pariwisata sastra: kombinasi kajian sastra dan kajian

12

Upload: others

Post on 06-Nov-2021

12 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Pariwisata Sastra: Kombinasi Kajian Sastra dan Kajian
Page 2: Pariwisata Sastra: Kombinasi Kajian Sastra dan Kajian

1

Pariwisata Sastra: Kombinasi Kajian Sastra dan Kajian

Pariwisata *

I Nyoman Darma Putra

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana

Abstrak: Banyak karya sastra yang mengambil tema pariwisata, dan banyak daya tarik pariwisata yang

popularitasnya berutang budi pada karya sastra. Akan tetapi, kajian atas kontribusi sastra

dalam pengembangan atau promosi pariwisata, dan kontribusi pariwisata dalam inspirasi

penciptaan karya sastra belum merupakan hal lumrah. Kurangnya kajian paiwisata berbasis

sastra atau kajian sastra dengan ilmu bantu pariwisata terjadi karena model pendekatan seperti

itu belum hadir. Makalah ini mencoba mengombinasi antara kajian sastra dan kajian

pariwisata dengan menawarkan pendekatan baru bernama kajian pariwisata sastra (tourism of

literature), mengikuti pola penamaan teori sosiologi sastra (sociology of literature). Meskipun

kedua kajian ini memiliki karakter yang kontras, di mana kajian sastra bersifat kritis yang

cenderung berprasangka negatif atas pariwisata, sementara kajian pariwisata bersifat

positivistik, kombinasi atas keduanya akan dapat mengurangi prasangka sehingga terwujud

pendekatan baru yang lebih objektif. Kombinasi kajian sastra dan kajian pariwisata akan

dapat berjalan mulus karena keduanya sudah terbiasa dengan sejumlah konsep dan teori-teori

yang sama dalam rumpun ilmu humaniora.

Kata kunci: kajian sastra, kajian pariwisata, kajian pariwisata sastra, humaniora

Literary tourism occurs when authors or their literature become so popular that

people are drawn to either those locations associated with the author (e.g. birthplace,

home, graveside) or those featured within their writings (Busby & Klug, 2001 dalam

Hoppen, Brown, dan Fyall, 2014).

1. Pendahuluan

Kontribusi sastra dalam memajukan pariwisata Indonesia, langsung maupun tidak langsung,

sudah terjadi sejak lama dan terus semakin nyata dalam satu setengah dekade terakhir ini.

Sumbangan sastra dalam pengembangan kepariwisataan Indonesia, misalnya, tampak lewat

pelaksanaan festival sastra, terbitnya karya sastra yang membuat sebuah daerah menjadi

terkenal sebagai destinasi wisata, filmisasi karya sastra yang secara tidak langsung

* Makalah untuk Seminar Nasional “Wisata Sastra Siti Nurbaya” diselenggarakan bersama oleh Prodi Magister

Ilmu Sastra Pascasarjana FIB Unand, Hima Magister Ilmu Magistra Andalusia, HISKI Komisariat Unand, dan

Pemerintah Kota Padang. Seminar dilaksanakan Jumat, 7 September 2018, di Aula FIB, Universitas Andalas,

Padang. Awalnya makalah ini disiapkan untuk sebuah seminar di Semarang tetapi tidak disajikan karena erupsi

Gunung Agung November 2017. Email: [email protected]

Page 3: Pariwisata Sastra: Kombinasi Kajian Sastra dan Kajian

2

mempromosikan daerah yang menjadi latar cerita, serta penggalian mitos atau cerita rakyat

sebagai penciptaan branding sebuah destinasi wisata.

Ada beberapa contoh untuk tiap-tiap fakta sastra yang berkontribusi dalam memajukan

pariwisata. Untuk festival sastra, contohnya adalah Ubud Writers and Readers Festival

(UWRF) yang dilaksanakan setiap tahun tanpa absen sejak 2004 di Ubud, sedangkan untuk

karya sastra yang membuat latar cerita dan lokasi syuting menjadi terkenal contohnya adalah

novel Laskar Pelangi (2005) yang tahun 2008 difilmkan dengan judul sama. Sejalan dengan

ini, novel Elizabeth Gilbert Eat Pray Love (2006) dan filmnya yang beredar 2010 telah

membuat pariwisata Ubud khususnya dan Bali pada umumnya mendapat promosi yang luar

biasa, untuk mengembalikan citra yang sempat terpuruk akibat serangan teroris yang

beruntun 2002 dan 2005 (Hitchcock dan Putra 2007).

Cerita rakyat Putri Mandalika adalah contoh mitos yang dijadikan sebagai branding

pariwisata Lombok. Judul cerita rakyat ini dijadikan nama kawasan wisata yaitu The

Mandalika Resort, yang sedang dibangun pemerintah di Lombok, sebanding dengan nama

Nusa Dua Resort mewah di Bali. Banyak destinasi wisata di Indonesia yang menjadikan

mitos sebagai bagian dari daya tarik seperti Putri Naga di Komodo, Legenda Tanjung Lesung

di Banten, dan mitos Raja Ampat di Papua.

Selain contoh fenomenal di atas, masih ada berbagai ilustrasi yang menunjukkan kontribusi

sastra dalam pengembangan industri kepariwisataan di Indonesia. Misalnya, penggunaan

epos Ramayana atau Mahabarata untuk lakon seni pertunjukan. Di Bali, misalnya,

pertunjukan Tari Kecak menggunakan fragmen Ramayana. Sementara itu, pertunjukan Tari

Barong yang banyak disaksikan wisatawan di Bali mengadopsi cerita Calon Arang.

Perkembangan pariwisata ikut mempopulerkan karya sastra ini kepada wisatawan, namun

pada saat yang sama karya sastra ini memberikan kontribusi penting dalam dinamika industri

kepariwisataan.

Ada cukup banyak karya sastra klasik dan modern dan peristiwa sastra yang fenomenal yang

memberikan sumbangan pada perkembangan kepariwisataan Indonesia, akan tetapi kajian

terhadap fenomena ini hampir tidak ada. Keadaannya kontras sekali dengan suburnya kajian

sastra berbasis berbagai disiplin seperti sosiologi sastra, antropologi sastra, ekosastra, atau

feminisme.

Bertolak dari belum lumrahnya kajian sastra kaitannya dengan pariwisata di Indonesia, maka

makalah ringkas ini menawarkan gagasan mengkombinasikan kajian sastra dan kajian

pariwisata. Kombinasi ini diharapkan dapat hadir sebagai kajian baru sehingga dapat

memperkaya kajian-kajian sastra yang dibantu ilmu lain seperti sejarah sastra, sosiologi

sastra, antropologi sastra, maupun ekologi sastra. Sesuai dengan susunan kata dengan hukum

MD (menerangkan-diterangkan), penamaan pendekatan kombinasi kajian sastra dan kajian

pariwisata ini disebutkan sebagai ‘pariwisata sastra’ (tourism of literature), serupa dengan

‘sosiologi sastra’ (sociology of literature) atau ‘antropologi sastra’ (anthropology of

literature).

Dalam kombinasi antara kajian sastra dengan kajian pariwisata, penting disampaikan karakter

kajian masing-masing. Kajian sastra selama ini bersifat kritis, terutama setelah kajian sastra

mendapat bantuan teori-teori kritis seperti poststrukturalisme, postmodernisme, dekonstruksi,

dan postkolonial. Selain itu, banyak karya sastra yang ditulis dengan semangat kritis yang

menimbulkan kesan oposisi dengan aktivitas dan industri pariwisata. Sebaliknya, kajian

pariwisata condong bersifat positivistik, seperti bisa dilihat dalam analisis tentang strategi

pengembangan destinasi pariwisata, kepuasan konsumen (wisatawan), angka kunjungan yang

meningkat, devisa pariwisata, pariwisata berbasis masyarakat, pariwisata warisan budaya,

Page 4: Pariwisata Sastra: Kombinasi Kajian Sastra dan Kajian

3

dan pariwisata berkelanjutan. Dalam kombinasi antara kajian sastra dengan kajian pariwisata,

prasangka negatif dan bias positif, perlu dipadukan sehingga kajian pariwisata sastra dapat

memberikan analisis yang objektif. Faktanya, banyak juga karya sastra yang secara positif

memotret pariwisata, dan dalam dunia pariwisata mulai muncul kajian dark tourism

(pariwisata hitam, tragedi, bencana).

Kombinasi ini mengadopsi kajian-kajian wisata sastra yang muncul di Eropa dan Asia baik

untuk kajian wisata atas sastra (literary tourism) maupun kajian sastra atas buku wisata

(travel book). Herbert (1996; 2001) mengkaji wisata sastra di Inggris dan Perancis, Melton

(2002) mengkaji karya-karya buku wisata pengarang Amerika Mark Twain (1835-1910);

Hoppen, Brown, Fyall (2014) mengkaji sastra sebagai bahan untuk promosi dan branding

wisata; serta Yu and Xu (2016) yang menulis fungsi puisi Cina kuna dalam pariwisata Cina

dewasa ini.

Pembahasan difokuskan pada sejumlah fenomena di mana karya sastra, sastrawan, festival

sastra, dan cerita rakyat di Indonesia memberikan sumbangan nyata dalam perkembangan

kepariwisataan. Selain melihat bagaimana karya sastra, sastrawan, dan peristiwa kesusastraan

mempromosikan daerah sebagai atraksi atau tujuan wisata, pembahasan juga mengungkapkan

bagaimana sastra menyampaikan kritik-kritik atas pembangunan pariwisata yang tujuannya

jelas untuk membuat pembangunan kepariwisataan dapat memberikan manfaat positif kepada

masyarakat.

Uraian berikut diawali dengan pembahasan mengenai dua kategori kajian sastra kaitannya

dengan kepariwisataan.

2. Cakupan Kajian Pariwisata Sastra

Kajian pariwisata sastra mencakup dua hal yang berkaitan. Pertama, kajian atas aktivitas

wisata yang menjadikan sastra dalam berbagai dimensinya sebagai daya tarik pariwisata.

Batasan wisata sastra yang dikutip sebagai intro tulisan ini menjelaskan bahwa ‘wisata sastra’

terjadi ketika ‘para sastrawan atau karya-karyanya menjadi demikian populer terbukti dari

orang-orang tertarik apakah mengunjungi lokasi yang berkaitan dengan sastrawan itu (seperti

tempat kelahirannya, rumah, dan kuburannya) atau tertarik pada hal-hal yang dilukiskan

dalam karyanya’ (Busby & Klug, 2001 dalam Hoppen, Anne, Lorraine Brown, Alan Fyall.

2014). Spirit positivistik sangat terasa dominan dalam pendekatan seperti ini.

Kedua, kajian atas karya dan aktivitas sastra yang berkaitan dengan kegiatan kepariwisataan

yang dilakukan dengan meminjam pariwisata sebagai ilmu bantu. Hal ini misalnya dilakukan

atas cerita-cerita travelogue, puisi bertema pariwisata, sastra atau mitos yang dijadikan alat

promosi pariwisata atau branding seperti kasus cerita rakyat Putri Mandalika yang menjadi

nama resort di Lombok dan juga menjadi inti dari festival atau ritual Putri Nyale yang

menjadi daya tarik wisata.

Kajian sastra bersifat multidisipliner dalam pengertian penggunaan teori-teori dari rumpun

ilmu humaniora seperti linguistik, sosiologi, politik, sejarah, dan antropologi. Belakangan

kajian sastra juga menggunakan teori-teori kritis seperti postkolonial, postmodernisme,

dekonstruksi, wacana, new historicism, feminisme, dan ekologi sastra.

Dengan adanya ilmu bantu dan teori dari bidang ilmu lain, kajian sastra menjadi lebih kaya

dari studi-studi struktural, formal, intrinsik, dan estetik yang berfokus pada teks. Teori dan

pendekatan baru dalam kajian sastra tidak saja memberikan perspektif baru dalam analisis

sastra tetapi juga menunjukkan bahwa karya sastra dan studi sastra tidak terlepas dari fakta

dan wacana sosial lainnya. Artinya, karya sastra bisa dipahami dengan lebih kontekstual dan

intertekstual dengan menggunakan teori lain sekaligus bisa memberikan pemahaman

alternatif atas fenomena sosial yang berkembang di masyarakat. Banyak karya sastra dan

Page 5: Pariwisata Sastra: Kombinasi Kajian Sastra dan Kajian

4

kajian atasnya mengungkapkan mengenai dinamika sosial seperti masalah kesetaraan gender

atau citra wanita (Hellwig 1994), spirit nasionalisme (Sindhunata [ed] 1999), spirit

pascakolonial (Foulcher dan Day [ed] 2002), persepsi masyarakat tentang modernitas dan

identitas (Putra 2011), kedudukan kiyai dalam masyarakat (Salam 2016). Dengan pendekatan

baru, kajian sastra bukan saja menjadi lebih menarik dan produktif, tetapi juga menegaskan

bahwa sastra bukanlah sesuatu yang eksklusif. Dengan pendekatan baru, ‘prasangka negatif’

dan ‘prasangka positif’ yang menjadi ciri dari kedua kajian bisa dipadukan untuk melahirkan

pendekatan yang lebih objektif.

Kajian sastra dengan pendekatan pariwisata hadir terlambat di Indonesia. Keterlambatan ini

tampaknya tidak bisa dipisahkan dengan keterlambatan kehadiran pariwisata sebagai ilmu.

Pendidikan pariwisata sudah berkembang di Indonesia mulai akhir 1950-an di Bandung,

tetapi umumnya bersifat vokasi, pendidikan diploma, untuk skill. Kehadiran pariwisata

sebagai ilmu baru diakui tahun 2008, ditandai dengan pengakuan status jenjang pendidikan

diploma IV pariwisata menjadi S-1 dan program studi ilmu kepariwisataan (PSIK) menjadi

Fakultas Pariwisata. PSIK di Universitas Udayana sudah ada sejak 1995, namun dalam

perjalanannya hanya diakui sebagai diploma, baru tahun 2008 diakui pemerintah dengan

didirikannya fakultas pariwisata dan lulusannya setingkat S-1. Sejak itu, kajian pariwisata

mulai menggeliat, namun karena areanya demikian luas, meliputi manajemen, pemasaran,

pariwisata budaya, ekowisata, hospitality, transportasi, film tourism, pendidikan, dark

tourism, maka kajian sastra wisata belum tersentuh.

Bentuk-bentuk tulisan travelogue atau travel writing, travel book yang sudah lumrah dalam

khasanah sastra Barat seperti terlihat dari karya-karya Mark Twain dari akhir abad ke-19,

juga terdapat dalam khasanah sastra daerah dan nasional di Indonesia, hanya saja belum

digali dengan pendekatan baru, sastra wisata. Contoh tulisan yang potensial dikaji dengan

sastra wisata seperti naskah puisi berbahasa Sunda dari abad ke-16 yang berisi kisah

perjalanan pendeta Hindu Bujangga Manik dari Jawa Barat ke Jawa Timur dan Bali (Teeuw

1987). Dalam karya sastra Indonesia, banyak puisi travelogue karena melukiskan perjalanan

atau keindahan alam, seperti sajak pendek “Muhamad Rukman Kartawinata di Bali” (1957)

karya Ajip Rosidi yang melukiskan tokoh sajaknya menjadi wisatawan di Bali, atau sajak

pamflet W.S. Rendra berjudul “Sajak Pulau Bali” (1977) yang dengan estetika puitik dengan

tajam mengkritik gejala komodifikasi adat dan budaya Bali untuk pariwisata.

Pola pendekatan sastra wisata dapat mengadopsi model-model kajian yang sudah ada selama

ini, yakni yang memberikan perhatian karya sastra, sastrawan, dan peristiwa sastra. Dalam

tulisannya “Ancient poetry in contemporary Chinese tourism” (2016), Yu dan Xu

menunjukkan bagaimana puisi klasik Cina digunakan sebagai daya tarik wisata. Penelitian

dilakukan di destinasi wisata Three Gorges, salah satu dari lima destinasi utama di Cina

selain Great Wall, the Forbidden City, Xian, dan Guilin. Three Gorges (Tiga Ngarai) terletak

di daerah Yangtze River dan merupakan daerah wisata yang banyak dikunjungi wisatawan.

Yu dan Xu menerapkan dua metode dalam penelitiannya yaitu observasi dan kajian

dokumen. Dalam observasi, mereka ikut dalam tur sebagai wisatawan sehingga bisa

mengamati item-item yang berkaitan dengan sastra yang dijadikan daya tarik wisata,

sementara dalam metode kepustakaan, mereka mengamati penggunaan karya sastra

khususnya kutipan-kutipan puisi dalam buku panduan wisata atau bahan promosi lainnya

termasuk buku Lonely Planet. Dari analisis atas lima buku panduan wisata, Yu dan Xu

menemukan 216 kutipan puisi Cina kuna yang digunakan untuk menjelaskan tempat atau

daya tarik wisata kawasan Three Gorges khususnya Fengjie dan di Yellow Crane Tower,

Wuhan (Yu dan Xu 2016:397).

Page 6: Pariwisata Sastra: Kombinasi Kajian Sastra dan Kajian

5

Melalui metode observasi, Yu dan Xu menemukan tiga bentuk daya tarik wisata yang

dinikmati wisatawan di dua destinasi wisata yaitu Fengjie (dikenal sebagai the city of poetry)

dan di Yellow Crane Tower, Wuhan. Ketiga hal tersebut adalah (1) puisi Cina kuna yan

dicetak dalam lempeng logam, yang digantung atau tertempel di tembok; (2) lukisan mural

para penyair; (3) suvenir kaligrafi puisi Cina. Pariwisata yang menawarkan warisan budaya

puisi, bisa dikategorikan ke dalam pariwisata warisan budaya atau juga pariwisata budaya. Di

Cina, puisi merupakan jenis karya sastra yang tua umurnya dan merupakan jenis sastra yang

sangat dihormati di Cina. Yu dan Xu menyimpulkan bahwa sastra pariwisata itu:

[It] contributes to the understanding of the cultural nature of the Chinese gaze as a

poetic gaze and adds to the knowledge about literary tourism in China (2016:402).

Kutipan tersebut menegaskan bahwa bagi wisatawan, daya tarik wisata sastra tidak saja

memberikan mereka tontonan atau objek tatapan tetapi juga pengetahuan tentang sastra Cina,

keindahan dan kebijakan yang terkandung dalam puisi kuna Cina yang dipajang. Puisi yang

dikutip dan dipajang kebanyakan yang berhubungan dengan lukisan mengenai alam dan

lingkungan dengan aneka suasana dan dimensinya.

Sementara itu, Herbert dalam dua tulisannya masing-masing berjudul “Artistic and literary

places in France as tourist attractions” (1996) dan “Literary Places, Tourism and The

Heritage Experience” (2001) menunjukkan tempat-tempat sastra yang berkaitan dengan

sastrawan dan seniman lainnya termasuk pelukis sebagai daya tarik wisata. Dalam tulisan

pertama dia meneliti daya tarik wisata tempat kediaman sastrawan dan dua pelukis yaitu

Marcel Proust, Gaugin, dan Vincent van Gogh di Perancis. Rumah yang pernah ditempati

seniman tersebut sudah ditata menjadi museum dengan koleksi karya, peninggalan, dan

momento sang sastrawan atau pelukis. Dalam kajiannya, Herbert tidak saja menguraikan

daya tarik dalam museum-museum kecil itu tetapi juga tipe turis yang berkunjung, yaitu yang

generalis (tanpa memiliki pengetahuan khusus tentang objek yang dikunjungi) dan yang

pilgrimis (memiliki minat dan pengetahuan khusus tentang objek yang dikunjungi).

Dalam kajiannya yang kedua, yang difokuskan pada rumah dua sastrawan di Inggris yaitu

Jane Austen House di Chawton and Dylan Thomas di Laugharne, Herbert juga menggunakan

kategori turis generalis dan turis pilgrimis dalam konteks wisata warisan budaya dan

mendalami pengalaman wisatawan saat berkunjung ke tempat-tempat tersebut. Sama dengan

kategori turis yang berkunjung ke daya tarik wisata warisan budaya pada umumnya, mereka

yang berkunjung ke daya tarik wisata rumah sastrawan adalah ‘service class’, yaitu orang-

orang profesional, pengusaha, kelas menengah ke atas, lawan dari kelompok pekerja (buruh)

atau kelas menengah ke bawah.

Menjadikan rumah sastrawan, pelukis, atau seniman besar lainnya sebagai daya tarik wisata

warisan budaya banyak dapat ditemukan di berbagai kota di Eropa. Di Rusia, kediaman

sastrawan Fyodor Mikhailovich Dostoyevsky, dijadikan Memorial Museum yang menarik

wisatawan (Arcana 2016), begitu juga halnya dengan rumah Beethoven di Bonn, Jerman.

Kalau di rumah Dostoyevsky dipajang foto dan buku novelnya sebagai daya tarik utama, di

rumah Beethoven dipajang piano tua yang pernah dipakainya menciptakan musik

(pengalaman kunjungan penulis, 2015). Wisatawan yang berkunjung ke sana mendapat

pengalaman langsung merasakan suasana tempat yang memberikan inspirasi kepada maestro

untuk berkarya. Keduanya menjadi daya tarik wisata, berarti keduanya memberikan

kontribusi langsung dalam pengembangan pariwisata di kota tersebut.

Page 7: Pariwisata Sastra: Kombinasi Kajian Sastra dan Kajian

6

Selain pengarang dan kediamannya, karya sastra, festival sastra juga dapat menjadi medium

yang dapat berkontribusi pada suatu daerah untuk mengembangkan pariwisatanya. Tahun

2004, UNESCO mengambil inisiatif untuk membentuk UNESCO Creative Cities Network

(UCCN) untuk enam bidang yaitu kota Crafts & Folk Art, Design, Film, Gastronomy,

Literature, Music and Media Arts. Sampai tahun 2017, sudah ada 180 kota kreatif dari 72

negara. Dari Indonesia, terdaftar dua kota dalam UCCN yaitu Bandung sebagai kota design

dan Pekalongan sebagai kota Crafts & Folk Art.

Data UNESCO tahun 2016 mencatat sudah ada 20 kota di dunia yang menyandang Kota

Sastra, antara lain Iowa, Baghdag, Barcelona, dan Melbourne. Kota-kota ini ditetapkan

sebagai kota sastra karena memiliki kelebihan dalam berbagai hal yang berkaitan dengan

sastra, pengarang, buku, perpustakaan, dan juga kegiatan sastra. Melbourne, misalnya, setiap

tahun melaksanakan Melbourne Writers Festival, yang dipromosikan sepanjang tahun melalui

lamanya. Kota-kota sastra ini mengadakan kegiatan sastra secara reguler dan bekerja sama

dengan kota jaringannya yang secara langsung atau tidak langsung memberikan kontribusi

untuk kepariwisataan. Ubud yang sukses melaksanakan wirters festival setiap tahun tanpa

jeda dan berhasil mengundang penulis-penulis ternama dunia, mungkin kelak bisa

didaftarkan sebagai Kota Sastra, sehingga bisa hadir sebagai representasi baru untuk

kombinasi antara sastra dan pariwisata atau pariwisata dan sastra.

3. Aplikasi Pendekatan Pariwisata di Indonesia

Dengan mengadopsi kajian wisata sastra atau sastra wisata di Eropa dan Cina, pendekatan

pariwisata sastra di Indonesia pun dapat dilakukan dalam lima area berikut ini. Pertama,

mengkaji karya sastra yang bertema tentang pariwisata. Kedua, kajian atas aktivitas sastra

yang memberikan kontribusi pada industri pariwisata. Ketiga, kajian kegiatan wisata sastra,

yaitu wisata menawarkan ikon atau daya tarik bersumber dari sastra atau sastrawan dengan

segala dimensinya. Keempat, mengkaji karya sastra yang ditransformasi ke dalam bentuk lain

seperti film yang kehadirannya memiliki dampak lansgung maupun tidak terhadap industri

kepariwisataan. Berikut disampaikan kajian untuk tiap-tiap objek kajian sebagai ilustrasi.

3.1 Kajian Tematik Karya Sastra Kajian tematik dilakukan dengan memiliki karya sastra seperti puisi, cerpen, novel, atau

drama yang bertema pariwisata. Hal yang sama juga bisa dilakukan untuk cerita rakyat,

seperti halnya mitologi Putri Mandalika di Lombok yang kini menjadi nama resort wisata

baru di Lombok. Selain itu, cerita Putri Mandalika dengan tradisi Bau Nyale dipromosikan

sebagai ritual untuk menarik wisatawan. Tarian Putri Mandalika diciptakan untuk

memperkuat citra pariwisata budaya. Cerita rakyat Putri Mandalika merupakan contoh kuat

hubungan resiprokal antara sastra dan pariwisata sehingga menarik dikaji dengan pendekatan

kombinasi kajian sastra dan kajian pariwisata.

Dalam sastra Indonesia modern, ada beberapa puisi bertema pariwisata yang ditulis penyair

Indonesia seperti W.S. Rendra, Ajip Rosidi, dan Radar Panca Dahana. Karya-karya mereka

bisa dikaji dalam satu kesatuan dengan, misalnya, melihat dampak pariwisata terhadap Bali

seperti diartikulasikan dalam sajak-sajak tersebut. Tergantung dari penafsiran, kemungkinan

citra Bali yang ditampilkan tidak tunggal, tetapi beragam.

Dalam “Sajak Pulau Bali”, yang termuat dalam antologi Potret Pembangunan dalam Puisi

(1980), Rendra dengan lantang mengkritik seni dan budaya Bali dieskploitasi untuk

pariwisata. Sajak yang bertiti-mangsa tahun 1977 dibuka dengan bait yang menyatakan Bali

dijadikan objek pariwisata seperti ini:

Sebab percaya akan keampuhan industri

Page 8: Pariwisata Sastra: Kombinasi Kajian Sastra dan Kajian

7

dan yakin bisa memupuk modal nasional

dari kesenian dan keindahan alam,

maka Bali menjadi obyek pariwisata

Dalam perkembangannya, pengelolaa Bali sebagai objek pariwisata mendorong munculnya

proses komersialisasi untuk memenuhi selera wisatawan. Dalam pertengahan sajak yang

cukup panjang, terdiri lebih dari 15 bait itu Rendra mengkritik:

Dan Bali,

dengan segenap kesenian,

kebudayaan, dan alamnya,

harus bisa diringkaskan,

untuk dibungkus dalam kertas kado,

dan disuguhkan pada pelancong.

Dalam proses komersialisasi itu, perusahaan pribumi terjepit, dikalahkan oleh pemodal besar.

Ungkapan tersebut adalah kritikan keras Rendra atas pembangunan pariwisata Bali yang

merugikan masyarakat kecil, sebaliknya menguntungkan pemodal besar.

Lebih dari komersialisasi yang memprihatinkan, Rendra juga mengungkapkan munculnya

gejala desakralisasi atas kesucian. Ungkapan itu disampaikan Rendra di akhir sajak, sebagai

penutup, dengan nada sinisme yang sangat menyentuh.

Di Bali :

pantai, gunung, tempat tidur dan pura,

telah dicemarkan

Rendra tidak sendirian merasa khawatir akan pengaruh pariwisata terhadap budaya Bali.

Novel Tiba-tiba Malam (1977) karya Putu Wijaya, misalnya, yang ditulis pada era 1970-an

sama dengan tahun penulisan sajak Rendra, juga mengkhawatirkan dampak negatif

pariwisata terhadap budaya Bali. Kekhawatiran atas dampak pariwisata yang demikian

negatif dalam sajak ini, juga muncul dalam kajian sosiologis yang dibuat pada era yang sama,

1970-an (Kayam 1981). Dalam tulisannya, sosiolog Kayam menyampaikan bahwa industri

pariwisata di Bali bersifat kompromis atas seni dan budaya. Misalnya, pentas tari yang

normal, dipentaskan dalam durasi pendek untuk menyesuaikan dengan jadwal waktu tur

wisatawan yang disusun dengan kondisi: dengan waktu sesingkat-singkatnya dan biaya

seminimal mungkin wisatawan ingin melihat sebanyak-banyaknya. Uraian Kayam dan novel

Putu Wijaya menunjukkan bahwa Rendra tidak sendiri merasa khawatir dalam memandang

perkembangan pariwisata Bali lewat puisinya.

Apakah karya sastra seperti ini dapat dianggap memberikan kontribusi pada perkembangan

pariwisata? Jawabannya ‘ya’, sepanjang pemikiran kritis itu dianggap sebagai kritik

membangun untuk kebaikan bersama. Meskipun ungkapan negatif dan sinis, puisi Rendra

secara dekonstruktif jelas memiliki keinginan agar pariwisata Bali berjalan baik,

menguntungkan bisnis penduduk lokal, tidak kompromis atas komersialisasi dan sakralisasi

kesucian.

3.2 Kajian Aktivitas Sastra Di Indonesia terdapat sejumlah aktivitas atau festival sastra atau seni budaya yang melibatkan

sastra. Hal ini bisa dikaji dengan pendekatan kajian pariwisata sastra. Namun, yang paling

Page 9: Pariwisata Sastra: Kombinasi Kajian Sastra dan Kajian

8

fenomenal adalah Ubud Writers and Readers Festival, yang dilaksanakan setiap tahun mulai

2004. Belakangan juga muncul Borobudur Writers and Cultural Festival yang sedang diuji

kontinyuitasnya, karena melaksanakan festival sastra memerlukan komitmen besar.

Ubud Writers Festival ini sengaja digelar untuk memulihkan citra dan keyakinan pasar

pariwisata Ubud pada khususnya dan Bali pada umumnya yang sempat anjlok akibat

serangan terorisme 2002 (dan 2005). Sampai tahun 2017, UWRF sudah berlangsung untuk

ke-14 kali, reguler setiap tahun, kontribusinya tidak saja mengembalikan keyakinan pasar

untuk memilih Ubud sebagai tempat berlibur, tetapi juga meningkatkan citra Ubud sebagai

destinasi wisata dengan atribut baru yang bergengsi.

Writers Festival merupakan nama generik yang dipakai untuk festival serupa di berbagai kota

di dunia, seperti di Melbourne, Byron Bay (Australia), Hongkong, dan Dublin. Aktivitas

sastra atau festival sastra ini bisa dikaji dengan kombinasi pendekatan pariwisata dan sastra,

dengan misalnya mengkaji dampak festival terhadap industri pariwisata (usaha akomodasi,

restoran), demografi peserta dan penonton festival, dan arti festival bagi pencitraan destinasi,

dan makna festival kehidupan sastra negara tuan rumah dan secara internasional. Kajian atas

festival tidak saja untuk mengetahui dinamika dan manfaatnya serta apresiasi untuk

kelanjutannya tetapi juga mendokumentasikannya sebagai bagian dari sejarah sastra (dan

budaya).

3.3 Kajian Wisata Sastra Kajian wisata sastra bisa dilakukan seperti model studi Herbert (1996; 2002) di Inggris dan

Perancis serta studi bersama Hoppen, Brown, dan Fyall (2014) di Cina. Dalam artikel Herbert

diuraikan bagaimana rumah peninggalan sastrawan dan seniman lainnya diubah menjadi

museum, sedangkan Hoppen, Brown, dan Fyall menguraikan kegiatan wisata para wisatawan

di Three Gorges dengan mengunjungi ruang pamer puisi Cina kuna dan mural penyairnya.

Atau, seperti mengunjungi rumah Dostoevsky di Rusia.

Di Indonesia sejauh ini belum ada rumah sastrawan yang dijadikan museum. Kunjungan ke

kuburan sastrawan juga bukan hal yang biasa. Orang yang berziarah ke kuburan Chairil

Anwar atau kuburan WS Rendra, masih individual, insidental, bukan merupakan kegiatan

wisata sastra sehingga belum pantas dikaji. Di Sumatera Barat, ada jembatan yang bernama

Jembatan Siti Nurbaya (Endriani 2015), diambil dari tokoh roman karya Marah Rusli, dari

tahun 1922. Sekitar 1 km arah utara jembatan, tepatnya di Gunung Padang, terdapat kuburan

Siti Nurbaya. Kuburan ini sempat menjadi daya tarik wisata. Kalau hari Minggu, jumlah

pengunjung sampai 50 orang, belakangan jumlah itu menurun sehingga muncul dorongan

pada pemerintah untuk melakukan pengelolaan dan promosi yang lebih efektif (Kompas.com

2008).

Pengarang Bali Panji Tisna dari Singaraja, Bali Utara, berhasil mempopulerkan kawasan

wisata pantai Lovina. Dia mulai tinggal di tempat itu awal tahun1950-an, membangun

pondok atau villa. Kini kawasan Lovina terkenal sebagai daerah wisata di Singaraja. Banyak

hotel dan villa di sana, dan mendengar nama Lovina orang akan ingat sastrawan Bali yang

terkenal akan karyanya Sukreni Gadis Bali (1936), diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris

oleh George Quinn menjadi The Rape of Sukreni (1998). Latar belakang novel ini adalah

daerah perkebunan kelapa yang letaknya tidak jauh dari Lovina. Sejauh ini, keluarga Panji

Tisna di Singaraja masih menyimpan mesin ketik (kuna) dan buku-buku Panji Tisna di

kediamannya di Puri Agung Singaraja. Jika ada pengunjung khusus datang, hal itu

ditunjukkan, tetapi belum menjadi museum kecil sekali pun yang membuka diri untuk

dikunjungi publik.

Page 10: Pariwisata Sastra: Kombinasi Kajian Sastra dan Kajian

9

Fakta kuburan Siti Nurbaya sebagai daya tarik wisata dan jasa Panji Tisna dalam

mengembangkan pariwisata di Lovina dapat dikaji lebih dalam sehingga merangsang

pemerintah atau stakeholder pariwisata dan keluarga sastrawan secara kreatif untuk

mengembangkan peninggalan sastrawan sebagai daya tarik wisata. Jika ini terjadi tidak saja

pariwisata berkembang, tetapi juga warisan budaya sastra juga bisa diselamatkan dan di-

share terus lintas waktu dan generasi seperti yang dirasakan pengelola dan wisatawan yang

berkunjung ke Fengjie di daerah Three Gorges yang diberikan julukan The City of Poetry .

3.4 Kajian Transformasi Karya Sastra dan Promosi Pariwisata Fakta fenomenal yang menarik diteliti adalah kontribusi novel dan film Laskar Pelangi atas

popularitas Belitung sebagai daerah tujuan wisata. Setelah novel ini difilmkan, yang

menampilkan pemandangan pantai yang indah, Belitung menerima setidaknya dua dampak

positif dalam konteks pariwisata, seperti dikatakan oleh I Gde Pitana, Deputi Pemasaran Luar

Negeri Kementerian Pariwisata. Pertama, nama Belitung mulai masuk dalam peta pariwisata

Indonesia. Kedua, jumlah kunjungan wisatawan domestik ke daerah itu meningkat

(Liputan6.com). Yang juga penting adalah salah satu daerah di Belitung ditetapkan sebagai

salah satu dari prioritas pembangunan pariwisata pemerintah pusat dengan label “10 Bali

Baru”.

Wisata sastra ke tempat-tempat di atas adalah kontribusi sastra. Namun, sementara ini,

apresiasi atas peran sastra terhadap pembangunan pariwisata sebatas menjadi berita surat

kabar atau media massa, saatnya juga menjadi kajian kritis dan mendalam dalam studi sastra.

Walau merupakan karya sastra Barat, kontribusi novel dan film Eat Pray Love dalam promosi

pariwisata Bali pada umumnya dan Ubud pada khususnya perlu dicatat. Bayangkan, novel

yang terbit 2006 itu, tahun 2010 sudah terjual tujuh juta buku (Times.com 2010). Jumlah ini

pasti meningkat, ditambah lagi penjualan buku terjemahan Indonesianya Makan Doa Cinta

(2006). Filmnya yang beredar 2010 juga ditonton jutaan orang di seluruh dunia dan menjadi

promosi pariwisata Bali yang luar biasa. Kalau iklan pariwisata di CNN bisa membayar

puluhan juta untuk 30 detik yang efektivitasnya belum terlalu jelas, sementara film Eat Pray

Love adalah iklan gratis dengan penonton nyata. Manfaat nyata juga diperoleh oleh healer

Ketut Liyer, tokoh ‘utama’ bagian Bali dalam film itu, yang sejak film terkenal, banyak

wisatawan berkunjung ke rumahnya untuk meramal nasib atau hanya ingin tahu tempat

syuting dan sumber inspirasi novel/film. Dalam masa larisnya, Liyer membatasi pengunjung

sehari 25 orang, dan mengutip ongkos membaca garis tangan sebesar U$25, kira-kira dia

mendapat US$ 625/ per hari (dengan rate Rp 10,000, berarti Rp 6,2 juta oer hari). Kontribusi

sastra seperti ini patut diapresiasi sebagai kontribusi sastra pada pembangunan

kepariwisataan.

Dari empat bentuk pendekatan analisis pariwisata sastra di atas, tentu saja tidak tertutup

kemungkinan untuk mengkombinasikan satu sama lain, sepanjang jelas konteks antara sastra

dan pariwisata. Atau, mungkin juga terbuka area analisis baru sesuai dengan data dan fakta

sastra-pariwisata yang (akan) muncul.

4. Simpulan

Makalah ringkas ini telah mencoba untuk mengombinaskan kajian sastra dan kajian

pariwisata untuk melahirkan pendekatan baru yang (untuk sementara barangkali bisa)

dinamakan sebagai pendekatan pariwisata sastra (tourism of literature), sesuai dengan

bentukan penamaan pendekatan yang ada selama ini seperti sosiologi sastra (sociology of

literature) atau antropologi sastra (anthropolofy of literature). Kalau dalam sosiologi sastra

kajian yang dilakukan menggunakan konsep atau teori-teori dari sosiologi, maka dalam

Page 11: Pariwisata Sastra: Kombinasi Kajian Sastra dan Kajian

10

pendekatan pariwisata sastra, kajian atas sastra dilakukan dengan meminjam pendekatan,

konsep, teori dari pariwisata.

Kombinasi kajian sastra dan kajian pariwisata kiranya akan dapat berjalan mulus karena

dalam banyak hal, sastra dan pariwisata sebagai sama-sama ilmu humaniora, memiliki dan

biasa menggunakan teori-teori budaya yang sama, seperti terlihat dalam studi Bourdieu

(1984) mengenai kajian pengunjung museum sebagai objek wisata dengan teori cultural

capital. Konsep cultural capital merupakan hal yang lumrah dalam kajian sastra.

Pendekatan pariwisata sastra dapat dikembangkan dengan kombinasi dua pendekatan yang

agak kontras, yaitu pendekatan sastra dengan karakter kritis yang melihat sastra-pariwisata

dengan prasangka negatif, sedangkan kajian pariwisata dengan karakter positivistik melihat

sastra-pariwisata dengan prasangka positif. Kombinasi antara keduanya bisa melahirkan

pendekatan yang lebih objektif. Kehadiran pendekatan pariwisata sastra ini tidak saja akan

memberikan thinking tool (alat berfikir/ alat analisis) yang objektif, tetapi juga memberikan

cara-cara baru untuk menciptakan objek kajian baru yang selama ini belum begitu jelas

‘bentuk’ dan ‘peminat’-nya.

Dengan tawaran pendekatan baru ini, semoga lahir peminat baru yang mulai melihat sastra

dengan kacamata baru sehingga bisa membentuk objek kajian dan melakukan bentuk analisis

yang baru.

Daftar Pustaka

Arcana, Fajar. 2016. “Bertamu ke Rumah Dostoevsky”, Kompas, Minggu, 27 Juni 2016, p.

18.

Bourdieu, P. 1984. Distinction: a Social Critique of the Judgement of Taste. Routledge,

London.

Endriani, Deni. 2015. “Making a Tourism Icon: The valorization of Siti nurbaya bridge in

West Sumatera”, JUMPA 1 [2] : 43 – 56.

Foulcher, Keith and Tony Day (eds). 2002. Clearing a space: Postcolonial readings of

modern Indonesian literature. Leiden: KILTV.

Hellwig, Tineke. 1994. In the Shadow of Change. Images of Women in Indonesian Literature.

Berkeley, CA: Center for Southeast Asian Studies, Monograph No. 35, University of

California.

Herbert, D.T. 1996. “Artistic and literary places in France as tourist attractions”, Tourism

Management, Vol. 17, No. 2, pp. 77-85.

Herbert, David. 2001. “Literary Places, Tourism and The Heritage Experience” Annals of

Tourism Research, Vol. 28, No. 2, pp. 312–333.

Hitchcock, Michael dan I Nyoman Darma Putra. 2007. Tourism, Development and Terrorism

in Bali. Aldershot, UK: Ashgate.

Hoppen, Anne, Lorraine Brown, Alan Fyall. 2014. “Literary tourism: Opportunities and

challenges for the marketing and branding of destinations?”, Journal of Destination

Marketing & Management 3 (2014) 37–47.

Kayam, Umar. 1981. Seni, Tradisi, Masyarakat. Jakarta: Sinar Harapan.

Page 12: Pariwisata Sastra: Kombinasi Kajian Sastra dan Kajian

11

Kompas.com. 2008. “Makam.Siti.Nurbaya.Sepi.Pengunjung” Link:

http://nasional.kompas.com/read/2008/10/19/16231973/Makam.Siti.Nurbaya.Sepi.Pengu

njung Diakses 28/11/2017.

Liputan6.com. 2017. “Wajah Baru Pariwisata Belitung Pasca-Novel Laskar Pelangi”, Link

http://lifestyle.liputan6.com/read/3090004/wajah-baru-pariwisata-belitung-pasca-novel-

laskar-pelangi Diakses: 28/11/2017

Melton, Jeffrey Alan. 2002. Mark Twain, Travel Books, and Tourism. 2002Alabama: The

University of Alabama Press.

Putra, I Nyoman Darma. 2011. A Literary Mirror: Balinese Reflections on Modernity and

Identity in the Twentieth Century. Leiden: KITLV.

Rendra, W.S. 1980. Potret Pembangunan dalam Puisi. Jakarta: Lembaga Studi

Pembangunan.

Sindhunata. 1999. Menjadi generasi pasca-Indonesia: kegelisahan Y.B. Mangunwijaya.

Yogyakarta: Kanisius.

Time.com. 2010. “Bali's Travel Boom: Eat, Pray, Love Tourism”,

http://content.time.com/time/magazine/article/0,9171,2011931,00.html

Wijaya, Putu. 1977. Tiba-tiba Malam. Jakarta: Cypress.

Yu, Xiaojuan and Honggang Xu. 2016. “Ancient poetry in contemporary Chinese tourism”,

Tourism Management 54 (2016) 393-403.

Profil:

I Nyoman Darma Putra adalah guru besar ilmu sastra Fakultas Ilmu Budaya, Universitas

Udayana, Bali. Dia menjadi Ketua Program Studi Magister Kajian Pariwisata, Fakultas

Pariwisata, Universitas Udayana, tahun 2014-Maret 2018. Dia menyelesaikan pendidikan

doktornya dari School of Languages and Comparative Cultural Studies, The University

of Queensland, Australia, tahun 2003. Karyanya yang sudah terbit antara lain A Literary

Mirror: Balinese Reflections on Modernity and Identity in the Twentieth Century

(Leiden: KITLV, 2001) dan bersama Michael Hitchcock menulis buku Tourism,

Development and Terrorism in Bali (Aldershot, UK: Ashgate, 2007). Kontak:

[email protected]