muhammad sobary.doc
TRANSCRIPT
NU Masih Tetap Mengalir
Dalam bangunan sosio-politik dan kultural Indonesia, dapatkah kita menemukan
kembali unsur-unsur yang dulu merupakan sumbangan NU? Kemudian, dapatkah kita
mengklim bahwa unsur tertentu dalam bangunan tersebut adalah hasil karya NU?
Mungkin tidak. Seperti halnya tak mungkin seorang kiai akan bisa menemukan kembali
jejak pendidikan yang pernah ditinggalkan dalam diri para santrinya. Ini, tentu saja,
karena sang santri sendiri juga berkembang dan menyerap dari berbagai sumber lain buat basis dan
pengayaan pemikirannya.
Tetapi, jika para analis bisa dengan mudah bicara tentang kontribusi pemikiran sosio-politik-keagamaan
Abdurrahman Wahid dan Nurcholish Madjid, yang nampak mewarnai pemikiran Islam di Indonesia
sekarang, kita juga bisa kembali melihat apa yang sudah pernah disumbangkan NU bagi kehidupan
kemasyarakatan kita melalui, antara lain, keputusan-keputusan yang pernah diambil dalam Munas yang
berlangsung selama ini.
Kita ingat bahwa dalam Munas di Kaliurang, September 1981, NU memutuskan tiga hal: mengangkat Kiai
Ali Ma’sum sebagai Rais Aam, tidak mencalonkan lagi Soeharto sebagai presiden, dan tidak mendukung
Soeharto sebagai Bapak Pembangunan, yang saat itu gencar disuarakan oleh berbagai kekuatan sosial
politik di Indonesia.
Saat itu NU berpendapat bahwa hal itu sebaiknya diserahkan pada MPR. Kita juga masih ingat bahwa
dalam Munas itu pula NU terpecah menjadi dua kubu: Cipete dan Situbondo.
Dalam Munas berikutnya di Situbondo, Desember 1983, diambil keputusan yang menimbulkan
kekaguman banyak pihak, di samping penyesalan sementara kalangan, yaitu kembali ke khittah 26 dan
menerima Pancasila sebagai asas tunggal.
Dengan kembali ke khittah 26, berarti NU meninggalkan dunia politik untuk memilih kembali menjadi
organisasi sosial.
NU menerima Pancasila sebagai asas tunggal karena bagi NU, Indonesia ini sudah merupakan bentuk
final yang diperjuangkan dan dicita-citakan Islam sejak dulu. Seperti dapat kita lihat dalam perkembangan
politik Indonesia selanjutnya, keputusan ini terasa jitu. Seolah keputusan ini langsung terkait dengan
Islam yes, partai Islam no, yang terkenal itu.
Dengan begini, sebenarnya NU mencoba keluar dari kepompong untuk meng-Indonesia-kan diri. NU,
dengan kata lain, berusaha menanggalkan baju primordialnya untuk menapak di jalur cepat (nasional)
dalam pergaulan dengan berbagai kekuatan sosial politik lainnya. Dalam pergaulan itu, NU
menghilangkan aneka prasangka (ras, suku, dan keagamaan) tetapi juga tidak perlu menghilangkan
identitas asalnya.
Di dalam Munas Cilacap, Desember 1987, NU mengambil dua macam keputusan: tajdid (pembaruan)
dan ukhuwah. Pembaruan ajaran dianggap perlu dilakukan karena ajaran, bagi NU, adalah ibarat aliran
sungai. Makin jauh dari sumber sucinya (zaman Gusti Kanjeng Nabi Muhammad s.a.w.) dan makin dekat
ke muara (kehidupan zaman kita ini), segala najis dan khadas yang mengotori ajaran kita tentu semakin
banyak. Namun, pembaruan bukan dimaksudkan untuk mengajak umat bersama-sama menata kembali
pola kehidupan sosio-politik-kultural sebagaimana tercermin dalam kehidupan bangsa Arab tempo dulu
(yang tentu saja tidak akan cocok dengan kondisi obyektif kita sekarang), melainkan untuk membersihkan
kotoran tersebut.
Dalam kaitan ini, NU tiba-tiba lalu menemukan diri bergandengan tangan dengan Muhammadiyah,
tetangganya itu. Pada titik ini NU-Muhammadiyah bertemu dalam aspirasi dan doktrin keagamaan.
Dengan kata lain, NU membuka jendela yang selama ini menyekat hubungannya dengan
Muhammadiyah.
Keputusan mengenai ukhuwah menyangkut tiga hal penting: ukhuwah Islamiah (sesama Islam), ukhuwah
wathaniah (sesama warga negara), dan ukhuwah basyariah (sesama manusia).
Ini, sekali lagi, mempertegas kembali tekad NU untuk lebih membuka cakrawala pergaulan dengan siapa
saja, tanpa beban prasangka tadi. NU mencoba hidup secara enak, mengalir bagai aliran sungai, ke arah
mana saja sejauh tak menodai diri dan inti perjuangannya. Ini menarik, karena seolah-olah NU sudah
jauh memperhitungkan bakal datangnya era globalisasi dalam berbagai segi kehidupan seperti kita
rasakan sekarang ini.
Setelah “dekrit” tentang tiga ukhuwah itu, NU lalu membuka peluang kerja sama ekonomi dengan
berbagai pihak. Maka terbentuklah kemudian BPR, Morelli Makmur, Morelli Aswaja, dan Buana Citra
Asparagus. Yang terakhir ini merupakan kerja sama NU dengan pihak Swiss.
Dalam Munas Lampung, 21-25 Januari 1992 mendatang, akan dibahas tiga hal: soal bank, asuransi, dan
hirarkhi pengambilan keputusan hukum Islam di lingkungan NU.
Bisik-bisik dan segenap komentar, konon sudah berkembang. Ada yang menganggap, Munas Lampung
mendatang merupakan suatu langkah mundur bagi NU. Ada pula yang bilang bahwa asuransi dan bank
tak ada relevansinya dengan NU, sementara hirarkhi pengambilan keputusan hukum Islam pun dianggap
sudah telat.
Kemunduran? Dan bank serta asuransi tak relevan dengan NU? Pokok-pokok yang akan dibahas di
Lampung, sepintas lalu, dan itu bila hanya dilihat dari segi politik, memang tak kelihatan menggebrak.
Tapi mestikah yang tak menggebrak itu suatu kemunduran? Belum tentu.
Kita kan tak harus menggebrak terus-menerus. Artinya, bila situasi menghendaki kita bekerja secara
kalem, mengapa pula harus menggebrak? Saya setuju bahwa dibanding dengan keputusan Munas
Situbondo dan Munas Cilacap, arti politis Munas Lampung mungkin lebih kecil.
Tapi anggapan bahwa bank dan asuransi tak relevan dengan NU, sulit saya pahami. Adalah panglima
tertinggi NU yang selalu bilang betapa pentingnya kita membenahi kehidupan (ekonomi) umat yang
sampai saat ini masih morat-marit. Dan, bahwa demi pembenahan itu, kita dianjurkan pula untuk tak usah
selalu ribut tentang thethek mbengek perkara khalifiah, karena problem pokok umat adalah kemiskinan.
Memang, kita tak harus setuju dengan panglima tertinggi. Tapi bila sebagai tindak lanjut dari “dekrit”
tentang tiga ukhuwah kita kerja sama dengan bank, dan hal itu sekarang kita tindaklanjuti, bagaimana
bisa bank dianggap tak ada relevansinya dengan NU? Saya melihat bahwa Munas kali ini masih terkait
dengan soal penting dalam kehidupan umat. Dengan kata lain, NU masih tetap mengalir. Ia tak
kehilangan relevansi apa pun.
Mohammad Sobary, Warta NU, Bulanan, Januari 1992
Guru
Dalam ilmu othak-athik gathuk-nya orang Jawa, suku kata gu dari kata guru itu berarti
digugu dan ru, artinya ditiru. Barangkali benar, guru memang digugu (dianut) dan ditiru,
diteladani para murid. Dari sana, barangkali Ki Hajar Dewantara merumuskan peran
guru yang terkenal: ing ngarso asung tulodo, ing madyo mangun karso, tutwuri
handayani itu. Barangkali dari sana pula pepatah kita “guru kencing berdiri, murid
kencing berlari” itu memperoleh inspirasinya.
Sardono W. Kusumo pernah mengatakan kepada saya bahwa di masyarakat Jawa, guru tidak harus
merupakan sebuah sosok pribadi, melainkan bisa juga cuma berupa citra atau sosok bayangan. Dalam
sebuah lakon disebutkan, ketika Resi Durna sedang mengajar para satria Pandawa dan Astina
memanah, seorang satria lain datang hendak berguru memanah kepada resi tersebut.
“Tidak bisa, ki sanak,” sahut Begawan Durna. “Saya sudah teken kontrak untuk hanya mengajar para
satria ini, dan tak akan lagi pernah menerima murid lain.”
Satria itu kemudian pergi dengan rasa kecewa. Namun, tekadnya untuk berguru kepada Begawan Durna
tetap membara. Citra Durna sebagai guru sakti tak ada duanya sangat mempengaruhinya.
Syahdan, sang satria pun kemudian membuat patung Pandita Durna Ia lalu mulai belajar memanah,
sambil membayangkan bahwa ia sedang benar-benar belajar kepada pandita sakti itu. Dan konon,
kehebatan satria ini tak kalah dari para murid yang belajar dari Durna secara langsung.
Mudah diduga, andaikata Durna menerimanya sebagai murid, pasti satria itu bakal menjadi murid yang
taat kepada guru. Apa pun perintah sang guru, murid itu pasti akan mematuhinya. Dengan kata lain,
murid itu pasti akan mampu memanggul tugasnya sebagai murid yang harus senantiasa membuktikan
bahwa guru memang seyogianya digugu lan ditiru.
Tapi, masihkah sekarang ini guru memperoleh kehormatan sebagai orang tua yang tetap digugu lan ditiru
(didengar petuahnya, ditiru tindakannya?). Zaman berubah. Musim pun berganti. Dan dalam pergantian
itu, kita tiba-tiba dihadapkan pada kenyataan yang tak lagi sejalan dengan tafsir ideal tentang guru
sebagai yang digugu lan ditiru.
Kita dibuat terkejut oleh sejenis pemberontakan moral dan penjungkirbalikan tatanan ideal dalam tafsir
Jawa tadi. Dan, kita sepertinya tak siap menghadapi kenyataan ketika guru bukan cuma tak lagi digugu
lan ditiru, melainkan juga digebuk oleh sang murid.
Kita belum punya jawaban, apa yang mesti kita katakan sekarang ketika kita melihat murid datang
kepada guru sambil membawa parang, golok, atau belati untuk mengancam sang guru, ketika gurunya
tak bersedia memberinya nilai bagus atau menaikkannya ke kelas tinggi
Kondisi sosio-psikologis macam apa yang mendorong ada murid mengamuk melempari kaca dan
jendela, merusak sekolah, dan mengeroyok gurunya sendiri? Apa yang salah dalam diri guru? Dan, apa
sebenarnya yang sedang terjadi dalam masyarakat kita? Ringkasnya, mengapa kewibawaan guru
merosot serendah itu? Guru-guru berjumpalitan, mencoba berakrobatik untuk menyesuaikan diri dengan
panduan dari pusat. Mereka tergencet situasi: mengejar target yang besar dari pusat akan selalu berarti
menemui kesulitan dengan murid-muridnya sendiri, tapi bila ia mencoba memberi murid sedikit
keleluasaan ia akan terbentur dengan atasan.
Guru memang masih tetap disanjung sebagai “pahlawan tanpa tanda jasa”. Ada bahkan yang
mengatakan bahwa umumnya tiap orang besar pernah menjadi guru. Mungkin benar, tapi guru dalam
masyarakat kita sekarang jelas bukan orang besar. Jadi, apakah gunanya menghibur guru dengan
ucapan seperti itu?
Bagi saya, gelar pahlawan tanpa tanda jasa lebih terasa ejekan, bukan penghormatan, karena seolah-
olah guru memang tak berhak memperoleh tanda jasa itu.
Guru bukan manusia merdeka. Ia tidak bebas. Ia tidak mempunyai otonomi dalam memutuskan nasib
murid-muridnya, meskipun tak seorang pun berani membantah bahwa dialah yang paling tahu tentang
kemampuan murid-muridnya.
Orang-tua murid yang tidak tahu ujung pangkal persoalan tak jarang campur tangan, melakukan
intimidasi, atau menyogok sang guru dengan materi. Ini sekali lagi, membuktikan juga betapa guru
memang bukan orang yang bebas. Ia tak merdeka. Tampaknya guru, dalam kondisinya, tak bisa berkata
tidak seperti dulu ketika Durna menolak satria, calon murid yang hendak berguru kepadanya.
Guru-guru tarekat yang tak terikat panduan atasan, yang tak menggantungkan kurikulum pendidikannya
kepada kekuasaan orang pusat, tampaknya masih memiliki kharisma yang besar di mata para muridnya.
Guru-guru tarekat, dengan kata lain, masih tetap pengejawantahan dari konsep ideal tentang guru
sebagai yang digugu lan ditiru.
Petuah sang guru tarekat didengarkan. Perintahnya disimak. “Sabda” mereka disetengahsucikan oleh
para murid. Guru tarekat adalah sejenis raja yang paling berkuasa. Namun, mereka memperoleh
kekuasaannya bukan dengan paksa, melainkan dengan wibawa.
Begitulah, sejarah yang digali Sartono Kartodirdjo bercerita kepada kita bahwa sebagian guru tarekat
bukan cuma didengar komando jihatnya untuk menyembelih si kafir Belanda, melainkan juga dipandang
sebagai penjelmaan Ratu Adil yang bakal mengembalikan harmoni dalam masyarakat serta menjanjikan
ketentraman dan kemakmuran hidup mereka.
Murid-murid tarekat pernah rela mempertaruhkan leher demi melaksanakan perintah guru. Dan, murid-
murid tarekat, sampai saat ini, rela mencium tangan sang guru, bahkan berebut sisa makanannya untuk
ngalap berkah.
Kemandirian, kebebasan, kharismanya yang besar, dan keteladanan moralnya itu yang membuat murid
tarekat rela mencium tangan bahkan sungkem, menyembah, di hadapan sang guru.
Mohammad Sobary, Jawa Pos, 15 Desember 1991
Doa Yang Tak Membebaskan
Para santri pun akhirnya berkumpul lagi setelah beberapa lama sebelumnya mereka
menerima tugas dari sang kiai.
“Sudah mengerti pesan dalam surat itu?” tanya kiai, membuka pertemuan kembali.
“Sudah, kiai, alhamdulillah,” sahut salah seorang santri.
“Bagaimana isi pesan itu?”
Santri itu memperdengarkan bacaannya yang bagus atas surat Al Ma’un. “Aroaital ladzi yukadzibu biddin
…,” merdu suaranya. Dan ia pun meneruskan pembacaan dan terjemahannya, sampai selesai.
“Kamu?!” kata sang kiai kepada santri yang lain.
Santri itu pun mengulangi hal yang sama. Ia pun membaca ayat-ayat suci itu, disertai terjemahannya.
Setelah para santri lain memberi jawaban yang sama, sang kiai tak lagi meneruskan bertanya pada santri
berikutnya. Ia berkesimpulan, semua santri pasti akan berbuat serupa.
“Kalian belum mengerti kalau begitu. Kalian cuma hapal. Mengerti dan hapal itu beda,” katanya lagi,
dengan intonasi lembut seperti semula.
Kiai kita ini ialah pendiri perserikatan yang bernama Muhammadiyah yang terkenal itu: Kiai Haji Ahmad
Dahlan. Dialog ini terkenal di kalangan keluarga Muhammadiyah. Orang Muhammadiyah menganggap
“peristiwa” ini penting karena dalam dialog itu terselip sebuah pesan jelas, bahwa agama tak cuma minta
dipahami, melainkan diamalkan. Ketika agama berhenti pada titik pemahaman, saat itu mungkin agama
diturunkan derajadnya menjadi “cuma” sejenis filsafat.
Agama, dengan kata lain, dipreteli fungsi-fungsi sosialnya yang begitu penting dan yang paling relevan
dengan hidup kemasyarakatan kita.
Syahdan, sejak dialog antara kiai dan santri itu lalu didirikan sebuah panti asuhan, tempat menampung
anak-anak yatim-piatu. Langkah ini diambil KH Ahmad Dahlan untuk memenuhi perintah yang dikandung
di dalam surat Al Ma’un tersebut. Ini merupakan contoh kongkret bagi para santrinya, mengenai
bagaimana mereka harus memahami kandungan isi kitab suci Al Qur’an.
Di sana memang ada kalimat: “Tahukah kamu, orang-orang yang mendustakan agama? ” Dan dalam
surat ini dijelaskan bahwa orang yang menyia-nyiakan anak yatim serta tak memberi makan orang
miskin, dimasukkan dalam kategori dusta itu.
Agama diturunkan Tuhan buat manusia, dan bukan buat kepentingan Tuhan itu sendiri. Tuhan sudah
kelewat mulia, kelewat luhur, kelewat kaya. Pendeknya ia tak perlu apa-apa lagi.
Oleh karena itu, sekali lagi, pemahaman KH Ahmad Dahlan itu sungguh sangat kontekstual buat situasi
kita saat itu, dan juga kini. Ayat-ayat suci sungguh bukan untuk dibaca, dilagukan, dan dipertandingkan
dari tingkat kabupaten sampai tingkat nasional, melainkan untuk dimengerti, dipahami dan dilaksanakan.
Sikap KH Ahmad Dahlan begitu tegas: ia tak ingin umat Islam hanya menjadi “burung nyanyi”, (seperti
contoh para santrinya) yang mengandalkan suara merdu. Baginya, yang terpenting adalah tindakan dan
amal nyata. Relevansi sosial dari agama, pendeknya, merupakan hal yang penting. Mungkin malah yang
terpenting.
Ibadah puasa selama sebulan itu ditutup dengan lebaran. Suasana khusu’, penuh tirakat dan sikap
prihatin yang nampaknya dalam itu diakhiri dengan sebuah pesta: makan, minum, rokok dan segala
macam yang selama sebulan dilarang, di hari itu halal semata hukumnya. Dan kita bersyukur.
Tradisi yang mewarnainya, dus sesuatu yang bukan bagian dari ajaran, ialah sungkem pada orang-tua,
mertua, bertemu sanak keluarga, teman kongkow, teman ngaji, teman sekolah atau kantor, dan juga para
tetangga. Suasana gembira memancar di tiap wajah. Hati pun terbuka buat saling memaafkan.
Urusan ibadah kita menjadi juga urusan nasional. Negara mendapat untung, setidaknya dari penjualan
benda-benda pos. Permintaan dan pengiriman maaf tak bisa jalan tanpa amplop dan perangko.
Pulang ke kampung juga merupakan tradisi lain yang ikut mewarnai kemeriahan lebaran. Negara juga
ikut terlibat dalam acara ini. Mungkin juga memperoleh untung dari penjualan tiket kereta, pesawat dan
kapal laut, buat kepentingan orang-orang yang bergembira ini.
Suasana tirakat tak boleh berlama-lama. Tuhan menghendaki segala yang mudah, sederhana dan
kepenak, bagi hamba-hambaNya. Tapi persoalannya, jika puasa sebulan itu dianggap media latihan
hidup asketik, pengerahan segenap kekuatan lahir dan batin untuk menangkap esensi serta makna
ajaran suciNya, apakah kemudian yang kita bawa “pulang” ke dunia ini? Apa hasil pengembaraan
rohaniah, yang bisa kongkret kita abdikan buat kepentingan kemanusiaan?
Pertama-tama, barangkali harus diakui bahwa tak setiap hamba memang telah “berhasil” menghayati
esensi ajaran yang terkandung dalam puasa. Mungkin kita ini masih pada tataran “burung nyayi”: kita
baru hapal, dan belum mengerti, seperti kata Kiai Dahlan tadi. Kita sibuk ngaji, sibuk bertilawatil Qur’an,
mungkin kurang sibuk berbuat.
Kecuali itu, dari tahun ke tahun, mungkin suasana “tirakat” dalam bulan puasa semakin nampak berubah.
Benar, kita masih fasih bicara solidaritas sosial, kita juga punya kepedulian terhadap kemiskinan, tapi
bagaimanakah tindakan kita?
Acara buka puasa menggejala di mana-mana. Acara-acara semacam itu sering berarti makan besar dan
enak. Dan kita boleh bertanya pada diri sendiri, berapa puluh kalikah acara seperti itu kita hadiri selama
sebulan itu?
Atas nama kekeluargaan, kangen-kangenan antara sesama teman dalam organisasi ketika mahasiswa,
kumpul tanpa suatu tujuan tertentu selain buka bersama, atau bahkan dengan motivasi bisnis, acara
buka puasa bersama diadakan di hotel mewah.
Tak jadi soal memang, karena kita makin makmur. Tapi “kita” di sini siapa gerangan orangnya?
Nampaknya cuma kelas menengah dan atas. Dengan kata lain, golongan rakyat yang sehari
penghasilannya 2-3 ribu, tak akan pernah ikut acara macam ini.
Tak jadi soal juga memang, kalau kita tak ada kepedulian terhadap mereka. Tak jadi soal kalau kita tak
belajar menaruh iba dan rasa kasih pada mereka yang di bawah, yang tertindas.
Jarak antara sesama kita, sebenarnya jauh. Setidaknya, tak sedekat yang kita bayangkan. Dan tak
sedekat yang kita gambarkan secara ideal bahwa tiap umat, menurut ajaran, satu sama lain adalah
saudara.
“Saudara yang bagaimana?” saya bertanya
Soal serius dalam hidup kita, umat, ialah bahwa kita lupa, ajaran itu bukan realitas. Tapi kita sudah puas
dengan semua yang ideal. Dan berhentilah kita di tataran itu.
Maka kita pun menyanyikan lagu bahwa agama memperhatikan yang miskin dan menyantuni yang yatim.
Kita menyanyi dalam arti sebenarnya karena kita lupa bahwa agama di situ menuntut tindakan kita.
Ucapan “Selamat Lebaran” yang kita sampaikan pada mereka yang lebih miskin jadinya cuma ucapan
kosong atau setengah kosong, karena tanpa kita sertai tindakan yang jelas bisa membebaskan mereka
dari struktur yang mengurung dan memiskinkan mereka itu.
Sebagai doa, ucapan kita jelas mulia. Tapi bagaimanapun, ia belum merupakan doa yang membebaskan.
Mohammad Sobary, Jakarta Jakarta, No.300, 28 Maret- 3 April 1992
Kumbo Karno Dan Bung Hatta
Pada hari-hari ketika Kumbo Karno sudah merasa muak terhadap kehidupan keraton
dan oleh karena itu ia menyendiri di Panglebur Gongso, di rumahnya, bersama Togog,
ia sama sekali tidak tahu apa yang terjadi di keraton. Ia tak peduli.
Tetapi hari itu ketenangan negeri Alengka terasa mencurigakan. Suasana itu seperti
dibuat untuk menyelubungi sesuatu. Naluri Kumbo Karno mencium ada yang tak beres.
Maka, disuruhnya Togog, abdi dalem, menyelidik.
Syahdan, Togog mampu menyusup ke sumber berita yang paling aktual, dan layak dipercaya. Siang itu,
setelah sidang kabinet yang melelahkan membujuk Dasamuka agar mengembalikan Shinta, Gunawan
Wibisono dikepruk dengan sepenggal besi oleh Dasamuka. Gunawan roboh, dan mati seketika.
Kematiannya dirahasiakan. Segenap kawula dan kadang sentana keraton yang ada di dalam bangunan
gedung istana tak boleh keluar. Sebaliknya, yang di luar tak boleh masuk. Segenap pintu dijaga ketat
demi kerahasiaan itu.
Kemudian, dengan cara siluman, jasad Wibisono dibuang ke laut. Dengan demikian, Dasamuka bisa
bersikap seolah-olah biasa, seolah-olah tak ada sesuatu yang terjadi.
Tetapi Kumbo Karno yang mendengar hal itu dari Togog, menggeram. Suaranya menggelegar di langit.
Langkah kaki raksasa sebesar gunung yang menahan marah itu mengguncangkan bumi Alengka. Dia
menuntut balas.
Sambil menuju keraton Alengka, Kumbo Karno mengobrak-abrik keindahan taman. Benteng dirobohkan.
Beringin ditumbangkan. Alengka, pendeknya, bagai diterjang prahara.
Melihat amok adiknya itu, Dasamuka mengkirik. Benar dia sakti mahambara. Tapi Kumbo Karno pun
bukan tandingan biasa. Dia bersembunyi. Disuruhnya patih Prahasta meredam kemarahan adiknya.
“Ingat, anakku, Kumbo Karno,” bujuk Prahasta. Bumi bisa kau telan bila kau mau. Tapi lupakah engkau,
anakku, pada kawulo cilik yang tak bersalah, yang juga bisa jadi korban kemarahanmu, jika kau tak mau
mengendalikan diri? Badaniah, engkau memang raksasa, anakku. Tapi aku tahu, jiwamu satria sejati …”
Kumbo Karno lilih dalam bujukan. Tapi sejak saat itu pula ia tak mau lagi melihat polah tingkah
Dasamuka. Tak tega melihat kekejaman kakaknya, Kumbo Karno menyingkir. Ia bertapa tidur di
Panglebur Gongso. Bertahun-tahun lamanya.
Orang menyebut Kumbo Karno seorang patriot. Ia salah satu contoh perilaku satria utama. Tapi ada pula
yang menilainya pengecut. Ia satria yang rela mati konyol. Dan ia pun dianggap tak berbuat sesuatu
melihat kejahatan merajalela di depan matanya. Tapa tidurnya dianggap lambang sikap skeptis yang tak
bertanggung jawab. Sikap yang bahkan sangat merugikan bangsa, dan negara, yang ia bela.
Kita tahu, dunia wayang itu pralambang. Dan segala bahasa yang digunakan di dalamnya adalah juga
bahasa pralambang.
Tidurnya Kumbo Karno di situ tentu tidak harfiah berarti ia menggeletak di kasur dan enak-enak
bermimpi.
Bagi saya, tidur di situ artinya menarik diri dari kehidupan politik. Ia menyingkir. Menonaktifkan diri dari
riuh rendah urusan kenegaraan yang ruwet. Dasamuka yang ekspansif, kolonial, dan mengagungkan
superioritas diri, otomatis membuat Kumbo Karno yang berpijak pada bahasa moral, lelah secara badani
dan jiwani.
“Terserahlah, kalau suaraku tak diperlukan,” begitu arti tidurnya. “Tapi tunggulah. Keruntuhan bakal
menimpamu.”
Dalam berbagai rezim pemerintahan otoriter hal itu ditemui. Raja cuma mau mendengar suaranya sendiri.
Atau suara siapa saja yang bersedia menjadi bayangannya, dan membuntut segala sikap dan
tindakannya. Terhadap suara tandingan, raja macam itu bersikap anti. Pembungkaman, akibatnya,
disistematisasikan. Penjara diperlebar. Kumbo Karno adalah pesakitan yang masuk penjara semacam
itu.
Apakah beda Kumbo Karno dari Bung Hatta? Dua-duanya terpental atau mementalkan diri, dari
pemerintahan yang tak mereka dukung. Dua-duanya kecewa melihat keadaan. Dua-duanya, akibatnya,
lalu memilih jalan sepi. Dua-duanya satria yang melambangkan suara moral.
Bung Hatta, menjelang hari-hari akhir mitos dwitunggal, banyak dikecewakan oleh kebijakan dan sikap
politik Bung Karno. Dan ketika keputusan mundur dari pemerintahan di tahun 1956 itu akhirnya diambil,
tokoh proklamator kedua itu berkata:
“Setelah ikut serta dalam menjalankan tugas membangun bangsa dari atas selama sebelas tahun, saya
ingin menyumbangkan kekuatan saya dari bawah sebagai orang biasa yang bebas dari kedudukan apa
pun.”
Bung Hatta mutung (merajuk)? Mungkin tidak. Tipe orang yang datar jiwanya dan rasional seperti Bung
Hatta bukan tipe perajuk. Ia mengambil sikap dengan perhitungan matang seorang negarawan.
Saya selalu memberi arti tindakan semacam itu sebagai suatu gerakan moral. Sebuah tindakan yang
diambil berdasarkan pertimbangan jangka panjang, demi kepentingan bangsa dan negara. Dan bukan
berdasarkan pertimbangan praktis, buat diri sendiri, kelompok atau partai politik di mana ia berafiliasi.
Seperti sikap Kumbo Karno terhadap Dasamuka, Bung Hatta pun bukan tak suka pada Bung Karno
secara pribadi. Hubungan Bung Hatta (dan keluarga) dengan Bung Karno (dan keluarga), kabarnya baik-
baik saja. Bung Hatta cuma tidak setuju dengan kebijakan politik Bung Karno.
Jarang orang yang bisa “membelah” diri seperti Bung Hatta itu. Ia tegas memisahkan yang pribadi dari
yang resmi kenegaraan dan politik. Dan itu pula yang membuat Bung Hatta dihormati kawan dan disegani
lawan-lawan politiknya.
Ketika sejumlah tokoh disembelih PKI dalam tragedi 1965 dulu itu, nama Bung Hatta sebenarnya
tercantum dalam daftar yang harus disingkirkan dan dibabat.
Tapi ketika sejumlah jasad menggeletak, Bung Hatta masih selamat. Dan itu, kabarnya, berkat keputusan
mendadak Aidit: nama Bung Hatta dicoret dari daftar merah.
Kita tidak tahu mengapa Aidit mengambil keputusan itu. Padahal kita tahu, Bung Hatta gigih menangkal
segala gerak politik PKI. Ia tergolong yang paling anti PKI. Tapi dugaan saya, seperti halnya ia anti
terhadap sikap politik Bung Karno, sikap anti PKI Bung Hatta tak disertai rasa dendam, dengki dan sikap
sejenis itu. Ia menolak tanpa menimbulkan permusuhan. Anti tanpa mengembangkan kebencian . Dan
mengalahkan tanpa membuat orang yang kalah merasa hilang muka.
Seperti Kumbo Karno yang tak memberontak melawan Dasamuka, Bung Hatta tak berontak mengangkat
senjata terhadap Bung Karno. Dan seperti Kumbo Karno, Bung Hatta pun memilih tapa tidur untuk
memberi Bung Karno kesempatan merenung. Tapi di situ pula kelemahan gerakan moral: lawan politik
kelewat enak dibiarkan dan ditinggal tidur. Ia bebas merajalela …
Mohammad Sobary, Jawa Pos, 19 Januari 1992
Wanodya
Bagaimanakah persisnya gambaran kita tentang wanita? Seperti Shinta yang setia,
tabah, dan sabar menahan derita? Seperti Srikandi yang kenes, tangkas, dan
cenderung tregal-tregel ning ora mbebayani (agak sembrono tapi tak membahayakan)?
Ataukah seperti Sarinah, sebagaimana dimaksudkan Soekarno?
Dunia berputar. Dan di dalamnya, wanita pun berubah. Soekarno salah dalam satu hal:
wanita tak lagi dikungkung seperti dulu. Sudah umum sekarang bahwa wanita punya kebebasan seperti
pria. Artinya, wanita juga bekerja di berbagai sektor, tempat laki-laki bisa bekerja. Dan, akibatnya, wanita
pun tak lagi bergantung sepenuhnya pada pria. Toko dan warung di daerah pedesaan banyak yang
berkembang di bawah kendali wanita.
Tak jarang wanita menjadi kepala keluarga. Juga tak jarang terjadi, laki-laki –yang memegang warisan
tradisi sebagai pelindung keluarga itu– dalam praktek justru dilindungi sang wanita. Dan banyak laki-laki
tidak merasa malu.
Tapi secara sosial maupun kultural pengakuan kita atas peran wanita masih kurang. Persepsi kultural kita
masih tetap menjadikan wanita “korban”. Misalnya, betapapun jelasnya kontribusi ekonomi kaum wanita
bagi keluarga, diakui umum bahwa pekerjaan wanita –seperti disebut dalam penelitian Celia E. Mather
mengenai wanita pekerja di Tangerang– dianggap cuma “daripada menganggur”. Kecuali itu, ada
anggapan (tentu saja di kalangan pria) yang bersifat gender specific bahwa jenis pekerjaan tertentu tak
layak dikerjakan pria, karena ia “cuma” pekerjaan wanita.
Diskriminasi atas wanita terjadi di rumah tangga atau di pabrik. Di rumah, seperti dilaporkan Diane Wolf
dari penelitiannya tentang wanita pekerja di Jawa Tengah, kontribusi ekonomi wanita dianggap sekunder,
cuma melengkapi hasil pria. Di pabrik, kata Mather, mereka dibayar cuma tiga perempat jumlah gaji pria,
biarpun sering mereka harus bekerja lebih keras dari lawan jenisnya itu.
Pendek kata, sampai saat ini anggapan tradisional tentang superioritas pria atas wanita belum
tertumbangkan. Benar, wanita “dimahkotai” aneka sebutan: tiang masyarakat, surga di bawah telapak
kaki ibu, atau dilambangkan sebagai bunga, dan diluhurkan sebagai ratu. Gadis paling cantik di desa
disebut bunga desa. Dan di kota-kota gadis cantik, gadis luwes, gadis tangkas, dijuluki dengan aneka
ratu.
Kalau dipikir-pikir, perlakuan istimewa bagi anak wanita dalam keluarga –misalnya anak wanita harus
dijaga baik-baik– ternyata diam-diam mengandung “muatan” kepentingan seks buat laki-laki. Artinya,
kalau ke mana saja anak dijaga, diharapkan tetap “murni” dan itu nantinya biar menyenangkan laki-laki
(suaminya).
Di dunia wayang, tiap wanita muncul disambut dengan suluk ki dalang: Wanodya ayu tama ngambar
arum. Ngambar aruming kusuma… (wanita cantik memancarkan harum bunga). Bunga apa, tidak
penting. Tapi, melihat seorang wanodya (cewek) cuma dari sudut kecantikannya, sungguh bisa bikin
merah muka kaum feminis.
Mereka akan lebih marah melihat persepsi kultural Jawa atas wanita: Wanita ateges wani ditata
(namanya juga wanita, ia harus rela diatur, taat pada tatanan). Siapa yang bikin tatanan? Mungkin ayah,
mungkin suami. Dan kita tahu, ayah dan suami bukan wanita, tapi laki-laki. Jadinya, wanita harus taat,
tunduk pada laki-laki.
Mengapa begitu? Soalnya, wanita itu ibarat awan dadi theklek, bengine ganti dadi lemek (siang menjadi
bakiak, malamnya naik pangkat menjadi alas untuk ditindih).
Dan siapa membaca Gadis Pantai-nya Pramudya Ananta Toer, akan jelas betapa rendah status wanita di
kalangan santri-priayi (Geertz akan pusing melihat kombinasi ini) di masyarakat Jawa. Di kalangan itu,
wanita cuma tempat menumpahkan benih. Selebihnya babu atau budak.
Adalah juga orang Jawa yang menempatkan peran wanita dalam formulasi “3 ah” sesuai dengan sebutan
traditional gender-based ideology: yakni neng omah (di rumah), olah-olah (memasak), dan mlumah,
ngablah-ablah (maaf, menelentang seseksi mungkin). Maksudnya, supaya sinuwun sang suami menjadi
sangat berkenan di hati. Posisi wanita dalam persepsi Jawa cuma bergerak antara dua kutub: budak dan
klangenan (barang, supaya tidak bilang hewan, piaraan).
Dalam ketoprak dan wayang, gambaran itu tidak menyimpang secuil pun. Wanita yang mencoba
mendekati pria karena jatuh cinta disebut ngunggah-unggahi atau suwita, artinya mengabdi. Dan, kelak,
bila sang pria tak lagi berkenan, wanita rela saja diusir jauh-jauh.
Hubungan kesederajatan antara pria dan wanita, pendeknya, belum pernah ada. Gagasan wanita ateges
wani ditata, dan konsep ngunggah-unggahi atau suwita dan ejekan awan dadi theklek, bengi dadi lemek
jelas menggambarkan adanya ideologi penindasan pria atas wanita.
Tapi tampaknya, di bawah penindasan itu wanita menemukan juga sejenis kenikmatan. Mungkin karena
ada sejenis sifat cenderung “menyiksa” diri, mungkin juga karena ketakberdayaan. Atau jangan-jangan
wanita-wanita cenderung jadi Shinta?
Mungkin bukan. Barangkali, wanita adalah sebuah piala cantik yang retak: ia terombang-ambing antara
hasrat untuk tetap dalam posisi “tradisional” di rumah sebagai wanodya ayu tama yang “mengabdi” dan
kecenderungan untuk menuntut kebebasan.
Mohammad Sobary, Tempo, 2 Mei 1992
Bunglon
Bagaimana upaya memanjat
Supaya selalu selamat
Bagaimana cara jatuh
Supaya tidak mengaduh
Kakekku yang amat cermat
Turunkan ilmu secara cepat
(Taufiq Ismail)
Adakah hal yang begitu penting dalam hidup kita, melebihi keselamatan? Agama mengajarkan perilaku
agar manusia memperoleh keselamatan. Islam memiliki doktrin selamat dunia dan akhirat. Kristen
menekankan salvation (penyelamatan jiwa).
Ketika saya mau hijrah ke Jakarta dua puluhan tahun lalu, nenek, kakek, ayah, paman, pakde, dan
tetangga-tetangga memberi saya sangu (bekal) slamet (selamat). “Tak sangoni slamet” (aku bekali kau
selamat), kata mereka.
Tiap kali saya pulang ke kampung, yang pertama-tama mereka tanyakan ialah apakah saya dalam
keadaan “selamat”. Pak Arno, salah seorang guru SMA saya, memberi saya petuah tentang empat “S”
(sluman, slumun, sarwo, slamet). Intinya, bergaul di mana saja, dalam kelompok apa saja, orang harus
berperilaku begitu rupa agar jangan lupa memperhitungkan upaya mencari selamat.
Pinter itu perlu, tapi pinter yang membawa selamat. Kaya juga baik, asal kekayaan itu juga membikin kita
selamat.
Miskin pun tak dicela, karena bukankah yang penting selamat? Kalau jasad dan jiwa selamat, harta bisa
dicari.
Ditambah moralitas Jawa bahwa hidup di dunia cuma sesaat, ibarat cuma orang mampir ngombe
(singgah buat minum di kedai), sikap toleran terhadap kemiskinan dan mengutamakan keselamatan di
dunia yang kelak akan tiba, menjadi lebih jelas lagi. Selamat terletak di atas segalanya!
Di depan gedung LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) itu ada jalan memotong ke arah kompleks
perumahan menteri. Di jalan itu mangkal sejumlah kecil ojek. Satu di antara tukang ojek itu seorang
kakek dari Blitar, Jawa Timur. Saya sering menggunakan ojek kakek itu. Vespa tua itu tersuruk-suruk di
jalan-jalan Jakarta, mengantar penumpang dengan mengutamakan keselamatan. “Biar pelan asal jalan,
lambat tapi selamat,” kata kakek itu.
Ketika baru kenal tiap kali mau berangkat dengan vespa itu saya selalu ditanya, apakah saya terburu-
buru. Sebagai sesama Jawa, saya paham ke mana arah pertanyaannya. Maka, biarpun saya harus
mengejar waktu, saya selalu menjawab bahwa waktu saya cukup longgar
“Soalnya, Pak,” kata kakek itu, “bagi saya yang penting itu selamat. Kalau penumpang terburu-buru pun
akan saya minta kerelaannya untuk saya antar secara pelan asal jalan,” katanya.
Ketika sebuah Kopaja berhenti mendadak, dan kakek itu terpaksa menginjak rem secara mendadak juga,
sehingga ujung ban depan vespanya hampir menempel bagian belakang Kopaja yang sembarangan itu,
si kakek bukannya hanya tidak marah, melainkan malah merasa beruntung.
“Untung tidak nabrak,” katanya kalem. Ketika bus kota memepetnya di trotoar, dia cuma menggerutu:
piye bus iki karepe (“apa maunya bus itu”). Rem diinjak dengan kalem. Dan kami berhenti. Tak ada
makian apa-apa. Yang ada malah sikap syukur, karena bagaimanapun semuanya selamat.
Kalau prinsip mengutamakan selamat di jalan raya itu terdengar oleh Polantas, kakek kita dari Blitar itu
pasti mendapat hadiah istimewa. Sekurang-kurangnya ucapan terima kasih.
Prinsip “asal selamat” itu tak cuma berlaku di jalan raya. Dalam tiap langkahnya kakek itu
menomorsatukan keselamatan. Ia memang bukan sembarang tukang ojek.Ia dulu pernah bekerja di
kantor. Memang benar, ia hanya pegawai rendahan. Tapi pernah ia menolak perintah atasan untuk
menandatangani kuitansi fiktif. Semua pegawai sudah bertandatangan, dan mereka kebagian rejeki.
Cuma si kakek dari Blitar yang tak mau.
“Saya butuh uang seperti mereka juga. Tapi saya tak setuju caranya,” katanya. “Cara itu tidak membawa
selamat,” tambahnya.
“Lho, bukannya atasan yang menyuruh? Bukankah atasan menanggung semuanya?” kata saya.
“Betul. Tapi atasan saya itu punya atasan. Dan atasannya atasan saya juga punya atasan lagi. Raja yang
paling kuasa pun punya atasan. Kepada atasan yang paling atas itu saya takut …,” katanya.
Kakek kita dari Blitar ini mengingatkan saya pada sajak Kisah Kakek dan Cucu Keluarga Chameleon
yang ditulis oleh penyair top kita, Taufiq Ismail. Chameleon alias bunglon memiliki kemampuan untuk
secara alamiah menyelamatkan diri dengan cara mengubah warna kulit sesuai keadaan sekitar.
Dalam sajak itu, kakek bunglon menceritakan pengalamannya bahwa ia pernah ditangkap manusia.
Dokter hewan yang bisa bicara bahasa bunglon telah memindahkan bintil-bintil di bawah kulit dan getah
di ujung lidah si kakek, ke tubuh manusia
“Dalam waktu dua musim hujan saja, sesudah bintil-bintil itu masuk ke kulit manusia, manusia di dunia ini
sudah lebih sempurna cara berganti warna mereka. Dan lidah mereka, semakin bergetah keadaannya,”
tulis Taufiq Ismail lagi.
Teman-teman kakek dari Blitar itu mungkin juga sudah menjadi bunglon. Mereka menyesuaikan warna
“tubuh” mereka dengan warna “tubuh” sang atasan. Itulah “ilmu selamat” dalam pengertian mereka.
Sebab, kalau mereka menolak, atasannya akan menganggap mereka klilip (penghalang) dan harus
disingkirkan. Nasib mereka kemudian akan sama dengan nasib kakek dari Blitar: terpental.
Di sini kita berhadapan dengan dua fenomena: kakek dari Blitar dan kawan-kawannya. Sering kita harus
memilih satu di antara keduanya. Ini pilihan susah. Dua-duanya punya justifikasi sebagai “ilmu selamat”.
Barangkali, umumnya kita adalah potret dari kawan-kawan kakek kita dari Blitar karena dua alasan.
Pertama, kita umumnya lebih mengutamakan upaya penyelamatan jasad ketimbang roh. Kedua, kita
diam-diam telah menukar kulit kemanusiaan kita dengan kulit bunglon. Kita semua, pendeknya, mungkin
sudah jadi bunglon.
Mohammad Sobary, Kompas, 21 November 1991