prosiding - peternakan.unpad.ac.id · 9 pengaruh suplementasi tepung daun katuk (sauropus...

208

Upload: others

Post on 15-Nov-2020

16 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi
Page 2: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

PROSIDING

SEMINAR NASIONAL

PETERNAKAN BERKELANJUTAN KE-10

Jatinangor, 13-14 November 2019

“Peranan Teknologi Peternakan Aplikatif dalam Akselerasi

Pencapaian SDGs dan Peranan Perguruan Tinggi dalam

Pemberdayaan Masyarakat”

Reviewer: Ir.Diky Ramdani, S.Pt., M.Anim.St., Ph.D., IPM

Dr. Nurcholidah Solihati, S.Pt., M.Si.

Dr.Ir. Heni Indrijani,S.Pt., M.Si., IPU

Dr. Ir. Marina Sulistyati, M.Si.

Dr.Iin Susilawati,S.Pt., MP

Dr.Wendry Setiyadi Putranto, S.Pt., M.Si

Novi Mayasari, S.Pt., M.Sc., Ph.D

Tim Penyunting : Dr.Ir. Heni Indrijani,S.Pt.,M.Si.,IPU

Dr. Ir. Marina Sulistyati, M.Si.

Dr.Iin Susilawati,S.Pt.,MP

Dr.Wendry Setiyadi Putranto,S.Pt.,M.Si

Steering Committee: Prof. Dr. Ir. Husmy Yurmiaty, M.S.

Dr. Ir. Iman Hernaman, M.Si.

Page 3: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

PROSIDING

SEMINAR NASIONAL

PETERNAKAN BERKELANJUTAN KE-10

Diky Ramdani, dkk

Cetakan pertama, 2020

Penerbit : Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran

Redaksi : Jalan Raya Bandung-Sumedang Km 21 Sumedang 45363

Website : http://peternakan.unpad.ac.id

ISBN : 978-602-74116-7-8

Hak cipta dilindungi undang-undang, dilarang mencetak dan menerbitkan

sebagian atau seluruhnya isi buku dengan cara dan dalam bentuk apapun tanpa

seijin penerbit.

Page 4: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

SUSUNAN KEPANITIAN

Pelindung dan Penasehat

Ketua

:

:

Prof. Dr. Ir. Husmy Yurmiaty, M.S.

Dr. Ir. Iman Hernaman, M.Si.

Diky Ramdani, S.Pt., M.Anim.St., Ph.D.

Sekretaris : Novi Mayasari, S.Pt., M.Sc., Ph.D.

Ganesha Ade Riemas, S.Pt.

Bendahara : Dr. Nurcholidah Solihati, S.Pt., M.Si. Aldena

Bina Salimah, S.Pt.

Kesekretariatan : Raden Febrianto Christi, S.Pt., M.Si.

Andry Pratama, S.Pt., M.P.

Dr. Rahmad Fani Ramadhan, S.Pt.

Ken Ratu Gharizah Alhuur, S.Pt., M.Si.

Beti Nurbainah, S.IP.

Akhmad Hidayatulloh, S.Pt.

Ema Tri Wigiyanti, S.Pt.

Hana Nurlela, S.Pt

Acara : Dr. Ir. Marina Sulistyati, M.Si.

Nurhaeni, S.Sos., M.M.

Dadang Hermawan, S.Sos.

Kinsa Raehan Hasanah, S.Pt.

Muhammad Ifan F., S.Pt.

Itang Purnama, S.Pt.

Artikel dan Prosiding : Dr. Heni Indrijani, S.Pt., M.Si.

Dr. Wendry S. Putranto, S.Pt., M.Si.

Dr. Iin Susilawati, S.Pt., M.P.

Dr. Achmad Firman, S.Pt., M.Si.

Ayu Kamila Haya, S.Pt.

Ina Nuraeni, S.Pt.

Logistik : An An Nurmeidiansyah S., S.Pt., M.Si. Moch.

Ali Mauludin, S.Pt., M.Si.

Zayana Rauna, S.Pt.

Jois Harsa, S.Pt.

Konsumsi : Dr. Ir. Budi Ayuningsih, M.Si.

Dr. Nena Hilmia, S.Pt., M.Si

Namira Dwianti, Spt.

IT, Publikasi, dan Dokumentasi : Dr. Andre Rivianda Daud, S.Pt., M.Si.

Toni Pramulyadi, S.Pt., M.IL.

Bayu Nugraha Saputra, S.Ikom.

Slamet Riyanto, S.I.Pust.

Bambang Kholiq Mutaqin, S.Pt., M.Si

Page 5: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10

dengan tema “Peranan Teknologi Peternakan Aplikatif dalam Akselerasi Pencapaian SDGs

dan Peranan Perguruan Tinggi dalam Pemberdayaan Masyarakat” yang diselenggarakan oleh

Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran pada tanggal 13-14 November 2019 telah dapat

diselesaikan.

Prosiding ini tersusun atas makalah yang merupakan hasil penelitian dan pengabdian

kepada masyakatan dalam bidang produksi ternak, nutrisi dan hijauan makanan ternak,

teknologi hasil ternak serta sosial ekonomi pertakan.

Ucapan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga Seminar

Nasional Peternakan Berkelanjutan Ke-10 berjalan lancer dan Prosiding dapat diterbitkan.

Jatinangor, 27 Januari 2020

Tim Editor

Page 6: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

DAFTAR ISI

No Halaman

1 Program Kemitraan Masyarakat (PKM) Di Kelompok Ternak Kerbau

Rawa (Bubalus bubalis carabauesis) Desa Tampakang Kecamatan

Paminggir Kabupaten Hulu Sungai Utara Kalimantan Selatan

Abd. Malik1, Neni Widaningsih1, dan Siti Erlina1

2-5

2 Karakter Morfologi Rumput Benggala (Panicum maximum CV Purple Guinea) yang ditanam Menggunakan Benih Biji dan PolS

Achmad Fanindi1, Sajimin1, I. Herdiawan1, E. Sutedi1

6-11

3 Teknologi Pembuatan Kolam Terpal Sebagai Alternatif Pertanian –

Perikanan Terpadu Sebagai Wujud Peduli Gambut di Desa Sawahan

Kabupaten Baritokuala

Achmad Jaelani1, Gusti Khairun Ni’mah1, Muh. Syarif Djaya1

12-21

4 Pertambahan Bobot Badan Pedet Belgian Blue dan Persilangannya

Umur 1 Hari hingga 30 Hari

Hapsari, A.A.R1 , Talib, C.2 dan Sianturi, G.S.3

22-25

5 Kecernaan Protein Kasar dan Produksi Mikroba Rumen Secara In vitro

dengan Penambahan Suplemen Tepung Daun Katuk (Sauropus

androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa) dan S-proteinat

Angger Lintang Pungkashaning Rubai1, Dian Wahyu Harjanti2, Anis Muktiani3

26-32

6 Pengaruh Pemberian Gelatin Kulit Ikan Gabus Terhadap Kualitas

Organoleptik Permen Jelly Susu Kambing

Anna Fitriani, Zulfa Elymaizar, Ima Yus Santi

33-41

7 Respon Fisiologis dan Hematologis Kambing Boerka yang

digembalakan

Arie Febretrisiana1, Alfian Destomo1, Ade Syahrul Mubarak1

42-49

8 Faktor Koreksi Bobot Prasapih Domba Garut Berdasarkan Jenis

Kelamin dan Tipe Kelahiran di UPTD-BPPTDK Margawati Garut

Ayu Kamila Hayaa, Asep Anang

50-60

Page 7: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus),

Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan

dan Efisiensi Konversi Heksosa pada Sapi Perah Secara In vitro

Heny Sintya Nengsih1), Anis Muktiani2), Dian Wahyu Harjanti3)*

61-67

10 Pengaruh Pola Pemberian Ransum (Konsentrat-Jerami) yang Berbeda

terhadap PBBH dan Konversi Ransum pada Sapi Potong

Hikmat Angga Restu1, M. Fatah Wiyatna2, Rahmat Hidayat3

68-78

11 Produktivitas dan Daya Adaptasi Rumput Brachiaria Decumbens CV

Basilisk dalam Perbaikan Padang Penggembalaan di Lahan Sub Optimal

Iwan Herdiawan, E. Sutedi dan A. Panindi

79-86

12 Pengaruh Pemberian Gliserol Terhadap Kualitas Organoleptik Edible

Film dari Gelatin Usus Ayam

Jajang gumilar1, Wendry S. Putranto1, Andry Pratama1

87-92

13 Evaluasi Kinerja Pertumbuhan pada Sapi Silangan Belgian blue dan PO

Jakaria1, Edwar3, Mokhamad Fakhrul Ulum2 dan Rudy Priyanto1

93-98

14 Distribusi Pola Warna Sapi Pasundan di Jawa Barat

Johar Arifin, Asep Anang dan Heni Indrijani1)

99-107

15 Studi Awal Performa Kerbau Rawa, Murrah dan Persilangannya (F1) di

Balai Penelitian Ternak

Lisa Praharania), Ria Sari Gail Sianturi dan Yeni Widiawati

108-113

16 Karakteristik Eksterior Kerbau Banten pada Pemeliharaan di Pusat

Pembibitan dan Sentra Peternakan Rakyat

Lisa Praharania), Riasari Gail Sianturi dan Chalid Talib

114-122

17 Pengaruh Penggunaan Produk Fermentasi Limbah Udang dalam

Ransum terhadap Kadar Hemoglobin dan Eritrosit Ayam Sentul

Muhamad Yusro1,a

, Abun2, Kurnia A. Kamil

2

123-131

18 Pengaruh Pemberian Beberapa Jenis Pupuk Kandang Terhadap Produksi

dan Kualitas Rumput Millet (Pennisetum glaucum L.) Sebagai Sumber

Hijauan Pakan Ternak

Sajimin1, A. Fanindi1, I. Herdiawan1 dan Soeharsono1

132-138

Page 8: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

19 Peningkatan Kualitas Beras Siger Berbasis Teknologi ASUH

(Aman, Sehat, Utuh, dan Halal)

Suraya Kaffi Syahpura1), Zulfahmi2)

139-145

20 Pengaruh Penggunaan Produk Fermentasi Limbah Udang dalam

Ransum terhadap Kadar Hematokrit dan Kolesterol Darah Ayam Sentul Syakir Fathul Mubin1, Abun2, Kurnia A. Kamil2

146-154

21 Identifikasi Keragaman dan Reproduksi Kambing

Umi Adiati dan S. Rusdiana

155-163

22 Uji Kinerja Mesin Pencacah Rumput Gajah Untuk Pakan Ternak dengan

Menggunakan Pisau Tipe Reel

Wahyu K Sugandi1, Asep Yusuf1, Muhammad Saukat1

164-173

23 Inovasi Strategi Screening Isolat Bakteri Asam Laktat (BAL) yang

Diisolasi dari Daging dan Susu Sebagai Penghasil Milk Clooting

Enzyme (MCE)

Wendry S Putranto1, Lilis Suryaningsih1, Apon Z Mustopa2, Lita Triratna2,

Andry Pratama1

174-183

24 Pemberian Pakan Aditif untuk Menurunkan Kandungan Sel Somatic

Susu Sapi Perah Y. Widiawati1, E. Wina1 dan A. Anggraeni1

184-192

25 Perbandingan Produksi dan Nilai Ekonomis Plasma Nutfah Itik Lokal

Sumatera Barat dalam Upaya Konservasi

Zasmeli Suhaemi1,a, Febriani2 , Sabrina3 dan Nita Yessirita4

193-200

Page 9: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

1

Program Kemitraan Masyarakat (PKM) Di Kelompok Ternak Kerbau Rawa (Bubalus

bubalis carabauesis) Desa Tampakang Kecamatan Paminggir Kabupaten Hulu Sungai

Utara Kalimantan Selatan

1Faculty of Agriculture, Islamic University of Kalimantan

*Korespondensi: [email protected]

Abstrak

Produktivitas dan Reproduktivitas Kerbau Rawa di Desa Tampakang, Kecamatan Paminggir

Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan, tergolong masih rendah. Selama mereka

beternak, hasil yang dipeoleh kurang memuaskan bahkan mengalami kerugian, karena strategi

pemasaran belum dilaksanakan secara efektif dan efisien. Kondisi tersebut disebabkan karena tingkat

pengetahuan peternak yang masih rendah tentang manajemen pemeliharaan dan strategi pemasaran

kerbau rawa. Oleh karena itu Program Kemitraan Masayarakat(PKM) sangat diperlukan untuk

mengatasi permasalahan tersebut. Khalayak sasaran program ini adalah masyarakat yang belum

produktif secara ekonomi tetapi berhasrat kuat menjadi wirausahawan. Target luaran adalah jasa dan

Teknologi /alat/ produk/barang. Metode yang digunakan adalah penyuluhan dan demonstrasi dan

pendampingan usaha. Kelompok mitra mendapatkan penyuluhan tentang cara meningkatkan

produksi, reproduksi, dan strategi pemasaran kerbau rawa secara efektif dan efisien. Solusi yang

ditawarkan tim pelaksana untuk meningkatkan produksi kerbau rawa adalah dengan penambahan

suplemen Urea Molases Multinutrien Moringa Blok (U3MB) dan untuk meningkatkan

reproduktivitasnya adalah dengan sinkronisasi birahi. Solusi tersebut merupakan implementasi atau

penerapan hasil Penelitian Hibah Dikti tahun anggaran 2018 yaitu skema Penelitian Terapan

Unggulan Perguruan Tinggi (PTUPT) yang telah dilakukan oleh tim pelaksana. Disamping

penyuluhan, kelompok mitra juga diberikan praktik langsung (demonstrasi) cara pembuatan suplemen

Urea Molases Multinutrien Moringa Blok (U3MB) sekaligus pendampingan pemeliharaan usaha

pemeliharaan kerbau rawa dengan menggunakan suplemen Urea Molases Multinutrien Moringa Blok

(U3MB) dan tim pelaksana juga mentransfer teknologi berupa alat press untuk pembuatan Urea

Molases Multinutrien Moringa Blok (U3MB) yang merupakan hasil modifikasi tim pelaksana untuk

memudahkan dalam pembuatan Urea Molases Multinutrien Moringa Blok (U3MB). Kegiatan ini

tentunya akan dapat membuka wawasan peternak, meningkatkan pengetahuan dan keterampilan

peternak dalam beternak kerbau rawa dengan penerapan teknologi secara lebih baik dan benar yang

akhirnya akan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan peternak.

Kata Kunci: PKM, Kerbau Rawa, Kelompok Ternak.

Pendahuluan

Keberhasilan suatu usaha peternakan sangat dipengaruhi oleh tatalaksana yang dilakukan.

Apabila tidak adanya pelaksanaan tatalaksana yang teratur dan baik pada usaha peternakan tersebut

maka tidak akan menghasilkan produksi yang optimal. Manajemen pemeliharaan ternak memegang

peranan yang paling besar dalam keberhasilan usaha peternakan yaitu sebesar 50%, adapun pakan

dan bibit masing-masing mempunyai peranan 30 dan 20%. Itulah sebabnya pengetahuan tentang

manajemen pemeliharaan sangat penting dikuasai.

Kerbau rawa yang dipelihara dengan manajemen yang baik mempunyai prospek yang baik

untuk dikembangkan sebagai penyedia daging karena pada kondisi pakan berkualitas rendah mampu

mencerna serat kasar lebih baik dibandingkan dengan sapi. Persentase karkas yang dimiliki kerbau

Page 10: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

2

juga relatif tinggi yaitu 40-47% (Kristianti, 2006). Oleh karena itu manajemen pemeliharaan kerbau

rawa yang baik dan teratur sangat penting di kuasai, dilakukan dan diterapkan, sehingga

pemeliharaan kerbau tersebut dapat memberikan nilai ekonomis yang potensial untuk meningkatkan

kesejahteraan peternak.

Salah satu alternatif upaya peningkatan produktivitas kerbau rawa guna meningkatkan

pendapatan petani peternak adalah dengan melakukan manajemen pemeliharaan Kerbau rawa yang

baik dan benar, akan tetapi masih banyak petani peternak yang masih memelihara ternaknya secara

tradisional. Sebagai salah satu contoh peternak tidak pernah memberikan pakan suplement berupa

UM3B (Urea Molases Multinutrien Moringa Blok) serta vitamin dan antibiotik. Walaupun kerbau

rawa mempunyai tingkat ketahanan hidup tinggi, tetapi dengan sistem pemelihaan tradisional yang

tidak berorientassi pada kebutuhan ternak menyebabkan populasi kerbau rawa terus menurun.

Di Desa Tampakang Kecamatan Paminggir Kabupaten Hulu Sungai Utara terdapat

kelompok ternak kerbau rawa. Selama mereka beternak, hasil yang dipeoleh kurang memuaskan

bahkan mengalami kerugian. Hal ini disebabkan karena manajemen pemeliharaan yang masih

bersifat tradisonal, dan tingginya angka mortalitas. Tingginya angka mortalitas tersebut disebabkan

karena wabah penyakit dan manajemen pemeliharaan yang masih tradisional yaitu membiarkan

ternak kerbau rawa lepas di area rawa begitu saja tanpa adanya pengecekan kesehatan dan pemberian

vitamin dan antibiotik. Para peternak tidak melakukan hal tersebut dikarenakan kurangnya

pengetahuan peternak akan pentingnya manajemen pemeliharaan kerbau rawa.

Rendahnya Produktivitas dan Reproduktivitas Kerbau Rawa di Desa Tampakang,

Kecamatan Paminggir Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan tersebut disebabkan

karena tingkat pengetahuan peternak yang masih rendah tentang manajemen pemeliharaan dan

strategi pemasaran kerbau rawa. Oleh karena itu Program Kemitraan Masayarakat(PKM) sangat

diperlukan untuk mengatasi permasalahan tersebut

Melihat keadaan tersebut tim pelaksana merasa terpanggil untuk menginformasikan bahkan

memberikan transfer teknologi kepada kelompok tani/ternak tersebut terkait pemeliharaan Kerbau

rawa yang baik dan benar.

Tujuan dan Manfaat

Tujuan

Tujuan kegiatan Ipteks bagi Masyarakat ini adalah:

1. Memberikan informasi bagi masyarakat setempat tentang Pemeliharaan dan Potong Paruh pada

Ayam buras

2. Membantu masyarakat ini dalam Pemeliharaan dan Potong Paruh pada Ayam buras sehingga

dapat meningkatkan pendapatannya.

Page 11: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

3

Manfaat

Hasil dari Kegiatan ini diharapkan dapat bermanfaat:

1. Bagi masyarakat

Bertambahnya pengertian dan pengetahuan tentang Tatalaksana Pemeliharaan dan Potong

Paruh pada Ayam buras sehingga dapat menambah pendapatan keluarga.

2. Bagi pelaksana kegiatan

Memperoleh kesempatan untuk mengamalkan ilmu bagi kepentingan masyarakat sebagai

bentuk nyata dari pelaksanaan dharma ketiga dari Tridharma Perguruan Tinggi.

3. Bagi Pemerintah

Membantu dalam rangka penyuluhan dan demonstrasi tentang Pemeliharaan dan Potong Paruh

pada Ayam buras

Metode Penelitian

Target Kegiatan

Anggota khalayak sasaran yang dilibatkan dalam kegiatan ini adalah:

a. Masyarakat desa setempat sebagai sasaran kegiatan.

b. Tokoh masyarakat sebagai penggerak masyarakat yang diharapkan mampu mengajak

masyarakat untuk melaksanakan Tatalaksana Pemeliharaan dan Potong Paruh pada Ayam buras

dengan baik dan benar.

c. Penyuluh Pertanian Lapangan sebagai mediator penyaluran teknologi modern.

Luaran Kegiatan

Luaran kegiatan Ipteks bagi Masyarakat ini adalah:

1. Jasa

Berupa penyuluhan dan demonstrasi tentang tatalaksana pemeliharaan dan potong paruh pada

ayam buras.

2. Teknologi tepat guna/alat

yaitu dengan mentransfer teknologi berupa alat potong paruh (‘debeaker‘ hasil modifikasi tim

pelaksana IbM).

Metode Pelaksanaan

Metode yang digunakan dalam kegiatan ini adalah:

1. Penyuluhan tentang tatalaksana pemeliharaan ayam buras terutama cara potong paruh dengan

penerapan teknologi yang baik dan benar

2. Demonstrasi Pemeliharaan dan Potong Paruh pada Ayam buras.

3. Mentransfer teknologi berupa alat potong paruh (debeaker) yang di modifikasi khusus,

sederhana dan murah (debeaker hasil modifikasi dari tim pelaksana).

Page 12: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

4

Kedua kelompok baik ketua beserta anggotanya mengikuti pembelajaran Teori dengan rasio

pertemuan sebesar 20 % dan praktik dengan rasio pertemuan 80 %.

Materi Kegiatan

Materi kegiatan yang diberikan kepada kelompok mitra adalah:

a. Penyuluhan tentang:

- Tatalaksana pemeliharaan ayam buras mulai bibit sampai produksi.

- Potong Paruh pada ayam buras

- Manajemen Pemasaran Ayam buras

b. Perkenalan alat potong paruh (Debeaker dan Debeaker modifikasi) dan demonstrasi

penggunaan alat tersebut

c. Demonstrasi pemeliharaan Ayam buras

d. Evaluasi, berupa tanya jawab/diskusi dengan kelompok mitra untuk memecahkan potret

permasalahan lain yang terekam yang di hadapi peternak.

Hasil Dan Pembahasan

Analisis Evaluasi dan Hasil

Berdasarkan hasil pengamatan terhadap pelaksanaan penyuluhan yang dilakukan tim

pelaksana IbM dapat diketahui bahwa peserta/mitra IbM sangat tertarik dan antusias dengan adanya

kegiatan IbM ini, hal ini terlihat dari banyaknya permasalahan atau pertanyaan yang diajukan dan

keinginan yang besar untuk memelihara/beternak kembali pasca kegiatan ini.

Dari hasil tanya jawab dapat diketahui bahwa kelompok mitra tidak mengetahui tentang alat

potong paruh (debeaker) sehingga mereka belum pernah melakukan potong paruh pada ternaknya.

Kelompok mitra sangat antusias ketika Tim pelaksana IbM memperkenalkan alat potong paruh. Alat

tersebut memang mempunyai kelebihan dan kelemahan masing-masing. Namun pada prinsifnya

mempunyai Tujuan dan manfaat yang sama yaitu:

1. Mengefisiensikan penggunaan pakan. Ayam yang dipotong paruhnya tidak akan pilih-pilih

makanan sedang pada ayam yang tidak dipotong paruhnya akan lebih memilih jenis makanan

yang berbutir (crumble dan pellet) daripada jenis tepung (mash). Sehingga kebanyakan

makanan yang tersisa adalah jenis tepung.

2. Mengeliminasi sifat kanibal, baik kanibal antar ayam atau kanibal makan telurnya. Sifat

kanibal antar ayam dapat dicegah dengan cara isolasi atau memisahkannya. Sedangkan

kanibal memakan telur merupakan sifat genetik yang akan muncul apabila sifat fenotif

mendukung seperti kepadatan kandang yang terlalu tinggi, keterlambatan pemberian pakan,

ventilasi kurang, dan pakan yang kekurangan NaCl dan lain sebagainya.

3. Meningkatkan pertumbuhan dan produksi telur, dengan efisiensi penggunaan pakan maka

laju pertumbuhan diharapkan meningkat pula.

Di samping memberikan manfaat, potong paruh juga mempunyai sisi negatif seperti:

Page 13: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

5

1. Menimbulkan stress, karena setelah beberapa waktu pelaksanaan potong paruh unggas akan

mengeluarkan darah walaupun jumlahnya kecil dan ini menghalanginya untuk makan dan

aktifitas lainnya.

2. Meningkatkan mortalitas, karena unggas yang stress tidak menutup kemungkinan akan

sampai menyebabkan kematian kalau penanganan pasca potong paruh kurang mendapat

perhatian.

Walaupun potong paruh mempunyai sisi negatif, akan tetapi kelompok mitra tidak merasa khawatir

lagi, karena mereka telah membuktikan sendiri bahwa ayam yang dipotong paruhnya akan

menampilkan produksinya lebih baik daripada ayam yang tidak dipotong paruhnya.

Kesimpulan Dan Saran

Kesimpulan

Berdasarkan hasil kegiatan yang telah dilaksanakan dapat disimpulkan bahwa:

a. Pengetahuan mitra menjadi meningkat, mitra mengetahui bagaimana tatalaksana pemeliharan

usaha Ayam Buras yang baik dan benar

b. Mitra dapat menggunakan alat potong paruh (debeaker)

c. Mitra mengetahui tentang strategi pemasaran ayam buras yang efektif dan efisien

Saran

Masyarakat kecamatan Pengaron Khususnya dan masyarakat di Kalimantan Selatan

umumnya agar dapat terus mengembangkan usaha peternakannya untuk meningkatkan pendapatan

keluarga.

Daftar Pustaka

Direktorat Jenderal Bina Produksi Produksi Ternak. 2003. Statistik Peternakan Departemen

Pertanian Republik Indonesia. Jakarta.

Indarto, P.,A.Zakaria, Muharlien, E.Sudjarwo dan Wiharto. 2006. Manajemen Ternak Unggas.

Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya. Malang.

Murtidjo, B.A. 1992. Mengelola Ayam Buras. Kanisius. Yogyakarta.

Nurjana, G; Ruwendra,R ;Zaynanto,S; Suprapto, H; Dedy,K; Furqon,O; Indra,P; Mangunkusuma dan

Nuriyanto, R. 1983. Pedoman Praktis Pemeliharaan Ayam Petelur dan Pedaging/Pejantan.

PT.Pyridam. Jakarta.

Rasyaf, M., 1992. Memelihara Ayam Kampung. Penebar Swadaya. Jakarta.

Rasyaf, M., 1992. Memelihara Ayam Buras. Kanisius. Yogyakarta.

Supriyatna,E ; U Atmomarsono dan R.K. Sudjana. 2005. Ilmu Dasar Ternak Unggas. Penebar

Swadaya. Jakarta.

Susilorini,T.E; M.E.Sawitri dan Muharlien. 2009. Budidaya 22 Ternak Potensial. Penebar Swadaya.

Jakarta.

Page 14: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

6

Karakter Morfologi Rumput Benggala (Panicum maximum CV Purple Guinea) yang

ditanam Menggunakan Benih Biji dan PolS

Achmad Fanindi

1, Sajimin

1, I. Herdiawan

1, E. Sutedi

1

1Balai Penelitian Ternak

email: [email protected]

Abstrak

Reproduksi rumput benggala sebagian besar dilakukan secara apomiksis, sehingga keturunannya akan

memiliki karakter yang sama dengan induknya. Sifat apomiksis ini menjadi penting untuk

menentukan metodologi seleksi dalam kegiatan pemuliaan. Oleh karena itu perlu dilakukan

pengamatan karakter morfologi rumput benggala yang diperbanyak menggunakan asal benih dari

generatif (biji) dan vegetatif (pols) sebagai salah satu dasar untuk menetapkan metode pemuliaan yang

tepat bagi rumput benggala. Penelitian dilakukan di rumah kaca Balai Penilitian Ternak Ciawi Bogor,

menggunakan rancangan acak lengkap, dengan 10 ulangan, perlakuan berupa 2 asal bahan tanam,

yaitu bahan tanam yang berasal dari pols (vegetatif) dan bahan tanam yang berasal dari biji

(generatif). Tanaman yang digunakan adalah rumput benggala kultivar Purple guinea yang ada di

koleksi Balai Penelitian Ternak (BPT) Ciawi. Parameter yang diamati adalah morfologi tanaman,

waktu bunting, berbunga, waktu produksi biji dan produksi biji per malai (rataan di 3 malai/rumpun).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir semua karakter morfologi yang diamati tidak

menunjukkan perbedaan antara tanaman yang berasal dari benih biji maupun benih pols. Perbedaan

yang nyata hanya terjadi pada tinggi saat berbunga dan panjang kuntum bunga. Fase generatif yang

ditandai umur bunting, awal berbunga, berbunga sempurna dan umur produksi biji menunjukkan

perbedaan yang nyata antara tanaman yang berasal dari biji dan pols, dimana tanaman yang berasal

dari pols memiliki umur yang lebih lama dibandingkan tanaman yang berasal dari biji. Hal ini

menunjukkan bahwa tidak adanya perbedaan karakter morfologi secara signifikan, bisa menjadi

indikasi awal bahwa rumput benggala kemungkinan besar bersifat apomiksis. Perbedaan dalam umur

reproduksi, mungkin lebih disebabkan adanya pengaruh fisiologis tanaman.

Kata kunci: Panicum maximum, benih, karakter morfologi, apomiksis

Pendahuluan

Rumput benggala kultivar guinea, dapat berkembang hampir di seluruh wilayah di Indonesia.

Memiliki produksi yang tinggi (6,7-15 ton bahan kering/har/tahun) dengan persentase daun sekitar

75%, dan meningkat menjadi 90% pada musim hujan (Hare et al. 2009), mudah dalam pemanenan,

dan bisa tumbuh kembali setelah dilakukan pemotongan, membutuhkan pestisida yang relatif sedikit

dan manajemen budidaya tidak intensif. Rumput benggala relatif tahan kering dan berkembang luas

pada berbagai tipe tanah, termasuk juga toleran pada naungan, sehingga dapat tumbuh dibawah

naungan pohon atau semak (Andrade et al. 2004).

Rumput Benggala (Panicum maximum) sebagian besar tetraploid dengan 2n=32 kromosom,

dimana reproduksinya dengan fakultatif apomixis. Dua bentuk dari reproduksi apomixsis, yaitu

apospory dan pseudogamy dapat secara jelas tergambar pada spesies rumput benggala (Warmke,

1954), keduanya menyebabkan pembentukan biji tanpa melakukan pembuahan atau fertilisasi,

sehingga secara genetik akan identik dengan induknya. Rumput ini pada dasarnya memiliki potensi

produksi biji yang tinggi, namun dilapangan produksi bijinya rendah karena mudah rontok dan

Page 15: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

7

berukuran kecil, selain itu daya kecambahnya rendah (Sukhchain and Sidhu, 1989). Sehingga di

peternak, kebanyakan rumput ini diperbanyak menggunakan pols (vegetatif), walaupun rumput ini

bisa diperbanyak menggunakan biji (generatif).

Melihat potensi rumput benggala ini dan cara bereproduksinya secara apomiksis fakultatif,

serta metode penanaman di peternak yang menggunakan pols dan biji, maka perlu dilakukan

penelitian karakter agronomi rumput benggala kultivar Purple guinea menggunakan asal benih secara

generatif (biji) dan vegetatif (pols) untuk melihat bagaimana produktivitasnya, sehingga dapat

ditentukan benih apa yang dapat digunakan untuk menanam rumput benggala kultivar purplr guinea.

Materi dan Metode

Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap, dengan 10 ulangan, perlakuan berupa

dua jenis benih, yaitu jenis benih dari biji dan jenis benih dari pols. Tanaman yang digunakan adalah

Panicum maximum cv Purple yang telah dikoleksi dan dievaluasi di Balai Penelitian Ternak (BPT)

Ciawi. Peubah yang diamati adalah morfologi tanaman, sifat reproduksi dan produksi biji per malai,

pengamatan reproduksi dilakukan pada 3 malai setiap potnya. Selanjutnya data yang diperoleh

dianalisa dan dilanjutkan dengan uji t.

Penelitian dilakukan di rumah kaca Balai penelitian ternak Ciawi. Alat yang digunakan

berupa pot berdiameter 40 cm, menggunakan media tanam berupa tanah dari kebun percobaan Ciawi

(Latosol). Benih yang digunakan adalah biji dan pols rumput benggala kultivar Purple guinea yang

berada di koleksi Balai penelitian ternak bagian agrostologi. Benih berasal dari biji, sebelum

dilakukan penanaman di pot, terlebih dahulu dilakukan persemaian biji di cawan petri, bila radicula

mencapai panjang + 2 cm dipindahkan ke polybag, setelah umur 1 bulan (jumlah daun 5 helai)

kemudian dipindahkan ke pot. Sedangkan benih yang berasal dari pols, terlebih dahulu dicari pols

yang ukuran tinggi dan jumlah daunnya sama dengan tanaman yang berasal dari biji, kemudian

ditanam di pot. Setelah tanaman dalam kondisi stabil di pot dilakukan pemupukan menggunakan

pupuk buatan dan pupuk kandang. Dosis Urea 100 kg/ha, TSP 150 g/ha, KCl 100 kg/ha dan pupuk

kandang setara dengan 10 ton/ha,

Page 16: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

8

Hasil dan Pembahasan

Analisis tanah penelitian dianalisis di Balai Tanah dan disajikkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Analisa tanah sebagai media tanam rumput Benggala kultivar Purple Guinea.

No Parameter Nilai Satuan Nilai Standar

1 Tekstur Tanah

Pasir (%)

Debu (%)

Liat (%)

27

26

47

2 pH (H2O)

(KCl)

6,2

5,7 Agak masam

3 C-organik (%) 1,82 Rendah

4 N-organik (%) 0,14 Rendah

5 C/N 13 Tinggi

6 P2O5 Olsen (ppm) 10,9 Sedang

7 K2O Morgan (ppm) 14,21

8 Susunan Kation (cmol/kg)

Ca

Mg

K

Na

13,03

3,87

2,79

1,17

Tinggi

Tinggi

Sangat tinggi

Sangat tinggi

9 Kapasitas Tukar Kation (cmol/kg) 11,89 Rendah

10 Kejenuhan Basa >100 Sangat tinggi Hasil analisis Balai Penelitian Tanah Bogor

Media tanah yang digunakan pada penelitian ini disajikan pada Tabel 1. Hasil analisis

menunjukkan bahwa kondisi masih tergolong agak masam. Kondisi tanah yang masam ini mewakili

kondisi lahan yang tersebar luas di Indonesia. Luas lahan kering masam di Indonesia yaitu 27,5 juta

ha dengan penyebarannya terdapat di Sumatera, Kalimantan dan Papua (Hidayat dan Mulyani, 2004).

Pada tanah masam terdapat kendala secara kimia dan interaksi di antara mereka membatasi

pertumbuhan tanaman, misalnya, di tanah pH rendah, biasanya ion hidrogen yang mempengaruhi

pertumbuhan tanaman tidak bersifat toksis, tetapi yang lainnya bersifat toksis, seperti aluminium (Al)

dan mangan, serta kekurangan fosfor, nitrogen, kalium, kalsium, magnesium, dan molibdenum

(Takita et al. 1999). Kondisi tanah ini memerlukan pemupukan, terutama pupuk kandang dan

pengapuran, selain itu untuk mengoptimalkan pertumbuhan rumput benggala dilakukan juga

pemupukan menggunakan pupuk kimia dengan dosis yang telah ditentukan. Perlakuan ini diharapkan

dapat mnjadikan rumput benggala tumbuh secara optimal dan menunjukan potensi pertumbuhannya

secara optimal juga.

Page 17: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

9

Tabel 2. Rataan karater morfologi rumput benggala kultivar Purple guinea yang menggunakan benih

dari biji dan pols

No Karakteristik

Kultivar

Purple Guinea asal

biji

Purple Guinea asal

pols

1 Sifat Tumbuh Tegak (17,70o) Tegak (17,13

o)

2 Warna daun Hijau Hijau

3 Tinggi Tanaman 187,90 194,90

4 Tinggi tanaman saat muncul kuntum

bunga

144,50* 182,02*

5 Daun bendera pada muncul bunga 15,78 11,52

6 Lebar daun bendera 1,43 1,44

7 Panjang batang terpanjang 215,93 232,15

8 Panjang kuntum bunga 42,33* 51,19*

9 Jumlah spikelet 26,33 28,56

10 Tekstur permukaan daun Kasar Kasar

11 Tepi daun Kasar Kasar

12 Warna tepi daun Putih Putih

13 Lebar daun 2,91 2,91

14 Jumlah anakan 34,20 28,40

15 Tekstur batang Tidak berbulu Tidak berbulu

16 Diameter batang 0,33 0,33

17 Warna batas buku

- Atas

- Bawah

Hijau

Hijau keunguan

Hijau

Hijau keunguan

18 Tekstur batas buku Tidak berbulu Tidak berbulu

19 Lebar batas buku 0,35 0,34

20 Warna putik Ungu Ungu

21 Panjang Ruas 17,90 18,81

22 Warna kaki Ungu Ungu

Karakter morfologi rumput benggala kultivar Purple guinea disajikan pada Tabel 2. Hasil

peneltian menunjukkan bahwa hampir semua karakter morfologi yang diukur menunjukan perbedaan

yang tidak nyata (P>0.05) antara tanaman yang ditanam menggunakan benih biji dan pols. Perbedaan

nyata (P<0.05) hanya terjadi pada karakter tinggi tanaman saat muncul bunga dan panjang kuntum

buga. Karakter morfologi yang tidak berbeda antara tanaman yang menggunakan benih biji dan pols,

disebabkan beberapa faktor, diantaranya adalah sifat apomiksis pada reproduksi rumput benggala

(Savidan 1989). Reproduksi secara apomiksis ini akan menghasilkan keturunan yang identik secara

genetik dengan induknya. Berbeda dengan reproduksi secara generatif yang akan menghasilkan

keragaman pada keturunannya (Hand dan Koltunow 2014). Karakter morfologi yang tidak berbeda

pada rumput benggala kultivar Gatton, juga dilaporkan Fanindi et.al (2014). Tanaman yang

bereproduksinya tidak secara apomiksis rata-rata menunjukkan perbedaan secara morfologi antara

tanaman yang ditanam secara generatif dan vegetatif, Pasaribu (2016) melaporkan bahwa karakter

morfologi pada tanaman Eucalyptus sp, menunjukkan perbedaan yang nyata pada karakter morfologi

tanaman yang ditanam secara generatif dan vegetatif. Perbedaan pertumbuhan pada tanaman yag

Page 18: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

10

diperbanyak secara generatif dan vegetatif juga dapat dilihat pada tanaman pasak bumi (Fitriani et.al

2017).

Tabel 3. Rataan umur generatif dan produksi biji rumput benggala kultivar Purple guinea yang

menggunakan benih dari biji dan pols

No Karakteristik

Benih kultivar Purple Guinea

biji pols

1 Umur bunting (HST) 42,20* 63,92*

2 Umur mulai berbunga (HST) 44,80* 67,80*

3 Umur bunga sempurna (HST) 52,90** 76,20**

4 Umur panen biji (HST) 90,13** 115,57**

5 Produksi Biji (g) 2,19 1,68

6 Produksi biji bernas (g) 1,22 1,05

7 Produksi biji hampa (g) 0,57 0,39

Benih yang berasal dari biji dan pols, berpengaruh nyata pada fase generatif, yaitu umur

bunting, umur mulai berbunga, berbunga sempurna dan umur panen biji. Rumput benggala yang

berasal dari pols memiliki umur bunting, mulai berbunga, bunga sempurna dan produksi biji,lebih

lama jika dibandingkan rumput benggala asal biji. Sedangkan produksi biji tanaman yang berasal dari

pols dan biji tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Beberapa faktor berpengaruh terhadap fase

generatif pada tanaman, diantarnya adalah adanya faktor interaksi antara genetik dengan lingkungan

(Saragih et al. 2013). Selain itu pengaruh adanya perbedaan benih juga berpengaruh terhadap fase

generatif suatu tanaman. Tanaman yang diperbanyak melalui perbanyakan vegetatif biasanya akan

lebih cepat bereproduksi dibandingkan menggunakan biji (Pudjiono 1996). Namun demikian pada

penelitian ini, umur bereproduksi pada tanaman yang diperbanyak menggunkan biji lebih cepat jika

dibandingkan dengan tanaman yang diperbanyak melalui pols. Hal ini karena terdapat beberapa

tanaman yang masih belum menunjukkan pembungaan pada tanaman yang diperbanyak menggunkan

pols. Hal ini harus dipelajari lebih lanjut, terutama dengan mengamati tanaman-tanaman yang lambat

dalam berbunga. Tanaman yang lambat berbunga ini bagi tanaman pakan, sangat berguna, karena

akan cenderung memiliki produksi dan kaualitas yang baik sebagai TPT. Selain itu hasil penelitian

pada rumput benggala kultivar Gatton menunjukkan bahwa sebelum dilakukan pemangkasan

(treming) tanaman yang diperbanyak menggunakan pols lebih cepat berbunga, namun setelah

dilakukan pemangkasan (treeming) tanaman yang menggunakan pols akan lebih lambat jika

dibandingkan tanaman yang diperbanyak menggunakan biji (Fanindi et al. 2014)

Kesimpulan

Karakter agronomi tanaman rumput benggala sebagian besar tidak berbeda antara tanaman

yang ditanam menggunakan biji dan pols. Begitu juga dengan produksi bijinya, perbedaan terjadi

pada fase generatif tanaman, yaitu umur bunting sampai produksi biji, dimana tanaman yang

Page 19: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

11

menggunakan biji lebih cepat mencapai fase generatif jika dibandingkan dengan tanaman yang

menggunkan pols. Sehingga pemilihan benih yang akan digunakan dapat disesuaikan dengan tujuan

yang diinginkan.

Daftar Pustaka

Andrade CMS, Valentim JF, Carneiro JC, Vaz FA. 2004. Crescimento de gramíneas forrageiras

tropicais sob sombreamento. Pesquisa Agropecuária Brasileira. 39 (3):263-270

Fanindi A, Sutedi E. 2014. Karakter morfologi rumput Benggala (Panicum maximum Cv Gatton)

yang ditanam menggunakan jenis benih berbeda. JITV 19(1):1-8

Fitriani S, Astiani D, Wahdina 2017. Perbanyakan tanaman pasak bumi (eurycoma longifolia jack)

secara generatif dan vegetatif di persemaian. JURNAL HUTAN LESTARI . 5 (1): 113 - 120

Hare MD, Phengphet S, Songsiri T, Sutin N, Stern E. 2013. Effect of cutting interval on yield and

quality of two Panicum maximum cultivars in Thailand . Tropical Grasslands – Forrajes

Tropicales 1: 87−89.

Hidayat A, Mulyani A. 2004. Lahan Kering untuk pertanian. Sumberdaya Lahan di Indonesia dan

Pengelolaannya. Puslittanak. Badan Litbang Pertanian.Bogor.1-34

Pasaribu DI, Mardhiansyah M, Sulaeman R. 2016. Kualitas pertumbuhan eucalyptus sp. dari

perbanyakan vegetatif dan generative. JomFaperta 3 (1): 1-6.

Pudjiono S, 1996. Dasar-dasar Umum Pembuatan Stek Pohon Hutan. Informasi Teknis No. 1/1996.

Balai Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan.

Yogyakarta

Saragih SHY, Bayu ES, Bangun MK. 2013. Karakter vegetatif dan generatif beberapa varietas padi

sensitif aluminium. Jurnal Online Agroekoteknologi 1(4):1374-1383

Savidan YH, Jank L, Costa JCG, do Valle CB. 1989. Breeding Panicum maximum in Brazil. 1.

Genetic resources,modes of reproduction and breeding procedures. Euphytica 41:107-112.

Sukhchain, Sidhu BS. 1992. Correlation and path coefficients and analysis for reproductive traits in

Guinea grass. Euphytica. 60:57-60.

Takita E, Koyama H, Hara T. 1999. Organic acid metabolism in aluminum-phosphate utilizing cells

of carrot (Daucus carota L.). Plant Cell Physiol. 40: 489–495

Warmke HE. 1954 Apomixis in Panicum maximum. Amer. J. Bot. 41: 5-11.

Page 20: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

12

Teknologi Pembuatan Kolam Terpal Sebagai Alternatif Pertanian – Perikanan

Terpadu Sebagai Wujud Peduli Gambut di Desa Sawahan Kabupaten Baritokuala

Technology of Making Tarpaulin Ponds as an Alternative of Agriculture - Integrated

Fisheries as a Form of Peat Concern in Sawahan Village, Baritokuala Regency

Achmad Jaelani1, Gusti Khairun Ni’mah

1, Muh. Syarif Djaya

1

1 Fakultas Pertanian Universitas Islam kalimantan Muhammad Arsyad Al Banjari, Banjarmasin

*Korespondensi: [email protected]

Abstrak

Desa peduli gambut disandang oleh Desa Sawahan Kecamatan Cerbon kabupaten Barito Kuala. Desa

ini dihuni oleh para petani transmigran asal pulau Jawa. Petani yang tinggal hingga sekarang terdiri

atas 34 keluarga yang semuanya adalah petani. Luas lahan Desa Sawahan adalah 5.950 ha yang

sebagian besar merupakan lahan gambut dengan pH berkisar 3,5 – 4 ha. Dengan kondisi seperti ini

hanya petani tangguh yang bisa bertahan karena perlu adanya pengaturan tata air dan pemilihan

tanaman serta ikan dan ternak yang cocok dengan kondisi tersebut. Upaya pertanian terpadu yang

tetap mengakomodir kearifan lokal dengan tetap peduli terhadap gambut. Pertanian terpadu perikanan

dan pertanian bisa dilakukan dengan Pembuatan kolam terpal dalam upaya memodifikasi kolam yang

sesuai kondisi gambut sangat tepat dilakukan. Beberapa kolam bisa juga digunakan sebagai reservoir

air untuk penyiraman tanaman hortikultura. Namun perlu upaya penyesuaian kondisi air gambut

dengan penambahan kapur agar diperoleh pH kolam yang mendekati netral sehingga ikan patin dan

nila yang tergolong yahan pada kondisi air di lahan gambut dapat dibudidayakan. Adapun Tanaman

hortikultura juga dapat berlanjut karena keberadaan air yang sudah dinetralkan untuk tanaman

sayuran. PKM ini dilaksanakan mulai Juni hingga September 2019 dengan adanya Penyuluhan model

PRA (Participatory Rural Appraisal), dan demonstrasi. Dengan adanya PKM initerdapat penghasilan

tambahan petani menjadi meningkat karena petani bisa mengatasi kendala lahan gambut dalam

budidaya ikan dan tanaman secara terpadu.

Kata Kunci: Pertanian terpadu, peduli gambut, kolam terpal, hotikultura

Abstract

Peat care village is carried by Sawahan Village, Cerbon District, Barito Kuala Regency. The village

is inhabited by transmigrant farmers from Java. Farmers who have lived up to now consist of 34

families who are all farmers. The area of Sawahan Village is 5,950 ha, which is mostly peat land with

a pH ranging from 3.5 - 4 ha. With these conditions only tough farmers can survive because there is a

need for water regulation and selection of plants and fish and livestock that are suitable for these

conditions. Integrated agricultural efforts that continue to accommodate local wisdom while still

caring for peat. Integrated fisheries and agriculture can be done with the creation of tarpaulin ponds

in an effort to modify the ponds in accordance with peat conditions is very appropriate. Some ponds

can also be used as a water reservoir for watering horticultural plants. However, it is necessary to

adjust the condition of peat water by adding lime to obtain a pool pH that is near neutral so that

catfish and tilapia which are classified as yah in the water conditions in peatlands can be cultivated.

Horticultural crops can also continue because of the presence of neutralized water for vegetable

crops. This PKM is held from June to September 2019 using the Participatory Rural Appraisal, and

demonstration methods. With the existence of an integrated PKM, farmers' additional income can be

increased because farmers can overcome peatland constraints in integrated fish and crop cultivation.

Keywords: Integrated agriculture, caring for peat, tarpaulin ponds, horticulture

Page 21: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

13

Pendahuluan

Desa Sawahan adalah salah satu desa Transmigrasi di Kecamatan Cerbon Kabupaten Barito

Kuala Provinsi Kalimantan Selatan. Desa ini mempunyai hamparan sawah yang sangat luas dan

masyarakatnya 90% bekerja sebagai petani. Desa Sawahan memiliki luas wilayah 5.950 Ha dengan

lahan produktif sebesar 1.200 Ha yang sebagian besar berupa lahan gambut. Kelompok ―Tani

Makmur‖ adalah Kelompok Tani di Desa Sawahan Kecamatan Cerbon Kabupaten Barito Kuala

dengan jumlah 34 Kepala Keluarga yang sebagian besar adalah Transmigran. Namun sekarang sudah

berkurang hampir sepertiga penduduknya yang masih bertahan di Desa karena kondisi alam yang

cukup berat, Sehingga yang bertahan adalah benar-benar petani yang ulet. Akhir tahun 2007 mitra

telah mencoba bertani tanaman padi dan sayuran dan sebagai hasil produksinya berupa padi siam unus

dengan masa panen 2 kali setahun, dan beberapa jenis sayuran.

Lahan Desa Sawahan terletak di dekat aliran sungai pasang surut yang mengandung pH

dengan tingkat keasaman tinggi berkisar antara 3,5 – 4,5. Lahan didaerah tersebut termasuk jenis

lahan gambut (berwarna coklat hitam), sehingga lahan seperti ini tidak semua tanaman, ternak dan

ikan bisa tumbuh/hidup terkecuali dengan tanaman, ikan, yang bisa beradaptasi dengan kondisi ini.

Lahan gambut memiliki kesulitan tersendiri dalam pengelolaanya. Terdapat kendala dalam

pengelolaan pertanian peternakan dan perikanan, salah satunya adalah tingkat keasaman air di lokasi

ini.

Untuk hal tersebut diperlukan terobosan baru agar masalah ini bisa diatasi dan petani mampu

menanam, ikan dan ternak yang spesifik lahan gambut. Beberapa hasil percobaan Fakultas Pertanian

Uniska yang mencobakan beberapa tanaman yang adaptif dengan kondisi lahan gambut seperti Kweni

Anjir, Limau Kuit, Rambutan Antalagi dan kasturi. Selain tanaman buah, juga terdapat tanaman

hortikultura yang sudah dicobakan di lahan gambut ini adalah kacang panjang, terung ungu, pare,

cabe tiyung (cabe mini yang sangat pedas). Untuk Ikan ada ikan haruan (gabus) dan patin.

Budidaya ikan di lahan gambut bukan suatu masalah asalkan bisa mengatur tata air kolamnya.

Adapun upaya tersebut adalah dengan pembuatan kolam terpal dimana lumpur endapan pada kolam

terpal bisa digunakan sebagai pupuk organik tanaman sayuran.

Tujuan Kegiatan

1. Memberikan informasi bagi petani tentang pengelolaan pertanian terpadu peduli gambut

dengan pembuatan kolam terpal yang dikombinasikan dengan budidaya tanaman hortikultura

yang tepat untuk kondisi lahan gambut

2. Membantu petani dalam pemanfaatan potensi lahan gambut untuk kegiatan pertanian terpadu

namun tetap mengakomodir peduli akan lahan gambut.

Page 22: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

14

Manfaat Kegiatan

1. Bagi Petani/Peternak, bertambah pengertian dan pengetahuan tentang budidaya ikan dengan

menggunakan kolam terpal dengan kombinasi tanaman hortikultura yang tepat pada kondisi

lahan gambut.

2. Bagi Pelaksana Kegiatan, memperoleh kesempatan untuk mengamalkan ilmu bagi kepentingan

masyarakat sebagai bentuk nyata tri Dharma Perguruan Tinggi

3. Bagi Pemerintah, membantu dalam usaha penyuluhan dan demontrasi tentang optimalisasi

lahan gambut melalui budidaya pertanian terpadu.

Khalayak Sasaran

1. Pengurus Kelompok Ternak Tani Makmur Desa Sawahan Kecamatan Cerbon Kabupaten Barito

Kuala yang diharapkan mampu mengajak masyarakat petani/peternak lain diluar anggota

kelompok agar tertarik ikut mengusahakan budidaya ikan pada kolam terpal dan budidaya

tanaman hortikultura di lahan gambut.

2. Penyuluh Pertanian lapangan (PPL)/staf teknis sebagai mediator penyaluran teknologi

3. Masyarakat Kelompok Tani Makmur Desa Sawahan Kecamatan Cerbon Kabupaten Barito

Kuala.

Materi dan Metode Pelaksanaan

Solusi yang ditawarkan

Rencana kegiatan yang akan dilakukan untuk mengatasi persoalan mitra adalah:

1. Pelatihan teoritis (metode kelas) teknik pembuatan kolam terpal pada lahan gambut serta

pemilihan tanaman hortikultura yang cocok dibudidayakan pada lahan gambut.

2. Pendampingan terhadap mitra selama kegiatan.

3. Evaluasi kegiatan keberhasilan program PKM dengan indikator sebagai berikut:

a. Mitra mampu memelihara ikan pada kolam terpal di lahan gambut, memilih dan

mengindentifikasi bibit tanaman yang baik dan tahan kondisi pada lahan gambut secara

terpadu

b. Tanaman yang dipelihara mitra memperlihatkan peningkatan produksi dan tumbuh baik.

c. Kualitas hasil budidaya ikan dan tanaman hortikultura di lahan gambut diterima pasar

dengan baik.

Lokasi dan Waktu Kegiatan

Kegiatan PPM ini berlokasi di Desa Sawahan Kecamatan Cerbon Kabupaten Barito Kuala yang

merupakan desa Transmigrasi. Kegiatan dilaksanakan mulai bulan Juni hingga September 2019.

Page 23: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

15

Metode Pelaksanaan Kegiatan

Metode yang digunakan dalam kegiatan pengabdian ini sangat komprehensif, dimana kegiatan

yang dibuat dan dilaksanakan dijalankan sesuai tahapan yang runut dan membantu petani/peternak

atau peserta kegiatan memahami visi kegiatan dari awal hingga akhir berupa output optimalisasi lahan

gambut untuk produksi pertanian secara terpadu. Selain itu konsep pemahaman tentang manfaat dan

fungsi lahan gambut di introduksi secara deduktif. Metode yang dikembangkan pada pelaksanaan

kegiatan adalah:

1. Penyuluhan model PRA (Participatory Rural Appraisal), dilakukan menggunakan modul

pelatihan dihadiri oleh mentor dan peserta pelatihan yaitu petani/peternak di sekitar lokasi

kegiatan. Mentor berasal dari pelaksana kegiatan dan nara sumber ahli. Modul penyuluhan yang

diberikan dalam memberi pondasi dasar kegiatan ini adalah:

a) Pembuatan Kolam terpal untuk budidaya ikannila dan patin yang tahan pada kondisi gambut.

Pada awalnya pembuatan kolam terpal adalah dengan membuat lubang yang agak lebar

kemudian ditutupi terpal plastik terpal. Sebelum diisi air, kolam terpal ditaburi kapur pertanian

dengan dosis 10 kg kapur untuk setiap 5 meter kubik kolam. Air kolam dibiarkan diiarkan

hingga air kolam menjadi jernih dan pHnya menjadi netral berkisar 6,8-7.

b) Pemilihan tanaman hortikultura (sayuran) yang cocok dengan kondisi lahan gambut. Kegiatan

penyuluhan sepenuhnya dilakukan dengan secara aktif mengikut sertakan peserta dalam setiap

topik yang dibicarakan dan diharapkan muncul banyak saran , tanggapan, pertanyaan dan

pendapat dari sebanyak mungkin peserta (curah pendapat / brain storming). Hal ini dirasakan

akan mampu menarik minat lebih tinggi peserta untuk selalu ingin tahu dan mempercepat

proses adopsi teknologi yang disuluhkan.

2. Demonstrasi (demo), dilakukan uji coba pembuatan kolam terpal dan bididaya ikan nila serta

patin, serta budidaya hortikultura yang sesuai kondisi lahan gambut.

Pelaksanaan Kegiatan

Adapun tahapan pelaksanaan kegiatan pengabdian ini adalah sebagai berikut:

1. Persiapan

a. Survey lapangan

b. Mengurus perizinan kegiatan

c. Konsultasi kerja tim pelaksana pengabdian

d. Pemantapan jadwa kerja kegiatan

e. Menyiapkan bahan dan alat

f. Observasi ke lokasi kegiatan

2. Operasional di lapangan

a. Pembuatan kolam terpala dan budidaya ikan nila dan patin di kolam terpal

Page 24: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

16

b. Pemilihan tanaman hortikultura yang cocok dengan kondisi lahan gambut

c. Bimbingan, penyuluhan dan demontrasi

d. Evaluasi dan tindak lanjut

3. Penyusunan laporan kegiatan

a. Menyusun Konsep laporan kemajuan

b. Menyusun konsep laporan Akhir

4. Penggandaan dan penyerahan laporan Akhir

a. Penggandaan laporan sesuai format yang ditentukan

b. Penyerahan laporan Akhir Pengabdian Kepada Masyarakat

5. Publikasi Hasil PKM

a. Media online

b. Seminar Nasional Pengabdian Kepada masyarakat

Hasil dan Pembahasan

Analisis Evaluasi dan Hasil

1. Pembuatan Kolam Terpal dan Budidaya Ikan

Budidaya ikan di lahan gambut bukan suatu masalah asalkan bisa mengatur tata air kolamnya.

Salah satunya adalah dengan pembuatan kolam terpal. Pada awalnya adalah dengan membuat lubang

yang agak lebar kemudian ditutupi terpal plastik. Kolam terpal diisi air gambut sampai penuh. Taburi

kapur pertanian dengan dosis 10 kg kapur untuk setiap 50 meter kubik kolam. Biarkan hingga air

kolam menjadi jernih dan pHnya menjadi netral berkisar 6,8-7. Terlebih apabila ditambahkan pupuk

kandang pH air kolam bisa menjadi 9.

Pemberian kapur Penutupan dengan Terpal Penggalian lubang

Didiamkan 3

hari Ditumbuhi kayapu pH air netral

Ditanami

ikan

Lumpur kolam

Disedot

Dialirkan ke kebun sayur/

ditampung di tangki air

Air jernih ditampung ke kolam

penampungan di kebun

Page 25: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

17

Gambar 1. Bagan Alir Kegiatan Program Kemitraan Masyarakat Di Desa Sawahan Kecamatan

Cerbon Kabupaten Barito Kuala.

Di permukaan kolam ditumbuhkan tanaman gulma air kayapu, namun dibatasi dengan bambu

agar tidak berpindah ke tempat lain. Tujuan ditumbuhkannya tanaman kayapu ini adalah untuk

membuat suhu di kolam menjadi lebih sejuk karena sinar ultra violet tidak masuk bagian dalam

kolam. Apabila suhu lingkungan cukup tinggi, maka bisa saja pada bagian atas kolam dipasang

paranet dengan kerapatan 30% untuk mengurangi penguapan air kolam. Selain itu tanaman kayapu

juga akan mengendapkan komponen lain yang masuk ke dalam kolam dan menjadikan air menjadi

lebih jernih.

Kolam dengan ukuran 5 x 10 meter dimasukan bibit ikan patin sebanyak 1000 ekor atau nila

sebanyak 4000 ekor. dengan kapasitas 10 kg untuk luasan 5 m kubik. Dalam jangka waktu 1 bulan,

lumpur yang mengendap di dasar kolam disedot dan dipindahkan kedalam tangka air atau kolam kecil

dengan ukuran 1 x 2 x 1 m3 untuk penampung air guna penyiraman tanaman sayuran, namun bisa juga

disalurkan dengan selang untuk disemprotkan pada tanaman sayuran dan buah jeruk.

Keuntungan Penggunaan lumpur Kolam terpal untuk tanaman sayuran adalah: 1. Mengurangi

jumlah pupuk yang digunakan buat sayuran 2. Selain pupuk juga air dari lumpur tadi akan membuat

tanah yang ditumbuhi tanaman sayuran tadi tetap basah 3. Terjadi keterpaduan antara budidaya

perikanan dan pertanian yang saling menguntungkan. 4. Meningkatkan minat masyarakat untuk

melakukan system keterpaduan ini karena secara ekonomis lebih banyak hasil yang diperoleh.

Gambar 1. Tim Pelaksana PKM

Gambar 2. Penggalian kolam

Page 26: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

18

Transfer Teknologi

Tim pelaksana juga mentransfer teknologi berupa Teknologi penetralaan keasaaman air

gambut melalui pengaturan pH kolam terpal dan pengayaan unsur hara melalui penggunaan pupuk

dari endapan kolam terpal. Partisipasi mitra Kelompok Tani Makmur yang dilibatkan dalam kegiatan

ini berpartisipasi aktif dalam seluruh rangkaian kegiatan. Kelompok Tani Makmur mengikuti

pembelajaran Teori dengan rasio pertemuan sebesar 20 % dan praktik dengan rasio pertemuan 80 %.

Kolam Buatan yang akan digunakan untuk budidaya ikan, pertama dilakukan pengapuran. Hal

ini disebabkan pH air yang ada berada pada kisaran 3 – 3,5 sehingga tidak bisa semua ikan hidup pada

kondisi tersebut. Seelah dilakukan pengapuran kondisi pH menjadi 6,7. Jumlah kapur yang diberikan

adalah 10 kg per 50 m3.

Pemeliharaan ikan

Pemeliharaan ikan dilakukan setelah pH mencapai 6,7 – 7. Adapun jenis ikan yang dipelihara

adalah ikan nila dan ikan patin sungai. Pada kolam ini untuk mengurangi penguapan air maka

dipasang paranet 30%. Disamping I pada anaman ditumbuhkan duck weed, gulma rawa untuk

mengendapkan lumpur pada kolam. Ukuran kolam 4 x 5 meter.

Evaluasi Pelaksanaan dan Tindak lanjut Evaluasi kegiatan diukur dari partisipasi peserta

kegiatan dalam setiap kegiatan yang dilakukan dan terlaksananya semua kegiatan yang telah

direncanakan. Sebagai tindak lanjut dari kegiatan ini adalah kelompok Tani Makmur dapat

mengembangkan usaha yang mandiri secara ekonomis dan terciptanya ketentraman, kenyamanan

dalam kehidupan bermasyarakat serta meningkatnya ketrampilan berpikir, membaca dan menulis atau

keterampilan lain yang dibutuhkan (softskill dan hardskill).

Penyedotan lumpur kolam

Setelah 1 bulan pemeliharaan ikan di kolam tepal, lumpur pada kolam terpal disedot unuk

dialirkan pada tanaman hortikultura saledri dan daun bawang, sehingga mengurangi penggunaan

pupuk kimia. Lumpur kolam bermanfaat dalam membuat tanah bedengan menjadi tetap basah

sehingga mammpu mempertahankan kadar air dan kelembaban tanah yang sangat diperlukan bagi

tanaman hortikultura.

Faktor pendukung dan Penghambat

Faktor pendukung dalam kegiatan ini adalah:

a. Tanggapan pemerintah daerah yang sangat besar sehingga segala kegiatan dapat berjalan

dengan lancar dan mendapat restu kalangan terkait.

b. Minat kelompok Tani Makmur yang sangat tinggi untuk mengikuti kegiatan ini

Page 27: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

19

Hambatan yang dijumpai selama pelaksanaan kegiatan ini adalah jarak lokasi peserta sangat

jauh dengan lokasi tim. Lokasi kegiatan yang cukup jauh (45 km) dan medan yang agak sulit yakni

jalan aspal yang sudah berlubang cukup menjadi kendala dalam rangka keberlanjutan program ini.

Namun karena pesertanya sangat antusias sekali dengan program ini, maka tim pelaksana menjadi

termotivasi untuk terus memberikan pembinaan/pendampingan kedepannya.

Gambar 3. Kolam terpal ditumbuhi duckweed

Gambar 4. Kolam sudah ditanami ikan patin

Gambar 5. Penyemaian bibit daun bawang

Gambar 6. Tanaman bibit daun bawang

Potret permasalahan lain yang terekam adalah Modal usaha. Modal usaha menjadi salah satu

masalah bagi Masyarakat umumnya, kelompok tani pada khususnya dan mereka kurang percaya diri

dalam Memulai usaha, sehingga perlu pendampingan yang agak lama untuk bisa meyakinkan mereka.

Selain itu kandungan pH air yang sangat masam sehingga beberapa jenis tanaman, ternak dan ikan

tertentu yang bisa tumbuh.

Gambar 7. Pembuatan kolam penampung air

Gambar 8. Pemasangan mulsa untuk tanaman

Page 28: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

20

Luaran:

1. Mitra dapat menguasai teknik budidaya ikan pada kolam terpal dan budidaya tanaman

hortikultura yang sesuai di lahan gambut dengan spesifikasi: Tanaman hortikultura adaptif

pada lahan gambut, minimal terdapat 5 tanaman hortikultura yang berproduksi baik pada

lahan gambut dengan frekwensi panen 3 kali setahun.

2. Ikan yang dapat tumbuh dan berkembang pada kondisi kolam modifikasi menggunakan terpal

serta lumpur pada kolam ikan dapat digunakan sebagai pupuk sayuran hortikultura.

Kesimpulan

Kelompok Tani Makmur di Desa Cerbon dengan segala keterbatanya pada pertanian lahan

gambut, mampu mengelola peduli lahan gambut untuk pertanian terpadu tanaman hortikultura,

perikanan melalui kolam terpal yang mampu menopang ekonomi masyarakat

Ucapan Terimakasih

Ucapan terima kasih kepada Direktorat Riset dan Pengabdian Kepada Masyarakat yang telah

membiayai dana Pengabdian Kepada Masyarakat melalui skim PKM tahun anggaran 2019.

Daftar Pustaka

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2012. Pengertian, Istilah, Definisi, dan Sifat Tanah

Gambut. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian. Hal. 20.

Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. 2014. Laporan Teknis No.

1/Dok./BBSDLP/2014. Luas, Penyebaran dan Potensi Sumberdaya Lahan Pertanian

Nasional. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Departemen Pertanian. 2009. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 14/Permentan/PL.110/ 2/2009.

Tentang Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut untuk Budidaya Kelapa Sawit. Departemen

Pertanian. Jakarta.

Djaenudin, D., Marwan H., Subagjo H., dan A. Hidayat. 2003. Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan untuk

Komoditas Pertanian. Balai Penelitian Tanah, Bogor. 154 hal.

Driessen, P.M., and M. Sudjadi. 1984. Soils and specific soil problem of tidal swamp. Workshop on

Research Priority in Tidal Swamp Rice. Pp 143-160. IRRI, Los Banos, Laguna, Philippines.

FAO. 1976. A Framework for Land Evaluation. Soil Resources Management and Conservation Service

Land and Water Development Division. FAO Soil Bulletin No. 32. FAO-UNO, Rome. 79 hal.

(PDF) Kesesuaian Lahan Gambut untuk Pertanian. Available from:

https://www.researchgate.net/publication/323476309_Kesesuaian_Lahan_Gambut_untuk_P

ertanian [accessed Sep 02 2018].

Hartatik, W. dan K. Idris. 2008. Jurnal Tanah dan Iklim No. 27/2008, Hal: 45-56.

Mutalib, A.A., J.S. Lim, M.H. Wong, and L. Koonvai. 1991. Characterization, distribution and

utilization on peat in Malaysia. P. 7-8. In Aminuddin, B.Y. (ed). Tropical Peat. Proceed of the

Inern. Symp. On Tropical Peatland, Kuching, Sarawak, Malaysia, 6-10 May 1991.

Ritung, S., Wahyunto, Nugroho, K., Sukarman, Hikmatullah, Suparto, Tafakresnanto, C. 2011. Peta

Lahan Gambut Indonesia Skala 1:250.000 (Indonesian peatland map at the scale 1:250,000).

Indonesian Center for Agricultural Land Resources Research and Development, Bogor,

Indonesia. ISBN: 978-602-8977-16-6.

Page 29: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

21

Ritung, S., K. Nugroho, A. Mulyani, dan E. Suryani. 2011. Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan Untuk

Komoditas Pertanian (Edisi Revisi). Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya

Lahan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor. 168 hal.

Sabiham, S. dan Sukarman. 2012. Pengelolaan Lahan Gambut untuk Pengembangan Kelapa Sawit.

Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 6 No. 2, Desember 2012, hal: 55 - 66.

Subagjo, H. 1997. Potensi pengembangan dan tata ruang lahan rawa untuk pertanian. Hal.17-55.

Dalam Prosiding Simposium Nasional dan Kongres VI PERAGI. Makalah Utama. Jakarta,

25-27 Juni 1996.

Subagjo, H., dan I.P.G. Widjaja-Adhi.1998. Peluang dan kendala penggunaan lahan rawa untuk

pengembangan pertanian di Indonesia. Kasus Sumatera Selatan.

Page 30: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

22

Pertambahan Bobot Badan Pedet Belgian Blue dan Persilangannya Umur 1 Hari

hingga 30 Hari

Body Weight Gain of Belgian Blue Calf and It Crossbred on Day 1 to Day 30

Hapsari, A.A.R1 , Talib, C.

2 dan Sianturi, G.S.

3

Balai Penelitian Ternak Ciawi, Bogor. a)

nama penulis yang berkorespondensi: [email protected]

Abstrak Sapi Belgian Blue merupakan rumpun sapi yang baru dikembangkan di Indonesia. Sapi ini menjadi

istimewa karena memiliki delesi gen myostatin yang menyebabkan otot daging cepat berkembang

menjadi jauh lebih besar dibandingkan dengan rumpun sapi potong lainnya. Pengamatan dilakukan

pada pertumbuhan yang difokuskan pada bobot badan dan pertambahan bobot harian pada sapi

Belgian Blue dan persilangannya dengan rumpun sapi Holstein Indonesia. Data bobot badan diperoleh

dari hasil penimbangan pada saat lahir dan sapi mencapai umur tiga puluh hari. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa sapi Belgian Blue memiliki bobot lahir 54,08 ± 10,37, pertambahan bobot badan

harian 1,20 ± 0,13 dan bobot umur 30 hari 84,62 ± 12,64 menunjukkan bahwa ketiga ukuran tersebut

lebih tinggi dari persilangannya. Sapi persilangan Belgian blue x Holstein Indonesia menunjukkan

bobot lahir, pertambahan bobot badan harian dan bobot badan pada usia 30 hari secara berturut-turut

adalah 40,97 ± 7,61; 1,01 ± 0.24; dan 71,36 ± 8,45.

Kata kunci: Sapi Belgian Blue, pertumbuhan, bobot badan, persilangan

Abstract

Belgian Blue was a new beef cattle in Indonesia. This cattle was special because of the deletion at

myostatin gene, which causes the muscle to rapidly develop within some areas of their bodies to

become much larger compared to other beef cattle breeds. Observations were performed on growth,

focused on body weight and daily weight gain in Belgian Blue cattle and the crossbred with Indonesia

Holstein. Data on body weight were obtained from weighing at birth and up to thirty days. The

observations showed that the Belgian Blue cattle was higher in terms of birth weight 54,08 ± 10,37;

daily weight gain 1,20 ± 0.13; and also, body weight at 30 days 84,62 ± 12,64, which those three

measurements were higher than their crossbred. Belgian Blue cattle crossbreded with Holstein

Indonesia cattle were performed the birth weight; daily weight gain and body weight at 30 days

respectively were (40,97 ± 7,61); (1,01 ± 0.24); dan (71,36 ± 8,45).

Keywords: Belgian Blue cattle, growth, body weight

Pendahuluan

Daging telah ditetapkan sebagai salah satu komoditas pangan strategis di Indonesia yang

ketersediaannya harus dipenuhi secara mandiri, dan berdasarkan Road Map Pengembangan Sapi dan

Kerbau yang sudah ditetapkan oleh Kementerian Pertanian pada tahun 2017. Target terdekat untuk

saat ini adalah mencapai swasembada daging dan mampu melakukan rintisan ekspor daging pada

tahun 2022 melalui berbagai usaha (1). Salah satu usaha yang ditempuh adalah dengan melakukan

pengembangan sapi yang mampu menghasilkan potensi karkas yang lebih banyak yaitu sapi Belgian

Blue, karena jenis sapi ini memiliki tipe perototan yang lebih besar dan berbeda dengan jenis sapi lain

sebagai akibat dari delesi gen myostatin 11-bp di area exon 3, dan sifat ini bisa diwariskan kepada

keturunannya baik murni maupun F1 (2,3), walaupun dampak pewarisan ini pada F1 tertutup karena

Page 31: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

23

delesi ini bersifat resesif, sehingga tidak terlihat double mucles. Data pertumbuhan merupakan data

yang sangat penting digunakan pada program seleksi terkait sifat-sifat yang memiliki nilai ekonomis

(4). Data pertumbuhan sapi Belgian Blue dan persilangannya masih terbatas di Indonesia.

Materi dan Metode

Pengamatan dilaksanakan pada bulan Oktober 2018 hingga Maret 2019 di Balai Penelitian

Ternak, Ciawi, Bogor Jawa Barat. Sapi jenis Belgian Blue yang digunakan dalam studi ini berjumlah

4 ekor hasil transfer embrio, terdiri dari 3 ekor sapi jantan dan 1 ekor sapi betina. Persilangan dengan

dengan inseminasi buatan (IB) sapi betina Holstein Indonesia menghasilkan 14 ekor sapi crossbred,

yang terdiri dari 8 ekor sapi jantan dan 6 ekor sapi betina. Pengamatan bobot badan berupa bobot lahir

dan bobot usia 30 hari, dilakukan dengan menggunakan New Zealand iconix FX1 Indicator Series

Electronic Weighing, dengan tingkat akurasi +/- 0,5% dari yang ditampilkan di layar, untuk

penimbangan 50 – 200 kg berkisar antara +/- 0,5 kg dan untuk penimbangan 200 – 500 kg berkisar

antara +/- 1 kg. Data yang diamati merupakan data penimbangan ketika lahir hingga bobot badan di

usia 30 hari. Penimbangan dilaksanakan sekali tiap dua minggu. Data penimbangan kemudian

dianalisa menggunakan Minitab® Release 14.12.0.

Hasil dan Pembahasan

Terdapat dua kelompok sapi Belgian Blue dalam pengamatan ini, yaitu; sapi Belgian Blue

hasil transfer embrio (BB) dan sapi Belgian Blue hasil inseminasi buatan (BBH). Hasil pengamatan

bobot badan pada kedua jenis sapi ini cukup berbeda, seperti yang ditampilkan pada Tabel 1, Sapi BB

lebih berat dibandingkan dengan sapi BBH. Hal ini disebabkan karena perototan berupa double

muscle yang telah ditampilkan oleh sapi BB sejak lahir. Sapi BB yang diperoleh melalui embrio

transfer membutuhkan bedah caesar dalam proses melahirkan dikarenakan ukuran anak yang cukup

besar saat lahir (5–7), tetapi pada sapi crossbred tidak ditemukan persoalan kesulitan melahirkan yang

membutuhkan bedah caesar. Sementara jika dilihat dari jenis kelamin, ditampilkan pada gambar 1 dan

2, bobot lahir sapi BB betina lebih besar jika dibandingkan dengan sapi jantan, hal ini kemungkinan

dikarenakan jumlah sampel yang terbatas dan kebetulan sapi betina yang lahir memiliki bobot lahir

yang cukup besar. Tetapi dalam pertumbuhan lanjutan, ketika mencapai umur 30 hari, bobot sapi BB

jantan sudah lebih tinggi dari sapi betina tersebut.

Tabel 1. Hasil pengamatan bobot badan sapi BB dan BBH

Sapi Belgian Blue Bobot Badan

Bobot lahir 30 hari PBbH

BB 54,08 ± 10,37 84,62 ± 12,64 1.02 ± 0,13

BBH 40,97 ± 4,51 71,36 ± 8,45 1,01 ± 0,24

Page 32: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

24

Sebaliknya pada sapi crossbred BBH ternak jantan lebih tinggi bobot lahir dari sapi betina,

tetapi pertumbuhan sapi betina lebih baik dari sapi jantan. Hasil ini lihat pada bobot umur 30 hari

pada sapi betina yang lebih tinggi dari sapi jantan. Penyebabnya hal ini terjadi belum dapat dijawab

dengan detail. Hal penting dalam perbandingan kedua kelompok sapi BB tersebut terlihat bahwa baik

pada bobot lahir maupun bobot umur 30 hari, sapi BB menunjukkan bahwa mereka memiliki ukuran

bobot yang jauh lebih baik dari sapi BBH. Hasil ini menunjukkan bahwa pertumbuhan sejak lahir

sampai umur 30 hari (Gambar 2) pada sapi BB lebih baik dari sapi BBH baik pada sapi yang jantan

maupun betina.

Gambar 1. Rataan bobot sapi BB

Hasil lain yang ditunjukkan oleh gambar 1 dan 2, bahwa pertumbuhan kedua kelompok sapi

BB ini telah menampilkan PBbH yang tinggi walaupun masih dalam usia yang sangat dini yaitu dapat

mencapai 0.8 – 1 kg per ekor per hari. Pertumbuhan yang cepat tersebut merupakan harapan yang

diinginkan oleh Indonesia dalam mengejar ketertinggalan produksi daging dari permintaan konsumen.

Harapan yang ada pada rumpun sapi BB ini adalah bahwa petumbuhan selanjutnya akan memberikan

peningkatan pada PBbH sehingga dapat mencapai hampir 2 kg/ekor/hari. Tentunya harapan ini perlu

didukung dengan penerapan manajemen yang lebih baik lagi. Oleh karena itu pelatihan pemeliharaan

untuk pelaksanaan penggemukan sapi BB dan crossbreed nya perlu direncanakan sejak awal yaitu

mulai dari sekarang.

57 53.10

83 85.16

0.87 1.07

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

B J

Rataan Bobot Sapi BB

Average of BL

Average of BB

30

Page 33: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

25

Gambar 2. Rataan bobot sapi BBH

Kesimpulan

Hasil pengamatan pada rataan pertambahan bobot badan harian hingga usia 30 hari dapat

disimpulkan bahwa sapi BB jantan dan sapi BBH betina memiliki potensi lebih besar untuk

dikembangkan menjadi sapi potong harapan untuk pemenuhan target swasembada daging di

Indonesia.

Ucapan Terima Kasih

Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh tim penelitian sapi Belgian Blue di Balai

Penelitian ternak, yang terdiri dari peneliti-peneliti senior serta tim pelaksana di kandang percobaan

atas segala fasilitas, kepercayaan, bimbingan dan bantuan selama pengamatan berlangsung.

Daftar Pustaka

Agung PP, Said S, Sudiro A. Myostatin gene analysis in the first generation of the Belgian Blue cattle

in Indonesia. JIndonesian TropAnimAgric. 2016;41(March):13–20.

Aprily NU, Sambodho P, Harjanti DW. Evaluasi kelahiran pedet sapi perah di Balai Besar Pembibitan

Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak Baturraden. J Peternak Indones. 2016;18(1):36–

43.

Direktorat Perbibitan dan Produksi Ternak. Pedoman Umum Pengembangan Sapi Belgian Blue di

Indonesia. BETPress; 2018.

Handiwirawan E, Munawaroh I., Sukmana Y, Sudrajat, Hasinah H, Pamungkas F., et al. Laporan

tahunan 2017. Prasetyo LH, editor. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan;

2017. 1-39 p.

Putra WPB. Teknik persilangan pada sapi Belgian Blue (Bos taurus) untuk menghasilkan bibit unggul

di Indonesia. BioTrends. 2017;8(1):1–4.

Sulaiman AA, Inounu I, Torang S, Maidaswar. SIWAB Solusi Cerdas Swasembada Daging Sapi dan

Kerbau. Iwantoro S, Yulianto A, editors. Inspektorat Jenderal Kementerian Pertanian

Republik Indonesia; 2017.

Sulistiyoningtiyas I, Nurgiartiningsih V. A, Ciptadi G. Evaluasi Performa Bobot Badan dan Statistik

Vital Sapi Madura Berdasarkan Tahun Kelahiran. J Ilm Peternak Terpadu. 2017;5(2):40–3.

39.10 [VALUE]0

73.19 69.99

1.12 0.92

0

10

20

30

40

50

60

70

80

B J

Rataan Bobot Sapi BBH

Average of BL

Average of BB 30

Average of PBbH

Page 34: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

26

Kecernaan Protein Kasar dan Produksi Mikroba Rumen Secara In vitro dengan

Penambahan Suplemen Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam

(Nigella sativa) dan S-proteinat

Crude Protein Digestibility and Rumen Microbial Production In Vitro Supplemented with

Sauropus Androgynus, Nigella Sativa and S-proteinate

Angger Lintang Pungkashaning Rubai1, Dian Wahyu Harjanti

2, Anis Muktiani

3

1Jurusan Peternakan, Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro

2Dosen Jurusan Peternakan, Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro

3Dosen Jurusan Peternakan, Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro

1Email: [email protected]

2Email: [email protected]

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh suplementasi tepung daun katuk, tepung jintan

hitam dan S-proteinat terhadap kecernaan protein kasar (KcPK), produksi NH3 dan kadar protein

mikroba rumen pada sapi perah secara in vitro. Materi penelitian adalah cairan rumen sapi perah,

tepung daun katuk, tepung jintan hitam dan S-proteinat. Penelitian ini dilakukan dengan Rancangan

Acak Lengkap (RAL), dengan 4 perlakuan 4 ulangan. Perlakuan yang digunakan adalah T0: ransum

kontrol, T1: ransum kontrol + (daun katuk 0,5% BK pakan + jintan hitam 0,5% BK pakan), T2:

ransum kontrol + ( S-proteinat 0,25% BK pakan) dan T3: ransum kontrol + (daun katuk 0,5% BK

pakan + jintan hitam 0,5% BK pakan + S-proteinat 0,25% BK pakan). Hasil penelitian menunjukkan

bahwa penambahan suplemen tepung daun katuk (Sauropus androgynus), jintan hitam (Nigella

sativa) dan S-proteinat tidak mempengaruhi kecernaan PK, produksi NH3 dan kadar protein mikroba.

Rata-rata kecernaan PK, produksi NH3 dan kadar protein mikroba yang diperoleh dari penelitian ini

sebesar 57,52%, 4,99 Mm dan 29,6 Mm/dl. Simpulan dari penelitian ini adalah suplementasi tepung

daun katuk, tepung jintan hitam dan S-proteinat tidak berpengaruh terhadap kecernaan protein kasar

produksi NH3 dan protein mikroba rumen.

Kata kunci: daun katuk, jintan hitam, s-proteinat, kecernaan PK, protein mikroba

Abstract

This study is aimed to determine the effect of Sauropus androgynus leaves, Nigella sativa and

S-proteinate supplementation on crude protein (CP) digestibility, NH3 production and rumen

microbial protein levels in vitro. The material used was dairy rumen fluids, Sauropus androgynus

(SA), Nigella sativa (NS) and S-proteinate. The study used was Completely Randomized Design

(CRD) for 4 treatments and 4 replications. The treatments were T0: control, T1: control + (SA 0,5%

dry matter + NS 0,5% dry matter), T2: control + (S-proteinate 0,25% dry matter) dan T3: control +

(SA 0,5% dry matter + NS 0,5% dry matter + S-proteinate 0,25% dry matter). The result showed that

SA, NS and S-proteinate supplementation did not affect the CP digestibility, NH3 production and

rumen microbial protein levels. The CP digestibility was 57%, NH3 production was 4,99 Mm and

microbial protein levels was 29,6 Mm/dl. In conclusion, Sauropus androgynus leaves, Nigella sativa

and S-proteinate supplementation did not influence the crude protein digestibility, NH3 production

and rumen microbial protein levels.

Keywords: Sauropus androgynus, Nigella sativa, s-proteinate, crude protein digestibility, microbial

protein

Pendahuluan

Sapi perah yang banyak dipelihara di Indonesia adalah sapi Peranakan Friesian Holstein

(PFH). Sapi PFH merupakan sapi persilangan antara sapi Frisian Holstein (FH) dengan sapi lokal

Page 35: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

27

sehingga dapat bertahan pada iklim tropis Indonesia. Jumlah populasi sapi perah di Indonesia setiap

tahun meningkat sesuai dengan meningkatnya konsumsi susu. Produksi sapi perah di Indonesia belum

mampu memenuhi kebutuhan susu dalam negeri. Oleh karena itu perlu adanya perbaikan mutu pakan.

Pakan utama sapi perah yaitu hijauan berupa rumput. Rumput memiliki kandungan protein

yang rendah sehingga perlu adanya pakan aditif yang digunakan untuk meningkatkan produksi susu.

Pakan aditif dapat berupa herbal dan non herbal. Aditif herbal merupakan pakan yang berasal dari

bahan alami antaralain daun katuk dan jintan hitam. Daun katuk dapat meningkatkan produksi susu

dengan meningkatkan penyerapan nutrisi dalam rumen. Sedangkan jintan hitam digunakan sebagai

substitusi antibiotik herbal dan sebagai immunostimulan. Selain pakan aditif herbal perbaikan mutu

pakan juga dapat dilakukan dengan menambahkan mineral. Mineral sangat dibutuhkan untuk

mencegah terjadinya milk fever.

Substitusi pakan menggunakan bahan herbal dapat meningkatkan kandungan NH3 pada

rumen sehingga dapat dimanfaatkan oleh mikroba rumen untuk mensintesis protein. Jumlah NH3

yang meningkat akan meningkatkan kecernaan protein pakan dan dimanfaatkan untuk memproduksi

susu. Daun katuk (Sauropus androgynus) dikenal sebagai tanaman obat yang berguna untuk

meningkatkan produksi air susu baik pada manusia maupun pada hewan. Hal ini disebabkan oleh

adanya hormon prostaglandin yang membantu perkembangan sel sekretoris penghasil susu sekaligus

memperlama jangka waktu produksi air susu dan senyawa lain yang membantu meningkatkan

penyerapan asupan gizi sehingga meningkatkan metabolisme dan produksi susu meningkat (Retnani

dkk., 2012).

Jintan hitam (Nigella sativa) merupakan salah satu tanaman obat yang dapat dijadikan

alternative pengganti antibiotik sintetik, memiliki kandungan senyawa timokuinon berfungsi sebagai

imunostimulan (Beandrade, 2018). Sistem kekebalan tubuh yang meningkat membantu pencegahan

terhadap penularan berbagai macam penyakit. Senyawa timokuinon selain meningkatkan sistem

kekebalan tubuh juga berfungsi sebagai antioksidan, antiinflamasi, antitumor dan antiinfeksi (Ragheb

dkk., 2009).

Sulfur berperan sebagai penyokong dalam pembentukan asam amino sulphur dan sintesis

protein mikroba dalam rumen (Nurhaita dkk., 2008). Sulfur penting bagi pencernaan serat di dalam

rumen apabila berbentuk mineral organik dengan dibuat menjadi mineral proteinat karena tidak

menyebabkan keracunan pada ternak dalam penambahan mineral lain dan meningkatkan kecernaan

pakan (Kurniawan dkk., 2014).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mengevaluasi pengaruh penambahan suplemen

tepung daun katuk, jintan hitam dan S-Proteinat terhadap karakteristik cairan rumen sapi perah FH.

Manfaat penelitian ini yaitu dapat mengetahui pengaruh bahan herbal dan mineral terhadap kecernaan

protein kasar, kandungan NH3 dan sintesis protein mikroba rumen.

Page 36: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

28

Materi dan Metode

Penelitian ini dilksanakan pada Februari - Juni 2019 di Laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak,

Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro, Semarang. Materi yang digunakan dalam

penelitian ini terdiri dari tepung daun katuk, jintan hitam, sulfur proteinat, cairan rumen sapi perah

sebagai donor mikrobia, Mc Doughall, pepsin HCl. Alat yang digunakan dalam penelitian meliputi

grinder disk mill, blender, pH meter elektronik, timbangan analitik, tabung fermentor, water bath,

penutup karet, sentrifuge, gelas ukur, spluit.

Daun katuk kering di grinder menggunakan grinder tipe disk mill dan jintan hitam digiling

menggunakan blender sampai menjadi tepung. Bahan pembuatan sulfur proteinat terdiri dari onggok

dan bungkil kedelai yang telah dihaluskan, natrium sulfat dan aquades. Semua bahan tersebut

dicampur menjadi adonan kemudian diaduk setiap 4 jam sekali selama 24 jam. Sulfur proteinat

dijemur dibawah sinar matahari sampai kering. Rumput gajah, konsentrat, tepung daun katuk, jintan

hitam dan sulfur proteinat dianalisis proksimat untuk mengetahui kandungan nutrisi dalam bahan

pakan.

Tabel 1. Hasil Analisis Proksimat Bahan Pakan

Bahan Pakan Analisis Proksimat (%)

KA BK Abu PK LK SK BETN

Rumput Gajah

Konsentrat

T. Daun Katuk

Jintan Hitam

Sulfur Proteinat

84,24

17,47

14,43

7,82

11,32

16,66

82,53

85,57

92,18

88,68

14,51

5,32

10,20

3,84

58,10

6,94

15,74

24,59

20,39

14,36

0,13

4,65

2,76

28,82

0,41

42,44

4,65

29,36

22,92

9,06

35,98

48,09

33,09

24,03

18,07

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan Rancangan Acak

Lengkap (RAL) yang terdiri dari 4 perlakuan dan 4 ulangan, meliputi:

T0 = ransum kontrol

T1 = ransum kontrol + kombinasi herbal (tepung daun katuk 0,5 % BK pakan dan tepung

jintan hitam 0,5 % BK pakan).

T2 = ransum kontrol + Sulfur proteinat 0,25 % BK pakan.

T3 = ransum kontrol + kombinasi herbal (tepung daun katuk 0,5 % BK pakan dan tepung

jintan hitam 0,5 % BK pakan) dan sulfur proteinat 0,25 % BK pakan

Pengambilan cairan rumen

Pengambilan cairan rumen dilakukan di RPH Penggaron, Semarang. Termos diisi air dengan

suhu 39 - 40oC, selanjutnya air dalam termos dibuang dan dalam termos akan dikondisikan bersuhu

39oC menggunakan thermometer. Termos kemudian diberi corong untuk memasukkan cairan rumen.

Isi rumen dari sapi perah yang telah dipotong diambil dan diletakkan pada kain kasa. Kain kasa

Page 37: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

29

kemudian diperas diatas corong yang telah tersambung dengan termos untuk kemudian disimpan

dengan suhu 39oC.

Pengukuran Kecernaan Protein Kasar

Menghitung kecernaan protein dilakukan dengan sampel ditimbang 0,55 g kemudian

dimasukkan ke dalam tabung fermentor. Disiapkan water bath yang diisi air dipanaskan sampai suhu

air mencapai 39°C. jika suhu dalam water bath sudah mencapai 39°C maka tabung fermentor

dimasukkan kedalam water bath. Masing-masing tabung fermentor diberi larutan McDougall 40 ml

dan cairan rumen 10 ml. Tabung fermentor diberi pipet yang dialiri CO2 dan ditutup rapat dengan

karet. Fermentasi selama 48 jam dan digojok setiap 6 jam sekali. Setelah 48 jam sampel disentrifuse

selama 15 menit dan endapan sampel disaring dan diambil 0,3 g kemudian dimasukkan kedalam labu

destruksi. Sampel dicampur dengan katalisator campuran (selenium + natrium sulfat + cupri sulfat)

kurang lebih 0,3 g. Kemudian ditambahkan asam sulfat pekat (teknis) 10 ml dan didestruksi sampai

berubah menjadi warna hijau jernih di dalam almari asam dan kemudian didinginkan. Proses destilasi

diawali dengan menggunakan larutan penangkap H3BO3 4% sebanyak 20 ml dan diberikan 2 tetes

indikator MR + MB. Sampel dimasukkan ke dalam labu destilasi dan ditambahkan 50 ml aquades dan

40 ml NaOH 45%. Diamati perubahan warna dari ungu menjadi hijau. Hasil destilasi kemudian

dititrasi dengan HCl 0,1 N sampai terbentuk warna ungu. Kadar protein dapat dihitung dengan rumus:

Kadar protein = –

Pengukuran Kadar NH3

Menghitung NH3 dilakukan dengan cara sampel ditimbang sebanyak 0,55 g kemudian

dimasukkan ke dalam tabung fermentor dan ditambah dengan setiap bahan perlakuan. Dimasukkan

larutan McDougall sebanyak 40 ml ke dalam tabung fermentor dan diikuti 10 ml cairan rumen.

Tabung fermentor yang ditutup rapat dengan karet dilengkapi pipet yang dialiri CO2. Tabung

fermentor diambil didinginkan dengan air es selama 15 menit untuk menghentikan proses fermentasi

kemudian sampel disentrifuse selama 10 menit untuk menghasilkan supernatan. Supernatan hasil

fermentasi diambil sebanyak 1 ml dan ditempatkan pada salah satu ujung alur cawan conway yang

sebelumnya cawan conway beserta tutup diolesi dengan vaselin. Larutan Na2CO3 jenuh sebanyak 1 ml

ditempatkan pada salah satu ujung alur cawan conway berseberangan dengan supernatan. Larutan

asam Borat berindikator sebanyak 1 ml ditempatkan di cawan kecil yang terletak di tengah cawan

conway. Cawan conway ditutup sampai rapat kedap udara kemudian digoyang-goyangkan dan

dimiringkan agar larutan Na2CO3 dan supernatan bercampur secara merata, kemudian didiamkan

selama 24 jam dalam suhu kamar. Setelah 24 jam berada dalam suhu kamar cawan conway dibuka,

asam borat berindikator dititrasi dengan H2SO4 0,005 N sampai terjadi perubahan warna dari merah

menjadi biru. Konsentrasi produksi NH3 dapat dihitung dengan rumus:

Page 38: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

30

Produksi NH3 (mM) = ml titran x N H2SO4 x1000

Pengukuran sintesis protein mikroba rumen

Pengukuran sintesis protein mikroba dimulai dengan pengujian secara in vitro. Sampel

diinkubasi pada suhu 39oC selama 3 jam. Sampel disentrifus dengan kecepatan 3.000 rpm selama 15

menit untuk mendapatkan supernatan. Supernatan disentrifus kembali dengan kecepatan 8.000 rpm

pada suhu ruang selama 15 menit untuk mendapatkan endapan mikroba.

Sintesis protein mikroba diukur menggunakan metode Lowry (Plumer, 1971). Langkah-

langkah yang dilakukan yaitu: sampel hasil sentrifus ditambahkan 1 ml larutan NaOH 0,1 N,

dihomogenkan. Sampel dimasukan ke tabung reaksi, dipanaskan pada suhu 90oC selama 15 menit

kemudian didinginkan pada suhu ruang selama 10 menit. Sampel diambil 1 ml, ditambahkan 5 ml

larutan Lowry B kemudian divortex. Sampel didiamkan selama 10 menit pada suhu kamar. Se-

lanjutnya ditambahkan larutan Lowry A 0,5 ml, divortex, didiamkan selama 30 menit. Sampel dibaca

menggunakan spektrofotometer digital dengan panjang gelombang 670 nm.

Hasil dan Pembahasan

Hasil analisis ragam penelitian penambahan tepung daun katuk, jintan hitam dan sulfur

proteinat terhadap kecernaan protein kasar, kadar NH3 dan sintesis protein mikroba ditunjukkan pada

Tabel 2.

Tabel 2. Kecernaan protein kasar, kadar NH3 dan sintesis protein mikroba

Parameter Perlakuan

T0 T1 T2 T3

Kecernaan Protein Kasar (%)

Kadar NH3 (mM)

Sintesis Protein Mikroba (mg/ml)

54,37

4,53

0,27

58,11

5,34

0,26

60,10

5,32

0,30

57,49

4,78

0,36

Kecernaan protein kasar

Hasil analisis variansi tiap perlakuan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0,05),

artinya suplementasi pakan yang dilakukan tidak mempengaruhi kecernaan protein kasar. Protein

kasar dapat mempengaruhi aktivitas mikroba rumen. Oleh karena itu beberapa faktor yang harus

diperhatikan untuk memilih sumber protein untuk ransum ternak yakni sanggup mendukung aktivitas

protein mikroba dengan menghasilkan kadar NH3 sesuai dengan kebutuhan protein mikroba dan tahan

terdegradasi oleh mikroba. Menurut Mc Donald et.al., (2002) defisiensi protein menyebabkan kadar

NH3 dalam rumen menjadi rendah, melambatkan laju pertumbuhan mikroba rumen dan menurunkan

kecernaan pakan.

Page 39: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

31

Kadar NH3

Hasil analisis variansi tiap perlakuan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0,05) pada

tiap perlakuan terhadap kadar NH3 dalam rumen dengan rataan pada kisaran normal untuk

mendukung kehidupan mikroba rumen. Hal ini sesuai dengan pendapat Sutardi (1979) yang

menyatakan bahwa kisaran kadar NH3 yang sesuai untuk mendukung aktivitas mikroba rumen

berkisar antara 4 – 12 mM. Kadar NH3 dipengaruhi oleh tingkat degradabilitas bahan pakan, bahan

pakan yang mudah terdegradasi maka kadar NH3 akan tinggi, begitu pula sebaliknya. Hal ini sesuai

dengan pendapat Cahyani et.al., (2012) yang menyatakan bahwa tinggi rendahnya degradasi PK akan

mempengaruhi kadar NH3. Menurut Mackie et.al., (2002), bahwa aktivitas mikroba dalam saluran

pencernaan dapat mempengaruhi pemanfaatan NH3 menjadi protein mikroba sebagai sumber protein

ternak.

Sintesis Protein Mikroba

Hasil analisis variansi tiap perlakuan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0,05) pada

tiap perlakuan terhadap sintesis protein mikroba rumen. Peningkatan sintesis protein mikroba

disebabkan oleh konsumsi PK dan tingginya bahan organik yang tercerna yang terdapat pada ransum.

Hal ini sesuai dengan Suryani (2014) yang menyatakan bahwa konsumsi BK maupun PK dapat

meningkatkan sintesis protein mikroba. Gosselink et.al., (2003) menambahkan bahwa PK sangat

berpengaruh pada produksi sintesis protein mikroba karena ketersediaan N bagi mikroba rumen

diindikasi oleh PK selama konsentrasinya tidak digunakan sebagai sumber energi. Selain itu sintesis

protein mikroba rumen dipengaruhi juga oleh kadar NH3.

Kesimpulan

Simpulan dari penelitian ini adalah suplementasi tepung daun katuk, tepung jintan hitam dan

S-proteinat tidak berpengaruh terhadap kecernaan protein kasar produksi NH3 dan protein mikroba

rumen.

Daftar Pustaka

Beandrade, M. U. (2018). Formulasi dan karakterisasi SNEDDS ekstrak jinten hitam (Nigella sativa)

dengan fase minyak ikan hiu cucut botol (Centrophorus sp) serta uji aktivitas imunostimulan.

Pharmaceutical Science and Clinical Research Journal. 2018(1), 50-61.

Cahyani, R.D., L.K. Nuswantara dan A. Subrata. (2012). Pengaruh Proteksi Protein Tepung Kedelai

dengan Tanin Daun Bakau Terhadap Kosentrasi Amonia, Undegraded Protein dan Protein

Total Secara In Vitro. Animal Agriculture Journal. 1(1), 159-166.

Gosselink, J.M.J., Poncet, C., Dulphy, J.P. and Cone, J.W. (2003). Estimation of the duodenal flow of

microbial nitrogen in ruminants based on the chemical composition of forages. Anim. Res, 52,

229-243.INRA, IDP Sciences.

Kurniawan, K., Liman dan Y. Widodo. (2014). Pengaruh suplementasi hidrolisat bulu ayam dan

mineral organik untuk meningkatkan kecernaan bahan kering dan kecernaan bahan organik

pada ransum sapi. Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu. 2(2), 67-69.

Page 40: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

32

Mackie, R.I., C.S. McSweeney dan A.V. Klieve. (2002). Microbial ecology of theovine rumen.

Dalam: M.Freer dan H. Dove (Ed). Sheep Nutrition. CSIRO Plant Industry. Canberra

Australia, 73-80.

Mc Donald, P., R. Edwards, and J. Greenhalgh. (2002). Animal Nutrition. Edisi VI. New York.

Nurhaita, N. Jamarun, R. Saladin, L. Warly dan Z. Mardianti. (2008). Efek suplementasi mineral

sulfur dan phosphor pada daun sawit amoniasi terhadap kecernaan zat makanan secara in vitro

dan karakteristik cairan rumen. Jurnal Tropikal Animal Agricultur. 33(1), 51-58.

Plummer, D. T. (1971). An introduction to practical biochemistry. McGraw-Hill Publ., London

Regheb, A., A. Attia, W. S. Eldin, F. Elbarbry, S. Gazarin dan A. Shoker. (2009). The protective

effect of thymoquinone, an anti-oxydant and anti-inflammatory agent, againt renal injury: A

Review. Saudi J Kidney Dis Transpl. 20(5), 741-752.

Retnani, Y, Permana, I. G, Herawaty, L dan Komalasari, N. R. (2012). Biskuit Biosuplemen Pakan

untuk Meningkatkan Produktivitas Kambing Perah. Prosiding Seminar Hasil-hasil Peneltian

IPB 2012. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Suryani, N. N., I. K. M. Budiasa dan I. P. A. Astawa. (2014). Fermentasi rumen dan sintesis protein

mikroba kambing peranakan ettawa yang diberi pakan dengan komposisi hijauan beragam dan

level konsentrat yang berbeda. J. Makalah Ilmiah Peternakan 17(2) , 56 – 60.

Sutardi, T., (1979). Ketahanan protein bahan makanan terhadap degradasi oleh mikroba rumen dan

manfaatnya bagi peningkatan produktivitas ternak. Dalam: Prosiding Seminar Penelitian dan

Penunjang Peternakan, LPP. Bogor, 2, 91-103.

Page 41: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

33

Pengaruh Pemberian Gelatin Kulit Ikan Gabus Terhadap Kualitas Organoleptik

Permen Jelly Susu Kambing

The Effect of Cork Fish Skin Gelatin Concentration on Organoleptic Quality of Goat Milk

Jelly Candy

Anna Fitriani, Zulfa Elymaizar, Ima Yus Santi

Universitas Jambi

email: [email protected]

Abstract

This research was conducted to find out the effect of cork fish skin gelatin on organoleptic

quality of goat milk jelly candy, and to determine the concentration of use of cork fish skin gelatin

which is favored by panelists. The research was designed using a Completely Randomized Block

Design with gelatin concentration as a single factor consisting of four levels, namely 0%, 1%, 2%,

and 3. The research was repeated 30 times. Data were analyzed with Analysis of Varians to find out

the treatment effects, then continued tested using Least Significant Difference (LSD) test to find out

the best treatment which was determined by the highest score of color, flavor, texture and taste. The

result showed that gelatin concentration had significant effect on color and taste and highly

significant effect on texture of the goat milk jelly candy, but no significant effect (P> 0.05) on the

preferred value of the flavor of goat milk jelly candy. The conclusion of this study is that among the

treatment of cork fish skin gelatin, jelly candy with cork fish skin gelatin 3% (P3) is preferred by

panelists, both in terms of color, aroma, texture and taste.

Keywords: cork fish skin gelatin, goat milk, jelly candy.

Pendahuluan

Susu merupakan salah satu bahan makanan yang mempunyai gizi yang tinggi yang diperlukan

oleh tubuh. Susu diperoleh dari pemerahan hewan seperti sapi, kerbau, kambing, kuda dan unta. Susu

kambing memiliki kandungan gizi yang sangat baik. Jika dibandingkan dengan susu sapi, susu

kambing mengandung beberapa komponen zat gizi dalam jumlah lebih banyak. Komposisi susu sapi

untuk komponen air, energi, lemak, dan protein secara berurutan adalah 87,2%, 66,0 kkal, 3,7 g, dan

3,3 g, sedangkan susu kambing adalah 87,5%, 67,0 kkal, 4,0-7,3 g, dan 3,3-4,9 g (Budiana dan

Susanto, 2005).

Banyak keistimewaan yang menjadikan susu kambing perlu disosialisasikan agar diminati

masyarakat. Salah satu perbedaan terbesar antara susu kambing dan susu sapi adalah komposisi dan

struktur globula lemaknya. Globula lemak susu kambing lebih kecil dari susu sapi dan globula lemak

yang lebih kecil akan lebih mudah untuk dicerna (Bihaqi and Jalal, 2010). Globula lemak yang kecil

lebih tahan terhadap penggumpalan sehingga lebih panjang umur simpannya. Selain itu, Legowo dan

Al-Baarri (2005) menyatakan bahwa susu kambing juga memiliki rantai asam lemak yang lebih

pendek dengan globula lemak lebih kecil dibandingkan dengan susu sapi sehingga mudah dicerna

oleh tubuh. Susu kambing tidak dikonsumsi sebanyak nilai konsumsi susu sapi karena dikenal

memiliki bau prengus yang tidak disukai. Selain itu, Buckle et al. (2009) menyatakan bahwa susu

Page 42: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

34

adalah bahan pangan yang mudah rusak dan mudah terkontaminasi oleh mikroba karena susu

merupakan media yang sangat baik bagi pertumbuhan mikroba. Oleh karena itu, diperlukan suatu

upaya untuk mencegah kerusakan susu kambing yaitu dengan cara mengolah susu menjadi produk

olahannya. Pengolahan susu kambing menjadi produk olahan diharapkan dapat meningkatkan nilai

konsumsi susu kambing. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk memanfaatkan potensi susu

kambing adalah mengolah susu kambing menjadi permen jelly.

Permen jelly biasanya terbuat dari susu atau sari buah yang diberi bahan pengenyal atau

gelatin. Gelatin ikan saat ini cukup populer di masyarakat karena ikan mudah didapat serta harganya

yang cukup terjangkau. Ikan yang digunakan juga beragam seperti ikan lele, patin, tenggiri, gabus dan

lain-lain. Di Provinsi Jambi, ikan gabus merupakan ikan yang cukup digemari karena memiliki daging

yang tebal serta rasanya yang enak. Pengolahan ikan akan menghasilkan produk samping berupa kulit

dan tulang yang dapat diolah menjadi gelatin. Penggunaan gelatin ikan gabus dalam pembuatan

permen jelly ini masih belum banyak diteliti, sehingga masih belum banyak diketahui kualitas

organoleptiknya. Penelitian mengenai pembuatan permen jelly susu kambing untuk mendapatkan

konsentrasi bahan pembentuk gel yang tepat pada gelatin ikan gabus belum pernah dilakukan. Oleh

karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui konsentrasi gelatin yang dapat menghasilkan

permen jelly susu kambing dengan sifat organoleptik terbaik sesuai Standar Nasional Indonesia (SNI

3547.2-2008) yang memiliki keadaan dengan bau, rasa, warna, dan tekstur yang normal, kadar air

maksimal 20%, kadar abu maksimal 3%, dan kadar gula reduksi maksimal 25%.

Bahan dan Peralatan

Bahan yang akan digunakan pada penelitian ini adalah susu kambing, gelatin kulit ikan gabus,

glukosa, sukrosa, tepung tapioka, air, asam asetat 0,1 M, etanol, dan gula halus. Alat yang akan

digunakan pada penelitian ini adalah timbangan, termometer, pengaduk, refrigerator, kompor,

stopwatch, loyang, gelas ukur, pisau, sendok, baskom, nampan, wajan teflon, panci, saringan, neraca

analitik, gelas piala, oven, dan seperangkat alat untuk uji organoleptik.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 4 perlakuan dan 30

panelis sebagai kelompoknya. Perlakuan pada penelitian ini adalah:

P1: Konsentrasi gelatin kulit ikan gabus 0% + Tepung Tapioka

P2: Konsentrasi gelatin kulit ikan gabus 1%

P3: Konsentrasi gelatin kulit ikan gabus 2%

P4: Konsentrasi gelatin kulit ikan gabus 3%

Model matematika untuk rancangan ini adalah sebagai berikut:

Yij = μ + βj + δi+ εij

Y = Nilai pengamatan dari perlakuan ke-i dalam kelompok ke-j

Page 43: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

35

μ = Nilai tengah populasi

δi = Pengaruh perlakuan ke-i

βj = Pengaruh kelompok ke-j

ε = Pengaruh kesalahan percobaan dari perlakuan ke-i pada kelompok ke-j

i = 1,2,3,4

j = 1,2,3,4, …,30

Peubah yang diamati pada penelitian ini adalah kualitas organoleptik meliputi warna, aroma,

tekstur dan rasa. Data yang diperoleh kemudian diolah mengggunakan analisis ragam (ANOVA)

dengan taraf 5%, apabila berpengaruh nyata maka akan dilakukan uji lanjut dengan uji Duncan

Multiple Test (DMRT) (Steel dan Torrie, 1991).

a. Pembuatan Gelatin Kulit Ikan Gabus

Menurut Tatami et al. (1992), pengolahan gelatin dapat dilakukan melalui tahapan – tahapan

sebagai berikut:

1. Tahap persiapan bahan. Kulit ikan gabus dicuci dengan air mengalir agar kotoran yang

melekat dan sisa daging hilang. Kemudian kulit ikan gabus dipotong-potong. Tujuannya

untuk mempermudah perlakuan penggembungan (swelling), kemudian dicuci kembali.

Setelah itu potongan kulit gabus direndam dalam larutan asam asetat 0,1 M selama 24 jam.

Setelah itu kulit ikan yang telah direndam dicuci kembali.

2. Tahap ekstraksi. Ekstraksi dilakukan dalam 2 (dua) tahapan. Tahapan pertama: kulit direbus

dalam air pada suhu 80 – 95 oC selama 2 jam. Perbandingan bahan baku dan air adalah 1:2

dan selama perebusan dilakukan pengadukan. Setelah 2 jam perebusan, larutan akan terlihat

berwarna putih dan lengket. Dalam keadaan panas tersebut larutan disaring dan hasil saringan

harus dijaga agar tetap panas. Tahapan kedua, sisa hasil penyaringan direbus kembali pada

suhu 100 oC selama 1 jam dengan perbandingan bahan baku air adalah 1:1. Setelah itu

dilakukan penyaringan untuk mendapatkan filtrat. Filtrat hasil perebusan pertama dan kedua

dicampur dan pencampuran ini harus dalam keadaan panas, kemudian ditambah etanol 1:1.

Filtrat dimasukkan ke dalam gelas piala untuk proses pengeringan.

3. Tahap pengeringan. Pengeringan dapat dilakukan dengan menggunakan oven. Suhu

pengeringan sebaiknya berada 60 – 70 oC selama 168 jam (7 hari). Produk gelatin kering

ditepungkan dan dimasukkan dalam botol kaca, untuk dipergunakan selanjutnya.

b. Pembuatan Permen Jelly Susu Kambing

Pembuatan permen jelly susu kambing ini dilakukan berdasarkan penelitian Eletra et al.,

(2013) yaitu:

1. Masukkan 100 ml susu kambing ke dalam panci dan tambahkan 43% sukrosa dan 20%

glukosa bubuk.

Page 44: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

36

2. Setelah itu ditambah gelatin kulit ikan gabus sesuai perlakuan, yang sebelumnya sudah

dilarutkan dengan air hangat (60-70 oC) sebanyak 75 ml.

3. Kemudian dipanaskan sampai semua bahan yang telah dicampurkan mengental sambil

diaduk.

4. Setelah mengental, tetap lanjutkan proses pemasakan dan pengadukan hingga 15 menit.

5. Setelah itu tuang hasil yang diperoleh ke dalam loyang dan didinginkan pada suhu ruang

selama 1 jam, kemudian dinginkan dalam refrigerator selama 24 jam.

6. Setelah itu keluarkan permen jelly dari refrigerator dan didiamkan pada suhu ruang selama 1

jam.

7. Permen jelly lalu dipotong-potong bentuk dadu dengan ukuran 1x1 cm, kemudian lumuri

dengan tepung tapioka sangrai dan gula halus dengan perbandingan 1:1.

8. Selanjutnya lakukan pengamatan terhadap sifat organoleptik permen jelly susu kambing yang

dihasilkan.

Hasil dan Pembahasan

Uji Organoleptik Warna

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa konsentrasi gelatin berpengaruh sangat nyata

terhadap kesukaan warna permen jelly susu kambing. Nilai rata-rata skor parameter warna produk

berkisar antara 2,98-3,75 (agak suka – suka). Hasil uji lanjut BNT warna disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1. Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) warna permen jelly susu kambing

Perlakuan Nilai Tengah

P0 (gelatin 0%) 2.98a

P1 (gelatin 1%) 3.67b

P2 (gelatin 2%) 3.72b

P3 (gelatin 3%) 3.75b

Fhit kelompok = 2.45** Fhit perlakuan = 5.55** Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda pada uji BNT 5%

Hasil uji BNT skor kesukaan warna permen jelly susu kambing menunjukkan bahwa

perlakuan konsentrasi gelatin 0% (P0) berbeda sangat nyata dengan perlakuan konsentrasi gelatin 1%

(P1), 2% (P2), dan 3% (P3). Sedangkan konsentrasi gelatin 1% (P1), 2% (P2), dan 3% (P3) tidak

berbeda nyata. Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan konsentrasi gelatin dalam pembuatan permen

jelly susu kambing. Semakin tinggi konsentrasi gelatin, semakin tinggi penilaian panelis terhadap

warna permen jelly susu kambing. Hal ini diduga karena penampakan produk yang terlalu lunak

(gelatin 0%) sehingga memengaruhi tingkat kesukaan panelis.

Permen jelly susu kambing P0 memiliki warna putih susu, hampir sama dengan warna

permen jelly P1. Sementara permen jelly susu kambing P2 dan P3 memiliki warna yang hampir sama

Page 45: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

37

yaitu kuning kecoklatan yang keruh, dan semakin keruh pada konsentrasi gelatin yang lebih tinggi.

Unsur warna susu masih terdapat pada permen jelly susu kambing P1.

Pada dasarnya permen jelly tidak memiliki warna khusus yang menjadi ciri khas karena

warna permen jelly bergantung pada jenis bahan baku yang digunakan. Pada penelitian ini, permen

jelly susu kambing berwarna putih kekuningan sampai kecoklatan akibat pengaruh warna gelatin yang

digunakan. Gelatin yang digunakan dalam penelitian ini berwarna kuning kecoklatan, sehingga dapat

mempengaruhi produk akhir permen jelly susu kambing. Hal ini menyebabkan warna produk yang

semakin gelap seiring meningkatnya konsentrasi gelatin yang digunakan. Menurut Malik (2010),

gelatin dapat berfungsi sebagai pembentuk gel, pengikat air, juga penjernih. Semakin tinggi

konsentrasi gelatin, warna produk akan semakin bias menuju warna kuning kecoklatan yang jernih.

Selain warna gelatin yang digunakan, hal lain yang mempengaruhi warna permen jelly susu kambing

adalah reaksi Maillard yang mungkin terjadi selama pemasakan akibat adanya gula pereduksi yang

bereaksi dengan asam amino dari susu kambing dan gelatin sehingga menimbulkan warna kecoklatan.

Gelatin melengkapi bahan-bahan pangan lain sebagai sumber protein dalam menyediakan

kebutuhan asam amino. Gelatin mengandung 18 jenis asam amino, termasuk 7 jenis dari 8 jenis asam

amino esensial yang dibutuhkan tubuh manusia (PB Gelatins, 2009). Keberadaan asam amino di

dalam permen jelly susu kambing mempengaruhi reaksi Maillard yang terjadi. Semakin banyak

gelatin, maka semakin banyak asam amino yang akan bereaksi dengan gula pereduksi pada bahan dan

membentuk reaksi Maillard. Reaksi Maillard merupakan reaksi antara asam amino (protein) dan gula

yang melibatkan kondensasi dan rearrangement. Reaksi tersebut merupakan reaksi kompleks yang

biasanya terjadi selama proses pemasakan dan penyimpanan (Shimamura dan Ukeda, 2012)

Uji Organoleptik Aroma

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa konsentrasi gelatin berpengaruh tidak nyata

terhadap aroma permen jelly susu kambing. Skor parameter aroma produk berkisar antara 3,23-3,70

(agak suka - suka). Hasil uji lanjut BNT aroma disajikan dalam Tabel 2.

Tabel 2. Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) aroma permen jelly susu kambing

Perlakuan Nilai Tengah

P0 (gelatin 0%) 3.45a

P1 (gelatin 1%) 3.33a

P2 (gelatin 2%) 3.23a

P3 (gelatin 3%) 3.70a

Fhit kelompok = 2.40** Fhit perlakuan = 1.78tn

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda pada uji BNT 5%

Berdasarkan uji BNT, perlakuan penambahan gelatin 1% (P1), 2% (P2) dan 3%(P3) tidak

berbeda dengan perlakuan 0% gelatin (P0). Perbedaan aroma pada permen jelly susu kambing

disebabkan perbedaan konsentrasi gelatin. Semakin sedikit konsentrasi gelatin dalam permen jelly

Page 46: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

38

maka akan semakin dominan aroma susu kambingnya. Perubahan aroma pada bahan pangan dapat

disebabkan oleh banyak hal, seperti interaksi antar komponen, proses pemasakan, irradiasi, enzim dan

mikroba, faktor fisik, reaksi induksi katalis, dan oksidasi udara (Zuhra, 2006). Faktor perubahan

aroma yang terjadi dalam pembuatan permen jelly susu kambing adalah reaksi komponen pada bahan

selama proses pemasakan.

Selama proses pemasakan permen jelly susu kambing terjadi reaksi Maillard akibat adanya

reaksi antara susu, gelatin, dan gula reduksi. Susu mengandung protein dan gula berupa laktosa.

Laktosa adalah bentuk disakarida dari karbohidrat yang dapat dipecah menjadi bentuk lebih sederhana

yaitu galaktosa dan glukosa. Pada kasus susu, laktosa bereaksi dengan sisi rantai asam amino bebas

dalam protein susu menuju tahapan awal, menengah, dan lanjutan dari reaksi Maillard (Shimamura

dan Ukeda, 2012).

Gelatin tersusun dari beberapa jenis asam amino seperti glisin, prolin, hidroksiprolin, asam

glutamat, dan alanin, sehingga menambah komponen asam amino yang akan bereaksi dengan laktosa

dan glukosa yang ditambahkan dalam pembuatan permen jelly susu kambing. Semakin tinggi

konsentrasi gelatin, aroma khas susu kambing semakin samar karena semakin banyak asam amino

yang akan bereaksi dengan komponen gula pereduksi.

Menurut Zuhra (2006), susu merupakan medium yang terbaik untuk tipe reaksi ini. Perubahan

kimia pada reaksi tersebut dapat mengubah sifat sensori dari makanan. Pencoklatan Maillard dalam

susu menyebabkan aroma apak dan rasa pahit. Meskipun pada permen jelly susu kambing ini aroma

khas susu kambing tidak hilang, tapi reaksi tersebut diduga telah menyebabkan berkurangnya

kekhasan aroma asli susu kambing.

Uji Organoleptik Kekenyalan

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perbedaan konsentrasi gelatin berpengaruh sangat

nyata terhadap kekenyalan permen jelly susu kambing. Skor parameter kekenyalan permen jelly susu

kambing berkisar antara 1,93-3,83 (kurang kenyal — kenyal). Hal ini menunjukkan bahwa

kekenyalan permen jelly hasil uji skoring adalah kurang kenyal sampai kenyal. Hasil uji lanjut BNT

kekenyalan permen jelly susu kambing disajikan dalam Tabel 3.

Tabel 3. Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) tekstur permen jelly susu kambing

Perlakuan Nilai Tengah

P0 (gelatin 0%) 1.93a

P1 (gelatin 1%) 3.13b

P2 (gelatin 2%) 3.27b

P3 (gelatin 3%) 3.83c

Fhit kelompok = 3.83** Fhit perlakuan = 37.05** Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda pada uji BNT 5%

Page 47: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

39

Berdasarkan uji BNT, perlakuan konsentrasi 0% gelatin (P0) berbeda dengan semua

perlakuan. Perlakuan (P3) dengan konsentrasi gelatin tertinggi yaitu 3% juga berbeda dengan semua

perlakuan. Perlakuan konsentrasi gelatin sebanyak 1% (P1) tidak berbeda dengan perlakuan P2.

Perbedaan kekenyalan yang terjadi disebabkan oleh perbedaan penambahan konsentrasi gelatin dalam

pembuatan permen jelly. Gelatin berfungsi mengubah tekstur dengan cara membentuk jaringan dari

molekul-molekul dalam bentuk sol yang telah menyerap air. Gelatin membentuk gel dengan cara

menyerap air. Tiap partikel gelatin bubuk akan menyerap air sehingga terbentuk sol yang masih

berbentuk cairan. Ketika didinginkan, molekul gelatin yang sebelumnya berbentuk gulungan kompak

dalam bentuk cairan tersebut akan terurai dan membentuk ikatan silang antar molekul lainnya yang

berdekatan sehingga membentuk jaringan dan terbentuk gel. Menurut Desideria et al. (2019) semakin

tinggi konsentrasi gelatin yang diberikan maka sineresis yang dihasilkan pada suatu produk akan

semakin rendah, sehingga akan menghasilkan konsistensi gel yang lebih tinggi dan permen jelly yang

dibuat akan menjadi lebih kenyal dan lebih disukai.

Uji Organoleptik Rasa

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perbedaan konsentrasi gelatin berpengaruh nyata

terhadap rasa permen jelly susu kambing. Skor parameter rasa permen jelly susu kambing berkisar

antara 3,08-3,90 (netral — suka). Hal ini menunjukkan bahwa kesukaan terhadap permen jelly hasil

uji skoring adalah netral sampai suka. Hasil uji lanjut BNT rasa permen jelly susu kambing disajikan

dalam Tabel 4.

Tabel 4. Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) rasa permen jelly susu kambing

Perlakuan Nilai Tengah

P0 (gelatin 0%) 3,08a

P1 (gelatin 1%) 3,48ab

P2 (gelatin 2%) 3,85b

P3 (gelatin 3%) 3,90b

Fhit kelompok = 2.35** Fhit perlakuan = 6.28** Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda pada uji BNT 5%

Nilai rataan tertinggi pada perlakuan P3 dan rataan terendah pada perlakuan P0. Perbedaan

rataan tersebut disebabkan oleh adanya penambahan gelain kulit ikan gabus pada permen jelly susu

kambing, namun perbedaan tersebut tidaklah terlalu signifikan terbukti dengan nilai rataan kesukaan

rasa permen jelly yang tidak terpaut jauh. Hal tersebut terjadi karena konsentrasi pemberian gelatin

kulit ikan gabus yang masih sedikit.

Pada setiap perlakuan rasa permen jelly hampir sama yaitu memiliki rasa yang manis dan

dominan rasa susu kambing, namun pada perlakuan P3 dengan pemberian gelatin kulit ikan gabus 3%

rasa manis dan rasa susu kambingnya sedikit berkurang, hal tersebut diduga menjadi penyebab

perlakuan P3 lebih disukai panelis karena rasa manis permen jelly tidak berlebihan serta rasa susu

Page 48: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

40

kambing nya sedikit berkurang. Menurut Basuki et al. (2014) semakin banyak penambahan

konsentrasi gelatin dan karaginan akan meningkatkan pembentukan gel sehingga dapat menurunkan

rasa pada permen jelly. Menurut Rahmi et al. (2012) dengan semakin banyaknya konsentrasi gelatin

yang diberikan maka jumlah air yang terperangkap pada molekul-molekul gelatin akan semakin besar.

Hal tersebut yang mengakibatkan rasa dari permen jelly akan semakin hambar.

Penentuan Perlakuan Terbaik

Penentuan perlakuan terbaik dalam penelitian ini dilakukan dari hasil uji organoleptik untuk

parameter warna, aroma, tekstur dan rasa. Karakteristik permen jelly yang baik adalah permen jelly

yang memiliki rasa, aroma, warna, dan tekstur yang normal (Standar Nasional Indonesia, 2008).

Aroma yang diharapkan untuk permen jelly susu kambing adalah yang masih memiliki kekhasan susu

kambing, sementara tekstur produk dilihat dengan menguji kekenyalannya. Parameter warna tidak

memiliki standar khusus karena bergantung pada jenis bahan baku yang digunakan. Data uji

organoleptik permen jelly susu dari setiap parameter disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Rekapitulasi hasil uji organoleptik permen jelly susu kambing

Parameter Perlakuan

P0 P1 P2 P3

Warna 2.98a 3.67b* 3.72b* 3.75b*

Aroma 3.45a 3.33a 3.23a 3.70a

Tektur 1.93a 3.13b* 3.27b* 3.83c**

Rasa 3.08a 3.48ab 3.85b* 3.90b*

∑ (*) 0 2 3 4

Tabel 5 menunjukkan bahwa perlakuan terbaik adalah permen jelly susu kambing dengan

konsentrasi gelatin sebesar 3% (P3). Hal tersebut ditunjukkan oleh jumlah terbanyak tanda bintang

yang diperoleh pada perlakuan gelatin 3% pada setiap parameter uji organoleptik. Permen jelly susu

kambing P3 bersifat agak kenyal dan memiliki aroma agak khas susu kambing dengan warna kuning

kecoklatan dan penerimaan keseluruhan suka.

Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa pemberian gelatin

kulit ikan gabus berpengaruh nyata terhadap warna, tekstur dan rasa permen jelly susu kambing,

namun tidak memberi pengaruh nyata terhadap aroma dari permen jelly susu kambing. Diantara

perlakuan pemberian gelatin kulit ikan gabus, permen jelly dengan pemberian gelatin kulit ikan gabus

3% (P3) lebih disukai oleh panelis, baik dalam segi warna, aroma, tekstur dan rasa.

Page 49: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

41

Saran

Untuk penelitian selanjutnya disarankan untuk meningkatkan konsentrasi gelatin kulit ikan

gabus pada permen jelly agar pengaruh pada warna, aroma, tekstur dan rasa permen jelly lebih

terlihat.

Daftar Pustaka

Basuki, E.K., Mulyani S, T., Hidayati, L., 2014. Pembuatan permen jelly nanas dengan penambahan

keragenan dan gelatin. J. Rekapangan 8(1): 39–49.

Bihaqi S. F. And H. Jalal. 2010. Goaty odour in milk and its prevention. Research Journal of

Agricultural Sciences 1(4):487-490.

Buckle, K. A., R. A. Edwards, G. H. Fleet, and M. Wootton. 2009. Ilmu Pangan. Diterjemahkan oleh

Purnomo H. dan Adiono. UI Press. Indonesia. 365 pages.

Budiana, N. S. dan D. Susanto. 2005. Susu Kambing. Penebar Swadaya. Depok. 80 Hal.

BSN (Badan Standarisasi Nasional). 2008. SNI 3547.2 Kembang Gula - Bagian 2: Lunak. Badan

Standarisasi Nasional. Jakarta

Desideria, D., Kunarto, B., Fitriana, I., 2019. karakteristik permen jelly sari kunyit putih (Curcuma

mangga val) yang diformulasi menggunakan konsentrasi gelatin. J. Mahasiswa, J. Teknologi

Hasil Pertanian 2: 1–9.

Eletra, Y., Susilawati, dan S. Astut. 2013. Pengaruh Konsentrasi Gelatin Terhadap Sifat Ordanoleptik

Permen Jelly Susu Kambing. J. Teknol. Ind. Dan Has. Pertan. 18, 185–195.

Harianti, H., 2011. Ikan Gabus (Channa striata) Dan Berbagai Manfaat Albumin Yang Terkandung Di

Dalamnya. J. Balik Diwa 2, 18–25.

Hastuti, D., I. Sumpe. 2007. Pengenalan dan Proses Pembuatan Gelatin. Mediagro 3, 39–48.

Legowo, A. M. dan A. N. Al-Baarri. 2005. Identifikasi dan karakterisasi aroma ‗prengus‘ (―goaty

flavor‖) susu kambing serta produk olahannya. (Skripsi). Universitas Diponegoro. Semarang.

Hlm 16-20.

PB Gelatin. 2009. Gelatin Technical Info. Edition 5. Tessenderlo Group. Belgium. 8 pages.

Rahmi, S.L., F. Tafzi, dan S. Anggraini. 2012. Pengaruh Penambahan Gelatin Terhadap Pembuatan

Permen Jelly Dari Bunga Rosella (Hibiscus Sabdariffa Linn). J. Penelit. Univ. Jambi Seri

Sains 14, 36–44.

Saputra, R.H., I. Widiastuti, dan A. Supriadi. 2015. Karakteristik Fisik dan Kimia Gelatin Kulit Ikan

Patin (Pangasius pangasius) dengan Kombinasi Berbagai Asam dan Suhu. J. Teknol. Has.

Peternak. 4, 29–36.

Shimamura, T. and H. Ukeda. 2012. Maillard Reaction in Milk–Effect of Heat Treatment. InTech.

http://dx.doi.org/10.5772/50079

Standar Nasional Indonesia. 2008. Standar Nasional Indonesia Kembang Gula. SNI 3547.2-2008.

Badan Standarisasi Nasional. Indonesia.

Steel, R. G. D. dan J. H. Torrie. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistika. Diterjemahkan oleh Bambang

Sumantri. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Tatami, S., T. Yamamoto, M. Kumakura, H. Noda, N. Sakamoto, T. Ito, E. Fuse, K. Suzuki, H.O.

Dental, dan T. Monitor. 1992. United States Patent (19).

Wulandari, W., A. Supriadi, dan B. Purwanto. 2013. Pengaruh Defatting dan Suhu Ekstraksi Terhadap

Karakteristik Fisik Gelatin Tulang Ikan Gabus (Channa striata). Fishtech 2, 38–45.

Zuhra, C. F. 2006. Karya Ilmiah Flavor (Citarasa). Departemen Kimia. Universitas Sumatera Utara.

Sumatera Utara. Hal 1-27.

Page 50: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

42

Respon Fisiologis dan Hematologis Kambing Boerka yang digembalakan

The Physiological and Hematological Responses of the Boerka Goat are Herded

Arie Febretrisiana1, Alfian Destomo

1, Ade Syahrul Mubarak

1

1Loka Penelitian Kambing Potong, 20585 Galang

*Korespondensi: [email protected]

Abstrak

Kambing Boerka adalah salah satu jenis kambing unggul yang dihasilkan dari persilangan kambing

Boer dan Kacang. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui respon fisiologis dan

hematologis kambing boerka yang digembalkan. Sebanyak 10 ekor kambing jantan Boerka berumur

1-1,5 tahun dengan berat badan ±32 kg. Penelitian ini dilakukan selama 3 bulan (Januari-Maret 2018).

Kambing dibagi dalam 2 kelompok kambing yang digembalakan (G) dan tanpa digembalakan (TG)

(masing-masing 5 ekor). Pengembalaan dilakukan setiap hari dimulai pukul 10.00 – 16.00 WIB.

Pengambilan data fisiologis meliputi data suhu rektal, denyut jantung, laju respirasi dan paramater

hematologis darah meliputi sel darah merah, sel darah putih, haemoglobin dan haemotokrit. Data di

tabulasi dalam bentuk rata-rata dan kemudian dianalisa dengan Uji Sidik Ragam (ANOVA). Hasil

penelitian menunjukkan suhu lingkungan tertinggi adalah diluar kandang mencapai 32,9˚C dengan

kelembapan 53,8. Suhu rektal kambing yang digembalakan lebih tinggi (P<0,05) bila dibandingkan

pada kambing yang tidak digembalakan masing-masing 39,6 ˚C dan 39,1 ˚C. Begitu pula laju respirasi

dan denyut jantung masing-masing 41,3 dan 32,9 kali/ menit; 91,8 dan 86,4 kali/menit (P<0,05). Sel

darah putih mengalami kenaikan (P>0,05) masing-masing 0,04x103/µl dan 1,7x10

3/µl. Kadar

hematokrit (TG) mengalami penurunan (P<0,05) 0,6% sedangkan pada kelompok G naik (P<0,05)

5,4%. Kondisi yang sama juga terjadi pada kadar sel darah merah yang mengalami kenaikan pada

kelompok G (P<0,05) masing-masing 0,92 7x106/µl dan 1,167x10

6/µl. Kadar hemoglobin darah baik

dari G maupun TG keduanya mengalami penurunan (P>0,05) masing-masing 0,7 g/dl dan 0,8g/dl.

Dari peneltian ini terlihat adanya perubahan baik pada parameter fisiologis maupun haematologis

kambing boerka yang digembalakan sebagai respon terhadap lingkungan pengembalaan.

Kata Kunci: Kambing Boerka, fisiolofis, haematologis, suhu, kelembapan

Abstract

Boerka Goat is one of the superior types of goats that crossing of Boer and Kacang goat. The purpose

of this study was to determine the physiological and haematological responses of the herded boerka

goats. A total of 10 male goats Boerka goats 1-1.5 years with a body weight of ± 32 kg. This research

was conducted for 3 months (January-March 2018). Goats are divided into 2 groups of goats that are

grazed (G) and without grazing (TG) (each of 5 animals). The grazing is done every day starting at

10:00 - 16:00 WIB. Retrieval of physiological data includes rectal data, heart rate, respiration rate

and hematologic parameters of red blood cells, white blood cells, hemoglobin and haemotocrit. The

data is tabulated in the average form and then analyzed by the Variance Test (ANOVA). The results

showed that the popular environment was 32.9 C height with 53.8 humidity. Rectal goat herding

temperature was higher (P <0.05) compared to 39.6 39C and 39.1 ˚C, respectively. The respiration

rate and heart rate were 41.3 and 32.9 times / minute, respectively; 91.8 and 86.4 times / minute (P

<0.05). White blood cells increased in height (P> 0.05) respectively 0.04x103 / μl and 1.7x103 / μl.

Hematocrit (TG) levels decreased (P <0.05) 0.6% while those in the G group increased (P <0.05)

5.4%. The same condition also occurred in red blood cell levels that increased in group G (P <0.05),

each 0.92 7x106 / μl and 1.167x106 / μl. Blood hemoglobin levels both from G and TG decreased (P>

0.05) respectively 0.7 g / dl and 0.8 g / dl. From this research, it is seen that there are changes in both

physiological and haematological parameters of the boerka goats that are pastured in response to the

grazing environment.

Key Word: Boerka Goat, phisiologys, haematologys, tempherature, humidity

Page 51: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

43

Pendahuluan

Kambing Boerka merupakan kambing hasil persilangan antara kambing Boer dan Kacang.

Pembentukan kambing ini dilakukan di Loka Penelitian Kambing Potong, Sei Putih. Tujuan

persilangan ini dilakukan adalah untuk meningkatkan kualitas dan performa kambing kacang sebagai

jenis kambing yang populer dipelihara oleh petani di Indonesia. Kambing kacang memiliki

keunggulan tahan terhadap parasit, adaptasi yang tinggi pada berbagai kondisi lingkungan dan bersifat

prolifik. Akan tetapi dibalik keunggulannya kambing kacang memiliki kekurangan yaitu pertumbuhan

bobot badan yang sangat rendah (Pamungkas et al., 2009). Oleh karena itu diharapkan dengan

persilangan yang dilakukan akan dapat meningkatkan performans kambing kacang.

Sistem pemeliharaan semi-intensive adalah sistem pemeliharaan yang umum digunakan

peternak dalam memelihara ternak mereka. Ternak akan digembalakan dalam waktu tertentu dan akan

terpapar panas matahari. Interaksi antara lingkungan dan ternak menjadi hal yang sangat penting

untuk diperhatikan untuk dapat beradaptasi dan berkembang biak dengan baik (Mirkena et al., 2010).

Dan Temperatur lingkungan menjadi salah satu faktor yang dapat mempengaruhi performans ternak.

Cekaman panas dapat ditandai apabila terjadinya kenaikan temperatur tubuh dan laju respirasi ternak

yang tidak lagi dalam batas normal. Secara lebih luas kenaikan suhu tubuh akan mengakibatkan

penurunan asupan pakan, distribusi aliran darah dan terjadi perubahan metabolisme lainnya yang

dapat memberikan pengaruh buruk terhadap produktivitas dan reproduksi ternak (Narendra, 1990).

Cekaman panas diketahui akan mengganggu fisiologis normal, haematologi dan metabolisme ternak

(Bagha et al., 2009).

Kambing Boer merupakan jenis kambing eksotis yang berasal dari negara dengan kondisi

lingkungan yang berbeda dengan Indonesia. Wilayah Indonesia adalah daerah tropis dengan intensitas

paparan sinar matahari yang tinggi. Sehingga penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh

paparan panas pada kambing boerka yang merupakan kambing persilangan anatara kambing boer dan

kacang yang digembalakan terhadap kondisi fisiologis dan haemotologinya.

Materi dan Metode

Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di kandang percobaan Loka Penelitian Kambing Potong, Sei Putih.

Suhu udara rata-rata adalah 23-33˚C dan kelembapan udara 45-80%. Sampel penelitian dianalisa

dilaboratorium Patologi Klinis Balai Veteriner Medan, Kementerian Pertanian.

Materi Penelitian

Sebanyak 10 ekor kambing jantan Boerka berumur 1-1,5 tahun dengan berat badan ±32 kg.

Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan selama 3 bulan (Januari-Maret 2018). Sebelum pengambilan data

penelitian pertama dilakukan, dilakukan adaptasi pada kambing selama 2 minggu.

Page 52: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

44

Pemeliharaan Ternak

Kambing dibagi dalam dua kelompok yaitu kelompok kambing yang digembalakan dan tanpa

digembalakan dengan masing-masing kelompok terdiri dari 5 ekor kambing. Masing-masing

kelompok kambing dipelihara di dalam kandang berukuran 5x5 m2. Kambing diberi pakan konsentrat

pada pukul 08.00 WIB. Pemberian rumput dilakukan dua kali yakni pada pagi dan sore hari. Air

minum diberikan ad libitum. Pengembalaan dilakukan setiap hari selama 6 jam dimulai pukul 10.00 –

16.00 WIB.

Pengukuran Kondisi Lingkungan

Pengukuran suhu dan kelembapan dilakukan didalam kandang dan di padang pengembalaan

dan dilakukan pada pagi dan sore hari.

Koleksi Data

Pengambilan data fisiologis (suhu rektal, denyut jantung, laju respiras)i dan paramater

hematologis darah (Sel darah merah, Sel darah putih, Haemoglobin dan Haemotokrit). Suhu rektal

diukur menggunakan termometer tubuh dengan memasukkan ujung termometer ke dalam anus.

Pengukuran denyut jantung dilakukan dengan menghitung jumlah denyut jantung selama 15 detik

menggunakan steteskop. Laju respirasi dicatat dengan menghitung jumlah respirasi yang dirasakan

dengan menempelkan telapak tangan luar pada hidung kambing. Parameter hematologis dievaluasi

dengan memeriksa kandungan darah dengan mengambil sampel darah dari semua kambing dan

dianalisa dilaboratorium.

Analisa Data

Data suhu rektal, denyut jantung, laju respirasi, berat badan dan parameter darah di tabulasi

dalam bentuk rata-rata dan kemudian dianalisa dengan Uji Sidik Ragam (ANOVA) dan jika

ditemukan perbedaan akan di uji lanjut dengan Uji Jarak Berganda Dunken. Data dianalisa dengan

bantuan program SPSS.

Hasil dan Pembahasan

Suhu dan Kelembapan Lingkungan

Pengukuran suhu udara didalam kandang dan diareal pengembalaan dalam penelitian ini

dilakukan untuk mengetahui perbedaan suhu dan kelembapan pada keduannya. Hasil pengukuran

menunjukkan adanya perbedaan suhu dan kelembapan didalam kandang dengan diareal

pengembalaan. Tren suhu pada pagi hari dimulai pukul 06.00 WIB menunjukkan suhu didalam

kandang lebih tinggi dibandingkan dengan suhu udara diluar kandang. Namun dimulai pukul 08.00

WIB sampai dengan pukul 16.00 WIB suhu udara diluar kandang lebih tinggi bila dibandingkan

dengan suhu udara di dalam kandang. Suhu udara baik di dalam maupun diluar kandang mengalami

kenaikan mulai pukul 06.00 WIB dan mulai menurun mulai pukul 16.00 WIB. Kelembapan udara di

dalam kandang pada pukul 06.00 WIB tercatat 79,2 dan naik pada pukul 08.00 sampai 14.00 WIB dan

kembali naik pada pukul 16.00 WIB.

Page 53: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

45

Tren yang sama terjadi pula pada kelembapan pada areal di luar kandang. Suhu udara disuatu

tempat dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya adalah lamanya penyinaran matahari, kemiringan

sinar matahari, keadaan awan dan keadaan permukaan bumi. Hal ini menyebabkan suhu udara di areal

pengembalaan lebih tinggi dibandingkan dengan suhu udara di dalam kandang. Suhu udara

berkorelasi terhadap kelembapan udara di suatu tempat. Kelembapan udara berarti banyaknya uap air

yang terkandung di dalam udara yang dipengaruhi oleh ketersediaan air, sumber air, suhu udara,

tekanan udara dan angin (Fadholi, 2013). Hal ini terlihat pada penelitian ini dimana terlihat apabila

suhu udara turun maka kelembapan udara akan naik dan sebaliknya apabila suhu udara naik maka

kelembapan udara akan cendrung turun.

Grafik 1. Suhu (A) dan kelembapan (B) udara di dalam kandang dan di areal pengembalaan

Tabel 1. Suhu dan kelembapan udara di dalam kandang dan di areal pengembalaan

Waktu Suhu (˚C) Kelembapan (%)

Dalam Luar Dalam Luar

06.00 25,0 24,6 79,2 82,2

08.00 24,4 26,2 85,5 85,0

10.00 28,5 30,7 70,2 62,6

12.00 29,7 32,9 59,1 53,8

14.00 31,0 32,5 57,4 56,4

16.00 30,5 31,6 62,4 62,4

Parameter Fisiologis

Pengujian paramater fisiologis pada penelitian ini yang meliputi evaluasi suhu rektal, laju

respirasi dan denyut jantung kambing boerka yang dikandangkan maupun yang digembalakan (Tabel

2). Tercatat adanya kenaikan suhu rektal baik pada kambing yang dikandangkan maupun yang

digembalakan. Suhu rektal kambing setelah digembalkan mencapai 39,6 ˚C lebih tinggi (P<0,05) bila

dibandingkan kambing yang tidak digembalkan yaitu hanya 39,1 ˚C. Hal ini kemungkinan

(A) (B)

Page 54: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

46

diakibatkan karena pengaruh kondisi lingkungan luar kandang dan aktivitas tubuh. Menurut Rahardja

et al (2011) kambing yang terpapar cahaya matahari secara langsung akan mengalami kenaikan suhu

tubuh. Tingkat cekaman atau beban panas yang disebabkan tingginya suhu dan radiasi matahari pada

kambing yang tidak mendapatkan naungan pelindung dapat meningkatkan suhu rektal (Qisthon dan

Suhariyati, 2012). Dalam penelitian ini kenaikan suhu rektal kambing yang di gembalakan lebih

tinggi, dikarenakan kambing yang digembalakan langsung terpapar sinar matahari dan suhu

lingkungan luar kandang lebih tinggi (Tabel 1). Selain itu konsumsi pakan ( Novianti et al,2013) dan

mencerna pakan (Shibata dan Mukai, 1979) juga akan dapat meningkatkan panas tubuh. Kambing

yang digembalakan memiliki kesempatan lebih besar dalam memilih rumput segar dibandingkan

rumput yang diberikan kepada kambing yang dipelihara di kandang. Kesempatan memperoleh pakan

yang lebih banyak dengan kualitas sesuai keinginan kambing di padang penggembalaan dapat

meningkatkan aktifitas makan. Hal ini menyebabkan terjadi peningkatan panas yang diproduksi dari

dalam tubuh, akibat dari tingginya proses metabolisme sebab semakin tinggi jumlah pakan yang

diberikan,maka energi juga semakin meningkat (Rasyid, et al., 1994),

Keadaan yang sama juga terlihat dari hasil evaluasi laju respirasi pada kedua kelompok

kambing. Perubahan jumlah respirasi kambing yang digembalakan lebih besar (P<0.05) dari kambing

yang digembalakan. Laju respirasi kambing yang digembalakan adalah 41,43 kali/menit sedangkan

yang dikandangkan hanya 32,91 kali/menit. Peningkatan ini kemungkinan berkaitan dengan kenaikan

suhu tubuh kambing yang digembalakan lebih tinggi akibat paparan sinar matahari. Untuk menjaga

stabilitas suhu tubuh ternak akan berusaha melepaskan pada dari tubuhnya dengan cara meningkatkan

laju respirasi (Ramadhan et al., 2017). Tingginya tingkat respirasi kambing yang digembalakan juga

akibat aktivitas fisiologis panting untuk mempercepat pengeluaran panas dalam tubuh. McKinley et

al.,(2009) menyatakan bahwa Panting adalah upaya thermoregulasi tubuh selain berkeringat.Selain

itu menurut Suwignyo et al. (2016) tingkat respirasi kambing dipengaruhi oleh konsumsi pakan dan

pencernaannya yang berkaitan dengan kebutuhan oksigen Kambing yang digembalakan memiliki

kesempatan mendapat pakan yang disukai lebih banyak dibandingkan dengan kambing yang

dikandangkan, sehingga diduga konsumsi pakannya lebih banyak. Selanjutnya Campbell et al (2003)

berpendapat bahwa tubuh membutuhkan oksigen untuk merombak zat makananan menjadi energy.

Pendapat ini sesuai dengan kondisi kambing yang digembalakan akan membutuhkan energy lebih

banyak untuk bergerak mencari makan.

Tabel 2. Kondisi hematologis kambing yang dikandangkan dan digembalakan

Parameter Pemeliharaan Pra Pasca Selisih

Suhu Rectal(oC)

Kandang 39.04±0.22 39.14±0.27 0.09±0.09b

Gembala 38.68±0.09 39.66±0.15 0.98±0.15a

Respirasi (kali/ menit) Kandang 29.94±1.88 32.91±2.20 2.97±1.24

b

Gembala 29.14±3.20 41.43±4.32 22.29±11.6a

Page 55: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

47

Denyut Jantung (kali/ menit) Kandang 93.94±8.11 86.40±6.51 -7.54±6.63

b

Gembala 81.71±6.63 91.89±5.43 10.17±5.43a

Keterangan: huruf superskip (a,b) menunjukkan perbedaan signifikan (P<0,05) antar baris

Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui perubahan denyut jantung permenit kambing yang

digembalakan lebih tinggi (P<0.05) dibandingkan dengan kambing yang dikandangkan. Hal ini

dipengaruhi oleh perbedaan kondisi lingkungan kedua kelompok kambing. Menurut Frandson (1996)

faktor yang mempengaruhi jumlah denyut nadi adalah jumlah pakan dalam saluran pencernaan akibat

kontraksi rumen. Selain itu Penyebabnya adalah kondisi ternak, suhu lingkungan, aktivitas otot dan

stress. Pada kambing yang digembalakan suhu lingkungan diluar kandang lebih tinggi dan

kelembaban lebih rendah. Selain itu aktivitas fisik kambing lebih banyak saat kambing bergerak

mencari pakan. Minimnya naungan dapat juga menyebabkan cekaman panas pada kambing sehingga

menyebabkan stress. Peningkatan suhu lingkungan dapat menimbulkan rangsangan pada

thermoreceptor di dalam hipotalamus, dimana hipotalamus akan melepaskan hormon kortisol yang

akan mempengaruhi terjadinya pelebaran pembuluh darah dan meningkatkan penyebaran darah ke

seluruh tubuh sebagai upaya untuk melepaskan panas Ramadhan et. al. (2017).

Parameter Haematologis

Pada penelitian ini dilakukan pengujian paramater haematologi meliputi pengukuran kadar sel

darah merah, sel darah putih, haemoglobin dan hematokrit. Hasil penelitian menunjukkan terjadi

kenaikan kadar sel putih merah pada kambing yang dikandangkan maupun pada kambing yang

digembalakan (Tabel 3). Kadar sel darah putih pada kambing yang dikandangkan mengalami

kenaikan sebesar 0,04 x103/µl sedangkan pada kambing yang digembalakan mengalami kenaikan

sebesar 1,7 x103/µl namun jika dibandingkan antara keduanya, kenaikan ini tidak menunjukkan

perbedaan yang signifikan (P>0,05). Pada pengukuran kadar hematokrit darah pada kambing yang

dikandangkan menunjukkan perubahan yang signifikan (P<0,05) jika dibandingkan dengan kadar

hematokrit darah kambing yang digembalakan. Terlihat adanya penurunan kadar hematokrit darah

kambing-kambing yang dikandangkan sebesar 0,6% sebaliknya kadar hematokrit darah kambing-

kambing yang digembalkan justru mengalami kenaikan sebesar 5,4%.

Kadar sel darah merah yang dievaluasi dari kedua kelompok ternak terlihat terjadi penurunan

kadar sel darah merah pada kambing-kambing yang dikandangkan (-0,92 x106/µl) dan sebaliknya

kadar sel darah merah pada kambing yang digembalakan mengalami kenaikan sebesar 1,16x106/µl.

Jika dibandingkan perubahan yang terjadi pada kadar sel darah merah signifikan berbeda (P<0,05)

antara keduanya. Parameter selanjutnya adalah mengukur kadar haemoglobin dari kedua kelompok

kambing. Hasil pengukuran terlihat bahwa kadar haemoglobin dari kedua kelompok kambing

menunjukkan penurunan sebesar 0,76 g/dl pada kambing yang dikandangkan dan 0,8 g/dl pada

kambing yang digembalakan. Penurunan kadar haemoglobin dari kambing yang dikandangkan tidak

Page 56: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

48

menunjukkan perbedaan (P>0,05) jika dibandingkan dengan penurunan pada kambing yang

digembalakan.

Saat terpapar panas matahari, suhu tubuh ternak akan meningkat dan akan menyebabkan

perubahan pada perbandingan volume sel darah merah didalam cairan darah (hematokrit). Seperti

yang terlihat didalam penelitian ini kadar hematokrit darah kambing yang digembalakan mengalami

kenaikan sebaliknya pada kambing yang dikandangkan justru mengalami penurunan. Hal ini

kemungkinan dipengaruhi oleh adanya kaitan antara peningkatan suhu tubuh ternak akibat terpapar

sinar matahari saat digembalakan menyebabkan berkurangnya cairan tubuh. Cairan tubuh yang

berkurang ternyata dapat mempengaruhi turunnya volume plasma darah yang berakibat meningkatnya

konsentrasi hematokrit (El-Nouty et al., 1990).

Tabel 3. Kondisi hematologis kambing yang dikandangkan dan digembalakan

Parameter Tipe Pemeliharaan Sebelum Sesudah Selisih Perubahan

Sel darah putih (x103/µl)

Dikandangkan 14.84±3.31 14.88±3.21 0.04±4.57a

Digembalakan 14.66±3.38 16.36±2.8 1.7±5.26a

Hematocrit (%) Dikandangkan 22.2±1.09 21.6±0.89 -0.6±1.67

b

Digembalakan 15.4±5.13 20.8±1.48 5.4±4.22a

Sel darah merah (x106/µl)

Dikandangkan 15.48±0.76 14.56±0.26 -0.92±0.72b

Digembalakan 12.7±1.44 13.86±1.77 1.16±1.87a

Haemoglobin (g/dl) Dikandangkan 10±0.84 9.24±0.47 -0.76±1.22

a

Digembalakan 9.82±1.24 9.02±0.69 -0.8±1.69a

Keterangan: huruf superskip (a,b) menunjukkan perbedaan signifikan (P<0,05) antar baris

Kenaikan hematokrit ternyata berkaitan pula dengan meningkatnya kadar sel darah merah dan

hemoglobin yang terdapat dalam darah. Sel darah merah atau eritrosit adalah salah satu komponen

kedua terbanyak yang mengisi darah selain plasma darah. Sel darah merah memiliki fungsi

mengedarkan oksigen keseluruh tubuh untuk membantu proses oksidasi pada jaringan-jaringan tubuh.

Sel darah merah dapat mengedarkan oksigen dengan adanya suatu protein yang terikat pada eritrosit

yang mampu mengikat oksigen yaitu haemoglobin (Reid et al., 2004). Selain mampu mengikat

oksigen hemoglobin juga dapat mengikat karbondioksida dan karbonmonoksida (Guyton & Hall,

2006). Kadar sel darah merah dan hemoglobin dalam darah akan meningkat dengan adanya

peningkatan hematokrit darah sebagai akibat dari berkurangnya cairan darah sehingga volume sel

darah merah akan meningkat (Shandya et al., 2015). Sehingga penting untuk menjaga agar ternak

tidak mengalami dehidrasi jika dipelihara dengan sistem pengembalaan.

Kesimpulan

Kesimpulan dari penelitian ini adalah sistem pengembalaan pada ternak kambing Boerka akan

menyebabkan perbedaan fisiologis maupun kondisi hematologis dengan kambing boerka yang tidak

digembalkan. Perlu memperhatikan ketersediaann air yang cukup untuk mencegah ternak kambing

Page 57: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

49

yang digembalakan dari kondisi dehidrasi pada saat digembalakan agar dapat menjaga kondisi

tubuhnya.

Daftar Pustaka

Campbell, N.A., Reece, J.B., Mitchell, L.G. 2003. Biologi Jilid 1 (Terjemahan). Jakarta: Erlangga

El-Nouty, F.D., Al-Haidary, A.A., Salah, M.S. 1990. Seasonal variations in hematological values of

high and average-yielding Holstein cattle in a semi-arid environment. K. S. U. Agric Sci.

2:172–173.

Fadholi, A. 2013. Pemanfaatan suhu udara dan kelembaban udara dalam persamaan regresi untuk

simulasi prediksi total hujan bulanan di Pangkalpinang. Jurnal CAUCHY. Volume 3 (1): 1-9.

Frandson, R. D. 1996. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Ed Ke-4. Gadjah Mada University Press.

Yogyakarta.

Guyton, A.C., Hall, J.E. 2006. Textbook of Medical Physiology (11th ed.). Philadelphia: Elsevier Inc.

McKinley, M.J., Weissenborn, F., Mathai, M.L., 2009. Drinking-induced thermoregulatory panting in

rehydrated sheep: influences of oropharyngeal/esophageal signals, core temperature, and thirst

satietyAm J Physiol Regul Integr Comp Physiol .296:1881–1888.

Mirkena, T., Duguma, G., Haile, A., Tibbo, M., Okeyo, A.M., Wurzinger, M., Solkner, J. 2010.

Genetics of adaptation in domestic farm animals: a review. LivestSci. 132:1–12.

Novianti, J., Purwanto, B.P., Atabani. 2013 .Respon Fisiologis dan Produksi Susu Sapi Perah FH pada

Pemberian Rumput Gajah (Pennisetum purpureum) dengan Ukuran Pemotongan yang

Berbeda. Jurnal Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan .1(3): 138-146

Pamungkas, F.A., Aron, B., Meruwald, D., Erwi, S. 2009. Petunjuk Teknis Potensi beberapa kambing

plasmanutfah Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. ISBN: 978-602-

8475-04-4

Qisthon, A. dan Suharyati, S. 2007. Pengaruh naungan terhadap respons termoregulasi dan

produktivitas kambing peranakan ettawa. Majalah Ilmiah Peternakan. 10(1):13-16.

Ramadhan, A.F., Dartosukarno, S., Purnomoadi, A. 2017. Pengaruh Pemberian Vitamin B Komplek

terhadap Pemulihan Fisiologi, Konsumsi Pakan, dan Bobot Badan Kambing Kacang Muda

dan Dewasa Pasca Transportasi. Jurnal Ilmi-Ilmu Peternakan. 13(1).: 23-33

Rahardja, D.P., Toleng, A.L., Lestari, V.S. 2011. Thermoregulation and water balance in fat-tailed

sheep and Kacang goat under sunlight exposure and water restrictionin a hot and dry

area.Animal. 5(10):1587–1593.

Rasyid, Mariyono, A., Affandhy, L., Yusran, M.A. 1994. ―Tampilan Fisiologis SapiMadura yang

Dipekerjakan di Lahan Kering dengan Pakan Berbeda.‖ Prosiding Pertemuan Ilmiah Hasil

Penelitian Peternakan Lahan Kering 4 (Departemen Pertanian. Malang):325–327.

Reid, S.A., Speedy D.B., Thompson J.M., Noakes T.D., Mulligan G., Page T., Campbell R.G., Milne

C. 2004. 2004. Study of Hematological and Biochemical Director Association 5: 395- 400

Shandya S, Singh V.K, Upadhyay R.C, Puri G, Odedara A.B, Patel P.A. 2015. Evaluation of

physiological and biochemical responses in different seasons in Surti buffaloes. Vet. World.

8(6):727–731.

Shibata, M., Mukai, A., 1979. Effect of heat stress and hay concentrate rations on milk production,

heat production and some physiological responses to lactating cows. Jpn. J. Zoot. Sci. 50, 630

– 644.

Suwignyo, B., Wijaya, U.A., Indriani, R., Kurniawati, A., Widiyono, I., Sarmin. 2016 .Konsumsi,

Kecernaan Nutrien, Perubahan Berat Badan dan Status Fisiologis Kambing Bligon Jantan

dengan Pembatasan Pakan. Jurnal Sains Veteriner. 34(2): 210-219

Page 58: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

50

Faktor Koreksi Bobot Prasapih Domba Garut Berdasarkan Jenis Kelamin dan Tipe

Kelahiran di UPTD-BPPTDK Margawati Garut

Correction Factor of Garut Sheep Preweaning Weight Based on Sex and Birth Type in

UPTD-BPPTDK Margawati Garut

Ayu Kamila Haya

a, Asep Anang

Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, Jalan Raya Bandung-Sumedang Km. 21, Jatinangor, Sumedang

45363 a)

Email: [email protected]

Abstrak

Performa prasapih dapat dipengaruhi oleh efek tetap pada domba, seperti jenis kelamin dan

tipe kelahiran, sehingga perlu pengkajian faktor koreksi perlu dilibatkan untuk melakukan evaluasi

genetik Domba Garut dengan adil. Penelitian dilaksanakan di Unit Pelayanan Teknis Dasar Balai

Pengembangan Perbibitan Ternak Domba dan Kambing (UPTD-BPPTDK) Margawati Garut pada

Tanggal 22 Agustus – 18 September 2019. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persamaan

faktor koreksi bobot prasapih jantan dan betina berdasarkan tipe kelahiran. Sifat-sifat yang telah

diamati, yaitu bobot lahir, bobot 30, 60, 90 hari dan bobot sapih (100 hari) Domba Garut. Sifat-sifat

tersebut dianalisis dari 6.349 ekor ternak terdiri atas 3.214 ekor jantan dan 3.135 ekor betina dari

Tahun 2012-2019 menggunakan Microsoft excel dan persamaan regresi Vapor pressure model

menggunakan curve expert. Berdasarkan hasil penelitian, persamaan regresi faktor koreksi bobot

badan jantan ke tipe kelahiran tunggal, yaitu

(bobot lahir),

(bobot 30 hari),

(bobot 60

hari),

(bobot 90 hari),

(bobot

sapih), dan persamaan regresi faktor koreksi bobot badan jantan ke tipe kelahiran ganda, yaitu

(bobot lahir),

(bobot 30

hari),

,(bobot 60 hari),

(bobot 90 hari),

(bobot sapih),

sedangkan persamaan regresi faktor koreksi bobot badan betina ke tipe kelahiran tunggal, yaitu

(bobot lahir),

(bobot 30 hari),

(bobot 60 hari),

(bobot 90

hari),

(bobot sapih), dan persamaan regresi faktor koreksi bobot

badan betina ke tipe kelahiran ganda, yaitu

(bobot lahir),

(bobot 30 hari),

(bobot 60 hari),

(bobot 90 hari),

(bobot sapih).

Tingkat akurasi persamaan-persamaan tersebut sangat tinggi, yaitu sebesar 0,9926, sehingga dapat

dijadikan persamaan regresi pendugaan faktor koreksi bobot badan Domba Garut di balai Margawati.

Kata Kunci: Faktor Koreksi, Bobot Lahir, Bobot 30, 60, 90 Hari, Bobot Sapih, Domba Garut

Abstract

Preweaning weight performances can be affected by fixed effect on sheep, such as sex and

birth type, then the study of correction factor is important to be involved to do genetic evaluation on

Garut sheep fairly. The study was held on Unit Pelayanan Teknis Dasar Balai Pengembangan

Perbibitan Ternak Domba dan Kambing (UPTD-BPPTDK) Margawati Garut in August 22nd –

September 18th 2019. This study was addressed to study the correction factor equation of preweaning

Page 59: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

51

weight on rams and ewes based on the birth type. The traits that has been observed is birth weight,

30, 60, 90 days weight, weaning weight (100 days) of Garut Sheep. The following traits were analyzed

on 6.349 heads, from 3.214 rams and 3.135 ewes in 2012-2019 by Microsoft excel and Vapor

pressure model regression equation by Curve Expert. Based on the results, the regression equation of

the rams body weight correction factor to single birth type is

(birth

weight),

(30D weight),

(60D weight),

(90D weight),

(weaning weight), and the regression equation of the rams body weight

correction factor to twin is

(birth

weight),

(30D weight),

,(60D weight),

(90D

weight),

(weaning weight), then the regression equation of the

ewes body weight correction factor to single birth type is

(birth

weight),

(30D weight),

(60D weight),

(90D weight),

(weaning weight), and the regression equation of the ewes body

weight correction factor to twin is

(birth weight),

(30D weight),

(60D weight),

(90D weight),

(weaning

weight). The accuracy level of those equations is very high, which is 0.9926, then the regression

equations can be used fot estimating the correction factor of Garut Sheep body weight in Margawati.

Key Words: Birth Weight, 30, 60, 90 Days Weight, Weaning Weight, Garut Sheep

Pendahuluan

Domba Garut merupakan rumpun domba yang dibudidayakan di Indonesia khususnya Jawa

Barat. Domba Garut juga merupakan sumber daya genetik ternak Jawa Barat yang harus

dikembangkan, karena memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan, sehingga

tidak memerlukan sistem pemeliharaan yang intensif. Domba Garut memiliki ciri khas yaitu

kombinasi antara kuping rumpung (lebih kecil dari 4 cm) atau ngadaun hiris (4-8 cm) dengan ekor

ngabuntut beurit atau ngabuntut bagong (Heriyadi, 2001), dan juga memiliki profil muka cembung,

serta bulu pada bagian di seputar lehernya yang dibiarkan tumbuh memanjang (Heriyadi, 2011).

Domba Garut dijadikan sebagai ternak fancy atau juga dikenal dengan domba tangkas, dan ternak

penghasil daging.

Jawa Barat merupakan provinsi dengan jumlah populasi domba tertinggi di Indonesia Tahun

2014 – 2018, yaitu 10.612.726, 11.575.359, 10.038.828, 11.425.574, dan 11.608.559 ekor.

Berdasarkan hal tersebut, tingkat konsumsi daging domba tertinggi Tahun 2014 – 2018 juga berada di

provinsi Jawa Barat, yaitu 360.929, 370.237, 491.482, 411.723, dan 382.288 ekor (Kementerian

Pertanian, 2018). Hal ini menjadi alasan untuk dilakukannya pengembangan sumber daya genetik

ternak Jawa Barat, yakni Domba Garut guna memenuhi permintaan daging domba tersebut.

Pengembangan domba tentunya bergantung atas adanya ketersediaan bibit domba jantan dan betina

Page 60: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

52

yang unggul. Cara mendapatkan ketersediaan bibit-bibit unggul tersebut tidak terlepas dari kegiatan

pemuliaan yaitu seleksi berdasarkan catatan performa domba pada suatu populasi.

Pengaruh efek tetap (fixed effect) pada domba, seperti jenis kelamin dan tipe kelahiran tentu

saja mempengaruhi performa yang dihasilkan. Jenis kelamin berpengaruh terhadap bobot lahir,

pertambahan bobot prasapih, dan bobot sapih (Faid et al., 2016; Boujenane dan Diallo, 2017). Bobot

lahir domba jantan lebih tinggi dibandingkan betina, karena domba betina memiliki sensitivitas yang

lebih tinggi terhadap hormon insulin dibandingkan jantan, sehingga domba betina membutuhkan

insulin yang lebih sedikit (Carr et al., 2015). Hormon insulin merupakan hormon yang

bertanggungjawab terhadap transpor glukosa dan asam amino ke dalam sel sebagai bahan baku

sintesis protein (daging), maka semakin tinggi bahan baku sintesis protein, maka semakin tinggi pula

pertambahan bobot badan ternak (Muktiani et al., 2013). Bobot lahir yang tinggi juga memiliki

kemampuan hidup yang lebih tinggi pula, pertumbuhan yang lebih cepat, sehingga juga akan

menghasilkan bobot prasapih dan bobot sapih yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa bobot

prasapih dan bobot sapih domba jantan juga akan lebih tinggi dibandingkan betina.

Tidak hanya jenis kelamin, tipe kelahiran juga memiliki pengaruh terhadap bobot lahir,

pertumbuhan domba sebelum sapih, dan bobot sapih. Semakin tinggi tipe kelahiran, maka semakin

rendah pula rataan bobot badan domba yang dihasilkan. Tipe kelahiran tunggal lebih besar bila

dibandingkan tipe kelahiran kembar, karena tidak ada saingan pada anak tunggal dalam menyerap

nutrisi saat masa prenatal dan tidak ada saingan dalam mengonsumsi air susu induk, sehingga anak

domba yang dilahirkan tunggal dapat mengonsumsi air susu sesuai kebutuhannya (Boujenane dan

Diallo, 2017).

Kualitas genetik domba perlu dievaluasi dengan cara mengkaji faktor-faktor atau efek tetap

yang mempengaruhi keragaman bobot badan domba yaitu jenis kelamin dan tipe kelahiran. Jika efek

tetap tersebut tidak diperhatikan dan dilibatkan pada program pemuliaan, maka hasil analisis

parameter genetiknya akan bias, dan konsekuensinya yaitu seleksi yang dilakukan tidak tepat. Hal ini

menyebabkan perlu dilakukan pengkajian faktor koreksi untuk menstandarkan data terhadap suatu

patokan tertentu. Beberapa negara lain telah melakukan pengkajian dari faktor koreksi, namun faktor

koreksi yang dihasilkan belum tentu dapat digunakan di Indonesia, karena terdapat perbedaan keadaan

lingkungannya. Menurut Anang et al. (2013), pengembangkan faktor koreksi juga perlu dilakukan

karena meskipun sudah dilakukan tatalaksana budidaya ternak secara baik, namun secara alamiah

masih terjadi keragaman pada sifat-sifat domba, sehingga menimbulkan keragaman performanya. Hal

tersebut yang menjadi alasan perlunya dilakukan pengkajian faktor koreksi untuk Domba Garut ini

sendiri.

Pengetahuan tentang faktor koreksi bobot prasapih tipe kelahiran dan jenis kelamin terhadap

bobot badan domba pada umur yang berbeda-beda penting dilibatkan dalam proses seleksi untuk

memperoleh bibit domba unggul dalam rangka pengembangan Domba Garut. Berdasarkan hal

tersebut, tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui faktor koreksi bobot prasapih berdasarkan jenis

Page 61: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

53

kelamin dan tipe kelahiran terhadap bobot prasapih, yaitu bobot lahir, bobot 30, 60, 90 hari dan bobot

sapih (100 hari) Domba Garut di UPTD-BPPTDK Margawati Garut, dan dengan menggunakan sifat-

sifat tersebut sebagai kriteria seleksi, seleksi dapat dilakukan sedini mungkin, sehingga balai terhindar

dari kerugian karena memelihara ternak yang kurang produktif.

Materi dan Metode

Penelitian ini dilaksanakan di UPTD-BPPTDK Margawati Garut pada bulan Juli-Agustus

2019. Ternak yang menjadi objek pengamatan pada penelitian ini yaitu Domba Garut. Jumlah ternak

yang diamati yaitu 6.349 ekor yang terdiri dari 3.214 ekor jantan dan 3.135 ekor betina Tahun 2012-

2019. Hal tersebut disebabkan sistem rekording balai yang bersangkutan mulai disempurnakan untuk

kegiatan seleksi dimulai dari Tahun 2012.

Penelitian dilakukan dengan metode sensus. Variabel yang diamati, yaitu bobot lahir, bobot

30, 60, 90 hari, dan bobot sapih (100 hari). Data yang diperoleh dikelompokkan berdasarkan jenis

kelamin dan tipe kelahiran sebagai efek tetapnya. Data yang berasal dari hasil rekording diambil,

setelah itu data ditabulasi dan dianalisis menggunakan Pivot Table dengan software Microsoft Excel.

Faktor koreksi dihitung dengan cara membagi rataan bobot badan domba sesuai jenis kelamin dengan

tipe kelahiran yang berbeda-beda. Kemudian, hasil perhitungan faktor koreksi dibuat ke dalam suatu

persamaan regresi dengan menggunakan software Curve Expert. Faktor koreksi dan persamaan

regresi dianalisis terkoreksi tipe kelahiran tunggal dan tipe kelahiran ganda atau kembar dua.

Persamaan regresi yang digunakan yaitu vapor pressure model dengan persamaan sebagai berikut.

Vapor pressure model:

Keterangan:

Y : Faktor koreksi

a,b,c : Koefisien persamaan Vapor pressure model

x : Tipe Kelahiran

e : Bilangan eksponen 2,718

Kemudian, dilakukan perhitungan koefisien determinasi (R2), untuk mengetahui nilai

kebenarannya. Nilai R2

berkisar antara 0 sampai dengan 1, bila R2

mendekati 1, maka model yang

digunakan mendekati kebenaran. Koefisien determinasi R2 dihitung dengan rumus sebagai berikut.

KD = (r)2 x 100%

Keterangan:

KD : Koefisien Determinasi

r : Koefisien Korelasi

Page 62: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

54

Hasil dan Pembahasan

Deskripsi Data

Rataan bobot lahir, bobot 30, 60, 90, hari, dan bobot sapih 3.214 ekor Domba Garut jantan

disajikan pada Tabel 1. Rataan bobot lahir pada Tabel 1 pada tipe kelahiran tunggal, kembar dua,

kembar tiga, dan kembar empat yaitu sebesar 3,02; 2,31; 1,82; 1,58 kg. Hasil tersebut tidak berbeda

jauh dengan bobot lahir Domba Garut jantan menurut SNI 7532:2009, yaitu sebesar 2,8 kg. Adanya

perbedaan nilai bobot lahir tersebut disebabkan oleh banyak faktor, yaitu kondisi intra-uterin,

lingkungan induk, nutrisi induk saat bunting, Body Condition Score (BCS) induk, lama kebuntingan,

dan umur induk (Istiqomah et al., 2006; Ilham, 2015; Thomas et al., 2015).

Tabel 1. Rataan Performa Prasapih Domba Garut Jantan.

Tipe Kelahiran Bobot lahir

Bobot 30

hari

Bobot 60

hari

Bobot 90

hari Bobot sapih (100 hari)

………………………………….kg…………..…………………………….

Tunggal 3,02 6,61 9,24 11,66 12,92

Kembar 2 2,31 5,20 6,95 8,95 9,82

Kembar 3 1,82 4,72 6,33 8,24 9,11

Kembar 4 1,58 4,61 6,11 7,28 8,13

Rataan bobot 30, 60, 90 hari yang disajikan pada Tabel 1 menunjukkan hasil yang tidak

berbeda jauh dengan hasil penelitian Anang et al. (2013) di balai yang sama, menurut hasil penelitian

tersebut, rataan bobot 30,60,90 hari Domba Garut jantan, yaitu sebesar 6,44; 8,46; 10,29 kg. Hasil

tersebut tidak berbeda jauh dengan hasil perhitungan pada Tabel 1 yaitu kisaran 4,61-6,61 kg (bobot

30 hari), 6,11-9,24 kg (bobot 60 hari), dan 7,28-11,66 kg (bobot 90 hari). Adanya perbedaan tersebut

disebabkan karena perbedaan manajemen pemeliharaan, pakan, dan adanya fixed effect pada domba,

yaitu jenis kelamin dan tipe kelahiran. Rataan bobot sapih pada Tabel 1 pada tipe kelahiran tunggal,

kembar dua, kembar tiga, dan kembar empat, yaitu sebesar 12,92; 9,82; 9,11; 8,13 kg. Hasil tersebut

tidak berbeda jauh dengan bobot sapih Domba Garut jantan menurut SNI 7532:2009, yaitu sebesar

11,5 kg, dan dengan hasil penelitian Sumadi et al. (2017) di balai yang sama yaitu 14,63 kg. Namun,

adanya perbedaan tersebut disebabkan karena banyak faktor, seperti kondisi pakan, BCS induk,

paritas, dan tipe kelahiran (Ilham, 2015; Thomas et al., 2015).

Pengamatan yang baik tidak hanya dilakukan pada Domba Garut jantan saja, namun Domba

Garut betina juga harus diamati, karena menurut Anang et al. (2013), hal ini perlu dilakukan karena

performa anak merupakan kombinasi yang sebanding antara gen pejantan dan induknya. Rataan bobot

lahir, bobot 30, 60, 90, hari, dan bobot sapih 3.135 ekor Domba Garut betina disajikan pada Tabel 2.

Rataan bobot lahir pada Tabel 2 pada tipe kelahiran tunggal, kembar dua, kembar tiga, dan kembar

empat yaitu sebesar 2,89; 2,18; 1,76; 1,46 kg. Hasil tersebut tidak berbeda jauh dengan bobot lahir

Page 63: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

55

Domba Garut betina menurut SNI 7532:2009, yaitu sebesar 2,4 kg. Adanya perbedaan nilai bobot

lahir tersebut disebabkan oleh banyak faktor yaitu kondisi intra-uterin (lingkungan fetus), lingkungan

induk, jenis kelamin anak, tipe kelahiran, nutrisi induk saat bunting, Body Condition Score (BCS)

induk, lama kebuntingan, dan umur induk (Istiqomah et al., 2006; Ilham, 2015; Thomas et al., 2015).

Rataan bobot 30, 60, 90 hari yang disajikan pada Tabel 2 menunjukkan hasil yang tidak

berbeda jauh dengan hasil penelitian Anang et al. (2013) di balai yang sama, menurut hasil penelitian

tersebut, rataan bobot 30,60,90 hari Domba Garut betina, yaitu sebesar 6,15; 8,00; 9,58 kg. Hasil

tersebut tidak berbeda jauh dengan hasil perhitungan pada Tabel 2 yaitu kisaran 4,46-6,37 kg (bobot

30 hari), 5,71-8,72 kg (bobot 60 hari), dan 7,05-10,93 kg (bobot 90 hari). Adanya perbedaan tersebut

disebabkan perbedaan manajemen pemeliharaan, pakan, dan adanya fixed effect pada domba, seperti

jenis kelamin dan tipe kelahiran. Rataan bobot sapih pada Tabel 2 pada tipe kelahiran tunggal, kembar

dua, tiga, dan empat, yaitu sebesar 12,10; 9,17; 8,73; 7,94 kg. Hasil tersebut tidak berbeda jauh

dengan bobot sapih Domba Garut betina menurut SNI 7532:2009, yaitu sebesar 9,1 kg, dan dengan

hasil penelitian Sumadi et al. (2017) di balai yang sama yaitu 10,60 kg. Namun, adanya perbedaan

tersebut disebabkan karena banyak faktor, seperti kondisi pakan, BCS induk, paritas, dan tipe

kelahiran (Ilham, 2015; Thomas et al., 2015).

Tabel 2. Rataan Performa Prasapih Domba Garut Betina

Tipe Kelahiran Bobot lahir

Bobot 30

hari

Bobot 60

hari

Bobot 90

hari Bobot sapih (100 hari)

……………………………….kg…………………………………….

Tunggal 2,89 6,37 8,72 10,93 12,10

Kembar 2 2,18 4,98 6,60 8,43 9,17

Kembar 3 1,76 4,52 6,16 7,94 8,73

Kembar 4 1,46 4,46 5,71 7,05 7,94

Berdasarkan hasil analisis pada Tabel 1 dan 2, bobot badan prasapih Domba Garut jantan dan

betina pada tipe kelahiran tunggal lebih besar dibandingkan tipe kelahiran lainnya. Semakin besar tipe

kelahiran anak, maka semakin kecil besar bobot badannya. Hal ini disebabkan karena ada saingan

pada anak tunggal dalam menyerap nutrisi saat masa prenatal dan tidak ada saingan dalam

mengonsumsi air susu induk, sehingga anak domba yang dilahirkan tunggal dapat mengonsumsi air

susu sesuai kebutuhannya (Boujenane dan Diallo, 2017).

Faktor Koreksi

Faktor koreksi dihitung dengan cara membagi rata-rata bobot badan domba sesuai jenis

kelamin dan tipe kelahiran yang berbeda-beda. Hasil perhitungan faktor koreksi berdasarkan bobot

badan Domba Garut jantan ke tipe kelahiran tunggal dan ganda disajikan pada Tabel 3 dan 4. Setelah

didapatkan nilai-nilai koefisien tersebut, kemudian dibuat ke dalam persamaan regresi Vapor pressure

model.

Page 64: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

56

Tabel 3. Faktor Koreksi Tipe Kelahiran Bobot Badan Jantan ke Tipe Kelahiran Tunggal

No Tipe Kelahiran Bobot lahir Bobot 30 hari Bobot 60

hari Bobot 90 hari Bobot Sapih

1 Tunggal 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00

2 Kembar 2 1,31 1,27 1,33 1,30 1,32

3 Kembar 3 1,66 1,40 1,46 1,42 1,42

4 Kembar 4 1,91 1,43 1,51 1,60 1,59

Tabel 4. Faktor Koreksi Tipe Kelahiran Bobot Badan Jantan ke Tipe Kelahiran Ganda

No Tipe Kelahiran Bobot lahir Bobot 30 hari Bobot 60

hari Bobot 90 hari Bobot Sapih

1 Tunggal 0,76 0,79 0,75 0,77 0,76

2 Kembar 2 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00

3 Kembar 3 1,27 1,10 1,10 1,09 1,08

4 Kembar 4 1,46 1,13 1,14 1,23 1,21

Persamaan regresi bobot badan Domba Garut jantan terkoreksi tipe kelahiran tunggal menggunakan

persamaan sebagai berikut. (x adalah tipe kelahiran)

1. Bobot lahir

2. Bobot 30 hari

3. Bobot 60 hari

4. Bobot 90 Hari

5. Bobot Sapih

Persamaan regresi bobot badan Domba Garut jantan terkoreksi tipe kelahiran ganda menggunakan

persamaan sebagai berikut. (x adalah tipe kelahiran)

1. Bobot lahir

2. Bobot 30 hari

3. Bobot 60 hari

Page 65: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

57

4. Bobot 90 Hari

5. Bobot Sapih

Hasil perhitungan faktor koreksi berdasarkan bobot badan Domba Garut betina ke tipe kelahiran

tunggal dan ganda disajikan pada Tabel 5 dan 6. Serupa dengan jantan, setelah didapatkan nilai-nilai

koefisien tersebut, kemudian dibuat ke dalam persamaan regresi Vapor pressure model.

Tabel 5. Faktor Koreksi Tipe Kelahiran Bobot Badan Betina ke Tipe Kelahiran Tunggal

No Tipe Kelahiran Bobot lahir Bobot 30 hari Bobot 60

hari Bobot 90 hari Bobot Sapih

1 Tunggal 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00

2 Kembar 2 1,33 1,28 1,32 1,30 1,32

3 Kembar 3 1,64 1,41 1,42 1,38 1,39

4 Kembar 4 1,98 1,43 1,53 1,55 1,52

Tabel 6. Faktor Koreksi Tipe Kelahiran Bobot Badan Betina ke Tipe Kelahiran Ganda

No Tipe Kelahiran Bobot lahir Bobot 30 hari Bobot 60

hari Bobot 90 hari Bobot Sapih

1 Tunggal 0,75 0,78 0,76 0,77 0,76

2 Kembar 2 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00

3 Kembar 3 1,24 1,10 1,07 1,06 1,05

4 Kembar 4 1,49 1,12 1,16 1,20 1,15

Persamaan regresi bobot badan Domba Garut betina terkoreksi tipe kelahiran tunggal menggunakan

persamaan sebagai berikut. (x adalah tipe kelahiran)

1. Bobot lahir

2. Bobot 30 hari

3. Bobot 60 hari

4. Bobot 90 Hari

5. Bobot Sapih

Page 66: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

58

Persamaan regresi bobot badan Domba Garut betina terkoreksi tipe kelahiran ganda menggunakan

persamaan sebagai berikut. (x adalah tipe kelahiran)

1. Bobot lahir

2. Bobot 30 hari

3. Bobot 60 hari

4. Bobot 90 Hari

5. Bobot Sapih

Nilai faktor koreksi yang dapat digunakan untuk menghitung bobot dugaan, dapat dilihat pada

Tabel 3,4,5, dan 6. Bobot badan Domba Garut jantan dan betina dikoreksikan ke tipe kelahiran

tunggal dan tipe kelahiran ganda (kembar dua). Hal ini juga didukung dengan pendapat

Hardjoesoebroto (1994), standarisasi diperlukan untuk membandingkan performa domba pada tipe

kelahiran yang berbeda-beda. Domba Garut dengan tipe kelahiran tunggal dan ganda (kembar dua)

cenderung bobotnya lebih besar dibandingkan domba tipe kelahiran kembar tiga dan empat. Jika

dibandingkan potensi genetiknya, sudah pasti domba tipe kelahiran kembar tiga dan empat akan lebih

rendah potensi genetiknya dibandingkan domba tipe kelahiran tunggal dan kembar dua, namun jika

tipe kelahirannya disetarakan, hasilnya belum tentu seperti itu. Kemudian, sudah pasti semakin tinggi

tipe kelahiran, maka semakin besar pula nilai faktor koreksinya, baik dikoreksikan ke tunggal maupun

ganda. Berdasarkan hal-hal tersebut pembuatan nilai faktor koreksi bobot badan Domba Garut di

UPTD-BPPTDK Margawati dapat menghilangkan perbedaan yang ditimbulkan sebagai akibat adanya

pengaruh jenis kelamin dan tipe kelahiran.

Setelah didapatkan nilai faktor koreksinya, dapat dilakukan bobot badan domba terkoreksi

untuk jenis kelamin jantan dan betina, yang dapat diduga dengan cara mengalikan bobot badan nyata

dengan nilai faktor koreksinya. Hasil perhitungan faktor koreksi yang sudah dilakukan, dimasukkan

ke dalam rumus persamaan regresi Vapor pressure model, untuk mengetahui faktor koreksi yang tidak

diketahui yaitu misalkan tipe kelahiran 5 (lima), jika ingin mengetahui faktor koreksi untuk tipe

Page 67: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

59

kelahiran 5 (lima), hanya dengan memasukkan tipe kelahiran yang dicari pada rumus persamaan

regresi tersebut, maka hasil nilai faktor koreksinya akan didapatkan.

Koefisien Determinasi (R2)

Koefisien determinasi dapat dihitung dengan cara mengkuadratkan nilai koefisien korelasi

hasil dari menghitung persamaan regresi Vapor pressure model dan mengalikannya dengan 100%.

Nilai R2

ini digunakan untuk mengetahui keakuratan data dalam menggunakan persamaan regresi

Vapor pressure model. Nilai R2

berkisar antara 0-1,00 (Sugiyono, 2007). Semakin besar nilai R2,

maka persamaan Vapor pressure model yang telah dibuat semakin akurat. Nilai R2 yang telah dihitung

menggunakan rumus dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Nilai Koefisien Determinasi Faktor Koreksi

Jenis Kelamin/Tipe Kelahiran Bobot lahir Bobot 30

Hari

Bobot 60

hari

Bobot 90

hari Bobot Sapih

Jantan Tunggal 0,9979 0,9966 0,9997 0,9906 0,9870

Jantan Kembar 2 0,9977 0,9978 0,9997 0,9897 0,9883

Betina Tunggal 0,9997 0,9956 0,9954 0,9807 0,9853

Betina Kembar 2 0,9998 0,9968 0,9929 0,9776 0,9835

Hasil rata-rata keseluruhan R2

yang didapatkan dari hasil perhitungan yaitu sebesar 0,9926,

dapat disimpulkan bahwa tingkat akurasi dalam menggunakan persamaan regresi Vapor pressure

model termasuk tinggi. Hal ini didukung dengan hasil penelitian Anang dan Indrijani (2012), bahwa

Vapor pressure model sangat baik digunakan sebagai penduga, karena memiliki simpangan yang kecil

dan ketepatan pendugaan yang hampir sempurna. Berdasarkan hal tersebut, model persamaan regresi

baik untuk dijadikan persamaan regresi pendugaan faktor koreksi bobot badan Domba Garut di

UPTD-BPPTDK Margawati dan analisis parameter genetik untuk kegiatan seleksi pun akan berjalan

lebih efektif

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian Domba Garut di UPTD-BPPTDK Margawati Garut berbasis data

rekording Tahun 2012-2019, rataan keseluruhan koefisien determinasi keseluruhan yang didapatkan

sebesar 0,9926, maka tingkat akurasi menggunakan persamaan regresi tersebut tinggi, sehingga dapat

dijadikan persamaan regresi pendugaan faktor koreksi bobot badan Domba Garut di balai Margawati.

Penggunaan faktor koreksi yang baik dan benar akan memberikan manfaat dalam meminimalisir

adanya keragaman performa yang disebabkan karena efek non-genetik, maka evaluasi genetik dan

seleksi yang dilakukan di balai akan lebih mencerminkan kemampuan genetik Domba Garut.

Page 68: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

60

Ucapan Terimakasih

Penulis berterimakasih kepada Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Jawa Barat

serta Kepala dan Staf UPTD-BPPTDK Margawati yang telah mengizinkan penulis untuk melakukan

penelitian di balai Margawati, dan kepada semua pihak yang telah membantu penelitian dan analisis,

sehingga artikel ini dapat diselesaikan.

Daftar Pustaka

Anang A., H. Indrijani. 2012. Faktor Koreksi Lama Laktasi Produksi Susu 305 Hari pada Sapi

Frisian Holstein di BBPTU SP Baturaden. Proceeding Seminar Nasional Peternakan

Berkelanjutan ke-3. Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran. Sumedang. Hal 39-47.

Anang A., H. Indrijani, D. Rahmat, dan Dudi. 2013. Uji Performance Domba Garut di UPTD BPPTD

Margawati Garut Jawa Barat. Laporan Penelitian. Balai Pengembangan Perbibitan Ternak

Domba Jawa Barat- Fakultas Peternakan Univeristas Padjadjaran. Bandung.

Badan Standardisasi Nasional. 2009. Standar Nasional Indonesia Bibit Domba Garut (SNI:

7532:2009). Jakarta.

Boujenane, I. dan I.T. Diallo. 2017. Estimates of Genetic Parameters and Genetic Trends for Pre-

Weaning Growth Traits in Sardi Sheep. Small Ruminant Research. 146:61-68.

https://doi.org/10.1016/j.smallrumres.2016.12.002

Carr D.J., J.S. Milne, R.P. Aitken, C.L. Adam, dan J.M. Wallace. 2015. Hepatice IGF1 DNA

Methylation is Influenced by Gender but Not by Intrauterine Growth Restriction in The

Young Lamb. Journal of Development Origins of Health and Disease 6(6): 558-572.

https://doi.org/10.1017/S2040174415001415

Faid-Allah E., E. Ghoneim, dan A.H.M. Ibrahim. 2016. Estimated Variance Components and

Breeding Values for Pre-Weaning Growth Criteria in Romney Sheep. JITV. 21(2): 73-82.

Hardjoesoebroto, W. 1994. Aplikasi Pemuliabiakan Ternak di Lapangan. Gramedia Widiasarana

Indonesia, Jakarta. Hal. 6-7, 28-30, 210-213.

Heriyadi, D., A. Sarwestri, dan D.C Budinuryanto. 2001. Ngawangkong Peternak Domba Tangkas.

Laporan Penelitian. Kerjasama antara Fakultas Peternakan, IKA Fakultas Peternakan, dan

Pusat Dinamika Pembangunan Universitas Padjadjaran. Bandung.

Heriyadi, D. 2011. Pernak Pernik Senarai Domba Garut. Unpad Press. Bandung. Hal. 1-8, 188.

Ilham, F. 2015. Bobot Lahir, Bobot 90 hari, dan Bobot 180 Hari Domba Lokal yang Dipelihara di

Padang Penggembalaan. Jurnal Ilmiah Agrosains Tropis.

Istiqomah L., C. Sumantri, dan T.R. Wiradarya. 2006. Performa dan Evaluasi Genetik Bobot Lahir

dan Bobot Sapih Domba Garut di Peternakan Ternak Domba Sehat Bogor. J. Indon. Trop.

Anim. Agric. 31(4): 232-242.

Kementrian Pertanian. 2018. Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan. Direktorat Jenderal

Peternakan dan Kesehatan Hewan.

Sumadi, T. Hartatik, D. Maharani, A. Fathoni, A. Nurrudin, dan D.N.H. Hariyono. 2017. The

Estimation of Breeding Value of Rams at Technical Implementation Unit Development

Center for Livestock Breeding in Margawati Garut, West Java. Proceeding of The 1st

International Conference on Tropical Agriculture. 445-452. https://doi.org/10.1007/978-3-

319-60363-6_47

Sugiyono. 2007. Statistika untuk Penelitian. Penerbit Alfabeta, Bandung. Hal. 231.

Thomas R.A.C., R.E Hickson, S.T. Morris, P.J. Back, A.L. Ridler, K.J. Stafford, dan P.R. Kenyon.

2015. Effects of Body Condition Score and Nutrition in Lactation on Twin-Bearing Ewe and

Lamb Perfomance to Weaning. New Zealand of Agricultural Research 58(2): 156-169.

https://doi.org/10.1080/00288233.2014.987401.

Page 69: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

61

Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam

(Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi Konversi

Heksosa pada Sapi Perah Secara In vitro

The Effects of Sauropus androgynous, Nigella sativa and S-proteinate Supplementation on

Partially Volatile Fatty Acid Concetration, Methane and Hexose Conversion Efficiency

Heny Sintya Nengsih1)

, Anis Muktiani2)

, Dian Wahyu Harjanti3)*

1Jurusan Peternakan, Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro

2Dosen Jurusan Peternakan, Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro

3Dosen Jurusan Peternakan, Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro

*Email: [email protected]

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh suplementasi tepung daun katuk, tepung jintan

hitam dan sulfur proteinat terhadap konsentrasi volatile fatty acid (VFA) parsial dan efisiensi konversi

heksosa pada sapi perah secara in vitro. Materi penelitian adalah cairan rumen sapi perah, tepung daun

katuk, tepung jintan hitam, dan S-proteinat. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan

acak lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 4 ulangan. Perlakuan yang digunakan adalah T0: ransum

kontrol, T1: ransum kontrol + herbal (daun katuk 0,5% BK pakan + jintan hitam 0,5% BK pakan), T2:

ransum kontrol + ( S-proteinat 0,25% BK pakan) dan T3: ransum kontrol + (daun katuk 0,5% BK

pakan + jintan hitam 0,5% BK pakan + S-proteinat 0,25% BK pakan). Hasil penelitian menunjukkan

bahwa rata-rata konsentrasi VFA parsial yaitu 24,33 mMol asetat, 5,57 mMol propionat dan 4 mMol

butirat. Rata-rata produksi metan yaitu 12,84 mMol. Rata-rata efisiensi konversi heksosa yaitu

72,08%. Simpulan dari penelitian ini adalah suplementasi tepung herbal daun katuk, jintan hitam dan

S-proteinat serta kombinasi keduanya, tidak memberikan pengaruh nyata terhadap konsentrasi VFA

parsial, produksi gas metan dan efisiensi konversi heksosa menjadi VFA di dalam rumen.

Kata kunci: daun katuk, jintan hitam, s-proteinat, in vitro

Abstract

This study aimed to determine the effect of Sauropus androgynous leaves, Nigella sativa seeds

and sulfur proteinate supplementation on the concentration of partially volatile fatty acids (VFA) and

the efficiency of hexose conversion in vitro. The material used were dairy rumen fluids, Sauropus

androgynus (SA), Nigella sativa (NS) and S-proteinate. The study used was Completely Randomized

Design (CRD) for 4 treatments and 4 replications. The treatments were T0: control, T1: control + (SA

0.5% dry matter + NS 0.5% dry matter), T2: control + (S-proteinate 0.25% dry matter) dan T3:

control + (SA 0.5% dry matter + NS 0.5% dry matter + S-proteinate 0.25% dry matter). The results

showed that SA, NS and S-proteinate supplementation did not affect the partial VFA concentration

and hexose conversion efficiency (P> 0.05). The VFA concentration was 24.33 mMol acetate, 5.57

mMol propionate and 4 mMol butyrate. The methane production was 12.84 mMol. The efficiency of

hexose conversion was 72.28%. The conclusion of this study is Sauropus androgynous leaves, Nigella

sativa and S-proteinate supplementation did not influence the partial VFA concentration and hexose

conversion efficiency.

Keywords: sauropus androgynous, nigella sativa, s-proteinate, in vitro

Pendahuluan

Sapi perah merupakan ternak dengan produksi susu yang tinggi sebagai produk utamanya.

Rata–rata produksi susu sapi perah di Indonesia yaitu 6 – 8 lt/hari. Produksi susu sapi perah dapat

Page 70: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

62

ditingkatkan dengan memperhatikan jumlah dan kualitas pakan yang diberikan (Pasaribu et.al., 2015).

Tingkat kecernaan pakan berpengaruh pada produktivitas ternak, pakan dengan kecernaan tinggi

membuat produktivitas ternak meningkat. Faktor yang mempengaruhi tingkat kecernaan pakan dalam

rumen adalah aktivitas mikroba yaitu bakteri, protozoa dan fungi (Hapsari et.al., 2018). Pemberian

suplemen pakan merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kecernaan pakan.

Daun katuk (Sauropus androgynous) merupakan salah satu tanaman obat yang berfungsi

untuk meningkatkan produksi susu baik pada manusia ataupun hewan mamalia. Dalam uji in vitro,

suplementasi daun katuk dapat meningkatkan konsentrasi VFA cairan rumen (Marwah et.al., 2010).

Daun katuk mengandung senyawa kimia berupa tanin, saponin, alkaloid, polifenol, glikosida dan

flavonoid (Susanti et.al., 2014). Senyawa tannin dapat menurunkan produksi gas metan dikarenakan

populasi protozoa dan bakteri metanogen menurun (Tan et.al., 2011).

Jintan hitam (Nigella sativa) merupakan salah satu tanaman obat yang berpotensi untuk

digunakan sebagai additive pakan (Ridwan et.al., 2014). Biji jintan hitam mengandung senyawa

thymoquinone yang memiliki fungsi imunomodulator, antioksidan, antiparasit dan antbakterial

(Chaieb et.al., 2011). Suplementasi herbal berbasis jintan hitam dalam pakan sapi perah dapat

meningkatkan efisiensi pakan, mengurangi efek stress lingkungan, meningkatkan produktifitas dan

kesehatan ternak (Bhatt et.al., 2009).

Sulfur proteinat merupakan mineral sulfur organik yang dibuat untuk memudahkan kecernaan

mineral dalam rumen. Fungsi utama sulfur adalah untuk membantu pembentukan asam amino dan

sistesis protein mikroba yaitu metionin, sistin dan sistein (Widodo et.al., 2017). Mineral dalam bentuk

mineral organik lebih baik karena dapat meningkatkan kecernaan pakan dan mengurangi resiko

keracunan pada ternak terhadap penambahan mineral (Kurniawan et.al., 2014). Mineral proteinat

adalah salah satu bentuk mineral organik yang biasa digunakan. Pembuatan mineral proteinat dengan

cara menambahkan garam mineral terlarut dengan asam amino atau hidrolisat protein (Supriyati et.al.,

2000).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan suplemen tepung daun

katuk, jintan hitam dan sulfur proteinat terhadap fermentabilitas pakan dalam rumen sapi perah secara

in vitro. Manfaat penelitian ini yaitu dapat memberikan informasi mengenai pengaruh perlakuan

terhadap VFA parsial, produksi metan dan efisiensi konversi heksosa pada sapi perah secara in vitro

dan sebagai dasar informasi pada penelitian selanjutnya secara in vivo.

Materi dan Metode

Penelitian ini dilaksanakan pada Februari - Juni 2019 di Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Pakan

Ternak, Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro, Semarang. Materi yang

digunakan dalam penelitian ini terdiri dari tepung daun katuk, jintan hitam, sulfur proteinat, cairan

rumen sapi perah sebagai donor mikrobia dan Mc Doughall. Alat yang digunakan dalam penelitian

Page 71: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

63

meliputi grinder disk mill, blender, pH meter elektronik, timbangan analitik, tabung fermentor, water

bath, penutup karet, sentrifuge, gelas ukur, spluit.

Daun katuk kering di grinder menggunakan grinder tipe disk mill dan jintan hitam digiling

menggunakan blender sampai menjadi tepung. Sulfur proteinat yang digunakan mengandung 21%

sulfur. Rumput gajah, konsentrat, tepung daun katuk, jintan hitam dan sulfur proteinat dianalisis

proksimat untuk mengetahui kandungan nutrisi dalam bahan pakan.

Tabel 1. Hasil Analisis Proksimat Bahan Pakan

Bahan Pakan Analisis Proksimat (%)

KA BK Abu PK LK SK BETN

Rumput Gajah

Konsentrat

T. Daun Katuk

Jintan Hitam

Sulfur Proteinat

84,24

17,47

14,43

7,82

11,32

16,66

82,53

85,57

92,18

88,68

14,51

5,32

10,20

3,84

58,10

6,94

15,74

24,59

20,39

14,36

0,13

4,65

2,76

28,82

0,41

42,44

4,65

29,36

22,92

9,06

35,98

48,09

33,09

24,03

18,07

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan Rancangan Acak

Lengkap (RAL) yang terdiri dari 4 perlakuan dan 4 ulangan, meliputi:

T0 = ransum kontrol

T1 = ransum kontrol + kombinasi herbal (tepung daun katuk 0,5 % BK pakan dan tepung jintan

hitam 0,5 % BK pakan).

T2 = ransum kontrol + Sulfur proteinat 0,25 % BK pakan.

T3 = ransum kontrol + kombinasi herbal (tepung daun katuk 0,5 % BK pakan dan tepung jintan

hitam 0,5 % BK pakan) dan sulfur proteinat 0,25 % BK pakan

Pelaksaan penelitian melalui beberapa tahap yaitu:

1. Metode in vitro, dilakukan sesuai dengan metode Tilley dan Terry (1963) yaitu bath culture.

metode ini diawali dengan pengambilan cairan rumen sapi perah yang dilakukan di RPH

Penggaron, Semarang. Cairan rumen disimpan dalam termos yang suhunya 39 – 40 oC. Di

laboratorium, cairan rumen diukur suhu dan pH-nya kemudian cairan rumen dimasukkan ke

dalam tabung fermentor yang sudah berisi Mc Doughall dan pakan perlakuan. Tabung

fermentor diisi dengan CO2 kemudian ditutup rapat menggunakan penutup karet. Tabung

fermentor dimasukkan ke dalam waterbath dengan suhu 39 oC dan diinkubasi selama 3 jam.

Fermentasi dihentikan dengan cara merendam tabung fermentor dalam air es selama 15 menit.

Sampel kemudian disentrifuse selama 10 menit. Sampel yang mengendap dibuang dan

supernatan diambil sebanyak 5 ml.

2. Konsentrasi Asetat, Propionat dan Butirat. Pengukuran konsentrasi asam asetat, propionat dan

butirat dilakukan dengan alat gas chromatography (GC). Sampel supernatan dimasukkan

Page 72: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

64

dengan menggunakan microsyringe sebanyak 1μm. Suhu injeksi port diatur pada suhu 2400oC,

suhu kolom diatur pada 1450oC, dan suhu detektor diatur pada 2400

oC. Gas pembawa yang

digunakan adalah helium yang terhubung ke injeksi port yang berfungsi untuk memasukkan

sampel. Injeksi port yang terhubung ke kolom jenis kapiler akan terhubung ke detektor dan

membentuk kromatogram.

3. Gas Metan (CH4), diperoleh dari perhitungan/pendugaan berdasarkan konsentrasi VFA parsial

menurut Ørskov dan Ryle (1990), yaitu:

M = 0,5 a – 0,25 p + 0,5 b

4. Efisiensi konversi heksosa, diperoleh dari perhitungan/pendugaan berdasarkan konsentrasi

VFA parsial menurut Ørskov dan Ryle (1990), yaitu:

E =

Data yang diperoleh diuji ANOVA dengan tingkat signifikan pada taraf 5 % untuk

mengetahui pengaruh perlakuan terhadap parameter yang diuji. Jika uji ANOVA menunjukkan

adanya pengaruh pada perlakuan maka akan dilanjutkan dengan uji duncan.

Hasil dan Pembahasan

Hasil analisis ragam penelitian penambahan tepung daun katuk, jintan hitam dan sulfur

proteinat terhadap konsentrasi asetat, propionat dan butirat, gas metan dan efisiensi konversi heksosa

pada Tabel 2.

Konsentrasi asetat, propionate, butirat

VFA merupakan hasil dari proses fermentasi karbohindrat oleh mikroba di dalam rumen.

Karbohidrat polisakarida diubah menjadi monosakarida dan selanjutnya akan diubah menjadi asetat,

propionate dan butirat, serta metan dan CO2. VFA parsial merupakan proporsi asetat, propionate dan

butirat dalam VFA total (Lamid, 2010). Suplementasi herbal (tepung daun katuk dan jintan hitam) dan

sulfur proteinat tidak memberikan pengaruh nyata terhadap produksi asetat, propionat dan butirat

(p>0,05). Nilai rata-rata konsentrasi asetat pada masing-masing perlakuan T0 (22,67 mMol), T1

(27,53 mMol), T2 (27,06 mMol) dan T3 (20,06 mMol). Nilai rata-rata konsentrasi propionat pada

masing-masing perlakuan T0 (4,58 mMol), T1 (6,59 mMol), T2 (6,25 mMol) dan T3 (4,87 mMol).

Nilai rata-rata konsentrasi butirat pada masing-masing perlakuan T0 (3,31 mMol), T1 (4,58 mMol),

T2 (4,47 mMol) dan T3 (3,64 mMol).

Page 73: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

65

Tabel 2. Hasil analisis ragam konsentrasi asetat, propionat dan butirat, gas metan dan efisiensi

konversi heksosa

Parameter Perlakuan

T0 T1 T2 T3

Asetat (mM)

Propionat (mM)

Butirat (mM)

Metan (mM)

Efisiensi konversi heksosa (%)

22,67

4,58

3,31

11,85

71,21

27,53

6,59

4,58

14,62

71,98

27,06

6,25

4,47

14,20

72,49

20,06

4,87

3,64

10,71

72,63

Produksi VFA parsial dapat dipengaruhi oleh komposisi pakan dalam ransum dan tergantung

pada hasil fermentasi karbohidrat dan sebagian dari hasil fermentasi protein (Wahyuni et.al., 2014).

Kadar pH rumen serta jenis mikroba dalam rumen juga dapat mempengaruhi produksi VFA parsial,

mikroba pencerna serat yang menyebabkan konsentrasi asam asetat, propionate dan butirat meningkat

(Ramadhani et.al., 2018).

Konsentrasi VFA parsial tertinggi terdapat pada perlakuan penambahan herbal (T1), yang

diduga dipengaruhi oleh senyawa tanin yang terdapat dalam tepung herbal. Senyawa tanin dapat

menghambat tumbuhnya protozoa sehingga pertumbuhan mikrobia dalam rumen lebih baik (Wahyuni

et.al., 2014). Katuk dalam tepung herbal juga mengandung oxocyclopenthyl yang dapat merangsang

pertumbuhan mikrobia rumen, sehingga proses fermentasi pakan lebih optimal (Yusuf, 2012).

Produksi Metan

Metan merupakan gas yang terbentuk dari proses fermentasi anaerob bahan pakan di dalam

rumen oleh bakteri metanogen (Patra dan Saxena, 2010). Suplementasi herbal (tepung daun katuk dan

jintan hitam) dan sulfur proteinat tidak memberikan pengaruh nyata terhadap penurunan produksi gas

metan. Nilai rata-rata produksi gas metan pada masing-masing perlakuan T0 (11,85 mM), T1 (14,62

mM), T2 (14,20 mM) dan T3 (10,71 mM).

Gas metan dibentuk dari CO2 hasil fermentasi karbohidrat dan H2 hasil pembentukan asetat

dan butirat oleh mikroba (Ramadhani et.al., 2018). Dalam proses pembentukan VFA yaitu propionate

membutuhkan H2, sedangkan dalam pembentukan asetat dan butirat menghasilkan H2 yang dapat

dimanfaatkan bakteri metanogen untuk membentuk CH4 (Martin et.al., 2008). Produksi propionate

yang tinggi membutukkan banyak H2, sehingga dapat menekan pembentukan CH4 oleh bakteri

metanogen (Hidayah, 2016).

Konsentrasi metan terendah terdapat pada perlakuan penambahan tepung herbal dan sulfur

proteinat (T3), yang diduga dipengaruhi oleh tanin dan saponin yang terdapat pada tepung herbal,

yang dapat menekan pertumbuhan protozoa. Bateri metanogen bersimbiosis dengan protozoa,

sehingga penurunan jumlah protozoa akan diikuti dengan penurunan bakteri metanogen (Hidayah,

2016). Penurunan konsentrasi metan juga diduga dipengaruhi oleh sulfur dalam S-proteinat, yang

Page 74: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

66

merupakan mineral esensial bagi mikroba pencerna serat. Fungsi utama sulfur adalah untukmembantu

pembentukan asam amino dan sistesis protein mikroba (Nurhaita et.al., 2008).

Efisiensi konversi heksosa

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pemberian perlakuan tidak berpengaruh nyata

terhadap efisiensi konversi heksosa (p>0,05). Rata-rata efisiensi konversi heksosa pada setiap

perlakuan yaitu T0 (71,21%), T1 (72,52%), T2 (72,49%) dan T3 (72,90%). Nilai efisiensi konversi

heksosa mencerminkan energi yang terbuang selama proses fermentatif dalam bentuk metan. Semakin

tinggi nilai efisiensi maka sistem fermentasi rumen mengarah pada sistesis propionat sehingga energi

yang terbuang dalam bentuk metan berkurang (Krehbiel et.al., 2003).

Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa pemberian herbal

(daun katuk dan jintan hitam) dan sulfur proteinat tidak berpengaruh nyata terhadap konsentrasi VFA

parsial, gas metan dan memberikan nilai yang baik terhadap efisiensi konversi heksosa.

Daftar Pustaka

Akbar, M., Sjofjian, O., & Minarti, S. 2013. Produksi air susu induk dan tingkat mortalitas anak

kelinci yang diberi pakan tambahan tepung daun katuk (Sauropus androgynous L. Merr).

Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner, 18(4), 233-238.

Bhatt, N., Singh, M., & Ali, A. 2009. Effect of feeding herbal preparations on milk yield and rumen

parameters in lactating crossbored cows. Int. Journal Agric. Biol., 11, 721-726.

Chaieb, K., Kouidhi, B., Jrah, H., Mahdouani, K., & Bakhrouf, A. 2011. Antibacterial activity of

thymoquinone, an active principle of Nigella sativa and its potency to prevent bacterial biofilm

formation. BMC Compl. Altern. Med., 11, 29-35.

Hapsari, N. S., Harjanti, D. W., & Muktiani, A. 2018. Fermentabilitas pakan dengan imbuhan ekstrak

daun babadotan (Ageratum conyzoides) dan jahe (zingiber officinale) pada sapi perah secara in

vitro. Jurnal Agripet, 18(1), 1-9.

Krehbiel, C. R., Rust, S. R., Zhang, G., & Gilliland, S. E. 2003. Bacterial diect-fed microbials in

ruminants diets: performance response and mode of action. Journal Animal Science. 81,E120-

E132.

Kurniawan, R., Liman, & Widodo, Y. 2014. Pengaruh suplementasi hidrolisat bulu ayam dan mineral

organik untuk meningkatkan kecernaan bahan kering dan kecernaan bahan organik pada

ransum sapi. Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu, 2(2), 67-69.

Marwah, M. P., suranindyah, Y. Y., & Murti, T. W. 2010. Produksi dan komposisi susu kambing

peranakan Ettawa yang diberi suplemen daun katuk (Sauropus androgynus (L.) Merr) pada

awal masa laktasi. Buletin Peternakan, 34(2), 94-102.

Pasaribu, A., Firmansyah, & Idris, N. 2015. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi susu

sapi perah di Kabupaten Karo Provinsi Sumatera Utara. Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan, 13(1),

28-35.

Ramandhani, A., Harjanti, D. W., & Muktiani, A. 2018. Pengaruh pemberian ekstrak daun pepaya

(Carica papaya Linn) dan kunyit (Curcuma domestica) terhadap fermentabilitas rumen sapi

Perah in vitro. Jurnal Ilmu – Ilmu Peternakan, 28(1), 73-83.

Ridwan, T., Ghulamadi, M., & Kurniawan, A. 2014. Laju pertumbuhan dan produksi jintan hitam

(Nigella sativa L.) dengan aplikasi pupuk kandang sapid an fosfat alam. Jurnal Agro Indonesia,

42(2), 158-165.

Page 75: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

67

Supriyanti, Yulistiani, D., Wina E., & Haryanto B. 2000. Pengaruh suplementasi Zn, Cu dan Mo

anorganik dan organik terhadap kecernaan rumput secara in vitro. Jurnal Ilmu Ternak dan

Veteriner, 5(1), 32-37.

Susanti, N.M.P., Budiman, I.N.A., & Warditiani, N.K. 2014. Skrining fitokimia ekstrak etanol 90%

daun katuk (Sauropus androgynus (L.) Merr). Jurnal Farmasi Udayana, 13 (1), 83-86.

Tan, H. Y., Sieo, C. C., Abdullah, N., Liang, J. B., Huang, X. D., & Ho, Y. W. 2011. Effects of

condensed tannins from Leucaena on methane production, rumen fermentation and populations

of methanogens and protozoa in vitro. Jurnal Animal Feed science and Technology, 169, 185-

193.

Tilley, J. M. A., & Terry, R. A. 1963. A two stage technique for the in vitro. Digestion of Crops.

British Grassl. Journal British Grassland Society, 18, 104-111.

Widodo, Y., Qisthon, A., & Liman. 2017. Optimalisasi pemanfaatan onggok melalui pengolahan

biologis terhadap parameter rumen dan kecernaan zat-zat makanan sapi. Jurnal Penelitian

Pertanian Terapan. 11(3), 137-142.

Yusuf, R. 2012. Kandungan bahan kering tanpa lemak (BKTL) susu sapi perah Friesian Holstein

akibat pemberian pakan yang mengandung tepung katuk (Sauropus androgynous (L.) merr)

yang berbeda. Journal of Tropical Pharmacy and Chemistry, 2(1), 40-46.

Page 76: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

68

Pengaruh Pola Pemberian Ransum (Konsentrat-Jerami) yang Berbeda terhadap PBBH

dan Konversi Ransum pada Sapi Potong

The Effect of Different Feed Patterns (Concetrate-Rice Straw) to Averge Daily Gain and

Feed Conversion on Beef Cattle

Hikmat Angga Restu

1, M. Fatah Wiyatna

2, Rahmat Hidayat

3

1Alumni Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Tahun 2019

2Lab. Ternak Potong Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran

3 Lab. Nutrisi Ternak Ruminansia dan Kimia Makanan Ternak, Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran

*Korespondensi: [email protected]

Abstrak

Penelitian dilaksanakan di Balai Pengembangan Perbibitan Ternak (BPPT) Sapi Potong Cijeunjing,

Ciamis, Jawa Barat. Penelitian bertujuan untuk mengetahui berapa besar pengaruh imbangan pakan

hijauan – konsentrat terhadap PBBH dan konversi ransum pada sapi Pasundan dan sapi PO.

Penelitian menggunakan 14 sapi Pasundan dengan bobot badan awal 131 – 288 kg dan 14 sapi PO

dengan bobot badan awal 212 – 306 kg. Data hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan uji T

tidak berpasangan yang terdiri atas 2 perlakuan dan 7 ulangan untuk masing – masing bangsa sapi,

yaitu P1 (50% Jerami Padi + 50% konsentrat) dan P2 (30% Jerami Padi + 70% konsentrat). Hasil

penelitian menunjukkan bahwa perlakuan tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap pertambahan

bobot badan harian dan konversi ransum pada sapi Pasundan dan sapi PO.

Kata Kunci: Pola Pemberian Ransum, Sapi PO, Sapi Pasundan, PBBH, Konversi Ransum

Abstract

The research was conducted at Balai Pengembangan Perbibitan Ternak (BPPT) Sapi Potong

Cijeunjing, Ciamis, West Java. The objective of this study was to find out the effect of forage –

concetrate ratio in the ration to average daily gain and feed conversion of Pasundan and Peranakan

Ongole (PO) cattles. This study used 14 Pasundan cattles with the range of body weight from 131 -

288 kg and 14 PO cattles which have origin body weight 212 – 306 kg. The data was analyzed by unpaired T test which consist of 2 treatments and replication for each breed. The treatment was

arranged as follow: P1 (50% rice straw + 50% concentrate) and P2 (30% rice straw + 70%

concentrate). The result of the research showed that the treatments had no effect (P>0,05) to average

daily gain and feed conversion.

Keywords: Different Feed Patterns, Ongole Cross Cattle, Pasundan Cattle, Average Daily Gain,

Feed Conversion

Pendahuluan

Rendahnya populasi sapi potong di Indonesia merupakan permasalahan umum yang sampai

saat ini belum terselesaikan. Hal tersebut membuat pemerintah harus mengimpor sapi dari luar negeri

untuk memenuhi kebutuhan protein hewani masyarakat Indonesia. Selain populasinya yang rendah,

salah satu penyebab rendahnya produktivitas ternak potong adalah sistem pemeliharaan yang masih

tradisional di masyarakat Jawa Barat. Oleh karena itu, perlu adanya perbaikan pola pemberian pakan

sehingga pakan yang diberikan mampu memenuhi kebutuhan nutrien yang diperlukan sapi potong.

Kasus yang sering terjadi di peternakan tradisional diantaranya adalah rendahnya mutu

pakan, kontinuitas yang kurang terjamin, kecernaan rendah, dan ketidakseimbangan antara asupan

Page 77: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

69

nutrien asal ransum dan nutrien yang dibutuhkan ternak untuk hidup pokok dan produksi. Pola

pemberian ransum yang berpengaruh ketika imbangan sumber energi dan sumber protein sesuai

dengan kebutuhan untuk produktivitas yang optimal.

Ransum merupakan salah satu faktor penting dalam peningkatan produktivitas ternak. Namun banyak

peternak yang kurang memperhatikan persyaratan kualitas, kuantitas, maupun pola pemberian

ransum. Peternak sapi lokal di Indonesia tidak dapat bersaing dengan peternakan industri sapi impor,

karena pertumbuhan dan produkivitas sapi lokal masih terbilang kurang optimal dibandingkan dengan

sapi dari peternakan sapi impor. Hal tersebut dipengaruhi oleh besarnya biaya untuk ransum yang

dikeluarkan dan kurang efisien dalam pemberian ransum. Biaya yang dikeluarkan ransum dalam

pemeliharaan bisa mencapai 80% dari keseluruhan biaya produksi.

Pemberian pakan tunggal hijauan tidak akan memenuhi kebutuhan nutrien karena kandungan

energi maupun protein hijauan relatif rendah. Oleh karena itu, perlu diberikan pakan tambahan yang

mengandung energi dan protein yang tinggi berupa konsentrat. Imbangan pakan hijauan dan

konsentrat yang seimbang serta memenuhi kebutuhan nutriennya akan membuat biaya dan harga yang

ekonomis dan mendapatkan produktivitas yang optimal. Pakan yang optimal harus dibarengi dengan

bibit sapi yang memiliki potensi genetik yang bisa dikembangkan agar produktivitas yang optimal

tercapai.

Sapi lokal Indonesia yang memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai sapi pedaging

diantaranya adalah sapi Pasundan dan sapi Peranakan Ongole (PO). Salah satu keunggulan sapi

Pasundan dan PO di Jawa Barat, yaitu memiliki daya tahan tubuh yang baik dan kemampuan

reproduksi cukup baik. Namun akibat pemberian pakan yang tidak terpenuhi nutriennya,

keunggulannya tidak teroptimalkan dengan demikian perlu penambahan pakan berupa konsentrat

untuk mengimbangi pemberian pakan tunggal seperti hijauan.

Berdasarkan uraian di atas perlu dilakukan kajian tentang imbangan pemberian pakan hijauan dengan

konsentrat terhadap sapi Pasundan dan sapi PO. Diharapkan pola pemberian pakan yang sesuai

dengan kebutuhan ternak akan menghasilkan produktivitas yang optimal dan biaya pakan yang

efisien.

Bahan dan Metode Penelitian

Bahan Penelitian

Penelitian ini menggunkan sapi Pasundan dan sapi PO berkelamin jantan berumur 1,5 – 2

tahun. Sapi Pasundan yang digunakan sebanyak 14 ekor dengan bobot awal 131 kg – 288 kg dan sapi

PO sebanyak 14 ekor dengan bobot awal 212 kg – 306 kg yang ada di BPPT Sapi Potong Cijeunjing,

Ciamis, Jawa Barat.

Ransum yang digunakan terdiri atas jerami dan konsentrat disusun berdasarkan kebutuhan

sapi potong tabel Kearl (1982). Jerami yang digunakan adalah jerami padi diambil dari daerah sekitar

lokasi penelitian, yang di chopper agar mempermudah konsumsi ternak dengan memperkecil ukuran

Page 78: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

70

jerami. Konsentrat penelitian yang digunakan adalah konsentrat komersil produk Nutrifeed dalam

bentuk pellet.

Kandungan nutrien pada bahan pakan yang dipergunakan untuk menyusun ransum selama penelitian

disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Kandungan Nutrien Makanan Bahan Pakan

Kandungan Zat Makanan Jerami Padi* Konsentrat**

Air (%) 15,88 11,69

Abu (%) 18,1 12,00

Protein Kasar (%) 4,60 14,02

Serat Kasar (%) 28,86 16,02

Lemak Kasar (%) 1,40 3,80

TDN(%) 41,68 66,10

Sumber: - Balai Pengembangan dan Pembibitan Ternak Sapi Potong Cijeungjing Ciamis*

- Balai Pengujian Mutu Pakan Ternak Cikole Lembang**

Imbangan bahan jerami dan konsentrat ransum penelitian disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Imbangan Jerami dan Konsentrat Ransum Penelitian

Bahan Pakan Perlakuan

P1 P2

Konsentrat (%) 50 70

Jerami (%) 50 30

Kandungan nutrien pada ransum yang dipergunakan untuk ransum setiap hari selama penelitian

disajikan pada Tabel 3 dibawah ini.

Tabel 3. Kandungan Nutrien Ransum Penelitian

Nutrien P1 P2

Bahan Kering (%) 86,22 87,05

Abu (%) 15,05 13,83

Protein Kasar (%) 9,31 11,19

Serat Kasar (%) 26,29 25,26

Lemak Kasar (%) 2,60 3,08

TDN (%) 53,90 58,78

Metode Penelitian

1) Periode Pendahuluan

Sapi penelitian ditempatkan pada kandang individu secara acak. Masing-masing mendapat 1

macam ransum perlakuan. Ternak diadaptasi terhadap ransum perlakuan selama 1 minggu.

2) Periode Pengamatan

Periode pengamatan dilakukan selama 60 hari. Ransum diberikan 2 kali pada pukul 08:00 dan

14:30 WIB. Pada periode ini dilakukan pencatatan sisa ransum pada hari sebelumnya.

Page 79: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

71

Peubah yang Diukur

1) Pertambahan Bobot Badan Harian (PBBH)

PBBH dihitung dengan cara berat akhir dikurangi berat awal lalu dibagi dengan lamanya

masa penggemukan, yaitu selama 60 hari. PBBH dihitung dengan rumus:

PBBH =

2) Konversi Ransum

Konversi ransum adalah perbandingan pertambahan bobot badan harian dengan banyaknya

ransum yang dikonsumsi. Efisiensi penggunaan ransum dihitung dengan menggunakan

rumus:

FCR =

Rancangan Percobaan dan Analisis Statistik

Penelitian ini dilakukan pada 2 bangsa sapi yang berbeda dan terpisah. Masing-masing

bangsa diberikan 2 perlakuan dengan 7 ulangan sehingga diperoleh 14 unit percobaan. Adapun

perlakuan penelitian sebagai berikut:

1) Sapi Pasundan

Ps1 = Sapi Pasundan 50 % jerami + 50% konsentrat (berdasarkan BK)

Ps2 = Sapi Pasundan 30 % jerami + 70% konsentrat (berdasarkan BK)

2) Sapi PO

Po1 = Sapi PO dengan 50 % jerami + 50% konsentrat (berdasarkan BK)

Po2 = Sapi PO dengan 30 % jerami + 70% konsentrat (berdasarkan BK)

Analisis Statistika

Jenis penelitian yang dilakukan adalah eksperimental dengan menggunakan uji-T tidak

berpasangan. Hipotesis yang diuji:

H0: Tidak terdapat perbedaan antara pola pemberian ransum konsentrat dan jerami dengan

imbangan 50:50 dan 70: 30.

H1: Ada perbedaan antara pola pemberian ransum konsentrat dan jerami dengan imbangan 50:50

dan 70: 30.

Kaidah keputusan:

- Bila thitung < ttabel maka tolak H0

Bobot Akhir – Bobot Awal (Kg)

Lama Pemeliharaan (Hari)

Konsumsi BK Ransum ( Kg )

PBBH ( Kg )

Page 80: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

72

- Bila thitung > ttabel maka terima H1

Untuk menentukan rumus uji-T tidak berpasangan akan dipilih pengujian hipotesis maka

perlu di uji dulu varians kedua sampel homogen atau tidak. Pengujian homgenitas varians digunakan

uji- F dengan rumus sebagai berikut:

Maka model matematika dengan varian homogen atau jumlah sampel n1= n2 dapat digunakan rumus

uji – T, yaitu:

Hasil Dan Pembahasan

Pengaruh Perlakuan terhadap PBBH

1. PBBH Sapi Pasundan

Pertumbuhan dapat diidentifikasikan sebagai pertambahan bobot sebagian urat daging dan

jaringan lain dan merupakan masa tumbuh dalam kurun waktu tertentu (Morrison, 1961; Maynard

dan Loosli, 1979). Kecepatan pertumbuhan untuk setiap jenis hewan akan berbeda. Berbagai faktor

keturunan dan lingkungan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan. Hasil rata-rata

perhitungan pengukuran pertambahan bobot badan ternak selama penelitian dari masing-masing

perlakuan disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Pengaruh Perlakuan terhadap Pertambahan Bobot Badan Sapi Pasundan

Ulangan Perlakuan

P1 (kg) P2 (kg)

1 0,78 0,55

2 0,73 0,53

3 0,58 0,60

4 0,67 0,55

5 0,65 0,58

6 0,67 0,68

7 0,53 0,67

Rataan 0,60 0,61

Keterangan: P1 = Sapi Ps 50 % Jerami + 50% konsentrat (berdasarkan BK)

P2 = Sapi Ps 30 % Jerami + 70% konsentrat (berdasarkan BK)

Page 81: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

73

Berdasarkan Tabel 4, dapat dilihat bahwa rataan pertambahan bobot badan harian (PBBH)

sapi Pasundan pada P1 bervariasi antara 0,4 – 0,8 kg/ekor per hari dengan rataan total dari seluruh

individu adalah 0,60 kg/ekor/hari. Pertambahan bobot badan sapi Pasundan pada P2 antara 0,5 – 0,7

kg/ekor/hari dengan rataan total seluruh individu adalah 0,61 kg/ekor/hari. Hasil penelitian ini

menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan penelitian Herni (2018) yang mendapatkan

PBBH sapi Pasundan sebesar 0,34 kg/hari dengan diberi pakan konvensional.

Guna mengetahui seberapa jauh pengaruh perlakuan terhadap pertambahan bobot badan,

maka dilakukan analisis dengan menggunakan uji T. Berdasarkan hasil analisis uji T, didapatkan

bahwa t hit < t tabel (0,51 < 2,44) yang berarti terima H0 dan tolak H1. Hal tersebut menunjukkan

bahwa pemberian pakan dengan imbangan bahan kering hijauan konsentrat 50:50 dengan 30:70 tidak

menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0,05) terhadap pertambahan bobot badan harian sapi

Pasundan. Hal ini menunjukkan bahwa sapi Pasundan sudah mampu memberikan pertambahan bobot

badan harian yang optimal dengan imbangan pakan bahan kering hijauan konsentrat 50:50.

Penambahan imbangan bahan kering yang berasal dari konsentrat lebih dari 70% tidak diiringi

peningkatan pertambahan bobot badan harian yang signifikan. Hal ini dikarenakan pemberian

imbangan hijauan dan konsentrat 50%: 50% sudah memenuhi kebutuhan nutrien Sapi Pasundan.

Sapi Pasundan tidak memerlukan biaya yang tinggi dalam pemeliharaanya untuk mencapai

produktivitas yang bisa dikatakan optimal. Hal ini sesuai dengan Arifin (2017) yang menyatakan

bahwa manajemen pemeliharaan sapi Pasundan sangat sederhana dan relatif murah (input produksi

rendah) cukup tahan dengan kondisi pakan berkualitas rendah. Dan dapat dikatakan bahwa biaya

pakan untuk menghasilkan pertambahan bobot badan optimal sapi Pasundan relatif rendah.

Pendapat lain menyatakan bahwa pemberian minimum pakan hijauan sebesar 0,5-0,8% bahan

kering dari bobot badan, sedangkan pakan konsentrat tidak dapat diberikan dalam jumlah yang sangat

tinggi. Pemberian konsentrat lebih dari 60% dalam komponen ransum dapat menyebabkan gangguan

pencernaan pada ternak, dan biaya yang relatif mahal (tidak ekonomis lagi) (Siregar, 1994).

2. PBBH Sapi Peranakan Ongole (PO)

Pertambahan bobot badan harian (PBBH) ternak adalah salah satu tolok ukur produktivitas

ternak yang merupakan manifestasi dari respon ternak terhadap pakan yang dikonsumsi. PBBH

adalah respon ternak yang merupakan perpaduan dari genetik dan lingkungan (pakan). PBB

berkorelasi positif dengan jumlah nutrien yang dikonsumsi. Apabila ternak mampu mengkonsumsi

pakan dengan baik (sesuai dengan kebutuhannya), maka dapat dipastikan ternak tersebut akan

menghasilkan PBBH yang optimal sesuai dengan potensi genetik yang dimilikinya. Berikut ini

disajikan PBBH ternak hasil penelitian (Tabel 5).

Page 82: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

74

Tabel 5. Pengaruh Perlakuan terhadap Pertambahan Bobot Badan Sapi PO

Ulangan Perlakuan

P1 (kg) P2 (kg)

1 1,22 0,78

2 0,85 1,07

3 0,80 0,57

4 0,70 0,72

5 1,07 0,57

6 0,72 0,58

7 0,90 0,70

Rataan 0,92 0,71

Keterangan: P1 = Sapi PO 50 % Jerami + 50% konsentrat (berdasarkan BK)

P2 = Sapi PO 30 % Jerami + 70% konsentrat (berdasarkan BK)

Berdasarkan Tabel 5 di atas, memperlihatkan bahwa sapi PO yang diberi pakan dengan P1

mempunyai rataan PBBH yang bervariasi antara 0,7 – 1,2 kg/ekor/hari dengan rataan total seluruh

individu sebesar 0,92 kg/ekor/hari. Demikian pula halnya dengan sapi PO yang diberi pakan dengan

P2 menghasilkan pertambahan bobot badan harian yang bervariatif pula berkisar antara 0,6 – 1,1

kg/ekor/hari dengan rataan total individu sebesar 0,71 kg/ekor/hari. PBBH pada penelitian ini berkisar

antara 0,5 sampai 1,2 kg/ekor/hari. Hal ini sesuai dengan pendapat Misa (2019) yang menyatakan

bahwa PBBH sapi PO mencapai 0,9 kg/ekor/hari.

Guna mengetahui seberapa jauh pengaruh perlakuan terhadap pertambahan bobot badan

maka dilakukan analisis dengan menggunakan uji T tidak berpasangan. Berdasarkan hasil analisis,

didapatkan bahwa t hit < t tabel (1,84 < 2,17). Hal tersebut menunjukkan bahwa pemberian pakan

dengan imbangan bahan kering hijauan konsentrat 50:50 dengan 30:70 pada sapi PO tidak

menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0,05) terhadap pertambahan bobot badan harian.

Hasil dari penelitian ini memperlihatkan bahwa sapi PO bisa memberikan pertambahan bobot

badan harian yang optimal pada imbangan pakan bahan kering hijauan konsentrat 50:50. Pemberian

imbangan pakan bahan kering yang berasal dari konsentrat melebihi 70% tidak diiringi peningkatan

pertambahan bobot badan harian yang berbeda. Pemberian konsentrat akan dapat meningkatkan

jumlah konsumsi protein kasar yang dapat meningkatkan daya cerna, namun menurut Siregar (1994)

menyatakan pemberian konsentrat lebih dari 60% dalam komponen ransum dapat menyebabkan

gangguan pencernaan pada ternak. Hal tersebut juga didukung Muh Yusuf (2008) yang menyatakan

apabila konsumsi protein telah melebihi batas optimal maka penambahan konsumsi protein justru

akan menurunkan daya cernanya, bahkan dapat menyebabkan penurunan daya cerna zat –zat

makanan lainnya.

Kondisi demikian menunjukkan bahwa pemberian pakan untuk sapi PO relatif efisien karena

dengan imbangan bahan kering hijauan konsentrat 50%:50% sudah memberikan hasil pertambahan

Page 83: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

75

bobot badan harian yang optimal. Dapat dikatakan bahwa biaya pakan untuk menghasilkan

pertambahan bobot badan optimal sapi PO relatif rendah.

Pengaruh Perlakuan terhadap Konversi Ransum

1. Konversi Ransum Sapi Pasundan

Konversi pakan merupakan jumlah pakan yang dikonsumsi untuk mendapatkan kenaikan satu

satuan bobot hidup (Pond dkk., 1995). Konversi pakan dapat digunakan untuk mengetahui efisiensi

produksi karena erat kaitannya dengan biaya produksi. Semakin rendah nilai konversi pakan maka

efisiensi penggunaan pakan makin tinggi. Konversi ransum digunakan sebagai tolak ukur efisiensi

produksi, semakin rendah nilai konversi berarti efisiensi penggunaan pakan semakin tinggi. Konversi

ransum merupakan pembagian antara konsumsi ransum dengan bobot tubuh yang dicapai (Siregar,

2002). Hasil perhitungan pengukuran konversi ransum pada sapi Pasudan disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Pengaruh Perlakuan terhadap Konversi Ransum Sapi Pasundan

Ulangan Perlakuan

P1 P2

1 11,05 12,25

2 10,86 10,35

3 13,81 12,97

4 13,25 8,73

5 13,77 11,62

6 9,36 8,50

7 11,20 9,90

Rataan 13,17 10,62

Keterangan: P1 = Sapi Ps 50 % jerami + 50% konsentrat (berdasarkan BK)

P2 = Sapi Ps 30 % jerami + 70% konsentrat (berdasarkan BK)

Berdasarkan Tabel 6, dapat dilihat bahwa nilai konversi ransum P1 bervariasi antara 9,36 kg

– 13,81kg dengan rataan total sebesar 13,7 kg, sedangkan nilai konversi ransum P2 berkisar antara

8,50 kg – 12,97 kg dengan rataan total sebesar 10,62 kg. Hal ini sejalan dengan pendapat Siregar

(2008), yang menyatakan bahwa konversi pakan untuk sapi yang baik adalah 8,56-13,29 kg. Hasil

penelitian ini menunjukkan hasil yang berbeda dengan penelitian Herni (2018), dimana konversi

ransum pada sapi Pasundan yang diperoleh berbeda, yaitu 10,29 kg. Hal tersebut memberikan arti

bahwa sapi Pasundan dapat menghasilkan nilai konversi ransum yang optimal dengan imbangan 30%

hijauan: 70% konsentrat maupun dengan imbangan 50% hijauan: 50% konsentrat.

Guna mengetahui seberapa jauh pengaruh perlakuan terhadap konversi ransum maka

dilakukan analisis dengan menggunakan uji T tidak berpasangan. Berdasarkan hasil analisis,

didapatkan bahwa t hit < t tabel (1,63 < 2,44). Hal tersebut menunjukkan bahwa pemberian pakan

dengan imbangan bahan kering hijauan konsentrat P1 (50:50) dengan P2 (30:70) pada sapi Pasundan

tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0,05). Hal ini memberikan arti bahwa sapi Pasundan

Page 84: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

76

sudah mampu memberikan konversi ransum yang baik pada imbangan hijauan: konsentrat 50: 50.

Menurut Soeparno (2005) bahwa faktor genetik dan lingkungan mempengaruhi laju pertumbuhan dan

komposisi tubuh yang meliputi distribusi berat dan komposisi kimia pada tubuh. Menurut Ayu Astuti

dkk., (2015) yang menyatakan bahwa keadaan rumen yang stabil mengakibatkan mikroba rumen

dapat mencerna pakan dengan baik dan menghasilkan konversi pakan yang rendah. Menurut

Martawidjaja (2001), konversi pakan dipengaruhi oleh kualitas pakan, pertambahan bobot tubuh, dan

kecernaan artinya bahwa semakin baik kualitas pakan yang di konsumsi akan menghasilkan

pertambahan bobot tubuh yang lebih tinggi dan lebih efisien dalam penggunaan pakan.

Kondisi demikian menunjukkan bahwa pemberian pakan untuk sapi Pasundan relatif efisien

karena dengan imbangan bahan kering hijauan konsentrat 50%:50% sudah memberikan konversi

ransum yang baik. Dapat dikatakan bahwa biaya pakan untuk menghasilkan konversi ransum yang

baik pada sapi Pasundan relatif rendah.

2. Konversi Ransum Sapi Peranakan Ongole (PO)

Konversi pakan adalah perbandingan atau rasio antar jumlah pakan yang dikonsumsi oleh

ternak dengan produk yang dihasilkan oleh ternak tersebut (Anggorodi, 1994). Perry dkk., (2005)

menambahkan bahwa konversi pakan merupakan jumlah pakan yang dikonsumsi untuk mendapatkan

kenaikan satu-satuan bobot hidup. Konversi pakan dapat digunakan untuk mengetahui efisiensi

produksi karena erat kaitannya dengan biaya produksi, semakin rendah nilai konversi pakan maka

efisiensi penggunaan pakan makin tinggi. Serat kasar yang tinggi dalam pakan akan menyebabkan

daya cerna menjadi kecil, sehingga konversi pakan merupakan integrasi dari daya cerna (Anggorodi,

1994). Hasil perhitungan pengukuran konversi ransum pada sapi PO disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Pengaruh Perlakuan terhadap Konversi Ransum Sapi PO

Ulangan Perlakuan

P1 P2

1 6,65 7,27

2 8,93 7,42

3 9,18 13,39

4 10,96 11,42

5 7,70 13,97

6 9,83 12,67

7 9,55 9,04

Rataan 8,82 10,62

Keterangan: P1 = Sapi PO 50 % Jerami + 50% konsentrat (berdasarkan BK)

P2 = Sapi PO 70 % Jerami + 30% konsentrat (berdasarkan BK)

Berdasarkan Tabel 7, nilai konversi ransum P1 berkisar antara 6,65 – 10,96 dengan nilai

rataan sebesar 8,82, sedangkan pada konversi ransum P2 berkisar antara 7,27 – 13,97 dengan nilai

rataan sebesar 10,62. Hasil penelitian ini dikatakan sejalan dengan pendapat Siregar (2002) yang

menyatakan konversi pakan yang baik adalah 8,56—13,29. Penelitian ini menghasilkan konversi

Page 85: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

77

ransum yang berbeda dibandingkan Umar dkk., (2007) yang memperoleh konversi pakan sapi PO

sebesar 9,63. Penelitian mengenai nilai konversi pada sapi PO ini juga dilakukan Purnomoadi dkk.,

(2007) yang mendapatkan hasil sebesar 11,20 dan Hamdan dkk., (2004) yang memperoleh konversi

pakan yang lebih baik dari penelitian ini, yaitu 8,12. Hal ini menunjukkan bahwa ada keragaman

genetik yang berbeda pada sapi PO yang ditunjukkan oleh respon yang berbeda pada individu

terhadap hasil konversi ransum.

Guna mengetahui seberapa jauh pengaruh perlakuan terhadap konversi ransum maka

dilakukan analisis dengan menggunakan uji T tidak berpasangan. Berdasarkan hasil analisis,

didapatkan bahwa t hit < t tabel (1,48 < 2,26). Hal tersebut menunjukkan bahwa pemberian pakan

dengan imbangan bahan kering hijauan konsentrat 50:50 dengan 30:70 pada sapi PO tidak

menunjukkan perbedaan yang nyata. Hal ini memberikan arti bahwa sapi PO sudah mampu

menghasilkan konversi ransum yang optimal pada imbangan pakan bahan kering hijauan konsentrat

50: 50. Penambahan pakan di atas 70% bahan kering konsentrat pada ransum tidak diikuti penurunan

konversi ransum. Hal tersebut menunjukkan bahwa imbangan pakan hijauan: konsentrat 50:50

mempunyai kestabilan dalam rumen sehingga daya cerna lebih baik sehingga nutrien tercena dengan

baik yang akan membantu dalam pertumbuhan. Hal ini sesuai dengan Ayu Astuti dkk., (2015) yang

menyatakan bahwa keadaan rumen yang stabil mengakibatkan mikroba rumen dapat mencerna pakan

dengan baik dan menghasilkan konversi pakan yang rendah. Hal ini memperlihatkan bahwa potensi

sapi PO cukup baik meskipun hanya perlu pengelolaan dan perbaikan pakan. Kondisi demikian

menunjukkan bahwa pemberian pakan untuk sapi PO relatif efisien karena dengan imbangan bahan

kering hijauan konsentrat 50%:50% sudah memberikan konversi ransum yang baik. Dapat dikatakan

bahwa biaya pakan untuk menghasilkan konversi ransum yang baik pada sapi PO relatif rendah.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa pola imbangan

pemberian pakan hijauan dan konsentrat sebesar 50: 50 dan 30: 70 memberikan respon terhadap

PBBH dan konversi ransum yang sama pada sapi Pasundan dan sapi PO.

Saran

Pemberian pakan sapi Pasundan dan sapi PO hendaklah dengan pola imbangan hijauan dan

konsentrat 50: 50. Pola pemberian pakan ini mampu menghasilkan PBBH dan konversi ransum yang

optimal. Dengan demikian biaya pakan lebih efisien dan ekonomis.

Daftar Pustaka

Anggorodi, R. 1994. Ilmu Makanan Ternak Umum. Cetakan ke-6. PT Gramedia, Jakarta.

Arifin J. 2017. Konservasi Sumberdaya Genetik Sapi Pasundan di Jawa Barat. Disertasi. Universitas

Padjadjaran. Bandung.

Page 86: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

78

Ayu A, Erwanto dan Purnama E. S. 2015. Pengaruh Cara Pemberian Konsentrat –Hijauan Terhadap

Respon Fisiologis dan Performa Sapi Peranakan Sapi Simmental. Jurnal ilmiah Peternakan

terpadu. Vol. 3 (4): 201-207.

Hamdan, A., N. Ngadiyono dan A. Agus. 2004. Konsumsi pakan dan pertambahan bobot badan sapi

Bali dan sapi PO jantan yang diberi pakan basal jerami padi dan suplemen konsentrat.

Jurnal Pengembangan Peternakan Tropis. Vol. 2.: 126-131.

Herni. 2018. Kecernaan Nutrien dan Performa Sapi Pasundan yang Diberi Suplemen Pakan

Mengandung Daun Lamtoro dalam Bentuk Wafer. Tesis . Fakultas Peternakan. Institut

Pertanian Bogor. Bogor.

Kearl, L. C. 1982. Nutrient Requirements of Ruminant in Developing Countries. International

Feedstuff Institute, Utah Agriculture Experiment Station. Edisi Pertama. Utah State

University, Logan.

Martawidjaja, M., Kuswandi, dan B. Setiadi. 2001. Pengaruh Tingkat Protein Ransum terhadap

Penampilan Kambing Persilangan Boer x Kacang Muda. Prosiding Seminar Nasional

Teknologi Peternakan dan Veteriner.

Maynard, LA and IK Loosly. 1979. Animal Nutrition. 4th Edition. Mc Grow Hill Book Co. Inc. New

York.

Misa D. 2019. Karakteristik Sapi Peranakan Ongole (PO). Ww.berbagiilmupeternakan.com. diakses

tgl 11 januari 2019. Pukul 14.35.

Morrison, F.B. 1961. feed and feeding. Abridge. 9th Ed. The Morrison Publishing Company, New

York.

Muh Yusuf A. K. 2008. Pengaruh tingkat pemberian konsentrat terhadap daya cerna bahan kering

dan protein kasar ransum pada sapi bali jantan yang mendapatkan rumput raja. J. Agroland.

Vol. 15 (4): 343 – 348.

Perry, T. W., A. E. Cullison, dan R. S. Lowrey. 2005. Feed and Feeding. 6nd Ed. Person Education,

Inc. Upper Sadle River. New Jersey.

Pond, W.G., D.C. Church, and K.R. Pond, 1995. Basic Animal Nutrition and Feeding. Fourth edition.

John Wiley & Sons, New York.

Siregar, S. B. 2008. Penggemukan sapi . PT Penebar Swadaya, Jakarta.

.2002. Ransum Ternak Ruminansia. PT Penebar Swadaya, Jakarta.

.1994. Ransum Ternak Ruminansia. PT Penebar Swadaya, Jakarta.

Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Cetakan III. Gadjah Mada University Press.

Yogyakarta.

Page 87: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

79

Produktivitas dan Daya Adaptasi Rumput Brachiaria Decumbens CV Basilisk dalam

Perbaikan Padang Penggembalaan di Lahan Sub Optimal

Productivity and Adaptation Power of Gracisis Brachiaria Decumbens CV in Improvement

of Governments in Sub Optimal Land

Iwan Herdiawan, E. Sutedi dan A. Panindi Balai Penelitian Ternak, Ciawi, PO Box 221 Bogor

email: [email protected]

Abstrak

Berdasarkan pola curah hujan, Indonesia memiliki tiga zona iklim yaitu zona iklim basah

untuk Wilayah Barat Indonesia, zona iklim sedang Wilayah Indonesia Tengah dan zona iklim kering

berada di wilayah bagian timur Indonesia. Pembagian zona iklim ini berdampak pada kegiatan pola

usahatani, distribusi tanaman, hewan, dan pembentukkan agroekosistem yang berbeda. Pola usahatani

Wilayah Timur Indonesia yang memiliki iklim kering dengan jumlah curah hujan rataan kurang dari

1000 mm/tahun adalah padi/palawija-bera, dan padang rumput (savana) karena curah hujannya sangat

rendah. Padang rumput savana dan steve merupakan sumber hijauan alami bagi hewan dan ternak

ruminansia di daerah kering. Optimalisasi padang rumput alam dapat dilakukan melalui introduksi

rumput unggul yang toleran spesifik lokasi. Rumput Brachiaria decumbens cv Basiliskcv Basilisk

memiliki wilayah penyebaran yang cukup luas dari daerah sub-tropis sampai dengan tropis kering,

yang memilki cekaman abiotik tanah masam, salin, dan kering. Kandungan protein kasar Brachiaria

decumbens cv Basiliskcv Basiliskcv Basilisk berkisar antara 9-20%, dengan nilai kecernaan antara 50-

80%. Produksi bahan kering cukup tinggi sekitar 10-30 ton/ha/tahun dengan prakiraan daya tampung

sekitar 1,67-5,01 UT.

Kata kunci: Brachiaria decumbenscv Basilisk, produktivitas, daya adaptasi

Abstract

Based on the rainfall pattern, Indonesia has three climate zones, namely a wet climate zones for the

Western Region, temperate zone region of Central and arid climate zone is located in the eastern. The

distribution of climatic zones is impacting on activity patterns of farming, distribution of plants,

animals, and the formation of the different agro-ecosystems. Eastern Indonesia farming pattern which

has a arid climate with rainfall amounts averaging less than 1000 mm / year are rice / crops-fallow

and grasslands (savanna) due to very low rainfall. Savanna grasslands and steppes are a source of

natural forage for animals and ruminants in arid and semi-arid area. Optimization of natural

pastures can be done through the introduction of superior grass on local specific. Brachiaria

decumbens cv Basilisk grass has wide spread on region of sub-tropical to tropical dry, which has

abiotic stress acid soil, saline, and droght. The crude protein content of Brachiaria decumbens cv

Basilisk ranged from 9-20%, with digestibility values ranging between 50-80%. Dry matter

production is high enough around 10-30 tonnes / ha / year with forecast of carrying capacity about

1.67 to 5.01 Au.

Keywords: Brachiaria decumbens cv Basilisk, productivity, adaptability

Pendahuluan

Pembangunan peternakan Indonesia kedepan harus berorientasi pada kemandirian dan

mengoptimalkan kemampuan daya dukung sumber daya alam yang ada. Potensi sumber daya alam

kita cukup melimpah dari laut sampai daratan yang dapat menjamin akan ketahanan pangan, apabila

dikelola secara baik. Kebutuhan pangan dan juga energi akan terus meningkat sejalan dengan laju

Page 88: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

80

pertumbuhan dan peningkatan kesejahteraan penduduk (Haryono, 2013). Negara kita tidak bisa terus

menerus mengandalkan bantuan dari negara lain untuk memenuhi kebutuhan pangan, termasuk

komoditas peternakan. Untuk menghasilkan pangan dari komoditas peternakan tidak memerlukan

lahan yang subur karena sudah banyak para ahli melakukan penelitian jenis tanaman pakan yang

toleran pada kondisi lahan marjinal sebagai sumber pakan utamanya. Wilayah Timur Indonesia

sampai dengan saat ini masih merupakan sentra produksi ternak sapi potong, karena didukung oleh

sumber hijauan yang berasal dari padang rumput alam (savana). Sebagai contoh di Timor Barat

merupakan salah satu tempat konsentrasi ternak ruminansia di Nusa Tenggara Timur (NTT), yang

memiliki padang savana yang luas yaitu 1.399.980,824 ha (1999), dan yang digunakan sebagai

padang penggembalaan seluas 736.981 ha. Kawasan pulau Timor memiliki kondisi alam yang

dipengaruhi oleh sistem angin muson yang dicirikan dengan musim hujan yang pendek (3-4 bulan)

dan musim kemarau yang panjang (8-9 bulan) (Manu, 2010). Lamanya musim kemarau secara

langsung berpengaruh terhadap penurunan kualitas dan kuantitas hijauan pakan yang tersedia dan

berdampak pada penurunan produktivitas ternak. Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan teknik

perbaikan kualitas dan kuantitas padang penggembalaan melalui introduksi tanaman pakan unggul

(rumput/leguminosa) yang toleran kekeringan. Brachiaria decumbens cv Basilisk merupakan salah

satu jenis rumput pangonan (grazing) yang sangat toleran terhadap cekaman kekeringan dan

penggembalaan berat.

Karakteristik Morfologi Rumput B. Decumbens cv Basilisk

Ciri morfologi rumput ini yaitu tumbuh rendah, tegak atau menjalar, membentuk rizoma dan

tanaman tahunan berstolon dengan daun berbulu sedang dan berwarna hijau terang, lebar 7-20 m, dan

panjang 5-25 cm. Daun tumbuh dari stolon yang merambat yang berakar pada buku-bukunya, bunga

rumput ini berbentuk mayang menjari. Rumput ini biasanya ditanam untuk padang penggembalaan

permanen, tetapi juga ditanam untuk sistem cut and carry. Rumput ini ditanam sebagai penutup tanah

yang digembalai pada perkebunan dan sebagai penutup yang baik untuk menahan erosi pada daerah

yang miring (Miles et al., 1996). Kandungan nutrisi rumput ini cukup tinggi dan palatabilitas yang

baik (seperti rumput tropis yang lain) tetapi bergantung pada status kesuburan tanah. Kecernaan

rumput ini dapat mencapai (5080%), protein kasar (PK) berkisar dari 9-20% tergantung pada

kesuburan tanah dan manajemen, tetapi dapat menurun dengan cepat tergantung pada umur dan

kondisi lingkungannya. Potensi produksi bahan kering cukup tinggi yaitu sekitar 10 ton/ha/tahun

(Schultze dan Teitzel, 1992). Kandungan nutrien hijauan ini yaitu BK 81%, PK 7%, abu 6,5%, SK

35,1% dan BETN 49,2 % (Hartadi et al., 1980).

Klasifikasi dan Penyebaran Rumput B. decumbens CV Basilisk

Rumput Signal (Brachiaria decumbens cv Basilis) adalah tanaman asli dari tropis Afrika

(Uganda) dan telah diperkenalkan dan didistribusikan ke daerah tropis lain termasuk Hindia Barat,

Page 89: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

81

Venezuela, Suriname, dan Australia (Fukumoto dan Chin, 2002). Selanjutnya dikatakan bahwa

rumput ini sangat cocok untuk dikembangkan dengan daerah tropis lembab dengan curah hujan

minimal 60 inci per tahun dan musim kering tidak lebih dari 4-5 bulan. Rumput Brachiaria

decumbens cv Basiliskcv Basilisk dapat tumbuh baik pada ketinggian 0-1200 m (dataran rendah

sampai dataran tinggi) dengan curah hujan 762-1500 mm/tahun, kemasaman tanah (pH) 6-7 (Kismono

dan Susetyo, 1977).

Klasifikasi Rumput B. decumbens cv Basilisk (Signal grass)

Divisi : Angiospermae

Class : Monocotyledoneae

Ordo : Graminales

Family : Graminaea

Genus : Brachiaria

Species : Brachiaria Decumbens

Di Indonesia rumput B. decumbens banyak dijumpai di pinggir jalan, pinggir selokan,

lapangan, pematang sawah dan di tempat-tempat lainnya yang berbatu. Perkembangbiakan rumput

bede di Indonesia sebenarnya sudah tersebar luas, namun pengembangan secara budidaya dan secara

ekonomis masih sangat terbatas dibandingkan dengan pengembangan rumput raja (P. purporhoides)

dan rumput gajah (P. purpureum) yang sudah dikenal lebih dahulu oleh petani peternak. Jarak tanam

yang sering digunakan untuk penaman rumput bede adalah 30x30 cm atau 40x40cm (Akk, 1983).

Rumput B. decumbens cv Basilisk disebut juga rumput signal berasal dari Afrika timur. B.

decumbens mempunyai ciri-ciri, tinggi tanaman 30-45 cm, daun kaku dan pendek, ujung daun

meruncing, mudah berbunga, bunga berbentuk seperti bendera. B. decumbens disebut rumput

gembalaan yang tumbuh menjalar dengan stolon membentuk hamparan yang lebat. Rumput bede

termasuk rumput berumur panjang, dapat tumbuh dengan membentuk hamparan lebat dan

penyebarannya sangat cepat melalui stolon. Rumput B. decumbens tahan penggembalaan berat, tahan

injakan dan renggutan serta tahan kekeringan dan responsif terhadap pemupukan nitrogen. Selain itu

rumput ini juga cepat tumbuh dan berkembang sehingga mudah menutup tanah, tetapi tidak tahan

terhadap genangan air. Rumput ini merupakan bahan hay yang balk, karena batangnya kecil mudah

menjadi kering.

Budidaya Rumput B. decumbens CV Basilisk

Pemilihan bibit adalah faktor yang sangat penting dan menentukan dalam budidaya rumput B.

decumbens. Bibit yang digunakan harus sesuai dengan lingkungan setempat dan mudah

dikembangkan serta dikelola, agar diperoleh mutu dan produksi yang balk. Rumput B. decumbens

dapat diperbanyak dan dikembangbiakan dengan pots (anakan) atau biji. Penggunaan pots (anakan)

lebih baik karena disamping cepat tumbuh, juga cepat menyebar dan resiko kematian di lapangan

lebih kecil. Pada penanaman rumput dengan pots dipilih tanaman yang sehat, mempunyai banyak akar

Page 90: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

82

dan calon anakan baru (bagian tepi). Selain itu bagian ujung vegetatifnya harus dipotong. Hal ini

dimaksudkan agar tanaman baru tersebut tidak tertampau banyak penguapan atau menghindari

pelayuan. Waktu tanam yang baik adalah awal musim hujan atau pertengahan musim hujan, karena

pertumbuhan awal tanaman rumput B. decumbens membutuhkan air lebih banyak. Pada penanaman

dengan pots sebelum bibit ditanam di lapangan, bagian atas pots harus dipotong terlebih dahulu dan

disisakan kira-kira 15-20 cm . Akar pots yang terlalu panjang dapat dipotong untuk memudahkan

penanaman. Kebutuhan benih dan bibit tiap hektarnya adalah bibit pols, tergantung jarak tanam yang

dipergunakan mencapai ±40.000 - 60.000 pols. Menggunakan biji/benih kira-kira 2-4 kg/ha.

Sedangkan menurut Fukumoto dan Chin (2002), penanaman dengan menggunakan biji

direkomendasikan sebanyak 10 pound per acre atau sekitar 454 g/0,4 ha, pada kondisi kelembaban

yang memadai dan tingkat kesuburan tanah baik. Per kilogram berat biji B. decumbens cv. Basilisk

mengandung lebih kurang 450.000 butir/kg. Rumput B. decumbens secara agresif akan menyebar dan

membentuk hamparan yang sangat rapat. Daya kecambah biji rumput B. decumbens sangat baik yaitu

sekitar 60%, dan biji akan berkecambah pada hari ke 14 setelah tanam (Fukumoto dan Chin, 2002).

Untuk menjamin pertumbuhan rumput B. decumbens yang optimal dengan kandungan gizi

tinggi maka defoliasi atau panenan harus dilakukan pada periode yang tepat. Panenan pada rumput B.

decumbens bisa dilakukan dengan pemotongan atau penggembalaan ternak. Pemotongan atau

penggembalaan pertama dapat dilakukan setelah tanaman rumput bede berumur 2 bulan bila keadaan

memungkinkan (cukup hujan) dengan tujuan untuk meratakan dan merangsang pertumbuhan akar

tanaman. Pemotongan/penggembalaan berikutnya dilakukan setiap 5-6 minggu (40 hari) pada musim

hujan, sedangkan musim kemarau diperpanjang sampai 8 minggu (60 hari). Tinggi potong rumput

bede biasanya 5-15 cm dari permukaan tanah pada musim hujan, sedangkan pada musim kemarau

biasanya lebih dari 15 cm dari permukaan tanah.

Produksi Rumput B. decumbens CV Basilisk

Dengan pengolahan tanah yang balk, pemupukan yang tepat serta interval potong yang cocok

rumput B. decumbens dapat menghasilkan produksi segar 171 ton/ha/th dengan produksi kering 36,1

ton/ha/th dengan interval potong 6 minggu (Siregar, 1987). Di Koronivia, daerah basah Fiji,

menghasilkan 34,1 ton/ha/th bahan kering, sedangkan di kepulauan Solmon dicapai produksi bahan

kering 30,0 tonlha/th (Skerman, 1990).

Osawake (2007), melaporkan hasil penelitiannya bahwa produksi biomasa rumput B.

decumbens alley croping Gliricidia sebesar 23 t /ha lebih tinggi dibandingkan dengan rumput P.

Purpureum-Gliricidia sebesar 13t/ha, tetapi tidak berbeda nyata dengan P. Maximum-Gliricidia

sebesar 22 t /ha. Selanjutnya dilaporkan bahwa produksi biomasa mengalami penurunan sejalan

dengan peningkatan periode merumput. Hal ini sejalan dengan temuan Mears dan Humphreys (1974),

yang melaporkan bahwa penurunan produksi biomasa rumput Kikuyu (Pennisetum clandestinum)

sejalan dengan taraf tekanan penggembalaan dan lamanya hari penggembalaan. Wong et al. (1982),

Page 91: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

83

melaporkan bahwa produksi bahan kering B. decumbens sebesar 19,0 t/ha pada pemberian pupuk N

sebesar 224 kg/ha/tahun dan dapat meningkat cukup signifikan sebesar 24,0 t dengan memberikan

pupuk N sebanyak 300 kg/ha/tahun. Selanjutnya menurut Crowder dan Chheda (1982), variation

produksi bahan kering bisa terjadi dalam batas yang luas tergantung pada kondisi cuaca dalam

setahun, pasokan air, kesuburan tanah, jumlah pupuk yang diaplikaasikan dan manajemen

pemeliharaan.

Tabel 1. Produksi dan komposisi nutrisi rumput B. decumbens cv Basilisk pada berbagai kondisi

agroklimat

Sumber pustaka Agroklimat Produksi

(t/ha/panen)

PK

(%)

SK

(%)

Ca

(%)

P

(%)

Maia et al.

(2014)

Lahan kering iklim kering CH

600 mm/th, Ultisol (pH=5) 2.700,6 12 27,0% 0,39 0,17

Batubara dan

Munurung,

(1990)

Lahan kering masam 2.659,4 8,3 38,3 0,40 0,13

Herdiawan dkk

(2015)

Lahan kering iklim kering

masam CH <1000 mm/th, tanah

Acrisol (pH = 3,8-4,5)

2.591,97 9,7 37,6 0,54 0,21

Kandungan Nutrisi Rumput B. decumbens CV Basilisk

Kandungan isi sel rumput B. decumbens mengalami penurunan dengan meningkatnya tingkat

kedewasaan tanaman, sedangkan kandungan fraksi serat (NDF, ADF, dan Lignin) meningkat dengan

meningkatnya tingkat kedewasaan tanaman. Kualitas serat terbaik ditunjukkan oleh hijauan rumput B.

decumbens yang dipotong pada umur 30 hari, dan pemotongan rumput masih tetap dapat dilakukan

sampai umur 40 hari. Keistimewaan rumput ini adalah tahan hidup di musim kemarau (tahan kering),

selain itu karena mempunyai perakaran yang sangat kuat dan cepat menutup tanah sehingga dapat

mengurangi erosi (Siregar, 1987). Kandungan protein kasar dan serat kasar pada berbagai taraf

pemotongan dilaporkan oleh Siregar dan Djajanegara (1972) adalah, 13,8% dan 29,69% pada

pemotongan 20 hari, 8,86% dan 30,63% pada pemotongan 30 hari, 6,24 dan 33,27 pada pemotongan

45 hari serta 5,90 dan 34,1 pada pemotongan 60 hari. Hasil tersebut menunjukkan bahwa protein

kasar pada B. decumbens akan cenderung menurun dan serat kasar akan meningkat sesuai dengan

bertambahnya umur potong rumput (http://peternakan.litbang.deptan.go.id/). Hasil analisis bahan

kering rumput bede di Kenya menunjukkan persentase protein kasar 11,2, serat kasar 28,0, abu 9,9 .

Di Indonesia lokasi Sumatera Utara persentase protein kasar 8,3 serat kasar 38,3 abu 10,6 (Batubara

dan Manurung, 1990). Kecernaan rumput ini dapat mencapai (50-80%), protein kasar (PK) berkisar

dari 9-20% tergantung pada kesuburan tanah dan manajemen, tetapi dapat menurun dengan cepat

tergantung pada umur dan kondisi lingkungannya. Potensi produksi bahan kering cukup tinggi yaitu

sekitar 10 ton/ha/tahun (Schultze dan Teitzel, 1992). Kandungan nutrien hijauan ini yaitu BK 81%,

PK 7%, abu 6,5%, SK 35,1% dan BETN 49,2 % (Hartadi et al., 1980).

Page 92: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

84

Sumber: Fukumoto dan Chin (2002).

Pemanfaatan Rumput B. decumbens

Total kecernaan bahan kering domba yang merumput P. maximum-Gliricidia lebih tinggi

sebesar 1,33 kg BK/hari, dibandingkan yang merumput P. Purpureum-Gliricidia sebesar 0,43 kg

BK/hari, tetapi tidak berbeda nyata dengan yang merumput B. decumbens-Gliricidia yaitu sebesar

0,86 kg BK /hari (Osakwe, 2007). Pertumbuhan domba yang merumput pada plot P. maximum-

Gliricidia paling tinggi tingkat pertumbuhan yaitu sebesar 38 g/hari dibandingkan domba yang

merumput pada plot B. decumbens-Gliricidia sebesar 23 g/hari dan tidak berbeda nyata dengan yang

merumput pada plot P. Purpureum-Gliricidia sebesar 21 g/hari (Osakwe et al., 2006). Hasil penelitian

Herdiawan et al (2015), menyatakan bahwa produksi biomasa tertinggi dicapai oleh B. decumbens

dengan alley croping ketiga jenis leguminosa cover crop yaitu sebesar 2.591,97 g/m2, dan terendah

pada C. gayana sebesar 1.073,12 g/m2.

Kapasitas Tampung Padang Penggembalaan Rumput B. decumbens

Jika rumput ini dipergunakan sebagai rumput gembala, ternak dilepas saat rumput bede

berumur 2 bulan setelah tanam di lapangan, setelah berumur 2 bulan biasanya akar rumput sudah

cukup kuat sehingga lebih tahan injakan dan renggutan. Penggembalaan selanjutnya dapat dilakukan

setiap 40 hari pada musim hujan dan 60 had pada musim kemarau. Di Colombia dengan

penggembalaan sapi 2 ekor/ha pada rumput B. decumbens dapat menghasilkan pertambahan bobot

badan 0,60 kg/hari (Crowder dkk., 1970). Chen et al. (1982) melaporkan bahwa dengan perlakuan

pemberian pupuk N sebanyak 300 kg/ha/tahun mampu meningkatkan stocking rate secara optimum

sebesar 7 ekor/ha dengan pertambahan bobot badan yang baik sebesar 1018 kg/ha/tahun. Rataan

kapasitas tampung rumput tertinggi dicapai oleh alley croping B. decumbens dan P. phaseloides yaitu

sebesar 2,61 UT/ha/th, sedangkan kapasitas tampung terendah dicapai oleh alley croping P. notatum

Page 93: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

85

dan A. glabrata sebesar 0,70 UT/ha/th untuk ternak kerbau dengan bobot hidup ± 350 kg (Herdiawan

et al, 2015).

Kesimpulan

Rumput Brachiaria decumbens cv Basilisk merupakan rumput jenis pangonan (grazing)

sangat adaptif dan memiliki produktivitas tinggi pada berbagai agroekosistem terutama lahan sub-

optimal. Sistem pertanaman campuran antara Brachiaria decumbens cv Basilisk dengan berbagai

jenis leguminosa cover crops sangat compatible dan memberikan hasil paling baik dibandingkan

ditanam secara monokultur.

Daftar Pustaka

Chen, C. P., Bong Julita, I. and Othman, O' (1982). Grazing managernent on pasture and beef

production (in Bahasa Malaysia). Tek. Pert. MARDI 3:98-108

Crowder, Chaverra and Lotero . 1970 . Animal Production . In Tropical grasses. Food and

Agriculture Organization of the United Nation . Ed. P.J . Skerman and F. Riveros. Rome.

1990.

Crowder LV, Chheda HR. 1982. Tropical grass lands husbandry (Trop. Agric. Series) p . 433.

London: l.ongman

Fukumoto GK, Chin N L. 2002. Signalgrass for Forage. Livestock Management. College of Tropical

Agriculture and Human Resources (CTAHR) University of Hawaii at Manoa, Department of

Human Nutrition, Food and Animal Sciences. Pp. 1-3.

Hartadi H, Reksohadiprodjo S, Lebdosukojo S. 1980. Tabel Komposisi Bahan Makanan ternak untuk

Indonesia. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Haryono. 2013. Strategi Kebijakan Kementrian Pertanian dalam Optimalisasi Lahan Suboptimal

Mendukung Ketahanan Pangan Nasional. Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal

―Intensifikasi Pengelolaan Lahan Suboptimal dalam Rangka Mendukung Kemandirian

Pangan Nasional‖, Palembang 20-21 September 2013.

Herdiawan I, E. Sutedi, Sajimin, dan A. Panindi. 2015. Introduksi Tanaman Pakan Unggul Toleran

Kekeringan Dengan Sistem Alley Cropping Dalam Upaya Perbaikan Padang Penggembalaan

Di Daerah Kering Beriklim Kering (Laporan Hasil Penelitian, 2015)

Kismono, I. Dan S. Susetyo. 1977. Pengenalan Jenis Hijaun Tropika Penting. Produksi Hijauan

Makanan Ternak Untuk Sapi Perah . Bplpp. Lembang, Bandung. 1977.

Leo P. Batubara dan T. Manurung . 1990 . Evaluasi Beberapa Jenis Rumput Untuk Padang

Penggembalaan Domba 1 . Produktivitas dan uji Palatabilitas beberapa jenis rumput

lntroduksi. Dalam Ilmu Dan Peternakan Volume 4 No 1 Juni 1990. 4 (1): Halaman 209-210.

L.'t Mannetje and R.M . Jones. 1992. Plant Resources of South East Asia No 4. Forages PROSEA

Bogor. Indonesia.

Maia GA, Kátia Aparecida de Pinho Costa, Eduardo da Costa Severiano, Patrícia Soares Epifanio,

José Flávio Neto, Matheus Gonçalves Ribeiro, Patrick Bezerra Fernandes, José Fausto

Guimarães Silva, Wainer Gomes Gonçalves. 2014. Yield and Chemical Composition of

Brachiaria Forage Grasses in the Offseason after Corn Harvest. American J of Plant Sci. 5:

933-941

Manu AE. 2010. Produktivitas padang penggembalaan sabana Timor Barat. Prosiding Semnas II

HITPI. Pp. 184-351.

Mears PT, Humphreys LR. 1974. Nitrogen response and stocking rate of Pennisetum clandestinum

pastures. 1. Pasture nitrogen requirement and concentration, distribution of dry matter and

botanical composition. Journal of Agricultural Science, Cambridge, 83: 451-467.

Page 94: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

86

Miles, J.W., B.L. Maass, & C.B. do Valle. 1996. Brachiaria: Biology, Agronomyand Improvement.

Joint publication by CIAT, Cali, Colombia and Embrapa/CNPGC, Campo Grande, MS,

Brazil.

Osakwe I.I. Performance of sheep grazing Brachiaria decumbens, Panicum maximum and Pennisetum

purpureum in Gliricidia sepium alley plots. In: Priolo A. (ed.), Bion di L. (ed.), Ben Salem H.

(ed.), Moran d-Feh r P. (ed.). Advanced nutrition and feeding strategies to improve sheep and

goat . Zaragoza: CIHEAM, 2 007 . p.365-369 (Option s Méditerran éen n es: Série A. Sémin

aires Méditerran éen s; n . 7 4)

Osakwe II, NWAKPU, Petrus Emeka. 2006. Performance of sheep grazing Brachiaria decumbens,

Panicum maximum and Pennisetum purpureum in combination with Gliricidia sepium.

Animal Research International 3: 399 – 402

Schultze-Kraft R, Teitzel JK. 1992. Brachiaria decumbens cv Basiliskcv BasiliskStapf. In: Mannetje,

L. and Jones, R.M. (eds) Plant Resources of South-East Asia No. 4. Forages. pp. 58-59. Pudoc

Scientific Publishers, Wageningen, the Netherlands.

Siregar, M.E. 1987. Produktivitas Dan Kemampuan Menahan Erosi Species Rumput Dan Leguminosa

Terpilih Sebagai Pakan Ternak Yang Ditanam Pada Tampingan Teras Bangku Di Das

Citanduy, Ciamis.

Siregar, M.E dan A. Djajanegara. 1974. Pengaruh Tingkat Pemupukan Zwavelzuur Kalium (Zk)

Terhadap Produksi Segar 5 Jenis Rumput. Buletin L.P.P. Bogor No 12, 1-8

Skerman, P .J . and F . Riveros . 1990 . Tropical grasses . Food and Agriculture Organization of the

United Nations. Rome, 1990.

Page 95: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

87

Pengaruh Pemberian Gliserol Terhadap Kualitas Organoleptik Edible Film dari

Gelatin Usus Ayam

Jajang gumilar

1, Wendry S. Putranto

1, Andry Pratama

1

1Fakultas Peternakan, Universitas Padjadjaran

email: [email protected]

Abstrak

Gelatin merupakan salah satu produk yang sangat dibutuhkan dalam industri pangan, industri farmasi,

industri fotography, dan industri lainnya. Gelain dihasilkan dari hasil hidrolisis kolagen yang berasal

dari bagian tulang, kulit, jaringan pengikat dan jaringan-jaringan lainnya pada bagian tubuh ternak

maupun ikan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kuallitas organoleptik edible film dari gelatin

usus ayam. Metode yang digunakan adalah metode eksperimental dengan berbagai tingkat gliserol (0,

10, 20, 30, dan 40%), masing-masing perlakuan diulang sebanyak 4 kali ulangan. Analisis yang

digunakan adal analisis deskriptip. Hasil penelitian menunjukkan bahwa edible film yang dihasilkan

memiliki warna yang beragam, semakin tinggi gliserol menghasilkan edible film yang kuat.

Kata Kunci: Gliserol, Organoleptik, Gelatin, Usus Ayam.

Abstract

Gelatin is one of the products that are highly needed in the food industry, the pharmaceutical

industry, the photography industry, and other industries. Gelain is produced by the collagen

hydrolysis from bone, skin, connective tissue and other tissues in the body parts of livestock or fish.

This study aims to determine the quality of organoleptic edible films from chicken intestinal gelatin.

The method used was an experimental method with various levels of glycerol (0, 10, 20, 30, and

40%), each treatment was repeated 4 times. The analysis used descriptive. The results showed that the

edible film had a variety of colors, the higher the glycerol produces a strongest edible film.

Keywords: Glycerol, Organoleptic, Gelatin, Chicken Intestine.

Pendahuluan

Gelatin merupakan salah satu produk yang sangat dibutuhkan dalam industri pangan, industri

farmasi, industri fotography, dan industri lainnya. Gelain dihasilkan dari hasil hidrolisis kolagen yang

berasal dari bagian tulang, kulit, jaringan pengikat dan jaringan-jaringan lainnya pada bagian tubuh

ternak maupun ikan. Gelatin dapat dihidrolisis dengan merendam bagian jaringan pada air dengan

suhu diatas 40oc . Gelatin akan larut di dalam air panas dengan suhu diatas 71,1

oc, membentuk jel

pada suhu dibawah 48,9oc, dan stabil pada ph antara 4 sampai dengan 10.

Gelatin diantaranya dimanfaatkan untuk membuat biopolimer, dalam industri makanan pada

umumnya dibuat menjadi edible film. Film yang berasal dari protein sifat permiabilitas uap air nya

lebih baik dari pada film sintetis tetapi rapuh dan tidak lentur, oleh karena itu berbagai penelitian

sedang dikembangkan untuk meningkatkan kualitas film dari protein tersebut melalui penambahan

plastizicer, lemak, zat kimia, enzim, dan zat-zat penguat lainnya (Wihodo dan Moraru, 2013).

Banyaknya interaksi rantai protein, karena kombinasi ikatan disulfida intermolekul, ikatan hidrogen,

interaksi hidrofobik, dan kekuatan elektrostatik, menyebabkan kerapuhan pada film dari protein

(Sothornvit dan Krochta, 2001). Untuk mengurangi interaksi rantai protein agar film lebih fleksibel

Page 96: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

88

maka penggunaan plasticizer sangat dibutuhkan. Molekul plasticizer memiliki kemampuan untuk

memposisikan diri dalam jaringan protein tiga dimensi, sehingga meningkatkan volume dan

pergerakan rantai polimer lebih bebas (Vieira dkk., 2011). Sebagai konsekuensinya, penambahan

plasticizer menyebabkan film menjadi lebih rigid tapi tidak kaku dan tahan patah, dengan tingkat

permeabilitas meningkat terhadap uap air dan gas (Sothornvit dan Krochta, 2001; Jongjareonrak dkk.,

2006).

Karakteristik fisikokimia biopolimer mempegaruhi sifat dari film yang dihasilkan (Sothornvit

dan Krochta, 2001). Untuk meningkatkan kelenturan edible film diperlukan penggunaan plasticizer

dalam jumlah tertentu, penggunaan plasticizer berkisar antara 10 – 60% dari berat kering polimer,

tergantung kepada kualitas yang diinginkan (Guilbert, dkk. 1996). Plasticizer yang biasa digunakan

pada pembuatan film diantaranya adalah monosakarida (glukosa), disakarida (sukrosa), oligosakarida,

polyols (gliserol, sorbitol, manitol, poliethilen glikol), dan beberapa lemak serta turunannya seperti

phospholipid, asam lemak, surfaktan (Han, 2000).

Penggunaan sorbitol 30% sebagai plasticizer menghasilkan kualitas edible film dari gelatin

kaki ayam lebih baik dibandingkan dengan penggunaan gliserol dan poliethilen glikol (Taufik dan

Fatma, 2013). Jahit dkk. (2016) menggunakan gliserol sebanyak 30% untuk pembuatan edible film

dari gelatin, cmc, dan citosan. Farahnaky dkk (2012), menyimpulkan bahwa penggunaan gliserol 20

dan 30% memberikan kualitas edible film terbaik.

Bahan dan Metode

Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah: water bath, oven, desikator, plat

teflon diameter 13 cm, gelatin usus ayam, gliserol, dan aquades. Proses pembuatan edible film

berbahan dasar usus ayam adalah sebagai berikut: dalam proses pembuatan edible film yang berbahan

dasar gelatin usus ayam, digunakan beberapa macam plasticizer, yaitu gliserol, dengan konsentrasi

10%, 30%, dan 50%. Larutan pembentuk film dibuat dengan konsentrasi 8 gr/100ml dengan prosedur

sebagai berikut: gelatin dilarutkan dalam water bath suhu 50oc sambil diaduk menggunakan mixer

selama 20 menit. Setelah gelatin larut, selanjutnya ditambahkan plasticizer dengan konsentrasi sesuai

dengan perlakuan. Dihomogenisasi dengan cara diaduk selama 5 menit pada suhu kamar. Larutan film

yang terbentuk selanjutnya dituang ke plat teflon diameter 13 cm, kemudian dikeringkan

menggunakan oven pada suhu 60oc selama 18 jam. Film dilepas dari plat dengan hati-hati, lalu

disimpan di dalam wadah yang berisi silika gel yang dialasi dengan aluminium foil, sebelum

dilakukan analisis. Analisis organoleptik dilakukan secara deskriptip dengan cara mengamati edible

film yang terbentuk menggunakan alat indra yang terdiri atas warna.

Page 97: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

89

Hasil dan Pembahasan

Berdasarkan hasil pengamatan didapatkan hasil bahwa bahan edible film yang terbentuk

bervariasi seiring dengan penambahan gliserol yang dilakukan. Gambar edible film yang dhasilkan

dapat dilihat pada ilustrasi 1 dibawah ini,

Ilustrasi 1. Edible film dari gelatin usus ayam menggunakan plastisizer berbagai tingkat gliserol.

Berdasarkan warna yang dihasilkan maka edible film yang didapat dari penelitian ini adalah sebagai

berikut:

Tabel 1. Karakteristik edible film yang berasal dari gelatin usus ayam berdasarkan warna

No Perlakuan Karakteristik warna

1 Kontrol Warna bening,

2 Gliserol 10% Warna bening, kecoklatan tua

3 Gliserol 20% Warna bening, kecoklatan muda

4 Gliserol 30% Warna bening, kecoklatan muda

5 Gliserol 40% Warna bening,

6 Gliserol 50% Warna bening, kecoklatan muda

Edible film hasil penelitian menununjukkan bahwa warna edible film yang dihasilkan ada

sedikit perbedaan diantara beberapa perlakuan. Edible film kontrol yang dibuat dari gelatin komersial

menunjukkan warna bening, hampir sama dengan warna edible film dari usus ayam yang diberi

gliserol sebanyak 40%. Warna edible film dari usus ayam yang diberi gliserol 10% sampai 30%

memiliki warna yang relatif seragam. Perbedaannya terletak pada pegangannya yaitu untuk

penambahan gliserol 30% edible film warnanya lebih coklat dan pegangan lebih kasat dan agak kaku,

sedangkan untuk penambahan gliserol 40% warna sedikit muda dan agak lemas serta untuk

penambahan gliserol 50% warna mendekati putih dengan pegangan sedikit lengket dan lemas.

Page 98: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

90

Tabel 2. Karakteristik edible film yang berasal dari gelatin usus ayam berdasarkan kekuatan

No Perlakuan Karakteristik kekuatan

1 Kontrol Mudah pecah (rapuh)

2 Gliserol 10% Sangat rapuh

3 Gliserol 20% Rapuh, fleksibel

4 Gliserol 30% Kuat, feksibel

5 Gliserol 40% Kuat, agak kaku

6 Gliserol 50% Kuat, kaku

Tabel 2 menunjukkan bahwa edible film dari usus ayam. Hal ini disebabkan semakin banyak

protein dalam edible film semakin banyak asam amino hidrofobik yang tersedia. Ikatan-ikatan antara

polimer pada konsentrasi yang lebih tinggi lebih kuat. Menurut Poeloengasih (2002), semakin banyak

jumlah asam-asam amino, maka interaksi protein-protein yang terjadi juga semakin banyak.

Dijelaskan juga oleh Jungchud dan Chinan (1999) bahwa konsentrasi protein yang tinggi dalam

larutan film akan membentuk ikatan yang kuat antara polimer, sehingga dibutuhkan gaya tarik yang

lebih besar untuk memutus film. Meningkatnya level gliserol menyebabkan penurunan kekuatan tarik

edible film. Hal ini disebabkan karena titik jenuh telah terlewati sehingga molekul-molekul pemlastis

yang berlebih dalam fase tersendiri diluar fase polimer dan akan menurunkan gaya intermolekuler

antar rantai polimer (Jaya dkk.,2010). Menurut Gennadios dkk.,(1998), bahwa plasticizer memiliki

sifat hidrofilik, yang menyebabkan timbulnya sifat lentur pada edible film karena terbentuknya rongga

yang dapat mengganggu gaya tarik antar molekuler. Film yang semakin lentur menyebabkan gaya

yang dibutuhkan untuk menarik film kecil, sehingga kekuatan tariknya juga kecil. (Gontard dkk.,

1993) menjelaskan bahwa plasticizer gliserol merupakan molekul hidrofilik yang relative kecil dan

dapat masuk diantara rantai protein dan membentuk ikatan hidrogen antara gugus amida pada gluten

protein. Pada saat gliserol bergabung dengan jaringan gluten protein , interaksi langsung antara rantai

protein dan kedekatan jaraknya menjadi berkurang, sehingga jika film dikenai tekanan gerakan rantai

protein akan dipermudah dengan adanya gliserol yang bertindak sebagai plasticizer menurut

Gennadios dkk., (1998), bahwa struktur film adalah matriks protein yang dibentuk oleh interaksi

protein-protein, ikatan hidrofobik ikatan hidrogen dan ikatan disulfide. Film dengan level gelatin 6%

memiliki kadar protein lebih banyak dari pada yang mengandung gelatin 4%, sehingga matriks

protein yang terbentuk oleh interaksi protein lebih banyak yang menyebabkan ikatan molekul protein

semakin kuat. Film yang kuat mempunyai kemuluran yang rendah.

Tabel 2 menunjukkan peningkatan level gliserol menyebabkan kemuluran edible film menjadi

naik, namun tidak ada perbedaan yang nyata. Peningkatan jumlah plasticizer akan meningkatkan

kemuluran edible film. Plastizicer memiliki sifat plastis sehingga dapat menghasilkan kemuluran yang

tinggi (Lim dkk., 1999). Plasticizer dapat mengurangi ikatan hidrogen internal molekul dan

menyebabkan melemahnya gaya tarik intermolekul rantai polimer yang berdekatan sehingga

mengurangi daya regang putus. Penambahan plasticizer lebih dari jumlah tertentu akan menghasilkan

film dengan kuat tarik yang lebih rendah (Lai dkk., 1997). Penambahan plasticizer mampu

Page 99: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

91

mengurangi kerapuhan dan meningkatkan fleksibilitas film polimer dengan cara mengganggu ikatan

hidrogen antara molekul polimer yang berdekatan sehingga kekuatan tarik-menarik intermolekul

rantai polimer menjadi berkurang. Menurut di Gioia dan Guilbert (1999), bahwa mekanisme proses

plasticizer polimer sebagai akibat penambahan plasticizer melalui adsorbsi, pemecahan, difusi,

pemutusan pada bagian amorf, dan pemotongan struktur.

Tingginya persentase kemuluran film gliserol kemungkinan disebabkan molekul gliserol

relatif kecil dengan karakteristik hidrofobik, sehingga dengan mudah masuk diantara rantai-rantai

protein dan membuat ikatan hidrogen dengan grup amida dan rantai samping asam amino dari protein

(Gontard dkk., 1993). Ketika gliserol disatukan dalam jaringan film gelatin, interaksi langsung dan

kekuatan ikatan rantai protein berkurang.

Kesimpulan

Warna edible film bervariasi satu dengan lainnya. Semakin banyak plasizer yag digunakan

maka edible film menjadi kurang fleksibel.

Ucapan terimakasih

Penelitian ini didanai dari program hibah internal unpad, melalui skema riset fundamental

unpad (RFU) tahun anggaran 2019.

Daftar pustaka

Frahnaky A., Saberi B., dan Majzoobi M. 2012. Effect of Glycerol on Physical and Mechanical

Properties of Wheat Starch Edible Films.

Genadios,A and C.L. Weller.1998. Edible Film and Coatingfrom Wheat and Corn Proteins. J.Food

Technology. 44: 63-69.

Gioia, D. L., & Guilbert, S., 1999, Corn Protein-Based Thermoplasticresins: Effect of Some Polar and

Amphiphilic Plasticizers, J. Agric.Food Chem, Vol. 47, 1254-1261.

Gontard, N., Guilbert., S., dan Cuq, J.L., 1993. Water and Glyserol as Plasticizer Afect Mechanical

and Water Barrier Properties of an Edible Wheat Gluten Film. J. Food Science. 58(1): 206 -

211.

Guilbert, S., Gontard, S., Gorris, L. G. M., 1996. Prolongation of the Shelf-Life of Perishable Food

Products Using Biodegradable Films and Coatings. Lebensmittel-Wissenchraft Und

Technplogie. 29, 10-17

Han J.H, 2000. Antimicrobial Food Packaging. Food Technology. 53 (4): 56 – 65.

Jahit, I. S., Nazmi, N. N. M., Isa, M. I. N., & Sarbon, N. M. (2016). Preparation and physical

properties of gelatin/CMC/chitosan composite films as affected by drying temperature.

International Food Research Journal, 23(3), 1068–1074.

Jaya, D and E. Sulistyawati. 2010. Pembuatan Edible Film dari Tepung Jagung. Eksergi vol X . No 2

Jongjareonrak, S. S. Benjakul, W. Vissanguan, T. Prodpran. 2006. Characterization of edible film

from dkin gelatin. Food Hydrocoloid. 20: 492-501

Jangchud, A and M.S. Chinnan.1999. Peanut Protein Film as Affected by Drying Temperature and pH

of film Forming Solution. J. Food Science. 64: 153-157

Lai, H.M., G.W., Padua & L.S., Wei, 1997, Properties and Microsrucure of Zein Sheets Plastisized

With Palmitic And Stearic Acids, Cereal Chem, Vol. 74, No. 1, 83-90.

Page 100: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

92

Lim, L.T., M.A. Tung and Y.Mine. 1999. Barrier and Tensile Strenght Properties of Transglutaminase

Cross-Linked Gelatin Film as Affected by Relative Humadity, Temperature and Glikol

Content. J. Food Science. (64): 616- 622.

Poeloengasih, C.D. 2002. Karakterisasi Edible Film Komposit Protein Biji kecipir (Psophocarpus

tetragonolobus (L.) DC) dan Tapioka. Tesis. Program Pasca Sarjana. Universitas Gadjah

Mada, Yogyakarta.

Sothornvit, R. dan Krochta, J. M. 2001. Plasticizer Effect on Mechanical Properties of β-lactoglobulin

films. J. Food Eng. 50, 149-155.

Viera, M. G. A., Silva, M. A., Santos, L. O., Beppu, M. M., 2011. Natural-based Plasticizers and

Biopolymer Films: a Review. Eur. Polym. J. 47, 254-263.

Wihodo, M., Moraru, C. I., 2013. Physical and Chemical Methodes Used to Enhance the Structure

and Mechanical Properties of Protein Films: a Review. J. Food Eng. 114, 291-302.

Page 101: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

93

Evaluasi Kinerja Pertumbuhan pada Sapi Silangan Belgian blue dan PO

Evaluation of Growth Performance in Belgian Blue and PO Crossbreeding

Jakaria

1, Edwar

3, Mokhamad Fakhrul Ulum

2 dan Rudy Priyanto

1

1Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, IPB University, Bogor Indonesia 2Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, IPB Univerity, Bogor Indonesia

3Balai Embrio Ternak (BET) Cipelang, Bogor, Indonesia

Korespondensi: [email protected]

Abstrak

Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi kinerja pertumbuhan sapi silangan Belgian Blue (BB) dan

sapi PO pada turunan pertama (F1). Sapi silangan (BB dan PO) yang digunakan sebanyak 15 ekor

terdiri atas jantan 6 ekor dan betina 9 ekor. Selain itu digunakan sapi PO sebanyak 8 ekor betina yang

dipelihara di Balai Embrio Ternak (BET) Cipelang Bogor. Peubah yang diamati bobot lahir (BW),

bobot sapih (WW) 205 hari, bobot 1 tahun (YW) 365 hari, pertambahan bobot badan harian dari lahir

(GBW) sampai sapih (GWW) dan pertambahan bobot badan harian dari sapih (GWW) sampai umur 1

tahun (GYW). Data dianalisis secara deskriptif dan perbedaan antar sapi silangan (BB-PO) dengan

sapi PO dilakukan uji t. Hasil analisis bobot badan dan pertumbuhan menunjukkan bahwa sapi

silangan BB dan PO lebih tinggi dibandingkan dengan sapi PO pada WW 205 hari (165.2±21.3 kg

dan 115±15.2 kg), YW (365 hari) (240.7±28.1 kg dan 194.9±26.1 kg) dan GBW sampai GWW

(0.675±0.097 kg dan 0.441±0.059 kg). BW dan GWW sampai GYW tidak berbeda antara sapi

silangan BB-PO dengan PO. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa program cross-breeding sapi

BB dengan PO dapat meningkatkan kinerja bobot badan dan pertembuhan.

Kata kunci: Cross-breeding, sapi Belgian Blue, sapi PO, pertumbuhan

Abstract

The purpose of this study was to evaluate the growth performance of cross-breeding of Belgian Blue

(BB) and PO cattle in the first generartion (F1). Cross-breeding of BB and PO cattle used as many as

15 heads consisting of 6 males and 9 females. Also, 8 heads PO females are used which are kept in

the Livestock Embryo Center (BET) Cipelang, Bogor. The observed variables were birth weight (BW),

weaning weight (WW) 205 days, weight 1 year (YW) 365 days, daily body weight gain from birth

(GBW) to weaning (GWW) and daily body weight gain from weaning (GWW) until the age of 1 year

(GYW). Data were analyzed descriptively and the difference between cross-breeding (BB-PO) cattle

and PO cattle was done by t-test. The results of body weight and growth analysis showed that

crossbreed BB and PO cattle were higher than PO cattle at WW 205 days (165.2 ± 21.3 kg and 115 ±

15.2 kg), YW (365 days) (240.7 ± 28.1 kg and 194.9 ± 26.1 kg ) and GBW to GWW (0.675 ± 0.097 kg

and 0.441 ± 0.059 kg). BW and GWW to GYW do not differ between crossbreed BB-PO and PO

cattle. The results of this study indicate that the cross-breeding program for BB cattle with PO cattle

breeds can improve the performance of body weight and growth.

Keywords: Cross-breeding, Belgian Blue cattle, PO cattle, growth

Pendahuluan

Di beberapa negara yang memiliki potensi peternakan besar, program cross-breeding intensif

dilakukan khususunya pada ternak sapi baik sapi pedaging maupun sapi perah (VanRaden & Sanders,

2003; Schutt et al., 2009; Theunissen et al., 2014; Sing, 2016; Manzi et al., 2018; Bunning et al.,

2019). Terdapat dua keunggulan penting yang diperoleh dari program persilangan (cross-breeding)

yaitu mendapatkan pengaruh heterosis atau hybrid vigor dan mendapatkan pengaruh kombinasi

Page 102: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

94

terbaik dari kedua tetua yang disilangkan (Weaber, 2015). Sapi Belgian Blue sebagai sapi double

muscle yang berasal dari Belgia telah diintroduksikan (dalam bentuk embrio dan semen) di Indonesia

pertama kali pada tahun 2013 dan mulai dikembangkan pada tahun 2015 di Balai Embrio Ternak

(BET) Cipelang Bogor. Pengembangan Belgian Blue tersesebut telah menghasilkan sapi Belgian Blue

murni dan silangannya dengan bangsa sapi lainnya yang sudah ada di Indonesia.

Pemanfaatan sapi Belgian Blue untuk tujuan cross-breeding dengan bangsa sapi lain telah

dilakukan seperti persilangan sapi Belgian Blue dengan bangsa sapi Piemontese (Bittante et al.,

2018), bangsa sapi Brown Swiss, Simmental dan Rendena (Tagliapietra et al., 2018), sapi perah

Jersey (Goni et al., 2016) dan sapi Herford dan Angus (Freetly et al., 2011). Cross-breeding pada sapi

pedaging dan sapi perah memberikan dampak positif dan menghasilkan beberapa keuntungan

(Weaber, 2015) baik dengan metode terminal crossing atau grading up (Singh, 2016). Program cross-

breeding sapi Belgian Blue dengan sapi lokal khususnya sapi Peranakan Ongole (PO) pada keturunan

pertama (F1) yang dilakukan di BET Cipelang Bogor berlum pernah dievaluasi terkait dengan

performa pertumbuhannya. Oleh karena itu tujuan dari penelitian ini adalah mengevaluasi kinerja

performa pertumbuhan pada sapi silangan (cross-breeding) (F1) Belgian Blue dengan sapi PO

termasuk sapi murni PO.

Materi dan Metode

Ternak yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas hasil silangan (cross-breeding)

turunan pertama (F1) Belgian Blue dan PO sebanyak sebanyak 15 ekor terdiri atas 6 ekor jantan dan 9

ekor betina. Selain itu digunakan sapi PO murni sebanyak 8 ekor betina yang dipelihara di Balai

Embrio Ternak (BET) Cipelang Bogor. Pemeliharaan sapi hasil cross-breeding (F1) Belgian Blue dan

PO dilakukan secara koloni termasuk sapi PO pada kandang terpisah sesuai SOP (Standard

Operational Procedure) dan GFM (Good Farming Practices). Susu diberikan sebanyak 3-4 liter ekor

per hari dari umur 1-6 bulan. Setelah umur 6 bulan ke atas, konsentrat diberikan sebanyak 3.8 kg dan

rumput 25 kg per ekor per hari. Komposisi nutrisi terutama kandungan protein kasar (PK) 21%

sampai umur 12 bulan, sedangkan umur diatas 12-18 bulan kandungan protein kasar (PK) 18%.

Adapun air minum diberikan secara ad-libitium baik pada sapi hasil cross-breeding (Belgian Blue-

PO) dan sapi PO.

Pebuah yang diamati dalam penelitian ini adalah bobot lahir (BW), bobot sapih (WW) yang

distandarisasi ke umur 205 hari, bobot 1 tahun (YW) yang distandarisasi ke umur 365 hari,

pertambahan bobot badan harian dari lahir (GBW) sampai sapih (GWW) dan pertambahan bobot

badan harian dari sapih (GWW) sampai umur 1 tahun (GYW). Rumus bobot sapih terkoreksi umur

205 hari (WW) dan bobot setahun terkoreksi umur 365 hari (YW) serta pertambahan bobot badan

harian (PBBH) disajikan sebagai berikut (Harjosubroto, 1994):

[

]

Keterangan:

Page 103: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

95

= Pertambahan Bobot Badan Harian

= Bobot pada saat peningbangan ke-i

= Bobot lahir

[

]

Keterangan:

= Bobot sapih terkoreksi umur 205 hari

= Bobot pada saat peningbangan ke-i

= Bobot lahir

[

]

Keterangan:

= Bobot sapih terkoreksi umur 365 hari

= Bobot pada saat peningbangan ke-i

= Bobot lahir

Adapun koreksi terhadap perbedaan antar jenis kelamin jantan dan betina dilakukan dengan

pendekatan rumus sebagai berikut:

Keterangan:

x terkoreksii = data yang telah dikoreksi salah satu jenis kelamin

xstandar = rataan data yang dijadikan standar

x anpengamat = rataan data yang akan dikoreksi

x itankepengama = data yang akan dikoreksi ke-i

Data bobot lahir (BW), bobot sapih 205 hari (WW), bobot 365 hari (YW), pertambahan bobot

badan harian (PBBH) dari BW sampai WW dan dari WW sampai YW dianalisis secara deskriptif dan

perbedaan antar sapi hasil silangan (BB-PO) dengan sapi PO dilakukan uji t menggunakan program

Minitab (Mattjik dan Sumertajaya, 2000).

Hasil dan Pembahasan

Hasil penelitian menjukkan bahwa performan bobot badan dan pertambahan bobot badan

harian sapi hasil persilangan (cross-breeding) pada turunan pertama (F1) sapi Belgian Blue dengan

xxx

x ikeix

pengamatan

pengamatan

standar

terkoreksi

Page 104: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

96

sapi PO disajikan pada Tabel 1, sedangkan perbandingan sapi hasil silangan (F1) (Belgian Blue-PO)

dan sapi PO disajikan pada Tabel 2.

Tabel 1. Rataan dan simpangan baku performan F1 hasil cross-breeding Belgian Blue dan sapi PO

Peubah yang diamati Jantan

(n=9 ekor)

Betina

(n=6 ekor)

Bobot lahir (BW) (kg) 29.73 ± 6.44 26.83 ± 4.85

Bobot sapih 205 hari (WW) (kg) 159.57 ± 28.01 165.20 ± 16.77

Bobot 365 hari (YW) kg) 242.40 ± 25.73 240.75 ± 31.40

Pertambahan bobot badan harian (BW-WW) (kg) 0.63 ± 0.13 0.67 ± 0.08

Pertambahan bobot badan harian (WW-YW) (kg) 0.52 ± 0.14 0.47 ± 0.11

Tabel 2. Performa F1 hasil cross-breeding (Belgian Blue dan sapi PO) dan sapi PO

Peubah yang diamati F1 (Belgian Blue-PO)

(n=15 ekor)

PO

(n=8 ekor)

Bobot lahir (BW) (kg) 26.83 ± 5.1 25.38 ± 4.6

Bobot sapih 205 hari (WW) (kg) 165.2 ± 21.3a 115.8 ± 15.2

b

Bobot 365 hari (YW) kg) 240.7 ± 28.1a 194.9 ± 26.1

b

Pertambahan bobot badan harian (BW-WW) (kg) 0.6749 ± 0.097a 0.4411 ± 0.059

b

Pertambahan bobot badan harian (WW-YW) (kg) 0.472 ± 0.112 0.4945 ± 0.095 Keterangan: superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan (p<0.05)

Tabel 1 menujukkan bahwa performan bobot badan dan pertumbuhan sapi hasil cross-

breeding (F1) antara jantan dan betina tidak menunjukkan perbedaan yang berarti. Adapun performan

hasil silangan cross-breedingf F1 dengan sapi PO (Tabel 2) memperlihatkan bahwa bobot sapih 205

hari (WW), bobot 365 hari (YW) dan pertambahan bobot badan harian (BW-WW) bahwa sapi F1 hasil

silangan lebih tinggi dibandingkan dengan sapi PO (p<0.05), sedangkan bobot lahir (BW) dan

pertambahan bobot badan harian (WW-YW) tidak berbeda. Dengan demikian persilangan sapi

Belgian Blue dengan sapi PO memberikan dampak terhadap peningkatan bobot sapih 205 hari, bobot

badan umur 365 hari dan pertambahan bobot badan harian dari lahir sampai dengan sapih.

Pertambahan bobot badan harian dari sapih sampai dengan umur 365 hari tidak berbeda pada sapi

silangan Belgian Blue dengan PO mengalami penurunan dari 0.6749 kg menjadi 0.472 kg, sebaliknya

pada sapi PO terdapat peningkatan pertambahan bobot badan harian yaitu dari 0.4411 kg menjadi

0.4945 kg. Penurunan pertambahan bobot badan pada sapi silangan F1 Belgian Blue dan PO mungkin

disebabkan oleh faktor lingkungan terutama aspek pakan yang harus diperhatian sesuai dengan

kebutuhan baik kualitas maupun kuanititas terutama kebutuhan energi yang tinggi terutama untuk

pertumbuhan (Fiems et al., 2015).

Secara genetik, pengaruh cross-breeding sapi Belgian Blue dengan sapi PO dengan komposisi

50%:50% memberikan dampak heterosis 100%, sehingga hasil silangan F1 sebagai terminal crossing

dapat digunakan sebagai ternak komersial atau siap dipotong. Menurut Weaber (2015) menyatakan

bahwa program persilangan (cross-breeding) akan mendapatkan dua keuntungan yaitu pengaruh

heterosis atau hybrid vigor dan mendapatkan pengaruh kombinasi terbaik dari kedua tetua yang

Page 105: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

97

disilangkan. Pengaruh heterosis tertinggi (100%) didapatkan pada hasil cross-breeding dari dua

bangsa adalah dengan komposisi 50%:50%, sedangkan tiga bangsa adalah dengan komposisi 50%:

25%; 25% (Kirkpatrick, 2017). Heterosis didapatkan dari hasil cross-breeding dari bangsa sapi yang

berbeda, sedangkan pengaruh heterosis tidak diperoleh jika persilangan dilakukan pada bangsa yang

sama (Bunning et al., 2019). Cross-breeding sapi PO sebagai sapi lokal Indonesia yang sudah

beradaptasi dengan lingkungan tropis (Hartati et al., 2015) dengan sapi Belgian Blue yang memiliki

beberapa keunggulan seperti konformasi tubuh dan produksi karkas tinggi serta memiliki kualitas

daging tinggi yaitu memiliki asam lemak tidak jenuh tinggi (Fiems, 2012) perlu didapatkan kombinasi

genetik terbaik untuk menghasilkan bangsa baru atau bangsa komposit dengan daya dukung pakan

yang sesuai (Fiems et al., 2015).

Kesimpulan

Hasil silangan (Cross-breeding) F1 sapi Belgian Blue dengan sapi PO memberikan pengaruh

nyata terhadap peningkatan bobot sapih umur 205 hari, bobot badan umur 365 hari dan pertambahan

bobot badan harian dari BW sampai WW akan tetapi tidak berpengaruh terhadap bobot lahir dan

pertambahan bobot badah harian dari WW sampai YW.

Ucapan Terima Kasih

Kegiatan penelitian ini didanai melalui skema Penelitian Terapan (Strategis Nasional) dengan

Nomor 4313/IT3.L1/PN/2019. Selain itu, penelitian ini juga dapat terlaksana atas fasilitasi Kepala

Balai Embrio Ternak (BET) Cipelang Bogor.

Daftar Pustaka

Bittante, G., Cecchinato, A., Tagliapietra, F., Verdiglione, R., Simonetto, A., & Schiavon, S. (2018).

Crossbred young bulls and heifers sired by double-muscled Piemontese or Belgian Blue bulls

exhibit different effects of sexual dimorphism on fattening performance and muscularity but

not on meat quality traits. Meat Sci. 137, 24–33.

Bunning, H., Wall, E., Chagunda, M. G. G., Banos, G., & Simm, G. (2019). Heterosis in cattle

crossbreeding schemes in tropical regions: Meta-analysis of effects of breed combination, trait

type, and climate on level of heterosis. J. Anim. Sci. 97, 29–34.

Fiems, L. O. (2012). Double muscling in cattle: Genes, husbandry, carcasses and meat. Animals 2,

472–506.

Fiems, L. O., De Boever, J. L., Vanacker, J. M., & De Campeneere, S. (2015). Maintenance energy

requirements of double-muscled Belgian blue beef cows. Animals 5, 89–100.

Freetly, H. C., Kuehn, L. A., & Cundiff, L. V. (2011). Growth curves of crossbred cows sired by

hereford, angus, belgian blue, brahman, boran, and tuli bulls, and the fraction of mature body

weight and height at puberty. J. Anim. Sci. 89, 2373–2379.

Goni, S., Christiaan Muller, C. J., Dube, B., & Dzama, K. (2016). Effect of Crossbreeding on Beef

Production of Jersey Herd Using Fleckvieh Sires Maintained on a Pasture-Based Feeding

System. Open J. Anim. Sci. 06, 163–168.

Hartati, H., Utsunomiya, Y. T., Sonstegard, T. S., Garcia, J. F., Jakaria, J., & Muladno, M. (2015).

Evidence of Bos javanicus x Bos indicus hybridization and major QTLs for birth weight in

Indonesian Peranakan Ongole cattle. BMC Genet. 16, 1–9.

Page 106: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

98

Hardjosubroto. (1994). Aplikasi Pemuliabiakan Ternak di Lapangan. Jakarta (ID): Gramedia

Widiasarana Indonesia.

Kirkpatrick, F. D. (2017). Crossbreeding in Beef Cattle. W 471 12/17 18-0164 Programs in

agriculture and natural resources, 4-H youth development, family and consumer sciences, and

resource development. University of Tennessee Institute of Agriculture, U.S. Department of

Agriculture and county governments cooperating. UT Extension provides equal opportunities

in programs and employment.

Manzi, M., Rydhmer, L., Ntawubizi, M., Karege, C., & Strandberg, E. (2018). Growth traits of

crossbreds of Ankole with Brown Swiss, Holstein Friesian, Jersey, and Sahiwal cattle in

Rwanda. Trop. Anim. Health Prod. 50, 825–830.

Mattjik A dan Sumertajaya. 2000. Perancangan percobaan dengan aplikasi SAS dan Minitab, Bogor

(ID): IPB press.

Schutt, K. M., Burrow, H. M., Thompson, J. M., & Bindon, B. M. (2009). Brahman and Brahman

crossbred cattle grown on pasture and in feedlots in subtropical and temperate Australia. 1.

Carcass quality. Anim. Prod. Sci. 49, 426–438.

Singh, C. (2016). Cross-breeding in Cattle for Milk Production: Achievements, Challenges and

Opportunities in India-A Review. Adv. Dairy Res. 4, 1–14.

Sutarno, S., & Setyawan, A. D. (2016). The diversity of local cattle in Indonesia and the efforts to

develop superior indigenous cattle breeds. Biodiversitas J. Biol. Divers. 17, 275–295.

Tagliapietra, F., Simonetto, A., & Schiavon, S. (2018). Growth performance, carcase characteristics

and meat quality of crossbred bulls and heifers from double-muscled Belgian Blue sires and

Brown Swiss, Simmental and Rendena dams. Ital. J. Anim. Sci. 17, 565–573.

Theunissen, A., Scholtz, M. M., Neser, F. W. C., & MacNeil, M. D. (2014). Crossbreeding to increase

beef production: Additive and non-additive effects on fitness traits. South African J. Anim.

Sci. 44, 335–341.

VanRaden, P. M., & Sanders, A. H. (2003). Economic merit of crossbred and purebred US dairy

cattle. J. Dairy Sci. 86, 1036–1044.

Weaber, R. L. (2015). Crossbreeding Strategies : Including Terminal Vs . Maternal Crosses. Range

Beef Cow Symp., 117–130.

Page 107: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

99

Distribusi Pola Warna Sapi Pasundan di Jawa Barat

The color pattern distribution of Pasundan Cow in West Java

Johar Arifin, Asep Anang dan Heni Indrijani1)

1)

Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Sumedang

Email: [email protected]

Abstrak

Distribusi pola warna Sapi Pasundan merupakan komponen penting dalam konservasi sumberdaya

genetic ternak (SDGT). Tujuan penelitian ini adalah mengeksplorasi pola warna tubuh, hidung, sekitar

mata, gelambir, kaki bawah, pelvis dan rambut ekor sebagai bahan inventarisasi SDGT. Penelitian ini

dilaksanakan sejak September sampai Desember 2018 di basis populasi Sapi Pasundan Jawa Barat.

Metode penelitian menggunakan survey, analisis data menggunakan analisis deskriptif. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa distribusi pola warna tubuh Sapi Pasundan Betina di Jawa Barat

adalah merah bata, krem, coklat tua dan kuning padi, pada jantan berturut-turut hitam legam, merah

bata dan krem. Pola warna mulut didominasi oleh warna hitam legam dan hitam terang, sisanya semir

putih. Pada sekitar mata memiliki kesamaan dengan pola warna pada tubuhnya, namun di sekitar

gelambir didominasi putih untuk betina namun pada jantan terdapat kecenderungan mengikuti pola

warna tubuhnya. Warna rambut ekor dominasi hitam, kaki bagian bawah didominasi putih, pelvis

didominasi putih dengan batasan yang tidak kontras. Kesimpulan dari penelitian ini bahwa distribusi

pola warna Sapi Pasundan memiliki kesamaan ciri fenotipik dengan Bos sondaicus yaitu Sapi Bali

dan Sapi Madura, dengan tingkat kegaraman fenotipik kualitatif yang lebih tinggi.

Kata Kunci: Sapi Pasundan, konservasi sumberdaya genetik, pola warna

Abstract

The distribution of Pasundan cattle color patterns is an important component in the conservation of

animal genetic resources (AnGR). The purpose of this study is to explore the color patterns of the

body, nose, around the eyes, whip, lower leg, pelvis and tail hair as an inventory of AnGR. This

research was conducted from September to December 2018 in the population base of Pasundan Cow

in West Java. The research method uses surveys, data analysis uses descriptive analysis. The results

showed that the distribution of the body color patterns of Pasundan Cattle in West Java was brick

red, cream, dark brown and yellow rice, in Bull successively jet black, brick red and cream. The

mouth color pattern is dominated by jet black and bright black, the rest is white polish. Around the

eyes have similarities with the color patterns on the body, but around the wattle is predominantly

white for females but in males there is a tendency to follow the pattern of body color. the tail hair

color is predominantly black, the lower leg is predominantly white, the pelvis is predominantly white

with no contrasting boundaries. The conclusion of this study is that the distribution of the Pasundan

Cow's color pattern has the same phenotypic characteristics with Bos sondaicus namely Bali Cow

and Madura Cow, with a higher level of qualitative phenotypic salinity.

Keywords: Pasundan cattle, conservation of genetic resources, color patterns

Pendahuluan

Konservasi sumber daya genetik merupakan kegiatan manusia meliputi strategi, perencanaan

dan aksi dalam mempertahankan atau melestarikan serta mengembangkan sumber daya genetik ternak

(SDGT) melalui pengelolaan yang tepat dapat dimanfaatkan atau disumbangkan bagi manusia secara

luas (pangan, produktivitas, pertanian, pariwisata, budaya dan nilai lain) untuk masa sekarang dan

yang akan datang dengan mempertahankan keragaman genetiknya (Arifin, 2017). Sapi Pasundan

Page 108: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

100

merupakan bagian dari SDGT yang layak dikonservasi melalui pengelolaan yang tepat agar kekayaan

fauna di Jawa Barat dapat menjadi ekosistem yang harmonis dalam sosiokultur masyarakat Jawa

Barat.

Sapi Pasundan merupakan rumpun ternak dalam bangsa Bos sondaicus, terbentuk dari proses

sejarah yang cukup panjang. Menurut Arifin (2017) bahwa rumpun Sapi Pasundan terbentuk dari

sejarah program grading up antar Bos sondaicus dan cross breeding antara Bos sondaicus dengan sapi

Zebu India di wilayah Jawa Barat pada zaman Kolonial Belanda. Perjalanan sejarah menunjukkan

bahwa peternak di Jawa Barat tidak mempertahankan karakteristik ternak hasil persilangan di atas,

peternak melakukan inbreeding dan seleksi negatif dalam sistem perkawinan yang tidak terarah

selama lebih dari sepuluh generasi. Proses perjalanan genetik ternak tersebut membentuk karakter

ternak yang kecil dan ramping sebagai ciri Bos sondaicus namun memiliki gelambir seperti ciri Bos

indicus.

Ilustrasi di atas menggambarkan bahwa kegiatan pengelolaan SDGT Sapi Pasundan dimulai

dari inventarisasi keragaman genetiknya. Data awal keragaman genetic suatu SDGT diindikasi dari

keragaman fenotipiknya. Fenotipik ternak yang dipengaruhi oleh factor genetic (tidak ada faktor

lingkungan) adalah fenotip kualitatif (Warwick, dkk,1995). Fenotip kualitatif dibagi menjadi dua,

yakni karakter intra kualitatif dan ekstra kualitatif. Karakter ekstra kualitatif meliputi pola warna

tubuh, ada tidaknya tanduk, bentuk tubuh, ada tidaknya gumba dan lain sebagainya (Arifin, 2017).

Berdasarkan proses pembentukkan rumpun Sapi pasundan, maka pola warna yang dimiliki

SDGT tersebut memiliki distribusi yang bervariasi. Variasi pola warna ternak yang menyebar di basis

populasi di Jawa Barat perlu dieksplorasi secara detail. Kegiatan eksplorasi ini diharapkan dapat

memberikan dukungan data inventarisasi fenotipik dalam rangka konservasi SDGT Sapi Pasundan.

Berdasarkan latar belakang tersebut maka penelitian distribusi pola warna Sapi Pasundan di Jawa

Barat menjadi penting. Tujuan penelitian ini adalah mengeksplorasi pola warna tubuh, hidung, sekitar

mata, gelambir, kaki bawah, pelvis dan ekor pada populasi Sapi Pasundan di Jawa Barat sebagai

bahan inventarisasi SDGT.

Metode Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan September sampai desember 2018. Metode penelitian

yang digunakan adalah metode deskriptif. Pengambilan data dilakukan secara survey, penentuan

sampel sapi dilakukan secara acak menggunakan multi stage random sampling. dengan melakukan

pemeringkatan wilayah sampel kelompok ternak dalam desa dalam kecamatan. Alat analisis untuk

mengukur dan atau membandingkan antar dan di dalam populasi digunakan koasi eksperimen. Berikut

sampel wilayah diambil dalam penelitian ini.

Page 109: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

101

Gambar 1. Wilayah Pengamblilan Sampel

Dari gambar 1 ditampilkan sampel kecamatan dan desa dengan kelompok ternak yang

menjadi basis populasi Sapi Pasundan, disajikan dalam tabel 1.

Tabel 1. Wilayah Terpilih Sebagai Sampel Penelitian

No Kabupaten Desa Terpilih

1 Ciamis Desa: Tambaksari, Kec: Tambaksari

Kelompok: Al-Hidayah

2 Ciamis BPPT Sapi Potong Cijeungjing

3 Tasikmalaya Desa: Sirnajaya Kec: Sukaraja

4 Kuningan Desa: Tegal Panjang Kec: Cibingbin

Kelompok: Tegal panjang

5 Purwakarta Desa: Pesanggrahan Kec: Tegalwaru

Kelompok: Gunung Parang III

6 Majalengka Desa: Mekarjaya Kec: Kertajati

Kelompok: Mulya Abadi

7 Cianjur Desa: Sukamanah Kec: Agrabinta

Kelompok: Karya Mukti

8 Sukabumi Desa: Sumberjaya Kec: Tegalbuleud

Kelompok: Sugih Jaya

9 Sumedang Desa: Cipelang Kec: Ujungjaya

Kelompok: Rimba Mekar

10 Garut Desa: Sancang Kec: Cibalong

Kelompok: Sancang Lestari

11 Indramayu Desa: Lajem Kec: Terisi

Kelompok: Gapoktan Terisi

12 Pangandaran Desa: Cijulang Kec: Cijulang

Kelompok: Taruna Muda Tiga

Johar Arifin, Fakultas Peternakan UNPAD, 2019

Page 110: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

102

Setelah data kualitatif terkumpul selanjutnya dianalisis deskriptif kualitatif

Keterangan:

= Frekuensi Relatif

= Warna i

n = Jumlah data

Adapun vareabel yang diamati meliputi pola warna tubuh, warna hidung, warna sekitar mata, warna

gelambir, warna kaki bagian bawah, warna pelvis pelvis dan warna rambut ekor.

Hasil dan Pembahasan

Kegiatan inventarisasi genetik ternak dimulai dari karakterisasi fenotipik eksterior. Sifat

kualitatif menjadi indikator utama dalam karakteristik suatu SDGT, hal ini disebabkan fenomena

biologis menurut Warwick, dkk (1995) bahwa sifat kualitatif dipengaruhi oleh factor genetik dengan

peran lingkungan yang nihil. Sifat kualitatif yang penting dalam kegiatan karakterisasi adalah pola

warna populasi SDGT. Pola warna pada sapi asli Indonesia (Bos sondaicus) memiliki variasi yang

tinggi dengan jenis warna yang relative seragam. Penetapan berbagai rumpun sapi dari Bos sondaicus

seperti Sapi Bali, Sapi Madura dan Sapi Pasundan memberikan tantangan bagi dunia konservasi untuk

menggambarkan ciri khas rumpun SDGT tersebut dalam tindakan inventarisasi.

Variasi pola warna ini dipengaruhi oleh sistem perkawinan alamiah yang terjadi di

masyarakat sesuai dengan kultur dan budaya lokal dimana SDGT tersebut hidup dan berkembang.

Sebagai contoh pada Sapi Madura secara kultural terbangun performa ternak yang kuat

pertulangannya karena digunakan untuk ternak kerja, karapan sapi, dan sonok melalui sistem

perkawinan alamiah namun terarah yang dilakukan peternak. Kondisi ini berbeda dengan Sapi

Pasundan yang secara alamiah SDGT ini tidak digunakan untuk kerja maupun kontes. Ilustrasi diatas

menggambarkan adanya perbedaan fundamental dinamika populasi SDGT yang pada ujungnya

berpengaruh terhadap distribusi pola warna.

Berdasarkan hasil penelitian menujukkan bahwa distribusi pola warna Sapi Pasundan di Jawa

Barat disajikan dalam tabel berikut.

Page 111: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

103

Tabel 2. Distribusi Pola Warna Tubuh Sapi Pasundan Betina di Jawa Barat

No Wilayah

Pola Warna Tubuh

Merah

Bata Krem

Coklat

Tua

Kuning

padi

Merah

Tua

Hitam

Terang

Hitam

Legam

Warna di luar

dari Bos

sondaicus

1 Ciamis 40 30 20 0 5 5 0 Spot putih 5%

2 Pangandaran 35 40 15 7 0 2 0 Spot putih 10%

3 Tasikmalaya 30 20 30 10 2 8 0 Spot putih 7 %

4 Garut 50 20 10 20 0 0 0 Spot putih 2 %

5 Cianjur 40 20 20 10 4 5 1 Spot putih 4 %

6 Sukabumi 60 10 10 10 6 2 1 Spot putih 4 %

7 Kuningan 70 10 10 5 5 0 0 Spot putih 2 %

8 Sumedang 40 10 35 5 7 3 0 Spot putih 8 %

9 Majalengka 20 42 13 25 0 0 0 Spot putih 6 %

10 Indramayu 45 30 5 10 2 6 1 Spot putih 7 %

11 Purwakarta 20 45 12 8 5 5 0 Spot putih 15 %

Berdasarkan Tabel 2 menunjukkan distribusi Pola Warna Tubuh Sapi Pasundan Betina di

Jawa Barat berturut-turut adalah merah bata, krem, coklat tua dan kuning padi dengan warna modus

merah bata. Kondisi ini berbeda dengan hasil penelitian Noval, dkk (2016) yang menemukan

dominasi warna krem di kelompok ternak sapi pasundan Pasir Pogor Kecamatan Pameungpeuk

Kabupaten Garut. Perbedaan ini disebabkan oleh factor budidaya, menurut Arifin, dkk (2018) bahwa

peternak sapi di wilayah Pasir Pogor Garut mengalami migrasi gen dari sapi-sapi PO dari luar

populasi. Migrasi gen PO dalam populasi Sapi Pasundan menyebabkan perubahan frekuensi gen.

Tabel 3. Distribusi Pola Warna Tubuh Sapi Pasundan Jantan di Jawa Barat

No Wilayah

Pola Warna Tubuh

Merah

Bata Krem

Coklat

Tua

Kuning

padi

Merah

Tua

Hitam

Terang

Hitam

Legam

Warna di luar dari

Bos sondaicus

1 Ciamis 20 10 10 0 20 10 30 Spot putih 2%

2 Pangandaran 40 10 0 5 0 20 25 Spot putih 4%

3 Tasikmalaya 5 0 5 0 20 30 40 Spot putih 5 %

4 Garut 13 2 0 0 0 30 55 Spot putih 2 %

5 Cianjur 5 0 5 0 20 25 45 Spot putih 4 %

6 Sukabumi 5 0 5 0 20 30 40 Spot putih 5 %

7 Kuningan 5 0 5 0 20 30 40 Spot putih 2 %

8 Sumedang 40 10 0 5 0 20 25 Spot putih 5 %

9 Majalengka 30 20 0 5 0 20 25 Spot putih 5 %

10 Indramayu 40 10 0 15 0 20 20 Spot putih 5 %

11 Purwakarta 40 20 0 5 0 10 20 Spot putih 17 %

Distribusi pola warna tubuh Sapi Pasundan juga memiliki kemiripan dengan bangsa Bos

sondaicus lain yaitu Sapi Bali dan Sapi Madura. Menurut Hartatik (2014) bahwa Sapi Bali betina

memiliki sebaran merah bata, hitam dan putih, sedangkan Sapi Madura betina memiliki dominasi

Page 112: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

104

warna merah terang. Sapi Pasundan Jantan memiliki distribusi pola warna tubuh yang dijabarkan pada

Tabel 3.

Distribusi pola warna pada jantan berturut-turut Hitam legam, Merah bata dan krem.

Kemiripan Sapi Pasundan Jantan dengan Sapi Bali adalah pola warna tubuh hitam legam, dan pada

Sapi Madura tidak memiliki pola warna tubuh hitam. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat dijelaskan

bahwa Sapi Pasundan memiliki sebaran pola warna yang lebih beragam dibanding Sapi Bali dan Sapi

Madura.

Distribusi pola warna pada hidung atau moncong memberikan gambaran ciri fenotipik

eksterior pada SDGT, Sapi Pasundan di Jawa Barat memiliki distribusi warna hidung tersaji dalam

Tabel 4.

Tabel 4. Distribusi Pola Warna Hidung/Moncong Sapi Pasundan Jantan dan Betina di Jawa Barat

No Wilayah Distribusi Warna

Hitam Legam Hitam Terang Semir Putih Putih

1 Ciamis 87 10 3 0

2 Pangandaran 85 10 5 0

3 Tasikmalaya 93 4 3 0

4 Garut 95 2 3 0

5 Cianjur 96 2 2 0

6 Sukabumi 95 2 3 0

7 Kuningan 96 2 2 0

8 Sumedang 85 10 5 0

9 Majalengka 83 12 5 0

10 Indramayu 85 10 5 0

11 Purwakarta 82 13 5 0

Distribusi pola warna mulut Sapi Pasundan didominasi oleh warna hitam legam dan hitam terang,

sisanya semir putih. Pola warna mulut pada Sapi Pasundan memiliki kesamaan Sapi Bali dan Sapi

Madura. Hasil penelitian distribusi pola warna di sekitar mata disajikan dalam tabel berikut.

Tabel 5. Distribusi Pola Warna Di Sekitar Mata Sapi Pasundan Betina

No Wilayah

Distribusi Warna Sekitar Mata

Merah

Bata Krem

Coklat

Tua

Kuning

padi

Merah

Tua

Hitam

Terang Hitam Legam

1 Ciamis 38 28 20 0 5 5 0

2 Pangandaran 32 40 17 7 0 3 0

3 Tasikmalaya 30 20 30 10 2 8 0

4 Garut 50 20 10 20 0 0 0

6 Sukabumi 62 10 10 8 6 2 1

7 Kuningan 72 10 12 5 5 0 0

8 Sumedang 35 10 32 8 7 5 0

9 Majalengka 20 42 13 25 0 0 0

10 Indramayu 45 30 5 10 2 6 1

11 Purwakarta 20 45 12 8 5 5 0

Page 113: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

105

Distribusi pola warna di sekitar mata pada Sapi Pasundan Jantan ditampilkan pada Tabel 6.

Tabel 6. Distribusi Pola Warna Di Sekitar Mata Sapi Pasundan Jantan

No Wilayah

Distribusi Warna Sekitar Mata

Merah

Bata Krem

Coklat

Tua

Kuning

padi

Merah

Tua

Hitam

Terang

Hitam

Legam

1 Ciamis 19 10 11 0 20 10 30

2 Pangandaran 37 12 0 5 0 20 26

3 Tasikmalaya 5 0 5 0 20 28 42

4 Garut 13 3 0 0 0 30 56

6 Sukabumi 5 0 5 0 20 25 45

7 Kuningan 5 0 6 0 22 30 37

8 Sumedang 5 0 5 0 20 27 43

9 Majalengka 40 10 0 5 0 21 26

10 Indramayu 30 20 0 6 0 21 27

11 Purwakarta 40 10 0 15 0 17 23

Berdasarkan tabel 5 dan tabel 6 menunjukkan bahwa pola warna sekitar mata memiliki

kesamaan dengan pola warna pada tubuhnya. Sehingga dapat dideskripsikan bahwa Sapi Pasundan

memiliki warna sekitar mata yang sama dengan tubuhnya. Pola warna yang penting berikutnya adalah

pada sekitar gelambir. Variasi distribusi warna sekitar gelambir disajikan dalam Tabel 7.

Tabel 7. Distribusi Pola Warna Pada Sekitar Gelambir Betina

No Wilayah Distribusi Warna

Hitam Legam Hitam Terang Semir Putih Putih Merah Bata

1 Ciamis 2 2 70 20 6

2 Pangandaran 2 0 75 10 13

3 Tasikmalaya 3 0 83 10 4

4 Garut 1 0 66 8 25

5 Cianjur 3 0 75 11 11

6 Sukabumi 4 1 73 12 10

7 Kuningan 4 0 76 9 11

8 Sumedang 5 2 75 10 8

9 Majalengka 3 0 76 8 13

10 Indramayu 3 0 75 8 14

11 Purwakarta 0 0 74 11 15

Page 114: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

106

Disribusi pola warna sekitar gelambir pada Sapi Pasundan Jantan tersaji dalam Tabel 8.

Tabel 8. Distribusi Pola Warna Pada Sekitar Gelambir Jantan

No Wilayah Distribusi Warna

Hitam Legam Hitam Terang Semir Putih Putih Merah Bata

1 Ciamis 40 20 2 0 38

2 Pangandaran 55 10 6 0 29

3 Tasikmalaya 43 10 6 0 41

4 Garut 46 15 7 0 32

5 Cianjur 36 20 8 0 36

6 Sukabumi 37 12 9 0 42

7 Kuningan 42 9 9 0 40

8 Sumedang 45 10 5 0 40

9 Majalengka 40 12 5 0 43

10 Indramayu 42 10 7 0 41

11 Purwakarta 44 11 7 0 38

Distribusi pola warna sekitar gelambir pada Sapi Pasundan memiliki dominasi putih untuk populasi

ternak betina sedangkan pada jantan terdapat kecenderungan mengikuti pola warna tubuhnya.

Kondisi distribusi warna rambut ekor Sapi Pasundan. Sapi Pasundan memiliki pola warna

dominasi hitam 95 persen dan mengikuti pola warna tubuh 5 persen baik jantan ataupun betina. Pola

warna pada kaki bagian bawah pada ternak jantan dan betina didominasi putih 96 persen dan sisanya

mengikuti warna tubuh. Demikian juga warna pelvis didominasi putih dengan batasan yang tidak

kontras 87 persen dan sisanya mengikuti warna tubuh. Pola warna pada rambut, kaki bagian bawah

dan pelvis memiliki kesamaan dengan hasil penelitian Noval, dkk (2016).

Berdasarkan fenomena distribusi pola warna pada Sapi Pasundan, ternyata memiliki

kemiripan fenotipik antara Sapi Pasundan dengan Sapi Bali dan Sapi Madura. Namun demikian pola

warna Sapi Pasundan memiliki keragaman yang lebih tinggi dibandingkan dengan dua rumpun

tersebut. Hal ini disebabkan ketiga rumpun ternak dari bangsa Bos sondaicus ini memiliki kedekatan

genetic atau hubungan kekerabatan yang tinggi. (Sulasmi, 2016). Variasi pola warna yang tinggi pada

Sapi Pasundan disebabkan oleh tidak adanya arah seleksi dan sistem perkawinan yang jelas di

masyarakat.

Kesimpulan

Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa distribusi pola warna Sapi Pasundan memiliki

kesamaan ciri fenotipik dengan Bos sondaicus yaitu Sapi Bali dan Sapi Madura, dengan tingkat

kegaraman fenotipik kualitatif yang lebih tinggi.

Ucapan Terima Kasih

Pada penelitian ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Badan Penelitian dan

Pengembangan Daerah (BP2D) Provinsi Jawa Barat.

Page 115: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

107

Daftar Pustaka

Arifin, J, Daud AR, Asmara IY. 2016. Pengembangan sumberdaya genetik ternak di kawasan geopark

Ciletuh. [Development of genetic resources of livestock in geopark Ciletuh area]. Prosiding

Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan (seri IV) Universitas Jenderal

Soedirman. Purwokwerto. 4 (1):281‒287.

Arifin. J, Sri Bandiati, Unang Yunasaf dan Endang Y Setyowati. 2017. Sebaran Populasi Sumberdaya

Genetik Sapi Pasundan Di Wilayah Priangan Utara Jawa Barat. Prosiding Seminar Nasional

Peternakan Berkelanjutan 9. Universitas Padjadjaran. Sumedang. 9 (1):381-385.

Arifin.J, 2017. Konservasi Sumberdaya Genetik Sapi Pasundan di Jawa Barat. Disertasi. Program

Pasca Sarjana Ilmu Peternakan. Universitas Padjadjaran. Sumedang.

Arifin.J, Umi Halwati, Endang Y. Setyowati, Heni Indrijani dan Asep Anang. 2018. Dampak Migrasi

Gen PO terhadap Homosigositas Populasi Sapi Pasundan di Purwakarta Jawa Barat. [The

Migration Gen PO Effect on Homosigosity of Pasundan Cattle Popuation at Purwakarta West

Java]. Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan (seri VI).

Universitas Jenderal Soedirman. Purwokwerto. 4 (1): 210‒214.

Arifin.J, Daud AR., Rija Sudirja. 2018. Kajian Pewilayahan Sumber Bibit di Jawa Barat. Laporan

Penelitian. Pusat Riset Dinamika Pembangunan Universitas Padjadjaran bekerja sama dengan

Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Provinsi Jawa Barat. Bandung.

Faris Naufal, Endang Yuni Setyowati, Nono Suwarno. 2016. Karakteristik Kualitatif Sapi Pasundan

Di Peternakan Rakyat. http://jurnal.unpad.ac.id/ejournal/article/view/10147/4579. 5(4): 1-13

Hartatik.T, 2014. Analisis Genetik Ternak Lokal. Gadjah Mada University Press. Yogjakarta

Sulasmi, Gunawan,A., Priyanto, R., Sumantri, C., Arifin, J. 2016. Keseragaman dan Kedekatan

Morfometrik Ukuran Tubuh Sapi Pasundan. Jurnal Veteriner FKH Unud Vol. 18 No. 2: 263-

273 http://ojs.unud.ac.id/php.index/jvet

Sulasmi. 2016. Karakterisasi Sumberdaya Genetik Ternak Sapi Pasundan Berdasarkan Indeks

Morfometri Dan Pendekatan Kraniometri. Tesis. Program Pascasarjana Ilmu Ternak. IPB

Bogor

Warwick, E.J, J.Maria Astuti dan W. Hardjosubroto. 1995. Pemuliaan Ternak. Yogyakarta: Gadjah

Mada University Press.

Page 116: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

108

Studi Awal Performa Kerbau Rawa, Murrah dan Persilangannya (F1) di Balai

Penelitian Ternak

A Preliminary Study on Performance of Swamp Buffaloes, Murrah and Crossbreds (F1) at

Research Institute for Animal Production

Lisa Praharania)

, Ria Sari Gail Sianturi dan Yeni Widiawati Balai Penelitian Ternak

a) Korespondensi: [email protected]

Abstrak Ternak kerbau (Bubalus bubalus) memiliki peran utama sebagai penghasil daging (kerbau rawa) dan

susu (kerbau sungai). Suatu penelitian dilakukan untuk mengetahui berat dan ukuran badan F1

persilangan kerbau rawa dan kerbau Murrah serta pengaruh heterosis. Sebanyak 11 ekor ternak kerbau

yang terdiri dari 3 ekor kerbau Murrah, 5 ekor kerbau rawa dan 3 ekor kerbau F1 persilangan

digunakan dalam penelitian yang dilakukan di Balai Penelitian Ternak. Peubah yang diamati adalah

berat lahir (BL), berat setahun (BS), pertambahan berat badan harian (PBBH), tinggi pundak (TP),

lingkar dada (LD) dan panjang badan (PB). Data dianalisa menggunakan model linear umum dan uji-

PDIFF antar genotipa. Hasil penelitian menunjukkan genotipa kerbau berpengaruh nyata terhadap BL,

BS, PBBH, TP, LD, dan PB (P<0,05). Ternak kerbau Rawa memiliki BS, PBBH, TP dan PB terendah

(P<0,05). Ternak F1 memiliki BL dan LD tertinggi (P<0,05). BL menampilkan pengaruh heterosis

terbesar (21,91%). Performa ternak F1 lebih tinggi dari rataan tetuanya akibat pengaruh heterosis.

Penelitian ini merupakan informasi awal yang dapat digunakan sebagai rekomendasi dalam

pengembangan ternak kerbau persilangan mendukung produksi daging nasional. Penelitian lanjutan

diperlukan dengan menggunakan jumlah ternak lebih banyak.

Kata kunci: berat badan, ukuran tubuh, kerbau, persilangan

Abstract Buffalo (Bubalus bubalus) has a important role for meat (buffalo swamp) and milk (river buffalo). A

study was conducted to evaluate body weights and size in F1 crossbreds of swamp and Murrah

buffaloes. A total of 11 buffaloes consisting of 3 Murrah, 3 F1 crossbreds and 5 swamp buffaloes

were used in research conducted at the Research Institute for Animal Production. The variables

observed were birth weight (BW), yearling weight (YW), average daily gain (ADG), body length (BL),

wither height (WH), heart girth (HG). Data were analyzed using general linear models and PDIFF to

determine differences between genotypes. The results showed that weight traits and body size were

affected by genotype (P<0,05). The swamp buffaloes had the lowest BW, ADG, WH and BL (P<0,05).

The F1 crossbreds had the highest BW and HG (P<0,05). BW had the highest heterosis effect

(21,91%). Performance of F1 crossbreds was higher than the parental means due to heterosis effect.

This research is preliminary information that can be used as a recommendation in the development of

crossbreeding in buffaloes supporting national meat production. Further research using larger

sample size to obtain more accurate results.

Keywords: body weights, body size, buffalo, crossbreeding

Pendahuluan

Ternak kerbau memiliki peranan dalam penyediaan daging dan susu meskipun tidak sebesar

daging sapi. Kontribusi daging kerbau dilaporkan sebesar 11,5% dari total produksi daging

ruminansia (Cruz, 2015) dan mampu menghasilkan 8,9 juta ton susu per-tahun (FAO, 2015). Di

Indonesia peran ternak kerbau sebagai penghasil daging hanya berkontribusi < 5% dari total konsumsi

Page 117: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

109

daging (Ditjen PKH, 2018), meskipun di beberapa daerah seperti Sumatra Utara, Sumatera Barat,

Sulawesi Selatan, Banten dan Nusa Tenggara Barat konsumsi daging kerbau kemungkinan lebih

tinggi berkaitan dengan sosial dan budaya.

Berbagai penelitian menyebutkan keunggulan daging kerbau antara lain cholesterol 40% lebih

rendah, kalori 55% lebih rendah, protein 11% lebih tinggi, dan mineral 10% lebih tinggi dan amino

acid (Naveena & Kiran 2014). Namun konsumsi daging kerbau pada kenyataannya masih lebih

rendah dibandingkan daging sapi, kambing dan domba, disebabkan oleh keempukan dagingnya lebih

rendah dibandingkan sapi (Borghese, 2013). Bila kerbau dipotong pada umur < setahun, kualitas

keempukannya tinggi (Hamid et al. 2017). Di Australia ternak silangan kerbau Rawa dan kerbau

sungai (Tenderbuff) memiliki keempukan daging yang tinggi Lemcke (2011).

Berdasarkan karyotipe kromosomnya, kerbau diklasifikasikan menjadi 2 sub-species (yaitu

kerbau rawa atau Rawa (swamp) yang memiliki 48 kromosom dan kerbau sungai (riverine) memiliki

50 kromosom (Hamid et al. 2017). Morfologi eksterior kualitatif kerbau rawa dan sungai sangat

berbeda seperti warna tubuh, warna kaki bawah, bentuk tanduk dan kepala, dimana kerbau Rawa lebih

kecil dengan perototan yang lebih kompak dibandingkan kerbau sungai yang memiliki produksi susu

lebih tinggi (Pérez-Pardal, 2018).

Persilangan antara kerbau Rawa dan sungai telah banyak dilakukan seperti di Philipina, Cina,

Australia, dan Vietnam untuk memperbaiki genetik ternak, dimana anak persilangan memiliki

performa lebih baik akibat pengaruh heterosis dan komplementaritas (Cruz, 2015). Dalam reviewnya,

Praharani (2009) membandingkan performa reproduksi (umur kawin dan beranak pertama lebih

muda, siklus berahi lebih pendek, lama kebuntingan dan jarak beranak lebih pendek) dan performa

produksi (pertumbuhan lebih cepat, berat potong lebih tinggi, umur potong lebih muda, produksi susu

lebih tinggi dan kualitas lemak dan protein lebih baik) dibandingkan kerbau Rawa. Namun di

Indonesia, persilangan kerbau belum dilakukan disebabkan adanya berbagai keterbatasan.

Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui performa F1 persilangan kerbau rawa dan

kerbau (sungai) Murrah. Penelitian ini merupakan informasi awal yang dapat digunakan sebagai

rekomendasi dalam pengembangan ternak kerbau persilangan mendukung produksi daging nasional.

Materi dan Metode

Penelitian pendahuluan ini dilakukan di Kandang Percobaan Ternak Kerbau, Balai Penelitian

Ternak Ciawi-Bogor. Lokasi penelitian pada ketinggian 350-450 meter diatas permukaan laut dengan

suhu udara rataan 20-30oC dan curah hujan 3500-4000 mm/tahun. Sebanyak 11 ekor ternak kerbau

yang terdiri dari 3 ekor kerbau Murrah, 5 ekor kerbau rawa dan 3 ekor kerbau F1 persilangan

digunakan dalam penelitian. Materi ternak kerbau yang diamati sangat terbatas sehingga ternak jantan

dan betina tidak dipisahkan dalam analisa data.

Semua ternak dipelihara dalam manajemen pemeliharaan yang sama dalam kandang individu.

Pemberian pakan sesuai dengan pertambahan umur dimana hijauan king grass sebanyak 15-20

Page 118: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

110

kg/ekor/hari (10% dari berat badan) dengan tambahan konsentrat 1-3 kg/ekor/hari (1% dari berat

badan) yang mengandung protein kasar 15% dan TDN 60%. Air minum disediakan secara ad libitum.

Anak kerbau segera ditimbang setelah lahir. Induk dan anak kerbau ditempatkan dalam kandang

bersama sampai umur 4 bulan masa penyapihan. Hijauan pakan dan konsentrat mulai diberikan

setelah umur 2 bulan.

Parameter yang diamati adalah berat badan meliputi berat lahir (BL), berat setahun (BS), dan

pertambahan berat badan harian (PBBH) antara lahir dan setahun. Ukuran tubuh pada umur setahun

meliputi tinggi pundak (TP), panjang badan (PB) dan lingkar dada (LD). PBBH diukur berdasarkan

pertambahan berat badan harian sejak lahir sampai umur setahun (Berat badan umur setahun-berat

lahir)/365 hari). TP merupakan jarak tertinggi pundak melalui belakang scapula tegak lurus ke tanah

diukur dengan menggunakan tongkat ukur, satuan dalam cm. LD diukur melingkar tepat dibelakang

scapula, dengan menggunakan pita ukur, satuan dalam cm. Panjang badan (PB), jarak garis lurus dari

tepi tulang Processus spinosus sampai dengan benjolan tulang lapis (Os ischium), diukur

menggunakan tongkat ukur, satuan dalam cm. Pengaruh heterosis dihitung berdasarkan rumus:

H (%) = {[PF1 – (PR + PM)/ 2] x 100};

H (%) = Heterosis;

PF1 = rataan F1;

PR = rataan kerbau Rawa;

PM = rataan kerbau sungai (Murrah).

Data dikelompokan berdasarkan genotipa. Data dianalisa menggunakan model linear umum (SAS,

2003) dengan genotipa sebagai peubah tetap. Jenis kelamin ternak tidak dimasukan dalam model

karena keterbatasan jumlah ternak sampel. Model persamaan linier yang digunakan untuk analisa BL,

BS, PBBH, TP, PB dan LD adalah:

Yij = µ + Gi + εij

dimana:

Sementara P-DIFF digunakan untuk membedakan signifikansi antara genotipa.

Hasil dan Pembahasan

Berat badan

Tabel 1 ditampilkan rataan (least square means) dan standard error berat badan kerbau

berdasarkan genotipa. Berat lahir (BL), berat setahun (BS) dan pertambahan berat badan harian

(PBBH) dipengaruhi oleh genotipa (P<0,05). Penelitian lain (Momin et al 2016) melaporkan genotipa

Yij = karena pengaruh genotipa ke-i, dan ulangan ke-j

µ = rataan umum

Gi = pengaruh genotipa ke-i, (i=1 (Murrah), 2 (F1) dan 3 (Rawa))

εij = Pengaruh acak karena pengaruh genotipa ke-i dan ulangan ke-j

Page 119: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

111

mempengaruhi berat badan antara ternak kerbau persilangan dan tetuanya (kerbau Rawa dan sungai).

Sedangkan Gerli et al (2013) membandingkan berat badan kerbau rawa dan Murrah di Balai

Pembibitan Ternak Unggul (BPTU) Kerbau Siborongborong pada umur yang sama tidak terdapat

perbedaan.

Ternak kerbau Rawa memiliki BS (185,4 kg) dan PBBH (0,48 kg/hari) terendah (P<0,05).

Ternak F1 persilangan memiliki BL (42,73 kg) nyata (P<0,05) tertinggi. Sedangkan BS (253,33 vs

229,36 kg) dan PBBH 0,70 vs 0,63 kg/hari) kerbau Murrah dan F1 tidak berbeda (P>0,05).

Perkawinan silang kerbau Rawa dan kerbau Murrah menghasilkan peningkatan BL sebesar 21,91%,

BS 4,56% dan PBBH 6,77% sebagai pengaruh heterosis. Praharani et al (2019) melaporkan nilai

heterosis yang rendah pada berat badan (-2,6%). Persilangan kerbau Rawa dengan kerbau Murrah

dapat meningkatkan BL, BS dan PBBH.

Penelitian Momin et al (2016) yang melakukan persilangan kerbau sungai dan Rawa di Iran

melaporkan BL hasil persilangan (F1) sebesar 28 kg, lebih rendah dari hasil penelitian ini disebabkan

perbedaan induk (Rawa vs Sungai). Dalam penelitian ini induk kerbau Murrah disilangkan dengan

pejantan kerbau Rawa. Sementara Momin et al (2016) dan Cruz (2015) serta Yore et al (2018)

menyilangkan induk kerbau Rawa dan pejantan kerbau Murrah, sehingga menghasilkan BL, BS dan

PBBH anak F1 yang berbeda. Rumpun induk mempengaruhi berat lahir anak dalam perkawinan

silang disebabkan pengaruh maternal (dam effect) (Prastowo et al. 2018).

Hasil penelitian persilangan kerbau sungai dan Rawa yang dilakukan Momani et al (2016)

melaporkan berat badan pada umur 3 tahun kerbau Rawa terrendah (305 kg), kerbau sungai tertinggi

(354 kg) dan F1 (340 kg) diantara tetuanya. Penelitian ini sama dengan Cruz (2015) dan Yore et al

(2018) bahwa persilangan dengan kerbau sungai dapat meningkatkan performa kerbau Rawa. Dalam

reviewnya, Yore (2018) melaporkan berat badan umur 5 tahun kerbau Rawa (398-443 kg) dan

persilangannya F1 (479-530 kg) sama dengan kerbau Murrah (476-531 kg). Selanjutnya dilaporkan

juga bahwa heterosis (%) tertinggi pada berat badan umur 36 tahun yaitu 31,2% lebih tinggi

dibandingkan penelitian ini (21,9%) disebabkan perbedaan genetik dan lingkungan.

Penelitian Gerli et al (2013) yang dilakukan di BPTU Kerbau Siborongborong melaporkan

Rataan berat badan kerbau Murrah jantan dan betina pada kelompok umur 2 tahun 258 dan 241 kg,

sedangkan kerbau rawa jantan dan betina adalah 246 dan 223 kg. Hasil penelitian ini hampir sama

dengan Gerli et al (2013) disebabkan oleh sistem pemeliharaan yang sama yaitu sistem intensif.

Tabel 1. Rataan (LSM±SE) berat badan kerbau Murrah, Rawa dan F1, heterosis dan P-value

Parameter Genotipa

Heterosis (%) P-value Murrah F1 (Murrah x Rawa) Rawa

Berat lahir 35.50±2.23a

42.73±2.58b

33.60±2.58a

21,91 0,0055

Berat setahun 253.33±12.18a

229.36±12.18a

185.42±10.55b

4,56 0,0047

PBBH 0.70±0.03a

0.63±0.03a

0.48±0.03b

6,77 0,0058 ab

superscript pada baris yang sama berbeda nyata (P<0,05)

Page 120: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

112

Ukuran tubuh

Berdasarkan Tabel 2, terdapat pengaruh nyata (P<0,05) genotipa terhadap tinggi pundak (TP),

lingkar dada (LD) dan panjang badan (PB). Penelitian ini seperti yang dilaporkan oleh Momin et al

(2016) yang menyatakan bahwa ukuran tubuh berbeda antara ternak kerbau persilangan (F1) dan

tetuanya (kerbau Rawa dan Murrah).

Ternak kerbau Rawa memiliki TP (124,00 cm) dan PB (122,00 cm) nyata (P<0,05)terendah.

Lingkar dada kerbau F1 (188,33 cm) nyata (P<0,05) tertinggi. Sedangkan TP (132,66 vs 130,66 cm)

dan PB (135,3 vs 132,6 cm) kerbau F1 tidak berbeda dengan kerbau Murrah (P>0,05). Hasil

persilangan (F1) memiliki ukuran tubuh lebih tinggi dibandingkan tetuanya kerbau Rawa.

Tabel 2. Rataan (LSM±SE) ukuran tubuh kerbau Murrah, Rawa dan F1, heterosis dan P-value

Parameter genotipa

Heterosis P-value Murrah F1 (Murrah x Rawa) Rawa

Tinggi pundak 130,66±1,87a

132.66±1,89a 124.00±1,77

b 4,18 0,0389

Lingkar dada 182.66±1,83ab

188.33±1,86b

180.33±1,89a

3,76 0,0445

Panjang badan 132.6±2,78a

135.3±2,78a

122.00±2,7b 6,28 0,0322

absuperscript pada baris yang sama berbeda nyata (P<0,05)

Kerbau rawa umur 2-3 tahun hasil pengamatan Gerli et al (2013) didapat tinggi pundak 115,5

cm, panjang badan 105,5 cm, lingkar dada 182,5 cm, dan kerbau Murrah berturut-turut 115,5, 122 dan

162,5 cm. Hasil penelitian ini lebih tinggi dibandingkan Gerli et al (2013) disebabkan perbedaan

genetik.

Perkawinan silang kerbau Rawa dan Murrah menghasilkan peningkatan ukuran tubuh kerbau

Rawa berturut-turut 4,18%, 3,76% dan 6,28% untuk tinggi pundak, lingkar dada dan panjang badan.

Pengaruh heterosis ukuran tubuh kerbau silangan (F1) tergolong rendah, seperti yang dilaporkan oleh

Praharani et al (2019) bahwa pengaruh heterosis ukuran tubuh rendah berkisar -9,44% sampai 6,06%,

meskipun nilainya ukuran tubuh diantara tetua tetapi lebih rendah dari salah satu tetuanya.

Kesimpulan

Berat lahir, berat setahun, pertambahan berat badan harian dan ukuran tubuh kerbau

persilangan antara kerbau Rawa dan kerbau Murrah (F1) diatas rataan tetuanya akibat pengaruh

heterosis. Penelitian lanjutan disarankan dengan menggunakan sampel ternak yang lebih banyak

sehingga dapat menghasilkan kesimpulan lebih akurat.

Daftar Pustaka

Borghese A. (2013). Buffalo livestock and products in Europe. Buffalo Bull. 32:50-74.

Cruz, L. C. (2015). Institutionalization of Swamp Buffalo Development in The Philippines.

Proceeding of International Seminar: Improving Tropical Animal Production, for food

security, 3-5 November 2015, Universitas Halu Oleo, Kendari, Southeast Sulawesi, Indonesia:

15-37

Page 121: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

113

Ditjen PKH. (2018). Statistik peternakan 2018. Jakarta (Indonesia): Direktoral Jenderal Peternakan

dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian

FAO. (2015). Livestock database, http://faostat.fao.org

Gerli, Hamdan dan A. H. Daulay. (2013). Karakteristik Morfologi Ukuran Tubuh Kerbau Murrah Dan

Kerbau Rawa di BPTU Siborongborong. J. Peternakan Integratif Vol. 1 (3): 276-287

Hamid, M.A., M.A. Zaman, A. Rahman and K.M. Hossain, 2017. Buffalo Genetic Resources and

their Conservation in Bangladesh. Research Journal of Veterinary Sciences, 10: 1-13.

Lemcke B. 2011. Is there a major role for buffalo in Indonesia‘s beef self sufficiency program by

2014? Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau. Lebak, 2-4

November 2010. Bogor (Indonesia): Puslitbangnak. hlm. 1-6.

Momin M.M., M.K.I. Khan and O.F. Miazi. (2016). Performance Traits of Buffalo under Extensive

and Semi‐Intensive Bathan System. Iranian Journal of Applied Animal Science 6(4), 823-831

Naveena BM, Kiran M. (2014). Buffalo meat quality, composition, and processing characteristics:

Contribution to the global economy and nutritional security. Anim Front. 4:18-24

Pérez-Pardal, L., S. Chen, V. Costa, X. Liu, J. Carvalheira and A. Beja-Pereira. (2018). Genomic

differentiation between swamp and river buffalo using a cattle high-density single nucleotide

polymorphisms panel. Animal Volume 12 (Issue 3): 464-471

Praharani L. (2009). Tinjauan performa persilangan kerbau sungai × kerbau Rawa. Dalam: Bamualim

AM, Talib C, Herawati T, penyunting. Peningkatan Peran Kerbau dalam Mendukung

Kebutuhan Daging Nasional. Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Usaha Ternak

Kerbau. Tana Toraja, 24-26 Oktober 2008. Bogor (Indonesia): Puslitbangnak. hlm. 29-37.

Praharani L., dan RSG Sianturi. (2018). Tekanan Inbreeding dan Alternatif Solusi pada Ternak

Kerbau. Wartazoa Vol. 28 No. 1 Th. 2018 Hlm. 001-012

Praharani, L., A. Anggraeni and A.A.R. Hapsari. (2019). Heterosis on morphometric traits of

crossbreds from Anglo Nubian and Etawah Grade goats. Proceeding Earth and Life Science.

IOP (in process)

Prastowo S, Nugroho T, Nurhidayati A dan Widyas N. (2018). Konfirmasi dam effect pada sifat berat

lahir silangan kambing Boer. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Vol. 2, No. 2

SAS 2003. SAS User‘s Guide: Statistics. SAS Inst., Inc., Cary, NC.

Yore, K., C. Gohain, T. C. Tolenkhomba, N. S. Singh, S. Kalyan and P. Mayengbam. (2018).

International Journal of Genetic Improvement of Swamp Buffalo through Cross Breeding and

Backcrossing with Riverine Buffalo. Livestock Research Vol 8 (10): 30-45.

Page 122: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

114

Karakteristik Eksterior Kerbau Banten pada Pemeliharaan di Pusat Pembibitan dan

Sentra Peternakan Rakyat

Exterior Characteristics of Banten Buffaloes Raised in Breeding Center and Smallholders

Lisa Praharania)

, Riasari Gail Sianturi dan Chalid Talib Balai Penelitian Ternak

a)korespondensi: [email protected]

Abstrak

Ketersediaan bibit sesuai standar merupakan salah satu aspek penting dalam proses produksi usaha

Kerbau Banten. Suatu penelitian dilakukan untuk mengetahui karakteristik calon bibit Kerbau Banten

pada beberapa sentra dan pusat pembibitan. Penelitian dilakukan pada lingkungan pemeliharaan

berbeda yaitu pusat pembibitan daerah, peternakan kelompok dan peternakan rakyat di Povinsi

Banten. Sebanyak 89 ekor ternak kerbau jantan dan betina berumur 1-5 tahun digunakan dalam

penelitian. Peubah kualitatif meliputi warna tubuh, kaki, bentuk tanduk, kepala dan leher. Peubah

kuantitatif meliputi tinggi pundak, tinggi pinggul, lebar pinggul, lebar dada, dalam dada, lingkar dada,

panjang badan, lingkar scrotum dan nilai kondisi tubuh. Data kuantitatif dianalisa dengan model linear

umum dan data kualitatif menggunakan chi-square. Kerbau Banten memiliki dominasi warna tubuh

abu-abu gelap, kaki putih, tanduk melingkar ke belakang, garis punggung datar, garis kalung leher

ganda, unyeng-unyeng pada bagian badan Karakteristik kuantitatif kerbau Banten dipengaruhi oleh

lingkungan pemeliharaan dan umur (P<0,05), kecuali nilai kondisi tubuh. Ukuran tubuh dan tampilan

kualitatif eksterior kerbau Banten sesuai standard ukuran kerbau nasional. Informasi karateristik calon

bibit kerbau Banten bermanfaat dalam mendukung penentuan standar bibit daerah Kerbau Banten.

Kata kunci: eksterior kualitatif, ukuran tubuh, kerbau Banten

Abstract The availability of breeding stock meat to national standards is important aspect in the production

process of the Banten Buffalo farms. A study was conducted to determine the characteristics of

Banten Buffaloes in some breeding center and smallholders. The study was done at a regional

breeding center, group farms and community farms in Banten rovince. A total of 89 male and female

buffalo aged 1-5 years were used in this study. Parameters observed were body coat color, legs, horn

shape, back line and chevron. Parameters measured were shoulder height, hip height, hip width, chest

width, chest depth, chest circumference, body length, scrotal circumference. Qualitative and

quantitative characteristic data were analyzed with general linear models and using chi-square. Body

coat color of Banten buffaloes were dominantly dark grey with white legs, half circle horn shape, flat

back line and 2 white chevron. Morphometric were affected by management, environment and age of

buffaloes (P<0.05). Body size and qualitative exterior of Banten buffaloes were in the range of

national standard for buffalo. Information on the menyukai daging kerbau daripada sapi (Ali, 2018).

Selanjutnya Nuraeni et al (2018) melaporkan bahwa Provinsi Banten termasuk characteristics of

Banten buffalo is useful in supporting the determination of regional standard for Banten buffalo

breeding stock.

Keywords: qualitative exterior, morphometric, Banten buffaloes

Pendahuluan

Ternak kerbau merupakan salah satu sumber daya genetik Provinsi Banten yang berperan

penting dalam kehidupan masyarakat Banten antara lain sebagai ternak kerja, penghasil daging, dan

Page 123: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

115

status sosial. Peran kerbau sebagai penghasil daging memiliki posisi yang penting, mengingat

masyarakat Banten merupakan salah satu provinsi dengan konsumsi daging kerbau tertinggi.

Ternak kerbau Banten tersebar hampir di seluruh wilayah Provinsi Banten meliputi

Kabupaten Lebak, Tangerang, Serang, dan Pandeglang. Kerbau Banten telah lama berkembang dan

dipelihara oleh peternak secara turun temurun (Ali, 2018). Provinsi Banten, termasuk urutan ke -7

populasi kerbau terbanyak yaitu sebesar 103.195 ekor atau 7,6% dari total populasi kerbau Indonesia

(Ditjen PKH, 2018). Populasi ternak kerbau di Provinsi Banten mengalami penurunan sebesar 6,063

ekor/tahun atau 3,7%/tahun sejak sepuluh tahun terakhir (2008) dari 163.834 ekor.

Program pengembangan pembibitan ternak kerbau di Banten diarahkan untuk meningkatkan

populasi dan produktivitas kerbau, membentuk kawasan sumber bibit, membentuk kelompok

pembibit yang mandiri dan berkelanjutan, dan sekaligus ikut melestarikan plasma nutfah kerbau lokal.

Sebagai tahap awal diperlukan penyediaan ternak bibit yang siap untuk disebarkan dengan cara

penyediaan calon ternak kerbau terseleksi. Calon bibit pada populasi dasar terutama tersebar di sentra

peternakan kerbau yang sebagian besar dipelihara oleh peternak secara tradisional dan semi intensif

(Dudi et. al., 2012).

Seleksi pada kerbau masih berdasarkan penampilan fenotip (Dudi et. al., 2012). Sifat

kualitatif yang diseleksi adalah pola warna bulu, dan bentuk tanduk. Sifat kuantitatif yang dijadikan

kriteria seleksi antara lain adalah tinggi pundak, panjang badan dan bentuk teracak. Morfometri

merupakan salah satu indikator menyatakan ukuran besar dan bentuk tubuh jenis ternak sebagai

pembeda penampilan eksternal suatu rumpun. Ukuran tubuh memiliki hubungan korelasi dengan

produktivitas ternak kerbau (Javed et. al., 2013; Sapkota et. al., 2017).

Informasi data penampilan dan potensi ternak kerbau Banten masih terbatas padahal

informasi tersebut sangat berguna untuk menentukan kebijakan pengembangan ataupun perbaikan

mutu genetik kerbau (Dudi et. al, 2012). Pengamatan terhadap sifat-sifat kuantitatif melalui analisis

morfometrik sekaligus dapat menganalisa keragaman genetik kerbau sehingga mempermudah seleksi.

Tujuan penelitian untuk mengetahui karakteristik kerbau Banten pada beberapa sentra dan

pusat pembibitan. Informasi karateristik kerbau Banten bermanfaat dalam mendukung penentuan

standar bibit daerah kerbau Banten

Materi dan Metode

Penelitian dilakukan di Kabupaten Serang, Lebak dan Pandeglang yang merupakan wilayah

sentra kerbau di Provinsi Banten. Kabupaten Serang mewakili kelompok sekolah peternakan rakyat

(SPR), Kabupaten Lebak mewakili unit pembibitan daerah (UPT) ternak kerbau. Kabupaten

Pandeglang mewakili peternakan rakyat.

Sebanyak 89 ekor ternak kerbau jantan dan betina berumur 1-5 tahun digunakan dalam

penelitian. Pemilihan ternak dilakukan secara acak, disebabkan sulitnya melakukan pengukuran

karena ternak kerbau umumnya tidak menggunakan keluhan (tali hidung) dan dipelihara dengan

Page 124: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

116

sistem penggembalaan. Ternak jantan berumur > 2 tahun tidak tersedia saat pengukuran. Pengamatan

ternak jantan dilakukan di pedagang pengumpul wilayah Kabupaten Pandeglang.

Ternak kerbau dipelihara pada lingkungan yang berbeda yaitu pada perkebunan sawit

(Pandeglang) dan persawahan (Serang) dengan sistem pemeliharaan semi intensif yaitu

penggembalaan pada pagi sampai sore hari dan malam hari dikandangkan. Sedangkan pada UPT

(Lebak) ternak dipelihara secara intensif dalam kandang koloni dimana pakan dan air minum

disediakan dalam kandang.

Peubah kualitatif meliputi warna kulit tubuh, warna kaki, bentuk tanduk, garis punggung,

garis kalung leher (chevron) dan letak unyeng-unyeng. Peubah kuatitatif meliputi tinggi pundak,

tinggi pinggul, lebar pinggul, lebar dada, dalam dada, lingkar dada, panjang badan, panjang kepala,

lebar kepala, lingkar scrotum dan nilai kondisi tubuh. Data kuantitatif dianalisa dengan model linear

umum (SAS, 2003) dan data kualitatif menggunakan chi-square. P-DIFF digunakan untuk

menganalisa perbedaan lingkungan dan umur ternak sebagai sumber keragaman peubah kuantitatif.

Hasil dan Pembahasan

Sifat kualitatif

Karakteristik morphometric seperti tinggi pundak, panjang badan, lingkar dada, panjang

telinga, berat badan, panjang ekor, tinggi pinggul, ukuran kepala, teracak dan lingkar skrotum

merupakan salah satu indikator pembeda antar rumpun kerbau, seleksi dan penilaian (Paudel, 2017;

Zhang 2017). Berdasarkan survey lapang di kabupaten Serang (SPR), Pandeglang dan Lebak, proporsi

tertinggi sifat-sifat kualitatif, dapat dirangkum komponen yang menggambarkan sifat kualitatif kerbau

yang diamati (Tabel 1).

Warna kulit adalah salah satu sifat kualitatif yang biasa digunakan sebagai kriteria dalam

seleksi. Dalam Tabel 1 menunjukan bahwa warna kulit tubuh dominan pada kerbau Banten 59%

berwarna abu-abu gelap 34% berwarna abu-abu terang dan 6% albino. Sedangkan warna kaki kerbau

Banten terbanyak adalah putih (57%). Variasi warna kulit kerbau Banten merupakan manifestasi

antara beberapa pasang gen. Di lahan basah berwarna abu-abu terang dan memiliki bulu yang agak

panjang dan lebih jinak sedangkan di lahan kering berwarna abu-abu gelap dan bulu sedikit hampir

tidak ada dan kurang jinak (Dudi et al. 2011).

Kerbau Banten di wilayah Pandeglang memiliki warna dominan abu-abu gelap (64,8%) dan

albino (18,9%) tertinggi. Praharani et al (2010) menyebutkan tingginya warna albino pada kerbau

Banten merupakan indikator terjadinya inbreeding. Selanjutnya Praharani dan Sianturi (2018)

menyarankan introduksi pejantan dari sub populasi jauh (outbreeding) merupakan solusi untuk

mengurangi tingkat inbreeding.

Kerbau Banten memiliki dominan warna kaki putih sebesar 56,96%, namun warna kaki abu-

abu terang juga cukup banyak (31,85%). Warna putih pada kaki menyerupai kaos kaki seperti yang

dilaporkan oleh (Ihsan, 2015, Pudel 2017) yang merupakan karakteristik dari kerbau lumpur (swamp

Page 125: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

117

buffalo). Kerbau Banten di Kabupaten Serang yang dipelihara di SPR memiliki warna kaki dominan

abu-abu terang tertinggi (52,9%) dan warna putih terendah (29,5%). Kendala pengamatan warna kaki

pada kerbau adalah sebagian besar kerbau diamati setelah berkubang sehingga menyulitkan penentuan

warna kaki, disebabkan oleh lumpur.

Sebanyak 88% kerbau Banten memiliki bentuk tanduk melengkung datar kebelakang dan

12% melengkung kebawah (dungkul). Kerbau di wilayah Pandeglang memiliki bentuk tanduk

dungkul tertinggi (27%). Praharani et al (2010) menyebutkan salah satu indikator inbreeding yang

terjadi pada kerbau di wilayah Pandeglang dan Lebak adalah genetic defect yang ditunjukkan melalui

bentuk tanduk dungkul. Peningkatan jumlah kerbau dengan tanduk yang menggantung (dungkul)

seiring dengan meningkatnya ternak albino sebagai akibat dari inbreeding (Muhakka et al. 2013).

Garis punggung datar 85,9% dan garis punggung melengkung 14%. Garis punggung pada

ternak ruminansia dapat digunakan sebagai indikator kondisi tubuh ternak, dimana garis punggung

datar berkaitan dengan kondisi tubuh gemuk. Tingginya frekuensi garis punggung datar pada kerbau

lokal di lokasi penelitian mengindikasikan bahwa kerbau di Propinsi Banten tergolong dalam kategori

gemuk. Hal ini diduga akibat ketersediaan hijauan pakan cukup melimpah, dimana ternak

digembalakan pada perkebunan sawit (musim penghujan) dan lahan persawahan setelah panen

(kemarau). Komariah et al. (2018) menambahkan potensi hijauan pakan ternak ruminansia besar di

Propinsi Banten baru terisi sekitar 40 persen dari daya tampung yang ada.

Warna putih pada dasar hitam yang menyerupai pita merupakan karakteristik pada kerbau

lumpur dan sering disebut dengan chevron. Keberadaan kalung putih pada kerbau lumpur merupakan

karakter yang dipertimbangkan dalam seleksi kerbau lumpur (Kusnadi et al, 2016; Zhang, 2017).

Kerbau Banten memiliki garis kalung leher ganda 96% dan 4% tunggal. Ternak kerbau yang

dipelihara oleh SPR (Serang) memiliki garis chevron yang cukup banyak (29,4%). Sifat fenotip

kualitatif berdasarkan garis kalung leher kerbau rawa dalam penelitian ini telah sesuai dengan standar

bibit kerbau rawa (SNI 7706.1.2011).

Ihsan et. al., (2015) menyebutkan bahwa garis kalung putih (chevron), tanda putih dalam

bentuk garis-garis dibawah leher dekat pangkal atau sekitar dada dan diklasifikasikan dalam tiga

kelompok, yaitu tidak ada, garis kalung putih tunggal dan garis kalung putih ganda. Selanjutnya

dilaporkan juga. Kusnadi et. al., (2016) menyatakan bahwa ada juga garis kalung putih kerbau yang

didominasi oleh garis kalung putih tunggal.

Page 126: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

118

Tabel 1. Tampilan Kualitatif Eksterior Calon Bibit Kerbau Banten

Parameter (%)

Betina Jantan

Rataan Serang

(SPR) Lebak (UPT)

Pandeglang

(Peternak)

Pandeglang

(Pedagang)

N 17 22 37 10

Warna tubuh:

Abu-abu gelap 52,9 52,17 64,86 60 59,01a

Abu-abu terang 47,1 47,83 16,23 40 34,68b

Albino 0 0 18,91 0 6,31c

Warna kaki:

Abu-abu terang 52,9 30,43 35,13 30 31,85a

Abu-abu gelap 17,6 17,40 16,21 0 11,20b

Putih 29,5 52,17 48,66 70 56,96c

Bentuk tanduk:

Melingkar ke blgkg 100 91,30 72,97 100 88,09a

Melingkar ke bawah 0 8,70 27,03 0 11,91b

Garis Punggung:

Melengkung 17,6 26,08 16,21 0 14,09a

Datar 82,4 73,92 83,79 100 85,91b

Garis Kalung:

Tunggal 29,4 4,34 6,06 0 3,46a

Ganda 70,6 95,66 93,94 100 96,54b

Letak Unyeng-unyeng:

Kepala 6,60 26,66 25,19 20,83 24,22a

Pundak 32,60 37,77 41,22 37,51 38,83b

Pinggul 60,80 35,57 33,59 41,66 36,95b

SPR: sekolah peternakan rakyat; UPT unit pembibitan ternak abc

superscript yang sama pada kolom yang sama berbeda nyata (P<0,05) pada parameter yang sama

Letak unyeng-unyeng di kepala 24%, di pundak 38% dan di pinggul 36%. Penyebaran

unyeng-unyeng cukup merata pada tubuh kerbau Banten, namun letak unyeng-unyeng pada bagian

kepala kerbau Banten di wilayah Serang (SPR) yang paling rendah (6,6%). Jumlah unyeng-unyeng

(whorls) merupakan sifat kualitatif yang paling menonjol pada kerbau. Pada kerbau lumpur

mempunyai keseragaman untuk letaknya diseluruh tubuh namun jumlahnya spesifik untuk setiap

individu.

Hasil penelitian ini hampir sama dengan penelitian Dudi et al (2011) disebabkan oleh lokasi

survey lapang berdekatan pada masing-masing kabupaten. Dudi et al (2011) melaporkan warna kulit

tubuh kerbau Banten 65% berwarna abu-abu gelap, 34% abu-abu terang dan 2% albino. Warna kaki

kerbau Banten terbanyak adalah abu-abu gelap (44%), putih 32% dan warna abu-abu terang 23%.

Sebanyak 72% kerbau Banten memiliki bentuk tanduk melengkung, garis punggung datar 79% dan

garis kalung ganda 88% serta letak unyeng-unyeng di bagian kepala 60%.

Secara umum, sebagian besar kerbau Banten dalam penelitian ini telah memenuhi standard

kualitatif kerbau nasional. Menurut SNI 7706.1.2011 tentang standar bibit kerbau rawa menyebutkan

bahwa mempunyai spesifikasi warna kulit hitam ke abu-abuan, kemerah-merahan, hitam, belang

kemerah-merahan dan hitam keabu-abuan.

Page 127: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

119

Sifat Kuantitatif

Tampilan eksterior kuantitatif kerbau Banten ditampilkan berdasarkan lingkungan

pemeliharaan yang berbeda (Tabel 2). Ukuran tubuh kerbau Banten dipengaruhi oleh lingkungan

pemeliharaan (P<0,05), selain dalam dada, lingkar kepala dan kondisi tubuh (P>0,05). Penelitian

Javed et al (2013) melaporkan bahwa ukuran tubuh dipengaruhi oleh manajemen dan lingkungan.

Tabel 2. Tampilan kuantitatif Kerbau Banten pada lingkungan berbeda

Peubah

Betina Jantan

(Pedagang)

P-value

Serang

(SPR)

Lebak

(UPT)

Peternak

(Pandeglang)

N 17 22 37 10

TP 120,48±0,56a

116,57±0,59b

118,45±0,38c

116,40±0,59 0,0001

TPa 121,50±0,62a

118,34±0,66b

119,71±0,42b

118,66±0,78 0,0040

LP 49,03±0,71a

45,72±0,76b

47,19±0,49b

47,95±0,86 0,0092

PB 120,91±1,30a

126,30±1,39b

130,11±0,89c

126,97±1,50 0,0001

LD 178,50±1,19a

168,91±1,26b

175,15±0,81c

169,60±1,46 0,0001

DD 69,69±1,19 69,53±0,89 69,34±0,81 67,45±1,10 0,0654

LeD 39,71±0,57a

33,01±0,61b

36,63±0,39c

36,49±0,21 0,0001

PK 39,64±0,40 42,67±0,37 40,8±0,27 39,70±0,25 0,1328

LK 19,50±0,40 19,11±0,43 19,29±0,27 19,08±0,31 0,8103

LS 21,22±0,23

KT 3,21±0,08 3,10±0,09 3,2±0,06 3,36±0,07 0,6514 TP:tinggi pundak; TPa:tinggi panggul; LP:lebar pinggul; LD:lingkar dada; DD:dalam dada: LeD: lebar dada;

PK:panjang kepala; LK:lebar kepala; LS:lingkar scrotum; KT:kondisi tubuh abc

superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukan perbedaan nyata (P<0,05)

Secara umum, kerbau Banten di SPR Serang memiliki ukuran tubuh lebih besar dibandingkan

Pandeglang dan Lebak. Kerbau di SPR Serang memiliki tinggi pundak, tinggi panggul, lebar panggul,

lingkar dada dan lebar dada tertinggi, namun panjang badan kerbau di Pandeglang besar. Tinggi

pundak kerbau Banten dalam penelitian ini berkisar 116-120 cm; tinggi panggul 118-121 cm; lebar

pinggul berkisar 45-49 cm; panjang badan 120-130 cm; lingkar dada 169-178 cm; lebar dada 33-40

cm; panjang kepala 39-42 cm; lebar kepala 19,0-19,6 cm; dan nilai kondisi tubuh 3,1-3,6.

Pengukuran terhadap pejantan dilakukan di pedagang pengumpul disebabkan oleh tidak

tersedianya ternak pada lokasi pengamatan. Rataan lingkar scrotum kerbau Banten (Pandeglang)

sebesar 21, 22 cm. Hasil penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan lingkar scrotum yang

dilaporkan oleh Dudi et al (2011) yaitu 15-16 cm, disebabkan oleh perbedaan genetik dimana kerbau

jantan dalam penelitian ini adalah kerbau jantan terseleksi oleh pedagang pengumpul.

Hasil penelitian ini, tinggi badan kerbau Banten lebih tinggi, namun lingkar dada dan panjang

badan lebih kecil dibandingkan Anggraeni et al (2011). Sedangkan pada penelitian Dudi et al (2011)

tinggi pundak dan lingkar dada kerbau Banten lebih kecil. Anggraeni et al (2011) melaporkan kerbau

Banten memiliki tinggi pundak berkisar 117-127 cm, panjang badan 122 cm, lingkar dada 165-169

Page 128: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

120

cm. Dudi et al. (2011) menampilkan ukuran tubuh kerbau Banten dengan tinggi pundak antara 118-

129; tinggi panggul 103-129; lebar pinggul 30-32; panjang badan 119-129; lingkar dada 160-172;

dalam dada 57-66; lebar dada 38-41; panjang kepala 40-42; lingkar scrotum 15-47.

Ukuran-ukuran tubuh kerbau jantan dan betina pada pemeliharaan yang berbeda (Serang,

Lebak dan Pandeglang) berbeda. Hal ini diduga akibat pengaruh lingkungan dan manajemen

pemeliharaan yang relatif berbeda yaitu persawahan (Serang), perkebunan sawit (Pandeglang) dan

intensif (Lebak) sehingga mempengaruhi kuantitas dan kualitas pakan. Cruz et al (2014) menyebutkan

adanya perbedaan produktivitas kerbau pada sistem dan lingkungan pemeliharaan berbeda akibat

perbedaan suhu, kelembaban dan curah hujan yang berdampak pada jenis hijauan pakan (kualitas)

pakan yang berbeda. Selain itu juga adanya perbedaan komposisi botani hijauan, kaasitas tampung

yang terdapat pada ketiga lingkungan pemeliharaan dan sistem pemeliharaan berdampak pada kualitas

pakan, terutama pada kerbau yang dipelihara di Pandeglang dan Serang (Prihantoro et al. 2018).

Performan ternak secara umum dipengaruhi secara langsung oleh lingkungan habitatnya dan

mutu genetik warisan tetuanya (Komariah et al. 2015). Perbedaan ukuran-ukuran linear tubuh yang

ditemukan antar sub populasi kerbau yang berbeda disebabkan oleh pengaruh faktor genetik,

lingkungan dan interaksi antar keduanya.

Tampilan eksterior kuantitatif kerbau ditampilkan berdasarkan pada umur berbeda (Tabel 3).

Ukuran tubuh kerbau Banten dipengaruhi oleh umur kerbau (P<0,05), kecuali kondisi tubuh (P>0,05).

Secara umum kerbau Banten lebih muda memiliki ukuran tubuh lebih kecil (P<0,05) dibandingkan

yang lebih tua. Penelitian ini setuju dengan Nur et. al., (2018) dimana pengaruh umur terhadap ukuran

tubuh kerbau rawa. Perbedaan umur kerbau menunjukan adanya perbedaan sifat kuantitatif lingkar

dada, tinggi, badan, tinggi pinggul, panjang badan dan bobot badan kerbau rawa (Nur et. al., 2018).

Tabel 3. Tampilan Kuantitatif Eksterior Kerbau Banten pada Umur Berbeda

Peubah Betina Jantan P-value

1-2 tahun 2-4 tahun >4 tahun 2 tahun 3 tahun

N 10 19 47 6 4

TP 113,79±0,58a

118,63±0,4b 123,08±0,46

c 112,00±3,27

a 123,83±1,79

b 0,0001

TPa 114,93±0,65a

119,90±0,51b

124,70±0,51c

113,66±2,02a

123,66±1,80b

0,0001

LP 42,97±0,75a 47,56±0,59

b 51,41±0,58

c 39,66±0,57

a 46,00±1,54

b 0,0001

PB 116,65±1,36a

126,34±1,08b

134,34±1,07c

119,33±1,75a

130,00±2,54b

0,0001

LD 163,63±1,24a

174,04±0,9b 184,90±0,97

c 156,67±4,19

a 176,83±1,42

b 0,0001

DD 61,70±0,92a

68,91±0,99b

74,73±1,00c

60,33±1,04a

69,00±1,61b

0,0001

LeD 32,67±0,60a

36,46±0,47b

40,22±0,47c

37,33±0,57a

40,33±1,22b

0,0001

PK 37,87±0,43a

40,48±0,34b

43,89±0,33c

38,66±0,76a 43,33±0,71b

0,0001

LK 18,38±0,22a

19,30±0,17b

20,88±0,17c

18,66±0,28 19,83±0,16 0,0001

LS 18,33±0,28a

22,66±1,14b

0,0389

KT 3,12±0,09 3,25±0,07 3,12±0,08 3,33±0,14a

4,17±0,11b

0,3822 abc

superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05)

Page 129: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

121

Fenotip hewan merupakan hasil proses pertumbuhan berkesinambungan dengan setiap bagian

tubuh mempunyai kecepatan pertumbuhan atau perkembangan berbeda. Pola pertumbuhan dapat

diduga melalui perubahan ukuran-ukuran tubuh yang erat kaitannya dengan pertumbuhan kerangka

tubuh. Ukuran-ukuran tubuh serta komponen-komponen tubuh merupakan suatu keseimbangan

biologis yang bisa dimanfaatkan untuk menduga gambaran bentuk tubuh sebagai penciri khas suatu

spesies, phylum, bangsa dan tipe ternak (Safari et al. 2018).

Kesimpulan

Kerbau Banten memiliki dominasi warna abu-abu gelap, kaki putih, tanduk melingkar ke

belakang, garis punggung datar, garis kalung leher ganda, unyeng-unyeng pada bagian badan. Ukuran

tubuh dipengaruhi oleh lingkungan pemeliharaan dan umur dengan rataan kondisi tubuh baik.

Karakter kualitatif dan kuantitatif kerbau Banten sesuai dengan SNI 7706.1.2011 tentang standar bibit

kerbau rawa.

Daftar Pustaka

Ali MF. (2018). Kerbau dalam masyarakat Banten. RMOL Banten. 12 Mei. 2018

Anggraeni, A., Sumantri, C., Praharani, L., Dudi, & Andreas, E. (2011). Estimasi jarak genetik kerbau

rawa lokal melalui pendekatan analisis morfologi. Jurnal Ilmu Ternak Dan Veteriner, 16(3):

199–210.

De la Cruz, R., Guerrero-Legarreta I, Ramirez-Necoechea R, Roldan-Santiago P, Mora-Medina P,

Hernandez-Gonzalez R, Mota-Rojas D. (2014). The behaviour and productivity of water

buffalo in different breeding systems: A review. Vet Med (Praha). 59:181-193.

Ditjen PKH. 2018. Statistik Peternakan 2018. Jakarta (Indonesia): Direktoral Jenderal Peternakan dan

Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian.

Dudi, C. Sumantri, H Martojo dan Anang, A. (2011). Keragaan Sifat Kualitatif Dan Kuantitatif

Kerbau Lokal Di Propinsi Banten. Jurnal Ilmu Ternak, Desember 2011, 11, (2): 61 – 67

Dudi, Sumantri, C., . Martojo, H. , & Anang, A. 2012. Kajian pola pemuliaan kerbau lokal yang

berkelanjutan dalam upaya mendukung kecukupan daging nasional. (the sustainable local

buffalo breeding scheme as effort to support national meat sufficien). Jurnal Ilmu Ternak,

12(1): 11–19.

Ihsan A, Fatah,M., dan Dudi. 2015. Identifikasi Sifat Kuantitatif dan Kualitatif pada Kerbau Belang

Betina Dewasa Jenis Bubalus bubalis di Pasar Bolu Kabupaten Toraja Utara.

http://journal.unpad.ac.id/ejournal/article/view/6912.

Javed, K., . Mirza, R.H., . Abdullah, M and Akhtar, T.N.P.M. (2013). Studies on linear type Traits

And Morphometric Measurements In Nili Ravi Buffaloes of Pakistan. Buffalo Bulletin 32

(Special Issue 2): 780-783

Komariah, K., Sumantri, S., Nuraini, H., Nurdiati, S., & Mulatsih, S. (2015). Performans kerbau rawa

dan strategi pengembangannya pada daerah dengan ketinggian berbeda di kabupaten Cianjur.

Jurnal Veteriner, 16(4): 606–615.

Komariah A, Burhanuddin, & Permatasari, N. (2018). Analisis Potensi dan Pengembangan Kerbau

Lumpur di Kabupaten Serang. Jurnal Ilmu Produksi dan Teknologi Hasil Peternakan 6 (3):

90-97

Kusnadi, A., Rahmat, D., dan Dudi. (2016). Identifikasi Sifat Kualitatif Dan Kuantitatif Kerbau

Betina Dewasa (Studi Kasus Di Kecamatan Cibalong Kabupaten Garut).

http://jurnal.unpad.ac.id/ejournal/article/view/8495/3947

Muhakka, M., Riswandi, R., & M. Ali, A. I. (2013). Karakteristik morfologis dan reproduksi kerbau

pampangan di propinsi Sumatera Selatan. Jurnal Sain Peternakan Indonesia, 8(2): 111–120.

Page 130: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

122

Nur, E. A., . Nugroho, H., Kuswati. (2018). Karakteristik Fenotip Kerbau Rawa (B. Bubalis

Carabenesis) Di Wilayah Sentra Pengembangan Kerbau Desa Guosobokerto Kecamatan

Welahan Kabupaten Jepara. J. Ternak Tropika 19 (2): 156-166

Nuraini, H., Aditia, E.L., Brahmantiyo, B. (2018). Meat Quality of Indonesian Local Cattle and

Buffalo. http://dx.doi.org/10.5772/intechopen.79904

Praharani L, Juarini E, Budiarsana IGM. (2010). Parameter indikator inbreeding rate pada populasi

ternak kerbau di Kabupaten Lebak, Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau.

Brebes, 11-13 November 2009. Bogor (Indonesia):Puslitbangnak. hlm. 93-99.

Praharani L., dan Sianturi, R.S.G. (2018). Tekanan Inbreeding dan Alternatif Solusi pada Ternak

Kerbau. WARTAZOA 28 (1): 001-012

Prihantoro I, Aryanto AT, Karti PDMH. (2018). Kemadirian Pakan Berbasis Hijauan Lokal Untuk

Kerbau Di Provinsi Banten. Pastura 7 (2): 83 – 87

Paudel L. N. (2017) Breed improvement through intensive local selection of indigenous buffaloes for

food & nutritional security and livelihood improvement In mid-hills of Nepal1. Proceedings

of International Buffalo Symposium: 34

Safari, A., Ghavi Hossein-Zadeh, N., . Shadparvar, A.A., & Arpanahi, R.A. 2018. A review on

breeding and genetic strategies in Iranian buffaloes (Bubalus bubalis). Tropical Animal

Health and Production. https://doi.org/10.1007/s11250-018-1563-1

SNI. (2011). Bibit Kerbau (1st ed.). Indonesia.

Sapkota, S., Gorkhali,N.A., Bhattarai, N,, Pokharel, B.R., P.K. Jha, P.K., Shrestha,Y.K. (2017).

Morphological and productive traits of buffaloes of eastern terai, Nepal. Proceedings of

International Buffalo Symposium 81-85

SAS 2003. SAS User‘s Guide: Statistics. SAS Inst., Inc., Cary, NC.

Zhang S. (2017). Genetic Studies in Water Buffalo In China. Proceedings of International Buffalo

Symposium: 44.

Page 131: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

123

Pengaruh Penggunaan Produk Fermentasi Limbah Udang dalam Ransum terhadap

Kadar Hemoglobin dan Eritrosit Ayam Sentul

The Effect of Use of Fermentation Products of Shrimp Waste in Diet on The Levels of

Eritrosit and Hemoglobin Sentul Chicken

Muhamad Yusro1,a

, Abun2, Kurnia A. Kamil

2

1Alumni Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Tahun 2019

2Staf Pengajar Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran

aemail: [email protected]

Abstrak Penelitian telah dilaksanakan mulai dari bulan Maret hingga April 2019 yang bertempat di kandang

ayam Desa Cileles serta Laboratorium Fisiologi Ternak dan Biokimia, Fakultas Peternakan

Universitas Padjadjaran, jatinangor-Sumedang. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui dan

mendapatkan tingkat penggunaan feed supplement berbasis limbah udang fermentasi dalam ransum

yang menghasilkan jumlah eritrosit dan kadar hemoglobin darah yang optimal pada ayam Sentul.

Penelitian menggunakan 20 ekor ayam Sentul fase developer umur 18 minggu dalam 20 unit kandang.

Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan lima perlakuan terdiri atas R0

(Ransum tanpa Feed supplement (FS) berbasis Limbah Udang Fermentasi), R1 (Ransum mengandung

0,5% FS berbasis Limbah Udang Fermentasi), R2 (Ransum mengandung 1,0% FS berbasis Limbah

Udang Fermentasi), R3 (Ransum mengandung 1,5% FS berbasis Limbah Udang Fermentasi), dan R4

(Ransum mengandung 2,0% FS berbasis Limbah Udang Fermentasi). Setiap perlakuan diulang

sebanyak empat kali dengan peubah yang diamati adalah jumlah eritrosit dan kadar hemoglobin

darah. Hasil penelitian diperoleh bahwa penggunaan feed supplement berbasis limbah udang

fermentasi dalam ransum optimal pada taraf 2,0% terhadap jumlah eritrosit dan 0,5% terhadap kadar

hemoglobin darah ayam Sentul.

Kata kunci: Feed supplement, Limbah Udang, Ayam Sentul, Eritrosit, Hemoglobin

Abstract

The research was conducted from March to April 2019 which took place in the chicken coop of

Cileles Village and the Laboratory of Animal Physiology and Biochemistry, Faculty of Animal

Husbandry, Padjadjaran University, jatinangor-Sumedang. The purpose of this research was to

determine and obtain the level of use of feed supplement based on fermented shrimp waste in diet that

produced optimal the number of erythrocytes and blood hemoglobin levels in Sentul chickens. The

study used 20 Sentul phase developer chickens aged 18 weeks in 20 cage units. The study used a

Completely Randomized Design (Rancangan Acak Lengkap) with five treatments consisting of R0 (diet

without Feed Supplement (FS) based Fermented of Shrimp Waste), R1 (diet containing 0.5% FS based

Fermented of Shrimp Waste e), R2 (diet containing 1.0% FS based Fermented of Shrimp Waste), R3

(diet contains 1.5% FS based Fermented of Shrimp Waste), and R4 (diet contains 2.0% FS based

Fermented of Shrimp Waste). Each treatment was repeated four times with the variables observed

were the number of erythrocytes and blood hemoglobin levels. The results showed that the use of feed

supplement based on fermented shrimp waste in the diet optimal in level 2,0% in the number of

erythrocytes and 0,5% in blood hemoglobin levels in Sentul chickens

Keywords: Feed supplement, Shrimp Waste, Sentul Chicken, Erythrocytes, Hemoglobin

Pendahuluan

Ayam Sentul merupakan salah satu jenis ayam lokal yang berasal dari kabupaten Ciamis,

Jawa Barat. Hasil produk dari ayam Sentul ini masih sangat digemari di Indonesia seperti telur dan

Page 132: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

124

dagingnya, harganya pun lebih tinggi dibandingkan dengan ayam ras, namun tingkat produktivitasnya

masih kalah dengan ayam ras, untuk itu salah satu upaya untuk meningkatkan produktivitasnya adalah

dengan pemberian pakan tambahan (feed supplement) yang baik agar potensi dari ayam Sentul dapat

optimal.

Limbah udang dapat digunakan sebagai feed supplement karena memiliki kandungan nutrisi

yang cukup baik. Namun, limbah udang memiliki kecernaan yang rendah karena zat kitin yang

dikandungnya untuk itu harus melalui proses pengolahan agar kecernaannya dapat meningkat.

Kandungan kitin yang terikat dengan protein dapat diputus dengan bantuan mikroorganisme seperti

Saccharomyces cereviseae, Bacillus licheniformis dan kemudian dilanjutkan dengan proses

demileralisasi dengan Lactobacillus sp sehingga kecernaan dari limbah udang dapat meningkat.

Feed supplement berbasis limbah udang fermentasi mengandung zat astaxanthin dan

selenium (pada proses pembuatannya) memiliki fungsi sebagai antioksidan dalam tubuh yang dapat

menghambat terjadinya proses oksidasi dari radikal bebas dan senyawa lainnya serta memiliki

kandungan betakaroten yang berperan dalam meningkatkan sistem imun. Kekurangan vitamin dapat

mengakibatkan terganggunya proses metabolisme tubuh yang dapat menurunkan produktivitas ternak.

Penelitian tentang penambahan tepung buah mengkudu yang mengandung asam askorbat

sebagai antioksidan pada taraf 0,75% dalam ransum dapat mengurangi stres oksidatif dan

meningkatan jumlah eritrosit dan konsentrasi hemoglobin pada burung puyuh (Andriani dkk., 2017).

Adapun penelitian menggunakan ekstrak jahe yang mengandung senyawa aktif gingerol sebagai

antioksidan pada taraf 1,0% dalam ransum dapat mengurangi efek stres panas dan meningkatkan

kadar hemoglobin dan eritrosit terbaik pada ayam broiler (Selim dkk., 2013).

Penggunaan feed supplement berbasis limbah udang fermentasi (yang memiliki kandungan zat

astaxanthin dan selenium) diharapkan dapat mempertahankan kondisi fisiologis atau sehat sehingga

produktivitasnya tetap berlangsung dengan baik yang dapat dilihat dari status atau gambaran

darahnya. Ternak yang sehat dengan mendapat nutrisi yang cukup dapat terlihat dari gambaran

darahnya yaitu jumlah eritrosit dan kadar hemoglobin yang stabil atau normal.

Bahan dan Metode

Penelitian menggunakan ayam Sentul fase developer sebanyak 20 ekor umur 18 minggu.

Ayam dibagi ke dalam 5 jenis perlakuan dan dilakukan pengulangan sebanyak 4 kali. Rataan bobot

badan awal ayam Sentul memiliki koefisien variasi sebesar 9,62 %. Kandang yang digunakan

sebanyak 20 unit kandang percobaan. Tiap kandang berukuran panjang 40 cm, lebar 40 cm, tinggi

depan 37 cm dan tinggi belakang 30 cm. Setiap kandang diisi oleh satu ekor ayam serta dilengkapi

tempat pakan dan tempat air minum. Alat yang digunakan yaitu timbangan duduk, timbangan digital,

hammer mill, tempat pakan dan minum, lampu, kamera, laptop, kertas label, alat tulis, alat suntik,

vaccumtube EDTA, cooling box dan hematology analyzer.

Page 133: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

125

Ransum yang digunakan dalam penelitian berupa ransum yang disusun atas kebutuhan protein

dan energi metabolis ayam Sentul pada fase awal produksi secara berturut- turut 15 % dan 2750

kkal/kg (Widjastuti, 1996). Ransum diberikan sebanyak 80 gram/hari/ekor dengan lima perlakuan

yaitu:

R0 = Ransum tanpa Feed Supplement (FS) berbasis Limbah Udang Fermentasi

R1 = Ransum mengandung 0,5% FS berbasis Limbah Udang Fermentasi

R2 = Ransum mengandung 1,0% FS berbasis Limbah Udang Fermentasi

R3 = Ransum mengandung 1,5% FS berbasis Limbah Udang Fermentasi

R4 = Ransum mengandung 2,0% FS berbasis Limbah Udang Fermentasi

Tabel 1. Kandungan Energi Metabolis dan Nutrien Ransum Percobaan

Kandungan Nutrien R0 R1 R2 R3 R4 Kebutuhan

EM (kkal/kg) 2761 2760 2759,5 2759 2758 2750*

Protein Kasar (%) 15,07 15,18 15,31 15,43 15,55 15*

Lemak Kasar (%) 5,097 5,107 5,115 5,127 5,136 5,0 -7,0**

Serat Kasar (%) 3,5 3,521 3,542 3,565 3,586 3,0-6,0**

Ca (%) 3,066 3,087 3,104 3,119 3,139 2,75- 3**

P (%) 0,804 0,815 0,825 0,834 0,845 0,70-0,90**

Lisin (%) 0,99 1 1,01 1,021 1,031 ≥ 0,70**

Metionin (%) 0,345 0,35 0,356 0,361 0,367 ≥ 0,3**

Keterangan: *Kebutuhan berdasarkan Widjastuti, T (1996).

**Zainuddin (2006)

Prosedur pembuatan feed supplement berbasis limbah udang fermentasi dapat dilihat pada

Ilustrasi berikut.

Metode Penelitian

Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian yang dilakukan meliputi beberapa tahap sebagai berikut:

1) Tahap Persiapan penelitian. Persiapan penelitian berupa:

a. Pembersihan kandang, bahan dan alat yang digunakan pada saat penelitian.

Produk Limbah

Udang Bioproses

Suplementasi dengan mineral Se (Selenium)

0,15 ppm (73 ppm dalam

bentuk selenit)

Penambahan Na-Alginat

5% Penggilingan dengan

ukuran partikel 60 mash

Feed Supplement berbasis

limbah udang fermentasi

Page 134: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

126

b. Penyusunan formulasi ransum dan penyediaan bahan pakan yang dibutuhkan selama

penelitian.

c. Pembuatan ransum

1. Menggiling bahan pakan

Menggiling bahan pakan menggunakan hammer mill dengan screen ukuran 5 mm. dalam

proses ini harus diperhatikan dan dijaga agar tidak ada bahan yang terbuang.

2. Penimbangan dan Pencampuran Bahan

a) Menimbang bahan baku yang telah digiling sesuai dengan kebutuhan penelitian.

b) Teknik pencampuran bahan-bahan baku menggunakan mixer.

d. Penyediaan feed supplement berbasis limbah udang fermentasi.

e. Penyediaan jumlah ayam yang dibutuhkan selama penelitian sebanyak 20 ekor ayam sentul

fase develpoer umur 18 minggu

2) Tahap Pelaksanaan penelitian

Ayam dimasukan ke dalam kandang individu (Individual cage) yang sudah di beri kode acak

pada setiap perlakuan dan ulangan dengan jumlah satu ekor ayam tiap unit percobaannya, untuk

menghindari kesalahan saat penelitian, setiap kandang diberi label yang ditempel di depan

kandangnya dengan pelaksanaan penelitian yang dilakukan selama 45 hari.

3) Tahap pengambilan Data

pengambilan sampel darah dilakukan sebanyak 2 kali pada awal dan akhir penelitian dari

masing-masing unit perlakuan melalui vena pectoralis dengan menggunakan jarum suntik. Darah

ditampung dalam tabung yang berisi antikoagulan.

Peubah yang Diamati

Peubah yang diamati dalam penelitian adalah kadar eritrosit dan hemoglobin dengan rumus

secara berturut- turut sebagai berikut:

a) Jumlah Eritrosit. Perhitungan jumlah eritrosit (sel/µL) dilakukan secara otomatis

menggunakan alat hematology analyzer.

b) Kadar Hemoglobin. Perhitungan Kadar hemoglobin (g/dl) dilakukan secara otomatis

menggunakan alat hematology analyzer.

Page 135: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

127

Gambar 1. Hematology analyzer

Penelitian dilakukan dengan metode eksperimental dan menggunakan Rancangan Acak

Lengkap (RAL) dengan 5 macam perlakuan ransum dan diulang sebanyak 4 kali. Data yang diperoleh

dianalisis dengan Anova menggunakan sidik ragam dan perbedaan antar perlakuan diuji

menggunakan Uji Duncan

Hasil dan Pembahasan

Pengaruh Perlakuan terhadap Jumlah Eritrosit

Rataan jumlah eritrosit pada penelitian ayam Sentul yang diberi feed supplement berbasis

limbah udang fermentasi dalam ransum dapat dilihat pada Tabel 2.

Table 2. Rataan jumlah eritrosit dalam darah ayam Sentul (x106/mm

3)

Keterangan: Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan pengaruh antar perlakuan berbeda

nyata (P<0,05)

Berdasarkan data Tabel 2. menunjukkan bahwa penggunaan feed supplement berbasis limbah

udang fermentasi 0%, 0,5%, 1,0%, 1,5%, dan 2,0% dalam ransum memberikan hasil rataan eritrosit

ayam Sentul berkisar antara 2,39-3,09 x 106/mm

3. Kisaran tertinggi terdapat pada perlakuan R4 (3,09

x 106/mm

3) dan terendah pada perlakuan kontrol R0 (2,39 x 10

6/mm

3). Kisaran rataan jumlah eritrosit

yang diperoleh dalam penelitian berada dalam kisaran normal jumlah eritrosit dalam darah ayam lokal

yaitu pada kisaran 2,3-3,5 x 106/mm

3 (Darmawan, 2002). Hal ini menunjukkan bahwa ayam Sentul

yang diberikan pakan yang mengandung feed supplement berbasis limbah udang fermentasi dalam

keadaan sehat dan tidak menggangu fisiologis tubuh ayam.

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penggunaan feed supplement berbasis limbah udang

fermentasi dalam ransum terhadap jumlah eritrosit ayam Sentul memberikan pengaruh nyata

(P<0,05). Hasil uji lanjut menggunakan uji Duncan menunjukkan bahwa penggunaan feed supplement

berbasis limbah udang fermentasi dosis 0,5% (R1), 1,0% (R2) dan 1,5% (R3), dalam ransum tidak

berbeda nyata (P>0,05) dengan ransum kontrol (R0) tetapi berbeda nyata (P<0,05) dengan dosis 2,0%

(R4) terhadap jumlah eritrosit darah ayam Sentul. Penggunaan feed supplement berbasis limbah udang

fermentasi dosis 2,0% (R4) dan 1,5% (R3) tidak berbeda nyata (P>0,05) terhadap jumlah eritrosit

darah ayam Sentul.

Ulangan Perlakuan

R0 R1 R2 R3 R4

………………………..…(x106/mm

3)……………………………

U1 1,85 2,21 2,80 2,79 3,18

U2 2,37 2,48 2,60 2,55 3,03

U3 2,76 2,34 2,72 2,93 3,04

U4 2,56 3,08 2,42 2,67 3,11

Rataan 2,39a

2,53a

2,64a

2,74ab

3,09b

Page 136: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

128

Penggunaan feed supplement berbasis limbah udang fermentasi dapat meningkatkan eritrosit

pada taraf normal dengan perlakuan terbaik didapat pada perlakuan R4 (3,09 x 106/mm

3) dengan nilai

yang berada diluar dari ambang bawah dan ambang atas kisaran normal eritrosit ayam lokal 2,3-3,5 x

106/mm

3 (Darmawan, 2002). Hal ini disebabkan feed supplement yang digunakan mengandung bahan

aktif astaxanthin dan dari penambahan selenium pada proses pembuatannya yang berperan sebagai

antioksidan dapat mencegah terjadinya stres oksidatif sehingga ayam Sentul tetap sehat dan

produktivitas stabil dalam cuaca yang sering berubah-ubah. Hal ini sesuai pendapat Etim dkk (2014)

yang menyebutkan bahwa eritrosit dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, aktivitas, nutrisi, produksi

telur, bangsa, panjang hari, suhu lingkungan dan faktor iklim.

Antioksidan merupakan salah satu sistem pertahanan dalam tubuh. Antioksidan bekerja

dengan beberapa cara antara lain berinteraksi langsung dengan radikal bebas, oksidan, atau oksigen

tunggal, mencegah pembentukan senyawa oksigen reaktif, atau mengubah senyawa reaktif menjadi

kurang reaktif (Winarsi, 2007). Radikal bebas tidak menimbulkan efek negatif pada tubuh bila dalam

kadar seimbang karena tubuh secara alami memproduksi antioksidan yang dapat menetralisir

pengaruh dari radikal bebas yang dapat menyebabkan efek negatif yang disebut stres oksidatif yang

dapat menyebabkan hemolisis pada sel sehingga dapat menurunkan jumlah eritrosit dan menyebabkan

anemia. Winarsi (2007) menyebutkan bahwa pada kondisi stres oksidatif, imbangan normal antara

produksi radikal bebas atau senyawa oksigen reaktif dengan kemampuan antioksidan alami tubuh

untuk mengeliminasinya mengalami gangguan sehingga menggoyahkan rantai reduksi-oksidasi

normal yang menyebabkan kerusakan oksidatif jaringan.

Piliang dan Djojosoebagio (2006) menyatakan bahwa faktor yang dapat mempengaruhi

pembentukan eritrosit adalah kecukupan nutrisi. Penggunaan 2% feed supplement berbasis limbah

udang fermentasi dalam ransum (R4) nyata (P<0,05) meningkatkan jumlah eritrosit darah ayam

Sentul karena unsur-unsur pendukung pembentukan eritrosit dalam jumlah yang cukup, selain itu

adanya bahan aktif astaxanthin dan selenium (dalam proses pembuatannya) sebagai antioksidan yang

dapat mempertahankan dari kerusakan sel yang dapat disebabkan oleh radikal bebas.

Pengaruh Perlakuan terhadap Kadar Hemoglobin

Rataan kadar hemoglobin pada penelitian ayam Sentul yang diberi feed supplement berbasis

limbah udang fermentasi dalam ransum dapat dilihat pada Tabel 3

Page 137: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

129

Table 3. Rataan kadar hemoglobin dalam darah ayam Sentul (g/dL)

Keterangan: Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan pengaruh antar perlakuan berbeda

nyata (P<0,05)

Berdasarkan data Tabel 3. menunjukkan bahwa penggunaan feed supplement berbasis limbah

udang fermentasi 0%, 0,5%, 1,0%, 1,5%, dan 2,0% dalam ransum memberikan hasil rataan kadar

hemoglobin ayam Sentul berkisar antara 11,52-14,34 g/dL. Kisaran tertinggi terdapat pada perlakuan

R4 (14,34 g/dL) dan terendah pada perlakuan kontrol R0 (11,52 g/dL). Kisaran rataan kadar

hemoglobin yang diperoleh dalam penelitian lebih tinggi dari kisaran normal. Darmawan (2002)

mengemukakan bahwa kisaran normal kadar hemoglobin dalam darah ayam berada pada kisaran 7,0-

13,0 g/100ml.

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penggunaan feed supplement berbasis limbah udang

fermentasi dalam ransum terhadap kadar hemoglobin ayam Sentul memberikan pengaruh nyata

(P<0,05). Hasil uji lanjut menggunakan uji Duncan menunjukkan bahwa penggunaan feed supplement

berbasis limbah udang fermentasi dosis 0,5% (R1), 1,0%

(R2), 1,5% (R3), dan 2,0% (R4) dalam ransum berbeda nyata (P<0,05) dengan ransum kontrol (R0),

namun antar perlakuan tidak berbeda nyata (P>0,05) terhadap kadar hemoglobin darah ayam Sentul.

Kenaikan kadar hemoglobin berkolerasi positif dengan kenaikan jumlah eritrosit, semakin

tinggi jumlah eritrosit maka semakin tinggi juga kenaikan kadar hemoglobin. Menurut Schalm (2010)

kadar hemoglobin dipengaruhi oleh kadar oksigen dan jumlah eritrosit sehingga ada kecenderungan

jika jumlah eritrosit rendah, maka kadar hemoglobin akan rendah dan jika oksigen dalam darah

rendah, maka tubuh terangsang meningkatkan produksi eritrosit dan hemoglobin.

Kenaikan kadar hemoglobin yang melebihi kisaran normal disebabkan kurangnya oksigen

karena ventilasi udara yang kurang baik pada kandang penelitian dan dipengaruhi juga oleh

ketinggian tempat pemeliharaan ayam Sentul. Menurut Guyton dan Hall (2006), kondisi darah yang

mengandung oksigen sedikit menyebabkan kenaikan produksi hemoglobin. Kenaikan metabolisme

tubuh juga dapat meningkatkan kadar hemoglobin. Andi Mushawwir (2005) menyebutkan bahwa

ketika laju glukoneogenesis meningkat untuk pemenuhan energi (sebagai dampak peningkatan THI)

maka asam-asam amino pembentuk hemoglobin (terutama glisin dan methionine) selain terlibat dalam

lintasan siklus krebs untuk sintesis energi, juga dapat memenuhi prekursor pembentukan heme sebagai

komponen hemoglobin.

Ulangan Perlakuan

R0 R1 R2 R3 R4

………………………………(g/dL)……………………………...

U1 9,78 14,98 14,80 14,28 14,80

U2 11,16 13,15 12,10 14,03 14,05

U3 12,77 12,73 15,45 13,38 14,95

U4 12,37 12,50 13,15 14,90 13,58

Rataan 11,52a

13,34b

13,88 b

14,14 b

14,34 b

Page 138: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

130

Kadar hemoglobin yang melebihi kisaran normal dapat disebabkan kandungan mineral besi

(Fe) yang berlebih. Menurut Murtini (2009), menyatakan sintesis hemoglobin dipengaruhi oleh

keberadaan zat gizi dalam pakan, seperti keberadaan Fe dan protein. Mineral Fe sangat berperan

dalam pembentukan hemoglobin. Menurut Parulian (2009), kelebihan mineral Fe bisa menyebabkan

keracunan dimana terjadi kerusakan usus, diabetes, infeksi, mudah gelisah dan gangguan penyerapan

vitamin.

Penggunaan feed supplement berbasis limbah udang fermentasi pada taraf 0,5% dalam

ransum sudah efektif dalam meningkatkan kadar hemoglobin darah ayam Sentul walaupun sedikit

melebihi kisaran normal. Wirakusumah (1999) berpendapat bahwa konsumsi Fe yang berlebih,

sebagian akan disimpan dalam stroma sumsum tulang sebagai ferritin dan sebagian akan dipakai

untuk keperluan metabolik.

Ayam yang sehat cenderung terus meningkatkan metabolisme tubuhnya agar kecukupan

energi untuk kelangsungan hidup dan produksinya tetap berlangsung. Feed supplement berbasis

limbah udang fermentasi yang memiliki kandungan bioaktif astaxanthin dan selenium (pada proses

pembuatanya) berperan sebagai antioksidan yang dapat melindungi hemoglobin dari oksidasi

(Chattopadhyay dkk., 2004). Meyer dan Harvey (2004) menyebutkan bahwa reaksi oksidatif dapat

merusak hemoglobin, enzim (terutama kelompok sulfhidril), dan lipid membran. Kerusakan oksidatif

membran juga dapat mengakibatkan hemolisis intravaskular atau eritrofagositosis dan pemendekan

masa hidup eritrosit.

Kesimpulan

Penggunaaan feed supplement berbasis limbah udang fermentasi dalam ransum memberikan

pengaruh terhadap jumlah eritrosit dan kadar hemoglobin darah ayam Sentul yang optimal pada taraf

2,0% terhadap jumlah eritrosit dan 0,5% terhadap kadar hemoglobin darah ayam Sentul. Feed

supplement berbasis limbah udang fermentasi dapat digunakan pada tingkat 0,5-2,0% dalam formula

ransum untuk meningkatkan jumlah eritrosit dan kadar hemoglobin darah ayam Sentul fase developer.

Ucapan Terima Kasih

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Abun, M.P. yang telah memberikan

kesempatan untuk turut serta dalam riset Insentif Sistem Inovasi Nasional (INSINAS) dan telah

memberikan fasilitas selama penelitian dilakukan.

Daftar Pustaka

Andi Mushawwir. 2005. Kondisi Hematologik Ayam Ras Pedaging yang Dipelihara dengan

Menggunakan Pemanas Induk Buatan yang Berbeda dan Penambahan Ferro Sulfat

(FeSO4).Thesis. Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung.

Page 139: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

131

Andriani, L., N. Indrayati, D. Rusmana, E. Hernawan, A. Rochana. 2017. Effect of Noni (Morinda

citrifolia) Fruit Flour on Antioxidant Status and Hematological Indices of Laying Japanese

Quail. International Journal of Poultry Science. Volume 16 (3): 93-97.

Chattopadhyay, I., K. Biswaws, U. Bandyopadhyay, R. K. Banarjee. 2004. Turmeric and curcumin:

Biological actions and medicinal applications. J. Current Science. 87:44-53.

Dharmawan, N. S. 2002. Pengantar Patologi Klinik Veteriner (Hematologi Klinik). Pelawasari.

Denpasar.

Etim, N., E. Enyinihi, U. Akpabio, Edem. 2014. Effects of nutrition on haemotology of rabbits: A

review. J. European Sci. 10 (3): 413-423.

Guyton AC, JE. Hall. 2006. Textbook of Medical Physiology. Pennsylvania: Elsevier Inc

Meyer, D. J. dan J. W. Harvey. 2004. Veterinary Laboratory Medicine Interpretation rd & Diagnosis.

3 ed. Saunders, USA.

Murtini, S., I. Rahayu, dan I. Yuanita. 2009. Status Kesehatan Ayam Pedaging yang Diberi Ransum

Mengandung Ampas Buah Merah. Seminar Nasional Teknologi Peternakan danVeteriner.

Parulian, Alwin. 2009. Monitoring dan Analisis Kadar Aluminium (Al) dan Besi (Fe) Pada

Pengolahan Air Minum PDAM Tirtanadi Sunggal. Pascasarjana – Universitas

SumateraUtara(USU).Medan.

Piliang, W. G., dan S. Djojosoebagio. 2006. Fisiologi Nutrisi. Volume ke-2. IPB Pr. Bogor.

Schalm, O. W. 2010. Vetenary Hematology. 6nd Edition.Lea and Febriger, Phidelpia.

Selim, N. A., S. F. Youssef, A. F. Abdel-Salam, Sh. A. Nada. 2013. Evaluation of Some Natural

Antioxidant Sources in Broiler Diets: 1-Effect on Growth, Physiological, Microbiological and

Immunological Performance of Broiler Chicks. International Journal of Poultry Science.

Volume 12 (10): 561-571.

Widjastuti, T. 1996. Penetuan Efisiensi Penggunaan Protein, Kebutuhan Protein dan Energi Untuk

Pertumbuhan dan Produksi Telur Ayam Sentul pada Kandang Sistem Cage dan Sistem Litter.

Disertasi, Universitas Padjadjaran, Bandung.

Winarsi, H. 2007. Antioksidan Alami dan Radikal Bebas. Yogyakarta: Kanisius. Hal. 189-90

Wirakusumah, E. S. 1999. Perencanaan Menu Anemia Gizi Besi. PT. Pustaka Pembangunan Swadaya

Nusantara. Jakarta.

Zainuddin, D. 2006. Teknik Penyusunan Ransum dan Kebutuhan Gizi Ayam Lokal. Materi Pelatihan

Teknologi Budidaya Ayam Lokal dan Itik. Kerjasama Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat

dengan Balai Penelitian Ternak, Bogor.

Page 140: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

132

Pengaruh Pemberian Beberapa Jenis Pupuk Kandang Terhadap Produksi dan Kualitas

Rumput Millet (Pennisetum glaucum L.) Sebagai Sumber Hijauan Pakan Ternak

Sajimin1, A. Fanindi

1, I. Herdiawan

1 dan Soeharsono

1

1Balai Penelitian Ternak Jl. Veteran III Banjarwaru Ciawi Bogor

*Korespondensi: [email protected]

Abstrak

Penelitian produksi dan kualitas millet (Pennisetum glaucum L) untuk sumber pakan ternak telah

dilakukan di rumah kaca Balitnak. Percobaan dilakukan dengan rancangan acak kelompok dengan 10

ulangan. Perlakuan percobaan menggunakan pupuk organik dari kotoran sapi, ayam, kelinci masing-

masing 10 % dicampur saat pengisian tanah kering 15 kg berasal dari kebun percobaan Ciawi.

Penggunaan pupuk kimia urea 5 gram + TSP 2,5 gram dan KCl 2,5 gram diberikan setelah tanaman

tumbuh umur 2 minggu. Parameter yang diamati meliputi tinggi tanaman, tunas, produksi hijauan

segar dan kering serta diakhir percobaan dianalisa proksimat proterin kasar, NDF, ADF dan kecernaan

bakan kering dan bahan organik. Hasil penelitian penggunaan pupuk kandang rata lebih tinggi dari

penggunaan pupuk kimia. Pemberian pupuk kelinci menghasilkan produksi hijauan tertinggi (66.03

g/tanaman) dibanding pupuk kimia (29.91 g/tanaman). Kualitas hijauan penggunaan pupuk kandang

ayam kandungan protein kasar tertinggi 15,1 %, NDF 58,43 % dan ADF 35,46% dengan kecernaan

invitro bahan kering 82,68 % dan kecernaan bahan organik 80,30%. Hasil penelitian disimpulkan

P.glaucum untuk sumber pakan ternak penggunaan pupuk organik menghasilkan kualitas nyata lebih

tinggi P<0.05 dari pupuk kimia.

Kata kunci: Pennistum glaucum, pupuk kandang, kualitas, produksi hijauan

Pendahuluan

Peningkatan produksi ternak ruminansia diperlukan hijauan pakan yang cukup sepanjang

tahun. Pengembangan tanaman pakan ternak di Indonesia belum menjadi prioritas dan umumnya

ditanam di lahan marginal yang tidak digunakan untuk tanaman pangan. Sejalan dengan peningkatan

populasi ternak ruminansia untuk memenuhi kebutuhan protein hewani perlu diiringi ketersediaan

hijauan pakan.

Hijauan pakan ternak di Indonesia telah berkembang dan dikenal petani adalah jenis rumput

gajah, rumput raja (Pennisetum purpureum, P.purpureophoides). Produksi bahan kering hijauan

mencapai 40 -110 ton/ha/th (Siregar, 1989). Produksi di Thailand mencapai 71,4 ton/ha/th (witjiphan

et al, 2009). Produktivitas yang tinggi tersebut di Indonesia diketahui masih ada beberapa kelemahan

seperti porsi batang lebih tinggi dengan serat kasar 31,6 – 35,7 %, kadar air hijauan 80 - 90 %

sehingga mengalami kesulitan saat pengeringan (Siregar, 1991 dan Sajimin et al, 2004). Selain itu

rumput tersebut tidak toleran kekeringan dan sagat peka pada kesuburan tanah.

Populasi ternak di Indonesia tertinggi di lahan kering sehingga perlu diupayakan jenis

tanaman pakan ternak yang mendekati rumput gajah/raja yang dapat tumbuh diberbagai agroklimat,

toleran kekeringan salah satunya Pennisetum glaucum (millet).

Millet (P.glaucum) adalah salah satu jenis tanaman hijauan pakan ternak tumbuhnya tegak,

tahan pangkas dan kekeringan karena kebutuhan airnya yang relatif rendah dibandingkan tanaman

Page 141: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

133

lain (Sheahan, 2014 dan Rostamza et al., 2011), produksi biomassa yang tinggi pada kondisi stres

pada curah hujan rata-rata 200 mm/th (Ibrahim et al., 2015). Produksi bahan kering millet per panen

di Brasil dapat mencapai 3,2 – 4,3 ton/ha (Kollet et al, 2006). Millet di negara-negara Afrika dan Asia

telah banyak digunakan untuk produksi biji-bijian kemampuan tumbuh didaerah kering (Morales et al.

2015). Dari hasil penelitian tersebut rumput millet memiliki potensi besar untuk sumber hijauan pakan

di daerah kering/tidak subur seperti di Indonesia.

Peningkatan produksi hijauan tanaman memerlukan pemupukan untuk memenuhi unsur-unsur

hara yang kurang ( Zahroh et al, 2016). Penggunaan pupuk kimia seperti urea, TSp, KCl dapat

meningkatkan produksi dan mudah penggunaannya sehingga petani umumnya memupuk tanaman

berlebihan. Menurut Karama et al (1991) penggunaan urea mencapai 400 – 600 kg/ha pada padi

sawah. Kemudian Siregar (1991) rumput gajah dipupuk yang digunakan urea 900 kg/ha/tahun,TSP

500 kg dan KCl 500 kg/ha/th. Penggunaan pupuk kimia yang berlebihan mengakibatkan pencemaran

lingkungan seperti degradasi tanah, polusi lingkungan (Tisdale et al 1985). Pupuk kimia yang

diberikan tidak dapat dimanfaatkan tanaman karena beberapa unsur menguap, terlindi, termobilisasi

sehingga tidak tersedia bagi tanaman maka peningkatan hasil dari penggunaan pupuk tidak seimbang

dan tidak efisien. Menurut Jacobs (1990) penggunaan N berlebihan akibatkan pencemaran NO3-N

diperairan. Kemudian Jo (1990) penggunaan P dalam jangka panjang akan membentuk lapisan padat

(cementing)di lapisan tanah bajak.

Penggunaan pupuk organik akhir-akhir ini semakin menguat karena kesadaran akan masalah

lingkungan hidup dan dampaknya pada lingkungan. Pupuk kandang dari ternak sapi, domba, kelinci,

dan ayam memiliki kandungan nitrogen dan potassium yang baik untuk dimanfaatkan sebagai pupuk

kandang untuk meningkatkan produksi tanaman (Sajimin, 2004). Jenis pupuk kandang tersebut

memiliki respon yang berbeda terhadap tanaman. Pemupukan tanaman yang efektif memenuhi syarat

kuntitatif dan kulitatif terutama dosis dan unsur hara yang diberikan relevan yang dapat diserap

tanaman untuk meningkatkan produksi dan kualitasnya.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh beberapa jenis pupuk organic dari ternak

sapi, kelinci dan ayam yang optimal terhadap produksi dan kualitas hijauan rumput millet

(P.glaucum).

Materi dan Metode

Penelitian dilakukan dirumah kaca Balitnak Ciawi Bogor pada ketinggian tempat 500 m dpl

dengan suhu maximum 28,8 0C dan minimum 25,1

0C. Bahan penelitian menggunakan tanah kering

dari Kp Ciawi termasuk tanah ultisol sebanyak 15 kg/pot yang dicampur dengan pupuk organik dari

kotoran sapi, kelinci, ayam. Pemberian pupuk 10 % dari berat tanah yang diberikan saat pengisian

tanah. Sebelum penelitian tanah dilakukan analisa tanah yaitu: pH 5,28; kandungan P2O5 99 mg/100

g; K2O 8,75 mg/100 g; Ca 7,01mg/100 g dan C/N rasio 9,27. Kandungan hara pupuk kandang (Tabel

1).

Page 142: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

134

Tabel 1. Kandungan unsur hara tiga jenis pupuk kandang

Jenis pupuk Persentase (%) kandungan unsur hara

N P K Ca Mg S

Kelinci 2.62 2.46 1.86 2.08 0.49 0.39

Ayam 5.00 3.00 1.50 4.00 1.00 2.00

Sapi 2.45 1.13 3.50 1.47 0.76 0.52

Benih millet yang digunakan berasal dari peternakan Tapos-Bogor dan diperbanyak di

Balitnak bagian Agrostology. tiap pot ditanam 3 biji dan setelah tumbuh ditinggalkan satu tanaman

dan umur satu bulan dilakukan pemankasan (trimming). Setelah tanaman berbunga 50 % dipotong

untuk pengukuran produksi hijauan umur satu bulan.

Rancangan percobaan acak kelompok dengan empat perlakuan 1) penggunaan pupuk kimia 5

gram Urea), 2,5 gram (TSp), 2,5 gram KCl)/pot; 2) penggunaan pupuk ayam 10 %; 3) penggunaan

pupuk kelinci 10 % dan 4). Penggunaan pupuk sapi 10 %. masing-masing perlakuan 10 ulangan.

Parameter yang diamati jumlah tunas, tinggi tanaman dan produksi hijauan segar dan kering

serta analisa kualitas hijauan akhir percobaan meliputi protein kasar,NDF, ADF dan kecernaan bahan

kering dan bahan organik. Data dianalisa dengan uji beda nyata terkecil (Gomez and Gomez, 1983).

Hasil dan Pembahasan

Tinggi tanaman

Hasil pengamatan rumput P.glaucum (millet) untuk pakan ternak dengan pemberian pupuk

kandang yang berbeda seperti pada Tabel 3

Tabel 3. Rataan tinggi dan jumlah tunas per rumpun tanaman millet dengan pemupukan tiga jenis

pupuk kandang di Ciawi Bogor

Perlakuan Tinggi (cm) Tunas/rumpun

Pupuk kimia 94.96b 1.88

b

Pupuk ayam 89.68b 2.14

b

Pupuk kelinci 116.12a 3.13

a

Pupuk sapi 81.89b 1.50

b

Angka yang diikuti huruf sama dalam kolom sama tidak berbeda nyata P<0,05

Tabel 3 terlihat pengaruh pada tinggi dan tunas tanaman rumput millet dengan pemberian

pupuk kandang berpengaruh nyata (P<0,05). Pertumbuhan tertinggi pada perlakuan penggunaan

Page 143: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

135

pupuk kandang kelinci rata-rata 116,12 cm; kemudian diikuti pupuk kimia 94,96 cm, pupuk ayam

89,68 cm dan terendah pupuk sapi 81,89 cm. perbedaan disebabkan pengaruh kandungan hara tiap

jenis yang berbeda. Tinggi tanaman hasil penelitian lebih tinggi dari yang dilaporkan Shanableh et al

(2016) rumput millet di Palestine 49 – 70 cm. menurut Brambaiah et al (2018) peningkatan jumlah

tunas dengan N yang lebih tinggi pada pupuk kelinci. Hal ini peran nitrogen dalam sintesis sitokinin

yang meningkatkan pembelahandan pemanjangan sel, sehingga menghasilkan jumlah anakan yang

lebih tinggi. Sedangkan jumlah tunas tertinggi penggunaan pupuk kelinci 3,13, kemudian diikuti

pupuk ayam 2,14 pupuk kima 1.88 dan terendah pupuk sapi 1,5. Jika dibandingkan jumlah per

rumpun penggunaan pupuk organik dari kelinci memberikan hasil pertumbuhan dan jumlah tunas

yang tertinggi. Perbedaan tinggi dan tunas tiap perlakuan juga kandungan unsur hara yang berbeda.

Unsur N yang tinggi merupakan unsur yang paling berperan pada laju pertumbuhan tinggi tanaman.

Sutedjo (2010), menyatakan nitrogen merupakan unsur hara utama bagi pertumbuhan tanaman, yang

pada umumnya sangat diperlukan untuk pembentukan bagian-bagian vegetative tanaman, seperti

daun, batang dan akar. tetapi kalau terlalu banyak dapat menghambat pembungaan dan pembuahan

pada tanamannya. Pengaruh jenis pupuk juga terlihat dari hasil pengukuran produksi (Tabel 4).

Tabel 4. Rataan berat segar dan berat kering per panen rumpet millet (gram) dengan pemupukan tiga

jenis pupuk kandang di Ciawi Bogor

Perlakuan Berat segar (gram) Berat kering (gram)

Pupuk kimia 29.91c 5.03

c

Pupuk ayam 40.83b 7.40

b

Pupuk kelinci 66.03a 11.09

a

Pupuk sapi 19.21c 3.04

c

Angka yang diikuti huruf sama dalam kolom sama tidak berbeda nyata P<0,05

Pada Tabel 4 memperlihatkan produksi berat segar maupun berat kering rumput millet yang

diberi pupuk kelinci tertinggi (66,03 gram/rumpun), kemudian diikuti pupuk ayam (40,83

gram/rumpun), pupuk kimia (29,91 gram/rumpun) dan terendah pupuk sapi (19,21 gram/rumpun).

Hasil penelitian ini nampaknya jenis pupuk kandang berpengaruh nyata terhadap produksi hijauan

secara significant (P<0,05) dengan produksi lebih tinggi 40 % dari penggunaan pupuk kimia. Kecuali

pupuk sapi yang terendah kandunan haram aka produksi maupun tunas per rumpun juga rendah.

Perbedaan produksi dengan perlakuan pemberian pupuk organik yang berbeda disebabkan hasil

analisa unsur hara yang berbeda terutama N dan P di pupuk kelinci lebih tinggi dari jenis lainnya.

Hasil yang sama juga dilaporkan Sajimin et al (2011) penggunaan pupuk kelinci mendapatkan hasil

hijauan rumput P.maximum cv Riversdale lebih tinggi dari penggunaan pupuk sapi. Menurut

Bramhaiah et al (2018) peningkatan hijauan dengan peningkatan nitrogen berkorelasi posistif yang

lebih tinggi.

Page 144: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

136

Hasil penelitian dengan penggunaan pupuk kimia maupun pupuk ayam yang kandungan N

lebih tinggi dari pada pupuk kelinci dan sapi. Nampaknya N yang lebih tinggi tidak dimanfaatkan

semua untuk pertumbuhan rumput millet untuk mencapai efisiensi pemupukan yang optimal, pupuk

harus diberikan dalam jumlah yang mencukupi kebutuhan pertumbuhan tanaman. Pemberian pupuk

berlebihan dapat mengakibatkan keracunan pada tanaman yang tidak dapat dimanfaatkan oleh

tanaman. Sebaliknya jika terlalu sedikit pengaruh pemupukan pada tanaman mungkin tidak akan

tampak. Menurut Dwidjoseputro (1997) suatu tanaman kekurangan unsur hara laju pertumbuhan

tanaman terhamat dan tidak optimal.

Kualitas hijauan

Hasil analisa kualitas hijauan pada rumput millet menjelang berbunga seperti pada Tabel 5.

Tabel 5. Hasil analisa kandungan protein kasar, NDF, ADF dan kecernaan bahan kering, bahan

organik umur 2 bulan rumput millet

Perlakuan protein kasar g/100 NDF

g/100

ADF

g/100 KCBK (%) KCBO (%)

Pupuk kimia 14.34 62.45 38.57 76.49 72.36

Pupuk ayam 15.10 58.14 35.46 82.68 80.30

Pupuk kelinci 12.12 58.43 35.37 82.38 80.63

Pupuk sapi 13.67 59.52 35.74 86.69 85.41

PK: protein kasar, NDF: netral detergent fiber, ADF: Acid detergent fiber, KCBK: Kecernaan bahan kering,

KCBO: Kecernaan bahan organik

Tabel 5 terlihat kandungan protein kasar tertinggi pada rumput millet yang diberi pupuk ayam

(15,10 %) kemudian pemberian pupuk kimia (14,34 %), pupuk sapi 13,67 % dan terendah pemberian

pupuk kelinci 12,12 %. Kemudian kandungan NDF dan ADF berturut-turut 38,57 % dan 38,57 %

pada penggunaan pupuk kimia tertinggi daripada penggunaan pupuk kandang NDF dan ADF berturut-

turut tertinggi 59,52 % dan 35,74 %. Pemberian pupuk kandang dengan unsur hara yang tinggi

menyebabkan tanaman terpenuhi kebutuhan hara sehingga kualitas lebih tinggi. Hal yang sama juga

dilaporkan Namihira et al (2011) pada rumput P.maximum cv Gatton yang diberi pupuk dengan N

lebih tinggi maka kandungan proteinnya lebih tinggi dibanding dengan diberi pupuk N lebih rendah.

Kemudian Syam (2015) bahwa turunnya kandungan ADF disebabkan karna semakin tingginya

pemupukan dan pemberian unsur hara, sehingga membantu sistem perakaran dan penyerapan air yang

baik pada tanaman dengan demikian proses lignifikasi menjadi terhambat. Hasil penelitian rumput

millet ini kecernaan lebih tinggi dari yang dilaporkan Arora et al (1977) kualitas milet dilaporkan

bahan kering hijauan (15,2 - 28,5%), protein kasar (3,5 - 6%), NDF (60,3 - 64,5%), ADF (37,1 - 41%)

dan kecernaan bahan kering in-vitro 53,9 - 68,7% .

Penggunaan pupuk kimia kecernaannya terendah hal ini kandungan ADF 62,45 % dan ADF

Page 145: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

137

38,57 % yang tertinggi dibanding perlakuan pupuk kandang NDF 58,14 -59,52 %, ADF 35,46 –

55,74. Menurut Suparjo (2010) rendahnya kecernaan karena kandungan NDF tinggi dengan dinding

sel yang terdiri dari lignin, selulosa, hemiselulosa sehingga ternak ruminansia dengan kemampuan

pemanfaatan serat yang kecil. Selanjutnya Tillman et al (1989), dan Sudirman dkk., 2015

mengemukakan daya cerna yang rendah bahan pakan hijauan kandungan ADF dan NDF. Penurunan

kadar NDF disebabkan karena meningkatnya lignin pada tanaman mengakibatkan menurunnya

hemiselulosa. Tingginya kadar lignin menyebabkan mikroba tidak mampu mengurai hemiselulosa dan

selulosa secara sempurna.

Kesimpulan dan Saran

Hasil penelitian ini disimpulkan bahwa P.glaucum (rumput millet) dengan pemberian pupuk

kandang rata-rata produksi hijauan lebih tinggi 40 % dari penggunaan pupuk kimia. Kualitas hijauan

dengan kandungan protein kasar tertinggi pupuk ayam 15,10 %. Kecernaan bahan kering penggunaan

pupuk kandang tertinggi 86,69 % dan bahan organic 85,41 % sedangkan pupuk kimia kecernaan

bahan kering 76,49 % dan kecernaan bahan organic 72,36 %. Kandungan NDF dan ADF pada kimia

berturut 62,45 % dan ADF 38,57 % lebih tinggi dari penggunaan pupuk kandang 58,14 % dan 35,46

%.

Daftar Pustaka

Arora SP. 1989. Pencernaan Mikroba pada Ruminansia. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Bramhaiah U, Chandrika V, Nagavani AV , Latha P. 2018. Performance of fodder pearl millet

(Pennisetum glaucum L.) varieties under different nitrogen levels in southern agro- climatic

zone of Andhra Pradesh. Journal of Pharmacognosy and Phytochemistry. vol 7(2): 825-827

Dwidjosaputro. 1997. Pengantar Fisiologi Tumbuhan. PT. Gramedia. Jakarta. Hlm 232.

Gomez KA, Gomez AA. 1983. Statistical procedur for Agricultural Research. 2nd

edition. IRRI. John

Wiley and Sons New York.

Ibrahim HIM, Hassanen SAA, Hassan EA. 2015. Performance of Forage Millet in Response to

Different Combinations of Organic-, Inorganic- and Bio- Fertilizers. World Journal of

Agricultural Sciences 11 (6): 423-431, Forage Crops Research Department,Field Crops

Research Institute, Agricultural Research Center, Giza, Egypt

Jacobs LW. 1990. Potential hazards when using organic materials fertilizers for crop production.

Paper presented at Seminar on The use of organic fertilizer in crop production at soweon.

South Korea. 18 – 24 June 1990.

Jo LS. 1990. Effect of fertilizer on soil physical properties and plant growth. Paper presented at

Seminar on The use of organic fertilizer in crop production at soweon. South Korea. 18 – 24

June 1990.

Karama AS, Marzuki AR, Manwan I. 1991. Penggunaan pupuk organic pada tanaman pangan. Pros.

Lokakarya Nasional Efiiensi penggunaan pupuk V. Cisarua 12 -13 September 1990.

Puslitanak. Bogor. Hal: 305 – 464.

Kollet JL, J. M. da Silva Diogo dan GG. Leite 2006. Forage yield and chemical composition of pearl

millet varieties (Pennisetum glaucum (L.) R. BR.). Revista Brasileira de Zootecnia Sociedade

Brasileira de Zootecnia. v.35, n.4, p.1308-1315.

Morales JU, Hernández Alatorre JA, Nieto CAR, Becerra JFC. 2015.Forage production and

nutritional content of silage from three varieties of pearl millet (Pennisetum glaucum)

harvested at two maturity stages. Journal of Animal &Plant Sciences. Vol.27 (1): 4161- 4169.

Page 146: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

138

Namihira T, Shizako N, Akmine H, Nakamura I, Maekawa H, Kawamoto Y, Matsui. 2011. The effect

of nitrogen fertilizer to the sward on guinea grass silage fermentation. Asian-Australia.J.

Anim.Sci. VoL 24 (3): 358 – 363.

Nuryani E, Haryono G, Historiawati. 2019. pengaruh dosis dan saat pemberian pupuk p terhadap hasil

tanaman buncis (phaseolus vulgaris, l.) tipe tegak. vigor: jurnal Ilmu Pertanian Tropika dan

Subtropika 4 (1): 14 – 17.

Rostamza M, Chaichi M, Jahansouz M, Alimadadi, A (2011). Forage quality, water use and nitrogen

utilization effeciencies of pearl millet (Pennisetum amercanum L.) grown under different soil

moisture and nitrogen levels. Agricultural Water Management, 98: 1607-1614.

Sajimin, YC. Rahardjo dan ND Purwantari. 2004. Evaluasi produksi tanamana pakan ternak

P.maximum cv Riversdale dengan penggunaan manure kelinci. Makalah dibawakan pada

semnas Klinik Teknologi Pertanian sebagai basis pertumbuhan usaha agribisnis menuju petani

nelayan mandiri. BPTP Sulut Manado. 9 – 10 Juni 2004.

Sajimin, Rahardjo YC, Fanindi A. 2011. Penggunaan beberapa jenis pupuk organic untuk peningkatan

produki hijauan rumput P.maximum cv Riversdale di Bogor. Pros. Semiloka Nasional. BPTP

Jawa Tengah dan Undip. 866 – 871.

Shanableh R, Qaoud AH, Myzied N, Shtaya MJ, 2016. Forage yield of pearl millet (Pennisetum

glaucum) under different water quality and accessions. Indian J. Agric. Res., 50 (3): 264-

267

Sheahan CM 2014. Plant guide for pearl millet (Pennisetum glaucum). USDA-Natural Resources

Conservation Service, Cape May Plant Materials Center, Cape May, NJ. Published 08/2014.

Siregar ME 1989. Produksi hijauan dan nilai nutrisi tiga jenis rumput Pennisetum dengan system

potong ankut. Prosiding Pertemuan Ilmiah Ruminansia. Puslitbangnak Bogor. P:1-4.

Siregar ME. 1991. Kebutuhan pupuk untuk pengembangam tanaman makanan ternak. Prosiding

lokakarya Nasional Efisiensi penggunaan pupuk IV. Puslitanak. Bogor.

Sudirman, Suhubdy, S. D. Hasan, S. H. Dilaga, dan I. W. Karda. 2015. Kandungan Neutral Detergent

Fibre (NDF) dan Acid Detergent Fibre (ADF) bahan pakan lokal ternak sapi yang dipelihara

pada kandang kelompok. Jurnal Ilmu dan Teknologi Peternakan Indonesia. 1(1):66- 70.

Suparjo. 2010. Analisis Bahan Pakan Secara Kimiawi: Analisis Proksimat dan Analisis Serat.

Labolatorium Makanan Ternak. Fakultas Peternakan. Universitas Jambi.

Sutejo, M. M. 1990. Pupuk dan Cara Pemupukan. Rhineka Cipta. Jakarta.

Syam, N. 2015. Pengaruh pemberian pupuk hijau cair kihujan (Samanea saman) dan azolla (Azolla

pinnata) terhadap kandungan NDF dan ADF pada rumput signal (Brachiaria decumbens).

Skripsi. Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin. Makassar.

Tillman, A. D., H. Hartadi, S. Reksohadiprodjo, S. Prawirokusumo dan S. Lebdosoekojo. 1989. Ilmu

Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Tisdale, SL, Nelson WL dan JD Beaton. 1985. Soil fertility and fertilizers (4th

Edition). Macmillan

Publishing Company. New York USA.

Wijitphan,S., P.lorwilai and C. Arkaseang. 2009. Effect of cutting heights on prodctivity and quality

of King Napier Grass under irrigation. Pakistan Jurnal Nutr., 8: 1244 – 1250.

Zuhroh, F. Muizzudin, Chamisijati,L. 2016. Pengaruh Jenis dan Dosi Pupu kandang terhadap tinggi

tanaman, luas daun dan berat basah rumput gajah odot (Pennisetum purpureum cv Mott).

Pros. Semnas II. Fakultas Biologi dan pusat Studi Lingkungan Universitas Muhammadiyah

Malang. Malang 26 Maret 2016.

Page 147: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

139

Peningkatan Kualitas Beras Siger Berbasis Teknologi ASUH

(Aman, Sehat, Utuh, dan Halal)

Quality Improvement of Siger Rice Based on ASUH Technology

(Safe, Healthy, Whole, And Halal)

Suraya Kaffi Syahpura

1), Zulfahmi

2)

1)Jurusan Peternakan Politeknik Negeri Lampung, Jalan Soekarno-Hatta no 10 Rajabasa Bandar Lampung-

Lampung 35144 2)

Jurusan Teknologi Pertanian Politeknik Negeri Lampun, Jalan Soekarno

Hatta no 10 Rajabasa Bandar Lampung-Lampung 35144

Email: [email protected]

Abstrak

Pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional. Dalam rangka

mengatasi problematika pembangunan daerah dan tertuang dalam Rencana Pembangunann Jangka

Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Lampung Timur Tahun 2014-2019, dan sinergi dengan

Program Strategis Provinsi Lampung dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah

(RPJMD) Provinsi Lampung, yang salah satu programnya Ketahanan Pangan yaitu meningkatkan

produksi Beras Siger. Salah satu program yang di upayakan untuk meningkatkan produksi dengan

kualitas dan kuantitas yang ASUH (Aman, Sehat, Utuh, dan Halal) adalah dilakukannya transfer ilmu

dari perguruan tinggi sebagai lembaga pendidikan dan pengadaan fasilitas produksi yang memadai

meliputi sarana dan prasarana (alat teknologi mesin) sederhana dan dapat dimanfaatkan oleh

kelompok tani, usaha yang sudah ada selama ini dari segi kualitas dan kuantitas produksi masih

dibawah standar seharusnya. Beras siger adalah produk beras analog berbahan baku singkong yang

mengadopsi proses pembuatan tiwul yang telah dimodifikasi dengan sentuhan teknologi, warna lebih

cerah, bentuk yang lebih seragam, serta bersifat instan (siap saji). Proses pengolahan beras siger

direkayasa pada tahap penyiapan tepung dengan cara mempersingkat waktu pengeringannya sehingga

menghasilkan warna yang cerah. Sedangkan bentuk yang lebih seragam direkayasa melalui

penggunaan alat pembentuk butiran (granulator). Beras siger memiliki sifat fungsional dapat

mencegah terjadinya obesitas dan pengendali diabetes mellitus.

Kata kunci: Beras Siger, ASUH, Diabetes mellitus

Abstract

Regional development is an integral part of national development. In order to overcome the problems

of regional development and embodiment in the Regional Medium-Term Development Plan (RPJMD)

of East Lampung in 2014-2019, and synergy with the Lampung Provincial Strategic Program in the

Lampung Province Regional Medium-Term Development Plan (RPJMD), one of the programs is

Food Security namely increasing production of Siger Rice. One program that can be strived to

increase production with quality and quantity ASUH (Safe, Healthy, Whole, and Halal) is the transfer

of knowledge from institutions as educational institutions and procurement of adequate production

facilities including facilities and infrastructure (machine technology tools ) is simple and can be

utilized by farmer groups, whose businesses are there but the quality and quantity of production are

still below the standard they should. Siger rice is an analog rice product made from cassava which

adopts the process of making tiwul which has been modified with a touch of technology, brighter

colors, more uniform shapes, and is instant (ready to serve). The processing of siger rice is

engineered at the flour preparation stage by shortening the drying time so that it produces a bright

color. While a more uniform form is engineered through the use of granulator. Siger rice has

functional properties that can prevent obesity and control diabetes mellitus.

Keywords: Siger Rice, ASUH, Diabetes mellitus

Page 148: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

140

Pendahuluan

Masalah utama kualitas dan keamanan nasional yang berpengaruh terhadap perdagangan

pangan baik domestik maupun global, yaitu a)masih banyak ditemukan produk pangan yang tidak

memenuhi persyaratan dan keamanan, b) masih banyak terjadi kasus keracunan makanan yang

sebagian besar belum dilaporkan dan diidentifikasi penyebabnya, c) masih rendahnya pengetahuan,

keterampilan dan tanggung jawab produsen pangan (produsen bahan baku, pengolah dan distributor)

tentang kualitas dan distribusi pangan yang belum memenuhi persyaratan terutama pada industri kecil

dan rumah tangga, dan d) rendahnya kepedulian konsumen tentang mutu dan keamanan pangan yang

disebabkan karena pengetahuan terbatas dan kemampuan daya beli yang rendah, sehingga konsumen

masih membeli produk dengan tingkat kualitas dan keamanan yang rendah.

Dalam mengatasi permasalahan Urusan Wajib Ketahanan Pangan Kabupaten Lampung

Timur, perlu diambil inisiatif untuk meningkatkan produksi Beras Siger dengan terus melakukan riset

dan pengembangan produk guna mencari solusi untuk meningkatkan ketersediaan cadangan pangan

bagi masyarakat. Beras Siger diperdagangkan dalam bentuk mentah maupun yang telah diolah siap

konsumsi menjadi pangan fungsional alternatif untuk pengendalian penyakit Diabetes Mellitus dan

Obesitas dan digolongkan sebagai pangan fungsional. Produk ini dihasilkan oleh kelompok industri

kecil menengah bidang hilirisasi singkong ―UKM Maju Bersama‖ desa Sidomulyo kecamatan

Sekampung Kabupaten Lampung Timur Propinsi Lampung, yang berperan mengolah ubi kayu segar

dimana tahapan pengolahan dimulai dari singkong, tepung singkong dan Beras Siger. Pangan

fungsional pada Produk Beras Siger dimaksudkan sebagai pangan yang dapat memberikan manfaat

tambahan di samping fungsi dasar pangan tersebut. Suatu bahan pangan dikatakan bersifat fungsional

bila mengandung zat gizi atau non gizi (komponen aktif) yang dapat mempengaruhi fungsi fisiologis

tubuh ke arah yang bersifat positif seperti memperkuat mekanisme pertahanan tubuh, mencegah

penyakit tertentu, membantu mengembalikan kondisi tubuh setelah sakit tertentu, menjaga kondisi

fisik dan mental, serta memperlambat proses penuaan (Hidayat et al., 2015).

Berdasarkan permasalahan ini tim mengupayakan penerapan teknologi terapan yang mudah

digunakan, harganya terjangkau dan aman dikonsumsi yaitu pembuatan beras siger yang ASUH

(Aman, Sehat, Utuh, dan Hyegienis), sehingga diharapkan permasalahan diatas bisa terpecahkan.

Kegiatan penerapan Program Kemitraan Masyarakat ini akan dilaksanakan di Kelompok Tani Maju

Bersama di desa Sidomulyo yang terdapat 120 kelompok tani. Kecamatan Sekampung terdiri dari 25

desa, yang terdiri dari beberapa kelompok tani. Kelompok Tani Maju Bersama merupakan usaha

mikro dengan jumlah mitra 120 orang yang mana anggotanya berpendidikan tamatan SMP 20 orang

dan sekolah dasar 100 orang. Aspek produksi kelompok tani Maju Bersama selama ini menjual

produksi beras siger mereka seadanya mengingat ketersediaan sarana dan prasarana alat penunjang

pembuatan beras siger yang tidak memadai, sehingga keuntungan yang didapat sedikit dengan sistem

managemen penjualan yang seadanya dan belum maksimal menyebabkan tingkat pendapatan petani

sangat rendah. Sedangkan mitra lain yang akan mengikuti kegiatan ini adalah kelompok tani Maju

Page 149: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

141

Bersama yang 20% anggotanya berpendidikan sekolah lanjutan tingkat pertama yang tidak

melanjutkan lagi sekolah karena terbentur biaya pendidikan dan sisanya hanya berpendidikan sekolah

dasar, jumlah anggota 20 orang. Berdasarkan sumberdaya pekerja, iklim setempat, dan lahan maka

prospek usaha pembuatan beras siger di desa Sidomulyo Kecamatan Sekampung Kabupaten Lampung

Timur Propinsi Lampung ini bisa diusahakan secara maksimal untuk membantu perekonomian

masyarakat desa khususnya dan dapat meningkatkan income daerah kabupaten Lampung Timur.

Umumnya petani beras siger didesa Sidomulyo ini memproduksi beras sigernya secara

sederhana dengan hanya mengandalkan peralatan pengolahan sederhana dan masih tergantung cuaca

alam, jagung dan belum pernah tersentuh dengan teknologi pembuatan beras siger yang ASUH

(Aman, Sehat, Utuh, dan Hyegienis).

Materi dan Metode Pelaksanaan

Metode yang digunakan pada kegiatan ini adalah partisipatif dan kooperatif secara demplot,

penyuluhan dan pendampingan. Melalui metode ini diharapkan sasaran akan dapat bekerja sama dan

saling merasa memiliki dan tanggung jawab terhadap kelangsungan kontinuitas, baik selama kegiatan

ini berlangsung maupun setelahnya. Pola pelaksanaan kegiatan ini akan dijalankan secara bertahap,

yakni meliputi:

1. Survei pendahuluan dan identifikasi masalah

Kegiatan ini dilaksanakan dalam bentuk survey melalui pendekatan sosial. Metode

pendekatan dan penggalian masalah ini dilakukan dengan menciptakan suasana kekeluargaan

melalui dialog formal atau non formal tentang masalah desanya, potensi desa dan kendala

yang dihadapi.

2. Kegiatan Demplot

Pada Kegiatan ini kelompok sasaran yang terpilih bersama tim akan melakukan pembuatan

demplot produksi beras siger yang ASUH. Kegiatan ini dimaksudkan agar kelompok sasaran

menyadari akan potensi dan sumberdaya yang dimiliki, sehingga dapat meyakinkan diri

sendiri dan kelompok sasaran untuk berkembang.

3. Kegiatan Penyuluhan

Pada kegiatan ini dimaksudkan untuk memberi bekal keterampilan bagi kelompok sasaran,

sehingga dapat menciptakan peluang dan kesempatan usaha pengolahan beras sig yang

ASUH, cepat dan memiliki nilai ekonomis yang terjangkau oleh masyarakat.

4. Pembinaan lapangan

Kegiatan ini merupakan implementasi, pemantauan, pembinaan, dan pengawasan dari latihan

teknis dan keterampilan. Berdasarkan permasalahan yang ditemui dilapangan kemudian

dijadikan refleksi, yang selanjutnya diupayakan langkah pemecahan berdasarkan pengalaman,

temuan-temuan tenaga ahli, tenaga lapangan (PPL), dan instansi terkait.

Page 150: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

142

Evaluasi ini dilakukan untuk menilai sejauh mana hasil yang telah dicapai dan hambatan yang

dihadapi dalam mencapai sasaran. Kegiatan evaluasi dilakukan setiap sebulan sekali. Komponen yang

akan dievaluasi meliput:

a. Respon masyarakat terhadap kegiatan

b. Pengetahuan masyarakat terhadap produksi beras siger

c. Pengetahuan masyarakat terhadap bahayanya produksi beras siger yang tidak asuh

Untuk mengevaluasi keberhasilan terhadap komponen diatas, akan dilakukan Pre-test dan

Post Test peserta sasaran yang dilakukan diawal dan akhir kegiatan penyuluhan dan selama proses

produksi yang dilakukan setiap dua minggu sekali ke lokasi produksi secara mendadak tanpa

pemberitahuan terlebih dahulu.

Tim penerapan Program Kemitraan Masyarakat (PKM) ini adalah dosen dari Politeknik

Negeri Lampung yang berjumlah 2 orang dengan kompetensi yang berbeda sesuai bidang masing-

masing yaitu dibidang peternakan dengan kualifikasi keahlian teknologi hasil ternak jurusan

Peternakan dan bidang teknologi makanan dengan kualifikasi biokomia pangan jurusan Teknologi

Pertanian yang dapat memecahkan permasalahan yang dihadapi mitra kegiatan diatas. Berdasarkan

uraian permasalahan yang dihadapi di tempat pelaksanaan kegiatan Program Kemitraan Masyarakat

(PKM) pengolahan beras siger di desa Sidomulyo Kecamatan Sekampung kabupaten Lampung Timur

dengan mitra kelompok Tani Maju Bersama di desa Sidomulyo kecamatan Sekampung Kabupaten

Lampung Timur dilakukan selama 6 bulan dapat dilihat pada Gambar 1.

Kelompok mitra sasaran yang diharapkan ikut terlibat pada kegiatan ini adalah kelompok tani

UKM beras siger. Pemilihan kelompok sasaran tersebut didasarkan pada pertimbangan kepentingan

peningkatan pendapatan melalui masa produksi yang cepat dengan biaya produksi yang rendah,

kemauan untuk maju dan berkembang, ketekunan, kesabaran serta ketersediaan waktu dan tenaga dan

produk yang ASUH (Aman, Sehat, Utuh, dan Halal). Target luaran yang didapat dari kegiatan

Program Kemitraan Masyarakat (PKM) ini adalah:

1. Memberikan masukan kepada petani UKM Beras siger tentang beberapa keuntungan yang

dapat diperoleh dari pengolahan Beras Siger yang baik dari segi ekonomi, kesehatan dan

lingkungan.

2. Memberikan informasi kepada masyarakat khususnya kelompok tani akan pentingnya

produksi beras siger yang ASUH (Aman, Sehat, Utuh, dan Halal).

3. Memberikan informasi kepada Kelompok tani pentingnya mengetahui proses pengolahan

beras siger yang benar agar tidak terjadi peningkatan kadar HCN yang berbahaya bagi yang

mengkonsumsi.

4. Memberikan peluang usaha untuk membuka lahan dan pemanfaatan lahan pekarangan rumah

untuk menanam singkong yang mana tanaman tersebut banyak yang bisa dimanfaatkan untuk

kesehatan dan kesejahteraan masyarakat.

Page 151: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

143

5. Memberikan informasi dan perhitungan analisa biaya proses pembuatan beras siger sehingga

diperoleh keuntungan yang maksimal..

6. Menghasilkan Produk beras Siger yang ASUH dengan Label yang sesuai aturan.

7. Sebagai salah satu kegiatan Tri Darma Perguruan Tinggi.

Hasil dan Pembahasan

Pada pelaksanaan kegiatan Program Kemitraan Masyarakat di kecamatan Sekampung adalah

mengacu kepada permasalahan mitra. Proses pengolahan beras yang ASUH, cepat, pemasaran yang

baik dan bernilai ekonomis merupakan masalah utama yang dialami kelompok tani Maju Bersama di

kecamatan Sekampung kabupaten Lampung Timur. Produksi beras siger yang dihasilkan tidak sesuai

dengan kualitas dan kuantitas pada beras siger. Sedangkan pengolahan beras siger bertujuan

meningkatkan pendapatan petani dengan menjual beras siger bisa meningkat sehingga dapat

menunjang kemajuan kehidupan keluarga kelompok tani secara khusus dan meningkatkan income

daerah secara umum.

Permasalahan dalam bidang produksi di kelompok tani di desa Sidomulyo kecamatan

Sekampung kabupaten Lampung Timur adalah produksi beras siger yang kualitas dan kuantitasnya

belum memenuhi standar produksi yang optimal. Dan permasalahan dalam bidang managemen adalah

tidak tersedianya sarana dan prasarana penunjang diantaranya peralatan pengolahan produksi beras

siger yang optimal. Sedangkan permasalahan pemasaran adalah belum dipasarkannya secara optimal

produksi beras siger dari Lampung Timur ini dikarenakan belum terciptanya managemen atau wadah

atau pedagang pengumpul yang dapat memasarkan beras sigernya dengan salah satu cara seperti

labeling, kemasan yang menarik sehingga pemasaran dapat tercapai secara optimal. Empat masalah

utama kualitas dan keamanan nasional yang berpengaruh terhadap perdagangan pangan baik domestik

maupun global, yaitu a) masih banyak ditemukan produk pangan yang tidak memenuhi persyaratan

dan keamanan, b) masih banyak terjadi kasus keracunan makanan yang sebagian besar belum

dilaporkan dan diidentifikasi penyebabnya, c) masih rendahnya pengetahuan, keterampilan dan

tanggungjawab produsen pangan (produsen bahan baku, pengolah dan distributor) tentang kualitas

dan distribusi pangan yang belum memenuhi persyaratan terutama ada industri kecil dan rumah

tangga, dan d) rendahnya kepedulian konsumen tentang mutu dan keamanan pangan yang disebabkan

karena pengetahuan terbatasnya kemampuan daya beli yang rendah, sehingga konsumen masih

membeli produk dengan tingkat kualitas dan keamanan yang rendah.

Proses produksi terutama penanganan pengolahan Beras Siger yang baik harus diikuti dengan

pengendalian dan pengawasan mutu serta keamanan di industri pangan sehingga menjadi hal yang

penting untuk diterapkan (Astuti, 2014). Selain dukungan kelembagaan meliputi SDM yang

berkualitas dan fasilitas sarana prasarana (alat teknologi mesin) yang tak kalah penting perlu

diperhatikan. Ketidaksempurnaan proses produksi yang disebabkan tidak tersedianya sarana dan

prasarana berupa alat dan teknologi proses pengolahan beras siger akan menyebabkan terjadinya hal-

Page 152: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

144

hal yang tidak diinginkan seperti adanya keracunan dan efek samping mengkonsumsi beras siger

dalam waktu lama. Hal ini disebabkan dalam proses pembuatan beras siger memelukan bahan baku

singkong yang mempunyai kadar HCN (Asam Sianida) yang tinggi. Namun apabila pengolahan dari

singkong menjadi beras siger dengan metode yang benar akan menurunkan kadar sianida sehingga

aman dikonsumsi dan dapat membantu menstabilkan gula darah bagi penderita Diabetes Melitus

(DM) dan pencegahan bagi masyarakat agar terhindar dari penyakit Diabetes Melitus (DM).

Berdasarkan analisis situasi diatas, maka prioritas permasalahan mitra usaha kelompok Tani Maju

Bersama desa Sisomulyo kecamatan Sekampung kabupaten Lampung Timur adalah sebagai berikut:

1. Sistem pengolahan beras siger yang tidak sesuai dengan persyaratan industri makanan yang

ASUH (aman, Sehat, Utuh, dan Hyegiene)

2. Mahalnya biaya pengolahan untuk memproduksi beras siger

3. Masa proses pengolahan yang lama untuk bisa dipasarkan karena tidak tersedianya peralatan

tehnologi proses pengolahan beras siger yang sederhana.

4. Produksi beras siger yang rendah dari segi kualitas dan kuantitas.

Berdasarkan kuisioner mengenai tingkat keberhasilan pelaksanaan PKM di UKM Maju

Bersama Desa Sidomulyo Kecamatan Sekampung Kabupaten Lampung Timur Propinsi Lampung

adalah sebelum pelaksanaan pengetahuan anggota kelompok dan masyarakat 20%, dan setelah

pelaksanaan PKM data yang didapat terjadi peningkatan pengetahuan anggota UKM dan warga

sekitar menjadi 80%. Berdasarkan peninjauan lapangan yang dilakukan pada saat bulan pertama

pelaksanaan PKM desa Sidomulyo Kecamatan Sekampung Kabupaten Lampung Timur adalah bahwa

di kelompok UKM tersebut belum dilaksanakan dan belum tersentuhnya teknologi dalam pengolahan

Beras Siger yang dapat ASUH (Aman, Sehat, Utuh, dam Halal) sehingga kualitas beras siger

meningkat dan meningkatkan kuantitas produktivitas beras siger yang dihasilkan oleh UKM Maju

Bersama di Desa Sidomulyo Kecamatan Sekampung Kabupaten Lampung Timur Propinsi Lampung.

Untuk memaksimalkan Program Kemitraan Masyarakat (PKM) di desa Sidomulyo

Kecamatan Sekampung Kabupaten Lampung Timur diadakan pengisian kuisioner terhadap

pengetahuan anggota kelompok UKM/KWT Maju bersama desa Sidomulyo Kecamatan Sekampung

Kabupaten Lampung Timur terhadap penegertian pengolahan beras siger berbasis teknologi ASUH

(Aman, Sehat, Utuh, dan Halal). Berdasarkan data kuisioner yang didapat adalah 80% anggota tidak

mengetahui pengolahan Beras siger yang ASUH (Aman, Sehat, Utuh, dan Halal) serta manfaat dan

kegunaaan beras siger yang ASUH, 20% mengetahui kegunaan dan manfaat beras siger yang ASUH.

Kesimpulan

Program Kemitraan Masyarakat yang dilakukan dengan metoda penyuluhan dan demplot

serta pemberian peralatan pengolahan beras siger yang ASUH (Aman, Sehat, Utuh, dan Halal), dapat

mewujudkan salah satu tujuan pemerintah untuk meningkatkan kesehatan dan penambahan income

Page 153: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

145

kelompok masyaraakat secara umum dan peningkatan kesejahteraan anggota UKM/KWT Maju

Bersama Desa Sidomulyo kecamatan Sekampung Kabupaten Lampung Timur Propinsi Lampung.

Ucapan Terima Kasih

Ucapan terimakasih kepada DRPM Kemenristek DIKTI tahun 2019 melalui Program

Kemitraan Masyarakat dan Unit Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Politeknik Negeri

Lampung. Semoga pelaksanaan pengabdian yang telah dilaksanakan dapat bermanfaat bagi semua

pihak.

Daftar Pustaka

Astuti., H. 2016. Strategi Peningkatan Produksi Beras Siger Produk Unggulan Lampung. Prosiding.

Dipublikasikan pada Seminar Nasional Agroinovasi Spesifik Lokasi Untuk Memantapkan

Ketahanan Pangan Pada Era Masyarakat Ekonomi Asean. 19 Oktober 2016. Bandar

Lampung.

Fardiaz. 1996 dalam Afrianti. 2013 dalam Astuti. 2014. Analisis Bahaya pada Proses Pasca Panen

Kakao Sumatera Barat. Tesis. Universitas Andalas Padang.

Hidayat, B., Syamsu Akmal dan Surfiana. Kajian Potensi Beras Siger (Tiwul Instan) Fortifikasi

sebagai Pangan Fungsional. Prosiding. Seminar Nasional Swasembada Pangan Politeknik

Negeri Lampung 29 April 2015 ISBN: 978-602-70530-2-1.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Lampung Utara Tahun 2014-

2019. Buku. Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Kabupaten Lampung Utara. 2014.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Lampung Tahun 2014-2019.

Buku. Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Provinsi Lampung. 2014.

Rubiyo dan Siswanto, 2012 dalam Astuti dan Ariwibowo, 2016. Strategi Perencanaan Partisipatif

Kelompok Wanita Tani Usaha Pengolahan Produk Pangan Berbasis Singkong. Prosiding.

Seminar Nasional Pemberdayaan Masyarakat Menuju Kemandirian Desa, Jurusan Sosiologi

FISIP Unila. 12 November 2016. Bandar Lampung.

Page 154: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

146

Pengaruh Penggunaan Produk Fermentasi Limbah Udang dalam Ransum terhadap

Kadar Hematokrit dan Kolesterol Darah Ayam Sentul

The Influence of Use Shrimp Waste Fermentation Product in Ration on Hematocrits

Levels and Blood Cholesterol in Sentul Chicken

Syakir Fathul Mubin

1, Abun

2, Kurnia A. Kamil

2

1Alumni Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Tahun 2019

2Staf Pengajar Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran

*Korespondensi: [email protected]

Abstrak

Penelitian telah dilaksanakan di kandang ayam Desa Cileles dan Laboratorium Fisiologi Ternak dan

Biokimia, Fakultas Peternakan, Universitas Padjadjaran, mulai dari bulan Maret hingga April 2019. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui dan mendapatkan tingkat penggunaan feed supplement

berbasis limbah udang fermentasi yang diperkaya dengan mineral Selenium dan Na-alginat dalam

ransum yang menghasilkan kadar hematokrit dan kolesterol darah optimal pada ayam Sentul. Penelitian menggunakan 20 ekor ayam Sentul betina fase developer umur 18 minggu dalam 20 unit

kandang. Penelitian menggunakan metode Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan lima macam

perlakuan terdiri atas R0 (ransum tanpa produk fermentasi limbah udang), R1 (ransum mengandung

produk fermentasi limbah udang 0,5%), R2 (ransum mengandung produk fermentasi limbah udang

1,0%), R3 (ransum mengandung produk fermentasi limbah udang 1,5%), dan R4 (ransum mengandung

produk fermentasi limbah udang 2,0%). Setiap perlakuan diulang sebanyak empat kali dengan peubah

yang diamati adalah kadar hematokrit dan kolesterol darah. Hasil penelitian diperoleh bahwa

penggunaan feed supplement berbasis limbah udang fermentasi dengan tingkat 1,0% dalam ransum

menghasilkan kadar hematokrit dan kolesterol darah yang optimal pada ayam Sentul.

Kata kunci: ayam Sentul, feed supplement, hematokrit, kolesterol darah, limbah udang fermentasi

Abstract

The research has held in the Cileles Village chicken coop and Laboratory of Animal Husbandry

Physiology and Biochemistry, Faculty of Animal Husbandry, Padjadjaran University, from March to

April 2019. The purpose of this research was to determine and obtain the level of use of feed

supplement based on fermentated shrimp waste enriched with minerals Selenium and Na-alginate in

ration that produced optimal hematocrit and blood cholesterol levels in Sentul chickens. The research

used 20 female Sentul chicken on developer phase aged 18 weeks in 20 cage units. The research used

a Completely Randomized Design (Rancangan Acak Lengkap – RAL) method with five types of

treatment consists of R0 (ration without shrimp waste fermentation product), R1 (ration contains

shrimp waste fermentation product 0.5%), R2 (ration contains shrimp waste fermentation product

1.0%), R3 (ration contains shrimp waste fermentation product 1.5%), and R4 (ration contains shrimp

waste fermentation product 2.0%). Each treatment repeated four times with the variables observed

were hematocrit and blood cholesterol levels. The results obtained that the use of feed supplement

based on fermentated shrimp waste with a level 1.0% in the ration produced optimal hematocrit and

blood cholesterol levels in Sentul chickens.

Keywords: Sentul chicken, feed supplement, hematocrit, blood cholesterol, fermentated shrimp waste

Pendahuluan

Ayam Sentul merupakan salah satu ayam lokal Indonesia yang berasal dari Kabupaten

Ciamis, Jawa Barat. Ayam Sentul memiliki performans produksi yang lebih baik dibanding ayam

lokal lain. Guna mencapai produktivitas yang optimal bagi ayam Sentul perlu memerhatikan

Page 155: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

147

ketersediaan zat nutrien dan imbangan antara energi metabolis dan protein dalam pemberian

ransumnya. Penggunaan feed supplement dapat menjadi upaya meningkatkan kualitas ransum, dan

salah satu bahannya berasal dari limbah perikanan yaitu limbah udang.

Feed supplement adalah bahan pakan tambahan berupa zat-zat nutrien, terutama zat nutrien

mikro seperti vitamin, mineral, atau asam amino yang berfungsi untuk melengkapi atau meningkatkan

ketersediaan zat nutrien mikro dalam ransum. Limbah udang memiliki potensi sebagai bahan dasar

pembuatan feed supplement karena mengandung zat biokatif seperti karotenoid dan kitosan serta

ketersediaannya melimpah, sesuai dengan data produksi udang di Indonesia sebesar 603,47 ribu ton

(Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2016).

Limbah udang merupakan hasil ikutan dari kegiatan pengupasan udang untuk diekspor berupa

udang tanpa kepala dan kulit. Limbah udang memiliki kandungan protein kasar 25-40%, kalsium

karbonat 45-50% dan kitin 15- 20% (Wowor, dkk. 2015). Adanya khitin menjadi faktor pembatas

dalam pemanfaatan limbah udang karena khitin mengikat protein pada limbah udang. Mengatasi hal

tersebut perlu dilakukan upaya pengolahan melalui proses fermentasi menggunakan bakteri Bacillus

licheniformis, Lactobacillus sp., dan ragi Saccharomyces cerevisiae. Fermentasi limbah udang

menggunakan mikroba mampu memperbaiki kualitas protein limbah udang yang mengandung khitin

dengan meningkatnya kelengkapan dan keseimbangan asam amino esensial serta memiliki daya cerna

yang optimal (Abun, dkk. 2016). Pengolahan tersebut memberikan keuntungan di antaranya

penguraian khitin yang lebih merata, mudah dikendalikan, dan sesuai dengan lingkungan

(biocompatible) (Artiningsih, dkk. 2003).

Produk tersebut selanjutnya ditambahkan dengan mineral selenium (Se) dan natrium alginat

(Na-alginat) yang berperan sebagai binder (pengikat). Pengikatan bertujuan agar menjaga nutrien

yang terkandung dalam feed supplement berbasis limbah udang fermentasi sehingga dapat tercampur

merata ketika proses pembuatan ransum. Adanya Se dan Na-alginat juga mempunyai fungsi setelah

dikonsumsi oleh ayam Sentul. Selenium berperan sebagai antioksidan, karena mampu menghambat

radikal bebas sehingga ayam Sentul menjadi lebih sehat. Darah merupakan salah satu indikator dari

status kesehatan bagi ternak, karena darah merupakan komponen yang penting dalam pengaturan

fisiologis tubuh. Sel-sel darah dapat diketahui persentasenya dalam total darah melalui pengukuran

nilai hematokrit, karena nilai hematokrit berbanding lurus dengan kadar sel darah sehingga dapat

menunjang terhadap meningkatkan kadar hematokrit.

Feed supplement berbasis limbah udang fermentasi juga dapat menurunkan kadar kolesterol

darah karena mengandung kitosan dan Na-alginat. Kitosan memiliki gugus amino bermuatan positif

yang dapat berikatan dengan asam empedu bermuatan negatif sehingga penyerapan kolesterol

terhambat. Penambahan Na-alginat akan meningkatkan ekskresi kolesterol ke usus besar sehingga

kolesterol darah menurun. Oleh karena itu, feed supplement berbasis limbah udang fermentasi disusun

dalam formulasi ransum serta diukur kadar hematokrit dan kolsterol darah ayam Sentul.

Page 156: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

148

Bahan dan Metode

Bahan yang digunakan terdiri atas limbah udang, isolat Bacillus licheniformis, Lactobacillus

sp. dan Saccharomyces cereviseae, aquadest, glukosa, yeast ekstrak, tripton, NaCl, NaOH, CaCO3,

buffer pH 4, bufer pH 7, buffer pH 9, dan Bovin Serum Albumin. Alat yang digunakan yaitu stoples

stenles (reaktor), waterbath, shakerbath, gelas piala, pembakar bunsen, cawan petri, cawan porselin,

sentrifuse, corong, Ph-meter, spektrofotometer, tabung reaksi, tanur, mesin penepung, dan ayam

Sentul betina fase developer berumur 18 minggu sebanyak 20 ekor. Kandang yang digunakan dalam

bentuk sistem cage dengan ukuran 22 cm × 40 cm × 40 cm terbuat dari bambu, dilengkapi dengan

tempat pakan dan tempat air minum.

Bahan pakan penyusun ransum terdiri atas: jagung kuning, dedak halus, bungkil kedelai,

tepung ikan, produk fermentasi limbah udang, tepung tulang, CaCO3, dan Grit. Kandungan zat- zat

makanan dan energi metabolis bahan pakan penyusun ransum dapat dilihat pada tabel 1. Susunan

ransum penelitian tiap perlakuan disajikan pada Tabel 2, dan berdasarkan susunan ransum tersebut

didapatkan kandungan nutrien dan energi metabolis ransum penelitian yang telah disajikan pada Tabel

3.

Tabel 1. Kandungan energi metabolis dan nutrien bahan pakan penelitian

Bahan Pakan EM

(Kkal/kg)

PK LK SK Ca P Lis Met

……………….………..(%)…………………..…..

J. Kuning 3.370 8,60 3,90 2,00 0,02 0,10 0,24 0,18

Dedak Halus 1.630 12,00 13,00 12,00 0,12 0,21 0,71 0,27

Bkl. Kedelai 2.240 44,00 0,90 6,00 0,32 0,29 2,90 0,65

T. Ikan 2.970 58,00 9,00 1,00 7,70 3,90 6,50 1,80

Produk Fermentasi Limbah

Udang*

2.614 39,29 7,03 7,79 6,81 2,83 3,04 1,46

T.Tulang - - - - 29,00 14,00 - -

CaCO3 0,00 0,00 0,00 0,00 40,00 0,00 0,00 0,00

Grit - - - - 30,87 1,11 - -

Sumber: Abun, dkk. (2016)

*Hasil analisis Laboratorium Nutrisi Ternak Ruminansia dan Kimia Makanan Ternak, Fakultas Peternakan

Universitas Padjadjaran (2016).

Keterangan: EM: Energi Metabolis, PK: Protein Kasar, LK: Lemak Kasar, SK: Serat Kasar, Ca: Kalsium, P: Phospor, Lis: Lisin, Met: Methionin.

Page 157: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

149

Tabel 2. Formulasi ransum penelitian

Bahan Pakan R0 R1 R2 R3 R4

....…....….………….…..(%)………………………..........

J. Kuning 63,00 62,68 62,37 62,06 61,74

Dedak Halus 14,25 14,18 14,10 14,04 13,97

Bkl. Kedelai 7,50 7,46 7,43 7,39 7,35

T. Ikan 8,00 7,96 7,92 7,88 7,84

Produk Fermentasi Limbah Udang 0,00 0,50 1,00 1,50 2,00

T. Tulang 2,50 2,49 2,48 2,46 2,45

CaCO3 2,25 2,24 2,22 2,21 2,20

Grit 2,50 2,49 2,48 2,46 2,45

Jumlah 100 100 100 100 100

Keterangan:

R0 = Ransum tanpa produk fermentasi limbah udang (ransum basal)

R1 = Ransum mengandung produk fermentasi limbah udang 0,5%

R2 = Ransum mengandung produk fermentasi limbah udang 1,0%

R3 = Ransum mengandung produk fermentasi limbah udang 1,5%

R4 = Ransum mengandung produk fermentasi limbah udang 2,0%

Tabel 3. Kandungan energi metabolis dan nutrien ransum penelitan

Kandungan Nutrien R0 R1 R2 R3 R4 Kebutuhan

EM (kkal/kg) 2.761 2.760 2.759,50 2.759 2.758 2750*

Protein Kasar (%) 15,07 15,18 15,31 15,43 15,55 15*

Lemak Kasar (%) 5,10 5,11 5,12 5,13 5,14 5,0 -7,0**

Serat Kasar (%) 3,50 3,52 3,54 3,57 3,59 3,0-6,0**

Ca (%) 3,07 3,09 3,10 3,12 3,14 2,75- 3**

P (%) 0,80 0,81 0,82 0,83 0,84 0,70-0,90**

Lisin (%) 0,99 1,00 1,01 1,02 1,03 ≥ 0,70**

Metionin (%) 0,34 0,35 0,36 0,36 0,37 ≥ 0,3** Keterangan: *Kebutuhan berdasarkan Widjastuti, T (1996).

**Zainuddin (2006)

Prosedur pembuatan produk fermentasi limbah udang yaitu:

a) Deproteinasi. Melakukan fermentasi pada Autho-Shaker-Bath (ASB). Limbah udang

dimasukkan ke dalam stoples stenles, kemudian diinokulasi dengan inokulum Bacillus

licheniformis dengan dosis 2 % (v/b). Selanjutnya dimasukkan ke dalam mesin ASB selama 2

hari pada suhu 45°C dengan putaran 120 rpm.

b) Demineralisasi. Produk deproteinasi selanjutnya ditambahkan inokulum Lactobacillus sp.

sebanyak 2 % (v/b), kemudian diinkubasi selama 2 hari pada suhu 35°C, menggunakan mesin

ASB dengan putaran 120 rpm.

c) Fermentasi dengan Saccharomyces cerevisiae. Produk demineralisasi difermentasi

menggunakan Saccharomyces cereviseae sebanyak 3 % (v/b), lalu diinkubasi selama 2 hari

pada suhu 30°C, menggunakan mesin ASB dengan putaran 120 rpm.

Page 158: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

150

d) Bindering. Produk bioproses selanjutnya disuplementasi dengan mineral Se sebanyak 0,15

ppm (73 ppm dalam bentuk selenit), dan penambahan Na-Alginat 5%. Selanjutnya

penggilingan dengan ukuran partikel 60 mash.

Ransum perlakuan yang digunakan dalam penelitian adalah ransum tanpa produk fermentasi

limbah udang (R0), ransum mengandung produk fermentasi limbah udang 0,5% (R1), ransum

mengandung produk fermentasi limbah udang 1,0% (R2), ransum mengandung produk fermentasi

limbah udang 1,5% (R3), dan ransum mengandung produk fermentasi limbah udang 2,0% (R4).

Ransum dibuat berdasarkan standar kebutuhan kandungan protein dan energi metabolis ransum untuk

ayam Sentul pada fase awal produksi yaitu kandungan protein 15% dan energi metabolis 2.750

kkal/kg (Widjastuti, 1996). Peubah yang diamati meliputi:

a) Kadar Hematokrit (%)

Kadar hematokrit =

b) Kadar Kolesterol Darah (mg/dL)

Kadar kolesterol Darah =

Penelitian dilakukan dengan metode eksperimental dan menggunakan Rancangan Acak

Lengkap (RAL) dengan 5 macam perlakuan ransum dan diulang sebanyak 4 kali. Data yang diperoleh

dianalisis dengan Anava dalam analisis sidik ragam dan perbedaan antar perlakuan diuji

menggunakan Uji Jarak Berganda Duncan jika hasil yang diperoleh berbeda nyata.

Hasil dan Pembahasan

Hematokrit atau Packed Cell Volume (PCV) adalah perbandingan sel darah merah terhadap

total volume darah dalam 100 ml darah dan dinyatakan dalam persen. Penentuannya dilakukan

dengan mengisi kapiler hematokrit berwarna merah yang mengandung antikoagulan dengan darah,

lalu dilakukan sentrifugasi sampai sel-sel mengumpul di bagian dasar. Kadar hematokritnya kemudian

dapat diketahui setelah dibaca pada alat pembaca hematokrit dan dimasukkan ke dalam rumus kadar

hematokrit.

Penentuan kadar kolesterol darah menggunakan plasma darah dengan cara sampel darah

disentrifugasi dengan kecepatan 3.000 rpm selama 15 menit. Plasma darah dianalisis dengan

menggunakan perhitungan kolesterol berdasarkan BIOLABO kit pada panjang gelombang 500 nm

dengan spektrofotometer dan dihitung kadar kolesterolnya. Rataan kadar hematokrit dan kolesterol

darah ayam Sentul dari masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Tabel 4.

Page 159: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

151

Tabel 4. Rataan Kadar Hematokrit dan Kolesterol Darah Ayam Sentul Penelitian

Parameter Perlakuan

R0 R1 R2 R3 R4

Kadar Hematokrit (%) 28,15 30,09 31,27 31,84 32,53

Kadar Kolesterol

Darah (mg/dL) 156,91

c 141,17

bc 125,62

ab 111,40

a 103,64

a

Pengaruh Perlakuan terhadap Kadar Hematokrit

Ilustrasi 1. Rataan Kadar Hematokrit Ayam Sentul Setiap Perlakuan Selama Penelitian

Berdasarkan hasil analisis statistik kelima ransum perlakuan, yaitu ransum tanpa penggunaan

Produk fermentasi limbah udang, ransum mengandung 0,5%, 1,0%, 1,5% dan 2,0%. Penggunaan feed

supplement berbasis limbah udang fermentasi dalam ransum tidak berbeda nyata (P>0,05) terhadap

kadar hematokrit ayam Sentul. Kitosan dan Se yang terkandung dalam feed supplement belum mampu

memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar hematokrit hingga pemberian 2,0% dalam ransum,

walaupun rataan kadar hematokritnya telah meningkat. Kitosan mampu meningkatkan pertumbuhan

vili usus halus ayam Sentul, seperti yang dikemukakan oleh Huang, dkk. (2005) bahwa pemberian

kitosan berdampak positif antara lain pertumbuhan vili usus menjadi lebih baik. Hal ini menyebabkan

absospsi asam amino lebih tinggi sehingga berdampak baik terhadap pembentukan sel-sel darah

merah, karena asam amino diperlukan sebagai salah satu prekursor pembentukannya. Prekursor yang

telah tercukupi akan memungkinkan terbentuknya sel-sel darah merah yang lebih banyak. Dampak

lain dilaporkan oleh Zhou, dkk. (2009) bahwa pemberian kitosan akan meningkatkan ukuran organ

pencernaan dan ukuran liver. Peningkatan ukuran liver sebagai dampak pemberian kitosan akan

meningkatkan sintesis hormon yang menstimulasi dan mengatur pembentukan sel-sel darah merah.

Jumlah sel darah yang meningkat akan meningkatkan nilai hematokrit.

28.15

30.09

31.27 31.84

32.53

25

26

27

28

29

30

31

32

33

R0 R1 R2 R3 R4

Kadar Hematokrit (%)

Page 160: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

152

Se berperan sebagai antioksidan dan merupakan komponen penting dari enzim glutathione

peroksidase dalam tubuh ayam Sentul. Glutathione peroksidase adalah salah satu enzim antioksidan

yang mampu mengurangi pengaruh negatif dari radikal bebas di dalam sel-sel, sehingga dapat

menjaga kesehatan ayam Sentul. Williamson dan Payne (1993) mengemukakan bahwa fungsi utama

dari glutathione peroksidase yaitu mereduksi hidrogen peroksida (H2O2) menjadi air (H2O) dan

mengubah hidroperoksida lipid menjadi komponen yang tidak beracun.

Pengaruh Perlakuan terhadap Kadar Kolesterol Darah

Ilustrasi 2. Rataan Kadar Kadar Kolesterol Darah Ayam Sentul Setiap Perlakuan Selama Penelitian

Berdasarkan hasil analisis statistik kelima ransum perlakuan, yaitu ransum tanpa penggunaan

Produk fermentasi limbah udang, ransum mengandung 0,5%, 1,0%, 1,5% dan 2,0%. Penggunaan feed

supplement berbasis limbah udang fermentasi dalam ransum berbeda nyata (P<0,05) terhadap kadar

kolesterol darah ayam Sentul, dan pada tingkat penggunaan 1,0% (R2) memberikan hasil yang

optimal. Hal ini disebabkan adanya kitosan yang terkandung dalam feed supplement. Kitosan berasal

dari proses deasetilasi khitin limbah udang, yang pada penelitian ini diperoleh melalui proses

fermentasi menggunakan mikroorganisme Bacillus licheniformis, Lactobacillus sp., dan ragi

Saccharomyces cereviseae. Menurut Stephen (1995) dalam Abun, dkk. (2012) bahwa khitin dapat

terurai secara hayati (biodegradable).

Kitosan di dalam tubuh berperan sebagai agen antikolesterol melalui mekanisme pengikatan.

Liu, dkk. (2008) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa bila kitosan dengan kolesterol akan terjadi

reaksi pengikatan antara keduanya. Barraza (2005) menambahkan, hal ini disebabkan oleh gugus

amino bermuatan positif yang dimiliki oleh kitosan dapat berkaitan dengan molekul kolesterol yang

memiliki muatan negatif yaitu hidroksil (OH). Kolesterol yang telah terikat akan menjadi massa yang

156.91

141.17

125.62 111.4

103.64

60

80

100

120

140

160

180

R0 R1 R2 R3 R4

Kadar Kolesterol Darah (mg/dL)

Page 161: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

153

besar sehingga tidak dapat diserap oleh tubuh dan akan dieskresi dalam bentuk feses sehingga dapat

mengurangi masuknya kolesterol berlebih ke dalam sirkulasi darah. Adanya Na-alginat yang

ditambahkan pada feed supplement juga berperan dalam menurunkan kolesterol darah ayam Sentul.

Arthur dan Ershoff (1961) dalam Kartika (2017) mengemukakan serat Na-alginat di dalam usus

mengikat asam lemak, garam empedu, dan kolesterol dari makanan sehingga menghambat penyerapan

zat tersebut dan membawanya keluar bersama feses. Berkurangnya absorbsi garam empedu dan

kolesterol ke hati ini akan meningkatkan pengambilan kolesterol dari darah yang akan dipakai untuk

sintesis asam empedu yang baru yang akan mengakibatkan menurunnya kadar kolesterol darah.

Kesimpulan

Penggunaan feed supplement berbasis limbah udang fermentasi dalam ransum tidak

berpengaruh terhadap kadar hematokrit, namun berpengaruh terhadap kadar kolesterol darah ayam

Sentul. Penggunaan feed supplement berbasis limbah udang fermentasi dalam ransum tidak

berpengaruh terhadap kadar hematokrit, namun berpengaruh terhadap kadar kolesterol darah ayam

Sentul. Penggunaan feed supplement berbasis limbah udang fermentasi pada tingkat 1,0% dalam

ransum menghasilkan kadar hematokrit dan kolesterol darah yang optimal pada ayam Sentul. Feed

supplement berbasis limbah udang fermentasi yang diperkaya dengan Se dan Na-alginat dapat

digunakan dengan pemberian antara 1,0-2,0% dalam ransum guna meningkatkan kadar hematokrit

dan menurunkan kadar kolesterol darah ayam Sentul betina fase developer umur 18 minggu.

Ucapan Terima Kasih

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Abun, M.P. yang telah memberikan

kesempatan untuk turut serta dalam riset Insentif Sistem Inovasi Nasional (INSINAS) dan telah

memberikan fasilitas selama penelitian dilakukan.

Daftar Pustaka

Abun, A. Wicaksono, dan R. Wiradimadja. (2016). Pengaruh Penggunaan Limbah Udang Produk

Fermentasi dalam Ransum terhadap Konversi Protein Ransum dan Daging pada Ayam Lokal.

Sumedang: Unpad Press.

____, R. L. Balia, T. Aisjah, dan S. Darana. (2012). Bioproses Limbah Udang Windu (Penaeus

Monodon) Melalui Tahapan Deproteinasi dan Mineralisasi untuk Meningkatkan Kandungan

Gizi Pakan. Jurnal Ilmu-ilmu Hayati dan Fisik, 14(1), 45-50.

Arthur, F. W. dan B. H. Ershoff. (1961). Beneficial Effects of Pectin in Prevention of

Hypercholesterol and Increase in Liver Cholesterol in Cholesterol-Fed Rats. Journal of

Nutrition, 74(1), 87-92.

Artiningsih, A., A. Noor, dan H. Natsir. (2003). Usaha Biokonversi Khitin Asal Kepiting Rajungan

Menjadi Khitosan. Marina Chimica Acta, 5(1), 10-13.

Barraza, H. P., M. G. Burboa, M. Sanchez-Vazquez, J. Juarez, F. M. Goycoolea, dan M. A. Valdez.

(2005). Chitosan-Cholesterol and Chitosan-Stearic Acid Interactions at the Air-Water

Interface. Biomacromolecules, 6, 2416-2426.

Hoffbrand A. V. dan J. E. Pettit. (1996). Kapita Selekta Hematologi. Cetakan Kedua. Penerjemah:

Iyan D. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran ECG.

Page 162: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

154

Huang, R. L., Y. L. Yin, G. Y. Wu, T. J. Zhang, L. L. Li, M. X. Li, Z. R. Tang, J. Zhang, B. Wang, J.

H. He, dan X. Z. Nie. (2005). Effect of Dietary Oligochitosan Supplementation on Ileal

Nutrient Digestibility and Performance in Broilers. Poultry Science, 84, 1383-1388.

Kartika, Y. (2017). Efek Natrium Alginat terhadap Pencegahan dan Pengobatan Hiperkolesterolemia

dan Aterosklerosis pada Tikus. Tesis Universitas Sumatera Utara, Medan.

Kementerian Kelautan dan Perikanan. (2016). Produksi Perikanan Budidaya. Statistik dan Data

Portal.

Liu, Y. W. Li, X. Ling, X. Lai, Y. Li, Q. Zhang, dan Y. Zhao. (2008). Simultaneous Determination of

the Active Ingredients in Abelmonschus manihot (L.) Medicus by CZE. Chromatographia

2008.

Stephen, A. M. (1995). Food Polysacarides and Their Aplication. New York: Marcel Dekker Inc.

Widjastuti, T. 1996. Penetuan Efisiensi Penggunaan Protein, Kebutuhan Protein dan Energi untuk

Pertumbuhan dan Produksi Telur Ayam Sentul pada Kandang Sistem Cage dan Sistem Litter. Disertasi Universitas Padjadjaran, Bandung.

Williamson, G. dan W. J. A. Payne. (1993). Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Edisi Ketiga. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Wowor, A. R. T. I., B. Bagai, L. Untuk, dan H. Liwe. (2015). Kandungan Protein Kasar, Kalsium, dan

Fosfor Tepung Limbah Udang sebagai Pakan yang Diolah dengan Asam Asetat (CH3COOH).

Jurnal Zootek, 35(1), 1-9.

Zainuddin, D. (2006). Teknik Penyusunan Ransum dan Kebutuhan Gizi Ayam Lokal. Materi Pelatihan

Teknologi Budidaya Ayam Lokal dan Itik. Kerjasama Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat

dengan Balai Penelitian Ternak, Bogor.

Zhou, T. X., X. J. Chen, J. S. Yoo, Y. Huang, J. H. Lee, H. D. Jang, S. O. Shin, H. J. Kim, J. H. Cho,

dan I. H. Kim. (2009). Effect of Chitooligosaccharide Supplementation in Performance,

Blood Characteristic, Relative Organ Weight, and Meat Quality in Broiler Chickens. Poultry

Science, 88, 593-600.

Page 163: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

155

Identifikasi Keragaman dan Reproduksi Kambing

Identification of Diversity and Goat Reproduction

Umi Adiati dan S. Rusdiana Balai Penelitian Ternak Ciawi-Bogor, Po.Box. 221 Bogor

Email: [email protected]

Abstrak

Kambing terdiri dari beberapa macam variasi fenotipik dan secara genetik mempunyai

kelebihan, baik dari segi bulu, bobot badan, warna bulu, telinga dan tanduk. Kambing mempunyai

potensi yang cukup baik, namun secara umum belum dapat dijadikan suatu rumpun fenotip yang

unggul. Tujuan tulisan ini adalah untuk mereview dan mengidentifikasi keragaman reproduksi

kambing. Kambing dapat diidentifikasi atau diklasifikasikan menurut jenis dan sifatnya, walaupun

demikian ada juga kambing persilangan, antara kambing impor dengan kambing asli. Panjang siklus

21 hari, lonjakan sekresi LH (LH surge) 3-6 jam setelah onset birahi, dan umur pubertas rata-rata

antara 6-9 bulan, baik jantan maupun betina. Waktu kawin kambing yang optimal antara 23-36 jam

setelah onset birahi dan lama bunting kambing 150 hari atau rata-rata sekitar 125-155 hari. Kambing

Peranakan Etawah (PE) ditetapkan sebagai galur ternak yang dapat dibedakan dengan sifat kualitatif

dan kuantitatif. Perbaikan mutu genetik kambing, perlu dilakukan, gunanya untuk meningkatkan

produktivitas dan meningkatkan kualitas, serta komposisi produksi kambing yang dihasilkan.

Semakin tinggi derajat kawin alam (inbreeding), maka produktivitas kambing akan semakin rendah

produktivitasnya. Untuk keragaman kambing secara genetik, perlu dilakukan, karena kambing banyak

kemiripan dan sifat yang dimilikinya.

kata kunci: identifikasi keragaman, kambing

ABSTRACT

There are several kinds of goats phenotypic variations, and genetically has advantages, as well as in

terms of fur, body weight color feathers, ears and horns. Goats have good potential, but in general it

can not be used as a superior phenotype. The purpose of this paper is to review and to identify the

diversity of goat reproduction. Goats can be identified or calcified according to their types, and their

characteristics, although there are also crossbreeds, between imported goats and native goats. The

cycle length is 21 days, the surge in LH secretion (LH surge) 3-6 hours after the onset of oestrus, and

the average puberty age is between 6-9 months, both male and female. The optimal mating time for

goats is between 23-36 hours after onset of oestrus and the length of pregnant goats is 150 days or an

average of 125-155 days. The Etawah Crossbreed Goat (PE) is designated as a livestock strain that

can be distinguished by qualitative and quantitative characteristics. Improvement of the genetic

quality of goats needs to be done, it is useful to increase productivity and improve the quality, and

composition of the production of goats produced. The higher the degree of natural mating

(inbreeding), the lower the productivity of goats. For the diversity of goats genetically, it needs to be

done, because many goats have similarities and properties.

Keywords: diversity identification, goat

Pendahuluan

Populasi kambing di Indonesia mencapai 17.862.203 ekor (Ditjennak, 2018), dan secara

umum kambing dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, sebagai penghasil daging dan penghasil

susu. Menurut tipenya rumpun kambing PE juga termasuk kambing dwiguna, dengan tingkat produksi

susu antara 0,45-2,1 l/hari/laktasi (Sutama et al. 1995). Kambing tersebar di beberapa daerah dan

mampu beradaptasi pada kondisi dan sumberdaya yang minim, dan penghasil fungsional sebagai

Page 164: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

156

kambing pedaging dan menghasil susu, (Kurniasih et al., 2013). Secara umum kambing yang

dipelihara peternak di wilayah Indonesia, pemeliharaannya hanya sebatas kemampuan peternak atau

sebagai pengisi waktu dan tabungan. Usaha kambing di peternak belum banyak mengarah pada usaha

komersial, yang artinya betul-betul usaha untuk menghasilkan pendapatan yang optimal. Namun

walaupun demikian, kambing masih tetap primadonanya di wilayah masing-masing. Pada masing-

masing wilayah dengan perbedaan frekwensi genotipe Etawah dan Kacang dikenal berbagai nama

diantaranya kambing Bligon atau Jawarandu (Yogyakarta dan Jawa Tengah), kambing Rambon

(Lampung), dan kambing Weter (Maluku).

Budiharsana et. al. (2011), menyatakan bahwa populasinya kambing tidak dibedakan antara

bangsa kambing yang ada di setiap daerah, namun telah diketahui bahwa kambing kacang merupakan

bangsa utama yang ada di Indonesia. Sedangkan untuk kambing PE sampai saat ini usaha

pemeliharaan lebih banyak untuk produksi anak/bibit/daging dan produksi susu. Kambing yang

dipelihara di peternak belum dilakukan sistem perkawinan yang terarah, sehingga produktivitas

kambing yang dihasilkan kurang baik. Secara kasat mata dapat diketahui adanya variasi yang begitu

besar pada tampilan fisik kambing. Untuk itu maka diperlukan suatu perbaikan produktivitas kambing

PE, sehingga pemurniannya akan lebih baik. Bila pemurnian kambing tidak terarah, akan terancam

kepunahannya. Hal ini sangat mungkin terjadi karena pola breeding yang dilakukan peternak, pada

umumnya perkawinan kambing masih seadanya, mengandalkan pejantan yang ada. Bila tanpa

memperhatikan kaedah-kaedah pemuliabiakan semakin terancam, pemurnian kambing-kambing yang

ada di Indonesia, (Adiati dan Priyanto 2011). Dengan demikian dalam waktu cepat akan terjadi

degradasi mutu genetik kambing lokal di Indonesia termasuk kambing PE. Untuk itu perlunya seleksi

bangsa kambing yang mempunyai produktivitas yang tinggi. Perbaikan genetik kambing

merupakan salah satu cara yang sangat baik, untuk mengurangi produktivitas kambing yang rendah

(Budiarsana et. al. 2011), Mathur (1991, dalam Setiadi et al. (2000) melaporkan bahwa, telah

melakukan pengamatan yang sama terhadap Kambing Kacang secara intensif terhadap

produktivitasnya dengan diikuti seleksi. Sutama (1999) dalam Budiarsana (2011) melaporkan bahwa

hal yang sama juga dilakukan pada kambing PE dalam perbaikan produksi susu, Setiadi (2001),

melaporkan perbaikan produktivitas yang lebih cepat melalui program perkawinan silang Kambing

Kacang dan kambing Boer yang merupakan kambing tipe pedaging, melalui persilangan, sehingga

terjadi peningkatan berat lahir anak sebesar 13% dan berat sapih sebesar 50-70%. Sedangkan rataan

bobot badan Boer jantan pada umur 6 bulan sebesar 18,7 kg setara dengan berat Kambing Kacang

umur satu tahun.

Hal yang sama juga terjadi pada persilangan antara Kambing PE dengan Kambing Boer dan

Kambing Boerka (Sutama et al. 2002). Faktor yang penting diperhatikan dalam pengembangan

kambing adalah ketersediaan sumber hijauan pakan yang dapat dikonsumsi (Syamsu, 2003) dan

(Syamsu et al 2007). Selain itu juga yang harus ditangani adalah pengendalian penyakit, pemilikan

lahan, keterampilan atau sumberdaya manusia itu sendiri yang dapat meningkatkan hasil yang

Page 165: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

157

optimal. Kemauan peternak untuk usaha kambing, dukungan sarana, prasarana dan modal, maka

perkembangan kambing akan meningkat (Rusdiana et al., 2012). Pemeliharaan kambing dengan

manajemen yang lebih baik, maka produktivitas kambing yang dipelihara oleh setiap peternak,

produktivitasnya meningkat. Terdapat macam variasi fenotipik secara genetik, potensi kambing belum

dimanfaatkan secara optimal, sebagai bibit, anak dan daging, sehingga secara umum belum dapat

dijadikan suatu rumpun fenotip yang unggul. Tujuan tulisan ini adalah untuk mereview dan

mengidentifikasi keragaman dan reproduksi kambing yang ada di wilayah Indonesia.

Identifikasi Keragaman dan Sifat Kambing

Identifikasi kambing

Kambing dapat diidentifikasi atau diklasifikasikan menurut jenisnya, walaupun demikian ada

juga kambing persilangan antara kambing impor dengan kambing asli yang kemudian mampu

beradaptasi dengan baik pada kondisi lingkungan setempat yang kurang baik. Disetiap wilayah ternak

kambing mempunyai nama dengan arti tersendiri. Menurut Thalib et al. (2011) bahwa, pada

umumnya kambing dipelihara oleh peternak kecil, karena kambing mempunyai beberapa keunggulan

antara lain: membutuhkan modal usaha relatif kecil, mudah cara memeliharanya, mudah cara

penjualannya. Sumber daya genetik kambing yang ada di Indonesia memiliki karakteristik secara fisik

maupun daya adaptasi pada kondisi ligkungan tropis (Muryanto dan Pramono, 2012). Kambing sangat

bervariasi, sesuai dengan tempat asal serta kawasan pengembangannya.

Kambing lokal ada dua macam yaitu kambing asal Indonesia dan kambing asal impor

persilangan. Kambing mampu beradaptasi dan berkembang biak, baik dalam bentuk darah murni

maupun kambing hasil persilangannya dengan kambing asli. Jenis-jenis kambing yang berada di

Indonesia adalah kambing Kacang, Bligon, Rambon, Marica Lakor atau Wetar, Kosta, Gembrong,

Muara, Sabura dan Samosir, kambing impor persilangan adalah: Kambing Benggala, PE, Kaligesing,

Boer, dan persilangannya (Boerka, Boerawa), Saanen dan persilangannya, Anglonubian dan jenis

kambing lainnya.

Sifat kualitatif dan kuantitatif ternak kambing

Ternak kambing Peranakan Etawah (PE) mempunyai kualitas yang khas dibandingkan

dengan kambing lainnya. Kambing PE disamping menghasilkan produksi susu, daging dan kulit,

kondisi tubuh kambing PE sangat tinggi dengan postur tubuh yang gemulai sehingga banyak peternak

di pedesaan yang memeliharannya. Menurut Suparman et al., (2016) bahwa, jenis kambing yang

cocok untuk dikembangkan di peternak adalah Kambimg Peranakan Etawah dan mempunyai nilai

ekonomi harian dari produksi susu. Hasil usaha pemeliharaan Kambing PE banyak yang dihasilkan,

selain susu, daging dan kulit. Kambing PE jantan mempunyai harga yang pantas di pasar

dibandingkan dengan harga kambing jenis lainnya, seperti Kambing Kacang dan Kambing Kosta

lebih murah, karena kambing tersebut postur tubuhnya kecil. Kambing Etawah profil mukanya

Page 166: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

158

cembung dengan tanduk pejantan dan betina kecil yang melengkung kebelakang dengan ekor yang

pendek.

Sifat Kambing Peranakan Etawah (PE) yang ditetapkan sebagai galur ternak, dapat dilihat

dari sifat kualitatif pada Tabel 1. Berdasarkan standar nasional SNI No.7352:2008, sifat kualitatif

Kambing PE sesuai SNI adalah, warna bulu, berkombinasi warna putih dan hitam atau putih

kecoklatan. Persyaratan kuantitatif dan kualitatif pada kambing jantan PE dan betina PE terlihat pada

Tabel 2-3. Kambing PE terbagi menjadi 3 kelompok umur masing-masing: 0,5-1,0 tahun; >1,0-2,0

tahun dan diantara >2,0-4,0 tahun, ada perbedaan baik dari segi tanduk dan postur tubuh. Kambing

Peranakan Etawah (PE) pada kambing jantan dan betina secara kuantitatif yang diukur berdasarkan

bobot badan, tinggi pundak, panjang badan, lingkar dada, panjang telinga, dan panjang bulu surai

(rewos/gambol).

Tabel 1. Sifat Kualitatif Kambing Etawah Kaligesing

Bagian tubuh Uraian

Postur tubuh Besar, tegap dan kokoh

Telinga Lebar, panjang, menggantung dan ujungnya melipat menghadap kedepan

Tipe produksi Dwiguna sebagai penghasil anak/daging dan susu

Kepala Tegak dengan profil garis yang melengkung

Tanduk Jantan dan betina bertanduk pada umumnya mengarah kebelakang

Ambing Berkembang dengan bentuk mempunyai botol puting susu cukup besar

Testis Berkembang melingkar

Warna bulu Bervariasi belang, putih dengan bercak hitam, merah coklat, atau kombinasi

ketiganya

Kaki belakang Pada yang jantan maupun betina berbulu lebat dan pangan gumbal

Ekor Pendek, biasanya mengarah keatas / kebelakang Sumber: Muryanto dan Pramono (2012)

Tabel 2. Persyaratan Kuantitatif Kambing PE jantan sesuai dengan SNI 2008

No Parameter yang diukur satuan Umur ternak (tahun)

0,5-1,0 >1,0-2,0 >2,0-4,0

1 Bobot badan kg 29 + 5 40 + 9 54 + 11

2 Tinggi pundak cm 67 + 5 75 + 8 87 + 5

3 Panjang badan cm 53 + 8 61 + 7 63 + 5

4 Lingkar dada cm 71 + 8 80 + 8 89 + 8

5 Panjang telinga cm 32 + 6 26 + 4 30 + 4

6 Panjang bulu surai/rewos/gambol cm 11 + 4 14 + 5 23 + 5

Sumber: SNI 7325: 2008 dalam Muryanto dan Pramono (2012)

Page 167: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

159

Tabel 3. Persyaratan Kuantitatif Kambing PE betina sesuai dengan SNI 2008

No Parameter yang diukur Satuan Umur ternak (tahun)

0,5-1,0 >1,0-2,0 >2,0-4,0

1 Bobot badan kg 22 + 5 34 + 6 41 + 7

2 Tinggi pundak cm 60 + 5 71 + 5 74 + 5

3 Panjang badan cm 50 + 8 57 + 5 60 + 5

4 Lingkar dada cm 63 + 6 76 + 7 81 + 7

5 Panjang telinga cm 24 + 3 26 + 3 27 + 3

6 Panjang bulu surai/rewos/gembyeng cm 11 + 4 14 + 6 14 + 5 Sumber: SNI 7325: 2008 dalam Muryanto dan Pramono (2012)

Tabel 2-3, menunjukkan bahwa, persyaratan kambing jantan dan betina PE, harus mempunyai

standar yang telah dipersyaratkan SNN 2008. Tujannya adalah agar kambing yang dipelihara oleh

setiap peternak di pedesaan dapat menghasilkan produksi kambing yang cukup tinggi, sehingga

mendapat nilai jual yang cukup tinggi.

Beberapa sifat morfologi kambing PE

Hasil penelitian Adiati dan Priyanto (2011) bahwa pengukuran tubuh kambing sebanyak 25

ekor jantan prasapih dan sebanyak 17 ekor betina prasapih dari beberapa sifat kuantitatif morpologi

kambing PE yang diukur adalah, panjang badan, tinggi pundak, dalam dada, lingkar dada, tinggi

pinggul, dalam pinggul, lingkar pinggul, panjang ekor, panjang tanduk dan panjang telinga dalam

status fisiologinya terlihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Pengukuran Morfologi Kambing PE Jantan dan Betina Prasapih di Lokasi Lumajang

Bagian tubuh Jantan 2 ekor prasapih Betina 17 ekor prasapih

Panjang badan 4272 + 13,17a

36,61 + 5,93a

Tinggi pundak 44,98 +8,43a

40,50 + 6,46a

Tinggi pinggul 47,16 +8,18a

43,53 + 7,05a

Dalam dada 15,88 +2,84a

15,41 + 8,16a

Dalam pinggul 15,10 + 3,70a

12,88 + 2,61a

Panjang telinga 22,44 + 3,96a

21,85 + 3,97a

Panjang tanduk 1.75 + 1,19a

1,50 + 1,35a

Garis punggung 1,60 + 0,50a

1,65 + 0,49a

Lingkar dada 47,26 + 8,87a

41,94 + 10,18a

Lingkar pinggul 45,90 + 11,61a

44,06 + 9,38a

Panjang ekor 11,96 + 2,22a

11,47 + 1,95a

Sumber: Adiati.dan Priyanto., (2011)

Produksi Kambing dan Pertumbuhannya

Produksi Kambing Boer dan Kacang

Usaha peternakan kambing agar menghasilkan produksi yang tinggi, maka cara usahanya

harus dengan baik, diantaranya penyediaan pakan hijauan yang berkualitas, kandang dan perkawinan

tidak inbreeding, bibit kambing yang produktif. Hasil produksi kambing yang menggunakan bibit

yang baik serta perkawinan kambing juga terarah (tidak inbreeding), akan menghasilkan produksi

Page 168: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

160

kambing cukup tinggi. Jenis-jenis kambing yang banyak diusahakan oleh peternak di setiap wilayah

pedesaan akan berbeda, diantaranya adalah kambing Etawah, kambing Kosta, dan kambing Saanen,

tujuannya untuk menghasilkan nilai ekonomi. Kebanyakan keberadaan kambing yang dipelihara oleh

setiap peternak tidak dilihat dari jenis dan keturunannya. Peternak hanya sebatas kemampuan

memelihara, dengan tujuan dapat menghasilkan anak serta dapat dijual lebih cepat dalam keadaan

keperluan mendesak. Selama ini daging kambing pada umumnya dikonsumsi oleh golongan

masyarakat berpenghasilan tinggi.

Perbaikan mutu genetik kambing sangat perlu dilakukan, untuk meningkatkan produktivitas

atau meningkatkan kualitas dan komposisi produk yang dihasilkan. Produktivitas pada kambing

adalah berupa daging, kriteria tersebut merupakan hal yang terpenting tanpa mengabaikan sifat-sifat

lainnya seperti karkas(Subandriyo, 2004). Sedangkan hasil penelitian Ramjali dan Setiadi (2001)

dalam Sutama (2004) mengemukakan bahwa, mengenai pertumbuhan anak kambing, kacang, PE dan

Boer serta persilangannya terlihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Pertumbuhan Anak Kambing Kacang dan PE, Boer dan Persilangannya.

Parameter Keterangan (Ramjali 2001) Keterangan (Setiadi 2001)

Boer Boer x Kc PE x Kc Boer x Kc Kc x Kc

Berat lahir 2.62 2.22 2.04 2.42 2.14

Berat sapih 10.50 7.69 5.20 13.02 7.67

PBBH pra sapih 87.60 60.10 35.20 117-21.4 73.3

Berat umur 6-8 bl (kg) - -

Berat umur 12 bl (kg) - -

Sumber: Ramjali dan Setiadi. 2001 dalam Sutama. 2004

Tabel5, menunjukkan bahwa dari kedua hasil penelitian parameter yang diukur adalah berat

lahir Boer dan Kacang 2,22 kg (Ramjali, 2001 dalam Sutama, 2004) dan berat sapih Boer dan kacang

7,69 kg sedangkan hasil penelitian Setiadi, (2001) dalam Sutama (2004) 2,42 kg dan Boer dan kacang

sebanyak 13,02 kg lebih tinggi. Dengan semakin tingginya (kuantitas) dan semakin mampunya

(kualitas) peternak melakukan penyilangan sendiri, maka sebenarnya akan semakin sulit menentukan

jenis kambing. Kambing kacang jantan dan betina keduanya merupakan tipe kambing pedaging.

Beberapa parameter reproduksi ternak kambing

Pemeliharaan kambing tingkat penerimaan dari usaha ternaknya akan sangat dipengaruhi oleh

produktivitas ternak, pada dasarnya produktivitas seekor ternak menyangkut kinerja produksi dan

reproduksi. Keberhasilan ternak melakukan aktivitas reproduksinya dikendalikan oleh mekanisme

hormonal dan hormon seperti estrogen, progesteron. FSH, LH dan testosteron yang merupakan

hormon reproduksi terpenting yang terlibat dalam proses perkawinan, ovulasi pembuahan dan

kebuntingan (Sutama 2004). Dari segi ilmu peternakan sangat penting dan segera diintroduksikan ke

petani-petani kecil di pedesaan, selama ini petani ternak masih banyak pemeliharaannya bersifat

Page 169: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

161

tradisional, yang tidak memperhatikan perkawinan, keturunan dan jenis ternak yang dipelihara, petani

hanya mengetahui bahwa ternaknya dapat beranak dan dapat menyumbangkan hasil pendapatan pada

saat dibutuhkan. Parameter reproduksi kambing terlihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Beberapa Parameter Reproduksi Ternak Kambing

Parameter reproduksi Rataan (kisaran)

Tipe siklus birahi Polyestrus dan tidak terpengaruh musim

Panjang siklus birahi 21 hari

Lama birahi 36 jam

Lonjakan sekresi LH (LH surge) 3-6 jam setelah onset birahi

Ovulasi 12-24 jam setelah lonjakan LH atau 30-36 jam setelah

onset birahi

Waktu kawin yang optimal 24-36 jam setelah onset birahi

Lama bunting 150 hari (147-155 hari)

Sumber hormone progesterone selama

kebuntingan Corpus luteum

Tipe plasenta Katiledon

Umur puberitas 6-8 buah

Sumber: Sutama 2004

Tabel 6. Menunjukkan bahwa, rata-rata lama ternak kambing bunting sekitar 150 hari atau

rata-rata sekitar 147-155 hari dan umur pubertas rata-rata sekitar 6-9 bulan, baik untuk jantan maupun

untuk betina. S/C (Service per conception) adalah jumlah perkawinan yang diperlukan sampai

terjadinya kebuntingan. Pada nilai angka perkawinan per kebuntingan S/C dapat dicapai dengan

mengatur waktu manajemen perkawinan yang tepat (Sulaksono et al., 2010). Menurut Wasiati dan Edi

(2018), untuk meningkatkan produktivitas pada kambing perlu penyediaan pakan yang berkualitas dan

manajemen pemeliharaan yang baik. Perbaikan mutu genetik kambing perlu dilakukan, gunanya

untuk meningkatkan produktivitas dan meningkatkan kualitas, serta komposisi produksi kambing

yang dihasilkan. Untuk keragaman kambing secara genetik perlu dilakukan, karena kambing banyak

kemiripan dan sifat yang dimilikinya.

Kesimpulan

Jenis-jenis kambing yang tersebar di setiap wilayah pedesaan, banyak dipelihara oleh

peternak kecil. Kambing terdapat macam variasi fenotip, secara genetik serta potensi kambing belum

dimanfaatkan secara optimal, sebagai bibit, anak, daging dan secara umum belum dapat dijadikan

suatu rumpun fenotipe yang unggul. Masalah yang lainnya adalah manajemen pakan dan perkawinan

kambing sangat jarang diperhatikan oleh peternak. Reproduksi kambing tergantung dari hasil kawin

alam, semakin tinggi derajat kawin alam (inbreeding), maka produktivitas kambing akan semakin

rendah. Perbaikan mutu genetik kambing perlu dilakukan, gunanya untuk meningkatkan produktivitas

dan meningkatkan kualitas, serta komposisi produksi kambing yang dihasilkan. Untuk keragaman

Page 170: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

162

kambing secara genetik perlu dilakukan, karena kambing banyak kemiripan dan sifat yang

dimilikinya.

Daftar Pustaka

Adiati.U., dan . Priyanto, D. 2011. Karakteristik morfologi kambing pe di dua lokasi sumber bibit.

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Puslitbangnak,

Badanlitbang Pertanian, Kementrian Pertanian, Bogor, Jnauari 2011, Hal.472-478

Adiati.U. Hastono, I.K.Sutama, D.Yulistiani dan I.G,m. Budiarsana. 2001. Pemberian konsentrat

dengan level protein yang berbeda pada induk kambing pe selama bunting tua dan laktasi.

Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner.Puslitbangnak, Bogor 17-18 September

2001, hal.,247-255

Budiarsana.I.G.M, 2011.Produktivitas dan nilai ekonomi ternak kambing perah pada skala

kecil.Prosiding Workshop Nasional Diversifikasi Pangan Daging Ruminansia

Kecil.Puslitangnak, bekerjasama dengan Puslitbangbun, Jakarta 15 Oktober 2012.Hal. 119-

126

Chalib.T., R.H. Matondang dan T. Herawati. 2011. Model Pembibitan kambing dan domba di

indonesia. prosiding workshop nasional diversifikasi pangan daging ruminansia kecil.

Puslitangnak, bekerjasama dengan Puslitbangbun, Jakarta 15 Oktober 2012Hal, 55-63.

Direktor Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. Kementrian Pertanian.2012. Stataistik

Peternakan 2013 Jakarta

Disnak Propinsi Jawa Tengah. 2010. Proposal Penetapan Rumpun Ternak Kambing Kaligesing

Semarang. 2010. Kurniasih.N.N., A.M. Fuah1 dan R.Priyanto. 2013. Karakteristik reproduksi dan

perkembangapopulasi kambing peranakan Etawah di lahan pasca galian pasir.Jurnal Ilmu

Produksi dan Teknologi Peternakan1(3):132-137

Muryanto dan Djoko Pramono. 2012. Potensi sumberdaya genetik kambing kaligersing sebagai galur

ternak lokal, Prosiding Seminar Nasional Kemadirian Pangan. Universitas Padjadjaran

Bandung bekerjsama dengan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat, Bandung Juli

201. Hal. 99-113

Ruasdiana, S., U. Adiati dan L. Praharani. 2012. Peningkatan produktivitas pemeliharaan ternak

kambing lokal di perdesaan. seminar nasional peternakan dan kebelajutan III Fakultas

Peternakan Universitas Padjadjaran Bandug (Unpad). September 2011, hal, 145-152

Syamsu.J.A. 2007. Karakteristik pemanfaatan limbah tanaman pangan sebagai pakan ternak ruminansia pada peternakan rakyat Di Sulawesi Selatan. Makalah disampaikan dalam seminar

Nasional Asosiasi Ahli Nutrisi dan Pakan Indonesia (AINI) VI.Kerjasama Bagian Nutrisi dan

Makanan TernakFakultas Peternakan UGM Yogyakartadan AINI.Yogyakarta 26-27 Juli

2007.

Syamsu.J.A., Lily.A., Sofyan, K. Mudikdjo dan E. Gumbira.S. 2003. Daya Dukung Limbah Pertanian

Sebagai Sumber Pakan Ternak Ruminansia di Indonesia. Jurnal Wartazoa 13: 32-37.

Subadnriyo.2004. Femanfaatn Plasma Nutfah Kambing Lokal dan Peningkatan Mutu Genetik

Kambing di indonesia. Prosiding Lokakarya Nasional Kambing Potong. Pusat Penelitian dan

Pengembangan Peternakan Bogor, 6 Agustus 2004, hal. 39-50

Subandriyo, B.Setidi, D.Priyanto., M.Rangkuti., W.K. Sejati dan Hastono. 1995. Analisis Potensi

Kambing Peranakan Etawah dan Sumberdaya dan Daerah Sumber Bibit Pedesaan. Laporan

Hasil Penelitiandi kabupaten Kulon Progodan Kabupaten Purwerejo, Puslitbangnak Bogor.

Setiadi,B.I.Inounu, Subandriyo, K.Dwiyanto. I.K. Sutama M.Martawidjaya.A. Anggraeni.A.Wilson

dan Nugroho.2000. Peningkatan Produktivitas kambing melalui metode persolangan. Edisi

Khusus Kumpulan Hasil-hasil Penelitian Peternakan, Balai Penelitian Ternak, Bogor, hal.

147-165.

Setiadi.B., Subandriyo,.M.Martawidjaya. D.Priyanto, D.Yulistiani, T.Sartika, B. Tiesnamurti, K.

Dwiyanto dan L. Praharani. 2001. Evaluasi peningkatan Prodyktivitas kambing persilangan.

Edisi Khusus Kumpulan Hasil-hasil Penelitian Peternakan, Balai Penelitian Ternak, Bogor,

hal. 157-178.

Page 171: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

163

Setiadi.B., B. Tiesnamurti , Subandryo, T. Srtika, U. Adiati., D. Yulistiani dan I.Sendow. 2002.

Koleksi dan Evaluasi Karakteristik Kambing Kosta dan Gembrong Secara Ex-situ. Laporan

Hasil Penelitian APBN 2001. Balai Penelitian Ternak Ciawi-Bogor. hal. 59-73

Sutama,I.K. I.G.M.Budiarsana, H.Setianto and A.Priyanti. 1995. Productiv and reproductive,

performance of young Peranakan Etawah does JITV 1 (2): 81-85

Sutama.I.K. 1999. Peningkatan Produktivitas Kambing Peranakan Etawah sebagai Penghasil daging

dan susu melalui teknologi pemuliaan. Edisi Khusus Kumpulan Hasil-hasil Penelitian

Peternakan, Balai Penelitian Ternak, Bogor, hal. 197-203.

Sutama.I.K., B. Setiadi., I.G.M.Budiarsana, T. Kostaman, A.Wahyuarman,M.S. Hidayat, Mulyawan,

R.Sukmana dan Bachtiar. 2002. Pembentukan Kambing Persilangan Boerka untuk

Meningkatkan Produksi Daging.Hasil-Hasil Penelitian Peternakan, Balai Penelitian Ternak

Ciawi-Bogor, hal.89-93.

Sutama.I.K. 2004. Tantangandan Peluang Peningkatan Produktivitas Kambing Melalui Inovasi

Teknologi Reproduksi. Prosiding Lokakarya Nasional Kambing Potong. Pusat Penelitian dan

Pengembangan Peternakan Bogor, 6 Agustus 2004, hal. 51-60

Sulaksono Adi, Sri Suharyati dan Purnama Edy Santosa.2010.Penampilan Reproduksi (Service Per

Conception, Lama Kebuntingan Dan Selang Beranak) Kambing Boerawa Di Kecamatan

Gedong Tataan Dan Kecamatan Gisting, [Internet] [Didonlot tgl, 22 September 2019] .

tersedia dari. https://media.neliti.com/media/publications/233362-penampilan-reproduksi-

service-per-concep-57383ad5.pdf

Suparman1, Harapin Hafid2, dan La Ode Baa2. 2016. Kajian pertumbuhan dan produksi kambing

peranakanettawa jantan yang diberi pakan berbeda, Jurnal JITRO 3(3):1-9

Wasiati Hera dan Edi Faizal. 2018. Peternakan kambing Peranakan Etawah (PE) di Kabupaten Bantul.

Jurnal ANDIMAS Unmer Malang 3(1):8-14.

Page 172: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

164

Uji Kinerja Mesin Pencacah Rumput Gajah Untuk Pakan Ternak dengan

Menggunakan Pisau Tipe Reel

Performance Chopper Machines Elephant Grass with Cutter Reel Type

Wahyu K Sugandi

1, Asep Yusuf

1, Muhammad Saukat

1

1Departemen Teknik Pertanian dan Biosistem, Universitas Padjajaran

*Korspondensi: [email protected]

Abstrak

Kebutuhan akan rumput gajah untuk pakan ternak di daerah Lembang kuantitas terus

meningkat akan tetapi kualitas pemotongan belum sesuai dengan kebutuhan pakan ternak dimana

panjang potongan hasil cacahan masih ada yang diatas 5 cm. Oleh sebab itu perlu adanya suatu

penelitian tentang teknologi pencacahan rumput gajah yang sesuai dengan standar pembuatan silase

(pakan ternak) dengan ukuran potongan rumput 1-5 cm. Tujuan dari penelitian ini adalah

mengembangkan mesin yang mampu mencacah rumput gajah dengan mekanisme pemotongan yang

presisi pada tingkat ukuran yang diperlukan (1-5 cm). Metode yang digunakan pada penelitian ini

yaitu metode rekayasa dengan tahapan penelitian sebagai berikut: (1) Pengukuran karakteristik

rumput gajah, (2) Analisis desain mesin pencacah rumput gajah yang meliputi desain silinder pisau

pencacah, desain hoper, rangka dan sistem transmisi (3) Pembuatan prototipe mesin pencacah rumput

gajah, (4) Uji fungsional mesin pencacah rumput gajah (5) Uji kinerja mesin pencacah rumput dan (6)

Pengukuran panjang potongan rumput.Pengujian terhadap mesin hasil rancang bangun menunjukkan

bahwa karakteristik fisik dari rumput gajah hasil pengukuran diperoleh data sebagai berikut: rata –

rata panjang daun 99,4 cm, lebar daun 2,65 cm, tebal daun 0,23 cm, berat daun 7,8 gram. Dimensi

mesin adalah panjang 800 mm, lebar 750 mm dan tinggi 104 mm. Daya yang dibutuhkan untuk

mencacah rumput gajah adalah 1,6 KW dan kapasitas mesin adalah 1988 kg/jam. Panjang hasil

pemotongan terhadap rumput gajah adalah 1 – 3 cm

Kata Kunci: Rumput Gajah, Uji Kinerja Mesin, Daya Pemotongan

Abstract

The need grass for fodder in the region Lembang has been increasing. But the quality did not yet to

needs of cutting fodder where long pieces of shredded result there are more than 5 cm. Therefore

there was needs to be a studied of technology cutting of elephant grass in accordance with the

standart SNI. The purpose of this research was developed a machine capable of chopping grass with

a precision cutting mechanism at the level of the required size (1-5 cm). The method used in this

research was the method of engineering with research stages as follows: (1) Measurement

characteristics of elephant grass, (2) design analysis elephant grass covering chopper blade cylinder

design include design hoper, chassis and transmission systems (3) The built machine chopper (4)

functional test machine (5) test performance machine and (6) length measurement Tests on engine

design results showed that the physical characteristics of grass measurement results obtained the

following data: average - the average length of 99.4 cm leaf, leaf width 2.65 cm, 0.23 cm thick leaves,

leaf weight 7.8 grams . The dimensions of the machine were the length of 800 mm, width 750 mm and

height of 104. Power needed for chopped cane was 1.6 KW and machine capacity ware 1988 kg / hr.

The length of the grass cutting results was 1-3 cm

Keyword: Elephant Grass, Test Performance Machine, Cutting Power

Page 173: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

165

Pendahuluan

Hijauan Makanan Ternak (Forages) merupakan bahan makanan atau pakan utama bagi

kehidupan ternak serta merupakan dasar dalam usaha pengembangan peternakan terutama untuk

ternak ruminansia termasuk didalamnya sapi perah, sapi potong (pedaging). Untuk meningkatkan

produktivitas ternak, salah satu faktor penting yang harus diperhatikan adalah penyediaan pakan

hijauan sepanjang tahun baik kualitas dan kuantitas yang cukup agar pemenuhan kebutuhan zat-zat

makanan ternak untuk mempertahankan kelestarian hidup dan keutuhan alat tubuh ternak (kebutuhan

hidup pokok) dan tujuan produksi (kebutuhan produksi) dapat berkesinambungan. Hal ini

dimungkinkan bila kita mampu mengelola strategi penyediaan pakan hijauan baik rumput maupun

legum.

Di Indonesia dengan kondisi iklim dan tanah yang subur membuat peternak tidak pernah

memikirkan dan merencanakan penyediaan pakan hijauan yang cukup baik kualitas maupun

kuantitasnya. Sebagian besar peternak umumnya belum memiliki lahan yang cukup untuk budidaya

hijauan, bahkan ada yang tidak memiliki lahan kebun rumput. Keterbatasan lahan untuk penanaman

hijauan merupakan kendala bagi peternak. Disamping itu para peternak belum mengupayakan lahan

kebun rumputnya dikelola secara baik dan efektif sehingga produktivitasnya belum optimal.

Produksi rumput dari kebun rumput bila dipelihara secara optimum pada bulan basah akan

menghasilkan hijauan yang maksimum, tetapi hal ini perlu dilakukan penanganan secara baik dan

benar untuk dijadikan cadangan pada musim kemarau, sehingga memenuhi kebutuhan hijauan untuk

ternaknya baik secara kuantitas maupun kualitas. Hal ini dapat dilakukan jika sistem pengelolaan

penyediaan hijauan dari pemotongan kemudian pencacahan dan diberikan langsung kepada ternak

atau disimpan terlebih dahulu di gudang hijauan baru diberikan kepada ternak. Perubahan ini tidak

mudah tetapi jika dicoba akan memberikan hasil yang efisien dan efektif dengan memfungsikan

gudang pakan sebagai sentral manajemen pakan. Pada lingkup gudang pakan inilah perencanaan

pakan peternak bermula, dari mulai panen hijauan hingga prosesing hijauan untuk persediaan

dimusim sulit pakan. Salah satu sistem pengelolaan penyediaan hijauan adalah cara silase. Silase

adalah pakan yang telah diawetkan yang diproduksi atau dibuat dari tanaman yang dicacah, pakan

hijauan, limbah dari industri pertanian dan lain-lain dengan kandungan air pada tingkat tertentu yang

diisikan dalam sebuah silo. Salah satu syarat dalam pembuatan silase adalah hijauan dalam hal ini

adalah rumput gajah telah tercacah dengan baik dengan ukuran 1 – 5 cm setelah itu lalu dimasukkan

kedalam silo yang dicampurkan dengan dedak dalam kondisi anaerob selama 21 hari untuk proses

fermentasi.

Data yang diperoleh dari Perum Perhutani KPH Bandung Utara pada bulan Desember 2011

kebutuhan hijauan makanan ternak mencapai 600 ton/hari. Kebutuhan ini merupakan kebutuhan para

peternak sapi yang tergabung dalam Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara (KPSBU). Mengingat

besarnya kuantitas rumput yang akan dicacah, kegiatan pencacahan hanya mungkin dilakukan dengan

mekanisasi. Spesifikasi mesin pencacah juga harus memenuhi kebutuhan dan kondisi peternak sapi

Page 174: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

166

yang ada di Indonesia. Beberapa penelitian yang berhubungan dengan pencacahan seperti Mekanisme

Pemotong Rumput Tipe Rotary (Suharyatun, 2002), Rancang Bangun Perajang Tembakau (Supriyadi,

2011), Alat Pencacah Kompos (Sudrajat,2006), Analisis Mekanisme Pemotongan Pelepah dan Tandan

Sawit (Yazzid,2003) telah dilakukan tetapi penelitian yang khusus mengenai pencacah rumput gajah

dengan menggunakan pisau tipe reel belum ada. Sehingga perlu dilakukan penelitian tentang

teknologi pencacahan rumput gajah.

Tujuan Dan Kegunaan

Penelitian ini bertujuan untuk menkaji kinerja mesin pencacah yang meliputi kapasitas

mesin, daya pemotongan, kecepatan putar (rpm) dan panjang hasil pemotongan. Sedangkan

kegunaan dari penelitian ini diharapkan dapat mambantu para peternak terutama kualitas cacahan

rumput gajah yang dibutuhkan oleh ternak.

Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode rekayasa (engineering) yaitu

melakukan suatu kegiatan perancangan (design) yang tidak rutin, sehingga didalamnya terdapat suatu

kontribusi baru baik dalam proses maupun produk.

Bahan dan Peralatan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rumput gajah, benda kerja berupa besi

siku, poros, plat, dan besi behel. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Mesin dan

peralatan kerja bengkel, Timbangan digital, Timbangan gantung, Stopwatch, Tachometer, Soundlevel

Meter, Vibration Meter, Clamp meter, Sabuk dan Puli, Bearing, Oven, Motor listrik.

Page 175: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

167

Tahapan Penelitian

Adapun Tahapan penelitian seperti yang disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Tahapan Penelitian

a. Identifikasi masalah. Permasalahan yang dihadapi oleh peternak sapi di daerah Lembang

adalah masalah kualitas rumput gajah untuk pakan ternak. Hal ini dikarenakan panjang

potongan rumput gajah yang belum memenuhi standar SNI yaitu sekitar 1 – 5 cm.

b. Perumusan disain. Berdasarkan masalah yang ada kemudian dirumuskan kriteria mesin

pencacah yang sesuai dengan kebutuhan. Setelah kriteria perancangan ditetapkan kemudian

proses perancangan yang dimulai dengan perancangan fungsional, bentuk dasar mesin dan

melakukan analisa teknik untuk menentukan komponen – komponen mesin.

c. Pembuatan mesin. Mesin dibuat di Bengkel Bahagia Jaya dan Uji Kinerja dilakukan di

bengkel Alat dan Mesin Pertanian, FTIP, UNPAD.

d. Pengujian fungsional. Pengujian ini dilakukan untuk melihat apakah mesin dapat berfungsi

atau melakukan tugas yang diinginkan atau tidak. Bila ya maka dilanjutkan pada uji kinerja

mesin, bila tidak maka dilakukan modifikasi mesin.

Perumusan desain

Pengujian fungsional

Pengujian Kinerja Di

Laboratorium

Pembuatan Prototipe

Ya

Tidak

Identifikasi Masalah

Penulisan Laporan Akhir

Artikel, Buku Ajar Pengolahan Data

Modifikasi

Mulai

Selesai

Page 176: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

168

e. Modifikasi. Hal ini dilakukan bila terdapat ketidaksesuaian antara rancangan funsional

dengan operasional mesin pada saat dijalankan.

f. Uji Kinerja Mesin. Kegiatan ini dilakukan untuk mengetahui spesifikasi dari mesin itu

sendiri. Seperti kapasitas, tingkat getaran mesin, tingkat kebisingan, daya pemotongan dan

lain – lain.

Hasil dan Pembahasan

Karakteristik Fisik Rumput Gajah

Pengukuran karakteristik rumput gajah telah dilakukan di laboratorium Alat dan Mesin

Pertanian, FTIP Unpad seperti yang disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Pengukuran Karakteristik Fisik Rumput Gajah

Dari hasil pengukuran terhadap rumput gajah (Lampiran 4) diperoleh data – data seperti pada

Tabel 1

Tabel 1. Pengukuran Karakteristik Fisik Rumput Gajah

Karakteristik Rata – rata Kisaran

Panjang daun 99,4 cm 63 – 139,8 cm

Lebar Daun 2,65 cm 1,4 - 4,8 cm

Tebal daun 0,23 cm 0,23 cm

Berat daun 7,8 gram 4,2 – 11,4 gram

Dari data tersebut diperoleh rata – rata panjang daun adalah 99, 4 cm, lebar daun adalah 2,65

cm, tebal daun adalah 0,23 cm dan berat daun adalah 7,8 gram. Data – data tersebut sangat diperlukan

khususnya dalam mendesain mesin pencacah rumput gajah. Tebal daun adalah 0.23 cm (2.3 mm)

maka jarak antara pisau pemotong rumput gajah tidak boleh lebih dari 2.3 mm.

Bulk Density Rumput Gajah

Pengukuran kerapatan isi (bulk density) rumput gajah dilakukan Laboratorium Alat dan

Mesin Pertanian dengan bantuan bak kayu sebagai volume seperti yang disajikan pada Gambar 3.

Page 177: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

169

Gambar 3. Pengukuran Bulk Density

Berdasarkan hasil pengukuran yang disajikan pada Lampiran 5 kerapatan isi rata-rata 157

kg/m3. kerapatan isi akan sangat mempengaruhi mekanisme, pengaliran rumput gajah menuju bagian

pencacah. Data tersebut juga bermanfaat untuk menentukan bentuk dan ukuran unit hoper dan unit

pencacah serasah tebu.

Kadar Air Rumput Gajah

Hasil pengukuran (Gambar 4) dan perhitungan mengenai kadar air serasah tebu pada basis

kering menunjukan bahwa rata – rata kadar rumput gajah adalah 81.1%, dengan penagturan suhu

1100C , selama 2 x 24 jam.

Gambar 4. Pengukuran Kadar Air

Pembuatan Mesin Pencacah Rumput Gajah

Secara keseluruhan proses pembuatan prototipe mesin pencacah serasah tebu didasarkan pada

gambar kerja hasil rancangan. Adapun proses pembuatan dimulai dari pembuatan hoper, pembuatan

rangka, silinder pencacah, sistim transmisi, dan lubang pengeluaran. Dengan mengikuti kaidah –

kaidah dalam mendisain suatu mesin, khususnya mesin – mesin pertanian pada akhirnya desain mesin

pencacah rumput gajah dapat di pabrikasi. Secara struktural mesin pencacah rumput gajah tebu dapat

dilihat pada Gambar 5.

Page 178: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

170

Gambar 5. Prototipe Mesin Pencacah Rumput Gajah Dengan Menggunakan Pisau Tipe Reel

Uji Kinerja Mesin Pencacah Rumput Gajah

Uji kinerja secara stasioner (off farm) terhadap mesin pencacah rumput gajah telah dilakukan

dengan bahan umpan adalah rumput gajah. Tujuan utama dalam uji kinerja ini adalah untuk

mengetahui kemampuan mengalirkan bahan uji dalam hal ini adalah rumput gajah sekaligus

mencacahnya menjadi potongan – potongan kecil. (Gambar 6) Selain itu juga untuk mengetahui

kapasitas aktual pada mesin tersebut dan hasil cacahannya.

Gambar 6. Proses Pengujian Mesin Pencacah Rumput Gajah

Page 179: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

171

Berdasarkan hasil pengukuran kapasitas aktual mesin rumput gajah adalah 1988 kg/jam.

Waktu yang diukur pada saat pengujian dimulai dari rumput masuk hoper kemudian diteruskan pada

bagian pencacah dan akhirnya keluar pada bagian pengeluaran. Tetapi panjang potongan dari rumput

gajah masih jauh dari harapan lebih dari 4 cm dan hasil potongannya tidak seragam. Hal ini

dikarenakan sudut pemotongan dari pisau pemotong tidak seragam, jarak antara pisau yang bergerak

dengan pisau diam kurang rapat sekitar 1 – 2 mm. Untuk mendapatkan hasil yang diharapkan telah

dilakukan perbaikan khususnya pada sudut pemotongan yang telah diseragamkan sebesar 3o, lalu

memperbaiki kerapatan antara pisau bergerak dengan pisau diam dengan jarak 0.5 mm. Adapun

untuk pengukuran daya pencacahan, kecepatan putar tingkat kebisingan dan tingkat getaran seperti

yang disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Data Pengujian Mesin Pencacah Rumput Gajah

Item Pengujian Beban Kosong Beban

Kapasitas Mesin - 1988 Kg/jam

Daya Mesin Pencacah 0,2 KW 1,6 KW

Kecepatan Putar 1003 RPM 942 RPM

Tingkat Getaran 3,35 mm/s 18,23 mm/s

Tingkat Kebisingan 78,11 dB 78,91 dB

Dari data tersebut dapat dijelaskan bahwa Daya untuk mencacah rumput gajah adalah 1,4

KW. Kecepatan putar menurun sekitar 61 rpm karena ada beban. Tingkat kebisingan dan tingkat

getaran menaik ketika rumput gajah dimasukkan kedalam mesin pencacah rumput tetapi nilai tersebut

masih dibawah ambang batas yang disarankan oleh KEPMENAKER yaitu 80 dB.

Hasil Pemotongan Rumput Gajah

Jika dilihat secara keseluruhan terhadap hasil pemotongan rumput gajah. Maka terlihat bahwa

pemotongan terhadap rumput gajah dengan menggunakan mesin pencacah rumput gajah tipe reel

mendapatkan hasil potongan yang cukup rapih dan seragam. Adapun beberapa daun yang tidak

tercacah dikarenakan daun tersebut berbentuk pipih dan biasanya melilit pada silinder pencacah. Hasil

cacahan rumput gajah pada mesin pencacah dapat dilihat pada Gambar 7

Gambar 7. Hasil Pemotongan Rumput Gajah

Page 180: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

172

Adapun hasil pemotongan serasah setelah posisi pisau diperbaiki yaitu berkisar antara 1 - 3

cm mendekati perhitungan secara teoritis seperti yang terlihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Panjang Potongan Rumput Gajah

Kesimpulan dan Saran

Kesimpulan

1. Karakteristik fisik dari rumput gajah hasil pengukuran diperoleh data sebagai berikut: rata –

rata panjang daun 99,4 cm, lebar daun 2,65 cm, tebal daun 0,23 cm, berat daun 7,8 gram .

2. Kerapatan isi (bulk density) serasah tebu adalah 157 kg/m3 dengan kadar air bahan 81,1%.

3. Dimensi mesin adalah panjang 800 mm, lebar 750 mm dan tinggi 1042. Jumlah pisau

sebanyak 8 buah. Sistem transmisi menggunakan belt dan puli dengan ratio reduksi 1: 1,4 dari

motor penggerak ke unit pencacah.

4. Kapasitas Mesin adalah 1988 Kg/jam.

5. Daya yang dibutuhkan untuk mencacah serasah tebu adalah 1,6 KW

6. Tingkat getaran mesin 3,35 mm/s.

7. Tingkat kebisingan mesin 78,11 dB

8. Panjang rata - rata pemotongan yang dihasilkan antara 1 – 3. cm.

Saran

Untuk mendapatkan hasil potongan yang optimal disarankan untuk menggunakan pisau tipe

helix. Perlu adanya tingkat clearance yang bisa diatur antara pisau diam (bed knife) dengan pisau

bergerak .

Daftar Pustaka

Abbas.1996. Usaha Ternak Sapi. Kanisius. Yogyakarta

Anonimous. 2001. Pengawetan Hijauan Pakan Ternak (Silase). Proyek Peningkatan Sapi Perah Dirjen

Peternakan – JICA Japan. Dinas Peternakan Jawa Barat

Beard JB. 1982. Turf Management for Golf Course: A Publication of The United State Golf

Association. Minnesota. Burgers Publishing Company.

Hunt, D. 1983. Farm Power and Machinery Managemet 8th Ed. Iowa State University Press Ames,

Iowa.

Page 181: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

173

Kim, K.H., 1989. Food Processing Equipment in Asia And The Pasific. Nordica International

Limited. Hongkong

Khurmi, R.S. 2002. Strength of Materials. S Chand & Company Ltd. Ram Nagar, New Delhi.

Mardison. 2000. Rancang bangun pisau pemotong rumput tipe reel dengan menggunkan paket

program CAD (Skripsi). Bogor. Fakultas Teknologi Pertanian Bogor. Institut Pertanian Bogor

Persson, Sverker. 1987. Mechanics of Cutting Plant Material. An ASAE Monograph Number 7 in a

series published by American Society of Agricultural Engineers. Michigan

Robert Worsing. 1995 Rural Rescue and Emergency Care. American Academy of orthopaedic

Surgeons.

Suharyatun. 2002. Mekanisme Pemotong Rumput Tipe Rotary. (Tesis). Sekolah Pasca Sarjana IPB.

Bogor

Supriyadi. 2011. Rancang Bangun Perajang Tembakau (Skripsi). Institut Teknologi Surabaya

Srivastava.1993 Engineering Prinsiple of Agricultural Machine.ASAE Textbook Number 6 Published

by American Society of Agricultural Engineers.

Sitkey, G. 1986. Mechanics Of Agricultural Matrial. ELSEVIER, Amsterdam.

Sudrajat. 2006. Mengelola Sampah Perkotaan. Penebar Swadaya. Jakarta

Sakai, RG Sitompul, E.Namaken, Radite PAS, N Suastawa. 1998. Traktor 2 – Roda. Laboratorium

Alat dan Mesin Budidaya Pertanian. Jurusan Teknik Pertanian Fateta IPB Bogor.

Page 182: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

174

Inovasi Strategi Screening Isolat Bakteri Asam Laktat (BAL) yang Diisolasi dari Daging

dan Susu Sebagai Penghasil Milk Clooting Enzyme (MCE)

Wendry S Putranto

1, Lilis Suryaningsih

1, Apon Z Mustopa

2, Lita Triratna

2, Andry Pratama

1

1Departemen Teknologi Hasil Peternakan, Fakultas Peternakan UNPAD,Jatinangor

2Pusat Penelitian Bioteknologi, LIPI, Cibinong

Korespondensi: [email protected]

Abstrak

Strategi screening yang dapat direkomendasikan tersebut digunakan untuk mendapatkan isolat BAL

potensial menghasilkan Milk Clooting Enzyme (MCE) dengan aktivitas menggumpalkan susu (Milk

Clotting Activity) yang dapat dimanfaatkan sebagai alternatif pengganti rennin dalam pembuatan

keju. Pendekatan yang dilakukan adalah melakukan screening berdasarkan aktivitas penggumpalan

(clotting zone) isolat BAL yang belum teridentifikasi pada Skim Milk Agar (SMA) dan pengujian Milk

Clotting Activity (MCA) crude extract RLP (Rennin Like Protease) yang diproduksi, dan selanjutnya

melakukan identifikasi terhadap isolat BAL terpilih. Penelitian dilakukan secara eksploratif dan

analisis deskriftif. Pada tahap pertama dilakukan isolasi dan screening isolat BAL yang memiliki

kemampuan mengekresikan enzim proteolitik pada media Skim Milk Agar (SMA)(a). Isolat yang

menunjukkan clear zone disekitar koloninya selanjutnya dimurnikan. Pada penelitian ini diperoleh 30

isolat murni BAL dengan aktivitas proteolitik. Tahapan pemurnian pada media SMA dan diperoleh 4

isolat BAL dengan karakteristik penggumpalan skim disekitar koloninya (clotting zone). Sebagai

upaya untuk mengkuantifikasi aktivitas penggumpalan maka dilakukan pengujian dengan Blok Agar

(SMA modifikasi) dan diperoleh gambaran aktivitas penggumpalan tehadap skim tersebut dengan

ukuran diameter (cm). Isolat BAL yang menyebabkan atau memiliki diameter penggumpalan (clotting

zone) yang tinggi memiliki aktivitas MCA (Milk Clotting Activity) yang tinggi pula. Pengujian MCA

yang menunjukkan aktivitas penggumpalan skim secara kuantitatif. Dalam pengujian MCA selain

diamati nilai aktivitas penggumpalan (SU/mL), dalam penelitian ini dilakukan pula pengamatan

secara kuantitatif persentase curd yang diperoleh serta secara kualitatif diamati tingkat kekompakan

curd yang terbentuk. Upaya screening yang bertahap tersebut merupakan inovasi dalam proses

screening sehingga diharapkan dapat diperoleh isolat BAL potensial dalam memproduksi RLP.

Kata Kunci: bakteri asam laktat, screening, rennin like protease

Pendahuluan

Rennin Like Protease (RLP) adalah enzim protease yang memilki karakteristik seperti rennin

yang dihasilkan anak sapi (veal). Karakteristik yang dimaksud adalah kemampuan dari enzim untuk

menggumpalkan susu (daya koagulasi) atau Milk Clotting Activity. Enzim yang memiliki kemampuan

menggumpalkan susu dikenal pula dengan Milk Clotting Enzymes (MCEs) (Wilkinson and Kilcawley

2005). RLP diperlukan sebagai alternatif untuk menggantikan rennin yang dihasilkan anak sapi dalam

proses pembuatan keju.

Rennin Like Protease (RLP) isolat lokal Bakteri Asam Laktat memiliki potensi dikembangkan

sebagai enzim untuk pembuatan keju sehingga diperlukan upaya eksplorasi potensi isolat lokal BAL

dalam memproduksi RLP melalui teknik screenning aktivitas proteolitik (PA) dan Milk Clotting

Activity (MCA). Teknik screenning awal untuk menggali potensi dari mikroba dalam hal ini BAL

menggunakan media Skim Milk Agar (SMA) telah banyak dilakukan peneliti untuk mengetahui

kemampuan isolat mikroba menghasilkan enzim secara ekstraseluler dengan menambahkan substrat

spesifik pada media tumbuh mikroba (media padat/agar). Pada screenning isolat BAL, yeasts, kapang

Page 183: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

175

ditambahkan kasein kurang lebih 2-3% pada media agar. Isolat yang menunjukkan zona bening

disekitar koloni isolat tersebut menunjukkan potensi isolat tersebut menghasilkan protease

ekstraseluler. Teknik screening tersebut hanya menunjukkan bahwa isolat mikroba dapat

menghasilkan zona bening disekitar koloninya.

Screening isolat bakteri pada tahap awal dapat menggunakan media agar dengan penambahan

substrat kasein. Metode ini telah banyak dilakukan untuk mendapatkan isolat-isolat potensial dalam

menghasilkan protease secara ekstraseluler. Beberapa peneliti menggunakan substrat kasein untuk

screenning mikroba penghasil protease (Verma et al. 2001; Chi et al. 2007; Sindhu et al. 2009).

Selanjutnya untuk mengetahui aktivitas enzim dalam koagulasi susu Milk Clotting Activity (MCA)

yaitu menggunakan substrat casein (dalam CaCl2 dan diinkubasi selama 5 menit pada 35 0C, dan

selanjutnya ekstrak enzim rennin ditambahkan. Lama waktu yang diperlukan sejak ditambahkan

ekstrak enzim sampai terjadinya koagulasi kasein menunjukkan aktivitas enzimnya (Ottani et al.

1991). Tahapan screenning yang dilakuan untuk mendapatkan mikroba potensial menghasilkan PLR

melalui pengujian MCA (Milk Clotting Activity) dan PA (Proteolytic Activity) (El-Tanboly et al.

2013). Penelitian bertujuan untuk mendapatkan metode screening yang tepat untuk mendapatkan

isolat BAL dengan kemampuan menghasilkan Rennin Like Protease yang dapat dimanfaatkan sebagai

alternatif pengganti rennin.

Metode Penelitian

Isolasi dan Screening Isolat BAL dengan Aktivitas Proteolitik

Isolasi BAL diperoleh dari Bakasam (fermentasi daging sapi) dan dari susu kambing Etawa

dengan menggunakan media MRS agar yang ditambahkan skim 3%. Koloni BAL yang menunjukkan

zona bening (clear zone) di sekitar koloni merupakan isolat BAL proteolitik dengan kemampuan

mengeksresikan enzim protease ekstraseluler.

Screenning Isolat BAL Proteolitik dengan Aktivitas MCA dengan Metode Skim Milk Agar

(SMA) modifikasi.

Untuk mendapatkan isolat BAL proteolitik dengan indikasi aktivitas penggumpalan pada susu

maka dilakukan pengamatan terhadap karakter isolat BAL tersebut pada media MRSA mengandung

skim 3%. Isolat BAL yang menunjukkan penggumplan skim pada media merupakan isolat BAL

proteolitik yang memiliki aktivitas menggumpalkan kasein (skim). Kuantifikasi kemmapuan

menggumpalkan kasein maka dilakukan screenning dengan modifikasi metode Skim Milk Agar

dengan membuat Block Agar.

Metode Block Agar

Upaya kuantifikasi aktivitas MCA pada media MRSA maka dilakukan modifikasi dengan

media Block Agar. Menyiapkan media A: Isolat yang potensial (SMA positif) dikultur merata (swab)

Page 184: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

176

pada media masing-masing (BAL: MRSA) dan inkubasi (BAL: 37

ºC, 24 jam). Media B:

mempersiapkan MRSA (BAL) yang telah ditambahkan substrat (kasein) 2-3 persen dan buat lubang

plug. Dibuat plug pada Media A yang telah ditumbuhi BAL secara merata dan pindahkan pada lubang

plug pada Media B seperti memasang Block, selanjutnya dilakukan inkubasi dan ukur zona bening

atau zona penggumpalan susu (clotting zone) yang dihasilkan (cm)

Pengujian Aktivitas Milk Clotting Activity (MCA)

Isolat BAL terpilih dengan aktivitas proteolitik dan clotting zone pada media SMA modifikasi

dilakuan pengujian kuantifikasi aktivitas MCA (SU/mL). Isolat BAL ditumbuhkan pada 5 ml MRS

broth inkubasi 37 ºC, selama 24 jam. Selanjutnya dilakukan sentrifugasi dengan kecepatan 10.000 g,

selama 30 menit, pada suhu 4 ºC. Supernatan yang merupakan crude enzyme dipisahkan pada

eppendorf steril dan dilakukan pengujian MCA (Otani et al. 1991).

Aktivitas Koagulasi (Milk Clotting Activity) (Otani et al. 1991)

Milk Clotting Activity diukur dengan mereaksikan 5 ml substrat 10 % skim milk dalam 10

mM CaCl2 dan diinkubasikan selama 5 menit pada 370C dan selanjutnya ditambahkan 0,5 ml enzim

sampel. Waktu yang diperlukan dari penambahan enzim sampel sampai terjadinya koagulasi dicatat.

Perhitungan MCA menurut Kawai dan Mukai (1970) adalah:

SU = 2400x5xD/Tx(0,5)

Keterangan:

D = faktor pengenceran enzim,

T = waktu terjadinya koagulasi

1 Soxhlet Unit (SU) = jumlah enzim yang diperlukan untuk menggumpalkan 1 ml substrat selama

40 menit pada suhu 350C

Hasil dan Pembahasan

Screenning aktivitas proteolitik dengan menggunakan media MRSA yang telah ditambahkan

skim milk 3% (Verma et al. 2001; Chi et al. 2007; Sindhu et al. 2009). Isolat BAL yang menunjukkan

zona bening (clear zone) disekitar koloni menunjukkan isolat BAL tersebut memiliki kemampuan

menghasilkan protease ekstraseluler dan diperoleh 30 isolat yang memiliki kemampuan menghasilkan

protease ekstraseluler. Protease ekstraseluler yang diekskresikan isolat BAL menghidrolisis substrat

kasein (skim) menjadi potongan peptida yang lebih kecil sehingga terlihat bening disekitar koloni

bakteri tersebut. Selanjutnya dilakukan pemurnian isolat dengan aktivitas proteolitik tersebut dan

diperoleh 30 isolat BAL dengan aktivitas proteolitik. Pada tahap awal isolasi dan pemurnian isolat

Page 185: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

177

BAL ini dilakukan pengamatan mikroskopis sehingga diharapkan diperoleh isolat BAL murni

sebelum dilakukan screening lebih lanjut.

Screening Skim Milk Agar (SMA)

Isolat-isolat BAL proteolitik yang telah dipastikan kemurniannya berdasarkan pengamatan

mikroskopis, selanjutnya dikultivasikan pada MRSA mengandung skim milk 3% dan diperoleh 3

isolat BAL dengan karakter selain menghidrolisis kasein disekitar koloni terlihat pula adanya

koagulasi disekitar koloninya (Gambar.1). Pada tahap isolasi dan screening proteolitik belum

mendapatkan karakter terbentuknya penggumpalan (clotting zone) atau precipitation zone disekitar

koloninya.

Gambar.1. Isolat BAL pada media MRSA + skim 3%. (A) 1.15; (B) 1.13 ; (C) 1.14 ; (D) 2.12

Karakteristik penggumpalan (clotting) disekitar koloni BAL merupakan indikasi protease

yang diproduksi memiliki aktivitas mampu menggumpalkan skim. Sehingga indikasi adanya clotting

zone disekitar koloni BAL memberikan indikasi awal yang kuat bahwa isolat bakteri tersebut mampu

memproduksi protease ekstraseluler yang memiliki aktivitas menggumpalkan susu. Selanjutnya isolat-

isolat BAL yang menunjukkan karakteristik clotting zone maka dilakukan pengujian lanjutan untuk

mengamati aktivitas tersebut dengan modifikasi metode SMA (Skim Milk Agar). Karakteristik

penggumpalan masing-masing isolat (Gambar.10) dapat kita bedakan menjadi dua karakter yaitu: (1)

Karakter penggumpalan (clotting/presipitation) disekitar koloni dan terdapat pola zona clear zone (A

dan D). Sedangkan yang kedua (2) yaitu karakter yang menunjukkan aktivitas penggumpalan (clotting

dan precipitation) akan tetapi tidak terdapat clear zone disekitar koloni.

Aktivitas Clotting Zone (Precipitation Zone)

Untuk mendapatkan kuantifikasi aktivitas koagulasi kasein pada MRSA maka dilakukan

modifikasi metode SMA dan diperoleh diameter clotting (clotting zone). Hasil pengukuran clotting

zone disajikan pada Tabel.1. Berdasarkan hasil pengukuran clotting zone menunjukkan bahwa isolat

1.13 memiliki diameter yang terbesar yaitu 2,3 cm. Hal ini menunjukkan bahwa isolat BAL tersebut

sangat potensial menghasilkan RLP dibandingkan isolat yang lain.

A B C D

Page 186: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

178

Tabel.1. Hasil pengujian aktivitas clotting zone pada MRSA + skim 3%

No Isolat Sumber Isolasi Clotting Zone (cm) Clear zone Morfologi

1. 2.12 Susu Kambing 1.5 +

2. 1.13a Bakasam daging domba 1.4 -

3. 1.13 Bakasam daging sapi 2.3 -

4. 1.14 Bakasam daging itik 1.5 +

5. 1.15 Bakasam daging sapi 2.1 -

Keterangan: Diameter penggumpalan (clotting zone) skim pada media MRSA

Clear Zone: (+) terdapat clear zone disekitar koloni; (-) tidak terdapat clear zone

Modifikasi metode SMA dengan menggunaakan Blok Agar dapat memberikan gambaran

awal tentang potensi isolat BAL dalam memproduksi RLP. Besarnya diameter clotting zone

memberikan indikasi bahwa RLP yang dihasikan memiliki aktivitas penggumpalan yang tinggi pula.

Sehingga modifikasi metode ini dapat digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam screening

potensi mikroba dalam menghasilkan RLP dan indikasi awal aktivitas MCA yang dimiliki.

Page 187: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

179

Pada Tabel.1. menunjukkan bahwa isolat 2.12 memiliki karakteristik penggumpalan disekitar

koloni clotting zone dengan diameter 1,5 cm dan terdapat clear zone disekitar koloninya dan demikian

pula dengan isolat 1.14 memiliki clotting zone dengan diamater 1,5 cm. Sedangkan isolat 1.13a

memiliki diameter clotting zone 1,4 cm, isolat 1.13 dengan diameter 2,3 cm, serta isolat 1,15 dengn

diameter 2,1 cm. Ketiga isolat tersebut tidak terdapat daerah clear zone. Karakteristik yang dimiliki

isolat BAL dengan kemampuan menghasilkan RLP hampir sama dengan Paenibacillus spp. Strain

BD3526 yang menunjukkan zona bening disekitar koloni dan presipitation zone (Hang F et al. 2016).

Dalam modifikasi media Blok Agar memiliki kelebihan yaitu dengan metode screenning tersebut

memberikan gambaran yang lebih terkuantifikasi berkenaan dengan kemampuan menghasilkan RLP.

Semakin besar diameter clotting zone (presipitation zone) yang ditunjukkan isolat tersebut maka

semakin besar pula potensinya dalam menghasilkan RLP. Pada beberapa penelitian yang telah

dilakukan dalam screening potensi isolat bakteri dalam menghasilkan RLP tidak dilakukan upaya

kuantifikasi terhadap kemampuan isolat tersebut. Dalam penelitian ini diharapkan dengan kuantifikasi

kemampuan terbentuknya clotting zone maupun presipitation zone dapat lebih memberikan gambaran

terhadap potensi isolat yang diujikan.

Karakteristik kemampuan menggumpalkan kasein tersebut dapat dibandingkan dengan

karakteristik isolat yeasts (khamir) dan kapang dengan aktivitas proteolitik tinggi yang mampu

menghidrolisis kasein disekitar koloni secara sempurna sehingga terbentuk zona bening (clear zone)

yang cukup besar, akan tetapi tidak terbentuk adanya clotting zone yang dapat digunakan sebagai

indikasi bahwa isolat tersebut mampu menghasilkan RLP

Milk Clotting Activity (Kumara et al. 2005)

Isolat BAL yang memiliki karaktersitik clotting zone pada pengujian SMA maupun

modifikasi SMA (Blok Agar) yaitu isolat 2.12, 1.13a, 1.13, dan 1.15 pada tahap selanjutnya dilakukan

pengujian aktivitas Milk Clotting Activity (MCA) dari RLP yang dihasilkan. Dalam pengujian MCA

dilakukan produksi crude enzyme dari RLP isolat-isolat BAL tersebut. Produksi menggunakan MRS

broth pada inkubasi suhu 37 ºC selama 24 jam. Crude enzyme RLP diperoleh dengan sentrifugasi

10.000 g selama 30 menit pada suhu 40C, supernatan merupakan crude enzyme. Beberapa peneliti

dalam screening potensi RLP menggunakan pendekatan dengan melakukan pengujian MCA secara

langsung dari isolat yang telah teridentifikasi. Dalam penelitian ini dilakukan upaya screening

bertahap sehingga hanya isolat BAL yang menunjukkan karakteristik clotting zone dilakukan

pengujian aktivitas MCA, hal ini merupakan strategi untuk mendapatkan isolat BAL yang

menghasilkan RLP dengan aktivitas MCA yang cukup tinggi.

Page 188: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

180

Tabel.2. Hasil pengujian aktivitas clotting zone dan milk clotting activity

No Nama Isolat Sumber Isolasi Clotting zone (cm) Milk Clotting Activity (SU/mL)

1. 2.12 Susu kambing Ettawa 1.5 18

2. 1.13a Bakasam daging domba 1.4 18

3. 1.13 Bakasam daging sapi 2.3 100

4. 1.14 Bakasam daging itik 1.5 18

5. 1.15 Bakasam daging sapi 2.1 20

Berdasarkan hasil analisis MCA (Tabel.2) menunjukan bahwa isolat BAL dengan clotting

zone yang besar yaitu isolat 1.13 dengan clottting zone 2,3 cm memiliki aktivitas MCA tertinggi yaitu

100 SU/mL. Data tersebut mengkonfirmasi bahwa terdapat hubungan yang positif antara clotting zone

dan aktivitas MCA yang dihasilkan. Semakin besar diameter clotting zone maka aktivitas MCA dari

RLP yang diproduksi juga semakin tinggi. Dengan mengetahui hubungan antara clotting zone dan

MCA maka dalam proses eksplorasi isolat lokal BAL maka diharapkan dapat diperoleh isolat BAL

terpilih dengan potensi yang tinggi dalam menghasilkan RLP dengan aktivitas MCA yang tinggi pula.

Beberapa peneliti melakukan pendekatan screenning dengan langsung menguji aktivitas MCA crude

enzyme yang dihasilkan dari 19 isolat kapang yang telah teridentifikasi (El-Tanboly ES et al. 2013).

Sebagai pembanding dilaporkan Mucor pusillus QM436 menghasilkan crude rennin like protease

dengan MCA 50 SU/ml (El-Tanboly et al. 2013). Enzim kasar yang diproduksi oleh Bacillus

stearothermophilus memiliki (MCA) sebesar 24,23 SU/ml, serta Bacillus subtilis and MTCC 10422

sangat potensial menyebabkan terbentuknya curd kasein (Narwal et al. 2016).

Inovasi Strategi Screening Isolat BAL Penghasil RLP

Strategi yang dapat direkomendasikan untuk mendapatkan isolat BAL potensial dengan

kemampuan menghasilkan RLP dengan aktivitas MCA yang diharapkan dapat diilustrasikan pada

Gambar.13. Pendekatan yang dilakukan adalah melakukan screening berdasarkan aktivitas

penggumpalan (clotting zone) isolat BAL yang belum teridentifikasi pada Skim Milk Agar (SMA) dan

pengujian Milk Clotting Activity (MCA) crude extract RLP yang diproduksi, dan selanjutnya

melakukan identifikasi terhadap isolat BAL terpilih.

Page 189: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

181

Gambar.2. Tahapan screening untuk mendapatkan isolat BAL dengan kemampuan menghasilkan RLP

Screnning isolat BAL

proteolitik (clear zone) disekitar koloni BAL

a

Screnning isolat BAL

dengan penggumpalan

kasein disekitar koloni

(clotting zone)

b

Kuantifikasi clotting zone

dengan metode Skim Milk

Agar Modifikasi (Blok

Agar) c

Pengujian Milk Clotting

Activity (MCA) (SU/mL)

dan pengamatan curd

yang dihasilkan

d e

Identifikasi isolat BAL terpilih (16S rRNA)

Page 190: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

182

Sebagai upaya untuk mendapatkan isolat BAL potensial dalam menghasilkan RLP maka

dengan menggunakan pendekatan yang diilustrasikan pada Gambar.2. Pada tahap pertama dilakukan

isolasi dan screening isolat BAL yang memiliki kemampuan mengekresikan enzim proteolitik pada

media Skim Milk Agar (SMA)(a). Isolat yang menunjukkan clear zone disekitar koloninya

selanjutnya dimurnikan. Pada penelitian ini diperoleh 30 isolat murni BAL dengan aktivitas

proteolitik. Tahapan pemurnian tetap menggunakan media SMA dan diperoleh 4 isolat BAL dengan

karakteristik penggumpalan skim disekitar koloninya (clotting zone) (b). Sebagai upaya untuk

mengkuantifikasi aktivitas penggumpalan maka dilakukan pengujian dengan Blok Agar (SMA

modifikasi) dan diperoleh gambaran aktivitas penggumpalan tehadap skim tersebut dengan ukuran

diameter (cm) (c). Isolat BAL yang menyebabkan atau memiliki diameter penggumpalan (clotting

zone) yang tinggi memiliki aktivitas MCA (Milk Clotting Activity) yang tinggi pula. Selanjutnya

dilakukan pengujian MCA yang menunjukkan aktivitas penggumpalan skim secara kuantitatif (d).

Dalam pengujian MCA selain diamati nilai aktivitas penggumpalan (SU/mL), dalam penelitian ini

dilakukan pula pengamatan secara kuantitatif persentase curd yang diperoleh serta secara kualitatif

diamati tingkat kekompakan curd yang terbentuk (e). Upaya screening yang bertahap tersebut

merupakan inovasi dalam proses screening sehingga diharapkan dapat diperoleh isolat BAL potensial

dalam memproduksi RLP. Setelah melalui proses screening diperoleh 4 isolat BAL yang potensial

menghasilkan RLP dan selanjutnya dilakukan identifikasi dengan pendekatan molekuler (16S rDNA).

Proses identifikasi dilakukan pada tahap akhir setelah screening bertujuan untuk mengefisienkan

proses penelitian.

Kesimpulan

Untuk mendapatkan isolat BAL potensial dalam menghasilkan Rennin Like Protease

ekstraseluler meliputi tahapan isolasi dan screening yaitu: screnning isolat BAL proteolitik (clear

zone) disekitar koloni BAL, screnning isolat BAL dengan penggumpalan kasein disekitar koloni

(clotting zone), kuantifikasi clotting zone dengan metode Skim Milk Agar Modifikasi (Blok Agar),

dan pengujian Milk Clotting Activity (MCA) (SU/mL) dan pengamatan curd yang dihasilkan.

Daftar Pustaka

Chi Z, Ma C, Wang P, Li HF. 2007. Optimization of medium and cultivation conditions for alkaline

protease production by the marine yeast Aureobasidium pullulans. Biores. Technol. 98: 534-

538.

El-Tanboly ES, El-Hofi M, Youssef YB, El-Desoki W. Ismail A .2013. Utilization of salt whey from

Egyptian ras (Cephalotyre) cheese in microbial milk clotting enzymes production. Acta Sci.

Pol., Technol. Aliment. 12(1): 9-19.

Hang F, Wang Q, Hong Q, Liu P, Wu Z, Liu Z, Zhang H, Chen W.2016.Purification and

characterization of a novel milk-clotting metalloproteinase from Paenibacillus

spp.BD3526.International Journal of Biological Macromolecules (85): 547-554.

http://dx.doi.org/10/j.ijbiomac.2016.01.028.

Page 191: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

183

Narwal RK, Bhushan B, Pal A, Panwar A, Malhotra S.2016.Purification, physico-chemico-kinetic

characterization and thermal inactivation thermodynamics of milk clotting enzyme from

Bacillus subtillis MTCC 10422.LWT-Food Science and Technology (65):652-660.

http://dx.doi.org/10.1016/j.lwt.2015.08.065.

Otani H., Mitsuhiro I., Akiyoshi H., 1991. The screening of trees having milk activity. Anim. Sci.

Tech. 62, 417.

Sindhu R, Suprabha GN, Shashidhar S. 2009. Optimization of process parameters for the production

of alkaline protease from Penicillium godlewskii SBSS 25 and its application in detergent

industry. Afri. J. Microbiol. Res. 3(9): 515-522.

Verma R, Sil K, Pandey AK, Rajak RC. 2001. Solid state fermentation to produce alkaline protease

by Aspergillus fumigatus B149. Ind. J. Microbiol. 41: 111-114.

Wilkinson MG, Kilcawley KN.2005.Mechanism of incorporation and relrease of enzymes in cheese

during ripening. International Dairy Journal, 15: 817-830.

Page 192: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

184

Pemberian Pakan Aditif untuk Menurunkan Kandungan Sel Somatic Susu Sapi Perah

Feed Additive to Reduce Somatic Cell Content in Dairy Milk

Y. Widiawati

1, E. Wina

1 dan A. Anggraeni

1

1Balai Penelitian Ternak, Jl. Veteran III PO BOX 221 Ciawi Bogor 16002

*Korespondensi: [email protected]

Abstrak

Kejadian mastitis sub klinis menyebabkan kerugian ekonomi sebesar 15-30%/ekor/laktasi. Penyebab

mastitis sub klinis adalah Staphylococcus aureus dan Streptococcus agalactiae, dimana kehadiran

somatic sel (SC) menandai adanya mastitis sub klinis. Suplementasi antioksidan dalam bentuk vitamin

dan mineral membantu mencegah dan menyembuhkan sapi yang terkena mastitis sub klinis.

Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian pakan aditif Balitnak yang mengandung

vitamin E, mineral Se dan antioksidan alami, terhadap kandungan SC susu sapi perah. Sebagai

pembanding diberikan pula pakan aditif komersial. Sebanyak 24 ekor sapi perah (bunting 8-9 bulan)

dibagi menjadi 3 kelompok mengikuti rancangan acak kelompok, yaitu kelompok kontrol diberi

pakan basal, kelompok perlakuan 1 diberi pakan basal + pakan aditif komersial (678 mg/hari); dan

kelompok perlakuan 2 diberi pakan basal + pakan aditif Balitnak (678 mg+antioksidan alami 2,16

gram). Perlakuan diberikan selama 3 bulan. Pengamatan dilakukan selama 2 bulan masa laktasi

terhadap konsumsi, produksi dan kualitas susu, dan kandungan SC dalam susu. Hasil menunjukkan

bahwa ternak di tiga kelompok mengkonsumsi jumlah bahan kering dan protein kasar pakan yang

sama. Rataan produksi susu harian induk sapi di kelompok kontrol lebih rendah (14,05 Liter/hari)

dibandingkan pada kelompok perlakuan 15,59 liter/hari (Perlakuan 1) dan 16,54 liter/hari (Perlakuan

2). Induk laktasi pada kelompok kontrol dan Perlakuan 2 mempunyai kandungan lemak susu yang

sama (4,0-4,07%) lebih tinggi dibandingkan kelompok Perlakuan 1 (3,83%). Terdapat indikasi

penurunan jumlah SC pada susu sapi yang diberi perlakuan 2. Dapat disimpulkan bahwa pemberian

pakan aditif yang mengandung antioksidan selama 3 bulan dapat menekan jumlah SC dalam susu.

Kata kunci: Sapi perah, sel somatic, mastitis, pakan aditif

Abstract

The incidence of sub-clinical mastitis causes economic losses up to 15-30%/head/lactation. The sub-

clinical mastitis is causes by Staphylococcus aureus and Streptococcus agalactiae. The presence of

somatic cells (SC) in milk indicates the incident of sub-clinical mastitis in lactating cow. Antioxidant

supplementation in the form of vitamins and minerals helps prevent and cure cows from sub-clinical

mastitis. The aim of this study was to determine the effect of feed additives containing vitamin E,

mineral Se and natural antioxidants (feed additive Balitnak) on SC content in dairy cow milk. A total

of 24 dairy cows (pregnant 8-9 months) were divided into 3 groups, following a randomized group

design, the control group was fed by basal feed, treatment group 1 was fed by basal feed +

commercial feed additive (678 mg/day); and treatment group 2 was fed by basal feed + feed additive

Balitnak (678 mg + natural antioxidant 2.16 grams). The treatment is given for 3 months.

Observations were made during the 2-month of lactation period on feed consumption, milk production

and quality, and SC content in milk. The results showed that all cows in the three groups consumed

similar amount of dry matter and crude protein. The average daily milk production of cows in the

control group was lower (14.05 Liters/day) compared to the treatment 1 group (15.59 liters/day and

16.54 liters/day (treatment 2 group). The fat content of milk was similar for the two groups, the

control group and treatment 2 group (4.0-4.07%) and was higher than that of treatment 1 group

(3.83%). There is an indication on decreasing in the amount of SC in cow's milk in treatment 2 group.

It can be concluded that the feeding of additives containing antioxidants for 3 months can reduce SC

contain in milk.

Keywords: dairy cows, somatic cells, mastitis, feed additives

Page 193: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

185

Pendahuluan

Mastitis yang disebabkan karena mikroorganisma diketahui sebagai penyakit yang paling

merugikan pada sapi perah. Hal ini disebabkan karena mastitis berdampak pada jumlah dan kualitas

susu yang dihasilkan. Ada dua macam mastitis, yaitu mastitis klinis dan mastitis sub-kli nis. Pada

kasus mastitis klinis, maka ternak menunjukkan tanda-tanda seperti meningkatnya temperatur tubuh,

rasa sakit pada ambing dan susu yang tidak normal. Sehingga mastitis ini mudah untuk terdeksi dan

diobati. Lain halnya dengan mastitis sub-klinis, dimana ternak tidak menunjukkan tanda-tanda klinis,

tetapi ditandai dengan meningkatnya jumlah Somatic cel (SC) pada susu (Huijps et al., 2008) dan

terjadinya penurunan pada kualitas susu dan kesehatan ternak. Peningkatan jumlah SC pada susu

merupakan salah satu indikator adanya mikroba dalam kelenjar susu (Atakisi et al., 2010).

Kebanyakan kasus mastitis terjadi pada induk yang baru melahirkan, yaitu selama bulan

pertama laktasi dan juga selama masa kering kandang (Sordillo et al., 2007; Gu et al., 2009). Kasus

mastitis ini berkaitan dengan dilepaskannya radikal bebas, peningkatan total kapasitas oksidan dan

penurunan kapasitas antioksidan dalam susu yang dihasilkan (Atakisi et al., 2010). Radikal bebas

diketahui dapat diatasi secara langsung yaitu dengan cara pengikatan menjadi senyawa lain atau

secara tidak langsung yaitu dengan cara dihambat pembentukannya melalui aktivitas oksidasi enzim-

enzimnya. Unsur yang dapat melakukan pengikatan maupun penghambatan pembentukan radikal

bebas adalah antioksidan.

Banyak sumber antioksidan, diantaranya adalah vitamin dan mineral. Keduanya diketahui

berfungsi sebagai antioksidan yang dapat meningkatkan kesehatan dan produksi ternak. Kedua unsur

tersebut dilaporkan mempunyai peran spesifik dalam mengatasi mastitis pada sapi perah (Weiss et al.,

2004, O‘Rourke, 2009, Ata and Zaki, 2014). Beberapa vitamin yang dapat berfungsi sebagai

antioksidan adalah vitamin A, C, E dan β-caroten. Sedangkan mineral yang dapat berfungsi sebagai

antoksidan adalah mineral Se, Zn dan Cu (Yang and Li, 2015).

Beberapa studi mengindikasikan terjadinya penurunan jumlah SC pada kasus mastitis sub-

klinis induk sapi yang diberi antoksidan dalam bentuk mineral pada dua minggu menjelang

melahirkan sampai 100 hari setelah melahirkan (pada awal kelahiran) (Kellogg et al, 2004; O‘Rourke,

2009; Ata and Zaki, 2014). Pemberian antioksidan dalam bentuk vitamin yang diberikan pada induk

sapi laktasi dilaporkan pula dapat menurunkan kejadian matitis (Jin et al., 2014; LeBalnc et al., 2004).

Namun demikian dalam pemberian antioksidan vitamin dan mineral ini perlu mempertimbangkan

pula kandungan mineral dan vitamin yang ada pada pakan yang diberikan dan konsumsi pakan harian.

Penurunan imunitas ternak juga dapat terjadi akibat kurangnya asupan nutrisi sebagai akibat

rendahnya konsumsi pakan. Jumlah vitamin dan mineral yang diperlukan oleh induk bunting dan

laktasi sudah direkomendasikan oleh NRC (2001). Kelebihan pemberian vitamin dan mineral dari

yang diperlukan oleh ternak dapat menyebabkan keracunan.

Page 194: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

186

Pemberian pakan aditif ini pada pejantan dan induk kerbau, kambing dan sapi perah

meningkatkan kualitas sperma dan meningkatkan reproduksi induk kerbau (Winugroho, et al., 2014 ;

2015). Pakan adiitf ini telah banyak didiseminasikan guna mendukung program nasional UPSUS

SIWAB. Pada penelitian yang dilaporkan dilakukan pengujian pakan aditif yang telah ditingkatkan

kemampuan kerjanya dengan penambahan bahan yang mengandung antioksidan alami yaitu kulit

manggis, yang kemudian dinamakan Pakan aditif Balitnak terhadap kasus mastitis sub klinis. Pakan

aditif Balitnak teridir dari tiga sumber antioksidan, yaitu vitamin dan mineral serta bahan alami yang

terkomposisi dalam pakan aditif

Materi dan Metode

Tempat, waktu dan ternak

Penelitian dilaksanakan di kandang percobaan Balai Penelitian Ternak Ciawi selama 4 hulan

dari bulan April sampai Juli. Sebanyak 24 ekor sapi perah pada periodel laktasi ke 1 sampai 3 dan

bunting tua (8-9 bulan) dengan rataan bobot badan 588,5 + 54,6 kg dibagi menjadi 3 kelompok

mengikuti persyaratan rancangan acak kelompok berdasarkan laktasi dan bobot badan. Rataan bobot

badan untuk kelompok kontrol (BB 589,5 + 75,1 kg), kelompok perlakuan 1 (BB 590 + 62,6 kg), dan

kelompok perlakuan 2 (BB 586 + 36,7 kg).

Pakan

Ternak diberi pakan basal berupa rumput raja (RR), daun legum yang terdiri dari Gliricidia

dan Kaliandra (GK), konsentrat (KST) dan ampas tahu (AT) dengan komposisi dalam bahan kering

adalah 61% RR: 24% KST: 10% GK: 5% AT. Semua ternak diberi pakan basal untuk memenuhi

kebutuhan energi dan protein untuk induk yang sedang bunting tua dan awal laktasi (NRC 2001).

Jumlah pakan dalam sehari dibagi dua, kemudian satu bagian diberikan pada pagi hari jam 08.00 dan

bagian lainnya diberikan sore hari jam 14.00. Air minum disediakan sepanjang hari. Kandungan

nutrisi setiap bahan pakan yang digunakan dalam penelitian disajikan pada Tabe 1.

Tabel 1. Kandungan nutrisi bahan pakan yang digunakan selama penelitian.

Jenis Bahan air protein Lemak GE Abu Ca P

(%) (%) (%) Kkal/kg (%) (%) (%)

Rumput Gajah 7,05 9,19 2,1 3940 10,05 0,36 0,51

Ampas Tahu 4,15 18,63 9,74 4529 4,2 0,32 0,37

Konsentrat 12,55 15,9 5,06 3938 7,99 0,95 0,86

Kaliandra 6,82 25,81 3,37 4468 6,52 0,73 0,24

Gliricidia 6,77 26,02 2,64 4644 4,58 0,34 0,23

Hasil analisa laboratorium proksimat Balai Penelitian Ternak

Page 195: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

187

Pakan yang diberikan kepada ketiga kelompok ternak adalah iso protein dan energi. Hal ini

untuk meyakinkan bahwa respon yang diberikan oleh ternak lebih disebabkan karena adanya

pemberian pakan aditif dan bukan karena perbedaan nutrisi pakan yang diberikan.

Perlakuan

Penelitian menggunakan 3 perlakuan termasuk didalamnya kelompok kontrol. Ternak pada

kelompok kontrol hanya diberi pakan basal; ternak di kelompok perlakuan 1 diberi pakan basal

ditambah dengan pakan aditif komersial; ternak di kelompok perlakuan 2 diberi pakan basal ditambah

dengan pakan aditif Balitnak.

Pakan aditif komersial terdiri dari bahan berupa vitamin E sebanyak 95,7% dan mineral Se

sebanyak 4,3% (Winugroho et al., 2014 dan 2015). Sedangkan pakan aditif Balitnak terdiri dari 23,8%

vitamin E; 0,15% Mineral Se dan 76,05% antioksidan dari kulit manggis. Pakan aditif komersial

diberikan sebanyak 678 mg/ekor setiap hari dengan dicampur tepung beras sampai mencapai berat 10

gram. Sedangkan pakan aditif Balitnak diberikan sebanyak 678 mg Vitamin E dan Se serta 2,16 gram

sumber antioksidan yaitu tepung kulit manggis yang dicampur dengan tepung beras 10 gram.

Pencampuran dengan 10 gram tepung beras dimaksudkan untuk memudahkan proses pencampuran

unsur-unsur vitamin, mineral dan kulit manggis agar lebih mudah dicampur dalam konsentrat.

Jumlah mineral Se dalam pakan yang direkomendasikan oleh NRC adalah tidak lebih dari 3

mg/kg BK pakan, sehingga penambahan dosis mineral Se 4,3% dalam pakan aditif tidak melebihi

jumlah yang direkomendasikan oleh NRC (2001). Dosis vitamin E yang diberikan mengikuti

rekomendasi oleh Panda et al, (2006); Moeini et la. (2009), dan LeBalnc et al. (2004) yaitu vitamin E

sebanyak 1500 IU/hari/ekor. Sedangkan antioksidan yang diberikan pada perlakuan 2 mengikuti yang

direkomedasikan yaitu sebesar 2,16 gr/ek/hari (winugroho et al. 2014; 2015).

Pemberian pakan aditif dilakukan setiap hari dengan cara mencampurkan dalam konsentrat.

Pemberian dilakukan pada saat induk bunting tua (9 bulan) sampai dengan umur laktasi 3 bulan.

Selanjutnya pengamatan dilakukan terhadap: kandungan nutrisi pakan, konsumsi pakan harian,

produksi susu yang dicatat setiap pemerahan pagi dan sore selama 3 bulan, kualitas susu yang diamati

setiap bulan dari pemerahan di pagi hari, kandungan SC dalam susu yang dianalisa setiap dua minggu.

Data yang terkumpul kemudian ditabulasi dengan menggunakan program Excel dan dianalisa secara

statistik dengan menggunakan rancangan acak kelompok dengan bantuan program IBM SPSS statistic

Ver. 22.

Page 196: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

188

Hasil dan Pembahasan

Konsumsi Pakan

Hasil pengamatan rataan konsumsi bahan kering, protein dan energi pakan harian selama 3

bulan masa penelitian disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Rataan konsumsi pakan harian dari induk laktasi yang digunakan dalam penelitian.

kelompok perlakuan

Konsumsi harian

Bahan kering

Kg

Protein Kasar

Kg

Gross Energi

Kkal

Kontrol 18,167 + 0,856 2,825 + 0,104 74.008 + 3.372

Perlakuan 1 18,280 + 1,741 2,839 + 0,212 74.452 + 6.860

Perlakuan 2 18,490 + 1,296 2,865 + 0,158 75.278 + 5.108

Konsumsi bahan kering pakan oleh ternak disetiap kelompok perlakuan tidak berbeda nyata

(P>0,05). Karena ketiga kelompok diberikan komposisi ransum yang sama dengan iso protein dan

energy, maka konsumsi kedua nutrient ini juga tidak berbeda nyata (P>0,05). Konsumsi protein dan

energy oleh setiap ternak masih memenuhi kebutuhan induk sapi yang sedang pada kondisi laktasi

awal (NRC, 2001). Konsumsi bahan kering pakan ternak kelompok control sebesar 3,087% + 0,145

bobot badan (BB); kelompok perlakuan 1 sebesar 3,101% + 0,295 BB; dan kelompok perlakuan 2

sebesar 3,134% + 0,219 BB.

Produksi dan Kualitas Susu

Produksi susu yang diamati selama 3 bulan masa laktasi memperlihatkan produksi susu induk

yang diberi pakan aditif komersial (1371,22 + 209,96 L/3 bulan) lebih tinggi dibandingkan dengan

produksi susu dari induk pada kelompok kontrol (1260 + 118,28 L/3 bulan) dan induk yang diberi

perlakuan pakan aditif Balitnak (1232,08 + 119,02 L/3 bulan), namun perbedaan ini tidak berbeda

secara nyata (P>0,05). Hasil ini sejalan dengan jumlah konsumsi bahan kering, protein dan energi

yang relatif sama diantara ketiga kelompok ternak. Hasil ini menunjukkan pula bahwa penambahan

vitamin E pada kedua kelompok perlakuan tidak meningkatkan produksi susu. Hal ini sejalan dengan

hasil penelitian oleh Khodamoradi et al., (2013) bahwa penambahan vitamin E tidak berpengaruh

nyata terhadap peningkatan produksi susu induk sapi perah Friesh Holstein. Demikian pula halnya

dengan panambahan mineral Se yang tidak memberikan pengaruh nyata pada peningkatan produksi

susu, seperti yang dilaporkan pula oleh Juniper et al. (2006) bahwa pemberian mineral Se tidak

memberikan pengaruh nyata terhadap peningkatan produksi susu induk sapi perah.

Tidak adanya perbedaan nyata pada produksi susu total selama 3 bulan memberikan hasil

rataan produksi susu harian yang tidak berbeda nyata pula, meskipun didapatkan adanya variasi

diantara semua indukan. Dimana rataan produksi susu harian induk sapi di kelompok kontrol lebih

Page 197: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

189

rendah (14,05 Liter/hari) dibandingkan rataan produksi susu induk di kedua kelompok perlakuan yang

jumlahnya relatif sama, yaitu 15,59 liter/hari (Perlakuan 1) dan 16,54 liter/hari (Perlakuan 2).

Gambar 1. Rataan produksi susu sapi disetiap kelompok perlakuan selama 3 bulan masa pengamatan

Hasil pengamatan pada kualitas susu selama 3 bulan masa laktasi disajikan pada Tabel 3.

Kualitas susu sangat bervariasi diantara indukan yang diamati dalam penelitian ini. Induk pada

kelompok perlakuan 1 memperlihatkan kandungan lemak susu yang lebih rendah dibandingkan induk

di kedua kelompok lainnya. Namun perbedaan ini tidak nyata secara statistic. Kondisi yang serupa

juga dapat dilihat pada SNF, kandungan solid dan protein susu. Hasil ini mengindikasikan bahwa

pemberian vitamin E dan mineral Se serta antioxidant kulit manggis tidak memberikan pengaruh yang

nyata baik bagi produksi susu maupun kualitas susu. Seperti yang dilaporkan oleh Juniper et al.

(2006) dan Khodamoradi et al., (2013) bahwa pemberian vitamin E dan mineral Se tidak memberikan

pengaruh yang nyata terhadap produksi dan kualitas susu, namun berpengaruh terhadap kesehatan

ternak.

Tabel 3. Kualitas susu induk sapi laktasi selama 3 bulan masa pengamatan

Nomor

Ternak Bulan laktasi

Fat

(%)

SNF

(%) Density

Lactose

(%)

Solid

(%)

Protein

(%)

Kontrol bulan 1 4,103 7,622 33,161 4,654 0,833 3,523

bulan 2 4,103 7,630 33,177 4,660 0,835 3,523

bulan 3 4,018 7,465 32,443 4,548 0,818 3,438

Rataan 4,075 7,572 32,927 4,621 0,829 3,495

Perlakuan 1 bulan 1 3,838 7,111 31,013 4,309 0,780 3,228

bulan 2 3,836 7,114 31,033 4,371 0,783 3,256

bulan 3 3,823 7,093 30,923 4,293 0,780 3,243

Rataan 3,832 7,106 30,989 4,324 0,781 3,242

Perlakuan 2 bulan 1 4,013 7,458 32,469 4,544 0,818 3,448

bulan 2 3,983 7,398 32,213 4,502 0,810 3,403

bulan 3 4,007 7,440 32,387 4,530 0,817 3,427

Rataan 4,001 7,432 32,356 4,525 0,815 3,426

12

13

14

15

16

17

kontrol perlakuan 1 perlakuan 2

Lite

r/h

ari

kelompok

Page 198: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

190

Kandungan SC Dalam Susu

Hasil pengamatan kandungan SC pada susu induk laktasi selama periode penelitian disajikan

pada Gambar 2.

Gambar 2. Kandungan SC susu dari induk sapi disetiap kelompok perlakuan selama 9 minggu masa

laktasi

Selama masa pengamatan 9 minggu, terlihat bahwa kandungan SC susu yang dihasilkan dari

induk sapi di semua kelompok mengalami kenaikan. Namun kenaikan yang terjadi di kelompok Kon

trol dan Perlakuan 1 lebih besar dibandingkan kenaikan pada kelompok Perlakuan 2. Rataan

kandungan SC susu selama pengamatan di minggu ke 1 sampai ke 5 masa laktasi pada indukan di

kelompok Perlakuan 2 menunjukkan jumlah SC yang lebih banyak dibandingkan dengan pada susu

yang dihasilkan dari indukan di kelompok Kontrol dan Perlakuan 1. Namun jumlah SC pada susu

diminggu ke 7 dan 9 masa laktasi di kelompok Perlakuan 2 ini dibawah jumlah yang ada pada susu

dari ternak di kelompok Kontrol dan Perlakuan 1.

Terdapat perbedaan dari pakan aditif komersial (Perlakuan 1) dan pakan aditif Balitnak

(Perlakuan 2). Pada pakan aditif Balitnak, selain kandungan Vitamin E dan Mineral Se, maka

ditambahkan pula antioksidan dari kulit buah manggis. Sedangkan pada pakan aditif komersial hanya

mengandung Vitamin E dan mineral Se saja. Penambahan antioksidan ini diduga yang menyebabkan

adanya pengaruh pada penekanan jumlah SC yang lebih besar pada susu yang dihasilkan dari indukan

yang diberi pakan aditif Balitnak (perlakuan 2) dibandingkan dengan yang dihasilkan dari indukan

yang diberi pakan aditif komersial (perlakuan 1). Disampaikan oleh Yang et al., (2011) bahwa peran

vitamin E dalam kasus mastitis untuk memprotek melawan lipid peroksidase. Konsentrasi α-

tokopherol pada induk yang baru melahirkan umumnya rendah, yang menyebabkan ternak turun

imunitasnya yang juga mempengaruhi rendahnya kandungan vitamin E dalam darah (Goff and Stabel

1990). Disamping itu bahwa kebanyakan kasus mastitis sub kilis terjadi selama bulan pertama laktasi

600

650

700

750

800

850

900

950

1000

1 3 5 7 9

kontrol PA Komersial PA Balitnak

waktu laktasi (minggu)

SC (

x10

4/m

l)

Page 199: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

191

dan selama kering kandang (Green et al., 2002). Sehingga suplementasi vitamin E sebagai antioksidan

pada periode ini dapat mengurangi inflammatory respon dan stres oksidatif selama masitis (Smith et

al., 1984). Dilaporkan pula bahwa suplementasi Vitamin E dan Se dalam pakan menghasilkan efek

pencegahan untuk infeksi akut yang terjadi pada infeksi kelenjar susu (Ata and Zaki, 2014), yang

dapat mengurangi insiden dan kejadian mastitis (Smith et al., 1984) menurunkan kandungan SC

dalam susu dari 193000 sel/ml menjadi 179000 sel/ml (Moeini eta la., 2009).

Kesimpulan

Dari hasil yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa pemberian pakan aditif yang mengandung

antioksidan alami tidak mempengaruhi peningkatan produksi dan kualitas susu, serta menurunkan

kandungan somatic sel pada susu induk sapi yang diberi pakan rumput dan konsentrat.

Daftar Pustaka

Ata N, Zaki MS. 2014. New Approaches in Control of Mastitis in Dairy Animals. Life Science

Journal, 11: 275-277.

Atakisi O, Oral H, Atakisi E, Merhan O, Pancarci SM, Ozcana A, Marasli S, Polat B, Colak A, Kaya

S. 2010. Subclinical mastitis causes alterations in nitric oxide, total oxidant and antioxidant

capacity in cow milk. Research in Veterinary Science, 89: 10-13.

Goff JP and Stabel JR. 1990. Decreased plasma retinol, alpha-tocopherol, and zinc concentration

during the periparturient period: effect of milk fever. J Dairy Sci. 73(11):3195-3199.

Green MJ, Green LE, Medley GF, Schukken YH, Bradley AJ. 2002 Influence of dry period bacterial

intramammary infection on clinical mastitis in dairy cows. J Dairy Sci 85: 2589-2599.

Gu BB, Zhu YM, Zhu W, Miao JF, Deng YE, Zou SX. 2009. Retinoid protects rats against

neutrophil-induced oxidative stress in acute experimental mastitis. International

Immunopharmacology, 9: 223-229

Huijps K, Lam TJGM, Hogeveen H. 2008. Costs of mastitis: facts and perception. Journal of Dairy

Research, 75: 113-120.

Jin L, Yan SM, Shi BL, Bao HY, Gong J, Guo XY, Li JL. 2014. Effects of vitamin A on the milk

performance, antioxidant functions and immune functions of dairy cows. Animal Feed

Science and Technology, 192: 15-23.

Juniper DT, Phipps RH, Jones AK, Bertin G. 2006. Selenium supplementation of lactating dairy

cows: effect on selenium concentration in blood, milk, urine, and feces. J Dairy Sci 89: 3544-

3551.

Kellogg DW, DJ Tomlinson, MT Socha and AB Johnson. 2004. Effects of Zinc Methionine Complex

on Milk Production and Somatic Cell Count of Dairy Cows: Twelve-Trial Summary. The

Professional Animal Scientist: 20 (4): 295-301. https://doi.org/10.15232/S1080-

7446(15)31318-8

Khodamoradi Sh, Fatahnia F, Taherpour K, Pirani V, Rashidi L, Azarfar. 2013. Effect of monensin

and vitamin E on milk production and composition of lactating dairy cows. J Anim Physiol

Anim Nutr (Berl).;97(4):666-74. doi: 10.1111/j.1439-0396.2012.01307.x.

LeBlanc SJ, Herdt TH, Seymour WM, Duffield TF, Leslie KE. 2004. Peripartum serum vitamin E,

retinol, and beta-carotene in dairy cattle and their associations with disease. Journal of Dairy

Science, 87: 609–619.

Moeini MM, Karami H, Mikaeili E. 2009. Effect of selenium and vitamin E supplementation during

the late pregnancy on reproductive indices and milk production in heifers. Anim Reprod Sci.

114:109–114

Page 200: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

192

NRC. 2001. Subcommittee on Dairy Cattle Nutrition, Committee on Animal Nutrition, National

Research Council.Nutrient Requirements of Dairy Cattle, 7th rev. ed. Natl. Acad. Sci.,

Washington, DC.

O'Rourke D. 2009. Nutrition and udder health in dairy cows: a review. Irish Veterinary Journal,

62:S15.

Panda, N., H. Kaur and T. K. Mohanty. 2006. Reproductive performance of dairy buffaloes

supplemented with varying levels of vitamin E. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 19:19-25.

Smith, K. L., J. H. Harrison, D. D. Hancock, D. A. Todhunter, and H. R. Conrad. 1984. Effect of

vitamin E and selenium supplementation on incidence of clinical mastitis and duration of

clinical symptoms. J. Dairy Sci. 67:1293.

Sordillo LM, O‘Boyle N, Gandy JC, Corl CM, Hamilton E. 2007. Shifts in thioredoxinreductase

activity and oxidant status in mononuclear cells obtained from transition dairy cattle. Journal

of Dairy Science, 90: 1186-1192.

Weiss WP, Hogan JS, Smith KL. 2004. Changes in vitamin C concentrations in plasma and milk from

dairy cows after an intramammary infusion of Escherichia coli. Journal of Dairy Science, 87:

32-37.

Winugroho, M, Y.Widiawati, and T.Kostaman. 2014. Antioxidant As Feed Additive Given To Ettawa

Crossbred Bucks Kept In Different Micro-Climates Environment (26 Versus 34 C).

Proceeding the 2nd Asian-Asutralian Dairy Goat Conference. AADGN. Hal. 251-253.

Winugroho, M, Widiawati Y, Kostaman, T, Krinan R. 2015. Pakan Terkoreksi untuk Meningkatkan

Kinerja Reproduksi Induk Kerbau Bunting. Laporan Akhir penelitian APBN TA 2015. Balai

Penelitian Ternak.

Yang, Feng Li and Li, Xiao Shan. 2015. Role of antioxidant vitamins and trace elements in mastitis in

dairy cows. J. Adv. Vet. Anim. Res., 2(1): 1-9.

Yang L, Bai X, Yang Y, Ahmad P, Yang Y, Hu X. 2011 Deciphering the protective role of nitric

oxide against salt stress at the physiological and proteomic levels in maize. J Proteom Res

10:4349–4364.

Page 201: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

193

Perbandingan Produksi dan Nilai Ekonomis Plasma Nutfah Itik Lokal Sumatera Barat

dalam Upaya Konservasi

Comparison Study of Production and Economic Value Germplasm of West Sumatera

Local Duck for Conservation

Zasmeli Suhaemi

1,a, Febriani

2 , Sabrina

3 dan Nita Yessirita

4

1Universitas Tamansiswa Padang, Fakultas Pertanian 2Universitas Tamansiswa Padang, Fakultas Ekonomi

3Universitas Andalas, Fakultas Peternakan 4Universitas Ekasakti, Fakultas Pertanian

*Korespondensi: [email protected]

Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pengaruh genetik pada itik lokal Pitalah dan Bayang

sebagai plasma nutfah Sumatera Barat, dalam hal pertumbuhannya, kualitas karkas, kandungan

kolesterol darah dan dagingnya serta perbandingan nilai ekonomis itik jantan sebagai pedaging.

Sebanyak 200 itik lokal jantan umur sehari (Day old duck) dipelihara sampai umur 12 minggu,

masing-masing jenis itik 100 ekor. Semua sampel diberi ransum dengan kandungan energi dan protein

yang sama, disesuaikan dengan kebutuhan masa pertumbuhannya. Setelah umur 12 minggu, 20 ekor

itik dari masing-masing jenis, di potong untuk diambil darah dan karkasnya, guna analisis kolesterol

darah dan daging, serta mendapatkan persentase karkas dan Income over feed cost (IOFC), kemudian

data dianalisis dengan uji-t . Hasil penelitian menunjukkan bahwa performa produksi itik Pitalah

nyata lebih baik dibanding Bayang (P<0,05). Persentase karkas itik Pitalah 8,32% lebih tinggi

dibanding itik Bayang (P<0,05). Disamping itu, kandungan kolesterol darah dan daging itik Pitalah

juga nyata lebih rendah (P<0,05). IOFC dan biaya bibit itik umur pemotongan 8 minggu, lebh

menguntungkan dibanding pemotongan 12 minggu dengan penurunan IOFC dan bibit sebanyak 68%

untuk Pitalah dan 78% untuk Bayang. Itik Pitalah lebih berpotensi sebagai penghasil daging dengan

kandungan kolesterol yang rendah, dan hasil jual yang lebih tinggi, dibanding itik Bayang.

Kata kunci: plasma nutfah, itik lokal, sumatera barat, konservasi

Abstract

The influence of genetic type of local duck (Pitalah and Bayang) on growth performance, carcass

traits, cholesterol of blood and meat was assessed in 200 one-day-old male duck, for 12 weeks of age.

They were given iso calorie and isoprotein of diets, depend on the growth phase (Stater and Grower).

20 ducks from each breed were randomly chosen for blood serum and meat cholesterol analysis. The

data were analysed by t-test. The result showed that Pitalah had growth performance better than

Bayang (P<0,05), and Feed Consumption Ratio (FCR) followed the same trend. Pitalah ducks were

heavier (1466.46 g) than Bayang duck (1410.62 g). The carcass percentage of Pitalah also better

(P<0,05) 8,32% than Bayang.The income over feed and duck of duck at the age of 8 weeks is more

profitable than at the age of 12 weeks with the decreasing of IOFD 68% on Pitalah duck and 78% on

Bayang duck.Then, it is also found that Pitalah blood and meat cholesterol characteristics almost

better than Bayang (P<0,05). In conclusion, Pitalah duck as germplasm from West Sumatera has

better potential to develop as meat production for Conservation than Bayang.

Keywords: germplasm, pitalah, bayang, local duck, concervation

Pendahuluan

Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya akan biodiversitasnya. Ternak unggas lokal

menyumbangkan genetik diversiti yang besar terhadap perunggasan di dunia, hingga saat ini masih

Page 202: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

194

memegang peranan penting bagi negara-negara berkembang, karena hampir 95% populasi ternak

yang ada merupakan ternak unggas lokal. Hal ini disebabkan karena ternak lokal umumnya sangat

mudah beradaptasi dalam kondisi lingkungan yang beragam, dari yang sistem sederhana sampai

sistem modern, sehingga perlu kajian yang mendalam mengenai manfaat ternak lokal dan dalam

rangka konservasi. (Besbes et al., 2007). Alasan ini juga yang memungkinkan ternak itik untuk

dikembangkan dalam skala industri (Onba and Erdem, 2011).

Itik merupakan unggas akuatik anggota famili Anatidae, bersama angsa dan itik manila

(Muscovy duck). Diduga itik domestik yang kini sering ditemui di peternakan masyarakat merupakan

keturunan dari itik liar mallard (Anas platyrhinchos) yang banyak terdapat di belahan bumi utara.

Dampak migrasi dan perdagangan menjadikan unggas tersebut kini lazim ditemui di Asia, termasuk di

Indonesia (Kusumaningtyas et al., 2012).

Keputusan Mentan No.2923/Kpts/OT.140/6/2011 tentang penetapan rumpun itik Pitalah,

menjelaskan bahwa itik Pitalah merupakan salah satu rumpun itik lokal Indonesia yang mempunyai

sebaran asli geografis di Sumatera Barat dan telah dibudidayakan secara turun temurun. Berdasarkan

SK Mentan No. 2835/Kpts/LB.430/68/2012, Itik Bayang juga merupakan salah satu rumpun itik lokal

Indonesia yang mempunyai sebaran asli geografis di Kecamatan Bayang, Kabupaten Pesisir Selatan,

Provinsi Sumatera Barat, dan telah dibudidayakan secara turun-temurun. Itik Pitalah dan Itik Bayang

merupakan kekayaan sumber daya genetik ternak Indonesia yang perlu dilindungi dan dilestarikan.

Upaya pelestarian dan pengembangan itik lokal harus diupayakan guna mempertahankan keberadaan

plasma nutfah ternak Indonesia yang telah beradaptasi dengan lingkungan setempat. Due to high

growth rate and carcasses containing to great extent of tasty meat, ducks are an ideal species for meat

use (Ku and Adamski, 2015).

Kebutuhan akan protein hewani setiap tahun makin meningkat, seiring kesadaran masyarakat

akan pentingnya gizi yang baik, salah satu komoditi ternak yang dapat diandalkan untuk memenuhi

kebutuhan protein hewani adalah itik. Kesukaan masyarakat terhadap telur Itik semakin meningkat,

namun masyarakat masih penuh kekhawatiran untuk mengkonsumsi daging itik, sehingga

pemeliharaan itik jantan sebagai pedaging kurang optimal (Ismoyowati, 2008).

Salah satukunci sukses seorang peternak adalah produk yang dihasilkan. Untuk peternakan

itik jantan sebagai penghasil daging, maka rata-rata persentase karkas ternak harus diperhitungkan.

Jika persentase karkas tinggi, maka akan memberi keuntungan yang tinggi, demikian pula sebaliknya.

Artinya, tingkat pertumbuhanyang tinggi akan menghasilkan persentase karkas yang lebih besar juga,

demikian juga halnya untuk ternak itik (Ku and Adamski, 2015).

Karakteristik pertumbuhan sangat berguna untuk mengetahui informasi performa produksi

ternak, seperti bobot badan merupakan salah satu sifat yang memiliki nilai ekonomis dan bersifat

kuantitatif yang dikendalikan oleh banyak gen. Selengkapnya dijelaskan, bahwa faktor-faktor yang

mempengaruhi pertumbuhan ternak selain konsumsi pakan adalah jenis ternak, bangsa ternak, jenis

kelamin, tipe ternak dan manajemen pemeliharaan (Agustina, Iriyanti and Mugiyono, 2013).

Page 203: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

195

Percepatan pertumbuhan maksimum itik terjadi pada umur 4 – 10 minggu dan menurun cepat setelah

itu . Pendapat lain menyatakan bahwa peningkatan pertumbuhan itik Pegagan hanya terjadi sampai

umur 9 minggu, kemudian bobot badannya menurun (Brahmantiyo, Setioko and Prasetyo, 2003).

Selain pertumbuhan, kandungan kolesterol juga menjadi perhatian bagi masyarakat dalam

mengkonsumsi daging itik. Kolesterol adalah komponen lipid intergral yang sangat ditajuti karena

memberikan efek negatif terhadap kesehatan. Sehingga masyarakat sangat menghindari memakan

daging yang dianggap mengandung kolesterol tinggi (Li et al., 2005). Kandungan kolesterol dapat

dipengaruhi beberapa faktor, spesies, tipe serat daging, dan kandungan lemak otot (Thu et al., 2011).

Namun sebenarnya Kolesterol juga merupakan komponen penting dalam pembentukan membran dan

berguna sebagai prekursor dalam sintesis sejumlah hormon, vitamin D dan asam empedu. Kolesterol

dapat diproduksi oleh tubuh dari fungsi hati, namun akan meningkat jika makanan yang dikonsumsi

juga mengandung kolesterol seperti halnya bahan pangan asal uanggas, ikan, dan susu. Kolesterol

juga dibutuhkan tubuh untuk insulasi syaraf, namun seringkali kebutuhan kolesterol sudah dipenuhi

oleh tubuh, sehingga tidak dibutuhkan lagi dari makanan. (Ma, 2006). Cholesterol of blood, can be

affected by genetic and environment (Murray et al., 2000).

Materi dan Metode

Penelitian ini dilaksanakan di Kota Padang, dan pemeliharaan itik dimulai Februari hingga

akhir Mei tahun 2018. Penelitian ini menggunakan ternak itik jantan sebanyak 200 ekor yang terdiri

dari itik Pitalah sebanyak 100 ekor, dan itik Bayang sebanyak 100 ekor. Sampel dipelihara dalam

kandang Brooding selama se minggu, kemudian dipindahkan ke kandang grower sistem koloni hingga

umur 12 minggu. Pertambahan berat badan dan konsumsi ransum di timbang setiap minggu. Setelah

12 minggu, 20% dari sampel diambil darahnya untuk mendapatkan serumnya guna mengukur

kandungan kolesterol darah. Kemudian itik dipotong untukmendapatkan data persentase karkas itik

jantan Pitalah dan Bayang. Kedua kelompok data dibandingkan dengan menggunakan aalisis statistik

Uji-t. Ransum yang diberikan terdiri dari campuran konsentrat, jagung giling dan dedak untuk

menjamim keseragaman nutrisi ransum selama penelitian, serta disesuaikan dengankebutuhan

berdasarkan fase pertumbuhannya dengan isoprotein dan isokalori, seperti terlihat pada Tabel 1 dan

Tabel 2.

Tabel 1. Kandungan zat- zat makanan bahan-bahan ransum

Zat makanan Dedak halus Jagung Konsentrat

Bahan kering(%) 90,70 91,29 89,63

Protein kasar (%) 11,19 8,60 31,00

Serat kasar (%) 17,63 3,37 5,00

Lemak kasar (%) 4,00 2,60 3,00

ME (kkal/kg) 1630 3420 2600 Sumber: Suhaemi, Abbas and Uddin (2016)

Page 204: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

196

Tabel 2. Kandungan nutrisi ransum penelitian berdasarkan umur itik.

Kandungan nutrisi 0 – 4 minggu 5 – 12 minggu

Protein Kasar (%) 18,20 16,14

Lemak kasar (%) 3,14 3,11

Serat Kasar (%) 8,14 8,02

ME (Kkal/Kg) 2629,00 2685,00 Keterangan: dihitung berdasarkan Tabel 1.

Hasil Dan Pembahasan

Tabel 3 memperlihatkan rataan berat badan umur 12 minggu, PertambahanBerat Badan

(PBB) dan konversi ransum. Hasil tersebut terlihat, bahwa berat badan umur 12 minggu itik Pitalah

lebih tinggi dibanding Bayang, hasil uji-t menunjukkan hasil berbeda nyata (P<0.05). Demikian juga

halnya dengan hasil PBB dan Konversi ransum, memberikan hasil yang berbeda nyata (P<0.05).

Berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya pada itik Alabio, konversi ransum adalah 8,8 pada umur

10 minggu, artinya hasil penelitian ini lebih rendah konversi ransumnya, demikian juga penelitian

lainnya dengan itik Cihateup, dengan hasil konversi ransum 8,92 (Randa et al., 2007).

Table 3. Rataan berat badan, PBB dan Konversi ransum itik jantan lokal umur 12 minggu.

Variabel Pitalah Bayang

Berat badan umur 12 minggu (gram) 1436,27±67,5a

1400,71±104,0b

PBB (gram) 1397,81±65,7a 1361,87±102,6

b

Konversi ransum 6,51 ± 0,3a 6,71 ± 0,5

b

Penelitian sebelumnya dilaporkan bahwa maksimum pertumbuhan itik adalah pada umur 4

sampai 10 minggu, kemudian akan menurun. Namun penelitian lain menyebutkan bahwa peningkatan

berat badan maksimum adalah pada umur itik 9 minggu (Brahmantiyo, Setioko and Prasetyo, 2003).

Pendapat lain menyatakan bahwa keragaman genetik merupakan aksi dari gen aditif dan non aditif,

termasuk adanya kemungkinan gen yang bersifat dominan atau epistasis. Rataan berat badan yang

berbeda antara itik Pitalah dan Bayang, memberikan indikasi bahwa adanya sifat heterosis, sehingga

diduga bahwa produksi daging besar dipengaruhi oleh aksi gen yang bersifat aditif(Noor, 2010).

Guna menunjang produksi yang disukai masyarakat dan tidak memunculkan kekhawatiran

dalam mengkonsumsi daging itik lokal, juga dilakukan analisis terhadap kandungan kolesterol darah

dan daging (bagian dada), yang juga meliputi kolesterol-HDL dan LDL serta kandungan trigliserida,

yang digambarkan pada Tabel 4.

Rataan kolesterol darah itik Pitalah adalah 162,70 ml/dl, nyata lebihrendah (P<0,05)

dibanding itik Bayang yaitu 177,54 ml/dl, namun kandungan kolesterol daging itik Pitalah dan

Bayang tidak berbeda nyata (20,12 mg/100g dan 20,05 mg/100g). Rataan kandungan trigliserida

darah itik Pitalah adalah 111,54 ml/dl, nyata lebih tinggi (P<0,05) dibanding itik Bayang (106,82

ml/dl). Hasil ini tidak sebagaimana data yang diperoleh oleh Wijaya, Ismoyowati and Saleh ( 2013),

Page 205: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

197

bahwa kandungan kolesterol darah itik lokal di Magelang berkisar antara136.7 mg/dl dan 203 mg/dl,

serta kandungan trigliserida darah itik berkisar antara 293.33 mg/dl dan 753.34 mg/dl. Hal ini

menunjukkan bahwa kandungan kolesterol besar kemungkinan juga dipengaruhi oleh genetik selai

lingkungan(Murray et al., 2000). Meskipun kandugan trigliserida itik Pitalah nyata lebih tinggi,

namun kandungan trigliserida dagingnya justru nyata lebih rendah dibanding itik Bayang (P<0,05).

Tabel 4. Rataan kandungan kolesterol darah (ml/dl) dan daging (mg/100g)

Variabel Pitalah Bayang

Darah Daging Darah Daging

Cholesterol 162,70±3,73a

20,12±1,48

177,54±8,88b 20,05±1,69

Triglycerides 111,54±6,73a 43,73±2,44

a 106,82±5,47

b 67,36±7,50

b

LDL 57,32 ±5,49a 5,46 ± 1,95

a 65,44 ±10,19

b 2,92 ± 0,64

b

HDL 78,29 ±6,69 4,03 ±1,52 85,50 ±12,49 3,67 ±1,00

Tabel 4 juga menunjukkan bahwa kandungan Kolesterol LDL itik Pitalah nyata lebih tinggi

(P<0,01)dibanding Bayang, sama halnya dengan hasil kolesterol. Namun hal ini diimbangi dengan

kandungan kolesterol-HDL yang juga lebih tinggi, meskipun tidak berbeda nyata (P>0,05). Kolesterol

bisa memberi efek positif maupun negatif. HDL adalah kolesterol baik, sedangkan LDL adalah

kolesterol buruk (Ma, 2006). Konsentrasi kolesterol daging unggas, dipengaruhi oleh bermacam

faktor, seperti spesies, tipe serat daging dan kandungan lemaknya (Thu et al., 2011).

Pertumbuhan pada penelitian ini diartikan sebagai pertumbuhan dalam bobot hidup sejak

menetas (DOD) sampai dewasa kelamin. Rata-rata bobot badan, persentase karkas dan lemak

abdominal dari itik lokal sampai umur 12 minggu seperti terlihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Rata-rata bobot badan, persentase karkas dan lemak abdominal

Variabel Pitalah Bayang

t-hit Rata-rata Stdev Rata-rata Stdev

Umur 8 Minggu Bobot badan (gram) 1335,06 115,52 1316,51 33,16 0,31

% B Karkas 62,64 2,32 62,79 1,78 0,43

% B Lemak Abdominal 0,46 0,37 0,30 0,28 0,18

Umur 12 minggu

Bobot badan (gram) 1466,46 60,93 1410,62 59,39 0,03

% B Karkas 64,91 3,03 64,09 2,24 0,25

% B Lemak Abdominal 1,00 0,28 0,64 0,39 0,01

Nilai ekonomis ternak biasanya dilihat berdasarkan harga jual per bobot badan.Sebagai ternak

pedaging, konsumen akan melihat persentase karkasnya, makan tinggi nilainya maka akan lebih

menguntungkan. Tabel 5 menggambarkan bahwa bobot badan itik Pitalah umur 8 minggu lebih tinggi

dibanding itik Bayang, namun secara statistik tidak berbeda nyata (P>0,05). Namun secara bobot

karkas ternyata itik Bayang lebih tinggi. Persentase bobot karkas itik Bayang (62,79%) lebih tinggi

dibanding itik Pitalah, namun tidak berbeda nyata (P>0,05). Hal ini disebabkan persentase lemak

Page 206: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

198

abdominal itik Pitalah yang lebih tinggi (0,46 %) dibanding itik Bayang (0,30 %). Kualitas karkas dan

daging dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain adalah genetik, jenis kelamin, umur dan pakan

(Matitaputty, 2012).

Jika dibandingkan dengan pemotongan umur 12 minggu, dari segi bobot badan terdapat

peningkatan, demikian juga dalam hal persentase bobot karkas, baik itik Pitalah maupun itik Bayang.

Bobot badan itik Pitalah umur 12 minggu nyata lebih tinggi dibanding itik Bayang (P<0,05),

sedangkan persentase karkas itik Pitalah umur 12 minggu lebih tinggi dibanding itik Bayang. Hal ini

berbeda dengan data yang dihasilkan pada umur pemotongan 8 minggu.Agustina, Iriyanti and

Mugiyono, ( 2013), menjelaskan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ternak selain

konsumsi pakan adalah jenis ternak, bangsa ternak, jenis kelamin, tipe ternak dan manajemen

pemeliharaan.

Bobot potong dan karkas ternak unggas sangat dipengaruhi umur pemotongan ternak,Hasil

penelitian (Matitaputty, 2012), bahwa persentase karkas unggas meningkat selama pertumbuhan,

perambahan umur dan kenaikan bobot badan. Ditambahkannya, bahwa perbandingan bobot karkas

terhadap bobot hidup indikator terbaik yang digunakan sebagai ukuran produksi daging pada ternak

unggas.

Hasil penghitungan nilai ekonomis itik sebagai pedaging yang dipotong umur 8 dan 12

minggu, dapat dilihat pada Tabel 5. Nilai ekonomis unggas pedaging dapat dilihat berdasarkan

kemampuan ternak menghasilkan daging yang dapat dikonsumsi, yang biasa disebut karkas.

Tabel 6. Rata-rata IOFC dan biaya bibit per ekor

Variabel Umur 8 minggu Umur 12 Minggu

Pitalah Bayang Pitalah Bayang

Biaya ransum (Rp) 26.183,03 25.453,03 48.527,03 47.797,03

Biaya bibit (Rp) 5.000,00 5.000,00 5.000,00 5.000,00

Harga jual (Rp) 53.402,40 52.660,40 58.658,40 56.424,80

IOFC (Rp) 22.219,37 21.447,37 5.131,37 2.897,77

Biaya ransum pada pemeliharaan itik Pitalah, lebih besar dibanding itik Bayang. Hal ini

sejalan dengan bobot badan yang dihasilkan (Tabel 2). Jumlah ransum yang diberikan pada umur 4

sampai 12 minggu, sama untuk kedua jenis itik, karena itik diberikan pakan 2 kali sehari dengan

jumlah yang sama 150 g per ekor per hari. Biaya ransum dihitung berdasarkan biaya ransum

perkilogram untuk fase stater (1-4 minggu) sebesar Rp. 5.600,-, dan fase grower (5-12 minggu)

sebesar Rp. 5.320,-harga saat penelitian berlangsung. Nilai jual per ekor itik, mengikuti standar

Nasional berdasarkan bobot hidup, dengan standar penghitugan harga per kilogram Rp. 40.000,-.

Tabel 6 menggambarkan bahwa pemotogan umur 8 minggu adalahyang lebih ekonomis untuk

mendapatkan keuntungan yang optimal dibandingkan pemotongan umur 12 minggu. Sebagaimana

pendapatBrahmantiyo, Setioko and Prasetyo, (2003), bahwa percepatan pertumbuhan maksimum itik

terjadi pada umur 4 – 10 minggu dan menurun cepat setelah itu.

Page 207: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

199

Keuntungan berdasarkan biaya ransum dan bibit atau IOFC pada itik Pitalah lebih tinggi (Rp.

22.219,37) dibanding itik Bayang (Rp. 21.447,37), yaitu pada pemotongan umur 8 minggu. Meskipun

persentase karkas itik umur 12 minggu meningkat (Tabel 2), namun IOFC yang dihasilkan jauh lebih

rendah dibanding pemotongan umur 8 minggu. Biaya pakan adalah bagian biaya produksi yang

memiliki proporsi tinggi, sehingga IOFC dapat dijadikan tolok ukur tingkat keuntungan yang berarti

berhubungan dengan nilai ekonomis ternak.

Kesimpulan

Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa itik Pitalah jantan lebih berpotensi sebagai

ternak itik pedaging. Hal ini disebabkan karena memiliki kandungan Kolesterol dan daging yang lebih

baik. Nilai ekonomis itik Pitalah lebih baik dibanding Bayang sebagai itik pedaging, karena

memberikan Income over feed and duck cost (IOFDC) lebih baik. Sedangkan berdasarkan umur

pemotongan, IOFDC umur 8 minggu lebih menguntungkan dibanding 12 minggu, disebabkan terjadi

penurunan IOFDC 77% pada itik Pitalah dan 87% pada itik Bayang. Itik Pitalah dapat sebagai ternak

unggas pedaging, untuk mendukung ketahanan pangan.

Ucapan Terima Kasih

Terimakasih diucapkan Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Kementrian Riset,

Teknologi,dan Pendidikan Tinggi Direktorat Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan, atas hibah

penelitian Strategi Nasional Tahun Anggaran 2018.

Daftar Pustaka

Agustina, D., Iriyanti, N. and Mugiyono, S. (2013) Growth and Feed Intake of Various Types of

Female Local Ducks Whose Feed is Suplemented with Probiotic, Jurnal Ilmiah Peternakan.

Available at: http://download.portalgaruda.org/ article.php?article=117426&val=5351.

(Diakses 26 September 2018)

Besbes, B. et al. (2007) Future trends for poultry genetic resources. Rome, Italy: Food and

Agriculture Organitation of The United Nations.

Brahmantiyo, B., Setioko, A. R. and Prasetyo, L. H. (2003) ‗Pegagan duck characteristics as resource

of Indonesian plasma nutfah.‘, in Prociding of National Seminar on Animal Husbandry and

Veterinary Technology. Bogor: Centre for Research and Development of Animal Husbandry.

Ismoyowati (2008) ‗Study on detection of egg production of Tegal ducks through blood protein

polimorphism‘, Animal Production, 10(2), pp. 122–128.

Ku, J. and Adamski, M. (2015) ‗Comparison of Growth Rate and Body Weight of Ducks of Different

Origins‘, Acta Sci. Pol. Zootechnica, 14(3), pp. 97–106.

Kusumaningtyas, P. et al. (2012) Itik, Potensi Bisnis dan Kisah Sukses Praktisi. Bogor: Penebar

Swadaya.

Li, D. et al. (2005) ‗Lean meat and heart health‘, Asia Pacific Journal of Clinical Nutrition, 14(2), pp.

113–119.

Ma, H. (2006) ‗Cholesterol and Human Health‘, The Journal of American Science, 2(1), pp. 46–50.

Matitaputty, P. R. (2012) Peningkatan produksi karkas dan kualitas daging itik melalui persilangan

antara itik cihateup dengan itik alabio. Bogor: Disertasi Pascasarjana IPB.

Murray, K. R. et al. (2000) Harper’s Biochemistry 20th Ed. USA: Appleton and Lange.

Onba, E. E. and Erdem, E. (2011) ‗Body weight and body measurements of male and female Pekin

Page 208: PROSIDING - peternakan.unpad.ac.id · 9 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus), Jintan Hitam (Nigella sativa), S-proteinat Terhadap VFA Parsial, Metan dan Efisiensi

Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan ke-10 Fapet Unpad, Sumedang 13 dan 14 November 2019

200

ducks obtained from breeder flocks of different age‘, 75(4), pp. 268–272.

Randa, S. et al. (2007) ‗Decreased Off-Odor Cihateup duck meat by antiocidant Suplementation

Antioksidan.‘, in Proceeding of National Seminar on Animal Husbandry and Veterinary.

Bogor: Agency for Agricultural Research and Development.

Suhaemi, Z., Abbas, M. H. and Uddin, Z. (2016) ‗Potency of Local Duck in West Sumatera for Food

Security‘, GRJA, 5(10), pp. 2015–1016. doi: 10.15373/22778160.

Thu, T. N. et al. (2011) In: Mallory Boylan. Comprehensive Reviews in Food Science and Food

Safety. Australia: John Wiley & Sons, Inc .