nurul
DESCRIPTION
umumTRANSCRIPT
KEBIJAKAN BARU DALAM KEBIJAKAN MEDIA DI INDONESIA
Ada beberapa perubahan paradigma yang terjadi di dalam kebijakan
media. Hal ini bisa dirunut dalam beberapa fase dan tahapan dibeberapa bagian
dunia. Pada tahap awal, hal itu dapat terlihat melalui munculnya kebijakan
industri komunikasi, pada awal abad 18 hingga sebelum Perang Dunia II. Tak ada
perbedaan nyata diantara kebijakan tentang penguasaan media di pihak
pemerintah dalam mempromosikan pembangunan ekonomi, ataupun kepentingan
bagi para pemilik modal.
Fase kedua, dapat disebut sebagai tahap public service, layanan umum.
Fase ini ditandai dengan kebutuhan peraturan yang lebih jelas dalam menaungi
semua industri komunikasi, dan juga kesadaran lebih baik untuk melibatkan
komunikasi dalam jangkauan sosial dan sebagai sarana politik dan ekonomi.
Komunikasi media, tidak hanya dipandang sebagai teknologi semata, tapi juga
berperan dalam kehidupan sosial masyarakat. Di Eropa, fase ini mencapai
puncaknya pada kurun waktu 1970-an.
Fase ketiga, adalah fase dimana adanya internasionalisasi, digitalisasi dan
kovergensi bermuara. Inilah fase dimana batas-batas geografis tidak menjadi hal
utama, dan nilai-nilai dipertukarkan di dalam industri komunikasi. Inilah fase
dimulainya paradigma baru komunikasi saat semua kepentingan saling
dipertukarkan, kebijakan di tata kembali, dan konsep-konsep ditafsirkan ulang,
baik secara politik, ekonomi dan sosial. Prinsip utamanya menjadi: kebijakan
1
komunikasi publik berindikasi kebebasan; akses, layanan dan materi komunikasi
dikelola dengan kendali minimal dari kebijakan di luar media
Menurut Van Cuilenberg dan McQuil (2003), selama beberapa dekade
perkembangan ilmu komunikasi, terdapat tiga tahap mengenai kebijakan
komunikasi :
Pertama, fase lahirnya kebijakan industri komunikasi (emerging
communication industry policy). Mulai sejak abad ke-19 sampai Perang Kedua
Kedua. Dalam fase ini tidak ada tujuan kebijakan yang saling bertautan antara
perlindungan kebijakan strategis dari pemerintah dan negara dengan sosialisasi
pengembangan industri dan ekonomi sistem ekonomi baru. (telepon, kabel,
wireless telegrap, radio, dll).
Kedua, pelayanan publik (public service). diawali dengan pengakuan akan
pentingnya membuat peraturan penyiaran. Namun kesadaran terhadap manfaat
social bagi politik, social, dan budayanya hanya sebatas berada pada tahap
medium saja. Komunikasi dilihat hanya sebatas pada kemampuan teknologi
semata. Ide baru tentang ”communication wellfare” mulai diperkenalkan dan
berkembang lebih jauh daripada kebutuhan untuk mengontrol alokasi frekuensi
langka. Kebijakan sebenarnya sangat positif dalam mempromosikan tujuan
budaya dan sosial sebagaimana juga negatif dalam mengancam kerusakan pada
”lingkungan”.
Pada fase ini untuk pertama kalinya pers mulai masuk dalam kebijakan
publik, dalam hal untuk membatasi kekuatan monopoli pemilik dan membangun
2
”standar” untuk menghadapi tekanan komersial. Fase ini mencapai puncaknya di
Eropa pada 1970 dan sejak itu semakin menghilang.
Ketiga, semakin berkembang tren yang sebenarnya sudah lama
dibicarakan, yaitu internasionalisasi, digitalisasi, dan kombinasi antar keduanya.
Pada periode ini juga ditandai dengan semakin kuatnya inovasi, berkembang dan
berkompetisi dalam skala global.
Kebijakan masih eksis, namun dengan paradigma baru dengan
mengadopsi tujuan dan nilai yang ada. Kebijakan masih menjadi pandu bagi
tujuan politik, sosial, dan ekonomi, akan tetapi sudah diterjemahkan dan dikemas
ulang. Tujuan ekonomi lebih didahulukan ketimbang masalah sosial dan politik.
Kunci prinsip : kebijakan komunikasi publik adalah kebebasan, akses dan
pelayanan universal, akuntabilitas, kebijakan internal media dengan kontrol luar
yang ringan.
Dimasa sekarang Indonesia berada pada posisiauthoritarian-right. Posisi
yang mencerminkan pengaturan media yang masih diwarnai kontrol yang cukup
ketat namun sudah berorientasi pada pasar. Oleh karena itu pendekatan ini
cenderung untuk melakukan deregulasi pasar namun pada saat yang sama
melakukan kontrol yang ketat pada aspek-aspek negatif dari dibukanya pasar
tersebut.
Kebijakan dan regulasi media kebanyakan berputar pada masalah jaringan
kekuatan antara media masa dengan sistem politik nasional. Namun hal ini bukan
alasan bahwa media selalu dalam posisi subordinat dari politikus atau pemerintah.
Hubungan keduanya seringkali disimbolkan dengan konflik dan kecurigaan.
3
Gunther and Mugham (2000) mengatakan hubungan antara sistem politik
dan media menunjukkan sebuah perbedaan yang sangat besar. Namun demikian,
dalam setiap kasus hubungannya terkait dengan struktur, pengelolaan, dan
tampilan/kemasan. Walau demikian selalu ada aturan hukum, regulasi, dan
kebijakan di setiap negara yang bisa dinegosiasikan dengan sistem politik. Di
mana hukum tersebut dapat berupa sebuah jaminan hak dan kebebasan, bahkan
sampai pada batasan bagaimana media dapat bergerak di dalam ruang publik.
Di beberapa negara, ada sektor publik dari media (biasanya broadcast) yang
menjadi kewenangan khusus dari pemerintah, dan ada beragam cara untuk
mengatur wilayah tersebut dari kepentingan politik, walau mereka punya otonomi
sendiri. Pemilik dari media umum biasanya berani untuk mengeluarkan uang dan
strategi untuk dapat mempengaruhi pembuatan keputusan. Tak jarang mereka juga
memiliki dari ideologi dan ambisi tertentu.
Konten media biasa didominasi oleh masalah politik. Hal tersebut
dikarenakan banyak menarik perhatian dan merupakan hal yang baru dan terus
berkembang. Bahkan dapat dikatakan bahwa politik tak dapat berjalan tanpa
media, sebaliknya media lebih mampu bertahan tanpa adanya politik.
4