muhammad ikhsan.pdf

212
Dampak KonsensusWashington Dan Ratifikasi GATS Terhadap Kebijakan Pendidikan Tinggi Di Indonesia Studi Kasus : Undang- Undang PendidikanTinggi No. 12 Tahun 2012. Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) oleh: Muhammad Ikhsan 106083003661 PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2013

Upload: phamkhue

Post on 06-Feb-2017

221 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

Dampak KonsensusWashington Dan Ratifikasi GATS Terhadap

Kebijakan Pendidikan Tinggi Di Indonesia Studi Kasus : Undang-

Undang PendidikanTinggi No. 12 Tahun 2012.

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

oleh:

Muhammad Ikhsan

106083003661

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2013

Page 2: MUHAMMAD IKHSAN.pdf
Page 3: MUHAMMAD IKHSAN.pdf
Page 4: MUHAMMAD IKHSAN.pdf
Page 5: MUHAMMAD IKHSAN.pdf
Page 6: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

i

ABSTRAKSI

Skripsi ini menganalisis dampak Dampak Konsensus Washington Dan

Ratifikasi GATS Terhadap Kebijakan Pendidikan Tinggi Di Indonesia Studi

Kasus: Undang-Undang PendidikanTinggi No. 20 Tahun 2012. Isu ini sangat

menarik untuk diteliti karena kebijakan pendidikan di Indonesia saat mengadopsi

kesepakatan GATS, skripsi ini juga banyak membicarakan mengenai

perkembangan kebijakan pendidikan di Indonesia dimulai sejak Indonesia

merdeka lewat UU No.22 tahun 1961, hingga UU No. 12 tahun 2012. Selanjutnya

kebijakan pendidikan Tinggi di Indonesia terpengaruhi ketentuan GATS. Skripsi

ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang dilakukan melalui studi

kepustakaan yang banyak mengandalkan data–data primer dan sekunder.

Skripsi ini memakai teori neoliberalisme yang didefinisikan oleh Balaam

dan Veseth, Andrew Heywood, serta Francis dan Wibowo, serta pandangan

Washington Konsensus dari John Wiliamson, Josepth Stiglish, Theo F. Toemion

dan John Perkin. Dan juga dalam pandangan ekonomi politik internasional

menurut Susan Strange, Rowland Maddock serta Michael Veseth. Dampak yang

ditimbulkan oleh Washington Konsensus di Indonesia di bidang pendidikan

adalah dikeluarkannya PP No. 60 Tahun 1999 dan PP No.61 Tahun 1999 tentang

status tentang status pendidikan tinggi negeri (PTN) berubah statusnya dari

lembaga yang berada dibawah Depdiknas menjadi sebuah lembaga otonom yang

dapat dimiliki oleh pihak swasta. Tahun 2000, dikeluarkan peraturan pemerintah

tentang perubahan status beberapa PTN menjadi Badan Hukum Milik Negara

(BHMN). Lalu dampak dari pemberlakuan GATS adalah dikeluarkannya UU

BHP tahun 2003 (telah dimakzulkan oleh Mahkamah Konstitusi) dan yang saat ini

berlaku adalah UU Perguruan Tinggi No.12 tahun 2012.

Kata Kunci : GATS, IMF, Washington Konsensus, UU Perguruan Tinggi no. 12

tahun 2012.

Page 7: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

ii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji dan syukur bagi Allah SWT atas

segala rahmat dan nikmat-Nya, sehingga terselesaikanlah skripsi ini untuk

memenuhi persyaratan mendapatkan gelar sarjana pada jurusan Hubungan

Internasional.

Tantangan dan hambatan serta rintangan dalam menyelasikan skripsi ini

sangatlah berat, dikarenakan rasa malas yang selalu menghatui, namun berkat

keinginan untuk segera lulus maka rasa malas itu harus segera dihilangkan dengan

memulai mengerjakan lagi skripsi. Disamping rasa malas juga ada beberapa usaha

yang sulit untuk ditinggalkan (maklumlah nama juga cari uang) antara lain

penerbitan buku yakni MKM (Mega Kreasi Media), parapromo.net (bisnis

dibidang perdagangan dan penyedian barang jasa) serta CV. BSM bersama teman-

teman kampus. Namun akhirnya demi skripsi maka di istirahatkanlah sejenak

urusan cari uangnya.

Rasa syukur dan terima kasih tak lupa saya ucapkan kepada Ibunda

tercinta beserta Ayahanda serta yang selalu dekat Astri Novita Nurmaya, Ketua

Jurusan Bapak Kiki Rizky Msi, pembimbing saya Bapak Arisman Msi. Tak lupa

pula teman-teman Hubungan Internasional Angkatan 2006 baik kelas A dan B

antara lain; M. firmanysah, Maman, KW, Eta, Yeni, Ibnu, Wer, Cukong, Nanda,

dan semuanya tanpa bisa disebutkan satu persatu terutama gelombang terakhir.

Muhammad Ikhsan

Page 8: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

iii

DAFTAR ISI

ABSTRAKSI........................................................................................................... i

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i

DAFTAR ISI ........................................................................................................ iii

DAFTAR SINGKATAN...................................................................................... iiv

DAFTAR TABEL .................................................................................................. v

DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... vi

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1

A. Pernyataan Masalah………………………….…………………..………..1

B. Pertanyaan Penelitian…………………………………………..………….7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian…………………………………...……….7

C.1 Tujuan penelitian………………………………………………….8

C.2 Manfaat Penelitian……………………………………….………..8

D. Tinjauan Pustaka………………………………………………..…………8

E. Kerangka Teoritis…………………………………………………...……10

E.1 Neoliberalisme……………………………………………...……11

E.2 Washington Konsensus…………………………………………..13

E.3 Ekonomi Politik Internasional……………...................................15

E.4 Ratifikasi…………………………………………………………18

E.5 Pendidikan Nasional………………………………..……………18

E.6 Privatisasi…………………………………………………….…..19

F. Metode Penelitian………………………………………………………..21

G. Sistematika Penulisan………………………………………………...….22

Page 9: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

iv

BAB II LATAR BELAKANG TERBENTUKNYA KONSEP

KONSENSUS WASHINGTON…………………………………25

A. Proses terbentuknya IMF dan World Bank………………..……..25

B. Pandangan Konsensus Washington menurut John Wiliamson…..28

C. Peran Indonesia di WTO dan GATS……………………………31

C.1 Ratifikasi Indonesia dalam GATS di bidang

pendidikan……………………………….……………………….33

BAB III KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI INDONESIA SEBELUM

DAN SESUDAH RATIFIKASI GATS……………...…………..36

A. Kebijakan pendidikan tinggi menurut Undang-undang nomor 22

tahun 1961 tentang perguruan tinggi serta UU No.2 Tahun 1989

tentang Sistem Pendidikan Nasional…………………….……….36

B. Globalisasi dan Kebijakan Pendidikan Tinggi………………...…40

B1. Kebijakan Pendidikan Tinggi menurut PP No. 60 Tahun

1999 dan PP No.61 Tahun 1999…………………….…44

C. Latar belakang pembentukan Undang-Undang Badan Hukum

Pendidikan di Indonesia (UU BHP)………………………….…46

Page 10: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

v

C.1 Privatisasi Pendidikan Melalui UU BHP……….………48

D. Latar belakang pembentukan Undang-Undang Pendidikan Tinggi

No. 12 Tahun 2012………………………………………….….52

BAB IV ANALISIS DAMPAK RATIFIKASI GATS TERHADAP

KEBIJAKAN PENDIDIKAN TINGGI DI INDONESIA………54

A. Undang-Undang Pendidikan Tinggi No.12 Tahun 2012 dalam

kerangka GATS………………………………………………......54

B. Analisis dampak penerapan Undang-undang Perguruan Tinggi

no. 12 tahun 2012………………………………………..…..…57

BAB V KESIMPULAN…………………………………………….…....67

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………71

LAMPIRAN-LAMPIRAN………………………………………………………77

Page 11: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

vi

DAFTAR SINGKATAN

AS Amerika Serikat

BHMN Badan Hukum Milik Negara

BUMN Badan Usaha Milik Negara

COWDOG common wisdom of the dominant group

Depdiknas Departemen Pendidikan Nasional

FDI Foreign Direct Investment

GATT General Agreement on Tariffs and Trade

GATS General Agreement on Tariffs and Services

IFC International Finance Corporation

IDA International Development Association

IPB Institut Pertanian Bogor

ITB Institut Teknologi Bandung

ITO International Trade Organization

IBRD International Bank for Reconstruction and

Development

Krismon Krisis Moneter

LoI Letter Of Intent

LIPI Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

OECD Organization for Economic Co-operation and

Development

PP Peraturan Pemerintah

PDB Produk Domestik Bruto

PTN Pendidikan Tinggi Negeri

PPM Post Program Monitoring

RUU BHP Rancangan Undang-undang Badan Hukum

Pendidikan

SAP Structural Adjustment Programmed

Sisdiknas Sistem Pendidikan Nasional

SPMB Mandiri Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru Mandiri

TNCs Trans National Corporations

TRIPS Trade Related Intellectual Property Rights

UI Universitas Indonesia

UGM Universitas Gajah Mada

USU Universitas Sumatera Utara

UUD 1945 Undang-Undang Dasar 1945

WTO World Trade Organization

Page 12: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

vii

DAFTAR TABEL

1. Tabel 1.1. UU No.22 Tahun 1961

2. Tabel 1.2. UU No.2 Tahun 1989

Page 13: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

viii

DAFTAR LAMPIRAN.

1. UU Perguruan Tinggi No. 12 Tahun 2012

2. Sofian Effendi. Berkas Perkara di Mahkamah Konstitusi No.

103/PUU/X/2012 tentang Pengujian Undang-undang Republik Indonesia

No 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi terhadap UUD NRI 1945.

3. TANYA-JAWAB SEPUTAR UU DIKTI NOMOR 12 TAHUN 2012

oleh Prof. Ir. Nizam, M.Sc., Ph.D. (Sekretaris DPT Ditjen Dikti)

Page 14: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Pernyataan Masalah

Skripsi ini memaparkan dampak Konsensus Washington dan ratifikasi

pemerintah Indonesia terhadap kebijakan GATS atas pendidikan studi kasus :

Undang-undang pendidikan Tinggi No.12 tahun 2012. Isu ini sangat menarik

untuk diteliti karena kebijakan Konsensus Washington dan kebijakan GATS

terhadap pendidikan di Indonesia sangat berpengaruh terhadap ketetapan undang-

undang pendidikan tinggi.Pengaruh kebijakan pendidikan tinggi di Indonesia,telah

diawali oleh kebijakan Washington yang terhitung sejak tahun 13 November 1998

dengan di tandatanganinya LoI (Letter of Intent) antara Indonesia dan IMF (Letter

of Inten Indonesia and IMF, Jakarta:1998). Pada tahun 1998 awal mula perjanijian

tersebut, pemerintah diwajibkan mematuhi kesepakatan di bidang ekonomi, politik

dan sosial melalui ketetapan Loi.Formulasi Konsensus Washington sangat

berpengaruh dalam penetapan kebijakan pendidikan tinggi di Indonesia khususnya

pada penerapan LoI (Letter of Intent) antara Indonesia dan IMF (International

Monetary Found) selanjutnya kebijakan pendidikan Tinggi di Indonesia

terpengaruhi ketentuan GATS.

Penulisan skripsi ini difokuskan kepada dampak yang ditimbulkan atas

formulasi Konsensus Washington terhadap kebijakan pendidikan di Indonesia,

dalam hal ini formulasi Konsensus Washington masuk melalui sektor sosial

ekonomi politik yang kemudian di apresiasi kedalam sektor pendidikan melalui

Page 15: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

2

kekuatan utama liberalisasi yakni; IMF, (International Monetary Found)dan

World Bank. Selanjutnya WTO (World Trade Organization) melalui kebijakan

GATS (General Agreement on Tarrifs and Services) yang kemudian kebijakan

tersebut diadopsi oleh pemerintah Indonesia dengan kedalam Undang-Undang

Pendidikan Tinggi No. 12 tahun 2012.

Konsep kebijakan pendidikan sudah menjadi agenda IMF atau

International Monetary Found sejak tahun 1989, melalui konsep Konsensus

Washington yang dikemukakan oleh ekonom Amerika Serikat atau AS yang

bernama John Wiliamson.Indonesia resmi bergabung dengan IMF Indonesia pada

tanggal 15 April 1954 dan pada bulan Mei tahun 1965 Indonesia keluar dari IMF.

Kemudian Indonesia kembali menjadi anggota IMF pada tanggal 23 Februari

1967 (Syamsul hadi et al. 2004A:51). Pada tahun 1954 ketika Orde Lama

Indonesia mendapat bantuan IMF Sebesar AS$17 juta, dengan syarat-syarat yang

dimaksud mencakup: restrukturisasi kebijakan perekonomian, devaluasi nilai

rupiah, penundaan subsisdi, dan pengetatan anggaran belanja. Bantuan yang

diberikan Indonesia tersebut tercantum dalam Contaiment policy AS untuk

menangkal penyebaran komunis di Asia Tenggara (Syamsul Hadi et al.

2007B:52). Dengan pinjaman tersebut mulailah masuk investasi asing atau sering

disebut FDI (Foreign Direct Invesment).

Selanjutnya pada tahun 1980-an, setelah Indonesia banyak menderita

kerugian akibat jatuhnya harga minyak dunia (Riwanto 2007:41). melaui

International Monetary Funds (IMF) dan Bank Dunia lewat kebijakan SAP

(Structural Adjustment Programme) mendesak pemerintah Indonesia untuk

Page 16: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

3

melakukan reformasi dalam bentuk deregulasi, liberalisasi ekonomi, dan

privatisasi BUMN (Badan Usaha Milik Negara). Selanjutnya Indonesia mulai

melakukan deregulasi dan liberalisasi sektor ekonomi, antara lain, keuangan,

perbankan, dan industri, yang dilaksanakan sejak pertengahan tahun 1980-an

hingga awal tahun 1990-an. Menurut Rizal Malarangeng meskipun deregulasi dan

liberalisasi ekonomi dipandang cukup berhasil, privatisasi Badan Usaha Milik

Negara (BUMN) tidak terjadi. Setelah tahun 1991-1992, deregulasi mulai

melambat seiring dengan naiknya kelompok konglomerat dan melebarnya

kesenjangan ekonomi antara kaum kaya dan kaum miskin (2002:17-18).

Lalu pada krisis ekonomi global atau lebih dikenal krisis moneter

(krismon) berawal dari Thailand pada bulan Juli 1997 membawa negara-negara

di Asia (Indonesia, Malaysia, Philipina, Korea Selatan) ke dalam situasi

yang buruk. Kemajuan yang sangat mengesankan selama tiga dasawarsa,

dengan pendapatan perkapita yang telah meningkat, kesehatan membaik,

kemiskinan telah berkurang, secara amat dramatis hancur dalam sesaat. Awal

dasawarsa 90an, negara-negara di Asia telah meliberalisasikan pasar keuangan

dan pasar modal mereka, bukan karena mereka memerlukan tambahan dana,

tetapi karena tekanan internasional, termasuk tekanan dari Departemen

Keuangan Amerika Serikat. Perubahan ini telah merangsang masuknya modal

berjangka pendek. Yakni jenis modal yang mencari keuntungan sebesar-

besarnya setiap hari, minggu, atau bulan berikutnya (Stiglitz 2002:15).

Adapun pada krismon atau krisis moneter 1997 IMF dan World Bank

masuk memberikan bantuan dengan syarat SAP (Structure Adjusment

Page 17: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

4

Programe).SAP tersebut tertuang dalam perjanjian Letter Of Intent antara

Indonesia dengan IMF (Syamsul Hadi et al. 2004B:51). Pada letter of intent

diatur mengenai sejak tahun 1999 melalui penghematan belanja negara dengan

dikeluarkannya Peraturan Pemerintah atau PP No. 60 Tahun 1999 dan PP No.61

Tahun 1999 tentang status pendidikan tinggi negeri (PTN) berubah statusnya dari

lembaga yang berada dibawah Depdiknas menjadi sebuah lembaga otonom yang

dapat dibantu oleh pihak swasta. Tahun 2000, dikeluarkan peraturan pemerintah

tentang perubahan status beberapa PTN menjadi Badan Hukum Milik Negara

(BHMN). Proses pem-BHMN-an PTN mengakibatkan kampus negeri yang

sempat menjadi harapan rakyat Indonesia menjadi semakin sulit terjangkau,

karena biayanya yang menjadi semakin mahal (Ruslan. Wajah Buruk Dunia

Pendidikan).

Berlanjut ke RUU BHP (Rancangan Undang-undang badan hukum

pendidikan) yang merupakan amanat UU No.20/2003 yang kemudian menjadi

Undang-undang BHPberisi tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Pada

Pasal 51 Ayat (1) UU ini menyebutkan bahwa pengelola satuan pendidikan anak

usia dini, pendidikan dasar dan menengah dilaksanakan dengan prinsip

manajemen berbasis sekolah/madrasah. Selanjutnya, Pasal 24 dan Pasal 50 Ayat

(6) memerintahkan agar perguruan tinggi memiliki otonomi dalam mengelola

pendidikan di lembaganya.

Untuk mewujudkan manajemen berbasis sekolah/ madrasah dan otonomi

perguruan tinggi, maka Pasal 53 UU No.20/2003 mengamanatkan pembentukan

badan hukum pendidikan. Badan hukum pendidikan berfungsi memberikan

Page 18: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

5

pelayanan pendidikan formal kepada peserta pendidikan.Privatisasi pendidikan

berawal dari apa yang dilakukan oleh aktor-aktor utamanya, yaitu Trans National

Corporations (TNCs), yang dibantu oleh Bank Dunia/IMF (Internasional

Monetary Fund), melalui kesepakatan yang dibuat dalam WTO (World Trade

Organization) yang menganut paham, bahwa pertumbuhan ekonomi hanya bisa

dicapai sebagai hasil normal melalui kompetisi bebas (Nurdin, Pro-Kontra

Undang-Undang Bhp Dalam Konteks Mutu Pendidikan).

Mekanisme ekonomi benar-benar diserahkan pada pasar bebas tanpa

campur tangan pemerintah dan negara. Implikasinya, pemerintah dijauhkan dari

campur tangan untuk meregulasi perusahaan-perusahaan swasta. Semua aspek

mengalami liberalisasi dan kapitalisasi, termasuk bidang pendidikan. Proses

otonomi kampus dan pencabutan subsidi pendidikan dilakukan karena dianggap

akan menghambat persaingan bebas dalam bidang pendidikan, serta subsidi yang

berlebihan di bidang pendidikan.

Upaya Privatisasi atau upaya pelepasan tanggung jawab pemerintah dalam

menyelenggarakan dan membiayai pendidikan, terutama pendidikan dasar

sembilan tahun secara gratis dan bermutu, sudah terlihat dalam legalitas

pendidikan. Diawali dari kemunculan sejumlah pasal di Undang-Undang Nomor

20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Hal itu terlihat

dari berkurangnya kewajiban pemerintah sebagai penanggung jawab utama dalam

pendidikan dasar rakyat menjadi kewajiban bersama dengan masyarakat. Hal Ini

terlihat pada Pasal 9 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, yang

menyatakan bahwa masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya

Page 19: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

6

dalam penyelenggaraan pendidikan, Pasal 12 Ayat 2 (b) yang memberi kewajiban

terhadap peserta didik untuk ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan,

terkecuali bagi yang dibebaskan dari kewajibannya sesuai undang-undang yang

ada.

Pasal 50 ayat 6, perguruan tinggi menentukan kebijakan dan memiliki

otonomi dalam mengelola pendidikan di lembaganya. Di tingkat perguruan tinggi,

di Indonesia pada tahun 2000 beberapa Perguruan Tinggi Negeri (PTN) diubah

bentuknya menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Beberapa Perguruan

Tinggi Negeri pavorit seperti Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi

Bandung (ITB), Universitas Gajah Mada (UGM), Institut Pertanian Bogor (IPB)

kemudian membuka jalur khusus dalam menerima mahasiswanya dengan biaya

yang sangat besar (http://edukasi.kompas.com, Lulus SNMPTN, Kok, Bayarnya

Mahal Juga?).

Penjelasan di atas tentu sangat bertentangan dengan konstitusi Undang-

Unang Dasar 1945. Pasal 31 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan

dengan tegas bahwa Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan

pemerintah wajib membiayainya. Kemudian dipertegas lagi dalam ayat (4) yang

menyebutkan Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya

20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan

pendidikan nasional. Tetapi apa yang terjadi, Pemerintah justru ingin berbagi

tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan. Munculnya Rancangan Undang-

Page 20: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

7

Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) menjadi bukti nyata sebagai

ujung pelegalan privatisasi edukasi negeri ini.

Setelah adanya undang-undang BHP yang kemudian di makzulkan oleh

Mahkamah Konstitusi maka, Pada tanggal 13 Juli 2012, DPR-RI mengesahkan

UU Nomor 12 Tahun 2012 Pendidikan Tinggi yang menggantikan UU BHP

sebagai payung hukum penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia

(http://suaramerdeka.com, Pembatalan UU BHP Munculkan Masalah Baru). Dan

pada skripsi ini lebih lanjut akan membahas dampak konsensus washington dan

ratifikasi GATS terhadap kebijakan pendidikan tinggi di indonesia studi kasus

undang-undang pendidikan tinggi no. 20 tahun 2012

B. Pertanyaan Penelitian

Pengaruh dari Globalisasi dan perdagangan bebas, memaksa negara-negara

berkembang dan dunia ketiga masuk dalam skenario Konsensus Washington. Lalu

ditambah pula dengan momentum Krisis ekonomi Asia 1997 atas dasar inilah

begitu banyak negara Berkembang dan Dunia Ketiga terjebak dalam pengaruh

kebijakan Konsensus Washington. Berdasarkan pernyataan masalah diatas maka

dirumuskan kedalam pertanyaan penelitian sebagai berikut:

Bagaimana dampak Konsensus Washington dan ratifikasi GATS terhadap

kebijakan pendidikan tinggi di Indonesia studi kasus : Undang-Undang

Pendidikan Tinggi No. 20 Tahun 2012?

Page 21: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Dalam penelitian atau kajian ilmiah dilakukan untuk memberikan

gambaran objektif mengenai fenomena persoalan tertentu. Oleh karena itu,

penulisan skripsi ini memiliki beberapa tujuan, antara lain:

C.1 Tujuan penelitian :

1. Penelitian ini bertujuan untuk memahami konsep

Konsensus Washington dan Ratifikasi GATS terhadap kebijakan

pendidikan di Indonesia.

2. Untuk mengkaji dampak teori neoliberalisme dalam

ekonomi politik melalui kerangka IMF dan World Bank beserta

turunannya yakni WTO dan GATS.

3. Untuk kelengkapan dalam memperoleh gelar kesarjanaan

pada jurusan Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial

dan Ilmu Politik di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta.

C.2 Manfaat Penelitian :

1. Untuk menambah wawasan mahasiswa terhadap dampak

Konsensus Washington dan Ratifikasi GATS dalam liberalisasi

pendidikan di Indonesia.

2. Secara akademis dapat menambah pemahaman mahasiswa

terhadap kebijakan Konsensus Washington.

Page 22: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

9

D. Tinjauan Pustaka

Menurut Viktor Nalle dalam Jurnal Konstitusi Volume 8 Nomor 4 Agustus

2011 dengan judul Mengembalikan Tanggung Jawab Negara Dalam Pendidikan:

Kritik Terhadap Liberalisasi Pendidikan Dalam UU Sisdiknas Dan UU BHP.

Dalam jurnal tersebut beliau menguraikan tentang tanggung jawab negara

terhadap pendidikan, khususnya pendidikan tinggi agar bersesuaian dengan UUD

45. Lebih lanjut dalam jurnal tersebut negara dituntut untuk lebih bertangung

jawab terhadap pendidikan. Menurut viktor Nalle pemakzulan UU No.9 tahun

2009 tentang sudah bersesuaian dengan UUD 45 karena menurut beliau ketetapan

WTO dan GATS mengharuskan untuk meliberalisasi pendidikan di Indonesia

khususnya Pendidikan Tinggi.

Penelitian lain tentang tentang Konsensus Washington dan liberalisasi

tertuang dalam judul skripsi ―Globalisasi dan Kebijakan Ekonomi Indonesia Pasca

Orde Baru : Perspektif Joseph E. Stiglitz‖ penelitian ini dilakukan pada tahun

2011 oleh R. Ferdiansyah mengangkat tentang dominasi IMF dan World Bank

dalam memberikan bantuan kepada negara berkembang melalui kerangka

Konsensus Washington. Dijelaskan lebih lanjut dalam peneltian tersebut

mengangkat perspektif Stiglitz, Stiglitz menjelaskan banyak negara berkembang

yang terjebak dengan dominasi kekuatan IMF dan World Bank dalam rangka

membrikan bantuan melalui kerangka formulasi Konsensus Washington. Dalam

penjelasannya Stiglitz mengunkapkan bahwa formulasi Konsensus Washington

mempengaruhi negara debitor IMF dan World bank untuk mengurangi alokasi

subsidi di bidang sosial khsusnya pendidikan. Penelitian tersebut tidak

Page 23: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

10

menjelaskan secara mendetail mengenai permasalahan liberalisasi pendidikan di

dalam Globalisasi. Oleh karena itu posisi penelitian tersebut hanya

mengungkapkan tentang formulasi Konsensus Washington terhadap kebijakan

ekonomi politik secara umum.

Menurut M. Tajudin Nur dalam Jurnal Visi Pendidikan tahun 2012 dengan

judul ―Liberalisasi Pendidikan : Sebuah Wacana Kontroversial‖ menjelaskan

bahwa liberalisasi pendidikan dalam berawal dari masuknya Indonesia kedalam

WTO pada tahun 1994. Dengan masuknya Indonesia, secara langsung indonesia

harus mengikuti aturan General Agreement on Trade in Services (GATS) yang

mengatur liberalisasi perdagangan 12 sektor jasa, antara lain layanan kesehatan,

teknologi informasi dan komunikasi, jasa akuntansi, pendidikan tinggi dan

pendidikan selama hayat, serta jasa-jasa lainnya. Lebih lanjut dalam artikel

tersebut membahas tentang dampak yang ditimbulkan oleh UU BHP.

Dari ketiga penelitian diatas, maka skripsi ini mencoba menyempurnakan

penelitian-penelitian sebelumnya dengan memasukkan unsur dominan

Washington Konsensus sebagai pijakan awal dari kebijakan pendidikan di

Indonesia yang kemudian dilanjutkan dengan pengaruh WTO dan GATS dalam

liberalisasi pendidikan.Selanjutnya pada skiripsi ini memaparkan analisis Undang-

Undang Perguruan Tinggi tahun 2012.

E. Kerangka Teoritis

Untuk melakukan penelitian diatas maka diperlukan seperangkat teori yang

berhubungan dengan judul skripsi diatas sebagai dasar untuk

Page 24: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

11

memulainya.Berkaitan dengan judul diatas maka diperlukan teori dan pemikiran

yang mendasari skripsi ini yakni, Neoliberalisme, Konsensus Washington,

Ekonomi Politik Internasional, pendidikan nasional Serta Privatisasi.

E.1 Neoliberalisme

Dalam penelitian ini untuk menguraikan pokok permasalahan

penulis, memasukkan kedalam teori ekonomi liberal yang kemudian

berkembang menuju neoliberal lalu dipraktikan melalui konsep

Washington konsesus. Menurut Andrew Heywood (Heywood, 2002:49).

Neoliberalisme di definisikan secara sederhana

―… an updated version of classical political economy that was

developed in the writings of free-market economists…‖

―…sebuah versi terbaru dariekonomi politikklasikyang

dikembangkandalam tulisan-tulisanekonompasar bebas…‖ (terjemahan).

Definisi yang lebih lengkap dari neoliberalisme dapat ditemukan

pada pendapat Balaam dan Veseth (2005:507) yang mengartikan

Neoliberalisme sebagai

―a viewpoint that favors a return to the economic policies advocated by

classical liberals such as Adam Smith and David Ricardo. Neoliberalism

emphasizes market deregulation, privatization of government enterprises,

minimal government intervention, and open international markets. Unlike

classical liberalism, neoliberalism is primarily an agenda of economic

policies rather than a political economy perspective‖.

Page 25: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

12

“sudut pandang yang menguntungkan kembali ke kebijakan ekonomi yang

dianjurkan oleh kaum liberal klasik seperti Adam Smith dan David

Ricardo. Neoliberalisme menekankan deregulasi pasar, privatisasi

perusahaan pemerintah, intervensi pemerintah yang minimal, dan pasar

internasional terbuka. Tidak seperti liberalisme klasik, neoliberalisme

mengutamakan agenda kebijakan ekonomi daripada perspektif ekonomi

politik "(terjemahan).

Dari definisi singkat diatas memperjelas tentang teori

Neoliberalisme. Selanjutnya ada dua pandangan dasar Neoliberalisme

menurut Wibowo dan Francis, yakni penolakan teoritis terhadap negara.

Dan menurutnya pemahaman neoliberalisme, adalah segala campur

tangan negara yang ditolak oleh para ekonom beraliran Neoliberalisme

(Wibowo dan Francis 2003:275). Selanjutnya mekanisme pasar pada

dasarnya sudah cukup untuk menggerakkan roda ekonomi, atau bahwa

invisible hand cukup membuat lancar produksi, distribusi maupun

konsumsi. Setiap campur tangan negara hanya akan menimbulkan distorsi.

Perencanaan ekonomi sentralistik, proteksionisme, regulasi ekonomi yang

berlebihan, dominasi pemerintah dalam berbagai sektor ekonomi,

berkembangnya badan usaha milik negara, subsidi terus-menerus, serta

strategi industri subsitusi impor, menjadi sasaran kritik komunitas

Neoliberal. Sebagai alternatif mereka menganjurkan kepada pemerintah

untuk melakukan reformasi dalam bentuk deregulasi, liberalisasi ekonomi,

dan privatisasi badan usaha milik negara untuk mengatasi memburuknya

situasi ekonomi (Wibowo dan Francis 2003:277).

Page 26: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

13

Peranan negara harus keluar dari ekonomi, termasuk keluar dari

kegiatan program kesejahteraan karena program ini menimbulkan defisit.

Dengan mengurangi program kesejahteraan, kas pemerintah akan

diringankan. Situasi ini akan memungkinkan pemerintah untuk

menurunkan pajak pada para pelaku bisnis, yang pada gilirannya, akan

mendapatkan gairah baru untuk berproduksi. Peningkatan pemikiran

neoliberalisme politik adalah keputusan-keputusan yang menawarkan

nilai-nilai, sedangkan secara bersamaan neoliberalisme menganggap hanya

satu cara rasional untuk mengukur nilai, yaitu pasar. Semua pemikiran

diluar pasar dianggap salah. Kapitalisme neoliberal menganggap wilayah

politik adalah tempat dimana pasar berkuasa, ditambah dengan konsep

globalisasi dengan perdagangan bebas sebagai cara untuk perluasan pasar

melalui WTO (World Trade Organization), akhirnya kerap dianggap

sebagai Neoimperialisme (Wibowo dan Francis 278:2003).

E.2 Konsensus Washington

Washington consensus adalah Konsensus White House (Gerakan

Gedung Putih) adalah penganjur Debirokratikasi, Deregulasi, Privatisasi,

dan Stabilisasi , dengan ciri khasnya komitmen kepada demokratik

kapitalisme, free market, free enterprises, dan free trade.Semua ini

dipaksakan Washington kepada negara-negara yang memanggil IMF

masuk ke negaranya (Theo F. Toemion, 2009:19).

Page 27: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

14

Konsensus Washington merupakan sebuah istilah yang dicetuskan

oleh John Williamson pada 1989, di mana negara sebaiknya mengikuti

ekonomi pasar untuk meningkatkan kinerja anggaran agar negara tidak

terlalu menghabiskan sumber daya ekonominya bagi pengelolaan

kepentingan publik, dan lebih berfokus ke pertumbuhan ekonomi serta

peningkatan ekspor. Pada saat itu AS menyepakati pemberian bantuan

untuk menangani krisis di Amerika Latin dengan mekanisme yang

melibatkan World Bank dan IMF (John Wiliamson ―A Short History of

The Washington Consensus”)

John Wiliamson yang merupakan ekonom Amerika

mendefinisikan Washinton Konsensus sebagai suatu kesepakatan para

pejabat ekonomi Amerika Serikat (AS) pada saat presiden Ronald Reagen

memimpin tahun 1981-1989 yang merangkum dalam sepuluh ketentuan

yang ia sebut sebagai Konsensus Washington, yaitu : (1) Pengetatan

Fiskal, (2) Mengurangi aloksi dan pemerintah untuk sektor public seperti

kesehatan, pendidikan, dan pembangunan insfrastruktur, untuk dialihkan

ke sektor yang lebih profit. (3) Refomasi Perpajakan. (4) Liberalisasi nilai

suku Bunga. (5) Penerapan nilai tukar kompetitif (6) Liberalisasi

perdagangan. (7) Liberalisasi investasi asing. (8) Privatisasi. (9)

Deregulasi. (10) Jaminan kepemilikan Publik. Di antara sepuluh poin

tersebut, privatisasi, liberalisasi, dan disiplin fiscal merupakan pilar utama

untuk mendukung terlaksananya fungsi pasar dengan baik (Wiliamson

2004:4-10).

Page 28: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

15

Sedangkan menurut John Perkin Konsensus Washington diartikan

sebagai proses perumusannya yang melibatkan para politisi kongres,

teknokrat dan birokrat, pemimpin lembaga financial dan agen-agen

ekonomi pemerintah AS yang semuanya berada di Washington. Selain itu,

ketentuan ini juga dijalankan juga oleh lembaga-lembaga financial seperti

IMF, Bank Dunia dan departemen-departemen keuangan AS yang berpusat

di Washington. Dari proses perumusan dan keterlibatan actor-aktor

didalamnya dapat dilihat bahw peran dan dominasi AS dalam menerapkan

paradigm pasar bebas (free market Paradigm) sangat dominan di era

global. Didukung oleh kekuatan ekonomi politik sebesar ini, serta operasi-

operasi rahasia baik yang lunak maupun yang kasar Konsensus

Washington pun mengedepankan sebagai paradigm utama dalam kebijakan

pembangunan Internasional (John Perkin 2005:26).

E.3 Ekonomi Politik Internasional

Pengertian Ekonomi Politik Internasional merupakan sebuah

diskursus ilmu sosial yang baik dulu maupun sekarang sudah ada.

Kemudian perkembangannya menjadi sebuah studi yang didalamnya

terdapat berbagai disiplin ilmu yakni; ilmu politik, sejarah dan filsafat.

Namun dimasa sekarang lebih menghadapkan kepada masalah sosial yang

menyangkut aspek internasional dan multilasional (Ballam dan veseth

2005 : 4). Namun lebih lanjut Ballam dan veseth berpendapat (2005 : 504);

Page 29: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

16

“an original element of the bretton woods system that was not successfully

implemented. a weaker institution, the GATT, was eventually created to

take the place of the ITO alongside the World bank and the IMF.”

“unsur asli dari sistem Bretton Woods yang tidak berhasil dilaksanakan,

lembaga lemah,GATT,akhirnya diciptakan untuk menggantikan ITO

bersama bank Dunia dan IMF.”(terjemahan).

Namun masih dalam buku International Political Economy oleh

David N. Balaam, Michael Veseth. Susan Strange (2005 : 504)

mendeskripsikan Ekonomi Politik Internasional (EPI) sebagai berikut;

“….a vast, wide open range where anyone interested in the behavior of

men and women in society could roam just as freely as the deer and

antelope.There were no fences or boundary-post to confine the

historians to history, the economist to economics. Political scientist had

no exclusive rights to write about politics, nor sociologists to write about

social relations.”

“…yang luas, berbagai terbuka lebar di mana siapa saja yang tertarik

dalam perilaku laki-laki dan perempuan dalam masyarakat hanya bisa

berkeliaran bebas seperti rusa dan kijang. Tidak ada pagar atau batas-

pos untuk membatasi sejarawan sejarah, ekonom untuk ekonomi.

Ilmuwan politik tidak memiliki hak eksklusif untuk menulis tentang politik,

atau sosiolog untuk menulis tentang hubungan sosial.” (terjemahan).

Namun Rowland Maddock berpendapat berbeda yakni;

“an international political economy is not a tighly defined and exclusive

discipline with a well-established methodology. it is more a set of issues,

which need investigating and which tend to be ignored by the more

established disciplines, using whatever tools are at hand”

“ekonomi politik internasional bukanlah suatu disiplin ilmu yang sangat

ketat didefinisikan dan eksklusif dengan metodologi yang mapan. ini

lebih merupakan sekumpulan isu, yang memerlukan penyelidikan dan

cenderung diabaikan oleh disiplin yang lebih mapan, dengan

menggunakan alat apapun yang yang dihadapi”

Page 30: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

17

Studi mengenai EPI merupakan studi yang dapat dibilang masih

baru, karena studi ini muncul pada saat krisis oil schock tahun 1970an

yang telah memunculkan kesadaran bahwa politik dan ekonomi saling

mempengaruhi.Sebelum itu para akademisi ekonomi dan politik seringkali

memisahkan keduanya. Para Profesor ekonomi percaya bahwa pasar

terisolasi dari isu politik (Gilipin,2001; 77). Ekonomi politik internasional

sendiri berusaha untuk mengemukakan bahwa sebenarnya ekonomi

mempunyai keterikatan dengan power atau politik.

Negara dalam berhubungan dengan negara lain selalu

berkeinginan untuk memenuhi kepentingannya. Untuk itu guna mencapai

hal tersebut, negara dapat memanipulasi kekuatan pasar untuk

meningkatkan power dan pengaruh (Gilpin, 2001;78). Terbentuknya rezim

sebagai alat untuk mengatur pasar turut menciptakan terpenuhinya

kebutuhan politik suatu negara. Ketika rezim dapat mempengaruhi

distribusi pendapatan maka negara berusaha untuk mempengaruhi desain

dan fungsi dari institusi, hal ini untuk memenuhi kebutuhan politik,

ekonomi, dan kepentingan lain. Maka studi ekonomi politik internasional

mengasumsikan bahwa negara, MNC, dan aktor lainnya menggunakan

power yang dimiliki untuk mempengaruhi nature dari rezim internasional.

(Gilpin, 2001;78)

Setelah negara menggunakan powernya untuk mempengaruhi

rezim internasional seperti WTO dan GATT maka telah terjadi pula

Page 31: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

18

kepentingan politik yang berhubungan dengan ekonomi. Menurut Gilpin

(2001) dalam bukunya Global Political Economy mengungkapkan bahwa

ekonomi politik internasional merupakan dinamika interaksi global antara

pengejaran kekuasaan (politik) dan pengejaran kekayaan (ekonomi), yang

terdapat hubungan timbal balik diantara keduanya. Pengertian lain

mengenai ekonomi politik internasional diungkapkan oleh John Ravenhill

yang mendefinsikan ekonomi politik internasional sebagai ―field of

enquiry‖, yaitu sebagai suatu subjek permasalahan yang fokus utamanya

adalah hubungan (interrelationship) antara kekuasaan publik dan pribadi

dalam persoalan pengalokasian sumberdaya yang terbatas atau langka

(Ravenhill,2008;21).

E.4 Pendidikan Nasional

Pendidikan merupakan usaha agar manusia dapat mengembangkan

potensi dirinya melalui proses pembelajaran dan/atau cara lain yang

dikenal dan diakui oleh masyarakat. Pendidikan nasional adalah

pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama,

kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan

zaman. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Pasal 31 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak

mendapat pendidikan, dan ayat (3) menegaskan bahwa Pemerintah

mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional

Page 32: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

19

yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia dalam

rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-

undang. Untuk itu, seluruh komponen bangsa wajib mencerdaskan

kehidupan bangsa yang merupakan salah satu tujuan negara Indonesia.

E.5 Privatisasi

Dalam buku dalam Indra Bastian definisi Privatisasi diartikan

kedalam beberapa pandangan diantaranya ; menurut Peacock Privatisasi

pada umumnya di definisikan sebagai pemindahan industri dari milik

pemerintah ke sektor swasta yang berimplikasikan bahwa saham dominan

dalam pemilikan aktiva akan berpindah kepemegang saham. Beesley dan

Littlechild mengartikan Privatisasi sebagai pembentukan perusahaan. Dan

menurut Company act, bahwa penjualan yang berkelanjutan sekurang-

kurangnya sebesar 50 persen dari saham milik pemerintah ke pemegang

saham swasta. Tetapi, yang menggarisbawahi ide ini adalah membuat

konsep pengembangan industri dengan cara meningkatkan peranan pada

kekuatan pasar.

Menurut Clementi terdapat empat batasan dalam kebijakan

pemerintahan Thatcer tentang institusi pada perusahaan sektor publik

secara keseluruhan, antara lain:

a. Memungkinkan pemindahan terhadap kepemilikan swasta

b. Membuka aktivitas terhadap kompetisi yang dikenal sebagai liberalisasi

Page 33: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

20

c. Menghapus fungsi tertentu yang dilakukan oleh sektor publik secara

bersamaan atau melakukan subkontrak kepada sektor swasta sehingga

dapat dilakukan dengan biaya yang lebih rendah.

d. Membebani masyarakat pada jasa di sektor publik yang disediakan

secara percuma.

Pirie mendefinisikan privatisasi sebagai ide yang melibatkan

pemindahan produksi barang dan jasa dari sektor publik ke sektor swasta.

Sebagai pembagi terendah, mengerjakan secara swasta yang telah

dikerjakan secara publik. Ini bukan kebijakan, tetapi sebuah pendekatan.

Sebuah pendekatan yang mengakui bahwa peraturan dimana pasar

mengatur aktivitas ekonomi adalah lebih dari peraturan yang dilakukan

oleh manusia dan hukum.

Kay dan Thompson mendefinisikan privatisasi adalah terminologi

yang digunakan untuk mencakup beberapa perbedaan secara alternatif,

yang berarti mencakup perubahan hubungan antara pemerintah dengan

sektor swasta. Di antara yang paling penting adalah adanya dinasionalisasi

penjualan kepemilikan publik, deregulasi terhadap pengenalan kompetisi

ke status monopoli dan kontrak melalui franchise ke perusahaan swasta

terhadap produksi barang dan jasa yang dibiayai oleh negara (27-29:2000).

F. Metode Penelitian

Penelitian kualitatif adalah metode yang banyak mengandalkan

data–data primer dan sekunder.Melalui studi kepustakaan diharapkan dapat

Page 34: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

21

dipelajari bagaimana dampak Konsensus Washington terhadap liberalisasi

Pendidikan Di Indonesia dengan menganalisis Undang-Undang Perguruan

Tinggi tahun 2012. Data-data yang digunakan dalam penelitian ini berupa

buku-buku, jurnal, hasil penelitian sebelumnya dan media masa.

Dalam penelitian ini pendekatan yang dilakukan adalah melalui

pendekatan kualitatif.Artinya data yang dikumpulkan bukan berupa angka-

angka, melainkan data tersebut berasal dari, lainnya.Sehingga yang

menjadi tujuan dari penelitian kualitatif ini adalah ingin menggambarkan

realita empirik di balik fenomena secara mendalam, rinci dan tuntas. Oleh

karena itu penggunaan pendekatan kualitatif dalam penelitian ini adalah

dengan mencocokkan antara realita empirik dengan teori yang berlaku

dengan menggunakan metode diskriptif.

Menurut Keirl dan Miller dalam Moleong yang dimaksud dengan

penelitian kualitatif adalah ―tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial

yang secara fundamental bergantung pada pengamatan, manusia,

kawasannya sendiri, dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam

bahasanya dan peristilahannya‖. Metode kualitatif adalah metode

penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang

alamiah, di mana peneliti adalah sebagai instrument kunci, teknik

pengumpulan data dilakukan secara gabungan (Moleong, 2004:131).

Dalam penulisan skripsi ini, menggunakan teknik pengumpulan

data dan analisa data. Dalam pengumpulan data skripsi menggunakan studi

kepustakaan yakni memperoleh data dari berbagai hasil penelitian, seperti

Page 35: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

22

buku-buku, jurnal-jurnal, dan artikel online yang bersesuain. Dalam studi

kepustakaan, penulis memperoleh data dari Perpustakaan Pusat UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Pusat Universitas Indonesia (UI),

Perpustakaan Miriam Budiardjo Research Center Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik (FISIP) UI, Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Jakarta

dan Perpustakaan LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia). Dalam

teknik analisa data, penulis membaca dan mencatat serta mengolah data

penelitian, dengan cara menganalisis dan menyajikan fakta secara

sistematis agar lebih mudah dipahami dan disimpulkan. Melalui teknik

tersebut, membantu dalam penulisan skiripsi yang berjudul dampak

Konsensus Washington ekonomi politik terhadap liberalisasi pendidikan di

Indonesia (Undang-Undang Perguruan Tinggi tahun 2012).

E. Sistematika Penulisan

Sistem penulisan skripsi ini adalah :

BAB I PENDAHULUAN

A. Pernyataan Masalah

B. Pertanyaan Penelitian

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

D. Tinjauan Pustaka

E. Kerangka Teoritis

F. Metode Penelitian

G. Sistematika Penulisan

Page 36: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

23

BAB II LATAR BELAKANG TERBENTUKNYA KONSEP

KONSENSUS WASHINGTON

A. Proses terbentuknya IMF dan World Bank

B. Pandangan Konsensus Washington menurut John

Wiliamson

C. Indonesia dan WTO

BAB III KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI INDONESIA SEBELUM

DAN SESUDAH RATIFIKASI GATS

A. Kebijakan pendidikan tinggi menurut Undang-undang

nomor 22 tahun 1961 tentang perguruan tinggi. serta UU

No.2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional

B. Konsensus Washington dan Kebijakan Pendidikan Tinggi.

B1. Kebijakan Pendidikan Tinggi menurut PP No. 60

Tahun 1999 dan PP No.61 Tahun 1999.

C. Latar belakang pembentukan Undang-Undang Badan

Hukum Pendidikan di Indonesia (UU BHP).

C.1 Privatisasi Pendidikan Melalui UU BHP.

D. Latar belakang pembentukan Undang-Undang Pendidikan

Tinggi No. 12 Tahun 2012.

Page 37: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

24

BAB IV ANALISIS DAMPAK KONSENSUS WASHINGTON

DAN RATIFIKASI GATSTERHADAP KEBIJAKAN

PENDIDIKAN TINGGI DI INDONESIA

A. Undang-Undang Pendidikan Tinggi No.12 Tahun 2012

dalam kerangka GATS.

B. Analisis dampak penerapan Undang-undangPerguruan

Tinggi no. 12 tahun 2012.

BAB V KESIMPULAN

Daftar Pustaka

Lampiran-lampiran

Page 38: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

25

BAB II

LATAR BELAKANG TERBENTUKNYA KONSEP

KONSENSUS WASHINGTON

Pada bab ini, dipaparkan mengenai terbentuknya konsep Konsensus

Washington. Bab ini terdiri dari Tiga bagian. Bagian pertama menjelaskan tentang

proses terbentuknya IMF (International Monetary Fund). Bagian kedua

Pandangan Konsensus Washington menurut Joseph Stiglitz dan John

Wiliamson.Pada Bagian ketiga menjelaskan tentang peranan Indonesia di WTO

(World Trading Organization) dan GATS (General Agreement on Trade in

Services).

A. Proses Terbentuknya IMF dan World Bank

Dalam buku IMF (Apakah Dana Moneter Internasional Itu?IMF 2003:1-8)

dijelaskan mengenai IMF. IMF merupakan merupakan salah satu badan khusus

pada Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) yang didirikan berdasarkan perjanjian

internasional pada tahun 1945 untuk membantu perekonomian dunia.Dengan

markas besarnya berlokasi di Washington, D.C., IMF saat ini memiliki anggota

sebanyak 184 negara. Pada tanggal 22 Juli 1944 melalui konfrensi Perserikatan

Bangsa-Bangsa yang diselenggarakan di Bretton Woods, New Hampshire

Amerika Serikat sepakat untuk IMF. Pada dekade 1930, kegiatan ekonomi di

sejumlah negara industri utama melemah, negara-negara industri tersebut berusaha

untuk mempertahankan ekonomi mereka masing-masing dengan cara

meningkatkan hambatan untuk import; tetapi kegiatan ini mempercepat jatuhnya

Page 39: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

26

perdagangan dunia, tingkat output, dan kesempatan kerja. Tujuan dibentuknya

IMF pada saat itu dilakukan untuk menghindari terulangnya kejadian great

depression (depresi besar) pada tahun 1930, maka 45 anggota sepakat untuk

menyetujui kerangka ekonomi ini.

Negara-negara yang bergabung dengan IMF antara tahun 1945 dan 1971

setuju untuk menjaga nilai tukar mereka (pada dasarnya nilai tukar mata uang

mereka dalam nilai dolar A.S., dan, dalam hal ini Amerika Serikat, nilai dolar A.S.

dalam nilai emas) ditetapkan pada tingkat yang dapat disesuaikan, tetapi

penyesuaian hanya untuk mengoreksi ―ketidakseimbangan fundamental‖ dalam

neraca pembayaran dan dengan persetujuan IMF. Ini kemudian disebut sistem

nilai tukar Bretton Woods yang berlaku sampai tahun 1971 ketika pemerintah

A.S. menangguhkan konvertibilitas dolar A.S. (dan cadangan dolar yang dipegang

oleh pemerintah lain) menjadi emas. Sejak itu, anggota IMF sudah bebas memilih

setiap bentuk pengaturan nilai tukar yang mereka inginkan (kecuali meman-

cangkan nilai mata uang mereka pada emas): sejumlah negara sekarang

mengizinkan mata uang mereka mengambang dengan bebas, sejumlah negara

memancangkan mata uang mereka terhadap mata uang lain atau sekelompok mata

uang, sejumlah negara lainnya mengadopsi mata uang negara lain sebagai mata

uang mereka sendiri, dan sejumlah negara berpartisipasi dalam blok mata uang.

Pada waktu yang sama ketika IMF diciptakan, Bank Internasional untuk

Rekonstruksi dan Pembangunan (International Bank forReconstruction and

Development—IBRD), lebih umum dikenal sebagai Bank Dunia, didirikan untuk

Page 40: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

27

mempromosikan pembangunan ekonomi jangka panjang, termasuk melalui

pembiayaan proyek infrastruktur, seperti pembangunan jalan dan meningkatkan

suplai air. IMF dan Kelompok Bank Dunia—yang termasuk Korporasi

Pembiayaan Internasional (International Finance Corporation— IFC) dan

Asosiasi Pembangunan Internasional (InternationalDevelopment Association—

IDA) saling melengkapi pekerjaan masing-masing.Sementara perhatian IMF

terutama pada kinerja ekonomi makro, dan pada kebijakan makro ekonomi dan

sekor keuangan, Bank Dunia terutama menangani pembangunan jangka panjang

dan isu-isu pengurangan kemiskinan.Kegiatannya termasuk memberikan pinjaman

kepada negara-negara berkembang dan negara-negara yang berada dalam transisi,

pembiayaan proyek infrastruktur, reformasi sektor ekonomi khusus, dan reformasi

struktural yang lebih luas.

IMF, sebaliknya, tidak menyediakan pembiayaan untuk sektor atau proyek

khusus tetapi sebagai dukungan umum terhadap neraca pembayaran maupun

cadangan devisa suatu negara sementara negara tersebut sedang mengambil

langkah kebijakan untuk mengatasi kesulitannya. Ketika IMF dan Bank Dunia

didirikan, suatu organisasi untuk mempromosikan liberalisasi perdagangan dunia

juga dipikirkan, tetapi baru tahun 1995 Organisasai Perdagangan Dunia (World

Trade Organization—WTO) dibentuk. Diselang tahun-tahun tersebut, isu-isu

perdagangan diselesaikann melalui Perjanjian Umum Tarif dan Perdagangan

(GeneralAgreement on Tariffs and Trade—GATT).

Page 41: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

28

B. Pandangan Konsensus Washington John Wiliamson

Dalam pidato doktoralnya Mochtar Mas’oed menjelaskan awal

perkembangan Konsensus Washington, berawal dari kebijakan ekonomi yang

dilakukan Presiden Ronald Reagen bersama-sama dengan Perdana Menteri Inggris

Margareth Thatcher mulai menjalankan revolusi neo-liberal di Inggris. Lalu pada

saat Ronald Reagan menjadi Presiden AS, gerakan ―revolusioner‖ Perdana

Menteri itu ditanggapi dengan gerakan serupa di AS, sehingga muncul julukan

Reagan-Thatcherism; yang kemudian juga didukung oleh Kanselir Jerman Helmut

Kohl. Dengan dukungan kuat dari ketiga negara yang ber-pengaruh besar ini, neo-

liberalisme menyebar ke seluruh dunia mela-lui berbagai lembaga internasional,

terutama yang bobot pengaruh keanggotannya ditentukan oleh besarnya

sumbangan pendanaannya, seperti the International Monetary Fund (IMF) dan the

World Bank (Bank Dunia). Dengan kata lain, ―neo-liberalisme‖ telah menjadi

COWDOG (common wisdom of the dominant group) (Mohtar Mas’oed 2002:8-9).

Washington Consensus dipicu oleh pengalaman negara-negara Amerika

Latin pada dekade 1980an. Saat itu mekanisme pasar di wilayah tersebut tidak

berfungsi dengan baik akibat kebijakan-kebijakan pemerintah yang kacau. PDB

terus merosot selama tiga tahun berturut-turut, defisit anggaran meleset tajam

hingga mencapai tingkat 5-10 persen dari PDB2, sementara pengeluaran

pemerintah digunakan untuk mesubsidi sektor negara tidak efisien. Diterapkannya

kontrol yang ketat terhadap impor serta dorongan yang minim pada ekspor

menghadapkan perusahaan pada insentif yang terbatas untuk meningkatkan

efisiensi maupun menjaga kualitas produk sesuai estándar internasional. Awalnya,

Page 42: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

29

defisit dibiayai melalui pinjaman termasuk pinjaman luar negeri besar-besaran.

Dorongan untuk mendaur ulang petrodollars di kalangan perbankan internasional

saat itu serta rendahnya tingkat suku bunga riil membuat ―meminjam‖ menjadi

aktivitas yang sangat menarik bahkan untuk investasi dengan tingkat kembalian

yang rendah. Hanya saja, setelah dekade 1980an, melonjaknya tingkat suku bunga

riil di Amerika Serikat membatasi berlajutnya pinjaman, meningkatkan beban

pembayaran bunga dan memaksa banyak negara terus menerus mencetak uang

untuk membiayai kesenjangan antara tingginya belanja publik yang terus

berlangsung (serta diperparah oleh membumbungnya pembayaran bunga

pinjaman) dengan basis pajak yang terus mengerut. Hasil akhirnya adalah inflasi

yang sangat tinggi dan tidak terkendali. Kondisi ini menyebabkan perilaku

ekonomi lebih terarah pada upaya untuk melindungi nilai (value) daripada bagi

aktivitas investasi produktif. Mekanisme harga kemudian kehilangan fungsi

utamanya untuk menyampaikan informasi.

Konsensus Washington bermula ketika John Wiliamson Istilah

"Konsensus Washington" diciptakan pada tahun 1989. Penggunaan perrtama

Istilah tersebut terdapat pada latar belakang makalah, makalah tersebut

digunakan pada Peterson Institute for International Economics diselenggarakan

dalam rangka untuk memeriksa sejauh mana ide-ide lama pembangunan ekonomi

yang telah diatur kebijakan ekonomi Amerika Latin sejak tahun 1950 yang yang

tersingkir oleh seperangkat gagasan yang telah lama diterima sebagai tepat dalam

OECD (Organization for Economic Co-operation and development). Dalam

rangkauntuk mencoba dan memastikan bahwa latar belakang makalah untuk

Page 43: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

30

konferensi menggunakan seperangka tmasalah, saya membuat daftar sepuluh

kebijakan yang saya pikir lebih atau kurangsemua orang di Washington akan

setuju guna membantu Latin Amerika, dan diberi label"Konsensus Washington"

(John Wiliamson, A Short History of the Washington Consensus 2004:1)

John Wiliamson menyebutkan pengistilahan Konsensus Washington

awalnya tidak ditulis sebagai kebijakan pembangunan (The Washington

Consensus as Policy Prescription for Development 2004:1-2) tetapi sebagai saran

untuk kebijakan pembangunan di Amerika latin. Lebih lanjut John Wiliamson

menyatakan formulasi Konsensus Washington telah digunakan dalam tiga cara

yang berbeda yakni;

1. Konsensus Washington merupakan saran atau formulasi reformasi

sepuluh kebijakan untuk memperbaiki kondisi ekonomi di Amerika Latin,

namun terjadi persengkongkolan untuk menglobalkan formulasi tersebut.

2. Saran Konsensus Washington oleh AS melalui IMF dan World Bank

digunakan sebagai formulasi umum guna membantu perekonomian negara

berkembang.

3. Kritikus memandang kebijakan Wiliamson sebagai agen neoliberalisme

yang tercantum dalam Konsensus Washington.

Dari ketiga cara tersebut John Willimson berpandangan cara-cara IMF-lah

yang telah banyak berubah dari tujuan Bretton Woods System sehingga

mempermainkan krisis di Asia dengan metode Amerika Latin.

Page 44: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

31

C. Peran Indonesia di WTO dan GATS.

World Trade Organization (WTO) atau Organisasi Perdagangan Dunia

merupakan satu satunya badan internasional yang secara khusus mengatur

masalah perdagangan antar negara. Indonesia masuk menjadi anggota WTO

ditandai dengan ratifikasi ―Agreement Establising the World TradeOrganization”

melalui Undang-Undang No.7 Tahun 1994 tanggal 2 Nopember 1994.Dan resmi

menjadi anggota WTO tahun 1995 ( Dani Setiawan Liberalisasi Pendidikan dan

WTO 2004:2). Sistem perdagangan multilateral WTO diatur melalui suatu

persetujuan yang berisi aturan-aturan dasar perdagangan internasional sebagai

hasil perundingan yang telah ditandatangani oleh negara-negara anggota.

Persetujuan tersebut merupakan kontrak antar negara-anggota yang mengikat

pemerintah untuk mematuhinya dalam pelaksanaan kebijakan perdagangannya.

WTO secara resmi berdiri pada tanggal 1 Januari 1995. Persetujuan umum

mengenai tarif dan perdagangan telah membuat aturan-aturan untuk sistem ini.

Sejak tahun 1947-1994 sistem GATT memuat peraturan-peraturan mengenai

perdagangan dunia dan menghasilkan pertumbuhan perdagangan internasional

tertinggi. Hampir setengah abad teks legal GATT masih tetap sama sebagaimana

pada tahun 1947 dengan beberapa penambahan diantaranya bentuk persetujuan

disepakati oleh beberapa negara saja dan upaya-upaya pengurangan tarif.

Masalah-masalah perdagangan diselesaikan melalui serangkaian perundingan

Page 45: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

32

multilateral yang dikenal dengan nama ―Putaran Perdagangan‖ (Trade Round)‖,

sebagai upaya untuk mendorong liberalisasi perdagangan internasional.

Sebagai upaya mewujudkan cita-cita perbaikan ekonomi dunia yang

hancur akibat perang dunia ke II. Amerika Serikat mempelopori di

selenggarakannya konfresi internasional diadakan di Bretton Woods, New

Hampsire, AS pada tangga 22 Juli 1947. Konfrensi yang kemudian di kenal

dengan konfrensi Bretton woods di hadiri oleh 44 perwakilan negara. pertemuan

selama 22 negara tersebut akhirnya melakukan Havana Charter yang berisikan

perjanjian Internasional Monetary Fund (IMF), namun karena kongres AS

sebagai inisiator International Trade Organization (ITO) gagal mencapai

kesepakatan tentang bentuk organisasi dan sistem operasi ITO, maka

pembentukan ITO pun dibubarkan dan kemudian sebagai gantinya di bentuk

General on Tarif and Trade (GATT) pada 1947. (Hatta, 2006: 53-56).

Dalam perkembangannya, GATT telah melakukan beberapa perundingan

pertama di lakukan di Geneva, Switzerland (1947), kemudian Annency (France

1948) Torguay, Switzerland (1950), Geneva Switzerland (1956), Dillon round,

Geneva (1960-1961), Kenedy round, Geneva (1964-1967), Tokyo round, Geneva

(1973-1979) dan terakhir Uruguay Round Marrakesh (1986-1994). Perundingan

terakhir inilah yang dianggap salah satu perundingan yang paling menentukan

perkembangan GATT di masa yang akan datang. Putaran Uruguay merupakan

yang menghasilkan persetujuan untuk membentuk sebuah organisasi perdagangan

yang di sebut World Trade Organization (WTO) (Cano, Guiomar Alonso, dkk.

(eds), 2005: 38-39).

Page 46: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

33

C.1 Ratifikasi Indonesia dalam GATS di bidang pendidikan.

GATS (General Agreement on Trade and Service) adalah

kesepakatan multilateral dan berkekuatan hukum yang mengatur tentang

perdagangan jasa internasional. Perjanjian ini mengatur 12 sektor jasa

termasuk jasa pendidikan, khususnya pendidikan tinggi. Ada empat

metode penyediaan pendidikan oleh asing yaitu: (i) cross border supply,

(ii) consumption abroad, (iii) commercial presence, (iv) presence of natural

person (Antisipasi Rencana Ratifikasi GATS, UGM : 2005)

Ratifikasi adalah (ra.ti.fi.ka.si n) pengesahan suatu dokumen negara

oleh parlemen, khususnya penegesahan undang-undang, perjanjian antar

negara, dan persetujuan hukum internasional (KBBI. 2008-1147).

Konsekuensi dari komitmen Indonesia masuk menjadi anggota WTO sejak

tahun 1994 (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1994

Tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade

Organization), telah diikuti dengan kesertaan dalam menandatangani

GATS (General Agreement on Trade in Services). Pengaturan mengenai

GATS terdapat dalam Annex 1b dalam Piagam WTO, dan merupakan

bagian tak terpisahkan dari WTO. Oleh Karena itu, lingkup keberlakuan

dari GATS tersebut mencakup negara-negara anggotanya dari seluruh

dunia. Khususnya ASEAN, memandang perlu untuk mengambil sikap

mengenai kerjasama di bidang jasa, terutama dalam menghadapi

Page 47: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

34

perdagangan di bidang jasa yang semakin global, khususnya setelah

Perundingan putaran Uruguay berhasil memasukkan perdagangan jasa

dalam agenda perundingannya yang bermuara pada disepakatinya GATS

(Integrasi Ekonomi ASEAN dibidang Jasa, 2009) Kemudian dalam

Uruguay round yang ditandatangani pada tahun 1994 menjadi Undang-

Undang No.7 Tahun 1994 tanggal 2 Nopember 1994 memberikan waktu

kepada Indonesia untuk melaksanakan kebijkan pendidikan dalam aturan

GATS yang mengatur liberalisasi perdagangan pada 12 sektor, dimana

perjanjian tersebut menetapkan pendidikan sebagai salah satu bentuk

pelayanan sektor publik yang harus diprivatisasi. Arah liberalisasi

pendidikan sejalan dengan logika ekonomi kapitalisme dengan menjadikan

pendidikan sebagai barang komersial (Komoditi). Klasifikasi sektor jasa

menurut GATS tersebut ada 12 yaitu :

‖Business services, Communication services, Construction and

related engineering services, Distribution services, Education services,

Environmental services, Financial services, Health related and social

services, Tourism and travel related services, Recreational, cultural and

sporting services, Transportational services, and Other services not

included elsewhere.‖

Perjanjian tersebut mengatur tata cara perdagangan barang, jasa,

dantrade related intellectual property rights (TRIPS) atau hak atas

kepemilikan intelektual yang terkait dengan perdagangan. Dalam bidang

jasa, yang masuk sebagai obyek pengaturan WTO adalah semua komoditas

jasa, tanpa terkecuali bidang pendidikan. Liberalisasi (Kapitalisasi)

pendidikan sejatinya merupakan kepentingan kelas pemodal dengan

Page 48: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

35

orientasi surplus value. Praktek liberalisasi akan menghilangkan tanggung

jawab Negara dengan menyerahkan pendidikan kepasar, karena dunia

pendidikan merupakan ladang bisnis yang sangat menjanjikan (Victor

Nalle 2011:561-560).

Sejak putaran Doha di Qatar tahun 2000, Indonesia sudah

berkomitmen dalam GATS dibidang pendidikan hal ini ditandai dengan

diundangkannya UU Sisdiknas Tahun 2003 atau UU No.20 Tahun 2003.

Namun dengan dimakzulkan UU Sisdiknas tersebut oleh Mahkamah

Konstitusi maka saat ini UU tersebut tidak berlaku lagi (Sofian Efendi.

GATS: Neo-imprialisme modern dalam Pendidkan 2005:3). Jadi secara

tidak langsung segala kesepakatan yang terjadi didalam GATS haruslah

dipatuhi dan dijalankan dengan cara meratifikasi perjanjian tersebut

menjadi sebuah Undag-Undang, khususnya dalam bahasan skripsi ini

adalah Undang-Undang Perguruan Tinggi.

Page 49: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

36

BAB III

KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI INDONESIA SEBELUM DAN SESUDAH

RATIFIKASI GATS

Pada bab ini menjelaskan tentang Kebijakan pendidikan tinggi yang telah

dilaksanakan oleh pemerintah dimulai dari Undang-undang nomor 22 tahun 1961

tentang perguruan tinggi hinga Undang-Undang Pendidikan Tinggi No.12 tahun

2012.

A. Kebijakan pendidikan tinggi menurut Undang-Undang nomor

22tahun 1961 tentang perguruan tinggi. serta UU No.2 Tahun 1989

tentang Sistem Pendidikan Nasional

Kebijakan mengenai pendidikan tinggi di Era Orde Lama telah ada dengan

di Undangkannya UU nomor 22 tahun 1961 tentang pendidikan tinggi. Didalam

UU tersebut terdapat sepuluh bab untuk lebih jelasnya dapat dilihat didalam tabel

1.1 UU No.22 Tahun 1961 berikut ini;

No Bab Pasal Penjelasan

1 BAB I 1-5 Ketentuan umum, seperti; Arti perguruan tinggi,

Tujuan, Kebebasan Ilmiah dan Mimbar serta

kebebasan berorganisasi.

2 BAB II 6-8 Bentuk, tugas dan susunan perguruan tinggi

3 BAB III 9-10 Tingkat dan susunan pelajar, ujian dan gelar

Page 50: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

37

4 BAB IV 11-16 Kelengkapan Perguruan Tinggi

5 BAB V 17 Kemahasiswaan dalam Perguruan Tinggi

6 BAB VI 18-21 Definisi Perguruan Tinggi

7 BAB VII 22-30 Perguruan Tinggi Swasta

8 BAB VIII 31-34 Ketentuan Lain

9 BAB IX 36-36 Ketentuan Peralihan

10 BAB X 37 Penutup

Sumber : diolah dari UU No.22 Tahun 1961

Kebijakan mengenai pendidikan tinggi pada masa Orde Lama sangat

dipengaruhi oleh pengaruh politik Manipol Usdek. Bahkan dapat dikatakan bahwa

pemerintah sadar benar akan posisi pendidikan sebagai mekanisme rekayasa

sosial, budaya.ekonomi dan politik karena itu tujuan pendidikan nasional serta

upaya pendidikan tak mungkin dilepaskan dari konsep Manipol Usdek. Pancasila-

Manipol/Usdek adalah Moral dan Falsafah Hidup BangsaIndonesia serta

merupakan manifesto persatuan Bangsa dan Wilayah Indonesia, demikian pula

merupakan perasan kesatuan jiwa sebagai Weltanschaung Bangsa Indonesia

dalam penghidupan Nasional sebagai landasan bagi semua pelaksanaan

Pendidikan Nasional adalah Pancasila-Manipol/Usdek. Dengan demikian,

Pancasila-Manipol/Usdek harus menjiwai semua segi Pendidikan Nasional (Pasal

1, Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1965 Tentang Pokok-

Pokok Sistem Pendidikan Nasional Pancasila)

Pada pasal 1 UU No. Tahun 1961 dijelaskan mengenai Perguruan Tinggi

adalah lembaga ilmiah yang mempunyai tugas menyelenggarakan pendidikan dan

Page 51: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

38

pengajaran di atas perguruan tingkat menengah, dan yang memberikan pendidikan

dan pengajaran berdasarkan kebudayaan kebangsaan Indonesia dan dengan cara

ilmiah. Dari penjelasan mengenai UU No. 22 Tahun 1961 yang merupakan

Undang-undang pertama Pendidikan Tinggi di Indonesia masih memerlukan

beberapa penyempurnaan sehingga pada pemerintahan orde baru disempurnakan

melalui UU No.2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Penyempurnaan pada UU No. 22 tahun 1961 tertuang dalam UU No.2

tahun 1989 tentang sistim pendidikan nasional yang kali ini mengikuti GBHN

(Garis Besar Haluan Negara). Pada UU ini terdapat 20 Bab dan 59 pasal yang

merupakan penyempurnaan UU sebelumnya, berikut tabel 1.2 UU No.2 Tahun

1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional;

No Bab Pasal Penjelasan

1 BAB I 1 Ketentuan umum, pendidikan nasional

2 BAB II 2-4 Dasar, Fungsi Dan Tujuan

3 BAB III 5-8 Hak Warga Negara Untuk Memperoleh

Pendidikan

4 BAB IV 9-11 Satuan, Jalur Dan Jenis Pendidikan

5 BAB V 12-22 Jenjang Pendidikan

6 BAB VI 23-26 Peserta Didik

7 BAB VII 27-32 Tenaga Kependidikan

8 BAB VIII 33-36 Sumber Daya Pendidikan

9 BAB IX 37-39 Kurikulum

Page 52: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

39

10 BAB X 40 Hari Belajar Dan Libur Sekolah

11 BAB XI 41-42 Bahasa Pengantar

12 BAB XII 43-46 Penilaian

13 BAB XIII 47 Peranserta Masyarakat

14 BAB XIV 48 Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional

15 BAB XV 49-51 Pengelolaan

16 BAB XVI 52-53 Pengawasan

17 BAB XVII 54 Ketentuan Lain-Lain

18 BAB

XVIII

55-56 Ketentuan Pidana

19 BAB XIX 57 Ketentuan Peralihan

20 BAB XX 58-59 Ketentuan Penutup

(Sumber :UU No.2 Tahun 1989)

Dari lima puluh bab dan lima puluh sembilan pasal tersebut, undang-

undang tentang sisdiknas ini mencerminkan tentang kebijakan politik orde baru

yang berhaluan Pancasila dan GBHN yang ditetapkan oleh Presiden, hal ini

terlihat melalui pasal 2 UU No.2 Tahun 1989 tentang sisdiknas.

Menurut peraturan UU No. 2/1989 tentang Sisdiknas yakni Pendidikan

adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan,

pengajaran, dan/atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang;

Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berakar pada kebudayaan bangsa

Indonesia dan yang berdasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;

Page 53: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

40

Sistem pendidikan nasional adalah satu keseluruhan yang terpadu dari semua

satuan dan kegiatan pendidikan yang berkaitan satu dengan lainnya untuk

mengusahakan tercapainya tujuan pendidikan nasional; Jenis pendidikan adalah

pendidikan yang dikelompokkan sesuai dengan sifat dan kekhususan tujuannya;

Jenjang pendidikan adalah suatu tahap dalam pendidikan berkelanjutan yang

ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan para peserta didik serta keluasan

dan kedalaman bahan pengajaran; Peserta didik adalah anggota masyarakat yang

berusaha mengembangkan dirinya melalui proses pendidikan pada jalur, jenjang,

dan jenis pendidikan tertentu;Tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat

yang mengabdikan diri dalam penyelenggaraan pendidikan; Tenaga pendidik

adalah anggota masyarakat yang bertugas membimbing, mengajar dan/atau

melatih peserta didik; Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan

mengenai isi dan bahan pelajaran sertacara yang digunakan sebagai pedoman

penyelenggaraan kegiatan belajar-mengajar; Sumber daya pendidikan adalah

pendukung dan penunjang pelaksanaan pendidikan yang terwujud sebagai tenaga,

dana, sarana dan prasarana yang tersedia atau diadakan dan didayagunakan oleh

keluarga, masyarakat, peserta didik dan Pemerintah, baik sendiri-sendiri maupun

bersamasama;Warga negara adalah warga negara Republik Indonesia;Menteri

adalah Menteri yang bertanggung jawab atas bidang pendidikan nasional (UU No.

2/1989).

B. Globalisasi dan Kebijakan Pendidikan Tinggi

Page 54: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

41

Dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) dijelaskan mengenai arti

kata globalisasi yakni :globalisasi (/glo·ba·li·sa·si/ ) proses masuknya ke ruang

lingkup dunia (Kamus Besar bahasa Indonesia 2008:455).

Pada dalam buku Stiglitz yang diterjemahkan dan diberi judul Washington

Konsensus: Arah Menuju Jurang Kemiskinan yang diterjemahkan oleh Darmawan

Triwibowo. Di dalam buku ini, Stiglitz Menjelaskan mengenai kesalahan-

kesalahan penerapan resep Konsensus Washington di negara-negara berkembang,

yang justru membawa negara-negara berkembang pada kesengsaraan. Selanjutnya

dalam buku Globalization and Its Discontent. Buku tersebut mendapat respon dari

seluruh dunia karena mengkritik secara tajam Kebijakan Konsensus Washington

beserta lembaga-lembaga donor yang terkait didalamnya. Stiglitz berpandangan

bahwa dia meyakini globalisasi yaitu penghapusan hambatan-hambatan terhadap

perdagangan bebas dan integrasi ekonomi yang semakin kuat dapat menjadi suatu

kekuatan yang kekal dan berpotensi untuk memakmurkan setiap orang di dunia,

khususnya orang-orang miskin. Tetapi dia juga percaya bahwa jika memang

demikian keadaannya, pengelolaan globalisasi selama ini, termasuk berbagai

perjanjian perdagangan internasional yang telah memainkan peranan besar dalam

menghapuskan hambatan-hambatan tersebut dan kebijakan-kebijakan yang

diterapkan pada negara-negara berkembang dalam proses globalisasi, perlu

dipertimbangkan kembali secara radikal (Stiglitz 2003:ix-x).

Stiglitz melanjutkan bahwa pentingnya memandang permasalahan secara

adil dengan mengesampingkan ideologi serta melihat pada bukti-bukti sebelum

membuat keputusan mengenai tindakan apa yang terbaik. Sayangnya, meskipun

Page 55: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

42

tidak mengherankan, ketika dia berada di Gedung Putih dan Bank Dunia, dia

melihat banyak keputusan dibuat seringkali karena pertimbangan ideologi dan

politik. Akibatnya banyak tindakan salah arah yang dilakukan, tindakan yang

tidak memecahkan masalah yang ada, tetapi yang sesuai dengan kepentingan atau

keyakinan dari orang-orang yang berkuasa. Dengan mengutip Pierre Bourdieu,

Stiglitz mengatakan mengenai perlunya para politisi berperilaku layaknya

akademisi serta terlibat dalam perdebatan ilmiah yang berdasarkan pada fakta-

fakta dan bukti-bukti yang kuat. Sayangnya, hal sebaliknyalah yang justru amat

sering terjadi. Ketika para akademisi terlibat dalam pembuatan kebijakan,

rekomendasi-rekomendasinya menjadi bernilai politis dan mulai membengkokkan

bukti agar sesuai dengan kehendak mereka yang berkuasa (Stiglitz2003:x).

Menurut buku Making Globalization Work melihat persoalan globalisasi

secara lebih meluas berikut strategi-strategi praktis yang dapat diacu bagi seluruh

pengambil kebijakan di seluruh dunia. Lebih lanjut Stiglitz menuliskan

keyakinnya bahwa warga negara yang memilki informasi yang lebih baik

mungkin untuk memberikan perhatian terhadap penyalahgunaan perusahaan dan

kepentingan keuangan tertentu yang menguasai proses globalisasi, bahwa

masyarakat umum di negara industri maju dan negara-negara berkembang

memiliki kepentingan yang sama dalam mewujudkan globalisasi keyakinannya

akan proses demokrasi (Stiglitz 2009:34-35).

Pandangan-pandangan Stiglitz tentulah sangat relevan untuk menganalisa

fenomena-fenomena globalisasi yang terjadi di negara-negara berkembang seperti

Indonesia. Di Indonesia, awal mula dipraktikkannya ide-ide Konsensus

Page 56: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

43

Washington secara radikal adalah ketika Indonesia dilanda krisis ekonomi di

tahun 1998. Pada masa itu Indonesia akhirnya tidak dapat menghindarkan diri

untuk tidak meminta bantuan dari IMF dalam menyelesaikan krisis. Akhirnya

Indonesia mendapatkan pinjaman berupa dana segar sekaligus paket kebijakan

penyembuhan ekonomi dari IMF. Peran IMF ini dirangkum dalam sebuah

program yang dikenal dengan namaletter ofintent (LoI). Dan walaupun kontrak

dengan IMF sebenarnya telah berakhir pada tahun 2003, namun IMF belum akan

benar-benar lepas dari Indonesia karena pemerintah wakru itu memilih opsi Post

Program Monitoring (PPM) hingga akhir tahun 2007. Dan ini tentu

mengindikasikan bahwa pemerintahan yang berkuasa di Indonesia pasca

runtuhnya rezim orde baru tetap akanmemiliki keterkaitan dengan proyek

penyebaran ide-ide neoliberalisme.

Pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarno Putri misalnya,

salah satu kebijakan yang paling disorot terkait dengan proyek penyebaran ide ide

neoliberalisme adalah masalah privatisasi Indosat.Kebijakan ini aneh karena

Indosat pada saat itu tergolong kedalam perusahaaan negara yang sehat.

Pada akhir tahun 2002 pemerintah menjual saham pemerintah hingga 41,49%

kepada Singapore Telemedia Pte. Ltd (STT). Ini merupakan kali ketiga

pemerintah menjual saham indosat, dan ini merupakan penjualan terbesar.

Sebelumnya 25% saham pemerintah telah dijual pada tahun 1994, dan 11,32%

pada mei 2002. Program privatisasi ini tentu tidak lepas dari peran yang

dimainkan oleh IMF. Di dalam LoI pertama yang ditandatangani oktober 1997

dinyatakan bahwa privatisasi disebut sebagai strategi untuk meningkatkan

Page 57: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

44

kompetisi pada level domestik, meningkatkan efisiensi, dan memperbaiki supply

kepada konsumen. Dalam LoI tersebut juga dicantumkan bahwa pembahasan

program privatisasi harus dilakukan dengan kerjasama Bank Dunia. Hal ini

berlanjut pada penandatanganan LoI kedua pada tahun 1998, dimana pemerintah

ditargetkan melakukan privatisasi terhadap 164 BUMN. Disebutkan pula bahwa

pemerintah juga mulai mencari investor strategis yang berminat pada BUMN di

bidang telekomunikasi internasional, jasa pelabuhan dan lapangan terbang, serta

perkebunan kelapa sawit (Syamsul Hadi et.al 2006B:98-101).

B1. Kebijakan Pendidikan Tinggi menurut PP No. 60 Tahun

1999 dan PP No.61 Tahun 1999

Pada perkembangan muktahirnya ide-ide neoliberal tersebut

tertuang pada rekomendasi para arsitek ekonomi yang bermukim di

Washington. Para ilmuwan yang terlibat dalam diskursus itu berasal dari

lembaga-lembaga donor yaitu IMF (International Monetary Fund),

Bank Dunia, dan juga turut serta Departemen Keuangan Amerika

Serikat. Belakangan rekomendasi ini lebih dikenal dengan istilah

Washington Konsensus. Istilah yang pertama kali dicetuskan oleh

John Williamson (1994) ini semula ditujukan untuk memperbaiki

kondisi ekonomi Amerika Latin yang sedang diterpa badai krisis ekonomi

(Josepth E Stiglistz 2002:11). Selanjutnya setelah penandatanganan LoI

pertama maka diberlakukanlah PP No. 60 tahun 1999 dan PP No. 61 tahun

1999 yang akan dijelaskan selanjutnya.

Page 58: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

45

Dengan terpuruknya Indonesia melalui krisis moneter atau krismon

di tahun 1997 maka Indonesia melakukan pinjaman uang kepada IMF guna

memperbaiki perekonomian, oleh sebab itu maka ditandatanganilah LoI

(letter of Intent). Sejak ditandatangani LoI yang pertama pada LoI pertama

ditandatangani pada 31 Oktober 1997 oleh Menkeu Mar`ie Muhammad

dan Gubernur Bank Indonesia Soedradjad Djiwandono (Gatra, 2002). Atas

kesepakatan tersebut IMF meminta syarat pemulihan ekonomi melalui

formulasinya yang lebih cenderung kearang formulasi Konsensus

Washington dengan mengurangi subsisdi kesehatan dan pendidikan.

Pengurangan subsisdi pendidikan dan kesehatan dipercaya dapat

memulihkan ekonomi Indonesia dari krisis Asia (Penelitian Dan

Pengembangan Ekonomi Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada.

2004:242). Dari kesepakatan LoI tersebut maka pemerintah mengeluarkan

PPNo. 60 Tahun 1999, pada PP tersebut menurut bab XII tentang

pembiayaan pada pasal 114 - 117 yang pada intinya adalah melepaskan

sebagian tanggung jawab pemerintah terhadap Pendidikan Tinggi. Seperti

isi pada pasal 114 berikut ini;

“(1) Pembiayaan perguruan tinggi dapat diperoleh dari sumber

pemerintah, masyarakat dan

pihak luar negeri.

(2) Penggunaan dana yang berasal dari Pemerintah baik dalam

bentuk anggaran rutin maupun

anggaran pembangunan serta subsidi diatur sesuai dengan peraturan

perundang-undangan

yang berlaku.

Page 59: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

46

(3) Dana yang diperoleh dari masyarakat adalah Perolehan dana

perguruan tinggi yang berasal

dari sumber-sumber sebagai berikut:

a. Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP);

b. biaya seleksi ujian masuk perguruan tinggi;

c. hasil kontrak kerja yang sesuai dengan peran dan fungsi perguruan

tinggi;

d. hasil penjualan produk yang diperoleh dari penyelenggaraan

pendidikan tinggi;

e. sumbangan dan hibah dari perorangan, lembaga Pemerintah atau

lembaga nonpemerintah;

dan

f. penerimaan dari masyarakat lainnya.

(4) Penerimaan dan penggunaan dana yang diperoleh dari pihak luar

negeri diatur sesuai

dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(5) Usaha untuk meningkatkan penerimaan dana dari masyarakat

didasarkan atas pola prinsip

tidak mencari keuntungan.”

Selanjutnya pada PP No.61 Tahun 1999 dijelaskan mengenai status

Perguruan Tinggi Negeri menjadi badan Hukum Negara, yang berarti

dengan diberlakukannya PP tersebut maka negara mengurangi alokasi

subsidi di bidang pendidikan. Dengan ditetapkannya PP tersebut maka

status UI (Universitas Indonesia) menjadi Badan Hukum Pendidikan yang

sebagian dana operasional pendidikan bersumber dari masyarakat, donatur

dan sumbangan Luar Negeri.

C. Latar belakang pembentukan Undang-Undang Badan Hukum

Pendidikan di Indonesia (UU BHP)

Pembentukan UU BHP syarat akan kebijakan liberalisme dan privatisasi,

melalui PP No.60 Tahun1999 tentang pembentukan PTN (Perguruan Tinggi

Negeri) dan BLU (Badan Layanan Umum) kemudian dilanjutkan dengan UU

Page 60: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

47

No.61 Tahun 1999 mempertegas tentang 7 PTN menjadi BHMN (Purbayanto

Kemana (Arah) Perguruan Tinggi BHMN 2011:1) Implementasi PT-BHMN yang

sudah berjalan sampai tahun keempat setelah keluarnya PP No. 61 tahun 1999

yang diperkuat dengan PP No. 152 sd 155 tahun 2000 kepada ke empat

universitas, yaitu UI, UGM, ITB dan IPB, yang disusul dengan USU dan UPI,

dengan segala argumentasinya hingga kini masih menyisakan banyak persoalan

yang perlu terus klarifikasi dan pencerahan. Jika memperhatikan PP No. 61 tahun

1999 tersiurat bahwa semua PTN diharapkan menuju ke arah PT-BHMN, tinggal

kesiapan masing-masing, sehingga wajar ada sejumlah PTN yang terus sibuk

menyiapkan diri, walaupun dewasa ini sudah mulai diproses bahwa setiap institusi

pendidikan sebagaimana yang dinyatakan pada pasal 53 UU no. 20 tahun 2003

tentang Sisdiknas bahwa:

(1) Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh

Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.

(2) Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

berfungsi memberikan pelayanan pendidikan kepada peserta didik.

(3) Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk

memajukan satuan pendidikan (Rochmat Wahab Perguruan Tinggi Badan

Hukum Milik Negara (PT-BHMN) Ditinjau Dari Perspektif Filosofis Dan

Sosiologis 2004:4-5)

Hal yang melatar belakangi kebijakan privatisasi pendidikan adalah IMF dan

World Bank pada momentum krisis moneter tahun 1998, melalui kebijakan LoI

Page 61: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

48

(letter of Intent). Loi antara IMF dan Indonesia banyak mengatur dan mengikat

pemerintah dalam hal pelaksanaan ekonomi dan sosial yang secara terang-

terangan serta nyata mengadopsi formulasi Konsensus Washington (Studi

Manajemen Utang Luar Negeri Dan Dalam Negeri Pemerintah Dan Assessment

Terhadap Optimal Borrowing 2004:225)

C.1 Privatisasi Pendidikan Melalui UU BHP

Beberapa tahun pasca krisis moneter 1997 di Indonesia, privatisasi

menjadi sebuah acuan terhadap perbaikan ekonomi di Indonesia. Bagi para

pendukung privatisasi, mereka memakai kesuksesan Margareth Teacher

pada tahun 1979 yang mendorong perekonomian Inggris melalui kebijakan

privatisasi.Sedangkan di kubu yang kontra terhadap pendekatan ini

menganggap privatisasi hanyalah derivasi dari skenario besar ekonomi

liberal yang kontra produktif bagi pengembangan ekonomi rakyat

kecil.Mahalnya biaya jasa publik, seperti kesehatan dan pendidikan

menjadi dampak langsung dari adanya konsep privatisasi.Ada sebuah

keyakinan dalam perjalanan kebijakan privatisasi yang dalam ruang

lingkup ekonomi memang sebenarnya baik, yaitu mendorong pasar

kompetitif yang berujung pada efisiensi ekonomi.Tetapi, Apa terjadi di

Inggris tidak dapat disamakan dengan kondisi bangsa Indonesia. Ketika itu

rakyat di Inggris sudah mencapai tingkat kemapanan yang cukup, sehingga

daya beli mereka tinggi. Hal ini tentu saja mengurangi tanggung jawab

sosial pemerintah dalam pengelolaan ekonomi (Mohtar Mas’oed 2002:9).

Page 62: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

49

Program privatisasi sektor publik menjadi salah satu komponen

penting dalam penerapan SAP (StrukturalAdjusment Program), baik di

negara berkembang maupun di negara dalam masa transisi ekonomi.

Liberalisasi sektor pendidikan di dunia international difasilitasi oleh WTO

(World Trade Organization) dalam GATS (General Agreement on trade in

Service) Hal ini dikarenakan subsidi yang diberikan kepada sektor publik

dianggap sebagai penyebab dari meningkatnya pengeluaran pemerintah

yang mengakibatkan defisit anggaran (Saprin 2004:15).

Selanjutnya logika perdagangan jasa pendidikan, sebagaimana

diutarakan oleh mantan Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Dr.

Sofian Effendi mengikuti tipologi yang digunakan oleh para ekonom

dalam membagi kegiatan usaha dalam masyarakat. Ilmu ekonomi

membagi 3 sektor kegiatan usaha dalam masyarakat. Pertama adalah

sektor Primer mencakup semua industri ekstraksi hasil pertambangan dan

pertanian. Kedua, sektor sekunder mencakup industri untuk mengolah

bahan dasar menjadi barang, bangunan, produk manufaktur dan utilities.

Dan ketiga, sektor tersier yang mencakup industri-industri untuk

mengubah wujud benda fisik (physical services), keadaan manusia (human

services) dan benda simbolik (information and communicationservices).

Sejalan dengan pandangan ilmu ekonomi tersebut, WTO menetapkan

pendidikan sebagai salah satu industri sektor tersier, karena kegiatan

pokoknya adalah mentransformasi orang yang tidak berpengetahuan dan

orang yang tidak mempunyai keterampilan menjadi orang yang

Page 63: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

50

berpengetahuan dan mempunyai keterampilan. Indonesia sendiri mulai

mengikatkan diri dalam WTO sejak tahun 1994. Dengan diterbitkanya

Undang-Undang No.7 Tahun 1994 tanggal 2 Nopember 1994 tentang

pengesahan (ratifikasi) ―Agreement Establising the World

TradeOrganization”, maka Indonesia secara resmi telah menjadi anggota

WTO dan semua persetujuan yang ada di dalamnya telah sah menjadi

bagian dari legislasi nasional. Sebagai anggota WTO, Indonesia tentu saja

tidak bisa menghindar dari berbagai perjanjian liberalisasi perdagangan,

termasuk perdagangan jasa pendidikan. Keputusan yang dinilai agak

terburu-buru.Mengingat kondisi pendidikan nasional saat ini yang masih

buruk.Keputusan liberalisasi pendidikan ditetapkan di tengah angka buta

huruf dan putus sekolah yang masih tinggi di Indonesia. Dalam kondisi

seperti ini, sejalan dengan logika ekonomik ala WTO, pendidikan hanya

akan menjadi barang komersial yang jauh dari upaya pemenuhan hak

konstitusi rakyat atas pendidikan yang bermutu dan berkualitas oleh negara

(Dani setiawan Liberalisasi Pendidikan dan WTO 2004:2).

Sebelum pemerintah mengeluarkan UU BHP pemerintah telah

mengeluarkan terlebih dahulu Peraturan Pemerintah Nomor 61 tahun 1999

tentang Penetapan Perguruan TinggiNegeri sebagai Bahan Hukum yang

kemudian disusul diterbitnya PeraturanPemerintah Nomor 155 tahun 2000

tentang Penetapan Institut Teknologi Bandung menjadi Bahan Hukum

Milik Negara. Pertimbangan pertama yang ditinjau dalam Peraturan

Page 64: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

51

Pemerintah Nomor 61 secara singkat adalah adanya globalisasi

yangmenimbulkan persaingan yang tajam.

Selanjutnya Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang

Sistem Pendidikan Nasional (pasal 50 ayat 6) menyebutkan bahwa

perguruan tinggi menentukan kebijakan dan memiliki otonomi dalam

mengelola pendidikan di lembaganya. Lebih lanjut disebutkan dalam

Undang-Undang yang sama (pasal 51 ayat 1-2) bahwa: (a) pengelolaan

satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan

menengah dilaksanakan berdasarkan standar p elayanan minimal dengan

prinsip manajemen Yang dimaksud dengan otonomi perguruan tinggi

adalah kemandirianperguruan tinggi untuk mengelola sendiri

lembaganya.berbasis sekolah/madrasah3, dan (b) pengelolaan satuan

pendidikan tinggi dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi, akuntabilitas,

jaminan mutu, dan evaluasi yang transparan. Sementara itu, pengelolaan

satuan pendidikan non-formal dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah

daerah, dan atau masyarakat (UU No. 20 Th. 2003, pasal 52 ayat

1).Berdasarkan berbagai aturan di atas, sesungguhnya tidak ekpslisit dapat

dikatakan bahwa pendidikan nasional sekarang ini menganut

liberalisasi.Namun dengan pemberian otonomi dikhawatirkan bahwa

pendidikan dapat terserat pada liberalisasi pendidikan. Di sinilah

sesungguhnya terjadi pertarungan kepentingan, dalam arti apakah

pemerintah akan membendung liberalisasi yang sudah terlanjur masuk

bersama masuknya liberalisai dalam bidang politik, ekonomi, serta sosial-

Page 65: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

52

budaya ataukah pemerintah mengakomodasi liberalisasi tersebut? Dalam

hal ini, pelaku pendidikan dan masyarakat terpolarisasi antara menerima

dan menolak liberaliasi pendidikan ini neskipun dengan kadar yang

bervariasi (M. Tajuddin Liberalisasi Pendidikan: Sebuah Wacana

Kontroversial 2010).

Jika melihat fakta, pemerintah memang terlihat mengakomodasi

liberalisasi pendidikan, antara lain dengan kasat mata tercermin dengan

dikeluarkannya Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2007 dan Peraturan

Presiden Nomor 77 Tahun 2007, yang mengkategorikan pendidikan

sebagai bidang usaha, seperti yang dipahami dalam bidang ekonomi.

Dalam peraturan Presiden ini sangat jelas pula bahwa sektor pendidikan

dimungkinkan menjadi lahan investasi modal asing sampai maksimal 49

persen.Banyak kalangan mencemaskan, bahwa jika kemitraan dengan

―pemilik modal‖ dalam negeri tidak berimbang, maka terbuka peluang

kepemilikan mayoritas beralih ke tangan asing, dengan segala

konsekuensinya. Di lain pihak, masyarakat pun banyak pula yang

menerima, terutama dari kalangan menengah ke atas (PP. Presiden No.77

tahun 2007).

D. Latar belakang pembentukan Undang-Undang Pendidikan Tinggi

No. 12 Tahun 2012

Menelusuri urutan permasalahan Undang-Undang Perguruan Tinggi Tahun

2012 adalah ketika pemerinta Indonesia sepakat untuk masuk ke dalam bagian

Page 66: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

53

World Trade Organization (WTO) pada tahun 1994. Sebagai bentuk

konsekuensinya, Indonesia harus patuh kepada aturan-aturan pokok yang

ditetapkan dalam perjanjian General Agreement on Trade in Service (GATS).Pada

perjanjian tersebut terdapat 12 sektor jasa yang dimasukkan dalam komoditas

perdagangan jasa internasional, termasuk pendidikan. Inilah awal dibukanya pintu

komersialisasi dan liberalisasi pendidikan Nasional dalam wujud liberalisasi

pendidikan (Narcis Serra dan Joseph E. Stiglitz 2008:46)

Melalui UU No. 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan yang

substansinya merupakan UU titipan produk liberal dan telah dimazulkan (Nomor

11-14-21-126-136/Puu-Vii/2009) oleh Mahkamah Konstitusi. Namun pada

tanggal 10 Agustus 2012 telah disahkan sebuah produk hukum yang diindikasikan

bentuk baru dari UU BHP, yakni UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan

Tinggi sebagai lanjutan dari UU No. 9 Tahun 2009 yang isi tidaklah jauh berbeda

dari UU BHP.

Page 67: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

54

BAB IV

DAMPAK RATIFIKASI GATS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN

TINGGI DI INDONESIA

Pada bab ini dipaparkan mengenai Undang-Undang Pendidikan Tinggi

No.12 Tahun 2012 dalam kerangka GATS, serta Analisis dampak penerapan

Undang-Undang Perguruan Tinggi No.12 Tahun 2012.

A. Undang-Undang Pendidikan Tinggi No.12 Tahun 2012 dalam

kerangka GATS

Sejak diundangkannya UU Pendidikan Tinggi No. 12 Tahun 2012 pada

tanggal 10 Agustus 2012 maka berlakulah Undang-Undang tersebut. GATS

(General Agreement on Trade in Services) merupakan sebuah kesepakatan dalam

kerjasama WTO yang meliputi 12 sektor jasa antara lain meliputi jasa sektor

bisnis, komunikasi; teknik dan konstruksi; distribusi; pendidikan; lingkungan;

keuangan; kesehatan; pariwisata; rekreasi, budaya, olahraga; transportasi; dan jasa

lainnya (E. Hartmann dan C. Scherrer 2006:4). Dalam Basic Information on

GATS Kewajiban utama GATS adalah akses pasar (Pasal XVI GATS), national

treatment (Pasal XVII GATS), dan most-favoured-nation (Pasal II GATS). di

dalam WTO, merupakan proses sentral yang mengawali peningkatan privatisasi

pendidikan di Dunia karena mendorong liberalisasi progresif pada jasa

pendidikan dan telah menjadi pijakan signifikan dalam pasar perdagangan jasa

Page 68: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

55

pendidikan internasional. Dalam proses negosiasi komitmen spesifik di bawah

GATS, jasa dikategorikan di bawah UN Central Product Classification, yang

hanya dibuat semata berdasarkan perspektif produsen, sehingga membuat tidak

ada pembedaan antara pendidikan dan jasa lainnya, meskipun pendidikan

berkaitan erat dengan kepentingan publik. Perdagangan dalam jasa pendidikan

terbagi menjadi lima sub-sektor pendidikan yang dikategorikan oleh United

Nations Provisional Central Product Classification (CPC), yaitu mencakup

pendidikan dasar, pendidikan menengah, pendidikan tinggi, pendidikan dewasa

(pendidikan di luar sistem pendidikan reguler), dan pendidikan lainnya meliputi

semua jasa pendidikan yang tidak terklasifikasi di atas (United Nation 2011).

GATS mendefiniskan empat cara di mana segala jenis jasa dapat

diperdagangkan, yaitu berdasarkan konsumsi jasa di luar negeri oleh konsumen

yang bepergian ke negara penyedia jasa (sebagai contoh adalah pelajar yang

menempuh studi di luar negeri); suplai jasa lintas negara terhadap konsumen di

suatu negara tanpa kehadiran penyedia jasa di negara tersebut (sebagai contoh

adalah pendidikan jarak jauh); kehadiran penyedia jasa komersial di negara

konsumen (sebagai contoh adalah kehadiran universitas asing di negara tersebut);

kehadiran sumber daya manusia dari negara penyedia jasa ke negara konsumen

(sebagai contoh kehadiran profesor dan peneliti asing yang bekerja di negara

tersebut). Sektor pendidikan, terutama pendidikan tinggi, telah menjadi komoditas

perdagangan yang menjanjikan keuntungan besar dan dikuasai oleh negara maju

pendukung liberalisasi pasar, yaitu Amerika Serikat, Inggris, dan Australia

(Current Commitments under the GATS in Educational Services 2002).

Page 69: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

56

Permintaan terhadap Pendidikan Tinggi terus menigkat terutama

pendidikan lintas negara. Menurut Jane Knight, terdapat beberapa hal yang

menjadi pendorong perkembangan pesat perdagangan internasional pada jasa

pendidikan, yaitu antara lain kemunculan penyedia jasa pendidikan yang

berorientasi profit; perkembangan teknologi yang mendorong kemudahan

penyampaian jasa pendidikan, baik skala domestik maupun internasional; sebagai

respon terhadap pasar tenaga kerja; peningkatan mobilitas mahasiswa, profesor,

dan program internasonal; terbatasnya kapasitas anggaran (atau kemauan politik)

pemerintah untuk memenuhi naiknya permintaan domestik akan pendidikan tinggi

(The Impact of Trade Liberalization on Higher Education: Policy Implications

,The Observatory on Borderless Higher Education 2002:1).

Dalam hal ini akibat dari ketentuan WTO melalui GATS maka Indonesia

harus memprivatisasi Pendidikan Tingginya melalui kerangka GATS. Sifat

negosiasi perluasan liberalisasi jasa dalam GATS dilakukan dengan model initial

offer dan initial request. Dany Setiawan merangkum, setiap negara bisa

mengirimkan initialrequest yaitu daftar sektor-sektor yang diinginkan untuk

dibuka di negara lain. Negara diwajibkan meliberalisasi sektor-sektor tertentu

yang dipilihnya sendiri atau disebut initial offer. Perundingan untuk perluasan

akses pasar jasa ini dilakukan secara bilateral oleh masing-masing negosiator jasa

tiap negara di Jenewa, yang apabila disepakati akan berlaku multilateral

(Liberalisasi Pendidikan dan WTO 2009:1)

Page 70: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

57

B. Analisis dampak penerapan Undang-Undang Perguruan

Tinggi No.12 Tahun 2012

Melihat subtansi dari Pendidikan pada Undang-Undang Perguruan Tinggi

tahun 2012 (UU PT tahun 2012) maka dapat dikatakan bahwa EPI sangatlah

berperan penting dalam UU PT tahun 2012. Ekonomi politik internasional sendiri

secara sederhana dapat diartikan menjadi dua kata yaitu state (negara) dan market

(pasar). Ketika terjadi hubungan timbal balik diantara keduanya maka ekonomi

dan politik keduanya saling mempengaruhi. Namun pada perkembangannya

politik mempengaruhi ekonomi lebih dominan (Gilipin,2001; 77).

Sebagaimana diketahui bahwa studi Hubungan Internasional mulai

mengkaji ekonomi-politik internasional sejak tahun 1970, dan ekonomi-poltik

internasional itu sendiri membutuhkan integrasi teori-teori dari disiplin ekonomi

dan poltik, misalnya masalah-masalah dalam isu perdagangan internasional,

moneter,dan pembangunan ekonomi (Gilpin, 1987: 3). Lebih lanjut, Rudy (2003:

50-51) menjelaskan ekonomi-politik adalah hasil interaksi anatara kajian ekonomi

dan kajian politik, yang mempertimbangkan serta dipengaruhi unsur ekonomi,

unsur politik yang satu sama lain saling berinteraksi. Dan ekonomi politik

internasional adalah interaksi mekanisme pasar internasional (termasuk hal

interdependensi, depedensi, dan globalisasi) dengan sistem masyarakat

internasional yaitu multi-state system dan pola hubungan antarnegara serta

kebijakan masing-masing pemerintah untuk mempengaruhi situasi pasar

internasional baik dalam bidang perdagangan maupun dalam bidang moneter.

Page 71: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

58

Sebagai contoh adalah ketika kekuasaan membutuhkan ekonomi untuk

memperkuat powernya. Terbentuknya rezim internasional adalah salah satu

contoh nyata. Di satu sisi rezim internasional dibutuhkan untuk mempertahankan

dan menstabilkan ekonomi internasional namun di lain sisi muncul kritik terhadap

rezim internasional. Susan Strange mengkritik bahwa teori rezim berada pada

passing fad, dan paling buruk merupakan legitimasi Amerika untuk melanjutkan

dominasi pada ekonomi dunia (Gilpin, 2001;85)

Syamsul hadi menjelaskan, rezim internasional yang berkembang saat ini

adalah yang aspek power yakni Pax Americana. Pax Americana adalah suatu

situasi global dimana Amerika muncul sebagai kekuatan yang paling dominan

didalam sistem internasional setelah perang dunia II. Dan fungsi kekuatan

hegemoni ini adalah menyediakan atau mempromosikan apa-apa yang

disebut international public goods, seperti misalnya keamanan, stabilitas dsb.

Dalam konteks hegemoni Amerika atau Pax Americana, perdagangan bebas itu

pada mulanya dilihat dan dipromosikan oleh Amerika sebagai public goods,

sebagai sesuatu yang harus ada dan harus berlaku. Itu terutama dapat dilihat pada

masa 25 tahun terakhir ketikaKonsensus Washington atau neoliberal begitu

menguasai wacana pembangunan di dunia. Disinilah perdagangan bebas menjadi

bagian dari Konsensus Washington, berdampingan dengan paket-paket deregulasi,

privatisasi dan liberalisasi yang dipromosikan oleh lembaga-lembaga

seperti IMF, WTO, dan Bank Dunia (Syamsul Hadi. 2011C:11)..

Page 72: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

59

Melalui GATS maka diberlakukanlah liberalisasi pendidikan, liberalisasi

dimaknai sebagai proses untuk memindahkan larangan-larangan yang dibuat oleh

negara dalam rangka membentuk ekonomi dunia yang lebih terintegraasi.

Konsepsi ketiga, universalisasi bermakna menyebarnya pelbagai macam obyek

dan pengalaman dari masyarakat di seluruh dunia. Westerenisasi merupakan kritik

bagi proses peniruan budaya Barat atau bahkan proses memaksakan sistem

budaya, sistem politik dan sistem ekonomi negara-negara Barat dalam panggung

dunia semangat liberalisasi pada sektor publik ketika Ronald Reagan dan

Margareth Thatcher mengumandangkan prinsip kebijakan baru yang disebut

neoliberalisme dan prinsip ini harus dilakukan oleh negara-negara di seluruh

dunia. Kebijakan neoliberal disini merupakan kebutuhan dari negeri Imperialis

dalam memenuhi bahan baku untuk industri mereka, mendapatkan sumber tenaga

kerja yang murah dan pangsa pasar yang lebih besar (Mochtar Mas’oed 2002:8).

Liberalisasi pendidikan di Indonesia pada sektor publik sudah dimulai

ketika pemerintah Orde Baru yang menerapkan Structural Adjusment Program

dari IMF dan World Bank. Hal ini ditandai dengan seperangkat regulasi yang

meminimalisir peran negara dalam aspek pemotongan subsidi di bidang

pendidikan dan ikut sertanya swasta dalam penyelenggaraan pendidikan di

Indonesia (Syamsul Hadi et al. 2007B:25). Pada kepemimpinan Presiden Susilo

Bambang Yudhoyono (SBY) dimulai dari tahun 2004 hingga sekarang, dalam

rangka menyukseskan program liberalisasi pendidikan di Indonesia khususnya di

bidang pendidikan tinggi dapat kita lihat melalui PP no 48 tahun 2005 tentang

sumber pendanaan pendidikan yang mengikutsertakan masyarakat dalam

Page 73: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

60

pendanaan, lalu Perpers no 77 tahun 2007 tentang bidang yang dapat dilaksanakan

investasi, dilanjutkan pada pengesahan UU no 9 tahun 2009 tentang BHP

(walaupun dibatalkan oleh MK) serta sekarang dilanjutkan dengan keberadaan

UU Pendidikan Tinggi No.12 tahun 2012. Dalam UU PT No.12 tahun 2012 yang

disusun oleh legislatif dan eksekutif di era Presiden SBY saat ini sangat jelas

sekali bahwa keberadaan UU Pendidikan Tinggi No.12 tahun 2012 ini akan

menjauhkan tanggung jawab negara dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi di

Indonesia.

Ekonomi politik internasional didalam GATS berpengaruh kepada UU PT

No.12 tahun 2012. GATS merupakan perjanjian terbesar karena meliputi 12

sektor jasa secara komprehensif (meliputi jasa sektor bisnis, komunikasi; teknik

dan konstruksi; distribusi; pendidikan; lingkungan; keuangan; kesehatan;

pariwisata; rekreasi, budaya, olahraga; transportasi; dan jasa lainnya). Kewajiban

utama GATS adalah akses pasar (Pasal XVI GATS), national treatment (Pasal

XVII GATS), dan most-favoured-nation (Pasal II GATS) (Globalization, GATS

and Trading in Education Service, 2006 : 4)

Dari kesepakatan GATS di tahun 2000, maka Indonesia secara berangsur-

angsur meratifikasi perjanjian tersebut dimulai dari UU Sisdiknas, UU BHP dan

UU PT No.12 tahun 2012. Dan berikut adalah bentuk dari kesepakatan GATS

pada UU PT No.12 tahun 2012 dimohonkan oleh M. Nurul Fajri, dkk, selaku

perwakilan Forum Peduli Pendidikan Universitas Andalas sidang Mahkamah

Konstitusi;

Page 74: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

61

1. Bahwa Pasal 64 UU Pendidikan Tinggi bertentangan dengan Pasal 28C

ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (4), Pasal 31 ayat (1) dan

ayat (4) UUD 1945, karena Otonomi Perguruan Tinggi di bidang akademik

dan non-akademik, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64: (a) membuka

peluang dan melegitimasi perguruan tinggi untuk menerapkan

komersialisasi pendidikan tinggi; (b) membuka kesempatan kepada

perguruan tinggi untuk mengelola keuangan seperti sebuah sebuah

korporasi; (c) penyerahan otonomi non-akademik kepada PT badan hukum

merupakan bentuk pelepasan tanggung jawab dan kontrol Negara terhadap

pendidikan tinggi yang berkeadilan dan diskriminatif, sehingga

bertentangan dengan UUD NRI 1945 Pasal 31 ayat (1); dan (d) membuka

kesempatan kepada perguruan tinggi untuk melakukan abuse of power

dalam bidang ketenagaan karena pegawai perguruan tinggi akan tunduk

kepada perguruan tinggi sebagaimana ditetapkan dalam UUD NRI 1945

Pasal 28 D ayat (1); dan Pasal a quo melanggar Pasal 28 C ayat (1) karena

tidak memberikan kesempatan yang sama kepada setiap warganegara untuk

menikmati pendidikan tinggi.

2. Bahwa Pasal 65 ayat (1) sepanjang frasa “atau dengan membentuk

PTN badan hukum” serta ayat (3) dan ayat (4) UU Pendidikan Tinggi

bertentangan dengan Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I

ayat (4), Pasal 31 ayat (1) dan ayat (4) UUD 1945, karena: (a) otonomi

Perguruan Tinggi menjadikan pendidikan tinggi barang publik (publicgood)

yang merupakan fungsi dan tanggungjawab Pemerintah. Penyelenggaraan

pendidikan tinggi oleh PTN badan hukum menjadikan pendidikan tinggi

barang privat, sehingga bertentangan dengan amanat Pasal 31 ayat (2) UUD

NRI 1945; (b) bahwa bentuk PT Badan Hukum Pendidikan sudah

dinyatakan Mahkamah bertentangan dengan UUD NRI 1945 dengan

Putusan Perkara No. 11-14-21-126-136 PUU-VII-2009; (c) bahwa

pemberian otonomi dapat menimbulkan praktek komersialisiasi yang

Page 75: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

62

dilakukan oleh pengelola PTN; (d) bahwa pemberian otonomi kepada

perguruan tinggi negeri terutama di bidang keuangan berpotensi

memberikan kewenangan kepada institusi perguruan tinggi untuk memungut

dan memberlakukan berbagai bentuk biaya pungutan kepada mahasiswa

(masyarakat) dan dapat menyulitkan akses masyarakat ekonomi lemah,

sehigga bertentangan dengan ketentuan Pasal 28 C ayat (1); dan (e) bahwa

pemberian otonomi kepada PTN yang menerapkan Pola Pengelolaan

keuangan Badan Layanan Umum (PPK-BLU) berarti memberikan

kemandirian pengelolaan dibidang keuangan oleh PTN belum tentu

menyediakan pendidikan murah bagi masyarakat, sehingga bertentangan

dengan Pasal 31 ayat (23) UUD 1945.

3. Bahwa Pasal 86 ayat (1) UU Pendidikan Tinggi bertentangan dengan

Alinea IV Pembukaan dan Pasal 31 ayat (1) dan ayat (5) UUD 1945,

karena: (a) Fasilitasi dan pemberian insentif kepada dunia usaha,

masyarakat, dan perorangan untuk memberikan bantuan kepada Perguruan

Tinggi telah melanggar pokok fikiran dalam Alinea IV tentang filosofi

pendidikan nasional; (b) mereduksi tanggung jawab negara atas pendidikan

dengan memberi kesempatan kepada dunia usaha dan industri untuk terlibat

dalam pendanaan pendidikan tinggi: (c) menyebabkan dekonstruksi pada

dunia pendidikan tinggi Indonesia, dari pembentukan pendidikan tinggi

yang berkualitas menjadi pendidikan tinggi yang menerapkan pradigma

dunia usaha yang mengutamakan profit oriented; (d) Pasal a quo akan

berakibat pada perubahan kurikulum Perguruan Tinggi yang lebih

disesuaikan dengan kebutuhan dunia usaha dan dunia industri.

4. Bahwa Pasal 90 UU Pendidikan Tinggi bertentangan dengan Alinea IV

Pembukaan, Pasal 28C ayat (1) dan Pasal 28E ayat (1) UUD NRI 1945

karena: (a) menghambat pemenuhan hak konstitusional warga negara atas

pendidikan, khususnya pendidikan tinggi yang dijamin dalam Alinea IV

Pembukaan UUD NRI 1945, Pasal 28C ayat (1), dan Pasal 28E ayat (1); (b)

merupakan pelanggaran kewajiban konstitusional pemerintah untuk

menyediakan pembiayaan untuk pendidikan tinggi; dan (c) pemberian izin

Page 76: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

63

kepada perguruan tinggi Negara lain di wilayah Negara kesatuan Republik

Indonesia bertentangan dengan kewajiban Negara melalui Perguruan Tinggi

Negeri untuk menyelenggarakan pendidikan tinggi ( Prof. Dr. Sofian Effen

didalam Perkara di Mahkamah Konstitusi No. 103/PUU/-X/2012 tentang

Pengujian Undang-undang Republik Indonesia No 12 tahun 2012 tentang

Pendidikan Tinggi terhadap UUD NRI 1945).

Dan disisi lain, penjelasan dari Sekretaris DPT Ditjen Dikti yakni Prof. Ir.

Nizam, M.Sc., Ph.D. yang mewakili pemerintah Indonesia menjelaskan beberapa

poin penting Undang-Undang Pendidikan No.12 tahun 2012 antara lain;

1. UU dikti tidak bertentangan dengan UUD 1945dan disusun atas

perintah konstitusi (UUD 1945 Pasal 31 ayat 3 dan 5) tetapi

melengkapi/komplementer dengan UU Sisdiknas.

2. Pemerintah dan masyarakat bersama UU dikti berusaha mengerem laju

liberalisasi dan komersialisasi.

3. Undang-Undang Pendidikan Tinggi (UU Dikti) dibuat untuk mengatasi

mahalnya biaya pendidikan tinggi.

4. Perguruan tinggi asing boleh menyelenggarakan pendidikan tinggi

selama bersifat nirlaba, sehingga tidak terjadi komersialisasi pendidikan.

5. Boleh selama mengikuti peraturan perundangan dan sejalan dengan

kepentingan nasional, sehingga tidak terjadi liberalisasi pendidikan.

6. Boleh selama bekerjasama dengan PT dalam negeri, sehingga tidak

membunuh PT dalam negeri. PT Asing juga harus mendapat izin

Pemerintah.

7. Pemerintah mengatur daerah di mana PT asing boleh beroperasi, jenis

perguruan tinggi, serta program studi yang boleh diselenggarakan.

Namun dibalik pandangan dari kesaksian Prof. Sofian Efendi di Mahkamah

Konstitusi penulis menilai masih ada beberapa kebijakan positif yang didapat dari

UU No.12 tahun 2012 yang dirangkum oleh penulis yakni diantaranya;

1.Menurut pasal 31 “Pendidikan Jarak Jauh”

(1) Pendidikan jarak jauh merupakan proses belajar mengajar yang

dilakukan secara jarak jauh melaluipenggunaan berbagai media

komunikasi.(2) Pendidikan jarak jauh sebagaimana dimaksud pada ayat

Page 77: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

64

(1) bertujuan:a. memberikan layanan Pendidikan Tinggi kepada kelompok

Masyarakat yang tidak dapat mengikutiPendidikan secara tatap muka atau

reguler; danb. memperluas akses serta mempermudah layanan

PendidikanTinggi dalam Pendidikan danpembelajaran. (3) Pendidikan

jarak jauh diselenggarakan dalamberbagai bentuk, modus, dan

cakupan yang didukung oleh sarana dan layanan belajar serta sistem

penilaian yang menjamin mutu lulusan sesuai denganStandar Nasional

Pendidikan Tinggi. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai

penyelenggaraan pendidikan jarak jauh sebagaimana dimaksud pada ayat

(1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Menteri.

2. Menurut pasal 32 ―Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan

Khusus”

(1) Program Studi dapat dilaksanakan melaluipendidikan khusus bagi

Mahasiswa yang memilikitingkat kesulitan dalam mengikuti proses

pembelajaran dan/atau Mahasiswa yang memilikipotensi kecerdasan dan

bakat istimewa.(2) Selain pendidikan khusus sebagaimana

dimaksudpada ayat (1) Program Studi juga dapat dilaksanakan

melalui pendidikan layanan khusus dan/ataupembelajaran layanan

khusus.(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Program Studi

yangmelaksanakan pendidikan khusus sebagaimanadimaksud pada ayat

(1) dan pendidikan layanankhusus dan/atau pembelajaran layanan

khusussebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalamPeraturan

Menteri.

3. Menurut pasal Pasal 50 “Kerja Sama Internasional Pendidikan

Tinggi”

(1) Kerja sama internasional Pendidikan Tinggi merupakan proses

interaksi dalam pengintegrasian dimensi internasional ke dalam kegiatan

akademik untuk berperan dalam pergaulan internasional tanpa kehilangan

nilai-nilai keindonesiaan.(2) Kerja sama internasional harus didasarkan

pada prinsip kesetaraan dan saling menghormati dengan mempromosikan

Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan nilai kemanusiaan yang memberi

manfaat bagi kehidupan manusia.(3) Kerja sama internasional mencakup

bidang Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian kepada Masyarakat.(4)

Kerja sama internasional dalam pengembangan Pendidikan Tinggi dapat

dilakukan, antara lain, melalui: a. hubungan antara lembaga Pendidikan

Tinggi di Indonesia dan lembaga Pendidikan Tinggi negara lain dalam

kegiatan penyelenggaraan Pendidikan yang bermutu; b. pengembangan

pusat kajian Indonesia dan budaya lokal pada Perguruan Tinggi di dalam

dan di luarnegeri; dan c. pembentukan komunitas ilmiah yang mandiri. (5)

Kebijakan nasional mengenai kerja sama internasional Pendidikan Tinggi

ditetapkan dalam Peraturan Menteri.

Page 78: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

65

4. Menurut pasal 51-53 ”PENJAMINAN MUTU”

(1) Pendidikan Tinggi yang bermutu merupakan Pendidikan Tinggi yang

menghasilkan lulusan yang mampu secara aktif mengembangkan

potensinya danmenghasilkan Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi yang

berguna bagi Masyarakat, bangsa, dan negara. (2) Pemerintah

menyelenggarakan sistem penjaminan mutu Pendidikan Tinggi untuk

mendapatkanPendidikan bermutu. Pasal 52 (1) Penjaminan mutu

Pendidikan Tinggi merupakankegiatan sistemik untuk meningkatkan mutu

Pendidikan Tinggi secara berencana dan berkelanjutan. (2) Penjaminan

mutu sebagaimana dimaksud padaayat (1) dilakukan melalui penetapan,

pelaksanaan, evaluasi, pengendalian, dan peningkatan estándar Pendidikan

Tinggi.(3) Menteri menetapkan sistem penjaminan mutu Pendidikan

Tinggi dan Standar Nasional PendidikannTinggi. (4) Sistem penjaminan

mutu Pendidikan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) didasarkan

pada Pangkalan Data Pendidikan Tinggi.Pasal 53Sistem penjaminan mutu

Pendidikan Tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (2) terdiri

atas: a. sistem penjaminan mutu internal yang dikembangkanoleh

Perguruan Tinggi; dan b. sistem penjaminan mutu eksternal yang

dilakukanmelalui akreditasi.

5. Menurut Pasal 57 “Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi”

(1) Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi merupakan satuan kerja

Pemerintah di wilayah yang berfungsi membantu peningkatan mutu

penyelenggaraan Pendidikan Tinggi.(2) Lembaga Layanan Pendidikan

Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk oleh Menteri. (3)

Menteri menetapkan tugas dan fungsi lembaga sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) sesuai dengan kebutuhan. (4) Menteri secara berkala

mengevaluasi kinerja lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Dibalik kelebihan dan kekurangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi No.

20 Tahun 2012 dalam skripsi ini mencoba memaparkannya, sebagai refleksi dari

pemahaman konsep Neoliberalisme dalam studi Hubungan Internasional yang

berada pada diskurusus Ekonomi Politik Internasional yang menjadi dasar pijakan

WTO dan GATS. Skripsi ini menilai neoliberalisme dalam kerangka ekonomi

Page 79: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

66

politik internacional sudah menjadi dasar dalam peletakan sebuah kebijakan di

Indonesia, khususnya pada UU Dikti ini yang tak terlepas dari pengaruh

instrumen WTO dan GATS. Skripsi ini memaparkan tentang bagaimana

perjalanan konsep neoliberalisme dalam pedidikan yang mulai masuk di era tahun

90-an melalui kerangka IMF dan World Bank serta kini dilanjutkan oleh

instrumen WTO dan GATS.

Page 80: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

67

BAB V

KESIMPULAN

Dampak Konsensus Washington dan ratifikasi pemerintah Indonesia

terhadap kebijakan GATS atas Undang-Undang Pendidikan Tinggi No.12 tahun

2012, menimbulkan dampak terhadap privatisasi dan liberalisasi pendidikan

khususnya pada Pendidikan Tinggi. Pada skripsi ini melihat akar permasalahan

liberalisasi pendidikan tinggi diawali dengan IMF dan World Bank, selanjutnya

berkembang menuju GATS lalu implementasi GATS melalui UU BHP atau UU

No.20 tahun 2003 yang berhasil di makzulkan dan terkini adalah UU Perguruan

Tinggi No.12 tahun 2012.

Pengaruh Konsensus Washington terhadap pendidikan sebenarnya terjadi

pada saat krisis Asia tahun 1996 yang lebih dikenal dengan krisis moneter. Pada

saat itu Negara-negara debitur IMF dan World Bank terjebak dalam skenario

Konsensus Washington yang termaktub pada butir pelepasan sebagian tanggung

jawab Negara terhadap aspek sosial dan pendidikan berupa privatisasi, yang

artinya privatisasi pendidikan di Indonesia telah dimulai pada fase ini. Tahun

1999, melalui PP No.60 dan PP No.61. Pada PP No.60 pasal 115 menjelaskan

bahwa setiap peguruan tinggi berhak menerima, menyimpan, dan mengelola

keuangan secara otonom. Oleh karena itu, sumbangan di luar SPP (sumbangan

pendanaan pendidikan), uang registrasi, dan TPP (tungangan pendanaan

pendidikan), tidak termasuk dalam Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

Inilah yang menjadi dasar pijakan pertama privatisasi pada Pendidikan Tinggi.

Page 81: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

68

Selanjutnya penyelenggaraan pendidikan tinggi oleh Pemerintah melalui bentuk

Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (BHMN), yaitu UGM, UI, ITB,

IPB, USU, UPI, UNAIR, berlangsung pada tahun 2000.

Konsepsi Konsensus Washington menjadi pilar utama IMF dan World

Bank dalam menetapkan kebijakannya, terutama di negara-negara berkembang.

Dalam hal ini Indonesia yang merupakan salah satu negara di Asia yang

melaksanakan formulasi Konsensus Washington yang masuk melalui Letter Of

Inten mau tidak mau suka tidak suka masuk dalam skenario Konsensus

Washington. Konsep tersebut masuk melalui liberalisasi pendidikan berupa

privatisasi pendidikan dengan mengurangi peran pemerintah dalam urusan

pendidikan dalam hal ini khususnya Pendidikan Tinggi, partisipasi masyarakat,

bantuan dari pihak swasta serta asing dan otonomi perguruan tinggi.

Sejalan dengan hal tersebut rupanya WTO melalui GATS telah

menjalankan aksi serupa sebagai bentuk penyempurnaan dari privatisasi

pendidikan dan dampak globalisasi. Indonesia masuk anggota WTO pada tahun

1995 dengan diterbitkanya Undang-Undang No.7 Tahun 1994 tanggal 2

Nopember 1994 tentang pengesahan (ratifikasi) ―Agreement Establising the

World TradeOrganization”, maka Indonesia secara resmi telah menjadi anggota

WTO dan semua persetujuan yang ada di dalamnya telah sah menjadi bagian dari

legislasi nasional. Selanjutnya konsepsi mengenai GATS, penyediaan jasa

pendidikan merupakan salah satu dari 12 sektor jasa lainnya yang akan

diliberalisasi. Liberalisasi perdagangan sektor jasa pendidikan berdampingan

dengan liberalisasi layanan kesehatan, teknologi informasi dan komunikasi, jasa

Page 82: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

69

akuntansi, serta jasa-jasa lainnya. Sejak tahun 2000, negosiasi perluasan

liberalisasi jasa dalam GATS dilakukan dengan model initial offer dan initial

request. Dimana setiap negara bisa mengirimkan initial request yaitu daftar

sektor-sektor yang diinginkan untuk dibuka di negara lain. Negara diwajibkan

meliberalisasi sektor-sektor tertentu yang dipilihnya sendiri atau disebut initial

offer. Perundingan untuk perluasan akses pasar jasa ini dilakukan secara bilateral

oleh masing-masing negosiator jasa tiap negara di Jenewa, yang apabila

disepakati akan berlaku multilateral.

Sejak diberlakukannya GATS pada sektor pendidikan, maka Indonesia

sebagai negara anggota WTO harus meratifikasi aturan main dalam sektor

pendidikan. Di Indonesia aturan tersebut menjelma kedalam UU No.20 tahun

2003 tentang Sisdiknas dan UU No.9 tahun 2009 tentang BHP. Kedua UU

tersebut terlihat jelas mengenai privatisasi dan liberalisasi pendidikan, yang berisi

antara lain; Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem

Pendidikan Nasional (pasal 50 ayat 6) menyebutkan bahwa perguruan tinggi

menentukan kebijakan dan memiliki otonomi dalam mengelola pendidikan di

lembaganya. Selanjutnya disebutkan dalam Undang-Undang yang sama (pasal 51

ayat 1-2) bahwa: (a) pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan

dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan

minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah3, dan (b)

pengelolaan satuan pendidikan tinggi dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi,

akuntabilitas, jaminan mutu, dan evaluasi yang transparan. Sementara itu,

Page 83: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

70

pengelolaan satuan pendidikan non-formal dilakukan oleh Pemerintah,

pemerintah daerah, dan atau masyarakat (UU No. 20 Tahun. 2003, pasal 52 ayat

1). Berdasarkan berbagai aturan di atas, melalui pemaparan pasal-pasal tersebut

diatas tidak menyebutkan secara terang-terangan mengenai bentuk-bentuk

privatisasi maupun liberalisasi pendidikan. Namun dengan pemberian otonomi

dikhawatirkan bahwa pendidikan dapat terserat pada liberalisasi pendidikan. Dan

inilah produk dari GATS tentang liberalisasi pendidikan.

Setelah dibatalkannya UU No. 20 Tahun 2003 oleh mahkamah konstitusi

melalui Putusan Nomor 11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009 pada tanggal 31

Maret 2010 maka pemerintah melakukan perbaikan dengan membuat PP No.

17/2010, tentang: Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan PP. No 14/2010,

tentang: Pendidikan Kedinasan. Namun sekali lagi kedua PP tersebut masih

berbau Privatisasi dan Liberalisasi. Lalu pada tahun 2012 melalui UU No.12

Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi Pemerintah melakukan aspek-aspek

liberalisasi pendidikan melalui kerjasama Internasional pendidikan, otonomi

Perguruan Tinggi, peran serta mayarakat dalam pendanaan Pendidikan Tinggi,

dan pembiyaan Perguruan Tinggi oleh pihak swasta berprinsip nirlaba.

Melalui skripsi ini diharapkan dapat memahami mengenai dampak

Konsensus Washington dan Ratifikasi Indonesia terhadap kebijakan GATS

khususnya terhadap pendidikan di Indonesia yang berawal dari IMF, World Bank,

Konsensus Washington, WTO, dan berakhir di GATS.

Page 84: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

71

Daftar Pustaka

Ali, Husein Muhammad. Menyingkap Rahasia Besar dibalik Liberalisasi

Pendidikan. 2012 [diakses 14 jan

2013]http://edukasi.kompasiana.com/2012/11/11/ menyingkap-rahasia-

besar-di-balik-liberalisasi-pendidikan-508235.html

Antisipasi Rencana Ratifikasi GATS, UGM : 2005 di akses

http://www.ugm.ac.id/id/post/page?id=102

Balaam, David N. dan Michael Veseth. Introduction to International Political

Economy 3rd edtion. New Jersey: Pearson Education Inc, 2005.

Bastian, Indra. Model Pengelolaan Privatisasi. Yogyakarta: BPFE, 2000.

Cano, Guiomar Alonso, dkk. (eds.). 2005: kebudayaan Perdagangan dan

Globalisasi: 25 Tanya Jawab. Yogyakarta: Kanisius.

”Current Commitments under the GATS in Educational Services”. OECD/US

Forum on Trade in Educational Services Washington, DC, U.S.A2002

Dwi, Inggried Wedhaswary. Lulus SNMPTN, Kok, Bayarnya Mahal

Juga?.[diakses 15 Juni 2013] http://edukasi.kompas.com

Effendi, Sofian.Didalam Perkara di Mahkamah Konstitusi No. 103/PUU/-

X/2012 tentang Pengujian Undang-undang Republik Indonesia No

12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi terhadap UUD NRI 1945

Efendi, Sofian. GATS: Neo-imprialisme modern dalam Pendidkan. Yogyakarta :

UGM, 2005

Ferdiansyah, R. “Globalisasi dan Kebijakan Ekonomi Indonesia Pasca Orde

Baru : Perspektif Joseph E. Stiglitz” 2011 [di unduh 12 juli 2013]

http://perpus.umy.ac.id/katalog/detail_skripsi.php?what=skripsi&id=2007

000213&recid=3362

―General Agreement on Trade in Services‖, diakses dari

http://www.wto.org/english/docs_e/legal_e/26-gats_01_e.htm pada 1

0ktober 2011 pukul 20.30

Gilpin, Robert. 2001. ―The New Global Economic Order‖, dalam Global Political

Economy: Understanding the International Economic Order, Princeton:

Princeton University Press.

Page 85: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

72

Gilpin, Robert. 2001. ―The Nature of Political Economy‖, dalam Global Political

Economy: Understanding the International Economic Order, Princeton:

Princeton University Press.

Gilpin, Robert. 2001. ―The Study of International Political Economy‖, dalam

Global Political Economy: Understanding the International Economic

Order, Princeton: Princeton University .

Hadi, Syamsul.et al. Post Washington Consensus dan Politik Privatisasi di

Indonesia. Jakarta: Margin Kiri, 2007.

Hadi, Syamsul Krisis. Global Rezim Internasional Dan Perdagangan Bebas.

2011. [di unduh 12 juli 2013]http://www.igj.or.id/

Hadi, Syamsul.et al. Strategi Pembangunan Indonesia Pasca IMF. Jakarta:

Granit, 2004.

Hadi, Syamsul et.al. Globalisasi, neoliberalisme, dan pembangunan lokal: studi

tentang Kawasan Ekonomi Khusus. Institute for Global Justice.

Jakarta:2011

Hatta. Perdagangan Internasional dalam Sistem GATT-WTO. Bandung: Refika

Aditama , 2006.

Heywood, Andrew. Politics 2nd edition. New York: Palgrave, 2002.

Husein, Ruslan. Wajah Buruk Dunia Pendidikan. 2008 [di unduh 15 juli

2013]http://putrakeadilan.blogspot.com/2008/10/wajah-buruk-dunia-

pendidikan.html

Humas UGM, Antisipasi Rencana Ratifikasi GATS, UGM : 2005 (diperoleh dari :

http://www.ugm.ac.id/id/post/page?id=102)

IMF. Apakah Dana Moneter Internasional Itu?. Washington DC : 2003[diakses

15Juni 2013]http://www.imf.org/external/pubs/ft/exrp/what/IND/whati.pdf

Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi 4. Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta

: Gramedia, 2008

Knight, Jane. Trade in Higher Education Services: The Implications of GATS.

United Kingdom : International Strategic and service, 2002

Malarangeng, Rizal. Mendobrak Sentralisme: Ekonomi Indonesia 1986-1992,

Jakarta: KPG, 2002.

Page 86: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

73

Marshall Reinsdorf and Matthew J. Slaughter . International Trade in Services

and Intangibles in the Era of Globalization . University of Chicago Press

USA : 2009

Mas’oed, Mochtar. Tantangan Internasional Dan Keterbatasan Nasional:

Analisis Ekonomi-Politik Tentang Globalisasi Neoliberal,UGM

“Menko Perekonomian: Pemutusan IMF Mendadak Berisiko Besar” Economy

Tue, 11 Jun 2002 17:38:00 WIB diakses dari

http://cybernews.cbn.net.id/cbprtl/Cybernews/detail.aspx?x=Economy&y=

Cybernews%7C0%7C0%7C3%7C3639

Yogyakarta: 2002

Moleong, Lexy J. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya,

2004.

Nalle , Viktor . ―Mengembalikan Tanggung Jawab Negara dalam Pendidikan:

Kritik Terhadap Liberalisasi Pendidikan dalam UUSISDIKNAS” Jurnal

Konstitusi Volume 8 Nomor 4 Agustus. Jakarta : 2011

Nur, M. Tajudin. “Liberalisasi Pendidikan : Sebuah Wacana Kontroversial”

Jurnal Visi Pendidikan tahun. Jakarta : 2012

Nurdin, ―Pro-Kontra Undang-Undang BHP Dalam Konteks Mutu Pendidikan‖.

Jurnal Administrasi Pendidikan Vol. Ix No. 1 April. Bandung :2009

“Letter of Intent Indonesia and IMF” diperoleh dari

(http://www.imf.org/external/np/loi/1113a98.htm#matrix)

“Letter of Inten Indonesia and IMF” . Jakarta:1998 di akses dari

http://www.imf.org/external/np/loi/103197.htm

Perkin, John. Confessions of an economic hit man: pengakuan seorang ekonom

perusak. Jakarta: Abdi Tandur, 2005.

Page 87: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

74

“Peraturan Presiden No.60 Tahun 1999 Tentang Perguruan Tinggi”. Diakses

Melalui(http://www.unsrat.ac.id/files/pdf_file/Aturan%20Pemerintah/pp60

-th1999-usr.pdf)

“Peraturan Presiden No.61 Tahun 1999 Tentang Pendidikan Tinggi”. Diakses

Melalui (http://www.dikti.go.id/files/atur/PP61-1999.pdf)

Purbayanto. Kemana (Arah) Perguruan Tinggi BHMN. Jakarta : 2011 di unduh

dari http://purbayanto.com/cetak.php?id=46

Purba, Raimon Jony. “Neoliberalisme Dan Ekonomi Politik Indonesia Studi

Kasus: Penerapan Kebijakan Privatisasi Pendidikan Di Indonesia” 2008.

2008 [di unduh 12 juli 2013]

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30632/4/Chapter%20I.pdf

Ravenhill, John. ―The Study of Global Political Economy‖, Oxford: Oxford

University Press. 2008

Studi Manajemen Utang Luar Negeri Dan Dalam Negeri Pemerintah Dan

Assessment Terhadap Optimal Borrowing. 2004.) Studi Manajemen Utang

Luar Negeri Dan Dalam Negeri Pemerintah Dan Assessment Terhadap

Optimal Borrowing.2004.

Setiawan, Dani. Liberalisasi Pendidikan dan WTO 2003 [diakses 15 Juni 2013]

http://oc.its.ac.id/ambilfile.php?idp=126

Saprin, The Policy Roots of Economic Crisis and Poverty, the Report of

Structural Adjusment Participatory Review International Network,

London: Zed Books, 2004.

Serra, Narcis dan Joseph E. Stiglitz. The Washington Consensus Reconsidered

Towards a New Global Governance. New York : Oxford university press ,

2008.

Suara Merdeka. Pembatalan UU BHP Munculkan Masalah Baru.[diakses 15 Juni

2013] http://suaramerdeka.com

Stiglitz, Josepth E. Globalization and Its Discontents. London: Penguin Books,

2002.

Stiglitz, Joseph E. Making Globalization Work : Menyiasati Globalisasi Menuju

Dunia Yang Lebih Adil (Hc). Jakarta: Mizan, 2009.

Page 88: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

75

Stiglitz, Joseph E. Washington Consensus Arah Menuju Jurang kemiskinan,

INFID, Jakarta, 2002

Tirtosudarmo, Riwanto. Mencari Indonesia: Demografi Politik Pasca

Soeharto. Jakarta: LIPI Press, 2007.

Toemion, Theo F. Uang dan malapetaka dunia hancurnya neokapitalisme dan

neoliberalisme. Jakarta: Verbum Publishing, 2009.

Tajuddin, M. Liberalisasi. Pendidikan: Sebuah Wacana Kontroversial .2010

“Tanya-Jawab Seputar Uu Dikti Nomor 12 Tahun 2012”

oleh Prof. Ir. Nizam, M.Sc., Ph.D. (Sekretaris DPT Ditjen Dikti) diakses

melalui (http://luk.tsipil.ugm.ac.id/atur/UU122012/tanyajawab.html)

T, May Rudy. Hubungan Internasional Kontemporer dan Masalah-Masalah

global. Bandung: PT Refika Aditama, 2003.

“Undang-Undang No.22 Tahun 1961 Tentang Perguruan Tinggi”. Diakses

Melalui (http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_22_1961.htm)

―Undang-Undang No.2 Tahun 1989 Tentang Sisdiknas‖. Diakses Melalui

(http://www.hukumonline.com/pusatdata/downloadfile/lt4c3d44a89102b/p

arent/17215)

“Undang-Undang No.20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas”. Diakses Melalui

(http://riau.kemenag.go.id/file/file/produkhukum/fcpt1328331919.pdf)

“Undang-Undang No.9 Tahun 2009 Tentang Badan Hukum Pendidikan”.

Diakses Melalui

(http://datahukum.pnri.go.id/index.php?option=com_phocadownload&vie

w=category&download=1036:uu9tahun2009&id=21:tahun-

2009&Itemid=27)

Wibowo dan Francis Wahono (ed), Neoliberalisme, Yogyakarta: Cinderalas

Pustaka Cerdas, 2003.

Wiliamson, John. “A Short History of The Washington Consensus” Fundación

CIDOB for a conference. Barcelona, September 24–25, 2004.

Wiliamson, John. The Washington Consensus as Policy Prescription for

Development A lecture in the series "Practitioners of Development"

delivered at the World Bank on January 13, 2004. The author is indebted

to colleagues at the Institute for International Economics

Page 89: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

76

Wiliamson, John. The Washington Consensus as Policy Prescription for

Development. January 13, 2004. The author is indebted to colleagues

at the Institute for International Economics

Wahab, Rochmat. Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PT-BHMN)

Ditinjau Dari Perspektif Filosofis Dan Sosiologis. Jakarta, 2004

Page 90: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 12 TAHUN 2012

TENTANG

PENDIDIKAN TINGGI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan kepada

Pemerintah untuk mengusahakan dan

menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional

yang meningkatkan keimanan, ketakwaan kepada

Tuhan Yang Maha Esa, dan akhlak mulia dalam

rangka mencerdaskan kehidupan bangsa serta

memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan

menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan

bangsa untuk kemajuan peradaban serta

kesejahteraan umat manusia;

b. bahwa pendidikan tinggi sebagai bagian dari sistem

pendidikan nasional memiliki peran strategis dalam

mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan

ilmu pengetahuan dan teknologi dengan

memperhatikan dan menerapkan nilai humaniora

serta pembudayaan dan pemberdayaan bangsa

Indonesia yang berkelanjutan;

c. bahwa untuk meningkatkan daya saing bangsa dalam

menghadapi globalisasi di segala bidang, diperlukan

pendidikan tinggi yang mampu mengembangkan ilmu

pengetahuan dan teknologi serta menghasilkan

intelektual, ilmuwan, dan/atau profesional yang

berbudaya dan kreatif, toleran, demokratis,

berkarakter tangguh, serta berani membela

kebenaran untuk kepentingan bangsa;

d. bahwa . . .

Page 91: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

- 2 -

d. bahwa untuk mewujudkan keterjangkauan dan

pemerataan yang berkeadilan dalam memperoleh

pendidikan tinggi yang bermutu dan relevan dengan

kepentingan masyarakat bagi kemajuan,

kemandirian, dan kesejahteraan, diperlukan

penataan pendidikan tinggi secara terencana, terarah,

dan berkelanjutan dengan memperhatikan aspek

demografis dan geografis;

e. bahwa untuk menjamin penyelenggaraan pendidikan

tinggi diperlukan pengaturan sebagai dasar dan

kepastian hukum;

f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana

dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d,

dan huruf e perlu membentuk Undang-Undang

tentang Pendidikan Tinggi;

Mengingat : Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 31 Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

dan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PENDIDIKAN TINGGI.

BAB I . . .

Page 92: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

- 3 -

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

1. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana

untuk mewujudkan suasana belajar dan proses

pembelajaran agar peserta didik secara aktif

mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki

kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,

kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta

keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,

bangsa, dan negara.

2. Pendidikan Tinggi adalah jenjang pendidikan setelah

pendidikan menengah yang mencakup program

diploma, program sarjana, program magister,

program doktor, dan program profesi, serta program

spesialis, yang diselenggarakan oleh perguruan

tinggi berdasarkan kebudayaan bangsa Indonesia.

3. Ilmu Pengetahuan adalah rangkaian pengetahuan

yang digali, disusun, dan dikembangkan secara

sistematis dengan menggunakan pendekatan

tertentu, yang dilandasi oleh metodologi ilmiah

untuk menerangkan gejala alam dan/atau

kemasyarakatan tertentu.

4. Teknologi adalah penerapan dan pemanfaatan

berbagai cabang Ilmu Pengetahuan yang

menghasilkan nilai bagi pemenuhan kebutuhan dan

kelangsungan hidup, serta peningkatan mutu

kehidupan manusia.

5. Humaniora adalah disiplin akademik yang mengkaji

nilai intrinsik kemanusiaan.

6. Perguruan . . .

Page 93: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

- 4 -

6. Perguruan Tinggi adalah satuan pendidikan yang

menyelenggarakan Pendidikan Tinggi.

7. Perguruan Tinggi Negeri yang selanjutnya disingkat

PTN adalah Perguruan Tinggi yang didirikan

dan/atau diselenggarakan oleh Pemerintah.

8. Perguruan Tinggi Swasta yang selanjutnya disingkat

PTS adalah Perguruan Tinggi yang didirikan

dan/atau diselenggarakan oleh masyarakat.

9. Tridharma Perguruan Tinggi yang selanjutnya

disebut Tridharma adalah kewajiban Perguruan

Tinggi untuk menyelenggarakan Pendidikan,

penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.

10. Penelitian adalah kegiatan yang dilakukan menurut

kaidah dan metode ilmiah secara sistematis untuk

memperoleh informasi, data, dan keterangan yang

berkaitan dengan pemahaman dan/atau pengujian

suatu cabang ilmu pengetahuan dan teknologi.

11. Pengabdian kepada Masyarakat adalah kegiatan

sivitas akademika yang memanfaatkan Ilmu

Pengetahuan dan Teknologi untuk memajukan

kesejahteraan masyarakat dan mencerdaskan

kehidupan bangsa.

12. Pembelajaran adalah proses interaksi mahasiswa

dengan dosen dan sumber belajar pada suatu

lingkungan belajar.

13. Sivitas Akademika adalah masyarakat akademik

yang terdiri atas dosen dan mahasiswa.

14. Dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan

dengan tugas utama mentransformasikan,

mengembangkan, dan menyebarluaskan Ilmu

Pengetahuan dan Teknologi melalui Pendidikan,

Penelitian, dan Pengabdian kepada Masyarakat.

15. Mahasiswa . . .

Page 94: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

- 5 -

15. Mahasiswa adalah peserta didik pada jenjang

Pendidikan Tinggi.

16. Masyarakat adalah kelompok warga negara

Indonesia nonpemerintah yang mempunyai

perhatian dan peranan dalam bidang Pendidikan

Tinggi.

17. Program Studi adalah kesatuan kegiatan Pendidikan

dan pembelajaran yang memiliki kurikulum dan

metode pembelajaran tertentu dalam satu jenis

pendidikan akademik, pendidikan profesi, dan/atau

pendidikan vokasi.

18. Standar Nasional Pendidikan Tinggi adalah satuan

standar yang meliputi standar nasional pendidikan,

ditambah dengan standar penelitian, dan standar

pengabdian kepada masyarakat.

19. Pemerintah pusat, selanjutnya disebut Pemerintah,

adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang

kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia

sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

20. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau

walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur

penyelenggara pemerintahan daerah.

21. Kementerian adalah perangkat pemerintah yang

membidangi urusan pemerintahan di bidang

pendidikan.

22. Kementerian lain adalah perangkat pemerintah yang

membidangi urusan pemerintahan di luar bidang

pendidikan.

23. Lembaga Pemerintah Nonkementerian yang

selanjutnya disingkat LPNK adalah lembaga

pemerintah pusat yang melaksanakan tugas

pemerintahan tertentu.

24. Menteri . . .

Page 95: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

- 6 -

24. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan

urusan pemerintahan di bidang pendidikan.

Pasal 2

Pendidikan Tinggi berdasarkan Pancasila, Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka

Tunggal Ika.

Pasal 3

Pendidikan Tinggi berasaskan:

a. kebenaran ilmiah;

b. penalaran;

c. kejujuran;

d. keadilan;

e. manfaat;

f. kebajikan;

g. tanggung jawab;

h. kebhinnekaan; dan

i. keterjangkauan.

Pasal 4

Pendidikan Tinggi berfungsi:

a. mengembangkan kemampuan dan membentuk watak

serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam

rangka mencerdaskan kehidupan bangsa;

b. mengembangkan Sivitas Akademika yang inovatif,

responsif, kreatif, terampil, berdaya saing, dan

kooperatif melalui pelaksanaan Tridharma; dan

c. mengembangkan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

dengan memperhatikan dan menerapkan nilai

Humaniora.

Pasal 5 . . .

Page 96: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

- 7 -

Pasal 5

Pendidikan Tinggi bertujuan:

a. berkembangnya potensi Mahasiswa agar menjadi

manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan

Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, sehat, berilmu,

cakap, kreatif, mandiri, terampil, kompeten, dan

berbudaya untuk kepentingan bangsa;

b. dihasilkannya lulusan yang menguasai cabang Ilmu

Pengetahuan dan/atau Teknologi untuk memenuhi

kepentingan nasional dan peningkatan daya saing

bangsa;

c. dihasilkannya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

melalui Penelitian yang memperhatikan dan

menerapkan nilai Humaniora agar bermanfaat bagi

kemajuan bangsa, serta kemajuan peradaban dan

kesejahteraan umat manusia; dan

d. terwujudnya Pengabdian kepada Masyarakat berbasis

penalaran dan karya Penelitian yang bermanfaat

dalam memajukan kesejahteraan umum dan

mencerdaskan kehidupan bangsa.

BAB II

PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN TINGGI

Bagian Kesatu

Prinsip dan Tanggung Jawab Penyelenggaraan

Pendidikan Tinggi

Pasal 6

Pendidikan Tinggi diselenggarakan dengan prinsip:

a. pencarian kebenaran ilmiah oleh Sivitas Akademika;

b. demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif

dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai

agama, nilai budaya, kemajemukan, persatuan, dan

kesatuan bangsa;

c. pengembangan . . .

Page 97: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

- 8 -

c. pengembangan budaya akademik dan pembudayaan

kegiatan baca tulis bagi Sivitas Akademika;

d. pembudayaan dan pemberdayaan bangsa yang

berlangsung sepanjang hayat;

e. keteladanan, kemauan, dan pengembangan kreativitas

Mahasiswa dalam pembelajaran;

f. pembelajaran yang berpusat pada Mahasiswa dengan

memperhatikan lingkungan secara selaras dan

seimbang;

g. kebebasan dalam memilih Program Studi berdasarkan

minat, bakat, dan kemampuan Mahasiswa;

h. satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka

dan multimakna;

i. keberpihakan pada kelompok Masyarakat kurang

mampu secara ekonomi; dan

j. pemberdayaan semua komponen Masyarakat melalui

peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian

mutu layanan Pendidikan Tinggi.

Pasal 7

(1) Menteri bertanggung jawab atas penyelenggaraan

Pendidikan Tinggi.

(2) Tanggung jawab Menteri atas penyelenggaraan

Pendidikan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) mencakup pengaturan, perencanaan, pengawasan,

pemantauan, dan evaluasi serta pembinaan dan

koordinasi.

(3) Tugas dan wewenang Menteri atas penyelenggaraan

Pendidikan Tinggi meliputi:

a. kebijakan umum dalam pengembangan dan

koordinasi Pendidikan Tinggi sebagai bagian dari

sistem pendidikan nasional untuk mewujudkan

tujuan Pendidikan Tinggi;

b. penetapan . . .

Page 98: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

- 9 -

b. penetapan kebijakan umum nasional dan

penyusunan rencana pengembangan jangka

panjang, menengah, dan tahunan Pendidikan

Tinggi yang berkelanjutan;

c. peningkatan penjaminan mutu, relevansi,

keterjangkauan, pemerataan yang berkeadilan, dan

akses Pendidikan Tinggi secara berkelanjutan;

d. pemantapan dan peningkatan kapasitas

pengelolaan akademik dan pengelolaan sumber

daya Perguruan Tinggi;

e. pemberian dan pencabutan izin yang berkaitan

dengan penyelenggaraan Perguruan Tinggi kecuali

pendidikan tinggi keagamaan;

f. kebijakan umum dalam penghimpunan dan

pendayagunaan seluruh potensi masyarakat untuk

mengembangkan Pendidikan Tinggi;

g. pembentukan dewan, majelis, komisi, dan/atau

konsorsium yang melibatkan Masyarakat untuk

merumuskan kebijakan pengembangan Pendidikan

Tinggi; dan

h. pelaksanaan tugas lain untuk menjamin

pengembangan dan pencapaian tujuan Pendidikan

Tinggi.

(4) Dalam hal penyelenggaraan pendidikan tinggi

keagamaan, tanggung jawab, tugas, dan wewenang

dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan

urusan pemerintahan di bidang agama.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab

Menteri atas penyelenggaraan Pendidikan Tinggi

sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tugas dan

wewenang Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat

(3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Bagian Kedua . . .

Page 99: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

- 10 -

Bagian Kedua

Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Paragraf 1

Kebebasan Akademik, Kebebasan Mimbar Akademik, dan

Otonomi Keilmuan

Pasal 8

(1) Dalam penyelenggaraan Pendidikan dan

pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

berlaku kebebasan akademik, kebebasan mimbar

akademik, dan otonomi keilmuan.

(2) Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh

Sivitas Akademika melalui pembelajaran dan/atau

penelitian ilmiah dengan menjunjung tinggi nilai-nilai

agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan

peradaban dan kesejahteraan umat manusia.

(3) Pelaksanaan kebebasan akademik, kebebasan

mimbar akademik, dan otonomi keilmuan di

Perguruan Tinggi merupakan tanggung jawab pribadi

Sivitas Akademika, yang wajib dilindungi dan

difasilitasi oleh pimpinan Perguruan Tinggi.

Pasal 9

(1) Kebebasan akademik sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 8 ayat (1) merupakan kebebasan Sivitas

Akademika dalam Pendidikan Tinggi untuk

mendalami dan mengembangkan Ilmu Pengetahuan

dan Teknologi secara bertanggung jawab melalui

pelaksanaan Tridharma.

(2) Kebebasan . . .

Page 100: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

- 11 -

(2) Kebebasan mimbar akademik sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 8 ayat (1) merupakan wewenang profesor

dan/atau Dosen yang memiliki otoritas dan wibawa

ilmiah untuk menyatakan secara terbuka dan

bertanggung jawab mengenai sesuatu yang berkenaan

dengan rumpun ilmu dan cabang ilmunya.

(3) Otonomi keilmuan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 8 ayat (1) merupakan otonomi Sivitas

Akademika pada suatu cabang Ilmu Pengetahuan

dan/atau Teknologi dalam menemukan,

mengembangkan, mengungkapkan, dan/atau

mempertahankan kebenaran ilmiah menurut kaidah,

metode keilmuan, dan budaya akademik.

Paragraf 2

Rumpun Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Pasal 10

(1) Rumpun Ilmu Pengetahuan dan Teknologi merupakan

kumpulan sejumlah pohon, cabang, dan ranting Ilmu

Pengetahuan yang disusun secara sistematis.

(2) Rumpun Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

a. rumpun ilmu agama;

b. rumpun ilmu humaniora;

c. rumpun ilmu sosial;

d. rumpun ilmu alam;

e. rumpun ilmu formal; dan

f. rumpun ilmu terapan.

(3) Rumpun Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

ditransformasikan, dikembangkan, dan/atau

disebarluaskan oleh Sivitas Akademika melalui

Tridharma.

Paragraf 3 . . .

Page 101: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

- 12 -

Paragraf 3

Sivitas Akademika

Pasal 11

(1) Sivitas Akademika merupakan komunitas yang

memiliki tradisi ilmiah dengan mengembangkan

budaya akademik.

(2) Budaya akademik sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) merupakan seluruh sistem nilai, gagasan,

norma, tindakan, dan karya yang bersumber dari

Ilmu Pengetahuan dan Teknologi sesuai dengan asas

Pendidikan Tinggi.

(3) Pengembangan budaya akademik sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan interaksi

sosial tanpa membedakan suku, agama, ras,

antargolongan, jenis kelamin, kedudukan sosial,

tingkat kemampuan ekonomi, dan aliran politik.

(4) Interaksi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (3)

dilakukan dalam pembelajaran, pencarian kebenaran

ilmiah, penguasaan dan/atau pengembangan Ilmu

Pengetahuan dan Teknologi serta pengembangan

Perguruan Tinggi sebagai lembaga ilmiah.

(5) Sivitas Akademika berkewajiban memelihara dan

mengembangkan budaya akademik dengan

memperlakukan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

sebagai proses dan produk serta sebagai amal dan

paradigma moral.

Pasal 12

(1) Dosen sebagai anggota Sivitas Akademika memiliki

tugas mentransformasikan Ilmu Pengetahuan

dan/atau Teknologi yang dikuasainya kepada

Mahasiswa dengan mewujudkan suasana belajar dan

pembelajaran sehingga Mahasiswa aktif

mengembangkan potensinya.

(2) Dosen . . .

Page 102: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

- 13 -

(2) Dosen sebagai ilmuwan memiliki tugas

mengembangkan suatu cabang Ilmu Pengetahuan

dan/atau Teknologi melalui penalaran dan penelitian

ilmiah serta menyebarluaskannya.

(3) Dosen secara perseorangan atau berkelompok wajib

menulis buku ajar atau buku teks, yang diterbitkan

oleh Perguruan Tinggi dan/atau publikasi ilmiah

sebagai salah satu sumber belajar dan untuk

pengembangan budaya akademik serta pembudayaan

kegiatan baca tulis bagi Sivitas Akademika.

Pasal 13

(1) Mahasiswa sebagai anggota Sivitas Akademika

diposisikan sebagai insan dewasa yang memiliki

kesadaran sendiri dalam mengembangkan potensi diri

di Perguruan Tinggi untuk menjadi intelektual,

ilmuwan, praktisi, dan/atau profesional.

(2) Mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

secara aktif mengembangkan potensinya dengan

melakukan pembelajaran, pencarian kebenaran

ilmiah, dan/atau penguasaan, pengembangan, dan

pengamalan suatu cabang Ilmu Pengetahuan

dan/atau Teknologi untuk menjadi ilmuwan,

intelektual, praktisi, dan/atau profesional yang

berbudaya.

(3) Mahasiswa memiliki kebebasan akademik dengan

mengutamakan penalaran dan akhlak mulia serta

bertanggung jawab sesuai dengan budaya akademik.

(4) Mahasiswa berhak mendapatkan layanan Pendidikan

sesuai dengan bakat, minat, potensi, dan

kemampuannya.

(5) Mahasiswa dapat menyelesaikan program Pendidikan

sesuai dengan kecepatan belajar masing-masing dan

tidak melebihi ketentuan batas waktu yang

ditetapkan oleh Perguruan Tinggi.

(6) Mahasiswa . . .

Page 103: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

- 14 -

(6) Mahasiswa berkewajiban menjaga etika dan menaati

norma Pendidikan Tinggi untuk menjamin

terlaksananya Tridharma dan pengembangan budaya

akademik.

Pasal 14

(1) Mahasiswa mengembangkan bakat, minat, dan

kemampuan dirinya melalui kegiatan kokurikuler dan

ekstrakurikuler sebagai bagian dari proses

Pendidikan.

(2) Kegiatan kokurikuler dan ekstrakurikuler

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat

dilaksanakan melalui organisasi kemahasiswaan.

(3) Ketentuan lain mengenai kegiatan kokurikuler dan

ekstrakurikuler sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

diatur dalam statuta Perguruan Tinggi.

Bagian Ketiga

Jenis Pendidikan Tinggi

Paragraf 1

Pendidikan Akademik

Pasal 15

(1) Pendidikan akademik merupakan Pendidikan Tinggi

program sarjana dan/atau program pascasarjana

yang diarahkan pada penguasaan dan pengembangan

cabang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.

(2) Pembinaan, koordinasi, dan pengawasan pendidikan

akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

berada dalam tanggung jawab Kementerian.

Paragraf 2 . . .

Page 104: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

- 15 -

Paragraf 2

Pendidikan Vokasi

Pasal 16

(1) Pendidikan vokasi merupakan Pendidikan Tinggi

program diploma yang menyiapkan Mahasiswa untuk

pekerjaan dengan keahlian terapan tertentu sampai

program sarjana terapan.

(2) Pendidikan vokasi sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) dapat dikembangkan oleh Pemerintah sampai

program magister terapan atau program doktor

terapan.

(3) Pembinaan, koordinasi, dan pengawasan pendidikan

vokasi berada dalam tanggung jawab Kementerian.

Paragraf 3

Pendidikan Profesi

Pasal 17

(1) Pendidikan profesi merupakan Pendidikan Tinggi

setelah program sarjana yang menyiapkan Mahasiswa

dalam pekerjaan yang memerlukan persyaratan

keahlian khusus.

(2) Pendidikan profesi sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) dapat diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi

dan bekerja sama dengan Kementerian, Kementerian

lain, LPNK, dan/atau organisasi profesi yang

bertanggung jawab atas mutu layanan profesi.

Bagian Keempat . . .

Page 105: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

- 16 -

Bagian Keempat

Program Pendidikan Tinggi

Paragraf 1

Program Sarjana, Program Magister, dan Program Doktor

Pasal 18

(1) Program sarjana merupakan pendidikan akademik

yang diperuntukkan bagi lulusan pendidikan

menengah atau sederajat sehingga mampu

mengamalkan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

melalui penalaran ilmiah.

(2) Program sarjana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

menyiapkan Mahasiswa menjadi intelektual dan/atau

ilmuwan yang berbudaya, mampu memasuki

dan/atau menciptakan lapangan kerja, serta mampu

mengembangkan diri menjadi profesional.

(3) Program sarjana wajib memiliki Dosen yang

berkualifikasi akademik minimum lulusan program

magister atau sederajat.

(4) Lulusan program sarjana berhak menggunakan gelar

sarjana.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai program sarjana

diatur dalam Peraturan Menteri.

Pasal 19

(1) Program magister merupakan pendidikan akademik

yang diperuntukkan bagi lulusan program sarjana

atau sederajat sehingga mampu mengamalkan dan

mengembangkan Ilmu Pengetahuan dan/atau

Teknologi melalui penalaran dan penelitian ilmiah.

(2) Program . . .

Page 106: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

- 17 -

(2) Program magister sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) mengembangkan Mahasiswa menjadi

intelektual, ilmuwan yang berbudaya, mampu

memasuki dan/atau menciptakan lapangan kerja

serta mengembangkan diri menjadi profesional.

(3) Program magister wajib memiliki Dosen yang

berkualifikasi akademik lulusan program doktor atau

yang sederajat.

(4) Lulusan program magister berhak menggunakan gelar

magister.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai program magister

diatur dalam Peraturan Menteri.

Pasal 20

(1) Program doktor merupakan pendidikan akademik

yang diperuntukkan bagi lulusan program magister

atau sederajat sehingga mampu menemukan,

menciptakan, dan/atau memberikan kontribusi

kepada pengembangan, serta pengamalan Ilmu

Pengetahuan dan Teknologi melalui penalaran dan

penelitian ilmiah.

(2) Program doktor sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

mengembangkan dan memantapkan Mahasiswa

untuk menjadi lebih bijaksana dengan meningkatkan

kemampuan dan kemandirian sebagai filosof

dan/atau intelektual, ilmuwan yang berbudaya dan

menghasilkan dan/atau mengembangkan teori

melalui Penelitian yang komprehensif dan akurat

untuk memajukan peradaban manusia.

(3) Program doktor wajib memiliki Dosen yang

berkualifikasi akademik lulusan program doktor atau

yang sederajat.

(4) Lulusan . . .

Page 107: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

- 18 -

(4) Lulusan program doktor berhak menggunakan gelar

doktor.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai program doktor

diatur dalam Peraturan Menteri.

Paragraf 2

Program Diploma, Magister Terapan, dan Doktor Terapan

Pasal 21

(1) Program diploma merupakan pendidikan vokasi yang

diperuntukkan bagi lulusan pendidikan menengah

atau sederajat untuk mengembangkan keterampilan

dan penalaran dalam penerapan Ilmu Pengetahuan

dan/atau Teknologi.

(2) Program diploma sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) menyiapkan Mahasiswa menjadi praktisi yang

terampil untuk memasuki dunia kerja sesuai dengan

bidang keahliannya.

(3) Program diploma sebagaimana dimaksud pada

ayat (2) terdiri atas program:

a. diploma satu;

b. diploma dua;

c. diploma tiga; dan

d. diploma empat atau sarjana terapan.

(4) Program diploma sebagaimana dimaksud pada

ayat (3) wajib memiliki Dosen yang berkualifikasi

akademik minimum lulusan program magister atau

sederajat.

(5) Pada program diploma satu sebagaimana dimaksud

pada ayat (3) huruf a dan program diploma dua

sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dapat

menggunakan instruktur yang berkualifikasi

akademik minimum lulusan diploma tiga atau

sederajat yang memiliki pengalaman.

(6) Lulusan . . .

Page 108: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

- 19 -

(6) Lulusan program diploma berhak menggunakan gelar

ahli atau sarjana terapan.

(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai program diploma

diatur dalam Peraturan Menteri.

Pasal 22

(1) Program magister terapan merupakan kelanjutan

pendidikan vokasi yang diperuntukkan bagi lulusan

program sarjana terapan atau sederajat untuk

mampu mengembangkan dan mengamalkan

penerapan Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi

melalui penalaran dan penelitian ilmiah.

(2) Program magister terapan sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) mengembangkan Mahasiswa menjadi

ahli yang memiliki kapasitas tinggi dalam penerapan

Ilmu Pengetahuan dan Teknologi pada profesinya.

(3) Program magister terapan wajib memiliki Dosen yang

berkualifikasi akademik lulusan program doktor atau

yang sederajat.

(4) Lulusan program magister terapan berhak

menggunakan gelar magister terapan.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai program magister

terapan diatur dalam Peraturan Menteri.

Pasal 23

(1) Program doktor terapan merupakan kelanjutan bagi

lulusan program magister terapan atau sederajat

untuk mampu menemukan, menciptakan, dan/atau

memberikan kontribusi bagi penerapan,

pengembangan, serta pengamalan Ilmu Pengetahuan

dan Teknologi melalui penalaran dan penelitian

ilmiah.

(2) Program . . .

Page 109: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

- 20 -

(2) Program doktor terapan sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) mengembangkan dan memantapkan

Mahasiswa untuk menjadi lebih bijaksana dengan

meningkatkan kemampuan dan kemandirian sebagai

ahli dan menghasilkan serta mengembangkan

penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi melalui

penelitian yang komprehensif dan akurat dalam

memajukan peradaban dan kesejahteraan manusia.

(3) Program doktor terapan wajib memiliki Dosen yang

berkualifikasi akademik lulusan program doktor atau

yang sederajat.

(4) Lulusan program doktor terapan berhak

menggunakan gelar doktor terapan.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai program doktor

terapan diatur dalam Peraturan Menteri.

Paragraf 3

Program Profesi dan Program Spesialis

Pasal 24

(1) Program profesi merupakan pendidikan keahlian

khusus yang diperuntukkan bagi lulusan program

sarjana atau sederajat untuk mengembangkan bakat

dan kemampuan memperoleh kecakapan yang

diperlukan dalam dunia kerja.

(2) Program profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dapat diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi yang

bekerja sama dengan Kementerian, Kementerian lain,

LPNK, dan/atau organisasi profesi yang bertanggung

jawab atas mutu layanan profesi.

(3) Program profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

menyiapkan profesional.

(4) Program . . .

Page 110: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

- 21 -

(4) Program profesi wajib memiliki Dosen yang

berkualifikasi akademik minimum lulusan program

profesi dan/atau lulusan program magister atau yang

sederajat dengan pengalaman kerja paling singkat

2 (dua) tahun.

(5) Lulusan program profesi berhak menggunakan gelar

profesi.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai program profesi

diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 25

(1) Program spesialis merupakan pendidikan keahlian

lanjutan yang dapat bertingkat dan diperuntukkan

bagi lulusan program profesi yang telah

berpengalaman sebagai profesional untuk

mengembangkan bakat dan kemampuannya menjadi

spesialis.

(2) Program spesialis sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) dapat diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi

bekerja sama dengan Kementerian, Kementerian lain,

LPNK dan/atau organisasi profesi yang bertanggung

jawab atas mutu layanan profesi.

(3) Program spesialis sebagaimana dimaksud pada

ayat (2) meningkatkan kemampuan spesialisasi dalam

cabang ilmu tertentu.

(4) Program spesialis wajib memiliki Dosen yang

berkualifikasi akademik minimum lulusan program

spesialis dan/atau lulusan program doktor atau yang

sederajat dengan pengalaman kerja paling singkat

2 (dua) tahun.

(5) Lulusan program spesialis berhak menggunakan gelar

spesialis.

(6) Ketentuan . . .

Page 111: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

- 22 -

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai program spesialis

diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Paragraf 4

Gelar Akademik, Gelar Vokasi, dan Gelar Profesi

Pasal 26

(1) Gelar akademik diberikan oleh Perguruan Tinggi yang

menyelenggarakan pendidikan akademik.

(2) Gelar akademik terdiri atas:

a. sarjana;

b. magister; dan

c. doktor.

(3) Gelar vokasi diberikan oleh Perguruan Tinggi yang

menyelenggarakan pendidikan vokasi.

(4) Gelar vokasi terdiri atas:

a. ahli pratama;

b. ahli muda;

c. ahli madya;

d. sarjana terapan;

e. magister terapan; dan

f. doktor terapan.

(5) Gelar profesi diberikan oleh Perguruan Tinggi yang

menyelenggarakan pendidikan profesi.

(6) Gelar profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (5)

ditetapkan oleh Perguruan Tinggi bersama dengan

Kementerian, Kementerian lain, LPNK dan/atau

organisasi profesi yang bertanggung jawab terhadap

mutu layanan profesi.

(7) Gelar profesi terdiri atas:

a. profesi; dan

b. spesialis.

(8) Ketentuan . . .

Page 112: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

- 23 -

(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai gelar akademik,

gelar vokasi, atau gelar profesi diatur dalam

Peraturan Pemerintah.

Pasal 27

(1) Selain gelar doktor sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 26 ayat (2) huruf c, Perguruan Tinggi yang

memiliki program doktor berhak memberikan gelar

doktor kehormatan kepada perseorangan yang layak

memperoleh penghargaan berkenaan dengan jasa-

jasa yang luar biasa dalam Ilmu Pengetahuan dan

Teknologi dan/atau berjasa dalam bidang

kemanusiaan.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai gelar doktor

kehormatan diatur dalam Peraturan Menteri.

Pasal 28

(1) Gelar akademik, gelar vokasi, atau gelar profesi hanya

digunakan oleh lulusan dari Perguruan Tinggi yang

dinyatakan berhak memberikan gelar akademik, gelar

vokasi, atau gelar profesi.

(2) Gelar akademik, gelar vokasi, atau gelar profesi hanya

dibenarkan dalam bentuk dan inisial atau singkatan

yang diterima dari Perguruan Tinggi.

(3) Gelar akademik dan gelar vokasi dinyatakan tidak sah

dan dicabut oleh Menteri apabila dikeluarkan oleh:

a. Perguruan Tinggi dan/atau Program Studi yang

tidak terakreditasi; dan/atau

b. perseorangan, organisasi, atau penyelenggara

Pendidikan Tinggi yang tanpa hak mengeluarkan

gelar akademik dan gelar vokasi.

(4) Gelar profesi dinyatakan tidak sah dan dicabut oleh

Menteri apabila dikeluarkan oleh:

a. Perguruan . . .

Page 113: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

- 24 -

a. Perguruan Tinggi dan/atau Program Studi yang

tidak terakreditasi; dan/atau

b. perseorangan, organisasi, atau lembaga lain yang

tanpa hak mengeluarkan gelar profesi.

(5) Gelar akademik, gelar vokasi, atau gelar profesi

dinyatakan tidak sah dan dicabut oleh Perguruan

Tinggi apabila karya ilmiah yang digunakan untuk

memperoleh gelar akademik, gelar vokasi, atau gelar

profesi terbukti merupakan hasil jiplakan atau

plagiat.

(6) Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara

Pendidikan Tinggi yang tanpa hak dilarang

memberikan gelar akademik, gelar vokasi, atau gelar

profesi.

(7) Perseorangan yang tanpa hak dilarang menggunakan

gelar akademik, gelar vokasi, dan/atau gelar profesi.

Bagian Kelima

Kerangka Kualifikasi Nasional

Pasal 29

(1) Kerangka Kualifikasi Nasional merupakan

penjenjangan capaian pembelajaran yang

menyetarakan luaran bidang pendidikan formal,

nonformal, informal, atau pengalaman kerja dalam

rangka pengakuan kompetensi kerja sesuai dengan

struktur pekerjaan diberbagai sektor.

(2) Kerangka Kualifikasi Nasional sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) menjadi acuan pokok dalam penetapan

kompetensi lulusan pendidikan akademik, pendidikan

vokasi, dan pendidikan profesi.

(3) Penetapan kompetensi lulusan sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Menteri.

Bagian Keenam . . .

Page 114: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

- 25 -

Bagian Keenam

Pendidikan Tinggi Keagamaan

Pasal 30

(1) Pemerintah atau Masyarakat dapat

menyelenggarakan pendidikan tinggi keagamaan.

(2) Pendidikan tinggi keagamaan sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) berbentuk universitas, institut, sekolah

tinggi, akademi dan dapat berbentuk ma’had aly,

pasraman, seminari, dan bentuk lain yang sejenis.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pendidikan tinggi

keagamaan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Ketujuh

Pendidikan Jarak Jauh

Pasal 31

(1) Pendidikan jarak jauh merupakan proses belajar

mengajar yang dilakukan secara jarak jauh melalui

penggunaan berbagai media komunikasi.

(2) Pendidikan jarak jauh sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) bertujuan:

a. memberikan layanan Pendidikan Tinggi kepada

kelompok Masyarakat yang tidak dapat mengikuti

Pendidikan secara tatap muka atau reguler; dan

b. memperluas akses serta mempermudah layanan

Pendidikan Tinggi dalam Pendidikan dan

pembelajaran.

(3) Pendidikan jarak jauh diselenggarakan dalam

berbagai bentuk, modus, dan cakupan yang didukung

oleh sarana dan layanan belajar serta sistem

penilaian yang menjamin mutu lulusan sesuai dengan

Standar Nasional Pendidikan Tinggi.

(4) Ketentuan . . .

Page 115: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

- 26 -

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan

pendidikan jarak jauh sebagaimana dimaksud pada

ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dalam Peraturan

Menteri.

Bagian Kedelapan

Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus

Pasal 32

(1) Program Studi dapat dilaksanakan melalui

pendidikan khusus bagi Mahasiswa yang memiliki

tingkat kesulitan dalam mengikuti proses

pembelajaran dan/atau Mahasiswa yang memiliki

potensi kecerdasan dan bakat istimewa.

(2) Selain pendidikan khusus sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) Program Studi juga dapat dilaksanakan

melalui pendidikan layanan khusus dan/atau

pembelajaran layanan khusus.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Program Studi yang

melaksanakan pendidikan khusus sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dan pendidikan layanan

khusus dan/atau pembelajaran layanan khusus

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam

Peraturan Menteri.

Bagian Kesembilan

Proses Pendidikan dan Pembelajaran

Paragraf 1

Program Studi

Pasal 33

(1) Program pendidikan dilaksanakan melalui Program

Studi.

(2) Program . . .

Page 116: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

- 27 -

(2) Program Studi memiliki kurikulum dan metode

pembelajaran sesuai dengan program Pendidikan.

(3) Program Studi diselenggarakan atas izin Menteri

setelah memenuhi persyaratan minimum akreditasi.

(4) Program Studi dikelola oleh suatu satuan unit

pengelola yang ditetapkan oleh Perguruan Tinggi.

(5) Program Studi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

mendapatkan akreditasi pada saat memperoleh izin

penyelenggaraan.

(6) Program Studi wajib diakreditasi ulang pada saat

jangka waktu akreditasinya berakhir.

(7) Program Studi yang tidak diakreditasi ulang

sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat dicabut

izinnya oleh Menteri.

(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai metode

pembelajaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2),

pemberian izin Program Studi sebagaimana dimaksud

pada ayat (3), dan pencabutan izin Program Studi

sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diatur dalam

Peraturan Menteri.

Pasal 34

(1) Program Studi diselenggarakan di kampus utama

Perguruan Tinggi dan/atau dapat diselenggarakan di

luar kampus utama dalam suatu provinsi atau di

provinsi lain melalui kerja sama dengan Perguruan

Tinggi setempat.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan

Program Studi di kampus utama Perguruan Tinggi

dan/atau di luar kampus utama sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan

Menteri.

Paragraf 2 . . .

Page 117: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

- 28 -

Paragraf 2

Kurikulum

Pasal 35

(1) Kurikulum pendidikan tinggi merupakan seperangkat

rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan

bahan ajar serta cara yang digunakan sebagai

pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran

untuk mencapai tujuan Pendidikan Tinggi.

(2) Kurikulum Pendidikan Tinggi sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dikembangkan oleh setiap Perguruan

Tinggi dengan mengacu pada Standar Nasional

Pendidikan Tinggi untuk setiap Program Studi yang

mencakup pengembangan kecerdasan intelektual,

akhlak mulia, dan keterampilan.

(3) Kurikulum Pendidikan Tinggi sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) wajib memuat mata kuliah:

a. agama;

b. Pancasila;

c. kewarganegaraan; dan

d. bahasa Indonesia.

(4) Kurikulum Pendidikan Tinggi sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dilaksanakan melalui kegiatan

kurikuler, kokurikuler, dan ekstrakurikuler.

(5) Mata kuliah sebagaimana dimaksud pada ayat (3)

dilaksanakan untuk program sarjana dan program

diploma.

Pasal 36

Kurikulum pendidikan profesi dirumuskan bersama

Kementerian, Kementerian lain, LPNK, dan/atau

organisasi profesi yang bertanggung jawab atas mutu

layanan profesi dengan mengacu pada Standar Nasional

Pendidikan Tinggi.

Paragraf 3 . . .

Page 118: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

- 29 -

Paragraf 3

Bahasa Pengantar

Pasal 37

(1) Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara wajib

menjadi bahasa pengantar di Perguruan Tinggi.

(2) Bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa

pengantar dalam program studi bahasa dan sastra

daerah.

(3) Bahasa asing dapat digunakan sebagai bahasa

pengantar di Perguruan Tinggi.

Paragraf 4

Perpindahan dan Penyetaraan

Pasal 38

(1) Perpindahan Mahasiswa dapat dilakukan antar:

a. Program Studi pada program Pendidikan yang

sama;

b. jenis Pendidikan Tinggi; dan/atau

c. Perguruan Tinggi.

(2) Ketentuan mengenai perpindahan Mahasiswa

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam

Peraturan Menteri.

Pasal 39

(1) Lulusan pendidikan vokasi atau lulusan pendidikan

profesi dapat melanjutkan pendidikannya pada

pendidikan akademik melalui penyetaraan.

(2) Lulusan pendidikan akademik dapat melanjutkan

pendidikannya pada pendidikan vokasi atau

pendidikan profesi melalui penyetaraan.

(3) Ketentuan . . .

Page 119: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

- 30 -

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyetaraan lulusan

pendidikan vokasi atau lulusan pendidikan profesi

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan

penyetaraan lulusan pendidikan akademik

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam

Peraturan Menteri.

Pasal 40

(1) Lulusan Perguruan Tinggi negara lain dapat

mengikuti Pendidikan Tinggi di Indonesia setelah

melalui penyetaraan.

(2) Ketentuan mengenai penyetaraan lulusan Perguruan

Tinggi negara lain sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.

Paragraf 5

Sumber Belajar, Sarana, dan Prasarana

Pasal 41

(1) Sumber belajar pada lingkungan pendidikan tinggi

wajib disediakan, difasilitasi, atau dimiliki oleh

Perguruan Tinggi sesuai dengan Program Studi yang

dikembangkan.

(2) Sumber belajar sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dapat digunakan secara bersama oleh beberapa

Perguruan Tinggi.

(3) Perguruan Tinggi menyediakan sarana dan prasarana

untuk memenuhi keperluan pendidikan sesuai

dengan bakat, minat, potensi, dan kecerdasan

Mahasiswa.

Paragraf 6 . . .

Page 120: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

- 31 -

Paragraf 6

Ijazah

Pasal 42

(1) Ijazah diberikan kepada lulusan pendidikan akademik

dan pendidikan vokasi sebagai pengakuan terhadap

prestasi belajar dan/atau penyelesaian suatu program

studi terakreditasi yang diselenggarakan oleh

Perguruan Tinggi.

(2) Ijazah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

diterbitkan oleh Perguruan Tinggi yang memuat

Program Studi dan gelar yang berhak dipakai oleh

lulusan Pendidikan Tinggi.

(3) Lulusan Pendidikan Tinggi yang menggunakan karya

ilmiah untuk memperoleh ijazah dan gelar, yang

terbukti merupakan hasil jiplakan atau plagiat,

ijazahnya dinyatakan tidak sah dan gelarnya dicabut

oleh Perguruan Tinggi.

(4) Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara

Pendidikan Tinggi yang tanpa hak dilarang

memberikan ijazah.

Paragraf 7

Sertifikat Profesi dan Sertifikat Kompetensi

Pasal 43

(1) Sertifikat profesi merupakan pengakuan untuk

melakukan praktik profesi yang diperoleh lulusan

pendidikan profesi yang diselenggarakan oleh

Perguruan Tinggi bekerja sama dengan Kementerian,

Kementerian lain, LPNK, dan/atau organisasi profesi

yang bertanggung jawab atas mutu layanan profesi,

dan/atau badan lain sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

(2) Sertifikat . . .

Page 121: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

- 32 -

(2) Sertifikat profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

diterbitkan oleh Perguruan Tinggi bersama dengan

Kementerian, Kementerian lain, LPNK, dan/atau

organisasi profesi yang bertanggung jawab terhadap

mutu layanan profesi, dan/atau badan lain sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara

Pendidikan Tinggi yang tanpa hak dilarang

memberikan sertifikat profesi.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikat profesi

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam

Peraturan Pemerintah.

Pasal 44

(1) Sertifikat kompetensi merupakan pengakuan

kompetensi atas prestasi lulusan yang sesuai dengan

keahlian dalam cabang ilmunya dan/atau memiliki

prestasi di luar program studinya.

(2) Serifikat kompetensi sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) diterbitkan oleh Perguruan Tinggi bekerja

sama dengan organisasi profesi, lembaga pelatihan,

atau lembaga sertifikasi yang terakreditasi kepada

lulusan yang lulus uji kompetensi.

(3) Sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud pada

ayat (2) dapat digunakan sebagai syarat untuk

memperoleh pekerjaan tertentu.

(4) Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara

Pendidikan Tinggi yang tanpa hak dilarang

memberikan sertifikat kompetensi.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikat kompetensi

diatur dalam Peraturan Menteri.

Bagian Kesepuluh. . .

Page 122: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

- 33 -

Bagian Kesepuluh

Penelitian

Pasal 45

(1) Penelitian di Perguruan Tinggi diarahkan untuk

mengembangkan Ilmu pengetahuan dan Teknologi,

serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan

daya saing bangsa.

(2) Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dilakukan oleh Sivitas Akademika sesuai dengan

otonomi keilmuan dan budaya akademik.

(3) Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

dilaksanakan berdasarkan jalur kompetensi dan

kompetisi.

Pasal 46

(1) Hasil Penelitian bermanfaat untuk:

a. pengayaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi serta

pembelajaran;

b. peningkatan mutu Perguruan Tinggi dan kemajuan

peradaban bangsa;

c. peningkatan kemandirian, kemajuan, dan daya

saing bangsa;

d. pemenuhan kebutuhan strategis pembangunan

nasional; dan

e. perubahan Masyarakat Indonesia menjadi

Masyarakat berbasis pengetahuan.

(2) Hasil Penelitian wajib disebarluaskan dengan cara

diseminarkan, dipublikasikan, dan/atau dipatenkan

oleh Perguruan Tinggi, kecuali hasil Penelitian yang

bersifat rahasia, mengganggu, dan/atau

membahayakan kepentingan umum.

(3) Hasil . . .

Page 123: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

- 34 -

(3) Hasil Penelitian Sivitas Akademika yang diterbitkan

dalam jurnal internasional, memperoleh paten yang

dimanfaatkan oleh industri, teknologi tepat guna,

dan/atau buku yang digunakan sebagai sumber

belajar dapat diberi anugerah yang bermakna oleh

Pemerintah.

Bagian Kesebelas

Pengabdian Kepada Masyarakat

Pasal 47

(1) Pengabdian kepada Masyarakat merupakan kegiatan

Sivitas Akademika dalam mengamalkan dan

membudayakan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

untuk memajukan kesejahteraan umum dan

mencerdaskan kehidupan bangsa.

(2) Pengabdian kepada Masyarakat sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam berbagai

bentuk kegiatan sesuai dengan budaya akademik,

keahlian, dan/atau otonomi keilmuan Sivitas

Akademika serta kondisi sosial budaya masyarakat.

(3) Hasil Pengabdian kepada Masyarakat digunakan

sebagai proses pengembangan Ilmu Pengetahuan dan

Teknologi, pengayaan sumber belajar, dan/atau

untuk pembelajaran dan pematangan Sivitas

Akademika.

(4) Pemerintah memberikan penghargaan atas hasil

Pengabdian kepada Masyarakat yang diterbitkan

dalam jurnal internasional, memperoleh paten yang

dimanfaatkan oleh dunia usaha dan dunia industri,

dan/atau teknologi tepat guna.

Bagian Keduabelas . . .

Page 124: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

- 35 -

Bagian Keduabelas

Kerja sama Penelitian dan Pengabdian Kepada

Masyarakat

Pasal 48

(1) Perguruan Tinggi berperan aktif menggalang kerja

sama antar Perguruan Tinggi dan antara Perguruan

Tinggi dengan dunia usaha, dunia industri, dan

Masyarakat dalam bidang Penelitian dan Pengabdian

kepada Masyarakat.

(2) Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Masyarakat

mendayagunakan Perguruan Tinggi sebagai pusat

Penelitian atau pengembangan Ilmu Pengetahuan dan

Teknologi.

(3) Perguruan Tinggi dapat mendayagunakan fasilitas

Penelitian di Kementerian lain dan/atau LPNK.

(4) Pemerintah memfasilitasi kerja sama dan kemitraan

antar Perguruan Tinggi dan antara Perguruan Tinggi

dengan dunia usaha dan dunia industri dalam bidang

Penelitian.

Bagian Ketigabelas

Pelaksanaan Tridharma

Pasal 49

(1) Ruang lingkup, kedalaman, dan kombinasi

pelaksanaan Tridharma dilakukan sesuai dengan

karakteristik dan kebutuhan setiap jenis dan program

Pendidikan Tinggi.

(2) Ketentuan mengenai ruang lingkup, kedalaman, dan

kombinasi pelaksanaan Tridharma sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan

Menteri.

Bagian Keempatbelas . . .

Page 125: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

- 36 -

Bagian Keempatbelas

Kerja Sama Internasional Pendidikan Tinggi

Pasal 50

(1) Kerja sama internasional Pendidikan Tinggi

merupakan proses interaksi dalam pengintegrasian

dimensi internasional ke dalam kegiatan akademik

untuk berperan dalam pergaulan internasional tanpa

kehilangan nilai-nilai keindonesiaan.

(2) Kerja sama internasional harus didasarkan pada

prinsip kesetaraan dan saling menghormati dengan

mempromosikan Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan

nilai kemanusiaan yang memberi manfaat bagi

kehidupan manusia.

(3) Kerja sama internasional mencakup bidang

Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian kepada

Masyarakat.

(4) Kerja sama internasional dalam pengembangan

Pendidikan Tinggi dapat dilakukan, antara lain,

melalui:

a. hubungan antara lembaga Pendidikan Tinggi di

Indonesia dan lembaga Pendidikan Tinggi negara

lain dalam kegiatan penyelenggaraan Pendidikan

yang bermutu;

b. pengembangan pusat kajian Indonesia dan budaya

lokal pada Perguruan Tinggi di dalam dan di luar

negeri; dan

c. pembentukan komunitas ilmiah yang mandiri.

(5) Kebijakan nasional mengenai kerja sama

internasional Pendidikan Tinggi ditetapkan dalam

Peraturan Menteri.

BAB III . . .

Page 126: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

- 37 -

BAB III

PENJAMINAN MUTU

Bagian Kesatu

Sistem Penjaminan Mutu

Pasal 51

(1) Pendidikan Tinggi yang bermutu merupakan

Pendidikan Tinggi yang menghasilkan lulusan yang

mampu secara aktif mengembangkan potensinya dan

menghasilkan Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi

yang berguna bagi Masyarakat, bangsa, dan negara.

(2) Pemerintah menyelenggarakan sistem penjaminan

mutu Pendidikan Tinggi untuk mendapatkan

Pendidikan bermutu.

Pasal 52

(1) Penjaminan mutu Pendidikan Tinggi merupakan

kegiatan sistemik untuk meningkatkan mutu

Pendidikan Tinggi secara berencana dan

berkelanjutan.

(2) Penjaminan mutu sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) dilakukan melalui penetapan, pelaksanaan,

evaluasi, pengendalian, dan peningkatan standar

Pendidikan Tinggi.

(3) Menteri menetapkan sistem penjaminan mutu

Pendidikan Tinggi dan Standar Nasional Pendidikan

Tinggi.

(4) Sistem penjaminan mutu Pendidikan Tinggi

sebagaimana dimaksud pada ayat (3) didasarkan

pada Pangkalan Data Pendidikan Tinggi.

Pasal 53 . . .

Page 127: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

- 38 -

Pasal 53

Sistem penjaminan mutu Pendidikan Tinggi sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 51 ayat (2) terdiri atas:

a. sistem penjaminan mutu internal yang dikembangkan

oleh Perguruan Tinggi; dan

b. sistem penjaminan mutu eksternal yang dilakukan

melalui akreditasi.

Bagian Kedua

Standar Pendidikan Tinggi

Pasal 54

(1) Standar Pendidikan Tinggi terdiri atas:

a. Standar Nasional Pendidikan Tinggi yang

ditetapkan oleh Menteri atas usul suatu badan

yang bertugas menyusun dan mengembangkan

Standar Nasional Pendidikan Tinggi; dan

b. Standar Pendidikan Tinggi yang ditetapkan oleh

setiap Perguruan Tinggi dengan mengacu pada

Standar Nasional Pendidikan Tinggi.

(2) Standar Nasional Pendidikan Tinggi sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan satuan

standar yang meliputi standar nasional pendidikan,

ditambah dengan standar penelitian, dan standar

pengabdian kepada masyarakat.

(3) Standar Nasional Pendidikan Tinggi dikembangkan

dengan memperhatikan kebebasan akademik,

kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan

untuk mencapai tujuan Pendidikan Tinggi.

(4) Standar Pendidikan Tinggi sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) huruf b terdiri atas sejumlah standar

dalam bidang akademik dan nonakademik yang

melampaui Standar Nasional Pendidikan Tinggi.

(5) Dalam . . .

Page 128: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

- 39 -

(5) Dalam mengembangkan Standar Pendidikan Tinggi

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b

Perguruan Tinggi memiliki keleluasaan mengatur

pemenuhan Standar Nasional Pendidikan Tinggi.

(6) Menteri melakukan evaluasi pelaksanaan Standar

Pendidikan Tinggi secara berkala.

(7) Menteri mengumumkan hasil evaluasi dan penilaian

Standar Pendidikan Tinggi kepada Masyarakat.

(8) Ketentuan mengenai evaluasi sebagaimana dimaksud

pada ayat (6) diatur dalam Peraturan Menteri.

Bagian Ketiga

Akreditasi

Pasal 55

(1) Akreditasi merupakan kegiatan penilaian sesuai

dengan kriteria yang telah ditetapkan berdasarkan

Standar Nasional Pendidikan Tinggi.

(2) Akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dilakukan untuk menentukan kelayakan Program

Studi dan Perguruan Tinggi atas dasar kriteria yang

mengacu pada Standar Nasional Pendidikan Tinggi.

(3) Pemerintah membentuk Badan Akreditasi Nasional

Perguruan Tinggi untuk mengembangkan sistem

akreditasi.

(4) Akreditasi Perguruan Tinggi dilakukan oleh Badan

Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi.

(5) Akreditasi Program Studi sebagai bentuk

akuntabilitas publik dilakukan oleh lembaga

akreditasi mandiri.

(6) Lembaga akreditasi mandiri sebagaimana dimaksud

pada ayat (5) merupakan lembaga mandiri bentukan

Pemerintah atau lembaga mandiri bentukan

Masyarakat yang diakui oleh Pemerintah atas

rekomendasi Badan Akreditasi Nasional Perguruan

Tinggi.

(7) Lembaga . . .

Page 129: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

- 40 -

(7) Lembaga akreditasi mandiri sebagaimana dimaksud

pada ayat (6) dibentuk berdasarkan rumpun ilmu

dan/atau cabang ilmu serta dapat berdasarkan

kewilayahan.

(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai akreditasi

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Badan

Akreditasi Nasional Pendidikan Tinggi sebagaimana

dimaksud pada ayat (4), dan lembaga akreditasi

mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur

dalam Peraturan Menteri.

Bagian Keempat

Pangkalan Data Pendidikan Tinggi

Pasal 56

(1) Pangkalan Data Pendidikan Tinggi merupakan

kumpulan data penyelenggaraan Pendidikan Tinggi

seluruh Perguruan Tinggi yang terintegrasi secara

nasional.

(2) Pangkalan Data Pendidikan Tinggi sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) berfungsi sebagai sumber

informasi bagi:

a. lembaga akreditasi, untuk melakukan akreditasi

Program Studi dan Perguruan Tinggi;

b. Pemerintah, untuk melakukan pengaturan,

perencanaan, pengawasan, pemantauan, dan

evaluasi serta pembinaan dan koordinasi Program

Studi dan Perguruan Tinggi; dan

c. Masyarakat, untuk mengetahui kinerja Program

Studi dan Perguruan Tinggi.

(3) Pangkalan Data Pendidikan Tinggi dikembangkan dan

dikelola oleh Kementerian atau dikelola oleh lembaga

yang ditunjuk oleh Kementerian.

(4) Penyelenggara . . .

Page 130: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

- 41 -

(4) Penyelenggara Perguruan Tinggi wajib menyampaikan

data dan informasi penyelenggaraan Perguruan Tinggi

serta memastikan kebenaran dan ketepatannya.

Bagian Kelima

Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi

Pasal 57

(1) Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi merupakan

satuan kerja Pemerintah di wilayah yang berfungsi

membantu peningkatan mutu penyelenggaraan

Pendidikan Tinggi.

(2) Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dibentuk oleh Menteri.

(3) Menteri menetapkan tugas dan fungsi lembaga

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan

kebutuhan.

(4) Menteri secara berkala mengevaluasi kinerja lembaga

sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

BAB IV

PERGURUAN TINGGI

Bagian Kesatu

Fungsi dan Peran Perguruan Tinggi

Pasal 58

(1) Perguruan Tinggi melaksanakan fungsi dan peran

sebagai:

a. wadah pembelajaran Mahasiswa dan Masyarakat;

b. wadah pendidikan calon pemimpin bangsa;

c. pusat . . .

Page 131: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

- 42 -

c. pusat pengembangan Ilmu Pengetahuan dan

Teknologi;

d. pusat kajian kebajikan dan kekuatan moral untuk

mencari dan menemukan kebenaran; dan

e. pusat pengembangan peradaban bangsa.

(2) Fungsi dan peran Perguruan Tinggi sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui

kegiatan Tridharma yang ditetapkan dalam statuta

Perguruan Tinggi.

Bagian Kedua

Bentuk Perguruan Tinggi

Pasal 59

(1) Bentuk Perguruan Tinggi terdiri atas:

a. universitas;

b. institut;

c. sekolah tinggi;

d. politeknik;

e. akademi; dan

f. akademi komunitas.

(2) Universitas merupakan Perguruan Tinggi yang

menyelenggarakan pendidikan akademik dan dapat

menyelenggarakan pendidikan vokasi dalam berbagai

rumpun Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi dan

jika memenuhi syarat, universitas dapat

menyelenggarakan pendidikan profesi.

(3) Institut merupakan Perguruan Tinggi yang

menyelenggarakan pendidikan akademik dan dapat

menyelenggarakan pendidikan vokasi dalam sejumlah

rumpun Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi

tertentu dan jika memenuhi syarat, institut dapat

menyelenggarakan pendidikan profesi.

(4) Sekolah . . .

Page 132: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

- 43 -

(4) Sekolah Tinggi merupakan Perguruan Tinggi yang

menyelenggarakan pendidikan akademik dan dapat

menyelenggarakan pendidikan vokasi dalam satu

rumpun Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi

tertentu dan jika memenuhi syarat, sekolah tinggi

dapat menyelenggarakan pendidikan profesi.

(5) Politeknik merupakan Perguruan Tinggi yang

menyelenggarakan pendidikan vokasi dalam berbagai

rumpun Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi dan

jika memenuhi syarat, politeknik dapat

menyelenggarakan pendidikan profesi.

(6) Akademi merupakan Perguruan Tinggi yang

menyelenggarakan pendidikan vokasi dalam satu

atau beberapa cabang Ilmu Pengetahuan dan/atau

Teknologi tertentu.

(7) Akademi Komunitas merupakan Perguruan Tinggi

yang menyelenggarakan pendidikan vokasi setingkat

diploma satu dan/atau diploma dua dalam satu atau

beberapa cabang Ilmu Pengetahuan dan/atau

Teknologi tertentu yang berbasis keunggulan lokal

atau untuk memenuhi kebutuhan khusus.

Bagian Ketiga

Pendirian Perguruan Tinggi

Pasal 60

(1) PTN didirikan oleh Pemerintah.

(2) PTS didirikan oleh Masyarakat dengan membentuk

badan penyelenggara berbadan hukum yang

berprinsip nirlaba dan wajib memperoleh izin Menteri.

(3) Badan penyelenggara sebagaimana dimaksud pada

ayat (2) dapat berbentuk yayasan, perkumpulan, dan

bentuk lain sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

(4) Perguruan . . .

Page 133: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

- 44 -

(4) Perguruan Tinggi yang didirikan harus memenuhi

standar minimum akreditasi.

(5) Perguruan Tinggi wajib memiliki Statuta.

(6) Perubahan atau pencabutan izin PTS dilakukan oleh

menteri sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pendirian PTN dan

PTS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai

dengan ayat (5) serta perubahan atau pencabutan izin

PTS sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur

dalam Peraturan Pemerintah.

Bagian Keempat

Organisasi Penyelenggara Perguruan Tinggi

Pasal 61

(1) Organisasi penyelenggara merupakan unit kerja

Perguruan Tinggi yang secara bersama melaksanakan

kegiatan Tridharma dan fungsi manajemen sumber

daya.

(2) Organisasi penyelenggara sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) paling sedikit terdiri atas unsur:

a. penyusun kebijakan;

b. pelaksana akademik;

c. pengawas dan penjaminan mutu;

d. penunjang akademik atau sumber belajar; dan

e. pelaksana administrasi atau tata usaha.

(3) Organisasi penyelenggara Perguruan Tinggi diatur

dalam Statuta Perguruan Tinggi.

Bagian Kelima . . .

Page 134: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

- 45 -

Bagian Kelima

Pengelolaan Perguruan Tinggi

Pasal 62

(1) Perguruan Tinggi memiliki otonomi untuk mengelola

sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan

Tridharma.

(2) Otonomi pengelolaan Perguruan Tinggi sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan

dasar dan tujuan serta kemampuan Perguruan

Tinggi.

(3) Dasar dan tujuan serta kemampuan Perguruan Tinggi

untuk melaksanakan otonomi sebagaimana dimaksud

pada ayat (2) dievaluasi secara mandiri oleh

Perguruan Tinggi.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai evaluasi dasar dan

tujuan serta kemampuan Perguruan Tinggi untuk

melaksanakan otonomi sebagaimana dimaksud pada

ayat (3) diatur dalam Peraturan Menteri.

Pasal 63

Otonomi pengelolaan Perguruan Tinggi dilaksanakan

berdasarkan prinsip:

a. akuntabilitas;

b. transparansi;

c. nirlaba;

d. penjaminan mutu; dan

e. efektivitas dan efisiensi.

Pasal 64

(1) Otonomi pengelolaan Perguruan Tinggi sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 62 meliputi bidang akademik

dan bidang nonakademik.

(2) Otonomi . . .

Page 135: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

- 46 -

(2) Otonomi pengelolaan di bidang akademik

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi

penetapan norma dan kebijakan operasional serta

pelaksanaan Tridharma.

(3) Otonomi pengelolaan di bidang nonakademik

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi

penetapan norma dan kebijakan operasional serta

pelaksanaan:

a. organisasi;

b. keuangan;

c. kemahasiswaan;

d. ketenagaan; dan

f. sarana prasarana.

Pasal 65

(1) Penyelenggaraan otonomi Perguruan Tinggi

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 dapat

diberikan secara selektif berdasarkan evaluasi kinerja

oleh Menteri kepada PTN dengan menerapkan Pola

Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum atau

dengan membentuk PTN badan hukum untuk

menghasilkan Pendidikan Tinggi bermutu.

(2) PTN yang menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan

Badan Layanan Umum sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) memiliki tata kelola dan kewenangan

pengelolaan sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

(3) PTN badan hukum sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) memiliki:

a. kekayaan awal berupa kekayaan negara yang

dipisahkan kecuali tanah;

b. tata kelola dan pengambilan keputusan secara

mandiri;

c. unit . . .

Page 136: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

- 47 -

c. unit yang melaksanakan fungsi akuntabilitas dan

transparansi;

d. hak mengelola dana secara mandiri, transparan,

dan akuntabel;

e. wewenang mengangkat dan memberhentikan

sendiri Dosen dan tenaga kependidikan;

f. wewenang mendirikan badan usaha dan

mengembangkan dana abadi; dan

g. wewenang untuk membuka, menyelenggarakan,

dan menutup Program Studi.

(4) Pemerintah memberikan penugasan kepada PTN

badan hukum untuk menyelenggarakan fungsi

Pendidikan Tinggi yang terjangkau oleh Masyarakat.

(5) Ketentuan mengenai penyelenggaraan otonomi PTN

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan.

Pasal 66

(1) Statuta PTN ditetapkan dengan Peraturan Menteri.

(2) Statuta PTN Badan Hukum ditetapkan dengan

Peraturan Pemerintah.

(3) Statuta PTS ditetapkan dengan surat keputusan

badan penyelenggara.

Pasal 67

Penyelenggaraan otonomi perguruan tinggi sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 64 pada PTS diatur oleh badan

penyelenggara sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

Pasal 68

Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan Perguruan

Tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 dan Pasal

65 diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Bagian Keenam . . .

Page 137: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

- 48 -

Bagian Keenam

Ketenagaan

Paragraf 1

Pengangkatan dan Penempatan

Pasal 69

(1) Ketenagaan perguruan tinggi terdiri atas:

a. Dosen; dan

b. tenaga kependidikan.

(2) Dosen dan tenaga kependidikan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) diangkat dan ditempatkan di

Perguruan Tinggi oleh Pemerintah atau badan

penyelenggara.

(3) Setiap orang yang memiliki keahlian dan/atau

prestasi luar biasa dapat diangkat menjadi Dosen

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan.

Pasal 70

(1) Pengangkatan dan penempatan Dosen dan tenaga

kependidikan oleh Pemerintah dilakukan sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Pengangkatan dan penempatan Dosen dan tenaga

kependidikan oleh badan penyelenggara dilakukan

berdasarkan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan.

(3) Badan penyelenggara sebagaimana dimaksud pada

ayat (2) wajib memberikan gaji pokok serta tunjangan

kepada Dosen dan tenaga kependidikan sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(4) Menteri . . .

Page 138: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

- 49 -

(4) Menteri dapat menugasi Dosen yang diangkat oleh

Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di

PTN untuk peningkatan mutu Pendidikan Tinggi.

(5) Pemerintah memberikan insentif kepada Dosen

sebagaimana dimaksud pada ayat (4).

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai penugasan Dosen

sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan pemberian

insentif kepada Dosen sebagaimana dimaksud pada

ayat (5) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 71

(1) Pemimpin PTN dapat mengangkat Dosen tetap sesuai

dengan Standar Nasional Pendidikan Tinggi atas

persetujuan Pemerintah.

(2) PTN memberikan gaji pokok dan tunjangan kepada

Dosen tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan.

(3) Pemerintah memberikan tunjangan jabatan

akademik, tunjangan profesi, dan/atau tunjangan

kehormatan kepada Dosen tetap sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengangkatan Dosen

tetap pada PTN sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

diatur dalam Peraturan Menteri.

Paragraf 2

Jenjang Jabatan Akademik

Pasal 72

(1) Jenjang jabatan akademik Dosen tetap terdiri atas

asisten ahli, lektor, lektor kepala, dan profesor.

(2) Jenjang . . .

Page 139: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

- 50 -

(2) Jenjang jabatan akademik Dosen tidak tetap diatur

dan ditetapkan oleh penyelenggara Perguruan

Tinggi.

(3) Dosen yang telah memiliki pengalaman kerja 10

(sepuluh) tahun sebagai Dosen tetap dan memiliki

publikasi ilmiah serta berpendidikan doktor atau

yang sederajat, dan telah memenuhi persyaratan

dapat diusulkan ke jenjang jabatan akademik

profesor.

(4) Batas usia pensiun Dosen yang menduduki jabatan

akademik profesor ditetapkan 70 (tujuh puluh)

tahun dan Pemerintah memberikan tunjangan

profesi serta tunjangan kehormatan.

(5) Menteri dapat mengangkat seseorang dengan

kompetensi luar biasa pada jenjang jabatan

akademik profesor atas usul Perguruan Tinggi.

(6) Ketentuan mengenai jenjang jabatan akademik

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemberian

tunjangan profesi serta tunjangan kehormatan

sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dan

pengangkatan seseorang dengan kompetensi luar

biasa sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur

dalam Peraturan Menteri.

Bagian Ketujuh

Kemahasiswaan

Paragraf 1

Penerimaan Mahasiswa Baru

Pasal 73

(1) Penerimaan Mahasiswa baru PTN untuk setiap

Program Studi dapat dilakukan melalui pola

penerimaan Mahasiswa secara nasional dan bentuk

lain.

(2) Pemerintah . . .

Page 140: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

- 51 -

(2) Pemerintah menanggung biaya calon Mahasiswa yang

akan mengikuti pola penerimaan Mahasiswa baru

secara nasional.

(3) Calon Mahasiswa sebagaimana dimaksud pada

ayat (2) yang telah memenuhi persyaratan akademik

wajib diterima oleh Perguruan Tinggi.

(4) Perguruan Tinggi menjaga keseimbangan antara

jumlah maksimum Mahasiswa dalam setiap Program

Studi dan kapasitas sarana dan prasarana, Dosen

dan tenaga kependidikan, serta layanan dan sumber

daya pendidikan lainnya.

(5) Penerimaan Mahasiswa baru Perguruan Tinggi

merupakan seleksi akademis dan dilarang dikaitkan

dengan tujuan komersial.

(6) Penerimaan Mahasiswa baru PTS untuk setiap

Program Studi diatur oleh PTS masing-masing atau

dapat mengikuti pola penerimaan Mahasiswa baru

PTN secara nasional.

(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai penerimaan

Mahasiswa baru PTN secara nasional diatur dalam

Peraturan Menteri.

Pasal 74

(1) PTN wajib mencari dan menjaring calon Mahasiswa

yang memiliki potensi akademik tinggi, tetapi kurang

mampu secara ekonomi dan calon Mahasiswa dari

daerah terdepan, terluar, dan tertinggal untuk

diterima paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari

seluruh Mahasiswa baru yang diterima dan tersebar

pada semua Program Studi.

(2) Program Studi yang menerima calon Mahasiswa

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat

memperoleh bantuan biaya Pendidikan dari

Pemerintah, Pemerintah Daerah, Perguruan Tinggi,

dan/atau Masyarakat.

Pasal 75 . . .

Page 141: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

- 52 -

Pasal 75

(1) Warga negara asing dapat diterima menjadi

Mahasiswa pada Perguruan Tinggi.

(2) Penerimaan Mahasiswa warga negara asing

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus

memenuhi persyaratan:

a. kualifikasi akademik;

b. Program Studi;

c. jumlah Mahasiswa; dan

d. lokasi Perguruan Tinggi.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan

penerimaan Mahasiswa warga negara asing

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam

Peraturan Menteri.

Paragraf 2

Pemenuhan Hak Mahasiswa

Pasal 76

(1) Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau Perguruan

Tinggi berkewajiban memenuhi hak Mahasiswa yang

kurang mampu secara ekonomi untuk dapat

menyelesaikan studinya sesuai dengan peraturan

akademik.

(2) Pemenuhan hak Mahasiswa sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dilakukan dengan cara memberikan:

a. beasiswa kepada Mahasiswa berprestasi;

b. bantuan atau membebaskan biaya Pendidikan;

dan/atau

c. pinjaman dana tanpa bunga yang wajib dilunasi

setelah lulus dan/atau memperoleh pekerjaan.

(3) Perguruan . . .

Page 142: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

- 53 -

(3) Perguruan Tinggi atau penyelenggara Perguruan

Tinggi menerima pembayaran yang ikut ditanggung

oleh Mahasiswa untuk membiayai studinya sesuai

dengan kemampuan Mahasiswa, orang tua

Mahasiswa, atau pihak yang membiayainya.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemenuhan hak

Mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

sampai dengan ayat (3) diatur dalam Peraturan

Menteri.

Paragraf 3

Organisasi Kemahasiswaan

Pasal 77

(1) Mahasiswa dapat membentuk organisasi

kemahasiswaan.

(2) Organisasi kemahasiswaan paling sedikit memiliki

fungsi untuk:

a. mewadahi kegiatan Mahasiswa dalam

mengembangkan bakat, minat, dan potensi

Mahasiswa;

b. mengembangkan kreativitas, kepekaan, daya kritis,

keberanian, dan kepemimpinan, serta rasa

kebangsaan;

c. memenuhi kepentingan dan kesejahteraan

Mahasiswa; dan

d. mengembangkan tanggung jawab sosial melalui

kegiatan Pengabdian kepada Masyarakat.

(3) Organisasi kemahasiswaan sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) merupakan organisasi intra Perguruan

Tinggi.

(4) Perguruan Tinggi menyediakan sarana dan prasarana

serta dana untuk mendukung kegiatan organisasi

kemahasiswaan.

(5) Ketentuan . . .

Page 143: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

- 54 -

(5) Ketentuan lain mengenai organisasi kemahasiswaan

diatur dalam statuta perguruan tinggi.

Bagian Kedelapan

Akuntabilitas Perguruan Tinggi

Pasal 78

(1) Akuntabilitas Perguruan Tinggi merupakan bentuk

pertanggungjawaban Perguruan Tinggi kepada

Masyarakat yang terdiri atas:

a. akuntabilitas akademik; dan

b. akuntabilitas nonakademik.

(2) Akuntabilitas Perguruan Tinggi sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) wajib diwujudkan dengan

pemenuhan Standar Nasional Pendidikan Tinggi.

(3) Akuntabilitas Perguruan Tinggi sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui sistem

pelaporan tahunan.

(4) Laporan tahunan akuntabilitas Perguruan Tinggi

dipublikasikan kepada Masyarakat.

(5) Sistem pelaporan tahunan sebagaimana dimaksud

pada ayat (3) diatur sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

Bagian Kesembilan

Pengembangan Perguruan Tinggi

Paragraf 1

Umum

Pasal 79

(1) Pemerintah memfasilitasi kerja sama antar Perguruan

Tinggi dan antara Perguruan Tinggi dengan dunia

usaha, industri, alumni, Pemerintah Daerah,

dan/atau pihak lain.

(2) Pemerintah . . .

Page 144: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

- 55 -

(2) Pemerintah mengembangkan sistem pengelolaan

informasi Pendidikan Tinggi.

(3) Pemerintah mengembangkan sistem pembinaan

berjenjang melalui kerja sama antar Perguruan

Tinggi.

(4) Pemerintah mengembangkan sumber pembelajaran

terbuka yang dapat dimanfaatkan oleh seluruh Sivitas

Akademika.

(5) Pemerintah mengembangkan jejaring antar Perguruan

Tinggi dengan memanfaatkan teknologi informasi.

Paragraf 2

Pola Pengembangan Perguruan Tinggi

Pasal 80

(1) Pemerintah mengembangkan secara bertahap pusat

unggulan pada Perguruan Tinggi.

(2) Pemerintah mengembangkan paling sedikit 1 (satu)

PTN berbentuk universitas, institut, dan/atau

politeknik di setiap provinsi.

(3) PTN sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

dilaksanakan berbasis Tridharma sesuai dengan

potensi unggulan daerah untuk mendukung

kebutuhan pembangunan nasional.

Pasal 81

(1) Pemerintah bersama Pemerintah Daerah

mengembangkan secara bertahap paling sedikit 1

(satu) akademi komunitas dalam bidang yang sesuai

dengan potensi unggulan daerah di kabupaten/kota

dan/atau di daerah perbatasan.

(2) Akademi . . .

Page 145: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

- 56 -

(2) Akademi komunitas sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) dilaksanakan berbasis kebutuhan daerah

untuk mempercepat kemajuan dan kesejahteraan

masyarakat.

Pasal 82

Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangan

Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79

sampai dengan Pasal 81 diatur dalam Peraturan Menteri.

BAB V

PENDANAAN DAN PEMBIAYAAN

Bagian Kesatu

Tanggung Jawab dan Sumber Pendanaan Pendidikan

Tinggi

Pasal 83

(1) Pemerintah menyediakan dana Pendidikan Tinggi

yang dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan

Belanja Negara.

(2) Pemerintah Daerah dapat memberikan dukungan

dana Pendidikan Tinggi yang dialokasikan dalam

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

Pasal 84

(1) Masyarakat dapat berperan serta dalam pendanaan

Pendidikan Tinggi.

(2) Pendanaan Pendidikan Tinggi yang diperoleh dari

Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dapat diberikan kepada Perguruan Tinggi dalam

bentuk:

a. hibah . . .

Page 146: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

- 57 -

a. hibah;

b. wakaf;

c. zakat;

d. persembahan kasih;

e. kolekte;

f. dana punia;

g. sumbangan individu dan/atau perusahaan;

h. dana abadi Pendidikan Tinggi; dan/atau

i. bentuk lain sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

Pasal 85

(1) Perguruan Tinggi dapat berperan serta dalam

pendanaan Pendidikan Tinggi melalui kerja sama

pelaksanaan Tridharma.

(2) Pendanaan Pendidikan Tinggi dapat juga bersumber

dari biaya Pendidikan yang ditanggung oleh

Mahasiswa sesuai dengan kemampuan Mahasiswa,

orang tua Mahasiswa, atau pihak lain yang

membiayainya.

Pasal 86

(1) Pemerintah memfasilitasi dunia usaha dan dunia

industri dengan aktif memberikan bantuan dana

kepada Perguruan Tinggi.

(2) Pemerintah memberikan insentif kepada dunia usaha

dan dunia industri atau anggota Masyarakat yang

memberikan bantuan atau sumbangan

penyelenggaraan Pendidikan Tinggi sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 87 . . .

Page 147: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

- 58 -

Pasal 87

Pemerintah dan Pemerintah Daerah dapat memberikan

hak pengelolaan kekayaan negara kepada Perguruan

Tinggi untuk kepentingan pengembangan Pendidikan

Tinggi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan.

Bagian Kedua

Pembiayaan dan Pengalokasian

Pasal 88

(1) Pemerintah menetapkan standar satuan biaya

operasional Pendidikan Tinggi secara periodik dengan

mempertimbangkan:

a. capaian Standar Nasional Pendidikan Tinggi;

b. jenis Program Studi; dan

c. indeks kemahalan wilayah.

(2) Standar satuan biaya operasional Pendidikan Tinggi

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi dasar

untuk mengalokasikan anggaran dalam Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara untuk PTN.

(3) Standar satuan biaya operasional sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) digunakan sebagai dasar oleh

PTN untuk menetapkan biaya yang ditanggung oleh

Mahasiswa.

(4) Biaya yang ditanggung oleh Mahasiswa sebagaimana

dimaksud pada ayat (3) harus disesuaikan dengan

kemampuan ekonomi Mahasiswa, orang tua

Mahasiswa, atau pihak lain yang membiayainya.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar satuan

biaya operasional Pendidikan Tinggi sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan

Menteri.

Pasal 89 . . .

Page 148: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

- 59 -

Pasal 89

(1) Dana Pendidikan Tinggi yang bersumber dari

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 dialokasikan

untuk:

a. PTN, sebagai biaya operasional, Dosen dan tenaga

kependidikan, serta investasi dan pengembangan;

b. PTS, sebagai bantuan tunjangan profesi dosen,

tunjangan kehormatan profesor, serta investasi dan

pengembangan; dan

c. Mahasiswa, sebagai dukungan biaya untuk

mengikuti Pendidikan Tinggi.

(2) Dana Pendidikan Tinggi sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) huruf a untuk PTN badan hukum diberikan

dalam bentuk subsidi dan/atau bentuk lain sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Ketentuan mengenai bentuk dan mekanisme

pendanaan pada PTN badan hukum diatur dengan

Peraturan Pemerintah.

(4) Dana Pendidikan Tinggi yang bersumber dari

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan

bantuan dana yang disediakan oleh Pemerintah

daerah untuk penyelenggaraan Pendidikan Tinggi di

daerah masing-masing sesuai dengan kemampuan

daerah.

(5) Pemerintah mengalokasikan dana bantuan

operasional PTN dari anggaran fungsi Pendidikan.

(6) Pemerintah mengalokasikan paling sedikit 30% (tiga

puluh persen) dari dana sebagaimana dimaksud pada

ayat (5) untuk dana Penelitian di PTN dan PTS.

(7) Dana Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (5)

dikelola oleh Kementerian.

BAB VI . . .

Page 149: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

- 60 -

BAB VI

PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN TINGGI OLEH

LEMBAGA NEGARA LAIN

Pasal 90

(1) Perguruan Tinggi lembaga negara lain dapat

menyelenggarakan Pendidikan Tinggi di wilayah

Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Perguruan Tinggi lembaga negara lain sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) sudah terakreditasi dan/atau

diakui di negaranya.

(3) Pemerintah menetapkan daerah, jenis, dan Program

Studi yang dapat diselenggarakan Perguruan Tinggi

lembaga negara lain sebagaimana dimaksud pada

ayat (1).

(4) Perguruan Tinggi lembaga negara lain sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) wajib:

a. memperoleh izin Pemerintah;

b. berprinsip nirlaba;

c. bekerja sama dengan Perguruan Tinggi Indonesia

atas izin Pemerintah; dan

d. mengutamakan Dosen dan tenaga kependidikan

warga negara Indonesia.

(5) Perguruan Tinggi lembaga negara lain sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) wajib mendukung

kepentingan nasional.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perguruan Tinggi

lembaga negara lain sebagaimana dimaksud pada

ayat (2) sampai dengan ayat (5) diatur dalam

Peraturan Menteri.

BAB VII . . .

Page 150: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

- 61 -

BAB VII

PERAN SERTA MASYARAKAT

Pasal 91

(1) Masyarakat berperan serta dalam pengembangan

Pendidikan Tinggi.

(2) Peran serta Masyarakat sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) dilakukan dengan cara:

a. menentukan kompetensi lulusan melalui organisasi

profesi, dunia usaha, dan dunia industri;

b. memberikan beasiswa dan/atau bantuan

Pendidikan kepada Mahasiswa;

c. mengawasi dan menjaga mutu Pendidikan Tinggi

melalui organisasi profesi atau lembaga swadaya

masyarakat;

d. menyelenggarakan PTS bermutu;

e. mengembangkan karakter, minat, dan bakat

Mahasiswa;

f. menyediakan tempat magang dan praktik kepada

Mahasiswa;

g. memberikan berbagai bantuan melalui tanggung

jawab sosial perusahaan;

h. mendukung kegiatan Penelitian dan Pengabdian

kepada Masyarakat;

i. berbagi sumberdaya untuk pelaksanaan

Tridharma; dan/atau

j. peran serta lainnya sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

BAB VIII . . .

Page 151: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

- 62 -

BAB VIII

SANKSI ADMINISTRATIF

Pasal 92

(1) Perguruan Tinggi yang melanggar ketentuan Pasal 8

ayat (3), Pasal 18 ayat (3), Pasal 19 ayat (3), Pasal 20

ayat (3), Pasal 21 ayat (4), Pasal 22 ayat (3), Pasal 23

ayat (3), Pasal 24 ayat (4), Pasal 25 ayat (4), Pasal 28

ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), atau ayat (7), Pasal

33 ayat (6), Pasal 35 ayat (3), Pasal 37 ayat (1), Pasal

41 ayat (1), Pasal 46 ayat (2), Pasal 60 ayat (5), Pasal

73 ayat (3) atau ayat (5), Pasal 74 ayat (1), Pasal 76

ayat (1), Pasal 78 ayat (2), atau Pasal 90 ayat (5)

dikenai sanksi administratif.

(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) berupa:

a. peringatan tertulis;

b. penghentian sementara bantuan biaya Pendidikan

dari Pemerintah;

c. penghentian sementara kegiatan penyelenggaraan

Pendidikan;

d. penghentian pembinaan; dan/atau

e. pencabutan izin.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi administratif

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam

Peraturan Menteri.

BAB IX

KETENTUAN PIDANA

Pasal 93

Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara Pendidikan

Tinggi yang melanggar Pasal 28 ayat (6) atau ayat (7),

Pasal 42 ayat (4), Pasal 43 ayat (3), Pasal 44 ayat (4),

Pasal 60 ayat (2), dan Pasal 90 ayat (4) dipidana dengan

pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau

pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu

miliar rupiah).

BAB X . . .

Page 152: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

- 63 -

BAB X

KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 94

Penyelenggaraan Perguruan Tinggi oleh Kementerian lain

dan LPNK diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB XI

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 95

Sebelum terbentuknya lembaga akreditasi mandiri,

akreditasi program studi dilakukan oleh Badan Akreditasi

Nasional Perguruan Tinggi.

Pasal 96

Lembaga layanan Pendidikan Tinggi harus sudah

dibentuk paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-

Undang ini diundangkan.

Pasal 97

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:

a. izin pendirian Perguruan Tinggi dan izin

penyelenggaraan Program Studi yang sudah

diterbitkan dinyatakan tetap berlaku.

b. pengelolaan Perguruan Tinggi harus menyesuaikan

dengan ketentuan Undang-Undang ini paling lambat

2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.

c. pengelolaan Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik

Negara dan Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik

Negara yang telah berubah menjadi Perguruan Tinggi

yang diselenggarakan Pemerintah dengan pola

pengelolaan keuangan badan layanan umum

ditetapkan sebagai PTN Badan Hukum dan harus

menyesuaikan dengan ketentuan Undang-Undang ini

paling lambat 2 (dua) tahun.

d. pengelolaan . . .

Page 153: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

- 64 -

d. pengelolaan keuangan Perguruan Tinggi Badan

Hukum Milik Negara sebagaimana dimaksud dalam

huruf c mengikuti Pola Pengelolaan Keuangan Badan

Layanan Umum sampai dengan diterbitkannya

peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini.

BAB XII

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 98

(1) Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini

harus ditetapkan paling lambat 2 (dua) tahun

terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.

(2) Peraturan Pemerintah tentang bentuk dan mekanisme

pendanaan PTN Badan Hukum ditetapkan paling

lambat 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini

diundangkan.

Pasal 99

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua

peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003

Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 4301) yang berkaitan dengan

Pendidikan Tinggi dinyatakan masih tetap berlaku

sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam

Undang-Undang ini.

Pasal 100

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal

diundangkan.

Agar . . .

Page 154: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

- 65 -

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan

pengundangan Undang-Undang ini dengan

penempatannya dalam Lembaran Negara Republik

Indonesia.

Disahkan di Jakarta

Pada tanggal 10 Agustus 2012

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta

Pada tanggal 10 Agustus 2012

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

AMIR SYAMSUDIN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 158

Salinan sesuai dengan aslinya

KEMENTERIAN SEKRETARIAT NEGARA RI

Asisten Deputi Perundang-undangan

Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat,

ttd.

Wisnu Setiawan

Page 155: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

- 66 -

PENJELASAN

ATAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 12 TAHUN 2012

TENTANG

PENDIDIKAN TINGGI

I. UMUM

Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki tujuan sebagaimana

diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu “…melindungi segenap bangsa

Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan

kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut

melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,

perdamaian abadi, dan keadilan sosial...”.

Untuk mewujudkan tujuan tersebut Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan agar

Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem

pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan

kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka

mencerdaskan bangsa yang diatur dalam undang-undang. Selain itu

pada Pasal 31 ayat (5) mengamanahkan agar Pemerintah memajukan

Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai

agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta

kesejahteraan umat manusia.

Melalui . . .

Page 156: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

- 67 -

Melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem

Pendidikan Nasional, negara telah memberikan kerangka yang jelas

kepada Pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan nasional yang

sesuai dengan amanat Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945. Meskipun demikian masih

memerlukan pengaturan agar Pendidikan Tinggi dapat lebih berfungsi

dalam mengembangkan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dengan

memperhatikan dan menerapkan nilai Humaniora untuk

pemberdayaan dan pembudayaan bangsa.

Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi sebagai bagian yang tak

terpisahkan dari penyelenggaraan pendidikan nasional, tidak dapat

dilepaskan dari amanat Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Di samping itu, dalam rangka

menghadapi perkembangan dunia yang makin mengutamakan basis

Ilmu Pengetahuan, Pendidikan Tinggi diharapkan mampu

menjalankan peran strategis dalam memajukan peradaban dan

kesejahteraan umat manusia.

Pada tataran praktis bangsa Indonesia juga tidak terlepas dari

persaingan antarbangsa di satu pihak dan kemitraan dengan bangsa

lain di pihak lain. Oleh karena itu, untuk meningkatkan daya saing

bangsa dan daya mitra bangsa Indonesia dalam era globalisasi,

diperlukan Pendidikan Tinggi yang mampu mewujudkan dharma

pendidikan, yaitu menghasilkan intelektual, ilmuwan dan/atau

profesional yang berbudaya, kreatif, toleran, demokratis, dan

berkarakter tangguh, serta berani membela kebenaran demi

kepentingan bangsa dan umat manusia. Dalam rangka mewujudkan

dharma Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, diperlukan

Pendidikan Tinggi yang mampu menghasilkan karya Penelitian dalam

cabang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang dapat diabdikan bagi

kemaslahatan bangsa, negara, dan umat manusia.

Perguruan . . .

Page 157: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

- 68 -

Perguruan Tinggi sebagai lembaga yang menyelenggarakan Pendidikan

Tinggi Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, harus memiliki

otonomi dalam mengelola sendiri lembaganya. Hal itu diperlukan agar

dalam pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di Perguruan

Tinggi berlaku kebebasan akademik dan mimbar akademik, serta

otonomi keilmuan. Dengan demikian Perguruan Tinggi dapat

mengembangkan budaya akademik bagi Sivitas Akademika yang

berfungsi sebagai komunitas ilmiah yang berwibawa dan mampu

melakukan interaksi yang mengangkat martabat bangsa Indonesia

dalam pergaulan internasional.

Perguruan Tinggi sebagai garda terdepan dalam mencerdaskan

kehidupan bangsa, dengan mengembangkan Ilmu Pengetahuan dan

Teknologi untuk memajukan kesejahteran umum dan keadilan sosial

bagi seluruh rakyat Indonesia.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas.

Pasal 2

Cukup jelas.

Pasal 3

Huruf a

Yang dimaksud dengan "asas kebenaran ilmiah" adalah

pencarian, pengamatan, penemuan, penyebarluasan dan

pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang

kebenarannya diverifikasi secara ilmiah.

Huruf b

Yang dimaksud dengan “asas penalaran” adalah

pencarian, pengamatan, penemuan, penyebarluasan dan

pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang

mengutamakan kegiatan berpikir.

Huruf c . . .

Page 158: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

- 69 -

Huruf c

Yang dimaksud dengan “asas kejujuran” adalah

pendidikan tinggi yang mengutamakan moral akademik

Dosen dan Mahasiswa untuk senantiasa mengemukakan

data dan informasi dalam Ilmu Pengetahuan dan

Teknologi sebagaimana adanya.

Huruf d

Yang dimaksud dengan “asas keadilan” adalah

Pendidikan Tinggi menyediakan kesempatan yang sama

kepada semua warga negara Indonesia tanpa memandang

suku, agama, ras dan antargolongan, serta latar belakang

sosial dan ekonomi.

Huruf e

Yang dimaksud dengan “asas manfaat” adalah Pendidikan

Tinggi selalu berorientasi untuk kemajuan peradaban dan

kesejahteraan umat manusia.

Huruf f

Yang dimaksud dengan "asas kebajikan" adalah

Pendidikan Tinggi harus mendatangkan kebaikan,

keselamatan dan kesejahteraan dalam kehidupan Sivitas

Akademika, Masyarakat, bangsa, dan negara.

Huruf g

Yang dimaksud dengan "asas tanggung jawab" adalah

Sivitas Akademika melaksanakan Tridharma serta

mewujudkan kebebasan akademik, kebebasan mimbar

akademik, dan/atau otonomi keilmuan, dengan

menjunjung tinggi nilia-nilai agama dan persatuan

bangsa serta peraturan perundang-undangan.

Huruf h

Yang dimaksud dengan "asas kebhinnekaan" adalah

Pendidikan Tinggi diselenggarakan dalam berbagai

cabang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dengan

memperhatikan dan menghormati kemajemukan

Masyarakat Indonesia dalam Negara Kesatuan Republik

Indonesia.

Huruf i . . .

Page 159: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

- 70 -

Huruf i

Yang dimaksud dengan “asas keterjangkauan” adalah

bahwa Pendidikan Tinggi diselenggarakan dengan biaya

Pendidikan yang ditanggung oleh Mahasiswa sesuai

dengan kemampuan ekonominya, orang tua atau pihak

yang membiayainya untuk menjamin warga negara yang

memiliki potensi dan kemampuan akademik memperoleh

Pendidikan Tinggi tanpa hambatan ekonomi.

Pasal 4

Cukup jelas.

Pasal 5

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Karya penelitian antara lain berupa invensi dan inovasi

dalam Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang mampu

meningkatkan taraf hidup untuk menjadi bangsa yang

maju.

Pasal 6

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Cukup jelas.

Huruf e . . .

Page 160: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

- 71 -

Huruf e

Cukup jelas.

Huruf f

Cukup jelas.

Huruf g

Cukup jelas.

Huruf h

Yang dimaksud dengan “sistem terbuka” adalah

penyelenggaraan Pendidikan Tinggi memiliki sifat

fleksibilitas dalam hal cara penyampaian, pilihan dan

waktu penyelesaian program, lintas satuan, jalur dan

jenis Pendidikan (multi entry multi exit system).

Yang dimaksud dengan “multimakna” adalah Pendidikan

yang diselenggarakan dengan berorientasi pada

pembudayaan, pemberdayaan, pembentukan watak dan

kepribadian, serta berbagai kecakapan hidup.

Huruf i

Cukup jelas.

Huruf j

Cukup jelas.

Pasal 7

Cukup jelas.

Pasal 8

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “akademik” dalam “kebebasan

akademik” dan “kebebasan mimbar akademik” adalah

sesuatu yang bersifat ilmiah atau bersifat teori yang

dikembangkan dalam Pendidikan Tinggi dan terbebas dari

pengaruh politik praktis.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 9 . . .

Page 161: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

- 72 -

Pasal 9

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “Dosen yang memiliki otoritas dan

wibawa ilmiah untuk menyatakan secara terbuka dan

bertanggung jawab mengenai sesuatu yang berkenaan

dengan rumpun ilmu dan cabang ilmunya” adalah Dosen

yang telah memiliki kualifikasi doktor atau setara.

Profesor merupakan jabatan akademik tertinggi pada

Perguruan Tinggi yang mempunyai wewenang

membimbing calon doktor.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 10

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Huruf a

Rumpun ilmu agama merupakan rumpun Ilmu

Pengetahuan yang mengkaji keyakinan tentang

ketuhanan atau ketauhidan serta teks-teks suci

agama antara lain ilmu ushuluddin, ilmu syariah,

ilmu adab, ilmu dakwah, ilmu tarbiyah, filsafat

dan pemikiran Islam, ekonomi Islam, ilmu

pendidikan agama Hindu, ilmu penerangan

agama Hindu, filsafat agama Hindu, ilmu

pendidikan agama Budha, ilmu penerangan

agama Budha, filsafat agama Budha, ilmu

pendidikan agama Kristen, ilmu pendidikan

agama Katholik, teologi, misiologi, konseling

pastoral, dan ilmu pendidikan agama Khong Hu

Cu.

Huruf b . . .

Page 162: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

- 73 -

Huruf b

Rumpun ilmu Humaniora merupakan rumpun

Ilmu Pengetahuan yang mengkaji dan mendalami

nilai kemanusiaan dan pemikiran manusia,

antara lain filsafat, ilmu sejarah, ilmu bahasa,

ilmu sastra, ilmu seni panggung, dan ilmu seni

rupa.

Huruf c

Rumpun ilmu sosial merupakan rumpun Ilmu

Pengetahuan yang mengkaji dan mendalami

hubungan antar manusia dan berbagai fenomena

Masyarakat, antara lain sosiologi, psikologi,

antropologi, ilmu politik, arkeologi, ilmu wilayah,

ilmu budaya, ilmu ekonomi, dan geografi.

Huruf d

Rumpun ilmu alam merupakan rumpun Ilmu

Pengetahuan yang mengkaji dan mendalami alam

semesta selain manusia, antara lain ilmu

angkasa, ilmu kebumian, biologi, ilmu kimia, dan

ilmu fisika.

Huruf e

Rumpun ilmu formal merupakan rumpun Ilmu

Pengetahuan yang mengkaji dan mendalami

sistem formal teoritis, antara lain ilmu komputer,

logika, matematika, statistika, dan sistema.

Huruf f

Rumpun ilmu terapan merupakan rumpun Ilmu

Pengetahuan dan Teknologi yang mengkaji dan

mendalami aplikasi ilmu bagi kehidupan manusia

antara lain pertanian, arsitektur dan

perencanaan, bisnis, pendidikan, teknik,

kehutanan dan lingkungan, keluarga dan

konsumen, kesehatan, olahraga, jurnalistik,

media massa dan komunikasi, hukum,

perpustakaan dan permuseuman, militer,

administrasi publik, pekerja sosial, dan

transportasi.

Ayat (3) . . .

Page 163: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

- 74 -

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 11

Cukup jelas.

Pasal 12

Cukup jelas.

Pasal 13

Cukup jelas.

Pasal 14

Cukup jelas.

Pasal 15

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Dalam hal pendidikan akademik rumpun ilmu agama,

tanggung jawab penyelenggaraan dilakukan oleh menteri

yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang

agama berkoordinasi dengan Menteri.

Pasal 16

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “pendidikan vokasi” adalah

pendidikan yang menyiapkan Mahasiswa menjadi

profesional dengan keterampilan/kemampuan kerja

tinggi.

Kurikulum pendidikan vokasi disiapkan bersama dengan

Masyarakat profesi dan organisasi profesi yang

bertanggung jawab atas mutu layanan profesinya agar

memenuhi syarat kompetensi profesinya.

Dengan demikian pendidikan vokasi telah mencakup

pendidikan profesinya.

Ayat (2) . . .

Page 164: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

- 75 -

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 17

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Kerja sama dengan Kementerian, Kementerian lain, LPNK,

dan/atau organisasi profesi, antara lain penetapan

standar kompetensi, penetapan kualifikasi lulusan,

penyusunan kurikulum, penggunaan sumber belajar, dan

uji kompetensi.

Pasal 18

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “berbudaya” adalah sikap dan

perilaku yang senantiasa berdasarkan sistem nilai,

norma, dan kaidah Ilmu Pengetahuan, yang menjunjung

tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Pasal 19

Cukup jelas.

Pasal 20 . . .

Page 165: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

- 76 -

Pasal 20

Ayat (1)

Mahasiswa program magister yang memiliki kemampuan

luar biasa dapat melanjutkan ke program doktor setelah

sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun mengikuti program

magister tanpa harus lulus program magister terlebih

dahulu.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Pasal 21

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Yang dimaksud dengan “sederajat” adalah kompetensi

dengan mengacu pada Kerangka Kualifikasi Nasional

Indonesia.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Ayat (6)

Cukup jelas.

Ayat (7) . . .

Page 166: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

- 77 -

Ayat (7)

Cukup jelas.

Pasal 22

Cukup jelas.

Pasal 23

Ayat (1)

Mahasiswa program magister terapan yang memiliki

kemampuan luar biasa dapat melanjutkan ke program

doktor terapan setelah paling sedikit (1) satu tahun

mengikuti program magister tanpa harus lulus program

magister terlebih dahulu.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Pasal 24

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Program profesi merupakan tanggung jawab dan

kewenangan Kementerian, Kementerian lain, LPNK,

dan/atau organisasi profesi yang bertanggung jawab atas

mutu layanan profesi. Oleh karena itu, Perguruan Tinggi

hanya dapat menyelenggarakannya bekerja sama dengan

Kementerian, Kementerian lain, LPNK, dan/atau

organisasi profesi.

Program . . .

Page 167: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

- 78 -

Program profesi dapat menggunakan nama lain yang

sederajat seperti program profesi dokter, insinyur,

apoteker, notaris, psikolog, guru/pendidik, wartawan

sesuai ketentuan Kementerian, Kementerian lain, LPNK,

dan/atau organisasi profesi yang bertanggung jawab atas

mutu layanan profesi.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Ayat (6)

Cukup jelas.

Pasal 25

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Program spesialis dapat menggunakan nama lain yang

sederajat dan memiliki tingkatan, antara lain program

dokter spesialis dan subspesialis, program insinyur

profesional pratama, madya, dan utama, sesuai

ketentuan Kementerian, Kementerian lain, LPNK,

dan/atau organisasi profesi yang bertanggung jawab atas

mutu layanan profesi.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Ayat (6) . . .

Page 168: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

- 79 -

Ayat (6)

Cukup jelas.

Pasal 26

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Gelar profesi antara lain digunakan oleh profesi dokter yang

disingkat dr., profesi apoteker disingkat apt., dan profesi

akuntan disingkat Akt.

Ayat (6)

Cukup jelas.

Ayat (7)

Cukup jelas.

Ayat (8)

Cukup jelas.

Pasal 27

Cukup jelas.

Pasal 28

Cukup jelas.

Pasal 29

Cukup jelas.

Pasal 30

Cukup jelas.

Pasal 31 . . .

Page 169: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

- 80 -

Pasal 31

Cukup jelas.

Pasal 32

Cukup jelas.

Pasal 33

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Izin Program Studi yang berkaitan dengan ilmu agama

diberikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan

pemerintahan di bidang agama.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Ayat (6)

Cukup jelas.

Ayat (7)

Pencabutan izin Program Studi yang berkaitan dengan

ilmu agama dilakukan oleh menteri yang

menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang

agama.

Ayat (8)

Cukup jelas.

Pasal 34

Cukup jelas.

Pasal 35 . . .

Page 170: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

- 81 -

Pasal 35

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Huruf a

Yang dimaksud dengan “mata kuliah agama”

adalah pendidikan untuk membentuk Mahasiswa

menjadi manusia yang beriman dan bertakwa

kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak

mulia.

Huruf b

Yang dimaksud dengan “mata kuliah Pancasila”

adalah Pendidikan untuk memberikan

pemahaman dan penghayatan kepada Mahasiswa

mengenai ideologi bangsa Indonesia.

Huruf c

Yang dimaksud dengan “mata kuliah

kewarganegaraan” adalah pendidikan yang

mencakup Pancasila, Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara

Kesatuan Republik Indonesia dan Bhineka

Tunggal Ika untuk membentuk Mahasiswa

menjadi warga negara yang memiliki rasa

kebangsaan dan cinta tanah air.

Huruf d

Cukup jelas.

Ayat (4)

Yang dimaksud dengan “kegiatan kurikuler” adalah

serangkaian kegiatan yang terstruktur untuk mencapai

tujuan Program Studi.

Yang . . .

Page 171: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

- 82 -

Yang dimaksud dengan “kegiatan kokurikuler” adalah

kegiatan yang dilakukan oleh Mahasiswa secara

terprogram atas bimbingan dosen, sebagai bagian

kurikulum dan dapat diberi bobot setara satu atau dua

satuan kredit semester.

Yang dimaksud dengan “kegiatan ekstrakurikuler” adalah

kegiatan yang dilakukan oleh Mahasiswa sebagai

penunjang kurikulum dan dapat diberi bobot setara satu

atau dua satuan kredit semester.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Pasal 36

Cukup jelas.

Pasal 37

Cukup jelas.

Pasal 38

Cukup jelas.

Pasal 39

Cukup jelas.

Pasal 40

Cukup jelas.

Pasal 41

Ayat (1)

Sumber belajar dapat berbentuk antara lain, alam

semesta, lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif,

rumah sakit pendidikan, laboratorium, perpustakaan,

museum, studio, bengkel, stadion, dan stasiun penyiaran.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3) . . .

Page 172: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

- 83 -

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 42

Cukup jelas.

Pasal 43

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “sertifikat profesi” antara lain

sertifikat pendidik yang diterbitkan oleh Perguruan Tinggi

yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk

meneyelenggarakan program pengadaan tenaga pendidik

sebagaimana diatur dalam undang-undang yang

mengatur mengenai guru dan dosen.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 44

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “keahlian dalam cabang ilmunya”

adalah kemampuan seseorang yang diakui oleh

Masyarakat karena keahlian praktis, seperti potong

rambut, desain grafis, montir, dan bentuk keahlian

praktis lainnya.

Yang dimaksud dengan “prestasi di luar program

studinya” adalah keahlian lain yang tidak berkaitan

langsung dengan program studinya, seperti Mahasiswa

kedokteran yang meraih juara renang, Mahasiswa teknik

mesin yang terampil dalam jurnalistik atau fotografi, dan

sebagainya.

Ayat (2) . . .

Page 173: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

- 84 -

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas

Pasal 45

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan “penelitian dilaksanakan

berdasarkan jalur kompetensi” adalah Penelitian yang

diberikan kepada Dosen yang memiliki kualifikasi

akademik lulusan program doktor tanpa melalui

kompetisi.

Yang dimaksud dengan “penelitian berdasarkan jalur

kompetisi” adalah Penelitian yang diberikan kepada

Dosen dengan cara berkompetisi.

Pasal 46

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “wajib disebarluaskan” adalah

Penelitian yang didanai oleh Pemerintah dan/atau

Pemerintah Daerah.

Yang . . .

Page 174: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

- 85 -

Yang dimaksud dengan “hasil Penelitian yang bersifat

rahasia, menganggu, dan/atau membahayakan

kepentingan umum” adalah Penelitian yang sifat dan

hasilnya berkaitan dengan rahasia atau keselamatan

negara sehingga tidak dapat atau tidak boleh diketahui,

dimiliki, dan dimanfaatkan oleh pihak yang tidak berhak.

Dipublikasikan artinya bahwa hasil Penelitian dimuat

dalam jurnal ilmiah yang terakreditasi dan/atau buku

yang telah diterbitkan oleh Perguruan Tinggi atau

penerbit lainnya dan memiliki International Standard Book

Number (ISBN).

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 47

Cukup jelas.

Pasal 48

Cukup jelas.

Pasal 49

Cukup jelas.

Pasal 50

Cukup Jelas.

Pasal 51

Cukup jelas.

Pasal 52

Cukup jelas.

Pasal 53

Cukup jelas.

Pasal 54 . . .

Page 175: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

- 86 -

Pasal 54

Cukup jelas.

Pasal 55

Cukup jelas.

Pasal 56

Cukup jelas.

Pasal 57

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan “sesuai dengan kebutuhan”

adalah kebutuhan yang didasarkan pada karakteristik

atau profil Perguruan Tinggi di wilayah tertentu.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 58

Cukup jelas.

Pasal 59

Cukup jelas.

Pasal 60

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Pendirian PTS yang menyelenggarakan pendidikan

keagamaan mendapatkan izin menteri yang

menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang

agama.

Yang . . .

Page 176: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

- 87 -

Yang dimaksud dengan “prinsip nirlaba” adalah prinsip

kegiatan yang tujuannya tidak untuk mencari laba,

sehingga seluruh sisa hasil usaha dari kegiatan harus

ditanamkan kembali ke Perguruan Tinggi untuk

meningkatkan kapasitas dan/atau mutu layanan

Pendidikan.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Ayat (6)

Cukup jelas.

Ayat (7)

Cukup jelas.

Pasal 61

Cukup jelas.

Pasal 62

Cukup jelas.

Pasal 63

Huruf a

Yang dimaksud dengan “prinsip akuntabilitas” adalah

kemampuan dan komitmen untuk

mempertanggungjawabkan semua kegiatan yang

dijalankan Perguruan Tinggi kepada semua pemangku

kepentingan sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan. Akuntabilitas antara lain dapat

diukur dari rasio antara Mahasiswa dan Dosen,

kecukupan sarana dan prasarana, penyelenggaraan

pendidikan yang bermutu, dan kompetensi lulusan.

Huruf b . . .

Page 177: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

- 88 -

Huruf b

Yang dimaksud dengan “prinsip transparansi” adalah

keterbukaan dan kemampuan menyajikan informasi yang

relevan secara tepat dan akurat kepada pemangku

kepentingan sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

Huruf c

Yang dimaksud dengan “prinsip nirlaba” adalah prinsip

kegiatan yang tujuannya tidak untuk mencari laba,

sehingga seluruh sisa hasil usaha dari kegiatan harus

ditanamkan kembali ke Perguruan Tinggi untuk

meningkatkan kapasitas dan/atau mutu layanan

pendidikan.

Huruf d

Yang dimaksud dengan “prinsip penjaminan mutu”

adalah kegiatan sistemik untuk memberikan layanan

Pendidikan Tinggi yang memenuhi atau melampaui

standar nasional pendidikan tinggi serta peningkatan

mutu pelayanan pendidikan secara berkelanjutan.

Huruf e

Yang dimaksud dengan “efektivitas dan efisiensi” adalah

kegiatan sistemik untuk memanfaatkan sumber daya

dalam penyelenggaraan Pendidikan Tinggi agar tepat

sasaran dan tidak terjadi pemborosan.

Pasal 64

Cukup jelas.

Pasal 65

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3) . . .

Page 178: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

- 89 -

Ayat (3)

Huruf a

PTN Badan Hukum dapat memanfaatkan

kekayaan berupa tanah dan hasil

pemanfaatannya menjadi pendapatan PTN Badan

Hukum.

Kekayaan berupa tanah tersebut tidak dapat

dipindahtangankan atau dijaminkan kepada

pihak lain.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Cukup jelas.

Huruf e

Cukup jelas.

Huruf f

Cukup jelas.

Huruf g

Cukup jelas.

Ayat (4)

PTN badan hukum merupakan PTN yang sepenuhnya

milik negara dan tidak dapat dialihkan kepada

perseorangan atau swasta. Untuk melaksanakan fungsi

Pendidikan Tinggi yang berada dalam lingkup tanggung

jawab Kementerian, Pemerintah memberikan kompensasi

atau menanggung sebagian biaya yang telah dikeluarkan

oleh PTN badan hukum.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Pasal 66 . . .

Page 179: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

- 90 -

Pasal 66

Cukup jelas.

Pasal 67

Cukup jelas.

Pasal 68

Cukup jelas.

Pasal 69

Ayat (1)

Huruf a

Dosen terdiri atas Dosen tetap dan Dosen tidak

tetap.

Huruf b

Yang dimaksud dengan “tenaga kependidikan”

adalah anggota Masyarakat yang mengabdikan

diri dan diangkat untuk menunjang

penyelenggaraan Pendidikan Tinggi antara lain,

pustakawan, tenaga administrasi, laboran dan

teknisi, serta pranata teknik informasi.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan “orang yang memiliki keahlian

dan/atau prestasi luar biasa” adalah dimaksudkan untuk

memenuhi Dosen pada semua program Pendidikan Tinggi

terutama pada program diploma satu dan program

diploma dua.

Ketentuan peraturan perundang-undangan yang

dimaksud adalah undang-undang yang mengatur

mengenai guru dan dosen.

Pasal 70 . . .

Page 180: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

- 91 -

Pasal 70

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Perjanjian kerja atau kesepakatan kerja memuat tentang

gaji pokok, penghasilan yang melekat pada gaji,

penghasilan lain dan jaminan kesejahteraan sosial serta

maslahat tambahan sesuai dengan undang-undang yang

mengatur mengenai guru dan dosen.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Ayat (6)

Cukup jelas.

Pasal 71

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “dosen tetap” adalah Dosen yang

tidak diangkat oleh Pemerintah (bukan pegawai negeri

sipil/bukan aparatur sipil negara).

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 72

Cukup jelas.

Pasal 73 . . .

Page 181: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

- 92 -

Pasal 73

Ayat (1)

Pola penerimaan Mahasiswa secara nasional dan bentuk

lain hanya berlaku bagi Mahasiswa program sarjana dan

program diploma.

Yang dimaksud dengan “bentuk lain” adalah pola

penerimaan Mahasiswa baru yang dilakukan secara

mandiri oleh Perguruan Tinggi.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Ayat (6)

Cukup jelas.

Ayat (7)

Cukup jelas.

Pasal 74

Cukup jelas.

Pasal 75

Cukup jelas.

Pasal 76

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2) . . .

Page 182: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

- 93 -

Ayat (2)

Huruf a

Yang dimaksud dengan “beasiswa” adalah

dukungan biaya Pendidikan yang diberikan

kepada Mahasiswa untuk mengikuti dan/atau

menyelesaikan Pendidikan Tinggi berdasarkan

pertimbangan utama prestasi dan/atau potensi

akademik.

Huruf b

Yang dimaksud dengan “bantuan biaya

pendidikan” adalah dukungan biaya Pendidikan

yang diberikan kepada Mahasiswa untuk

mengikuti dan/atau menyelesaikan Pendidikan

Tinggi berdasarkan pertimbangan utama

keterbatasan kemampuan ekonomi.

Huruf c

Yang dimaksud dengan “pinjaman dana tanpa

bunga” adalah pinjaman yang diterima oleh

Mahasiswa tanpa bunga untuk mengikuti

dan/atau menyelesaikan Pendidikan Tinggi

dengan kewajiban membayar kembali setelah

lulus dan mendapatkan pendapatan yang cukup.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 77

Cukup jelas.

Pasal 78

Cukup jelas.

Pasal 79 . . .

Page 183: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

- 94 -

Pasal 79

Cukup jelas.

Pasal 80

Cukup jelas.

Pasal 81

Cukup jelas.

Pasal 82

Cukup jelas.

Pasal 83

Cukup jelas.

Pasal 84

Cukup jelas.

Pasal 85

Cukup jelas.

Pasal 86

Cukup jelas.

Pasal 87

Hak pengelolaan kekayaan negara dapat berbentuk antara lain,

hak pengelolaan lahan, laut, pertambangan, perkebunan, hutan,

dan museum.

Pasal 88

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “Standar satuan biaya operasional”

adalah biaya penyelenggaraan Pendidikan Tinggi di luar

investasi dan pengembangan. Biaya investasi antara lain

biaya pengadaan sarana dan prasarana serta sumber

belajar.

Ayat (2) . . .

Page 184: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

- 95 -

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Pasal 89

Ayat (1)

Huruf a

Anggaran untuk PTN dialokasikan oleh

Pemerintah dalam Anggaran Pendapatan dan

Belanja Negara dan/atau oleh Pemerintah daerah

dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan.

Huruf b

Anggaran untuk PTS dialokasikan oleh

Pemerintah dalam Anggaran Pendapatan dan

Belanja Negara dan/atau oleh Pemerintah daerah

dalam Anggaran dan Pendapatan Belanja Daerah

dalam bentuk, antara lain hibah, bantuan

program kegiatan Pendidikan, Penelitian, dan

Pengabdian kepada Masyarakat sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

Selain bantuan pendanaan, PTS dapat

memperoleh bantuan tenaga Dosen yang diangkat

oleh Pemerintah.

Huruf c . . .

Page 185: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

- 96 -

Huruf c

Dukungan biaya untuk mengikuti Pendidikan

Tinggi bagi Mahasiswa dapat diberikan dalam

bentuk beasiswa, bantuan atau membebaskan

biaya Pendidikan, dan/atau pinjaman dana tanpa

bunga.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Yang dimaksud dengan “dana bantuan operasional”

adalah dana Kementerian di luar Penerimaan Negara

Bukan Pajak yang dialokasikan dalam Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara untuk membantu biaya

operasional layanan Tridharma.

Ayat (6)

Cukup jelas.

Ayat (7)

Cukup jelas.

Pasal 90

Cukup jelas.

Pasal 91

Cukup jelas.

Pasal 92

Cukup jelas.

Pasal 93

Cukup jelas.

Pasal 94 . . .

Page 186: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

- 97 -

Pasal 94

Cukup jelas.

Pasal 95

Cukup jelas.

Pasal 96

Cukup jelas.

Pasal 97

Cukup jelas.

Pasal 98

Cukup jelas.

Pasal 99

Cukup jelas.

Pasal 100

Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5336

Page 187: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

KETERANGAN SAKSI

Prof. Dr. Sofian Effendi

dalam

Perkara di Mahkamah Konstitusi No. 103/PUU/-X/2012

tentang

Pengujian Undang-undang Republik Indonesia No 12 tahun 2012

tentang Pendidikan Tinggi

terhadap

UUD NRI 1945

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Yang Mulia Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi,

Sehubungan dengan permohonan pengujian Undang Undang Republik Indonesia

No 12 tahun 2012, selanjutnya disebut UU Pendidikan Tinggi, terhadap Undang

Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, selanjutnya disebut UUD NRI

1945, yang dimohonkan oleh M. Nurul Fajri, dkk, selaku perwakilan Forum Peduli

Pendidikan Universitas Andalas yang selanjutnya disebut Pemohon, sesuai

registrasi di kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Nomor 103/PUU/-X/2012 tanggal 8

Oktober 2012, dengan perbaikan permohonan No. 111/PUU-X/2012 tanggal 3

Desember 2012, perkenankan saya sebagai Saksi Fihak Pemerintah memberikan

keterangan sebagai berikut:

A. Pokok Permasalahan

Pokok permasalahan yang diajukan oleh Pemohon adalah sebagai berikut:

1. Bahwa Pasal 64 UU Pendidikan Tinggi bertentangan dengan Pasal 28C ayat

(1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (4), Pasal 31 ayat (1) dan ayat (4) UUD

1945, karena Otonomi Perguruan Tinggi di bidang akademik dan non-

akademik, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64: (a) membuka peluang

dan melegitimasi perguruan tinggi untuk menerapkan komersialisasi

pendidikan tinggi; (b) membuka kesempatan kepada perguruan tinggi

untuk mengelola keuangan seperti sebuah sebuah korporasi;

(c) penyerahan otonomi non-akademik kepada PT badan hukum

merupakan bentuk pelepasan tanggung jawab dan kontrol Negara

terhadap pendidikan tinggi yang berkeadilan dan diskriminatif, sehungga

bertentangan dengan UUD NRI 1945 Pasal 31 ayat (1); dan (d) membuka

kesempatan kepada perguruan tinggi untuk melakukan abuse of power

Versi: 20 Februari 2013

Comment [A1]: non-akademik

Page 188: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

2

dalam bidang ketenagaan karena pegawai perguruan tinggi akan tunduk

kepada perguruan tinggi sebagaimana ditetapkan dalam UUD NRI 1945

Pasal 28 D ayat (1); dan Pasal a quo melanggar Pasal 28 C ayat (1)

karena tidak memberikan kesempatan yang sama kepada setiap

warganegara untuk menikmati pendidikan tinggi.

2. Bahwa Pasal 65 ayat (1) sepanjang frasa “atau dengan membentuk

PTN badan hukum” serta ayat (3) dan ayat (4) UU Pendidikan Tinggi

bertentangan dengan Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I

ayat (4), Pasal 31 ayat (1) dan ayat (4) UUD 1945, karena: (a) otonomi

Perguruan Tinggi menjadikan pendidikan tinggi barang publik (public

good) yang merupakan fungsi dan tanggungjawab Pemerintah.

Penyelenggaraan pendidikan tinggi oleh PTN badan hukum menjadikan

pendidikan tinggi barang privat, sehingga bertentangan dengan amanat

Pasal 31 ayat (2) UUD NRI 1945; (b) bahwa bentuk PT Badan Hukum

Pendidikan sudah dinyatakan Mahkamah bertentangan dengan UUD NRI

1945 dengan Putusan Perkara No. 11-14-21-126-136 PUU-VII-2009;

(c) bahwa pemberian otonomi dapat menimbulkan praktek komersialisiasi

yang dilakukan oleh pengelola PTN; (d) bahwa pemberian otonomi

kepada perguruan tinggi negeri terutama di bidang keuangan berpotensi

memberikan kewenangan kepada institusi perguruan tinggi untuk

memungut dan memberlakukan berbagai bentuk biaya pungutan kepada

mahasiswa (masyarakat) dan dapat menyulitkan akses masyarakat

ekonomi lemah, sehigga bertentangan dengan ketentuan Pasal 28 C ayat

(1); dan (e) bahwa pemberian otonomi kepada PTN yang menerapkan

Pola Pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum (PPK-BLU) berarti

memberikan kemandirian pengelolaan dibidang keuangan oleh PTN

belum tentu menyediakan pendidikan murah bagi masyarakat, sehingga

bertentangan dengan Pasal 31 ayat (23) UUD 1945.

3. Bahwa Pasal 86 ayat (1) UU Pendidikan Tinggi bertentangan dengan

Alinea IV Pembukaan dan Pasal 31 ayat (1) dan ayat (5) UUD 1945,

karena: (a) Fasilitasi dan pemberian insentif kepada dunia usaha,

masyarakat, dan perorangan untuk memberikan bantuan kepada

Perguruan Tinggi telah melanggar pokok fikiran dalam Alinea IV tentang

filosofi pendidikan nasional; (b) mereduksi tanggung jawab negara atas

Page 189: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

3

pendidikan dengan memberi kesempatan kepada dunia usaha dan

industri untuk terlibat dalam pendanaan pendidikan tinggi:

(c) menyebabkan dekonstruksi pada dunia pendidikan tinggi Indonesia,

dari pembentukan pendidikan tinggi yang berkualitas menjadi pendidikan

tinggi yang menerapkan pradigma dunia usaha yang mengutamakan

profit oriented; (d) Pasal a quo akan berakibat pada perubahan kurikulum

Perguruan Tinggi yang lebih disesuaikan dengan kebutuhan dunia usaha

dan dunia industri.

4. Bahwa Pasal 90 UU Pendidikan Tinggi bertentangan dengan Alinea IV

Pembukaan, Pasal 28C ayat (1) dan Pasal 28E ayat (1) UUD NRI 1945

karena: (a) menghambat pemenuhan hak konstitusional warga negara

atas pendidikan, khususnya pendidikan tinggi yang dijamin dalam

Alinea IV Pembukaan UUD NRI 1945, Pasal 28C ayat (1), dan Pasal 28E

ayat (1); (b) merupakan pelanggaran kewajiban konstitusional pemerintah

untuk menyediakan pembiayaan untuk pendidikan tinggi; dan (c)

pemberian izin kepada perguruan tinggi Negara lain di wilayah Negara

kesatuan Republik Indonesia bertentangan dengan kewajiban Negara

melalui Perguruan Tinggi Negeri untuk menyelenggarakan pendidikan

tinggi.

B. Keterangan Saksi

Sebagai saksi yang ikut terlibat dalam penyusunan rancangan UU

Perguruan Tinggi perkenankan saya memberikan keterangan tentang

pemikiran dan suasana kebatinan dalam penyusunan pasal-pasal yang

dimintakan uji materiil oleh Pemohon sebagai berikut:

1. Penyusunan RUU Pendidikan Tinggi berawal dari penugasan Dirjen

Dikti kepada Dewan Pendidikan Tinggi, khususnya Majelis

Pengembangan, Dewan Pendidikan Tinggi. Saksi adalah salah

seorang anggota Majelis Pengembangan-DPT. Seingat saya dalam

pembahasan tentang RUU Pendidikan Tinggi baik pada Majelis

Pengembangan DPT, pada DPT, pada Panja RUU PT yang dibentuk

Komisi X DPR, yang seluruhnya berlangsung hampir dua tahun, sejak

Oktober 2010 sampai disahkan oleh DPR pada 16 Juli 2012, para

penyusun sangat dijiwai oleh semangat ingin melaksanakan cita-cita

Page 190: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

4

para pendiri Negara Bangsa dan para penyusun UUD NRI 1945 untuk

“mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan, termasuk

pendidikan tinggi.”

2. Penyusunan UU Pendidikan Tinggi bertujuan untuk menyediakan

landasan hukum Kebijakan Umum Pendidikan Tinggi 2012-2014 guna

mengatasi masalah-masalah pokok pendidikan nasional Indonesia

menjelang ulang tahun ke 100 Negara Republik Indonesia. Seperti

diungkapkan oleh Professor Hal Hill dan Dr. Thee Kian Wee dalam

laporan mereka “Indonesian Universities: Cathing Up and Opening Up”

(Canberra, Australian Natonal University, 2011), “walau pun

pendidikan tinggi Indonesia telah menunjukkan kemajuan sangat pesat

dalam kurun waktu 6 dekade, dari sekitar 2000 mahasiswa pada 1946

menjadi 4,7 juta pada 2011, dari hanya 2 PT menjadi 3600 PT, namun

hanya 5 persen dari seluruh PT nasional yang merupakan PT terbaik

Indonesia, dan semuanya PTN. Namun, kemajuan PTN sangat

terhambat oleh pengelolaan PT yang komplek, status tidak jelas, dan

kurang terkait dan kurang didukung oleh pembiayaan yang sesuai

standar global. Tanpa otonomi PTN Indonesia sukar mencapai status

sebagai PT kaliber dunia dan bahkan status PT kaliber Asia.”

3. Para penyusun juga sangat menyadari gencarnya gerakan globalisasi

pendidikan yang dimotori oleh World Trade Organization (WTO) yang

merupakan upaya untuk mendorong komersialisasi dan komoditisasi

sektor jasa termasuk 4 bidang layanan pendidikan yang bertujuan

memaksimalisasi keuntungan dengan menjadikan pelayanan

pendidikan tinggi sebagai jasa yang diperdagangkan (tradable

services). Dalam menyikapi globalisasi pendidikan tinggi, para

penyusun memperhatikan sekali reaksi keras dari para ahli pendidikan

dunia antara lain, Derek Bok sebagaimana tertulis dalam buku

terbarunya “Universities in the Marketplace: The commercialization of

Higher Education” (2012), dan Phillips G. Altbach dalam artikelnya

“Higher Education and the WTO: Globalization Runs Amok” (2003).

Kedua ahli pendidikan ini melalui buku dan tulisannya selalu

mengingatkan pemerintah negara berkembang akibat merugikan

globalisasi bagi negara-negara tersebut. Altbach, misalnya,

Page 191: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

5

mengingatkan bahwa WTO sedang melakukan kodifikasi regulasi

untuk mengatur perdagangan pendidikan tinggi, sehingga nantinya

perdagangan pendidikan tinggi diatur sama dengan perdagangan

pisang serta komoditi lainnya. Kodifikasi tersebut akan sangat

membelenggu kebebasan suatu Negara dalam merumuskan tugas

dan fungsi perguruan tinggi dalam menguasai ilmu pengetahuan dan

teknologi serta menanamkan nilai-nilai luhur bangsa melalui

pendidikan tinggi. Globalisasi pendidikan sudah melanda Indonesia

sejak ditetapkannya UU No 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal

yang menetapkan bidang usaha yang tertutup dan terbuka untuk

penanaman modal asing (Pasal 13 ayat 1) dan PP 36 tahun 2010

tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup dan Bidang Usaha Yang

Terbuka untuk Penanaman Modal. Dalam Daftar tersebut dicantumkan

Bidang Pendidikan yang Terbuka untuk Penenaman Modal adalah: (1)

Pendidikan Nonformal; (2) Pendidikan Anak Usia Dini; (3) Pendidikan

Dasar dan Menengah; dan (4) Pendidikan Tinggi. Karena itu bila UU

Pendidikan Tinggi tidak mengatur ketentuan tentang perguruan tinggi

asing di wilayah NKRI, globalisasi pendidikan tinggi akan menimbulkan

kerugian yang lebih besar karena pelaksanaan jasa pendidikan tinggi

harus menerapkan regulasi yang ditetapkan WTO. Disamping itu

Indonesia tidak akan dapat menghambat dampak merugikan dari “illicit

trade” atau perdagangan gelap pendidikan tinggi, karena yang

beroperasi di Indonesia kebanyakan adalah PT tanpa akreditisasi.

4. Karena itu sebagian besar anggota Majelis Pengembangan

Pendidikan Tinggi Indonesia lebih menerima pandangan Organisasi

Pendidikan dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO)

yang lebih mendorong internasionalisasi pendidikan sebagai gerakan

kebudayaan untuk meningkatkan mutu pendidikan negara-negara

berkembang melalui kerjasama lembaga pendidikan lintas negara.

Jadi semangat UU Pendidikan tinggi adalah anti komersialisasi dan

anti komoditisasi pendidikan tinggi, bukan sebaliknya seperti pendapat

Pemohon.

5. Pemberian otonomi perguruan tinggi secara selektif tidak mengubah

hakekat pendidikan tinggi menjadi private good. Dalam menilai

Page 192: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

6

pendidikan apakah public good atau private good penyusun UU

Pendidikan Tinggi berpegang pada pandangan para penyusun UUD

NRI 1945 sebagaimana tercantum dalam risalah Sidang BPUPKI

tanggal 16 Juli 1945 dan Risalah Sidang Panitia Perisapan

Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 18 Agustus 1945 ketika

menyusun Ps 31 UUD 1945. Ketua PPKI Ir. Soekarno pada Sidang

PPKI tanggal 18 Agustus 1945 menyatakan “pelaksanaan tugas

pemerintah dalam memenuhi hak warganegara atas pendidikan

dilakukan dengan menerapkan “leerplicht” atau wajib belajar.” (Setneg,

1998: 557). Dalam Amandemen Keempat UUD NRI 1945 Penjelasan

UUD 1945 yang mengacu pada kesimpulan Rapat PPKI tanggal 18

Agustus dijadikan norma dalam Pasal 31 ayat (2) yang menetapkan

“Setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan

pemerintah wajib membiayainya.” Berdasarkan ketentuan UUD NRI

1945 Pasal 31 ayat (2) tersebut yang diartikan sebagai barang publik

adalah pendidikan wajib 9 tahun atau 12 tahun seperti diterapkan

dibeberapa provinsi. Kecuali di Negara yang menerapkan faham

welfare state seperti Negara-negara Skandinavia atau Negara sosialis

seperti Kuba, di banyak negara pendidikan tinggi dipandang sebagai

quasi-public good. Menyadari bahwa penetapan pendidikan sebagai

public good perlu dukungan pajak tinggi, yang tidak dapat

dilaksanakan di Indonesia, Pemerintah mengundang masyarakat

untuk ikut mendirikan sekolah mulai dari tingkat PAUD sampai

pendidikan tinggi. Pandangan ini dapat dibaca dalam “Garis-Garis

Besar Pengajaran dan Pendidikan” yang merupakan Naskah

Akademik penyusunan Pasal 31 UUD 1945. Pembiayaan pendidikan

tinggi tidak sepenuhnya merupakan tanggung jawab pemerintah, tetapi

kewajiban bersama antara pemerintah, pemerintah daerah, dan

masyarakat. Bahwa pendidikan tinggi bukan sepenuhnya public good

dibuktikan dengan dominannya peranan masyarakat dalam

penyelenggaraan pendidikan tinggi. Di Indonesia saat ini terdapat

3.600 Perguruan Tinggi, dan dari jumlah tersebut hanya terdapat 92

PTN, atau sekitar 2,5 persen. Sisanya, 97,5 persen, adalah milik

swasta. Dugaan saya pengeluaran Pemerintah dan pemerintah daerah

Page 193: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

7

untuk pendidikan tinggi hanya sekitar 25 persen dari pengeluaran

nasional. Walau pun demikian anggaran pendidikan tinggi yang

disediakan pemerintah sebesar Rp. 39 Trilyun digunakan untuk

membiayai 92 PTN dan memberi bantuan dosen, beasiswa, dan

subsidi kepada PTS.

6. Pemerintah melaksanakan tugas konstitusional “mencerdaskan

kehidupan bangsa” antara lain melalui: (a) Meningkatkan mutu dan

relevansi pendidikan tinggi; (b) Memperluas keterjangkauan

pendidikan tinggi dengan meningkatkan Angka Partisipasi Kasar

(APK) Perguruan Tinggi; dan (c) Menyeleraskan komposisi lulusan PT

dengan Rencana Jangka Panjang Pembagnunan Nasional (RPJPN)

2004-2025 dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional

(RPJMN) 2010-2014 dan Master Plan Percepatan Pembangunan

Ekonomi Indonesia (MP3EI). Pada 2012 APK Indonesia baru

mencapai 27 persen, masih tertinggal dari Negara maju Asia

Tenggara. APK Malaysia, 38 persen, Muangthai 46 persen, dan

Filipina, 60 persen. Pendidikan Tinggi Indonesia yang terlalu

menitikberatkan pada program studi akademik (87,5 persen) dan

sisanya 12,5 persen menempuh pendidikan vokasi yang sangat

diperlukan oleh industri yang sedang didorong pertumbuhannya oleh

Pemerintah. Akibatnya posisi teknisi yang diperlukan untuk

pembangunan industri nasional diisi oleh teknisi asing, yang saat ini

sudah berjumlah 86.000 orang. Pandangan Pemohon bahwa UU

Perguruan Tinggi hanya menghasilkan “janitor, operator, dan manager

yang diperlukan dunia usaha” jelas bertentangan dengan

perkembangan kebutuhan tenaga kerja nasional sebagaimana

ditunjukkan oleh statistik tenaga kerja nasional. Menurut Badan Pusat

Statistik pada 2012 terdapat 110,8 juta pekerja di Indonesia dan dari

jumlah tersebut yang bekerja di sektor publik atau Pemerintah kurang

lebih 5 persen atau 5,5 juta PNS dan non-PNS. Kebutuhan tenaga

kerja sebanyak 3-3,5 juta orang pertahun dalam berbagai disiplin ilmu,

teknologi dan kompetensi yang diperlukan industri masa depan jelas

merupakan salah satu tugas utama Perguruan Tinggi nasional. Kalau

pemerintah hanya menyelenggarakan pendidikan tinggi akademik

Page 194: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

8

seperti yang diinginkan Pemohon, maka kebutuhan industri akan

tenaga teknisi yang berjumlah sekitar 75-80 persen dari kebutuhan

tenaga kerja per tahun akan diisi oleh tenaga kerja asing yang tidak

bisa dihambat kedatangannya ke Indonesia sejak Indonesia menjadi

anggota World Trade Organization (WTO) dan menandatangani Pakta

Perdagangan Bebas di Bogor pada 2007.

7. Untuk menyediakan lulusan PT yang sesuai dengan kebutuhan

industri nasional Pemerintah pada 2025 berencana meningkatkan APK

dua kali lipat dari APK 1012. Artinya jumlah mahasiswa yang masuk

PT akan mencapai 13 juta mahasiswa pada 2025, sehingga

menghasilkan kira-kira 3 juta lulusan PT per tahun. Untuk mencapai

tujuan ini diperlukan biaya Rp. 223 Trilyun per tahun buat

menyediakan tingkat pendidikan tinggi dengan standar mutu nasional.

Untuk mencapai pendidikan tinggi dengan mutu setingkat pendidikan

tinggi Malaysia dan Muangthai diperlukan anggaran minimal 2 kali

jumlah tersebut. Untuk mencapai pendidikan tinggi bermutu setingka

Singapura diperlukan biaya 3 kali standar biaya nasional. Untuk

mendukung biaya pendidikan tinggi yang besar itu dibanyak Negara

Pemerintah memfasilitasi sumbangan pembiayaan dari dunia usaha,

terutama untuk penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi.

8. Kesimpulan Pemohon bahwa Pasal 64, Pasal 65, Pasal 86, dan Pasal

90 UU Pendidikan Tinggi merupakan pelepasan tanggung jawab

Negara dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi juga sangat

bertentangan dengan kenyataan bahwa pembiayaan yang disediakan

pemerintah dalam kurun waktu 11 tahun telah meningkat 30 kali lipat.

Antara 2001 sampai 2012 pengeluaran Pemerintah Indonesia untuk

pendidikan telah meningkat lebih dari 30 kali lipat, dari Rp. 9,701

Trilyun pada 2001 menjadi Rp. 281 Trilyun pada 2012. Dari jumlah

tersebut Rp. 180 Trilyun dialokasi untuk pendidikan dasar dan

menengah yang telah diserahkan kewenangannya ke Daerah. Sisanya

sebesar Rp. 110 Trilyun dikelola oleh 12 kementerian dan lembaga

yang mempunyai program pendidikan tinggi dan pendidikan

kedinasan. Pada 2012 dari anggaran yang dikelola Kempdikbud

Page 195: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

9

adalah Rp. 69 T, diantaranya sejumlah Rp 29 Trilyun dialokasikan

untuk pendidikan tinggi. Pada APBN 2013 pagu anggaran untuk

bidang pendidikan berjumlah Rp. 320 Trilyun. Dari alokasi tersebut Rp.

210 Trilyun ditransfer ke Daerah untuk penyelenggaraan PAUD dan

pendidikan menengah. Alokasi anggaran pendidikan untuk

Kemendikbud berjumlah Rp. 74,08 Trilyun, termasuk Rp. 39,08 Trilyun

untuk Pendidikan Tinggi. Artinya biaya pendidikan yang disediakan

oleh Pemerintah per mahasiswa untuk 2,5 juta mahasiswa PTN dan

sebagian PTS lebih kurang dari Rp. 15,6 juta per mahasiswa. Jumlah

biaya Rp. 15,6 juta per mahasiswa masih belum memenuhi satuan

biaya rerata per mahasiswa sebesar Rp. 30 juta per mahasiswa per

tahun. Dibandingkan dengan satuan biaya pendidikan tinggi per

mahasiswa di Malaysia misalnya, pengeluaran Pemerintah untuk

pendidikan tinggi per mahasiswa baru mencapai sepertiga

pengeluaran di Negara jiran.

9. Salah satu cara untuk memperbaiki manajemen keuangan PTN adalah

dengan menerapkan best practices managemen keuangan korporasi,

bukan dengan menjadikan perguruan tinggi negeri suatu korporat.

Asas keuangan korporat seperti cost effectiveness, efisen,

transparansi, dan akuntabel, saat ini dipratekkan di banyak organisasi

pemerintahan, bukan hanya PTN otonom. Para penyusun UU

Pendidikan Tinggi menganut faham bahwa pelayanan pendidikan

harus dilaksanakan secara nirlaba. Karena itu semangat UU

Pendidikan Tinggi menentang pembentukan korporasi Perguruan

Tinggi yang bertujuan mencari keuntungan dilarang di Indonesia.

10. Pandangan Pemohon bahwa pemberian otonomi Perguruan Tinggi

membuka peluang terjadinya “abuse of power” karena adanya dua

sistem keuangan dan dua sistem kepegawaian berbeda dari

pandangan para penyusun UU Pendidikan Tinggi. Reformasi

kepegawaian pendidik dan tenaga kependidikan perguruan tinggi

negeri adalah amanat UU Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan

Dosen, Pasal 52 ayat (2), yang berbunyi “dosen diangkat oleh pejabat

yang berwenang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.”

RUU Aparatur Sipil Negara yang sedang dalam dalam proses

Page 196: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

10

penyelesaian menetapkan adanya dua jenis kepegawaian negeri yaitu

Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai Negeri dengan Perjanjian

Kerja (PNPK) pada insntansi Pemerintah dan Pemerintah Daerah.

Karena RUU Aparatur Sipil Negara setelah disahkan akan menjadi lex

specialis hukum kepegawaian Indonesia, maka semua ketentuan

tentang kepegawaian pada instansi Pemerintah harus mengacu pada

UU Aparatur Sipil Negara. Jadi pandangan bahwa akan terjadi

kerancuan hukum, apalagi abuse of power karena pemberian otonomi

Perguruan Tinggi seperti pandangan Pemohon, adalah kesimpulan

yang kurang didukung oleh fakta. Penyusunan pasal tentang

ketenagaan mengacu pada UU Guru dan Dosen, dan UU No 8 tahun

1976 jo UU No 43 tahun 1999 mau pun pada RUU Aparatur Sipil

Negara.

11. Ketika menyusun UU Pendidikan Tinggi para penyusun sangat

menyadari adanya Putusan Mahkamah Konstitusi dengan Putusan No.

11-14-21-126-136 PUU-VII-2009. Namun para penyusun menyadari

pula bahwa amar keputusan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi

menyatakan bahwa Undang-Undang Nomor 9 tahun 2009 tentang

Badan Hukum Pendidikan bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan

karenanya dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat,

karena UU BHP memaksakan penyeragaman semua lembaga

penyelenggara pendidikan formal mulai tingkat PAUD sampai PT

yang didirikan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat

menjadi Badan Hukum Pendidikan. Penyeragaman badan hukum itu

yang bertentangan dengan hak asasi atas kebhinnekaan lembaga

pendidikan yang sudah dikenal dan diakui oleh masyarakat Indonesia.

Sebaliknya UU Pendidikan Tinggi merupakan pelaksanaan cita-cita

penyusun UUD 1945 sebagaimana disampaikan oleh Ir. Soekarno,

Prof. Dr. Soepomo, dan Mr. Soemitro Kolopaking, anggota-angota

BPUPKI dalam sidang–sidang BPUPKI tanggal 16 Juli 1945, mau pun

dalam sidang PPKI pada 17 Agustus 1945. Secara lebih eksplisit

disampaikan oleh Prof Dr. Soepomo dan Mr. Soemitro Kolopaking

dalam Kongres Pendidikan Nasional Kedua di Surakarta pada 4-6

Agustus 1947.

Page 197: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

11

12. Prof. Dr. Soepomo dalam sidang BPUPKI risalah rapat-rapat BPUPKI

ketika membahas rancangan UUD 1945 sebagaimana yang dimuat

dalam Penjelasan UUD 1945 menyatakan sebagai berikut: “Undang-

undang dasar negara mana pun tidak dapat dimengerti kalau hanya

dibaca teksnya saja. Untuk mengerti sungguh-sungguh maksudnya

UUD dari suatu Negara, kita harus mempelajari juga bagaimana

terjadinya teks itu, harus diketahui keterangan-keterangan dan juga

harus diketahui dalam apa teks itu dibikin.”

13. Untuk memahami pasal-pasal dalam UUD 1945 yang dipakai dalam

perkara ini perlu dibaca risalah sidang-sidang BPUPKI tanggal 16 Juli

1945, khususnya naskah akademis penyusunan Ps 31 UUD NRI 1945

yang berjudul “Garis Garis Besar Pendidikan dan Pengajaran,” dan

Risalah Sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)

tanggal 18 Agustus 1945 (Setneg, 1998: 557), dan Sidang-Sidang

PPKI ketika menyusun UUD 1945. Untuk memahami bagaimana

suasana kebatinan dari UUD NRI 1945 mungkin perlu digali notulen

Sidang Panja Perubahan UUD 1945 dan Sidang Komisi dan Sidang

Pleno MPR masa bakti 1998-2004, ketika UUD NRI 1945 disusun.

Untuk memahami kerangka pemikiran dan suasana kebatinan yang

mendasari penyusunan UU No 12 tahun 2012, notulen rapat Majelis

Pengembangan Pendidikan, Dewan Pendidikan Tinggi, risalah rapat

Panja RUU PT Komisi X, notulen Rapat Komisi X, dan notulen Rapat

Pleno DPR masa bhakti 2010-2014, adalah sumber yang harus dibaca

oleh setiap orang yang ingin memahami semangat kebatinan yang

mendasari penyusunan UU PT.

14. Menurut pendapat saya argumentasi-argumentasi yang dibangun oleh

Para Pemohon untuk membuktikan pelanggaran pasal-pasal dalam

UU No 12 tahun 2012 terhadap Ps 28C, 28D, 28I, dan 31 UUD NRI

1945 tidak dilandasi oleh pemahaman yang akurat dan benar tentang

pasal-pasal mau pun semangat kebatinan para penyusun UUD 1945

mau pun UUD UUD NRI 1945. Misalnya ketika para Pemohon

menyatakan bahwa UU No 12 tahun 2012 Pasal 65 ayat (1) sepanjang

frasa “… atau dengan membentuk PTN badan hukum … “serta ayat

(3) dan (4) bertentangan dengan ketentuan yang tercantum dalam

Page 198: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

12

Alinea IV Pembukaan UUD karena Para Pemohon menganggap

dengan menjadi badan hukum, maka serta merta PTN akan berubah

menjadi badan hukum usaha yang bertujuan mengkomersialkan

layanan pendidikan tinggi. Hukum ketatanegaraan Indonesia yang

diacu oleh penyusun UU Pendidikan Tinggi, mengenal adanya

beberapa bentuk badan hukum yaitu Negara, provinsi, kabupaten,

kota, dan badan dan lembaga dibentuk oleh penyelenggara

kekuasaan negara dengan undang-undang seperti Bank Indonesia.

PTN badan hukum yang ditetapkan dalam UU pendidikan jelas bukan

badan hukum usaha sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) Pasal 1653.

15. Dalam penyusunan UU No 12 tahun 2012, khususnya Pasal 64 ayat

(1), kami mengikuti pandangan penyusun UUD 1945 sebagaimana

disampaikan oleh Ir. Soekarno, Ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan

Indonesia, dalam Sidang Pertama PPKI pada 18 Agustus 1945 bahwa

untuk melaksanakan kewajiban konstitutional Pemerintah dalam

memenuhi hak warganegara akan pendidikan, Pemerintah

melaksanakan leerplicht atau wajib belajar (Setneg, 1998: 557).

Sesuai kemampuan keuangan Pemerintah, sejak 2004 Pemerintah

menetapkan pendidikan wajib 9 tahun, atau sampai SLTP. Di

beberapa daerah misalnya Kalimantan Timur bahkan menetapkan

wajib belajar 12 tahun. Pendidikan menengah dan pendidikan tinggi

diluar leerplicht 9 tahun statusnya adalah semi public good.

16. Pemenuhan hak konstitusional warganegara akan pendidikan melalui

wajib belajar 9 sampai 12 tahun tersebut merupakan pelaksanaan dari

Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia, khususnya Pasal 26

yang berbunyi sebagai berikut:

“Setiap orang berhak mendapat pendidikan. Pendidikan harus

gratis, setidak-tidaknya untuk tingkat sekolah rendah dan

pendidikan dasar. Pendidikan rendah harus diwajibkan.

Pendidikan teknik dan jurusan umum harus terbuka bagi setiap

orang, dan pendidikan tinggi harus secara adil dapat diakses oleh

semua orang, berdasarkan kepantasan dan kewajaran.”

Page 199: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

13

C. Kesimpulan

Berdasarkan apa yang saya dengar, saya alami, dan saya ketahui

ketika ikut dalam penyusunan UU Pendidikan Tinggi dapat saya

rumuskan kesimpulan sebagai berikut:

1. Dalam penyusunan UU Pendidikan Tinggi para penyusun tidak

setuju penetapan PTN sebagai badan hukum usaha, tetapi

sebagai badan hukum publik yang dibentuk oleh pemegang

kekuasaan pemerintahan Negara untuk menjalankan fungsi

tertentu pemerintahan atau pelayanan publik. Karena itu

pemberian otonomi kepada perguruan tinggi negeri kepada PTN

dengan Undang-Undang Pendidikan Tinggi BUKAN merupakan

pelepasan kewajiban konstitusional Pemerintah untuk

mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana diamanatkan

dalam Alinea IV Pembukaan UUD NRI 1945. Seperti halnya

badan hukum publik provinsi, kabupaten dan kota yang diberikan

otonomi, PTN yang diberikan otonomi adalah badan hukum

publik yang dibentuk dengan undang-undang untuk

menyelenggarakan layanan pendidikan tinggi. Pemberian

otonomi kepada PT tidak melegitimasi komersialisasi pendidikan

tinggi, tetapi sebaliknya, MENETAPKAN perguruan tinggi

sebagai kegiatan NIRLABA, yang melarang komersialisasi

pendidikan tinggi. Dengan demikian tidak benar kesimpulan

Pemohon bahwa Pasal 65 ayat (1) sepanjang frasa “atau dengan

membentuk PTN badan hukum”, serta ayat (3) dan ayat (4)

BERTENTANGAN dengan UUD NRI 1945.

2. Pemberian Otonomi kepada PTN merupakan pelaksanaan dari

cita-cita founding fathers dan penyusun UUD 1945 sebagaimana

diucapkan oleh Prof. Dr. Soepomo dan Prof. Mr. Soenaria

Kolopaking dalam Kongres Pendidikan Kedua di Surakarta pada

4-6 Agustus 1945. Prof. Mr. Kolopaking menyampaikan kepada

Kongres sebagai berikut:

a. Negara harus menyelenggarakan universiteit. Inisiatitif

partikelir dapat meyelenggarakan Universitteit atau suatu

Page 200: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

14

tjabang perguruan tinggi djika dipenuhi sjarat-sjarat jang

dtetapkan oleh Negara dengan undang-undang.

b. Universiteit negatra dibentuk sebagai badan hukum dengan

mempunyai kemerdekaan (otonomi) seluas-luasnya dalam

mengabdi pada ilmu pengetahuan.

Para penyusun memahami bahwa otonomi Perguruan Tinggi

merupakan pelaksanaan Deklarasi UNESCO tentang Kebebasan

Akademik dan Otonomi Perguruan Tinggi dalam rangka

Peringatan 40 Tahun Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi

Manusia di Lima pada 1988. Jadi TIDAK BENAR pandangan

Para Pemohon bahwa otonomi perguruan tinggi menghambat

pelaksanaan hak warganegara atas pendidikan tinggi. Otonomi

perguruan tinggi juga tidak bertujuan mentransformasi pendidikan

umumnya dan pendidikan tinggi khususnya menjadi barang privat

(private good). Selaku unit pelaksana di bawah Kemendikbud,

PTN adalah tetap milik Negara yang ditugaskan untuk

melaksanakan kewajiban konstitusional pemerintah untuk

menyelenggarakan pendidikan tinggi. Akses masyarakat ekonomi

lemah terjamin dengan mewajibkan PTN otonomi

mengalokasikan 20 persen penerimaan mahasiswa per tahun

untuk keluarga ekonomi lemah.

3. Pemberian otonomi pendidikan tinggi kepada PTN adalah dalam

rangka memenuhi hak atributif perguruan tinggi sebagai lembaga

ilmu pengetahuan, seni, dan budaya. Otonomi bidang keuangan

dan ketenagaan diberikan agar perguruan tinggi tidak “terpasung”

oleh aturan perbendaharaan Negara yang sangat ketat, sehingga

menghambat pelaksanaan fungsi tridharma perguruan tinggi.

4. TIDAK BENAR pendapat Para Pemohon bahwa pengaturan

perizinan dan persyaratan untuk pendirian Perguruan Tinggi

Asing di wilayah NKRI menghambat pemenuhan hak

warganegara akan pendidikan tinggi. UU Penanaman Modal dan

PP No 36 tahun 2010 telah menetapkan pendidikan tinggi

sebagai bidang usaha yang terbuka untuk penanaman modal.

Page 201: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

15

Apabila UU Pendidikan Tinggi tidak mengatur persyaratan dan

izin masuknya PT Asing di wilayah Indonesia, diperkirakan akan

terjadi “illicit trade of higher education” karena lembaga PT asing

yang masuk ke wilayah Indonesia menjadi bebas, dan lembaga

PT Asing yang berdiri di Indonesia bukannya Harvard University

Cabang Padang atau Oxford Universiy Cabang Bukit Tinggi,

tetapi perguruan tinggi tanpa akreditisasi di negaranya sendiri.

Menghadapi pertumbuhan ekonomi Indonesia di masa depan, PT

Indonesia perlu mengembangkan kurikulum yang sesuai dengan

keperluan knowledge industry guna merealisasikan cita-cita

bangsa untuk menjadikan Indonesia ekonomi terbesar ketujuh

dunia. Sebab kalau tidak, berjuta-juta kesempatan kerja yang

diciptakan oleh dunia usaha akan diisi oleh lulusan PT Negara

lain yang tidak dapat dilarang masuknya ke Indonesia, terutama

untuk mengisi pekerjaan yang keahliannya tidak dihasilkan oleh

PT nasional. Jadi, pandangan Pemohon bahwa perubahan

kurikulum yang lebih beroritentasi pada lapangan kerja bukan

merupakan persekongkolan antara PT dengan pemilik modal,

tetapi merupakan misi sakral lembaga pendidikan tinggi yang

menentukan nasib bangsa Indonesia di masa depan. Demikian

pula TIDAK BENAR pandangan Para Pemohon bahwa UU PT

Pasal 90 telah menghambat pemenuhan hak konstitusional

warga negara atas pendidikan, khususnya pendidikan tinggi,

yang dijamin dalam Alinea IV Pembukaan UUD NRI 1945, Pasal

28C ayat (1), dan Pasal 28E ayat (1). Para penyusun UU

Perndidikan Tinggi berpendapat menjamin hak warganegara

untuk mendapat pendidikan tinggi tidak sama dengan menjamin

kebebasan warganegara untuk memperoleh pendidikan tinggi

yang diperlukan untuk membangun potensi setiap warganegara

setinggi-tingginya.

Demikianlah keterangan saya sebagai saksi berdasarkan fakta dan kejadian

yang saya alami dan saya ketahui sebagai Saksi yang ikut serta dalam

Page 202: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

16

penyusunan UU Pendidikan Tinggi. Terima kasih atas perhatian Ketua dan

anggota Majleis Hakim terhormat.

Jakarta, 20 Februari 2013

Saksi Pemerintah,

Sofian Effendi

Page 203: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

1

TANYA-JAWAB SEPUTAR UU DIKTI NOMOR 12 TAHUN 2012

oleh Prof. Ir. Nizam, M.Sc., Ph.D.

(Sekretaris DPT Ditjen Dikti)

1. Apakah UU Pendidikan Tinggi (UU Dikti) Konstitusional?

UU Dikti bersifat konstitusional karena disusun, dan disahkan oleh lembaga dan melalui

proses yang sah secara konstitusional.

UU Dikti juga disusun atas dasar perintah konstitusi (UUD 1945 Pasal 31 ayat 3 dan 5)

dan melengkapi/komplementer dengan UU Sisdiknas, di mana ada amanat bagi

Pemerintah untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta humaniora

yang diamanatkan sebagai pencerdasan kehidupan bangsa dan membangun peradaban.

UU Dikti juga tidak memuat materi yang melanggar dasar konstitusi (UUD 1945).UU

Diktimenjamin hak–hak warga negara yang diatur dalam konstitusi seperti hak berserikat

dan berkumpul (Pasal 28 UUD 1945) dan hak-hak lainnya, baik institusional maupun

individual. Karena itu, UU Dikti ini bersifat konstitusional.

2. Betulkah UU Pendidikan Tinggi Pro Liberalisasi dan Komersialisasi Pendidikan?

UU Dikti secara jelas mempertegas tanggung jawab Negara dalam penyelenggaraan

pendidikan tinggi.

Saat ini gejala liberalisasi dan komersialisasi pendidikan semakin kuat, antara lain

ditandai dengan penyelenggaraan pendidikan untuk mencari keuntungan, pungutan biaya

pendidikan yang tidak diatur, kurangnya perlindungan hak-hak akses masyarakat untuk

mendapatkan pendidikan tinggi, tidak kuatnya peran negara dalam mengatur sistem

pendidikan tinggi dan melindungi publik, keluarnya sektor pendidikan dari daftar negatif

investasi, dsb. Menguatnya mekanisme pasar bebas dalam penyelengaraan pendidikan

tinggi di tengah kesenjangan sosial ekonomi dan daya beli masyarakat yang rendah akan

berdampak pada semakin lebarnya kesenjangan sosial-ekonomi masyarakat. Peran

Pemerintah sebagai regulator dan penanggung jawab penyelenggaraan sistem pendidikan

haruslah dipertegas melalui Undang-undang. UU Dikti justru disiapkan untuk mengerem

laju liberalisasi dan komersialisasi pendidikan tinggi di Indonesia. UU Dikti menegaskan

bahwa institusi pendidikan tinggi harus bersifat nirlaba, tidak boleh dilepaskan pada

mekanisme pasar bebas, tetapi lebih pada fungsi sosial pengemban amanah konstitusi

untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan membangun peradaban bangsa.

Menguatnya anarkisme pasar bebas pendidikan tinggi menjadikan anak-anak orang

miskin akan selamanya sulit memasuki gerbang perguruan tinggi. Dapat kita bayangkan

seandainya mereka adalah anak-anak emas potensial bagi masa depan Indonesia, maka

negara-bangsa ini jelas akan rugi besar di masa mendatang. Dengan tidak adanya payung

regulasi yang kuat yang dimiliki oleh Pemerintah maka laju liberalisasi dan

komersialisasi yang dilakukan oleh penyelenggara pendidikan tinggi di Indonesia akan

sulit untuk dibendung. Karena itu, melalui UU Dikti inilah nantinya liberalisasi dan

komersialisasi pendidikan tinggi bisa direm lajunya oleh Pemerintah bersama-sama

Page 204: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

2

PT dan masyarakat.Fungsi Pemerintah sebagai penyelenggara sistem pendidikan tinggi

dipertegas, regulasi sistem dibangun, dan afirmasi yang dibutuhkan untuk memastikan

akses masyarakat pada pendidikan tinggi agar melahirkan generasi emas bagi kemajuan

bangsa dapat dilakukan.

UU Dikti menekankan prinsip nirlaba dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi,

mengatur tentang penetapan biaya satuan pendidikan, mengharuskan penerimaan

mahasiswa baru tidak boleh dikomersialkan, serta hal-hal lain yang meregulasi sistem

pendidikan tinggi agar tidak liberal dan tidak komersial.

3. Apakah UU Pendidikan Tinggi

Menghalangi atau Memperkecil Peluang Masyarakat Miskin dan Kelas Menengah

ke Bawah untuk Memperoleh Pendidikan Tinggi di Indonesia?

UU Pendidikan Tinggi justru memberikan perlindungan dan jaminan bagi kalangan

masyarakat miskin dan kelas menengah ke bawah untuk bisa memasuki perguruan tinggi

di Indonesia.

Dengan tidak adanya payung regulasi yang bagus dalam mengatur penyelenggaraan

pendidikan tinggi di Indonesia, siapa yang bisa menjamin masyarakat kalangan menengah

ke bawah mendapatkan akses masuk ke PTN dan PTS yang bagus?

Siapakah yang berani bertaruh dan bisa menjamin agar setiap PTN dan PTS selalu

memberikan kuota yang memadai agar akses masyarakat miskin kelas menengah ke

bawah bisa bersekolah di PTN dan PTS favorit?

Adanya UU Pendidikan Tinggi jelas diperlukan untuk menjamin adanya keterjangkauan

dan akses masyarakat miskin kelas menengah bawah agar mereka bisa mengembangkan

potensinya bagi kemajuan bangsa dan negara kita di masa depan.

UU Dikti mengamanahkan adanya afirmasi untuk menjadikan pendidikan tinggi

terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat secara berkeadilan, seperti pembebasan biaya

seleksi masuk PTN, keharusan PTN mencari dan menjaring calon mahasiswa berpotensi

yang kurang mampu secara ekonomi dan dari daerah 3T (terluar, terdepan, tertinggal)

sekurangnya 20%, dan biaya pendidikan tinggi yang ditanggung mahasiswa dipungut

sesuai dengan kemampuan mahasiswa.

4. Apakah UU Pendidikan Tinggi Sangat Etatis?

UU Dikti menjaga keseimbangan antara kebutuhan dan perlindungan masyarakat,

otonomi perguruan tinggi, dan tanggung jawab Negara. Hal itu barangkali yang memberi

kesan UU Dikti bersifat etatis. Hal yang harus dipahami adalah tidak semua Etatisme

bersifat negatif. Etatisme yang negatif adalah kalau kekuasaan yang diatur, dimiliki dan

dijalankan oleh Negara melalui Pemerintah dilakukan dengan pola otoritarianisme,

totalitarianisme dan fasisme. Etatisme diperlukan untuk mencegak ultra liberalisme yang

berujung pada “anarkhisme”. Menguatnya komersialisasi dan liberalisasi dalam

penyelenggaraan pendidikan tinggi yang cenderung merugikan masyarakat maka

Etatisme sangat diperlukan untuk menjamin dan melindungi kepentingan publik. Tidak

benar bahwa UU Dikti sangat etatis, karena otonomi Pendidikan Tinggi tetap dijamin

bahkan dilindungi oleh Negara.

Page 205: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

3

Menguatnya kebutuhan penyelenggaraan pendidikan tinggi di satu sisi dan di sisi lain

kecenderungan meningkatnya biaya yang harus ditanggung oleh masyarakat yang hendak

menempuh pendidikan tinggi, dimana mereka mengeluhkan hal tersebut. Etatisme di sini

bukan sebagai bentuk pengekangan ataupun campur tangan secara berlebihan dari negara,

namun Etatisme justru dijalankan lebih sebagai bentuk tanggung jawab

negara/Pemerintah untuk mengelola pendidikan tinggi sebagaimana amanah konstitusi.

Fakta obyektif menunjukkan bahwa kondisi PTN dan PTS akan sulit berkembang tanpa

campur tangan Pemerintah. Bahkan banyak PTN dan PTS yang menunjukkan

ketergantungan yang tinggi kepada Pemerintah. Di sisi lain, belum ada payung hukum

yang kuat dimana Pemerintah dalam memfasilitasi dan mendorong kemajuan PTN dan

PTS serta memberikan perlindungan kepada kepentingan publik.

Etatisme memastikan tanggung jawab Negara dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi

termasuk dalam pendanaan PTN maupun PTS; melindungi masyarakat dari

komersialisasi dan liberalisasi pendidikan tinggi; melindungi masyarakat dari

penyelenggaraan pendidikan tinggi yang tidak bermutu, jual-beli ijazah dan gelar;

memperluas akses hingga ke Kabupaten/Kota dan daerah tertinggal, terdepan, dan terluar;

serta melakukan afirmasi jaminan hak akses masyarakat yang berpotensi namun kurang

mampu secara ekonomi untuk mendapatkan pendidikan tinggi.

5. Betulkah UU Pendidikan Tinggi tidak memberi otonomi yang seharusnya (otonomi

setengah hati)?

UU Dikti mengamanahkan pada Pemerintah untuk memfasilitasi otonomi PT agar

bermanfaat bagi masyarakat, Negara, dan ilmu pengetahuan. Bukan otonomi untuk

otonomi itu sendiri. Sehingga tidak benar kalau dikatakan otonomi setengah hati, justru

Pemerintah memberikan kepercayaan sepenuhnya bagi kampus dalam mengembangkan

otonomi akademik. UU Dikti justru mengamanahkan dan menjamin otonomi perguruan

tinggi, kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan.

Kebebasan akademik merupakan prinsip penting dalam pendidikan tinggi, agar ilmu

pengetahuan dan teknologi bisa berkembang dengan baik. Namun Otonomi harus disertai

dengan akuntabilitas atau otonomi yang bertanggung jawab dan transparan kepada publik.

Karena otonomi yang tidak bertanggung jawab (tanpa akuntabilitas) justru dapat

disalahgunakan dan bahkan dapat tidak sejalan dengan kepentingan bangsa.UU Dikti

mempertegas aspek otonomi akademik dan non-akademik serta akuntabilitasnya. Kedua

jenis otonomi tersebut harus dijalankan dengan arif dan bijaksana, transparan,

bertanggung-jawab dan memberikan kemanfaatan seluas-luasnya bagi masyarakat.

Oleh karena itu, apa yang dikatakan sebagian kalangan bahwa UU Dikti ini cenderung

memberikan otonomi setengah hati, adalah tidak tepat. Yang lebih tepat adalah “otonomi

yang bertanggung jawab” sesuai dengan kapasitas (status) dari masing-masing PT. Hal ini

sesuai dengan amar putusan Mahkamah Konstitusi agar tidak terjadi penyeragaman

bentuk perguruan tinggi. Keragaman perguruan tinggi sangat dihargai dalam UU Dikti,

termasuk dalam menyelenggarakan otonomi perguruan tinggi. Adanya kemampuan yang

berbeda dari masing-masing PT diwadahi melalui pilihan ragam bentuk tata kelola PTN,

Page 206: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

4

sementara untuk PTS bentuk tata kelola diserahkan sepenuhnya pada badan

penyelenggaranya.

6. Mampukah UU Pendidikan Tinggi mengatasi mahalnya biaya pendidikan?

Undang-Undang Pendidikan Tinggi (UU Dikti) dibuat untuk mengatasi mahalnya biaya

pendidikan tinggi. Memang biaya pendidikan tinggi yang bermutu di manapun di dunia

relatif cukup tinggi dibanding pendidikan dasar dan menengah. Oleh karena itu harus ada

regulasi dan afirmasi agar hak akses warga negara tidak terhambat karena alasan

ekonomi. Banyak pasal di dalam UU Dikti yang mengatur dan memastikan perlindungan

hak akses pendidikan tinggi tersebut. Antara lain memastikan tanggung jawab Pemerintah

dalam pendanaan pendidikan tinggi; penetapan standar satuan biaya operasional

pendidikan oleh Pemerintah;menetapkan biaya yang ditanggung mahasiswa disesuaikan

dengan kemampuan ekonomi mahasiswa; pembebasan biaya seleksi masuk PTN;

keharusan 20% mahasiswa baru PTN dari mahasiswa berpotensi yang kurang mampu

secara ekonomi; larangan komersialisasi penerimaan mahasiswa baru; keharusan bagi PT

untuk tidak mencari keuntungan melalui pendidikan (bersifat nirlaba); kewajiban bagi

Pemerintah untuk menyediakan biaya operasional PTN; penyediaan beasiswa, bantuan

biaya pendidikan, kredit mahasiswa tanpa bunga; pendanaan pendidikan tinggi oleh

Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah; mendorong partisipasi dunia usaha dan dunia

industri untuk membantu perguruan tinggi; dsb.

7. Apakah UU Pendidikan Tinggi diskriminatif terhadap PTS?

PTN didirikan dan diselenggarakan oleh Pemerintah, sementara PTS didirikan dan

diselenggarakan oleh masyarakat, sehingga pada dasarnya kedua lembaga tersebut

berbeda. Tanggung jawab utama tentunya berada pada pendiri/penyelenggara perguruan

tinggi. Meskipun demikian, karena PTS juga mengemban misi pencerdasan kehidupan

bangsa, maka UU Dikti mengamanahkan Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk turut

serta membiayai PTS, antara lain dengan pemberian tunjangan jabatan dosen, tunjangan

kehormatan profesor, dana penelitian, beasiswa bagi dosen untuk studi lanjut, beasiswa

bagi mahasiswa, bahkan bantuan untuk biaya investasi dan pengembangan. Perhatian dan

dukungan Negara untuk PTS semacam ini jarang sekali dijumpai di negara lain. Dalam

hal otonomi akademik baik PTN maupun PTS memiliki kedudukan yang sama. Dalam

hal otonomi tata kelola, PTN diatur oleh Pemerintah selaku pendiri dan penyelenggara,

sementara PTS diserahkan sepenuhnya pada masing-masing badan penyelenggaranya.

8. Apakah UU Pendidikan Tinggi hanya pepesan kosong (terlalu banyak memberikan

janji, namun sulit diwujudkan)?

UU Dikti disusun untuk mengantisipasi peluang dan tantangan pembangunan bangsa

Indonesia di masa kini dan masa depan. Oleh karena itu banyak hal yang hendak

dikembangkan untuk memperkuat pendidikan tinggi yang bermutu di Indonesiadan

memperluas akses bagi seluruh warga masyarakat. UU Dikti ini bukan pepesan kosong, di

dalamnya ada kewajiban Pemerintah untuk menyediakan biaya operasional Perguruan

Tinggi Negeri (PTN), mengalokasikan biaya penelitian sebesar 30% BOPTN untuk PTN

dan PTS, membebaskan biaya seleksi mahasiswa baru secara Nasional, dan masih banyak

lagi hal-hal lain. Dengan keterbatasan anggaran Negara, tentunya tujuan mulia tersebut

dicapai secara bertahap disesuaikan dengan kemampuan, namun prioritas dan amanahnya

Page 207: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

5

sudah jelas. Dengan demikian UU Dikti merupakan landasan hukum dan fondasi

pembangunan yang kuat untuk mewujudkan kemajuan pendidikan tinggi di Indonesia di

masa kini dan masa depan.

UU Dikti menegaskan peran dan tanggung jawab Pemerintah dalam pendanaan

pendidikan tinggi, dalam pengembangan pendidikan tinggi di setiap provinsi,

pengembangan akademi komunitas di setiap kabupaten/kota, serta pengembangan

perguruan tinggi secara keseluruhan. UU Dikti meletakkan arsitektur pengembangan

pendidikan tinggi ke masa depan untuk kemajuan dan kesejahteraan bangsa dan Negara.

Untuk mengimplementasikan UU Dikti dibutuhkan Peraturan Pemerintah dan Peraturan

Menteri sebagai bentuk perundangan yang lebih rinci dan teknis. Karena merupakan

fondasi pengembangan pendidikan tinggi secara komprehensif, maka UU Dikti

mengamanahkan beberapa PP dan Permen agar amanah UU ini dapat diimplementasikan

secara utuh.

9. Apakah dalam UU Pendidikan Tinggi terlalu banyak yang diatur?

UU Dikti memberikan otonomi pada masing-masing perguruan tinggi sesuai dengan misi

dan mandat masing-masing perguruan tinggi.

UU Dikti lebih banyak memberikan tugas dan tanggung jawab yang lebih besar kepada

Pemerintah untuk memajukan Pendidikan Tinggi.

Karena pendidikan tinggi meliputi aspek yang sangat luas dan harus komprehensif, mulai

dari peran dan tanggung jawab negara, penyelenggaraan pendidikan tinggi, pendirian

perguruan tinggi, hingga pengembangan peradaban bangsa, maka dengan sendirinya

lingkup pengaturan dalam UU Dikti cukup luas. UU Dikti hanya mengatur tentang dasar-

dasar dan kerangka umum pengaturan yang menekan aspek keterjangkauan, akses,

pemerataan dan relevansi antara perkembangan ilmu dengan dunia kerja/kebutuhan

masyarakat, negara dan bangsa. Peratuan operasionalnya ada di dalam PP dan Permen.

10. Apakah UU Pendidikan Tinggi reinkarnasi dari UU BHP?

UU Dikti bersifat luas tentang pendidikan tinggi secara utuh/keseluruhan, sehingga

lingkup pengaturannya komprehensif. Perihal badan hukum hanya merupakan bagian

kecil dari UU Dikti sebagai bentuk fasilitasi dan pengaturan Negara untuk

terselenggaranya otonomi perguruan tinggi negeri.

Substansi dan filosofi UU Diktisangat berbeda dengan UU BHP. Pada UU Dikti, subtansi

dan filosofi mengatur aspek penyelenggaraan Pendidikan Tinggi sebagai Sub-Sistem

Pendidikan Nasional secara utuh/komprehensif. Sedang UU BHP, secara subtantif dan

filosofis hanya berfokus pada aspek Badan Hukum Pendidikan dan Tata Kelola PT.Tidak

ada kaitan legal-formal antara UU DIKTI dengan UU BHP.

Dalam UU BHP tugas dan peran Pemerintah lebih sedikit, sehingga komersialisasi dan

liberalisasi pendidikan justru sulit dikontrol oleh Pemerintah, akibatnya masyarakat

cenderung dirugikan. Hal ini berbeda dengan UU Dikti. UU Dikti, justru dimaksudkan

untuk mengantisipasi peluang komersialisasi dan liberalisasi sebagai penyalahgunaan

prinsip otonomi PT, baik PTS maupun PTN.

Page 208: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

6

11. Apakah UU Pendidikan Tinggi menyalahi (bertentangan) dengan konstitusi?

Tidak satupun pasal dalam UU DIKTI yang melanggar konstitusi. UU DIKTI justru

disusunkan untuk menjalankan amanah Konstitusi (dalam Pembukaan UUD 1945 Pasal

31 ayat 3 dan ayat 5, sertamelengkapi UU Sisdiknas). UU Dikti justru mengatur tanggung

jawab Negara dalam memenuhi hak konstitusional masyarakat untuk mendapatkan

pendidikan serta menjamin akses ke pendidikan tinggi secara non diskriminatif.

UU Dikti justru dimaksudkan untuk memberikan jaminan kepada publik agar Pemerintah

benar-benar mengembangkan sub-sistem pendidikan tinggi yang : 1) menyediakan akses

dan keterjangkauan yang luas bagi seluruh lapisan masyarakat serta afirmasi bagi

masyarakat kurang mampu secara ekonomi; 2) terjaminnya mutu pendidikan tinggi; 3)

tata kelola yang transparan dan bertanggung jawab;

12. Apakah UU Pendidikan Tinggi membuka pintu masuk bagi PT Asing dan akan

membunuh PTS-PTS di Indonesia?

Saat ini kita sudah meratifikasi perdagangan bebas, bahkan sektor Pendidikan sudah

dikeluarkan dari daftar negatif investasi. Untuk mengatasi agar sektor pendidikan (tinggi)

tidak menjadi komoditas yang diperjual belikan bahkan membebaskan PT Asing

beroperasi begitu saja di Indonesia diperlukan UU yang dapat meregulasi sistem

pendidikan tinggi kita. Oleh karena itu diperlukan suatu lex specialis (dalam hal ini UU

Dikti) yang dapat mengatur sub-sektor pendidikan tinggi dan meregulasi perguruan tinggi

asing yang akan masuk ke Indonesia. Di beberapa negara (Malaysia, Vietnam, Philippina,

Kamboja, dsb.) perguruan tinggi asing diperbolehkan masuk bahkan dalam bentuk

lembaga komersial dan pemerintahnya bahkan memberikan insentif. Namun di Indonesia,

karena konstitusi kitamengamanahkan bahwa pendidikan (tinggi) tidak boleh menjadi

barang dagangan (harus bersifat nirlaba) serta keinginan masyarakat untuk melindungi

PTN/PTS di dalam Negeri, maka diperlukan pengaturan yang tegas di dalam UU Dikti

tentang kehadiran PT Asing tersebut. Kehadiran PT Asing saat ini diatur melalui

Peraturan Menteri sehingga tidak cukup kuat untuk membendung dan meregulasinya. Di

dalam UU Dikti kehadiran PT Asing dibatasi dengan sangat ketat, bahkan lebih ketat dari

Permen yang ada. Pemerintah menetapkan daerah, jenis dan program studi yang boleh

diselenggarakan; PT Asing tersebut haruslah PT yang bermutu dan wajib bersifat nirlaba,

wajib memperoleh izin Pemerintah, bekerja sama dengan PT di Indonesia, mengutamakan

dosen dan tenaga kependidikan WNI; harus mengajarkan Pancasila, bahasa Indonesia,

kewarga negaraan Indonesia; serta harus mendukung kepentingan Nasional. Ketentuan-

ketentuan tersebut memagari sistem pendidikan tinggi kita dari serangan PT Asing yang

hanya bertujuan komersial namun tetap memberi kesempatan bagi PT Asing yang sesuai

dengan kepentingan Nasional untuk bekerja sama dengan PT di Indonesia

menyelenggarakan pendidikan tinggi yang bermutu.

Dengan demikian kalaupun ada PT Asing yang hadir di Indonesia (mau untuk tidak

komersial/berprinsip nirlaba) diharapkan justru meningkatkan mutu PT yang ada di

Indonesia, karena mereka harus bekerja sama dengan PT di Indonesia.

Page 209: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

7

13. Apakah adanya UU Pendidikan Tinggi akan menyebabkan inflasi profesor?

UU Dikti memberi amanat pada Perguruan tinggi untuk mengemban mandat yang luas

dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bermanfaat bagi

pembangunan bangsa, mengembangkan kebajikan dan kekuatan moral untuk mencari dan

menemukan kebenaran ilmiah, dan mengembangkan peradaban bangsa. Profesor sebagai

jabatan akademik tertinggi merupakan ujung tombak pengembangan ilmu pengetahuan

dan teknologi, membangun budaya akademik, mengembangkan kebajikan dan kearifan,

menemukan kebenaran ilmiah, dan mentransofmasikannya pada dosen-dosen muda dan

mahasiswa. Jabatan akademik profesor memerlukan persyaratan dan kualifikasi akademik

dan pengalaman dalam pendidikan, penelitian, maupun pengabdian kepada masyarakat

yang ketat. Saat ini jumlah profesor di Indonesia masih sangat sedikit dan banyak yang

sudah lanjut usia. Dalam hal kearifan, pengalaman, dan penguasaan ilmu pengetahuan

dan teknologi, tentunya pengalaman panjang seorang profesor sangat berharga dan tidak

mudah digantikan. Oleh sebab itu UU Dikti mengharuskan Negara tetap mempertahankan

profesor hingga usia 70 tahun (saat ini usia tersebut dipandang masih produktif dalam hal

akademik dan memberi kearifan dalam pengembangan ilmu pengetahuan). Sebetulnya

perubahan tersebut hanya memperkuat praktek saat ini di mana batas usia pensiun

seorang profesor adalah 65 tahun tapi dapat diperpanjang hingga 70 tahun.

Namun demikian, jaminan usia pensiun 70 tahun bagi profesor harus pula diikuti dengan

produktifitas dalam dunia akademik sebagai bentuk akuntabilitas dan tanggung jawab

kepada masyarakat. Oleh karena itu UU Dikti juga mengamanahkan agar dosen dan

profesor terus melakukan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tidak

melupakan aspek humaniora dan menyebarluaskannya untuk kepentingan bangsa dan

Negara melalui publikasi ilmiah maupun mendaya gunakan hasil ciptaan melalui HAKI.

Selain dari itu, UU Dikti memperbaiki praktek yang saat ini tidak adil terhadap dosen

pada pendidikan tinggi vokasi (Politeknik, Akademi) dengan memberi kesempatan yang

sama bagi dosen di pendidikan tinggi vokasi untuk mencapai jabatan akademik profesor

bila telah memenuhi syarat.

14. Apakah UU Pendidikan Tinggi justru memperluas dan memperbesar arus

komersialisasi dan privatisasi PTN?

Sebaliknya, UU DIKTI justru menekan arus komersialisasi dan privatisasi PTN.

Mengapa? Karena UU Dikti justru mengatur/meregulasiberbagai aspek dalam

penyelenggaraan pendidikan tinggi oleh PTN yang dapat mengarah pada komersialisasi

pendidikan tinggi. Hal-hal yang diatur secara jelas dalam UU DIKTI, antara lain : 1)

penetapan satuan biaya pendidikan oleh Pemerintah; 2) melindungi calon mahasiswa dari

komersialisasi penerimaan mahasiswa baru; 3) mengharuskan seleksi mahasiswa baru

PTN semata didasarkan pada kemampuan akademik; 4) mengharuskan PTN mencari dan

menjaring calon mahasiswa berpotensi akademik tinggi dari kalangan masyarakat yang

secara ekonomi kurang mampu, serta dari daerah terdepan, terluar, dan tertinggl untuk

diterima paling sedikit 20% dari seluruh mahasiswa baru; 5) biaya pendidikan tinggi yang

ditanggung mahasiswa disesuaikan dengan kemampuan ekonominya; 6) Pemerintah

menyediakan beasiswa, bantuan biaya pendidikan, kredit mahasiswa tanpa bunga, biaya

Page 210: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

8

operasional pendidikan tinggi negeri, dsb.; serta pengaturan-pengaturan lain seperti

keharusan berprinsip nirlaba, dsb. Kesemuanya itu untuk memastikan bahwa ke depan

tidak lagi terjadi komersialisasi pendidikan tinggi.

Pada PTN yang otonom (PTN badan hukum) tanggung jawab Pemerintah tetap ada dan

ditekankan di dalam UU Dikti, sehingga tidak terjadi privatisasi dan komersialisasi PTN

meskipun telah menjadi badan hukum. Pendanaan PTN badan hukum tetap menjadi

tanggung jawab Pemerintah, dengan bentuk pendanaan yang sesuai dengan peraturan

perundangan untuk memastikan pendidikan tinggi bermutu yang terjangkau oleh seluruh

masyarakat. Pemberian hak untuk mengelola aset secara luas pada PTN badan hukum

dimaksudkan agar PTN tersebut dapat memanfaatkan sumber dayanya secara optimal

bagi peningkatan mutu pendidikan dan kemajuan PTN tersebut. Pemanfaatan aset harus

sepenuhnya dipergunakan untuk kepentingan pendidikan bukan untuk tujuan

komersial/orientasi profit. PTN badan hukum sepenuhnya menjadi milik negara, tidak

dapat diperjual belikan maupun dipindah tangankan, dengan demikian tidak akan terjadi

privatisasi yang selama ini dikhawatirkan oleh masyarakat.

15. Apakah UU Pendidikan Tinggi melepaskan tanggung jawab Pemerintah?

Sebaliknya, UU Dikti mempertegas tanggung jawab Pemerintah dalam penyelenggaraan

Pendidikan Tinggi di Indonesia. Tanggung jawab Pemerintah yang diamanahkan dalam

UU Dikti meliputi penyelenggaraaan Pendidikan Tinggi mencakup perencanaan,

pengaturan, pengawasan, pemantauan, dan evaluasi serte pembinaan dan koordinasi.

UU DIKTI memberikan banyak kewajiban kepada Pemerintah, seperti pengembangan

sistem penjaminan mutu, pendanaan pendidikan tinggi, pengembangan Perguruan Tinggi,

pembinaan Perguruan Tinggi, penyediaan sistem informasi Pangkalan Data Pendidikan

Tinggi, dsb.

16. Apakah UU Pendidikan Tinggi Diskriminatif?

UU Pendidikan Tinggi tidak bersifat diskriminatif. Sebaliknya UU Pendidikan Tinggi

justru memberikan payung hukum yang komprehensif bagi semua jenis Perguruan Tinggi

di Indonesia, baik PTN dan PTS. Dalam hal penyelenggaraaan akademik baik PTN

maupun PTS tidak dibedakan. Dalam hal tata kelola PTN diatur oleh Pemerintah sebagai

pendiri dan penyelenggaranya, sementara tata kelola PTS diatur oleh badan

penyelenggaranya (hal ini tentu tidak bisa dikatakan sebagai diskriminasi, karena sifatnya

memang berbeda). Di dalam UU Dikti hak hidup PTS sangat diperhatikan bahkan

didukung dengan memberikan berbagai bentuk bantuan dan pembinaan dari Pemerintah

(Pemerintah menanggung tunjangan fungsional dosen bagi PTN maupun PTS, tunjangan

kehormatan profesor bagi PTN maupun PTS, maupun bantuan pengembangan bagi PTS).

Karena PTS didirikan dan diselenggarakan oleh badan hukum penyelenggaranya, hak

yayasan dan hak sejarah yayasan sepenuhnya diakui dan dijunjung tinggi dalam UU

Dikti. Tata kelola PTS diserahkan sepenuhnya pengaturannya pada yayasan atau badan

penyelenggara yang bersifat nirlaba. Hal ini sangat berbeda dengan UU No.9 Tahun 2009

Page 211: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

9

tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang telah dibatalkan oleh MK karena

mengharuskan setiap satuan pendidikan untuk berbadan hukum (penyeragaman bentuk).

17. Apakah UU Dikti Memberangus Kebebasan Mahasiswa?

Sebaliknya, justru UU Dikti mengharuskan agar pengembangan potensi Mahasiswa harus

difasilitasi oleh Kampus. Hak berorganisasi mahasiswa secara tegas dilindungi di dalam

UU ini.

UU Dikti melindungi kebebasan dengan diakuinya keberadaan organisasi mahasiswa

(yang dulu hanya di statuta PT, yang bisa dirubah oleh PT).

Melindungi mahasiswa untuk menyelesaikan kuliahnya sesuai dengan waktu yang

dipersyaratkan.

UU DIKTI menegaskan adanya fasilitas pinjaman kepada mahasiswa selama proses

kuliah berlangsung. Bersifat tanpa agunan dan bisa dibayarkan setelah lulus.

18. Betulkah UU Pendidikan Tinggi terlalu memberi kebebasan pada PT?

Tingkat kebebasan berbeda tergantung pada status masing-masing PT.

Tingkat kebebasan yang dimiliki oleh masing-masing PT sesuai dengan kapasitan dan

tanggung jawab yang harus dijalankan oleh masing-masing PT.

Kebebasan yang diberikan kepada masing-masing oleh PT sesungguhnya adalah

kebebasan yang bertanggung jawab sehingga tidak ada kebebasan yang mutlak tanpa

batasan sebagai status masing-masing PT dan konsekuensi tanggung jawab yang harus

dijalankannya sesuai dengan status masing-masing PT.

19. Betulkah UU Pendidikan Tinggi terlalu mengatur keuangan/tarif (sehingga

berlawanan dengan kebutuhan otonomi kampus).

UU Dikti hanya mengatur keuangan/tarif yang bersumber dari mahasiswa. Pengaturan ini

diperlukan agar biaya pendidikan tetap terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat dan

tidak terjadi komersialisasi pendidikan tinggi. Tetapi UU Dikti tidak mengatur keuangan

/tarif yang bersumber di luar dari biaya yang dikeluarkan oleh mahasiswa. Dengan kata di

luar sumber tersebut UU Dikti memberikan keleluasaan kepada masing-masing PT.

Tidak ada jaminan dari semua aspek otonomi kampus itu tidak merugikan masyarakat dan

mahasiswa. Bahkan intreprentasi dan implementasi otonomi kampus masih potensial

untuk disalahgunakan sehingga bisa memunculkan dampak negatif bagi masyarakat dan

mahasiswa (contoh tarif mahal, tidak jaminan kepada mutu pendidikan dan pelayanan

mahasiswa), karena itu pengarutan dibutuhkan agar intrepretasi dan implementasi

otonomi kampus benar-benar dijalankan secara arif dan bijaksana.

20. Apakah UU Pendidikan Tinggi akan memboroskan uang negara untuk membiayai

PTS-PTS?

UU Dikti mempertegas tanggung jawab Pemerintah/Negara dalam pendanaan PTS karena

kontribusinya pada penyediaan pendidikan tinggi, meskipun berbeda dengan PTN karena

sifatnya yang berbeda. UU Dikti ini memberikan sejumlah keuntungan bagi PTS

Page 212: MUHAMMAD IKHSAN.pdf

10

misalnya dari : 1) membayar tunjangan fungsional dosen, tunjangan kehormatan profesor,

2) bantuan investai dan pengembangan, 3) dana penelitian.

UU Dikti sebenarnya mendorong agar PTS lebih bermutu dengan meningkat fasilitas

pendidikan yang diberikan kepada mahasiswa.

Bantuan Pemerintah kepada PTS menunjukkan bahwa UU Dikti ini tidak diskrimintatif

kepada PTS.

21. Betulkah UU Pendidikan Tinggi sarat dengan beragam Peraturan lain seperti PP

dan Permen (birokratisasi pendidikan)?

Pemerintah harus melindungi kepentingan masyarakatdan Negara sehingga Pemerintah

harus mengatur sistem pendidikan tinggi tanpa mencampuri kebebasan akademik dan

otonomi keilmuan yang ada di dalam masing-masing PT.

PTN ditanggung Pemerintah karena PT tersebut adalah lembaga pendidikan yang dikelola

oleh Pemerfintah.

PTN diawasi karena menggunakan dana publik (APBN). Transparansi dan akuntabilitas

penting sesuai dengan semangat UU Kebebasan Informasi Publik (KIP).

PTS tetap diberi kebasan dalam mengelolaan khususnya dana. Hanya saja, yang

ditekankan oleh UU Dikti dimana PTS harus tetap nirlaba, dimana ia tidak memanfaatkan

keuntungannya untuk kepentingan pribadi, atau perusahaan atau bahkan modal/saham

PTS bisa diperjualbelikan di pasar modal.

22. Apakah dengan adanya UU Pendidikan Tinggi justru tidak memungkinkan

investasi (asing) dalam pendidikan tinggi (berlawanan dengan negara-negara lain,

seperti Malaysia, Vietnam, bahkan China yang membuka sektor Dikti untuk

Investasi Asing)?

Perguruan tinggi asing boleh menyelenggarakan pendidikan tinggi selama bersifat

nirlaba, sehingga tidak terjadi komersialisasi pendidikan.

Boleh selama mengikuti peraturan perundangan dan sejalan dengan kepentingan

nasional, sehingga tidak terjadi liberalisasi pendidikan.

Boleh selama bekerjasama dengan PT dalam negeri, sehingga tidak membunuh PT dalam

negeri. PT Asing juga harus mendapat izin Pemerintah.

Pemerintah mengatur daerah di mana PT asing boleh beroperasi, jenis perguruan tinggi,

serta program studi yang boleh diselenggarakan.

Diperoleh dari :

Ir. Djoko Luknanto, M.Sc., Ph.D.

Peneliti Sumberdaya Air

di Laboratorium Hidraulika

Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan, Fakultas Teknik

Universitas Gadjah Mada

Jln. Grafika 2, Yogyakarta 55281, INDONESIA

Tel: +62 (274)-545675, 519788, Fax: +62 (274)-545676, 519788

(melalui http://luk.tsipil.ugm.ac.id/atur/UU12-2012/tanyajawab.html)