahan gula &
bumbu (serai, pandan,
jeruk limau, asam)
Pemasakan
Pendinginan
Pengemasan
dalam cup
Penghancur(Blender)
Pengepres /
Kempa
Pengaduk
(Formu la Instan)
Instan
Kemasan
Penstabilan
Sealer
Pemarut & Penyaring
Minuman dalam kemasan
cup plastik
83Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat
Lampiran 5. Seremoni kunjungan Gubernur Jawa Tengah dan Menteri Kehutanan ke
lokasi pabrik mini pengolah rimpang di Ngliron Blora 5 Oktober 2010
Gambar 13. Diesel bantuan Gubernur Jawa Tengah Gambar 14. Peserta pelatihan “Sosialisasi teknologi
Biofarmaka temulawak” oleh BBP Mektan
Gambar 15. Ka.Balittro berbincang dengan PCMU P4MI Gambar 16. Gubernur Jateng Bibit Waluyo hadir
bersama Wamentan Dr. Bayu Krisnamurti
Gambar 12. Suasana seremoni kunjungan gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo ke desa Ngliron
84 Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat
Gambar 17. Menhut Ir. Zulkifli Hasan mendengarkan
penjelasan dari Ka. Perhutani Unit I Jateng
Gambar 18. Sambutan Menhut kepada peserta pelatihan
“Sosialisasi teknologi Biofarmaka temulawak”
Gambar 19. Wawancara Ka.Balittro dengan Wartawan
majalah Kehutanan ”Bina”
Gambar 20. PCMU (Dr.Eko Ananto) & PJK kegiatan Pelatihan
teknologi biofarmaka (Dr. Raffi Paramawati)
85Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat