noise in silent (finish)

23
Noise in Silent Gemuruh hatiku, dalam pelupuk kesendirian,, Sepi membunuh kalbu,, Gelap dalam remang, goyah tercubit hati pilu,, Mendesir, hanyutkan helai nafas,, Menapak jalan dalam kesendirian, aku selalu mencoba untuk tak mengingatmu. Tapi batupun terlalu keras untuk aku gigit, Laut terlalu luas untuk aku sebrangi seorang diri, aku tak mampu! Dalam himpitan waktu, apalah yang bisa aku perbuat, melihatmu bermanis dengan gadis itu, dalam penuh dan cerah pandanganku. Tak mungkin aku butakan mataku, tak mungkin aku pecahkan telingaku, tapi tak mungkin juga aku akan terus sanggup memandang dan mendengar. Manalah hitam memudar,, Bungapun tak mau memekar,, Berlapuk dalam masa, tak mungkin mengejar asa,, Runyam garis nyata, Berbisik dalam hampa,, Taklah pantas, hatiku terus menimang harapan. Sungguh menjerit, membelit goyangan waktu. Hatiku tergores, hitam dan pilu membekas, menjejak di atas. Apalah dayaku, walau hati geram tak main – main, tapi durja akan tetap menjadi durja. Aku

Upload: piko-candy

Post on 22-Dec-2015

220 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

a fiction

TRANSCRIPT

Page 1: Noise in Silent (Finish)

No

ise

in

Sil

en

t

Gemuruh hatiku, dalam pelupuk kesendirian,,

Sepi membunuh kalbu,,

Gelap dalam remang, goyah tercubit hati pilu,,

Mendesir, hanyutkan helai nafas,,

Menapak jalan dalam kesendirian, aku selalu mencoba untuk tak mengingatmu. Tapi batupun terlalu keras untuk aku gigit, Laut terlalu luas untuk aku sebrangi seorang diri, aku tak mampu!

Dalam himpitan waktu, apalah yang bisa aku perbuat, melihatmu bermanis dengan gadis itu, dalam penuh dan cerah pandanganku. Tak mungkin aku butakan mataku, tak mungkin aku pecahkan telingaku, tapi tak mungkin juga aku akan terus sanggup memandang dan mendengar.

Manalah hitam memudar,,

Bungapun tak mau memekar,,

Berlapuk dalam masa, tak mungkin mengejar asa,,

Runyam garis nyata, Berbisik dalam hampa,,

Taklah pantas, hatiku terus menimang harapan. Sungguh menjerit, membelit goyangan waktu. Hatiku tergores, hitam dan pilu membekas, menjejak di atas. Apalah dayaku, walau hati geram tak main – main, tapi durja akan tetap menjadi durja. Aku bukan titisan dewi yang mampu menutup luka, bahkan jika akupun punya segenggam perban, tak akan mampu menyembunyikan rasa.

Terjerat bayang bayang yang takpun sekali membiarkanku menghela sedikit nafasku, tak juga berkenan membiarkanku menyeka air mataku. Dalam hitam dan

Page 2: Noise in Silent (Finish)

No

ise

in

Sil

en

t

pekatnya kecaman hatiku, selalu terhimpit dalam kerelaan palsu.

Ini kesekian kalinya aku terdorong lenganku sendiri. Berlutut bisu, dalam benak takpun ada tinta cerah menampak. Kesekian kali merasuk dalam pikuk gemuruh hati penuh dusta.

Beribu – ribu waktu yang aku tapaki, ini kesekian kalinya aku merasakan basah linangan air mata. Di bawah kusut remangan bulan, tak sela menerjun di atas pipi. Kristal – Kristal bintang, hamparan hijau rerumputan, gagah pasak pohon teduh, pekik jangkrik, dan tiup menggoda angin malam, raib dalam satu hentakan nafas sesakku.

Hampa dalam ruang terbuka, aku mati dalam nyawa cerah. Hanya hidup dalam reremang lilin – lilin kecil, yang mungkin sesaat lagi akan mendesah lemah, habis dalam panas api.

gNoise in Silentg

Hanya bangku kayu ini yang mulai keropos, yang berkenan menerima tangisanku. Mungkin bangku kayu inipun merasa sepi, seperti hatiku. Sendiri, memandang angan – angan, menjamur di tengah masa, dan tak seorangpun mengerti.

Hatiku yang benar – benar kacau. Dia yang aku berikan tulus perasaanku, tak akan pernah mengerti apa yang sebenarnya ada dalam hatiku. Dia yang musim gugur lalu, masih bersamaku, kini mungkin semua itu hanya asa yang sia – sia. Sudah benar tak mungkin, dia duduk lagi di sini bersamaku.

Page 3: Noise in Silent (Finish)

No

ise

in

Sil

en

t

“Tak baik menangis sendiri di tempat seperti ini”

Kebisuanku tergoyah, seutas suara menghancurkan dinding – dinding lamunku. Menggetarkan jantungku, yang tadi berdetak santai. Tanpa berpikir apapun, mataku bergerak mencari pemilik suara itu.

“Seberat apa masalahmu, sampai kau jatuhkan air matamu itu”

Satu tolehanku, langsung menempat pada mata kecil di situ.

Jari – jariku bergerak cepat menghapus titik – titik air di pipiku. Menyela sedikit nafasku yang tersesak isak seduanku. Aku menggeleng pelan, tapi wajahku masih tetap menyiratkan air mata itu.

Itu dia, dia yang membuat senyumku hilang, dan meraibkan kebahagiaan. Tak ku sangka, dia di sini, di hadapan penuh pandanganku.

“Tanpa kau jujur, aku mengerti seberapa berat masalahmu” katanya lagi, kini duduk di sebelahku.

Hembusan angin ini mengkakukan tubuhku, nafasku, juga segala nyawa dalam jiwaku. Diam, diam, dan diam, tanpa gerak dan suara. Aku terdiam…

“Aku tak memaksamu untuk membagi masalahmu denganku, mungkin terlalu sulit untukmu menceritakan semuanya” ujarnya sedikit berbisik, “mungkin air matamu lebih menenangkan hatimu, walaupun aku tahu, kau bukan wanita yang lemah” lanjutnya lalu tersenyum.

Kata demi kata yang sampai pada telingaku, menggoyahkan bendungan mataku yang rapuh, dan air itu datang lagi. Aku tak mengerti mengapa begitu mudah hatiku tersentuh?

“Apakah kau akan menangis, jika hatimu benar – benar terluka?” tanyaku lirih sesegukan. Dia tersenyum begitu manis, “mungkin…” jawabnya, lalu dia merangkulku begitu erat.

“Menangislah, jika itu bisa membuat lukamu hilang, tapi ketika itu membuat lukamu semakin dalam, jangan pernah relakan air

Page 4: Noise in Silent (Finish)

No

ise

in

Sil

en

t

matamu” suaranya yang begitu tenang membuat jantungku semakin berdebar tak menentu.

Begitu dekat diriku dengannya, tapi hati ini tak bisa merasa kehangatan itu. Mungkin aku terlalu sensitive atau cengeng, tapi aku rasa hatinya tak ada bersama raganya.

Aku mengerti, bahkan sangat mengerti, hatinya sudah pasti sedang menggenggam hati gadis cantik itu. Dan begitu sia – sia, jika aku terus menanti dan mengharapkan kedatangan hatinya.

Mungkin ini akan indah di pandang mata, ketika aku begitu dekat dengan dirinya. Tapi hati tak akan pernah bisa berbohong, ini begitu menyakitkan bahkan lebih dari sekedar menyakitkan, ketika aku tahu dirinya dekat tapi aku tak mengenal hatinya.

“Begitu tipis hatimu? Mudah sekali seseorang itu melukai hatimu?” wajah seriusnya tampak, dan kini sepertinya dia mulai merasakan perbedaan dalam diriku.

“Apakah batu terlalu lemah untuk bisa air hancurkan tubuhnya?” balasku, aku mulai menata hatiku untuk menjawab untai pertanyaan yang dia sampaikan.

“Lalu air apa yang mampu mengahancurkan, batu sekuat dirimu?”

Aku terdiam, tersentak dalam. Jantungku tak sekalipun bersantai, tak mengizinkanku menghela sedikit nafasku.

“Air hitam dan pekat, perih dan penuh runcing tajam, bahkan tak sedikitpun nafas bernyawa di dalamnya” jawabku terisak, dengan air mata yang perlahan tapi pasti turun dan jatuh di atas pakaianku.

Kini dia yang terdiam, matanya menyiratkan kebingungan. Mungkinkah dia akan mengerti maksudku? Atau bahkan akan menyadarinya bahwa air itu sangat dekat denganku?

Page 5: Noise in Silent (Finish)

No

ise

in

Sil

en

t

“Begitu dalamkah air itu melukaimu?” dia memandang jelas wajahku, akupun melihat jelas mata kecilnya sedikit berkaca – kaca tipis.

Tajam, menusuk hatiku yang lagi membuka pintu air mataku. Deras mengalir membanjiri wajahku. Wajahku memerah, dan kini benar terlihat seperti manusia menderita. Dia memandangku sekali lagi lalu memelukku erat, hingga membuat nafasku sedikit sesak.

Aku merasakan jelas, air mataku membasahi bahunya. Akupun menyadari bahwa, detik ini hatinya berada dekat dengan hatiku. Bahkan tak ada jarak seperti jari tengah dan jari manisku.

Ini rasa yang berbeda, begitu lepas air mataku jatuh tak berhenti. Mungkin, air mataku begitu nyaman berada dekat dengan seseorang yang hatiku cintai.

“Tak sekedar dalam, bahkan semua itu menembus rasa dan detik – detik hidupku” kataku lirih dengan juntaian air mata yang terus turun enggan habis.

Ini begitu indah untuk diriku, tapi tak lama berakhir. Begitu gadis cantik itu tergenang dalam pandanganku dan dia. Ketika itu juga hatiku terlempar jauh menembus bahagia yang baru aku rasakan kembali.

Sesuatu menarik air mataku, yang seketika itu juga terhenti tak membekas. Ini pertama kalinya kurasakan air mata musnah dalam hidupku.

Gadis cantik itu menampar pedas wajahku. Tak langsung sadar, aku sempat termenung tentang kedatangan gadis cantik itu. Dan selang beberapa detik, yang kulihat dia mendorong jelas gadis cantik itu.

Inipun aku tak langsung sadar, aku masih membayang entah apa yang ada dalam pikiranku. Sampai aku sadar, bahwa di hadapan kedua bola mataku, dua orang yang saling mencintai menyelenggarakan pertengkaran besar.

Page 6: Noise in Silent (Finish)

No

ise

in

Sil

en

t

Aku menarik tangannya, tapi gadis cantik itu langsung mendorongku sangat keras dan kasar, hingga yang ku rasa punggungku menghantam keras bangku kayu di belakangku, dan kepalaku menabrak paku berkarat yang menjuntai.

Tubuhku sakit sekali, tak tertahan rasa sakit itu. Hingga pikiranku terbang melayang, dan membuat diriku tak mengerti apa yang selanjutnya terjadi.

gNoise in Silentg

Yang aku rasakan, ini bukan nafas yang seharusnya ku hembuskan. Ini bukan pandangan yang seindahnya tak sampai pada mataku. Ini bukan jalan yang senyamannya tak aku tapaki.

Tak ada seorangpun bernafas di sini. Semua dinding putih dan hampa ini apa?

Aku tak bisa mendengar apapun di sini. Ini tempat apa?

Nafasku terasa terputus dan terhenti. Kakiku tak dapat lagi menopang tubuhku. Jariku tak dapat aku gerakkan. Matakupun tertutup rapat. Hanya rasa dan hatiku yang masih bisa berteriak.

Dan ini benar – benar di luar anganku…

Pandanganku yang berbeda, tertuju pada seseorang yang terdiam duduk di bangku kayu itu. Bangku kayu tua, yang pada sisinya terjuntai paku berkarat, dan bercak darah jelas tergambar di sana.

Aku berjalan perlahan mendekati seorang itu, yang mirip bahkan persis dengan dia. Aku mendorong bahunya lembut, yang lalu membuatnya tertoleh padaku.

Page 7: Noise in Silent (Finish)

No

ise

in

Sil

en

t

Wajahnya basah, matanya nanar, dan dia tak berani lama memandangku.

“Maafkan aku, aku yang telah banyak membuat hatimu terluka” katanya menunduk.

Aku tak mengerti, pikiranku tak bisa menjangkau perkataannya. Aku tak paham apa yang dia katakan. “Maaf? Maaf untuk apa?” aku mengernyitkan dahiku penuh penasaran.

“Aku yang melemparkan air hitam dan pekat, perih dan penuh runcing tajam, bahkan tak sedikitpun nafas bernyawa di dalamnya” jawabnya lirih yang diikuti tetesan air matanya.

Aku semakin tak mengerti, apa yang sebenarnya dia katakan itu.

“Aku yang melukai hatimu hingga menembus rasa dan detik – detik hidupmu” lanjutnya lagi.

Tapi, tak satupun kata yang dapat tercerna baik dalam pikiranku. Pikiranku serasa kerdil, hingga akupun tak mengerti apa yang dia katakan.

“Aku tak mengerti apa yang kau katakana? Apa maksud semua itu?” aku membentaknya sedikit keras.

Tapi, dia hanya menggeleng pelan tanpa mendesirkan satu katapun. Dia diam, dan hanya memperlihatkanku air matanya yang begitu deras.

Aku duduk dan merangkulnya, lalu tak lama dia memelukku. Benar terasa air matanya yang deras menusuk bahuku.

“Apakah menangis begitu membuatmu tenang dan nyaman?” tanyaku lirih.

Page 8: Noise in Silent (Finish)

No

ise

in

Sil

en

t

Dia tak meresponku sedikitpun. Semua membuatku bingung setengaj mati. Tapi ini tak berlangsung lama, sampai seorang gadis cantik menggertak keras pandangannya dan juga dia.

Gadis cantik itu menampar pedas wajahku. Tak langsung sadar, aku sempat termenung tentang kedatangan gadis cantik itu. Dan selang beberapa detik, yang kulihat dia mendorong jelas gadis cantik itu.

Inipun aku tak langsung sadar, aku masih membayang entah apa yang ada dalam pikiranku. Sampai aku sadar, bahwa ternyata dia dan gadis cantik itu adalah dua orang yang saling mencintai yang sedang menyelenggarakan pertengkaran besar.

Aku menarik tangannya, tapi gadis cantik itu langsung mendorongku sangat keras dan kasar, Tubuhku sudah terasa begitu lemas dan hampir jatuh. Tapi dia menahan bahuku, hingga mataku pun terbuka sempurna dan sadar. Tempat ini begitu berbahaya bagiku.

Gadis cantik itu pergi meninggalkan aku dan dia tanpa satu katapun. Tapi, tak sadar ternyata air mataku mengalir begitu saja.

“Kau tak apa – apa?” tanyanya memandangku dengan mata penuh kekhawatiran. Aku mengangguk pelan, “mengapa kau hanya diam? Mengapa kau tak mencoba mengejar gadis cantik itu dan mencoba menjelaskan sesuatu?” tanyaku masih dalam sesegukan.

Dia menggeleng pelan dan tersenyum, “sudahlah, tak perlu kau pikirkan”

“Bagaimana bisa aku tidak memikirkan semua ini! Kau tau, aku baru saja membuat hati seorang wanita terluka!

Page 9: Noise in Silent (Finish)

No

ise

in

Sil

en

t

Gadis cantik itu pasti tersakiti!” kataku meninggikan nada suaraku.

“Lalu, apakah kau tak rasa hatimu yang terluka begitu dalam? Aku mengerti semua itu, aku paham perasaanmu” balasnya menenangkanku

“Lalu? apa pentingnya perasaanku bagimu, aku tak punya sedikitpun hak untuk melarangmu dengannya, sedangkan dia, dia tentu merasa sangat tersakiti dengan sebegitu banyak alasan untuk terluka, tidak denganku yang tak satupun alasan aku miliki untuk merasa terluka!”

“Kau pasti tak mengerti, aku dan dia hanya teman, sama sebagaimananya aku denganmu, dan sewajibnya takpun ada alasan gadis itu untuk menamparmu!”

“Lalu apa hubungannya dengan perasaanku? Bukankah seharusnya kau mengerti bahwa gadis itu sangat mencintaimu seperti hatimu yang mencintainya” lanjutku masih dalam emosi

“Tentu semua ada hubungannya, iya memang aku mencintai gadis itu tapi itu dulu, berbeda dengan detik ini”

“Aku benar – benar tak mengerti jalan pikiranmu, aku tak menyangka kau bisa seegois ini!”

Aku tak bisa menahan lagi emosi ku, aku tak peduli apa yang dia katakan. Aku meninggalkannya sendiri persis di sebelah bercak darah dekat juntaian paku berkarat itu.

Nafasku kembali tersesak, aku terjatuh. Dan semua di tempat itu berakhir.

gNoise in Silentg

Page 10: Noise in Silent (Finish)

No

ise

in

Sil

en

t

Hangat nafasku, tak berarti hangat tapakku. Angin mendesah lirih, merangkapku dalam besi – besi runcing berdarah kejam. Mengapa aku tak juga sampai dalam duniaku.

Berapa sejatinya dunia terbagi? Setelah ruang hampa yang menggenaskan, apalah lagi dunia kosong ini?

Aku rasakan hangat yang biasa memeluk, aku rasakan nafas yang biasa merasuk. Tapi, rasa sadarku berbeda, ini bukan tempatku bernyaman.

Ini berbeda…

Aku bertemu lagi dengan bangku kayu tua, yang pada sisinya terjuntai paku berkarat, dan bercak darah jelas tergambar di sana. Menyiratkan begitu banyak kisah antara aku dan bangku kayu ini.

Sepanjang aku menangis, sepanjang aku bersama bangku ini. Ketika hatiku tercerca, bangku kayu kusam ini yang setia menjadi tempat segala pilu kelabu hatiku.

Ini bagai nostalgiaku, hanya diriku yang penuh perih lekat dan bangku tua yang teracuhkan. Tapakkan kisah juga, saat aku dan dia selalu melukiskan senyum dan ceria, saat aku sendiri dan merasa terbuang.

Tapi, bangku ini merasuki rasa yang berbeda. Paku berkarat dan bercak darah, begitu merisaukan setiap pandanganku. Mungkin aku ada dusta dengannya, atau memang hatiku menolak keberadaannya.

Belum ku sempat mendekati pikiran tentang paku dan darah sembilu itu, gadis cantik yang rasa aku tak asing dengannya menghentikan segala jalan yang ada dalam diriku.

Page 11: Noise in Silent (Finish)

No

ise

in

Sil

en

t

Mata kecoklatannya gelisah, wajahnyapun menyiratkan begitu banyak dusta kepadaku. Iya, tak salah lagi, gadis cantik ini yang beberapa saat lalu juga pernah singgah dalam kisahku.

“Begitu banyak manusia, tapi mengapa aku yang kau sakiti?” gadis itu mencerca keras.

Aku tak mengerti, aku tak paham perkataanya, apakah benar aku menyakitinya?

“Mengapa? Mengapa sekarang kau hanya diam? Diam setelah kau puas menyakitiku?” tajam, gadis itu melemparkan semua perkataanya.

Aku menggeleng pelan, “aku? Aku tak pernah sedikitpun menyakitimu, apa maksud semua perkataanmu?”

Gadis itu diam dan menangis, lalu membuka seuaranya. “Kau… apakah kau tak sadar bahwa dia adalah milikku?”

Aku mencoba memutar pikiranku, mencari jawaban atas semua perkataan gadis cantik itu, “siapa? Dia siapa?”

Gadis cantik itu mendekatiku, mencekam pakaianku, “dia… dia yang sempat kau peluk, dia yang pakaiannya sempat basah dengan air matamu! Dia yang begitu peduli denganmu! Dia milikku!” air mata gadis itu mengalir seperti badai besar.

Sontak, pikiranku menjangkaunya. Aku mengerti itu, aku sadar itu. Dia, dia yang membakar hatiku.

Aku menggeleng, “tidak, aku tidak pernah berniat menyakitimu… bahkan dia, dia tidak peduli sedikitpun terhadapku”

Page 12: Noise in Silent (Finish)

No

ise

in

Sil

en

t

“Kau begitu kejam, kau jahat! Padahal kau pasti mengerti perasaanku, kau bohong!” lagi begitu banyak pisau yang gadis itu tancapkan dalam hatiku.

Beberapa detik aku menunduk, hampir aku rasakan tamparan pedasnya. Tapi, tangan seseorang menghalaunya, menghentikan laju tangan gadis cantik itu sebelum sempat menyentuh wajahku.

Aku tersentak, mendengar tamparan keras seseorang itu mendarat tepat di wajah gadis cantik itu. Aku menoleh, dan seseorang itu adalah dia.

Aku tak mengerti, mengapa semua seperti ini! Mengapa begitu berbelit!

“Sudah sepantasnya kau mendapat tamparan itu!” dia membentak keras gadis cantik itu yang terus menangis kesal.

“Aku tak menyangka, kau seperti ini! Kau lebih peduli dengannya!” balas gadis cantik itu. Gadis cantik itu melirikku dengan sangat tajam dan sinis.

“Ini bukan masalah peduli atau tidak peduli! Tapi kau sudah menyakiti seseorang yang tak mengerti apa – apa!”

“Apa? Kau bilang dia tak mengerti apa – apa! Kau tau? Dia begitu tega menyakitiku!” gadis itu semakin meninggikan suaranya.

“Dia tak pernah menyakitimu! Tapi kau yang menyakitinya! Dengan berbagai prasangka yang tak jelas!”

“Terserah kau! Aku mengerti mengapa kau begitu membelanya, aku mengerti dia begitu berarti bagimu, dan kau sangat menyayanginya! Dan selama ini, perlakuan manismu hanya kepalsuan besar!”

Page 13: Noise in Silent (Finish)

No

ise

in

Sil

en

t

Dia dan gadis itu terus beradu kata. Aku tak mengerti apa yang mereka katakana sebenarnya. Tapi yang jelas, mereka menyeret – nyeretku dalam permasalahan mereka.

“Diam! Hentikan semua ini!” aku membentak mereka berdua yang tak juga mereda. Cukup aku tersakiti, cukup juga aku terseret dalam permasalahan mereka. Tak lagi rela aku masuk dalam individualis paradigm mereka.

“Aku mohon jangan pernah permasalahkan aku dalam masalah kalian! Sudah cukup bosan aku tercerca!”

Aku meninggalkan mereka dengan penuh luka dalam hati, “kau mau ke mana?” dia menahan lenganku.

“Bukan urusanmu! Dan jangan pernah lagi anggap aku ada dalam hidupmu! Sudah cukup besar hidupku terbuang hanya karenamu! Jangan anggap kenal aku lagi!”

Alur ini terhenti, tak ada lagi jelas yang menerka. Tergantung semua dalam bayang semu hidupku.

gNoise in Silentg

Aku terbangun, ini tempat aku bernyaman. Dunia tempat aku menapakkan semua kisah dan realita.

Pandanganku yang masih membayang, langsung terfokus dengan dia yang berada dekat di sampingku. Senyumnya yang hangat dan bias wajahnya yang lama aku rindukan.

“Maafkan aku, aku tak mengerti gadis itu akan melukaimu” katanya pelan.

Aku menggangguk, “aku mengerti perasaan gadis cantik itu”

“Aku dan gadis itu tak seperti yang ada dalam pikiranmu” jelasnya

Page 14: Noise in Silent (Finish)

No

ise

in

Sil

en

t

Aku menghela nafasku dan mengangguk, “tapi aku mengerti apa yang ada dalam hatimu”

Dia hanya terdiam dan tersenyum tipis, tak lama diamku dengannya, lalu gadis cantik itu menggenang lagi dalam pandangan. Dengan berseri dan mata teduhnya, gadis cantik itu mendekatiku dan juga dia.

Maaf, awal kata yang manis terdengar. Lalu ku rasa, gadis cantik itu ingin membicarakan sesuatu hal yang penting. Dan lebih baik jika dia tak ada.

Sesaat, wajahnya memerah. Matanya berlinang air mata, dia mengeluarkan sesuatu dari saku celananya.

Tajam dan runcing, benda tipis yang aku kenal berbahaya. Dia membawa cutter. Aku sontak kaget, “apa yang akan kau lakukan? Kau pasti mengerti benda itu berbahaya” kataku khawatir.

Dia tersenyum dalam tangisannya. “Iya, aku sangat mengerti ini berbahaya, tapi aku ingin kau lihat betapa tersakitinya aku olehmu”

“Apa maksudmu? Jangan berlaku macam – macam!” aku sedikit membentak.

“Aku akan memperlihatkanmu, betapa perih tersakiti oleh cinta”

Aku mencoba bangun dari ranjang putihku, aku mencoba meraih benda itu dari gadis cantik yang begitu nekat. “Jangan! Kau begitu bodoh! Jangan lakukan itu!” aku berteriak, tapi gadis cantik itu hanya tersenyum tipis.

Badanku masih terasa sakit, tapi aku tak bisa diam. Gadis cantik itu benar – benar sudah dibutakan dengan cinta. Begitu nekat menyakiti dirinya sendiri.

Keributan yang ada dalam ruanganku, tak juga terdengar oleh siapapun. Selang yang terhubung denganku terlepas, dan tanganku terluka.

Page 15: Noise in Silent (Finish)

No

ise

in

Sil

en

t

Kini aku benar – benar sudah menggenggam cutter itu. Tapi gadis cantik itu tak juga mengurungkan niatnya. “Lepaskan! Jangan bodoh!” kataku lagi tapi dia hanya menggeleng dan tersenyum.

Semua di luar jangkauanku. Gadis cantik menarik cutter itu, dan benda itu terseret di atas kulit tanganku cukup dalam.

Gadis cantik itu menjatuhkan cutternya begitu saja. Semua yang terlihat di sekelilingku hanya darah yang menetes deras. Aku tak mengerti harus lakukan apa. Gadis itu hanya diam melihatku.

Cukup terlambat, dia masuk dan melihatku terjatuh dengan darah yang terus deras mengalir. Mataku meremang, pandanganku makin menggelap.

Aku masih sadar, masih jelas terasa perih seiring darah dalam tanganku hampir terkuras.

Tak juga habis pandanganku, sampai selang – selang itu tertempel lagi pada tubuhku.

Dia duduk di sebelah ranjangku, menyatakan sesuatu yang tak pernah ku sangka,

“Jadi apakah kau terima pernyataan hatiku?”

“Sesungguhnya dentingan detik itupun tak pernah berhenti, juga dengan nadiku disetiap nafas kuhembuskan untuk cintaku, tapi pernyataanmu tak bisa hentakan nafasku”

“Jadi apa?”

“Bunga tak akan layu ketika kau tak khianatinya, seorang wanitapun tak akan tersakiti ketika kau tak mencercanya, tiada lagi jawaban untuk pernyataan ini, kembalilah pada gadis cantik itu”

“Hanya kepada tuhan aku bersumpah, demi tuhan tak ada lagi ruang kosong selain untukmu, aku tau dunia tak akan musnah jika aku tak miliki dirimu, aku tak akan mati tanpa kamu, tapi sungguh hatiku

Page 16: Noise in Silent (Finish)

No

ise

in

Sil

en

t

yang sangat inginkan dirimu ada untukku, nadiku selalu ingin ada kamu, hatiku yang meyakinkannya, hatiku hanya yakin kepadamu bukan kepada siapapun”

“Aku tak dapat menjangkau hatimu, meraih sentuhanmu dan mengerti lamunanmu… cinta bukan antara aku dan dirimu, tak pantas dirimu hempaskan cinta yang dulu, wanita bukan untuk dicintai, tapi untuk kau titipkan penuh hatimu, tidak untuk kau minta kembali, tapi untuk persemayan selamanya, dia lebih menginginkan adanya dirimu”

“Terimakasih, kau telah mengerti inginnya, mengerti akan hadirnya aku dihidupnya, namun cukup sudah aku mengerti dia bukan yang aku minta, apakah kau rela melihatku tersenyum untuk sebuah kepalsuan?”

“Sudahkah kau berpikir berapa waktu yang kau palingkan darinya? Sudahkah kau timbang berapa banyak detik yang kau lupa akan dirinya? Bukankah kau yang membuatnya begitu buta dalam cintanya?”

“Mengapa kau berkata layaknya samurai yang dapat membunuh ratusan, bahkan jutaan nyawa untuku? Apakah hanya karena aku peduli denganmu, aku acuh dengannya? Tak selamanya aku bahagia dengannya, bahkan waktuku bersamanya hanya akan menyakitimu”

“Jika aku menggenggam samurai itu, mengapa tidak saja aku menusukmu saat ini juga, biar kau tahu betapa perih tertusuk oleh cintamu sendiri, betapa lebih tersakiti, aku melihatmu menyakiti wanita lain, dia begitu mengharap hangatmu”

“Aku rela untuk kau tusuk, jika itu dapat mengobatimu… aku harap kau dapat memaafkanku, tapi mengertilah tak ada hatiku berniat menyakitinya”

“Luka… luka yang membuatku tak akan mampu menggoreskan semua rasa sakit ini, manalah aku mampu membiarkan mataku nanar menyaksikan dirimu terkecam dalam tinta pahit… sungguh bukan aku

Page 17: Noise in Silent (Finish)

No

ise

in

Sil

en

t

tak ingin mengerti, tapi aku belum mampu melihat kenyataan, kau akan melukai gadis cantik itu”

“Sudahlah, jika kaupun tak rela aku dalam kisahmu, manakala suatu saat nanti mentari tiba tiba tertutup segumpal awan, kemudian beribu ribu tetesnya jatuh… yang kuingin hanya melihat mentari itu lagi… mencerahkan hamparan bumi”

“Aku mengerti semua bilik bilik perasaanmu, bahkan aku bisa membaca titik horisonmu… percayalah mentari akan terus menyinarimu hingga mungkin kau bosan”

“Maafkanlah aku, mungkin aku terlalu egois, tak bisa semengertimu kepadaku”

“Bukan mengertimu padaku yang aku harapkan, bahkan tak sehelaipun nafasmu aku harapkan ada dalam nadiku, mengertilah dia yang mungkin lebih butuh kehangatanmu”

“Aku tak mengerti apa yang ada dalam hatimu, begitu hatimu mengindahkan perasaan gadis itu, yang sudah banyak membuat luka dalam dirimu”

“Malamku bergetar, hembusan angin ghaib tak segan membuatku tersentak, aku rela dirimu menggenggam dirinya… Cinta tak lah selalu ada untuk dimiliki, cintapun tak layaknya ada untuk keterpaksaan, tapi semoga kau mengerti, dia lebih mengharapkan adanya dirimu…”

“Begitu hatiku tetap untukmu, walaupun kini tak bisa aku bersamamu, tapi aku mohon jangan anggap semu cintaku, suatu saat nanti aku akan sentakan semua nafas dan nadimu”

Maafkan aku, memang banyak luka yang aku harap tertutup. Memang lama aku harap kau untukku, tapi luka inipun tak akan hilang jika kau milikku.

Biar hatiku yang menangis, biarlah aku nikmati ini seorang diri. Takkan rela, seseorang akan terluka seperti diriku ini.

Page 18: Noise in Silent (Finish)

No

ise

in

Sil

en

t

Aku tak akan pernah lupakan detik ini, dan cintamu sesungguhnya merasuk dalam setiap nafasku. Tak lah sama sekali semu cintamu dalam hatiku.

gNoise in Silentg