oleh : thivyaroobini ramah dr. putu kurniyanta,span

36
II TERAPI OKSIGEN PADA PASIEN KEGAGALAN PERNAFASAN Oleh : Thivyaroobini Ramah dr. Putu Kurniyanta,SpAn SMF/BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA RSUP SANGLAH DENPASAR 2016

Upload: others

Post on 15-Oct-2021

13 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Oleh : Thivyaroobini Ramah dr. Putu Kurniyanta,SpAn

II

TERAPI OKSIGEN PADA PASIEN KEGAGALAN PERNAFASAN

Oleh :

Thivyaroobini Ramah

dr. Putu Kurniyanta,SpAn

SMF/BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA

RSUP SANGLAH DENPASAR

2016

Page 2: Oleh : Thivyaroobini Ramah dr. Putu Kurniyanta,SpAn

III

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL……………………………………………………….…….i

KATA PENGANTAR……………………………………………………………ii

DAFTAR ISI……………………………………………………………………..iii

BAB I. PENDAHULUAN……………………………………………………… 1

BAB II. ISI…………………………………………………………………….. 2

2.1 RONGGA THORAKS……………………………………………………. 6

2.2 KONTROL PERNAFASAN……………………………………………….8

2.3 DEFINISI KEGAGALAN PERNAFASAN……………………………….10

2.4 EPIDEMIOLOGI KEGAGALAN PERNAFASAN………………………..11

2.5 ETIOLOGI KEGAGALAN PERNAFASAN………………………………13

2.6 KLASIFIKASI KEGAGALAN PERNAFASAN…………………………..15

2.7 FISIOLOGI PERNAFASAN……………………………………………….17

2.8 PATOFISIOLOGI DARI KEGAGALAN PERNAFASAN………………..20

2.9 DIAGNOSIS KEGAGALAN PERNAFASAN…………………………….23

2.10 TERAPI OKSIGEN PADA KEGAGALAN PERNAFASAN……………25

2.11 INDIKASI TERAPI OKSIGEN…………………………………………..25

2.12 MANAJEMEN KEGAGALAN PERNAPASAN DENGAN TERAPI

OKSIGEN ……………………………………………………………………….27

2.13 PEMICU MEKANISME…………………………………………………..28

2.14 TEKANAN POSITIF AKHIR EXPIRASI (PEEP)………………………..29

2.15 SALURAN PERNAFASAN AKUT DISTRES SINDROM- TIPE 1

KEGAGALAN PERNAFASAN ………………………………………………..30

Page 3: Oleh : Thivyaroobini Ramah dr. Putu Kurniyanta,SpAn

III

2.16 MERINTANGI SALURAN NAFAS PENYAKIT-PENYAKIT TIPE 2

KEGAGALAN PERNAFASAN………………………………………………...30

2.17 PASIEN- VENTILATOR SINKRON……………………………………..32

2.18 PENGHENTIAN DARI VENTILASI MEKANIK………………………..33

2.19 JANGKA PANJANG MONITORING…………………………………….34

BAB III. KESIMPULAN………………………………………………………...35

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………...36

Page 4: Oleh : Thivyaroobini Ramah dr. Putu Kurniyanta,SpAn

4

BAB I

PENDAHULUAN

Sistem respirasi adalah pertukaran gas antara makhluk hidup dengan

lingkungannya, sedangkan peran dan fungsi respirasi adalah menyediakan oksigen

(O2) serta mengeluarkan gas karbondioksida (CO2) dari tubuh. Fungsi respirasi

merupakan fungsi yang vital bagi kehidupan, dimana O2 merupakan sumber tenaga

bagi tubuh yang harus dipasok secara terus-menerus, sedangkan CO2 merupakan

bahan toksik yang harus dikeluarkan dari tubuh.

Ketidakmampuan sistem pernapasan untuk mempertahankan suatu keadaan

pertukaran udara antara atmosfer dengan sel-sel tubuh yang sesuai dengan

kebutuhan normal akan menyebabkan terjadinya gagal napas. Dimana sistem

pulmoner tidak dapat mencukupi kebutuhan metabolisme, yaitu eliminasi CO2 dan

oksigenasi darah. Gagal napas terjadi bila tekanan parsial oksigen arterial (PaO2) <

60 mmHg atau tekanan parsial karbondioksida arterial (PCO2) > 45 mmHg.

Gagal napas dapat diklasifikasikan menjadi dua tipe yang utama menurut sebabnya,

yaitu gagal napas hipoksemia, dan gagal napas hiperkapnia. Gagal napas

hipoksemia ditandai dengan PaO2 < 60 mmHg dengan PaCO2 normal atau rendah.

Gagal napas hiperkapnia, ditandai dengan PaCO2 > 45 mmHg. Sedangkan menurut

waktunya dapat dibagi menjadi gagal napas akut dan gagal napas kronik.

Penyebab gagal napas dapat diakibatkan oleh kelainan pada otak, susunan

neuromuscular, dinding thoraks dan diafragma, paru, serta sistem kardiovaskuler.

Gagal napas akut merupakan salah satu kegawatdaruratan, sehingga membutuhkan

penanganan yang cepat dan tepat.

Oksigen pertama kali ditemukan oleh Yoseph Prietsley di Bristol Inggris tahun

1775 dan dipakai dalam bidang kedokteran oleh Thomas Beddoes sejak awal

tahun 1800. Alvan Barach tahun 1920 mengenalkan terapi oksigen pasien

hipoksemia dan terapi oksigen jangka panjang pasien penyakit paru obstruktif

kronik. Chemiack tahun 1967 melaporkan pemberian oksigen melalui kanula

hidung dengan aliran lambat pasien hiperkapnia dan memberikan hasil yang baik

tanpa retensi CO2.

Page 5: Oleh : Thivyaroobini Ramah dr. Putu Kurniyanta,SpAn

5

Anggapan bahwa oksigen (O2) merupakan salah satu komponen gas dan unsur vital

dalam proses metabolisme, mempertahankan kelangsungan hidup seluruh sel

tubuh, selain dapat digunakan untuk bernapas, terapi oksigen itu sendiri menjadi

salah satu sarana utama yang dapat digunakan untuk mengatasi berbagai macam

penyakit terutamanya pada kegagalan pernapasan. Adanya kekurangan O2

ditandai

dengan keadaan hipoksia, yang dalam proses lanjut dapat menyebabkan kematian

jaringan bahkan dapat mengancam kehidupan. Tujuan penatalaksanaan pasien

dengan kegagalan pernapasant adalah: membuat oksigenasi arteri adekuat,

sehingga meningkatkan perfusi jaringan, serta menghilangkan underlying disease,

yaitu penyakit yang mendasari gagal nafas tersebut.

Page 6: Oleh : Thivyaroobini Ramah dr. Putu Kurniyanta,SpAn

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 RONGGA THORAKS

Paru merupakan organ yang elastis, berbentuk kerucut,

dan terletak dalam rongga dada atau toraks. Mediastinum Sentral yang

berisi jantung dan beberapa pembuluh darah besar memisahkan paru

tersebut. Setiap paru mempunyai apeks (bagian atas paru) dan dasar.

Pembuluh darah paru dan bronchial, bronkus, saraf dan pembuluh limfe

memasuki tiap paru pada bagian hilus dan membentuk akar paru. Paru

kanan lebih besar dari paru kiri dan dibagi menjadi tiga lobus oleh

fisura interlobaris. Paru kiri dibagi menjadi dua lobus.2,3

2.2 KONTROL PERNAFASAN

Terdapat beberapa mekanisme yang berperan membawa udara ke dalam

paru sehingga pertukaran gas dapat berlangsung. Fungsi mekanis pergerakan udara

masuk dan keluar dari paru disebut ventilasi dan mekanisme ini dilaksanakan oleh

sejumlah komponen yang saling berinteraksi. Komponen yang berperan penting

adalah pompa yang bergerak maju mundur, disebut pompa pernafasan. Pompa ini

mempunyai dua komponen volume elastis: paru itu sendiri dan dinding yang

mengelilingi paru. Dinding terdiri dari rangka dan dan jaringan rangka toraks, serta

Page 7: Oleh : Thivyaroobini Ramah dr. Putu Kurniyanta,SpAn

7

diafragma, isi abdomen dan dinding abdomen. Otot-otot pernafasan yang

merupakan bagian dinding toraks merupakan sumber kekuatan untuk menghembus

pompa.4

Diafragma (dibantu oleh otot-otot yang dapat mengangkat tulang iga dan

sternum) merupakan otot utama yang ikut berperan dalam peningkatan volume paru

dan rangka toraks selama inspirasi; ekspirasi merupakan suatu proses pasif pada

pernafasan tenang.4 Otot-otot pernafasan diatur oleh pusat pernafasan yang terdiri

dari neuron dan reseptor pada pons dan medulla oblongata. Pusat pernafasan

merupakan bagian sistem saraf yang mengatur semua aspek pernafasan. Faktor

utama pada pengaturan pernafasan adalah respon dari pusat kemoreseptor dalam

pusat pernafasan terhadap tekanan parsial (tegangan) karbon diokasida (PaCO2)

dan pH darah arteri. Peningkatan PaCO2 atau penururnan pH merangsang

pernafasan.4 Penurunan tekanan parsial O2 dalam darah arteri PaO2 dapat juga

merangsang ventilasi.Kemoreseptor perifer yang terdapat dalam badan karotis pada

bifurkasio arteria komunis dan dalam badan aorta pada arkus aorta, peka erhadap

penurunan PaO2 dan pH, dan peningkatan PaCO2. Akan tetapi PaO2 harus turun

dari nilai normal kira-kira sebesar 90-100 mmHg hingga mencapai sekitar 60

mmHg sebelum ventilasi mendapat rangsangan yang cukup berarti.

Mekanisme lain mengontrol jumlah udara yang masuk ke dalam paru. Pada

waktu paru mengembang, reseptor-reseptor ini mengirim sinyal pada pusat

pernafasan agar menghentikan pengembangan lebih lanjut. Sinyal dari reseptor

regang tersebut akan berhenti pada akhir ekspirasi ketika paru dalam keadaan

mengempis dan pusat pernafasan bebas untuk memulai inspirasi lagi. Mekanisme

ini yang dikenal dengan nama refleksHering-Breuer, refleks ini tidak aktif pada

orang dewasa, kecuali bila volume tidal melebihi 1 liter seperti pada waktu berolah

raga. Refleks ini menjadi lebih penting pada bayi baru lahir. Pergerakan sendi dan

otot (misalnya, sewaktu berolah raga) juga merangsang peningkatan ventilasi. Pola

dan irama pengaturan pernafasan dijalankan melalui interaksi pusat-pusat

pernafasan yang terletak dalam pons dan medulla oblongata.3,4 Keluaran motorik

akhir disalurkan melalui medulla spinalis dan saraf frenikus yang mempersarafi

diafragma, yaitu otot utama ventilasi. Saraf utama lain yang ikut ambil bagian

Page 8: Oleh : Thivyaroobini Ramah dr. Putu Kurniyanta,SpAn

8

adalah saraf asesorius dan interkostalis torasika yang mempersarafi otot bantu

pernafasan dan otot interkostalis.4

2.3 DEFINISI KEGAGALAN PERNAFASAN

Secara garis besar, kegagalan pernapasan dapat didefinisikan sebagai

kondisi di mana sistem pernafasan gagal dalam satu atau kedua fungsi pertukaran

gas. Hal ini konvensional didefinisikan oleh tekanan oksigen arteri (Pa, O2) dari

<8,0 kPa (60 mmHg), ketegangan arteri karbon dioksida (Pa, CO2) dari> 6,0 kPa

(45 mmHg) atau keduanya. Umumnya, sistem pernapasan terdiri dari dua bagian

yang merupakan paru-paru dan pompa yang ventilasi paru-paru. Pompa terdiri dari

dinding dada, termasuk otot-otot pernapasan, pengendali pernapasan dalam sistem

saraf pusat (SSP) dan jalur yang menghubungkan kontroler pusat dengan otot-otot

pernapasan (tulang belakang dan perifer saraf). Kegagalan setiap bagian dari sistem

mengarah ke entitas yang berbeda yang akhirnya mengarah pada berbagai jenis

kegagalan pernapasan.5

Gagal nafas terdiri daripada dua tipe, yaitu gagal nafas akut dan gagal

nafas kronik, dimana msing-masing mempunyai pengertian yang berbeda. Gagal

nafas akut adalah gagal nafas yang timbul pada pasien yang parunya normal secara

structural maupun fungsional sebelum awitan penyakit timbul. Sedangkan gagal

nafas kronik terjadi pada pasien dengan penyakit paru kronik seperti bronchitis

kronis, emfisema dan lain-lain4 .

2.4 EPIDEMIOLOGI KEGAGALAN PERNAFASAN

Ditinjau dari segi epidemiologi, karena sejumlah penyebab yang

mendasari berkontribusi untuk itu, kegagalan pernapasan merupakan penyebab

umum dan utama penyakit dan kematian. Ini adalah penyebab utama kematian

akibat pneumonia dan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Selain itu, ia juga

merupakan penyebab utama kematian di banyak penyakit neuromuskuler, seperti

Lou Gehrig Penyakit (amyotrophic lateral sclerosis atau ALS), karena penyakit ini

melemahkan otot-otot pernapasan, membuat mereka tidak mampu

mempertahankan pernapasan. Studi epidemiologi menunjukkan bahwa kegagalan

Page 9: Oleh : Thivyaroobini Ramah dr. Putu Kurniyanta,SpAn

9

pernapasan akan menjadi lebih umum sebagai penduduk usia, meningkat sebanyak

80 persen dalam 20 tahun ke depan. 4

2.5 ETIOLOGI KEGAGALAN PERNAFASAN

Penyebab gagal napas dapat digolongkan sesuai kelainan primernya dan

komponen sistem pernapasan yaitu:

1. Gangguan sistem saraf pusat (SSP)

- Berbagai gangguan farmakologi, struktur dan metabolik pada SSP

dapat mendepresi dorongan untuk bernapas

- Hal ini dapat menyebabkan gagal napas hipoksemi atau hiperkapni

yang akut maupun kronis

- Contohnya adalah tumor atau kelainan pembuluh darah di otak,

overdosis narkotik atau sedatif, gangguan metabolik seperti

miksedema atau alkalosis metabolik kronis

2. Gangguan sistem saraf perifer, otot pernapasan dan dinding dada

- Gangguan pada kelompok ini adalah ketidakmampuan untuk menjaga

tingkat ventilasi per menit sesuai dengan produksi CO2

- Dapat meyebabkan hipoksemi dan hiperkapni

- Contohnya sindrom Guillan-Barre, distropi otot, miastenia gravis,

kiposkoliosis berat dan obesitas

3. Abnormalitas jalan napas

- Obstruksi jalan napas yang berat adlah penyebab umum hiperkapni

akut dan kronis

- Contonhnya epiglotitis, tumor yang menenai trakea, penyakit paru

obstruktif kronis, asma dan kistik fibrosis

4. Abnormalitas alveoli

- penyakit yang ditandai oleh hipoksemi walaupun kompliksi

hiperkapni dapat terjadi

- contohnya adalah edema pulmoner kardiogenik dan nonkardiogenik,

pneumonia aspirasi, perdarahan paru yang masif

- gangguan ini berhubungan dengan shunt intrapulmoner dan

peningkatan kerja pernapasan

Page 10: Oleh : Thivyaroobini Ramah dr. Putu Kurniyanta,SpAn

10

5. Penyebab umum gagal napas tipe I (hipoksemi)

- Emfisema dan bronkitis kronis (PPOK)

- Pneumonia

- Edema pulmoner

- Asma

- Pneumothorak

- Emboli paru

- Hipertensi arteri pulmoner

- Pneumokoniosis

- Penyakit paru granuloma

- Penyakit jantung kongenital sianosis

- Bronkiekstasi

- Sindrom distres pernapasan akut

- Sindrom emboli lemak

- Kiposkoliosis

- Obesitas

6. Penyebab umum gagal napas tipe II (hiperkapni)

- Emfisema dan bronkitis kronis (PPOK)

- Asma yang berat

- Overdosis obat

- Keracunan

- Miastenia gravis

- Polineuropati

- Kelainan otot primer

- Kordotomi servikal

- Trauma kepala dan servikal

- Hipoventilasi alveolar primer

- Sindrom hipoventilasi pada obesitas

- Edema pulmoner

- Sindrom distres pernapasan akut

- Miksedema

- Tetanus

Page 11: Oleh : Thivyaroobini Ramah dr. Putu Kurniyanta,SpAn

11

Gambar 1. Keadaan alveoli normal dan alveoli yang mengalami kerusakan saat fase akut pada

ALI dan ARDS

2.6 KLASIFIKASI KEGAGALAN PERNAFASAN

Berdasarkan pada pemeriksaan AGD, gagal nafas dapat dibagi menjadi 3

tipe. Tipe I merupakan kegagalan oksigenasi, Tipe II yaitu kegagalan ventilasi , tipe

III adalah gabungan antara kegagalan oksigenasi dan ventilasi. Karena sistem

pernafasan terdiri dari dua bagian yang merupakan paru-paru dan pompa yang

ventilasi paru-paru, kegagalan pernafasan juga dapat dikategorikan sesuai yang

baik gagal paru-paru atau kegagalan pompa.

Berbicara dengan lebih spesifik lagi, kegagalan paru-paru yang disebabkan

oleh berbagai penyakit paru-paru, misalnya pneumonia, emfisema dan penyakit

paru-paru interstitial, mengarah ke hipoksemia dengan normocapnia atau

hipokapnia (hypoxaemic atau tipe I gagal napas). Tipe kedua adalah kegagalan

pompa, misalnya overdosis obat akan menghasilkan hipoventilasi alveolar dan

hiperkapnia (hiperkapnia atau gagal napas tipe II).5 Gagal nafas tipe III

Page 12: Oleh : Thivyaroobini Ramah dr. Putu Kurniyanta,SpAn

12

menunjukkan gambaran baik hipoksemia dan hiperkarbia (penurunan PaO2 dan

peningkatan PaCO2). Penilaian berdasarkan pada persamaan gas alveolar

menunjukkan adanya peningkatan perbedaan antara PAO2 – PaO2, venous

admixture dan Vd/VT. Dalam teori , setiap kelainan yang menyebabkan gagal nafas

tipe I atau tipe II dapat menyebabkan gagal nafas tipe III. Patofisiologi yang lebih

rinci untuk kedua jenis kegagalan nafas yang utama akan dibahas lebih lanjut di

bawah ini.

Tabel 2.1: Jenis Kegagalan pernafasan 5

2.7 FISIOLOGI PERNAFASAN

Pada umumnya,tindakan respirasi melibatkan 3 proses:

• Transfer oksigen di alveolus

• Transportasi oksigen ke jaringan

• Penghapusan karbon dioksida dari darah ke alveolus dan kemudian ke lingkungan

Page 13: Oleh : Thivyaroobini Ramah dr. Putu Kurniyanta,SpAn

13

Gagal napas dapat terjadi dari gangguan fungsi dari setiap proses-proses ini.

Dalam rangka untuk memahami dasar patofisiologi dari kegagalan pernapasan,

pemahaman tentang pertukaran gas paru sangat penting.2

Pertukaran gas

Respirasi terutama terjadi di unit kapiler alveolar paru-paru, di mana

pertukaran oksigen dan karbon dioksida antara gas alveolar dan darah berlangsung.

Setelah menyebar ke dalam darah, molekul oksigen reversibel mengikat

hemoglobin. Setiap molekul hemoglobin mengandung 4 situs untuk kombinasi

dengan molekul oksigen; 1 g hemoglobin menggabungkan dengan maksimum 1.36

mL oksigen. Jumlah oksigen dikombinasikan dengan hemoglobin tergantung pada

tingkat darah Pa O2. Hubungan ini, dinyatakan sebagai kurva disosiasi oksigen

hemoglobin, tidak linear tetapi memiliki kurva sigmoid berbentuk dengan

kemiringan yang curam antara Pa O2 dari 10 dan 50 mm Hg dan sebagian datar di

atas Pa O2 dari 70 mm Hg 8, 10

Sementara itu, karbon dioksida diangkut dalam 3 bentuk utama:

(1) solusi sederhana

(2) bikarbonat

(3) dikombinasikan dengan protein hemoglobin sebagai senyawa carbamino.

Selama pertukaran gas ideal, aliran darah dan ventilasi sempurna akan

cocok satu sama lain, sehingga tidak ada tekanan oksigen (PO2) gradien alveolar-

arterial. Namun, bahkan dalam paru-paru normal, tidak semua alveoli yang

berventilasi dan perfusi sempurna. Untuk perfusi diberikan, beberapa alveoli berada

di bawah ventilasi, sementara yang lain lebih berventilasi dan demikian pula, untuk

ventilasi alveolar diketahui, beberapa unit berada di bawah perfusi, sementara yang

lain lebih perfusi.

Alveoli yang optimal ventilasi yang tidak perfusi baik memiliki besar ratio

ventilasi-perfusi (V / Q) dan disebut tinggi-V / unit Q (yang bertindak seperti ruang

mati) manakala alveoli yang optimal perfusi tapi tidak berventilasi memadai disebut

rendah V / unit Q (yang bertindak seperti shunt).

Page 14: Oleh : Thivyaroobini Ramah dr. Putu Kurniyanta,SpAn

14

Ventilasi alveolar

Pada kondisi mapan, tingkat produksi karbon dioksida oleh jaringan konstan

dan sama dengan tingkat eliminasi karbon dioksida oleh paru-paru. Hubungan ini

dinyatakan dengan persamaan berikut di bawah:

VA = K × VCO2 / Pa CO2

di mana huruf K adalah konstanta (0,863), VA adalah ventilasi alveolar, dan VCO2

ventilasi karbon dioksida. Hubungan ini menentukan apakah ventilasi alveolar

adalah cukup untuk kebutuhan metabolisme tubuh.

Seterusnya, efisiensi paru-paru di melaksanakan respirasi dapat dievaluasi

lebih lanjut dengan mengukur alveolar-arterial PO2 gradien. Perbedaan ini dihitung

dengan persamaan berikut di bawah:

PA O2 = FI O2 × (PB - PH2 O) - PA CO2 / R

mana PA O2 adalah alveolar PO2, FI O2 konsentrasi pecahan oksigen dalam gas

terinspirasi, PB adalah tekanan udara, PH2 O adalah tekanan uap air pada 37 ° C,

PA CO2 adalah alveolar PCO2 (diasumsikan sama dengan Pa CO2), dan R adalah

rasio pertukaran pernafasan. R tergantung pada konsumsi oksigen dan produksi

karbon dioksida. Pada saat istirahat, rasio VCO2 untuk ventilasi oksigen (VO2)

adalah sekitar 0.8.

Bahkan paru-paru yang normal memiliki beberapa derajat V / Q

ketidakcocokan dan sejumlah kecil shunt kanan-ke-kiri, dengan PA O2 sedikit lebih

tinggi dari Pa O2. Namun, peningkatan alveolar-arterial PO2 gradien di atas 15-20

mm Hg menunjukkan dengan jelas penyakit paru sebagai penyebab hipoksemia.

Perubahan yang terjadi pada dasar ini menjadi alasan yang paling utama untuk

kegagalan pernapasan.8, 11

Page 15: Oleh : Thivyaroobini Ramah dr. Putu Kurniyanta,SpAn

15

2.8 PATOFISIOLOGI DARI KEGAGALAN PERNAFASAN TIPE 1

(HIPOKSEMIA)

Gagal napas hipoksemia lebih sering dijumpai daripada gagal napas

hiperkapnia. Pasien tipe ini mempunyai nilai PaO2 yang rendah tetapi PaCO2 normal

atau rendah. PaCO2 tersebut membedakannya dari gagal napas hiperkapnia, yang

masalah utamanya adalah hipoventilasi alveolar. Selain pada lingkungan yang tidak

biasa, dimana atmosfer memiliki kadar oksigen yang sangat rendah, seperti pada

ketinggian, atau saat oksigen digantikan oleh udara lain, gagal napas hipoksemia

menandakan adanya penyakit yang mempengaruhi parenkim paru atau sirkulasi

paru. Istilah hipoksemia dan hipoksia sering tumpang tindih dalam patofisiologi

gagal napas tipe hipoksemia. Yang dimaksudkan dengan hipoksemia adalah, PO2

yang rendah di dalam darah arteri (PaO2) dan dapat digunakan untuk menunjukkan

PO2 pada kapiler, vena dan kapiler paru. Istilah tersebut juga dipakai untuk

menekankan rendahnya kadar O2 darah atau berkurangnya saturasi oksigen di

dalam hemoglobin. Hipoksia berarti penurunan penyampaian (delivery) O2 ke

jaringan atau efek dari penurunan penyampaian O2 ke jaringan.

Hipoksemia berat akan menyebabkan hipoksia. Hipoksia dapat pula terjadi

akibat penurunan penyampaian O2 karena faktor rendahnya curah jantung, anemia,

syok septic atau keracunan karbon monoksida, dimana PaO2 dapat meningkat atau

normal.

Secara umum, tekanan parsial O2 dalam darah arteri mencerminkan:

(1) tekanan parsial O2 di gas inspirasi

(2) menit ventilasi

(3) jumlah darah yang mengalir melalui kapiler paru

(4) O2 saturasi hemoglobin dalam darah mengalir melalui kapiler paru (efek

metabolisme jaringan dan curah jantung)

(5) difusi melintasi membran alveolar

(6) cocok ventilasi-perfusi

Page 16: Oleh : Thivyaroobini Ramah dr. Putu Kurniyanta,SpAn

16

Kegagalan tipe I ditandai dengan tekanan parsial abnormal rendah dari O2 dalam

darah arteri. Ini mungkin disebabkan oleh gangguan yang menghasilkan daerah

penerbangan ventilasi-perfusi atau kanan ke kiri shunt intrapulmonary dan ditandai

oleh tekanan parsial rendah O2 dalam darah arteri (PaO2 <60 mm Hg sementara

menghirup udara ruangan), peningkatan PaO2 - perbedaan PaO2, campuran vena

dan Vd / VT. 11

Empat mekanisme patofisiologis untuk hipoksemia terlihat dalam berbagai macam

penyakit:

1) ventilasi / perfusi ketimpangan,

2) peningkatan shunt,

3) gangguan difusi,

4) hipoventilasi alveolar

Ventilasi / perfusi adalah mekanisme yang paling umum dan sering terjadi

pada saat penurunan ventilasi, biasanya perfusi atau pada saat daerah paru-paru

dengan penurunan lebih besar pada ventilasi daripada perfusi. Manakala pada kasus

shunt, darah vena campuran terdeoksigenasi baik intrapulmonary ataupun

intrakardial bypasses ventilasi alveoli, sehingga menghasilkan "campuran vena".

Penyakit yang meningkatkan jalur difusi oksigen dari ruang alveolar ke kapiler

paru, menurunkan luas permukaan kapiler atau memperpendekkan waktu transit

dari darah melalui kapiler paru mencegah kesetimbangan oksigen alveolar dengan

darah kapiler paru. Dengan tidak adanya penyakit paru yang mendasarinya,

hipoksemia hipoventilasi menyertainya ditandai dengan biasa DA-aO2, perbedaan

oxsigen alveolar ke arteri. Sebaliknya, gangguan di mana salah satu dari tiga

mekanisme lain yang operatif ditandai dengan memperluas dari gradien arteri /

alveolar mengakibatkan hipoksemia berat. Hipoksemia akibat ventilasi atau perfusi

ketimpangan atau kelainan difusi dapat dengan mudah diperbaiki dengan

menambah terinspirasi oksigen, sedangkan bahkan konsentrasi yang sangat tinggi

Page 17: Oleh : Thivyaroobini Ramah dr. Putu Kurniyanta,SpAn

17

dari oksigen inspirasi bisa tidak benar hipoksemia disebabkan oleh peningkatan

shunt murni. 6, 11

Secara keseluruhannya, beberapa penyebab Tipe I (Oksigenasi) gagal napas yang

terdiri daripada:

1. Dewasa sindrom gangguan pernapasan (ARDS)

2. Asma

3. Edema paru

4. Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK)

5. Fibrosis interstisial

6. Pneumonia

7. Pneumotoraks

8. Emboli paru

9. Hipertensi pulmonal

2.8.1 PATOFISIOLOGI DARI KEGAGALAN PERNAFASAN TYPE 2

(HIPERKAPNIA)

Menurut definisi, pasien dengan gagal napas hiperkapnia mempunyai

kadar PaCO2 yang abnormal tinggi. Ini disebabkan oleh peningkatan CO2 dalam

ruang alveolus, di mana O2 tersisih di alveolus dan PaO2 menurun. Maka, biasanya

pada pasien didapatkan hiperkapnia dan hipoksemia bersama-sama, kecuali bila

udara inspirasi diberikan tambahan oksigen. Paru mungkin normal atau tidak pada

pasien dengan gagal napas hiperkapnia, terutama jika penyakit utama mengenai

bagian nonparenkim paru seperti dinding dada, otot pernapasan, atau batang otak.

PPOK yang parah sering mengakibatkan gagal napas hiperkapnia. Pasien dengan

asma berat, fibrosis paru stadium akhir, dan ARDS (Acute Respiratory Distres

syndrome) berat dapat menunjukkan gagal napas hiperkapnia.

Page 18: Oleh : Thivyaroobini Ramah dr. Putu Kurniyanta,SpAn

18

Secara umumya, tekanan parsial CO2 dalam darah arteri mencerminkan

efisiensi mekanisme ventilasi yang membersihkan (mencuci keluar) CO2 yang

dihasilkan selama metabolisme jaringan. Paru mungkin normal atau tidak pada

pasien dengan gagal napas hipercapnia dan hipoksemia bersama-sama dan dapat

disebabkan oleh beberapa faktor iaitu gangguan yang menurunkan pernafasan

pusat, mengganggu transmisi sinyal dari sistem saraf pusat, atau menghambat

kemampuan otot pernafasan untuk memperluas paru-paru dan dinding dada. Jenis

kegagalan pernafasan tipe II ditandai dengan peningkatan abnormal pada tekanan

parsial CO2 dalam darah arteri (PaCO2> 46 mm Hg), dan disertai dengan

penurunan simultan di PaO2 dan PaO2, karena itu PaO2 - Perbedaan PaO2 tetap

tidak berubah.11

Kegagalan pompa pada gagal napas tipe II memperlihatkan tiga faktor

utama; di antaranya adalah :

i) Output dari pusat pernapasan mengendalikan otot mungkin tidak memadai

(anestesi, overdosis obat dan penyakit medula), sehingga drive pernapasan pusat

yang tidak cukup untuk permintaan, atau pusat-pusat pernapasan mungkin refleks

memodifikasi output mereka dalam rangka untuk mencegah cedera otot pernapasan

dan menghindari atau menunda kelelahan.

ii) Probabilitas adanya cacat mekanik di dinding dada, seperti trauma di dada,

penyakit saraf autoimmune (sindrom Guillain-Barre) dan sel anterior horn

(poliomyelitis), atau penyakit dari otot-otot pernapasan (miopati), hiperinflasi

parah, dengan diafragma datar mengurangi tindakan mekanis dari otot-otot

inspirasi, seperti dalam serangan asma akut, merupakan salah satu penyebab paling

umum dari kinerja mekanik gangguan otot inspirasi.

ii) Beban inspirasi yang berlebihan menyebabkan otot-otot inspirasi menjadi lelah,

dan tekanan pleural yang memadai tidak dapat dihasilkan sepenuhnya meskipun

drive pernapasan pusat sesuai dengan dinding dada utuh.10

Gangguan yang boleh dimasukkan dalam kategori tersebut adalah:

A. Gangguan mempengaruhi ventilasi berkendara pusat

1. Otak batang infark atau perdarahan

Page 19: Oleh : Thivyaroobini Ramah dr. Putu Kurniyanta,SpAn

19

2. Otak kompresi batang dari massa supratentorial

3. Obat overdosis, Narkotika, Benzodiazepin, agen anestesi dan lain-lain lagi

B. Gangguan mempengaruhi transmisi sinyal ke otot-otot pernafasan

1. Myasthenia Gravis

2. Amyotrophic Lateral Sclerosis

3. Sindrom Gullain-Barre

4. Cedera Spinal -Cord

5. Multiple sclerosis

6. Residual kelumpuhan (relaksan otot)

C. Gangguan otot-otot pernafasan atau dada-dinding

1. Distrofi otot

2. Polimiositis

3. Flail Dada

Gambar 2.1: Patofisiologi Kegagalan Pernafasan 5

Page 20: Oleh : Thivyaroobini Ramah dr. Putu Kurniyanta,SpAn

20

2.9 DIAGNOSIS KEGAGALAN PERNAFASAN

Seperti yang dibicarakan di atas, penegakan diagnosis kegagalan

pernapasan bukan sahaja berdasarkan pada hasil analisis gas darah arteri sahaja,

Namun, adalah sangat penting untuk mengetahui kemunculan gejala klinis yang

hadir berdasarkan klasifikasi kegagalan pernafasan iaitu hipoksemia dan

hiperkapnia.Para pasien dengan gagal napas akan memiliki manifestasi klinis

penyakit yang mendasari; selain mereka mungkin memiliki tanda-tanda hipoksemia

dan hiperkapnia. Hipoksemia dapat disertai dengan kehadiran takipnea, takikardia,

dyspnea, hipertensi, retraksi interkostal, dan penggunaan otot aksesori ventilasi.

Hipoksia serebral menghasilkan perubahan pemikiran yang dapat berkisar dari

kebingungan mental dan kegelisahan untuk delirium. Sianosis tempat tidur kuku

mungkin jelas. Hiperkapnia menggunakan efek utama pada sistem saraf pusat.

Sebagai PaCO2 meningkat, pasien biasanya kemajuan melalui tahapan lesu,

pingsan dan akhirnya koma (CO2 narkosis). Gejala lainnya adalah sekunder untuk

pelepasan katekolamin dan hipoksemia simultan. Pasien sering digambarkan

sebagai muncul "lelah" atau "capek." Namun, manifestasi klinis yang dijelaskan

tidak spesifik dan dapat terjadi tanpa adanya kegagalan pernapasan. Oleh karena

itu, diagnosis kegagalan pernafasan harus dikonfirmasi dengan analisis gas darah

arteri.5, 8, 10

2.10 TERAPI OKSIGEN PADA KEGAGALAN PERNAFASAN

Seperti yang dibahaskan di atas, jaringan sangat membutuhkan oksigen

untuk meneruskan kehidupan. Pengiriman tergantung pada ventilasi yang memadai,

pertukaran gas, dan distribusi peredaran darah. Jaringan hipoksia terjadi dalam 4

menit kegagalan dari setiap sistem ini karena cadangan oksigen dalam jaringan dan

paru-paru yang relatif kecil. Dengan demikian, terapi oksigen yang dapat

didefinisikan sebagai pengobatan yang menyediakan anda dengan oksigen ekstra

untuk tubuh anda perlu bekerja dengan baik akan diberikan dalam menghadapi

kegagalan pernafasan. Sejak kegagalan pernapasan dibagi menjadi dua jenis,

sehingga oksigen yang diberikan untuk masing-masing itu berbeda sesuai. Terapi

Page 21: Oleh : Thivyaroobini Ramah dr. Putu Kurniyanta,SpAn

21

oksigen diberikan melalui ventilasi mekanik yang dapat dibahagi lagi menjadi dua,

ventilasi invasif dan ventilasi noninvasif.3

2.11 INDIKASI TERAPI OKSIGEN

Dalam pemberian oksigen harus dipertimbangkan apakah pasien benar-

benar membutuhkan oksigen, apakah dibutuhkan terapi oksigen jangka pendek

(Short-term oxygen therapy) atau terapi oksigen jangka panjang (Long term oxygen

therapy).6 Indikasi untuk pemberian oksigen harus jelas. Oksigen yang diberikan

harus diatur dalam jumlah yang tepat, dan harus dievaluasi agar mendapat manfaat

terapi dan menghindari toksisitas.6 .Terapi oksigen jangka pendek merupakan terapi

yang dibutuhkan pada pasien-pasien dengan keadaan hipoksemia akut, diantaranya

pneumonia, PPOK dengan eksaserbasi akut, asma bronkial, gangguan

kardiovaskular, emboli paru. Pada keadaan tersebut, oksigen harus segera diberikan

secara adekuat. Pemberian oksigen yang tidak adekuat akan menimbulkan cacat

tetap dan kematian. Pada kondisi ini, oksigen harus diberikan dengan FiO2 60-

100% dalam waktu pendek sampai kondisi membaik dan terapi yang spesifik

diberikan. Selanjutnya oksigen diberikan dengan dosis yang dapat mengatasi

hipoksemia dan meminimalisasi efek samping. Bila diperlukan, oksigen harus

diberi secara terus-menerus.5

Banyak pasien hipoksemia membutuhkan terapi oksigen jangka panjang.

Pasien dengan PPOK merupakan kelompok yang paling banyak menggunakan

terapi oksigen jangka panjang. Studi awal pada terapi oksigen jangka panjang pada

pasien PPOK memperlihatkan bahwa pemberian oksigen secara kontinu selama 4-

8 minggu menurunkan hematokrit, memperbaiki toleransi latihan, dan menurunkan

tekanan vaskular pulmonar.8 Pada pasien dengan PPOK dan kor pulmonal, terapi

oksigen jangka panjang dapat meningkatkan jangka hidup sekitar 6 sampai 7 tahun.

Angka kematian menurun pada pasien dengan hipoksemia kronis apabila oksigen

diberikan lebih dari 12 jam sehari dan manfaat survival lebih besar telah

ditunjukkan dengan pemberian oksigen berkesinambungan8

Berdasarkan beberapa penelitian didapatkan bahwa terapi oksigen jangka panjang

dapat memperbaiki harapan hidup. Karena adanya perbaikan dengan terapi oksigen

jangka panjang, maka direkomendasikan untuk pasien hipoksemia (PaO2 < 55

Page 22: Oleh : Thivyaroobini Ramah dr. Putu Kurniyanta,SpAn

22

mmHg atau saturasi oksigen < 88%) oksigen diberikan secara terus-menerus 24 jam

dalam sehari. Pasien dengan PaO2 56-59 mmHg atau saturasi oksigen 88%, kor

pulmonal atau polisitemia juga memerlukan terapi oksigen jangka panjang.8 Pasien

yang menerima terapi jangka panjang harus dievaluasi ulang dalam 2 bulan untuk

menilai apakah hipoksemia menetap atau ada perbaikan mendapat terapi oksien

mengalami perbaikan setelah 1 bulan dan tidak perlu lagi meneruskan suplemen

oksigen8

2.12 MANAJEMEN KEGAGALAN PERNAPASAN DENGAN TERAPI

OKSIGEN

Tujuan pertama dalam pengelolaan kegagalan pernapasan adalah untuk

mengembalikan dan / atau mencegah hipoksia jaringan. Hiperkapnia ditemani oleh

hipoksemia umumnya baik ditoleransi dan mungkin tidak ancaman bagi fungsi

organ jika tidak disertai dengan asidosis berat. Banyak ahli percaya bahwa

hiperkapnia harus ditoleransi sampai pH darah arteri turun di bawah 7.2.

Manajemen yang tepat dari penyakit yang mendasari jelas merupakan komponen

penting dalam pengelolaan kegagalan pernapasan.5

Ventilasi mekanis digunakan untuk 2 alasan penting:

(1) untuk meningkatkan Pa O2

(2) untuk menurunkan Pa CO2.

Ventilasi mekanik juga terletak otot-otot pernapasan dan merupakan terapi yang

tepat untuk kelelahan otot pernafasan. Prinsip-prinsip dasar dari ventilasi mekanik

adalah sebagai berikut:

Tekanan positif terhadap ventilasi bertekanan negatif

Untuk udara masuk paru-paru, gradien tekanan harus ada antara napas dan

alveoli. Hal ini dapat dicapai baik dengan meningkatkan tekanan pada saluran udara

(ventilasi tekanan positif) atau dengan menurunkan tekanan pada tingkat alveolus

(ventilasi bertekanan negatif).

Page 23: Oleh : Thivyaroobini Ramah dr. Putu Kurniyanta,SpAn

23

Paru-paru besi atau tangki ventilator adalah jenis yang paling umum dari

negatif-tekanan ventilator digunakan di masa lalu. Ventilator ini bekerja dengan

menciptakan tekanan subatmosfir sekitar dada, dengan demikian menurunkan

pleura dan tekanan alveolar dan memfasilitasi aliran udara ke paru-paru pasien.

Ventilator ini besar dan buruk ditoleransi dan tidak cocok untuk digunakan di unit

perawatan kritis modern. Ventilasi tekanan positif dapat dicapai melalui pipa

endotrakeal atau trakeostomi atau noninvasively melalui masker hidung atau

masker.5

Dikendalikan dibandingkan ventilasi pasien yang diprakarsai

Bantuan ventilasi dapat dikendalikan atau pasien-dimulai. Ventilasi

terkontrol, ventilator memberikan bantuan independen dari upaya inspirasi spontan

pasien sendiri. Sebaliknya, selama ventilasi pasien-dimulai, ventilator memberikan

bantuan dalam menanggapi upaya inspirasi pasien sendiri. Upaya inspirasi pasien

dapat dirasakan baik oleh tekanan atau mekanisme aliran-memicu.

Tekanan-ditargetkan terhadap ventilasi volume target

Selama ventilasi tekanan positif, baik tekanan atau volume dapat ditetapkan

sebagai variabel independen.Volume bertarget (atau volume yang telah ditetapkan)

ventilasi, volume tidal adalah variabel independen yang ditetapkan oleh dokter atau

terapis pernafasan, dan tekanan udara adalah variabel dependen. Dalam jenis

ventilasi, tekanan udara merupakan fungsi dari volume set pasang surut dan laju

aliran inspirasi, mekanik pernapasan pasien (kepatuhan dan resistance), dan juga

aktivitas otot pernafasan pasien.

Dalam (atau tekanan yang telah ditetapkan) ventilasi tekanan bertarget,

tekanan udara adalah variabel independen, dan volume tidal adalah variabel

dependen. Volume tidal selama ventilasi tekanan bertarget adalah fungsi kompleks

waktu inspirasi, mekanik pernapasan pasien, dan aktivitas otot pernapasan pasien

sendiri.

Page 24: Oleh : Thivyaroobini Ramah dr. Putu Kurniyanta,SpAn

24

2.12.1 VENTILASI INVASIF

Ventilasi mekanis membutuhkan sebuah antarmuka antara pasien dan

ventilator. Di masa lalu, ini selalu terjadi melalui pipa endotrakeal atau trakeostomi,

tapi ada tren yang berkembang menuju ventilasi noninvasif, yang dapat dicapai

dengan menggunakan baik masker wajah penuh (yang mencakup hidung dan

mulut) atau masker hidung. Perawatan tabung endotrakeal termasuk penempatan

tabung yang benar, pemeliharaan tekanan manset yang tepat, dan penyedotan untuk

mempertahankan jalan napas paten.

Setelah intubasi, posisi tabung di saluran napas (bukan kerongkongan) harus

dikonfirmasi oleh auskultasi dada dan, idealnya, dengan detektor karbon dioksida.

Sebagai aturan umum, tabung endotrakeal harus dimasukkan ke kedalaman rata-

rata 23 cm pada pria dan 21 cm pada wanita (diukur pada gigi seri yang).

Mengkonfirmasikan penempatan yang tepat dari tabung endotrakeal dengan

rontgen dada dianjurkan. Tabung harus diamankan untuk mencegah ekstubasi

disengaja atau migrasi ke bronkus mainstem, dan tekanan balon pipa endotrakheal

harus dipantau secara berkala. Tekanan di manset umumnya tidak boleh melebihi

25 mm Hg. Endotrakeal penyedotan dapat dicapai baik melalui rangkaian terbuka

atau tertutup sirkuit kateter suction. Penyedotan rutin tidak dianjurkan, karena

penyedotan mungkin terkait dengan berbagai komplikasi, termasuk desaturasi,

aritmia, bronkospasme, batuk parah, dan pengenalan sekresi ke dalam saluran

pernapasan bawah.

Dukungan ventilasi tekanan (PSV) dapat dikategorikan sebagai, ventilasi

tekanan bertarget pasien dimulai. Dengan PSV, bantuan ventilasi hanya terjadi

dalam menanggapi upaya inspirasi spontan pasien. Dengan setiap upaya inspirasi,

ventilator menimbulkan tekanan udara dengan jumlah yang telah ditetapkan. Ketika

laju aliran inspirasi meluruh ke tingkat minimal atau persentase dari aliran inspirasi

awal (misalnya, 25% dari aliran puncak), inspirasi diakhiri. Selama PSV, pasien

bebas memilih tingkat pernapasan mereka sendiri; waktu inspirasi, laju aliran

inspirasi, dan volume tidal yang ditentukan, sebagian, dengan upaya pernapasan

pasien. Mode ini ventilasi tidak boleh digunakan pada pasien dengan stabil ventilasi

drive, dan perawatan harus dilakukan saat mekanika pernapasan pasien berubah

Page 25: Oleh : Thivyaroobini Ramah dr. Putu Kurniyanta,SpAn

25

karena bronkospasme, sekresi, atau berbagai tingkat tekanan akhir ekspirasi auto-

positif (auto-PEEP).

Intermiten wajib ventilasi (IMV) adalah mode dimana napas wajib

disampaikan pada frekuensi set, volume tidal, dan laju aliran inspirasi. Namun,

pasien dapat bernapas secara spontan antara napas mesin-disampaikan.

Kebanyakan ventilator modern mampu disinkronisasi IMV (SIMV), dimana

ventilator upaya untuk memberikan napas wajib selaras dengan upaya inspirasi

pasien sendiri. Pada intinya, ventilator memungkinkan pasien kesempatan untuk

bernapas. Jika pasien membuat upaya inspirasi selama jendela waktu yang

ditentukan oleh tingkat IMV, ventilator memberikan nafas wajib dalam

menanggapi upaya inspirasi pasien. Namun, jika tidak ada upaya inspirasi

terdeteksi oleh ventilator, napas waktu-dipicu adalah delivered. Dibandingkan

dengan IMV standar, SIMV dapat meningkatkan kenyamanan pasien dan dapat

membatasi hiperinflasi dinamis, yang dapat terjadi ketika napas yang telah

ditetapkan disampaikan segera setelah pasien spontan upaya inspirasi (yaitu,

sebelum menghembuskan nafas).

Ventilasi membantu kontrol, pasien menerima volume tidal tetap dan laju

alir inspirasi dengan masing-masing usaha inspirasi, terlepas dari tingkat

pernapasan mereka. Namun, tingkat cadangan dipilih yang menjamin bahwa pasien

menerima jumlah minimum napas per menit. Jika laju pernapasan pasien turun di

bawah tingkat cadangan, ventilator memberikan jumlah napas yang diperlukan

untuk mencapai tingkat itu; napas seperti yang disampaikan independen dari setiap

usaha inspirasi oleh pasien.

Dalam modus volume control, tingkat pernapasan, volume tidal, dan laju

aliran inspirasi (atau waktu inspirasi) adalah tetap. Mode ini paling sering

digunakan pada pasien pengaruh obat penenang atau lumpuh.

Dalam modus tekanan-kontrol, sebagai kontras dengan modus volume

control, tekanan udara dinaikkan dengan jumlah yang ditetapkan pada sejumlah

tetap kali per menit. Dokter atau terapis pernafasan juga menetapkan inspirasi-ke-

ekspirasi (I: E) rasio atau waktu inspirasi. Mode ini paling sering digunakan pada

pasien pengaruh obat penenang atau lumpuh.

Page 26: Oleh : Thivyaroobini Ramah dr. Putu Kurniyanta,SpAn

26

Tekanan-control inverse-rasio ventilasi (PCIRV) adalah variasi dari

ventilasi tekanan-kontrol sederhana. Dalam mode ini, inspirasi diatur menjadi lebih

lama dari berakhirnya. I: E rasio jarang harus, jika pernah, melebihi 3: 1. 9, 2

2.12.2 VENTILASI NON INVASIF

Dukungan ventilasi melalui hidung atau wajah penuh masker daripada

melalui tabung endotrakeal (lihat gambar di bawah) semakin banyak digunakan

untuk pasien dengan gagal pernapasan akut atau kronis.Ventilasi noninvasif harus

dipertimbangkan pada pasien dengan kegagalan pernafasan akut ringan sampai

sedang. Pasien harus memiliki saluran napas utuh, refleks jalan nafas-pelindung,

dan cukup waspada untuk mengikuti perintah.

Dalam uji coba secara acak besar yang membandingkan NPPV dengan

pendekatan ICU standar, penggunaan NPPV terbukti mengurangi komplikasi,

durasi ICU tinggal, dan kematian. Pada pasien yang NPPV gagal, angka kematian

yang serupa dengan kelompok diintubasi (25% vs 30%). Pada gagal pernafasan

hypoxemic akut, NPPV juga membantu mempertahankan PaO2 yang memadai

sampai pasien membaik. Edema paru kardiogenik, NPPV meningkatkan

oksigenasi, mengurangi kerja pernapasan, dan dapat meningkatkan curah jantung.

Bila diterapkan terus menerus untuk pasien dengan gagal ventilasi kronis,

NPPV memberikan oksigenasi yang cukup atau eliminasi karbon dioksida untuk

mempertahankan hidup dengan membalik atau mencegah atelektasis atau

mengistirahatkan otot pernapasan.

Pasien dengan sindrom obesitas-hipoventilasi manfaat dari NPPV sebagai

konsekuensi dari pembalikan alveolar hipoventilasi dan atas-obstruksi jalan napas.2

2.13 PEMICU MEKANISME

Dalam (dibantu) ventilasi pasien-dimulai, ventilator harus merasakan upaya

inspirasi pasien agar dapat memberikan bantuan. Ventilator memicu mungkin

didasarkan pada perubahan baik tekanan atau aliran.

Dengan tekanan memicu, ventilator diatur untuk mendeteksi perubahan

tertentu dalam tekanan. Ventilator dipicu setiap kali tekanan udara turun dengan

Page 27: Oleh : Thivyaroobini Ramah dr. Putu Kurniyanta,SpAn

27

jumlah yang ditetapkan. Misalnya, pada pasien pada tidak ada tekanan akhir

ekspirasi positif (PEEP) dengan sensitivitas pemicu ditetapkan pada 1 cm H2O,

napas dipicu setiap kali tekanan udara turun di bawah -1 cm H2O. Pada pasien pada

5 cm H2O PEEP dengan sensitivitas pemicu yang sama, napas dipicu setiap kali

tekanan udara turun di bawah 4 cm H2 O.

Dengan aliran memicu, aliran kontinu gas dikirim melalui sirkuit ventilator.

Dalam beberapa ventilator, laju aliran kontinu ini mungkin diatur oleh dokter atau

terapis pernafasan, sedangkan di ventilator lain, laju aliran kontinu adalah tetap.

Sebuah sensitivitas aliran dipilih, dan ventilator mengenali upaya inspirasi pasien

dengan mendeteksi perubahan aliran.

Ketika pasien membuat upaya inspirasi, beberapa gas yang sebelumnya

mengalir terus menerus melalui rangkaian dialihkan ke pasien.Ventilator

merasakan penurunan aliran kembali melalui rangkaian, dan napas dipicu. Satu

masalah dengan aliran memicu adalah bahwa memicu otomatis kadang-kadang

hasil dari kebocoran di sirkuit ventilator.7, 9

2.14 TEKANAN POSITIF AKHIR EXPIRASI (PEEP)

Dengan mempertahankan jalan napas dan juga karenanya tekanan alveolar,

yang lebih besar dari nol, PEEP dapat merekrut alveoli atelektasis dan mencegah

keruntuhan mereka selama berakhirnya berhasil. PEEP juga bergeser air paru dari

alveoli ke dalam ruang interstitial perivaskular dan membantu dengan perekrutan

alveoli. Namun, itu tidak mengurangi jumlah total air paru ekstravaskuler.

Pada pasien dengan gangguan seperti sindrom akut respiratory distress

(ARDS) atau cedera paru akut (ALI), PEEP diterapkan untuk merekrut alveoli

atelektasis, dengan demikian meningkatkan oksigenasi dan memungkinkan

pengurangan FI O2 ke tingkat beracun (<0,6). Menerapkan PEEP 3-5 cm H2 O

untuk mencegah penurunan kapasitas residual fungsional pada pasien dengan paru-

paru normal adalah praktek umum.

Dalam sebuah percobaan ARDS Network, PEEP tinggi diproduksi

oksigenasi lebih baik dan kepatuhan paru-paru tetapi tidak ada manfaat bagi

kelangsungan hidup, waktu pada ventilator, atau disfungsi organ nonpulmonary.

Page 28: Oleh : Thivyaroobini Ramah dr. Putu Kurniyanta,SpAn

28

Meskipun PEEP yang cukup penting dalam manajemen ventilator dari pasien

dengan ARDS, tingkat ini bervariasi dari pasien kepada pasien. Ideal PEEP

membantu untuk mencapai oksigenasi yang memadai dan mengurangi kebutuhan

untuk pecahan tinggi oksigen inspirasi tanpa menimbulkan efek berbahaya dari

PEEP.

Bukti saat ini tidak mendukung aplikasi rutin strategi PEEP tinggi pada orang

dengan ALI atau ARDS; Namun, sebuah studi oleh Briel et al menemukan tingkat

PEEP tinggi telah dikaitkan dengan kelangsungan hidup di antara pasien dengan

ARDS. PEEP menyebabkan peningkatan tekanan intratoraks, yang dapat

menurunkan aliran balik vena dan curah jantung, terutama pada pasien dengan

hipovolemia.

Gambar 2.2: Efek dari kebocoran alveolar - kapiler dan tekanan positif akhir

ekspirasi ( PEEP ) dari pertukaran gas paru .1

Modus ventilasi harus disesuaikan dengan kebutuhan pasien. Setelah

inisiasi ventilasi mekanik, pengaturan ventilator harus disesuaikan atas dasar

mekanik paru-paru pasien, yang mendasari proses penyakit, pertukaran gas, dan

respon terhadap ventilasi mekanis. SIMV dan ventilasi membantu kontrol yang

sering digunakan untuk inisiasi ventilasi mekanik. Pada pasien dengan pernafasan

utuh dan gagal pernafasan ringan sampai sedang, PSV bisa menjadi pilihan awal

yang baik.

Page 29: Oleh : Thivyaroobini Ramah dr. Putu Kurniyanta,SpAn

29

Terendah FI O2 yang menghasilkan Sa O2 lebih besar dari 90% dan Pa O2

lebih besar dari 60 mm Hg umumnya dianjurkan. Penggunaan berkepanjangan dari

FI O2 lebih rendah dari 0,6 tidak mungkin menyebabkan keracunan oksigen paru.12

2.15 SALURAN PERNAFASAN AKUT DISTRES SINDROM- TIPE 1

KEGAGALAN PERNAFASAN

Misalnya pada pasien ARDS, tujuan utama dari ventilasi mekanis adalah

untuk mencapai pertukaran gas yang memadai sambil menghindari konsentrasi

oksigen inspirasi yang berlebihan dan alveolar lebih distensi.

Strategi ventilasi tradisional memberikan volume tidal yang tinggi

menyebabkan tekanan alveolar akhir-inspirasi tinggi (yaitu, tekanan plateau).

Banyak peneliti sekarang percaya bahwa siklus berulang pembukaan dan runtuh

dari alveoli yang meradang dan atelektasis yang merugikan paru. Kegagalan untuk

mempertahankan volume alveolar minimum tertentu mungkin lebih menonjolkan

kerusakan paru-paru. Selanjutnya, tekanan transalveolar (tercermin tekanan

plateau) melebihi 25-30 cm H2 O dianggap menjadi faktor risiko penting untuk

cedera peregangan ke paru-paru.

Pasien dengan ARDS harus ditargetkan untuk menerima volume tidal dari

6 mL / kg. Penting untuk diingat bahwa volume tidal set harus didasarkan pada

ideal daripada yang sebenarnya berat badan. Jika tekanan plateau tetap berlebihan

(> 30 cm H2 O), pengurangan lebih lanjut dalam volume tidal mungkin

diperlukan.Pasien yang menerima lebih rendah strategi volume tidal juga memiliki

lebih bebas ventilator dan gagal organ-bebas hari. Strategi ini dapat menyebabkan

asidosis pernapasan, yang membutuhkan baik tingkat pernapasan yang tinggi dan

atau infus natrium bikarbonat.

Penerapan PEEP yang cukup untuk menaikkan volume tidal atas titik

infleksi rendah (Pflex) pada kurva tekanan-volume yang dapat meminimalkan stres

dinding alveolar dan meningkatkan oksigenasi. Sebuah kurva tekanan-volume yang

dapat dibangun untuk pasien perorangan dengan mengukur tekanan plateau pada

volume paru-paru yang berbeda (lihat gambar di bawah). Pflex adalah titik di mana

Page 30: Oleh : Thivyaroobini Ramah dr. Putu Kurniyanta,SpAn

30

kemiringan perubahan kurva, menunjukkan bahwa paru-paru yang beroperasi di

bagian paling sesuai kurva.1

Graf 2.1: Kurva tekanan-volume pasien dengan sindrom gangguan pernapasan akut

(ARDS) pada ventilasi mekanik dapat dibangun. Ujung bawah dan atas dari kurva

yang datar, dan bagian tengah lurus (di mana paru-paru yang paling sesuai). Untuk

ventilasi mekanik yang optimal, pasien dengan ARDS harus dijaga antara infleksi

dan titik defleksi.1

Strategi paru-pelindung di mana CO2 Pa diperbolehkan naik (permisif

hiperkapnia) dapat mengurangi barotrauma dan meningkatkan kelangsungan hidup.

Pada beberapa pasien dengan ARDS, posisi tengkurap dapat menyebabkan

perbaikan yang signifikan dalam oksigenasi.1

2.16 MERINTANGI SALURAN NAFAS PENYAKIT-PENYAKIT TIPE 2

KEGAGALAN PERNAFASAN

Pada pasien dengan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) atau asma,

inisiasi ventilasi mekanik dapat memperburuk hiperinflasi dinamis (auto-PEEP atau

intrinsik PEEP [PEEP]). Bahaya auto-PEEP termasuk pengurangan curah jantung

dan hipotensi (karena penurunan aliran balik vena), serta barotrauma.

Tujuan dari ventilasi mekanik pada penyakit saluran napas obstruktif adalah

untuk membongkar otot-otot pernapasan, mencapai oksigenasi yang memadai, dan

Page 31: Oleh : Thivyaroobini Ramah dr. Putu Kurniyanta,SpAn

31

meminimalkan pengembangan hiperinflasi dinamis dan konsekuensi yang

merugikan yang terkait.

Setelah inisiasi ventilasi mekanik, pasien dengan status asmatikus sering

mengembangkan hiperinflasi dinamis parah, yang sering dikaitkan dengan efek

hemodinamik yang merugikan. Perkembangan hiperinflasi dinamis dapat

diminimalkan dengan memberikan kemungkinan ventilasi menit terendah dalam

waktu yang paling mungkin. Oleh karena itu, strategi ventilasi awal harus

melibatkan pengiriman volume relatif rendah tidal (misalnya, 6 mL / kg) dan tingkat

pernapasan yang lebih rendah (misalnya, 8-12 napas / menit) dengan laju aliran

inspirasi yang tinggi.

Dengan tidak adanya hipoksia, hiperkapnia umumnya baik ditoleransi pada

kebanyakan pasien. Bahkan tingkat ditandai hiperkapnia yang lebih baik untuk

upaya untuk menormalkan tekanan karbondioksida (PCO2), yang dapat

menyebabkan tingkat berbahaya hiperinflasi.

Pasien sering memerlukan sejumlah besar sedasi dan, sesekali, kelumpuhan

sampai bronkokonstriksi dan saluran napas peradangan telah membaik.Jika

keputusan dibuat untuk mengukur volume yang terjebak-gas (yaitu, volume akhir-

inspirasi [VEI]), seperti yang direkomendasikan oleh beberapa peneliti, upaya harus

dilakukan untuk tetap di bawah 20 mL / kg. Pengukuran rutin VEI tidak dianjurkan,

karena pengukuran tekanan plateau dan auto-PEEP memberikan informasi yang

sama dan lebih mudah untuk melakukan.

Pasien dengan PPOK memiliki keterbatasan aliran ekspirasi dan rentan

terhadap perkembangan hiperinflasi dinamis. Di sini sekali lagi, tujuan dari

ventilasi mekanis adalah untuk membongkar otot-otot pernafasan dan

meminimalkan tingkat hiperinflasi. Penggunaan PEEP ekstrinsik dapat

dipertimbangkan dalam spontan pernapasan pasien untuk mengurangi kerja

pernapasan dan untuk memfasilitasi memicu ventilator. Perawatan harus dilakukan

untuk menghindari menyebabkan hiperinflasi lanjut, dan tingkat set PEEP harus

selalu kurang dari tingkat auto-PEEP.10

2.17 PASIEN- VENTILATOR SINKRON

Page 32: Oleh : Thivyaroobini Ramah dr. Putu Kurniyanta,SpAn

32

Selama ventilasi mekanik, banyak pasien kadang-kadang mengalami

asynchrony antara usaha mereka sendiri secara spontan bernapas dan pola ventilasi

yang dikenakan oleh ventilator. Hal ini dapat terjadi dengan kedua mode dikontrol

dan pasien-dimulai dari ventilasi.

Untuk mencapai sinkroni, ventilator tidak hanya harus merasakan dan

merespon dengan cepat untuk timbulnya upaya inspirasi pasien tetapi juga harus

mengakhiri fase inspirasi ketika "Jam pernapasan" pasien beralih ke kedaluwarsa.

Interaksi asynchronous ("pertempuran ventilator") dapat terjadi ketika napas

ventilator dan upaya pasien keluar dari fase. Hal ini dapat menyebabkan kerja

berlebihan pernapasan, peningkatan konsumsi oksigen otot pernapasan, dan

penurunan kenyamanan pasien.

Ada beberapa cara untuk meminimalkan pasien-ventilator asynchrony.

Ventilator modern dilengkapi dengan karakteristik valve secara signifikan lebih

baik daripada ventilator generasi tua memiliki. Selain itu, aliran memicu (dengan

laju aliran kontinu) tampaknya lebih sensitif dan lebih responsif terhadap upaya

inspirasi spontan pasien.

Pasien-ventilator asynchrony sering terjadi di hadapan auto-PEEP. Auto-

PEEP menciptakan beban ambang inspirasi dan dengan demikian mengurangi

sensitivitas pemicu yang efektif. Ini mungkin sebagian diimbangi dengan

penerapan PEEP eksternal.Kadang-kadang, sedasi tambahan mungkin diperlukan

untuk mencapai yang memadai selaras pasien-ventilator.8

2.18 PENGHENTIAN DARI VENTILASI MEKANIK

Penghentian atau pembebasan dari ventilasi mekanik dimulai ketika proses

yang mendasari dan mengharuskan dukungan ventilasi ditingkatkan. Pada beberapa

pasien, seperti yang pulih dari operasi besar tidak rumit atau menelan racun,

penarikan dukungan ventilator dapat dilakukan tanpa penyapihan. Pada pasien yang

diperlukan terapi pernapasan lebih lama, proses membebaskan pasien dari

dukungan ventilasi mungkin memakan waktu lebih lama. Seorang pasien yang

memiliki status pernapasan yang mendasari stabil, oksigenasi yang memadai

Page 33: Oleh : Thivyaroobini Ramah dr. Putu Kurniyanta,SpAn

33

(misalnya, Pa O2 / FI O2> 200 pada PEEP <10 cm H2 O), pernafasan utuh, dan

status kardiovaskular stabil harus dipertimbangkan untuk penghentian ventilasi

mekanis. Banyak kriteria telah digunakan untuk memprediksi keberhasilan dalam

penyapihan, termasuk satu menit ventilasi kurang dari 10 L / min, tekanan inspirasi

maksimal lebih dari -25 cm H2 O, kapasitas vital lebih dari 10 mL / kg, tidak adanya

dyspnea, tidak adanya paradoks aktivitas pernafasan otot, dan agitasi atau

takikardia selama persidangan penyapihan. Namun, cepat-dangkal pernapasan

indeks-yaitu, volume tidal pasien (dalam liter) dibagi dengan laju pernapasan (di

napas / menit) selama periode spontan pernapasan-bisa menjadi prediktor yang

lebih baik dari ekstubasi sukses.11

2.19 JANGKA PANJANG MONITORING

Seorang pasien dengan gagal napas membutuhkan penilaian berulang, yang

bisa berkisar dari pengamatan samping tempat tidur untuk penggunaan pemantauan

invasif. Pasien-pasien ini harus dirawat di sebuah fasilitas di mana pengamatan dari

dekat dapat disediakan. Kebanyakan pasien yang membutuhkan ventilasi mekanis

yang sakit kritis; Oleh karena itu, pemantauan konstan dalam pengaturan perawatan

kritis adalah suatu keharusan.

Monitoring jantung, tekanan darah, oksimetri pulsa, Sa O2, dan capnometry

direkomendasikan. Penentuan gas darah arteri harus diperoleh 15-20 menit setelah

lembaga ventilasi mekanis. The pulse oximetry pembacaan upaya langsung untuk

mengurangi FI O2 ke nilai kurang dari 0,6, dan Pa CO2 memandu penyesuaian

ventilasi menit.7

BAB III

KESIMPULAN

Secara umum, kegagalan napas merupakan ketidakmampuan sistem

pernapasan untuk mempertahankan suatu keadaan pertukaran udara antara atmosfer

Page 34: Oleh : Thivyaroobini Ramah dr. Putu Kurniyanta,SpAn

34

dengan sel-sel tubuh yang sesuai dengan kebutuhan normal. Gagal napas

diklasifikasikan menjadi gagal napas hipoksemia, dan gagal napas hiperkapnia.

Gagal napas hipoksemia ditandai dengan PaO2 < 60 mmHg dengan PaCO2 normal

atau rendah. Gagal napas hiperkapnia, ditandai dengan PaCO2 > 45 mmHg. Faktor-

faktor yang menyebabkan gagal napas dapat diakibatkan oleh kelainan pada otak,

susunan neuromuscular, dinding thoraks dan diafragma, paru, serta sistem

kardiovaskuler. Komplikasi gagal napas dapat mempengaruhi organ-organ vital

terutama otak dan jaringan kerana tidak adekuatnya oksigenasi. Maka,

penatalaksanaan pasien dengan gagal nafas akut yang utama adalah membuat

oksigenasi arteri adekuat, sehingga meningkatkan perfusi jaringan, dengan upaya

ventilasi mekanik yang bisa menyelamatkan penderita dari keadaan kritis, serta

menghilangkan underlying disease, yaitu penyakit yang mendasari gagal nafas

tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Page 35: Oleh : Thivyaroobini Ramah dr. Putu Kurniyanta,SpAn

35

Brusasco V. Pellegrino R, 2003. Oxygen in the Rehabilitation of Patients with

COPD. America Journal Respiratory Critical Care Med; 168: 1021-2

Chen H-I, Kuo CS. 1989. Relationship between respiratory muscle function and

age, sex and other factors. J Appl Physiol Vol 66: 943.

Guyton,A.C. , dan John E. Hall. 2008. Insufiensi Pernapasan-Patofisiologi,

Diagnosis, Terapi Oksigen. Dalam : Arthur C. Guyton dan John E. Hall (ed.) Buku

Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta : EGC. Pp. 556-559

Guyton,A.C. , dan John E. Hall. 2008. Ventilasi Paru.. Dalam : Arthur C. Guyton

dan John E. Hall (ed.) Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta : EGC. Pp

Gwinnutt, C. 2011. Catatan Kuliah : Anestesi Klinis Edisi 3. Jakarta : EGC.

Latief, A. Said. (2002), Petunjuk Praktis Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan

Terapi Intesif, Jakarta: FK UI.

Irwin RS and Mark M. 2006. A Physiologic Approach To Managing Respiratory

Failure. Manual Of Intensive Care Medicine, 4th Edition; 251-4

Kreit JW and Rogers RM. 1995. Approach to the patient with respiratory failure.

In Shoemaker, Ayres, Grenvik, Holbrook (Ed) Textbook of Critical Care. WB

Saunders, Philadelphia,Pp 680-7.

Page 36: Oleh : Thivyaroobini Ramah dr. Putu Kurniyanta,SpAn

36

Muhardi, OET. 1989. Penatalaksanaan Pasien di Intensif Care Unit, Bagian

Anestesi dan Terapi Intensif FKUI, Penerbit FKUI, Jakarta, Hal 1-9

Nemaa PK. 2003. Respiratory Failure. Indian Journal of Anaesthesia, 47(5): 360-

6.

Shapiro BA and Peruzzi WT. 1994. Physiology of respiration. In Shapiro BA and

Peruzzi WT (Ed) Clinical Application of Blood Gases. Mosby, Baltimore, Pp. 13-

24.

Sue DY and Bongard FS.2003. Respiratory Failure. In Current Critical Care

Diagnosis and Treatment, 2nd Ed, Lange-McGrawHill, California, Pp. 269-89

Tobin MJ and Laghi F. 1998. Monitoring of the control of breathing. In principles

and practice of intensive care monitoring. Tobin MJ (Ed). New York, McGraw-

Hill, Pp. 415-64.

West JB.1977.Ventilation-perfusion relationships. Am Rev Respir Dis Vol 116:

919-25.

Wijoatmodjo, K. 2000 Gawat Nafas Akut: Modul Dasar anestesiologi dan

Reanimasi, DIKTI, DEPNAS, 2000, Hal. 26-34