pengalaman pengembangan dan implementasi kebijakan pengendalian ai (avian influenza) di indonesia
DESCRIPTION
Sebuah tulisan yang membahas mengenai pengalaman dan pengembangan kebijakan pengendalian virus AI di IndonesiaTRANSCRIPT
S e t i a w a n P u t r a S y a h 2 0 1 1 | 1
Pengembangan Kebijakan Kesmavet Kesehatan Masyarakat Veteriner
Sekolah Pascasarjana Institute Pertanian Bogor
PENGALAMAN PENGEMBANGAN DAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENGENDALIAN AI (AVIAN INFLUENZA) DI INDONESIA
SETIAWAN PUTRA SYAH
B251100011
PS Kesehatan Masyarakat Veteriner
Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
I. Pendahuluan
Avian Influenza (AI) atau penyakit flu burung merupakan penyakit infeksius
yang sangat patogenik sangat fatal dan menular pada unggas (CIDRAP 2004),
merupakan penyakit zoonosis yang disebabkan oleh virus influenza tipe A yang
tergolong dalam family orthomixoviridae yang ditularkan dari unggas ke manusia
(Naipospos 2011) dan dapat menginfeksi berbagai macam spesies antara lain
unggas, kuda, babi dan manusia (Easterday dan hinshaw 1991, diacu dalam
Damayanti et al. 2005). Penyakit AI ada yang Low Pathogenic AI (LPAI) dan Highly
Pathogenic AI (HPAI). Penyakit HPAI ini terdaftar sebagai penyakit list A pada OIE
manual (OIE, 2000). Penyakit ini pertama ditemukan di Italia pada tahun 1878
(Damayanti et al. 2005).
Penyakit Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI) H5N1 pertama dicurigai
sejak dilaporkan banyak kematian unggas di pada bulan Agustus 2003 di jawa
timur dan jawa barat terjadi wabah flu burung pada ayam dengan angka mortalitas
mencapai 100% (Damayanti et al. 2005; Hidayat 2008). wabah ini kemudian segera
diikuti dengan wabah serupa di Jawa Tengah, DIY, Sumatera Barat, Lampung,
Bengkulu, Bali, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Sulawesi Tenggara dan
Sulawesi Selatan (Damayanti et al. 2005). Di kalangan industri peternakan berita
mengenai penyakit ini sudah sangat gencar dibicarakan, Isu tentang Very virulent
NewCastle Disease (VVND) adalah dalang penyebab matinya unggas-unggas di
peternakan juga banyak beredar. Pemerintah baru mendeklarasikan secara resmi
Indonesia terserang oleh HPAI ini pada akhir Januari 2004 melalui Surat Keputusan
Menteri Pertanian. kurang lebih 6 bulan sejak penyakit ini dicurigai menyerang
unggas pernyataan pemerintah ini dikeluarkan sehingga penyakit telah menyebar di
S e t i a w a n P u t r a S y a h 2 0 1 1 | 2
Pengembangan Kebijakan Kesmavet Kesehatan Masyarakat Veteriner
Sekolah Pascasarjana Institute Pertanian Bogor
beberapa daerah di Indonesia. Dari data Departemen Pertanian hingga Desember
2003 saja penyakit Ai ini telah menyebar di 9 propinsi, 59 kabupaten/kota di
Indonesia. Hingga saat penyakit ini terkonfirmasi di 31 dari 33 provinsi. endemik di
pulau Jawa, Sumatra, Bali dan Sulawesi Selatan serta wabah terjadi sporadik
dilaporkan dari berbagai daerah.
Metode penanggulangan HPAI biasanya dilakukan dengan berbagai cara
diantaranya seperti ; diagnosis cepat dan akurat, pemusnahan ayam yang
terinfeksi, isolasi daerah tercemar, vaksinasi dan penerapan biosekuritas yang ketat
(Swayne dan Suarez 2000, diacu dalam Damayanti et al. 2005). Setiap Negara
biasanya memilki kebijakan sendiri yang disesuaikan dengan kondisi setempat
dalam hal ini pemerintah Indonesia telah menetapkan program vaksinasi sebagai
salah satu pilihan untuk penanggulangan wabah HPAI di Indonesia. Program
tersebut digunakan dikarenakan Indonesia merupakan Negara dengan daerah
padat unggas terlebih lagi terdapat peternakan sambilan (backyards farms),
sehingga biosekuritas ketat tidak dapat dilaksanakan secara benar. maka program
vaksinasi merupakan pilihan utama untuk eradikasi HPAI. Sejak Departemen
Pertanian mengeluarkan pernyataan tertularnya Indonesia oleh penyakit AI,
serangkaian kebijakan juga dikeluarkan sebagai usaha mencegah penyebaran
penyakit. Sembilan langkah dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Peternakan –
Departemen Pertanian : Biosekuriti; Depopulasi; Vaksinasi; Pengendalian Lalu
Lintas; Surveilans dan Penelusuran; Public Awareness; Restocking; Stamping-out
di Daerah Tertular Baru; serta Monitoring dan Evaluasi. Sembilan langkah ini
diharapkan mampu mencegah penyebaran penyakit lebih lanjut.
II. Penyebaran Virus Avian Influenza (AI) di Indonesia
Penyakit AI (Avian Influenza) atau yang lebih dikenal dengan Flu burung
pada ternak unggas pertama kali dilaporkan di peternakan ayam ras yang terjadi
pada bulan Agustus 2003 dan mencapai puncaknya pada bulan januari 2004
(Nurhayati et al. 2005), dan sampai dengan saat ini masih belum jelas sumber
penularan awal penyakit ini ke Indonesia. Wilayah yang terjangkit flu burung pada
S e t i a w a n P u t r a S y a h 2 0 1 1 | 3
Pengembangan Kebijakan Kesmavet Kesehatan Masyarakat Veteriner
Sekolah Pascasarjana Institute Pertanian Bogor
tahun 2003 telah mencapai 9 propinsi yang meliputi 51 kabupaten dan jumlah
ayam/unggas yang mati mencapai 4,7 juta ekor (Nurhayati et al. 2005).
Masuknya AI di Indonesia telah menghancurkan sendi-sendi usaha
peternakan unggas di Indonesia. Tercatat tidak kurang dari puluhan juta ekor ayam
petelur, pedaging, burung puyuh dan ayam lokal mengalami kematian yang sangat
cepat. Pada pertengahan bulan September 2003 wabah HPAI telah menimbulkan
kematian sangat tinggi pada unggas terutama ayam petelur di Pulau Jawa,
Sumatera, Bali dan Kalimantan. Dari wabah tersebut, virus yang sangat patogen
penyebab wabah penyakit dapat diisolasi, selanjutnya di karakterisasi sebagai virus
Avian Influenza subtype H5N1 (Damayanti et al. 2004; Dharmayanti et al. 2005;
Suwarno et al. 2006). Berdasarkan laporan resmi direktorat kesehatan hewan
wabah ini diduga sudah terjadi pada ayam layer sejak bulan Agustus 2003 di Jawa
Tengah. Menurut Damayanti et al (2004) wabah yang terjadi pada saat itu tidak
hanya menyerang ayam petelur komersial, namun juga ayam pedaging, dengan
gejala klinis antara lain kebiruan pada jengger dan pial, leleran hidung dan
hipersalivasi, ptechiae subkutan pada kaki dan paha, diare dan kematian
mendadak.
Dari kajian kasus AI di lapangan menunjukkan bahwa gejala klinis AI pada
awal wabah tahun 2003 sampai 2004 berbeda dengan gejala klinis pada akhir
tahun 2005 (Dharmayanti et al. 2005). Dharmayanti et al. 2005 juga
mengemukakan bahwa isolat yang di peroleh pada gelombang kedua (terjadi mulai
Desember 2004 sampai April 2005) berbeda dengan isolate dari kelompok tahun
2003 dan 2004. Dari hasil pemantauan kematian unggas sejak Februari 2004 terus
menurun sampai dengan Desember 2004, akan tetapi jumlah provinsi yang
terjangkit terus bertambah, dan tercatat ada 16 provinsi, mencakup 100
kabupaten/kota. Namun pada awal sampai pertengahan tahun 2005 terjadi kembali
terutama pada ayam buras, dan daerah penyebaran AI pun semakin meluas di 22
provinsi dan 139 kabupaten/kota pada bulan Maret-April 2005. Pada bulan
November 2005 AI di Indonesia sudah endemik dan tersebar luas di 23 provinsi
dan 149 kabupaten/kota. Jumlah kematian unggas akibat serangan wabah AI
secara kumulatif sejak ditemukannya pada Agustus 2003 sampai dengan
November 2005 telah mencapai 10,45 juta ekor dan sebagian besar yang terkena
S e t i a w a n P u t r a S y a h 2 0 1 1 | 4
Pengembangan Kebijakan Kesmavet Kesehatan Masyarakat Veteriner
Sekolah Pascasarjana Institute Pertanian Bogor
adalah peternakan rakyat (Nurhayati et al. 2005). Penularan zoonosis ke manusia
dilaporkan pertama kali di Provinsi Jawa Barat pada Juli 2005 (Naipospos, 2011).
Gambar 1. Peta daerah tertular sampai dengan akhir 2007 (data dari UPPAI dan FAO, diacu dalam Hidayat 2008).
Perkembangan kasus AI pada unggas secara kumulatif sampai dengan
Januari 2006 total provinsi yang sudah tertular adalah 26 provinsi meliputi 167
kabupaten/kota. Provinsi yang belum pernah dilaporkan tertular adalah Maluku
utara, Maluku , Sulawesi utara, dan Gorontalo. Sementara itu Balai Penelitian
Veteriner (2006) melaporkan paparan virus AI pada provinsi Jawa Barat secara
seroligis telah meliputi 16 dari 18 Kabupaten/kota yang survive. Di Provinsi Banten
dari 6 Kabupaten/kota yang survive semuanya terpapar virus AI secara serologis,
demikian pula di 5 wilayah di Provinsi DKI Jakarta. Penyebaran virus AI pada tahun
2007 meningkat menjadi 295 Kabupaten/kota di 31 provinsi di Indonesia, 2 Provinsi
masih dikategorikan bebas AI yaitu Provinsi Gorontalo dan Maluku Utara.Dengan
S e t i a w a n P u t r a S y a h 2 0 1 1 | 5
Pengembangan Kebijakan Kesmavet Kesehatan Masyarakat Veteriner
Sekolah Pascasarjana Institute Pertanian Bogor
telah ditemukannya paparan virus AI di berbagai spesies unggas di beberapa
wilayah di Indonesia menunjukkan bahwa penyakit AI sudah bersifat endemis.
Sampai awal tahun 2011 ini, penyakit AI sudah menjadi endemik dengan
31 provinsi dinyatakan tertular dan virus H5N1 yang ditemukan termasuk kelompok
(clade) 2.1 (Eagles et al. 2009, diacu dalam Naipospos 2011). Mengingat AI bersifat
zoonotik, maka gambaran hasil surveilans yang telah dilakukan mengisyaratkan
agar pemerintah waspada terhadap penyebaran infeksi AI dari unggas ke manusia.
III. Kebijakan dan Kendala penanganan virus AI di Indonesia
Dengan mewabahnya virus AI memaksa pemerintah untuk melakukan
tindakan-tindakan guna mencegah penyebaran virus AI di Indonesia, mengingat
atas ancaman infeksi flu burung tidak terbatas pada manusia, tetapi juga
mengacam kelangsungan usaha peternakan unggas. Keterkaitan penyakit ini
antara kesehatan manusia dan peternakan menjadi sangat penting diperhatikan.
Hal tersebut mengingat sifat infeksi virus flu burung yang menular dari unggas ke
manusia (zoonotik) dan pentingnya ketersediaan protein hewani asal unggas yang
murah dan sehat bagi masyarakat.
Sejak Departemen Pertanian mengeluarkan pernyataan tertularnya
Indonesia oleh penyakit AI, serangkaian kebijakan juga dikeluarkan sebagai usaha
mencegah penyebaran penyakit. Pedoman tentang strategi pencegahan,
pengendalian, dan pemberantasan penyakit AI telah ditetapkan melalui SK
direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan No. 17/Kpts/PD.640/F/02/04. Inti dari
program tersebut adalah pelaksanaan Sembilan tindakan strategis yang mencakup
1). Peningkatan biosekuriti, 2). Vaksinasi, 3). Depopulasi (pemusnahan terbatas) di
daerah tertular, 4). Pengendalian lalu lintas unggas, produk unggas, dan limbah
peternakan unggas, 5). Surveilans dan Penelusuran, 6). Pengisian kandang
kembali (restocking), 7). Stamping out (pemusnahan menyeluruh) di daerah tertular
baru, 8). Peningkatan kesadaran masyarakat (public awareness), dan 9).
Monitoring dan evaluasi.
S e t i a w a n P u t r a S y a h 2 0 1 1 | 6
Pengembangan Kebijakan Kesmavet Kesehatan Masyarakat Veteriner
Sekolah Pascasarjana Institute Pertanian Bogor
1. Biosekuriti
Hasil evaluasi pelaksanaan “Sembilan tindakan strategis” dalam pencegahan
dan pengendalian penyakit AI menunjukkan bahwa penerapan biosekuriti pada
Sektor 1 dan 2 dinilai sudah baik, tetapi pelaksanaan di Sektor 3 terutama di
peternakan dengan skala kecil masih kurang. Sedangkan Sektor 4 (back yard farm)
tidak melaksanakan penerapan biosekuriti, dimana ternak unggas biasanya dilepas
(ayam buras) atau digembalakan seperti itik yang diangon atau unggas-unggas lain
yang berkeliaran. Dari hasil Timnas Pusat Analisis Kebijakan Sosial Ekonomi
Pertanian (Yusdja et al. 2004) juga menunjukkan bahwa serangan AI terparah
dialami oleh peternak mandiri yang termasuk dalam sector 3, sehingga mereka
mengalami kerugian dan lebih dari 50% menutup usahanya. Hal ini terjadi karena
mereka mengalami kesulitan dalam menerapkan tindakan biosekuriti. Demikian
juga dengan trasnportasi unggas atau produknya maupun pupuk kandang berupa
litter (kotoran dan sekam) dari peternakan yang tertular. Meskipun demikian
penerapan biosekuriti merupakan tindakan yang menjadi perhatian utama bagi
dinas/instansi terkait dalam sosialisasi pencegahan dan penanggulangan AI
(Nurhayati et al. 2005).
2. Vaksinasi
Dalam penerapan strategi vaksinasi masalah yang dapat diidentivikasi
adalah masalah vaksin, masalah vaksinasi serta kelemahan startergi vaksinasi.
Masalah vaksin yang utama adalah beredarnya berbagai jenis vaksin illegal di
Indonesia sejak awal timbulnya wabah, terutama dari china. Selain itu master seed
yang digunakan untuk pembuatan vaksin local maupun impor yang beredar sangat
bervariasi antara lain HPAI (H5N1 vaksin local) dan LPAI (H5N1/H5N2/H5N9
vaksin impor) (Nurhayati et al. 2005), tidak semua vaksin dapat digunakan untuk
menerapkan prinsip DIVA dalam surveilans. Vaksin dengan proses inaktivasi yang
tidak sempurna juga masih ditemukan di lapangan.
Masalah vaksinasi antara lain sulit memperoleh informasi tentang; a).
cakupan vaksinasi dari sector 1 hingga 4, b). tingkat perlindungan dari hasil
vaksinasi, c). sulit memantau pelaksanaan vaksinasi untuk mengetahui kendala
dilapangan dari aspek infrastruktur, logistik, tenaga dan biaya operasional.hal ini
S e t i a w a n P u t r a S y a h 2 0 1 1 | 7
Pengembangan Kebijakan Kesmavet Kesehatan Masyarakat Veteriner
Sekolah Pascasarjana Institute Pertanian Bogor
disebabkan kordinasi dan fasilitas yang diberikan oleh dinas setempat kurang
kondusif. Kendala vaksinasi missal adalah: komitmen „otoritas veteriner‟ di
Kabupaten/kota masih perlu dipertanyakan, cakupan vaksinasi rendah karena
jangkauan areal luas, pemilikan skala kecil, tidak punya kandang dan „time
consuming‟ (sulit ditangkap), spesies unggas yang dicakup beragam mulai dari
ayam buras, ayam arab, itik dan burung puyuh, d). Logistik (spuit otomatik, lemari
es, ice box, pakaian pelindung, dll) sangat terbatas, e). Biaya operasional sangat
rendah, tidak menjadi insentif bagi petugas untuk melaksanakan dengan baik di
lapangan.
Kelemahan penerapan strategi vaksinasi, antara laian : a). Virus AI masih
mampu menginfeksi dan bereplikasi dalam tubuh unggas sehat yang divaksinasi,
b). Jika ingin dicapai pemberantasan, vaksinasi saja tidak dianggap sebagai solusi
dalam mengendalikan HPAI dari subtype H5, c). Virus akan menjadi endemic
dalam populasi unggas jika tidak disertai dengan sistem monitoring dan biosekuriti
ketat. Hal ini dapat dibuktikan dari hasil surveilans yang dilakukan oleh Tim
FKH-UGM bahwa antibody ditemukan pada unggas yang telah divaksinasi maupun
tidak, dan sebagian dari unggas yang mempunyai antibody masih berpotensi
menyebarkan virus AI (Tim Surveilans FKH-UGM, 2006).
3. Pengawasan Lalu lintas Unggas
Meskipun peraturan lalu lintas unggas hidup, DOC, maupun produk unggas
sudah ada, namun penyebaran AI semakin meluas. Hal ini disebabkan
pengangkutan unggas hidup melalui darat atau antar propinsi/kabupaten
frekuensinya sangat tinggi sehingga sangat sulit dipantau. Penyebaran wabah
melalui lalu lintas unggas hidup dan produknya, terutama lewat pasar ayam/burung
dan perdagangan antar pulau/kabupaten jelas sangat nyata dan memiliki pengaruh,
dan ini merupakan target yang paling penting dalam tindakan pengendalian
(Nurhayati et al. 2005).
4. Surveilans dan Penelusuran
Surveilans dan penelusuran merupakan kegiatan yang sangat penting,
karena dengan surveilans akan diketahui keberadaan infeksi AI secara dini.
S e t i a w a n P u t r a S y a h 2 0 1 1 | 8
Pengembangan Kebijakan Kesmavet Kesehatan Masyarakat Veteriner
Sekolah Pascasarjana Institute Pertanian Bogor
Masalah yang timbul pada pelaksanaan surveilans antara laian : a). Pengambilan
sampel (serum, organ, cotton swab) dari masing-masing Sektor (1 s/d 4) di
laboratorium dalam melakukan pengujian terhadap sampel tersebut belum merata,
c). Pengumpulan isolate dari kasus klinis sudah dapat dilakukan oleh semua
laboratorium regional dan Balivet, akan tetapi karakteristik virus melalui sekuen
DNA harus dilakukan oleh laboratorium lain. Pengalaman Thailand dalam
menerapkan sistem surveiland AI di negaranya dapat dijadikan bahan kajian
(Kongmuang 2005, diacu dalam Nurhayati et al. 2005). Demikian juga dengan
sistem yang diterapkan Korea Selatan, Malaysia dan Jepang dalam mengantisipasi
serangan bioterorisme di negaranya dapat digunakan sebagai pembanding
(Serizawa, 2005; Shahrizan, 2005, diacu dalam Nurhayati et al. 2005).
5. Pemusnahan Selektif (Depopulasi) dan Disposal
Pemusnahan selektif (Depopulasi) dan disposal tidak dapat secara efektif
menghentikan gejala klinis dan memotong siklus penularan, karena hanya
dilakukan sangat terbatas dan tidak sesuai prosedur. Nilai kompensasi yang tidak
memadai dan tidak tepat waktu pemberiannya, tidak merangsang peternak untuk
melakukan pelaporan kejadian secara dini dan juga tidak merangsang peternak
dalam melaksanakan depopulasi dan tidak dapat memulihkan usaha peternakan
(Nurhayati et al. 2005).
6. Stamping Out
Pengendalian penyakit AI dengan stamping out masih sulit untuk
dilaksanakan karena daerah tertular baru tidak dapat diidentifikasi secara cepat
(contoh: Jambi, Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, Kalimantan Timur), karena
ketidak mampuan peternak dan petugas kesehatan hewan dalam melakukan 3E
(Early detection, Early reporting, Early response). Hasil peneguhan diagnosa
dengan isolasi dan identifikasi terlalu lama (pengiriman ke Balivet/BBV Wates)
karena PCR untuk konfirmasi cepat belum dapat dilakukan di BPPV lainnya. Selain
itu masalah pemberian kompensasi yang tidak tepat waktu dan kurang memadai
masih menjadi kendala.
S e t i a w a n P u t r a S y a h 2 0 1 1 | 9
Pengembangan Kebijakan Kesmavet Kesehatan Masyarakat Veteriner
Sekolah Pascasarjana Institute Pertanian Bogor
7. Pengisian Kandang Kembali
Kasus pada peternakan yang pernah tertular biasanya terjadi karena
pengisian kandang kembali (restocking) tanpa memperhatikan rentang waktu yang
dibutuhkan (30 hari untuk perusahaan integrasi/komersil; 45 hari untuk ayam
buras/itik), dan tanpa adanya jaminan bahwa prosedur dekontaminasi dan
desinfeksi sudah dilakukan dengan baik. Kenyataan ini mengindikasikan bahwa
pengisian kandang kembali dilakukan sendiri oleh peternak tanpa pengawasan dari
dinas setempat. Hasil penelitian tim Pusat Analisis Kebijakan Sosial Ekonomi
Pertanian juga menemukan kasus serupa, terutama pada peternak mandiri
(Nurhayati et al. 2005).
8. Public Awareness (Peningkatan kesadaran masyarakat)
Pelaksanaan public awareness masih ada kendala terutama jangkauan
dalam mensosialisasikan tindakan dalam menangani AI masih terbatas, misalnya
jumlah leafleat, poster, booklet tidak memadai untuk mencakup seluruh lapisan
masyarakat perunggasan, selain itu penyiaran melalui media elektronik pun belum
maksimal.
9. Monitoring dan Evaluasi
Pelaksanaan monitoring dan evalusi oleh staf Direktorat Jenderal Peternakan
belum optimal, sehingga perbaikan data dan informasi yang diterima melalui
laporan dinas tidak dapat dilakukan. Selain itu, pembangunan data base di pusat
untuk mengetahui epidemiologi AI belum berhasil dilakukan karena keterbatasan
pengetahuan epidemiologi petugas lapangan maupun pusat. Oleh karenanya
komunikasi dan kerjasama dengan swasta terutama dengan industri perunggasan
perlu ditingkatkan dan dibina secara berkesinambungan.
S e t i a w a n P u t r a S y a h 2 0 1 1 | 10
Pengembangan Kebijakan Kesmavet Kesehatan Masyarakat Veteriner
Sekolah Pascasarjana Institute Pertanian Bogor
IV. Pengembangan Kebijakan Pengendalian Virus AI
Banyaknya kesulitan dalam pengendalian HPAI dikarenakan banyak faktor
termasuk banyak dan menyebarnya populasi unggas serta persoalan otonomisasi
daerah yang yang dimulai tahun 2001 yang menyebabkan bervariasinya otoritas
yang menangani kesehatan hewan di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota. Hal ini
mengakibatkan terganggunya jalur komando untuk pengendalian dan surveilans
penyakit hewan di Indonesia (Hidayat 2008). Pendekatan pola penaggulangan
penyakit AI yang berdasarkan 9 kebijakan yang dikeluarkan pemerintah masih
banyak memiliki kekurangan, karenanya diperlukan suatu alternative
pengembangan yang efektif.
Pendekatan pola penaggulangan AI yang ideal seperti yang disarankan oleh
OIE dan WHO adalah stamping out. Akan tetapi stamping out di daerah tertular
belum memungkinkan dilalukan di Indonesia, mengigat kondisi yang tidak
mendukung, dimana peternakan unggas tidak tersentralisasi, pola usaha bervariasi
dari back yard sampai industri, HPAI telah menyebar luas dan dana kompensasi
yang tidak memadai. Sehubungan dengan hal tersebut alternative penaggulangan
AI yang efektif adalah dengan menerapkan depopulasi selektif, peningkatan
biosekuriti, vaksinasi dan pembatasan lalu lintas secara proporsional. Beberapa hal
yang dapat diusulkan berdasarkan hasil sintesa informasi dan verifikasi lapangan
(Nurhayati et al. 2005) adalah sebagai berikut ;
1. Upaya mengatasi kendala di peternakan Sektor 3 dan 4, perlu dibuat
Peraturan Pemerintah (PP) tentang sistem pola usaha pemeliharaan ternak
unggas skala kecil dan back yard farming termasuk unggas kesayangan
(hobi).
2. Pemerintah perlu merekrut SDM baru yang trampil sesuai kebutuhan di
lapangan dan mengakselerasi proses pencairan dana untuk penambahan
sarana dan prasarana.
3. Dalam pelaksanaan penerapan tindakan stategi vaksinasi perlu
dipertimbangkan untuk menggunakan “master seed” yang merupakan virus
LPAI (bukan H5N1), misalnya H5N2 atau H5N lainnya.
S e t i a w a n P u t r a S y a h 2 0 1 1 | 11
Pengembangan Kebijakan Kesmavet Kesehatan Masyarakat Veteriner
Sekolah Pascasarjana Institute Pertanian Bogor
4. Perlu menata kembali kebijakan bagi back yard farms (Sektor 4) dan strategi
untuk meningkatkan cakupan vaksinasi terutama pada ayam buras.
Monitoring post vaksinasi perlu ditingkatkan, dan jenis vaksinasi yang daya
proteksinya rendah sebaiknya tidak dipakai. Untuk hal ini perlu melihat fakta
di lapangan, apakah vaksin tersebut masih sebagus seperti saat dipakai
pada skala laboratorium.
5. Untuk menentukan kebijakan vaksinasi pemerintah pusat harus memperoleh
informasi data tentang cakupan vaksinasi dari Sektor 1 sampai dengan
Sektor 4.
6. Kebijakan vaksinasi pada suatu daerah didasarkan atas beberapa
pertimbangan, meliputi sistem penanggulangan AI, perkembangan kasus AI
di lapangan (ada/tidak ada kasus, tingkat keganasan virus, dinamika subtype
virus), dan distribusi geografik dipersiapkan, yaitu pada saat kasus AI tidak
lagi ditemukan pada suatu daerah tertentu.
7. Dalam pengaturan lalu lintas unggas perlu komitmen yang konsisten dari
pelaku/pemasok/pedagang unggas untuk menyertakan Surat Keterangan
Kesehatan Hewan (SKKH), apabila diketahui tanpa SKKH wajib ditolak. Perlu
adanya kesadaran dari peternak/pelaku/pedagang ternak untuk
mendapatkan SKKH secara legal.
8. Pemerintah harus berani dan tegas dalam menerapkan strategi stamping out
di daerah tertular baru, dan menerapkan strategi depopulasi selektif di
daerah endemis yang ditetapkan dengan diagnose cepat. Radius
pemusnahan selektif untuk flock, pasar, dan penampung unggas perlu lebih
lanjut. untuk kelancaran pelaksanaan strategi ini diperlukan dana
kompensasi yang memadai disertai kemudahan dalam akses pencairan
dana.
9. Peningkatan aspek promosi yang berkelanjutan, bukan hanya pada saat
terjadinya wabah penyakit.
S e t i a w a n P u t r a S y a h 2 0 1 1 | 12
Pengembangan Kebijakan Kesmavet Kesehatan Masyarakat Veteriner
Sekolah Pascasarjana Institute Pertanian Bogor
10. Diperlukan koordinasi yang lebih baik antar instansi terkait (Departemen
Pertanian, Kesehatan dan Pemerintah Daerah) dalam upaya mencapai
sinergisme yang kuat dan kondusif untuk menaggulangi penyakit AI.
Pemerintah dan Instansi terkait merumuskan sinergi kebijakan pusat dan
daerah dalam rangka mengoptimalisasi sosialisasi gerakan TUMPAS AI.
11. Wacana pembentukan Badan Otoritas “Flu Burung” perlu dikoordinasikan
dengan melibatkan seluruh institusi terkait. Untuk saat ini yang diperlukan
dalam eradikasi Avian Influenza di Indonesia adalah mengoptimalkan Task
Force yang ada dan membentuknya menjadi Task Force Nasional.
Program „Sembilan Langkah Strategis‟ yang dicanangkan oleh pemerintah
sudah sangat baik dan tepat, namun dalam kenyataannya implementasi langkah
tersebut masih perlu diperkuat dan dilaksanakan dengan penuh kebersamaan oleh
berbagai pihak terkait. Oleh karena itu sosialisasi perlu terus menerus dilakukan,
terutama kepada peternak dan petugas di lapangan. Beberapa rekomendasi yang
dapat dilakukan berdasarkan kegiatan usaha peternakan unggas dari mulai sektor
hulu sampai hilir (Nurhayati et al. 2005) sebagai berikut ;
A. Kebijakan Teknis
1. Mixing farming practices yang membudidayakan berbagai spesies
ternak (ayam, itik, entog, babi) sebaiknya dihindari, guna mencegah
keberlangsungan evolusi virus AI yang memungkinkan munculnya
kompleksitas infeksi serta dampaknya bagi kesehatan manusia.
Penyusunan tata ruang komoditas usaha peternakan perlu
diupayakan guna melindungi industri peternakan, khususnya bagi
industri perunggasan nasional serta kesehatan masyarakat veteriner
(kesmavet)
2. Unggas local yang dimiliki oleh peternakan rakyat belum sepenuhnya
mendapat perlindungan dari penyakit unggas berbahaya, sehingga
kiranya perlu dikembangkan vaksin yang sekaligus dapat melindungi
komodiitas tersebut dari serangan penyakit berbahaya seprti AI.
Indutri vaksin AI juga masih sepenuhnya tergantung dari komponen
S e t i a w a n P u t r a S y a h 2 0 1 1 | 13
Pengembangan Kebijakan Kesmavet Kesehatan Masyarakat Veteriner
Sekolah Pascasarjana Institute Pertanian Bogor
impor yang sangat rentan terhadap faktor eksternal utamanya
pengaruh nilai tukar rupiah terhadap asing. Pengembangan dan
pemanfaatan vaksin lokal masih belum berjalan sesuai dengan
harapan. Perlu adanya dorongan dalam menggunakan produksi obat
hewan dan vaksin dalam negeri melalui program promosi yang harus
digalakkan dalam upaya pemanfaatan dan pengembangannya.
3. Potensi dan arah pengembangan unggas local perlu diakselerasi
dalam rangka alternative pasokan daging diluar ayam ras (broiler),
dimana hal ini dapat sebagai sumber ketahanan pangan dalam
jangka panjang. Upaya ini dititikberatkan pada perbaikan bibit,
manajemen pakan berbasis sumberdaya local, pembentukan vaksin
dengan isolate local. Program intensifikasi usaha ini, dengan
merubah pola pemeliharaan tradisional menjadi pemeliharaan
terkurung atau intensif perlu dipertimbangkan dalam arah
pengembangan peternakan unggas ke depan.
B. Kebijakan Sosial Ekonomi
1. Perlu adanya harmonisasi kebijakan antar kelembagaan (instansi)
terkait dalam penaggulangan dan pencegahan penyakit AI pada
kebijakan investasi, tata ruang dan perijinan. Selain Departemen
terkait (pertanian dan Kesehatan), diperlukan juga koordinasi yang
baik antar instansi di daerah , utamanya untuk tidak diperoleh kesan
saling berbenturan dalam era otonomi daerah. Hal ini sangat penting
untuk dilandaskan agar struktur fungsional dapat berrjalan dengan
lebih baik pada implementasinya. Pemerintah tetap harus berperan
sebagai regulator yang bijaksana (adil, arif, dan transparan),
disamping perannya sebagai motivator, dinamisator dan fasilisator.
2. Perlu adanya peningkatan efektivitas dan penajaman fungsi (tugas
dan tanggung jawab) kelembagaan terkait, terutama dalam hal
perencanaan, pengawasan, peningkatan sumber daya manusia,
evaluasi dan control. Peraturan pemerintah yan gtidak operasional
belum mendapatkan control yang serius. Hal tersebut harus
S e t i a w a n P u t r a S y a h 2 0 1 1 | 14
Pengembangan Kebijakan Kesmavet Kesehatan Masyarakat Veteriner
Sekolah Pascasarjana Institute Pertanian Bogor
memperoleh perhatian yang lebih baik, dan diperlukan penegakan
hukum atas sangsi yang dikenakan. Sangsi bagi yang melanggar
peraturan yang ada perlu diatur dengan landasan hokum yang kuat.
3. Terjaminnya langkah monitoring penyakit AI yang dilakukan oleh
Sektor 1 – 4 merupakan salah satu tujuan dari kunci keberhasilan
penanganan penyakit AI di Indonesia. Transparansi Informasi dalam
hal ini oleh para pelaku tersebut perlu dibenahi sehingga diperoleh
data secara lengkap dan akurat.
4. Diperlukan penyuluhan secara komprehensif dan menyeluruh kepada
masyarakat mengenai apa dan bagaimana ancaman penyakit AI
pada hewan unggas. Diharapkan terjalin kerjasama yang harmonis
antara pelaku bisnis, sehingga persatuan yang solid merupakan
kekuatan bersama untuk mengantisipasi bebasnya Indonesia dari
penyakit AI. Pemberantasan penyakit AI harus tetap fokus pada
sumbernya, yaitu unggas, sehingga penanganannya akan lebih efektif
dan efisien.
V. Rencana Strategis Pengendalian HPAI 2009-2011
Rencana strategis pengendalian HPAI pada unggas tahun 2009-2011 akan
menitikberatkan pengendalian HPAI secara progresif pada industri komersial dan
rantai pemasaran unggas untuk menekan dampak terhadap produksi dan sumber
penghidupan masyarakat menuju pembebasan wilayah secara bertahap.
Disamping itu program ini juga bertjuan untuk mengurangi risiko penularan
terhadap manusia. Hal ini dapat diperoleh melalui: 1) Penguatan program PDSR
pada dinas di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota dengan penyediaan anggaran
Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota; 2) Intensifikasi program
pengendalian di daerah yang memiliki risiko tinggi; 3) Program pengendalian di
daerah insidensi rendah menuju pembebasan 4) Mendorong industri komersial dan
rantai pemasaran untuk melakukan best practices dalam pengendalian HPAI; dan
5) pelaksanaan kegiatan pendukung lainnya seperti penelitian, komunikasi,
S e t i a w a n P u t r a S y a h 2 0 1 1 | 15
Pengembangan Kebijakan Kesmavet Kesehatan Masyarakat Veteriner
Sekolah Pascasarjana Institute Pertanian Bogor
surveilans penyakit, pelayanan diagnostik, karantina dan pengawasan lalulintas,
peraturan serta restrukturisasi industri.
Keterbatasan Sumber daya Manusia merupakan masalah utama yang
dihadapi dalam pengendalian Avian Influenza. Tidak meratanya penyebaran tenaga
medik dan medik veteriner serta tingkat pemahaman yang bevariasi terhadap
penyakit ini juga menjadi kendala. Data tahun 2007 dari Pengurus Besar Persatuan
Dokter Hewan Indonesia (PB PDHI) menyebutkan bahwa jumlah dokter hewan
yang bekerja di Pemerintah baik pusat maupun daerah sekitar 50%. Namun tidak
diketahui berapa jumlah dokter hewan yang berada di pusat dan daerah, terlebih
lagi berapa jumlah tenaga dokter hewan pemerintah yang langsung menangani
pengendalian penyakit hewan (Hidayat, 2008)
Permasalahan bervariasinya kelembagaan menangani kesehatan hewan di
daerah, sebagaimana disebutkan diatas juga menjadi kendala sehubungan dengan
besarnya kewenangan yang diberikan akan berbeda pula. Belum lagi masih ada
instansi yang menangani kesehatan hewan di daerah yang dipimpin oleh orang
yang tidak memiliki latar belakang pendidikan kesehatan hewan atau dokter hewan.
Hal ini mungkin akan berdampak pada kebijakan yang diambil menjadi kurang
sesuai dengan kaidah kesehatan hewan.
Penguatan penjagaan di pintu masuk Indonesia. Banyaknya pintu masuk ke
Indonesia menjadikan pengawasan di pintu masuk menjadi tidak mudah.
Pengurangan jumlah pintu masuk mungkin dapat menjadi opsi untuk lebih
memfokuskan pengawasan keluar masuknya hewan atau media yang bisa
membawa penyakit ke wilayah Indonesia sehingga pengawasan menjadi lebih
fokus.
Sistem pengawasan (surveilans) penyakit hewan juga harus ditingkatkan.
Surveilans terstruktur untuk mengetahui status dan situsi penyakit harus menjadi
salah satu prioritas dalam usaha pengendalian penyakit. Kegiatan surveilans yang
terstruktur ini bisa menjadi indikator keberhasilan pengendalian penyakit.
Restrukturisasi industri perunggasan, mulai dari hulu yakni peternakan hingga ke
hilir seperti rantai tataniaga unggas dan produknya juga perlu dilaksanakan.
Konsep “safe from farm to table” atau jaminan keamanan suatu produk asal hewan
S e t i a w a n P u t r a S y a h 2 0 1 1 | 16
Pengembangan Kebijakan Kesmavet Kesehatan Masyarakat Veteriner
Sekolah Pascasarjana Institute Pertanian Bogor
hingga ke konsumen harus diterapkan untuk menjamin produk asal hewan yang
dikonsumsi oleh konsumen adalah produk yang aman untuk dikonsumsi.
Kesimpulan
1. Penyebaran virus AI di Indonesia telah terjadi sejak tahun 2003 sampai saat
ini dan meluas keseluruh pulau –pulau Indonesia, sampai awal tahun 2011
ini, penyakit AI sudah menjadi endemik dengan 31 provinsi dinyatakan
tertular virus H5N1 hanya dua Provinsi yang dinyatakan bebas AI yaitu
Provinsi Gorontalo dan Maluku Utara.
2. Sejak Departemen Pertanian mengeluarkan pernyataan tertularnya
Indonesia oleh penyakit AI, serangkaian kebijakan juga dikeluarkan sebagai
usaha mencegah penyebaran penyakit. Sembilan langkah dikeluarkan oleh
Direktorat Jenderal Peternakan - Departemen Pertanian
No.17/Kpts/PD.640/F/02/04: Biosekuriti; Depopulasi; Vaksinasi;
Pengendalian Lalu Lintas; Surveilans dan Penelusuran; Public Awareness;
Restocking; Stamping-out di Daerah Tertular Baru; serta Monitoring dan
Evaluasi. Sembilan langkah ini diharapkan mampu mencegah penyebaran
penyakit lebih lanjut, namun hingga November 2005 saja penyakit ini tetap
menyebar hingga ke 24 propinsi, 155 kabupaten/kota di Indonesia, sehingga
diperlukan suatu alternative pengembangan yang efektif.
3. Pengendalian HPAI tidak bisa hanya dilakukan melalui pendekatan teknis
saja. Selain masalah bervariasinya otoritas yang menangani kesehatan
hewan di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota serta besarnya populasi
unggas di Indonesia, banyak faktor lain yang menjadikan kendala
pengendalian seperti aspek kesehatan masyarakat, dampak ekonomik,
sosial budaya, politik dan efek psikologik kasus AI sangat sangat menonjol,
sehingga penanggulangan penyakit menjadi sangat kompleks.
S e t i a w a n P u t r a S y a h 2 0 1 1 | 17
Pengembangan Kebijakan Kesmavet Kesehatan Masyarakat Veteriner
Sekolah Pascasarjana Institute Pertanian Bogor
4. Alternative penaggulangan AI yang efektif adalah dengan menerapkan
depopulasi selektif, peningkatan biosekuriti, vaksinasi dan pembatasan lalu
lintas secara proporsional.
5. Rencana strategis pengendalian HPAI pada unggas tahun 2009-2011 akan
menitikberatkan pengendalian HPAI secara progresif pada industri komersial
dan rantai pemasaran unggas untuk menekan dampak terhadap produksi
dan sumber penghidupan masyarakat menuju pembebasan wilayah secara
bertahap. Disamping itu program ini juga bertjuan untuk mengurangi risiko
penularan terhadap manusia.
6. Rencana strategis pengendalian HPAI pada unggas tahun 2009-2011
menitikberatkan pengendalian HPAI secara progresif pada industri komersial
dan rantai pemasaran unggas untuk menekan dampak terhadap produksi
dan sumber penghidupan masyarakat menuju pembebasan wilayah secara
bertahap.
S e t i a w a n P u t r a S y a h 2 0 1 1 | 18
Pengembangan Kebijakan Kesmavet Kesehatan Masyarakat Veteriner
Sekolah Pascasarjana Institute Pertanian Bogor
DAFTAR PUSTAKA
Balai Penelitian Veteriner. 2006. Laporan Surveilans dan Monitoring Avian Influenza
(AI) di Provinsi Jawa Barat, Banten, dan DKI Jakarta.
[CIDRAP] Center for Infectious Disease Research & Policy. 2004. Highly Pathogenic
Avian Influenza (Fowl Plaque) Academic Healt Center, University of
Minnesota. Pp 14.
Damayanti R, A Wiyono, R Indriani, NLPI Dharmayanti, Darmito. 2004. Gambaran
Klinis dan Pathologis pada Ayam Terserang Flu Burung Sangat Phatogenik
(HPAI) di beberapa Peternakan di Jawa Timur dan Jawa Barat. JITV 9:128-
135.
Damayanti R, NLPI Dharmayanti, R Indriyani, A Wiyono, RMA Adjid. 2005.
Monitoring Kasus penyakit Avian Invluenza Berdasarkan Deteksi Antigen
Virus Subtipe H5N1 secara Imunohistokimiawi. JITV 10(4):322-330.
Dharmayanti NLPI, R Indriani, R Damayanti, A Wiyono, RMA Adjid. 2005. Karakter
Virus Avian Influenza Isolat Indonesia pada Wabah Gelombang Ke Dua. JITV
10(3):217-226.
Hidayat A. 2008. Lima Tahun Bersama Flu Burung. artikel [terhubung berkala].
http://genetika21.wordpress.com/2008/10/12/lima-tahun-bersama-flu-burung-
perjalanan-pengendalian-avian-influenza-di-indonesia/. [18 Maret 2011].
Naipospos TSP. 2011. Sinopsis Virus Flu Burung H5N1. artikel [terhubung berkala].
http://tatavetblog.blogspot.com/2011/02/sinopsis-virus-flu-burung-h5n1.html
[18 Maret 2011].
Nurhayati IS, E Martindah, A priyanti, D Zainuddin, B Setiadi, I Inounu, S Bahri, A
Wiyono, A Adjid, K Dwiyanto. 2005. Analisis Kebijakan Penanganan Penyakit
Avian Influenza di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Peternakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Proyek
Pengkajian Teknologi Pertanian Partisipatif Pusat (PPATP), Bogor.
Suwarno, AP Rahardjo, Fauziah, EA Srihanto. 2006. Karakterisasi Virus Avian
Influenza dengan Uji Serologik dan Reverse Transcriptase-
Polymerase Chain Reaction. Jurnal Media Kedokteran Hewan
22(2):74-78.
Tim Kajian Avian Influenza FKH-UGM. 2006. Kajian Avian Influenza (AI) di Jawa
Timur, Jawa Tengah, dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Disampaikan pada
Seminar Pemaparan Hasil Akhir Surveilans/Penelitian AI TA. 2005, di
Gedung D, Departemen Pertanian, Jakarta.
S e t i a w a n P u t r a S y a h 2 0 1 1 | 19
Pengembangan Kebijakan Kesmavet Kesehatan Masyarakat Veteriner
Sekolah Pascasarjana Institute Pertanian Bogor
Yusdja, YE Basuno, IW Rusastra, M. Ariani, Suharsono, P Simatupang. 2004. Sosio
Economic Impact Assessment of Avian Influenza Crisis on Poultri Production
Systems in Indonesia with Particular Focus on Independent Smallholders.
Final Report. Indonesian Center of Agricultureal Sosio Economic Research
and Development in Colaboration with Directorate of Animal Healt,
Directorate General of Livestock Services and FAO-RAP Bangkok –
TPC/RAS/3010.