muhammad syahrur

Upload: primatahtaamrillah

Post on 12-Oct-2015

97 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

nikah menurut muhammad syahrur

TRANSCRIPT

  • POLIGAMI MENURUT MUHAMMAD SYAHRUR DALAM

    PANDANGAN HUKUM ISLAM

    Skripsi

    Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum

    untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

    oleh:

    Maria Ulfah

    107043102102

    KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIQIH

    PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB HUKUM

    FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

    UIN SYARIF HIDAYATULLAH

    JAKARTA

    2011 M/1432 H

  • i

  • LEMBAR PERNYATAAN

    Dengan ini saya menyatakan bahwa:

    1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu

    persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

    Hidayatullah Jakarta.

    2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai

    dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

    Jakarta.

    3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan

    hasil jiplakan dari karya orang lain maka saa bersedia menerima sanksi yang berlaku di

    Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

    Jakarta, 12 September 2011

    Maria Ulfah

  • i

    KATA PENGANTAR

    Segala puji bagi Allah SWT, Maha Pencipta dan Maha Penguasa alam

    semesta yang telah melimpahkan taufiq dan hidayah-Nya kepada penulis terutamanya

    dalam rangka penyelesaian skripsi ini. Shalawat serta salam kepada junjungan besar

    kita Nabi Muhammad SAW serta keluarga, para sahabat baginda yang telah banyak

    berkorban dan menyebarkan dakwah Islam selama ini., menyelamatkan umat dari

    alam kegelapan hingga yang terang benderang.

    Skripsi ini ditulis dalam rangka melengkapi syarat-syarat guna memperoleh

    gelar strata satu (S. 1), dalam Program Studi Perbandingan Madzhab Hukum, Jurusan

    Perbandingan Madzhab Fiqih,, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negri

    (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang berjudul : Poligami Menurut Muhammad

    Syahrur Dalam Pandangan Islam

    Untuk menyelesaikan skripsi ini penulis banyak mendapat petunjuk dan

    bimbingan dari berbagai pihak, baik secara langsung dan tidak langsung yang terlibat

    dan ikut berpartisipasi dalam membantu penulis menyelesaikan skripsi ini. Karenanya

    penulis ucapakan terimakasih kepada yang terhormat:

    1. Prof. Dr. H, M. Amin Suma, SH, MA, MM selaku Dekan Fakultas

    Syariah dan Hukum Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah

    Jakarta.

  • ii

    2. Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag, Ketua Program Studi Perbandingan

    madzhab Hukum sekaligus penguji ujian skripsi, Fahmi Muhammad

    Ahmadi, M.Si Sekertaris Program Studi Perbandingan madzhab Hukum,

    Drs. Ahmad Yani, MA Dosen Pembimbing Skripsi, serta Hotnida

    Nasution, MA penguji ujian skripsi Terimakasih atas bantuan, perhatian,

    serta arahan yang selama ini diberikan.

    3. Dosen dan Karyawan di Lingkungan Fakultas Syariah dan Hukum

    Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah

    memberikan pengetahuan dan bantuannya kepada penulis.

    4. Teristimewa buat Ayahanda (Alm) H. Madin Mahmudin dan Ibunda

    Mamuroh tercinta. Yang telah merawat dan mengasuh serta mendidik

    dengan penuh kasih sayang, beserta kakak dan adik yang selalu menjadi

    motifator dalam pembuatan skripsi ini, yang tiada lelah selalu memberikan

    doa.

    5. Kepada seluruh pihak yang secara langsung maupun tidak membantu

    dalam penulisan skripsi ini.

    Atas segala bantuannya penulis ucapkan jazakumullah khoiron

    katsiron. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak. Amin.

    Jakarta, 12 September 2011

    Penulis

  • iii

    DAFTAR ISI

    KATA PENGANTAR i

    DAFTAR ISI iii

    BAB I PENDAHULUAN 1

    A. Latar Belakang Masalah 1

    B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 8

    C. Telaah Pustaka 9

    D. Tujuan dan Kegunaan Penilitian 10

    E. Metodologi Penelitian dan Teknik Penulisan 12

    F. Sistematika Penulisan 13

    BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG POLIGAMI 15

    A. Pengertian Poligami dan Landasan Hukum 15

    B. Faktor-faktor Pendorong Poligami 17

    C. Poligami dalam Lintas Sejarah 20

    D. Poligami dalam Pandangan Hukum Islam 26

  • iv

    BAB III BIOGRAFI DAN POLIGAMI MENURUT MUHAMMAD

    SYAHRUR

    A. Riwayat Hidup Muhammad Syahrur dan Karya-karyanya 40

    B. Poligami dalam Pandangan Muhammad Syahrur 43

    BAB IV PEMIKIRAN MUHAMMAD SYAHRUR TENTANG

    POLIGAMI DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM

    A. Metodologi Muhammad Syahrur dalam Menganalisa Ayat

    Poligami 49

    B. Analisis Terhadap Kerangka Berfikir Muhammad Syahrur

    Tentang Poligami dalam Kajian Usul Fiqih 55

    BAB V PENUTUP 61

    A. Kesimpulan 61

    B. Saran 62

    DAFTAR PUSTAKA 64

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah

    Makhluk bumi yang bernama manusia diciptakan Sang Pencipta

    dengan pasangannya. Karena itu kapan dan dimana pun, pada saatnya mereka

    saling mencari dan menemukan pasangannya masing-masing. Begitu pula

    kalau hukum alam untuk menurunkan generasi sudah berfungsi tak satu

    manusia yang dapat menghambat.1 Salah satu ciri yang tidak dapat

    dipisahkan dari manusia adalah bahwa manusia makhluk yang bermasyarakat.

    Ibnu Khaldun pernah juga mengatakan bahwa manusia pasti dilahirkan di

    tengah-tengah masyarakat dan tidak mungkin hidup kecuali bersama-sama

    masyartakat itu.2

    Islam sebuah agama dan pedoman hidup mengatur pola masyarakat

    terkecil itu dalam aturan melalui lembaga pernikahan, yang bertujuan

    membangun keluarga yang tentram dan penuh cinta kasih antara orang yang

    ada di dalamnya. Hal ini ditunjukkan dalam firman Allah dalam surat ar-

    Ruum(30): 21

    1 Hasan Aedy, Antara Poligami Syariah dan Perjuangan kaum perempuan, (Bandung:

    Alfabeta 2007), Cet. 1,h. 82.

    2 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Negara Muslim, (Jakarta: Raja Grafindo

    Persada, 2005), h. 1.

  • 2

    Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan

    untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa

    tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.

    Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi

    kaum yang berfikir.

    Tema poligami telah banyak dibahas oleh ulama sejak dahulu dan

    perdebatannya sampai sekarang. Hal ini dapat dikemukakan terutama dalam

    kitab-kitab fiqih dan tafsir. Hanya saja, pandangan yang berkembang selama

    ini cenderung memperkuat pendapat yang membolehkan konsep poligami

    (taaddud al-zawjat)3 dengan menggunakan dalil al-Quran, yakni surat an-

    Nisa(4):3

    Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-

    hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah

    wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika

    kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau

    3 Nasaruddin Umar, Fikih Wanita Untuk Semua, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta 2010), Cet. 1,

    h. 97.

  • 3

    budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada

    tidak berbuat aniaya.

    Perhatian penuh Islam terhadap poligami sebagaimana ayat di atas ini

    tidak semata-semata tanpa syarat. Islam menetapkannya dengan syarat, yaitu

    keadilan dan pembatasan jumlah. Keadilan menjadi syarat karena istri

    mempunyai hak untuk hidup dan bahagia. Adapun pembatasan jumlah

    menjadi syarat karena jika tidak dibatasi, maka keadilan akan sulit ditegakkan.

    Jika persyaratan tersebut tidak terpenuhi, maka tentu saja Islam melarangnya,

    dengan dua persyaratan itu berarti Islam telah memerhatikan hak-hak

    perempuan, khususnya dalam masalah perkawinan.4

    Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan ketika menafsirkan

    surat AN-Nisa ayat 3, Maksudnya, jika ada perempuan yatim dalam

    perlindunganmu dan kamu khawatir tidak dapat memberinya mahar yang

    memadai, maka beralihlah kepada wanita selainnya, sebab wanita lain juga

    masih banyak, dan Allah tidak mempersulitnya.5

    Al-Bukhari meriwayatkan dari Urwah bin Zubair bahwa Urwah

    bertanya kepada Aisyah ihwal firman Allah,

    ...

    4 Rodli Makmun, dkk., Poligami dalam Tafsir Muhammad Syahrur, ( Ponorogo: STAIN

    Ponorogo Press, 2009), cet. 1, h. 19.

    5 Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Penerjemah Syihabuddin, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999) ,

    Cet. K-1, h. 645.

  • 4

    Maka Aisyah berkata, Wahai putra saudaraku, wanita yatim ini

    berada dalam perlindungan wali. Wanita yatim menggabungkan hartanya

    dengan harta walinya. Lalu si wali terpesona dengan kecantikan dan hartanya.

    Kemudian hendak menikahinya tanpa mau berlaku dalam masalah mahar;

    tidak memberi mahar seperti yang lazim diberikan kepada wanita lain. Para

    wali dilarang menikahi wanita yatim kecuali berlaku adil terhadapnya dan

    memberi mereka mahar yang lazim pada saat dewasa. Para wali disuruh

    menikahi wanita-wanita lain saja.6

    Firman Allah Taala, Dua, tiga, atau empat. Yakni,

    nikahilah wanita yang kamu kehendaki selain wanita yatim. Jika kamu mau,

    nikahilah dua wanita, tiga, atau empat. Sunnah Rasulullah saw. yang

    menerangkan informasi dari Allah menunjukkan bahwa seorang pun tidak

    boleh, selain Rasulullah., menikahi lebih dari empat orang wanita, sebab yang

    demikian itu merupakan kekhususan untuk Rasulullah saw.

    Imam Ahmad meriwayatkan dari Salim, dari ayahnya

    ,, ,

    .

    Dari Salim, dari ayahnya r.a., bahwasanya Ghilan bin Salamah masuk Islam,

    sedangkan dia memiliki 10 orang istri. Dan semua istrinya masuk Islam pula

    6 Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, h. 645.

  • 5

    bersamanya, Maka Nabi Muhammad s. a. w menyuruh memilih dari istrinya-

    istrinya sebanyak empat orang.7

    Firman Allah Taala surat An-Nisa (4): 3

    Artinya : Jika kamu khawatir tidak dapat berlaku adil, maka nikahi

    seorang saja atau budak yang kamu miliki. Yakni, jika banyaknya istri itu

    mengkhawatirkanmu untuk tidak dapat berlaku adil diantara mereka,

    sebagaimana firman Allah Taala, Sekali-kali kamu tidak dapat berlaku adil

    di antara istri-istrimu, walaupun kamu sangat menginginkan berbuat adil.

    Jika kamu khawatir berbuat zalim, maka kawinlah dengan seorang wanita saja

    atau dengan beberapa budak perempuan yang ada dalam kuasaanmu sebab

    pemberian giliran di antara budak-budak bukan suatu kewajiban, namun

    merupakan anjuran. Jika dilakukan, maka hal itu baik dan jika ditinggalkan

    maka tidak apa-apa. Firman Allah Taala, Hal itu lebih dekat untuk tidak

    berbuat aniaya, yakni zalim. Dikatakan, aalin filhukmi, jika seseorang

    menyimpang, zalim, dan aniaya. Dalam hadits yang disandarkan kepada

    Aisyah dikatakan bahwa firman Allah, Hal itu lebih dekat untuk tidak

    7 Al-Hafidh Ibnu Hajar al-Asqalani, Bulughul Maram Min Adillatul Ahkam, hadits no. 1037, h.

    526.

    .

  • 6

    berbuat aniaya berarti kamu tidak berbuat aniaya. Demikian menurut

    riwayat Ibnu Abi Hatim.8

    Dimensi kontroversial poligami sangat tajam dan hampir sulit

    dipertemukan. Satu kelompok memandang bahwa poligami merupakan

    fasilitas yang diberikan Allah kepada para suami dan menganggapnya bukan

    saja termasuk sesuatu yang dihalalkan, tetapi juga menjadikan tindakan yang

    tidak adil terhadap relasi suami dan isteri. Hal inilah yang membawa

    persoalan poligami menjadi sulit untuk dikompromikan. Karena setiap

    kelompok juga menggunakan metodologi yang berbeda-beda, sehingga

    menghasilkan produk hukum yang berbeda-beda pula, bahkan bertentangan

    satu sama lain.

    Upaya untuk tetap menjawab tantangan modernitas dengan

    mensinergikan ajaran Islam (dalam al-Quran dan Sunnah) juga dilakukan

    oleh Muhammad Syahrur, yang menggunakan analisa linguistik dan saintifik

    dalam memahami ayat-ayat al-Quran.9

    Muhammad Syahrur adalah pemikir Islam yang mempunyai solusi

    menarik untuk persolan poligami dan anak yatim. Syahrur dilahirkan di

    Damaskus, Syiria, pada 11 Maret 1938. Ia adalah insinyur teknik sipil dengan

    spesialisasi mekanik dan bangunan tanah, namun ia juga mempunyai minat

    8 Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Penerjemah Syihabuddin, Cet. Ke-1 (Jakarta: Gema Insani

    Press, 1999), h. 650.

    9 Rodli Makmun, dkk., Poligami dalam Tafsir Muhammad Syahrur,h. 2.

  • 7

    besar terhadap filsafat dan fiqh al-lighah (filologi, ilmu bahasa). Bidang-

    bidang keilmuan tersebut kemudian banyak mendasari pemikiran-

    pemikirannya. Ia telah menulis banyak buku pemikiran keagamaan,

    diantaranya: al-kitab wa al-Quran: Qiraah Muashirah (1990), al-Islam wa

    al-Iman: Manzumah al-Qiyam (1996), Dirasat Islamiyyah Muashirah fi al-

    Dawalah wa al-Mujtama (1994), dan Nahw Usul Jadidah li al-Fiqh al-Islamiy

    (2000). 10

    Menurut Syahrur, poligami harus dikaitkan dengan persoalan

    perlindungan anak yatim sebagaimana yang diamanatkan al-Quran. Poligami

    menurutnya sah-sah saja, asalkan anak yatim terpenuhi kebutuhannya untuk

    mencapai kebahagiaan dan kesejahteraannya.

    Poligami tidak hanya diperbolehkan tapi dianjurkan oleh Islam.

    Namun pula, poligami hanya boleh dilakukan dengan dua syarat yang harus

    terpenuhi, yaitu: isteri kedua, ketiga, dan keempat adalah para janda yang

    memiliki anak; dan syarat kedua, berbuat adil kepada anak-anak yatim.

    Sudut pandang ini yang membedakan Syahrur dengan beberapa ahli

    tafsir terdahulu yang menginterprestasikan al-Quran dengan beberapa metode

    penafsiran yang sudah mapan di dunia Islam. Syahrur menjadi tokoh

    10

    Pengantar Penerbit dalam Muhammad syahrur, Prinsip dan Dasar Hermeunetika Al-Quran

    Kontemporer, Penerjemah Sahiron Syamsuddin. (Yogyakarta, Elsaq, 2004), h. xi

  • 8

    controversial pada awal tahun 1990-an, ketika ia menerbitkan buku

    pertamanya (al-kitab wa al-Quran: Qiraah Muashirah).11

    Metode yang dilakukan secara radikal oleh Syahrur menghasilkan

    produk-produk hukum baru dalam bidang fiqih yang di anggap olehnya cukup

    mapan untuk menyelesaikan masalah-masalah kontemporer, termasuk

    masalah poligami yang selalu menjadi perdebatan hangat. Dengan landasan

    metode ijtihad barunya, ia berusaha menangkap kembali pesan AL-Quran

    sebagaimana yang telah dipraktikan oleh Rasul dan para sahabatnya.

    Berdasarkan latar belakang ini, penulis bermaksud menganalisa dan

    menggali pendapat Muhammad Syahrur tentang poligami, dalam sebuah

    karya tulis yang berjudul Poligami Menurut Muhammad Syahrur Dalam

    Pandangan Hukum Islam

    B. Pembatasan dan Perumumsan Masalah

    Bila ditinjau dari segi topik atau judul skripsi ini, merupakan kajian

    disiplin ilmu tafsir al-Quran yang berhubungan dengan hukum (tafsir

    ahkam). Seseorang dapat meragukan tentang penolakan Syahrur terhadap

    tradisi fiqih sebagai karya tunggal (monotik) yang tidak akan bertahan lama.

    Bertitik tolak dari persoalan tersebut di atas, penulis mencoba

    menganalisis pendapat Syahrur tentang poligami dengan memfokuskan karya

    11

    Pengantar Penerbit dalam Muhammad syahrur, Prinsip dan Dasar Hermeunetika Al-Quran

    Kontemporer, Penerjemah Sahiron Syamsuddin. (Yogyakarta, Elsaq, 2004), h. xii

  • 9

    ilmiah ini hanya terfokus pada masalah poligami dalam Islam menurut

    pandangan Muhammad Syahrur.

    Istilah poligami adalah untuk menyebut perkawinan lebih dari satu,

    baik laki-laki dan perempuan, dan poligini istilah khusus untuk

    menggambarkan perkawinan laki-laki yang beristeri lebih dari satu orang,

    dalam karya ilmiah ini penulis tidak menggunakan kata poligini, tapi lebih

    memilih kata poligami, mengingat keumuman kata tersebut dalam literatur-

    literatur di masyarakat.

    Untuk mengarahkan pembahasan dalam skripsi ini, maka penulis

    merumuskan permasalahannya sebagai berikut :

    1. Bagaimana pandangan Muhammad Syahrur tentang poligami ?

    2. Bagaimana kerangka berfikir Muhammad Syahrur tentang poligami dalam

    pandangan hukum Islam?

    Hal-hal yang tersebut diatas merupakan pokok bahasan yang akan

    dikupas secara mendalam dan yang akan dicari jawaban dalam karya tulisan

    ilmiah ini.

    C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

    Tujuan yang diharapkan dari penelitian ini ;

    1. Untuk menjelaskan poligami menurut Muhammad Syahrur.

  • 10

    2. Untuk menjelaskan bagaimana kerangka berfikir Muhammad Syahrur

    tentang poligami dalam pandangan hukum Islam.

    Sedangkan kegunaan penulisan skripsi ini adalah :

    1. kajian skripsi ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi

    pengembangan kajian-kajian hukum Islam di dunia akademis dan dapat

    pula menjadi kontribusi bagi khazanah kepustakaan Islam yang berguna

    bagi masyarakat umum.

    2. untuk memenuhi sebagian syarat-syarat menyelesaikan studi strata satu (S

    1) dan untuk memperoleh gelar S.Sy.

    E. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan

    Untuk mengumpulkan data dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan

    metode sebagai berikut:

    1. Jenis Penelitian

    Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan perpustakaan

    sebagai tempat memperoleh data, dengan demikian, penelitian ini

    termasuk jenis penelitian kepustakaan (library research), dengan

    mengumpulkan, memilih dan mengkaji secara kritis bahan-bahan bacaan

    dan referensi yang berkaitan dengan pemikiran Muhammad Syahrur dan

    poligami .

    2. Sumber Data

    Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

  • 11

    a. Sumber data primer, yaitu karya-karya Muhammad Syahrur, terutama

    dalam buku Al-kitab wa AL-Quran: Qiraah Muashirah yang banyak

    menjelaskan tentang metodologi fikih dan poligami.

    b. Sumber data sekunder, yaitu diperoleh dari AL-Quran Sunnah, buku-

    buku Islam dan data-data tertulis lainnya yang ada relevansinya dengan

    judul skripsi ini.

    3. Teknik pengumpulan dan Analisis Data

    Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi dokumentasi

    naskah atau pusaka, yakni sarana mengumpulkan data yang dilakukan

    dengan kategorisasi dan klasifikasi bahan-bahan tertulis yang

    berhubungan dengan masalah penelitian, baik dari sumber dokumen

    maupun buku-buku, koran, majalah, internet, dan lainnya.

    Karena penelitian ini bersifat kualitatif, maka analisis data dimulai

    dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber. Setelah

    dipelajari, dibaca dan ditelaah, dilakukan reduksi data dengan cara

    membuat rangkuman yang inti, proses, dan pernyataan-pernyataan yang

    perlu dijaga, untuk tetap pada di dalamnya. Setelah data diabstraksikan,

    maka selanjutnya dilakukan penafsiran data.

  • 12

    3. Tekhnik Penulisan

    Teknik dalam penulisan ini berpedoman pada buku pedoman

    penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi, UIN, Syarif Hidayatullah Jakarta

    2007. Dengan beberapa pengecualian sebagai berikut :

    1. Dalam bibliografi, AL-Quran ditulis pada urutan pertama sebagai

    penghormatan.

    2. Terjemah dari ayat-ayat AL-Quran berpedoman kepada AL-Quran

    dan terjemahnya diterbitkan Departemen Agama Republik Indonesia.

    3. Pedoman transliterasi sesuai dengan ketentuan penulis.

    F. Review Studi Terdahulu

    Dalam penulusuran penulis, ada beberapa karya ilmiyah yang

    dikategorikan sebagai karya yang mendekati pembahasan ini, diantaranya

    adalah:

    1. Rodli Makmun, dkk., Poligami dalam Tafsir Muhammad Syahrur, yang

    diterbitkan oleh STAIN Ponorogo Press pada Juni 2009. Buku ini banyak

    membahas konsep poligami menurut Muhammad Syahrur dan

    Relevansinya Terhadap Upaya Perlindungan Anak di Indonesia.

    Perbedaannya dengan skripsi ini, penulis mengkaitkan poligami menurut

    Muhammad Syahrur dengan kajian ushul fiqih.

    2. Sayyid Sabiq dalam Fiqh as-Sunnah. Dalam Bab nikah salah satu sub bab

    Sayyid Sabiq menjelaskan tentang poligami. Terkait dengan hikmah,

  • 13

    kemudian sejarah dan pembatasan yang dilakukan oleh Islam terhadap

    poligami.

    G. Sistematika Penulisan

    Sesuai dengan analisis yang dibahas, keseluruhan karya ilmiah ini

    terdiri dari lima bab. Tiap-tiap bab terdiri dari sub-sub dengan rincian sebagai

    berikut :

    BAB 1, Merupakan pendahuluan yang menjadi pengantar umum

    kepada isi tulisan dalam bab ini dikemukakan, latar belakang

    masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan

    kegunaan penelitian, metode penelitian dan teknik penulisan,

    tinjauan (review) kajian terdahulu, dan sistematika penulisan.

    BAB II, Berisikan tinjauan umum mengenai poligami, dalam bab ini

    dibagi menjadi empat sub bab yakni : sub bab pertama

    menguraikan pengertian poligami , sub bab kedua mengenai

    lintas historis poligami, sub ketiga menguraikan faktor-faktor

    pendorong poligami, dan sub bab keempat menjelaskan

    poligami dalam pandangan hukum Islam.

    BAB III, Menjelaskan biografi dan pandangan Muhammad Syahrur

    tentang poligami, dalam bab ini dibagi menjadi dua sub bab

    yakni : sub bab pertama menguraikan riwayat hidup

  • 14

    Muhammad Syahrur dan Karya-karyanya, dan sub bab kedua

    menjelaskan poligami menurut Muhammad Syahrur.

    BAB IV, Menguraikan pemikiran Muhammad Syahrur tentang poligami

    dalam hukum Islam, dalam bab ini dibagi menjadi dua sub bab

    yakni : sub bab pertama menjelaskan metodologi Muhammad

    syahrur, dan sub bab kedua tentang analisis terhadap kerangka

    berfikir Muhammad Syahrur dalam pandangan hukum Islam.

    BAB V, Bab terakhir yang diberi judul penutup dalam bab kelima ini

    dibuat kesimpulan dan diberikan saran-saran.

  • 15

    BAB II

    TINJAUAN UMUM TENTANG POLIGAMI

    A. Pengertian Poligami dan Landasan Hukum

    Secara etimologi, poligami berasal dari bahasa Yunani, kata ini

    merupakan penggalan dari dua kata yaitu poli atau polus yang artinya

    banyak dan kata gamein atau gomos yang berarti perkawinan. Maka

    ketika kedua kata ini digabungkan akan berarti suatu perkawinan yang

    banyak. Kalau dipahami dari definisi ini, dapat dikatakan bahwa poligami

    adalah perkawinan banyak, dan bisa jadi dalam jumlah yang tidak terbatas.12

    Ada istilah lain yang maknanya mendekati makna poligami yaitu

    poligini (yunani), kata ini berasal dari poli atau polus yang artinya banyak

    dan gini atau gene artinya istri, jadi poligini artinya beristri banyak.13

    Dalam

    Ensiklopedi Nasional, poligami diartikan suatu pranata perkawinan yang

    memungkinkan terwujudnya keluarga yang suaminya memiliki lebih dari

    seorang istri atau istirnya memiliki lebih dari seorang suami.14

    12

    Anik Farida, Menimbang Dalil Poligami: Antara Teks, Konteks, dan Praktek, ( Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama, 2008). Cet. K-1, h. 15.

    13

    Badriyah Fahyimi, dkk., Isu-Isu Gender Dalam Islam, (Jakarta: PSW UIN Syarif Hidayatullah, 2002), Cet. K-1, h. 40.

    14

    Ensiklopedi Nasional Indonesia, (Jakarta: Cipta Adi Pustaka, 1990), h. 306.

  • 16

    Istilah yang lebih tepat sesungguhnya ialah poligini, yaitu seorang

    suami mempunyai dua atau lebih istri dalam waktu yang sama, sedangkan

    poligami adalah untuk menyebut perkawinan lebih dari satu, baik laki-laki

    dan perempuan. Poligami bisa juga berarti poliandri yaitu seorang wanita

    mempunyai suami dua atau lebih dalam waktu yang sama.15

    Istilah poligami

    sering dipakai untuk mengacu kepada poligini saja karena praktek ini lebih

    sering di amalkan dari pada poliandri. Selanjutnya, dalam pembahasan ini

    penyusun menggunakan istilah poligami untuk menyebut seorang suami yang

    memiliki lebih dari seorang istri.

    Pengertian poligami mengalami pergeseran dan penyempitan makna,

    dan kemudian sering digunakan untuk menyebut suatu pranata perkawinan

    antara seorang suami dengan beberapa istri. Hal demikian terjadi karena

    sistem patriarki yang selama ini dijalani oleh masyarakat, yang seakan-akan

    telah dibakukan dan diterima oleh hampir seluruh umat manusia. Hal itu juga

    karena pada masa sekarang, praktek perkawinan yang masih dan banyak

    diterapkan oleh masyarakat adalah perkawinan monogami dan poligami.

    Sementara poliandri, sangat jarang ditemukan dalam praktek perkawinan di

    masyarakat. Bahkan, dalam Islam tidak dibenarkan perempuan untuk

    memiliki suami lebih dari seorang dengan alasan apapun. Istilah ini pula yang

    15

    Nasaruddin Umar, Fikih Wanita untuk Semua, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2010), Cet. K-1, h. 93.

  • 17

    digunakan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia untuk menyebut

    perkawinan antara seorang suami dengan beberapa istri.

    B. Faktor-Faktor Pendorong Poligami

    Pada dasarnya seseorang menginginkan perkawinan yang langgeng,

    penuh dengan kasih sayang dan keharmonisan. Setiap wanita pada dasarnya

    menginginkan perkawinan yang bersifat monogami, namun pada

    kenyataannya, sering terjadi kendala yang tidak di duga sehingga

    menyebabkan suami melakukan poligami.

    Faktor- faktor yang mendorong poligami diantaranya:16

    1. Memecahkan Problema dalam Keluarga

    a. Istri mandul, padahal mempunyai anak itu merupakan tuntutan dan

    sesuatu yang sangat didambakan, bahkan dianjurkan oleh syara.

    Diriwayatkan dari Maqil bin Yasir dari Rasulullah saw., beliau

    bersabda,

    16

    Abdul Halim Abu Syuqqah, Kebebasan Wanita, (Jakarta: Gema Insani Press, 1998), Cet. K- 1, h. 390.

  • 18

    Dari Anas bin Malik berkata: Rasulullah s.a.w menyuruh kita nikah

    dan melarang sangat untuk memutuskan tidak nikah. Beliau bersabda:

    Nikahilah wanita yang penyayang dan peranak (banyak anak), sebab

    dengan kamulah ummatku menjadi lebih banyak daripada ummat para

    Nabi yang lain di hari kiamat.17

    b. Terdapat cacat fisik atau kekurangan pada kepribadian si istri sehingga

    tidak menyenangkan dan menenangkan perasaan suami.

    c. Si istri menderita sakit yang berkepanjangan (sakit fisik ataupun

    psikis) yang menjadikan kehidupan kusut.

    2. Memenuhi Kebutuhan yang Mendesak bagi Suami

    Seperti seringnya berpergian dalam waktu yang lama dan sulit disertai

    oleh istrinya karena si istri sibuk merawat anak-anak atau karena sebab

    lain. Oleh karena itu, ia membutuhkan istri yang dapat menemaninya dan

    merawatnya dalam berpergian yang lama.18

    3. Hendak Melakukan Perbuatan yang Baik terhadap Wanita Saleh yang

    Tidak Ada yang Memeliharanya. Hal ini mungkin dikarenakan wanita itu

    sudah tua, atau karena ia memelihara anak-anak yatim, atau karena sebab-

    sebab lain.

    17

    Al-Hafidh Ibnu Hajar al-Asqalani, Bulughul Maram Min Adillatul Ahkam, hadits no. 955, h. 506.

    18

    Abdul Halim, Kebebasan Wanita, ( Jakarta: Gema Insani Press, 1998), Ce.k-1, h. 390.

  • 19

    Di dalam Islam terdapat beberapa patokan yang mengatur poligini,

    antara lain sebagai berikut.19

    a. Tidak Lebih dari Empat Orang

    Allah berfirman, Maka kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi:

    dua, tiga, atau empat. (an-Nisa: 3)

    b. Disyaratkan Adil terhadap Para Istri

    Allah berfirman, Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku

    adil, maka (kawinilah) seorang saja.(an-Nisa: 3)

    c. Tidak Memadukan Seorang Wanita dengan Saudaranya atau Bibinya

    (dari Pihak Ayah ataupun Ibu).20

    Menurut Ahmad Musthafa Al-Maraghi alasan-alasan yang

    membolehkan seseorang boleh melakukan poligami adalah sebagai berikut:

    1. Karena si istri mandul, sementara keduanya atau salah satunya sangat

    mengharapkan keturunan.

    2. Apabila suami memiliki kemampuan seks yang tinggi sementara istrinya

    tidak mampu melayani suami sesuai dengan keinginannya.

    19

    Abdul Halim, Kebebasan Wanita, h. 392.

    20

    Fathul Bari, juz 11, h. 58-59.

  • 20

    3. Si suami memiliki harta yang banyak untuk membiayai segala

    kepentingan istri, sampai anak-anaknya.

    4. Jumlah wanita lebih banyak dari jumlah dari laki-laki, yang bisa jadi

    dikarenakan perang.21

    Dalam Undang-Undang RI no. 1 tahun 1974 tentang perkawinan pada

    pasal 4 ayat 2 disebutkan bahwa pengadilan memberikan izin kepada

    seseorang suami yang akan beristri lebih dari satu apabila:

    a. Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri.

    b. Istri menderita suatu penyakit.

    c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.22

    C. Poligami dalam Lintas Sejarah

    Praktek poligami telah ada jauh sebelum Islam dan menjadi sebuah

    kebiasaan yang dibolehkan. Pada saat itu, poligami biasanya banyak

    dilakukan para raja yang notabene merupakan lambang ketuhanan, sehingga

    perbuatan tersebut dianggap suci. Hal seperti ini terjadi dikalangan orang

    Hindu, Media, Babyloia, Assyria, Yunani, Mesir, Persi dan Israil.23

    Di

    21

    Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, (Semarang: Toha Putra, 1993), h. 326-327. 22

    UU RI. No. 1 Thn 1974 Tentang Perkawinan Pasal 4 ayat 2. Lihat Sumiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, h. 47.

    23

    Anik Farida, Menimbang Dalil Poligami: Antara Teks, Konteks, dan Praktek, ( Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama, 2008). Cet. K-1, h. 16.

  • 21

    wilayah lain seperti Cina, seorang laki-laki bahkan bisa saja mempunyai istri

    3.000 orang.24

    Dengan demikian, Islam bukan agama yang pertama kali

    membolehkan taaddud al-zawjat. Dalam perkembangannya, Islam justru

    berusaha memberikan pembatasan gerak terhadap kebolehan perkawinan

    poligami. Inilah yang membedakan poligami dalam Islam dengan agama lain,

    di mana Islam hanya memperbolehkan maksimal empat orasng istri.

    Larangan poligami dalam agama Kristen muncul setelah renaisans.25

    Ketika itu hukum-hukum Greja banyak menyerap hukum-hukum Romawi,

    dari Romawi, hukum-hukum tersebut menyebar keberbagai pelosok dunia di

    bawah dan dikembangkan oleh penjajah, seperti Napoleon yang terkenal

    dengan code civil-nya, yang di dalamnya menganut asas monogami.26

    Pada masa Mesir kuno, seorang laki-laki boleh mempunyai istri lebih

    dari satu orang. Bahkan diyakini bahwa Tuhan pun melakukan perkawinan

    24

    Nasaruddin Umar, Fikih Wanita untuk Semua, (Jakarta: Serambi ILmu Semesta, 2010), Cet. K-1, h. 94.

    25

    Renaisans adalah masa peralihan dari abad pertengahan kea bad modern di Eropa (abad ke-14

    sampai ke-17) yang di tandai oleh perahatian kembali pada kesusastraan klasik. Lihat Kamus Besar

    Bahasa Indonesia. 26

    Nasaruddin Umar, Fikih Wanita untuk Semua, (Jakarta: Serambi ILmu Semesta, 2010), Cet. K-1, h. 95.

  • 22

    dengan istri lebih dari satu. Kepercayaan ini semakin dikukuhkan oleh para

    pemuka agama dan raja karena mereka merasa sebagai anak Tuhan.27

    Dalam agama Hindu, poligami dilakukan sejak zaman bahari.

    Poligami yang berlaku dalam agama Hindu tidak mengenal batasan tertentu

    mengenai jumlah perempuan yang boleh dinikahi. Bahkan seorang Brahma

    yang berkasta tinggi sampai sekarang boleh mengawini siapapun yang

    disukainya tanpa adanya pembatasan. Kebiasaan poligami tersebut kemudian

    diupayakan oleh Talmud di Yerussalem untuk dihapuskan. Seorang suami

    hanya boleh mengawini perempuan sebatas kemampuannya dalam menjaga

    dan merawatnya dengan baik. Namun, usaha tersebut tampaknya gagal karena

    kaum Kairat tidak mengakui adanya pembatasan tersebut. Sementara dalam

    tradisi lain, seorang yang memiliki lebih dari satu istri akan diberi hadiah.

    Kebiasaan tersebut terjadi pada orang Persi.28

    Sebelum datangnya Islam, masyarakat Arab khususnya yang hidup di

    jazirah Arab telah mempraktekkan poligami yang dilakukan tanpa ada

    batasan. Sejumlah riwayat menceritakan bahwa rata-rata pemimpin suku

    ketika itu memiliki puluhan istri, bahkan tidak sedikit kepala suku yang

    mempunyai sampai ratusan istri.

    27

    Anik Farida, Menimbang Dalil Poligami: Antara Teks, Konteks, dan Praktek, ( Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama, 2008). Cet. K-1, h. 7.

    28

    Anik Farida, Menimbang Dalil Poligami: Antara Teks, Konteks, dan Praktek, h. 7.

  • 23

    Selain poligami dan poliandri, pada masa itu dikenal ada beberapa

    perkawinan menyimpang di antaranya:29

    1. Kawin Istibdha yaitu, perkawinan antara seorang laki-laki dan

    perempuan, tetapi istrinya diperintahkan untuk berhubungan badan

    dengan laki-laki lain yang dipandang terhormat, dengan harapan

    mendapat anak yang memiliki sifat-sifat kebangsawanannya. Si suami

    tidak menyetubuhi istrinya sampai si istri benar-benar hamil dan

    melahirkan dari hubungan kelamin dengan pria bangsawan.

    2. Kawin maqthu yaitu seorang laki-laki mengawaini ibu tirinya (bekas istri

    bapaknya) ketika bapaknya telah meninggal supaya harta warisannya

    tidak lari keperempuan itu.30

    3. Kawin badal yaitu, tukar menukar istri sesaat, saling mencicipi istri

    temannya tanpa adanya perceraian.

    4. Kawin shighar yaitu, seorang laki-laki mengawinkan anak perempuan

    atau saudara perempuan kepada seorang laki-laki tanpa adanya mahar

    dengan imbalan laki-laki itu memberikan pula anak perempuan atau

    saudara perempuan kepada bapak atau saudara laki-laki istrinya itu.

    5. Kawin khadan yaitu, perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang

    perempuan secara sembunyi-sembunyi tanpa adanya akad nikah.31

    29

    Badriyah Fayumi, dkk., Isu-isu Gender Dalam Islam, (Jakarta: PSW UIN Syarif Hidayatullah, 2002), Cet. K-1, h. 43.

    30

    Ibnu Katsir, Tafsir Al-Quran al-Azhim, juz 2, h. 87.

  • 24

    6. Perkawinan Rahthun (Poliandri), yaitu membolehkan beberapa laki-laki

    untuk menggauli seorang perempuan yang mereka kehendaki. Setelah

    perempuan itu hamil kemudian melahirkan anak laki-laki, dia memanggil

    seluruh laki-laki yang menggaulinya. Kemudian memilih salah seorang

    dari mereka untuk menjadi ayah bagi bayi yang dilahirkannya.

    7. Perkawinan Baghaya (Perempuan Tuna Susila). Di dalam perkawinan

    baghaya, sekelompok laki-laki hidung belang bergantian menggauli

    seorang perempuan yang perkerjaannya melacur secara terang-terangan.

    Jika dia hamil dan melahirkan anak, pelacur tersebut menentukan ayah

    anaknya itu dengan memilih orang yang dianggap paling mirip wajahnya

    dengan anaknya.32

    Ketika Islam datang, kaum pria memiliki istri sampai sepuluh atau

    lebih, tanpa batasan. Islam lalu memberitahu mereka, bahwa ada batasan yang

    tidak boleh dilanggar, yakni empat saja. Karena poligami hanya boleh

    dilakukan sebagai solusi dalam keadaan darurat. Poligami dalam Islam sama

    sekali bukan sarana untuk mengumbar hawa nafsu tanpa batas.33

    31

    Badriyah Fayimi, dkk., Isu-isu Gender Dalam Islam, (Jakarta: PSW UIN Syarif Hidayatullah,

    2002), Cet. K-1, h. 43.

    32

    Rodli Makmun, dkk., Poligami dalam Tafsir Muhammad Syahrur, (Ponorogo: STAIN

    Ponorogo Press, 2009), Cet. K-1, h. 34.

    33

    Ahmad Faiz, Cita Keluarga Islam, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2001), h. 205-208.

  • 25

    Jika melihat poligami yang dilakukan Nabi Muhammad SAW,

    sesungguhnya perlu disadari, bahwasanya beliau baru poligami setelah

    pernikahan pertamanya berlalu sekian lama, setelah wafatnya istri beliau

    Khadijah r.a. pada saat itu Nabi Muhammad SAW telah bermonogami selama

    25 tahun. Lalu tiga atau empat tahun setelah kematian Khadijah r.a barulah

    beliau menikahi Aisyah r.a. disusul setelah itu pernikahan poligami beliau

    dengan Saudah binti Zamah janda tua yang suaminya meninggal di

    perantauan, Hindun atau Ummu Salamah janda yang suami gugur

    dipeperangan, Ramlah janda yang dicerai suaminya karena suaminya murtad,

    Huriyah binti Al Haris seorang tawanan perang pasukan Islam, Hafsah

    seorang janda putri dari Umar bin Khathab, Shafiyah binti Huyay salah

    seorang tawanan perang yang dimerdekakan Rasul, Zainab binti Jahesy

    seorang janda yang dulunya dinikahkan dengan seorang budak, dan yang

    terakhir Zainab binti Khuzaimah yang suaminya gugur dalam perang uhud.34

    Perlu diingat, bahwa semua perempuan yang beliau nikahi kecuali

    Aisyah r.a, adalah janda-janda yang sebagian di antaranya berusia senja, atau

    tidak lagi memiliki daya tarik yang memikat. Istri-istri yang disebut di atas

    34

    Anshori Fahmie, Siapa Bilang Poligmi itu Sunnah?, (Depok: Pustaka ImaN, 2007), Cet. k- 1, h. 185.

  • 26

    inilah yang seringkali disoroti oleh mereka yang tidak mau tahu atau enggan

    memahami latar belakang pernikahan itu.35

    Menurut Ahmad Syalabi, Islamlah yang pertama kali mengatur sistem

    poligami dengan syarat dan jumlah isteri.36

    Tatkala wanita diperlakukan

    sebagai bagian dari budak, hubungan suami isteri tidak didasarkan pada

    kemanusiaan, laki-laki menikahi sepuluh atau lebih wanita hanya untuk

    mendapatkan keturunan, Islam menyesuaikan dengan kondisi, sebagaimana

    halnya tidak akan bijaksana jika Islam harus melakukan lompatan untuk

    menghapus poligami.37

    D. Poligami dalam Pandangan Hukum Islam

    Dalil yang paling banyak diperdebatkan tentang eksistensi poligami

    adalah surat AN-Nisa/4 ayat 3, sebagaimana disebutkan dibawah ini:

    35

    M. Quraish Shihab, Perempuan: Dari Cinta Sampai Seks, Dari Nikah Mutah Sampai Nikah Sunnah, Dari Bias Lama Sampai Bias Baru, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), h. 159-160.

    36

    Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, h. 190, Rahasia Perkawinan Rasulullah, h. 48. 37

    Mahmud Muhammad Thaha, Arus Balik Syariah. Penerjemah Khoiron Nahdiyyin, (Yogyakarta: Ellkis, 2003), Cet. K-1, h. 168.

  • 27

    Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap

    (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka

    kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat.

    Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah)

    seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah

    lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya (Q.S An-Nisa/4:3)

    Ayat di atas diturunkan, ketika saat itu ada seorang laki-laki menguasai

    (memelihara) anak yatim yang kemudian dikawini tanpa mahar atau dengan

    yang lebih kecil dibanding dengan mahar yang lazim diberkian kepada wanita

    lain. Sehubungan dengan itu Allah kemudian menurunkan ayat ini.38

    Laki-laki yang diceritakan di atas bernama Urwah bin Zubair. Ia

    mempunyai seorang anak yatim yang hidup dalam pengawasannya. Anak

    yatim itu mempunyai paras yang cantik dan mempunyai harta warisan yang

    banyak dari peninggalan orang tuanya. Urwah berkehendak untuk menikahi

    anak yatim ini, di samping untuk mendapatkan kecantikan dan harta anak ini.

    Maka turunlah ayat ini.39

    Sebagaimana yang diriwayatkan oleh imam al-Bukhari juga dalam

    tafsir Ibn Katsir jilid I.40

    AL-Bukhari meriwayatkan dari Urwah bin Zubair,

    38

    Muammal Hamidy, Dkk., Tafsir Ayat Ahkam, Ash-Shabuni, (surabaya: Bina Ilmu, 2003), Cet. K-IV, h. 355.

    39

    Muammal Hamidy, Dkk., Tafsir Ayat Ahkam, Ash-Shabuni, h. 355. 40

    Badriyah Fahyimi, dkk., Isu-Isu Gender dalam Islam, (Jakarta: PSW UIN Syarif Hidayatullah, 2002), Cet. K-1, h. 4.

  • 28

    sesungguhnya Urwah pernah bertanya kepada Aisyah, tentang firman Allah:

    Dan jika kamu khawatir tidak dapat berlaku adil terhadap anak yatim, maka

    Aisyah berkata, Wahai putra saudaraku, wanita yatim ini berada dalam

    perlindungan wali. Wanita yatim menggabungkan hartanya dengan harta

    walinya. Lalu si wali terpesona oleh kecantikan dan hartanya. Kemudian dia

    hendak menikahinya tanpa mau berlaku dalam masalah mahar; tidak

    menerima mahar seperti yang lazim diberikan kepada wanita lain. Para wali

    dilarang menikahi wanita yatim kecuali berlaku adil terhadapnya dan memberi

    mereka mahar yang lazim pada saat usia dewasa. Para wali disuruh menikahi

    wanita-wanita lain saja.41

    Urwah berkata, kemudian Aisyah melanjutkan, Sesungguhnya

    orang-orang meminta fatwa kepada Rasulullah saw. Setelah ayat itu

    diturunkan. Kemudian Allah menurunkan ayat ini, Dan mereka meminta

    fatwa kepadamu ihwal wanita, Aisyah melanjutkan, Dalam ayat lain Allah

    berfirman, Dan kamu enggan menikahi mereka, yakni salah seorang di

    antara kamu enggan kawin dengan wanita yatim yang tidak cantik dan

    hartanya sedikit. Mereka dilarang menikahi wanita lantaran melihat harta dan

    kecantikannya kecuali dengan cara yang adil, sebab mereka enggan menikahi

    wanita, jika wanita itu tidak cantik dan sedikit hartanya.

    41

    Muammal Hamidy, Dkk., Tafsir Ayat Ahkam, Ash-Shabuni, (surabaya: Bina Ilmu, 2003),

    Cet. K-IV, h. 355. Lihat pula, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Penerjemah Syihabuddin, Jakarta: Gema

    Insani Press, Cet. K-1, 1999.

  • 29

    Perlu juga diungkapakan di sini bahwa ayat poligami di atas, tidak

    boleh lepas dari ayat ini adalah setting sebab-sebab turunya (asbab al-nuzul)

    yakni turun ketika terjadi perang Uhud, di mana pasukan Islam mengalami

    kekalahan yang besar. Dalam peperangan, yang maju ke medan laga adalah

    kaum laki-laki, otomatis yang banyak menjadi korban perang adalah laki-laki,

    dan laki-laki pada waktu itu menjadi barang yang langka karena populasinya

    berkurang. Sebaliknya, banyak wanita yang tadinya bersuami menjadi janda.

    Demikian juga dengan anak-anak, banyak yang menjadi anak yatim karena

    bapaknya gugur di medan perang. Sangatlah wajar jika poligami pada masa

    itu diperbolehkan dan dijadikan sebagai solusi yang tepat dalam

    menyelesaikan masalah ummat.42

    Kemudian ada beberapa hadits yang dijadikan sandaran para ulama

    ketika membahas poligami, di antaranya adalah yang diriwayatkan oleh Imam

    Malik yang berbunyi:

    :

    Diberitahukan dari Yahya dari Malik bin Syihab, ia berkata: bahwa

    telah sampai kepadanya, bahwa Rasulullah saw. berkata kepada seseorang

    42

    Badriyah Fahyimi, dkk., Isu-Isu Gender dalam Islam, h. 48.

  • 30

    dari bani Tsaqif yang masuk Islam dan bersama sepuluh orang perempuan

    (isteri). Kemudian Rasulullah memerintahkan untuk mengambil empat dari

    mereka dan menceraikan lebihnya.43

    Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan ketika menafsirkan

    surat An-Nisa ayat 3, Maksudnya, jika ada perempuan yatim dalam

    perlindunganmu dan kamu khawatir tidak dapat memberinya mahar yang

    memadai, maka beralihlah kepada wanita selainnya, sebab wanita lain juga

    masih banyak, dan Allah tidak mempersulitnya.44

    Al-Bukhari meriwayatkan dari Urwah bin Zubair bahwa Urwah

    bertanya kepada Aisyah ihwal firman Allah, Dan jika kamu khawatir tidak

    dapat berlaku adil terhadap anak yatim, maka Aisyah berkata, Wahai putra

    saudaraku, wanita yatim ini berada dalam perlindungan wali. Wanita yatim

    menggabungkan hartanya dengan harta walinya. Lalu si wali terpesona

    dengan kecantikan dan hartanya. Kemudian hendak menikahinya tanpa mau

    berlaku dalam masalah mahar; tidak memberi mahar seperti yang lazim

    diberikan kepada wanita lain. Para wali dilarang menikahi wanita yatim

    43

    Abu Zahra, Zakrotu al-Tafsir, (Dar al Fikr, Beirut, tth), juz, 1, h. 1580.

    44

    Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Penerjemah Syihabuddin, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999)

    , Cet. k-1, h. 645.

  • 31

    kecuali berlaku adil terhadapnya dan memberi mereka mahar yang lazim pada

    saat dewasa. Para wali disuruh menikahi wanita-wanita lain saja.45

    Firman Allah Taala, Dua, tiga, atau empat. Yakni,

    nikahilah wanita yang kamu kehendaki selain wanita yatim. Jjika kamu mau,

    nikahilah dua wanita, tiga, atau empat. Sunnah Rasulullah saw. yang

    menerangkan informasi dari Allah menunjukkan bahwa seorang pun tidak

    boleh, selain Rasulullah., menikahi lebih dari empat orang wanita, sebab yang

    demikian itu merupakan kekhususan untuk Rasulullah saw.46

    Imam Ahmad meriwayatkan dari Salim, dari ayahnya (637), Bahwa

    Ghilan bin Salamah ats-Tsaqif masuk Islam sedang dia memiliki 10 orang

    istri. Maka Rasulullah saw. bersabda, Pilihlah empat dari 10 orang wanita

    itu. 47

    Firman Allah Taala, Jika kamu khawatir tidak dapat berlaku adil,

    maka nikahi seorang saja atau budak yang kamu miliki. Yakni, jika

    banyaknya istri itu mengkhawatirkanmu untuk tidak dapat berlaku adil

    diantara mereka, sebagaimana firman Allah Taala, Sekali-kali kamu tidak

    dapat berlaku adil di antara istri-istrimu, walaupun kamu sangat

    menginginkan berbuat adil. Jika kamu khawatir berbuat zalim, maka

    45

    Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Penerjemah Syihabuddin, h. 645.

    46

    Lihat Pula, M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, ( Jakarta: Lentera Hati, 2002 ), h. 324.

    47

    Fahmie Ustad Anshori, siapa Bilang Poligami itu Sunnah, ( Jakarta: Pustaka Iman, 2007), Cet. K-1, h. 78.

  • 32

    kawinlah dengan seorang wanita saja atau dengan beberapa budak perempuan

    yang ada dalam kuasaanmu sebab pemberian giliran di antara budak-budak

    bukan suatu kewajiban, namun merupakan anjuran. Jika dilakukan, maka hal

    itu baik dan jika ditinggalkan maka tidak apa-apa. Firman Allah Taala, Hal

    itu lebih dekat untuk tidak berbuat aniaya, yakni zalim. Dikatakan, aalin

    filhukmi, jika seseorang menyimpang, zalim, dan aniaya. Dalam hadits yang

    disandarkan kepada Aisyah dikatakan bahwa firman Allah, Hal itu lebih

    dekat untuk tidak berbuat aniaya berarti kamu tidak berbuat aniaya.

    Demikian menurut riwayat Ibnu Abi Hatim.48

    Menurut al-Marghi, ayat ini dapat diartikan menolak poligami, atau

    paling tidak lebih memperketat pelaksanaan poligami. Karena ayat ini

    menegaskan ketidakmampuan seseorang berlaku adil di antara istri-istrinya.

    Kata ( bagian ayat tersebut seolah-olah ditujukan kepada mereka yang tidak

    mampu berlaku adil, sedangkan mereka yang mampu berlaku adil dengan

    sendirinya potongan ayat ini tidak berlaku).49

    Muhammad Abduh juga mengatakan bahwa boleh saja seorang laki-

    laki kawin lebih dari satu, tetapi harus memenuhi syarat adil sebagaimana

    ditegaskan dalam an-Nisa[4]: 3. Namun, ia mengatakan bahwa syarat adil ini

    48

    Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Penerjemah Syihabuddin, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999) ,

    Cet. K-1, h. 651.

    49

    Nasaruddin Umar, Fikih Wanita untuk Semua, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2010), Cet.

    K-1, h. 101.

  • 33

    sesungguhnya teramat susah (untuk tidak menyebut mustahil) dicapai seorang

    laki-laki. Apalagi Abduh menganut pendapat Abu Hanifah bahwa keadilan

    dalam ayat tersebut meliputi tempat tinggal, pakaian, makanan, dan hubungan

    suami istri. Oleh karena itu, bagi Muhammad Abduh, seharusnya poligami

    dilarang.50

    Abu Zahrah memperhadapkan ayat ini dengan ayat terdahulu dan

    seolah-olah ingin mengatakan ayat ini menasakh ayat terdahulu. Bahkan ia

    mengartikan an-Nisa [4]: 3, bahwa bilangan dua, tiga, dan empat dalam ayat

    tersebut bukanlah menyatakan bilangan yang dapat direalisasikan tetapi pada

    hakikatnya melarang, seperti sindirian orang Arab: ifal ma syita (kerjakanlah

    sekehendak hatimu). Artinya jangan lakukan perbuatan itu.51

    M. Quraish Shihab berpendapat hampir sama dengan Ahmad

    Musthafa Al-Maraghi, bahwa beliau mengatakan poligami itu bukanlah

    merupakan suatu anjuran kewajiban, melainkan merupakan suatu kebolehan

    yang diibaratkan dengan pintu darurat kecil, yang hanya bisa lalui disaat amat

    diperlukan dan dengan syarat yang tidak ringan. Dan menurutnya bahwa yang

    dimaksud dengan adil dalam surat an-Nisa ayat 129 adalah keadilan dibidang

    50

    Hartono Ahmad Jaiz, Wanita antara Jodoh, Poligami dan Perselingkuhan, (Jakarta: Al-Kautsar, 2007), Cet. K-1, h. 119.

    51

    Nasaruddin Umar, Fikih Wanita untuk Semua, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2010), Cet.

    K-1, h. 101.

  • 34

    immaterial (cinta). Itu sebabnya hati yang berpoligami dilarang

    memperturutkan hatinya demi berkelebihan dalam kecenderungan kepada

    yang dicintai. Dengan demikian tidaklah tepat menjadikan ayat ini sebagai

    dalih menutup pintu poligami serapat-rapatnya.52

    Wahbah al-Zuhaili, yang banyak mengutip pendapat Imam Malik yang

    cenderung memberikan persyaratan ketat pada praktik poligami dengan

    menonjolkan beberapa larangan dalam praktik poligami, antara lain:

    mengumpulkan sesama anggota keluarga dekat seperti mengawini dua orang

    bersaudara, baik saudara kandung, saudara seibu, saudara sebapak ataupun

    saudara sesusuan, dan mengumpulkan seseorang perempuan dengan tante-

    tantenya. Demikian pula larangan karena perbudakan, seperti seorang

    perempuan merdeka menurut jumhur ulama tidak dibenarkan kawin (dimadu)

    oleh seorang hamba, larangan karena persoalan keyakinan agama, seperti

    larangan kawin dengan perempuan penyembah berhala (al-watsaniyyah),

    tidak boleh mengawini perempuan muhrim, mengawini perempuan yang

    berpenyakit tertentu, tidak boleh mengawini perempuan yang belum lepas

    iddah atau yang masih bersangkut-paut dengan suami lamanya, atau

    52

    M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, (CIputat: Lentera Hati, 2000), h. 321-322.

  • 35

    perempuan yang sudah di-lian, perempuan yang sudah ditalak tiga sebelum

    ia kawin dengan laki-laki lain.53

    Perbedaan ini muncul berawal dari perbedaan penafsiran kalimat

    matsna wa tsulatsa wa ruba dalam ayat di atas. Menurut mazhab Syiah,

    kalimat matsna wa tsulatsa wa ruba menunjukkan penjumlahan (al-Jam),

    sehingga jika ditambahkan, maka hasilnya adalah Sembilan. Sedangkan bagi

    kelompok Zhahiri, delapan belas orang, karena kata waw dalam kalimat

    tersebut berarti dikali, sehingga dua kali dua, kali tiga, dan kali empat.

    Menganggapi hal tersebut, Imam al-Qurthubi menyebutkan bahwa pendapat

    seperti ini adalah pendapat orang yang tidak mengerti bahasa Arab dan tidak

    tahu dengan Sunnah yang telah ditetapkan oleh Rasulullah.54

    Lalu apakah kata fankihu yang terbentuk fil al-amr dalam ayat ini

    mengisyaratkan kewajiban (lil wujub) atau hanya boleh (lil ibahah)?

    Menurut Jumhur Ulama, demikian diuraikan oleh Ali Ash-Shabuni,

    ayat tersebut mengisyaratkan untuk kebolehan (ibahah), bukan wajib, hal

    serupa juga ditemui dalam ayat yang menyatakan tentang makan dan minum,

    seperti Kulu wasyrabu. Sementara Ahlu Zhahir menyebutkan, bahwa ayat

    ini menunjukkan kewajiban menikah bagi seorang muslim, karena al-amru lil

    53

    Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz, VII, Beirut: Dar al-Fikr. t.th., h. 175-176

    54

    Muhammad Abu Zahra, Ahwal Al-Syakhsiyyah, (Beriut: Dar al-Fikr, tth), h. 89-91.

  • 36

    wujub. Sedangkan Fakhru al-Razi menyatakan, dalam ayat ini Allah

    menetapkan, bahwa meninggalkan perkawinan daam bentuk seperti ini

    (poligami) adalah lebih baik dari pada mengerjakannya. Hal ini menunjukkan

    bahwa ayat ini bukan menunjukkan kesunahan menikah lebih dari satu,

    apalagi menunjukkan wajib.55

    Dengan mengutip pendapat para ulama, Abu Zahrah menyebutkan

    bahwa dalam ayat ini jelas sekali terdapat pembatasan dan syarat yang harus

    di pegang dalam poligami:56

    1. Berlaku adil kepada para istri. Para mufassir menyebutkan bahwa

    kebolehan poligami terikat dengan syarat harus berlaku adil

    kepada istri. Hal ini dikatakan oleh Abu Bakar, al-Rizi, al-Jassah,

    dalam kitab Ahkam al-Quran. Dan keharusan untuk membatasi

    pada satu perempuan juka khawatir berlaku tidak adil.

    2. Harus ada kemampuan untuk menfkahi para istri dan

    melaksanakan kewajiban-kewajiban. Kewajiban tersebut diambil

    dari (zalika adna alla taulu).57

    55

    Ali Ash Shabuni, Tafsir Ayat al-Ahkam Minal Quran, (Beirut: maktabah al-Ghazali, 1981), juz 1, h. 192

    56

    Muhammad Abu Zahra, Ahwal Al-Syakhsiyyah, (Beriut: Dar al-Fikr, tth), h. -91. 57

    Muhammad Abu Zahra, Ahwal Al-Syakhsiyyah, h. -91.

  • 37

    Terkait dengan batasan ini, hampir semua Ulama klasik juga sepakat

    bahwa pembatasan tersebut untuk menetapkan azas keadilan. Seperti yang

    dinyatakan oleh al-Thabari, bila seorang laki-laki takut tidak berlaku adil,

    maka hendaklah ia menikahi empat saja.

    Namun bila empat juga merasa takut, maka cukup satu. Dan bila satu

    juga merasa takut, maka janganlah menikah dan bertahanlah dengan budak-

    budak. Namun, kedua syarat (berlaku adil dan melaksanakan kewajiban)

    tersebut bukan termasuk syarat sahnya suatu perkawinan, sehingga jika tidak

    dipenuhi dan lelaki tetap melakukan perkawinan, maka seorang muslim

    tersebut hanya akan mendapat dosa dari Allah SWT dan tidak cakap hukum

    untuk melakukan poligami.58

    Penafsiran ayatayat Al-Quran mengenai poligami ,melahirkan tafsir

    yang berbeda-beda antara satu dan lainnya. Pendapat-pendapat tersebut dapat

    diasumsikan ke dalam tiga kelompok uatama. Kelompok pertama

    berpendapat, bahwa orang yang yang berpoligami mengikuti Sunah Nabi

    Muhammad, maka secara otomatis mendapatkan pahala. Menurut kelompok

    ini, poligami dianjurkan bagi laki-laki yang mampu melaksanakannya.59

    58

    Muhammad Abu Zahra, Ahwal Al-Syakhsiyyah, (Beriut: Dar al-Fikr, tth), h. -91.

    59

    Anik Farida, Menimbang Dalil Poligami: Antara Teks, Konteks, Dan Praktek, (Jakarta: Balai

    Penelitian dan Pengembangan Agama 2008), Cet. 1, h. 25.

  • 38

    Kelompok kedua berpendapat, poligami tidak dianjurkan dalam

    agama, melainkan diperbolehkan dalam keadaan tertentu. Kelompok ketiga

    percaya, bahwa poligami itu seharusnya tidak dijalankan pada masa kini.

    Menurut kelompok ini, poligami dilakukan oleh Nabi Muhammad karena

    kondisi tertentu yang ada pada zaman itu, yaitu masa perang yang

    menimbulkan banyak janda dan anak yatim yang perlu dilindungi.60

    Dalam Al-Quran maupun dalam keseharian beliau, memelihara anak

    yatim dan anak yang terlantar selalu mendapat perhatian besar dan dianggap

    sangat penting. Izin poligami dalam Al-Quran sesungguhnya berkaitan erat

    dengan masalah tersebut. Oleh sebab itu, sebenarnya pesan moral AL-Quran

    tentang masalah ini: 1) agar anak yatim dipelihara dan disantuni; 2) ayat ini

    berbicara tentang keadilan, sehingga dapat disimpulkan bahwa poligami

    sebenarnya hanya dibolehkan dalam kondisi sulit seperti itu.

    Keadilan ditetapkan sebagai syarat dalam poligami. Itu berarti

    menuntut manusia mencapai kekuatan moral paling tinggi. Melaksanakan

    keadilan dan berpantang dari tindakan deskriminasi terhadap istri-istri

    merupakan tugas paling sulit bagi suami. Hal inilah yang dimaksud dengan

    tidak akan sanggup berlaku adil.61

    60

    Anik Farida, Menimbang Dalil Poligami: Antara Teks, Konteks, Dan Praktek, h. 25.

    61

    Anik Farida, Menimbang Dalil Poligami: Antara Teks, Konteks, Dan Praktek, h. 25.

  • 39

    Dalam Al-Quran Allah menegaskan QS An-Nisa (4) : 129 :

    Artinya: Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-

    isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena itu

    janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu

    biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan perbaikan dan

    memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha

    Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S An-Nisa/4 : 129)

    Secara historis, ayat ini mempunyai kaitan erat dengan ayat 2-3, dan

    20 dalam surat yang sama. Ayat ini diturunkan di Madinah setelah perang

    Uhud. Bahwasanya dalam perang tersebut umat Islam mengalami kekalahan

    yang cukup fatal, salah satunya yaitu banyaknya pejuang laki-laki yang gugur

    di medan laga. Menurut catatan sejarah tidak kurang 70 syuhada (lai-laki

    dewasa dan berkeluarga) gugur. Wafatnya mereka meninggalkan banyak

    janda dan anak-anaka yang menjadi yatim. Jumlah mereka sangat banyak,

    mulai dari yang tua dan yang muda, serta yang kaya dan yang miskin. Begitu

    pula dengan anak yatim.62

    62 Rodli Makmun, dkk., Poligami dalam Tafsir Muhammad Syahrur, (Ponorogo: STAIN

    Ponorogo Press, 2009), h. 29.

  • 40

    BAB III

    BIOGRAFI DAN POLIGAMI MENURUT MUHAMMAD SYAHRUR

    A. Riwayat Hidup Muhammad Syahrur dan Karya-karyanya

    Muhammad Syuhrur Daib dilahirkan di Damaskus, Syiria, pada 11

    Maret 1938. Daib adalah nama ayahnya dan Ibunya bernama Siddiqah binti

    Salih Filyun. Istrinya bernama Azizah, dan Syahrur memililiki lima orang

    anak dan dua orang cucu.63

    Menjalani pendidikan dasar dan menengahnya di

    lembaga pendidikan Abd al-Rahman al-Kawakibi, Damaskus, dan tamat

    tahun 1957. Kemudian mendapatkan beasiswa pemerintah untuk studi teknik

    sipil (handasah madaniyah) di Moskow, Uni Sovyet, pada Maret 1957.

    Berhasil meraih gelar Diploma dalam teknik sipil pada 1964.64

    Kemudian pada tahun berikutnya bekerja sebagai dosen Fakultas

    Teknik Universitas Damaskus. Selanjutnya, dia dikirim oleh pihak Universitas

    ke Irlandia Ireland National University untuk memperoleh gelar Master

    63

    Empat orang anak laki-laki dan satu anak perempuan. Tariq, Lays, dan Rima, Basil dan

    Masun. Dan cucunya, Muhammad dan Kinan. Dikutip dari http./www.shahrour.org; lihat pula Nugroho Dewanta, Biografi dan Pemikiran Muhammad Syahrur. Artikel diakses pada 18 Mei 2011 dari http://groups.yahoo.com/group/ppiindia.

    64

    Dalam studinya di Moskow ini, Syahrur mulai merasakan benturan peradaban antara latar belakang ideologisnya sebagai seorang muslim dan fenomena social-intelektul di Moskow yang

    komunis. Di Negara inilah, ia mulai berkenalan pemikiran marxisme. Walaupun ia tak mngklaim

    sebagai penganut aliran tersebut, namun diakuinya banyak berhutang pada sososk Hegel terutama dialektikanya dan Alferd North White Head. Lihat Nugroho, Biografi dan Pemikiran.

  • 41

    dan Doktornya dalam spesialisasi Mekanika Pertanahan dan Teknik Pondasi,

    sehingga memperoleh gelar Master of Science-nya pada 1969 dan gelar

    Doktor pada 1972. Sampai sekarang, Dr. Ir. Muhammad Syahrur masih

    mengajar di Fakultas Teknik Sipil Universitas Damaskus dalam bidang

    Mekanika Pertanahan dan Geologi.

    Pada 1982-1983, Dr. Ir. Muhammad Syahrur dikirim kembali oleh

    pihak universitas untuk menjadi tenaga ahli pada al-Saud Consult, Arab

    Saudi. Dia juga, bersama beberapa rekannya di fakultas membuka Biro

    Konsultasi Teknik Dar al-Istisyarat al-Handasiyah di Damaskus. Selain

    bahasa arab Syahrur menguasai bahasa Inggris dan bahasa Rusia. Di samping

    itu, dia juga menekuni bidang filsafat humanisme dan pendalaman makna

    bahasa Arab.65

    Tulisannya banyak tersebar di Damaskus.

    Terbitnya buku al-Kitab wa al-Quran : Qiraah Muashirah diakui

    oleh Jamal al-Banna, seorang intelektual Mesir, tokoh gerakan buruh dan adik

    kandung Hasan al-Banna, sebagai metode baru dalam interpretasi teks Kitab

    Suci al-Quran. Buku tersebut telah memancing kontroversi yang sangat

    keras, yang kemudian bermunculannya beberapa buku, yang dari pihak yang

    pro maupun yang kontra. Diantara yang bisa disebut di sini antara lain ;

    Tahafut Qirah Muashirah oleh Dr. Munir Muhammad Thahir al-Syawwaf

    65

    Muhammad Syahrur, prinsip dan dasar Hermeunetika Hukum Islam Kontemporer. Penerjemah Shahiron Syamsuddin, ( Yogyakarta: Elsaq, 2007), h. 313.

  • 42

    dan buku al-Furqan wa al-Quran oleh Syekh Khalid Abd ar-Rahim al-Akk.

    Nadhariyah Hududiyah dalam Tafsir al-Quran Syahrur.

    Adapun karya-karyanya dapat dikategorikan dalam dua bidang

    keilmuan, tehnik fondasi yang merupakan spesialisasinya dan dalam

    pemikiran Islam. Dalam tehnik ia menulis Handasat al-Asasat dan Handasat

    al-Turbat. Sedangkan dalam bidang keislaman, ia menulis antara lain: Al-

    Kitab wa al-Quran Qiraah Muashirah (1990);66 Dirasat Islamiyyah

    Muashirah fi al-Daulah wa al-Mujtama (1994); Al-Islam wa al-Iman :

    Manzhamah al-Qiyam (1996); Nahwa Ushul Jadidah li al-Fiqh al-Marah

    (2000); Masyru Mitsaq al-Amal al-Islami (1999); Al-Harakah al-

    Libaraliyyah Rafadhat al-Fiqh wa al-Tasyriatiha wa lakinnaha La Tarfudh

    al-Islam ka-Tawhid wa Risalah Samawiyyah (2000); Al-Harakh al-Islamyyah

    Lan Tafuz bi al-Syariyyah illa idza Tharahat Nazhariyyah Islamiyyah

    Muashirah fi al-Daulah wa al-Mujtama (2000),67 dan karya terbarunya

    adalah Tajfif Manabi al-Irhab yang diterbitkan pada tahun 2008.68

    66

    Diterjemahkan oleh Sahiron Syamsuddin dalam dua edisi, Prinsip dan Dasar Hermeunetika Al-Quran Kontemporer dan Prinsip dan Hermeunetika Hukum Islam Kontemporer, keduanya

    diterbitkan oleh Elsaq, Yogyakarta, masing-masing tahun 2004 dan 2007.

    67 Muhammad Syahrur, prinsip dan dasar Hermeunetika Hukum Islam Kontemporer.

    Penerjemah Shahiron Syamsuddin, ( Yogyakarta: Elsaq, 2007), h. 313.

    68

    Anjar Nugroho, Teori Batas Muhammad Syahrur, diakses pada 02 Juni 2011 Dikutip dari http:/ /opinikampus.wordpress.com/2008/01/15/teori-batas-muhammad-syahrur-dalam soal-poligami/

  • 43

    B. Poligami dalam Pandangan Muhammad Syahrur

    Poligami (taaddud al-zawjat) dianggap permasalahan yang penting

    untuk dibahas dan salah satu permasalahan yang rumit dalam kehidupan

    perempuan Islam di negara arab. Dengan permasalahan yang khusus (ayat ini

    turun untuk menanggapi satu kasus Urwah bin Zubair)) akan tetapi hal

    tersebut merupakan pembahasan yang perlu diketahui oleh orang banyak.

    Maka ayat taaddud al-zawjat merupakan ayat hudud (batasan) yang

    meliputi dari segi sejarah yakni batas sejarah yang terdahulu dengan masa

    modern ini. Di masa modrn ini manusia dituntut untuk melakukan interpretasi

    al-Quran tanpa mengikuti ijtihad yang sudah ada dari ulama terdahulu.

    Ayat hudud yang membahas taaddud al-zawjat adalah surat surat an-Nisa ayat 3

    Penafsiran Syahrur dalam surat an-Nisa ayat 3

    1. Syahrur membedakan antara dua kata yang berbeda dalam ayat poligami,

    ( ( .69 Kata qasatha dalam lisan al-Arab mempunyai dua

    69

    Menurutnya, kata qasatha adalah sebuah term dasar yang memiliki satu bentuk, tapi memiliki

    dua pengertian yang saling bertolak. Pertama, qasatha berarti keadilan dan pertolongan (QS. Al-

  • 44

    pengertian berlawanan; makna yang pertama adalah al-adlu, seperti

    firman Allah taala surat al-Maidah ayat 42. Innallaha yuhibbul

    muhsinin. Sedangkan makna yang kedua adalah al-Dzulm wa al-jr.

    Seperti firman Allah taala surat al-jin ayat 14. Begitu pula kata al-adl,

    mempunyai dua arti yang berlainan, yakni; al-istiwa (penyamaan) dan al-

    awaj (bengkok). Ada perbedaan antara qasatho dan adl. Al-qasth bisa

    dari satu sisi saja (yakni hanya adil kepada istri-istrinya saja), sedang al-

    adl harus dari dua sisi (adil kepada istri-istrinya dan adil kepada anak

    dari istri pertama dan kedua, keiga, keempat).70

    2. Dalam menganalisis surat an-Nisa ayat tiga menurut Syahrur ayat tersebut

    adalah kalimat mathufah (berantai) dari ayat sebelumNya wa in

    dimana ayat sebelumnya menjelaskan haqq al-yatm, Dan berikanlah

    kepada anak-anak yatim harta mereka. Jangan kamu menukar yang baik

    dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama

    hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu

    adalah dosa yang besar (Q.S. an-Nisa(4):2)

    3. Menurut syahrur yatim disini adalah seseorang yang ditinggal mati

    bapaknya, anak tersebut (baik laki- laki atau perempuan) yang masih

    Maidah/5:42, al-Hujurat/ 49:9, al-Muntahanah/60: 8); kedua adalah kezaliman dan penindasan (QS. Al-Jinn/72: 14). Sementara adala juga memiliki dua arti yang saling berlawanan: kelurusan/kesejajaran (straightness/istiwa) dan arti keduanya adalah kebengkokan (curvature/lwijaj).

    70 Syahrur, a-Kitab wa al-Quran: Qiraah Muashirah, h. 597;

  • 45

    berusia muda (belum baligh), dan usia ibunya yang janda masih muda

    juga. Jadi yang dapat menjadi istri kedua, ketiga, dan keempat, adalah

    janda yang membawa anak-anaknya yang masih belia.71

    4. Dalam menganalisis ayat taaddud al-zawjat , maka akan memunculkan

    dua macam al-hadd, yaitu hadd al-adna (batas rendah) dan hadd al-ala

    (batas tertinggi) pada al-kamm, dan hadd al-adna dan hadd al-ala pada

    al-kayf.

    1. - Kalimat fankihu

    - Mana dua, tiga, atau empat, seperti yang telah di jelaskan di

    atas, batas tertinggi seorang laki-laki menikahi sampai empat

    istri. kalimat wa tersebut bukan di artikan dan melainkan atau

    sehingga dua-dua, tiga-tiga, atau empat-empat bukan Sembilan.

    Jika seseorang beristri satu, dua, tiga atau empat orang, maka dia

    tidak melanggar batasan-batasan yang telah ditetapkan oleh

    Allah, tapi jikalau seseorang beristri lebih dari empat, maka dia

    71

    Syahrur, al-kitab wal al-Quran,h. 598.

    ( batasan rendah) seorang laki-laki tidak mungkin menikahi wanita

    setengah, maka maksud al-haddna dsini adalah jumlah istri minimal satu

    (batasan tertinggi)

    seorang laki-laki maksimal mempunyai istri 4, tidak boleh lebih dari 4

  • 46

    telah melanggar hudd Allah. Pemahaman ini yang telah

    disepakati selama empat belas abad yang silam.

    2.

    Yang dimaksud di sini adalah apakah istri tersebut perawan

    (bikr) janda?, apabila janda, janda yang di cerai mati suaminya atau

    cerai hidup?

    - Pada ayat ini memakai shighah syarth, jadi menurut Syahrur,

    kalimatnya adalah : Fankih m thaba lakum min al-nis

    matsn wa thults wa rub dengan syarat kalau wa in

    khiftum an l tuqsith fi al-yatm .72 Sehingga untuk istri

    pertama tidak disyaratkan adanya hadd fi al-kayf, maka

    diperbolehkan perawan atau janda, sedangkan pada istri kedua,

    ketiga dan keempat dipersyaratkan janda yang mempunyi anak

    yatim.

    - Maka seorang suami yang menghendaki istri lebih dari satu akan

    menanggung biaya kehidupan istri dan anak-anak yang yatim.

    firman Allah surat an-Nisa (4):6

    72

    Syahrur, al-kitab wal al-Quran,h. 599.

  • 47

    - artinya berbuat adil kepada anaknya(

    anak dari istri pertama dan anak-anak yatim dari istri janda)

    menurut Syahrur, hal ini sesuai dengan pengertian adl yang

    harus terdiri dari dua sisi, yaitu adil kepada anak-anaknya dari

    istri pertama dengan anak-anak yatim dari istri-istri berikutnya.73

    - . Apabila khawatir tidak dapat berbuat adil

    terhadap anak-anak yatim maka menikahi satu istri saja.

    - . Taulu berasal dari kata aula yang mananya

    banyak tanggungan atau beban. Jadi seorang suami yang

    mempunyai istri lebih dari satu menanggung banyak beban sperti

    dalam hal ekonomi, dan akan membuat dirinya zalim kepada

    anak-anak yatim jika tidak berlaku adil.

    73

    Anjar Nugroho, Teori Batas Muhammad Syahrur, artikel diakses pada 02 Juni 2011 Dikutip dari http:/ /opinikampus.wordpress.com/2008/01/15/teori-batas-muhammad-syahrur-dalam

    soal-poligami/

  • 48

    Menurut Syahrur orang yang memelihara anak yatim akan masuk

    syurga, berdekatan dengan Rasulullah SAW seperti dekatnya jari telunjuk

    dengan jari tengah. Diriwayatkan dari dari Sahl bin Sad r.a. bahwa Nabi

    SAW pernah bersabda Saya dan orang yang menanggung anak yatim akan

    berada di Syurga begini, kemudian beliau mengisyaratkan dengan jari

    telunjuk dan jari tengah, dan merenggangkannya sedikit diantara kedua

    jarinya. (HR. Bukhori).

    Menurut Syahrur poligami dibolehkan, karena tidak ada ayat yang

    melarangnya, dan harus menikahi janda yang memiliki anak yatim yang

    masih muda. Jika menikah dengan janda yang tidak memiliki anak yatim

    maka hal tersebut keluar dari hudud Allah (diharamkan).

    Syahrur mengingatkan bahwa pernikahan yang dilakukan oleh Nabi

    SAW merupakan contoh bagi umat Islam, jadi jangan diqiyaskan dengan

    zaman modern ini, dah hal tersebut merupakan pelajaran bagi perempuan

    Muslim bukan sebagai syariat. Sebagaimana firman Allah surat Al-Ahzab

    (33) ayat 23

  • 49

    BAB IV

    PEMIKIRAN MUHAMMAD SYAHRUR TENTANG POLIGAMI

    DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM

    A. Metodologi Muhammad Syahrur dalam Menganalisa Ayat Poligami

    Pemikiran Syahrur, dapat diklasifikasikan menjadi tiga fase.

    1. 1970-1980 M masa ini adalah tahap pengujian kembali dan peletakan

    dasar-dasar metodologi pemahaman terhadap konsep al-Quran. Dalam

    kurun waktu sepuluh tahun, ia memperoleh kesimpulan bahwa apa yang

    selama ini dianggap sebagai postulat-postulat74

    tersebut umat Islam tidak

    akan bisa menyelesaikan permasalahan abad ke-20 ini.

    2. 1980-1986 M ia bertemu dengan Jafar Dak al-Bab pada sebuah

    organisasi di Uni Soviet (antara tahun 1958-1964), ketika Jafar menjadi

    dosen linguistik, sementara Syahrur mahasiswa magister Teknik Sipil. 75

    lewat Jafar, ia mengetahui ilmu linguistik. Sejak saat itu, ia mulai

    menganalisa ayat-ayat al-Quran dengan model baru, dan tahun 1984 ia

    menulis pokok-pokok pikirannya bersama Jafar. Syahrur meneliti term

    74

    Asumsi-asumsi yang menjadi pangkal dalil yang di anggap benar tanpa perlu membuktikannya

    75

    Muhammad Syahrur, al-kitab wal al-Quran: Qiraah Muashirah, (Damaskus: Ahali, 1990), Cet. II, h. 46.

  • 50

    al-kitab, al-Quran, al-Furqan, al-Dzikr, Umm al-kitab, al-Lauh al-

    Mahfudz, al-Iman al-Mubin, al-Hadits, dan ahsan al-Hadits.

    3. Pada awal 1987 M, ia mulai intensif menyusun pemikirannya dalam

    topik-topik tertentu dan ia baru menyelesaikan bab pertama dari al-Kitab

    wa al-Quran bersama Jafar Dak al-Bab. Buku ini sempurna pada tahun

    1990.76

    Dasar-dasar metode yang digunakan oleh Syahrur merupakan

    kesimpulan dari metode linguistik Abd Ali al-Farisi, yang juga merupakan

    perpaduan antara teori Ibn Jinni dan al-Imam al-Jurjani, yang dikenal dengan

    manhaj al-tarikh al-ilmi (metode historis ilmiah).

    Prinsip metodologi Syahrur disimpulkan sebagai berikut:

    1. Ada keterkaitan antara ucapan, pemikiran dan fungsi bahasa sebagai alat

    untuk menyampaikan gagasan.

    2. Pemikiran manusia tidak tumbuh secara langsung dan sempurna, tetapi

    melalui perkembangan dari pengetahuan yang bersifat inderawi dan

    kemudian menjadi pengetahuan yang bersifat abstrak.

    3. Mengingkari adanya taraduf (sinonim), sebab masing-masing kata

    mempunyai makna sesuai dengan konteks ketika kata tersebut

    disampaikan.

    76

    Syahrur, al-kitab wal al-Quran,h. 47.

  • 51

    4. Memahami dengan tartil. Artinya, untuk memaknai sebuah ayat atau teks,

    seseorang perlu melihat keterkaitan dan hubungannya dengan kata atau

    ayat lain.77

    Salah satu ide Syahrur yang gagasannnya cukup inovatif dan

    revolusioner adalah tawaran pemikirannya tentang teori batas (Nazariyyah

    al-hudud, limit) yang membatasi keberlakukannya pada ayat-ayat muhkamat

    (ayat-ayat hukum).

    Teori batas (hudud/limit) dalam penetapan hukum Syahrur

    memandang adanya dua sifat pokok yang terdapat dalam al-Kitab yang

    mutlak harus dimengerti untuk memahami keistimewaan agama Islam, yakni

    Hanifiyah dan Istiqamah.

    Hanifiyah berarti kelengkungan, kecenderungan, dan pembelokan.

    Kata hanif juga digunakan al-Quran untuk menggambarkan sifat alam, langit

    dan bumi yang lengkung (fleksibel) dan terus berubah (QS. Al-Anam/6: 79).78

    Jadi, agama hanif, menurut Syahrur, adalah agama yang selaras dengan alam

    ini. Kelenturan dan perubahan tersebut dapat disaksikan dalam realitas

    77 Anjar Nugroho, Teori Batas Muhammad Syahrur, diakses pada 02 Juni 2011 Dikutip dari

    http:/ /opinikampus.wordpress.com/2008/01/15/teori-batas-muhammad-syahrur-dalam soal-poligami

    78 Menurut Syahrur, kata hanifan dalam ayat ini berposisi sebagai keterangan dari fatara yang

    berarti fitrah, yaitu hukum alam. Maka itu, hanifiyah dalam pandangan Syahrur adalah sifat dasar

    alam semesta beserta isinya. Syahrur, al-Kitab, h. 449

  • 52

    masyarakat yang senantiasa bergerak dalam wilayah tradisi sosial, seperti

    tuntutan perubahan dalam adat tertentu.

    Sementara istiqamah artinya sifat kelurusan atau mengikuti garis yang

    lurus, keberadaan garis lurus tak dapat dipisahkan dari hanifiyah. Istiqamah

    berposisi sebagai pengontrol dan mengendalikan perubahan dalam

    hanifiyah.79

    Islam cenderung selalu mengikuti kebutuhan masyarakat dengan

    menyesuakan tradisi masyarakat untuk mengontrol perubahan itu butuh

    istiqamah untuk mempertahankan aturan-aturan hukum

    Dengan dua sifat ini, hukum Islam akan selalu menemukan

    relevansinya di setiap ruang dan waktu, yang memberikan ruang yang luas

    bagi ijtihad hukum selama tetap berada di antara batas-batas yang lebih

    ditetapkan. Demikian menurut Syahrur.

    Setelah mengkaji ayat-ayat hukum dalam al-Quran, ia menampilkan

    enam batas-batas hukum (hudud) yang berbeda satu sama lain.80

    1. ) ), yaitu ketentuan hukum yang memiliki batas bawah.

    Dalam kondisi apapun, tidak seorangpun diperbolehkan melanggar

    79

    Syahrur, al-kitab wa al-Quran, h. 449-450. 80

    Batas-batas hukum tersebut terletak pada Umm al-Kitab, tidak al-Quran. Penjelasan panjang tentang batas hukum ini dapat dilihat dalam karyanya al-kitab wa al-Quran: Qiraah Muashirah, h. 453-467.

  • 53

    batasan ini meski didasarkan pada ijtihad.81

    Batas ini terdapat dalam surat

    al-Nisa/4 ayat 23 tentang perempuan yang haram di nikahi.

    2. ( ) , yaitu ketentuan hukum yang memiliki batas atas. Batasan

    ini terdapat pada ayat yang menjelaskan tentang hukum potong tangan

    bagi pencuri (al-Maidah/2:38) dan hukuman mati bagi pembunuh (QS.

    Al-Isra/17:33).

    3. ) ( , yaitu ketentuan hukum yang memiliki

    batas atas dan bawah ketika keduanya terjadi hubungan. dua batas yang

    berbeda di atas dan di bawah yang berarti tidak boleh menambah batas

    tertinggi dan tidak boleh mengurangi dari batas rendah. Batasan-batasan

    hukum ini mencakup masalah pembagian waris dalam surat an-

    Nisa/4:11. Poligami an-Nisa/4:3.

    4. ) ( batas bawah dan atas

    bersamaan dalam satu titik atau posisi lurus (mustaqim). Posisi batas ini

    hanya berlaku pada kasus zina, yaitu batas hukum maksimal yang

    sekaligus berposisi sebagai batas minimal berupa seratus kali cambukan

    sebagaimana dalam firman Allah surah al-Nur/24: 2. Menurut Syahrur,

    Allah menerapkan batasan maksimal dan minimal sekaligus, yaitu

    81

    Syahrur, al-kitab wa al-Quran, h. 454.

  • 54

    melakukan tindakan yang menjurus kepada hubungan kelamin, tetapi

    belum melakukannya, maka ia belum terjerumus pada zina.82

    5. ( ) , ketentuan yang memiliki batas

    bawah dan atas tetapi kedua batas tersebut tidak boleh disentuh, dengan

    menyntuhnya berarti telah terjatuh pada larangan Tuhan. Seorang laki-

    laki dan perempuan tidak boleh saling menyentuh (batas bawah) hingga

    hubungan yang hampir zina, jadi jika antara laki-laki dan perempuan

    melakuan perbuatan yang mendekati zina tetapi belum berzina maka

    keduanya belum terjatuh pada batas hudud Allah (al-Isra/17:32).

    6. ( ) posisi batas maksimal

    positif tidak boleh dilewati dan batas minimal negatif yang boleh

    dilewati. Batas ini berlaku pada hubungan peralihan kekayaan antar

    manusia. Dua batas ini terdiri dari batas maksimal yang tidak boleh

    dilanggar, yaitu riba, dan batas minimal yang terwujud dalam berbagai

    bentuk sedekah. Pada ataran aplikasi, batas maksimal positif berupa riba,

    batas netral berupa pinjaman tanpa bunga dan batas minimal negatif

    berupa zakat dan sedekah.83

    Melalui Teori al-Hudud, Syahrur mengelompokkan bahwa masalah

    poligami masuk pada teori hudud tahap ketiga, yaitu adanya batas bawah (al-

    82

    Syahrur, al-kitab wa al-Quran, h. 618.

    83 Syahrur, al-kitab wa al-Quran, h. 618.

  • 55

    hadd al-adna) dan batas atas (al-hadd al-ala). Batas minimal dari sebuah

    pernikahan adalah seorang istri, dan batas maksimal empat orang istri.

    Dengan syarat istri kedua dan seterusnya harus janda yang memiliki anak

    yatim yang belum dewasa.

    B. Analisis Terhadap Kerangka Berfikir Muhammad Syahrur Tentang

    Poligami dalam Kajian Usul Fiqih

    Syahrur memahami bahwa ayat 3 dari surat an-Nisa menceritakan

    tentang berbilang istri. Disana disyaratkan istri kedua harus janda yang

    memiliki anak yatim. Sedang pendapat sebagian ulama, bahwa yatama an-

    Nisa berartinyatim perempuan atau perempuan-perempuan yatim.84

    Syahrur kemudian berpendapat bahwa sesungguhnya Allah Swt tidak

    hanya sekedar memperbolehkan poligami, akan tetapi sangat

    menganjurkannya, namun dengan dua syarat yang harus terpenuhi: Pertama,

    bahwa istri kedua dan ketiga serta keempat adalah para janda yang memiliki

    anak yatim. Kedua, harus terdapat rasa khawatir tidak dapat berbuat adil

    terhadap anak yatim. Sehingga perintah poligami menjadi gugur ketika tidak

    adanya dua syarat di atas. Syahrur mengambil dua syarat tersebut berdasarkan

    struktur kaidah bahasa dalam firman Allah Dan jika kamu takut tidak akan

    dapat berlaku adil terhadap anak-anak yatim, maka kawinilah perempuan-

    84

    Muhammad Syahrur, Iman dan Islam; Aturan-Aturan pokok, terjemahan dari al-Islam wa al-

    Iman; Manzumah al-Qiyam, (Jendela: Yogyakarta, 2002), h. 88

  • 56

    perempuan yang kamu senangi dua, tiga atau empat. Syahrur juga melihat

    bahwa betapa Allah memuliakan seorang janda dengan menggunakan kata-

    kata yang halus (perempuan-perempuan yang kamu senangi).85

    Syahrur tidak sependapat jika dikatakan bahwa konsep adil dalam ayat

    ini dimaksudkan dalam hal hubungan suami istri (senggama). Syahrur

    berpendapat bahwa konteks ayat ini berbicara tentang poligami dalam

    kaitannya dengan pemahaman sosial kemasyarakatan, bukan konsep biologis,

    dan berkisar pada masalah anak-anak yatim dan berbuat baik kepadanya serta

    berlaku adil.

    Syahrur juga tidak sepakat jika alasan ketiadaan keturunan (mandul)

    dan alasan besarnya syahwat biologis seorang lelaki mengijinkan untuk

    poligami, karena pada kenyataannya, antara laki-laki dan perempuan adalah

    sama. Begitu juga dengan alasan sakit dan lemahnya seorang istri karena sakit

    atau lemah secara fisik, bukan menjadi alasan bolehnya poligami.

    Dari uraian tersebut di atas, Syahrur berangkat dari analisis teks

    kebahasaan, berada dalam bingkai epistemologi bayani, yaitu sebuah episteme

    yang titik tolaknya berangkat dari teks (nas). Dalam menerapkan metodologi

    tafsirnya, Syahrur selalu berangkat dari analisa teks terlebih dahulu. Ia

    mengurai dari aspek semantik, filsafat bahasanya, termasuk analisis

    sistematis-paradigmatis dan historisnya.

    85

    Syahrur, al-kitab wa al-Quran, h. 599.

  • 57

    Dalam penafsiran, ada dua hal pokok yang selayaknya diperhatikan

    dalam penafsiran al-Quran yaitu original meaning dan signifikansi ayat

    tersebut.86

    Dalam hal ini Syahrur banyak meninggalkan original meaning

    dengan prinsipnya teks tetap tetapi maknanya berkembang. Menurut

    Syahrur, makna teks itu berkembang bukan signifikansinya, padahal

    seharusnya yang berkembang adalah makna dari keadilan dalam poligami

    tersebut.

    Cara yang terbaik atau yang paling sah di dalam menafsirkan Al-

    Quran ialah sebagai berikut :

    1. Al-Quran ditafsirkan oleh Al-Quran sendiri.

    2. Al-Quran ditafsirkan oleh Hadits atau Sunnah Rasulullah shalallahu

    alaihi wa sallam.

    3. Al-Quran di tafsirkan oleh para shahabat.

    4. Al-Quran ditafsirkan oleh para Taabiin atau dikembalikan kepada asal

    bahasa Arab yang sesuai dengan kaidah-kaidahnya.

    Dari pokok-pokok permasalahan yang telah dibahas dalam bab-bab

    sebelumnya mengenai analisis terhadap pendapat Muhammad Shahrur tentang

    poligami, dapat disimpulkan sebagai berikut:

    86

    Allamah M.H. Thabathabai, Mengungkap Rahasia Al-Quran, ( Bandung: Mizan, 1994), h. 70.

  • 58

    1. Metode istinbath hukum atau sumber hukum yang dipakai Muhamamd

    Syahrur hanya ada dua, al-Qur'an dan al-sunnah. Syahrur tidak

    menggunakan sumber hukum sebagaimana yang dipakai kebanyakan para

    ulama dengan sistematika; al-Qur'an, al-sunnah, ijma dan qiyas. Syahrur

    membuat term tersendiri mengenai al-Qur'an, al-sunnah, ataupun ijma

    dan qiyas. Seperti dalam menyebut al-Qur'an, Syahrur menggunakan

    istilah al-Kitab. Dalam banyak kasus, Syahrur lebih sering menggunakan

    al-Qur'an dari pada al-sunnah. Bahkan Syahrur sering mengabaikan

    sunnah. Dalam memahami al-Qur'an, Syahrur menggunakan metode

    linguistik yang dalam diskursus ushul fiqh pendekatan ini disebut metode

    bayani, yaitu pemaknaan yang berkutat pada kaitan ayat yang satu dengan

    ayat yang lainnya.

    2. Pendapat Syahrur tentang poligami yaitu dengan mengkaitkannya dengan

    janda dan anak yatim. Menurut Syahrur poligami tidak hanya

    diperbolehkan, tetapi dianjurkan dengan dua syarat; isteri kedua, ketiga

    dan keempat harus janda yang memiliki anak yatim, kemudian ada

    kekhawatiran tidak dapat berbuat adil terhadap anak yatim. Jika tidak

    terdapat kedua syarat tersebut maka alasan poligami menjadi gugur.

    Syahrur mendasarkan pendapatnya pada struktur bahasa. Pendapat

    tersebut berbeda dengan kebanyakan pendapat ulama yang

    memperbolehkan poligami dalam kondisi; isteri mandul, isteri sakit

    kronis yang tidak dapat disembuhkan, isteri tidak dapat menjalankan

  • 59

    kewajibannya sebagai isteri, suami sering bepergian dan dorongan

    seksual suami yang berlebihan

    Jika kita melihat poligami pandangan dalam hukum Islam, memang

    terjadi perbedaan pendapat, tetapi pada umumnya ulama membolehkan

    poligami sebagai praktik yang bersyarat. Jumhur ula