pbl blok 14 - skenario 5

25
Sistemik Lupus Eritmatosus Farella Kartika Huzna 102011408 / F-8 Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jalan Arjuna Utara No. 6, Jakarta Barat 11510 Email : [email protected] Pendahuluan Lupus eritmatosus sistemik (SLE) adalah penyakit autoimun yang terjadi karena produksi antibodi terhadap komponen inti sel tubuh sendiri yang berkaitan dengan manifestasi klinik yang sangat luas pada satu atau beberapa organ tubuh, dan ditandai oleh inflamasi luas pada pembuluh darah dan jaringan ikat, bersifat episodik diselangi episode remisi. 1 Lupus eritmatosus sistemik (SLE) adalah suatu penyakit autoimun yang kronik dan menyerang berbagai sistem dalam tubuh. Tanda dan gejala dari penyakit ini bisa bermacam-macam, bersifat sementara dan sulit untuk didiagnosis. 1 Lupus eritmatosus sistemik (SLE) adalah penyakit radang multisistem yang sebabnya belum diketahui, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminan atau kronik remisi dan eksaserbasi, disertai oleh terdapatnya berbagai macam autoantibodi dalam tubuh. 1 Dalam makalah ini, penulis akan membahas mengenai sistemik lupus eritmatosus secara lengkap sebagai hasil pembelajaran penulis. Skenario 1

Upload: farella-kartika

Post on 13-Feb-2015

87 views

Category:

Documents


21 download

DESCRIPTION

1bhgjh

TRANSCRIPT

Page 1: PBL Blok 14 - SKenario 5

Sistemik Lupus Eritmatosus

Farella Kartika Huzna

102011408 / F-8

Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jalan Arjuna Utara No. 6, Jakarta Barat 11510

Email : [email protected]

Pendahuluan

Lupus eritmatosus sistemik (SLE) adalah penyakit autoimun yang terjadi karena produksi

antibodi terhadap komponen inti sel tubuh sendiri yang berkaitan dengan manifestasi klinik yang sangat

luas pada satu atau beberapa organ tubuh, dan ditandai oleh inflamasi luas pada pembuluh darah dan

jaringan ikat, bersifat episodik diselangi episode remisi.1

Lupus eritmatosus sistemik (SLE) adalah suatu penyakit autoimun yang kronik dan menyerang

berbagai sistem dalam tubuh. Tanda dan gejala dari penyakit ini bisa bermacam-macam, bersifat

sementara dan sulit untuk didiagnosis.1

Lupus eritmatosus sistemik (SLE) adalah penyakit radang multisistem yang sebabnya belum diketahui,

dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminan atau kronik remisi dan eksaserbasi, disertai

oleh terdapatnya berbagai macam autoantibodi dalam tubuh.1

Dalam makalah ini, penulis akan membahas mengenai sistemik lupus eritmatosus secara lengkap

sebagai hasil pembelajaran penulis.

Skenario

Seorang wanita 30 tahun datang dengan keluhan sering lemas 2 minggu terakhir. Pasien mengatakan

sudah cukup beristirahat namun tetap saja lemas. Pasien juga tidak tahan berada di bawah terik matahari

dan setiap kali dibawah terik timbul kemerahan pada kedua pipi. 1 bulan terakhir pasien juga mengalami

kerontokan rambut dan badan sering hilang timbul terasa hangat. Pasien juga mengeluhkan terdapatnya

nyeri pada jari – jari tangan sejak 2 minggu terakhir.

1

Page 2: PBL Blok 14 - SKenario 5

Anamnesis

Kapan anda pertama kali merasakan lemas ?

apakah terdapat demam? Sudah berapa hari? Panas tinggi atau tidak? Pagi/siang/malam?

Apakah ada keluhan lain yang dirasakan? Misalnya sakit kepala, rambut rontok, tidak kuat berada diterik

matahari bila terlalu lama?

Apakah ada nyeri di persendian tubuh lainnya slain di jari –jari tangan ? seperti di siku, bahu , lutut dan

pergelangan kaki?

Apakah nyeri sendi yang ibu rasakan menimbulkan deformitas sendi? Atau perubahan bentuk sendi?

Apakah BB ibu turun? Apakah ada luka di mulut ? Apakah ada nyeri dada yang dirasakan ?

Pada anamnesis didapatkan keluhan yaitu sering lemas 2 minggu terakhir. Sudah beristirahat cukup

namun tetap saja lemas. Tidak tahan berada di bawah terik matahari dan setiap kali dibawah terik timbul

kemerahan pada kedua pipi. 1 bulan terakhir juga mengalami kerontokan rambut dan badan sering

hilang timbul terasa hangat. Juga terdapat nyeri pada jari – jari tangan sejak 2 minggu terakhir.

Pemeriksaan fisik

Keadaan umum : Pasien tampak lemah, gelisah, cemas dan kesakitan (Pasien sakit sedang).

TTV :

- TD : 100/90 mmHg

- ND : 88 x/i

- RR : 16 x /i

- S : 37,1 C

Kulit : adanya ruam kupu-kupu pada wajah

Mata : adanya konjungtiva anemis

Mulut : melihat adanya ulserasi pada mulut dan nasofaring

Sendi Jari tangan: adanya nyeri tekan dan gerak pada DIP 2-1 & PIP 2-4 (dextra dan sinistra

manus)

2

Page 3: PBL Blok 14 - SKenario 5

Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan darah rutin akan menunjukkan bukti inflamasi sistemik, seperti anemia normositik

normokrom (anemia pada penyakit kronik) dan trombositosis. Pada SLE lebih sering ditemukan

leukopenia dan limfopenia. Pemeriksaan fungsi hati biasanya normal. Petanda inflamasi yang sering

dipakai adalah laju endap darah (LED) dan protein reaktif C (C-reactive protein, atau CRP).2-3

LED dapat meningkat pada penyakit berat. Peningkatan CRP biasanya lebih ringan pada SLE

dibanding pada penyakit infeksi.2,3

Untuk kepentingan diagnostik, autoantibodi terpenting adalah ANA karena tes ini positif pada >

95% pasien, biasanya pada awitan gejala. Kadar antibodi IgG terhadap DNA untai ganda yang tinggi

merupakan pemeriksaan yang spesifik untuk SLE. Antibodi terhadap Sm juga spesifik untuk SLE dan

mengarahkan diagnosis; antibodi anti-Sm biasanya tidak berhubungan dengan aktivitas penyakit atau

manifestasi klinis. aPL tidak spesifik untuk SLE, namun keberadaannya memenuhi salah satu kriteria dan

dapat mengidentifikasi pasien dengan risiko penggumpalan vena atau arteri, trombositopenia, dan

kematian janin.2-4

Dilakukan pemeriksaan Anti-dsDNA untuk mengetahui Titer tinggi SLE-spesifik dan pada beberapa

pasien berkorelasi dengan aktivitas penyakit, vaskulitis nefritis.2

Uji autoantibodi tambahan dengan nilai prediktif (tidak digunakan untuk diagnosis) dapat

mendeteksi anti-Ro. Wanita usia produktif dengan SLE harus menjalani pemeriksaan aPL dan anti-Ro.2-4

Kadar komplemen rendah, khususnya C3, C4, dan CH50 (komplemen hemolitik total), penting

untuk diagnosis dan pemantauan aktivitas penyakit. Kadar C4 yang rendah dapat menggambarkan

aktivitas penyakit, namun juga dapat menggambarkan defisiensi produksi parsial, sedangkan C3 rendah

menggambarkan aktivasi komplemen.3

Cairan serebrospinal dapat menunjukkan pleiositosis dan peningkatan kadar protein, dan antobodi

antiribosom P dan antineutron dapat ditemukan walaupun kadar dalam serum negatif. 3

Biopsi tidak bermakna untuk evaluasi kulit dan ginjal. Biopsi kulit menunjukkan gambaran deposisi

kompleks imun dan produk komplemen pada perhubungan dermis-epidermis dengan pola granular.

Biopsi ginjal menunjukkan derajat keparahan penyakit dan dapat digunakan untuk panduan pengobatan.4

Working diagnosis

3

Page 4: PBL Blok 14 - SKenario 5

Anemia Hemolitik Autoimun

Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa eritrosit sehingga tidak

dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah cukup ke perifer. Secara

praktis anemia ditunjukkan oleh penurunan kadar hemoglobin dan diikuti hematokrit.5

Anemia hemolitik autoimun sendiri merupakan suatu kelainan dimana terdapat antibodi terhadap

antigen sel-sel eritrosit membentuk komponen dan kemudian sitolisis sehingga umur eritrosit

memendek. Kemungkinan hal ini terjadi karena gangguan central tolerance dan gangguan pada

proses pembatasan limfosit autoreaktif residual.1Pasien didiagnosis mengalami anemia hemolitik

autoimun dikarenakan adanya penurunan jumlah hemoglobin dan hematokrit yang disertai oleh

gejala penyakit lain yang didiagnosis SLE.5

The American Rheumatism Association telah mengambangkan criteria untuk memilah SLE.

Adanya 4 atau lebih dari 11 kriteria baik secara serial maupun simultan cukup untuk menegakkan

diagnosis. Kriteria ini mempunyai sensitivitas 90% dan spesifisitas 99% untuk dapat

membedakan dengan artritis reumatoid dan penyakit  lainnya.1

Tabel.1 Kriteria penyakit SLE.1,2

Kriteria Definisi1. Malar rash/ Ruam pada wajah Eritema yang rata atau sdikit menimbul diatas permukaan kulit

muka, menyerupai kupu-kupu,biasanya tidak mengenai plika nasolabialis.

2. Lupus discoid Ruam berbentuk bulatan menimbul diataspemukaan kulit dengan lapisan terkelupas disertai penyumbatan folikel. Pada lesi yang lama mungkin berbentuk jaringan parut.

3. Fotosensitif Ruam kulit timbul sebagai reaksi hipersensitivitas terhadap sinar matahari, diperoleh dari anamnesis ataupemeriksaan fisik.

4. Ulserasi oral atau nasofaring           Biasanya tidak terasa nyeri, didapatkan dari pemeriksaan fisik

5. Artritis Artritis non erosif mengenai  2 sendi atau lebih, bengkak dan terasa nyeri atau terdapat efusi sinovial.

6. Serositis  a) Pleuritis – adanya riwayat nyeri pleura atau terdengar bunyi gesekan pleura pada pemeriksaan atau ada efusi pleura

b) Perikarditis –dari EKG atau didapatkannya bunyi gesekan perikardium atau ada efusi perikardium

7. Kelainan ginjal a) proteinuria menetap > 0.5 g/hari atau pemeriksaan proteinuria urin sewaktu > 3+           

b) Celular cast – dapat berupa  sel eritrosit, hemoglobin, granular, tubular atau campuran.

4

Page 5: PBL Blok 14 - SKenario 5

8. Kelainan neurologis a) Kejang – spontan bukan karena obat-obatatn atau gangguan metabolisme seperti uremia, ketoasidosis dan gangguan keseimbangan elektrolit.

b) Psikosis tanpa adanya sebab lain seperti obat-obatan atau gangguan metabolisme seperti uremia, ketoasidosis dan gangguan keseimbangan elektrolit.

9. Kelainan hematologik a) Anemia hemolitik dengan retikulositosisb) Leukopenia – kurang dari 4000/mm3 pada 2/ lebih

pengukuran                        c) Limfopenia – kurang dari 1500/mm3 pada 2/ lebih

pengukuran

10. Kelainan immunologi a) Anti-DNA: titer abnormal antibodi terhadap native DNA 

b) Anti-SM: adanya antibodi terhadap antigen inti otot polos

c) Antiphospholipid antibodi positif berdasarkan pada :1. Titer serum abnormal IgG atau IgM antibodi

anti-kardiolipin  atau, 2. Antikoagulan lupus positif dengan

menggunakan metode standar atau3. Uji serologis positif semu selama minimal 6

bulan dan dikonfirmasi oelh uji imobilisasi Treponema pallidum atau uji fluorosensi absorpsi antibodi treponema

11. . Antibodi Antinuclear Titer ANA abnormal diperiksa dengan metode imunoflurosensi atau cara lain yang   setara, yang dilakukan pada waktu yang sama atau adanya sindroma lupus karena obat

Differential diagnosis

Anemia Defisiensi Besi

Anemia defisiensi besi (ADB) adalah anemia yang timbul akibat berkurangnya penyediaan besi

untuk eritropoesis, karena cadangan besi kosong yang pada akhirnya mengakibatkan

pembentukan hemoglobin berkurang. Dapat terjadi pada segala usia terutama wanita. Penurunan

jumlah sel darah merah memacu sumsum tulang untuk meningkatkan pelepasan sel darah merah

abnormal yang berukuran kecil dan kekurangan hemoglobin.6

Gambaran klinisnya pada individu dewasa terlihat tanda sistemik hemoglobin kurang dari 12

g/100 mL, bahkan biasanya penderita tidak mencari pengobatan untuk mengurangi gejalanya

sampai – sampai kadang hemoglobinnya turun menjadi 8 mg/100 mL. selain itu juga ditemukan

pucat pada tangan, konjungtiva, dan daun telinga.6

Dilakukan analisa darah yang memperlihatkan anemia dengan sel mikrositik (MCV<87) dan

penurunan besi serum. Kapasitas pengikatan besi dalam darah meninggi karena protein yang

berikatan dengan besi kurang dari kebutuhan. Pemeriksaan feses untuk mencari darah samar

mungkin positif, yang mengisyaratkan perdarahan atau carcinoma saluran cerna.6

5

Page 6: PBL Blok 14 - SKenario 5

Komplikasinya nilai hemoglobin kurang dari 5 g/100 mL dapat menyebabkan gagal jantung dan

kematian. Penatalaksanaannya dengan diet kaya besi yang mengandung daging dan sayur hijau,

seperti bayam, juga mengkonsumsi suplemen besi oral, dan mengobati penyebab perdarahan

abnormal jika diketahui.6

Artritis Reumatoid (AR)

Artritis reumatoid (AR) adalah penyakit autoimun yang ditandai oleh inflamasi sistemik kronik

dan progresif, dimana sendi merupakan target utama. Manifestasi klinik AR adalah poliartritis

sistemik terutama mengenai sendi – sendi kecil pada perifer yaitu tangan dan kaki. Selain lapisan

synovial sendi, AR juga bisa mengenai organ – organ diluar seperti kulit, jantung, paru – paru,

dan mata. Mortalitasnya meningkat dengan adanya komplikasi kardiovaskular, infeksi, penyakit

ginjal, keganasan, dan adanya komorbiditas.5,7

Beberapa perbedaan AR dan SLE adalah sebagai berikut :5,7

1. Nyeri

Pada SLE, nyeri sendi hanya bersifat sementara dan tidak sampai mengalami deformitas sendi.

Sendi yang terserang simetris meliputi jari tangan, yaitu PIP dan DIP. Sedangkan pada AR, nyeri

sendi bersifat akut dan dapat menjadi kronis, bahkan mengalami deformitas. Nyeri sendi pada AR

menyerang sendi – sendi perifer tangan dan kaki secara simetris, tetapi dapat juga menyerang

sendi – sendi bagian tubuh yang lain secara simetris pula.

2. Kaku sendi

Pada SLE tidak ditemukan adanya kaku sendi pada pagi hari. Sedangkan pada AR, terjadi kaku

sendi pada pagi hari selama kurang lebih satu jam.

3. Pemeriksaan

Secara fisik pada penderita SLE akan terlihat kemerahan yang timbul pada kedua pipinya jika

terkena sinar matahari (butterfly rush) dan pasien mengalami kerontokan rambut, tetapi pada

penderita AR tidak ditemukan.

Pada pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan ANA dan Rheumatoid factor mengalami

peningkatan pada SLE dan AR. Pemeriksaan ANA positif pada penderita SLE lebih diutamakan,

sedangkan pada AR tidak. Begitu juga dengan Rheumatoid factor, pada SLE tidak begitu

diutamakan, pada AR, rheumatoid factor bukanlah patognomic untuk diagnosis AR.

Pemeriksaan anti ds-DNA adalah spesifik untuk SLE, sedangkan pemeriksaan anti-CCP dan

AKA (Anti Keratin Antibodies)adalah lebih spesifik untuk AR.

4. Genetic

Pada penderita SLE dan AR lebih banyak pada wanita. Usia untuk penderita SLE adalah sekitar

20-45 tahun yaitu pada masa produktif seks, sedangkan pada AR bisa menyerap segala umur. Gen

6

Page 7: PBL Blok 14 - SKenario 5

predisposisi untuk penderita SLE adalah HLA-DR2 dan HLA-DR 3, sedangkan pada AR adalah

HLA-DR4.

Menegakkan diagnosis dan memulai terapi sedini mungkin dapat menurunkan progesifitas

penyakit. Metode terapi yang dianut saat ini adalah pendekatan pyramid terbalik, yaitu pemberian

DMARD (Desease Modifying Anti Rheumatic Drugs) sedini mungkinuntuk menghambat

perburukan penyakit. Bila tidak mendapat terapi adekuat, akan terjadi dekstruksi, deformitas, dan

disabilitas sendi.1,4

Tatalaksana

Penatalaksanaan Medika Mentosa

Terapi dengan obat bagi pasien SLE mencakup pemberian obat-obat anti inflamasi non-

steroid (OAINS), kortikosteroid, antimalaria, dam agen penekan imun. Pemilihan obat yang

sesuai bergantung pada organ-organ yang terserang oleh penyakit ini. OAINS dipakai untuk

mengatasi artritis dan artralgia. Aspirin saat ini lebih jarang dipakai karena memiliki insidens

hepatotoksik tertinggi, dan sebagian pasien SLE juga mengalami gangguan pada hepar.

Seseorang dengan SLE juga memiliki risiko tertinggi terhadap efek samping OAINS pada kulit,

hepar, dan ginjal, sehingga pemberiannya harus dipantau dengan seksama.2,4

Terapi antimalaria kadang-kadang dapat efektif apabila OAINS tidak dapat

mengendalikan gejala-gejala SLE. Biasanya antimalaria mula-mula diberikan dengan dosis

tingkat tinggi untuk memperoleh keadaan remisi, biasanya hidroksiklorokuin 400 mg/hari. Bila

dalam waktu 6 bulan tidak memberikan respons yang baik, harus di stop.Bersihnya lesi kulit

merupakan parameter untuk memantau pemakaian dosis. Terapi penekan imun (siklofosfamid

atau azatioprin) dapat dilakukan untuk menekan aktivitas autoimun SLE. Obat-obatan ini

biasanya dipakai ketika: (1) diagnosis pasti sudah ditegakkan, (2) adanya gejala-gejala berat yang

mengancam jiwa, (3) kegagalan tindakan-tindakan pengobatan lainnya, misalnya bila pemberian

steroid tidak memberikan respons atau bila dosis steroid harus diturunkan karena adanya efek

samping, dan (4) tidak adanya infeksi, kehamilan, dan neoplasma.2,4

Pada beberapa penderita yang menunjukan respons adekuat dengan analgetik atau obat

antiinflamasi non-steroid atau obat malaria, dapat dipertimbangkan pemberian kortikosteroid

dosis rendah, dengan dosis tidak lebih dari 15 mg setiap pagi. Metotreksat dosis rendah (7,5-15

mg/minggu), juga dapat dipertimbangkan untuk mengatasi artritis pada penderita SLE.2,4

Serangan akut SLE, terutama pada orang yang juga memiliki nefritis interstisial, diobati

dengan kortikosteroid oral dosis tinggi untuk waktu yang singkat. Dosis obat-obatan ini biasanya

dikurangi setelah beberapa minggu. Baik SLE dan kortikosteroid sistemik dapat menimbulkan

perubahan tingkah laku dan akan sulit untuk dibedakan.2,4

Penatalaksanaan Non-Medika Mentosa7

Page 8: PBL Blok 14 - SKenario 5

Aspek penting dari pencegahan serangan SLE adalah menghindari terkena sinar ultraviolet (UV).

Bagaimana sinar matahari dapat menimbulkan serangan SLE masih belum dapat dimengerti

sepenuhnya. Salah satu penjelasan adalah DNA yang terkena sinar UV secara normal akan

bersifat antigenik, dan hal ini akan menimbulkan serangan setelah terkena sinar. Pasien SLE

harus dianjurkan untuk memakai payung, topi, dan baju lengan panjang apabila ke luar rumah.

Tabir surya dengan faktor proteksi 15 harus dipakai untuk menahan sinar UV. Tabir surya ini

biasa sering dipakai setelah berenang atau setelah berolahraga berat.2,4

Epidemiologi

Masih belum didapatkan data pasti mengenai prevalensi SLE di Indonesia. Di AS, angka yang

paling dapat dipercaya adalah 0,05 – 0,1% dari populasi,3 namun didapatkan angka yang berbeda pada

berbagai laporan.1,2,4 Beberapa ras, seperti kaum kulit hitam, keturunan asli Amerika, dan keturunan

Hispanik, berisiko lebih tinggi terhadap SLE dan dapat mengalami penyakit yang lebih parah.2,3

Prevalensi SLE di seluruh dunia tidak berbeda dengan laporan dari AS; penyakit ini kelihatannya lebih

sering ditemukan di Cina, di Asia Tenggara, dan di antara keturunan kulit hitam di Karibia namun jarang

ditemukan pada keturunan kulit hitam di Afrika.1,4 SLE jarang terjadi pada usia prepubertas namun sering

dimulai pada usia dekade kedua dan ketiga; beberapa studi menunjukkan puncak kedua kasus baru pada

sekitar usia 50 tahun.1,3 Distribusi jenis kelamin cukup jelas; SLE berkembang pada wanita usia produktif

sekitar sepuluh kali lipat daripada pria dengan usia yang sama. Pada usia lebih muda, wanita tiga sampai

empat kali lebih sering daripada pria.3 Pada usia lebih tua, perbandingan wanita dan pria adalah 8:1.4

Etiologi

Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan peningkatan

autoantibody yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor

genetik, hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia

reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal).Sampai saat ini penyebab SLE belum

diketahui. Diduga faktor genetik, infeksi dan lingkungan ikut berperan pada patofisiologi SLE. Sistem

imun tubuh kehilangan kemampuan untuk membedakan antigen dari sel dan jaringan tubuh sendiri.

Penyimpangan reaksi imunologi ini akan menghasilkan antibodi secara terus menerus.6

Antibody ini juga berperan dalam pembentukan kompleks imun sehingga mencetuskan penyakit

inflamasi imun sistemik dengan kerusakkan multiorgan. Dalam keadaan normal, sistem kekebalan

berfungsi mengendalikan pertahanan tubuh dalam melawan infeksi. Pada lupus dan penyakit autoimun

lainnya, sistem pertahanan tubuh ini berbalik melawan tubuh, dimana antibodi yang dihasilkan

menyerang sel tubuhnya sendiri. Antibodi ini menyerang sel darah, organ dan jaringan tubuh, sehingga

terjadi penyakit menahun.6

8

Page 9: PBL Blok 14 - SKenario 5

Mekanisme maupun penyebab dari penyakit autoimun ini belum sepenuhnya dimengerti tetapi

diduga melibatkan faktor lingkungan dan keturunan. Beberapa faktor lingkungan yang dapat memicu

timbulnya lupus:6

Antibiotik (terutama golongan sulfa dan penisilin)

Sinar ultraviolet

Stres yang berlebihan

Obat-obatan tertentu & Hormon.

Meskipun lupus diketahui merupakan penyakit keturunan, tetapi gen penyebabnya tidak

diketahui. Penemuan terakhir menyebutkan tentang gen dari kromosom 1. Hanya 10% dari penderita yang

memiliki kerabat (orang tua maupun saudara kandung) yang telah maupun akan menderita lupus.

Statistik menunjukkan bahwa hanya sekitar 5% anak dari penderita lupus yang akan menderita penyakit

ini. Lupus seringkali disebut sebagai penyakit wanita walaupun juga bisa diderita oleh pria. Lupus bisa

menyerang usia berapapun, baik pada pria maupun wanita, meskipun 10-15 kali lebih sering ditemukan

pada wanita. Faktor hormonal mungkin bisa menjelaskan mengapa lupus lebih sering menyerang

wanita.6,7

Meningkatnya gejala penyakit ini pada masa sebelum menstruasi dan/atau selama kehamilan

mendukung keyakinan bahwa hormon (terutama estrogen) mungkin berperan dalam timbulnya penyakit

ini. Meskipun demikian, penyebab yang pasti dari lebih tingginya angka kejadian pada wanita dan pada

masa pra-menstruasi, masih belum diketahui.6,7

Faktor Resiko terjadinya SLE

1. Faktor Genetik

Jenis kelamin, frekuensi pada wanita dewasa 8 kali lebih sering daripada pria dewasa

Umur, biasanya lebih sering terjadi pada usia 20-40 tahun

Etnik, Faktor keturunan, dengan Frekuensi 20 kali lebih sering dalam keluarga yang terdapat

anggota dengan penyakit tersebut

2. Faktor Resiko Hormon

Pada individu normal, testosteron berfungsi mensupresi sistem imun sedangkan estrogen

memperkuat sistem imun. Predominan lupus pada wanita dibandingkan pria memperlihatkan adanya

pengaruh hormon seks dalam patogenesis lupus. Pada percobaan di tikus dengan pemberian testosteron

mengurangi lupus-like syndrome dan pemberian estrogen menambah resiko penyakit.4,6

3. Sinar UV

9

Page 10: PBL Blok 14 - SKenario 5

Sinar Ultra violet mengurangi supresi imun sehingga terapi menjadi kurang efektif, sehingga SLE

kambuh atau bertambah berat. Ini disebabkan sel kulit mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga

terjadi inflamasi di tempat tersebut maupun secara sistemik melalui peredaran pebuluh darah.4

4. Imunitas

Pada pasien SLE, terdapat hiperaktivitas sel B atau intoleransi terhadap sel T.4-6

5. Obat

Obat tertentu dalam presentase kecil sekali pada pasien tertentu dan diminum dalam jangka waktu

tertentu dapat mencetuskan lupus obat (Drug Induced Lupus Erythematosus atau DILE). Jenis obat yang

dapat menyebabkan Lupus Obat adalah :6

Obat yang pasti menyebabkan Lupus obat : Kloropromazin, metildopa, hidralasin,

prokainamid, dan isoniazid

Obat yang mungkin menyebabkan Lupus obat : dilantin, penisilamin, dan kuinidin

Hubungannya belum jelas : garam emas, beberapa jenis antibiotic dan griseofurvin

6. Stres

Stres mempengaruhi respon imun dan sistem saraf pusat. Sistem imun seperti halnya sistem yang

mempertahankan homeostasis tubuh lainnya, terintegrasi dalam proses-proses fisiologis lain dan

dimodifikasi oleh otak.  Faktor-faktor lain seperti usia, neoplasia, gizi dapat berpengaruh terhadap

penyakit autoimun. Diduga faktor-faktor tersebut dapat menimbulkan aktivasi poliklonal sel B.6

Manifestasi klinik

Perjalanan penyakit SLE sangat bervariasi. Penyakit dapat timbul mendadak disertai dengan

tanda-tanda terkenanya berbagai sistem dalam tubuh. Dapat juga menahun dengan gejala pada satu sistem

yang lambat laun diikuti oleh gejala yang terkenanya sistem imun. Pada tipe menahun terdapt remisi dan

eksaserbsi. Remisinya mungkin berlangsung bertahun-tahun.6

Onset penyakit dapat spontan atau didahului oleh faktor presipitasi seperti kontak dengan sinar

matahari, infeksi virus/bakteri, obat. Setiap serangan biasanya disertai gejala umum yang jelas seperti

demam, nafsu makan berkurang, kelemahan, berat badan menurun, dan iritabilitasi. Yang paling

menonjol ialah demam, kadang-kadang disertai menggigil.6

Gejala Muskuloskeletal

Gejala yang paling sering pada SLE adalah gejala muskuloskeletal, berupa artritis (93%). Yang

paling sering terkena ialah sendi interfalangeal proksimal didikuti oleh lutut, pergelangan tangan,

10

Page 11: PBL Blok 14 - SKenario 5

metakarpofalangeal, siku dan pergelangan kaki. Selain pembekakan dan nyeri mungkin juga terdapat

efusi sendi. Artritis biasanya simetris, tanpa menyebabkan deformitas, kontraktur atau ankilosis. Adakala

terdapat nodul reumatoid. Nekrosis vaskular dapat terjadi pada berbagai tempat, dan ditemukan pada

pasien yang mendapatkan pengobatan dengan streroid dosis tinggi. Tempat yang paling sering terkena

ialah kaput femoris.6

Gejala Mukokutan

Kelainan kulit, rambut atau selaput lendir ditemukan pada 85% kasus SLE. Lesi kulit yang paling

sering ditemukan pada SLE ialah lasi kulit akut, subakut, diskoid, dan livido retikularis.6

Ruam kulit berbentuk kupu-kupu berupa eritema yang agak edamatus pada hidung dan kedua

pipi. Dengan pengobatan yang tepat, kelainan ini dapat sembuh tanpa bekas luka. Pada bagian tubuh yang

terkena sinar matahari dapat timbul ruam kulit yang terjadi karena hipersensitivitas. Lesi ini termasuk lesi

kulit akut.Lesi kulit subakut yang khas berbentuk anular.6

Lesi diskoid berkembang melalui 3 tahap yaitu eritema, hiperkeratosis dan atrofi. Biasanya

tampak sebagai bercak eritematosa yang meninggi, tertutup oleh sisik keratin disertai adanya

penyumbatan folikel. Kalau sudah berlangsung lama akan berbentuk silikatriks.6

Vaskulitis kulit dapat menyebabkan ulserasi dari yang berbentuk kecil sampai yang besar. Sering

juga tampak perdarahan dan eritema periungual.Livido retikularis suatu bentuk vaskulitis ringan, sangat

sering ditemui pada SLE.6

Ginjal

Kelainan ginjal ditemukan pada 68% kasus SLE. Manifestasi paling sering ialah proteinuria atau

hematuria. Hipertensi, sindrom nefrotik kegagalan ginjal jarang terjadi, hanya terdapat pada 25% kasus

SLE yang urinnya menunjukkan kelainan.6

Ada 2 macam kelainan patologis pada ginjal, yaitu nefritis lupus difus dan nefritis lupus

membranosa. Nefritis lupus merupakan kelainan yang paling berat. Klinis biasanya tampak sebagai

sindrom nefrotik, hipertensi serta gangguan fungsi ginjal sedang sampai berat.6

Nefritis lupus membranosa lebih jarang ditemukan. Ditandai dengan sindrom nefrotik, gangguan

fungsi ginjal ringan serta perjalanan penyakit yang mungkin berlangsung cepat atau lambat tapi

progresif.6

Kelainan ginjal yang lain yang mungkin ditemukan pada SLE ialah pielonefritis kronik,

tuberkulosis ginjal. Gagal ginjal merupakan salah satu penyebab kematian SLE kronik.6

Susunan Saraf Pusat

11

Page 12: PBL Blok 14 - SKenario 5

Gangguan susunan saraf pusat terdiri atas 2 kelainan utama yaitu psikosis organik dan kejang-

kejang. Penyakit otak organik biasanya ditemukan bersamaan dengan gejala aktif SLE pada sistem lain-

lainnya. Pasien menunjukkan gejala halusinasi disamping gejala khas organik otak seperti sukar

menghitung dan tidak snggup mengingat kembali gambar-gambar yang pernah dilihat.6

Psikosis steroid juga termasuk sindrom otak organik yang secara klinis tak dapat dibedakan

dengan psikosis lupus. Perbedaan antara keduanya baru dapat diketahui dengan menurunkan atau

menaikkan dosis steroid yang dipakai. Psikosis lupus membaik jika dosis steroid dinaikkan dan

sebaliknya.Kejang-kejang yang timbul biasanya termasuk tipe grandmal. Kelainan lain yang mungkin

ditemukan ialah afasia, hemiplegia.6

Mata

Kelainan mata dapat berupa konjungtivitas, perdarahan subkonjungtival dan adanya badan sitoid

di retina.6

Jantung

Peradangan berbagai bagian jantung bisa terjadi, seperti perikarditis, endokarditis maupun

miokarditis. Nyeri dada dan aritmia bisa terjadi sebagai akibat keadaan tersebut.6

Paru-paru

Pada lupus bisa terjadi pleuritis (peradangan selaput paru) dan efusi pluera (penimbunan cairan

antara paru dan pembungkusnya). Akibat dari kejadian tersebut sering timbul nyeri dada dan sesak

napas.6

Saluran Pencernaan

Nyeri abdomen terdapat pada 25% kasus SLE, mungkin disertai mual dan diare. Gejalanya

menghilang dengan cepat jika gangguan sistemiknya mendapat pengobatan adekuat. Nyeri yang timbul

mungkin disebabkan oleh peritonitis steril atau arteritis pembuluh darah kecil mesenterium dan usus yang

mengakibatkan ulserasi usus. Arteritis dapat juga menimbulkan pankreatitis.6

Hemik-Limfatik

Kelenjar getah bening yang sering terkena adalah aksila dan sevikal, dengan karakteristik tidak

nyeri tekan dan lunak. Organ limfoid lain adalah splenomegali yang biasanya disertai oleh pembesaran

hati. Kerusakan lien berupa infark atau trombosis berkaitan dengan adanya lupus antikoagulan. Anemia

dapat dijumpai pada periode perkembangan penyakit LES, yang diperantai oleh proses imun dan non-

imun.6

Patofisiologi

12

Page 13: PBL Blok 14 - SKenario 5

Ada baiknya patogenesis SLE dipandang dalam fase-fase tersendiri meskipun fase-fase ini secara klinis

tidak jelas terpisah. Memang, terdapat kemungkinan bahwa proses-proses yang mendasari inisiasi

penyakit terjadi sebelum munculnya gejala klinis, dan penguatan kronik fase propagasi diperlukan untuk

kemunculan penyakit.7,8

1. Inisiasi

Respons autoantibodi yang kuat pada lupus ditunjukkan pada kelompok self-antigen yang sangat

spesifik. Meskipun kelompok autoantigen ini tidak memiliki kesamaan (misalkan struktur,

distribusi, atau fungsi) di sel-sel sehat, molekul-molekul ini mengelompok dan mengalami

modifikasi struktural pada permukaan sel apoptotik. Memang penelitian-penelitian

mengisyaratkan bahwa proses awal pada lupus adalah suatu bentuk unik kematian sel apoptotik

yang berlangsung dalam konteks proimun. Beberapa faktor lingkungan dilaporkan berkaitan

dengan inisiasi penyakit SLE. Faktor-faktor tersebut mencakup sinar matahari, infeksi virus, dan

obat tertentu. Agen-agen ini merupakan hal-hal yang sering dijumpai oleh manusia, yang

mengisyaratkan bahwa orang yang mengidap SLE memiliki suatu kelainan yang menyebabkan

mereka rentan terhadap inisiasi penyakit.7,8

Gambar 2. Autoantigen, meskipun tidak terdapat di sel sehat, menyatu di sel apoptotik.7

Defek penting untuk timbulnya dan perkembangan proses SLE tampaknya adalah gangguan pada

pembersihan normal sel-sel apoptotik di jaringan. Karena itu, pada orang normal, nasib sebagian

besar sel apoptotik adalah fagositosis cepat dan efisien oleh makrofag, dan antigen-antigen yang

difagosit dengan cara ini dapat cepat diuraikan. Selain itu, fagositosis sel-sel apoptotik

menghambat sekresi sitokin proinflamasi dari makrofag dan menginduksi sekresi beberapa

sitokin anti-inflamasi, yang menyebabkan sel apoptotik tidak dapat memicu respon imun primer.

Akhirnya, fagositosis sel-sel apoptotik oleh makrofag normal mengurangi kemungkinan sel-sel

apoptotik tersebut mengakses populasi sel dendritik, yaitu inisiator respons imun promer yang

13

Page 14: PBL Blok 14 - SKenario 5

sangat efisien. Bersama-sama, faktor-faktor ini menjamin bahwa orang normal tidak

mengimunisasi diri mereka sendiri dengan materi-materi apoptotik yang berasal dari jaringan

sendiri. Sebaliknya, gangguan pembersihan sel-sel apoptotik dijumpai pada sekelompok pasien

dengan SLE. Pada kondisi ketika materi apoptotik tidak secara efisien dibersihkan oleh makrifag,

terjadi peningkatan jumlah materi-materi tersebut hingga melebihi ambang tertentu. Materi-

materi tersebut kemudian memperoleh akses ke populasi sel penyaji-antigen poten pada kondisi

proimun dan memicu respons terhadap molekul-molekul dengan struktur yang telah termodifikasi

saat terjadinya kematian sel apoptotik.7,8

2. Propagansi

Autoantibodi pada lupus dapat menyebabkan cedera jaringan melalui berbagai mekanisme.

Pertama, mekanisme patogenik tersering adalah pembentukan dan pengendapan kompleks imun,

dengan antigen yang berasal dari sel yang rusak dan mati. Jika konsentrasi dan ukuran kompleks

terkait mempermudah pengendapan di subendotel, kompleks yang sangat proinflamatorik ini

akan memicu fungsi efektor inflamatorik yang menyebabkan kerusakan jaringan. Fungsi yang

terutama penting adalah kemampuan kompleks imun untuk mengikat reseptor Fc gamma yang

mengaktifkan fungsi efektor sel-sel mielomonositik. Pengendapan kompleks imun di ginjal,

sendi, dan kulit mendasari beberapa gambaran klinis utama SLE.7,8

Kedua, autoantibodi berikatan dengan molekul ekstrasel di organ sasaran dan mengaktifkan

fungsi efektor inflamasi di tempat tersebut, yang kemudian merusak jaringan. Contoh fenomena

ini adalah anemia hemolitik autoimun dan trombositopenia serta penyakit kulit fotosensitif pada

sindrom lupus neonatus.7,8

Ketiga, autoantibodi secara langsung memicu kematian sel dengan mengikat molekul-molekul

permukaan sel atau dengan menembus sel hidup dan menimbulkan efek. Penting dicatat bahwa

antigen-antigen intrasel yang mendorong respons imun pada SLE dapat berasal dari sel yang

rusak atau apoptotik. Kerusakan atau apaptosis tersebut sering terjadi di jalur efektor imun.

Karena itu, jalur-jalur efektor ini dapat menghasilkan antigen tambahan yang semakin

merangsang sistem imun dan memicu pembentukan antigen lebih banyak lagi. Autoamplifikasi

ini merupakan gambaran utama pada fase propagansi lupus. Data-data terakhir mengisyaratkan

bahwa interferon tipe 1 berperan besar dalam lengkung amplifikasi ini.7,8

3. Kekambuhan

Salah satu gambaran khas respons imun adalah terbentuknya ingatan imunologis sehingga jika

organisme kembali bertemu dengan antigen yang sama, sistem imun akan berespons dengan lebih

14

Page 15: PBL Blok 14 - SKenario 5

cepat dan hebat pada konsentrasi antigen yang lebih rendah daripada konsentrasi yang

dibutuhkann untuk memicu respons primer. Kekambuhan pada SLE tampaknya mencerminkan

ingatan imunologis, yang timbul sebagai respons sistem imun yang telah tersensitisasi terhadap

pajanan ulang antigen. Apoptosis terjadi tidak saja selama perkembangan sel dan homeostasis

tetapi juga pada banyak keadaan sakit. Karena itu, kekambuhan penyakit dapat dipicu oleh

beragam rangsangan.7,8

Prognosis

Prognosis untuk SLE bervariasi dan bergantung pada keparahan gejala, organ-organ yang terlibat, dan

lama waktu remisi dapat dipertahankan. SLE tidak dapat disembukan, penatalaksanaan ditujukan untuk

mengatasi gejala. Prognosis berkaitan dengan sejauh mana gejala-gejala ini dapat diatasi.1

Komplikasi

Komplikasi LES meliputi :8

Hipertensi (41%)

Gangguan pertumbuhan (38%)

Gangguan paru-paru kronik (31%)

Abnormalitas mata (31%)

Kerusakan ginjal permanen (25%)

Gejala neuropsikiatri (22%)

Kerusakan muskuloskeletal (9%)

Gangguan fungsi gonad (3%)

Pencegahan dan Edukasi

a. Pendidikan terhadap Pasien

Pasien diberikan penjelasan mengenai penyakit yang dideritanya (perjalanan penyakit, komplikasi,

prognosis), sehingga dapat bersikap positif terhadap penanggulangan penyakit.

b. Beberapa Prinsip Dasar Tindakan Pencegahan pada SLE8

1. Monitoring yang teratur

15

Page 16: PBL Blok 14 - SKenario 5

2. Penghematan energi

Pada kebanyakan pasien kelelahan merupakan keluhan yang menonjol. Diperlukan waktu istirahat

yang terjadwal setiap hari dan perlu ditekankan pentingnya tidur yang cukup.

3. Fotoproteksi

Kontak dengan sinar matahari harus dikurangi atau dihindarkan. Dapat juga digunakan lotion tertentu

untuk mengurangi kontak dengan sinar matahari langsung.

4. Mengatasi infeksi

Pasien SLE rentan terhadap infeksi. Jika ada demam yang tak jelas sebabnya, pasien harus

memeriksanya.

Penutup

Seorang yang datang dengan keluhan seperti scenario diatas, didiagnosa menderita Sistemik

Lupus Eritematosus (SLE). SLE adalah penyakit rematik autoimun yang ditandai dengan adanya

inflamasi tersebar luas, mempengaruhi setiap organ dan sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan

dengan deposisi autoantibodi dan kompleks imun, sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan. SLE

lebih menyerang pada wanita dengan usia produktif seks dan predisposisi gen untuk SLE adalah HLA-

DR 2 dan HLA-DR 3. Walaupun pada SLE ditemukan gejala nyeri sendi seperti pada AR, tetapi hasil

pemeriksaan ANA dan Anti ds-DNA pada penderita SLE tidak ditemukan pada penderita AR. SLE tidak

dapat disembuhkan, hanya dapat mengobati gejalanya saja.

Daftar Pusaka

1. Price, Sylvia. A dan Wilson, lorraince. M. 2006. Patofisiologi Edisi 6. Volume 2 Jakarta

EGC.hal 1392.-96.

2. Kasper DL, Braunwald E, Fauci A, Hauser S, Longo D, Jameson JL. Harrison’s Principles of

Internal Medicine. 16th ed. USA: McGraw-Hill; 2005.

3. Humes HD, DuPont HL, Gardner LB, Griffin JW, Harris ED, Hazzard WR, et al. Kelly’s

Textbook of Internal Medicine. 4th ed. Philadelphia: Lippincott Wiliams & Wilkins Publishers;

2000.

16

Page 17: PBL Blok 14 - SKenario 5

4. Golman L, Ausiello D (eds). Cecil Textbook of Medicine. 22nd ed. USA: WB Saunders Company;

2003.

5. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam.

Jakarta: InternaPublishing;2009.h.25-7,31-2,1109,2445-9,2565-77.

6. Corwin JE. Patofisiologi. Edisi ke-3. Jakarta : EGC;2007.h.427-8.

7. Wallace DJ. The Lupus book. London: B-First;2005.h.5-60.

8. Remmers EF, Plenge RM, Lee AT, Graham RR, Hom G, Behrens TW, et al. STAT4 and the Risk

of Rheumatoid Arthritis and Systemic Lupus Erythematosus. N Engl J Med 2007 Sep 6; 357:

977-86.

17