paper mikropal

9
Paper Mikropaleontologi Foraminifera Sebagai Indikator Penentu Suhu Purba Pada Cekungan Jawa Timur Bagian utara Zona Randublatung Menggunakan Rasio Isotop 18 O/ 16 O Fetra Sari Pandiangan Jayadi Tito Velian Vaddel Sandio Abstrak : Pemahaman tentang iklim masa lampau, iklim yang sedang terjadi saat ini, serta prediksi iklim yang akan terjadi dapat difasilitasikan dengan memanfaatkan rasio isotop stabil. Kajian lingkungan yang memanfaatkan rasio isotop stabil di Indonesia belum banyak dilakukan. Pada kesempatan kali ini dilakukan pengukuran rasio isotop 18 O/ 16 O pada foraminifera untuk mengetahui rekonstruksi paleo-temperatur cekungan Jawa Timur bagian Utara pada Zona Randublatung masa Kaenozoikum Akhir. Hasil analisa menunjukkan bahwa, umur sedimen adalah Pleistosen. Lapisan Pleistosen di Jawa Timur Utara menunjukkan adanya iklim subtropis hingga temperate di Jawa Timur. Pemanfaatan rasio isotop 18 O/ 16 O untuk rekonstruksi

Upload: feetra-sari-pandiangan

Post on 26-Sep-2015

274 views

Category:

Documents


13 download

DESCRIPTION

fosil

TRANSCRIPT

Paper MikropaleontologiForaminifera Sebagai Indikator Penentu Suhu Purba Pada Cekungan Jawa Timur Bagian utara Zona Randublatung Menggunakan Rasio Isotop 18O/16O

Fetra Sari PandianganJayadiTito VelianVaddel Sandio

Abstrak : Pemahaman tentang iklim masa lampau, iklim yang sedang terjadi saat ini, serta prediksi iklim yang akan terjadi dapat difasilitasikan dengan memanfaatkan rasio isotop stabil. Kajian lingkungan yang memanfaatkan rasio isotop stabil di Indonesia belum banyak dilakukan. Pada kesempatan kali ini dilakukan pengukuran rasio isotop 18O/16O pada foraminifera untuk mengetahui rekonstruksi paleo-temperatur cekungan Jawa Timur bagian Utara pada Zona Randublatung masa Kaenozoikum Akhir. Hasil analisa menunjukkan bahwa, umur sedimen adalah Pleistosen. Lapisan Pleistosen di Jawa Timur Utara menunjukkan adanya iklim subtropis hingga temperate di Jawa Timur. Pemanfaatan rasio isotop 18O/16O untuk rekonstruksi perubahan lingkungan dapat dilakukan pada organisme karbonat lain seperti koral atau moluska yang dapat memberikan data lebih detail yang sangat berguna dalam prediksi perubahan suhu.Kata kunci: paleo-temperatur, rasio isotop 18O/16O, foraminifera, zona randublatung

1. PendahuluanPerubahan suhu bumi (global warming) sudah berjalan sepanjang waktu. Pemahaman tentang suhu saat ini dan suhu masa lampau, serta usaha untuk memprediksi suhu yang terjadi dapat difasilitasi dengan pemanfaatan isotop dan komposisi kimia cangkang foraminifera. Perubahan temperatur yang menyebabkan perubahan kimia air laut yang telah berjalan dari waktu ke waktu dapat dilihat dari perubahan rasio isotop stabil 18O terhadap 16O yang terkandung dalam cangkang organisme yang telah mati atau fosil yang tersusun oleh kalsium karbonat dan terendapkan bersama sediment di laut. Organisme ini semasa hidupnya menyusun kerangka tubuhnya dengan mengekstrak CaCO3 dari air laut. Pada waktu organisme mengekstrak CaCO3 dari air laut, terjadilah fraksinasi isotop oksigen yang sangat dipengaruhi oleh temperatur air laut. Oleh karena itu perubahan temperatur sangat mempengaruhi perubahan rasio 18O/16O dalam cangkang karbonat suatu organisme. Selain temperatur air laut, komposisi rasio 18O/16O air laut juga mempengaruhi komposissi rasio 18O/16O dalam fosil. Sehingga kandungan rasio 18O/16O fosil karbonat dalam strata sedimen laut, akan mencerminkan urut-urutan perubahan temperatur air laut dimana organisme tersebut pernah hidup.

2. Metode Pembuatan paper ini dilakukan dengan pengumpulan data sekunder berupa literatur yang sudah ada sebelumnya.3. Aplikasi Adapun aplikasi dalam pembuatan paper ini yaitu: 1. Penentuan paleo-temperatur berdasarkasn rasio isotop 18O/16O pada komposisi cangkang foraminifera 2. Digunakan untuk mengetahui umur dari foraminifera

4. DiskusiIsotop adalah atom-atom dari unsur kimia yang sama dimana pada intinya mempunyai jumlah proton sama tetapi mempunyai jumlah neutron yang berbeda. Di alam, kurang lebih ada 300 isotop stabil (non-radioaktif), dan lebih dari 1200 isotop tak stabil yang bersifat radio aktif (Bowen, 1991). Secara umum isotop-isotop terdiri dari isotop major dan isotop minor, yang lebih berat dan jarang dijumpai di alam. Rasio dari kedua isotop tersebut bervariasi sepanjang waktu, dan variasi ini tergantung dari kondisi lingkungan di sekitarnya (Urey et.al., 1951).Dalam pengukuran isotop oksigen dari karbonat, secara internasional digunakan standar referensi karbonat, dari fosil Belemnitellla Americana yang berasal dari the Peedee formation, South Carolina Amerika Serikat (disingkat PDB). Laboratorium- laboratorium geokimia di seluruh dunia dapat memakai standar referensi atau working standard yang bermacam-macam, tetapi hasil pengukurannya harus dicatat secara relatif terhadap standar internasional (Bowen, 1991).Foraminifera adalah binatang atau mikroorganisme unicellular, termasuk dalam protozoa subclass sarcodina dan order foraminifera (Bates & Jackson, 1984). Organisme ini mempunyai satu atau beberapa chamber, dicirikan dengan adanya cangkang dari kalsium karbonat dan sebagian besar mempunyai perforasi dimana pseudopodia (kaki palsu) muncul. Sebagian besar foraminifer hidup di laut, mulai dari permukaan sampai dasar laut. Rasio 18O/16O (untuk selanjutnya dinyatakan dengan 18O) dalam cangkang foraminifera dipengaruhi oleh temperatur pertumbuhan dan komposisi isotop air laut dimana cangkang karbonat tersebut terbentuk (Epstein & Mayeda, 1953; Emiliani, 1955).Sumber lain yang mempengaruhi perubahan kandungan 18O pada karbonat dalam air laut adalah temperatur. Seperti telah diuraikan dimuka bahwa, 18O dalam cangkang karbonat rata-rata 4% lebih tinggi dibanding rasio dalam air laut dimana organisme tersebut hidup. Persoalannya adalah besarnya pemisahan isotop antara oksigen air dan oksigen dalam cangkang tergantung dari temperatur. Untuk setiap derajat Celcius penurunan temperatur, oksigen berat mengalami pengkayaan dalam cangkang dengan penambahan 0.23, (Epstein & Mayeda, 1953; Erez & Luz, 1983). Angka tersebut diperoleh dari hasil pengukuran isotop pada cangkang foraminifera yang di-culture dalam lingkungan yang berbedabeda temperaturnya.Urey (1948) adalah peneliti yang pertama kali menemukan bahwa, dalam suatu senyawa yang sama harga 18O berubah dengan perubahan temperatur. Sehingga ia menyimpulkan bahwa, dengan menggunakan komposisi isotop oksigen sebagai termometer memungkinkan untuk mengukur paleo-temperatur. Pemanfaatan komposisi isotop oksigen dalam cangkang foraminifera sebagai indikator perubahan iklim diawali oleh Emiliani (1954; 1955; 1966). Emiliani (1954) memperlihatkan bahwa 18O dalam cangkang foraminifera berosilasi dalam merespon fluktuasi glacial-interglasial (dingin-hangat) antara harga-harga maksimum dan minimum selama Periode Kwarter (sekitar 1,600,000 tahun yang lalu sampai sekarang).

Paper ini menggunakan data sekunder Cekungan Jawa Timur bagian Utara pada Zona Randublatung. Data yang digunakan berdasarkan sampel sedimen dengan mengambil foraminifera planktonik spesies Globorotalia Inflata (dorbigny) yang selanjutnya digunakan untuk pengukuran kandungan rasio isotop oksigennya. Nilai 18O yang dikandung dalam foraminifera mencerminkan kondisi lingkungan air laut pada kedalaman dimana dan pada saat spesies tersebut hidup. Sehingga pemilihan spesies perlu dilakukan sesuai dengan kedalaman habitat hidupnya yang dibutuhkan dalam penelitian. Selain itu jumlah spesimen spesies yang dipilih harus memenuhi kebutuhan untuk pengukuran dalam setiap titik kedalaman. Spesies ini hidup pada permukaan air laut sampai kedalaman rata-rata 40 meter (Emiliani, 1955) sehingga data lingkungan yang diperoleh dari spesies ini diasumsikan dapat mewakili keadaan permukaan air laut. Selain habitatnya, spesies ini selalu didapatkan dalam jumlah spesiemen yang cukup untuk pengukuran dalam penelitian ini.Komposisi 18O dalam organisme karbonat dipengaruhi oleh temperatur air laut di mana organisme tersebut tumbuh dan komposisi 18O/16O dari laut sendiri. Pengaruh temperatur air laut terhadap fraksinasi isotop oksigen dalam cangkang karbonat telah diketahui dari eksperimen yang dilakukan oleh Eptein & Mayeda (1953), yaitu sebesar 0.23. Hasil ini dikuatkan lagi 30 tahun kemudian oleh eksperimen Erez & Luz (1983) dengan angka yang sama. Angka tersebut menunjukkan bahwa, setiap penurunan temperatur air laut 1oC maka dalam cangkang karbonat akan terjadi pengkayaan 18O sebesar 0.23. Sedangkan komposisi 18O air laut dipengaruhi oleh pembentukan dan pelelehan es di kontinen atau yang dikenal sebagai global ice volume effect adalah sebesar 1.26 pada saat Last Glacial Maximum (LGM) atau glacial terakhir maksimum atau kondisi paling dingin (Imbrie et.al., 1973; Berger & Gardner, 1975; Berger et.al., 1987; Fairbanks, 1989).Untuk estimasi paleotemperatur digunakan kurva 18O standar dari Martinson (1987) sebagai kurva referensi yang menyatakan fluktuasi harga 18O hanya disebabkan oleh perubahan komposisi 18O air laut atau pembentukan dan pelelehan es di kontinen. Langkah pertama yang dilakukan adalah perbedaan 18O masa sekarang dengan saat glacial terakhir atau Holocene-LGM 18O/16O shift pada kurva standar diskala sebanding dengan 1.3 pada kurva 18O sampel, kemudian kedua kurva tersebut di-match-kan. Dari kedua kurva tersebut dapat dihitung 18O sebesar:18O =18OG..sacculifer - 18OMartinson dimana:18O : selisih harga rasio 18O sample dan rasio 18O standar dari Martinson et al. (1987).18OG..sacculifer : 18O dari sample.18OMartinson : 18O standar dari Martinson et al. (1987).Dari harga 18O tersebut, selisih temperatur pada umur t tahun dengan temperatur saat ini dapat dihitung, yaitu sebesar Tt : Tt = (18Ot/ 0,23)oC dimana Tt adalah selisih temperatur pada umur t tahun dengan temperatur saat ini. 18Ot adalah selisih harga 18O sample dan 18O standar dari Martinson et al. (1987) pada t. Sehingga temperatur air permukaan laut pada t tahun yang lalu adalah,Tt=TH - Tt dimana Tt adalah temperatur air permukaan laut pada t tahun dan TH merupakan temperatur pada masa Holocene atau saat ini.Pengukuran ini menggunakan sampel karbonat yang berupa powder dalam sample-cup direaksikan dengan asam posfat (H3PO4) 100% pada suhu tetap 60oC, dengan jalan memutar ujung sample yang diinginkan jatuh kedalam reactor yang sudah berisi asam posfat. Reaksi antara kalsium karbonat dan asam posfat yang terjadi adalah sebagai berikut: CaCO3 + H3PO4 CaHPO4 + CO2 + H2O (5)Reaksi ini harus berjalan sempurna sampai kalsium karbonat betul-betul habis bereaksi dengan asam posfat. Kemudian gas CO2 dan air yang dihasilkan dikeluarkan dari reaktor dan dipisahkan secara kriogenik. Kemudian CO2 dialirkan ke mass spectrometer untuk dilakukan pengukuran rasio 18O/16O-nya.

5. KesimpulanKesimpulan yang dapat di tarik adalah pengukuran isotop oksigen dapat dilakukan dengan sampel organisme karbonat yang lain seperti koral atau moluska, sehingga dapat untuk merekonstruksi perubahan temperatur air laut yang lebih detail sampai perubahan bulanan. Kalau ini dapat dilakukan kemungkinan dapat dimanfaatkan untuk memprediksi akan terjadinya fenomena- fenomena seperti anomali temperatur air permukaan laut karena adanya peristiwa El Nino atau La Nina. Selain itu, pengukuran dengan isotop oksigen lebih murah dibandingkan dengan radiokarbon atau yang lainnya.

Daftar PustakaBowen, R. (1991), Isotopes and Climates, Elseiver Science Publisher Ltd., LondonMartinson, D.G., Pisias, N.G., Hays, J.D., Imbrie, J., Moore, T.C. Jr. and Shackleton, N. J. (1987), Age Dating and Orbital Theory of the Ice Ages: Development of a High Resolution 0 to 300,000 Years Chronostratigraphy, Quarternary Research, No. 27Wahyudi dan Minagawa, M., (1997), Response of Benthic Foraminifera to Organic Carbon Accumulation Rates in the Okinawa Trough, Journal of Oceanography, Vol. 53Wahyudi, 2001. Penentuan Umur Sedimen Laut dan Paleo-Temperatur Air Permukaan Laut Berdasarkan Perubahan Rasio Isotop 18O/16O Dalam Foraminifera. Surabaya : ITS