pembahasan lapkas emergesi

25
Ny. M, 58 tahun datang dengan keluhan nyeri dada sebelah kiri yang muncul mendadak pada saat pasien sedang berjalan didalam rumah dan semakin memberat 3 jam smrs. Nyeri dada dirasakan sebanyak 2x dimana nyeri dada pertama dirasakan > 5 menit dan nyeri dada kedua dirasakan > 15 menit. Nyeri dada dirasakan menetap, seperti ditimpa beban yang berat, tidak menjalar ke rahang sebelah kiri ataupun ke lengan sebelah kiri. Nyeri dada dapat hilang sebentar dengan istirahat sebentar, sebelum pasien dibawa ke RS. Keluhan mual (-), pusing (-), sakit kepala (-), sesak (-), berdebar-debar (+), badan lemah (+), kulit terasa dingin (+). Riwayat HT (-), Diabetes Mellitus (+), kolesterol (-), asam urat (-), merokok (-). Dari pemeriksaan tanda-tanda vital didapatkan ; keadaan umum : tampak lemah, kesadaran : compos mentis, TD : 100/70 mmHg, HR : 120x/menit, RR : 24x/menit, suhu: 36,5 C, Leher : peningkatan JVP (-), jantung : DBN, paru : DBN, ekstremitas : edema (-), perfusi perifer (look :pucat, feel : dingin, basah, CRT <2”). Pasien sempat diberikan pertolongan selama 45 menit berupa Resusitasi Jantung Paru (RJP) dan meninggal dunia dikarenakan apneu yang mendadak setelah pemeriksaan tanda- tanda vital terakhir didapatkan, TD : 60/40 mmHg, HR : sulit dinilai (teraba lemah), RR: 16x/menit, Temp: 36,3 mmHg, ekstremitas : perfusi perifer (look : pucat, Feel: dingin, basah, CRT >2”). Penyebab kematian dari pasien diduga dikarenakan syok kardiogenik et.causa infark miokard akut dengan Diabetes Mellitus tipe II. 1

Upload: dwi-permana-putra

Post on 05-Dec-2015

212 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

lapkas emer

TRANSCRIPT

Ny. M, 58 tahun datang dengan keluhan nyeri dada sebelah kiri yang muncul

mendadak pada saat pasien sedang berjalan didalam rumah dan semakin memberat 3 jam

smrs. Nyeri dada dirasakan sebanyak 2x dimana nyeri dada pertama dirasakan > 5 menit dan

nyeri dada kedua dirasakan > 15 menit. Nyeri dada dirasakan menetap, seperti ditimpa beban

yang berat, tidak menjalar ke rahang sebelah kiri ataupun ke lengan sebelah kiri. Nyeri dada

dapat hilang sebentar dengan istirahat sebentar, sebelum pasien dibawa ke RS. Keluhan mual

(-), pusing (-), sakit kepala (-), sesak (-), berdebar-debar (+), badan lemah (+), kulit terasa

dingin (+). Riwayat HT (-), Diabetes Mellitus (+), kolesterol (-), asam urat (-), merokok (-).

Dari pemeriksaan tanda-tanda vital didapatkan ; keadaan umum : tampak lemah, kesadaran :

compos mentis, TD : 100/70 mmHg, HR : 120x/menit, RR : 24x/menit, suhu: 36,5 C, Leher :

peningkatan JVP (-), jantung : DBN, paru : DBN, ekstremitas : edema (-), perfusi perifer

(look :pucat, feel : dingin, basah, CRT <2”). Pasien sempat diberikan pertolongan selama 45

menit berupa Resusitasi Jantung Paru (RJP) dan meninggal dunia dikarenakan apneu yang

mendadak setelah pemeriksaan tanda-tanda vital terakhir didapatkan, TD : 60/40 mmHg,

HR : sulit dinilai (teraba lemah), RR: 16x/menit, Temp: 36,3 mmHg, ekstremitas : perfusi

perifer (look : pucat, Feel: dingin, basah, CRT >2”). Penyebab kematian dari pasien diduga

dikarenakan syok kardiogenik et.causa infark miokard akut dengan Diabetes Mellitus tipe II.

Infark Miokard Akut (IMA) adalah kerusakan jaringan miokard akibat iskemia hebat

yang terjadi secara tiba-tiba. Kejadian ini berhubungan erat dengan adanya thrombus yang

terbentuk akibat rupturnya plak ateroma. Selama berlangsungnya proses agregasi, platelet

melepaskan banyak ADP, tromboksan A2 dan serorotonin. Ketiga substansi ini akan

menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah koroner yang aterosklerotik. Apabila keadaan

ini mengakibatkan oklusi serius pada arteri koroner, maka akan terjadi infark miokard. Secara

anatomi a.koronaria dibagi menjadi cabang epikardial yang memperdarahi epikard dan

bagian luar dari miokard, dan cabang profunda yang memperdarahi endokard dan miokard

bagian dalam. Apabila a.koronaria yang utama tersumbat, maka akan terjadi infark miokard

transmural yang mana kerusakan jaringannya mengenai seluruh dinding miokard.1

Patogenesis terjadinya IMA yang terdiri dan STEMI dan NSTEMI juga disebabkan

karena ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen di miokard akibat

atherosclerosis atau plak. Proses terjadinya fissure dan rupture plak adalah terjadi oklusi total

1

atau hampir total sering terjadi secara tiba-tiba pada arteri yang sebelumnya sudah

mengalami stenosis. Plak matur terbentuk dari dua komponen yaitu inti kaya lipid dan protein

matriks ekstraselular yang membentuk fibrous cap. Adanya penumpukan lemak yang

berlebihan serta inflitrasi sel busa berhubungan dengan fissure dan rupture plak. Sebagian

besar lesi ini mengalami rupture pada tempat yang mengalami stress mekanik yang paling

besar, misalnya pada daerah pertemuan plaque cap dengan intima normal sekitarnya, atau

pada daerah lengkungan penumpukan lemak. Fissure terbentuk pada daerah cap yang lemah

dan bukan pada bagian yang mengalami stress besar. Hal ini berhubungan dengan proteinase

yang disekresikan oleh makofag yang dapat merusak fibrous cap.1

Thrombosis local dapat terjadi setelah rupture plak. Inti lipid merupakan substrat

utama pembentukan thrombus yang kaya platelet. Otot polos maupun busa dalam inti

berhubungan dengan ekspresi tissue factor pada plak yang tidak stabil. Apabila terjadi kontak

dengan darah, tissue factor berinteraksi dengan faktor VIIa untuk memulai kaskade reaksi

enzimatik yang mengakibatkan terbentuknya thrombin dan penumpukan fibrin local.

Beberapa lesi vascular akut dapat pulih kembali jika fisura dapat diperbaiki oleh adanya

keseimbangan antara thrombosis dan trombolisis. Agregasi platelet dan pelepasan komponen

granuler yang dapat meningkatkan perlekatan platelet, vasokonstriksi dan pembentukan

thrombus merupakan respon yang terjadi alibat rupture dinding endotel. Faktor sistemik dan

inflamasi juga berperan pada terbentuknya intermitten thrombosis yang merupakan

karakteristik Sindrom koroner akut (SKA). Reaktan yang dilepaskan pada fase akut

inflamasi, sitokin, infeksi kronis dan katekolamin dapat menyebabkan rangsangan sistemik

yang dapat meningkatkan produksi tissue factor, aktivitas prokoagulan dan hiperagregabilitas

platelet. Walaupun bukan merupakan pathogenesis dasar SKA, vasospasme episodic dapat

mengubah plak arteri koroner yang sebelumnya stabil menjadi tidak stabil yaitu terjadi

rupture intima, penetrasi makrofag dan agregasi trombosit.1

Diagnosis untuk menegakkan IMA adalah adanya nyeri dada khas infark, perubahan

gambar EKG dan kenaikan biomarker jantung seperti enzim creatine kinase (CK) creatine

kinase myocardial band (CKMB), mioglobin dan troponin. Dari anamnesis yang didapatkan

bahwa pasien mengeluhkan nyeri dada yang dirasakan menetap seperti ditimpa beban yang

berat, tidak menjalar ke rahang sebelah kiri ataupun ke lengan sebelah kiri yang semakin

2

memberat 3 jam smrs. Nyeri dada dapat hilang sebentar dan kembali muncul lagi. Nyeri dada

dirasakan sebanyak 2x, dimana nyeri dada pertama berlangsung selama >5 menit, dan yang

kedua muncul selama lebih dari 15> menit. Selain itu pasien juga merasakan dada berdebar-

debar, tidak ada mual dan muntah. Pasien juga memiliki riawayat penyakit kolesterol dan

diabetes mellitus. Pada pemeriksaan fisik juga ditemukan hipptensi, kulit pucat dan

berkeringan.1

Menurut teori yang didapat, nyeri dada dapat dikatakan sebagai “angina pectoris”

akibat infark miokard dimana memiliki karakteristik yang khas yaitu berupa nyeri dada

substernal dan menjalar tangan kiri, bahu atau leher. Kualitas nyeri biasanya dirasakan

berupa nyeri timbul sebagai rasa tertindih, rasa berat atau seperti diremas-remas. Kuantitas

nyeri dirasakan lebih dari 20 menit dengan intensitas nyeri makin lama makin bertambah.

Tidak hilang dengan istirahat atau pemberian nitrat. Sebagian besar disertai gejala sistemik

seperti keringat dingin, mual, muntah, sesak, berdebar-debar atau lemas. Perlu diketahui juga

bahwa penderita pada umur lanjut atau diabetes mellitus, IMA dapat terjadi tanpa nyeri dada.

Bila telah terjadi komplikasi seperti gagal jantung, maka dapat ditemukan irama gallop atau

ronki basah. Bila terjadi aritmia dan hipotensi maka penderita mungkin tampak pucat

danberkeringat dingin. Kadang-kadang pasien IMA datang dengan keluhan nyeri ulu hati,

dada rasa terbakar atau rasa tidak nyaman di dada yang sulit digambarkan penderita.

Berhubungan dengan usaha reperfusi secepatnya dengan trombolitik (kurang dari 6 jam

setelah serang IMA) menentukan prognosis penderita IMA, sedangkan kenaikan enzim atau

perubahan EKG bisa baru terjadi sesudah 6 jam, sehingga dibenarkan untuk mendiagnosis

IMA berdasarkan 2 dari criteria diatas.1

IMA dibagi menjadi STEMI dan NSTEMI. Istilah NSTEMI digunakan pada

penderita dengan nyeri dada khas infark dengan bukti adanya kerusakan miokard tanpa

elevasi ST-Segmen. Dengan bertambah luasnya kerusakan miokard makan NSTEMI dapat

berubah menjadi STEMI. NSTEMI lebih sering menyebabkan kematian disbanding STEMI

karena kadang-kadang tidak terdiagnosis pada saat pasien masuk rumah sakit. Apabila

a.koronaria yang utama tersumbat, maka akan terjadi infark miokard transmural yang mana

kerusakan jaringannya mengenai seluruh dinding miokard. Pada EKG yang didapatkan dari

pasien, ditemukan gambaran ST depresi pada lead III, AVL, V4-V6, ST elevasi pada lead

3

I,III dan T-inverted pada lead AVF, VI-V3 dan Q patologis pada lead I, AVL. Menurut teori,

pada EKG tampak ST-Segmen elevasi dan gelombang Q-Patologis yang disebut ST-Segmen

Elevasi Miokard Infark (STEMI). Apabila hanya cabang profunda yang tersumbat atau

mungkin tidak tersumbat namun tiba-tiba terjadi peningkatan konsumsi oksigen yang hebat.

Maka kerusakan miokard terjadi hanya terbatas pada subendokard. Pada EKG tidak tampak

gelombang Q-patologis dan ST-Elevasi yang disebut Non ST-Segmen Elevasi Miokard

Infark (NSTEMI).1

Tabel 1. Hubungan antara lokasi infark dengan gelombang Q dan elevasi ST1

Lokasi Infark Gelombang Q / elevasi ST A. Koroner

Antero-septal V1 dan V2 LAD

Anterior V3 dan V4 LAD

Lateral V5 dan V6 LCX

Anterior-ekstensif I, aVL, V1-V6 LAD, LCX

High lateral I, aVL, V5 dan V6 LCX

Posterior V7-V9 (V1 & V2’ LCX PL

Inferior II, III dan Avf PDA

Right ventrikel V2R – V4R RCA

*Gelombang R yang tinggi dan depresi segmen ST di V1-V2 sebagai mirror image dari

perubahan sadapan V7-V9. LAD (left anterior descending artery); LCX (left circumflex); RCA

(Right coronary artery); PL (posterior left ventricular artery); PDA (posterior descending

artery)

Untuk mendiagnosis terjadinya IMA dapat juga dinilai dari kenaikan biomarker

jantung seperti CK, CKMB, mioglobin dan troponin. Tetapi pada pasien ini tidak dilakukan.

Kompleks troponin terdiri dari 3 subunit yaitu TnC, TnI dan TnT. Enzim ini mengatur proses

kontraktilitas miosit yang tergantung Ca++. TnT adalah yang paling sensitive dan dapat

terdeteksi di dalam darah dala waktu 2-4 jam setelah muncul gejala IMA. Nilai positif

troponin adalah diatas 0,1 ug/dl (normal 0,05 ug/dl). Creatine kinase myocardial band

(CKMB) adalah isoenzim dari CK yang lebih spesifik mewakili enzim miokard, maka

beberapa laboratorium mendiagnosis IMA bila kenaikan nilai CKMB (normal < 16 u/L atau

< 4% total CK) melebihi 6% dari CK (normal 32-267 u/L). Walaupun demikian, CKMB

4

merupakan enzim yang kurang spesifik dibandingkan dengan troponin. CKMB sangat

berguna untuk mendiagnosis re-infark.1

CKMB dibagi menjadi MB1 (berasal dari serum) dan MB2 (berasal dari miokard).

Ratio yang normal dari kedua isoenzim ini adalah 1,0. Apabila ratio MB2/MB1 >1,5 maka

diagnosis infark miokard dapat ditegakkan. Creatine kinase (CK) memiliki sensitivitas dan

spesifitas yang rendah untuk kerusakan otot jantung, karena enzim ini ditemukan di otot

skelet, otak, ginjal, paru dan jaringan organ lain. CK meningkat setelah 3-8 jam terjadi IMA,

mencapai konsemtrasi maksimal setelah 24 jam serangan, kemudian kembali ke nilai normal

setelah 72 jam serangan. False positive dapat terjadi pada miokarditis, perikarditis, trauma

miokard, penyakit kolagen yang mengenai miokard, dan trauma pada otot seperti miositis,

luka bakar, atau setelah dikerok. Enzim ini juga dapat meningkatkan pada hipotiroidisme,

gagal ginjal dan subarachnoid hemorrhage.1

Penatalaksaan untuk IMA, yaitu:1

a. Atasi nyeri dada dan perasaan takut, dengan cara:

Beri oksigen 2-4 liter/menit untuk meningkatkan suplai oksigen

Beri nitrat oral atau intravena untuk angina dengan cara sublingual dilanjutkan

dengan pemberian IV biasanya dapat mengatasi nyeri dada. Pemberian IV harus

dilakukan dengan infusion pump agar dosis dapat dititrasi dengan tepat. Apabila

tidak ada infusion pump sebagai gantinya dapat digunakan nitrat transdermal yang

dikombinasikan dengan preparat oral. Dosis awal nitrogliserin IV biasanya 5ug/menit

dan ditingkatkan (5-10ug/menit) setiao 5 menit sampai nyeri dada menghilang. Dosis

maksimal adalah 200ug/menit. Pemberian dosis besar (> 7ug/KgBB/menit) selama

beberapa hari dapat menimbulkan metheglobinemia. Dosis ISDN IV biasanya 1

mg/jam kemudian ditingkatkan sampai nyeri dada mereda. Agar perfusi miokard

tetap adekuat, maka selama pemberian nitrat IV tekanan darah sistolik tidak boleh

lebih rendah dari 100 mmHg dan diastolic tidak tidak boleh rendah dari 60 mmHg.

Apabila terjadi hipotensi, maka dosis nitrat harus diturunkan. Penghentian nitrat

harus dilakukan bertahap. Apabila nitrat IV masih belum berhasil menghilangkan

nyeri dada, dapat diberikan morfin (2,5 mg) atau pethidin (12,5 – 25 mg) secara IV.

5

Mencegah perluasan atau perkembangan thrombus intrakoroner. Berbagai studi

melaporka bahwa pemberian aspirin atau heparin atau kombinasi keduanya efektif

menurunkan kejadian serangan angina dan infark miokard pada penderita AP tak

stabil. Dosis aspirin menurut berbagai penelitian adalah 160-300 mg/ hari (dosis

tunggal). Clopidogrel loading dose 300 mg (4 tablet) juga dianjurkan pada pasien AP

tak stabil diikuti 75 mg/hari. Dosis heparin adalah 5000 unit (IV) bolus kemudian

dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 1000 unit/jam dalam infuse (pertahankan

aPTT 1,5-2 kali dari nilai control) selama 5 hari. Saat ini pemberiaan Low Molecule

Height Heparin (LMWH) lebih disukai dari pada heparin karena cara pemberiannya

mudah dan dosis tidak perlu disesuaikan dengan pemeriksaan aPTT setiap 6 jam.

LMWH diberikan satu atau dua kali sehari tergantung preparat selama 5 hari.

b. Stabilkan hemodinamik

Penderita dipuasakan pada 8 jam pertama serangan kemudian makanan lunak, dan

beri laksansia agar tidak mengedan. Selain itu penderita diharuskan istirahat dengan

tirah baring sampai 24 jam bebas angina. Tekanan darah dan laju jantung harus

dikontrol secara ketat dengan B-blocker dan atau ACE-inhibitors tergantung kondisi

pasien

B-blocker memiliki efek anti-iskemia, anti aritmia, anti adrenergic, anti trombotik

dan memperbaiki disfungsi ventrikel kiri (B-blocker tertentu) dengan demikian dapat

dipahami bahwa B-blocker menurunkan mortalitas pasien IMA. Hasil dari berbagai

uji klinis menunjukkan bahwa penderita IMA yang menerima atau yang tidak

menerima trombolitik, pemberian B-blocker pada jam pertama IMA dapat membatasi

perluasan infark, mengurangi resiko re-infark dan memperpanjang harapan hidup.

Apabila tidak ada kontraindikasi seperti gagal jantung, bradikardi, hipotensi,

hipoperfusi, asma aktif atau hiperreaktifitas jalan napas maka dianjurkan pemberian

B-blocker dalam 24 jam pertama onset gejala SKA. B-blocker short acting lebih

diprioritaskan sebab jika terjadi efek samping lebih cepat akan teratasi. Propanolol 10

mg dua kali sehari cukup efektif. Pada pasien yang memiliki penyakit obstruktif paru

kronis, DM, atau dislipidemia dapat diganti atenolol (50 mg/ tablet) dua kali 25 mg

atau 50 mg tergantung respon atau diganti dengan CCB seperti verapamil atau

diltiazem. Apabila angina masih tak stabil, maka diberi triple therapy yaitu, nitrat, B-

6

Blocker dan CCB. B-blocker long acting seperti bisoprolol sebaiknya diberikan

sesudah kondisi stabil.

c. Stabilkan plak dengan penggunaan STATIN. Dengan menghambat biosintesis kolesterol

serta meningkatkan ekspresi reseptor LDL di hepar, statin memiliki efek menurunkan LDL-

Kolesterol dan prekursornya dari sirkulasi. Disamping itu, statin memiliki efek pleiotropik

yaitu perbaikan fungsi endotel, anti-inflamasi, anti-proliferasi otot polos, anti-oksidan, anti-

trombosis dan stabilisasi plak, sehingga pemberian statin dianjurkan pada pasien SKA

dengan target kadar LDL < 70 mg/dL tanpa melihat usia. Dalam pencegahan komplikasi

usaha penanggulangan diatas adalah upaya pencegahan terhadap komplikasi. Komplikasi hari

pertama terjadinya IMA adalah aritmia dan gagal jantung. Selain itu dapat juga terjadi syok

kardiogenik, rupture septum atau dinding ventrikel, perikarditis, myocardial stunning dan

tromboemboli.

Aterogenesis yang dikarakteristik dengan remodeling arteri dan menimbulkan

akumulasi subendotel komponen lemak (plak), telah diketahui sebagai penyakit progresif dari

dinding pembuluh darah, yang menyebabkan reduksi diameter lumen hingga pada suatu

kondisi dimana beberapa platelet aktif cukup untuk menutup pembuluh darah dan

menghasilkan infark miokard akut. Perkembangan lesi aterogenesis ini dipertimbangkan

meliputi proses inflamasi yang kompleks. Tahap awal perkembangan plak dikenal dengan

disfungsi endotel, dimana hiperglikemia merupakan salah satu faktor resiko, selain interkasi

langsung dari sitokin peradangan jaringan, seperti TNF-α dan IL-6 mengaktifkan endotel.

Sel-sel inflamasi akan memasuki dinding pembuluh darah dan tahap ini dikenal dengan

pembentukan fatty streak, dimana otot polos vascular berproliferasi dan bermigrasi dari

media kedalam lesi yang menambah perkembangan lesi. Tahap berikutnya dikenal dengan

pembentukan lipid nekrotik, melalui apoptosis dan kematian sel, dan peningkatan aktivitas

proteolitik dan akumulasi lipid. Plak ini bersifat stabil dapat berubah menjadi tidak stabil,

yang dikarakteristik dengan inti lipid nekrotik yang besar, inflitrasi sel inflamasi dan kapsul

fibrous yang tipis dan rapuh.2

7

Gambar 1. Kerentanan pembuluh darah. Hiperglikemia, sitokin inflamasi jaringan,

disertai berbagai faktor resiko kardiovaskular mempengaruhi fase aterogenesis pasien

dengan diabetes, yang berkontribusi terhadap lesi komplikasi yang dapat rupture dan

menyebabkan kejadian koroner akut2

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa diabetes mellitus menyebabkan gangguan

selektif relaksasi tergantung endothelium pada pembuluh darah koroner, yang memberikan

efek diabetes terhadap sirkulasi koroner. Gangguan selektif relaksasi tergantung Endotelial

NO sintase (eNOS) juga tampak pada pembuluh darah mesenteric pada diabetes, yang

mengindikasikan diabetes meliitus menyebabkan gangguan selekif vasoreaktif tergantung –

NOS. hal ini memiliki implikasi penting pada abnormalitas vaskuler pada pasien diabetes

seperti iskemik perifer. eNOS yaitu suatu zat yang menghasilkan nitrit oksida (NO) melalui

oksidasi 5-elektron dari ujung guadinine-nitrogen dari L-arginine. NO berguna untuk

melindungi darah dari kerusakan endogen, seperti atelosklerosis, dengan memperantarai

sinyal molecular yang mencegah interaksi trombosit dan leukosit dengan dinding vascular

dan menghambat profiferasi dan migrasi sel otot polos vascular.2,3,4

8

Walaupun abnormalitas lipoprotein dipertimbangkan tidak meningkatkan resiko

penyakit vascular ada diabetes dibandingkan dengan non-diabetes, prevalensi abnormalitas

lipoprotein lebih tinggi pada pasien dengan diabetes tipe-2 dibandingkan dengan populasi

umum. Sekitar 80% diabetes akan mengalami dislipidemia. Kadar gula ang tinggi secara

sekunder menyebabkan abnormalitas seperti glikolisasi lipoprotein, yang meningkatkan

potensial aterogenik. Resistensi insulin merupakan abnormalitas primer yang menjadi faktor

predisposisi utama dari perkembangan penyakit vascular. 2,4,16 abnormalitas platelet dan

koagulasi darah juga dihubungkan dengan diabetes. Gangguan agregasi dan adhesi platelet

meningkatkan predisposisi infark miokard. Kadar fibrinogen plasma dan plasminogen

activator inhibitor-1 (PAI-1) tinggi pada pasien diabetes, yang dapat menimbulkan kondisi

hiperkoagulabilitas. Dijumpai peningkatan ekspresi glikoprotein Ib dan IIb/IIIa, menambah

interaksi fibrin-platelet dan faktor von-willebrand. Bioavailabilitas NO berkurang, faktor

koagulan seperti faktor jaringan,faktor VII, dan thrombin meningkat, dan antioagulan

endogen seperti trombomodulin berkurang.2,3

Gambar 2. Fungsi Platelet dan faktor koagulasi plasma pada diabetes.2

9

Hiperglikemia berhubungan dengan kondisi kritis (dikenal juga dengan stress

hiperglikemik atau stress diabetes) merupakan hubungan dari berbagai faktor, termasuk

peningkatan kortisol, katekolamin, glucagon, growth hormone, glukoneogenesis dan

glikogenolisis. Resistensi insulin juga dapat merupakan faktor yang berkontribusi dan dapat

dideteksi pada lebih dari 80% pasien dengan kondisi kritis. Pasien dengan kondisi kritis

medis dan bedah memiliki tingkat mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan pasien

normoglikemik.5

Pada pasien infark miokard, kurangnya insulin berhubungan dengan hiperglikemia

dapat menyebabkan penurunan substrat glikolitik untuk otot jantung dan asam lemak bebas

yang berlebih. Perubahan ini dapat mengurangi kontraktilitas miokard terhadap kebutuhan

oksigen, mengakibatkan kegagalan pompa dan menimbulkan aritmia. Pasien hiperglikemia

pada infark miokard dengan dan tanpa diabetes dapat merupakan faktor resiko yang potensial

dan penting untuk prognosis yang buruk. Penelitian yang ada telah menunjukkan bahwa

pasien tanpa diabetes yang mengalami stress hiperglikemik pada awal infark miokard akut

memiliki peningkatan resiko dari mortalitas selama perawatan rumah sakit dan gagal jantung

kongestif atau syok kardiogenik.6

Terapi insulin intensif (IIT) pada infark miokard akut dan kondisi kritis lainnya

merupakan strategi penanganan menggunakan infuse titrasi insulin dengan dosis yang

disesuaikan untuk menurunkan kadar gula darah secara ketat telah digunakan pada beberapa

penelitian. Penelitian yang telah ada mengevaluasi kegunaan IIT untuk mencapai control

glikemik pasien yang dirawat inap gagal memberikan hasil yang konsisten.7

Beberapa consensus umum dapat digunakan yaitu:

Kontrol glukosa dapat dimulai bila kadar gula darah diatas 180-200 mg.dL (10-11

mmol/L)

Hipoglikemia yang didefinisikan sebagai konsentrasi gula darah puasa dibawah 70

mg.dL (3,9 mmol/L) harus dihindari. Untuk menjamin keamanan, target terendah

untuk mempertahankan semua kadar gula darah >9—100 mg/dl (5-5,6 mmol/L)

Pasien kondisi kritis, seperti pada syok kardiogenik, yang timbul pada sebagian kecil

pasien dengan infark miokard akut direkomendasikan kadar glukosa darah

10

dipertahankan antara 140-180 mg/dL (7,8-10 mmol/L) dengan insulin intravena pada

pasien tersebut.8

Penyebab kematian pada pasien ini adalah syok kardiogenik, dimana merupakan sindrom

klinis akibat penurunan curah jantung yang menyebabkan hipoksia jaringan dengan volume

intravascular yang adekuat. Criteria hemodinamik yang digunakan untuk mengakkan syok

kardiogenik adalah:9

Penurunan curah jantung (<2.2 L/menit)

Hipotensi sistolik arteri (<90mmHg) atau Mean Arterial Pressure (MAP) berkurang

lebih dari 30 mmHg nilai normal

Peningkatan tekanan diastolic akhir ventrikel kiri (pulmonary capillary wedge

pressure/PCWP > 18 mmHg) atau tekanan diastolic akhir ventrikel kanan >10-

15mmHg.

Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang dilakukan pada pasien, ditemukan pasien

mengeluhkan nyeri dada, kebingunan, nadi teraba lemah, tekanan darah 60/40mmHg, tidak

ada distensi vena jugular, S3 gallop atau murmur. Menurut teori, tanda dan gejala klinis pada

syok kardiogenik dapat bervariasi sesuai etiologi yang mendasari. Pasien dapat mengeluhkan

nyeri dada, sesak napas, hingga perubahan status mental seperti; somnolen, kebingunan, atau

agitasi. Pada pemeriksaan tanda vital, nadi dapat teraba lemah dan cepat atau malah

bradikardia pada kasus blok konduksi jantung derajat berat. Tekanan sistolik menurun (<90

mmHg) dengan tekanan nadi yang menyempit (<30 mmHg). Pernapasan cheyne-stokes dan

distensi vena jugular juga dapat ditemukan. Pada auskultasi jantung dapat terdengar S3 gallop

dan atau murmur sistolik pada kasus regurgitasi mitral berat dan rupture septum ventrikel.

Dapat pula ditemukan bunyi ronki pada kasus gagal ventrikel kiri.9

Patofisiologi terjadinya syok kardiogenik yaitu diakibatkan penurunan kontraktilitas

miokardium, misalnya akibat iskemia atau infark sehingga curah jantung dan tekanan arteri

juga menurun. Secara skematis, patofisiologi disfungsi miokardium tersebut merupakan

akumulasi akibat disfungsi sistolik dan diastolic miokardium. Pada disfungsi sistolik terjadi

penurunan isi sekuncup dan curah jantung yang berdampak langsung pada penurunan perfusi

sistemik. Selain efek langsung terhadap perfusi sistemik, penurunan curah jantung juga

11

menurunkan perfusi arteri koroner sehingga terjadi iskemia dan kerusakan miokardium

menjadi semakin progresif. Normalnya respons fisiologis terhadap penurunan perfusi

sistemik adalah vasokonstriksi namun pada kasus miokard infark, terjadi pelepasan sitokin

inflamasi berupa pelepasan NO sehingga terjadi vasodilatasi. Beberapa sitokin inflamasi,

seperti IL-6 dan TNF-α menghambat mekanisme kompensasi vascular perifer sehingga

terjadi vasodilatasi. Respons vasodilatasi akan semakin menurunkan perfusi sistemik dan

koroner. Disfungsi diastolic akan berdampak pada peningkatan tekanan diastolic akhir

ventrikel kiri serta kongesti paru. Kondisi edema paru akan memperburuk fungsi miokardium

hingga terjadi kematian.10

Berikut adalah manajemen syok kardiogenik: (american heart association (AHA) 2004)

Pastikan airway dan breathing stabil. Posisikan pasien setengah duduk, pasang akses

vena dan kateter urin, serta berikan 02 hingga 8 L/menit melalui nasal kanul/sungkup

Pasang kateter arteri pulmonalis untuk melihat tekanan pengisian dan curah jantung

terutama pada pasien dengan hipotensi berat. Alternatifnya, Doppler ekokardiografi

dapat digunakan untuk memastikan diagnosis dan etiologi. Namun secara sederhana,

apabila syok masih diragukan sebagai kardiogenik atau hipovolemia dapat dilakukan

fluid challenge test : dengan memberikan cairan Ringer laktat 500 ml dalam 10

menit. Lalu nilai tanda-tanda perfusi jaringan. Jika terjadi perbaikan maka syok

terjadi karena hipovolemia dan sebaliknya untuk kardiogenik

Terapi medikamentosa. Meliputi pemberian inotropik dan vasopresor. Sesuai profil

farmakologisnya, noreepinefrin lebih terpilih pada kasus hipotensi yang sangat berat.

Hindari pemberian inotropik negative dan vasodilator (termasuk nitrogliserin) pada

kasus syok. Pada pasien yang seharusnya dilakukan adalah menangani syok

kardiogenik yang dikarenakan masalah pada pompa jantung. Bila TDS >100mmHg

berikan nitrogliserin 10-20Ug/menit IV, bila TDS > 100 mmHg tanpa tanda/gejala

syok berikan dobutamin 2-20ug/kgBB.menit IV, bila TDS 70-100 mmHg tanpa

tanda/ gejala syok berikan dopamine 2-20ug/KgBB/menit IV, bila TDS <70 mmHg

tanpa tanda/gejala syok berika noreepinefrin 0.5-30 ug/menit IV.

Apabila belum terdapat perubahan secara adekuat, pertimbangkan intervensi mekanik

seperti intra-aortic ballon counterpulsation (IABP). Balon pada IABP akan

12

mengembang balon saat fase sistolik (mengurangi afterload melalui efek vakum pada

balon)

Pada syok kardiogenik akibat infark miokardium, pertimbangkan prosedur reperfusi

segera dengan fibrinolitik, percutaneus coronary intervention (PCI) atau coronary-

artery bypass grafting (CABG).

13

Gambar 3. Acute Coronary Syndrome Algorithm (AHA,2010

14

BAB III

KESIMPULAN

Diabetes mellitus adalah sekelompok penyakit yang dikarakteristikan dengan produksi

insulin yang insufisiensi/inadekuat dan menimbulkan hiperglikemia, merupakan faktor resiko

yang kuat untuk perjalanan penyakit jantung koroner, penyaki vascular perifer, stroke dan

kegagalam jantung. Tiga komponen yang menyebabkan pasien diabetes memiliki resiko

tinggi untuk kejadian komplikasi kardiovaskular yaitu kerentanan pada pembuluh darah,

komponen darah dan miokard.

Pasien dengan kondisi infark miokard akut sering terjadi dalam keadaan stress hipoglikemik

yang memberikan resiko mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan kondisi normoglikemik.

Penelitian dan strategi control glukosa darah yang ketat belum berhasil memberikan manfaat

terhadap pasien, target glukosa darah dipertahankan antara 140-180 mg/dL, dengan nilai

dibawah meningkatkan resiko hipoglikemia.

Pasien dengan penyakit koroner disertai diabetes memerlukan strategi penanganan yang

komprehensif meliputi perubahan gaya hidup (berhenti merokok), aktivitas fisik, control

tekanan darah (<135/85 mmHg), penanganan dislipidemia (LDL <100 mg/dl), control gula

darah (HbA1c< 7%), pengaturan berat badan, pemberian antiplatelet/antikoagulan, ACE-

Inhibitor atau B-Blocker.

15

Daftar Pustaka

1. Peter K. Bagaimana menggunakan obat-obatan kardiovaskular secara rasional. Infark

miokard akut. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2012. Hal; 138-148

2. Hess K, Marx N, Lehrke M. Cardiovascular disease and diabetes : the vulnerable patient.

European Heart Journal Supplements 2012;14 (Suppl B) : B4-B13.

3. Clemmons DR. Diabetes Mellitus : An Important Cardiovascular Risk Factor. Principles of

Molecular Cardiology. Humana press, New Jersey. 2005: 563-574

4. Mayhan GW. Diabetic Vascular Disease. Heart Physiology and pathophyiology, 4 th ed,

Academic Press, Massachusetts, 2001: 1011-1030.

5. Stapleton RD, Heyland DK. Glycemic control and intensive insulin therapy in critical

illness. UpToDate 2011. www.uptodate.com

6. Capes SE, Hunt D, Malmberg K, Gerstein HC. Stress hyperglycemia and increased risk of

death after myocardial infarction in patients with and without diabetes: a systematic

overview. Lancert 2000; 355:773-778

7. Kansagara D, Fu R, Freeman M, Wolf F, Helfand M. Intensive insulin Therapy in

Hospitalized Patients : A systematic review. An intern Med. 2011; 154 : 268-282

8. Nesto RW. Inzucchi SE. Glycemic control for acute myocardial infarction in patients with

and without diabetes mellitus. UpToDate 2010. www.uptodate.com

9. Hochman JS, Ingbar DH. Cardiogenic and pulmonary edema. Dalam : Longo DL, Fauci

DL, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J. Penyunting: Harrison;s principles of internal

medicine. Edisi ke-18. New York: McGraw-Hill: 2012

10. Reynolds HR, Hochman JS. Cardiogenic shock; current concepts and improving

circulation. 2008; 117:686-97

16

17