nurkhalis majid

110
TOLERANSI BERAGAMA MENURUT PEMIKIRAN NURCHOLISH MADJID SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Dalam Ilmu Ushuluddin oleh: M. SUBKHAN NIM: 4104030/PA FAKULTAS USHULUDDIN INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2011

Upload: man-ana-man-anta

Post on 27-Dec-2015

55 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

Bacaan

TRANSCRIPT

Page 1: Nurkhalis Majid

TOLERANSI BERAGAMA MENURUT PEMIKIRAN

NURCHOLISH MADJID

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Guna Memperoleh Gelar Sarjana

Dalam Ilmu Ushuluddin

oleh:

M. SUBKHAN

NIM: 4104030/PA

FAKULTAS USHULUDDIN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO

SEMARANG

2011

Page 2: Nurkhalis Majid

ii

TOLERANSI BERAGAMA MENURUT PEMIKIRAN

NURCHOLISH MADJID

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Guna Memperoleh Gelar Sarjana

Dalam Ilmu Ushuluddin

oleh :

M. SUBKHAN

NIM: 4104030/PA

Semarang, Maret 2011

Disetujui oleh,

Pembimbing I, Pembimbing II,

Drs. Tafsir, M.Ag Drs. Djurban.M.A

NIP. 19640116 199203 1003 NIP. 19581104 199203 1001

Page 3: Nurkhalis Majid

iii

PENGESAHAN

Skripsi saudara M. Subkhan Nomor Induk

Mahasiswa 4104030 telah dimunaqosyahkan

oleh dewan penguji skripsi Fakultas Ushuluddin

Institut Agama Islam Negeri Walisongo

Semarang, pada tanggal :

Juli 2010

dan telah diterima serta disyahkan sebagai salah

satu syarat guna memperoleh gelar sarjana

dalam Fakultas Ushuluddin.

Dekan Fakultas / Ketua Sidang,

Drs. H. Adnan M.Ag.

NIP. 150 260 178

Pembimbing,

Ahmad Musyafiq, M.Ag.

NIP. 150 290 934

Penguji I, Penguji II,

Prof.Dr.H. Suparman M.Ag Drs. Muh. Parmudi, M,Si

NIP. 150 178 271 NIP. 150 276 118

Sekretaris Sidang,

H. Sukendar M.Ag. MA

NIP. 150 290 934

Page 4: Nurkhalis Majid

iv

MOTTO

Artinya: Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku. (Q.S. Al-

Kaafirun : ayat 6)

Page 5: Nurkhalis Majid

v

PERSEMBAHAN

Dalam perjuangan mengarungi samudra Ilahi tanpa batas, dengan keringat

dan air mata kupersembahkan karya tulis skripsi ini teruntuk orang-orang yang

selalu hadir dan berharap keindahan-Nya. Kupersembahkan bagi mereka yang

tetap setia berada di ruang dan waktu kehidupan ku khususnya buat:

o Orang tuaku tercinta yang selalu memberi semangat, membimbing dan

mengarahkan hidupku, yang memberi tahu arti hidup.

o Kakak-Kakakku tersayang kakak Malikha, Soimah, Nur Hikmah,

Asrori, dan Adikku Tercinta Uliyah yang telah banyak mencurahkan segala

tenaga, pikiran dan do'a serta selalu memotivasiku dalam keadaan suka dan

duka baik dalam menempuh studi maupun dalam menuntaskan skripsi ini.

o Semua teman-temanku Al-Iman Azul, Eko, Adi, Rokhim, Kodrat,

Marzuki, Syafa’, Ulum, Iqbal, Joko, Irul, Riziq, Bang Kahfi, Atta, yang

tak henti-hentinya memberiku motivasi, sehingga dapat menyelesaikan skripsi

ini.

Penulis

Page 6: Nurkhalis Majid

vi

ABSTRAK

Islam mengakui hak hidup agama-agama lain, dan membenarkan para

pemeluk agama lain tersebut untuk menjalankan ajaran agama masing-masing.

Di sini, terdapat dasar ajaran Islam mengenai toleransi beragama. Toleransi

tidak diartikan sebagai sikap masa bodoh terhadap agamanya, atau bahkan

tidak perlu mendakwahkan ajaran kebenaran yang diyakininya itu. Oleh

karena itu, setiap orang yang beriman senantiasa terpanggil untuk

menyampaikan kebenaran yang diketahui dan diyakininya, tetapi harus

berpegang teguh pada etika dan tata krama sosial, serta tetap menghargai hak-

hak individu untuk menentukan pilihan hidupnya masing-masing secara

sukarela. Permasalahannya yaitu bagaimana pendapat Nurcholish Madjid

tentang toleransi beragama? Bagaimana relevansi pendapat Nurcholish Madjid

tentang toleransi beragama bagi kehidupan keagamaan di Indonesia? Adapun

teknik pengumpulan data menggunakan studi kepustakaan. Jenis data skripsi

ini menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library research). Data

primernya yaitu beberapa karya tulis Nurchlolish Madjid, di antaranya: (1)

Dialog Keterbukaan Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik

Kontemporer; (2) Islam Agama Kemanusiaan Membangun Tradisi dan visi

Baru Islam Indonesia; (3) Islam, Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah

Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan. Data

sekunder yaitu data sejumlah kepustakaan yang ada relevansinya dengan judul

di atas. Sebagai analisis data, peneliti menggunakan pendekatan deskriptif

analisis yakni menggambarkan dan menganalisis pendapat Nurcholish Madjid

dalam konteks ilmu perbandingan agama.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendapat Nurcholish Madjid

patut didukung karena pemikiran dan analisisnya itu sesuai dengan ajaran

Islam yang sangat menghormati keberadaan agama lain. Sebenarnya Islam

merupakan pelopor toleransi, dan Islam sangat mencela sikap fanatisme dalam

arti yang negatif yaitu membabi buta dan mengklaim kebenaran sebagai

otoritas sendiri. Apabila konsep toleransi yang digulirkan Nurcholish Madjid

dihubungkan dengan kehidupan keagamaan di Indonesia, maka jika

pendapatnya di apresiasi dan mendapat tempat serta penerimaan maka

kedamaian dalam beragama bisa terwujud, setidaknya konflik horisontal yang

bernuansa agama dapat diperkecil. Masalah ini bila melihat kondisi kehidupan

umat antar agama di Indonesia maka dapat dijadikan sebuah pelajaran,

khususnya terhadap beberapa peristiwa yang telah terjadi. Dengan kata lain,

apabila toleransi beragama menurut Nurcholish Madjid dihubungkan dengan

Kehidupan Keagamaan di Indonesia, maka pendapat Nurcholish Madjid dapat

sedikitnya meredam konflik antar agama, sehingga kehidupan agama dapat

hidup secara damai dan berdampingan.

Page 7: Nurkhalis Majid

vii

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah yang maha pengasih dan penyayang, bahwa atas

taufiq dan hidayah-Nya maka penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi

ini.

Skripsi yang berjudul: "TOLERANSI BERAGAMA MENURUT

PEMIKIRAN NURCHOLISH MADJID ", ini disusun untuk memenuhi salah

satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S.1) Fakultas Ushuluddin

Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo Semarang.

Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapatkan bimbingan dan

saran-saran dari berbagai pihak sehingga penyusunan skripsi ini dapat

terselesaikan. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. Nasihun Amin, M.Ag selaku Dekan Fakultas Ushuluddin IAIN

Walisongo Semarang.

2. Bapak Drs. Tafsir.M.Ag selaku Dosen Pembimbing I dan Bapak Drs.

Djurban.M.A selaku Dosen Pembimbing II yang telah bersedia meluangkan

waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan bimbingan dan pengarahan

dalam penyusunan skripsi ini.

3. Pimpinan Perpustakaan Institut yang telah memberikan izin dan layanan

kepustakaan yang diperlukan dalam penyusunan skripsi ini.

4. Para Dosen Pengajar dan staff di lingkungan Fakultas Ushuluddin IAIN

Walisongo, yang telah membekali berbagai pengetahuan sehingga penulis

mampu menyelesaikan penulisan skripsi. Dan segenap staff karyawan-

karyawati di lingkungan Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo.

Pada akhirnya penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini belum

mencapai kesempurnaan dalam arti sebenarnya, namun penulis berharap semoga

skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri khususnya dan para pembaca

pada umumnya.

Penulis

Page 8: Nurkhalis Majid

viii

Page 9: Nurkhalis Majid

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................ ii

HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... iii

HALAMAN MOTTO ................................................................................... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................... v

ABSTRAK ................................................................................................... vi

KATA PENGANTAR ................................................................................... vii

DAFTAR ISI ................................................................................................. viii

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ......................................................... 1

B. Pokok Permasalahan .............................................................. 6

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ............................................. 6

D. Tinjauan Pustaka .................................................................... 7

E. Metode Penelitian .................................................................. .10

F. Sistematika Penulisan ........................................................... 11

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG TOLERANSI BERAGAMA

A. Pengertian Toleransi Beragama ............................................. 13

B. Toleransi Beragama Pada Masa Rasulullah ........................... 19

C. Toleransi Beragama Pada Masa Khulafa al-Rasyidin ............ 22

D. Dialog Antar Umat Beragama ................................................ 25

1. Pengertian dan Hakikat Dialog .......................................... 25

2. Dialog Dalam Pendekatan Ilmu Perbandingan Agama ...... 28

E. Toleransi di Indonesia ............................................................ 30

BAB III : TOLERANSI BERAGAMA MENURUT NURCHOLISH

MADJID

A. Biografi Nurcholish Madjid ..................................... 33

Page 10: Nurkhalis Majid

x

1. Latar Belakang Nurcholish Madjid .................................... 33

2. Karyanya ..................................... 35

B. Pendapat Nurcholish Madjid tentang Toleransi Beragama .... 40

1. Nilai keislaman dalam Asas Kerukunan Antar Umat

Beragama ..................................... 40

2. Asas Kerjasama Antar Umat Beragama ............................. 42

3. Etika Beragama ..................................... 45

4. Menuju Persamaan Sejati dan Doa Bersama ..................... 50

BAB IV : ANALISIS PEMIKIRAN NURCHOLISH MADJID TENTANG

TOLERANSI BERAGAMA DI INDONESIA

A. Analisis Pendapat Nurcholish Madjid tentang Toleransi

Beragama ............................................................................... 73

B. Relevansi Toleransi Beragama Perspektif Nurcholish Madjid

bagi Kehidupan Keagamaan di Indonesia .............................. 87

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan ............................................................................ 92

B. Saran-saran ............................................................................. 92

C. Penutup ............................................................................. 93

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Page 11: Nurkhalis Majid

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Islam mengakui hak hidup agama-agama lain, dan membenarkan para

pemeluk agama lain tersebut untuk menjalankan ajaran agama masing-masing.

Di sini, terdapat dasar ajaran Islam mengenai toleransi beragama. Toleransi

tidak diartikan sebagai sikap masa bodoh terhadap agamanya, atau bahkan

tidak perlu mendakwahkan ajaran kebenaran yang diyakininya itu. Oleh

karena itu, setiap orang yang beriman senantiasa terpanggil untuk

menyampaikan kebenaran yang diketahui dan diyakininya, tetapi harus

berpegang teguh pada etika dan tata krama sosial, serta tetap menghargai hak-

hak individu untuk menentukan pilihan hidupnya masing-masing secara

sukarela. Sebab, pada hakikatnya hanya di tangan Tuhanlah pengadilan atau

penilaian sejati akan dilaksanakan. Pengakuan akan adanya kebenaran yang

dianut memang harus dipertahankan. Tetapi, pengakuan itu harus memberi

tempat pula pada agama lain sebagai sebuah kebenaran yang diakui secara

mutlak oleh para pemeluknya.1

Islam merupakan agama termuda dalam tradisi Ibrahimi. Pemahaman

diri Islam sejak kelahirannya pada abad ke-7 sudah melibatkan unsur kritis

pluralisme, yaitu hubungan Islam dengan agama lain. Melacak akar-akar

pluralisme dalam Islam, berarti ingin menunjukkan bahwa agama Ibrahimi

termuda ini sebenarnya bisa mengungkap diri dalam suatu dunia agama

pluralistis. Islam mengakui dan menilainya secara kritis, tapi tidak pernah

menolaknya atau menganggapnya salah. Sejak kelahirannya, memang Islam

sudah berada di tengah-tengah budaya dan agama-agama lain. Nabi

Muhammad Saw., ketika menyiarkan agama Islam sudah mengenal banyak

agama semisal Yahudi dan Kristen. Di dalam Al-Qur'an pun banyak

1Adeng Muchtar Ghazali, Pemikiran Islam Kontemporer Suatu Refleksi Keagamaan Yang

Dialogis, (Bandung: Pustaka Setia, 2005), hlm. 55-58

Page 12: Nurkhalis Majid

2

ditemukan rekaman kontak Islam serta kaum muslimin dengan komunitas-

komunitas (masyarakat) agama yang ada di sana. Perdagangan yang dilakukan

bangsa Arab pada waktu itu ke Syam, Irak, Yaman, dan Etiopia, dan posisi

kota Mekah sebagai pusat transit perdagangan yang menghubungkan daerah-

daerah di sekeliling jazirah Arab membuat budaya Bizantium, Persia, Mesir,

dan Etiopia, menjadikan agama-agama yang ada di wilayah Timur Tengah dan

sekitarnya, tidak asing lagi bagi Nabi Muhammad Saw.2

Pandangan tentang manusia memiliki akar-akarnya dalam setiap segi

ajaran Islam. Bahkan Islam itu sendiri adalah agama kemanusiaan, dalam arti

bahwa ajaran-ajarannya sejalan dengan kecenderungan alami manusia

menurut fitrahnya yang abadi (perennial). Karena itu seruan untuk menerima

agama yang benar itu dikaitkan dengan fitrah tersebut, sebagaimana dapat kita

baca dalam Kitab Suci al-Qur'an surat ar-Rum (30) ayat 30 :

)

Artinya : Maka hadapkanlah wajahmu untuk agama ini sesuai dengan

kecenderungan alami menurut fitrah Allah yang dia telah

ciptakan manusia atasnya. Itulah agama yang tegak lurus,

namun sebagian besar manusia tidak mengetahui (Q.S. ar-

Rum (30): 30).3

Jadi menerima agama yang benar tidak boleh karena terpaksa. Agama

itu harus diterima sebagai kelanjutan atau konsistensi hakikat kemanusiaan itu

sendiri. Dengan kata lain, beragama yang benar harus merupakan kewajaran

manusiawi. Cukuplah sebagai indikasi bahwa suatu agama atau kepercayaan

tidak dapat dipertahankan jika ia memiliki ciri kuat bertentangan dengan

naluri kemanusiaan yang suci. Karena itu dalam firman yang dikutip di atas

ada penegasan bahwa kecenderungan alami manusia kepada kebenaran

2Syamsul Ma'arif, Pendidikan Pluralisme Di Indonesia, (Yogyakarta: Logung Pustaka,

2005), hlm. 36-38 3Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya,

Departemen Agama, 1986, hlm. 645

Page 13: Nurkhalis Majid

3

(hanifiyah) sesuai dengan kejadian asalnya yang suci (fitrah) merupakan

agama yang benar, yang kebanyakan manusia tidak menyadari.4

Kerukunan antar umat beragama kiranya akan menjadi agenda

nasional bahkan internasional yang tak kunjung usai. Ini bisa dipahami karena

masa depan suatu bangsa sedikit banyak tergantung pada sejauh mana

keharmonisan hubungan antarumat beragama ini. Kegagalan dalam

merealisasikan agenda ini akan mengantarkan suatu bangsa pada trauma

terpecah belahnya sebagai bangsa.5 Dalam Al-Qur’an surat al-Mumtahanah

(60) ayat 8 Allah SWT berfirman:

Artinya:Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku

adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena

agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu.

Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil

(Q.S. al-Mumtahanah (60): ayat 8).6

Akhir-akhir ini wacana tentang pluralitas agama dan masalah-masalah

yang mengitarinya semakin menguat dan muncul ke permukaan. Buku-buku,

tulisan- tulisan media massa, dan acara-acara seminar, kongres, simposium,

diskusi, dialog seputar hubungan antarumat beragama semakin sering kita

saksikan dalam berbagai tingkat, baik lokal, nasional, maupun internasional.

Kecenderungan menguatnya perbincangan seputar toleransi beragama dan

hubungan antarumat beragama ini akan semakin kuat di masa-masa

mendatang dan tidak akan pernah mengalami masa kadaluarsa. Sebab topik ini

adalah topik yang selalu aktual dan menarik bagi siapa pun yang mencita-

4Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius, (Jakarta: Paramadina, 2000), hlm. 24

5Abd. Rohim Ghazali dalam M. Quraish Shihab, Atas Nama Agama: Wacana Agama

Dalam Dialog Bebas Konflik, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1988), hlm.133 6Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, op. cit, hlm. 924.

Page 14: Nurkhalis Majid

4

citakan terwujudnya perdamaian di bumi ini.7 Itulah sebabnya Harun Nasution

(2000, 273) menyatakan:

Perintah Islam agar umatnya bersikap toleran, bukan hanya pada

agama Yahudi dan Kristen, tetapi juga kepada agama-agama lain.

Ayat 256 surat Al-Baqarah mengatakan bahwa tidak ada paksaan

dalam soal agama karena jalan lurus dan benar telah dapat dibedakan

dengan jelas dari jalan salah dan sesat. Terserahlah kepada manusia

memilih jalan yang dikehendakinya. Telah dijelaskan mana jalan

benar yang akan membawa kepada keselamatan dan mana pula jalan

salah yang akan membawa kepada kesengsaraan. Manusia merdeka

memilih jalan yang dikehendakinya. Manusia telah dewasa dan

mempunyai akal dan tak perlu dipaksa, selama kepadanya telah

dijelaskan perbedaan antara jalan salah dan jalan benar. kalau ia

memilih jalan salah ia harus berani menanggung risikonya yaitu

kesengsaraan. Kalau ia takut pada kesengsaraan, haruslah ia pilih jalan

benar.8

Harun Nasution mengatakan lebih lanjut:

Dalam hubungan ini ayat 29 surah Al-Kahfi mengatakan: Kebenaran

telah dijelaskan Tuhan, siapa yang mau percaya, percayalah dan siapa

yang tak mau, janganlah ia percaya. Ayat ini memberikan

kemerdekaan bagi orang untuk percaya kepada ajaran yang dibawa

Nabi Muhammad dan tidak percaya kepadanya. Manusia tidak dipaksa

untuk percaya kepadanya. Kemerdekaan ini diperkuat oleh ayat 6

surah Al-Kafirun yang mengatakan: Bagimulah agamamu dan bagiku

agamaku. Semua ajaran itu dapat dijadikan landasan bagi jiwa

toleransi beragama dalam Islam. Dan kalau kita kembali kepada

sejarah toleransi beragama, ini memang dijalankan oleh umat Islam

yang pertama.9

Nurcholish Madjid adalah salah seorang tokoh pembaru yang banyak

mengemukakan gagasan pembaruan Islam yang banyak ditentang oleh

kalangan Islam tradisionalis. Gagasannya yang berkaitan dengan sekularisasi

dalam Islam, serta pernyataannya tentang "Islam Yes, Partai Islam No" hingga

kini masih banyak diperbincangkan orang. Demikian pula kesadarannya untuk

7Nur Achmad (ed), Pluralitas Agama Kerukunan dalam Keragaman, (Jakarta: Penerbit

Kompas, 2001), hlm. ix 8Harun Nasution, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran, (Bandung: Mizan anggota

IKAPI, 2000), hlm. 273. 9Ibid

Page 15: Nurkhalis Majid

5

menggunakan institusi pendidikan untuk menyosialisasikan gagasan dan

pemikirannya itu telah pula ia lakukan. Bahkan gagasanya yang

mengelaborasi makna nilai keislaman terhadap agama lain telah menuai kritik.

Kritik yang dimaksud misalnya ketika melontarkan pernyataan sebagai

berikut: menurut Nurcholish Madjid nilai keislaman itu tidak hanya dipandang

dari sudut internal umat Islam dalam berhubungan umat seagama, melainkan

bagaimnaa sikap orang Islam itu terhadap agama lain yaitu mampukah ia

membangun sikap-toleransi terhadap agama lain. Menurut Nurcholish Madjid:

Semua agama itu Islam, dalam arti mengajarkan kepasrahan kepada

Tuhan. Tetapi lihat saja, di antara semua agama, yang mengakui

agama lain hanya Islam, agama yang dibawa Nabi Muhammad. Ini

berarti bahwa agama ini adalah agama yang paling unggul dan paling

sempurna. Yang demikian ini tidak usah kita ragukan. Justru

kesempurnaannya Islam itu adalah karena agama ini bersifat

ngemong, mengayomi semua agama yang ada. Mushaddiqan lima

bayn yaday hiwa muhaymin an alayhi..muhaimyminan artinya adalah

melindungi, mengayomi, juga terhadap agama-agama yang lain. Sikap

itulah yang dulu dilakukan oleh para sahabat nabi, kepada orang-orang

Kristen dan pemeluk agama-agama lain yang macam-macam itu.10

Pernyataan Nurcholish Madjid dilatarbelakangi oleh kekecewaannya

terhadap sekelompok orang yang mengatasnamakan Islam dan ajaran jihad

yang melakukan pengeboman terhadap sejumlah tempat di Indonesia, tidak

terkecuali gereja-gereja sebagai tempat peribadatan orang Kristen.

Adapun sebabnya penulis memilih tokoh Nurcholish Madjid sebagai

berikut:

Pertama, dilihat dari segi keahliannya, Nurcholish Madjid adalah

seorang pemikir Islam generalis dengan kajian utamanya pada sejarah

peradaban Islam. Sejarah adalah cerminan perjalanan umat masa lalu untuk

dijadikan bahan renungan masa lalu. Karena manusia itu banyak seginya,

yaitu aspek keyakinannya, politik, ekonomi, pendidikan, lingkungan, dan lain

sebagainya, maka pikiran dan gagasan Nurcholish Madjid menjangkau semua

itu. la dapat dikatakan sebagai ilmuwan muslim yang ensiklopedik. Kedua,

10

Nurcholish Madjid, Dialog Keterbukaan Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial

Politik Kontemporer, (Jakarta: Paramadina, 1998), hlm. 267-268.

Page 16: Nurkhalis Majid

6

dilihat dari segi sifat dan coraknya, pemikiran dan gagasan Nurcholish Madjid

dapat dikategorikan sebagai bercorak modern. Namun kemodernannya itu

bertolak dari sifat ajaran Al-Quran yang modern. Al-Qur'an menghargai akal

manusia, menuntut berpikir dan bekerja keras, melakukan sesuatu yang

bermanfaat, produktif, inovatif, terbuka, menghargai waktu, berwawasan

global, dan berpandangan jauh ke depan. Gagasan nilai keislaman dalam

konteks toleransi beragama yang dibawa oleh Nurcholish Madjid bertolak dari

ajaran Al-Qur'an yang dijabarkan oleh Al-Sunnah, dan hasil pemikiran kreatif

manusia.

Dengan berpedoman pada keterangan di atas mendorong peneliti

mengangkat tema skripsi ini dengan judul: Signifikansi Pemikiran Nurcholish

Madjid bagi Kerukunan Umat Beragama

B. Pokok Permasalahan

Permasalahan merupakan upaya untuk menyatakan secara tersurat

pertanyaan-pertanyaan apa saja yang ingin dicarikan jawabannya.11

Bertitik

tolak pada keterangan itu, maka yang menjadi pokok permasalahan:

1. Bagaimana pendapat Nurcholish Madjid tentang toleransi beragama?

2. Bagaimana relevansi pendapat Nurcholish Madjid tentang toleransi

beragama bagi kehidupan keagamaan di Indonesia?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah :

1. Untuk mengetahui pendapat Nurcholish Madjid tentang toleransi

beragama

2. Untuk mengetahui relevansi pendapat Nurcholish Madjid tentang toleransi

beragama bagi kehidupan keagamaan di Indonesia

11

Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka

Sinar Harapan, 1993), hlm. 312.

Page 17: Nurkhalis Majid

7

Adapun Manfaat Penelitian

1. Secara Teoritis, yaitu diharapkan dari hasil penelitian ini menjadi bahan

masukan dalam mengkaji masalah toleransi bagi mahasiswa perbandingan

agama khususnya dan mahasiswa IAIN pada umumnya.

2. Secara Praktis, yaitu diharapkan dari hasil penelitian ini akan menambah

khasanah dan cakrawala berfikir serta menambah sikap toleransi dan

kerukunan antar umat beragama.

D. Tinjauan Pustaka

Sepanjang pengetahuan penulis ada beberapa karya ilmiah berupa

buku yang membahas masalah toleransi, namun belum ada yang membahas

secara khusus pendapat Nurcholish Madjid tentang toleransi beragama. Di

antara karya ilmiah yang membahas secara umum sebagai berikut:

1. Harun Nasution, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran. Dalam buku ini

diungkapkan bahwa jiwa toleransi beragama rasanya dapat dipupuk

melalui usaha-usaha berikut: 1). Mencoba melihat kebenaran yang ada

dalam agama lain. 2). Memperkecil perbedaan yang ada di antara agama-

agama. 3). Menonjolkan persamaan-persamaan yang ada dalam agama-

agama. 4). Memupuk rasa persaudaraan se-Tuhan. 5). Memusatkan usaha

pada pembinaan individu-individu dan masyarakat manusia baik yang

menjadi tujuan beragama dari semua agama monoteis. 6). Mengutamakan

pelaksanaan ajaran-ajaran yang membawa kepada toleransi beragama. 7).

Menjauhi praktik serang-menyerang antaragama.12

2. Alwi Shihab, Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama.

Menurut penulis buku ini bahwa pada era globalisasi masa kini, umat

beragama dihadapkan kepada serangkaian tantangan baru yang tidak

terlalu berbeda dengan apa yang pernah dialami sebelumnya. Pluralisme

agama, konflik intern atau antaragama, adalah fenomena nyata. Di masa

lampau kehidupan keagamaan relatif lebih tentram karena umat-umat

12

Harun Nasution, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran (Bandung: Mizan, 2000), hlm.

275

Page 18: Nurkhalis Majid

8

beragama bagaikan kamp-kamp yang terisolasi dari tantangan-tantangan

dunia luar. Sebaliknya, masa kini tidak sedikit pertanyaan kritis yang harus

ditanggapi oleh umat beragama yang dapat diklasifikasikan rancu dan

merisaukan 13

3. A. Mukti Ali, Ilmu Perbandingan Agama Di Indonesia. Penulis buku ini

mengungkapkan bahwa tujuan mempelajari ilmu perbandingan agama

adalah untuk ikut serta bersama-sama dengan orang-orang yang

mempunyai maksud baik, menciptakan dunia yang aman dan damai

berdasarkan etika dan moral agama, dan bukan dunia yang penuh dengan

ancaman rudal dan nuklir yang akan membinasakan umat manusia itu

sendiri.14

4. Zakiah Daradjat, Perbandingan Agama. Dalam buku ini ditegaskan bahwa

dengan tumbuhnya pengetahuan tentang agama-agama lain, menimbulkan

sikap saling pengertian dan toleran kepada orang lain dalam hidup sehari-

hari, sehingga tumbuh pula kerukunan beragama. Kerukunan hidup

beragama itu dimungkinkan karena agama-agama memiliki dasar ajaran

hidup rukun. Semua agama menganjurkan untuk senantiasa hidup damai

dan rukun dalam hidup dan kehidupan sehari-hari.15

5. M. Natsir, Islam dan Kristen di Indonesia. Agama Islam memberantas

intoleransi agama serta menegakkan kemerdekaan beragama dan

meletakkan dasar-dasar bagi keragaman hidup antaragama. Kemerdekaan

menganut agama adalah suatu nilai hidup, yang dipertahankan oleh tiap-

tiap muslimin dan muslimat. Islam melindungi kemerdekaan menyembah

Tuhan menurut agama masing-masing, baik di mesjid maupun gereja.16

6. Nurcholish Madjid, Islam Doktrin Dan Peradaban. Menurut Nurcholish

Madjid, bahwa salah satu kesadaran yang sangat berakar dalam pandangan

seorang muslim ialah bahwa agama Islam adalah sebuah agama universal,

13

Alwi Shihab, Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama. (Bandung: Mizan,

2001), hlm. 39. 14

A. Mukti Ali, Ilmu Perbandingan Agama Di Indonesia (Bandung: Mizan, 1996), , hlm.

88. 15

Zakiah Daradjat, Perbandingan Agama (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), hlm. 139. 16

M. Natsir, Islam dan Kristen di Indonesia, (Jakarta: Media Dakwah, 1983), hlm.. 200.

Page 19: Nurkhalis Majid

9

untuk sekalian umat manusia. Meskipun kesadaran serupa juga dipunyai

oleh hampir semua penganut agama yang lain (Yahudi, maka mereka

menolak Kristen dan Islam; dan Kristen sendiri, maka mereka menolak

Yahudi dan Islam), namun kiranya tidaklah berlebihan jika dikatakan

bahwa pada orang-orang Muslim kesadaran tersebut melahirkan sikap-

sikap sosial-keagamaan yang unik, yang jauh berbeda dengan sikap-sikap

keagamaan para pemeluk agama lain, kecuali setelah munculnya zaman

modern dengan ideologi modern ini. Tanpa mengurangi keyakinan seorang

Muslim akan kebenaran agamanya (hal yang dengan sendirinya menjadi

tuntutan dan kemestian seorang pemeluk suatu sistem keyakinan), sikap-

sikap unik Islam dalam hubungan antaragama itu ialah toleransi,

kebebasan, keterbukaan, kewajaran, keadilan dan kejujuran (fairness).

Prinsip-prinsip itu nampak jelas pada sikap dasar sebagian besar umat

Islam sampai sekarang, namun lebih-lebih lagi sangat fenomenal pada

generasi kaum Muslim klasik (salaf).17

7. Yusuf al-Qaradhawi, Kebangkitan Gerakan Islam dari Masa Transisi

Menuju Kematangan. Dalam buku itu ditegaskan bahwa fanatisme terjadi

bila seseorang mematok akalnya pada pemikiran tertentu, dan tidak mau

membuka jendela untuk berdialog dengan orang-orang yang berlainan

keyakinan, pemikiran, pandangan fikih, pandangan politik, serta tidak mau

melakukan introspeksi sedikit pun. la malah menganggap pendapatnya

sebagai yang paling benar, tidak mungkin salah, serta pendapat orang lain

sebagai yang salah dan tak mungkin benar. Sedangkan agama

memerintahkan dan menganjurkannya untuk bertoleransi. Di antara bidang

garapan toleransi agama ini ialah; penerimaan dialog Islam-Kristen,

selama jelas tujuan-tujuannya, gamblang pengertiannya, dan kaum

muslimin yang terlibat dalam dialog tersebut merupakan orang-orang yang

memiliki kapasitas keagamaan dan keilmuan yang memadai. Terlebih

17

Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Yayasan Wakaf

Paramadina, 2000), hlm. 178-179

Page 20: Nurkhalis Majid

10

dahulu, kita harus memiliki kesepakatan tentang tujuan dialog semacam

ini.18

Karya-karya ilmiah sebagaimana disebutkan di atas belum ada yang

membahas toleransi beragama dalam perspektif Nurcholish Madjid, dan yang

ada hanya mengkaji toleransi secara umum.

E. Metode Penulisan

Metode penelitian skripsi ini dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Jenis Data

Penulisan ini menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library

research). Kepustakaan yang dimaksud berupa hasil-hasil penelitian,

buku-buku, jurnal, buletin dan sebagainya.

2. Pendekatan

Pendekatan penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif

analisis yakni menggambarkan dan menganalisis pendapat Nurcholish

Madjid dalam konteks ilmu perbandingan agama.

3. Sumber Data

a. Data primer, yaitu beberapa karya tulis Nurchlolish Madjid, di

antaranya: (1) Dialog Keterbukaan Artikulasi Nilai Islam dalam

Wacana Sosial Politik Kontemporer; (2) Islam Agama Kemanusiaan

Membangun Tradisi dan visi Baru Islam Indonesia; (3) Islam, Doktrin

dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan,

Kemanusiaan dan Kemodernan.

b. Data sekunder, yaitu sejumlah kepustakaan yang ada relevansinya

dengan judul di atas baik langsung maupun tidak langsung.

18

Yusuf al-Qaradhawi, Kebangkitan Gerakan Islam Dari Masa Transisi Menuju

Kematangan, Terj. Abdullah Hakam Syah dan Aunul Abied Syah, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar,

2003), hlm, 264-265

Page 21: Nurkhalis Majid

11

Pengambilan kepustakaan didasarkan pada otoritas keunggulan

pengarangnya dibidang masing-masing.

4. Teknik Pengumpulan Data

Dalam mengumpulkan data menggunakan studi kepustakaan.19

Dalam hal ini menggunakan sumber primer dan sekunder sebagaimana

telah dijelaskan di atas.

5. Teknik Analisis Data

Dalam menganalisis data,20

digunakan metode deskriptif analisis,

yaitu menganalisis data tanpa menggunakan angka-angka statistik.21

Dengan demikian penulis akan menggambarkan, atau memaparkan

tentang toleransi Beragama dalam pandangan Nurcholish Madjid.

F. Sistematika Penulisan

Untuk dapat dipahami urutan dan pola berpikir dari tulisan ini, maka

skripsi disusun dalam lima bab. Setiap bab merefleksikan muatan isi yang satu

sama lain saling melengkapi. Untuk itu, disusun sistematika sedemikian rupa

sehingga dapat tergambar kemana arah dan tujuan dari tulisan ini.

Bab pertama, berisi pendahuluan yang merupakan garis besar dari

keseluruhan pola berpikir dan dituangkan dalam konteks yang jelas serta

padat. Atas dasar itu deskripsi skripsi diawali dengan latar belakang masalah

yang terangkum di dalamnya tentang apa yang menjadi alasan memilih judul,

dan bagaimana pokok permasalahannya. Dengan penggambaran secara sekilas

sudah dapat ditangkap substansi skripsi. Selanjutnya untuk lebih memperjelas

maka dikemukakan pula tujuan dan manfaat penulisan baik ditinjau secara

19

Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Jilid 1, (Yogyakarta: Andi, 2001), hlm. 9. 20

Menurut Moh. Nazir, Analisa adalah mengelompokkan, membuat suatu urutan,

memanipulasi serta menyingkatkan data sehingga mudah untuk dibaca. Moh. Nazir. Metode

Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia,1999), hlm, 419. 21

Tatang M. Amirin, Menyusun Rencana Penelitian, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,

1995), hlm. 134. Bandingkan dengan Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kulitatif, (Bandung:

PT Remaja Rosda Karya, 2001), hlm. 2. Koencaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat,

(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1970), hlm. 269.

Page 22: Nurkhalis Majid

12

teoritis maupun praktis. Penjelasan ini akan mengungkap seberapa jauh

signifikansi tulisan ini. Kemudian agar tidak terjadi pengulangan dan

penjiplakan maka dibentangkan pula berbagai hasil penelitian terdahulu yang

dituangkan dalam tinjauan pustaka. Demikian pula metode penulisan diungkap

apa adanya dengan harapan dapat diketahui apa yang menjadi sumber data,

teknik pengumpulan data dan analisis data. Pengembangannya kemudian

tampak dalam sistematika penulisan. Dengan demikian, dalam bab pertama ini

tampak penggambaran isi skripsi secara keseluruhan namun dalam satu

kesatuan yang ringkas dan padat guna menjadi pedoman untuk bab kedua,

ketiga, bab keempat, dan bab kelima.

Bab kedua tinjauan umum tentang toleransi beragama yang meliputi

pengertian toleransi beragama, toleransi beragama pada masa rasulullah,

toleransi beragama pada masa khulafa al-rasyidin, dialog antar umat beragama

(pengertian dan hakikat dialog, dialog dalam pendekatan ilmu perbandingan

agama).

Bab ketiga toleransi beragama menurut Nurcholish Madjid yang

meliputi biografi Nurcholish Madjid (latar belakang Nurcholish Madjid,

pendidikan dan karya-karyanya, pendapat Nurcholish Madjid tentang toleransi

beragama).

Bab keempat analisis tentang toleransi beragama menurut pendapat

Nurcholish Madjid yang meliputi pendapat Nurcholish Madjid tentang

toleransi beragama; relevansi toleransi beragama perspektif Nurcholish

Madjid bagi kehidupan keagamaan di Indonesia

Bab kelima berisi penutup yang meliputi kesimpulan, saran-saran, dan

penutup.

Page 23: Nurkhalis Majid

13

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG TOLERANSI BERAGAMA

A. Pengertian Toleransi Beragama

Lawan kata "toleransi" yaitu "fanatik". Kata "fanatik" dalam Webster's

New American Dictionary, Fanatic: one who is exaggeratedly zealous for a

belief or cause (seorang fanatik: orang yang secara berlebih-lebihan akan

suatu kepercayaan atau penyebab), Fanaticism: exaggerated, unreasoning zeal

(fanatisme: yang dilebih-lebihkan, semangat omong kosong).1 Dalam Kamus

Besar Bahasa Indonesia, fanatisme berarti keyakinan (kepercayaan) yang

terlalu kuat terhadap ajaran (politik, agama dan sebagainya).2 Dengan singkat,

Pius Partanto dan M.Dahlan al-Barry mengartikan fanatisme sebagai

kekolotan.3

Term fanatisme merupakan antonim (lawan kata) dari toleransi, dan

kata toleransi dalam Webster's New American Dictionary", diartikan sebagai

leberality toward the opinions of others; patience with others,"4 Maksudnya,

memberikan kebebasan (membiarkan) terhadap pendapat orang lain, dan

berlaku sabar menghadapi orang lain. W.J.S. Poerwadarminta mengartikan

toleransi itu dengan sifat atau sikap menenggang (menghargai, membiarkan,

membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kelakuan dsb)

yang lain atau bertentangan dengan pendiriannya sendiri, misalnya: agama

(ideologi, ras, dan sebagainya) dalam arti suka rukun kepada siapapun,

membiarkan orang berpendapat atau berpendirian lain, tak mau mengganggu

1Edward N. Teall, A.M. and C. Ralph Taylor A.M. (Editor), Webster's New American

Dictionary, (New York: Book, Inc, 1958), hlm. 347 2Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), hlm. 313.

3Pius A. Partanto dan M. Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola,

1994), hlm. 169 4Edward N. Teall, A.M. and C. Ralph Taylor A.M. (Editor), op. cit, hlm. 1050

Page 24: Nurkhalis Majid

14

kebebasan berpikir dan berkeyakinan lain.5 Demikian pula toleransi diartikan

sebagai kesabaran, kelapangan dada.6

Dengan demikian toleransi merupakan kemampuan untuk

menghormati sifat dasar, keyakinan dan perilaku yang dimiliki oleh orang

lain. Dalam literatur agama (Islam), toleransi disebut sebagai tasamuh artinya

adalah sifat atau sikap menghargai, membiarkan, atau membolehkan pendirian

(pandangan) orang lain yang bertentangan dengan pandangan kita.

Dalam suatu hadis ditegaskan:

Artinya: Dari Abu Hurairah ra. Bahwa Rasulullah Saw. bersabda:

―aku wasiatkan kepada kamu sekalian agar kamu selalu

bertakwa kepada Allah dan berlaku baik terhadap setiap

muslim. Perangilah dengan nama Allah di jalan Allah

setiap orang yang ingkar kepada Allah. Jangan kamu

berkhianat, jangan kanu berlaku kejam, dan jangan kamu

bunuh anak kecil, kaum wanita maupun orang tua bangka.

Jangan kamu bunuh orang yang mengasingkan dirinya

dalam kuilnya dan jangan kamu rusak pohon kurma,

pohon-pohon lainnya dan jangan kamu hancurkan rumah‖.

(H.R. al-Bukhari)

Sebagai prinsip metodologis, toleransi adalah penerimaan terhadap

yang tampak sampai kepalsuannya tersingkap. Toleransi relevan dengan

epistemologi. la juga relevan dengan etika sebagai prinsip menerima apa yang

dikehendaki sampai ketaklayakannya tersingkap. Toleransi adalah keyakinan

bahwa keanekaragaman agama terjadi karena sejarah dengan semua faktor

5W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: PN Balai

Pustaka, Cet. 5) 1976, hlm. 1084 6John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia An English-Indonesia

Dictionary, (Jakarta: PT. Gramedia, 2000), hlm. 595 7Al-Imam Abu Abdillah Muhammad ibn Ismail ibn al-Mugirah ibn Bardizbah al-

Bukhari, Sahih al-Bukhari, Beirut Libanon: Dar al-Fikr, 1410 H/1990 M, hlm. 235

Page 25: Nurkhalis Majid

15

yang mempengaruhinya, kondisi ruang dan waktunya berbeda, prasangka,

keinginan dan kepentingannya. Di balik keanekaragaman agama berdiri al-din

al-hanif, agama fitrah Allah, yang mana manusia lahir bersamanya sebelum

akulturasi membuat manusia menganut agama ini atau itu.8

Dilihat dari perspektif agama, umur agama setua dengan umur

manusia. Tidak ada suatu masyarakat manusia yang hidup tanpa suatu bentuk

agama. Agama ada pada dasarnya merupakan aktualisasi dari kepercayaan

tentang adanya kekuatan gaib dan supranatural yang biasanya disebut sebagai

Tuhan dengan segala konsekuensinya. Atau sebaliknya, agama yang ajaran-

ajarannya teratur dan tersusun rapi serta sudah baku itu merupakan usaha

untuk melembagakan sistem kepercayaan, membangun sistem nilai

kepercayaan, upacara dan segala bentuk aturan atau kode etik yang berusaha

mengarahkan penganutnya mendapatkan rasa aman dan tentram.9

Mengenai arti agama secara etimologi terdapat perbedaan pendapat, di

antaranya ada yang mengatakan bahwa kata agama berasal dari bahasa

sansekerta yang terdiri dari dua suku kata yaitu : ―a‖ berarti tidak dan ―gama‖

berarti kacau, jadi berarti tidak kacau.10

Kata agama dalam bahasa Indonesia

sama dengan “diin” (dari bahasa Arab) dalam bahasa Eropa disebut ―religi”,

religion (bahasa Inggris), la religion (bahasa Perancis), the religie (bahasa

Belanda), die religion, (bahasa Jerman). Kata “diin” dalam bahasa Semit

berarti undang-undang (hukum), sedang kata diin dalam bahasa Arab berarti

menguasi, menundukkan, patuh, hutang, balasan, kebiasaan.

Meskipun terdapat perbedaan makna secara etimologi antara diin dan

agama, namun umumnya kata diin sebagai istilah teknis diterjemahkan dalam

pengertian yang sama dengan ―agama‖.11

Kata agama selain disebut dengan

8Syamsul Ma'arif, Pendidikan Pluralisme Di Indonesia, (Yogyakarta: Logung

Pustaka, 2005), hlm. 13-14. 9Abdul Madjid, et.al, al-Islam, Jilid I, (Malang: Pusat Dokumentasi dan Publikasi

Universistas Muhammadiyah, 1989), hlm. 26. 10

Taib Thahir Abdul Mu’in, Ilmu Kalam, (Jakarta: Wijaya, 1992), hlm. 112. buku

lain yang membicarakan asal kata agama dapat dilihat dalam Nasrudin Razak, Dienul Islam,

(Bandung: PT al-Ma’arif, 1973), hlm. 76. Zainal Arifin Abbas, Perkembangan Pikiran

Terhadap Agama, jilid 1, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1984), hlm. 39. 11

Abdul Aziz Dahlan, et.al, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van

Page 26: Nurkhalis Majid

16

kata diin dapat juga disebut syara, syari’at/millah. Terkadang syara itu

dinamakan juga addiin/millah. Karena hukum itu wajib dipatuhi, maka

disebut addin dan karena hukum itu dicatat serta dibukukan, dinamakan

millah. Kemudian karena hukum itu wajib dijalankan, maka dinamakan

syara.12

Dari pengertian agama dalam berbagai bentuknya itu maka terdapat

bermacam-macam definisi agama. Harun Nasution telah mengumpulkan

delapan macam definisi agama yaitu:

1. Pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan gaib

yang harus dipatuhi.

2. Pengakuan terhadap adanya kekuatan gaib yang menguasai manusia.

3. Mengikatkan diri pada suatu bentuk hidup yang mengandung pengakuan

pada suatu sumber yang berada di luar diri manusia dan yang

mempengaruhi perbuatan-perbuatan manusia.

4. Kepercayaan pada suatu kekuatan gaib yang menimbulkan cara hidup

tertentu.

5. Suatu sistem tingkah laku yang berasal dari suatu kekuatan gaib.

6. Pengakuan terhadap adanya kewajiban-kewajiban yang diyakini

bersumber pada suatu kekuatan gaib.

7. Pemujaan terhadap kekuatan gaib yang timbul dari perasaan lemah dan

perasaan takut terhadap kekuatan misterius yang terdapat dalam alam

sekitar manusia.

8. Ajaran-ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui seorang

Rasul.13

Adapun masalah asal mula dan inti dari suatu unsur universal agama

itu, tegasnya masalah mengapakah manusia percaya kepada suatu kekuatan

yang dianggap lebih tinggi daripadanya, dan masalah mengapakah manusia

melakukan berbagai hal dengan cara-cara yang beraneka warna untuk

Hoeve, 1997), hlm. 63.

12Taib Thahir Abdul Mu’in, op.cit, hlm. 121.

13Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, (Jakarta: UI Press,

1985), hlm.10.

Page 27: Nurkhalis Majid

17

mencari hubungan dengan kekuatan-kekuatan tadi, telah menjadi obyek

perhatian para ahli pikir sejak lama. Mengenai soal itu ada berbagai pendirian

dan teori yang berbeda-beda. Teori-teori yang terpenting adalah :

a. Teori bahwa kelakuan manusia yang bersifat religi itu terjadi karena

manusia mulai sadar akan adanya faham jiwa.

b. Teori bahwa kelakuan manusia yang bersifat religi itu terjadi karena

manusia mengakui adanya banyak gejala yang tidak dapat diterangkan

dengan akalnya.

c. Teori bahwa kelakuan manusia yang bersifat religi itu terjadi dengan

maksud untuk menghadapi krisis-krisis yang ada dalam jangka waktu

hidup manusia.

d. Teori bahwa kelakuan manusia yang bersifat religi terjadi karena kejadian-

kejadian yang luar biasa dalam hidupnya, dan dalam alam sekelilingnya.

e. Teori bahwa kelakuan manusia yang bersifat religi terjadi karena suatu

getaran atau emosi yang ditimbulkan dalam jiwa manusia sebagai akibat

dari pengaruh rasa kesatuan sebagai warga masyarakatnya.

f. Teori bahwa kelakuan manusia yang bersifat religi terjadi karena manusia

mendapat suatu firman dari Tuhan.14

Setiap agama memiliki kebenaran, keyakinan tentang yang benar itu

didasarkan kepada Tuhan sebagai satu-satunya sumber kebenaran. Dalam

tataran sosiologis, klaim kebenaran berubah menjadi simbol agama yang

dipahami secara subjektif oleh setiap pemeluk agama. Sering tampak ke

permukaan yaitu terjadinya konflik antaragama sebagai akibat kesenjangan

ekonomi, perbedaan kepentingan politik, ataupun perbedaan etnis.

Pluralitas manusia menyebabkan wajah kebenaran itu tampil beda

ketika akan dimaknai dan dibahasakan. Sebab, perbedaan ini tidak dapat

14

Romdhon, et. al, Agama-agama di Dunia, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga

Press, 1988), hlm. 18-19. Dadang Kahmad, Metode Penelitian Agama Perspektif Ilmu

Perbandingan Agama, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000), hlm. 40-41. Koenjtaraningrat,

Beberapa Pokok Antropologi Sosial, (Jakarta: Dian Rakyat, 1972), hlm. 222-223. Hilman

Hadi Kusuma, Antropologi Agama Bagian I (Pendekatan Budaya Terhadap Aliran

kepercayaan, Agama Hindu, Buddha, Kong Hu Chu, di Indonesia), (Bandung: PT Citra

Aditya Bakti, 1993), hlm. 32-33.

Page 28: Nurkhalis Majid

18

dilepaskan begitu saja dari berbagai referensi dan latar belakang yang diambil

peyakin — dari konsepsi ideal turun ke bentuk-bentuk normatif yang bersifat

kultural. Hal ini yang biasanya digugat oleh berbagai gerakan keagamaan

(harakah) pada umumnya. Sebab, mereka mengklaim telah memahami,

memiliki, dan bahkan menjalankan nilai-nilai suci itu secara murni dan

konsekuen. Keyakinan tersebut menjadi legitimasi dari semua perilaku

pemaksaan konsep-konsep gerakannya kepada manusia lain yang berbeda

keyakinan dan pemahaman dengan mereka. Armahedi Mahzar sebagaimana

dikutip Adeng Muchtar Ghazali menyebutkan bahwa absolutisme,

eksklusivisme, fanatisme, ekstrimisme, dan agresivisme adalah "penyakit"

yang biasanya menghinggapi aktifis gerakan keagamaan. Absolutisme adalah

kesombongan intelektual; eksklusivisme adalah kesombongan sosial;

fanatisme adalah kesombongan emosional; ekstremisme adalah berlebih-

lebihan dalam bersikap; dan agresivisme adalah berlebih-lebihan dalam

melakukan tindakan fisik. Tiga penyakit pertama adalah wakil resmi

kesombongan (ujub). Dua penyakit terakhir adalah wakil resmi sifat berlebih-

lebihan.15

Toleransi merupakan salah satu tata pikir yang diajarkan oleh Islam,

terutama toleransi mengenai beragama. Salah satu ajaran Islam yang

digariskan oleh Tuhan untuk menjadi pegangan kaum Muslimin dalam

kehidupan beragama ialah ayat yang berbunyi:

Artinya: Tidak ada paksaan dalam agama (karena) sesungguhnya telah

jelas jalan yang benar dari jalan yang salah. Orang-orang

yang tidak percaya kepada thagut (berhala, syaithan dan

lain-lain) dari hanya percaya kepada Allah, sesungguhnya

dan telah berpegang kepada tali yang teguh dan tidak akan

15

Adeng Muchtar Ghazali, Agama dan Keberagamaan Dalam konteks Perbandingan

Agama, (Bandung: CV.Pustaka Setia, 2005), hlm. 18 – 19

Page 29: Nurkhalis Majid

19

putus. Tuhan itu mendengar dan mengetahui". (Q.S. Al-

Baqarah : 256).

Pada ayat tersebut di atas ditegaskan bahwa agama (Islam) tidak

mengenal unsur-unsur paksaan. Hal ini berlaku mengenai cara, tindak laku,

sikap hidup dalam segala keadaan dan bidang, dan dipandang sebagai satu hal

yang pokok. Islam bukan saja mengajarkan supaya jangan melakukan

kekerasan atau paksaan, tapi diwajibkannya pula supaya seorang Muslim

menghormati agama-agama lain dan menghargai pemeluk-pemeluknya dalam

pergaulan.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa toleransi merupakan

prinsip yang dianjurkan Islam, dan sebaliknya fanatisme merupakan sikap

yang tidak diajarkan dalam Islam. Sebab arti kata "Islam" sebagaimana

diartikan oleh Mukti Ali adalah masuk dalam perdamaian, dan seorang

muslim adalah orang yang membikin perdamaian dengan Tuhan dan dengan

manusia.16

B. Toleransi Beragama Pada Masa Rasulullah

Agama Islam diturunkan guna kepentingan umat manusia itu sendiri.

Karena itu Islam tidak memaksa seseorang untuk memeluk agama. Sebab

agama Islam bukanlah suatu ideologi yang kosong, atau suatu ideologi yang

mencari keuntungan dibaliknya.17

Demikian pula Rasulullah sebagai utusan

Tuhan tidak pernah memaksa seseorang untuk memeluk agama yang

dibawanya, karena itu ia dikagumi baik oleh yang seagama maupun non Islam.

Itulah sebabnya Michael H. Hart mengatakan :

Sebuah contoh yang mencolok mata tentang hal ini ialah tata urutan

(rangking) yang saya susun yang menempatkan Muhammad lebih tinggi

daripada Jesus (Isa), terutama disebabkan karena keyakinan saya bahwa

Muhammad secara pribadi jauh lebih berpengaruh pada perumusan agama

yang dianut orang Islam, daripada Jesus pada perumusan agama

Kristen…Jatuhnya pilihan saya kepada Muhammad untuk memimpin di

tempat teratas dalam daftar pribadi-pribadi yang paling berpengaruh di dunia

16

Mukti Ali, Memahami Beberapa Aspek Ajaran Islam, (Bandung: Mizan, 1991),

hlm. 50 17

Yunus Ali Almuhdar, Toleransi-Toleransi Islam, (Bandung: Iqra, 1983), hlm. 3 – 4

Page 30: Nurkhalis Majid

20

ini, mungkin mengejutkan beberapa pembaca dan mungkin pula

dipertanyakan oleh yang lain, namun dia memang orang satu-satunya dalam

sejarah yang telah berhasil secara unggul dan agung, baik dalam bidang

keagamaan maupun dalam bidang keduniaan…Tambahan pula, berbeda

dengan Jesus, Muhammad itu seorang pemimpin keduniaan dan sekaligus

keagamaan. Nyatanya, sebagai kekuatan yang mendorong kemenangan-

kemenangan orang-orang Arab (Muslim), dia seyogyanya menempati urutan

sebagai pemimpin politik yang paling berhasil sepanjang masa.18

Keterangan di atas menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW

sebagai nabi yang berhasil dalam segala bidang. Ia memiliki beberapa

keistimewaan antara lain tiga keistimewaan yang dimiliki oleh Muhammad

SAW daripada Rasul-rasul terdahulu.

Pertama, beliau adalah Nabi/Rasul terakhir. Tidak akan datang lagi

nabi dan rasul sesudahnya. Risalahnya sudah sempurna buat memimpin

manusia untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akherat. Kedua, beliau adalah

nabi/rasul internasional. Risalahnya universal, ditujukan kepada seluruh

manusia, semua ras, bangsa dan bahasa, sampai ke ujung zaman. Ketiga,

Muhammad SAW adalah semulia-mulia Nabi dan Rasul daripada Nabi/Rasul

terdahulu. Dari sekian Rasul yang dikisahkan dalam al-Qur'an sejak dari

Adam a.s yang berjumlah 25 itu, maka lima di antaranya disebut “Ulul Azmi”

, artinya rasul-rasul yang terkenal keras kemauan dan cita-citanya. Mereka itu

ialah Muhammad SAW, Nuh AS, Ibrahim AS, Musa A.S., dan Isa A.S.19

Menurut Philip K.Hitti, Muhammad adalah pembawa kitab yang

diyakini oleh seperdelapan penduduk bumi sebagai sumber ilmu pengetahuan,

kebijakan dan teologi.20

Muhammad Husain Haekal menggambarkan

keteladanan Nabi Muhammad SAW dengan mengatakan:

Muhammad sendiri teladan yang baik sekali dalam melaksanakan

kebudayaan seperti dilukiskan al-Qur'an. Terlihat misalnya bagaimana

rasa persaudaraannya terhadap seluruh umat manusia dengan cara

yang sangat tinggi dan sungguh-sungguh itu dilaksanakan. Saudara-

saudaranya di Mekkah semua sama dengan dia sendiri dalam

18

Michhael H. Hart, 1994, Seratus Tokoh Yang Paling Berpengaruh Dalam sejarah,

Terj. Mahbub Djunaidi, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1998), hlm. 27, 33 dan 39. 19

Nasruddin Razak,, Dienul Islam, (Bandung: PT.al-Ma'arif, 1973), hlm. 194-195. 20

Philip K.Hitti, History of The Arabs, Terj. R.Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet

Riyadi, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2005), hlm. 153

Page 31: Nurkhalis Majid

21

menanggung duka dan sengsara. Bahkan dia sendiri yang lebih banyak

menanggungnya.21

Nabi besar Muhammad s.a.w., baik sebagai manusia biasa maupun

selaku pemimpin ummat dan negara senantiasa menunjukkan sikap bersahabat

terhadap pemeluk-pemeluk agama lain, yang mencerminkan sifat toleransi itu.

Perbedaan agama tidaklah menjadi halangan bagi beliau untuk mengunjungi

upacara-upacara perkawinan orang-orang Yahudi dan Nasrani. Beliau

kerapkali menjenguk orang-orang yang kematian (ta'ziah) yang berlainan

agama. Beliau melihat mereka di waktu sakit, selalu berkunjung dan bertamu

kepada keluarga- keluarga orang-orang Yahudi dan Nasrani. Yang dilakukan

Nabi saat itu memberi nasihat-nasihat dengan bijak, misalnya sewaktu

mengunjungi yang sakit, maka Nabi menyuruh bersabar, ketika menjenguk

orang yang meninggal, maka Nabi menyuruh keluarganya untuk tabah.ketika

memasak masakan yang banyak, maka Nabi menyuruh istrinya memberi

kepada tetangga walaupun ia seorang Yahudi. Sebagaimana sabda Rasulullah

SAW:

Artinya: Dari Abu Hurairah ra. bahwasanya Rasulullah Saw. berkata:

―Wahai Abu Dzar, apabila kamu memasak gulai,

perbanyaklah kuahnya dan perhatikanlah tetanggamu. (HR.

al-Bukhari).

Tatkala suatu delegasi orang-orang Nasrani dan Najran datang

mengunjungi beliau, maka beliau membuka jubahnya dan membentangkannya

di atas lantai untuk tempat duduk tamunya itu, sehingga utusan-utusan tersebut

kagum terhadap penerimaan beliau yang begitu hormat. Seperti diketahui,

utusan-utusan itu akhirnya memeluk agama Islam bahkan menarik pula kaum

mereka masuk agama Islam. Jika pada suatu ketika beliau mengalami

21

Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, Terj. Ali Audah, (Jakarta:

Litera antar Nusa, 2003), hlm. 629

Page 32: Nurkhalis Majid

22

kesempitan dan memerlukan uang, maka biasanya beliau meminjam kepada

orang-orang yang beragama Nasrani atau Yahudi, walaupun Sahabat-sahabat

beliau yang akrab senantiasa siap-sedia meringankan kesulitan itu. Sengaja

beliau meminjam kepada orang-orang yang berlainan agama untuk

memberikan contoh yang bersifat pendidikan (edukatif) mempraktekkan sikap

dan sifat toleransi itu.22

Menurut Nurcholish Madjid, kehadiran Nabi SAW sebagai pemilik

syari'at yang berwenang penuh dan menjadi referensi hidup serta teladan nyata

juga amat besar dalam penanggulangan setiap perselisihan.23

Rasulullah

senantiasa menunjukkan jiwa besar menghadapi pemeluk-pemeluk agama lain

yang nyata-nyata melakukan sikap permusuhan terhadap beliau dan

ummatnya, tanpu terguris sedikit jugapun dalam hati beliau untuk membalas

dendam.

C. Toleransi Beragama Pada Masa Khulafa al-Rasyidin

Istilah Al-Khulafa Ar-Rasyidin menurut Abul Ala AI-Maududi adalah

sebutan terhadap empat dari para sahabat Nabi yang diangkat sebagai khalifah

secara bergantian. Umat Islam telah menanamkan sistem khilafah ini sebagai

"khilafah yang adil dan benar" (Al-Khulafa Ar-Rasyidin).24

Oleh karena itu,

dari karakteristik kekhalifahan ini sedikitnya dapat diketahui bahwa Al-

Khulafa Ar-Rasyidin pada dasarnya bukan hanya merupakan suatu

pemerintahan politik, tetapi ia merupakan perwakilan sempurna dan

menyeluruh dari nubuwwah, yakni memiliki fungsi bukan hanya menjalankan

tatanan negara serta menjaga keamanan dan membela batas-batas negeri saja,

22

M. Yunan Nasution, Pegangan Hidup bagian Jilid 3, (Solo: Ramadhani, tt), hlm.

122-123. 23

Nurcholish Madjid, Islam Doktrin Dan Peradaban, (Jakarta: Yayasan Wakaf

Paramadina, 2000), hlm. 164 24

Abul A’la Al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan, Terj. Muhammad Al-Baqir,

(Bandung: Mizan 1996), hlm. 111.

Page 33: Nurkhalis Majid

23

tetapi ia juga memerankan kewajiban-kewajiban seorang mursyid, guru, dan

pendidik.25

Setelah Rasulullah wafat maka politik toleransi menghadapi agama-

agama lain dan pemeluknya, begitu juga menghadapi musuh, dilanjutkan oleh

Khulafaur Rasyidin yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali. Toleransi dan

kebijaksanaan yang dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar Siddik (wafat 12

H/634 M), di antaranya tergambar dalam perintah-harian yang

disampaikannya kepada Panglima Usamah bin Zaid serta pasukannya, tatkala

Usamah diutus ke medan perang Ubna, di sebelah timur kota Syam. Beliau

mengeluarkan satu perintah yang dinamakan dengan istilah "larangan yang

sepuluh".

Abu Bakar Siddik mengatakan: "Saya amanahkan kepada kamu 10

(sepuluh) perkara, yang harus kamu pelihara sebaik-baiknya, yaitu:

1. Jangan berkhianat;

2. jangan membalas dendam;

3. jangan bertindak kejam;

4. jangan menyiksa orang;

5. jangan membunuh anak-anak;

6. jangan membunuh orang-orang tua;

7. jangan membunuh kaum wanita;

8. jangan menebang atau membakar pohon korma;

9. jangan menebang pohon yang sedang berbuah;

10. jangan menyembelih binatang ternak, kecuali jika perlu karena ketiadaan

makanan.26

Kesepuluh larangan Khalifah Abu Bakar Siddik itu menunjukkan

toleransi yang harus dipelihara di zaman perang, apalagi di zaman damai.

25

Sistem ini yang membedakan dengan sistem kerajaan yang lebih bersifat dinasti

dan hanya bersifat politis. Hal ini dapat dibedakan melalui perjalanan keempat sahabat yang

terpilih menjadi khalifah (Al-Khulafa Ar-Rasyidin) dengan Bani Umayyah dengan sistem

kerajaan. Berkuasanya Muawiyah merupakan tahapan peralihan dari sistem khilafah ke sistem

kerajaan; Lihat A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jilid I, (Jakarta: AL-Husna Zikra,

1997), hlm. 309. 26

M. Yunan Nasution, Pegangan Hidup bagian Jilid 3, (Solo: Ramadhani, tt), hlm.

127 - 128

Page 34: Nurkhalis Majid

24

Umar ibn al-Khaththab, r.a. (wafat/terbunuh 22 H/ 644 M). Masa

pembebasan (fat'h) dalam ekspansi militer dan politik ke daerah-daerah luar

Jazirah Arabia. Islam menguasai "heart land" dunia yang terbentang dari

sungai Nil ke Oxus (Amudarya). Praktek pemerintahan 'Umar dianggap

contoh ideal pelaksanaan Islam sesudah masa Nabi, dan kelak menjadi bahan

rujukan utama dalam usaha pencarian preseden hukum Islam.27

Di zaman

Khalifah Umar bin Khattab, beliau memperbuat dan memperluas perjanjian-

perjanjian persahabatan dengan pemeluk-pemeluk agama lain di negeri-negeri

yang baru dikuasai. Tatkala tentara Islam merebut kemenangan di Iliya'

(Baitulmakdis), Khalifah Umar bin Khattab sendiri berangkat ke kota itu

melakukan pasifikasi. Di sana beliau menandatangani satu perjanjian dengan

orang-orang Nasrani yang berisi jaminan terhadap jiwa, harta benda, gereja-

gereja, salib-salib dan lain-lain berkenaan dengan soal-soal antar-hubungan

agama. Gereja-gereja tidak boleh dijadikan asrama untuk tentara Islam, tidak

boleh dirusak atau diruntuhkan. Dalam perjanjian tersebut dilarang melakukan

tindakan kekerasan terhadap pemeluk-pemeluk agama Nasrani dan tindakan-

tindakan lainnya yang merugikan kepada mereka.

Ketika Khalifah Umar bin Khattab di kala itu sedang berada dalam

gereja Al-Qiamah, datanglah waktu bersembahyang. Beliau lantas keluar dari

dalam gereja itu dan bersembahyang pada suatu tempat di luar gereja tersebut.

Beliau menerangkan kepada pendeta gereja itu, bahwa sengaja beliau mencari

tempat bersembahyang di luar gereja untuk menghindarkan kekhawatiran agar

kaum Muslimin di belakang hari jangan menjadikan gereja jadi mesjid atau

tempat bersembahyang.

Di lapangan kehidupan sosial, banyak pula contoh-contoh toleransi

yang ditunjukkan oleh Khalifah Umar bin Khattab. Pada suatu hari, beliau

bertemu dengan seorang Yahudi yang sudah tua dan lemah sedang meminta-

minta di tengah jalan. Beliau menuntun dan membawa Yahudi itu ke rumah

beliau sendiri dan diberikannya keperluan-keperluan yang dibutuhkan oleh

Yahudi tua itu. Kemudian diantarkannya Yahudi tua itu kepada pengurus Kas

27

Nurcholish Madjid, op. cit, hlm. 165

Page 35: Nurkhalis Majid

25

Negara (Baitulmal) dengan surat pengantar yang berbunyi: "Perhatikan dan

santunilah orang tua ini dan orang-orang lainnya yang menderita senasib

seperti itu. Tidaklah adil apabila di zaman mudanya dipungut pajak (jizyah)

daripadanya, dan kemudian di kala dia sudah tua dan lemah dibiarkan saja

hidup terlantar dan terlunta-lunta".28

Diceriterakan pula dalam riwayat, bahwa seorang Yahudi pernah

mengadu kepada Umar bin Khattab karena Yahudi tersebut merasa

diperlakukan oleh Ali bin Abi Thalib dengan cara yang tidak pantas. Khalifah

Umar mengkonfrontir antara kedua orang yang bersengketa itu. Pada

kesempatan itu, Umar memberikan nasehat kepada Ali bin Abi Thalib supaya

memperlakukan pemeluk-pemeluk agama lain seperti perlakuan terhadap

pemeluk-pemeluk Islam. Ketika itulah keluar ucapan Umar bin Khattab yang

penuh mengandung hikmat, yang berbunyi: "Kenapakah anda memperlakukan

manusia sebagai seorang budak, pada hal manusia sama-sama dilahirkan dari

perut ibunya masing-masing dalam keadaan merdeka?".29

D. Dialog Antar Umat Beragama

1. Pengertian dan Hakikat Dialog

Dialog selalu bermakna menemukan bahasa yang sama, tetapi

bahasa bersama ini diekspresikan dengan kata-kata yang berbeda. Dialog

didefinisikan sebagai pertukaran ide yang diformulasikan dengan cara

yang berbeda-beda. Oleh karena itu, setiap usaha mendominasi pihak lain

harus dicegah; kebenaran satu pihak tidak berarti ketidakbenaran di pihak

lain. Bahasa bersama lebih dari sekadar kemiripan pembahasan; dia

berdasarkan kesadaran akan masalah bersama, kita butuh alat untuk

mencapai landasan bersama.30

28

M.Yunan Nasution, op. cit, hlm. 128 29

Ibid, hlm. 129 30

Adeng Muchtar Ghazali, Agama dan Keberagamaan dalam Konteks Perbandingan

Agama, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), hlm. 167

Page 36: Nurkhalis Majid

26

Akhir-akhir ini wacana tentang toleransi beragama, dialog antar

agama, pluralitas agama dan masalah-masalah yang mengitarinya semakin

menguat dan muncul ke permukaan. Buku-buku, tulisan- tulisan media

massa, dan acara-acara seminar, kongres, simposium, diskusi, dialog

seputar hubungan antarumat beragama semakin sering disaksikan dalam

berbagai tingkat, baik lokal, nasional, maupun internasional.

Kecenderungan menguatnya perbincangan seputar pluralitas agama dan

hubungan antarumat beragama ini akan semakin kuat di masa-masa

mendatang dan tidak akan pernah mengalami masa kadaluarsa. Sebab

topik ini adalah topik yang selalu aktual dan menarik bagi siapa pun yang

mencita-citakan terwujudnya perdamaian di bumi ini.

Banyak hal yang melatarbelakangi mengapa wacana ini semakin

marak. Di antaranya:

Pertama, perlunya sosialisasi bahwa pada dasarnya semua agama

datang untuk mengajarkan dan menyebarkan damai dan perdamaian dalam

kehidupan umat manusia. Kedua, wacana agama yang pluralis, toleran,

dan inklusif merupakan bagian tak terpisahkan dari ajaran agama itu

sendiri. Sebab pluralitas apa pun, termasuk pluralitas agama, dan

semangat toleransi dan inklusivisme adalah hukum Tuhan atau

sunnatullah yang tidak bisa diubah, dihalang-halangi, dan ditutup-tutupi.

Oleh karena itu, wacana pluralitas ini perlu dikembangkan lebih lanjut di

masyarakat luas. Hal ini bukan untuk siapa-siapa, melainkan demi cita-

cita agama itu sendiri, yaitu kehidupan yang penuh kasih dan sayang

antarsesama umat manusia. Ketiga, ada kesenjangan yang jauh antara cita-

cita ideal agama-agama dan realitas empirik kehidupan umat beragama di

tengah masyarakat. Keempat, semakin menguatnya kecenderungan

eksklusivisme dan intoleransi di sebagian umat beragama yang pada

gilirannya memicu terjadinya konflik dan permusuhan yang berlabel

agama. Kelima, perlu dicari upaya-upaya untuk mengatasi masalah-

masalah yang berkaitan dengan kerukunan dan perdamaian antarumat

beragama. Beberapa latar belakang di atas menjadi sebab mengapa tema

Page 37: Nurkhalis Majid

27

pluralitas agama dan cita-cita kerukunan menjadi semakin menarik untuk

dikaji dan didalami.31

Lebih jauh, berdasarkan analisis Hugh Goddard, penulis dapat

menyimpulkan bahwa akar dan sumber konflik adalah berikut ini.

1. Karena "ketidaktahuan". Di antara penganut agama, khususnya

Kristen-Islam yang saling tidak tahu-menahu jauh lebih besar

dibandingkan mereka yang saling pengertian. Ketidaktahuan tentang

ajaran agama orang lain, dicontohkan kalangan kaum muslim bahwa

orang Kristen menyembah tiga Tuhan. Bagaimana pun, pandangan ini

akan ditolak oleh sebagian besar orang Kristen dan sesuai dengan

keyakinan Kristen yang sesungguhnya, harus dikatakan bahwa

pandangan ini didasarkan atas ketidaktahuan. Saling ketidaktahuan ini

menjadi rintangan untuk mencapai saling pengertian di antara

penganut agama yang berbeda.

2. Ada hubungannya dengan yang pertama, akibat ketidaktahuan itu,

hubungan antara umat beragama yang berbeda, khususnya muslim

dengan Kristen adalah penerapan 'standar ganda'. Dengan kata lain,

kaum muslim dan Kristen masing-masing menerapkan serangkaian

standar atau kriteria untuk keyakinannya sendiri dan serangkaian

standar yang sama sekali berbeda untuk kepercayaan orang lain.32

Penerapan standar ganda, sebenarnya bukan merupakan persepsi

baru. Karl Marx yang pertama kali menerapkan standar ganda itu sehingga

menarik perhatian ' teolog, menegaskan bahwa kepercayaannya sendiri

berasal dari Tuhan, sedangkan kepercayaan orang lain hanyalah konsepsi

manusia, sebagaimana terungkap dalam bukunya The Poverty of

Philosophy.33

31

Nur Achmad (ed), Pluralitas Agama Kerukunan dalam Keragaman, (Jakarta:

Penerbit Kompas, 2001), hlm. ix 32

Huge Goddard, Menepis Standar Ganda: Membangun Saling Pengertian Muslim-

Kristen, Terj. Ali Noerzaman, (Yogyakarta: Qalam, 2000), hlm. 2 – 3. 33

Ibid, hlm. 3

Page 38: Nurkhalis Majid

28

Dari sudut pandang lain bahwa pada umumnya konflik yang

mengatasnamakan agama disebabkan oleh penyimpangan arah proses

sosial yang berkorelasi logis dengan bentuk-bentuk menyimpang interaksi

sosial antarumat beragama. Apabila agama adalah cinta dan kasih,

interaksi sosial antarumat beragama mestinya didasarkan pada prinsip-

prinsip cinta dan kasih itu.

2. Dialog Dalam Pendekatan Ilmu Perbandingan Agama

Terjadinya dialog atau proses dialog ada hubungannya dengan

pemahaman agama orang lain yang bukan hanya memahami agama kita

sendiri. Oleh karena itu, memahami agama orang lain adalah penting bagi

para pelaku dialog, sehingga tidak terjadi salah pengertian dan dialog pun

berjalan secara harmonis. Secara akademik, memahami agama orang lain

dapat dilakukan salah satunya, melalui ilmu perbandingan agama. Melalui

disiplin ini pula, para penganut agama yang berbeda dapat terjalin saling

pengertian, saling menghormati dan saling menjunjung tinggi nilai-nilai

moral dan nilai-nilai universal yang ada pada masing-masing agama.

Sebab, kedua nilai itu merupakan "esensi kemanusiaan" yang diajarkan

semua agama.

Untuk memahami agama orang lain haruslah pemahaman yang

bersifat integral bukan parsial. Oleh karena itu, diperlukan beberapa

persyaratan dan kelengkapan,

1. Sifatnya intelektual. Untuk memahami agama atau fenomena agama

secara menyeluruh, informasi yang penuh perlu dimiliki. Salah satu

kelengkapan intelektual yang sangat penting adalah mempelajari dan

memahami bahasa agama.

2. Kondisi emosional yang cukup. Dalam memahami agama orang lain,

harus ada feeling, perhatian, matexis, atau partisipasi. Salah satu cara

untuk menimbulkan rasa simpati adalah dengan bergaul dengan

mereka yang berbeda agama.

Page 39: Nurkhalis Majid

29

3. Kemauan. Kemauan orang yang ingin mempelajari agama orang lain

harus diorientasikan ke arah tujuan yang konstruktif.34

Yang harus dijadikan patokan oleh Ilmu Perbandingan Agama,

mengutip pandangan Husein Shahab adalah kriteria-kriteria filosofis tanpa

terjebak oleh simbol-simbol agama. Apabila seorang penganut keyakinan

mengukur keyakinan agama lain melalui kacamatanya sendiri,

penilaiannya mengandung banyak unsur subjektivisme, dan hal demikian

pasti akan menimbulkan kontradiksi; Apabila Realitas Tertinggi pada

hakikatnya adalah satu, secara otomatis, prinsip-prinsip filosofis yang

digunakan semua agama adalah satu juga. Inilah yang harus dijadikan

kriteria. Yang seharusnya dipertahankan bukanlah simbol agama,

melainkan kebenaran yang sebenarnya dikejar oleh setiap (penganut)

agama.35

Apabila fenomena beragama komunitas manusia seperti di atas,

konflik beragama mustahil ada. Kalaupun terjadi, konflik tidak timbul

karena miskonsepsi penganut tentang kebenaran, melainkan pada faktor-

faktor kepentingan eksternal, seperti politik dan ekonomi. Kalau seorang

pastor duduk dengan seorang ulama, bila keduanya benar-benar

memahami prinsip-prinsip universal, konflik agama tidak akan ada.

Sebab, yang dikejar oleh kedua pihak adalah kebenaran sejati. Jadi, tidak

perlu ada seorang Kristiani berjiwa muslim atau seorang muslim berjiwa

Kristiani agar tercipta hubungan harmonis antarumat beragama.36

Ilmu Perbandingan Agama sangat berperan dalam proses

menciptakan dan memelihara kultur kebersamaan antarpemeluk agama.

Hal ini dilakukan, misalnya, dalam bentuk dialog, baik bilateral maupun

multilateral, baik lokal, regional maupun internasional. Pada tahun 1958,

di Tokyo, diadakan kongres internasional oleh The International

34

A. Mukti Ali, Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1999),

hlm. 61-63. 35

Husein Shahab, "Kata Pengantar" dalam Andito (Editor), Atas Nama Agama:

Wacana Agama Dalam Dialog Bebas Konflik, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1998), hlm. 23. 36

Ibid, hlm. 23 – 24.

Page 40: Nurkhalis Majid

30

Association for The History of Religions yang merupakan kongres

kesembilan dan yang pertama diadakan di luar Eropa. Dalam kongres itu,

Friedrich Heiler menyampaikan uraian tentang The History of Religions as

a Way to Unity of Religions yang menerangkan bahwa "memberi

Penerangan tentang kesatuan semua agama merupakan salah satu dari

tugas-tugas yang amat penting dari Ilmu Perbandingan Agama".

Ilmu perbandingan agama merupakan pencegah yang paling baik

melawan eksklusivisme, karena di dalamnya ada cinta; di mana ada cinta,

di situ ada kesatuan dalam jiwa. Betapa dekatnya agama-agama itu satu

sama lain; dengan membandingkan strukturnya, keyakinan dan amalan-

amalannya, ia dibawa kepada sesuatu yang "transenden" yang melampaui

semua, namun tetap imanen dalam hati manusia.37

E. Toleransi di Indonesia

Menjelang tutup tahun 1996, bangsa Indonesia dihentakkan oleh tiga

peristiwa kekerasan yang digolongkan sebagai SARA (suku, agama, ras, dan

antargolongan). Kerusuhan terakhir terjadi di Sanggau Ledo, Kabupaten

Sambas, Kalimantan Barat, pada 30 Desember 1996 dengan akibat lima orang

tewas dan ratusan warga harus diungsikan. Kedua peristiwa lainnya di tahun

1996 terjadi di daerah basis Nahdlatul Ulama (NU) di Jawa. Pertama,

peristiwa kerusuhan yang melanda Situbondo pada 10 Oktober 1996. Dalam

peristiwa ini terjadi perusakan rumah-rumah ibadah non-Islam oleh Sejumlah

massa yang mengamuk. Kerugian ditaksir Rp 629 juta. Sejumlah orang yang

disangka perusuh telah ditangkap dan ditahan, bahkan sejak 16 Desember

1996 telah mengadili 10 tersangka. Salah seorang tersangka yang ditahan telah

meninggal dunia. Keterangan pihak aparat keamanan menyatakan bahwa

tersangka itu meninggal dunia akibat sakit.38

Kedua, ledakan kerusuhan yang melanda Tasikmalaya pada 26-27

Desember 1996. Berawal dari penganiayaan terhadap guru sebuah pesantren

37

Mukti Ali, op.cit, hlm. 84-85 38

Nur Achmad (Editor), Pluralitas Agama Kerukunan dalam Keragaman, (Jakarta:

kompas, 2001), hlm. 35-39.

Page 41: Nurkhalis Majid

31

yang kemudian berbelok menjadi kerusuhan anti-polisi serta sekaligus

perusakan rumah-rumah ibadah non-Islam, anti-Cina dan perusakan dan

pembakaran harta benda. Kerusuhan ini sempat merembet ke Ciawi. Bupati

Tasikmalaya mengungkapkan kerugian material ditaksir Rp 84,963 miliar.

Dari peristiwa-peristiwa itu, perlu disimak dengan arif dan jernih

karena awalnya bukanlah masalah perbedaan SARA, namun ujungnya

bermuara pada SARA. Hal yang patut ditelusuri adalah keindonesiaan yang

berbaur dalam keanekaragaman suku, etnis, ras, dan agama pada dasarnya tak

punya akar secara politik, namun dengan gampang memercikkan api.

Setidaknya bisa menduga bahwa sumbernya bukan ihwal SARA.

Peristiwa-peristiwa di atas akan lebih lengkap bila menengok

peristiwa sejak jatuhnya kekuasaan Orde Baru, setiap hari masyarakat banyak

disuguhi berita yang cukup mengejutkan seperti keberingasan dan agresivitas

massa bernuansa SARA (agama) yang terjadi di beberapa daerah, baik dalam

skala masif seperti di Maluku, Ambon maupun bersifat insidental seperti di

Mataram dan Doulas Cipayung.39

Selain dari ayat al-Qur'an yang menerangkan tentang perintah toleransi

juga Nabi saw sendiri telah menguatkan dalam berbagai macam sabda yang

menganjurkan untuk selalu bertoleransi, misalnya dengan bersikap lemah

lembut terhadap sesama manusia. Hal ini sebagaimana sabda beliau sebagai

berikut:

Artinya: Telah mengabarkan kepada kami dari Muhammad bin al-

Musanna dari Yahya bin Said dari Sufyan dari Mansyur

dari Tamim bin Salamah dari Abdurrahman bin Hilal

dari Jarir, dari nabi s.a.w. beliau bersabda: "Barangsiapa

39

Syamsul Ma'arif, Pendidikan Pluralisme Di Indonesia, (Yogyakarta: Logung Pustaka,

2005), hlm. 13-14. 40

Al-Imam Abul Husain Muslim ibn al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Sahîh Muslim,

Juz. 4, Mesir: Tijariah Kubra, tt., hlm. 22.

Page 42: Nurkhalis Majid

32

yang terhalang bersikap lembut, maka berarti dia

terhalang dari kebajikan (HR. Muslim)

Artinya: Telah mengabarkan kepada kami dari Ishaq dari Jarir dari

al-'Amasyi dari tamim bin Salamh dari Abdurrahman bin

Hilal al-'Absi, dia berkata: Aku pernah mendengar Jarir

bin Abdullah berkata: Aku pernah mendengar Rasulallah

s.a.w. bersabda: "Barangsiapa yang terhalang bersikap

lembut, maka berarti dia terhalang dari kebajikan (HR.

Muslim)

Artinya: Telah mengabarkan kepada kami dari Yahya bin Yahya

dari Abdul Wahid bin Ziad dari Muhammad bin Abi

Ismail dari Abdurrahman bin Hilal, dia berkata: "Saya

pernah mendengar Jarir bin Abdullah berkata:

"Rasulallah s.a.w. bersabda: "Barangsiapa yang

terhalang bersikap lembut, maka berarti dia terhalang

dari kebajikan. Atau barangsiapa yang dihalangi dari

sikap lembut, maka berarti dia dihalangi dari kebajikan

(HR. Muslim).

Apabila diperhatikan hadis-hadis di atas, dapat dimengerti bahwa Nabi

saw adalah seorang yang paling tinggi budi pekertinya. Nabi saw berwasiat

sedemikian ini agar dapat dijadikan sebagai pedoman oleh umatnya untuk

selalu bertoleransi kepada siapa saja walaupun hal itu kepada musuh.

41

Ibid., 42

Ibid.,

Page 43: Nurkhalis Majid

33

BAB III

TOLERANSI BERAGAMA MENURUT NURCHOLISH MADJID

A. Biografi Nurcholish Madjid

1. Latar Belakang Nurcholish Madjid

Nurcholish Madjid dilahirkan di Desa Mojoanyar, Jombang, Jawa

Timur. la lahir pada tanggal 17 Maret 1939 M/26 Muharram 1358 H, dari

kalangan keluarga pesantren. Ayahnya bernama H. Abdul Madjid, seorang

alim Pesantren Tebuireng, dan murid kesayangan Hadratus Syekh K.H.

Hasyim Asyari, Ra'is Akbar dan pendiri NU. Pendidikan yang

ditempuhnya dimulai di dua sekolah tingkat dasar, yaitu di Sekolah

Rakyat (SR) pada pagi hari dan di Madrasah Al-Wathaniyah (madrasah

milik ayahnya) pada sore hari, kedua sekolah tersebut terletak di

Mojoanyar, Jombang.1

Pada usianya yang ke-21, (tahun 1960), Nurcholis Madjid

menyelesaikan pendidikannya di Pondok Pesantren Modern Gontor dan

pada tahun itu pula ia sempat mengabdikan dirinya sebagai pengajar di

pesantren yang telah membesarkannya selama kurang lebih satu tahun.2

Ditilik dari pendidikan dasar dan menengah yang diterimanya,

dapat dilihat bahwa Nurcholish Madjid dididik dalam ilmu-ilmu

keislaman, ditambah dengan kemampuan berbahasa internasional Arab-

Inggris, ia dapat mengakses bacaan buku-buku umum yang cukup luas,

termasuk literatur asing Arab maupun Inggris dan khazanah kitab-kitab

klasik.

Nurcholish Madjid berhasil menyelesaikan program sarjana

lengkapnya pada tahun 1966, dengan menulis skripsi; Al-Quran,

1Greg Berton, Gagasan Islam Liberal Indonesia: Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish

Madjid, Djohan Effendi Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid, terj. Nanang Tahqiq, (Jakarta:

Paramadina, 1999), Cet ke-1, hlm. 74. 2Nurcholish Madjid, Khazanah Intelektual Muslim, (Bandung: Mizan, 198)4, hlm. 24.

Page 44: Nurkhalis Majid

34

Arabiyyun Lughatan wa 'Alamiyyun Ma'nan, yang maksudnya adalah Al-

Quran dilihat secara bahasa bersifat lokal. sedangkan dari segi makna

mengandung sifat universal (ditulis dengan menggunakan bahasa Arab).3

Skripsi yang disusunnya ini semakin menunjukkan kecenderungannya

terhadap hal-hal tersebut di atas. Di sisi lain, skripsi itu juga menunjukkan

kecenderungannya untuk melakukan analisis filosofis-inklusufistik

terhadap ajaran dasar agama Islam.4

Setelah menyelesaikan program sarjana, Nurcholish Madjid

menjadi tenaga pengajar di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta sekaligus

bekerja di LEKNAS/LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) sebagai

peneliti. Setelah beberapa tahun mengajar di almamaternya tersebut,

Nurcholish Madjid tertarik untuk melanjutkan studinya ke jenjang yang

lebih tinggi, yakni tingkat doktoral di Chicago University, Amerika

Serikat, antara tahun 1978-1984. Pada mulanya, ia belajar ilmu politik

yang menurutnya bersifat instrumental. Lalu, setelah merasa cukup

dengan ilmu politik, ia pindah ke bidang filsafat dan pemikiran Islam.

Pendidikan doktoralnya dilalui selama enam tahun, dengan menulis

disertasi berjudul Ibnu Taimiyah on Kalam and Falsafah: Problem of

Reason and Revelation in Islam5

Genap satu tahun, tepatnya pada hari Senin, 25 Agustus 2005 yang

lalu, di rumah sakit Pondok Indah Jakarta, Allah telah memanggil kembali

hambanya, Prof. Dr. Nurcholish Madjid atau yang akrab di sapa Cak Nur

dalam usia 66 tahun. Bangsa Indonesia jelas telah kehilangan salah

seorang tokoh multidimensi yang cerdas dan bijak. Tanpa bermaksud

mencampuri rahasia Allah, Cak Nur dikenal oleh masyarakat luas sebagai

3Ibid., hlm. 24.

4Paham inklusufisme ini semakin berkembang lantaran pergaulannya yang begitu dekat

dengan almarhum Buya Hamka selama lima tahun. Ketika itu sebagai mahasiswa, Nurcholish

Madjid tinggal di asrama Masjid Agung al-Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta, la sering

mengemukakan respek dan kekagumannya pada Buya Hamka yang dinilainya mampu

mempertemukan pandangan kesufian, wawasan budaya, dan semangat Al Quran sehingga dakwah

dan paham keislaman yang ditawarkannya sangat menyentuh dan efektif untuk Masyarakat Islam

kota, Lihat Komaruddin Hidayat, loc. cit 5Nurcholish Madjid, Tidak Ada Negara Islam: Surat Menyurat Antara Nurcholish Madjid

dan Moehammad Roem, op. cit., hlm.12.

Page 45: Nurkhalis Majid

35

tokoh yang berhati bersih "seputih kapas dan selembut awan". Ucapannya

pun lembut, santun serta jarang melukai orang lain, kendati orang itu

sedang dikritiknya.6

Namun, dibalik kelembutan hatinya, salah satu organ tubuhnya

(hepar) Cak Nur justru sering mengalami gangguan dalam beberapa tahun

terakhir. Ya, organ hatinya mulai mengeras, dan sejumlah dokter

menyebutnya terserang hepatisis. Ketika organ vitalnya itu kian mengeras,

Cak Nur tak bisa menolak ketika rekan-rekannya dipelopori oleh Arifin

panigoro membawanya berobat ke Cina. Apalagi dokter yang

merawatnya menganjurkan agar Cak Nur menjalani operasi tranplantasi

hati. Maka, tanggal 3 Juli 2004, atau dua had menjelang pemilihan

presiden tahap pertama, Cak Nur menjalani operasi tersebut di RS Ghuang

Cho, Cina.

Setiba di tanah air, kesehatan Cak Nur masih belum membaik.

Terpaksa ia menjalani perawatan intensif di National University Hospital

Singapura, sejak 19 Agustus 2004. Sempat membaik hingga beberapa

bulan, Cak Nur kembali harus menjalani perawatan di RS Pondok Indah

Jakarta Selatan, sejak awal Pebruari 2005 lalu. Itu karena organ hati yang

baru dicangkokkan ke tubuhnya mengalami gangguan yang sama

mengeras. Sejak awal bulan agustus 2005 yang lalu, dia harus balik lagi ke

rumah sakit yang sama, ketika penyakitnya makin parah, dan Allah pun

tak ingin menambah penderitaan Cak Nur dengan cara memanggilnya

agar segera bisa menghadap di sisi-Nya.7

2. Karyanya

Nurcholish Madjid dapat dikelompokkan sebagai seorang

cendekiawan Muslim Indonesia yang produktif. Kajian dan penelusuran

terhadap karya-karya Nurcholish Madjid dianggap perlu dalam rangka

6Mohammad Masrur, "Mengenang Cak Nur: Dari Pembaharu Sampai Guru Bangsa"

dalam Jurnal Wahana Akademika, Volume 8, Nomor 2 Agustus 2006, Semarang: Koordinator

Perguruan Tinggi Agama Islam Wilayah X Jawa Tengah, hlm. 337. 7Ibid., hlm. 337.

Page 46: Nurkhalis Majid

36

mencari mata rantai gagasan dan pemikirannya, serta hubungannya

dengan konsep-konsep pembaruan yang menjadi bahasan sentral tulisan

ini. Dalam pembahasan ini, karya-karya yang dihasilkan Nurcholish

Madjid, baik berupa buku, artikel atau tinjauan buku, tidak akan diungkap

dan dijelaskan semua. Pembahasan hanya akan ditekankan kepada

beberapa karyanya yang dianggap mewakili gagasan-gagasan sentralnya.

Karya Nurcholish Madjid yang telah beredar adalah sebagai berikut:8

Khazanah Intelektual Islam (1984). Karya suntingan ini

dimaksudkan untuk memperkenalkan salah satu segi kejayaan Islam di

bidang pemikiran, khususnya yang berkaitan dengan filsafat dan teologi.

Nurcholish Madjid memperkenalkan tokoh-tokoh Muslim klasik, seperti

Al-Kindi, Al-Asy'ary, Al-Farabi, Ibn Sina, Al-Ghazali, Ibn Rusyd, Ibn

Taimiyyah, Ibn Khaldun, Al-Afghani, dan Muhammad Abduh.

Sebagaimana dikatakan secara "jujur" oleh Nurcholish Madjid, buku ini

merupakan sekadar pengantar pemikiran kepada kajian yang lebih luas

dan mendalam tentang kha2anah kekayaan pemikiran Islam.9

Islam Kemoderenan dan Keindonesiaan (1987). Eksistensi buku

ini mampu menunjukkan "giginya" dengan beberapa kali cetak ulang.

Buku ini hanya semacam kumpulan tulisan yang "tercecer" yang dikemas

dalam rentang waktu dua dasawarsa sebagai wujud respon terhadap isu-

isu yang berkembang saat itu. Signifikansi buku ini terlihat dengan jelas

bagaimana Nurcholish Madjid "menganyam" pemikiran dalam gagasan-

gagasan di sekitar kemodernan, keislaman, dan keindonesiaan. Di bawah

prinsip "untuk mencari dan terus mencari kebenaran", bahwa Tuhan

adalah kebenaran yang mutlak.10

Islam, Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis Tentang

Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan (1992). Sebuah buku

8Junaidi Idrus, Rekonstruksi Pemikiran Nurcholish Madjid Membangun Visi dan Misi

Baru Islam Indonesia, (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2004), hlm. 50-55 9Nurcholish Madjid, Khazanah Intelektual Islam, Jakarta Bulan Bintang, 1984, hlm. v-vi

10 Nurcholish Madjid, Islam Kemoderenan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 1987),

hlm. 1

Page 47: Nurkhalis Majid

37

yang menunjukkan "kesempurnaan" dan kelengkapan muatan isinya,

bukan karena jumlah halamannya tetapi perspektif yang utuh dan

komprehensif sekaligus merupakan karya monumentalnya. Franz Magnis

Suseno, seorang rohaniawan Katolik mengomentarinya, sebagai buku

tentang 'Islam Ideal' yang memuat secara mendalam dan substantif

argumen-argumen pembaruan Islam di Indonesia yang dirintisnya sejak

tahun 70-an.11

Di dalamnya terungkap "misteri" tema Tauhid dan

Emansipasi Harkat Manusia, disiplin ilmu keislaman tradisional,

membangun masyarakat etis serta universalisme Islam dan kemodernan.

Dalam pengantarnya, Nurcholish Madjid menyebutkan bahwa

agama Islam mengajarkan manusia untuk menjaga dirinya di masa datang

untuk keselamatan dunia dan akhirat. Selanjutnya Nurcholish Madjid

memaparkan lebih jauh bagaimana manusia mempunyai tujuan hidup

yang transendental berdasarkan Iman yang dinyatakan dalam bentuk amal,

kebajikan sosial, menciptakan masyarakat egaliter dan inklusif dalam

mencari kebenaran dan keadilan.12

Islam, Kerakyatan dan Keindonesiaan: Pikiran-pikiran Nurcholish

Madjid "Muda" (1994). Sebagaimana terungkap dalam buku Islam

Kemodernan dan Keindonesiaan, dalam buku ini Nurcholish Madjid

berbicara mengenai keislaman, keindonesiaan, dan kemodernan, dengan

penekanan bagaimana menciptakan masyarakat berkeadilan dengan nilai-

nilai tauhid.

Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi

Doktrin Islam dalam Sejarah (1995). Dalam buku refleksi ini pemikiran-

pemikiran Nurcholish Madjid lebih tertuang dan terarah pada makna dan

implikasi penghayatan iman terhadap perilaku sosial. Lebih jauh

Nurcholish Madjid menyatakan bahwa sejarah umat Islam mengalami

11

Franz Magnis Suseno, Nurcholish Madjid, Islam dan Modernitas, dalam Mengkaji

Ulang Pembaharuan Pemikiran Islam: Respon dan Kritik terhadap Gagasan Nurcholish Madjid,

Ulumul Qur'an, (Jakarta: 1993), hlm. 36 12

Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis Tentang

Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 2000),

hlm. xxxix

Page 48: Nurkhalis Majid

38

perkembangan dan sekaligus distorsi di tangan umat Islam sendiri

sehingga menjadi mitos dan dongeng. Diungkapkan oleh Komaruddin

Hidayat, sebagai "kata pengantar", Nurcholish Madjid menunjukkan

konsistensinya sebagai pemikir yang apresiatif, memiliki akses intelektual

terhadap khazanah Islam klasik, dan tetap konsisten dengan cita-cita

humanisme dan modernisme Islam. Ditambah lagi kesempurnaan

Nurcholish Madjid dengan wawasan kesejarahan dan sosiologis telah

memungkinkan Nurcholish Madjid menyuguhkan interpretasi doktrin

Islam yang terbebas dari pemihakan kepada kepentingan politik praktis.13

Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi Baru

Islam Indonesia (1995). Sebagaimana buku Islam Doktrin dan Peradaban,

buku ini memiliki mainstream yang sama, yaitu menghadirkan ajaran

Islam secara lebih human, adil, inklusif, dan egaliter. Perbedaannya

Nurcholish Madjid menyuguhkannya dengan gaya yang lebih

kosmopolit.dan universal dan mempertimbangkan aspek kultural paham-

paham keagamaan yang berkembang. Muhammad Wahyuni Nafis dalam

kata pengantar buku ini menyatakan Nurcholish Madjid mengajak

bagaimana memahami mana yang benar-benar agama yang karenanya

bersifat mutlak dan mana yang benar-benar sebagai budaya yang

karenanya relatif dan sementara sifatnya.14

Masyarakat Religius (1997). Buku ini dengan muatan lima bab

mengetengahkan Islam dan konsep kemasyarakatan, komitmen pribadi

dan sosial, konsep keluarga Muslim, prinsip medis dan kesehatan keluarga

Muslim serta konsep mengenai eskatologis dan kekuatan supraalami.

Dialog Keterbukaan: Artikulasi Nilai lslam Dalam Wacana Sosial

Politik Kontemporer (1997). Karya Nurcholish Madjid ini "hanya" sebuah

wawancara, sehingga berbeda dengan buku Nurcholish Madjid lainnya.

13

Komaruddin Hidayat, "Kata Pengantar", Dalam Nurcholish Madjid, Islam Agama

Peradaban, Membangun Makna Dan Relevansi Doktrin Islam Dalam Sejarah, (Jakarta:

Paramadina, 2000), hlm. xvi-xvii. 14

Muhammad Wahyuni Nafis, "Kata Pengantar", Dalam Nurcholish Madjid, Islam

Agama Kemanusiaan, (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. vii.

Page 49: Nurkhalis Majid

39

Wawancara ini pernah dimuat dalam berbagai media massa sekitar tahun

1970 sampai 1996 dengan tema yang sangat beragam dan spontan,

meliputi berbagai persoalan aktual; politik, budaya, pendidikan, sampai

peristiwa 27 Juli "kelabu". Fachry Ali seorang pengamat politik dalam

kata pengantar buku ini mengomentari, "sangat menarik dan menjadi

pendukung penting untuk dapat menangkap semua gagasan yang pernah

dilontarkan Nurcholish Madjid"15

Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi (1999). Sebuah karya

Nurcholish Madjid yang dapat dikatakan merupakan perjalanan panjang

pandangan sosial politik Nurcholish Madjid dalam wacana perpolitikan

Islam di Indonesia. Buku ini berisi semua gagasan dalam pembaruan

pemikiran yang pernah dilontarkan Nurcholish Madjid dalam berbagai

bidang tranformasi nilai-nilai Al-Qur'an dalam mewujudkan masyarakat

madani istilah ini semakin populer dalam wacana intelektual Indonesia

saat ini.

Dari karya-karya tulis Nurcholish Madjid yang telah disebutkan,

ada satu karakteristik kuat yang dapat diangkat ke permukaan. Semuanya

berangkat dari keprihatinan yang mendalam terhadap kondisi umat Islam.

Dari sikap itu, Nurcholish Madjid lalu mengajukan alternatif agar Islam

menjadi agama yang benar-benar fungsional dalam kehidupan. Untuk itu,

Al-Qur'an dan Sunnah Nabi harus ditafsirkan secara kreatif, kritis dan

bertanggung jawab serta dipahami secara keseluruhan dengan

menggunakan metode filosofis sehingga nilai-nilai universal yang

dikandungnya mampu menjadi landasan yang kukuh bagi segala tindakan

umat, dan dapat sesuai dengan kehidupan konkret. Nurcholish Madjid

tidak diragukan lagi telah memberikan kontribusi yang cukup berharga

bagi pengembangan wacana keislaman modern, khususnya di Indonesia.

15

Fachry Ali, dan Bachtiar Effendi, 1997, "Intelektual, Pengaruh Pemikiran dan

Lingkungannya" dalam Nurcholish Madjid, Dialog Keterbukaan, Artikulasi Nilai Islam dalam

Wacana Sosial Politik Kontemporer, (Jakarta: Paramadina, 1997), hlm xxi-xxiii

Page 50: Nurkhalis Majid

40

B. Pendapat Nurcholish Madjid tentang Toleransi Beragama

1. Nilai keislaman dalam Asas Kerukunan Antar Umat Beragama

Mendiskusikan masalah asas kerukunan antar umat beragama,

berarti langsung atau tidak langsung kita telah mengasumsikan adanya

kemungkinan berbagai penganut agama bertemu dalam suatu landasan

bersama (common platform). Maka sekarang pertanyaannya ialah, adakah

titik-temu agama-agama itu? Pertanyaan yang hampir harian itu kita

ketahui mengundang jawaban yang bervariasi dari ujung ke ujung, sejak

dari yang tegas mengatakan "ada", kemudian yang ragu dan tidak tahu

pasti secara skeptis atau agnostis, sampai kepada yang tegas

mengingkarinya. Mungkin, mengikuti wisdom lama, yang benar ada di

suatu posisi antara kedua ujung itu, berupa suatu sikap yang tidak secara

simplistik meniadakan atau mengadakan, juga bukan sikap ragu dan penuh

kebimbangan.16

Karena kita bangsa Indonesia sering membanggakan atau

dibanggakan sebagai bangsa yang bertoleransi dan berkerukunan agama

yang tinggi, maka barangkali cukup logis jika jawaban atas pertanyaan di

atas kita mulai dengan suatu sikap afirmatif. Sebab logika toleransi,

apalagi kerukunan, ialah saling pengertian dan penghargaan, yang pada

urutannya mengandung logika titik-temu, meskipun, tentu saja, terbatas

hanya kepada hal-hal prinsipil. Hal-hal rinci, seperti ekspresi-ekspresi

simbolik dan formalistik, tentu sulit dipertemukan. Masing-masing agama,

bahkan sesungguhnya masing-masing kelompok intern suatu agama

tertentu sendiri, mempunyai idiomnya yang khas dan bersifat esoterik,

yakni, "hanya berlaku secara intern".17

Karena itulah ikut-campur oleh seorang penganut agama dalam

urusan rasa kesucian orang dari agama lain adalah tidak rasional dan

absurd. Misalnya, agama Islam melarang para penganutnya berbantahan

16

Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan Membangun Tradisi dan visi Baru

Islam Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 91. 17

Ibid.,

Page 51: Nurkhalis Majid

41

dengan para penganut kitab suci yang lain melainkan dengan cara yang

sebaik-baiknya, termasuk menjaga kesopanan dan tenggang rasa

disebutkan kecuali terhadap yang bertindak zalim dan orang Islam

diperintahkan untuk menegaskan bahwa kita semua, para penganut kitab

suci yang berbeda-beda itu, sama-sama menyembah Tuhan Yang Maha

Esa dan sama-sama pasrah kepada-Nya. Bahkan biarpun sekiranya kita

mengetahui dengan pasti bahwa seseorang lain menyembah sesuatu obyek

sesembahan yang tidak semestinya, bukan Tuhan Yang Maha Esa (sebagai

sesembahan yang benar), kita tetap dilarang untuk berlaku tidak sopan

terhadap mereka itu. Sebab, menurut al-Qur'an, sikap demikian itu akan

membuat mereka berbalik berlaku tidak sopan kepada Tuhan Yang Maha

Esa, sesembahan yang benar, hanya karena dorongan rasa permusuhan

dan tanpa pengetahuan yang memadai. Terhadap mereka inipun pergaulan

duniawi yang baik tetap harus dijaga, dan di sini berlaku adagium "bagimu

agamamu dan bagiku agamaku. Ungkapan ini bukanlah pernyataan yang

tanpa peduli dan rasa putus asa, melainkan karena kesadaran bahwa

agama tidak dapat dipaksakan, dan bahwa setiap orang, lepas dari soal

agamanya apa, tetap harus dihormati sebagai manusia sesama makhluk

Tuhan Yang Maha Esa. Sebab Tuhan sendiripun menghormati manusia,

anak cucu Adam di mana saja.18

Sementara demikian itu ajaran tentang hubungan dan pergaulan

antar umat beragama suatu hubungan dan pergaulan berdasarkan

pandangan bahwa setiap agama dengan idiom atau syir'ah dan minhaj

masing-masing mencoba berjalan menuju kebenaran maka para penganut

agama diharapkan dengan sungguh-sungguh menjalankan agamanya itu

dengan baik. Agaknya sikap yang penuh inklusifisme ini harus kita

pahami betul, demi kebaikan kita semua. Bahwa setiap pemeluk agama

diharapkan mengamalkan ajaran agamanya dengan sungguh-sungguh, dari

sudut pandang Islam dapat dipahami dan sederetan firman Tuhan tentang

kaum Yahudi, Nasrani, dan Muslim sendiri. Kemudian untuk umat-umat

18

Ibid., hlm. 92.

Page 52: Nurkhalis Majid

42

yang lain, seperti telah diteladankan oleh para 'ulama' dan umara' lslam

zaman klasik, dapat diterapkan penalaran analogis.19

Untuk kaum Yahudi telah diturunkan Kitab Taurat yang memuat

petunjuk dan jalan terang, dan yang digunakan sebagai sumber hukum

bagi kaum Yahudi oleh mereka yang pasrah kepada Tuhan, dan oleh para

pendeta dan sarjana keagamaan mereka. Mereka harus menjalankan ajaran

bijak atau hukum itu. Kalau tidak, mereka akan tergolong kaum yang

menolak kebenaran (kafir). Juga diturunkan hukum yang rinci kepada

kaum Yahudi, seperti mata harus dibalas dengan mata, hidung dengan

hidung, dan telinga dengan telinga, dan mereka harus menjalankan itu

semua. Kalau tidak, mereka adalah orang-orang yang zalim.20

Kitab Taurat diturunkan Tuhan kepada kaum Yahudi lewat Nabi

Musa as. Sesudah Nabi Musa as. dan para Nabi yang lain yang langsung

meneruskannya, Tuhan mengutus 'Isa al-Masih as. dengan Kitab Injil

(Kabar Gembira). Para pengikut 'Isa al-Masih as. menyebut Injil itu

"Perjanjian Baru", berdampingan dengan Kitab Taurat yang mereka sebut

"Perjanjian Lama". Kaum Yahudi, karena tidak mengakui 'Isa al-Masih as.

dengan Injilnya, menolak ide perjanjian "lama" dan "baru" itu, namun al-

Qur'an mengakui keabsahan kedua-duanya sekaligus. Al-Qur'an. juga

mengatakan bahwa Injil yang diturunkan kepada 'Isa al-Masih as. itu

menguatkan kebenaran Taurat, dan memuat petunjuk dan cahaya serta

nasehat bagi kaum yang bertaqwa. Para pengikut Injil diharuskan

menjalankan ajaran dalam Kitab Suci itu, sesuai dengan yang diturunkan

Tuhan. Kalau tidak, mereka adalah fasiq (berkecenderungan jahat).21

2. Asas Kerjasama Antar Umat Beragama

Jika para penganut agama itu semua mengamalkan dengan

sungguh-sungguh ajaran agama mereka, maka Allah menjanjikan hidup

penuh kebahagiaan, baik di dunia ini maupun dalam kehidupan sesudah

19

Ibid., hlm. 93. 20

Ibid., 21

Ibid., hlm. 94.

Page 53: Nurkhalis Majid

43

mati nanti, di Akhirat. Suatu firman yang secara umum ditujukan kepada

semua penduduk negeri menjanjikan bahwa kalau memang mereka itu

benar-benar beriman dan bertaqwa, maka Tuhan akan membukakan

berbagai barkah-Nya dari langit (atas) dan dari bumi (bawah).22

Dan sebuah firman yang ditujukan kepada para penganut kitab suci

mana saja menyatakan bahwa kalau mereka benar-benar beriman dan

bertaqwa maka Allah akan mengampuni segala kejahatannya dan akan

memasukkan mereka ke dalam surga-surga kebahagiaan abadi. Kemudian

sebuah firman yang ditujukan kepada kaum Yahudi dan Kristen yang

langsung atau tidak langsung menunjukkan pengakuan akan hak eksistensi

agama dan ajaran mereka menjanjikan kemakmuran yang melimpah-ruah

"dari atas mereka (langit) dan dari bawah kaki mereka (bumi)" jika

mereka benar-benar menegakkan ajaran Taurat dan Injil dan ajaran yang

diturunkan kepada mereka dari Tuhan. Sementara itu, kaum Muslim yang

di negeri ini kebetulan merupakan golongan terbesar diajari untuk beriman

kepada kitab-kitab Taurat dan Injil, ditambah Zabur Nabi Dawud as., dan

kepada kitab suci manapun juga. Hal ini dapat disimpulkan dari suatu

penegasan kepada Nabi Muhammad saw. bahwa beliau harus menyatakan

beriman kepada kitab apa saja yang diturunkan Allah kepada umat

manusia. Sikap mi ada dalam rangkaian petunjuk dasar hubungan beliau

dengan agama-agama yang ada, yang berdasarkan kitab suci.23

Logika beriman kepada kitab suci manapun juga yang telah

diturunkan Tuhan ialah karena Tuhan telah mengutus Utusan yang

membawa ajaran kebenaran kepada setiap umat, dan sebagian dari para

Utusan itu dituturkan dalam al-Qur'an, sebagian lagi tidak. Kemudian

ajaran kebenaran itu memang sebagian besar disampaikan secara lisan

(sehingga kebanyakan Nabi dan Rasul yang dituturkan dalam al-Qur'an

pun tidak disebutkan punya kitab suci), tapi sebagian lagi disampaikan

dengan ditopang kitab-kitab suci. Dan sebagaimana tidak semua Rasul

22

Ibid., 23

Ibid., hlm. 95.

Page 54: Nurkhalis Majid

44

dituturkan dalam al-Qur'an, maka logis saja bahwa begitu pula halnya

dengan kitab-kitab suci, tidak semuanya disebutkan dalam al-Qur'an.

Pandangan serupa ini telah dikembangkan oleh para 'ulama' Islam, klasik

maupun modern, seperti Rasyid Ridla yang mengatakan:

Yang nampak ialah bahwa al-Qur'an menyebut para penganut

agam-agama terdahulu, kaum Sabi'in dan Majusi, dan tidak

menyebut kaum Brahma (Hindu), Budha dan para pengikut

Konfusius karena kaum Sabi'in dan Majusi dikenal oleh bangsa

Arab yang menjadi sasaran mula-mula adres al-Qur'an, karena

kaum Sabi'm dan Majusi itu berada berdekatan dengan mereka di

Irak dan Bahrain, dan mereka (orang-orang Arab) belum

melakukan perjalanan ke India, Jepang dan Cina sehingga mereka

mengetahui golongan yang lain. Dan tujuan ayat suci telah

tercapai dengan menyebutkan agama-agama yang dikenal (oleh

bangsa Arab), sehingga tidak perlu membuat keterangan yang

terasa asing (ighrab) dengan menyebut golongan yang tidak

dikenal oleh orang yang menjadi adres pembicaraan itu di masa

turunnya al-Qur'an, berupa penganut agama-agama yang lain. Dan

setelah itu tidak diragukan bagi mereka (orang Arab) yang

menjadi adres pembicaraan (wahyu) itu bahwa Allah juga akan

membuat keputusan perkara antara kaum Brahma, Budha, dan

lain-lain.24

Di zaman klasik, Ibn Taimiyyah juga sudah terlibat dalam usaha

menjelaskan kepada anggota masyarakatnya masalah para pengikut kitab

suci ini, dengan penjelasannya yang sejalan dengan apa yang kemudian

dipertegas oleh Rasyid Ridla di atas itu. Tetapi lebih penting lagi ialah

pendapat Ibn Taimiyyah bahwa dalam kitab-kitab suci terdahulu itu, di

luar perubahan oleh tangan manusia yang mungkin menyimpangkannya,

sampai sekarang masih terdapat unsur-unsur ajaran yang berlaku,

termasuk untuk umat Islam. Ayatullah Khumaini, pemimpin Revolusi

Iran, juga berpendapat sama, dengan menegaskan bahwa beriman kepada

para Nabi terdahulu tidak berarti sekedar mengetahui adanya para Nabi itu

dan membenarkan tugas mereka sebagai pengemban syari'at, tetapi jelas

mengandung arti memikul atau menerima dan melaksanakan syari'at

24

Ibid.,

Page 55: Nurkhalis Majid

45

mereka juga, sepanjang syari'at itu bukan bagian yang diabrogasikan oleh

al-Qur'an dan Nabi Muhammad saw.

3. Etika Beragama

Tulisan ini dibuat di saat bangsa kita sedang menghadapi masalah-

masalah besar yang belum sepenuhnya terselesaikan. Malah tampak

semakin menyesakkan dada. Salah satu masalah besar itu adalah

kenyataan bahwa akhir-akhir ini kita menyaksikan dengan perasaan

mencekam suasana hubungan antarumat beragama di Tanah Air mulai

terusik, bahkan telah pula menelan banyak korban jiwa, kehormatan dan

harta benda. Padahal, bangsa Indonesia sering membanggakan atau

dibanggakan sebagai bangsa yang memiliki tingkat toleransi dan

kerukunan beragama yang amat tinggi. Namun, intensitas konflik di

masyarakat kita akhir-akhir ini yang diduga telah melibatkan penganut

agama-agama dengan tingkat kekejaman yang sulit diterima akal sehat,

maka barangkali cukup logis jika diajukan pertanyaan, "Adakah sesuatu

nilai yang mampu mempertemukan agama-agama di negeri ini sehingga

membuat mereka (para umat beragama itu) tidak harus saling

menghancurkan?"25

Pertanyaan ini, jika jatuh ke tangan masyarakat yang pesimis,

biasanya dengan mudah mereka segera meragukannya, malahan

mengingkarinya. Akan tetapi, bila hal ini ditanyakan kepada masyarakat

yang optimis. niscaya tanpa ragu secuil pun mereka juga segera

menjawab, " ada", kendatipun hanya terbatas pada hal-hal yang bersifat

prinsipil. Hal-hal rinci, seperti ekspresi-ekspresi simbolik dan formalistik,

tentu sulit dipertemukan. Masing-masing agama, bahkan sesungguhnya

masing-masing kelompok intern suatu agama, mempunyai idiom yang

khas, yang hanya berlaku secara intern. Karena itulah, ikut campur

25

Nurcholish Madjid, Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern, (Jakarta: Mediacita,

2001), hlm. 3.

Page 56: Nurkhalis Majid

46

penganut agama tertentu terhadap rasa kesucian orang dari agama lain,

adalah tidak masuk akal dan hasilnya pun akan nihil.26

Firman Allah yang termaktub di dalam surat Al-Ankabut/29 ayat

46 secara tandas melarang umat Islam berbantahan dengan para penganut

kitab suci lain, melainkan dengan cara yang sebaik-baiknya, termasuk

menjaga kesopanan dan tenggang rasa, kecuali terhadap mereka yang

bertindak zhalim. Umat Islam pun diperintahkan untuk senantiasa

menegaskan bahwa kita semua, para penganut kitab suci yang berbeda-

beda itu, sama-sama menyembah Tuhan Yang Maha Esa, dan sama-sama

juga pasrah (muslimun) kepada-Nya.27

Bahkan biarpun sekiranya kita mengetahui dengan pasti bahwa

orang lain menyembah suatu obyek sembahan yang bukan Allah Yang

Maha Esa, kita pun tetap dilarang berlaku tidak sopan terhadap orang itu.

Menurut Al-Qur'an, sikap demikian itu akan membuat mereka berbalik

menyerang dan melakukan tindakan ketidaksopanan yang sama terhadap

Allah Yang Maha Esa, sebagai akibat dari dorongan rasa permusuhan

tanpa pengetahuan yang memadai. Terhadap mereka yang melakukan

penyerangan dan ketidaksopanan pun, pergaulan duniawi yang baik tetap

harus dijaga. Dan di sini berlaku adagium, "Bagimu agamamu bagiku

agamaku." (Q.S. Al-Kafirun/109 : 6).

Ungkapan ini bukanlah pernyataan tanpa peduli terhadap agama

lain, apalagi rasa putus asa, melainkan karena terdorong oleh kesadaran

bahwa agama memang tidak dapat dipaksakan, dan bahwa setiap orang,

lepas dari soal apa agamanya, tetap harus dihargai sebagai manusia

sesama makhluk Allah Yang Maha Esa. Sebab Allah sendiri pun

menghormati manusia, anak cucu Adam di mana saja ia berada, dengan

segala potensi dan perbedaannya. Bahkan potensi dan perbedaan itu

dibuat-Nya menjadi semenarik mungkin sehingga selalu dirasakan indah,

baik-baik saja, oleh masing-masing penganut agama, meskipun

26

Ibid., 27

Ibid., hlm. 4.

Page 57: Nurkhalis Majid

47

sesungguhnya salah. Maka ajakan kepada kebenaran, jika kita merasa

yakin memiliki kebenaran itu, haruslah dilakukan hanya dengan cara-cara

yang penuh kearifan, kesopanan, tutur kata yang baik dan argumentasi

yang masuk akal.28

Pandangan dasar bahwa Tuhan Yang Maha Esa telah menetapkan

idiom, cara, metode, dan jalan untuk masing-masing kelompok manusia

sehingga antara sesama manusia tidak dibenarkan terjadi saling

menyalahkan dan memaksakan kehendak satu atas lainnya guna mengikuti

idiom, cara, metode dan jalannya sendiri, melainkan manusia hendaknya

berangka dari posisi masing-masing, lalu berlomba-lomba meraih

kebaikan yang banyak.29

Allah berfirman:

Artinya: "Dan Kami (Tuhan) menurunkan kepada engkau (Muhammad)

kitab suci (Al-Qur'an) sebagai pendukung kebenaran kitab suci

yang ada sebelumnya, dan untuk menopang kitab suci itu. Maka

jalankanlah hukum (ajaran kebijakan) antara mereka sesuai

dengan yang diturunkan Allah, dan janganlah mengikuti

keinginan mereka menjauhi dari kebenaran yang telah datang

kepadamu. Untuk masing-masing di antara kamu (umat

manusia) kami buatkan syir'ah (jalan menuju kebenaran) dan

minhaj (metode pelaksanaannya). Seandainya. Allah

menghendaki tentulah Dia jadikan kamu sekalian (umat

manusia) menjadi umat yang tunggal. Tetapi (dibuat bermacam-

macam) agar Dia menguji kamu sekalian berkenaan dengan bal-

hal (jalan dan metode) yang telah dianugerahkan kepada kamu

itu. Maka berlomba-lombalah kamu sekalian menuju kepada

kebaikan. Dan hanya kepada Allah tempat kembalimu. Kelak

28

Ibid., 29

Ibid., hlm.5.

Page 58: Nurkhalis Majid

48

Dia akan menjelaskan kepadamu tentang hal-bal yang pernah

kamu perselisihkan." (QS. Al-Maidah/5: 48)".30

Begitulah ajaran tentang hubungan dan pergaulan berdasarkan

pandangan bahwa setiap agama dengan cara dan jalannya sendiri-sendiri

mencoba berjalan menuju kepada kebenaran. Maka para penganut agama-

agama diharapkan dengan sungguh-sungguh memahami dan menjalankan

perintah agamanya itu tanpa perasaan terusik dan terancam, apalagi

bersalah. Karenanya, sikap keberagamaan yang inklusif (terbuka) pada

setiap individu umat beragama adalah menjadi kebutuhan mendesak yang

perlu diupayakan terus menerus agar terwujudkan secara membahagiakan

di republik yang plural ini.31

Bahwa setiap pemeluk agama diharapkan mengamalkan ajaran

agamanya dengan serius, sejalan dengan ajaran para Nabi, menurut

pandangan Islam, adalah benar adanya. "Sesungguhnya," kata Allah,

"Kami (Allah) telah menurunkan Taurat, di dalamnya berisi petunjuk dan

cahaya, yang dengan kitab itu para Nabi yang pasrah (aslamu) kepada

Allah menjalankan hukum untuk mereka yang menganut agama Yahudi;

Juga para Rabi dan 'ulama yang mengikuti Kitab Allah yang mereka selalu

pelihara dengan baik, dan mereka menjadi saksi atas kitab itu." (Q.S. Al-

Maidah/5:44).

Jadi firman Allah ini dengan tandas sekali memperlihatkan bahwa

pemeluk Yahudi pun kalau dia menjalankan agamanya dengan benar

sesuai yang diajarkan para Nabi yang pasrah, dia juga tergolong orang-

orang yang pasrah (muslim). Sehingga lanjutan ayat ini memperingatkan

kepada kaum Yahudi yang tidak menjalankan agama sesuai dengan

hukum Allah. Justru mereka dikategorikan sebagai orang-orang kafir

(menolak kebenaran), karenanya mereka bukan orang-orang yang pasrah

(muslim). 'Janganlah kamu takut kepada sesama manusia." Allah

menghimbau, "dan takutlah kepada-Ku, dan janganlah kamu menjual ayat-

30

Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya,

Departemen Agama, 1986, hlm. 168. 31

Nurcholish Madjid, Kehampaan, op.cit., hlm. 6.

Page 59: Nurkhalis Majid

49

ayatKu dengan harga murah. Barangsiapa tidak menjalankan hukum

dengan yang diturunkan Allah maka mereka adalah orang-orang kafir

(menolak kebenaran)."32

Kepada kaum Yahudi juga diturunkan hukum-hukum yang rinci,

seperti mata harus dibayar dengan mata, hidung dengan hidung, dan

telinga dengan telinga. Mereka harus menjalankan itu semua, kalau tidak,

mereka termasuk orang-orang yang zhalim. (Q.S. Al-Maidah/5 : 45).

Kitab Taurat, sebagaimana kita ketahui, diturunkan Allah kepada

kaum Yahudi melalui Nabi Musa as dan Nabi-Nabi lain yang langsung

meneruskannya. Kemudian Allah mengutus 'Isa Al-Masih dengan Kitab

Injil (Kabar Gembira). Para pengikut 'Isa Al-Masih menyebut Kitab Injil

sebagai "Perjanjian Baru", berdampingan dengan Kitab Taurat yang

mereka sebut sebagai "Perjanjian Lama". Kaum Yahudi, karena tidak

mengakui 'Isa Al-Masih dengan Kitab Injilnya, menolak ide" Perjanjian

Lama" maupun "Perjanjian Baru" itu, namun Al-Qur'an mengakui

keabsahan kedua-duanya sekaligus. Al-Qur'an juga menegaskan bahwa

Injil yang diturunkan kepada Nabi 'Isa Al-Masih itu menguatkan

kebenaran Taurat, memuat petunjuk dan cahaya serta nasihat bagi kaum

yang bertaqwa. Mereka harus mengakui kenyataan ini, kalau tidak, sekali

lagi; mereka termasuk orang-orang yang fasik (berkecenderungan yang

jahat). (Q.S. Al-Maidah/5 : 46-47).33

Sebuah firman Allah yang ditujukan kepada para penganut kitab

suci mana saja menyatakan bahwa kalau mereka benar-benar beriman dan

bertaqwa, maka Allah akan mengampuni segala kejahatan mereka dan

akan memasukkan mereka ke dalam surga-surga kebahagiaan abadi.

Kemudian firman lainnya yang ditujukan kepada kaum Yahudi dan

Nasrani yang langsung atau tidak langsung menunjukkan pengakuan akan

eksistensi agama dan ajaran mereka menjanjikan kemakmuran yang

melimpah-ruah dari atas mereka (langit) dan dari bawah kaki mereka

32

Ibid., 33

Ibid., hlm. 7.

Page 60: Nurkhalis Majid

50

(bumi), jika mereka benar-benar menegakkan ajaran Taurat dan Injil serta

ajaran yang diturunkan Tuhan kepada mereka. (Q.S. Al-Maidah/5 : 66).

Sementara itu, kaum Muslimin yang di negeri ini merupakan

golongan umat terbesar, diajarkan untuk beriman kepada kitab-kitab

Taurat dan Injil, ditambah Kitab Zabur yang diturunkan Allah kepada

Nabi Dawud as, termasuk kitab suci yang lainnya. Hal ini dapat kita

simpulkan dari suatu penegasan Allah kepada Nabi Muhammad saw,

bahwa beliau harus menyatakan beriman kepada kitab suci apa saja yang

diturunkan Allah kepada umat manusia. Sikap ini ada dalam rangkaian

petunjuk dasar hubungan beliau dengan agama-agama yang ada pada

waktu itu, yaitu agama-agama yang berdasarkan kitab suci yang

diturunkan Allah S\VT kepada mereka yang hidup sezaman dengan

Rasulullah saw. (Q.S. Al-Nahl/16 : 26).

Sikap keberagamaan yang ditauladankan beliau itulah semestinya

kita kembangkan untuk pembangunan masyarakat dan bangsa kita yang

majemuk ini. Kendatipun cara, metode atau jalan keberagamaan menuju

Tuhan berbeda-beda, namun Tuhan yang hendak kita tuju adalah Tuhan

yang sama, Tuhan yang maha Esa. Tuhan yang pada-Nya semua tangan

ingin menggapai dan mendapatkan perlindungan-Nya. Tuhan yang semua

kehinaan berharap mendapatkan kemuliaan-Nya, dan semua kesulitan

merindukan kemudahan-Nya. Itulah Tuhan semua umat manusia, tanpa

kecuali. 34

4. Menuju Persamaan Sejati dan Doa Bersama

Logika beriman kepada kitab suci manapun juga yang telah

diturunkan Allah ialah, karena Allah telah mengutus Rasul yang

membawa ajaran kebenaran kepada setiap umat, dan sebagian dari Rasul

itu diberitakan dalam Al-Qur'an, sedangkan sebagian lagi tidak. Disadari

sepenuhnya bahwa, ajaran kebenaran itu memang sebagian besar

disampaikan secara lisan (sehingga kebanyakan para Nabi dan Rasul yang

34

Ibid., hlm. 8.

Page 61: Nurkhalis Majid

51

diceritakan dalam Al-Qur'an pun tidak disebutkan punya kitab suci), tetapi

sebagian lagi disampaikan dengan ditopang oleh kitab suci. Sebagaimana

tidak semua Rasul diceritakan dalam Al-Qur'an, maka logis saja bahwa

begitu pula halnya dengan kitab-kitab suci, tidak semuanya disebutkan

dalam Al-Qur'an. Pandangan serupa ini telah dikembangkan oleh 'ulama-

'ulama Islam, baik klasik maupun modern, seperti Rasyid Ridla yang

mengatakan, "Yang nampak bahwa Al-Qur'an menyebut para penganut

agama-agama terdahulu, kaum Sabi'in dan Ma;'usi, serta tidak menyebut

kaum Brahma (Hindu), Budha dan para pengikut Konfusius, karena kaum

Sabi'in dan Majusi yang dikenal oleh bangsa Arab dan menjadi sasaran

mula-mula adres Al-Qur'an, karena kaum Sabi'in dan Majusi itu berada

berdekatan dengan mereka di Irak dan Bahrain, dan karena mereka orang-

orang Arab itu belum melakukan perjalanan ke India, Jepang dan Cina

sehingga mereka belum mengetahui golongan umat yang lain." 35

Menurut Rasyid Ridla, "Tujuan ayat suci telah tercapai dengan

menyebut agama-agama yang dikenal (oleh bangsa Arab), sehingga tidak

perlu membuat keterangan yang terasa asing (ighrab) dengan menyebut

golongan yang tidak dikenal oleh orang yang menjadi sasaran

pembicaraan di masa turunnya Al-Qur'an, yaitu penganut agama-agama

yang lain." Sungguh pun demikian, Rasyid Ridla mencoba memberikan

apresiasi terhadap agama-agama yang tidak disebutkan dalam Al-Qur'an

dengan mengatakan, "Dan setelah itu, tidak diragukan lagi bahwa mereka

(orang Arab) yang menjadi sasaran pembicaraan (wahyu) itu

menunjukkan Allah juga akan membuat keputusan atas perkara antara

kaum Brahma, Budha, dan lain-lain." 36

Di zaman klasik, Ibnu Taimiyah juga sudah terlibat dalam usaha

menjelaskan kepada masyarakatnya berkaitan dengan masalah persamaan

misi antarpara pengikut kitab suci, dengan memberikan penjelasan yang

sejalan dengan apa yang kemudian dipertegas oleh Rasyid Ridla di atas.

35

Ibid., hlm. 8. 36

Ibid.,

Page 62: Nurkhalis Majid

52

"Sesungguhnya," ucap Ibnu Taimiyah dalam Ahkam Al-Zawaj, "Ahli

Kitab tidaklah termasuk ke dalam kaum musyrikin. Memandang Ahli

Kitab sebagai bukan kaum musyrikin dengan argumen bahwa asal-usul

agama mereka ialah mengikuti kitab-kitab yang diturunkan Allah yang

membawa ajaran Tauhid, bukan ajaran syirik. Jadi jika dikatakan bahwa

Ahli Kitab itu dengan alasan bukan kaum musyrik, karena kitab suci yang

berkaitan dengan mereka itu tidak mengandung syirik, sama dengan jika

dikatakan bahwa kaum Muslimin dan umat Muhammad tidaklah terdapat

pada mereka itu syirik dengan alasan yang sama, walaupun dalam

kenyataannya kaum Muslimin juga banyak melakukan bid'ah dan .syirik

kepada Allah."37

Ibnu Taimiyah juga tidak menutup mata terhadap adanya gejala

penyimpangan terhadap kitab suci yang dilakukan oleh para pemeluknya,

namun di luar perubahan oleh tangan-tangan manusia itu, tentu sampai

sekarang masih terdapat unsur-unsur ajaran yang masih berlaku, termasuk

untuk umat Islam. Ayatullah Khumaini, pemimpin Revolusi Iran, juga

berpendapat yang sama. Beliau menegaskan bahwa, beriman kepada para

Nabi terdahulu berarti sekedar mengetahui adanya para Nabi' itu dan

membenarkan tugas mereka sebagai pengemban syari'at, tetapi jelas

mengandung arti memikul atau menerima dan melaksanakan syari'at

mereka juga, sepanjang syari'at itu bukan bagian yang diabrogasikan

(diralat) oleh Al-Qur'an dan Nabi Muhammad saw.

Sungguh suatu komitmen keimanan yang menggembirakan

manakala kita menangkap dengan baik apa yang disampaikan para

pemuka agama Islam itu. Dan manakala hal ini kita bawa masuk ke Tanah

Air kita yang tengah bergolak dengan keras masalah suku, ras, agama, dan

antargolongan (SARA), rasa-rasanya kita pantas menundukkan kepala

sejenak, sambil dengan hati bersih dan pikiran jernih buat mengenang para

korban jiwa yang melayang, harta benda yang ludes terbakar, kehormatan

yang tercampakkan, dan menyambung kembali titik temu yang sempat

37

Ibid., hlm. 9.

Page 63: Nurkhalis Majid

53

tercabik. Bahkan, dengan penuh kesungguhan hati, kita ingin meluhurkan

persamaan-persamaan sejati yang pernah tergores, meski kita harus

bangkit dengan getir di atas puing-puing reruntuhan. Mau tidak mau, dari

sekarang, kita harus memulai secara tulus memperlihatkan kedewasaan

kita sebagai umat beragama, sebagai bangsa yang bersatu, dan sebagai

manusia yang sederajat.38

Karenanya, mari kita sambut hari esok dengan kepala tegak, bibir

tersenyum sambil menyapa Tanah Air yang kita cintai bersama-sama

dengan lambaian kasih-sayang sejati. Kita tunjukkan kepada dunia bahwa

bangsa kita adalah bangsa beradab, bangsa yang berperikemanusiaan dan

berperikeadilan. Lupakan permusuhan dan pertikaian yang mengganjal di

dada, hapuskan dendam dan kebenaran yang tersimpan di hati, dan

tegakkanlah perdamaian abadi dalam kekudusan-Nya. Semoga Allah

mengabulkan permohonan kami dan permohonan kami, memaafkan

kesalahan kami dan kesalahan kamu.39

Dalam konteksnya dengan doa bersama, dalam perspektif

Nurcholish Madjid, dkk bahwa doa bersama antar muslim dan muslim

adalah dibolehkan. Alasannya karena al-Qur'an surat At-Taubah ayat 80

dan 84 serta surat al-Munaafiquun ayat 6 hanya melarang berdoa

memintakan ampun bagi non muslim yang munafik dan musyrik,

sedangkan berdoa memintakan ampun bagi non muslim yang tidak

munafik dan musyrik maka ayat tersebut tidak melarang. Ini berarti doa

bersama antara umat muslim dan non muslim pun diperbolehkan karena

tidak semua orang non muslim munafik dan musyrik. Dengan demikian,

di antara masalah fiqih yang agak meresahkan orang banyak terutama

kaum muslimin adalah seputar pendapat Nurcholish Madjid et al, yang

membolehkan do’a bersama muslim dengan non muslim Pernyataan

Nurcholish Madjid dianggap kontroversial atau bertentangan dengan

hukum Islam yang dianggap telah mapan dan disepakati oleh sebagian

38

Ibid., hlm. 10. 39

Ibid.,

Page 64: Nurkhalis Majid

54

ulama. Dari sini peneliti tertarik untuk mengungkap hukumnya do’a

bersama antara muslim dan non muslim.

Menurut Nurcholish Madjid,dkk, peristiwa-peristiwa doa bersama

menarik untuk diperhatikan agar menjadi jelas bagaimana Islam

memandang doa antaragama tersebut. Selanjutnya Nurcholish Madjid,dkk

memberikan beberapa contoh empiris sebagai berikut: salah satu contoh

doa bersama adalah doa bersama untuk kedamaian dunia yang diprakarsai

oleh Paus Yohanes Paulus 11. Doa itu diadakan pada 26 Oktober 1986 di

Assisi, kota Santo Francis, Italia bagian tengah. Dalam pertemuan agung

itu wakil-wakil dari masing-masing agama, termasuk wakil dari Islam,

secara bergantian membacakan doa dengan caranya masing-masing,

dengan bentuk dan ekspresinya masing-masing. Doa bersama ini

dilakukan dengan sebuah teks bersama yang dibaca oleh semua peserta

bersama-sama di bawah komando salah seorang peserta, untuk

menghindari kebingungan yang mungkin terjadi dalam pertemuan resmi

seperti itu.40

Contoh lain doa bersama diambil dari Mesir, salah satu negara

yang mayoritas penduduknya adalah Muslim. Sejak awal 1990-an orang-

orang Muslim dan orang-orang Kristen yang bergabung dalam

Persaudaraan Keagamaan (al-Ikha' al-Dini), sebuah asosiasi persaudaraan

keagamaan Islam-Kristen di Kairo, sering mengadakan pertemuan untuk

doa bersama, baik dengan ekspresi bebas wakil-wakil dari masing-masing

agama maupun dengan membaca sebuah teks bersama untuk semua

peserta. Pada akhir setiap pertemuan, semua peserta secara bersama

membaca teks sebuah doa yang disusun oleh almarhum Syaikh Ahmad

Hasan al-Baquri, yang semasa hidupnya pernah menjadi Menteri Wakaf

Mesir dan Rektor Universitas al-Azhar. Dalam doa terakhir ini pada

umumnya lebih disukai menghindari penggunaan teks-teks resmi

40

Nurcholish Madjid, et al., Fiqih Lintas Agama, Jakarta: Paramadina, cet ke-5, 2004,

hlm. 89

Page 65: Nurkhalis Majid

55

peribadatan salah satu agama dalam organisasi ini (Islam dan Kristen)

untuk mengindari kebingungan.

Contoh lain doa bersama kata Nurcholish Madjid,dkk adalah doa

bersama yang dilakukan ketika Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)

merayakan hari ulang tahunnya yang ke-50 di Markas Besarnya di New

York. Doa bersama itu dilakukan dengan diikuti oleh semua peserta dari

negara-negara anggota PBB yang hadir pada pertemuan agung itu. Di

antara para peserta itu adalah para peserta Muslim dari negara-negara

yang pada umumnya mayoritas penduduknya adalah Muslim. Uskup

Desmond Tutu dari Afrika Selatan memimpin para hadirin dalam doa itu.

Contoh lain doa bersama adalah doa bersama yang dilakukan pada

acara pelantikan Nelson Mandela sebagai Presiden Afrika Selatan. Wakil-

wakil dari masing-masing agama yang para penganutnya hidup di negara

itu membacakan doa sesuai dengan caranya masing-masing. Dengan

mudah dapat diduga bahwa salah seorang wakil yang membacakan doa

dalam acara itu adalah Muslim, yang tentu saja membacakan doa dengan

cara Islam.41

Lebih jauh Nurcholish Madjid,dkk menegaskan bahwa contoh doa

bersama dapat pula ditemukan di Indonesia. Pada Jumat, 5 Juni 1998,

MADIA (Masyarakat Dialog Antaragama) sebuah organisasi Lembaga

Swadaya Masyarakat (LSM) yang memajukan dialog antaragama di

Indonesia, mengorganisir acara doa bersama solidaritas antaragama di

rumah kediaman KH Abdurrahman Wahid, yang pada waktu itu adalah

Ketua PB NU, di Ciganjur, Jakarta Selatan. Tujuan doa bersama itu adalah

memohon agar bangsa Indonesia diberi kekuatan sehingga dapat

menciptakan suasana rukun dan damai agar mampu mengatasi persoalan-

persoalan dan kemelut yang melanda bangsa ini. Kelompok-kelompok

agama dan aliran kepercayaan yang mengikuti acara itu adalah kelompok-

kelompok dari Islam, Hinduisme, Buddhisme, Konfusianisme, Katolik,

Protestan, Kristen Ortodoks Suriah, Penghayat Kepercayaan kepada

41

Ibid, hlm. 89

Page 66: Nurkhalis Majid

56

Tuhan Yang Maha Esa, dan Brahma Kumaris. Wakil-wakil tampil secara

bergantian memimpin membaca doa menurut caranya masing-masing.

Pada akhir acara ini, salah seorang yang telah diminta oleh panitia

memimpin semua hadirin membaca sebuah teks doa yang berjudul "Doa

Bersama untuk Reformasi." Teks doa yang disusun oleh panitia itu

berbunyi sebagai berikut:42

DOA BERSAMA UNTUK REFORMASI

Ya Tuhan, Pencipta dan Pemelihara Kehidupan,

segala puji syukur kami panjatkan ke hadirat-Mu

karena kami dapat berkumpul dan berdoa bersama,

bersatu dalam rasa damai

meskipun banyak perbedaan di antara kami.

Kami mensyukuri dan merayakan

kebhinekaan latar belakang agama,

nilai-nilai, tradisi, ras dan suku yang Kau karuniakan,

terlebih kami bersyukur karena di tengah kebhinekaan

kami dapat bersatu dalam rasa damai.

Ya Tuhan, Sumber Kehidupan dan Pengharapan,

kami datang ke hadirat-Mu untuk memohon kekuatan dari-Mu

karena memburuknya kehidupan berbangsa kami.

Setiap hari kehidupan yang Kau karuniakan ini terancam,

bahkan nyawa dapat dengan mudah melayang.

Mereka yang menyerukan hati nurani rakyat

dipenggal kehidupannya.

Ratusan bahkan ribuan rakyat jelata

harus mati dengan cara yang menyedihkan.

Nafsu kuasa telah membuat bangsa ini terkoyak,

dan persaudaraan terancam berubah menjadi permusuhan.

Kau ciptakan kami sebagai makhluk pekerja

demi kelangsungan hidup kami.

Namun kini

sungguh banyak di antara kami telah kehilangan pekerjaan.

Sebagai manusia kami membutuhkan makan.

Namun kini

harga makanan makin tak terjangkau

oleh sebagian terbesar dari kami.

Ya Tuhan, Sumber Karunia dan Pengampunan,

kami adukan kepada-Mu rasa cemas dan khawatir kami

menjalani hari-hari yang akan kami jelang

sebagai pribadi maupun sebagai bangsa.

42

Ibid, hlm. 90-91

Page 67: Nurkhalis Majid

57

Di hadapan-Mu kami merenung dan menunduk

memohon ampunan dan rahmat-Mu semata

karena sebagai umat-Mu kami sering lalai

menjaga karunia kebhinekaan, luhurnya kehidupan

dan rasa kemanusiaan yang telah Kau berikan.

Ya Tuhan, Pencipta dan Pemelihara Kehidupan,

Engkaulah sumber harapan dan hidup kami.

Berilah kami daya kehidupan yang berasal dari-Mu:

daya kehidupan yang penuh kegembiraan

daya kehidupan yang luhur dan penuh cinta kasih,

daya kehidupan yang memampukan kami bangkit kembali

membina persaudaraan.

Berilah kami semangat dan harapan,

gairah yang menyala demi membangun dan membela

kehidupan yang Engkau ciptakan dan karuniakan.

Bimbinglah kami agar kami mampu bekerja bersama

memperbaiki puing-puing reruntuhan tanah air kami,

agar menjadi tempat yang layak bagi kami semua

untuk hidup bersaudara sebagai sesama ciptaan-Mu

Amin

Doa bersama dalam pertemuan lintas agama itu menurut

Nurcholish Madjid,dkk dilakukan dengan dua cara. Pertama, setiap wakil

dari masing-masing kelompok keagamaan, kepercayaan, dan spiritual

membaca doa dengan caranya sendiri. Kedua, semua hadirin secara

bersama membaca sebuah teks doa.

Yang tidak kalah menarik adalah doa bersama yang

diselenggarakan pada detik-detik terakhir pergantian tahun, 31 Desember

1999, di Pesanggrahan Kobaran di puncak Gunung Lontar, Desa Kobaran,

Kecamatan Panggang, Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Acara doa bersama itu dihadiri oleh para penganut agama-agama yang

berbeda, yang terdiri dari para seniman, aktivis LSM, petani, rohaniawan,

intelektual, dan masyarakat biasa. KH Abdul Muhaimin, pemimpin

Pondok Pesantren Nurul Ummahat, Kotagede, Yogyakarta, adalah salah

seorang yang ikut berdoa bersama ratusan hadirin dari berbagai agama

dalam pertemuan.itu. Silih berganti dengan cara masing-masing, mereka

memohon pulihnya kondisi bangsa dan negara yang terpuruk, dan tidak

ada lagi kebencian dan dendam antarumat. Doa bersama itu adalah

Page 68: Nurkhalis Majid

58

aktivitas gabungan antara Forum Persaudaraan antar-Umat Beriman

(FPUB) DIY, Komunitas Sekar Setaman, Pesamuan Dharmo Sriniwahyo,

Paguyuban Panyuwunan Kawula Yogyakarta Hadiningrat, dan masyarakat

luas.43

Kita sering kata Nurcholish Madjid,dkk menyaksikan contoh-

contoh doa bersama pada tingkat nasional di Indonesia, misalnya, pada

peristiwa-peristiwa peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia (17

Agustus), Hari Sumpah Pemuda (28 Oktober), dan Hari Pahlawan (10

Nopember). Pada acara-acara tingkat nasional seperti ini biasanya seorang

tokoh atau pemuka Muslim yang diminta oleh panitia memimpm semua

hadirin berdoa untuk kedamaian, kesejahteraan, kemakmuran,

keselamatan dan kesentosaan bangsa Indonesia. Doa bersama ini biasanya

bukan saja untuk orang-orang yang masih hidup tetapi juga untuk arwah

para pahlawan yang telah meninggal. Orang-orang yang didoakan itu tentu

saja tidak semuanya Muslim, banyak juga non-Muslim. Yang memimpin

doa bersama ini adalah orang Muslim karena mayoritas penduduk

Indonesia menganut Islam.

Lebih lanjut Nurcholish Madjid,dkk mengatakan, doa (kata Arab:

du'a) dalam Islam adalah "seruan, permintaan, dan permohonan

pertolongan, dan ibadah kepada Allah subhanahu wa ta'ala supaya

terhidar dari bahaya dan mendapatkan manfaat." Doa demikian pendapat

Nurcholish Madjid,dkk adalah cara yang dilakukan manusia untuk

berkomunikasi dengan Tuhan. Doa bukan hanya milik Islam, tetapi juga

milik agama-agama lain. Dapat dikatakan bahwa doa adalah fenomena

umum yang dapat ditemukan dalam semua agama. Doa adalah salah satu

segi utama kehidupan keagamaan umat manusia. Selanjutnya Nurcholish

Madjid,dkk mengutip pendapat Friederich Heiler (1892-1967), seorang

fenomenolog agama terkemuka kelahiran Jerman, mengatakan bahwa

"orang-orang beragama, para pengkaji agama, para teolog semua

kepercayaan dan kecenderungan, sepakat dalam berpendapat bahwa doa

43

Ibid, hlm. 92

Page 69: Nurkhalis Majid

59

adalah fenomena utama seluruh agama, jantung seluruh kesalehan," dan

karena alasan ini, "tidak bisa diragukan sama sekali bahwa doa adalah

jantung dan pusat seluruh agama. 44

Dewasa ini tandas Nurcholish Madjid,dkk, kelompok-kelompok

dari tradisi-tradisi keagamaan yang berbeda, seperti dikemukakan di atas,

sering mengadakan acara doa bersama. Perbedaan tradisi-tradisi

keagamaan tidak menghalangi mereka untuk mengadakan doa bersama,

Doa bersama, sebenarnya, adalah suatu bentuk perjumpaan dan dialog

antara kelompok-kelompok dari tradisi-tradisi keagamaan yang berbeda.

Oleh sebab itu, "doa bersama" dapat disebut "doa antariman" atau "doa

antaragama."

Untuk memperkuat pendapatnya, Nurcholish Madjid,dkk mengutip

pendapat Nicolas Jonathan Woly, seorang sarjana teologi dari Protestan

Indonesia, doa dapat diklasifikasikan ke dalam empat tipe. Pertama

adalah doa yang dilakukan ketika para pengikut dari suatu kelompok

keagamaan atau anggota mana pun dari kelompok itu berdoa untuk orang-

orang yang menjadi anggota komunitas iman atau agama lain. Contoh doa

antaragama tipe ini, seperti disampaikan di atas, adalah doa yang

dipanjatkan oleh Shahid Athar ketika memberikan sambutan pada acara

berbuka puasa bersama, yang dihadiri pula oleh para penganut agama-

agama lain, pada bulan Ramadan tahun 1993 di Masjid al-Fajr, di

Indianapolis. la berdoa untuk orang-orang non-Muslim yang mencap

bahwa semua orang Muslim adalah teroris sementara mereka sendiri

melakukan semua bentuk kekejaman terhadap orang-orang Muslim.

Dalam doa itu ia berkata: "Kami berdoa kepada Tuhan agar membimbing

orang-orang kelompok pertama (orang-orang non-Muslim yang mencap

semua orang Muslim teroris).45

Dalam suatu masyarakat multi-iman atau multi-agama seperti

ditemukan di Indonesia, persoalan berdoa untuk orang-orang lain yang

44

Ibid, hlm. 92-93 45

Ibid, hlm. 94

Page 70: Nurkhalis Majid

60

berbeda agama, tanpa melekatkan label "iman atau agama yang sama,"

dipandang paling wajar dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.

Bagaimanapun, kesulitan- kesulitan mungkin timbul. Apakah ajaran

keagamaan agama-agama yang berbeda itu menyetujui doa seperti itu?

Apa konsekuensi-konsekuensi menolak atau mengizinkan praktik-praktik

seperti itu bagi kehidupan keagamaan dalam suatu masyarakat multi-iman

atau multi-agama? Dalam konteks Islam, apakah ajaran Islam

membolehkan seorang Muslim atau orang-orang Muslim berdoa untuk

orang-orang non-Muslim? Jika orang-orang Muslim menolak atau

membolehkan praktik-praktik seperti itu, apa konsekuensi-konsekuensinya

bagi kehidupan keagamaan dalam suatu masyarakat multi-iman atau

multi-agama?

Kedua adalah doa ketika seorang individu atau suatu kelompok

keagamaan meminta doa untuknya atau untuk mereka sendiri dari orang-

orang lain yang bukan dari iman yang sama atau agama yang sama. Ini

akan menjadi praktik yang umum dalam suatu masyarakat multi-iman atau

multi-agama seperti di Indonesia. Sebuah persoalan akan segera muncul

dalam pikiran. Apakah orang-orang yang meminta doa dan orang-orang

yang diminta untuk berdoa percaya pada dan menyembah Tuhan yang

sama, meskipun mereka adalah para penganut iman-iman atau agama-

agama yang berbeda? Dalam konteks Islam, kata Nurcholish Madjid,dkk

tiap orang dapat menambahkan sebuah pertanyaan. Apakah ajaran Islam

membolehkan orang-orang Muslim meminta doa untuk mereka dari

orang-orang non-Muslim?

Ketiga adalah doa yang dilakukan ketika pada suatu peristiwa yang

dihadiri oleh para penganut agama-agama yang berbeda, satu orang

memimpin mereka semua dalam melakukan doa itu. Doa seperti ini sering

dilakukan di Indonesia ketika pemimpin doa adalah wakil dari suatu

agama mayoritas di suatu wilayah atau daerah tertentu. Contoh doa

bersama dapat pula ditemukan di Indonesia. Contohnya adalah doa

bersama pada akhir pertemuan yang diorganisir oleh MADIA di rumah

Page 71: Nurkhalis Majid

61

kediaman KH Abdurrahman Wahid di Ciganjur pada Jumat, 5 Juni 1998,

seperti disebut di atas. Pada tingkat nasional, pemimpin doa biasanya

adalah seorang Muslim karena Indonesia adalah negara yang mayoritas

penduduknya beragama Islam dan mempunyai populasi Muslim terbesar

dari negara manapun di dunia. Contoh-contoh doa bersama pada tingkat

nasional di Indonesia, adalah doa-doa bersama pada peristiwa-peristiwa

peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia (17 Agustus), Hari

Sumpah Pemuda (28 Oktober), dan Hari Pahlawan (10 Nopember).46

Di Mesir tegas Nurcholish Madjid,dkk, seperti disebutkan di atas,

orang dapat menemukan contoh doa bersama yang diadakan orang-orang

Muslim dan orang-orang Kristen yang bergabung dalam Persaudaraan

Keagamaan (al-Ikha' al-Dini) pada akhir setiap pertemuan yang mereka

lakukan untuk acara itu. Pada tingkat internasional, seperti dipaparkan di

atas, contoh tipe doa bersama adalah doa bersama yang dilakukan ketika

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) merayakan hari ulang tahunnya yang

ke-50 di Markas Besarnya di New York. Doa bersama itu dipimpin

dipimpin oleh Uskup Desmond Tutu dari Afrika Selatan.

Berkaitan dengan doa bersama tipe ketiga ini menurut Nurcholish

Madjid,dkk muncul beberapa pertanyaan dalam pikiran. Haruskah

pemimpin doa bersama dalam situasi seperti itu memperhatikan watak

pluralis acara itu, dan mengubah doanya sesuai dengan watak pluralis

acara itu? Apakah sebenarnya ada satu bentuk doa yang dapat diterima

bagi semua kelompok? Apakah ajaran keagaman yang dianut oleh para

peserta dari agama-agama yang berbeda pada peristiwa seperti itu

memperkenankan jenis "doa bersama" ini? Dalam konteks Islam, apakah

ajaran Islam membolehkan praktik doa bersama tipe ini?

Keempat adalah doa pada suatu peristiwa atau pertemuan yang

dipimpin oleh para wakil dari masing-masing agama yang para

anggotanya hadir dalam pertemuan itu dengan cara mereka masing-

masing. Doa bersama jenis keempat ini dilakukan di Indonesia pada

46

Ibid, hlm. 95

Page 72: Nurkhalis Majid

62

tahun-tahun terakhir ini. Contohnya adalah doa bersama pada pertemuan

yang diorganisir oleh MADIA di rumah kediaman KH Abdurrahman

Wahid di Ciganjur pada Jumat, 5 Juni 1998, sebelum doa bersama tipe

ketiga pada akhir pertemuan itu, seperti disebut di atas.

Lebih lanjut Nurcholish Madjid,dkk menguraikan, orang dapat

pula menemukan contoh-contoh doa bersama jenis ini di negara-negara

lain, baik pada tingkat nasional maupun pada tingkat internasional.

Contoh-contohnya pada tingkat nasional dapat ditemukan di Mesir dan

Afrika Selatan, seperti disebutkan di atas. Contoh di Mesir adalah doa

bersama yang diadakan oleh orang-orang Muslim dan orang-orang Kristen

yang bergabung dalam Persaudaraan Keagamaan (al-Ikha' al-Dini) di

Kairo dalam setiap pertemuan untuk doa besama sebelum doa bersama

tipe ketiga di akhir setiap pertemuan itu. Contoh di Afrika Selatan adalah.

doa bersama yang diadakan pada acara pelantikan Nelson Mandela

sebagai Presiden Afrika Selatan. Contoh doa bersama jenis ini pada

tingkat internasional adalah doa bersama untuk kedamaian dunia yang

diprakarsai oleh Paus Yohanes Paulus II. Doa itu diadakan pada 26

Oktober 1986 di Assisi, Itali.47

Berkenaan dengan doa bersama jenis terakhir ini, muncul sebuah

persoalan. Apakah setiap penganut suatu "agama"' yang diwakili oleh satu

pemimpin dalam doa, berdoa kepada "Tuhannya sendiri' atau apakah

semua penganut agama-agama berdoa kepada Tuhan yang sama,

meskipun mereka menggunakan tradisi-tradisi doa yang berbeda? Dalam

konteks Islam tegas Nurcholish Madjid,dkk dapat menambahkan sebuah

pertanyaan. Apakah ajaran Islam membolehkan praktik doa bersama jenis

ini?

Sekarang menurut Nurcholish Madjid,dkk perlu melihat

bagaimana hukum empat doa bersama ini menurut Islam. Apakah ajaran

Islam membolehkan para penganutnya mempraktikkan empat jenis doa

bersama ini? Sesuai dengan klasifikasi doa bersama ini menjadi empat

47

Ibid, 96

Page 73: Nurkhalis Majid

63

jenis, dapat dirinci pertanyaan ini menjadi empat pertanyaan berikut. (1)

Apakah ajaran Islam membolehkan orang-orang Muslim berdoa untuk

orang-orang non-Muslim? (2) Apakah ajaran Islam membolehkan orang-

orang Muslim meminta doa untuk mereka dari orang-orang non-Muslim?

(3) Apakah ajaran Islam membolehkan orang-orang Muslim berdoa dalam

suatu pertemuan yang dihadiri oleh para penganut agama-agama yang

berbeda apabila satu orang memimpin para hadirin dalam memanjatkan

doa itu? (4) Apakah ajaran Islam membolehkan orang-orang Muslim

berdoa dalam suatu pertemuan yang dihadiri oleh para penganut agama-

agama yang berbeda apabila. wakil-wakil dari masing-masing agama

memimpin membaca doa dengan cara mereka masing-masing?

Menjawab pertanyaan pertama, "Apakah ajaran Islam

membolehkan orang-orang Muslim berdoa untuk orang-orang non-

Muslim? sebuah pendapat demikian menurut Nurcholish Madjid,dkk

menyatakan bahwa Allah melarang berdoa untuk orang-orang non-

Muslim. Ibn Taimiyah kata Nurcholish Madjid,dkk mendukung pendapat

ini. la mengatakan bahwa ciptaan yang paling utama adalah Muhammad,

kemudian Ibrahim. Nabi Muhammad berhenti memintakan ampun untuk

pamannya Abu Thalib, setelah sebelumnya beliau berkata: "Aku benar-

benar akan memintakan ampun untuk engkau selama aku tidak dilarang

(memintakan ampun) untuk engkau," dan sebelumnya beliau menyalatkan

dan mendoakan orang-orang munafik. Dikatakan bahwa firman Allah,

"Dan janganlah engkau sekali-kali menyalatkan (jenazah) seorang yang

meninggal di antara mereka (orang-orang munafik), dan janganlah engkau

berdiri (mendoakannya) di kuburnya," (QS. 9:84) adalah teguran terhadap

Nabi. Sebelum teguran ini, Allah telah berfirman kepada beliau,

"Meskipun engkau memohonkan ampun bagi mereka tujuh puluh kali,

Allah sekali-kali tidak akan memberikan ampun kepada mereka." (QS.

9:80). Namun demikian beliau berkata: "Seandainya aku mengetahui

bahwa jika aku tambah lebih dari tujuh puluh kali Dia akan memberi

mereka ampun, tentu akan aku tambah." Maka Allah berfirman: "Sama

Page 74: Nurkhalis Majid

64

saja bagi mereka, apakah engkau memintakan ampun bagi mereka atau

engkau tidak memintakan ampun bagi mereka; Allah sekali-kali tidak

akan memberikan ampun kepada mereka." (QS. 63: 6).48

Menurut Nurcholish Madjid,dkk larangan berdoa memintakan

ampun dalam ayat-ayat ini (QS. 9: 80, 84; QS. 63: 6) adalah larangan

berdoa memintakan ampun bagi orang-orang munafik. Dua ayat terakhir

(QS. 9: 84; 63: 6) turun berkaitan dengan peristiwa ketika Abdullah ibn

Ubbai, pemimpin orang-orang munafik, meninggal. Anaknya memohon

kepada Nabi agar beliau menyalatkan dan memintakan ampun baginya.

Meskipun dicegah oleh Umar agar mengurungkan niatnya untuk

memenuhi permohonan itu karena larangan Allah (QS. 9:81), Nabi tetap

menyalatkannya. Maka turunlah larangan lain (QS. 9: 84). Ada juga

riwayat yang menceritakan bahwa Abdullah ibn Ubbai menolak usul agar

ia memohon kepada Nabi untuk memintakan ampun baginya, tetapi usul

itu ia tolak dengan sombong. Maka turunlah ayat (QS. 63: 6) sebagai

teguran terhadap Nabi.49

Larangan berdoa memintakan ampun untuk orang-orang non-

Muslim didasarkah pula pada firman Allah: "

Tidaklah patut bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan

ampun untuk orang-orang musyrik meskipun mereka adalah kaum

kerabatnya sendiri setelah nyata bagi mereka bahwa sesungguhnya

mereka adalah penghuni neraka Jahannam. Dan permohonan ampun

Ibrahim untuk bapaknya tidak lain kecuali karena suatu janji yang

telah diikrarkannya kepada bapaknya itu. Maka tatkala nyata baginya

bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, ia berlepas diri daripadanya.

Sesungguhnya Ibrahim adalah orangyang benar-benar lembut dan

penyantun" (QS. 9: 113- 114).

Larangan ini menurut Nurcholish Madjid,dkk terkait dengan

sebuah peristiwa yang diceritakan oleh Ali ibn Abi Thalib kepada Nabi

s.a.w. Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa Ali ibn Abi Thalib

mendengar seorang laki-laki sedang berdoa memintakan ampun untuk

48

Ibid, hlm. 98-99 49

Ibid, hlm. 99

Page 75: Nurkhalis Majid

65

kedua orang tuanya yang musyrik. Maka, Ali bertanya kepada laki-laki

itu: "Apakah engkau memintakan ampun untuk kedua orang tua engkau

sedangkan keduanya adalah orang musyrik?" la menjawab: "Bukankah

Ibrahim memintakan ampun untuk bapaknya yang musyrik?" Lalu, Ali

melaporkan masalah itu kepada Nabi s.a.w. Maka turunlah firman Allah

ini (QS. 9:113- 114).50

Karena itu, menurut Nurcholish Madjid,dkk semestinya ayat-ayat

di atas (QS. 9: 80,84; 63: 6; 9: 113-114) dipahami dalam konteks larangan

berdoa untuk orang-orang munafik dan orang-orang musyrik,51

khususnya

yang telah meninggal. Dan, perlu segera ditambahkan, bahwa tidak semua

orang non-Muslim itu munafik dan musyrik. Di antara non-Muslim

terdapat orang-orang yang bertauhid dan mempunyai hubungan baik dan

bersahabat dengan Nabi dan orang-orang Muslim, seperti Abu Thalib,

Raja Negus, dan Mukhairiq. Karena itu, larangan berdoa untuk orang-

orang non-Muslim yang bukan munafik dan bukan pula musyrik tidak

dapat diterapkan. Nabi Muhammad s.a.w. mengajari Ali cara

memandikan, mengafani dan upacara penguburannya, dan berdoa kepada

Allah untuk keselamatan ruhnya yang telah pergi. Beberapa hadis yang

diriwayatkan oleh Al-Bukhari melalui Abu Hurairah dan Jabir ibn

Abdillah memberitahukan kepada kita bahwa Nabi Muhammad

memberitahu kematian Negus, Raja Etiopia, kepada para sahabat pada

hari wafatnya dan beliau pergi keluar bersama mereka menyalatkan Raja

itu dengan empat takbir.52

Ketika Nabi.Muhammad merasakan betapa beratnya beban

dakwah Islam yang beliau pikul karena mendapat tekanan-tekanan keras

50

Ibid, hlm. 100 51

Pada zaman dahulu, munafik adalah orang yang mengaku Islam tetapi dalam hatinya

beriman pada agama lain. Sedangkan Munafik pada saat ini adalah orang yang berpura-pura atau

ingkar; apa yang diucapkannya tidak sesuai dengan yang ada di dalam hati dan tindakannya.

Misalnya: lisannya mengaku beriman tetapi dalam hati dan tindakannya ingkar atau kafir. Adapun

Musyrik, perbuatannya disebut syirik yaitu di samping menyembah Allah juga patung atau berhala

seperti Latta, Mana'ta dan Uzza. Pada masa sekarang, khususnya dalam perspektif di Indonesia,

yaitu perbuatan, anggapan atau iktikad menyekutukan Allah SWT dengan yang lain, seakan-akan

ada yang Maha Kuasa di samping Allah SWT. 52

Ibid, hlm. 100-101

Page 76: Nurkhalis Majid

66

dari orang-orang musyrik Quraisy, beliau pernah berdoa: "Ya Allah,

kuatkanlah Islam dengan salah seorang dari dua orang ini, Abu al-Hakam

ibn Hisyam atau Umar ibn al-Khattab!" Melalui ucapan ini, Nabi secara

tidak langsung berdoa untuk Abu al-Hakam dan Umar agar salah seorang

dari mereka masuk Islam dan dengan demikian Islam akan semakin kuat.

Abu al-Hakam adalah salah seorang musuh terbesar Islam yang oleh

orang-orang Muslim dijuluki Abu Jahl (Bapak Kebodohan). Umar

sebelum masuk Islam adalah juga salah seorang musuh terbesar Islam.

Doa Nabi dikabulkan oleh Tuhan: Umar, salah seorang dari mereka masuk

Islam.

Ajakan Nabi Muhammad s.a.w. kepada penduduk Taif untuk

masuk Islam dan permintaan beliau untuk membantunya melawan musuh-

musuhnya mereka tolak. Bahkan ketika bergerak meninggalkan mereka,

beliau mendapat cacian dan lemparan batu-batu yang mengakibatkan kaki

beliau luka dengan mengeluarkan darah. Dalam situasi yang tidak

menguntungkan itu, Nabi berdoa: "Ya Allah, berilah kaumku petunjuk,

karena sesungguhnya mereka tidak mengetahui." Meskipun dakwah beliau

ditolak oleh orang-orang Taif, beliau tidak mengutuk mereka dan tidak

memohon agar Tuhan menimpakan siksaan atas mereka. Sebaliknya,

beliau berdoa agar Allah memberi mereka petunjuk.

Peristiwa-peristiwa di atas dapat menjadi dalil dibolehkannya

mendoakan non-Muslim. Hukum dibolehkannya mendoakan non-Muslim

juga dapat didasarkan pada bolehnya mengucapkan salam kepada orang-

orang non-Muslim karena, seperti dijelaskan di atas, salam (al-salam

'alaykum) adalah doa. Nabi mengucapkan salam melalui suratnya kepada

Negus meskipun Raja itu bukan seorang Muslim.53

Beberapa ayat al-

Qur'an yang menjadi dasar hukum mengucapkan salam dapat dijumpai

antara lain dalam surat an-Nisaa (4) ayat 86; surat an- Nuur (24) ayat 27,

61; surat adz Dzaariyaat (51) ayat 24, 25.

Dalam al-Qur'an surat an-Nisaa (4) ayat 86 ditegaskan:

53

Ibid, hlm. 101-102

Page 77: Nurkhalis Majid

67

Artinya: “Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan, maka

balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau

balaslah (dengan yang serupa).54

Sesungguhnya Allah

memperhitungkan segala sesuatu”. (QS 4:86).55

Ahmad Mustafa al-Maragi dalam tafsirnya memaparkan, jawaban

yang baik kadang-kadang bisa dilakukan dengan makna maupun cara

penyampaiannya, meskipun dengan kata-kata yang sama diucapkan oleh

orang yang memulai atau lebih pendek dari itu. Jika ada orang yang

mengucapkan As-Salamu'alaikum dengan suara rendah yang menunjukkan

kurangnya perhatian, lalu membalas dengan Wa'alaikumus-salam dengan

suara yang lebih keras dan penyambutan yang menunjukkan besarnya

perhatian, maka penyambutan dan penghormatan seperti itu, berarti orang

itu telah membalasnya dengan ucapan selamat yang lebih baik, dilihat dari

sifatnya, meskipun kata-katanya sama.56

Singkatnya menurut Ahmad Mustafa al-Maragi bahwa jawaban

terhadap ucapan selamat mempunyai dua martabat : yang paling rendah

ialah jawaban dengan yang sebanding, sedangkan yang paling tinggi ialah

jawaban dengan yang lebih baik daripadanya. Orang yang menjawab

bebas memilih antara keduanya. Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu Abbas,

bahwa Rasulullah saw. bersabda:

54

Penghormatan dalam Islam ialah dengan mengucapkan "Assalamu ' alaikum". 55

Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya,

Depag RI, 1986, hlm. 133 56

Ahmad Mustafa Al-Maragi, Tafsir al-Maragi, Mesir: Mustafa Al-Babi Al-Halabi,

1394 H/1974 M, hlm. 180

Page 78: Nurkhalis Majid

68

57

Artinya: “Barangsiapa di antara makhluk Allah mengucapkan salam

kepadamu, maka jawablah ia, meskipun dia seorang yang

beragama Majusi. Sebab, Allah berfirman : Apabila kalian

diberi penghormatan dengan suatu penghormatan, maka

balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik

daripadanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang

serupa).”

Barangsiapa mengucapkan As-Salamu 'alaikum kepada musuhnya,

berarti dia telah mengamankan dirinya. Orang-orang Arab dahulu

memaksudkan makna ini sebagai salah satu perangainya. Akan tetapi,

kaum Muslimin sekarang tidak suka bila ada kaum lain mengucapkan

selamat kepada mereka dengan As-Salam, sebagaimana tidak suka

membalas salam kepada selain Muslim, seakan-akan mereka lupa bahwa

apabila adab-adab Islami diberlakukan, maka mereka akan mengetahui

keutamaan Islam, dan akan mendorong mereka untuk memeluknya.58

Bolehnya atau larangan berdoa untuk orang-orang non-Muslim

dalam al-Qur'an tidak mungkin tanpa tujuan Syariah: yakni kemaslahatan.

Kemaslahatan selalu berkaitan dengan konteks kultural dan sosial.

Larangan berdoa memintakan ampun untuk orang-orang munafik dan

musyrik, khususnya yang telah meninggal, adalah untuk kemaslahatan.

Berdoa untuk orang-orang munafik dan musyrik yang telah meninggal

tidak berguna karena nasib mereka di akhirat tidak akan berubah dan

mereka akan tetap masuk neraka. Berdoa untuk mereka adalah "mubazir."

Maka muncullah larangan berdoa untuk mereka. Larangan itu untuk

kemaslahatan, yaitu mengindari "kemubaziran" doa yang tidak berguna.

Berdoa untuk orang-orang munafik yang menolak didoakan dengan

sombong adalah juga tidak bermanfaat karena tidak mengubah mereka

menjadi orang-orang yang beriman dan bertauhid. Karena itu, berdoa

untuk orang-orang seperti ini juga dilarang. Larangan itu adalah untuk

kemaslahatan: mengindari doa yang tidak berguna.

57

Ibid, hlm. 180 58

Ibid, hlm. 180-181

Page 79: Nurkhalis Majid

69

Bolehnya berdoa untuk orang-orang non-Muslim adalah untuk

kemaslahatan. Nabi berdoa untuk Abu Thalib dan mengucapkan salam

kepada Negus dan menyalatkannya setelah wafatnya untuk kemaslahatan.

Abu Thalib dan Negus bukan orang musyrik dan munafik. Meskipun

mereka bukanlah orang Muslim secara formal, tetapi mereka adalah orang

muslim secara esensial. Berdoa untuk Abu Thalib adalah untuk

kemaslahatan: keselamatan di akhirat, dan berdoa untuk Negus ketika ia

hidup dan wafat adalah untuk kemaslahatan: persaudaraan (ketika ia

hidup) dan keselamatan di akhirat (ketika ia telah wafat).

Berdoa untuk orang-orang non-Muslim yang bukan musyrik dan

bukan munafik dibolehkan selama bertujuan untuk kemaslahatan. 59

Sekarang kita beralih kepada pertanyaan kedua, yaitu: "Apakah ajaran

Islam membolehkan kaum Muslim meminta doa untuk mereka dari orang-

orang non-Muslim?" Pertanyaan ini tidak dapat dipisahkan dari

pertanyaan lain yang lebih mendasar, yaitu: "Apakah orang-orang yang

meminta doa dan orang-orang yang diminta untuk berdoa percaya dan

menyembah Tuhan yang sama, meskipun mereka adalah para penganut

iman-iman atau agama-agama yang berbeda?" Pertanyaan ini dalam

konteks Islam dapat diubah seperti berikut: "Apakah orang-orang Muslim

(sebagai pihak yang meminta doa untuk mereka) dan orang-orang non-

Muslim (sebagai pihak yang diminta doa) percaya dan menyembah Tuhan

yang satu dan sama?" Apabila jawabannya "Tidak" maka meminta doa

dari orang-orang non-Muslim dilarang karena mereka percaya dan

menyembah "tuhan-tuhan" lain yang bukan Tuhan. Apabila jawabannya

"Ya," maka meminta doa dari orang-orang non-Muslim dibolehkan karena

mereka dan orang-orang Muslim percaya dan menyembah Tuhan yang

satu dan sama meskipun dengan cara-cara yang berbeda.

Kita tidak pernah menemukan contoh meminta doa kepada non-

Muslim pada masa Nabi dan sahabat. Bagi orang-orang Muslim pluralis

sejati, (yang percaya bahwa semua agama, meskipun dengan jalan

59

Ibid, hlm. 102-103

Page 80: Nurkhalis Majid

70

masing-masing yang berbeda, menuju satu tujuan yang sama, Yang

Absolut, Yang Terakhir, Yang Riil) meminta doa kepada orang-orang

non-Muslim adalah mungkin dan, karena itu, tidak terlarang. Tidak ada

larangan meminta doa dari non-Muslim, tetapi lebih baik tidak dilakukan

agar terbebas dari ketedakpastian.

Selanjutnya, menurut Nurcholish Madjid,dkk kita melangkah

kepada pertanyaan ketiga, yaitu: "Apakah ajaran Islam membolehkan

orang Muslim berdoa dalam suatu pertemuan yang dihadiri oleh para

penganut agama-agama yang berbeda apabila satu orang memimpin para

hadirin dalam memanjatkan doa itu?" Sebelum menjawab pertanyaan ini,

paling tidak ada dua pertanyaan lain yang perlu dijawab terlebih dahulu,

yaitu: (1) Apakah orang yang memimpin doa bersama itu adalah seorang

Muslim? (2) Apakah doa atau teks doa yang dibaca dalam doa bersama itu

tidak bertentangan dengan ajaran Islam? Biasanya orang yang memimpin

doa bersama dalam suatu pertemuan dalam contoh-contoh empiris adalah

orang yang menganut agama mayoritas. Dalam acara doa bersama di

Indonesia pada tingkat nasional, seperti pada peristiwa-peristiwa

peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia (17 Agustus), Hari

Sumpah Pemuda (28 Oktober), dan Hari Pahlawan (10 Nopember),

biasanya, yang menjadi pemimpin adalah seorang Muslim. Dalam acara

doa bersama seperti ini, jika pemimpin doa adalah non-Muslim, mungkin

akan timbul protes dari orang-orang Muslim di seluruh Indonesia. 60

Situasinya akan berbeda apabila doa bersama jenis ini dilakukan di

daerah-daerah tertentu di Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah

non-Muslim atau dalam pertemuan-pertemuan tertentu yang pesertanya

adalah non-Muslim. Pemimpin doa dalam situasi seperti itu adalah non-

Muslim. Dalam doa bersama jenis ini di Bali, misalnya, karena mayoritas

penduduknya adalah Hindu, biasanya yang menjadi pemimpin doa adalah

seorang pemuka agama Hindu. Dalam doa bersama jenis ini di Papua

Barat, atau Irian Jaya, karena mayoritas penduduknya adalah Kristen,

60

Ibid, hlm. 104

Page 81: Nurkhalis Majid

71

biasanya yang menjadi pemimpin doa adalah seorang pemuka agama

Kristen. Dalam doa bersama tipe ini yang dilakukan oleh organisasi-

organisasi dialog antaragama, biasanya yang menjadi pemimpin doa tidak

selalu dari satu agama tetapi orangnya berganti-berganti: pada suatu

pertemuan seorang Kristen, pada pertemuan lain seorang Muslim, dan

pada pertemuan lain mungkin seorang Hindu.

Biasanya doa atau teks doa yang dibaca dalam doa bersama jenis

ini dirancang sebagai sebuah doa bersama yang dapat diterima oleh semua

peserta dari agama-agama yang berbeda. Apakah doa atau teks doa yang

dibaca dalam doa bersama itu tidak bertentangan dengan ajaran Islam?

Dalam doa bersama jenis ini, seperti dikatakan di atas, pada umumnya

lebih disukai menghindari penggunaan teks-teks resmi peribadatan salah

satu agama demi mengindari kebingungan. Maka, dibuatlah atau

disusunlah sebuah doa atau teks doa yang disetujui oleh semua peserta

dari agama-agama yang berbeda. Doa atau teks doa seperti itu tidak

bertentangan dengan ajaran Islam. Contohnya adalah "Doa Bersama untuk

Reformasi," yang dibacakan pada pertemuan yang diorganisir oleh

MADIA di rumah kediaman KH Abdurrahman Wahid di Ciganjur pada

Jumat, 5 Juni 1998. Contoh lain yang patut ditampilkan di sini adalah

sebuah doa yang ditulis oleh Hans Kung untuk sebuah komunitas

Ibrahimiah (sebuah komunitas yang anggota-anggotanya adalah Yahudi,

Kristen dan Muslim)

Menurut Nurcholish Madjid,dkk apabila orang yang memimpin

doa bersama ini adalah seorang Muslim dan doa yang dibaca tidak

bertentangan dengan ajaran Islam, doa bersama jenis ini dibolehkan.

Apabila orang yang memimpin doa adalah seorang non-Muslim, apakah

doa bersama ini dibolehkan? Sebenarnya sama saja, apakah orang yang

memimpin doa adalah Muslim atau non-Muslim, karena doa yang dibaca

adalah satu yang dibaca oleh dan untuk semua peserta. Karena itu, doa

bersama seperti ini yang dipimpin oleh seorang non-Muslim dibolehkan.

Apalagi doa bersama jenis ini bertujuan untuk kemaslahatan seperti

Page 82: Nurkhalis Majid

72

kedamaian, kerukunan, persaudaraan, dan solidaritas, maka ia dibolehkan,

bahkan bisa meningkat menjadi dianjurkan.61

Sekarang kita sampai pada pertanyaan keempat dan terakhir

berkenaan dengan doa bersama, yaitu: "Apakah ajaran Islam

membolehkan orang-orang Muslim berdoa dalam suatu pertemuan yang

dihadiri oleh para penganut agama-agama yang berbeda apabila wakil-

wakil dari masing-masing agama memimpin membaca doa dengan cara

mereka masing-masing?" Pertanyaan ini mungkin paling mudah dijawab

apabila tiga pertanyaan sebelumnya telah dijawab. Dengan kata lain,

hukum doa bersama tipe keempat ini lebih mudah diketahui apabila

hukum doa bersama tiga tipe pertama telah diketahui. Persoalannya lebih

ringan dari sudut pandang Islam karena tiga alasan. Pertama, doa yang

dibaca dalam doa bersama jenis terakhir ini bukan untuk orang-orang non-

Muslim tetapi untuk orang-orang Muslim dan orang-orang yang senasib

dan satu kepentingan dengan mereka. Kedua, dalam doa bersama tipe ini

orang-orang Muslim tidak meminta doa untuk mereka dari orang-orang

non-Muslim. Orang-orang Muslim memanjatkan doa mereka sendiri.

Ketiga, dalam doa bersama tipe ini orang yang memimpin doa dari

kelompok Islam adalah wakil mereka, yang tentu saja adalah seorang

Muslim. Keempat, doa yang dipanjatkan atau dibaca adalah doa yang

diajarkan oleh Islam.

Apabila doa bersama tipe-tipe pertama, kedua dan ketiga

dibolehkan menurut ajaran Islam, maka dapat disimpulkan dengan mudah

bahwa doa bersama tipe keempat tentu dibolehkan. Seperti doa bersama

tipe-tipe lain, doa bersama jenis ini, karena bertujuan untuk kemaslahatan

seperti kedamaian, kerukunan, persaudaraan, dan solidaritas, tentu

dibolehkan, bahkan bisa meningkat menjadi dianjurkan.

61

Ibid, 104-106

Page 83: Nurkhalis Majid

73

BAB IV

SIGNIFIKANSI PEMIKIRAN NURCHOLISH MADJID BAGI

KERUKUNAN UMAT BERAGAMA

A. Analisis Pendapat Nurcholish Madjid tentang Toleransi Beragama

Apabila memperhatikan pendapat Nurcholish Madjid tentang toleransi

beragama sebagaimana telah dikemukakan dalam bab tiga skripsi ini, maka

hal yang patut dianalisis sebagai berikut:

a. Asas Kerukunan Antar Umat Beragama

Nurcholish Madjid berpendapat:

Mendiskusikan masalah asas kerukunan antar umat beragama,

berarti langsung atau tidak langsung kita telah mengasumsikan

adanya kemungkinan berbagai penganut agama bertemu dalam

suatu landasan bersama (common platform). Maka sekarang

pertanyaannya ialah, adakah titik-temu agama-agama itu?

Pertanyaan yang hampir harian itu kita ketahui mengundang

jawaban yang bervariasi dari ujung ke ujung, sejak dari yang tegas

mengatakan "ada", kemudian yang ragu dan tidak tahu pasti secara

skeptis atau agnostis, sampai kepada yang tegas mengingkarinya.

Mungkin, mengikuti wisdom lama, yang benar ada di suatu posisi

antara kedua ujung itu, berupa suatu sikap yang tidak secara

simplistik meniadakan atau mengadakan, juga bukan sikap ragu

dan penuh kebimbangan.1

Menurut Nurcholish Madjid:

Karena kita bangsa Indonesia sering membanggakan atau

dibanggakan sebagai bangsa yang bertoleransi dan berkerukunan

agama yang tinggi, maka barangkali cukup logis jika jawaban atas

pertanyaan di atas kita mulai dengan suatu sikap afirmatif. Sebab

logika toleransi, apalagi kerukunan, ialah saling pengertian dan

penghargaan, yang pada urutannya mengandung logika titik-temu,

meskipun, tentu saja, terbatas hanya kepada hal-hal prinsipil. Hal-

hal rinci, seperti ekspresi-ekspresi simbolik dan formalistik, tentu

sulit dipertemukan. Masing-masing agama, bahkan sesungguhnya

masing-masing kelompok intern suatu agama tertentu sendiri,

1Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan Membangun Tradisi dan visi Baru Islam

Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 91.

Page 84: Nurkhalis Majid

74

mempunyai idiomnya yang khas dan bersifat esoterik, yakni,

"hanya berlaku secara intern".2

Karena itulah ikut-campur oleh seorang penganut agama dalam

urusan rasa kesucian orang dari agama lain adalah tidak rasional

dan absurd. Misalnya, agama Islam melarang para penganutnya

berbantahan dengan para penganut kitab suci yang lain melainkan

dengan cara yang sebaik-baiknya, termasuk menjaga kesopanan

dan tenggang rasa disebutkan kecuali terhadap yang bertindak

zalim dan orang Islam diperintahkan untuk menegaskan bahwa

kita semua, para penganut kitab suci yang berbeda-beda itu, sama-

sama menyembah Tuhan Yang Maha Esa dan sama-sama pasrah

kepada-Nya. Bahkan biarpun sekiranya kita mengetahui dengan

pasti bahwa seseorang lain menyembah sesuatu obyek sesembahan

yang tidak semestinya, bukan Tuhan Yang Maha Esa (sebagai

sesembahan yang benar), kita tetap dilarang untuk berlaku tidak

sopan terhadap mereka itu. Sebab, menurut al-Qur'an, sikap

demikian itu akan membuat mereka berbalik berlaku tidak sopan

kepada Tuhan Yang Maha Esa, sesembahan yang benar, hanya

karena dorongan rasa permusuhan dan tanpa pengetahuan yang

memadai. Terhadap mereka inipun pergaulan duniawi yang baik

tetap harus dijaga, dan di sini berlaku adagium "bagimu agamamu

dan bagiku agamaku. Ungkapan ini bukanlah pernyataan yang

tanpa peduli dan rasa putus asa, melainkan karena kesadaran

bahwa agama tidak dapat dipaksakan, dan bahwa setiap orang,

lepas dari soal agamanya apa, tetap harus dihormati sebagai

manusia sesama makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Sebab Tuhan

sendiripun menghormati manusia, anak cucu Adam di mana saja.3

b. Asas Kerjasama Antar Umat Beragama

Menurut Nurcholish Madjid:

Jika para penganut agama itu semua mengamalkan dengan

sungguh-sungguh ajaran agama mereka, maka Allah menjanjikan

hidup penuh kebahagiaan, baik di dunia ini maupun dalam

kehidupan sesudah mati nanti, di Akhirat. Suatu firman yang

secara umum ditujukan kepada semua penduduk negeri

menjanjikan bahwa kalau memang mereka itu benar-benar

beriman dan bertaqwa, maka Tuhan akan membukakan berbagai

barkah-Nya dari langit (atas) dan dari bumi (bawah).4

2Ibid.,

3Ibid., hlm. 92.

4Ibid.,

Page 85: Nurkhalis Majid

75

c. Etika Beragama

Menurut Nurcholish Madjid:

Tulisan ini dibuat di saat bangsa Indonesia sedang menghadapi

masalah-masalah besar yang belum sepenuhnya terselesaikan.

Malah tampak semakin menyesakkan dada. Salah satu masalah

besar itu adalah kenyataan bahwa akhir-akhir ini kita menyaksikan

dengan perasaan mencekam suasana hubungan antarumat

beragama di Tanah Air mulai terusik, bahkan telah pula menelan

banyak korban jiwa, kehormatan dan harta benda. Padahal, bangsa

Indonesia sering membanggakan atau dibanggakan sebagai bangsa

yang memiliki tingkat toleransi dan kerukunan beragama yang

amat tinggi. Namun, intensitas konflik di masyarakat kita akhir-

akhir ini yang diduga telah melibatkan penganut agama-agama

dengan tingkat kekejaman yang sulit diterima akal sehat, maka

barangkali cukup logis jika diajukan pertanyaan, "Adakah sesuatu

nilai yang mampu mempertemukan agama-agama di negeri ini

sehingga membuat mereka (para umat beragama itu) tidak harus

saling menghancurkan?"5

Jika mengkaji dan menyikapi pendapat Nurcholish Madjid tersebut,

dapatlah dianalisis sebagai berikut:

Tuhan menciptakan alam ini di atas sunnah pluralitas dalam sebuah

kerangka kesatuan. Dalam kerangka kesatuan manusia, kita melihat

bagaimana Tuhan menciptakan berbagai macam golongan (partai), suku

bangsa, budaya dan agama. Dalam kerangka sebuah bangsa, Tuhan

menciptakan beragam suku dan sosial budaya. Dalam kerangka kesatuan

bahasa, Tuhan menciptakan berbagai macam dialek. Dalam kerangka kesatuan

agama, Tuhan menciptakan berbagai agama. Dalam kerangka kesatuan

golongan, Tuhan menciptakan partai-partai. Tentunya masih banyak lagi

bentuk pluralitas di alam ini yang tidak dapat disebutkan semuanya.

Dengan adanya pluralisme ini, toleransi keagamaan yang dicanangkan

Nurcholish Madjid menjadi sangat penting karena perbedaan-perbedaan dan

perpecahan antar kelompok keagamaan dapat memicu konflik, dan pada

gilirannya dapat menyebabkan desintegrasi. Karena, pada mulanya hubungan

5Nurcholish Madjid, Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern, (Jakarta: Mediacita,

2001), hlm. 3.

Page 86: Nurkhalis Majid

76

antara masyarakat yang berbeda-beda agama tersebut tampak harmonis. Tapi

pada akhir-akhir ini terjadi perubahan dalam hubungan tersebut, khususnya

antara Islam dan Kristen. Ini disebabkan antara lain karena agama Kristen dan

agama Islam adalah sama agama missi. Lebih dari itu, agama dalam

kehidupan masyarakat majemuk selain dapat berperan sebagai faktor

pemersatu (integratif) juga sebagai faktor pemecah (disintegratif). Fenomena

ini banyak ditentukan oleh empat hal: (1) Teologi agama dan doktrin

ajarannya, (2) sikap dan perilaku pemeluknya dalam memahami dan

menghayati agama tersebut, (3) lingkungan sosio-kultural yang

mengelilinginya, (4) peranan dan pengaruh pemuka agama tersebut dalam

mengarahkan pengikutnya.6

Dalam sejarah Islam, toleransi dalam kehidupan beragama telah

dipraktikkan. Salah satu yang sangat menonjol ialah "Piagam Madinah" yang

disusun oleh Rasulullah, sesaat setelah berhijrah dari Madinah ke Mekah dan

pimpinan agama lain. Piagam Madinah itu semacam deklarasi damai

antarumat beragama. Demikian pula ketika Umar bin Khattab memimpin

pemerintahan tahun 15 Hijriah mengadakan perjanjian terhadap penduduk

yang beragama Nasrani Yerusalem, ketika kawasan itu dibebaskan. Dalam

perjanjian itu antara lain disebutkan jaminan untuk jiwa dan harta mereka, dan

untuk gereja-gereja dan salib-salib mereka, serta yang dalam keadaan sakit

ataupun sehat dan untuk agama mereka secara keseluruhan. Bahkan jauh hari

Al-Qur'an telah mensinyalir akan muncul bentuk klaim kebenaran, baik dalam

wilayah intern umat beragama maupun antarumat beragama. Kedua-duanya

sama-sama tidak menyenangkan dan tidak kondusif bagi upaya membangun

tata pergaulan masyarakat yang sehat.7

Islam mengakui hak hidup agama-agama lain, dan membenarkan para

pemeluk agama lain tersebut untuk menjalankan ajaran agama masing-masing.

Di sini, terdapat dasar ajaran Islam mengenai toleransi beragama. Toleransi

tidak diartikan sebagai sikap masa bodoh terhadap agamanya, atau bahkan

6Syahrin Harahap dan Hasan Bakti Nasution, Ensiklopedi Aqidah Islam, (Jakarta: Prenada

Media, 2003), hlm. 320 – 322 7Harian Suara Merdeka, 3 Januari 2006, hlm. 9.

Page 87: Nurkhalis Majid

77

tidak perlu mendakwahkan ajaran kebenaran yang diyakininya itu. Oleh

karena itu, setiap orang yang beriman senantiasa terpanggil untuk

menyampaikan kebenaran yang diketahui dan diyakininya, tetapi harus

berpegang teguh pada etika dan tata krama sosial, serta tetap menghargai hak-

hak individu untuk menentukan pilihan hidupnya masing-masing secara

sukarela. Sebab, pada hakikatnya hanya di tangan Tuhanlah pengadilan atau

penilaian sejati akan dilaksanakan. Pengakuan akan adanya kebenaran yang

dianut memang harus dipertahankan. Tetapi, pengakuan itu harus memberi

tempat pula pada agama lain sebagai sebuah kebenaran yang diakui secara

mutlak oleh para pemeluknya.8

Islam merupakan agama termuda dalam tradisi Ibrahimi. Pemahaman

diri Islam sejak kelahirannya pada abad ke-7 sudah melibatkan unsur kritis

pluralisme, yaitu hubungan Islam dengan agama lain. Melacak akar-akar

pluralisme dalam Islam, berarti ingin menunjukkan bahwa agama Ibrahimi

termuda ini sebenarnya bisa mengungkap diri dalam suatu dunia agama

pluralistis. Islam mengakui dan menilainya secara kritis, tapi tidak pernah

menolaknya atau menganggapnya salah. Sejak kelahirannya, memang Islam

sudah berada di tengah-tengah budaya dan agama-agama lain. Nabi

Muhammad Saw ketika menyiarkan agama Islam sudah mengenal banyak

agama semisal Yahudi dan Kristen. Di dalam Al-Qur'an pun banyak

ditemukan rekaman kontak Islam serta kaum muslimin dengan komunitas-

komunitas agama yang ada di sana. Perdagangan yang dilakukan bangsa Arab

pada waktu itu ke Syam, Irak, Yaman, dan Etiopia, dan posisi kota Mekah

sebagai pusat transit perdagangan yang menghubungkan daerah-daerah di

sekeliling jazirah Arab membuat budaya Bizantium, Persia, Mesir, dan

Etiopia, menjadikan agama-agama yang ada di wilayah Timur Tengah dan

sekitarnya, tidak asing lagi bagi Nabi Muhammad Saw.9

8Adeng Muchtar Ghazali, Pemikiran Islam Kontemporer Suatu Refleksi Keagamaan Yang

Dialogis, (Bandung: Pustaka Setia, 2005), hlm. 55-58 9Syamsul Ma'arif, Pendidikan Pluralisme Di Indonesia, (Yogyakarta: Logung Pustaka,

2005), hlm. 36-38

Page 88: Nurkhalis Majid

78

Pandangan tentang manusia memiliki akar-akarnya dalam setiap segi

ajaran Islam. Bahkan Islam itu sendiri adalah agama kemanusiaan, dalam arti

bahwa ajaran-ajarannya sejalan dengan kecenderungan alami manusia

menurut fitrahnya yang abadi (perennial). Karena itu seruan untuk menerima

agama yang benar itu dikaitkan dengan fitrah tersebut, sebagaimana dapat kita

baca dalam Kitab Suci al-Qur'an surat ar-Rum (30) ayat 30 :

)Artinya: Maka hadapkanlah wajahmu untuk agama ini sesuai dengan

kecenderungan alami menurut fitrah Allah yang dia telah ciptakan

manusia atasnya. Itulah agama yang tegak lurus, namun sebagian

besar manusia tidak mengetahui (Q.S. ar-Rum (30): 30)".10

Jadi menerima agama yang benar tidak boleh karena terpaksa. Agama

itu harus diterima sebagai kelanjutan atau konsistensi hakikat kemanusiaan itu

sendiri. Dengan kata lain, beragama yang benar harus merupakan kewajaran

manusiawi. Cukuplah sebagai indikasi bahwa suatu agama atau kepercayaan

tidak dapat dipertahankan jika ia memiliki ciri kuat bertentangan dengan

naluri kemanusiaan yang suci. Karena itu dalam firman yang dikutip di atas

ada penegasan bahwa kecenderungan alami manusia kepada kebenaran

(hanifiyah) sesuai dengan kejadian asalnya yang suci (fitrah) merupakan

agama yang benar, yang kebanyakan manusia tidak menyadari.11

Kerukunan antar umat beragama kiranya akan menjadi agenda

nasional bahkan internasional yang tak kunjung usai. Ini bisa dipahami karena

masa depan suatu bangsa sedikit banyak tergantung pada sejauh mana

keharmonisan hubungan antarumat beragama ini. Kegagalan dalam

merealisasikan agenda ini akan mengantarkan suatu bangsa pada trauma

10

Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya,

Departemen Agama, 1986, hlm. 645 11

Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius, (Jakarta: Paramadina, 2000), hlm. 24.

Page 89: Nurkhalis Majid

79

terpecah belahnya sebagai bangsa.12

Dalam Al-Qur’an surat al-Mumtahanah

(60) ayat 8 Allah SWT berfirman:

Artinya: Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil

terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan

tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah

menyukai orang-orang yang berlaku adil (Q.S. al-Mumtahanah (60):

ayat 8).13

Akhir-akhir ini wacana tentang pluralitas agama dan masalah-masalah

yang mengitarinya semakin menguat dan muncul ke permukaan. Buku-buku,

tulisan-tulisan media massa, dan acara-acara seminar, kongres, simposium,

diskusi, dialog seputar hubungan antarumat beragama semakin sering kita

saksikan dalam berbagai tingkat, baik lokal, nasional, maupun internasional.

Kecenderungan menguatnya perbincangan seputar pluralitas agama dan

hubungan antarumat beragama ini akan semakin kuat di masa-masa

mendatang dan tidak akan pernah mengalami masa kadaluarsa. Sebab topik

ini adalah topik yang selalu aktual dan menarik bagi siapa pun yang mencita-

citakan terwujudnya perdamaian di bumi ini.14

Itulah sebabnya salah satu

tokoh nasional yang pemikiran dan gagasannya banyak menjadi rujukan

berbagai kalangan adalah Prof. Dr. Nurcholish Madjid, atau yang lebih

dikenal dengan panggilan akrab Cak Nur. Doktor lulusan Universitas Chicago

(1984) ini dikenal sebagai tokoh yang sangat concern dan committed terhadap

berbagai persoalan kebangsaan, terutama yang menyangkut persoalan nilai

keislaman dalam konteks dengan toleransi beragama terhadap agama lain.15

12

Abd. Rohim Ghazali dalam M. Quraish Shihab, Atas Nama Agama: Wacana Agama

Dalam Dialog Bebas Konflik, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1988), hlm.133 13

Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, op. cit, hlm. 924. 14

Nur Achmad (ed), Pluralitas Agama Kerukunan dalam Keragaman, (Jakarta: Penerbit

Kompas, 2001), hlm. ix 15

Nurcholish Madjid, Jejak Pemikiran dari Pembaharu Sampai Guru Bangsa,

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 392

Page 90: Nurkhalis Majid

80

Setelah mengkaji pendapat Nurcholish Madjid di atas, penulis hendak

menganalisis sebagai berikut: bahwa pendapat Nurcholish Madjid patut

didukung karena pemikiran dan analisisnya itu sesuai dengan ajaran Islam

yang sangat menghormati keberadaan agama lain. Sebenarnya Islam

merupakan pelopor toleransi, dan Islam sangat mencela sikap fanatisme dalam

arti yang negatif yaitu membabi buta dan mengklaim kebenaran sebagai

otoritas sendiri. Pendapat penulis ini sesuai dengan pendapat M. Natsir yang

menegaskan bahwa agama Islam memberantas intoleransi agama serta

menegakkan kemerdekaan beragama dan meletakkan dasar-dasar bagi

keragaman hidup antaragama. Kemerdekaan menganut agama adalah suatu

nilai hidup, yang dipertahankan oleh tiap-tiap muslimin dan muslimat. Islam

melindungi kemerdekaan menyembah Tuhan menurut agama masing-masing,

baik di mesjid maupun gereja.16

Sejalan dengan pendapat di atas, menurut Nurcholish Madjid, bahwa

salah satu kesadaran yang sangat berakar dalam pandangan seorang Muslim

ialah bahwa agama Islam adalah sebuah agama universal, untuk sekalian umat

manusia. Meskipun kesadaran serupa juga dipunyai oleh hampir semua

penganut agama yang lain (Yahudi, maka mereka menolak Kristen dan Islam;

dan Kristen sendiri, maka mereka menolak Yahudi dan Islam), namun kiranya

tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa pada orang-orang Muslim kesadaran

tersebut melahirkan sikap-sikap sosial-keagamaan yang unik, yang jauh

berbeda dengan sikap-sikap keagamaan para pemeluk agama lain, kecuali

setelah munculnya zaman modern dengan ideologi modern ini. Tanpa

mengurangi keyakinan seorang Muslim akan kebenaran agamanya (hal yang

dengan sendirinya menjadi tuntutan dan kemestian seorang pemeluk suatu

sistem keyakinan), sikap-sikap unik Islam dalam hubungan antaragama itu

ialah toleransi, kebebasan, keterbukaan, kewajaran, keadilan dan kejujuran

(fairness). Prinsip-prinsip itu nampak jelas pada sikap dasar sebagian besar

16

M. Natsir, Islam dan Kristen di Indonesia, (Jakarta: Media Dakwah, 1983), hlm.. 200.

Page 91: Nurkhalis Majid

81

umat Islam sampai sekarang, namun lebih-lebih lagi sangat fenomenal pada

generasi kaum Muslim klasik (salaf).17

Untuk menciptakan toleransi beragama sehingga nilai-nilai keislaman

dapat dirasakan semua pihak termasuk pihak yang beragama non muslim

maka Harun Nasution, menggulirkan gagasan bahwa jiwa toleransi beragama

rasanya dapat dipupuk melalui usaha-usaha berikut: 1). Mencoba melihat

kebenaran yang ada dalam agama lain. 2). Memperkecil perbedaan yang ada

di antara agama-agama. 3). Menonjolkan persamaan-persamaan yang ada

dalam agama-agama. 4). Memupuk rasa persaudaraan se-Tuhan. 5).

Memusatkan usaha pada pembinaan individu-individu dan masyarakat

manusia baik yang menjadi tujuan beragama dari semua agama monoteis. 6).

Mengutamakan pelaksanaan ajaran-ajaran yang membawa kepada toleransi

beragama. 7). Menjauhi praktik serang-menyerang antaragama.18

Menyikapi pandangan dan pendapat Nurcholish Madjid serta

pandangan dari para pakar lainnya maka jelaslah akan pentingnya

dikembangkan sikap toleransi, khususnya dalam hubungan antaragama

sehingga nilai-nilai keislaman terefleksikan dalam kehidupan antar sesama

manusia seagama dan agama berbeda.

Toleransi itu membentuk sikap lahiriah tentang antar-hubungan

manusia dalam masyarakat. Ciri-ciri toleransi itu di antaranya tergambar

dalam kebesaran jiwa seseorang, keluasan paham dan pengertiannya,

lapangdada dan sabar menghadapi pendapat-pendapat atau pendirian orang

lain yang bertentangan dengan pendapat dan pikirannya sendiri. Di dalamnya

termasuk toleransi karena perbedaan kepercayaan agama.

Sifat toleransi itu menghendaki, bahwa perbedaan agama, perbedaan

kepercayaan, perbedaan keyakinan dan pendirian, perbedaan paham dan

penilaian dan yang seumpama itu tidak boleh membuat satu garis pemisah

mempengaruhi hubungan di segala bidang-kehidupan.

17

Nurcholish Madjid, Islam Doktrin Dan Peradaban, (Jakarta: Yayasan Wakaf

Paramadina, 2000), hlm. 178-179 18

Harun Nasution, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran (Bandung: Mizan, 2000), hlm.

275

Page 92: Nurkhalis Majid

82

Harus senantiasa diciptakan hubungan yang harmoni, menjauhkan

sikap yang kaku dan konfrontatif. Toleransi itu membentuk watak manusia

supaya bersikap menahan diri, lapang dada dan luwes. Toleransi itu adalah

salah satu tata pikir yang diajarkan oleh Islam, terutama toleransi mengenai

beragama. Salah satu ajaran Islam yang digariskan oleh Tuhan untuk menjadi

pegangan kaum Muslimin dalam kehidupan beragama ialah ayat yang

berbunyi:

Artinya: Tidak ada paksaan dalam agama (karena) sesungguhnya telah jelas

jalan yang benar dari jalan yang salah. Orang-orang yang tidak

percaya kepada thagut (berhala, syaithan dan lain-lain) dari hanya

percaya kepada Allah, sesungguhnya dan telah berpegang kepada

tali yang teguh dan tidak akan putus. Tuhan itu mendengar dan

mengetahui". (Q.S. Al-Baqarah : 256)".

Pada ayat tersebut di atas ditegaskan bahwa agama (Islam) tidak

mengenal unsur-unsur paksaan. Hal ini berlaku mengenai cara, tindak laku,

sikap hidup dalam segala keadaan dan bidang, dan dipandang sebagai satu hal

yang pokok. Islam bukan saja mengajarkan supaya jangan melakukan

kekerasan atau paksaan, tapi diwajibkannya pula supaya seorang Muslim

menghormati agama-agama lain dan menghargai pemeluk-pemeluknya dalam

pergaulan.

Dalam Al-Qur'an banyak dijumpai ayat-ayat yang memerintahkan

supaya ummat Islam bersikap toleran, tasamuh.

Di antaranya ialah:

Page 93: Nurkhalis Majid

83

Artinya: Dan kalau Tuhan mau, niscaya orang yang ada di bumi ini akan

beriman seluruhnya. Apakah engkau hendak memaksa manusia

supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman? (Q.S. Yunus :

99)".

Pada ayat yang lain disebutkan:

Artinya: Dan janganlah kamu berbantah dengan orang-orang keturunan Kitab,

melainkan dengan cara yang lebih baik, kecuali orang-orang yang

bersalah diantara mereka. Dan katakan: Kami percaya kepada

wahyu .yang diturunkan kepada kamu, dan Tuhan kami dan Tuhan

kamu adalah Satu, dan kepada-Nya. Kami menyerahkan diri. (Q.s.

Al-Ankabut: 46)".

Ada lagi ayat yang menyatakan:

Artinya: Tuhan tidak melarang kamu berbuat kebaikan dan bersikap jujur

terhadap orang-orang yang tidak memerangi kamu karena agama

dan tidak mengusir kamu dari kampungmu. Sesungguhnya Tuhan

itu mencintai orang-orang yang jujur. Hanyalah Tuhan melarang

kamu terhadap orang-orang yang memerangi kamu karena agama

dan mengusir kamu dari kampungmu dan membantu (orang-orang

lain) mengusir kamu, mengambil mereka menjadi pemimpin. Dan

barangsiapa yang mengambil mereka menjadi pemimpin, itulah

orang-orang yang zalim". (Q.S. Al-Mumtahanah: 8-9).

Pada ayat-ayat tersebut di atas diletakkan prinsip-prinsip ajaran Islam

bagaimana sikap hidup seorang Muslim memandang dan menghadapi agama-

agama lain dan pemeluk-pemeluknya. Prinsip itu terdiri dari empat patokan.

Page 94: Nurkhalis Majid

84

Pertama, harus menjauhkan sikap paksaan, tekanan, intimidasi dan lain-lain.

Islam tidak mengenal tindakan kekerasan. Bukan saja dalam usaha

menyakinkan orang lain terhadap kemurnian ajaran Islam, tapi juga dalam

tindak laku dan pergaulan dengan pemeluk-pemeluk agama lain, harus

dihindarkan cara-cara paksaan dan kekerasan itu. Kedua, Islam memandang

pemeluk-pemeluk agama lain, terutama orang-orang keturunan Kitab,

mempunyai persamaan landasan-akidah, yaitu sama-sama mempercayai

Tuhan Yang Maha Esa. Al-Qur'an mengakui kebenaran dan kesucian kitab

Taurat dan Injil dalam keadaannya yang asli (orisinil). Ketiga, Islam

mengulurkan tangan persahabatan terhadap pemeluk-pemeluk agama lain,

selama pihak yang bersangkutan tidak menunjukkan sikap dan tindakan

permusuhan.

Apabila pemeluk-pemeluk agama lain memulai melakukan tindakan

kekerasan, maka pada saat itu diperkenankan menghadapi kekerasan itu, kalau

perlu dengan kekerasan pula, dalam arti mempertahankan diri (defensif).

Keempat, approach (pendekatan) terhadap pemeluk-pemeluk agama lain

untuk meyakinkan mereka terhadap kebenaran ajaran Islam, haruslah

dilakukan dengan diskusi yang baik, sikap yang sportif dan elegan.

Jelaslah, bahwa toleransi Islam itu ada batas-batasnya, ada ketentuan-

ketentuan yang berdasarkan hukum menurut ajaran Islam. Dalam pada itu,

tentu saja sikap toleransi itu tidak boleh merusak atau merugikan kepada kaum

Muslimin sendiri. Islam tidak mengajarkan, "apabila ditampar orang pipi

kananmu, berikan pula pipi kirimu untuk ditampar" Sikap yang demikian,

menurut pandangan Islam, adalah lambang kelemahan, tidak tahu kehormatan

diri.

Tetapi, Islam juga tidak mengajarkan supaya menampar kembali pipi

orang yang menampar pipi kita itu. Dalam peristiwa seperti itulah ditunjukkan

sikap toleransi itu, dengan tidak melakukan pembalasan yang serupa, tapi

menyadarkan orang yang bersangkutan sedemikian rupa sehingga hati

nuraninya sendiri mengakui bahwa perbuatannya menampar pipi orang lain itu

Page 95: Nurkhalis Majid

85

tidak layak, dan kemudian menyesali perbuatannya itu. Syukur kalau dia

akhirnya meminta maaf.

Islam memberikan perlindungan terhadap pemeluk-pemeluk agama

lain yang ingin hidup secara damai dalam masyarakat atau pemerintahan yang

dikuasai oleh kaum Muslimin. Mereka diperlakukan dengan cara yang baik

dan adil, seperti yang berlaku terhadap orang-orang Yahudi dan Nasrani di

zaman pemerintahan Rasulullah di Madinah. Orang-orang Yahudi dan Nasrani

itu diberikan kebebasan menjalankan agamanya seperti kebebasan yang

diberikan kepada orang-orang Islam sendiri. Hak-hak mereka dilindungi dan

dijamin dalam suatu bentuk perjanjian. Menurut hukum antar-golongan dalam

Islam, mereka itu dinamakan kaum Zimmi, yaitu orang-orang yang mendapat

jaminan, perlindungan dari masyarakat Islam.

Kaum Muslimin diikat oleh suatu peraturan supaya hidup bertetangga

dan bersahabat dengan orang-orang yang memeluk agama lain itu. Hak-hak

mereka tidak boleh dikurangi dan tidak boleh dilanggar undang-undang

perjanjian itu. Apabila orang-orang yang memeluk agama lain itu memajukan

suatu pengaduan atau perkara, maka pengaduan itu wajib diperiksa dan

ditimbang secara adil, serupa seperti cara pelayanan terhadap pengaduan

seorang Muslim. Dilarang menganiaya, mengusik, mengganggu dan menghina

pemeluk-pemeluk agama lain itu. Juga dilarang menahan dan merampas hak-

milik mereka.

Perlindungan yang harus diberikan oleh kaum Muslimin terhadap

mereka adalah sedemikian rupa, sehingga orang-orang Islam diwajibkan

memberikan pertolongan apabila ada orang lain yang mengganggu

kemerdekaan agama, kemerdekaan pribadi dan kemerdekaan golongan

mereka. Dalam memperoleh hak-hak yang demikian luas, mereka hanya

mempunyai kewajiban membayar jizyah, yaitu semacam pajak, yang

fungsinya sebagai tanda pengakuan bahwa mereka patuh kepada peraturan-

peraturan masyarakat Islam. Apabila dibandingkan dengan kewajiban-

kewajiban kaum Muslimin sendiri, maka kewajiban yang dipikulkan kepada

pemeluk-pemeluk agama lain itu adalah amat ringan dan minim sekali. Sebab

Page 96: Nurkhalis Majid

86

mereka tidak diwajibkan membayar zakat seperti yang diwajibkan kepada

orang-orang Islam. Apabila ada serangan pihak musuh terhadap negara,

mereka tidak diwajibkan masuk dinas militer (militie-plicht) seperti yang

dipikulkan di atas pundak kaum Muslimin. Andaikata mereka secara sukarela

turut dalam satu peperangan mempertahankan negara, maka mereka mendapat

hak menerima pembagian harta-rampasan perang.

Demikianlah di antara perlindungan-perlindungan yang bersifat hak-

hak azasi, yang diberikan oleh Islam kepada pemeluk-pemeluk agama lain

yang ingin tinggal damai di dalam satu masyarakat (negara) Islam.

Keunikan dari pendapat Nurcholish Madjid tentang fanatisme dan

toleransi beragama adalah terletak pada batasan-batasan dalam bentuk

fanatisme dan toleransi beragama itu sendiri, di mana fanatisme dan toleransi

beragama dapat dikatakan positif maupun negatif. Fanatisme beragama

dikatakan negatif bilamana seseorang terlalu kuat dan memaksakan segala

kehendaknya tanpa mau tahu tentang pendapat dan paham orang lain yang

berbeda.

Toleransi beragama dikatakan negatif apabila seseorang terlalu

membuka peluang dengan selebar-lebarnya tentang apa yang orang lakukan

tanpa melihat norma-norma yang berlaku, sehingga dapat dikatakan bahwa

toleransi beragama itu negatif bila dalam memberikan kebebasan tanpa

mempunyai batasan-batasan sebagaimana yang diatur dalam agama.

Fanatisme dan toleransi beragama dikatakan positif, bilamana

seseorang dalam memegang dan mempertahankan ajaran yang diyakininya

secara konsisten, namun tetap menghargai dan menghormati akan ajaran dan

pendapat orang lain dengan bersumber pada kaidah-kaidah agama yang

berlaku, karena pada dasarnya setiap agama menganjurkan akan hidup rukun

demi tercapainya hidup yang harmonis dalam bermasyarakat dan beragama.

Adapun yang membedakan corak pemikiran Nurcholish Madjid

dengan ulama lain yaitu pertama, ia tokoh yang menggabungkan antara fiqih

dan Hadis. Kedua, Ia bersifat moderasi. Di antara karakteristik Fiqih

Nurcholish Madjid adalah pandangannya yang bersifat moderat. Karakteristik

Page 97: Nurkhalis Majid

87

ketiga, yaitu memberi kemudahan. Salah satu karakteristik Fiqih Nurcholish

Madjid yang sangat menonjol adalah memberi kemudahan. Karakteristik

keempat, yaitu realistis. Salah satu karakteristik fiqih Nurcholish Madjid

adalah sikapnya yang realistis. Fiqih Nurcholish Madjid semuanya bertumpu

kepada apa yang disebut Fiqih Realitas. Maksudnya adalah fiqih yang

didasarkan pada pertimbangan antara maslahat dan mafsadat (mudharat).

Masalah ini sangat penting bagi seorang fakih, dia diwajibkan untuk

mendalami serta tahu banyak tentang masalah ini.

Karakteristik kelima, bebas dari fanatisme Madzhab. Salah satu

karakteristik utama fiqih Nurcholish Madjid adalah bebas dari fanatisme

madzhab. Artinya ialah dalam fatwa-fatwa dan bahasan-bahasan fiqihnya

sama sekali beliau tidak mendasarkan pada madzhab tertentu.19

B. Relevansi Toleransi Beragama Perspektif Nurcholish Madjid bagi

Kehidupan Keagamaan di Indonesia

Dewasa ini masyarakat Indonesia sering dikagetkan dengan banyak

peristiwa di luar prediksi nalar manusia. Banyak kejadian jika ditelusuri lebih

jauh dan mendalam merupakan "simbol-simbol" dari apa yang selama ini telah

dilakukan dalam bermasyarakat. Sebagai masyarakat beragama sering

diguncang dengan banyaknya peristiwa yang sentimentil, rasial, dan agama

dengan upaya-upaya mengail di "air keruh" sehingga tampaknya bermuatan

keagamaan. Peristiwa yang sama sekali bukan bermuara agama, berubah

menjadi peristiwa yang sarat dengan sentimen-sentimen keagamaan, sehingga

tidak jarang membuyarkan anganan bahwa agama adalah pembawa damai dan

keselamatan bersama. Agama menjadi semacam ancaman yang bisa dengan

tiba-tiba datang memberangus kehidupan bersama di bumi ini. Perilaku umat

beragama tampak tidak bersesuaian dengan anjuran suci agama-agama.

Suasana paradoks sering mengiringi kehidupan umat. Lebih-lebih bagi mereka

yang merasa dengan melakukan "pelarangan" atau "penghalangan" terhadap

19

Ibid, hlm. 115

Page 98: Nurkhalis Majid

88

sesama pemeluk agama adalah sebuah investasi pahala. Perbuatan

menghalangi atau melarang adalah jihad yang didorong oleh justifikasi agama.

Suasana semacam ini akhirnya membawa pada keterbelakangan kehidupan

agama.20

Perasaan sentimentil pada umat beragama yang telah mengental tidak

berdiri sendiri, ia mendapat legitimasi kekuasaan yang merupakan justifikasi

terkuat, karena disahkan untuk "memaksakan" sebuah kebijakan, sehingga

pada ujung-ujungnya antara umat beragama pun bisa saling "membunuh" atas

nama agama. Sumber legitimasi tersebut barangkali yang memang perlu

mendapatkan perhatian serius, sehingga tidak mendorong agama-agama untuk

"memanfaatkan" momen-momen tertentu yang digunakan sebagai senjata mati

untuk menelikung saudara sebangsa se-Tanah Air.

Kekuatan legitimasi dari wacana agama menjadi semakin kuat

dominasinya dalam sebuah negara yang memang dengan sengaja

"memanfaatkan" agama sebagai sumber justifikasi aras apa yang hendak

difatwakan, walaupun salah satu/sebagian dari anggota masyarakat (warga

negara) itu dirugikan atau banyak orang keberatan karena itu di luar nalar

manusia. Karena merasa mendapatkan angin dari pihak agama (dogma-dogma

agama) dan sekaligus dukungan sebuah rezim politik tertentu maka kebijakan

tersebut tetap ditetapkan/difatwakan secara tegas.21

Tragis memang, dan mendistorsi wacana agama, tetapi itu sering

menjadi realita yang tidak bisa ditolak kehadirannya. Wacana agama

dikerangkeng dalam sangkar besi yang teramat kuat sehingga tidak terjamah

masyarakat awam dan menjadi sangat eksklusif serta mencekam setiap orang

yang beragama, namun tidak memiliki akses politik kekuasaan. Atau hanya

sedikit akses politik karena telah ditutup segala pintu dan wilayah sehingga

tidak bisa memasuki, karena dijaga "pengawal-pengawal" tradisi politik-

keagamaan yang dominan.

20

Adeng Muchtar Ghazali, Agama dan Keberagamaan dalam Konteks Perbandingan

Agama, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), hlm. 167-182 21

Alwi Shihab, Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, (Bandung: Mizan,

2001), hlm 112-115.

Page 99: Nurkhalis Majid

89

Jika konsep toleransi yang digulirkan Nurcholish Madjid dihubungan

dengan kehidupan keagamaan di Indonesia, maka jika pendapatnya di

apresiasi dan mendapat tempat serta penerimaan maka kedamaian dalam

beragama bisa terwujud, setidaknya konflik horisontal yang bernuansa agama

dapat diperkecil. Masalah ini bila melihat kondisi kehidupan umat antar agama

di Indonesia maka dapat dijadikan sebuah pelajaran, khususnya terhadap

beberapa peristiwa yang telah terjadi. Menjelang tutup tahun 1996, bangsa

Indonesia dihentakkan oleh tiga peristiwa kekerasan yang digolongkan

sebagai SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan). Kerusuhan terakhir

terjadi di Sanggau Ledo, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, pada 30

Desember 1996 dengan akibat lima orang tewas dan ratusan warga harus

diungsikan. Kedua peristiwa lainnya di tahun 1996 terjadi di daerah basis

Nahdlatul Ulama (NU) di Jawa. Pertama, peristiwa kerusuhan yang melanda

Situbondo pada 10 Oktober 1996. Dalam peristiwa ini terjadi perusakan

rumah-rumah ibadah non-Islam oleh Sejumlah massa yang mengamuk.

Kerugian ditaksir Rp 629 juta. Sejumlah orang yang disangka perusuh telah

ditangkap dan ditahan, bahkan sejak 16 Desember 1996 telah mengadili 10

tersangka. Salah seorang tersangka yang ditahan telah meninggal dunia.

Keterangan pihak aparat keamanan menyatakan bahwa tersangka itu

meninggal dunia akibat sakit.22

Kedua, ledakan kerusuhan yang melanda Tasikmalaya pada 26-27

Desember 1996. Berawal dari penganiayaan terhadap guru sebuah pesantren

yang kemudian berbelok menjadi kerusuhan anti-polisi serta sekaligus

perusakan rumah-rumah ibadah non-Islam, anti-Cina dan perusakan dan

pembakaran harta benda. Kerusuhan ini sempat merembet ke Ciawi. Bupati

Tasikmalaya mengungkapkan kerugian material ditaksir Rp 84,963 miliar.

Dari peristiwa-peristiwa itu, perlu disimak dengan arif dan jernih

karena awalnya bukanlah masalah perbedaan SARA, namun ujungnya

bermuara pada SARA. Hal yang patut ditelusuri adalah keindonesiaan yang

22

Nur Achmad (Editor), Pluralitas Agama Kerukunan dalam Keragaman, (Jakarta:

kompas, 2001), hlm. 35-39.

Page 100: Nurkhalis Majid

90

berbaur dalam keanekaragaman suku, etnis, ras, dan agama pada dasarnya tak

punya akar secara politik, namun dengan gampang memercikkan api.

Setidaknya bisa menduga bahwa sumbernya bukan ihwal SARA.

Peristiwa-peristiwa di atas akan lebih lengkap bila menengok

peristiwa sejak jatuhnya kekuasaan Orde Baru, setiap hari masyarakat banyak

disuguhi berita yang cukup mengejutkan seperti keberingasan dan agresivitas

massa bernuansa SARA (agama) yang terjadi di beberapa daerah, baik dalam

skala masif seperti di Maluku, Ambon maupun bersifat insidental seperti di

Mataram dan Doulas Cipayung. Selain agresivitas massa bernuansa SARA

(agama), juga muncul agresivitas massa yang dipicu oleh konflik bermotif

ekonomi dan sosial seperti antara buruh dan majikan yang diikuti oleh

tindakan perusakan serta tindakan penghakiman sendiri yang masih sering

muncul di tengah masyarakat. Masalah ini terus berkembang terutama akhir-

akhir ini berbagai peristiwa yang terkait dengan isu agama telah memunculkan

beberapa asumsi dan pandangan yang menarik untuk ditelaah. Paling tidak ada

dua asumsi yang dapat diklasifikasikan secara teoretis.23

Pertama, asumsi yang meletakkan budaya (kultural) sebagai penentu

bagi berlangsungnya transformasi sosial. Berlangsung atau tidaknya sebuah

transformasi dan dalam bentuk apa transformasi itu berlangsung, ditentukan

oleh bagaimana budaya itu dibentuk. Khusus kasus di Situbondo, misalnya,

Abdurrahman Wahid melihat kesalahan pada pola pembinaan dan pengarahan

para pemimpin agama (Islam) kepada umatnya. Secara kultural umat Islam

diarahkan pada sikap eksklusif yang menegasikan keberadaan yang lain.

Alternatif yang ditawarkan oleh perspektif kultural ini adalah pembinaan dan

pengembangan sumber daya umat secara positif. Sehingga terbentuk kerja

sama dan kerukunan antarumat beragama. Khusus dalam konteks ini Gus Dur

masih konsisten dengan pandangannya sebagai sosok modernis.

Kedua, asumsi yang meletakkan struktur sosial sebagai pemicu

munculnya peristiwa-peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini. Dalam konteks ini

23

Syamsul Ma'arif, Pendidikan Pluralisme Di Indonesia, (Yogyakarta: Logung Pustaka,

2005), hlm. 13-14.

Page 101: Nurkhalis Majid

91

dapat dilihat asumsi yang dilontarkan oleh Tarmizi Taher, Amir Santoso, dan

Hasan Basri. Peristiwa yang berlatar belakang keagamaan hanyalah

konsekuensi dari akumulasi persoalan atau, meminjam istilah Tarmizi Taher,

limbah politik. Bahkan menurut Amir Santoso ia merupakan bentuk rekayasa

sistematis yang dimotori pihak-pihak tertentu. Masing-masing pandangan

tersebut memiliki konsekuensi dalam menelaah dan menawarkan solusi bagi

proses pembinaan kerukunan umat beragama khususnya, dan dalam

menghindari terulangnya kembali peristiwa serupa. Keduanya memiliki

kesamaan dalam melihat posisi agama sebagai realitas yang memiliki saham

bagi terjadinya gejolak (baca: transformasi) sosial, hanya kadar pengaruhnya

berbeda. Kejutan ini lebih menghentakkan lagi yaitu terjadinya peledakan bom

pada sejumlah gereja umat Kristiani dan berbagai intimidasi secara

terselubung.

Dalam konteks seperti itu, bagaimana wacana agama bisa kita hadirkan

kembali sebagai wacana yang tidak seram dan mencekam penganut agama-

agama, agaknya perlu dipikirkan bersama. Pemegang otoritas dominan atas

tafsir suci teks agama barangkali perlu dikonstruksikan kembali, bahkan kalau

memang diperlukan didekonstruksi sehingga tidak membelenggu wacana

agama itu sendiri.24

Tugas berat menghadang para penganut agama-agama untuk memilih

suatu pilihan yaitu toleransi dan membuang jauh-jauh sikap fanatisme. Dari

dasar inilah maka konsep Nurcholish Madjid masih relevan untuk

diaplikasikan di Indonesia sebagai bangsa yang plural dalam berbagai aspek

terutama kehidupan agamanya.

Apabila toleransi beragama menurut Nurcholish Madjid dihubungkan

dengan Kehidupan Keagamaan di Indonesia, maka pendapat Nurcholish

Madjid dapat sedikitnya meredam konflik antar agama, sehingga kehidupan

agama dapat hidup secara damai dan berdampingan.

Selain dari ayat al-Qur'an yang menerangkan tentang perintah toleransi

juga Nabi saw sendiri telah menguatkan dalam berbagai macam sabda yang

24

Ibid, hlm. 39.

Page 102: Nurkhalis Majid

92

menganjurkan untuk selalu bertoleransi, misalnya dengan bersikap lemah

lembut terhadap sesama manusia. Hal ini sebagaimana sabda beliau sebagai

berikut:

Artinya: Dari Abu Hurairah ra. Bahwa Rasulullah Saw. bersabda:

“aku wasiatkan kepada kamu sekalian agar kamu selalu

bertakwa kepada Allah dan berlaku baik terhadap setiap

muslim. Perangilah dengan nama Allah di jalan Allah

setiap orang yang ingkar kepada Allah. Jangan kamu

berkhianat, jangan kanu berlaku kejam, dan jangan kamu

bunuh anak kecil, kaum wanita maupun orang tua bangka.

Jangan kamu bunuh orang yang mengasingkan dirinya

dalam kuilnya dan jangan kamu rusak pohon kurma,

pohon-pohon lainnya dan jangan kamu hancurkan rumah”.

(H.R. al-Bukhari).

Artinya: Telah mengabarkan kepada kami dari Harmalah bin

Yahya al-Tujibi dari Abdullah bin Wahb dari Haiwah

dari Ibnu al-Had dari Abu Bakr bin Hazm dari 'Amrah

binti Abdurrahman dari Aisyah, isteri Nabi s.a.w.

sesungguhnya Rasulallah s.a.w. bersabda: 'Wahai

Aisyah, sesungguhnya Allah itu Maha Lembut. Dia suka

25

Al-Imam Abu Abdillah Muhammad ibn Ismail ibn al-Mugirah ibn Bardizbah al-

Bukhari, Sahih al-Bukhari, Beirut Libanon: Dar al-Fikr, 1410 H/1990 M, hlm. 235

26Al-Imam Abul Husain Muslim ibn al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Sahîh

Muslim, Juz. 4, Mesir: Tijariah Kubra, tt., hlm Ibid., hlm. 23

Page 103: Nurkhalis Majid

93

akan kelembutan. Allah akan memberikan balasan dari

kelembutan yang tidak Dia berikan atas sikap keras dan

kasar serta sikap-sikap lainnya (HR. Muslim).

Artinya: Telah mengabarkan kepada kami dari Syu'bah dari al-

miqdam bin Syuraih bin Hani' dari Bapanknya dari

Aisyah, isteri nabi s.a.w. dari nabi s.a.w. beliau

bersabda: "Sesungguhnya berlaku lembut terhadap

sesuatu apapun itu akan dianggap elok. Dan merenggut

sesuatu dengan kekerasan itu akan dianggap buruk (HR.

Muslim).

Artinya: Telah mengabarkan kepada kami dari Syu'bah bercerita:

"Saya pernah mendengar Al Miqdam bin Syuraih bin Hani'

meriwayatkan sebuah hadits yang senada dengan hadits di

atas. Dalam haditsnya ditambahkan: "Aisyah menunggang

seekor onta, tetapi sukar sekali ia menaikinya. Terpaksa

Aisyah harus mengulang-ulang beberapa kali karena tubuh

binatang tersebut bergerak-gerak terus. Melihat hal itu

Rasulallah s.a.w. bersabda kepada Aisyah: "Berlaku

lembutlah". Kemudian Al Miqdam menuturkan cerita yang

sama seperti hadits di atas. (HR. Muslim).

Apabila diperhatikan hadis-hadis di atas, dapat dimengerti bahwa Nabi

saw adalah seorang yang paling tinggi budi pekertinya. Nabi saw berwasiat

27

Ibid., 28

Ibid.,

Page 104: Nurkhalis Majid

94

sedemikian ini agar dapat dijadikan sebagai pedoman oleh umatnya untuk

selalu bertoleransi kepada siapa saja walaupun hal itu kepada musuh. Beliau

tidak saja berwasiat untuk berbuat kepada orang yang hidup saja. Bahkan

beliau dalam hadis tersebut menganjurkan umatnya untuk berbuat baik sampai

kepada benda mati sekalipun seperti pohon dan rumah. inilah salah satu

contoh dari toleransi yang diajarkan oleh Nabi saw kepada umatnya. Hal

seperti ini telah diakui oleh musuh-musuh Islam sendiri bahwa Nabi saw

adalah seorang yang paling tahu bertoleransi.

Page 105: Nurkhalis Majid

95

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian dalam bab pertama sampai keempat, maka dapat

diambil kesimpulan:

1. Pendapat Nurcholish Madjid patut didukung karena pemikiran dan

analisisnya itu sesuai dengan ajaran Islam yang sangat menghormati

keberadaan agama lain. Sebenarnya Islam merupakan pelopor toleransi,

dan Islam sangat mencela sikap fanatisme dalam arti yang negatif yaitu

membabi buta dan mengklaim kebenaran sebagai otoritas sendiri.

2. Apabila konsep toleransi yang digulirkan Nurcholish Madjid dihubungan

dengan kehidupan keagamaan di Indonesia, maka jika pendapatnya di

apresiasi dan mendapat tempat serta penerimaan maka kedamaian dalam

beragama bisa terwujud, setidaknya konflik horisontal yang bernuansa

agama dapat diperkecil. Masalah ini bila melihat kondisi kehidupan umat

antar agama di Indonesia maka dapat dijadikan sebuah pelajaran,

khususnya terhadap beberapa peristiwa yang telah terjadi. Dengan kata

lain, apabila toleransi beragama menurut Nurcholish Madjid dihubungkan

dengan Kehidupan Keagamaan di Indonesia, maka pendapat Nurcholish

Madjid dapat sedikitnya meredam konflik antar agama, sehingga

kehidupan agama dapat hidup secara damai dan berdampingan.

B. Saran-Saran

1. Untuk Masyarakat

Hendaknya masyarakat dapat mempertimbangkan pemikiran

Nurcholish Madjid terutama terhadap gagasannya tentang toleransi

beragama.

Page 106: Nurkhalis Majid

96

2. Untuk Pemerintah

Pemerintah sebagai institusi penyelenggara negara dan pemerintah

mempunyai sejumlah kewenangan untuk membuat kebijakan-kebijakan

yang strategis. Karena itu konsep Nurcholish Madjid hanya dapat

terwujud apabila pemerintah membuat kebijakan yang dapat meninggikan

nilai keislaman dalam konteks kehidupan beragama.

3. Untuk Perguruan Tinggi

Meskipun konsep Nurcholish Madjid tentang toleransi beragama

kurang bersifat operasional dan kurang rinci namun pemikirannya dapat

dijadikan studi banding oleh peneliti lain. Untuk itu perlu adanya kajian

yang lebih dalam terhadap konsep Nurcholish Madjid. Penjabaran lebih

lanjut akan memudahkan dalam menangkap pikiran-pikiran Nurcholish

Madjid.

C. Penutup

Dengan mengucapkan puji dan syukur kepada Allah SWT, atas rahmat

dan ridhanya pula tulisan ini dapat diangkat dalam bentuk skripsi. Peneliti

menyadari bahwa di sana-sini terdapat kesalahan dan kekurangan baik dalam

paparan maupun metodologinya. Karenanya dengan sangat menyadari, tiada

gading yang tak retak, maka kritik dan saran membangun dari pembaca

menjadi harapan peneliti. Semoga Allah SWT meridhainya.

Page 107: Nurkhalis Majid

DAFTAR PUSTAKA

Abbas, Zainal Arifin, Perkembangan Pikiran Terhadap Agama, jilid 1, (Jakarta:

Pustaka al-Husna, 1984)

Abdul Mu’in, Taib Thahir, Ilmu Kalam, (Jakarta: Wijaya, 1992)

Achmad, Nur, (ed), Pluralitas Agama Kerukunan dalam Keragaman, (Jakarta:

Penerbit Kompas, 2001)

Ali, A. Mukti, Ilmu Perbandingan Agama Di Indonesia (Bandung: Mizan, 1996)

___________, Memahami Beberapa Aspek Ajaran Islam, (Bandung: Mizan,

1991)

Al-Maududi, Abul A’la, Khilafah dan Kerajaan, Terj. Muhammad Al-Baqir,

(Bandung: Mizan 1996)

Almuhdar, Yunus Ali, Toleransi-Toleransi Islam, (Bandung: Iqra, 1983)

Amirin, Tatang M., Menyusun Rencana Penelitian, (Jakarta: PT. Raja Grafindo

Persada, 1995)

Dahlan, Abdul Aziz, et.al, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru

Van Hoeve, 1997)

Daradjat, Zakiah, Perbandingan Agama (Jakarta: Bumi Aksara, 1994)

Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002)

Echols, John M., dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia An English-

Indonesia Dictionary, (Jakarta: Gramedia, 2000)

Ghazali, Adeng Muchtar, Agama dan Keberagamaan dalam Konteks

Perbandingan Agama, (Bandung: Pustaka Setia, 2004)

_______, Pemikiran Islam Kontemporer Suatu Refleksi Keagamaan Yang

Dialogis, (Bandung: Pustaka Setia, 2005)

Goddard, Huge, Menepis Standar Ganda: Membangun Saling Pengertian

Muslim-Kristen, Terj. Ali Noerzaman, (Yogyakarta: Qalam, 2000)

Hadi, Sutrisno, Metodologi Research, Jilid 1, (Yogyakarta: Andi, 2001)

Haekal, Muhammad Husain, Sejarah Hidup Muhammad, Terj. Ali Audah,

(Jakarta: Litera antar Nusa, 2003)

Page 108: Nurkhalis Majid

Harahap, Syahrin, dan Hasan Bakti Nasution, Ensiklopedi Aqidah Islam, (Jakarta:

Prenada Media, 2003)

Harian Suara Merdeka, 3 Januari 2006

Hart, Michhael , 998, Seratus Tokoh Yang Paling Berpengaruh Dalam sejarah,

Terj. Mahbub Djunaidi, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1998)

Hitti, Philip K., History of The Arabs, Terj. R.Cecep Lukman Yasin dan Dedi

Slamet Riyadi, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2005)

Kahmad, Dadang, Metode Penelitian Agama Perspektif Ilmu Perbandingan

Agama, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000)

Koencaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: PT Gramedia

Pustaka Utama), 1970

____________, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, (Jakarta: Dian Rakyat, 1972)

Kusuma, Hilman Hadi, Antropologi Agama Bagian I (Pendekatan Budaya

Terhadap Aliran kepercayaan, Agama Hindu, Buddha, Kong Hu Chu, di

Indonesia), (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1993)

Ma'arif, Syamsul, Pendidikan Pluralisme Di Indonesia, (Yogyakarta: Logung

Pustaka, 2005)

Madjid, Abdul, et.al, al-Islam, Jilid I, (Malang: Pusat Dokumentasi dan Publikasi

Universistas Muhammadiyah, 1989)

Madjid, Nurcholish, Islam Doktrin Dan Peradaban, (Jakarta: Yayasan Wakaf

Paramadina, 2000)

______, Masyarakat Religius, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina Paramadina,

2000)

______, Dialog Keterbukaan Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik

Kontemporer, (Jakarta: Paramadina, 1998).

Moleong, Lexy J., Metode Penelitian Kulitatif, (Bandung: PT Remaja Rosda

Karya), 2001

Nasution, Harun, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, (Jakarta: UI

Press, 1985)

________, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran (Bandung: Mizan, 2000)

Nasution, M. Yunan, Pegangan Hidup bagian Jilid 3, (Solo: Ramadhani, tt)

Page 109: Nurkhalis Majid

Natsir, M., Islam dan Kristen di Indonesia, (Jakarta: Media Dakwah, 1983)

Nawawi, Hadari, Metode Penelitian Bidang Sosial, (Yogyakarta: Gajah Mada

University Press, 1991)

Nazir, Moh., Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia,1999)

Partanto, Pius A., dan M. Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya:

Arkola, 1994)

Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: PN Balai

Pustaka, Cet. 5, 1976)

Razak, Nasruddin, Dienul Islam, (Bandung: PT.al-Ma'arif, 1973)

Romdhon, et. al, Agama-agama di Dunia, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga ,

Press, 1988

Shahab, Husein, "Kata Pengantar" dalam Andito (Editor), Atas Nama Agama:

Wacana Agama Dalam Dialog Bebas Konflik, (Bandung: Pustaka

Hidayah, 1998)

Shihab, M. Quraish, Atas Nama Agama: Wacana Agama Dalam Dialog Bebas

Konflik, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1988)

Shihab, Alwi, Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama. (Bandung:

Mizan, 2001)

Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta:

Pustaka Sinar Harapan, 1993)

Syalabi, A., Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jilid I, (Jakarta: AL-Husna Zikra,

1997)

Talimah, Ishom, Manhaj Fikih Yusuf al-Qaradhawi, Terj. Samson Rahman,

(Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001)

Teall, Edward N. A.M., and C. Ralph Taylor A.M. (Editor), Webster's New

American Dictionary, (New York: Book, Inc, 1958)

Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan

Terjemahnya, Departemen Agama, 1986

Page 110: Nurkhalis Majid

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : M. Subkhan

Tempat / Tanggal Lahir : Tegal, 1 Januari 1985

Alamat Asal : Kalikangkung RT 1 RW 2 Tegal

Pendidikan : - MI Kalikangkung Tegal lulus tahun 1999

- MTs Kalikangkung Tegal lulus tahun 2001

- MAK Kalikangkung Tegal lulus tahun 2004

- Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang

Angkatan 2004

Demikianlah daftar riwayat hidup ini saya buat dengan sebenarnya untuk dapat

dipergunakan sebagaimana mestinya.

M. Subkhan