pbl skenario 10 blok 18

21
Difteri Pada Anak Shienowa Andaya Sari 102012445 /B4 Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana [email protected] Pendahuluan Seperti yang kita ketahui pada anak, sistem imun yang terbentuk belum sempurna maka dari itu setiap anak diwajibkan imunisasi agar tidak rentan terhadap penyakit. Salah satu penyakit yang harus dicegah yaitu adalah difteri karena sangat berbahaya dan dapat menangancam jiwa. Anak dengan riwayat imunisasi tidak lengkap sangat rentan terhadap penyakit tersebut, karena itu agar penyakit difteri tidak menjadi lebih berat harus di diagnosis sedini mungkin dan diberikan terapi yang cepat dan tepat. Tinjauan pustaka ini diuat agar mahasiswan mampu mendiagnosis penyakit difteri dengan tepat, serta dapat memberikan pengobatan dengan cepat dan tepat pada anak yang menderita difteri, dan juga dapat melakukan pencegahan agar tidak terjadi komplikasi pada anak yangmenderita difteri, serta pencegahan berupa imunisasi terhadap anak yang tidak ataupun belum menderita difteri. Isi 1. Anamnesis 1

Upload: shansabelle

Post on 12-Sep-2015

40 views

Category:

Documents


26 download

DESCRIPTION

PBL Blok 18 Difteri Pada Anak Skenario 10

TRANSCRIPT

Difteri Pada AnakShienowa Andaya Sari102012445 /B4Fakultas KedokteranUniversitas Kristen Krida [email protected]

Pendahuluan Seperti yang kita ketahui pada anak, sistem imun yang terbentuk belum sempurna maka dari itu setiap anak diwajibkan imunisasi agar tidak rentan terhadap penyakit. Salah satu penyakit yang harus dicegah yaitu adalah difteri karena sangat berbahaya dan dapat menangancam jiwa. Anak dengan riwayat imunisasi tidak lengkap sangat rentan terhadap penyakit tersebut, karena itu agar penyakit difteri tidak menjadi lebih berat harus di diagnosis sedini mungkin dan diberikan terapi yang cepat dan tepat.Tinjauan pustaka ini diuat agar mahasiswan mampu mendiagnosis penyakit difteri dengan tepat, serta dapat memberikan pengobatan dengan cepat dan tepat pada anak yang menderita difteri, dan juga dapat melakukan pencegahan agar tidak terjadi komplikasi pada anak yangmenderita difteri, serta pencegahan berupa imunisasi terhadap anak yang tidak ataupun belum menderita difteri. Isi1. AnamnesisSebelum melakukan pemeriksaan terhadap pasien akan lebih baik melakukan anamnesis terlebih dahulu. Seperti kasus pada umumnya begitu pula difteri yaitu paada kasus difteri yang perlu ditanyakan adalah identitas pasien, keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit keluarga, lingkungan sosial dan berikut pertanyaan yang dapat diajukan untuk dapat mengetahui diagnosis.Agar mendapatkan informasi yang jelas maka kita harus bertanya sesuai keluhan utama dan keluhan penyerta lain agar mendapatkan informasi yang lebih akurat untuk menegakan diagnosis. Pada kasus didapatkan keluhan utama berupa seorang anak laki-laki berusia 3 tahun dibawa ibunya ke IGD dengan keluhan utama berupa sesak napas. Dispnea atau rasa sesak (breathlessness) adalah keluhan yang sering memerlukan penanganan darurat tetapi intensitas dan tingkatannya dapat berupa rasa tidak nyaman didada yang dapat membaik sendiri atau bahkan dapat berlanjut dimana pasien membutuhkan napas yang serius.1 Pertanyaan yang diberikan berkenaan dengan sesak nafas, seperti sejak kapan, apakah ada nyeri dada dan sebagainya. Keluhan penyerta atau sebelum mengalami sesak napas yaitu batuk-pilek sejak 1 minggu yang lalu, selain itu dua hari lalu anak mengalami demam disertai nyeri pada menelan, pasien juga diketahui tidak mau makan. Batuk adalah refleks napas yang terjadi karena adanya rangsangan reseptor iritan yang terdapat di seluruh saluran napas.1 Pada anamnesis ditanyakan permulaan, lama batuk bagaimana, apakah ada dahak atau tidak, apakah karena paparan lingkungan, adakah alergi adakah disertai pilek. Batuk yang berdahak biasanya menunjukan bahwa ada kelainan di saluran napas bagian bawah. Selain batuk, anak tersebut diketahui mengalami demam. Demam merupakan suatu gejala dimana terjadi keabnormalan pada suhu tubuh yaitu meningkatnya suhu tubuh yang dapat disebabkan berbagai macam gangguan seperti infeksi, reaksi vaksinasi, dan umumnya terjadi akibat gangguan pada hipotalamus.2 Pada pasien dapat ditanyakan sejak kapan, bersamaan atau terjadi setelah batuk, onsetnya kapan saja, apakah berkurang pada keadaan tertentu da sebagainya. Nyeri menelan dapat disebabkan karena adanya infeksi sehingga terjadi peradangan pada saluran tenggorokan sehingga anak merasakan tidak nyaman saat menelan dan anak menjadi malas makan dikarenakan sakit bila menelan makanan. Setelah keluhan yang menyertai riwayat penyakit, pada anak-anak penting untuk ditanyakan bagaimana riwayat imunisasinya apakah sudah lengkap atau belum agar memperudah menegakan diagnosis. Pada kasus pasien dinyatakan leh ibunya bahwa riwayat imunisasi tidak lengkap. Selain menanyakan riwayat imunisasi, tanyakan juga riwayat pemakaian obat, riwayat penyakit keluarga, bagaimana lingkungan sosial, dan sebagainya. 2. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik yang dilakukan pada pasien difteri adalah pemeriksaan tanda-tanda vital yang meliputi tekanan darah, frekuensi napas, suhu, dan nadi serta mengamati keadaan umum juga melakukan pemeriksaan faring dan rongga mulut, serta toraks paru berupa inspeksi, palpasi, dan auskultasi.3,4

Pemeriksaan Faring dan Rongga MulutDengan lampu kepala yang diarahkan ke rongga mulut dilakukan inspeksi pada bagian luar bibir dengan memperhatikan warna, kelembapan dan apakah ada kelainan seperti benjolan, ulkus, fissura dan sebagainya. Setelah itu, dilihat ke dalam rongga mulut dengan menekan bagian tengah lidah dengan memakai spatula lidah supaya rongga mulut jelas terlihat. Dilihat pada mukosa oral seperti warna, ulkus, bercak-bercak putih dan juga nodul. Warna palatum durum juga diobservasi. Pemeriksaan diteruskan dengan melihat keadaan dinding belakang faring serta kelenjar limfe, uvula, arkus faring serta gerakannya, tonsil, gusi dan gigi geligi pasien.3Untuk melihat keadaan faring dengan lebih jelas, pasien diminta mengucapkan huruf A. Keadaan faring dinilai dengan warna; apakah dinding faring hiperemis, apakah simetris, apakah terdapat luka, eksudat, pembengkakan, ulserasi atau oedema tonsil. Palpasi rongga mulut diperlukan bila ada massa tumor, kista dan lain-lain.3Pemeriksaan Toraks ParuInspeksi adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan cara melihat bagian tubuh yang diperiksa melalui pengamatan. Lihat pada kulit toraks apakah terdapat benjolan, pelearan kapiler (spider nevi), peruahan warna kulit dan sebagainya. Selain itu lihat bentuk toraks bentuk simetris atau asimetris, perhatikan deformitas yang tampak apabila terlihat adanya deformitas, seperti pectus excavatum (Funnel chest), pectus carinatum (pigeon chest), barrel chest, kyphoscoliosis, dan sebagainya. Amati dinding toraks pada saat pasien melakukan inspirasi serta ekspirasi apakah toraks simetris atau asimetris antara kanan dan kiri.4 Palpasi adalah suatu teknik yang menggunakan indera peraba. Perabaan dilakukan pada permukaan toraks, dan sela iga pasien diminta untuk melaporkan apakah pada perabaan terasa nyeri atau tidak.4Perkusi adalah pemeriksaan dengan jalan mengetuk bagian permukaan tubuh tertentu untuk membandingkan dengan bagian tubuh lainnya (kiri kanan) dengan tujuan menghasilkan suara. Perkusi normal pada paru akan terdengar suara sonor pada kedua lapangan paru, kecuali daerah jantung. Bila pada perkusi terdengar pekak (dullness) pada salah satu bagian paru, maka hal ini dapat disebabkan adanya cairan atau jaringan solid yang mengganti jaringan paru, misalnya pada pneumonia lobaris dimana alveoli penuh dengan cairan dan sel darah, dapat pula efusi pleura hemotoraks dan lain-lain. Bila suara perkusi terdengar hipersonor, dapat trsengar pada keadaan dimana paru-paru dipenuhi lebih banyak udara, seperti pada asma.4 Auskultasi adalah pemeriksaan fisik yang dilakukan dengan cara mendengarkan suara yang dihasilkan oleh tubuh. Biasanya menggunakan alat yang disebut dengan stetoskop bertujuan untuk mendengarkan adanya bising abnormal pada paru seperti wheezing, ronchi, crackles, stridor, friction rub, dan lain-lain.4Pada pemeriksaan fisik didapatkan hasil yaitu keadaan utama sakit berat, compos mentis, agitasi. Pada auskultasi dinyatakan stridor positif. Pemeriksaan faring dan rongga mulut ditemukan adanya selaput dikedua tonsil dan apabila selaput diangkat tonsil berdarah. 3. DiagnosisSeperti yang telah kita ketahui diagnosis terbag menjadi diagnosis kerja (working diagnosis) dan diangnosis banding (differential diagnosis). Diagnosis kerja pada kasus ini yaitu difteri. Sedangkan diagnosis bandingnya berupa abses peritonsil, abses retrofaringeal, angina plaut Vincent. Diagnosis Kerja Difteri adalah suatu penyakit infeksi mendadak yang disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae.5,6,7 Penyakit tersebut mudah menular dan terutama sering menyerang traktus respiratorius bagian atas dengan terbentuknya tanda khas yaitu terbentuknya eksudat yang membentuk membrane pada jaringan yang terinfeksi atau pseudomembran dan dilepaskannya eksotoksin yang dapat menimbullkan gejaa umum dan lokal. Infeksi ini biasanya disebarkan melalui percikan ludah dari orang-orang yang terinfeksi atau karier-karier yang sehat. Diagnosis dapat ditegakan dengan ditemukannnya Corynebacterium diphtheria pada preparat atau biakan langsung. KlasifikasiPenyakit difteri terbagi menurut tempat jaringan yang terkena infeksi. Pembagian berdasarkan berat ringannya penyakit menurut Beach dkk. (1950) yaitu berupa infeksi ringan, infeksi sedang, dan infeksi berat.5Pada infeksi ringan pseudomembran yang terbentuk sebatas pada mukosa hidung dengan gejala hanya nyeri menelan. Pada infeksi sedang pseudomembran meluas sampai ke dinding posterior faring dengan edema ringan laring yang dapat diatasi dengan pengobatan konservatif. Sedangkan pada infeksi berat akan disertai dengan tersumbatnya jalan napas yang berat, dan hanya bisa diatasi dengan trakestomi. Dapat juga terjadi gejala komplikasi miokarditis, paralisis, atau pun nefritis dapat menyertainya. Gejala KlinisMasa inkubasi pada difteri yaitu 2 sampai 7 hari. Kemudian timbulah gejala berupa gejala klinis maupun local serta gejala akibat eksotoksin pada jaringan yang terkena.5 Gejala umum berupa demam yang tidak terlalu tinggi, lesu, pucat, nyeri kepala, anoreksia sehingga anak akan terlihat sangat lemah. Gejala seperti ini biasanya disertai gejala khas untuk setiap bagian yang terkena seperti pilek, nyeri menelan, sesak nafas dengan serak dan stridor. Sedangkan gejala akibat sitotoksin bergantung pada jaringan yang terkena seperti miokarditis, paralisis jaringan saraf yaitu terjadi kerusakan myelin dan edema pada akson, serta nefritis pada ginjal. Beratnya penyakit tergantung pada imunitas pasien terhadap toksin difteri, virulensi dan toksigenitas bakteri, lokasi penyakit, usia karena semakin muda usia anak maka akan semakin berat gejala yang dapat timbul, serta ada atau tidaknya penyakit lain yang menyertai.5Difteri hidung mempunyai gejala yang paling ringan serta jarang. Mula-mula hanya tapak pilek, tetapi kemudian secret yang keluar tercampur darah sedikit yang berasal dari pseudomembran. Penyebaran dapat pula mencapai faring dan laring. Pengobatan yang diberikan sama seperti difteri pada umumnya.5Difteri faring dan tonsil (difteri fausial) adalah difteri yang paling sering dijumpai. Gejala termasuk ringan yaitu berupa radang pada selaput ledir dan tidak membentuk pseudomembran sedangkan diagnosis dapat dibuat atas dasar hasil biakan yang positif. Apabila sisitem imun pasien baik maka dapat sembuh sendiri. Pada gejala yang lebih berat dengan demam yang tidak terlalu tinggi dapat ditemukan pseudomembran yang berawal dari bercak putih kemudian meluas hingga nasofaring ataupun laring. Ditemukan nafas berbau dan timbul pembengkakan kelenjar regional sehingga leher tampak seperti leher sapi (bull neck).5Difteri laring dan trakea merupakan kasus tersering sebagai penjalaran dari difteri faring dan tonsil daripada primer megenai laring. Gejala gangguan nafas berupa suara serak dan stridor inspirasi jelas bila berat dapat timbul sesak nafas hebat, sianosis, dam tampak retraksi suprasternal serta epigastrium. Terdapat pembesaran kelenjar regional (bull neck). Pada pemeriksaan, laring akan tampak kemerahan, sembab, secret dan permukaan akan banyak diselubungi oleh pseudomembran. Apabila anak dengan sesak nafas hebat dan payah bernapas maka segera lakukan trakeostomi sebagai pertolongan pertama.5Difteri kutaneus merupakan keadaan yang lebih jarang sekali didapat. Tan Eng Tie (1965) mendapatkan 30% infeksi kulit yang diperiksanya mengandung kuman difteri. Dapat timbul di daerah konjungtiva, vagina dan umbilicus.5Diagnosis BandingAbses PeritonsilAbses peritonsil terjadi sebagai akibat komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang bersumber dari kelenjar mucus Weber di kutub atas tonsil. Biasanya kuman penyebabnya sama dengan kuman penyebab tonsilitis. Biasanya unilateral dan lebih sering pada anak-anak yang lebih tua dan dewasa muda.5Abses peritonsiler disebabkan oleh organisme yang bersifat aerob maupun yang bersifat anaerob. Organisme aerob yang paling sering menyebabkan abses peritonsiler adalah Streptococcus pyogenes (Group A Beta-hemolitik streptoccus), Staphylococcus aureus, dan Haemophilus influenzae. Sedangkan organisme anaerob yang berperan adalah Fusobacterium. Prevotella, Porphyromonas, Fusobacterium, dan Peptostreptococcus spp. Untuk kebanyakan abses peritonsiler diduga disebabkan karena kombinasi antara organisme aerobik dan anaerobik.8Abses RetrofaringealAbses retrofaring yang paling sering terjadi pada anak-anak yang berusia lebih muda, seringkali merupakan sekuel infeksi saluran pernapasan atas dengan supurasi kelenjar getah bening retrofaring yang membentuk abses. Penyakit ini dapa pula disebabkan oleh trauma tembus. Abses ini bermanifestasi sebagai nyeri tenggorokan akut disertai demam tinggi, kaku leher, dan kadang kadang gangguan pernapasan.9Pembengkakan lebih nyata pada satu sisi, menimbulkan pembengkakan leher ipsilateral yang nyeri tekan disertai limfadenitis servikal yang nyeri tekan. Pada pemeriksaan, sering ditemui dinding faring membengkak dan eritematosa. Pencitraan diagnostik dapat berupa rontgen jaringan lunak leher lateral atau CT scan leher yang dapat membedakan selulitis dengan abses. Organisme piogenik sering kali menjadi penyebab dan pengobatannya adalah insisi bedah intraoral atau ekstraoral serta drainase dengan proteksi jalan napas untuk mencegah aspirasi bahan purulen. Terapi antibiotik intravena harus diberikan setelah drainase bedah.9Angina Plaut VincentPenyakit ini disebabkan karena kurangnya hygiene mulut, defisiensi vitamin C serta kuman spirilum dan basil fusi form.9 Penyakit ini biasanya ditandai dengan demam sampai 390C, nuyeri kepala, badan lemah, dan terkadang terdapat gangguan pencernaan. Rasa nyeri di mulut, hipersalivasi, gigi, dan gusi berdarah. Mukosa mulut dan faring hiperemis, tampak membrane putih keabuan di atas tonsil, uvula, dinding faring, gusi serta prosesus alveolaris, mulut berbau dan kelenjar submanibula membesar. 8,9Terapi yang dilakukan terutama adalah memperbaiki hygiene mulut, kemudian memberikan antibiotika spectrum lebar selama 1 minggu, juga pemberian vitamin C dan B kompleks.9

4. Pemeriksaan PenunjangDiagnosis yang telah ditegakan dapat dipastikan dengan pemeriksaan penunjang. Pada difteri sebaikanya ditegakan sedini mungkin berdasarkan manifestasi klinis yang khas karena apabila terlambat dapat mengakibatkan penyakit berlanjut, berat dan fatal.7 Pemeriksaan yang dilakukan dapat berupa pemeriksaan darah, pemeriksaan laboratorium kemudian melakukan Schick test.Pada pemeriksaan darah terdapat penurunan kadar hemoglobin, kadar leukosit dapat meningkat atau norma, kadang terjadi anemia karena hemolisis sel darah merah. Penurunan jumlah eritrosit, dan kadar alumin. Pada urin terdapat albuminuria ringan. Pemeriksaan laboratorium yaitu pemeriksaan langsung spesimen denngan menggunakan pewarnaan methylene blue, pewarnaan gram, dan imunoflouresens. Tetapi pemeriksaan tersebut tidak memberikan hasil yang pasti, karena apabila ditemukan hasil negatif diagnosis tidak dapat disingkirkan. Sehingga pemeriksaan laboratrium akan dilanjutkan dengan pemeriksaan kultur agar dapat memastikan diagnosis.7 Pemeriksaan ini membutuhkan waktu dan media yang selektif, yaitu media selektif Loeffler, media Tellurite, dan agar tindale maka akan tumbuh koloni Corynebacterium diphtheriae yag berwarna hitam yang dikelilingi oleh warna abu-abu kecokelatan. Kultur ini dapat membedakan 3 tipe koloni yang menunjukan isolasi dari tiap tipe toksigenik. Pemeriksaan kultur dan sensitifitas dilakukan pada saat sebelum dan sesudah pengobatan untuk meyainkan tidak terjadinya resistensi antibiotik.7 Schick test dilakukan untuk menentukan ada atau tidak adanya antibodi terhadap toksin difteri (antitoksin). Uji ini berguna untuk kasus difteri ringan dan kasus yang mengalami kontak dengan difteri sehingga dapat diobati secara sempurna. Tetapi uji ini tidak dianjurka untuk mediagnosa difteri secara dini, karena membutuhkan waktu untuk membaca hasilnya.7 Pada Pemeriksaan penunjang usap tenggorok ditemukan bakteri batang gram positif.

5. EtiologiDifteri disebabkan Corynebacterium diphtheriae yang mempunyai diameter sebesar 0,5-1 m dan pajang beberapa micrometer. Bakteri ini mempunyai gambaran seperti gada pada satu ujungnya, didalam batangnya tersebar granula tidak teratur dan memberikan gambaran manik-manik.10

Gambar 1. Corynebacterium diphtheriae10Corynebacterium diphtheriae merupakan bakteri gram positif yang bersifat polimorf, aerob, tidak bergerak dan tidak membentuk spora serta merupakan anggota flora normal kulit dan membrane mukosa manusia tetapi juga suatu organisme yang menghasilkan eksotoksin kuat yang dapat menginfeksi manusia.10 Bakteri tersebut dapat mati dala pemanasan 600C selama 10 menit, tahan bertahan beberapa minggi dalam es, air, susu yang mongering. Basil ini hanya tumbuh pada medium tertentu seperti medium Loeffler, medium tellurite, medium fermen glukosa, dan tindale agar. Pada medium Loeffler basail akan tumbuh dengan cepat membentuk koloni-koloni kecil, granular dan berwarna hitam dan dikelilingi warna abu-abu cokelat. Ada tiga biotipe Corynebacterium diphtheria yaitu gravis, mitis, dan intermediate.7,10 Gravis mempunyai koloni besar, kasar, ireguler, berwarna abu-abu dan tidak menimbulkan hemolisis eritrosit. Mitis mempunyai koloni kecil, halus, berwarna hitam, konveks dan dapat menimbulkan hemolisis eritrosit. Kemudian intermediate mempunya kolini kecil, halus, mempunyai bintik hitam ditengahnya dan dapat menimbulkan hemolisis eritrosit. Ketiganya akan membentuk koloni dalam biakan agar darah yang mengandung tellurite.7Seperti yang sudah dikatakan sebelumnya bahwa basil dapat membentuk pseudomembran dan eksotoksin. Pseudomemberan yang dibentuk oleh bakteri ini sulit diangkat, mudah berdarah, dan berwarna putih keabu-abuan yang meliputi daerah yang terkena. Terdiri dari fibrin, leukosit, jaringan nekrotik, dan basil. Sedangkan eksotoksin yang dihasilkan sangat ganas dan dapat meracuni jaringan setelah beberapa jam diabsorbsi dan memberikan gambaran perubahan yang khas pada otot jatung, ginjal, dan jaringan saraf.5

6. PatogenesisOrganisme ini ditularkan melalui droplet atau kontak dengan manusia yang rentan, bakteri kemudian tumbuh pada membran mukosa atau pada kulit yang mengalami abrasi, dan jenis toksigent mulai memproduksi toksin.7Toksin difteri diarbsorbsi ke dalam membrane mukosa dan menyebakan destruksi epitel dan respon inflamasi superficial. Epitel yang mengalami nekrotik mendjadi terbenam didalam firbrin dan sel darah merah dan putih yang bereduksi sehingga terbentuk pseudomembran keabu-abuan biasanya menutupi tonsil, faring ataupun laring. Setiap usaha untuk mengangkat pseudomembran, menyingkap dan merobek kapiler sehingga akan terjadi pendarahan. Kelenjar regional di leher membesar dan mungkin terdapat edema nyata diseluruh leher. Bakteri terus memproduksi toksin secara aktif di dalam membrane. Hingga toksin diserap dan menghasilkan kerusakan toksik, terutama degenerasi parenkimatosa, infiltrasi lemak, dan nekrosis pada otot jantung, hati, ginjal dan adrenal, kadang-kadang dsertai pendarahan nyata. Toksin juga dapat menyebabkan kerusakan saraf sehingga efek yang ditimbulkan berupa paralisis palatum mole, otot-otot mata, atau ekstremitas.7,10

7. EpidemiologiPenyakit difteri tersebar diseluruh dunia terutama pada negara berkembang dimana masih banyak terdapat tempat-tempat pemukiman dengan hygiene dan sanitasi yang buruk serta kurangnya fasilitas kesehatan.5,7Faktor resiko tinggi yang dapat terinfeksi difteri adalah tidak mendapat imunisasi atau riwayat imunisasi tidak lengkap, orang dengan immunocompromised seperti sosial ekonomi yang rendah pada populasi anak jalanan, pemakaian obat imunosupresif, penderita HIV, diabetes mellitus, pecandu alcohol dan narkotika. Orang yang tinggal di tempat-tempat padat penduduk, serta tempat penampungan, serta melakukan perjalan ke tempat dimana sebelumnya merupakan daerah endemic difteri.7 Sebelum program imunisasi berkembang, difteri merupakan penyakit pada masa anak-anak. Golongan umur yang sering terkena yaitu antara 2 sampai 10 tahun, sedangkan pada bayi diawah 6 bulan jarang ditemukan karena bayi masih mendapat imunisasi pasif dari ibunya dan pada dewasa yang berumur diatas 15 tahun karena sudah mendapatkan imunisasi pada masa kecilnya.7Setelah diadakannya program imunisasi angka penyakit difteri menurun, tetapi meningkat pada dewasa dikarenakan adanya infeksi sekunder yang disebabkan tidak lengkapnya imunisasi yang dilakukan serta mningkat pula pada keadaan immunocompromised pada pecandu alcohol dan narkoba. Penyakit difteri juga lebih sering terkena pada wanita dibandingkan dengan laki-kali karena sistem imun yang lebih rendah.7

8. PenatalaksanaanPenatalaksanaan atau terapi yang dilakukan dapat berupa terapi farmakologi terbagi menjadi dua yaitu terapi umum dan terapi spesifik.Terapi UmumTerapi umum yang dilakukan terdiri dari perawatan yang baik,tirah baring, isolasi penderita dan pengawasan seketat mungkin agar tidak terjadi komplikasi antara lain dengan pemeriksaan EKG setiap minggu.5Terapi SpesifikTerapi spesifik bertujuan untuk membunuh bakteri penyebab, serta menetralisasi toksin yang dihasilkan dari bakteri. Terapi spesifik terdiri dari Anti Difteri Serum (ADS), antibiotika, kortikosteroid.5,7Anti Difteri Serum (ADS) diberikan sebanyak 20.000 U/hari selama 2 hari berturut-turut dengan sebelumnya dilakukan uji kulit dan mata Bila ternyata pasien peka terhadap serum tersebut harus dilakukan desentisisasi dengan cara besredka, dengan cara : 0,05 ml dari larutan pengenceran 1:20 diberi secara SC 0,1 ml dari larutan pengenceran 1:20 diberi secara SC 0,1 ml dari larutan pengenceran 1:10 diberi secara SC 0,1 ml tanpa pengenceran diberi secara SC 0,3 ml tanpa pengenceran diberi secara IM 0,5 ml tanpa pengenceran diberi secara IM 0,1 ml tanpa pengenceran diberi secara IVAntibiotic. Diberikan penisilin prokain 50.000 U/kg bb/ hari sampai 3 hari bebas demam. Pada pasien yang dilakukan trakeostomi ditambahkan kloramfenikol 75 mg/kg bb/hari dibagi 4 dosis.Kortikosteroid dimaksudkan untuk menceah timbulnya komplikasi miokarditis yang sangat berbahaya. Dapat diberikan prednisone 2 mg/kgbb/hati selama 3 minggu yang kemudian dihentikan secara bertahap.Pada penderita difteri harus dirawat 3 sampai 4 minggu. Apabila terdapat sumbatan jalan napas maka dipertimbangkan tindakan trakeostomi agar dapat menyelawatkan jiwa penderita. Perawatan pasca-trakeostomi penting seperti melakukan penghisapan lendir secara teliti dan hati-hati, sebab dilakukan secara tidak teliti dan hati-hati dapat menybabkan kematian. Intubasi juga dapat dilakukan apabila mengalami sumbatan napas. Apabila trjadi komplikasi paralisis atau paresis otot, dapat diberikan sriknin mg da vitamin B1 100 mg selama 10 hari berturut-turut.9. PencegahanPencegahan yang dapat dilakukan berupa isolasi penderita, serta pencarian dan pengobatan pada carier difteria, dan imunisasi.5 Pederita difteria harus diisolasi dan baru dapat dipulangkan setelah pemeriksaan sediaan langsung menunjukan tidak terdapat lagi Corynebacterium diphtheria 2 kali berturut-turut. Pencarian dan pengobatan pada carier difteria dialkukan dengan Schick test yaitu bila hasil uji negatif (mungkin penderita carrier atau pernah mendapat imunisasi), maka harus dilakukan hapusan tenggorok. Bila ditemukan Corynebactrium diphtheria penderita perlu diobati dan bila perlu dilakukan tonsilektomi.Cara yang paling baik untuk melakukan pencegahan adalah dengan pemberian imunisasi aktif secara lengkap pada anak-anak. Pada difteri belum tersedia adanya antigen tunggal sehingga masih diberikan bersamaan dengan vaksin tetanus dan pertusis disebut diphtheria tetanus acellular pertusus vaccine (DTaP) untuk anak-anak pada dewasa yaitu tetanus diphtheria vaccine (TD).5,7DTaP atau yang dikenal sebagai DTP diberikan dengan dosis 0,5 ml subkutan dalam atau intramuscular. Pada masa anak-anak diberikan pada usum 2 bulan, 4 bulan, 6 bulan, dan 15-16 bulan serta pada umur 5 tahun. Selanjutnya tiap 5 tahun sampai umur 15 tahun hanya diberikan vaksin TD atau bila ada kontak dengan difteri.5,7

10. KomplikasiKomplikasi pada penderita difteri dipengaruhi oleh keadaan virulensi dari basil difteri, luas merman yang terbentuk, jumlah toksin yang diproduksi, waktu antara mulai timbulnya penyakit sampai pemerian antitoksin. Komplikasi yaitu kegagalan pernafasan, miokarditis, neuritis, pneumonia bakterialis sekunder, aritmia, enselopati anoksik, sepsis.5,7

11. PrognosisMenurut Nelson 3 sampai 5 % kematian pada penderita difteria bergantung kepada umur penderita karena semakin muda umur anak prognosis semakin buruk. Perjalanan penyakit karena makin lanjut dan semakin berat maka prognosis semakin buruk. Letak daripada lesi difteri juga berpengaruh terhadap prognosis. Dilihat juga keadaan umum penderita, apabila anak kurang gizi maka prognosis akan buruk. Selain itu pengobatan juga mempengaruhi prognosis karena semakin lambat pemberian antitoksin prognosis akan semakin buruk.5 KesimpulanKasus yang akan dibahas yaitu seorang anak lai-laki berusia 3 tahun di awa ibunya ke IGD RS karena sesak napas sejak 1 hari yang lalu. Keluhan didahului batuk-pilek sejak 1 minggu yang lalu. Dua hari yang lalu anak mengalami demam disertai nyeri menelan. Pasien juga tidak mau makan. Riwayat imunisasi ternyata tidak lengkap. Dari hasil diskusi hipotesis adalah ana laki-laki tersebut menderita difteri. Setelah pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa pasien menderita difteri karena seperti yang kita ketahui apaila seseorang terkena infeksi bakteri Corynebacterium diphtheriae maka akan timbul gejala umum berupa demam yang tidak terlalu tinggi, lesu, pucat, nyeri kepala, anoreksia sehingga anak akan terlihat sangat lemah. Gejala seperti ini biasanya disertai gejala khas untuk setiap bagian yang terkena seperti pilek, nyeri menelan, sesak nafas dengan serak dan stridor. Pada kasus pasien dinyatakan mempunyai keluhan batuk pilek, demam, nyeri menelan seperti gambaran klinis pada difteri. Pada pemeriksaan ronga mlut ditemukannya pseudomembran pada kedua tonsil dimana apabila lapisan tersebut diangkat maka akan terjadi pendarahan. Kemudian pada pemeriksaan penunjang berupa usap tenggorok ditemukan bakteri batang gram positif dan seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa Coryneacterium diphtheriae merupakan bakteri batang gram positif. Sehingga hipotesis dibenarkan bahwa anak laki-laki tersebut menderita difteri faring dan tonsil (difteri fausial). Daftar Pustaka1. Amin Z. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid III: manifestasi klinik dan pendekatan pada pasien dengan kelainan sistem pernapasa. Edisi 5. Jakarta: Penerbit Interna Publishing; 2009.h.2189-192.2. Muscari ME. Lippincotts review series : pediatric nursing. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2005.h.184.3. Ward PT, Jeremy. At a glance sistem respirasi. Edisi 2. Jakarta: Penerbit Erlangga. 2006.h.47.4. Santoso M, Kartadinata H, Yuliani IW, Widjaja WH, Nah YK, Rumawas MA. Buku panduan keterampilan klinis (skilss lab). Jilid 4. Jakarta: Penerbit Biro Publikasi Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana; 2011.h. 52-6.5. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Buku kuliah ilmu kesehatan anak 2. Jakarta: Penerbit Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Unversitas Indonesia; 2007.h.550-6.6. Hull D, Johnston DI. Essential pediatrics. Edisi 3. Jakarta: Penerbit Buku Kedkteran EGC; 2008.h.99.7. Acang N. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid III: difteri. Edisi 5. Jakarta: Penerbit Interna Publishing; 2009.h.2955-64.8. Price, Sylvia, dkk. Buku patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit volume 2. Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2006.9. Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, et al. Kapita selekta kedokteran. Edisi 3. Jakarta : Penerbit Media Aesculapius FKUI ; 2006.h.476-80.10. Jawetz, Melnick, Adelberg. Mikrobiologi kedokteran. Edisi ke 25. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2008.h.184-8.

12