paper tbp

13
BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang Dewasa ini, belajar merupakan suatu kebutuhan dasar bagi kehidupan. Belajar (Hakim,2005) adalah suatu proses perubahan didalam kepribadian manusia dan perubahan ditampakkan dalam bentuk peningkatan kualitas dan kuantitas tingkah laku, seperti peningkatan kecakapan, pengetahuan, sikap, kebiasaan, pemahaman, keterampilan, daya pikir, dll. Banyak teori telah dikemukakan selama bertahun-tahun untuk menjelaskan mengapa orang berperilaku. Dari sekian banyak teori belajar, diantaranya ada teori belajar sosial. Teori belajar sosial dikemukakan oleh beberapa ahli diantaranya yaitu Albert Bandura (1965), John Dollard dan Neil E Miller, Julian B Rotter. Teori belajar sosial ini dapat di aplikasikan pada peserta didik SMP kelas VII. Dari sekian banyak materi yang ada pada Fisika SMP kelas VII diantaranya yaitu materi tentang pengukuran. Materi pengukuran yang ada di SMP ini peserta didik diharapkan mampu menyajikan hasil pengukuran besaran fisis dengan menggunakan peralatan dan teknik yang tepat untuk penyelidikan ilmiah. Dengan materi ini peserta didik dapat melatih kemampuan untuk terampil dalam pengguanaan alat ukur diantaranya tingkat ketelitian (akurasi) dan ketepatan (presisi), kesalahan pengukuran, penggunaan angka penting pada alat ukur tersebut dan dapat 1

Upload: inggrid-ayu-putri

Post on 18-Nov-2015

224 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

tbp

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUAN1.1 Latar BelakangDewasa ini, belajar merupakan suatu kebutuhan dasar bagi kehidupan. Belajar (Hakim,2005) adalah suatu proses perubahan didalam kepribadian manusia dan perubahan ditampakkan dalam bentuk peningkatan kualitas dan kuantitas tingkah laku, seperti peningkatan kecakapan, pengetahuan, sikap, kebiasaan, pemahaman, keterampilan, daya pikir, dll. Banyak teori telah dikemukakan selama bertahun-tahun untuk menjelaskan mengapa orang berperilaku. Dari sekian banyak teori belajar, diantaranya ada teori belajar sosial. Teori belajar sosial dikemukakan oleh beberapa ahli diantaranya yaitu Albert Bandura (1965), John Dollard dan Neil E Miller, Julian B Rotter. Teori belajar sosial ini dapat di aplikasikan pada peserta didik SMP kelas VII. Dari sekian banyak materi yang ada pada Fisika SMP kelas VII diantaranya yaitu materi tentang pengukuran. Materi pengukuran yang ada di SMP ini peserta didik diharapkan mampu menyajikan hasil pengukuran besaran fisis dengan menggunakan peralatan dan teknik yang tepat untuk penyelidikan ilmiah. Dengan materi ini peserta didik dapat melatih kemampuan untuk terampil dalam pengguanaan alat ukur diantaranya tingkat ketelitian (akurasi) dan ketepatan (presisi), kesalahan pengukuran, penggunaan angka penting pada alat ukur tersebut dan dapat menuliskan hasil pengukurannya. Alat pengukuran yang biasanya ada di sekolah yatiu jangka sorong, mikrometer sekrup, gelas ukur, neraca, mistar, dll. Peserta didik pada kelas VII SMP termasuk pada remaja awal. Adolesen (remaja) merupakan masa transisi dari anak-anak menjadi dewasa. Pada periode ini berbagai perubahan terjadi baik perubahan hormonal, fisik, psikologis maupun sosial. Perubahan ini terjadi dengan sangat cepat dan terkadang tanpa kita sadari. Perubahan fisik yang menonjol adalah perkembangan tanda-tanda seks sekunder, terjadinya pacu tumbuh, serta perubahan perilaku dan hubungan sosial dengan lingkungannya. Perubahan-perubahan tersebut dapat mengakibatkan kelainan maupun penyakit tertentu bila tidak diperhatikan dengan seksama. Maturasi seksual terjadi melalui tahapan-tahapan yang teratur yang akhirnya mengantarkan anak siap dengan fungsi fertilitasnya, laki-laki dewasa dengan spermatogenesis, sedangkan anak perempuan dengan ovulasi. Di samping itu, juga terjadi perubahan psikososial anak baik dalam tingkah laku, hubungan dengan lingkungan serta ketertarikan dengan lawan jenis. Perubahan-perubahan tersebut juga dapat menyebabkan hubungan antara orangtua dengan remaja menjadi sulit apabila orangtua tidak memahami proses yang terjadi. Perubahan perkembangan remaja ini yang dapat diatasi jika kita mempelajari proses perkembangan seorang anak menjadi dewasa.

BAB IIKajian Teori

Teori belajar sosial (social learning theory) menurut Albert Bandura (Hidayat, 2004), menyatakan umumnya orang belajar untuk bersikap dan bertingkah laku melalui atau dengan mengamati tingkah laku orang lain sebagai model. Selain Albert Bandura yang mengemukakan teori belajar sosial lain, yaitu Neil Miller dan John Dollard, Julian B Rotter. Di tahun 1941, dua orang psikolog - Neil Miller dan John Dollard dalam laporan hasil percobaannya mengatakan bahwa peniruan (imitation) di antara manusia tidak disebabkan oleh unsur instink atau program biologis. Penelitian kedua orang tersebut mengindikasikan bahwa kita belajar (learn) meniru perilaku orang lain. Artinya peniruan tersebut merupakan hasil dari satu proses belajar, bukan bisa begitu saja karena instink. Proses belajar tersebut oleh Miller dan Dollard dinamakan social learning atau pembelajaran sosial. Perilaku peniruan (imitative behavior) kita terjadi karena kita merasa telah memperoleh imbalan ketika kita meniru perilaku orang lain, dan memperoleh hukuman ketika kita tidak menirunya. Agar seseorang bisa belajar mengikuti aturan baku yang telah ditetapkan oleh masyarakat maka para individu harus dilatih, dalam berbagai situasi, sehingga mereka merasa nyaman ketika melakukan apa yang orang lain lakukan, dan merasa tidak nyaman ketika tidak melakukannya., demikian saran yang dikemukakan oleh Miller dan Dollard. Dalam penelitiannya, Miller dan Dollard menunjukan bahwa anak-anak dapatbelajar meniru atau tidak meniru seseorang dalam upaya memperoleh imbalan berupa permen. Dalam percobaannya tersebut, juga dapat diketahui bahwa anak-anak dapat membedakan orang-orang yang akan ditirunya. Misalnya jika orang tersebut laki-laki maka akan ditirunya, jika perempuan tidak. Lebih jauh lagi, sekali perilaku peniruan terpelajari (learned), hasil belajar ini kadang berlaku umum untuk rangsangan yang sama. Misalnya, anak-anak cenderung lebih suka meniru orang-orang yang mirip dengan orang yang sebelumnya memberikan imbalan. Jadi, kita mempelajari banyak perilaku baru melalui pengulangan perilaku orang lain yang kita lihat. Kita contoh perilaku orang-orang lain tertentu, karena kita mendapatkan imbalan atas peniruan tersebut dari orang-orang lain tertentu tadi dan juga dari mereka yang mirip dengan orang-orang lain tertentu tadi, di masa lampau.Pada tahun 1965, Bandura melakukan eksperimen dengan membagi kelompok anak menjadi tiga. Anak-anak ini menyaksikan perilaku agresif yang dilakukan oleh seseorang yang memukuli boneka. Anak-anak di kelompok pertama mendapatkan penguatan akan perilaku agresif tersebut, sedangkan anak-anak di kelompok kedua mendapatkan ancaman pada perilaku agresif, sementara anak-anak di kelompok ketiga tidak mendapatkan penguatan maupun ancaman pada perilaku agresif. Anak-anak tersebut pada akhirnya dihadapkan secara langsung pada boneka tadi. Seperti yang telah diperkirakan sebalumnya, anak-anak di kelompok pertama berperilaku agresif pada boneka tersebut, sementara anak-anak di kelompok kedua kurang agresif pada boneka tersebut, sedangkan anak-anak di kelompok ketiga berada antara agresif dan kurang agresif. Anak-anak di kelompok pertama mendapatkan penguatan dari pengamatan (vicarious reinforcement) dan mereka difasilitasi untuk keagresifan mereka. Sedangkan anak-anak di kelompok kedua mendapatkan ancaman pengamatan (vicarious punishment), dan mereka dihalangi perilaku agresifnya. Meskipun anak-anak tidak mendapatkan pengalaman penguatan maupun ancaman secara langsung, mereka memodifikasi perilakunya secara sama (Hergenhahn dan Olson, 1997). Albert Bandura dan Richard Walters (1959, 1963), mengusulkan satu perbaikan atas gagasan Miller dan Dollard tentang belajar melalui peniruan. Bandura dan Walters menyarankan bahwa kita belajar banyak perilaku melalui peniruan, bahkan tanpa adanya penguat (reinforcement) sekalipun yang kita terima. Kita bisa meniru beberapa perilaku hanya melalui pengamatan terhadap perilaku model, dan akibat yang ditimbulkannya atas model tersebut. Proses belajar semacam ini disebut observational learning - pembelajaran melalui pengamatan. Contohnya, percobaan Bandura dan Walters mengindikasikan bahwa ternyata anak-anak bisa mempunyai perilaku agresif hanya dengan mengamati perilaku agresif sesosok model, misalnya melalui film atau bahkan film karton. Bandura (1971), kemudian menyarankan agar teori pembelajaran sosial seyogianya diperbaiki lebih jauh lagi. Dia mengatakan bahwa teori pembelajaran sosial yang benar-benar melulu menggunakan pendekatan perilaku dan lalu mengabaikan pertimbangan proses mental, perlu dipikirkan ulang. Menurut versi Bandura, maka teori pembelajaran sosial membahas tentang (1) bagaimana perilaku kita dipengaruhi oleh lingkungan melalui penguat (reinforcement) dan observational learning, (2) cara pandang dan cara pikir yang kita miliki terhadap informasi, (3) begitu pula sebaliknya, bagaimana perilaku kita mempengaruhi lingkungan kita dan menciptakan penguat (reinforcement)dan observational opportunity kemungkinan bisa diamati oleh orang lain.Julian B Rotter (1972) mengemukakan bahwa tingkah laku tidak dapat diprediksi dari faktor faktor situasional saja. Apakah orang bertingkah laku dalam cara cara tertentu atau tidak, juga bergantung pada harapan harapan dari hasil tingkah lakunya dan nilai nilai subjektif dari hasil hasil itu. Masa remaja merupakan sebuah periode dalam kehidupan manusia yang batasan usia maupun peranannya seringkali tidak terlalu jelas. Masa remaja ini sering dianggap sebagai masa peralihan, dimana saat-saat ketika anak tidak mau lagi diperlakukan sebagai anak-anak, tetapi dilihat dari pertumbuhan fisiknya ia belum dapat dikatakan orang dewasa. Menurut Anna Freud (dalam Yusuf. S, 2004) masa remaja juga dikenal dengan masa strom and stress dimana terjadi pergolakan emosi yang diiringi pertumbuhan fisik yang pesat dan pertumbuhan psikis yang bervariasi. Pada masa ini remaja mudah terpengaruh oleh lingkungan dan sebagai akibatnya akan muncul kekecewaan dan penderitaan, meningkatnya konflik dan pertentangan, impian dan khayalan, pacaran dan percintaan, keterasinagan dari kehidupan dewasa dan norma kebudayaan (Gunarsa, 1986).Masa remaja merupakan masa untuk mencari identitas/jati diri. Individu ingin mendapat pengakuan tentang apa yang dapat ia hasilkan bagi orang lain. Apabila individu berhasil dalam masa ini maka akan diperoleh suatu kondisi yang disebut identity reputation (memperoleh identitas). Apabila mengalami kegagalan, akan mengalami Identity Diffusion (kekaburan identitas). Masa remaja termasuk masa yang sangat menentukan karena pada masa ini anak-anak mengalami banyak perubahan pada psikis dan fisiknya.Fase-fase masa remaja (pubertas) menurut Monks dkk (2004) yaitu antara umur 12 21 tahun, dengan pembagian 12-15 tahun termasuk masa remaja awal, 15-18 tahun termasuk masa remaja pertengahan, 18-21 tahun termasuk masa remaja akhir.Karakteristik periode remaja awal ditandai oleh terjadinya perubahan-perubahan psikologis seperti, Krisis identitas, Jiwa yang labil, Meningkatnya kemampuan verbal untuk ekspresi diri, Pentingnya teman dekat/sahabat, Berkurangnya rasa hormat terhadap orangtua, kadang-kadang berlaku kasar, Menunjukkan kesalahan orangtua, Mencari orang lain yang disayangi selain orangtua, Kecenderungan untuk berlaku kekanak-kanakan, dan Terdapatnya pengaruh teman sebaya (peer group) terhadap hobi dan cara berpakaian.Pada fase remaja awal mereka hanya tertarik pada keadaan sekarang, bukan masa depan, sedangkan secara seksual mulai timbul rasa malu, ketertarikan terhadap lawan jenis tetapi masih bermain berkelompok Selanjutnya pada periode remaja awal, anak juga mulai melakukan eksperimen dengan rokok, alkohol, atau narkoba. Peran peer group sangat dominan, mereka berusaha membentuk kelompok, bertingkah laku sama, berpenampilan sama, mempunyai bahasa dan kode atau isyarat yang sama. Jadi, teori belajar sosial adalah belajar yang didasarkan kepada pengamatan individu terhadap lingkungan disekitarnya. Perkembangan kognitif remaja, dalam pandangan Jean Piaget (seorang ahli perkembangan kognitif) merupakan periode terakhir dan tertinggi dalam tahap pertumbuhan operasi formal (period of formal operations). Pada periode ini, idealnya para remaja sudah memiliki pola pikir sendiri dalam usaha memecahkan masalah-masalah yang kompleks dan abstrak. Kemampuan berpikir para remaja berkembang sedemikian rupa sehingga mereka dengan mudah dapat membayangkan banyak alternatif pemecahan masalah beserta kemungkinan akibat atau hasilnya. Kapasitas berpikir secara logis dan abstrak mereka berkembang sehingga mereka mampu berpikir multi-dimensi seperti ilmuwan. Para remaja tidak lagi menerima informasi apa adanya, tetapi mereka akan memproses informasi itu serta mengadaptasikannya dengan pemikiran mereka sendiri. Mereka juga mampu mengintegrasikan pengalaman masa lalu dan sekarang untuk ditransformasikan menjadi konklusi, prediksi, dan rencana untuk masa depan. Dengan kemampuan operasional formal ini, para remaja mampu mengadaptasikan diri dengan lingkungan sekitar mereka.Teori belajar sosial berasumsi bahwa manusia berinteraksi dengan lingkungan yang berarti untuknya. Reaksi manusia terhadap kehidupan tergantung pada arti atau kepentingan yang mereka kaitkan dengan suatu kejadian. Penguatan tidak bergantung hanya pada stimulus eksternal, tetapi pada arti yang diberikan oleh kapasitas kognitif dari manusia. Demikian pula karakteristik personal seperti kebutuhan atau sifat, apabila hanya berdiri sendiri, tidak dapat menyebabkan suatu perilaku.

BAB IIIPEMBAHASAN

Teori belajar sosial adalah belajar yang didasarkan kepada pengamatan atau observasi terhadap lingkungan disekitarya. Dalam pembelajaran dengan teori sosial ini, peserta didik akan dihadapkan kepada model yang disebut dengan konsep modeling. Apabila diaplikasikan dalam pembelajaran fisika, model ini adalah seorang guru. Guru tersebut didepan peserta didik menunjukkan bagaimana cara menggunakan berbagai macam alat ukur. Peserta didik akan mengalami proses belajar tahap pertama yaitu atensi atau tahap memperhatikan. Peserta didik akan mengamati sepenuhnya apabila cara yang telah ditunjukkan oleh gurunya menurut peserta didik menyenangkan. Mayoritas guru dilapangan menggunakan bahan ajar berupa buku teks. Seharusnya guru bisa mevariasikan medi pembelajaran Tahap selanjutnya ada tahap retensi atau tahap mengingat kembali. Peserta didik akan mengingat bagaimana cara mengukur dengan berbagai alat ukut dengan media yang diukur berbeda beda. Salah satu cara untuk meningkatkan retensi adalah dengan latihan. Tahap selanjutanya yaitu fase reproduksi. Guru akan mempersilakan murid muridnya untuk mencoba sendiri didalam kelompok. Pada usia ini, peserta didik cenderung akan berkelompok. Sehingga dalam belajar lebih sering diadakan diskusi. Tahap reproduksi adalah tahap dimana peserta didik menirukan apa yang telah dicontohkan oleh gurunya. Tahap selanjutnya yaitu tahap motivasi. Pada tahapan ini seseorang mulai menemukan dorongan sebagai kelanjutan dari proses belajar. Peserta didik membutuhkan motivasi. Motivasi ini didapatkan dari luar maupun dari dalam peserta didik. Seseorang mulai mendapat reward untuk hasil belajar yang memuaskan, yang kemudian akan membuatnya bersemangat untuk kembali belajar. Juga ada pemberian dorongan lebih jika hasil belajarnya dinilai kurang optimal supaya ia terdorong untuk belajar lebih lagi. Biasanya juga didalam belajar peserta didik akan memperhatikan teman sebayanya yang dipuji oleh gurunya karena mendapatkan nilai yang bagus saat ujian. Peserta didik ini akan memiliki rasa ingin sama bahkan lebih dari temannya agar bisa mendapat pujian juga. Belajar ini disebut belajar vicarious.Menurut Miller dan Dollard belajar Miller dan Dollard menekankan bahwa perilaku meniru bisa menjadi kebiasaan, dan menyebut bahwa kecenderungan untuk meniru perilaku pada individu sebagai peniruan umum. Menurut Miller dan Dollard belajar juga karena adanya Perilaku menyocokkan secara langsung, seorang pengamat diberi penguatan untuk meniru tindakan model.Belajar sosial menganggap peserta didik sebagai subjek yang cenderung aktif untuk meniru perilaku objek yaitu model, sehingga model diharapkan menunjukkan perilaku perilaku yang baik. Misalnya, guru tidak berkata kurang sopan didepan murid muridnya. Peserta didik kelas VII SMP sudah memiliki pola pikir sendiri dalam usaha memecahkan masalah-masalah yang kompleks dan abstrak. Kemampuan berpikir para remaja berkembang sedemikian rupa sehingga mereka dengan mudah dapat membayangkan banyak alternatif pemecahan masalah beserta kemungkinan akibat atau hasilnya, sehingga para guru seharusnya mulai membiasakan peserta didik untuk berpikir kritis dan ilmiah. Bukan hanya sekedar pengenalan rumus tapi juga pengenalan hal hal ilmiah.

3