pembelajaran anak dengan kebutuhan khusus

221
1 Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie BAB I PENDAHULUAN Pembelajaran untuk anak dengan kebutuhan khusus (student with special needs) membutuhkan suatu pola tersendiri sesuai dengan kebutuhan dari masing-masing anak bersangkutan yang saling berbeda antara satu dengan lainnya. Dalam penyusunan program pembelajaran untuk setiap bidang studi hendaknya guru kelas sudah memiliki data-pribadi setiap peserta didiknya berkaitan dengan karakteristik spesifik, kemampuan dan kelemahannya, kompetensi yang dimiliki dan tingkat perkembangannya. Karakteristik spesifik student with special needs pada umumnya berkaitan dengan tingkat perkembangan fungsional, meliputi tingkat perkembangan: sensorimotor, kognitif, kemampuan berbahasa, keterampilan diri, konsep diri, kemampuan berinteraksi sosial, serta kreativitasnya. Untuk mengetahui secara jelas tentang karakteristik dari setiap siswa, seorang guru terlebih dahulu melakukan skrining atau asesmen agar mengetahui secara jelas mengenai kompetensi diri peserta didik bersangkutan agar saat memprogramkan pembelajaran sudah dipikirkan matang-matang bentuk intervensi pembelajaran yang dianggap cocok. Asesmen disini adalah proses kegiatan untuk mengetahui kemampuan dan kelemahan setiap peserta didik dalam segi perkembangan kognitif dan perkembangan sosial, melalui pengamatan yang sensitif dan biasanya memerlukan penggunaan instrumen khusus secara baku atau dibuat sendiri oleh guru- kelas.

Upload: henry-priyan

Post on 25-Jul-2015

244 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

1

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

BAB I

PENDAHULUAN

Pembelajaran untuk anak dengan kebutuhan khusus (student with special needs)

membutuhkan suatu pola tersendiri sesuai dengan kebutuhan dari masing-masing anak

bersangkutan yang saling berbeda antara satu dengan lainnya. Dalam penyusunan

program pembelajaran untuk setiap bidang studi hendaknya guru kelas sudah memiliki

data-pribadi setiap peserta didiknya berkaitan dengan karakteristik spesifik, kemampuan

dan kelemahannya, kompetensi yang dimiliki dan tingkat perkembangannya.

Karakteristik spesifik student with special needs pada umumnya berkaitan

dengan tingkat perkembangan fungsional, meliputi tingkat perkembangan: sensorimotor,

kognitif, kemampuan berbahasa, keterampilan diri, konsep diri, kemampuan berinteraksi

sosial, serta kreativitasnya. Untuk mengetahui secara jelas tentang karakteristik dari

setiap siswa, seorang guru terlebih dahulu melakukan skrining atau asesmen agar

mengetahui secara jelas mengenai kompetensi diri peserta didik bersangkutan agar saat

memprogramkan pembelajaran sudah dipikirkan matang-matang bentuk intervensi

pembelajaran yang dianggap cocok. Asesmen disini adalah proses kegiatan untuk

mengetahui kemampuan dan kelemahan setiap peserta didik dalam segi perkembangan

kognitif dan perkembangan sosial, melalui pengamatan yang sensitif dan biasanya

memerlukan penggunaan instrumen khusus secara baku atau dibuat sendiri oleh guru-

kelas.

Page 2: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

2

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

Guru yang “mumpuni” adalah guru yang mampu mengorganisir kegiatan

belajar-mengajar di kelas melalui program pembelajaran individual dengan

memperhatikan kemampuan/ kelemahan setiap individu siswa. Pola kegiatan

pembelajaran ini kita kenal dengan nama lain sebagai individualized educational

program (IEP). Selama proses kegiatan pembelajaran, guru kelas ditantang untuk dapat

memberikan intervensi khusus guna mengatasi bentuk kelainan-kelainan perilaku yang

muncul., agar pembelajaran dapat berjalan lancar.

Oleh sebab itu guru hendaknya dapat menyusun program pembelajaran sesuai

dengan kebutuhan setiap peserta didiknya, berisikan cara atau bentuk intervensi yang

akan dilakukan guna mengatasi permasalahan yang ada saat pembelajaran berlangsung.

Intervensi-khusus yang dipersiapkan guru bisa berbentuk suatu pola latihan-khusus atau

dapat juga disusun dalam bentuk motivasi yang menggunakan cara reinforcement,

disertai dengan pemberian petunjuk-petunjuk khusus (signal cues) yang dilakukan

dengan keterarahanwajah bagi anak dengan hendaya pendengaran dan berbicara (hearing

and language impairment).

Cara pemberian reinforcement oleh guru atau penguatan perilaku terhadap

peserta didik dapat dicapai secara optimal manakala guru-kelas benar-benar memahami

dan mengetahui secara tepat perilaku sasaran (target behavior) dari masing-masing siswa.

Umumnya guru bersangkutan secara terus-menerus harus mampu mempelajari dan

memahami pengetahuan tentang teori belajar yang menerapkan operant conditioning

(antecedent, behavior, dan consequences atau ABC Model (Wallace & Kauffman, 1978

dalam Patton, 1986:97; Schloss, 1984:83).

Page 3: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

3

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

Operant conditioning merupakan cara pemberian motivasi belajar melalui

modifikasi perilaku sasaran yang dilakukan melalui kegiatan-kegiatan lingkungan, serta

disusun secara sistematik. Terdapat tiga motivasi belajar, yaitu: (1) social reinforccment

misalnya pemberian hadiah, menyentuh tangan anak, atau memeluk dengan sepenuh

perasaan; (2) tangible misalnya pemberian makanan kesukaannya, uang atau ganjaran

berupa pujian dan pemberian suatu kegiatan yang merupakan bentuk penghargaan seperti

diberikannya suatu kegiatan bermain, pemberian waktu bebas, mendengarkan musik

kesukaannya, dan (3) negative consequences, diberikan jika muncul perilaku-perilaku

yang tidak diharapkan, misalnya pemberian “time out” atau istirahat dari kegiatan yang

sedang berlangsung terhadap anak yang menunjukkan perilaku suka mengamuk, atau

mengganggu.

Perbedaan karakteristik setiap peserta didik dengan kebutuhan khusus,

memerlukan kemampuan guru berkaitan dengan cara mengkombinasikan kemampuan

dan bakat setiap anak dalam beberapa aspek yang meliputi: kemampuan berfikir, melihat,

mendengar, berbicara, dan cara bersosialisasi yang kesemuanya itu di arahkan ke pada

keberhasilan dari tujuan akhir pembelajaran, yaitu perubahan perilaku ke arah

kedewasaan. Kemampuan guru semacam itu, merupakan kemahiran seorang guru dalam

menyelaraskan keberadaan siswanya dengan kurikulum yang ada kemudian diramu

sedemikian rupa menjadi sebuah program pembelajaran individual. Program

pembelajaran individual tersebut diarahkan kepada hasil akhir berupa kemandirian setiap

siswa. Kemandirian setiap peserta didik sangat berguna bagi diri peserta didik

bersangkutan untuk dapat hidup dan menghidupi diri pribadinya tanpa bantuan-khusus

Page 4: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

4

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

dari orang lain. Bantuan khusus dimaksudkan adalah pertolongan-pertolongan khusus

dari orang-orang sekitarnya dalam kehidupan nyata setelah peserta didik bersangkutan

menyelesaikan program pembelajaran di sekolah. Hasil akhir dari program pembelajaran

semacam ini secara konseptual adalah mengarahkan para siswa dengan kebutuhan khusus

untuk mampu berperilaku sesuai dengan lingkungannya atau berperilaku adaptif.

Perilaku adaptif diartikan sebagai suatu kemampuan peserta didik untuk dapat

mengatasi secara efektif terhadap keadaan-keadaan yang tengah terjadi dalam masyarakat

lingkungannya. Perilaku adaptif secara khusus merupakan kemampuan berperilaku

merespon tuntutan lingkungan, melalui komposisi beberapa aspek perilaku dan fungsinya

dengan melibatkan salah satu kemampuan penyesuaian dirinya terhadap lingkungan.

Beberapa kombinasi yang terlibat dalam keseluruhan proses penyesuaian meliputi aspek-

aspek: intektual, fisik, gerak, motivasi diri, sosial dan sensori (Smith, et al., 2002:95;

Patton, et al., 1986:131; Kelly & Vergason, 1978:5).

Model pembelajaran terhadap peserta didik dengan kebutuhan khusus, yang

dipersiapkan oleh para guru di sekolah, ditujukan agar peserta didik mampu untuk

berinteraksi terhadap lingkungan sosial yang disusun secara khusus melalui penggalian

kemampuan diri peserta didik yang paling dominan dan didasarkan pada kurikulum

berbasis kompetensi sesuai dengan “Gerakan Peningkatan Mutu Pendidikan” yang telah

dicanangkan oleh Menteri Pendidikan Nasional tanggal 2 Mei 2002. Kompetensi ini

terdiri atas empat ranah yang perlu diukur meliputi: kompetensi fisik, kompetensi afektif,

kompetensi sehari-hari, dan kompetensi akademik (Greenspan, 1997:131, dalam Smith et

al., 2002:95).

Page 5: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

5

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

Selanjutnya model bimbingan terhadap peserta didik dengan kebutuhan khusus

seyogyanya difokuskan dahulu terhadap perilaku yang non-adaptif atau perilaku salah

suai sebelum mereka melakukan kegiatan program pembelajaran individual. Bimbingan

semacam ini akan dapat diterapkan melalui upaya-upaya pengkondisian lingkungan yang

dapat mencapai perkembangan optimal dalam upaya mengembangkan perilaku-perilaku

efektif sesuai dengan tugas-tugas perkembangannya dengan mengacu kepada teori-teori

tentang perkembangan kepribadian dari Freud, Erickson, dan Maslow yang

dikembangkan sesuai dengan “keberadaan” peserta didik di sekolah (Gumaer, J., 1984:7;

Kartadinata, S., 2002:1).

Page 6: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

6

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

BAB II

PROGRAM PEMBELAJARAN INDIVIDUAL

Sebutan populer untuk program pembelajaran individual seperti yang telah

disebutkan dalam bab pendahuluan adalah individualized educational program (IEP).

Program tersebut diprakarsai oleh Samuel Gridley Howe tahun 1871 (Abdurrahman, M.

1995:1). Bentuk pembelajaran semacam ini merupakan layanan yang lebih terfokuskan

kepada kemampuan dan kelemahan kompetensi peserta didik. IEP sangat erat kaitannya

dengan tiga komponen utama, yaitu:

(1) Tingkat kemampuan atau prestasi (performance level), yang diketahui setelah

dilakukan asesmen melalui pengamatan dan tes-tes tertentu. Melalui informasi

berkaitan dengan tingkat kemampuan atau prestasi, maka diharapkan para guru

kelas dapat mengetahui secara pasti kebutuhan pembelajaran yang sesuai untuk

siswa yang bersangkutan. Informasi umumnya berkaitan dengan kemampuan-

kemampuan akademik, pola perilaku khusus, keterampilan untuk menolong diri

sendiri dalam kehidupan sehari-hari, bakat vokasional, dan tingkat kemampuan

berkomunikasi. Tingkat prestasi mengacu kepada pernyataan yang bersifat data-

spesifik tentang bidang studi yang dapat dipakai sebagai sasaran pembelajaran, dan

lebih menekankan kepada informasi pada aspek-aspek positif dari setiap peserta

didik, artinya memandang anak didik dengan kebutuhan khusus dengan apa yang

bisa ia lakukan, bukan dengan memandang “kelainan” apa yang ia sandang dan

menjadi hambatan pembelajarannya.

(2). Sasaran program tahunan (annual goals). Komponen ini merupakan kunci

komponen pembelajaran karena dapat memperkirakan program jangka-panjang

Page 7: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

7

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

selama kegiatan sekolah, dan dapat dipecah-pecah menjadi beberapa sasaran antara

(terminal goals) yang dituangkan ke dalam program semester.

(3). Sasaran jangka-pendek atau Short-Term Objective. Sasaran jangka-pendek ini

bersifat “sasaran antara” yang diterapkan setiap semester dalam tahun yang

berjalan. Sasaran ini semestinya sudah dikonsepkan oleh guru kelas sebelum

penerapan program IEP, sehingga dipakai sebagai acuan dalam proses

pembelajaran dan dikembangkan guna mencapai kemampuan-kemampuan yang

lebih spesifik (dapat diamati dan dapat diukur). Kemampuan spesifik itu

berorientasi kepada kebutuhan siswa bersangkutan (student-oriented), dan

mengarah kepada hal-hal yang positif . Kemampuan spesifik itu hendaknya dapat

memenuhi kriteria-kriteria keberhasilan tertentu untuk suatu tugas yang

disampaikan kepada peserta didik bersangkutan dalam upaya mencapai sasaran

tahunan saat disampaikan dalam proses pembelajaran (Polloway, E. A. and Patton

J,R,; 1993:41-45).

Perlu diperhatikan bahwa tugas-tugas yang disampaikan dalam IEP hendaknya

mengarah kepada perkembangan kedewasaan anak sesuai dengan sasaran akhir jangka

pendek yang konsisten dengan sasaran jangka-tahunan. Sasaran-sasaran tersebut dipilah-

pilah menjadi bagian demi bagian sehingga tugas-tugas dapat mudah dilakukan oleh

peserta didik bersangkutan (bersifat task-analysis). Dengan demikian maka IEP

merupakan bentuk pembelajaran yang mengacu kepada perkembangan keterampilan

khusus dan perilaku adaptif dan sesuai dengan penggunaan model ABC pada Operant

Conditioning.

Page 8: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

8

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

Karena mengacu kepada satu sasaran utama, yaitu annual goals, maka dalam

program semacam ini diperlukan perumusan tujuan pembelajaran khusus dengan

menggunakan kata kerja operasional (umumnya mengutamakan ranah psikomotor, dari

pada penggunaan ranah pengetahuan atau afektif) untuk setiap tujuan yang akan dicapai

dalam program pembelajaran, melalui suatu kegiatan belajar-mengajar (Abdurrahman.

M., 1995:4).

Kemampuan, kelemahan, minat peserta didik, dan tujuan kurikuler yang

ditetapkan merupakan titik awal guna mengembangkan tujuan-tujuan khusus

pembelajaran. Informasi untuk menentukan kebutuhan-kebutuhan peserta didik,

diperoleh melalui:

(1) hasil tes-awal atau pre tes, sebelum peserta didik melaksanakan suatu program

pembelajaran, dilakukan dengan pengamatan oleh tim-terpadu dari beberapa disiplin

ilmu termasuk guru-kelas dan orang tua peserta didik dan tes-tes tertentu yang sesuai

dengan kondisi dan keberadaan peserta didik,

(2) hasil-hasil tes formal selama proses identifikasi dan seleksi,

(3) hasil evaluasi dan pengamatan informal oleh guru kelas dan guru bidang studi,

(4) hasil survey tentang minat dan kebutuhan sebenarnya dari peserta didik bersangkutan,

(5) hasil evaluasi terhadap pendapat orang tua peserta didik melalui daftar cek atau

kuesioner.

(6) hasil informasi dari berbagai sumber yang relevan misalnya data dari guru bidang

studi, kepala sekolah, ahli terapi, kalangan medis dan para-medis. Semua hasil

analisis terhadap informasi tersebut dapat menentukan profil peserta didik

Page 9: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

9

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

bersangkutan. Hasil analisis sangat membantu guru kelas dalam membuat dan

menentukan bentuk-bentuk intervensi program pembelajaran yang bersifat individu.

Saat dilakukan kegiatan skrining pada calon siswa untuk ditentukan secara pasti

sebagai siswa dengan kebutuhan khusus, seorang guru perlu mempertimbangkan

beberapa aspek hasil pantauan dan pengamatan yang tercantum di atas, terutama yang

berkaitan dengan konteks lingkungan. Secara administrasi siklus pengumpulan data dan

penetapan seorang anak sebagai peserta didik dengan kebutuhan khusus yang akan

menerima individualized educational program (IEP), dapat dilihat pada Gambar 2.1

Prosedur Identifikasi, Evaluasi, Konfirmasi dan Penempatan Peserta Didik ke dalam

Pendidikan Luar Biasa pada halaman berikut.

Menurut Salvia dan Ysseldyke (1981:3-4 dalam Delphie, 2005:36) bahwa skrining atau

asesmen yang dipergunakan dalam lingkungan pendidikan luar biasa merupakan suatu

proses yang beraneka segi (multifaceted process) yang melibatkan lebih dari hanya

sekedar administrasi tes. Proses yang beraneka segi melibatkan tiga aspek pokok, selain

perilaku sasaran (target behavior), yakni: (1) kondisi sebelumnya yang melatarbelakangi

perilaku non-adaptif, atau maladjustment disebut dengan nama lain: antecedent

conditions; (2) karakteristik-karakteristik khusus dari orang/ siswa bersangkutan yang

bersifat pribadi, disebut dengan related personal characteristics; dan (3) konsekuensi-

konsekuensi yang akan diterima setelah dilakukannya program pembelajaran individual,

disebut dengan consequences. Semua hasil identifikasi dari nomor (1) sampai (3)

tersebut sangat berpengaruh terhadap kekuatan suatu perilaku sasaran yang akan

dikembangkan ke arah perilaku positif dalam suatu program pembelajaran khusus.

Page 10: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

10

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

Gambar 2.1 Prosedur Identifikasi, Evaluasi, Konfirmasi Dan Penempatan Peserta Didik ke dalam Pendidikan Luar Biasa

(Patton, et al., 1986:319 dalam Delphie, 2005:51)

1. RUJUKAN GURU (Catatan-catatan dari penngawas SD, menghubungi orang tua siswa, observasi guru, dan kemudian memberikan rujukan ke pada Kepala Sekolah)

2. SKRINING OLEH TIM PANITIA (Dilakukan oleh guru, Kepala Sekolah, psikolog, perawat, dokter, ahli terapi –- guna mendapatkan rekomendasi –- dilanjutkan ke prosedur berikutnya atau dikembalikan ke kelas reguler).

6. PROGRAM PENDIDIKAN INDIVIDUAL (IEP)

5. PANITIA PENGESAHAN Terdiri atas: Guru, Orang tua, para ahli pendidikan, Psikolog, Pengawas PLB, Konselor, dan Speech Terapist.

4. REKOMENDASI DARI 3 KOMPONEN (Psychological, Sociological, Physical (Medical)

3. REKOMENDASI OLEH 5 KOMPONEN -Orang tua yang memberikan evaluasi tentang anaknya mengenai: cara berbicara, berbahasa, dan daya pendengaran. -Asesmen pendidikan -Laporan hasil Skrining oleh Tim Panitia Khusus -Rujukan dari guru pengamat -Kepala sekolah.

(Waktu Evaluasi: 45 Hari)

7. PENEMPATAN SISWA PADA PROGRAM KEGIATAN SEKOLAH YANG COCOK

DENGAN KEBERADAANNYA

10 Hari

20 Hari

STOP

STOP

20 Hari

Page 11: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

11

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

BAB III

OPERANT CONDITIONING

A. Pengertian

Operant conditioning merupakan pengkondisian karakteristik perilaku tertentu

terhadap peserta didik dengan kebutuhan khusus. Secara alamiah proses dari

pengkondisian karakteristik perilaku tertentu sangat diperlukan terhadap kejadian-

kejadian yang berkaitan dengan perilaku yang mempunyai spesifikasi sulit.

Kemungkinan diterapkannya operant conditioning terhadap perilaku-perilaku khusus

berkaitan dengan seringnya kemunculan perilaku salah suai berhubungan dengan waktu

dan intensitasnya. Cohen, Liebson dan Fallace (1971) dalam penelitiannya telah

memanfaatkan situasi kebiasaan minum minuman beralkohol terhadap para pemabuk

berusia 39 tahun yang menjadi responden penelitiannya, untuk mengevaluasi pengaruh-

pengaruhnya terhadap perilaku tertentu. Sebagai alat intervensi adalah 24 ons ethanol

setiap hari, sedangkan keseluruhan minuman beralkohol yang dikonsumsi selama

kegiatan tergantung pada ukuran masing-masing responden. Ketika operant conditioning

mempunyai pengaruh, subjek ditempatkan dalam lingkungan yang mengkonsumsi susu

kadar tinggi. Tindakan ini dilakukan jika subjek mengkonsumsi kurang dari 5 ons

ethanol dalam minuman beralkohol setiap harinya. Pola penguatan atau reinforcement

terhadap responden berupa negative consequences, yaitu jika mengkonsumsi lebih dari

ukuran 5 ons ethanol setiap hari maka yang bersangkutan akan berakibat kehilangan hak-

hak istimewa untuk hari-hari berikutnya.

Page 12: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

12

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

Situasi minum sehari-hari memerlukan pengamatan terhadp perubahan-

perubahan dalam cara minum sebagai fungsi dari kemungkinan-kemungkinan

diterapkannya operant conditioning. Ketika operant conditioning mempunyai pengaruh,

maka subjek atau pelaku diarahkan untuk meminum ethanol pada tingkat di bawah 5 ons

perharinya. Operant conditioning ini dipergunakan juga untuk hal yang sama terhadap

efek-efek penguatan melalui pemberian uang dan diberikannya kesempatan berkunjung

ke teman kencannya dalam upaya menurunkan kebiasaan meminum jenis minuman keras

atau beralkohol tinggi.

Seperti apa yang dipahami oleh Skinner (1938), operant conditioning

merupakan intervensi-pembelajaran yang esensial terhadap perilaku yang dapat

mempengaruhi consequences (s) sebagai bentuk paradigma yang sederhana untuk dipakai

sebagai “penguatan yang bersifat positif” atau positive reinforcement: R SR .

Kemungkinan yang muncul akibat reinforcement ( S R ) akan terjadi respon khusus ( R )

Kesatuan hubungan yang terjadi diantara respons dan reinforcement merupakan salah

satu faktor operant yang sangat berbeda dari kondisi yang dilakukan oleh Pavlov.

Di sisi lain, secara esensial paradigma Thorndike (1911) berkaitan dengan “low

of effect” menyatakan bahwa respon-respon yang diikuti dengan adanya akibat

(consequences) yang memuaskan menjadikan hubungan situasi lebih kuat. Sebagai

contoh dari operant conditioning, seekor tikus dalam operant Chamber sebagai penguat -

--- diberi penguatan melalui makanan, kemudian penguat lebih mendapatkan tekanan jika

respon diberi penguatan hanya sebagai bentuk rangsangan khusus berupa stimulus yang

diskriminatif ( S R ), maka paradigma menjadi S D R S R . Sebagai

Page 13: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

13

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

contoh, tikus diberi penguatan ( S R ) sebagai bentuk penekanan terhadap respon ( R )

terhadap cahaya yang diberikan bersamaan dengan pemberian makanan ( S D ).

Lebih jauh, Skinner telah mengemukakan pendapatnya bahwa tugas utama ilmu

psikologi hendaknya dapat menganalisis fungsional perilaku. Seorang ahli psikologi

mampu menentukan apa fungsi dari perilaku penyebab (antecedents ) dan akibat perilaku

(consequences). Pendekatan ini berdasarkan atas suatu model perilaku yang telah

dipergunakan secara luas sebagai bentuk pendekatan operant terhadap perilaku manusia,

sehingga pendekatan dalam mengkarakteristikkan respon atau perilaku ini menjadi

“model perilaku” yang menerapkan pendekatan pengkarakteristikkan perilaku manusia

seperti berikut.

Operant conditioning merupakan faktor penting dalam pengembangan berbagai

bentuk perilaku bermain dan perilaku sosial anak disamping dapat meningkatkan harga-

diri dan kemampuan kontrol-diri (Bijaou & Baer, 1967). Selanjutnya Skinner

mengaplikasikan konsep-konsep operant untuk memahami kehidupan sehari-hari (1953),

dan pengembangan masyarakat yang tidak praktis (1948).

Aspek-aspek utama operant conditioning dapat digambarkan sebagai berikut.

1. Acquisition atau kemahiran: merupakan tanggapan-tanggapan diikuti dengan

penguatan dan peningkatan kekuatan respon hingga mencapai maksimal.

A B C (Antecedents) (Behavior) (Consequences)

Page 14: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

14

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

2. Extinction occurs atau terjadinya penghentian: jika respon yang terjadi tidak

sesuai maka dengan waktu tidak lama secara bersamaan dengan dilakukannya

penguatan, kegiatan yang sedang berlangsung dihentikan juga. Hal ini

dimungkinkan terjadi penerimaan perilaku yang terjadi hanya sekali.

3. Spontaneous Recovery atau rekoveri secara spontan: dilakukan dalam situasi

beberapa saat setelah extinction dimana terjadi lagi respon-respon organ tubuh

tetapi pada tingkat rendah.

4. Generalization and Discrimination atau penggeneralisasian dan diskriminasi:

bila tanggapan-tanggapan mengarah kepada terjadinya satu stimulus

diskriminatif, anak akan melakukan respon terhadap rangsangan atau stimuli yang

sama tetapi secara eksplisit tidak terjadi penguatan dalam merespon terhadap

stimulus ke dua. Alat organ tubuh secara umum akan mempelajari respon hanya

pada stimulus atau rangsangan yang pertama.

5. Punishment atau hukuman: tanggapan-tanggapan menjadi lebih rendah jika

dilakukan hukuman positif atau penarikan rangsangan-keinginan (yang bersifat

hukuman negatif). Karena hukuman khusus berupa penguatan hukuman yang

positif mempunyai variasi dari consequences yang tidak diinginkan. Dalam hal

ini para ahli operant menyarankan cara lain berupa kontrol-perilaku (behavioral

control).

Page 15: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

15

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

B. Isue-isue Penting dalam Operant Conditioning berupa:

a. Nature of the Operant

Konsep-konsepnya berdasarkan suatu pandangan yang menyatakan bahwa

walaupun kita sering membicarakan tentang tanggapan-tanggapan konsep Skinner (1928)

tentang operant atau penguatan yang menitikberatkan hasil keluaran secara khusus dari

pada hanya respon-respon atau tanggapan-tanggapan yang dilakukan oleh gerakan-

gerakan otot tertentu secara khusus. Bila anak menerima penguatan untuk melakukan

dorongan terhadap panel (sebagai instrumen tertentu), maka dorongan terhadap panel

merupakan pengkondisian tertentu. Tidak perduli apakah anak menekan dengan

menggunakan tangan yang kiri atau kanan, dengan kaki kiri atau kanan bahkan mungkin

dengan hidungnya. Dalam keadaan seperti ini, pengaruh perilaku lebih dipentingkan dari

pada bentuk tanggapan atau respon.

b. Timing of Reinforcement and Punishment atau waktu untuk melakukan penguatan dan

hukuman.

Secara umum, rangsangan penguatan dan hukuman dapat mempengaruhi kinerja

yang tinggi jika secara segera diikuti dengan respon yang terjadi antara “target

responses” dan “reinforcement”. Respon tersebut akan menjadi lebih dikuatkan

Hukuman seringkali lebih efektif jika disampaikan terhadap anak manakala

anak menunjukkan tanda-tanda yang menunjukkan respon yang tidak menyenangkan

atau tidak diharapkan. Pada anak yang berusia lebih dewasa, waktu antara respon dan

reinforcement atau punishment dapat dijembatani melalui ucapan-ucapan dari guru

kelas selaku konselor.

Page 16: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

16

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

Sewaktu reinforcement dan punishment dilakukan, kata-kata yang digunakan

hendaknya dapat mengarah kepada situasi asli sewaktu perilaku anak bersangutan

muncul. Aronfreed (1968) telah mendemonstrasikan bagaimana seorang konselor

meningkatkan keefektifan suatu hukuman yang ditunda dalam upaya menghambat

perilaku salah suai yang tidak diinginkan.

c.. Schedule of reinforcement

Tanggapan atau respon hanya dapat diperkuat bersifat sebentar, tidak bersifat

secara terus-menerus. Misalnya, reinforcement dapat dilakukan setelah respon yang ke

empat dan tidak diberikan untuk setiap kali adanya respon. Salah satu penemuan Skinner

yang menyatakan bahwa pemberian penguatan secara temporer atau bersifat sebentar, dan

dilakukan secara sistematik dapat meningkatkan perilaku yang baik secara terus-menerus.

Pemberian penguatan terhadap respon secara bagian per bagian jauh lebih bersifat

melawan terhadap pemunahan perilaku salah suai dari pada jika dilakukan secara 100%

terhadap penguatan respon-respon.

d. Primary Vs Conditioned (Secondary) Reinforces

Stimuli atau rangsangan yang berbeda merupakan penguatan yang diberikan

terhadap anak-anak dan orang dewasa dengan membuat penguatan-penguatan yang

bersifat universal dan bersifat menyulitkan untuk diidentifikasi, mempunyai jenjang yng

berbeda setiap reinforcer tertentu meskipun hanya beberapa bagian, seperti permen karet

mempunyai kegunaan yang tinggi untuk diterapkan terhadap beberapa anak muda.

Page 17: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

17

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

Keistimewaan yang dikandung dalam nilai-nilai reinforcers adalah dapat

dipergunakannya untuk menyusun prinsip-prinsip yang berhubungan dengan prinsip-

prinsip metode pembelajaran yang bersifat mengaktifkan para peserta didiknya untuk

melakukan penemuan sendiri (inquary).

e. Positive and Negative Reinforcement

Penguatan yang diberikan terhadap peserta didik hendaknya dapat meningkatkan

perilaku non-adaptif menjadi perilaku adaptif. Penguatan bersifat positif dapat terjadi

ketika respon atau tanggapan diikuti dengan pemunculan kejadian-kejadian yang lebih

baik. Penguatan negatif terjadi ketika tanggapan diikuti dengan penghentian dari

kejadian yang tidak diharapkan.

f. Shaping atau pengkondisian

Terkadang tanggapan yang diinginkan tidak terjadi pada pengulangan perilaku

pada suatu kasus yang tidak terjadi atau tidak diikuti dengan tanggapan atau respon,

sehingga memerlukan penguatan. Seperti yang terjadi pada kasus operant psikologis

dengan menggunakan shaping atau pengkondisian. Kasus tersebut telah diteliti oleh

Harris, Wolf dan Baer di tahun 1964 dengan cara mengamati anak remaja yang sedang

asyik bermain sendirian tanpa teman.

Berdasarkan perkembangan sosial anak, maka pengkondisian terhadap anak

remaja dapat dilakukan dengan cara meningkatkan sasaran perilaku atau “behavior

target” melalui permainan interaktif bersama dengan anak-anak lain. Kegiatan

permainan ini diarahkan oleh guru pada tingkat sekolah dasar agar guru dapat melakukan

penguatan dengan cara memperhatikan dan menyetujui saat individu anak melakukan

Page 18: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

18

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

permainan interaktif. Guru hendaknya tidak bersikap “acuh” saat peserta didiknya

bermain sendirian tanpa teman, tetapi berilah penguatan terhadap peserta didiknya

terutama saat bersangkutan melihat anak-anak lain sedang bermain bersama-sama.

Selanjutnya arahkan individu anak untuk turut serta dalam permainan bersama teman-

temannya. Permainan secara interaktif dalam kegiatan-kegiatan pembelajaran tertentu

sangat sukses khususnya saat dilakukan pengendalian perilaku tertentu atau shaping.

g.. Implication for Educators atau implikasi untuk para guru

Para guru dan mereka yang menangani anak-anak yang mempunyai perilaku

tertentu, hendaknya lebih sensitif saat mereka berinteraksi. Perilaku peserta didik yang

kurang hati-hati seringkali perlu mendapat penguatan atau hukuman. Lebih jauh,

penentuan persepsi peserta didik bersangkutan apakah diperlukan bentuk-bentuk

pemberian hadiah atau hukuman. Misalnya, Guru kelas selaku konselor memberikan

teriakan-teriakan terhadap peserta didik yang berkelakuan salah suai yang dianggap tidak

baik. Teriakan guru tersebut dapat menjadi suatu hukuman bagi peserta didik

bersangkutan. Sangat mungkin terjadi pemberian penguatan hanya bersifat sementara

terhadap perilaku salah suai, yang kemunculannya tidak diinginkan. Tetapi dapat

diterapkan sepanjang dapat meningkatkan secara terus-menerus bentuk “pemadaman”

atau penghentian perilaku yang tidak diinginkan, bersifat extinction.

Dalam mengatasi peserta didik berkebutuhan khusus, khususnya mereka yang

menyandang kelainan hambatan perkembangan mental, diharapkan guru kelas akan lebih

Page 19: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

19

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

banyak memberikan penguatan yang bersifat “tangible’ dalam upaya pembentukan

kinerja peserta didik.

Page 20: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

20

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

BAB IV

KARAKTERISTIK ANAK DENGAN KEBUTUHAN KHUSUS

(Children with Special needs)

Anak dengan Kebutuhan khusus yamg paling banyak mendapat perhatian guru

menurut Kauffman & Hallahan ( 2005:28-45), antara lain adalah sebagai berikut.

a. Tunagrahita (Mental retardation) atau disebut sebagai anak dengan hendaya

perkembangan (Child with development impairment),

b .Kesulitan Belajar (learning disabilities) atau anak yang berprestasi rendah (Specific

Learning Disability)

c. Hyperactive (Attention Deficit Hyperactive with Disorder)

d. Tunalaras (Emotional or behavioral disorder)

e. Tunarungu wicara (Communication disorder and deafness)

f. Tunanetra (Partially seing and Legally blind) atau disebut dengan anak yang

mengalami hambatan dalam penglihatan

g. Anak Autistik (Autistic children)

h. Tunadaksa (Physical disability)

i. Tuna ganda (Multiple Handicapped)

l. Anak berbakat (Giftedness and special talents).

Page 21: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

21

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

A. ANAK TUNAGRAHITA

(ANAK DENGAN HENDAYA PERKEMBANGAN)

1. Karakteristik

Anak tunagrahita secara umum mempunyai tingkat kemampuan intelektual di

bawah rerata, dan secara bersamaan mengalami hambatan terhadap perilaku adaptif

selama masa perkembangan hidupnya dari 0 tahun hingga 18 tahun, sesuai dengan

batasan dari AAMD (Grossman,1983:11) sebagai berikut.

“Mental retardation refers to significantly subaverage general intellectual functioning resulting in or associated with concurrent impairments in adaptive behavior and manifested during the developmental period” (Smith, Ittenbach, and Patton, 2002:54; Hallahan & Kauffman, 1991:80).

Definisi AAMD (1983) mengisyaratkan adanya: kemampuan intelektual jika

diukur dengan WISC-III (1991) mempunyai skor IQ 70. dan mempunyai hambatan pada

komponen yang tidak bersifat intelektual, yakni perilaku adptif (adaptive behavior).

Dewasa ini berdasarkan hasil penelitian dari Greenspan’s (1997) berkaitan dengan

keterampilan praktis, keterampilan konseptual dan keterampilan sosial, maka pengertian

perilaku adaptif mengalami perubahan pandangan semula perilaku adaptif hanya bersifat

komponen pelengkap yang dianggap kalah pentingnya dengan kemampuan intelektual

sekarang perilaku adaptif justru sama pentingnya dengan kemampuan intelektual dalam

menentukan apakah seorang-individu termasuk sebagai tunagrahita atau bukan. Bidang

perilaku adaptif yang menjadi perhatian untuk di observasi meliputi:

1). Menolong diri sebagai bentuk penampilan pribadi, meliputi: makan, minum,

menyuap, berpakaian, pergi ke WC, berpatut diri, dan memelihara kesehatan diri.

2). Perkembangan fisik, meliputi keterampilan gerak (gross dan fine motor).

Page 22: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

22

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

3). Komunikasi, meliputi bahasa reseptif dan bahasa ekspresif.

4).Ketrampilan sosial, meliputi keterampilan bermain, keterampilan berinteraksi,

berpartisipasi dalam kelompok, bersikap ramah-tamah dalam pergaulan, perilaku

seksual, tanggungjawab terhadap diri sendiri, kegiatan memanfaatkan waktu luang,

dan ekspresi emosi.

5). Fungsi kognitif, meliputi pengetahuan akademik dasar (seperti pengetahuan tentang

warna), membaca, menulis, fungsi –fungsi: pengenalan terhadap angka, waktu,

uang dan pengukuran.

6). Memelihara kesehatan dan keselamatan diri, meliputi mengatasi luka, berkaitan

dengan masalah kesehatan, pencegahan kesehatan, keselamatan diri, memelihara

diri secara praktis.

7). Keterampilan berbelanja, meliputi penggunaan uang, berbelanja, kegiatan di bank, dan

cara mengatur pembelanjaan.

8).Keterampilan domestik, meliputi membersihkan rumah, memelihara dan memperbaiki

barang-barang yang ada di rumah, cara membersihkan atau mencuci, keterampilan

dapur, dan menjaga keselamatan rumahtangga.

9). orientasi lingkungan, meliputi keterampilan melakukan perjalanan, memanfaatkan

sumber-sumber lingkungan, penggunaan telepon, menjag`a keselamatan

lingkungan.

10). Keterampilan vokasional, meliputi kebiasaan bekerja serta perilakunya, keterampilan

mencari pekerjaan, penampilan diri sebagai karyawan/pekerja, perilaku sosial dalam

pekerjaan, dan menjaga keselamatan kerja. (Smith dkk, 2002:99).

Page 23: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

23

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

Berdasarkan definisi tersebut di atas, maka karakteristik anak dengan hendaya

perkembangan (tunagrahita), meliputi hal-hal sebagai berikut.

a) Mempunyai dasar secara fisiologis, sosial dan emosional sama seperti anak-anak yang

tidak menyandang tunagrahita.

b) Selalu bersifat eksternal locus of control sehingga mudah sekali melakukan kesalahan

(expectancy for filure).

c) Suka meniru perilaku yang benar dari orang lain dalam upaya mengatasi kesalahan-

kesalahan yang mungkin ia lakukan (outerdirectedness).

d) Mempunyai perilaku yang tidak dapat mengatur diri-sendiri.

e).Mempunyai permasalahan berkaitan dengan perilaku sosial (sociobehavioral)..

f). Mempunyai masalah berkaitan dengan karakteristik belajar.

g).Mempunyai masalah dalam bahasa dan pengucapan.

h). Mempunyai masalah dalam kesehatan fisik.

i). Kurang mampu untuk berkomunikasi.

j). Mempunyai kelainan pada sensori dan gerak.

k).Mempunyai masalah berkaitan dengan psikiatrik, adanya gejala-gejala depresif –

menurut hasil penelitian dari Meins tahun 1995 (Smith, et al., 2002:278-289).

2. Perspektif Berdasarkan Definisi

Dewasa ini definisi dari American Association on Mental Disorder (AAMD) dari

Grossman (1983), bergeser dan digantikan dengan definisi American Association of

Mental Retardation dari Luckasson (1992). Definisi AAMR (1992) menyatakan bahwa:

Page 24: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

24

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

Mental Retardation “refers to substantial limitations in present functioning. It is characterized by significantly subaverage intellectual functioning, existing concurrently with related limitations in two or more of the following applicable adaptive skills areas: communication, self-care, home living, social skills, community use, self direction, health and safet, functional academic, leisure and work. Mental retardation menifests before age 18” (Luckasson, 1992:1 dalam Snith, et al. 2002:56).

Secara implisit definisi tersebut mengemukakan adanya empat fungsi yang

esensial dan perlu mendapatkan perhatian saat penerapan di lapangan. Keempat fungsi

tersebut berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut.

1). Saat proses asesmen diterapkan, asesmen dapat dikatakan valid bila penggunaan

instrumen dan proses kegiatannya memperhatikan aspek-aspek: budaya dan

perbedaan linguistik, dan cara melakukan komunikasi serta faktor-faktor berkaitan

dengan perilaku.

2). Terjadinya keterbatasan kemampuan untuk menyesuaikan diri (adaptive behavior)

berkaitan erat dengan lingkungan kehidupan yang bersifat khusus dari pasangan se-

umurnya. Keterbatasan penyesuaian diri dapat dipakai sebagai petunjuk bahwa anak

dengan hambatan perkembangan yang bersangkutan memerlukan bantuan layanan

untuk memenuhi kebutuhan pribadinya.

3). Keterbatasan dalam menyesuaikan diri selalu diikuti dengan kemunculan kemampuan

pribadi lainnya

4). Melalui bantuan layanan dalam periode waktu yang cukup lama secara terus-menerus,

keberfungsian kehidupan pribadi anak dengan hambatan perkembangan pada

umumnya dapat meningkat.

Page 25: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

25

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

Terdapat beberapa perubahan yang signifikan yang muncul pada definisi

AAMR (Luckasson, 1992) yang belum nampak pada definisi AAMD (Grossman, 1983),

antra lain meliputi:

1). Spesifikasi perilaku non-adaptif ditentukan dengan melihat adanya dua atau lebih

“kelainan” yang dilakukannya terhadap 10 bidang keterampilan adaptif, yakni:

komunikasi, bina-diri, melakukan kegiatan sehari-hari di rumah, keterampilan sosial,

kemampuan menggunakan peralatan yang ada di rumah, mengatur diri-sendiri,

menjaga kesehatan dan keselamatan diri, kemampuan akademik, pekerjaan, dan cara

menggunakan waktu luang.

2).Terdapat tiga langkah prosedur pemberian layanan anak dengan hendaya

perkembangan berkaitan dengan pola mendiagnosis, pola mengklasifikasikan, dan

pola mengidentifikasi. Langkah-langkah dari ketiga prosedur tersebut adalah:

Langkah pertama: Melakukan diagnosa berkaitan dengan ketidakmampuan diri

terhadap sepuluh daerah keterampilan (dua atau lebih); Langkah kedua: Melakukan

klasifikasi dan pendeskripsian kemampuan/ kelemahan dan kebutuhan terhadap

layanan khususnya; Langkah ketiga: Menentukan profil dan intensitas kebutuhan

khusus, meliptui tiga dimensi yakni: dimensi 1 berupa keberfungsian intelektual dan

keterampilan dalam penyesuaian diri, dimensi 2: mempertimbangkan faktor

psikologis dan emosional, dimensi 3: mempertimbangkan kesehatan pribadi/ etiologi,

dan dimensi 4: pertimbangan-pertimbangan berkaitan dengan lingkungan hidup.

3). Terdapat sistem baru dalam pengklasifikasian setiap pribadi anak yang mempunyai

hendaya perkembangan berkaitan dengan rekomendasi terhadap sampai sejauhmana

“tingkat keberadaannya” (intermittent atau sewaktu-waktu/ tingkat ringan, limited

Page 26: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

26

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

atau secara terbatas/ tingkat sedang, extensive atau secara meluas/ tingkat berat,

pervasive atau menembus sesuai dengan keperluannya/ tingkat sangat berat). Ini

berarti klasifikasi tidak berdasarkan atas skor intelligence quotients.

4).Perkembangan profil kebutuhan layanan akan berdasarkan pada empat dimensi yaitu:

a). Keberfungsian intelektual dan kemampuan beradaptasi

b).Pertimbangan-pertimbangan berkaitan dengan psikologikal/ emosional

c) Pertimbangan-pertimbangan berkaitan dengan kesehatan/ etiologi

d). Pertimbangan-pertimbangan berkaitan dengan lingkungan hidup.

Instrumen asesmen yang menghasilkan: skor IQ yaitu Wechsler Intelligence

Scale for Children-Revised (WISC-R), dan The AAMD Adaptive Behavior Scale-School

Edition atau The Adaptive Behavior Inventory for Children (ABIC) yang menghasilkan

informasi berkaitan dengan perilaku adaptif yang bersifat non-akademik, sudah tidak

sesuai lagi untuk diterapkan di Indonesia dalam penentuan klasifikasi terhadap anak

dengan hendaya perkembangan serta patokan dalam pemberian layanan khusus

terhadapnya. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa pendapat para ahli yang

menyatakan bahwa terdapat beberapa kelemahan jika bentuk tes tersebut di terapkan pada

wilayah di luar Amerika Serikat.

Hallahan dan Kauffman (1991:93), menyatakan bahwa ada empat hal yang

perlu diperhatikan bila kedua tes, yaitu: WISC-R dan AAMD Adaptive Behavior Scale-

School Edition atau Adaptive Behavior Inventory for Children akan diterapkan di

lapangan, antara lain sebagai berikut di bawah ini.

1). Kemampuan individu akan berubah secara dramatis dari waktu ke waktu sehingga

memungkinkan skor IQ berubah pula.

Page 27: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

27

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

2). Seluruh item tes IQ akan menemui kesulitan bila diterapkan pada anak-anak yang

berlatar belakang di luar budaya bangsa Amerika dimana instrumen tersebut dibuat.

3). Tes IQ terhadap anak usia dini hampir tidak mungkin dapat dilaksanakan, padahal

validitasnya cukup tinggi. Terhadap anak usia muda dan dewasa tes IQ mempunyai

validitas dan reliabilitas berkecenderungan sangat rendah.

4). Tes IQ bukan “merupakan titik awal dan titik akhir” atau “Be–all and end-all” untuk

dipergunakan sebagai alat untuk mendeteksi kemampuan individu secara menyeluruh

dalam fungsi kehidupan sosial.

3. Perspektif Sosiologikal Anak dengan Hendaya Perkembangan

Jane Mercer (1973 dalam Patton, 1986:48) kurang menyetujui penggunaan

suatu pendekatan yang berhubungan dengan pembatasan atau definisi mengenai

“ketunagrahitaan” seperti yang telah dikemukakan oleh Heber (definisi tahun 1959 dan

1961) maupun Grossman (definisi tahun 1973 dan 1983) dalam menentukan apa yang

disebut dengan “ketidaknormalan perilaku”

Pendekatan atau definisi Heber dan Grossman merupakan pandangan yang

bersifat tradisional atas dasar perspektif klinis dan patologis/ medis, dan model statistik.

Model patologis memandang suatu “ketunagrahitaan” sebagai bentuk “kelainan” akibat

penyakit atau a disease, ditandai dengan kemunculan gejala-gejala (symptoms).

Model statistik selalu mengidentifikasikan satu bagian tertentu dari suatu

populasi yang dianggap abnormal. Model statistik membuat perbedaan antara seorang

individu dengan cara membandingkan prestasi individu dengan prestasi yang dianggap

kelompok “normal” Pendekatan patologis dan statistik semestinya hanya cocok

Page 28: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

28

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

dipergunakan dalam kegiatan mengidentifikasi terhadap kasus-kasus atau pokok-pokok

persoalan yang ada pada anak dengan hendaya perkembangan.

Dapat dikatakan bahwa apa yang ada dalam definisi AAMD (Grossman, 1983)

kurang memuaskan karena mengandung aspek-aspek pendekatan tradisional ke arah

patologis dan statistik. Sebagai alternatif pemecahan, Jane Mercer mengemukakan

perspektif sistem-sosial ( a social system perspective). Sistem ini dapat dipakai sebagai

pencapaian status-sosial seseorang dalam suatu sistem sosial tertentu dimana individu

bersangkutan tinggal. Ia menyatakan sebagai berikut.

“The status of mental retardate is associated with a role which person occupaying that status are expected to play. A person’s career in acquaring the status playing the role of mental retardate can be described in the same fashion as the career of a person who acquaries any other status such as lawyer, bank president or teacher” (Mercer, 1974 dalam Patton, 1986:46).

Berdasarkan pernyataan Mercer tersebut di atas maka pendekatan dengan sistem

sosial memungkinkan diterapkan sebagai pola keseimbangan dalam masyarakat terhadap

sejumlah anak-anak usia sekolah dari kelompok sosial-ekonomi yang rendah dan budaya

minoritas saat menentukan atau memberi batasan terhadap individu yang dinyatakan

sebagai anak dengan hendaya perkembangan.

4. Perspektif Psikometrik Anak dengan Hendaya Perkembangan

Psikometrik merupakan ukuran variabel patologis berkaitan dengan inteligensi,

kemampuan berperilaku adaptif, dan kelainan atau gangguan emosional. Memperhatikan

definisi anak dengan hendaya perkembangan dari Grosman (1983) maka akan nampak

secara jelas kelemahan-kelemahan dari definisi ini. Hal ini terjadi disebabkan dalam

Page 29: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

29

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

definisi tersebut hanya bersifat perbandingan secara garis besar dari individu tertentu

yang diidentifikasikan sebagai “anak dengan hendaya perkembangan”.

Dapat dikatakan bahwa definisi tersebut kurang dapat mewakili sebagai bentuk

diagnosa secara objektif. Alasan untuk hal ini antara lain:

1) tidak praktis atau susah dalam penerapannya, karena dalam definisi tidak dilengkapi

dengan keobjektifan diagnosis,

2) IQ tes tidak mampu untuk menguji: rasa takut (anxiety), kesehatan yang rendah (poor

healthy), dan kelangkaan motivasi (lack of motivation). Keadaan yang berkaitan

dengan rasa takut dan kelangkaan motivasi sesungguhnya berkaitan dengan prestasi

seseorang.

3) IQ tes dilakukan sepenuhnya dengan secara lisan (verbal). Ini berarti bahwa terhadap

anak dengan kebutuhan khusus, IQ tes tidak dapat diterapkan karena sebagian besar

mereka tidak mampu untuk melakukan tanya-jawab secara tatap muka seperti anak

“normal”, kecuali dilakukan dengan cara observasi kangsung. Faktor lainnya, tidak

dapat diterapkannya IQ tes disebabkan oleh faktor bahasa (linguistik yang tidak

terstandar seperti Inggris-Amerika) jika dipaksakan diterapkan maka secara otomatis

individu yang bersangkutan langsung menjadi “mentally retarded”

4) IQ memberikan pandangan yang berat sebelah dalam asesmen berkaitan dengan

inteligensi bagi anak-anak yang berasal dari golongan yang berbudaya minoritas dan

kelompok ekonomi-sosial yang rendah (Patton, et al., 1986:50).

Banyak ahli psikologi kurang menyetujui terhadap berbagai aspek yang ada

dalam definisi Grossman (1983), mereka menyatakan sebagai berikut:

Page 30: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

30

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

1) Landasan dasar pemilihan terhadap kesepuluh wilayah keterampilan berperilaku

adaptif sebagai patokan penentuan perilaku non-adaptif merupakan tindakan yang

sewenang-wenang.

2) Ada beberapa kemampuan perilaku adaptif yang bukan merupakan hal penting untuk

dilakukan suatu diagnosa, seperti: keterampilan menggunakan waktu luang (leisure

time).

3) Keseluruhan pengukuran yang berkaitan dengan perilaku adaptif anak dengan hendaya

perkembangan hanya bersifat teknis (Smith, et al., 2002:101).

5. Perspektif Analisa Perilaku Sosial Anak dengan Hendaya Perkembangan

Sidney Bijou (1966:2) memandang keterbelakangan perkembangan perilaku

merupakan fungsi interaksi seseorang yang diukur sejalan dengan keadaan sosial, pisik,

dan lingkungan biologis dari diri bersangkutan (dalam Patton, 1986:50), seperti

pernyataan di bawah ini:

“Developmental retardation be treated as observable, objectively defined stimulus-response relationships without recourse to hypothetical mental concepts such as “defective intelligence” and hypothetical biological abnormalities such as “clinically inferred brain injury”. From this point of view a retarded individual is one who has limited repertory of behavior shaped by events that constitute the history:”

Sejalan dengan pendapat Bijou, Repp (1983) berpendapat mengenai perspektif

analisa perilaku sosial sebagai berikut: “Definisi dari Bijou berdasarkan atas dua asumsi

penting, yaitu: (1) semua perilaku adaptif dan maladaptif diperoleh dan diputuskan

berdasarkan prinsip-prinsip belajar yang sama dengan anak dengan hendaya

perkembangan yang mampu belajar walaupun mereka akan belajar lebih lambat

Page 31: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

31

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

dibandingkan dengan anak “normal”. Jadi sebaiknya mereka tidak belajar dengan

petunjuk-petunjuk atau peraturan-peraturan tertentu yang berbeda dengan keberadaannya;

(2) Sudah merupakan suatu asumsi dasar bahwa perilaku seseorang tergantung kepada

kondisi-kondisi lingkungan” (dalam Patton, 1986:50).

Pendekatan analisa perilaku untuk anak dengan hendaya perkembangan dari

Bijou sangat bijaksana bila diterapkan di Indonesia. Dengan demikian maka yang paling

logis berkaitan dengan pemberian definisi anak dengan hendaya perkembangan adalah:

“Sampai sejauhmana kemampuan seseorang mampu mengubah perilakunya sehingga

sesuai dengan kondisi di sekitarnya”. Kemampuan mengubah perilaku sesuai kondisi

sangat berpengaruh terhadap perkembangan pendidikan dengan intervensi-intervensi

yang mengarah kepada penyembuhan. Intervensi yang bersifat penyembuhan dapat

dilakukan dengan menerapkan permainan terapeutik dan pola gerak, karena intervensi ini

bersifat naturalistik, dan mudah diterapkan terhadap anak dengan kebutuhan khusus

(Bijou, 1966; Ullman & krasner, 1969; Repp, 1983; Mercer, 1975: a.b.; dalam Patton, et

al., 1986:52).

Orientasi perilaku sosial meluas melampaui prinsip-prinsip perilaku yang

mendasar termasuk dimensi kepribadian yang dibentuk oleh tiga bentuk dasar perilaku

yaitu: motivasi-emosional, kognitif bahasa, dan sensorimotor. Ketiga dasar perilaku itu

sangat berguna untuk diterapkan pada situasi belajar mengajar. Belajar merupakan suatu

bentuk penjabaran tentang suatu sistem perkembangan perilaku yang kompleks diperoleh

melalui interaksi-individu dengan faktor-faktor lingkungan. Berdasarkan hal ini maka

ketiga bentuk dasar perilaku tersebut di atas dapat dipergunakan saat berlangsungnya

proses pembentukan perilaku seeorang (Staats, 1975; dalam Patton, et al.,1986:52).

Page 32: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

32

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

Konsekuensi dari pandangan tersebut, maka fokus utama orientasi perilaku sosial bagi

anak dengan hendaya perkembangan mengacu kepada: perkembangan keterampilan atau

kecakapan, kondisi-kondisi pembelajaran (berupa faktor-faktor lingkungan, dan

pemberian penguatan terhadap elemen yang menyertai pengoperasiannya), dan bentuk-

bentuk perilaku dasar yang sangat dibutuhkan jika pembelajaran sedang berlangsung

(Staat & Burn, 1981:290 dalam Patton, 1986:52).

Page 33: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

33

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

B. ANAK DENGAN KESULITAN BELAJAR ( LEARNING DISABILITY )

DAN ANAK BERPRESTASI RENDAH

1. Anak dengan Kesulitan Belajar atau Berprestasi Rendah (Learning Disability)

Anak yang berprestasi rendah (underachievers) umumnya kita temui di sekolah,

karena mereka pada umumnya tidak mampu menguasai bidang studi tertentu yang

diprogramkan oleh guru berdasarkan kurikulum yang berlaku. Ada sebagian besar dari

mereka mempunyai nilai pelajaran sangat rendah ditandai pula dengan tes IQ berada di

bawah rerata normal. Untuk golongan ini disebut dengan slow learners. Pencapaian

prestasi rendah umumnya disebabkan oleh faktor minimal brain dysfunction, dyslexia,

atau perceptual disability. Di Amerika Serikat anak yang berprestasi rendah disebut

dengan istilah Specific Learning Disability, dengan batasan sebagai berikut

“Specific learning disability means a disorder in one or more of the basic physiological processes involved in understanding or in using language, spoken or written, which may manifest it self in an imperfect ability to listen, think, speak, read, write, spell, or to do mathematical calculations. The term includes such condition as perceptual handicapes, brain injury, minimal brain dysfunction, dyslexia, and developmental aphasia. The term dos not include children who have learning problems, of mental retardation, of emotional disturbance, or of environmental, cultural, or economic disadvantage” (US Office of Education, 1977: p.65 083; Ashman and Elkins, 1994:242; Hallahan & Kauffman, 1991:126).

Berdasarkan definisi tersebut di atas, maka peserta didik yang tergolong dalam specific

learning disability mempunyai karakteristik sebagai berikut.

a. Kelainan yang terjadi berkaitan dengan faktor psikologis sehingga mengganggu

kelancaran berbahasa, saat berbicara, dan menulis.

Page 34: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

34

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

b. Pada umumnya mereka tidak mampu: untuk menjadi pendengar yang baik, untuk

berfikir, untuk berbicara, membaca dan menulis, meng-eja huruf, bahkan

perhitungan yang bersifat matematika.

c. Kemampuan mereka yang rendah dapat dicirikan melalui hasil tes IQ atau tes

prestasi belajar khususnya kemampuan-kemampuan berkaitan dengan kegiatan-

kegiatan di sekolah.

d. Kondisi kelainan dapat disebabkan oleh: perceptual handicapes, brain injury,

minimal brain dysfunction, dyslexia, dan developmental aphasia.

e. Mereka tidak tergolong ke dalam: penyandang tunagrahita, tunalaras, atau mereka

yang mendapatkan hambatan dari faktor lingkungan, budaya atau faktor ekonomi.

f. Mempunyai karakteristik khusus berupa: kesulitan di bidang akademik (academic

difficulties), masalah-masalah kognitif (cognitive problems), dan masalah-masalah

emosi-sosial (social-emotional problems).

Di bidang akademik kesulitan yang mereka dapatkan pada bidang studi:

membaca (Berry & Kirk, 1980); menulis dalam menyampaikan ide atau menulis dengan

tangan misalnya dalam menyusun kalimat, mengeja suatu tulisan yang bersifat ceritera

dan melakukan komunikasi melalui tulisan/surat-menyurat; matematika, terutama

pemahaman terhadap konsep-konsep dan cara melakukan perhitungan angka-angka

(Bourke & Reevers, 1977; Mercer & Miller, 1992).

Di bidang kognitif, berkaitan erat dengan kemampuan berfikir. Umumnya peserta

didik yang berprestasi rendah menunjukkan kekurang-mampuan dirinya dalam

mengadaptasi proses informasi yang datang pada dirinya baik melalui penglihatan,

pendengaran, maupun persepsi tubuhnya (visual, auditory and spatial perception).

Page 35: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

35

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

Mereka memerlukan latihan untuk dapat mengefektifkan daya ingatannya, perhatian dan

kesadaran dirinya terhadap tugas-tugas sesuai dengan karakteristik kelainannya (yang

bersifat memory, attention, and metacognition).

Pada Perkembangan emosi-sosial, ada empat lingkup yang memerlukan perhatian

guru di sekolah, berupa:

1) konsep diri terhadap pisiknya, daya berfikirnya dan sosialnya (self concept)

2) kepercayaan terhadap kesuksesan dalam melakukan tugas (causal

attributions)

3) berhubungan dengan keyakinan dirinya yang kurang menaruh perhatian penuh

terhadap sesuatu (learned helpessness)

4) kemampuan untuk bergaul atau berteman (social interaction).

Frustasi selalu dirasakan oleh anak-anak dengan kesulitan belajar, disebabkan

mereka mempunyai masalah belajar di sekolah walaupun kemampuan inteligensinya

tidak lebih rendah daripada teman-teman sekelasnya yang normal. Umumnya anak

dengan hendaya kesulitan belajar mempunyai kesulitan belajar satu atau lebih pada

bidang akademik. Mereka juga dimungkinkan mempunyai hendaya-penyerta hiperaktif

dan kurang atensi.

Indikasi untuk anak-anak dengan hendaya kesulitan belajar adalah kekurangan

atau terhambatnya perkembangan dalam satu atau beberapa bagian dari proses belajar.

Kesulitan belajar mungkin terjadi dalam satu atau lebih pada proses-proses dasar

pemahaman atau penggunaan bahasa tulis maupun lisan. Contohnya, anak dengan

hendaya kesulitan belajar mempunyai hambatan dalam membaca, menulis, matematika,

Page 36: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

36

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

meng-eja huruf, mendengarkan, berfikir dan mengingat-ingat, penyimpangan dalam

keterampilan persepsi, keterampilan gerak, atau pada aspek-aspek belajar lainnya. Oleh

karena itu sebagian besar para ahli banyak menggunakan istilah kesulitan belajar- khusus

(specific learning disability) (Geddes, D., 1981:111; Reynolds, C.R. & Mann, L.,

1987:1483; Lerner, J.W., 1985:7; Ashman, A. & Elkins, J., 1994:241; PL-USA. 94-142).

Istilah kesulitan belajar-khusus (specific learning disablity) banyak diterapkan

oleh para pendidik yang menunjukkan pada indikasi bahwa anak yang bersangkutan

secara jelas mempunyai masalah khusus dalam proses belajar. Sebagai contoh, anak

yang tergolong ke dalam tipe disleksia-visual, yaitu ketidakmampuan membedakan

secara visual menjadi penyebab tidak mampu mengidentifikasi huruf yang bentuknya

hampir serupa, seperti huruf “b” dengan huruf “d”.

Walaupun beberapa anak dengan kesulitan belajar-khusus menunjukkan bukti-

bukti yang kuat adanya cedera pada sistem syaraf pusat, dibandingkan dengan teman-

teman yang normal, namun sesungguhnya mereka hanya mempunyai sistem syaraf pusat

yang tidak berfungsi (dysfunction) dicirikan dengan adanya ketidakberfungsian otaknya

bukan disebabkan adanya cedera pada lapisan otak. Para ahli menyatakan dengan istilah

dysfunction disebabkan tidak ditemukan bukti adanya cedera pada sistem syaraf pusat

secara nyata saat dilakukan diagnosis terhadap anak dengan hendaya kesulitan belajar

(Hallahan & Kauffman, 1991:123).

Beberapa anak dengan hendaya kesulitan belajar juga mempunyai permasalahan

dalam bidang sosial-emosional. Oleh karena itu pembuatan program pembelajarannya

hendaknya lebih menitik-beratkan ke pada penyesuaian sosial. Melalui latihan-latihan

persepsi dimungkinkan dapat meningkatkan keterampilan perseptualnya. Umumnya

Page 37: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

37

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

latihan-latihan persepsi berkaitan erat dengan gerak atau perceptual-motor (Hallahan &

Kauffman, 1991:123). Kekurangan dalam pengalaman satu atau lebih dari komponen-

komponen dasar dalam proses belajar berkaitan erat dengan perilaku psikomotor (sensory

motor & perceptual motor) (Geddes, D., 1981:112; Lerner, J., 1985:265). Kekurangan

itu dapat dijembatani dengan memanfaatkan pola gerak (motor pattern) dan keterampilan

gerak (motor skills) sebagai salah satu upaya intervensi guru dalam pembelajaran

individual terhadap anak dengan hendaya kesulitan belajar, sehingga dikemudian hari

siswa yang bersangkutan diharapkan dapat mencapai kemampuan secara umum dan

memperoleh peningkatan dalam kehidupannya. Pola gerak (motor-pattern) dan

keterampilan gerak (motor-skills) merupakan landasan utama dalam gerak irama (body

movement) setiap individu.

2. Konsep Anak dengan Hendaya Kesulitan Belajar (Learning Disability)

a). Pengertian Anak dengan Kesulitan Belajar

Permasalahan berkaitan dengan arti kata muncul saat memberikan definisi

terhadap istilah kesulitan belajar (learning disability) yang terjadi saat proses belajar,

ditinjau berdasarkan orientasi yang bersifat pendidikan dan klinis. Para ahli klinis

menyebutnya dengan istilah “ketidakberfungsian cerebral secara minimal atau adanya

cedera pada otak” (minimal cerebral dysfunction or brain injured) (Geddes, D.,

1981:111; Lerner, J., 1985:51), ketidakberfungsian otak secara minimal (minimal brain

dysfunction) (Kelly & Vergason, 1978:91; Lerner, J., 19885:35), disleksia (dyslexia) dan

ketidakmampuan perseptual (perceptual disability)(Ashman, A &Elkins, J., 1994:238).

Di sisi lain, para pendidik menyebutnya dengan istilah: hambatan dalam pendidikan

Page 38: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

38

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

(educationally handicapped), atau hambatan berkaitan dengan persepsi (perceptually

handicapped). Anak-anak dengan hendaya kesulitan belajar, secara umum mempunyai

inteligensi yang berada di rerata normal atau di bawah rerata normal. Bagi mereka yang

dikategorikan sebagai anak dengan inteligensi di bawah normal, tidak diklasifikasikan

sebagai tunagrahita.

Ada dua definisi tentang kesulitan belajar (learning disability) yang sangat

berperan dalam penyusunan definisi yang ada pada Public Law (PL) 94-142, the

Education for All Handicapped Children Act (Departemen Pendidikan Amerika Serikat,

1977). Ke dua definisi tersebut adalah: (1) definisi dari hasil kongres panitia penasihat

nasional untuk anak-anak luar biasa di Amerika Serikat, dikenal dengan nama Congres of

the National Advisory Committee on Handicapped Children (1968), dan (2) definisi dari

panitia kerja sama nasional untuk kesulitan belajar, dikenal dengan nama: the National

Joint Committee on Learning Disabilities (NJCLD) tahun 1981.

Konsep-konsep dasar utama dalam definisi pertama (PL 94-142), memuat empat

hal sebagai berikut:

1) Seseorang dinyatakan mempunyai hendaya kesulitan belajar dalam satu atau lebih

dari proses dasar psikologis (proses mengacu ke pada kemampuan hakiki sebagai

pra-syarat penguasaan suatu keterampilan, seperti: memori, persepsi pendengaran,

persepsi penglihatan, dan berbahasa secara lisan).

2) Seseorang mempunyai hambatan dalam belajar, khususnya berkaitan dengan:

berbicara, mendengarkan, menulis, membaca (seperti, keterampilan mengenali

huruf dan pemahamannya), dan matematika (berupa penghitungan dan

mengemukakan alasan-alasan).

Page 39: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

39

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

3) Masalah kesulitan belajar yang ada bukan disebabkan oleh kasus-kasus utama

seperti: hendaya visual dan pendengaran, kelainan-gerak, tunagrahita, gangguan

emosional, gangguan ekonomi, lingkungan atau keadaan yang merugikan yang

diperoleh dari suatu budaya.

4) Terlihat adanya perbedaan yang sangat mencolok diantara potensi-nyata belajar

anak dan pencapaian kecakapan taraf rendah dari anak yang bersangkutan.

Sedangkan konsep-konsep utama dari definisi kedua (NJCLD), meliputi hal

sebagai berikut:

1) Hendaya kesulitan belajar merupakan kelompok kelainan yang beraneka-ragam.

Seseorang dengan hendaya kesulitan belajar banyak memunculkan permasalahan

yang berbeda-beda.

2) Permasalahan yang terjadi merupakan masalah yang benar-benar hanya ada pada

perorangan. Diartikan bahwa hendaya kesulitan belajar terjadi akibat adanya

faktor yang ada pada diri sendiri bukan dari faktor-faktor eksternal seperti: sistem

lingkungan atau sistem pendidikan.

3). Perhatian terhadap hendaya kesulitan belajar hendaknya tertuju pada

ketidakberfungsian sistem syaraf pusat. Karena telah dikenali sebagai masalah

yang mendasar dari faktor bilogis.

4). Hendaya kesulitan belajar, umumnya diikuti dengan kondisi kelainan lain. Telah

diketahui secara nyata bahwa umumnya seseorang dengan hendaya kesulitan belajar

diikuti dengan hendaya-penyerta seperti kelainan emosional pada saat yang

bersamaan.

Page 40: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

40

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

Menurut Nathan (1963), istilah kesulitan belajar (learning disability) diberikan

kepada anak yang mengalami kegagalan dalam situasi pembelajaran tertentu. Dalam hal

ini belajar didefinisikan sebagai “perubahan perilaku yang terjadi secara terus-menerus

yang tidak diakibatkan oleh kelelahan atau penyakit” (dalam Cruickshank & Hallahan,

1975:4). Maka setiap karakteristik yang bersifat individu merupakan hasil dari

perpaduan pengaruh-pengaruh lingkungan dan kondisi-kondisi genetika, sehingga

variabel-variabel organismik, dan genetika sangat berpengaruh terhadap perilaku selama

lingkungan juga turut berpengaruh. Pengaruh organismik, dan genetika memerlukan

adanya respon lingkungan yang efektif (Throne, 1970, 1972 dalam Cruickshank &

Hallahan, 1975:4).

Perubahan-perubahan dalam perilaku dan belajar setiap individu dapat terjadi

melalui manipulasi variabel lingkungan dan genetika pada situasi khusus dari suatu

perkembangan yang bersifat individu. Sehingga terhadap anak-anak dengan hendaya

kesulitan belajar (learning disability), tunagrahita (mentally retarded), cerebral palsy

mempunyai dampak terhadap kemampuan mengatasi kondisi-kondisi lingkungan secara

luar biasa yang berbeda dengan anak-anak normal. Jika inteligensi didefinisikan secara

operasional sebagai “proses melalui pembelajaran terhadap anak yang menggunakan

sarana budaya dalam upaya untuk mengetahui dan melakukan manipulasi lingkungan”,

maka dapatlah diterima bahwa setiap perkembangan inteligensi secara langsung berkaitan

dengan dukungan yang berhubungan dengan azas keturunan (genetika) dari perseorangan

dan beberapa lingkungan dimana anak hidup. Perbedaan lingkungan mempunyai

pengaruh yang berbeda terhadap perkembangan inteligensi dan secara relatif proporsi

genetika dan lingkungan akan berbeda-beda pula hasilnya dalam tes inteligensinya.

Page 41: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

41

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

Faktor-faktor lingkungan anak, nutrisi, dan kesehatan merupakan hal yang

penting bagi perkembangan dan pertumbuhan bayi dan anak-anak. Perhatian terhadap

perbedaan-perbedaan dalam strategi belajar yang memasukkan pengaruh-pengaruh

lingkungan dan perkembangan mental merupakan aspek-aspek kualitatif dari perilaku

anak-anak. Konsep dasar dalam kesehatan anak menyatakan bahwa pemberian makanan

secara tepat dalam kuantitas dan kualitas merupakan pra-syarat bagi pertumbuhan dan

perkembangan optimal bagi bayi dan anak, sehingga malnutrisi saat kehidupan dini

mempunyai kontribusi terhadap keberfungsian di bawah normal dan ketidakmampuan

belajar di kemudian hari (Cruickshank & Hallahan, 1975:27). Interpretasi dari peran

nutrisi terhadap perkembangan mental dan belajar merupakan hal yang rumit, karena

malnutrisi merupakan hasil akhir (out-come) ekologis. Sebagai ilustrasi (pada halaman

berikut), digambarkan beberapa hubungan antara faktor-faktor: biologis, sosial, budaya,

dan ekonomi yang menghasilkan malnutrisi pada masa bayi.

Proses belajar pada seorang anak dilakukan melalui penerimaan secara selektif

dan diterima sebagai masukan sensori yang memberikan informasi berkaitan dengan

lingkungan hidup. Untuk mendapatkan makna, stimuli sensori yang bekerja harus

mampu melakukan proses, dapat menghubungkan, dan berintegrasi dalam kulit lapisan

otak (cortex) untuk menyalurkan informasi dan mendapatkan pengertian yang sama.

Informasi diperoleh melalui kemampuan persepsi dan keterampilan kesadaran-tubuh,

disimpan di otak untuk nantinya digunakan sebagai bentuk respon. Tipe respon antara

lain: berbicara, menulis, meng-eja huruf, bahasa tubuh, ekspresi wajah, gerak,

keterampilan khusus psikomotor (seperti memukul bola).

Page 42: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

42

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

Keterbelakangan Teknologi Daya beli yang rendah Sebagian besar waktu kerja digunakan sebagai upaya pe- menuhan untuk hidup yang layak. Meningkatnya kemungkinan Meninggalkan sekolah Tidak ada persediaan atau Perkawinan yang tidak ber- pada saat awal. Kelebihan. Pendidikan. Kemungkinan meningkatnya Buta huruf Sumber-sumber yang kurang keluarga besar dalam kepa - memadai atau kelebihan untuk datan ruang. ditabung dalam sanitasi ling - kungan.

Pemeliharaan anak Hilangnya kesempatan untuk Ketekunan terhadap konsep- yang kurang tepat. menerima informasi - konsep kesehatan primitif. informasi yang memadai.

Meningkatnya persentase dari belanja untuk layanan kesehatan.

Anoxia Ketekunan terhadap tradisi

dalam distribusi persediaan INFEKSI makanan yang tak cukup.

Berkurangnya penghasilan oleh adanya anak kecil. Kegagalan untuk mengenal kebutuhan-kebutuhan higienis bayi.

Kesehatan perorangan yang rendah. Berat tubuh yang rendah Sanitasi keluarga yang tidak memadai.

Diagram 7.1 Interrelasi Faktor-faktor Biososial dan Berat Tubuh yang Rendah.

(Cruickshank & Hallahan, 1975:30).

Selanjutnya, tingkat kemampuan persepsi perlu adanya pertimbangan terhadap

tingkat yang paling rendah pada jenjang pengalaman-pengalaman belajar dalam kognisi.

Privalensi terjadinya hendaya kelainan belajar pada seorang anak bervariasi dan

sangat sulit disebabkan adanya permasalahan berkaitan dengan semantik (ilmu berkaitan

Page 43: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

43

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

dengan arti kata) yang terlibat saat memberikan definisi. Kirk (1972, dalam Geddes. D.,

1981:112) menyatakan bahwa privalensi berkisar 3 hingga 15 persen bahkan lebih dari

seluruh populasi anak-anak usia sekolah, Lerner, J. (1985:16) menyatakan bahwa sekitar

satu hingga 30 persen dari populasi anak-anak usia sekolah, Departemen Pendidikan

Amerika Serikat (1989, dalam Hallahan & Kauffman, 1991:127) menyatakan sekitar 4,41

persen dari populasi anak-anak usia sekolah yang berumur diatara 6 hingga 17 tahun.

Penyebab terjadinya hendaya kesulitan belajar (Geddes, 1981:113) adalah:

faktor organ-tubuh (organically based etiologies), dan lingkungan (environmentally

based etiologies). Ahli lainnya menyebutkan bahwa penyebab terjadi anak dengan

hendaya kesulitan belajar adalah disebabkan oleh tiga kategori, yaitu: (1) Faktor organik

dan biologis (organic and biological factors), (2) Faktor genetika (genetic factors), dan

(3) faktor lingkungan (environmental factors) (Hallahan & Kauffman, 1991:128).

Penyebab dari faktor organ tubuh (Geddes, D., 1981:113), disebabkan adanya:

(1) Konsep tentang minimal disfungsi otak: Kegiatan otak yang berada di bawah

optimal tidak terjadi dikarenakan adanya cedera pada struktur lapisan luar otak

(cortex).

(2) Faktor patologis terjadinya disfungsi otak, disebabkan adanya kondisi-kondisi

seperti cerebral hemorrhage, penyakit, luka akibat kecelakaan pada kepala,

kelahiran prematur, anoxia (kelangkaan oksigen), ketidaksesuaian faktor Rh,

kecacatan bawaan, dan faktor-faktor genetika.

(3) Hubungan diantara tipe-tipe disfungsi otak: keterampilan neural di bawah optimal

menyebabkan terjadinya hendaya pada daerah cerebral berkaitan dengan

manifestasi tanda-tanda yang bersifat neurologis halus.

Page 44: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

44

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

(4) Hubungan antara disfungsi otak dan kelainan belajar-khusus: anak dimungkinkan

menunjukkan (a) gejala-gejala disfungsi otak tetapi tidak terdeteksi mempunyai

ketidakmampuan belajar, (b) Kedua-duanya, baik disfungsi otak dan

ketidakmampuan belajar, atau (c) adanya ketidakmampuan belajar tetapi tanda-

tanda adanya malfungsi otak tidak teramati (Myers & Hammill, 1976 dalam

Geddes, D, 1981:113).

(5) Adanya kelainan-kelainan yang bersifat medis dewasa ini (Kauffman & Hallahan,

1976), lebih menititkberatkan pada kegiatan melakukan hipotesis tentang kasus-

kasus yang meliputi: kelainan kelenjar, hypoglycemia, narcolepsy complex,

penyimpangan penggunaan vitamin, dan alergi.

Sedangkan etiologi berdasarkan atas faktor lingkungan (Geddes,D., 1981:113),

meliputi hal-hal sebagai berikut.

(1) Pengaruh dari gangguan emosional. Indikasinya adalah anak dengan

masalah-masalah emosional berkecenderungan mempunyai kelemahan

dalam persepsi, bicara, dan mata pelajaran-akademik (Myers & Hammill,

1976)

(2) Pengalaman-pengalaman yang tidak memadai yang diperoleh sebelumnya.

Diperlukan adanya peningkatan dalam proses sensorimotor untuk

meningkatkan keterampilan-keterampilan perseptual (oleh karena itu

dalam setiap program yang berkaitan dengan persepsi-gerak selalu

diimplementasikan sensorimotor guna meningkatkan keterampilan

perseptual) (Myers & Hammill, 1976).

Page 45: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

45

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

(3) Kehilangan lingkungan (Kauffman & Hallahan, 1976). Kecenderungan

kehilangan lingkungan bagi seorang anak akan menimbulkan masalah

belajar yang mungkin menjadi penyebab adanya pengalaman-pengalaman

belajar yang kurang memadai, kegiatan belajar yang sangat rendah,

rendahnya perawatan yang bersifat medis menjadikan seorang anak

mempunyai cedera pada otak.

Faktor organik dan biologis sebagai penyebab anak dengan hendaya kesulitan

belajar (Hallahan & Kauffman, 1991:128), adalah:

(1). Adanya pengembangan terhadap suatu teori yang menyatakan bahwa mixed

dominance sebagai indikasi dari patologi otak sebagai penyebab adanya kesulitan

membaca. Mixed dominance merupakan istilah yang diterapkan terhadap seseorang

yang mempunyai kondisi dimana mengutamakan penggunaan secara tetap

campuran sisi anatomisnya, sehingga memberikan gambaran adanya perkembangan

tidak normal pada otak, contohnya: kegiatan yang dilakukan lebih mengutamakan

menggunakan gerak campuran dari beberapa anggota tubuh secara bersamaan,

seperti tangan kanan dengan mata sebelah kiri dan kaki kiri (Orton, 1937 dalam

Hallahan & Kauffman, 1991:128; Kelly & Vergasson, 1978:91).

(2). Kebanyakan anak dengan hendaya kesulitan belajar mempunyai getaran otak yang

tidak normal, jika diukur dengan komputer digital dan dilakukan analisis dengan

electroencephalogram (EEG). Pencatatan kegiatan elektris pada otak dengan

menempatkan elektrode pada lokasi yang berbeda di kepala anak bersangkutan

(3). Melalui penggunaan metode baru, seperti penggunaan computerized tomographic

scans (CT scans), guna meninjau sampai sejauhmana fisiologi otak. CT scans

Page 46: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

46

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

merupakan suatu teknik dimana komputer dipergunakan bersamaan dengan X-ray

untuk dapat melihat sampai sejauhmana gambaran tentang otak seseorang (anak)

yang menyebabkan adanya ketidaknormalan secara neurologis pada anak dengan

hendaya kesulitan belajar (Hynd & Semrud-Clikeman, 1989 dalam Hallahan &

Kauffman, 1991:128).

Dari ketiga pendapat hasil penelitian tersebut di atas, para ahli mempercayai

bahwa ketidakberfungsian otak (the brain dysfunction) merupakan penyebab utama (the

root of) dari hendaya kesulitan belajar. Di sisi lainnya menyatakan juga bahwa hendaya

kesulitan belajar terjadi diakibatkan adanya gangguan terhadap perkembangan sel syaraf

pada saat perkembangan seorang bayi di usia dini (Hynd & Semrud-Clikeman, 1989

dalam Hallahan & Kauffman, 1991:128).

Menurut Hallahan & Kauffman (1991:128), faktor genetika menunjukkan

bahwa keturunan sebagai penyebab terjadinya hendaya kesulitan belajar, khususnya pada

hambatan membaca. Misalnya, seringkali terjadi ketika salah satu anak kembaran

mempunyai ketidakmampuan membaca, kembaran lainnya juga sama mempunyai

ketidakmampuan membaca. Mereka yang bersangkutan dikatakan mempunyai

monozygotic dari telur yang sama. Monozygotic terjadi dari adanya pemisahan dari satu

telur saat pembuahan sehingga diidentifikasi sebagai komposisi genetik (Kelly &

Vergasson, 1978:92).

Sedangkan faktor lingkungan (Hallahan & Kauffman, 1991:129), menyatakan

bahwa kasus lingkungan sebagai kasus yang dianggap sulit untuk didokumentasikan.

Namun yang paling memungkinkan pada kasus lingkungan sebagai penyebab hendaya

kesulitan belajar adalah kekurangan penanganan belajar (poor teaching). Apabila anak

Page 47: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

47

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

dengan hendaya kesulitan belajar dapat ditangani semenjak usia sekolah secara dini,

dimungkinkan hendaya kesulitan belajar tersebut dapat dihindari.

Karakteristik anak dengan hendaya kesulitan belajar-khusus, sangat berbeda

dengan anak-anak lain. Oleh karena itu beberapa tipe umum dari karakteristik mereka

sering dipakai oleh para pendidik, karakteristik tersebut sebagai berikut: (1) kemampuan

persepsi yang rendah, (2) kesulitan menyadari tubuh sendiri, (3) kelainan-gerak, (4)

tingkat atensi yang tidak tepat, (5) kesulitan bersosialisasi atau emosional (social or

emosional difficulties), (6) kelainan memori, (7) kesulitan-kesulitan dalam melakukan

simbolisasi dan (8) masalah-masalah pengkonsepsian (Geddes, D., 198:115-118).

a). Kemampuan Persepsi yang Rendah (poor perceptual abilities)

Kemampuan persepsi yang rendah, berkaitan dengan (a) persepsi pendengaran, (b)

persepsi visual, (c) persepsi taktil. Kekurangan dapat terjadi pada kemampuan persepsi

pendengaran (auditory perception) menyangkut:

a) membedakan pendengaran, yaitu kemampuan untuk dapat membedakan suara,

bunyi hidup (vowel), dan bunyi mati (konsonan) yang sama,

b) pengakhiran pendengaran, kemampuan untuk melakukan sintesis bunyi-bunyi

dari bagian keseluruhan (contohnya, mendengar bagian suatu kata, dan

kemudian mengetahui apa yang ada dalam seluruh kalimat),

c) bentuk dasar pendengaran, kemampuan untuk menghiraukan latar belakang suara

yang tidak selaras,

d) atensi dan penglokasian pendengaran, kemampuan untuk mengetahui lokasi

sumber suara dan arah suara.

Page 48: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

48

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

Diantara tipe-tipe umum dari kekurangan persepsi pendengaran adalah

“auditory agnosia”, yaitu ketidakmampuan untuk mengenal suara atau kombinasi bunyi

dengan memperhatikan maknanya. Sedangkan lainnya, adalah “auditory dissociation”

(disosiasi pendengaran) yaitu bunyi dapat didengar dan dikenali tetapi tidak mampu

untuk diartikan secara keseluruhan.

Pada persepsi visual (visual perception): Kekurangan kemungkinan terjadi

dalam kemampuan-kemampuan persepsi visual seperti berikut.

(1) Klosur visual (visual closure): Pola melengkapi, mekanisme tanggung jawab

untuk melengkapi secara otomatis terhadap simbol-simbol visual yang sudah

dikenal (contohnya, melihat bagian yang tak lengkap suatu gambar dan tahu

bagaimana bentuk keseluruhan dari gambar tersebut). Diartikan sebagai

kemampuan untuk menggambarkan keseluruhan hanya dengan melihat sebagian

dari bentuk keseluruhan. Latihan klosur visual sangat berguna bagi anak-anak

yang mempunyai kesulitan dalam menghubungkan bagian-bagian tertentu yang

merupakan suatu bagian utuh secara menyeluruh (Kelly & Vergasan, 1978:142)

(2) Membedakan secara visual (visual discrimination): kemampuan untuk

mengetahui perbedaan antara benda-benda yang bentuknya sama, surat-surat, atau

kata-kata (seperti huruf “b” dan “d” dapat ditangkap berbeda oleh anak).

(3) Membedakan bentuk secara visual (visual form discrimination): Kemampuan

untuk dapat membedakan adanya perbedaan antara bentuk auditori masa kini

(contohnya, dapat membedakan antara segi tiga dan bentuk gambar intan pada

sebuah kartu-gambar).

Page 49: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

49

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

(4) Mengubungkan figur dasar secara visual (visual figure-ground relationship):

Mampu mengidentifikasi satu bentuk figur seseorang (misalnya: gadis) dari

gambar yang memunculkan tiga figure yang sama.

(5) Persepsi terhadap ukuran (size perception): kemampuan untuk merasakan secara

tepat tentang ukuran suatu benda dengan kemampuan visual.

(6) Perspesi mengenai jarak dan kedalamannya (depth and distance perception):

Kemampuan terhadap persepsi ukuran: panjang, kedalaman, dan jarak dari

berbagai benda dan mampu melihat benda-benda yang bergerak.

(7) Mengenali suatu benda (object recognition): kemampuan untuk mengintegrasikan

rangsang visual ke dalam bentuk secara keseluruhan.

Pada persepsi taktil (tactile perception): kemampuan persepsi taktil yang utama

adalah membedakan hanya dengan meraba, kemampuan untuk mengenal benda-benda

yang dikenal, atau tekstur dan lokasi dari anggota badan yang dapat disentuh oleh

seseorang. Termasuk ke dalam taktil adalah:

(1) taktil agnosia (astereognosis), yaitu ketidakmampuan untuk mengenal benda-

benda yang telah dikenal sebelumnya melalui sentuhan,

(2) agnosia jari-jari (finger agnosia), yaitu ketidakmampuan untuk mengenali suatu

objek melalui jari-jemarinya tanpa melihat terlebih dahulu,

(3) tactile defensiveness, yaitu ketidaktepatan, tanggapan yang bersifat berlebihan

terhadap masukan taktual, dimungkinkan tanggapannya terlalu negatif untuk

dapat diraba atau menghindari kontak dengan permukaan yang dapat dipakai

sebagai masukan taktual yang kuat, seperti bahan-bahan untuk permadani dan

sikat.

Page 50: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

50

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

b. Kesulitan terhadap Kesadaran Tubuh (body awareness difficulties)

Kesadaran terhadap tubuh didefinisikan “sebagai konsep dan pemahaman

bahwa adanya saling keterhubungan yang erat antara tubuh seseorang dengan

lingkungannya selama proses perubahan perilaku “. Faktor-faktor yang terlibat dalam

perkembangan kesadaran terhadap tubuh termasuk kinesthesia (mengenali orientasi

terhadap bagian-bagian tubuh yang berbeda dengan saling menaruh respek antara satu

dengan lainnya, seperti halnya yang terjadi pada tingkat gerak dari bagian-bagian tubuh

yang berbeda tersebut), dan asimilasi masukan sensori-ruang depan (vestibular) dan

perlengkapan visual. Kesulitan-kesulitan terhadap kesadaran tubuh dimungkinkan terjadi

dalam wilayah keterampilan-gerak, sebagai berikut.

(1) Orientasi ruang (spatial orientation), yaitu pemahaman terhadap ruang sekitar diri

seseorang berkaitan dengan jarak, arah, dan posisi.

(2) Secara kesamping (laterality), mengetahui yang mana sisi kiri atau kanan dari

tubuh.

(3) Secara tegak lurus (vertically), konsep tentang arah ke atas dan ke bawah.

(4) Terhadap kesan tubuh (body image). Konsep pemahaman bagian-bagian tubuh.

(5) Berkaitan dengan garis tengah tubuh (midline body), konsep tentang garis tengah

tubuh secara tegak lurus dari tubuh manusia yang memisahkan tubuh ke dalam

dua sisi yang sama.

Permasalahan yang sering dijumpai dalam pemahaman tubuh termasuk (a)

kelainan tubuh untuk melakukan orientasi dan ketidakmampuan untuk mengenal bagian-

bagian tubuh (autotopegnosis), dan (b) ketidakmampuan untuk mengenali jari-jemari

selama dilakukan tes lokalisasi jari-jemari (finger agnosia).

Page 51: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

51

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

c. Kelainan Kegiatan-Gerak (disorder of motor activity)

Kelainan gerak seringkali dapat diamati pada anak-anak dengan hendaya

kesulitan belajar. Hal itu dimungkinkan karena masalah gerak dan kesulitan belajar

mempunyai etiologi yang sama (Myeres & Hammill, 1976 dalam Geddes, D., 1981:116).

Kelainan gerak dapat diamati melalui: (1) kegiatan saat mempertahankan

keseimbangan dan bentuk tubuh (balance and postural mainbtenance), yaitu dalam

kesulitan untuk duduk, berdiri, mempertahankan postur dan keseimbangan khusus; (2)

gerak dasar dan gerak lokomotor (locomotion and basic movement), kekurangan terjadi

pada keterampilan untuk berjalan, berlari, memanjat, mekanisasi tubuh, melompat,

meloncat-loncat, dan pola-pola gerak tubuh secara gross-motor.

Termasuk tipe-tipe umum kelainan gerak adalah: (1) hyperactivity

(hyperkinethesis): mobilitas yang resah, tidak menentu, secara serampangan, dan

mobilitas yang berlebihan; (2) hypoactivity (hypokinethesis): pendiam, tidak aktif, dan

kegiatan geraknya kurang cukup; (3) clumsiness: kesulitan dalam mengontrol gerak

dengan adanya ketidakserasian dan ketidakefisien perilaku gerak dalam bentuk kekakuan

secara pisik dan tidak ada koordinasi gerak; (4) apraxia (dyspraxia): ketidakmampuan

untuk berinisiatif atau melakukan gerak dalam pola-pola gerak yang rumit, seperti

serangkaian tugas gerak untuk melakukan loncatan; (5) ketekunan (perseveration): secara

otomatis dan sering kali secara suka rela untuk menindaklanjuti perilaku yang dapat

diamati sewaktu melakukan kegiatan berbicara, menulis, membaca secara oral,

menggambar dan melukis; (6) adiadochokinesia: ketidakmampuan untuk melakukan

gerak alternatif dan gerak-cepat.

Page 52: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

52

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

d. Kesulitan dalam keterampilan psikomotor sangat erat hubungannya dengan

ketidakberfungsian persepsi khusus, sebagai berikut.

(1) Respon psikomotor yang lemah terhadap petunjuk yang diperoleh melalui

pendengaran berupa perbedaan suara dengan kegiatan yang berbeda, seperti kata-

kata “talk” dan “walk” dalam bahasa Inggris, “jalan” dengan “jualan” dalam

bahasa Indonesia.

(2) Respon psikomotor terhadap persepsi visual yang lemah. Kemampuan persepsi

visual yang spesifik penyebab adanya respon psikomotor terhadap persepsi visual

yang lemah, dapat menyebabkan seseorang tidak mampu membedakan bola putih

yang dilambungkan di udara dengan latar belakang awan sehingga yang

bersangkutan tidak dapat menangkap bola putih dengan baik.

(3) Rendahnya respon psikomotor terhadap persepsi taktil. Ketidaktepatan respon

psikomotor terhadap ciri-ciri khusus taktil menjadi penyebab kesalahan

membedakan benda-benda dengan cara taktil. Contohnya, seorang anak tidak

mampu membedakan dua nikel dalam kumpulannya dengan dua perempat nikel

yang ada di atas meja.

e. Kesulitan berikutnya adalah dalam memanipulasi, berkaitan dengan:

(1) Ketidaktepatan dalam keterampilan fine-motor tangan saat digunakan untuk

memanipulasi-gerak. Misalnya, koordinasi tubuh dengan mata saat memegang

sesuatu benda (pinsil, crayon) secara tepat.

(2) Kekurangan tingkat atensi menyebabkan daya atensi yang kurang atau atensi

yang berlebihan. Atensi yang tepat merupakan pra-syarat motivasi yang sangat

Page 53: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

53

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

diperlukan dan pencapaian prestasi yang berhasil. Ada dua tingkat atensi yang

kurang tepat, yaitu (a) atensi yang kurang cukup, yaitu ketidakmampuan untuk

menggambarkan ekstra rangsangan, sering disebut dengan istilah “kekacauan

pikiran” (distractibility), pemahaman yang berlebihan (hyperawareness), lekas

marah secara berlebihan (hyperirritability) atau waktu atensi yang pendek; dan

(b) atensi yang berlebihan, ketidaknormalan perasaan yang mendalam saat atensi

terhadap perincian-perincian yang dianggap tidak penting saat munculnya

kejadian-kejadian yang tidak perlu;

(3) Kestabilan emosi, sering diiringi dengan kesulitan belajar sebagai akibat adanya

hendaya gerak, dan frustasi disebabkan karena kegagalan dalam melakukan

kontak hubungan dengan orang lain. Dampak dari itu seorang anak akan

mempunyai persepsi-sosial yang tidak pada tempatnya;

(4) Kesulitan dalam memori berupa jangka pendek dan jangka panjang. Kesulitan

memori ini bisa terjadi saat asimilasi, penyimpanan dan/atau pencarian

informasi. Kesulitan itu berkaitan dengan kemampuan taktual, visual,

pendengaran dan sistem belajar. Misalnya, seorang anak tidak mampu

menghubungkan secara tepat antara ingatan pendengaran terhadap kata yang

pernah ia dengar dengan kata yang sama saat ia mendengarkan dalam waktu

berikutnya, sehingga yang bersangkutan mempunyai hendaya ingatan visual;

(5) Kesulitan dalam melakukan simbolisasi, baik secara verbal maupun dalam proses

simbolis verbal. Kesulitan simbolisasi terdiri atas: (a) simbolisasi penerimaan

pendengaran (receptive-auditory simbolization). Anak tidak memahami kata-

kata dalam pembicaraan atau kebingungan terhadap perintah-perintah verbal.

Page 54: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

54

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

Contohnya, echolalia; (b) Simbolisasi daya tangkap visual (receptive-visual

symbolization). Contohnya, daya ingat visual terhadap pola-pola kata dan tulisan

(strephosymbolia), dan ketidaktepatan antara masukan visual berupa kata-kata

tertulis dengan kesan pendengaran terhadap huruf-huruf (dislexia visual).

Misalnya pada huruf: o, e, c, b, p, d, h, dan n atau pada kata “pot” dibacanya

“top”; (c) Simbolisasi ucapan yang bersifat pernyataan perasaan (expressive-oral

symbolization). Anak tidak mampu mengartikan ucapan mengenai suatu benda

atau fungsi-fungsinya, karena tidak memahami tentang kalimat (syntax) dan

ekspresi ide-ide secara ucapan; (d) Simbolisasi-gerak yang menyatakan perasaan

(expressive-motor symbolization). Anak tidak mampu mengekspresikan dirinya

melalui berbicara, menulis, atau melalui ekspresi gerak-tubuh/ gerak-mimik

muka (dysgraphia, yaitu ketidakmampuan mengekspresikan pikirannya melalui

tulisan, surat dengan tendensi sering menghilangkan kata/tulisan yang tidak

benar).

(6) Kesulitan dalam kemampuan untuk mengkategorikan dan melakukan perbedaan-

perbedaan klasifikasi. Misalnya, perbedaan tingkat perkembangan terhadap

konsep ke arah konkret (seperti, apel dan jeruk kedua-duanya berbentuk bulat),

ketidakmampuan membedakan keberfungsian (bahwa apel dan jeruk kedua-

duanya dapat dimakan), dan melakukan abstraksi (seperti, apel dan jeruk adalah

buah-buahan).

Page 55: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

55

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

b. Perspektif Teori Bagi Anak dengan Kesulitan Belajar

Beberapa teori sebagai kerangka dasar untuk mengevaluasi dan mengajar anak

dengan hendaya kesulitan belajar dan implikasinya, adalah teori-teori yang mencakup

pendangan terhadap perspektif perkembangan kedewasaan, proses secara psikologis,

penguasaan kemampuan akademik, dan pendekatan-pendekatan kognitif. Memahami

sebuah teori sebagai landasan pengetahuan terhadap hendaya kesulitan belajar merupakan

dasar yang sangat diperlukan dalam upaya memahami dan menginterpretasikan berbagai

cabang ilmu. Selain itu, dapat juga membantu para pendidik untuk menyeleksi dan

mengevaluasi terhadap hal-hal yang sangat membingungkan dalam penggunaan dan

pengaplikasian suatu media baru, teknik-teknik, instrumen elektronik, dan metode.

Tujuan suatu teori adalah untuk menyajikan bentuk, hubungan, dan arti tentang

apa yang diamati dalam kenyataan yang sebenarnya. Teori juga merupakan tuntunan

praktis dalam kegiatan, menciptakan katalisator untuk penelitian lanjutan, membangun

teori baru dan mengklarifikasi, serta membentuk proses berfikir. Maka peran suatu teori

adalah menyajikan kerangka dasar kreatif guna melakukan penyesuaian dari hendaya

kesulitan perilaku. Secara umum, teori-teori merupakan lanjutan dari lapangan (dalam

hal ini adalah sekolah) untuk memahami dan membantu guru khusus untuk mempelajari

aplikasi secara signifikan, khususnya di sekolah-sekolah luar biasa dan sekolah reguler

yang menerapkan sistem pembelajaran inklusif.

Pandangan lebih jauh terhadap suatu hendaya kesulitan belajar (learning

disablity) dibentuk oleh adanya konsep-konsep perkembangan psikologi, berdasarkan

analisis cara berfikir anak melalui penelitian dan perkembangan secara bertahap berkaitan

dengan kemampuan kognitifnya. Dalam pandangan perkembangan anak dinyatakan

Page 56: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

56

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

bahwa kemampuan gerak-maju secara normal terjadi dalam suatu kondisi-kondisi yang

cocok. Oleh karena itu memahami suatu perkembangan kemajuan dan perkembangan

kognitif anak secara normal dapat dijadikan landasan perbandingan guna memahami

permasalahan anak yang mempunyai hambatan-hambatan belajar yang dikenal dengan

istilah anak dengan hendaya kesulitan belajar.

Berdasarkan konsep keterlambatan kematangan diri ditinjau dari aspek

perkembangan neurologis, seorang anak mempunyai tingkat perkembangan sesuai

dengan faktor-faktor perkembangan kemanusiaan yang berbeda-beda, termasuk di

dalamnya adalah fungsi kognitif (Bender, 1957 dalam Lerner, J. 1985:168). Seorang

anak yang menunjukkan adanya ketidaksesuaian diantara berbagai kemampuan tidak

semata-mata disebabkan oleh adanya ketidakberfungsian sistem syaraf pusat atau adanya

cedera pada otak, agaknya ketidaksesuaian itu dapat juga menunjukkan adanya berbagai

kemampuan yang mengacu ke pada kematangan pada tingkat yang berbeda, sehingga

hipotesis terhadap anak dengan hendaya kesulitan belajar tidak berbeda dengan hipotosis

terhadap anak-anak lain tanpa adanya ketidakberfungsian dari sistem syaraf pusat.

Konsep tentang kelambatan kematangan diri, menunjukkan bahwa beberapa

hendaya kesulitan belajar yang muncul pada diri seorang anak dapat saja terjadi

disebabkan oleh adanya perilaku-perilaku masyarakat yang ada di sekitarnya. Perilaku

masyarakat tersebut dapat menjadi suatu “tekanan” pada diri seorang anak sebelum anak

tersebut siap menghadapi kegiatan pencapaian prestasi akademiknya. Hal ini dibuktikan

oleh suatu penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat terhadap 177 siswa-siswa

dengan hendaya kesultan belajar (learning disability) dalam kelas-kelas khusus. Hasilnya

menunjukkan bahwa mereka secara signifikan menunjukkan adanya “perkembangan

Page 57: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

57

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

yang lambat” dalam pencapaian prestasi akademiknya (Koppitz, 1972-1973 dalam

Lerner, J., 1985:168). Penelitian tersebut juga menunjukkan adanya

ketidakberkembangan dan sangat rendahnya pengintegrasian diri mereka, sehingga

mereka membutuhkan waktu-belajar yang lebih banyak dalam upaya untuk melakukan

kompensasi diri terhadap kelambatan dalam perkembangan neurologisnya. Pada

umumnya mereka membutuhkan waktu sekitar dua tahun atau lebih untuk menyelesaikan

pendidikan yang diterima di sekolah dibandingkan dengan siswa lain. Menurut Koppitz,

apabila anak dengan hendaya kesulitan belajar diberikan waktu tambahan yang cukup dan

dilakukan bantuan-bantuan dalam pembelajaran pada umumnya anak bersangkutan dapat

menyelesaikan prestasi akademiknya dengan baik.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Sovern Hagin (1966) terhadap anak-anak

dengan hendaya kesulitan belajar yang ada di klinik Bellevue Hospital Hygiene

menunjukkan bahwa anak remaja dengan hendaya kesulitan belajar usia 17 hingga 24

tahun tidak menunjukkan adanya hambatan dalam orientasi terhadap simbol-simbol,

membedakan berdasarkan pendengaran, atau membedakan antara sisi kiri/ kanan.

Beberapa anak dengan hendaya kesulitan belajar tersebut, tidak mempunyai hambatan

belajar lagi setelah melalui suatu proses perkembangan-dirinya. Pada anak-anak dengan

hendaya kesulitan belajar di usia taman kanak-kanak diprediksi mempunyai kelemahan

dalam membaca, dan meng-eja huruf. Selanjutnya, penelitian dari deHirsch, Jansky dan

Langford (1966) telah membuktikan bahwa teori tentang keterlambatan kematangan diri

anak merupakan faktor yang sangat penting saat memperkirakan tingkat pencapaian

kemampuan membaca (dalam Lerner, J., 1985:168).

Page 58: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

58

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

Tingkat perkembangan kedewasaan anak dari Piaget menyatakan bahwa

perkembangan kognitif terjadi dalam serangkaian tingkatan yang tetap dan dalam

keadaan saling ketergantungan. Setiap tingkatan, anak hanya mampu belajar pada tugas-

tugas kognitif tertentu (Piaget, 1970 dalam Lerner, J., 1985:169). Kemampuan berfikir

dan belajar anak akan berubah sesuai umurnya. Dengan kata lain, bahwa kemampuan

berfikir dan belajar anak dicapai melalui serangkaian perkembangan pada tingkat

perkembangan kedewasaannya. Selama belajar akan terjadi tingkatan-tingkatan

perkembangan fungsi kemampuan dalam kuantitas, kualitas, kedalaman, dan keluasan

belajar.

Tingkat perkembangan anak berdasarkan teori Piaget (1970, dalam Lerner, J.,

1981:169-171) secara sistematis menunjukkan tingkatan-tingkatan sebagai berikut.

1. Periode pertama disebut dengan periode sensorimotor (sensorimotor period) terjadi

dalam usia satu hingga dua tahun. Selama masa ini anak belajar melalui indera dan

gerak serta melakukan interaksi dengan lingkungan secara fisik. Pada masa ini

melalui cara memindahkan, menyentuh, memukul, menggigit dan memanipulasi

benda-benda secara fisik, anak mulai mempelajari tentang ruang, waktu, lokasi,

ketetapan dan sebab-akibat. Pada anak dengan hendaya kesulitan belajar,

perkembangan gerak difokuskan pada gerak-sensori (sensory-motor) dan gerak

persepsi (perceptual motor). Misalnya, dalam gerak keseimbangan, seorang anak

dengan hendaya kesulitan belajar akan terlihat ketidakmampuan melakukan koreksi

terhadap posisi tubuh dan hubungan tubuhnya dengan gaya berat. Umumnya, anak

dengan hendaya kesulitan belajar tidak mampu melakukan koordinasi gerak dalam

kegiatan-kegiatan yang menggunakan gross-motor (gerak dengan meenggunakan

Page 59: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

59

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

otot-otot besar). Dalam koordinasi gerak yang menggunakan fine motor (gerak

dengan menggunakan otot-otot halus), anak dengan hendaya kesulitan belajar kurang

memahami kemampuan tubuh sendiri, tidak tahu arah, merasa bingung untuk

melakukan gerak secara menyamping (lerner, J., 1985:266).

2. Periode kedua disebut dengan periode pre-operasional (preoperational period), terjadi

pada usia dua hingga tujuh tahun. Pada masa ini anak mulai melakukan

pertimbangan-pertimbangan intuisi tentang hubungan-hubungan antar objek dan

berfikir tentang simbol-simbol. Bahasa menjadi hal yang amat penting, karena anak

mulai belajar menggunakan simbol-simbol untuk menggambarkan dunia nyata

(concrete world). Anak mulai mempelajari lambang dan sifat objek yang ada di

sekitar dirinya.

Daya berfikir anak didominasi oleh pemikiran yang berkaitan dengan

persepsi, khususnya dimensi ruang dan waktu. Dalam menghadapi benda-benda

secara simbolik, anak memerlukan pengamatan-pengamatan terhadap waktu dan

ruang serta hubungan antara keduanya terhadap objek dan kejadian-kejadian yang

ada. Untuk kepentingan ini, program-program berkaitan dengan pengembangan

kemampuan konsep dan kognitif banyak dilakukan sebagai upaya pendekatan

pendidikan terhadap anak dengan hendaya kesulitan belajar. Pendekatan pendidikan

tersebut dilakukan melalui upaya pengaplikasian teori-teori tentang gerak-persepsi.

Persepsi merupakan keterampilan yang perlu dipelajari oleh anak dengan

hendaya kesulitan belajar. Dalam proses belajar seharusnya kegiatannya dapat

diarahkan ke pada dampak langsung dari adanya fasilitas-fasilitas berkaitan dengan

persepsi. Beberapa bentuk persepsi yang mempunyai implikasi dalam pembelajaran

Page 60: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

60

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

terhadap anak dengan hendaya kesulitan belajar antara lain konsep-konsep persepsi

berkaitan dengan pengandaian, persepsi bagian-bagian dan keseluruhan, persepsi

pendengaran, persepsi yang berkaitan dengan indera-raba, persepsi pengandaian-

silang, persepsi bentuk dan arah, dan persepsi sosial.

3. Periode ketiga disebut dengan periode operasi konkret (concrete operation). Periode

ini terjadi pada usia tujuh hingga sembilan tahun. Pada masa ini anak mulai mampu

berfikir melalui hubungan (relationship), merasakan konsekuensi dari tindakan-

tindakan, dan melakukan pengelompokkan yang sungguh-sungguh ada berdasarkan

cara-cara logis. Anak mulai mampu melakukan sistimatisasi dan pengorganisasian

cara berfikirnya. Pemikiran-pemikiran mereka dibentuk melalui pengalaman-

pengalaman sebelumnya dan tergantung pada objek-objek konkret dengan cara

memanipulasi atau memahami sesuatu melalui panca inderanya.

4. Periode keempat adalah periode operasi-nyata (formal operations). Periode ini terjadi

dimulai pada usia 11 tahun dan menggambarkan adanya perubahan besar dalam

proses berfikir. Dalam periode operasi nyata ini berfikir mengarahkan pengamatan-

pengamatan langsung, tidak seperti periode-periode sebelumnya yakni pengamatan-

pengamatan mengarahkan cara berfikir. Anak mulai mempunyai kapasitas kerja

dengan abstraksi, teori-teori, dan hubungan antar objek secara logis tanpa mengacu

terlebih dahulu ke pada hal yang konkret. Lebih lanjut, periode operasi-nyata

menyediakan orientasi secara menyamaratakan ke arah kegiatan yang bersifat

pemecahan masalah.

Page 61: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

61

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

Menurut Piaget, transisi dari satu tingkat ke tingkat berikutnya melibatkan

kedewasaan. Tingkatan-tingkatannya bersifat berurutan dan berjenjang, dan hal yang

esensial adalah anak diberikan kesempatan untuk memantapkan perilakunya dan

memikirkan tentang apa yang ada dalam setiap tingkatan. Di sisi lain, kurikulum sekolah

seringkali memerlukan pengkonseptualisasian terhadap perkembangan anak dan

perkembangan logikanya dengan memberikan kesempatan yang cukup untuk mencapai

pemahaman pada tingkat-tingkat sebelumnya (Lerner, J., 1985:171).

Implikasi dari teori perkembangan kedewasaan terhadap anak dengan hendaya

kesulitan belajar sangat signifikan, khususnya dalam memahami dan saat belajar tentang

“keberadaan-kelainannya”. Teori ini menyatakan bahwa kemampuan kognitif anak

selalu berbeda secara kualitatif dan perkembangannya akan selalu berurutan yang tidak

dapat berubah, sehingga perubahan cara berfikir akan terjadi secara terus-menerus. Maka

sekolah hendaknya dapat menyusun suatu pola pembelajaran berdasarkan pengalaman-

pengalaman belajar anak guna mencapai pembentukan perkembangan pertumbuhan

secara alamiah yang lebih menitikberatkan pada landasan berfikir dan adanya kesiapan

untuk belajar (readiness) dari anak bersangkutan. Misalnya kesiapan untuk berjalan akan

memerlukan tingkatan perkembangan gabungan dari sistem neurologis, kekuatan otot

yang memadai, dan perkembangan fungsi motorik. Jadi, bagi anak dengan hendaya

kesulitan belajar memerlukan perhatian yang lebih khusus dari guru-kelasnya. Perhatian

secara khusus oleh guru terutama dalam membantu perkembangan anak bersangkutan

melalui pemberian latihan-latihan berkaitan dengan kemampuan kesiapan belajar sebagai

pra-syarat untuk melakukan langkah-langkah belajar berikutnya. Bagi anak dengan

hendaya kesulitan belajar (learning disability) yang belum siap dalam mempelajari suatu

Page 62: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

62

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

mata pelajaran tertentu, terlebih dahulu dilakukan suatu evaluasi yang sensitif dan pola

pembelajaran yang bersifat klinis.

Pembelajaran klinis (clinical teaching), merupakan proses asesmen-

pembelajaran dalam bentuk khusus guna membantu siswa-siswa yang mempunyai

hambatan-hambatan belajar. Tujuan dari pembelajaran yang bersifat klinis adalah untuk

menyesuaikan pengalaman-pengalaman belajar siswa yang bersangkutan terhadap

kebutuhan unik dari siswa dengan hendaya kesulitan belajar. Melalui asesmen dan

analisis terhadap masalah belajar anak yang bersifat khusus, maka hasil-hasilnya dapat

dijadikan informasi penting dalam penyusunan program pembelajaran klinis oleh guru-

khusus.

Asesmen tidak berhenti ketika prosedur treatmen-khusus dimulai, karena dalam

kenyataannya esensi pembelajaran klinis merupakan kegiatan asesmen dan pembelajaran

secara terus-menerus serta saling berkaitan. Guru khusus memodifikasi pembelajaran

sebagai bentuk nyata untuk memenuhi “kebutuhan” baru, sehingga beberapa intervensi

yang berbeda dapat dipergunakan dalam pembelajaran klinis. Guru khusus bagi

pembelajaran klinis merupakan seorang yang selalu memperhatikan, mengawasi, dan

mengamati anak terhadap apa yang telah dilakukan oleh seorang anak dalam kegiatan

belajar di sekolah. Mengamati bentuk-bentuk kesalahan siswa adalah suatu kegiatan

yang amat penting untuk pencapaian keberhasilan belajar siswa yang bersangkutan. Dari

kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh siswa bersangkutan dapat dijadikan petunjuk

mengenai sampai sejauhmana tingkat perkembangan siswa, cara berfikir, pokok-pokok

yang mendasari sistem bahasa siswa, dan cara belajar siswa. Sebagai contoh, seorang

guru-khusus yang memperhatikan kesalahan-kesalahan yang telah dibuat siswanya saat

Page 63: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

63

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

membaca buku bacaan, merupakan petunjuk yang sangat berharga bagi pembinaan proses

mental siswa. Petunjuk tersebut merupakan landasan pokok dalam membina kemampuan

membaca siswa bersangkutan. Kesalahan-kesalahan siswa yang muncul saat membaca,

merupakan suatu “perilaku terbuka” (overt behavior) dari siswa bersangkutan dan dapat

menjadi aspek ungkapan dalam proses intelektual yang akan dianalisis oleh guru-khusus

(Goodman & Gollasch, 1980-1981 dalam Lerner, 1985:100).

Pembelajaran klinis dapat juga dipakai sebagai tinjauan terhadap suatu proses

alternatif dalam bentuk: mengajar – tes – mengajar – tes, kedudukan guru dalam kegiatan

ini adalah sebagai pengajar dan penguji. Sebagai contoh dapat dilihat kasus di bawah ini.

Andi seorang siswa kelas tiga sekolah dasar, membaca kalimat: “Saya telah melihat orang batuk” yang sebetulnya bacaan tersebut berbunyi: “Saya telah melihat orang botak” . Guru-khusus dapat menyimpulkan bahwa Andi mempunyai kesalahan baca yang perlu diperbaiki, dan memperkirakan apa yang menjadi sebab siswa bersangkutan salah baca. Pembelajaran-klinis yang akan diterapkan terhadap siswa bersangkutan akan tergantung pada hasil analisis-kesalahan. Hasil analisis guru terhadap kesalahan baca siswa tersebut berkaitan dengan apakah kesalahan tersebut disebabkan oleh adanya kesalahan-kesalahan persepsi-visual, kosa kata yang terlihat tidak tepat, rendahnya daya ingat siswa bersangkutan, kelangkaan keterampilan untuk melihat kata-kata, atau karena tidak memahami suatu teks bacaan.

Proses lengkap dari pembelajaran-klinis merupakan siklus yang terdiri atas: (1)

diagnosis (dalam hal ini melakukan asesmen), (2) perencanaan pembelajaran, (3)

implementasi, (4) evaluasi sebagai arahan untuk melakukan, (5) modifikasi diagnosis.

Selanjutnya kembali ke pada siklus semula, dan seterusnya. Dalam pembelajaran-klinis,

sistem ekologis (ecological system) merupakan faktor yang berpengaruh terhadap belajar-

siswa. Sistem ekologis disini adalah suatu interaksi diantara individu siswa dengan

berbagai bentuk lingkungan dimana siswa yang bersangkutan hidup dan tumbuh.

Misalnya, lingkungan yang ada di sekitar rumah, kelompok sosial tertentu, dan

Page 64: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

64

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

lingkungan budaya lokal yang kesemuanya dapat mempengaruhi tingkat kemampuan

belajar siswa.

Sistem ekologis yang baik sangat membantu secara positif terhadap kemajuan

siswa disamping itu dapat membantu siswa untuk memahami suatu mata-pelajaran

tertentu. Oleh karena itu guru-kelas harus lebih sensitif terhadap pengaruh-pengaruh

sistem ekologis terhadap cara belajar, sikap, dan tingkat kemajuan siswanya. Menurut

Barsch (1965 dalam Lerner, 1985:107), faktor-faktor yang mempengaruhi pembelajaran

dapat disesuaikan-kembali dalam proses kegiatan pembelajaran klinis oleh guru-khusus

(dalam hal ini biasanya dilakukan oleh guru-kelas). Faktor-faktor tersebut adalah: ruang,

waktu, keserba-ragaman tugas-tugas, tingkat kesulitan yang dihadapi siswa, bahasa, dan

hubungan yang baik antara pribadi siswa dengan guru.

c. Strategi Pembelajaran bagi Anak dengan Kesulitan Belajar

Strategi pembelajaran terhadap anak dengan hendaya kesulitan belajar berfokus

pada cara menyajikan kegiatan-kegiatan yang dapat mewakili keterampilan gerak dan

fungsi persepsi (terutama visual, pendengaran, dan kesadaran terhadap tubuh). Dalam

kegiatan pembelajaran tersebut, kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan kerja otot-otot

besar (gross-motor) diusahakan dapat melibatkan seluruh otot-tubuh dan kemampuan

untuk bergerak dari berbagai anggota tubuh, seperti pengaruh daya bobot, gerak

menyamping, dan gerak yang menyadari akan adanya garis-tengah tubuh. Tujuan dari

kegiatan gerak semacam itu adalah untuk pengembangan secara bertahap terhadap

efektivitas gerak-tubuh sehingga dapat meningkatkan panca-indera siswa berkaitan

dengan orientasi-ruang, dan kesadaran tubuh. Kegiatan-kegiatan itu menyangkut

Page 65: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

65

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

kegiatan keseimbangan seperti berjalan di atas balok keseimbangan (balance beam), dan

kegiatan-kegiatan gerak gross-motor lainnya seperti berjalan, menangkap dan melempar,

serta koordinasi gerak-mata.

Kegiatan latihan-latihan berkaitan dengan kemampuan persepsi hendaknya

bertujuan untuk mencapai prestasi akademik terutama sekali dalam membaca. Terdapat

lima fungsi persepsi-visual sebagai bagian dari bentuk yang esensial dalam meningkatkan

kemampuan persepsi-visual, yaitu: (1) koordinasi gerak-visual, (2) persepsi terhadap

bentuk dasar tubuh, (3) persepsi-kekonstanan, (4) persepsi-posisi dalam suatu ruangan,

(5) persepsi terhadap hubungan antar ruang (Frostig, 1968 dalam Lerner, 1985:299).

Dalam latihan-latihan persepsi-membedakan terdapat tiga gugus tugas yang

sumbangannya sangat tinggi dalam: (1) kemampuan untuk membaca huruf dan angka, (2)

kemampuan untuk menirukan pola-pola yang berbentuk geometri, dan (3) kemampuan

untuk menjodohkan kata-kata. Keterampilan persepsi-membedakan yang diterapkan

melalui pemberian tugas-tugas dalam latihan keterampilan persepsi-visual dapat

meningkatkan kemampuan membaca (Barret, 1965 dalam Lerner, 1985:299).

Beberapa contoh kegiatan yang dapat meningkatkan persepsi-visual antara lain

latihan keterampilan menggunakan media: teka-teki (puzzle), menyusun bagian-

perbagian, menyusun balok-balok, menemukan sub-bagian dari suatu bentuk yang hilang

dalam gambar, mengklasifikasikan bentuk-bentuk/ ukuran/ warna terhadap bentuk

bangun geometri, permainan domino, bermain kartu, menemukan bagian-bagian yang

dihilangkan, persepsi-visual terhadap kata-kata (seperti permainan menjodohkan huruf-

huruf, mengelompokkan kata-kata, menggambarkan bentuk bangun geometri yang sesuai

dengan huruf).

Page 66: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

66

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

Berkaitan dengan persepsi-pendengaran, kegiatan latihan sebaiknya ditujukan

ke pada kegiatan-kegiatan yang lebih menititikberatkan ke pada keterampilan

membangun kesiapan belajar (readiness), meliputi sensitivitas pendengaran, kesiapan-

menerima pembelajaran, membedakan pendengaran, memahami suara dalam sebuah

kalimat, dan daya ingat melalui pendengaran. Strategi pembelajaran yang disusun guru

hendaknya diupayakan agar dapat meningkatkan kemampuan persepsi-pendengaran

siswa. Kegiatan-kegiatan yang sangat dianjurkan berkaitan dengan penggunaan strategi

pembelajaran adalah kegiatan yang menggunakan latihan mendengarkan suara, mencatat

bunyi-bunyian dari sumber-bunyi, mendengarkan bunyi-bunyi yang dibuat oleh guru,

membedakan bunyi makanan yang dikunyah oleh mulut, membedakan bunyi-bunyi

melalui guncangan-guncangan, dan membedakan suara dari sumber yang berbeda-beda.

d. Aplikasi Gerak Irama dalam Pembelajaran Anak dengan Learning Disability

Aplikasi gerak irama dalam pembelajaran terhadap siswa dengan hendaya

kesulitan belajar lebih difokuskan ke pada peningkatan kemampuan gerak (keterampilan

gerak dan pola-gerak) dan kemampuan persepsi siswa agar dapat meningkatkan

kemampuan kognitif dan perkembangan konseptual. Dalam kenyataannya, siswa dengan

hendaya kesulitan belajar mempunyai hambatan satu atau lebih dalam proses dasar

pemahaman atau penggunaan bahasa lisan maupun bahasa tulis. Sebagai contoh dalam

hal ini adalah adanya hambatan dalam membaca, menulis, matematika, meng-eja huruf,

mendengarkan, berfikir dan daya ingat, disamping adanya penyimpangan pada

keterampilan perseptual, keterampilan gerak, atau juga pada aspek-aspek belajar lainnya.

Page 67: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

67

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

Kekurangan dalam satu atau lebih dari komponen-komponen proses belajar

berkaitan dengan perilaku psikomotor. Seorang anak akan mempelajari secara selektif

terhadap apa-apa yang telah diterima oleh sensori yang ada di otak yang memberikan

informasi-masukan berkaitan dengan lingkungan kehidupannya. Untuk memperoleh arti,

stimulasi sensori tersebut harus dapat berproses sebagaimana mestinya, dapat

berhubungan, dan menyatu dalam lapisan luar otak (cortex) untuk memperoleh gambaran

informasi yang telah diperoleh sebelumnya. Informasi yang diperoleh (merupakan

kemampuan perseptual dan keterampilan berkaitan dengan pemahaman-tubuh) disimpan

dalam otak untuk dapat digunakan pada masa yang akan datang setelah terjadinya respon.

Respon psikomotor akan dimunculkan setelah adanya analisis. Tipe dari respon itu dapat

berupa bicara, menulis, meng-eja, isyarat-tubuh, ekspresi wajah, melakukan pola-pola

gerakan, atau keterampilan psikomotor khusus seperti memukul bola.

e. Pendekatan yang Diperlukan dalam Aplikasi Gerak Irama pada Learning

Disabilty

Berdasarkan pengamatan para ahli, anak dengan hendaya kesulitan belajar

mempunyai keterampilan gerak yang kaku, keseimbangan yang kurang baik, ketangkasan

tangan yang sangat kurang, atau keterlambatan dalam mempelajari keterampilan gerak

(seperti dalam keterampilan: mengendarai sepeda, menangkap bola, menggunakan

peralatan makan). Anak dengan hendaya kesulitan belajar juga sering menunjukkan

ketidakmampuan dalam koordinasi gerak dan mendapatkan gangguan persepsi berkaitan

dengan masalah-masalah belajar. Misalnya, (1) tulisan tangan yang jelek dapat saja

diakibatkan oleh adanya masalah pada fine-motor berupa kesulitan dalam koordinasi

Page 68: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

68

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

gerak antara mata dan tangan, (2) kelainan berbicara dimungkinkan adanya hambatan

gerak pada mekanisme alat-bicara (seperti kurangnya kemampuan kontrol terhadap gerak

lidah atau bibir), (3) masalah kegiatan menjumlahkan angka seringkali berkaitan dengan

adanya hambatan terhadap persepsi-ruang (Lerner, J., 1985:264).

Berdasarkan hambatan-hambatan tersebut di atas, maka fokus pembelajaran

terhadap anak dengan hendaya kesulitan belajar sebaiknya ditujukan ke pada pendekatan

pembelajaran yang mampu meningkatkan gerak-sensori dan gerak-persepsi. Menurut

Piaget (1936/ 1952) penekanan terhadap pembelajaran gerak-sensori sejak usia dini

merupakan landasan untuk membangun perkembangan kognitif dan persepsi yang

kompleks pada diri anak (dalam Lerner, J., 1985:265). Dengan kata lain, pendekatan

pembelajaran melalui peningkatan gerak-sensori dan gerak-persepsi akan mencakup

konsep-konsep tentang kesegaran jasmani (physical fitness), olahraga (exercise) dan

kegiatan-kegiatan gerak (gerak disini, diartikan sebagai keterampilan dan pola gerak

dalam cakupan body movement atau gerak irama) yang merupakan elemen esensial untuk

mencapai kesehatan diri dan meningkatkan kehidupan dan kerja bagi setiap individu,

tidak terkecuali bagi anak dengan hendaya kesulitan belajar.

Lebih lanjut, pendekatan pembelajaran dengan menggunakan strategi

pembelajaran kognitif terhadap siswa dengan hendaya kesulitan belajar hendaknya

berfokus ke pada “bagaimana” (How) caranya belajar, bukan pada “apa” (What) yang

dipelajari. Umumnya, anak dengan hendaya kesulitan belajar tidak menggunakan strategi

belajar dengan baik dan tidak tahu bagaimana cara belajar. Peran guru-khusus sangat

penting dalam upaya membantu saat menyusun kerangka kerja belajar setiap siswa yang

mempunyai permasalahan dalam belajar. Peran guru dalam hal ini adalah mengusahakan

Page 69: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

69

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

agar setiap siswa dapat memahami proses berfikir dan mengembangkan strategi-belajar

yang telah diperolehnya. Pemahaman terhadap proses berfikir diharapkan dapat

meningkatkan kemampuan belajar siswa bersangkutan atau keterampilan akademiknya.

Penguasaan keterampilan akademik bagi siswa dengan hendaya kesulitan

belajar merupakan bentuk pendekatan pembelajaran kognitif yang lebih menekankan

pada hasil analisis terhadap tugas-tugas akademik berkaitan dengan keterampilan mata

pelajaran tertentu yang mengarah ke pada pencapaian tugas-tugasnya (Lerner, J.,

1985:192). Tentu saja, teori-teori berkaitan dengan belajar merupakan kerangka-kerja

yang esensial untuk dipahami oleh guru-kelas yang menangani siswa dengan hendaya

kesulitan belajar dalam upaya membentuk perkembangan kemampuan belajar terhadap

suatu mata pelajaran (khususnya membaca) pada diri siswa bersangkutan.

Bagi siswa dengan hambatan membaca yang telah menerima intervensi

pendidikan secara khusus seringkali menunjukkan adanya perkembangan yang sangat

baik. Intervensi ini diterima oleh siswa bersangkutan melalui pendekatan khusus.

Pendekatan-pendekatan khusus yang digunakan dalam meningkatkan kemampuan

membaca pada umumnya melalui pembelajaran yang erat kaitannya dengan kegiatan

untuk mengenali kata secara sepintas, keterampilan-keterampilan phonic, dan mengenali

kata-akhir (Hewison, 1982 dalam Batsahaw & Perret, 1986:29). Pendekatan semacam ini

dikenal dengan metode Orton-Gillingham yaitu penggunaan teknik: Visual – Kinesthetic

– Tactile (VAKT) yang telah dimodifikasi dengan menggunakan multisensori, sintetik dan

metode alfabetik.

Pendekatan kedua, adalah pendekatan dengan menggunakan metode Fernald.

Siswa mulai belajar membaca dengan cara menyeleksi kata yang ingin dipelajarinya,

Page 70: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

70

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

kemudian melakukan peng-ejaan, pengucapan bunyi, dan pembagian atas suku kata.

Baru kemudian dilanjutkan dengan mempelajari kata, menuliskan dan menelusuri kata

dengan jari-jarinya. Setelah itu, siswa menuliskan kata yang ada dalam ingatannya,

dilanjutkan dengan memasukkan kata tersebut ke dalam kotak yang telah berisikan kata-

kata baru. Pada akhirnya barulah siswa menuliskan kalimat dan menceriterakan sebuah

ceritera.

Pendekatan pembelajaran untuk mata pelajaran membaca dan seni berbahasa

model Gillingham dan Fernald berdasarkan atas orientasi secara psikoneurologis.

Sejumlah materi dan kegiatan disusun berdasarkan atas hasil asesmen terhadap persepsi

dan pemrosesan informasi dengan menggunakan tes baku semacam Illinois Tes of

Psycholinguistic Abilities (ITPA), yaitu suatu tes yang disusun untuk mengukur

pemahaman bahasa secara verbal dan non-verbal, atau dengan Direct Instructional

System for Teaching and Remediation (DISTAR), yaitu suatu sistem pembelajaran yang

disusun untuk mengajar keterampilan dasar dan konsep-konsep dalam membaca,

menghitung angka, dan bahasa pada anak-anak dengan kebutuhan khusus tingkat sekolah

dasar. Model ini disusun berdasarkan atas analisa tugas (task analysis) dari keterampilan-

keterampilan dasar dan penyajian bahan-bahan dalam suatu model pembelajaran secara

langsung. Kedua tes tersebut berisikan materi membaca dan bidang lainnya berkaitan

dengan prinsip-prinsip analisis perilaku (Wallace & McLuoghlin, 1979 dalam Reynolds

& Mann, 1987: 922).

Pendekatan secara visual – kinesthetic – tactile serta model Fernald sangat

sesuai bila diterapkan secara bersamaan dengan mengaplikasikan model pembelajaran

dengan pola-gerak (motor patern) dan keterampilan gerak (motor skill). Salah satu alasan

Page 71: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

71

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

adalah bahwa anak dengan hendaya kesulitan belajar mempunyai masalah dalam gerak-

sensori dan gerak-persepsi (khususnya pada persepsi visual, pendengaran, dan

keseimbangan) yang memerlukan latihan-latihan khusus berkaitan dengan peningkatan

koordinasi gerak pada gross dan fine motor. Lerner (1985:269) menyatakan bahwa

tahap awal seseorang belajar mengenali lingkungan, yakni dengan mempelajari motor

patern dan motor skill melalui respon gerakan otot dan perilaku gerak untuk melakukan

interaksi dan mempelajari tentang kehidupan di lingkungan dirinya, atau dikenal lebih

luas sebagai body movement atau gerak-irama.

Melalui pendekatan ketiga yaitu dengan pengalaman bahasa, seorang guru

memberikan kesempatan ke pada siswa untuk berceritera dan guru menuliskan kata-kata

secara persis dengan apa yang diucapkan siswa. Guru kemudian membacanya dan

selanjutnya siswa membaca tulisan itu sampai dapat menguasai seluruh bacaan.

Pendekatan keempat, adalah dengan menggunakan metode pemberian warna.

Sekelompok kata atau kalimat diberikan warna yang khas, dan kombinasi huruf dipelajari

dengan paduan warna. Dan pendekatan kelima, adalah pendekatan secara neuropskilogis.

Pendekatan secara neuropsikologis lebih menekankan pada penggunaan fungsi

neurologis untuk membantu strategi pengembangan remedial (Hynd & Cohen, 1983

dalam Batshaw & Perret, 1986:292). Penekanan khusus diidentifikasikan dalam testing

secara neuropsikologis.

f. Rancangan Pembelajaran untuk Learning Disability

Seperti yang telah diuraikan dalam konsep dasar anak dengan kesulitan belajar

yang menyatakan bahwa anak dengan hendaya kesulitan belajar mempunyai hambatan

Page 72: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

72

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

pada faktor gerak, persepsi, dan keseimbangan. Dampak dari hambatan-hamabatan itu,

faktor perkembangan konseptual dan kognitif menjadi kurang berfungsi secara optimal.

Guru-kelas atau guru-khusus sebaiknya perlu mewaspadai adanya kesalahan-kesalahan

yang dilakukan oleh siswa dengan hendaya kesulitan belajar sewaktu menyelesaikan

tugas-tugas akademik di sekolah. Artinya bahwa guru tidak boleh secara langsung

membuat rancangan pembelajaran dan pelaksanaan kegiatan belajar sebelum dilakukan

observasi dan analisis secara sensitif terhadap kesalahan yang telah dibuat siswa

bersangkutan. Jika terjadi kesalahan-kesalahan pada hasil kerja siswa dengan hendaya

kesulitan belajar, sebaiknya guru-kelas melakukan pembelajaran klinis terlebih dahulu.

Pembelajaran klinis sangat diperlukan sebelum program kegiatan akademik suatu mata

pelajaran tertentu diterapkan.

Pembelajaran klinis mempunyai bentuk siklus tersendiri, yakni di awali dengan

fase asesmen, guru melakukan diagnosis terhadap kesalahan-kesalahan yang telah

dilakukan oleh siswa pada hasil-kerja suatu tugas akademik di sekolah. Fase kedua,

adalah fase perencanaan, setelah guru menganalisa kesalahan yang terjadi, guru

menentukan hambatan dan bentuk kesulitan apa yang menyebabkan siswa melakukan

kesalahan. Berdasarkan jenis kesalahan tersebut guru membuat rancangan pembelajaran

klinis berupa perencanaan pemberian tugas-tugas khusus dalam kegiatan belajar secara

tersendiri, dalam hal ini analisa tugas (task analysis) perlu diterapkan. Pada fase ketiga,

yaitu fase implementasi yaitu menerapkan rancangan pembelajaran klinis dalam bentuk

analisa tugas terhadap siswa dengan hendaya kesulitan belajar, dilanjutkan dengan fase

ke-empat yaitu fase evaluasi, dalam fase ini guru-kelas melakukan evaluasi terhadap

prestasi belajar siswa bersangkutan. Bila ternyata hasilnya belum optimal, maka fase

Page 73: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

73

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

kelima yakni fase modifikasi dari bentuk asesmen diterapkan guna membantu dan

mengarahkan kemampuan kognitif melalui perkembangan konseptual yang telah dikuasai

oleh siswa yang bersangkutan. Fase-fase dalam putaran ini dapat berlangsung secara

terus-menerus selama siswa dengan hendaya kesulitan belajar belum mencapai prestasi

yang diinginkan berkaitan dengan kemampuan persepsi dan geraknya.

Jika dianggap bahwa terjadi perkembangan yang nyata dari pembelajaran klinis

tersebut di atas, maka guru-kelas dapat melanjutkan program pembelajaran yang

mengaplikasikan gerak irama sebagai upaya untuk pencapaian perkembangan

kedewasaan secara optimal. Tahapan-tahapan yang dilakukan sebelum menyusun

rancangan pembelajaran sebagai program aplikasi gerak irama dalam pembelajaran

terhadap anak dengan hendaya kesulitan belajar, sebagai berikut.

a). Melakukan skrining atau asesmen-awal dengan menggunakan instrumen Geddes

Psychomotor Inventory profil I & II ( GPI P.I & II) serta daftar cek kemampuan

persepsi untuk mengetahui penyimpangan-penyimpangan perilaku psikomotor berupa

gerak-sensori, gerak-persepsi, dan keseimbangan tubuhnya.

b). Melakukan analisis hasil skrining atau asesmen awal yang telah dilakukan pada

langkah 1 tersebut di atas.

c). Membuat skematis dan bagan pola gerak yang akan diterapkan pada rancangan

pembelajaran dengan mengaplikasikan gerak irama.

d). Membuat rancangan pembelajaran untuk mata pelajaran tertentu dengan memasukkan

unsur-unsur pola-gerak dalam kegiatan belajar-mengajar terhadap siswa dengan

hendaya kesulitan belajar yang spesifik.

Page 74: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

74

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

e). Melakukan evaluasi terhadap hasil kegiatan pembelajaran yang mengaplikasikan

gerak irama terhadap siswa dengan hendaya kesulitan belajar spesifik. Evaluasi

menggunakan instrumen GPI. I & II serta daftar cek kemampuan persepsi. Hasil

evaluasi ini kemudian diperbandingkan dengan hasil skrining (yang telah dilakukan

pada langkah 1). Jika ternyata hasilnya ada peningkatan, maka kegiatan belajar

berikutnya dapat langsung menggunakan rancangan pembelajaran yang bersifat

umum. Bila masih belum ada perkembangan maka dilakukan kembali pembelajaran

klinis. Jika hasil perolehan re-rata dari seluruh daftar cek mencapai nilai 3 (tiga)

sampai 4 (empat) dinyatakan berhasil, kurang dari 3 (tiga) dinyatakan belum berhasil.

Di bawah ini merupakan contoh dari seluruh kegiatan belajar-mengajar yang

mengaplikasikan program gerak irama dalam rancangan pembelajaran terhadap siswa

dengan hendaya kesulitan belajar (learning disablity). Siswa contoh adalah siswa

bernama “BB” berusia 7 tahun, duduk di kelas satu sekolah dasar, mendapatkan kesulitan

belajar Matematika dalam pokok bahasan: Geometri (Semester II), dengan sub-pokok

bahasan: Penjumlahan Bilangan sampai 100 dengan Deret Angka ke Bawah.

Kegiatan Langkah 1

Melakukan Skrining dengan Instrumen GPI

Disebabkan usia siswa-contoh adalah 7 tahun maka instrumen Geddes

Psychomotor Inventory yang dipergunakan adalah Daftar Cek: (1). GPI Primary Level

untuk umur 6 hingga 9 tahun (sebagai GPI Profile I). Sedangkan GPI Profile II meliputi:

Page 75: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

75

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

Daftar Cek untuk (2) Kemampuan Persepsi Gross Motor dan (3) Fine Motor. Dilanjutkan

dengan Daftar Cek untuk (4) Kemampuan Persepsi Gerak.

Mengenai skematis dan bagan pola-gerak yang disusun berdasarkan atas hasil

analisis dari ke-empat daftar cek tersebut di atas, dan disesuaikan dengan hambatan pada

mata pelajaran Matematika (semester II) dalam Penjumlahan Bilangan sampai 100

dengan Deret Angka ke Bawah. Begitu pula Contoh Rancangan Pembelajaran untuk

siswa-contoh dibuat berdasarkan acuan kegiatan-kegiatan yang tercantum pada langkah 1

hingga langkah 5.

Langkah-langkah kegiatan skrining, seperti yang ada pada halaman berikut.

Page 76: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

76

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

GPI PROFIL I (PRIMARY LEVEL UMUR 6 HINGGA 9 TAHUN)

Cara Pengisian jawaban Berilah tanda checklist (V) pada: Angka 4 jika anak dapat melakukan sendiri Angka 3 jika anak dapat melakukan dengan sedikit pertolongan ∑∑∑∑ = ΧΧΧΧ= Angka 2 jika anak dapat melakukan dengan pertolongan seperlunya Angka 1 jika anak dapat melakukan dengan pertolongan sepenuhnya Angka 0 jika anak tidak dapat melakukan sama sekali. No. TINGKAT PENGUASAAN 4 3 2 1 0 A. Gerak Dasar dan Daya Gerak : A.1 Berjalan V A.2 Berlari V A.3 Memanjat V A.4 Mekanisme gerak tubuh V A.5 Melompat V A.6 Meloncat-loncat V A.7 Lari mencongklak V A.8 Melangkah dilanjutkan dengan meloncat. V B. Penguasaan Diri: B.9 Mampu melakukan orientasi ruang V B.10 Bergerak ke arah yang sejajar dengan objek lain V B.11 Bergerak lurus ke depan V B.12 Mengetahui fungsi dan gerak tubuh V B.13 Mengetahui garis tengah tubuh V B.14 Mengenali bagian tubuh sendiri V C. Kemampuan Persepsi: C.15 Merespon terhadap persepsi dengar V C.16 Merespon terhadap persepsi pandang V C.17 Merespon terhadap persepsi rabaan V D. Koordinasi Gerak Mata: D.18 Dengan tangan V D.19 Saat memandang V D.20 Dengan kaki V E. Memanipulasi Gerak: E.21 Menulis dan menggambar V E.22 Melakukan gerakan dengan berbagai cara terhadap benda V F. Menguasai Alat: F.23 Bersepeda V F.24 Bergerak sepanjang garis sejajar V G. Penguasaan terhadap bola / benda sejenis: G.25 Melempar V G.26 Menangkap V G.27 Menendang V G.28 Memukul V

Jumlah masing-masing skor: 5 13 8 2

77 2,75

Page 77: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

77

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

GPI Profile II KEMAMPUAN PERSEPSI MOTORIK HALUS

(FINE MOTOR) Petunjuk Pengisian pada Kolom Berangka Berilah Tanda Checklist (V) pada Kolom Berangka Sebagai Berikut: Angka 4 jika anak dapat melakukan sendiri Angka 3 jika anak melakukannya dengan sedikit pertolongan Angka 2 jika anak dapat melakukan dengan pertolongan seperlunya Angka 1 jika anak dapat melakukan dengan pertolongan secara penuh Angka 0 jika anak tidak dapat melakukan.

No.

JENIS KEMAMPUAN 4 3 2 1 0

59 Menyalin bentuk empat persegi panjang V

60 Menyalin bentuk segitiga V

61 Menuliskan beberapa huruf V

62 Menggambarkan : tubuh, tangan, kaki orang secara lengkap V

63 Melipat kertas ke arah miring setelah diberi contoh V

64 Meniru membuat untaian manik-manik V

65 Menggunting sepanjang garis bentuk gambar tertentu V

66 Memberi warna pada suatu bidang seluas satu inchi V

Jumlah Masing-Masing Skor:

-

6

2

∑∑∑∑ = ΧΧΧΧ =

GPI Profile II KEMAMPUAN PERSEPSI MOTORIK KASAR

(GROSS MOTOR) Cara Pengisian pada Kolom Berangka Berikan Tanda Checklist (V) pada Kolom Angka Sebagai Berikut: Angka 4 jika anak dapat melakukan sendiri Angka 3 jika anak dapat melakukan dengan pertolongan sedikit Angka 2 jika anak dapat melakukan dengan pertolongan seperlunya Angka 1 jika anak dapat melakukan dengan pertolongan sepenuhnya Angka 0 jika anak tidak dapat melakukan

No. JENIS KEMAMPUAN 4 3 2 1 0 FD. 7 Tahun

FD. 7 : 106 Dalam sikap tiduran: Kedua kaki diangkat, lutut menekuk bersudut 45 derajat, kedua lengan di samping tubuh, bahu terangkat ke atas, mata terpejam, selama 10 detik.

V

FD. 7 : 107 Duduk di pinggir meja, tangan dikepal, kemudian mengetuk-ketuk meja dengan salah satu jari tangan (kiri/ kanan) diiringi dengan ketukan kaki (kiri/ kanan) pada lantai, secara bergantian. Dilakukan secara teratur selama 20 detik

V

Jumlah 2

∑∑∑∑ = ΧΧΧΧ =

22 2,75

5 2,5

Page 78: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

78

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

KEMAMPUAN PERSEPSI GERAK (PERCEPTUAL MOTOR SKILLS)

Petunjuk Pengisian Berilah Tanda Checklis (V) pada Kolom Berangka Sebagai Berikut: Angka 4 jika anak dapat melakukan sendiri Angka 3 jika anak dapat melakukan dengan bantuan secara verbal/ lisan Angka 2 jika anak dapat melakukan dengan bantuan secara fisik Angka 1 jika anak dapat melakukan dengan bantuan verbal dan fisik Angka 0 jika anak tidak dapat melakukan.

No. JENIS KEMAMPUAN 4 3 2 1 0

A. Penglihatan Dekat dengan Jarak 1 Meter

A. 1 Mata mengikuti garis tegak-lurus V

A. 2 Mata mengikuti garis-sejajar V

A. 3 Mata mengikuti garis-diagonal V

A. 4 Mata mengikuti pola berbentuk bundar V

B. PenglihatanJarak-jauh: Sejauh 3 Meter

B. 5 Mata mengikuti garis tegak-lurus V

B. 6 Mata mengikuti garis-sejajar V

B. 7 Mata mengikuti garis-diagonal V

B. 8 Mata mengikuti pola berbentuk bundar V

B. 9 Mata ditujukan ke titik pusat-pandang V

C. Membedakan Bentuk Malalui Daya Pandang C. 10 Mencocokkan beberapa bentuk geometris V

C. 11 Mencocokkan beberapa bentuk suatu benda V

C. 12 Membuat bentuk angka 1 V

C. 13 Membuat bentuk tanda: … V

C. 14 Membuat bentuk : ΟΟΟΟ V

C. 15 Membuat bentuk tanda: + V

C. 16 Membuat bentuk gambar ���� V

C. 17 Membuat bentuk gambar ∆ V

D. Membedakan Bentuk Melalui Daya Pandang

D. 18 Mampu Menyusun bentuk ΟΟΟΟ yang berbeda ukuran secara tepat V

D. 19 Memahami konsep-konsep: besar dan kecil V

E. Mengetahui Perbedaan Warna E. 20 Dapat mencocokkan warna-warna V

E. 21 Memilih warna V

E. 22 Menyebutkan nama: jenis-warna V

Page 79: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

79

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

Lanjutan Kemampuan Persepsi Gerak

No. JENIS KEMAMPUAN 4 3 2 1 0

F. Koordinasi Mata – Tangan

F. 23 Garis tegak lurus dengan titik -titik tegak

V

F. 24 Garis sejajar dengan titik -titik mendatar ( ….. ) V F. 25 Garis menyilang dengan titik -titik diagonal ( )

V

G. Kemampuan Memadukan

G. 26 Dapat memadukan bentuk 6 potongan-potongan kecil ke dalam

bentuk gambar (misalnya: Potongan-potongan gambar: “Bebek”) V

G. 27 Dapat memadukan 14 bagian menjadi kesatuan utuh (misalnya: Gambar seorang penjual susu)

V

H. Menggali Benda-benda Padat Melalui Sentuhan (Stereognosis)

H. 28 Dengan mata terpejam dapat merasakan dan menyebutkan sebuah

sisi V

H. 29 Dengan mata terpejam dapat merasakan dan menyebutkan sebuah sendok

V

H. 30 Dengan mata terpejam dapat merasakan dan menyebutkan sikat-gigi V I. Pendengaran

I. 31 Dapat membedakan suara-suara: Lemah - kuat V I. 32 Dapat menggolongkan suara: lemah dan kuat V I. 33 Melalui pendengaran dapat membedakan objek yang berada di

depan dan di belakangnya walau dengan mata terpejam V

I. 34 Mampu menirukan bunyi (setelah mendengarkan), misalnya: Do-Re-Mi

V

J. Konsep-konsep Tentang Tubuh

J. 35 Memahami secara benar tentang nama masing-masing anggota

tubuh (sambil menunjukkan anggota tubuh tersebut) V

J. 36 Memahami fungsi anggota tubuh antara bagian yang satu dengan lainnya (Misalnya, mampu membuat gambar tentang dirinya)

V

J. 37 Dapat menyusun teka-teki gambar tubuh anak laki-laki/ Wanita sesuai dengan bagian-bagian tubuh.

V

J. 38 Mampu memanipulasi tubuhnya melewati sebuah rintangan V J.39 Memahami hubungan antara bagian-bagian tubuh dengan benda-

benda di sekitarnya (Misalnya, meletakkan kemeja pada tubuh secara benar)

V

J. 40 Dapat merasakan: sedih/ gembira, dengan cara menangis/ tertawa. V J. 41 Kesadaran tubuh secara gerak kinestetik (dapat mengulangi gerakan

tangan ke arah sisi dan menurunkannya dengan mata terpejam)

V

J. 42 Kesadaran tubuh-kinestetik secara gerak halus V

Page 80: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

80

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

Lanjutan Kemampuan Persepsi Gerak

No. JENIS KEMAMPUAN 4 3 2 1 0

K. Memahami Posisi Tempat

K. 43 Dapat mengangkat kedua tangan ke atas V K. 44 Dapat menempatkan kedua lengan pada posisi bawah tubuh V K. 45 Dapat meletakkan kedua lengan di depan tubuh V K. 46 Dapat meletakkan kedua lengan di belakang tubuh V K. 47 Dapat meletakkan kedua lengan di atas kepala K. 48 Dapat menaruh kedua lengan di bawah kursi V K. 49 Dapat menaruh kedua lengan di samping tubuh V K. 50 Dapat mengenali tangan kanan V K. 51 Dapat mengenali tangan kiri V

L. Hubungan dengan Pola Ruang L. 52 Dapat menirukan suatu pola-bentuk dengan tiga balok V

M. Daerah Penglihatan : Gerak Fine-motor M. 53 Dapat membuat sebuah bentuk kotak secara aktif V M.54 Dapat menggambarkan sebuah ΟΟΟΟ dengan pinsil V M. 55 Dapat menggambar dengan pinsil V M. 56 Dapat menggambar tanda : X V M. 57 Dapat menggambar berbagai bentuk persegi (seperti berlian) V M. 58 Dapat melempar bola melewati kedua lutut V M. 59 Dapat menggelindingkan bola V

N. Jumlah dan Angka-angka (pada Peg-board) N. 60 Dapat membedakan satu dengan banyak V N. 61 Dapat membedakan antara angka 1 dengan angka 2 V N. 62 Dapat menghitung angka sampai dengan 10 V N. 63 Dapat memahami angka hingga 30 (dengan menghitung setinggi-

mungkin) V

N. 64 Memahami konsep angka 6 (dengan cara menempelkan 6 biji peg pada board)

V

O. Konsep Tentang Waktu O. 65 Memahami konsep waktu: Siang dan Malam (dapat membandingkan

antara gambar yang menandakan siang/ malam) V

O. 66 Mengenali gambar tentang musim: Penghujan/ Kemarau V P. Memahami Sesuatu Tentang Benda P. 67 Tahu nama sebuah benda melalui gambar V P, 68 Mengenali benda, serta tahu cara menggunakannya V P. 69 Dapat menceriterakan sebuah dongeng yang baru ia dengar V

Page 81: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

81

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

Lanjutan Kemampuan Persepsi Gerak

No. JENIS KEMAMPUAN 4 3 2 1 0 Q. Konsep Tentang Gerak Tubuh

Q. 70 Menirukan suatu gerak sentuhan tangan - kiri ke telinga-kanan V Q. 71 Menirukan gerak sentuhan tangan-kanan ke telinga-kiri V Q. 72 Menirukan gerak sentuhan tangan-kiri ke mata-kanan V Q. 73 Menirukan gerak sentuhan tangan-kanan ke mata-kiri V Q. 74 Menggambar garis sejajar dari arah kiri ke kanan di papan tulis,

dengan menggunakan tangan yang tidak biasa digunakan V

Jumlah Keseluruhan Masing-masing Skor:

27

31

14

-

-

Re-rata Skor Keseluruhan:

REKAPITULASI HASIL OBSERVASI KEMAMPUAN PERSEPSI GERAK

No. &

Kode

JENIS KEMAMPUAN

Jumlah (∑∑∑∑)

Re-rata (X)

1. A Penglihatan dekat dengan jarak 1 meter 12 3 2. B Penglihatan jarak-jauh: 3 meter 11 2,2 3. C Membedakan bentuk geometris 24 3 4. D Membedakan bentuk melalui daya pandang 7 3,5 5. E Mengetahui perbedaan warna 12 4 6. F Koordinasi: mata – tangan 23 3,8 7. G Kemampuan memadukan 6 3 8. H Mengenali benda-benda padat melalui sentuhan (stereognosis) 11 3,6 9. I Pendengaran 15 3,75 10. J Konsep-konsep tubuh 25 3,1 11. K Memahami posisi tempat 26 3,25 12. L Hubungan dengan pola ruang 3 3 13. M Daerah penglihatan: gerak fine motor 19 2,7 14. N Jumlah dan angka-angka (pada peg-board) 17 3,4 15. O Konsep waktu 8 4 16. P Memahami sesuatu benda 11 3,6 17. Q Konsep gerak tubuh 18 3,6

Jumlah keseluruhan:

253

43,6:17=

2,56

Page 82: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

82

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

Kegiatan Langkah 2 Menganalisis Hasil Skrining Analisis Hasil Skrining dari GPI I, GPI II (Gross motor, Fine motor dan Persepsi gerak)

Diperoleh data sebagai berikut:

1. Rerata GPI I = 2,75

2. Rerata Fine Motor = 2,75

3. Rerata Gross Motor = 2,50

4. Rerata Persepsi Gerak = 2,56.

5. Jumlah Rerata Keseluruhan = 10,56. Rerata Hasil skrining = 2,64

Dari hasil rerata hasil skrining diperoleh angka sebesar 2,64, ini berarti bahwa

siswa-contoh diperlukan pembelajaran klinis terlebih dahulu sebelum pembelajaran

dengan mengaplikasikan gerak irama.

Langkah 3 Membuat Skematis dan Bagan Pola Gerak

Dari hasil skrining tersebut, ternyata siswa-contoh mempunyai hambatan

belajar. Hambatan-hambatan itu disebabkan oleh faktor-faktor yang berkaitan dengan

keterampilan-gerak gross dan fine motor (dengan rerata hasilnya 2,75 dan 2,50), dan pada

faktor persepsi-gerak (reratanya 2,56). Ini berarti bahwa siswa contoh tersebut masih

memerlukan bantuan secara verbal dan fisik dalam melakukan kegiatan berkaitan dengan

keterampilan-gerak, dan persepsi–geraknya.

Faktor-faktor yang sangat memerlukan layanan khusus berkaitan dengan

keterampilan persepsi dan pola-gerak dalam pembelajaran individual berbasis gerak

irama, berkaitan dengan:

Page 83: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

83

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

a. persepsi-pandang, persepsi-raba, persepsi penglihatan jarak jauh. b. orientasi ruang, memanipulasi tubuh.

c. fungsi gerak, gerak lurus/ menyamping/ sejajar.

d. memahami posisi tempat.

Informasi hasil skrining tersebut di atas sangat membantu guru-kelas dalam

penyusunan suatu program pembelajaran yang mengaplikasikan pola gerak irama.

Berdasarkan informasi hasil skrining dan silabi atau kurikulum maka disusunlah skema

pola gerak dan bagan pola gerak yang akan diterapkan dalam program pembelajaran

dengan mengaplikasikan gerak irama, sebagai berikut.

Tabel 7.1 Skematis Pola Gerak untuk Anak dengan Hendaya Kesulitan Belajar POLA GERAK ( Skills Themes)

Konsep Gerak

Lokomotor Manipulatif Non-Manipulatif Jalan dan Lari Lempar dan Tangkap Meloncat dan

berjingkat A. Dimana Tubuh

Digerakkan: 1. Lokasi 2. Arahnya 3. Tingkat gerak 4. Perluasan

B. Bagaimana Tubuh Digerakkan: 1. Waktu 2. Tenaga 3. Arah/ Jalur

C. Relationship:

1. Dengan tubuh 2. Dengan

Objek/orang 3. Bentuk Sosialnya

Di bangsal Olahraga. Ke depan/ ke belakang/ ke samping. Sedang dan cepat. Zigzag/ Memutar/ Lurus. Tempo cepat, teratur. Sedang dan sepenuhnya. Di arahkan. Gerakannya melebar -dan menyempit. Berteman/ Sejajar. Berpasangan.

Di Bangsal Olahraga Ke depan/ ke belakang/

ke samping. Sedang. Melambung tinggi. Tempo sedang. Sedang dan sepenuhnya. Ke depan. Saling berhadapan. Berteman, dengan satu bola. Saling ganti pasangan.

Di Bangsal Olahraga Ke depan/ ke samping Sedang/ cepat. Sejauh-jauhnya. Sedang dan cepat Sepenuhnya. Ke depan dan Ke samping/ Ke kiri dan ke kanan. Sejauh-jauhnya ke -muka. Menggunakan batas -tujuan arah. Secara bersamaan -dengan kelompoknya.

Page 84: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

84

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

Bagan 7.1 Pola Gerak untuk Siswa dengan Hendaya Kesulitan Belajar Usia 7 Tahun

Keterangan Bagan 7.1

PA = Posisi awal siswa melakukan kegiatan A/B/C/D/E = Lokasi untuk melakukan kegiatan akademik (dalam hal ini menghitung

penjumlahan dengan deret hitung ke bawah). Dalam kegiatan di masing-masing lokasi diiringi dengan kegiatan intervensi-guru untuk melakukan treatmen terhadap hambatan-hambatan dari faktor gerak, persepsi dan keseimbangan.

Di Lokasi A siswa melakukan penjumlahan deret hitung lurus sambil menyanyikan lagu “Satu-satu aku sayang Ibu …dst.nya”

Di Lokasi B siswa melakukan penjumlahan angka dengan deret hitung ke bawah dalam ukuran satuan, siswa yang mampu menyelesaikan tugasnya diperkenankan untuk melempar bola ke arah sasaran yang ditentukan.

Di lokasi C siswa melakukan kegiatan penjumlahan dengan deret hitung ke bawah dalam bentuk angka puluhan, setelah selesai siswa menyanyikan lagu: “Pelangi”.

Di Lokasi D siwa melakukan kegiatan mencari angka-angka yang ada di kotak, kemudian menjumlahkan seluruh angka hasil perolehan dari kotak.

Di Lokasi E siswa diberikan waktu 10 menit untuk menjumlahkan bilangan dengan deret hitung ke bawah, yang benar diberikan hadiah yang telah disediakan guru.

Kegiatan dari PA ke Lokasi A adalah berjalan secepat-cepatnya secara berpasangan dengan teman, beberapa langkah sebelum sampai di lokasi A siswa melompat dengan sepenuh tenaga.

PA.

A.

B

C.

D. E.

Page 85: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

85

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

Kegiatan dari A ke B siswa melakukan gerakan lari sambil memutari tonggak/ batas yang ada sepanjang jalur lokasi A ke B. Kegiatan ini dilakukan sambil bergandengan tangan dengan temannya.

Kegiatan dari B ke C, Siswa melakukan gerakan melompat sampai batas yang telah ditentukan kemudian sambil berjalan saling lempar-tangkap bola dengan pasangannya hingga sampai di lokasi C.

Kegiatan dari C ke D, siswa berlomba jalan cepat menuju lokasi D. Kegiatan dari D ke E, siswa berjalan sambil mengambil potongan-potongan kertas yang

tersebar di kiri dan kanan jalur D – E (potongan-potongan kertas tersebut terdapat angka-angka). Sesampainya di lokasi E siswa menjumlahkan angka-angka tersebut dalam waktu 10 menit. Siswa yang penjumlahannya benar diberikan reinforcement positif dan yang belum diberikan reinforcement negatif.

Kegiatan dari lokasi E ke PA semua siswa berjalan santai saambil menyanyikan lagu “Gelang sipaku gelang … dst.nya”

Langkah ke-4 Membuat Rancangan Pembelajaran untuk Siswa dengan Hendaya Kesulitan Belajar,

dalam mata pelajaran Matematika.

CONTOH

RANCANGAN PEMBELAJARAN UNTUK SISWA DENGAN HENDAYA KESULITAN BELAJAR

Mata Pelajaran : Matematika

Pokok Bahasan : Bilangan 1 sampai 100 Sub -Pokok Bahasan : Penjumlahan Bilangan puluhan dengan Deret Hitung ke Bawah. Kelas/Semester : I / II (Dua) Waktu : 2 X 35 menit per satu pertemuan.

_____________________________________________________________

Page 86: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

86

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

I. Standar Kompetensi Menggunakan bilangan dalam memecahkan masalah

II. Kompetensi Dasar Mengenal dan menggunakan bilangan dalam pemecahan masalah

III. Hasil Belajar -Menjumlahkan dan mengurang bilangan. -Menggunakan nilai tempat dalam penjumlahan dan pengurangan -Menjumlahkan angka puluhan dengan teknik menyimpan melalui deret angka

hitung ke bawah. IV. Indikator

Menuliskan bilangan dua angka dalam bentuk penjumlahan puluhan dan satuan. V. Materi Pokok

Operasi hitung bilangan VI. Alokasi Waktu

2 X 35 menit per satu pertemuan.

VII. Pengalaman Belajar

1. Apersepsi/ Motivasi:

a. Mengarahkan siswa dengan hendaya kesulitan belajar untuk menjumlahkan bilangan puluhan melalui deret hitung ke bawah.

b. Menjumlah dua bilangan puluhan, dengan teknik menyimpan

angka penjumlahan melalui deret hitung ke bawah.

2. Kegiatan Inti:

(1). Siswa berada di ruangan bangsal-sekolah. Kegiatan di awali dan di akhiri pada lokasi PA, dengan posisi berteman. Kegiatan-kegiatan akademik dilakukan pada Lokasi A sampai E. Kegiatan akademik adalah: menjumlahkan angka puluhan melalui deret hitung ke bawah.

(2). Kegiatan-kegiatan inti dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut.

Page 87: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

87

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

LANGKAH-LANGKAH POLA GERAK KETERANGAN

Kegiatan 1:

Siswa berbaris dalam posisi berteman di Lokasi PA. Kegiatan

dilakukan dari lokasi PA ke Lokasi A sampai ke Lokasi E.

- Siswa berjalan cepat

berpasangan. Di akhiri dengan gerakan melompat beberapa langkah ke Lokasi A.

-di Lokasi A, siswa melakukan kegiatan menjumlahkan angka satuan melalui deret hitung lurus. Setelah selesai, siswa menyanyikan lagu.

- dilanjutkan dengan kegiatan berikutnya, yakni menuju ke Lokasi B.

Kegiatan 2: Siswa melakukan beberapa kegiatan, saat menuju lokasi B dan pada saat berada di Lokasi B. - Siswa berlari memutari

tonggak-tonggak batas yang ada di sepanjang jalan menuju ke Lokasi B. Dilakukan sambil bergandengan tangan dengan temannya.

- Di Lokasi B siswa melakukan penjumlahan angka melalui deret hitung ke bawah, teknik yang dilakukan adalah teknik menyimpan angka.

- Guru membantu dalam teknik menyimpan angka.

- Setelah selesai melakukan tugasnya, siswa melemparkan bola pada sasaran tertentu.

Lagunya pada Kegiatan 1 adalah: “Satu satu aku sayang ibu, dua-dua aku sayang bapak, satu-dua –tiga aku sayang semuanya”

PA

A

B

Page 88: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

88

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

Kegiatan 3:

Siswa melakukan kegiatan dari lokasi B menuju ke Lokasi C dan

dilanjutkan ke Lokasi D. Di lokasi C siswa melakukan

kegiatan menjumlahkan angka puluhan, di lokasi D siswa

melakukan kegiatan mencari angka-angka yang ada dalam

sebuah kotak yang tersedia, kemudian menjumlahkannya.

-Dari Lokasi B siswa melakukan

lompatan sampai batas yang ditentukan, dilanjutkan dengan gerakan berjalan sambil melakukan kegiatan lempar tangkap bola dengan temannya, hingga ke lokasi C.

- Di Lokasi C, siswa melakukan

penjumlahan dengan deret hitung ke bawah.

-Setelah selesai menyanyikan lagu.

- Dilanjutkan dengan berlomba lari menuju ke Lokasi D.

- Di Lokasi D siswa melakukan kegiatan menjumlahkan seluruh angka hasil dari pencarian angka yang ada dalam kotak yang tersedia.

Kegiatan ke-4: Dilakukan dari lokasi D menuju lokasi E, dilanjutkan ke Lokasi

PA sebagai akhir kegiatan. Kegiatan yang dilakukan sebagai

berikut: (1). Dari lokasi D ke E, siswa berjalan sambil mengumpulkan potongan-potongan kertas ber-angka sebanyak mungkin. (2) Di Lokasi E dalam tempo paling lama 10 menit, siswa menjumlahkan seluruh angka yang ada pada kertas perolehan masing-masing. Siswa yang benar melakukannya diberikan hadiah. (3). Menuju ke Lokasi PA, siswa bernyanyi lagu: Gelang… dst nya

Pada Kegiatan ke-4, lagu yang dinyaikan adalah” Gelang sipaku gelang, gealng si rama-rama, mari pulang marilah pulang, marilah pulang bersama-sama”

B

C

D

D

E

PA.

Page 89: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

89

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

VIII. Sumber/ Bahan /Alat

Sumber: GBPP dan Silabi, KBK, dan Buku Matematika untuk Kelas I Bahan: Meliputi angka satuan dan puluhan sampai angka seratus. Alat: Kertas bertuliskan angka satuan dan puluhan, bola karet, tongkat pembatas,

tali plastik sebagai jalur kegiatan, dan papan sasaran bola tembak, beberapa hadiah ringan.

IX. Evaluasi

A. Prosedur Pre Test dan Post Test B. Jenis Test: Pernbuatan C. Alat Test: GPI.

X. Kriteria Penilaian

Nilai sangat baik: Jika siswa mampu menjumlahkan dan melakukan kegiatannya sendiri tanpa bantuan guru.

Nilai baik: Jika siswa mampu melaksanakan tugas menjumlahkan dengan ada petunjuk lisan dan fisik dari guru. Petunjuk lisan berupa suruhan dan arahan, sedangkan bentuk fisik misalnya dengan memegang siswa untuk melakukan kegiatan.

Nilai kurang: Jika siswa tidak mampu menyelesaikan tugas dan tidak mau bergerak dari satu lokasi ke lokasi berikutnya.

Bandung, ……………………200.. Mengetahui, Guru Kelas, Kepala Sekolah ……………. _________________________ ________________________ NIP. …………………………. NIP. …………………………

Page 90: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

90

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

Langkah Ke-5 Melakukan Ealuasi Akhir

Untuk mengetahui apakah terjadi peningkatan perilaku psikomotor dan

peningkatan prestasi akademiknya, diperlukan adanya post test. Instrumen GPI Profile I

dan II diterapkan kembali, hasilnya diperbandingkan dengan hasil skrining atau pre test.

Bila terjadi peningkatan angka reratanya hingga mencapai angka 4, maka program

pembelajarannya berhasil. Jika di bawah angka 3 maka dianggap tidak berhasil, maka

diperlukan pembelajaran klinis.

Bila guru-kelas yang ingin mengetahui sampai sejauhmana tingkat

perkembangan stabilitas siswanya, dapat dibuat suatu program tersendiri berupa

penerapan metode subjek tunggal. Dalam sistem ini jumlah pertemuan minimal 12 kali

pertemuan. Tiga pertemuan awal sebagai Baseline 1, enam kali pertemuan berikutnya

disebut dengan Treatment, dan tiga pertemuan akhir dianggap Baseline 2. Pada

pertemuan Treatment diberikan intervensi guru untuk mengaplikasikan Gerak Irama,

pada Baseline 1 dan 2 tidak diberikan intervensi guru. Mengenai cara penghitungan

statistika secara rinci dapat dilihat pada model single subject research .

RANGKUMAN

1. Anak dengan hendaya kesulitan belajar (learning disability), adalah anak yang

mempunyai kekurangan atau terhambatnya satu atau beberapa bagian dari proses

belajar. Kesulitan belajar mungkin terjadi dalam satu atau lebih dari proses-

proses dasar dalam pemahaman atau penggunaan bahasa lisan dan tulis, misalnya

Page 91: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

91

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

membaca, menulis, menghitung bilangan dan angka, mengeja huruf,

mendengarkan, berfikir dan mengingat-ingat. Kekurangan dalam pengalaman

proses belajar berkaitan erat dengan perilaku psikomotor. Beberapa dari anak

dengan hendaya kesulitan belajar mempunyai masalah sosial-emosial.

2. Para ahli klinis menyebut anak dengan hendaya kesulitan belajar adalah “anak

yang mempunyai ketidakberfungsian cerebral secara minimal atau adanya cedera

otak” (minimal cerebral dysfunction or brain injured),” ketidakberfungsian otak

secara minimal (minimal brain dysfunction), disleksia (dyslexia), dan

“ketidakmampuan perseptual (perceptual disability).

3. Para ahli pendidikan menyebut anak dengan hendaya kesulitan belajar dengan

istilah: “anak dengan hambatan pendidikan” (educationally handicapped), atau

“anak dengan hambatan persepsi (perceptually handicapped), dan “anak dengan

hambatan belajar khusus” (specific learning disability).

4. Konsep-konsep dasar berkaitan dengan definisi dari anak dengan hendaya

kesulitan belajar, antara lain: (a) mempunyai hambatan proses psikologis, yaitu

proses yang mengacu ke pada kemampuan hakiki sebagai pra-syarat penguasaan

keterampilan-gerak dan persepsi, (b) hambatan khususnya berkaitan dengan

membaca, menulis dan matematika, (c) masalahnya bukan berasal dari kasus-

kasus utama, (d) permasalahan yang ada saling berbeda-beda, (e) Hendaya

kesulitan belajar tertuju ke pada ketidakberfungsian sistem syaraf pusat, (f)

hendaya kesulitan belajar selalu diikuti dengan hendaya-penyerta, seperti kelainan

emosional.

Page 92: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

92

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

5. Faktor-faktor lingkungan anak, nutrisi, dan kesehatan merupakan hal yang penting

bagi perkembangan dan pertumbuhan terhadap bayi dan anak-anak.

6. Prevalensi anak dengan hendaya kesulitan belajar berkisar 3 hingga 15 persen dari

seluruh populasi anak-anak usia sekolah. Penyebabnya adalah: (a) faktor organik

dan biologis, (b) faktor genetika, (c) faktor lingkungan. Faktor genetika adalah

faktor dominan sebagai penyebab terjadinya hendaya kesulitan belajar membaca.

7. Faktor ketrampilan gerak, pola-gerak, keseimbangan, dan persepsi (persepsi

dengar dan visual) berkaitan erat dengan perilaku psikomotor. Oleh karena itu

fokus pembelajaran terhadap anak dengan hendaya kesulitan belajar ditujukan ke

pada peningkatan gerak-sensori dan gerak-persepsi. Menurut Piaget (1970)

pembelajaran gerak-sensori sejak usia dini menjadi landasan utama untuk

membangun perkembangan kognitif dan persepsi yang kompleks.

8. Sebelum dilakukan pembelajaran individual yang bersifat umum, maka guru-kelas

membuat program pembelajaran klinis apabila anak mempunyai kesalahan dalam

tugas akademik.

Page 93: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

93

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

C. KARAKTERISTIK PESERTA DIDIK HIPERAKTIF

(HYPERACTIVE STUDENT)

Hyperactive bukan merupakan penyakit tetapi suatu gejala atau symptoms.

(Batshaw & Perret, 1986: 261). Dimungkinkan terjadi bahwa seorang anak mempunyai

kelainan in-atensi disorder dengan hiperaktf (Attention Deficit Disorder- with

Hyperactivity) atau in-atensi disorder tanpa hiperaktif (Attention Deficit Disorder).

Symptoms terjadi disebabkan oleh faktor-faktor: brain damage, an emotional

disturbance, a hearing deficit, or mental retardation. Dewasa ini banyak kalangan medis

masih menyebut anak hiperaktif dengan istilah attention deficit disorder (ADHD) (Solek,

P. 2004:4).

Banyak sebutan-nama atau istilah hiperaktif atau ADD-H, antara lain: minimal

cerebral dysfunction, minimal brain damage (sekarang istilah ini tidak mempunyai nilai

atau tidak digunakan lagi bagi pendidik dan psikologis), minimal cerebral palsy,

hyperactive child syndrome, dan attention deficit disorder with hyperactivity (Batshaw &

Perret, 1986:262). Gejala-gejala “kelainan” dari anak hiperaktif antara lain in-atensi,

hiperaktivitas, dan impulsivitas. Anak-anak hiperaktif memerlukan suatu layanan dengan

cara pemberian intervensi dengan terapi farmakologi dikombinasikan dengan terapai

perilaku (behavior modification). Jika anak hiperaktif tidak mendapatkan layanan terapi

yang adekuat, maka yang bersangkutan di kemudian hari akan berkembang ke arah

“kriminal”, suka mengutil barang, mencuri, mencoba-coba narkoba, merusak properti dan

cenderung berkembang ke arah problem yang lain, yaitu conduct disorder (CD)(Solek, P.

2004:5).

Page 94: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

94

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

Ciri yang paling mudah dikenal bagi anak hiperaktif adalah anak akan selalu

bergerak dari satu tempat ke tempat lain, dan yang bersangkutan sangat jarang untuk

mampu diam selama kurang lebih 5 hingga 10 menit guna melakukan suatu tugas

kegiatan yang diberikan gurunya. Oleh karenanya, di sekolah anak hiperaktif

mendapatkan kesulitan untuk berkonsentrasi dalam tugas-tugas kerjanya, ia selalu mudah

bingung atau kacau fikirannya, tidak suka memperhatikan perintah atau penjelasan dari

gurunya, dan selalu tidak berhasil dalam melaksanakan tugas-tugas pekerjaan sekolah,

sangat sedikit sekali kemampuan mengeja huruf, tidak mampu untuk meniru huruf-huruf

(Rapport & Ismond, 1984 dalam Betshaw & Perret, 1986:263).

Definisi mengenai hiperaktif, menurut Stewart (1970: 94) sebagai berikut.

“..... Hyperactive child syndrome, typically a child with this syndrome is continually in motion, cannot concentrate for more than a moment, acts and speaks on impulse, is impatient and easily upset. At home he is constanly in trouble of his restlessness, noisiness, and disobedience. In school he is readly distracted, rarely finishes his work, tends to clown and talk out of turn in class and becomes labeled a discipline problems” (dalam Kauffman, J. M., 1985:174).

Ciri-ciri yang sangat nyata berdasarkan definisi tersebut di atas bagi peserta

didik hiperaktif adalah:

a. Selalu berjalan-jalan memutari ruang kelas dan tidak mau diam,

b. Sering mengganggu teman-teman di kelasnya,

c. Suka berpindah-pindah dari satu kegiatan ke kegiatan lainnya dan sangat jarang untuk

tinggal diam menyelesaikan tugas-sekolah, paling lama bisa tinggal-diam di tempat

duduknya sekitar 5 sampai 10 menit,

d. Mempunyai kesulitan untuk berkonsentrasi dalam tugas-tugas di sekolah,

Page 95: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

95

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

e. Sangat mudah berperilaku untuk mengacau atau mengganggu,

f. Kurang memberi perhatian untuk mendengarkan orang lain berbicara,

g. Selalu mengalami keggalan dalam melaksanakan tugas-tugas di sekolah,

h. Sulit mengikuti perintah atau suruhan lebih dari satu pada saat yang bersamaan.

i. Mempunyai masalah belajar hampir di seluruh bidang studi.

j. Tidak mampu menulis surat, meng-eja huruf dan berkesulitan dalam surat-menyurat.

k. Sering gagal di sekolah disebabkan oleh adanya in-atensi dan masalah belajar karena

persepsi visual dan auditory yang lemah.

l. Karena sering menurutkan kata hati (impulsiveness), mereka sering mendapat

kecelakaan dan luka. (Rapport & Ismond, 1984 dalam Batshaw & Perret, 1986:263).

Kesulitan belajar anak hiperaktif disebabkan pula adanya kontrol diri yang

kurang dan sering impulsif dalam setiap kegiatan yang ia lakukan, sangat mudah untuk

marah dan seringkali suka berkelahi. Dari adanya impulsivity ini, umumnya anak

hiperaktif sering mendapatkan “kecelakaan” dan mendapatkan luka. Ada di antara

mereka tidak suka berolahraga karena adanya kecanggungan atau kekakuan gerak.

Namun perlu dicatat bahwa tidak semua anak dengan hiperaktif atau kesulitan belajar

mempunyai attention deficit disorder (ADD).

Hubungan antara attention deficit disorder, learning disability dan hyperactive

dapat dilihat pada Gambar 3.1 di bawah ini.

Page 96: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

96

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

Gambar 3.1 Hubungan antara Kesulitan Belajar, In-atensi dan hiperaktif

(Batshaw & Perret, 1986:263).

Anak dengan ADD atau ADD-H selalu mendapat kesulitan di sekolah. Mereka

selalu gagal untuk melakukan hubungan sosial dalam pelajaran berolahraga, sedangkan di

rumah mereka juga sedikit mendapatkan dorongan untuk menghilangkan kesulitannya.

Anak hiperaktif tersebut dapat dipastikan mempunyai kesulitan untuk memahami konsep,

dan selalu gagal untuk segala kegiatan yang ia coba lakukan.

Kasus lainnya berkaitan dengan hiperaktif, antara lain: (1) anak tunagrahita

dapat juga mempunyai kelainan atau hendaya-penyerta hiperaktif, seperti adanya in-

atensi, perilaku impulsif, frustasi, dan rendahnya kemampuan dalam bidang kognitif.

Pendekatan secara medis dalam kasus semacam ini, pengobatannya kurang efektif; (2)

sifat in-atensi dan hiperaktif terdapat juga pada anak yang mempunyai seizure disorder,

terhadapnya terdapat problem perilaku disebabkan oleh adanya reaksi terhadap toxic

levels of phenobarbital atau anticonvulsant lainnya; (3) anak dengan hendaya

pendengaran dapat juga mempunyai sifat hiperaktif atau problem perilaku lainnya.

Problem ini disebabkan oleh kerusakan pada sebagian sel-sel syaraf pada otak, atau

adanya kesalahan mendiagnosa; (4) pada anak dengan kesulitan psikiatrik dapat

Learning Disability

Attention Deficit Disorder

Hyperactivity

Page 97: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

97

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

dimungkinkan mempunyai hiperaktif disebabkan oleh adanya perasaan tidak aman pada

dirinya atau salah mengenai tanggapan dirinya dan kurang responsivitas terhadap orang

lain.

Pengobatan terhadap anak ADD umumnya dilakukan dengan berbagai

pendekatan termasuk ke dalamnya program pendidikan khusus, modifikasi perilaku,

pengobatan melalui obat-obatan, dan konseling. Di samping pendekatan yang

kontroversial yaitu antara lain dengan melakukan diet-khusus, dan penggunaan obat-

obatan serta vitamin-vitamin tertentu.

Pendekatan secara pendidikan, umumnya diberikan suatu penempatan sekolah

yang tepat dalam suatu program khusus. Penempatan itu dianggap sangat penting

diterapkan guna “penyembuhan” anak dengan ADD. Pada anak ADD umumnya

mempunyai kesulitan belajar disebabkan adanya hiperaktif, sifat impulsif, dan

menurunnya daya-atensi saat mengikuti pelajaran (Straus & Lehtinen, 1955 dalam

Batshaw & Perret, 1986:266). Untuk perkembangan dan pertumbuhan diri anak

bersangkutan, diperlukan suatu bentuk program pembelajaran spesifik dalam sebuah

kelas-khusus dengan didampingi seorang asisten yang dapat membantu kegiatan selama

layanan pembelajaran diberikan kepadanya.

Pada anak dengan ADD-H pendekatan yang efektif adalah dengan menerapkan

modifikasi perilaku saat pelaksanaan pembelajaran. Metode yang digunakan akan

melibatkan tata cara pengaturan program. Lingkungan yang terstruktur, dan bentuk re-

inforcement terhadap perilaku yang dianggap penting. Alasan utama digunakannya

modifikasi perilaku disebabkan bahwa perilaku (behavior) dapat dikontrol melalui

konsekuensi-konsekuensi (consequences) yang diperlakukan akibat adanya perilaku

Page 98: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

98

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

sasaran pembelajaran ( target behavior) tersebut. Jadi manakala hasil perilaku sasaran

tertentu mendapatkan reward, maka akan memperoleh manfaat dengan berulangkalinya

perilaku tertentu di masa yang akan datang. Jika perilaku tidak mendapat reward maka

tidak akan muncul lagi. Anggapan ini berdasarkan atas tiga landasan utama dari suatu

metode pengontrolan terhadap perilaku, yaitu: reinforcement, punishment, dan extinction.

Dengan menggunakan modifikasi perilaku, maka saat mencatat semua hasil perilaku

sasaran yang kemunculannya diharapkan, model evaluasi terhadap subjek tunggal sangat

memegang peranan penting (single-case design: A-B; A-B-A; atau A-B-A-B).

Suatu program untuk layanan pembelajaran atau bimbingan konseling terhadap

anak ADD-H diperlukan suatu model tersendiri bersifat spesifik dengan berlandaskan

pada pola Input – Process – Output. Dalam input, diperlukan kegiatan-kegiatan berkaitan

dengan (a) skrining atau asesmen guna mengetahui informasi berkaitan dengan

karakteristik-khusus dari anak bersangkutan, (b) masukan informasi berkaitan dengan

program yang lalu, keadaan dan keberadaan oara guru, therapist, dan konselor setempat,

sarana dan prasarana, serta tahapan kegiatan yang pernah dilakukan atau diterapkan ke

pada anak bersangkutan. Masukan lingkungan, berkaitan dengan norma, tuntutan, tujuan

suatu kegiatan, serta keadaan lingkungan anak merupakan informasi yang sangat berguna

dan sangat memegang peranan penting bagi kegiatan input.

Selanjutnya, proses kegiatan layanan spesifik diperlukan suatu program

pembelajaran/ konseling/ terapi yang bersifat individu dan dibuat secara khusus, dengan

melihat kurikulum yang berlaku, perilaku non-adaptif atau mal-adjustment tertentu, cara

melaksanakan kegiatan intervensi, dan bagaimana melakukan refleksi kegiatan

pembelajaran. Selama proses kegiatan untuk “penyembuhan” terahadap anak ADD-H

Page 99: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

99

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

diperlukan program tertentu yang lebih menitik beratkan pada model modifikasi perilaku.

Siklus kegiatannya diperlukan adanya tindakan (act), perencanaan (plan), Pengamatan

(observation), refleksi hasil kegiatan pembelajaran (reflextion), dan Perencanaan kembali

(re-plan) dan seterusnya berputar kembali ke pada kegiatan semula, sampai ditemukan

kesempurnaan perilaku sasaran tertentu pada sasaran akhir (annual goals).

Dalam out-put atau keluaran, program hendaknya berfokus ke pada perilaku

sasaran yang telah ditentukan sebelumnya, dan yang merupakan konsekuensi berikutnya.

Semua hasil berkaitan dengan tingkat kestabilan perkembangan perilaku tertentu perlu

dicatat dalam sebuah formulir pencatatan khusus (disebut dengan recording sheet for rate

data). Semua hasil catatan itu kemudian di rekapitulasi dan dipetakan dalam sebuah

grafik single-case design. Penghitungan stabilitas perkembangan (trend stability)

merupakan analisis untuk menghitung kadar perkembangannya, apakah masih labil

(disebut: Variable) atau sudah tetap (disebut dengan: Constant). Disebut dengan constant

manakala nilai trend stability berada pada 85% ke atas.

Page 100: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

100

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

D. KARAKTERISTIK ANAK TUNALARAS

(ANAK DENGAN HENDAYA PERILAKU SALAH SUAI)

Definisi berkaitan dengan tunalaras atau emotionally handicapped atau

behavioral disorder saat sekarang lebih terarahkan berdasarkan definisi dari Eli M.

Bower (1981). Definisi Bower (1981) menyatakan bahwa anak dengan hambatan

emosional atau kelainan perilaku, apabila ia menunjukkan adanya satu atau lebih dari

lima komponen yang tertera di bawah ini.

a. Tidak mampu belajar bukan disebabkan karena faktor intelektual, sensory atau

kesehatan.

i. Tidak mampu untuk melakukan hubungan baik dengan teman-teman dan guru-guru

ii. Bertingkah laku atau berperasaan tidak pada tempatnya

iii. Secara umum, mereka selalu dalam keadaan pervasive dan tidak menggembirakan

atau depresi

iv. Bertendensi ke arah symptoms fisik seperti: merasa sakit, atau ketakutan berkaitan

dengan orang atau permasalahan di sekolah.

Berdasarkan definisi Bower tersebut di atas, masalah hambatan dalam belajar

merupakan karakteristik pertama dan merupakan aspek yang signifikan di sekolah.

Sehingga definisi hambatan emosional tercatat dalam Peraturan Pemerintah Amerika

Serikat (Public law 94-142 Secdtion 121 a. 5), sebagai berikut.

1) Mempunyai kondisi satu atau lebih dari komponen Bower tersebut di atas akan

berpengaruh terhadap kinerja-pendidikan untuk periode waktu yang panjang.

Page 101: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

101

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

2) Secara pasti bahwa ketidakmapuan belajar bukan disebabkan karena faktor-faktor

berkaitan dengan kemampuan intelektual, sensory dan kesehatannya.

3) Tidak mampu untuk melakukan kerja sama yang memuaskan dengan teman-

teman dan guru-gurunya

4) Mempunyai tipe perilaku yang tidak pada tempatnya atau perasan yang tidak

umum dengan lingkungannya

5) Mempunyai perasaan tidak gembira atau suka depresi.

6) Bertendensi ke arah symptom fisik. Misalnya, perasaan takut terhadap

perorangan atau permasalahan yang ada di sekolah.

7) Istilah tersebut di atas termasuk kepada mereka anak-anak yang menyandang

schizophrenic atau autistic. Tetapi tidak menyangkut kepada mereka yang tidak

mampu beradaptasi secara sosial.

Banyak anak-anak dan remaja menunjukkan kelainan perilaku yang

menyimpang (tunalaras). Biasanya kelainan perilaku berkaitan dengan hendaya penyerta

lainnya, seperti hambatan perkembangan fungsional (mental retardation) dan kesulitan

belajar yang spesifik (specific learning disability). Guru kelas hendaknya mampu

mengatasi siswa-siswa dengan hendaya perilaku salah suai melalui program pembelajaran

yang sesuai dengan kondisi mereka. Umumnya, di sekolah-sekolah reguler anak-anak

dengan kelainan perilaku salah suai banyak dijumpai dengan tingkat ringan. Sedangkan

anak-anak dengan kelainan perilaku tingkat sedang banyak di tempatkan di sekolah-

sekolah khusus. Untuk tingkat-berat umumnya mereka ditempatkan dalam tempat

Page 102: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

102

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

dengan situasi dan kondisi yang spesifik (mereka ini antara lain: schizophrenic,

psychopatic, dan psychopatic behavior).

Para ahli psikoanalisis mempercayai bahwa interaksi negatif yang terjadi sejak

usia dini antara orang tua dan anak, khususnya ibu dan anak merupakan penyebab utama

dari permasalahan-permasalahan berkaitan dengan kelainan perilaku yang serius. Para

orang tua yang menerapkan disiplin rendah terhadap anak-anaknya tetapi selalu

memberikan reaksi terhadap perilaku yang kurang baik, tidak sopan, suka menolak

sepertinya dapat menjadi sebab seorang anak menjadi agresif, nakal atau jahat

(delinquent) (Hallahan & Kaufmann, 1978 dalam Geddes, D. , 1981:124).

Identifikasi terhadap kasus kelainan perilaku salah suai dapat dipakai sebagai

patokan untuk menggunakan program pembelajaran yang mengarah kepada intervensi

khusus untuk menurunkan atau bahkan menghilangkan perilaku salah suai. Jika anak

mempunyai masalah psikologis maka diperlukan model psikoanalitis yang lebih

menekankan pada psikodinamis. Jika anak menunjukkan penyimpangan dalam

berperilaku bermasyarakat (agresif, menghindar dari keramaian, dan sikap bertahan diri)

maka diperlukan penanganan dengan model perilaku, pendekatan penyembuhannya

dengan cara memodifikasi perilaku untuk berperilaku yang benar daripada membetulkan

kasus-kasusnya.

Anak yang mempunyai kelainan perilaku umumnya tidak mampu untuk

berteman karena yang bersangkutan selalu menemui kegagalan saat melakukan hubungan

dengan orang lain. Kegagalan mengadakan hubungan dengan orang lain disebabkan oleh

adanya ketidakpuasaan dirinya terhadap elemen-elemen lingkungan sosialnya (Hallahan

& Kauffman, 1986:144-148). Oleh karenanya perilaku guru dan teman-sekelasnya harus

Page 103: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

103

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

dapat dikondisikan sedemikian rupa agar situasi interaksi di dalam kelas dapat

memberikan kesempatan bagi anak-anak dengan hendaya perilaku salah suai untuk

melakukan interaksi dengan kompetensi sosial dan perangai yang memadai (Thomas et

al., 1968 dalam Hallahan & Kauffman, 1986:159). Maka program pembelajaran

individual yang disusun guru hendaknya lebih menekankan ke pada bentuk-bentuk

interaksi antara guru – murid - teman sekelasnya. Aplikasi gerak irama terhadap

program pembelajaran individual semacam ini sangat membantu guru kelas dalam

mewujudkan interaksi antara ketiga unsur: murid – guru – dan teman sekelas melalui

pola-pola gerak tubuh. Dengan kata lain bahwa gerak irama bertujuan untuk

“membentuk” jalinan-hubungan interaksi dalam proses kegiatan pembelajaran terhadap

anak dengan hendaya kelainan perilaku.

1. Konsep Anak dengan Hendaya Perilaku Salah Suai (Tunalaras)

a. Pengertian Hendaya Perilaku Salah Suai

Behavioral impairment atau hendaya perilaku salah suai (tunalaras)

merupakan istilah berkaitan dengan kelainan perilaku yang banyak dibicarakan oleh para

pendidik. Definisi dan pemberian nama-nama lain, antara lain berkaitan dengan istilah-

istilah, seperti: gangguan emosional (emotionally disturb), perilaku sosial-emosional

yang maladaptif (maladaptive social-emotional behavior), kelainan perilaku

(behaviorally disorder), hambatan dalam pendidikan (educationally handicapped), dan

kelainan psikologis (psychological disordered) (Geddes, D., 1981:123). Sedangkan

Hallahan & Kauffman (1986:146), memberikan istilah kelainan perilaku dengan nama:

gangguan perilaku/ kelainan perilaku (Behavioral disturbance/ behavioral disorder).

Page 104: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

104

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

Definisi tentang anak dengan hendaya perilaku saat ini masih dipakai pendapat

dari Eli M. Bower (1981), yang menyatakan bahwa “anak-anak yang mempunyai

hendaya perilaku secara emosional adalah mereka yang menunjukkan satu atau lebih

dari kelima karakteristik di bawah ini yang terjadi secara terus-menerus serta menjadi

lebih berkembang”. Karakteristik anak-anak yang mempunyai kelainan perilaku salah

suai, menurut Geddes, D. (1981:124) dan Kauffman, J.M. (1985:22), adalah mereka yang

menunjukkan lima karakteristik sebagai berikut.

1). Mempunyai masalah belajar yang tidak dapat dikemukakan oleh faktor-faktor:

intelektual, sensori, atau faktor kesehatan.

2). Ketidakmampuan untuk membangun hubungan antar-pribadi secara memuaskan,

sehingga hubungan antar pribadi (dengan teman-teman dan guru) yang sangat

rendah.

3). Berperilaku dan berperasaan yang tidak semestinya.

4). Pada umumnya, mereka merasa tidak bahagia atau depresi.

5). Bertendensi terjadi peningkatan gejala-gejala pisik yang kurang sehat, rasa sakit,

atau rasa takut yang bersifat psikologis berkaitan dengan masalah-masalah saat

melakukan hubungan dengan orang dan sekolah (Bower, 1969 dalam Geddes, D.,

1981:124; dalam Kauffman, J.M., 1986:22).

Kelima karakteristik tersebut di atas mengacu ke pada pernyataan-pernyataan

berkaitan dengan pemberian suatu definisi berdasarkan atas penyelidikan yang banyak

dipakai dalam berbagai kegiatan para ahli pendidikan (Cullinan & Epstein, 1979; Epstein

Page 105: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

105

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

et al, 1977, dalam Kauffman, 1985:18), yang menunjukkan adanya beberapa komponen

yang dapat diidentifikasi, sebagai berikut.

1). Adanya kelainan emosi atau perilaku

2). Permasalahan-permasalahan yang muncul berkaitan dengan ketidakmampuan

melakukan hubungan antar-pribadi (interpersonal relationship).

3). Ketidakmampuan belajar dan pencapaian keterampilan-keterampilan di sekolah.

4). Perilaku yang berbeda dengan perilaku pada umumnya atau tidak sesuai dengan

harapan-harapan yang diinginkan sesuai dengan kecocokan-umur.

4). Permasalahan yang disandangnya dalam kurun waktu yang panjang.

5). Permasalahan berkaitan dengan hendaya perilakunya dikategorikan dalam tingkat

berat (severe).

6). Membutuhkan bantuan pendidikan khusus (special education).

Kelainan perilaku merupakan perilaku yang menyimpang dari perilaku normal,

diakibatkan adanya pertentangan dengan orang dan masyarakat sekitarnya. Kebanyakan

dari mereka mempunyai skor rendah dalam belajar dan tes inteligensi. Prevalensi

terjadinya anak-anak dengan hendaya perilaku salah suai bervariasi, namun diperkirakan

berkisar antara dua hingga 22 persen dari anak-anak usia sekolah, dan diidentifikasikan

banyak terjadi pada anak-anak laki-laki daripada anak perempuan. Pendapat lain, bahwa

privalensi dari anak dengan hendaya perilaku berkisar lima hingga 20 persen atau bahkan

lebih dari populasi anak usia sekolah (Kauffman, J.M., 1985:25). Sulitnya

memperkirakan privalensi secara tepat disebabkan oleh adanya beberapa hal sebagai

berikut.

Page 106: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

106

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

(1). Sebelum jumlah anak dengan hendaya perilaku di definisikan, perkembangannya

masih belum dapat dipastikan secara akurat dan reliabel,

(2). Adanya perbedaan-perbedaan dalam metodologi dapat menyebabkan hasil-penelitian

berkaitan dengan hendaya anak dengan kelainan perilaku menjadi berbeda,

(3). Adanya pengaruh dari kekuatan-kekuatan yang ada pada kebijakan sosial serta

faktor-faktor ekonomi yang turut berperan dalam memberikan definisi dan

metodologi. Kebijakan dari hasil latihan-latihan para ahli pendidikan dan

pertimbangan-pertimbangan klinis masih terabaikan (Maglioca & Stevens, 1980

dalam Kauffman, J.M., 1985:25).

Kasus yang banyak ditemukan berkaitan dengan hendaya perilaku salah suai

sangat erat hubungannya dengan adanya defisit pada faktor-faktor: (1) biologis atau

organik, (2) kelainan psikologis atau psikodinamis, (3) konflik-konflik di lingkungan

masyarakat, dan (4) perilaku sosio-adaptif yang tidak berkemampuan menyesuaikan diri

(maladjustment). Menurut Kauffman, J. M. (1985:91-164) faktor-faktor yang paling

dominan penyebab adanya hendaya perilaku (behavior disorders) yaitu: (1) faktor

keluarga, (2) faktor biologis, dan (3) faktor sekolah.

Defisit dalam aspek organik secara tersendiri atau kombinasi dengan faktor-faktor

lingkungan dapat menyebabkan adanya perilaku yang menyimpang. Anak dengan

hendaya ketidakberfungsian sistem syaraf pusat atau kelainan secara biokemikal (seperti:

nutrisi yang rendah, kurang tidur) dapat mengakibatkan kerusakan secara pisik, seperti

adanya ketidakseimbangan dalam hormon, cedera otak, kerusakan enzim dan

schizophrenia genotype. Kerusakan secara organik atau biologis sangat sulit untuk

Page 107: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

107

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

diidentifikasi walaupun kondisinya secara nyata sangat berat, seperti pada anak dengan

sindrom kelangkaan komunikasi (autism) dan anak dengan sindrom kelainan-psikis

(schizophrenia).

Masalah-masalah pribadi atau psikologis pada anak-anak dan remaja banyak

dibicarakan dan telah dilakukan penelitian-penelitian oleh para ahli. Secara teori banyak

dibicarakan melalui model psikoanalisis dari Freud dan pendekatan psikologis

kemanusiaan melalui teori-teori dari Adler, Maslow, Allport, Combs, dan Rogers

(Reinert, 1976 dalam Geddes, D., 1981:124). Para ahli psikoanalisis mempercayai bahwa

interaksi negatif yang terjadi sejak usia dini antara orang tua dan anak, khususnya ibu dan

anak merupakan penyebab utama dari permasalahan-permasalahan berkaitan dengan

kelainan emosional yang serius. Orang tua yang menerapkan disiplin rendah tetapi selalu

memberikan reaksi terhadap perilaku yang kurang baik, tidak sopan, dan suka menolak

dapat menyebabkan seorang anak menjadi agresif atau nakal (delinquent) (Hallahan &

Kauffman 1978, dalam Geddes, D., 1981:125).

Adanya tekanan-tekanan yang sering terjadi di masyarakat terhadap anak,

ditambah dengan ketidakberhasilan anak bersangkutan dalam pergaulan lingkungannya

seringkali menjadi penyebab perilaku-perilaku yang menyimpang. Dapat juga terjadi,

bila seorang anak kurang memahami akan aturan-aturan yang ada dalam kehidupan

masyarakat atau juga dapat terjadi oleh karena adanya suatu pendangan yang keliru

terhadap sekelompok minoritas tertentu, dapat menjadi sebab anak yang suka melawan

hukum atau aturan-aturan tertentu dan selalu memberontak untuk melawan orang yang

berkuasa.

Page 108: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

108

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

Perilaku sosio-adaptif perlu dipertimbangkan dalam memberikan reaksi dan

melakukan penyesuaian oleh seseorang saat merespon terhadap pengalaman-pengalaman

hidup yang diperoleh dalam lingkungannya. Faktor-faktor sosio-adaptif antara lain

perkembangan kedewasaan, penyesuaian sosial, dan kemampuan belajar. Jika seseorang

mempunyai penyimpangan tingkat penyesuaian normal secara kronologis, dapat

dipastikan menjadi anak yang kurang dapat menyesuaikan diri (maladjustment) atau

perilaku yang menyimpang.

Identifikasi terhadap kasus kelainan perilaku salah suai dapat juga dipakai sebagai

patokan untuk menggunakan program penyembuhan. Sebagai contoh, jika seorang anak

mempunyai masalah psikologis maka diperlukan model psikoanalitis yang lebih

menekankan pada psikodinamis. Di sisi lain, jika seorang anak menunjukkan

penyimpangan perilaku dalam bermasyarakat maka diperlukan penanganan dengan

model perilaku, yaitu dengan cara memodifikasi untuk belajar berperilaku yang benar

daripada membetulkan kasus-kasusnya. Tipe perilaku yang tampak, merupakan refleksi-

refleksi dari perasaan diri seperti: marah, merasa sering menemui kegagalan, takut,

frustasi, ketakutan tanpa sebab, konsep diri yang kurang, tidak merasa aman, penerimaan

terhadap dirinya yang kurang, masalah-masalah identitas, merasa diacuhkan oleh orang

lain. Perilaku semacam ini sering diikuti dengan masalah-masalah lain berkaitan dengan

kegagalan dalam belajar dan berbicara dengan gagap.

Ada tiga perilaku utama yang tampak pada seorang anak dengan kelainan perilaku

salah suai, yaitu: agresif, suka menghindar diri dari keramaian, dan sikap bertahan diri.

Agresif merupakan perilaku dalam wujud bermusuhan (hostility), suka berkelahi

(belligevency), suka berteriak (yelling), ledakan kemarahan (temper outbursts), suka

Page 109: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

109

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

menyindir (teasing), suka mengacaukan (vandalism), suka melawan terhadap

kewenangan orang dewasa (resiteance to adult authority), suka melakukan kenakalan/

kejahatan (delinquency), suka memukul secara pisik pada orang lain (physically striking

others), dan suka menolak untuk bekerja sama (refusing to cooperate).

a). Withdrawal atau sifat suka menghindarkan diri dari orang lain, merupakan perilaku

yang mudah dilihat oleh guru. Umumnya anak yang mempunyai perilaku semacam ini,

pada dasarnya adalah seorang anak yang berperilaku baik. Namun kelainan perilaku

semacam ini berkaitan dengan perilaku yang bersikap pasif (passivity), suka melamun

(day dreaming), ketidakdewasaan (immaturity), suka menghisap ibu-jarinya (thumb

sucking), mempunyai rasa takut yang berlebihan (extreme fear), sering gagal untuk

berbicara (failure to talk), tidak suka bergaul (reluctance to sosialize), bermain sendirian

(playing alone), sering mengeluh merasakan sakit (complaining of feeling ill), tidak

menaruh perhatian terhadap lawan berbicara saat berbicara dengan orang lain, berperilaku

suka merangsang diri (melakukan onani), dan sangat mudah untuk depresi (muram atau

sedih).

b). Sikap bertahan diri (defensive behavior), merupakan perilaku yang dilakukan untuk

melindungi diri dari situasi berbahaya secara psikologis. Mekanisme ini selalu digunakan

oleh semua orang dalam populasi secara umum tetapi bila digunakan secara berlebihan

oleh seseorang maka ia mempunyai hendaya kelainan perilaku salah suai, karena cara-

cara perlindungan diri sendiri yang dilakukannya dilakukan secara tidak wajar.

Contohnya, suka menyalahkan orang lain bila dirinya melakukan kesalahan atau

kekurangan, berperilaku kekanak-kanakan, suka melamun atau berfantasi untuk lari dari

Page 110: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

110

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

kenyataan yang sebenarnya, tindakan-tindakannya selalu menggunakan alasan-alasan

yang tidak masuk akal, adanya hambatan atau kelangkaan ingatan disebabkan sering

mendapatkan kejadian-kejadian yang penuh ketegangan, suka mengembangkan

keterampilan khusus atau bakat tertentu untuk penyesuaian terhadap kekurangan dirinya,

menganggap dirinya seperti seseorang yang ia kagumi.

Tipe-tipe perilaku lainnya antara lain: ketidakhadiran diri (absenteism), suka

melarikan diri dari kenyataan, bersikap selalu lamban, suka berbohong, suka menipu,

suka mencuri, tidak bertanggungjawab, sering kehilangan barang-barangnya dan

menghindar diri jika disuruh kerja.

b. Hambatan-hambatan yang Dihadapi Anak dengan Hendaya Kelainan Perilaku

Hambatan yang ada pada anak dengan hendaya kelainan perilaku salah suai

pada usia sekolah dasar dan taman kanak-kanak, pada umumnya berkaitan dengan sering

terjadi konflik dengan orang tuanya, dengan pasangan saudara kembarnya sehingga

mempunyai perwatakan yang keras, menyangkut perilaku lekas marah, mempunyai pola

tidur dan makan yang tidak umum. Pada umumnya, bila anak sering mendapatkan

tanggapan-tanggapan negatif dari teman main dan orang lain dalam lingkungan

kehidupannya menyebabkan anak menjadi lebih agresif dan lebih sering menghindarkan

diri dari kerumunan orang-orang di sekitarnya. Oleh karenanya, program intervensi

menjadi lebih efektif terhadap anak dengan hendaya kelainan perilaku pada tingkat

sekolah dasar.

Pada anak-anak usia sekolah di tingkat sekolah menengah pertama, umumnya

mereka mempunyai hambatan pada penyesuaian diri terhadap lingkungan (socially

Page 111: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

111

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

maladjusted), sehingga menjadikan diri mereka berperilaku salah suai berkaitan dengan

suka mengindarkan diri seperti anak autistik hingga menjadi anak yang agresif suka nakal

dan melakukan kejahatan. Program intervensi yang dianggap tepat adalah pemberian

kegiatan keterampilan hidup sehari-hari dalam suatu lingkungan khusus sebagai

lingkungan tempat melakukan latihan-latihan kehidupan yang baik, disamping

dipersiapkan suatu kurikulum yang tidak umum atau spesifik dengan latihan-latihan

vokasional yang khusus.

Kurikulum yang spesifik seyogyanya disusun dengan memperhatikan suatu

bentuk kurikulum yang bermuatan kegiatan berdasarkan atas pengalaman-pengalaman

esensial yang harus dimplementasikan ke dalam suatu rancangan pembelajaran yang di

arahkan pada fokus keterampilan khusus dan secara rinci. Dengan kata lain bahwa

kurikulum yang disusun: (a) bukan berisikan suatu mata pelajaran untuk diajarkan suatu

keterampilan pengalaman secara langsung berdasarkan atas pokok bahasan yang

dituangkan dalam garis-garis besar program pembelajaran, (b) Hendaknya dimasukkan

suatu bentuk keterampilan-keterampilan spesifik yang bersifat permainan yang

mengandung unsur kesenangan dan rasa saling menyayangi, serta dapat dipergunakan

dalam kehidupan anak bersangkutan (Kauffman, J. M., 1985:342).

Pada anak-anak dengan hendaya kelainan perilaku yang sudah dewasa, hambatan

yang nampak adalah kesulitan dirinya untuk hidup mandiri secara bebas, dan hidup yang

berproduktif. Mereka mempunyai kelainan perilaku yang diklasifikasikan dalam psikotik

(autistic dan schizophrenic) dan kelainan perilaku khusus, seperti agresif yang berlebihan

(Hallahan & Kauffman, 1986:179-181).

Page 112: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

112

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

c. Aplikasi Gerak Irama dalam Pembelajaran Anak Tunalaras

a). Pendekatan yang Diperlukan

Disebabkan anak-anak dengan hendaya kelainan perilaku salah suai mengacu ke

pada adanya: (1) perilaku yang sangat ekstrim, (b) masalahnya sangat kronis (salah

satunya adalah sulit untuk dihilangkan secepatnya), (c) perilaku yang tidak diterima oleh

adanya harapan-harapan tertentu dalam lingkungan sosial dan budaya tertentu maka

pendekatan dalam dunia pendidikan yang dapat diterapkan adalah sebagai berikut.

(a). Pendekatan secara psikoanalitis dalam pendidikan, merupakan tuntunan-

tuntunan berdasarkan prinsip-prinsip psikoanalisis. Masalah yang dihadapi

oleh anak dengan hendaya kelainan perilaku salah suai dipandang sebagai

ketidakseimbangan secara patologis antara bagian-bagian dinamis dari

pikiran: id, ego dan super-ego. Para praktisi pendidikan mengupayakan untuk

membantu dalam meningkatkan keberfungsiaan patologis, seperti perilaku dan

prestasi ke arah yang sebaik mungkin. Penekanannya terletak pada

pembentukan hubungan yang baik antara guru dan siswa, agar diri siswa

mempunyai perasaan diterima dan bebas untuk mengemukakan keadaan

dirinya. Dengan demikian maka perhatian guru lebih tertuju ke pada upaya-

upaya untuk membantu anak dalam mengatasi konflik-konflik mentalnya,

bukan dengan merubah perilaku kelainan yang tampak atau memberikan

keterampilan akademik (Bettelheim, 1950, 1967; Berkowitz & Rothman, 1960

dalam Hallahan & Kauffman, 1986:173).

(b). Pendekatan secara psiko-edukasional. Terhadap anak dengan hendaya

kelainan perilaku yang diasumsikan bahwa kelainannya melibatkan kelainan

Page 113: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

113

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

psikiatrik dan adanya kesalahan-kesalahan perilaku yang tidak semestinya

dilakukan oleh seorang anak, maka diperlukan pendekatan secara seimbang

antara sasaran yang bersifat terapeutik (penyembuhan) dengan sasaran untuk

pencapaian prestasinya. Motivasi terhadap ketidaksadaran diri dan faktor-

faktor yang bersifat patologi perlu mendapatkan pertimbangan dalam

pembelajarannya, melalui penekanan terhadap pemenuhan kebutuhan setiap

individu dan pembelajaran melalui bentuk-bentuk aplikasi yang

memanfaatkan kegiatan kreatif-seni, seperti: musik, tari, dan kegiatan yang

bersifat seni.

(c). Pendekatan secara humanistik. Pendekatan ini berdasarkan atas pandangan

psikologi humanistik sehingga memungkinkan adanya perubahan dalam

pendidikan, dan sebagai revolusi perubahan terhadap konsep-konsep

pendidikan tradisional semenjak tahun 1960-an. Masalah utama, seperti apa

yang dapat dilihat oleh para pendidik, adalah bahwa anak-anak dengan

hendaya kelainan-perilaku belum tersentuh perasaan dirinya dan kurang

mempunyai perhatian dan masih belum dianggap penting dalam lingkungan

pendidikan tradisional. Hal yang perlu disarankan ke pada para praktisi

kependidikan adalah program yang akan diterapkan sebaiknya disusun guna

mempertinggi kemampuan siswa untuk mengatur diri sendiri, mampu

mengevaluasi diri, dan keterlibatan emosional dalam pembelajaran yang

diterapkan dalam lingkungan pendidikan yang non-tradisional. Fungsi guru

dalam hal ini sebaiknya hanya sebagai sumber dan katalisator dalam

pembelajarannya, bukan sebagai pengatur kegiatan-kegiatan. Guru bersama-

Page 114: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

114

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

sama siswa bekerja bersama saling memberikan informasi dalam keadaan

yang saling menguntungkan dan berkesan. Biasanya kata-kata yang

dipergunakan adalah tidak bersifat otoriter, bersifat memberikan arahan,

bersifat ke arah evaluasi- diri, afektif, terbuka dan bersifat pribadi (Hallahan &

Kauffman, 1986:175).

(d). Pendekatan secara ekologis. Elemen-elemen lingkungan seperti sekolah,

lingkungan keluarga, dan perwakilan lembaga sosial merupakan ajang

interaksi bagi anak. Oleh karenanya praktisi pendidikan sebaiknya menjadi

bagian dari strategi keseluruhan suatu sistem dimana anak merupakan bagian

yang terlibat di dalamnya. Sasaran dari pendekatan ini adalah merubah

lingkungan secukupnya sehingga dapat membantu intervensi terhadap

perilaku yang diinginkan. Pendekatan ini tidak hanya diberlakukan dalam

ruangan kelas saja, tetapi meliputi juga kegiatan-kegiatan yang dapat

dilakukan oleh keluarga dari anak yang bersangkutan, tetangganya, dan orang-

orang yang ada di lingkungannya. Pendekatan secara ekologis membutuhkan

seorang guru yang cakap dalam memberikan keterampilan spesifik yang

berguna, termasuk di dalamnya keterampilan akademik, rekreasi, dan

keterampilan untuk hidup sehari-hari.

(e) Pendekatan perilaku. Pendekatan ini menggunakan dasar-dasar

pengkondisian yang bersifat operant dan respondent. Asumsinya adalah

bahwa permasalahan yang bersifat perilaku yang menjadi penyebab tidak

tepatnya pembelajaran pada anak dengan hendaya kelainan perilaku dapat

dibantu dengan cara memodifikasi perilaku. Modifikasi perilaku dapat

Page 115: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

115

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

dikerjakan bersamaan dengan memanipulasi lingkungan anak secara segera,

tergantung pada penempatan ruangan kelas dan konsekuensi dari perilaku

anak yang bersangkutan. Dengan kata lain bahwa tanggapan-tanggapan anak

hendaknya dapat segera disadari oleh guru atau praktisi serta dapat diukur

secara cermat, sehingga fokus dalam pendekatan perilaku adalah memberikan

batasan secara tepat dan mengukur perilaku yang dapat diamati yang menjadi

masalah, dan memanipulasi konsekuensi-konsekuensi perilaku anak yang

bersangkutan dalam upaya melakukan perubahan.

b). Rancangan Pembelajaran

Program pembelajaran bagi anak dengan hendaya kelainan perilaku salah suai

sebaiknya diberikan dengan berfokus pada peningkatan sosial-emosionalnya. Untuk itu

maka diperlukan perhatian khusus terhadap perkembangan sosial-emosional dan

psikomotornya. Yang dimaksud dengan perkembangan sosial emosional, meliputi hal-

hal sebagai berikut.

a. Kepuasan diri: merasa sehat, meningkatkan konsep-diri, meningkatkan

kepercayaan diri, aktualisasi-diri dan peningkatan kesadaran terhadap

tubuh.

b. Perkembangan fungsional: sikap bermasyarakat, pandangan terhadap nilai-

nilai, kepribadian, menyenangi hubungan antar-pribadi dalam suatu

lingkungan kehidupan.

Page 116: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

116

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

c. Perkembangan emosional: kestabilan emosi, merasa senang, suka

menyampaikan perasaan-perasaan emosi dirinya, bergaul erat sesama

teman.

Oleh karena itu program pembelajaran sebaiknya diupayakan untuk dapat

meningkatkan hubungan orang-perorang, selanjutnya suatu program pembelajaran bagi

anak dengan hendaya kelainan perilaku diperlukan adanya hal-hal berikut:

(1) Kegiatan-kegiatan dapat dipersiapkan agar dapat meningkatkan

kesportifitasan, dan hubungan yang terjalin dengan baik antara anak yang

bersangkutan dengan guru dan teman-teman sekelasnya.

(2) Semua kegiatan sebaiknya di arahkan untuk dapat memperoleh

pengalaman-pengalaman yang berguna, dapat dirasakan kepuasaannya,

dan dapat dilakukan dengan ekspresi yang penuh.

(3) Kegiatan-kegiatan yang disajikan berdasarkan pada pola permainan,

seperti permainan teka-teki, tarian, olahraga, dan sejenisnya.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka kegiatan-kegiatan layanan

pembelajaran hendaknya bertujuan sebagai terapeutik dengan memperhatikan:

(a) adanya kesempatan pada anak untuk dapat mengekspresikan dirinya

sendiri,

(b) dapat meningkatkan persahabatan,

(c) adanya kesempatan pada anak untuk dapat memecahkan masalah-

masalahnya secara sendiri.

Page 117: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

117

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

(d) menggunakan gerakan-gerakan ritmis,

(e) dilakukan dengan memodifikasi perilaku yang bersifat operant condition,

dengan penguatan yang positif (positive reinforcement), hukuman

(punishment), dan penarikan/ penghentian kegiatan (time-out).

c. Langkah-langkah Kegiatan Pembuatan Rancangan Pembelajaran

1. Melakukan skrining atau tes untuk mengetahui tingkat perkembangan fungsional

psikomotor dengan menggunakan instrumen Geddes Psychomotor Inventory

(GPI) Profile I dan II (sebagai pre test)

2. Menganalisis seluruh hasil skrining atau pre test dengan instrumen GPI Profile I

dan II, guna mengetahui secara rinci tingkat keberfungsian psikomotor anak yang

bersangkutan disesuaikan dengan perkembangan sosial-emosionalnya.

3. Membuat suatu pola-gerak yang merupakan bahan intervensi-guru dalam kegiatan

pembelajarannya

4. Membuat rancangan pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan anak,

berdasarkan atas hasil analisis skrining dan diselaraskan dengan kurikulum yang

berlaku.

5. Melakukan evaluasi akhir pembelajaran untuk mengetahui:

(a) Apakah terjadi peningkatan keberfungsian psikomotor, sehingga dapat

berpengaruh terhadap perkembangan sosial-emosionalnya atau tidak.

Dilakukan dengan instrumen GPI Profile I dan II (sebagai post test)

Page 118: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

118

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

(b) Apakah terjadi kestabilan peningkatan perilaku sasaran (dalam hal ini

adalah perilaku suka menyendiri/withdrawal) sebagai target yang akan

dicapai dalam pembelajaran. Dalam hal ini dipergunakan analisis

terhadap grafik A-B-A dalam suatu metode subjek-tunggal.

Langkah Kegiatan Satu:

Melakukan skrining atau tes dengan GPI profile I dan II, terhadap siswa contoh yaitu

anak dengan hendaya kelainan perilaku suka menyendiri (withdrawal- sebagai

perilaku sasaran), duduk di kelas I sekolah dasar. Hasil-hasil skrining atau tes dengan

GPI I dan II, pada halaman berikut.

Page 119: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

119

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

INSTRUMEN ASESMEN GPI (Profil I )

Cara Pengisian Jawaban Berilah tanda checklist (V) pada: Angka 4 (Empat) bila anak melakukan sendiri Angka 3 (Tiga) bila anak melakukan dengan sedikit pertolongan Angka 2 (Dua) bila anak melakukan dengan pertolongan seperlunya Angka 1 (Satu) bila anak melakukan dengan pertolongan sepenuhnya Angka 0 (Nol) bila anak tidak dapat melakukan.

No. TINGKAT PENGUASAAN 4 3 2 1 0

A. Penguasaan Keseimbangan dan Bentuk Tubuh

A. 1 Menegakkan kepala V A. 2 Berguling V A. 3 Duduk V A. 4 Berdiri V

B. Gerak Dasar dan Lokomotor

B. 5 Merangkak V B. 6 Bergerak perlahan-lahan V B. 7 Berjalan V B. 8 Lari V B. 9 Memanjat V B. 10 Menggerakkan anggota tubuh V B. 11 Melompat V

C. Memanipulasi Gerakan

C. 12 Menggenggam dan melepaskan V C. 13 Membangun bentuk V C. 14 Menggambar dan menulis V C. 15 Memasukkan benda ke kotak V C. 16 Berpindah tempat V

D. Penguasaan Bola atau benda Sejenis

D. 17 Melempar V

Jumlah Masing-masing Skor:

13

4

∑ = Χ =

64 3,76

Page 120: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

120

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

INSTRUMEN ASESMEN GPI (Profil II) Cara Pengisian jawaban Berilah tanda checklist (V) pada: Angka 4 jika anak dapat melakukan sendiri Angka 3 jika anak dapat melakukan dengan sedikit pertolongan Angka 2 jika anak dapat melakukan dengan pertolongan seperlunya Angka 1 jika anak dapat melakukan dengan pertolongan sepenuhnya Angka 0 jika anak tidak dapat melakukan sama sekali. No. TINGKAT PENGUASAAN 4 3 2 1 0 A. Gerak Dasar dan Daya Gerak : A.1 Berjalan V A.2 Berlari V A.3 Memanjat V A.4 Mekanisme gerak tubuh V A.5 Melompat V A.6 Meloncat-loncat V A.7 Lari mencongklak V A.8 Melangkah dilanjutkan dengan meloncat. V B. Penguasaan Diri: B.9 Mampu melakukan orientasi ruang V B.10 Bergerak ke arah yang sejajar dengan objek lain V B.11 Bergerak lurus ke depan V B.12 Mengetahui fungsi dan gerak tubuh V B.13 Mengetahui garis tengah tubuh V B.14 Mengenali bagian tubuh sendiri V C. Kemampuan Persepsi: C.15 Merespon terhadap persepsi dengar V C.16 Merespon terhadap persepsi pandang V C.17 Merespon terhadap persepsi rabaan V D. Koordinasi Gerak Mata: D.18 Dengan tangan V D.19 Saat memandang V D.20 Dengan kaki V E. Memanipulasi Gerak: E.21 Menulis dan menggambar V E.22 Melakukan gerakan dengan berbagai cara terhadap benda V F. Menguasai Alat: F.23 Bersepeda V F.24 Bergerak sepanjang garis sejajar V G. Penguasaan terhadap bola / benda sejenis: G.25 Melempar V G.26 Menangkap V G.27 Menendang V G.28 Memukul V

∑∑∑∑ = ΧΧΧΧ= 101 3,6

Page 121: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

121

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

Langkah kedua:

Menganalisis hasil pre test dengan GPI Profile I dan II.

Diperoleh data sebagai berikut: (1) Hambatan atau kelemahan dari GPI profile I

adalah Memanipulasi Gerak, (2) Hasil dari GPI Profil II adalah: terjadi hambatan pada

tiga bagian, yaitu: Kemampuan Persepsi (khususnya respon terhadap persepsi pandang),

Koordinasi Gerak Mata, dan Memanipulasi Gerak.

Maka dapat disimpulkan bahwa intervensi yang akan dimasukkan dalam

rancangan pembelajarannya adalah gerakan-gerakan berkaitan dengan memanipulasi

gerak (seperti: melempar, menangkap, menendang, memantulkan, memukul dengan alat),

kemampuan persepsi (dalam hal ini adalah kemampuan merespon terhadap daya

pandang), dan koordinasi gerak mata (berkaitan dengan kemampuan melakukan gerakan-

gerakan berkaitan dengan daya koordinasi mata dengan anggota tubuh).

Langkah Ketiga:

Membuat Skematis dan Bagan Pola-Gerak

Sebelum disusun pola-gerak (berupa bagan atau gambar), terlebih dahulu dibuat

suatu sketsa pola gerak bagi siswa dengan hendaya kelainan perilaku seperti yang ada

pada halaman berikut.

Page 122: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

122

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

Tabel 4.1 Skematis Pola gerak untuk Siswa Tunalaras

Pola Gerak (Skills Themes)

Konsep Gerak Lokomotor Manipulatif Non-Manipulatif Jalan dan Lari Lempar dan tangkap Melompat, mendarat

dan mengulurkan otot-otot tubuh.

A.Dimana tubuh digerakkan:

1.Lokasi 2.Arahnya 3.Tingkat gerak 4.Perluasan B. Bagaimana tubuh digerakkan: 1. Waktu 2. Tenaga 3. Arah/ Jalur

Lapangan sepakbola Kedepan, kebelakang dan kesamping. Sedang dan cepat Lurus/ zigzag. Secara teratur. Sepenuh tenaga Diarahkan

Lapangan sepakbola Kedepan, kebelakanag dan kesamping. Sedang. Lurus dan melambung.

Lapangan sepakbola. Kedepan, kebelakang, dan kesamping. Sedang Jauh kemuka dan kesamping. Cepat dan tiba-tiba. Depan/ belakang. Berteman.

C. Relationship: 1. Dengan Tubuh: 2.Dengan Objek/

orang: 3. Bentuk Sosialnya:

Meluas/ melebar. Dekat/ jauh Berteman berpasangan.

Sejajar. Atas/Bawah dan Dekat/jauh. Berkelompok dalam regu.

Meluas/Melebar. Depan / Belakang Bergerak berpasangan dengan teman.

Bagan 4.1. Pola Gerak untuk Anak Tunalaras.

A

B C

D E

F G

Page 123: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

123

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

Keterangan Bagan 4.1

A, sampai dengan G adalah lokasi kegiatan kognisi berkaitan dengan Pokok dan Sub-

pokok Bahasan.

Jalur A ke B, dilakukan kegiatan berlari berpasangan sambil memantulkan bola dengan

tangan kanan sebanyak lima kali, kemudian dioperkan pada temannya.

Temannya melakukan kegiatan yang serupa. Pada Lokasi B anak secara

berpasangan melakukan tepukan tangan berpasangan dengan posisi tangan

kiri dengan kanan dan sebaliknya. Kegiatan tepukan ini dilakukan

sebanyak 10 kali, dilanjutkan dengan menuliskan kegunaan tangan bagi

kehidupan manusia pada kertas kerja yang telah disediakan guru.

Jalur B ke C, melakukan kegiatan berjalan perlahan sambil berpegangan tangan dengan

pasangannya dan menghitung sampai bilangan 10, kemudian melakukan

lompatan melewati rintangan tertentu. Diteruskan sampai ke Lokasi C. Di

Lokasi C, anak-anak melakukan kegiatan menendang bola di arahkan ke

satu sasaran tertentu. Dalam kesempatan ini siswa menuliskan kegunaan

kaki bagi kehidupan manusia.

Jalur C ke D, merupakan kegiatan lempar dan tangkap bola berpasangan dengan teman-

pasangannya dilakukan dengan jalan atau lari secepat mungkin hingga ke

Lokasi D. Di Lokasi D anak-anak melakukan kegiatan menyalin tulisan

berisikan kegunaan mata bagi manusia ke dalam kertas yang telah

disediakan.

Page 124: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

124

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

Jalur D ke E, anak-anak dengan pasangannya masing-masing berlomba merangkak

secepatnya hingga ke lokasi E. Di Lokasi E, setiap anak melakukan

kegiatan menggambar bentuk manusia lengkap dengan anggota tubuhnya.

Jalur E ke F, merupakan kegiatan berjalan cepat berpasangan/ bergandeng tangan dengan

pasangannya. Di Lokasi F anak dengan pasangannya melakukan kegiatan

penguluran otot-otot punggung dengan saling mengangkat belakang tubuh

secara bergantian.

Jalur F ke G, merupakan kegiatan berlari zigzag melewati rintangan sambil bergandengan

tangan dengan pasangannya masing-masing. Setelah berada di Lokasi G

setiap anak harus mengumpulkan biji kacang hijau yang tersebar di Lokasi

G, kegiatannya sekitar 10 menit.

Jalur G ke A, merupakan kegiatan akhir, seluruh anak berjalan sambil menyanyikan lagu

kesayangannya seperti “Gelang Sepatu Gelang” atau lainnya. Hingga ke

lokasi A yang sebelumnya sebagai lokasi awal kegiatan.

Langkah keempat: Membuat Rancangan Pembelajaran Berbasis Gerak Irama

Berdasarkan atas pola gerak yang ada pada Tabel 4.1 serta Bagan 4.1 tersebut di

atas, maka guru menyelaraskan pokok dan Sub-pokok Bahasan yang akan diajarkan

kepada siswanya sesuai dengan jadwal pelajaran yang telah disusun sebelumnya.

Sebagai contoh dapat dilihat pada rancangan pembelajaran berikut.

Page 125: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

125

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

CONTOH

RANCANGAN PEMBELAJARAN UNTUK SISWA DENGAN HENDAYA KELAINAN PERILAKU

(TUNALARAS)

Mata Pelajaran: Ilmu Pengetahuan Alam tentang:

Pemahaman Konsep Makhluk Hidup dan

Proses Kehidupannya.

Kelas/Program : I / SDLB bagian E

Semester : I (Ganjil)

Waktu : 2 X 30 menit.

I. Standar Kompetensi

Siswa mampu memahami bagian anggota tubuh serta kegunaannya, kebutuhan dan cara perawatannya, serta mampu memelihara lingkungan yang sehat.

II. Kompetensi Dasar

Mengamati bagian-bagian anggota tubuh, kegunaan dan cara perawatannya.

III. Hasil Belajar

1.1. Mengidentifikasi bagian-bagian tubuh dan kegunaannya.

IV. Indikator

- Menerangkan bagian-bagian tubuh misalnya mata, telinga,

hidung, lidah, kulit dan gigi

- Menceriterakan kegunaan bagian-bagian tubuh yang diamati.

V. Materi Pokok

Bagian-bagian anggota tubuh, kegunaan dan cara perawatannya.

VI. Alokasi Waktu

2 X 30 menit setiap pertemuan.

VII. Pengalaman Belajar

A. Apersepsi/ Motivasi:

1. Mengarahkan siswa dengan hendaya kelainan perilaku pada situasi belajar

Page 126: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

126

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

2. Menyiapkan kegiatan di lapangan.

B. Kegiatan Inti:

1. Siswa diajak menuju lokasi atau lapangan yang ada di sekitar sekolah

untuk melakukan kegiatan berdasarkan urutan-urutan kegiatan yang telah

dipersiapkan oleh guru.

2. Langkah-langkah kegiatan inti sebagai berikut.

Langkah-langkah Pola Gerak Keterangan

Langkah Kesatu: Siswa berada di lapangan sepakbola dengan posisi berpasangan. Gerakan yang dilakukan adalah: Berlari berpasangan sambil memantulkan bola dari jalur Lokasi A ke Lokasi B. Di Lokasi B: secara berpasangan melakukan tepukan tangan dengan posisi tangan kiri dengan kanan, dan sebaliknya. Sebanyak 10 kali. Menuliskan kegunaan tangan, pada kertas kerja yang tersedia. Selanjutnya dilakukan kegiatan pada Jalur B ke C: Kegiatan yang dilakukan adalah: berjalan perlahan-lahan sambil bergandengan tangan dengan teman pasangannya sambil menghitung sampai angka 10, kemudian melompati rintangan yang ada di depannya. Setelah di Lokasi C: anak melakukan kegiatan menendang bola yang di arahkan ke sasaran tertentu. Dilanjutkan dengan menuliskan kegunaan kaki manusia bagi kehidupannya.

A

B C

D

Page 127: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

127

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

Lanjutan Kegiatan Inti

Langkah Kedua: Dimulai dari Lokasi C menuju ke Lokasi D dilanjutkan ke lokasi E. Kegiatannya meliputi: 1. Dari Lokasi C ke D melakukan kegiatan lempar tangkap bola sambil berjalan/ berlari, secara berpasangan. Di Lokasi D kegiatan yang dilakukan adalah menyalin tulisan tentang kegunaan mata bagi manusia. 2. Kegiatan gerak dari Lokasi D ke E adalah berlomba merangkak. Sesampainya di Lokasi E, siswa melakukan kegiatan menggambar tubuh manusia lengkap dengan anggota tubuhnya.

Langkah Ketiga: Kegiatan yang dilakukan mulai jalur E ke F, diteruskan ke jalur G. Dilanjutkan ke Lokasi A. Kegiatan yang dilakukan di jalur E ke F adalah berjalan cepat berpasangan. Di Lokasi F, melakukan kegiatan penguluran otot-otot dengan cara beradu punggung. Dilanjutkan ke Jalur F ke G dengan kegiatan berlari zigzag melewati tonggak rintangan yang telah disediakan guru. Kegiatan ini dilakukan dengan temannya sambil bergandengan tangan. Di Lokasi G, siswa berlomba mengumpulkan biji kacang hijau yang tersebar di lokasi G, dengan waktu sekitar 10 menit. Kegiatan ke Lokasi A dilakukan dengan berjalan sambil menyanyikan lagu kesukaan siswa yang bersangkutan.

Dari Jalur G ke A menyanyikan lagu: ”Gelang sepatu gelang…”

C

D E

F

F G

A

Page 128: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

128

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

VIII. Sumber: Bahan dan Alat

Bahan: Buku Pelajaran IPA untuk Kelas I SDLB-Bagian E berkaitan dengan

makhluk hidup dan proses kehidupan.

Alat: Bola sepak, biji kacang hijau, kertas kerja, tulisan tentang tentang mata dan

kegunaannya, tongkat rintangan.

IX. Evaluasi

A. Prosedur Post Test

B. Jenis Tes: Perbuatan yang dapat diamati langsung.

C. Alat Tes: Instrumen GPI dan Grafik A-B-A.

X. Kriteria Penilaian

Nilai Sangat Baik: Jika perkembangan psikomotor meningkat disamping adanya

keajegan pada tingkat kestabilan perkembangan perilaku sasarannya, secara statistik

dibuktikan dengan skor trend stability yang constant (diatas 85%).

Nilai Baik: Jika perkembangan psikomotor sampai pada tingkat dapat menguasai.

Nilai Kurang: Jika perkembangan psikomotor belum ada peningkatan, dan tingkat

stabilitas perkembangan perilaku sasaran sangat rendah (dibawah 25%).

Bandung, ……………………… 2006

Guru Kelas,

…………………….

NIP. ………………

Mengetahui,

Kepala Sekolah ……………

………………………….

NIP. …………………….

Page 129: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

129

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

Langkah Kelima:

Melakukan evaluasi setelah proses pembelajaran selesai.

Dalam kegiatan mengevaluasi yang perlu dilakukan adalah:

1. Melakukan post test dengan GPI Profile I dan II, hasilnya diperbandingkan

dengan hasil pre test yang dilakukan sebelumnya. Jika ternyata bahwa

psikomotor siswa meningkat maka program pembelajaran yang disusun melalui

rancangan pembelajaran dengan mengaplikasikan gerak irama dianggap berhasil.

Peningkatan hendaknya mencapai nilai reratanya adalah empat untuk semua

item. Tetapi jika sampai pada batas telah dikuasai yaitu dengan dicapainya rerata

skor seluruh item adalah tiga, maka rancangan pembelajaran dengan aplikasi

gerak irama dinyatakan gagal, untuk hal ini diperlukan peninjauan ulang terhadap

program kegiatannya.

2. Jika ingin mengetahui tingkat kestabilan perkembangan pada perilaku sasaran

(dalam hal ini adalah perilaku suka menyendiri atau withdrawal), maka rancangan

pembelajaran ini diberlakukan selama minimal tiga kali tanpa intervensi gerak

irama (sebagai sessi Baseline I), minimal enam kali dengan intervensi gerak irama

(sebagai sessi Treatment), dan minimal tiga kali tanpa intervensi gerak irama

(sebagai sessi Baseline II) (single-subject method). Dari data kemunculan

perilaku sasaran yaitu withdrawal selama proses pembelajaran yang dicatat dalam

recording sheet for rate data (lihat lampiran instrumen), maka dibuatlah grafik A-

B-A. Dari grafik A-B-A kemudian dilakukan analisis grafik berupa penghitungan

berkaitan dengan trend stability yang sering digunakan dalam metode subjek-

Page 130: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

130

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

tunggal. Bila ternyata hasil perhitungan trend stability berada pada skor 85% ke

atas maka dinyatakan bahwa perkembangan stabilitas berada pada skor konstan.

d. Rangkuman Anak Tunalaras atau Anak dengan Hendaya Perilaku

a. Anak dengan hendaya kelainan perilaku (Tunalaras), merupakan anak yang

mempunyai kondisi perilaku yang menyimpang dari perilaku normal, ditunjukkan

dengan kelainan emosional dan perilaku salah suai. Biasanya kelainan perilaku

berkaitan dengan kondisi kelainan lain, seperti tunagrahita (mental retardation)

dan kesulitan belajar (specific learning disability).

b. Privalensi terjadinya anak dengan hendaya kelainan perilaku bervariasi, namun

diperkirakan berkisar antara dua hingga 22 persen dari populasi anak-anak usia

sekolah, dan diidentifikasikan banyak terjadi pada anak laki-laki dibandingkan

dengan anak perempuan.

c. Faktor-faktor penyebab terjadi hendaya kelainan perilaku adalah: (a) Faktor

biologis, perilaku yang menyimpang dipengaruhi oleh faktor genetika, neurologis

atau faktor biokemikal atau dapat juga dari kombinasi antara

genetik/neurologis/biokemikal, (b) Faktor keluarga, disebabkan oleh kurang

harmonisnya hubungan antara anak dengan orang tuanya, (c) Faktor budaya,

kondisi-kondisi budaya dan sosial yang berubah menyebabkan adanya hendaya

kelainan perilaku terhadap anak-anak, (d) Faktor sekolah, misalnya adanya

pengalaman-pengalaman yang buruk sewaktu berada di ruang-kelas.

d. Kasus yang telah diketemukan berkaitan dengan hendaya kelainan perilaku

berkaitan erat dengan adanya defisit pada faktor biologis atau organik, kelainan

Page 131: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

131

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

psikologis atau psikodinamis, konflik-konflik di lingkungan masyarakat, dan

perilaku sosio-adaptif karena tidak mampu menyesuaikan diri. Identifikasi

terhadap kasus kelainan perilaku dapat dipakai sebagai patokan untuk

menggunakan program penyembuhan. Sebagai contoh, jika anak mempunyai

masalah psikologis maka diperlukan penangannya melalui model psikoanalitis

yang lebih menekankan pada faktor psikodinamis. Jika anak menunjukkan

penyimpangan perilaku dalam bermasyarakat, maka diperlukan penanganan

melalui model perilaku yaitu dengan memodifikasi perilaku untuk belajar

berperilaku benar daripada membetulkan kasus-kasusnya.

e. Perilaku yang paling utama sebagai perilaku yang diklasifikasikan sebagai hendaya

kelainan perilaku yaitu: agresif, suka menghindarkan diri dari keramaian, dan

sikap bertahan diri.

f. Pendekatan yang digunakan terhadap layanan bagi anak dengan hendaya kelainan

perilaku, antara lain dengan pendekatan: psikoanalitis, psiko-edukasional,

humanistik, ekologis, dan memodifikasi perilaku atau behavioral (Hallahan &

Kauffman, 1986:174-176). Yang paling utama adalah dengan pendekatan

behavioral yang berisikan program terapeutik (penyembuhan) dan menggunakan

gerakan-gerakan ritmis-berirama (Geddes, D., 1981:128).

Page 132: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

132

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

E. KARAKTERISTIK ANAK TUNARUNGU WICARA

(ANAK DENGAN HENDAYA PENDENGARAN DAN BICARA)

Bentuk mimik peserta didik dengan hendaya pendengaran dan bicara (tunarungu

wicara) berbeda dengan anak-anak dengan kebutuhan khusus yang lain, karena mereka

tidak pernah mendengar atau mempergunakan panca indera telinga dan mulut. Oleh

sebab itu mereka tidak terlalu paham dengan apa yang dimaksudkan dan dikatakan oleh

orang lain. Pengertian hendaya pendengaran adalah seseorang yang mengalami

kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar sebagian atau seluruhnya,

diakibatkan tidak berfungsinya sebagian atau seluruh indera pendengaran.

Alat audiometer merupakan alat untuk mengukur derajat kehilangan

pendengaran dengan ukuran decibel (dB). Derajat kemampuan berdasarkan ukuran

instrumen audiometer menyebabkan klasifikasi anak dengan hendaya pendengaran

sebagai berikut.

a. 0 – 26 dB masih mempunyai pendengaran normal

b. 27 – 40 dB mempunyai kesulitan mendengar tingkat-ringan, masih mampu

mendengar bunyi-bunyian yang jauh. Yang bersangkutan membutuhkan terapi

bicara.

c. 41 –55 dB termasuk tingkat menengah, dapat mengerti bahasa percakapan. Yang

bersangkutan membutuhkan alat bantu dengar.

d. 56 – 70 dB termasuk tingkat menengah berat. Mampu mendengar dari jarak

dekat, memerlukan alat bantu dengar dan membutuhkan latihan berbicara secara

khusus.

Page 133: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

133

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

e. 71 – 90 dB termasuk tingkat berat. Yang bersangkutan termasuk orang yang

mengalami ketulian, hanya mampu mendengarkan suara keras yang berjarak

kurang lebih satu meter. Kesulitan membedakan suara yang berhubungan dengan

bunyi secara tetap.

f. 91 – dan seterusnya, termasuk individu yang mengalami ketulian sangat berat.

Tidak dapat mendengar suara. Sangat membutuhkan bantuan khusus secara

intensif terutama dalam keterampilan percakapan/ berkomunikasi.

g. Perilaku yang muncul terhadap peserta didik dengan hendaya pendengaran di

sekolah secara dominan berkaitan dengan hambatan dalam perkembangan bahasa

dan komunikasi (Gregory, S. et al., 1998:47-57).

Ciri-ciri umum hambatan perkembangan bahasa dan komunikasi antara lain

sebagai berikut.

1) Kurang memperhatikan saat guru memberikan pelajaran di kelas.

2) Selalu memiringkan kepalanya, sebagai upaya untuk berganti posisi telinga

terhadap sumber bunyi, seringkali ia meminta pengulangan penjelasan guru saat

di kelas.

3) Mempunyai kesulitan untuk mengikuti petunjuk secara lisan.

4) Keengganan untuk berpartisipasi secara oral, mereka mendapatkan kesulitan

untuk berpartisipasi secara oral dan dimungkinkan karena hambatan

pendengarannya.

5) Adanya ketergantungan terhadap petunjuk atau instruksi saat di kelas

6) Mengalami hambatan dalam perkembangan bahasa dan bicara

7) Perkembangan intelektual peserta didik tunarungu wicara terganggu

Page 134: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

134

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

8) Mempunyai kemampuan akademik yang rendah, khususnya dalam membaca.

(Hallahan & Kauffman, 1991: 232-274; Gearheart & Weishan, 1976:33-45; Kirk &

Gallagher, 1989:300-305).

Di negara-negara maju telah terjadi perubahan yang sangat mencolok dalam

pendidikan untuk anak-anak dengan hendaya pendengaran dan bicara. Layanan

pendidikan mereka lebih dipengaruhi oleh hasil-hasil penelitian para ahli berkaitan

dengan: pemberian layanan khusus, perkembangan teknologi, dan kebijakan-kebijakan

pemerintah yang sangat menentukan peranan penting dalam pencapaian suatu pola

layanan pendidikan (Watson, L. dalam Gregory, et al., 1999:1-dan 9).

Pola layanan pendidikan baru lebih menekankan kepada keberhailan suatu

proses pembelajaran yang berfokus kepada usaha pemberian keterampilan membaca,

berhitung dan pemahaman bahasa. Pemberian layanan keterampilan hendaknya

didahului dengan melakukan deteksi-dini guna mengetahui sampai sejauhmana informasi

berkaitan dengan kemampuan/ kelemahan dan kebutuhan yang sebenarnya sesuai dengan

keberadaannya (dikenal dengan nama: needs assessment). Keterampilan membaca,

menulis dan latihan-latihan teknis berkaitan dengan pemahaman bahasa merupakan

usaha-usaha pemerintah di beberapa negara maju untuk menjadikan warganya “melek

huruf” (literacy). Melek huruf merupakan hal pokok dan memegang peranan penting,

khususnya bagi anak dengan hendaya pendengaran dan bicara, pada setiap program

pembelajaran.

Hendaya mendengar merupakan hambatan yang dianggap cukup besar bagi

perkembangan berbahasa seseorang secara normal, sehingga akan berpengaruh pula

Page 135: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

135

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

terhadap perkembangan sosial dan intelektual seseorang (Hallahan & Kauffman,

1991:264). Berdasarkan atas pandangan fisiologikal dan edukasional terhadap hendaya

mendengar, maka anak dengan hendaya pendengaran dapat dikategorikan dengan deaf

dan hearing impairment. Jadi anak yang tidak mampu mendengar suara keras pada

tingkat di atas intensitas maka yang bersangkutan disebut dengan deaf children,

sedangkan mereka yang hanya mengalami kesulitan mendengar pada tingkat intensitas

tertentu disebut sebagai hard of hearing. Kepekaan atau sensitivitas mendengar diukur

dengan decible (dB) yaitu suatu unit ukuran berkaitan dengan tingkat kekerasan suara.

Terhadap anak yang mempunyai kepekaan suara sekitar 90 dB atau lebih maka

berdasarkan atas pandangan fisiologikal disebut dengan deaf children. Sedangkan

mereka yang kepekaan suara di bawah 90 dB disebut dengan hard of hearing.

Pandangan secara edukasional mengukur klasifikasi terhadap anak dengan

hendaya pendengaran dengan pertanyaan: “sampai sejauhmana pengaruh kemampuan

mendengar seorang anak berdampak kepada kemampuannya untuk berbicara dan

pengembangan bahasanya”, Ini dilakukan karena adanya pendapat para ahli yang

menyatakan bahwa terdapat hubungan erat antara ketiadaan kemampuan mendengar

dengan kemunduran perkembangan berbahasa seseorang. Olehkarenanya definisi

mengenai hendaya pendengaran (hearing impairment) dapat mengacu kepada the

Conference of Executive of American School for the Deaf sebagai berikut.

“Hearing impairment. A generic indicating a hearing disability that may range in severity from mild to profound; it includes the subsets of deaf and hard of hearing. A deaf person is one whose hearing disability precludes succesful processing of linguistic information through audition, with oe without a hearing aid. A hard of hearing person is one who, generally with the use of hearing aid, has residual hearing sufficient to enable succesful processing of linguistic information through audition” (Hallahan & Kauffman, 1986:240; dan 1991:266).

Page 136: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

136

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

Mereka yang termasuk kedalam hendaya mendengar terdiri atas dua kategori

yaitu mereka yang tuli sejak dilahirkan disebut dengan congenitally deaf, dan mereka

yang tuli setelah dilahirkan disebut dengan adventitiously deaf. Sedangkan klasifikasi

berdasarkan atas ambang batas kemampuan mendengar terdiri atas: ringan (26-54 dB),

sedang (55-69 dB), berat (70-89, dan sangat berat (90 dB ke atas).

Beberapa hasil penelitian (Ittyerah & Sharman, 1997; Wiegersma & Van Der

Velde, 1983) telah menemukan suatu kenyataan bahwa anak-anak dengan hendaya

mendengar (deaf children) mempunyai kesulitan pada keseimbangan dan kordinasi gerak-

tubuh (balance and general coordination). Contohnya, hasil penelitian pada anak usia 6-

20 tahun dengan hendaya mendengar mengalami kemunduran (less competent) dalam hal

sebagai berikut di bawah ini.

a. Koordinasi dinamika gerak (dynamic coordination) antara lain pada gerak: berjalan

mundur dan maju sepanjang titian yang sempit, melompat, berjingkat ke atas

(jumping & skipping), dan melompati rintangan tali yang direntangkan.

b. Kemampuan koordinasi gerak-visual, seperti memasukkan tali sepatu kedalam lobang

yang ada pada papan berlobang khusus.

c. Dalam melakukan gerakan berpindah (movement) lebih lambat dibandingkan dengan

anak-anak yang mampu mendengar disebabkan perkembangan persepsinya kurang

(dalam Lewis, V., 2003:98).

Dari hasil penelitian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa anak-anak

dengan hendaya mendengar sangat memerlukan suatu tanda-tanda khusus yang bersifat

dapat dilihat (auditory cues) (Wiegersma & Van Der Velde, 1983). Sedangkan penelitian

dari Salversberg, et al. (1991) lebih jauh menemukan bahwa kesalahan-kesalahan gerak

Page 137: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

137

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

sering dilakukan pada anak usia 10-13 tahun yang mempunyai hendaya mendengar,

antara lain: 1) selalu salah saat menangkap bola yang dilemparkan pada posisi 90 derajat

atau lebih meskipun dilakukan dengan bantuan tanda-tanda khusus berupa visual (visual

signal) dengan intensitas suara 20 dB; 2) anak-anak dengan hendaya mendengar selalu

terlambat untuk menekan tombol dengan kedua belah tangannya walaupun ada tanda-

tanda suara dengan intensitas 15 dB (selalu lambat dalam melakukan respon to visual

stimulus).

Dari penjelasan tersebut di atas dapat dikatakan bahwa “ketiadaan informasi

berhubungan dengan pendengaran dapat menambah lambatnya melakukan respon bagi

sebagian besar anak-anak dengan hendaya mendengar (deaf children)”.

Perkembangan persepsi gerak dari anak-anak dengan hendaya mendengar

sangat disarankan untuk dilakukan tes terhadap hipotesis kompensasi sensori (sensory-

compensation hypothesis). Hal ini perlu dilakukan disebabkan adanya pendapat yang

menyatakan bahwa hilangnya satu indera tubuh seseorang dapat saja “digantikan” oleh

indera sisa lainnya dalam usaha untuk meningkatkan sensitivitas dari sisa indera yang

ada. Hasil-hasil penelitian mengenai hal tersebut telah membuktikan adanya fakta-fakta

sebagai berikut ini.

a. Apabila tanda-tanda visual dan auditory cukup jelas, maka anak-anak tanpa hendaya

mendengar dapat lebih cepat dan tepat dalam merespon dibandingkan dengan anak-

anak yang mempunyai hendaya mendengar (Slaversberg, et al., 1991 dalam Lewis,V.,

2003:99).

b. Anak-anak dengan hendaya mendengar yang telah memperoleh cangkokan alat

pendengaran (cochlear implants) penampilannya sama dengan mereka yang dapat

Page 138: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

138

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

mendengar dalam hal melakukan tugas berkaitan dengan atensi visual (visual

attention task). Sebaliknya anak-anak dengan hendaya mendengar yang tidak

mendapat cangkokan alat pendengaran sering melakukan kesalahan-kesalahan dalam

tugas yang berkaitan dengan atensi-visual (Quittner, 1994 dalam Lewis, V., 2003:99).

c. Setelah setahun menggunakan cangkokan alat pendengaran, ternyata anak-anak dengan

hendaya mendengar mampu meningkatkan atensi-visualnya (Quittner, 1994 dalam

Lewis,V., 2003:99).

d. Anak-anak dengan hendaya mendengar sebaiknya dikondisikan dengan pemberian

tanda-tanda khusus secara tatap muka langsung atau dengan keterarahan wajah.

Dengan cara ini kemampuan visual mereka akan sama dengan orang-orang dewasa

“normal”. Berdasarkan hal ini maka sebaiknya diberikan: 1) perhatian khusus dalam

pengkondisian dengan pemberian tanda-tanda yang bersifat keterarahan wajah

semenjak usia dini; 2) latihan-latihan bahasa isyarat (sign language) perlu dilakukan

semenjak usia dini, karena bahasa isyarat akan lebih meningkatkan kemampuan ruang

visual (visual spatial). Dengan kata lain, dikatakan bahwa pada anak-anak dengan

hendaya mendengar memerlukan latihan-latihan bahasa isyarat untuk dapat

meningkatkan perkembangan persepsi geraknya.

Mengenai perkembangan kognitif anak-anak dengan hendaya mendengar secara

umum cukup baik, khususnya dalam segi berfikir dan pemahaman. Artinya bahwa

mereka mempunyai perkembangan kognisi dikarenakan ada hubungan yang erat antara

perkembangan berbahasa dengan berfikir. Menurut Watson (1913) bahwa proses berfikir

anak-anak dengan hendaya mendengar sebenarnya merupakan kebiasaan-kebiasaan gerak

Page 139: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

139

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

yang ada pada pangkal tenggorokan (larynx). Terdapat kesamaan dalam proses berfikir

secara verbal dengan proses pencapaian kemampuan berbahasa. Sebaliknya, Chomsky

menyatakan bahwa perkembangan berbahasa anak-anak dengan hendaya mendengar

terpisah dengan kemampuan kognisi mereka. Ia menyatakan secara lebih jauh bahwa

struktur bahasa muncul dalam benaknya sejak yang bersangkutan dilahirkan, sehingga

setiap anak memerlukan pengalaman-pengalaman berbahasa agar lebih mengembangkan

kemampuan berbahasanya.

Bagaimanapun perbedaan yang telah ada pada Watson dan Chomsky, namun

beberapa ahli lainnya telah menyatakan pendapat mereka tentang perkembangan kognisi

seorang anak sebagai berikut di bawah ini.

a. Kemampuan berfikir dan berbahasa saling berkaitan walaupun ada perbedaan diantara

keduanya khususnya mengenai apakah kemampuan berfikir dapat menentukan

kemampuan berbahasa, atau sebaliknya (Piaget, 1967).

b. Kemampuan berbahasa menentukan kemampuan berfikir (Sapir, 1912).

c. Kemampuan berbahasa dan berfikir dapat saling mempengaruhi antara satu sama

lainnya (Vigotsky, 1962).

Menurut Piaget (1967), bahwa inteligensi merupakan kemampuan kognisi

seorang anak yang sangat tergantung pada tindakan yang bersangkutan dalam

mengadaptasi lingkungannya dan sikapnya untuk mampu mengambil konsekuensi-

konsekuensi dari tindakan yang ia ambil. Melalui sikap ini, seorang anak akan

memahami dan melihat bentuk yang ada di lingkungannya berdasarkan atas refleksi yang

telah ada dalam inteligensinya. Dengan kata lain bahwa begitu terjadi perkembangan

pada kognisi seorang anak maka kemampuan berbahasa-pun berkembang. Ini terjadi

Page 140: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

140

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

sebagai bentuk antisipasi terhadap perubahan-perubahan dalam pemahaman terhadap

lingkungannya. Jadi kemampuan berbahasa seorang anak dapat mempengaruhi

kemampuan berfikirnya walaupun Piaget menyadari bahwa kemahiran berbahasa terpisah

dari kegiatan berfikir.

Berbeda dengan pendapat Piaget tersebut di atas, Pendapat dari Sapir yang

kemudian dikembangkan oleh Whorf (1940, reprinted in Mandelbaum, 1958)

menyatakan bahwa persepsi dan pengalaman terhadap lingkungan tergantung pada suatu

bahasa yang digunakan. Bila kemampuan berbahasa anak sudah mahir untuk

menghubungkan gejala-gejala atau pengetahuannya terhadap suatu konsep, maka anak

yang bersangkutan akan mempunyai pengalaman dan dapat memahami suatu konsep atau

suatu atribut tertentu. Bila konsep atau atribut tidak diekspresikan dalam kemampuan

berbahasanya maka anak yang bersangkutan belum mempunyai pengalaman atau

pemahaman terhadap suatu konsep atau atribut.

Sedangkan Vigotsky (1962) menyatakan bahwa berfikir dan kemampuan

berbahasa pada awalnya merupakan hal yang terpisah dan berkembang secara sejajar

pada seorang anak hingga mencapai umur dua tahun. Antara berfikir dan kemampuan

berbahasa keduanya saling isi mengisi sehingga bahasa dapat digunakan untuk membantu

berfikir, dan fikiran yang ada dapat mempengaruhi kemampuan berbahasa seorang anak.

Dengan kata lain, bahwa hubungan antara berfikir dan kemampuan berbahasa saling

berkaitan sangat erat.

Penelitian terhadap anak dengan hendaya mendengar (deaf children) berkaitan

dengan hubungan antara kemampuan berbahasa dan kognisi, diperoleh hasil bahwa “Jika

anak dengan hendaya mendengar tidak mempunyai kemampuan berbahasa (yang

Page 141: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

141

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

sesungguhnya bahwa bahasa merupakan pra-syarat dari kemampuan kognisi) maka anak

dengan hendaya mendengar akan mendapatkan kesulitan dalam kemampuan berfikirnya

bahkan dimungkinkan kemampuan berfikir yang sudah adapun akan menghilang”. Jadi

kemampuan berbahasa sangat menentukan kemampuan kognisi sehingga pengetahuan

dan pemahaman seorang anak dengan hendaya mendengar hendaknya sepadan dengan

kemampuan dan pemahaman anak yang mampu dengar.

Dari beberapa teori yang dikemukakan di atas, dapat diambil kesimpulan

bahwa: ”Kemampuan berbahasa sesungguhnya merupakan kemampuan mengucapkan

suatu bahasa “ atau “ the language is spoken language”. Sehingga bahasa isyarat seperti

American sign language (ASL) dan British sign language (BSL) merupakan ucapan

bahasa yang dapat diterima sebagai ungkapan berbahasa diantara mereka yang

mempunyai hendaya mendengar. Hal ini dapat dilihat bahwa ASL mempunyai tanda-

tanda yang terdiri atas gerakan-gerakan tangan yang dilakukan secara simbolik, secara

umum menyatakan ungkapan keseluruhan suatu konsep. Arti setiap gerakan-gerakan

tangan tergantung pada bentuk, lokasi, perpindahan dan orientasi dari satu atau kedua

tangan. Komponen-komponen ini akan muncul secara simultan yang disebut dengan

“cheremes” dan dapat menyampaikan suatu ungkapan pengganti bunyi sebagai hasil

produksi kata dalam bahasa ucapan.

Beberapa hasil penelitian berkaitan dengan teknologi dan teori-teori belajar

sangat memegang peranan penting guna menemukan pengembangan metode-metode baru

serta intervensi yang lebih efektif dalam proses pembelajaran terhadap anak-anak dengan

hendaya mendengar dan berbicara. Hal tersebut dilakukan di berbagai negara maju guna

mengatasi permasalahan yang berkaitan dengan pemahaman bahasa. Penemuan-

Page 142: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

142

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

penemuan yang diperoleh dari hasil penelitian tersebut pada umumnya berkaitan dengan

cara-cara baru yang merupakan bentuk intervensi layanan yang lebih efektif dan banyak

dimuat dalam jurnal-jurnal ilmiah, namun sayangnya para guru dan ahli terapi wicara

masih banyak yang belum mau menerima cara-cara baru hasil penemuan penelitian

disebabkan mereka disibukkan dengan pekerjaan rutinnya di sekolah-seklah atau di

klinik-klinik. Hal tersebut dinyatakan oleh Bishop (1999) dalam bukunya yang berjudul

Uncommon Understanding Development and Disorder’s of Language Comprehension in

Children. Ia menyatakan sebagai berikut.

“ Many researchers justify their theoritical studies with the statement : if we will be able to devise more effective intervention, but all often this is a hollow premire because the research is burried in scientific jurnals that are not accessible to the typical speech-therapist or teacher working in a busy school or clinik” (p.vii)

Secara umum, kemahiran berbahasa (yang berarti kemampuan berbicara)

merupakan proses yang sifatnya susah dikembangkan. Sebenarnya belum ada cara untuk

menghambat ketidakberdayaan seorang anak dalam mengatasi keterbatasan kemampuan

berbahasanya (Pinker, 1984:29 dalam Bishop, 1999:19). Walaupun secara nyata

penyebab hambatan perkembangan bahasa belum jelas namun para ahli mencoba untuk

memecahkannya berdasarkan aspek-aspek neurologi, etiologi/ genetika dan proses

kognitif. Faktor genetika diyakini sepenuhnya sebagai faktor dominan (dibandingkan

dengan faktor neurologi atau proses kognitif) penyebab terjadinya hambatan

perkembangan bahasa yang implikasi sangat berpengaruh sekali terhadap hambatan

perkembangan berbahasa seseorang, ini dikenal dengan nama: “developmental aphasia”,

“developmental dysphasia”, “ specific development language disorder”, sekarang lebih

populer dinamakan dengan “specific developmental language impairment” (Bishop,

Page 143: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

143

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

1999:19). Kata impair berarti hendaya (Maslim, R., 2000:119) atau “penurunan

kemampuan atau berkurangnya kemampuan dalam segi kekuatan, nilai, kualitas dan

kuantitas” (American Heritage Dictionary, 1982:644). Kata specific menunjukkan

bahwa “hendaya perkembangan bahasa merupakan kebalikan dari perkembangan

normal”.

Sejak pertengahan abad ke 19, para ahli yang mempelajari anatomi tubuh

manusia (Histologists) telah mengetengahkan penemuannya bahwa terdapat indera

penerima khusus pada setiap otot, tendon atau jaringan otot. Indera penerima khusus ini

mampu “menggantikan” suatu kelangkaan atau “hilangnya” salah satu indera tertentu.

Indera penerima khusus ini dapat dipakai sebagai media penghubung kesadaran gerak

tubuh. Berdasarkan sistem syaraf, Sherrington menyatakan bahwa indera penerima

khusus ini dibedakan menjadi dua bentuk yaitu: pertama meliputi “panca indera” atau

“ the five sense” disebut dengan “exteroceptive”, dan kedua merupakan “kesadaran

terhadap kesan gambaran tubuh” atau “the image of the body” disebut dengan nama

“proprioceptive”. Sherrington adalah seorang ahli berkaitan dengan teori tentang fungsi

otak dan sistem kerja syaraf otak, di abad ke 19 telah menulis buku yang sangat dikenal

berjudul “ Two ways of the Mind”. Isi buku tersebut antara lain mengemukakan

pernyataannya bahwa ada dua bentuk kegiatan kerja otak untuk berkomunikasi, yang satu

berkaitan dengan gerak tubuh (movement) dan lainnya berkaitan dengan adanya

hubungan antara dunia luar atau lingkungan dengan panca indera (sebagai sensory input).

Hasil penemuan oleh Frenchman dan Pierre Paul Broca di tahun 1861 berkaitan

dengan panca indera atau exteroceptive adalah: terdapat hubungan secara utuh

(integritas) pada tonjolan ke-tiga di bagian kiri depan lapisan luar otak (the left frontal

Page 144: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

144

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

lobe of the brain cortex) yang merupakan prasyarat seseorang untuk mampu berbicara

secara normal. Kerusakan pada bagian tersebut berakibat seseorang tidak mampu

mengucapkan kata atau kalimat. Penelitian lebih lanjut oleh Broca tahun 1863 telah

diketemukan bahwa kerusakan pada bagian depan cuping kanan belahan otak tidak

merupakan penyebab gangguan berbicara (Jokl, E., dalam Basic Book of Sports

Medicine, 1978:314).

Pierre Paul Broca adalah seorang ahli bedah klinis dari Perancis yang banyak

menekuni masalah otak dan tengkorak sehingga ia merupakan “orang panutan” dan

merupakan orang-kunci dalam pengetahuan berkaitan dengan ilmu anthropologi fisik di

negara Perancis hingga saat ini. Ia telah menemukan adanya kerusakan pada jaringan

atau simpul ke-tiga bagian kiri depan lapisan luar otak yang menjadi penyebab hilangnya

kemampuan seseorang untuk berbicara. Ini menunjukkan adanya hubungan antara

kegiatan tubuh secara spesifik dengan daerah khusus yang ada dalam otak (Reynolds, C.,

A., 1987:251).

Terhadap mereka yang tergolong aphasia, yaitu istilah generik yang

menunjukan adanya kesulitan untuk berkomunikasi melalui organ bicara, Broca

menekankan bahwa otot-otot organ bicara secara normal masih tetap bekerja untuk

berbicara walaupun mereka mempunyai hambatan pada bagian kiri depan lapisan luar

otaknya. Kelainan berbicara berkaitan dengan kesulitan dalam menggerakkan otot-otot

tersebut disebut dengan “motor aphasia” sedangkan terhadap seseorang yang berbicara

secara pelan dan mendapatkan kesulitan pada artikulasi atau berbicara secara cepat tetapi

susunan kata tidak teratur dan tidak berbentuk disebut dengan “sensory aphasia”.

Termasuk kelainan sensory aphasia adalah mereka yang berbicara hanya dengan satu

Page 145: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

145

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

kata, dengan kalimat pendek, atau dengan pengucapan anak-kalimat yang tidak lengkap,

Kaufman (1981 dalam Reynolds & Mann, 1987:107) menyebutnya sebagai “nonfluent

aphasics”.

Terjadinya sensory aphasia disebabkan oleh adanya kerusakan pada bagian kiri

depan otak (the left temporal lobe of the brain). Bagi golongan “motor aphasia”

umumnya mereka masih mampu menyusun suatu pembicaraan walaupun yang

bersangkutan tidak mampu mengucapkan kata atau kalimat, sehingga dapat dikatakan

bahwa anak-anak dengan motor aphasia masih mampu menulis kata atau kalimat tanpa

menemui banyak kesulitan.

Program layanan pendidikan terhadap mereka yang mempunyai kelainan

aphasia (motor aphasia dan sensory aphasia) hendaknya dilakukan secara komprehensif

yang diawali dengan melakukan evaluasi secara multifaktor terhadap kemampuan neuro-

psychologikal (Reynolds & Mann, 1987:107-108).

Secara garis besar hambatan yang dihadapi oleh anak-anak dengan hendaya

pendengaran meliputi hal-hal sebagai berikut di bawah ini.

a. Hasil penelitian para ahli di Amerika Serikat menyatakan bahwa satu dintara tujuh

anak yang mempunyai hendaya mendengar mempunyai permasalahan berkaitan dengan

kesehatan mental. Kesehatan mental ini mengarah kepada schizophrenia atau kelainan

psikis, paranoid atau kelainan psikis karena selalu dihantui rasa takut, affective

psychosis atau kelainan emosi secara psikis, dan depression atau kemuraman (the

Departement of Health of USA, 1995 dalam Gregory, et al., 1999:17).

b. Anak-anak dengan hendaya mendengar mempunyai kesulitan psikologis yang

diperoleh dari sejumlah faktor eksternal seperti: kurangnya bimbingan bantuan orang

Page 146: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

146

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

tua dan keluarga, kesadaran orang-orang di sekitarnya terhadap permasalahan anak

dengan hendaya mendengar, lingkungan hidup, budaya dan model peran dari anak-anak

dengan hendaya mendengar (Gregory, et al., 1999:19).

c. Dalam keterampilan kognitif berkaitan dengan prestasi akademik pada umumnya

kemampuan mengingat dari anak-anak dengan hendaya mendengar sangat singkat

sekali, hanya hitungan beberapa detik tidak sampai menit. Untuk hal ini diperlukan

kegitan-kegatan khusus dalam layanan pendidikan agar mereka mampu membaca,

memahami isi bacaan dan mengingat angka-angka. Banyak terjadi anak dengan

hendaya mendengar berkesulitan membaca (Lewis, V., 20003:136). Olehkarenanya

mereka memerlukan suatu metode pembelajaran yang lebih menekanan kepada

pengucapan bahasa.

d. Pada kelompok tertentu dari anak-anak dengan hendaya mendengar mendapatkan

ketidakmampuan dalam belajar misalnya: disebabkan oleh adanya hendaya visual,

ketidakmampuan belajar yang spesifik atau dyslexia, cerebral palsy, dan masalah-

masalah berkaitan dengan perilaku atau emosi (Gregory, et al., 1999:31).

e. Perkembangan bahasa dan komunikasi anak-anak dengan hendaya mendengar secara

umum kurang sempurna, khususnya saat menggunakan bahasa seperti pada kemampuan

pemahaman bahasa, berbahasa dan berbicara (Hallahan & Kauffman, 1986:251 dan

1991:274).

f. Prestasi akademik anak-anak dengan hendaya mendengar khususnya dalam

kemampuan membaca sangat kurang (Hallahan & Kauffman, 1991:276).

g. Dikarenakan anak-anak dengan hendaya mendengar tumbuh besar dan hidup dalam

lingkungan yang terisolir maka mereka membutuhkan interaksi sosial dan perasaan

Page 147: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

147

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

diterima oleh orang-orang seklilingnya. Ini berarti bahwa anak-anak dengan hendaya

mendengar mempunyai hambatan dalam berkomunikasi. Dalam hal ini diperlukan

pendekatan khusus dalam kegiatan belajar mengajar yang berkaitan dengan aspek

komunikasi, seperti: 1) pemberian latihan auditori (auditory training); 2) dikondisikan

pada berbicara bibir (lips-reading); 3) penggunaan bahasa isyarat dan ejaan huruf

dengan jari-jemari (sign language and finger-spelling).

Latihan auditori melibatkan tiga sasaran pokok, yaitu: a) perkembangan kesadaran

bunyi, b) perkembangan kemampuan membuat perbedaan secara nyata tentang bunyi-

bunyi yang ada di lingkunannya, c) perkembangan kemampuan membedakan bunyi-

bunyi dalam kegiatan berbicara.

Ada tiga bentuk yang berbeda dari rangsang bunyi yang dibutuhkan dalam suatu

program latihan terhadap anak dengan hendaya mendengar, yaitu: a) rangsang yang

diperoleh dari lingkungan dimana komunikasi itu terjadi, b) rangsang secara langsung

diikuti dengan pesan tetapi bukan bagian dari hasil kemampuan berbicara, c)

rangsangan langsung berkaitan dengan produksi bunyi pembicaraan (Hallahan &

Kauffman, 1987:258-263; dan 1991:279-282).

h. Data penelitian para ahli menyatakan bahwa amak-anak dengan hendaya mendengar

umumnya mempunyai kesulitan dalam melakukan gerak keseimbangan dan koordinasi-

gerak tubuh, termasuk didalamnya kordinasi dinamika gerak, koordinasi gerak visual

dan geak berpindah (Lewis, V., 20003:98). Terdapatnya kesulitan gerak keseimbangan

dan koordinasi gerak tubuh pada anak dengan hendaya mendengar merupakan salah

satu alasan utama diperlukannya pendekatan pembelajaran dengan menggunakan

permainan terapeutik dan pola gerak irama.

Page 148: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

148

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

Hambatan yang dihadapi oleh anak-anak dengan hendaya berbicara, secara garis

besar disimpulkan sebagai berikut ini.

a. Anak-anak dengan hendaya berbicara mempunyai komunikasi yang kurang baik

(defective in communication) seperti berbicara menggagap, bicara pelat atau terbata-

bata, ucapan yang membingungkan, dan bicaranya tidak jelas atau sulit dipahami.

Saat berkomunikasi dengan anak-anak dengan hendaya berbicara, sistem verbal

sering digunakan sebagai alat berinteraksi dengan mengenal tanda-tanda non-verbal

meliputi kontak mata, ekspresi wajah, orientasi tubuh dan komunikasi yang dilakukan

dengan jarak dekat dengan bertatap wajah langsung atau keterarahan wajah (Ashman

& Elkins, 1994:172).

b. Anak-anak dengan hendaya berbicara pada umumnya mempunyai hambatan dalam

perkembangan bahasa, khususnya dalam struktur kalimat yang kompleks. Di sekolah,

penerapan latihan-latihan berbahasa dengan menggunakan keterampilan

metalinguistik sangat penting. Metalinguistik diartikan sebagai penggunaan bahasa

untuk mengomentari ucapan-ucapan dalam komunikasi yang salah ucap misalnya:

“kapang dara bang ri” dikomentari secara langsung saat kejadian, dengan; “kapal

udara terbang sendiri” (Ashman & Elkins, 1994:191).

c. Terdapatnya kelemahan pada otot-otot alat bicara atau motor speech dsorder, yaitu

adanya kelumpuhan pada alat bicara (misal adanya paralysis) yang diakibatkan

dysarthia atau artikulasi bicara yang kurang baik yang disebabkan oleh adanya

kerusakan pada sistem syaraf pusat.

d. Adanya ketidakteraturan dalam koordinasi neurologikal sehingga saat berbicara terlihat

kacau walaupun otot-otot pada organ bicara masih dapat bekerja dengan baik. Saat

Page 149: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

149

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

berbicara banyak dilakukan lompatan-lompatan, banyak berhenti dan sering

mengulang-ulang kata disebabkan oleh adanya dyspraxia atau apaxia atau

ketidakmampuan untuk berbicara karena faktor hendaya gerak pada otot-otot organ

bicara berkaitan dengan proses interneurosensory (Ashman & Elkins, 1994:195).

e. Adanya penurunan kemampuan persepsi bicara sehingga dalam berbicara kata-kata

yang diucapkan sangat sedikit. Salah satu sebabnya dikarenakan ada faktor kesulitan

phonological (Bishop, 1999:51) atau articulation disorder (Hallahan & Kauffman,

1986:199). Kemampuan persepsi bicara melibatkan dua keterampilan yang saling

melengkapi yaitu kemampuan untuk mengucapkan bunyi yang berbeda

(discrimination), dan kemampuan untuk mengucapkan bunyi akustik yang berbeda

(phoneme constancy). Untuk mengembangkan persepsi berkaitan dengan

pendengaran atau persepsi dengar perlu dilihat adanya tiga perbedaan kemampuan

yang saling terkait yaitu keterkaitan antara:

1) deteksi bunyi atau detection of sound, yaitu kemampuan mengeluarkan suara,

2) kemampuan membedakan bunyi (discrimination between sound) yaitu

kemampuan untuk dapat mengatakan bunyi-bunyi yang berbeda secara terpisah,

3) klasifikasi bunyi (classification of sounds) yaitu kemampuan untuk

menginterpretasikan bunyi melalui hubungan diantara klasifikasi bunyi

berdasarkan atas pengalaman sebelumnya (Bishop, 1999:52).

Page 150: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

150

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

E. KARAKTERISTIK ANAK TUNANETRA

(ANAK DENGAN HENDAYA PENGLIHATAN)

Anak yang mengalami hambatan penglihatan atau tunanetra atau anak dengan

hendaya penglihatan, dalam hal lain perkembangannya berbeda dengan anak-anak

dengan kebutuhan khusus lainnya, tidak hanya dari sisi penglihatan tetapi juga dari hal

lain. Bagi peserta didik yang memiliki sedikit atau tidak melihat sama sekali, jelas sekali

bahwa ia harus mempelajari lingkungan sekitarnya dengan menyentuh dan

merasakannya. Perilaku untuk mengetahui objek dengan cara mendengarkan suara dari

objek yang akan diraih adalah perilakunya dalam perkembangan motorik. Sedangkan

perilaku menekan dan suka menepuk mata dengan jari, kemudian menarik ke depan dan

ke belakang, menggosok dan memutarkan serta menatap cahaya sinar merupakan

perilaku anak dengan hendaya penglihatan yang sering dilakukannya guna mengurangi

tingkat stimulasi sensor dalam melihat dunia luar. Untuk dapat merasakan perbedaan dari

setiap objek yang dipegangnya, anak dengan hendaya penglihatan selalu menggunakan

indera raba dengan jari-jemarinya saat mengenali ukuran, bentuk, apakah objek-benda

tersebut mempunyai suara. Kegiatan ini merupakan perilakunya untuk menguasai dunia

persepsi dengan menggunakan indera sensorik. Untuk menguasai dunia persepsi bagi

anak dengan hendaya penglihatan sangat sulit dan membutuhkan waktu yang cukup lama.

Mengenai perkembangan kognitif anak dengan hendaya penglihatan menurut

Lowenfeld (1948), terdapat tiga hal yang memiliki pengaruh buruk terhadap

perkembangan kognitifnya, yaitu:

Page 151: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

151

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

a. Yang pertama adalah jarak dan beragamnya pengalaman yang dimiliki oleh peserta

didik dengan hendaya penglihatan. Kemampuan ini terbatas karena mereka

mempunyai perasaan yang tidak sama dengan anak yang mampu melihat.

b. Kedua, kemampuan yang telah diperoleh akan berkurang dan akan berpengaruh

terhadap pengalamannya terhadap lingkungan.

c. Ketiga, peserta didik dengan hendaya penglihatan tidak memiliki kendali yang sama

terhadap lingkungan dan diri sendiri seperti apa yang dlakukan oleh anak awas.

Perkembangan komunikasi peserta didik dengan hendaya penglihatan pada

umumnya sangat berbeda dengan anak awas. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan

guru berkaitan dengan perkembangan komunikasi anak dengan hendaya penglihatan,

sebagai berikut.

a..Bahasa akan sangat berguna bagi anak dengan hendaya penglihatan untuk mengetahui

apa yang sedang terjadi dilingkungannya, dengan menanyakan apa yang terjadi

dilingkungannya, dan akhirnya orang lain mampu berbicara dengannya.

b.Peserta didik dengan hendaya penglihatan membutuhkan waktu yang lebih lama

dibandingkan dengan anak awas untuk mengucapkan kata pertama, walaupun susunan

kata yang diucapkan sama dengan anak awas.

c. Peserta didik dengan hendaya penglihatan mulai mengkombinasikan kata-kata ketika

perbendaharaan katanya mencakup sekitar 50 kata., dan menggunakan kata yang ia

miliki untuk berbicara tentang kegiatan dirinya dari pada kegiatan orang lain.

Page 152: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

152

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

d.Kebanyakan peserta didik dengan hendaya penglihatan memiliki kesulitan dalam

menggunakan dan memahami kata ganti orang, sering tertukar antara “saya” dengan

“kamu”.

Dalam perkembangan sosialnya, peserta didik dengan hendaya penglihatan

melakukan interaksi dengan sekelilingnya (orang dan benda) dilakukannya dengan cara

menyentuh dan mendengar objeknya. Hal tersebut ia lakukan karena tidak ada kontak

mata, penampilan ekspresi wajah yang kurang, dan kurangnya pemahaman tentang

lingkungannya sehingga interaksi tersebut kurang menarik bagi lawannya (Lewis,V.,

2003:32-59)

Istilah umum yang dipakai dalam dunia pendidikan pada saat ini terhadap anak

yang mengalami hendaya penglihatan adalah child who is totally blind, visually

impairment, dan child who is low vision atau partially sight. Ini menandakan bahwa anak

dengan hendaya penglihatan adalah “mereka yang mempunyai kemampuan lain”.

Dimaksudkan dengan kemampuan lain berarti mengacu kepada kemampuan inteligensi

yang cukup baik, daya ingat yang kuat, disamping kemampuan taktil (synthetic touch dan

analytic touch) melalui ujung jari-jemarinya yang luar biasa sebagai ganti indera

penglihatannya yang kurang atau tidak berfungsi guna mengembangkan persepsi dirinya

terhadap pengintegrasian konsep-konsep (develop integrated concepts).

Inteligensi anak dengan hendaya penglihatan secara umum tidak mengalami

hambatan yang berarti. Samuel P. Hayes (1950 dalam Hallahan, 1987:294) menyatakan

bahwa “kemampuan inteligensi anak dengan hendaya penglihatan tidak secara otomatis

menjadikan diri mereka mempunyai inteligensi yang rendah”.

Page 153: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

153

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

Daya ingat yang kuat pada anak-anak dengan hendaya penglihatan disebabkan

mereka mempunyai kemampuan konseptual (conceptual abilities) setelah mereka

mendapatkan latihan secara ekstensif untuk melakukan tugas-tugas tertentu dalam

memahami teori-teori matematika, serta latihan-latihan mengklasifikasikan benda-benda

untuk mampu mengetahui hubungan secara pisik dalam kegiatan pembelajaran yang

bersifat vokasional (Hatwell, 1966; Stephens & Grube, 1982; dalam Hallahan, 1987:295).

Kemampuan taktil yang tinggi pada anak-anak dengan hendaya penglihaan

disebabkan adanya dua kemampuan persepsi taktual: synthetic touch dan analytic touch.

Dimaksudkan dengan kemampuan synthetic touch adalah kemampuan diri mereka untuk

melakukan eksplorasi melalui indera peraba terhadap benda-benda yang bentuknya cukup

kecil tetapi masih dapat diraba oleh satu atau dua belah tangannya. Sedangkan analytic

touch meliputi kemampuan sentuhan dengan indera peraba terhadap beberapa bagian

tertentu dari suatu objek, sehingga anak yang bersangkutan secara “mental” dapat

menghubung-hubungkan bagian-bagian yang terpisah dari suatu objek/ benda menjadi

suatu konsep utuh tentang objek/ benda tersebut. Hal ini dimungkinkan terjadi

disebabkan anak dengan hendaya penglihatan mempunyai kemampuan dalam

mengembangkan persepsi dirinya terhadap pengintegrasian suatu konsep tentang objek/

benda (develop integrated concepts). Misalnya, seorang anak dengan hendaya

penglihatan dapat dengan mudah menemukan suatu benda yang diinginkan yang

tersimpan dalam suatu tas, padahal benda tersebut telah bercampur-baur dengan benda-

benda lainnya. Ia dapat menemukan benda yang diinginkan yang berada di dalam sebuah

tas hanya dengan cara menyentuh dan memegang dalam kurun waktu tertentu pada benda

tersebut (Hallahan, 1987:296; Hallahan, 1991:3090.

Page 154: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

154

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

Semenjak tahun 1940-an pendidikan untuk anak dengan hendaya penglihatan

banyak mengalami perubahan secara drastis. Semula mereka ditempatkan dalam

residential school hingga ke sekolah yang lebih terintegrai dengan “anak-anak awas”.

Dewasa ini penempatan pendidikan di sekolah berubah dari bentuk yang mainstreaming

ke arah inclusion (Spungin, S., J., dalam Holbrook, M.C. & Koening, A.J., 2003:IX).

Para guru yang menangani anak-anak dengan hendaya penglihatan diperlukan

kemampuan mengambil keputusan berkaitan dengan strategi pembelajaran yang dianggap

paling cocok bagi mereka. Oleh karena itu sangat diperlukan sekali pemahaman yang

jelas berkatan dengan isu-isu yang kompleks dalam penyusunan suatu program

pembelajarannya.

Pendekatan baru untuk mengajar anak dengan hendaya penglihatan adalah

pemberian latihan-latiham yamg lebih banyak terhadap kemampuan menggunakan

tongkat putih (white cane) dikenal dengan sebutan hoover cane agar dapat melakukan

bepergian secara aman, mandiri dan efektif. Kegiatan latihan ini dikenal dengan orientasi

mobilitas atau mobility training. Tahun 1950 pendekatan orientasi mobilitas banyak

diterapkan kepada orang dewasa dengan hendaya penglihatan. Di tahun 1974 hampir

semua ahli tentang orientasi mobilitas memberikan layanan latihan khusus terhadap

semua anak-dengan hendaya penglihatan pada tingkat usia sekolah.

Orientasi (orientation) diartikan dengan kemampuan mengetahui posisi diri

berkaitan dengan objek-objek lain yang berada dalam suatu ruang tertentu sedangkan

mobilitas (mobility) diartikan sebagai kemampuan untuk bergerak dari satu tempat ke

tempat lain, objek atau lingkungan tertentu secara aman, mandiri dan efektif (Ashman &

Elkins, 1994:371).

Page 155: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

155

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

Tujuan diberikannya program pembelajaran yang menitik beratkan kepada

orientasi mobilitas kepada anak dengan hendaya penglihatan antara lain sebagai berikut

di bawah ini.

a. Agar dapat meningkatkan kemampuan refleks bersyarat (condition reflex),

sehingga proses kemampuan gerak dapat terintegratif melalui proses

pembelajaran. Refleks bersyarat muncul sejak seseorang dilahirkan dan

berkembang setelah mengalami latihan-latihan berulangkali dan koreksi secara

terus-menerus dalam kurun waktu yang lama.

b. Agar perkembangan gerak dan pertumbuhan anak dengan hendaya penglihatan

sejalan dengan kemampuan dominan yang telah dimiliki seperti: kemampuan

taktil, daya ingat yang tinggi, inteligensi yang cukup tinggi dibandingkan dengan

anak dengan kebutuhan khusus lainnya.

c. Agar lebih mendorong kemampuan persepsi sensomotorik (sensomotoric

perceptual function).

d. Dapat membantu kelancaran proses pembelajaran dan mampu mencapai tujuan

pembelajaran yang telah ditetapkan sebelumnya.

e. Dapat membantu anak dengan hendaya penglihatan untuk mampu melampaui

masa transisi dari kehidupan lingkungan sekolah ke arah lingkungan masyarakat

secara sukses.

Layanan terhadap anak dengan hendaya penglihatan di sekolah-sekolah secara

umum terdiri atas dua kategori yakni: anak dengan hendaya penglihatan secara total atau

totally blind dan anak dengan hendaya penglihatan yang masih dapat menggunakan sisa-

Page 156: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

156

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

sisa penglihatannya atau disebut dengan kata lainnya: low vision atau partially sight.

Anak-anak low vision masih mampu menggunakan indera penglihatan saat mereka

membaca suatu bacaan dengan huruf berukuran normal. Anak totally blind sama sekali

tidak dapat menggunakan indera penglihatannya kecuali dengan cara meraba atau taktil

untuk mengenali lingkungan. Keadaan pisik, mental, emosi dan interaksi sosial para

peserta didik dengan hendaya penglihatan secara umum dapat dikatakan normal. Namun

dalam pendidikannya mereka memerlukan layanan dan bantuan agar perkembangan

kemampuan dirinya dapat berkembang lebih baik, khususnya pada kemampuan bergerak

untuk mengenal lingkungan yang amat tergantung pada kemampuan mengenali ruang

(spatial) melalui pemetaan kognitif (cognitive mapping).

Pemetaan kognitif merupakan suatu cara yang sangat fleksibel guna mengetahui,

mengenali dan mengendalikan suatu objek atau lingkungan tertentu (Hallahan,

1978:298). Misalnya, untuk mampu bergerak mencapai suatu tempat diperlukan suatu

tahapan-tahapan gerak. Tahapannya adalah dari tempat A ke tempat B, baru ke tempat C

dan seterusnya. Untuk ke tempat C terlebih dahulu harus melewati tempat B. Bagi anak

dengan hendaya penglihatan yang telah mempunyai keterampilan memetakan secara

kognitif, ia dapat melakukan orientasi mobilitas dari tempat A langsung ke tempat C

tanpa melalui tempat B.

Faktor utama untuk mampu melakukan gerak orientasi ke suatu tempat, ruang

atau lingkungan tertentu diperlukan motivasi diri yang tinggi (self motivation). Motivasi

diri dibantu dengan kemampuan mengenali tanda-tanda khusus (cues) yang ada di

sekitarnya, seorang anak dengan hendaya penglihatan akan dengan mudah melakukan

gerak menuju tempat yang dituju (to detect physical obstructions in the environment).

Page 157: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

157

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

Kemampuan memahami tanda-tanda khusus yang ada di seputar lingkungan hidup

dikenal oleh beberapa ahli sebagai obstacle sense. Obstacle sense dapat tumbuh berkat

adanya latihan-latihan tertentu pada “indera ekstra” (extra sense). Indera ekstra tersebut

dapat dimilki oleh setiap anak dengan hendaya penglihatan dengan cara melakukan

latihan-latihan khusus untuk mendeteksi perubahan-perubahan frekuensi tinggi dari suatu

pantulan bunyi yang datang dari benda-benda sekitarnya saat yang bersangkutan bergerak

ke arah objek yang dituju (Hallahan, 1991:311).

Dari penjelasan tersebut di atas, sangatlah bijaksana bila program pembelajaran

yang disusun guru mengarah kepada: (1) kemampuan orientasi mobilitas mengarah

kepada kemampuan mengkoordinir keseluruhan gerak jasmani; (2) kemampuan gerak

dengan menggunakan gerak halus atau fine motor; (3) kemampuan mengkoordinir

ketepatan reaksi-gerak; (4) kemampuan mengkoordinir daya kekuatan otot-otot gerak

sesuai dengan kebutuhannya.

Proses penyesuaian diri anak dengan hendaya penglihatan lebih ditujukan kepada

kepercayaan diri sendiri agar mampu melakukan kegiatan-kegiatan di lingkungannya.

Sehingga dari percaya diri ini akan muncul harga diri dan perasaan diterima oleh orang-

orang di sekitarnya. Harga diri menyangkut perasaan bahwa dirinya cukup dihargai,

mempunyai kemampuan dan diperlukan oleh masyarakat sekitarnya. Harga diri dapat

muncul disebabkan adanya faktor internal dan eksternal. Faktor internal menyangkut

persepsi diri, kemampuan membela diri, merasa dirinya bernilai, dan kemampuan

beraspirasi dalam pergaulan hidup. Faktor eksternal secara khusus diarahkan oleh adanya

reaksi positif orang lain yang ada di sekitarnya terhadap perilaku diri mereka (Ponchillia,

P.E. dan Ponchillia, S.,V., 1996:81).

Page 158: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

158

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

Peningkatan harga diri anak dengan hendaya penglihatan dapat diupayakan oleh

guru melalui perencanaan pembelajaran yang lebih menititik beratkan kepada (1)

komunikasi yang bersifat efektif, (2) monitoring dalam kecepatan penyampaian, dan (3)

penggunaan penguatan (reinforcement) terhadap kesuksesan belajar.

Komunikasi yang bersifat efektif dilakukan secara verbal maupun non-verbal

yang mampu menjembatani antara pencapaian tujuan pembelajaran dengan hendaya-

hendaya yang ada pada anak bersangkutan. Kriteria komunikasi semacam ini adalah:

a. Menggunakan bahasa yang tepat dan sesuai dengan situasi sebenarnya. Hindarilah

penggunaan kata-kata : “di sini” atau “di sana”, sebaiknya digunakan kata-kata: “di

sebelah kirimu!” atau “dua langkah di depanmu!”.

b. Menggunakan analogi atau perbandingan saat menyampaikan sesuatu agar dapat

memberikan kejelasan suatu deskripsi bahan ajar. Misalnya “cobalah berjalan

sepuluh langkah ke arah depan tanpa suara berisik seperti semilirnya angin pagi hari”

c. Menggunakan tanda-tanda khusus yang dapat ditangkap oleh alat-dengar. Misalnya,

penggunaan bola plastik yang dimodifikasi dengan media bunyi gemerincing untuk

memberikan arah yang dituju, khususnya pada anak buta total (totally blind).

d. Menggunakan taktil atau rabaan dalam mengenali suatu model. Misalnya, saat

memberikan pengetahuan tentang gelombang dalam suatu proses pembelajaran

hendaknya menggunakan media berkaitan dengan adanya bentuk cekungan

longitudinal pada sisi atas dan bawah serta dapat bergetar menirukan suara deru

gelombang lautan saat disentuh dan digerakkan.

e. Taktil lebih diutamakan dalam mengenali ukuran suatu objek sebagai model.

Misalnya, dalam mengenali “model pesawat terbang” sebaiknya digunakan “prototipe

Page 159: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

159

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

pesawat terbang” sehingga dapat dikenali bagian-bagian dari pesawat terbang

tersebut.

f. Menggunakan manipulasi-gerak dalam upaya memahami suatu gerak melalui

penjelasan guru secara benar. Misalnya, saat memberikan pola-gerak “pivot” atau

bergerak memutar dengan salah satu kaki menjadi tumpuannya yang sering dilakukan

dalam permainan bola basket. Guru harus memberikan arahan gerak pada anak

dengan hendaya penglihatan melalui kegiatan meraba gerak kaki guru yang sedang

melakukan gerakan pivot, dan kemudian anak menirukan serta dikoreksi kesalahan-

kesalahan yang terjadi secara berulangkali.

Page 160: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

160

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

G. KARAKTERISTIK ANAK AUTISTIK ( AUTISTIC CHILDREN)

Autism syndrome merupakan kelainan yang disebabkan adanya hambatan pada

ketidakmampuan berbahasa yang diakibatkan oleh kerusakan pada otak. Gejala-gejala

penyandang autism menurut Delay & Deinaker (1952), dan Marholin & Philips (1976)

antara lain berupa :

a. Senang tidur bermalas-malasan atau duduk menyendiri dengan tampang acuh, muka

pucat, dan mata sayu dan selalu memandang ke bawah.

b. Selalu diam sepanjang waktu

c. Jika ada pertanyaan terhadapnya, jawabannya sangat pelan sekali dengan nada

monoton, kemudian dengan suara yang aneh ia akan mengucapkan atau

menceriterakan dirinya dengan beberapa kata, kemudian diam menyendiri lagi.

d. Tidak pernah bertanya, tidak menunjukkan rasa takut, tidak punya keinginan yang

bermacam-macam, serta tidak menyenangi sekelilingnya.

e. Tidak tampak ceria.

f. Tidak perduli terhadap lingkungannya, kecuali pada benda yang disukainya, misalnya

boneka..

Secara umum anak autistik mengalami kelainan dalam berbicara, disamping

mengalami gangguan pada kemampuan intelektual serta fungsi syaraf. Hal tersebut dapat

terlihat dengan adanya keganjilan perilaku dan ketidakmampuan berinteraksi dengan

lingkungan masyarakat sekitarnya. Rician tentang kelainan anak autistik sebagai berikut.

a. Kelainan berbicara. Keterlambatan serta penyimpangan dalam berbicara

menyebabkan anak autistik sukar berkomunikasi serta tidak mampu memahami percakan

Page 161: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

161

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

orang lain. Sebagian anak autistik nampaknya seperti bisu (mute) dan bahkan tidak

mampu menggunakan isyarat gerak saat berkomunikasi dengan orang lain, sehingga

penggunaan bahasa isyarat tidak dapat dilakukan. Suara yang keluar biasanya bernada

tinggi dan terdengar aneh, Berkecenderungan meniru, terkesan menghafal kata-kata

tetapi sesungguhnya mereka tidak mampu berkomunikasi. Walaupun pengucapan kata

cukup baik, namun banyak mempunyai hambatan saat mengungkapkan perasaan diri

melalui bahasa lisan. Dengan demikian sepertinya anak autistik mengalami afasia

(aphasia), kehilangan kemampuan untuk memahami kata-kata disebabkan adanya

kelainan pada syaraf otak.

b. Fungsi syaraf dan intelektual, umumnya anak autistik mengalami keterbelakangan

mental, kebanyakan mempunyai skor IQ 50. Mereka tergolong tidak mempunyai

kecakapan untuk memahami benda-benda abstrak atau simbolik, namun di sisi lain

yaitu mereka mampu memecahkan teka-teki yang rumit dan mampu mengalikan suatu

bilangan. Walaupun ia mampu membaca koran dengan penuh perasaan namun ia tidak

mengerti terhadap bacaan yang ada pada koran tersebut.

c. Perilaku yang ganjil, anak autistik akan mudah sekali marah bila ada perubahan yang

dilakukan pada situasi atau lingkungan dimana ia berada, walau sekecil apapun. Mereka

sangat tergantung pada sesuatu yang khas bagi dirinya yang cenderung kearah sifat

ketergantungan dirinya terhadap benda yang ia sukai. Misalnya, selalu membawa-bawa

barang yang paling ia senangi sewaktu ia bepergian kemanapun semacam selimut,

karet gelang. Seringkali anak autistik menunjukkan sikap yang berulang-ulang.

Misalnya, suka menggerak-gerakkan badannya dan bergoyang-goyang saat ia sedang

duduk di kursi, terkadang secara tiba-tiba berteriak atau tertawa tanpa sebab yang jelas.

Page 162: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

162

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

Bahkan sering melakukan bertingkah untuk menyakiti dirinya sendiri, misalnya

membenturkan kepala atau mengorek matanya. Saat makan tiba ia sering menolak

makanan yang disodorkannya, ia hanya memakan satu jenis makanan dan dimakan

hanya sdikit saja.

d. Interaksi sosial, anak autistik kurang suka bergaul dan sangat terisolasi dari lingkungan

hidupnya, terlihat kurang ceria, tidak pernah menaruh perhatian atau keinginan untuk

menghargai perasaan orang lain, suka menghindar dengan orang-orang disekitarnya

sekalipun itu saudaranya sendiri. Dengan kata lain kehidupan sosial anak autistik selalu

aneh dan terlihat seperti orang yang selalu sakit.

Page 163: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

163

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

H. KARAKTERISTIK ANAK TUNADAKSA ATAU ANAK DENGAN HE NDAYA

FISIK-MOTORIK (Physical Disability)

1. Pendahuluan

Pada dasarnya kelainan pada peserta didik tunadaksa dikelompokkan menjadi

dua bagian besar, yaitu: (1) Kelainan pada sistem serebral (cerebral system) dan, (2)

kelainan pada sistem otot dan rangka (musculoskeletal system).

Peserta didik tunadaksa mayoritas memiliki kecacatan fisik sehingga mengalami

gangguan pada: koordinasi gerak, persepsi dan kognisi disamping adanya kerusakan

syaraf tertentu. Sehingga dalam memberikan layanan di sekolah memerlukan modifikasi

dan adaptasi yang diklasifikasikan dalam tiga kategori umum, yaitu kerusakan syaraf,

kerusakan tulang, dan anak dengan gangguan kesehatan lainnya.

Kerusakan syaraf disebabkan karena pertumbuhan sel syaraf yang kurang atau

adanya luka pada sistem syaraf pusat. Kelainan syaraf utama menyebabkan adanya

cerebral palsy, epilepsi, spina bifida, dan kerusakan otak lainnya.

Cerebral palsy, merupakan kelainan diakibatkan adanya kesulitan gerak berasal

dari disfungsi otak. Ada juga kelainan gerak atau palsy yang diakibatkan bukan karena

disfungsi otak, tetapi disebabkan poliomyelitis disebut dengan spinal palsy, atau organ

palsy diakibatkan oleh kerusakan otot (distrophy muscular). Karena adanya disfungsi

otak, maka peserta didik penyandang cerebral palsy mempunyai kelainan dalam: bahasa,

bicara, menulis, emosi, belajar, dan gangguan-gangguan psikologis. Cerebral palsy

didefinisikan sebagai “Laterasi perpindahan yang abnormal atau fungsi otak yang

muncul karena kerusakan, luka, atau penyakit pada jaringan syaraf yang terkandung

Page 164: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

164

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

dalam rongga tengkorak” (The American Academy of Cerebral Palsy, 1953). Definisi

lainnya menyatakan bahwa

“Cerebral Palsy merupakan kondisi yang bersifat klinis yang disebabkan oleh cedera pada otak. Salah satu komponennya merupakan gangguan otak. Dengan demikian, cerebral palsy dapat digambarkan sebagai kondisi ketidakberfungsian gerak, bermula saat kanak-kanak, dicirikan dengan paralysis, kelemahan, kurang kordinasi atau penyimpangan fungsi gerak lainnya yang disebabkan kelainan-fungsi gerak pada pusat pengendali gerak pada otak. Disamping disfungsi gerak tersebut cerebral palsy bisa menyebabkan terjadinya kesulitan belajar, gangguan psikologis, kerusakan sensori, penyakit kejang dan behavioral pada origin organik” (United Cerebral Palsy Research and Educational Foundation, 1985).

Cerebral Palsy diklasifikasikan sebagai kelainan yang berbeda dengan kelainan

neuromuscular, maka Cerebral palsy meliputi kelainan: spastic, athetoid, ataksia, tremor

dan rigid.

Pada kasus-kasus yang ringan anak spastik bisa mengembangkan keseimbangan

tangannya untuk sedikit mengendalikan gaya berjalan yang kikuk. Pada kasus-kasus

tingkat sedang, peserta didik spastik dapat memegang lengan untuk diarahkan ke

tubuhnya, membengkokkan sikunya dengan membengkokkan tangannya, dengan kaki

yang diputar secara hati-hati pada lutut, dan menghasilkan jalan gaya gunting.

Sedangkan pada kasus-kasus tingkat berat mereka memiliki pengendalian yang lemah

pada tubuhnya dan tidak mampu duduk, berdiri, atau berjalan tanpa bantuan alat penguat,

tongkat penopang, alat bantu jalan, dan sebagainya.

Ciri utama peserta didik ataksia, gerakannya kurang kuat, berjalan dengan

langkah yang panjang dan mudah jatuh, terkadang mata tidak terkoordinasi serta gerakan

mata tertegun-tegun (nystagmus). Pada tremor dan rigid umumnya mempunyai

Page 165: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

165

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

gangguan pada keseimbangan tubuh, disebabkan karena adanya kelainan pada postural

dan akibat hambatan otot yang berlawanan.

Hendaya kondisi fisik merupakan ketidakmampuan secara fisik untuk

melakukan gerak. Ketidakmampuan seorang anak dengan adanya keterbatasan secara

fisik-non-sensori (fisik-motorik) menyebabkan ia mempunyai permasalahan untuk hadir

kesekolah dan belajar di kelas. Ketidakmampuan secara fisik motorik pada anak untuk

melakukan gerakan tubuh menyebabkan ia membutuhkan layanan-layanan khusus,

latihan dengan pola tertentu, peralatan-peralatan yang sesuai, dan fasilitas pendukung

lainnya. Seringkali terjadi pada anak yang mempunyai hendaya kondisi fisik, juga

mempunyai hendaya penyerta lain seperti: hendaya perkembangan fungsional, kesulitan

belajar, gangguan emosional, kelainan berbicara dan berbahasa, atau mempunyai

keberbakatan tertentu (Hallahan & Kauffman: 1991:344).

Anak dengan hendaya kondisi fisik memerlukan penanganan secara medis guna

memperbaiki dan mengobati kelainan-tubuhnya, tetapi bila hendaya fisik tersebut

ternyata mempunyai masalah pendidikan maka pembelajaran khusus perlu penanganan

oleh guru-khusus di sekolah. Penanganan khusus oleh guru-khusus memerlukan suatu

metode pembelajaran tertentu bersifat khusus sesuai dengan kelainan anak bersangkutan.

Untuk hal ini gerak irama dapat diaplikasikan dalam program pembelajaran dengan

tujuan untuk dapat mengembangkan keterampilan gerak siswa dengan hendaya kondisi

fisik-motorik tergantung dengan sifat dasar dan tingkat kepelikan hambatan yang

disandang oleh anak.

Page 166: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

166

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

Umumnya, masalah utama pada gerak yang dihadapi oleh anak spina bifida

adalah kelumpuhan dan kurangnya kontrol gerak, pada anak hydrocephalus adalah

mobilitas gerak, anak dengan cerebral palsy mempunyai masalah dengan persepsi visual

meliputi: gerakan-gerakan untuk menggapai, menjangkau dan menggenggam benda, serta

hambatan dalam memperkirakan jarak dan arah (Lewis, V., 2003: 157). Cerebral Plasy

merupakan kelainan koordinasi dan kontrol otot disebabkan oleh luka (mendapatkan

cedera) di otak sebelum dan sesudah dilahirkan atau pada awal masa kanak-kanak

(Hallahan & Kauffman, 1991:345).

2. Konsep Anak dengan Hendaya Fisik-Motorik

a. Pengertian Hendaya Fisik-Motorik

Salah satu kasus utama hendaya fisik-motorik pada anak-anak adalah kerusakan

atau kemunduran sistem syaraf pusat, yaitu pada otak atau syaraf tulang belakang.

Seorang anak dengan kerusakan otak seringkali menunjukkan adanya berbagai gejala-

gejala yang bersifat perilaku, termasuk ke dalam gejala bersifat perilaku adalah: hendaya

perkembangan fungsional, masalah-masalah belajar, masalah yang bersifat persepsi,

kelangkaan koordinasi, suka membuat keonaran, gangguan emosional, kelainan berbicara

dan berbahasa. Gejala-gejala lain yang menunjukkan adanya cedera otak atau malfungsi

ialah adanya hendaya fungsi gerak, kelumpuhan, dan beberapa tipe dari serangan secara

tiba-tiba pada jantung sehingga menyebabkan kejang-kejang atau gangguan kontraksi

sekelompok otot (seizure) (Hallahan & Kauffman, 1991:346).

Walaupun otak seseorang dalam keadaan utuh dan berfungsi sebagaimana

mestinya, seseorang bisa saja mempunyai hendaya yang bersifat neurologis yang

Page 167: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

167

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

disebabkan oleh adanya cedera pada syaraf tulang belakang. Cedera pada syaraf tulang

belakang dapat menyebabkan seorang anak kehilangan perasaan atau sensasi, tidak

mampu mengontrol gerakan, tidak mampu merasakan atau melakukan gerakan pada

beberapa bagian tubuh.

Hendaya secara neurologis disebabkan beberapa kasus, termasuk: penyakit

menular, kehabisan oksigen, keracunan, ketidakberfungsian bawaan, dan trauma psikis

karena kecelakaan. Polio atau kelumpuhan semenjak masa kanak-kanak merupakan

suatu contoh dari penyakit menular yang menyerang syaraf otak dan syaraf tulang

belakang penyebab kelumpuhan. Spina bifida merupakan contoh dari ketidakberfungsian

bawaan pada tulang belakang penyebab kelumpuhan.

Dalam beberapa kasus pada cedera otak sangatlah sulit untuk mengidentifikasi

secara tepat penyebab dari suatu hendaya. Yang terpenting dalam hal ini adalah: ketika

sistem syaraf seorang anak mengalami cedera, tidak perduli penyebabnya, kelemahan

pada otot atau kelumpuhan hampir selalu merupakan petunjuk terhadap gejala-gejala

adanya cedera pada sistem syaraf. Disebabkan kelumpuhan pada anggota tubuh

menyebabkan seorang anak tidak dapat bergerak sebagaimana yang dilakukan oleh

kebanyakan anak lainnya, maka tipe pendidikannya dilakukan secara khusus serta

memerlukan peralatan yang spesifik, prosedur khusus, atau akomodasi.

Hendaya keadaan fisik-motorik yang paling menonjol dan banyak dilakukan

layanan pendidikan adalah: cerebral palsy (CP), spina bifida (SB), developmental

coordination disorder (DCD). Bahasan berfokus pada implikasi khusus untuk dapat

memahami proses-proses perkembangannya.

Page 168: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

168

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

Cerebral Palsy (CP) bukan suatu penyakit dalam pengertian bahasa, tidak

menular, dan tidak progresif atau makin lama makin memburuk, kecuali tidak

mendapatkan penyembuhan yang benar sehingga terjadi komplikasi (Hallahan &

Kauffman, 1991:347). Cerebral Palsy merupakan kelainan gerak dan kelainan postur

tubuh disebabkan oleh adanya cedera yang permanen pada otak saat masih dalam

perkembangan (Bax, 1964 dalam Haskel & Barret, 1993:2). Kelainan pada aspek gerak

seringkali diikuti dengan kerusakan pada penglihatan, pendengaran, berbicara, dan

inteligensi. Ditandai pula dengan kelangkaan kontrol terhadap lidah dan bibir, kelainan

persepsi visual, hilangnya rasa pada daya taktil, kelainan berkaitan dengan pengenalan

ruang atau tempat, dan seizure. Kondisi kelainan CP bisa terjadi saat dalam kandungan,

saat dilahirkan, dan saat setelah dilahirkan atau kombinasi dari ketiga faktor tersebut.

Kasus dalam kandungan (pre-natal) meliputi: faktor keturunan walupun sangat

jarang, penyakit infeksi yang dikandung sang ibu saat mengandung, kekurangan oksigen

pada otak janin, prematur atau kelahiran sebelum waktunya, kelainan metabolis pada

sang ibu seperti diabetes atau toxaemia, dan seorang ibu hamil yang sering mendapatkan

sinar X-rays sehingga terjadi cedera otak pada janin. Beberapa kasus CP pada pre-natal

lainnya tidak diketahui. Kasus dalam proses melahirkan (peri-natal) meliputi: cedera saat

dilahirkan, dan penurunan suplai oksigen pada otak bayi. Pada saat sesudah dilahirkan

(post-natal) adalah infeksi pada otak, seperti meningitis dan encaphalitis.

Ada tiga macam CP yaitu: spastik (spasticity), atetosis (athetosis), dan ataksia

(ataxia), terkadang ketiganya saling bercampur. Terjadinya CP adalah 0,6 % hingga 5,9

% setiap 1000 kelahiran bayi (Hasket & Barrel, 1993:17). Lihat Gambar 5.1 di bawah ini.

Page 169: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

169

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

Gambar 5.1 Bentuk-bentuk Cerebral Palsy

(Hasket & Barrel, 1993:16) (1). Bentuk pertama CP adalah Spasticity (Spastik)

60 % penyandang Cerebral Palsy dimungkinkan mempunyai kelainan spastik

yang disebabkan oleh kerusakan di bagian otak yang berbentuk piramid (pyramidal

tracts) di dalamnya terdapat syaraf yang saling bertautan dalam otak bagian luar

(cerebral cortex) yang berperan sebagai pengatur inisiatif gerakan cepat. Sel-sel syaraf

yang ada dalam lapisan luar otak yang mengatur gerak (motor-cortex) turun menuju ke

Page 170: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

170

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

lapisan luar yang berhubungan dengan otak (cerebral cortex) melalui syaraf tulang

belakang (spinal cord) ke otot-otot anggota badan (bagian otot-otot otak yang mengontrol

gerakan pada muka, anggota badan, batang tubuh, kaki dan tangan). Kekejangan di

diagnosis sebagai peningkatan pada gerak otot atau situasi yang menyebabkan otot-otot

menjadi tegang.

Anak-anak spastik menunjukkan adanya bentuk tubuh atau postur yang abnormal

dan kegiatan refleksnya melebihi anak-anak normal. Secara nyata anggota tubuhnya

mempunyai kelainan. Klasifikasi yang paling umum dari spasticity adalah sebagai

berikut:

a. Hemiplegia: bagian kiri atau kanan anggota tubuh terjadi kelumpuhan, lengan lebih

berkelainan dari pada kaki. Anggota tubuh yang berkelainan tumbuh lebih lambat.

Privalensinya sekitar 35 sampai 40 persen dari anak-anak CP. Spastic hemiplegics

merupakan kelompok yang terbanyak pada populasi CP. Gambaran yang lebih rinci

dari spastic hemiplegics dapat dilihat pada pola perkembangan sebagai berikut: 1)

keterlambatan dalam kemampuan duduk, 2) berjalan dan berbicara berada pada

tingkatan seorang bayi, 3) mempunyai kelainan persepsi dan belajar.

Ketidaknormalan perkembangan fisik diikuti dengan salah satu kaki menjadi pendek,

rotasi pinggul secara induksi dan internal, ketegangan pada siku dan pergelangan

tangan, gerak kontraksi dan atropi otot-ototnya tidak pada semestinya.

Perkembangan tulang pada satu sisi menjadi berkurang. Anak spastic hemiplegics

mempunyai inteligensi rendah, kesulitan bergerak, daya taktil yang kurang,

mempunyai penyakit sawan yang datang secara tiba-tiba, berkesulitan dalam

berbicara, bermasalah dalam melihat dan mendengar, sulit berperilaku, sulit bernafas,

Page 171: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

171

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

dan sulit berkontraksi. Anak spastic hemiplegics juga memerlukan banyak bantuan

saat di sekolah dan di rumah, khususnya dalam mengatasi tekanan-tekanan saat

melakukan interaksi sosial.

b. Triplegia: terjadi pada tiga anggota tubuh yang mendapatkan kelainan atau kesulitan

gerak.

c. Quadriplegia (Tetraplegia): berarti melibatkan empat anggota tubuh yang terkena

kelainan. Privalensinya sekitar 15 sampai 20 persen dari populasi spasticity.

d. Paraplegia: muncul jika kedua kaki mempunyai kelainan tetapi muka dan tangannya

normal, dalam hal ini berbicara lancar, inteligensinya normal, dan jarang terjadi

kelainan sawan. Prevalensi paraplegia sekitar 10 hingga 20 % dari populasi

spasticity. Banyak ditemui anak-anak yang mempunyai hambatan ringan dalam

perkembangan bagian tubuh bagian atas, sehingga secara tegas didefinisikan sebagai

displegics. Sebagian besar anak displegic mempunyai kelainan inteligensi dan

penyakit sawan.

e. Double hemiplegia berpengaruh terhadap empat anggota tubuh, dimana lengan

menjadi lebih mudah terkena kelumpuhan dari pada kaki.

Klasifikasi berdasarkan tipe cedera pada otak dan konsekuensi tipe dari

ketidakbermampuan gerak meliputi: pyramidal, extrapyiramidal, dan mixed types. Dapat

dijelaskan sebagai berikut:

a. Pyramidal (spastic): seseorang pada tipe ini mempunyai cedera pada bagian pengatur

gerak pada kulit luar otak (motor-cortex) atau pada bentuk piramid pada otak.

Dampak dari cedera tersebut menyebabkan masalah pada gerak voluntari dan terjadi

spasticity – yaitu kekejangan pada otot-otot dan terjadi gerakan voluntari diluar

Page 172: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

172

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

kontrol sehingga gerakannya tidak tepat. Privalensinya sekitar 50 persen pada kasus-

kasus yang menunjukkan spasticity.

b. Extrapyramidal (choreoathetoid, rigid, dan atonic): Cedera terjadi di luar bentuk

piramid otak (pyramidal tracts) dan mempunyai akibat secara mendadak pada

kelainan: gerakan diluar kemauan (involuntary movements), dan mempunyai kesulitan

dalam mempertahankan tubuh (choreoathetoid), terjadi kekakuan (rigid), atau

kelayuan pada otot (atonic). Diperkirakan sekitar 25 persen dari kasus-kasus yang

merupakan gejala-gejala berkaitan dengan cedera pada extrapyramidal.

c. Tipe Campuran (Mixed): Cedera terjadi pada daerah otak pyramidal dan extra –

pyramidal dan anak menunjukkan kedua gejala kelainan, seperti spasticity di kaki dan

rigidity pada kedua lengan. Sekitar 25 persen dari kasus dikategorikan sebagai tipe

campuran. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 5.2.

Gambar 5.2. Daerah Otak Penyebab Bentuk-bentuk Cerebral Plasy

(Hallahan & Kauffman, 1991:349).

Page 173: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

173

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

(2). Bentuk kedua dari CP adalah Athetosis

Athetosis merupakan jenis CP kedua. Dikarakteristikkan dengan adanya

peningkatan gerakan-gerakan yang tidak terkoordinasi dan tanpa sengaja atau di luar

kemauan, gerakan bisa secara pelan dan menggeliat atau secara tiba-tiba dan gerakannya

tersentak-sentak. Gerakan-gerakan ini tidak akan terjadi sewaktu tidur atau saat anak

tersebut dalam keadaan rileks. Gerakan-gerakan yang tidak terkontrol menyebabkan

pengejangan otot-otot pada anak athetosis.

Gerakan yang terus-menerus pada refleks-refleks utama menyebabkan gerakan

yang tidak simetris dari refleks tonic dan refleks moro dan selalu diikuti dengan adanya

kelainan. Gerakan-gerakan muka seringkali tidak normal, meliputi gerakan-gerakan pada

gigi, bibir, dan pengontrolan pernafasan. Otot-otot yang melakukan kerja berbicara juga

sering mendapatkan kelainan sehingga yang bersangkutan berkondisi sebagai dysarthia.

Inteligensi anak athetoid umumnya normal, namun mempunyai kecenderungan yang

sangat tinggi untuk mendapatkan kebutaan.

Seperti halnya anak-anak spastik, anak athetoid umumnya kurus disebabkan

oleh adanya gerakan-gerakan mereka yang berkelebihan. Kerusakan otak pada kasus

athetosis terjadi pada sistem extrapyramidal dan berpengaruh terhadap sel-sel pada

bagian pusat (basal ganglia) yang mengkoordinasi gerakan-gerakan tubuh dan

mengarahkan kontrol gerakan.

3. Bagian Ketiga dari CP adalah Ataxia

Ataxia hanya terjadi pada sebagian kecil anak-anak, penyebabnya adalah adanya

kerusakan atau cedera pada cerebellum yang bertugas untuk memperhalus gerakan-

gerakan otot yang terkontrol oleh gerakan lapisan luar otak (cortex). Anak-anak ataxia

Page 174: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

174

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

mengalami kegagalan untuk melakukan integrasi informasi yang relevan ke dalam rongga

posisi dan rongga keseimbangan yang ada pada otak. Kondisi tersebut berpengaruh

terhadap lengan, gerakan-gerakan yang dilakukan secara tepat, dan penyebab dari

kelumpuhan atau kelayuan tubuh. Seringkali seluruh dari empat anggota tubuh tidak

berfungsi. Kelainan kaki lebih berat dari lengan, seringkali nystagmus dan tremor.

Istilah-istilah lain berkaitan dengan Cerebral Palsy meliputi:

1. Hypotonia atau floppiness yang sering digunakan dalam buku-buku rujukan yang

menyatakan athetoid dan mempunyai indikasi penurunan kekejangan otot.

2. Hypertonia, berkaitan dengan bentuk spastik dari CP dan mengacu kepada

peningkatan kekejangan otot.

3. Rigidity, istilah ini merupakan aplikasi dari hipertonia yang tidak piramidal

menyebabkan kekakuan terhadap otot-otot.

4. Tremor, gemetaran secara ritmis dari anggopta tubuh, dikarakteristikkan dengan

goyangan atau gerakan-gerakan yang sulit.

Epilepsy

Epilepsy merupakan gangguan serangan yang hebat terhadap fungsi otak yang

terjadi secara tiba-tiba, secara spontan dan mempunyai tendensi untuk terjadi kembali.

Epilepsy terjadi bersamaan dengan ketidakmampuan lain seperti cerebral palsy dan

hydrochepalus. Kelainan epilepsy merupakan perwujudan hilangnya konsentrasi atau

bahkan ketidaksadaran diri, biasanya diikuti pula dengan gerakan-gerakan yang tidak

diinginkan oleh tubuh. Rangsangan muncul dimulai pada bagian khusus dari otak

sehingga menimbulkan kejang-kejang pada bagian tertentu tanpa kehilangan kesadaran.

Page 175: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

175

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

Dengan kata lain, rangsangan menyebar dan melibatkan keseluruh bagian otak

yang dapat menimbulkan kejang-kejang secara menyeluruh dengan kehilangan kesadaran

diri. Prevalensi kelainan epilepsy diantara 0,3 hingga 18,6 persen setiap 1000 kelahiran

(Caveness, 1976; O’Donohae, 1979 dalam Hasket & Barret, 1993:21).

Pengobatan epilepsy yang paling sering digunakan adalah dengan obat

anticonvulsants, sekitar 70 persen dapat menurunkan kejang-kejang pada anak-anak

epilepsi. Pengobatan dengan anticonvulsants secara potensial menghasilkan pengaruh

sampingan. Obat-obatan yang sedikit mempunyai pengaruh sampingan, antara lain:

carbamazepine, sodium valproate, dan clobazam. Sedangkan obat-obatan yang sangat

banyak mempunyai pengaruh sampingan antara lain: phenytoin, the barburates, dan

clonazepam. Pengaruh sampingan dari obat-obatan tersebut di atas antara lain: perasaan

kantuk, kelelahan, lemah konsentrasi, berkurangnya fungsi kognitif, dan kemunduran

daya ingat.

Hydrocephalus

Hydrocephalus sering terjadi bersamaan dengan spina bifida atau berdiri secara

tersendiri. Hydrocephalus terjadi ketika terlalu banyak cairan – cerebrospinal dalam

rongga otak. Sehingga otak yang lembut, dan rongga yang ada pada otak mendapatkan

tekanan dari cairan yang mengisi rongga otak. Dampak dari tekanan menjadikan lapisan

luar otak menjadi tipis dan mengkerut dan seringkali terjadi cedera yang permanen.

Pada bayi yang masih kecil, tulang-tulang di bagian atas kepala masih belum

bersatu sehingga cairan dapat keluar menekan bagian ini sehingga kepala menjadi lebih

besar. Gejala-gejala ini menunjukkan adanya kelainan, dikenal dengan nama

Page 176: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

176

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

hydrocephalus. Terhadap hydrocephalus yang sudah berat memerlukan operasi langsung

untuk menghilangkan cairan agar keluar dari rongga otak. Operasi dapat dilakukan

dengan cara memasang slang (shunt) dari rongga otak disalurkan ke bilik kiri/kanan hati

dengan cara operasi. Operasi semacam ini disebut dengan ventriculo-atrial shunt

sehingga cairan yang ada pada rongga otak dapat diserap melalui peredaran darah. Atau

dengan cara ventriculo-peritoneal shunt yang langsung mengarahkan cairan pada rongga

otak ke rongga perut, langsung ke usus. Operasi spino-peritoneal shunt merupakan upaya

lain guna mengarahkan cairan secara langsung dari bilik rongga otak ke rongga sekitar

sumsum tulang belakang dan kemudian diarahkan ke rongga perut.

Spina Bifida

Istilah “spina-bifida” diartikan sebagai “tulang belakang yang terbagi atau

robek”. Pada seorang bayi, kondisi semacam ini terjadi disebabkan salah satu bagian atau

lebih dari tulang belakang belum terbentuk secara penuh. Pada tulang belakang yang

normal, terdapat sebuah “kanal/ saluran” melalui pusat yang berisi syaraf tulang

belakang, sebagai rumah syaraf yang menghubungkan otak ke berbagai bagian tubuh.

Apabila terjadi robek pada tulang belakang, maka kanal pusat tidak sepenuhnya

memenuhi daerah tulang belakang jadi hanya sampai pada tempat yang robek saja. Oleh

karenanya dimungkinkan syaraf tulang belakang menutupi sebagian tulang belakang yang

terbuka tersebut, dan menunjukkan adanya gumpalan atau benjolan pada bagian belakang

seorang bayi.

Adanya kerusakan dan gangguan pada syaraf di bagian tulang belakang, berarti

pesan-pesan antara otak dan batang tubuh dan anggota badan terjadi hambatan yang

Page 177: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

177

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

menyebabkan terjadinya kelumpuhan. Pesan-pesan dari tubuh ke otak menunjukkan

adanya rintangan pada: perasaan sentuhan, rasa sakit, dan posisi. Robek pada tulang

belakang dapat terjadi di beberapa tempat, seringkali terjadi pada bagian bawah tubuh.

Hal semacam ini merupakan resiko yang tinggi pada situasi kandungan, dimungkinkan

anak yang dilahirkan mempunyai kelainan spina bifida.

Terdapat tiga bentuk spina bifida, yaitu:

1) Bentuk pertama, kelainannya ringan disebut: spina bifida occulta. Bentuk

kecacatan tulang belakang terjadi pada posisi bagian bawah dari tulang punggung.

Tidak terjadi tonjolan yang keluar pada sumsum tulang belakang, dan cedera atau

kerusakan ditutupi oleh kulit. Posisi ini tidak menjadi masalah yang besar

terhadap medis dan pendidikan.

2) Bentuk kedua merupakan hal yang serius disebut dengan “meningocele” (cele

berarti kantung). Pada bentuk ini sumsum tulang belakang menutupi bagian yang

terbuka. Tonjolan meningocele dapat berupa tonjolan terbuka dan tonjolan

tertutup oleh lapisan kulit. Tonjolan sering terjadi diantara tulang belakang di

bagian punggung atau bagian atas punggung. Umumnya kondisi ini

menyebabkan adanya ketidakberfungsian pada fungsi buang air besar, fungsi

buang air kecil, dan anggota tubuh.

3) Bentuk ketiga yang sangat serius, adalah myolocele (myelomeningocele atau

meningomyelocele) yang terjadi pada daerah lumbar atau daerah pinggang, yaitu

bagian tubuh antara rongga dada dan panggul (lihat Gambar 5.3). Pada bentuk ini

syaraf dalam tulang belakang menonjol keluar, penyebab terjadinya kelumpuhan

ke dua belah kaki dan kehilangan rasa. Syaraf yang tidak bekerja menyebabkan

Page 178: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

178

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

hambatan untuk buang air besar dan buang air kecil. Makin tinggi posisi robek

yang terjadi pada tulang punggung, semakin tinggi pula ketidakberfungsian fungsi

tubuh.

Gambar 5.3. Spina Bifida dengan Meningomyelocele (Hallahan & Kauffman, 1991:353)

(3). Penyimpangan Tulang Belakang (Spinal Deformities)

Penyimpangan tulang belakang umumnya disebabkan adanya bawaan

(congenital) atau kelainan neuromuscular seperti: spina bifida, cerebral palsy dan

muscular dystrophy. Kasus lainnya termasuk: tumor, infeksi dan penyakit metabolik.

Ada tiga tipe spinal deformities: Scoliosis, Lordosis, dan Kyphosis.

Scoliosis, terjadi pembungkukan tulang belakang ke samping. Salah satu bahu

lebih menonjol atau pinggul lebih tinggi dari lainnya, karena adanya perubahan

Page 179: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

179

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

penjajaran batang tubuh sehingga terjadi penyimpangan pada: pinggul, dada, dan kepala

dengan letaknya yang tidak sejajar seperti posisi semula. Jika scoliosis tidak diobati

maka akan terjadi penyimpangan tubuh yang sangat berat. Penyimpangan yang berat ini

dapat merubah kurungan-rongga tulang rusuk. Dengan kelainan ini maka terjadi

penyimpangan pada ikatan tulang belakang yang ada pada daerah pinggang, sehingga

menyebabkan rasa sakit pada pinggang dan meningkat bila ada gerakan sekecil apapun.

Lordosis, adanya pembungkukan ke arah depan tulang belakang saat dilihat dari

sisi samping. Hal ini menyebabkan lengkungan tulang belakang di daerah pinggang yang

berlebihan, misalnya pada kelainan neuromuscular khususnya pada cerebral palsy,

muscular dysthrophy, dan myelomeningocele. Penyimpangan yang sangat berlebihan

sangat mempersulit bahkan mungkin tidak dapat duduk, berbaring dan berjalan.

Kyphosis, merupakan kelainan disebabkan adanya lengkungan pada tulang

belakang di daerah pantat. Kelainan ini menyebabkan lengkungan tulang belakang

menjadi berlebihan dari pada posisi normal di daerah bagian leher dan rongga dada. Pada

kasus berat dapat menurunkan kemampuan paru-paru dan terjadi penyimpangan berupa

statura yang memendek. Pengobatan terhadap penyimpangan tulang belakang tergantung

pada seberapa luas pembungkukan, pada lokasi, dan usia anak, termasuk pengamatan,

orthotic, dan pembedahan. Deteksi awal terhadap penyimpangan tulang belakang sangat

penting. Pola dan penggunaan alat penguat berupa braces, serta waktu dan banyaknya

pembedahan, secara khusus dilakukan untuk anak yang mempunyai kelainan ganda, dan

ini sangat penting sekali adanya ketergantungan pada hasil pengamatan yang dilakukan

secara hati-hati.

Page 180: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

180

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

3. Hambatan-hambatan yang Dihadapi Anak Tunadaksa

Hambatan-hambatan yang ada pada anak dengan hendaya kondisi fisik

(tunadaksa) terletak pada kesulitan gerak dan kelainan postur, khususnya bagi anak

dengan kelainan cerebral palsy. Secara umum, hambatan yang ada pada anak dengan

hendaya kondisi fisik terletak pada:

1. Ketidakmampuan untuk melakukan orientasi ruang

2. Gangguan koordinasi gerak karena kondisi fisik-motorik yang lemah

3. Umumnya kurang sanggup menyesuaikan diri karena terlalu banyak mendapatkan

tekanan-tekanan dari lingkungan saat melakukan interaksi sosial (aspek

psikologis).

4. Ketidakmampuan untuk memecahkan suatu masalah.

Pada anak dengan kelainan spasticity sering dijumpai adanya kekejangan

sebagai tanda adanya kelainan spastik. Disamping itu, anak dengan spasticity

mempunyai hendaya pada penglihatan, pendengaran, dan berbicara, ketidakmampuan

melakukan kontrol terhadap lidah dan bibir, kelainan persepsi visual, hilangnya daya

rasa. Kelumpuhan pada kaki merupakan hambatan utama anak-anak spina bifida, yang

bersangkutan akan mendapatkan kesulitan gerak disekitar daerah kaki. .Perkembangan

tulang yang berkurang menyebabkan anak spastic hemiplegics mempunyai inteligensi

rendah, berkesulitan gerak, daya taktil yang kurang, sulit berbicara.

Pada anak-anak athetoid hambatan utama adalah pada gerakan yang terjadi di

luar kemauan, pelan, dan sering menggeliat, diikuti dengan pengejangan otot-otot

Page 181: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

181

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

sehingga gerakannya tidak simetris dan di luar kontrol. Anak athetoid juga memerlukan

latihan orientasi ruang.

Ketidaknormalan perkembangan fisik pada anak dengan hendaya fisik-motorik

dengan salah satu kaki menjadi pendek, mobilitas menjadi hambatan utama (motor

abilities). Adanya ketegangan pada siku dan pergelangan tangan dan gerak kontraksi otot

yang tidak semestinya menyebabkan terjadi juga hambatan dalam belajar. Seorang anak

dengan hendaya yang berat karena mendapatkan cedera serius pada daerah pengatur

gerak di otak, menyebabkan ia mempunyai kesulitan gerak pada kedua kaki dan kedua

tangannya. Sebagai contoh adalah quadriplegia, yang bersangkutan juga mempunyai

hambatan kemampuan berfikir (kognitif).

4. Aplikasi Gerak Irama dalam Pembelajaran Anak Tunadaksa

Dalam lingkungan sekolah, guru khusus hendaknya dapat bekerja sama dengan

para ahli terapi (seperti: physical therapists, occupational therapists, orthopaedist).

Dalam program layanan khusus seyogyanya lebih menekankan aspek pendidikan

dibandingkan dengan aspek medis, sehingga anak dengan hendaya fisik-motorik dapat

belajar di ruangan kelas bersama-sama dengan yang normal. Karena penekanan terhadap

aspek pendidikan, maka guru-khusus hendaknya berfikir untuk mencari upaya-upaya

pelayanan dengan memberikan metode yang tepat, berpartisipasi dalam suatu tim-kerja

dan selalu mencatat kegiatan-kegiatan. Upaya-upaya tersebut berkaitan juga dengan

upaya untuk memperoleh metode pembelajaran dengan menggunakan prinsip-prinsip

terapeutik yang dapat diterapkan dalam kegiatan sekolah. Dengan kata lain terjadi dua

penggabungan antara: teknis medis dan pendekatan berbahasa secara terapeutik terhadap

Page 182: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

182

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

anak dengan hendaya fisik-motorik, sehingga pengimplementasian program pembelajaran

lebih cocok dengan kebutuhan layanan setiap siswa. Pendekatan layanan tersebut dikenal

dengan pendekatan sistem konsultatif (consultative approach). Dalam pendekatan

semacam ini diperlukan adanya kerja sama antara guru khusus dengan physical therapists

dan orthopaedists saat perencanaan program khusus yang akan diterapkan kepada siswa

dengan hendaya fisik motorik (Fraser & Hensinger, 1983:20-23).

Page 183: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

183

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

I. KARAKTERISTIK ANAK TUNA GANDA

(MULTIPLE HANDICAPPED)

Di Asia Timur belum banyak perhatian terhadap peserta didik yang memiliki

kombimasi keluarbiasaan seperti tunanetra dan tunagrahita, cerebral palsy dengan

tunarungu, tunarungu dan tunanetra, tunalaras dan tunagrahita, atau lainnya yang

memiliki kelainan dua kali lipat atau lebih. Dengan tingkat kelainan yang berat dan

sangat berat, kelainan yang berkembang atau kelainan yang bermacam-macam. (Johnston

& Magrab, 1976:3). Penelitian menunjukkan bahwa keluarbiasaan yang berat dan sangat

berat, seperti halnya anak-anak yang mempunyai kesulitan-kesulitan yang minor,

jumlahnya meningkat (Anderson, 1969; Dibedenetto, 1976; Wolf & Anderson, 1969).

Kondisi semacam ini memperburuk sikap masyarakat terhadap keberadaan anak-anak

yang mempunyai kombinasi hambatan perkembangan. Definisi secara ringkas tentang

anak tunaganda sebagai berikut:

“ Developmental disorders encompass a group of deficits in neurological development that result in impairment in one a combination of skill areas such as: Intelelligence, motor, language, or personal social.” (Johnston & Magrab, 1976:7).

Diartikan secara bebas bahwa “Tunaganda adalah mereka yang mempunyai

Kelainan Perkembangan mencakup kelompok yang mempunyai hambatan-hambatan

perkembangan neorologis yang disebabkan oleh satu atau dua kombinasi kelainan dalam

kemampuan seperti inteligensi, gerak, bahasa, atau hubungan-pribadi di masyarakat”

Page 184: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

184

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

Definisi Kelainan Perkembangan secara ganda, menurut hukum di Amerika

berdasarkan PL. 94-103 (Title II. Ps. 124, tahun 1975), kelainan tersebut diperjelas

bahwa:

A. (i) Mereka yang dikelompok kedalam kelainan-ganda antara tunagrahita, cerebral

palsy, epilepsy atau autism;

(ii) Mereka yang termasuk mempunyai kondisi lain yang bertendensi kearah kelainan

tunagrahita dengan kondisi-kondisi kelainan fungsi secara menyeluruh, atau kelainan

perilaku adaptif yang memerlukan penyembuhan dan layanan-layanan seperti halnya

dengan mereka yang berkelainan cerebral palsy, epilepsy, autism.

(iii) Mereka yang mempunyai dyslexia disebabkan oleh kelainan-hambatan seperti

yang dinyatakan pada bagian (i) dan (ii) tersebut di atas.

B. Dimulai sebelum mereka berumur 18 tahun.

C. Kelainannya terjadi secara terus-menerus atau kelainannya bertendensi kearah yang

berkelanjutan.

D. Kelainan-ganda ini merupakan kelainan-substansi kemampuan sesorang untuk

berfungsi secara normal dalam masyarakat.

Definisi yang ada pada PL.94-203 tersebut di atas, juga mengakui bahwa

kelainan-ganda mencakup kelainan perkembangan dalam fungsi adaptif. Di Amerika

Serikat, PL. 94-142 yang merupakan hukum yang berlaku bagi pendidikan seluruh anak

yang mempunyai hambatan, diberlakukan juga kepada mereka yang dikategorikan

kepada tuna-ganda dan anak-anak buta-tuli. Dalam PL. 94-142 dinyatakan juga bahwa:

“Tuna-ganda” diartikan sebagai kelainan yang saling bertautan (seperti tunagrahita

Page 185: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

185

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

dengan buta total, tunagrahita dengan kelainan yang bersifat orthopedis, dan sejenisnya),

kombinasi-tingkat kelainan berat juga merupakan kasus permasalahan pemberian

pendidikan, dimana layanan pendidikannya tidak semata-mata hanya ditujukan pada

salah satu dari kelainannya saja. Namun istilah tuna-ganda tersebut belum termasuk

untuk mereka yang dikategorikan dengan anak Buta-tuli. (lihat pada: Sec.300.5 (b) (5) ).

Definisi untuk peserta didik Buta-tuli itu sendiri dinyatakan bahwa ” Buta-tuli

diartikan sebagai kelainan yang saling bertautan antara: kesulitan pendengaran dan

penglihatan, kombinasi kasus kesulitan berkomunikasi yang berat dan kelainan

perkembangan. Dalam program pendidikan luar biasa belum terakomodasi, karena

semata-mata layanan tersebut ditujukan hanya untuk anak dengan kelainan pendengaran

saja atau anak dengan kelainan penglihatan.” (lihat pada: Sec. 300.5 (b)(2) )

Selanjutnya, Walker (1975) berpendapat mengenai “tuna-ganda atau multihandicapped”

sebagai berikut:

a. Seseorang dengan dua hambatan yang masing-masing memerlukan layanan-layanan

pendidikan khusus.

b. Seseorang dengan hambatan-hambatan ganda yang memerlukan layanan teknologi .

c. Seseorang dengan hambatan-hambatan yang memerlukan modifikasi-metode secara

khusus. (dalam Mulliken, R.T. & Buckley, J.J., 1983:6).

Page 186: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

186

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

j. KARAKTERISTIK ANAK BERBAKAT DAN KEBERBAKATAN

(GIFTEDNESS AND SPECIAL TALENTED)

Pengertian anak berbakat dan keberbakatan dalam perkembangannya telah

mengalami berbagai perubahan. Dimulai dengan pengertian yang berdasarkan pada

pendekatan uni-dimensial atau faktor tunggal (yang berpatokan pada IQ) ke pendekatan

yang bersifat multi-dimensial atau faktor jamak. Pengertian yang berdasarkan pada

faktor tunggal (uni-dimensial) ialah pengertian yang menggunakan inteligensi sebagai

kriteria tunggal dalam menentukan kebakatan. Sedangkan pengertian yang berdasarkan

pada pendekatan multi-dimensial tidak hanya menggunakan inteligensi sebagai kriteria

tunggal dalam menentukan keberbakatan, tetapi kriteria jamak berupa kriteria-kriteria

lain selain inteligensi. Dalam pendekatan multi-dimensial diakui adanya keragaman

dalam konsep dan kriteria keberbakatan, sehingga diperlukan berbagai cara dan alat yang

seragam dalam menentukan siapa anak berbakat dan keberbakatannya (Amin, M.,

1996:1).

Perubahan konsep inteligensi dari faktor tunggal seperti yang dikemukakan

Terman ke faktor jamak seperti yang dikemukakan Guilford (dalam Myears, 1986)

memberi pengaruh yang cukup besar terhadap pendekatan konsep keberbakatan. Dalam

pendekatan faktor tunggal, makna keberbakatan sama artinya dengan pemilikan

inteligensi tinggi yang sifatnya genetis (keturunan). Sedangkan dalam pendekatan faktor

jamak, keberbakatan tidak semata-mata ditentukan oleh faktor genetis, tetapi juga hasil

perpaduan interaksi dengan lingkungan. Menurut pendekatan jamak, keberbakatan ialah

keunggulan dalam kemampuan tertentu yang berbeda-beda. Keberbakatan juga

Page 187: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

187

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

mengandung makna adanya keunggulan dalam satu atau beberapa bidang. Di samping

itu keberbakatan dapat diartikan sebagai ciri-ciri universal khusus dan luar biasa yang

dibawa sejak lahir, maupun hasil interaksi dari pengaruh lingkungan (Semiawan, C.,

1995).

Menurut Milgram, R.M.(1991:10) Anak Berbakat adalah mereka yang

mempunyai skor IQ 140 atau lebih diukur dengan instrument Stanford-Binet (Terman,

1925), mempunyai kreativitas tinggi (Guilford, 1956), kemampuan memimpin dan

kemampuan dalam seni drama, seni musik, seni tari dan seni rupa (Marland, 1972).

Peserta didik berbakat mempunyai empat kategori, yaitu:

a. mempunyai kemampuan intelektual atau mempunyai inteligensi yang menyeluruh,

mengacu kepada kemampuan berfikir secara abstrak dan mampu memecahkan

masalah secara sistematis dan masuk akal. Kemampuan ini dapat diukur pada anak

maupun orang dewasa dengan tes psikometrik berkaitan dengan prestasi umumnya

dinyatakan dengan skor IQ;

b. Kemampuan intelektual khusus, mengacu kepada kemampuan yang berbeda dalam

Matematika, bahasa asing, musik, atau Ilmu Pengetahuan Alam.

c. Berfikir kreatif atau berfikir murni-menyeluruh. Umumnya mampu berfikir untuk

memecahkan permasalahan yang tidak umum dan memerlukan pemikiran tinggi.

Pikiran kreatif menghasilkan ide-ide yang produktif melalui imajinasi, kepintarannya,

keluwesannya, dan bersifat menakjubkan.

d. Mempunyai bakat kreatif khusus, bersifat orisinil. Dan berbeda dengan orang lain.

Page 188: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

188

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

Dari keempat kategori tersebut di atas maka peserta didik berbakat adalah

mereka yang mempunyai kemampuan-kemampuan yang unggul dalam segi: intelektual,

teknik, estetika, sosial, fisik. (Freemen, J.,1975:120), akademik, psikomotor, dan

psikososial (kepemimpinan) (Sisk, 1987 dalam Amin, M. 1996:3). Di tahun 1972 di

Amerika Serikat berkembang konsep-konsep tentang keberbakatan berkaitan dengan

kemampuan atau potensi luar biasa dalam kemampuan intelektual, tingkah laku akademis

khusus, berfikir kreatif dan produktif, kemampuan memimpin, kecakapan seni, dan

kemampuan psikomotor (Reynolds & Mann, 1987:719).

Kurikulum yang dianggap tepat bagi anak berbakat (gifted), antara lain: (1)

mengacu ke pada konsep-konsep dan proses kognitif pada tingkat yang tinggi; (2)

melibatkan strategi-strategi pembelajaran yang mampu mengakomodasi bentuk-bentuk

belajar yang saling berbeda; (3) dapat mengakomodasikan berbagai bentuk perencanaan

pengelompokkan khusus. Kurikulum tersebut mengacu ke pada faktor-faktor utama

landasan pemahaman terhadap anak berbakat, yaitu: (1) inteligensi secara umum; (2)

keberbakatan khusus, kemampuan atau ketangkasan; (3) faktor-faktor yang bersifat non-

intelek; (4) kondisi-kondisi lingkungan yang dapat memberikan rangsangan (stimulasi)

dan dukungan; (5) faktor kesempatan (Tannenbaum, 1983 dalam Reynold & Mann,

1987:719); (6) anak berbakat memerlukan konsep-diri yang mampu untuk mengenali dan

menerima potensi yang tidak umum dalam wujud prestasi yang tinggi; (7) anak berbakat

berkecenderungan secara fisik dan psikis untuk menjadi superior dalam belajar dan

berprestasi (Feldhusen, 1986 dalam Reynolds & Mann, 1987:720).

Page 189: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

189

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

BAB V

PERSPEKTIF PSIKOPEDAGOGIS TENTANG

DISFUNGSI PERKEMBANGAN ANAK

DENGAN UPAYA INTERVENSI DALAM PENDIDIKAN

Disfungsi perkembangan anak, meliputi aspek-aspek sensorimotor, kreativitas,

interaksi sosial dan berbahasa dapat berakibat peserta didik memperoleh kesulitan belajar

di sekolah. Kesulitan belajar yang terjadi di sekolah umumnya berkaitan dengan adanya

kelainan-kelainan belajar khusus seperti yang terjadi pada anak dengan kelainan autism,

hyperactive, dan Down syndrome. Keterampilan diri dan inteligensi yang kurang

menyebabkan mereka kurang berinteraksi dengan lingkungan.

Upaya-upaya pemberian layanan pendidikan terhadap peserta didik di sekolah

hendaknya berfokus pada kebutuhan diri anak yang bersangkutan sesuai dengan hak-hak

azasi dan martabat anak. Tujuan layanan tersebut bertujuan:

1. Mengembangkan pribadi, bakat, dan kemampuan mental serta fisik peserta didik

seoptimal mungkin.

2. Menyiapkan peserta didik untuk kehidupan orang dewasa yang aktif dalam

masyarakat bebas dan mengangkat penghargaan bagi orang tua anak, identitas budaya

sendiri, bahasa serta nilai-nilainya.

Upaya intervensi dini terhadap peserta didik yang mempunyai disfungsi

perkembangan hendaknya ditujukan terhadap dua aspek, yaitu aspek perkembangan

sosial dan aspek perkembangan kognitif. Tingkat perkembangan sosial dan kognitif

Page 190: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

190

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

setiap peserta didik diperoleh melalui pengamatan guru kelas secara berkesinambungan

dan sistematik dalam proses need assessment. Untuk keperluan ini diperlukan

kompetensi guru kelas berkaitan dengan pengetahuan dan teori-teori belajar sehingga

perspektif perkembangan psikopedagogis setiap peserta didik dapat memenuhi kebutuhan

dasar psikologis, sosial dan emosional dalam lingkup perkembangan normal.

Perspektif Psikopedagogis Anak

Anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya

melekat harkat dan martabat sebagaimana manusia seutuhnya. Dalam masa

pertumbuhan, secara fisik dan mental anak membutuhkan perawatan, perlindungan

khusus, serta perlindungan hukum baik sebelum maupun sesudah dilahirkan (Konvensi

PBB tentang Hak Anak, 1990). Dengan demikian maka perspektif psikopedagogis anak

yang paling logis, sesuai dengan Konvensi Hak Anak tahun 1990 tersebut, adalah:

“Sampai sejauhmana seorang anak mampu mengubah dirinya sesuai dengan kondisi

disekitarnya. Kemampuan mengubah kondisi sangat berpengaruh terhadap

perkembangan pendidikan dan intervensi-intervensi yang sesuai dengan keberadaannya”.

Proses perkembangan anak untuk mengubah dirinya memerlukan bentuk-bentuk

kegiatan tertentu serta latihan-latihan yang diarahkan sesuai dengan keberadaan dirinya

sehingga terpenuhinya kebutuhan psikologis, seperti perasaan dicintai dan dapat diterima

oleh orang-orang disekitarnya. (Maslow, 1984; dalam Patton,J.R., 1986:4). Dalam

perkembangan psikopedagogis anak, interaksi anak terhadap lingkungannya dihadapkan

pada tiga dimensi utama, yaitu: kemampuan (capabilities), lingkungan tempat anak

melakukan fungsi kegiatannya (environment), dan kebutuhan dengan berbagai tingkat

keperluan (functioning & support) seperti yang terlihat pada Gambar 4.1.

Page 191: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

191

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

Konsekuensi dari hal tersebut di atas, fokus utama orientasi psikopedagogis

dengan target perilaku sosial setiap peserta didik mengacu kepada:

1. Perkembangan kemampuan berupa keterampilan dan kecakapan sesuai dengan

tingkat inteligensi

2. Kondisi-kondisi pembelajaran berupa faktor-faktor lingkungan dan pemberian

penguatan terhadap elemen yang menyertai pengoperasiannya

Bentuk-bentuk perilaku dasar yang sangat dibutuhkan jika pembelajaran

berlangsung berkaitan dengan psikologis, sosial, dan emosional setiap peserta didik (Staat

& Burn halaman 98-120 dalam Patton, 1986:52).

CAPABILITIES ENVIRONMENT

- Intelligence - Home

- Adaptive Skills - Work School

- Community

FUNCTIONING

SUPPORT

Gambar 4.1 Dimensi Utama Interkasi

(Smith, et al, 2002:56)

Ketidakberhasilan peserta didik dalam mencapai tugas-tugas di sekolah

disebabkan oleh tingkat kemampuannya yang tidak sesuai untuk dapat melaksanakan atau

menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan oleh guru kepadanya. Semestinya program

pembelajaran individual di sekolah disusun dan ditetapkan berdasarkan atas model

Page 192: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

192

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

perkembangan siswa sesuai dengan tingkat umur-mental. Konsekuensi dari hal tersebut

maka perkembangan yang dapat dicapai peserta didik melalui pembelajaran yang

diprogramkan secara bertahap hendaknya sesuai dengan kemampuan umur-mental atau

kesiapan setiap peserta didik untuk mempelajari tugas-tugas baru yang diterapkan guru

kelas di sekolah.

Apabila terjadi kegagalan dalam melaksanakan tugas-tugas baru di sekolah, hal

tersebut disebabkan banyak variabel yang mempengaruhi perkembangan kognitif antara

lain: etiologi peserta didik bersangkutan, perbedaan motivasi yang diberikan dan adanya

masalah berkaitan dengan kesesuaian individu diukur dengan umur-mental (Ellis &

Dunley, 1991; dalam Smith 2002:250).

1. Teori Belajar dan Perkembangan Kognitif bagi Peserta Didik yang Mempunyai

Disfungsi Perkembangan

Mempelajari perilaku sosial peserta didik yang mempunyai disfungsi

perkembangan psikopedagogis akan berkaitan dengan cara mereka berorientasi dengan

lingkungan (dalam hal ini lingkungan sekolah). Prinsip-prinsip belajar yang terlibat

antara lain Teori Belajar Sosial dan Teori Perkembangan Kognitif.

Teri Belajar Sosial memandang konteks sosial peserta didik meliputi interaksi

pribadinya dengan lingkungan yang mempunyai kapasitas apakah itu bergerak ke arah

objek atau menjauhi objek (perilaku menjauh). Kedua variabel ini berpengaruh terhadap

perilaku perorangan yang menunjukkan adanya penguatan (reinforcement) yang dapat

dipergunakan sebagai intervensi dalam mencapai tujuan pembelajaran. Implikasi dari

Page 193: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

193

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

kedua variabel ini menyebabkan adanya tiga bentuk hubungan pada diri peserta didik

yang mengalami hambatan perkembangan belajar, yakni: Locus of control, Expectancy

for failure, dan outerdirectedness.

Locus of control mengacu kepada sejauhmana seseorang merasakan akibat dari

perilakunya sendiri. Seseorang yang merasakan kejadian-kejadian, baik yang positif

maupun negtif, sebagai akibat dari tindakannya sendiri disebut dengan internal locus of

control, sebaliknya apabila dilakukan akibat terkanan dari luar dirinya, seperti nasib,

kesempatan, atau akibat dari perbuatan orang lain disebut dengan external locus of

control. Pribadi peserta didik yang mempunyai hambatan perkembangan lebih

berorientasi ke arah external locus of control dari pada mereka yang tidak mempunyai

hambatan perkembangan (Mercer & Snell, 1977:190; Patton, et al., 1986:85).

Expectancy for failure, mengacu kepada penguatan yang merupakan antisipasi sebagai

akibat dari perilaku yang diajarkan. Misalnya pemberian hadiah dan pemberian harapan-

harapan sebagai bentuk umum akibat dari pengalaman-pengalaman masa lalu dengan tipe

khusus dari suatu kegiatan pemecahan masalah. Outerdirectedness merupakan upaya

untuk mengatasi kesalahan-kesalahan yang mungkin terjadi. Individu outerdirectedness

dalam upaya untuk tidak melakukan kesalahan-kesalahan, pada umumnya mereka meniru

perilaku orang lain yang benar atau memperhatikan orang lain sebagai bentuk arahan atau

petunjuk-petunjuk khusus bagi dirinya.

Implikasi dari Teori Belajar Sosial tersebut di atas, menyebabkan guru kelas

hendaknya memperhatikan hal-hal sebagai berikut.

a. Memberikan tugas terhadap siswa yang mempunyai hambatan belajar dengan cara

memperhatikan kemampuan fungsional dari setiap peserta didik bersangkutan.

Page 194: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

194

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

Berikanlah tugas-tugas yang dipastikan dapat mereka lakukan karena hal ini

merupakan jaminan keberhasilan suatu program pembelajaran atau program-program

lain untuk bersosialisasi.

b.Menyimak pengalaman-pengalaman masa lalu yang pernah dilakukan oleh peserta

didiknya di kelas saat mereka berhasil menyelesaikan tugas-tugas di sekolah.

c. Melakukan umpan-balik sesegera mungkin terhadap perilaku khusus yang telah

dilakukan peserta didik dengan baik sesuai dengan tugas yang diberikan guru.

Teori lain yang menjadi prinsip belajar peserta didik dengan hambatan

perkembangan adalah Teori Perkembangan Kognitif. Prinsip dari perkembangan

kognitif dirumuskan oleh Jean Piaget tahun 1969. Ia menyatakan bahwa

perkembangan mental anak merupakan hasil dari interaksi yang dilakukan secara

terus-menerus terhadap lingkungan melalui fase-fase perkembangan anak, melalui

tahapan: sensorimotor, pra opersional, operasi konkret, dan operasi formal atau

abstrak. (patton, et al.,2986:96; Wadsworth, 1991; Suparno, 2001:25; Smith et

al.,2002:250).

Tingkat sensorimotor mempunyai karakteristik perkembangan melalui

pengalaman-pengalaman sensori dan kegiatan-kegiatan gerak. Anak mulai menyadari

adanya lingkungan di luar dirinya sendiri, ia mulai membedakan antara dirinya dengan

orang lain dan benda-benda yang ada di sekelilingnya.

Tingkat pra operasional melibatkan kegiatan-kegiatan yang melebihi dari

kegiatan-kegiatan yang dilakukan terhadap fisiknya. Anak mulai menggunakan simbol-

simbol untuk orang dan benda yang ada di sekelilingnya untuk membiasakan dirinya

melakukan asimilasi dan menemukan pengalaman-pengalaman baru dengan menirukan

Page 195: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

195

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

kegiatan-kegiatan orang lain. Asimilasi diartikan sebagai proses mengubah informasi

sehingga informasi tersebut menjadi bagian dari pengetahuannya.

Saat mencapai tingkat operasi konkret, anak mulai meningkat kemampuan-

kemampuannya untuk menamai dan mengklasifikasikan benda-benda. Kegiatan mental

mulai meningkat dan berkembang, anak mulai mencoba memecahkan masalah

berdasarkan hasil pengalaman-pengalaman masa lalunya.

Kemampuan berfikir abstrak dan kemampuan menyampaikan alasan mulai

meningkat pada usia sekitar 11 hingga 12 tahun yang dapat ditandai dengan adanya

perkembangan pada tingkat operasi formal.

Implikasi dari teori perkembangan kognitif anak, maka sebaiknya modifikasi

perilaku dilakukan melalui kegiatan-kegiatan lingkungan yang disusun secara sistematik,

disebut dengan operant conditioning. Operant conditioning mengkondisikan suatu

karakteristik perilaku tertentu dalam suatu bentuk penguatan positif yang esensial dalam

program pembelajaran berorientasi terhadap perilaku yang dapat mempengaruhi

consequences (Wallace & Kauffman 1978, dalam Patton et al., 1986:97). Penyampaian

motivasi belajar dan pemantauan perilaku peserta didik dengan hambatan perkembangan

menggunakan teknik semacam ini sangat dianjurkan. Terdapat tiga tipe motivasi belajar

yang dipakai sebagai penguatan, yaitu: Social reinforcement misalnya pemberian hadiah,

menyentuh tangan, memeluk dengan sepenuh perasaan, Tangible misalnya pemberian

makanan kesukaannya, uang, atau ganjaran berupa pujian dan pemberian suatu kegiatan

yang merupakan bentuk penghargaan khusus yang diharapkan anak, Negative

consequences untuk perilaku-perilaku yang tidak diharapkan muncul. Misalnya,

pemberian “time out” terhadap peserta didik yang menunjukkan perilaku yang tidak

Page 196: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

196

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

sesuai dan tidak diinginkan. Pemberian “time out” biasanya bersamaan dengan

pemberian “hukuman” antara lain, tidak diperkenankannya melakukan kegiatan tertentu

walaupun ia sangat menyukainya.

Oleh karena itu program pembelajaran yang disusun guru kelas hendaknya

dipolakan secara khusus melalui pendekatan metode yang terintegrasikan pada kejadian

atau peristiwa saat itu (event). Pola pembelajaran yang memasukkan pendekatan

perkembangan sosial peserta didik semacam ini dipakai sebagai bentuk reinforcement

dan sangat efektif dipakai sebagai bentuk intervensi-guru selama proses pembelajaran

(Gardner, 1977, dalam Schloss, 1984:40).

2. Intervensi Dini dalam Pendidikan

Layanan pendidikan di sekolah berupa layanan pembelajaran individual untuk

setiap peserta didik secara tegas diarahkan kepada sasaran yang jelas berupa pencapaian

suatu sasaran perilaku (behavior target). Sasaran perilaku bagi peserta didik yang

mempunyai hambatan perkembangan adalah perilaku adaptif (adaptive behavior), yaitu

suatu kemampuan untuk dapat mengatasi secara efektif terhadap keadaan-keadaan yang

tengah terjadi dalam masyarakat lingkungannya. Secara khusus merupakan kemampuan

berperilaku untuk mampu merespon tuntutan lingkungan (AAMR, 1992, Patton, et al.,

1986:13); Widaman & McGrew, 1996 dalam Smith, et al., 2002:95). Problem yang

terjadi pada perilaku adaptif akan berakibat atau berkaitan erat dengan terjadinya defisit

inteligensi atau lemahnya aspek kognitif.

Perilaku adaptif dapat dikembangkan sebagai sasaran bimbingan yang

diintegrasikan kedalam pembelajaran dan dilakukan sebagai intervensi sedini mungkin

Page 197: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

197

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

karena berfungsi untuk membantu peserta didik yang mempunyai hambatan

perkembangan dengan tujuan agar peserta didik bersangkutan:

a. Mampu melakukan kegiatan sehari-hari tanpa bantuan orang lain

b. Mampu memanfaatkan persepsi pendengaran, penglihatan, gerak taktil atau kinestetik,

gerak motorik halus (fine motor) dan motorik kasar (gross motor)

c. Kemampuan beradaptasi disamping kematangan diri dan sosial. Misalnya, dapat

berbahasa secara konseptual, dapat memahami dan mampu menggunakan bahasa

untuk berkomunikasi.

d. Mampu bertanggung jawab secara pribadi ataupun sosial dicirikan dengan kemampuan

berhubungan dengan orang lain, dan dapat berperan serta untuk melakukan suatu

peran di lingkungan tempat tinggalnya

e. Kematangan diri dan sosial meliputi kemampuan berinisiatif, memanfaatkan waktu

luang, cukup atensi dan bersikap tekun.

Hasil-hasil penelitian di luar negeri yang telah dilakukan oleh Friedberg (1992),

Kandret (1993), Carmichael (1994) dan Schwiebert (1995) menunjukkan bahwa pola

bermain peran atau role playing dan pola bermain dengan media pasir serta papan

permainan angat cocok diterapkan sebagai intervensi-guru dalam pembelajaran di sekolah

dasar dan sekolah tingkat lanjutan atas. Pola bermain sebagai bentuk intervensi-guru

dalam pembelajaran dapat diterapkan guna menurunkan tingkat perilaku salah suai atau

perilaku non-adaptif, seperti: kurang atensi, impulsif, sering melakukan kegiatan

berlebihan, agresif, selalu merasa takut, depresi pada peserta didik hiperaktif dan

gangguan emosional. Penelitian-penelitian tersebut, merupakan pembuktian terhadap

Page 198: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

198

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

pendapat dari Anna Freud dan Melanie Klien (1920) berkaitan dengan pemanfaatan

permainan terapeutik dapat dipakai sebagai wahana dan diagnostik perilaku salah suai

dalam bentuk bimbingan konseling terhadap peserta didik yang mengalami hambatan

belajar.

Hasil-hasil penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa Jurusan Pendidikan Luar

Biasa Fakultas Ilmu Pendidikan dan Program Pasca Sarjana Prodi Bimbingan dan

Konseling di Universitas Pendidikan Indonesia, antara lain oleh: Astati (tesis tahun 2001

mengenai role playing terhadap peserta didik hiperaktif), Nursyamsiah (skripsi tahun

2002 mengenai penggunaan permainan papan jahit pada peserta didik dengan hambatan

gerak), Vera, R.D. (skripsi tahun 2003 tentang penggunaan role playing dalam

pembelajaran), Handayani (skripsi tahun 2003 tentang Permainan Imajinatif untuk

pembelajaran Tunagrahita usia mental delapan tahun), Suprapto (skripsi tahun 2003

mengenai penggunaan media permainan menara gelang dalam pembelajaran tunagrahita

dengan umur mental enam tahun), Kartina Ina (skiripsi tahun 2004 mengenai permainan

puzzle-balok dlam pembelajaran), Sukmawati, T.M., skripsi tahun 2004 tentang

permainan tempurung kelapa dalam pembelajaran siswa tunanetra), Yani Mulyani

(skripsi tahun 2005 tentang penggunaan role playing untuk tunagrahita usia mental enam

tahun), dan Mery Krismas (skripsi tahun 2005 tentang permainan Flashcards dalam

pembelajaran pada siswa kelas satu) juga telah menunjukkan bahwa permainan yang

bersifat terapeutik dapat dijadikan media intervensi-guru dalam pembelajaran maupun

konseling terhadap peserta didik yang mempunyai hambatan perkembangan.

Alasan digunakannya permainan terapeutik sebagai bentuk intervens-guru

dalam pembelajaran individual disebabkan bermain dapat:

Page 199: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

199

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

1) digunakan sebagai diagnostik untuk memahami peserta didik

2) digunakan untuk mengembangkan kegiatan hubungan antara individu dengan orang

lain agar dapat berjalan baik

3) dipakai sebagai pengubah pola kegiatan hidup sehari-hari dan dapat mengatasi rasa

gelisah

4) bermain dapat membantu peserta didik saat melakukan verbalisasi perasaan-perasaan

melalui alat-main tertentu sesuai dengan keberadaan peserta didik bersangkutan

5) membantu peserta didik dalam memerankan perasaan bawah sadar dan dapat

menurunkan ketegangan yang menyertai perasaan bawah sadarnya

6) dipergunakan untuk mengembangkan minat bermain peserta didik usia rendah bagi

penyaluran kehidupan sehari-hari yang kemudian memperkuat kehidupan mereka di

masa depan (Schaefer & O’Connor, 1983:203).

Page 200: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

200

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

BAB VI

MODEL PEMBELAJARAN BAGI ANAK

DENGAN KEBUTUHAN KHUSUS

Model pembelajaran bagi anak dengan kebutuhan khusus seyogyanya

didasarkan atas kurikulum berbasis kompetensi yang dirancang berdasarkan kebutuhan

nyata oleh guru kelas agar dapat mengembangkan ranah pendidikan sebagai sasaran akhir

pembelajaran berupa pencapaian pengetahuan, keterampilan, sikap dan psikomotor

tertentu dari setiap peserta didik dalam seluruh jenjang dan jalur pendidikan. Model ini

menunjang “Gerakan Peningkatan Mutu Pendidikan” yang telah dicanangkan oleh

Menteri Pendidikan Nasional pada tanggal 2 Mei 2002.

Kompetensi merupakan perpaduan dari pengetahuan, keterampilan, nilai dan

sikap yang direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak seperti yang

dikemukakan oleh Mc Ashan (1981: 45) sebagai berikut.

“ ... is a knowledge, skills, and abilities or capabilities that a person achieves, which become part of his or her being to the extent he or she can satisfactorily perform particular cognitive, afective and psychomotor behavior”

Kompetensi yang harus dikuasai peserta didik perlu dinyatakan sedemikian rupa

agar dapat dinilai, sebagai wujud akhir hasil belajar peserta didik yang mengacu kepada

pengalaman langsung dirinya. Peserta didik perlu mengetahui tujuan belajar, dan tingkat-

tingkat penguasaan yang akan digunakan sebagai kriteria pencapaian secara eksplisit dan

memiliki kontribusi terhadap kompetensi-kompetensi yang sedang dipelajari.

Page 201: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

201

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

Beberapa aspek atau ranah yang terkandung dalam konsep kompetensi menurut

Gibson (1988:109), sebagai berikut.

a. Pengetahuan, yaitu kesadaran dalam bidang kognitif. Misalnya, seorang guru

mengetahui cara melakukan identifikasi kebutuhan belajar dan bagaimana melakukan

pembelajaran terhadap peserta didik sesuai dengan kebutuhannya.

b. Pemahaman, yaitu kedalaman kognitif dan afektif yang dimilki oleh individu.

Misalnya, seorang guru yang akan melaksanakan pembelajaran harus memiliki

pemahaman yang baik tentang karakteristik dan kondisi peserta didiknya agar dalam

proses pembelajaran berjalan secara efektif dan efisien.

c. Kemampuan, adalah suatu yang dimiliki oleh individu untuk melakukan tugas atau

pekerjaan yang dibebankan kepadanya. Misalnya, kemampuan guru dalam memilih

dan membuat alat peraga sederhana untuk memberi kemudahan belajar pesrta

didiknya.

d. Nilai, adalah suatu standar perilaku yang telah diyakini dan secara psikologis telah

menyatu dalam diri seseorang. Misalnya, standar perilaku guru dalam pembelajaran

apakah itu kejujuran, rasa demokratis, dan sebagainya.

e. Sikap, yaitu perasaan(senang-tidak senang, atau suka-tidak suka) atau reaksi terhadap

suatu rangsangan yang datang dari luar. Misalnya, reaksi terhadap krisis ekonomi,

perasaan terhadap kenaikan upah dan sebagainya.

f. Minat, adalah kecenderungan seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan.

Misalnya, minat untuk mempelajari atau melakukan sesuatu (dalam Mulyasa, E.,

2004:39).

Page 202: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

202

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

Keterampilan yang sangat penting dari seorang guru tersebut di atas, dapat

dimanfaatkan saat berlangsungnya pembelajaran, merupakan perilaku guru yang efektif.

Perilaku efektif berarti bahwa guru secara sistematik menyajikan kompetensi-kompetensi

yang efektif dalam berbagai situasi belajar. Pembelajaran yang efektif adalah

pembelajaran yang mampu mencapai sasaran kompetensi dengan memanfaatkan

kemampuan, minat dan kesiapan menerima pembelajaran dari setiap peerta didik.

Kompetensi-kompetensi sistem pembelajaran yang melandasi dalam proses

pembelajaran efektif berdasarkan pada konseptual model pembelajaran individual

(individual instruction). Pembelajatan individual meliputi enam elemen, yaitu: elicitors,

behaviors, reinforcers, entering behavior, terminal objective, dan enroute. Keenam

elemen konseptual model pembelajaran tersebut sangat berperan dalam proses

pembelajaran, diartikan sebagai berikut.

a. Elicitors (E): merupakan peristiwa atau kejadian yang dapat menimbulkan atau

menyebabkan perilaku. Dapat melalui: (a) peralatan pembelajaran, seperti alat

permainan, bentuk permainan edukatif, buku instrumen tes, gambar-gambar, alat tulis

crayon; (b) dapat juga berupa bentuk-bentuk: arahan, suruhan, permintaan,

demonstrasi atau seperangkat arahan-arahan/ petunjuk-petunjuk tertentu; (c) dapat

melalui orang dengan perilaku seperti: senyuman sebagai tanda persetujuan, atau

kerutan di dahi sebagai tanda tidak setuju. Penyebab perilaku dapat terjadi oleh salah

satu atau gabungan dari Elicitors tersebut di atas.

b. Behaviors atau perilaku ( B ), merupakan kegiatan peserta didik terhadap sesuatu

yang dapat ia lakukan, antara lain: berlari, berjalan, berbicara, menulis, menyusun/

Page 203: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

203

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

memasang papan permainan, membaca, menjawab pertanyaan, atau duduk di

kursinya.

c. A Reinforcers atau penguatan ( R ) adalah suatu kejadian atau peristiwa yang muncul

sebagai akibat dari perilaku dan dapat menguatkan perilaku tertentu yang dianggap

baik. Penguatan dapat berupa peningkatan kepuasan dari perilaku untuk masa depan.

Stimulus yang mengikuti perilaku yang tidak memuaskan atau yang tidak sesuai

tidak diberikan penguatan.

d. Entering Behavior atau kesiapan menerima pelajaran. Sebelum guru memulai untuk

melakukan kegiatan pembelajaran terhadap peserta didiknya. Sangat esensial bila

guru-kelas mengetahui kesiapan setiap peserta didiknya untuk memulai mengikuti

kegiatan pembelajaran. Kesiapan tersebut berupa kesiapan peserta didik untuk

melakukan tugas-tugas kegiatan akademik tertentu dan kegiatan belajar berkaitan

dengan perilaku-perilaku yang sesuai dengan situasi pembelajaran khusus, artinya

bahwa bentuk elicitors manakah dari setiap peserta didik dapat melakukan tanggapan,

perilaku manakah yang dimunculkan oleh setiap peserta didik, dan penguatan atau

reinforcers yang dapat memperkuat respon-respon yang diinginkan dan dapat

berguna.

e. Terminal Objective. Beberapa program pembelajaran seharusnya dapat menghasilkan

perubahan sebagai hasil akhir atau keluaran. Maka terminal objective dapat

menghubungkan antara tujuan yang satu dengan tujuan lainnya. Dapat dikatakan

secara singkat bahwa sebagai “sasaran antara” dari pencapaian suatu tujuan

pembelajaran yang bersifat tahunan.

Page 204: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

204

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

f. Enroute Objective. Merupakan langkah dari entering behavior menuju ke terminal

objective yang terbagi dalam beberapa langkah kegiatan pembelajaran, disebut

dengan enroute objectives. Setiap enroute objective dapat menggambarkan

pencapaian “sasaran antara” yang harus dicapai oleh setiap peserta didik sebelum

mereka pindah ke enroute objective berikutnya.

Model konseptual secara nyata akan memunculkan suatu proses kegiatan

pembelajaran yang menyediakan guru-kelas untuk dapat melakukan pengidentifikasian

terhadap:

(a) tingkat kemampuan akademik atau tingkat kemampuan sosial setiap peserta didiknya,

(b) arah tujuan dari pembelajaran,

(c) langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk mencapai sasaran.

Model dari proses pembelajarannya memungkinkan guru-kelas mampu:

(a) melakukan pengidentifikasian secara tepat pada setiap titik sasaran,

(b) kapan peserta didik mulai sesuai dengan entering behavior atau kesiapan menerima

pelajaran,

(c) enroute objectives yaitu suatu keadaan sesuai dengan urutan pembelajaran,

(d) dan the terminal objective (sasaran antara).

Rincian Elemen Konseptual Model dapat dilihat pada Gambar.1 dan Gambar 2. di bawah

ini.

Page 205: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

205

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

B R

E

Before Enroute Objective After

E B R

Before Enroute After

Objective

E B R

Before Enroute Objective After

Gambar 1. Elements of the Conceptual Model ( Peter, L.J., 1975:14)

Page 206: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

206

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

E B R

Before Terminal After

Objective

Classroom Instruction

Present Function

E B R

Befire Entering Behavior After

Gambar 2. Future Behavior

( Intended achievement at termination of program ) (Peter L.J., 1975:17)

Page 207: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

207

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

A. Model Pembelajaran Menggunakan Kurikulum Berbasis Kompetensi

Inti model pembelajaran bagi anak dengan kebutuhan khusus berdasarkan

kurikulum berbasis kompetensi (KBK) adalah mengembangkan lingkungan belajar

terpadu dari peserta didik bersangkutan dengan memperhatikan prinsip-prinsip umum dan

khusus.

Prinsip-prinsip umum pembelajaran meliputi: motivasi, konteks, keterarahan,

hubungan sosial, belajar sambil bekerja, individualisasi, menemukan, dan prinsip

memecahkan masalah.

Sedangkan prinsip-prinsip khusus disesuaikan dengan karakteristik spesifik dari

setiap penyandang kelainan peserta didik bersangkutan. Misalnya, untuk anak tunanetra

prinsip kekonkritan, prinsip pengalaman yang menyatu, prinsip belajar sambil

melakukan. Peserta didik tunarungu adalah prinsip: keterarahanwajahan. Untuk peserta

didik tunalaras: prinsip-prinsip yang diperlukan meliputi: kebutuhan dan keaktifan,

kebebasan yang mengarah, pemanfaatan waktu luang dan kompensasi, kekeluargaan dan

kepatuhan kepada orang tua, setia kawan dan idola serta perlindungan, minat dan

kemampuan, disiplin, kasih sayang. Untuk tungrahita diperlukan prinsip-prinsip

pembelajaran berkaitan dengan: (1) bentuk-bentuk atensi meliputi waktu-atensi, fokus,

dan selektifitas; (2) mediatoral, diantaranya menggunakann teknik yang efektif, teknik

yang bersifat khusus, dan intervensi guru yang khusus; (3) memperkuat daya ingatan atau

memori; (4), transfer atau penggeneralisasion terhadap: pengetahuan, keterampilan

terhadap tugas-tugas yang baru baginya, pemecahan masalah, belajar, pemberian

pengalaman-pengalaman (Smith et al., 2002:252).

Page 208: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

208

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

Model pembelaaan anak dengan kebutuhan khusus dengan memperhatikan

kurikulum berbasis kompetensi diperlukan komponen-komponen tertentu meliputi antara

lain: (1) rasional, (2) Visi dan Misi pembelajaran, (3) tujuan pembelajaran, (4) isi

pembelajaran, (5) pendukung sistem pembelajaran, dan (6) komponen dasar

pembelajaran.

1. Rasional

Layanan pendidikan dan pembelajaran untuk sekolah yang melayani anak

berkebutuhan khusus seyogyanya sejalan dan tidak terlepas dengan prinsip, kebijakan,

dan praktek dalam pendidikan berkebutuhan khusus, terutama setelah konferensi dunia di

Salamanca Spanyol pada tanggal 7-10 Juni 1994. Konferensi tersebut menghasilkan

perluasan gerakan pendidikan untuk semua (education for all). Selanjutnya hasil

konferensi dunia tersebut ditindaklanjuti dengan Deklarasi Dakar tahun 2000 yang

menjadi kerangka kerja dalam merespon kebutuhan dasar belajar warga masyarakat yang

menggariskan bahwa pendidikan harus menyentuh semua lapisan masyarakat tanpa

mengenal batas kelompok, ras, agama dan kemampuan potensial yang dimiliki oleh

peserta didik.

Perubahan tersebut sangat besar artinya serta mendasar, sehingga layanan

pendidikan terhadap anak berkebutuhan khusus tidak menutup kemungkinan untuk

memberikan hak anak untuk mendapatkan kesempatan (opportunity right), hak sebagai

makhluk Tuhan yang perlu mendapatkan kesejahteraan sosial (human right, social and

welfare right).

Page 209: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

209

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

2. Visi dan Misi

Bertitik tolak dari hasil pengamatan dan harapan kebutuhan di lapangan, maka

model pembelajaran bagi anak berkebutuhan khusus mengarah kepada visi dan misi

sebagai sumber pengertian bagi perumusan tujuan dan sasaran yang harus ditetapkan.

Visi pembelajaran berdasarkan kurikulum berbasis kompetensi, adalah

membantu peserta didik berkebutuhan khusus untuk dapat memiliki sikap dan wawasan

serta akhlak tinggi, kemerdekaan dan demokrasi, toleransi dan menjunjung hak azasi

manusia, saling pengertian dan berwawasan global (Muyasa, E. , 2004:19). Sasaran

utama sebagai hasil keluaran (out come) dari pembelajaran adalah kemampuan setiap

peserta didik dalam mengembangkan sikap, pengetahuan dan keterampilan sebagai

pribadi maupun anggota masyarakat dalam mengadakan hubungan timbal-balik dengan

lingkungan sosial, budaya, dan alam sekitar, serta dapat mengembangkan kemampuan

dalam dunia kerja atau mengikuti pendidikan lanjutan (Kurikulum Pendidikan Luar

Biasa, 1994:6).

Misi pembelajaran berdasarkan kurikulum berbasis kompetensi, adalah

pemberian layanan terhadap anak dengan kebutuhan khusus agar setiap peserta didik

yang mempunyai kelainan atau hambatan perkembangan menjadi individu yang mandiri,

beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi luhur, terampil, dan

mampu berperan sosial (Mulyasa,E., 2004:20). Dalam rangka mengantisipasi kehidupan

masa depan dari anak berkebutuhan khusus tersebut, maka intervensi-khusus yang

dipersiapkan oleh guru-kelas untuk pembelajaran harus mampu menyentuh semua aspek

perkembangan perilaku dan kebutuhan setiap peserta didik berkaitan dengan kompetensi

Page 210: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

210

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

yang merupakan perpaduan dari pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap yang

direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak.

3. Tujuan Pembelajaran Berdasarkan Kurikulum Berbasis Kompetensi

Berdasarkan visi dan misi pembelajaran berdasarkan kurikulum berbasis

kompetensi, dapat ditentukan tujuan dari pembelajaran, sebagai berikut:

a. Agar dapat menghasilkan individu yang mampu melakukan kegiatan sehari-hari tanpa

bantuan orang lain melalui kemampuan dirinya dalam menggunakan persepsi

pendengaran, penglihatan, taktil, gerak halus (fine motor) dan Gerak kasar (gross

motor).

b. Agar dapat menghasilkan individu yang mempunyai kematangan diri dan sosial.

Misalnya, dapat berinisiatif, dapat memanfaatkan waktu luang, cukup atensi, serta

bersikap tekun.

c. Menghasilkan individu yang mampu bertanggung jawab secara pribadi dan sosial.

Misalnya, dapat berhubungan dengan orang lain, dapat turut berperan-serta, dan dapat

melakukan suatu peran tertentu di lingkungannya.

d. Agar dapat menghasilkan individu yang mempunyai kematangan untuk melakukan

penyesuaian diri dan sosial. Misalnya, mampu berkomunikasi dengan orang lain

melalui kematangan berbahasa.

Page 211: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

211

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

3. Komponen Dasar Model Pembelajaran

Berdasarkan kepada visi dan misi, kebutuhan peserta didik secara khusus, dan

tujuan pembelajaran dengan menggunakan kurikulum berbasis kompetensi, isi layanan

pembelajaran dikelompokkan ke dalam bagian-bagian sebagai berikut:

a. Masukan terdiri atas: (1) Masukan Mentah, berupa Elicitors, behaviors, dan

reinforcers; (2) Masukan Instrumen, terdiri atas: program, guru-kelas, tahapan dan

sarana; (3) Masukan lingkungan, berupa: norma, tujuan, lingkungan, dan tuntutan.

b. Proses terdiri atas: Program Pembelajaran Individual, Pelaksanaan intervensi, dan

Refleksi hasil pembelajaran , dan Kurikulum berbasis kompetensi.

c. Keluaran berupa perubahan kompetensi setiap peserta didik yang mempunyai

kesulitan atau hambatan perkembangan diri.

Pendukung Sistem Model Pembelajaran Menggunakan Kurikulum Berbasis Kompetensi

Komponen pendukung sistem (the component system) adalah kegiatan-kegiatan

manajemen yang bertujuan untuk memantapkan, memelihara dan meningkatkan program

pembelajaran. Kegiatan-kegiatannya diarahkan kepada:

i. pengembangan dan manajemen program, dengan upaya meliputi: perencanaan,

pelaksanaan, penilaian, analisis, dan tindak lanjut program;

ii. pengembangan staf pengajar guna penguasaan terhadap aspek-aspek kompetensi

yang terdiri atas: pengetahuan, pemahaman, kemampuan, nilai, sikap dan minat;

iii. pemanfaatan sumber daya masyarakat dan pengembangan atau penataan terhadap

kebijakan dan petunjuk teknis.

Page 212: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

212

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

Untuk memperjelas model pembelajaran bagi anak dengan kebutuhan khusus dengan

menggunakan Kurikulum Berbasis Kompetensi dapat dilihat pada Diagram 6.1 di

halaman berikut.

Page 213: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

214

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

Diagram 6.1. Model Pembelajaran Anak dengan Kebutuhan Khusus

Page 214: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

1

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

Page 215: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

1

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

Page 216: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

1

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

Page 217: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

1

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

Page 218: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

1

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

Page 219: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

1

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

Page 220: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

1

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie

Page 221: Pembelajaran Anak Dengan Kebutuhan Khusus

1

Pembelajaran untuk Anak dengan Kebutuhan Khusus – Bandi Delphie