oleh : abd. malik majid l241 13 015

134
ii ANATOMI KONFLIK NELAYAN DI WILAYAH PERBATASAN KEPULAUAN SELAYAR SULAWESI SELATAN (STUDI KASUS PULAU PASITANETE KECAMATAN BONTOMATENE) SKRIPSI OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015 PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN DEPARTEMEN PERIKANAN FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2018

Upload: others

Post on 09-Dec-2021

6 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

ii

ANATOMI KONFLIK NELAYAN DI WILAYAH PERBATASAN

KEPULAUAN SELAYAR SULAWESI SELATAN (STUDI KASUS PULAU PASITANETE KECAMATAN BONTOMATENE)

SKRIPSI

OLEH :

ABD. MALIK MAJID

L241 13 015

PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN

DEPARTEMEN PERIKANAN

FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2018

Page 2: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

iii

ANATOMI KONFLIK NELAYAN DI WILAYAH PERBATASAN

KEPULAUAN SELAYAR SULAWESI SELATAN (STUDI KASUS PULAU PASITANETE KECAMATAN BONTOMATENE)

SKRIPSI

OLEH :

ABD. MALIK MAJID

L241 13 015

Skripsi

Disusun Sebagai Salah Satu Syarat Menyelesaikan Studi Pada Departemen Perikanan Fakultas Ilmu Kelautan Dan Perikanan

Universitas Hasanuddin Makassar

PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN DEPARTEMEN PERIKANAN

FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR 2018

Page 3: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015
Page 4: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

v

ABSTRAK

ABD. MALIK MAJID (L241 13 015), Anatomi konflik Nelayan di Wilayah Perbatasan Kepulauan Selayar Sulawesi Selatan ( Studi Kasus Pulau Pasitanete Kecamatan Bontomatene)

Dibimbing oleh : Andi Adri Arief dan Aris Baso

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana proses terjadinya

konflik serta penyebabnya dan untuk mengetahui keterlibatan pihak-pihak lain

dalam usaha penyelesaian konflik dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan di

selat Bira/Selayar dengan alternatif resolusi konflik dalam penyelesaian konflik.

Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan wawancara mendalam (In-

depth Interview). Anatomi Konflik dapat diartikan satu rangkaian organ-organ atau

unsur-unsur yang terkait dengan proses terjadinya konflik, yaitu Penyebab terjadinya

konflik, pihak yang berkonflik, proses terjadinya konflik, dampak terjadinya konflik,

proses penyelesaian konflik (resolusi konflik). Sehingga dalam proses penyelesaian

suatu konflik akan lebih terarah dan menciptakan resolusi konflik.

Hasi penelitian menunjukan bahwa konflik nelayan dan penyebabnya dalam

pemanfaatan sumberdaya perikanan di Selat Bira/Selayar bermula ketika datangnya

nelayan Ha’lle ( pendatang) datang melakukan penangkapan daerah penangkapan

nelayan tradisional Selayar, alat tangkap yang digunakan berbeda sehingga

menimbulkan kecemburuan dalam hal pemanfaata dan pengelolaan sumberdaya

ikan yang terbatas dan kurangnya pendukung dalam hal fasiltas perikanan selain itu

penegakan dan pengawasan aturan tetang pengelolaan perikanan belum terlaksana

dengan baik. Dalam upaya penyelesaian konflik dengan melihat anatomi konflik

yang terjadi peran Pemerintah Sulawesi Selatan ,Pemerintah Setempat, aparat

keamanan dan masyarkat dalam penyelesaikan konflik sangat berperan karena

permasalahan konflik Selayar/Bira melibatkan 2 (dua) daerah yang berbeda.

Dengan adanya anatomi konflik dalam penyelesaian konflik lebih ditekankan pada

bentuk yang informatif sehingga nelayan yang memiliki peran yang cukup penting

dalam penyelesaian konflik serta keterlibatan pemerintah pusat dan daerah dalam

mengevalausi bentuk resolusi konflik

Kata Kunci : Konflik, Nelayan, Resolusi

Page 5: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

vi

ABSTRACT

ABD. MALIK MAJID (L241 13 015), Anatomy of Fisherman Conflict in Border Areas of Selayar Islands of South Sulawesi (Case Study of Pasitanete Island, Bontomatene Sub District)

Guided by: Andi Adri Arief and. Aris Baso

This study aims to determine how the process of conflict and its causes, and to determine the involvement of other parties in efforts to resolve conflicts in the utilization of fishery resources in Bira / Selayar Strait with alternative conflict resolution in conflict resolution. Data collection is done by using the in-depth interview. Anatomy Conflict can be defined as a set of organs or elements related to the process of conflict, ie Causes of conflict, conflict, conflict, conflict, conflict resolution (conflict resolution). So that in the process of settling a conflict will be more focused and create conflict resolution.

The research results show that fishermen conflicts and their causes in the utilization of fishery resources in Bira / Selayar Strait begin when the fishermen of Ha'lle come to arrest the fishing areas of traditional Selayar fishermen, different fishing gear is used to create jealousy in terms of utilization and management of resources limited fish and lack of support in terms of fishery facilities other than that the enforcement and supervision of the rules of fisheries management has not done well. In an effort to resolve the conflict by looking at the anatomy of the conflict, the role of the South Sulawesi Government, the Local Government, the security forces and the community in resolving the conflict is very important because the conflict of Selayar / Bira conflict involves 2 (two) different regions. With the anatomy of conflicts in conflict resolution more emphasized on informative forms so that fishermen who have a significant role in conflict resolution and the involvement of central and local governments in mengevalausi form of conflict resolution.

Keywords: Conflict, Fisherman, Resolution

Page 6: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

vii

RIWAYAT HIDUP

Abd. Malik Majid dilahirkan di Pulau Jinato pada tanggal 04

Desember 1994. Penulis merupakan anak kedua dari empat

bersaudara. Anak dari ayahanda Abd. Majid dan ibunda Murniati.

Pada tahun 2001, penulis memasuki sekolah dasar di SD Inpres

Jinato dan lulus pada tahun 2007, kemudian penulis melanjutkan

pendidikan di SMPN 2 Pasimasunggu Timur Kabupaten

Kepulauan Selayar dan lulus pada tahun 2010. Pada tahun 2010,

penulis melanjutkan pendidikan di SMAN 12 Bulukumba atau SMAN 1 Kindang dan

lulus pada tahun 2013. Pada tahun 2013, penulis melanjutkan pendidikan S1

Program Sosial Ekonomi Perikanan, Departemen Perikanan, Fakultas Ilmu Kelautan

dan Perikanan Universitas Hasanuddin melalui Jalur Seleksi Nasional Masuk

Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN).

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif mengikuti kegiatan baik yang

intrakampus maupun ekstrakampus. Penulis juga aktif dibeberapa organisasi

kampus di antaranya, pernah menjabat sebagai Divisi Hubungan Luar UKM FC

Anak Pantai Perikanan TB 2014/2015, Majelis Pertimbangan Himpunan (MPH-

KEMAPI UH Perikanan) TB 2015, Senator di Senat FIKP-UH, Anggota Disaster

Rescue Team (DRT) di KSR PMI UNHAS dan Penulis juga aktif di Komunitas

Rintara Jaya Sulawesi Selatan. Dalam rangka menyelesaikan pendidikan dan

merupakan syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan (S.Pi), penulis

melakukan penelitian dengan judul “Anatomi Konflik Nelayan di Wilayah Perbatasan

Kepulauan Selayar Sulawesi Selatan (Studi Kasus Pulau Pasi’tanete Kec.

Bontomatene)” yang dibimbing oleh Dr. Andi Adri Arief, S.Pi, M.Si dan Prof. Dr. Ir.

Aris Baso, M.Si.

Page 7: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

viii

KATA PENGANTAR

Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Alhamdulillahirobbil alamin, puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan

atas kehadirat Allah SWT, pemilik segala kesempurnaan, pemilik segala ilmu dan

kekuatan yang tak terbatas, yang telah memberikan kekuatan, kesabaran,

ketenangan, dan karunia selama ini sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi

yang berjudul “Anatomi Konflik Nelayan di Wilayah Perbatasan Kepulauan

Selayar Sulawesi Selatan (Studi Kasus Pulau Pasitanete Kecamatan

Bontomatene). Penulisan skripsi ini sebagai salah satu syarat kelulusan Program

Sarjana Strata Satu (S1) pada Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan./

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menyadari ada begitu banyak bantuan,

bimbingan, dan dukungan yang sangat berharga yang telah diberikan oleh berbagai

pihak kepada penulis. Oleh karena itu melalui laporan ini penulis menghaturkan

penghormatan yang setinggi-tingginya dan terima kasih sebesar-sebesarnya kepada

pihak-pihak yang secara langsung maupun tidak langsung telah ikut

menyumbangkan pikiran, tenaga, dan inspirasi bagi penulis. Dan segala ikhlas dan

tulus, penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada :

1. Ayahanda Abd. Majid dan Ibunda Murniati selaku orang tua yang tanpa henti-

hentinya memanjatkan doa dan memberikan dukungan baik materi maupun

moril kepada penulis.

2. Ibu Dr. Ir. St. Aisyah Farhum, M. Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Kelautan dan

Perikanan, Universitas Hasanuddin.

Page 8: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

ix

3. Bapak Dr. Ir Gunarto Latama, M.Sc, selaku Ketua Departemen Fakultas Ilmu

Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin.

4. Bapak Dr. Andi Adri Arief S.Pi, M.Si selaku Ketua Program Studi Sosial

Ekonomi Perikanan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas

Hasanuddin.

5. Dr. Andi Adri Arief S.Pi, M.Si selaku pembimbing utama yang telah banyak

membimbing, membantu serta memberikan saran dan kritikan kepada penulis

sehingga dapat menyelesaikan skripsi dengan baik.

6. Prof.Dr.Ir. Aris Baso,M.Si selaku pembimbing kedua yang bersedia

meluangkan waktunya dan kesabarannya yang luar biasa dalam membimbing

dan mengarahkan penulis demi kesempurnaan penyusunan skripsi.

7. Para penguji Bapak Dr. Hamzah, S.Pi.M.Si, Bapak Amiluddin S.P, M.Si, dan

Bapak Firman, S.Pi, M.Si yang telah memberikan penulis pengetahuan baru

dan masukan dalam melengkapi dan memperbaiki penyusunan skripsi penulis.

8. Kepada Bapak Fatta Daeng dan Ibu Andi Rosi beserta keluarga terima kasih

telah memberikan dukungan moral dan membantu saya selama Penelitian di

Pulau Pasitanete Desa Menara Indah terima kasih banyak atas bantuanya.

9. Adik-adik dan seluruh teman-teman yang ada di BELANAK#13, Sosial

Ekonomi Perikanan, REVOLUSI#13 terima kasih telah menjadi keluarga baru

yang banyak memberikan kesan dan pelajaran yang sama-sama kita dapatkan

di bangku kuliah dan di Himpunan Keluarga Mahasiswa Perikanan Sosial

Ekonomi Perikanan.

10. Kepada teman-teman keluarga besar KSR PMI UNHAS terima kasih telah

memberikan dukungan moral dan telah menjadi keluarga baru saya.

Page 9: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

x

11. Saudara-saudariku DIKSAR XXII BABON LELET ( Enhy,Indra ,Ulla ,

Rizal,Jhum, Sari, Naumi ) terima kasih telah memberikan dukungan, doa,

bantuan dan semangatnya kepada penulis dan teruslah menjadi Relawan “Noi

Siamo Tutty Prately”

12. Teman-teman KKN UNHAS Gel. 93 Posko Inalipue dan KORDES Se-

Kecamatan Tanasitolo, T

13. Tak lupa pula kepada kawan-kawan yang luar biasa, pengalaman serta

pelajaran begitu banyak saya dapatkan di keluarga besar Rintara Jaya, TIM

ENJ ( Ekspedisi Nusantara Jaya ) 2015 dan 2016 dengan rute

keberangkatan R-37, R-38 & R-44

14. Terima Kasih buat Saudari Andi Ainun Ni’ma yang telah membantu baik dari

segi materi maupun dukungan Moral.

Penulis berusaha menyajikan skripsi ini dengan sebaik mungkin,

skripsi ini penulis susun atas dasar pengembangan, penalaran, dan pikiran

penulis sendiri yang sedikit banyak mengambil pedoman dari sumber-sumber

tertentu. Untuk itu penulis sangat mengharapkan masukan guna perbaikan di

masa mendatang. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya

dan para pembaca pada umumnya.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatu.

Makassar, 17 Januari 2018

Penulis

Page 10: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

xi

DAFTAR ISI HALAMAN

HALAMAN SAMPUL .................................................................................. i

HALAMAN JUDUL ..................................................................................... ii

HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... iv

ABSTRAK ................................................................................................... v

RIWAYAT HIDUP ....................................................................................... vii

KATA PENGANTAR .................................................................................. viii

DAFTAR ISI ................................................................................................ xi

DAFTAR TABEL ........................................................................................ xv

DAFTAR GAMBAR .................................................................................... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xvii

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang .................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ............................................................................... 6

C. Tujuan Penelitian ................................................................................. 6

D. Manfaat Penelitian ............................................................................... 7

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Nelayan ................................................................................................. 8

B. Tapal Batas .......................................................................................... 11

C. Anatomi ................................................................................................ 13

D. Konsep Konflik ..................................................................................... 14

E. Analisis Konflik ..................................................................................... 21

F. Akar Permasalahan Konflik ................................................................. 23

Page 11: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

xii

G. Konflik Kenelayaan .............................................................................. 25

H. Tipe dan Karateristik Konflik ................................................................ 27

I. Resolusi Konflik.................................................................................... 29

J. Manajemen Konflik .............................................................................. 29

K. Resolving ( Alternatif Solusi Konflik).................................................... 33

L. Hukum Pemerintahan Terkait Konflik Nelayan ................................... 35

M. Kerangka Pikir ...................................................................................... 39

III. METODOLOGI PRAKTEK KERJA LAPANG

A. Waktu dan Tempat............................................................................. 42

B. Jenis Penelitian .................................................................................. 42

C. Sumber Data ...................................................................................... 42

D. Metode Pengumpulan Data ............................................................... 43

E. Analisis Data ...................................................................................... 45

F. Konsep Oprasional............................................................................. 47

IV. Gambaran Umum Penelitian

A. Kondisi Umum Daerah ....................................................................... 50

B. Keadaan Sosial Ekonomi ................................................................... 52

C. Profil Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Peraiaran Selayar dan

Pulau Pasitanete................................................................................ 56

V. Hasil dan Pembahasan

A. Anatomi Konflik Nelayan dalam Memanfaatkan Sumberdaya

Perikanan ........................................................................................ 65

B. Kronologi Konflik ............................................................................. 66

C. Penahapan Konflik Secara Umum .................................................. 73

Page 12: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

xiii

D. Tipe dan Karateristik Konflik ........................................................... 77

a) Konflik Kepemilikan Sumberdaya........................................ 78

b) Pengunaan Alat Tangkap/Cara Produksi............................ 79

c) Konflik Pengeolaan Sumberdaya Ikan............................... 81

E. Akar Permasalahan Konflik ............................................................. 83

1. Keberadaan Sumberdaya Ikan .............................................. 83

2. Hukum dan Peraturan Pemerintah dalam Usaha

Penangkapan Ikan................................................................. 84

3. Pengaturan Nelayan Andon.................................................... 85

4. Perbedaan Cara Pandang Memanfaatkan Sumberdaya

Perikanan............................................................................... 87

5. Pengaturan Penggunaan Bahan Tidak Ramah Lingkungan 88

6. Terbatasanya Fasilitas Perikanan.......................................... 88

F. Pihak-pihak dalam Konflik ................................................................. 89

1. Nelayan Selayar ( Komunitas Nelayan Pulau Pasitanete dan

nelayan Desa Bungaia...................................................... 89

2. Nelayan Andon (Nelayan Daerah lain /Ha’lle)...................... 91

3. Instansi Pemerintah Daerah................................................ 92

4. Pihak-Pihak Lain dalam Konflik.......................................... 92

G. Dampak Konflik ................................................................................... ... 93

H. Penyelesaian Konflik............................................................................... 94

I. Manajemen Konflik .............................................................................. 95

J. Alternatif Resolusi Konflik .................................................................... 97

K. Tindakan Pencegahan ......................................................................... 100

Page 13: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

xiv

VI. SIMPULAN

A. Kesimpulan ....................................................................................... 103

B. Saran .................................................................................................. 103

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

Page 14: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

xv

DAFTAR TABEL

No Teks Halaman

1. Tabel.1Jumlah Penduduk Desa Menara Indah Menurut Jenis Kelamin 52

2. Tabel. 2 Mata Pencarian Pokok Penduduk Desa Menara Indah ........ 53

3. Tabel. 3 Tingkat Pendidikan Masyarakat Desa Menara Indah ............ 54

4. Tabel. 4 Sarana dan Prasarana Desa Menara Indah ......................... 54

5. Tabel. 5 Sarana Perikanan Penduduk Desa Menara Indah ............... 55

6. Tabel. 6 Komoditi Perikanan Kabupaten Kepualaun Selayar ............. 67

7. Tabel. 7 Sejarah Konflik Terjadi di Pulau Pasitanete Desa Menara Indah 67

8. Tabel. 8 Jenis Konflik Terjadi di Pulau Pasitanete Desa Menara Indah 81

9. Tabel. 9 Peraturan Daerah Tentang Nelayan Ha’lle ........................... 91

Page 15: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

xvi

DAFTAR GAMBAR

No Teks Halaman

1. Gambar.1 Kerangka Pikir ...................................................................... 41

2. Gambar.2 Lokasi Penelitian.................................................................... 51

3. Gambar.3 Fluktuasi Tangkapan Jenis Ikan Karang di Kabupaten

Kepulauan Selayar Untuk Kurun Waktu Tahun 2011-2015 .................. 59

4. Gambar.4 Komposisi Jenis Ikan Karang Di Kabupaten Kepulauan

Selayar pada tahun 2015 ........................................................................ 60

5. Gambar.5 Jenis dan Jumlah Alat Tangkap Perikanan Karang di

Kabupaten Kepulauan Selayar dalam Kurun Waktu 2011-2015 ........... 61

6. Gambar.6 Grafik Hubungan Perkembangan Unit Penangkapan dan

Produksi Hasil Tangkapan Perikanan Karang di Kabupaten

Kepulauan Selayar untuk Tahun 2011-2015 .......................................... 62

7. Gambar.9 Akses Alat tangkap yang di pergunakan menurut Nomor

71/permen-KP/2016 di Wilayah Perairan Selayar/Bira .......................... 79

8. Gambar. 10 Kedatangan Nelayan Ha’lle ................................................ 91

Page 16: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

No Teks

1. Lampiran.1 Daftar Informan

2. Lampiran.2 Formasi daerah penangkapan ikan yang potensial berdasarkan suhu

optimum permukaan laut untuk ikan cakalang di sekitar Perairan Kabupaten

Selayar.

3. Lampiran.3 Formasi daerah penangkapan ikan yang potensial berdasarkan suhu

optimum permukaan laut untuk ikan Layang di sekitar Perairan Kabupaten

Selayar.)

4. Lampiran.4 Lokasi Konflik

5. Lampiran.5 Alat Tangkap Berdasarkan Wilayah Penangkapan

6. Lampiran.6 Dokumentasi Pengambilan Data

Page 17: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia,Indonesia dirajut oleh

untaian ribuan pulau-pulau yang berjumlah sekitar 13.466 pulau yang menyebar

dari Aceh ujung Barat hingga Papua di ujung Timur, dengan wilayah laut

(termasuk ZEE) seluas 5,8 juta km2 (75% total wilayah Indonesia). Dari sekian

ribu kongfigurasi pulau-pulau tersebut, terdapat pulau-pulau atau daerah yang

berpotensi terjadi konflik. Pulau-pulau atau daerah ini memiliki nilai penting dan

tergolong unik bila ditinjau dari sumberdaya alam,geografi,sosial,ekonomi dan

budaya. Demikian halnya dengan konflik-konflik kenelayaan yang terjadi,

fenomena konflik tersebut juga diasumsikan memiliki keunikan atau ciri yang

berbeda dengan konflik-konflik kenelyaan yang terjadi wilayah pesisir daratan.

Secara umum mengenai konflik-konflik yang terjadi pada komunitas melayan

sesunggunya merupakan refleksi masyarakat pesisir sebagai suatu sistem sosial,

dimana dalam eksistensinya, ia menghadapi berbagai masalah-masalah

fungsional’ agar dapat bertahan hidup (survive), tumbuh dan berkembang

(develop) dalam mengadapatasi sumberdaya alamnya .

Dalam kegiatan perikanan, khususnya penangkapan ikan, konflik

merupakan gejala sosial yang sering di temukan di berbagai wilayah perairan.

Menurut Satria (2000) gejala konflik antar nelayan sering terjadi di sebabkan

perebutan sumberdaya ikan yang jumlahnya terbatas. Perebutan ini muncul

karena karakteristik sumberdaya perikanan yang bersifat open access, seolah-

olah sumberdaya dapat dikuasai sembarang orang, di sembarang waktu dan

dengan sembarang alat tangkap. Selain itu, permasalahan yang dihadapi

nelayan bukan satu-satunya dilihat dari tingginya tingkat ketergantungan akan

sumberdaya perikanan, melainkan secara nyata nelayan juga tidak mampu

Page 18: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

2

berbuat banyak menghadapi praktik-praktik yang berlaku diareal fishing ground

mereka seperti penggunaan alat tangkap yang lebih canggih/modern.

Menurut Kusnadi (2003:109) bahwa masuknya modal dan teknologi

yang lebih canggih telah mempercepat proses penipisan dan kelangkaan

sumberdaya perikanan yang ada. Di samping itu, masalah kemiskinan dan

kesenjangan sosial juga meningkat di bandingkan dengan masa sebelum di

operasikannya alat tangkap yang lebih modern. Sejalan dengan itu, perbedaan

kapasitas teknologi serta modal, dan akses antarpengguna sumber daya

perikanan berpotensi menimbulkan konflik pengelola sumber daya. Latar

belakang konflik sosial ini terjadi karena kecemburuan sosial yang di picu oleh

kenyataan bahwa salah satu pihak dapat memperoleh bagian yang terbesar

dari eksploitasi sumber daya perikanan, sedangkan pihak yang lain sebaliknya.

Konflik sosial yang muncul adalah manifestasi dari kesenjangan ekonomi atau

kesenjangan pendapatan di antara kelompok-kelompok masyarakat nelayan

(Kusnadi, 2003:22).

Menurut Kinseng (2014:252) unit penangkapan dan jenis alat tangkap

memegang peranan yang penting dalam analisis kelas di kalangan kaum

nelayan. Selain itu jarak dominasi juga sangat penting untuk diperhatikan,

jarak dominasi merupakan jarak spasial dominasi suatu kelas (kelompok) sosial

atas kelas (kelompok) lainnya. Dengan kata lain, dalam proses produksi

dominasi satu kelas itu berlaku dalam batas radius tertentu. Jarak dominasi

atau areal tangkap nelayan dikalangan kaum nelayan dalam proses produksi

sangat ditentukan oleh tingkat teknologi yang digunakan oleh setiap kelas

nelayan itu sendiri (Kinseng, 2014:238).

Satria (2002) mengedintifikasi konflik yang terjadi dimasayarakat nelayan

secara umum menjadi empat macam, yaitu: (1) Konflik Kelas, yaitu konflik yang

terjadi antar kelas sosial nelayan dalam memperebutkan wilayah penangkapan

Page 19: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

3

(fishing ground), seperti konflik nelayan trawl diperairan pesisir yang sebenarnya

wilayah tangkapan nilayan tradisional; (2) konflik orentasi, yaitu konflik yang

terjadi antar nelayan yang memeiliki perbedaan orientasi (jangka pendek dan dan

jangka panjang) dalam pemanfaatan sumberdaya, seperti konflik horizontal

antara nelayan yang mengunakan bom atau potassium cyanide dengan nelayan

yang lain yang alat tangkapnya ramah lingkungan;(3) konflik agraria yaitu konflik

yang terjadi akibat perebut fishing ground. Konflik ini dapat terjadi pada nelayan

antar kelas maupun nelayan dalam kelas sosial yang sama.

Bahkan, konflik dapat juga terjadi antara nelayan dengan pihak bukan

nelayan, seperta konflik penambangan pasir di Riau,dimana nelayan berhadapan

dengan para pengusaha penambang pasir dan (4) konflik primordial, seperti yang

telah disebutkan di atas. Namun jika di telusuri lebih jauh konflik identitas

tersebut tidak bersifat murni melainkan tercampur dengan konflik kelas maupun

konflik orentasi yang sebenarnya kerap terjadi sebelum diterapkan otonomi

daerah.Berikut ini adalah beberapa kutipan berita mengenai Konflik nelayan yang

terjadi dengan nelayan Selayar dengan Nelayan Ha’le (Pendatang) Rilis Berita

Perselisihan Nelayan Selayar dan Nelayan Ha’le ( Pendatang)

Sumber : Selayarnews.com 2017.

Page 20: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

4

Sumber : Selayarnews.com 2017.

Beberapa berita di atas adalah berita yang terdapat dalam sebuah media

online yang menyatakan terjadi gesekan-gesekan yang berakibat konflik secara

langsung maupun tidak langsung , ini diakibatkan kurang dan lemanya

pengawasan tentang aturan-aturan mengenai hukum penengkapan. Hal ini

mendasari terjadinya perebutan wilayah penangkapan tersebut adalah sistem

otonomi daerah.

Diberlakukannya kebijakan otonomi daerah, permasalahan banyak

muncul seperti kesalahpahaman dalam menginterpretasikan makna dari

batasan”kewenangan“ yang diatur dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004

Tentang Pemerintahan Daerah. Di tingkat instansi pemerintah ”kewenangan“

dimaknai sebagai ”kedaulatan“ teritorial laut yang batasannya 12 mil untuk

provinsi dan 4 mil laut untuk kabupaten/kota, memunculkan gagasan dari

kalangan pemerintah dan nelayan yang salah satunya berupa gagasan untuk

membagi perairan laut Indonesia menjadi wilayah eksklusif provinsi atau bahkan

kabupaten yang melarang nelayan daerah lain memasuki wilayah perairannya.

Page 21: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

5

Wajar jika argumen seperti ini muncul karena selama ini (pra otonomi

daerah) kekayaan laut di suatu wilayah hasilnya banyak dinikmati oleh nelayan

daerah lain, sementara nelayan dan pemerintah daerah setempat nyaris tidak

mendapatkan bagian apapun. Akibatnya antar kabupaten/kota seringkali terjadi

konflik yang bersifat vertikal pada tataran birokrasi. Sedangkan di tingkat

masyarakat, yaitu nelayan ditafsirkan sebagai ”pengkavlingan“ laut yang ternyata

disinyalir telah menimbulkan konflik horisontal, misalkan konflik dalam hal

pengelolaan sumberdaya perikanan antara nelayan tradisional dengan nelayan

pendatang akibat dikukuhkannya kembali aturan-aturan/nilai-nilai lokal

pemanfaatan sumberdaya yang lama tenggelam. Meskipun demikian, konflik

horisontal tersebut belum tentu ada hubungannya dengan otonomi daerah

karena sudah berlangsung sejak dulu (Satria et al. 2002).

Pemanfaatan sumberdaya perikanan milik bersama (open acces)

menyebabakan fenomena konflik perebutan sumberdaya perikanan oleh tidak

bisa dihindari. Kondisi ini dipertegas oleh Kusnadi (2002) bahwa faktor-faktor

yang menyebabkan terjadinya konflik di kalangan masyarakat nelayan

setidaknya di pengaruhi oleh enam faktor utama, yakni tidak di patuhinya

pranata-pranata pengelolaan sumberdaya lokal,konteks sosial-

budaya;kebijakan negara;variabel-variabel teknologis; tingkat tekanan pasar dan

tekanan penduduk.

Sumberdaya perikanan-kelautan yang sifatnya lintas wilayah, perlu

mendapatkan perhatian yang cermat mengingat kemungkinan timbulnya

konflik”kewenangan“ sangat terbuka. Sumberdaya ini telah lama diketahui

membawa permasalahan yang kompleks terkait dengan hak kepemilikannya

(property rights).Oleh karena itu, menjadikan apa yang telah di sebutkan

sebelumnya sebagai salah satu pertimbangan, maka studi ini memfokuskan diri

pada kenelayanan yang terjadi dikawasan daerah pesisir dan pulau-pulau

Page 22: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

6

sebagian kajian spesifik yang membedakan penelitian-penelitian sebelumnya

mengenai konflik nelayan diwilayah pesisir.

Lokasi penelitian adalah Pulau Pasitanete Kecamatan Bontomatene

Kabupaten Kepulauan Selayar.Di wilayah studi ini, berdasarkan survei awal yang

dilakukan tampak bahwa interaksi sosial masyarakat nelayan cukup tinggi dalam

memanfaatkan sumberdaya perikanan yang ditandai oleh beragamnya alat

tangkap perikanan yang dipergunakan seperti;jaring Insang (Giil Net), pancing

tarik, penyelam teripang dan sebagainya sehingga fenomena konflik kenelayaan

menjadi proses sosial yang juga ikut mewarnai interaksi sosial kelompok-

kelompok nelayan tersebut dalam dinamikanya. Oleh karena itu, dapat diduga

bahwa ,dinamika konflik kenelayaan yang telah berlangsung daerah pesisitr

tersebut disatu sisi telah melahirkan tipologi konflik tersendiri dengan kaitanya

dengan penggunaan alat tangkap dan juga orietasi pemanfaatan sumberdaya

perikanan berdasarkan perspektif (orientasi) masing-masing daerah pesisir.

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana proses terjadinya konflik dan penyebabnya dalam pemanfaatan

sumberdaya perikanan di selat Bira/Selayar ?

2. Bagaimana keterlibatan pihak-pihak lain dalam usaha penyelesaian konflik?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah dan uraian – uraian di atas, maka

penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut:

1) Untuk mengetahui proses terjadinya konflik dan penyebabnya dalam

pemanfaatan sumberdaya perikanan di selat Bira/Selayar.

2) Untuk mengetahui keterlibatan pihak-pihak lain dalam usaha penyelesaian

konflik.

Page 23: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

7

D. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Perikanan pada

Program Studi Sosial Ekonomi Perikanan, Departemen Perikanan, Fakultas

Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin

2. Menjadi sarana bagi penulis dalam mengaplikasikan ilmu-ilmu yang telah

diperoleh selama studinya di Departemen Departemen Perikanan, , Fakultas

Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin

3. Memberikan masukan atau sebagai referensi bagi Pemerintah Daerah,

Pemerintah Pusat dan masyarakat setempat dalam mengelola dan

menangani konflik karena permasalahan pemanfaatan sumberdaya

perikanan.

Page 24: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

8

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Nelayan

Mengenai pengertian, Ditjen Perikanan mendefenisikan nelayan sebagai

orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan

ikan/binatang air lainnya/tanaman air. Adapun orang yang melakukan pekerjaan

seperti membuat jaring atau mengangkut alat-alat perlengapan edalam

perahu/kapal tidak dikategorikan sebagai nelayan. Masyarakat nelayan

merupakan sekumpulan individu atau sekelompok masyarakat

yang mendiami wilayah pesisir. Sumber perekonomiannya bergantung secara

langsung pada sumber daya laut dan ekosistem sekitarnya, serta membentuk

dan memiliki kebudayaan yang khas, terkait dengan ketergantungannya

pada pemanfaatan sumberdaya laut secara terus menerus (Satria, 2002:26).

Dilihat dari penguasaan kapital, nelayan dapat kita bagi menjadi nelayan

pemilik dan nelayan buruh. Nelayan pemilik atau juragan adalah orang yang

memiliki sarana penangkapan, seperti kapal/perahu, jaring, dan alat tangkap

lainnya. Sementara nelayan buruh adalah orang yang menjual jasa

tenaga kerja sebagai buruh dalam kegiatan penangkapan ikan dilaut atau

sering kita sebut anak buah kapal (Satria, 2002:25).

Menurut Satria (2002:28) nelayan dapat digolongkan menjadi 4

tingkatan yang dilihat dari kapasitas teknologi (alat tangkap dan armada),

orientasi pasar, dan karakteristik hubungan produksi.

1. Dengan berkembangnya motorisasi perikanan, nelayan pun berubah

dari peasant fisher menjadi post- peasant fisher yang dicirikan dengan

penggunaan teknologi penangkapan ikan yang lebih maju seperti motor

tempel atau kapal motor.Penguasaan sarana motor itu semakin membuka

peluang bagi nelayan untuk menangkap ikan diwilayah perairan yang lebih

Page 25: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

9

jauh dan memperoleh surplus dari hasil tangkapan itu karena memiliki daya

tangkap yang lebih besar. Umumnya nelayan jenis ini masih beroperasi

diwilayah pesisir. Pada jenis ini, nelayan sudah berorentasi pasar.

Sementara itu, tenaga kerja atau ABK-nya sudah meluas dan tidak

bergantung pada anggota keluarga.

2. Peasant-fisher atau nelayan tradisisonal yaitu nelayan yang memanfaatkan

sumber daya perikanan dengan peralatan tangkap tradisional, modal

usaha yang kecil, dan organisasi penangkapan yang relatif sederhana.

Dalam kehidupan sehari-hari, nelayantradisional ini lebih berorientasi pada

pemenuhan kebutuhan sendiri (sub-sistence). Dalam arti hasil alokasi hasil

tangkapan yang dijual lebih banyak dipergunakan untuk memenuhi

kebutuhan pokok sehari-hari, khususnya pangan, dan bukan diinvestasikan

kembali untuk pengembangan skala usaha.

3. Commercial fisher, yaitu nelayan yang telah berorientasi pada

peningkatan keuntungan. Sekala usaha sudah besar yang dicirikan dengan

banyaknya jumlah tenaga kerja dengan status yang berbeda dari buruh

hingga manajer. Teknologi yang digunakan pun lebih modern dan

butuh keahlian tersendiri dalam pengoperasian kapal maupun alat

tangkapnya.

4. Industrial fisher. Ciri nelayan industri menurut Pollnac

(Satria, 2002:29) adalah:

a. Diorganisasi dengan cara-cara yang mirip dengan perusahaan

agroindustri di negara-negara maju.

b. Secara relatif lebih padat modal

c. Memberi pendapatan yang lebih tinggi dari pada perikanan sederhana,

baik untuk pemilik maupun awak perahu

Page 26: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

10

d. Menghasilkan untuk ikan kaleng dan ikan beku yang berorientasi

ekspor.

Nelayan sekala besar dicirikan dengan majunya kapasitas teknologi

penangkapan maupun jumlah armadanya. Mereka lebih berorientasi pada

keuntungan (profit oriented) dan melibatkan buruh nelayan sebagai anak

buah kapal dengan organisasi kerja yang kompleks.

Urgensi modernisasi perikanan melalui perbaikan teknologi atau alat

tangkap untuk peningkatan produksi dapat dipahami. Hal ini sesuai dengan

kenyataan bahwa kita masih undercapacity untuk memanfaatkan potensi

perikanan budidaya maupun tangkap. Pada umumnya, modernisasi perikanan

melalui peningkatan kualitas alat tangkap didorong untuk meningkatkan produksi

perikanan. Berbagai pengalaman menunjukan hal itu secara umum, ada

beberapa pengaruh positif dari kelangsungan modernisasi perikanan tersebut,

antara lain Satria (2002:51):

1) terjadi peningkatan produksi perikanan

2) peningkatan pendapatan nelayan

3) Mendorong tersedianya lapangan kerja baru.

Meski demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa modernisasi perikanan

sering kali menyebabkan juga berbagai macam permasalahan berupa

ketimpangan antar nelayan dan tidak jarang menyebabkan konflik. Menurut

Kusnadi (2003:77) kebijakan modernisasi perikanan hanya berfokus pada

upaya peningkatan produktifitas dalam kerangka besar ekonomi nasional.

Padahal, upaya pelestarian dan menjaga kelangsungan sumber daya perikanan

sangat diperlukan agar sumber daya tersebut dapat diekploitasi secara

berkelanjutan. Akibatnya timbul beberapa hal yang menjadi timbal balik dalam

kegiatan pembangunan perikanan nasional.

1. Timbul konflik sosial antar nelayan yang mengunakan peralatan canggih.

Page 27: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

11

2. Mekanisme perahu dan modernisasi peralatan tangkap telah

meningkatkan akselerasi kerusakan dan kelangkaan sumber daya

perikanan.

3. Meningkatnya kemiskinan dan kesenjangan ekonomi di kalangan nelayan.

Modernisasi hanya mampu meningkatkan pendapatan nelayan dalam

jangka pendek.

Dengan adanya kerusakan lingkungan maka kelangkaan sumber daya

perikanan dengan eksploitasi secara berlebihan telah menyebabkan nelayan sulit

memperoleh hasil tangkapan, hanya nelayan bermodal besar dan memiliki

akses ekonomi yang luas bisa bertahan dan memanfaatkan peluang modernisasi

perikanan.

B. Tapal Batas Wilayah

Pengertian tapal batas atau perbatasan adalah sebuah garis demarkasi

antara dua wilayah yang berdaulat (Rizal Darmaputra. 2009). Menurut pakar

perbatasan Guo, bahwa kata border atau perbatasan mengandung pengertian

sebagai pembatasan suatu wilayah politik dan wilayah pergerakan. Sedangkan

wilayah perbatasan mengandung pengertian sebagai suatu area yang

memegang peranan Penting dalam kompetisi politik antar dua wilayah yang

berbeda. Maka demikian, wilayah perbatasan sebenarnya tidak hanya terbatas

pada dua atau lebih , namun dapat pula ditemui dalam suatu negara, seperti kota

atau desa yang berada di bawah dua yurisdiksi yang berbeda. Intinya, wilayah

perbatasan merupakan area (baik kota atau wilayah) yang membatasi antara dua

kepentingan yurisdiksi yang berbeda (J. G. Starke. 2007).

Batas wilayah adalah garis, sisi atau sempadan pemisah antara

duabuah daerah atau permukaan bumi dalam kaitannya dengan administrasi

pemerintah, lingkungan, perairaan, sungai dan bidang lainnya. Batas

administrasi pemerintahan baik provinsi maupun kabupaten atau kota dikenal

Page 28: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

12

dengan daerah otonom. Daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum

yang mempunyai batas-bats wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus

urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa

sendiri berdasarkan asoirasi dalam sistem suatu daerah.

Penataan Batas di Daerah daratan, dilakukan melalui

pemisahanwilayah untuk penyelenggaraan kewenangan suatu daerah dengan

daerah lain. Sedangkan penentuan untuk menegaskaan batas daerah di daratan

harus mengacu pada dokumen (U.U tentang Pembentukan Daerah beserta

lampiran peta wilayah), dan Peraturan Pemerintah, Peraturan Daera (PERDA)

tentang pembentukan Desa, Kelurahan atau Kecamatan batas wilayah terdiri

atas dua (2) yaiitu batas-batas alam seperti sungai,gunung dan batas buatan

seperti pilar batas,tugu,jalan,saluran,irigasi dan lain-lain.

Tujuan penegasan batas, adalah untuk menyiapkan fakta dan informasi

yang jelas dalam penetapan batas yang pasti di lapangan. Lebih spesifik Tujuan

penegasan batas wilayah ini, adalah untuk menetapkan batas kewenangan

pelayanan publik, baik wajib maupun pilihan. Batas wilayah juga di artikan

sebagaipembatas wilayah administrasi pemerintahan antar daerah

yangmerupakan rangkaian titik-titik koordinat yang berada pada permukaan bumi

dapat berupa tanda-tanda alam seperti punggung gunung atau pegunungan,

median sungai dan atau unsur buatan di lapangan yang dituangkan dalam

bentuk Peta , Bertitik tolak dari pengertian-pengertian yang dikemukakan di

atas, maka pengertian penyelesaian batas daerah kabupaten atau kota, adalah

usaha atau perbuatan membereskan, menyelesaikan bagian atau ruas pembatas

wilayah administrasi pemerintahan antardaerah kabupaten atau kota dalam

bentuk rangkaian titik koordinat yang berada pada permukaan bumi, tanda-tanda

alam seperti gunung atau punggung gunung, median, sungai dan atau unsur

buatan di lapangan yang dituangkan dalam bentuk peta. Usaha atau perbuatan

Page 29: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

13

membereskan, menyelesaikan bagian atau ruas pembatas dimaksud, sesuai

dengan aturan normatifnya sebagaimana ditegaskan dan dituangkan lebih jelas

dalam Permendagri Nomor 76 tahun 2013

C. Anatomi

Anatomi adalah ilmu yang mempelajari tentang struktur tubuh

manusia,berasal dari bahasa yunani “ana” yang berarti habis atau keatas dan

“tomos” yang berarti memotong atau mengiris. Maksudnya anatomi adalah ilmu

yang mempelajari struktur tubuh (manusia) dengan cara nenguraikan tubuh

(manusia) menjadi bagian yang lebih kecil kebagian yang paling kecil,dengan

cara memotong atau megiris tubuh (manusia) kemudian diangkat,

dipelajari dan diperiksa menggunakan mikroskop. (Ethel Sloane,2003 ).

Berdasarkan definisi di atas secara ringkas anatomi dapat dipahami

sebagai suatu kesatuan dari berbagai organ atau komponen yang memiliki

kedudukan yang saling terkait. Apabila definisi anatomi tersebut dikaitkan dalam

pengertian konflik, dapat dimaknai sebagai organ atau komponen pembentuk

konflik.

1) Anatomi Konflik Sosial

Teori-teori konflik dilatarbelakangi oleh tiga kondisi utama yakni, kondisi

sosial politik, kondisi intelektual dan kondisi biografis. Kondisi sosial meliputi

dominasi politik, eksploitasi sosial dan perkembangan ekonomi. Kondisi

intelektual di antaranya idealisme, naturalisme, paham evolusi sosial dan

fragmatis. Sedangkan kondisi biografis mayoritas berasal dari kelas bawah,

mengalami pendidikan pada masa pencerahan kemudian karir politik dan

akademik. Dari kondisi-kondisi ini lalu muncul beberapa tipologi teori konflik

dalam perkembangan selanjutnya. Di antara teori konflik tersebut dapat

dipetakan menjadi teori konflik materialistik, evolusioner serta model sistemik dan

naturalistik.

Page 30: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

14

Teori konflik berbeda dengan teori konsensus tidak hanya karena teori

konflik tertarik pada kemudahan terdistribusi secara tidak setara dalam

masyarakat menstrukturkan prilaku, tetapi juga karena teori-teori ini tertarik pada

konflik, bukan konsensus inheren dalam masyarakat tersebut (pondok kajian

sosial : 2010) .Anatomi adalah ilmu yang mempelajari struktur tubuh (manusia)

dengan cara nenguraikan tubuh (manusia) menjadi bagian yang lebih kecil

kebagian yang paling kecil,dengan cara memotong atau megiris tubuh (manusia)

kemudian diangkat, dipelajari dan diperiksa menggunakan mikroskop. (Ethel

Sloane, 2003)

Berdasarkan uraian di atas Anatomi Konflik Sosial dapat diartikan satu

rangkaian organ-organ atau unsur-unsur yang terkait dengan proses terjadinya

konflik, yaitu:

1. Penyebab terjadinya konflik;

2. Pihak yang berkonflik;

3. Proses terjadinya konflik;

4. Dampak terjadinya konflik;

5. Proses penyelesaian konflik.

D. Konsep Konflik

Menurut Marx (Kinseng, 2014:23) konflik dan radikalisme adalah

petentangan kepentingan kelas. Hubungan sosial yang bersifat antagonistik

menghasilkan konflik sosial. Karena masing-masing kelas sosial itu mempunyai

kepentingan yang bertentangan atau antagosnistik, maka kelas sosial itu

sendiri secara inheren di dalamnya mengandung bibit konflik. Sepanjang kelas

sosial itu masih ada, maka dominasi dan eksploitasi manusia atas manusia

lainnya, serta konflik sosial akan selalu ada.Sementara menurut Sanderson,

(2011:11--12) ia memandang konflik dan pertentangan-dan kepentingan dan

Page 31: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

15

concern dari berbagai individu dan kelompok yang saling bertentangan-sebagai

determinan utama dalam pengorganisasian kehidupan sosial. Dengan kata lain,

struktur dasar masyarakat sangat di tentukan oleh upaya- upaya yang di lakukan

oleh berbagai individu dan kelompok untuk mendapatkan sumberdaya yang

terbatas yang akan memenuhi berbagai kebutuhan dan keinginan mereka.

Karena sumber- sumber daya ini, dalam kadar tertentu selalu terbatas maka

konflik untuk mendapatkannya selalu terjadi. Sementara menurut Kinseng,

(2014:12) konflik adalah relasi sosial antar aktor sosial yang di tandai oleh

pertentangan atau perselisihan dan kemarahan, baik di nyatakan secara

terbuka ataupun tidak, dalam rangka mencapai keinginan atau tujuan masing-

masing.

Soekanto (2002) memberikan definisi konflik sebagai suatu proses sosial

dimana individu atau kelompok berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan

jalan menentang pihak lawan yang disertai dengan ancaman atau

kekerasan. Faktor penyebab utama terjadinya pertentangan adalah perbedaan

individu yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan, perbedaan budaya

yang berpengaruh pada kepribadian setiap individu, perbedaan kepentingan

(dalam ekonomi, politik, dan lain sebagainya), dan perubahan sosial terhadap

nilai dalam masyarakat. Perbedaan individu dan budaya terjadi karena

perbedaan lingkungan yang membentuk kedua belah pihak yang melahirkan

prinsip, nilai, kebiasaan atau tata cara yang berbeda. Biasanya konflik akan

terjadi jika masing-masing pihak tidak dapat menerima atau menghormati

prinsip atau sistem nilai yang dimiliki pihak lain sehingga muncul

keinginan untuk mengubah sistem nilai itu.

Page 32: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

16

Bentuk-bentuk pertentangan (conflict) menurut Soekanto (2002) antara

lain:

1) Pertentangan pribadi yaitu pertentangan antara dua orang dimana masing-

masing pihak berusaha untuk memusnahkan pihak lawannya.

2) Pertentangan rasial yaitu pertentangan yang di latarbelakangi oleh

penampakan individu, perbedaan kepentingan dan kebudayaan.

3) Pertentangan antar kelas sosial yaitu pertentangan yang disebabkan oleh

perbedaan kepentingan individu yang menempati kelas yang berbeda

4) Pertentangan politik yaitu pertentangan antar golongan kelompok dalam

masyarakat.

Menurut Satria (2002:65) dalam proses sosial bentuk proses sosial yang

bersifat disosiatif (menjauhkan) misalnya persaingan, kontraversi dan konflik.

Persaingan sendiri dapat terjadi antar individu maupun kelompok dalam

mencapai suatu keuntungan melalui segala aspek kehidupan. Jika

persaingan ini terjadi diikuti gejala-gejala ketidak pastian dan keraguan tentang

seseorang dan sikap tersembuyi atas gagasan serta budaya yang dimilikinya,

hal itu disebut juga kontravensi. Kontravensi yang terjadi dan memunculkan

ketegangan dalam hubungan kedua belah pihak karena dikuasai rasa

amarah yang berlebihan kita sebut konflik.

Menurut Marx, (Kinseng, 2014:13) kelas sosial merupakan kelompok

sosial yang terbentuk berdasarkan hubungan orang-orang tersebut dengan alat

produksi atau berdasarkan kepemilikan alat produksi. Selanjutnya bagi Marx,

konflik antar kelas (konflik kelas) atau perjuangan kelas (class struggle) ini

merupakan konflik sosial yang terpenting dan menemukan sejarah

perkembangan suatu masyarakat.

Konflik dapat berwujud konflik tertutup (latent), mencuat (emerging), dan

terbuka (manifest). Konflik tersembunyi dicirikan dengan adanya tekanan-

Page 33: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

17

tekanan yang tidak nampak dan tidak sepenuhnya berkembang dan belum

terangkat kepuncak konflik. Sering kali satu atau dua pihak boleh jadi belum

menyadari adanya konflik bahkan yang paling potensialpun. Konflik mencuat

adalah perselisihan dimana pihak-pihak yang berselisih teridentifikasi. Mereka

mengakui adanya perselisihan, kebanyakan permasalahanya jelas, tapi proses

negosiasi dan penyelasaian masalahnya belum berkembang. Disisi lain konflik

terbuka adalah konflik dimana pihak-pihak yang berselisih secara aktif terlibat

dalam perselisihan yang terjadi, mungkin sudah mulai untuk benegosiasi, dan

mungkin juga mencapai jalan buntu.(Wijardji et all.,2001).

Menurut Wijadjo et all (2001), kebanyakan konflikatas sumberdaya alam

mempunyai sebab-sebab ganda. Biasanya kombinasi dari masalah-masalah dari

hubungan antar pihak yang bertikai yang mengarah pada konflik terbuka. Lebih

lanjut, mengatakan bahawa dari pengalaman empirik diberbagai daerah di

Indonesia, sumber konflik atas sumberdaya alam adalah konflik yang ersifat

struktural, dengan melibatkan unsur-undur lainya.

Unsur yang di maksud, dapat dianalisis dengan kerangka-kerangka

sebagai berikut :

1) Konflik struktural, terjadi ketika terjadi ketimpangan untuk melakukan akses

dan kontrol terhadap sumberdaya. Pihak yang berkuasa dan memiliki

wewenang formal untuk menetapkan kebijakan umum, biasanya lebih memiliki

peluang untuk menguasai akses dan melakukan kontrol sepihak terhadap

pihak lain. Di sisi lain persoalan grafis dan faktor sejarah/waktu seringkali

dijadikan alasan untuk memusatkan kekuasaan serta pengambilan keputusan

yang hanya meguntungkan pada satu pihak tertentu

2) Konflik kepentingan, disebabkan oleh persaingan kepentingan yang dirasakan

atau yang secara nyata memang tidak bersesuaian. Konflik kepentingan

Page 34: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

18

terjadi ketika satu pihak atau lebih menyakini bahwa untuk memuaskan

kebutuhanya, pihak lain yang harus berkorban.

3) Konflik nilai, disebabkan oleh sistem-sistem kepercayaan yang tidak

bersesuaian, entah itu hanya dirasakan atau memang ada. Nilai adalah

kepercayaan yang dipakai orang untuk memberi arti dalam hidupnya. Nilai

yang menjelaskan mana yang baik dan buruk, benar atau salah, adil atau

tidak. Perbedaan nilai tidak harus menyebabkan konflik. Manusia dapat hidup

berdampingan harmonis dengan sedikit perbedaan sistem nilai. Konflik nilai

baru muncul ketika orang berusaha untuk melaksanakan suatu sistem nilai

kepada orang lain, atau mengklaim suatu sistem nilai yang eksklusif dimana

didalamnya tidak dimungkinkan adanya percabangan kepercayaan.

4) Konflik hubungan antar manusia, terjadi karena adanya emosi-emosi negatif

yang kuat, salah persepsi atau stereotip, salah komunikasi,atau tingkah laku

negatif yang beruang (repetitive). Masalah-masalah ini sering menghasilkan

konflik-konflik yang tidak realistis atau tidak perlu, karena konflik ini bisa terjadi

bahkan ketika kondisi obyektif atau terjadinya konfli,seperti terbatasnya

sumberdaya atau tujuan-tujuan bersama yang ekslusif, tidak ada. Masalah

hubungan antar manusia seperti yang disebut diatas,sering kali memicu

pertikaian dan menjurus pada lingkaran spiral dari suatu konflik destruktif yang

tidak perlu.

Dalam rangka memahami cara mengelola konflik ( Fisher et all; 2001)

menyebutkan ringkasan teori-teori utama mengenai penyebab terjadi konflik,

masing-masing dengan metode dan sasaran yang berbeda. Teori-teori tersebut,

antara lain.

1) Teori hubungan masyarakat yang menganggap bahwa konflik disebabkan

oleh polarisasi yang terus terjadi, ketidak percayaan dan permusuhan di

Page 35: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

19

antara kelompok yang bebda dalam suatu masyarakat. Sasaran yang ingin

dicapai dalam teori ini adalah :

a. Meningkatkan komunikasi dan saling pengertian antara kelompok yang

mengalami konflik dan

b. Mengusahakan toleransi dan agar masyarakat bih bisa saling menerima

keragaman yang ada didalamnya.

2) Teori negosiasi, prinsip yang menganggap bahwa konflik disebaban oleh

posisi-posisi yang tidak selaras dan perbedaan pandangan tentang konflik

oleh pihak-pihak yang mengalami. Sasaran yang ingin dicapai teori ini

adalah :

a. Membantu pihak-pihak yang mengalami konflik untuk memisahkan

perasaan pribadi dengan berbagai masalah dan isu dan memampukan

mereka untuk melakukan negosiasi berdasarkan kepentingan-

kepentingan mereka dari pada posisi tertentu yang sudah tepat

b. Melancarkan proses pencapaian kesepakatan yang menguntungkan

kedua belah pihak atau semua pihak.

3) Teori kebutuhan manusia berasumsi bahwa konflik yang berakar dala di

sebabkan oleh kebutuhan dasar manusia fisik mental dan sosial yang tidak

terpenuhi atau dihalangi,keamanan, identitas, pengakuan,partisipasi,dan

otonomi yang sering merupakan inti pembicaraan. Sasaran yang ingin

dicapai adalah:

a. Membantu pihak-pihak yang mengalami konflik untuk mengidentifikasi

dan mengupayakan bersama kebutuhan mereka yang tidak terpenuhi

dan menghasilkan pilihan-pilihan untuk memenuhi kebutuhan itu dan;

b. Agar pihak-pihak yang mengalami konflik mencapai kesepakatan untuk

memenuhi kebutuhan dasar semua pihak.

Page 36: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

20

4) Teori identitas berasumsi bahwa konflik yang disebabkan karena identitas

yang terancam yang sering berakar pada hilangnya sesuatu pada

penderitaan di masa lalu yang tidak diselesaikan. Sasaran yang ingin dicapai

teori ini adalah :

a. Melalui fasilitas lokakarya dan dialog antara pihak-pihak yang

mengalami konflik mereka diharapakan dapat mengidentifikasi

ancaman-ancaman dan ketakutan yang mereka rasakan mereka

masing-masing dan untuk membangun empati dan rekonsiliasi diantara

mereka dan;

b. Meraih kesepakatan bersama yang mengakui kebutuhan identitas pokok

semua pihak

5) Teori kesalapahaman antar budaya berasumsi bahwa konflik disebabkan

oleh ketidakcocokan dalam cara-cara komunikasi diantara berbagai budaya

yang berbeda. Sasaran yang ingin dicapai adalah :

a. Menambah pengatahuan pihak-pihak yang mengalami konflik mengenai

budaya pihak lain;

b. Mengurangi stereotip negatif yang mereka miliki tentang pihak lain dan;

c. Meningkatkan keefektifan komunikasi antar budaya

6) Teori tranformasi konflik berasumsi bahwa di sebabkan oleh masalah-

masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai masalah-

masalah sosial,budaya,dan ekonomi. Sasaran yang ingin dicapai teori ini

adalah :

a. Mengubah berbagai struktur dan kerangka kerja yang menyebabkan

ketidaksetaraan dan ketidakadilan termasuk kesenjangan ekonomi

b. Mengembangkan jalinan hubungan dan sikap jangka panjang di antara

pihal-pihak yang mengalami konflik

Page 37: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

21

c. Mengembangkan berbagai proses dan sistem untuk mempromosikan

pemberdayaan, keadilan,perdamaian, pengampunan, rekonsilisasi dan

pengampunan

E. Analisis Konflik

Menurut Fisher et al. (2001) analisis konflik sebagai suatu proses praktis

untuk mengkaji dan memahami kenyataan konflik dari berbagai sudut pandang,

selanjutnya pemahaman ini membentuk dasar untuk mengembangkan strategi

dan merencanakan tindakan. Analisis konflik dapat dilakukan dengan sejumlah

alat bantu dan teknik yang sederhana, praktis dan sesuai yang dapat

dikombinasikan antara satu dengan yang lainnya untuk memahami konflik, yaitu:

1) Kronologi konflik (urutan kejadian) merupakan suatu alat bantu yang

digunakan untuk menunjukkan sejarah konflik berdasarkan waktu

kejadiannya (hari/ bulan/ tahun sesuai skalanya) yang ditampilkan secara

berurutan. Alat ini menjadi starting point dalam memahami konflik karena

mampu mengidentifikasi interpretasi berbagai pihak terhadap suatu kejadian.

Interpretasi ini dapat berasal dari satu pihak untuk digunakan bagi

kepentingan mereka sendiri maupun untuk dipergunakan bersama dengan

pihak lain.

2) Penahapan konflik merupakan alat bantu yang ditujukan untuk menganalisis

berbagai dinamika yang terjadi pada masing-masing tahap konflik. Analisis

tersebut meliputi lima tahap yaitu prakonflik, konfrontasi, krisis, akibat dan

pascakonflik

3) Pemetaan konflik yang merupakan visualisasi terhadap hubungan-hubungan

dinamis antara pihak-pihak yang terlibat konflik. Selain ditujukan untuk

mengidentifikasi masalah atau isu-isu yang dihadapi oleh masing-masing

pihak, alat bantu ini berguna untuk menganalisis tingkat dan jenis hubungan

di antara pihak-pihak tersebut.

Page 38: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

22

Konflik berubah setiap saat melalui berbagai tahap aktivitas, ketegangan

dan kekerasan yang berbeda. Tahap konflik adalah suatu keadaan dimana para

pihak menyadari atau mengetahui adanya perasaan tidak puas (Maskanah et

al.2000). Tahap-tahap ini penting untuk diketahui dan digunakan untuk

menganalisis dinamika dan kejadian yang berkaitan dengan masing-masing

tahap konflik. Penahapan konflik terdiri dari lima tahap (Fisher et al. 2001), yaitu:

1) Prakonflik, merupakan periode dimana terdapat suatu ketidaksesuaian

sasaran diantara dua pihak atau lebih, sehingga timbul konflik. Konflik

tersembunyi dari pandangan umum meskipun satu pihak atau lebih mungkin

mengetahui potensi terjadinya konfrontasi. Mungkin terdapat ketegangan

hubungan diantara beberapa pihak dan/atau keinginan untuk menghindari

kontak satu sama lain pada tahap ini.

2) Konfrontasi, konflik menjadi semakin terbuka. Jika hanya satu pihak yang

merasa ada masalah, mungkin para pendukungnya mulai melakukan aksi

demonstrasi atau perilaku konfrontatif lainnya. Kadang pertikaian atau

kekerasan pada tingkat rendah lainnya terjadi diantara kedua belah pihak.

Masing-masing pihak mungkin mengumpulkan sumberdaya dan kekuatan

dan mungkin mencari sekutu dengan harapan dapat meningkatkan

konfrontasi dan kekerasan. Hubungan diantara kedua pihak menjadi sangat

tegang yang mengarah pada polarisasi diantara para pendukung di masing-

masing pihak.

3) Krisis, merupakan puncak konflik ketika ketegangan dan/atau kekerasan

terjadi paling hebat. Komunikasi normal antara kedua belah pihak mungkin

terputus. Pernyataan-pernyataan umum cenderung menuduh dan

menentang pihak lainnya. Contoh dalam periode perang.

4) Akibat, tingkat ketegangan, konfrontasi dan kekerasan pada tahap ini

menurun dengan kemungkinan adanya penyelesaian.

Page 39: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

23

5) Pascakonflik, situasi diselesaikan dengan cara mengakhiri konfrontasi

Kekerasan dan/atau ketegangan berkurang dan hubungan mengarah lebih

normal diantara kedua pihak. Namun, jika isu-isu (seperti isu kritis

kekuasaan, budaya dan identitas) dan masalah-masalah yang timbul karena

sasaran mereka yang saling bertentangan tidak diatasi dengan baik, tahap

ini sering kembali lagi menjadi situasi prakonflik.

F. Akar Permasalahan Konflik

Konflik dalam pengelolaan sumberdaya alam dapat disebabkan oleh

keterbatasan sumberdaya alam dan kebutuhan yang selalu meningkat akan

keberadaan, fungsi dan manfaat sumberdaya alam (Mitchell et al. 2000). Selain

itu, diungkapkan juga bahwa sumberdaya alam yang terbatas sangat rentan

terhadap perubahan, sehingga inisiatif-inisiatif industrialisasi telah menimbulkan

ancaman bagi keberlanjutan sumberdaya alam itu sendiri. Perubahan keadaan

sosial, budaya, lingkungan, ekonomi, hukum dan politik dapat menciptakan

kepentingan-kepentingan baru terhadap sumberdaya perikanan. Perubahan

faktor- faktor tersebut apabila mengalami ketidaksesuaian, maka menyebabkan

adanya suatu potensi konflik.

Dorcey (1986) diacu dalam Mitchell et al. (2000), menyebutkan empat

penyebab dasar konflik, yakni:

1) Perbedaan pengetahuan atau pemahaman

Perbedaan akan pengetahuan dan pemahaman dapat mengarah pada

timbulnya konflik. Berbagai kelompok mungkin menggunakan model,

perkiraan dan informasi yang berbeda. Konflik terjadi ketika kelompok

kekurangan informasi yang dibutuhkan untuk mengambil keputusan yang

bijaksana dan informasi yang didapatkan salah. Perbedaan fakta dan

interpretasi dua kelompok terhadap suatu keadaan akan dapat menimbulkan

Page 40: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

24

konflik tentang apakah telah muncul persoalan, dan/ atau penyelesaian

persoalan manakah yang paling tepat. Konflik tidak harus selalu terjadi

karena hal ini hanya disebabkan oleh kurangnya komunikasi antara orang-

orang yang berkonflik.

2) Perbedaan nilai

Konflik sering kali muncul karena perbedaan nilai. Nilai adalah

kepercayaan yang dipakai orang untuk memberi arti dalam hidupnya. Nilai

menjelaskan mana yang baik dan buruk, benar atau salah, adil atau tidak.

Sebagai contoh, pada awalnya mungkin ada kesepakatan tentang bentuk

suatu persoalan serta cara penyelesaiannya, namun tetap terjadi perbedaan

yang pokok pada titik akhir yang dituju.

3) Perbedaan alokasi keuntungan dan kerugian

Kesamaan penerimaan fakta, informasi dan nilai-nilai pada suatu

kelompok terkadang masih menyisakan perbedaan kepentingan dalam

kelompok tersebut, dimana perbedaan yang dimaksud dapat memicu

munculnya konflik. Dengan demikian konflik muncul sebagai akibat dari

perbedaan tentang siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan, bukan

karena perbedaan pengetahuan dan perbedaan nilai. Konflik dapat terjadi

ketika satu pihak atau lebih meyakini bahwa untuk memuaskan

kebutuhannya, pihak lain yang harus berkorban.

4) Perbedaan latar belakang personal dan sejarah kelompok-kelompok yang

berkepentingan.

Dalam hal ini terjadi karena adanya emosi negatif yang kuat, salah

persepsi, salah komunikasi serta adanya tingkah laku negatif yang berulang

(repetitif). Masalah ini sering menghasilkan konflik yang tidak realistis,

dimana konflik bahkan dapat terjadi dalam kondisi obyektif, seperti

terbatasnya sumberdaya atau tidak tercapainya tujuan-tujuan bersama.

Page 41: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

25

G. Konflik Nelayan

Dalam masyarakat pesisir, konflik terjadi khususnya pada komunitas yang

berprofesi sebagai nelayan. Hardin (1968) diacu dalam Adhuri et al. (2005)

dalam artikelnya yang berjudul ”The Tragedy of The Commons“ menjelaskan

bahwa sumberdaya yang tergolong kepada public property resource (termasuk

sumberdaya laut) melahirkan gejala open acces yang mendorong setiap orang

untuk selalu meningkatkan level eksploitasi dalam memanfaatkan sumberdaya.

Sementara itu, jika terjadi kerusakan akibat overeksploitasi kerugiannya akan

ditanggung bersama. Dengan demikian, konflik antara orang-orang yang terlibat

dalam pengeksploitasian akan lahir dan semakin lama semakin meningkat

intensitasnya karena orangnya bertambah semakin banyak sementara

sumberdayanya semakin berkurang.

Teori Hardin didukung pula oleh teori Homer-Dixon (1994) diacu dalam

Adhuri et al. (2005) yang mengatakan bahwa keterbatasan sumberdaya alamlah

yang telah memicu konflik-konflik kekerasan di berbagai negara. Dalam konteks

ini, studinya menunjukkan bahwa semakin lama langka keadaan sumberdaya,

maka akan semakin besar persaingn (kontestasi) terhadap limited resource

tersebut. Hal ini, pada akhirnya akan mendorong lahirnya konflik dengan

kekerasan.Teori lain yang bisa menjelaskan tentang permasalahan konflik adalah

teori yang menjelaskan hubungan antara identitas sosial suatu kelompok dengan

teritori yang ditempatinya (Peluso dan Harwell 2001; Adhuri 2003 diacu dalam

Adhuri et al. 2005). Pada intinya teori ini menjelaskan bahwa ada keterkaitan

antara identitas sebuah kelompok sosial dengan tempat dimana mereka hidup.

Keterkaitan ini bisa diwujudkan dalam bentuk konsep kepemilikan.

Lebih lanjut Adhuri et al. (2005) menjelaskan jika terdapat wujud yang

sedikit lebih lemah dari konsep kepemilikan, yaitu masyarakat lokal yang

Page 42: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

26

mengembangkan konsep ”keyakinan“ bahwa sebagai orang lokal mereka

mempunyai hak prioritas untuk mengeksploitasi sumberdaya yang berada di

sekitar tempat mereka hidup atau paling tidak, kesadaran keterikatan yang

mendorong lahirnya anggapan bahwa orang lain tidak boleh mengadakan

kegiatan eksploitasi dengan level yang lebih tinggi dari masyarakat lokal. Pada

masyarakat yang demikian ini, maka jika terdapat orang-orang luar yang terlibat

dalam kegiatan eksploitasi di wilayah tersebut dan tidak dikehendaki oleh

masyarakat lokal, maka konflik yang bernuansa kekerasan kemungkinan terpicu.

Dalam logika ini, konflik kenelayanan dapat berakar pada ”konflik pranata“ atau

nilai atau juga mungkin hukum yang melingkupi pengaturan penangkapan ikan

(Adhuri et al. 2005).

Teori lain yang turut relevan untuk menjelaskan konflik kenelayanan

adalah teori yang mengatakan bahwa konflik dilahirkan karena terjadinya

inequalitas di dalam masyarakat. Stewart (2001; 2002) diacu dalam Adhuri et al.

(2005) menjelaskan bahwa jika terdapat ketimpangan di masyarakat yang sudah

melebihi ambang batas toleransi, maka konflik akan segera terpicu, terutama

antara mereka yang berada pada posisi yang rendah dengan mereka yang

berada di level atas.

Rudianto (2004) membedakan sebab-sebab konflik antar nelayan di

pesisir dalam usaha pemanfaatan sumberdaya, antara lain karena:

1) Batasan penentuan hak kepemilikan wilayah perairan untuk penangkapan

tidak jelas, seperti hak pengelolaan perairan.

2) Terjadi ″transfer of ownership“ karena kebijakan desentralisasi dimana

pemerintah daerah yang berkewenangan untuk mengatur pengelolaan dan

pembagian wilayah perairan rakyat.

3) Perbedaan penggunaan alat produksi seperti jenis alat tangkap dan perahu

motor.

Page 43: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

27

4) Pemerintah daerah yang tidak konsisten dalam menerapkan rencana

pembagian wilayah.

5) Lemahnya penegakan hukum (law enforcement).

H. Tipe dan Karateristik Konflik

Konflik yang muncul terkait dengan pemanfaatan sumberdaya perikanan

Charles (2001), membedakan menjadi 4 (empat) tipologi berdasarkan ruang

lingkup atau aspek-aspeknya, yaitu sebagai berikut:

1) Fishery jurisdiction, yaitu konflik yang terjadi pada tingkat kebijakan dan

perencanaan, seperti konflik antar instansi pemerintah baik di pusat maupun

di daerah.

2) Management mechanism, yaitu konflik yang terjadi pada tingkat pengelolaan

dari perencanaan hingga penegakan hukum.

3) Internal allocation, yaitu konflik yang muncul sesama pengguna sumberdaya,

misalnya antara nelayan dengan pengusaha processing.

4) External allocation, yaitu konflik yang terjadi antara nelayan dengan pelaku

lain, seperti pembudidaya ikan, nelayan asing, atau pertambangan dan lain

sebagainya.

Sedangkan konflik kenelayanan yang muncul terkait pemanfaatan

sumberdaya perikanan, Satria (2006) mengidentifikasikannya berdasarkan

penyebabnya menjadi 7 (tujuh) tipologi konflik antara lain sebagai berikut:

1) Konflik kelas, adalah konflik yang terjadi antar kelas sosial nelayan dalam

memperebutkan wilayah penangkapan (fishing ground). Konflik kelas terjadi

sebagai akibat adanya kesenjangan teknologi penangkapan ikan. Konflik

bisa terjadi antara nelayan tradisional dengan nelayan modern.

2) Konflik kepemilikan sumberdaya, adalah konflik yang terjadi sebagai akibat

dari isu kepemilikan sumberdaya, dimana kepemilikan laut serta ikan tidak

Page 44: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

28

dapat terdefinisi secara jelas milik siapa. Konflik bisa terjadi antara nelayan

tradisional dengan sesama nelayan baik nelayan tradisional ataupun nelayan

modern, nelayan dengan pembudidaya ikan, nelayan dengan pelaku

pariwisata bahari, nelayan dengan industri pertambangan maupun nelayan

dengan pemerintah. Misalnya kasus konflik yang terjadi pada Industri

Mutiara dengan nelayan di Lombok.

3) Konflik pengelolaan sumberdaya, adalah konflik yang terjadi akibat

”pelanggaran aturan pengelolaan“ serta adanya isu-isu tentang siapa yang

berhak mengelola sumberdaya perikanan atau sumberdaya laut. Konflik bisa

terjadi antara nelayan tradisional dengan sesama nelayan ataupun nelayan

tradisional dengan pemerintah.

4) Konflik cara produksi/alat tangkap, adalah konflik yang terjadi akibat

perbedaan penggunaan alat tangkap. Konflik bisa terjadi antara sesama

nelayan tradisional maupun nelayan tradisional dengan nelayan modern

yang merugikan salah satu pihak yang berkonflik.

5) Konflik lingkungan, adalah konflik yang terjadi akibat kerusakan lingkungan

karena praktek satu pihak yang merugikan nelayan lain. Konflik bisa terjadi

antara nelayan tradisional dengan nelayan pengebom (nelayan yang

menggunakan bom dalam kegiatan penangkapan ikan), dan terjadi antara

nelayan tradisional dengan nelayan penambang.

6) Konflik usaha, adalah konflik yang terjadi di darat sebagai akibat mekanisme

harga maupun sistem bagi hasil yang merugikan sekelompok nelayan.

Konflik bisa terjadi antara nelayan tradisional dengan sesama nelayan,

pengolah ikan, pedagang ikan, maupun dengan pemilik kapal.

7) Konflik primordial, adalah konflik yang terjadi akibat perbedaan ikatan

primordial/identitas (ras, etnik, dan asal daerah). Konflik biasanya terjadi

antara nelayan tradisional dengan nelayan pendatang.

Page 45: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

29

I. Resolusi Konflik

Walaupun konflik merupakan suatu proses disosiatif yang tajam yang

menekankan pada oposisi, akan tetapi konflik sebagai bentuk proses sosial

mempunyai fungsi yang positif bagi masyarakat. Hal itu tergantung pada

permasalahan dan juga dari struktur sosial yang menyangkut tujuan, nilai

ataupun kepentingan terhadap konflik, dimana konflik diharapkan menghasilkan

adanya penyesuaian kembali terhadap norma-norma dan hubungan sosial dalam

kelompok yang bertikai sesuai dengan kebutuhan setiap kelompok. Sikap toleran

diperlukan dalam usaha penanganan konflik sebagai jalan untuk mengetahui

sumber-sumber masalah pembawa konflik yang memberikan jalan menuju

tercapainya stabilitas dan integritas di masyarakat (Soekanto 2002).

Permasalahan konflik diidentifikasi secara bertahap dimulai dengan

penelusuran pihak-pihak yang terlibat, faktor penyebabnya serta hubungan

diantara pihak-pihak. Hal ini penting dalam menggambarkan konflik berdasarkan

sejarah terjadinya sehingga berguna untuk merumuskan jalur penyelesaian

terhadap konflik. Penyelesaian konflik bertujuan untuk memfasilitasi proses

pembuatan keputusan oleh kelompok-kelompok yang bersengketa, sehingga

sedapat mungkin menghindari penyelesaian masalah melalui jalur hukum

(Mitchell et al. 2000).

J. Manajemen Konflik

Maguire dan Boiney (1994) diacu dalam Mitchell et al. (2000),

mengajukan beberapa karakteristik teknik penyelesaian konflik yaitu:

1) Lebih menekankan pada kesamaan kepentingan kelompok yang saling

bersengketa dari pada posisi tawar menawar.

2) Berpikir kreatif untuk mencari upaya penyelesaian.

Page 46: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

30

3) Menuntut kesepakatan banyak pihak untuk suatu keputusan dan

memerlukan seorang mediator yang tidak memihak dalam penyelesaian

sengketa.

Ketika sengketa muncul akibat perbedaan kepentingan tentang alokasi

sumberdaya dan lingkungan, maka empat pendekatan dapat dipakai sebagai

teknik penyelesaian sengketa sebagaimana dalam Mitchell et al. (2000), yaitu:

politis, administratif, hukum dan alternatif penyelesaian konflik (APK). APK terdiri

dari konsultasi publik, negosiasi, mediasi, dan arbitrasi. APK ini muncul sebagai

jawaban atas berbagai ketidakpuasan terhadap pendekatan hukum, juga sebagai

jawaban atas tumbuhnya kesadaran akan pentingnya partisipasi masyarakat

terhadap penyelesaian konflik.

Berlawanan dengan kenyataan plural dalam manajemen konflik4,

upaya penyelesaian konflik seringkali dibatasi pada kerangka berfikir yang

terarah pada 2 (dua) model penyelesaian konflik yaitu secara litigasi (melalui

mekanisme peradilan) dan non litigasi (di luar pengadilan) yang kemudian

dikenal sebagai penyelesaian konflik alternatif (PKA) (Maskanah et al. 2000).

Dalam pengertian yang lebih mendasar, penyelesaian konflik alternatif (PKA)

merupakan sebuah konsep yang mencakup berbagai pendekatan pengelolaan

konflik selain menggunakan proses peradilan, melalui cara-cara yang sah

menurut hukum, baik berdasar konsensus (kooperatif) ataupun tidak berdasar

konsensus (non kooperatif) (Hadimulyo 1997 diacu dalam Maskanah et al. 2000).

Dalam kasus konflik pemanfaatan sumberdaya perikanan-kelautan,

manajemen konflik ditempuh secara litigasi dengan cara membawa suatu

perselisihan ke pengadilan agar menyelesaiakannya dengan aturan formal

sehingga menghasilkan keputusan yang mempunyai kekuatan hukum, namun

jika perselisihan mengalami suatu peningkatan maka ditempuh suatu teknis

alternatif dalam manajemen konflik yang disebut ADR (alternative dispute

Page 47: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

31

resolution) untuk mencapai penyelesaian konflik yang berkelanjutan (Satria et al.

2002). Teknik-teknik ADR ini wujudnya antara lain: fasilitasi, konsultasi,

koordinasi, konsiliasi, mediasi, negosiasi, maupun kombinasi berbagai teknik-

teknik ADR5.

Menurut Soekanto (2002) penyelesaian konflik dapat dilakukan

melalui pendekatan akomodasi. Istilah akomodasi dipergunakan dalam dua arti,

yaitu yang menunjuk pada suatu keadaan dan yang menunjuk pada suatu

proses. Akomodasi yang menunjuk pada suatu keadaan, merupakan kenyataan

adanya suatu keseimbangan (equilibrium) dalam interaksi antara orang-

perorangan atau kelompok-kelompok manusia dalam kaitannya dengan norma

sosial dan nilai-nilai sosial yang berlaku di masyarakat. Sedangkan akomodasi

yang menunjuk pada suatu proses, merupakan akomodasi yang menunjuk

kepada usaha-usaha manusia untuk meredakan suatu pertentangan yaitu usaha

untuk mencapai kestabilan. Tujuan akomodasi yaitu:

1) Untuk mengurangi pertentangan antara orang-perorangan atau kelompok-

kelompok manusia sebagai akibat perbedaan paham. Akomodasi di sini

bertujuan untuk menghasilkan suatu sintesa antara kedua pendapat

tersebut, agar menghasilkan suatu pola yang baru.

2) Mencegah meledaknya suatu pertentangan untuk sementara waktu atau

secara temporer.

3) Memungkinkan terjadinya kerjasama antara kelompok-kelompok sosial yang

hidupnya terpisah sebagai akibat faktor-faktor sosial psikologis dan

kebudayaan, seperti yang dijumpai pada masyarakat yang mengenal sistem

berkasta.

4) Mengusahakan peleburan antara kelompok-kelompok sosial yang terpisah,

misalnya melalui perkawinan campuran atau asimilasi dalam arti luas.

Page 48: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

32

Bentuk-bentuk akomodasi sebagai suatu proses menurut Young dan

Mack (1959) diacu dalam Soekanto (2002), adalah sebagai berikut :

1) Coercion adalah suatu bentuk akomodasi yang prosesnya dilaksanakan oleh

karena adanya paksaan. Coercion merupakan bentuk akomodasi dimana

salah satu pihak berada dalam keadaan yang lemah bila dibandingkan

dengan pihak lawan. Pelaksanaannya dapat dilakukan secara fisik (secara

langsung), maupun secara psikologis (secara tidak langsung).

2) Compromise adalah bentuk akomodasi dimana pihak-pihak yang terlibat

saling mengurangi tuntutannya, agar tercapai suatu penyelesaian terhadap

perselisihan yang ada. Sikap dasar untuk dapat melaksanakan compromise

adalah bahwa salah satu pihak bersedia untuk merasakan dan mengerti

keadaan pihak lainnya dan begitu pula sebaliknya.

3) Arbitration merupakan suatu cara untuk mencapai compromise apabila

pihak- pihak yang berhadapan, masing-masing tidak sanggup mencapainya

sendiri. Pertentangan diselesaikan oleh pihak ketiga yang dipilih oleh kedua

pihak

atau badan yang kedudukannya lebih tinggi dari pihak-pihak yang

bertentangan tersebut.

4) Mediation adalah hampir menyerupai arbitration, namun pihak ketiga yang

dilibatkan dalam mediation adalah netral dalam perselisihan. Pihak ketiga

tersebut tugasnya terutama untuk mengusahakan suatu penyelesaian

secara damai. Kedudukan pihak ketiga tersebut hanyalah sebagai

penasehat sehingga tidak memiliki wewenang untuk memberikan keputusan-

keputusan dalam penyelesaian perselisihan tersebut.

5) Conciliation adalah suatu usaha untuk mempertemukan pihak-pihak yang

berselisih, bagi tercapainya suatu persetujuan bersama. Conciliation sifatnya

Page 49: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

33

lebih lunak dari pada coercion serta membuka kesempatan bagi pihak-pihak

yang bersangkutan untuk mengadakan asimilasi.

6) Toleration, disebut dengan tolerant-participation. Ini merupakan suatu bentuk

akomodasi tanpa persetujuan yang formil bentuknya. Kadang-kadang

toleration timbul tanpa disadari dan tanpa direncanakan, yang disebabkan

karena adanya watak orang-perorangan atau kelompok-kelompok manusia

yang sedapat mungkin untuk menghindarkan diri dari suatu perselisihan.

7) Stalemate, merupakan suatu akomodasi dimana pihak-pihak yang

bertentangan karena mempunyai kekuatan yang seimbang, berhenti pada

suatu titik dalam melakukan pertentangannya. Hal ini disebabkan oleh

karena bagi kedua belah pihak sudah tidak ada kemungkinan lagi untuk

maju maupun untuk mundur.

8) Adjudication, yaitu penyelesaian perkara atau sengketa di pengadilan.

K. Resolving ( Alternativ Resolusi Konflik )

Berdasarkan teori Hardin (1968) diacu dalam Adhuri et al. (2005) bahwa

akar dari konflik-konflik kenelayanan adalah kenyataan bahwa laut merupakan

sumberdaya milik umum (public property resource), maka solusi untuk

menghindari konflik tersebut adalah berupa penciptaan pranata kepemilikan,

private property (Gordon 1954) dan sole ownership (Scott 1955) atau usulan dari

Hardin sendiri berupa keputusan yang disetujui bersama yang bisa memaksa

setiap orang untuk tunduk padanya (Adhuri et al. 2005).

Sedangkan pada konflik kenelayanan yang berakar pada ”konflik pranata“

atau nilai atau hukum yang melingkupi pengaturan penangkapan ikan maka

solusi adalah melalui perubahan struktur legal (hukum) kearah yang

memungkinkan terakomodasinya dua kepentingan yakni kepentingan

masyarakat lokal dengan orang ”luar“ yang dalam konteks hukum sebelumnya

Page 50: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

34

berada pada kerangkahukum yang berlainan, atau bahkan berseberangan

(Adhuri et al. 2005).

Terhadap maraknya konflik nelayan pasca otonomi daerah, Satria (2003)

mengagendakan beberapa langkah antisipasi terhadap konflik sosial diantaranya

adalah sebagai berikut:

1) Pengukuhan terhadap model pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat

( community based fisheries management-CBFM). CBFM muncul sebagai

konsekuensi keberadaan rejim common property. Banyak komunitas nelayan

yang sebenarnya telah memiliki model CBFM yang otentik, namun karena

faktor eksternal (seperti adanya kekuatan modal dari luar), model CBFM

tersebut memudar di masyarakat nelayan. Lemahnya institusi CBFM ini

karena di Undang-Undang Perikanan eksistensi CBFM tidak diakui.

2) Penguatan organisasi nelayan. Kehadiran organisasi nelayan yang solid

dengan jaringan sosial yang kokoh akan memudahkan dalam membangun

komunikasi dan koordinasi sesama nelayan lintas daerah yang nantinya

memudahkan dalam mengantisipasi terjadinya konflik serta merumuskan

mekanisme resolusi konflik.

3) Kerjasama lintas daerah baik pada level masyarakat maupun pemerintah

mengenai pengelolaan sumberdaya perikanan baik dalam perencanaan,

implementasi, maupun pengawasan. Kerjasama lintas daerah sangat

diperlukan di era otonomi daerah untuk mengantisipasi terjadinya konflik baik

pada tingkat masyarakat dan pemerintah.

4) Pemberdayaan nelayan yang diarahkan pada peningkatan kapasitas usaha

dan ketahanan ekonomi rumah tangga nelayan. Pemberdayaan

nelayan merupakan langkah pokok dalam mengantisipasi konflik, baik konflik

kelas maupun konflik orientasi.

Page 51: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

35

5) Mensosialisasikan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang

Pemerintahan Daerah secara tepat untuk mengantisipasi terjadinya

kesalahpahaman interpretasi substansi otonomi daerah.

L. Hukum Pemerintah Terkait Konflik Kenelayaan

Hukum-hukum pemerintah terdiri dari Undang-Undang dan peraturan-

peraturan lainnya yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah

daerah. Dalam permasalahan konflik perikanan seperti konflik yang melibatkan

nelayan, salah satu tindakan pihak atau kelompok dalam sengketa atau konflik

cenderung melanggar hukum yang melingkupi pengaturan penangkapan ikan.

Hukum pemerintah yang dimaksudkan adalah sebagai berikut:

1) Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan

Pelanggaran hukum dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 Tentang

Perikanan terkait dengan konflik kenelayanan dan pemanfaatan sumberdaya

perikanan adalah berupa pelanggaran terhadap pengelolaan sumberdaya yang

tercantum dalam pasal 5, pasal 6, pasal 8 dan pasal 9. Secara hukum,

penanganan konflik nelayan dalam Undang-Undang perikanan meliputi hal-hal

berikut:

a. Pengawasan dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan, tercantum

dalam pasal 66, pasal 67, pasal 68, dan pasal 69 (ayat 1-4).

b. Pengadilan perikanan, tercantum dalam pasal 71 (ayat 1).

c. Penyidikan tindak pidana, tercantum dalam pasal 72, dan pasal 73

(ayat 1-3).

d. Penegakan hukum di laut, tercantum dalam pasal 84 (ayat 1-3), dan pasal

85.

2) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

Dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan

Daerah, dalam pasal 18, ditentukan bahwa wilayah laut sejauh 12 mil

Page 52: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

36

merupakan wilayah kewenangan provinsi (diukur dari garis pantai ke arah laut

lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan), dan 1/3 atau 4 mil dari wilayah

provinsi merupakan kewenangan kabupaten/kota (ayat 4). Ketentuan ini tidak

berlaku pada penangkapan ikan oleh nelayan kecil.

Kewenangan daerah di dalam wilayah laut yang dimaksdukan yaitu ;

a. Eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut sebatas

wilayah laut tersebut;

b. Pengaturan kepentingan administrasi;

c. Pengaturan tata ruang;

d. Penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan pemerintah

daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah pusat; dan

e. Bantuan penegakan keamanan dan kedaulatan negara (untuk wilayah

kabupaten/kota).

3) Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 392/ Kpts/ IK. 120/4/1999

Tentang Jalur Penangkapan Ikan.

Nelayan dalam usahanya untuk menangkap ikan di laut, harus mengetahui

peraturan tentang adanya jalur-jalur penangkapan ikan sebagaimana yang

tertuang dalam SK Menteri Pertanian No. 392/Kpts/ IK. 120/ 4/ 1999 yaitu:

a. Jalur I (Perairan pantai diukur dari permukaan air laut pada surut terendah

pada setiap pulau s/d 6 mil ke arah laut)

Dari 0 s/d 3 Mil laut, diperbolehkan untuk alat penangkapan ikan yang

menetap, alat penangkapan ikan tidak menetap yang tidak dimodifikasi,

dan kapal perikanan tanpa motor yang panjangnya ≤10 meter.

Disamping itu wajib diberi tanda pengenal, yaitu: tanda pengenal jalur

dengan cat warna putih ≥ ¼ lambung kiri dan kanan kapal, serta tanda

pengenal alat tangkap.

Page 53: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

37

Dari 3 s/d 6 Mil laut, diperbolehkan untuk alat penangkapan ikanyang

tidak menetap. Kapal yang diperbolehkan yaitu panjangnya ≤10 meter

tanpa dan/atau dengan motor tempel, motor tempel dan motor dalam ≤

5 GT dengan panjang ≤ 12 meter, kapal pukat cincin (Purse Seine) ≤

150 meter. Jaring berupa Drift Gill Net (jaring insang hanyut) ≤ 1.000

meter dan wajib diberi tanda pengenal jalur dengan cat merah ≥ ¼

lambung kiri dan kanan kapal, serta tanda pengenal alat tangkap

(ditetapkan oleh Dirjenkan).

b. Jalur II (6 s/d 12 Mil laut), diperbolehkan untuk kapal perikanan motor

dalam ≤ 60 GT, Pukat Cincin ≤ 600 meter dengan kapal tunggal (bukan

grup) atau ≤ 1.000 dengan 2 kapal/ ganda (bukan grup), Tuna Long Line≤

1.200 mata pancing, Jaring Insang Hanyut ≤ 2.500 meter. Wajib diberi

tanda pengenal, yaitu: tanda pengenal jalur dengan warna oranye ≥ ¼

lambung kiri dan kanan kapal, dan tanda pengenal alat tangkap

(ditetapkan oleh DirjenKan).

c. Jalur III (12 s/d 200 Mil laut atau batas terluar ZEE), diperbolehkan untuk

kapal perikanan berbendera Indonesia ≤ 200 GT, kecuali yang

menggunakan Pukat Cincin besar di Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut

Seram, Laut Flores, dan Laut Sawu dilarang untuk semua ukuran,kapal

perikanan berbendera Indonesia ≤ 200 GT di ZEE Selat Malaka, kecuali

yang menggunakan Pukat Ikan (Fish Net) ≥ 60 GT. Untuk perairan ZEE di

luar ZEE Selat Malaka:

1. Kapal perikanan berbendera Indonesia dan asing ≤ 350 GT.

2. Kapal perikanan > 350-800 GT yang menggunakan Pukat Cincin hanya

boleh beroperasi diluar > 100 Mil laut dari garis pangkal kepulauan

Indonesia

Page 54: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

38

3. Kapal perikanan yang menggunakan Pukat Cincin dengan sistem grup

hanya boleh beroperasi > 100 Mil laut dari garis pangkal kepulauan

Indonesia.

4. Kapal perikanan berbendera asing berdasarkan Peraturan

padaPerundang-Undangan yang berlaku.

4) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor

71/ Permen-KP/2016 Tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan

Alat Penangkapan Ikan Di wilayah Pengelolaa Perikanan Negara

Republik Indonesia.

Bahwa sebagai tindak lanjut dan pelaksanaan ketentuanPasal 7 ayat

(1) huruf f, huruf g, dan huruf h, serta Pasal 9Undang-Undang Nomor 31 Tahun

2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang

Nomor45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31

Tahun 2004 tentang Perikanan, perlu mengatur jalur penangkapan ikan dan

penempatan alat penangkapan ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara

Republik Indonesia

a. Pasal 4 tentang Jalur Penangkapan

Jalur penangkapan 1 sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 huruf a

yatitu :

Jalur penangkapan ikan IA , meliputi perairan pantai sampai

dengan 2 ( mil) laut yang diukur dari permukaan air laut pada

surut terendah ;dan

Jalur penangkapan IB meliputi perairan pantai di luar 2 (dua)

mil aut sampai dengan 4 (empat ) mil laut.

Jalur penangkapan II sebagai mana yang di maksud pasal 3 huruf b;

meliputi perairan jalur penangkapan ikan I sampai dengan 12 (dua

belas) mil laut di ukur dari permukaan air laut surut terendah.

Page 55: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

39

Jalur Penangkapan Ikan III sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 huruf

c, meliput ZEE dan Perairan di luar jalur Penangkapan Ikan II

M. Kerangka Pikir

Pemanfaatan sumberdaya perikanan seringkali menciptakan konflik

diantara penggunanya dalam hal pengelolaan yang terkait dengan hak

kepemilikannya. Di sisi pemerintah, sumberdaya perikanan merupakan milik

Pemerintah (state property) yang dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah

sehingga dalam pemanfaatannya pemerintah yang berhak mengaturnya melalui

regulasi dan pemberian akses pada pelaku usaha perikanan yang telah memiliki

surat perijinan. masyarakat pesisir sebagai pelaku perikanan terbanyak adalah

nelayan dimana pada beberapa komunitas ada yang menerapkan prinsip

pengelolaan sumberdaya perikanan sebagai milik bersama (common property).

Sampai saat ini di beberapa daerah pengelolaan sumberdaya masih

mengabaikan nilai-nilai lokal masyarakat, tidak terkecuali terhadap sumberdaya

perikanan. Sumberdaya perikanan sebagai public property dalam

pemanfaatannya tidak terlepas dari pola open access.

Pada sistem open access setiap pengguna merasa berhak untuk

melakukan eksploitasi sumberdaya secara besar- besaran (over-exploitation).

Akibatnya sumberdaya mengalami tekanan dan menjadi overfishing dan akhirnya

terjadi deplesi sumberdaya, sedangkan setiap pengguna tidak jarang melakukan

persaingan yang tidak sehat untuk mendapatkan sumberdaya yang semakin

terbatas. Kondisi ini mendorong terjadinya konflik diantara pengguna

sumberdaya perikanan, seperti konflik-konflik kenelayanan.

Konflik di level nelayan terjadi kemungkinan dipengaruhi oleh hal-hal

seperti perbedaan antar individu, kelompok dan lain-lain. Menurut konflik yang

terjadi kemungkinan dipengaruhi oleh hal-hal seperti perbedaan antar pendirian

Page 56: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

40

dan perasaan yang dipengaruhi oleh faktor kebudayaan, etnis dan asal daerah.

Sedangkan dalam hubungan sesama pengguna sumberdaya oleh hal-hal seperti:

(1) keadaan/perilaku yang bertentangan seperti pertentangan pendapat,

pertentangan kepentingan, dan pertentangan antarindividu ,ketidakseimbangan

hubungan-hubungan sosial seperti kesenjangan status sosial, kurang meratanya

kemakmuran, dan akses yang tidak seimbang perselisihan akibat kebutuhan,

dorongan, keinginan, atau tuntutan yang bertentangan; dan persaingan

antarindividu.

Konflik yang terjadi tidak selamanya akan menimbulkan efek negative

apabila ada upaya untuk mengelolanya. Penyelesaian konflik melibatkan pihak-

pihak yang berkonflik (individu/kelompok/komunitas). Pengelolaan konflik

ditujukan bukan hanya untuk menyelesaikan perselisihan, tetapi juga untuk

mendapatkan resolusi. Bagaimanapun juga, penyelesaian konflik dan resolusinya

dilakukan secara seimbang agar pihak yang berselisih berdamai dan meredam

tindakan- tindakan anarkis yang berujung pada peristiwa bentrokan. Selain itu,

adanya resolusi berpeluang untuk mendapatkan acuan dalam menetapkan

kebijakan dan peraturan-peraturan terhadap usaha pemanfaatan sumberdaya,

dan bagi nelayan dapat menjamin hak-haknya di dalam memanfaatkan dan

mengelola sumberdaya secara berkelanjutan.

Page 57: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

41

Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian.

UNDANG-UNDANG OTONOMI DAERAH

PENGATURAN TATA KELOLAH WILAYAH PESISIR

PEREBUTAN SUMBERDAYA PERIKANAN

KONFLIK 1. Konflik kelas 2. Konflik Orientasi 3. Konflik Agraria 4. Konflik Primordial

Penyelasaian

Konflik

OPEN ACCES

Resolusi Konflik

SUMBERDAYA PERIKANAN

Page 58: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

42

III. METEDOLOGI PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat

Adapun waktu dilakukanya penelitian ini adalah pada bulan Agustus–

Oktober 2017 dan berlokasi Pulau Pasitanete Kecamatan Bontomatene

Kabupaten Kepulauan Selayar. Di mana daerah tersebut berbatasan langsung

dengan pulau Daratan Bulukumba dengan dipisahkan oleh selat Selayar/Bira

B. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Adapun jenis penelitian yang peneliti gunakan adalah kualitatif

(qualitaif research). Menurut Sugiyono (2008:292) pada umumnya alasan

menggunakan jenis kualitatif yaitu permasalahan belum jelas, holistik, kompleks,

dinamis dan penuh makna sehingga tidak mungkin data pada situasi sosial

tersebut dijaring dengan metode penelitian kuantitatif. Selain itu peneliti

bermaksud memahami situasi sosial secara mendalam. Pendekatan kualitatif

mencirikan makna kualitas yang menunjuk pada segi alamiah dan tidak

menggambarkan perhitungan (Maleong,2000;2003)

Strategi jenis penelitian ini adalah studi kasus. Penelitian studi kasus

adalah penelitian yang berfokus pada kasus yang diteliti. Strategi ini merupakan

metode yang dianggap tepat untuk sebuah studi yang mempelajari mendalam

tentang dinamika atau keadaan hidup.

C. Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data deskriptif dan

data kualitatif. Data deskriptif berupa kata-kata lisan atau tulisan dari manusia

atau tentang perilaku manusia yang dapat diamati (Taylor dan Bogdan 1984

diacu dalam Sitorus 1998). Dengan demikian, data berupa penjelasan atau

keterangan secara tertulis tentang tindakan nelayan dalam memanfaatkan

sumberdaya perikanan. Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer yang

Page 59: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

43

bersifat bkualitatif dan data sekunder yang bersifat deskriptif. Penggunaan data

primer diutamakan untuk mendapatkan gambaran situasi dan kondisi nelayan

(pra – pasca konflik). Data primer dikumpulkan melalui pengamatan berperan

serta-terbatas dan wawancara mendalam dengan kelompok masyarakat nelayan,

tokoh masyarakat, perangkat desa (Kepala Desa/Lurah). Sementara data

sekunder merupakan data yang dikumpulkan dari bahan pustaka atau hasil

penelitian orang lain dan hasil dokumentasi pihak lain sebagai data pendukung

dalam penelitian ini.

D. Metode Pengumpulan Data

Dalam studi kasus, sejumlah data dikumpulkan dan dipadukan dalam

proses analisis, serta disajikan sedemikian rupa untuk mendukung tema utama

yang menjadikan fokus penelitian, sehingga merupakan suatu konstruksi

tersendiri suatu produk interaksi antara responden atau informan, lapangan

penelitian dan peneliti.

Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan meliputi:

1) Wawancara Mendalam

Wawancara mendalam (in-depth interview) dilakukan melalui sejumlah

pertemuan dan informan yang didalamnya berlangsung tanya jawab dan

pembicaraan terlibat mengenai berbagai aspek permasalahan yang akan dicari

dalam penelitian. Dalam wawancara Informasi yang menunjang penelitian ini

diperoleh dari para informan dari berbagai elemen, yaitu masyarakat nelayan,

Kepala Desa Menara Indah, tokoh masyarakat, Dinas Kelautan dan Perikanan

Kepulauan Selayar, petugas Satpol-Airud dan TNI-AL (Babinsa).

Informan utama dalam penelitian ini adalah masyarakat nelayan Desa

Menara Indah atau Pulau Pasitante Kecamatan Bontomatene dan beberapa

nelayan yang berasal Bulukumba dan Sinjai yang sering terlibat konflik secara

Page 60: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

44

langsung maupun tidak langsung. Wawancara dengan nelayan dilakukan saat

setelah mereka dari laut, dan pada saat mereka tidak melaut yaitu pada hari

Jum’at. Jumlah informan utama tidak dibatasi. Hal ini ditujukan untuk menggali

atau menelusuri informasi secara mendalam. Penelusuran informasi dihentikan

ketika informasi yang didapatkan oleh peneliti sama antara satu informan

dengan informan lainnya. Dari proses penggalian informasi tersebut didapatkan

sekitar 15 informan utama.

Penelusuran informasi konflik secara mendalam dilakukan juga terhadap

informan lain yang terlibat atau bertindak sebagai mediator dalam konflik,

diantaranya Kepala Desa (Menara Indah), Dinas Kelautan dan Perikanan

Kabupaten Kepulauan Selayar, Pol-Airud dan TNI-AL yang berada didesa

Menara Indah Pulau Pasitanete , serta tokoh masyarakat (Ulama) dan tokoh

nelayan Pulau Pasitanete Desa Menara Indah.

2) Pengamatan (observation)

Data yang dikumpulkaan melalui pengamatan adalah data yang dapat

diamati oleh peneliti tanpa menuntut keterlibatan secara langsung dengan

informan.jenis data yang diperoleh dengan cara ini adalah antara lain, keadaan

pemukiman penduduk,jenis peralatan dan aktivitas usahanya,pola aktivitas dan

kegiatan sehari-hari penduduk.

3) Studi Pustaka

Studi pustaka merupakan suatu kegiatan yang sangat penting dalam

melakukan suatu penelitian. Teori-teori yang menjadi landasan masalah dan

bidang yang akan dapat ditemukan dengan studi pustaka. Selain itu, peneliti

dapat memperioleh data tentang penelitian sejenis atau yang ada kaitanya

dengan penelitianya. Dengan studi pustaka, peneliti dapat memanfaatkan

informasi dan pemikiran-pemikiran yang berkaitan dengan penelitinya.

Page 61: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

45

E. Analisis Data

Analisis data yang dijadikan acuan dalam penelitian meliputi reduksi data,

penyajian data, dan penarikan kesimpulan (Miles dan Huberman 1992 diacu

dalam Sitorus 1998). Selanjutnya sesuai dengan Kartono (1996), menjelaskan

tentang prosedur ilmiah yang harus diperhatikan dalam setiap penelitian,

diantaranya adalah: (1) menimbang data secara cermat dan hati-hati; (2)

pengaturan data dengan mengadakan klasifikasi; (3) menciptakan konsep-

konsep atau sistem formal tertentu, yaitu memformulasikan ide-ide dan definisi

mengenai tingkah laku sosial dan fenomena sosial; dan (4) memikirkan sistem-

sistem deduktif atau logis untuk membuktikan dan memverifikasi proporsi-

proporsi (pendirian) tertentu dan pembuktian faktual. Penelitian ini dinyatakan

berhenti pada kondisi data jenuh, yaitu saat penggalian informasi dari informan

yang satu ke informan lainnya yang direkomendasikan, keterangannya tetap

berkisar atau hampir sama dengan informan-informan sebelumnya yang telah

peneliti wawancarai.

1. Reduksi Data

Seluruh data yang berupa dokumen dipilih dan diseleksi secara ketat

untuk mengetahui keabsahannya. Data yang tidak sesuai sebaiknya

dipisahkan untuk sementara waktu atau secara permanen sehingga yang ada

hanya data yang sesuai dengan pertanyaan dan tujuan penelitian.

Kelengkapan data diperoleh apabila data tersebut sudah dapat menjawab

masalah dan tujuan penelitian. Keabsahan data juga dicek dengan

memperbandingkan antar data, misalnya data yang berupa catatan lapang

dari hasil pengamatan peneliti dengan data-data lain seperti statement-

statement pengakuan/surat perjanjian (Kartono 1996), dokumentasi

pemerintah dan publik, dan lain-lain. Dengan demikian didapatkan data

Page 62: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

46

yang benar-benar mempunyai kesinkronan dengan hasil pengamatan di

lapangan. Peneliti juga menyesuaikan data dengan hasil wawancara

mendalam dengan informan kunci (key person) sehingga keabsahan data

dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya.

2. Penyajian data

Penyajian data hasil reduksi data disajikan dalam bentuk teks naratif-

deskriptif. Seperti yang diungkapkan dalam Sitorus (1998), menyatakan

bahwa terdapat beberapa bentuk penyajian data, yaitu: (1) Teks naratif yang

berupa catatan lapang, sehingga tidak praktis. Ini mengandung kesulitan

karena teks naratif sangat panjang sehingga melebihi kemampuan manusia

memproses informasi dan menggerogoti kecenderungan mereka untuk

menemukan pola-pola yang sederhana; (2) Matriks, grafik, jaringan, dan

bagan. Bentuk-bentuk seperti ini menggabungkan informasi yang tersusun

dalam bentuk yang padu dan mudah diraih, sehingga memudahkan untuk

melihat apa yang sedang terjadi, dan menentukan apakah menarik

kesimpulan yang benar ataukah terus melangkah melakukan analisis. Pada

penyajian dalam teks naratif, karena teks yang sangat panjang maka peneliti

membatasinya melalui teks deskriptif untuk menggambarkan faktor yang

menjadi penyebab konflik, penanganan konflik terhadap masalah

pemanfaatan sumberdaya yang juga memuat konsep hukum yang pada

intinya berfungsi sebagai pengendalian sosial (social control) aktivitas

masyarakat nelayan.

3. Penarikan Kesimpulan

Penarikan kesimpulan dalam hal ini mencakup juga verifikasi atas

kesimpulan selama penelitian berlangsung dengan cara: (1) Memikir ulang

selama penulisan; (2) Meninjau ulang catatan-catatan lapang (harian); (3)

Meninjau kembali dan bertukar pikiran dengan teman satu tema penelitian dan

Page 63: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

47

dosen pembimbing untuk mengembangkan kesepakatan intersubjektif. Selain

itu penulis juga menghubungi kembali beberapa informan untuk

mengkonfirmasi hasil penelitian; dan (4) Melakukan upaya-upaya yang luas

untuk menempatkan salinan suatu temuan dalam seperangkat data yang lain.

F. Konsep Operasional

Untuk mengarahkan Peneliti dalam melakukan penelitian dan untuk

menyamakan persepsi penelitian, maka ditetapkan konsep oprasional sebagai

berikut :

1. Konflik adalah suatu kenyataan hidup,tidak terhindarkan dan sering

bersifak kreatif. Konflik terjadi ketika tujuan masyarakat tidak sejalan.

Sebagai perbedaan pendapat dan konflik biasanya diselesaikan tanpa

kekerasan , dan sering menghasilkan situasi yang lebih baik bagi sebagian

besar atau semua pihak yang terlibat konflik.

2. Konflik sosial adalah pertentangan antar segmen-segmen masyarakat

untuk memperebutkan aset-aset yang bernilai. Jenis dari konflik sosial ini

bisa bermacam-macam yakni konflik antara individu,konflik antara

kelompok dan bahkan konflik antara bangsa

3. Anatomi konflik sosial adalah ilmu yang mempelajari struktur tubuh

(manusia) dengan cara nenguraikan tubuh (manusia) menjadi bagian yang

lebih kecil kebagian yang paling kecil,dengan cara memotong atau megiris

tubuh (manusia) kemudian diangkat, dipelajari dan diperiksa menggunakan

mikroskop Anatomi Konflik Sosial dapat diartikan satu rangkaian organ-

organ atau unsur-unsur yang terkait dengan proses terjadinya konflik, yaitu:

(1)Penyebab terjadinya konflik; (2). Pihak yang berkonflik; (3). Proses

terjadinya konflik; (4).Dampak terjadinya konflik; (5) Proses penyelesaian

konflik.

Page 64: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

48

4. Kronologi konflik (urutan kejadian) merupakan suatu alat bantu yang

digunakan untuk menunjukkan sejarah konflik berdasarkan waktu

kejadiannya (hari/ bulan/ tahun sesuai skalanya) yang ditampilkan secara

berurutan

5. Konflik dapat berwujud konflik tertutup (latent), mencuat (emerging), dan

terbuka (manifest), konflik tersembunyi dapat dicirikan dengan adanya

tekanan-tekanan yang tidak nampak yang tidak sepenuhnya berkembang

dan belum terangkat kepuncak konflik. Sering kali satu atau dua pihak

boleh jadi belum menyadarinya adanya konflik bahkan yang paling

potensial pun.

6. Konflik kelas, yaitu konflik yang terjadi antarkelas sosial nelayan dalam

memperebutkan wilayah penangkapan (fishing Ground), yang mirip dengan

kategori gear war conflic charles ( 2001). Ini terjadi karena nelayan

tradisonal merasakan ketidakadlian dalam pemanfaatan sumberdaya ikan

akibat perbedaan tingkat penguasaan kapital. Seperti , konflik terjadi akibat

beroprasinya kapal trawl pada peraiaran pesisir yang sebenarnya

merupakan wilayah penangkapan nelayan tradisonal.

7. Konflik orientasi, adalah konflik yang terjadi antar nelayan yang memiliki

perbedaan orientasi dalam pemanfaatan sumberdaya, yaitu antar nelayan

yang memiliki kepeduliaan terhadap sumberdaya yang ramah lingkungan

(orientasi jangka panjang),dengan nelayan yang melakukan kegiatan

pemanfaatan yang bersifat merusak lingkungan seperti penggunaan bom,

potassium dan lain sebagainya (orintasi jangka pendek).

8. Konflik agraria (wilayah penangkapan), merupakan konflik yang terjadi

akibat perebutan fishing ground yang biasa terjadii antara kelas nelayan

,maupun interkelas nelayan. Ini juga bisa terjadi dengan nelayan dengan

Page 65: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

49

non-nelayan seperti nelayan dengan pelaku usaha , seperti

akuakultur,wisata ,pertambangan

9. Konflik Promordial, merupakan konflik yang terjadi akibat perbedaan

identitas, seperti etnk, asal daerah, dan seterusnya.

Page 66: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

50

IV. KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

A. Kondisi Umum Daerah

1) Kondisi Wilayah

Desa Menara Indah Pulau Pasitanete terletak di Kecamatan Bontomatene

kawasan pesisir Utara Pulau Selayar, Kabupaten Kepulauan Selayar, Provinsi

Sulawsi Selatan pada 5.75059oLintang Selatan (LS) dan 120

o120.47945” Bujur

Timur (BT). Desa Menara Indah Pulau Pasitanete merupakan salah satu dari 12

Desa yang ada di Kecamatan Bontomatene dengan luas wilayah 159.92 km2

(61.75). Topografi desa in pada umumnya adalah Pulau yang berbatuan dan

terpisah dengan daratan utama Pulau Selayar, dengan elevasi derajat dan

ketinggian ±0.75 m diatas permukaan laut. Curah hujan mencapai 15.46 mm3

/hari dan suhu udara rata-rata berkisar antara 30ºC.

Untuk daerah pemukiman masyarakat pulau Pasitanete Desa Menara

Indah bertepattinggal didaerah selatan Pulau, yang dimana bagian selatan pulau

tersebut memiliki lahan luas dan berpasir dan merupakan tempat pemukiman

masyarakat setempat sedangkan bagian utara terdapat Mercusuar sebagai

petanda bagi kapal yang melewati perairan Selat Selayar/Bira dan untuk

dibagian barat dan timiur hanya terapat bebatuan cadas dan tebing tinggi.

Sedangkan untuk suku, masyarakat Pulau Pasitanete berasal dari Suku

Makassar dan sebagian kecil berasal dari suku Bugis,Tolaki dan itu meraka

adalah pendatang di pulau tersebut. Desa Menara Indah Pulau Pasitanete dulu

merupakan bagian Desa Bungaia , tapi pada tahun 2009 mengalami

pemekaran dan pusat pemeritahan berada di Pulau Pasitanete

Page 67: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

51

Gambar 2. Pulau Pasitanete Desa Menara Indah

Secara geografis dan administrasi Desa Menara Indah Berbatasan

dengan :

1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Bulukumba Kecamatan

Bontobahari

2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Bungaia Kecamatan Bontomatene

3. Sebelah Timur berbatasan dengan Laut Flores atau laut lepas

4. Sebelah Barat berbatasan dengan Selat Makassar atau lepas

Desa Menara Indah terdiri atas 3 dusun (lingkungan) dengan luas wilayah

2400 ha/m2 . Jarak dari pemerintahan desa ke pemerintah Kecamatan sekitar 20

km dengan lama tempuh ke ibukota kecamatan selama 1 jam dan sudah

termasuk perjalanan kapal penyebrangan, sedangkan jarak keibukota Kabupaten

sekitar 50 km yang di tempuh selama 2 jam.

Page 68: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

52

B. Keadaan Sosial Ekonomi

a) Demografi

Jumlah penduduk Desa Menara Indah pada tahun 2017 mencapai 759

jiwa dalam 214 Kepala Keluarga (KK). Pada tabel 1. Menunjukan bahwa jumlah

penduduk Desa Menara dengan perbandingan penduduk laki-laki 368 jiwa dan

jumlah penduduk perempuan 391 jiwa.

Tabel 1. Jumlah Penduduk Desa Menara Indah Menurut Jenis Kelamin

No Jenis Kelamin Penduduk Jumlah (Jiwa)

1 Penduduk laki-laki 368

2 Penduduk perempuan 392

Jumlah 759

Sumber : Data Primer dan Sekunder, 2017

Sebagian besar penduduk menempati lokasi-lokasi tertentu, yaitu daerah

pesisir pantai. Alur pemukiman penduduk berada hanya di sepanjang bibir pantai

(pesisir pantai Selatan Pulau Pasi ). Ini dikarenakan sebagian besar pulau

Pasitanete adalah bebatuan, dan sebagian kecil daerah yang berpasir yang di

tempati pemukiman penduduk.

b) Mata pencarian pokok

Mata pencarian pokok penduduk Desa Menara Indah sebagian besar

adalah nelayan,PNS,Peternak dan Pensiunan PNS/TNI/POLRI.Berdasrkan tabel

2. Tentang mata Pencarian menunjukan bahwa sebagian besar penduduk Desa

Menara indah Pulau Pasitanete Bermata Pencarian sebagai Nelayan yaitu

berjumlah 155 orang atau 60.31%, Peternak Berjumlah 85 orang atau

33.07%,Pegawai Negeri Sipil 13 orang atau 5.06% dan Pensiunan 4 orang atau

1.56%.

Page 69: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

53

Tabel 2. Mata Pencaharian Pokok Penduduk Desa Menara Indah

Mata Pencarian Jumlah Pekerja (orang ) Persentasi (%)

Nelayan 155 60.31

Peternak 85 33.07

Pegawai Negeri Sipil 13 5.06

Pensiunan 4 1.56

Jumlah 257 100.00

Sumber : Data Primer dan Sekunder, 2017

c) Pendidikan

Penyediaan sarana fisik pendidikan dan tenaga kerja pengajar yang

memadai merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan partisipasi sekolah

penduduk pada tahun ajaran 2016-2017 jumlah sekolah Taman Kanak-kanak 1

buah dengan jumlah siswa 20 orang dan tenaga pengajar/guru sebanyak 3

orang. Terdapat 1 Sekolah Dasar (SD) dengan jumlah siswa 68 orang dan

tenaga pengajar/guru 12 orang. Terdapat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama

(SLTP) dengan jumlah siswa 68 orang dan guru sebanyak`17 orang.

Dari Tabel.3 didapatkan bahwa pendidikan tertinggi adalahkelulusan/tama

tan SD (Sekolah Dasar) atau 19.21% dari total angkatan kerja. Buta huruf

mencapai 9.17%, tidak/belum pernah sekolah SD (Sekolah Dasar) mencapai

22.27%. dengan demikian tingkat pendidikan masih tergolong rendah, karena

dilihat dari Tingkat Pendidikan Masyarakat Desa Menara Indah Pulau Pasi tanete

hampir 50% masyarakat disana hanyala tamatan SD (sekolah Dasa ) dan SMP (

Sekolah Menegah Pertama ). Hal ini kemungkinan mempengaruhi pada jenis

pekerjaan yang akan didapatkan.

Page 70: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

54

Tabel 3. Tingkat Pendidikan Masyarakat Desa Menara Indah

Pendidikan Jumlah Persentasi (%)

Buta Huruf 63 9.17 Tidak/belum Pernah sekolah SD/MI 153 22.27

Tamat SD/MI 132 19.21

Tamat SMP/MTS 80 11.64

Tidak Tamat SMP/MTS 125 18.20

Tamat SMA/MA 90 13.10

Tamat Diploma III/Sarjana Muda 17 2.47

Tamat Sarjana/magister 27 3.93

Jumlah 687 100.00

Sumber : Data Primer dan Sekunder, 2017

d) Sarana dan Prasarana

Sarana dan Prasarana yang ada di Desa Menara Indah Di Pulau

Pasitanete anatara lain meliputi Pendidikan, Kesehatan, Peribadatan, Olahraga,

dan Transportasi.

Berikut jumlah sarana dan prasarana di Desa Menara Indah.

Tabel. 4 Sarana dan Prasarana Desa Menara Indah

No Jenis Sarana dan Prasarana Unit

1 TK 1

2 Sekolah Dasar 1

3 SMP 1

4 Masjid 1

5 Olahraga 4

6 Posyandu 1

7 Pos Timbang 1

8 Panel Surya 1

9 Kantor Desa 1

10 PosKamling 3

11 Dermaga 1

12 Kapal Penyebrangan 3

Jumlah 19

Sumber : Data Primer dan Sekunder, 2017

Page 71: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

55

Pada Tabel. 4 Menunjukan bahwa jumlah infrastruktur yang terdapat

pada Desa Menara indah. Jumlah infrastruktur sangat bervariasi, hanya saja

dalam tabel dapat diketahui bahwa sangat kurangnya fasilitas pendidikan,

kesehatan dan pengadaan air bersih sehingga masyarakat harus menyebrang

kepulau Selayar untuk dapat bersekolah dan mendapatkan fasilitas kesehatan

yang memadai.

e) Kondisi Ekonomi

Kondisi perekonomian masyarakat di Desa Menara Indah dilihat dari

kondisi lokasi tempat tinggal dengan pulau yang terbentuk dari bebatuan granit

tidak memungkinkan untuk melakukan aktivitas pertanian, pendapatan

masyarakat cenderung mengarah ke sektor perikanan yang berprofesi sebagai

nelayan dan peternak ada juga terdapat beberapa masyarakat menjadi jasa

penyebrangan pulau. Tetapi tidak menutup kemungkinan berprofesi sebagai

pedagang,PNS,ABRI,Bidan dan POLISI.

Berikut ini merupakan data yang terkait dengan sarana perikanan dan

potensi perikanan yang terdapat pada Desa Menara Indah

Tabel. 5 Sarana Perikanan Penduduk Desa Menara Indah

No Jenis Kapal Unit

1 Kapal 46

2 Motor Tempel 38

3 Perahu Tidak bermotor 15

Jumlah 99

Sumber : Data Primer dan Sekunder, 2017

Pada Tabel 5. Meunjukan sarana perikanan yang dimiliki oleh nelayan

Desa Menara Indah Pulau Pasitanete kebanyakan menggunakan Perahu

(jolloro) yaitu sebanyak 46 unit, perahu motor tempel sebanyak 38 unit dan yang

nelayan yang menggunakan perahu tidak bermotor sebanyak 15 unit. Sedangkan

Page 72: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

56

fasilitas-fasilitas perikanan berupa Tempat Pelelangan Ikan (TPI) tidak

didapatakan di Desa Menara Indah Pulau Pasitanete

C. Profil Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Peraiaran Selayar dan Pulau

Pasitanete

a) Potensi Ikan Pelagis

Sumberdaya perikanan laut Kabupaten Selayar banyak dipengaruhi oleh

dinamika bio-fisika lingkungan di Laut Flores dan Teluk Bone.Dari hasil

analisis peta dengan memperhitungkan area batasan laut dalam untuk

perikanan pelagis, diketahui luas perairantersebut sekitar 333.000 km2 dan

luas perairan kecamatan kepulauan Kabupaten Selayar sekitar 25.200 km2.

Dari data tersebut, kemudian diestimasi potensi sumberdaya

perikanankecamatan kepulauan dengan potensi ikan pelagis sekitar 6330

ton/tahun. Dengan demikian penyebaran ikan pelagis dianggap merata

dengan kepadatan sekitar 0,25 ton/km2

(Mallawa dkk., 2006).

Di antara jenis ikan pelagis yang potensial tertangkap di perairan

Selayar adalah ikan cakalang dan ikan layang. Menurut Uktolseja (1998),

besarnya potensi lestari untuk ikan cakalang sebesar 28.449 ton/tahun di Laut

Flores dan Selat Makassar. Luas kedua perairan tersebut sekitar 605.800

km2, sehingga penyebaran ikan cakalang sekitar 0,03 ton/km2. Estimasi

besarnya potensi lestari ikan cakalang di kecamatan kepulauan Selayar. sekitar

1266 ton/tahun. Potensi ikan layang diperkirakan sebesar 401,4

ton/tahun. Sedangkan potensi ikan pelagis lainnya diduga sekitar 3903

ton/tahun.

Selayar sebagai kabupaten maritim dengan andalan utama sektor

perikanan dan kelautan sangat berkepentingan dalam memanfaatkan

potensi perikanan pelagis tersebut secara berkelanjutan. Terbatasnya

informasi tentang daerah penangkapan ikan pelagis yang produktif menjadi

Page 73: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

57

tantangan utama sustainable fisheries activities di wilayah tersebut.

Penggunaan satelit remote sensing telah terbukti memainkan peran kunci

dalam pengkajian oseanografi perikanan (Polovina et al., 2001; Zainuddin et al.,

2006). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengestimasi potensi jumlah

tangkapan ikan pelagis yang diperbolehkan dan memetakan formasi daerah

penangkapan yang potensial ikan tersebut berdasarkan data distribusi suhu

permukaan laut yang diperoleh dari observasi Satelit AQUA/MODIS.

Potensi sumberdaya ikan cakalang dan layang di sekitar perairan

Selayar cukup besar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Maximum

Sustainable Yield (MSY) untuk masing-masing spesies adalah 203 ton/tahun

dan 734 ton/tahun. Ini menunjukkan bahwa potensi ikan pelagis yang potensial

ini perlu dimanfaatkan secara optimal dengan mengopersikan alat tangkap

secara efektif dan efisien. Alat tangkap yang digunakan untuk menangkap

ikan cakalang di daerah penelitian adalah pancing joran (pole and line),

pancing tonda (trolling line), rawai tuna (tuna long line). Alat tangkap yang

digunakan untuk menangkap ikan layang antara lain pukat cincin (purse seine),

jaring insang (gill net), payang, bagan dan rawai.

Sumberdaya ikan yang potensial tersebut dapat dikelola dan

dimanfaatkan secara berkelanjutan dengan mengembangkan sistem informasi

geografis formasi daerah penangkapan ikan yang produktif. Informasi spasial

fishing ground ini mengarah pada efisiensi operasi penangkapan ikan

pelagis terutama ikan cakalang dan layang di sekitar Perairan Selayar.

Secara spesifik hasil penelitian pendugaan potensi ikan pelagis

menggambarkan bahwa tingkat pemanfaatan ikan cakalang masih

sekitar 15.39% dari jumlah hasil tangkapan yang diperbolehkan (JTB) .

Tingkat ekploitasi untuk ikan layang masih berkisar49.7% dari JTB. Hal ini

mengindikasikan bahwa tingkat hasil tangkapan (produksi) masih perlu

Page 74: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

58

ditingkatkan guna memanfaatkan segenap potensi sumberdaya ikan yang

ada di Perairan Selayar.

Terkait dengan kebijakan perikanan tangkap di Indonesia,mekanisme

pengelolaannya ditentukan oleh nilai MSY. Dengan memperhatikan prinsip

kehati-hatian, sasaran pengelolaan perikanan tangkap telah ditetapkan 80%

dari nilai MSY (DKP, 2005). Dengan mengelola upaya penangkapan ikan

cakalang dan layang pada tingkat JTB, kesinambungan produksi yang optimal

secara biologis bisa dipertahankan. Pada saat yang sama keuntungan yang

diperoleh nelayan juga akan meningkat. Untuk mendapatkan hasil tangkapan

pada level JTB, informasi tentang formasi daerah penangkapan ikan yang

potensial dari waktu ke waktu sangat dibutuhkan oleh para stakeholders,

khususnya nelayan.

b) Hasil Tangkapan Perikanan Karang

1) Produksi Hasil tangkapan perikanan karang

Produksi perikanan tangkap adalah sejumlah jenis ikan yang dapat

diproduksi dengan menggunakan berbagai jenis alat tangkap. Perikanan

tangkap di Kabupaten Kepulauan Selayar, oleh pelaku usaha penangkapan

mengoperasikan tiga belas jenis alat tangkap untuk memperoleh hasil

tangkapan jenis ikan karang. Produksi hasil tangkapan perikanan karang untuk

kurun waktu tahun 2011 – 2015 sebagaimana terlihat pada Gambar 3.

Page 75: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

59

Gambar 3. Fluktuasi Hasil Tangkapan Jenis Ikan Karang di Kabupaten

Kepulauan Selayar untuk Kurun Waktu Tahun 2011-2015.

(Dinas Kelautan dan Perikanan Kepulauan Selayar, 2012-2016).

Berdasarkan Gambar 2. Menunjukan bahwa Fluktuasi tangkapan Jenis

Ikan Karang di Kabupaten Kepulauan Selayar untuk kurun waktu 2011-2015

adalah ikan Lencan (Lethrinus lentjan sp) tertinggi pada tahun 2014.

2) Komposisi Jenis hasil tangkapan perikanan karang

Statistik Perikanan Tangkap Dinas Kelautan dan Perikanan

Kabupaten Kepulauan Selayar tahun 2016 menunjukkan komposisi jenis

ikan karang pada tahun 2015 di Kabupaten Kepulauan Selayar

sebagaimana terlihat pada Gambar 3.

Page 76: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

60

Gambar 4. Komposisi Jenis Ikan Karang di Kabupaten Kepulauan

SelayarPada Tahun 2015.

Komposisi jenis ikan karang hasil tangkapan pada tahun 2015

menunjukkan proporsi ikan yang dominan adalah ikan Lencam (Lethrinus

lentjan sp) sebesar 24.96 %. Kemudian disusul oleh ikan Kerapu Macan

sebesar 16.38% , ikan Kakap Merah sebesar 13.18% ,ikan Kerapu Balong

sebesar 12.09 %, ikan Kerapu Sunu sebesar 10.21%, ikan Kakap Merah

sebesar 8.61%, ikan Kerapu Bebek 4.33%, ikan Kurisi sebesar 3.04%, ikan

Ekor Kuning sebesar 2.10%, ikan kakap Putih sebesar 0.88% sedangkan

ikan bawal putih yang paling terkecil yaitu 0.55%.

Sedangkan Tingginya proporsi jenis ikan diduga sebagai upaya

penangkapan yang meningkat. Tren jenis dan jumlah alat tangkap yang

digunakan nelayan untuk produksi jenis ikan karang di Kabupaten

Kepulauan Selayar terlihat pada Gambar 4.

Page 77: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

61

Gambar 5. Jenis dan Jumlah Alat Tangkap Perikanan Karang di

Kabupaten Kepulauan Selayar dalam Kurun Waktu Tahun

2011-2015. (Dinas Kelautan dan Perikanan Kepulauan Selayar,

2012-2016).

Jenis dan jumlah alat tangkap untuk produksi ikan karang di

Kabupaten Kepulauan Selayar menunjukan bahwa pancing ulur

merupakan jenis alat tangkap terbanyak pada kurun waktu Tahun 2011 –

2015 dengan jumlah 2.588 unit pada tahun 2015.

3) Upaya Penangkapan

Data Statistik Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Kepulauan

Selayar untuk tahun 2011-2015 menunjukkan perkembangan unit

penangkapan dan produksi jenis hasil tangkapan perikanan karang di

Kabupaten Kepulauan Selayar sebagaimana terlihat pada Gambar 4.

Page 78: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

62

Gambar 6. Grafik Hubungan Perkembangan Unit Penangkapan dan Produksi

Hasil Tangkapan Perikanan Karang di Kabupaten Kepulauan Selayar

untuk Tahun 2011-2015 (Dinas Kelautan dan Perikanan Kepulauan

Selayar, 2012-2016).

Pada Gambar 5 menunjukan peningkatan unit penangkapan perikanan

karang di Kabupaten Kepulan Selayar dalam kurun waktu 5 tahun (2011-

2015). Pada tahun 2014 menunjukan laju penurunan produksi yang

menurun seiring dengan meningkatnya jumlah unit penangkapan. Jumlah

peningkatan sebanyak 602 unit pada tahun 2014 ke tahun 2015 dan

produksi hasil tangkapan pada tahun 2014 sampai tahun 2015 dengan

jumlah penurunan sebanyak 460.6 Ton. Data tersebut mengindikasikan

kegiatan perikanan tangkap dapat mempengaruhi ketersediaan ikan dan

akhirnya berdampak terhadap jumlah hasil tangkapan. Kondisi tersebut

merupakan indikasi untuk melakukan tindakan pengelolaan perikanan tangkap,

sehingga penting diketahui status perikanan karang di Kabupaten Kepulauan

Selayar

Page 79: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

63

c) Potensi Perairan Selayar Secara Umum

Kawasan Perairan Selayar saat ini telah terindetifikasi, terdapat

ekosistem terumbu karang dengan 231 jenis, ikan, moluska 216, penyu

4, Echinodermata 4, lamun 10 dan alga sebanyak 47 jenis.

1) Terumbu Karang

Cowen et al (2000) menyatakan bahwa tinggi rendahnya Kelimpahan

laut disuatu lokasi perairan sangat tergantung pada apakah lokasi tersebu

hanya menggunakan pola rekcrutman lokal (internal Recrutman) atau

mendapatkan survei larva-larva biota yang dibawah oleh arus laut dari

daerah lain(eksternal rekrutman).

Kawasan Perairan Selayar terdiri atas 3 (tiga) kategori terumbu

karang yaitu: terumbu karang penghalang (barrier reef), terumbu karang

tepi (fringing reef), dan terumbu karang cincin (atoll). Keanekaragaman

jenis biota penyusun ketiga kategori terumbu karang tersebut cukup tinggi,

juga keberadaan beberapa lokasi profil terumbu karang yang sangat terjal

(drop-of).

Kawasan Perairan Selayar Khususnya Taman Nasional Takabonerate

merupakan kawasan terumbu karang yang berada pada suatu

dangkalan yang dikelilingi oleh laut dalam. Berdasarkan hasil interpretasi

citra Aster tahun 2008, luas karang hidup 10,029 ha, karang mati 8,559 ha,

lamun dan makroalgae 19,748 ha, paparan pasir 20,381 ha, pulau/daratan

437 ha dan bungin/sand dunes 76 ha. Terumbu karang yang ditemukan

terdiri dari 68 genera karang yang terdiri atas 63 genera dari Ordo

Scleractinia dan 5 genera dari Ordo non Scleractinia yang terdiri dari 233

jenis spesies penyusun terumbu karang. Famili karang yang dominan adalah

Acroporidae, Fungidae, Faviidae dan Dendrophylladae. (LIPI 1995 dalam

RPTN 1997, PSTK UNHAS 2000, TNTBR 2005).

Page 80: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

64

2) Ikan

Ikan yang terdapat di kawasan Peraiaran Selayar terdiri atas dua

jenis utama yaitu ikan karang dan ikan pelagis. Kawasan Peraiaran

Selayar yang memiliki variasi habiat mulai dari daerah terumbu karang,

daerah berpasir, berbagai lekuk dan celah, daerah algae, dan lamun

hingga laut dalam menyebabkan keanekaragaman ikan pada kawasan ini

sangat tinggi.

Teridentifikasi bahwa kawasan ini merupakan habitat bagi 53

famili, 160 genus dan 564 spesies ikan karang dan pelagis. Adapun ikan

karang yang mendominasi dalam kawasan Perairan Selayar diantaranya

adalah Chaetodontidae, Pomacentridae, Labridae, Scaridae, Pomachantidae,

Apogonidae, Serranidae, Gobiidae, Lutjanidae, Caesionidae dan Mullidae

(LIPI 1995 dalam RPTN 1997,PSTK Unhas2000, TNTBR 2005, TNTBR

2012).

Sedangkan penelitian yang dilaksanakan oleh Tim Zonasi

PSTKUNHAS (2001), mendapatkan 36 famili, 115 genus dan 362 spesies

ikan karang. Seluruh jumlah dan spesies ini kemudian dibagi ke dalam 3

kelompok besar: ikan major, ikan indikator dan ikan target. Jumlah famili ikan

major sebanyak 19 famili (61 genus; 176 spesies), ikan indikator

sebanyak 5 famili (16 genus; 61 spesies) dan ikan target sebanyak 15 famili

(42 genus; 125 spesies).

Page 81: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

65

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Anatomi Konflik Nelayan dalam Memanfaatkan Sumberdaya Perikanan

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Fisher et al. (2001), menyatakan

bahwa kronologi konflik disebut juga sebagai urutan kejadian dimana

merupakan suatu alat bantu yang dipergunakan untuk menunjukkan sejarah

suatu konflik berdasarkan daftar waktu kejadiannya (tahun, bulan/hari, sesuai

skalanya) yang ditampilkan secara berurutan. Alat bantu ini dapat menjadi

”starting point” dalam memahami dan mengungkap konflik karena dapat

mengidentifik asi interpretasi berbagai pihak terhadap suatu kejadian.

Interpretasi ini dapat berasal dari satu pihak atau pihak lain yang nantinya

digunakan untuk kepentingan sendiri atau bersama dengan pihak lain.

Konflik dimaknai sebagai sebuah realitas sosial yang terjadi akibat

hubungan yang tidak harmonis di anatar pihak-pihak yang mempunyai tujuan

yang tidak sejalan. Perbedaan-perbedaan yang ada selanjutnya memunculkan

perasaan amarah dan benci yang lama kelamaan teraktualisasi menjadi

perilaku yang agresif. Salah satu pihak yang mengancam,memaksa bahkan

melukai pihak orang lain Untuk memamahami bagaimana konflik nelayan

dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap, pendekatan

menggunakan metode kajian yang dipersyaratkan oleh Fisher et. Al (2001).

Metode pendekatan yang dimaksud dalm konflik kenelayaan dalam

pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap

a. Urutan kejadian ( kronologi konflik)

b. Penahapan Konflik

c. Pemataan konflik

Page 82: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

66

B. Kronologi Konflik

1. Persepsi Nelayan Pulau Pasitanete

Sebelum tahun 1980-an, kehidupan social masyarakat Desa Menara

Indah Pulau Pasitanete dan masyarakat pesisir sepanjang Pulau Selayar hidup

tentram. Dengan hanya menggunakan alat tangkap Gill net, Lift net, Trammel

net, Pancing rawai (pancing ulur) dan Purse seine, mereka mendapatkan hasil

tangkapan ikan yang dapat diprediksi waktu, jumlah dan jenisnya, terkecuali

pada musim paceklik. Daerah tangkapan sebagian nelayan Pulau Pasitanete

pada saat itu tidak hanya di sekitar tepi pantai Selayar tapi melainkan sampai di

sebagian Selat Selaya/Bira. Salah satu nelayan Pulau Pasitanete, Dg.S (45

tahun), menerangkan :

“Dulu waktunya tidak ada nelayan luar masuk menangkap ikan di

kawasan Selayar , nelayan disini menangkap ikan sampai dekat

Bulukumba,bontobahari, bahkan sampai ke Bantaeng. Kalau mislkan ada

nelayan masuk tapi kalau alat tangkap yang di gunakan sama bisa ji

juga,meskipun kadang hasil tangkapan yang berbeda, tapi kami tetap

menerima”.

Setelah tahun 1990, kondisi berubah dan kehidupan masyarakat

nelayan di kawasan pesisir selayar terutama di pulau Pasitanete. Kondisi ini

dipicu oleh nelayanHa’lle yang berasal Bulukumba,Sinjai, Bantaeng dan daerah

lain menggunakan alat tangkap Purse Seine (Pukat Cincin) dan alat

penangkapan yang tidak ramah lingkungan, ini akibat dari adanya permintaan

komoditi baru. Komoditi baru yang di maksud yaitu Ikan Sunu, Kerapu,

Napoleon, Lobster, Ekor Kuning dan Teripang.

Permintaan komoditi sebelumnya yang berupa ikan pelagis

(Tuna,cakalang,Tongkol,Tenggiri, dan Layang) terus dilakukan. Kepulauan

Page 83: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

67

Selayar merupakan Kiblat bagi Nelayan-nelayan dari daerah seperti

Bulukumba,Sinjai dan daerah-daerah lain yang mencari komoditi baru ini.

Adapun jenis-jenis komoditi baru yang di maksud dan dikenal oleh

masyarakat yaitu :

Tabel 5. Komoditi Perikanan Kabupaten Kepulauan Selayar

No Jenis Komoditi ( Bahasa

Lokal) Harga Lokasi

1 Kerapu Sunu Merah Tinggi Gugusan Karang

2 Kerapu Tiger Tinggi Gugusan Karang

3 Kerapu Tikus Tinggi Gugusan Karang

4 Kerapu Macan Tinggi Gugusan Karang

5 Napoleon Tinggi Gugusan Karang

6 Lobster Tinggi Gugusan Karang

7 Ekor Kuning Tinggi Gugusan Karang

8 Ikan Sinrilli Sedang Gugusan Karang

Sumber : Data Primer dan Sekunder, 2017

Kepulauan Selayar merupakan Kepulauan yang memiliki gugus karang

terbesar ke 3 (tiga) dan tempat habitat komoditi baru ini, nelayan-nelayan yang

dari luar kepulauaan Selayar berdatangan untuk mencari komoditi baru ini.

Sehingga memulailah kecurigaan nelayan-nelayan Selayar terhadap nelayan

pendatang.

Memasuki tahun 1993, Suatu Cara penangkapan baru yang tidak ramah

lingkungan muncul dan pergunakan oleh nelayan pendatang yang berasal dari

luar Selayar, yaitu penggunaan Potasium (bom) ini berdasarkan wawancara dari

salah satu Informan Dg.Ft (52 tahun).

“itu waktu ada didapat alat penangkapan baru, saya tidak tau tepatnya

tahunnya berapa, kira-kira tahun 1990an ada memang itu bom sempat ji ikut tapi

tidak lamaji tapi memasuki tahun 2000an baru mi ada itu bius di bawah oleh

nelayan kepulauan Makassara dan Sinjaiya ”

Page 84: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

68

Seiring waktu berjalan munculah alat bantu pernafasan yang tidak sesuai

dengan standar penyalam yaitu Kompresor. Proses Kemunculan alat kompresor

bagi penyelam Ilegal Fishing di Selayar menurut informan, bahwa awal mula

penggunaan alat kompresor disebabkan oleh faktor imitasi dari hasil interaksi

nelayan Madura dan Nelayan yang ada kepulauan Supemonde (Kepulauan

Makassar) dan juga Nelayan Madura yang melakukan penyelaman di teluk bone.

Dan tahun 1990an masuk ke Selayar dibawah oleh nelayan Kepulauan Makassar

dan Pulau Sembilan (Sinjai).

Pada Tahun 2000an munculah alat penangkapan yang mempermudah

dalam penangkapan yaitu bius (Racun Sianida) yang dimana proses

pengunaanya di kombinasi dengan pengunaan alat bantu Kompresor, sehingga

dalam proses penangkapan penyelam dapat mudah menangkap ikan targetnya.

2. Persepsi Nelayan Ha’lle ( Pendatang )

Konflik yang melibatkan nelayan Ha’lle (pendatang) dengan nelayan

Pesisir pantai Selayar sebenarnya telah dirasakan kedua belah pihak. Hanya

saja konfli tersebut masih tergolong konflik yang bersifat latent (latent). Belum

ada gejolak konflik yang berlebihan menyebabkan banyak publik yang

berpendapat bahwa diantara kedua wilayah tersebut masih dalam keadaan yang

biasa-biasa saja atau berada dalam skala yang aman bila ditinjau dari potensi

konflik yang terjadi.

Akan, tetapi konflik yang bersifat latent tersebut kemudian berubah skala

yang lebih tinggi,yakni yang mulai tampak atau manifes. Berpindahnya posisi

skala konflik yang dulunya latent menjadi manife bukan tanpa sebab tentu ada

hal yang mendasari terjadinya perubahan tahapan konflik tersebut.

Konflik yang terjadi terjadi di perairan selat Selayar/Bira paling banyak

dialami oleh nelayan Ha’lle (pendatang) berasal dari Bulukumba dan Sinjai

karena kedua wilayah tersebut berdekatan langsung dengan Pulau selayar

Page 85: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

69

terutama nelayan yang bermukim di pesisir pantai Bontobahari, Bira dan

Kepulauan Sembilan (Sinjai). Beberapa wawancara dari informan (M.G 52 tahun)

yang berasal dari nelayan Bulukumba khususnya nelayan Bontobahari :

“sebenarya kami datang menangkap selayar itu niatnya baek ji kasihan

mau ji juga cari rejeki, kan laut itu tidak adaji yang punya apa lagi ikan yang kami

cari itu kebanyakan di pinggiran selayar ji biasa tidak di ganggu ji nelayan di

sana”

Sedangkan hasil wawancara bersumber informan (AT 49) dari nelayan

berasal dari Sinjai mengatakan:

“biasanya kami datang melaut itu agak jauh ji dari daerah penangkapan

orang di sana ( Selayar) tapi itu biasa arus na bawah ki masuk mendekat, biasa

tidak di tau ki ternyata masuk maki daerah penangkapanya orang di sana”

Dari hasil wawancara diatas bisa di tarik kesimpulan bahwa nelayan

Ha’lle (Pendatang) sebenarnya datang ke perairan Selat Selayar/Bira niatnya

hanya semata-mata untuk mencari rejeki di periaran selayar. Tetapi adanya sikap

dari nelayan Selayar yang sering menghampiri nelayan-nelayan Ha’lle

(pendatang) pada saat proses penangkapan ikan berlangsung, ini sesuai dengan

hasil wawancara informan(M. SF 45 tahun) salah satu nelayan Bira (Bulukumba).

“ituji biasa kalau memancing maki atau beroperasi maki adami lagi itu

nelayan Selayar mendekat , biasa bertanyan mi Pattassi battu riapa ki apa

rijakkalla rinni mae rie ja izinta battu perikanan Benteng (nelayan dari mana ki

apa dari cari disini sudah ada izin dari Perikanan Benteng).

Dari hasi wawancara diatas bahwa konflik yang dulunya masih bersifat

Latent (tersembunyi) akan mengalami peningkatan menjadi skala manifest

(terbuka). Berpindahnya posisi skala konflik yang dulunya latent menjadi manife

bukan tanpa sebab tentu ada hal yang mendasari terjadinya perubahan tahapan

konflik tersebut.

Page 86: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

70

Sedangkan untuk permasalahan adanya kecurigaan nelayan Selayar

tentang penggunaan bahan terlarang yang digunakan oleh nelayan Ha’lle

(pendatang) menurut salah satu informan (GF.41 tahun) yang berasal pesisir

pantai Ela-Ela (Bulukumba) :

“memang dulu sudah lama mi’tapi semenjak ada mi pelarangan jarang mi

orang yang gunakan itu barang (bom dan bius) biasanya nekat tong pi itu

nelayan yang menggunakan itu”

Sedangkan menurut informan (Rs.38 tahun) dari sinjai mengatakan bahwa:

“biasanya nelayan yang menggunakan bom jarang mi,tapi kalau bius

biasaji di dapat , biasanya orang yang menggunakan bius itu rata-rata perahu

balapan (perahu yang berkecepatan tinggi) dan biasa kalau kedapatan ki

perahunya orang selayar tidak bisa ki kejar karena kecil-kecil ki kapalnya dan

lambat ki biasa tapi kalau petugasnya selayar dapat ki cari-cari maki alasan,

biasa alasannya itu pergi cari teripang tapi ”

Dari wawancara diatas bahwa penggunaan barang terlarang seperti bom

dan bius hanya beberapa nelayan yang menggunakan, rata-rata nelayan yang

menggunakan bom dan bius itu tergolong nelayan yang nekat.

Berikut ini Kronologis konflik nelayan Pulau Pasitanete dengan Nelayan

Bulukumba dan nelayan Ha’lle /Pendatang yang tersajikan secara detail dalam

menunjukan sejarah konflik kenelayaan yang terjadi di Selat Bira/Selayar

berdasarkan waktu kejadian (tahun) yang di tampilkan secara berurutan serta

wujud konflik yang terjadi menjelaskan awal dan akhir konfilk yang terjadi.

Page 87: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

71

Tabel 6. Sejarah Konflik terjadi di Pulau Pasitanete Desa Menara Indah

No Tahun Konflik yang Terjadi Keterangan Pihak yang Berkonflik

secara langsung

1. 2009 Adanya laporan dari

COREMAP bahwa

terjadi kerusakan

terumbu karang lokasi

berlabuh Nelayan-

nelayan Pendatang

Terjadi penangkapan

Nelayan Patongkol

(Nelayan Berasal dari

Sinjai) membawa obat

Bius (sianida) dan

beserta botolnya yang

dilakukan oleh nelayan

Pulau Pasitene beserta

apa

Konflik masih

bersifat mencuat

(emerging)

karena adanya

dugaan

perusakan.

Konflik masih

bersifat mencuat

(emerging)

Petugas dengan Nelayan Ha’lle (Pendatang)

Nelayan Sinjai dengan Nelayan Beserta masyarakat Pulau Pasitanete

2

2010

Adanya Tuduhan dari

nelayan Bira terhadap

nelayan pulau

Pasitanete mengenai

kehilangan Rumpong

yang di duga dipotong

oleh nelayan oleh

Pualu Pasitanete

Pengusiran Nelayan

Bulukumba yang

dilakukan oleh nelayan

Bungaia dan Pulau

Pasitanete beserta

POLAIRUT karena

kedapatan membawah

Bius (Racun Sianida)

Konflik masih

bersifat mencuat

(emerging)

Konflik masih

bersifat mencuat

(emerging)

Nelayan Bira dengan nelayan Pulau Pasitante

Nelayan Bulukmba dengan Petugas (POLAIRUT)

Page 88: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

72

3

2011

Operasi gabungan yang

dilakukan

POLHUT,POLAIRUT

dan maysrakat Pulau

Pasitanete yang di

pimping langsung oleh

Bapak HIDAYAT (

Kapolres Selayar) serta

Penangkapan Pa Bius

dari Ela-Ela (Nelayan

yang berasal dari Pesisir

Kota Bulukumba)

Konflik masih

bersifat mencuat

(emerging)

Pemerintah,Petugas dengan Nelayan Bulukumba Ela-Ela

Penangkapan Nelayan

Bira Oleh POLAIR,

serta Pengerebekan

Kapal Nelayan yang

berasal dari Pesisir

Bulukumba dilakukan

oleh Nelayan Pulau

Pasitanete dan

Nelayan Bungia.

Konflik masih

bersifat mencuat

(emerging)

Petugas dengan Nelayan Bira (Bulukumba)

4. 2012 Dilarangnya Masyarakat

Selayar menyebrang ke

Bira akibat buntut dari

penangkapan nelayan

yang berasal di bira.

Konflik masih

bersifat

terbuka

(manifest)

Nelayan Selayar (masyarakat selayar) dengan nelayan Bira

5. 2013 Pengusiran Nelayan

Paggae (Sinjai) oleh

nelayan pulau

Pasitanete yang

memasuki perairan

wilayah tangkap nelayan

setempat.

Konflik masih

bersifat

mencuat

(emerging)

Nelayan Pulau Pasitanete dengan Nelayan paggae (Sinjai)

6. 2014 Pelarangan

pemasangan rumpong

diwilayah penangkapan

nelayan pulau

Pasitanete dan larangan

pelintasan/penangkapan

diwilayah tangkapan

nelayan lokal selayar

Konflik masih

bersifat

mencuat

(emerging)

Nelayan Bira dengan Nelayan Pulau Pasitanete

Sumber : Data Primer dan Sekunder, 2017

Page 89: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

73

C. Penahapan Konflik Secara Umum

Tahapan konflik dilakukan untuk menganalisis berbagai dinamika dan

kejadian yang berkaitan dengan masing-masing tahap konflik (Fisher et al.

2001). Tahapan tersebut meliputi lima tahap, yaitu: Pertama, prakonflik yang

ditandai oleh adanya ketidaksesuaian sasaran diantara pihak-pihak yang

berkonflik. Kondisi ini diawali oleh adanya ketegangan hubungan sehingga

masing-masing pihak berusaha menghindari kontak antara satu dengan yang

lain. Kedua, konfrontasi. Pada tahap ini konflik semakin terbuka dimana masing-

masing pihak menyusun kekuatan, melakukan perilaku konfrontatif dan

kekerasan pada tingkat yang rendah. Ketiga, krisis yang merupakan puncak dari

konflik, yaitu ketika ketegangan atau kekerasan terjadi paling hebat. Keempat,

akibat. Pada tahap ini terdapat salah satu pihak yang menyerah karena

keinginannya sendiri atau karena desakan pihak lain, atau kedua pihak setuju

untuk bernegosiasi. Tingkat ketegangan dan kekerasan mulai menurun. Kelima,

pascakonflik dimana situasi konflik diselesaikan dengan mengakhiri berbagai

ketegangan dan kekerasan sehingga kembali ke kondisi normal. Namun, jika

penyebab konflik tidak diatasi dengan baik, tahap ini akan kembali lagi menjadi

situasi prakonflik.

Periode awal terjadinya konflik yang disebut prakonflik ditandai dengan

adanya ketidaksesuaian sasaran antara nelayan Pulau Pasitanete dengan

nelayan Pendatang jaring Purse Seine (Pukat Cincin) ), Akibatnya muncul

potensi konfrontasi dan ketegangan hubungan antar kedua pihak. Nelayan pulau

Pasitanete (jaring Gill net) melakukan protes terhadap kehadiran nelayan luar di

perairan selat Selaya/Bira. Nelayan Pulau Pasitanete merasa pengoperasian

jaring Purse Seine (Pukat Cincin) /MiniPurse Seine (Pukat Cincin) merusak

fungsi ekologis perairan pesisir Pulau Selayar . Nelayan pulau Pasitanete sangat

dirugikan karena komoditas tangkapan mereka berupa Ikan-ikan Karang menjadi

Page 90: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

74

semakin berkurang ini di akibatkan karena Ekosistem dan Habitatnya Hancur.

Ketegangan kedua pihak terlihat dari tindakan Pengusiran saja. Memasuki

pertengahan tahun 1993 sampai dengan tahun 2000 masuk alat tangkap yang

tidak ramah lingkungan berupa Bius (Sianida), Bom (Potasium) dan alat bantu

pernapasan yang mempercepat Kerusakan ekosistem Terumbu Karang.

Memasuki pertengahan tahun 2000an sampai dengan tahun 2010 ,

konflik meningkat menjadi fase konfrontasi. Nelayan Pulau Pasitanete bersama

dengan nelayan Desa Bungaia melakukan pengusiran terhadap nelayanHa’lle

yang melakukan kegiatan Ilegal Fishing dengan mendatangi langsung kapal

Nelayan Ha’lle tersebut di dampingi langsung toko masyarakat,nelayan merasa

kesal dengan pengoprasian Purse Seine (Pukat Cincin) mini Purse Seine (Pukat

Cincin) dan Pengunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan yang

menyebabkan kerusakan Terumbu karang. Sedangkan dalam proses

penyelasaian nelayan Pulau Pasitanete dan nelayan Bungaia Pengusiran

langsung dan biasanya di serahkan ke toko masyarakat, Kepala Desa dan

meneruskanya ke POLAIR Selayar . Namun aparat sekaligus mediator konflik

tidak tegas menindak pelanggaran Ilegal fishing dan penggunaan Purse Seine

(Pukat Cincin) /Mini Purse Seine (Pukat Cincin) , kondisi ini semakin

memperparah masalah sehingga konflik semakin terbuka.

Puncak konflik dimana terjadi ketegangan dan kekerasan yang sangat

hebat Fisher(2001). terjadi pada tahun 2012. Dimana terjadi penangkapan

nelayan Bulukumba yang dilakukan oleh petugas POLAIR akibat laporan

nelayan Selayar. Akibat dari penangkapan tersebut nelayan Bulukumba

melakukan penutupan rute penyebrangan Pelabuhan Bira dan Pelabuhan

Pamatata (Selayar) di tambah lagi nelayan Bulukumba yang menggunakan

Purse Seine (Pukat Cincin) tidak di suka sama nelayan selayar jika pergi melaut

di sekitar Selayar.

Page 91: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

75

Pelanggaran wilayah tangkap seringkali dilakukan oleh Nelayan Ha’lle

namun nelayan pulau Pasitanene hanya melakukan pengusiran atau

memberikan isyarat untuk pindah lokasi penagkapan dan bahkan ketika ada

nelayan Ha’lle melakukan penyelaman biasanya nelayan pulau Pasitanete

melakukan pemerikasaan KTP , mengenai hal ini salah satu nelayan Dg.S (53

tahun), menerangkan :

“Kalau ada nelayan Paggae (Purse Seine (Pukat Cincin) /miniPurse

Seine (Pukat Cincin) ) dan paselang (Penyelam) pergi menangkap ikan di

sekitaran pulau Pasi dan Pingiran Selayar, langsung kami datangi ketengah laut

,tapi tidak di tangkap ki dulu,biasanya diperiksa ki atau diminta ki KTPnya dan

biasanya ada juga dibawah ki kedaratan untuk dilaporkan pada pak Desa dan

selesai lewat perjanjian. Sekarang POLAIR mi ambil ki tapi jarang tonji pergi

berpatroli”

Hal ini serupa dengan juga diterangkan oleh Badan Permusyawaratan

Desa Pulau Pasitnete Desa Menara Indah, Bapak Muh. Ali (55 tahun), bahwa :

“Perjanjian sudah sering mi di lakukan kalau ada biasa nelayan luar

,biasanya itu perjanjian lisan itu membayar ki pajak sebagai bentuk pemasukan

desa dan izin langsung dari pak Kepala Desa Pulau Pasi, tapi biasa satu kali ji

membayar habis itu tidak pernah mi lagi, jadi kalau begini terus pale kalau ada

nelayan yang melapor langsung kuserahkan ke Pak Desa dan biasa Pak desa ji

yang teruskan ki ke petugas”

Saat ini potensi konflik dimonitoring oleh POLAIR, ini dilakukan untuk

mengurangi frenkuensi konflik dan meminilisir konflik terbuka kembali.

Masyarakat nelayan pulau Pasitanete turut serta dalam pengamanan situasi

laut.walaupun demikian masih ada nelayan Ha’lle ( Pendatang) pengguna Purse

Seine (Pukat Cincin) memasuki perairan pemancing nelayan Selayar. Selain

Page 92: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

76

faktor Permusuhan dan kecurigaan , hal lain yang mendorong konflik keduanya

yaitu keberadaan dan ketersediaan sumberdaya semakin menipis selain itu

faktor kerusakan ekologi perairan karena pengoperasian jaring Purse Seine

(Pukat Cincin) dan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan (bom dan bius).

Penyebab-penyebab konflik nelayan yang ditulis satria (2002) dan

kusnadi (2002) yang mengidentifikasi paling tidak terdapat empat (4) macam

konflik nelayan berdasarkan faktor penyebabnya.

1. Konflik kelas, yaitu konflik yang terjadi antarkelas sosial nelayan dalam

memperebutkan wilayah penangkapan (fishing Ground), yang mirip dengan

kategori gear war conflic charles ( 2001). Ini terjadi karena nelayan

tradisonal merasakan ketidakadlian dalam pemanfaatan sumberdaya ikan

akibat perbedaan tingkat penguasaan kapital. Seperti , konflik terjadi akibat

beroprasinya kapal Purse Seine (Pukat Cincin) pada peraiaran pesisir

yang sebenarnya merupakan wilayah penangkapan nelayan tradisonal.

2. Konflik orientasi, adalah konflik yang terjadi antar nelayan yang memiliki

perbedaan orientasi dalam pemanfaatan sumberdaya, yaitu antar nelayan

yang memiliki kepeduliaan terhadap sumberdaya yang ramah lingkungan

(orientasi jangka panjang),dengan nelayan yang melakukan kegiatan

pemanfaatan yang bersifat merusak lingkungan seperti penggunaan bom,

potassium dan lain sebagainya (orintasi jangka pendek).

3. Konflik agraria (wilayah penangkapan), merupakan konflik yang terjadi

akibat perebutan fishing ground yang biasa terjadii antara kelas nelayan

,maupun interkelas nelayan. Ini juga bisa terjadi dengan nelayan dengan

non-nelayan seperti nelayan dengan pelaku usaha , seperti

akuakultur,wisata ,pertambangan

4. Konflik Promordial, merupakan konflik yang terjadi akibat perbedaan

identitas, seperti etnik, asal daerah, dan seterusnya.

Page 93: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

77

Tabel 7. Jenis Konflik terjadi di Pulau Pasitanete Desa Menara Indah

Jenis Konflik Unsur-unsur Isu dan Fakta yang menguatkan jenis

Konflk

Konflik Kelas Perbedaan kelas sosial nelayan

dilihat dari alat tangkap dan

metode peangkapan aktif dan

pasif memperoleh tangkapan

yang berbeda

Sangat potensial

Konflik Orientasi Perbedaan Orientasi yang

mengarah kepada pemanfaatan

sumberdaya jangka panjang

dan jangka pendek kelestarian

Perikanan

Sangat potensial

Konflik Agraria Pemanfaatan yang dilakukan

oleh nelayan dengan non

nelayan dalam pemilihan lokasi

pemanfaatan serta asal daerah

atau lokasi pemukiman yang

berbeda sehingga dalam

pemanfaatan yang dilakukan

diatur dalam otonomi daerah

masing-masing.

Sangat potensial

Konflik Primordial Berasal dari suku,agama,ras

dan asal daerah dalam upaya

pemanfaatan sumberdaya

perikanan

Berpotensi

Sumber : Data Primer dan Sekunder, 2017

D. Tipe dan Karateristik Konflik

Konflik nelayan pulau Pasitanete Desa Menara Indah Kecamatan

Bontomatene di selat Bira/Selayar dalam perkembangannya dipicu oleh

permasalahan yang berbeda-beda. Karakteristik konflik diketahui dengan

mengidentifikasi tahapan-tahapannya yaitu konflik tersembunyi (latent), konflik

mencuat (emerging), konflik terbuka (manifest) dan konflik yang meningkat

(eskalasi) (Kusumastuti, 2006 diacu dalam Satria, 2006). Identifikasi tahapan-

tahapan konflik ditujukan untuk mengetahui pihak-pihak yang terlibat konflik serta

tindakan-tindakannya dalam konflik dan proses penyelesaian konflik

Page 94: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

78

Konflik nelayan Perairan selat Bira/Selayar umumnya bersifat terbuka

yang mengarah pada tindakan kekerasan. Namun beberapa diantaranya

berupa konflik permukaan dan konflik latent yang terjadi sebagai bagian atau

pengaruh dari adanya konflik yang terbuka. Pada konflik terbuka pihak- pihak

yang berselisih secara aktif terlibat dalam perselisihan yang terjadi

(Kusumastuti, 2006 diacu dalam Satria, 2006), berakar dalam dan sangat

nyata serta memerlukan berbagai tindakan untuk mengatasi akar penyebab

dan berbagai efeknya (Fisher, 2001).

a) Konflik Kepemilikan Sumberdaya

Perbedaan pandangan nelayan terhadap keberadaan sumberdaya

perikanan,perebutan lahan tangkapan antar sesama nelayan,perbedaan operasi

penangkapan (cara produksi /alat tangkap) dalam memanfaatkan sumberdaya

perikanan antar nelayan serta batas admnistrasi daerah antar nelayan yang

menempatkan satu kawasan di selat Selayar/Bira, serta penggunaan barang

yang tidak ramah lingkungan merupakan pemicu konflik yang berkaitan dengan

kepemilikan sumberdaya. Konflik kepemilikan sumberdaya adalah konflik yang

terjadi akibat isu kepemilikan sumberdaya yaitu siapakah yang memiliki

sumberdaya ikan di laut (Satria, 2006).

Pada masyarakat nelayan di kawasan pesisir Selat Selayar/Bira tidak ada

kepemilikan atau komunitas wiayah pesisir. Secara normatif laut besifat

“bebas”(open access) bagi siapapun untuk memanfaatkan namun secara yuridis

dalam hal pengelolaan terhadap pemanfaatan sumberdayanya merupakan

kepemilikan negara (state property). Daerah penangkapan ikan dengan alat

tangkap tradisional maupun skala kecil yang telah dimodifikasi antar nelayan

diwilayah selat Selayar/Bira bersifat terbuka. Artinya nelayan pulau Pasitanete

misalnya dapat mengoprasikan alat tangkapanya di wilayah peraiaran

Bulukumba begitupun sebaliknya. Namun nelayanHa’lle (pendatang) terutama

Page 95: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

79

kelompok nelayan yang menggunakan Purse Seine (Pukat Cincin) dan

sejenisnya yang melakukan penangkapan didaerah wilayah tangkapan Nelayan

pulau Pasitanete menganggu keseimbangan ekosistem dan ekologi akibat

kerusakan yang ditimbul dari alat tangkap yang digunakan oleh nelayan Ha’lle

(Pendatang) di tambah lagi penggunaan alat tangkap yang tidak ramah

lingkungan (bom dan bius) . Akibatnya nelayan pulau Pasitanete melakukan

pembatasan terhadap akses nelayan Ha’lle yang melakukan penangkapan di

wilayah perairan pulau Pasitanete dan Desa Bungaia. Maraknya konflik antar

nelayan menyebabkan masyarakat nelayan pulau Pasitanete menerapkan

sebuah aturan lokal (local rules) sebagai pengontrol akses nelayan Ha’lle di

perairan Pulau Pasitanete. Misalnya nelayan Ha’lle bisa masuk keperairan

wilayah tangkapan nelayan pulau Pasitanete dengan ketentuan menggunakan

alat tangkapan yang sama dan tidak menggunakan alat tangkap bom dan bius.

b) Pengunaan Alat Tangkap/Cara Produksi

Hasil estimasi terhadap tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan didapatkan

bahwa perairan Selat Selayar/Bira sudah berada pada kondisi overfishing baik

untuk perikanan pelagis dan perikanan demersal (gambar 5.). Berdasarkan hasil

penelitian Tim Kerja EAFM Learning Center EAFM Universitas Hasanuddin

menyimpulkan bahwa penggunaan dan peningkatan alat tangkap membuat

ketersediaan sumberdaya ikan semakin menurun Penambahan armada

penangkapan berupa bantuan dari pemerntah melalui DKP Kabupaten Selayar di

tambah lagi dengan adanya Nelayan Ha’lle (pendatang) yang datang di perairan

selayar. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dari gambar 5. Grafik Hubungan

Perkembangan Unit Penangkapan dan Produksi Hasil Tangkapan Perikanan

Karang di Kabupaten Kepulauan Selayar untuk Tahun 2011-2015 (Dinas

Kelautan dan Perikanan Kepulauan Selayar, 2012-2016).

Page 96: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

80

Setiap nelayan berhak untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-

besarnya dan ini akan tercapai jika nelayan menerapkan teknologi yeng lebih

canggih dalam penangkapanya, baik teknologi pada kapal dan alat

tangkap.Perbedaan alat tangkap yang digunakan oleh Nelayan Kepulauan

Selayar Khususnya Nelayan Pulau Pasitane Desa Menara Indah dengan

Nelayan Pendatang memiliki perbedaan baik dari segi alat tangkap, kapal

penangkapan dan Teknologi yang di gunakan.

Nelayan Pulau Pasitanete masih menggunakan cara tradisional

sedangkan Nelayan Ha’lle (Pendatang) sudah menggunakan alat tangkap

moderen. Selain itu Nelayan Bulukumba dan nelayan lain daerah lain

(pendatang) di curigai mengunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan

seperti Bom (potasium) dan Bius (sianida). Berdasarkan hasil wawancara (dg.

SY 47) salah satu nelayan mengatakan bahwa:

“Dulu pernah di dapat nelayan patongkolo (nelayan yang berasal dari

sinjai),pada saat di gerebek oleh masyarakat beserta kepala desa didapat ki

membawa pacello (racun sianida) dan botolnya langsung na buang ke laut tapi di

ambil kembali oleh masyarakat”

Akibatnya banyak terjadi kerusakan Terumbu Karang yang di sebabkan

oleh nelayan penggunaan Ilegal Fishing tersebut. Ini memicu konflik dalam hal

pemanfaatan lingkungan, menurut Satria (2006),konflik lingkungan adalah konflik

yang terjadi akibat kerusakan lingkungan karena praktek satu pihak yang

merugikan nelayan lain. Kerusakan lingkungan perairan selat Selayar/bira terjadi

karena adanya praktek individu atau kelompok ( yang teridentifikasi langsung

maupun yang tidak langsung) memberikan pengaruh yang buruk terhadap

lingkungan. Akibatnya akan merugikan pihak-pihak lain yang turut

berkepentingan menfaatkan lingkungan terutama nelayan Pulau Pasitanete.

Page 97: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

81

c) Konflik Pengeolaan Sumberdaya Ikan

Usaha penangkapan ikan di perairan Selayar , Kecamatan Bontomatene,

wilayah perairan Selat Selayar/Bira diperbolehkan apabila dengan menggunakan

alat tangkap yang sifatnya ramah lingkungan, misalnya Gill net . Penangkapan

oleh nelayan luar/nelayan daerah lain tidak dipermasalahkan selama

menggunakan alat tangkap dan operasi penangkapan yang sama dengan

nelayan lokal. Hal ini ditujukan untuk mengurangi tingkat persaingan antar

nelayan lokal dengan nelayan luar/daerah lain serta menjaga kelestarian

lingkungan dan sumberdaya ikan. Namun karakteristik usaha penangkapan

nelayan luar yang dalam perkembangannya cenderung menggunakanan alat

tangkap yang Pengoprasianya diwilayah Jalur II misalnya Purse Seine ( Pukat

Cincin) sebagai wujud adaptasi terhadap sumberdaya yang telah overfishing

menyebabkan nelayan Pulau Pasitante dan Desa Bungaia, Kecamatan

Bontomatene menolak keberadaan nelayan luar di perairan Selat Selayar/Bira

dan Peraiaran Selayar kepemilikan sumberdaya (property right) yang akhirnya

memunculkan fenomena pengkaplingan laut sebagai batasan teritorial (territorial

boundary) yang membedakan perairan antara nelayan lokal dengan nelayan

luar.Berkaitan dengan kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi pengelolaan

wilayah laut yang disinyalir sebagai munculnya konflik kenelayanan, fenomena

pengkaplingan laut dan hak eksklusi (exclusion right) nelayan lokal merupakan

fenomena lama dan bukan serta merta akibat otonomi daerah (Satria, 2003).

Pada intinya ini lebih menunjukkan pada adanya keterkaitan antara identitas

sebuah kelompok sosial dengan tempat mereka hidup atau penghargaan

identitas selaku nelayan yang merasa berhak terhadap suatu wilayah tertentu

(Adhuri, 2005 dan Satria, 2003), seperti pada kelompok Nelayan Selayar ,

Kecamatan Bontomatene yang merasa berhak untuk mengelola wilayah perairan

Peraiaran Selayar dari praktek penangkapan nelayan luar yang banyak merusak

Page 98: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

82

kelestarian sumberdaya dan lingkungan. Konflik pengelolaan sumberdaya adalah

Berikut:

Gambar 7. Alat tangkap yang di pergunakan menurut Nomor 71/permen-KP/2016 di Wilayah Perairan Selayar/Bira

Hampir semua Pemicu konflik yang terjadi dilatarbelakangi oleh adanya

pelanggaran terhadap peraturan-peraturan pengelolaan sumberdaya termasuk

aturan lokal (local rules) seperti di masyarakat nelayan Pulau Pasitanete,

Kecamatan Bontomatene.

Pelanggaran terhadap aturan pengelolaan umumnya dilakukan oleh

nelayan luar atau nelayan dari Kabupaten lain yang aktivitas perikanannya juga

bergantung pada sumberdaya di perairan Selat Selayar/Bira. Pelanggaran

terhadap peraturan pemerintah (goverment rules) dalam usaha penangkapan,

seperti pelanggaran terhadap pelarangan pengoperasian jaring Purse Seine

yang termuat dalam Permen No. 71/permen-KP tahun 2016.

Di samping itu, pelanggaran aturan pengelolaan juga terlihat pada

karateristik usaha penangkapan nelayan luar/nelayan kabupaten lain dalam

memanfaatkan sumberdaya perikanan seringkali mengancam keberlanjutan

Page 99: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

83

sumberdaya dan merusak kelestarian lingkungan perairan, seperti nelayan Sinjai

menggunakan Bius dan Bom.

E. Akar Permasalahan Konflik

Akar permasalahan konflik nelayan dalam pemanfaatan sumberdaya

perikanan di selat Selayar/Bira antara nelayan pulau Pasitanate dengan nelayan

Ha’lle (pendatang) antara lain berkaitan dengan:

1) Keberadaan Sumberdaya Ikan

Perairan pulau selayar merupakan tempat habitat ikan-ikan yang memiliki

nilai ekonomi yang tinggi, keberadaan ikan tersebut menjadikan target

penangkapan bagi nelayan Ha’lle (pendatang) mengekploitasi, berbagai cara

penagkapan digunakan sampai menggunakan alat tangkap yang tidak ramah

lingkungan (bom dan bius). Selama tahun 2000-2012 menginditifikasi kondisii

cadangan ikan terutama target penangkapan telah berada pada kondisi

overfishing dan cenderung semakin menurun dari waktu ke waktu, ditambah lagi

ekosistem terumbu karang sudah banyak yang rusak akibat penggunaan Purse

Seine (Pukat Cincin) dan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan. Kondisi

yang sedemikian menjadi salah satu faktor yang menyebabkan turunya

pendapatan nelayan pulau Pasitanete dan menjadi akar permasalahan konflik

terkait perebutan sumberdaya ikan dikalangan nelayan dan ini sesuai yang

dikemukakan oleh Satria (2006) bahwa konflik Kenelayaan yang muncul terkait

kepemilikan sumberdaya adalah konflikyang terjadi sebagai akibat dari isu

kepemilikan sumberdaya,dimana kepemilikan laut serta ikan tidak dapat

terdefenisi secara jelas milik siapa. Akibatnya menimbulkan nelayan

mengekploitasi sumberdaya ikan secara berlebihan (overfishing).

Page 100: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

84

2) Hukum dan Peraturan Pemerintah dalam Usaha Penangkapan Ikan

Beberapa peraturan dan hukum di sektor penangkapan masih tumpang

tindih antara satu dengan yang lain. Penegakan hukum dalam hal pengawasan

usaha penangkapan ikan yang dilakukan oleh pihak yang berwenang masih

kurang maksimal menindak tindakan nelayan yang melanggar hukum. Patroli

aparat dalam usaha pengawasan dan penegakan hukum di laut relatif jarang

terkecuali jika terjadi konflik dan laporan masyarakat. Adapun peraturan Tentang

jalur penangkapan ikan dan Penempatan alat penangkapan ikan yang sering

dilanggar oleh nelayan Ha’lle ( Pendatang) yaitu :

1. Peraturan Mengenai Pelarangan Bom dan bius sudah di atur oleh Pasal

8 ayat satu(1) Pasal 84 ayat satu (1) UU RI No.45 Tahun 2009 terkait

perubahan UU RI Nomor 31 tahun 2004 tentang perikanan dan

penerapan Pasal 85 UU RI Nomor 31 tahun 2004 tentang perikanan

terkait pelarangan penggunaan Bom ikan dan pasal 92 sub pasal 26 ayat

(1) jo pasal 93(1) pasal 27 UU RI no. 45 Tahun 2009 Tentang

Penangkapan.

2. Peraturan Menteri Kelautan Perikanan Republik Indonesia Nomor

71/Permen-KP/2016 tentang jalur penangkapan ikan dan Penempatan

alat penangkap ikan WPPNRI ( Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara

Republik Indonesia).

3. Peraturan – peraturan lokal (local rules ) yang di terapkan di dearah

penangkapan

3) Pengaturan Nelayan Ha’lle ( Pendatang)

Ketentuan nelayan Andon sebenarnya sudah diatur dalam peraturan

daerah Kabupaten Kepulauan Selayar ( Perda) No.6 tahun 2009 tentang

perizinan Usaha Perikanan di atur dalam Pasal 1 (23). Dan membandingkan

Page 101: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

85

Peraturan Daerah (Perda) salah satu nelayan Ha’lle (Bulukumba). Berikut

perbandingan Peraturan Daerah Kedua daerah tersebut:

Tabel 8. Peraturan Daerah Tentang Nelayan Ha’lle

No Peraturan Daerah Kabupaten Kepulauan Selayar

Perda No.6 tahun 2009 Tentang Perizinan Usaha Perikanan

Peraturan Daerah Kabupaten Bulukumba

Perda No.17 Tahun 2008 Tentang Retribusi Usaha Perikanan

1 Pasal 1 (17)

Surat penangkapan ikan yang

selanjutnya di singkat SPI adalah

isurat yang harus dimiliki setiap kapal

erikanan untuk melakukan kegiatan

penangkapan ikan di perairan dalam

wilayah kewenangan Kabupaten

Kepulauan Selayar dan merupakan

bagian yang tida terpisahkan dari IUP

Pasal 1 (16)

Surat Izin Usaha Perikanan,yang

selanjutnya disebut SIUP adalah

izin tertulis yang harus di miliki oleh

perusahaan perikanan yang

melakukan usaha perikanan dengan

menggunakan sarana produksi yang

mencantum dalam izin tersebut

2 Pasal 1 (23)

Nelayan Andon ( Nelayan Pendatang)

adalah nelayan yang melakukan

kegiatan penangkapan ikan di laut

dengan menggunakan kapal

perikanan berukuran tidak lebih dari

30 (tiga puluh) Gross Tonage (GT)

atau mesinya yang berkekuatan tidak

lebih dari 90 (sembilan puluh) Daya

Kuda (DK) dengan daerah

penagkapan yang berubah-ubah atau

berpindah-pindah sehingga nelayan

tersebut berpangkalan atau berbasis

sementara waktu relatif lama

dipelabuhan diluar daerah asal

nelayan tersebut

Dalam pasal 1 sebagai ketentuan

umum tidak ada ayat yang

menyebutkan tentang kenelayaan

pendatang/nelayan dari daerah lain

yang melakukan penangkapan ikan

di Kabupaten Bulukumba

Dilihat dari tabel 6. Kesamaan terlihat pada Surat Perizinan tapi dalam

pengaturan mengenai nelayan Ha’lle (pendatang), ada perbedaan dalam 2

Peraturan daerah tersebut. Misalnya Perda Kabupaten Kepulauan Selayar

Page 102: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

86

menerapkan aturan Tentang Nelayan Ha’lle (pendatang) sedangkan Perda

Kabupaten Bulukumba tidak.

Pasal tersebut dapat melemahkan pemerintah Kabupaten/Kota tujuan

Nelayan Ha’lle (Pendatang) karena mengabaikan kewenangan pemerintah

Kabupaten/Kota dalam hal perijinan usaha penangkapan. Selama ini, nelayan

Ha’lle (Pendatang) dapat diterima asalkan tidak merugikan nelayan lokal dalam

melakukan penangkapan ikan. Konflik yang timbul disebabkan karena

kebanyakan nelayanHa’lle beroperasi di wilayah tangkap nelayan lokal tanpa

meminta izin sebelumnya atau karena izin berandon tidak ditujukan ke daerah

tempat mereka melakukan penangkapan ikan. Konflik yang timbul disebabkan

karena kebanyakan nelayan Ha’lle (Pendatang) beroprasi di wilayah tangkap

nelayan lokal tanpa meminta izin sebelumnya atau karena izin berandon tidak

ditujukan kedaerah mereka tanpa melakukan penangkapan.

Adapun dalam penerapan aturan lokal (lokal rules) di buat oleh daerah

tujuan nelayan Ha’lle (pendatang). Di pulau Pasitanete tersendiri memliki aturan

lokal yang di buat oleh pemerintah setempat dalam hal ini Kepala Desa, anggota

BPD (Badan Permusyarawatan Desa), Babinsa, Tokoh-tokoh masyarakat,

ulama, nelayan lokal dan nelayan Ha’lle ( Pendatang).

Pembuatan aturan lokal sebenarnya dilatar belakangi seringnya nelayan

Ha’lle (pendatang ) memasuki daerah penangkapan. Proses pembuatan aturan lokal

tidak semestinya di buat begitu saja tapi melainkan ada pertimbangan-pertimbangan

dari kedua bela pihak yang berkubu nelayan lokal ( nelayan pulau Pasitanete)

dengan nelayan Ha’lle (Pendatang). Ada mekanisme tertentu yang dijalankan oleh

masyarakat pulau Pasitanete Desa Menara Indah yaitu dengan menggunakan

musyawarah kekeluargaan, mekanisme ini di lakukan dengan mepertemukan

perwakilan dari Nelayan Ha’lle (Pendatang) yang beroprasi dan berlabuh wilayah

penangkapan tradisional pulau Pasitante dengan nelayan setempat yang mana dari

Page 103: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

87

pihak nelayan Ha’lle (pendatang) di wakili oleh Pungawa kapal (Nahkoda Kapal) dan

nelayan pulau pasitanete di wakili oleh Kepala Desa Menara Indah itu sendiri. Ini

sesuai dengan arahan Pemda nomor 10 tahun 2011 mengenai pengelolaan wilayah

pesisir, kedua bela pihak dipertemukan di balai Desa menara Indah dan di

monitoring oleh Babinsa setempat.

Hasil musyawarah biasanya berupa surat pernyataan dan permintaan uang

izin menangkap sebagiai jaminan dan pendapatan desa. Tapi seiring waktu berjalan

mekanisme hanya berjalan sementara waktu. Bayaknya nelayan Ha’lle (Pendatang)

tidak menjalankan aturan lokal tersebut membuat pemerintah setempat dalam hal ini

Kepala Desa Menara Indah dan nelayan pulau Pasitanete menyerahkan langsung ke

Petugas dan pemrintah Kabupaten Kepulauan selayar.

“Perjanjian sudah sering mi di lakukan kalau ada biasa nelayan luar

,biasanya itu perjanjian lisan maupun tulisan dan itu biasa membayar ki pajak

sebagai bentuk pemasukan desa dan izin langsung dari pak Kepala Desa Pulau

Pasi, tapi biasa satu kali ji membayar habis itu tidak pernah mi lagi, jadi kalau

begini terus pale kalau ada nelayan yang melapor langsung kuserahkan ke Pak

Desa dan biasa Pak desa ji yang teruskan ki ke petugas”

4) Perbedaan Cara Pandang Memanfaatkan Sumberdaya Perikanan

Perbedaan cara pandang dalam memanfaatkan sumberdaya diantara

komunitas nelayan juga menjadi faktor pemicu konflik,nelayan Ha’lle (Pendatang)

banyak menggunakan kecurangan karena berorentasi jangka pendek,tanpa

memperhatikan kelangsungan sumberdaya. Mereka menggunakan alat tangkap

terlarang atau melakukan penangkapan diluar jalur tangkapan yang telah

disepakati karena pertimbangan ekonomi untuk mendapatkan keuntungan besar.

Sementara nelayan lokal (nelayan pulau Pasitanete) berorientasi jangka panjang

dengan tetap menggunakan alat tangkap tradisional sebagai usaha menjaga

keberlanjutan sumberdaya dan lingkungan.

Page 104: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

88

Jika terus berlanjut maka yang paling dirugikan adalah nelayan tradisonal

Pulau Pasitante Desa Menara Indah dan nelayan Pesisir Pulau Pasitanete yang

mana mereka masih menggunakan alat tangkapan yang masih tradisional.

5) Pengaturan Penggunaan Bahan Tidak Ramah Lingkungan

Larangan pemanfaatan sumberdaya yang merusak kelestarian

lingkungan terdapat dalam Undang-Undang No.23 Tahun 1997 tentang

lingkungan hidup, sedangkan pemanfaatan sumberdaya perikanan yang

ditujukan untuk keberlanjutan dan kelestarian sumberdaya perikanan terdapat

dalam Undang- Undang No.31 Tahun 2004 tentang perikanan. Alasan

beberapa nelayan melakukan penangkapan ikan dengan bahan yang tidak

ramah lingkungan, seperti bahan peledak dan potassium antara lain karena

tidak membutuhkan biaya yang tetap dibandingkan alat tangkap seperti jaring.

Pengoperasiannya praktis dan tidak menanggung resiko kerusakan seperti

pada jaring. Namun, kebanyakan nelayan memberi alasan menggunakan

bahan terlarang karena desakan kebutuhan ekonomi.

6) Terbatasanya Fasilitas Perikanan

Terbatasnya fasilitas dan sarana penunjang ekonomi nelayan,seperti TPI

mengakibatkan nelayan mengalami kesulitan dalam mendapatkan modal usaha

dan memasarkan hasil tangkapanya, ketika nelayan selesai menangkap ikan

biasanya hasil tangkapan langsung di kasih pada pengumpul atau pemberi

usaha/modal (pungaha). Fasilitas TPI cuman ada di Benteng selayar Berbeda

dengan nelayan Ha’lle (Pendatang) yang memiiki fasilitas TPI tiap pelabuhan

yang memadai sehingga mobilisasi hasil tangkapan lancar. Demikian pula,

adanya konflik dengan nelayan luar mengakibatkan nelayan lokal (nelayan pulau

Pasitanete) mengalami kerugian materi yang cukup besar. Meskipun demikian,

keberadaan pemilik modal sebenarnya tidak merugikan nelayan cuman beberapa

Page 105: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

89

kejadian di lapangan, terlihat bahwa nelayan peminjam diharuskan menyetor

atau menjual hasil tangkapannya kepada pemilik modal.

F. Pihak-pihak dalam Konflik

Pihak-pihak dalam konflik kenelayaan di perairan Kecamatan

Bontomatene Selat Selayar/Bira yaitu nelayan sebagai pelaku utama konflik

(komunitas nelayan pulau Pasitanete dan kelompok-kelompok nelayan

pendatang/nelayan luar) dan pihak ke-3 (tiga) yang memberikan

akomodasi/bantuan dalam penyelesaian konflik secara partisipatif, antara lain

yaitu; Instansi pemerintah daerah sebagai autoritas yang berwenang dalam

penyelesaian konflik, meliputi Pemerintah Kabupaten Kepulauan Selayar dan

Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan (pihak-pihak ini meliputi instansi dari Dinas

Perikanan dan Kelautan Kabupaten dan Provinsi, Aparat Keamanan yaitu

Polisi, Pol-Airud dan TNI-AL). Sedangkan pihak-pihak ke-3 (tiga) non-

pemerintah yang turut membantu dalam penyelesaian konflik antara lain adalah

Organisasi nelayan, PPL (petugas penyuluh lapang), peneliti serta Tokoh

masyarakat maupun pemimpin informal lainnya yang berperan sebagai

mediator dalam penyelasaian konflik.

1. Nelayan Selayar ( Komunitas Nelayan Pulau Pasitanete dan nelayan Desa Bungaia)

Nelayan pulau Pasitene sejak dahulu mengenal wilayah penangkapan

tradisional (traditional fishing ground). Wilayah ini adalah perairan pantai yang

terdekat dari desa tempat tinggalnya dan biasa menjadi tempat menangkap ikan

sepanjang tahun. Wilayah ini tetap terbuka untuk nelayan-nelayan daerah lain.

Hanya saja harus mempertimbangkan prinsip ”keadilan” yang berarti

menyamakan alat tangkap yang akan digunakan. Dalam prinsip ”keadilan” ini,

perbedaan kelompok nelayan tidak terlalu dipermasalahkan. Artinya semua

kelompok nelayan (termasuk nelayan luar) dapat menangkap ikan di wilayah ini

Page 106: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

90

dengan syarat harus mempertimbangkan prinsip ”keadilan” tersebut. Masyarakat

yang bekerja sebagai nelayan di Desa Menara Indah memilih bertahan sebagai

nelayan tradisional, meskipun sebagian besar mampu mengembangkan

usahanya

Selain itu wilayah penangkapan (fishing ground) harus sesuai dengan

jalur yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Padahal perairan Selat Selayar/Bira,

Kecamatan Bontomatene merupakan perairan yang sempit . Jika mereka bertahan

dalam perairan yang sempit tersebut dengan mengganti alat tangkap dengan jaring

kantong, maka potensi konflik antar sesama nelayan lokal (nelayan desa lainnya di

Kecamatan Bontomatene) mungkin terjadi. Sedangkan untuk melakukan ekspansi

daerah tangkapan diluar perairan Selat Selaya/Bira atau mencari daerah tangkapan

baru, maka mereka mungkin akan terlibat konflik dengan nelayan-nelayan lain yang

telah lama beroperasi di daerah baru itu dan juga mempertimbangkan besar perahu

penangkapanya Salah seorang nelayan, Dg.Rs (55 tahun), menjelaskan:

“Bukan tidak bisa ganti alat tangkap ,Sebenarnya selain terkendala dari

modal kami tidak mau pake selain jaring biasa (Gill Net) apalagi penggunaan alat

tangkap yang tidak ramah lingkungan . Biar adil, supaya tidak ada kecemburuan

sesama nelayan Selayar. kalo masalah tangkapan yag berbeda, itu sudah rezeki

masing-masing. Lagi pula tidak mungkin kami menangkap ikan sampai perairan

Bulukumba dan Sinjai “

Nelayan Pulau Pasi tanete tidak memperluas daerah tangkapannya di luar

perairan Selat Selayar/Bira karena mereka akan kalah bersaing dengan nelayan-

nelayan lain yang alat tangkapnya lebih maju. Hasil tangkapan yang sedikit dan tidak

menentu menyebabkan nelayan memilih menangkap ikan di sekitar perairan pantai

karena pertimbangan efisiensi usaha. Dalam pengelolaan konflik, sampai saat ini

nelayan Desa Menara Indah Pulau Pasitanete hanya melakukan pelarangan,

Page 107: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

91

pengawasan dan penentuan batas wilayah perairan untuk membedakan wilayah

perairannya dengan wilayah perairan nelayan daerah lain.

2. Nelayan Ha’lle (Nelayan Pendatang Daerah Lain)

Kebutuhan akan lahan tangkapan baru sebagai sarana pemenuhan

kebutuhan hidup menjadi alasan yang kuat bagi nelayan-nelayan luar di

sepanjang pesisir Pulau Sulawesi untuk memperluas wilayah penangkapannya

sampai ke perairan daerah lain seperti ke perairan Selayar dan. Pada

kenyataannya kehadiran nelayan luar ke perairan Selayar/Bira terutama Perairan

dekat pulau pasitanete memicu terjadinya konflik. mendapatkan perlawanan dari

masyarakat. Hal ini karena masyarakat yang bekerja sebagai nelayan khawatir

perairan mereka akan menjadi rusak dan berdampak pada terbatasnya

sumberdaya ikan. Nelayan luar rata-rata memakai alat tangkap Purse Seine

(Pukat Cincin) atau sejenisnya dan bahkan ada yang menggunakan alat tangkap

bom dan bius ini Konflik masih bersifat mencuat (emerging).

Gambar 8. Peta Kedatangan Nelayan Ha’lle (Pendatang)

Semakin gencarnya POLAIR bersama masyarakat Nelayan Pulau

Pasitanete dan nelayan sekitar Pesisir Selayar dalam melakukan pengamanan di

laut, menyebabkan nelayan luar banyak yang menangkap ikan di sekitar perairan

Page 108: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

92

Selayar secara sembunyi-sembunyi. Dengan mengingat jadwal patroli Petugas

POLAIR, mereka akan menangkap ikan di luar jadwal patroli sehingga

kemungkinan besar akan lolos dari penangkapan. Patroli aparat di sekitar

perairan Selayar yang terkesan menghalangi kepentingan nelayan luar untuk

mendapatkan lahan tangkapan baru, menyebabkan konflik latent terjadi antara

nelayan luar dengan Petugas Selayar.

3. Instansi Pemerintah Daerah

Masalah konflik nelayan Pulau Pasitanete atau Nelayan Selayar pada

umumnya dengan nelayan Ha’lle (Pendatang) diserahkan pemerintah daerah

kepada aparat keamanan (POLAIR dan TNI-AL). Proses penyelesaian konflik

banyak ditangani di tingkat lokal yaitu di pihak Kepala desa atau Lurah. Namun

ketika konflik menjadi terbuka dan anarkis diantara kedua pihak, maka

ditindaklanjuti oleh di tingkat kecamatan. Namun setelah terbentuknya

Departemen Perikanan dan Kelautan (DKP), maka masalah penyelesaian konflik

diserahkan kepada instansi tersebut. Pemerintah daerah termasuk Pemerintah

Provinsi (Pemprov) Sulawesi Selatan dan Pemerintah Kabupaten (Pemkab)

Kepulauan Selayar melalui Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi dan

Kabupaten melakukan koordinasi dengan aparat keamanan dan autoritas lokal

(Kepala Desa )dalam menyelesaikan konflik.

4. Pihak-Pihak Lain dalam Konflik

Pihak-pihak lain yang juga bertindak selaku mediator dalam konflik

antara lain: Petugas Penyuluh Lapang (PPL), Ulama, Tokoh nelayan, serta

organisasi kemasyarakatan (non-pemerintah) yang secara tidak langsung

memberikan masukan dalam penyelesaian konflik. Penyuluh lapang memiliki

peranan yang terbatas terhadap penyelesaian konflik secara langsung. Peranan

mereka biasanya dominan pada upaya sosialisasi hukum dan peraturan dalam

Page 109: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

93

bidang perikanan Menurut masyarakat jika penyuluh lapang ada, maka akan

memudahkan masyarakat untuk menyampaikan aspirasinya dalam upaya

memperbaiki lingkungan pesisir yang rusak dan membantu menumbuhkan

kegiatan ekonomi dengan memfungsikan kembali lahan pertambakan dan

pertanian sebagai usaha nelayan untuk beralih ke mata pencaharian lain.

Peranan Ulama Pasitanete terhadap konflik sangat dominan. Ini

disebabkan karena masyarakat Pulau Pasitanete secara sosial dan budaya

mempunyai kepercayaan yang kuat terhadap agama (muslim). Ulama dinilai

dapat meredam emosi massa sehingga konflik tidak meluas dan mengarah pada

tindakan anarkis. Sama halnya dengan Ulama, tokoh nelayan di Desa Menara

Indah juga mempunyai pengaruh yang besar terhadap konflik karena mampu

mempengaruhi opini massa.

G. Dampak Konflik

Dampak dari Permasalahan-permasalahan yang terjadi di selat

Selayar/Bira jika terus berlanjut maka akan merugikan nelayan-nelayan

tradisonal di sana baik berdampak secara langsung maupun tidak langsung.

Secara langsung permasalahan ini sangat merugikan nelayan pulau pasitanete

dengan adanya nelayan Ha’lle (Pendatang) baik dari segi penangkapan maupun

dari segi penghasilan. Kedatangan nelayan-nelayan Ha’lle (Pendatang) diperairan

selayar menggangu area penangkapan nelayan tradisional. Sedangkan secara

tidak langsung dengan bertambahnya Nelayan Ha’lle (Pendatang) yang datang

ke perairan penangkapan Nelayan pulau pasitanete dan kurangnya pengawasan

maka kemungkinanan terjadi konflik antar nelayan sangat besar pula dan

dampaknya akan kembali ke nelayan tradisonal terutama nelayan Pulau

Pasitanete.

Berdasarkan hasil penelitian Tim Kerja EAFM Learning Center EAFM

Universitas Hasanuddin menyimpulkan bahwa penggunaan dan peningkatan

Page 110: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

94

alat tangkap membuat ketersediaan sumberdaya ikan semakin menurun

Penambahan armada penangkapan berupa bantuan dari pemerntah melalui DKP

Kabupaten Selayar di tambah lagi dengan adanya nelayan Ha’lle (Pendatang)

yang datang di perairan selayar.

H. Penyelesaian Konflik

Resolusi konflik dipandang sebagai upaya meredakan dan mengurangi

konflik yang telah dan sedang terjadi. Pada dasarnya konflik kenelayanan (terkait

pemanfaatan sumberdaya laut) bernuansa kekerasan (Adhuri et al. 2005). Konflik

yang bernuansa kekerasan maupun yang tidak, bermanfaat dan tidak dapat

dihilangkan dalam masyarakat karena hubungan-hubungan antar pihak-pihak

(individu atau kelompok) dalam masyarakat tidak selamanya harmonis,

setidaknya ada hal yang dipertentangkan. Akar konflik dalam pengeksploitasian

sumberdaya laut atau yang dikenal dengan istilah kenelayanan adalah

kenyataan bahwa laut tergolong sumberdaya milik umum (public property

resource) sehingga untuk mengatasinya dilakukan dengan penciptaan keputusan

yang disetujui bersama yang bisa memaksa setiap orang untuk tunduk padanya

(Hardin, 1968 dalam Adhuri, 2005).

Upaya penyelesaian (resolusi) perlu segera dilakukan terutama pada

konflik yang bernuansa kekerasan agar tidak semakin buruk dan diharapkan

dapat menghasilkan keseimbangan (equilibrium) baru di masyarakat. Di pihak

lain, resolusi konflik mengacu pada strategi-strategi untuk menangani konflik

terbuka dengan harapan tidak hanya mencapai suatu kesepakatan untuk

mengakhiri suatu kekerasan (penyelesaian konflik), tetapi juga mencapai suatu

resolusi dari berbagai perbedaan sasaran yang menjadi penyebabnya (Fisher,

2001).

Page 111: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

95

I. Manajemen Konflik

Manajemen konflik dilakukan dengan konsep yang disebut community

based conflict management (CBCM). Inisiatif penyelesaian konflik (terutama

berdasarkan konsensus atau kesepakatan) tidak dapat dipisahkan dari konteks

perubahan sosial secara umum. Harus disadari bahwa tidak ada satupun

mekanisme penyelesaian konflik yang dapat melenyapkan konflik, mereka hanya

mampu meredakan dan mengatur konflik agar turun kadarnya dari suatu

konfrontasi hebat kepada tingkat perselisihan atau perbedaan pendapat saja

(Maskanah et al. 2005 ). Pada akhirnya manajemen konflik dilakukan secara

alternatif yang dititkberatkan kepada bagaimana fasilitas pihak-pihak

(individu,kelompok organisasi) untuk beradaptasi dengan perubahan sosial

(social change) yang terjadi. Upaya penyelesaian konflik dengan nelayan

luar/nelayan daerah lain awalnya dilakukan sendiri oleh masyarakat nelayan

Desa Menara Indah (Pulau Pasitanete), Kecamatan Bontomatene, Kabupaten

Kepulauan Selayar. Namun upaya yang dilakukan menjadi tidak efektif

mengingat mekanisme penyelesaian yang ditempuh oleh masyarakat cenderung

mengarah pada usaha-usaha yang bersifat ”memaksa” nelayan luar.

Pemerintah Kabupaten Kepulauan Selayar telah Menangani

permasalahan konfliknelayan yang ada di Kecamatan Bontomatene melalui

peranan beberapa instansi seprti Petugas (Polsek dan TNI-AD). Petugas

melakukan usaha-usaha untuk meredamkan atau mengurangi ketegangan

antara nelayan Pulau Panitanete dengan nelayan Ha’lle (Pendatang) dengan

melakukan pendekatan (konsiliasi) kepada kedua bela pihak dan mengupayakan

kedua pihak melakukan pertemuan untuk melaksanakan upaya perdamaian

(rekonsiliasi). Petugas melakukan koordinasi dengan Petugas asal daerah

Nelayan Ha’lle (Pendatang) yang di maksud, seperti pada kasus konflik antara

nelayan Pulau Pasitanete dengan nelayan yang berasal dari Kabupaten

Page 112: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

96

Bulukumba. Sedangkan aparat keamanan, yaitu Polsek Kecamatan

Bontomatene lebih bertindak sebagai mediator yang membantu menciptakan

keamanan pada saat proses dilaksanakan negosiasi. Sejak tahun 2009,

penyelesaian konflik kenelayaan di Kecamatan Bontomatene melibatkan

Peranan Instansi Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Kepulauan Selayar.

Upaya yang dilakukan oleh Dinas Kelautan Dan Perikanan dalam penyelesaiaan

konflik antara lain dengan fasilitas suatu pertemuan atau perundingan, Konsultasi

permasalahan dengan nelayan yang terlibat dengan konflik,konsiliasi,serta

melakukan koordinasi lintas instansi/departemen (Kepolisian,TNI-AD,Tokoh

Informal Lokal,Penyuluh dan Kepala Desa) diwilayah lokal maupun antar

kabupaten yang nelayannya terlibat konflik dengan Nelayan Selayar dan Pada

khususnya nelayan pulau Pasitanete, untuk bersama-sama merumuskan solusi

konflik yang efektif

Untuk mengefektifkan kinerjanya sebagai lembaga berwenang dalam

menetapkan kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan selat Selayar/Bira,

dengan tidak adanya Pos jagawana (Pos Keamanan laut) jadi koordinasi

dilakukan dengan pemerintah setempat (Kepala Desa ) atau dengan Babinsa

(TNI-AD) yang bertugas di pulau Pasitanete. Pemerintahan setempat turut

berperan andil dalam penyelasaian konflik meskipun sebagai mediator dalam

pelaksanaan negosiasi antara nelayan yang berkonflik. Demikian pula kerlibatan

dengan tokoh-tokoh masyarakat seperti Ulama. Dengan demikian,

negosiasi,mediasi,dan fasilitasi berlangsung sekligus dalam proses penyelasaian

konflik melalui musyawarah pihak-pihak yang berkonflik.

Hasil akhir musyawarah tersebut berupa penandatanganan surat

pernyataan bersama atau surat perjanjian damai. Sampai saat ini mekanisme

penyelesaian konflik secara negosiasi menjadi alternatif pilihan masyarakat

Page 113: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

97

Pulau Pasitanete , meskipun pada kenyataannya upaya ini hanya berlaku untuk

meredam konflik secara temporer atau sementara waktu.

Dalam perkembangannya (setelah tahun 2012), manajemen konflik di

masyarakat Nelayan Pulau Pasitanete, Kecamatan Bontomatene mengalami

kemajuan, yaitu menyertakan mekanisme semacam arbitrasi dan proses-proses

adjudikasi. Mekanisme tersebut berlangsung sekaligus yang ditangani oleh pihak

Petugas Keamanan Laut (POLAIR dan TNI-AD ) Arbitrasi ditujukan untuk membuka

jalan menuju proses negosiasi (musyawarah kekeluargaan), sedangkan

pelanggaran-pelanggaran (nelayan luar) dalam bidang perikanan diproses secara

adjudikasi. Mekanisme arbitrasi dan adjudikasi diadopsi oleh masyarakat nelayan

Selayar, Kecamatan Bontomatene Kabupaten Kepulauan Selayar karena mereka

sadar bahwa permasalahan tidak sepenuhnya menjadi tanggung jawab masyarakat,

tetapi juga Pemerintah Daerah Kabupaten Kepulauan Selayar yang turut memiliki

kepentingan pengelolaan sumberdaya.

J. Alternatif Resolusi Konflik

Konflik yang terjadi perairan selat Selayar/Bira Kecamatan Bontomatene

dengan nelayan Ha’lle (Pendatang) terjadi dalam wilayah 2 sampai 4 mil dari

pantai sehingga penyelesainnya menjadi tanggung jawab pemerintah Daerah

Kabupaten Kepulauan Selayar, namun pihak-pihak yang berkonflik melibatkan

nelayan-nelayan yang berasal dari daerah lain, maka Pemerintah Daerah

Provinsi Sulawesi Selatan bertanggung jawab untuk menyelesaikan.

Langkah pemerintah dalam mengatasi dan meredam permasalahan

konflik pengeloalaan perikanan selat Selayar/bira Pemda pemerintah Kabupaten

Selayar mengeluarkan peraturan nomor 10 tahun 2011 tentang Pengelolaan

wilayah pesisir dan dalam penyelesaian sengketa sudah diatur dalam pasal 61

dan pasal 61 tentang penyelesaian sengketa, dalam isi pasal 61 dan 62

menyebutkan bahwa 1.) Penyelesaian sengketa pemanfaatan sumberdaya di

Page 114: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

98

wilayah pesisir diupayakan melalui alternatif penyelesaian sengketa berdasarkan

prinsip musyawarah untuk mufakat dan sedangkan pasal 62 menyebutkan 1.)

Dalam hal upaya penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

tidak tercapai, para pihak dapat menempuh upaya penyelesaian melalui

pengadilan. Pemerintah Daerah Kabupaten Kepulauan Selayar dalam

menyelesaikan sengketa/konflik masih menempuh jalur musyawarah. Namun

konflik yang terjadi di wilayah Pesisir melibatkan 2 (dua) daerah maka Pemda

Kabupaten Selayar menggandeng Pemerintah Pusat dan DKP Provinsi.

Dalam mengatasi permasalahan Pengoperaisan Dinas Kelautan dan

Perikanan akan mengefektifkan dan mensosialisasikan Peraturan Menteri

Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 71/ Permen-KP/2016

Tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan Di

wilayah Pengelolaa Perikanan Negara Republik Indonesia sedangkan dalam

mengatasi Pelaku Ilegal Fishing ( penggunaan Bom dan Bius) pemerintah akan

menggunakan tindakan pelanggaran hukum Mengenai Pelarangan Bom dan bius

sudah di atur oleh Pasal 8 ayat satu(1) Pasal 84 ayat satu (1) UU RI No.45

Tahun 2009 terkait perubahan UU RI Nomor 31 tahun 2004 tentang perikanan

dan penerapan Pasal 85 UU RI Nomor 31 tahun 2004 tentang perikanan terkait

pelarangan penggunaan Bom ikan dan pasal 92 sub pasal 26 ayat (1) jo pasal

93(1) pasal 27 UU RI no. 45 Tahun 2009 Tentang Penangkapan.

Sedangkan dalam mengatasi permasalahan wilayah antara Nelayan

Selayar dan Nelayan Bulukumba dalam mencegah konflik kedua daerah

tersebut, maka langka yang di lakukan oleh pihak netral oleh Kapolda yaitu

mempertemukan Pemda Selayar dengan salah satu Pemda asal nelayan Ha’lle

(pendatang) yaitu Bulukumba. Dari hasil pertemuan tersebut melahirkan

kesepakatan melalui MoU. Adapun isi MoU tersebut antara lain :

Page 115: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

99

a. Setiap nelayan harus memperoleh izin dari pemdanya masing-masing

sesuai dengan ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku.

b. Dalam hal nelayan sebagaimana dimaksud pada point 1, memasuki

kabupaten lain maka nelayan bersangkutan wajib melaporkan diri kepada

Pemda setempat guna memperoleh surat keterangan andon.

c. Nelayan dari kedua belah pihak bebas memasarkan hasil tangkapan

pada salah satu Tempat Pelelangan Ikan (TPI) kedua belah pihak

d. Kedua belah pihak mendukung sepenuhnya tindakan tegas penegak

hukum terhadap setiap perbuatan melanggar hukum.

Dinas Kelautan Perikanan Kabupaten Selayar dan Dinas Kelautan Perikanan

Provinsi Sulawesi Selatan telah melakukan berbagai upaya dalam menangani

permasalahan konflik kenelayaan di perairan Selat Selayar/Bira dan Kecamatan

Bontomatene.

Mengatasi permasalahan pada Pengoperasian jaring Purse Seine (Pukat

Cincin) yang kebanyakan digunakan oleh nelayan Ha’lle (Pendatang) dan

tindakan pelanggaran hukum Mengenai Pelarangan Bom dan bius sudah di atur

oleh Pasal 8 ayat satu(1) Pasal 84 ayat satu (1) UU RI No.45 Tahun 2009 terkait

perubahan UU RI Nomor 31 tahun 2004 tentang perikanan dan penerapan Pasal

85 UU RI Nomor 31 tahun 2004 tentang perikanan terkait pelarangan

penggunaan Bom ikan dan pasal 92 sub pasal 26 ayat (1) jo pasal 93(1) pasal 27

UU RI no. 45 Tahun 2009 Tentang Penangkapan dan Nomor 71/Permen-

KP/2016 tentang jalur penangkapan ikan dan Penempatan alat penangkap ikan

WPPNRI ( Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia).

Sedangkan pengefektifan kelembagaan penenganan konflik kenelayaan

sudah ada intruksi Pemkab Kabupaten Kepulauan Selayar, DKP Kabupaten

Kepulauan Selayar, Dinas Kelautan Dan Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan

Page 116: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

100

dan Kapolda melalui program unggulan dan intruksi langsung Kapolres

Kepulauan Selayar.

Terkait pengawasan petugas keamanan laut dalam hal ini

POLAIRUD,TNI-AL,TNI –AD dan Lembaga Masyarakat akan berkoordinasi

dengan petugas keamanan laut asal daerah nelayan Ha’lle (Pendatang) dan

melibatkan masyarakat sedangkan dalam penegakan hukum di laut

sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Subbab manajemen konflik, maka

pemecahan masalah konflik pada jalur hukum mengalami banyak kendala dan

selalu gagal. Betapapun sulitnya proses penyelesaian hukum pada bidang

perikanan tangkap, usaha penegakan hukum harus tetap diusahakan seperti

pada bidang pelanggaran lainnya mengingat kepatuhan nelayan terhadap hukum

dan perundangan-undangan masih rendah. Nelayan di Selat Selayar/Bira

umumnya kurang memahami hukum dan peraturan perundang-undangan

termasuk pada bidang perikanan sehingga mereka kurang memahami bahwa

terdapat sanksi dalam hukum dan perundangan-undangan tersebut.

K. Tindakan Pencegahan

Tindakan pencegahan dalam mengurangi terjadinya konflik Kenelayaan di

Selat Selayar/Bira yaitu Perlu peningkatan dalam hal pengawasan dan

penegakan hukum bidang perikanan di laut dengan cara meningkatkan patroli

aparat keamanan laut (Kamla) dan juga penambahan sarana dan prasananya

seperti penambahan kapal pengawas. Terkait dengan penegakan hukum tentang

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 71/

Permen-KP/2016 Tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat

Penangkapan Ikan Di wilayah Pengelolaa Perikanan Negara Republik Indonesia

perlu ada sosialisasi oleh Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) asal daerah

maupun daerah tujuan penangkapan nelayan Ha’lle (Pendatang).

Page 117: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

101

Sedangkan dalam penetuan jalur-jalur penangkapan sebenarnya sudah

diatur dalam permen nomor 71/KP tahun 2016 Tentang Jalur Penangkapan

Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan Di wilayah Pengelolaa Perikanan

Negara Republik Indonesia. Tapi permasalahan yang di hadapi adalah

pemberian tanda-tanda berupa pelampung pada jalur penangkapan di lautan

sangat rumit selain di pengaruhi oleh alam sendiri ( arus, tenggelam, putus,rusak

dan lain-lain) juga dipengaruhi oleh tindakan-tindakan pihak yang tidak

bertanggug jawab. Tapi penetuan jalur penangkapan bisa dilakukan dengan

menggunakan alat GPS ( Global Positioning System ) sebuah alat atau sistem

yang dapat digunakan untuk menginformasikan penggunanya dimana dia berada

(secara global) di permukaan bumi yang berbasiskan satelit. alat ini dapat

menetukan koordinat pengguna dimana mereka berada. Sehingga penggunaan

GPS bisa diterapkan dan digunakan oleh Pemkab Selayar,Petugas Bulukumba,

Petugas DKP, petugas patroli bahkan nelayan itu sendiri (terutama nelayan

pendatang) dalam menetukan jalur-jalur penangkapan di Selat Selayar/Bira.

Mengenai Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia

Nomor 71/ Permen-KP/2016 Tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan

Alat Penangkapan Ikan Di wilayah Pengelolaa Perikanan Negara Republik

Indonesia, pemerintah Kabupaten Kepulauan Selayar seharusnya mengkaji

terlebih dahulu peraturan Tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat

Penangkapan Ikan Di wilayah Pengelolaa Perikanan Negara Republik Indonesia

apakah sudah sesuai dengan penerapanya didaerahnya atau perlu ada

kebijakan pemerintah setempat. Misalnya dalam pasal Pasal 3 tentang Jalur

Penangkapan Ikan dijelaskan secara umum dan pada pasal 4 penjelasan dari

pasal 3 dijelaskan berdasarkan jarak saja. Pemerintah dapat mengkaji pasal 3

dan 4 untuk membuat suatu kebijakan baru di daerah selat Selayar/Bira untuk

mencegah konflik kedepanya. Sedangkan untuk peraturan penggunaan alat

Page 118: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

102

tangkap sudah sangat jelas diatur Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan

Republik Indonesia Nomor 71/ Permen-KP/2016 2016 Tentang Jalur

Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan Di wilayah

Pengelolaa Perikanan Negara Republik Indonesia.

Page 119: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

103

VI. SIMPULAN

A. Kesimpulan

Dari analisis terhadap hasil temuan di lapangan, maka beberapa hal yang

dapat disimpulkan adalah sebagai berikut:

1. Proses terjadinya konflik nelayan dan penyebabnya dalam pemanfaatan

sumberdaya perikanan di Selat Bira/Selayar bermula ketika datangnya

nelayan Ha’lle (pendatang) datang melakukan penangkapan daerah

penangkapan nelayan tradisional Selayar, alat tangkap yang digunakan

berbeda sehingga menimbulkan kecemburuan dalam hal pemanfaatan

Sumberdaya alam yang terbatas dan kurangnya pendukung dalam hal

fasiltas perikanan selain itu penegakan dan pengawasan aturan tetang

pengelolaan perikanan belum terlaksana baik.

2. Dalam upaya penyelesaian konflik pemerintah Kabupaten pemerintah

selayar mengeluarkan peraturan Nomor 10 tahun 2011 tentang pengelolaan

wilayah pesisir dan penyelesaian sengketa sedangkan komunitas nelayan

Pasitanete masih menggunakan mengadakan sistem musyawarah,

Sedangkan mediator dalam upaya upaya penyelesaian konflik yaitu;

Pemerintah Daerah Kabupaten Kepulauan Selayar (dalam proses konsiliasi

dan rekonsiliasi), Polsek Selayar, Koramil Selayar, aparat (Satpol-Airud dan

TNI-AL).

C. Saran

Dari hasil analisis terhadap penyelesaian konflik kenelayanan di

Kecamatan Bontomatene Desa Menara Indah Pulau Pasitenete dalam usaha

pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya perikanan Selat Selayar/Bira maka

Page 120: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

104

untuk menghindari dampak buruk adanya konflik, rekomendasi yang dapat

diajukan yaitu;

1. Perlu peningkatan dalam hal pengawasan dan penegakan hukum bidang

perikanan di laut dengan cara meningkatkan patroli aparat keamanan laut

dan juga penambahan sarana dan prasananya seperti penambahan kapal

pengawas.

2. Perlu ada modernisasi alat seperti pengadaan GPS dan penetuan jalur-jalur

penangkapan terutama bagi nelayan-nelayan Ha’lle (pendatang dalam hal

ini pengguna penangkapan jalur II dan begitu pun juga keamanan laut

sehingga pengawasan monitoring lebih efektif.

3. Perlu penguatan kelembagaan (management body) pengelolaan

pemanfaatan sumberdaya perikanan di Selat Selayar/Bira dan dibentuknya

kelembagaan ekonomi masyarakat nelayan. Langkah atau kebijakan yang

dapat ditempuh dalam penguatan kelembagaan pengelolaan dan

pemanfaatan sumberdaya perikanan di Selat Selayar/Bira yaitu; penguatan

kerjasama kelembagaan antar Kabupaten/Kota, penetapan armada dan

kuota penangkapan, realokasi wilayah penangkapan. Sedangkan

pembentukan kelembagaan ekonomi masyarakat nelayan dapat ditempuh

melalui pemberdayaan dengan cara pemberian pinjaman modal yang

ditujukan untuk alternatif usaha selain usaha penangkapan, seperti usaha

pengolahan ikan dan budidaya

Page 121: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

DAFTAR PUSTAKA

Adhuri D.S, Wahyono Ary, Indrawasih Ratna, editor. 2005. Fishing in, Fishing out : Memahami Konflik-Konflik Kenelayanan di Kalimantan Timur dan Nusa Tenggara Timur. Ed ke-1. Jakarta : LIPI Press.

Charles A.T. 2001. Fishery Conflict and the Co-management Approach. Di

dalam: Tony J. Pitcher, editor. Sustainable Fishery Systems. Canada:

University of British Columbia. hlm. 250-276.

COREMAP II Kepulauan Selayar. 2011. Monitoring Daerah Perlindungan Laut di

Kepulauan Selayar. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Kepulauan Selayar.

Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Kepulauan Selayar. 2012-2016.

Data Statistik Perikanan Tangkap Kabupaten Kepulauan Selayar

untuk Tahun 2011-2015. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten

Kepulauan Selayar.

Fisher S, D. I. Abdi, J. Ludin, R. Smith, S. Williams. 2000. Mengelola Konflik :

Keterampilan dan Strategi untuk Bertindak. Kartikasari, S. N, M. D.

Lapilatu, R. Maharani dan D. N. Rini [Penterjemah]. Jakarta : The British

Council.

J. G. Starke. 2007. Pengantar Hukum Internasional. Jakarta: PT. Sinar Grafi

Kartono, Kartini. 1996. Pengantar Metodologi Riset Sosial. Cet. 7. Ed. 3. Jakarta.

Mandar Maju.

Kinseng, A. Rilus, 2014, Konflik Nelayan, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Kusnadi. 2000. Nelayan Strategi Adaptasi dan Jaringan Sosial. Humaniora

Utama Press. Bandung.

Mallawa, A. Najamuddin, Zainuddin, M., Musbir, Safruddin, dan Fahrul. 2006. Studi

Pendugaan Potensi Sumberdaya Perikanan dan Kelautan Kabupaten

Selayar. Kerjasama Litbang Kabupaten Selayar. Selayar

Maskanah Siti, Fuad Faisal. 2000. Inovasi Penyelesaian Sengketa Pengelolaan

Sumber Daya Hutan. Bogor : Pustaka LATIN.

Miles, M. B. dan Huberman, A. M. 1992. Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber

Tentang Metode-Metode Bar. Jakarta: UIPres

Page 122: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

Mitchell Bruce, B. Setiawan, Dwita H. Rahmi. 2000. Pengelolaan Sumberdaya

dan Lingkungan. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Rizal Darmaputra. 2009. Manajemen Perbatasan dan Reformasi Sektor

Keamanan. Jakarta: IDSPS Press.

Rudianto. 2004. Analisis Konflik Pemanfaatan Lahan Wilayah Pesisir (Studi

Kasus Pantai Utara Jakarta) [ Disertasi]. Bogor : Program Pascasarjana,

Institut Pertanian Bogor.

NWG EAFM. 2014. Modul Penilaian Indikator untuk Perikanan dengan

Pendekatan Ekosistem. National Working Group on Ecosystem

Approach to Fisheries Management, Direktorat Sumberdaya Ikan,

Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. Jakarta.

Saad Sudirman. 2003. Politik Hukum dan Kelembagaan Indonesia. Jakarta :

Lembaga Sentra Pemberdayaan Masyarakat.

Sanderson, K. Stephen, 2011, Makrososiologi Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosiologi, Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada

Satria A. 2001. Dinamika Modernisasi Perikanan, Formasi Sosial dan MobilitasNelayan. Bandung : HUP.

. 2002a. Menuju Desentralisasi Pengelolaan Kelautan. Jakarta. Pustaka

Cidesindo. 210 hal.

. 2002b. Acuan Singkat Menuju Desentralisasi Pengelolaan Sumberdaya

Perikanan. Jakarta. Pustaka Cidesindo. 96 hal.

. 2003. Konflik Nelayan Pasca Otonomi Daerah. Kagoshima, in press.

. 2006. Konflik Nelayan dan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan.

[Paper]. Disampaikan pada Forum Koordinasi Pengelolaan Pemanfaatan

Sumberdaya Ikan, DKP, Manado, 7-9 Desember 2006.

Sitorus MT Felix. 1998. Penelitian Kualitatif Suatu Perkenalan. Bogor : DOKIS.

Sloane, Ethel. 2003. Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. Jakarta: EGC.

Soekanto Soerjono. 2002. Sosiologi Suatu Pengantar. Cetakan ke 33 Tahun 2002.

Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.

Page 123: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

Wijardjo, B., Malik, I., Fauzi, N., Royo, A. 2001. Konflik. Bahaya atau Peluang.

Panduan Latihan Menghadapi dan Menangani Konflik Sumberdaya Alam.

Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Page 124: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

Informan

No Nama

Umur (Tahun)

Jenis Kelamin

Pekerjaan Utama

Pekerjaan Sampingan

Tempat Tinggal

Jumlah Tanggunga

n (orang)

1 Pattadaeng

52 Laki-laki Nelayan Kepala Lingkungan

Pulau Pasitaete 4

2 Dg. Salim 45 Laki-laki Nelayan _ Pulau Pasitaete 3

3 Muh. Ali 55 Laki-laki Nelayan Aparat Desa Pulau Pasitaete 2

4 Dg. Makmur 49 Laki-laki Nelayan _ Pulau Pasitaete 4

5 Dg. Suardi 53 Laki-laki Nelayan _ Pulau Pasitaete 2

6 Dg. Patong 49 Laki-laki Nelayan _ Pulau Pasitaete 2

7 Dg. Syaha 47 Laki-laki Nelayan _ Pulau Pasitaete 3

8 Dg. Ngasi 54 Laki-laki Nelayan - Pulau Pasitaete 1

9 Dg. Atto 57 Laki-laki Nelayan - Pulau Pasitaete 2

10 Dg. Takim

58 Laki-laki Nelayan - Pulau Pasitaete 5

11 Dg. Risman

55 Laki-laki Nelayan Kepala Lingkungan

Pulau Pasitaete 3

Page 125: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

12

Pak Edi

39 Laki-laki Babinsa - Desa Bungaia 1

13

Ust. Abd. Bahar

52 Laki-laki Nelayan Imam Desa Pulau Pasitaete 4

14

Pak Bakrianto

48 Laki-laki Bimas ( Polisi)

- Desa Bungaia 2

15

Dg. Salamiris

49 Laki-laki Nelayan Badan Permusyarawatan

Desa

Pulau Pasitaete 3

16 Mansur Gau

52 Laki-laki Patonggkolo - Pulau burunglohe (Sinjai) 3

17 Ambo Tuo 49 Laki-laki Patonggkolo - Pulau Liang-Liang ( sinjai )

4

18 Muh. Safri

45 Laki-laki Nelayan - Tana Beru BontoBahari(bulukumba)

1

19 Gaffare 41 Laki-laki Nelayan Budidaya Rumput laut

Pulau Liang-Liang (sinjai ) 2

20 Rustan

38 Laki-laki Nelayan - Bulukumba (Ela-Ela) 1

Page 126: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015
Page 127: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

Formasi daerah penangkapan ikan yang potensial berdasarkan suhu optimum

permukaan laut untuk ikan cakalang di sekitar Perairan Kabupaten Selayar. (Mukti

Zainuddin 2006)

Page 128: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

Formasi daerah penangkapan ikan yang potensial berdasarkan suhu optimum

permukaan laut untuk ikan Layang di sekitar Perairan Kabupaten Selayar. (Mukti

Zainuddin 2006)

Page 129: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

Lokasi Konflik Nelayan Secara Umum di Kabupaten Kep. Selayar

lokasi Konflik Nelayan Di Perairan Selayar/Bira

Page 130: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

Alat Tangkap Bedasarkan Wilayah Penangkapanya

Page 131: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

Kapal Nelayan Ha’lle (Pendatang)

Kapal tangkap (jollorro)

Page 132: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

Alat Penangkapan Jaring Insang ( Gil Net )

alat Penangkapan Jaring Insang ( Gil Net )

Page 133: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

Wawancara Dengan Informan

Wawancara dengan Informan

Page 134: OLEH : ABD. MALIK MAJID L241 13 015

Hasil Tangkapan Nelayan

Hasil Tangkapan Nelayan