015-pt bio farma

44
BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA HASIL PEMERIKSAAN ATAS KEGIATAN PRODUKSI, PENJUALAN DAN INVESTASI TAHUN BUKU 2004 DAN 2005 (SEMESTER I) PADA PT BIO FARMA (PERSERO) DI BANDUNG Nomor : 08/AUDITAMA V/ATT/03/2006 Tanggal : 14 Maret 2006

Upload: mbdiputra

Post on 31-Dec-2015

388 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: 015-PT Bio Farma

BADAN PEMERIKSA KEUANGAN

REPUBLIK INDONESIA

HASIL PEMERIKSAAN

ATAS KEGIATAN PRODUKSI, PENJUALAN

DAN INVESTASI TAHUN BUKU 2004 DAN 2005 (SEMESTER I)

PADA

PT BIO FARMA (PERSERO)

DI BANDUNG

Nomor : 08/AUDITAMA V/ATT/03/2006 Tanggal : 14 Maret 2006

Page 2: 015-PT Bio Farma

Daftar Isi Hal Resume Hasil Pemeriksaan ……….……………………………………………….. i

I. GAMBARAN UMUM

1. Tujuan pemeriksaan …………………………………………………....... 1 2. Sasaran pemeriksaan …………………………………………………….. 1 3. Metode pemeriksaan …………………………………………………….. 1 4. Jangka waktu pemeriksaan ……………………………………………… 1 5. Obyek pemeriksaan ……………………………………………………... 1

II . TEMUAN PEMERIKSAAN

1. Kegiatan produksi

a. PT Bio Farma belum sepenuhnya menindaklanjuti arahan RUPS dalam mencari pemasok baru pengadaan ginjal fetus ………..……………..…

7

b. Terdapat beberapa produk PT Bio Farma dijual dengan harga dibawah harga jual pabrik ………………………………....................………….

9

c. Penyelesaian Kerja Sama Operasi (KSO) antara PT Bio Farma dengan PT Inkor Husada Utama berlarut-larut ………...........................………

12

d. Pengadaan bahan kimia yang melebihi kebutuhan produksi mengakibatkan PT Bio Farma mengalami kerugian sebesar Rp1.737.790.664,85 ……………………………………………………

14 e. PT Bio Farma belum memenuhi kewajiban Pajak Pertambahan Nilai

(PPN) atas pengadaan jasa konsultasi ………………………………….

17

2. Kegiatan penjualan

a. Pengeluaran biaya monitoring pemasaran tahun 2004 dan 2005 (s.d. Agustus) sebesar Rp5.451.000.000,00 belum transparan........................

b. Piutang sebesar Rp1.132.012.099,00 kepada PT Mitra Medika Pharmalab penyelesaiannya berlarut-larut..............................................

21

23

3. Kegiatan investasi

a. Penyelesaian pekerjaan jasa konsultan penyempurnaan sistem dan prosedur akuntansi berlarut-larut ……………………………….............

26

b. Pemborongan pekerjaan pembangunan Gedung Litbang tidak sesuai dengan pedoman pengadaan barang dan jasa, dan addendum perpanjangan waktu tidak sesuai dengan perjanjian.................................

32

Page 3: 015-PT Bio Farma

RESUME HASIL PEMERIKSAAN

Page 4: 015-PT Bio Farma

RESUME HASIL PEMERIKSAAN ATAS

KEGIATAN PRODUKSI, PENJUALAN DAN INVESTASI PADA

PT BIO FARMA (PERSERO) DI BANDUNG

Semester : II Tahun Anggaran 2005

Berdasarkan Surat Tugas No. 63/ST/VII-XV.1/9/2005 tanggal 14 September 2005,

BPK RI telah memeriksa kegiatan produksi, penjualan dan investasi pada PT Bio Farma, tahun buku 2004 dan 2005 (Semester I).

Pemeriksaan dilakukan untuk menilai apakah kegiatan produksi, penjualan dan investasi telah dilaksanakan dengan tertib dan taat kepada sistem pengendalian intern yang berlaku.

Pokok-pokok hasil pemeriksaan dimaksud adalah sebagai berikut:

1. Kondisi dan perkembangan perusahaan

a. Laporan keuangan PT Bio Farma untuk tahun 2003 dan 2004 telah diperiksa oleh KAP dengan opini “wajar”.

b. Asset yang dikelola PT Bio Farma per tanggal 31 Desember 2003 sebesar Rp461.889,37 juta dan tahun 2004 sebesar Rp523.107,15 juta.

c. Laba setelah pajak PT Bio Farma tahun 2003 sebesar Rp99.810,4 juta dan tahun 2004 sebesar Rp117.874,61 juta.

d. Penjualan PT Bio Farma tahun 2003 sebesar Rp507.830,05 juta dan tahun 2004 sebesar Rp542.679,87 juta.

e. Tingkat kinerja perusahaan yang dihitung berdasarkan SK Menteri Negara BUMN RI Nomor: KEP-100/MBU/2002 tanggal 4 Juni 2002 untuk tahun 2003 dan 2004 adalah “Sehat (AA)” dengan skor masing-masing sebesar 90,20 dan 89,00.

2. Temuan pemeriksaan

a. Kegiatan produksi Realisasi harga pokok penjualan tahun 2004 dan 2005 (Semester I) masing-

masing sebesar Rp245.446,94 juta dan Rp52.624,89 juta atau 89,23% dan 25,78% dari anggarannya masing-masing sebesar Rp275.073,00 juta dan Rp204.106,00 juta.

Pemeriksaan atas kegiatan produksi dilakukan secara uji petik terhadap realisasi biaya produksi tahun 2004 dan 2005 (Semester I), yaitu sebesar Rp183.691,00 juta dan Rp38.327,95 juta atau 74,84% dan 72,83% dari realisasi.

Page 5: 015-PT Bio Farma

ii

Pemeriksaan terhadap kegiatan produksi menghasilkan 5 (lima) temuan pemeriksaan mengenai ketidaktaatan dan ketidakhematan yaitu : 1) PT Bio Farma belum sepenuhnya menindaklanjuti arahan RUPS dalam mencari

pemasok baru pengadaan ginjal fetus mengakibatkan kelangsungan produksi vaksin polio dapat terganggu dan dengan meningkatnya harga fetus kera ekor panjang yang merupakan media pembiakan vaksin polio mengakibatkan harga pokok produksi juga meningkat. Hal tersebut disebabkan Direksi PT Bio Farma belum mencari pemasok baru yang dapat menciptakan persaingan yang sehat.

2) Terdapat beberapa produk PT Bio Farma dijual dengan harga dibawah harga jual pabrik sehingga PT Bio Farma mengalami kerugian sebesar Rp577,02 juta. Hal tersebut terjadi karena harga jual ke segmen Pelayanan Kesehatan Dasar (PKD) sudah ditentukan oleh SK Menteri Kesehatan.

3) Penyelesaian Kerja Sama Operasi (KSO) antara PT Bio Farma dengan PT Inkor Husada Utama berlarut-larut sehingga PT Bio Farma tidak bisa memanfaatkan asetnya berupa tanah seluas 4.000 m2 yang masih dikuasai PT IHU. Hal itu terjadi karena Manajemen PT Bio Farma kurang proaktif untuk segera menyelesaikan masalah KSO tersebut.

4) Pengadaan bahan kimia yang melebihi kebutuhan produksi mengakibatkan perusahaan mengalami kerugian sebesar Rp1.737,79 juta. Hal tersebut di atas terjadi karena pengadaan bahan kimia yang dilakukan oleh PT Bio Farma tidak memperhatikan rencana kebutuhan untuk produksi.

5) PT Bio Farma belum memenuhi kewajiban Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas pengadaan jasa konsultasi. Kondisi tersebut mengakibatkan penerimaan negara dari sektor perpajakan dhi. PPN kurang diterima sebesar Rp229,63 juta, PT BF berpotensi dikenakan sanksi denda atas kelambatan penyetoran PPN sebesar Rp23,66 juta, PT BF tidak mempunyai pedoman dalam melakukan pembayaran fee konsultan dan PT BF berpotensi dikenakan sanksi menurut UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sehubungan PT BF tidak memiliki ijin tertulis dari Departemen Tenaga Kerja untuk mempekerjakan tenaga kerja asing. Kondisi tersebut di atas disebabkan Direksi PT Bio Farma kurang memperhatikan ketentuan perundang-undangan yang berlaku dalam hal mempekerjakan tenaga asing dan ketentuan pelunasan kewajiban perpajakannya, serta lalai membuat surat persetujuan konsultasi sebelum jasa konsultasi diberikan.

Page 6: 015-PT Bio Farma

iii

b. Kegiatan penjualan Realisasi penjualan tahun 2004 dan 2005 (Semester I) masing-masing sebesar

Rp542.679,87 juta dan Rp81.578,27 juta atau 95,93% dan 22,76% dari anggarannya masing-masing sebesar Rp565.694,00 juta dan Rp358.475,00 juta.

Pemeriksaan atas kegiatan penjualan dilakukan secara uji petik terhadap realisasi penjualan tahun 2004 dan 2005 (Semester I), yaitu sebesar Rp463.732,00 juta dan Rp35.884,00 juta atau 85,45% dan 43,99% dari realisasi penjualan.

Pemeriksaan terhadap kegiatan penjualan menghasilkan 2 (dua) temuan pemeriksaan mengenai ketidaktaatan, yaitu : 1) Pengeluaran biaya monitoring pemasaran tahun 2004 dan 2005 (s.d. Agustus)

sebesar Rp5.451,00 juta belum memenuhi prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas, walaupun sudah ada di RKAP tahun 2004 dan 2005. Hal tersebut terjadi untuk mendukung aktivitas pemasaran dan mengurus Berita Acara Penerimaan Vaksin yang selanjutnya akan digunakan sebagai dasar penagihan ke Kantor Pelayanan dan Perbendaharaan Negara (KPPN).

2) Piutang sebesar Rp1.132,01 juta kepada PT Mitra Medika Pharmalab penyelesaiannya berlarut-larut sehingga dana sebesar Rp1.132,01 juta tidak dapat dimanfaatkan. Hal tersebut terjadi karena manajemen tidak mempunyai sistem pengendalian penjualan kredit, tidak memperhatikan Perjanjian Distributorship dan tetap menjual meskipun PT MMP belum melunasi pembayaran untuk transaksi-transaksi sebelumnya.

c. Kegiatan investasi

Realisasi investasi tahun 2004 dan 2005 (Semester I) masing-masing sebesar Rp28.059,82 juta dan Rp35.145,60 juta atau 44,08% dan 61,03% dari anggarannya masing-masing sebesar Rp63.657,80 juta dan Rp57.584,00 juta.

Pemeriksaan atas kegiatan investasi dilakukan secara uji petik terhadap realisasi investasi tahun 2004 dan 2005 (Semester I), yaitu sebesar Rp19.519,00 juta dan Rp17.733,00 juta atau 69,56% dan 50,46% dari realisasi investasi.

Pemeriksaan terhadap kegiatan investasi menghasilkan 2 (dua) temuan pemeriksaan mengenai ketidaktaatan dan ketidakhematan yaitu : 1) Penyelesaian pekerjaan jasa konsultan penyempurnaan sistem dan prosedur

akuntansi berlarut-larut. Hal tersebut mengakibatkan perusahaan tidak bisa memanfaatkan sistem dan prosedur akuntansi yang dibuat sesuai dengan waktu yang disepakati, denda atas keterlambatan pekerjaan sebesar 3% dari nilai perjanjian atau sebesar Rp14,85 juta belum dapat ditagih dan pencairan atas

Page 7: 015-PT Bio Farma

iv

nilai jaminan pelaksanaan sebesar Rp24,75 juta dan sisa uang muka sebesar Rp52,97 juta belum dapat direalisasikan. Hal tersebut di atas terjadi karena manajemen tidak mengikuti pedoman pengadaan barang dan jasa yang berlaku, tidak teliti dalam memilih rekanan/vendor dalam penyempurnaan sistem dan prosedur akuntansi dan Direksi PT BF tidak tegas dalam mengambil langkah penyelesaian mengenai kelanjutan pekerjaan.

2) Pemborongan pekerjaan pembangunan Gedung Litbang dilakukan dengan tender ulang padahal tender pertama sudah sesuai dengan pedoman, dan addendum perpanjangan waktu tidak sesuai dengan perjanjian. Hal tersebut mengakibatkan PT BF menanggung risiko kenaikan harga dan tidak dapat memanfaatkan bangunan gedung litbang secara tepat waktu. Hal tersebut terjadi karena PT BF tidak mempunyai perencanaan yang matang dalam pengadaan pemborongan pekerjaan dan tidak mematuhi pedoman pelaksanaan pengadaan barang dan jasa maupun klausul-klausul dalam perjanjian.

Untuk lebih jelasnya dapat dibaca dalam Hasil Pemeriksaan.

BADAN PEMERIKSA KEUANGAN

Penanggung Jawab Audit,

Drs. Bambang Widjajanto

Page 8: 015-PT Bio Farma

HASIL PEMERIKSAAN

Page 9: 015-PT Bio Farma

HASIL PEMERIKSAAN ATAS

KEGIATAN PRODUKSI, PENJUALAN DAN INVESTASI PADA

PT BIO FARMA (PERSERO) DI BANDUNG

Semester : II Tahun Anggaran 2005

I. GAMBARAN UMUM

1. Tujuan pemeriksaan Tujuan pemeriksaan adalah untuk menilai apakah kegiatan produksi, penjualan dan investasi telah dilaksanakan dengan tertib dan taat kepada sistem pengendalian intern yang berlaku.

2. Sasaran pemeriksaan a. Kegiatan produksi, b. Kegiatan penjualan, c. Kegiatan investasi.

3. Metode pemeriksaan Pemeriksaan dilakukan dengan pengujian kepatuhan terhadap sistem pengendalian intern yang dilakukan secara uji petik terhadap bukti-bukti melalui pengujian fisik, konfirmasi serta prosedur pemeriksaan lain yang diperlukan.

4. Jangka waktu pemeriksaan Pemeriksaan dilakukan sejak tanggal 28 September s.d.27 Oktober 2005.

5. Obyek pemeriksaan

a. Sejarah perusahaan Pada awalnya PT Bio Farma (Persero) – untuk selanjutnya disebut PT BF bernama ’Parc Vaccinogene” yang didirikan dengan Surat Keputusan Gubernur Hindia Belanda No. 14 tanggal 6 Agustus 1890 dan diumumkan dalam Lembaran Negara No. 163 tahun 1890, sebuah jawatan dalam lingkungan Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Sejak tahun 1955 statusnya berubah menjadi Perusahaan Negara (PN) Pasteur dan kemudian tahun 1961 berubah menjadi PN Bio Farma. Dengan adanya tatanan baru mengenai Badan Usaha Milik Negara, sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 26 tahun 1978, status PN Bio Farma berubah menjadi Perusahaan Umum (Perum). Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 1 tahun 1997 tentang pengalihan bentuk Perum, Bio Farma berubah bentuk menjadi Perusahaan Perseroan (Persero). Akta pendirian dan Anggaran Dasar atas perubahan bentuk perusahaan tersebut ditetapkan dengan akta notaris Muhani Salim, SH No. 1 tanggal 3 Pebruari 1997

Page 10: 015-PT Bio Farma

2

dan Keputusan Menteri Kehakiman RI No. C2-1423 HT.01.01.Th.98 tanggal 5 Maret 1998 tentang Pengesahan Akta Pendirian PT BF. Sesuai dengan PP No.1 tahun 1997, misi PT BF adalah menyelenggarakan usaha dalam bidang penyediaan produk biologi dan farmasi dalam arti seluas-luasnya untuk memenuhi kebutuhan rakyat dan program kesehatan, dengan sifat usaha yang mengutamakan kemanfaatan umum sekaligus memupuk keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan, agar perusahaan dapat tumbuh dan berkembang sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan karyawan dan memberikan kontribusi kepada Pemerintah dalam bentuk pajak dan deviden. Sedangkan visi perusahaan adalah ”Bio Farma produsen vaksin, sera dan produk-produk biologi lainnya yang berstandar internasional dan bertujuan untuk mengemban komitmen global untuk kemanusiaan”.

b. Maksud dan Tujuan perusahaan Maksud dan tujuan perusahaan adalah menyelenggarakan usaha dalam bidang penyediaan produk biologi dan farmasi dalam arti yang seluas-luasnya untuk memenuhi kebutuhan umum sekaligus memupuk keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan, serta kegiatan usaha lainnya yang ditetapkan oleh pemerintah guna menunjang kegiatan usaha perseroan.

c. Struktur organisasi PT BF mempunyai empat Direktorat yaitu Direktorat Produksi, Direktorat Perencanaan dan Pengembangan, Direktorat Pemasaran dan Direktorat Keuangan. Prinsip susunan organisasi dan tata kerja adalah sebagai berikut:

a. Unsur Pimpinan : Direksi b. Unsur Pembantu

Pimpinan : Tingkat Divisi termasuk Quality Assurance,

Satuan Pengawas Intern, Corporate Secretary dan Hubungan Internasional.

c. Unsur Pelaksana : Pada tingkat bagian termasuk tenaga fungsional.

d. Unsur Pembantu Pelaksana

: Pada tingkat seksi termasuk tenaga fungsional.

d. Susunan Dewan Komisaris, Direksi dan Komite Audit Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan BUMN RI No.206/M-PBUMN/1999 tanggal 30 Agustus 1999, susunan Dewan Komisaris PT BF adalah sebagai berikut:

Page 11: 015-PT Bio Farma

3

Komisaris Utama : Rusmono, dr., SKM Komisaris : Dr. Achmad Sujudi, MHA Komisaris : Prof. Dr. Umar Fahmi A., MPH, Ph.D Komisaris : Prof. Dr. H.A. Himendra Wargahadibrata Komisaris : DR. Ir. Chaizi Nasucha, MPKN

Sedangkan susunan Direksi PT BF (Persero) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Negara BUMN RI No.KEP-19/M-BUMN/2001 tanggal 15 Nopember 2001 adalah sebagai berikut :

Direktur Utama : Drs. Marzuki Abdullah, MBA Direktur Pemasaran : Sarimuddin Sulaiman, SH Direktur Produksi : Drs. Isa Mansyur Direktur Keuangan : Drs. T. Djoharsjah Meuraxa Dir. Perencanaan dan Pengembangan : Drs. Maman Hidayat

Berdasarkan Surat Keputusan Komisaris N0.023/KEP/DK/BF/2003 tanggal 29 September 2003, susunan Komite Audit PT BF (Persero) adalah sebagai berikut:

Ketua : Prof. Dr. HA Himendra Wargahadibrata Anggota : DR. Ilya Avianti, SE, Msi Anggota : Rz. Sukamto, SE, MARS

e. Kondisi dan perkembangan perusahaan selama tiga tahun terakhir 1) Pendapat Auditor Independen

Opini akuntan untuk tahun buku 2003 dan 2004 adalah “Wajar Tanpa Pengecualian Dengan Paragraf Penjelasan, yaitu berupa pengungkapan dampak memburuknya kondisi ekonomi”.

2) Perkembangan Aktiva dan Pasiva Perkembangan aktiva dan pasiva per 31 Desember 2003, 2004 dan 2005

(Smt I) adalah sebagai berikut: (Rp juta)

Uraian 2003 2004 2004 (Smt I) 2005 (Smt I) Aktiva : Aktiva Lancar 236.724,91 296.336,98 229.993,91 250.604,19 Aktiva Tidak Lancar 225.164,45 226.770,17 229.925,98 248.674,21

Total Aktiva 461.889,36 523.107,15 459.859,89 499.278,40 Kewajiban dan Ekuitas : Kewajiban Lancar 93.287,53 80.257,14 90.483,48 96.517,51 Ekuitas : Modal ditempatkan dan disetor 66.268,00 66.268,00 66.268,00 66.268,00

Cadangan 202.523,70 258.707,40 258.707,40 335.821,39 Saldo Laba 99.810,13 117.874,61 44.401,01 671,50

Jumlah ekuitas 368.601,83 442.850,01 369.376,41 402.760,87 Total Kewajiban dan Ekuitas 461.889,36 523.107,15 459.859,89 499.278,40

Data di atas menunjukkan hal-hal sebagai berikut :

Page 12: 015-PT Bio Farma

4

a) Total aktiva pada akhir tahun 2004 naik sebesar 13,25% dibandingkan dengan akhir tahun 2003. Kenaikan ini terjadi karena naiknya kas setara kas, piutang pajak, uang muka dan aktiva dalam pelaksanaan masing-masing sebesar 67,71%, 13,30%, 193,21% dan 49,63%. Untuk tahun 2005 (Smt I) total aktiva naik sebesar 8,57% dibandingkan dengan tahun 2004 (Smt I). Kenaikan itu terjadi karena kas setara kas, piutang pajak, mesin-mesin, inventaris pabrik dan aktiva dalam pelaksanaan naik masing-masing sebesar 67,29%, 30,05%, 16,19%, 11,27% dan 72,35%.

b) Total kewajiban pada akhir tahun 2004 turun sebesar 13,97% dibandingkan tahun 2003. Penurunan ini terjadi karena adanya penurunan uang muka penjualan dan hutang bank masing-masing sebesar 58,20% dan 28,02%. Sedangkan hutang usaha dan hutang lain-lain naik masing-masing sebesar 29,85% dan 110,36%. Untuk tahun 2005 (Smt I) total kewajiban naik sebesar 6,67% dibandingkan dengan tahun 2004 (Smt I). Kenaikan ini terjadi karena naiknya hutang usaha sebesar 98,39% dan turunnya uang muka penjualan serta hutang pajak masing-masing sebesar 28,09% dan 16,06%. Saldo ekuitas pada akhir tahun 2004 naik sebesar 20,14% dibandingkan akhir tahun 2003. Kenaikan itu terjadi karena adanya kenaikan saldo laba yang ditentukan penggunaannya dan belum ditentukan penggunaannya masing-masing sebesar 27,74% dan 18,10%. Untuk tahun 2005 (Smt I) saldo ekuitas naik sebesar 9,04% dibandingkan dengan tahun 2004 (Smt I). Kenaikan itu terjadi karena adanya kenaikan cadangan sebesar 29,81%.

3) Perkembangan usaha dan realisasi anggaran (Rp Juta)

Uraian 2003 2004 2004 (Smt I) 2005 (Smt I)

Penjualan Bersih :

Penjualan produk 506.801,82 540.716,66 144.247,36 80.178,03

Penjualan jasa 1.028,23 1.963,21 1.045,92 1.400,23

Jumlah Penjualan Bersih Produk & Jasa 507.830,05 542.679,87 145.293,28 81.578,27

Beban Pokok Penjualan (245.090,97) (245.446,94) (69.242,65) (52.624,89)

Laba Kotor 262.739,08 297.232,93 76.050,63 28.953,38

Beban Usaha :

Beban Administrasi dan Umum (42.224,24) (54.331,89) (15.933,09) (16.622,66)

Beban Pemasaran (70.387,84) (74.906,94) (19.699,54) (13.957,08)

(112.612,08) (129.238,83) (35.632,63) (30.579,73)

Laba (Rugi) Usaha 150.127,00 167.994,10 40.418,00 (1.626,36)

Page 13: 015-PT Bio Farma

5

Penghasilan (beban) Lain-lain :

Pendapatan di Luar Usaha 10.221,63 14.804,22 7.314,06 8.755,54

Beban di Luar Usaha (11.851,85) (9.375,46) (3.331,05) (6.457,69)

(1.630,22) 5.428,76 3.983,01 2.297,85

Laba (Rugi) sebelum Pajak 148.496,77 173.422,86 44.401,01 671,50

Beban (Penghasilan) Pajak :

Pajak kini 48.686,64 55.548,25 - -

Pajak tangguhan - - - -

Laba (Rugi) Bersih 99.810,14 117.874,61 44.401,01 671,50

Data di atas menunjukkan hal-hal sebagai berikut : a) Penjualan bersih produk dan jasa pada tahun 2004 naik sebesar 6,86%

dibandingkan tahun 2003. Hal tersebut disebabkan naiknya penjualan sera, vaksin dan infus sebesar 6,67% dan penjualan jasa sebesar 90,93%. Kenaikan penjualan jasa dikarenakan terdapat proyek vaksinasi pencegahan penyakit flu burung bagi peternak unggas sebesar Rp503.620.000,00. Pada tahun 2005 (Smt I) penjualan bersih produk dan jasa turun sebesar 43,85% dibandingkan dengan tahun 2004 (Smt I). Penurunan ini disebabkan turunnya penjualan Sera & Vaksin sebesar 44,45%.

b) Beban pokok penjualan produk tahun 2004 turun sebesar 0,24%, sedangkan beban pokok penjualan jasa naik sebesar 40,82% dibandingkan tahun 2003. Pada tahun 2005 (Smt I) beban pokok penjualan produk dan jasa turun masing-masing sebesar 24,17% dan 14,60% dibandingkan tahun 2004 (Smt I).

c) Biaya usaha pada tahun 2004 naik sebesar 14,76% dibandingkan tahun 2003. Kenaikan tersebut terutama disebabkan naiknya biaya umum dan administrasi sebesar 28,67% dan biaya pemasaran sebesar 6,42%. Kenaikan biaya umum dan administrasi karena adanya kenaikan biaya pegawai sebesar Rp2.790,44 juta dan biaya umum sebesar Rp7.406,04 juta. Sedangkan kenaikan biaya pemasaran terutama karena kenaikan biaya royalti sebesar Rp6.462,22 juta. Untuk tahun 2005 (Smt I) biaya usaha turun sebesar 14,18% dibanding tahun 2004 (Smt I). Hal tersebut disebabkan turunnya biaya pemasaran sebesar 29,15% dan naiknya biaya umum dan administrasi sebesar 4,33%.

d) Pendapatan diluar usaha tahun 2004 naik sebesar 44,83% dan beban diluar usaha turun sebesar 20,89%. Pendapatan diluar usaha naik karena naiknya pendapatan bunga deposito sebesar Rp795,58 juta, pendapatan lainnya sebesar Rp1.218,33 juta dan selisih kurs sebesar Rp2.329,11 juta. Sedangkan penurunan biaya diluar usaha karena koreksi pajak sebesar

Page 14: 015-PT Bio Farma

6

Rp1.824,95 juta dan barang jadi rusak turun sebesar Rp1.186,44 juta, namun untuk biaya bahan baku rusak terjadi kenaikan sebesar Rp1.555,04 juta. Pada tahun 2005 (Smt I) pendapatan dan beban diluar usaha naik masing-masing sebesar 19,71% dan 93,86%.

e) Pertumbuhan laba (rugi) terlihat sebagai berikut: (1) Besarnya laba kotor tahun 2004 naik 13,13% dibandingkan dengan laba

kotor tahun 2003. Rasio laba kotor terhadap penjualan untuk tahun 2003 dan 2004 masing-masing sebesar 51,74% dan 54,77%. Sedangkan laba kotor untuk tahun 2005 (Smt I) turun sebesar 61,93% dibandingkan dengan laba kotor tahun 2004 (Smt I). Rasio laba kotor terhadap penjualan untuk tahun 2004 (Smt I) dan 2005 (Smt I) masing-masing sebesar 52,34% dan 35,49%.

(2) Tahun 2004 perusahaan memperoleh laba usaha sebesar Rp167.994,10 juta, naik sebesar 11,90% dibandingkan dengan tahun 2003. Hal ini terjadi karena meningkatnya penjualan bersih sebesar 6,86%. Sedangkan tahun 2005 (Smt I) mengalami rugi usaha sebesar Rp1.626,36 juta, turun sebesar 104,02% dibandingkan dengan tahun 2004 (Smt I). Hal tersebut disebabkan turunnya penjualan produk bersih sebesar 44,42% dan naiknya biaya umum dan administrasi sebesar 4,33%.

(3) Pada tahun 2004 perusahaan memperoleh laba bersih sebesar Rp117.874,61 juta naik sebesar 18,10% dibanding tahun 2003. Sedangkan untuk tahun 2005 (Smt I) perusahaan memperoleh laba bersih sebesar Rp671,50 juta, turun sebesar 98,49% dibanding tahun 2004 (Smt I).

4) Perkembangan kinerja perusahaan Tingkat kesehatan perusahaan yang dihitung berdasarkan SK Menteri

Negara BUMN RI Nomor: KEP-100/MBU/2002 tanggal 4 Juni 2002 untuk tahun 2003 dan 2004 “Sehat” (AA) dengan skor masing-masing sebesar 90,20 dan 89,00.

II. TEMUAN PEMERIKSAAN

BPK-RI telah memeriksa kegiatan produksi, penjualan dan investasi yang hasilnya sebagai berikut:

1. Kegiatan produksi Realisasi harga pokok penjualan tahun 2004 dan 2005 (Semester I) masing-

masing sebesar Rp245.446.939.000,00 dan Rp52.624.888.000,00 atau 89,23% dan 25,78% dari anggarannya masing-masing sebesar Rp275.073.000.000,00 dan

Page 15: 015-PT Bio Farma

7

Rp204.106.000.000,00. Pemeriksan atas kegiatan produksi dilakukan melalui uji petik terhadap realisasi biaya produksi tahun 2004 sebesar Rp183.691.142.000,00 dan tahun 2005 (Semester I) sebesar Rp38.327.945.000 atau masing-masing sebesar 74,84% dan 72,83% dari total realisasi biaya produksi.

Pemeriksaan terhadap kegiatan produksi menghasilkan 5 (lima) temuan pemeriksaan mengenai ketidaktaatan pada ketentuan dan prosedur yang berlaku, yaitu:

a. PT Bio Farma belum sepenuhnya menindaklanjuti arahan RUPS dalam mencari pemasok baru pengadaan Ginjal Fetus.

PT BF merupakan satu-satunya BUMN di Indonesia yang kegiatan utamanya memproduksi vaksin dan serum yang telah mendapat sertifikasi dari badan kesehatan dunia WHO. Sebagai perusahaan yang bertaraf dunia, PT BF dituntut untuk mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh WHO, baik dari segi kualitas hasil produksi maupun bahan baku yang akan digunakan untuk produksi.

Salah satu hasil produksi yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan luar negeri adalah vaksin polio. Vaksin polio diproduksi dengan cara pembiakan melalui media jaringan ginjal fetus kera ekor panjang dan kemudian distabilkan dengan sukrosa. Ginjal kera yang digunakan sebagai media pembiakan vaksin polio berasal dari bayi kera ekor panjang yang belum dilahirkan (fetus). Oleh karena itu kekurangan pasokan fetus kera ekor panjang dapat mengakibatkan menurunnya jumlah produksi vaksin polio yang dihasilkan. Untuk memproduksi vaksin polio, keberadaan media pembiakan yaitu fetus kera ekor panjang belum dapat digantikan dengan jenis lain. Sehubungan dengan hal tersebut demi kesinambungan produksi diperlukan pasokan yang terus menerus sesuai dengan kebutuhan produksi.

Pada tahun 2004 dan 2005 (s.d Agustus) PT BF telah mengadakan kera ekor panjang untuk keperluan produksi vaksin polio dari PT Bogor Life And Technoloy (PT BLT) masing-masing senilai Rp4.109.605.000,00 dan Rp3.462.080.000,00. Dari jumlah pengadaan kera senilai Rp4.109.605.000,00, yang merupakan pengadaan fetus kera untuk media pembiakan vaksin polio sebesar Rp2.758.230.000,00 dan sisa sebesar Rp1.351.375.000,00 untuk tujuan pengujian. Untuk tahun 2005 (s.d Agustus) pengadaan sebesar Rp2.478.080.000,00 merupakan pengadaan fetus kera ekor panjang untuk media produksi vaksin polio dan sebesar Rp984.000.000,00 untuk tujuan pengujian.

PT BF telah beberapa kali mengadakan perjanjian dengan PT BLT untuk menyediakan fetus kera ekor panjang untuk kepentingan pembuatan vaksin polio dan untuk pengujian vaksin tersebut. Pengadaan terakhir dengan surat perjanjian

Page 16: 015-PT Bio Farma

8

No. 0.10/PP/BLST/IX/2004 / No. 05493/Dir/IX/2004 tanggal 7 September 2004 dan 6 September 2004, selanjutnya dibuat addendum perjanjian tersebut tanggal 1 Juni 2005. Harga fetus kera sesuai perjanjian sebelum dibuat addendum sebesar Rp6.000.000,00 per ekor yang berlaku sejak tanggal 1 Juli 2004 sampai dengan 31 Desember 2004. Kemudian terhitung sejak tanggal 1 Januari 2005 hingga berakhir jangka waktu perjanjian tanggal 30 Juni 2005, harga fetus kera ekor panjang dinaikkan menjadi sebesar Rp7.500.000,00 per ekor. Namun demikian, sebelum waktu perjanjian berakhir PT BLT meminta dibuat addendum perjanjian tersebut. Sesuai dengan addendum tanggal 1 Juni 2005 diketahui bahwa untuk periode pengiriman tanggal 1 Juni 2005 hingga 30 Juni 2005 harga fetus kera ekor panjang dinaikkan menjadi sebesar Rp11.000.000,00 per ekor.

PT BLT merupakan satu-satunya perusahaan yang memasok fetus kera ekor panjang, sehingga PT BF sangat tergantung pada pasokan dari perusahaan tersebut. Sehubungan dengan ketergantungan PT BF tersebut, PT BLT sebagai perusahaan monopoli dalam memasok fetus kera ekor panjang dapat terus menaikkan harga.

Menindaklanjuti kenaikan harga dan menurunnya suplai fetus kera yang dilakukan pemasok, RUPS tentang RKAP tahun 2005 tanggal 27 Januari 2005 memberi arahan agar Direksi PT BF mencari pemasok alternatif sehingga dapat dihindari ketergantungan kepada salah satu pihak. Namun demikian sampai dengan pemeriksaan tanggal 28 Oktober 2005, Direksi PT BF belum berusaha untuk mendapatkan pemasok lain yang dapat menyediakan fetus kera sesuai standar yang ditetapkan.

Hal tersebut menunjukkan bahwa PT BF belum melaksanakan arahan yang tertuang dalam Risalah RUPS No. BA-23/D2-MBU/2005 tentang Pengesahan RKAP tahun 2005 yang menyatakan bahwa terhadap permasalahan penurunan suplai kera, Direksi agar tetap mengupayakan mencari supplier alternatif sehingga dapat menghindari ketergantungan kepada satu pihak. Dalam Pasal 1 (13) Undang-undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, menyatakan Rapat Umum Pemegang Saham RUPS (RUPS) adalah organ Persero yang memegang kekuasaan tertinggi dalam persero dan memegang segala wewenang yang tidak diserahkan kepada Direksi atau Komisaris.

Kondisi tersebut di atas mengakibatkan kelangsungan produksi vaksin polio dapat terganggu dan dengan meningkatnya harga fetus kera ekor panjang yang merupakan media pembiakan vaksin polio mengakibatkan harga pokok produksi juga meningkat.

Page 17: 015-PT Bio Farma

9

Kondisi tersebut disebabkan Direksi PT BF belum mewujudkan arahan RUPS dalam hal mencari pemasok baru yang dapat menciptakan persaingan yang sehat.

PT BF menjelaskan bahwa teknologi awal produksi Oral Polio Vaccine (OPV) semula dirancang menggunakan Green Monkey dari Afrika tapi harganya sangat mahal karena harus impor. Untuk kontinuitas supply, PT BF mengembangkan penggunaan Macaca yang berasal dari Indonesia. Awalnya menggunakan kera dewasa, lalu beralih ke anak kera tetapi karena kontaminasi tinggi, akhirnya beralih ke fetus kera.

Kapasitas awal produksi OPV 25 juta dosis per tahun, dan berkembang menjadi 800 juta dosis per tahun. Sumber pembelian kera awalnya berasal dari 2 (dua) pemasok yaitu CV Primaco dan PSSP-IPB dengan kebutuhan 10-20 fetus per minggu dengan spesifikasi negatif Tuberculosis dan Negatif SIV. Kemudian ada peningkatan persyaratan WHO yang tidak bisa dipenuhi oleh CV Primaco berdasarkan hasil audit POM. Dengan demikian yang memenuhi persyaratan WHO untuk menjadi pemasok ginjal fetus kera hanya PSSP-IPB.

Dengan berubahnya status IPB menjadi BHMN maka semua urusan bisnis diambil alih oleh BLT yang sepenuhnya berorientasi komersial. Kemudian PT BF berusaha mencari supplier baru sebagai pengganti CV Primaco, yaitu ke PT Universal Fauna namun setelah dilakukan audit vendor dan pembinaan sesuai persyaratan WHO yang baru (TRS 904) mereka belum memenuhi persyaratan tersebut.

Telah dilakukan analisis terhadap kemungkinan breeding kera dan secara bisnis belum menguntungkan dan prosesnya memerlukan waktu yang sangat panjang. Tetapi dari segi SDM, PT. Bio Farma berupaya meningkatkan kemampuan SDM di bidang kera Macaca.

BPK RI menyarankan agar PT BF meneliti mengenai kemungkinan menangkar sendiri kera ekor panjang dan berusaha mencari alternatif pemasok lain.

b. Terdapat beberapa produk PT Bio Farma dijual dengan harga dibawah harga jual pabrik.

Penjualan Diagnostika, Reagensia dan Golongan Darah untuk tahun 2004 dan 2005 (Semester I) masing-masing sebesar Rp2.780.433.000,00 dan Rp1.454.404.000,00. Dari jumlah tersebut terdapat produk yang dijual dengan harga di bawah harga jual pabrik sehingga merugikan perusahaan sebesar Rp577.015.929,68, dengan rincian sebagai berikut:

Page 18: 015-PT Bio Farma

10

(dalam Rp) Nilai Penjualan Harga Jual Pabrik (Real) Laba (Rugi)

No. Jenis Produk 2004 2005 (Smt I) 2004 2005 (Smt I)* 2004 2005 (Smt I) Total

1 2 4 5 6 7 8= (4-6) 9= (5-7) 10= (8+9) 1. Suspensi Kuman 7.649.999,64 - 20.384.381,60 - (12.734.381,96) - (12.734.381,96) 3. Diagnostika Sera 137.549.999,34 61.380.000,00 319.126.364,23 111.628.563,62 (181.576.364,89) (50.248.563,62) (231.824.928,51) 4. Asam Sulfasalisilat 20% 8.442.419,20 5.587.500,00 9.402.327,78 9.879.789,74 (959.908,58) (4.292.289,74) (5.252.198,32) 5. Asam Klorida 0,1 N 11.701.967,66 4.802.250,00 19.045.709,10 3.499.150,01 (7.343.741,44) 1.303.099,99 (6.040.641,45) 6. Larutan Benedict 77.199.844,95 8.524.600,00 83.490.661,42 7.380.541,55 (6.290.816,47) 1.144.058,45 (5.146.758,02) 7. Larutan Eosin 40.590.528,48 8.881.140,00 30.291.365,38 6.739.187,52 10.299.163,10 2.141.952,48 12.441.115,58 8. Larutan Giemsa 137.176.275,68 11.234.250,00 166.687.599,92 12.275.957,80 (29.511.324,24) (1.041.707,80) (30.553.032,04) 9. Methanol 35.622.406,40 2.132.895,00 57.855.372,44 3.432.098,37 (22.232.966,04) (1.299.203,37) (23.532.169,41)

10. Larutan Gabbet 1.521.000,00 - 253.689,92 - 1.267.310,08 - 1.267.310,08 11. Larutan Kinyoun 2.754.000,00 - 574.722,53 - 2.179.277,47 - 2.179.277,47 12. Larutan Turk 13.840.208,40 1.105.720,00 23.204.502,86 1.901.300,05 (9.364.294,46) (795.580,05) (10.159.874,51) 13. Larutan Metilen Biru 30.703.282,20 8.890.425,00 54.628.740,07 5.143.163,82 (23.925.457,87) 3.747.261,18 (20.178.196,69) 14. Larutan Acid Alkohol 56.127.311,52 4.916.930,00 75.408.093,77 6.178.394,24 (19.280.782,25) (1.261.464,24) (20.542.246,49) 15. Larutan Carbol Fuchsin 44.662.615,27 4.542.860,00 71.803.488,20 6.581.710,80 (27.140.872,93) (2.038.850,80) (29.179.723,73) 16. Serum Gol. Darah 96.105.995,34 24.067.500,00 265.134.266,34 52.798.710,69 (169.028.271,00) (28.731.210,69) (197.759.481,69)

Jumlah 701.647.854,08 146.066.070,00 1.197.291.285,56 227.438.568,20 (495.643.431,48) (81.372.498,20) (577.015.929,68)

*) Harga jual pabrik 2005 (Smt I) menggunakan data realisasi tahun 2004.

Dari data tersebut diketahui bahwa penjualan Diagnostika, Reagensia dan Golongan Darah untuk tahun 2004 dan 2005 (Semester I) masing-masing sebesar Rp701,65 juta dan Rp146,07 juta. Penjualan tahun 2004 yang diserap oleh Program Pelayanan Kesehatan Dasar (PKD) Depkes sebesar Rp413,89 juta dan sisa sebesar Rp287,55 juta oleh reguler (swasta). Penjualan tahun 2005 (Semester I) yang diserap oleh Program PKD adalah sebesar Rp24,89 juta dan swasta sebesar Rp121,17 juta. Realisasi harga jual pabrik akhir tahun 2004 adalah sebesar Rp1.197.291.285,56 dan tahun 2005 (Semester I), dengan menggunakan dasar realisasi harga pabrik akhir tahun 2004, sebesar Rp227.438.568,20. Dengan demikian jumlah kerugian dari penjualan Diagnostika, Reagensia dan Golongan Darah tahun 2004 dan 2005 (Semester I) sebesar Rp577.015.929,68.

Berdasarkan penjelasan dari Bagian Pemasaran Dalam Negeri mengenai penentuan harga jual, sebagai salah satu bahan pertimbangan, menggunakan kalkulasi harga yang dibuat oleh Bagian Akuntansi. Namun untuk produk-produk tersebut diatas khususnya yang dijual ke Program PKD harga telah ditentukan oleh Menteri Kesehatan, yang dalam ketentuannya masih dibawah harga jual pabrik yang dihitung oleh Bagian Akuntansi. Sedangkan penjualan ke swasta telah menggunakan harga jual pabrik yang dihitung oleh Bagian Akuntansi.

Bagian Akuntansi dalam membuat kalkulasi harga menggunakan metode harga pokok terapan yang dipisahkan menjadi tiga kelompok, yaitu Harga Pokok Pabrik, Harga Pokok Penjualan dan Harga Jual Pabrik. Harga Pokok Pabrik adalah harga pokok tanpa memperhitungkan biaya operasi dan laba. Harga Pokok Penjualan adalah harga pokok pabrik ditambah biaya operasi dan belum memperhitugkan margin, sedangkan Harga Jual Pabrik adalah harga pokok penjualan ditambah dengan margin sebesar 10%. Dalam menentukan harga

Page 19: 015-PT Bio Farma

11

pokok taksiran PT BF menggunakan dasar antara lain realisasi biaya sebelumnya, RKAP tahun berjalan dan eskalasi kenaikan harga tahun bersangkutan.

Perhitungan harga jual pabrik untuk produk Diagnostika, Reagensia dan Gol Darah secara ekonomis sudah tidak menguntungkan karena permintaan pasar semakin kecil sehingga jumlah yang diproduksi sedikit. Produk ini diproduksi untuk memenuhi kebutuhan Depkes pada Daerah tingkat II (Kabupaten).

Dalam menentukan harga jual seharusnya memperhatikan biaya-biaya yang telah dikeluarkan oleh perusahaan.

Hal tersebut mengakibatkan PT BF mengalami kerugian sebesar Rp577.015.929,68.

Hal tersebut terjadi karena harga jual ke segmen Pelayanan Kesehatan Dasar (PKD) sudah ditentukan oleh SK Menteri Kesehatan.

PT BF menjelaskan bahwa penjualan reagensia untuk melayani kebutuhan swasta dan pemerintah (Pelayanan Kesehatan Dasar/PKD). Penjualan Reagensia untuk program PKD ini dilakukan melalui distributor yang mengikuti tender dengan Dinkes Propinsi/Kabupaten/kota. PT BF secara teknis tidak memungkinkan untuk mengikuti tender tersebut karena produk yang harus dipasok tidak hanya reagensia, tapi masih banyak produk obat-obatan lain yang tidak dimiliki oleh PT BF.

Harga jual reagensia ke pemerintah didasarkan atas SK Menteri Kesehatan tentang Pedoman Umum Pengadaan Obat Pelayanan Kesehatan Dasar (PKD), sedangkan untuk swasta didasarkan atas Harga Jual Pabrik yang ditetapkan oleh PT BF. Harga jual PKD ditetapkan lebih rendah dari kalkulasi HJP, dan tidak berubah sejak tahun 2003 hingga tahun 2005 meskipun setiap tahun PT BF selalu mengajukan kenaikan harga.

Penjualan reagensia ke pemerintah, walaupun harganya lebih rendah dari HJP, tidak bisa dihindari mengingat misi sosial PT BF sebagai perusahaan BUMN produsen reagensia yang sangat dibutuhkan untuk program Pelayanan Kesehatan Dasar. Seandainya PT BF tidak melayani kebutuhan tersebut, maka kebutuhan reagensia tersebut tidak dapat terpenuhi karena tidak ada produsen lain yang memproduksi reagensia tersebut.

Penjualan diagnostika ke swasta masih dibawah kalkulasi HJP karena banyak pesaing.

BPK RI menyarankan agar Direksi PT BF mengevaluasi tingkat efisiensi pabrik sehingga dapat lebih bersaing dan menekan tingkat kerugian. Selain itu terus mengupayakan kenaikan harga kepada Depkes.

Page 20: 015-PT Bio Farma

12

c. Penyelesaian Kerja Sama Operasi (KSO) antara PT Bio Farma dengan PT Inkor Husada Utama berlarut-larut.

PT BF telah mengadakan perjanjian Kerja Sama Operasi (KSO) dengan PT Inkor Husada Utama (PT IHU) untuk mengoperasikan pabrik Vaksin Hepatitis B yang dituangkan dalam Perjanjian Kerjasama Operasi (KSO-BI) pada tanggal 30 September 1994. Jangka waktu perjanjian KSO-BI telah disepakati selama 10 tahun.

Dalam KSO ini PT BF mempunyai kewajiban yaitu : 1) Menyediakan lahan seluas lebih kurang 4.000 M2 yang digunakan untuk

bangunan pabrik dan sarana Vaksin Hepatitis B. 2) Membantu menyediakan tenaga kerja untuk mengoperasikan pabrik Vaksin

Hepatitis B dengan biaya yang dibebankan pada KSO –BI. 3) Menyediakan fasilitas yang kapasitasnya lebih untuk pengisian dan

pengemasan (filling & packaging) serta pengujian laboratorium Vaksin Hepatitis B hasil produksi KSO-BI, dengan biaya yang dibebankan pada KSO-BI.

4) Membantu menyediakan fasilitas lain yang telah dimiliki yang dimungkinkan digunakan untuk pabrik Vaksin Hepatitis B dengan biaya yang dibebankan kepada KSO-BI.

5) Memasarkan Vaksin Hepatitis B hasil produksi KSO-BI ke sektor Pemerintah dengan sebaik-baiknya dan menjamin tidak membeli Vaksin Hepatitis B di luar produksi KSO-BI sepanjang kebutuhannya masih dapat dipenuhi oleh kapasitas produksi KSO-BI.

6) Memberikan prioritas kepada PT IHU untuk berperan serta, jika nantinya PT BF berkeinginan melakukan produksi Vaksin Hepatitis B dengan teknologi yang lebih baik.

Sedangkan hak PT BF adalah mendapat bagian keuntungan bersih dari hasil usaha KSO-BI sebesar 25% dan pada saat perjanjian berakhir memperoleh bagian sebesar 35% dari nilai asset yang dilikuidasi setelah dinilai oleh pihak appraisal independen.

Sejak tahun 2002 KSO-BI telah dihentikan kegiatannya, karena adanya perubahan tehnologi serta perubahan kebutuhan pasar untuk vaksin Hepatitis B dari kemasan vial ke uniject, sehingga tenaga kerja bagian produksi KSO BI telah dikembalikan ke PT BF mulai tanggal 31 Desember 2002. Dengan kondisi tersebut di atas Direksi PT BF telah menyampaikan surat permohonan kepada Menteri BUMN dengan surat No. 01072/Dir/II/2003 tanggal 20 Pebruari 2003 perihal penghentian KSO PT BF dengan PT IHU, dan merencanakan aset kerja sama

Page 21: 015-PT Bio Farma

13

tersebut diambil alih. Manajemen menginformasikan bahwa aset tersebut telah dinilai oleh pihak independen yakni PT Pieta Penilai - Jakarta dengan laporan penilaiannya No. 131/LP/PFF-PP/XI/2002 tanggal 5 Nopember 2002 dengan nilai aset per tanggal 27 Agustus 2002 adalah sebesar Rp29.324.000.000,00.

Secara prinsip Menteri BUMN dapat menyetujui usulan penghentian KSO-BI antara PT BF dengan PT IHU sesuai surat No. S-111/MBU/2003 tanggal 17 Maret 2003. Namun proses pengambilalihan aset KSO-BI sampai saat pemeriksaan berakhir tanggal 28 Oktober 2005 belum dilaksanakan karena masih perlu kesepakatan antara PT BF, PT IHU dan pihak Bank yang telah memberi kredit dengan jaminan aset yang berada di atas tanah KSO-BI.

Pada tanggal 31 Januari 2005 dengan surat No. LO-002/IHU/I/05, PT IHU memohon waktu kepada Direksi PT BF untuk membahas kelanjutan produksi vaksin Hepatitis B (KSO-BI). Berdasarkan surat tersebut Direksi PT BF memberi surat balasan kepada PT IHU No. 00713/Um/II/2005 tanggal 2 Pebruari 2005 untuk meminta draft proposal atas kelanjutan produksi vaksin Hepatitis B (KSO-BI), namun hingga saat pemeriksaan berakhir belum ada jawaban. PT IHU telah pula mengirimkan surat kepada Menteri BUMN No. LO/001/IHU/II/05 pada bulan Pebruari 2005 tanpa tanggal, yang tembusannya ke Direksi PT BF perihal fasilitas Pabrik Vaksin Hepatitis B kerjasama dengan PT BF (KSO-BI).

Berdasarkan laporan keuangan PT IHU per 30 Juni 2002 (unaudit), jumlah aktiva perusahaan sebesar Rp50.825.660.623,48. Dari jumlah tersebut terdapat hutang sebesar Rp60.826.886.112,20. Selain itu dalam laporan keuangan per 31 Desember 2001 (audited) diungkapkan bahwa aktiva tetap yang berupa bangunan yang dibangun diatas tanah (KSO) perusahaan dijaminkan oleh PT IHU untuk jaminan kredit kepada Roxan Services Ltd. yang terdaftar di British Virgin Islands.

Anggaran Dasar pasal 11 menyebutkan salah satu tugas dan wewenang direksi adalah menguasai, memelihara dan mengurus kekayaan Perseroan.

Hal tersebut mengakibatkan PT BF tidak bisa memanfaatkan asetnya berupa tanah seluas 4.000 m2 yang masih dikuasai PT IHU.

Hal itu terjadi karena Manajemen PT BF kurang proaktif untuk segera menyelesaikan masalah KSO-BI dengan PT IHU.

PT BF menjelaskan bahwa Direksi PT. Bio Farma menyadari salah satu tugas dan wewenang Direksi dalam Anggaran Dasar pasal 11 adalah mengawasi, memelihara dan mengurus kekayaan Perusahaan.

Kekayaan Perusahaan yang menjadi Bagian dari KSO-BI tersebut adalah berupa tanah seluas 4.000 m2 yang sampai saat ini masih berdiri Gedung

Page 22: 015-PT Bio Farma

14

Produksi Vaksin Hepatitis B dan tanah tersebut masih terikat dalam Kerja Sama Operasi.

PT BF telah mendapat persetujuan dari pemegang saham untuk mengambil alih asset PT IHU. Untuk itu telah dilakukan appraisal oleh sebuah perusahaan independen, atas permintaan PT BF. Pihak PT IHU juga telah melakukan re-check dengan menyewa perusahaan appraisal lain sebagai referensi. Hasil kedua perusahaan appraisal tersebut ternyata hampir sama.

Sampai saat ini PT IHU masih belum menunjukkan sikap tegas untuk konfirmasi pelaksanaan pengalihan asset tersebut.

Belakangan PT IHU menawarkan untuk tetap melanjutkan pemanfaatan asset tersebut supaya bisa produktif.

Surat balasan PT BF mengenai permintaan akan draft proposal atas kelanjutan Produksi Vaksin Hepatitis B (KSO-BI) sampai bulan Oktober 2005 belum ada jawaban.

Pada awalnya PT BF masih memberikan waktu kepada PT IHU untuk dapat memberikan proposalnya, tetapi mengingat sampai bulan Oktober 2005 tidak ada langkah lebih lanjut, maka Manajemen akan mengundang PT IHU untuk melakukan pembahasan.

BPK RI menyarankan agar Direksi PT BF lebih aktif menyelesaikan permasalahan pengambilalihan aset KSO-BI. Apabila perlu mengundang PT IHU dan Bank pemberi kredit untuk penyelesaian permasalahannya.

d. Pengadaan bahan kimia yang melebihi kebutuhan produksi mengakibatkan PT Bio Farma mengalami kerugian sebesar Rp1.737.790.664,85.

Berdasarkan laporan keuangan PT BF tahun 2004 diketahui persediaan rusak/kadaluarsa sebesar Rp2.396.210.088,00, yang terdiri dari persediaan bahan baku/kimia sebesar Rp1.737.807.039,00 dan barang jadi sebesar Rp658.403.049,00. Persediaan rusak tersebut telah dihapusbukukan dari catatan PT BF dan telah dibebankan sebagai biaya dalam tahun buku 2004. Persediaan bahan kimia rusak/kadaluarsa sebesar Rp1.737.790.664,85 terinci sebagai berikut :

Nama Barang Kuantum (ltr) Nilai Medium 199 E Gibco 10.400 418.581.566,33 MEM Gibco 9.070 197.106.435,04 BME Gibco 41.180 865.322.840,90 Medium 199 in Hank Gibco 4.570 256.779.822,58

Jumlah 1.737.790.664,85

Pengadaan suatu barang diawali dengan adanya permintaan barang dari pengguna barang atau Bagian Gudang kepada Divisi Logistik. Permintaan barang

Page 23: 015-PT Bio Farma

15

dari Bagian Gudang dimaksudkan untuk mengisi persediaan yang telah mencapai titik minimum, sehingga proses produksi perusahaan tidak terganggu. Berdasarkan permintaan tersebut, selanjutnya Divisi Logistik memproses pengadaan barang tersebut.

Berdasarkan pemeriksaan atas dokumen-dokumen bahan kimia yang dinyatakan rusak/kadaluarsa dan telah dimusnahkan tersebut diketahui hal-hal sebagai berikut : 1) Bahan kimia yang telah kadaluarsa dan dimusnahkan tersebut merupakan

penerimaan dari pembelian selama bulan Agustus 2001. Pemasok bahan kimia tersebut di atas adalah PT Elo Karsa yang diikat dengan Surat Perjanjian No. 08838/Dir/ XI/2000 tanggal 8 Nopember 2000.

2) Dalam pengadaan bahan kimia tersebut (Medium 199 E Gibco, MEM Gibco, BME Gibco dan Medium 199 in Hank Gibco), PT BF tidak mengacu kepada siklus/ ketahanan dari bahan yang dibeli terutama yang menyangkut masa kadaluarsa. Hal ini terbukti bahwa bahan kimia yang diterima pada bulan Agustus 2001 tersebut hanya dipakai pada tahun 2002 dan 2003, sedangkan untuk pemakaian tahun 2004 perusahaan mengadakan bahan kimia dan barangnya diterima pada bulan Pebruari 2004. Hal ini berarti bahwa umur bahan kimia yang dibeli tersebut adalah kurang dari 3 tahun.

3) Dalam pengadaan bahan kimia, PT BF tidak mengacu pada rencana kebutuhan pemakaian bahan kimia. Di lain pihak umur bahan kimia tersebut adalah kurang dari tiga tahun. Realisasi pemakaian bahan kimia untuk tujuan produksi vaksin polio periode tahun 2001 – 2004 adalah sebagai berikut :

Uraian Sat 2001 2002 2003 2004 Jumlah Rata/thn Medium 199 E Gibco ltr 1.300 1.100 1.100 1.300 4.800 1.200 MEM Gibco ltr 3.650 2.890 2.200 2.040 10.780 2.695 BME Gibco ltr 12.700 15.910 10.710 15.200 54.520 13.630 Medium 199 in Hank Gibco ltr 800 900 730 600 3.030 758

Berdasarkan tabel di atas dapat diuraikan hal-hal sebagai berikut : a) Medium 199 E Gibco. PT BF telah mengadakan Medium 199 E Gibco

dari PT Elo Karsa yang diterima bulan Agustus 2001 sebanyak 10.000 liter. Sementara itu rata-rata pemakaian bahan kimia tersebut adalah sebanyak 1.200 liter per tahun. Dengan kata lain bahwa pengadaan sebanyak 10.000 liter tersebut dapat digunakan untuk keperluan produksi selama 8,33 tahun, padahal umur bahan kimia tersebut kurang dari 3 tahun.

b) MEM Gibco. Penerimaan MEM Gibco pada bulan Agustus 2001 sebanyak 10.000 liter. Rata-rata pemakaiannya adalah sebanyak 2.695

Page 24: 015-PT Bio Farma

16

liter per tahun. Hal ini berarti bahwa pembelian sebanyak 10.000 liter dapat digunakan untuk proses produksi selama 3,71 tahun, padahal umur bahan kimia tersebut kurang dari 3 tahun.

c) BME Gibco. Pengadaan BME Gibco yang diterima bulan Agustus 2001 adalah sebanyak 50.000 liter. Rata-rata kebutuhan untuk produksi adalah sebanyak 13.630 liter per tahun. Hal ini berarti bahwa pengadaan sebanyak 50.000 liter tersebut dapat digunakan untuk proses produksi selama 3,67 tahun, padahal umur bahan kimia tersebut kurang dari 3 tahun.

d) Medium 199 in Hank Gibco. Jumlah penerimaan Medium 199 in Hank Gibco pada bulan Agustus 2001 sebanyak 5.000 liter, sedangkan rata-rata kebutuhan setiap tahun adalah sebanyak 758 liter. Hal ini berarti bahwa pengadaan sebanyak 5.000 liter tersebut dapat digunakan untuk proses produksi selama 6,60 tahun, padahal umur bahan kimia tersebut kurang dari 3 tahun.

Pengadaan yang berlebih tersebut di atas tidak sesuai dengan SK Direksi PT BF No. 00131/Dir/I/2000 tanggal 12 Januari 2000 yang menyatakan bahwa pengadaan barang/jasa dilingkungan perusahaan wajib dilaksanakan dengan prinsip efektif, yang berarti pengadaan barang/jasa harus sesuai dengan kebutuhan yang telah ditetapkan dan dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya sesuai dengan sasaran kebijakan perusahaan.

Kondisi tersebut di atas mengakibatkan pengadaan bahan kimia melebihi kebutuhan produksi dan perusahaan mengalami kerugian sebesar Rp1.737.790.664,85.

Hal tersebut di atas terjadi karena pengadaan bahan kimia yang dilakukan oleh PT BF tidak memperhatikan rencana kebutuhan untuk produksi dan jumlah stok.

PT BF menjelaskan bahwa pembelian Medium 199E, MEM, BME dan Medium 199H untuk bahan baku produksi Vaksin Polio, pengadaan bahan baku tersebut pada tahun 2001 dengan pertimbangan : - Untuk kelancaran pasokan karena diperoleh informasi produk bahan baku

tersebut akan discontinue dan kalaupun dapat mensupply hanya untuk memenuhi order PT BF saja dengan harga khusus.

- Mengantisipasi lonjakan kebutuhan Vaksin Polio menjelang eradikasi penyakit Polio dunia.

Dalam pelaksanaannya pemakaian bahan baku tersebut tidak sesuai dengan yang direncanakan sehingga terdapat sisa stock.

Page 25: 015-PT Bio Farma

17

Untuk menjamin kontinuitas proses produksi, menjelang beberapa stock kadaluarsa; maka pembelian dilakukan sebelum stock habis guna mengantisipasi jangka waktu proses pengadaan impor yang relatif lama.

BPK RI menyarankan agar manajemen PT BF mengevaluasi perencanaan kebutuhan produksi dengan mempertimbangkan masa kadaluarsa bahan baku, sehingga dapat menjadi pedoman untuk masa yang akan datang.

e. PT Bio Farma belum memenuhi kewajiban Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas pengadaan Jasa Konsultasi.

Sehubungan dengan delisted-nya prakualifikasi dari WHO, PT BF mengambil langkah-langkah perbaikan untuk memperoleh kembali prakualifiksi tersebut. Salah satunya adalah menunjuk langsung pengadaan jasa konsultasi kepada David Buckley & Associates Pty. Ltd. Pengadaan tersebut diikat dengan perjanjian konsultasi tanggal 14 Maret 2005 dan Nadir Harjee yang diikat melalui perjanjian konsultasi tanggal 1 Desember 2004. Penunjukan David Buckley & Associates Pty. Ltd sebagai konsultan PT BF dimaksudkan untuk memperbaiki Sistem Jaminan Mutu (Quality Assurance System) dan Nadir Harjee karena yang bersangkutan adalah ahli dibidang pertusis, difteri dan tetanus.

Berdasarkan pemeriksaan atas pengadaan jasa konsultasi kepada Nadir Harjee dan David Buckley & Associates Pty. Ltd, diketahui hal-hal sebagai berikut: 1) David Buckley

Pada tahun 2005 PT BF telah membayar fee jasa konsultasi kepada David Buckley sebesar Rp1.466.391.116,00, dan biaya konsumsi/akomodasi sebesar Rp162.887.181,00. Sesuai dengan Surat Persetujuan Konsultasi tanggal 14 Maret 2005 diketahui bahwa besarnya fee yang dibayarkan kepada David Buckley & Associates Pty. Ltd adalah sebesar AUD1.600,00 per hari dan tambahan untuk biaya akomodasi dan konsumsi. Fee yang dibayarkan tersebut bebas dari pajak-pajak yang berlaku di Indonesia.

Selanjutnya diketahui PT BF ternyata tidak menyetorkan dan melaporkan PPN pengadaan jasa konsultasi dari David Buckley. Besarnya fee untuk tujuan perpajakan dihitung berdasarkan kurs pajak yang ditetapkan Departemen Keuangan, sedangkan untuk pembayaran menggunakan kurs komersial sesuai dengan kurs pasar. Fee yang diperhitungkan untuk tujuan perpajakan adalah sebesar Rp1.461.115.212,00. Selanjutnya diketahui tarif PPN sesuai dengan UU adalah 10%, sehingga besarnya PPN yang belum disetorkan ke kas negara dan dilaporkan adalah sebesar Rp146.111.521,00.

Page 26: 015-PT Bio Farma

18

Kelalaian menyetor PPN tersebut bisa menyebabkan perusahaan dikenakan sanksi denda berupa bunga sebesar 2% per bulan.

2) Nadir Harjee PT BF telah membayar jasa konsultasi dan akomodasi kepada Nadir

Harjee sebesar Rp1.249.153.632,00, dengan rincian tahun 2004 sebesar Rp423.750.682,00 diantaranya sebesar Rp183.653.682,00 merupakan biaya akomodasi, sedangkan sisanya sebesar Rp240.097.000,00 merupakan fee konsultasi. Selanjutnya biaya konsultasi tahun 2005 adalah sebesar Rp409.451.032,00 diantaranya sebesar Rp183.653.682,00 merupakan biaya akomodasi, sedangkan sisanya sebesar Rp225.797.350,00 merupakan fee konsultasi.

Dari hasil pemeriksaan persetujuan konsultasi dan permintaan pembayaran diketahui Nadir Harjee telah memberikan jasa konsultasi kepada PT BF sejak Januari 2004. Di lain pihak kesepakatan kedua belah pihak baru dibuat tanggal 1 Desember 2004. Hal ini berarti bahwa pelaksanaan pekerjaan jasa konsultasi telah dilaksanakan sebelum adanya perikatan antara kedua belah pihak. Selanjutnya diketahui bahwa perjanjian konsultasi yang telah ditandangani kedua belah pihak tidak mengatur besarnya fee yang harus dibayarkan kepada Nadir Narjee. Namun demikian realisasi yang dibayarkan perusahaan kepada Nadir Harjee adalah sebesar USD1.000,00 setiap hari pertemuan, sedangkan pengeluaran untuk konsumsi dan akomodasi dalam kaitan pemberian konsultasi akan diganti oleh PT BF. Besarnya fee yang dibayarkan tersebut tidak termasuk pajak-pajak yang berlaku di Indonesia.

Berdasarkan pemeriksaan lebih lanjut terhadap ketaatan perusahan dalam pemenuhan kewajiban kepada negara dalam hal ini Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas jasa konsultasi, ternyata perusahaan belum menyetor dan melaporkan PPN tersebut. Kurs valuta asing sebagai dasar perhitungan pajak adalah kurs pajak yang ditentukan Departemen Keuangan, sedangkan kurs untuk pembayaran adalah kurs komersial yang berlaku dipasaran. Besarnya fee yang diperhitungkan dalam perhitungan pajak dengan menggunakan kurs pajak adalah sebesar Rp835.215.400,00. Sehubungan dengan hal tersebut maka besarnya PPN atas jasa konsultasi yang belum disetor ke kas negara dan dilaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) adalah sebesar Rp83.521.540,00.

Sesuai dengan UU Perpajakan kelambatan dalam menyetor pajak ke kas negara akan dikenakan denda kelambatan sebesar 2% setiap bulan kelambatan dikalikan dengan besarnya pajak yang belum dibayarkan. Besarnya potensi

Page 27: 015-PT Bio Farma

19

pengenaan sanksi denda kepada PT BF atas kelambatan penyetoran pajak pertambahan nilai (PPN) atas jasa yang konsultasi dari Nader Hajee adalah sebesar Rp10.664.025,00.

Lebih lanjut diketahui bahwa dalam mempekerjakan Nadir Harjee dan David Buckley, PT BF tidak memiliki ijin tertulis dari Departemen Tenaga Kerja. Hal ini berarti bahwa PT BF dalam mempekerjakan tenaga asing tidak memperhatikan ketentuan-ketentuan yang berlaku di Indonesia.

Hal tersebut di atas tidak sesuai dengan ketentuan sebagai berikut: 1) UU No. 18 Tahun 2000, Perubahan Kedua Undang-undang No. 8 Tahun 1983

tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. a) Pasal 1 (5) Jasa adalah setiap kegiatan pelayanan berdasarkan suatu

perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang atau fasilitas atas kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan.

b) Pasal 1 (8) Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean adalah setiap kegiatan pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.

c) Pasal 4 (e), Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.

2) UU No. 8 Tahun 1983, tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, pasal 7 (1) Tarif Pajak Pertambahan Nilai berjumlah 10% (sepuluh persen).

3) UU No. 16 Tahun 2000 tentang Perubahan atas UU No. 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan. Pasal 14, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak apabila: (ayat 1 butir f) Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tidak membuat atau membuat faktur pajak tetapi tidak tepat atau tidak mengisi selengkapnya faktur pajak. Ayat (4) Terhadap pengusaha atau Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf d, huruf e dan huruf f, masing-masing dikenakan sanksi administrasi denda sebesar 2% dari dasar pengenaan pajak.

4) Perikatan merupakan perjanjian kedua belah pihak antara lain mengatur tentang besanya fee yang dibayarkan dan lingkup pekerjaan yang harus dilaksanakan.

5) Undang-undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003, Bab VIII (pasal 42) mengenai Penggunaan tenaga kerja asing.

Page 28: 015-PT Bio Farma

20

Kondisi tersebut mengakibatkan hal-hal sebagai berikut : 1) Penerimaan negara dari sektor perpajakan dalam hal ini PPN kurang diterima

sebesar Rp229.633.061,00. 2) PT BF berpotensi dikenakan sanksi denda atas kelambatan penyetoran PPN

sebesar Rp23.656.312,00. 3) PT BF tidak mempunyai pedoman dalam melakukan pembayaran fee

konsultan. 4) PT BF berpotensi dikenakan sanksi menurut UU No.13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan sehubungan PT BF tidak memiliki ijin tertulis dari Departemen Tenaga Kerja untuk mempekerjakan tenaga kerja asing.

Kondisi tersebut di atas disebabkan Direksi PT BF : 1) Kurang memperhatikan ketentuan perundang-undangan yang berlaku dalam

hal memperkerjakan tenaga asing dan pelunasan kewajiban perpajakannya. 2) Lalai membuat surat persetujuan konsultasi sebelum jasa konsultasi diberikan.

PT BF menjelaskan bahwa Kewajiban PPN atas fee yang diterima oleh Nadir Harjee dan David Buckley akan segera diselesaikan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan pajak yang berlaku dan ijin kerja dari Departemen Tenaga Kerja & Transmigrasi untuk tenaga kerja konsultan asing yang akan datang akan diurus sebagaimana mestinya, sesuai ketentuan yang berlaku.

BPK RI menyarankan agar PT BF segera melunasi kewajiban Pajak Pertambahan Nilai kepada Pemerintah dan mematuhi ketentuan perundang-undangan yang berkaitan dengan penggunaan tenaga kerja asing. Selain itu kepada pihak yang lalai dalam menjalankan tugasnya agar dikenakan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku.

2. Kegiatan Penjualan

Realisasi penjualan tahun 2004 dan 2005 (Semester I) masing-masing sebesar Rp542.679.869.000,00 dan Rp81.578.267.000,00 atau 95,93% dan 22,76% dari anggarannya masing-masing sebesar Rp565.694.000.000,00 dan Rp358.475.000.000,00. Pemeriksaan atas kegiatan penjualan dilakukan melalui uji petik atas realisasi penjualan tahun 2004 dan 2005 (Semester I), yaitu sebesar Rp463.732.000.000,00 dan Rp35.884.000.000,00 atau 85,45% dan 43,99% dari realisasi penjualan tahun 2004 dan 2005 (Semester I).

Pemeriksaan terhadap kegiatan penjualan menghasilkan 1 (satu) temuan pemeriksaan mengenai ketidaktaatan pada ketentuan, yaitu:

Page 29: 015-PT Bio Farma

21

a. Pengeluaran Biaya Monitoring Pemasaran Tahun 2004 dan 2005 (s.d. Agustus) Sebesar Rp5.451.000.000,00 belum transparan.

PT BF menjual ke luar negeri dan dalam negeri. Penjualan dalam negeri terdiri dari penjualan institusi (Departemen Kesehatan RI/Depkes) dan penjualan ke sektor swasta. Nilai seluruh penjualan ke Depkes pada tahun 2004 dan 2005 (s.d. Agustus) masing-masing adalah sebesar Rp264.283.909.095,00 dan Rp213.864.599.900,00.

Atas penjualan tersebut, PT BF berhak menerima pembayaran dari Depkes dhi. Ditjen PPM & PL. Pembayaran dilakukan secara bertahap atau keseluruhan berdasarkan Surat Pengantar Vaksin dan Berita Acara Penerimaan Barang. Untuk Alokasi Daerah, Berita Acara Penerimaan dibuat dan ditandatangani oleh Panitia Penerimaan Vaksin atau Pejabat Struktural yang berwenang pada Kantor Dinas Kesehatan Propinsi yang ditunjuk. Untuk Alokasi Pusat, Berita Acara Penerimaan dibuat dan ditandatangani oleh Panitia Penerimaan Barang/Jasa Direktorat Epidemologi, Imunisasi dan Kesehatan Masyarakat Ditjen PPM & PL Depkes.

Untuk menunjang penjualan ke Depkes tersebut PT BF melaksanakan kegiatan monitoring yang ketentuannya diatur dalam Keputusan Direksi No. 06862/Dir/IX/2002 tanggal 11 September 2002. Kegiatan monitoring dilakukan oleh Tim Monitoring dengan tugas di antaranya adalah sebagai berikut: 1) Mengadakan pertemuan dengan Panitia Penerima Vaksin, Petugas Cold Chain

dan Pejabat P2M & PL di masing-masing propinsi untuk kelancaran persediaan, pengiriman dan penerimaan vaksin di masing-masing propinsi.

2) Menyelesaikan Berita Acara Penerimaan Vaksin di masing-masing propinsi. 3) Mengeluarkan dana yang dianggap perlu kepada pihak-pihak terkait untuk

kelancaran pelaksanaan monitoring. 4) Membuat laporan pertanggungjawaban keuangan setiap akhir tugas

perjalanan monitoring yang ditandatangani oleh Tim Monitoring dan Koordinator Tim Monitoring serta diketahui/disetujui oleh Direktur Pemasaran.

Biaya-biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan monitoring berasal dari dana monitoring pemasaran. Prosedur pengambilan dana untuk membiayai kegiatan monitoring adalah sebagai berikut: 1) Kepala Divisi Pemasaran Dalam Negeri (Kadiv PDN) membuat usulan biaya

monitoring dengan mengisi formulir usulan biaya monitoring. 2) Formulir ditandatangani oleh Kadiv PDN dan Direktur Pemasaran untuk

diajukan kepada Direktur Utama melalui Direktur Keuangan. 3) Bagian Tata Usaha Keuangan (TUK) akan membuat catatan pada formulir

Usulan Biaya Monitoring meliputi nilai Alokasi Dana Monitoring, realisasi

Page 30: 015-PT Bio Farma

22

dan panjar, dan sisa Alokasi Dana Monitoring. Selanjutnya formulir Usulan Biaya Monitoring tersebut diparaf oleh Kabag TUK dan Direktur Keuangan dan diajukan kepada Direktur Utama untuk mendapatkan persetujuan.

4) Tim Monitoring mengambil panjar (uang muka) Biaya Monitoring dengan menggunakan formulir Panjar Biaya Monitoring dan melampirkan formulir Usulan Biaya Monitoring.

PT BF telah menetapkan prosedur pertanggungjawaban Dana Monitoring sebagai berikut: 1) Setiap tahap realisasi penggunaan Dana Monitoring dipertanggungjawabkan

dengan menggunakan formulir Bukti Biaya Monitoring. 2) Formulir Bukti Biaya Monitoring ditandatangani oleh Tim Monitoring, Kadiv

PDN dan diketahui oleh Direktur Pemasaran. Pertanggungjawaban dilakukan setelah selesai monitoring dengan

melampirkan Bukti Pengeluaran Intern dan dibebankan pada Pos Biaya Monitoring.

Dari hasil pemeriksaan diketahui biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan monitoring pemasaran tahun 2004 dan 2005 (s.d Agustus) masing-masing sebesar Rp4.401.000.000 dan Rp1.050.000.000.

Dari hasil pemeriksaan terhadap pengeluaran biaya tersebut di atas diketahui hal-hal sebagai berikut : 1) Di dalam RKAP tahun 2004 yang telah disetujui oleh RUPS pada tanggal 19

Desember 2003 dan tahun 2005 pada tanggal 27 Januari 2005, telah dianggarkan Biaya Pemasaran/Biaya Monitoring kualitas dengan anggaran dan realisasi sebagai berikut : 2004 2005 - Anggaran Rp5.872.000.000,00 Rp6.435.000.000,00 - Realisasi Rp4.401.000.000,00 Rp1.050.000.000,00

atau hanya mencapai 74,95% untuk tahun 2004 dan 16,32% untuk tahun 2005 (s.d Agustus)

2) Biaya monitoring tersebut apabila dibandingkan dengan hasil penjualannya adalah sebagai berikut :

Tahun Hasil Penjualan Biaya Monitoring Prosentase 2004 Rp264.283.909.095,00 Rp4.401.000.000,00 1,66% 2005 Rp213.864.599.900,00 Rp1.050.000.000,00 0,49%

3) Pertanggungjawaban atas bukti-bukti penyetoran tersebut sudah sesuai dengan Prosedur Administrasi Biaya Monitoring yang ditetapkan dengan SK Direksi PT BF No.06862/Dir/IX/2002 tanggal 11 September 2002, yaitu telah diketahui/disetujui oleh Direktur Utama dan Direktur Keuangan serta Direktur Pemasaran. Namun, ditinjau dari sisi good corporate goverment

Page 31: 015-PT Bio Farma

23

yang digalakkan di seluruh Badan Usaha Milik Negara, prosedur yang sudah ada masih belum memperhatikan aspek transparansi.

Seharusnya PT BF mematuhi Undang-undang RI No. 19 tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara pasal 5 berupa kewajiban untuk melaksanakan prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas dan pertanggungjawaban.

Hal tersebut mengakibatkan pengeluaran dana sebesar Rp5.451.000.000,00 belum memenuhi prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas, walaupun sudah ada di RKAP tahun 2004 dan 2005.

Hal tersebut terjadi untuk mendukung aktivitas pemasaran dan mengurus Berita Acara Penerimaan Vaksin yang selanjutnya akan digunakan sebagai dasar penagihan ke Kantor Pelayanan dan Perbendaharaan Negara (KPPN).

PT BF menjelaskan monitoring adalah kegiatan pemantauan terhadap produk jadi, sejak produk dikirim sampai tiba ditangan konsumen, yaitu meliputi pengawasan mutu produk, distribusi, penyimpanan, penyerapan produk pada tahun berjalan dan rencana penyerapan produk pada tahun yang akan datang. Kegiatan ini juga bertujuan untuk memperlancar aktivitas pemasaran dan sekaligus mengurus berita acara penerimaan barang, untuk melengkapi administrasi penagihannya. Monitoring dilaksnakan oleh Tim Monitoring yang terdiri dari personel perusahaan baik dari Direktorat Pemasaran maupun Direktorat lainnya yang ditunjuk dan ditetapkan dalam keputusan Direksi.

Adapun biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan monitoring keseluruh wilayah propinsi di Indonesia ini dibukukan sebagai Biaya Monitoring yang ada dalam kelompok Biaya Pemasaran. Biaya Monitoring ini tercantum jelas dalam RKAP, yang selalu dibahas terlebih dahulu dalam rapat dengan Dewan Komisaris maupun dengan pemegang saham (Kementrian BUMN), yang akhirnya disetujui oleh RUPS.

Realisasi biaya monitoring pada tahun 2004 dan 2005 (perkiraan sampai akhir tahun) masing-masing sebesar Rp4.401 juta dan Rp5.000 juta atau 1,8% dan 1,95% dari perolehan omzet kepada Pemerintah.

BPK RI menyarankan agar prosedur pengambilan dana dan pertanggungjawaban biaya monitoring diperbaiki sehingga memenuhi prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas.

b. Piutang sebesar Rp1.132.012.099,00 kepada PT Mitra Medika Pharmalab penyelesaiannya berlarut-larut.

Penjualan vaksin dan sera produksi PT BF untuk kebutuhan dalam negeri non pemerintah, dilakukan dengan menunjuk beberapa distributor. Pada tahun

Page 32: 015-PT Bio Farma

24

2005 terdapat 12 distributor yang masih aktif bertransaksi dengan PT BF. Dari jumlah distributor tersebut terdapat tiga disributor yaitu PT Marga Husada, PT Mitra Medika Pharmalab dan PT Sierad Biotek yang mempunyai saldo piutang per 31 Desember 2004 dan 30 Juni 2005 masing-masing sebesar Rp1.951.701.421 dan Rp2.025.067.002 dengan rincian sebagai berikut:

No Distrbutor Nilai Penjualan Keterangan

I Per 31 Desember 2004

1 PT Marga Husada 345.589.353 Umur piutang antara 31 s.d 151 hari

2 PT Mitra Medika Pharmalab 1.132.012.099 Umur piutang lebih dari 151 hari

3 PT Sierad Biotek 474.099.969 Umur piutang antara 61 s.d 90 hari

J u m l a h

1.951.701.421

II Per 30 Juni 2005

1 PT Marga Husada 299.830.690 Umur piutang lebih dari 151 hari

2 PT Mitra Medika Pharmalab 1.132.012.099 Umur piutang lebih dari 151 hari

3 PT Sierad Biotek 593.224.213 Umur piutang antara 61 s.d > 151 hari

J u m l a h 2.025.067.002

Berdasarkan pemeriksaan diketahui bahwa Piutang kepada PT MMP sebesar Rp1.132.012.099 sudah macet sejak 28 Januari 2003 dan kemungkinan besar tidak tertagih karena umurnya sudah terlalu lama. Transaksi penjualan kepada distributor tersebut secara singkat digambarkan sebagai berikut:

Penjualan kepada PT MMP dimulai sejak tanggal 5 Nopember 2002 s.d 23 September 2003 sebesar Rp2.092.219.015. Pembayaran piutang yang sudah diterima PT BF sebesar Rp960.206.916 sehingga masih harus dilunasi sebesar Rp1.132.012.099 (belum termasuk denda keterlambatan pembayaran). Pembayaran terakhir kali dilakukan pada tanggal 20 Januari 2003. Walaupun setelah tanggal tersebut PT MMP tidak pernah melunasi kewajibannya tetapi PT BF masih terus melayani penjualan sampai dengan tanggal 23 September 2003. Nilai penjualan sejak pembayaran terakhir tanggal 20 Januari 2003 sampai dengan 23 September 2003 sebesar Rp892.253.335,00 yang terdiri dari 34 transaksi penjualan.

Atas keadaan ini, PT BF pada tanggal 19 Desember 2003 menunjuk Kantor Pengacara dan Konsultan Hukum Rivai S Siregar, Jimkarter dan Rekan untuk menyelesaikan piutang kepada PT MMP secara hukum. Hasil dari upaya hukum ini dibuat surat kuasa menjual tanah dan bangunan milik PT MMP. Belum diketahui secara andal berapa nilai wajar dari tanah dan bangunan tersebut. Diharapkan hasil penjualan akan digunakan untuk angsuran pelunasan kewajiban. Sampai dengan 30 Juni 2005 tanah dan bangunan belum berhasil dijual. Untuk

Page 33: 015-PT Bio Farma

25

selanjutnya pada tanggal 1 Mei 2004 PT MMP menandatangani surat kesanggupan melunasi kewajiban dengan skedul sebagai berikut: 1) PT MMP akan membayar pokok kewajiban sebesar Rp1.132.012.099 dalam

jangka waktu 10 (sepuluh) bulan dimulai pada bulan Juni 2004. 2) Hasil penjualan tanah dan bangunan akan diperhitungkan sebagai pembayaran

setoran per bulan. 3) Masalah denda akan dibicarakan kemudian setelah pelunasan kewajiban

pokok selesai dilakukan Pada kenyataannya PT MMP tidak pernah mengangsur pelunasan

kewajiban. Selanjutnya PT MMP melalui Drs. Nefmirzal sebagai Direktur Utama menyerahkan tanah dan bangunan kepada kuasa hukum PT BF secara tertulis dan bermaterai cukup. Harga tanah dan bangunan ditaksir sebesar Rp250.000.000. Sampai dengan 30 Juni 2005 belum terdapat upaya hukum lanjutan atas penyerahan tanah dan bangunan.

Seharusnya dalam melakukan penjualan: 1) Manajemen memperhatikan pasal 8 ayat (1) b Perjanjian Distributorship

No.00205/PNP-S/I/2002 tanggal 9 Januari 2002 yang menyebutkan bahwa pembayaran atas pemesanan atau pembelian produk dapat dilaksanakan dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari takwim terhitung sejak tanggal pengambilan barang.

2) Bagian Pemasaran mengadakan koordinasi dengan Bagian Keuangan mengenai posisi piutang distributor sebelum melakukan penjualan.

Hal tersebut mengakibatkan dana sebesar Rp1.132.012.099,00 tidak dapat dimanfaatkan.

Hal tersebut terjadi karena manajemen tidak mempunyai sistem pengendalian penjualan kredit, tidak memperhatikan Perjanjian Distributorship dan tetap menjual meskipun PT MMP belum melunasi pembayaran untuk transaksi-transaksi sebelumnya.

PT BF menjelaskan bahwa pada saat PT MMP mengajukan sebagai distributor, Divisi Pemasaran Dalam Negeri menganalisa kelayakan menjadi distributor dengan cara : 1) Melakukan penelaahan terhadap persyaratan administrasi seperti :

• SITU-SIUP, • NPWP, • Akte Pendirian Perusahaan, • Izin PBF, • Ijazah Apoteker/Asisten Apoteker Penanggung jawab PBF

Page 34: 015-PT Bio Farma

26

2) Melakukan kunjungan ke lokasi untuk memeriksa hal-hal sebagai berikut: • Ketersediaan Gudang, • Ketersediaan Cold room atau refrigerator • Ketersediaan Kendaraan angkutan barang. • Jumlah SDM.

PT MMP menyerahkan jaminan berupa Jaminan Pelaksanaan dari asuransi, yang ternyata jaminan tersebut tidak bisa menjamin piutang kepada PT BF (tidak dapat dicairkan pada saat terjadi piutang macet).

Untuk selanjutnya PT BF hanya menerima Bank Garansi atau Jaminan Pembayaran dari asuransi yang direkomendasi oleh PT BF.

Untuk penyelesaian masalah Piutang PT MMP, PT BF menyerahkan sepenuhnya kepada Pengacara yang ditunjuk dan akan diproses secara pidana.

BPK RI menyarankan agar Direksi PT BF: 1) Memberikan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku kepada pihak yang

menyetujui penjualan kepada PT MMP meskipun piutang atas transaksi sebelumnya belum dilunasi.

2) Menyusun sistem dan prosedur penjualan kredit dengan memperhatikan risiko tidak terbayarnya piutang.

3) Meminta kepada pengacara untuk segera menyelesaikan dan melaporkan setiap kemajuan penanganan masalah piutang PT MMP.

3. Kegiatan Investasi

Realisasi investasi tahun 2004 dan 2005 (Semester I) masing-masing sebesar Rp28.059.819.231,00 dan Rp35.145.597.540,00 atau 44,08% dan 61,03% dari anggarannya masing-masing sebesar Rp63.657.800.000,00 dan Rp57.584.000.000,00.

Pemeriksan atas kegiatan investasi dilakukan melalui uji petik atas investasi tahun 2004 dan 2005 (s.d. Semester I), yaitu sebesar Rp19.518.522.494,46 dan Rp17.732.779.937,06 atau 69,56% dan 50,46% dari realisasi invesasi tahun 2004 dan 2005 (Semester I).

Pemeriksaan terhadap kegiatan investasi menghasilkan 2 (dua) temuan pemeriksaan mengenai ketidaktaatan pada ketentuan dan ketidakhematan, yaitu:

a. Penyelesaian pekerjaan jasa konsultan penyempurnaan Sistem dan Prosedur Akuntansi berlarut-larut

PT BF mengadakan pekerjaan jasa konsultan Penyempurnaan Sistem & Prosedur Akuntansi Keuangan karena sistem, prosedur dan aplikasi program akuntansi keuangan yang ada sudah tidak sesuai dengan perkembangan perusahaan ke depan.

Page 35: 015-PT Bio Farma

27

Pengadaan dilakukan dengan cara pemilihan langsung dengan Surat Permintaan Penawaran Harga (SPPH) No.0526A/Log/SPPH-INV/07/2004 dan No.0526B/Log/ PPH-INV/07/2004 tanggal 24 Juli 2004, yang dikirimkan kepada dua rekanan yaitu PT Elang Persada Nusantara (PT EPN) dan PT Swamedia Informatika (PT SI). Atas permintaan tersebut PT EPN mengirimkan Surat Penawaran Harga (SPH) No.085/EPN-Dir/VIII/2004 tanggal 8 Agustus 2004 dengan nilai penawaran Rp454.000.000,00 sebelum PPN 10%. Sedangkan PT SI mengirimkan SPH melalui surat No.004/SWA-PEN/AUG/2004 dengan nilai penawaran Rp495.250.000,00 sebelum PPN 10%. Setelah dilakukan evaluasi terhadap penawaran yang masuk dari kedua rekanan tersebut, ditentukan pemenangnya adalah PT EPN. Melalui proses negosiasi harga, ditetapkan harga yang disepakati adalah sebesar Rp450.000.000,00 (sebelum PPN 10%) dan dituangkan dalam Berita Acara Negosiasi Harga tanggal 20 Agustus 2004.

Pekerjaan Jasa Konsultasi Penyempurnaan Sistem dan Prosedur Akuntansi tersebut diikat dengan perjanjian No.05995/Dir/IX/2004 tanggal 27 September 2004 dengan nilai perjanjian Rp495.000.000,00 termasuk PPN 10%. Ruang lingkup pekerjaan meliputi Pedoman Akuntansi dan Keuangan dan Sistem Informasi Manajemen Akuntansi dan Keuangan serta Hutang.

PT BF membayar uang muka sebesar 20% dari nilai perjanjian atau sebesar Rp99.000.000,00 (termasuk PPN 10%). Disamping itu, untuk memudahkan koordinasi dalam menunjang kelancaran pelaksanaan pekerjaan, PT BF membentuk Tim Counterpart yang ditetapkan dengan SK Direksi No.07005/Dir/XI/2004 tanggal 9 Nopember 2004.

Dari pemeriksaan terhadap dokumen-dokumen berkaitan dengan pengadaan jasa di atas, ditemukan beberapa permasalahan sebagai berikut : 1) Berdasarkan Harga Perhitungan Sendiri (HPS) yang dibuat oleh Bagian

Logistik, nilai pengadaan diperkirakan sebesar Rp601.550.000,00. Menurut Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa yang ditetapkan PT BF, untuk pengadaan dengan nilai lebih dari Rp500.000.000,00, dilakukan dengan pelelangan. Namun dalam pengadaan jasa ini, pengadaan dilakukan dengan pemilihan langsung. Menurut penjelasan Bagian Logistik, pertimbangan digunakannya cara pemilihan langsung adalah karena pekerjaan jasa konsultan tersebut merupakan pekerjaan yang spesifik.

2) Dua rekanan yang mengirimkan permintaan penawaran harga yaitu PT EPN dan PT SI tidak termasuk dalam Daftar Rekanan Mampu (DRM) yang tercatat di PT BF. Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa yang ditetapkan PT BF menyebutkan bahwa DRM digunakan sebagai persyaratan peserta rekanan dalam penyelenggaraan pengadaan barang dan jasa.

Page 36: 015-PT Bio Farma

28

3) HPS yang dibuat oleh Bagian Logistik tidak menunjukkan perkiraan harga yang dikalkulasikan secara keahlian, tetapi hanya mengikuti nilai yang sudah tercantum dalam form usulan proyek dari unit yang memerlukan.

4) Nilai penawaran dari PT EPN sebagai pemenang dalam evaluasi penawaran harga sebesar Rp454.000.000,00 (sebelum PPN 10%) atau 75% di bawah HPS yang dibuat oleh PT BF sebesar Rp601.550.000,00. Pedoman Pengadaan Barang dan Jasa yang ditetapkan oleh PT BF menyebutkan bahwa harga penawaran terendah masih dianggap wajar dan tidak perlu dilakukan analisis tertulis secara profesional apabila tidak lebih rendah dari 80% HPS. Jika harga penawaran terendah lebih rendah dari 80% HPS tetapi masih di bawah dana yang tersedia, harus dilakukan analisis tertulis secara profesional. Dari pemeriksaan terhadap dokumen yang ada, tidak ada analisis yang dilakukan untuk menjelaskan perbedaan harga tersebut.

5) Terjadi keterlambatan penyelesaian pekerjaan dan hasil pekerjaan tidak dapat diterapkan, dan sampai saat pemeriksaan belum ada penyelesaiannya.

Perjanjian No. 05995/Dir/IX/2004 tanggal 27 September 2004 pasal 9 menyebutkan bahwa jangka waktu penyelesaian pekerjaan dibagi dalam 2 tahap yaitu: (i) pelaksanaan pekerjaan tidak termasuk kegiatan pemeliharaan harus sudah diselesaikan paling lambat tanggal 30 April 2005 dan (ii) kegiatan masa pemeliharaan dilakukan untuk periode enam bulan atau sampai dengan 31 Oktober 2005. Sedangkan cara pembayaran dilakukan secara bertahap setelah PT EPN menyerahkan bagian-bagian pekerjaan yang disepakati dalam pasal 12 perjanjian.

Sampai menjelang batas waktu yang ditentukan, belum ada satu pun bagian pekerjaan yang diserahkan oleh PT EPN. Dengan surat No.234/EPN/IV/2005 tanggal 18 April 2005, PT EPN mengajukan permohonan perpanjangan waktu pelaksanaan pekerjaan tahap I sampai tanggal 15 Juni 2005 yang dengan sendirinya diikuti perpanjangan masa pemeliharaan menjadi tanggal 15 Desember 2005. Alasan permohonan tersebut adalah karena karakteristik perusahaan PT BF yang khas memerlukan kegiatan tambahan berkenaan dengan pemahaman sispro yang saat ini berlaku di PT BF dan pemahaman terhadap hasil pembahasan dengan tim counterpart. Proses tersebut mengakibatkan terlampauinya alokasi waktu dalam mengembangkan dan menyempurnakan item-item pekerjaan. Permohonan tersebut disetujui dan dibuat Addendum Perjanjian Pengadaan Jasa Pekerjaan Konsultansi Penyempurnaan Sistem dan Prosedur Akuntansi No.02259/DIR/IV/2005 tanggal 18 April 2005.

Pada tanggal 6 Juni 2005 PT EPN baru menyerahkan hasil pekerjaan yang pertama yaitu Pedoman Akuntansi Umum dalam bentuk Kebijakan Akuntansi dan

Page 37: 015-PT Bio Farma

29

dituangkan dalam Berita Acara Penyerahan Pekerjaan (BAPP) No.101/BAPP/VI/2005. Dengan demikian PT EPN berhak menerima pembayaran sebesar Rp19.800.000,00 (termasuk PPN 10%) dan telah dibayar oleh PT BF. Kemudian pada tanggal 13 Juni 2005 PT EPN menyerahkan enam bagian pekerjaan yaitu tahap 2, 3, 5, 6, 7 dan 8 sesuai pasal 12 Perjanjian dan dituangkan dalam BAPP No.102/BAPP/VI/2005. Dengan demikian PT EPN berhak menerima pembayaran sebesar Rp124.740.000,00 (termasuk PPN 10%) dan telah dibayar oleh PT BF.

Sesuai addendum perjanjian, batas waktu penyelesaian pelaksanaan pekerjaan adalah tanggal 15 Juni 2005. Namun sampai batas waktu yang ditentukan, PT EPN belum menyerahkan seluruh hasil pekerjaan. Pekerjaan yang diserahkan melalui BAPP No.101/BAPP/VI/2005 dan 102/BAPP/VI/2005 baru mencapai kurang lebih 36,5% dari seluruh pekerjaan. Atas keterlambatan tersebut, Direktur Produksi PT BF mengirimkan peringatan tentang batas waktu penyelesaian pekerjaan melalui surat No.03657/Log/VI/2005 tanggal 16 Juni 2005. Dalam surat tersebut diinformasikan juga bahwa terhitung tanggal 16 Juni 2005 PT EPN dikenakan denda 1‰ dari nilai perjanjian per hari keterlambatan maksimum 3%.

Pada tanggal 18 Juli 2005, ketua Tim Counterpart PT BF mengirimkan memo yang ditujukan kepada Direktur Keuangan untuk melaporkan perkembangan pekerjaan yang dilakukan oleh PT EPN. Memo tersebut melaporkan usulan langkah yang diambil tim counterpart untuk tetap menggunakan PT EPN sebagai konsultan mengingat pekerjaan tersebut masih memerlukan waktu penyelesaian secara tuntas, dengan merubah perjanjian antara lain denda yang dikenakan tidak terikat lagi dengan batas maksimal 3% dalam waktu 30 hari, namun disesuaikan dengan keterlambatan penyelesaian pekerjaan. Usulan tersebut akan dibicarakan dengan PT EPN pada tanggal 19 Juli 2005.

Dalam pertemuan dengan PT EPN pada tanggal 19 Juli 2005 pihak PT BF menawarkan beberapa persyaratan apabila PT EPN berniat melanjutkan penyelesaian pekerjaan sebagai berikut: 1) Tidak ada lagi batas maksimal denda, maka selama PT EPN belum

menyelesaikan pekerjaan dan belum ada pemutusan perjanjian, PT EPN wajib membayar denda keterlambatan 1‰ per hari kalender.

2) Pekerjaan harus diselesaikan selambat-lambatnya tanggal 31 Agustus 2005. 3) Masa pemeliharaan yang harus dilakukan selama 6 bulan sesuai dengan

addendum sampai tanggal 15 Desember 2005, diubah menjadi sampai 6 bulan sejak PT EPN menyelesaikan pekerjaan dan diterima baik oleh PT BF.

Page 38: 015-PT Bio Farma

30

4) Denda keterlambatan dibayar pada saat PT EPN menerima pembayaran untuk pekerjaan mencapai 100% (sebelum dilakukan masa pemeliharaan).

Kondisi di atas menunjukkan bahwa pekerjaan tersebut tetap dilanjutkan oleh PT EPN tanpa diikat dengan adanya addendum dan hanya berdasarkan pembahasan dengan Tim Counterpart yang dituangkan dalam notulen rapat tanggal 19 Juli 2005.

Pada tanggal 20 Juli 2005 PT EPN mengirimkan surat No.415/Dir/VII/2005 yang berisi penyerahan pekerjaan sbb : 1) Revisi buku Pedoman Akuntansi Keuangan bagian dua. 2) Buku Pedoman Akuntansi Keuangan bagian tiga yang di dalamnya terdapat

bagian pekerjaan yang belum diberita acarakan yaitu pedoman akuntansi umum dalam bentuk standar jurnal terkomputerisasi dan penjelasannya serta prosedur pencatatan transaksi di luar kas, bank, pembelian dan penjualan.

Sedangkan berkaitan dengan pekerjaan Sistem Aplikasi Akuntansi Keuangan akan diinstalasikan pada tanggal 23 Juli 2005.

Pada tanggal 22 Agustus 2005 Tim Counterpart menyampaikan permohonan kepada Kepala Divisi Logistik untuk membuat addendum kedua atas perjanjian pengadaan jasa tersebut. Menjelang batas waktu penyelesaian pekerjaan tanggal 31 Agustus 2005, ternyata belum ada tambahan hasil pekerjaan yang diserahkan oleh PT EPN. Direktur Produksi kemudian meyampaikan peringatan dengan surat No.05388/Log/VIII/2005 tanggal 23 Agustus 2005. Pada tanggal yang sama Tim Counterpart mengirimkan surat No.06/TCPSAK/VIII/2005 berisi undangan rapat kepada PT EPN yang akan diselenggarakan tanggal 25 Agustus 2005, berkaitan dengan keberatan Direksi untuk membuat addendum kedua.

Hasil rapat tanggal 25 Agustus 2005 dituangkan dalam notulen rapat yang memuat: 1) Tim counterpart menyampaikan hasil evaluasi Sistem Aplikasi Akuntansi dan

Keuangan (SAAK) untuk mendapat perbaikan dan penyelesaian dari PT EPN. 2) PT EPN akan membuat surat pernyataan kesanggupan untuk menyelesaikan

paling lambat 31 Agustus 2005 dan apabila sampai jangka waktu tersebut belum dapat diselesaikan, PT EPN setuju dan bersedia mengakhiri perjanjian.

Sampai dengan tanggal 29 Agustus 2005 PT BF masih menghadapi kendala dalam penerapan program SAAK dan sampai batas waktu tanggal 31 Agustus 2005 pekerjaan belum diselesaikan seluruhnya. Oleh karena itu PT BF menyampaikan peringatan ketiga dengan surat No.05669/Log/IX/2005 tanggal 1 September 2005.

Berkaitan dengan instalasi program SAAK dan uji coba yang sudah dilakukan tanggal 1 September 2005, ternyata program tersebut belum dapat

Page 39: 015-PT Bio Farma

31

digunakan sebagaimana mestinya antara lain problem multi user, output laporan keuangan hasilnya masih salah dan belum lengkap. Untuk itu Tim Counterpart menginformasikan hasil evaluasi tersebut kepada PT EPN dengan surat No.09/TCPSAK/IX/2005 tanggal 2 September 2005. Disamping itu disampaikan pula bahwa untuk sementara waktu pekerjaan dihentikan sambil menunggu keputusan Direksi.

Dengan surat No.585/Dir/IX/2005 tanggal 14 September 2005 yang ditujukan kepada Direktur Utama, PT EPN memberikan penjelasan lebih lanjut atas finalisasi pekerjaan konsultansi penyempurnaan sistem dan prosedur akuntansi. Surat tersebut berisi klarifikasi beberapa fakta. Berdasarkan fakta tersebut, PT EPN menganggap bahwa Laporan Finalisasi SAAK yang telah disampaikan kepada PT BF, secara profesional dapat dipertanggungjawabkan. Untuk itu PT EPN meminta agar Direksi mempertimbangkan kembali kelanjutan pelaksanaan pekerjaan penyempurnaan sistem dan prosedur akuntansi mengingat bahwa bagian-bagian pekerjaan yang telah dipertanggungjawabkan sebelumnya antara lain kebijakan akuntansi, kode akun dan lain-lain, seluruhnya telah diimplementasikan ke dalam program SAAK yang telah diinstalasikan. Apabila kebijakan pemutusan pekerjaan menjadi pilihan, maka PT BF harus memulainya dari awal.

Sampai dengan saat pemeriksaan berakhir tanggal 28 Oktober 2005, permintaan dari PT EPN masih belum mendapat tanggapan dari Direksi sehingga penyelesaian pekerjaan tersebut menjadi berlarut-larut.

Hal tersebut tidak sesuai dengan Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa yang ditetapkan dengan SK Direksi PT BF (Persero) No.00131/Dir/I/2000 tanggal 12 Januari 2000.

Hal tersebut mengakibatkan: 1) Perusahaan tidak bisa memanfaatkan sistem dan prosedur akuntansi yang

dibuat sesuai dengan waktu yang disepakati. 2) Denda atas keterlambatan pekerjaan sebesar 3% dari nilai perjanjian atau

sebesar Rp14.850.000,00 belum dapat ditagih. 3) Pencairan atas nilai jaminan pelaksanaan sebesar Rp24.750.000,00 dan sisa

uang muka sebesar Rp52.965.000,00 belum dapat direalisasikan. Hal tersebut di atas terjadi karena:

1) Manajemen tidak mengikuti pedoman pengadaan barang dan jasa yang berlaku.

2) Manajemen PT BF tidak teliti dalam memilih rekanan/vendor dalam penyempurnaan sistem dan prosedur akuntansi.

Page 40: 015-PT Bio Farma

32

3) Direksi PT BF tidak tegas dalam mengambil langkah penyelesaian mengenai kelanjutan pekerjaan.

PT BF menjelaskan bahwa pekerjaan jasa konsultan EPN dianggap sebagai pekerjaan yang spesifik karena karakteristik pembukuan PT BF relatif berbeda dengan perusahaan lain. Walaupun pengadaan jasa konsultan sistem merupakan pekerjaan spesifik, PT BF minta pembanding ke PT SI untuk bahan negosiasi harga dengan PT EPN.

Analisis penurunan harga sebesar 75% dari harga Owners Estimate telah dilakukan.

Untuk menyelesaikan kelanjutan Perjanjian Pekerjaan Jasa Konsultansi Penyempurnaan Sistem dan Prosedur Akuntansi yang dilaksanakan oleh PT Elang Persada Nusantara (EPN), setelah PT EPN tidak dapat menyerahkan pekerjaan pada tanggal 31 Agustus 2005 sesuai dengan komitmen yang disepakati, PT BF telah melakukan upaya-upaya sebagai berikut : 1) Mengirim surat tanggapan atas surat dari PT EPN Nomor 585/Dir/IX/2005

tanggal 14 September 2005 melalui surat nomor 06724/Dir/X/2005 tanggal 17 Oktober 2005.

2) Melakukan pembahasan dengan PT EPN pada tanggal 25 Oktober 2005 yang intinya sepakat untuk Pengakhiran Perjanjian yang ditandatangani oleh kedua belah pihak dan setuju untuk menyelesaikan hak dan kewajiban masing-masing pihak sebagaimana tertuang dalam notulen rapat.

3) Mengirim surat nomor 07020/Um/X/2005 tanggal 26 Oktober 2005 tentang Klaim Jaminan Uang Muka dan Jaminan Pelaksanaan Pekerjaan kepada PT Asuransi Jasa Indonesia.

BPK RI menyarankan agar Direksi PT BF memberikan sanksi sesuai dengan ketentuan kepada pihak yang bertanggung jawab dalam pengadaan jasa konsultan dan melaksanakan kesepakatan yang telah diputuskan. Untuk masa yang akan datang mematuhi ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dalam pengadaan barang dan jasa.

b. Pemborongan pekerjaan pembangunan Gedung Litbang tidak sesuai dengan pedoman pengadaan barang dan jasa, dan addendum perpanjangan waktu tidak sesuai dengan perjanjian.

Berdasarkan usulan pengadaan barang inventaris RKAP tahun 2004, PT BF mengadakan pemborongan pekerjaan pembangunan gedung penelitian dan pengembangan (litbang). Rencana Anggaran Biaya (RAB) yang menjadi dasar HPS proyek tersebut adalah sebesar Rp14.187.025.815,24 (belum termasuk PPN 10%). Hasil evaluasi panitia pelelangan terhadap 5 (lima) perusahaan yang

Page 41: 015-PT Bio Farma

33

memasukkan dokumen penawaran dituangkan dalam Berita Acara Hasil Pelelangan No.10/PP-BF/02/04 tanggal 9 Pebruari 2004 dengan keputusan hasil pelelangan dinyatakan gagal karena harga penawaran yang diajukan di atas HPS. Harga penawaran kelima perusahaan tersebut masing-masing adalah PT Fajar Parahiyangan (PT FP) sebesar Rp15.489.501.165,62, PT Gunakarya Nusantara (PT GN) sebesar Rp15.484.698.575,13, PT Manna Wasalwa (PT MW) sebesar Rp15.477.000.502,26, PT Jati Wirya Guna (PT JWG) sebesar Rp15.490.012.373,24 dan PT Widya Satria (PT WS) sebesar Rp15.482.597.853,18.

Pada tanggal 12 April 2004 panitia pelelangan mengundang kembali kelima perusahaan tersebut untuk mengikuti pelelangan ulang. Rapat penjelasan pekerjaan pada pelelangan ulang ini dilakukan pada tanggal 20 April 2004 yang antara lain menjelaskan adanya penyesuaian lingkup pekerjaan yaitu penangguhan pembangunan auditorium karena kenaikan harga-harga bahan. Selain itu dalam rincian RAB juga terdapat beberapa item penambahan pekerjaan. Dalam proses pelelangan ulang ini, perhitungan RAB proyek pembangunan gedung litbang berubah menjadi sebesar Rp16.149.405.483,61 (belum termasuk PPN 10%).

Pelelangan kedua dinyatakan sah karena dari 4 (empat) perusahaan yang memasukkan dokumen penawaran terdapat 3 (tiga) peserta lelang menawarkan harga di bawah HPS dan hanya satu peserta lelang yang menawarkan harga di atas HPS. Harga penawaran keempat perusahaan tersebut masing-masing adalah PT GN sebesar Rp16.170.998.408,87, PT MW sebesar Rp16.104.723.358,60, PT JWG sebesar Rp16.135.138.599,51 dan PT WS sebesar Rp16.148.509.089,12.

Berdasarkan usulan dari panitia pelelangan, Direksi memberikan persetujuan pemenang pelelangan yaitu PT MW dan pemenang cadangan yaitu PT JWG. Kemudian pada tanggal 19 Mei 2004, dikeluarkan surat keputusan Direksi mengenai pengumuman pemenang lelang.

Pekerjaan pembangunan gedung litbang tersebut diikat dengan perjanjian tanggal 11 Juni 2004 dengan nilai sebesar Rp17.715.196.000,00 (termasuk PPN 10%). Jangka waktu pelaksanaan pekerjaan adalah 280 hari kalender terhitung sejak 11 Juni 2004 s.d. 17 Maret 2005 dengan masa pemeliharaan selama 180 hari kalender terhitung setelah tanggal pekerjaan diserahkan secara resmi.

Sampai dengan tanggal 6 Januari 2005, PT MW baru menyelesaikan pekerjaan dengan progress 20,042% dan telah menerima pembayaran sebesar Rp2.834.431.360,00. Sampai sebulan sebelum batas akhir pelaksanaan pekerjaan tanggal 17 Maret 2005, PT MW belum berhasil menambah prestasi pekerjaan, sehingga PT MW mengajukan permohonan perpanjangan waktu pada tanggal 18 Pebruari 2005 dengan alasan adanya material impor yang jumlahnya ± 40% dari

Page 42: 015-PT Bio Farma

34

total pekerjaan yang memerlukan delivery time yang panjang serta curah hujan bulan Agustus 2004 s.d. Pebruari 2005 sangat tinggi sehingga menghambat pelaksanaan pekerjaan. Disamping itu PT MW mengajukan usulan tahapan pembayaran setiap prestasi pekerjaan telah mencapai bobot 15%. Atas permohonan ini, PT BF menyatakan persetujuannya dan dibuat addendum perjanjian pemborongan pekerjaan No.01482/DIR/III/2005 tanggal 14 Maret 2005 yang antara lain memuat perpanjangan jangka waktu pelaksanaan pekerjaan selama 90 hari kalender sehingga menjadi 370 hari terhitung sejak 11 Juni 2004 s.d. 15 Juni 2005. Atas permohonan perpanjangan waktu ini, PT BF tidak melakukan analisa atas alasan permohonan perpanjangan waktu tersebut. Setelah addendum perjanjian tersebut, PT MW menyerahkan hasil pekerjaannya dalam lima tahap dan tahap terakhir pada tanggal 29 Juli 2005.

Dari seluruh tahapan penyelesaian pekerjaan tersebut PT MW telah menerima pembayaran dari PT BF kecuali pembayaran setelah masa pemeliharaan karena sampai dengan saat pemeriksaan masih belum berakhir.

Dari hasil pemeriksaan atas dokumen-dokumen pengadaan pemborongan pekerjaan pembangunan gedung litbang diketahui beberapa permasalahan sebagai berikut: 1) Pelaksanaan pelelangan dilakukan dua kali karena pelelangan pertama

dinyatakan gagal. Kegagalan pelelangan disebabkan harga penawaran yang diajukan di atas HPS sebesar Rp14.187.025.815,24 (belum termasuk PPN 10%). Pada saat itu, penawaran harga terendah adalah dari PT MW yaitu sebesar Rp15.477.000.502,26 atau 109,09% dari HPS. Pelelangan kedua dinyatakan sah dengan tiga perusahaan memberikan penawaran di bawah HPS. Pada pelelangan kedua, penawaran terendah juga dari PT MW yaitu sebesar Rp16.104.723.358,60. Sesuai Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa PT BF, pada pelelangan pertama meskipun harga penawaran di atas HPS namun masih dalam batas yang dianggap wajar karena tidak lebih tinggi dari 110%, sehingga tidak perlu dilakukan pelelangan ulang.

2) Perpanjangan waktu yang diberikan kepada PT MW dalam addendum perjanjian melebihi batas maksimal yang ditetapkan dalam perjanjian sebelumnya. Dalam pasal 7 perjanjian tentang keadaan memaksa ayat (3) disebutkan bahwa jadwal pelaksanaan pekerjaan akan diperpanjang untuk jangka waktu yang sama dengan lamanya penundaan pekerjaan yang mana pemberhentian tersebut tidak melebihi jangka waktu 60 hari kalender setelah tanggal pemberitahuan.

Page 43: 015-PT Bio Farma

35

Sedangkan dalam addendum, perpanjangan waktu yang diberikan adalah 90 hari kalender, melebihi batas maksimal perpanjangan waktu yang dimungkinkan dalam keadaan memaksa. Dalam realisasinya, PT MW juga tidak berhasil menyelesaikan pekerjaan sesuai batas waktu yang ditetapkan dalam addendum yaitu 15 Juni 2005. PT MW baru bisa menyelesaikan pekerjaan tanggal 29 Juli 2005 sesuai BAPP atau terlambat selama 44 hari. Untuk keterlambatan ini, PT BF telah memperhitungkan denda maksimal sesuai perjanjian yaitu 3% dari nilai perjanjian atau Rp531.455.880,00 dan telah dilakukan pembayaran oleh PT MW pada tanggal 31 Agustus 2005. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa dalam menyepakati addendum perjanjian, PT BF tidak mempertimbangkan kontrak sebelumnya.

Hal tersebut tidak sesuai dengan: 1) Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa yang ditetapkan dengan

SK Direksi PT BF (Persero) No.00131/Dir/I/2000 tanggal 12 Januari 2000 mengenai HPS (OE) butir e, disebutkan Fungsi OE dan penerapannya dalam evaluasi harga. Harga penawaran terendah atau harga calon pemenang lelang masih dianggap wajar dan tidak perlu dilakukan analisis tertulis secara profesional, apabila tidak lebih tinggi dari 110% OE.

2) Perjanjian pemborongan pekerjaan No.03337/DIR/VI/2004 tanggal 11 Juni 2004, Pasal 7 ayat 3 yang menyatakan, Jadwal pelaksanaan pekerjaan akan diperpanjang untuk jangka waktu yang sama dengan lamanya penundaan pekerjaan yang mana pemberhentian tersebut tidak melebihi jangka waktu 60 (enam puluh) hari kalender setelah tanggal pemberitahuan sebagaimana dimaksud ayat 2 pasal ini.

Hal tersebut mengakibatkan PT BF menanggung risiko kenaikan harga dan tidak dapat memanfaatkan bangunan gedung litbang secara tepat waktu.

Hal tersebut terjadi karena PT BF tidak mempunyai perencanaan yang matang dalam pengadaan pemborongan pekerjaan dan tidak mematuhi pedoman pelaksanaan pengadaan barang dan jasa maupun klausul-klausul dalam perjanjian.

PT BF menjelaskan bahwa tender ulang terutama ada perubahan spesifikasi dan peningkatan harga, jadi harga pada HPS awal sudah tidak sesuai lagi. Spesifikasi yang berubah adalah : • Penambahan pekerjaan lift barang senilai Rp390.700.000,00 • Penambahan pekerjaan AC, booster dan Exhaust fan lt 1 Rp511.560.000,00 • Penambahan pekerjaan AC, booster dan Exhaust fan lt 2 Rp542.880.000,00 • Pengurangan pekerjaan auditorium Rp540.532.862,20

Masalah perpanjangan waktu pelaksanaan PT Manna Wasalwa memberikan alasan keterlambatan yang dapat diterima PT BF dan berdasarkan alasan PT

Page 44: 015-PT Bio Farma

36

Manna Wasalwa dan mengingat gedung Litbang sangat strategis untuk PT BF, maka manajemen memutuskan memberi perpanjangan waktu 90 hari dengan pertimbangan lebih menguntungkan melanjutkan daripada dihentikan.

BPK RI menyarankan agar Direksi PT BF : 1) Menyusun perencanaan yang matang untuk kegiatan pengadaan pemborongan

pekerjaan. 2) Mentaati pedoman pengadaan barang dan jasa yang berlaku dan perjanjian

pemborongan pekerjaan.

BADAN PEMERIKSA KEUANGAN

REPUBLIK INDONESIA