putu dewi pramusita

105
79 TESIS HUBUNGAN EKSPRESI CATHEPSIN D DENGAN STADIUM KLINIS PADA KARSINOMA NASOFARING TIPE UNDIFFERENTIATED PUTU DEWI PRAMUSITA NIM 0914078202 PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2016

Upload: vonga

Post on 30-Dec-2016

292 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: putu dewi pramusita

79

TESIS

HUBUNGAN EKSPRESI CATHEPSIN D DENGAN

STADIUM KLINIS PADA KARSINOMA

NASOFARING TIPE UNDIFFERENTIATED

PUTU DEWI PRAMUSITA

NIM 0914078202

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016

Page 2: putu dewi pramusita

80

HUBUNGAN EKSPRESI CATHEPSIN D DENGAN

STADIUM KLINIS PADA KARSINOMA

NASOFARING TIPE UNDIFFERENTIATED

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister Biomedik dan Dokter Spesialis

dalam Bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher

pada Program Combined Degree, Program Studi Ilmu Biomedik,

Program Pascasarjana Universitas Udayana dan

Pendidikan Dokter Spesialis I Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

PUTU DEWI PRAMUSITA

NIM 0914078202

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016

LEMBAR PENGESAHAN

Page 3: putu dewi pramusita

81

TESIS INI TELAH DISETUJUI

PADA TANGGAL 18 JULI 2016

Pembimbing I, Pembimbing II,

dr. I Gde Ardika Nuaba Sp.T.H.T.K.L (K), FICS Prof. Dr. dr. N. Adiputra, Sp.Erg, PFK, MOH

NIP. 19691005 1999 03 1 001 NIP. 19471211 1976 02 1 001

Mengetahui,

Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Direktur

Program Pascasarjana Program Pascasarjana

Universitas Udayana, Universitas Udayana,

Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc, SpGK Prof.Dr.dr.A.A.Raka Sudewi,

Sp.S(K)

NIP. 19580521 1985 03 1 002 NIP. 19590215 1985 10 2 001

Tesis Ini Telah Diuji pada Tanggal :

18 Juli 2016

Page 4: putu dewi pramusita

82

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana

Nomor : …/…../HK/2016

Tanggal : …. Juli 2016

Penguji :

1. dr. I Gde Ardika Nuaba, Sp.T.H.T.K.L (K), FICS (Pembimbing

I)

2. Prof. Dr. dr. N. Adiputra, Sp. Erg, PFK, MOH (Pembimbing II)

3. Prof. dr. W. Suardana, Sp.T.H.T.K.L (K)

4. dr. Eka Putra Setiawan, Sp.T.H.T.K.L (K)

5. dr. I Dewa Gede Arta Eka Putra, Sp.T.H.T.K.L (K)

Page 5: putu dewi pramusita

83

UCAPAN TERIMA KASIH

Page 6: putu dewi pramusita

84

Om Swastyastu,

Pertama – tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur ke hadapan

Ida Sang Hyang Widhi Waça / Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan

rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini, yang

merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan dokter spesialis di

Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Udayana /

RSUP Sanglah, Denpasar, Bali.

Kepada Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD.

KEMD, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas

kesempatan yang diberikan untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan

spesialisasi di Universitas Udayana.

Kepada Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Putu

Astawa, Sp.OT(K), M.Kes, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar –

besarnya atas perkenan dan bantuannya sehingga penulis dapat mengikuti dan

menyelesaikan program pendidikan dokter spesialis I di Fakultas Kedokteran

Universitas Udayana.

Kepada direktur RSUP Sanglah, dr. I Wayan Sudana, M.Kes, penulis

menyampaikan rasa hormat dan terima kasih atas kesempatan yang telah

diberikan untuk menjalani program pendidikan dokter spesialis I dan melakukan

penelitian di RSUP Sanglah.

Kepada dr. I Dewa Gede Arta Eka Putra, Sp.T.H.T.K.L. (K), sebagai Ketua

Program Studi PPDS I Ilmu Kesehatan THT-KL FK UNUD/RSUP Sanglah, dr.

Page 7: putu dewi pramusita

85

Eka Putra Setiawan, Sp.T.H.T.K.L.(K), selaku Kepala Bagian/SMF Ilmu

Kesehatan THT-KL FK UNUD/RSUP Sanglah dan dr. I Wayan Sucipta,

Sp.T.H.T.K.L., selaku Sekretaris Bagian/SMF Ilmu Kesehatan THT-KL FK

UNUD/RSUP Sanglah, penulis mengucapkan terima kasih dan hormat yang

setinggi – tingginya karena telah berkenan memberikan kesempatan, dukungan,

bimbingan dan motivasi selama mengikuti program pendidikan dokter spesialis

ini. Kepada dr. I Gde Ardika Nuaba, Sp.T.H.T.K.L.(K), FICS selaku Sekretaris

Program Studi PPDS I Ilmu Kesehatan THT-KL FK UNUD/RSUP Sanglah dan

juga pembimbing I penulis dalam penyusunan tesis ini, penulis mengucapkan

terima kasih yang sebesar – besarnya atas kesempatan, bimbingan, motivasi dan

waktu yang diberikan sejak awal hingga akhir pendidikan.

Kepada Prof. dr. Wayan Suardana, Sp.T.H.T.K.L.(K)., penulis mengucapkan

terima kasih dan penghargaan setinggi – tingginya atas kemurahan hatinya dalam

memberikan waktu, tuntunan, dukungan, dan motivasi.

Kepada Prof. Dr. dr. N. Adiputra, Sp.Erg, PFK, MOH., selaku pembimbing II

penulis dalam penyusunan tesis ini, penulis mengucapkan terima kasih yang

sebesar –besarnya atas semua waktu, bimbingan dan motivasi yang tak henti –

hentinya diberikan kepada penulis.

Kepada dr. Harijadi, Sp. PA (K) dan dr. I Wayan Gede Artawan Eka Putra,

M.Epid yang telah membantu dan membimbing dalam penyusunan tesis ini,

penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar – besarnya atas waktu, bantuan

dan bimbingannya sehingga penulis dapat merampungkan tesis ini.

Page 8: putu dewi pramusita

86

Kepada seluruh guru selama penulis menuntut ilmu di Bagian Ilmu THT-KL

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, dr. Made Tjekeg, Sp.T.H.T.K.L. (K),

dr. A. A. Sagung Putri, Sp.T.H.T.K.L., dr. I Made Sudipta, Sp.T.H.T.K.L., dr.

Luh Made Ratnawati, Sp.T.H.T.K.L., Dr. dr. W. Sudana, Sp.T.H.T.K.L. (K), dr.

Made Wiranadha, Sp.T.H.T.K.L., dr. Made Lely Rahayu, Sp.T.H.T.K.L., dr.

Komang Andi Dwi Saputra, Sp.T.H.T.K.L., dr. Sari Wulan Dwi Sutanegara,

Sp.T.H.T.K.L. (K), dr. Agus Rudi Asthuta, Sp.T.H.T.K.L., dan dr. I Ketut

Suanda, Sp.T.H.T.K.L., penulis haturkan penghormatan yang setinggi - tingginya

serta rasa terima kasih yang sebesar-besarnya atas seluruh waktu, tuntunan,

bimbingan, nasihat, bantuan, dan permaklumannya kepada penulis selama

menempuh pendidikan. Kepada seluruh teman – teman residen Bagian Ilmu THT-

KL FK UNUD/RSUP Sanglah, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar -

besarnya atas seluruh bantuan, dukungan, pembelajaran, dan pertemanan yang

penulis dapatkan selama menjalani program pendidikan, semoga pertemanan yang

ada dapat terus terjalin. Kepada segenap perawat dan karyawan di Fakultas

Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar, utamanya di Bagian

Ilmu THT-KL yang selalu membantu dan berkenan untuk bekerjasama, penulis

menghaturkan terima kasih yang sebesar-besarnya untuk seluruh perhatian,

bantuan dan pengalamannya selama penulis menempuh program pendidikan ini.

Tidak lupa penulis menghaturkan terima kasih yang sebesar – besarnya kepada

seluruh pasien yang penulis temui selama proses pendidikan, untuk perkenan dan

ilmu tak terhingga yang telah diberikan, semoga ilmu yang penulis dapatkan

dapat diamalkan dengan baik di kemudian hari.

Page 9: putu dewi pramusita

87

Sembah bakti dan rasa terima kasih yang tak terhingga penulis haturkan

kepada ayahanda Ir. Nyoman Ardana dan ibunda dr. Putu Rasmiati, yang telah

membesarkan, membimbing, dan mendidik dengan penuh harapan dan kasih

sayang, serta memberikan dukungan baik moral maupun material yang tiada ada

hentinya kepada penulis dan keluarga kecil penulis. Penulis berharap dengan

pembelajaran dan bekal yang didapatkan ini, penulis dapat menjalani kehidupan

dengan baik ke depannya. Kepada adik penulis, Made Gde Yoga Iswara, S. Kom.,

M.M., penulis haturkan terima kasih yang sebesar – besarnya untuk dukungan dan

bantuan yang diberikan selama ini. Kepada seluruh anggota keluarga penulis yang

tidak dapat disebutkan satu persatu, yang selalu memberikan semangat, dukungan,

dan bantuannya, penulis haturkan terima kasih yang sebesar – besarnya.

Kepada suami tercinta dr. A. A. Bagus Indra Permadi, yang selalu

mendampingi dengan penuh pengertian, kesabaran, pengorbanan dan memberikan

motivasi serta doa yang tulus selama penulis menempuh pendidikan hingga

terselesaikannya tesis ini, penulis menghaturkan penghargaan dan rasa terima

kasih yang tak terhingga. Kepada putra kami tercinta, A. A. Bagus Khrisna

Yogisvara, yang telah menjadi sumber semangat kami untuk kehidupan yang lebih

baik, penulis haturkan rasa syukur dan terima kasih yang sebesar – besarnya untuk

pengertiannya selama ini.

Akhirnya penulis menghaturkan doa semoga Ida Sang Hyang Widhi Waça /

Tuhan Yang Maha Esa selalu melindungi dan melimpahkan rahmat-Nya kepada

semua pihak, yang tercantum di atas maupun yang belum tercantum, yang telah

Page 10: putu dewi pramusita

88

membantu selama proses pendidikan dan penyelesaian tesis ini, baik secara

langsung maupun tidak langsung.

Om Shanti Shanti Shanti Om

ABSTRAK

HUBUNGAN EKSPRESI CATHEPSIN D DENGAN STADIUM KLINIS

PADA KARSINOMA NASOFARING TIPE UNDIFFERENTIATED

Karsinoma nasofaring adalah suatu malignansi dari epitelium nasofaring dan

paling banyak ditemukan pada stadium lanjut sehingga prognosis penderita buruk.

WHO menetapkan 3 tipe histologis KNF dan stadium KNF didasarkan pada

klasifikasi TNM menurut AJCC. KNF memiliki karakteristik epidemiologi yang

unik, di mana tipe undifferentiated lebih banyak ditemukan di Indonesia.

Karsinogenesis KNF adalah multi tahap dan memerlukan proteolisis, baik

intraseluler maupun ekstraseluler. Proses proteolisis pada KNF diketahui

melibatkan berbagai enzim, termasuk Cathepsin D. Ekspresi cathepsin D sebagai

salah satu biomarker pada KNF melalui pemeriksaan imunohistokimia menarik

untuk diteliti, karena ditemukan kaitan yang kuat antara ekspresi Cathepsin D

dengan progresi kanker, belum terdapatnya data yang memadai dalam hal nilai

prognosis dan prediktif Cathepsin D pada KNF, dan pemeriksaan ekspresi

Page 11: putu dewi pramusita

89

cathepsin D telah dapat dikerjakan oleh beberapa sentra kesehatan di Indonesia.

Tujuan penelitian ini adalah untuk membuktikan adanya hubungan antara ekspresi

Cathepsin D dengan stadium klinis KNF tipe undifferentiated.

Penelitian ini adalah observasional analitik komparatif dua kelompok tidak

berpasangan dengan rancangan potong lintang, dengan pengukuran ekspresi

Cathepsin D pada dua kelompok sampel, yakni KNF tipe undifferentiated dengan

stadium kurang dari IV dan dengan stadium IV. Penelitian dimulai dengan

consecutive sampling berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi pada catatan medis

pasien yang datang ke Poliklinik THT-KL RSUP Sanglah periode April 2015

hingga April 2016 serta dilakukan pengumpulan data di Laboratorium Patologi

Anatomi FK Universitas Udayana/RSUP Sanglah. Kemudian dilakukan pulasan

IHK di Laboratorium Patologi Anatomi FK Universitas Gajah Mada/RSUP Dr.

Sardjito Yogyakarta dan dilakukan penilaian ekspresi Cathepsin D oleh seorang

dokter spesialis Patologi Anatomi.

Dari 62 sampel yang diperiksa didapatkan rerata umur pasien adalah

49,94±12,26 tahun pada kelompok dengan stadium IV, dan 51,16±11,31 tahun

pada kelompok dengan stadium kurang dari IV. Umur termuda pada usia 18 tahun

dan tertua pada usia 80 tahun. Proporsi jenis kelamin laki – laki lebih banyak

daripada perempuan, yaitu sebanyak 21 pasien (67,7%) dan 22 pasien (71,0%)

secara berurutan. Distribusi karakteristik pekerjaan yang paling banyak adalah

pekerja swasta yaitu sebanyak 11 orang (35,5%) pada masing-masing kelompok.

Stadium klinis KNF tipe undifferentiated yang paling banyak ditemukan adalah

pada stadium III sebanyak 25 pasien (40,3%) dan yang paling sedikit adalah

stadium II sebanyak 6 pasien (9,7%). Proporsi ekspresi Cathepsin D terbanyak

didapatkan pada kategori kuat sebanyak 24 pasien (38,7%) dan terkecil pada

kategori lemah sebanyak 16 pasien (25,8%). Ekspresi Cathepsin D kategori lemah

pada kelompok dengan stadium kurang dari IV didapatkan sebanyak 16 pasien

(51,6%) dan tidak didapatkan pada kelompok dengan stadium IV. Ekspresi

Cathepsin D kategori sedang pada kelompok dengan stadium kurang dari IV

didapatkan sebanyak 15 pasien (48,4%) dan pada stadium IV didapatkan sebanyak

7 pasien (22,6%). Ekspresi Cathepsin D kategori kuat tidak didapatkan pada

kelompok dengan stadium kurang dari IV dan pada kelompok dengan stadium IV

didapatkan sebanyak 24 pasien (77,4%). Secara statistik hal ini bermakna dengan

nilai p dari Chi Square Test adalah 0,000 (p<0,001). Hasil penelitian ini

menunjukkan adanya hubungan kuat antara ekspresi Cathepsin D dengan stadium

klinis KNF tipe undifferentiated. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi

salah satu masukan dalam usaha memahami lebih jauh mengenai peranan

Cathepsin D pada KNF tipe undifferentiated.

Kata Kunci : KNF tipe undifferentiated, stadium klinis, ekspresi Cathepsin D.

Page 12: putu dewi pramusita

90

ABSTRACT

THE RELATIONSHIP OF CATHEPSIN D EXPRESSION AND CLINICAL

STAGE OF UNDIFFERENTIATED TYPE NASOPHARYNGEAL

CARCINOMA

Nasopharyngeal carcinoma is a malignant tumor derived from

nasopharyngeal epithelium, typically diagnosed in late stage, resulting in a poor

prognosis. WHO identifies 3 histologic types of NPC, and the stadiums are

classified based on AJCC recommendation. NPC has unique epidemiological

features. In Indonesia, undifferentiated type of NPC is the most common.

Pathogenesis of NPC occurs in multi steps. Proteolysis is mandatory during the

carcinogenesis, both intracellularly or extracellularly. Proteolysis in NPC involves

several enzymes, including Cathepsin D. Cathepsin D expression, identified by

immunohistochemistry procedure, as a biomarker in NPC is interesting to be

further studied, because there is a strong association with progression of cancer,

lacking of data on its prognostic and predictive values in NPC, and the procedure

is readily available on several health institutes in Indonesia. The aim of the study

is to prove the association between Cathepsin D expression and the clinical stage

of undifferentiated type of NPC.

The study was carried out as a comparative analytic observasional with cross

sectional design study on 2 unpaired groups. The study measures Cathepsin D

expression on 2 eligible groups, ie : NPC patients with stage less than IV and

stage IV NPC patients. The samples were recruited using consecutive sampling,

Page 13: putu dewi pramusita

91

based on predetermined inclusion and exclusion criteria. Medical records of

eligible NPC patients who came to ENT-HNS clinic at Sanglah Hospital in the

period of April 2015 until April 2016 were investigated, and further data were

collected from Department of Pathological Anatomy Udayana University/Sanglah

Hospital. Immunohistochemistry staining and evaluation of Cathepsin D

expression were performed at Department of Pathological Anatomy Gajah Mada

University/Dr. Sardjito Hospital in Yogyakarta, with one particular pathological

anatomy specialist.

Of 62 samples investigated, the average age were 49,94±12,26 years in stage

IV NPC patients and 51,16±11,31 years in NPC patients with stage less than IV,

with the youngest was at the age of 18 and the oldest was at the age of 80. Male

patients were consistently more often found than female, with 21 patients (67,7%)

and 22 patients (71,0%), respectively. The patients were mostly work as private

employees; ie 11 patients (35,5%) in each of the goups. The clinical stage which

most often found was stage III with 25 patients (40,3%) dan the least was stage II

with 6 patients (9,7%). Strong Cathepsin D expression were most often found,

with 24 patients (38,7%), and the least was the weak category, with 16 patients

(25,8%). Weak Cathepsin D expression in NPC patients with stage less than IV

were found in 16 patients (51,6%), and none in stage IV NPC patients. Moderate

Cathepsin D expression in NPC patients with stage less than IV were found in 15

patients (48,4%), and 7 patients (22,6%) in stage IV NPC patients. Strong

Cathepsin D expression were none in NPC patients with stage less than IV and

were found in 24 patients (77,4%) in stage IV NPC patients. The result was

statistically significant, with p value of the Chi Square Test is 0,000 (p<0,001).

Thus, it is concluded that there is a strong relationship between Cathepsin D

expression and the clinical stage of undifferentiated type of NPC. The result of

this study could be applied as a basis for further research in pursuit of

understanding the role of Cathepsin D in pathogenesis of undifferentiated type of

NPC.

Keywords : undifferentiated type NPC, clinical stage, Cathepsin D expression.

Page 14: putu dewi pramusita

92

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Karsinoma nasofaring adalah karsinoma sel skuamosa yang berasal dari

epitelium nasofaring. Penyakit ini paling banyak ditemukan pada stadium lanjut,

sehingga seringkali sulit diatasi dan memberikan beban yang berat bagi pasien dan

keluarga. Faktor risiko yang luas, etiologi yang belum pasti, dan gejala klinis yang

minim pada awal penyakit mempersulit proses pencegahan dan deteksi dini.

Karsinoma nasofaring memiliki karakteristik epidemiologi yang unik dalam

hal area endemis, ras, dan familial. Distribusi penyakit ini amat tidak berimbang,

yakni kurang dari 1 per 100.000 di banyak negara, namun amat tinggi di daerah

Cina Selatan dan Asia Tenggara. Insiden tertinggi ditemukan di provinsi

Guangdong, Cina, dengan angka insiden 20-50 kasus per 100.000 penduduk.

Berdasarkan data dari IARC pada tahun 2002, terdapat kurang lebih 80.000 kasus

KNF baru, di mana 50.000 kasus di antaranya kemudian meninggal dan 40% di

antaranya adalah ras Cina. Insiden pada laki-laki lebih sering dengan

perbandingan 2-3 : 1 dan frekuensi tertinggi pada kelompok umur 30-60 tahun

(Ma dan Cao, 2010; Gautama dkk., 2012). Globocan 2012 menemukan angka

insiden KNF di populasi sebesar 6,5 per 100.000 penduduk dan 4,4% dari seluruh

insiden kanker (Anonim, 2012). Berdasarkan data di poliklinik THT-KL RSUP

Sanglah periode Januari 2011 hingga Desember 2013, tercatat 221 pasien KNF

1

Page 15: putu dewi pramusita

93

baru dengan rentang usia 11 hingga 80 tahun, dengan kelompok umur terbanyak

pada dekade keempat kehidupan (Kesuma, 2014).

Patogenesis penyakit ini terjadi secara multi tahap dan pada daerah endemis,

merupakan hasil dari interaksi yang kompleks antara infeksi kronis VEB dengan

faktor genetik dan lingkungan (Zeng dan Zeng, 2010). Karsinogenesis multi

tahap didefinisikan sebagai proses terjadinya kanker secara bertahap dari

terjadinya kerusakan gen yang diinduksi oleh berbagai faktor, misalnya konsumsi

ikan asin, paparan uap sulfur, atau infeksi virus, yang menyebabkan aktivasi

onkogen dan inhibisi supresi tumor sampai munculnya ekspresi sel yang bersifat

malignan, yakni invasif, tumbuh tanpa henti, dan menghindari apoptosis. Semua

proses tersebut memerlukan proteolisis, baik intraseluler dan ekstraseluler (Stadler

dkk., 2008; Kumar dkk., 2010). Proses proteolisis pada KNF diketahui melibatkan

berbagai enzim, antara lain berasal dari golongan enzim MMP (Nasr dkk., 2009),

serine protease, dan cathepsin (Cheng dkk., 2008; Xu dkk., 2009). Penelitian telah

banyak menemukan peran MMP pada progresi kanker, namun pemberian

inhibitor MMP gagal menghambat progresi sel kanker pada tikus (Joyce dkk.,

2004; Coussens dkk., 2002) sehingga peran protease intraselular dalam kanker

seperti cathepsin kembali disorot (Mohammed dan Sloane, 2006).

Cathepsin D merupakan salah satu cathepsin yang telah dihubungkan dengan

kanker. Proteolisis oleh Cathepsin D banyak ditemukan dalam proses prakanker

maupun kanker. Peningkatan ekspresi Cathepsin D dalam jaringan kanker

ditemukan menghambat proliferasi sel T dan Cathepsin D ditemukan berperan

dalam apoptosis sel (Michallet dkk., 2004; Navarro dkk., 2005; Vasiljeva dan

Page 16: putu dewi pramusita

94

Turk, 2008). Pada sel kanker, cathepsin juga ditemukan dapat mengalami migrasi

dari dalam vakuola sel ke ekstraseluler (Turk dkk., 2012). Berdowska (2004)

menyebutkan bahwa pemeriksaan ekspresi dan kadar cathepsin, baik dalam

jaringan maupun darah sebagai biomarker progresi kanker menarik untuk

dilakukan karena relatif mudah dikerjakan dan cukup praktis.

Penelitian mengenai ekspresi Cathepsin D banyak dilakukan pada pasien

kanker kolorektal, kanker payudara, kanker ovarium dan kanker endometrium,

namun penelitian mengenai ekspresi Cathepsin D pada KNF masih sangat terbatas

hingga saat ini. Penelitian mengenai biomarker yang memiliki nilai prognosis dan

prediktif bagi penderita KNF juga belum banyak dilakukan.

Ekspresi cathepsin D sebagai salah satu biomarker pada KNF melalui

pemeriksaan imunohistokimia menarik untuk diteliti, karena ditemukan kaitan

yang kuat antara cathepsin D dengan progresi kanker, belum terdapatnya data

yang memadai dalam hal nilai prognosis dan prediktif cathepsin D pada KNF, dan

pemeriksaan ekspresi cathepsin D telah dapat dikerjakan oleh beberapa sentra

kesehatan di Indonesia.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut di atas, maka didapatkan

rumusan masalah sebagai berikut: Apakah terdapat hubungan antara ekspresi

cathepsin D dengan stadium klinis KNF tipe undifferentiated?

Page 17: putu dewi pramusita

95

1.3.Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas, maka tujuan penelitian ini

adalah untuk membuktikan adanya hubungan antara ekspresi cathepsin D dengan

stadium klinis KNF tipe undifferentiated.

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat akademis

1. Sebagai sumbangan terhadap ilmu pengetahuan mengenai hubungan

ekspresi cathepsin D dengan stadium klinis KNF tipe undifferentiated.

2. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dalam mendukung

pemahaman dan pengembangan mengenai biomarker serta pemanfaatan

ekspresi cathepsin D sebagai faktor prediktif pada penderita KNF tipe

undifferentiated.

3. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran ekspresi cathepsin

D seiring progresivitas tumor sehingga penanganan KNF tipe

undifferentiated dapat lebih disesuaikan dengan kebutuhan penderitanya

serta sebagai rujukan untuk penelitian berikutnya.

1.4.2 Manfaat klinis

1. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dalam penatalaksanaan

KNF tipe undifferentiated serta mendukung pengembangan pemanfaatan

penghambat cathepsin D sebagai spesific-targeting therapy pada penderita

KNF tipe undifferentiated.

Page 18: putu dewi pramusita

96

2. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dalam upaya

peningkatan kualitas hidup pada penderita KNF tipe undifferentiated

dengan mengetahui secara dini prognosis dari penderitanya.

Page 19: putu dewi pramusita

97

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Karsinoma Nasofaring

Karsinoma nasofaring merupakan karsinoma sel skuamosa yang berasal dari

epitel nasofaring. Tumor ini dapat muncul pada berbagai area di nasofaring

namun lebih banyak ditemukan berasal dari fossa Rosenmuller, yang merupakan

daerah transisional, di mana epitel kolumnar berubah menjadi epitel skuamosa.

Kasus KNF pertama kali dilaporkan oleh Regaud dan Schmincke pada tahun 1921

(Probst dkk., 2006).

2.1.1 Epidemiologi karsinoma nasofaring

Karsinoma nasofaring berada dalam kedudukan lima besar di antara

keganasan lain bersama dengan kanker serviks, kanker payudara, keganasan

kelenjar getah bening, dan kanker kulit (Wahyono dkk., 2010). Berbagai studi

epidemiologi mengenai etiologi dan kebiasaan yang mendasari timbulnya KNF

selama empat dekade terakhir menemukan beberapa hal penting. Karsinoma

nasofaring dinilai memiliki karakteristik epidemiologis yang unik, termasuk

dalam hal area endemis, ras, dan agregasi familial (Ma dan Cao, 2010).

Insiden KNF relatif tinggi pada penduduk lokal di area Cina Selatan, Asia

Tenggara, bangsa Eskimo di area Arktik, serta penduduk Afrika Utara dan Timur

Tengah. Insiden KNF tertinggi ditemukan di provinsi Guangdong Cina, dengan

insiden pada laki-laki sebanyak 20 hingga 50 per 100.000 penduduk. Berdasarkan

6

Page 20: putu dewi pramusita

98

data dari IARC, terdapat sebanyak kurang lebih 80.000 kasus KNF baru yang

terdiagnosa pada 2002, di mana 50.000 kasus di antaranya kemudian meninggal

dan 40% di antaranya adalah ras Cina. KNF ditemukan lebih sering pada pria

dibandingkan wanita, dengan rasio 2-3:1. Penyakit ini ditemukan terutama pada

usia produktif, yakni 30 hingga 60 tahun, dengan usia terbanyak pada 40 hingga

50 tahun (Ma dan Cao, 2010).

Globocan 2012 menemukan insiden KNF di populasi sebesar 6,5/100.000

penduduk dan insiden KNF dari seluruh kanker sebesar 4,4% di Indonesia

(Anonim, 2012). Angka kejadian KNF hampir merata di setiap daerah di

Indonesia. Di RSCM Jakarta ditemukan lebih dari 100 kasus dalam setahun dan di

RS Hasan Sadikin Bandung ditemukan sekitar 60 kasus per tahunnya.

Berdasarkan data di poliklinik THT-KL RSUP Sanglah periode Januari 2011

hingga Desember 2013, tercatat 221 pasien KNF baru dengan rentang usia 11

hingga 80 tahun, dengan kelompok umur terbanyak pada dekade keempat

kehidupan (Kesuma, 2014).

2.1.2 Anatomi dan histologi nasofaring

Nasofaring merupakan rongga berbentuk trapezoid di belakang koana yang

berhubungan dengan orofaring dan terletak superior dari palatum molle. Bagian

atap dan dinding posterior dibentuk oleh permukaan yang melandai, dibatasi oleh

basis sphenoid, basis oksiput dan vertebra servikal I dan II. Dinding anterior

nasofaring adalah daerah sempit yang merupakan batas koana posterior. Batas

inferior nasofaring adalah palatum molle. Batas dinding lateral nasofaring

Page 21: putu dewi pramusita

99

merupakan fasia faringobasiler dan muskulus konstriktor faring superior. Pada

kedua dinding lateral nasofaring terdapat ostium tuba Eustachius dengan tonjolan

tulang rawan di bagian superoposterior yang disebut torus tubarius. Tuba

Eustachius membelah dinding lateral, masuk dari telinga tengah ke nasofaring

melalui celah di fasia faringobasiler di daerah posterosuperior, tepat di atas batas

superior muskulus konstriktor faring superior yang disebut fossa Rosenmuller.

Fossa Rosenmuller merupakan tepi dinding posterosuperior nasofaring yang

merupakan tempat asal munculnya sebagian besar KNF. Fossa Rosenmuller

mempunyai hubungan anatomi dengan struktur-struktur penting di sekitarnya,

sehingga berperan dalam kejadian dan prognosis KNF. Letak fossa Rosenmuller

dan sifat KNF yang invasif menyebabkan mudahnya terjadi penyebaran KNF ke

daerah sekitarnya sehingga timbul berbagai macam gambaran klinis (Wei, 2006).

Gambar 2.1 memperlihatkan anatomi nasofaring dan stuktur – struktur di

sekitarnya.

Pembuluh darah arteri utama yang menyuplai daerah nasofaring adalah arteri

faringeal asendens, arteri palatina asendens, arteri palatina desendens dan cabang

faringeal arteri sfenopalatina. Semua pembuluh darah tersebut berasal dari arteri

karotis eksterna dan cabang-cabangnya. Pembuluh darah vena berada di bawah

membran mukosa yang berhubungan dengan pleksus pterigoid di daerah superior

dan fasia posterior atau vena jugularis interna di bawahnya (Zeng dan Zeng, 2010;

Wei, 2006; Chan dan Felip, 2009).

Daerah nasofaring dipersarafi oleh pleksus faringeal yang terdapat di atas otot

konstriktor faringeus media. Pleksus faringeus terdiri dari serabut sensoris nervus

Page 22: putu dewi pramusita

100

glossofaringeus (IX), serabut motoris nervus vagus (X), dan serabut saraf

ganglion servikalis simpatikus (Wei, 2006).

Nasofaring memiliki pleksus submukosa limfatik yang luas. Terdapat

kelompok nodul pada daerah retrofaringeal, yang ada di antara dinding posterior

nasofaring, fasia faringobasiler dan fasia prevertebra. Daerah yang paling banyak

terdapat pembuluh limfatik adalah daerah tuba Eustachius. Aliran limfenya

berjalan ke arah anterosuperior dan bermuara di kelenjar retrofaringeal atau

kelenjar yang paling proksimal dari masing-masing sisi rantai kelenjar spinal dan

jugularis interna. Beberapa kelenjar dari rantai jugular letaknya sangat dekat

dengan nervus kranialis yakni nervus IX, nervus X, nervus XI dan nervus XII.

Metastasis ke kelenjar limfatik ini terjadi pada hingga 75% penderita KNF (Wei,

2006).

Nasofaring dilapisi epitel kolumnar berlapis semu saat lahir dan setelah 10

tahun pertama kehidupan epitel ini berubah secara bertahap menjadi predominan

epitel skuamosa berlapis yang tidak berkeratinisasi kecuali pada beberapa tempat.

Permukaan nasofaring tidak rata, berbentuk seperti lipatan atau kripta karena di

bawah epitel terdapat banyak jaringan limfoid. Dinding lateral dan depan

nasofaring dilapisi epitel transisional yang merupakan peralihan antara epitel

skuamosa berlapis dan epitel kolumnar bersilia yang berlapis. Dari sudut

embriologi, tempat peralihan dari dua macam epitel cenderung merupakan area

munculnya suatu karsinoma (Wei, 2006; Chan dan Felip, 2009).

Page 23: putu dewi pramusita

101

Gambar 2.1.

Anatomi nasofaring (Sumber: Wei, 2006)

2.1.3 Karsinogenesis karsinoma nasofaring

2.1.3.1 Infeksi Virus Epstein Barr

Kejadian kanker nasofaring telah dihubungkan dengan berbagai faktor risiko.

Beberapa penelitian menunjukkan KNF muncul pada individu dengan

suseptibilitas herediter yang terinfeksi VEB pada awal kehidupan mereka,

kemudian virus tersebut teraktivasi oleh mekanisme sintetis dari berbagai faktor

lingkungan, yang pada akhirnya menimbulkan KNF. Selain peran VEB, terdapat

pula berbagai faktor yang diduga berperan dalam inisiasi dan perkembangan KNF,

seperti paparan lingkungan dan kebiasaan dalam diet. Tetapi terdapat pula

beberapa penelitian yang menyebutkan bahwa perubahan kebiasaan yang diduga

berhubungan dengan kejadian KNF di Cina Selatan dalam beberapa dekade

terakhir tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap kejadian penyakit ini

(Zeng dan Zeng, 2010).

Page 24: putu dewi pramusita

102

Virus Epstein Barr merupakan bagian dari kelompok human herpes virus,

yang berselubung dan berisi inti DNA. Inti DNA dikelilingi oleh nukleokapsid

ikosahedral dan tegumen α atau protein yang terletak antara nukleokapsid dan

selubung, serta dilengkapi selubung luar yang memiliki tonjolan glikoprotein

eksternal. VEB telah menginfeksi lebih dari 95% populasi orang dewasa di dunia,

dan memiliki tropisme yang kuat pada epitel saluran napas atas. Virus ini dapat

hidup di dalam tubuh manusia dalam jangka panjang tanpa menimbulkan gejala

klinik yang jelas dan infeksi primer biasanya terjadi pada beberapa tahun awal

kehidupan (Korcum dkk., 2006; Permeen dkk., 1990; Claire dkk., 2013).

Mekanisme infeksi VEB pada sel epitel nasofaring kemungkinan melalui

hubungan langsung antara membran apikal sel dengan limfosit yang sudah

terinfeksi virus, melalui membran basolateral yang dimediasi oleh adanya

interaksi antara integrin β1 atau α581 dengan VEB, ataupun penyebaran virus

secara langsung melalui membran lateral yang terjadi setelah inang terinfeksi

VEB untuk pertama kalinya (Korcum dkk., 2006; Permeen dkk., 1990; Claire

dkk., 2013). VEB menghasilkan produk yang akan berinteraksi ke berbagai

molekul anti apoptotik dan sitokin sehingga infeksi VEB dapat bertahan lama dan

bertransformasi. VEB saat infeksi laten ditandai dengan aktivasi dan proliferasi

sel yang disebut sebagai VEB imortal pada sel limfosit B. Sel limfosit B yang

terinfeksi VEB akan menghindari apoptosis dengan mengekspresikan LMP 1 dan

2a (Guo dkk., 2006; Luo dan Ou, 2009). Setelah infeksi primer dan pembentukan

fase laten, ekspresi gen VEB dibatasi hanya untuk LMP-2a yaitu protein yang

mempertahankan fase laten dengan memberikan sinyal kelangsungan hidup dan

Page 25: putu dewi pramusita

103

menghambat aktivasi sel limfosit B sehingga nantinya masuk fase litik. VEB

dapat menginfeksi individu lainnya yang rentan ketika memasuki fase litik. Ketika

terjadi reaktivasi, beberapa protein virus litik yang dipresentasikan akan secara

aktif menghambat mekanisme kekebalan tubuh, termasuk homolog interleukin-10

yang dapat menghambat co-stimulatory dan fungsi antigen presenting monocyte

atau makrofag serta beberapa protein yang merusak pelepasan sitokin terutama

interferon (α dan β). Selain itu, bcl-2 akan memperpanjang kelangsungan hidup

sel yang terinfeksi dengan menghambat apoptosis (Korcum dkk., 2006; Gu dkk.,

2012; Claire dkk., 2013). Proses interaksi antara VEB dan epitel nasofaring di atas

terangkum pada gambar 2.2.

Gambar 2.2.

Interaksi antara VEB dan epitel nasofaring sehingga terjadi

proses infeksi laten dan infeksi litik (Sumber: Korcum dkk., 2006)

Page 26: putu dewi pramusita

104

Mekanisme patogenesis VEB yang menyebabkan karsinoma nasofaring

masih diperdebatkan, tetapi terdapat temuan yang menyebutkan bahwa hampir

semua kasus KNF tidak berkeratinisasi adalah positif VEB dihubungkan dengan

kebiasaan merokok dan area geografi tertentu. Selain itu terdapat pula temuan

bahwa VEB menginfeksi sel nasofaring yang telah dirangsang oleh faktor

lingkungan lainnya, seperti diet yang mengandung zat karsinogenik, contohnya

produk ikan asin dan makanan yang diawetkan, yang kaya akan NDMA, NPYR,

dan NPIP (Korcum dkk., 2006) serta paparan polusi asap atau kimia, termasuk

nikel. Infeksi VEB dihubungkan dengan kejadian KNF ditunjukkan pula dengan

adanya peningkatan antibodi terhadap antigen VEB pada kebanyakan penderita

KNF, terdapatnya DNA dan RNA VEB pada semua sel tumor dan pembentukan

prekursor pada lesi KNF (Claire dkk., 2013).

2.1.3.2 Jalur sinyal molekular karsinoma nasofaring

Pengaturan pertumbuhan sel memerlukan tiga kelompok utama gen, yakni

protoonkogen, gen penekan tumor dan gen gatekeeper. Protoonkogen berperan

dalam stimulasi, regulasi pertumbuhan dan pembelahan sel. Gen penekan tumor

bekerja sebagai penghambat pertumbuhan sel atau menginduksi apoptosis.

Sedangkan gen gatekeeper memiliki fungsi untuk mempertahankan integritas

genomik dengan mendeteksi kesalahan pada genom dan memperbaikinya. Mutasi

pada gen-gen ini mengakibatkan penyimpangan siklus sel sehingga terjadi

pertumbuhan sel yang tidak terkendali dan menjadi awal dari karsinogenesis

(Kraus dan John, 2003; Stadler dkk., 2008; Rashi dkk., 2011).

Page 27: putu dewi pramusita

105

Karsinogenesis, sebagaimana terlihat pada gambar 2.3, merupakan proses

multi tahapan, yang terdiri dari tahap inisiasi, promosi, dan progresi tumor. Pada

tahap inisiasi, sel normal berubah secara permanen akibat kerusakan DNA menuju

ke arah premalignansi. Pada tahap ini proses mutasi akan mengubah fungsi

protoonkogen dan gen penekan tumor. Pada tahap promosi, terjadi mekanisme

epigenetik yang berakibat adanya ekspansi sel-sel rusak membentuk lesi

premalignansi. Senyawa-senyawa yang merangsang pembelahan sel disebut

promotor. Pada tahap progresi terjadi instabilitas gen yang menyebabkan

perubahan-perubahan mutagenik dan epigenetik. Proses ini akan menghasilkan

populasi baru sel-sel tumor yang memiliki aktivitas proliferasi, bersifat invasif

dan potensi metastatiknya meningkat (Kraus dan John, 2003; Stadler dkk., 2008;

Rashi dkk., 2011).

Karsinogenesis ini akan membawa perubahan mendasar dalam fisiologis sel,

seperti menghasilkan sendiri sinyal pertumbuhan sel, bersifat insensitif terhadap

sinyal penghambat pertumbuhan sel, pengabaian sinyal apoptosis, kemampuan

replikasi yang tidak terbatas, angiogenesis berkelanjutan, serta invasi dan

metastasis (Stadler dkk., 2008; Kumar dkk., 2010). Dalam karsinogenesis KNF,

jalur-jalur sinyal molekular terintegrasi dan kompleks yang diduga berperan

penting hingga saat ini belum sepenuhnya dapat dipahami. Walaupun demikian,

terdapat beberapa jalur sinyal molekular utama yang diduga berperan penting.

Ekspresi EGFR dan VEGF diduga dapat mempengaruhi prognosis kasus-kasus

KNF, sedangkan data preklinik dan klinik menunjukkan bahwa jalur sinyal Wnt

Page 28: putu dewi pramusita

106

dan miRNA memegang peranan penting dalam perkembangan dan progresi KNF

(Le dan Lu, 2010).

Gambar 2.3.

Skema molekular sederhana terjadinya kanker (Sumber: Kumar dkk., 2010)

Reseptor EGFR merupakan salah satu dari reseptor TSK yang ditemukan

terekskresi secara berlebihan dalam kasus keganasan kepala dan leher. EGFR

meliputi HER-1/EGFR (erbB-1), HER-2 (erbB-2), HER-3 (erbB-3), dan her-4

(erbB-4) (Herbst, 2004). Pada KNF, EGFR ditemukan terekspresi secara

berlebihan pada 70%-100% kasus (Sheen dkk., 1999). EGFR memiliki peranan

penting dalam pertumbuhan, progresi, dan metastasis dari kanker. Keadaan

hipoksia akan meningkatkan produksi dari Egr-1 yang kemudian meningkatkan

Acquired (environmental) DNA damaging agents :

Chemicals

Radiation

Viruses

NORMAL CELL

DNA damage

Failure of DNA repair

Mutation in the genome of somatic cells

Inherited mutations in :

Genes affecting DNA repair

Genes affecting cell growth or

apoptosis

Activation of growth-

promoting oncogenes Inactivation of tumor

suppressor genes

Alterations in genes that

regulate apoptosis

Unregulated cell proliferation

Decreased apoptosis

Angiogenesi

Unregulated cell proliferation

Decreased apoptosis

Clonal expansion

Angiogenesis

Escape from immunity

Additional mutations

Tumor progression

Malignant neoplasm Invasion and metastasis

Successful DNA repair

Page 29: putu dewi pramusita

107

sintesis EGFR (Nishi dkk., 2002). VEB melalui LMP1 juga diduga meningkatkan

ekspresi EGFR, meningkatkan endositosis dan akumulasi EGFR di nukleus

sehingga pada akhirnya meningkatkan proliferasi sel. Hal ini menunjukkan bahwa

fungsi utama EGFR selain sebagai faktor transkripsional, juga sebagai transduser

sinyal. Pada keganasan, selain ekspresi berlebihan EGFR, juga ditemukan mutasi

pada reseptor yang mengakibatkan reseptor tersebut menjadi aktif terus menerus

(Miller dkk., 1998; Mainou dkk., 2005). Jalur sinyal ErbB/HER diperlihatkan

pada gambar 2.4.

Gambar 2.4.

Jalur sinyal ErbB/HER (Sumber: Le dan Lu, 2010)

Page 30: putu dewi pramusita

108

Aktivasi EGFR akan berdampak pada jalur kinase signal transduction and

transcription pathway dan mitogen activated protein kinase pathway (Yarden dan

Sliwkowski, 2001). Pada beberapa penelitian, ditemukan bahwa ekspresi

berlebihan EGFR ditemukan pada kurang lebih 80% biopsi tumor primer KNF

dan dapat berguna sebagai faktor prognosis. Ditemukan pula bahwa peningkatan

ekspresi EGFR, bersama dengan VEGF sitoplasmik dan COX-2 berkorelasi

dengan stadium KNF berdasarkan AJCC, di mana ekspresinya lebih tinggi pada

pasien dengan stadium IV dibandingkan pada pasien dengan stadium II. Salah

satu penelitian yang dilakukan di Hong Kong menemukan bahwa ekspresi

berlebihan dari EGFR sebelum adanya intervensi berkorelasi dengan kesintasan

keseluruhan yang lebih rendah, kekambuhan, penyebaran lokoregional, dan

tingkat kematian yang lebih tinggi (Sheen dkk., 1999; Nishi dkk., 2002; Ma dkk.,

2003; Pan dkk., 2008).

Vascular endothelial growth factor merupakan faktor pertumbuhan spesifik

bagi sel-sel endotel. VEGF diduga sebagai faktor pertumbuhan kardinal dalam

proses angiogenesis. Angiogenesis sendiri pada keadaan normal dikendalikan oleh

keseimbangan antara faktor angiogenik dan faktor anti angiogenik. Pada

keganasan, angiogenesis memiliki peranan penting dalam pertumbuhan, invasi,

dan metastasis tumor. Suatu tumor ganas akan memiliki pusat yang nekrosis dan

jaringan yang hipoksik, yang kemudian akan memicu peningkatan ekspresi gen

VEGF melalui HIF, sebuah faktor transkripsional yang mengakibatkan terjadinya

kaskade angiogenesis secara terus menerus. Pada KNF ditemukan pula bahwa

onkoprotein dari VEB yakni LMP1 akan menstabilisasi protein Siah-1, suatu

Page 31: putu dewi pramusita

109

bagian dari kelompok protein Siah, yang mengakibatkan peningkatan degradasi

PHDs, sehingga HIF tetap aktif dan berada dalam kadar yang tinggi walaupun

tidak adanya keadaan hipoksia. Pada KNF, ekspresi berlebihan VEGF beserta

reseptornya ditemukan pada kurang lebih dua pertiga tumor primer keseluruhan

kasus KNF. Pada penelitian mengenai KNF lainnya juga ditemukan bahwa

peningkatan ekspresi berlebihan VEGF pada tumor dengan VEB positif

berkorelasi dengan peningkatan laju rekurensi, keterlibatan limfonodi regional,

dan rendahnya tingkat kesintasan (Le dan Lu, 2010). Berbagai fungsi biologis

VEGF terlihat pada gambar 2.5.

Gambar 2.5.

Berbagai fungsi biologis VEGF (Sumber: Le dan Lu, 2010)

Fungsi jalur sinyal Wnt sangat vital pada perkembangan sel normal, namun

jalur ini seringkali teraktivasi secara berlebihan pada kanker. Sebagaimana terlihat

Page 32: putu dewi pramusita

110

pada gambar 2.6, protein dalam famili Wnt yang terekskresi melekat pada reseptor

permukaan sel dari famili Frizzled. Pada tiadanya sinyal Wnt, aktivator

transkripsional β-catenin didegradasi secara aktif oleh suatu kompleks protein.

Protein-protein ini memfasilitasi fosforilasi β-catenin oleh CK 1a dan GSK 3b. β-

catenin terfosforilasi kemudian diubikuinasi dan menjadi target guna degradasi

proteosomal. Kadar bebas β-catenin umumnya tetap rendah dalam kondisi normal.

Ikatan Wnt dengan kompleks reseptor Frizzled pada membran sel mengakibatkan

disolusi dari kompleks protein, sehingga terjadi akumulasi β-catenin dan

memasuki nukleus sel. Di dalam nukleus sel, β–catenin berinteraksi dengan

berbagai faktor transkripsional lainnya untuk meningkatkan gen-gen target Wnt,

termasuk C-myc (Barker dan Clevers, 2006). β-catenin sitoplasmik juga melekat

pada E-cadherin pada sel normal guna menjaga adhesi selular, sehingga hilangnya

β-catenin dapat mengakibatkan hilangnya proses pelekatan antar sel. Sinyal Wnt

yang abnormal ditemukan berimplikasi pada perkembangan dan progresi beberapa

tumor solid, seperti karsinoma sel skuamosa, tumor hepar, tumor paru, dan kanker

kolorektal. Beberapa penelitian juga menunjukkan keadaan yang serupa dalam

perkembangan KNF. Lebih dari 90% tumor KNF menunjukkan adanya

peningkatan ekspresi protein Wnt dan sekitar 75% menunjukkan penurunan

ekspresi WIF (Shi dkk., 2006; Zeng dkk., 2007). Ditemukan pula bahwa ekspresi

WIF dihentikan oleh promotor hipermetilasi pada beberapa sel KNF (Lin dkk.,

2006). Kadar β-catenin nuklear ditemukan meningkat pada lebih dari 90% tumor

KNF dan sel KNF menunjukkan peningkatan fosforilasi GSK3b (Morrison dkk.,

2004). Target langsung β-catenin juga ditemukan meningkat pada KNF, termasuk

Page 33: putu dewi pramusita

111

di antaranya IL8, sebuah faktor yang sangat pro-angiogenik, dan juga C-myc,

suatu onkogen. Data-data tersebut menunjukkan bahwa jalur sinyal Wnt diduga

sebagai salah satu yang berperan penting dalam perkembangan KNF (Ren dkk.,

2004; Chou dkk., 2008).

Gambar 2.6.

Jalur sinyal Wnt/β-catenin (Sumber: Le dan Lu, 2010)

miRNA ditemukan sebagai kelas gen nonkoding baru yang terlibat dalam

regulasi jalur sinyal molekular pada proliferasi, diferensiasi, dan viabilitas sel

KNF (Bartel, 2004; Stefani dan Slack, 2008). MiRNA merupakan nukleotida

RNA nonkoding yang diproses dari transkrip primer atau primiRNA, yang

Page 34: putu dewi pramusita

112

umumnya ditemukan pada intron atau regio nonkoding lainnya. Pri-RNA dipecah

dari nukleus oleh enzim Drosha untuk membentuk pre-miRNA, yang kemudian

ditransportasikan ke dalam sitoplasma untuk selanjutnya dipecah untuk

membentuk miRNA akhir. Fragmen-fragmen RNA tersebut berperan sebagai

regulator yang menginhibisi translasi protein atau mempromosikan degradasi

mRNA (Cosmopoulos dkk., 2008). Sebanyak hampir 40 miRNA telah ditemukan

terekspresi pada berbagai regio genom VEB dan pola ekspresinya bergantung

pada tipe sel dan pola ekspresi gen VEB secara keseluruhan, seperti misalnya

BART miRNA yang banyak terekspresi pada sel-sel KNF. Salah satu target utama

BART miRNA yang dikode VEB adalah LMP1, yang merupakan onkogen utama

yang berasal dari VEB (Lo dkk., 2007). Walaupun LMP1 memiliki kemampuan

transformasi, ekspresi yang sangat berlebihan dari protein ini dapat menghambat

proliferasi sel dan meningkatkan suseptibilitas terhadap stres apoptotik. Sehingga

penekanan produksi berlebihan LMP1 pada KNF oleh BART miRNA diduga

turut menjaga sel-sel KNF yang mengekspresikan LMP1 dari rangsangan

apoptotik dan meningkatkan resistensi terhadap cisplatin (Lo dkk., 2007).

Regulasi BART miRNA terhadap sintesis protein LMP1 juga menjelaskan

ketimpangan antara transkrip LMP1 dan ekspresi protein tersebut pada jaringan

KNF yang teramati (Nasr dkk., 2009). Sebagai tambahan, beberapa miRNA

seluler yang dikode dalam sel inang juga ditemukan dalam jumlah banyak pada

KNF, dan ekspresi berlebihan ini dapat mempromosikan fenotip tumor agresif

melalui perubahan ekspresi target-targetnya. Namun penelitian mengenai jalur

Page 35: putu dewi pramusita

113

kompleks yang melibatkan miRNA masih sangat minim dan diperlukan berbagai

penelitian lanjutan (Le dan Lu, 2010).

Apoptosis merupakan suatu proses kematian sel yang terprogram dan

merupakan proses penting dalam pengaturan homeostasis normal. Proses ini

menghasilkan keseimbangan dalam jumlah sel jaringan tertentu melalui eliminasi

sel yang rusak sehingga fungsi jaringan normal tetap terpelihara. Pada sel kanker

tidak didapatkan kepekaan terhadap sinyal apoptosis. Pada sel-sel KNF, proses

apoptosis mungkin telah terpengaruh oleh perubahan genetik multipel. Ekspresi

berlebihan dari bcl-2 dan inaktivasi jalur p53 diduga sebagai mekanisme penting

dalam reduksi apoptosis pada kanker ini (Lo dkk., 2004). Produk bcl-2 memiliki

derajat homologi yang tinggi dengan BHRF-1, sebuah produk open reading frame

pada gen VEB yang mengganggu diferensiasi sel-sel epitelial. Prevalensi yang

tinggi dari bcl-2 yang terdeteksi pada KNF konsisten dengan imunoreaktivitas

onkoprotein yang sering terjadi pada sel lapisan basal mukosa normal nasofaring.

Bersamaan dengan itu, protein bcl-2 tersebut memproduksi sejumlah ekstensi

guna daya tahan sel yang signifikan, yang diduga sebagai peristiwa penting dalam

transformasi sel atau pertumbuhan tumor (Dawson dkk., 1995). VEB dapat

menggunakan protein virus untuk mempengaruhi ekspresi bcl-2, seperti LMP1

(Burgos, 2005).

Page 36: putu dewi pramusita

114

2.1.4 Diagnosis karsinoma nasofaring

Diagnosis pada KNF ditegakkan berdasarkan anamnesis yang terarah,

pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Gejala pada penderita KNF

dikelompokkan menjadi empat kelompok besar, yakni gejala di nasofaring, gejala

pada telinga, gejala pada mata, gejala pada saraf serta pada lokasi metastasis atau

gejala di daerah leher. Gejala di nasofaring bisa berupa epistaksis ringan atau

sumbatan hidung. Gejala pada telinga dapat berupa tinitus, rasa tidak nyaman di

telinga. Gejala pada mata berupa pandangan kabur atau diplopia. Terdapat dua

jenis sindrom nervus kranialis akibat penjalaran tumor, yakni retroparotid

syndrome disebut juga sindrom Jackson, melibatkan nervus kranialis IX, X, XI,

XII bila penjalaran melalui foramen jugulare, dan petrosphenoid syndrome

dengan gangguan pada nervus kranialis IV, V, VI dan terkadang nervus kranialis

II melalui foramen laserum. Metastasis ke kelenjar getah bening leher

menimbulkan keluhan benjolan pada area tersebut. Setiap gejala tersebut

dipandang memiliki nilai dalam mendiagnosis KNF, sebagaimana dirumuskan

dalam Digby Score, yang tertera pada tabel 2.1. Bila total skornya lebih atau sama

dengan 50, dapat dicurigai adanya KNF (Chan dan Felip, 2009; Luo dan Ou,

2009).

Tabel 2.1.

Page 37: putu dewi pramusita

115

Digby Score (Sumber: Digby, 1951)

Gejala Skor

Massa padat di nasofaring 25

Pembesaran kelenjar getah bening leher 25

Gejala pada hidung (seperti epistaksis dan obstruksi nasi) 15

Gejala pada telinga (seperti tinitus dan penurunan pendengaran) 15

Sakit kepala unilateral atau bilateral 5

Gangguan neurologis 5

Exopthalmus 5

Standar baku emas dalam mendiagnosis KNF adalah pemeriksaan

histopatologi berdasarkan biopsi nasofaring, pemeriksaan ini juga penting dalam

menentukan subtipe histopatologi yang erat kaitannya dengan pengobatan dan

prognosis KNF (Luo dan Ou, 2009).

Pemeriksaan penunjang pilihan antara lain adalah CT Scan dan MRI dengan

penggunaan kontras. Pemeriksaan MRI akan memperlihatkan adanya perluasan

intrakranial dengan lebih detail, sedangkan bila terdapat erosi tulang, pemeriksaan

CT scan dapat memberikan informasi yang lebih baik. Gambaran CT scan pada

KNF dapat memberikan informasi mengenai lokasi asal tumor tersebut.

Pemeriksaan MRI pada KNF akan memberikan gambaran massa homogen dengan

peningkatan intensitas yang moderate, baik pada tumor induk maupun pada

metastasis kelenjar getah bening leher (Chan dan Felip, 2009).

Page 38: putu dewi pramusita

116

2.1.5 Klasifikasi karsinoma nasofaring

World Health Organization membagi KNF menjadi 3 tipe berdasarkan

klasifikasi histologi, yakni: WHO tipe I (keratinizing squamous cell carcinoma)

yang muncul pada sekitar 25% dari semua kasus KNF di Amerika Utara, tapi

hanya 1% di daerah endemik, dengan prognosis paling buruk; WHO tipe II (non-

keratinizing squamous cell carcinoma), dengan jumlah kasus paling sedikit; dan

WHO tipe III (undifferentiated carcinoma) yang terbentuk dari sel-sel dengan

berbagai variasi morfologi dan merupakan tipe histologis KNF terbanyak.

Pada pemeriksaan histopatologi, WHO tipe I akan menunjukkan sel-sel tumor

dengan diferensiasi skuamosa serta adanya jembatan intraseluler dan atau

keratinisasi di atasnya. WHO tipe II akan memberi gambaran sel-sel tumor yang

berdiferensiasi dengan rangkaian maturasi yang terjadi di dalam sel, terdiri dari

sel-sel yang bervariasi mulai dari sel yang matur hingga anaplastik, dan hanya

sedikit sekali atau sama sekali tidak memproduksi keratin. WHO tipe III akan

memiliki gambaran patologi yang sangat heterogen, di mana sel ganas memiliki

inti bulat hingga oval dan vesikuler, dengan batas sel yang tidak jelas, dan dapat

ditemukan sel ganas yang berbentuk spindle dengan inti hiperkromatik (Chan dan

Felip, 2009).

WHO tipe II dan III dinilai memiliki hubungan yang kuat dengan VEB (Chan

dan Felip, 2009). Tipe histologis KNF WHO tipe II dan WHO tipe III memiliki

kecenderungan untuk metastasis lebih tinggi daripada WHO tipe I. Di sisi lain,

Page 39: putu dewi pramusita

117

WHO tipe II dan WHO tipe III memiliki derajat radiosensitivitas lebih tinggi

sehingga mempunyai prognosis yang lebih baik (Gu dkk., 2012).

Stadium pada KNF telah dirumuskan dalam berbagai sistem klasifikasi. Pada

tabel 2.2 dipaparkan sistem pengklasifikasian menurut AJCC.

Tabel 2.2.

Stadium KNF berdasarkan AJCC (Sumber: Greene dkk., 2010)

Page 40: putu dewi pramusita

118

2.2 Cathepsin

Cathepsin, seperti terlihat pada gambar 2.7, merupakan enzim protease di

dalam lisosom. Terdapat beberapa jenis cathepsin pada manusia, yakni cathepsin

B, C, D, H, F, K, L, O, S, V, W, dan X/Z. Cathepsin mulanya diperkirakan hanya

memediasi degradasi terminal protein intraseluler dalam lisosom, namun baru –

baru ini ditemukan bahwa setiap cathepsin memiliki fungsi biologis yang

beragam, antara lain metabolisme thrombin dan fibronektin, klirens apoptotik sel-

sel terinfeksi virus dan sel tumor melalui limfosit sitotoksik (Affara dan Coussens,

2008).

Berbagai jenis cathepsin memiliki perbedaan spesifisitas walaupun memiliki

kemiripan pada sekuens dan lipatan. Sebagian besar merupakan endopeptidase,

namun beberapa memiliki aktivitas eksopeptidase, seperti misalnya cathepsin X

adalah carboksipeptidase dan cathepsin C dapat memotong dipeptida dari

terminus-N substrat proteinnya. Cathepsin B dan H memiliki aktivitas

endopeptidase dan eksopeptidase. Perbedaan spesifitas tersebut mempengaruhi

kemampuan masing – masing cathepsin dalam memotong substrat tertentu,

sembari menjaga degradasi protein tetap efisien dan menyeluruh melalui aktivitas

kolektif dalam lisosom (Affara dan Coussens, 2008).

Cathepsin D telah ditemukan diekspresikan pada berbagai jaringan tubuh.

Cathepsin D berperan dalam aktivitas lisosom sel dan pada proses ekstraseluler.

Ekspresi yang relatif luas membuat cathepsin D diduga berperan pada berbagai

proses fisiologis dan patologis dalam tubuh (Brix dkk., 2008).

Page 41: putu dewi pramusita

119

Gambar 2.7.

Anggota Keluarga Protease (Sumber : Chwieralski dkk., 2006)

Aktivitas cathepsin pada berbagai tikus percobaan dengan implantasi sel

kanker menunjukkan kaskade protease yang saling terhubung yang dimulai oleh

protease aktivator yang serupa, cathepsin C, dan berujung pada amplifikasi

aktivitas enzimatik protease terminal seperti MMP-9 (Gambar 2.8). Penelitian

pada model tikus menunjukkan bahwa terdapat regulasi bioaktivitas protease yang

spesifik terhadap organ atau tipe tumor, dan juga keterlibatan protease yang

berasal dari beberapa kelas enzim, antara lain aspartic, cysteine, serine, dan

metallo (Affara dan Coussens, 2008).

Page 42: putu dewi pramusita

120

Gambar 2.8.

Jaringan Protease di Ruang Ekstraseluler (Sumber : Affara dan Coussens, 2008)

2.2.1 Pembentukan Cathepsin D

Berbagai jenis cathepsin, termasuk cathepsin D, disintesis sebagai prekursor

inaktif, preproenzim berukuran 30-50 kDa, yang mengandung peptida dignal

amino-terminal yang memperantarai transpor cathepsin-cathepsin tersebut

melintasi membran retikulum endoplasma. Cathepsin D memliki situs N-

glikosilasi, yang digunakan untuk mengarahkan enzim ke kompartemen lisosomal

melalui jalur reseptor mannosa-6-fosfat. Aktivasi penuh dicapai setelah enzim

Page 43: putu dewi pramusita

121

berada pada lingkungan asam dalam endosom atau lisosom, yaitu saat propeptida

yang menghalangi akses substrat ke ujung katalitik proenzim dipotong,

menyebabkan perubahan massa molekularnya menjadi 20-35 kDa. Pembuangan

propeptida endoproteolitik dicapai melalui proses autokatalitik (pada

endopeptidase) atau proteolisis terbatas oleh protease lainnya. Proses ini dipicu

oleh pH rendah dan diperkuat oleh adanya GAGs. GAGs mendukung autoaktivasi

dan aktivitas cathepsin D pada pH netral, yang sangat relevan bagi aktivasi

procathepsin yang disekresi (Affara dan Coussens, 2008).

2.2.2 Peran fisiologis Cathepsin D

Cathepsin memiliki peran yang luas pada proses fisiologis dan patologis

dalam tubuh. Secara fisiologis, mereka terlibat dalam aktivasi prekursor protein

(termasuk proenzim dan prohormon), presentasi antigen yang dimediasi MHC II,

remodeling tulang, diferensiasi keratinosit, siklus folikel rambut, reproduksi, dan

apoptosis. Cathepsin D ditemukan pada banyak organ dan diduga terlibat dalam

berbagai proses tubuh, melalui katalisa hidrolisis protein dalam lisosom

(Berdowska, 2004).

Cathepsin D berperan dalam berbagai proses fisiologis tubuh melalui katalisa

hidrolisis protein dalam lisosom. Cathepsin D, B, L dan K kemungkinan

berpartisipasi dalam proteolisis thyroglobulin pada kelenjar tiroid, melepaskan

thyroxine dan thyronine. Cathepsin D juga terlibat dalam aktivasi β-galaktosidase,

renin, dan tripsin. Dalam respon imun, cathepsin D terlibat dalam presentasi

antigen dan pengaturan proses inflamasi melalui apoptosis sel imun (Conus dan

Page 44: putu dewi pramusita

122

Simon, 2010). Dalam sel APC terkandung cathepsin B, C, D, H, S, dan X.

Cathepsin tersebut tidak tersebar merata dalam sel, menunjukkan kemungkinan

terdapat perbedaan peran masing – masing cathepsin dalam memproses antigen

(Chapman, 2006). Pada model toleransi antigen dosis tinggi selama inkubasi sel T

dengan ATG, penurunan proliferasi sel T dan meningkatnya apoptosis sel T

bergantung pada aktivitas sitosolik beberapa jenis cathepsin, termasuk cathepsin

D (Michallet dkk., 2004).

2.2.3 Peran patologis Cathepsin D

Cathepsin berperan dalam berbagai proses patologis, yang seringkali ditandai

dengan adanya peningkatan ekspresi dan aktivitas enzim tersebut, antara lain pada

penyakit yang berkaitan dengan proses inflamasi dan kanker (Turk dkk., 2012).

Cathepsin D ditemukan memiliki kaitan kuat dengan kanker, antara lain kanker

hepatoselular, kanker pankreas, kanker payudara, dan kanker ovarium (Reinheckel

dkk., 2008). Berbagai peran cathepsin dalam progresi kanker diperlihatkan pada

gambar 2.9. Tingkat ekspresi cathepsin ditemukan berkorelasi positif dengan

prognosis buruk pada pasien kanker dan disarankan sebagai marker prognostik

(Duffy, 1996; Turk dkk., 2012). Kadar cathepsin juga ditemukan berkorelasi

positif dengan metastasis (Berdowska, 2004; Gondi dan Rao, 2013).

Page 45: putu dewi pramusita

123

Gambar 2.9.

Peran Cathepsin Dalam Progresi Kanker (Sumber: Turk dkk., 2012)

Cathepsin ditemukan terlibat dalam kaskade aktivasi protease lainnya

(Gambar 2.10), seperti serine preotease, yang antara lain meliputi uPA dan MMP,

yang memperkuat disolusi matriks ekstraseluler dan membran basal,

menyebabkan terjadinya invasi dan metastasis sel kanker (Turk dkk., 2012; Gondi

dan Rao, 2013).

Gambar 2.10.

Kaskade Proteolitik (Sumber : Reinheckel dkk., 2008)

Page 46: putu dewi pramusita

124

Cathepsin dapat disekresikan ke ruang ekstraseluler agar dapat mencapai

target potensial tersebut (Turk dkk., 2012). Hal ini ditunjukkan oleh peningkatan

kadar dan aktivitas cathepsin dalam serum pada kanker serviks (Makarewicz dkk.,

1995), ovarium (Warwas dkk., 1997; Scorilas dkk., 2002) dan melanoma maligna

(Kos dkk., 1997). Pada kanker serviks, cathepsin B dan D ditemukan mampu

menciptakan lingkungan yang bersifat imunosupresif dan mampu menekan

proliferasi limfosit (Navarro dkk., 2005).

2.2.3.1 Peran Cathepsin D dalam invasi dan metastasis

Cathepsin dapat membantu penyebaran sel kanker ke jaringan sekitarnya

melalui degradasi matriks ekstraseluler, aktivasi protease lainnya, atau memotong

faktor adhesi antar sel. Pada model tikus percobaan RT2, protein adhesi sel yakni

E-cadherin merupakan salah satu substrat yang dapat diurai oleh cathepsin B, D,

L, dan S. E-cadherin adalah komponen utama taut antar sel yang mempertahankan

adhesi antar sel. Salah satu ciri kanker invasif ditandai dengan adanya penurunan

ekspresi E-cadherin, yang dapat terjadi melalui gene silencing, mutasi titik, atau

modifikasi post translasional. Pada model tikus percobaan RT2 yang tidak

mengekspresikan cathepsin, tingkat protein E-cadherin tetap terjaga (Reinheckel

dkk., 2008).

Mekanisme invasi lainnya adalah melalui degradasi langsung komponen

matriks ekstraseluler sehingga tercipta ruang bagi migrasi sel invasif. Cathepsin

diketahui dapat memotong komponen membran basalis atau matriks ekstraseluler,

antara lain laminin, kolagen tipe IV, fibronektin, dan tenascin-C. Dalam progresi

Page 47: putu dewi pramusita

125

tumor, cathepsin seringkali mengalami translokasi ke permukaan sel atau

disekresi ke ruang ekstraseluler, memudahkan akses cathepsin terhadap protease

lain di permukaan sel atau substratnya dalam matriks ekstraseluler (Reinheckel

dkk., 2008).

Cathepsin juga berperan dalam aktivasi protease lain dengan memulai

kaskade proteolitik yang berujung pada pemecahan beberapa target, yang secara

keseluruhan memperkuat proses invasi tumor. Eksperimen in vitro menunjukkan

bahwa cathepsin memotong dan mengaktifkan MMP-1 dan MMP-3,

mengkonversi prekursor aktivator plasminogen tipe urokinase (uPA) menjadi

enzim aktif, yang kemudian mengkatalisis pemotongan plasminogen menjadi

plasmin. Plasmin adalah protease serine spektrum luas yang dapat langsung

mendegradasi komponen matriks ekstraseluler dan mengaktifkan MMP lainnya

(Reinheckel dkk., 2008). Berbagai proses di atas terlihat pada gambar 2.11.

Gambar 2.11.

Peran Ganda Cathepsin dalam Invasi Tumor dan Apoptosis

(Sumber : Vasiljeva dan Turk, 2008)

Page 48: putu dewi pramusita

126

2.2.3.2 Peran Cathepsin D dalam neoangiogenesis

Angiogenesis dan invasi adalah dua tahap dalam perkembangan tumor yang

sejak lama diketahui memerlukan aktivitas proteolitik. Proses pembentukan

pembuluh darah baru, angiogenesis atau neovaskularisasi, amat penting bagi

pertumbuhan tumor dengan ukuran lebih dari 1-2 mm3. Angiogenesis umumnya

dipicu oleh dilepaskannya proangiogenic growth factors, seperti VEGF dari

tumor. Sel endotel bermigrasi ke lesi yang bertumbuh dan membelah serta

berdiferensiasi guna membentuk pembuluh darah baru, yang dapat didukung oleh

sel otot polos (Reinheckel dkk., 2008). Induksi proteolisis diperlukan dalam

proses degradasi terkontrol matriks ekstraseluler dan membran basalis vaskuler,

sebuah tahap penting dalam pertumbuhan pembuluh darah. Pada akhirnya, proses

ini bergantung pada keseimbangan antara faktor proangiogenik (VEGF, FGFs,

protease, dan lain-lain) dan anti angiogenik (endostatin, tumstatin,

thrombospondin, dan lain-lain) (Joyce dkk., 2004; Reinheckel dkk., 2008).

Berbagai jenis cathepsin, termasuk cathepsin D, ditemukan mampu

mendegradasi TIMPs, enzim yang dapat mengontrol laju neoangiogenesis

jaringan, menyebabkan pertumbuhan pembuluh darah yang tidak terkendali pada

jaringan tumor (Kostoulas dkk., 1999). Cathepsin B dan S ditemukan terlibat

dalam angiogenesis tumor pada model tikus percobaan RT2. Proses ini terjadi

melalui proteolisis protein yang menyusun membran basalis, seperti laminin,

kolagen IV, dan fibronektin, yang dipotong oleh cathepsin B secara in vitro.

Cathepsin B juga dapat memecah endostatin, walaupun kurang efisien

Page 49: putu dewi pramusita

127

dibandingkan dengan cathepsin L, yang dapat mengurangi faktor antiangiogenik

dalam proses angiogenesis (Joyce dkk., 2004).

2.2.3.3 Peran Cathepsin D dalam apoptosis sel

Pertumbuhan tumor sangat dipengaruhi oleh keseimbangan antara proliferasi

sel tumor dan apoptosis. Cathepsin berperan dalam proses apoptosis yang dipicu

oleh TNF-α atau ligand pemicu apoptosis yang berkaitan dengan TNF. Cathepsin

D ditemukan mampu memotong BID, BIM, dan BAK menjadi bentuk aktif, yang

selanjutnya mengaktifkan BAX yang akan melepaskan faktor apoptogenik

cytochrome c dari mitokondria. Hal ini kemudian mengaktifkan caspase-3 dan

caspase-9 yang selanjutnya memulai kaskade apoptotik sel. Data penelitian in

vitro menunjukkan cathepsin tertentu memiliki peran baik pro proliferatif dan anti

apoptotik yang dapat mempengaruhi pertumbuhan tumor dan keganasan. Pada

penelitian yang dilakukan Reinheckel dkk. tahun 2008, model tikus percobaan

RT2 dan PyMT yang tidak memliki ekspresi cathepsin B mengalami penurunan

laju proliferasi, sebaliknya pada model tikus percobaan RT2 tanpa ekspresi

cystatin C, inhibitor cathepsin B, L, S, dan H, terjadi peningkatan aktivitas

cathepsin dan peningkatan proliferasi sel secara signifikan. Ablasi cathepsin B, L,

atau S pada model tikus percobaan RT2 menunjukkan peningkatan signifikan

pada kematian sel terprogram, yang menunjukkan bahwa cathepsin mungkin

bersifat anti apoptotik selama perkembangan tumor, dengan adanya stimulus dan

kondisi tertentu. Namun pada studi lain menunjukkan cathepsin berperan sebagai

protease akhir pada kematian sel tumor yang dipicu oleh TNF-α pada lini sel

fibrosarkoma dan dapat memicu pelepasan sitokrom c dari mitokondria pada

Page 50: putu dewi pramusita

128

apoptosis hepatosit yang dipicu oleh TNF-α. Pada sel kanker, cathepsin ditemukan

berperan dalam proses autofagi. Temuan ini menandakan bahwa dalam

lingkungan sel kanker yang cenderung hipoksia, sel kanker dapat bertahan hidup

dengan cara mengurai organelnya sendiri (Gambar 2.12).

Gambar 2.12.

Peran Lisosom dan Cathepsin Lisosom dalam Proses Pro Apoptotik dan Anti

Apoptotik (Sumber: Repnik dkk., 2012)

2.3 Peran Cathepsin D dalam Karsinogenesis Karsinoma Nasofaring

Cathepsin D mengalami peningkatan baik konsentrasi ataupun aktivitas pada

berbagai kanker pada berbagai organ, antara lain kanker hepatoseluler, kanker

kolorektal, kanker ovarium, dan kanker serviks. Peningkatan ini terkait dengan

proses karsinogenesis kanker tersebut. Proses karsinogenesis karsinoma

nasofaring merupakan proses multi tahapan, dengan terjadinya gangguan di

banyak lokasi yang pada akhirnya menimbulkan perubahan sifat sel epitel

nasofaring menjadi ganas. Infeksi VEB saja tidak selalu menimbulkan terjadinya

Page 51: putu dewi pramusita

129

karsinoma nasofaring, namun diperlukan paparan terhadap karsinogen yang

berasal dari lingkungan untuk menimbulkan mutasi genetik dan perubahan sifat

sel. Interaksi yang kompleks antara berbagai faktor risiko dan infeksi virus

menimbulkan kesulitan dalam menentukan perjalanan alamiah penyakit ini.

Perubahan sifat sel menjadi ganas memerlukan proses proteolisis di berbagai

tahap. Pada karsinoma nasofaring, proses ini diketahui dibantu oleh enzim MMP

dan belum diketahui peran enzim protease lainnya dalam karsinogenesis kanker

nasofaring. Uji klinis inhibitor MMP pada tipe kanker epitelial lainnya

menemukan kegagalan sehingga fokus penelitian protease mulai beralih ke hulu,

yaitu cathepsin, dan yang telah diteliti antara lain adalah cathepsin B, L, dan D

(Berdowska, 2004; Van Kempen dkk., 2006; Gondi dan Rao, 2013).

Karsinoma nasofaring hampir selalu ditemukan pada stadium lanjut karena

sulitnya melakukan deteksi dini. Dengan demikian diperlukan pemeriksaan lain

yang dapat memberikan gambaran lebih jelas terhadap adanya progresi kanker.

Berdowska (2004) menemukan bahwa cathepsin menarik untuk digunakan

sebagai biomarker pada kanker karena ditemukan mengalami peningkatan

ekspresi, baik dalam jaringan ataupun darah pasien kanker. Namun demikian

diperlukan penelitian lebih lanjut agar pendapat tersebut terbukti, terutama dengan

jumlah sampel yang lebih besar.

Penelitian mengenai peran Cathepsin D pada pasien dengan KNF masih

sangat terbatas. Sampai saat ini telah diketahui penyimpangan dalam regulasi

cathepsin D dapat berperan penting dalam perkembangan dan pertumbuhan KNF.

Page 52: putu dewi pramusita

130

Penurunan ekspresi siRNA cathepsin D secara in vitro secara signifikan

menurunkan kemampuan barisan sel 5-8F dalam invasinya, mendukung dugaan

bahwa cathepsin D berperan sebagai promotor metastasis pada KNF. Temuan

pada penelitian ini juga menunjukkan penurunan kadar cathepsin D berhubungan

dengan buruknya diferensiasi pada barisan sel KNF dan jaringan KNF,

mengindikasikan bahwa ekspresi cathepsin D dapat menjadi biomarker bagi

diferensiasi KNF. Selanjutnya, temuan pada penelitian ini juga menunjukkan

bahwa kasus KNF primer dengan ekspresi cathepsin D yang lebih tinggi

cenderung memiliki stadium klinis yang lebih lanjut, rekurensi yang lebih sering,

serta metastasis ke kelenjar getah bening dan metastasis jauh. Data juga

menunjukkan bahwa pasien KNF primer dengan ekspresi cathepsin D yang

meningkat memiliki prognosis yang lebih buruk. Analisis multivariat

menunjukkan ekspresi cathepsin D merupakan indikator prognosis independen.

Data-data ini menyokong dugaan bahwa cathepsin D dapat menjadi suatu

biomarker bagi proses metastasis dan prognosis KNF (Cheng dkk., 2008).

Selain itu, terdapat pula penelitian yang dilakukan oleh Xu dan kawan-kawan

tahun 2009, yang menemukan bahwa cathepsin L terekspresi secara berlebihan

pada 47% tumor primer dan 89% metastasis limfonodi servikal dari keseluruhan

sampel. Analisis multivariat menunjukkan bahwa kadar cathepsin L memiliki

korelasi yang signifikan secara marjinal dengan prognosis KNF. Hal ini

menguatkan dugaan bahwa cathepsin L dapat berpotensi sebagai biomarker

terhadap prognosis KNF dan berkontribusi dalam proses metastasis KNF (Xu

dkk., 2009).

Page 53: putu dewi pramusita

131

Page 54: putu dewi pramusita

132

BAB III

KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Berpikir

Sel epitel nasofaring yang terinfeksi dengan VEB akan menyebabkan terjadi

perubahan sifat sel tersebut menjadi lebih rentan terhadap paparan karsinogenik

lingkungan, seperti misalnya produk ikan asin dan asap rokok. Agen-agen

karsinogenik tersebut pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya kerusakan

DNA, yang selanjutnya mendorong sel mengalami transformasi menjadi ganas.

Karsinoma nasofaring seperti halnya kanker yang lain memiliki ciri – ciri

mampu terus tumbuh tanpa batas karena tidak mengalami apoptosis, melakukan

invasi ke jaringan sekitarnya, mampu menumbuhkan pembuluh darah baru, serta

menembus pembuluh darah dan bermetastasis. Semua proses tersebut memerlukan

proses proteolitik.

Cathepsin merupakan suatu hidrolase lisosomal yang mendegradasi protein

pada lisosom dalam keadaan asam dan pada proses ekstraseluler. Cathepsin,

utamanya cathepsin D, telah diduga berhubungan dengan invasi dan metastasis

kanker karena berbagai aktivitas biologi yang dimilikinya, seperti misalnya

mendegradasi matriks ekstraseluler, mengaktivasi bentuk prekursor laten dari

enzim proteolitik lainnya yang juga terlibat dalam degradasi matriks ekstraseluler,

efek stimulasi terhadap proliferasi dan angiogenesis seluler, serta regulasi jalur

apoptosis.

40

Page 55: putu dewi pramusita

133

Cathepsin D mampu memotong BID, BIM, dan BAK menjadi bentuk aktif,

yang selanjutnya mengaktifkan BAX yang kemudian melepaskan faktor

apoptogenik cytochrome c dari mitokondria. Hal ini lalu mengaktifkan caspase-3

dan caspase-9 yang selanjutnya memulai kaskade apoptotik sel. Proses proteolitik

ekstraseluler pada kanker berlangsung melalui remodelling matriks ekstraseluler.

Cathepsin merupakan pemicu awal terjadinya kaskade proteolisis yang melibatkan

berbagai komponen jaringan protease. Peningkatan ekspresi cathepsin D

ditemukan meningkatkan invasi tumor, metastasis, dan angiogenesis, sehingga

meningkatkan keganasan kanker tersebut. Cathepsin D mampu memotong

fibronektin, laminin, kolagen, E-cadherin, memotong taut antar sel sehingga

menciptakan celah atau ruangan dalam ruang ekstraseluler, memudahkan sel

kanker untuk melakukan invasi, dan jika menembus membran basal dan pembuluh

darah dapat mengakibatkan metastasis sel kanker.

Page 56: putu dewi pramusita

134

3.2 Konsep Penelitian

Gambar 3.1.

Kerangka Konsep Penelitian

Apoptosis

Penguraian E-cadherin

Aktivasi Kaskade Proteolitik

Degradasi Matriks Ekstraseluler dan

Kolagen

Cathepsin D

Stadium Klinis KNF

(I, II, III, IV)

Tipe Undifferentiated

Karsinoma Nasofaring

Kofaktor :

Usia,

Jenis Kelamin,

Pekerjaan

Page 57: putu dewi pramusita

135

3.3 Hipotesis Penelitian

Hipotesis pada penelitian ini adalah terdapat hubungan antara ekspresi

cathepsin D dengan stadium klinis KNF tipe undifferentiated.

Page 58: putu dewi pramusita

136

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah

observasional analitik komparatif dua kelompok tidak berpasangan dengan

rancangan potong lintang.

Gambar 4.1.

Bagan Rancangan Penelitian

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

4.2.1 Lokasi penelitian

Pengambilan sampel penelitian dilakukan di Poliklinik THT-KL Fakultas

Kedokteran Universitas Udayana / RSUP Sanglah Denpasar dengan mencatat data

Populasi

Terjangkau

Stadium kurang

dari IV KNF tipe

undifferentiated

Skor Cathepsin D

Stadium IV

KNF tipe

undifferentiated

Skor Cathepsin D

Sampel yang

Dikehendaki

44

Page 59: putu dewi pramusita

137

dari rekam medis pasien dan data pemeriksaan sampel secara histopatologi

dilakukan di Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas

Udayana/RSUP Sanglah Denpasar. Pulasan imunohistokimia Cathepsin D

dilakukan di Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas

Gajah Mada/RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Analisis dari pulasan

imunohistokimia Cathepsin D tersebut dilakukan oleh seorang dokter ahli

Patologi Anatomi.

4.2.2 Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan mulai bulan April hingga Juni 2016.

4.3 Populasi Penelitian

4.3.1 Populasi target

Populasi target pada penelitian ini adalah pasien KNF dengan hasil

pemeriksaan histopatologi tipe undifferentiated.

4.3.2 Populasi terjangkau

Populasi terjangkau pada penelitian ini adalah pasien KNF dengan hasil

pemeriksaan histopatologi tipe undifferentiated di Poliklinik THT-KL RSUP

Sanglah Denpasar periode bulan April 2015 hingga April 2016.

4.4 Sampel Penelitian

Sampel pada penelitian ini adalah bagian dari populasi terjangkau yang

dipilih dengan consecutive sampling dan memenuhi kriteria eligibilitas subjek.

Page 60: putu dewi pramusita

138

4.4.1 Kriteria inklusi :

1. Pasien yang sudah didiagnosis dengan KNF yang ditetapkan melalui

hasil pemeriksaan patologi anatomi pada sediaan biopsi nasofaring dan

telah diketahui stadium klinisnya.

2. Tercatat pada register Poliklinik THT-KL RSUP Sanglah Denpasar.

3. Memiliki gambaran histopatologi tipe undifferentiated.

4.4.2 Kriteria eksklusi :

1. Rekam medis tidak ditemukan atau tidak lengkap.

2. Preparat dari hasil biopsi nasofaring evaluasi pada pasien KNF tipe

undifferentiated yang telah mendapatkan terapi.

3. Preparat dari biopsi nasofaring tidak ditemukan atau rusak.

4. Memiliki gambaran histopatologi selain tipe undifferentiated.

4.4.3 Besar sampel penelitian

Besar sampel pada penelitian ini dihitung dengan menggunakan rumus

sebagai berikut (Dahlan, 2010) :

n = {z1-α/2√ ̅( ̅) + z1-β√ ( ) ( )}2 (P1-P2)2

Page 61: putu dewi pramusita

139

Keterangan :

n = besar sampel penelitian masing-masing kelompok

Zα = nilai Z untuk α tertentu (untuk α = 0,05 adalah 1,96)

Z1-β = nilai Z untuk power (1-β) (untuk power 80% adalah 0,84)

P1 = proporsi ekspresi Cathepsin D (Skor Cathepsin D) pada stadium

IV sebesar 70% (Cheng dkk., 2008)

P2 = proporsi ekspresi Cathepsin D (Skor Cathepsin D) pada stadium

kurang dari IV sebesar 35% (Cheng dkk., 2008)

Q = 1-P

Berdasarkan rumus di atas, didapatkan besarnya sampel untuk masing –

masing kelompok sebanyak 31 sampel, sehingga besar total sampel yang

dibutuhkan dalam penelitian ini adalah sebanyak 62 sampel.

4.4.4 Teknik pengambilan sampel

Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini adalah dengan cara

consecutive sampling hingga jumlah sampel terpenuhi.

Page 62: putu dewi pramusita

140

4.5 Variabel Penelitian

4.5.1 Identifikasi dan klasifikasi variabel

1. Variabel bebas : Ekspresi Cathepsin D

2. Variabel tergantung : Stadium klinis kurang dari IV dan IV KNF

tipe undifferentiated

3. Variabel perancu : Usia, jenis kelamin, pekerjaan

Gambar 4.2.

Hubungan antar Variabel Penelitian

4.5.2 Definisi operasional variabel

1. Ekspresi Cathepsin D adalah hasil produksi proses inflamasi atau

neoplasma yang dinilai berdasarkan hasil analisis persentase sel tumor

dan intensitas pewarnaan imunohistokimia pada pemeriksaan

histopatologi. Menurut Hara dan Okayasu (2004), persentase sel tumor

dengan ekspresi Cathepsin D pada pemeriksaan tersebut diberi skor 0

(tidak ada intensitas pewarnaan pada sel-sel di seluruh lapangan

Ekspresi Cathepsin D

Umur, Jenis Kelamin,

Pekerjaan

Stadium Klinis < IV dan IV

KNF tipe undifferentiated

Page 63: putu dewi pramusita

141

mikroskopik), 1+ (<30% sel), 2+ (antara 30%-60% sel), 3+ (>60% sel)

sedangkan intensitas pewarnaan kemudian diberi skor 0 (tidak ada

intensitas), 1+ (intensitas lemah), 2+ (intensitas sedang), 3+ (intensitas

kuat). Skor minimal dari rangkuman keduanya menjadi 0 dan skor

maksimalnya adalah 6. Skor rangkuman yang kurang atau sama dengan

2 dikelompokkan sebagai kategori lemah, skor 3 dan 4 dikelompokkan

sebagai kategori sedang, serta skor 5 dan 6 dikelompokkan sebagai

kategori kuat.

2. Stadium klinis KNF tipe undifferentiated adalah gambaran pada

pemeriksaan histopatologis yang menunjukkan gambaran patologi yang

sangat heterogen, di mana sel-sel ganas memiliki inti bulat hingga oval

dan vesikuler, dengan batas sel yang tidak jelas, serta dapat ditemukan

adanya sel ganas berbentuk spindle dengan inti hiperkromatik, yang

diklasifikasikan ke dalam stadium kurang dari IV dan stadium IV sesuai

klasifikasi TNM dalam AJCC tahun 2010.

3. Usia adalah lama hidup mulai saat lahir sampai dengan saat

pemeriksaan dilakukan, yang dihitung berdasarkan tanggal lahir yang

tercantum dalam tanda pengenal ataupun rekam medis.

4. Jenis kelamin adalah laki-laki atau perempuan seperti yang tercantum

dalam tanda pengenal atau rekam medis.

5. Pekerjaan adalah jenis aktivitas terbanyak yang dilakukan subjek

penelitian sepanjang hidupnya guna memperoleh penghasilan.

Page 64: putu dewi pramusita

142

4.6 Bahan dan Alat Penelitian

4.6.1 Bahan penelitian :

Bahan penelitian ini berupa sediaan potongan jaringan yang terfiksasi

formalin dan tertanam pada parafin, yang dipulas dengan teknik imunohistokimia

standar. Potongan jaringan dengan tebal 4 mikrometer dideparafinisasi dalam

xylene, kemudian direhidrasi dengan serangkaian cairan ethanol dengan derajat

bervariasi, lalu diaplikasikan suatu solusi pemulihan antigen (10 mmol/L sodium

citrate buffer pada pH 6.0). Potongan jaringan tersebut kemudian diinkubasi

dengan antibodi anti-cathepsin D monoklonal tikus, dengan taraf dilusi 1:100,

selama satu malam pada suhu 4oC, lalu diinkubasi lagi dengan larutan biotinylated

sekunder yang terdilusi 1:1000, diikuti dengan kompleks avidin-biotin peroxidase

(DAKO). Selanjutnya, potongan jaringan tersebut diinkubasi dengan 3’, 3’ –

diaminobenzidine hingga terbentuk suatu gambaran kecoklatan, lalu diwarnai

kembali dengan hematoxylin (Hara dan Okayasu, 2004; Taylor dkk., 2010).

4.6.2 Alat penelitian :

1. Lembar pengumpul data.

2. Catatan medis pasien.

3. Sediaan potongan jaringan masing-masing sampel.

4. Alat pulasan imunohistokimia Cathepsin D standar.

5. Mikroskop cahaya binokuler.

4.7 Prosedur dan Alur Penelitian

Page 65: putu dewi pramusita

143

4.7.1 Prosedur Penelitian

1. Penelitian diawali dengan pengambilan sampel dari populasi terjangkau

melalui consecutive sampling. Seleksi dilakukan dengan mengevaluasi

data pada rekam medis dan data di bagian Patologi Anatomi Fakultas

Kedokteran Universitas Udayana / RSUP Sanglah hingga mendapatkan

eligible subject dari sampel yang dikehendaki, berdasarkan kriteria

inklusi dan eksklusi serta pencatatan data yang meliputi keterangan

klinis berupa nama, jenis kelamin, umur, pekerjaan, nomor registrasi

pemeriksaan histopatologi, dan stadium klinis.

2. Data tersebut kemudian dicatat dan dilakukan pulasan imunohistokimia

di Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas

Gajah Mada/RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.

3. Dilakukan penilaian ekspresi Cathepsin D oleh satu orang dokter ahli

Patologi Anatomi dengan menggunakan mikroskop cahaya binokuler,

dengan pembesaran 100 hingga 400 kali. Pemeriksa tidak mengetahui

identitas maupun stadium klinis dari masing-masing sampel penelitian.

Penilaian ekspresi cathepsin D berdasarkan skor yang menunjukkan

skala intensitas pewarnaan dan persentase sel tumor. Sedikitnya 10

lapangan high-power dipilih secara acak, dan lebih dari 1000 sel

dievaluasi pada masing-masing potongan jaringan. Intensitas

pewarnaan dikelompokkan ke dalam berbagai kelompok berikut : 0

(tidak ada intensitas), 1+ (intensitas lemah), 2+ (intensitas sedang), 3+

(intensitas kuat). Persentase sel-sel tumor dengan ekspresi Cathepsin D

Page 66: putu dewi pramusita

144

dievaluasi sebagai berikut : 0 (tidak ada intensitas pewarnaan pada sel-

sel di seluruh lapangan mikroskopik), 1+ (<30% sel), 2+ (antara 30%-

60% sel), 3+ (>60% sel). Skor minimal rangkuman keduanya menjadi 0

dan skor maksimalnya adalah 6. Skor rangkuman yang kurang atau

sama dengan 2 dikelompokkan sebagai kategori lemah, skor 3 dan 4

dikelompokkan sebagai kategori sedang, serta skor 5 dan 6

dikelompokkan sebagai kategori kuat.

4. Data dari hasil pemeriksaan tersebut dicatat dalam lembar pengumpul

data untuk kemudian diolah.

4.7.2 Alur Penelitian

Page 67: putu dewi pramusita

145

Gambar 4.3.

Bagan Alur Penelitian

4.8 Analisis Data

Eligible Subject

Stadium Kurang dari IV

KNF Tipe Undifferentiated

Stadium IV

KNF Tipe Undifferentiated

Hasil Skor Cathepsin D Hasil Skor Cathepsin D

Analisis Data

Hasil

Populasi Target

Populasi Terjangkau Consecutive

Sampling

Kriteria Eksklusi Kriteria Inklusi

Page 68: putu dewi pramusita

146

Analisis data yang dilakukan pada penelitian ini adalah analisis univariat dan

bivariat.

Analisis univariat ditujukan untuk menggambarkan karakteristik subjek

penelitian, yang meliputi umur, jenis kelamin, pekerjaan dan status stadium klinis

KNF tipe undifferentiated. Hasil dari analisis univariat tersebut akan ditampilkan

dalam bentuk tabel distribusi tunggal. Variabel data numerik akan disajikan dalam

bentuk rerata ± SD. Untuk variabel kategorikal akan ditampilkan dalam bentuk

frekuensi relatif.

Analisis bivariat ditujukan untuk mengetahui hubungan ekspresi Cathepsin D

dengan stadium klinis KNF tipe undifferentiated. Prosedur yang dilakukan untuk

mengetahui kedua variabel ini adalah dengan membuat tabel silang 3 x 2, di mana

variabel bebas terletak pada baris dan variabel tergantung terletak pada kolom.

Ukuran asosiasi yang digunakan untuk menilai hubungan tersebut adalah

beda proporsi stadium kurang dari IV dan stadium IV KNF tipe undifferentiated

berdasarkan skor Cathepsin D pada pemeriksaan imunohistokimia. Uji statistik

yang digunakan adalah Chi Square Test dengan melihat 95% confidence interval

dan nilai p pada kemaknaan 0,05.

Keseluruhan pengolahan data dilakukan dengan menggunakan program

komputer SPSS ver. 20.0 for Windows.

4.9 Kegiatan Penelitian

Page 69: putu dewi pramusita

147

1. Tahap persiapan : 2 minggu

2. Tahap pengumpulan data : 6 minggu

3. Tahap pengolahan data : 2 minggu

4. Tahap pelaporan : 1 minggu

Page 70: putu dewi pramusita

148

BAB V

HASIL PENELITIAN

Rancangan penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah

observasional analitik komparatif dua kelompok tidak berpasangan dengan

rancangan potong lintang, dengan jumlah sampel yang memenuhi kriteria inklusi

dan eksklusi serta diikutkan dalam penelitian ini adalah sebanyak 62 pasien,

masing – masing berjumlah 31 pasien KNF tipe undifferentiated dengan stadium

kurang dari IV dan 31 pasien dengan stadium IV.

Penelitian dimulai dengan penelusuran klasifikasi stadium klinis KNF tipe

undifferentiated pada catatan medis masing-masing eligible subject. Pada periode

yang sama dilakukan pengukuran persentase sel tumor yang mengeekspresikan

Cathepsin D dan intensitas pewarnaannya berdasarkan sediaan biopsi nasofaring

masing-masing eligible subject, kemudian kedua pengukuran tersebut dirangkum

sehingga didapatkan tiga kelompok kategori ekspresi Cathepsin D.

Terdapat beberapa jenis data dan analisis yang dilakukan pada penelitian ini.

Untuk menggambarkan karakteristik subjek penelitian yang meliputi umur, jenis

kelamin, dan pekerjaan dilakukan suatu analisis univariat. Mengenai hubungan

ekspresi Cathepsin D dengan stadium klinis KNF tipe undifferentiated dilakukan

suatu analisis bivariat dengan tabel silang 3 x 2. Ukuran asosiasi yang digunakan

untuk menilai hubungan tersebut adalah beda proporsi stadium kurang dari IV dan

stadium IV KNF tipe undifferentiated berdasarkan ekspresi Cathepsin D pada

pemeriksaan imunohistokimia.

56

Page 71: putu dewi pramusita

149

5.1 Karakteristik Subjek Penelitian

Karakteristik umur eligible subject pada penelitian ini ditampilkan dalam

rerata dan standar deviasi, karena berskala data rasio atau numerik. Karakteristik

jenis kelamin dan pekerjaan pada eligible subject penelitian ini ditampilkan dalam

bentuk frekuensi karena variabel tersebut berskala data kategorikal. Distribusi

proporsi dari semua variabel tersebut ditampilkan dalam tabel 5.1.

Tabel 5.1

Gambaran Karakteristik Subjek Penelitian Berdasarkan Kelompok Stadium KNF

Tipe Undifferentiated

Karakteristik Kelompok Stadium KNF Tipe Undifferentiated

Stadium IV

(n=31)

Stadium Kurang dari IV

(n=31)

Umur (tahun)

Rerata ± SD

Min – Max

49,94 ± 12,26 51,16 ± 11,31

18 – 80

Jenis kelamin

Laki-laki

Perempuan

21 (67,7%)

10 (32,3%)

22 (71,0%)

9 (29,0%)

Pekerjaan

Tidak bekerja

4 (12,9%)

5 (16,1%)

Petani

PNS

9 (29,0%)

4 (12,9%)

9 (29,0%)

2 (6,5%)

Ibu Rumah Tangga

Swasta

TNI/POLRI

3 (9,7%)

11 (35,5%)

0 (0,0%)

2 (6,5%)

11 (35,5%)

2 (6,5%)

Rerata umur eligible subject pada penelitian ini adalah 49,94 tahun pada

kelompok KNF tipe undifferentiated dengan stadium IV, dengan standar deviasi

sebesar 12,26 tahun. Rerata umur eligible subject pada kelompok KNF tipe

undifferentiated dengan stadium kurang dari IV adalah 51,16 tahun, dengan

Page 72: putu dewi pramusita

150

standar deviasi sebesar 11,31 tahun. Usia termuda pada 18 tahun dan usia tertua

pada 80 tahun.

Proporsi jenis kelamin eligible subject pada kelompok KNF tipe

undifferentiated dengan stadium IV pada penelitian ini didapatkan laki - laki

sebanyak 21 pasien (67,7%) dan perempuan sebanyak 10 pasien (32,3%).

Sedangkan pada kelompok KNF tipe undifferentiated dengan stadium kurang dari

IV pada penelitian ini didapatkan laki - laki sebanyak 22 pasien (71,0%) dan

perempuan sebanyak 9 pasien (29,0%).

Distribusi karakteristik pekerjaan eligible subject pada kelompok KNF tipe

undifferentiated dengan stadium IV pada penelitian ini adalah tidak bekerja

sebanyak 4 orang (12,9%), petani sebanyak 9 orang (29,0%), PNS sebanyak 4

orang (12,9%), ibu rumah tangga sebanyak 3 orang (9,7%), dan pekerja swasta

sebanyak 11 orang (35,5%). Untuk kelompok KNF tipe undifferentiated dengan

stadium kurang dari IV pada penelitian ini didapatkan yang tidak bekerja

sebanyak 5 orang (16,1%), petani sebanyak 9 orang (29,0%), PNS sebanyak 2

orang (6,5%), ibu rumah tangga sebanyak 2 orang (6,5%), pekerja swasta

sebanyak 11 orang (35,5%), dan anggota TNI/POLRI sebanyak 2 orang (6,5%).

5.2 Stadium Klinis KNF Tipe Undifferentiated, Persentase Sel Tumor dengan

Ekspresi Cathepsin D, Intensitas Pewarnaan pada Pemeriksaan

Imunohistokimia, serta Ekspresi Cathepsin D

Gambaran stadium klinis KNF tipe undifferentiated, persentase sel tumor

dengan ekspresi Cathepsin D, intensitas pewarnaan pada pemeriksaan

Page 73: putu dewi pramusita

151

imunohistokimia, serta ekspresi Cathepsin D pada penelitian ini ditampilkan

dalam Tabel 5.2.

Distribusi eligible subject berdasarkan stadium klinis KNF tipe

undifferentiated pada penelitian ini adalah stadium klinis II sebanyak 6 pasien

(9,7%), stadium III sebanyak 25 pasien (40,3%), stadium IVA sebanyak 14 pasien

(22,6%), stadium IVB sebanyak 13 pasien (21,0%) dan stadium IVC sebanyak 4

pasien (6,5%).

Proporsi persentase sel tumor dengan ekspresi Cathepsin D terbanyak

didapatkan pada skor 2+ yakni sebanyak 32 pasien (51,6%), diikuti dengan skor

1+ sebanyak 19 pasien (30,6%), skor 3+ sebanyak 7 pasien (11,3%), dan paling

sedikit pada skor 0 sebanyak 4 pasien (6,5%).

Proporsi intensitas pewarnaan pada pemeriksaan imunohistokimia terbanyak

didapatkan pada skor 3+ sebanyak 22 pasien (35,5%), diikuti dengan skor 2+

sebanyak 20 pasien (32,3%), skor 1+ sebanyak 16 pasien (25,8%), dan skor 0

sebanyak 4 pasien (6,5%).

Proporsi ekspresi Cathepsin D terbanyak didapatkan pada kategori kuat

sebanyak 24 pasien (38,7%) diikuti dengan kategori sedang sebanyak 22 pasien

(35,5%), dan terkecil pada kategori lemah sebanyak 16 pasien (25,8%).

Tabel 5.2

Gambaran Stadium Klinis KNF Tipe Undifferentiated, Persentase Sel Tumor

dengan Ekspresi Cathepsin D, Intensitas Pewarnaan pada Pemeriksaan

Imunohistokimia, serta Ekspresi Cathepsin D

Page 74: putu dewi pramusita

152

Variabel

(n=62)

n (%)

Stadium KNF tipe undifferentiated

Stadium I

Stadium II

Stadium III

Stadium IVA

Stadium IVB

Stadium IVC

0 (0,0%)

6 (9,7%)

25 (40,3%)

14 (22,6%)

13 (21,0%)

4 (6,5%)

Persentase Sel Tumor dengan Ekspresi Cathepsin D

0

1+

2+

3+

4 (6,5%)

19 (30,6%)

32 (51,6%)

7 (11,3%)

Intensitas Pewarnaan

0

1+

2+

3+

4 (6,5%)

16 (25,8%)

20 (32,3%)

22 (35,5%)

Ekspresi Cathepsin D

Kategori Lemah

Kategori Sedang

Kategori Kuat

16 (25,8%)

22 (35,5%)

24 (38,7%)

5.3 Hubungan Antara Ekspresi Cathepsin D dengan Stadium Klinis KNF

Tipe Undifferentiated

Hasil analisis bivariat untuk menilai hubungan antara ekspresi Cathepsin D

dengan stadium klinis kurang dari IV dan IV pada KNF tipe undifferentiated

ditampilkan pada Tabel 5.3.

Tabel 5.3

Hasil Analisis Bivariat Hubungan antara Ekspresi Cathepsin D dengan

Stadium Klinis KNF Tipe Undifferentiated

Page 75: putu dewi pramusita

153

Ekspresi

Cathepsin D

Stadium Klinis KNF Tipe Undifferentiated

IV (n=31)

n (%)

Kurang dari IV (n=31)

n (%)

p

Kategori Lemah 0 (0,0%) 16 (51,6%) p<0,001*

Kategori Sedang 7 (22,6%) 15 (48,4%)

Kategori Kuat 24 (77,4%) 0 (0,0%) *Hasil analisis Chi Square Test, bermakna secara statistik

Ekspresi Cathepsin D kategori lemah pada stadium klinis KNF tipe

undifferentiated kurang dari IV didapatkan sebanyak 16 pasien (51,6%) dan tidak

didapatkan pada stadium klinis IV. Ekspresi Cathepsin D kategori sedang pada

stadium klinis KNF tipe undifferentiated kurang dari IV didapatkan sebanyak 15

pasien (48,4%) dan pada stadium klinis IV didapatkan sebanyak 7 pasien (22,6%).

Ekspresi Cathepsin D kategori kuat tidak didapatkan pada pasien KNF tipe

undifferentiated dengan stadium klinis kurang dari IV dan pada stadium klinis IV

didapatkan sebanyak 24 pasien (77,4%). Secara statistik hal ini bermakna dengan

nilai p dari Chi Square Test adalah 0,000 (p<0,001).

Page 76: putu dewi pramusita

154

BAB VI

PEMBAHASAN

6.1 Karakteristik Subjek Penelitian

Sebanyak 62 eligible subject diikutkan dalam penelitian ini dengan rentang

umur antara 18 hingga 80 tahun, dengan rerata umur 49,94 ± 12,26 tahun pada

kelompok KNF tipe undifferentiated dengan stadium IV dan 51,16 ± 11,31 tahun

pada stadium kurang dari IV. Hal ini menunjukkan bahwa sebaran umur eligible

subject pada kedua kelompok adalah normal dan sesuai dengan literatur yang ada.

Penelitian Jeon dan kawan-kawan yang dilakukan pada 2005 menemukan bahwa

KNF dapat terjadi pada semua umur dan rerata penderita KNF pada penelitian

tersebut berumur antara 45-55 tahun. Penelitian Chan dan Felip (2009)

menemukan bahwa secara umum KNF ditemukan pada populasi yang lebih muda

daripada kanker kepala leher yang lainnya dan KNF tipe undifferentiated

merupakan tipe histologis KNF yang terbanyak ditemukan pada daerah endemis,

termasuk di antaranya adalah Asia Tenggara. Pada daerah endemik, insiden KNF

meningkat sejak usia 20 tahun dan mencapai puncaknya pada dekade keempat dan

kelima, sedangkan pada daerah dengan risiko rendah, usia terbanyak pada dekade

kelima dan keenam namun masih terdapat angka kejadian yang signifikan pada

usia di bawah 30 tahun, dengan puncak awalnya antara usia 15 – 25 tahun. Ma

dan Cao (2010) menyatakan bahwa penyakit ini ditemukan terutama pada usia

produktif, yakni 30 - 60 tahun, dengan usia terbanyak pada 40 - 50 tahun. Delfitri

dan kawan-kawan pada 2007 menemukan bahwa KNF paling banyak ditemukan

pada kelompok umur 41-50 tahun yaitu 44,1% dari 34 sampel yang diteliti,

63

Page 77: putu dewi pramusita

155

dengan usia antara 18 - 74 tahun. Berdasarkan data di poliklinik THT-KL RSUP

Sanglah periode Januari 2011 hingga Desember 2013, tercatat 221 pasien KNF

baru dengan rentang usia 11 hingga 80 tahun, dengan kelompok umur terbanyak

pada dekade keempat kehidupan (Kesuma, 2014).

Berdasarkan jenis kelamin, pada penelitian ini jumlah penderita KNF laki-

laki lebih banyak daripada perempuan, di mana pada kelompok KNF tipe

undifferentiated dengan stadium IV proporsinya adalah laki-laki sebanyak 21

orang (67,7%) dan perempuan sebanyak 10 orang (32,3%). Sedangkan pada

kelompok KNF tipe undifferentiated dengan stadium kurang dari IV proporsinya

adalah laki-laki sebanyak 22 orang (71,0%) dan perempuan sebanyak 9 orang

(29,0%). Hal ini sesuai dengan beberapa penelitian lain yang mendapatkan bahwa

proporsi penderita KNF laki-laki cenderung lebih banyak daripada perempuan.

Ma dan Cao pada 2010 menemukan bahwa KNF ditemukan lebih sering pada

laki-laki dibandingkan perempuan, dengan rasio 2-3 : 1. Penelitian Delfitri dan

kawan-kawan (2007) menemukan proporsi laki-laki penderita KNF sebesar 70,6%

dan perempuan 29,4%. Penelitian oleh Jeon dan kawan-kawan (2005) menemukan

rata – rata penderita KNF berumur 45 – 55 tahun dengan 23,3 kasus/100.000 laki

– laki dan 8,9 kasus/100.000 perempuan, dengan rasio laki – laki : perempuan

adalah 2-3 : 1. Selain itu, penelitian Marur dan Forastiere (2008) menemukan

bahwa KNF lebih sering dijumpai pada laki-laki daripada perempuan dengan

perbandingan 3 : 1.

Berdasarkan distribusi karakteristik pekerjaan, didapatkan eligible subject

pada kelompok KNF tipe undifferentiated dengan stadium IV pada penelitian ini

Page 78: putu dewi pramusita

156

adalah tidak bekerja sebanyak 4 orang (12,9%), petani sebanyak 9 orang (29,0%),

PNS sebanyak 4 orang (12,9%), ibu rumah tangga sebanyak 3 orang (9,7%), dan

pekerja swasta sebanyak 11 orang (35,5%). Untuk kelompok KNF tipe

undifferentiated dengan stadium kurang dari IV pada penelitian ini didapatkan

yang tidak bekerja sebanyak 5 orang (16,1%), petani sebanyak 9 orang (29,0%),

PNS sebanyak 2 orang (6,5%), ibu rumah tangga sebanyak 2 orang (6,5%),

pekerja swasta sebanyak 11 orang (35,5%), dan anggota TNI/POLRI sebanyak 2

orang (6,5%).

Berbagai karakteristik epidemiologi yang unik dari kejadian KNF, utamanya

tipe undifferentiated pada daerah endemis seperti yang ditemukan pada penelitian

ini, telah diteliti oleh berbagai penelitian sebelumnya. Ma dan Cao (2010)

menyatakan bahwa KNF memiliki karakteristik epidemiologis dalam hal area

endemis, ras, dan agregasi familial. Hal ini diduga karena etiologi KNF yang

sangat kompleks, mencakup interaksi rumit antara faktor genetik, infeksi VEB

dan lingkungan, seperti yang dinyatakan oleh Brennan pada 2006. Penelitian Chan

dan Felip (2009), Kumar (2003), serta penelitian Her (2001) juga menyatakan

sedikitnya ada 3 faktor etiologi KNF yaitu infeksi EBV, kerentanan genetik dan

faktor lingkungan. Beberapa penelitian menunjukkan KNF muncul pada individu

dengan suseptibilitas herediter yang terinfeksi VEB pada awal kehidupan mereka,

kemudian virus tersebut teraktivasi oleh mekanisme sintetis dari berbagai faktor

lingkungan, yang pada akhirnya menimbulkan KNF. Selain peran VEB, terdapat

pula berbagai faktor yang diduga berperan dalam inisiasi dan perkembangan KNF,

seperti paparan lingkungan dan kebiasaan dalam diet yang mengandung zat

Page 79: putu dewi pramusita

157

karsinogenik, seperti misalnya produk ikan asin dan makanan yang diawetkan,

yang kaya akan NDMA, NPYR, dan NPIP serta paparan polusi asap atau kimia,

termasuk nikel (Korcum dkk., 2006). Penelitian Chew (2003) menghubungkan

kejadian KNF dengan faktor makanan di Hongkong dan Cina, pola hidup, dan

pengaruh lingkungan sekitar yang sangat berperan dalam tingginya angka

kejadian KNF. Kumar (2003) melaporkan sejumlah faktor inhalasi dari

lingkungan berhubungan erat dengan angka kejadian KNF. Sehingga dapat diduga

bahwa adanya faktor risiko pada lingkungan pekerjaan pasien dapat

mempengaruhi kejadian KNF pada penelitian ini.

6.2 Stadium Klinis KNF Tipe Undifferentiated, Persentase Sel Tumor dengan

Ekspresi Cathepsin D, Intensitas Pewarnaan pada Pemeriksaan

Imunohistokimia, serta Ekspresi Cathepsin D

Distribusi eligible subject berdasarkan stadium klinis KNF tipe

undifferentiated pada penelitian ini adalah stadium klinis II sebanyak 6 pasien

(9,7%), stadium III sebanyak 25 pasien (40,3%), stadium IVA sebanyak 14 pasien

(22,6%), stadium IVB sebanyak 13 pasien (21,0%) dan stadium IVC sebanyak 4

pasien (6,5%), yang menunjukkan bahwa sebagian besar pasien datang dengan

stadium yang lanjut. Penelitian yang dilakukan Delfitri dan kawan-kawan pada

2007 juga menemukan bahwa penderita KNF cenderung datang pada stadium

lanjut, yakni pada stadium III dan IV, masing-masing dengan proporsi sebesar

50%, dan tidak dijumpai pasien dengan stadium I dan II. Chew (2003)

menemukan bahwa gejala jarang ditemukan bahkan asimptomatik pada awal

perjalanan penyakit, serta masing-masing pasien memiliki gejala dengan onset

Page 80: putu dewi pramusita

158

yang berbeda-beda dan kadang tidak diperhatikan oleh pasien. Jeyakumar dan

kawan-kawan (2006) juga menemukan bahwa masalah yang sering dihadapi

dalam penanganan KNF adalah penderita datang pada stadium yang lanjut dan

keadaan umum yang buruk. Hal ini diduga karena cenderung tidak ada atau

jarangnya keluhan dari pasien pada awal perjalanan penyakit, gejala klinis yang

tidak khas, letak tumor yang tersembunyi, dan kesulitan dalam menegakkan

diagnosis dini (Zeng dan Zeng, 2010; Her, 2001).

Proporsi persentase sel tumor dengan ekspresi Cathepsin D pada penelitian

ini ditemukan terbanyak pada skor 2+ yakni sebanyak 32 pasien (51,6%), diikuti

dengan skor 1+ sebanyak 19 pasien (30,6%), skor 3+ sebanyak 7 pasien (11,3%),

dan paling sedikit pada skor 0 sebanyak 4 pasien (6,5%). Proporsi intensitas

pewarnaan pada pemeriksaan imunohistokimia terbanyak didapatkan pada skor 3+

sebanyak 22 pasien (35,5%), diikuti dengan skor 2+ sebanyak 20 pasien (32,3%),

skor 1+ sebanyak 16 pasien (25,8%), dan skor 0 sebanyak 4 pasien (6,5%). Kedua

proporsi tersebut di atas kemudian mempengaruhi proporsi ekspresi Cathepsin D

pada penelitian ini, berdasarkan akumulasi keduanya pada masing-masing eligible

subject. Proporsi ekspresi Cathepsin D terbanyak didapatkan pada kategori kuat

sebanyak 24 pasien (38,7%) diikuti dengan kategori sedang sebanyak 22 pasien

(35,5%), dan terkecil pada kategori lemah sebanyak 16 pasien (25,8%). Hal ini

sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Cheng dan kawan-kawan pada 2008

yang menemukan bahwa kasus KNF primer dengan ekspresi Cathepsin D yang

lebih tinggi cenderung memiliki stadium klinis yang lebih lanjut, rekurensi yang

lebih sering, serta metastasis ke kelenjar getah bening dan metastasis jauh. Data

Page 81: putu dewi pramusita

159

pada penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa pasien KNF primer dengan

ekspresi Cathepsin D yang meningkat memiliki prognosis yang lebih buruk. Hal

ini diduga karena cathepsin, termasuk di antaranya adalah Cathepsin D, berperan

dalam berbagai proses patologis, antara lain pada penyakit yang berkaitan dengan

inflamasi dan kanker, yang seringkali ditandai dengan adanya peningkatan

ekspresi dan aktivitas enzim tersebut (Turk dkk., 2012).

6.3 Hubungan Antara Ekspresi Cathepsin D dengan Stadium Klinis KNF

Tipe Undifferentiated

Pada penelitian ini, ditemukan bahwa ekspresi Cathepsin D kategori lemah

pada stadium klinis KNF tipe undifferentiated kurang dari IV didapatkan

sebanyak 16 pasien (51,6%) dan tidak didapatkan pada stadium klinis IV.

Ekspresi Cathepsin D kategori sedang pada stadium klinis KNF tipe

undifferentiated kurang dari IV didapatkan sebanyak 15 pasien (48,4%) dan pada

stadium klinis IV didapatkan sebanyak 7 pasien (22,6%). Ekspresi Cathepsin D

kategori kuat tidak didapatkan pada pasien KNF tipe undifferentiated dengan

stadium klinis kurang dari IV dan pada stadium klinis IV didapatkan sebanyak 24

pasien (77,4%). Secara statistik hal ini bermakna dengan nilai p dari Chi Square

Test adalah 0,000 (p<0,001). Hal ini mendukung dugaan bahwa ekspresi

Cathepsin D dapat dipertimbangkan sebagai salah satu biomarker pada KNF tipe

undifferentiated.

Beberapa penelitian mengenai berbagai peran cathepsin dalam proses

proteolitik pada karsinogenesis telah dilakukan akhir-akhir ini. Cathepsin,

Page 82: putu dewi pramusita

160

termasuk Cathepsin D ditemukan memiliki kaitan kuat dengan kanker, antara lain

kanker hepatoselular, kanker pankreas, kanker payudara, dan kanker ovarium

(Reinheckel dkk., 2008; Cheng, dkk., 2008). Tingkat ekspresi cathepsin

ditemukan berkorelasi positif dengan prognosis buruk pada pasien kanker dan

disarankan sebagai marker prognostik (Duffy, 1996; Turk dkk., 2012). Kadar

cathepsin juga ditemukan berkorelasi positif dengan metastasis (Berdowska,

2004; Gondi dan Rao, 2013). Cathepsin juga ditemukan terlibat dalam kaskade

aktivasi protease lainnya , seperti serine preotease, yang antara lain meliputi uPA

dan MMP, yang memperkuat disolusi matriks ekstraseluler dan membran basal,

menyebabkan terjadinya invasi dan metastasis sel kanker (Turk dkk., 2012; Gondi

dan Rao, 2013).

Penelitian mengenai peran Cathepsin D pada pasien KNF hingga saat ini

masih sangat terbatas, namun penyimpangan dalam regulasi Cathepsin D telah

diketahui berperan penting dalam perkembangan dan pertumbuhan KNF, melalui

aktivitas proteolitik intraseluler maupun ekstraseluler. Hasil penelitian ini sesuai

dengan penelitian yang dilakukan oleh Cheng dan kawan-kawan (2008) yang

menemukan bahwa Cathepsin D berperan sebagai promotor metastasis pada KNF.

Temuan pada penelitian tersebut juga mengindikasikan bahwa ekspresi Cathepsin

D dapat menjadi biomarker bagi diferensiasi KNF. Selanjutnya, penelitian

tersebut juga menunjukkan bahwa kasus KNF primer dengan ekspresi Cathepsin

D yang lebih tinggi cenderung memiliki stadium klinis yang lebih lanjut,

rekurensi yang lebih sering, metastasis ke kelenjar getah bening dan metastasis

jauh, serta memiliki prognosis yang lebih buruk. Analisis multivariat pada

Page 83: putu dewi pramusita

161

penelitian tersebut menunjukkan ekspresi Cathepsin D merupakan indikator

prognosis independen dan menyokong dugaan bahwa Cathepsin D dapat menjadi

suatu biomarker bagi proses metastasis dan prognosis KNF. Brennan (2006)

menyebutkan bahwa berbagai penelitian yang dilakukan dalam bidang ilmu

biologi molekuler diharapkan dapat menghasilkan pemahaman terhadap marker

biologi yang mungkin mempunyai nilai prognostik dan prediktif untuk penderita

KNF di masa mendatang. Dengan tersedianya sarana pemeriksaan ekspresi

Cathepsin D pada beberapa sentra kesehatan di Indonesia, maka pemeriksaan

ekspresi Cathepsin D sebagai biomarker pada KNF tipe undifferentiated dapat

dipertimbangkan sebagai salah satu modalitas penunjang dalam menilai

progresivitas penyakit ini.

BAB VII

SIMPULAN DAN SARAN

7.1 SIMPULAN

Pada penelitian ini ditemukan bahwa perbedaan proporsi stadium kurang dari

IV dan stadium IV KNF tipe undifferentiated berdasarkan skor ekspresi Cathepsin

Page 84: putu dewi pramusita

162

D pada pemeriksaan imunohistokimia bermakna secara statistik, sehingga dapat

disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara ekspresi Cathepsin D

dengan stadium klinis pasien KNF tipe undifferentiated.

7.2 SARAN

1. Hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu masukan dalam melakukan

penelitian lanjutan dalam usaha memahami lebih jauh mengenai peranan

Cathepsin D pada KNF tipe undifferentiated.

2. Diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai ekspresi cathepsin D pada

KNF tipe undifferentiated dengan jumlah sampel yang lebih representatif

dan lebih merata pada masing-masing stadiumnya, sehingga data yang

didapatkan lebih akurat dalam menilai hubungan antara ekspresi Cathepsin

D dengan stadium klinis KNF tipe undifferentiated.

3. Pemeriksaan ekspresi Cathepsin D selanjutnya diharapkan dapat

dipertimbangkan sebagai salah satu faktor prediktif serta pengembangan

penghambatnya sebagai salah satu modalitas terapi dalam penanganan

KNF tipe undifferentiated.

4. Penelitian mengenai ekspresi cathepsin lain, seperti misalnya Cathepsin L,

pada KNF tipe undifferentiated juga patut dilanjutkan, sehingga

diharapkan dapat dibandingkan nantinya guna mendapatkan jenis

biomarker yang optimal dalam menilai progresivitas penyakit ini.

71

Page 85: putu dewi pramusita

163

DAFTAR PUSTAKA

Affara, N.I., Coussens, L.M. 2008. Proteolytic Pathways : Intersecting Cascades in Cancer

Development. Dalam: Edwards, D., dkk, penyunting. The Cancer Degradome

Protease and Cancer Biology. New York: Springer. h.157-82

Anonim. 2012. GLOBOCAN 2012: Estimated Cancer Incidence, Mortality, and Prevalence

Worldwide in 2012. WHO. [Diakses : 2 September 2015] Diunduh dari : http://globocan.iarc.fr/Pages/fact_sheets_population.aspx

Barker, N., Clevers, H. 2006. Mining the Wnt Pathway for Cancer Therapeutics. Nat Rev

Drug Discov. 5:997–1014

Bartel, D.P. 2004. MicroRNAs: Genomics, Biogenesis, Mechanism, and Function. Cell.

116:281–97

Berdowska, I. 2004. Cysteine Proteases as Disease Markers. Clinica Chimica Acta. 342:41-

69

Brennan, B. 2006. Nasopharyngeal Carcinoma. Orphanet Journal in Rare Disease. 1(23): 1-5

Brix, K., Dunkhorst A., Mayer K., Jordans S. 2008. Cysteine Cathepsins : Cellular Roadmap

to Different Functions. Biochimie. 90:194-207

Burgos, J.S. 2005. Involvement of The Epstein–Barr Virus in The Nasopharyngeal

Carcinoma Pathogenesis. Med Oncol. 22(2):113–21

Chan, A.T.C., Felip, E. 2009. Nasopharyngeal Cancer : ESMO Clinical Recommendations

for Diagnosis, Treatment and Follow Up. [Diakses : 2 Mei 2015]. Diunduh dari :

http://www.annoc/mdp/21716698

Chapman, H.A. 2006. Endosomal Proteases in Antigen Presentation. Current Opinion in

Immunology. 18:78-84

Cheng, A.L., Huang, W.G., Chen, Z.C., Zhang, P.F., Li, M.Y., Li F., Li, J.L., Li, C., Yi, H.,

Peng, F., Duan, C.J., Xiao, Z.Q. 2008. Identificating Cathepsin D as a Biomarker for

Differentiation and Prognosis of Nasopharyngeal Carcinoma by Laser Capture

Microdissection and Proteomic Analysis. Journal of Proteome Research. 7:2415–26

Chew, C.T. 2003. Understanding Nasopharyngeal Cancer: Risk Factors, Symptoms and

Diagnosis. Cancer Review. 1:109-27

Chou, J., Lin, Y.C., Kim, J., You, L., Xu, Z., He, B., Jablons, D.M. 2008. Nasopharyngeal

Carcinoma – Review of The Molecular Mechanisms of Tumorigenesis. Head Neck.

30:946–63

Chwieralski, C.E., Welte, T., Buhling, F. 2006. Cathepsin-Regulated Apoptosis. Apoptosis.

11:143-149

Claire, G., Busson, P., Traub, N.R. 2013. Epstein-Barr Virus and Pathogenesis of

Nasopharyngeal Carcinoma. [Diakses : 2 Mei 2015]. Diunduh dari :

73

Page 86: putu dewi pramusita

164

http://www.landesbioscience.com/pdf/04 Busson-Busson.pdf

Conus, S., Simon, H.U. 2010. Cathepsin and Their Involvement in Immune Response. Swiss

Med Wkly. 140:w13042

Cosmopoulos, K., Pegtel, M., Hawkins, J., Moffett, H., Novina, C., Middledorp, J., Thorley-

Lawson, D.A. 2008. Comprehensive Profiling of Epstein–Barr Virus MicroRNAs in

Nasopharyngeal Carcinoma. J Virol. 83:2357–67

Coussens, L.M., Fingleton, B., Matrisian, L.M. 2002. Matrix Metalloproteinase Inhibitors

and Cancer : Trial and Tribulation. Science. 295:2387-92

Dahlan, M.S. 2010. Penelitian Analitis Numerik Tidak Berpasangan. Dalam : Suslia, A.,

penyunting. Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel dalam Penelitian

Kedokteran dan Kesehatan. Edisi ke-3. Jakarta: Salemba Medika. h.68-72

Dawson, C.W., Eliopoulos, A.G., Dawson, J. 1995. BHRF1, A Viral Homologue of The Bcl-

2 Oncogene, Disturbs Epithelial Cell Differentiation. Oncogene. 10(1):69–77

Delfitri M., Ramsi L., Mangain H., Fauziah H. 2007. Ekspresi Protein p53 Mutan pada

Karsinoma Nasofaring. Majalah Kedokteran Nusantara. 40(3):167-72

Digby, K.H. 1951. Nasopharyngeal Carcinoma. [Diakses : 2 Mei 2015]. Diunduh dari :

http://www.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2238562

Duffy, M.J. 1996. Protease as Prognostic Markers in Cancer. Clinical Cancer Research.

2:613-18

Gautama, E.E., Hariwiyanto, B., Rianto, B.U.D., Christanto, A. 2012. Gangguan Indra

Pengecap dan Penghidu Pasca Terapi Karsinoma Nasofaring. Cermin Dunia

Kedokteran. 38(6):435-37

Gondi, C.S., Rao, J.S. 2013. Cathepsin B as a Cancer Target. Expert Opinion on Therapy

Targets. 17(3):281-91

Greene, F.L., Compton, C.C., Fritz, A.G. penyunting. 2010. AJCC Cancer Staging Atlas.

Edisi ke-7. New York: Springer-Science+Business Media, Inc. h.41-56

Gu, A.D., Zeng, M.S., Qian, C.N. 2012. The Criteria to Confirm the Role of Epstein-Barr

Virus in Nasopharyngeal Carcinoma Initiation. [Diakses : 2 Mei 2015]. Diunduh dari :

http://www.mdpi.com/1422-0067/13/10/13737/pdf

Guo, X.C., Scott, K., Liu, Y. 2006. Genetic Factors Leading to Chronic Epstein-Barr Virus

Infection and Nasopharyngeal Carcinoma in South East China : Study Design,

Method, and Feasibility. [Diakses : 2 Mei 2015]. Diunduh dari :

http://www.humgenomics.com

Hara, A., Okayasu, I. 2004. Cyclooxygenase-2 and Inducible Nitric Oxide Synthase

Expression in Human Astrocytic Gliomas: Correlation with Angiogenesis and

Prognostic Significance. Acta. Neuropathol.; 108 (1):43-8

Page 87: putu dewi pramusita

165

Her, C. 2001. Nasopharyngeal Cancer and The Southeast Asian Patient. American Family

Physician. 63(9):1776-80

Herbst, R.S. 2004. Review of Epidermal Growth Factor Receptor Biology. Int J Radiat Oncol

Biol Phys.; 59:21-26

Jeon,Y.K., Lee, B.Y., Kim, J.E., Lee, S.S., Kim, C.W. 2005. Molecular Characterization of

Epstein-Barr Virus and Oncoprotein Expression in Nasopharyngeal Carcinoma in

Korea. Wiley Interscience. h.573-83

Jeyakumar, A., Brickman,T.M., Jeyakumar,A., Doerr,T. 2006. Review of Nasopharyngeal

Carcinoma. Ear, Nose and Throat Journal. 85(3):168-84

Joyce, J.A., Baruch, A., Chehade, K., Meyer-Morse, N., Giraudo, E., Tsai, F.Y., Greenbaum,

D.C., Hager, J.H., Bogyo, M., Hanahan, D. 2004. Cathepsin Cysteine Proteases are

Effectors of Invasive Growth and Angiogenesis During Multistage Tumorigenesis.

Cancer Cell. 5:443-53

Kesuma, A.A.G.B.T. 2014. Distribusi Penderita Karsinoma Nasofaring di RSUP Sanglah

Denpasar Tahun 2011-2013. h.21-5

Korcum, A.F., Ozyar, E., Ayhan, A. 2006. Epstein-Barr Virus Genes and Nasopharyngeal

Cancer. [Diakses : 2 Mei 2015]. Diunduh dari :

http://www.TurkJcancer.org/pdf.php3id=432

Kos, J., Stabuc, B., Schweiger, A., Krasovec, M., Cimerman, N., Kopitar-Jelara, N., Vrhovec,

I. 1997. Cathepsin B, H, and L and Their Inhibitor Stefin A and Cystatin C in sera of

Melanoma Patients. Clinical Cancer Research. 3:1815-22

Kostoulas, G., Lang, A., Nagase, H., Baici, A. 1999. Stimulation of Angiogenesis Through

Cathepsin B Inactivation of Tissue Inhibitors of Matrix Metalloproteinases. FEBS

Letters. 455:286-90

Kraus, H.D., John, K.J. 2003. Neoplasm of The Oral Cavity and Oropharynx. Dalam : Snow

J.B., Ballenger J.J., penyunting. Ballenger’s Otolaryngology Head and Neck Surgery.

Edisi ke-16. Ontario: BC Deckers, Inc. h.1408-28

Kumar, S. 2003. Epidemiological and Etiological Factors Associated With Nasopharyngeal

Carcinoma. ICMR Bulletin. 33(9):1-9

Kumar, V., Abbas, A.K., Fausto, N., Aster, J.C. Neoplasia. 2010. Dalam : Schmitt, W.;

Gruliow, R., penyunting. Pathologic Basis of Disease. Edisi ke-8. Philadelphia :

Elsevier Saunders. h.269-339

Le, Q.T., Lu, J.J. 2010. Molecular Signaling Pathways in Nasopharyngeal Cancer. Dalam :

Lu J.J.; Cooper J.S; Lee A.W.M., penyunting. Nasopharyngeal Cancer

Multidisciplinary Management. Berlin: Springer-Verlag. h.27-37

Lin, Y.C., You, L., Xu, Z., He, B., Mikami, I., Thung, E., Chou, J., Kuchenbecker, K., Kim,

J., Raz, D., Yang, C.T., Chen, J.K., Jablons, D.M. 2006. Wnt Signaling Activation

Page 88: putu dewi pramusita

166

and WIF-1 Silencing in Nasopharyngeal Cancer Cell Lines. Biochem Biophys Res

Commun. 341:635–40

Lo, A.K., Huang, D.P., Lo, K.W., Chui, Y.L., Li, H.M., Pang, J.C., Tsao, S.W. 2004.

Phenotypic Alterations Induced by The Hong Kong-Prevalent Epstein–Barr Virus

Encoded LMP1 Variant (2117-LMP1) in Nasopharyngeal Epithelial Cells. Int J

Cancer. 109(6):919–25

Lo, A.K., To, K.F., Lo, K.W., Lung, R.W., Hui, J.W., Liao, G., Hayward, S.D. 2007.

Modulation of LMP1 Protein Expression by EBV-Encoded MicroRNAs. Proc Natl

Acad Sci. 104:164–69

Luo, Y.L., Ou, G.P. 2009. Combined Determination of Epstein-Barr Virus Related

Antibodies and Antigens for Diagnosis of Nasopharyngeal Carcinoma. [Diakses : 2

Mei 2015]. Diunduh dari : http://www.cjcsysu.com/ENpdf/2009/1/76.pdf

Ma, B.B., Poon, T.C., To, K.F., Zee, B., Mo, F.K., Chan, C.M., Ho, S., Teo, P.M., Johnson,

P.J., Chan, A.T. 2003. Prognostic Significance of Tumor Angiogenesis, Ki 67, p53

Oncoprotein, Epidermal Growth Factor Receptor and HER2 Receptor Protein

Expression in Undifferentiated Nasopharyngeal Carcinoma – A Prospective Study.

Head Neck. 25:864–72

Ma, J, Cao S. 2010. The Epidemiology of Nasopharyngeal Carcinoma. Dalam : Lu J.J.;

Cooper J.S.; Lee A.W.M, penyunting. Nasopharyngeal Cancer Multidisciplinary

Management. Berlin: Springer-Verlag. h.1-6

Mainou, B.A., Everly. D.N., Raab-Traub, N. 2005. Epstein–Barr Virus Latent Membrane

Protein 1 CTAR1 Mediates Rodent and Human Fibroblast Transformation Through

Activation of PI3K. Oncogene. 24:6917–24

Makarewicz, R., Drewa, G., Szymanski, W., Skonieczna-Makarewicz, I. 1995. Cathepsin B

in Predicting the Extent of Cervix Carcinoma. Neoplasma. 42:21-24

Marur, S. dan Forastiere, A.A. 2008. Head and Neck Cancer: Changing Epidemiology,

Diagnosis and Treatment. Mayo Cli Proc. 83(4):489-501

Michallet, M.C., Saltel, F., Flacher, M., Revillard, J.P., Genestier, L. 2004. Cathepsin-

dependant Apoptosis Triggered by Supraoptimal Activation of T-Lymphocytes: a

Possible Mechanism of High Dose Tolerance. Journal of Immunology. 172:5405-14

Miller, W.E., Cheshire, J.L., Baldwin. A.S., Raab-Traub, N. 1998. The NPC Derived C15

LMP1 Protein Confers Enhanced Activation of NF-Kappa B and Induction of The

EGFR in Epithelial Cells. Oncogene. 16:1869–77

Mohammed, M.M., Sloane, B.F. 2006. Cysteine cathepsins: multifunctional enzymes in

cancer.Nat Rev Cancer. 6(10):764-75

Morrison, J.A., Gulley, M.L., Pathmanathan, R., Raab-Traub, N. 2004. Differential Signaling

Pathways are Activated in The Epstein–Barr Virus-Associated Malignancies

Nasopharyngeal Carcinoma and Hodgkin Lymphoma. Cancer Res. 64:5251-60

Page 89: putu dewi pramusita

167

Nasr, H.B., Karim, C., Remadi, S., Zakhama, A., Chouchane, L. 2009. Expression and

Clinical Significance of Latent Membrane Protein-1, Matrix Metalloproteinase-1, and

Ets-1 Transcription Factor in Tunisian Nasopharyngeal Carcinoma Patients. Archives

of Medical Research. 40:196-203

Navarro, A.D., Toro-Arreola, S.D., Sanchez-Hernandez, P.E., Ramirez-Duenas, M.G.,

Armendariz-Borunda, J., Perez-Montfort, R. 2005. Immunosuppressive Activity of

Proteases in Cervical Carcinoma. Gynecologic Oncology. 98:111-17

Nishi, H., Nishi, K.H., Johnson, A.C. 2002. Early Growth Response-1 Gene Mediates Up-

Regulation of Epidermal Growth Factor Receptor Expression During Hypoxia.

Cancer Res. 62:827–34

Pan, J., Kong, L., Lin, S., Chen, G., Chen, Q., Lu, J.J. 2008. The Clinical Significance of

Coexpression of Cyclooxygenases-2, Vascular Endothelial Growth Factors, and

Epidermal Growth Factor Receptor in Nasopharyngeal Carcinoma. Laryngoscope.

118:1970–75

Permeen, A.M.Y., Sam, C.K., Pathmanathan, R. 1990. Detection of Epstein-Barr Virus DNA

in Nasopharyngeal Carcinoma Using A Non-Radioactive Digoxigenin-Labelled

Probe. [Diakses : 2 Mei 2015]. Diunduh dari :

http://www.landesbioscience.com/pdf/04 Busson-Busson.pdf

Probst R., Grever G., Iro H. 2006. Diseases of the Nasopharynx. Dalam : Probst R.; Grever

G.; Iro H., penyunting. Basic Otorhinolaryngology : A Step by Step Learning Guide.

Edisi ke-2. New York: Georg Thieme Verlag. h.109-10

Rashi, S., Rolee, S., Sanjay, M., Singh, R.B. 2011. Biochemical and Molecular Biological

Studies on Oral Cancer : An Overview. The Open Nutraceuticals Journal. 4(1):180-

88

Reinheckel, T., Gocheva, V., Peters, C., Joyce, J.A. 2008. Roles of Cysteine Proteases in

Tumor Progression : Analysis of Cysteine Cathepsin Knockout Mice in Cancer

Models. Dalam : Edwards, D., dkk., penyunting. The Cancer Degradome Protease and

Cancer Biology. New York: Springer. h.281-304

Ren, Q., Sato H., Murono, S., Furukawa, M., Yoshizaki, T. 2004. Epstein–Barr Virus (EBV)

Latent Membrane Protein 1 Induces Interleukin-8 Through The Nuclear Factor-Kappa

B Signaling Pathway in EBV Infected Nasopharyngeal Carcinoma Cell Line.

Laryngoscope. 114:855–59

Repnik, U., Stoka, V., Turk, V., Turk, B. 2012. Lysosomes and Lysosomal Cathepsins in Cell

Death. Biochimie and Biophysica Acta. 1824:22-23

Scorilas, A., Fotiou, S., Tsiambas, E., Yotis, J., Kotsiandri, F., Sameni, M., Sloane, B.F.,

Talieri, M. 2002. Determination of Cathepsin B Expression may Offer Additional

Prognostic Information for Ovarian Cancer Patients. Biol Chem. 383: 1297-303

Sheen, T.S., Huang, Y.T., Chang, Y.L., Ko, Y.J., Wu, C.S., Yu, Y.C., Tsai, C.H., Hsu. M.M.

1999. Epstein–Barr Virus-Encoded Latent Membrane Protein 1 Co-Expresses with

Epidermal Growth Factor Receptor in Nasopharyngeal Carcinoma. Jpn J Cancer Res.

Page 90: putu dewi pramusita

168

90:1285–92

Shi, W., Bastianutto, C., Li, A., Perez-Ordonez, B., Ng, R., Chow, K.Y., Zhang, W., Jurisica

I., Lo, K.W., Bayley, A., Kim, J., O’Sullivan, B., Siu, L., Chen, E., Liu, F.F. 2006.

Multiple Dysregulated Pathways in Nasopharyngeal Carcinoma Revealed by Gene

Expression Profiling. Int J Cancer. 119:2467–475

Stadler, E.M., Patel, E.M., Couch, E.M., Hayes, N.D. 2008. Molecular Biology of Head Neck

Cancer : Risks and Pathways. Hematol Oncology Clin N Am. 22(10):1099-244

Stefani, G., Slack, F.J. 2008. Small Non-Coding RNAs in Animal Development. Nat Rev Mol

Cell Biol. 9:219–30

Taylor, C.R., Shi, S.R., Barr, N.J. 2010. Techniques in Immunohistochemistry: Principle,

Pitfalls, and Standardization. Dalam : Dabbs, D.J., penyunting. Diagnostic

Immunohistochemistry : Theranostic and Genomic Applications. Philadelphia:

Saunders-Elsevier. h.1-41

Turk, V., Stoka, V., Vasiljeva, O., Renko, M., Sun, T., Turk, B., Turk, D. 2012. Cysteine

Cathepsins : From Structure, Function and Regulation to New Frontiers. Biochimica

et Biophysica Acta. 1824: 68-88

Van Kempen, L.C., De Visser, K.E., Coussens, L.M. 2006. Inflammation, Proteases, and

Cancer. Eur J Cancer. 42: 728-34

Vasiljeva, O., Turk, B. 2008. Dual Contrasting Roles of Cysteine Cathepsin in Cancer

Progression : Apoptosis versus Tumour Invasion. Biochimie. 90:380-86

Wahyono, D.J., Hermani B., Soeharso P. 2010. Ekspresi Gen Litik Virus Epstein-Barr :

Manfaatnya untuk Penegakan Diagnosis Karsinoma Nasofaring. [Diakses : 2 Mei

2015]. Diunduh dari : http://www.fkui.org

Warwas, M., Haczynska, H., Gerber, J., Nowak, M. 1997. Cathepsin B-like activity as a

serum tumour marker in ovarian carcinoma. European Journal of Clinical Chemistry

and Clinical Biochemistry. 35:301-4

Wei, W.I. 2006. Nasopharyngeal Cancer. Dalam : Bailey B.J., Johnson J.T., Newlands, S.D.,

penyunting. Head and Neck Surgery – Otolaryngology. Edisi ke-4. Philadelphia:

Lippincott Williams and Wilkins. h.1657-71

Yarden, Y., Sliwkowski, M.X. 2001. Untangling the ErbB Signalling Network. Rev Mol Cell

Biol. 2:127–37

Xu, X., Yuan, G., Liu, W., Zhang, Y., Chen, W. 2009. Expression of Cathepsin L in

Nasopharyngeal Carcinoma and Its Clinical Significance. Exp Oncol. 2:102-5

Zeng, M.S., Zeng, Y.X. 2010. Pathogenesis and Etiology of Nasopharyngeal Carcinoma.

Dalam : Lu J.J., Cooper J.S., Lee AWM, penyunting. Nasopharyngeal Cancer

Multidisciplinary Management. Berlin: Springer-Verlag. h.9-25

Zeng, Z.Y., Zhou, Y.H., Zhang, W.L., Xiong, W., Fan, S.Q., Li, X.L., Luo, X.M., Wu, M.H.,

Page 91: putu dewi pramusita

169

Yang, Y.X., Huang, C., Cao, L. Tang, K., Qian, J., Shen, S,R., Li, G.Y. 2007. Gene

Expression Profiling of Nasopharyngeal Carcinoma Reveals the Abnormally

Regulated Wnt Signaling Pathway. Hum Pathol. 38:120–33

Page 92: putu dewi pramusita

170

Lampiran 1. Surat Kelaikan Etik

Page 93: putu dewi pramusita

171

Lampiran 2. Surat Ijin Penelitian

Page 94: putu dewi pramusita

172

Lampiran 3. Dokumentasi Pemeriksaan Ekspresi Cathepsin D dengan

Pewarnaan Imunohistokimia

Tabel Skor Persentase Sel Tumor

Skor Persentase Sel

Tumor

Lapangan Pandang

0

1+

2+

3+

Page 95: putu dewi pramusita

173

Tabel Skor Intensitas Pewarnaan

Skor Intensitas

Pewarnaan Sel Tumor

Lapangan Pandang

0

1+

2+

3+

Page 96: putu dewi pramusita

clxxiv

clxxiv

Lampiran 4. Tabulasi Data Penelitian

Page 97: putu dewi pramusita

clxxv

clxxv

Page 98: putu dewi pramusita

clxxvi

clxxvi

Page 99: putu dewi pramusita

clxxvii

clxxvii

Lampiran 5. Hasil Analisis Data Penelitian

DESCRIPTIVES

KELOMPOK Statistic Std. Error

UMUR

std 4

Mean 49.94 2.201

95% Confidence Interval for Mean

Lower Bound

45.44

Upper Bound

54.43

5% Trimmed Mean 50.16

Median 51.00

Variance 150.196

Std. Deviation 12.255

Minimum 18

Maximum 80

Range 62

Interquartile Range 14

Skewness -.363 .421

Kurtosis 1.327 .821

std <4

Mean 51.16 2.032

95% Confidence Interval for Mean

Lower Bound

47.01

Upper Bound

55.31

Page 100: putu dewi pramusita

clxxviii

clxxviii

5% Trimmed Mean 51.23

Median 49.00

Variance 128.006

Std. Deviation 11.314

Minimum 28

Maximum 71

Range 43

Interquartile Range 19

Skewness .148 .421

Kurtosis -.777 .821

JENIS KELAMIN * KELOMPOK Crosstabulation

KELOMPOK Total

std 4 std <4

JENIS

KELAMIN

Laki-laki

Count 21 22 43

% within

KELOMPOK 67.7% 71.0% 69.4%

Perempuan

Count 10 9 19

% within

KELOMPOK 32.3% 29.0% 30.6%

Total

Count 31 31 62

% within

KELOMPOK 100.0% 100.0% 100.0%

PEKERJAAN * KELOMPOK Crosstabulation

KELOMPOK Total

std 4 std <4

PEKERJAAN Ibu RT

Count 3 2 5

% within KELOMPOK

9.7% 6.5% 8.1%

Petani Count 9 9 18

Page 101: putu dewi pramusita

clxxix

clxxix

% within KELOMPOK

29.0% 29.0% 29.0%

PNS

Count 4 2 6

% within KELOMPOK

12.9% 6.5% 9.7%

Swasta

Count 11 11 22

% within KELOMPOK

35.5% 35.5% 35.5%

Tidak bekerja

Count 4 5 9

% within KELOMPOK

12.9% 16.1% 14.5%

TNI / POLRI

Count 0 2 2

% within KELOMPOK

0.0% 6.5% 3.2%

Total

Count 31 31 62

% within KELOMPOK

100.0% 100.0% 100.0%

STADIUM

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid

2 6 9.7 9.7 9.7

3 25 40.3 40.3 50.0

4A 14 22.6 22.6 72.6

4B 13 21.0 21.0 93.5

4C 4 6.5 6.5 100.0

Total 62 100.0 100.0

PERSENTASE SEL TUMOR

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid

Tidak int pewarnaan

4 6.5 6.5 6.5

<30% 19 30.6 30.6 37.1

30-60% 32 51.6 51.6 88.7

Page 102: putu dewi pramusita

clxxx

clxxx

>60% 7 11.3 11.3 100.0

Total 62 100.0 100.0

INTENSITAS PEWARNAAN

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid

Tidak ada intensitas

4 6.5 6.5 6.5

Lemah 16 25.8 25.8 32.3

Sedang 20 32.3 32.3 64.5

Kuat 22 35.5 35.5 100.0

Total 62 100.0 100.0

SKOR EKSPRESI CATHEPSIN D

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid

0 3 4.8 4.8 4.8

2 12 19.4 19.4 24.2

3 11 17.7 17.7 41.9

4 12 19.4 19.4 61.3

5 20 32.3 32.3 93.5

6 4 6.5 6.5 100.0

Total 62 100.0 100.0

KATEGORI EKSPRESI CATHEPSIN D

Page 103: putu dewi pramusita

clxxxi

clxxxi

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid

Lemah 16 25.8 25.8 25.8

sedang 22 35.5 35.5 61.3

Kuat 24 38.7 38.7 100.0

Total 62 100.0 100.0

KELOMPOK * CATHEPSIN D Crosstabulation

cathD Total

Lemah sedang Kuat

KELOMPOK

std 4

Count 0 7 24 31

% within KELOMPOK

0.0% 22.6% 77.4% 100.0%

std <4

Count 16 15 0 31

% within KELOMPOK

51.6% 48.4% 0.0% 100.0%

Total

Count 16 22 24 62

% within KELOMPOK

25.8% 35.5% 38.7% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df Asymp. Sig. (2-sided)

Pearson Chi-Square 42.909a 2 .000 Likelihood Ratio 58.429 2 .000 Linear-by-Linear Association 40.397 1 .000 N of Valid Cases 62

a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 8.00.

Page 104: putu dewi pramusita

clxxxii

clxxxii

Gambar 1. Blok Parafin

Gambar 2. Slide dengan Pewarnaan Imunohistokimia

Gambar 3. Mikroskop Cahaya Binokuler

Page 105: putu dewi pramusita

clxxxiii

clxxxiii