pengaruh pemberian ekstrak minyak jintan hitam … · alasan dilakukannya penelitian ini...
TRANSCRIPT
PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK MINYAK JINTAN
HITAM (Nigella sativa) TERHADAP ORGAN LIMFOID
SEKUNDER MENCIT (Mus musculus)
CUT DARA PERMATA SARI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTUTUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Pengaruh
Pemberian Ekstrak Minyak Jintan Hitam (Nigella sativa) Terhadap Organ
Limfoid Sekunder Mencit (Mus musculus) adalah karya saya dengan arahan dari
Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Februari 2012
Cut Dara Permata Sari
B04070028
ABSTRAK
CUT DARA PERMATA SARI. Pengaruh Pemberian Ekstrak Minyak Jintan
Hitam (Nigella sativa) Terhadap Organ Limfoid Sekunder Mencit (Mus
musculus). Dibimbing oleh SRI ESTUNINGSIH dan MAWAR SUBANGKIT
Alasan dilakukannya penelitian ini menggunakan jintan hitam (Nigella
sativa) adalah mendukung peningkatan minat masyarakat terhadap hidup sehat
dan kembali ke alam. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari
pengaruh pemberian ekstrak minyak jintan hitam terhadap organ limfoid sekunder
mencit (Mus musculus). Sebanyak 24 ekor mencit berumur empat minggu dibagi
menjadi dua kelompok berdasarkan jenis kelaminnya. Kelompok pertama adalah
kelompok jantan dan kelompok lainnya adalah kelompok betina. Kedua kelompok
ini kemudian dibagi lagi menjadi empat kelompok perlakuan, masing-masing
kelompok terdiri atas tiga ekor mencit. Kelompok I adalah kontrol (diberikan
aquades 0,1 ml), kelompok II (diberikan 0,1 ml ekstrak minyak jintan hitam),
kelompok III (diberikan 0,2 ekstrak minyak jintan hitam), kelompok IV (diberikan
0,3 ml formulasi ekstrak minyak jintan hitam dan madu). Perlakuan ini dilakukan
selama dua bulan, kemudian mencit dieuthanasi. Organ limfonodus dan limpa
diambil sebagai preparat histopatologi. Preparat organ ini diproses sampai
menjadi slide histopatologi dan diwarnai dengan pewarnaan Haematoxilyn Eosin.
Parameter pengamatan pada penelitian ini adalah rataan jumlah dan luas folikel
limfoid pada kedua organ limpa dan limfonodus. Data kuantitatif yang diperoleh
dianalisis dengan menggunakan uji ANOVA dan dilanjutkan dengan uji Duncan.
Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah mencit yang telah diberikan
ekstrak minyak mengalami peningkatan rataan luas folikel limfoid dari limpa dan
limfonodus pada kelompok II, III, dan IV berbeda nyata (p<0,05) dibandingkan
dengan kelompok kontrol.
Kata kunci: jintan hitam, mencit, limfonodus, limpa.
ABSTRACT
CUT DARA PERMATA SARI. The Effect of Black Seed (Nigella sativa) Oil
Extracts on Secondary Lymphoid Organ of Mice (Mus musculus). Under direction
of SRI ESTUNINGSIH and MAWAR SUBANGKIT
Concerning to the people who were realized the importance of returning to
a healthy lifestyle and back to nature was the reason of this research done using
black seed (Nigella sativa). The purpose of this research was to study the effect of
black seed oil extracts in secondary lymphoid organ of mice (Mus musculus).
Twenty four of 4 weeks age mice were divided into 2 groups by gender. First
group was male group and the other was female group. Both male and female
groups were subdivided into 4 groups, each group consisted of three mice. Group
I was control (received aquadest 0,1 ml), Group II (received 0,1 ml black seed oil
Extracts), Group III (received 0,2 ml black seed oil extracts), and Group IV
(received 0,3 ml combination of black seed oil Extracts and honey). This
treatment were done for two months, the mice were then euthanized. The lymph
node and spleen were collected as histopathological samples. Samples were
processed routinely to prepare histopathology slide stained with Haematoxylin
Eosin. The parameters observed were the number and width of lymphoid follicle
on both spleen and lymph node. Quantitative data were analyzed with ANOVA test
and followed by Duncan test. The observation results of that the mice given black
seed oil extracts showed increased of lymphoid follicle wide of spleen and lymph
node on group II, III, and IV which are significant (p<0,05) compare to the
control group.
Keywords: black seed, mice, lymph node, spleen.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2012
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK MINYAK JINTAN
HITAM (Nigella sativa) TERHADAP ORGAN LIMFOID
SEKUNDER MENCIT
(Mus musculus)
CUT DARA PERMATA SARI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan
Institut Pertanian Bogor
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTUTUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
Judul Penelitian : Pengaruh Pemberian Ekstrak Minyak Jintan Hitam
(Nigella sativa) Terhadap Organ Limfoid Sekunder Mencit
(Mus musculus)
Nama Mahasiswa : Cut Dara Permata Sari
NRP : B04070028
Program Studi : Kedokteran Hewan
Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor
Menyetujui,
Pembimbing I
Dr. drh. Sri Estuningsih, M.Si, APVet
Pembimbing II
drh. Mawar Subangkit
NIP. 19600629.199002.2.001 NIP. 19850522.201012.1.006
Mengetahui,
Wakil Dekan
Fakultas Kedokteran Hewan
Institut Pertanian Bogor
drh. H. Agus Setiyono, MS, PhD, APVet
NIP. 19630810.198803.1.004
Tanggal lulus:
RIWAYAT HIDUP
Penulis yang bernama lengkap Cut Dara Permata Sari dilahirkan di Tanjung
Karang, Bandar Lampung pada tahun 1990 yang merupakan anak ketiga dari
pasangan ayah TM. Nur dan ibu Elisabeth Agustina.
Pendidikan formal penulis dimulai dari SDN 1 Labuan Ratu, Bandar
Lampung sampai kelas 6, namun pada akhir cawu 1 kelas 6 hingga lulus pada
tahun 2001 di lanjutkan di SDN 14 Meulaboh, Aceh Barat. Kemudian dilanjutkan
ke SMPN 2 Meulaboh dan lulus pada tahun 2004. Pendidikan SMA penulis
selesaikan di SMAN 5 Wira Bangsa, Aceh Barat dan lulus pada tahun 2007,
kemudian melanjutkan pendidikan ke IPB pada tahun yang sama melalui jalur
Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Mayor yang dipilih penulis adalah
Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor (FKH
IPB).
Selama menjadi mahasiswa, penulis mengikuti beberapa keorganisasian
diantaranya Ikatan Mahasiswa Tanah Rencong (IMTR) Bogor, International
Association of Students in Agricultural and Related Sciences (IAAS) IPB,
Himpunan Minat dan Profesi Satwa Liar (Himpro Satli) FKH IPB, Forum
Komonitas Satwa Liar Indonesia (Chelonia), Badan Eksekutif Mahasiswa Kabinet
Katalis FKH IPB, Ikatan Mahasiswa Kedokteran Hewan Indonesia (IMAKAHI).
Penulis menyelesaikan pendidikan sarjana di Fakultas Kedokteran Hewan, Institut
Pertanian Bogor pada tahun 2012, dengan judul skripsi “Pengaruh Pemberian
Ekstrak Minyak Jintan Hitam (Nigella sativa) Terhadap Organ Limfoid
Sekunder Mencit (Mus musculus)”
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur sebesar-besarnya penulis panjatkan kepada Allah
SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya yang senantiasa dilimpahkan berupa
kekuatan lahir batin sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.
Dengan segala keikhlasan hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Papa (TM. Nur) dan Mama (Ellisabeth Agustina) tercinta serta Bapak (T.
Usman TM.) dan Ibu (Darmi) tersayang, yang senantiasa memberikan kasih
sayang dan dorongan dalam bentuk doa, motivasi, dan materi. Kalian adalah
anugerah terbaik dalam hidup.
2. Kakak dan Abang serta adik-adik yang terus memberikan semangat dan
keceriaan sehingga membuat penulis dapat selalu tersenyum. Semoga kalian
menjadi manusia yang lebih baik dari penulis.
3. Ibu Dr. drh. Sri Estuningsih, M.Si, APVet, dan Bapak drh. Mawar Subangkit,
selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan, dan
masukan dalam menyelesaikan skripsi ini. Beliau adalah sumber motivasi
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
4. Dr. drh. Eko S Pribadi, M.Si sebagai pembimbing penulis selama menuntut
ilmu di Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
5. Keluarga besar Laboratorium Bagian Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan
IPB yang membantu penulis selama penelitian: Pak Endang, Pak Kasnadi,
Pak Soleh, Mbak Kiki dan Bibi.
6. Sahabat-sahabat seperjuangan penulis “Habbatussauda Team”: Agung
Sudomo, Annisa Rahmi, Dian Mayasafira, Niken Rostika, Nova Febrina,
Ornella Zynesha atas kerjasamanya dalam melakukan penelitian hingga titik
darah penghabisan mencit, dan “Patologi Team”: Auliya Indiarti Zen, Astri,
Endah Mulia, Gita A, Kenyo Palupi, Larassati PR, yang telah membantu
selama penelitian (terutama menunggu, mengambil foto preparat serta curhat
bareng).
7. Temen-temen FKHku tercinta: Arni Suryani, Andi Eka P, Danang Dwi
Cahyadi, Fajriati R, Nurida Dessalma, Rissar Siringo Ringo, Sandra Hapsari,
Wahid Fakhri H, Yayan Taufik Hidayat. Terimakasih atas arti hidup yang
telah diajarkan kepada Penulis.
8. Teman-teman Gianuzzi FKH 44, yang dalam empat tahun terakhir selalu
bersama baik di dalam suka maupun duka. Semoga Gianuzzi tetap “Kita Gitu
Loch”.
9. Keluarga kecil Asrama Malahayati dan Loser: Meutia, Maya, Icha, Vera,
Imel, K.Mala, Ana, Maida, Siti, nyak Alvi n Nyak Kandi, Kak Desna,
Husnul, Fahrul, Aed, Aris yang selalu memberikan arti penting persaudaraan.
10. Keluarga besar Himpro Satwa Liar FKH IPB yang banyak memberikan
pengetahuan tentang dunia luar. Salam Lestari.
11. Keluarga Ikatan Mahasiswa Tanah Rencong (IMTR) Bogor yang selalu
mengingatkan penulis pada kesederhanaan.
12. Semua pihak yang telah terlibat dalam pengerjaan penelitian dan penulisan
skripsi yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Penulis sadar bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, akan tetapi penulis
berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat kepada pihak yang membutuhkan.
Amin.
Bogor, Februari 2012
Cut Dara Permata Sari
ii
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ....................................................................................... ii
DAFTAR TABEL ............................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR ........................................................................... v
1. PENDAHULUAN ......................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ......................................................................... 1
1.2 Tujuan ...................................................................................... 2
1.3 Manfaat ..................................................................................... 2
1.4 Hipotesa .................................................................................... 3
2. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................. 4
2.1 Jintan Hitam .............................................................................. 4
2.1.1 Kegunaan Jintan Hitan Secara Umum ................................. 6
2.1.2 Kegunaan Jintan Hitam Berasarkan Kandungan .................. 8
2.2 Mencit (Mus musculus) .............................................................. 13
2.3 Sistem Organ Imun .................................................................... 15
2.3.1 Organ Limfosid Primer ....................................................... 16
2.3.2 Organ Limfosid Sekunder ................................................... 16
2.3.2.1 Limfonodus ...................................................................... 17
2.3.2.2 Limpa ............................................................................... 18
3. METODOLOGI ............................................................................. 22
3.1 Waktu dan Tempat penelitian .................................................... 22
3.2 Bahan Dan Alat ......................................................................... 22
3.3 Metode Penelitian ...................................................................... 23
3.3.1 Persiapan ....................................................................... 23
3.3.1.1 Persiapan kandang dan laboraturium ............................ 23
3.3.1.2 Persiapan Pakan dan Minum ........................................ 23
3.3.1.3 Adaptasi Mencit dan Pre Treatment ............................ 24
3.4 Penelitian .................................................................................. 25
3.4.1 Perlakuan Pada Kelompok Penelitian ............................. 25
3.4.2 Sampling Organ Limfoid Sekunder ................................ 26
3.4.3 Pembuatan Preparat Histologi ........................................ 27
iii
3.4.4 Pengamatan Preparat Histopatologi ................................ 28
3.4.5 Analisis Data ................................................................. 29
4. HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................... 30
4.1 Perubahan Gambaran Histopatologis Pada Limfonodus ............ 30
4.2 Perubahan Gambaran Histopatologis Pada limpa ...................... 39
5. KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................... 49
5.1 Kesimpulan .............................................................................. 49
5.2 Saran ........................................................................................ 49
6. DAFTAR PUSTAKA ....................................................................... 50
7. LAMPIRAN ..................................................................................... 56
iv
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Komposisi biji jintan hitam ........................................................ 10
2. Kandungan logam dalam biji jintan hitam .................................. 10
3. Komposisi asam lemak dan sterol dari biji jintan hitam .............. 11
4. Kandungan tokoferol dan polifenol dari minyak biji jintan hitam 11
5. Komposisi vitamin dari biji jintan hitam .................................... 12
6. Komposisi asam amino biji jintan hitam ..................................... 12
7. Kelompok perlakuan pada mencit dalam penelitian .................... 26
8. Rataan Jumlah dan Luas Folikel limfoid Mencit Jantan dan Betina 31
9. Rataan Jumlah dan Luas Pulpa Putih Mencit Jantan dan Betina .. 41
v
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Bunga Jintan Hitam (Nigella sativa) ........................................... 5
2. Biji Jintan Hitam ......................................................................... 6
3. Limfonodus ................................................................................ 18
4. Struktur Limpa............................................................................ 19
5. Pulpa Merah Dan Pulpa Putih Pada Limpa .................................. 20
6. Ekstrak Minyak Jintan Hitam Dan Formulasi Dengan Madu ....... 22
7. Kandang Mencit ......................................................................... 24
8. Pencekokan Pada Mencit ............................................................ 25
9. Histopatologi Limfonodus .......................................................... 31
10. Diagram Perbandingan Rataan Jumlah Folikel limfoid ............... 32
11. Diagram Perbandingan Rataan Luas Folikel limfoid ................... 34
12. Gambaran Histopatologi Sel-Sel Limfonodus Perbesaran 400x ... 35
13. Gambaran Histopatologi Folikel Limfoid Perbesaran 1000x ....... 36
14. Histopatologi Limpa ................................................................... 40
15. Diagram Perbandingan Jumlah Rataan Pulpa Putih ..................... 42
16. Diagram Perbandingan Luas Rataan Pulpa Putih ......................... 44
17. Gambaran Histopatologi Sel-Sel Limpa Perbesaran 400x ........... 46
18. Gambaran Histopatologi Pulpa Putih Perbesaran 1000x .............. 47
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sejak lahir setiap individu sudah dilengkapi dengan sistem pertahanan,
sehingga tubuh dapat mempertahankan keutuhannya dari berbagai gangguan yang
datang dari luar maupun dari dalam tubuh (Clark 2007). Dengan kata lain, sistem
imun ini harus mampu melawan patogen intraseluler seperti virus, beberapa
bakteri dan protozoa maupun patogen ekstraseluler seperti bakteri dan toksinnya,
parasit, dan virus bebas (Baratawidjaja 2002).
Sistem imun merupakan suatu sistem yang rumit, tetapi strategi dasarnya
sangat sederhana, yaitu mengenali musuh, mengerahkan kekuatan, dan
menyerang. Perjalanan dari sistem imun dimulai dari pembuluh getah bening,
yang masuk ke setiap organ tubuh, kecuali otak. Pembuluh getah bening
mengandung cairan kental (getah bening) yang terdiri atas cairan yang
mengandung lemak dan sel-sel darah putih. Selain pembuluh getah bening,
terdapat daerah khusus di mana limfosit bisa diambil, diangkut, dan disebarkan ke
bagian yang memerlukannya sebagai bagian dari respon kekebalan. Daerah
khusus tersebut adalah kelenjar getah bening, amandel (tonsil), sumsum tulang,
limpa, hati, paru-paru, dan usus. Rancangan yang jenius dari sistem ini menjamin
ketersediaan dan penyusunan respon kekebalan dengan segera, di manapun
diperlukan.
Tanda dari respon spesifik sistem imun adalah kemampuan untuk
mempelajari, menyesuaikan, dan mengingat. Sistem imun memiliki suatu rekaman
atau ingatan dari setiap antigen yang ditemui, baik melalui pernafasan, makanan,
atau kulit. Hal ini dimungkinkan karena salah satu komponen dari sistem imun
memiliki umur yang panjang, yaitu limfosit. Jika bertemu dengan suatu antigen
untuk yang kedua kalinya, maka limfosit dengan segera akan memberikan respon
spesifik terhadap antigen tersebut. Namun apabila terjadi gangguan pada sistem
imun, maka keseimbangan dari kerja tubuh tidak akan berjalan dengan baik
bahkan dapat menyebabkan kematian terhadap suatu individu. Oleh karena itu
diperlukan suatu asupan untuk meningkatkan tanggap kebal dari sistem imun ini.
2
Peningkatan minat masyarakat dunia termasuk Indonesia menuju konsep
kembali ke alam (back to nature) serta gaya hidup sehat (healty lifestyle)
merupakan salah satu alasan yang dapat digunakan dalam penggunaan obat herbal
sebagai alternatif pengobatan. Pemanfaatan obat herbal sebagai pilihan
pengobatan dan diet makanan sehari-hari kembali mengemuka karena obat herbal
terbukti relatif aman jika cara penggunaannya benar dengan dosis dan indikasi
yang tepat serta sangat jarang menimbulkan efek samping. Salah satu tanaman
obat tradisional yang akhir-akhir ini mendapatkan perhatian dengan manfaat yang
sangat banyak adalah jintan hitam (Nigella sativa).
Jintan hitam merupakan salah satu bahan alami yang telah lama digunakan
sebagai bahan peningkatan sistem kekebalan oleh masyarakat di negara Timur
Tengah (Al-Saleh et al. 2006). Selain itu jintan hitam juga dapat digunakan untuk
pengobatan kanker, AIDS, dan penyakit lain yang berhubungan dengan penurunan
tingkat kekebalan tubuh (Luetjohann 1998). Namun baru sedikit penelitian dan
karya tulis ilmiah yang telah dikembangkan untuk membuktikan kebenaran bahwa
jintan hitam itu mampu meningkatkan sistem imun, karena itu dilakukan
penelitian tentang pengaruh pemberian ekstrak jintan hitam terhadap sistem imun
mencit (Mus musculus) dengan kajian khusus pengamatan histopatologi organ-
organ yang berperan dalam sistem imun.
1.2 Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari dan mengetahui pengaruh
pemberian ekstrak minyak jintan hitam terhadap gambaran histopatologi organ-
organ limfoid sekunder mencit serta membuktikan pemanfaatan jintan hitam
sebagai bahan alami yang merupakan salah satu imunomodulator.
1.3 Manfaat
Manfaat yang diharapkan dapat dicapai dengan dilakukannya penelitian ini
adalah memberikan informasi mengenai manfaat dari ekstrak jintan hitam sebagai
imunomodulator sistem imun pada mencit, serta dapat mendukung penggunaan
bahan alami sebagai sarana peningkatan sistem imunitas baik pada hewan maupun
manusia.
3
1.4 Hipotesis
H0 : Tidak terdapat peningkatan rataan jumlah dan luas folikel limfoid pada
organ limfoid sekunder mencit yang diberi perlakuan (diberi ekstrak jintan
hitam) dibandingkan dengan kelompok mencit kontrol (tidak diberi ekstrak
minyak jintan hitam).
H1 : Terdapat peningkatan rataan jumlah dan luas folikel limfoid pada organ
limfoid sekunder mencit yang diberi perlakuan (diberi ekstrak jintan hitam)
dibandingkan dengan kelompok mencit kontrol (tidak diberi ekstrak minyak
jintan hitam).
4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Jintan Hitam
Jintan hitam atau yang dikenal dengan nama black cumin merupakan
tanaman asli Eropa selatan dan banyak ditemukan di India (Luetjohann 1998).
Tanaman jintan hitam merupakan jenis tanaman rempah yang tergolong dalam
famili Ranunculaceae. Tanaman ini tumbuh di berbagai daerah di dunia,
khususnya di negara-negara Timur Tengah (Nergiz dan Otles 1993).
Menurut Hutapea (1994), jintan hitam termasuk ke dalam marga Nigella
dengan nama latin Nigella sativa. Spesies ini termasuk ke dalam suku
Ranunculaceae, bangsa Ranunculales, kelas Dicotyledoneae, subdivisi
Angiospermae, dan divisi Spermatophyta. Secara sistematis klasifikasi jintan
hitam dapat dituliskan sebagai berikut:
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Bangsa : Ranunculales
Suku : Ranunculaceae
Marga : Nigella
Jenis : Nigella sativa
Nigella sativa mempunyai beberapa nama lain, yaitu kolonji, karijirigi,
black cumin, black seed, karun jiragam, tikur azmud, kalonji, fitch, fennel flower,
smartkarve, habat et baraka, habbatus sauda, love in a mist, onion seed, czanuzka
siewna, mustkoomen, kalongi, black caraway, roman coriander, neidonkuka,
charnushka, corekotu, faux cumin, cheveux de venus, nigelle, kaluduru,
schwarzkummel, zwiebelsame, nidella, niguilla, pasionara, kalounji, munga
realael, nutmeg flower, svartkummin, jintan hitam, karun jiragam, nigella, dan
corekotu siyah (Susilo 2006).
Jintan hitam merupakan tanaman herbal berbunga tahunan (Luetjohann
1998). Tanaman jintan hitam merupakan tanaman semak dengan ketinggian lebih
kurang 30 cm. Tanaman jintan hitam ini merupakan hasil tanam terpenting pada
berbagai negara, seperti Mesir, India, Pakistan, Iran, Irak, dan Turki.
5
Pembudidayaan tanaman jintan hitam sudah menyebar di berbagai belahan dunia,
seperti di benua Asia, Afrika, serta beberapa daerah di benua Eropa (Schleiche
dan Saleh 2000). Budidaya perbanyakan tanaman dilakukan dengan biji (Hutapea
1994). Jintan hitam merupakan spesies tumbuhan semak rendah yang termasuk
famili Racunculaceae (Mansi 2006) dan (Ramdan 2001). Pada Gambar 1 dapat
dilihat bunga jintan hitam yang merupakan salah satu tanaman semak.
Gambar 1 Bunga Jintan Hitam (Nigella sativa) (Sumber: Junaedi et al 2011).
Menurut Hutapea (1994), jintan hitam merupakan tanaman dengan warna
batang hijau kemerahan, tegak, lunak, beralur, berusuk, dan berbulu kasar rapat
atau jarang, dan disertai dengan adanya bulu-bulu yang berkelenjar. Tanaman ini
berdaun tunggal dan lonjong dengan panjang 1.5-2 cm serta ujung pangkalnya
meruncing, tepi berigi berwarna hijau, pertulangan menyirip dengan tiga tulang
daun yang berbulu. Kelopak bunganya kecil berjumlah lima, berbentuk bulat telur
sampai agak tumpul, pangkal mengecil membentuk sudut yang pendek dan besar.
Mahkota berjumlah 8 berwarna putih kekuningan dengan benang sari yang
banyak dan berwarna kuning. Biji tanaman ini berbentuk bulat, kecil, jorong
bersusut 3 tidak beraturan, dan sedikit berbentuk kerucut dengan panjang 3 mm
seperti terlihat pada Gambar 2. Buah termasuk jenis polong, bulat panjang, dan
coklat kehitaman, serta akar jintan hitam merupakan akar tunggang berwarna
coklat.
6
Gambar 2 Biji Jintan Hitam.
(Sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/file:Nigella_sativa_seed.jpg).
2.1.1 Kegunaan Jintan Hitam Secara Umum
Jintan hitam umumnya digunakan di Timur Tengah sebagai obat tradisional
untuk memperbaiki berbagai kondisi kesehatan manusia (Al-Saleh et al. 2009).
Biji jintan hitam berkhasiat sebagai obat cacing (Hutapea 1994). Menurut
Hargono (1985), biji jintan hitam berguna sebagai pelancar ASI, peluruh kentut,
pencegah muntah, pencahar, penguat, dan pengobatan pasca persalinan.
Jintan hitam memiliki banyak kegunaan berdasarkan berbagai penelitian
yang telah dilakukan. Beberapa kegunaan jintan hitam manurut El-Kadi dan
Kandil (1987) adalah sebagai berikut:
a. Memperkuat Sistem Kekebalan Tubuh
Jintan hitam meningkatkan rasio antara sel T helper (Th) dengan sel T
supresor (Ts) sebesar 72%, yang berarti meningkatkan aktivitas fungsional sel
Natural Killer (sel NK). Karena itu jintan hitam dapat digunakan untuk
pengobatan kanker, AIDS, dan penyakit lain yang berhubungan dengan penurunan
tingkat kekebalan tubuh. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian Haq et al. (1999)
menunjukkan bahwa jintan hitam meningkatkan rasio antara sel Th dan sel Ts
sebesar 55% dengan rata-rata pencapaian aktivitas sel NK sebesar 30%.
7
b. Antihistamin
Histamin adalah zat yang diproduksi oleh jaringan tubuh yang dapat
menyebabkan reaksi alergi dan berhubungan dengan suatu kondisi seperti asma
cabang tenggorokan. El-Din (1960) mengemukakan bahwa nigellone (dimer dari
dithymoquinone) yang diisolasi dari minyak atsiri jintan hitam dapat menekan
gejala dari asma cabang tenggorokan. Minyak yang dibuat dari Nigella dapat
mengisolasi dithymoquinone, minyak ini sering disebut nigellone yang berasal
dari Volatile Nigella. Pemberian minyak ini berpengaruh positif terhadap
penderita asma bronchial.
Chakravarty (1993) mengemukakan bahwa kristal nigellone merupakan
agen penghambat histamin. Cara kerjanya adalah dengan menghambat protein
kinase C yang dikenal sebagai zat yang memacu pelepasan histamin. Kristal
nigellone juga menurunkan pelepasan kalsium pada sel-sel penyanggah yang juga
melepaskan histamin.
c. Antitumor
Jintan hitam mengandung thymoquinone, dithymoquinone, dan sponin yang
berkhasiat sebagai antitumor. Hal ini disebabkan kemampuan ekstrak jintan hitam
dalam menghambat aktivitas enzim siklooksigenase dan enzim liposigenase,
sehingga memiliki khasiat antiinflamasi yang sangat poten (Mangan 2003).
d. Anti Peradangan
El-Dakhakhny (1965), mengemukakan bahwa minyak jintan hitam berguna
untuk mengurangi efek radang sendi. Cara kerja minyak ini dengan menghambat
pertumbuhan eicosanoid dan menunjukkan adanya aktifitas sel antioksidan. Asam
lemak tak jenuh C20:2 (asam eicosadienoat) yang terkandung di dalam jintan
hitam memungkinkan efektifitas minyak tersebut.
e. Meningkatkan Laktasi
Secara umum jintan hitam berguna untuk meningkatkan kesehatan tubuh,
menyediakan energi dengan cepat, meningkatkan metabolisme, melancarkan
pencernaan, memperlancar peredaran darah, menurunkan tekanan darah,
8
menurunkan tingkat gula darah, menstimulasi periode menstruasi, meningkatkan
aliran susu ibu, dan meningkatkan jumlah sperma. Jintan hitam juga dapat
menghilangkan cacing dan parasit dalam usus, meredakan bronkhitis dan batuk,
menurunkan demam, menenangkan jaringan syaraf, mendorong pertumbuhan
rambut, mencegah kerontokan rambut, dan mencegah pengriputan dan iritasi kulit.
f. Antimikroba
Hasil penelitian Asniyah (2009) menunjukkan bahwa jintan hitam
memiliki fungsi sebagai antimikroba yang ditunjukkan dari penurunan jumlah
pertumbuhan Escherichia coli yang diamati secara in vitro. Penelitian ini
diperkuat dengan adanya penelitian Mashhadian dan Rakhsandeh (2005) yang
menyatakan bahwa salah satu kandungan jintan hitam adalah minyak volatil.
Minyak volatil ini mengandung komponen yang mampu menghambat
pertumbuhan bakteri dan fungi, meskipun mekanisme aksi dari senyawa ini belum
jelas.
2.1.2 Kegunaan Jintan Hitam Berdasarkan Kandungan
Komponen alkaloid dalam jintan hitam adalah nigellone. Zat yang
menyebabkan rasa pahit ini berfungsi menurunkan demam, membersihkan dan
mengeringkan pengeluaran ekskresi, menguatkan jaringan, mencegah iritasi kulit,
meningkatkan nafsu makan dan metabolisme, membantu masalah pencernaan, dan
mengurangi kelebihan asam.
Hasil penelitian pada Cancer and Immunobiological Laboratory
mengemukakan jintan hitam menstimulasi sumsum tulang dan sel imun, produksi
interferon, melindungi sel normal dari perusakan sel oleh virus, menghancurkan
sel tumor dan meningkatkan jumlah sel B yang memproduksi antibodi. Jintan
hitam juga baik dikonsumsi oleh orang yang sehat karena jintan hitam mengikat
radikal bebas dan menghilangkannya. Selain itu, jintan hitam mengandung β-
karoten yang dikenal dapat menghancurkan sel karsinogenik. Biji jintan hitam
kaya akan sterol khususnya beta-sterol yang dikenal mempunyai aktivitas
antikarsiogenik (Anonim 2010b).
9
Menurut Houghton (1995), thymoquinone yang terkandung dalam minyak
Nigella sativa dapat menghambat jalur siklooksigenase dan lipooksigenase dari
metabolisme arakhidat. Lipooksigenase dapat mengkatalisis pembentukan
leukotrienes dari asam arakhidat yang berfungsi sebagai mediator dari alergi dan
peradangan. Siklooksigenase adalah enzim yang pertama dalam metabolisme
siklooksigenase yang dihasilkan dari asam arakhidat yang akhirnya menghasilkan
prostaglandin dan trombosit. Prostaglandin juga merupakan mediator peradangan.
Selain itu thymoquinone juga dapat menghambat peroksidasi non-enzimatis. Asam
lemak tidak jenuh C20:2 yang mirip dengan asam arakhidat juga berperan dalam
penghambatan substrat. Dengan demikian hasil penelitian mendukung fakta
bahwa minyak Nigella sativa dapat melawan rematik dan peradangan.
Chakhravarty (1993) menemukan bahwa nigellone yang diisolasi dari
minyak Nigella sativa lebih tidak beracun dibandingkan dengan thymoquinone
tetapi masih mempunyai efek farmasi. Nigellone menghambat pelepasan histamin
dari sel penyanggah tikus. Mekanisme dari penghambatan ini berdasarkan
penurunan konsentrasi kalsium intraseluler. Kalsium berguna untuk fungsi
fosfolipase A2 essensial, enzim tersebut memecah asam arakhidat dari
pembentukan fosfolipid yang juga terjadi pada metabolisme prostaglandin. El-
Tahir (1993) menemukan bahwa pemberian thymoquinone secara intravena akan
menurunkan tekanan darah. Selain itu ekstrak biji Nigella sativa L. mempunyai
efek cytostatic terhadap sel tumor yang dilakukan dengan menggunakan metode
secara in vivo dan in vitro.
Komposisi (Kandungan) Kimia Jintan Hitam
Biji dan daun jintan hitam mengandung saponin dan polifenol (Hutapea
1994). Kandungan kimia jintan hitam adalah minyak atsiri, minyak lemak,
melantin (saponin), nigelin (zat pahit), zat samak, nigellon, thymoquinone
(Hargono 1985). Kandungan biji jintan hitam antara lain: thymoquine,
thymohydroquinone, dithymoquinone, thymol, carvacrol, nigellicine, nigellidine,
nigellimin-N-oksida, dan α-hedrin. Komposisi biji jintan hitam disajikan pada
Tabel 1.
10
Tabel 1 Komposisi Biji Jintan Hitam.
Komposisi Jumlah (mg/100g)
Air (moisture)
Lemak
Serat Kasar
Protein
Abu
Karbohidrat
6.4 ± 0.15
32.0 ± 0.54
6.6 ± 0.69
20.2 ± 0.82
4.0 ± 0.29
37.4 ± 0.87
Sumber: Nergiz dan Ötles (1993)
Komposisi yang banyak terdapat pada biji jintan hitam adalah karbohidrat,
lemak, dan protein. Ketiga komposisi tersebut merupakan komponen yang sangat
dibutuhkan oleh tubuh. karbohidrat memegang peranan penting sebagai sumber
energi di dalam tubuh, lemak sebagai cadangan energi, sedangkan protein
berfungsi sebagai komponen utama dalam proses pertumbuhan. Lemak
mempunyai fungsi selular dan komponen struktural pada membran sel yang
berkaitan dengan karbohidrat dan protein demi menjalankan aliran air, ion, dan
molekul lain keluar dan masuk ke dalam sel. Hal ini yang akan membantu tubuh
dalam melakukan sistem pertahanan terhadap benda asing (Winarno 2008).
Manusia tidak dapat memproduksi mineral di dalam tubuhnya. Kebutuhan
mineral ini didapatkan dengan cara mengkonsumsi daging dan tumbuh-tumbuhan
(Tsabita 2011). Biji jintan hitam mengandung logam yang berjumlah sekitar
1510.8 mg per 100 g biji. Kandungan logam biji jintan hitam tersaji pada Tabel 2.
Kandungan logam ini merupakan beberapa kandungan mineral yang sangat
dibutuhkan oleh tubuh manusia. Tubuh manusia memerlukan sekitar 1000 mg
kalsium, 18 mg zat besi, maksimal 2.5 gram natrium, dan kalium sebanyak 3500
mg per hari (Tsabita 2011).
Tabel 2 Kandungan Logam dalam Biji Jintan Hitam.
Komposisi Jumlah (mg/100g)
Kalsium
Besi
Natrium
Kalium
188.0 ± 1.50
57.5 ± 0.50
85.3 ± 16.07
1180.0 ± 10.00
Sumber : Nergiz dan Ötles (1993)
11
Biji jintan hitam mengandung asam lemak tak jenuh dalam jumlah yang
cukup berarti. Secara lengkap komposisi asam lemak dan sterol biji jintan hitam
tersaji pada Tabel 3.
Tabel 3 Komposisi Asam Lemak dan Sterol Dari Biji Jintan Hitam.
Asam lemak Jumlah (mg/100g)
Miristat (C14:0)
Palmitat (C16:0)
Stearat (C18:0)
Oleat (C18:1)
Linoleat (C18:2)
Arakhidat (C20:0)
Eicosadienoat (C20:2)
1.2 ± 0.04
11.4 ± 1.00
2.9 ± 0.24
21.9 ± 1.00
60.8 ± 2.67
Sedikit
1.7 ± 0.11
Sterol Jumlah (mg/100g)
Campesterol
Stigmasterol
β-sitosterol
11.9 ± 0.99
18.6 ± 1.52
69.4 ± 2.78
Sumber : Nergiz dan Ötles (1993)
Kandungan tokoferol dan polifenol dalam biji jintan hitam menunjukkan
adanya senyawa fenolik yang merupakan faktor utama yang berkhasiat sebagai
obat dan zat pembentuk rasa. Kandungan tokoferol dan polifenol dari minyak biji
jintan hitam tersaji pada Tabel 4.
Tabel 4 Kandungan Tokoferol dan Polifenol dari Minyak Biji Jintan Hitam.
Komposisi Jumlah (µg/g)
Total tokoferol
Alfa-tokoferol
Beta-tokoferol
Gamma-tokoferol
Total polifenol
340 ± 8.66
40 ± 10.00
50 ± 15.00
250 ± 13.00
1744 ± 10.60
Sumber : Nergiz dan Ötles (1993)
Polifenol merupakan senyawa turunan fenol yang mempunyai aktivitas
sebagai antioksidan. Antioksidan fenolik biasanya digunakan untuk mencegah
12
kerusakan akibat reaksi oksidasi pada makanan (Barus 2009). Zat aktif tokoferol
berfungsi hampir sama dengan polifenol, yaitu sebagai antioksidan. Selain itu
tokoferol juga berfungsi sebagai pencegah penyakit degeneratif, perbaikan sistem
kekebalan tubuh, mengatasi pembentukan karsinogen atau menghambat
karsinogen sel sasaran sehingga akan dapat menghambat terjadinya kasus kanker.
Biji jintan hitam dapat direkomendasikan sebagai makanan tambahan yang
cukup bergizi. Kandungan vitamin biji jintan hitam tersaji pada Tabel 5.
Tabel 5 Komposisi Vitamin dari Biji Jintan Hitam.
Vitamin (µg per 100g)
B1(Thamin)
B2(Riboflavin)
B6(Pyridoxin)
PP(Niasin)
Asam Folat
831 ± 11.36
63 ± 3.32
789 ± 8.89
6311 ± 16.52
42 ± 4.58
Sumber : Nergiz dan Ötles (1993)
Selain itu jintan hitam mengandung 8 jenis dari 10 asam amino essensial
dan 7 jenis dari 10 asam amino non-essensial. Komposisi asam amino biji jintan
hitam tersaji pada Tabel 6.
Tabel 6 Komposisi Asam Amino Biji Jintan Hitam.
Asam amino Persentase (%) Asam amino Persentase (%)
Alanin
Valin
Glisin
Isoleusin
Leusin
Prolin
Treonin
3.77
3.06
4.17
4.03
10.88
5.34
1.23
Serin
Asam aspartat
Metionin
Fenilalanin
Asam glutamat
Tirosin
Lisin
Arginin
1.98
5.02
6.16
7.93
13.21
6.08
7.62
19.52
Sumber : Babayan et. al. (1978)
13
2.2 Mencit (Mus musculus)
Mencit adalah hewan pengerat (rodensia) yang cepat berkembang biak dan
mudah dipelihara dalam jumlah banyak. Pemeliharaannya ekonomis dan efisien
dalam hal tempat dan biaya. Variasi genetiknya cukup besar serta sifat
anatominya terkarakteristik dengan baik. Hewan ini paling kecil di antara jenisnya
dan memiliki galur mencit yang berwarna putih. Mencit hidup di daerah yang
cukup luas penyebarannya mulai dari iklim dingin, sedang, dan panas, serta dapat
terus-menerus di dalam kandang atau secara bebas sebagai hewan liar (Malole dan
Pramono 1989).
1. Taksonomi
Sistem taksonomi mencit menurut Malole dan Pramono (1989) adalah
sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Subfilum : Vertebrata
Kelas : Mamalia
Ordo : Rodensia
Subordo : Myomorfa
Famili : Muridae
Subfamili : Murinae
Genus : Mus
Spesies : Mus musculus
2. Biologi Normal
Manusia telah mengembangkan mencit selama 4000 tahun di Mesir,
Yunani, dan China. Selain itu, mencit merupakan salah satu hewan pengerat yang
memiliki siklus hidup yang relatif pendek, jumlah anak per kelahiran banyak,
variasi sifat-sifatnya tinggi, serta sifat-sifat produksi, reproduksinya menyerupai
hewan mamalia (Nafiu 1996). Mencit dapat berkembang biak dengan cepat,
pemeliharaan yang relatif mudah walaupun dalam jumlah yang banyak, ekonomis
dan efisiensi dalam hal tempat dan biaya (Malole dan Pramono 1989). Oleh
14
karena itu, mencit banyak digunakan dalam berbagai bidang penelitian medis,
biomedis, dan obat-obatan herbal karena memiliki arti penting pada penelitian
berbasis genetik.
Mencit laboratorium mempunyai berat badan kira-kira sama dengan mencit
liar yang banyak ditemukan di dalam gedung dan rumah yang dihuni oleh
manusia, dengan berat badan bervariasi 18-20 gram pada umur empat minggu.
Tetapi setelah diternakkan secara selektif selama delapan puluh tahun yang lalu,
sekarang ada berbagai warna rambut dan timbul banyak galur dengan berat badan
berbeda-beda (Smith dan Mangkoewidjojo 1988).
Data biologis mencit menurut Malole dan Pramono (1989) adalah sebagai
berikut:
Berat badan dewasa : jantan 20-40 gram, betina 25-40 gram
Berat lahir : 0.5-1.5 gram
Temperatur : 36.5-38C
Konsumsi makan : 15 gram/100 gram BB/hari
Konsumsi minum : 115 mL/100 gram BB/hari
Jumlah anak/kelahiran : 10-12 ekor
Umur sapih : 21-28 hari
Pernapasan : 94-163/menit
Detak jantung : 325-780/menit
Volume darah : 76-80 mL/kg
Tekanan darah : 113-147/81-105 mgHg
Menurut Malole dan Pramono (1989) mencit merupakan salah satu hewan
laboratorium atau hewan percobaan, berdasarkan lingkungan hidupnya mencit
dibagi dalam 4 kategori, yaitu 1) Mencit yang bebas hama (germ free, axenic
mice), yaitu mencit yang bebas dari mikroorganisme yang dapat dideteksi; 2)
Mencit yang hanya mengandung mikroorganisme tertentu (define flora,
gnotobiotik); 3) Mencit yang bebas mikroorganisme patogen tertentu (Specific
pathogen free); dan 4) Mencit biasa (konventional).
Mencit laboratorium adalah hewan yang semarga dengan mencit liar atau
mencit rumah (domestik). Semua galur mencit laboratorium yang ada pada waktu
15
ini merupakan turunan dari mencit liar sesudah melalui peternakan selektif (Smith
dan Mangkoewidjojo 1988). Mencit dimasukkan ke dalam ordo rodensia karena
memiliki sepasang gigi seri yang berbentuk pahat yang sangat tajam yang
senantiasa tumbuh terus (Sigit 2004). Mencit yang digunakan dalam penelitian ini
adalah jenis mencit biasa yang diberikan perlakuan khusus sehingga lebih baik
dari mencit konvensional.
2.3 Sistem Organ Imun
Sistem organ imun disebut sebagai sistem organ limfoid. Hal ini
dikarenakan pusat dari sistem ini adalah limfosit, sel darah putih yang berperan
penting dalam imun sistem. Sistem organ imun pada mamalia terdiri atas organ
limfoid primer dan organ limfoid sekunder. Organ limfoid primer terdiri atas
timus dan sumsum tulang, sedangkan organ limfoid sekunder terdiri atas jaringan
limfoid mukosa, limfonodus, dan limpa (Kuby 1997).
Sistem imun diklasifikasikan sebagai sistem imun bawaan (innate immune
system) atau sering juga disebut respon atau sistem nonspesifik serta sistem imun
adaptif (adaptive immune system) atau respon atau sistem spesifik, bergantung
pada derajat selektivitas mekanisme pertahanan (Sherwood 2001; Katzung 2004).
Komponen dari sistem imun yang terlibat dalam kekebalan bawaan adalah
makrofag, neutrofil, serta komplemen. Komponen tersebut akan menunjukkan
reaksi dan pengenalan antigen yang sama terhadap semua benda asing (Widianto
2008). Pada saat lahir tentunya sistem kekebalan seseorang belum bertemu dengan
dunia luar atau belum membangun arsip memorinya.
Sistem imun akan belajar untuk memberikan respon terhadap semua antigen
baru yang ditemuinya, sehingga saat sistem imun telah mampu memberikan
respon khusus terhadap antigen maka sistem imun ini dapat digolongkan ke dalam
sistem imun dapatan. Tanda dari respon spesifik adalah kemampuan untuk
mempelajari, menyesuaikan, dan mengingat. Sistem imun memiliki suatu rekaman
atau ingatan dari setiap antigen yang ditemui, baik melalui pernafasan, makanan,
atau kulit. Hal ini dimungkinkan karena salah satu dari sistem imun (limfosit)
memiliki umur yang panjang. Jika bertemu dengan suatu antigen untuk yang
16
kedua kalinya, maka limfosit dengan segera akan memberikan respon spesifik
terhadap antigen tersebut.
Sistem imun merupakan sebuah jaringan yang terdiri atas beberapa sel,
jaringan, dan organ yang bekerja bersama untuk mempertahankan serangan yang
terjadi pada tubuh oleh benda asing. Sistem organ imun seluruhnya terdapat di
dalam tubuh. Sistem organ ini disebut sebagai sistem organ limfoid, hal ini
dikarenakan pusat dari sistem ini pada limfosit, sel darah putih yang berperan
penting dalam imun sistem. Sistem organ imun pada mamalia terdiri atas organ
limfoid primer dan organ limfoid sekunder. Organ limfoid primer terdiri atas
timus dan sumsum tulang, sedangkan organ limfoid sekunder terdiri atas
megakariosit, limfonodus dan limpa. Struktur dan fungsi dari organ limfoid ini
berbeda-beda. Dalam menjalankan tugas dan fungsinya organ limfoid selalu
berhubungan dengan pembuluh darah dan pembuluh limfe. Kedua pembuluh ini
merupakan tempat sirkulasi dan transportasi dari sel-sel limfoid, yaitu sel T dan
sel B (Kuby 1997).
2.3.1 Organ Limfoid Primer
Organ yang berfungsi mengatur produksi dan diferensiasi limfosit dikenal
sebagai organ limfoid primer (Tizard 1988). Organ limfoid primer akan
menghasilkan sel-sel limfoit yang akan dimatangkan di organ limfoid sekunder.
Organ limfoid primer terdiri atas timus dan sumsum tulang. Sel-sel limfosit ini
disebut limfosit B dan T, karena berturut-turut mengalami proses pemasakan pada
bone marrow (sumsum tulang) dan thymus (timus). Sel-sel limfosit yang telah
mengalami pematangan akan segera memasuki peredaran darah untuk menuju
organ limfoid sekunder (Stewart 2004).
2.3.2 Organ Limfoid Sekunder
Organ limfoid sekunder (organ limfoid periferal) yang terdiri atas organ
limfonodus, limpa, serta jaringan limfoid mukosa merupakan tempat terjadinya
penangkapan antigen oleh sel-sel immunokompeten (Rao 2010). Organ limfoid
sekunder menangkap mikroorganisme dan bahan-bahan asing lain dan
17
menyediakan tempat untuk pematangan sel yang akan digunakan dalam melawan
benda-benda asing serta menghasilkan reaksi sistem kekebalan (Stewart 2004).
Organ limfoid sekunder ini imunitas adaptif dimulai. Setiap saat tubuh kita
selalu berhadapan dengan patogen yang masuk. Patogen memasuki tubuh kita
dengan berbagai cara, misalnya dari makanan, minuman, udara, dan luka. Antigen
dan limfosit akhirnya akan bertemu pada organ limfoid peripheral, yaitu pada
limfonodus, limpa, dan jaringan limfoid mukosa. Organ-organ ini menangkap
mikroorganisme dan bahan-bahan asing lain dan menyediakan tempat untuk
pematangan sel untuk melawan benda-benda asing serta menghasilkan reaksi
sistem kekebalan.
2.3.2.1 Limfonodus
Limfonodus merupakan organ limfoid sekunder yang secara makroskopik
memiliki struktur seperti biji buncis. Pada bagian luar diselubungi oleh kapsula
jaringan ikat (Kuby 1997). Limfonodus terdiri atas jaringan retikuler yang berisi
sel limfosit, makrofag, dan sel dendrit yang berhubungan dengan pembuluh limfe.
Fungsi utama limfonodus adalah menyaring antigen yang dibawa oleh cairan
limfe (Tizard 1988).
Secara mikroskopik limfonodus terbagi atas tiga bagian, yaitu korteks,
parakorteks, dan medula (Gambar 3). Medula merupakan lapisan paling dalam
dari struktur limfonodus yang berisi sel plasma dan makrofag. Parakorteks
merupakan lapisan di bawah korteks yang berisi sel limfosit T dan sel dendrit
interdigital (Lahr 2004).
Korteks merupakan lapisan paling luar yang berisi sel limfosit B, sel dendrit
folikular, dan makrofag yang tersusun dalam nodul yang disebut folikel primer.
Struktur folikel primer akan meluas pada saat terjadi respon antigen (Douglas
2006). Struktur yang khas ini disebut dengan folikel sekunder yang mengandung
germinal center. Apabila ada antigen asing maka sejumlah sel T, makrofag, dan
sel dendrit akan mengelilingi setiap germinal center pada folikel sekunder. Di
dalam germinal center terjadi poliferasi dan diferensiasi sel B menjadi sel plasma
dan sel memori (Messika 1998).
18
Gambar 3 Limfonodus (sumber: Cann 2011).
Fungsi limfonodus sebagai bagian dari sistem imun telah dibuktikan melalui
beberapa percobaan. Anak-anak yang mengalami defisiensi sel B akan mengalami
pengurangan jumlah folikel primer dan germinal center. Seekor mencit yang
ditimektomi memperlihatkan deplesi yang hebat pada sel di dalam limfonodus
(Kuby 1997).
2.3.2.2 Limpa
Limpa merupakan organ terbesar pada sistem limfatik yang biasanya di
bagian kranial dari abdomen dan di sisi kiri lambung (Aughey dan Frye 2001).
Pada mencit limpa dibentuk dari mesenkim pada dorsal mesogastrikum (Ward et
al. 1999). Berdasarkan sifat anatomisnya limpa pada mencit jantan 50% lebih
besar dibandingkan dengan mencit betina (Malole dan Pramono 1989). Berbeda
dengan limfonodus yang berfungsi untuk menyaring antigen dari cairan limfe,
limpa berfungsi untuk menyaring darah (Tizard 1988). Menurut Jungueira dan
Carneiro (1989) limpa mempunyai 4 fungsi utama, yaitu pembentukan eritrosit,
destruksi eritrosit, organ pertahanan terhadap partikel-partikel asing yang masuk
ke dalam aliran darah, serta cadangan darah.
Menurut Junqueira dan Carneiro (1989), struktur limpa dibungkus oleh
kapsula yang terdiri atas jaringan ikat padat yang membentuk trabekula untuk
membagi parenkim atau pulpa limpa menjadi ruang-ruang bersekat, sedangkan
19
pada bagian medial limpa terdapat hilus (Gambar 4). Jaringan penyambung
kapsula dan trabekula limpa mengandung sedikit sel-sel otot polos. Namun pada
mamalia tertentu seperti kuda, kucing, dan anjing terdapat sel-sel otot polos yang
banyak, sehingga kontraksinya dapat menyebabkan pengeluaran darah yang
tersimpan dalam limpa dalam jumlah banyak, sedangkan struktur limpa yang
seperti spons berperan sebagai penyimpan sel-sel darah merah. Selain itu, struktur
limpa juga terdiri atas sel darah merah dan sel darah putih yang menyerupai
kelenjar limfe.
Gambar 4 Struktur Limpa (Sumber:
http://www.deltagen.com/target/histologyatlas/HistologyAtlas.html).
Kapsula limpa akan terhubung langsung dengan sel-sel parenkimnya. Sel
parenkim limpa terdiri atas pulpa putih dan pulpa merah (Gambar 5) yang
merupakan komponen utama dari limpa (Ward et al. 2009). Pulpa putih
membentuk nodul (folikel) yang di dalamnya terdapat germinal center. Gambaran
histopatologi pulpa merah banyak berisi eritrosit, makrofag, dan sinusoid. Pulpa
merah merupakan tempat eritrosit dihancurkan (Childs 1998).
20
Gambar 5 Pulpa Merah dan Pulpa Putih pada Limpa.
(sumber: http://www.deltagen.com/target/histologyatlas/HistologyAtlas.html).
Pulpa putih limpa terdiri atas jaringan limfoid yang berhubungan langsung
dengan pembuluh darah arteri sentralis yang membentuk periarteriolar lymphoid
sheath (PALS) dan nodulus limfatikus yang ditambah pada selubung. PALS atau
sarung limfoid periarteriolar sebagian besar terdiri atas sel T (Anonim 2006b).
Daerah pulpa putih terdapat folikel primer yang berisi sel limfosit B. Apabila
terjadi respon terhadap antigen maka akan terbentuk germinal center pada pulpa
putih dan disebut dengan folikel sekunder. Setiap folikel sekunder yang terbentuk
dikelilingi oleh selapis sel T yang disebut dengan marginal zone (Messika et al.
1998).
Proliferasi limfosit merupakan penanda adanya fase aktivasi dari respon
imun tubuh. Proliferasi limfosit ini berupa peningkatan produksi limfoblas yang
kemudian menjadi limfosit. Secara mikroskopis dapat terlihat pembesaran organ-
organ limfoid (Ganong 2003). Aktivitas limpa dalam menghasilkan sel limfosit
pada saat terjadi respon imun dapat mengakibatkan pembesaran limpa.
Pembesaran limpa bisa disebabkan karena peningkatan respon imun tubuh.
Peningkatan respon imun dapat terjadi karena adanya infeksi maupun setelah
imunisasi atau adanya gangguan sirkulasi maupun tumor.
Imunomodulator merupakan suatu senyawa yang dapat mempengaruhi
sistem imun humoral maupun seluler. Ada dua tipe imunomodulator, yaitu
imunostimulator (meningkatkan sistem imun) dan imunosupresor (menekan
sistem imun) (Tan dan Vanitha 2004). Menurut El-Kadi dan Kandil (1987), jintan
21
hitam merupakan salah satu herbal yang potensial sebagai imunomodulator.
Beberapa senyawa yang terkandung pada jintan hitam dapat meningkatkan
aktifitas respon imun dalam organ limpa. Peningkatan respon imun dalam organ
limpa dapat dilihat dengan mengukur bagian folikel limfoid (pulpa putih) atau
menghitung jumlah sel limfosit (Tan dan Vanitha 2004).
Spleenectomy (pemotongan organ limpa) pada anak-anak menyebabkan
terjadinya peningkatan infeksi bakteri, terutama oleh Streptococcus pnemoniae,
Neisseria meningitides, dan Haemophilus influenza. Sementara Spleenectomy
pada umur dewasa menyebabkan peningkatan jumlah bakteri dalam aliran darah
(sepsis) tetapi efek yang ditimbulkan sangat rendah (Kuby 1997).
22
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Bagian Patologi, Departemen Klinik
Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni 2010 sampai dengan Februari 2011.
3.2 Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 24 ekor mencit (12 ekor
mencit jantan dan 12 ekor mencit betina) dengan umur rata-rata mencit 4 minggu,
pakan mencit, Aqua® (minum mencit), Albendazole
® (anthelmentik), Clavamox
®
(antibiotik), Flagyl® (antiprotozoa), ekstrak minyak jintan hitam komersil,
campuran ekstrak minyak jintan hitam dan madu komersil, serta aquades.
Bahan yang digunakan untuk pewarnaan histopatologi adalah buffer neutral
formalin (BNF) 10%, xylol I, xylol II, xylol III, alkohol 70%, alkohol 80%,
alkohol 90%, alkohol 96%, alkohol absolut I, alkohol absolut II, parafin, Mayer΄s
Haematoxyllin, lithium karbonat, dan Eosin, larutan albumin, Bayclin®
(disinfektan), detergen, dan air hangat dengan suhu 45˚C.
Gambar 6 Ekstrak minyak jintan hitam (A) dan ekstrak jintan hitam yang diformulasikan
dengan madu siap pakai (B).
Alat-alat yang digunakan adalah kandang mencit dimodifikasi (Kotak
plastik dengan ukuran panjang 40 cm, lebar 29 cm, dan tinggi 12 cm dengan tutup
yang terbuat dari anyaman kawat untuk tempat pemeliharaan mencit selama
A B
23
penelitian berlangsung; botol yang dilengkapi dengan saluran air sebagai tempat
minum mencit), kertas label, kain katun perca, tissue gulung, timbangan digital,
sarung tangan, syring 1ml, sonde lambung, kapas, dispenser, jarum pentul,
sterofoam, alumunium foil, scalpel, gunting, kotak, tissue basket, gelas objek,
cover glass, spidol, label, tissue casset, tissue processor, inkubator, mikrotom,
mikroskop cahaya, plastik ukuran 0.5 kg, pensil, penghapus, kantung plastik,
spidol kedap air, pencetak parafin, parafin block console, cover glass, dan kamera
fotografi mikro (digital eyepiece camera)
3.3 Metode Penelitian
3.3.1 Persiapan
3.3.1.1 Persiapan Kandang dan Laboratorium
Persiapan kandang dimulai dengan pembersihan kotoran dan debu
menggunakan pembersih lantai dan Bayclin®
sebagai disinfektan, sedangkan
seluruh peralatan seperti kotak dan botol dicuci dengan menggunakan air sabun
dan Bayclin®. Botol-botol tersebut kemudian diisi dengan air minum yang
diberikan kepada mencit. Kotak plastik juga diisi dengan kain perca agar dapat
menyerap urin dan feses mencit di dalamnya dan agar mencit tidak kedinginan
pada malam hari. Kandang dan kain perca yang digunakan dibersihkan setiap hari
dengan menggunakan detergen dan disinfektan serta dikeringkan dengan cara
dijemur.
Persiapan laboratorium untuk proses pembuatan sediaan histopatologi dan
pengamatan yaitu dengan membersihkan dari kotoran dan debu. Kemudian alat
yang digunakan untuk pengamatan juga dibersihkan agar mempermudah dalam
penggunaan. Selain itu dilanjutkan dengan mendata bahan dan alat yang tersedia
agar tidak terjadi kerusakan ataupun hilang dapat diketahui dengan cepat.
3.3.1.2 Persiapan Pakan dan Minum
Pakan yang diberikan berupa pelet komersial sebanyak ±5 gram/ekor/hari,
jumlah ini sudah melebihi kebutuhan pakan seekor mencit setiap harinya.
Penyimpanan pakan di tempat kering dengan membungkus dan membagi ke
24
dalam plastik transparan untuk memudahkan dalam pemberian pakan setiap
harinya. Aqua®
sebagai air minum diberikan secara ad libitum.
3.3.1.3 Adaptasi Mencit dan Pretreatment
Mencit yang digunakan dalam penelitian sebanyak 24 ekor yang terdiri dari
12 ekor mencit jantan dan 12 ekor mencit betina dengan rata-rata berumur 4
minggu dan mempunyai berat rata-rata ±18 gram. Mencit dimasukkan ke dalam
kandang kotak plastik modifikasi dengan alas kain perca dan tutup kandang yang
terbuat dari anyaman kawat dengan bingkainya terbuat dari kayu sehingga tidak
melukai mencit (Gambar 6). Kandang diletakkan dalam ruangan dalam suhu
ruangan yang memadai (27˚C) dengan dilengkapi ventilasi di kedua sisi kandang
dan ditambah fan serta exhausefan untuk pertukaran udara. Mencit betina dan
jantan diletakkan dalam kandang yang terpisah agar tidak terjadi perkawinan dan
diberi label tiap kandangnya. Mencit diberi makan sebanyak 5 g/hari/mencit dan
minum secara ad libitum. Adaptasi pada mencit dilakukan selama dua hari.
Gambar 7. Kandang Mencit
Setelah adaptasi selesai mencit diberi pretreatment dengan obat cacing
albendazole dengan dosis 10 mg/kg BB. Setelah pemberian obat cacing, selama
lima hari berturut-turut setelah itu mencit diberikan antibiotik Clavamox® 5
mg/kg BB. Terakhir, mencit diberikan antiprotozoa Flagyl® 10 mg/kg BB selama
lima hari berturut-turut. Semua obat tersebut diberikan secara peroral
25
menggunakan sonde lambung. Selama masa pemeliharaan dan perlakuan, mencit
diberi pakan sebanyak 5 gram/ekor/hari dengan air minum yang ad libitum.
3.4 Penelitian
3.4.1 Perlakuan Pada Kelompok Penelitian
Perlakuan yang dimaksud dalam penelitian ini merupakan pemberian
ekstrak minyak jintan hitam. Selama masa perlakuan, mencit dibagi menjadi dua
kelompok perlakuan yaitu kelompok jantan dan kelompok betina. Setiap
kelompok baik jantan maupun betina dibagi lagi menjadi empat kelompok yang
masing-masing kelompok terdiri atas 3 ekor mencit dan setiap kelompok
diberikan perlakuan yang berbeda-beda dapat dilihat pada Tabel 7. Masa
perlakuan ini berlangsung selama dua bulan yang dilakukan dengan cara
pemberian peroral (cekok) Gambar 7.
Gambar 8 Pencekokan pada mencit dilakukan dengan cara menghandel mencit (A)
kemudian mencit diposisikan agar mempermudahkan untuk dicekok (B) dan
pencekokan menggunakan sonde lambung (C).
Penentuan dosis perlakuan yang diberikan pada mencit ditentukan dari
pengkonfersian dosis anjuran penggunaan ekstrak minyak jintan hitam komersil
untuk manusia ke mencit. Selama diberi perlakuan mencit diamati setiap harinya.
Pengamatan harian dilakuan dengan tujuan mengamati total mencit yang hidup
dan mencit yang mati. Setelah dua bulan berlangsungnya perlakuan, mencit
dieuthanasi untuk diamati organ dalamnya terutama organ-organ yang
berhubungan dengan sistem imun. Mencit dieuthanasi dengan cara dislokasio
A B C
26
atlanto occipitale menarik dari bagian leher ke kranial dan bagian bahu ke kaudal.
Perlakuan dilaksanakan selama dua bulan dengan pertimbangan dari pemberian
herbal yang tidak bisa menunjukan efek cepat seperti bahan kimia, namun
diperlukan waktu agar efek pemberian ekstrak minyak jintan hitam terlihat.
Tabel 7 Kelompok Perlakuan pada Mencit Jantan dan Betina dalam Penelitian
Kelompok Perlakuan
Kontrol Cekok aqua sebanyak 0.1 ml/ekor/hari
Preventif Cekok habbatussauda sebanyak 0.1 ml/ekor/hari
Kuratif Cekok habbatussauda sebanyak 0.2 ml/ekor/hari
Habatussauda+Madu Cekok campuran habbatussauda+madu sebanyak 0.3
ml/ekor/hari
Ket: Perhitungan dosis penggunaan ekstrak minyak jintan hitam dan campuran dari
ekstrak minyak jintan hitam dan madu dapat dilihat pada lampiran
Mencit yang telah dieuthanasi, dibuka bagian abdomennya dimulai dari
hipogastrium hingga bagian symphysis pubis. Namun jika dalam waktu dua bulan
masa perlakuan terdapat mencit yang mati maka mencit akan dinekropsi untuk
didiagnosa penyebab kematian mencit tersebut.
3.4.2 Sampling Organ Limfoid Sekunder
Sistem imun organ yang menjadi fokus utama dalam penelitian ini adalah
organ limfoid sekunder yang akan dijadikan preparat histopatologi yaitu limpa
dan limfonodus. Organ-organ ini diambil setelah nekropsi dilakukan pada mencit.
Organ-organ dalam mencit akan dijadikan preparat histopatologi untuk diambil
data-datanya, yang akan menjadi bukti ilmiah tentang khasiat dari habatussauda.
Organ seperti limpa dan limfonodus yang telah dipisahkan dengan organ lain
kemudian disimpan di dalam sebuah wadah sampel yang berisi BNF 10%.
Penyimpanan organ menggunakan BNF 10% ini dengan tujuan untuk
mengawetkan organ sehingga organ tersebut masih dalam keadaan yang baik
untuk dijadikan preparat. Setelah larutan berpenetrasi sempurna ke dalam organ,
langkah selanjutnya adalah trimming (memilih bagian dari organ yang dijadikan
preparat histopat). Proses trimming dilakukan dengan memotong tipis bagian yang
27
dipilih untuk pemeriksaan mikroskopis organ yang telah difiksasi, kemudian
dipotong dengan ketebalan 0,5 cm.
3.4.3 Pembuatan Preparat Histopatologi
Pembuatan preparat histopatologi dimulai dengan tahap pemotongan organ
yang telah difiksasi dengan ketebalan 0,5 cm dan kemudian ditempatkan pada
tissue casset. Tissue casset diatur ke dalam tissue basket untuk proses dehidrasi
dan direndam kembali di dalam larutan BNF 10% sampai diproses. Organ yang
dijadikan preparat dipilih untuk digunakan dalam pengamatan, proses ini disebut
proses trimming. Tahapan berikutnya dilakukan dehidrasi dengan cara merendam
sediaan tersebut berturut-turut ke dalam alkohol 70%, 80%, 90%, 96%, alkohol
absolut I, alkohol absolut II masing-masing selama 60 menit, kemudian clearing
dalam larutan xylol I, xylol II dan xylol III masing-masing selama 40 menit, serta
proses embedding dalam parafin I, II, III, dan IV dalam automatic tissue
processor masing-masing selama 30 menit.
Tahapan selanjutnya adalah proses embedding atau penanaman jaringan ke
dalam blok parafin. Jaringan diletakkan di tengah cetakan blok parafin yang telah
diisi sedikit parafin cair. Setelah mulai membeku, parafin ditambahkan kembali
sampai alat pencetak penuh, lalu dibiarkan sampai parafin mengeras dan blok
disimpan di refrigerator sampai dipotong dengan mikrotom. Potongan organ
awalnya dimasukkan ke dalam alat pencetak berisi parafin cair dengan
memperhatikan posisi organ agar tetap berada di tengah blok parafin. Blok parafin
dipotong dengan ketebalan 5µm dengan menggunakan mikrotom. Hasil
pemotongan yang berbentuk pita (ribbon), diletakkan di atas permukaan air
hangat (45˚C) pada waterbath dengan tujuan untuk menghilangkan lipatan akibat
pemotongan. Sediaan diangkat dari permukaan air dengan gelas objek yang telah
diulasi larutan albumin yang berfungsi sebagai perekat. Selanjutnya sediaan
dikeringkan di dalam inkubator suhu 60˚C selama satu malam.
Tahap pewarnaan dilakukan dengan cara sediaan dimasukkan ke dalam
xylol untuk dideparafinisasi sebanyak dua kali. Selanjutnya sediaan dilanjutkan
dengan proses rehidrasi. Proses rehidrasi dimulai dari alkohol absolut sampai ke
alkohol 80%, yang masing-masing lamanya dua menit. Setelah itu, sediaan dicuci
28
dengan air mengalir dan dikeringkan. Sediaan yang telah kering diwarnai dengan
pewarnaan Mayer΄s Hematoksilin selama delapan menit, dibilas dengan air
mengalir, dicuci dengan lithium karbonat selama 15-30 detik, dibilas dengan air,
dan diwarnai dengan pewarna Eosin selama 2 menit. Selanjutnya, sediaan dicuci
dengan air mengalir untuk menghilangkan warna Eosin yang berlebih sebelum
akhirnya dikeringkan.
Setelah kering, sediaan dicelupkan ke dalam alkohol 90% sebanyak 10 kali
celupan, alkohol absolut I sebanyak 10 kali celupan, alkohol absolut II selama 2
menit, xylol I selama satu menit, xylol II selama dua menit. Sediaan ditetesi
perekat permount, ditutup dengan cover glass, dan dibiarkan kering sesuai dengan
metode Bagian Patologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Sediaan siap dilihat
dan setelah perekat kering diamati dengan menggunakan mikroskop cahaya.
3.4.4 Pengamatan Preparat Histopatologi
Pengamatan histopatologi diawali dengan pemotretan menggunakan
kamera fotografi mikro (digital eyepiece camera) untuk setiap preparat organ dari
masing-masing perlakuan. Gambar yang diambil dari preparat yaitu dimulai
dengan gambaran histopatologi preparat menggunakan mikroskop perbesaran 10x
pada lensa okuler dan perbesaran 4x, 40x, dan 100x pada lensa objektif. Gambar
yang telah diperoleh dilanjutkan dengan penghitung jumlah dan luas.
Penghitungan jumlah dan luas ini dilakukan dengan menghitung banyaknya
jumlah dan luasan menggunakan software Image J®
Launcher pada folikel limfoid
yang terdapat pada organ limpa dan limfonodus dari gambaran histopatologi
organ pada mikroskop dengan perbesaran 40x.
Folikel limfoid yang terdapat pada organ limpa dan limfonodus dihitung
secara keseluruhan jumlah dan luasnya dari masing-masing perlakuan yang telah
dilakuan pada mencit jantan maupun mencit betina. Hasil perhitungan yang
diperoleh dibedaakan antara kelompok perlakuan (kontrol, preventif, kuratif, dan
campuran dengan madu) serta dibedakan juga anatara jenis kelamin mencit
(jantan dan betina) kemudian dibandingkan.
29
3.4.5 Analisis Data
Data pengamatan yang diperoleh adalah data kuantitatif yang disajikan
dalam bentuk rataan dan simpangan baku. Setiap data yang diperoleh dari masing-
masing perlakuan dibandingkan dengan data yang diperoleh dari kontrol yaitu
mencit yang hanya dicekok dengan Aqua®
sebanyak 0.1 ml/ekor/hari.
Pembandingan yang dilakukan bertujuan untuk menganalisis perubahan yang
terjadi pada pulpa putih yang terdapat pada limpa dan folikel limfoid dari
limfonodus mencit kelompok kontrol dengan kelompok lainya. Data kuantitatif
yang diperoleh juga dibandingkan antara jantan dan betina untuk melihat
keefektifan antara kedunya.
Data kuantitatif yang diperoleh diolah dengan analisa ANOVA dan uji
lanjutan Duncan menggunakan program SPSS 16 dalam Microsoft Windows®
sehingga dapat dilihat perbedaan nyata maupun tidaknya data yang diperoleh dari
masing masing perlakuan.
30
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
Peningkatan respon imun dapat terjadi karena adanya infeksi maupun
setelah imunisasi atau adanya gangguan sirkulasi maupun tumor. Selain itu
peningkatan respon imun juga dipengaruhi oleh imunomodulator. Salah satu
herbal yang potensial sebagai imunomodulator adalah jintan hitam.
Pemberian jintan hitam secara teratur dengan dosis bertingkat (kontrol,
dosis prevetif, dosis kuratif dan capuran jintan hitam dengan madu) menunjukkan
gambaran histopatologi yang berbeda-beda. Data kuantitatif yang diperoleh dari
perhitungan rataan jumlah dan luas folikel menunjukkan nilai rataan yang berbeda
berdasarkan dosis pemberiannya. Selain gambaran histopatologi, hasil
pengamatan pada slide organ limfoid sekunder tidak ditemukan adanya edema,
kongesti, dan hemoragi. Hal ini disebabkan manfaat dari jintan hitam yang dapat
memperlancar peredaran darah (El-Dakhakhny 2002). Peredaran darah yang
lancar dapat menghindari terjadinya kongesti, edema, dan hemoragi pada organ
limfoid sekunder.
4.1 Perubahan Gambaran Histopatologis Pada Limfonodus
Limfonodus (kelenjar getah bening) adalah satu-satunya jaringan limfoid,
yang terdapat di antara aliran limfe menyaring limfe sebelum memasuki aliran
darah. Organ ini paling teroganisasi dari seluruh organ limfatik, dan hanya satu-
satunya yang memiliki pembuluh limfe eferen, dan sinus (Dellman 1989).
Hasil percobaan menunjukkan perubahan pada limfonodus setelah
diberikan jintan hitam dengan dosis bertingkat pada mencit secara teratur selama
dua bulan dapat dilihat dari gambaran histopatologi folikel limfoid yang berbeda
pada setiap limfonodus (Gambar 9). Limfonodus mencit menunjukkan gambaran
folikel limfoid baik dari jumlah maupun luasan yang berbeda antara perlakuan.
Mencit yang diberikan jintan hitam dengan campuran madu menunjukkan luasan
folikel limfoid yang lebih luas dibandingkan dengan kontrol, preventif maupun
kuratif.
31
Gambar 9 Histopatologi limfonodus pada mencit yang diberi perlakuan kontrol (A), HS
Preventif (B), HS Kuratif (C), HS Madu (D) Pewarnaan HE yang
menunjukkan perbedaan luasan antara Folikel Limfoid (FL).
Hasil perhitungan rataan jumlah dan luas folikel limfoid merupakan data
kuantitatif dalam bentuk hasil uji statistik yang disajikan pada Tabel 8, sedangkan
perbandingan gambaran perbedaan rataan jumlah dan luas dari folikel limfoid
antara mencit jantan dan betina dapat dilihat pada Gambar 9 dan Gambar10.
Tabel 8 Rataan Jumlah dan Luas Folikel Limfoid Mencit Jantan dan Betina
Organ yang
diamati
Parameter
Folikel
(Rata-
rata)
Perlakuan
Kontrol HS Preventif HS Kuratif HS Madu
Limfonodus
Jantan
Jumlah 6,5 ± 0,70a 6,67 ± 2,89a 4,0 ± 0,0a 4,33 ± 1,53a
Luas (μm) 71,5 ± 1,48a 121,67 ±
1,25ab 201 ± 3,12bc 306,67 ± 6,8c
Limfonodus
Betina
Jumlah 5,5 ± 0,70a 6,67 ± 1,53a 6,0 ± 2,65a 6,0 ± 3,51a
Luas (μm) 78,0 ± 1,13a 161 ± 6,83ab 251,33 ±
8,27bc 342,67 ± 1,02c
Keterangan : Huruf superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan
perbedaan yang nyata (p<0.05)
FL
C
32
Hasil perhitungan rataan jumlah folikel limfoid setelah dilakukan uji
statistik menunjukkan tidak adanya perbedaan yang nyata (p>0.05) dari masing-
masing perlakuan baik yang diberikan jintan hitam secara rutin (Hs preventif, Hs
kuratif dan Hs madu) maupun yang tidak diberikan jintan hitam (kontrol). Namun,
jika dilihat dari gambaran histogram perbedaan raatan jumlah folikel limfoid
antara jantan dan betina pada Gambar 10 menunjukkan bahwa rataan jumlah
folikel limfoid betina lebih banyak dibandingkan dengan rataan jumlah folikel
limfoid jantan.
Gambar histogram rataan jumlah folikel limfoid betina menunjukkan
jumlah terbanyak pada perlakaun Hs preventif. Rataan jumlah pada mencit yang
diberikan perlakuan preventif maupun kuratif serta campuran jintan hitam dengan
madu menunjukkan rataan jumlah yang lebih tinggi dibandingkan dengan
kelompok kontrol. Rataan jumlah folikel limfoid pada jantan menunjukkan
penurunan pada dosis kuratif maupun pada pemberian campuran ekstrak minyak
jintan hitam dengan madu.
Gambar 10 Histogram perbandingan rataan jumlah folikel limfoid pada mencit jantan dan
betina yang diberikan jintan hitam selama dua bulan
Perbandingan rataan jumlah folikel limfoid betina dan jantan pada mencit
yang diberikan jintan hitam menunjukkan jumlah yang lebih tinggi dibandingkan
dengan jantan kecuali pada dosis preventif. Hal ini kemungkinan dapat terjadi
karena adanya peningkatan luas folikel limfonodus, sehingga beberapa folikel
0
1
2
3
4
5
6
7
Kontrol HS
Preventif
HS Kuratif HS Madu
Rata
an
Ju
mla
h
Perlakuan
Jumlah Folikel Limfoid
Jantan
Betina
33
bergabung menjadi satu. Menurut Searcy (1995), limfonodus berperan penting
dalam pertahanan tubuh dan fungsi imun. Limfonodus bisa mengalami atrofi
maupun hipertrofi, atau bisa juga menjadi tempat dari inflamasi lokal maupun
umum. Penyakit inflamasi selalu berhubungan dengan perubahan pada aliran
limfatik dan daerah disekitar limfonodus (Cheville 2006).
Hasil pengukuran luas folikel limfoid pada setiap perlakuan terlihat pada
tabel rataan luas yang menunjukkan kelompok yang diberikan ekstrak minyak
jintan hitam dosis kuratif, dan kombinasi dengan madu memiliki rataan luas
folikel yang berbeda nyata (p<0.05) bila dibandingkan dengan kontrol. Pemberian
jintan hitam dengan dosis preventif tidak menunjukkan ukuran luas folikel yang
berbeda nyata (p>0.05) dengan kontrol dan dosis kuratif. Hal ini kemungkinan
karena mencit yang digunakan dalam penelitian ini bukan mencit jenis SPF
(Specific Pathogen Free). Meskipun mencit yang digunakan sudah diberikan
perlakuan khusus sehingga lebih baik dari mencit konvensional, namun masih
adanya peluang ketidakseragaman kondisi imunitas antara mencit sebelum
diberikan asupan ektrak minyak jintan hitam. Hasil perlakuan pada kelompok
dosis kuratif dan madu menunjukkan perbedaan yang nyata berdasarkan uji
statistik jika dibandingkan dengan kontrol.
Gambar 11 memperlihatkan gambaran perbandingan luas folikel limfoid
pada pemberian jintan hitam dengan dosis kontrol, preventif, kuratif, dan
kombinasi madu antara jantan dan betina. Rataan luas pada jantan maupun betina
menunjukkan peningkatan rataan luas folikel pada pemberian jintan hitam dosis
preventif, kuratif dan campuran madu jika dibandingkan dengan kontrol. Namun
antara jantan dan betina, rataan luas folikel betina lebih luas dibandingkan dengan
jantan baik pada dosis kontrol sampai pemberian campuran jintan hitam dengan
madu. Pertambahan luas folikel dapat disebabkan oleh bertambahnya jumlah
limfosit pada folikel akibat adanya proliferasi sel limfosit.
34
Gambar 11 Histogram perbandingan rataan luas folikel limfoid pada mencit jantan dan
betina yang diberikan jintan hitam selama dua bulan
Sel-sel yang terdapat pada organ limfonodus yang telah diberi perlakuan
ditunjukkan pada Gambar 12 dan Gambar 13. Folikel limfoid menunjukkan
dominasi dari sel-sel limfosit. Peningkatan ini tidak selalu menjadi prognosis yang
baik. Namun, peningkatan limfosit pada folikel limfoid dari hewan yang sehat
menunjukkan peningkatan kemapuan hewan dalam melawan penyakits (Chao et
al. 2004).
Hasil pengamatan pada gambaran histopatologi sel-sel yang terdapat pada
organ limfonodus mencit yang diberikan jintan hitam maupun campuran jintan
hitam dan madu menunjukkan adanya proliferasi sel limfosit, folikel limfoid
sebagian besar di dominasi oleh sel-sel limfosit (Gambar 13). Gambaran folikel
limfoid menjadi lebih besar dibandingkan dengan normal akibatnya gambaran
limfonodus terlihat lebih besar juga. Namun, folikel limfoid yang besar tidak
hanya disebabkan oleh proliferasi sel limfosit. Hewan yang folikel limfoidnya
lebih besar dibandingan dengan normal dapat dikarenakan hewan tersebut
mengalami hiperplasia maupun tumor (Carlton dan McGavin 1998).
0
50
100
150
200
250
300
350
Kontrol HS
Preventif
HS Kuratif HS Madu
Rata
an
Lu
as
Perlakuan
Luas Folikel Lifoid
Jantan
Betina
35
Gambar 12 Gambaran histopatologi sel-sel limfonodus perbesaran 400x pada perlakuan
kontrol (A), preventif (B), kuratif (C), dan madu (D) menunjukkan adanya
dominasi sel limfosit (L) pada organ limfonodus, namun beberapa slide
organ menunjukkan adanya makrofag (M) dan megakariosit (MK).
Perbedaan yang diperoleh dari penelitian ini dengan perbesaran yang terjadp
pada tumor yaitu adanya keseragaman sel limfosit pada folikel limfoid mencit
perlakuan, sedangkan jika hewan mengalami hiperplasia maupun tumor terdapat
infiltrasi dari sel neutrofil maupun eritrosit. Adanya perbesaran dari nukleus
dengan nukleokromatin yang homogen serta bentuk nuklear yang ireguler juga
merupakan gambaran histopatologi pada limfonodus yang mengalami tumor
(Carlton dan McGavin 1998).
Menurut Fawcett (2002), limfosit merupakan agen utama bagi respon imun
tubuh. Sistem imun menyediakan mekanisme untuk pengenalan mikroorganisme
dan benda asing lain yang memasuki tubuh dan menetralkan dari kemungkinan
pengaruh buruknya. Setiap substansi asing yang dapat menginduksi timbulnya
respon imun disebut antigen. Dalam tubuh suatu individu dapat dijumpai dua tipe
36
dasar imunitas dapatan yang saling berhubungan. Salah satunya, tubuh mampu
membentuk antibodi yang bersirkulasi, yaitu molekul globulin dalam darah yang
mampu menyerang antigen spesifik.
Gambar 13 Gambaran histopatologi folikel limfoid perbesaran 1000x pada limfonodus
yang telah diberikan perlakuan jintan hitam selama dua bulan
menunjukkan adanya proliferasi sel limfosit (L) pada organ limfonodus.
Pemberian jintan hitam berpengaruh pada jumlah dan luas dari folikel
limfoid. Jintan hitam berfungsi sebagai imunomodulator yang di dalamnya
sebagian besar terdiri dari karbohidrat dan lemak. Lemak mempunyai fungsi
selular dan komponen struktural pada membran sel yang berkaitan dengan
karbohidrat dan protein demi menjalankan aliran air, ion, dan molekul lain keluar
dan masuk ke dalam sel. Hal ini yang akan membantu tubuh dalam melakukan
sistem pertahanan terhadap benda asing (Winarno 2008). Menurut Jones et al.
(2006), stimulasi antigen dapat menyebabkan hiperplasia reaktif yang dicirikan
dengan pembesaran limfoid. Umumnya, pada kondisi hiperplasia yang aktif akan
terjadi peningkatan plasma sel, namun karena tidak ditemukan adanya plasma sel
pada gambaran sel maka dapat dikatakan bahwa pemberian jintan hitam
menyebabkan hiperplasia reaktif pada organ limfonodus.
Bahan aktif dari jintan hitam yang sangat berperan dalam mekanisme
sistem imun adalah thymoquinone (Al Ali et al. 2008). Thymoquinone akan
meningkatkan respon imun yang dimediasi sel T dan sel NK (natural killer cell)
serta meningkatkan perbandingan antara sel T helper (Th) dengan sel T suppresor
(Ts) (El Kadi dan Kandil 1987). Selain itu jintan hitam juga meningkatkan
37
pertumbuhan sel B melalui peningkatan IL-3 (interleukin-3), serta merangsang
makrofag dengan peningkatn IL-1 ß (Subijanto 2008).
Peningkatan sel B akibat pemberian jinten hitam akan terlihat melalui
folikel limfoid yang di dalamnya kaya akan sel B. Menurut Fawcett (2002) folikel
limfoid terlibat dalam perkembangan fungsional sel B. Semakin sedikit jumlah sel
B menandakan semakin sedikit juga folikel dan Germinal center pada limfonodus
berarti limfonodus mengalami deplesi (Kuby 1997). Semakin luas folikel dan
Germinal center pada limfonodus menandakan adanya peningkatan jumlah sel B
yang matang dan siap untuk melakukan respon imun terhadap benda asing. Tipe
imunitas ini disebut imunitas humoral atau imunitas sel-B (karena limfosit
membentuk antibodi). Tipe kedua dari imunitas dapat diperoleh melalui
pembentukan limfosit teraktivasi dalam jumlah besar yang dirancang untuk
menghancurkan antigen. Tipe imunitas ini disebut imunitas yang diperantarai sel
atau imunitas sel-T (karena limfosit yang teraktivasi adalah limfosit T) (Guyton
dan Hall 2005). Seperti yang terlihat pada Gambar 8 pemberian jintan hitam yang
dicampur dengan madu menunjukkan folikel limfoid yang lebih luas
dibandingkan dengan kontrol.
Secara mikroskopik limfonodus terbagi atas tiga bagian, yaitu korteks,
parakorteks, dan medula. Korteks merupakan lapisan paling luar yang berisi sel
limfosit B, sel dendrit folikular, dan makrofag yang tersusun dalam nodul yang
disebut folikel limfoid. Folikel limfoid merupakan sebutan dari kumpulan sel-sel
yang terdapat pada bagian kortek ini dan terkadang dilengkapi dengan germinal
center. Folikel limfoid yang tidak dilengkapi dengan germinal center disebut
folikel primer sedangkan yang dilengkapi dengan germinal center disebut folikel
sekunder (Rao 2010). Germinal center merupakan tempat terjadinya poliferasi
dan diferensiasi sel B menjadi sel plasma dan sel memory (Messika 1998).
Struktur folikel ini akan meluas pada saat terjadi respon antigen (Douglas 2006).
Folikel primer merupakan tempat yang kaya akan sel B yang telah matang,
sedangkan Germinal center merupakan tempat perkembangan terhadap respon
antigen yang terdiri dari sel dendrit dan sel B yang reaktif, sehingga untuk
mengukur aktifitas limfonodus terhadap suatu rangsangan salah satunya dengan
melihat perubahan yang terjadi pada folikel limfoid.
38
Jintan hitam yang digunakan sebagai suplemen dalam kehidupan sehari-
hari sering dikombinasikan dengan madu yang berfungsi sebagai antioksidan juga
dapat mempengaruhi sistem imun. Kombinasi antara jintan hitam dengan madu
menunjukkan gambaran rataan luas folikel limfoid yang lebih luas (Gambar 9)
dan jumlah folikel menjadi lebih sedikit dibandingkan dengan control hal ini
disebabkan karena kandungan utama madu yaitu antioksidan fenolat yang
memiliki daya aktif tinggi serta bisa meningkatkan perlawanan tubuh terhadap
tekanan oksidasi (oksidative stress) (Sirisinghe et al. 2006).
Proliferasi sel limfosit pada limfonodus mencit merupakan akibat dari
pemberian jintan hitam. Kandungan thymoquinone yang terdapat pada jintan
hitam berfungsi sebagai anti depresan melalui mekanisme penghambatan dari
pelepasan histamin yang nantinya akan mereduksi nilai cyclic Adenosine
Monophosphate (cAMP) (Abdel-Sater 2009). Stres menginduksi kenaikan cAMP
intraseluler yang menyebabkan adanya penekanan sistem imun, contohnya dengan
menghambat proliferasi limfosit dan antibodi (Glaser et al. 1990). Penggunaan
jintan hitam secara rutin yang menyebabkan adanya proliferasi limfosit pada
organ limfonodus. Tingginya kadar asam linoleat dan asam linolenic di dalam
jintan hitam juga berpengaruh terhadap proliferasi sel limfosit. Menurut
Schleicher dan Saleh (2000), kandungan asam lemak yang tinggi terutama asam
linoleat dan asam linolenic dalam jintan hitam mampu meningkatkan sistem imun
tubuh dengan cara meningkatkan proliferasi limfosit untuk menghasilkan antibodi.
Limfonodus akan mengarahkan limfosit muda yang terdapat pada folikel
limfoid untuk menjadi limfosit dipredaran darah yang akan melakukan fungsinya
sebagai pendeteksi antigen. Kebanyakan limfosit yang terdapat pada superfisial
korteks adalah sel B. Sel B ini dapat masuk ke peredaran darah sebagai sel
memori (Sari 2010).
Limfosit yang sudah ada di dalam organ limfoid sekunder akan bergerak
dari organ limfoid yang satu ke organ limfoid yang lain, saluran limfe dan darah.
Dari sirkulasi tersebut limfosid akan kembali memasuki limfoid sekunder atau
rongga-rongga jaringan dan kelenjar getah bening (Baratawidjaja 2002).
Perbedaan yang terjadi pada rataan jumlah dan luas folikel limfoid betina
lebih tinggi dibandingkan dengan jantan. Hal ini karena adanya siklus estrus pada
39
betina, yang berpengaruh pada respon imun mencit. Pada saat estrus kondisis
fisiologis mencit akan berubah karena terjadinya peradangan fisiologis pada
mencit (Gyuton dan Hall 2005). Kondisi estrus juga menyebabkan serviks pada
mencit betina dalam keadaan terbuka sehingga memungkinkan terjadinya
introduksi mikroorganisme ke dalam saluran reproduksi (Lestari 2006). Selain itu
kondisi estrus mencit juga sangat berhubungan dengan keadaan hormon di dalam
tubuh.
Mencit yang digunakan dalam penelitian ini merupakan mencit yang sudah
dewasa. Pada mencit betina dewasa yang mengalami estrus akan menyebabkan
adanya perubahan secara hormonal terutama pada hormon progesteron yang akan
meningkat pada saat terjadinya estrus. Sebagian besar hormon yang mengatur
sistem imun dalam saluran reproduksi adalah estradiol-17β dan progesterone
(Washburn et al. 1982).
Estradiol-17β dapat memfasilitasi pembersihan mikroorganisme, sementara
treatment dengan progesteron sering menyebabkan adanya infeksi uterus.
Perubahan pada hormon ini yang akan memicu terjadinya peningkatan kerja organ
sistem imun terutama pada mencit betina, sehingga pada folikel limfoid yang
terdapat pada limfonodus mencit betina menunjukkan luasan yang lebih tinggi
dibandingkan dengan folikel limfoid pada limfonodus jantan.
4.2 Perubahan Gambaran Histopatologis Pada Limpa
Perubahan histopatologi pada limpa mencit setelah pemberian jintan hitam
selama dua bulan menunjukkan gambaran yang berbeda-beda berdasarkan dosis
perlakuan (Gambar 14). Gambaran histopatologi dari pulpa putih pemberian jintan
hitam dosis preventif, kuratif dan campuran dengan madu menunjukkan luasan
yang berbeda. Mencit yang diberi jintan hitam dengan campuran madu memiliki
luasan pulpa putih yang lebih luas dibandingkan dengan kontrol. Hal ini juga
terlihat pada luasan pulpa putih pada perlakuan preventif dan kuratif yang
memiliki ukuran luas pulpa putih lebih luas jika dibandingkan dengan kontrol,
namun tidak lebih luas dibandingkan dengan perlakuan campuran jintan hitam
dengan madu.
40
Gambar 14 Histopatologi limpa pada mencit yang diberi perlakuan kontrol (A), Hs
preventif (B), Hs kuratif (C), Hs madu (D) menggunakan pewarnaan HE
yang menunjukkan perbedaan rataan jumlah dan luasan pulpa putih (PP)
mengakibatkan luasan pulpa merah (PM) menjadi berbeda tiap perlakuan.
Hasil penelitian pada organ limpa yang telah diberi jintan hitam
menunjukkan hasil uji statistik perhitungan rataan jumlah dan luasan pulpa putih
dari masing-masing perlakuan yang dapat dilihat pada Tabel 9 dan gambaran
histogram rataan jumlah dan luas pulpa putih antara mencit jantan dan berina,
serta gambaran histopatologi organ limpa dengan perbesaran 400x (Gambar 14,
15, dan 16).
Hasil uji statistik diperoleh dari penghitungan jumlah dan luas dari folikel
limfoid yang terdapat pada organ limpa perlakuan. Penghitungan jumlah ini
dilakukan secara langsung dengan melihat gambaran histopatologi organ limpa
perbesaran 40x, sedangkan penghitungan luas menggunakan bantuan software
Image J®.
41
Tabel 9 Rataan Jumlah dan Luas Pulpa Putih Mencit Jantan dan Betina.
Organ
yang
diamati
Parameter
Folikel
(Rata-
rata)
Perlakuan
Kontrol HS Preventif HS Kuratif HS Madu
Limpa
Jantan
Jumlah 6,5 ± 2,12a 7,33 ± 1,15a 6,0 ± 2,65a 6,33 ± 1,53a
Luas (μm) 142,5 ± 4,60a 325 ± 4,67bc 487,67 ± 7,41bc 523,33 ± 1,33 c
Limpa
Betina
Jumlah 8,0 ± 0,0a 6,3 ± 2,08a 6,0 ± 1,0a 6,0 ± 3,46 a
Luas (μm) 115 ± 7,02a 245,55 ±
7,25ab 468,33 ± 1,98bc 567,67 ± 1,67 c
Keterangan : Huruf superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan
perbedaan yang nyata (p<0.05)
Uji statistik rataan jumlah pulpa putih pada limpa menunjukkan tidak ada
perbedaan yang nyata (p>0.05) antara kontrol maupun pada mencit yang diberikan
perlakuan ekstrak minyak jintan hitam dosis preventif, kuratif, dan kombinasi
dengan madu baik pada mencit jantan maupun betina. Namun, dalam histogram
batang rataan jumlah pulpa putih pada mencit jantan setelah diberikan perlakuan
mengalami penurunan dibandingkan dengan kontrol. Mencit betina rataan jumlah
folikel mengalami peningkatan tertinggi pada pemberian jintan hitam dengan
dosis preventif. Kemudian mengalami penurunan pada pemberian jintan hitam
dosis kuratif. Penurunan jumlah pulpa putih ini kemungkinan terjadi karena
adanya perluasan dari pulpa putih, sehingga adanya beberapa pulpa putih
bergabung menjadi satu.
42
Gambar 15 Histogram perbandingan jumlah rataan pulpa putih pada mencit jantan dan betina yang diberikan jintan hitam selama dua bulan
Pulpa merah merupakan bagian terbesar pada limpa yang mengandung
banyak darah yang disimpan dalam jalinan retikuler. Pulpa merah terdiri dari
arteriol pulpa, kapiler selubung serta kapiler terminal, sinus venosus atau venula,
dan bingkai limpa (Dellmann 1989). Berneda dengan pulpa merah, pulpa putih
merupakan jaringan limfatik yang menyebar di seluruh limpa sebagai folikel
limfoid limpa dan seperti selubung limfatik periarterial. Pada kedua lokasi,
serabut retikuler dan sel retikuler membentuk jalinan stroma dalam tiga dimensi
mengandung pecahan limfosit, makrofag, dan sel-sel aksesoris lain mirip dengan
yang terlihat pada limfonodus. Sel-sel utama dalam folikel limfoid ini adalah
limfosit B, sedangkan limfosit T menempati daerah yang langsung mengitari arteri
nodularis (Dellmann 1989).
Pulpa putih limpa terdiri atas jaringan limfoid yang berhubungan langsung
dengan pembuluh darah arteri sentralis yang membentuk periarteriolar lymphoid
sheath (PALS) dan nodulus limfatikus yang ditambah pada selubung. PALS atau
sarung limfoid periarteriolar sebagian besar terdiri atas sel T (Anonim 2006b).
Daerah pulpa putih terdapat folikel primer yang berisi sel limfosit B bila terjadi
respon terhadap antigen maka akan terbentuk germinal center pada pulpa putih
0
1
2
3
4
5
6
7
8
Kontrol HS
Preventif
HS Kuratif HS Madu
Ju
mla
h P
ulp
a P
uti
h
Perlakuan
Jumlah Rataan Pulpa Putih
Jantan
Betina
43
dan disebut dengan folikel sekunder. Setiap folikel sekunder yang terbentuk
dikelilingi oleh selapis sel T yang disebut dengan marginal zone (Davis 1998).
Daerah marginal pada pulpa putih merupakan daerah yang kaya akan
makrofag dan limfosit khusus. Semua unsur dari aliran darah, begitu juga antigen
akan bertemu dengan makrofag dan limfosit pada pulpa putih. Partikel yang
mengambang dalam plasma darah akan difagosit secara efisien oleh makrofag
sehingga mempermudah dalam pendeteksian antigen (Dellmann 1989).
Berbeda dengan limfonodus yang berfungsi untuk menyaring antigen dari
cairan limfe, limpa berfungsi untuk menyaring darah (Tizard 1988). Menurut
Martini (1992) fungsi utama limpa ada dua, yaitu memfagosit komponen darah
yang abnormal dan menginisiasi respon imun melalui sel B dan sel T. Disamping
itu, limpa menyimpan eritrosit dan trombosit serta melaksanakan eritropoiesis
pada fetus. Karena itu limpa terbagi atas dua bagian, yaitu satu bagian untuk
menyaring eritrosit, penjeratan antigen, dan eritropoiesis yang disebut pulpa
merah dan bagian lain yang di dalamnya terjadi tanggap kebal disebut pulpa putih.
Ekstrak minyak jintan hitam yang diberikan secara oral pada mencit akan
diserap melalui usus kemudian disebarkan oleh darah ke seluruh organ. Jintan
hitam berfungsi menurunkan tekanan darah dan meningkatkan respirasi (Ebaid et
al. 2010) serta sebagai antioksidan, sehingga pemberian jintan hitam akan
mencegah terjadinya stres oksidatif. Stres oksidatif ini terjadi karena adanya
radikal bebas yang merupakan sekelompok bahan kimia baik berupa atom
maupun molekul yang memiliki elektron yang tidak berpasangan pada lapisan
terluarnya (Droge 2002). Akibatnya, limpa dari mencit yang telah diberikan
perlakuan jintan hitam akan terhindar dari stres oksidatif dan akan adanya
peningkatan kerja yang mengakibatkan penambahan jumlah sel B pada pulpa
putih serta menginduksi hiperplasia. Bahan jintan hitam yang berfungsi sebagai
antioksidan adalah thymoquinone, selain itu zat aktif ini juga berfungsi dalam
penghambat infeksi, pengurang rasa sakit dan merangsang kandungan empedu
(Nagi dan Mansour 2000).
44
Gambar 16 Histogram perbandingan luas rataan pulpa putih pada mencit jantan dan
betina yang diberikan jintan hitam selama dua bulan.
Uji statistic luas rataan pulpa putih yang ditunjukkan pada Tabel 9 mencit
yang diberi ekstrak minyak jintan hitam dosis preventif, kuratif, dan kombinasi
dengan madu pada mencit jantan menunjukkan hasil yang berbeda nyata (p<0.05)
jika dibandingkan dengan kontrol. Namun, pada mencit betina dosis pemberian
jintan hitam preventif tidak menunjukkan perbedaan yang nyata jika dibandingkan
dengan kontrol dan Hs kuratif, sedangkan dari hasil perbandingan pengukuran
luas pulpa putih pada tiap perlakuan antara mencit jantan dan betina dalam bentuk
histogram batang (Gambar 16) menunjukkan adanya peningkatan luas pulpa putih
dibandingkan dengan kontrol. Rataan luas pulpa putih terluas terdapat pada
mencit yang diberikan campuran jintan hitam dengan madu selama dua bulan.
Perbandingan rataan luas pulpa putih antara jantan dan betina
menunjukkan rataan luas pulpa putih pada mencit jantan lebih tinggi
dibandingkan dengan mencit betina. Menurut Malole dan Pramono (1989)
berdasarkan sifat anatomisnya limpa pada mencit jantan 50% lebih besar
dibandingkan dengan mencit betina. Hal itu kemungkinan yang menyebabkan
rataan luas pulpa putih mencit jantan lebih luas dibandingkan dengan mencit
betina.
0
100
200
300
400
500
600
Kontrol HS
Preventif
HS Kuratif HS Madu
Lu
as
Pu
lpa
Pu
tih
Perlakuan
Luas Rataan Pulpa Putih
Jantan
Betina
45
Proliferasi limfosit merupakan penanda adanya fase aktivasi dari respon
imun tubuh. Proliferasi limfosit ini berupa peningkatan produksi limfoblas yang
kemudian menjadi limfosit. Secara mikroskopis dapat terlihat pembesaran organ-
organ limfoid (Ganong 2003). Aktivitas limpa dalam menghasilkan sel limfosit
pada saat terjadi respon imun dapat mengakibatkan pembesaran limpa.
Pembesaran limpa bisa disebabkan karena peningkatan respon imun tubuh.
Peningkatan respon imun dapat terjadi karena adanya infeksi maupun setelah
imunisasi atau adanya gangguan sirkulasi maupun tumor serta pemberian
imunomodulator.
Hasil pengamatan pada gambaran histopatologi sel-sel yang terdapat pada
organ limpa mencit yang diberikan jintan hitam maupun campuran jintan hitam
dan madu menunjukkan adanya proliferasi sel limfosit pada pulpa putih (Gambar
17). Pulpa putih yang sebagian besar di dominasi oleh sel-sel limfosit, sehingga
gambaran pulpa putih menjadi lebih besar dibandingkan dengan normal akibatnya
gambaran limpa terlihat lebih besar juga. Penambahan luas pulpa putih yang
terjadi pada penelitian ini memiliki diagnosa banding yaitu tumor. Pada tumor
pulpa putih mengalami penambahan luas diiringi dengan adanya infiltrasi dari sel
tumor dan neutrofil, sedangkan pada penelitian ini penambahan luas disebabkan
oleh adanya proliferasi sel limfosit yang seragam (Gambar 17).
Pulpa putih menunjukkan dominasi dari sel-sel limfosit. Peningkatan
limfosit pada pulpa putih dari hewan yang sehat akan menunjukkan peningkatan
kemampuan hewan dalam melawan penyakit (Chao et al. 2004). Jintan hitam
yang kaya akan nilai nutrisi, menurut El-Kadi dan Kandil (1987) berpotensial
sebagai imunomodulator. Imunomodulator merupakan suatu senyawa yang dapat
mempengaruhi sistem imun humoral maupun seluler. Jintan hitam yang berperan
sebagai imunomodulator akan meningkatkan fungsi imun tubuh. Fungsi imun
tubuh yang meningkat akan mempercepat penyembuhan jika terjadi infeksi.
46
Gambar 17 Gambaran histopatologi sel-sel limpa perbesaran 400x pada perlakuan kontrol
(A), preventif (B), kuratif (C), dan madu (D) menunjukkan adanya dominasi
sel limfosit (L) pada organ limfonodus, namun beberapa slide organ
menunjukkan adanya makrofag (M) dan megakariosit (MK)
Ekstrak minyak jintan hitam yang diperoleh dari biji jintan hitam
mengandung 36%-38% fixed oil, protein, tanin, alkaloid, saponin dan 0,4%-2,5%
minyak essensial yang bersifat volatile (mudah menguap). Komponen utama dari
fixed oil ini yaitu asam lemak tak jenuh dan asam eicosadienoic. Minyak essensial
yang telah dianalisis memiliki kandungan utama yaitu thymoquinone (Gerige et al
2009). Zat aktif thymoquinone (2-isopropyl-5-methylbenzo-1,4-quinone) mampu
meningkatkan aktifitas respon imun dalam organ limpa dengan cara memacu
fungsi berbagai komponen sistem imun nonspesifik (fagosit, sel NK) dan sistem
imun spesifik (proliferasi sel T, sel B yang memproduksi antibodi) (Anderson
1999). Selain itu kandungan minyak essensial ini mampu menurunkan volume
tumor jika diberikan secara injeksi pada bagian tumor (Edris 2009) Peningkatan
aktifitas respon imun ini ditunjukkan dengan adanya proliferasi sel-sel limfosit
47
(Gambar 18) sehingga adanya perluasan dari pulpa putih pada limpa mencit
setelah diberikan jintan hitam.
Peningkatan jumlah limfosit pada perlakuan jintan hitam dengan madu
juga menunjukkan aktivitas sinergisme antar keduanya bila diaplikasikan secara
bersama-sama. Kandungan antioksidan penting yaitu L-askorbat dalam madu dan
komponen mineral lainnya juga mampu meningkatkan status imunitas tubuh
(Bogdanov et al 2008). Menurut Kesic et al (2009), asam L-askorbat adalah
antioksidan fase cair yang paling efektif dalam plasma darah manusia yang
berfungsi sebagai antioksidan fisiologis penting untuk perlindungan terhadap
penyakit dan proses degeneratif yang disebabkan oleh stress oksidatif.
Gambar 18 Gambaran histopatologi pulpa putih perbesaran 1000x pada limpa yang telah
diberikan perlakuan jintan hitam selama dua bulan menunjukkan adanya
proliferasi sel limfosit (L) pada organ limfonodus.
Kombinasi madu dan jintan hitam memiliki kasiat yang sangat tinggi
sebagai antioksidan. Asupan yang kaya akan antioksidan akan mencegah mencit
mengalami stres. Stressor dapat mengakibatkan bahaya terhadap sistem imun.
Mencit dalam kondisi stres akan mempengaruhi pelepasan hormon neuropeptida
seperti ACTH, biasanya imunosupresi. Gangguan respon imun yang disebabkan
stres dapat berupa respon non-spesifik proliferasi limfosit atas pengaruh mitogen,
timbul sel Ts antigen spesifik, aktivasi makrofag, perubahan keseimbangan Th
sekresi sitokin dan ekspresi sitokin. Sehingga menyebabkan kerentanan terhadap
penyakit dan infeksi (Baratawidjaja 2002).
48
Secara histopatologi peningkatan sistem imun dapat diketahui dengan cara
melihat peningkatan luas serta peningkatan jumlah folikel limfoid pada limpa dan
limfonodus. Pada mencit yang diberikan perlakuan jintan hitam dengan dosis
bertingkat terjadinya hiperplasia folikel limfoid limpa dan dalam kondisi reaktif.
Bertambahnya luas folikel ini menandakan bertambahnya sel B yang siap
melakukan aktifitas dalam sistem imun mencit. Zat aktif utama yang dapat
meningkatkan sistem imun mencit ini adalah thymoquinone yang terkandung di
dalam jinten hitam. Selain itu thymoquinone berperan aktif sebagai antioksidan
yang mampu mencegah stres pada mencit sehingga kondisi kesehatan mencit akan
menjadi baik (Mansour et al 2002).
Kandungan thymoquinone yang terdapat pada jintan hitam berfungsi sebagai
antioksidan melalui mekanisme penghambatan dari pelepasan histamin yang
nantinya akan mereduksi nilai cyclic Adenosine Monophosphate (cAMP) (Abdel-
Sater 2009). Stres menginduksi kenaikan cAMP intraseluler yang menyebabkan
adanya penekanan sistem imun, contohnya dengan menghambat proliferasi
limfosit dan antibodi (Glaser et al. 1990). Penggunaan jintan hitam selama dua
bulan dalam penelitian ini yang menyebabkan penghambatan dari pelepasan
histamin sehingga terjadinya proliferasi limfosit pada organ limpa. Proliferasi sel
limfosit pada limpa mencit menyebabkan adanya perluasan dari pulpa putih.
49
BAB 5
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Pemberian ekstrak minyak jintan hitam pada mencit secara oral (cekok)
selama 2 bulan terbukti dapat mempengaruhi fungsi organ limfoid sebagai
imunomodulator terutama pada perlakuan yang diberikan campuran ekstrak
minyak jintan hitam dengan madu dibandingkan dengan pemberian ekstrak
minyak dosis preventif dan kuratif. Perubahan histopatologi organ limpa dan
limfonodus yang menandakan bahwa jintan hitam berfungsi sebagai
imunomodulator yaitu adanya penambahan rataan jumlah dan luas folikel limfoid.
5.2 Saran
1. Perlu adanya penelitian yang terfokus terhadap pengaruh ekstrak
minyak jintan hitam (Nigella sativa) pada sistem imun untuk melihat
secara keseluruhan terhadap organ sistem imun.
2. Perlu adanya penelitian dengan waktu penelitian yang lebih lama
untuk mengetahui efek penggunaan ekstrak minyak jintan hitam
(Nigella sativa) dalam jangka panjang.
3. Perlu adanya penelitian pengaruh ekstrak minyak jintan hitam (Nigella
sativa) terhadap organ limfoid sekunder menggunakan hewan model
yang mengalami gangguan sistem imun.
50
DAFTAR PUSTAKA
Abdel-Sater KA. 2009. Gastroprotective effects of Nigella sativa oil on the
formation of stress gastritis in hypothyroidal rats. J Physiol Pathophysiol.
Pharmacol. 1 : 143-149.
Al-Saleh IA, G Billedo, II El-Doush. 2006. Levels of selenium, DL-alfa-
tocopherol, DL-gamma-tocopherol, all-trans-retinol, thymoquinone and
thymol in different brands of Nigella Sativa L. seeds. J Food Comp and
Anal 19: 167-175.
Al-Ali A, Alkhawajah AA, Randhawa MA, Shaikh NA. 2008. Oral and
intraperitoneal LD50 of thymoquinone an active principle of Nigella sativa,
in mice and rat. J Ayub Med Coll Abbottabad 20 (2).
Anderson WL. 1999. Immunology. England: Fence Creek Pub. Halm. 7-22
[Anonim]. 2006a. Histology atlas. [terhubung berkala].
http://www.deltagen.com/target/histologyatlas/HistologyAtlas.html [10
Agustus 2011]
[Anonimus]. 2006b. Immune system. [terhubung berkala].
http://en.wikipedia.org/wiki/immunesystem. [29 Agustus 2009].
[Anonimus]. 2010a. Jintan Hitam. [terhubung berkala].
http://en.wikipedia.org/wiki/File:Nigella_Sativa_Seed.jpg. [ 11 Desember
2010].
[Anonim]. 2010b. Nigella sativa, Black cumin. [terhubung berkala].
http://www.mjekesiabimorearabe.com/Members/faraezeze.php. [11
Desember 2010]
Asniyah. 2009. Efek antimikroba jintan hitam (Nigella sativa) terhadap
pertumbuhan Escherichia coli in vitro. J Biomed. (1):1
Aughey E, Frey FL. 2001. Comparative Veterinary Histology with Clinical
Correlates. London: Lowa State Univ Pr. Halm. 215-226.
Babayan VK, Koottungal D, Halaby GA. 1978. Proximate analysis, fatty acid and
amino acid composition of Nigella sativa L. seeds. J Food Sci. 43: 1314-
1315.
Baratawidjaja KG. 2002. Imunologi Dasar. Edisi ke-5. Jakarta: FK UI. Halm 180-
191.
Barus P. 2009. Pemanfaatan bahan pengawet dan antioksidan alami pada industri
bahan makanan. [terhubung berkala]. http://www.usu.ac.id/
id/files/pidato/pina.pdf. [10 Agustus 2011].
51
Bogdanov S, Jurendic T, Sieber R, Gallmann P. 2008. Honey for Nutrition and
Health: A Review. American J Coll of Nutr. 27: 677-689
Cann A. 2011. Principles of molecular virologi. [terhubung berkala].
http://www.microbiologybytes.com/blog/about/. [10 Agustus 2011].
Carlton WW, McGavin MD. 1998. Thomson’s Special Veterinary Pathology 2nd
Edition. USA: Mosby. Halm 319-330
Chakhravarty, Nirmal. 1993. Inhibition of histamine release from mast cells by
nigellone. Ann. Allergy 70(3) : 237-42.
Chao MSS et al. 2004. Pre-Clinical Study: Antioxidant Levels And
Imunomodulatory Effects Of Wolfberry Juice And 0Other Juice Mixtures
In Mice. J American Nutraceutical Association. (7): 1
Cheville NF.2006. Introduction to Veterinary Pathology. Edisis 3. USA: Black
Well Publishing Profesional. Halm 155-157
Clark WR. 2007. How The Immune System Really Works. New York: Oxford
Univ Pr. Halm 3-4.
Dellmann HD, Eurell Jo Ann. 2006. Textbook of Veterinarry Histology. 6th
Edition. USA: Black Well Publishing Profesional. Halm 137-150.
Droge W. 2002. Free radical in the phisiological control of cell fungtion. Phisiol
Rev 82:161-164.
Ebaid H, Dkhil MA, Zahran WS, El Feki MA, Gabry MS. 2010. Nigella sativa in
ameliorating chloramphenicol induced tissue damage in rats. J Med Plant
Res 5(2): 280-288.
Edris AE. 2009. Anti-cancer properties of Nigella spp essensial oils and their
major constituens, Thymoquinone and ß-elemene. Current Clinical
Pharmacology (4): 43-46.
El-Dakhakhny M. 1965. Egyptian Nigella Sativa. J Ethnopharmacol. 15: 1227-
1229.
El-Dakhakhny M, Madi NJ, Lambert N, Ammon HP. 2002. Nigella Sativa oil,
nigellon and derived thymoquinone inhibit synthesis of 5-lypoxygenasae
products in polymorphonuclear leukocytes from rats. J Ethnopharmacol
81: 161-164.
El-Din BMK. 1960. Antiasthmatic activity of the active principle of Nigella sativa
―Nigellon‖. Paediator Assoc. Egypt J Ped, 8(4):864-7.
52
El-Kadi A, Kandil O. 1987. The Black Seed (Nigella Sativa) And Immunity: Its
Effect On Human Cell Subsets. Fed. Proc, 46: 1222-1226.
El-Tahir KE, Ashour MMS. 1993. The cardiovascular actions of the volatile oil of
the black seed (Nigella Sativa L.) in rats: alucidation of the mechanism of
action. Gen Pharmacol 24(5): 1123-31.
Fawcett DW. 2002. Buku Ajar Histologi. Edisi 12. Jakarta: EGC. Halm 380-382
Ganong WF. 2003. Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC. Halm 512-599.
Gerige SJ, Gerige MKY, Rao M, Ramanjaneyulu. 2009. GC-MS Analysis of
Nigella sativa Seeds and Antimicrobial Activity of Its Volatile Oil. Braz
arch. Biol. Technol. 52 (5): 1189-1192
Glaser R, Susan K, William PL, Robert HB. 1990. Physiological stress-induced
modulation of interleukin 2 receptor gene expression and interleukin 2
production in perpheral blood leukocytes. Arch Gen Psychiatry. 47(8):707-
12.
Guyton AC, Hall JE. 2005. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Setiawan I
penerjemah. Jakarta: EGC. Terjemahan dari: Textbook of Medical
Physiology. Hlm 529-553.
Haana M, Rady, M.M Shaymaa, Yahya. 2011. Enhancement of the Antitumor
Effect of Honey and Some of its Extracts Using Adiponectin Hormone.
Australian J of Basic and Applied Sciences, 5(6): 100-108, 2011
Hargono D. 1952. Tanaman Obat Indonesia Jilid I. Jakarta : Depkes RI. Halm 65.
Haq A, Lobo PI, Al-Tufail M, Rama NR, Al-Sedairy ST. 1999. Imunomodulatory
effect of Nigella sativa proteins fractionated by ion exchange
chromatography. Int J Immunopharmacol 21(4): 283-295.
Houghton PJ, Zarka R. 1995: Fixed oil of Nigella Sativa L. and derived
thymoquinone inhibit eicosanoid generation in leukocytes and membrane
lipid peroxidation. Planta-Med 61(1): 33-6.
Hutapea, Johnny Ria. 1994. Inventaris Tanaman Obat Indonesia (III). Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Depkes RI. Halm 163-165.
Jones TC, Ronal DOH, Norval WK. 2006. Veterinary Pathology. Edisi 6. USA :
Balckwell Publishing Profesional. Halm 1009-1045
Junaedi E, Yulianti S, Suty S, Kuncari ES. 2011. Kedahsyatan Habbatussauda
Mengobati Berbagai Penyakit. Jakarta: Agromedia Pustaka. Halm 8-9
53
Junqueira, Luiz C, Carneiro J. 2007. Histologi Dasar. Edisi 3. Jakarta: EGC.
Halm 182-186, 220-234.
Kesic A, Malazovic M, Crnkic A, Catovic B, Hadzidedic S, Dragosevic G. 2009.
The influence of L-ascorbic acid content on total antioxidant activity of
bee-honey. Eur J Sci Res 32(1): 96-102.
Kuby J. 1997. Immunology. Edisis 3. New York: WH. Freeman and Company.
Halm 71-78.
Lestari TD. 2006. Imunologi reproduksi pada ternak. [terhubung berkala]
http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2009/09/imunologi_repr
oduksi_pada_ternak.pdf [ 3 Oktober 2011]
Luetjohann S. 1998. Healing Power Of Black Cumin. USA : Lotus Light
Publications. Halm 17-62
Malole MBM, Pramono CSU.1989.Penggunaan Hewan-Hewan Percobaan di
Laboratorium. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Bogor :
FKH.IPB Halm 28-45.
Mangan Y. 2003. Cara Bijak Menaklukan Kanker. Jakarta: Agromedia Pustaka.
Halm 60-61
Mansi KMS. 2006. Effects of oral administration of water extract of Nigella
sativa on the hypothalamus pituitary adrenal axis in experimental diabetes.
Intl. J. Pharmacol 2 (1): 104–109.
Mansour MA, Nagi MN, El-Khatib AS, AL-Bekairi AM. 2002. Effects of
thymoquinone on antioxidant enzyme activities, lipid peroxidation and
DT-diaphorase in different tissues of mice: a possible mechanism of
action. Cell Biochem Funct. 20: 143-151.
Martini F. 1992. Fundamentals of Anatomy and Physiology. Edisi 2. USA: A
Simon and Schuster Company. Halm 173-175
Mashhadian NV, Rakhshandeh H. 2005. Antibacterial and antifungal effects of
Nigella sativa extracts against S. Aureus, P. Aureginosa, and C.
albicans. Pak j Med Sci. 21(1):47-52
Messika E.J. et al. 1998. Differential effect of B lymphocyte-induced maturation
protein (Blimp-1) expression on cell fate during B cell development. J.
Exp. Med. 188, 515–525
Nagi MN, Mansour MA. 2000. Protective Effect Of Thymoquinone Against
Doxorubicin– Induced Cardiotox Icity In Rats: A Possible Mechanism
Of Protection. Pharmacological Research Vol. 41, No. 3.
54
Nergiz C, Otles S. 1993. Chemical composition of Nigella Sativa L. seeds. J
Food Chem 48 : 259-261.
Nafiu LO. 1996. Kelenturan Fenotipik Mencit (Mus musculus) Terhadap Ransum
Berprotein Rendah. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor. Hlm 13-14.
Purbaya JR. 2002. Mengenal dan Memanfaatkan Madu Alami Khasiat Madu
Alami. Bandung: Pionir Jaya. Halm 80-117
Ramadan MF, Mörsel JT. Neutral lipid classes of black cumin (Nigella sativa L.)
seed oils. Original Paper, Received: 23 July 2001 / Revised version: 11
September 2001/ Published online: 27 October 2001
Sari LP. 2010. Kajian histopatologi efek imunomodulator dari daun trorbangun
(Coleus amboinicus Lour) pada organ sistem limforetikular mencit (Mus
musculus) pada masa laktasi [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan,
Institut Pertanian Bogor. Halm : 30-35
Schleiche P, Saleh M. 2000. Black Cumin: The Magical Egyptian Herb For
Allergies, Asthma, And Immune Disorders. Vermont: Inner Traditions
International. Halm 5-6.
Searcy GP. 1995. Hemopoietic System. Di dalam: Carrlton WM dan McGavin
MD, editor. Thomson’s Special Veterinary Pathology. Edisi 2. New York:
Mosby Yearbook. Halm 289-332.
Sigit K. 2004. Klasifikasi dan filogeni dalam bahan kuliah biologi hewan. FKH
IPB: Bogor. Halm 91.
Sirisinghe RG, Halim AS, Ravichandra M, Al-shabasi Y, Shokri AA. 2006.
Abstracts 1st international conference on the medical use of honey.
First Nourth-South Conference and workshop on Pharmacogenetics.
Halm 101-127
Smith, Mangkoedjojo. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan, dan Penggunaan Hewan
Percobaan di Daerah Tropis. Jakarta: Univ Indonesia pr. Halm 10-12.
Rao Sridhar. 2010. Cells And Organ Of Immune System.
http://www.microrao.com/micronotes/immune_system.pdf. [9 September
2011]
Stewart G. 2004. The immune System. Texas: Chelsea House Pub. Halm 7-10.
Subijanto AA, HP Diding. 2008. Pengaruh minyak biji jinten hitam (Nigella
sativa) terhadap derajat inflamasi saluran napas. Kedokt Indon 6:201-
202
55
Susilo. 2006. Tabel istilah habbatussauda. [terhubung berkala].
http://habbat.com/madu/index.php/ [23 Desember 2009].
Tan B.K.H dan Vanitha J.2004. Imunomodulatory And Antimicrobial Effects Of
Some Traditional Chinese Medicinal Herbs: a review. Current medicinal
Chemistry. 11: 1423-1430
Thippeswamy NB, Naidu KA. Antioxidant potency of cumin varieties-cumin,
black cumin and bitter cumin—on antioxidant systems. Received: 22 June
2004/Revised: 20 October 2004 / Published online: 12 January 2005
Tizard IR. 1988. Pengantar Imunologi veteriner.
Edisi 2. Partodiredjo M,
penerjemah; Surabaya: Penerbit Universitas Airlangga. Terjemahan dari:
An Introduction to Veterinary Immunology. Halm 77-79, 83, 85, 91-92.
Washbum SM, Klesius PH, Ganjam VK, Brown BG. 1982. Effect of estrogen and
progesteron on the phagocytic response of ovariectomized mares injected
in utero with ß-hemolitic streptococci. Am J Vet Res 1982; 43: 1367-1370
Ward JM, Mann PC, Morishima H, Frith CH. 1999. Thymus, Spleen and lymph
Nodes. Di dalam: Maronpot RR, GA Boorman, BW Gaul, Editor.
Pathologyof Mouse Reference and Atlas. Viena: Cache River Press. Halm
333-357
Winarno F. G. 2008. Kimia Pangan Dan Gizi. Bogor: M-Brio Press. Halm 14-96
Zaher KS, Ahmed WM, Zerizer SN. 2008. Observations on the Biological Effects
of Black Cumin Seed (Nigella sativa) and Green Tea (Camellia sinensis).
J Global Veterinaria 2 (4): 198-204
LAMPIRAN
57
LAMPIRAN 1 PERHITUNGAN DOSIS
1. Perhitungan dosis pemberian Anthelmentik
Albendazole 5% = 5 g/100ml = 50 gram/ml
Dosis untuk mencit = 10 mg/kg BB
Dosis untuk mencit BB 20 gram =
=
= 0,04 ml/ekor
2. Perhitungan dosis pemberian Antibiotik (Clavamox®)
Konsentrasi = 125 mg/ml = 25 mg/ml
Dosis untuk anak-anak BB 25 kg = 1 mg/kg BB/hari
Dosis untuk mencit =
= 0,001 mg/g BB
Dosis untuk mencit BB 20 gram =
= 0,0008 ml/ekor/hari
3. Perhitungan dosis pemberian Antiprotozoa (Flagyl®)
Sediaan 500 mg/tablet
Dosis untuk manusia BB 50 kg = 1500 mg/50 kg BB/hari
= 30 mg/kg BB/hari
Dosis untuk mencit =
= 0,03 mg/g BB
Dosis untuk mencit BB 25 gram = 25 (gram) x 0,03 mg/g BB
= 0,75 mg/ekor/hari
58
4. Perhitungan Dosis Pemakaian Jintan Hitam
Dosis Pemakaian = 1-2 sdm 3x sehari
Dosis Preventif =
= 0,3 ml/kg x 2 sdm = 0,6 ml/kg
=
x 0,6 x 3 = 0,054 ml ≈ 0,1 ml/ hari
Dosis kuratif = 2x Dosis Preventif = 0,2 ml/ hari
Dosis Hs madu = 3x Dosis Preventif = 0,3 ml/ hari
59
LAMPIRAN 2 JADWAL
Jadwal Pelaksanaan Penelitian
Waktu Kegiatan
Juni 2010 Mempersiapkan dan membersihkan
Fasilitas Kandang Hewan Percobaan
Bagian Patologi FKH IPB
Persiapan peralatan perkandangan
hewan coba seperti box kandang, alas
kain, tempat makan, dan tempat minum
16 Agustus 2010 Mencit untuk hewan percobaan
dimasukkan ke dalam kandang dan
diistirahatkan selama 2 hari agar dapat
beradaptasi dengan kandang
20 Agustus 2010 Pemberian antihelmintik pada mencit
23-27 Agustus 2010 Pemberian antibiotik pada mencit
28 Agustus 2010 Pemberian antihelmintik pada mencit
30 Agustus-3 September 2010 Pemberian antijamur pada mencit
16 September-16 November 2010 Pemberian ekstrak minyak jintan hitam
dan kombinasi madu pada kelompok
perlakuan
22 November 2010 Nekropsi mencit
29 November 2010 Trimming organ mencit
1-15 Desember 2010 Pembuatan preparat histopatologi
Januari -Februari 2011 Pengamatan preparat histopatologi
60
LAMPIRAN 3 HASIL ANALISIS DATA LIMFONODUS JANTAN
Case Processing Summary
Cases
Included Excluded Total
N Percent N Percent N Percent
Jumlah *
Perlakuan 11 100.0% 0 .0% 11 100.0%
Luas * Perlakuan 11 100.0% 0 .0% 11 100.0%
Jumlah * Sampel 11 100.0% 0 .0% 11 100.0%
Luas * Sampel 11 100.0% 0 .0% 11 100.0%
Jumlah Luas * Perlakuan
Perlakuan Jumlah Luas
Kontrol Mean 6.5000 71.5000
N 2 2
Std. Deviation .70711 1.484921
Pre Mean 6.6667 1.2167E2
N 3 3
Std. Deviation 2.88675 1.258311
Ku Mean 4.0000 2.01002
N 3 3
Std. Deviation .00000 3.119291
Madu Mean 4.3333 3.06672
N 3 3
Std. Deviation 1.52753 6.806861
Total Mean 5.2727 1.84642
N 11 11
Std. Deviation 1.95402 9.732551
61
ANOVA
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Sampel Between
Groups .409 3 .136 .147 .928
Within Groups 6.500 7 .929
Total 6.909 10
Jumlah Between
Groups 16.348 3 5.449 1.747 .244
Within Groups 21.833 7 3.119
Total 38.182 10
Luas Between
Groups 82972.712 3 27657.571 16.477 .001
Within Groups 11749.833 7 1678.548
Total 94722.545 10
Jumlah
Duncan
Perlakuan N Subset for alpha = 0.05
1
Kuraftif 3 4.0000
Madu 3 4.3333
Kontrol 2 6.5000
Preventif 3 6.6667
Sig. .143
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
62
Luas
Duncan
Perlakuan N
Subset for alpha = 0.05
1 2 3
Kontrol 2 71.5000
Preventif 3 1.2167 1.2167
Kuratif 3 2.0100
Madu 3 3.0667
Sig. .200 .060 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
63
LAMPIRAN 4 HASIL ANALISIS DATA LIMFONODUS BETINA
Case Processing Summary
Cases
Included Excluded Total
N Percent N Percent N Percent
Jumlah *
Perlakuan 11 100.0% 0 .0% 11 100.0%
Luas * Perlakuan 11 100.0% 0 .0% 11 100.0%
Jumlah * Sampel 11 100.0% 0 .0% 11 100.0%
Luas * Sampel 11 100.0% 0 .0% 11 100.0%
Jumlah Luas * Perlakuan
Perlakuan Jumlah Luas
Kontrol Mean 5.5000 78.0000
N 2 2
Std. Deviation .70711 1.13137
Pre Mean 6.6667 1.61002
N 3 3
Std. Deviation 1.52753 6.82862
Ku Mean 6.0000 2.51332
N 3 3
Std. Deviation 2.64575 8.25671
Madu Mean 6.6667 3.42672
N 3 3
Std. Deviation 3.51188 1.02632
Total Mean 6.2727 2.20092
N 11 11
Std. Deviation 2.14900 1.105252
64
ANOVA
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Sampel Between
Groups .409 3 .136 .147 .928
Within Groups 6.500 7 .929
Total 6.909 10
Jumlah Between
Groups 2.348 3 .783 .125 .942
Within Groups 43.833 7 6.262
Total 46.182 10
Luas Between
Groups 98857.576 3 32952.525 9.900 .007
Within Groups 23299.333 7 3328.476
Total 122156.909 10
Jumlah
Duncan
Perlakuan N Subset for alpha = 0.05
1
Kontrol 2 5.5000
Ku 3 6.0000
Pre 3 6.6667
Madu 3 6.6667
Sig. .624
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
65
Luas
Duncan
Perlakuan N
Subset for alpha = 0.05
1 2 3
Kontrol 2 78.0000
Pre 3 1.6100 1.6100
Ku 3 2.5133 2.5133
Madu 3 3.4267
Sig. .141 .114 .110
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
66
LAMPIRAN 5 HASIL ANALISIS DATA LIMPA JANTAN
Case Processing Summary
Cases
Included Excluded Total
N Percent N Percent N Percent
Jumlah *
Perlakuan 11 100.0% 0 .0% 11 100.0%
Luas * Perlakuan 11 100.0% 0 .0% 11 100.0%
Jumlah * Sampel 11 100.0% 0 .0% 11 100.0%
Luas * Sampel 11 100.0% 0 .0% 11 100.0%
Jumlah Luas * Perlakuan
Perlakuan Jumlah Luas
Kontrol Mean 6.5000 1.4250
N 2 2
Std. Deviation 2.12132 4.59619
Pre Mean 7.3333 3.2500
N 3 3
Std. Deviation 1.15470 4.68615
Ku Mean 6.0000 4.8767
N 3 3
Std. Deviation 2.64575 7.40968
Madu Mean 6.3333 5.2333
N 3 3
Std. Deviation 1.52753 1.33088
Total Mean 6.5455 3.9027
N 11 11
Std. Deviation 1.69491 1.64331
67
ANOVA
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Sampel Between
Groups .409 3 .136 .147 .928
Within Groups 6.500 7 .929
Total 6.909 10
Jumlah Between
Groups 2.894 3 .965 .261 .851
Within Groups 25.833 7 3.690
Total 28.727 10
Luas Between
Groups 217136.348 3 72378.783 9.576 .007
Within Groups 52909.833 7 7558.548
Total 270046.182 10
Jumlah
Duncan
Perlakuan N Subset for alpha = 0.05
1
Ku 3 6.0000
Madu 3 6.3333
Kontrol 2 6.5000
Pre 3 7.3333
Sig. .471
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
68
Luas
Duncan
Perlakuan N
Subset for alpha = 0.05
1 2 3
Kontrol 2 1.4250
Pre 3 3.2500
Ku 3 4.8767 4.8767
Madu 3 5.2333
Sig. 1.000 .068 .650
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
69
LAMPIRAN 6 HASIL ANALISIS DATA LIMPA BETINA
Case Processing Summary
Cases
Included Excluded Total
N Percent N Percent N Percent
Jumlah *
Perlakuan 11 100.0% 0 .0% 11 100.0%
Luas * Perlakuan 11 100.0% 0 .0% 11 100.0%
Jumlah * Sampel 11 100.0% 0 .0% 11 100.0%
Luas * Sampel 11 100.0% 0 .0% 11 100.0%
Jumlah Luas * Perlakuan
Perlakuan Jumlah Luas
Kontrol Mean 8.0000 1.1500
N 2 2
Std. Deviation .00000 7.07107
Pre Mean 6.3333 2.4533
N 3 3
Std. Deviation 2.08167 7.25282
Ku Mean 6.0000 4.6833
N 3 3
Std. Deviation 1.00000 1.97791
Madu Mean 6.0000 5.6767
N 3 3
Std. Deviation 3.46410 1.67112
Total Mean 6.4545 3.7036
N 11 11
Std. Deviation 2.01810 2.16232
70
ANOVA
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Sampel Between
Groups .409 3 .136 .147 .928
Within Groups 6.500 7 .929
Total 6.909 10
Jumlah Between
Groups 6.061 3 2.020 .408 .752
Within Groups 34.667 7 4.952
Total 40.727 10
Luas Between
Groups 322898.545 3 107632.848 5.208 .033
Within Groups 144666.000 7 20666.571
Total 467564.545 10
Jumlah
Duncan
Perlakuan N
Subset for alpha = 0.05
1
Ku 3 6.0000
Madu 3 6.0000
Pre 3 6.3333
Kontrol 2 8.0000
Sig. .357
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
71
Luas
Duncan
Perlakuan N
Subset for alpha = 0.05
1 2 3
Kontrol 2 1.1500
Pre 3 2.4533 2.4533
Ku 3 4.6833 4.6833
Madu 3 5.6767
Sig. .330 .116 .451
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.