kajian persistensi dan penularan virus avian influenza di … · 2015-11-16 · diperiksa...
TRANSCRIPT
KAJIAN PERSISTENSI DAN PENULARAN
VIRUS AVIAN INFLUENZA DI PETERNAKAN ITIK
MENGGUNAKAN TEKNIK REAL TIME RT-PCR
AMINAH
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
PERYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Persistensi dan Penularan
Virus Avian Influenza di Peternakan Itik menggunakan Teknik Real Time RT-
PCR adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan mauoun tidak dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir tesis ini.
Bogor, Februari 2012
Aminah
B253090011
ABSTRACT
AMINAH. The Study of Persistence and Transmission of Avian Influenza Virus
in Duck Farm using Real Time RT-PCR Technique. Under supervision of
SURACHMI SETIYANINGSIH and IDWAN SUDIRMAN.
Highly pathogenic avian influenza (HPAI) H5N1 virus has been a major
threat to poultry industry and human health in Indonesia over the past several
years. The existence of backyard and free-range duck raising system has been
hypothesized to play role in the disease circulation. This study investigated H5
virus infection and circulation occurring in three types of free-range duck farms in
Indramayu District, West Java, Indonesia from September 2009 to March 2010.
One hundred and eighty pairs of cloacal-oropharyngeal swab samples from
sentinel ducks placed in six farms of the three farm types were collected every
month for seven months period and screened in pools for influenza A virus. In
addition to the sentinel ducks, 30 non-sentinel ducks were included at the first and
the last sampling month. Of the total 648 pool samples collected for seven months,
91 pools (14%) were found influenza A positive at repeated events. The virus was
more commonly found on type 1 farms followed by type 2 and 3 farms. The
individual swab samples of influenza A positive pools were tested for H5 subtype.
Of the total 91 pools of influenza A positive samples, 455 individual samples
were tested for H5 subtype and 50 (11%) individual samples were found H5
positive. The H5 subtype was found at certain points of sampling time and was
more commonly found in type 2 farms followed by type 1 and was not found on
type 3 farms. The H5 virus was likely to be transmitted within duck farm but was
unlikely to be maintained for a long time.
Keywords: avian influenza, free-range duck, real time RT-PCR
RINGKASAN
Avian influenza (AI) telah menjadi masalah global maupun nasional yang
mengakibatkan kerugian besar bagi industri perunggasan. Virus highly pathogenic
avian influenza (HPAI) H5N1 bersifat 100% mematikan bagi ayam dan unggas
gallinaceous lainnya sedangkan unggas air seperti itik dapat mengeluarkan virus
melalui saluran pernafasan dan pencernaan dengan sedikit atau tidak ada gejala
penyakit. Unggas air merupakan reservoir utama virus influenza A dan dapat
menularkannya ke unggas domestik dan mamalia, termasuk manusia. Keberadaan
sistem pemeliharaan itik skala rumah tangga dan itik angon berperan dalam
peredaran penyakit AI. Penelitian ini mengamati infeksi dan peredaran virus AI
subtipe H5 di tiga tipe peternakan itik yang ada di kabupaten Indramayu, Jawa
Barat, Indonesia dari bulan September 2009 hingga Maret 2010. Seratus delapan
puluh pasang sampel usap kloaka dan orofaringeal itik sentinel yang ditempatkan
di enam peternakan dari ketiga tipe diambil setiap bulan selama tujuh bulan dan
diperiksa keberadaan virus influenza A dalam pool. Selain dari itik sentinel,
sampel juga diambil dari itik non-sentinel pada bulan pertama dan terakhir
pengambilan sampel. Dari total 614 pool sampel usap kloaka dan orofaringeal
yang berhasil dikoleksi selama tujuh bulan, didapati 98 (16%) pool positif VAI
secara berulang pada bulan-bulan tertentu yang menunjukkan bahwa VAI
bersirkulasi di satu peternakan untuk waktu yang lama dan mungkin melibatkan
lebih dari satu strain virus meskipun shedding virus terjadi dalam rentang waktu
tertentu pada tingkat pool dengan perbandingan sampel usap kloaka positif hampir
seimbang dengan usap orofaringeal yaitu masing-masing 52 (53,1%) dan 46
(46,9%). Virus AI lebih sering ditemukan pada peternakan tipe 1, diikuti tipe 2
dan 3. Sampel usap individual dari pool yang positif influenza A diperiksa
terhadap keberadaan subtipe H5. Dari total 98 sampel pool yang positif influenza
A, diperiksa 453 sampel individu dan didapati 49 (10,9%) sampel positif subtipe
H5 dengan perbandingan sampel usap kloaka dan orofaringeal positif H5 masing-
masing 18 (36,7%) dan 31 (63,3%) serta rata-rata konsentrasi virus yang
diekskresikan melalui kloaka sedikit lebih tinggi dibandingkan orofaring, terlihat
dari nilai Ct masing-masing 27,68 (STD 5,32) dan 27,83 (STD 5,64). Subtipe H5
dapat muncul di satu peternakan namun tidak bertahan lama karena kemudian
vi
menghilang seiring kematian itik yang terinfeksi atau pembersihan virus
(clearance). Subtipe H5 ditemukan pada titik waktu tertentu pengambilan sampel
dan lebih sering ditemukan pada peternakan tipe 2, diikuti tipe 1 dan tidak
ditemukan pada tipe 3. Virus influenza A selain H5 lebih persisten dalam populasi
itik angon dibandingkan dengan subtipe H5 yang hanya muncul pada titik waktu
tertentu. Virus influenza A lebih persisten pada peternakan itik angon namun
penularan lebih mudah terjadi pada itik yang dikandangkan. Keberadaan VAI H5
di peternakan menunjukkan peran itik angon sebagai reservoir dan sumber
penularan AI.
© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
KAJIAN PERSISTENSI DAN PENULARAN
VIRUS AVIAN INFLUENZA DI PETERNAKAN ITIK
MENGGUNAKAN TEKNIK REAL TIME RT-PCR
AMINAH
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Mikrobiologi Medik
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof. Dr. drh. Retno D. Soejoedono, MS
Judul Penelitian : Kajian Persistensi dan Penularan Virus Avian Influenza
di Peternakan Itik menggunakan Teknik Real Time
RT-PCR
Nama : Aminah
Nomor Pokok : B253090011
Program Studi : Mikrobiologi Medik
Disetujui:
Komisi Pembimbing
drh. Surachmi Setiyaningsih, Ph.D
Ketua
Dr. drh. Idwan Sudirman
Anggota
Diketahui:
Ketua Program Studi
Mikrobiologi Medik
A.n. Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Sekretaris Program Magister
Prof. Dr. drh. Fachriyan H Pasaribu Prof. Dr. Ir. Nahrowi, M.Sc
Tanggal Ujian: 03 Februari 2012 Tanggal Lulus: 20 Februari 2012
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah SWT atas limpahan berkahNya sehingga
penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan tesis yang berjudul
“Kajian Persistensi dan Penularan Virus Avian Influenza di Peternakan Itik
mengunakan Teknik Real Time RT-PCR” ini. Karya ilmiah ini disusun sebagai
salah satu syarat dalam menyelesaikan studi program Magister pada Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Terima kasih penulis sampaikan kepada drh. Surachmi Setiyaningsih,
PhD atas kesempatan dan segala bimbingan yang diberikan sehingga karya ilmiah
ini dapat terwujud, kepada Dr. drh. Idwan Sudirman atas bimbingan dan arahan
dalam diskusi-diskusi selama penyusunan tesis, dan kepada Prof. Dr. drh. Retno
D. Soejoedono, MS sebagai penguji luar komisi pada ujian tesis ini. Terimakasih
kepada seluruh staf pengajar serta pegawai laboratorium program studi
Mikrobiologi Medik atas curahan ilmu dan tenaga yang tiada henti selama penulis
menyelesaikan studi.
Terima kasih kepada Colorado State University (CSU) atas dukungan
dana penelitian yang penulis kerjakan, khususnya kepada Dr. Kristy Pabilonia dan
Christina Weller dari CSU Veterinary Diagnostic Laboratory atas pelatihan yang
diberikan. Demikian juga kepada rekan-rekan dokter hewan yang tergabung
dalam Center for Indonesian Veterinary Analytical Studies (CIVAS) atas kerja
keras selama pengambilan sampel di lapangan.
Terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada Dr. Yety
Rochwulaningsih, MS atas segala dukungan agar penulis melanjutkan studi serta
kepada keluarga besar Bukittinggi dan Sragen atas kebersamaan dan kehangatan
keluarga yang penulis terima. Tidak lupa kepada rekan-rekan drh. Emilia, Yuliana
Radja Riwu, Wury Kadarsih, Wiwin Mukti, dan Zakiyah Widowati untuk semua
persahabatan. Terimakasih juga kepada semua pihak yang mendukung penelitian
serta penyusunan tesis ini.
Semoga tesis ini bermanfaat dan menginspirasi banyak pihak untuk giat
melakukan penelitian dan memberikan yang terbaik bagi kemajuan ilmu
pengetahuan dan kesejahteraan bangsa. Segala saran dan masukan yang
menunjang demi kebaikan kedepan kami terima dengan tangan dan pikiran
terbuka.
Bogor, Februari 2012
Aminah
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Bukittinggi Sumatera Barat pada tanggal 10 Oktober 1983,
menyelesaikan pendidikan dasar hingga menengah atas di kota yang sama. Tahun
2002 penulis lulus dari SMU Negeri 3 Bukittinggi dan pada tahun yang sama
masuk sebagai mahasiswa ke Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian
Bogor. Tahun 2008 penulis menamatkan pendidikan Dokter Hewan dan mulai
aktif sebagai asisten peneliti di Laboratorium Virologi FKH IPB sekaligus asisten
praktikum untuk mata kuliah Penyakit Infeksius II.
DAFTAR ISTILAH
AI Avian influenza
Ct Cycle threshold
HA Hemaglutinin
HPAI Highly pathogenic avian influenza
LPAI Low pathogenic avian influenza
M1 Protein matriks 1
M2 Protein matriks 2 (ion channel)
MA Matriks
NA Neuraminidase
NEP Nuclear export protein
NLS Nuclear localization signal
NP Nukleoprotein
NS Non-struktural
ORF Open reading frame
PA Polymerase acidic
PB1 Polymerase basic 1
PB2 Polymerase basic 2
PCR Polymerase chain reaction
Rn Normalized reporter
RNA Ribonucleic acid
RNP Ribonukleoprotein
RRT-PCR Real time reverse transcriptase polymerase chain reaction
RT-PCR Reverse transcriptase polymerase chain reaction
SA Sialic acid
Sentinel Hewan yang sengaja ditempatkan untuk merekam satu atau
rangkaian kejadian penyakit dalam program sureveilans
prospektif
VAI Virus avian influenza
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ................................................................................................ xvi
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xvii
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xviii
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
Latar Belakang ................................................................................................... 1
Tujuan ................................................................................................................ 2
Manfaat .............................................................................................................. 3
Hipotesis ............................................................................................................ 3
TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................... 4
Virus Influenza A .............................................................................................. 4
Siklus replikasi virus ................................................................................. 8
Antigenic drift ......................................................................................... 11
Antigenic shift ......................................................................................... 12
Influenza A pada Unggas Liar ......................................................................... 13
Influenza A pada Unggas Domestik ................................................................ 15
Ekologi Itik dan Perannya dalam Penyebaran Influenza A ............................. 15
Patobiologi Avian Influenza pada Itik ............................................................. 19
AI Patogenitas Rendah (low-pathogenic avian influenza, LPAI) .......... 20
AI Patogenitas Tinggi (highly pathogenic avian influenza, HPAI) ........ 21
Teknik Diagnostik Avian Influenza ................................................................ 23
RRT-PCR untuk Deteksi Avian Influenza .............................................. 23
BAHAN DAN METODE ..................................................................................... 31
Waktu dan Tempat .......................................................................................... 31
Bahan dan Alat ................................................................................................ 31
Sampel ............................................................................................................. 31
Metode ............................................................................................................. 32
Pooling .................................................................................................... 32
Isolasi RNA ............................................................................................. 33
RT-PCR Konvensional ........................................................................... 33
Real Time RT-PCR ................................................................................. 34
Analisis Data ................................................................................................... 35
HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................. 36
RT-PCR Konvensional dan Real Time ............................................................ 36
Influenza A ...................................................................................................... 38
Subtipe H5 ....................................................................................................... 41
SIMPULAN DAN SARAN .................................................................................. 45
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 46
LAMPIRAN .......................................................................................................... 58
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Pasangan primer dan probe untuk deteksi gen tertentu. ...................... 29
Tabel 2. Virus AI di tiga tipe peternakan itik angon. ......................................... 39
Tabel 3. Persentase sampel usap positif di 6 peternakan itik ............................. 40
Tabel 4. Virus AI subtipe H5 di peternakan itik angon, Indramayu ................... 42
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Diagram skematis struktur virus influenza A ....................................... 4
Gambar 2. Endositosis virus influenza .................................................................. 9
Gambar 3. Grafik tingkat kelangsungan hidup itik. ............................................. 20
Gambar 5. Perbandingan hasil PCR konvensional dan real time ........................ 36
Gambar 6. Grafik amplifikasi real time RT-PCR. ............................................... 37
Gambar 7. Distribusi temporal VAI di tiga tipe peternakan itik angon ............... 41
Gambar 8. Distribusi wilayah angon itik Kabupaten Indramayu ......................... 43
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Tabulasi nilai Ct MA dan H5 di peternakan 1 .................................. 59
Lampiran 2. Tabulasi nilai Ct MA dan H5 di peternakan 2 .................................. 60
Lampiran 3. Tabulasi nilai Ct MA dan H5 di peternakan 3 .................................. 61
Lampiran 4. Tabulasi nilai Ct MA dan H5 di peternakan 4 .................................. 62
Lampiran 5. Tabulasi nilai Ct MA dan H5 di peternakan 5 .................................. 63
Lampiran 6. Tabulasi nilai Ct MA dan H5 di peternakan 6 .................................. 64
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Avian influenza (AI) telah menjadi masalah global maupun nasional yang
mengakibatkan kerugian besar bagi industri perunggasan. Sejak terjadi wabah
highly pathogenic avian influenza (HPAI) pertama pada pada unggas di akhir
tahun 2003, hingga Januari 2012 30 dari 33 Provinsi di Indonesia telah tertular
(OIE 2012). Kasus AI pada manusia di Indonesia mulai terjadi pada bulan Juni
2005, dan hingga bulan Januari 2012 WHO telah mencatat 184 kasus dengan 152
(82,6%) diantaranya mengakibatkan kematian (WHO 2012). Hingga Oktober
2010 kasus AI pada manusia di Indonesia paling tinggi terjadi di Provinsi DKI
Jakarta dan dari 46 kasus konfirmasi, 39 (84,8%) diantaranya meninggal dunia
(Dinkes-Jabar 2010). Kasus AI pada manusia tertinggi kedua terjadi di Provinsi
Jawa Barat yaitu dari 41 kasus konfirmasi, 36 (87,8%) diantaranya meninggal
dunia dan tersebar di 14 Kabupaten/Kota (Dinkes-Jabar 2010).
Unggas air liar merupakan reservoir utama virus influenza A dan dapat
menularkannya ke unggas domestik dan mamalia, termasuk manusia. Dari 16
subtipe HA virus influenza A, hanya subtipe H5 dan H7 yang dapat menyebabkan
highly pathogenic avian influenza (HPAI) pada inang alami. Virus HPAI H5N1
bersifat 100% mematikan bagi ayam dan unggas gallinaceous lainnya sedangkan
unggas air seperti itik dapat mengeluarkan virus melalui saluran pernafasan dan
pencernaan dengan sedikit atau tidak ada gejala penyakit (Brown et al. 2006;
Keawcharoen et al. 2008). Hal ini menunjukkan bahwa VAI yang tidak
menimbulkan gejala penyakit pada itik tetap merupakan ancaman bagi kesehatan
itik sendiri maupun inang lain. Meskipun kejadian wabah HPAI pada pada ayam
jauh lebih tinggi dibandingkan pada itik tetapi penelitian yang dilakukan di
Thailand menunjukkan adanya keterkaitan erat antara wabah HPAI dengan
keberadaan itik domestik maupun angon di negara itu (Gilbert et al. 2006) di
samping faktor-faktor lainnya seperti jumlah ayam, populasi manusia, dan
keadaan topografis (Gilbert et al. 2008). Kegiatan surveilans aktif perlu dilakukan
untuk menentukan peran itik dalam penularan dan asal usul virus. Sangat tidak
mungkin mengandalkan laporan tentang wabah AI untuk mengetahui prevalensi
2
VAI H5 pada populasi itik karena hasilnya tidak akan akurat, demikian juga
dengan peran itik dalam wabah HPAI.
Di Indonesia beberapa jenis itik telah lama dikembangkan untuk
dimanfaatkan sebagai sumber protein hewani berupa daging maupun telur. Jenis
itik yang berkembang di beberapa daerah antara lain itik alabio di Kalimantan
Selatan, itik tegal di Jawa Tengah, dan itik pitalah di Sumatera Barat (Suswono
2011a; Suswono 2011b; Suswono 2011c). Jawa Barat memiliki populasi itik
paling tinggi di Indonesia yaitu mencapai 4,4 juta ekor pada tahun 2002 dan terus
meningkat hingga 8,2 juta ekor pada tahun 2009, 2 juta ekor diantaranya berada di
Kabupaten Indramayu (Ditjennak 2010) dengan mayoritas pemeliharaan
menerapkan sistem angon sehingga dijadikan sebagai lokasi penelitian mengenai
virus avian influenza (VAI) H5 di peternakan itik angon.
Keberadaan VAI dapat dideteksi menggunakan teknik reverse transcriptase
PCR (RT-PCR). Teknik ini memiliki beberapa keuntungan antara lain dapat
digunakan untuk berbagai jenis sampel, lebih cepat dan lebih ramah lingkungan
dibandingkan isolasi virus pada embrio ayam, dan karena virus tidak aktif sejak
awal pemrosesan, keamanan dan keselamatan biologis juga lebih mudah untuk
dipertahankan (Spackman dan Suarez 2008). Secara konvensional teknik ini
memerlukan waktu beberapa jam dan pembacaan hasilnya melibatkan bahan
kimia yang dapat merugikan pengguna maupun lingkungan. Perkembangan
teknologi telah melahirkan real-time RT-PCR (RRT-PCR) yang mulai banyak
digunakan sejak awal tahun 2000-an dalam rangka pengawasan rutin, selama
wabah, dan untuk penelitian. Beberapa keuntungan RRT-PCR dibandingkan
dengan RT-PCR konvensional antara lain dari segi sensitivitas dan spesifisitas
yang lebih tinggi, memerlukan waktu yang lebih singkat, bersifat kuantitatif,
ramah lingkungan, dan meskipun biaya yang diperlukan untuk investasi peralatan
lebih tinggi namun untuk operasional dan pengamanan lingkungan teknik ini
memerlukan biaya yang lebih sedikit.
Tujuan
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan apakah
itik yang merupakan unggas air domestik berperan sebagai reservoir VAI H5.
3
Teknik RRT-PCR digunakan untuk mendeteksi persistensi dan penularan VAI H5
dalam peternakan itik angon serta menentukan rute pengeluaran (shedding) virus.
Manfaat
Memberi informasi tentang persistensi dan penularan VAI subtipe H5 di
peternakan itik sebagai pertimbangan dalam pengendalian AI.
Hipotesis
Virus AI H5 menular dan persisten dalam peternakan itik angon dan dapat
dideteksi dengan RRT-PCR.
TINJAUAN PUSTAKA
Virus Influenza A
Virus influenza merupakan virus RNA untai negatif dengan genom
tersegmentasi berisi tujuh sampai delapan segmen gen yang termasuk kedalam
famili Orthomyxoviridae. Berdasarkan perbedaan sifat antigenik protein matriks
dan nukleoprotein, virus influenza dikelompokkan kedalam tiga tipe yaitu A, B,
dan C yang masing-masing memiliki kecenderungan inang dan patogenisitas
berbeda. Virus influenza A dan B memiliki struktur yang tidak dapat dibedakan
dibawah mikroskop elektron (Bouvier dan Palese 2008) berbeda dengan virus
influenza C. Virus influenza A dan B memiliki delapan segmen gen RNA untai
tunggal, sedangkan virus influenza C memiliki tujuh segmen dan masing-masing
menyandi setidaknya satu protein (Murphy et al. 1999).
Gambar 1. Diagram skematis struktur virus influenza A (Lee dan Saif 2009)
Virus influenza A memiliki selubung yang berasal dari membran lipid sel
inang. Kedelapan segmen gen menyandi setidaknya 11 open reading frame (ORF)
(Bouvier dan Palese 2008). Permukaan virus diselubungi oleh penonjolan tiga
protein: hemaglutinin (HA), neuraminidase (NA) dan matriks 2 (M2) (Gambar 1).
Protein matriks 1 (M1) terdapat di bawah membran, berinteraksi dengan bagian
sitoplasmik glikoprotein permukaan dan dengan kompleks ribonukleoprotein
5
(RNP) virus. Protein M1 juga berikatan dengan protein pengeluaran dari inti
(nuclear export protein NEP) yang memperantarai pengeluaran M1-RNP melalui
nukleoporin ke dalam sitoplasma (Bouvier dan Palese 2008). Protein M2 yang
berukuran kecil merupakan ion channel transmembran dan hanya ditemukan pada
virus influenza A. Protein M2 memiliki bagian luar yang berada di permukaan
selubung virus bersama dengan HA dan NA. Protein M2 merupakan target obat
anti influenza dari kelas amantadine yang memblokir aktivitas ion channel dan
mencegah pelepasan selubung virus (Pinto et al. 1992; Wharton et al. 1994; Sheu
et al. 2011). Selain itu, M2 merupakan protein permukaan sehingga dijadikan
sebagai komponen vaksin (Slepushkin et al. 1995; Neirynck et al. 1999).
Hemaglutinin merupakan protein membran integral tipe I terglikosilasi yang
berfungsi sebagai protein pengikat reseptor dan protein fusi serta merupakan
target utama netralisasi oleh antibodi inang (Cross et al. 2001; Hulse et al. 2004;
Hoffmann et al. 2005; Gambaryan et al. 2006). Protein ini dapat mengenali asam
sialat (N-acetyl neuraminic acid) yang terikat pada gula di ujung glikoprotein sel
inang. Virus influenza A memiliki berbagai HA spesifik dengan isomerisasi
ikatan glikosidik berbeda untuk disakarida yang terdiri atas sialic acid (SA) dan
galaktosa atau N-asetilgalaktosamin (GalNAc). Reseptor HA pada unggas
memiliki spesifisitas ikatan terhadap SA 2,3 sel bersilia, sementara HA pada
manusia memiliki spesifisitas ikatan yang lebih tinggi terhadap SA 2,6 sel tidak
bersilia (Matrosovich et al. 2004). Struktur kristal molekul HA berbentuk trimer
dengan dua regio struktural berbeda yaitu bagian batang dan kepala (Wilson et al.
1981). Bagian kepala mengandung reseptor situs pengikatan SA yang dikelilingi
oleh determinan antigenik variabel yang disebut A, B, C, dan D pada subtipe H3
(Shortridge et al. 1990) dan Sa, Sb, CA1, Ca2, dan Cb pada subtipe H1 (Palese
dan Shaw 2007). Protein HA memiliki bentuk trimer yang masing-masing
monomernya mengalami pembelahan proteolitik untuk menghasilkan rantai
polipeptida HA1 dan HA2 dengan ikatan disulfida sebelum aktivasi. Polipeptida
HA2 memperantarai fusi selubung virus dengan membran sel, sedangkan HA1
mengandung situs antigenik dan pengikatan reseptor (Steinhauer 1999).
Pembelahan HA memerlukan protease serin eksogen (enzim yang menyerupai
tripsin) yang mengenali motif Q/E-X-R lestari di situs pembelahan HA untuk
6
aktivasi (Chen et al. 1998). Pada manusia dan mamalia lain, enzim ini berupa
triptase Clara yang diproduksi oleh sel epitel bronkiolus (Murakami et al. 2001).
Aktivasi pembelahan HA dalam sel usus dan/atau pernafasan unggas
kemungkinan juga memerlukan protease serupa. Situs pengenalan protease dapat
berubah menjadi urutan menyerupai furin R-X-R/K-R pada subtipe H5 dan H7
bila mengalami mutasi insersional pada situs pembelahan HA. Perubahan situs
pembelahan HA menjadi polibasa ini memperluas spesifisitas protease sehingga
memungkinkan aktivasi pembelahan intraseluler dan replikasi virus secara
sistemik pada unggas yang mengakibatkan influenza unggas sangat patogen
(highly pathogenic avian influenza, HPAI) (Werner 2006). Akumulasi perubahan
yang relatif kecil pada situs antigenik HA yang dikenali oleh antibodi disebut
antigenic drift yang menghasilkan strain virus yang tidak lagi dapat dinetralisir
oleh antibodi sehingga inang menjadi rentan terhadap infeksi kembali oleh strain
yang mengalami drift.
Neuraminidase (NA) merupakan tetramer berbentuk seperti jamur yang
menancap pada selubung virus melalui domain transmembran (Colman et al.
1983; Varghese et al. 1983). Sebagai glikoprotein membran integral tipe II dengan
aktivitas enzimatik sialidase (neuraminidase), NA diperlukan untuk pembelahan
SA sel inang yang memungkinkan pelepasan virion baru dan melepaskan SA dari
glikoprotein virus untuk mencegah agregasi partikel progeni virus (Palese et al.
1974). Hemaglutinin dan NA merupakan target antigenik utama respon imun
humoral terhadap virus influenza A dengan NA menjadi target obat antivirus
oseltamivir dan zanamivir (De Clercq 2006).
Setiap segmen RNA virus influenza A diselubungi oleh nukleoprotein (NP).
Pada virion, RNA virus melilit monomer NP dan membentuk RNP bersama-sama
dengan tiga protein polimerase yaitu: polymerase acidic protein (PA), polymerase
basic protein 1 (PB1) dan polymerase basic protein 2 (PB2) (Coloma et al. 2009).
NP berperan terutama sebagai protein pengikat RNA untai tunggal dan berfungsi
sebagai protein struktural pada RNP. Selain itu, NP berperan penting dalam
transkripsi dan perpindahan RNP antara sitoplasma dan nukleus. Transkripsi RNA
virus influenza A dan replikasi terjadi di dalam inti inang karena virus ini
bergantung pada sistem pengolahan RNA sel inang (Palese dan Shaw 2007).
7
Sintesis RNA virus influenza A memerlukan polimerase yang terdiri atas
tiga subunit PA, PB1, dan PB2. Kompleks heterotrimer polimerase terbentuk
melalui interaksi PA dengan PB1 dan PB1 dengan PB2. Protein PA berperan
penting dalam penempelan, katalisis, dan lokalisasi inti oleh polimerase (Guu et
al. 2008). Protein PB1 berfungsi sebagai RNA polimerase sedangkan PB2
berperan dalam sintesis mRNA melalui pengikatan bagian kepala mRNA inang.
Protein non struktural kecil lainnya yaitu PB1-F2 secara bervariasi disandi oleh
gen PB1 melalui bingkai bacaan (reading frame) alternatif. Protein ini menjadikan
membran dalam mitokondria sebagai target dan mungkin berperan dalam
apoptosis selama infeksi virus influenza A selain memiliki aktivitas antagosnisme
interferon (Dudek et al. 2011). Gen PB1 juga menyandi polipeptida ketiga yang
diekspresikan melalui penggunaan kodon AUG diferensial yang disebut N40
(Wise et al. 2009).
Protein non-struktural 1 (NS1) memiliki beberapa domain fungsional antara
lain: domain N-terminal pengikat RNA (residu 1-73) yang pada in vitro mengikat
beberapa spesies RNA dengan afinitas rendah dan memiliki sinyal lokalisasi inti
(nuclear localization signal, NLS) (Hatada dan Fukuda 1992; Qian et al. 1995;
Chien et al. 2004), dan domain C-terminal 'efektor' (residu 74-230) yang
memperantarai interaksi dengan protein sel inang dan secara fungsional
menstabilkan domain pengikat RNA (Wang et al. 2002). Keseluruhan NS1
merupakan homodimer dengan domain pengikat RNA dan domain efektor
berkontribusi terhadap multimerisasi (Nemeroff et al. 1995). NS1 memiliki fungsi
pleiotropik, antara lain pengikatan dsRNA, peningkatan translasi mRNA virus,
penghambatan proses mRNA inang dan antagonisme interferon tipe I (Palese dan
Shaw 2007). Protein NS2 (disebut juga protein ekspor inti, NEP) ditemukan
dalam virion dan memfasilitasi pengeluaran kompleks RNP virus dari dalam inti
(O'Neill et al. 1998).
Berdasarkan karakterisasi antigen glikoprotein permukaan HA dan NA virus
influenza A dikelompokkan kedalam 16 subtipe HA dan 9 NA (Fouchier et al.
2005). Secara teoritis kombinasi HA-NA dapat membentuk 144 subtipe, dan
setidaknya 116 kombinasi subtipe ini telah diisolasi dari unggas (Krauss et al.
2007; Munster et al. 2007). Pedoman Organisasi Kesehatan Dunia untuk
8
nomenklatur virus influenza adalah sebagai berikut: pertama, tipe virus (A, B,
atau C), kemudian inang (jika bukan manusia), tempat isolasi, nomor isolasi dan
tahun isolasi (dipisahkan dengan garis miring). Untuk virus influenza A, subtipe
HA (H1-H16) dan NA (N1-9) ditulis dalam tanda kurung. Sebagai contoh, strain
yang termasuk dalam vaksin trivalen influenza manusia untuk musim 2010-2011
di Amerika Serikat adalah: A/California/7/2009 (H1N1), A/Perth/16/2009 (H3N2)
dan B/Brisbane/60/2008.
Virus influenza tipe B dan C menginfeksi dan hampir selalu diisolasi dari
manusia meskipun virus influenza B pernah diisolasi dari anjing laut dan virus
influenza C pernah diisolasi dari babi dan anjing (Wright et al. 2007). Sebaliknya,
virus influenza A dapat menginfeksi berbagai hewan berdarah panas seperti
unggas, babi, kuda dan manusia. Virus AI yang menjadi penyebab flu burung/AI
termasuk kedalam virus influenza A dengan unggas air sebagai reservoir alami
untuk semua subtipenya (Webster et al. 1992). Tiga sifat penting yang membuat
virus influenza mudah beradaptasi, mampu menghindari respon kekebalan inang,
dan mampu menginfeksi spesies inang baru (Webster et al. 1992; Bahl et al.
2009) yaitu: pertama, enzim polimerase yang mengkatalisis replikasi RNA dari
cetakan RNA mudah melakukan kesalahan; kedua, kurangnya koreksi kesalahan
selama replikasi; dan ketiga, struktur genom virus influenza memungkinkan untuk
pertukaran segmen antar virus-virus yang menginfeksi sel di waktu bersamaan
melalui proses yang disebut reassortment.
Siklus replikasi virus
Virus influenza mengenali SA (N-asetilneuraminik) pada permukaan sel
inang. Monosakarida asam sembilan karbon yang dapat ditemukan pada ujung
berbagai glikokonjugat ini terdapat di banyak tempat pada berbagai tipe sel dan
spesies hewan. Karbon 2 SA dapat mengikat karbon 3 atau 6 galaktosa
membentuk ikatan 2,3 atau 2,6. Perbedaan ikatan ini menghasilkan konfigurasi
sterik yang unik pada SA. Bagian SA dapat dikenali oleh dan berikatan dengan
HA pada permukaan virus influenza yang memiliki spesifisitas ikatan 2,3 atau
2,6. Pada sel epitel trakea manusia lebih dominan reseptor 2,6 sedangkan
reseptor 2,3 lebih umum ditemukan pada epitel usus bebek. Reseptor 2,3 SA
9
juga terdapat pada epitel saluran pernafasan manusia meskipun jumlahnya lebih
sedikit dibandingkan 2,6 (Couceiro et al. 1993; Matrosovich et al. 2004)
sehingga manusia dan primata lain juga dapat terinfeksi oleh VAI meskipun
dengan efisiensi yang lebih rendah dibandingkan infeksi oleh strain manusia (Tian
et al. 1985; Beare dan Webster 1991). Perbedaan ekspresi SA pada saluran
pernafasan mamalia membantu menjelaskan infektivitas rendah tetapi
patogenisitas tinggi pada beberapa strain VAI. Pada manusia protein SA dengan
ikatan 2 ,3 dalam jumlah sedikit terdapat di saluran pernafasan bawah seperti
bronkiolus dan alveoli. Akses partikel virus dari udara ke paru-paru tidak
semudah virus mencapai saluran pernafasan bagian atas seperti nasofaring, sinus
paranasal, trakea, dan bronkus, sehingga infeksi VAI relatif jarang terjadi pada
manusia. Namun ketika strain VAI menginfeksi paru-paru manusia, pneumonia
berat dan progresif dapat terjadi dengan angka kematian melebihi 60% (Gambotto
et al. 2008).
Gambar 2. Endositosis virus influenza diadaptasi dari Lakadamyali et al. (2004)
Setelah protein HA virus influenza (atau protein HEF virus influenza C)
menempel pada SA, virus mengalami endositosis. Keasaman kompartemen
endosomal sangat penting untuk pelepasan selubung virus influenza (Gambar 2).
Rendahnya pH memicu perubahan konformasi HA, memaparkan peptida fusi
yang menjadi mediator penggabungan selubung virus dengan membran
endosomal sehingga membuka ruang untuk RNP virus terlepas ke sitoplasma sel
10
inang (Stegmann 2000; Sieczkarski dan Whittaker 2005). Ion hidrogen dari
endosom dipompa ke dalam partikel virus melalui ion channel M2. Pengasaman
internal virion influenza melalui channel M2 mengganggu interaksi protein-
protein internal sehingga RNP dapat dilepaskan keluar dari matriks virus ke dalam
sitoplasma sel (Martin dan Helenius 1991).
Setelah keluar dari virion, RNP masuk kedalam inti sel inang dengan
memanfaatkan sinyal lokalisasi inti (NLS) oleh protein virus (NS1) yang
memerintahkan protein sel untuk memasukkan RNP dan protein virus lainnya ke
dalam inti sel inang (Cros dan Palese 2003). Inti merupakan tempat dimana semua
sintesis RNA virus terjadi, tempat RNA poliadenilasi (mRNA) yang bertindak
sebagai cetakan bagi sel inang untuk translasi, dan tempat segmen RNA virus
yang membentuk genom progeni virus. Polimerase RNA yang merupakan
komponen RNP juga masuk kedalam inti dan menggunakan RNA virus untai
negatif sebagai cetakan untuk mensintesis dua RNA untai positif, yaitu cetakan
mRNA untuk sintesis protein virus, dan RNA komplementer (cRNA) untuk
membentuk lebih banyak RNA virus untai negatif penyusun genom (Bouvier dan
Palese 2008).
Berbeda dengan mRNA sel inang yang terpoliadenilasi oleh poli (A)
polimerase spesifik, ujung penutup poli (A) mRNA virus influenza disandi dalam
bentuk RNA virus untai negatif dengan lima sampai tujuh residu urasil yang
ditranskripsikan oleh polimerase virus menjadi untai positif dengan adenosin
membentuk ekor poli (A) (Robertson et al. 1981; Li dan Palese 1994).
Pembentukan ujung penutup RNA messenger juga terjadi dengan cara unik yang
sama, di mana protein PB1 dan PB2 "mencuri" primer berujung penutup 5' dari
transkrip pre-mRNA inang untuk memulai sintesis mRNA virus, proses ini
disebut "cap snatching" (Krug 1981). Setelah terpoliadenilasi dan ujungnya
ditutup, mRNA asal virus dapat keluar dan diterjemahkan seperti mRNA inang.
Pengeluaran segmen RNA virus dari inti diperantarai oleh protein M1 dan
NEP/NS2 virus (Cros dan Palese 2003).
Protein selubung HA, NA, dan M2 disintesis dari mRNA asal virus di
ribosom yang terikat pada membran retikulum endoplasma kemudian masuk
11
kedalam aparatus Golgi untuk modifikasi pasca-translasi. Ketiga protein tersebut
memiliki sinyal penyusun apikal yang kemudian mengarahkan mereka ke
membran sel untuk perakitan virion. Meskipun relatif sedikit yang diketahui
tentang translasi dan penyortiran protein yang bukan bagian dari selubung, M1
diperkirakan berperan dalam membawa kompleks RNP-NEP berkontak dengan
protein selubung HA, NA, dan M2 untuk dikemas di membran sel inang (Palese
dan Shaw 2007).
Virus influenza tidak sepenuhnya menular kecuali virion yang lengkap
berisi genom delapan segmen, atau tujuh segmen untuk virus influenza C.
Sebelumnya pengemasan RNA virus dianggap sebagai sebuah proses yang
sepenuhnya acak, di mana segmen RNA virus secara tidak beraturan dimasukkan
ke dalam tunas partikel virus dan hanya yang memiliki genom lengkap yang dapat
menular. Namun bukti baru menunjukkan bahwa pengemasan merupakan proses
selektif di mana sinyal pengemasan pada semua segmen RNA virus memastikan
bahwa genom lengkap dimasukkan ke dalam setiap partikel virus (Bancroft dan
Parslow 2002; Fujii et al. 2003).
Pertunasan (budding) virus influenza terjadi di membran sel yang dimulai
dengan akumulasi protein matriks M1 di sisi sitoplasma dari lipid bilayer. Ketika
budding selesai, tonjolan HA tetap menempelkan virion pada SA di permukaan
sel hingga partikel virus secara aktif dilepaskan oleh aktivitas sialidase protein NA
(Colman et al. 1983; Varghese et al. 1983).
Antigenic drift
Virus influenza A terus berevolusi dengan tingkat mutasi tinggi yang
berkisar antara 1×10-3
sampai 8×10-3
substitusi/situs/tahun (Chen dan Holmes
2006). Mutasi selektif pada domain antigenik yang terjadi secara bertahap dalam
satu strain dan menghindarkan virus dari sistem kekebalan disebut antigenic drift
(Rambaut et al. 2008). Bagian HA1 dari gen HA mengalami evolusi dengan
tingkat mutasi 5,7 substitusi nukleotida/tahun atau 5,7×103 substitusi/situs/tahun
(Fitch et al. 1997). Dengan antibodi terhadap protein HA mencegah pengikatan
reseptor, menetralisir, dan mencegah infeksi ulang oleh subtipe yang sama
(Suarez dan Schultz-Cherry 2000) maka mutasi yang mengubah asam amino pada
12
glikoprotein permukaan seperti HA dapat menguntungkan virus karena
memungkinkan virus menghindar dari sistem kekebalan. Proses replikasi virus
sangat rawan mutasi karena enzim polimerase yang mengkatalisis replikasi RNA
dari cetakan RNA mudah melakukan kesalahan disertai kurangnya koreksi
kesalahan selama replikasi. Hal ini menjadi penyebab terjadinya antigenic drift.
Antigenic drift merupakan salah satu strategi virus influenza untuk
menghindar dari sistem kekebalan inang yang meningkat karena vaksinasi.
Perubahan antigenik yang terjadi di daerah epitop merupakan hambatan untuk
pengembangan vaksin karena vaksinasi yang efektif hanya dapat terjadi bila strain
epidemik sesuai dengan strain vaksin (Stohr 2002). Gen HA sebagai target
netralisasi antibodi menjadi contoh klasik protein antigen yang mengalami mutasi
titik yang menumpuk pada epitop atau daerah yang dikenali antibodi (Webster et
al. 1982; Wilson dan Cox 1990). Antigenic drift pada gen HA dapat dipercepat
oleh vaksinasi (Lee et al. 2004) yang suboptimal karena tekanan oleh kekebalan
hasil imunisasi terhadap virus yang sebelumnya bereplikasi dan beredar antar dan
intra spesies (Abdelwhab dan Hafez 2011) memaksa virus untuk beradaptasi.
Virus H5N1 dapat bermutasi secara intensif pada unggas yang divaksinasi
sehingga berpotensi menimbulkan pandemi. Gen HA dari 4 strain H5N1 yang
beredar di Mesir mengalami perubahan asam amino pada epitop HA sehingga
berbeda dengan VAI H5N1 awal yang ditemukan sejak program vaksinasi dimulai
pada tahun 2006 yang berdampak pada virulensi H5N1 pada mamalia (Abdel-
Moneim et al. 2011). Contoh lain virus influenza A yang mengalami antigenic
drift adalah virus pandemi H1N1 2009 (pH1N1 2009) yang berasal dari babi.
Residu 227 HA pada H1N1 babi yang berupa asam amino alanin mengalami
perubahan menjadi asam glutamat sehingga mampu menular dan menimbulkan
pandemi pada manusia (van Doremalen et al. 2011).
Antigenic shift
Genom virus influenza A terdiri dari 8 segmen RNA sehingga ko-infeksi
satu sel inang dengan dua virus influenza A berbeda dapat menghasilkan progeni
virus yang berisi segmen gen dari kedua virus. Proses penyusunan (reassortment)
genetik ini disebut antigenic shift (Webster et al. 1977). Reassortment berperan
13
penting dalam evolusi virus influenza A (Holmes et al. 2005; Dugan et al. 2008)
dan adaptasi inang (Garten et al. 2009, Scholtissek et al. 1978). Secara teori dapat
terjadi 256 (28) kombinasi 8 segmen gen hasil reassortment antara dua virus
dalam satu inang. Rekombinasi homolog jarang terjadi pada virus RNA negatif
seperti virus influenza A (Boni et al. 2008) tetapi rekombinasi dengan pertukaran
segmen gen diketahui berperan dalam perubahan virulensi dan adaptasi inang
(Wright et al. 2007).
Influenza A pada Unggas Liar
Virus influenza A memiliki keragaman genetik dan antigenik yang tinggi
dan tersebar pada berbagai spesies unggas liar di seluruh dunia. Penularan virus
influenza A pada unggas air liar terjadi melalui rute fekal-oral dan menginfeksi
sel-sel epitel saluran pencernaan dengan sedikit atau tanpa gejala penyakit. Virus
bertahan melalui infeksi asimtomatik (low pathogenic, LPAI) pada unggas air dari
ordo Anseriformes seperti itik dan angsa, ordo Charadriiformes seperti camar dan
burung laut, serta ordo Passeriformes dan setidaknya 105 spesies unggas liar telah
teridentifikasi membawa virus influenza A (Munster et al. 2007). Distribusi
subtipe HA dan NA virus pada isolat unggas liar tidak merata. Sebagian besar
subtipe HA dapat ditemukan pada Anseriformes sedangkan subtipe H13 dan H16
ditemukan pada Charadriiformes (Munster et al. 2007).
Pola umum keragaman VAI pada unggas liar dapat dijelaskan dengan dua
model evolusi yaitu spesiasi alopatrik (cekaman geografis) dan simpatrik
(cekaman selektif) (Dugan et al. 2008). Analisis filogenetik menunjukkan bahwa
semua subtipe HA VAI memiliki nenek moyang yang sama namun subtipe HA
tidak berasal dari radiasi tunggal. Hal ini dapat dilihat dari tingginya keragaman
genetik antar subtipe HA sedangkan dalam subtipe HA yang sama keragaman
genetik cukup rendah. Pola ini juga terjadi pada evolusi kesembilan subtipe NA.
Analisis menunjukkan keragaman yang mencerminkan bahwa nenek moyang
bersama terdekat (the most recent common ancestors TMRCA) subtipe HA yang
berbeda pernah ada dalam rentang waktu beberapa ratus tahun yang lalu (Chen
dan Holmes 2010). Segmen gen NS VAI pada unggas memiliki perbedaan jelas
antara alel A dan B yang menunjukkan bahwa kedua alel mengalami seleksi
14
keseimbangan (Dugan et al. 2008). Keragaman genetik yang lebih rendah dimiliki
oleh lima segmen gen VAI lainnya (PB2, PB1, PA, NP dan M). Analisis
filogenetik juga menunjukkan perbedaan urutan asam inti yang jelas antara VAI
yang berasal dari unggas di belahan dunia timur dan barat, sesuai dengan evolusi
cekaman alopatrik (Dugan et al. 2008; Munster dan Fouchier 2009).
Banyaknya kombinasi HA-NA yang ditemukan pada unggas liar
menunjukkan bahwa infeksi campuran dan reassortment VAI sering terjadi pada
unggas liar (Wang et al. 2008) dan bahwa subtipe HA-NA memiliki kombinasi
spesifik yang rendah. Keragaman genetik yang tinggi pada HA, NA dan NS
bertolak belakang dengan 5 segmen gen penyandi protein internal yang memiliki
stabilitas tinggi di tingkat asam amino. Hal ini menandakan bahwa kelima segmen
gen tersebut telah melalui alur seleksi pemurnian. Kecocokan kelima gen tersebut
untuk saling terkait dalam genom ditentukan oleh viabilitas fungsional, dengan
sedikit cekaman selektif untuk mempertahankan mutasi yang menguntungkan.
Urutan asam amino yang sangat stabil menunjukkan bahwa reassortment terjadi
antara segmen-segmen yang secara fungsional setara. Dugan et al. berhipotesis
bahwa VAI pada unggas liar berperan sebagai kolam (pool) besar yang berisi
segmen-segmen gen yang memiliki kesetaraan fungsional sehingga dapat saling
tukar membentuk konstelasi genom sementara tanpa ada cekaman selektif yang
kuat agar tetap bertahan sebagai genom (Dugan et al. 2008).
Virus influenza A pada unggas liar dapat berpindah ke inang yang baru
seperti ayam, kuda, babi, bahkan manusia dan tetap stabil sehingga dapat menjadi
virus menular di kelompok inang yang baru. Virus influenza A sering beradaptasi
terhadap inang yang berasal dari spesies unggas domestik (Wright et al. 2007).
Kemampuan virus untuk tetap stabil setelah berganti inang memerlukan akuisisi
sejumlah mutasi, tergantung pada virus dan spesies inang yang memisahkan
individu virus dari pool gen virus influenza A di unggas liar. Adaptasi terhadap
inang baru ini dapat mengurangi kemampuan virus untuk kembali ke pool gen
virus influenza A pada unggas liar (Swayne 2007) sehingga ia harus membangun
konstelasi genom delapan segmen yang berbeda dari klonnya di unggas liar
(Dugan et al. 2008; Taubenberger dan Morens 2009).
15
Influenza A pada Unggas Domestik
Unggas domestik dari ordo Galliformes seperti kalkun, ayam, dan burung
puyuh bukan merupakan reservoir virus influenza A unggas namun rentan
terhadap infeksi oleh virus influenza A dari unggas liar yang telah beradaptasi.
Virus influenza A yang telah beradaptasi pada Galliformes jarang kembali dan
beredar di unggas liar (Swayne 2007) kecuali virus HPAI H5N1 Eurasia yang
baru-baru ini diisolasi dari populasi unggas liar di Eropa dan Asia. Virus
panzootik HPAI H5N1 galur Asia memiliki keunikan (Webster et al. 2007) yang
dapat mengakibatkan kematian jutaan unggas di 64 negara di tiga benua. Adaptasi
virus influenza A pada inang Galliformes secara molekuler belum sepenuhnya
dapat dijelaskan namun diketahui melibatkan seleksi positif mutasi HA, NA
(Perez et al. 2003; Campitelli et al. 2004), dan protein RNP (Wasilenko et al.
2008).
Virus influenza A yang diisolasi dari unggas domestik umumnya
mempertahankan spesifisitas pengikatan reseptor HA 2,3-SA (Wright et al.
2007). Ciri lainnya yaitu penghapusan in-frame sekitar 20 asam amino di daerah
batang NA yang mengurangi aktivitas enzimatik NA (Baigent dan McCauley
2001) sebagai kompensasi terhadap penurunan aktivitas pengikatan reseptor HA
virus influenza A dari unggas liar yang beradaptasi untuk bereplikasi di saluran
pernafasan unggas domestik (Matrosovich et al. 1999). Strain virus influenza A
H5 atau H7 yang beradaptasi pada unggas domestik berkembang menjadi HPAI
melalui akuisisi mutasi insersi yang mengakibatkan situs pembelahan asam amino
polibasa pada HA (Wright et al. 2007).
Ekologi Itik dan Perannya dalam Penyebaran Influenza A
Itik adalah anggota subfamili Anatinae yang menaungi spesies unggas air
Anseriformes. Subfamili ini tersebar di seluruh dunia dan menempati hampir
semua habitat perairan. Ekologi unggas ini memungkinkan pemeliharaan dan
penyebaran VAI.
Replikasi VAI terjadi di saluran pernafasan (Webster et al. 1978) tetapi
situs utama infeksi VAI pada itik adalah usus (Webster et al. 1978) meskipun
virus influenza A isolat manusia dan HPAI H5N1 yang saat ini beredar lebih
16
sering menginfeksi saluran pernafasan bagian atas. Virus LPAI dalam populasi
itik ditularkan melalui rute fekal-oral (Webster et al. 1992) yang dicirikan oleh
tingginya jumlah usap kloaka positif dibandingkan trakea dan titer virus yang
tinggi pada kotoran serta didukung oleh stabilitas virion dalam air meskipun
penularan melalui aerosol tidak dapat diabaikan. Itik yang diinfeksi secara
eksperimental mengeluarkan virion H4N7, H7N3, dan H11N9 dalam waktu lebih
lama dan titer lebih tinggi melalui feses dibandingkan melalui trakea (Webster et
al. 1978). Virus AI memasuki lingkungan ketika inang defekasi atau
mengeluarkan leleran kemudian menginfeksi inang yang rentan melaui proses
makan dan minum. Ketika segerombolan itik berenang di kolam kecil,
diperkirakan sebanyak 1010
EID50/g/hari virion ditularkan ke lingkungan melalui
kotoran masing-masing itik yang terinfeksi (Webster et al. 1978) dan VAI relatif
stabil dalam air (Stallknecht et al. 1990; Webster et al. 1992). Keadaan ini
menjelaskan mengapa prevalensi infeksi pada itik yang makan di permukaan lebih
tinggi dibandingkan itik yang mencari makan di air yang lebih dalam (Olsen et al.
2006).
Data surveilans menunjukkan bahwa penularan VAI dalam populasi itik
terjadi sepanjang tahun. Prevalensi infeksi menunjukkan pola siklus tahunan pada
populasi itik di Amerika Utara (Olsen et al. 2006) (Krauss et al. 2004) dan
Eurasia (Munster et al. 2007) yang memuncak sebelum dan selama migrasi
musim gugur sebagai akibat dari masuknya itik remaja yang secara imunologis
naif kedalam populasi (Hinshaw et al. 1985; Webster et al. 1992; Olsen et al.
2006). Itik Pekin putih yang diinfeksi secara ekperimental mengeluarkan virus
selama lebih dari tiga minggu setelah inokulasi (Kida et al. 1980). Itik yang
terinfeksi mengeluarkan virus selama beberapa minggu pertama migrasi musim
gugur, menebarkan virus di sepanjang koridor migrasi dengan morbiditas dan
respon antibodi serum yang rendah (Kida et al. 1980). Meskipun demikian,
prevalensi infeksi jauh lebih rendah di sepanjang rute migrasi dan di lokasi
migrasi musim dingin dibandingkan di tempat itik istirahat dan mencari makan
(Okazaki et al. 2000; Munster et al. 2007; Wallensten et al. 2007). Perbedaan ini
mungkin mencerminkan perkembangan kekebalan terhadap subtipe virus yang
17
beredar dalam populasi itik atau penurunan transmisi karena penyebaran populasi
(Hinshaw et al. 1985).
Secara umum prevalensi infeksi di tempat migrasi musim dingin dan di
tempat bersarang musim semi lebih tinggi pada populasi itik Eropa dibandingkan
populasi itik Amerika Utara. Penjelasan yang paling mungkin untuk perbedaan ini
adalah variasi acak, karena penelitian surveilans pada populasi itik di beberapa
daerah di Amerika Utara dan Eropa sering memperoleh nilai prevalensi yang
sedikit berbeda. Banyak faktor dapat mempengaruhi prevalensi termasuk ukuran
populasi itik, lokasi pengambilan sampel, waktu pengambilan sampel, dan lain-
lain.
Prevalensi infeksi paling rendah terjadi selama migrasi musim semi namun
kembali meningkat setelah musim kawin ketika itik pindah ke tempat bersarang
musim panas (Hinshaw et al. 1985; Krauss et al. 2004; Wallensten et al. 2007).
Tidak jelas bagaimana populasi itik memperoleh virus AI selama musim semi
setiap tahun. Ada dua kemungkinan bahwa itik mungkin membawa virus terus
menerus selama migrasi yang ditunjukkan oleh prevalensi pada itik yang terus ada
sepanjang tahun, meskipun daya tahan virus di habitat beku juga dapat berperan
dalam kelangsungan hidup virus (Olsen et al. 2006) karena virion infektif
mungkin dapat bertahan di dalam air beku melewati musin dingin di tempat itik
berkembang biak dan menginfeksi saat itik tersebut kembali pada musim semi
(Webster et al. 1978; Webster et al. 1992).
Beberapa subtipe virus lebih sering ditemukan daripada yang lain (Krauss et
al. 2004; Olsen et al. 2006). Tiga subtipe HA yaitu H3, H4, dan H6 paling sering
ditemukan pada itik di Amerika Utara dan Eropa (Krauss et al. 2004; Munster et
al. 2007) dengan kombinasi subtipe yang paling umum yaitu H4N6 dan H6N2
(Wallensten et al. 2007). Banyak penjelasan mengapa subtipe HA dan NA tertentu
dan kombinasi keduanya sering atau jarang ditemukan pada unggas liar. Hipotesis
umum adalah bahwa subtipe tertentu memiliki kecocokan tertinggi, dengan
tingkat replikasi dan virulensi seimbang yang cukup untuk meningkatkan
kemungkinan keberhasilan transmisi. Hal ini diyakini sangat dipengaruhi oleh
keseimbangan fungsional antara afinitas ikatan HA dan aktivitas enzimatik NA
18
(Wagner et al. 2002). Meskipun gen H6 berasal dari Eurasia dan secara luas
tersebar pada itik di Amerika Utara, analisis genom virus menunjukkan bahwa
pertukaran gen antar benua antara Eurasia dan Amerika sangat terbatas (Krauss et
al. 2007). Oleh karena itu kemunculan genotipe virus baru harus melalui mutasi
dan reassortment genom-genom yang bersirkulasi dalam wilayah geografis
tertentu. Kesempatan untuk mutasi dan reassortment ini terbuka lebar di daerah
tempat itik istirahat dan mencari makan karena populasi itik dari berbagai tempat
dan koridor migrasi berbeda datang dengan membawa kombinasi subtipe masing-
masing (Wallensten et al. 2007). Koinfeksi itik dengan dua atau lebih subtipe
virus sering terjadi (Sharp et al. 1997) sama seperti reassortment memunculkan
virus yang sangat virulen pada unggas Galliformes namun memiliki patogenisitas
rendah pada inang itik (Sturm-Ramirez et al. 2005).
Peran itik dalam pemeliharaan dan penyebaran virus influenza, dan terutama
dalam pemunculan genotipe baru tergantung pada perilaku migrasi. Itik yang
bermigrasi setiap tahun cenderung menyebarkan virus influenza di sepanjang rute
migrasi terutama pada populasi itik domestik dan peliharaan di berbagai lokasi
persinggahan (Olsen et al. 2006; Wallensten et al. 2007). Selanjutnya itik
domestik membawa virus berdekatan dengan spesies lain dan berperan dalam
penyebaran LPAI dan HPAI pada unggas domestik dan unggas darat lainnya
(Hulse-Post et al. 2005; Sturm-Ramirez et al. 2005; Gilbert et al. 2006).
Bebek domestik dan itik angon telah dikaitkan dengan penyebaran virus
HPAI H5N1 di Asia Tenggara (Gilbert et al. 2006). Itik sebagai salah satu unggas
air domestik dianggap sebagai sumber penularan virus H5N1 pada wabah di Cina
tahun 1999-2002 (Chen et al. 2004; Li et al. 2004) dan Hongkong tahun 2001
(Sturm-Ramirez et al. 2005). Penelitian seroprevalensi AI pada unggas air (itik,
entog, dan angsa) secara signifikan lebih tinggi dibandingkan seroprevalensi pada
ayam kampung. Hal ini terlihat pada pemeriksaan serologis itik di daerah Jawa
Barat (BALITVET 2006). Pemeriksaan serologis yang dilakukan oleh Balitvet
pada bulan Oktober 2006 menunjukkan sejumlah unggas yang seropositif
terhadap H5 VAI dengan prevalensi pada ayam 22,96% (n=591), itik 41,74%
(n=43), entog 27,04% (n=43), dan angsa 75,0% (n=12). Hasil pemeriksaan
serologis pada bulan November 2006 memperlihatkan prevalensi unggas
19
seropositif terhadap H5 VAI masing-masing pada ayam 33,37% (n=1.038), itik
43,44% (n=63), entog 28,21% (n=68), dan angsa 42,3% (n=11) (BALITVET
2006).
Patobiologi Avian Influenza pada Itik
Wabah AI pertama kali dilaporkan tahun 1878 terjadi pada ayam dan
burung di Italia yang saat itu disebut penyakit Lombardia kemudian pada tahun
1901 Centanini dan Savonucci dapat mengidentifikasi organisme berukuran mikro
yang menyebabkan wabah tersebut namun baru pada tahun 1955 Schafer dapat
menunjukkan ciri-ciri organisme itu sebagai virus influenza A (Werner 2006).
Virus influenza A biasanya tidak patogenik terhadap reservoir alaminya yaitu itik
dan unggas air lain. Namun virus HPAI telah berevolusi dari yang tidak
mengakibatkan atau sedikit menimbulkan gejala infeksi pada saluran pernafasan
itik menjadi virus yang menyebabkan penyakit sistemik parah dan kematian
(Pantin-Jackwood dan Swayne 2007). Wabah virus highly pathogenic avian
influenza (HPAI) H5N1 pertama kali dilaporkan di Cina Selatan pada tahun 1996-
1997, kemudian menyebar dan menyebabkan kematian unggas di Vietnam,
Thailand, Indonesia dan Negara Asia Timur sejak awal tahun 2004 (Smith et al.
2006).
Gejala HPAI H5N1 sebelum tahun 2002 tidak terlihat pada itik. Penelitian
eksperimental yang dilakukan oleh (Perkins dan Swayne 2002) yang
menginfeksikan A/chicken/HK/220/97 pada itik tidak menemukan gejala klinis.
Sedangkan infeksi virus HPAI H5N1 pada itik menggunakan isolat yang
diperoleh pada tahun 2002 sampai 2004 menimbulkan gejala klinis seperti
penurunan berat, lesu, diare, mata berkabut, dan ataksia kemudian mati meskipun
beberapa strain yang diisolasi selama tahun 2002-2004 juga menunjukkan gejala
yang ringan atau tidak ada sama sekali (Gambar 3) (Sturm-Ramirez et al. 2004).
Itik yang diinfeksi virus A/duck/Thailand/71.1/2004 menunjukkan gejala panas
tinggi, kesulitan bernafas, depresi, diare, gejala syaraf (ataksia, konvulsi, dan
inkoordinasi), dan konjungtivitis dengan mortalitas 20-100% (Songserm et al.
2006). Saat nekropsi ditemukan pendarahan titik dan terlokalisir pada kaki dan
telapak, ascites, dan kebiruan pada kepala. Secara histologis perubahan yang
20
paling menonjol ditemukan pada paru-paru seperti pneumonia, edema, kongesti,
dan peradangan perivaskuler (Songserm et al. 2006). Pada itik yang menunjukkan
gejala syaraf ditemukan kumpulan sel radang di sekitar pembuluh darah dan
peradangan neuroglia. Pada itik ras pedaging ditemukan degenerasi otot jantung
dengan perubahan patologis lain yang dapat terlihat antara lain hepatitis,
tubulonefritis, pengecilan kelenjar limfoid dan enteritis (Songserm et al. 2006).
Gambar 3. Grafik tingkat kelangsungan hidup itik yang diinfeksi berbagai isolat
VAI H5N1 diadaptasi dari Sturm-Ramirez et al. (2005). Kelompok
virus LPAI: A/Thai/1(Kan-1)/04 dan A/Ck/PP/BPPV3/04, HPAI:
A/Dk/VN/40D/04, A/Ck/VN/48C/04, A/Dk/Thai/71.1/04, dan
A/VN/1203/04.
AI Patogenitas Rendah (low-pathogenic avian influenza, LPAI)
Sasaran utama infeksi virus LPAI pada itik tidak hanya saluran pernafasan
dan jaringan paru-paru. Itik yang diinokulasi intranasal dengan virus LPAI
menunjukkan gejala paru-paru pneumonia ringan dan infiltrasi limfosit dan
makrofag dalam waktu 2 hari. Pewarnaan imunohistokimia nukleoprotein
menunjukkan perubahan pada sel epitel saluran pernafasan namun tidak ada
replikasi virus pada jaringan paru-paru (Cooley et al. 1989). Virus LPAI dapat
melewati saluran pencernaan atas itik dan bereplikasi dalam usus tanpa
menyebabkan manifestasi klinis penyakit (Webster et al. 1978; Kida et al. 1980).
Hasil penelitian yang menginokulasikan virus secara langsung pada tembolok dan
kloaka (Webster et al. 1978) serta ditemukannya titer virus yang tinggi pada feses
setelah inokulasi intravena (Kida et al. 1980) membuktikan bahwa usus
21
merupakan organ target virus LPAI pada itik sebagai tempat replikasi virus tanpa
infeksi pada paru-paru. Lebih spesifik, replikasi virus LPAI diyakini terjadi di
kriptus Lieberkühn usus besar (Kida et al. 1980).
Keragaman jenis itik juga berperan penting dalam patogenisitas virus
influenza. Embrio itik Mallard yang diinokulasi dengan virus LPAI memiliki
tingkat kematian lebih rendah daripada embrio entog. Antigen virus dapat
ditemukan di organ-organ internal seperti sinus hidung, faring, trakea, bronkus,
paru-paru, dan kantung hawa embrio itik Mallard tetapi tidak ditemukan pada
embrio entog. Alasan mortalitas dan replikasi virus pada itik Mallard ini tidak
jelas tetapi mendukung bukti bahwa itik Mallard berperan sebagai reservoir utama
virus LPAI di alam (Mutinelli et al. 2003).
Pemahaman mengenai respon imun itik terhadap VAI masih terbatas
meskipun beberapa penelitian mengenai respon antibodi serum itik yang terinfeksi
secara alami maupun eksperimental telah dilakukan (Suarez dan Schultz-Cherry
2000). Itik Pekin putih yang diinokulasi virus LPAI H7N2 memberikan hasil titer
antibodi HI yang sangat rendah tetapi virus tetap dikeluarkan hingga 7 hari pasca
inokulasi. Inokulasi ulang setelah 46 hari dengan strain virus yang sama memberi
respon antibodi yang lebih tinggi tetapi virus tidak ditemukan pada organ. Hasil
ini disertai rendahnya respon imun sekunder setelah inokulasi menggunakan virus
yang dilemahkan dalam formalin menunjukkan bahwa respon cepat imun pada
itik yang diinfeksi ulang dapat membatasi infeksi influenza untuk rentang waktu
tertentu (Kida et al. 1980). Infeksi yang pernah terjadi tidak dapat melindungi itik
terhadap infeksi berikutnya oleh subtipe virus lain. Sebagai contoh, itik yang
diinfeksi subtipe H4N6 terlindungi dari infeksi ulang dengan virus yang sama
tetapi mengeluarkan virion selama 8 hari setelah ditantang dengan isolat H11N3
(Austin dan Hinshaw 1984).
AI Patogenitas Tinggi (highly pathogenic avian influenza, HPAI)
Beberapa penelitian eksperimental telah dilakukan untuk memahami
patogenisitas virus HPAI H5N1 yang diisolasi sejak 2002 pada itik. Itik Pekin
Cherry Valley yang diinokulasi strain HPAI H5N1 isolat daging itik 2003 dari
stasiun inspeksi karantina Cina menunjukkan gejala neurologis seperti kebutaan
22
dan kepala gemetar meskipun tidak mati. Titer virus yang tinggi ditemukan pada
organ pernafasan (paru-paru dan trakea), otak, hati, ginjal, dan usus besar disertai
perubahan mikroskopik pada otak (ensefalitis), jantung (miokarditis dengan
degenerasi dan nekrosis miosit), dan bursa (hiperplasia ringan pada folikel
limfoid) (Kishida et al. 2005).
Neurotropisme dan pankreatotropisme virus terlihat pada penelitian lain
yang menggunakan isolat virus HPAI. Itik yang ditantang dengan virus HPAI
H5N1 pada dosis letal menunjukkan gejala neurologis berat, seperti tortikolis,
inkoordinasi, tremor, dan kejang (Sturm-Ramirez et al. 2004; Vascellari et al.
2007). Imunohistokimia positif yang ditemukan pada otak dan batang otak serta
hibridisasi in situ virus yang terlihat pada neuron dan sel glia materi abu-abu otak
menunjukkan neurotropisme isolat setelah tahun 2002 (Sturm-Ramirez et al.
2004; Vascellari et al. 2007).
Meskipun rute masuknya virus ke dalam sistem saraf pusat belum dapat
dipastikan, setidaknya dua hipotesis dapat menjelaskan. Hipotesis pertama yaitu
transmisi virus dapat menjalar melalui serabut saraf vagus, olfaktorius, dan
trigeminus, dan hipotesis kedua yaitu virus dapat melakukan penetrasi melewati
blood-brain barrier (Silvano et al. 1997; Park et al. 2002).
Ciri-ciri lain virus HPAI H5N1 pada itik adalah titer virus yang sering lebih
tinggi pada usap orofaringeal dibandingkan usap kloaka (Sturm-Ramirez et al.
2004; Keawcharoen et al. 2008). Ekskresi virus HPAI H5N1 pada faring diduga
berasal dari paru-paru dan/atau kantung hawa karena hanya kedua jaringan ini
yang menunjukkan bukti replikasi virus secara imunohistokimia. Kecenderungan
ekskresi pada faring ini menunjukkan bahwa usap faring juga harus diambil ketika
melakukan surveilans VAI pada bebek liar selain usap kloaka yang selalu
dilakukan (Keawcharoen et al. 2008). Jika tidak, prevalensi HPAI H5N1 dapat
disalahperhitungkan.
Hasil penelitian FKH-IPB tahun 2006 menujukkan bahwa bebek yang tidak
dikandangkan memiliki resiko terinfeksi HPAI lebih tinggi (OR = 6,87; SK 95%;
1.29-36.54) dibandingkan dengan bebek yang dipelihara dalam kandang tertutup.
Sistem pemeliharaan yang dicampur antara ayam dan bebek juga memiliki
23
kecenderungan risiko positif AI yang lebih tinggi (OR = 4,05) dibandingkan
dengan yang tidak dicampur. Isolat virus HPAI H5N1 FKH/IPB/Duck/NG29 yang
ditemukan pada bebek sehat dapat menginfeksi ayam yang berkontak sehingga
pemeliharaan yang dicampur antara bebek dan ayam berpotensi meningkatkan
shedding virus dimana bebek berperan sebagai bank virus dan ayam sebagai
media propagasi (FKH-IPB 2006).
Teknik Diagnostik Avian Influenza
Diagnosa AI dilakukan dengan isolasi virus atau melalui deteksi dan
karakterisasi segmen genom virus karena gejala klinis yang ditimbulkan sangat
beragam menurut spesies inang, strain virus, status kekebalan inang, keberadaan
infeksi lain dan kondisi lingkungan (OIE 2009). Identifikasi VAI diawali dengan
isolasi virus pada ruang alantois telur ayam berembrio (TAB) specific pathogen
free (SPF). Selanjutnya cairan alantois diuji tapis dengan hemagglunation test
(HA) untuk mendeteksi keberadaan virus yang mampu mengaglutinasi sel darah
merah, kemudian diuji dengan agar gel immunodiffusion test (AGID) atau enzyme
linked immunosorbent assay (ELISA) yang masing-masing untuk mendeteksi tipe
dan subtipe virus. Pengujian subtipe virus juga dapat dilakukan dengan
hemagglutination inhibition test (HI) dan neuraminidase inhibition test (NI).
Alternatif lain untuk mendeteksi keberadaan VAI adalah dengan reverse-
transcription polymerase chain reaction (RT-PCR) atau real time RT-PCR (RRT-
PCR) menggunakan primer spesifik matriks atau nukleoprotein. Selanjutnya
subtipe virus ditentukan dengan menggunakan primer spesifik hemaglutinin dan
neuraminidase. Uji serologis seperti AGID, HI, dan ELISA juga digunakan untuk
mendeteksi antibodi dalam serum inang.
RRT-PCR untuk Deteksi Avian Influenza
Perkembangan teknologi yang pesat memberikan berbagai pilihan teknik
dan produk yang dapat digunakan untuk mendukung pengujian diagnostik yang
telah ada atau menjadi landasan untuk pengujian diagnostik yang baru. Teknik
reverse transcriptase PCR (RT-PCR) secara konvensional telah dikembangkan
untuk mendeteksi VAI namun sejak awal tahun 2000-an mulai banyak digunakan
24
real-time RT-PCR (RRT-PCR) dalam rangka pengawasan rutin, selama wabah,
dan untuk penelitian karena lebih menguntungkan dari segi sensitivitas dan
spesifisitas yang lebih tinggi, memerlukan waktu yang lebih singkat, bersifat
kuantitatif, lebih ramah lingkungan, dan meskipun biaya yang diperlukan untuk
investasi peralatan lebih tinggi namun untuk operasional dan pengamanan
lingkungan teknik ini memerlukan biaya yang lebih sedikit.
Pembacaan hasil RRT-PCR tidak memerlukan elektroforesis gel melainkan
dapat dilihat secara langsung berupa grafik intensitas pendaran zat warna
floresens yang meningkat secara eksponensial, linier, kemudian mendatar seiring
siklus amplifikasi (Gambar 4). Hasil RRT-PCR berupa nilai Ct (cycle threshold)
yang merupakan perpotongan antara kurva amplifikasi dengan garis threshold
yang menggambarkan konsentrasi relatif target PCR.Aktivitas nuklease ujung 5'-
polimerase yang terdapat dalam polymerase chain reaction (PCR) memecah
probe hidrolisis saat ekstensi amplikon sehingga memisahkan reporter (R)
florofor dari quencher (Q). Sinyal floresens yang dihasilkan ketika tereksitasi oleh
cahaya dari luar di setiap siklus PCR sebanding dengan jumlah produk yang
dihasilkan (Koch 2004).
Beberapa peningkatan yang penting demi perbaikan pengujian RRT-PCR
telah tersedia untuk VAI, antara lain: pengembangan dan penggunaan kontrol
internal untuk mengurangi negatif palsu reaksi dan pengembangan reagen kering
beku (lyophilized) untuk meningkatkan kualitas kontrol (Das et al. 2006; Di Trani
et al. 2006); penggunaan robot untuk meningkatkan keluaran laboratorium agar
mampu menangani peningkatan jumlah sampel selama wabah meskipun mungkin
tidak memberikan sensitivitas yang lebih baik (Spackman et al. 2002; Spackman
dan Suarez 2005); dan protokol baru untuk pengolahan sampel sulit seperti
sampel kloaka atau jaringan (Das et al. 2006).
Semua uji diagnostik molekuler bertujuan untuk memperoleh hasil yang
cepat dengan sensitifitas yang sebanding dengan isolasi virus, dan
mempertahankan tingkat spesifisitas yang tinggi. Oleh karena itu tiga titik kritis
penting untuk diperhatikan, yaitu tahapan ekstraksi RNA, tahapan amplifikasi RT-
25
PCR, dan urutan basa primer dan probe. Ketiga faktor tersebut harus diperhatikan
agar pengujian menjadi sensitif dan spesifik.
Gambar 4. Prinsip probe hidrolisis TaqMan diadaptasi dari Koch (2004) (a)
proses hidrolisis probe saat ekstensi memisahkan reporter floresensi
dari quencher (b) sinyal floresensi meningkat secara eksponensial,
linier, kemudian mendatar seiring siklus amplifikasi.
Ekstraksi RNA merupakan tahap yang penting dalam setiap uji diagnostik
molekuler karena kualitas RNA akan mempengaruhi efisiensi amplifikasi.
Berbagai teknologi ekstraksi RNA yang ada seperti ekstraksi organik, ekstraksi
kolom silika, dan ekstraksi manik (beads) magnetik (Hale et al. 1996; Petrich et al.
2006) memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.
26
Metode ekstraksi organik yang menggunakan fenol dan guanidinium
memberikan efisiensi ekstraksi yang baik untuk sampel kompleks tetapi metode
ini memungkinkan inhibitor PCR juga ikut terekstraksi sehingga dapat
menyebabkan hasil negatif palsu (Das et al. 2006). Metode ekstraksi juga
bervariasi dalam hal kemudahan penggunaan dan skalabilitas. Metode ekstraksi
organik relatif memerlukan tenaga intensif dan sulit untuk pengerjaan sampel
skala besar.
Beberapa metode ekstraksi berbasis kolom atau beads magnetik dapat
digunakan untuk keluaran besar misalnya dengan pemrosesan pada plat 96
sumuran atau menggunakan robot. Banyak sistem robotik yang tersedia secara
komersial dengan format reagen dan perlengkapan sendiri atau terbuka. Platform
kerja robotik juga sangat bervariasi dalam hal biaya tergantung pada kerumitan
dan fitur mesin. Platform kerja robotik cukup menjanjikan untuk meningkatkan
efisiensi laboratorium diagnostik, tetapi setiap robot dengan teknologi ekstraksi
RNA masih memerlukan validasi sebelum dapat digunakan secara rutin pada
sampel diagnostik. Kecil kemungkinan bagi sebuah mesin atau kit ekstraksi untuk
dapat memiliki fleksibilitas dalam menangani berbagai jenis sampel yang dibawa
ke laboratorium diagnostik dengan efisiensi ekstraksi RNA dan kemurnian yang
diperlukan untuk memperoleh hasil yang konsisten (Aguero et al. 2007; Tewari et
al. 2007). Diagnosis AI untuk ayam dan kalkun sebaiknya menggunakan sampel
usap trakea atau orofaringeal karena tropisme virus pada kedua spesies tersebut
adalah saluran pernafasan. Namun untuk spesies lain seperti itik
direkomendasikan sampel usap kloaka karena pada spesies tersebut virus LPAI
memiliki tropisme enterik. Sampel usap trakea/orofaringeal relatif mudah
digunakan untuk ekstraksi RNA karena mengandung sedikit sekali sel. Sampel
RNA lebih sulit diekstraksi dari usap kloaka dan jaringan karena keduanya
mengandung bahan organik lebih tinggi, komposisi kimia yang kompleks, dan
berpotensi mengandung inhibitor PCR (Cone et al. 1992; Buonagurio et al. 1999;
Petrich et al. 2006).
Reagen amplifikasi RT-PCR merupakan area kritis lain yang dapat
mempengaruhi hasil pengujian. Berbagai macam kit komersial dengan enzim dan
reagen berbeda banyak tersedia untuk amplifikasi RNA virus. Semua prosedur
27
dilengkapi dengan tahap reverse transkripsi dan amplifikasi PCR, biasanya
dengan enzim yang berbeda untuk setiap tahapan. Kedua tahap tersebut sangat
penting untuk pengujian diagnostik yang sensitif. Secara umum RT-PCR dapat
dijalankan dengan prosedur dua tahap atau satu tahap (onestep). Pada prosedur
dua tahap, reverse transkripsi RNA dan amplifikasi DNA dijalankan secara
terpisah sehingga optimasi dilakukan di kedua reaksi. Sedangkan pada RT-PCR
onestep, semua reagen untuk tahapan reverse transkripsi RNA dan amplifikasi
DNA dimasukkan kedalam tabung yang sama sehingga pengujian dapat selesai
tanpa membuka tabung untuk memasukkan reagen tambahan. Prosedur dua tahap
dianggap lebih sensitif daripada metode onestep karena kedua tahapan dilakukan
pada kondisi yang optimal namun amplifikasi onestep menyederhanakan prosedur
dan mengurangi kemungkinan kontaminasi silang sampel sehingga prosedur
onestep ini lebih baik untuk berbagai situasi (OIE 2008b).
Enzim-enzim untuk RT-PCR onestep dapat dibeli secara terpisah atau dalam
bentuk kit yang mencakup hampir semua reagen yang perlukan untuk pengujian.
Keuntungan penggunaan kit adalah peningkatan kontrol kualitas yang didapatkan
dari produk komersial selain lebih mudah untuk dipesan dan digunakan
dibandingkan dengan penggabungan reagen dari berbagai sumber. Meskipun
banyak kit diagnostik yang tersedia secara komersial, tidak semua memiliki
kinerja yang sama di setiap aplikasi. Prosedur diagnostik resmi RRT-PCR AI
yang diterapkan oleh jaringan laboratorium kesehatan hewan nasional (National
Animal Health Laboratory Network, NAHLN) Amerika Serikat yang dikelola
oleh layanan inspeksi kesehatan hewan dan tumbuhan (Animal and Plant Health
Inspection Service, APHIS) Departemen Pertanian Amerika Serikat (United States
Department of Agriculture, USDA) menggunakan kit untuk ekstraksi RNA dan
amplifikasi RT-PCR (Suarez et al. 2007). Kit alternatif kadang dapat bekerja
dengan baik sehingga ketentuan yang dibuat dalam protokol resmi NAHLN
memberi ruang bagi penggunaan metode alternatif untuk ekstraksi RNA atau
reagen amplifikasi RT-PCR (selain primer atau probe) namun pengguna harus
memiliki data yang cukup untuk menunjukkan bahwa protokol modifikasi sama
sensitifnya dengan protokol resmi. Perubahan protokol dapat terjadi bila prosedur
alternatif memberikan nilai tambah yang signifikan seperti biaya yang lebih
28
rendah, sensitivitas yang lebih tinggi, lebih mudah digunakan, meningkatkan
keluaran, dan nilai tambah lain. APHIS telah menyetujui beberapa perubahan atau
alternatif sejak protokol resmi disetujui pada tahun 2002 (Suarez et al. 2007).
Elemen kunci ketiga untuk pengujian diagnostik molekuler adalah desain
primer dan probe yang menjadi landasan sensitivitas dan spesifisitas uji.
Meskipun program-program untuk desain primer terus berkembang, sensitivitas
pasangan primer tetap harus ditentukan secara empiris melalui optimasi
konsentrasi primer dan probe, konsentrasi magnesium, dan kondisi siklus agar
didapatkan sensitivitas tertinggi (OIE 2008b). Spesifisitas uji juga dapat
dievaluasi secara in silico (menggunakan komputer) (Boutros dan Okey 2004)
namun pengujian empiris tetap diperlukan untuk konfirmasi spesifisitas. Telah
banyak pasangan primer AI untuk RT-PCR konvensional, namun baru beberapa
yang telah dipublikasikan (Tabel 1). Variabilitas gen HA yang tinggi menyulitkan
pengembangan primer dan probe yang dapat mendeteksi isolat beragam dalam
satu subtipe HA, terutama untuk mengidentifikasi isolat dari garis keturunan
Amerika dan Eurasia sehingga untuk wilayah geografis yang berbeda diperlukan
pasangan primer dan probe berbeda (Spackman et al. 2002). Urutan basa primer
dan probe menentukan spesifisitas dan sensitivitas uji diagnostik sehingga
perubahan urutan basa memerlukan pengujian yang luas untuk validasi (OIE
2008b; OIE 2008a).
Pengujian RRT-PCR telah dikembangkan sebagai uji spesifik untuk
influenza A dengan target regio lestari (conserved) pada matriks, nukleoprotein,
atau gen nonstruktural lain yang informasi urutan basanya banyak tersedia.
Beberapa pengujian spesifik untuk subtipe juga telah dipublikasikan dengan target
gen HA untuk mendeteksi HPAI yang terbatas pada subtipe H5 atau H7 (Starick
et al. 2000; Munch et al. 2001; Collins et al. 2002; Spackman et al. 2002; Collins
et al. 2003; Dybkaer et al. 2004). Penggunaan RRT-PCR untuk mendeteksi asam
nukleat spesifik influenza A, H5 dan H7 pertama kali dijelaskan oleh Spackman et
al. (2002). Pengujiannya memerlukan primer dan probe yang dirancang untuk
mendeteksi regio lestari ujung 5’ segmen gen 7 (gen M1) dengan panjang 100
nukleotida dan pasangan primer/probe spesifik H5 dan H7 yang dirancang untuk
mendeteksi regio lestari subunit HA2 urutan basa virus AI Amerika Utara
29
(Spackman et al. 2002). Variabilitas HA menjadi salah satu alasan mengapa uji
spesifik terhadap tipe A dengan target protein internal yang lebih lestari
diperlukan sebagai uji tapis dalam pengujian molekuler AI dan pengujian subtipe
HA berperan sebagai penyedia informasi tambahan dan konfirmasi sampel positif
(Suarez et al. 2007).
Tabel 1. Pasangan primer dan probe untuk deteksi gen tertentu.
Target Primer/ probe Urutan basa(5 -3 )
Amerika Utara dan Eurasia (Spackman et al. 2002)
Gen M1 M +25 AGATGAGTCTTCTAACCGAGGTCG
M 124 TGCAAAAACATCTTCAAGTCTCTG
M +64 TCAGGCCCCCTCAAAGCCGA
Gen H5 (HA2) H5 +1456 ACGTATGACTAYCCRCARTAYTCA
H5 1685 AGACCAGCTACCATGATTGC
H5 +1637 TCAACAGTGGCGAGTTCCCTAGCA
Gen H7 (HA2) H7 +1244 ATTGGACACGAGACGCAATG
H7 1342 TTCTGAGTCCGCAAGATCTATTG
H7 +1281 TAATGCTGAGCTGTTGGTGGCA
Asia (Heine et al. 2005)
Gen M1 IVA-D161M AGATGAGYCTTCTAACCGAGGTCG
IVA-D162M TGCAAANACATCYTCAAGTCTCTG
IVA-Ma TCAGGCCCCCTCAAAGCCGA
Gen H5 IVA-D148H5 AAACAGAGAGGAAATAAGTGGAGTAAAATT
IVA-D149H5 AAAGATAGACCAGCTACCATGATTGC
IVA-H5a TCAACAGTGGCGAGTTCCCTAGCA
Asia (Payungporn et al. 2006)
Gen M1 MF3 TGATCTTCTTGAAAATTTGCAG
MR1+ CCGTAGMAGGCCCTCTTTTCA
M-probe TTGTGGATTCTTGATCG
Gen H5 (HA2) H5F4 GACTCAAATGTCAAGAACCTTTA
H5R3 CCACTTATTTCCTCTCTGTTTAG
H5-probe ACGGAACGTATGACTAC
Gen N1 N1F2 GTTTGAGTCTGTTGCTTGGTC
N1R1 TGATAGTGTCTGTTATTATGCC
N1-probe TTGTATTTCAATACAGCCAC
Qinghai (Hoffmann et al. 2007)
Gen H5 (situs
pembelahan
HA1 dan HA0)
FliH5-1028F GGGGAATGCCCCAAATATCT
FliH5-1190R TCTACCATTCCCTGCCATCC
FliH5-CS-FAM AGAGAGAAGAAGAAAAAAGAGAGGACTA
FliH5-1148-
HEX
TTGGAGCTATAGCAGGTTTTATAGAGG
Eurasia dan Afrika (Monne et al. 2008)
AI virus
subtipe H5
H5-For TTATTCAACAGTGGCGAG
H5NE-Rev CCAG(T)AAAGATAGACCAGC
H5 probe CCCTAGCACTGGCAATCATG
1. M = A, C; R = A, G; Y = C, T
2. Cetak tebal mengindikasikan warna reporter dan quencher probe
30
Pengujian gen matriks (M1) memiliki limit deteksi 10 fg atau sekitar 103
salinan gen dan dapat mendeteksi virus hingga 0,1 EID50 (50% egg infective dose).
Penelitian (Lee dan Suarez 2004) selanjutnya menunjukkan bahwa kuantitas RNA
yang ditentukan dengan metode RRT-PCR berkorelasi erat dengan dan EID50
yang ditentukan dengan metode konvensional isolasi virus pada embrio ayam.
Namun demikian, tingkat kesepakatan antara pengujian RRT-PCR matriks (MA
RRT-PCR) dan isolasi virus (virus isolation, VI) pada embrio ayam tidak 100%.
Positif RRT-PCR / negatif VI dan negatif RRT-PCR / positif VI pada sampel usap
dapat terjadi (Spackman et al. 2002; Cattoli et al. 2004) sehingga hasil RRT-PCR
sebaiknya diinterpretasikan pada tingkat kandang daripada tingkat individu.
Berdasarkan analisis data wabah H7N2 LPAI di Virginia tahun 2002, sensitivitas
diagnostik relatif RRT-PCR terhadap VI adalah 85,1% (probabilitas 95% interval:
71,9-95,7%), sedangkan spesifisitas diagnostik relatif terhadap VI mencapai
98,9% (probabilitas 95% interval: 98,0-99,5%) (Elvinger et al. 2007).
Pasangan primer dan probe spesifik untuk H5 dan H7 memiliki limit deteksi
100 fg target RNA atau sekitar 103-10
4 salinan gen dan dapat mendeteksi virus 10
EID50. Meskipun uji H5 yang telah ada terbukti mampu mendeteksi virus subtipe
H5 Amerika Utara dan Eurasia, modifikasi untuk pengujian ini telah dilakukan
untuk mengoptimalkan deteksi H5N1 Eurasia (Slomka et al. 2007b). Modifikasi
primer forward dan reverse dilaporkan dapat meningkatkan sensitivitas analitik
untuk virus H5N1 Eurasia hingga 1000 kali lipat (Heine et al. 2007).
Sensitivitas dan spesifisitas RRT-PCR yang spesifik untuk virus influenza
hampir sebanding dengan VI dan HI sehingga teknik ini disukai, selain karena
lebih cepat, mengurangi resiko kontaminasi silang, dapat memproses sampel
dalam jumlah besar, dapat menentukan tipe dan subtipe virus, dan tidak
memerlukan virus hidup (Spackman et al. 2002). Pengujian MA RRT-PCR telah
dianjurkan sebagai metode deteksi virus AI oleh ring trial Uni Eropa (Slomka et
al. 2007a) dan versi modifikasi yang memiliki sensitivitas analitik tinggi untuk
virus H5N1 galur Eurasia (Heine et al. 2007) telah digunakan oleh laboratorium
rujukan AI regional OIE untuk Asia Tenggara.
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian dilakukan terhadap sampel yang dikoleksi selama tujuh bulan
mulai September 2009 hingga Maret 2010 di Kabupaten Indramayu. Penelitian
dilaksanakan di Laboratorium Virologi FKH IPB.
Bahan dan Alat
Media transport yang digunakan adalah brain heart infusion (BHI) dalam
tabung eppendorf berukuran 2 ml. Virus (A/chicken/Indonesia/SmiWN18/2009);
JF302895 digunakan sebagai kontrol positif. Sampel usap diambil menggunakan
cotton swab steril. Untuk isolasi genom virus digunakan MagMAX™ AI/ND
Viral RNA Isolation kit dari Ambion®
, plat ekstraksi 96 sumuran, dan magnetic
stand. RT-PCR konvensional menggunakan SuperScript®
III One Step RT-PCR
with Platinum®
Taq dari Invitrogen® dengan strip tabung PCR pada mesin BIO-
RAD MJ Mini, sedangkan RRT-PCR dilakukan menggunakan Ag-Path ID™
One-Step RT-PCR kit dari Ambion®
dengan plat optik 96 sumuran pada mesin
Applied Biosystems 7500 Real Time PCR System. Peralatan dan bahan yang juga
diperlukan selama penelitian antara lain mikropipet, tips mikropipet, titer plate
shaker, vortex, alkohol, dan reservoir reagen.
Sampel
Sampel berasal dari sentinel dan non-sentinel yang ditempatkan di enam
peternakan itik yang dibedakan berdasarkan cara itik memperoleh makanan, yaitu
(tipe 1) peternakan itik angon; (tipe 2) peternakan itik dengan sistem angon dan
pemberian pakan tambahan; (tipe 3) peternakan itik dengan pemberian pakan
tanpa diangon dan hanya disediakan pekarangan untuk mencari makan tambahan.
Pada masing-masing tipe, sentinel ditempatkan di dua peternakan dan bila terjadi
kematian atau tanda terlepas maka sentinel diganti dengan itik yang ada di
peternakan.
Sampel yang diuji dalam penelitian ini meliputi sampel usap kloaka dan
usap orofaring dari itik sentinel dan non-sentinel masing-masing sebanyak 30 ekor
32
di enam peternakan (P1-P6). Sampel sentinel berasal dari bulan pengambilan 0-6
sedangkan sampel non-sentinel berasal dari bulan pengambilan 0 dan 6. Sehingga
jumlah total sampel adalah 3240 sampel usap kloaka dan orofaring.
Sampel ditangani secara individual, dikemas, dan diberi kode berdasarkan
jenis, asal, dan tanggal pengambilan sampel. Seluruh sampel ditransportasikan
dalam rantai dingin (4-8°C) sebelum sampai ke laboratorium untuk dilakukan
pengujian. Sampel usap disimpan pada kondisi deep freezer -80°C.
Metode
Pertama dilakukan pengujian untuk membandingkan PCR konvensional dan
real time dalam mendeteksi VAI H5. Kontrol positif H5 diencerkan secara serial
dengan menambahkan sampel kedalam dH2O dengan perbandingan 1:1.
Sampel usap kloaka dan usap orofaringeal diuji keberadaan gen matriks dan
VAI H5 dengan RRT-PCR. Sampel usap dipool di laboratorium sesuai jenis,
peternakan asal, dan nomor individu dengan jumlah maksimal 5 sampel per pool
sebelum pengujian matriks (uji tapis influenza A). Sedangkan pengujian H5
dilakukan terhadap individu dalam pool yang positif influenza A. Semua proses
penanganan sampel dilakukan dalam biological safety cabinet class II.
Pooling
Sampel usap dikelompokkan berdasarkan bulan pengambilan (0-6), asal
peternakan, dan jenis (kloaka atau orofaring). Sampel usap dari tiap
peternakan/bulan yang terdiri atas 30 individu (1-30) dikelompokkan menjadi 6
pool yang masing-masing terdiri atas 5 individu. Pool kloaka pertama terdiri atas
sampel kloaka individu 1-5 yang masing-masing diambil 100 µl, pool kloaka
kedua terdiri atas sampel kloaka individu 6-10 yang masing-masing diambil 100
µl, dan seterusnya. Setelah didapatkan pool, sampel individu kembali disimpan
dalam deep freezer untuk pengujian H5 individu bila pool didapati positif
influenza A. Uji tapis yang mendeteksi gen matriks dilakukan terhadap sampel
pool sedangkan deteksi gen H5 dilakukan terhadap individu dalam pool yang
teridentifikasi positif uji tapis.
33
Isolasi RNA
Sebanyak 50 µl sampel dimasukkan kedalam 100 µl buffer lisis pada plat
ekstraksi 96 sumuran kemudian ditambahkan larutan beads magnetik sebanyak 20
µl. Plat kemudian diagitasi selama 4 menit lalu didiamkan di atas magnetic stand
selama 2 menit untuk mengendapkan beads, setelah itu supernatan dibuang
dengan cara disedot menggunakan mikropipet. Plat diturunkan dari magnetic
stand kemudian ditambahkan 100 µl buffer pencuci I lalu diagitasi selama 30
detik dan didiamkan di atas magnetic stand selama 1 menit, setelah itu supernatan
dibuang. Proses pencucian ini dilanjutkan menggunakan buffer pencuci II
sebanyak dua kali setelah itu beads dikeringkan dengan cara agitasi selama 2
menit. Buffer elusi 50 µl ditambahkan untuk melarutkan RNA kemudian plat
diagitasi selama 3 menit lalu didiamkan di atas magnetic stand selama 1 menit
untuk mengendapkan beads, setelah itu supernatan (RNA) diambil dan
dipindahkan kedalam plat 96 sumuran yang baru untuk nantinya digunakan
sebagai template PCR atau disimpan pada suhu -80°C hingga digunakan.
Untuk setiap proses isolasi RNA sampel disertakan satu kontrol positif
(A/chicken/ Indonesia/SmiWN18/2009, accession number: JF302895) dengan
nilai Ct 35 dan 1-2 kontrol negatif.
RT-PCR Konvensional
Campuran PCR disiapkan dalam di atas cold block dalam biosafety cabinet
(BSC). Secara berurutan reagen PCR dicampur kedalam tabung eppendorf
kemudian disimpan pada -20oC hingga digunakan dengan urutan dan
volume/reaksi sebagai berikut: RNAse-free dH2O 1,5 µl, buffer 2X 12,5 µl,
primer forward (20 M) 1,0 µl, primer reverse (20 M) 1,0 µl, enzim mix 1,0 µl.
Sekuens primer yang digunakan sebagai berikut: H5 forward (J3): 5’-GAT AAA
TTC TAG CAT GCC ATT CC-3’ dan H5 reverse (B2a): 5’-TTT TGT CAA TGA
TTG AGT TGA CCT TAT TGG-3’
Kedalam tabung PCR dimasukkan 17 µl campuran PCR kemudian
ditambahkan 8 µl RNA template hasil isolasi. Tabung ditutup kemudian di
tempatkan pada thermo cycler BIO-RAD dengan kondisi sebagai berikut:
34
1. Tahap 1 (1×): Reverse transkripsi 50oC 30 menit; denaturasi 94
oC 4 menit.
2. Tahap 2 (35×): Denaturasi 94oC 45 detik; annealing 50
oC 45 detik; ekstensi
72oC 2 menit.
Hasil PCR selanjutnya dielektroforesis menggunakan agarose 1% pada
120V selama 45 menit. Hasil elektroforesis dibaca di atas uv iluminator.
Real Time RT-PCR
Campuran PCR disiapkan dalam di atas cold block dalam biosafety cabinet
(BSC). Secara berurutan reagen PCR dicampur kedalam tabung eppendorf
kemudian disimpan pada -20oC hingga digunakan dengan urutan dan
volume/reaksi sebagai berikut: RNAse-free dH2O 1,08 µl, buffer 2X 12,50 µl,
primer forward (20 M) 0,25 µl, primer reverse (20 M) 0,25 µl, enzim mix 25X
1,00 µl, probe (6 M) 0,25 µl, dan detection enhancer 1,67 µl.
Sekuens primer/probe yang digunakan sebagai berikut: matriks forward
(M+25): 5’-AGA TGA GTC TTC TAA CCG AGG TCG-3’; matriks reverse (M-
124): 5’-TGC AAA AAC ATC TTC AAG TCT CTG-3’; probe AIV Matrix
(M+64): 5’d FAM-TCA GGC CCC CTC AAA GCC GA-BHQ1-3’; H5 forward
(IVA-D148H5): 5’-AAA CAG AGA GGA AAT AAG TGG AGT AAA ATT-3’;
H5 reverse (IVA-D149H5): 5’-AAA GAT AGA CCA GCT ACC ATG ATT GC-
3’; probe IVA-H5a: 5’d FAM-TCA ACA GTG GCG AGT TCC CTA GCA-
BHQ1-3’.
Kedalam masing-masing sumuran plat optik 96 sumuran dimasukkan 17 µl
campuran PCR kemudian ditambahkan 8 µl RNA template hasil isolasi. Plat
ditutup dengan seal optik kemudian di tempatkan pada mesin Applied Biosystems
7500 Real Time PCR System dengan kondisi berbeda untuk PCR matriks dan H5.
Untuk PCR matriks, mesin diatur agar siklus PCR berjalan sebagai berikut:
1. Tahap 1 (1×): Reverse transkripsi 45oC 10 menit; denaturasi 95oC 10 menit.
2. Tahap 2 (45×): Denaturasi 94oC 1 detik; annealing + ekstensi 60oC 30 detik.
Sedangkan untuk PCR H5, mesin diatur agar siklus PCR berjalan sebagai berikut:
1. Tahap 1 (1×): Reverse transkripsi 45oC 10 menit; denaturasi 95
oC 10 menit.
2. Tahap 2 (40×): Denaturasi 94oC 1 detik; annealing 57
oC 30 detik; ekstensi
72oC 5 detik.
35
Untuk setiap run disertakan satu kontrol positif amplifikasi berupa RNA
hasil isolasi dengan nilai Ct 25 dan satu kontrol negatif. Hasil PCR dianalisis
menggunakan Applied Biosystems 7500 Real-Time PCR System software. Hasil
dinyatakan layak bila diperoleh nilai Ct kontrol positif isolasi RNA 35, kontrol
positif PCR 25, dan tidak satupun kontrol negatif memiliki nilai Ct (undetected).
Sampel positif MA ditetapkan pada Ct 38 dan H5 36.
Analisis Data
Seluruh data yang didapatkan dari studi ini dianalisa secara deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
RT-PCR Konvensional dan Real Time
Percobaan membandingkan RT-PCR konvensional dan real time dilakukan
untuk mengetahui perbedaan sensitivitas kedua uji dalam mendeteksi VAI H5.
Virus yang digunakan sebagai kontrol positif (A/chicken/Indonesia/SmiWN
18/2009; GenBank accession number: JF302895) diencerkan secara serial 1:1
kemudian diekstraksi dan dilakukan RT-PCR H5 secara konvensional maupun
real time. Dengan RT-PCR konvensional, virus dapat terdeteksi hingga
pengenceran 2-14
sedangkan menggunakan teknik real time, virus dapat terdeteksi
hingga pengenceran 2-22
(Gambar 5). Perbedaan pengenceran hingga 28 ini
menunjukkan bahwa RRT-PCR dapat mendeteksi sampel dengan konsentrasi
hingga 250 kali lebih rendah dibandingkan RT-PCR konvensional. Lee dan
Suarez (2004) menemukan bahwa RRT-PCR H5 memiliki limit deteksi 103-10
4
salinan gen atau 10 EID50 dan kuantitas RNA yang ditentukan dengan metode
RRT-PCR berkorelasi erat dengan EID50 yang ditentukan dengan metode isolasi
virus pada embrio ayam.
a b
Gambar 5. Perbandingan hasil PCR konvensional dan real time (a) elektroforesis
gel RT-PCR konvensional, H5 terdeteksi hingga pengenceran 2-14
dan
(b) grafik amplifikasi RRT-PCR hingga pengenceran 2-22
.
Pada pengenceran virus 2-6
diperoleh nilai Ct 19,97 sehingga pengenceran
ini digunakan untuk mengencerkan stok virus yang kemudian diekstraksi dan
RNA hasil isolasi dibagi kedalam tabung-tabung berisi 8 µl untuk digunakan
sebagai kontrol positif PCR. Pembagian kontrol kedalam tabung-tabung dengan
37
volume satu atau dua kali run dilakukan untuk menghindari frezee-thaw. Untuk
kontrol positif isolasi RNA, stok virus diencerkan 2-15
dan dibagi kedalam tabung-
tabung berisi 100 µl sehingga dapat digunakan pada dua kali isolasi RNA.
Gambar 6. Grafik amplifikasi real time RT-PCR (a) matriks sampel bulan kedua
dan (b) subtipe H5 berbagai bulan pengambilan sampel. Grafik
eksponensial yang melewati threshold (garis hijau) menunjukkan hasil
positif sedangkan background noise di bawahnya merupakan hasil
negatif.
38
Gambar 6 menunjukkan hasil RRT-PCR MA sampel bulan kedua dan H5
berbagai bulan pengambilan sampel dengan kontrol positif dan negatif isolasi
RNA dan PCR Teknik RT-PCR konvensional mendeteksi RNA setelah reaksi
PCR selesai dan dilanjutkan dengan elektroforesis gel yang memerlukan waktu
serta melibatkan bahan kimia berbahaya seperti etidium bromida dan sejenisnya.
Sedangkan bahan kimia yang digunakan dalam RRT-PCR lebih aman dan
memungkinkan deteksi dilakukan pada tahap awal reaksi sehingga dalam hal ini
teknik real time lebih menguntungkan dibandingkan konvensional. Secara
konvensional hasil yang diperoleh bersifat kualitatif sedangkan secara real time
hasil yang diperoleh merupakan konsentrasi relatif RNA target dalam bentuk nilai
Ct dari perpotongan antara kurva amplifikasi dengan garis threshold.
Influenza A
Tingkat kesepakatan antara pengujian RRT-PCR matriks (MA RRT-PCR)
untuk mendeteksi keberadaan virus influenza A dan isolasi virus pada embrio
ayam tidak 100% sehingga RRT-PCR MA positif/isolasi virus negatif dan RRT-
PCR MA negatif/isolasi virus positif pada sampel usap dapat terjadi (Spackman et
al. 2002; Cattoli et al. 2004). Sensitivitas diagnostik relatif RRT-PCR terhadap
isolasi virus adalah 85,1% dengan spesifisitas 98,9% (Elvinger et al. 2007)
sehingga hasil RRT-PCR diinterpretasikan pada tingkat kandang/peternakan
daripada tingkat individu.
Dari 3.240 sampel yang diharapkan, berhasil dikoleksi 2.786 sampel karena
faktor kematian atau itik yang tidak ditemukan saat pengambilan sampel. Virus
influenza A dapat ditemukan di ketiga tipe peternakan, dan telah ada sejak awal
pengambilan sampel di peternakan tipe 1 dan 2. Pada peternakan tipe 1, VAI
terdeteksi hampir setiap bulan pengambilan sampel kecuali Januari (Tabel 2).
Keberadaan VAI di peternakan tipe 2 terdeteksi saat screening di bulan
September, Desember, Januari, dan Maret. Sedangkan pada peternakan tipe 3,
VAI hanya ditemukan di akhir pengambilan sampel bulan Maret pada sampel
usap kloaka dan orofaringeal itik sentinel maupun non sentinel.
Dari total 614 pool sampel usap kloaka dan orofaringeal yang diambil
selama tujuh bulan, didapati 98 (16%) pool positif VAI. Perbandingan usap
39
kloaka positif hampir seimbang dengan usap orofaringeal yaitu masing-masing 52
(53,1%) dan 46 (46,9%) dengan nilai Ct yang bervariasi (Tabel 2). Virus AI
terdeteksi secara berulang sejak saat screening pada bulan September di tiga
peternakan dari tipe 1 dan 2. Umumnya pengulangan terjadi pada dua waktu
pengambilan sampel kemudian virus menghilang dan terdeteksi kembali pada
bulan berikutnya atau virus hilang timbul pada tingkat pool dari waktu ke waktu
pengambilan sampel. Di tingkat peternakan, VAI dapat ditemukan hampir setiap
bulan pada peternakan tipe 1, kecuali bulan Januari pada P1 dan Januari-Februari
pada P2. Pada peternakan tipe 2 VAI lebih jarang ditemukan dan hanya berulang
pada P3 yaitu September, Desember, dan Januari. Sedangkan pada P4 VAI hanya
ditemukan di bulan Maret setelah itik dalam peternakan diganti dengan itik yang
dibeli dari peternak lain. Hal ini menunjukkan peran introduksi itik baru dalam
penularan VAI pada peternakan itik angon.
Tabel 2. Virus AI di tiga tipe peternakan itik angon Kabupaten Indramayu.
Peternakan Waktu pengambilan sampel Ct MA Subtipe H5
Tipe 1
September 2009 36-38 -
Oktober 2009 30-35 +
November 2009 25-33 -
Desember 2009 26-38 -
Januari 2009 - -
Februari 2009 36 -
Maret 2009 33-38 +
Tipe 2
September 2009 29-38 -
Oktober 2009 - -
November 2009 - -
Desember 2009 37 -
Januari 2009 29-37 +
Februari 2009 - -
Maret 2009 28-37 +
Tipe 3
September 2009 - -
Oktober 2009 - -
November 2009 - -
Desember 2009 - -
Januari 2009 - -
Februari 2009 - -
Maret 2009 28-37 -
Pengulangan kemunculan VAI dalam peternakan menunjukkan bahwa VAI
bersirkulasi di satu peternakan untuk waktu yang lama dan mungkin melibatkan
lebih dari satu strain virus meskipun shedding virus terjadi dalam rentang waktu
tertentu pada tingkat pool. Penelitian eksperimental pada itik berumur 2-16
40
minggu yang diinfeksi virus A/Mallard/MN/ 355779/00 (H5N2) mengeluarkan
virus yang terdeteksi dengan RRT-PCR hingga hari ke 16 pascainfeksi kemudian
virus tidak terdeteksi pada hari ke 21 (Costa et al. 2010). Percobaan lain
menunjukkan bahwa itik yang direinokulasi setelah 28 hari pascainfeksi awal
dengan virus yang sama (LPAI H7N2) tidak mengeluarkan virus melalui kloaka
maupun trakhea (Kida et al. 1980). Namun infeksi yang pernah terjadi tidak dapat
melindungi itik terhadap infeksi berikutnya oleh subtipe virus lain. Sebagai
contoh, itik yang diinfeksi subtipe H4N6 terlindungi dari infeksi ulang dengan
virus yang sama tetapi mengeluarkan virion selama 8 hari setelah ditantang
dengan isolat H11N3 (Austin dan Hinshaw 1984).
Tabel 3. Persentase sampel usap kloaka/orofaringeal positif di 6 peternakan itik
Tipe P VAI Sep-N Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Mar-N
1
1MA 0/0 0/33 33/50 17/17 33/17 0/0 0/0 20/0 17/0
H5 0/0 0/0 10/33 0/0 0/0 0/0 0/0 0/0 0/0
2MA 17/0 17/0 33/17 0/0 67/17 0/0 17/0 33/100 33/50
H5 0/0 0/0 0/0 0/0 0/0 0/0 0/0 0/4 0/0
2
3MA 50/50 50/17 0/0 0/0 33/0 67/67 0/0 0/0 0/0
H5 0/0 0/0 0/0 0/0 0/0 94/71 0/0 0/0 0/0
4MA 0/0 0/0 0/0 0/0 0/0 0/0 0/0 67/33 50/100
H5 0/0 0/0 0/0 0/0 0/0 0/0 0/0 8/0 0/43
3
5MA 0/0 0/0 0/0 17/0 0/0 0/0 0/0 0/0 0/0
H5 0/0 0/0 0/0 0/0 0/0 0/0 0/0 0/0 0/0
6MA 0/0 0/0 0/0 0/0 0/0 0/0 0/0 100/100 100/100
H5 0/0 0/0 0/0 0/0 0/0 0/0 0/0 0/0 0/0
Virus AI lebih banyak ditemukan pada peternakan tipe 1, diikuti tipe 2, dan
terendah pada peternakan tipe 3 selama periode pengambilan sampel. Pada P1 dan
P2 (tipe 1) terlihat pola pengulangan kemunculan VAI yang mirip satu sama lain.
Pada P3 dan P4 (tipe 2) pengulangan kemunculan VAI hanya terjadi pada P3 yang
memelihara itik hasil penetasan sendiri dengan wilayah angon sempit yaitu
disekitar kandang. Sedangkan pada P4 yang wilayah angonnya lebih luas dan
berinteraksi dengan P2 (tipe 1), VAI terdeteksi pada sampel usap sentinel pada
bulan akhir pengambilan sampel di lokasi yang sama dan setelah keduanya
mengganti itik. Hal ini menunjukkan bahwa kesamaan wilayah angon mungkin
mempengaruhi kemunculan VAI pada peternakan, sama seperti kontak intensif
antar itik dalam satu peternakan dan introduksi itik baru. Pada P5 dan P6 (tipe 3),
hanya salah satu peternakan yang terdeteksi VAI positif yaitu di akhir
pengambilan sampel sehingga tidak terlihat adanya pengulangan. Perbedaan
1
2
3
4
5
6
penemuan
VAI sanga
yang sel
mengeluar
mudah un
lebih mud
P6 di akhi
Subtipe H
Viru
(Gambar
diperiksa
terhadap s
positif H5
bahwa itik
saluran pe
Gambar 7
Subt
peternakan
seperti kem
di tingkat
satu petern
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
Se
p-0
9 N
Se
p-0
9
Okt-
09
T
n VAI dalam
at dipengaru
lalu dikan
rkan virus i
ntuk dikenda
dah akibat k
ir pengambi
H5
us AI subt
7). Dari t
453 sampe
subtipe H5
5 masing-m
k angon yan
ernafasan di
K
. Distribusi
tipe H5 te
n tipe 1 (P1
munculan v
peternakan
nakan namu
Okt-
09
No
v-0
9
De
s-0
9
Ja
n-1
0
Feb-1
0
Tipe 1
m satu tipe
uhi oleh ke
ndangkan m
influenza A
alikan. Nam
kontak inten
ilan sampel
tipe H5 ha
total 98 sa
el individu
dengan pe
masing 18
ng diteliti m
ibandingkan
Kloaka Or
i temporal V
erdeteksi p
Oktober, P
virus influen
n. Hal ini m
un tidak be
Mar-
10
Mar-
10 N
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
peternakan
adaan lingk
memiliki
A karena ke
mun bila ter
nsif antar it
pada bulan
anya ditemu
ampel pool
u dan didap
rbandingan
(36,7%) da
mengeluarka
n pencernaa
rofaring H
VAI di tiga
pada samp
P2 Maret) d
nza A, subti
menunjukka
rtahan lama
Se
p-0
9 N
Se
p-0
9
Okt-
09
No
v-0
9
Tipe 2
n ini menun
kungan mas
kecenderun
ebersihan da
rjadi infeksi
tik dalam k
n Maret (Tab
ukan pada
l yang pos
pati 49 (10
n sampel us
an 31 (63,3
an VAI subt
an.
H5 Kloaka
tipe peterna
pel usap k
an tipe 2 (P
pe H5 tidak
an bahwa su
a karena ke
De
s-0
9
Ja
n-1
0
Feb-1
0
Mar-
10
Ma
r1
0N
2
njukkan bah
sing-masing
ngan lebih
an keamana
i maka penu
kandang sep
bel 3).
peternakan
sitif terhada
0,9%) samp
sap kloaka d
3%). Hal in
tipe H5 lebi
H5 Orof
akan itik an
kloaka dan
P3 Januari, P
k ditemukan
ubtipe H5
emudian me
Ma
r-1
0N
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
Se
p-0
9 N
S0
9
hwa kemun
g peternakan
h sedikit/j
an biologis
ularan juga
perti terjadi
n tipe 1 d
ap influenz
pel yang p
dan orofari
ni menunju
ih sering m
faring
ngon
n orfaringe
P4 Maret). T
n secara beru
dapat munc
enghilang se
Se
p-0
9
Okt-
09
No
v-0
9
De
s-0
9
Ja
n-1
0
Tipe 3
41
nculan
n. Itik
arang
lebih
akan
pada
dan 2
za A,
positif
ingeal
ukkan
elalui
al di
Tidak
ulang
cul di
eiring
Ja
n1
0
Feb-1
0
Mar-
10
Mar-
10 N
42
kematian itik yang terinfeksi atau pembersihan virus (clearance). Temuan ini
didukung oleh hasil penelitian yang menginfeksi virus H5N1 HPAI maupun LPAI
pada itik dan menghasilkan shedding virus terdeteksi hingga hari ke 11-17
pascainfeksi kemudian virus menghilang (Hulse-Post et al. 2005).
Jumlah VAI subtipe H5 yang ditemukan bervariasi selama pengambilan
sampel. Dilihat dari tipe peternakan, VAI H5 lebih banyak ditemukan pada tipe 2,
diikuti tipe 1, dan tidak ditemukan pada tipe 3 (Tabel 4). Pada P1 dan P2 (tipe 1)
subtipe H5 lebih banyak ditemukan pada sampel usap orofaringeal. Subtipe H5
ditemukan di P1 setelah sebelumnya 10 ekor sentinel mati. Temuan ini membuka
kemungkinan bahwa virus yang ada di peternakan tipe 1 merupakan HPAI pada
itik yang dicirikan oleh virus lebih tinggi/sering ditemukan pada usap orofaringeal
dibandingkan usap kloaka (Sturm-Ramirez et al. 2004; Keawcharoen et al. 2008).
Hal ini juga didukung oleh hasil penelitian yang menginfeksi itik dengan isolat
HPAI H5N1 setelah 2002 dan menemukan bahwa shedding virus melalui trakhea
secara signifikan lebih tinggi dibandingkan kloaka (Sturm-Ramirez et al. 2005)
terlepas dari rute infeksi. Penemuan VAI H5 yang kemungkinan merupakan HPAI
pada peternakan tipe 1 yang sepenuhnya memelihara itik dengan cara diangon ini
dikhawatirkan akan berdampak pada penyebaran virus ke lingkungan maupun
unggas lain dalam wilayah yang luas. Hal senada juga dilaporkan oleh Gilbert
(2006) yang menemukan keterkaitan erat antara tingginya H5N1 di Thailand
dengan besarnya jumlah itik angon yang didukung oleh luasnya pertanian basah
serta tingginya populasi unggas darat, dan manusia.
Tabel 4. Virus AI subtipe H5 di peternakan itik angon, Indramayu
Tipe PKeadaan
peternakan
Asal itik Bulan Rute Jml Ct
1
110 ekor sentinel mati Penetasan
sendiri
Oktober kloaka
orofaringeal
1
5
33
29-35
2itik baru, 4 ekor
sentinel mati
Peternakan
lain
Maret orofaringeal 1 36
2
3kematian meningkat,
2 ekor sentinel mati
Penetasan
sendiri
Januari kloaka
orofaringeal
16
12
21-36
19-36
4
itik baru, 3 ekor
sentinel mati
Peternakan
lain
Maret
Maret-
NS
kloaka
orofaringeal
1
13
35
16-36
Pada
di bulan J
dengan rat
tinggi dib
5,32) dan
tersebut m
positif leb
fekal-oral
yang dipe
infeksi VA
epitel salu
a
b
Gambar 8
a P3 (tipe 2
anuari men
ta-rata kons
bandingkan
27,83 (STD
merupakan v
bih tinggi dib
(Webster e
eroleh pada
AI sebelum
uran pencern
. Distribusi
angon ke
didatangi
bulan pe
menunjuk
2) VAI H5 l
gikuti kema
sentrasi viru
orofaring,
D 5,64). Hal
virus LPAI
bandingkan
et al. 1992
a peternakan
tahun 2002
naan (Webs
i wilayah
eenam pete
peternakan
ngambilan
kkan bulan d
lebih banya
atian 2 itik
us yang diek
terlihat dar
l ini membu
pada itik y
n orofaringe
2). Temuan
n tipe 1 in
2 yang umu
ster et al. 19
angon itik
ernakan dan
n angon pad
sampel (1
ditemukan s
ak ditemuka
sentinel (ter
kskresikan
ri nilai Ct m
uka kemung
yang dicirika
eal dan biasa
yang berto
ni bisa saja
mnya tidak
978).
k Kabupaten
n (b) lokas
da bulan ter
1-6 = Okto
subtipe H5.
an pada sam
rendah dian
melalui klo
masing-mas
gkinan bahw
an oleh jum
anya ditular
olak belaka
terjadi kar
k patogen pa
n Indramay
si peternak
rtentu. Angk
ober-Maret)
mpel usap k
ntara petern
oaka sedikit
sing 27,68
wa VAI H5
mlah usap k
rkan melalu
ang dengan
rena situs u
ada itik adal
yu. (a) wi
kan tipe 3
ka menunju
). Angka m
43
kloaka
akan)
lebih
(STD
di P3
kloaka
ui rute
hasil
utama
lah di
ilayah
yang
ukkan
merah
44
Meskipun sesama tipe 2 yang memelihara itik dengan cara dikandangkan
dan diangon, P3 memiliki luas wilayah angon yang lebih sempit dibandingkan P4
(Gambar 8). Hal ini menjadi alasan mengapa infeksi VAI H5 lebih tinggi pada P3
dibandingkan P4, mengingat wilayah yang sempit meningkatkan intensitas kontak
antar itik dalam kandang. Temuan ini didukung oleh hasil penelitian yang
melaporkan bahwa kepadatan populasi dapat meningkatkan prevalensi (Okazaki
et al. 2000; Munster et al. 2007; Wallensten et al. 2007).
Pada P4 yang wilayah angonnya lebih luas dibandingkan P3 (sesama tipe 2)
dan berpotongan dengan P2 (tipe 1) di bulan yang sama dengan penemuan VAI
H5 yaitu Maret, subtipe H5 lebih banyak ditemukan pada sampel usap
orofaringeal itik non-sentinel yang baru dibeli dari peternak lain (sama seperti P2)
(Gambar 8). Hal ini menimbulkan kecurigaan bahwa itik sentinel terpapar pada
virus yang dibawa oleh itik baru dari tempat pembibitan meskipun perpotongan
wilayah angon juga dapat berperan dalam meningkatkan kontak itik antar
peternakan. Namun demikian, penularan yang terjadi tidak berlangsung intensif
karena kerenggangan populasi (Hinshaw et al. 1985) sehingga prevalensi VAI H5
pada P4 lebih rendah dibandingkan P3. Keberadaan VAI H5 pada itik angon
dalam penelitian ini menunjukkan indikasi bahwa populasi itik angon berperan
penting sebagai reservoir dan pembawa VAI H5 yang efektif serta berpotensi
mempertahankan keberadaan dan menyebarkan virus ke lingkungan maupun
unggas lain yang rentan.
SIMPULAN DAN SARAN
Virus AI subtipe H5 hanya ditemukan pada titik waktu tertentu selama
studi, sedangkan VAI non-H5 lebih persisten dalam populasi itik angon. Virus AI
diekskresikan oleh itik secara seimbang melalui rute kloaka dan orofaring
meskipun subtipe H5 lebih banyak diekskresikan melalui orofaring. Itik yang
dikandangkan lebih jarang mengekskresikan VAI dibandingkan itik yang diangon
namun kepadatan populasi kandang mengakibatkan intensitas penularan yang
lebih tinggi. Introduksi itik baru dalam populasi atau interaksi dengan populasi
lain selama masa angon dapat menjadi sarana penularan AI. Keberadaan subtipe
H5 dalam populasi menunjukkan peran itik angon sebagai reservoir dan sumber
penularan AI.
Perlu diperiksa apakah pengulangan kemunculan VAI di satu peternakan
disebabkan oleh virus yang sama dan secara persisten beredar dalam peternakan
atau merupakan hasil introduksi virus yang baru. Patogenisitas VAI H5 yang
ditemukan perlu dikaji lebih lanjut dan kesamaan subtipe H5 yang ditemukan di
peternakan tipe 1 dan 2 yang berbagi wilayah angon perlu diidentifikasi untuk
mengetahui peran perpotongan wilayah dalam penularan virus dan penyebaran
penyakit. Itik sebaiknya dikandangkan dengan memperhatikan faktor kesehatan
agar keamanan biologis lebih mudah untuk dikendalikan. Penemuan VAI H5 pada
peternakan yang menetaskan itik (pembibitan) sendiri dan peternakan yang baru
membeli bibit dari peternakan lain memberi petunjuk bahwa kegiatan pengawasan
aktif perlu dilakukan agar peternakan pembibitan tidak menjadi sumber
penyebaran virus.
DAFTAR PUSTAKA
Abdel-Moneim AS, Afifi MA, El-Kady MF. 2011. Genetic drift evolution under
vaccination pressure among H5N1 Egyptian isolates. Virol J 8283.
Abdelwhab EM, Hafez HM. 2011. An overview of the epidemic of highly
pathogenic H5N1 avian influenza virus in Egypt: epidemiology and
control challenges. Epidemiol Infect 139(5): 647-657.
Aguero M, San Miguel E, Sanchez A, Gomez-Tejedor C, Jimenez-Clavero MA.
2007. A fully automated procedure for the high-throughput detection of
avian influenza virus by real-time reverse transcription-polymerase chain
reaction. Avian Dis 51(1 Suppl): 235-241.
Austin FJ, Hinshaw VS. 1984. The isolation of influenza A viruses and
paramyxoviruses from feral ducks in New Zealand. Aust J Exp Biol Med
Sci 62 ( Pt 3)355-360.
Bahl J, Vijaykrishna D, Holmes EC, Smith GJ, Guan Y. 2009. Gene flow and
competitive exclusion of avian influenza A virus in natural reservoir hosts.
Virology 390(2): 289-297.
Baigent SJ, McCauley JW. 2001. Glycosylation of haemagglutinin and stalk-
length of neuraminidase combine to regulate the growth of avian influenza
viruses in tissue culture. Virus Res 79(1-2): 177-185.
[BALITVET] Balai Penelitian Veteriner. 2006. Kajian Epidemiologi Penyakit
Avian Influenza (AI) pada Unggas dan Hewan Lainnya, disajikan pada:
Evaluasi Hasil Penelitian Avian Influenza. Deptan. 19-20 Desember 2006.
Bancroft CT, Parslow TG. 2002. Evidence for segment-nonspecific packaging of
the influenza a virus genome. J Virol 76(14): 7133-7139.
Beare AS, Webster RG. 1991. Replication of avian influenza viruses in humans.
Arch Virol 119(1-2): 37-42.
Boni MF, Zhou Y, Taubenberger JK, Holmes EC. 2008. Homologous
recombination is very rare or absent in human influenza A virus. J Virol
82(10): 4807-4811.
Boutros PC, Okey AB. 2004. PUNS: transcriptomic- and genomic-in silico PCR
for enhanced primer design. Bioinformatics 20(15): 2399-2400.
Bouvier NM, Palese P. 2008. The biology of influenza viruses. Vaccine 26 Suppl
4D49-53.
Brown JD, Stallknecht DE, Beck JR, Suarez DL, Swayne DE. 2006.
Susceptibility of North American ducks and gulls to H5N1 highly
pathogenic avian influenza viruses. Emerg Infect Dis 12(11): 1663-1670.
Buonagurio DA, Coleman JW, Patibandla SA, Prabhakar BS, Tatem JM. 1999.
Direct detection of Sabin poliovirus vaccine strains in stool specimens of
first-dose vaccinees by a sensitive reverse transcription-PCR method. J
Clin Microbiol 37(2): 283-289.
47
Campitelli L, Mogavero E, De Marco MA, Delogu M, Puzelli S, Frezza F,
Facchini M, Chiapponi C, Foni E, Cordioli P, Webby R, Barigazzi G,
Webster RG, Donatelli I. 2004. Interspecies transmission of an H7N3
influenza virus from wild birds to intensively reared domestic poultry in
Italy. Virology 323(1): 24-36.
Cattoli G, Drago A, Maniero S, Toffan A, Bertoli E, Fassina S, Terregino C,
Robbi C, Vicenzoni G, Capua I. 2004. Comparison of three rapid detection
systems for type A influenza virus on tracheal swabs of experimentally
and naturally infected birds. Avian Pathol 33(4): 432-437.
Chen H, Deng G, Li Z, Tian G, Li Y, Jiao P, Zhang L, Liu Z, Webster RG, Yu K.
2004. The evolution of H5N1 influenza viruses in ducks in southern
China. Proc Natl Acad Sci U S A 101(28): 10452-10457.
Chen J, Lee KH, Steinhauer DA, Stevens DJ, Skehel JJ, Wiley DC. 1998.
Structure of the hemagglutinin precursor cleavage site, a determinant of
influenza pathogenicity and the origin of the labile conformation. Cell
95(3): 409-417.
Chen R, Holmes EC. 2006. Avian influenza virus exhibits rapid evolutionary
dynamics. Mol Biol Evol 23(12): 2336-2341.
Chen R, Holmes EC. 2010. Hitchhiking and the population genetic structure of
avian influenza virus. J Mol Evol 70(1): 98-105.
Chien CY, Xu Y, Xiao R, Aramini JM, Sahasrabudhe PV, Krug RM, Montelione
GT. 2004. Biophysical characterization of the complex between double-
stranded RNA and the N-terminal domain of the NS1 protein from
influenza A virus: evidence for a novel RNA-binding mode. Biochemistry
43(7): 1950-1962.
Collins RA, Ko LS, Fung KY, Chan KY, Xing J, Lau LT, Yu AC. 2003. Rapid
and sensitive detection of avian influenza virus subtype H7 using NASBA.
Biochem Biophys Res Commun 300(2): 507-515.
Collins RA, Ko LS, So KL, Ellis T, Lau LT, Yu AC. 2002. Detection of highly
pathogenic and low pathogenic avian influenza subtype H5 (Eurasian
lineage) using NASBA. J Virol Methods 103(2): 213-225.
Colman PM, Varghese JN, Laver WG. 1983. Structure of the catalytic and
antigenic sites in influenza virus neuraminidase. Nature 303(5912): 41-44.
Coloma R, Valpuesta JM, Arranz R, Carrascosa JL, Ortin J, Martin-Benito J.
2009. The structure of a biologically active influenza virus
ribonucleoprotein complex. PLoS Pathog 5(6): e1000491.
Cone RW, Hobson AC, Huang ML. 1992. Coamplified positive control detects
inhibition of polymerase chain reactions. J Clin Microbiol 30(12): 3185-
3189.
Cooley AJ, Van Campen H, Philpott MS, Easterday BC, Hinshaw VS. 1989.
Pathological lesions in the lungs of ducks infected with influenza A
viruses. Vet Pathol 26(1): 1-5.
48
Costa TP, Brown JD, Howerth EW, Stallknecht DE. 2010. The effect of age on
avian influenza viral shedding in mallards (Anas platyrhynchos). Avian
Dis 54(1 Suppl): 581-585.
Couceiro JN, Paulson JC, Baum LG. 1993. Influenza virus strains selectively
recognize sialyloligosaccharides on human respiratory epithelium; the role
of the host cell in selection of hemagglutinin receptor specificity. Virus
Res 29(2): 155-165.
Cros JF, Palese P. 2003. Trafficking of viral genomic RNA into and out of the
nucleus: influenza, Thogoto and Borna disease viruses. Virus Res 95(1-2):
3-12.
Cross KJ, Wharton SA, Skehel JJ, Wiley DC, Steinhauer DA. 2001. Studies on
influenza haemagglutinin fusion peptide mutants generated by reverse
genetics. EMBO J 20(16): 4432-4442.
Das A, Spackman E, Senne D, Pedersen J, Suarez DL. 2006. Development of an
internal positive control for rapid diagnosis of avian influenza virus
infections by real-time reverse transcription-PCR with lyophilized
reagents. J Clin Microbiol 44(9): 3065-3073.
De Clercq E. 2006. Antiviral agents active against influenza A viruses. Nat Rev
Drug Discov 5(12): 1015-1025.
Di Trani L, Bedini B, Donatelli I, Campitelli L, Chiappini B, De Marco MA,
Delogu M, Buonavoglia C, Vaccari G. 2006. A sensitive one-step real-
time PCR for detection of avian influenza viruses using a MGB probe and
an internal positive control. BMC Infect Dis 687.
[Dinkes-Jabar] Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat. 2010. Deteksi Dini
AI/Avian Influenza. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat. http://www.
diskes.jabarprov.go.id/index.php?mod=pubArtikel &idMenuKiri=10&id
Artikel=634 [13 Februari 2011].
[Ditjennak] Direktorat Jenderal Peternakan. 2010. Statistik peternakan 2010
Direktorat Jenderal Peternakan. http://ditjennak.deptan.go.id/ [11 Februari
2011].
Dudek SE, Wixler L, Nordhoff C, Nordmann A, Anhlan D, Wixler V, Ludwig S.
2011. The influenza virus PB1-F2 protein has interferon antagonistic
activity. Biol Chem 392(12): 1135-1144.
Dugan VG, Chen R, Spiro DJ, Sengamalay N, Zaborsky J, Ghedin E, Nolting J,
Swayne DE, Runstadler JA, Happ GM, Senne DA, Wang R, Slemons RD,
Holmes EC, Taubenberger JK. 2008. The evolutionary genetics and
emergence of avian influenza viruses in wild birds. PLoS Pathog 4(5):
e1000076.
Dybkaer K, Munch M, Handberg KJ, Jorgensen PH. 2004. Application and
evaluation of RT-PCR-ELISA for the nucleoprotein and RT-PCR for
detection of low-pathogenic H5 and H7 subtypes of avian influenza virus.
J Vet Diagn Invest 16(1): 51-56.
49
Elvinger F, Akey BL, Senne DA, Pierson FW, Porter-Spalding BA, Spackman E,
Suarez DL. 2007. Characteristics of diagnostic tests used in the 2002 low-
pathogenicity avian influenza H7N2 outbreak in Virginia. J Vet Diagn
Invest 19(4): 341-348.
Fitch WM, Bush RM, Bender CA, Cox NJ. 1997. Long term trends in the
evolution of H(3) HA1 human influenza type A Proceedings of the
National Academy of Sciences 94(15): 7712-7718 .
[FKH-IPB] Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. 2006. Kajian
terhadap Karakter Virus Avian Influenza (AI) pada Unggas Air sebagai
Dasar Pengendalian AI. Laporan: Akhir. Fakultas Kedokteran Hewan
Institut Pertanian Bogor.
Fouchier RA, Munster V, Wallensten A, Bestebroer TM, Herfst S, Smith D,
Rimmelzwaan GF, Olsen B, Osterhaus AD. 2005. Characterization of a
novel influenza A virus hemagglutinin subtype (H16) obtained from
black-headed gulls. J Virol 79(5): 2814-2822.
Fujii Y, Goto H, Watanabe T, Yoshida T, Kawaoka Y. 2003. Selective
incorporation of influenza virus RNA segments into virions. Proc Natl
Acad Sci U S A 100(4): 2002-2007.
Gambaryan A, Tuzikov A, Pazynina G, Bovin N, Balish A, Klimov A. 2006.
Evolution of the receptor binding phenotype of influenza A (H5) viruses.
Virology 344(2): 432-438.
Gambotto A, Barratt-Boyes SM, de Jong MD, Neumann G, Kawaoka Y. 2008.
Human infection with highly pathogenic H5N1 influenza virus. Lancet
371(9622): 1464-1475.
Gilbert M, Chaitaweesub P, Parakamawongsa T, Premashthira S, Tiensin T,
Kalpravidh W, Wagner H, Slingenbergh J. 2006. Free-grazing ducks and
highly pathogenic avian influenza, Thailand. Emerg Infect Dis 12(2): 227-
234.
Gilbert M, Xiao X, Pfeiffer DU, Epprecht M, Boles S, Czarnecki C, Chaitaweesub
P, Kalpravidh W, Minh PQ, Otte MJ, Martin V, Slingenbergh J. 2008.
Mapping H5N1 highly pathogenic avian influenza risk in Southeast Asia.
Proc Natl Acad Sci U S A 105(12): 4769-4774.
Guu TS, Dong L, Wittung-Stafshede P, Tao YJ. 2008. Mapping the domain
structure of the influenza A virus polymerase acidic protein (PA) and its
interaction with the basic protein 1 (PB1) subunit. Virology 379(1): 135-
142.
Hale AD, Green J, Brown DW. 1996. Comparison of four RNA extraction
methods for the detection of small round structured viruses in faecal
specimens. J Virol Methods 57(2): 195-201.
Hatada E, Fukuda R. 1992. Binding of influenza A virus NS1 protein to dsRNA in
vitro. J Gen Virol 73 ( Pt 12)3325-3329.
50
Heine H, Trinidad L, Selleck P. 2005. Influenza virus type A and H5-specific real-
time reverse transcription (RRT)-PCR for detection of Asian H5N1
isolates. Australian Animal Health Laboratory.
Heine HG, Trinidad L, Selleck P, Lowther S. 2007. Rapid detection of highly
pathogenic avian influenza H5N1 virus by TaqMan reverse transcriptase-
polymerase chain reaction. Avian Dis 51(1 Suppl): 370-372.
Hinshaw VS, Wood JM, Webster RG, Deibel R, Turner B. 1985. Circulation of
influenza viruses and paramyxoviruses in waterfowl originating from two
different areas of North America. Bull World Health Organ 63(4): 711-
719.
Hoffmann B, Harder T, Starick E, Depner K, Werner O, Beer M. 2007. Rapid and
highly sensitive pathotyping of avian influenza A H5N1 virus by using
real-time reverse transcription-PCR. J Clin Microbiol 45(2): 600-603.
Hoffmann E, Lipatov AS, Webby RJ, Govorkova EA, Webster RG. 2005. Role of
specific hemagglutinin amino acids in the immunogenicity and protection
of H5N1 influenza virus vaccines. Proc Natl Acad Sci U S A 102(36):
12915-12920.
Holmes EC, Ghedin E, Miller N, Taylor J, Bao Y, St George K, Grenfell BT,
Salzberg SL, Fraser CM, Lipman DJ, Taubenberger JK. 2005. Whole-
genome analysis of human influenza A virus reveals multiple persistent
lineages and reassortment among recent H3N2 viruses. PLoS Biol 3(9):
e300.
Hulse-Post DJ, Sturm-Ramirez KM, Humberd J, Seiler P, Govorkova EA, Krauss
S, Scholtissek C, Puthavathana P, Buranathai C, Nguyen TD, Long HT,
Naipospos TS, Chen H, Ellis TM, Guan Y, Peiris JS, Webster RG. 2005.
Role of domestic ducks in the propagation and biological evolution of
highly pathogenic H5N1 influenza viruses in Asia. Proc Natl Acad Sci U S
A 102(30): 10682-10687.
Hulse DJ, Webster RG, Russell RJ, Perez DR. 2004. Molecular Determinants
within the Surface Proteins Involved in the Pathogenicity of H5N1
Influenza Viruses in Chickens. Journal of Virology 78(18): 9954-9964.
Keawcharoen J, van Riel D, van Amerongen G, Bestebroer T, Beyer WE, van
Lavieren R, Osterhaus AD, Fouchier RA, Kuiken T. 2008. Wild ducks as
long-distance vectors of highly pathogenic avian influenza virus (H5N1).
Emerg Infect Dis 14(4): 600-607.
Kida H, Yanagawa R, Matsuoka Y. 1980. Duck influenza lacking evidence of
disease signs and immune response. Infect Immun 30(2): 547-553.
Kishida N, Sakoda Y, Isoda N, Matsuda K, Eto M, Sunaga Y, Umemura T, Kida
H. 2005. Pathogenicity of H5 influenza viruses for ducks. Arch Virol
150(7): 1383-1392.
Koch WH. 2004. Technology platforms for pharmacogenomic diagnostic assays.
Nat Rev Drug Discov 3(9): 749-761.
51
Krauss S, Obert CA, Franks J, Walker D, Jones K, Seiler P, Niles L, Pryor SP,
Obenauer JC, Naeve CW, Widjaja L, Webby RJ, Webster RG. 2007.
Influenza in migratory birds and evidence of limited intercontinental virus
exchange. PLoS Pathog 3(11): e167.
Krauss S, Walker D, Pryor SP, Niles L, Chenghong L, Hinshaw VS, Webster RG.
2004. Influenza A viruses of migrating wild aquatic birds in North
America. Vector Borne Zoonotic Dis 4(3): 177-189.
Krug RM. 1981. Priming of influenza viral RNA transcription by capped
heterologous RNAs. Curr Top Microbiol Immunol 93125-149.
Lakadamyali M, Rust RMJ, Zhuang X. 2004. Endocytosis of influenza viruses.
Microbes and Infection 6(10): 929–936.
Lee C-W, Saif YM. 2009. Avian Influenza Virus. Comparative Immunology,
Microbiology and Infectious Diseases 32(4): 301–310.
Lee CW, Senne DA, Suarez DL. 2004. Effect of vaccine use in the evolution of
Mexican lineage H5N2 avian influenza virus. J Virol 78(15): 8372-8381.
Lee CW, Suarez DL. 2004. Application of real-time RT-PCR for the quantitation
and competitive replication study of H5 and H7 subtype avian influenza
virus. J Virol Methods 119(2): 151-158.
Li KS, Guan Y, Wang J, Smith GJ, Xu KM, Duan L, Rahardjo AP, Puthavathana
P, Buranathai C, Nguyen TD, Estoepangestie AT, Chaisingh A,
Auewarakul P, Long HT, Hanh NT, Webby RJ, Poon LL, Chen H,
Shortridge KF, Yuen KY, Webster RG, Peiris JS. 2004. Genesis of a
highly pathogenic and potentially pandemic H5N1 influenza virus in
eastern Asia. Nature 430(6996): 209-213.
Li X, Palese P. 1994. Characterization of the polyadenylation signal of influenza
virus RNA. J Virol 68(2): 1245-1249.
Martin K, Helenius A. 1991. Transport of incoming influenza virus nucleocapsids
into the nucleus. J Virol 65(1): 232-244.
Matrosovich M, Zhou N, Kawaoka Y, Webster R. 1999. The surface
glycoproteins of H5 influenza viruses isolated from humans, chickens, and
wild aquatic birds have distinguishable properties. J Virol 73(2): 1146-
1155.
Matrosovich MN, Matrosovich TY, Gray T, Roberts NA, Klenk HD. 2004.
Human and avian influenza viruses target different cell types in cultures of
human airway epithelium. Proc Natl Acad Sci U S A 101(13): 4620-4624.
Monne I, Ormelli S, Salviato A, De Battisti C, Bettini F, Salomoni A, Drago A,
Zecchin B, Capua I, Cattoli G. 2008. Development and validation of a
one-step real-time PCR assay for simultaneous detection of subtype H5,
H7, and H9 avian influenza viruses. J Clin Microbiol 46(5): 1769-1773.
Munch M, Nielsen LP, Handberg KJ, Jorgensen PH. 2001. Detection and
subtyping (H5 and H7) of avian type A influenza virus by reverse
transcription-PCR and PCR-ELISA. Arch Virol 146(1): 87-97.
52
Munster VJ, Baas C, Lexmond P, Waldenstrom J, Wallensten A, Fransson T,
Rimmelzwaan GF, Beyer WE, Schutten M, Olsen B, Osterhaus AD,
Fouchier RA. 2007. Spatial, temporal, and species variation in prevalence
of influenza A viruses in wild migratory birds. PLoS Pathog 3(5): e61.
Munster VJ, Fouchier RAM. 2009. Avian influenza virus: Of virus and bird
ecology. Vaccine 27(45): 6340-6344.
Murakami M, Towatari T, Ohuchi M, Shiota M, Akao M, Okumura Y, Parry MA,
Kido H. 2001. Mini-plasmin found in the epithelial cells of bronchioles
triggers infection by broad-spectrum influenza A viruses and Sendai virus.
Eur J Biochem 268(10): 2847-2855.
Murphy FA, Gibbs EJP, Horzinek MC, Studdert MJ. 1999. Veterinary Virology:
Academic Press.
Mutinelli F, Hablovarid H, Capua I. 2003. Avian embryo susceptibility to Italian
H7N1 avian influenza viruses belonging to different lineages. Avian Dis
47(3 Suppl): 1145-1149.
Neirynck S, Deroo T, Saelens X, Vanlandschoot P, Jou WM, Fiers W. 1999. A
universal influenza A vaccine based on the extracellular domain of the M2
protein. Nat Med 5(10): 1157-1163.
Nemeroff ME, Qian XY, Krug RM. 1995. The influenza virus NS1 protein forms
multimers in vitro and in vivo. Virology 212(2): 422-428.
O'Neill RE, Talon J, Palese P. 1998. The influenza virus NEP (NS2 protein)
mediates the nuclear export of viral ribonucleoproteins. EMBO J 17(1):
288-296.
[OIE] Office International des Epizooties. 2008a. Principles of validation of
diagnostic assays for infectious diseases, dalam: Manual of Diagnostic
Tests and Vaccines for Terrestrial Animals.
[OIE] Office International des Epizooties. 2008b. Validation and quality control
of polymerase chain reaction methods used for the diagnosis of infectious
diseases animals, dalam: Manual of diagnostic tests and vaccines for
terrestrial. hlm: 46-55. Paris.
[OIE] Office International des Epizooties. 2009. Avian Influenza, dalam: OIE
Terrestrial Manual 2009. hlm: 1-20. Paris.
[OIE] Office International des Epizooties. 2012. Detailed country (ies) disease
incidence. Office International Des Epizooties. http://web.oie.int/
wahis/public.php [12 Januari 2012].
Okazaki K, Takada A, Ito T, Imai M, Takakuwa H, Hatta M, Ozaki H, Tanizaki T,
Nagano T, Ninomiya A, Demenev VA, Tyaptirganov MM, Karatayeva
TD, Yamnikova SS, Lvov DK, Kida H. 2000. Precursor genes of future
pandemic influenza viruses are perpetuated in ducks nesting in Siberia.
Arch Virol 145(5): 885-893.
Olsen B, Munster VJ, Wallensten A, Waldenstrom J, Osterhaus AD, Fouchier
RA. 2006. Global patterns of influenza a virus in wild birds. Science
312(5772): 384-388.
53
Palese P, Shaw M. 2007. Orthomyxoviridae: The Viruses and Their Replication,
dalam: Fields Virology, editor: D Knipe, P Howley. hlm: 1647-1690.
Philadelphia, Lippicott: Williams & Wilkins.
Palese P, Tobita K, Ueda M, Compans RW. 1974. Characterization of temperature
sensitive influenza virus mutants defective in neuraminidase. Virology
61(2): 397-410.
Pantin-Jackwood MJ, Swayne DE. 2007. Pathobiology of Asian highly
pathogenic avian influenza H5N1 virus infections in ducks. Avian Dis
51(1 Suppl): 250-259.
Park CH, Ishinaka M, Takada A, Kida H, Kimura T, Ochiai K, Umemura T. 2002.
The invasion routes of neurovirulent A/Hong Kong/483/97 (H5N1)
influenza virus into the central nervous system after respiratory infection
in mice. Arch Virol 147(7): 1425-1436.
Payungporn S, Chutinimitkul S, Chaisingh A, Damrongwantanapokin S,
Buranathai C, Amonsin A, Theamboonlers A, Poovorawan Y. 2006.
Single step multiplex real-time RT-PCR for H5N1 influenza A virus
detection. J Virol Methods 131(2): 143-147.
Perez DR, Webby RJ, Hoffmann E, Webster RG. 2003. Land-based birds as
potential disseminators of avian mammalian reassortant influenza A
viruses. Avian Dis 47(3 Suppl): 1114-1117.
Perkins LE, Swayne DE. 2002. Pathogenicity of a Hong Kong-origin H5N1
highly pathogenic avian influenza virus for emus, geese, ducks, and
pigeons. Avian Dis 46(1): 53-63.
Petrich A, Mahony J, Chong S, Broukhanski G, Gharabaghi F, Johnson G, Louie
L, Luinstra K, Willey B, Akhaven P, Chui L, Jamieson F, Louie M,
Mazzulli T, Tellier R, Smieja M, Cai W, Chernesky M, Richardson SE.
2006. Multicenter comparison of nucleic acid extraction methods for
detection of severe acute respiratory syndrome coronavirus RNA in stool
specimens. J Clin Microbiol 44(8): 2681-2688.
Pinto LH, Holsinger LJ, Lamb RA. 1992. Influenza virus M2 protein has ion
channel activity. Cell 69(3): 517-528.
Qian XY, Chien CY, Lu Y, Montelione GT, Krug RM. 1995. An amino-terminal
polypeptide fragment of the influenza virus NS1 protein possesses specific
RNA-binding activity and largely helical backbone structure. RNA 1(9):
948-956.
Rambaut A, Pybus OG, Nelson MI, Viboud C, Taubenberger JK, Holmes EC.
2008. The genomic and epidemiological dynamics of human influenza A
virus. Nature 453(7195): 615-619.
Robertson JS, Schubert M, Lazzarini RA. 1981. Polyadenylation sites for
influenza virus mRNA. J Virol 38(1): 157-163.
Sharp GB, Kawaoka Y, Jones DJ, Bean WJ, Pryor SP, Hinshaw V, Webster RG.
1997. Coinfection of wild ducks by influenza A viruses: distribution
patterns and biological significance. J Virol 71(8): 6128-6135.
54
Sheu TG, Fry AM, Garten RJ, Deyde VM, Shwe T, Bullion L, Peebles PJ, Li Y,
Klimov AI, Gubareva LV. 2011. Dual resistance to adamantanes and
oseltamivir among seasonal influenza A(H1N1) viruses: 2008-2010. J
Infect Dis 203(1): 13-17.
Shortridge KF, Underwood PA, King AP. 1990. Antigenic stability of H3
influenza viruses in the domestic duck population of southern China. Arch
Virol 114(1-2): 121-136.
Sieczkarski SB, Whittaker GR. 2005. Characterization of the host cell entry of
filamentous influenza virus. Arch Virol 150(9): 1783-1796.
Silvano FD, Yoshikawa M, Shimada A, Otsuki K, Umemura T. 1997. Enhanced
neuropathogenicity of avian influenza A virus by passages through air sac
and brain of chicks. J Vet Med Sci 59(3): 143-148.
Slepushkin VA, Katz JM, Black RA, Gamble WC, Rota PA, Cox NJ. 1995.
Protection of mice against influenza A virus challenge by vaccination with
baculovirus-expressed M2 protein. Vaccine 13(15): 1399-1402.
Slomka MJ, Coward VJ, Banks J, Londt BZ, Brown IH, Voermans J, Koch G,
Handberg KJ, Jorgensen PH, Cherbonnel-Pansart M, Jestin V, Cattoli G,
Capua I, Ejdersund A, Thoren P, Czifra G. 2007a. Identification of
sensitive and specific avian influenza polymerase chain reaction methods
through blind ring trials organized in the European Union. Avian Dis 51(1
Suppl): 227-234.
Slomka MJ, Pavlidis T, Banks J, Shell W, McNally A, Essen S, Brown IH. 2007b.
Validated H5 Eurasian real-time reverse transcriptase-polymerase chain
reaction and its application in H5N1 outbreaks in 2005-2006. Avian Dis
51(1 Suppl): 373-377.
Smith GJ, Naipospos TS, Nguyen TD, de Jong MD, Vijaykrishna D, Usman TB,
Hassan SS, Nguyen TV, Dao TV, Bui NA, Leung YH, Cheung CL,
Rayner JM, Zhang JX, Zhang LJ, Poon LL, Li KS, Nguyen VC, Hien TT,
Farrar J, Webster RG, Chen H, Peiris JS, Guan Y. 2006. Evolution and
adaptation of H5N1 influenza virus in avian and human hosts in Indonesia
and Vietnam. Virology 350(2): 258-268.
Songserm T, Jam-on R, Sae-Heng N, Meemak N, Hulse-Post DJ, Sturm-Ramirez
KM, Webster RG. 2006. Domestic ducks and H5N1 influenza epidemic,
Thailand. Emerg Infect Dis 12(4): 575-581.
Spackman E, Senne DA, Myers TJ, Bulaga LL, Garber LP, Perdue ML, Lohman
K, Daum LT, Suarez DL. 2002. Development of a real-time reverse
transcriptase PCR assay for type A influenza virus and the avian H5 and
H7 hemagglutinin subtypes. J Clin Microbiol 40(9): 3256-3260.
Spackman E, Suarez DL. 2005. Use of a novel virus inactivation method for a
multicenter avian influenza real-time reverse transcriptase-polymerase
chain reaction proficiency study. J Vet Diagn Invest 17(1): 76-80.
Spackman E, Suarez DL. 2008. Type A influenza virus detection and quantitation
by real-time RT-PCR. Methods Mol Biol 43619-26.
55
Stallknecht DE, Shane SM, Kearney MT, Zwank PJ. 1990. Persistence of avian
influenza viruses in water. Avian Dis 34(2): 406-411.
Starick E, Romer-Oberdorfer A, Werner O. 2000. Type- and subtype-specific RT-
PCR assays for avian influenza A viruses (AIV). J Vet Med B Infect Dis
Vet Public Health 47(4): 295-301.
Stegmann T. 2000. Membrane fusion mechanisms: the influenza hemagglutinin
paradigm and its implications for intracellular fusion. Traffic 1(8): 598-
604.
Steinhauer DA. 1999. Role of hemagglutinin cleavage for the pathogenicity of
influenza virus. Virology 258(1): 1-20.
Stohr K. 2002. Influenza--WHO cares. Lancet Infect Dis 2(9): 517.
Sturm-Ramirez KM, Ellis T, Bousfield B, Bissett L, Dyrting K, Rehg JE, Poon L,
Guan Y, Peiris M, Webster RG. 2004. Reemerging H5N1 influenza
viruses in Hong Kong in 2002 are highly pathogenic to ducks. J Virol
78(9): 4892-4901.
Sturm-Ramirez KM, Hulse-Post DJ, Govorkova EA, Humberd J, Seiler P,
Puthavathana P, Buranathai C, Nguyen TD, Chaisingh A, Long HT,
Naipospos TS, Chen H, Ellis TM, Guan Y, Peiris JS, Webster RG. 2005.
Are ducks contributing to the endemicity of highly pathogenic H5N1
influenza virus in Asia? J Virol 79(17): 11269-11279.
Suarez DL, Das A, Ellis E. 2007. Review of rapid molecular diagnostic tools for
avian influenza virus. Avian Dis 51(1 Suppl): 201-208.
Suarez DL, Schultz-Cherry S. 2000. Immunology of avian influenza virus: a
review. Dev Comp Immunol 24(2-3): 269-283.
Suswono. 2011a. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 2921/Kpts/OT.140/6/2011
tentang Penetapan Rumpun Itik Alabio, .
Suswono. 2011b. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 2922/Kpts/OT.140/6/2011
tentang Penetapan Rumpun Itik Tegal. .
Suswono. 2011c. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 2923/Kpts/OT.140/6/2011
tentang Penetapan Rumpun Itik Pitalah. .
Swayne DE. 2007. Understanding the complex pathobiology of high
pathogenicity avian influenza viruses in birds. Avian Dis 51(1 Suppl): 242-
249.
Taubenberger JK, Morens DM. 2009. Pandemic influenza--including a risk
assessment of H5N1. Rev Sci Tech 28(1): 187-202.
Tewari D, Zellers C, Acland H, Pedersen JC. 2007. Automated extraction of avian
influenza virus for rapid detection using real-time RT-PCR. J Clin Virol
40(2): 142-145.
Tian SF, Buckler-White AJ, London WT, Reck LJ, Chanock RM, Murphy BR.
1985. Nucleoprotein and membrane protein genes are associated with
restriction of replication of influenza A/Mallard/NY/78 virus and its
reassortants in squirrel monkey respiratory tract. J Virol 53(3): 771-775.
56
van Doremalen N, Shelton H, Roberts KL, Jones IM, Pickles RJ, Thompson CI,
Barclay WS. 2011. A single amino acid in the HA of pH1N1 2009
influenza virus affects cell tropism in human airway epithelium, but not
transmission in ferrets. PLoS One 6(10): e25755.
Varghese JN, Laver WG, Colman PM. 1983. Structure of the influenza virus
glycoprotein antigen neuraminidase at 2.9 A resolution. Nature 303(5912):
35-40.
Vascellari M, Granato A, Trevisan L, Basilicata L, Toffan A, Milani A, Mutinelli
F. 2007. Pathologic findings of highly pathogenic avian influenza virus
A/Duck/Vietnam/12/05 (H5N1) in experimentally infected pekin ducks,
based on immunohistochemistry and in situ hybridization. Vet Pathol
44(5): 635-642.
Wagner R, Matrosovich M, Klenk HD. 2002. Functional balance between
haemagglutinin and neuraminidase in influenza virus infections. Rev Med
Virol 12(3): 159-166.
Wallensten A, Munster VJ, Latorre-Margalef N, Brytting M, Elmberg J, Fouchier
RA, Fransson T, Haemig PD, Karlsson M, Lundkvist A, Osterhaus AD,
Stervander M, Waldenstrom J, Bjorn O. 2007. Surveillance of influenza A
virus in migratory waterfowl in northern Europe. Emerg Infect Dis 13(3):
404-411.
Wang R, Soll L, Dugan V, Runstadler J, Happ G, Slemons RD, Taubenberger JK.
2008. Examining the hemagglutinin subtype diversity among wild duck-
origin influenza A viruses using ethanol-fixed cloacal swabs and a novel
RT-PCR method. Virology 375(1): 182-189.
Wang X, Basler CF, Williams BR, Silverman RH, Palese P, Garcia-Sastre A.
2002. Functional replacement of the carboxy-terminal two-thirds of the
influenza A virus NS1 protein with short heterologous dimerization
domains. J Virol 76(24): 12951-12962.
Wasilenko JL, Lee CW, Sarmento L, Spackman E, Kapczynski DR, Suarez DL,
Pantin-Jackwood MJ. 2008. NP, PB1, and PB2 viral genes contribute to
altered replication of H5N1 avian influenza viruses in chickens. J Virol
82(9): 4544-4553.
Webster RG, Bean WJ, Gorman OT, Chambers TM, Kawaoka Y. 1992. Evolution
and ecology of influenza A viruses. Microbiol Rev 56(1): 152-179.
Webster RG, Hinshaw VS, Bean WJ, Jr. 1977. Antigenic shift in myxoviruses.
Med Microbiol Immunol 164(1-3): 57-68.
Webster RG, Hulse-Post DJ, Sturm-Ramirez KM, Guan Y, Peiris M, Smith G,
Chen H. 2007. Changing epidemiology and ecology of highly pathogenic
avian H5N1 influenza viruses. Avian Dis 51(1 Suppl): 269-272.
Webster RG, Laver WG, Air GM, Schild GC. 1982. Molecular mechanisms of
variation in influenza viruses. Nature 296(5853): 115-121.
57
Webster RG, Yakhno M, Hinshaw VS, Bean WJ, Murti KG. 1978. Intestinal
influenza: replication and characterization of influenza viruses in ducks.
Virology 84(2): 268-278.
Werner O. 2006. [Classic fowl plague--a review]. Berl Munch Tierarztl
Wochenschr 119(3-4): 140-150.
Wharton SA, Belshe RB, Skehel JJ, Hay AJ. 1994. Role of virion M2 protein in
influenza virus uncoating: specific reduction in the rate of membrane
fusion between virus and liposomes by amantadine. J Gen Virol 75 ( Pt
4)945-948.
[WHO] World Health Organization. 2012. Avian Influenza - Situation in
Indonesia. World Health Organization. http://www.who.int/csr/don/
201201_11/en/index.html [24 Januari 2012].
Wilson IA, Cox NJ. 1990. Structural basis of immune recognition of influenza
virus hemagglutinin. Annu Rev Immunol 8737-771.
Wilson IA, Skehel JJ, Wiley DC. 1981. Structure of the haemagglutinin
membrane glycoprotein of influenza virus at 3 A resolution. Nature
289(5796): 366-373.
Wise HM, Foeglein A, Sun J, Dalton RM, Patel S, Howard W, Anderson EC,
Barclay WS, Digard P. 2009. A complicated message: Identification of a
novel PB1-related protein translated from influenza A virus segment 2
mRNA. J Virol 83(16): 8021-8031.
Wright P, Neumann G, Kawaoka Y. 2007. Orthomyxoviruses, dalam: Fields
Virology, editor: D Knipe, P Howley. hlm: 1691–1740. Philadelphia,
Lippicott: Williams & Wilkins.
LAMPIRAN
59
Lam
pir
an 1
. T
abu
lasi
nil
ai C
t MA
dan
H5
di
pet
ern
akan
1
Mare
t N
-S
Oro
fari
ng
H5
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
MA
41
.0
40
.1
neg
neg
neg
neg
Klo
ak
a
H5
- - - - - - - - - - - - - - -
neg
neg
neg
neg
neg - - - - - - - - - -
MA
neg
neg
neg
32
.8
neg
neg
Ma
ret
Oro
fari
ng
H5
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
MA
neg
neg
neg
neg NS
neg
Klo
ak
a
H5
- - - - - - - - - - - - - - -
NS
NS
neg NS
NS - - - - - - - - - -
MA
neg
neg
neg
37
.2
NS
neg
Feb
rua
ri
Oro
fari
ng
H5
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
MA
NS
NS
NS
NS
NS
NS
Klo
ak
a
H5
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
MA
NS
NS
NS
NS
NS
NS
Ja
nu
ari
Oro
fari
ng
H5
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
MA
neg
neg
neg
neg
neg
neg
Klo
ak
a
H5
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
MA
neg
neg
neg
neg
neg
neg
Des
emb
er
Oro
fari
ng
H5
neg
neg
neg
neg
neg - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
neg NS
neg NS
NS
MA
33
.3
neg
neg
neg
neg
38
.9
Klo
ak
a
H5
neg
neg
neg
neg
neg NS
NS
neg
neg
neg - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
MA
37
.5
26
.0
neg
neg
neg
neg
No
vem
ber
Oro
fari
ng
H5
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
neg
neg
neg
neg
neg
MA
neg
neg
neg
neg
neg
32
.6
Klo
ak
a
H5
neg
neg
neg
neg
neg - - - - - - - - - -
neg
neg
neg
neg
neg - - - - - - - - - -
MA
25
.3
neg
neg
40
.0
neg
neg
Ok
tob
er
Oro
fari
ng
H5
- - - - -
neg
neg
neg
neg
neg - - - - -
neg
neg
neg
33
.2
30
.2
31
.5
28
.9
neg
neg
35
.2
- - - - -
MA
neg
32
.0
neg
34
.0
30
.4
neg
Klo
ak
a
H5
- - - - -
neg
33
.4
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg - - - - - - - - - - - - - - -
MA
neg
30
.7
34
.0
neg
neg
neg
Sep
tem
ber
Oro
fari
ng
H5
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg - - - - - - - - - -
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
MA
37
.5
39
.1
neg
neg
37
.0
39
.8
Klo
ak
a
H5
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
MA
neg
neg
neg
neg
neg
neg
Sep
tem
ber
N-S
Oro
fari
ng
H5
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
MA
neg
neg
neg
neg
neg
neg
Klo
ak
a
H5
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
MA
neg
neg
neg
neg
neg
neg
Po
ol
1 2 3 4 5 6
60
Lam
pir
an 2
. T
abu
lasi
nil
ai C
t MA
dan
H5
di
pet
ern
akan
2
Mare
t N
-S
Oro
fari
ng
H5
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg - - - - -
MA
37
.3
38
.0
39
.4
38
.6
34
.4
neg
Klo
ak
a
H5
- - - - -
neg
neg
neg
neg
neg - - - - -
neg
neg
neg
neg
neg - - - - - - - - - -
MA
neg
37
.2
neg
38
.1
neg
neg
Ma
ret
Oro
fari
ng
H5
NS
neg
neg
neg NS
NS
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
36
.0
NS
NS
neg
neg NS
neg
neg
neg NS
neg
neg
neg
neg
neg
MA
35
.5
36
.2
34
.5
35
.6
35
.0
34
.5
Klo
ak
a
H5
NS
neg
neg
neg NS
NS
neg
neg
neg
neg - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
MA
37
.6
38
.3
neg
neg
neg
neg
Feb
rua
ri
Oro
fari
ng
H5
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
MA
neg
neg
neg
neg
neg
neg
Klo
ak
a
H5
- - - - -
NS
neg
neg
neg
neg - - - - - - - - - - - - - - -
neg
neg
neg NS
neg
MA
neg
36
.1
neg
neg
neg
40
.0
Ja
nu
ari
Oro
fari
ng
H5
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
MA
neg
neg
neg
neg
neg
neg
Klo
ak
a
H5
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
MA
neg
neg
neg
neg
neg
neg
Des
emb
er
Oro
fari
ng
H5
- - - - -
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg - - - - -
neg NS
neg
neg
neg - - - - -
MA
neg
44
.0
38
.6
neg
34
.8
neg
Klo
ak
a
H5
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg NS
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
MA
40
.7
37
.1
31
.6
39
.1
32
.8
37
.2
No
vem
ber
Oro
fari
ng
H5
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
MA
neg
neg
neg
neg
neg
neg
Klo
ak
a
H5
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
MA
neg
neg
neg
neg
neg
neg
Ok
tob
er
Oro
fari
ng
H5
- - - - - - - - - - - - - - -
neg
neg
neg
neg
neg - - - - - - - - - -
MA
neg
neg
neg
35
.2
neg
neg
Klo
ak
a
H5
- - - - - - - - - - - - - - -
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg - - - - -
MA
neg
neg
neg
30
.7
32
.3
neg
Sep
tem
ber
Oro
fari
ng
H5
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
MA
neg
neg
neg
neg
neg
neg
Klo
ak
a
H5
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
neg
neg
neg
neg
neg - - - - -
MA
neg
neg
neg
neg
36
.3
neg
Sep
tem
ber
N-S
Oro
fari
ng
H5
- - - - - - - - - -
neg
neg
neg
neg
neg - - - - - - - - - - - - - - -
MA
neg
neg
41
.0
neg
neg
neg
Klo
ak
a
H5
- - - - - - - - - -
neg
neg
neg
neg
neg - - - - - - - - - - - - - - -
MA
neg
neg
36
.2
neg
neg
neg
Po
ol
1 2 3 4 5 6
61
Lam
pir
an 3
. T
abu
lasi
nil
ai C
t MA
dan
H5
di
pet
ern
akan
3
Mare
t N
-S
Oro
fari
ng
H5
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
MA
neg NS
NS
NS
NS
NS
Klo
ak
a
H5
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
MA
neg NS
NS
NS
NS
NS
Ma
ret
Oro
fari
ng
H5
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
MA
neg
neg
neg
neg
neg
neg
Klo
ak
a
H5
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
MA
neg
neg
neg
neg
neg
neg
Feb
rua
ri
Oro
fari
ng
H5
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
MA
neg
neg
neg
neg
neg
neg
Klo
ak
a
H5
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
MA
neg
neg
neg
neg
neg
neg
Ja
nu
ari
Oro
fari
ng
H5
neg
21
.6
33
.7
neg
neg - - - - -
NS
35
.7
neg
24
.3
28
.1
27
.1
neg
35
.9
29
.0
NS - - - - -
19
.1
22
.9
24
.2
neg
32
.4
MA
29
.4
neg
35
.7
36
.1
neg
32
.4
Klo
ak
a
H5
32
.1
22
.7
25
.1
34
.9
28
.0
- - - - -
NS
29
.1
36
.0
36
.1
21
.6
25
.4
neg
35
.2
29
.1
NS - - - - -
21
.1
32
.0
22
.7
neg
32
.1
MA
37
.2
neg
37
.5
37
.0
neg
33
.8
Des
emb
er
Oro
fari
ng
H5
- - - - - - - - - - - - - - -
neg
neg
neg
neg NS - - - - - - - - - -
MA
neg
neg
neg
39
.0
neg
neg
Klo
ak
a
H5
neg
neg
neg
neg NS
neg
neg
neg
neg NS
neg
neg
neg
neg
neg - - - - -
neg
neg
neg
neg NS
neg
neg NS
NS
neg
MA
37
.1
39
.5
43
.9
neg
38
.0
41
.0
No
vem
ber
Oro
fari
ng
H5
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
MA
neg
neg
neg
neg
neg
neg
Klo
ak
a
H5
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
MA
neg
neg
neg
neg
neg
neg
Ok
tob
er
Oro
fari
ng
H5
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
MA
neg
neg
neg
neg
neg
neg
Klo
ak
a
H5
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
MA
neg
neg
neg
neg
neg
neg
Sep
tem
ber
Oro
fari
ng
H5
- - - - -
neg
neg
neg
neg
neg - - - - - - - - - - - - - - -
neg
neg
neg
neg
neg
MA
neg
39
.8
neg
neg
neg
32
.1
Klo
ak
a
H5
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg - - - - -
neg
neg
neg
neg
neg - - - - - - - - - -
MA
29
.2
30
.7
neg
36
.3
neg
neg
Sep
tem
ber
N-S
Oro
fari
ng
H5
- - - - -
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
MA
neg
35
.5
34
.4
37
.9
40
.0
41
.5
Klo
ak
a
H5
- - - - -
neg
neg
neg
neg
neg - - - - -
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
38
.6
neg
neg
neg
neg
neg
neg
MA
neg
41
.0
neg
34
.1
34
.8
35
.7
Po
ol
1 2 3 4 5 6
62
Lam
pir
an 4
. T
abu
lasi
nil
ai C
t MA
dan
H5
di
pet
ern
akan
4
Mare
t N
-S
Oro
fari
ng
H5
neg
neg
26
.6
21
.4
22
.3
neg
29
.3
neg
neg
neg
neg
26
.9
16
.3
neg
neg
neg
34
.6
35
.0
21
.1
neg
neg
neg
23
.1
25
.4
30
.1
neg
neg
neg
neg
36
.0
MA
31
.9
34
.8
27
.8
34
.2
27
.6
37
.1
Klo
ak
a
H5
- - - - -
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg - - - - - - - - - -
MA
neg
38
.1
37
.0
35
.7
neg
neg
Ma
ret
Oro
fari
ng
H5
neg
neg
neg NS
NS - - - - - - - - - -
neg
neg NS
neg
neg NS
NS
neg
neg
neg
neg
neg NS
neg NS
MA
40
.2
neg
neg
38
.1
40
.0
38
.2
Klo
ak
a
H5
neg
neg
neg NS
NS
NS
neg NS
NS
neg
neg
neg
neg NS
neg
neg
neg NS
neg
35
.0
NS
NS
neg
neg
neg
neg
neg NS
38
.2
NS
MA
36
.5
41
.0
35
.4
38
.7
35
.5
35
.0
Feb
rua
ri
Oro
fari
ng
H5
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
MA
neg
neg
neg
neg
neg
neg
Klo
ak
a
H5
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
MA
neg
neg
neg
neg
neg
neg
Ja
nu
ari
Oro
fari
ng
H5
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
MA
neg
neg
neg
neg
neg
neg
Klo
ak
a
H5
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
MA
neg
neg
neg
neg
neg
neg
Des
emb
er
Oro
fari
ng
H5
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
MA
neg
neg
neg
neg
neg
neg
Klo
ak
a
H5
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
MA
neg
neg
neg
neg
neg
neg
No
vem
ber
Oro
fari
ng
H5
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
MA
neg
neg
neg
neg
neg
neg
Klo
ak
a
H5
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
MA
neg
neg
neg
neg
neg
neg
Ok
tob
er
Oro
fari
ng
H5
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
MA
neg
neg
neg
neg
neg
neg
Klo
ak
a
H5
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
MA
neg
neg
neg
neg
neg
neg
Sep
tem
ber
Oro
fari
ng
H5
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
MA
neg
neg
neg
neg
neg
neg
Klo
ak
a
H5
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
MA
neg
neg
neg
neg
neg
neg
Sep
tem
ber
N-S
Oro
fari
ng
H5
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
MA
neg
neg
neg
neg
neg
neg
Klo
ak
a
H5
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
MA
neg
neg
neg
neg
neg
neg
Po
ol
1 2 3 4 5 6
63
Lam
pir
an 5
. T
abu
lasi
nil
ai C
t MA
dan
H5
di
pet
ern
akan
5
Mare
t N
-S
Oro
fari
ng
H5
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
MA
neg NS
NS
NS
NS
NS
Klo
ak
a
H5
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
MA
neg NS
NS
NS
NS
NS
Ma
ret
Oro
fari
ng
H5
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
MA
neg
neg
neg
neg
neg
neg
Klo
ak
a
H5
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
MA
neg
neg
neg
neg
neg
neg
Feb
rua
ri
Oro
fari
ng
H5
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
MA
neg
neg
neg
neg
neg
neg
Klo
ak
a
H5
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
MA
neg
neg
neg
neg
neg
neg
Ja
nu
ari
Oro
fari
ng
H5
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
MA
neg
neg
neg
neg
neg
neg
Klo
ak
a
H5
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
MA
neg
neg
neg
neg
neg
neg
Des
emb
er
Oro
fari
ng
H5
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
MA
neg
neg
neg
neg
neg
neg
Klo
ak
a
H5
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
MA
neg
neg
neg
neg
neg
neg
No
vem
ber
Oro
fari
ng
H5
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
MA
neg
neg
neg
neg
neg
neg
Klo
ak
a
H5
- - - - -
neg
neg
neg
neg
neg - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
MA
neg
38
.1
neg
neg
neg
neg
Ok
tob
er
Oro
fari
ng
H5
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
MA
neg
neg
neg
neg
neg
neg
Klo
ak
a
H5
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
MA
neg
neg
neg
neg
neg
neg
Sep
tem
ber
Oro
fari
ng
H5
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
MA
neg
neg
neg
neg
neg
neg
Klo
ak
a
H5
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
MA
neg
neg
neg
neg
neg
neg
Sep
tem
ber
N-S
Oro
fari
ng
H5
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
MA
neg
neg
neg
neg
neg NS
Klo
ak
a
H5
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
MA
neg
neg
neg
neg
neg NS
Po
ol
1 2 3 4 5 6
64
Lam
pir
an 6
. T
abu
lasi
nil
ai C
t MA
dan
H5
di
pet
ern
akan
6
Mare
t N
-S
Oro
fari
ng
H5
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
MA
34
.6
35
.6
32
.2
37
.3
36
.6
35
.4
Klo
ak
a
H5
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
MA
33
.3
32
.5
30
.9
28
.6
27
.9
31
.9
Ma
ret
Oro
fari
ng
H5
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
MA
34
.8
33
.2
34
.2
34
.4
33
.7
33
.7
Klo
ak
a
H5
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
MA
31
.7
31
.0
36
.4
33
.7
32
.6
34
.1
Feb
rua
ri
Oro
fari
ng
H5
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
MA
neg
neg
neg
neg
neg
neg
Klo
ak
a
H5
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
MA
neg
neg
neg
neg
neg
neg
Ja
nu
ari
Oro
fari
ng
H5
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
MA
neg
neg
neg
neg
neg
neg
Klo
ak
a
H5
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
MA
neg
neg
neg
neg
neg
neg
Des
emb
er
Oro
fari
ng
H5
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
neg
neg
neg
neg
neg
MA
neg
neg
neg
neg
neg
38
.6
Klo
ak
a
H5
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
MA
neg
neg
neg
neg
neg
neg
No
vem
ber
Oro
fari
ng
H5
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
MA
neg
neg
neg
neg
neg
neg
Klo
ak
a
H5
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
MA
neg
neg
neg
neg
neg
neg
Ok
tob
er
Oro
fari
ng
H5
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
MA
neg
neg
neg
neg
neg
neg
Klo
ak
a
H5
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
MA
neg
neg
neg
neg
neg
neg
Sep
tem
ber
Oro
fari
ng
H5
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
MA
neg
neg
neg
neg
neg
neg
Klo
ak
a
H5
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
MA
neg
neg
neg
neg
neg
neg
Sep
tem
ber
N-S
Oro
fari
ng
H5
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
MA
neg
neg
neg
neg
neg
neg
Klo
ak
a
H5
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
MA
neg
neg
neg
neg
neg
neg
Po
ol
1 2 3 4 5 6