muhammad sobary.doc

17
NU Masih Tetap Mengalir Dalam bangunan sosio-politik dan kultural Indonesia, dapatkah kita menemukan kembali unsur-unsur yang dulu merupakan sumbangan NU? Kemudian, dapatkah kita mengklim bahwa unsur tertentu dalam bangunan tersebut adalah hasil karya NU? Mungkin tidak. Seperti halnya tak mungkin seorang kiai akan bisa menemukan kembali jejak pendidikan yang pernah ditinggalkan dalam diri para santrinya. Ini, tentu saja, karena sang santri sendiri juga berkembang dan menyerap dari berbagai sumber lain buat basis dan pengayaan pemikirannya. Tetapi, jika para analis bisa dengan mudah bicara tentang kontribusi pemikiran sosio-politik-keagamaan Abdurrahman Wahid dan Nurcholish Madjid, yang nampak mewarnai pemikiran Islam di Indonesia sekarang, kita juga bisa kembali melihat apa yang sudah pernah disumbangkan NU bagi kehidupan kemasyarakatan kita melalui, antara lain, keputusan-keputusan yang pernah diambil dalam Munas yang berlangsung selama ini. Kita ingat bahwa dalam Munas di Kaliurang, September 1981, NU memutuskan tiga hal: mengangkat Kiai Ali Ma’sum sebagai Rais Aam, tidak mencalonkan lagi Soeharto sebagai presiden, dan tidak mendukung Soeharto sebagai Bapak Pembangunan, yang saat itu gencar disuarakan oleh berbagai kekuatan sosial politik di Indonesia. Saat itu NU berpendapat bahwa hal itu sebaiknya diserahkan pada MPR. Kita juga masih ingat bahwa dalam Munas itu pula NU terpecah menjadi dua kubu: Cipete dan Situbondo. Dalam Munas berikutnya di Situbondo, Desember 1983, diambil keputusan yang menimbulkan kekaguman banyak pihak, di samping penyesalan sementara kalangan, yaitu kembali ke khittah 26 dan menerima Pancasila sebagai asas tunggal. Dengan kembali ke khittah 26, berarti NU meninggalkan dunia politik untuk memilih kembali menjadi organisasi sosial. NU menerima Pancasila sebagai asas tunggal karena bagi NU, Indonesia ini sudah merupakan bentuk final yang diperjuangkan dan dicita-citakan Islam sejak dulu. Seperti dapat kita lihat dalam perkembangan politik Indonesia selanjutnya, keputusan ini terasa jitu. Seolah keputusan ini langsung terkait dengan Islam yes, partai Islam no, yang terkenal itu. Dengan begini, sebenarnya NU mencoba keluar dari kepompong untuk meng- Indonesia-kan diri. NU, dengan kata lain, berusaha menanggalkan baju primordialnya untuk menapak di jalur cepat (nasional) dalam pergaulan dengan berbagai kekuatan sosial politik lainnya. Dalam pergaulan itu, NU menghilangkan aneka prasangka (ras, suku, dan keagamaan) tetapi juga tidak perlu menghilangkan identitas asalnya.

Upload: habib-milanisti

Post on 22-Dec-2015

17 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: muhammad sobary.doc

NU Masih Tetap Mengalir

Dalam bangunan sosio-politik dan kultural Indonesia, dapatkah kita menemukan

kembali unsur-unsur yang dulu merupakan sumbangan NU? Kemudian, dapatkah kita

mengklim bahwa unsur tertentu dalam bangunan tersebut adalah hasil karya NU?

Mungkin tidak. Seperti halnya tak mungkin seorang kiai akan bisa menemukan kembali

jejak pendidikan yang pernah ditinggalkan dalam diri para santrinya. Ini, tentu saja,

karena sang santri sendiri juga berkembang dan menyerap dari berbagai sumber lain buat basis dan

pengayaan pemikirannya.

Tetapi, jika para analis bisa dengan mudah bicara tentang kontribusi pemikiran sosio-politik-keagamaan

Abdurrahman Wahid dan Nurcholish Madjid, yang nampak mewarnai pemikiran Islam di Indonesia

sekarang, kita juga bisa kembali melihat apa yang sudah pernah disumbangkan NU bagi kehidupan

kemasyarakatan kita melalui, antara lain, keputusan-keputusan yang pernah diambil dalam Munas yang

berlangsung selama ini.

Kita ingat bahwa dalam Munas di Kaliurang, September 1981, NU memutuskan tiga hal: mengangkat Kiai

Ali Ma’sum sebagai Rais Aam, tidak mencalonkan lagi Soeharto sebagai presiden, dan tidak mendukung

Soeharto sebagai Bapak Pembangunan, yang saat itu gencar disuarakan oleh berbagai kekuatan sosial

politik di Indonesia.

Saat itu NU berpendapat bahwa hal itu sebaiknya diserahkan pada MPR. Kita juga masih ingat bahwa

dalam Munas itu pula NU terpecah menjadi dua kubu: Cipete dan Situbondo.

Dalam Munas berikutnya di Situbondo, Desember 1983, diambil keputusan yang menimbulkan

kekaguman banyak pihak, di samping penyesalan sementara kalangan, yaitu kembali ke khittah 26 dan

menerima Pancasila sebagai asas tunggal.

Dengan kembali ke khittah 26, berarti NU meninggalkan dunia politik untuk memilih kembali menjadi

organisasi sosial.

NU menerima Pancasila sebagai asas tunggal karena bagi NU, Indonesia ini sudah merupakan bentuk

final yang diperjuangkan dan dicita-citakan Islam sejak dulu. Seperti dapat kita lihat dalam perkembangan

politik Indonesia selanjutnya, keputusan ini terasa jitu. Seolah keputusan ini langsung terkait dengan

Islam yes, partai Islam no, yang terkenal itu.

Dengan begini, sebenarnya NU mencoba keluar dari kepompong untuk meng-Indonesia-kan diri. NU,

dengan kata lain, berusaha menanggalkan baju primordialnya untuk menapak di jalur cepat (nasional)

dalam pergaulan dengan berbagai kekuatan sosial politik lainnya. Dalam pergaulan itu, NU

menghilangkan aneka prasangka (ras, suku, dan keagamaan) tetapi juga tidak perlu menghilangkan

identitas asalnya.

Di dalam Munas Cilacap, Desember 1987, NU mengambil dua macam keputusan: tajdid (pembaruan)

dan ukhuwah. Pembaruan ajaran dianggap perlu dilakukan karena ajaran, bagi NU, adalah ibarat aliran

sungai. Makin jauh dari sumber sucinya (zaman Gusti Kanjeng Nabi Muhammad s.a.w.) dan makin dekat

ke muara (kehidupan zaman kita ini), segala najis dan khadas yang mengotori ajaran kita tentu semakin

banyak. Namun, pembaruan bukan dimaksudkan untuk mengajak umat bersama-sama menata kembali

pola kehidupan sosio-politik-kultural sebagaimana tercermin dalam kehidupan bangsa Arab tempo dulu

Page 2: muhammad sobary.doc

(yang tentu saja tidak akan cocok dengan kondisi obyektif kita sekarang), melainkan untuk membersihkan

kotoran tersebut.

Dalam kaitan ini, NU tiba-tiba lalu menemukan diri bergandengan tangan dengan Muhammadiyah,

tetangganya itu. Pada titik ini NU-Muhammadiyah bertemu dalam aspirasi dan doktrin keagamaan.

Dengan kata lain, NU membuka jendela yang selama ini menyekat hubungannya dengan

Muhammadiyah.

Keputusan mengenai ukhuwah menyangkut tiga hal penting: ukhuwah Islamiah (sesama Islam), ukhuwah

wathaniah (sesama warga negara), dan ukhuwah basyariah (sesama manusia).

Ini, sekali lagi, mempertegas kembali tekad NU untuk lebih membuka cakrawala pergaulan dengan siapa

saja, tanpa beban prasangka tadi. NU mencoba hidup secara enak, mengalir bagai aliran sungai, ke arah

mana saja sejauh tak menodai diri dan inti perjuangannya. Ini menarik, karena seolah-olah NU sudah

jauh memperhitungkan bakal datangnya era globalisasi dalam berbagai segi kehidupan seperti kita

rasakan sekarang ini.

Setelah “dekrit” tentang tiga ukhuwah itu, NU lalu membuka peluang kerja sama ekonomi dengan

berbagai pihak. Maka terbentuklah kemudian BPR, Morelli Makmur, Morelli Aswaja, dan Buana Citra

Asparagus. Yang terakhir ini merupakan kerja sama NU dengan pihak Swiss.

Dalam Munas Lampung, 21-25 Januari 1992 mendatang, akan dibahas tiga hal: soal bank, asuransi, dan

hirarkhi pengambilan keputusan hukum Islam di lingkungan NU.

Bisik-bisik dan segenap komentar, konon sudah berkembang. Ada yang menganggap, Munas Lampung

mendatang merupakan suatu langkah mundur bagi NU. Ada pula yang bilang bahwa asuransi dan bank

tak ada relevansinya dengan NU, sementara hirarkhi pengambilan keputusan hukum Islam pun dianggap

sudah telat.

Kemunduran? Dan bank serta asuransi tak relevan dengan NU? Pokok-pokok yang akan dibahas di

Lampung, sepintas lalu, dan itu bila hanya dilihat dari segi politik, memang tak kelihatan menggebrak.

Tapi mestikah yang tak menggebrak itu suatu kemunduran? Belum tentu.

Kita kan tak harus menggebrak terus-menerus. Artinya, bila situasi menghendaki kita bekerja secara

kalem, mengapa pula harus menggebrak? Saya setuju bahwa dibanding dengan keputusan Munas

Situbondo dan Munas Cilacap, arti politis Munas Lampung mungkin lebih kecil.

Tapi anggapan bahwa bank dan asuransi tak relevan dengan NU, sulit saya pahami. Adalah panglima

tertinggi NU yang selalu bilang betapa pentingnya kita membenahi kehidupan (ekonomi) umat yang

sampai saat ini masih morat-marit. Dan, bahwa demi pembenahan itu, kita dianjurkan pula untuk tak usah

selalu ribut tentang thethek mbengek perkara khalifiah, karena problem pokok umat adalah kemiskinan.

Memang, kita tak harus setuju dengan panglima tertinggi. Tapi bila sebagai tindak lanjut dari “dekrit”

tentang tiga ukhuwah kita kerja sama dengan bank, dan hal itu sekarang kita tindaklanjuti, bagaimana

bisa bank dianggap tak ada relevansinya dengan NU? Saya melihat bahwa Munas kali ini masih terkait

dengan soal penting dalam kehidupan umat. Dengan kata lain, NU masih tetap mengalir. Ia tak

kehilangan relevansi apa pun.

Mohammad Sobary, Warta NU, Bulanan, Januari 1992

Page 3: muhammad sobary.doc

Guru

Dalam ilmu othak-athik gathuk-nya orang Jawa, suku kata gu dari kata guru itu berarti

digugu dan ru, artinya ditiru. Barangkali benar, guru memang digugu (dianut) dan ditiru,

diteladani para murid. Dari sana, barangkali Ki Hajar Dewantara merumuskan peran

guru yang terkenal: ing ngarso asung tulodo, ing madyo mangun karso, tutwuri

handayani itu. Barangkali dari sana pula pepatah kita “guru kencing berdiri, murid

kencing berlari” itu memperoleh inspirasinya.

Sardono W. Kusumo pernah mengatakan kepada saya bahwa di masyarakat Jawa, guru tidak harus

merupakan sebuah sosok pribadi, melainkan bisa juga cuma berupa citra atau sosok bayangan. Dalam

sebuah lakon disebutkan, ketika Resi Durna sedang mengajar para satria Pandawa dan Astina

memanah, seorang satria lain datang hendak berguru memanah kepada resi tersebut.

“Tidak bisa, ki sanak,” sahut Begawan Durna. “Saya sudah teken kontrak untuk hanya mengajar para

satria ini, dan tak akan lagi pernah menerima murid lain.”

Satria itu kemudian pergi dengan rasa kecewa. Namun, tekadnya untuk berguru kepada Begawan Durna

tetap membara. Citra Durna sebagai guru sakti tak ada duanya sangat mempengaruhinya.

Syahdan, sang satria pun kemudian membuat patung Pandita Durna Ia lalu mulai belajar memanah,

sambil membayangkan bahwa ia sedang benar-benar belajar kepada pandita sakti itu. Dan konon,

kehebatan satria ini tak kalah dari para murid yang belajar dari Durna secara langsung.

Mudah diduga, andaikata Durna menerimanya sebagai murid, pasti satria itu bakal menjadi murid yang

taat kepada guru. Apa pun perintah sang guru, murid itu pasti akan mematuhinya. Dengan kata lain,

murid itu pasti akan mampu memanggul tugasnya sebagai murid yang harus senantiasa membuktikan

bahwa guru memang seyogianya digugu lan ditiru.

Tapi, masihkah sekarang ini guru memperoleh kehormatan sebagai orang tua yang tetap digugu lan ditiru

(didengar petuahnya, ditiru tindakannya?). Zaman berubah. Musim pun berganti. Dan dalam pergantian

itu, kita tiba-tiba dihadapkan pada kenyataan yang tak lagi sejalan dengan tafsir ideal tentang guru

sebagai yang digugu lan ditiru.

Kita dibuat terkejut oleh sejenis pemberontakan moral dan penjungkirbalikan tatanan ideal dalam tafsir

Jawa tadi. Dan, kita sepertinya tak siap menghadapi kenyataan ketika guru bukan cuma tak lagi digugu

lan ditiru, melainkan juga digebuk oleh sang murid.

Kita belum punya jawaban, apa yang mesti kita katakan sekarang ketika kita melihat murid datang

kepada guru sambil membawa parang, golok, atau belati untuk mengancam sang guru, ketika gurunya

tak bersedia memberinya nilai bagus atau menaikkannya ke kelas tinggi

Kondisi sosio-psikologis macam apa yang mendorong ada murid mengamuk melempari kaca dan

jendela, merusak sekolah, dan mengeroyok gurunya sendiri? Apa yang salah dalam diri guru? Dan, apa

sebenarnya yang sedang terjadi dalam masyarakat kita? Ringkasnya, mengapa kewibawaan guru

merosot serendah itu? Guru-guru berjumpalitan, mencoba berakrobatik untuk menyesuaikan diri dengan

panduan dari pusat. Mereka tergencet situasi: mengejar target yang besar dari pusat akan selalu berarti

Page 4: muhammad sobary.doc

menemui kesulitan dengan murid-muridnya sendiri, tapi bila ia mencoba memberi murid sedikit

keleluasaan ia akan terbentur dengan atasan.

Guru memang masih tetap disanjung sebagai “pahlawan tanpa tanda jasa”. Ada bahkan yang

mengatakan bahwa umumnya tiap orang besar pernah menjadi guru. Mungkin benar, tapi guru dalam

masyarakat kita sekarang jelas bukan orang besar. Jadi, apakah gunanya menghibur guru dengan

ucapan seperti itu?

Bagi saya, gelar pahlawan tanpa tanda jasa lebih terasa ejekan, bukan penghormatan, karena seolah-

olah guru memang tak berhak memperoleh tanda jasa itu.

Guru bukan manusia merdeka. Ia tidak bebas. Ia tidak mempunyai otonomi dalam memutuskan nasib

murid-muridnya, meskipun tak seorang pun berani membantah bahwa dialah yang paling tahu tentang

kemampuan murid-muridnya.

Orang-tua murid yang tidak tahu ujung pangkal persoalan tak jarang campur tangan, melakukan

intimidasi, atau menyogok sang guru dengan materi. Ini sekali lagi, membuktikan juga betapa guru

memang bukan orang yang bebas. Ia tak merdeka. Tampaknya guru, dalam kondisinya, tak bisa berkata

tidak seperti dulu ketika Durna menolak satria, calon murid yang hendak berguru kepadanya.

Guru-guru tarekat yang tak terikat panduan atasan, yang tak menggantungkan kurikulum pendidikannya

kepada kekuasaan orang pusat, tampaknya masih memiliki kharisma yang besar di mata para muridnya.

Guru-guru tarekat, dengan kata lain, masih tetap pengejawantahan dari konsep ideal tentang guru

sebagai yang digugu lan ditiru.

Petuah sang guru tarekat didengarkan. Perintahnya disimak. “Sabda” mereka disetengahsucikan oleh

para murid. Guru tarekat adalah sejenis raja yang paling berkuasa. Namun, mereka memperoleh

kekuasaannya bukan dengan paksa, melainkan dengan wibawa.

Begitulah, sejarah yang digali Sartono Kartodirdjo bercerita kepada kita bahwa sebagian guru tarekat

bukan cuma didengar komando jihatnya untuk menyembelih si kafir Belanda, melainkan juga dipandang

sebagai penjelmaan Ratu Adil yang bakal mengembalikan harmoni dalam masyarakat serta menjanjikan

ketentraman dan kemakmuran hidup mereka.

Murid-murid tarekat pernah rela mempertaruhkan leher demi melaksanakan perintah guru. Dan, murid-

murid tarekat, sampai saat ini, rela mencium tangan sang guru, bahkan berebut sisa makanannya untuk

ngalap berkah.

Kemandirian, kebebasan, kharismanya yang besar, dan keteladanan moralnya itu yang membuat murid

tarekat rela mencium tangan bahkan sungkem, menyembah, di hadapan sang guru.

Mohammad Sobary, Jawa Pos, 15 Desember 1991

Page 5: muhammad sobary.doc

Doa Yang Tak Membebaskan

Para santri pun akhirnya berkumpul lagi setelah beberapa lama sebelumnya mereka

menerima tugas dari sang kiai.

“Sudah mengerti pesan dalam surat itu?” tanya kiai, membuka pertemuan kembali.

“Sudah, kiai, alhamdulillah,” sahut salah seorang santri.

“Bagaimana isi pesan itu?”

Santri itu memperdengarkan bacaannya yang bagus atas surat Al Ma’un. “Aroaital ladzi yukadzibu biddin

…,” merdu suaranya. Dan ia pun meneruskan pembacaan dan terjemahannya, sampai selesai.

“Kamu?!” kata sang kiai kepada santri yang lain.

Santri itu pun mengulangi hal yang sama. Ia pun membaca ayat-ayat suci itu, disertai terjemahannya.

Setelah para santri lain memberi jawaban yang sama, sang kiai tak lagi meneruskan bertanya pada santri

berikutnya. Ia berkesimpulan, semua santri pasti akan berbuat serupa.

“Kalian belum mengerti kalau begitu. Kalian cuma hapal. Mengerti dan hapal itu beda,” katanya lagi,

dengan intonasi lembut seperti semula.

Kiai kita ini ialah pendiri perserikatan yang bernama Muhammadiyah yang terkenal itu: Kiai Haji Ahmad

Dahlan. Dialog ini terkenal di kalangan keluarga Muhammadiyah. Orang Muhammadiyah menganggap

“peristiwa” ini penting karena dalam dialog itu terselip sebuah pesan jelas, bahwa agama tak cuma minta

dipahami, melainkan diamalkan. Ketika agama berhenti pada titik pemahaman, saat itu mungkin agama

diturunkan derajadnya menjadi “cuma” sejenis filsafat.

Agama, dengan kata lain, dipreteli fungsi-fungsi sosialnya yang begitu penting dan yang paling relevan

dengan hidup kemasyarakatan kita.

Syahdan, sejak dialog antara kiai dan santri itu lalu didirikan sebuah panti asuhan, tempat menampung

anak-anak yatim-piatu. Langkah ini diambil KH Ahmad Dahlan untuk memenuhi perintah yang dikandung

di dalam surat Al Ma’un tersebut. Ini merupakan contoh kongkret bagi para santrinya, mengenai

bagaimana mereka harus memahami kandungan isi kitab suci Al Qur’an.

Di sana memang ada kalimat: “Tahukah kamu, orang-orang yang mendustakan agama? ” Dan dalam

surat ini dijelaskan bahwa orang yang menyia-nyiakan anak yatim serta tak memberi makan orang

miskin, dimasukkan dalam kategori dusta itu.

Agama diturunkan Tuhan buat manusia, dan bukan buat kepentingan Tuhan itu sendiri. Tuhan sudah

kelewat mulia, kelewat luhur, kelewat kaya. Pendeknya ia tak perlu apa-apa lagi.

Oleh karena itu, sekali lagi, pemahaman KH Ahmad Dahlan itu sungguh sangat kontekstual buat situasi

kita saat itu, dan juga kini. Ayat-ayat suci sungguh bukan untuk dibaca, dilagukan, dan dipertandingkan

dari tingkat kabupaten sampai tingkat nasional, melainkan untuk dimengerti, dipahami dan dilaksanakan.

Sikap KH Ahmad Dahlan begitu tegas: ia tak ingin umat Islam hanya menjadi “burung nyanyi”, (seperti

contoh para santrinya) yang mengandalkan suara merdu. Baginya, yang terpenting adalah tindakan dan

Page 6: muhammad sobary.doc

amal nyata. Relevansi sosial dari agama, pendeknya, merupakan hal yang penting. Mungkin malah yang

terpenting.

Ibadah puasa selama sebulan itu ditutup dengan lebaran. Suasana khusu’, penuh tirakat dan sikap

prihatin yang nampaknya dalam itu diakhiri dengan sebuah pesta: makan, minum, rokok dan segala

macam yang selama sebulan dilarang, di hari itu halal semata hukumnya. Dan kita bersyukur.

Tradisi yang mewarnainya, dus sesuatu yang bukan bagian dari ajaran, ialah sungkem pada orang-tua,

mertua, bertemu sanak keluarga, teman kongkow, teman ngaji, teman sekolah atau kantor, dan juga para

tetangga. Suasana gembira memancar di tiap wajah. Hati pun terbuka buat saling memaafkan.

Urusan ibadah kita menjadi juga urusan nasional. Negara mendapat untung, setidaknya dari penjualan

benda-benda pos. Permintaan dan pengiriman maaf tak bisa jalan tanpa amplop dan perangko.

Pulang ke kampung juga merupakan tradisi lain yang ikut mewarnai kemeriahan lebaran. Negara juga

ikut terlibat dalam acara ini. Mungkin juga memperoleh untung dari penjualan tiket kereta, pesawat dan

kapal laut, buat kepentingan orang-orang yang bergembira ini.

Suasana tirakat tak boleh berlama-lama. Tuhan menghendaki segala yang mudah, sederhana dan

kepenak, bagi hamba-hambaNya. Tapi persoalannya, jika puasa sebulan itu dianggap media latihan

hidup asketik, pengerahan segenap kekuatan lahir dan batin untuk menangkap esensi serta makna

ajaran suciNya, apakah kemudian yang kita bawa “pulang” ke dunia ini? Apa hasil pengembaraan

rohaniah, yang bisa kongkret kita abdikan buat kepentingan kemanusiaan?

Pertama-tama, barangkali harus diakui bahwa tak setiap hamba memang telah “berhasil” menghayati

esensi ajaran yang terkandung dalam puasa. Mungkin kita ini masih pada tataran “burung nyayi”: kita

baru hapal, dan belum mengerti, seperti kata Kiai Dahlan tadi. Kita sibuk ngaji, sibuk bertilawatil Qur’an,

mungkin kurang sibuk berbuat.

Kecuali itu, dari tahun ke tahun, mungkin suasana “tirakat” dalam bulan puasa semakin nampak berubah.

Benar, kita masih fasih bicara solidaritas sosial, kita juga punya kepedulian terhadap kemiskinan, tapi

bagaimanakah tindakan kita?

Acara buka puasa menggejala di mana-mana. Acara-acara semacam itu sering berarti makan besar dan

enak. Dan kita boleh bertanya pada diri sendiri, berapa puluh kalikah acara seperti itu kita hadiri selama

sebulan itu?

Atas nama kekeluargaan, kangen-kangenan antara sesama teman dalam organisasi ketika mahasiswa,

kumpul tanpa suatu tujuan tertentu selain buka bersama, atau bahkan dengan motivasi bisnis, acara

buka puasa bersama diadakan di hotel mewah.

Tak jadi soal memang, karena kita makin makmur. Tapi “kita” di sini siapa gerangan orangnya?

Nampaknya cuma kelas menengah dan atas. Dengan kata lain, golongan rakyat yang sehari

penghasilannya 2-3 ribu, tak akan pernah ikut acara macam ini.

Tak jadi soal juga memang, kalau kita tak ada kepedulian terhadap mereka. Tak jadi soal kalau kita tak

belajar menaruh iba dan rasa kasih pada mereka yang di bawah, yang tertindas.

Page 7: muhammad sobary.doc

Jarak antara sesama kita, sebenarnya jauh. Setidaknya, tak sedekat yang kita bayangkan. Dan tak

sedekat yang kita gambarkan secara ideal bahwa tiap umat, menurut ajaran, satu sama lain adalah

saudara.

“Saudara yang bagaimana?” saya bertanya

Soal serius dalam hidup kita, umat, ialah bahwa kita lupa, ajaran itu bukan realitas. Tapi kita sudah puas

dengan semua yang ideal. Dan berhentilah kita di tataran itu.

Maka kita pun menyanyikan lagu bahwa agama memperhatikan yang miskin dan menyantuni yang yatim.

Kita menyanyi dalam arti sebenarnya karena kita lupa bahwa agama di situ menuntut tindakan kita.

Ucapan “Selamat Lebaran” yang kita sampaikan pada mereka yang lebih miskin jadinya cuma ucapan

kosong atau setengah kosong, karena tanpa kita sertai tindakan yang jelas bisa membebaskan mereka

dari struktur yang mengurung dan memiskinkan mereka itu.

Sebagai doa, ucapan kita jelas mulia. Tapi bagaimanapun, ia belum merupakan doa yang membebaskan.

Mohammad Sobary, Jakarta Jakarta, No.300, 28 Maret- 3 April 1992

Page 8: muhammad sobary.doc

Kumbo Karno Dan Bung Hatta

Pada hari-hari ketika Kumbo Karno sudah merasa muak terhadap kehidupan keraton

dan oleh karena itu ia menyendiri di Panglebur Gongso, di rumahnya, bersama Togog,

ia sama sekali tidak tahu apa yang terjadi di keraton. Ia tak peduli.

Tetapi hari itu ketenangan negeri Alengka terasa mencurigakan. Suasana itu seperti

dibuat untuk menyelubungi sesuatu. Naluri Kumbo Karno mencium ada yang tak beres.

Maka, disuruhnya Togog, abdi dalem, menyelidik.

Syahdan, Togog mampu menyusup ke sumber berita yang paling aktual, dan layak dipercaya. Siang itu,

setelah sidang kabinet yang melelahkan membujuk Dasamuka agar mengembalikan Shinta, Gunawan

Wibisono dikepruk dengan sepenggal besi oleh Dasamuka. Gunawan roboh, dan mati seketika.

Kematiannya dirahasiakan. Segenap kawula dan kadang sentana keraton yang ada di dalam bangunan

gedung istana tak boleh keluar. Sebaliknya, yang di luar tak boleh masuk. Segenap pintu dijaga ketat

demi kerahasiaan itu.

Kemudian, dengan cara siluman, jasad Wibisono dibuang ke laut. Dengan demikian, Dasamuka bisa

bersikap seolah-olah biasa, seolah-olah tak ada sesuatu yang terjadi.

Tetapi Kumbo Karno yang mendengar hal itu dari Togog, menggeram. Suaranya menggelegar di langit.

Langkah kaki raksasa sebesar gunung yang menahan marah itu mengguncangkan bumi Alengka. Dia

menuntut balas.

Sambil menuju keraton Alengka, Kumbo Karno mengobrak-abrik keindahan taman. Benteng dirobohkan.

Beringin ditumbangkan. Alengka, pendeknya, bagai diterjang prahara.

Melihat amok adiknya itu, Dasamuka mengkirik. Benar dia sakti mahambara. Tapi Kumbo Karno pun

bukan tandingan biasa. Dia bersembunyi. Disuruhnya patih Prahasta meredam kemarahan adiknya.

“Ingat, anakku, Kumbo Karno,” bujuk Prahasta. Bumi bisa kau telan bila kau mau. Tapi lupakah engkau,

anakku, pada kawulo cilik yang tak bersalah, yang juga bisa jadi korban kemarahanmu, jika kau tak mau

mengendalikan diri? Badaniah, engkau memang raksasa, anakku. Tapi aku tahu, jiwamu satria sejati …”

Kumbo Karno lilih dalam bujukan. Tapi sejak saat itu pula ia tak mau lagi melihat polah tingkah

Dasamuka. Tak tega melihat kekejaman kakaknya, Kumbo Karno menyingkir. Ia bertapa tidur di

Panglebur Gongso. Bertahun-tahun lamanya.

Orang menyebut Kumbo Karno seorang patriot. Ia salah satu contoh perilaku satria utama. Tapi ada pula

yang menilainya pengecut. Ia satria yang rela mati konyol. Dan ia pun dianggap tak berbuat sesuatu

melihat kejahatan merajalela di depan matanya. Tapa tidurnya dianggap lambang sikap skeptis yang tak

bertanggung jawab. Sikap yang bahkan sangat merugikan bangsa, dan negara, yang ia bela.

Kita tahu, dunia wayang itu pralambang. Dan segala bahasa yang digunakan di dalamnya adalah juga

bahasa pralambang.

Tidurnya Kumbo Karno di situ tentu tidak harfiah berarti ia menggeletak di kasur dan enak-enak

bermimpi.

Page 9: muhammad sobary.doc

Bagi saya, tidur di situ artinya menarik diri dari kehidupan politik. Ia menyingkir. Menonaktifkan diri dari

riuh rendah urusan kenegaraan yang ruwet. Dasamuka yang ekspansif, kolonial, dan mengagungkan

superioritas diri, otomatis membuat Kumbo Karno yang berpijak pada bahasa moral, lelah secara badani

dan jiwani.

“Terserahlah, kalau suaraku tak diperlukan,” begitu arti tidurnya. “Tapi tunggulah. Keruntuhan bakal

menimpamu.”

Dalam berbagai rezim pemerintahan otoriter hal itu ditemui. Raja cuma mau mendengar suaranya sendiri.

Atau suara siapa saja yang bersedia menjadi bayangannya, dan membuntut segala sikap dan

tindakannya. Terhadap suara tandingan, raja macam itu bersikap anti. Pembungkaman, akibatnya,

disistematisasikan. Penjara diperlebar. Kumbo Karno adalah pesakitan yang masuk penjara semacam

itu.

Apakah beda Kumbo Karno dari Bung Hatta? Dua-duanya terpental atau mementalkan diri, dari

pemerintahan yang tak mereka dukung. Dua-duanya kecewa melihat keadaan. Dua-duanya, akibatnya,

lalu memilih jalan sepi. Dua-duanya satria yang melambangkan suara moral.

Bung Hatta, menjelang hari-hari akhir mitos dwitunggal, banyak dikecewakan oleh kebijakan dan sikap

politik Bung Karno. Dan ketika keputusan mundur dari pemerintahan di tahun 1956 itu akhirnya diambil,

tokoh proklamator kedua itu berkata:

“Setelah ikut serta dalam menjalankan tugas membangun bangsa dari atas selama sebelas tahun, saya

ingin menyumbangkan kekuatan saya dari bawah sebagai orang biasa yang bebas dari kedudukan apa

pun.”

Bung Hatta mutung (merajuk)? Mungkin tidak. Tipe orang yang datar jiwanya dan rasional seperti Bung

Hatta bukan tipe perajuk. Ia mengambil sikap dengan perhitungan matang seorang negarawan.

Saya selalu memberi arti tindakan semacam itu sebagai suatu gerakan moral. Sebuah tindakan yang

diambil berdasarkan pertimbangan jangka panjang, demi kepentingan bangsa dan negara. Dan bukan

berdasarkan pertimbangan praktis, buat diri sendiri, kelompok atau partai politik di mana ia berafiliasi.

Seperti sikap Kumbo Karno terhadap Dasamuka, Bung Hatta pun bukan tak suka pada Bung Karno

secara pribadi. Hubungan Bung Hatta (dan keluarga) dengan Bung Karno (dan keluarga), kabarnya baik-

baik saja. Bung Hatta cuma tidak setuju dengan kebijakan politik Bung Karno.

Jarang orang yang bisa “membelah” diri seperti Bung Hatta itu. Ia tegas memisahkan yang pribadi dari

yang resmi kenegaraan dan politik. Dan itu pula yang membuat Bung Hatta dihormati kawan dan disegani

lawan-lawan politiknya.

Ketika sejumlah tokoh disembelih PKI dalam tragedi 1965 dulu itu, nama Bung Hatta sebenarnya

tercantum dalam daftar yang harus disingkirkan dan dibabat.

Tapi ketika sejumlah jasad menggeletak, Bung Hatta masih selamat. Dan itu, kabarnya, berkat keputusan

mendadak Aidit: nama Bung Hatta dicoret dari daftar merah.

Kita tidak tahu mengapa Aidit mengambil keputusan itu. Padahal kita tahu, Bung Hatta gigih menangkal

segala gerak politik PKI. Ia tergolong yang paling anti PKI. Tapi dugaan saya, seperti halnya ia anti

terhadap sikap politik Bung Karno, sikap anti PKI Bung Hatta tak disertai rasa dendam, dengki dan sikap

Page 10: muhammad sobary.doc

sejenis itu. Ia menolak tanpa menimbulkan permusuhan. Anti tanpa mengembangkan kebencian . Dan

mengalahkan tanpa membuat orang yang kalah merasa hilang muka.

Seperti Kumbo Karno yang tak memberontak melawan Dasamuka, Bung Hatta tak berontak mengangkat

senjata terhadap Bung Karno. Dan seperti Kumbo Karno, Bung Hatta pun memilih tapa tidur untuk

memberi Bung Karno kesempatan merenung. Tapi di situ pula kelemahan gerakan moral: lawan politik

kelewat enak dibiarkan dan ditinggal tidur. Ia bebas merajalela …

Mohammad Sobary, Jawa Pos, 19 Januari 1992

Page 11: muhammad sobary.doc

Wanodya

Bagaimanakah persisnya gambaran kita tentang wanita? Seperti Shinta yang setia,

tabah, dan sabar menahan derita? Seperti Srikandi yang kenes, tangkas, dan

cenderung tregal-tregel ning ora mbebayani (agak sembrono tapi tak membahayakan)?

Ataukah seperti Sarinah, sebagaimana dimaksudkan Soekarno?

Dunia berputar. Dan di dalamnya, wanita pun berubah. Soekarno salah dalam satu hal:

wanita tak lagi dikungkung seperti dulu. Sudah umum sekarang bahwa wanita punya kebebasan seperti

pria. Artinya, wanita juga bekerja di berbagai sektor, tempat laki-laki bisa bekerja. Dan, akibatnya, wanita

pun tak lagi bergantung sepenuhnya pada pria. Toko dan warung di daerah pedesaan banyak yang

berkembang di bawah kendali wanita.

Tak jarang wanita menjadi kepala keluarga. Juga tak jarang terjadi, laki-laki –yang memegang warisan

tradisi sebagai pelindung keluarga itu– dalam praktek justru dilindungi sang wanita. Dan banyak laki-laki

tidak merasa malu.

Tapi secara sosial maupun kultural pengakuan kita atas peran wanita masih kurang. Persepsi kultural kita

masih tetap menjadikan wanita “korban”. Misalnya, betapapun jelasnya kontribusi ekonomi kaum wanita

bagi keluarga, diakui umum bahwa pekerjaan wanita –seperti disebut dalam penelitian Celia E. Mather

mengenai wanita pekerja di Tangerang– dianggap cuma “daripada menganggur”. Kecuali itu, ada

anggapan (tentu saja di kalangan pria) yang bersifat gender specific bahwa jenis pekerjaan tertentu tak

layak dikerjakan pria, karena ia “cuma” pekerjaan wanita.

Diskriminasi atas wanita terjadi di rumah tangga atau di pabrik. Di rumah, seperti dilaporkan Diane Wolf

dari penelitiannya tentang wanita pekerja di Jawa Tengah, kontribusi ekonomi wanita dianggap sekunder,

cuma melengkapi hasil pria. Di pabrik, kata Mather, mereka dibayar cuma tiga perempat jumlah gaji pria,

biarpun sering mereka harus bekerja lebih keras dari lawan jenisnya itu.

Pendek kata, sampai saat ini anggapan tradisional tentang superioritas pria atas wanita belum

tertumbangkan. Benar, wanita “dimahkotai” aneka sebutan: tiang masyarakat, surga di bawah telapak

kaki ibu, atau dilambangkan sebagai bunga, dan diluhurkan sebagai ratu. Gadis paling cantik di desa

disebut bunga desa. Dan di kota-kota gadis cantik, gadis luwes, gadis tangkas, dijuluki dengan aneka

ratu.

Kalau dipikir-pikir, perlakuan istimewa bagi anak wanita dalam keluarga –misalnya anak wanita harus

dijaga baik-baik– ternyata diam-diam mengandung “muatan” kepentingan seks buat laki-laki. Artinya,

kalau ke mana saja anak dijaga, diharapkan tetap “murni” dan itu nantinya biar menyenangkan laki-laki

(suaminya).

Di dunia wayang, tiap wanita muncul disambut dengan suluk ki dalang: Wanodya ayu tama ngambar

arum. Ngambar aruming kusuma… (wanita cantik memancarkan harum bunga). Bunga apa, tidak

penting. Tapi, melihat seorang wanodya (cewek) cuma dari sudut kecantikannya, sungguh bisa bikin

merah muka kaum feminis.

Mereka akan lebih marah melihat persepsi kultural Jawa atas wanita: Wanita ateges wani ditata

(namanya juga wanita, ia harus rela diatur, taat pada tatanan). Siapa yang bikin tatanan? Mungkin ayah,

Page 12: muhammad sobary.doc

mungkin suami. Dan kita tahu, ayah dan suami bukan wanita, tapi laki-laki. Jadinya, wanita harus taat,

tunduk pada laki-laki.

Mengapa begitu? Soalnya, wanita itu ibarat awan dadi theklek, bengine ganti dadi lemek (siang menjadi

bakiak, malamnya naik pangkat menjadi alas untuk ditindih).

Dan siapa membaca Gadis Pantai-nya Pramudya Ananta Toer, akan jelas betapa rendah status wanita di

kalangan santri-priayi (Geertz akan pusing melihat kombinasi ini) di masyarakat Jawa. Di kalangan itu,

wanita cuma tempat menumpahkan benih. Selebihnya babu atau budak.

Adalah juga orang Jawa yang menempatkan peran wanita dalam formulasi “3 ah” sesuai dengan sebutan

traditional gender-based ideology: yakni neng omah (di rumah), olah-olah (memasak), dan mlumah,

ngablah-ablah (maaf, menelentang seseksi mungkin). Maksudnya, supaya sinuwun sang suami menjadi

sangat berkenan di hati. Posisi wanita dalam persepsi Jawa cuma bergerak antara dua kutub: budak dan

klangenan (barang, supaya tidak bilang hewan, piaraan).

Dalam ketoprak dan wayang, gambaran itu tidak menyimpang secuil pun. Wanita yang mencoba

mendekati pria karena jatuh cinta disebut ngunggah-unggahi atau suwita, artinya mengabdi. Dan, kelak,

bila sang pria tak lagi berkenan, wanita rela saja diusir jauh-jauh.

Hubungan kesederajatan antara pria dan wanita, pendeknya, belum pernah ada. Gagasan wanita ateges

wani ditata, dan konsep ngunggah-unggahi atau suwita dan ejekan awan dadi theklek, bengi dadi lemek

jelas menggambarkan adanya ideologi penindasan pria atas wanita.

Tapi tampaknya, di bawah penindasan itu wanita menemukan juga sejenis kenikmatan. Mungkin karena

ada sejenis sifat cenderung “menyiksa” diri, mungkin juga karena ketakberdayaan. Atau jangan-jangan

wanita-wanita cenderung jadi Shinta?

Mungkin bukan. Barangkali, wanita adalah sebuah piala cantik yang retak: ia terombang-ambing antara

hasrat untuk tetap dalam posisi “tradisional” di rumah sebagai wanodya ayu tama yang “mengabdi” dan

kecenderungan untuk menuntut kebebasan.

Mohammad Sobary, Tempo, 2 Mei 1992

Page 13: muhammad sobary.doc

Bunglon

Bagaimana upaya memanjat

Supaya selalu selamat

Bagaimana cara jatuh

Supaya tidak mengaduh

Kakekku yang amat cermat

Turunkan ilmu secara cepat

(Taufiq Ismail)

Adakah hal yang begitu penting dalam hidup kita, melebihi keselamatan? Agama mengajarkan perilaku

agar manusia memperoleh keselamatan. Islam memiliki doktrin selamat dunia dan akhirat. Kristen

menekankan salvation (penyelamatan jiwa).

Ketika saya mau hijrah ke Jakarta dua puluhan tahun lalu, nenek, kakek, ayah, paman, pakde, dan

tetangga-tetangga memberi saya sangu (bekal) slamet (selamat). “Tak sangoni slamet” (aku bekali kau

selamat), kata mereka.

Tiap kali saya pulang ke kampung, yang pertama-tama mereka tanyakan ialah apakah saya dalam

keadaan “selamat”. Pak Arno, salah seorang guru SMA saya, memberi saya petuah tentang empat “S”

(sluman, slumun, sarwo, slamet). Intinya, bergaul di mana saja, dalam kelompok apa saja, orang harus

berperilaku begitu rupa agar jangan lupa memperhitungkan upaya mencari selamat.

Pinter itu perlu, tapi pinter yang membawa selamat. Kaya juga baik, asal kekayaan itu juga membikin kita

selamat.

Miskin pun tak dicela, karena bukankah yang penting selamat? Kalau jasad dan jiwa selamat, harta bisa

dicari.

Ditambah moralitas Jawa bahwa hidup di dunia cuma sesaat, ibarat cuma orang mampir ngombe

(singgah buat minum di kedai), sikap toleran terhadap kemiskinan dan mengutamakan keselamatan di

dunia yang kelak akan tiba, menjadi lebih jelas lagi. Selamat terletak di atas segalanya!

Di depan gedung LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) itu ada jalan memotong ke arah kompleks

perumahan menteri. Di jalan itu mangkal sejumlah kecil ojek. Satu di antara tukang ojek itu seorang

kakek dari Blitar, Jawa Timur. Saya sering menggunakan ojek kakek itu. Vespa tua itu tersuruk-suruk di

jalan-jalan Jakarta, mengantar penumpang dengan mengutamakan keselamatan. “Biar pelan asal jalan,

lambat tapi selamat,” kata kakek itu.

Ketika baru kenal tiap kali mau berangkat dengan vespa itu saya selalu ditanya, apakah saya terburu-

buru. Sebagai sesama Jawa, saya paham ke mana arah pertanyaannya. Maka, biarpun saya harus

mengejar waktu, saya selalu menjawab bahwa waktu saya cukup longgar

“Soalnya, Pak,” kata kakek itu, “bagi saya yang penting itu selamat. Kalau penumpang terburu-buru pun

akan saya minta kerelaannya untuk saya antar secara pelan asal jalan,” katanya.

Ketika sebuah Kopaja berhenti mendadak, dan kakek itu terpaksa menginjak rem secara mendadak juga,

sehingga ujung ban depan vespanya hampir menempel bagian belakang Kopaja yang sembarangan itu,

si kakek bukannya hanya tidak marah, melainkan malah merasa beruntung.

Page 14: muhammad sobary.doc

“Untung tidak nabrak,” katanya kalem. Ketika bus kota memepetnya di trotoar, dia cuma menggerutu:

piye bus iki karepe (“apa maunya bus itu”). Rem diinjak dengan kalem. Dan kami berhenti. Tak ada

makian apa-apa. Yang ada malah sikap syukur, karena bagaimanapun semuanya selamat.

Kalau prinsip mengutamakan selamat di jalan raya itu terdengar oleh Polantas, kakek kita dari Blitar itu

pasti mendapat hadiah istimewa. Sekurang-kurangnya ucapan terima kasih.

Prinsip “asal selamat” itu tak cuma berlaku di jalan raya. Dalam tiap langkahnya kakek itu

menomorsatukan keselamatan. Ia memang bukan sembarang tukang ojek.Ia dulu pernah bekerja di

kantor. Memang benar, ia hanya pegawai rendahan. Tapi pernah ia menolak perintah atasan untuk

menandatangani kuitansi fiktif. Semua pegawai sudah bertandatangan, dan mereka kebagian rejeki.

Cuma si kakek dari Blitar yang tak mau.

“Saya butuh uang seperti mereka juga. Tapi saya tak setuju caranya,” katanya. “Cara itu tidak membawa

selamat,” tambahnya.

“Lho, bukannya atasan yang menyuruh? Bukankah atasan menanggung semuanya?” kata saya.

“Betul. Tapi atasan saya itu punya atasan. Dan atasannya atasan saya juga punya atasan lagi. Raja yang

paling kuasa pun punya atasan. Kepada atasan yang paling atas itu saya takut …,” katanya.

Kakek kita dari Blitar ini mengingatkan saya pada sajak Kisah Kakek dan Cucu Keluarga Chameleon

yang ditulis oleh penyair top kita, Taufiq Ismail. Chameleon alias bunglon memiliki kemampuan untuk

secara alamiah menyelamatkan diri dengan cara mengubah warna kulit sesuai keadaan sekitar.

Dalam sajak itu, kakek bunglon menceritakan pengalamannya bahwa ia pernah ditangkap manusia.

Dokter hewan yang bisa bicara bahasa bunglon telah memindahkan bintil-bintil di bawah kulit dan getah

di ujung lidah si kakek, ke tubuh manusia

“Dalam waktu dua musim hujan saja, sesudah bintil-bintil itu masuk ke kulit manusia, manusia di dunia ini

sudah lebih sempurna cara berganti warna mereka. Dan lidah mereka, semakin bergetah keadaannya,”

tulis Taufiq Ismail lagi.

Teman-teman kakek dari Blitar itu mungkin juga sudah menjadi bunglon. Mereka menyesuaikan warna

“tubuh” mereka dengan warna “tubuh” sang atasan. Itulah “ilmu selamat” dalam pengertian mereka.

Sebab, kalau mereka menolak, atasannya akan menganggap mereka klilip (penghalang) dan harus

disingkirkan. Nasib mereka kemudian akan sama dengan nasib kakek dari Blitar: terpental.

Di sini kita berhadapan dengan dua fenomena: kakek dari Blitar dan kawan-kawannya. Sering kita harus

memilih satu di antara keduanya. Ini pilihan susah. Dua-duanya punya justifikasi sebagai “ilmu selamat”.

Barangkali, umumnya kita adalah potret dari kawan-kawan kakek kita dari Blitar karena dua alasan.

Pertama, kita umumnya lebih mengutamakan upaya penyelamatan jasad ketimbang roh. Kedua, kita

diam-diam telah menukar kulit kemanusiaan kita dengan kulit bunglon. Kita semua, pendeknya, mungkin

sudah jadi bunglon.

Mohammad Sobary, Kompas, 21 November 1991