pengalaman pengembangan dan implementasi kebijakan pengendalian ai (avian influenza) di indonesia

19
Setiawan Putra Syah 2011 | 1 Pengembangan Kebijakan Kesmavet Kesehatan Masyarakat Veteriner Sekolah Pascasarjana Institute Pertanian Bogor PENGALAMAN PENGEMBANGAN DAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENGENDALIAN AI (AVIAN INFLUENZA) DI INDONESIA SETIAWAN PUTRA SYAH B251100011 PS Kesehatan Masyarakat Veteriner Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor I. Pendahuluan Avian Influenza (AI) atau penyakit flu burung merupakan penyakit infeksius yang sangat patogenik sangat fatal dan menular pada unggas (CIDRAP 2004), merupakan penyakit zoonosis yang disebabkan oleh virus influenza tipe A yang tergolong dalam family orthomixoviridae yang ditularkan dari unggas ke manusia (Naipospos 2011) dan dapat menginfeksi berbagai macam spesies antara lain unggas, kuda, babi dan manusia (Easterday dan hinshaw 1991, diacu dalam Damayanti et al. 2005). Penyakit AI ada yang Low Pathogenic AI (LPAI) dan Highly Pathogenic AI (HPAI). Penyakit HPAI ini terdaftar sebagai penyakit list A pada OIE manual (OIE, 2000). Penyakit ini pertama ditemukan di Italia pada tahun 1878 (Damayanti et al. 2005). Penyakit Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI) H5N1 pertama dicurigai sejak dilaporkan banyak kematian unggas di pada bulan Agustus 2003 di jawa timur dan jawa barat terjadi wabah flu burung pada ayam dengan angka mortalitas mencapai 100% (Damayanti et al. 2005; Hidayat 2008). wabah ini kemudian segera diikuti dengan wabah serupa di Jawa Tengah, DIY, Sumatera Barat, Lampung, Bengkulu, Bali, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Selatan (Damayanti et al. 2005). Di kalangan industri peternakan berita mengenai penyakit ini sudah sangat gencar dibicarakan, Isu tentang Very virulent NewCastle Disease (VVND) adalah dalang penyebab matinya unggas-unggas di peternakan juga banyak beredar. Pemerintah baru mendeklarasikan secara resmi Indonesia terserang oleh HPAI ini pada akhir Januari 2004 melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian. kurang lebih 6 bulan sejak penyakit ini dicurigai menyerang unggas pernyataan pemerintah ini dikeluarkan sehingga penyakit telah menyebar di

Upload: putra-syah

Post on 28-Jul-2015

1.236 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

Sebuah tulisan yang membahas mengenai pengalaman dan pengembangan kebijakan pengendalian virus AI di Indonesia

TRANSCRIPT

Page 1: Pengalaman Pengembangan dan Implementasi Kebijakan Pengendalian Ai (Avian Influenza) di Indonesia

S e t i a w a n P u t r a S y a h 2 0 1 1 | 1

Pengembangan Kebijakan Kesmavet Kesehatan Masyarakat Veteriner

Sekolah Pascasarjana Institute Pertanian Bogor

PENGALAMAN PENGEMBANGAN DAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENGENDALIAN AI (AVIAN INFLUENZA) DI INDONESIA

SETIAWAN PUTRA SYAH

B251100011

PS Kesehatan Masyarakat Veteriner

Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor

I. Pendahuluan

Avian Influenza (AI) atau penyakit flu burung merupakan penyakit infeksius

yang sangat patogenik sangat fatal dan menular pada unggas (CIDRAP 2004),

merupakan penyakit zoonosis yang disebabkan oleh virus influenza tipe A yang

tergolong dalam family orthomixoviridae yang ditularkan dari unggas ke manusia

(Naipospos 2011) dan dapat menginfeksi berbagai macam spesies antara lain

unggas, kuda, babi dan manusia (Easterday dan hinshaw 1991, diacu dalam

Damayanti et al. 2005). Penyakit AI ada yang Low Pathogenic AI (LPAI) dan Highly

Pathogenic AI (HPAI). Penyakit HPAI ini terdaftar sebagai penyakit list A pada OIE

manual (OIE, 2000). Penyakit ini pertama ditemukan di Italia pada tahun 1878

(Damayanti et al. 2005).

Penyakit Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI) H5N1 pertama dicurigai

sejak dilaporkan banyak kematian unggas di pada bulan Agustus 2003 di jawa

timur dan jawa barat terjadi wabah flu burung pada ayam dengan angka mortalitas

mencapai 100% (Damayanti et al. 2005; Hidayat 2008). wabah ini kemudian segera

diikuti dengan wabah serupa di Jawa Tengah, DIY, Sumatera Barat, Lampung,

Bengkulu, Bali, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Sulawesi Tenggara dan

Sulawesi Selatan (Damayanti et al. 2005). Di kalangan industri peternakan berita

mengenai penyakit ini sudah sangat gencar dibicarakan, Isu tentang Very virulent

NewCastle Disease (VVND) adalah dalang penyebab matinya unggas-unggas di

peternakan juga banyak beredar. Pemerintah baru mendeklarasikan secara resmi

Indonesia terserang oleh HPAI ini pada akhir Januari 2004 melalui Surat Keputusan

Menteri Pertanian. kurang lebih 6 bulan sejak penyakit ini dicurigai menyerang

unggas pernyataan pemerintah ini dikeluarkan sehingga penyakit telah menyebar di

Page 2: Pengalaman Pengembangan dan Implementasi Kebijakan Pengendalian Ai (Avian Influenza) di Indonesia

S e t i a w a n P u t r a S y a h 2 0 1 1 | 2

Pengembangan Kebijakan Kesmavet Kesehatan Masyarakat Veteriner

Sekolah Pascasarjana Institute Pertanian Bogor

beberapa daerah di Indonesia. Dari data Departemen Pertanian hingga Desember

2003 saja penyakit Ai ini telah menyebar di 9 propinsi, 59 kabupaten/kota di

Indonesia. Hingga saat penyakit ini terkonfirmasi di 31 dari 33 provinsi. endemik di

pulau Jawa, Sumatra, Bali dan Sulawesi Selatan serta wabah terjadi sporadik

dilaporkan dari berbagai daerah.

Metode penanggulangan HPAI biasanya dilakukan dengan berbagai cara

diantaranya seperti ; diagnosis cepat dan akurat, pemusnahan ayam yang

terinfeksi, isolasi daerah tercemar, vaksinasi dan penerapan biosekuritas yang ketat

(Swayne dan Suarez 2000, diacu dalam Damayanti et al. 2005). Setiap Negara

biasanya memilki kebijakan sendiri yang disesuaikan dengan kondisi setempat

dalam hal ini pemerintah Indonesia telah menetapkan program vaksinasi sebagai

salah satu pilihan untuk penanggulangan wabah HPAI di Indonesia. Program

tersebut digunakan dikarenakan Indonesia merupakan Negara dengan daerah

padat unggas terlebih lagi terdapat peternakan sambilan (backyards farms),

sehingga biosekuritas ketat tidak dapat dilaksanakan secara benar. maka program

vaksinasi merupakan pilihan utama untuk eradikasi HPAI. Sejak Departemen

Pertanian mengeluarkan pernyataan tertularnya Indonesia oleh penyakit AI,

serangkaian kebijakan juga dikeluarkan sebagai usaha mencegah penyebaran

penyakit. Sembilan langkah dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Peternakan –

Departemen Pertanian : Biosekuriti; Depopulasi; Vaksinasi; Pengendalian Lalu

Lintas; Surveilans dan Penelusuran; Public Awareness; Restocking; Stamping-out

di Daerah Tertular Baru; serta Monitoring dan Evaluasi. Sembilan langkah ini

diharapkan mampu mencegah penyebaran penyakit lebih lanjut.

II. Penyebaran Virus Avian Influenza (AI) di Indonesia

Penyakit AI (Avian Influenza) atau yang lebih dikenal dengan Flu burung

pada ternak unggas pertama kali dilaporkan di peternakan ayam ras yang terjadi

pada bulan Agustus 2003 dan mencapai puncaknya pada bulan januari 2004

(Nurhayati et al. 2005), dan sampai dengan saat ini masih belum jelas sumber

penularan awal penyakit ini ke Indonesia. Wilayah yang terjangkit flu burung pada

Page 3: Pengalaman Pengembangan dan Implementasi Kebijakan Pengendalian Ai (Avian Influenza) di Indonesia

S e t i a w a n P u t r a S y a h 2 0 1 1 | 3

Pengembangan Kebijakan Kesmavet Kesehatan Masyarakat Veteriner

Sekolah Pascasarjana Institute Pertanian Bogor

tahun 2003 telah mencapai 9 propinsi yang meliputi 51 kabupaten dan jumlah

ayam/unggas yang mati mencapai 4,7 juta ekor (Nurhayati et al. 2005).

Masuknya AI di Indonesia telah menghancurkan sendi-sendi usaha

peternakan unggas di Indonesia. Tercatat tidak kurang dari puluhan juta ekor ayam

petelur, pedaging, burung puyuh dan ayam lokal mengalami kematian yang sangat

cepat. Pada pertengahan bulan September 2003 wabah HPAI telah menimbulkan

kematian sangat tinggi pada unggas terutama ayam petelur di Pulau Jawa,

Sumatera, Bali dan Kalimantan. Dari wabah tersebut, virus yang sangat patogen

penyebab wabah penyakit dapat diisolasi, selanjutnya di karakterisasi sebagai virus

Avian Influenza subtype H5N1 (Damayanti et al. 2004; Dharmayanti et al. 2005;

Suwarno et al. 2006). Berdasarkan laporan resmi direktorat kesehatan hewan

wabah ini diduga sudah terjadi pada ayam layer sejak bulan Agustus 2003 di Jawa

Tengah. Menurut Damayanti et al (2004) wabah yang terjadi pada saat itu tidak

hanya menyerang ayam petelur komersial, namun juga ayam pedaging, dengan

gejala klinis antara lain kebiruan pada jengger dan pial, leleran hidung dan

hipersalivasi, ptechiae subkutan pada kaki dan paha, diare dan kematian

mendadak.

Dari kajian kasus AI di lapangan menunjukkan bahwa gejala klinis AI pada

awal wabah tahun 2003 sampai 2004 berbeda dengan gejala klinis pada akhir

tahun 2005 (Dharmayanti et al. 2005). Dharmayanti et al. 2005 juga

mengemukakan bahwa isolat yang di peroleh pada gelombang kedua (terjadi mulai

Desember 2004 sampai April 2005) berbeda dengan isolate dari kelompok tahun

2003 dan 2004. Dari hasil pemantauan kematian unggas sejak Februari 2004 terus

menurun sampai dengan Desember 2004, akan tetapi jumlah provinsi yang

terjangkit terus bertambah, dan tercatat ada 16 provinsi, mencakup 100

kabupaten/kota. Namun pada awal sampai pertengahan tahun 2005 terjadi kembali

terutama pada ayam buras, dan daerah penyebaran AI pun semakin meluas di 22

provinsi dan 139 kabupaten/kota pada bulan Maret-April 2005. Pada bulan

November 2005 AI di Indonesia sudah endemik dan tersebar luas di 23 provinsi

dan 149 kabupaten/kota. Jumlah kematian unggas akibat serangan wabah AI

secara kumulatif sejak ditemukannya pada Agustus 2003 sampai dengan

November 2005 telah mencapai 10,45 juta ekor dan sebagian besar yang terkena

Page 4: Pengalaman Pengembangan dan Implementasi Kebijakan Pengendalian Ai (Avian Influenza) di Indonesia

S e t i a w a n P u t r a S y a h 2 0 1 1 | 4

Pengembangan Kebijakan Kesmavet Kesehatan Masyarakat Veteriner

Sekolah Pascasarjana Institute Pertanian Bogor

adalah peternakan rakyat (Nurhayati et al. 2005). Penularan zoonosis ke manusia

dilaporkan pertama kali di Provinsi Jawa Barat pada Juli 2005 (Naipospos, 2011).

Gambar 1. Peta daerah tertular sampai dengan akhir 2007 (data dari UPPAI dan FAO, diacu dalam Hidayat 2008).

Perkembangan kasus AI pada unggas secara kumulatif sampai dengan

Januari 2006 total provinsi yang sudah tertular adalah 26 provinsi meliputi 167

kabupaten/kota. Provinsi yang belum pernah dilaporkan tertular adalah Maluku

utara, Maluku , Sulawesi utara, dan Gorontalo. Sementara itu Balai Penelitian

Veteriner (2006) melaporkan paparan virus AI pada provinsi Jawa Barat secara

seroligis telah meliputi 16 dari 18 Kabupaten/kota yang survive. Di Provinsi Banten

dari 6 Kabupaten/kota yang survive semuanya terpapar virus AI secara serologis,

demikian pula di 5 wilayah di Provinsi DKI Jakarta. Penyebaran virus AI pada tahun

2007 meningkat menjadi 295 Kabupaten/kota di 31 provinsi di Indonesia, 2 Provinsi

masih dikategorikan bebas AI yaitu Provinsi Gorontalo dan Maluku Utara.Dengan

Page 5: Pengalaman Pengembangan dan Implementasi Kebijakan Pengendalian Ai (Avian Influenza) di Indonesia

S e t i a w a n P u t r a S y a h 2 0 1 1 | 5

Pengembangan Kebijakan Kesmavet Kesehatan Masyarakat Veteriner

Sekolah Pascasarjana Institute Pertanian Bogor

telah ditemukannya paparan virus AI di berbagai spesies unggas di beberapa

wilayah di Indonesia menunjukkan bahwa penyakit AI sudah bersifat endemis.

Sampai awal tahun 2011 ini, penyakit AI sudah menjadi endemik dengan

31 provinsi dinyatakan tertular dan virus H5N1 yang ditemukan termasuk kelompok

(clade) 2.1 (Eagles et al. 2009, diacu dalam Naipospos 2011). Mengingat AI bersifat

zoonotik, maka gambaran hasil surveilans yang telah dilakukan mengisyaratkan

agar pemerintah waspada terhadap penyebaran infeksi AI dari unggas ke manusia.

III. Kebijakan dan Kendala penanganan virus AI di Indonesia

Dengan mewabahnya virus AI memaksa pemerintah untuk melakukan

tindakan-tindakan guna mencegah penyebaran virus AI di Indonesia, mengingat

atas ancaman infeksi flu burung tidak terbatas pada manusia, tetapi juga

mengacam kelangsungan usaha peternakan unggas. Keterkaitan penyakit ini

antara kesehatan manusia dan peternakan menjadi sangat penting diperhatikan.

Hal tersebut mengingat sifat infeksi virus flu burung yang menular dari unggas ke

manusia (zoonotik) dan pentingnya ketersediaan protein hewani asal unggas yang

murah dan sehat bagi masyarakat.

Sejak Departemen Pertanian mengeluarkan pernyataan tertularnya

Indonesia oleh penyakit AI, serangkaian kebijakan juga dikeluarkan sebagai usaha

mencegah penyebaran penyakit. Pedoman tentang strategi pencegahan,

pengendalian, dan pemberantasan penyakit AI telah ditetapkan melalui SK

direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan No. 17/Kpts/PD.640/F/02/04. Inti dari

program tersebut adalah pelaksanaan Sembilan tindakan strategis yang mencakup

1). Peningkatan biosekuriti, 2). Vaksinasi, 3). Depopulasi (pemusnahan terbatas) di

daerah tertular, 4). Pengendalian lalu lintas unggas, produk unggas, dan limbah

peternakan unggas, 5). Surveilans dan Penelusuran, 6). Pengisian kandang

kembali (restocking), 7). Stamping out (pemusnahan menyeluruh) di daerah tertular

baru, 8). Peningkatan kesadaran masyarakat (public awareness), dan 9).

Monitoring dan evaluasi.

Page 6: Pengalaman Pengembangan dan Implementasi Kebijakan Pengendalian Ai (Avian Influenza) di Indonesia

S e t i a w a n P u t r a S y a h 2 0 1 1 | 6

Pengembangan Kebijakan Kesmavet Kesehatan Masyarakat Veteriner

Sekolah Pascasarjana Institute Pertanian Bogor

1. Biosekuriti

Hasil evaluasi pelaksanaan “Sembilan tindakan strategis” dalam pencegahan

dan pengendalian penyakit AI menunjukkan bahwa penerapan biosekuriti pada

Sektor 1 dan 2 dinilai sudah baik, tetapi pelaksanaan di Sektor 3 terutama di

peternakan dengan skala kecil masih kurang. Sedangkan Sektor 4 (back yard farm)

tidak melaksanakan penerapan biosekuriti, dimana ternak unggas biasanya dilepas

(ayam buras) atau digembalakan seperti itik yang diangon atau unggas-unggas lain

yang berkeliaran. Dari hasil Timnas Pusat Analisis Kebijakan Sosial Ekonomi

Pertanian (Yusdja et al. 2004) juga menunjukkan bahwa serangan AI terparah

dialami oleh peternak mandiri yang termasuk dalam sector 3, sehingga mereka

mengalami kerugian dan lebih dari 50% menutup usahanya. Hal ini terjadi karena

mereka mengalami kesulitan dalam menerapkan tindakan biosekuriti. Demikian

juga dengan trasnportasi unggas atau produknya maupun pupuk kandang berupa

litter (kotoran dan sekam) dari peternakan yang tertular. Meskipun demikian

penerapan biosekuriti merupakan tindakan yang menjadi perhatian utama bagi

dinas/instansi terkait dalam sosialisasi pencegahan dan penanggulangan AI

(Nurhayati et al. 2005).

2. Vaksinasi

Dalam penerapan strategi vaksinasi masalah yang dapat diidentivikasi

adalah masalah vaksin, masalah vaksinasi serta kelemahan startergi vaksinasi.

Masalah vaksin yang utama adalah beredarnya berbagai jenis vaksin illegal di

Indonesia sejak awal timbulnya wabah, terutama dari china. Selain itu master seed

yang digunakan untuk pembuatan vaksin local maupun impor yang beredar sangat

bervariasi antara lain HPAI (H5N1 vaksin local) dan LPAI (H5N1/H5N2/H5N9

vaksin impor) (Nurhayati et al. 2005), tidak semua vaksin dapat digunakan untuk

menerapkan prinsip DIVA dalam surveilans. Vaksin dengan proses inaktivasi yang

tidak sempurna juga masih ditemukan di lapangan.

Masalah vaksinasi antara lain sulit memperoleh informasi tentang; a).

cakupan vaksinasi dari sector 1 hingga 4, b). tingkat perlindungan dari hasil

vaksinasi, c). sulit memantau pelaksanaan vaksinasi untuk mengetahui kendala

dilapangan dari aspek infrastruktur, logistik, tenaga dan biaya operasional.hal ini

Page 7: Pengalaman Pengembangan dan Implementasi Kebijakan Pengendalian Ai (Avian Influenza) di Indonesia

S e t i a w a n P u t r a S y a h 2 0 1 1 | 7

Pengembangan Kebijakan Kesmavet Kesehatan Masyarakat Veteriner

Sekolah Pascasarjana Institute Pertanian Bogor

disebabkan kordinasi dan fasilitas yang diberikan oleh dinas setempat kurang

kondusif. Kendala vaksinasi missal adalah: komitmen „otoritas veteriner‟ di

Kabupaten/kota masih perlu dipertanyakan, cakupan vaksinasi rendah karena

jangkauan areal luas, pemilikan skala kecil, tidak punya kandang dan „time

consuming‟ (sulit ditangkap), spesies unggas yang dicakup beragam mulai dari

ayam buras, ayam arab, itik dan burung puyuh, d). Logistik (spuit otomatik, lemari

es, ice box, pakaian pelindung, dll) sangat terbatas, e). Biaya operasional sangat

rendah, tidak menjadi insentif bagi petugas untuk melaksanakan dengan baik di

lapangan.

Kelemahan penerapan strategi vaksinasi, antara laian : a). Virus AI masih

mampu menginfeksi dan bereplikasi dalam tubuh unggas sehat yang divaksinasi,

b). Jika ingin dicapai pemberantasan, vaksinasi saja tidak dianggap sebagai solusi

dalam mengendalikan HPAI dari subtype H5, c). Virus akan menjadi endemic

dalam populasi unggas jika tidak disertai dengan sistem monitoring dan biosekuriti

ketat. Hal ini dapat dibuktikan dari hasil surveilans yang dilakukan oleh Tim

FKH-UGM bahwa antibody ditemukan pada unggas yang telah divaksinasi maupun

tidak, dan sebagian dari unggas yang mempunyai antibody masih berpotensi

menyebarkan virus AI (Tim Surveilans FKH-UGM, 2006).

3. Pengawasan Lalu lintas Unggas

Meskipun peraturan lalu lintas unggas hidup, DOC, maupun produk unggas

sudah ada, namun penyebaran AI semakin meluas. Hal ini disebabkan

pengangkutan unggas hidup melalui darat atau antar propinsi/kabupaten

frekuensinya sangat tinggi sehingga sangat sulit dipantau. Penyebaran wabah

melalui lalu lintas unggas hidup dan produknya, terutama lewat pasar ayam/burung

dan perdagangan antar pulau/kabupaten jelas sangat nyata dan memiliki pengaruh,

dan ini merupakan target yang paling penting dalam tindakan pengendalian

(Nurhayati et al. 2005).

4. Surveilans dan Penelusuran

Surveilans dan penelusuran merupakan kegiatan yang sangat penting,

karena dengan surveilans akan diketahui keberadaan infeksi AI secara dini.

Page 8: Pengalaman Pengembangan dan Implementasi Kebijakan Pengendalian Ai (Avian Influenza) di Indonesia

S e t i a w a n P u t r a S y a h 2 0 1 1 | 8

Pengembangan Kebijakan Kesmavet Kesehatan Masyarakat Veteriner

Sekolah Pascasarjana Institute Pertanian Bogor

Masalah yang timbul pada pelaksanaan surveilans antara laian : a). Pengambilan

sampel (serum, organ, cotton swab) dari masing-masing Sektor (1 s/d 4) di

laboratorium dalam melakukan pengujian terhadap sampel tersebut belum merata,

c). Pengumpulan isolate dari kasus klinis sudah dapat dilakukan oleh semua

laboratorium regional dan Balivet, akan tetapi karakteristik virus melalui sekuen

DNA harus dilakukan oleh laboratorium lain. Pengalaman Thailand dalam

menerapkan sistem surveiland AI di negaranya dapat dijadikan bahan kajian

(Kongmuang 2005, diacu dalam Nurhayati et al. 2005). Demikian juga dengan

sistem yang diterapkan Korea Selatan, Malaysia dan Jepang dalam mengantisipasi

serangan bioterorisme di negaranya dapat digunakan sebagai pembanding

(Serizawa, 2005; Shahrizan, 2005, diacu dalam Nurhayati et al. 2005).

5. Pemusnahan Selektif (Depopulasi) dan Disposal

Pemusnahan selektif (Depopulasi) dan disposal tidak dapat secara efektif

menghentikan gejala klinis dan memotong siklus penularan, karena hanya

dilakukan sangat terbatas dan tidak sesuai prosedur. Nilai kompensasi yang tidak

memadai dan tidak tepat waktu pemberiannya, tidak merangsang peternak untuk

melakukan pelaporan kejadian secara dini dan juga tidak merangsang peternak

dalam melaksanakan depopulasi dan tidak dapat memulihkan usaha peternakan

(Nurhayati et al. 2005).

6. Stamping Out

Pengendalian penyakit AI dengan stamping out masih sulit untuk

dilaksanakan karena daerah tertular baru tidak dapat diidentifikasi secara cepat

(contoh: Jambi, Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, Kalimantan Timur), karena

ketidak mampuan peternak dan petugas kesehatan hewan dalam melakukan 3E

(Early detection, Early reporting, Early response). Hasil peneguhan diagnosa

dengan isolasi dan identifikasi terlalu lama (pengiriman ke Balivet/BBV Wates)

karena PCR untuk konfirmasi cepat belum dapat dilakukan di BPPV lainnya. Selain

itu masalah pemberian kompensasi yang tidak tepat waktu dan kurang memadai

masih menjadi kendala.

Page 9: Pengalaman Pengembangan dan Implementasi Kebijakan Pengendalian Ai (Avian Influenza) di Indonesia

S e t i a w a n P u t r a S y a h 2 0 1 1 | 9

Pengembangan Kebijakan Kesmavet Kesehatan Masyarakat Veteriner

Sekolah Pascasarjana Institute Pertanian Bogor

7. Pengisian Kandang Kembali

Kasus pada peternakan yang pernah tertular biasanya terjadi karena

pengisian kandang kembali (restocking) tanpa memperhatikan rentang waktu yang

dibutuhkan (30 hari untuk perusahaan integrasi/komersil; 45 hari untuk ayam

buras/itik), dan tanpa adanya jaminan bahwa prosedur dekontaminasi dan

desinfeksi sudah dilakukan dengan baik. Kenyataan ini mengindikasikan bahwa

pengisian kandang kembali dilakukan sendiri oleh peternak tanpa pengawasan dari

dinas setempat. Hasil penelitian tim Pusat Analisis Kebijakan Sosial Ekonomi

Pertanian juga menemukan kasus serupa, terutama pada peternak mandiri

(Nurhayati et al. 2005).

8. Public Awareness (Peningkatan kesadaran masyarakat)

Pelaksanaan public awareness masih ada kendala terutama jangkauan

dalam mensosialisasikan tindakan dalam menangani AI masih terbatas, misalnya

jumlah leafleat, poster, booklet tidak memadai untuk mencakup seluruh lapisan

masyarakat perunggasan, selain itu penyiaran melalui media elektronik pun belum

maksimal.

9. Monitoring dan Evaluasi

Pelaksanaan monitoring dan evalusi oleh staf Direktorat Jenderal Peternakan

belum optimal, sehingga perbaikan data dan informasi yang diterima melalui

laporan dinas tidak dapat dilakukan. Selain itu, pembangunan data base di pusat

untuk mengetahui epidemiologi AI belum berhasil dilakukan karena keterbatasan

pengetahuan epidemiologi petugas lapangan maupun pusat. Oleh karenanya

komunikasi dan kerjasama dengan swasta terutama dengan industri perunggasan

perlu ditingkatkan dan dibina secara berkesinambungan.

Page 10: Pengalaman Pengembangan dan Implementasi Kebijakan Pengendalian Ai (Avian Influenza) di Indonesia

S e t i a w a n P u t r a S y a h 2 0 1 1 | 10

Pengembangan Kebijakan Kesmavet Kesehatan Masyarakat Veteriner

Sekolah Pascasarjana Institute Pertanian Bogor

IV. Pengembangan Kebijakan Pengendalian Virus AI

Banyaknya kesulitan dalam pengendalian HPAI dikarenakan banyak faktor

termasuk banyak dan menyebarnya populasi unggas serta persoalan otonomisasi

daerah yang yang dimulai tahun 2001 yang menyebabkan bervariasinya otoritas

yang menangani kesehatan hewan di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota. Hal ini

mengakibatkan terganggunya jalur komando untuk pengendalian dan surveilans

penyakit hewan di Indonesia (Hidayat 2008). Pendekatan pola penaggulangan

penyakit AI yang berdasarkan 9 kebijakan yang dikeluarkan pemerintah masih

banyak memiliki kekurangan, karenanya diperlukan suatu alternative

pengembangan yang efektif.

Pendekatan pola penaggulangan AI yang ideal seperti yang disarankan oleh

OIE dan WHO adalah stamping out. Akan tetapi stamping out di daerah tertular

belum memungkinkan dilalukan di Indonesia, mengigat kondisi yang tidak

mendukung, dimana peternakan unggas tidak tersentralisasi, pola usaha bervariasi

dari back yard sampai industri, HPAI telah menyebar luas dan dana kompensasi

yang tidak memadai. Sehubungan dengan hal tersebut alternative penaggulangan

AI yang efektif adalah dengan menerapkan depopulasi selektif, peningkatan

biosekuriti, vaksinasi dan pembatasan lalu lintas secara proporsional. Beberapa hal

yang dapat diusulkan berdasarkan hasil sintesa informasi dan verifikasi lapangan

(Nurhayati et al. 2005) adalah sebagai berikut ;

1. Upaya mengatasi kendala di peternakan Sektor 3 dan 4, perlu dibuat

Peraturan Pemerintah (PP) tentang sistem pola usaha pemeliharaan ternak

unggas skala kecil dan back yard farming termasuk unggas kesayangan

(hobi).

2. Pemerintah perlu merekrut SDM baru yang trampil sesuai kebutuhan di

lapangan dan mengakselerasi proses pencairan dana untuk penambahan

sarana dan prasarana.

3. Dalam pelaksanaan penerapan tindakan stategi vaksinasi perlu

dipertimbangkan untuk menggunakan “master seed” yang merupakan virus

LPAI (bukan H5N1), misalnya H5N2 atau H5N lainnya.

Page 11: Pengalaman Pengembangan dan Implementasi Kebijakan Pengendalian Ai (Avian Influenza) di Indonesia

S e t i a w a n P u t r a S y a h 2 0 1 1 | 11

Pengembangan Kebijakan Kesmavet Kesehatan Masyarakat Veteriner

Sekolah Pascasarjana Institute Pertanian Bogor

4. Perlu menata kembali kebijakan bagi back yard farms (Sektor 4) dan strategi

untuk meningkatkan cakupan vaksinasi terutama pada ayam buras.

Monitoring post vaksinasi perlu ditingkatkan, dan jenis vaksinasi yang daya

proteksinya rendah sebaiknya tidak dipakai. Untuk hal ini perlu melihat fakta

di lapangan, apakah vaksin tersebut masih sebagus seperti saat dipakai

pada skala laboratorium.

5. Untuk menentukan kebijakan vaksinasi pemerintah pusat harus memperoleh

informasi data tentang cakupan vaksinasi dari Sektor 1 sampai dengan

Sektor 4.

6. Kebijakan vaksinasi pada suatu daerah didasarkan atas beberapa

pertimbangan, meliputi sistem penanggulangan AI, perkembangan kasus AI

di lapangan (ada/tidak ada kasus, tingkat keganasan virus, dinamika subtype

virus), dan distribusi geografik dipersiapkan, yaitu pada saat kasus AI tidak

lagi ditemukan pada suatu daerah tertentu.

7. Dalam pengaturan lalu lintas unggas perlu komitmen yang konsisten dari

pelaku/pemasok/pedagang unggas untuk menyertakan Surat Keterangan

Kesehatan Hewan (SKKH), apabila diketahui tanpa SKKH wajib ditolak. Perlu

adanya kesadaran dari peternak/pelaku/pedagang ternak untuk

mendapatkan SKKH secara legal.

8. Pemerintah harus berani dan tegas dalam menerapkan strategi stamping out

di daerah tertular baru, dan menerapkan strategi depopulasi selektif di

daerah endemis yang ditetapkan dengan diagnose cepat. Radius

pemusnahan selektif untuk flock, pasar, dan penampung unggas perlu lebih

lanjut. untuk kelancaran pelaksanaan strategi ini diperlukan dana

kompensasi yang memadai disertai kemudahan dalam akses pencairan

dana.

9. Peningkatan aspek promosi yang berkelanjutan, bukan hanya pada saat

terjadinya wabah penyakit.

Page 12: Pengalaman Pengembangan dan Implementasi Kebijakan Pengendalian Ai (Avian Influenza) di Indonesia

S e t i a w a n P u t r a S y a h 2 0 1 1 | 12

Pengembangan Kebijakan Kesmavet Kesehatan Masyarakat Veteriner

Sekolah Pascasarjana Institute Pertanian Bogor

10. Diperlukan koordinasi yang lebih baik antar instansi terkait (Departemen

Pertanian, Kesehatan dan Pemerintah Daerah) dalam upaya mencapai

sinergisme yang kuat dan kondusif untuk menaggulangi penyakit AI.

Pemerintah dan Instansi terkait merumuskan sinergi kebijakan pusat dan

daerah dalam rangka mengoptimalisasi sosialisasi gerakan TUMPAS AI.

11. Wacana pembentukan Badan Otoritas “Flu Burung” perlu dikoordinasikan

dengan melibatkan seluruh institusi terkait. Untuk saat ini yang diperlukan

dalam eradikasi Avian Influenza di Indonesia adalah mengoptimalkan Task

Force yang ada dan membentuknya menjadi Task Force Nasional.

Program „Sembilan Langkah Strategis‟ yang dicanangkan oleh pemerintah

sudah sangat baik dan tepat, namun dalam kenyataannya implementasi langkah

tersebut masih perlu diperkuat dan dilaksanakan dengan penuh kebersamaan oleh

berbagai pihak terkait. Oleh karena itu sosialisasi perlu terus menerus dilakukan,

terutama kepada peternak dan petugas di lapangan. Beberapa rekomendasi yang

dapat dilakukan berdasarkan kegiatan usaha peternakan unggas dari mulai sektor

hulu sampai hilir (Nurhayati et al. 2005) sebagai berikut ;

A. Kebijakan Teknis

1. Mixing farming practices yang membudidayakan berbagai spesies

ternak (ayam, itik, entog, babi) sebaiknya dihindari, guna mencegah

keberlangsungan evolusi virus AI yang memungkinkan munculnya

kompleksitas infeksi serta dampaknya bagi kesehatan manusia.

Penyusunan tata ruang komoditas usaha peternakan perlu

diupayakan guna melindungi industri peternakan, khususnya bagi

industri perunggasan nasional serta kesehatan masyarakat veteriner

(kesmavet)

2. Unggas local yang dimiliki oleh peternakan rakyat belum sepenuhnya

mendapat perlindungan dari penyakit unggas berbahaya, sehingga

kiranya perlu dikembangkan vaksin yang sekaligus dapat melindungi

komodiitas tersebut dari serangan penyakit berbahaya seprti AI.

Indutri vaksin AI juga masih sepenuhnya tergantung dari komponen

Page 13: Pengalaman Pengembangan dan Implementasi Kebijakan Pengendalian Ai (Avian Influenza) di Indonesia

S e t i a w a n P u t r a S y a h 2 0 1 1 | 13

Pengembangan Kebijakan Kesmavet Kesehatan Masyarakat Veteriner

Sekolah Pascasarjana Institute Pertanian Bogor

impor yang sangat rentan terhadap faktor eksternal utamanya

pengaruh nilai tukar rupiah terhadap asing. Pengembangan dan

pemanfaatan vaksin lokal masih belum berjalan sesuai dengan

harapan. Perlu adanya dorongan dalam menggunakan produksi obat

hewan dan vaksin dalam negeri melalui program promosi yang harus

digalakkan dalam upaya pemanfaatan dan pengembangannya.

3. Potensi dan arah pengembangan unggas local perlu diakselerasi

dalam rangka alternative pasokan daging diluar ayam ras (broiler),

dimana hal ini dapat sebagai sumber ketahanan pangan dalam

jangka panjang. Upaya ini dititikberatkan pada perbaikan bibit,

manajemen pakan berbasis sumberdaya local, pembentukan vaksin

dengan isolate local. Program intensifikasi usaha ini, dengan

merubah pola pemeliharaan tradisional menjadi pemeliharaan

terkurung atau intensif perlu dipertimbangkan dalam arah

pengembangan peternakan unggas ke depan.

B. Kebijakan Sosial Ekonomi

1. Perlu adanya harmonisasi kebijakan antar kelembagaan (instansi)

terkait dalam penaggulangan dan pencegahan penyakit AI pada

kebijakan investasi, tata ruang dan perijinan. Selain Departemen

terkait (pertanian dan Kesehatan), diperlukan juga koordinasi yang

baik antar instansi di daerah , utamanya untuk tidak diperoleh kesan

saling berbenturan dalam era otonomi daerah. Hal ini sangat penting

untuk dilandaskan agar struktur fungsional dapat berrjalan dengan

lebih baik pada implementasinya. Pemerintah tetap harus berperan

sebagai regulator yang bijaksana (adil, arif, dan transparan),

disamping perannya sebagai motivator, dinamisator dan fasilisator.

2. Perlu adanya peningkatan efektivitas dan penajaman fungsi (tugas

dan tanggung jawab) kelembagaan terkait, terutama dalam hal

perencanaan, pengawasan, peningkatan sumber daya manusia,

evaluasi dan control. Peraturan pemerintah yan gtidak operasional

belum mendapatkan control yang serius. Hal tersebut harus

Page 14: Pengalaman Pengembangan dan Implementasi Kebijakan Pengendalian Ai (Avian Influenza) di Indonesia

S e t i a w a n P u t r a S y a h 2 0 1 1 | 14

Pengembangan Kebijakan Kesmavet Kesehatan Masyarakat Veteriner

Sekolah Pascasarjana Institute Pertanian Bogor

memperoleh perhatian yang lebih baik, dan diperlukan penegakan

hukum atas sangsi yang dikenakan. Sangsi bagi yang melanggar

peraturan yang ada perlu diatur dengan landasan hokum yang kuat.

3. Terjaminnya langkah monitoring penyakit AI yang dilakukan oleh

Sektor 1 – 4 merupakan salah satu tujuan dari kunci keberhasilan

penanganan penyakit AI di Indonesia. Transparansi Informasi dalam

hal ini oleh para pelaku tersebut perlu dibenahi sehingga diperoleh

data secara lengkap dan akurat.

4. Diperlukan penyuluhan secara komprehensif dan menyeluruh kepada

masyarakat mengenai apa dan bagaimana ancaman penyakit AI

pada hewan unggas. Diharapkan terjalin kerjasama yang harmonis

antara pelaku bisnis, sehingga persatuan yang solid merupakan

kekuatan bersama untuk mengantisipasi bebasnya Indonesia dari

penyakit AI. Pemberantasan penyakit AI harus tetap fokus pada

sumbernya, yaitu unggas, sehingga penanganannya akan lebih efektif

dan efisien.

V. Rencana Strategis Pengendalian HPAI 2009-2011

Rencana strategis pengendalian HPAI pada unggas tahun 2009-2011 akan

menitikberatkan pengendalian HPAI secara progresif pada industri komersial dan

rantai pemasaran unggas untuk menekan dampak terhadap produksi dan sumber

penghidupan masyarakat menuju pembebasan wilayah secara bertahap.

Disamping itu program ini juga bertjuan untuk mengurangi risiko penularan

terhadap manusia. Hal ini dapat diperoleh melalui: 1) Penguatan program PDSR

pada dinas di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota dengan penyediaan anggaran

Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota; 2) Intensifikasi program

pengendalian di daerah yang memiliki risiko tinggi; 3) Program pengendalian di

daerah insidensi rendah menuju pembebasan 4) Mendorong industri komersial dan

rantai pemasaran untuk melakukan best practices dalam pengendalian HPAI; dan

5) pelaksanaan kegiatan pendukung lainnya seperti penelitian, komunikasi,

Page 15: Pengalaman Pengembangan dan Implementasi Kebijakan Pengendalian Ai (Avian Influenza) di Indonesia

S e t i a w a n P u t r a S y a h 2 0 1 1 | 15

Pengembangan Kebijakan Kesmavet Kesehatan Masyarakat Veteriner

Sekolah Pascasarjana Institute Pertanian Bogor

surveilans penyakit, pelayanan diagnostik, karantina dan pengawasan lalulintas,

peraturan serta restrukturisasi industri.

Keterbatasan Sumber daya Manusia merupakan masalah utama yang

dihadapi dalam pengendalian Avian Influenza. Tidak meratanya penyebaran tenaga

medik dan medik veteriner serta tingkat pemahaman yang bevariasi terhadap

penyakit ini juga menjadi kendala. Data tahun 2007 dari Pengurus Besar Persatuan

Dokter Hewan Indonesia (PB PDHI) menyebutkan bahwa jumlah dokter hewan

yang bekerja di Pemerintah baik pusat maupun daerah sekitar 50%. Namun tidak

diketahui berapa jumlah dokter hewan yang berada di pusat dan daerah, terlebih

lagi berapa jumlah tenaga dokter hewan pemerintah yang langsung menangani

pengendalian penyakit hewan (Hidayat, 2008)

Permasalahan bervariasinya kelembagaan menangani kesehatan hewan di

daerah, sebagaimana disebutkan diatas juga menjadi kendala sehubungan dengan

besarnya kewenangan yang diberikan akan berbeda pula. Belum lagi masih ada

instansi yang menangani kesehatan hewan di daerah yang dipimpin oleh orang

yang tidak memiliki latar belakang pendidikan kesehatan hewan atau dokter hewan.

Hal ini mungkin akan berdampak pada kebijakan yang diambil menjadi kurang

sesuai dengan kaidah kesehatan hewan.

Penguatan penjagaan di pintu masuk Indonesia. Banyaknya pintu masuk ke

Indonesia menjadikan pengawasan di pintu masuk menjadi tidak mudah.

Pengurangan jumlah pintu masuk mungkin dapat menjadi opsi untuk lebih

memfokuskan pengawasan keluar masuknya hewan atau media yang bisa

membawa penyakit ke wilayah Indonesia sehingga pengawasan menjadi lebih

fokus.

Sistem pengawasan (surveilans) penyakit hewan juga harus ditingkatkan.

Surveilans terstruktur untuk mengetahui status dan situsi penyakit harus menjadi

salah satu prioritas dalam usaha pengendalian penyakit. Kegiatan surveilans yang

terstruktur ini bisa menjadi indikator keberhasilan pengendalian penyakit.

Restrukturisasi industri perunggasan, mulai dari hulu yakni peternakan hingga ke

hilir seperti rantai tataniaga unggas dan produknya juga perlu dilaksanakan.

Konsep “safe from farm to table” atau jaminan keamanan suatu produk asal hewan

Page 16: Pengalaman Pengembangan dan Implementasi Kebijakan Pengendalian Ai (Avian Influenza) di Indonesia

S e t i a w a n P u t r a S y a h 2 0 1 1 | 16

Pengembangan Kebijakan Kesmavet Kesehatan Masyarakat Veteriner

Sekolah Pascasarjana Institute Pertanian Bogor

hingga ke konsumen harus diterapkan untuk menjamin produk asal hewan yang

dikonsumsi oleh konsumen adalah produk yang aman untuk dikonsumsi.

Kesimpulan

1. Penyebaran virus AI di Indonesia telah terjadi sejak tahun 2003 sampai saat

ini dan meluas keseluruh pulau –pulau Indonesia, sampai awal tahun 2011

ini, penyakit AI sudah menjadi endemik dengan 31 provinsi dinyatakan

tertular virus H5N1 hanya dua Provinsi yang dinyatakan bebas AI yaitu

Provinsi Gorontalo dan Maluku Utara.

2. Sejak Departemen Pertanian mengeluarkan pernyataan tertularnya

Indonesia oleh penyakit AI, serangkaian kebijakan juga dikeluarkan sebagai

usaha mencegah penyebaran penyakit. Sembilan langkah dikeluarkan oleh

Direktorat Jenderal Peternakan - Departemen Pertanian

No.17/Kpts/PD.640/F/02/04: Biosekuriti; Depopulasi; Vaksinasi;

Pengendalian Lalu Lintas; Surveilans dan Penelusuran; Public Awareness;

Restocking; Stamping-out di Daerah Tertular Baru; serta Monitoring dan

Evaluasi. Sembilan langkah ini diharapkan mampu mencegah penyebaran

penyakit lebih lanjut, namun hingga November 2005 saja penyakit ini tetap

menyebar hingga ke 24 propinsi, 155 kabupaten/kota di Indonesia, sehingga

diperlukan suatu alternative pengembangan yang efektif.

3. Pengendalian HPAI tidak bisa hanya dilakukan melalui pendekatan teknis

saja. Selain masalah bervariasinya otoritas yang menangani kesehatan

hewan di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota serta besarnya populasi

unggas di Indonesia, banyak faktor lain yang menjadikan kendala

pengendalian seperti aspek kesehatan masyarakat, dampak ekonomik,

sosial budaya, politik dan efek psikologik kasus AI sangat sangat menonjol,

sehingga penanggulangan penyakit menjadi sangat kompleks.

Page 17: Pengalaman Pengembangan dan Implementasi Kebijakan Pengendalian Ai (Avian Influenza) di Indonesia

S e t i a w a n P u t r a S y a h 2 0 1 1 | 17

Pengembangan Kebijakan Kesmavet Kesehatan Masyarakat Veteriner

Sekolah Pascasarjana Institute Pertanian Bogor

4. Alternative penaggulangan AI yang efektif adalah dengan menerapkan

depopulasi selektif, peningkatan biosekuriti, vaksinasi dan pembatasan lalu

lintas secara proporsional.

5. Rencana strategis pengendalian HPAI pada unggas tahun 2009-2011 akan

menitikberatkan pengendalian HPAI secara progresif pada industri komersial

dan rantai pemasaran unggas untuk menekan dampak terhadap produksi

dan sumber penghidupan masyarakat menuju pembebasan wilayah secara

bertahap. Disamping itu program ini juga bertjuan untuk mengurangi risiko

penularan terhadap manusia.

6. Rencana strategis pengendalian HPAI pada unggas tahun 2009-2011

menitikberatkan pengendalian HPAI secara progresif pada industri komersial

dan rantai pemasaran unggas untuk menekan dampak terhadap produksi

dan sumber penghidupan masyarakat menuju pembebasan wilayah secara

bertahap.

Page 18: Pengalaman Pengembangan dan Implementasi Kebijakan Pengendalian Ai (Avian Influenza) di Indonesia

S e t i a w a n P u t r a S y a h 2 0 1 1 | 18

Pengembangan Kebijakan Kesmavet Kesehatan Masyarakat Veteriner

Sekolah Pascasarjana Institute Pertanian Bogor

DAFTAR PUSTAKA

Balai Penelitian Veteriner. 2006. Laporan Surveilans dan Monitoring Avian Influenza

(AI) di Provinsi Jawa Barat, Banten, dan DKI Jakarta.

[CIDRAP] Center for Infectious Disease Research & Policy. 2004. Highly Pathogenic

Avian Influenza (Fowl Plaque) Academic Healt Center, University of

Minnesota. Pp 14.

Damayanti R, A Wiyono, R Indriani, NLPI Dharmayanti, Darmito. 2004. Gambaran

Klinis dan Pathologis pada Ayam Terserang Flu Burung Sangat Phatogenik

(HPAI) di beberapa Peternakan di Jawa Timur dan Jawa Barat. JITV 9:128-

135.

Damayanti R, NLPI Dharmayanti, R Indriyani, A Wiyono, RMA Adjid. 2005.

Monitoring Kasus penyakit Avian Invluenza Berdasarkan Deteksi Antigen

Virus Subtipe H5N1 secara Imunohistokimiawi. JITV 10(4):322-330.

Dharmayanti NLPI, R Indriani, R Damayanti, A Wiyono, RMA Adjid. 2005. Karakter

Virus Avian Influenza Isolat Indonesia pada Wabah Gelombang Ke Dua. JITV

10(3):217-226.

Hidayat A. 2008. Lima Tahun Bersama Flu Burung. artikel [terhubung berkala].

http://genetika21.wordpress.com/2008/10/12/lima-tahun-bersama-flu-burung-

perjalanan-pengendalian-avian-influenza-di-indonesia/. [18 Maret 2011].

Naipospos TSP. 2011. Sinopsis Virus Flu Burung H5N1. artikel [terhubung berkala].

http://tatavetblog.blogspot.com/2011/02/sinopsis-virus-flu-burung-h5n1.html

[18 Maret 2011].

Nurhayati IS, E Martindah, A priyanti, D Zainuddin, B Setiadi, I Inounu, S Bahri, A

Wiyono, A Adjid, K Dwiyanto. 2005. Analisis Kebijakan Penanganan Penyakit

Avian Influenza di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan

Peternakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Proyek

Pengkajian Teknologi Pertanian Partisipatif Pusat (PPATP), Bogor.

Suwarno, AP Rahardjo, Fauziah, EA Srihanto. 2006. Karakterisasi Virus Avian

Influenza dengan Uji Serologik dan Reverse Transcriptase-

Polymerase Chain Reaction. Jurnal Media Kedokteran Hewan

22(2):74-78.

Tim Kajian Avian Influenza FKH-UGM. 2006. Kajian Avian Influenza (AI) di Jawa

Timur, Jawa Tengah, dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Disampaikan pada

Seminar Pemaparan Hasil Akhir Surveilans/Penelitian AI TA. 2005, di

Gedung D, Departemen Pertanian, Jakarta.

Page 19: Pengalaman Pengembangan dan Implementasi Kebijakan Pengendalian Ai (Avian Influenza) di Indonesia

S e t i a w a n P u t r a S y a h 2 0 1 1 | 19

Pengembangan Kebijakan Kesmavet Kesehatan Masyarakat Veteriner

Sekolah Pascasarjana Institute Pertanian Bogor

Yusdja, YE Basuno, IW Rusastra, M. Ariani, Suharsono, P Simatupang. 2004. Sosio

Economic Impact Assessment of Avian Influenza Crisis on Poultri Production

Systems in Indonesia with Particular Focus on Independent Smallholders.

Final Report. Indonesian Center of Agricultureal Sosio Economic Research

and Development in Colaboration with Directorate of Animal Healt,

Directorate General of Livestock Services and FAO-RAP Bangkok –

TPC/RAS/3010.