muhammad ikhsan.pdf
TRANSCRIPT
Dampak KonsensusWashington Dan Ratifikasi GATS Terhadap
Kebijakan Pendidikan Tinggi Di Indonesia Studi Kasus : Undang-
Undang PendidikanTinggi No. 12 Tahun 2012.
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
oleh:
Muhammad Ikhsan
106083003661
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2013
i
ABSTRAKSI
Skripsi ini menganalisis dampak Dampak Konsensus Washington Dan
Ratifikasi GATS Terhadap Kebijakan Pendidikan Tinggi Di Indonesia Studi
Kasus: Undang-Undang PendidikanTinggi No. 20 Tahun 2012. Isu ini sangat
menarik untuk diteliti karena kebijakan pendidikan di Indonesia saat mengadopsi
kesepakatan GATS, skripsi ini juga banyak membicarakan mengenai
perkembangan kebijakan pendidikan di Indonesia dimulai sejak Indonesia
merdeka lewat UU No.22 tahun 1961, hingga UU No. 12 tahun 2012. Selanjutnya
kebijakan pendidikan Tinggi di Indonesia terpengaruhi ketentuan GATS. Skripsi
ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang dilakukan melalui studi
kepustakaan yang banyak mengandalkan data–data primer dan sekunder.
Skripsi ini memakai teori neoliberalisme yang didefinisikan oleh Balaam
dan Veseth, Andrew Heywood, serta Francis dan Wibowo, serta pandangan
Washington Konsensus dari John Wiliamson, Josepth Stiglish, Theo F. Toemion
dan John Perkin. Dan juga dalam pandangan ekonomi politik internasional
menurut Susan Strange, Rowland Maddock serta Michael Veseth. Dampak yang
ditimbulkan oleh Washington Konsensus di Indonesia di bidang pendidikan
adalah dikeluarkannya PP No. 60 Tahun 1999 dan PP No.61 Tahun 1999 tentang
status tentang status pendidikan tinggi negeri (PTN) berubah statusnya dari
lembaga yang berada dibawah Depdiknas menjadi sebuah lembaga otonom yang
dapat dimiliki oleh pihak swasta. Tahun 2000, dikeluarkan peraturan pemerintah
tentang perubahan status beberapa PTN menjadi Badan Hukum Milik Negara
(BHMN). Lalu dampak dari pemberlakuan GATS adalah dikeluarkannya UU
BHP tahun 2003 (telah dimakzulkan oleh Mahkamah Konstitusi) dan yang saat ini
berlaku adalah UU Perguruan Tinggi No.12 tahun 2012.
Kata Kunci : GATS, IMF, Washington Konsensus, UU Perguruan Tinggi no. 12
tahun 2012.
ii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji dan syukur bagi Allah SWT atas
segala rahmat dan nikmat-Nya, sehingga terselesaikanlah skripsi ini untuk
memenuhi persyaratan mendapatkan gelar sarjana pada jurusan Hubungan
Internasional.
Tantangan dan hambatan serta rintangan dalam menyelasikan skripsi ini
sangatlah berat, dikarenakan rasa malas yang selalu menghatui, namun berkat
keinginan untuk segera lulus maka rasa malas itu harus segera dihilangkan dengan
memulai mengerjakan lagi skripsi. Disamping rasa malas juga ada beberapa usaha
yang sulit untuk ditinggalkan (maklumlah nama juga cari uang) antara lain
penerbitan buku yakni MKM (Mega Kreasi Media), parapromo.net (bisnis
dibidang perdagangan dan penyedian barang jasa) serta CV. BSM bersama teman-
teman kampus. Namun akhirnya demi skripsi maka di istirahatkanlah sejenak
urusan cari uangnya.
Rasa syukur dan terima kasih tak lupa saya ucapkan kepada Ibunda
tercinta beserta Ayahanda serta yang selalu dekat Astri Novita Nurmaya, Ketua
Jurusan Bapak Kiki Rizky Msi, pembimbing saya Bapak Arisman Msi. Tak lupa
pula teman-teman Hubungan Internasional Angkatan 2006 baik kelas A dan B
antara lain; M. firmanysah, Maman, KW, Eta, Yeni, Ibnu, Wer, Cukong, Nanda,
dan semuanya tanpa bisa disebutkan satu persatu terutama gelombang terakhir.
Muhammad Ikhsan
iii
DAFTAR ISI
ABSTRAKSI........................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ............................................................................................ i
DAFTAR ISI ........................................................................................................ iii
DAFTAR SINGKATAN...................................................................................... iiv
DAFTAR TABEL .................................................................................................. v
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... vi
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A. Pernyataan Masalah………………………….…………………..………..1
B. Pertanyaan Penelitian…………………………………………..………….7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian…………………………………...……….7
C.1 Tujuan penelitian………………………………………………….8
C.2 Manfaat Penelitian……………………………………….………..8
D. Tinjauan Pustaka………………………………………………..…………8
E. Kerangka Teoritis…………………………………………………...……10
E.1 Neoliberalisme……………………………………………...……11
E.2 Washington Konsensus…………………………………………..13
E.3 Ekonomi Politik Internasional……………...................................15
E.4 Ratifikasi…………………………………………………………18
E.5 Pendidikan Nasional………………………………..……………18
E.6 Privatisasi…………………………………………………….…..19
F. Metode Penelitian………………………………………………………..21
G. Sistematika Penulisan………………………………………………...….22
iv
BAB II LATAR BELAKANG TERBENTUKNYA KONSEP
KONSENSUS WASHINGTON…………………………………25
A. Proses terbentuknya IMF dan World Bank………………..……..25
B. Pandangan Konsensus Washington menurut John Wiliamson…..28
C. Peran Indonesia di WTO dan GATS……………………………31
C.1 Ratifikasi Indonesia dalam GATS di bidang
pendidikan……………………………….……………………….33
BAB III KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI INDONESIA SEBELUM
DAN SESUDAH RATIFIKASI GATS……………...…………..36
A. Kebijakan pendidikan tinggi menurut Undang-undang nomor 22
tahun 1961 tentang perguruan tinggi serta UU No.2 Tahun 1989
tentang Sistem Pendidikan Nasional…………………….……….36
B. Globalisasi dan Kebijakan Pendidikan Tinggi………………...…40
B1. Kebijakan Pendidikan Tinggi menurut PP No. 60 Tahun
1999 dan PP No.61 Tahun 1999…………………….…44
C. Latar belakang pembentukan Undang-Undang Badan Hukum
Pendidikan di Indonesia (UU BHP)………………………….…46
v
C.1 Privatisasi Pendidikan Melalui UU BHP……….………48
D. Latar belakang pembentukan Undang-Undang Pendidikan Tinggi
No. 12 Tahun 2012………………………………………….….52
BAB IV ANALISIS DAMPAK RATIFIKASI GATS TERHADAP
KEBIJAKAN PENDIDIKAN TINGGI DI INDONESIA………54
A. Undang-Undang Pendidikan Tinggi No.12 Tahun 2012 dalam
kerangka GATS………………………………………………......54
B. Analisis dampak penerapan Undang-undang Perguruan Tinggi
no. 12 tahun 2012………………………………………..…..…57
BAB V KESIMPULAN…………………………………………….…....67
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………71
LAMPIRAN-LAMPIRAN………………………………………………………77
vi
DAFTAR SINGKATAN
AS Amerika Serikat
BHMN Badan Hukum Milik Negara
BUMN Badan Usaha Milik Negara
COWDOG common wisdom of the dominant group
Depdiknas Departemen Pendidikan Nasional
FDI Foreign Direct Investment
GATT General Agreement on Tariffs and Trade
GATS General Agreement on Tariffs and Services
IFC International Finance Corporation
IDA International Development Association
IPB Institut Pertanian Bogor
ITB Institut Teknologi Bandung
ITO International Trade Organization
IBRD International Bank for Reconstruction and
Development
Krismon Krisis Moneter
LoI Letter Of Intent
LIPI Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
OECD Organization for Economic Co-operation and
Development
PP Peraturan Pemerintah
PDB Produk Domestik Bruto
PTN Pendidikan Tinggi Negeri
PPM Post Program Monitoring
RUU BHP Rancangan Undang-undang Badan Hukum
Pendidikan
SAP Structural Adjustment Programmed
Sisdiknas Sistem Pendidikan Nasional
SPMB Mandiri Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru Mandiri
TNCs Trans National Corporations
TRIPS Trade Related Intellectual Property Rights
UI Universitas Indonesia
UGM Universitas Gajah Mada
USU Universitas Sumatera Utara
UUD 1945 Undang-Undang Dasar 1945
WTO World Trade Organization
vii
DAFTAR TABEL
1. Tabel 1.1. UU No.22 Tahun 1961
2. Tabel 1.2. UU No.2 Tahun 1989
viii
DAFTAR LAMPIRAN.
1. UU Perguruan Tinggi No. 12 Tahun 2012
2. Sofian Effendi. Berkas Perkara di Mahkamah Konstitusi No.
103/PUU/X/2012 tentang Pengujian Undang-undang Republik Indonesia
No 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi terhadap UUD NRI 1945.
3. TANYA-JAWAB SEPUTAR UU DIKTI NOMOR 12 TAHUN 2012
oleh Prof. Ir. Nizam, M.Sc., Ph.D. (Sekretaris DPT Ditjen Dikti)
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah
Skripsi ini memaparkan dampak Konsensus Washington dan ratifikasi
pemerintah Indonesia terhadap kebijakan GATS atas pendidikan studi kasus :
Undang-undang pendidikan Tinggi No.12 tahun 2012. Isu ini sangat menarik
untuk diteliti karena kebijakan Konsensus Washington dan kebijakan GATS
terhadap pendidikan di Indonesia sangat berpengaruh terhadap ketetapan undang-
undang pendidikan tinggi.Pengaruh kebijakan pendidikan tinggi di Indonesia,telah
diawali oleh kebijakan Washington yang terhitung sejak tahun 13 November 1998
dengan di tandatanganinya LoI (Letter of Intent) antara Indonesia dan IMF (Letter
of Inten Indonesia and IMF, Jakarta:1998). Pada tahun 1998 awal mula perjanijian
tersebut, pemerintah diwajibkan mematuhi kesepakatan di bidang ekonomi, politik
dan sosial melalui ketetapan Loi.Formulasi Konsensus Washington sangat
berpengaruh dalam penetapan kebijakan pendidikan tinggi di Indonesia khususnya
pada penerapan LoI (Letter of Intent) antara Indonesia dan IMF (International
Monetary Found) selanjutnya kebijakan pendidikan Tinggi di Indonesia
terpengaruhi ketentuan GATS.
Penulisan skripsi ini difokuskan kepada dampak yang ditimbulkan atas
formulasi Konsensus Washington terhadap kebijakan pendidikan di Indonesia,
dalam hal ini formulasi Konsensus Washington masuk melalui sektor sosial
ekonomi politik yang kemudian di apresiasi kedalam sektor pendidikan melalui
2
kekuatan utama liberalisasi yakni; IMF, (International Monetary Found)dan
World Bank. Selanjutnya WTO (World Trade Organization) melalui kebijakan
GATS (General Agreement on Tarrifs and Services) yang kemudian kebijakan
tersebut diadopsi oleh pemerintah Indonesia dengan kedalam Undang-Undang
Pendidikan Tinggi No. 12 tahun 2012.
Konsep kebijakan pendidikan sudah menjadi agenda IMF atau
International Monetary Found sejak tahun 1989, melalui konsep Konsensus
Washington yang dikemukakan oleh ekonom Amerika Serikat atau AS yang
bernama John Wiliamson.Indonesia resmi bergabung dengan IMF Indonesia pada
tanggal 15 April 1954 dan pada bulan Mei tahun 1965 Indonesia keluar dari IMF.
Kemudian Indonesia kembali menjadi anggota IMF pada tanggal 23 Februari
1967 (Syamsul hadi et al. 2004A:51). Pada tahun 1954 ketika Orde Lama
Indonesia mendapat bantuan IMF Sebesar AS$17 juta, dengan syarat-syarat yang
dimaksud mencakup: restrukturisasi kebijakan perekonomian, devaluasi nilai
rupiah, penundaan subsisdi, dan pengetatan anggaran belanja. Bantuan yang
diberikan Indonesia tersebut tercantum dalam Contaiment policy AS untuk
menangkal penyebaran komunis di Asia Tenggara (Syamsul Hadi et al.
2007B:52). Dengan pinjaman tersebut mulailah masuk investasi asing atau sering
disebut FDI (Foreign Direct Invesment).
Selanjutnya pada tahun 1980-an, setelah Indonesia banyak menderita
kerugian akibat jatuhnya harga minyak dunia (Riwanto 2007:41). melaui
International Monetary Funds (IMF) dan Bank Dunia lewat kebijakan SAP
(Structural Adjustment Programme) mendesak pemerintah Indonesia untuk
3
melakukan reformasi dalam bentuk deregulasi, liberalisasi ekonomi, dan
privatisasi BUMN (Badan Usaha Milik Negara). Selanjutnya Indonesia mulai
melakukan deregulasi dan liberalisasi sektor ekonomi, antara lain, keuangan,
perbankan, dan industri, yang dilaksanakan sejak pertengahan tahun 1980-an
hingga awal tahun 1990-an. Menurut Rizal Malarangeng meskipun deregulasi dan
liberalisasi ekonomi dipandang cukup berhasil, privatisasi Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) tidak terjadi. Setelah tahun 1991-1992, deregulasi mulai
melambat seiring dengan naiknya kelompok konglomerat dan melebarnya
kesenjangan ekonomi antara kaum kaya dan kaum miskin (2002:17-18).
Lalu pada krisis ekonomi global atau lebih dikenal krisis moneter
(krismon) berawal dari Thailand pada bulan Juli 1997 membawa negara-negara
di Asia (Indonesia, Malaysia, Philipina, Korea Selatan) ke dalam situasi
yang buruk. Kemajuan yang sangat mengesankan selama tiga dasawarsa,
dengan pendapatan perkapita yang telah meningkat, kesehatan membaik,
kemiskinan telah berkurang, secara amat dramatis hancur dalam sesaat. Awal
dasawarsa 90an, negara-negara di Asia telah meliberalisasikan pasar keuangan
dan pasar modal mereka, bukan karena mereka memerlukan tambahan dana,
tetapi karena tekanan internasional, termasuk tekanan dari Departemen
Keuangan Amerika Serikat. Perubahan ini telah merangsang masuknya modal
berjangka pendek. Yakni jenis modal yang mencari keuntungan sebesar-
besarnya setiap hari, minggu, atau bulan berikutnya (Stiglitz 2002:15).
Adapun pada krismon atau krisis moneter 1997 IMF dan World Bank
masuk memberikan bantuan dengan syarat SAP (Structure Adjusment
4
Programe).SAP tersebut tertuang dalam perjanjian Letter Of Intent antara
Indonesia dengan IMF (Syamsul Hadi et al. 2004B:51). Pada letter of intent
diatur mengenai sejak tahun 1999 melalui penghematan belanja negara dengan
dikeluarkannya Peraturan Pemerintah atau PP No. 60 Tahun 1999 dan PP No.61
Tahun 1999 tentang status pendidikan tinggi negeri (PTN) berubah statusnya dari
lembaga yang berada dibawah Depdiknas menjadi sebuah lembaga otonom yang
dapat dibantu oleh pihak swasta. Tahun 2000, dikeluarkan peraturan pemerintah
tentang perubahan status beberapa PTN menjadi Badan Hukum Milik Negara
(BHMN). Proses pem-BHMN-an PTN mengakibatkan kampus negeri yang
sempat menjadi harapan rakyat Indonesia menjadi semakin sulit terjangkau,
karena biayanya yang menjadi semakin mahal (Ruslan. Wajah Buruk Dunia
Pendidikan).
Berlanjut ke RUU BHP (Rancangan Undang-undang badan hukum
pendidikan) yang merupakan amanat UU No.20/2003 yang kemudian menjadi
Undang-undang BHPberisi tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Pada
Pasal 51 Ayat (1) UU ini menyebutkan bahwa pengelola satuan pendidikan anak
usia dini, pendidikan dasar dan menengah dilaksanakan dengan prinsip
manajemen berbasis sekolah/madrasah. Selanjutnya, Pasal 24 dan Pasal 50 Ayat
(6) memerintahkan agar perguruan tinggi memiliki otonomi dalam mengelola
pendidikan di lembaganya.
Untuk mewujudkan manajemen berbasis sekolah/ madrasah dan otonomi
perguruan tinggi, maka Pasal 53 UU No.20/2003 mengamanatkan pembentukan
badan hukum pendidikan. Badan hukum pendidikan berfungsi memberikan
5
pelayanan pendidikan formal kepada peserta pendidikan.Privatisasi pendidikan
berawal dari apa yang dilakukan oleh aktor-aktor utamanya, yaitu Trans National
Corporations (TNCs), yang dibantu oleh Bank Dunia/IMF (Internasional
Monetary Fund), melalui kesepakatan yang dibuat dalam WTO (World Trade
Organization) yang menganut paham, bahwa pertumbuhan ekonomi hanya bisa
dicapai sebagai hasil normal melalui kompetisi bebas (Nurdin, Pro-Kontra
Undang-Undang Bhp Dalam Konteks Mutu Pendidikan).
Mekanisme ekonomi benar-benar diserahkan pada pasar bebas tanpa
campur tangan pemerintah dan negara. Implikasinya, pemerintah dijauhkan dari
campur tangan untuk meregulasi perusahaan-perusahaan swasta. Semua aspek
mengalami liberalisasi dan kapitalisasi, termasuk bidang pendidikan. Proses
otonomi kampus dan pencabutan subsidi pendidikan dilakukan karena dianggap
akan menghambat persaingan bebas dalam bidang pendidikan, serta subsidi yang
berlebihan di bidang pendidikan.
Upaya Privatisasi atau upaya pelepasan tanggung jawab pemerintah dalam
menyelenggarakan dan membiayai pendidikan, terutama pendidikan dasar
sembilan tahun secara gratis dan bermutu, sudah terlihat dalam legalitas
pendidikan. Diawali dari kemunculan sejumlah pasal di Undang-Undang Nomor
20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Hal itu terlihat
dari berkurangnya kewajiban pemerintah sebagai penanggung jawab utama dalam
pendidikan dasar rakyat menjadi kewajiban bersama dengan masyarakat. Hal Ini
terlihat pada Pasal 9 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, yang
menyatakan bahwa masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya
6
dalam penyelenggaraan pendidikan, Pasal 12 Ayat 2 (b) yang memberi kewajiban
terhadap peserta didik untuk ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan,
terkecuali bagi yang dibebaskan dari kewajibannya sesuai undang-undang yang
ada.
Pasal 50 ayat 6, perguruan tinggi menentukan kebijakan dan memiliki
otonomi dalam mengelola pendidikan di lembaganya. Di tingkat perguruan tinggi,
di Indonesia pada tahun 2000 beberapa Perguruan Tinggi Negeri (PTN) diubah
bentuknya menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Beberapa Perguruan
Tinggi Negeri pavorit seperti Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi
Bandung (ITB), Universitas Gajah Mada (UGM), Institut Pertanian Bogor (IPB)
kemudian membuka jalur khusus dalam menerima mahasiswanya dengan biaya
yang sangat besar (http://edukasi.kompas.com, Lulus SNMPTN, Kok, Bayarnya
Mahal Juga?).
Penjelasan di atas tentu sangat bertentangan dengan konstitusi Undang-
Unang Dasar 1945. Pasal 31 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan
dengan tegas bahwa Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan
pemerintah wajib membiayainya. Kemudian dipertegas lagi dalam ayat (4) yang
menyebutkan Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya
20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan
pendidikan nasional. Tetapi apa yang terjadi, Pemerintah justru ingin berbagi
tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan. Munculnya Rancangan Undang-
7
Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) menjadi bukti nyata sebagai
ujung pelegalan privatisasi edukasi negeri ini.
Setelah adanya undang-undang BHP yang kemudian di makzulkan oleh
Mahkamah Konstitusi maka, Pada tanggal 13 Juli 2012, DPR-RI mengesahkan
UU Nomor 12 Tahun 2012 Pendidikan Tinggi yang menggantikan UU BHP
sebagai payung hukum penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia
(http://suaramerdeka.com, Pembatalan UU BHP Munculkan Masalah Baru). Dan
pada skripsi ini lebih lanjut akan membahas dampak konsensus washington dan
ratifikasi GATS terhadap kebijakan pendidikan tinggi di indonesia studi kasus
undang-undang pendidikan tinggi no. 20 tahun 2012
B. Pertanyaan Penelitian
Pengaruh dari Globalisasi dan perdagangan bebas, memaksa negara-negara
berkembang dan dunia ketiga masuk dalam skenario Konsensus Washington. Lalu
ditambah pula dengan momentum Krisis ekonomi Asia 1997 atas dasar inilah
begitu banyak negara Berkembang dan Dunia Ketiga terjebak dalam pengaruh
kebijakan Konsensus Washington. Berdasarkan pernyataan masalah diatas maka
dirumuskan kedalam pertanyaan penelitian sebagai berikut:
Bagaimana dampak Konsensus Washington dan ratifikasi GATS terhadap
kebijakan pendidikan tinggi di Indonesia studi kasus : Undang-Undang
Pendidikan Tinggi No. 20 Tahun 2012?
8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Dalam penelitian atau kajian ilmiah dilakukan untuk memberikan
gambaran objektif mengenai fenomena persoalan tertentu. Oleh karena itu,
penulisan skripsi ini memiliki beberapa tujuan, antara lain:
C.1 Tujuan penelitian :
1. Penelitian ini bertujuan untuk memahami konsep
Konsensus Washington dan Ratifikasi GATS terhadap kebijakan
pendidikan di Indonesia.
2. Untuk mengkaji dampak teori neoliberalisme dalam
ekonomi politik melalui kerangka IMF dan World Bank beserta
turunannya yakni WTO dan GATS.
3. Untuk kelengkapan dalam memperoleh gelar kesarjanaan
pada jurusan Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
C.2 Manfaat Penelitian :
1. Untuk menambah wawasan mahasiswa terhadap dampak
Konsensus Washington dan Ratifikasi GATS dalam liberalisasi
pendidikan di Indonesia.
2. Secara akademis dapat menambah pemahaman mahasiswa
terhadap kebijakan Konsensus Washington.
9
D. Tinjauan Pustaka
Menurut Viktor Nalle dalam Jurnal Konstitusi Volume 8 Nomor 4 Agustus
2011 dengan judul Mengembalikan Tanggung Jawab Negara Dalam Pendidikan:
Kritik Terhadap Liberalisasi Pendidikan Dalam UU Sisdiknas Dan UU BHP.
Dalam jurnal tersebut beliau menguraikan tentang tanggung jawab negara
terhadap pendidikan, khususnya pendidikan tinggi agar bersesuaian dengan UUD
45. Lebih lanjut dalam jurnal tersebut negara dituntut untuk lebih bertangung
jawab terhadap pendidikan. Menurut viktor Nalle pemakzulan UU No.9 tahun
2009 tentang sudah bersesuaian dengan UUD 45 karena menurut beliau ketetapan
WTO dan GATS mengharuskan untuk meliberalisasi pendidikan di Indonesia
khususnya Pendidikan Tinggi.
Penelitian lain tentang tentang Konsensus Washington dan liberalisasi
tertuang dalam judul skripsi ―Globalisasi dan Kebijakan Ekonomi Indonesia Pasca
Orde Baru : Perspektif Joseph E. Stiglitz‖ penelitian ini dilakukan pada tahun
2011 oleh R. Ferdiansyah mengangkat tentang dominasi IMF dan World Bank
dalam memberikan bantuan kepada negara berkembang melalui kerangka
Konsensus Washington. Dijelaskan lebih lanjut dalam peneltian tersebut
mengangkat perspektif Stiglitz, Stiglitz menjelaskan banyak negara berkembang
yang terjebak dengan dominasi kekuatan IMF dan World Bank dalam rangka
membrikan bantuan melalui kerangka formulasi Konsensus Washington. Dalam
penjelasannya Stiglitz mengunkapkan bahwa formulasi Konsensus Washington
mempengaruhi negara debitor IMF dan World bank untuk mengurangi alokasi
subsidi di bidang sosial khsusnya pendidikan. Penelitian tersebut tidak
10
menjelaskan secara mendetail mengenai permasalahan liberalisasi pendidikan di
dalam Globalisasi. Oleh karena itu posisi penelitian tersebut hanya
mengungkapkan tentang formulasi Konsensus Washington terhadap kebijakan
ekonomi politik secara umum.
Menurut M. Tajudin Nur dalam Jurnal Visi Pendidikan tahun 2012 dengan
judul ―Liberalisasi Pendidikan : Sebuah Wacana Kontroversial‖ menjelaskan
bahwa liberalisasi pendidikan dalam berawal dari masuknya Indonesia kedalam
WTO pada tahun 1994. Dengan masuknya Indonesia, secara langsung indonesia
harus mengikuti aturan General Agreement on Trade in Services (GATS) yang
mengatur liberalisasi perdagangan 12 sektor jasa, antara lain layanan kesehatan,
teknologi informasi dan komunikasi, jasa akuntansi, pendidikan tinggi dan
pendidikan selama hayat, serta jasa-jasa lainnya. Lebih lanjut dalam artikel
tersebut membahas tentang dampak yang ditimbulkan oleh UU BHP.
Dari ketiga penelitian diatas, maka skripsi ini mencoba menyempurnakan
penelitian-penelitian sebelumnya dengan memasukkan unsur dominan
Washington Konsensus sebagai pijakan awal dari kebijakan pendidikan di
Indonesia yang kemudian dilanjutkan dengan pengaruh WTO dan GATS dalam
liberalisasi pendidikan.Selanjutnya pada skiripsi ini memaparkan analisis Undang-
Undang Perguruan Tinggi tahun 2012.
E. Kerangka Teoritis
Untuk melakukan penelitian diatas maka diperlukan seperangkat teori yang
berhubungan dengan judul skripsi diatas sebagai dasar untuk
11
memulainya.Berkaitan dengan judul diatas maka diperlukan teori dan pemikiran
yang mendasari skripsi ini yakni, Neoliberalisme, Konsensus Washington,
Ekonomi Politik Internasional, pendidikan nasional Serta Privatisasi.
E.1 Neoliberalisme
Dalam penelitian ini untuk menguraikan pokok permasalahan
penulis, memasukkan kedalam teori ekonomi liberal yang kemudian
berkembang menuju neoliberal lalu dipraktikan melalui konsep
Washington konsesus. Menurut Andrew Heywood (Heywood, 2002:49).
Neoliberalisme di definisikan secara sederhana
―… an updated version of classical political economy that was
developed in the writings of free-market economists…‖
―…sebuah versi terbaru dariekonomi politikklasikyang
dikembangkandalam tulisan-tulisanekonompasar bebas…‖ (terjemahan).
Definisi yang lebih lengkap dari neoliberalisme dapat ditemukan
pada pendapat Balaam dan Veseth (2005:507) yang mengartikan
Neoliberalisme sebagai
―a viewpoint that favors a return to the economic policies advocated by
classical liberals such as Adam Smith and David Ricardo. Neoliberalism
emphasizes market deregulation, privatization of government enterprises,
minimal government intervention, and open international markets. Unlike
classical liberalism, neoliberalism is primarily an agenda of economic
policies rather than a political economy perspective‖.
12
“sudut pandang yang menguntungkan kembali ke kebijakan ekonomi yang
dianjurkan oleh kaum liberal klasik seperti Adam Smith dan David
Ricardo. Neoliberalisme menekankan deregulasi pasar, privatisasi
perusahaan pemerintah, intervensi pemerintah yang minimal, dan pasar
internasional terbuka. Tidak seperti liberalisme klasik, neoliberalisme
mengutamakan agenda kebijakan ekonomi daripada perspektif ekonomi
politik "(terjemahan).
Dari definisi singkat diatas memperjelas tentang teori
Neoliberalisme. Selanjutnya ada dua pandangan dasar Neoliberalisme
menurut Wibowo dan Francis, yakni penolakan teoritis terhadap negara.
Dan menurutnya pemahaman neoliberalisme, adalah segala campur
tangan negara yang ditolak oleh para ekonom beraliran Neoliberalisme
(Wibowo dan Francis 2003:275). Selanjutnya mekanisme pasar pada
dasarnya sudah cukup untuk menggerakkan roda ekonomi, atau bahwa
invisible hand cukup membuat lancar produksi, distribusi maupun
konsumsi. Setiap campur tangan negara hanya akan menimbulkan distorsi.
Perencanaan ekonomi sentralistik, proteksionisme, regulasi ekonomi yang
berlebihan, dominasi pemerintah dalam berbagai sektor ekonomi,
berkembangnya badan usaha milik negara, subsidi terus-menerus, serta
strategi industri subsitusi impor, menjadi sasaran kritik komunitas
Neoliberal. Sebagai alternatif mereka menganjurkan kepada pemerintah
untuk melakukan reformasi dalam bentuk deregulasi, liberalisasi ekonomi,
dan privatisasi badan usaha milik negara untuk mengatasi memburuknya
situasi ekonomi (Wibowo dan Francis 2003:277).
13
Peranan negara harus keluar dari ekonomi, termasuk keluar dari
kegiatan program kesejahteraan karena program ini menimbulkan defisit.
Dengan mengurangi program kesejahteraan, kas pemerintah akan
diringankan. Situasi ini akan memungkinkan pemerintah untuk
menurunkan pajak pada para pelaku bisnis, yang pada gilirannya, akan
mendapatkan gairah baru untuk berproduksi. Peningkatan pemikiran
neoliberalisme politik adalah keputusan-keputusan yang menawarkan
nilai-nilai, sedangkan secara bersamaan neoliberalisme menganggap hanya
satu cara rasional untuk mengukur nilai, yaitu pasar. Semua pemikiran
diluar pasar dianggap salah. Kapitalisme neoliberal menganggap wilayah
politik adalah tempat dimana pasar berkuasa, ditambah dengan konsep
globalisasi dengan perdagangan bebas sebagai cara untuk perluasan pasar
melalui WTO (World Trade Organization), akhirnya kerap dianggap
sebagai Neoimperialisme (Wibowo dan Francis 278:2003).
E.2 Konsensus Washington
Washington consensus adalah Konsensus White House (Gerakan
Gedung Putih) adalah penganjur Debirokratikasi, Deregulasi, Privatisasi,
dan Stabilisasi , dengan ciri khasnya komitmen kepada demokratik
kapitalisme, free market, free enterprises, dan free trade.Semua ini
dipaksakan Washington kepada negara-negara yang memanggil IMF
masuk ke negaranya (Theo F. Toemion, 2009:19).
14
Konsensus Washington merupakan sebuah istilah yang dicetuskan
oleh John Williamson pada 1989, di mana negara sebaiknya mengikuti
ekonomi pasar untuk meningkatkan kinerja anggaran agar negara tidak
terlalu menghabiskan sumber daya ekonominya bagi pengelolaan
kepentingan publik, dan lebih berfokus ke pertumbuhan ekonomi serta
peningkatan ekspor. Pada saat itu AS menyepakati pemberian bantuan
untuk menangani krisis di Amerika Latin dengan mekanisme yang
melibatkan World Bank dan IMF (John Wiliamson ―A Short History of
The Washington Consensus”)
John Wiliamson yang merupakan ekonom Amerika
mendefinisikan Washinton Konsensus sebagai suatu kesepakatan para
pejabat ekonomi Amerika Serikat (AS) pada saat presiden Ronald Reagen
memimpin tahun 1981-1989 yang merangkum dalam sepuluh ketentuan
yang ia sebut sebagai Konsensus Washington, yaitu : (1) Pengetatan
Fiskal, (2) Mengurangi aloksi dan pemerintah untuk sektor public seperti
kesehatan, pendidikan, dan pembangunan insfrastruktur, untuk dialihkan
ke sektor yang lebih profit. (3) Refomasi Perpajakan. (4) Liberalisasi nilai
suku Bunga. (5) Penerapan nilai tukar kompetitif (6) Liberalisasi
perdagangan. (7) Liberalisasi investasi asing. (8) Privatisasi. (9)
Deregulasi. (10) Jaminan kepemilikan Publik. Di antara sepuluh poin
tersebut, privatisasi, liberalisasi, dan disiplin fiscal merupakan pilar utama
untuk mendukung terlaksananya fungsi pasar dengan baik (Wiliamson
2004:4-10).
15
Sedangkan menurut John Perkin Konsensus Washington diartikan
sebagai proses perumusannya yang melibatkan para politisi kongres,
teknokrat dan birokrat, pemimpin lembaga financial dan agen-agen
ekonomi pemerintah AS yang semuanya berada di Washington. Selain itu,
ketentuan ini juga dijalankan juga oleh lembaga-lembaga financial seperti
IMF, Bank Dunia dan departemen-departemen keuangan AS yang berpusat
di Washington. Dari proses perumusan dan keterlibatan actor-aktor
didalamnya dapat dilihat bahw peran dan dominasi AS dalam menerapkan
paradigm pasar bebas (free market Paradigm) sangat dominan di era
global. Didukung oleh kekuatan ekonomi politik sebesar ini, serta operasi-
operasi rahasia baik yang lunak maupun yang kasar Konsensus
Washington pun mengedepankan sebagai paradigm utama dalam kebijakan
pembangunan Internasional (John Perkin 2005:26).
E.3 Ekonomi Politik Internasional
Pengertian Ekonomi Politik Internasional merupakan sebuah
diskursus ilmu sosial yang baik dulu maupun sekarang sudah ada.
Kemudian perkembangannya menjadi sebuah studi yang didalamnya
terdapat berbagai disiplin ilmu yakni; ilmu politik, sejarah dan filsafat.
Namun dimasa sekarang lebih menghadapkan kepada masalah sosial yang
menyangkut aspek internasional dan multilasional (Ballam dan veseth
2005 : 4). Namun lebih lanjut Ballam dan veseth berpendapat (2005 : 504);
16
“an original element of the bretton woods system that was not successfully
implemented. a weaker institution, the GATT, was eventually created to
take the place of the ITO alongside the World bank and the IMF.”
“unsur asli dari sistem Bretton Woods yang tidak berhasil dilaksanakan,
lembaga lemah,GATT,akhirnya diciptakan untuk menggantikan ITO
bersama bank Dunia dan IMF.”(terjemahan).
Namun masih dalam buku International Political Economy oleh
David N. Balaam, Michael Veseth. Susan Strange (2005 : 504)
mendeskripsikan Ekonomi Politik Internasional (EPI) sebagai berikut;
“….a vast, wide open range where anyone interested in the behavior of
men and women in society could roam just as freely as the deer and
antelope.There were no fences or boundary-post to confine the
historians to history, the economist to economics. Political scientist had
no exclusive rights to write about politics, nor sociologists to write about
social relations.”
“…yang luas, berbagai terbuka lebar di mana siapa saja yang tertarik
dalam perilaku laki-laki dan perempuan dalam masyarakat hanya bisa
berkeliaran bebas seperti rusa dan kijang. Tidak ada pagar atau batas-
pos untuk membatasi sejarawan sejarah, ekonom untuk ekonomi.
Ilmuwan politik tidak memiliki hak eksklusif untuk menulis tentang politik,
atau sosiolog untuk menulis tentang hubungan sosial.” (terjemahan).
Namun Rowland Maddock berpendapat berbeda yakni;
“an international political economy is not a tighly defined and exclusive
discipline with a well-established methodology. it is more a set of issues,
which need investigating and which tend to be ignored by the more
established disciplines, using whatever tools are at hand”
“ekonomi politik internasional bukanlah suatu disiplin ilmu yang sangat
ketat didefinisikan dan eksklusif dengan metodologi yang mapan. ini
lebih merupakan sekumpulan isu, yang memerlukan penyelidikan dan
cenderung diabaikan oleh disiplin yang lebih mapan, dengan
menggunakan alat apapun yang yang dihadapi”
17
Studi mengenai EPI merupakan studi yang dapat dibilang masih
baru, karena studi ini muncul pada saat krisis oil schock tahun 1970an
yang telah memunculkan kesadaran bahwa politik dan ekonomi saling
mempengaruhi.Sebelum itu para akademisi ekonomi dan politik seringkali
memisahkan keduanya. Para Profesor ekonomi percaya bahwa pasar
terisolasi dari isu politik (Gilipin,2001; 77). Ekonomi politik internasional
sendiri berusaha untuk mengemukakan bahwa sebenarnya ekonomi
mempunyai keterikatan dengan power atau politik.
Negara dalam berhubungan dengan negara lain selalu
berkeinginan untuk memenuhi kepentingannya. Untuk itu guna mencapai
hal tersebut, negara dapat memanipulasi kekuatan pasar untuk
meningkatkan power dan pengaruh (Gilpin, 2001;78). Terbentuknya rezim
sebagai alat untuk mengatur pasar turut menciptakan terpenuhinya
kebutuhan politik suatu negara. Ketika rezim dapat mempengaruhi
distribusi pendapatan maka negara berusaha untuk mempengaruhi desain
dan fungsi dari institusi, hal ini untuk memenuhi kebutuhan politik,
ekonomi, dan kepentingan lain. Maka studi ekonomi politik internasional
mengasumsikan bahwa negara, MNC, dan aktor lainnya menggunakan
power yang dimiliki untuk mempengaruhi nature dari rezim internasional.
(Gilpin, 2001;78)
Setelah negara menggunakan powernya untuk mempengaruhi
rezim internasional seperti WTO dan GATT maka telah terjadi pula
18
kepentingan politik yang berhubungan dengan ekonomi. Menurut Gilpin
(2001) dalam bukunya Global Political Economy mengungkapkan bahwa
ekonomi politik internasional merupakan dinamika interaksi global antara
pengejaran kekuasaan (politik) dan pengejaran kekayaan (ekonomi), yang
terdapat hubungan timbal balik diantara keduanya. Pengertian lain
mengenai ekonomi politik internasional diungkapkan oleh John Ravenhill
yang mendefinsikan ekonomi politik internasional sebagai ―field of
enquiry‖, yaitu sebagai suatu subjek permasalahan yang fokus utamanya
adalah hubungan (interrelationship) antara kekuasaan publik dan pribadi
dalam persoalan pengalokasian sumberdaya yang terbatas atau langka
(Ravenhill,2008;21).
E.4 Pendidikan Nasional
Pendidikan merupakan usaha agar manusia dapat mengembangkan
potensi dirinya melalui proses pembelajaran dan/atau cara lain yang
dikenal dan diakui oleh masyarakat. Pendidikan nasional adalah
pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama,
kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan
zaman. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Pasal 31 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak
mendapat pendidikan, dan ayat (3) menegaskan bahwa Pemerintah
mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional
19
yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-
undang. Untuk itu, seluruh komponen bangsa wajib mencerdaskan
kehidupan bangsa yang merupakan salah satu tujuan negara Indonesia.
E.5 Privatisasi
Dalam buku dalam Indra Bastian definisi Privatisasi diartikan
kedalam beberapa pandangan diantaranya ; menurut Peacock Privatisasi
pada umumnya di definisikan sebagai pemindahan industri dari milik
pemerintah ke sektor swasta yang berimplikasikan bahwa saham dominan
dalam pemilikan aktiva akan berpindah kepemegang saham. Beesley dan
Littlechild mengartikan Privatisasi sebagai pembentukan perusahaan. Dan
menurut Company act, bahwa penjualan yang berkelanjutan sekurang-
kurangnya sebesar 50 persen dari saham milik pemerintah ke pemegang
saham swasta. Tetapi, yang menggarisbawahi ide ini adalah membuat
konsep pengembangan industri dengan cara meningkatkan peranan pada
kekuatan pasar.
Menurut Clementi terdapat empat batasan dalam kebijakan
pemerintahan Thatcer tentang institusi pada perusahaan sektor publik
secara keseluruhan, antara lain:
a. Memungkinkan pemindahan terhadap kepemilikan swasta
b. Membuka aktivitas terhadap kompetisi yang dikenal sebagai liberalisasi
20
c. Menghapus fungsi tertentu yang dilakukan oleh sektor publik secara
bersamaan atau melakukan subkontrak kepada sektor swasta sehingga
dapat dilakukan dengan biaya yang lebih rendah.
d. Membebani masyarakat pada jasa di sektor publik yang disediakan
secara percuma.
Pirie mendefinisikan privatisasi sebagai ide yang melibatkan
pemindahan produksi barang dan jasa dari sektor publik ke sektor swasta.
Sebagai pembagi terendah, mengerjakan secara swasta yang telah
dikerjakan secara publik. Ini bukan kebijakan, tetapi sebuah pendekatan.
Sebuah pendekatan yang mengakui bahwa peraturan dimana pasar
mengatur aktivitas ekonomi adalah lebih dari peraturan yang dilakukan
oleh manusia dan hukum.
Kay dan Thompson mendefinisikan privatisasi adalah terminologi
yang digunakan untuk mencakup beberapa perbedaan secara alternatif,
yang berarti mencakup perubahan hubungan antara pemerintah dengan
sektor swasta. Di antara yang paling penting adalah adanya dinasionalisasi
penjualan kepemilikan publik, deregulasi terhadap pengenalan kompetisi
ke status monopoli dan kontrak melalui franchise ke perusahaan swasta
terhadap produksi barang dan jasa yang dibiayai oleh negara (27-29:2000).
F. Metode Penelitian
Penelitian kualitatif adalah metode yang banyak mengandalkan
data–data primer dan sekunder.Melalui studi kepustakaan diharapkan dapat
21
dipelajari bagaimana dampak Konsensus Washington terhadap liberalisasi
Pendidikan Di Indonesia dengan menganalisis Undang-Undang Perguruan
Tinggi tahun 2012. Data-data yang digunakan dalam penelitian ini berupa
buku-buku, jurnal, hasil penelitian sebelumnya dan media masa.
Dalam penelitian ini pendekatan yang dilakukan adalah melalui
pendekatan kualitatif.Artinya data yang dikumpulkan bukan berupa angka-
angka, melainkan data tersebut berasal dari, lainnya.Sehingga yang
menjadi tujuan dari penelitian kualitatif ini adalah ingin menggambarkan
realita empirik di balik fenomena secara mendalam, rinci dan tuntas. Oleh
karena itu penggunaan pendekatan kualitatif dalam penelitian ini adalah
dengan mencocokkan antara realita empirik dengan teori yang berlaku
dengan menggunakan metode diskriptif.
Menurut Keirl dan Miller dalam Moleong yang dimaksud dengan
penelitian kualitatif adalah ―tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial
yang secara fundamental bergantung pada pengamatan, manusia,
kawasannya sendiri, dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam
bahasanya dan peristilahannya‖. Metode kualitatif adalah metode
penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang
alamiah, di mana peneliti adalah sebagai instrument kunci, teknik
pengumpulan data dilakukan secara gabungan (Moleong, 2004:131).
Dalam penulisan skripsi ini, menggunakan teknik pengumpulan
data dan analisa data. Dalam pengumpulan data skripsi menggunakan studi
kepustakaan yakni memperoleh data dari berbagai hasil penelitian, seperti
22
buku-buku, jurnal-jurnal, dan artikel online yang bersesuain. Dalam studi
kepustakaan, penulis memperoleh data dari Perpustakaan Pusat UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Pusat Universitas Indonesia (UI),
Perpustakaan Miriam Budiardjo Research Center Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik (FISIP) UI, Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Jakarta
dan Perpustakaan LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia). Dalam
teknik analisa data, penulis membaca dan mencatat serta mengolah data
penelitian, dengan cara menganalisis dan menyajikan fakta secara
sistematis agar lebih mudah dipahami dan disimpulkan. Melalui teknik
tersebut, membantu dalam penulisan skiripsi yang berjudul dampak
Konsensus Washington ekonomi politik terhadap liberalisasi pendidikan di
Indonesia (Undang-Undang Perguruan Tinggi tahun 2012).
E. Sistematika Penulisan
Sistem penulisan skripsi ini adalah :
BAB I PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah
B. Pertanyaan Penelitian
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
D. Tinjauan Pustaka
E. Kerangka Teoritis
F. Metode Penelitian
G. Sistematika Penulisan
23
BAB II LATAR BELAKANG TERBENTUKNYA KONSEP
KONSENSUS WASHINGTON
A. Proses terbentuknya IMF dan World Bank
B. Pandangan Konsensus Washington menurut John
Wiliamson
C. Indonesia dan WTO
BAB III KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI INDONESIA SEBELUM
DAN SESUDAH RATIFIKASI GATS
A. Kebijakan pendidikan tinggi menurut Undang-undang
nomor 22 tahun 1961 tentang perguruan tinggi. serta UU
No.2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional
B. Konsensus Washington dan Kebijakan Pendidikan Tinggi.
B1. Kebijakan Pendidikan Tinggi menurut PP No. 60
Tahun 1999 dan PP No.61 Tahun 1999.
C. Latar belakang pembentukan Undang-Undang Badan
Hukum Pendidikan di Indonesia (UU BHP).
C.1 Privatisasi Pendidikan Melalui UU BHP.
D. Latar belakang pembentukan Undang-Undang Pendidikan
Tinggi No. 12 Tahun 2012.
24
BAB IV ANALISIS DAMPAK KONSENSUS WASHINGTON
DAN RATIFIKASI GATSTERHADAP KEBIJAKAN
PENDIDIKAN TINGGI DI INDONESIA
A. Undang-Undang Pendidikan Tinggi No.12 Tahun 2012
dalam kerangka GATS.
B. Analisis dampak penerapan Undang-undangPerguruan
Tinggi no. 12 tahun 2012.
BAB V KESIMPULAN
Daftar Pustaka
Lampiran-lampiran
25
BAB II
LATAR BELAKANG TERBENTUKNYA KONSEP
KONSENSUS WASHINGTON
Pada bab ini, dipaparkan mengenai terbentuknya konsep Konsensus
Washington. Bab ini terdiri dari Tiga bagian. Bagian pertama menjelaskan tentang
proses terbentuknya IMF (International Monetary Fund). Bagian kedua
Pandangan Konsensus Washington menurut Joseph Stiglitz dan John
Wiliamson.Pada Bagian ketiga menjelaskan tentang peranan Indonesia di WTO
(World Trading Organization) dan GATS (General Agreement on Trade in
Services).
A. Proses Terbentuknya IMF dan World Bank
Dalam buku IMF (Apakah Dana Moneter Internasional Itu?IMF 2003:1-8)
dijelaskan mengenai IMF. IMF merupakan merupakan salah satu badan khusus
pada Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) yang didirikan berdasarkan perjanjian
internasional pada tahun 1945 untuk membantu perekonomian dunia.Dengan
markas besarnya berlokasi di Washington, D.C., IMF saat ini memiliki anggota
sebanyak 184 negara. Pada tanggal 22 Juli 1944 melalui konfrensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa yang diselenggarakan di Bretton Woods, New Hampshire
Amerika Serikat sepakat untuk IMF. Pada dekade 1930, kegiatan ekonomi di
sejumlah negara industri utama melemah, negara-negara industri tersebut berusaha
untuk mempertahankan ekonomi mereka masing-masing dengan cara
meningkatkan hambatan untuk import; tetapi kegiatan ini mempercepat jatuhnya
26
perdagangan dunia, tingkat output, dan kesempatan kerja. Tujuan dibentuknya
IMF pada saat itu dilakukan untuk menghindari terulangnya kejadian great
depression (depresi besar) pada tahun 1930, maka 45 anggota sepakat untuk
menyetujui kerangka ekonomi ini.
Negara-negara yang bergabung dengan IMF antara tahun 1945 dan 1971
setuju untuk menjaga nilai tukar mereka (pada dasarnya nilai tukar mata uang
mereka dalam nilai dolar A.S., dan, dalam hal ini Amerika Serikat, nilai dolar A.S.
dalam nilai emas) ditetapkan pada tingkat yang dapat disesuaikan, tetapi
penyesuaian hanya untuk mengoreksi ―ketidakseimbangan fundamental‖ dalam
neraca pembayaran dan dengan persetujuan IMF. Ini kemudian disebut sistem
nilai tukar Bretton Woods yang berlaku sampai tahun 1971 ketika pemerintah
A.S. menangguhkan konvertibilitas dolar A.S. (dan cadangan dolar yang dipegang
oleh pemerintah lain) menjadi emas. Sejak itu, anggota IMF sudah bebas memilih
setiap bentuk pengaturan nilai tukar yang mereka inginkan (kecuali meman-
cangkan nilai mata uang mereka pada emas): sejumlah negara sekarang
mengizinkan mata uang mereka mengambang dengan bebas, sejumlah negara
memancangkan mata uang mereka terhadap mata uang lain atau sekelompok mata
uang, sejumlah negara lainnya mengadopsi mata uang negara lain sebagai mata
uang mereka sendiri, dan sejumlah negara berpartisipasi dalam blok mata uang.
Pada waktu yang sama ketika IMF diciptakan, Bank Internasional untuk
Rekonstruksi dan Pembangunan (International Bank forReconstruction and
Development—IBRD), lebih umum dikenal sebagai Bank Dunia, didirikan untuk
27
mempromosikan pembangunan ekonomi jangka panjang, termasuk melalui
pembiayaan proyek infrastruktur, seperti pembangunan jalan dan meningkatkan
suplai air. IMF dan Kelompok Bank Dunia—yang termasuk Korporasi
Pembiayaan Internasional (International Finance Corporation— IFC) dan
Asosiasi Pembangunan Internasional (InternationalDevelopment Association—
IDA) saling melengkapi pekerjaan masing-masing.Sementara perhatian IMF
terutama pada kinerja ekonomi makro, dan pada kebijakan makro ekonomi dan
sekor keuangan, Bank Dunia terutama menangani pembangunan jangka panjang
dan isu-isu pengurangan kemiskinan.Kegiatannya termasuk memberikan pinjaman
kepada negara-negara berkembang dan negara-negara yang berada dalam transisi,
pembiayaan proyek infrastruktur, reformasi sektor ekonomi khusus, dan reformasi
struktural yang lebih luas.
IMF, sebaliknya, tidak menyediakan pembiayaan untuk sektor atau proyek
khusus tetapi sebagai dukungan umum terhadap neraca pembayaran maupun
cadangan devisa suatu negara sementara negara tersebut sedang mengambil
langkah kebijakan untuk mengatasi kesulitannya. Ketika IMF dan Bank Dunia
didirikan, suatu organisasi untuk mempromosikan liberalisasi perdagangan dunia
juga dipikirkan, tetapi baru tahun 1995 Organisasai Perdagangan Dunia (World
Trade Organization—WTO) dibentuk. Diselang tahun-tahun tersebut, isu-isu
perdagangan diselesaikann melalui Perjanjian Umum Tarif dan Perdagangan
(GeneralAgreement on Tariffs and Trade—GATT).
28
B. Pandangan Konsensus Washington John Wiliamson
Dalam pidato doktoralnya Mochtar Mas’oed menjelaskan awal
perkembangan Konsensus Washington, berawal dari kebijakan ekonomi yang
dilakukan Presiden Ronald Reagen bersama-sama dengan Perdana Menteri Inggris
Margareth Thatcher mulai menjalankan revolusi neo-liberal di Inggris. Lalu pada
saat Ronald Reagan menjadi Presiden AS, gerakan ―revolusioner‖ Perdana
Menteri itu ditanggapi dengan gerakan serupa di AS, sehingga muncul julukan
Reagan-Thatcherism; yang kemudian juga didukung oleh Kanselir Jerman Helmut
Kohl. Dengan dukungan kuat dari ketiga negara yang ber-pengaruh besar ini, neo-
liberalisme menyebar ke seluruh dunia mela-lui berbagai lembaga internasional,
terutama yang bobot pengaruh keanggotannya ditentukan oleh besarnya
sumbangan pendanaannya, seperti the International Monetary Fund (IMF) dan the
World Bank (Bank Dunia). Dengan kata lain, ―neo-liberalisme‖ telah menjadi
COWDOG (common wisdom of the dominant group) (Mohtar Mas’oed 2002:8-9).
Washington Consensus dipicu oleh pengalaman negara-negara Amerika
Latin pada dekade 1980an. Saat itu mekanisme pasar di wilayah tersebut tidak
berfungsi dengan baik akibat kebijakan-kebijakan pemerintah yang kacau. PDB
terus merosot selama tiga tahun berturut-turut, defisit anggaran meleset tajam
hingga mencapai tingkat 5-10 persen dari PDB2, sementara pengeluaran
pemerintah digunakan untuk mesubsidi sektor negara tidak efisien. Diterapkannya
kontrol yang ketat terhadap impor serta dorongan yang minim pada ekspor
menghadapkan perusahaan pada insentif yang terbatas untuk meningkatkan
efisiensi maupun menjaga kualitas produk sesuai estándar internasional. Awalnya,
29
defisit dibiayai melalui pinjaman termasuk pinjaman luar negeri besar-besaran.
Dorongan untuk mendaur ulang petrodollars di kalangan perbankan internasional
saat itu serta rendahnya tingkat suku bunga riil membuat ―meminjam‖ menjadi
aktivitas yang sangat menarik bahkan untuk investasi dengan tingkat kembalian
yang rendah. Hanya saja, setelah dekade 1980an, melonjaknya tingkat suku bunga
riil di Amerika Serikat membatasi berlajutnya pinjaman, meningkatkan beban
pembayaran bunga dan memaksa banyak negara terus menerus mencetak uang
untuk membiayai kesenjangan antara tingginya belanja publik yang terus
berlangsung (serta diperparah oleh membumbungnya pembayaran bunga
pinjaman) dengan basis pajak yang terus mengerut. Hasil akhirnya adalah inflasi
yang sangat tinggi dan tidak terkendali. Kondisi ini menyebabkan perilaku
ekonomi lebih terarah pada upaya untuk melindungi nilai (value) daripada bagi
aktivitas investasi produktif. Mekanisme harga kemudian kehilangan fungsi
utamanya untuk menyampaikan informasi.
Konsensus Washington bermula ketika John Wiliamson Istilah
"Konsensus Washington" diciptakan pada tahun 1989. Penggunaan perrtama
Istilah tersebut terdapat pada latar belakang makalah, makalah tersebut
digunakan pada Peterson Institute for International Economics diselenggarakan
dalam rangka untuk memeriksa sejauh mana ide-ide lama pembangunan ekonomi
yang telah diatur kebijakan ekonomi Amerika Latin sejak tahun 1950 yang yang
tersingkir oleh seperangkat gagasan yang telah lama diterima sebagai tepat dalam
OECD (Organization for Economic Co-operation and development). Dalam
rangkauntuk mencoba dan memastikan bahwa latar belakang makalah untuk
30
konferensi menggunakan seperangka tmasalah, saya membuat daftar sepuluh
kebijakan yang saya pikir lebih atau kurangsemua orang di Washington akan
setuju guna membantu Latin Amerika, dan diberi label"Konsensus Washington"
(John Wiliamson, A Short History of the Washington Consensus 2004:1)
John Wiliamson menyebutkan pengistilahan Konsensus Washington
awalnya tidak ditulis sebagai kebijakan pembangunan (The Washington
Consensus as Policy Prescription for Development 2004:1-2) tetapi sebagai saran
untuk kebijakan pembangunan di Amerika latin. Lebih lanjut John Wiliamson
menyatakan formulasi Konsensus Washington telah digunakan dalam tiga cara
yang berbeda yakni;
1. Konsensus Washington merupakan saran atau formulasi reformasi
sepuluh kebijakan untuk memperbaiki kondisi ekonomi di Amerika Latin,
namun terjadi persengkongkolan untuk menglobalkan formulasi tersebut.
2. Saran Konsensus Washington oleh AS melalui IMF dan World Bank
digunakan sebagai formulasi umum guna membantu perekonomian negara
berkembang.
3. Kritikus memandang kebijakan Wiliamson sebagai agen neoliberalisme
yang tercantum dalam Konsensus Washington.
Dari ketiga cara tersebut John Willimson berpandangan cara-cara IMF-lah
yang telah banyak berubah dari tujuan Bretton Woods System sehingga
mempermainkan krisis di Asia dengan metode Amerika Latin.
31
C. Peran Indonesia di WTO dan GATS.
World Trade Organization (WTO) atau Organisasi Perdagangan Dunia
merupakan satu satunya badan internasional yang secara khusus mengatur
masalah perdagangan antar negara. Indonesia masuk menjadi anggota WTO
ditandai dengan ratifikasi ―Agreement Establising the World TradeOrganization”
melalui Undang-Undang No.7 Tahun 1994 tanggal 2 Nopember 1994.Dan resmi
menjadi anggota WTO tahun 1995 ( Dani Setiawan Liberalisasi Pendidikan dan
WTO 2004:2). Sistem perdagangan multilateral WTO diatur melalui suatu
persetujuan yang berisi aturan-aturan dasar perdagangan internasional sebagai
hasil perundingan yang telah ditandatangani oleh negara-negara anggota.
Persetujuan tersebut merupakan kontrak antar negara-anggota yang mengikat
pemerintah untuk mematuhinya dalam pelaksanaan kebijakan perdagangannya.
WTO secara resmi berdiri pada tanggal 1 Januari 1995. Persetujuan umum
mengenai tarif dan perdagangan telah membuat aturan-aturan untuk sistem ini.
Sejak tahun 1947-1994 sistem GATT memuat peraturan-peraturan mengenai
perdagangan dunia dan menghasilkan pertumbuhan perdagangan internasional
tertinggi. Hampir setengah abad teks legal GATT masih tetap sama sebagaimana
pada tahun 1947 dengan beberapa penambahan diantaranya bentuk persetujuan
disepakati oleh beberapa negara saja dan upaya-upaya pengurangan tarif.
Masalah-masalah perdagangan diselesaikan melalui serangkaian perundingan
32
multilateral yang dikenal dengan nama ―Putaran Perdagangan‖ (Trade Round)‖,
sebagai upaya untuk mendorong liberalisasi perdagangan internasional.
Sebagai upaya mewujudkan cita-cita perbaikan ekonomi dunia yang
hancur akibat perang dunia ke II. Amerika Serikat mempelopori di
selenggarakannya konfresi internasional diadakan di Bretton Woods, New
Hampsire, AS pada tangga 22 Juli 1947. Konfrensi yang kemudian di kenal
dengan konfrensi Bretton woods di hadiri oleh 44 perwakilan negara. pertemuan
selama 22 negara tersebut akhirnya melakukan Havana Charter yang berisikan
perjanjian Internasional Monetary Fund (IMF), namun karena kongres AS
sebagai inisiator International Trade Organization (ITO) gagal mencapai
kesepakatan tentang bentuk organisasi dan sistem operasi ITO, maka
pembentukan ITO pun dibubarkan dan kemudian sebagai gantinya di bentuk
General on Tarif and Trade (GATT) pada 1947. (Hatta, 2006: 53-56).
Dalam perkembangannya, GATT telah melakukan beberapa perundingan
pertama di lakukan di Geneva, Switzerland (1947), kemudian Annency (France
1948) Torguay, Switzerland (1950), Geneva Switzerland (1956), Dillon round,
Geneva (1960-1961), Kenedy round, Geneva (1964-1967), Tokyo round, Geneva
(1973-1979) dan terakhir Uruguay Round Marrakesh (1986-1994). Perundingan
terakhir inilah yang dianggap salah satu perundingan yang paling menentukan
perkembangan GATT di masa yang akan datang. Putaran Uruguay merupakan
yang menghasilkan persetujuan untuk membentuk sebuah organisasi perdagangan
yang di sebut World Trade Organization (WTO) (Cano, Guiomar Alonso, dkk.
(eds), 2005: 38-39).
33
C.1 Ratifikasi Indonesia dalam GATS di bidang pendidikan.
GATS (General Agreement on Trade and Service) adalah
kesepakatan multilateral dan berkekuatan hukum yang mengatur tentang
perdagangan jasa internasional. Perjanjian ini mengatur 12 sektor jasa
termasuk jasa pendidikan, khususnya pendidikan tinggi. Ada empat
metode penyediaan pendidikan oleh asing yaitu: (i) cross border supply,
(ii) consumption abroad, (iii) commercial presence, (iv) presence of natural
person (Antisipasi Rencana Ratifikasi GATS, UGM : 2005)
Ratifikasi adalah (ra.ti.fi.ka.si n) pengesahan suatu dokumen negara
oleh parlemen, khususnya penegesahan undang-undang, perjanjian antar
negara, dan persetujuan hukum internasional (KBBI. 2008-1147).
Konsekuensi dari komitmen Indonesia masuk menjadi anggota WTO sejak
tahun 1994 (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1994
Tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade
Organization), telah diikuti dengan kesertaan dalam menandatangani
GATS (General Agreement on Trade in Services). Pengaturan mengenai
GATS terdapat dalam Annex 1b dalam Piagam WTO, dan merupakan
bagian tak terpisahkan dari WTO. Oleh Karena itu, lingkup keberlakuan
dari GATS tersebut mencakup negara-negara anggotanya dari seluruh
dunia. Khususnya ASEAN, memandang perlu untuk mengambil sikap
mengenai kerjasama di bidang jasa, terutama dalam menghadapi
34
perdagangan di bidang jasa yang semakin global, khususnya setelah
Perundingan putaran Uruguay berhasil memasukkan perdagangan jasa
dalam agenda perundingannya yang bermuara pada disepakatinya GATS
(Integrasi Ekonomi ASEAN dibidang Jasa, 2009) Kemudian dalam
Uruguay round yang ditandatangani pada tahun 1994 menjadi Undang-
Undang No.7 Tahun 1994 tanggal 2 Nopember 1994 memberikan waktu
kepada Indonesia untuk melaksanakan kebijkan pendidikan dalam aturan
GATS yang mengatur liberalisasi perdagangan pada 12 sektor, dimana
perjanjian tersebut menetapkan pendidikan sebagai salah satu bentuk
pelayanan sektor publik yang harus diprivatisasi. Arah liberalisasi
pendidikan sejalan dengan logika ekonomi kapitalisme dengan menjadikan
pendidikan sebagai barang komersial (Komoditi). Klasifikasi sektor jasa
menurut GATS tersebut ada 12 yaitu :
‖Business services, Communication services, Construction and
related engineering services, Distribution services, Education services,
Environmental services, Financial services, Health related and social
services, Tourism and travel related services, Recreational, cultural and
sporting services, Transportational services, and Other services not
included elsewhere.‖
Perjanjian tersebut mengatur tata cara perdagangan barang, jasa,
dantrade related intellectual property rights (TRIPS) atau hak atas
kepemilikan intelektual yang terkait dengan perdagangan. Dalam bidang
jasa, yang masuk sebagai obyek pengaturan WTO adalah semua komoditas
jasa, tanpa terkecuali bidang pendidikan. Liberalisasi (Kapitalisasi)
pendidikan sejatinya merupakan kepentingan kelas pemodal dengan
35
orientasi surplus value. Praktek liberalisasi akan menghilangkan tanggung
jawab Negara dengan menyerahkan pendidikan kepasar, karena dunia
pendidikan merupakan ladang bisnis yang sangat menjanjikan (Victor
Nalle 2011:561-560).
Sejak putaran Doha di Qatar tahun 2000, Indonesia sudah
berkomitmen dalam GATS dibidang pendidikan hal ini ditandai dengan
diundangkannya UU Sisdiknas Tahun 2003 atau UU No.20 Tahun 2003.
Namun dengan dimakzulkan UU Sisdiknas tersebut oleh Mahkamah
Konstitusi maka saat ini UU tersebut tidak berlaku lagi (Sofian Efendi.
GATS: Neo-imprialisme modern dalam Pendidkan 2005:3). Jadi secara
tidak langsung segala kesepakatan yang terjadi didalam GATS haruslah
dipatuhi dan dijalankan dengan cara meratifikasi perjanjian tersebut
menjadi sebuah Undag-Undang, khususnya dalam bahasan skripsi ini
adalah Undang-Undang Perguruan Tinggi.
36
BAB III
KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI INDONESIA SEBELUM DAN SESUDAH
RATIFIKASI GATS
Pada bab ini menjelaskan tentang Kebijakan pendidikan tinggi yang telah
dilaksanakan oleh pemerintah dimulai dari Undang-undang nomor 22 tahun 1961
tentang perguruan tinggi hinga Undang-Undang Pendidikan Tinggi No.12 tahun
2012.
A. Kebijakan pendidikan tinggi menurut Undang-Undang nomor
22tahun 1961 tentang perguruan tinggi. serta UU No.2 Tahun 1989
tentang Sistem Pendidikan Nasional
Kebijakan mengenai pendidikan tinggi di Era Orde Lama telah ada dengan
di Undangkannya UU nomor 22 tahun 1961 tentang pendidikan tinggi. Didalam
UU tersebut terdapat sepuluh bab untuk lebih jelasnya dapat dilihat didalam tabel
1.1 UU No.22 Tahun 1961 berikut ini;
No Bab Pasal Penjelasan
1 BAB I 1-5 Ketentuan umum, seperti; Arti perguruan tinggi,
Tujuan, Kebebasan Ilmiah dan Mimbar serta
kebebasan berorganisasi.
2 BAB II 6-8 Bentuk, tugas dan susunan perguruan tinggi
3 BAB III 9-10 Tingkat dan susunan pelajar, ujian dan gelar
37
4 BAB IV 11-16 Kelengkapan Perguruan Tinggi
5 BAB V 17 Kemahasiswaan dalam Perguruan Tinggi
6 BAB VI 18-21 Definisi Perguruan Tinggi
7 BAB VII 22-30 Perguruan Tinggi Swasta
8 BAB VIII 31-34 Ketentuan Lain
9 BAB IX 36-36 Ketentuan Peralihan
10 BAB X 37 Penutup
Sumber : diolah dari UU No.22 Tahun 1961
Kebijakan mengenai pendidikan tinggi pada masa Orde Lama sangat
dipengaruhi oleh pengaruh politik Manipol Usdek. Bahkan dapat dikatakan bahwa
pemerintah sadar benar akan posisi pendidikan sebagai mekanisme rekayasa
sosial, budaya.ekonomi dan politik karena itu tujuan pendidikan nasional serta
upaya pendidikan tak mungkin dilepaskan dari konsep Manipol Usdek. Pancasila-
Manipol/Usdek adalah Moral dan Falsafah Hidup BangsaIndonesia serta
merupakan manifesto persatuan Bangsa dan Wilayah Indonesia, demikian pula
merupakan perasan kesatuan jiwa sebagai Weltanschaung Bangsa Indonesia
dalam penghidupan Nasional sebagai landasan bagi semua pelaksanaan
Pendidikan Nasional adalah Pancasila-Manipol/Usdek. Dengan demikian,
Pancasila-Manipol/Usdek harus menjiwai semua segi Pendidikan Nasional (Pasal
1, Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1965 Tentang Pokok-
Pokok Sistem Pendidikan Nasional Pancasila)
Pada pasal 1 UU No. Tahun 1961 dijelaskan mengenai Perguruan Tinggi
adalah lembaga ilmiah yang mempunyai tugas menyelenggarakan pendidikan dan
38
pengajaran di atas perguruan tingkat menengah, dan yang memberikan pendidikan
dan pengajaran berdasarkan kebudayaan kebangsaan Indonesia dan dengan cara
ilmiah. Dari penjelasan mengenai UU No. 22 Tahun 1961 yang merupakan
Undang-undang pertama Pendidikan Tinggi di Indonesia masih memerlukan
beberapa penyempurnaan sehingga pada pemerintahan orde baru disempurnakan
melalui UU No.2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Penyempurnaan pada UU No. 22 tahun 1961 tertuang dalam UU No.2
tahun 1989 tentang sistim pendidikan nasional yang kali ini mengikuti GBHN
(Garis Besar Haluan Negara). Pada UU ini terdapat 20 Bab dan 59 pasal yang
merupakan penyempurnaan UU sebelumnya, berikut tabel 1.2 UU No.2 Tahun
1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional;
No Bab Pasal Penjelasan
1 BAB I 1 Ketentuan umum, pendidikan nasional
2 BAB II 2-4 Dasar, Fungsi Dan Tujuan
3 BAB III 5-8 Hak Warga Negara Untuk Memperoleh
Pendidikan
4 BAB IV 9-11 Satuan, Jalur Dan Jenis Pendidikan
5 BAB V 12-22 Jenjang Pendidikan
6 BAB VI 23-26 Peserta Didik
7 BAB VII 27-32 Tenaga Kependidikan
8 BAB VIII 33-36 Sumber Daya Pendidikan
9 BAB IX 37-39 Kurikulum
39
10 BAB X 40 Hari Belajar Dan Libur Sekolah
11 BAB XI 41-42 Bahasa Pengantar
12 BAB XII 43-46 Penilaian
13 BAB XIII 47 Peranserta Masyarakat
14 BAB XIV 48 Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional
15 BAB XV 49-51 Pengelolaan
16 BAB XVI 52-53 Pengawasan
17 BAB XVII 54 Ketentuan Lain-Lain
18 BAB
XVIII
55-56 Ketentuan Pidana
19 BAB XIX 57 Ketentuan Peralihan
20 BAB XX 58-59 Ketentuan Penutup
(Sumber :UU No.2 Tahun 1989)
Dari lima puluh bab dan lima puluh sembilan pasal tersebut, undang-
undang tentang sisdiknas ini mencerminkan tentang kebijakan politik orde baru
yang berhaluan Pancasila dan GBHN yang ditetapkan oleh Presiden, hal ini
terlihat melalui pasal 2 UU No.2 Tahun 1989 tentang sisdiknas.
Menurut peraturan UU No. 2/1989 tentang Sisdiknas yakni Pendidikan
adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan,
pengajaran, dan/atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang;
Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berakar pada kebudayaan bangsa
Indonesia dan yang berdasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
40
Sistem pendidikan nasional adalah satu keseluruhan yang terpadu dari semua
satuan dan kegiatan pendidikan yang berkaitan satu dengan lainnya untuk
mengusahakan tercapainya tujuan pendidikan nasional; Jenis pendidikan adalah
pendidikan yang dikelompokkan sesuai dengan sifat dan kekhususan tujuannya;
Jenjang pendidikan adalah suatu tahap dalam pendidikan berkelanjutan yang
ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan para peserta didik serta keluasan
dan kedalaman bahan pengajaran; Peserta didik adalah anggota masyarakat yang
berusaha mengembangkan dirinya melalui proses pendidikan pada jalur, jenjang,
dan jenis pendidikan tertentu;Tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat
yang mengabdikan diri dalam penyelenggaraan pendidikan; Tenaga pendidik
adalah anggota masyarakat yang bertugas membimbing, mengajar dan/atau
melatih peserta didik; Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan
mengenai isi dan bahan pelajaran sertacara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan belajar-mengajar; Sumber daya pendidikan adalah
pendukung dan penunjang pelaksanaan pendidikan yang terwujud sebagai tenaga,
dana, sarana dan prasarana yang tersedia atau diadakan dan didayagunakan oleh
keluarga, masyarakat, peserta didik dan Pemerintah, baik sendiri-sendiri maupun
bersamasama;Warga negara adalah warga negara Republik Indonesia;Menteri
adalah Menteri yang bertanggung jawab atas bidang pendidikan nasional (UU No.
2/1989).
B. Globalisasi dan Kebijakan Pendidikan Tinggi
41
Dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) dijelaskan mengenai arti
kata globalisasi yakni :globalisasi (/glo·ba·li·sa·si/ ) proses masuknya ke ruang
lingkup dunia (Kamus Besar bahasa Indonesia 2008:455).
Pada dalam buku Stiglitz yang diterjemahkan dan diberi judul Washington
Konsensus: Arah Menuju Jurang Kemiskinan yang diterjemahkan oleh Darmawan
Triwibowo. Di dalam buku ini, Stiglitz Menjelaskan mengenai kesalahan-
kesalahan penerapan resep Konsensus Washington di negara-negara berkembang,
yang justru membawa negara-negara berkembang pada kesengsaraan. Selanjutnya
dalam buku Globalization and Its Discontent. Buku tersebut mendapat respon dari
seluruh dunia karena mengkritik secara tajam Kebijakan Konsensus Washington
beserta lembaga-lembaga donor yang terkait didalamnya. Stiglitz berpandangan
bahwa dia meyakini globalisasi yaitu penghapusan hambatan-hambatan terhadap
perdagangan bebas dan integrasi ekonomi yang semakin kuat dapat menjadi suatu
kekuatan yang kekal dan berpotensi untuk memakmurkan setiap orang di dunia,
khususnya orang-orang miskin. Tetapi dia juga percaya bahwa jika memang
demikian keadaannya, pengelolaan globalisasi selama ini, termasuk berbagai
perjanjian perdagangan internasional yang telah memainkan peranan besar dalam
menghapuskan hambatan-hambatan tersebut dan kebijakan-kebijakan yang
diterapkan pada negara-negara berkembang dalam proses globalisasi, perlu
dipertimbangkan kembali secara radikal (Stiglitz 2003:ix-x).
Stiglitz melanjutkan bahwa pentingnya memandang permasalahan secara
adil dengan mengesampingkan ideologi serta melihat pada bukti-bukti sebelum
membuat keputusan mengenai tindakan apa yang terbaik. Sayangnya, meskipun
42
tidak mengherankan, ketika dia berada di Gedung Putih dan Bank Dunia, dia
melihat banyak keputusan dibuat seringkali karena pertimbangan ideologi dan
politik. Akibatnya banyak tindakan salah arah yang dilakukan, tindakan yang
tidak memecahkan masalah yang ada, tetapi yang sesuai dengan kepentingan atau
keyakinan dari orang-orang yang berkuasa. Dengan mengutip Pierre Bourdieu,
Stiglitz mengatakan mengenai perlunya para politisi berperilaku layaknya
akademisi serta terlibat dalam perdebatan ilmiah yang berdasarkan pada fakta-
fakta dan bukti-bukti yang kuat. Sayangnya, hal sebaliknyalah yang justru amat
sering terjadi. Ketika para akademisi terlibat dalam pembuatan kebijakan,
rekomendasi-rekomendasinya menjadi bernilai politis dan mulai membengkokkan
bukti agar sesuai dengan kehendak mereka yang berkuasa (Stiglitz2003:x).
Menurut buku Making Globalization Work melihat persoalan globalisasi
secara lebih meluas berikut strategi-strategi praktis yang dapat diacu bagi seluruh
pengambil kebijakan di seluruh dunia. Lebih lanjut Stiglitz menuliskan
keyakinnya bahwa warga negara yang memilki informasi yang lebih baik
mungkin untuk memberikan perhatian terhadap penyalahgunaan perusahaan dan
kepentingan keuangan tertentu yang menguasai proses globalisasi, bahwa
masyarakat umum di negara industri maju dan negara-negara berkembang
memiliki kepentingan yang sama dalam mewujudkan globalisasi keyakinannya
akan proses demokrasi (Stiglitz 2009:34-35).
Pandangan-pandangan Stiglitz tentulah sangat relevan untuk menganalisa
fenomena-fenomena globalisasi yang terjadi di negara-negara berkembang seperti
Indonesia. Di Indonesia, awal mula dipraktikkannya ide-ide Konsensus
43
Washington secara radikal adalah ketika Indonesia dilanda krisis ekonomi di
tahun 1998. Pada masa itu Indonesia akhirnya tidak dapat menghindarkan diri
untuk tidak meminta bantuan dari IMF dalam menyelesaikan krisis. Akhirnya
Indonesia mendapatkan pinjaman berupa dana segar sekaligus paket kebijakan
penyembuhan ekonomi dari IMF. Peran IMF ini dirangkum dalam sebuah
program yang dikenal dengan namaletter ofintent (LoI). Dan walaupun kontrak
dengan IMF sebenarnya telah berakhir pada tahun 2003, namun IMF belum akan
benar-benar lepas dari Indonesia karena pemerintah wakru itu memilih opsi Post
Program Monitoring (PPM) hingga akhir tahun 2007. Dan ini tentu
mengindikasikan bahwa pemerintahan yang berkuasa di Indonesia pasca
runtuhnya rezim orde baru tetap akanmemiliki keterkaitan dengan proyek
penyebaran ide-ide neoliberalisme.
Pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarno Putri misalnya,
salah satu kebijakan yang paling disorot terkait dengan proyek penyebaran ide ide
neoliberalisme adalah masalah privatisasi Indosat.Kebijakan ini aneh karena
Indosat pada saat itu tergolong kedalam perusahaaan negara yang sehat.
Pada akhir tahun 2002 pemerintah menjual saham pemerintah hingga 41,49%
kepada Singapore Telemedia Pte. Ltd (STT). Ini merupakan kali ketiga
pemerintah menjual saham indosat, dan ini merupakan penjualan terbesar.
Sebelumnya 25% saham pemerintah telah dijual pada tahun 1994, dan 11,32%
pada mei 2002. Program privatisasi ini tentu tidak lepas dari peran yang
dimainkan oleh IMF. Di dalam LoI pertama yang ditandatangani oktober 1997
dinyatakan bahwa privatisasi disebut sebagai strategi untuk meningkatkan
44
kompetisi pada level domestik, meningkatkan efisiensi, dan memperbaiki supply
kepada konsumen. Dalam LoI tersebut juga dicantumkan bahwa pembahasan
program privatisasi harus dilakukan dengan kerjasama Bank Dunia. Hal ini
berlanjut pada penandatanganan LoI kedua pada tahun 1998, dimana pemerintah
ditargetkan melakukan privatisasi terhadap 164 BUMN. Disebutkan pula bahwa
pemerintah juga mulai mencari investor strategis yang berminat pada BUMN di
bidang telekomunikasi internasional, jasa pelabuhan dan lapangan terbang, serta
perkebunan kelapa sawit (Syamsul Hadi et.al 2006B:98-101).
B1. Kebijakan Pendidikan Tinggi menurut PP No. 60 Tahun
1999 dan PP No.61 Tahun 1999
Pada perkembangan muktahirnya ide-ide neoliberal tersebut
tertuang pada rekomendasi para arsitek ekonomi yang bermukim di
Washington. Para ilmuwan yang terlibat dalam diskursus itu berasal dari
lembaga-lembaga donor yaitu IMF (International Monetary Fund),
Bank Dunia, dan juga turut serta Departemen Keuangan Amerika
Serikat. Belakangan rekomendasi ini lebih dikenal dengan istilah
Washington Konsensus. Istilah yang pertama kali dicetuskan oleh
John Williamson (1994) ini semula ditujukan untuk memperbaiki
kondisi ekonomi Amerika Latin yang sedang diterpa badai krisis ekonomi
(Josepth E Stiglistz 2002:11). Selanjutnya setelah penandatanganan LoI
pertama maka diberlakukanlah PP No. 60 tahun 1999 dan PP No. 61 tahun
1999 yang akan dijelaskan selanjutnya.
45
Dengan terpuruknya Indonesia melalui krisis moneter atau krismon
di tahun 1997 maka Indonesia melakukan pinjaman uang kepada IMF guna
memperbaiki perekonomian, oleh sebab itu maka ditandatanganilah LoI
(letter of Intent). Sejak ditandatangani LoI yang pertama pada LoI pertama
ditandatangani pada 31 Oktober 1997 oleh Menkeu Mar`ie Muhammad
dan Gubernur Bank Indonesia Soedradjad Djiwandono (Gatra, 2002). Atas
kesepakatan tersebut IMF meminta syarat pemulihan ekonomi melalui
formulasinya yang lebih cenderung kearang formulasi Konsensus
Washington dengan mengurangi subsisdi kesehatan dan pendidikan.
Pengurangan subsisdi pendidikan dan kesehatan dipercaya dapat
memulihkan ekonomi Indonesia dari krisis Asia (Penelitian Dan
Pengembangan Ekonomi Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada.
2004:242). Dari kesepakatan LoI tersebut maka pemerintah mengeluarkan
PPNo. 60 Tahun 1999, pada PP tersebut menurut bab XII tentang
pembiayaan pada pasal 114 - 117 yang pada intinya adalah melepaskan
sebagian tanggung jawab pemerintah terhadap Pendidikan Tinggi. Seperti
isi pada pasal 114 berikut ini;
“(1) Pembiayaan perguruan tinggi dapat diperoleh dari sumber
pemerintah, masyarakat dan
pihak luar negeri.
(2) Penggunaan dana yang berasal dari Pemerintah baik dalam
bentuk anggaran rutin maupun
anggaran pembangunan serta subsidi diatur sesuai dengan peraturan
perundang-undangan
yang berlaku.
46
(3) Dana yang diperoleh dari masyarakat adalah Perolehan dana
perguruan tinggi yang berasal
dari sumber-sumber sebagai berikut:
a. Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP);
b. biaya seleksi ujian masuk perguruan tinggi;
c. hasil kontrak kerja yang sesuai dengan peran dan fungsi perguruan
tinggi;
d. hasil penjualan produk yang diperoleh dari penyelenggaraan
pendidikan tinggi;
e. sumbangan dan hibah dari perorangan, lembaga Pemerintah atau
lembaga nonpemerintah;
dan
f. penerimaan dari masyarakat lainnya.
(4) Penerimaan dan penggunaan dana yang diperoleh dari pihak luar
negeri diatur sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(5) Usaha untuk meningkatkan penerimaan dana dari masyarakat
didasarkan atas pola prinsip
tidak mencari keuntungan.”
Selanjutnya pada PP No.61 Tahun 1999 dijelaskan mengenai status
Perguruan Tinggi Negeri menjadi badan Hukum Negara, yang berarti
dengan diberlakukannya PP tersebut maka negara mengurangi alokasi
subsidi di bidang pendidikan. Dengan ditetapkannya PP tersebut maka
status UI (Universitas Indonesia) menjadi Badan Hukum Pendidikan yang
sebagian dana operasional pendidikan bersumber dari masyarakat, donatur
dan sumbangan Luar Negeri.
C. Latar belakang pembentukan Undang-Undang Badan Hukum
Pendidikan di Indonesia (UU BHP)
Pembentukan UU BHP syarat akan kebijakan liberalisme dan privatisasi,
melalui PP No.60 Tahun1999 tentang pembentukan PTN (Perguruan Tinggi
Negeri) dan BLU (Badan Layanan Umum) kemudian dilanjutkan dengan UU
47
No.61 Tahun 1999 mempertegas tentang 7 PTN menjadi BHMN (Purbayanto
Kemana (Arah) Perguruan Tinggi BHMN 2011:1) Implementasi PT-BHMN yang
sudah berjalan sampai tahun keempat setelah keluarnya PP No. 61 tahun 1999
yang diperkuat dengan PP No. 152 sd 155 tahun 2000 kepada ke empat
universitas, yaitu UI, UGM, ITB dan IPB, yang disusul dengan USU dan UPI,
dengan segala argumentasinya hingga kini masih menyisakan banyak persoalan
yang perlu terus klarifikasi dan pencerahan. Jika memperhatikan PP No. 61 tahun
1999 tersiurat bahwa semua PTN diharapkan menuju ke arah PT-BHMN, tinggal
kesiapan masing-masing, sehingga wajar ada sejumlah PTN yang terus sibuk
menyiapkan diri, walaupun dewasa ini sudah mulai diproses bahwa setiap institusi
pendidikan sebagaimana yang dinyatakan pada pasal 53 UU no. 20 tahun 2003
tentang Sisdiknas bahwa:
(1) Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh
Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.
(2) Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berfungsi memberikan pelayanan pendidikan kepada peserta didik.
(3) Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk
memajukan satuan pendidikan (Rochmat Wahab Perguruan Tinggi Badan
Hukum Milik Negara (PT-BHMN) Ditinjau Dari Perspektif Filosofis Dan
Sosiologis 2004:4-5)
Hal yang melatar belakangi kebijakan privatisasi pendidikan adalah IMF dan
World Bank pada momentum krisis moneter tahun 1998, melalui kebijakan LoI
48
(letter of Intent). Loi antara IMF dan Indonesia banyak mengatur dan mengikat
pemerintah dalam hal pelaksanaan ekonomi dan sosial yang secara terang-
terangan serta nyata mengadopsi formulasi Konsensus Washington (Studi
Manajemen Utang Luar Negeri Dan Dalam Negeri Pemerintah Dan Assessment
Terhadap Optimal Borrowing 2004:225)
C.1 Privatisasi Pendidikan Melalui UU BHP
Beberapa tahun pasca krisis moneter 1997 di Indonesia, privatisasi
menjadi sebuah acuan terhadap perbaikan ekonomi di Indonesia. Bagi para
pendukung privatisasi, mereka memakai kesuksesan Margareth Teacher
pada tahun 1979 yang mendorong perekonomian Inggris melalui kebijakan
privatisasi.Sedangkan di kubu yang kontra terhadap pendekatan ini
menganggap privatisasi hanyalah derivasi dari skenario besar ekonomi
liberal yang kontra produktif bagi pengembangan ekonomi rakyat
kecil.Mahalnya biaya jasa publik, seperti kesehatan dan pendidikan
menjadi dampak langsung dari adanya konsep privatisasi.Ada sebuah
keyakinan dalam perjalanan kebijakan privatisasi yang dalam ruang
lingkup ekonomi memang sebenarnya baik, yaitu mendorong pasar
kompetitif yang berujung pada efisiensi ekonomi.Tetapi, Apa terjadi di
Inggris tidak dapat disamakan dengan kondisi bangsa Indonesia. Ketika itu
rakyat di Inggris sudah mencapai tingkat kemapanan yang cukup, sehingga
daya beli mereka tinggi. Hal ini tentu saja mengurangi tanggung jawab
sosial pemerintah dalam pengelolaan ekonomi (Mohtar Mas’oed 2002:9).
49
Program privatisasi sektor publik menjadi salah satu komponen
penting dalam penerapan SAP (StrukturalAdjusment Program), baik di
negara berkembang maupun di negara dalam masa transisi ekonomi.
Liberalisasi sektor pendidikan di dunia international difasilitasi oleh WTO
(World Trade Organization) dalam GATS (General Agreement on trade in
Service) Hal ini dikarenakan subsidi yang diberikan kepada sektor publik
dianggap sebagai penyebab dari meningkatnya pengeluaran pemerintah
yang mengakibatkan defisit anggaran (Saprin 2004:15).
Selanjutnya logika perdagangan jasa pendidikan, sebagaimana
diutarakan oleh mantan Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Dr.
Sofian Effendi mengikuti tipologi yang digunakan oleh para ekonom
dalam membagi kegiatan usaha dalam masyarakat. Ilmu ekonomi
membagi 3 sektor kegiatan usaha dalam masyarakat. Pertama adalah
sektor Primer mencakup semua industri ekstraksi hasil pertambangan dan
pertanian. Kedua, sektor sekunder mencakup industri untuk mengolah
bahan dasar menjadi barang, bangunan, produk manufaktur dan utilities.
Dan ketiga, sektor tersier yang mencakup industri-industri untuk
mengubah wujud benda fisik (physical services), keadaan manusia (human
services) dan benda simbolik (information and communicationservices).
Sejalan dengan pandangan ilmu ekonomi tersebut, WTO menetapkan
pendidikan sebagai salah satu industri sektor tersier, karena kegiatan
pokoknya adalah mentransformasi orang yang tidak berpengetahuan dan
orang yang tidak mempunyai keterampilan menjadi orang yang
50
berpengetahuan dan mempunyai keterampilan. Indonesia sendiri mulai
mengikatkan diri dalam WTO sejak tahun 1994. Dengan diterbitkanya
Undang-Undang No.7 Tahun 1994 tanggal 2 Nopember 1994 tentang
pengesahan (ratifikasi) ―Agreement Establising the World
TradeOrganization”, maka Indonesia secara resmi telah menjadi anggota
WTO dan semua persetujuan yang ada di dalamnya telah sah menjadi
bagian dari legislasi nasional. Sebagai anggota WTO, Indonesia tentu saja
tidak bisa menghindar dari berbagai perjanjian liberalisasi perdagangan,
termasuk perdagangan jasa pendidikan. Keputusan yang dinilai agak
terburu-buru.Mengingat kondisi pendidikan nasional saat ini yang masih
buruk.Keputusan liberalisasi pendidikan ditetapkan di tengah angka buta
huruf dan putus sekolah yang masih tinggi di Indonesia. Dalam kondisi
seperti ini, sejalan dengan logika ekonomik ala WTO, pendidikan hanya
akan menjadi barang komersial yang jauh dari upaya pemenuhan hak
konstitusi rakyat atas pendidikan yang bermutu dan berkualitas oleh negara
(Dani setiawan Liberalisasi Pendidikan dan WTO 2004:2).
Sebelum pemerintah mengeluarkan UU BHP pemerintah telah
mengeluarkan terlebih dahulu Peraturan Pemerintah Nomor 61 tahun 1999
tentang Penetapan Perguruan TinggiNegeri sebagai Bahan Hukum yang
kemudian disusul diterbitnya PeraturanPemerintah Nomor 155 tahun 2000
tentang Penetapan Institut Teknologi Bandung menjadi Bahan Hukum
Milik Negara. Pertimbangan pertama yang ditinjau dalam Peraturan
51
Pemerintah Nomor 61 secara singkat adalah adanya globalisasi
yangmenimbulkan persaingan yang tajam.
Selanjutnya Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional (pasal 50 ayat 6) menyebutkan bahwa
perguruan tinggi menentukan kebijakan dan memiliki otonomi dalam
mengelola pendidikan di lembaganya. Lebih lanjut disebutkan dalam
Undang-Undang yang sama (pasal 51 ayat 1-2) bahwa: (a) pengelolaan
satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan
menengah dilaksanakan berdasarkan standar p elayanan minimal dengan
prinsip manajemen Yang dimaksud dengan otonomi perguruan tinggi
adalah kemandirianperguruan tinggi untuk mengelola sendiri
lembaganya.berbasis sekolah/madrasah3, dan (b) pengelolaan satuan
pendidikan tinggi dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi, akuntabilitas,
jaminan mutu, dan evaluasi yang transparan. Sementara itu, pengelolaan
satuan pendidikan non-formal dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah
daerah, dan atau masyarakat (UU No. 20 Th. 2003, pasal 52 ayat
1).Berdasarkan berbagai aturan di atas, sesungguhnya tidak ekpslisit dapat
dikatakan bahwa pendidikan nasional sekarang ini menganut
liberalisasi.Namun dengan pemberian otonomi dikhawatirkan bahwa
pendidikan dapat terserat pada liberalisasi pendidikan. Di sinilah
sesungguhnya terjadi pertarungan kepentingan, dalam arti apakah
pemerintah akan membendung liberalisasi yang sudah terlanjur masuk
bersama masuknya liberalisai dalam bidang politik, ekonomi, serta sosial-
52
budaya ataukah pemerintah mengakomodasi liberalisasi tersebut? Dalam
hal ini, pelaku pendidikan dan masyarakat terpolarisasi antara menerima
dan menolak liberaliasi pendidikan ini neskipun dengan kadar yang
bervariasi (M. Tajuddin Liberalisasi Pendidikan: Sebuah Wacana
Kontroversial 2010).
Jika melihat fakta, pemerintah memang terlihat mengakomodasi
liberalisasi pendidikan, antara lain dengan kasat mata tercermin dengan
dikeluarkannya Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2007 dan Peraturan
Presiden Nomor 77 Tahun 2007, yang mengkategorikan pendidikan
sebagai bidang usaha, seperti yang dipahami dalam bidang ekonomi.
Dalam peraturan Presiden ini sangat jelas pula bahwa sektor pendidikan
dimungkinkan menjadi lahan investasi modal asing sampai maksimal 49
persen.Banyak kalangan mencemaskan, bahwa jika kemitraan dengan
―pemilik modal‖ dalam negeri tidak berimbang, maka terbuka peluang
kepemilikan mayoritas beralih ke tangan asing, dengan segala
konsekuensinya. Di lain pihak, masyarakat pun banyak pula yang
menerima, terutama dari kalangan menengah ke atas (PP. Presiden No.77
tahun 2007).
D. Latar belakang pembentukan Undang-Undang Pendidikan Tinggi
No. 12 Tahun 2012
Menelusuri urutan permasalahan Undang-Undang Perguruan Tinggi Tahun
2012 adalah ketika pemerinta Indonesia sepakat untuk masuk ke dalam bagian
53
World Trade Organization (WTO) pada tahun 1994. Sebagai bentuk
konsekuensinya, Indonesia harus patuh kepada aturan-aturan pokok yang
ditetapkan dalam perjanjian General Agreement on Trade in Service (GATS).Pada
perjanjian tersebut terdapat 12 sektor jasa yang dimasukkan dalam komoditas
perdagangan jasa internasional, termasuk pendidikan. Inilah awal dibukanya pintu
komersialisasi dan liberalisasi pendidikan Nasional dalam wujud liberalisasi
pendidikan (Narcis Serra dan Joseph E. Stiglitz 2008:46)
Melalui UU No. 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan yang
substansinya merupakan UU titipan produk liberal dan telah dimazulkan (Nomor
11-14-21-126-136/Puu-Vii/2009) oleh Mahkamah Konstitusi. Namun pada
tanggal 10 Agustus 2012 telah disahkan sebuah produk hukum yang diindikasikan
bentuk baru dari UU BHP, yakni UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan
Tinggi sebagai lanjutan dari UU No. 9 Tahun 2009 yang isi tidaklah jauh berbeda
dari UU BHP.
54
BAB IV
DAMPAK RATIFIKASI GATS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN
TINGGI DI INDONESIA
Pada bab ini dipaparkan mengenai Undang-Undang Pendidikan Tinggi
No.12 Tahun 2012 dalam kerangka GATS, serta Analisis dampak penerapan
Undang-Undang Perguruan Tinggi No.12 Tahun 2012.
A. Undang-Undang Pendidikan Tinggi No.12 Tahun 2012 dalam
kerangka GATS
Sejak diundangkannya UU Pendidikan Tinggi No. 12 Tahun 2012 pada
tanggal 10 Agustus 2012 maka berlakulah Undang-Undang tersebut. GATS
(General Agreement on Trade in Services) merupakan sebuah kesepakatan dalam
kerjasama WTO yang meliputi 12 sektor jasa antara lain meliputi jasa sektor
bisnis, komunikasi; teknik dan konstruksi; distribusi; pendidikan; lingkungan;
keuangan; kesehatan; pariwisata; rekreasi, budaya, olahraga; transportasi; dan jasa
lainnya (E. Hartmann dan C. Scherrer 2006:4). Dalam Basic Information on
GATS Kewajiban utama GATS adalah akses pasar (Pasal XVI GATS), national
treatment (Pasal XVII GATS), dan most-favoured-nation (Pasal II GATS). di
dalam WTO, merupakan proses sentral yang mengawali peningkatan privatisasi
pendidikan di Dunia karena mendorong liberalisasi progresif pada jasa
pendidikan dan telah menjadi pijakan signifikan dalam pasar perdagangan jasa
55
pendidikan internasional. Dalam proses negosiasi komitmen spesifik di bawah
GATS, jasa dikategorikan di bawah UN Central Product Classification, yang
hanya dibuat semata berdasarkan perspektif produsen, sehingga membuat tidak
ada pembedaan antara pendidikan dan jasa lainnya, meskipun pendidikan
berkaitan erat dengan kepentingan publik. Perdagangan dalam jasa pendidikan
terbagi menjadi lima sub-sektor pendidikan yang dikategorikan oleh United
Nations Provisional Central Product Classification (CPC), yaitu mencakup
pendidikan dasar, pendidikan menengah, pendidikan tinggi, pendidikan dewasa
(pendidikan di luar sistem pendidikan reguler), dan pendidikan lainnya meliputi
semua jasa pendidikan yang tidak terklasifikasi di atas (United Nation 2011).
GATS mendefiniskan empat cara di mana segala jenis jasa dapat
diperdagangkan, yaitu berdasarkan konsumsi jasa di luar negeri oleh konsumen
yang bepergian ke negara penyedia jasa (sebagai contoh adalah pelajar yang
menempuh studi di luar negeri); suplai jasa lintas negara terhadap konsumen di
suatu negara tanpa kehadiran penyedia jasa di negara tersebut (sebagai contoh
adalah pendidikan jarak jauh); kehadiran penyedia jasa komersial di negara
konsumen (sebagai contoh adalah kehadiran universitas asing di negara tersebut);
kehadiran sumber daya manusia dari negara penyedia jasa ke negara konsumen
(sebagai contoh kehadiran profesor dan peneliti asing yang bekerja di negara
tersebut). Sektor pendidikan, terutama pendidikan tinggi, telah menjadi komoditas
perdagangan yang menjanjikan keuntungan besar dan dikuasai oleh negara maju
pendukung liberalisasi pasar, yaitu Amerika Serikat, Inggris, dan Australia
(Current Commitments under the GATS in Educational Services 2002).
56
Permintaan terhadap Pendidikan Tinggi terus menigkat terutama
pendidikan lintas negara. Menurut Jane Knight, terdapat beberapa hal yang
menjadi pendorong perkembangan pesat perdagangan internasional pada jasa
pendidikan, yaitu antara lain kemunculan penyedia jasa pendidikan yang
berorientasi profit; perkembangan teknologi yang mendorong kemudahan
penyampaian jasa pendidikan, baik skala domestik maupun internasional; sebagai
respon terhadap pasar tenaga kerja; peningkatan mobilitas mahasiswa, profesor,
dan program internasonal; terbatasnya kapasitas anggaran (atau kemauan politik)
pemerintah untuk memenuhi naiknya permintaan domestik akan pendidikan tinggi
(The Impact of Trade Liberalization on Higher Education: Policy Implications
,The Observatory on Borderless Higher Education 2002:1).
Dalam hal ini akibat dari ketentuan WTO melalui GATS maka Indonesia
harus memprivatisasi Pendidikan Tingginya melalui kerangka GATS. Sifat
negosiasi perluasan liberalisasi jasa dalam GATS dilakukan dengan model initial
offer dan initial request. Dany Setiawan merangkum, setiap negara bisa
mengirimkan initialrequest yaitu daftar sektor-sektor yang diinginkan untuk
dibuka di negara lain. Negara diwajibkan meliberalisasi sektor-sektor tertentu
yang dipilihnya sendiri atau disebut initial offer. Perundingan untuk perluasan
akses pasar jasa ini dilakukan secara bilateral oleh masing-masing negosiator jasa
tiap negara di Jenewa, yang apabila disepakati akan berlaku multilateral
(Liberalisasi Pendidikan dan WTO 2009:1)
57
B. Analisis dampak penerapan Undang-Undang Perguruan
Tinggi No.12 Tahun 2012
Melihat subtansi dari Pendidikan pada Undang-Undang Perguruan Tinggi
tahun 2012 (UU PT tahun 2012) maka dapat dikatakan bahwa EPI sangatlah
berperan penting dalam UU PT tahun 2012. Ekonomi politik internasional sendiri
secara sederhana dapat diartikan menjadi dua kata yaitu state (negara) dan market
(pasar). Ketika terjadi hubungan timbal balik diantara keduanya maka ekonomi
dan politik keduanya saling mempengaruhi. Namun pada perkembangannya
politik mempengaruhi ekonomi lebih dominan (Gilipin,2001; 77).
Sebagaimana diketahui bahwa studi Hubungan Internasional mulai
mengkaji ekonomi-politik internasional sejak tahun 1970, dan ekonomi-poltik
internasional itu sendiri membutuhkan integrasi teori-teori dari disiplin ekonomi
dan poltik, misalnya masalah-masalah dalam isu perdagangan internasional,
moneter,dan pembangunan ekonomi (Gilpin, 1987: 3). Lebih lanjut, Rudy (2003:
50-51) menjelaskan ekonomi-politik adalah hasil interaksi anatara kajian ekonomi
dan kajian politik, yang mempertimbangkan serta dipengaruhi unsur ekonomi,
unsur politik yang satu sama lain saling berinteraksi. Dan ekonomi politik
internasional adalah interaksi mekanisme pasar internasional (termasuk hal
interdependensi, depedensi, dan globalisasi) dengan sistem masyarakat
internasional yaitu multi-state system dan pola hubungan antarnegara serta
kebijakan masing-masing pemerintah untuk mempengaruhi situasi pasar
internasional baik dalam bidang perdagangan maupun dalam bidang moneter.
58
Sebagai contoh adalah ketika kekuasaan membutuhkan ekonomi untuk
memperkuat powernya. Terbentuknya rezim internasional adalah salah satu
contoh nyata. Di satu sisi rezim internasional dibutuhkan untuk mempertahankan
dan menstabilkan ekonomi internasional namun di lain sisi muncul kritik terhadap
rezim internasional. Susan Strange mengkritik bahwa teori rezim berada pada
passing fad, dan paling buruk merupakan legitimasi Amerika untuk melanjutkan
dominasi pada ekonomi dunia (Gilpin, 2001;85)
Syamsul hadi menjelaskan, rezim internasional yang berkembang saat ini
adalah yang aspek power yakni Pax Americana. Pax Americana adalah suatu
situasi global dimana Amerika muncul sebagai kekuatan yang paling dominan
didalam sistem internasional setelah perang dunia II. Dan fungsi kekuatan
hegemoni ini adalah menyediakan atau mempromosikan apa-apa yang
disebut international public goods, seperti misalnya keamanan, stabilitas dsb.
Dalam konteks hegemoni Amerika atau Pax Americana, perdagangan bebas itu
pada mulanya dilihat dan dipromosikan oleh Amerika sebagai public goods,
sebagai sesuatu yang harus ada dan harus berlaku. Itu terutama dapat dilihat pada
masa 25 tahun terakhir ketikaKonsensus Washington atau neoliberal begitu
menguasai wacana pembangunan di dunia. Disinilah perdagangan bebas menjadi
bagian dari Konsensus Washington, berdampingan dengan paket-paket deregulasi,
privatisasi dan liberalisasi yang dipromosikan oleh lembaga-lembaga
seperti IMF, WTO, dan Bank Dunia (Syamsul Hadi. 2011C:11)..
59
Melalui GATS maka diberlakukanlah liberalisasi pendidikan, liberalisasi
dimaknai sebagai proses untuk memindahkan larangan-larangan yang dibuat oleh
negara dalam rangka membentuk ekonomi dunia yang lebih terintegraasi.
Konsepsi ketiga, universalisasi bermakna menyebarnya pelbagai macam obyek
dan pengalaman dari masyarakat di seluruh dunia. Westerenisasi merupakan kritik
bagi proses peniruan budaya Barat atau bahkan proses memaksakan sistem
budaya, sistem politik dan sistem ekonomi negara-negara Barat dalam panggung
dunia semangat liberalisasi pada sektor publik ketika Ronald Reagan dan
Margareth Thatcher mengumandangkan prinsip kebijakan baru yang disebut
neoliberalisme dan prinsip ini harus dilakukan oleh negara-negara di seluruh
dunia. Kebijakan neoliberal disini merupakan kebutuhan dari negeri Imperialis
dalam memenuhi bahan baku untuk industri mereka, mendapatkan sumber tenaga
kerja yang murah dan pangsa pasar yang lebih besar (Mochtar Mas’oed 2002:8).
Liberalisasi pendidikan di Indonesia pada sektor publik sudah dimulai
ketika pemerintah Orde Baru yang menerapkan Structural Adjusment Program
dari IMF dan World Bank. Hal ini ditandai dengan seperangkat regulasi yang
meminimalisir peran negara dalam aspek pemotongan subsidi di bidang
pendidikan dan ikut sertanya swasta dalam penyelenggaraan pendidikan di
Indonesia (Syamsul Hadi et al. 2007B:25). Pada kepemimpinan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) dimulai dari tahun 2004 hingga sekarang, dalam
rangka menyukseskan program liberalisasi pendidikan di Indonesia khususnya di
bidang pendidikan tinggi dapat kita lihat melalui PP no 48 tahun 2005 tentang
sumber pendanaan pendidikan yang mengikutsertakan masyarakat dalam
60
pendanaan, lalu Perpers no 77 tahun 2007 tentang bidang yang dapat dilaksanakan
investasi, dilanjutkan pada pengesahan UU no 9 tahun 2009 tentang BHP
(walaupun dibatalkan oleh MK) serta sekarang dilanjutkan dengan keberadaan
UU Pendidikan Tinggi No.12 tahun 2012. Dalam UU PT No.12 tahun 2012 yang
disusun oleh legislatif dan eksekutif di era Presiden SBY saat ini sangat jelas
sekali bahwa keberadaan UU Pendidikan Tinggi No.12 tahun 2012 ini akan
menjauhkan tanggung jawab negara dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi di
Indonesia.
Ekonomi politik internasional didalam GATS berpengaruh kepada UU PT
No.12 tahun 2012. GATS merupakan perjanjian terbesar karena meliputi 12
sektor jasa secara komprehensif (meliputi jasa sektor bisnis, komunikasi; teknik
dan konstruksi; distribusi; pendidikan; lingkungan; keuangan; kesehatan;
pariwisata; rekreasi, budaya, olahraga; transportasi; dan jasa lainnya). Kewajiban
utama GATS adalah akses pasar (Pasal XVI GATS), national treatment (Pasal
XVII GATS), dan most-favoured-nation (Pasal II GATS) (Globalization, GATS
and Trading in Education Service, 2006 : 4)
Dari kesepakatan GATS di tahun 2000, maka Indonesia secara berangsur-
angsur meratifikasi perjanjian tersebut dimulai dari UU Sisdiknas, UU BHP dan
UU PT No.12 tahun 2012. Dan berikut adalah bentuk dari kesepakatan GATS
pada UU PT No.12 tahun 2012 dimohonkan oleh M. Nurul Fajri, dkk, selaku
perwakilan Forum Peduli Pendidikan Universitas Andalas sidang Mahkamah
Konstitusi;
61
1. Bahwa Pasal 64 UU Pendidikan Tinggi bertentangan dengan Pasal 28C
ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (4), Pasal 31 ayat (1) dan
ayat (4) UUD 1945, karena Otonomi Perguruan Tinggi di bidang akademik
dan non-akademik, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64: (a) membuka
peluang dan melegitimasi perguruan tinggi untuk menerapkan
komersialisasi pendidikan tinggi; (b) membuka kesempatan kepada
perguruan tinggi untuk mengelola keuangan seperti sebuah sebuah
korporasi; (c) penyerahan otonomi non-akademik kepada PT badan hukum
merupakan bentuk pelepasan tanggung jawab dan kontrol Negara terhadap
pendidikan tinggi yang berkeadilan dan diskriminatif, sehingga
bertentangan dengan UUD NRI 1945 Pasal 31 ayat (1); dan (d) membuka
kesempatan kepada perguruan tinggi untuk melakukan abuse of power
dalam bidang ketenagaan karena pegawai perguruan tinggi akan tunduk
kepada perguruan tinggi sebagaimana ditetapkan dalam UUD NRI 1945
Pasal 28 D ayat (1); dan Pasal a quo melanggar Pasal 28 C ayat (1) karena
tidak memberikan kesempatan yang sama kepada setiap warganegara untuk
menikmati pendidikan tinggi.
2. Bahwa Pasal 65 ayat (1) sepanjang frasa “atau dengan membentuk
PTN badan hukum” serta ayat (3) dan ayat (4) UU Pendidikan Tinggi
bertentangan dengan Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I
ayat (4), Pasal 31 ayat (1) dan ayat (4) UUD 1945, karena: (a) otonomi
Perguruan Tinggi menjadikan pendidikan tinggi barang publik (publicgood)
yang merupakan fungsi dan tanggungjawab Pemerintah. Penyelenggaraan
pendidikan tinggi oleh PTN badan hukum menjadikan pendidikan tinggi
barang privat, sehingga bertentangan dengan amanat Pasal 31 ayat (2) UUD
NRI 1945; (b) bahwa bentuk PT Badan Hukum Pendidikan sudah
dinyatakan Mahkamah bertentangan dengan UUD NRI 1945 dengan
Putusan Perkara No. 11-14-21-126-136 PUU-VII-2009; (c) bahwa
pemberian otonomi dapat menimbulkan praktek komersialisiasi yang
62
dilakukan oleh pengelola PTN; (d) bahwa pemberian otonomi kepada
perguruan tinggi negeri terutama di bidang keuangan berpotensi
memberikan kewenangan kepada institusi perguruan tinggi untuk memungut
dan memberlakukan berbagai bentuk biaya pungutan kepada mahasiswa
(masyarakat) dan dapat menyulitkan akses masyarakat ekonomi lemah,
sehigga bertentangan dengan ketentuan Pasal 28 C ayat (1); dan (e) bahwa
pemberian otonomi kepada PTN yang menerapkan Pola Pengelolaan
keuangan Badan Layanan Umum (PPK-BLU) berarti memberikan
kemandirian pengelolaan dibidang keuangan oleh PTN belum tentu
menyediakan pendidikan murah bagi masyarakat, sehingga bertentangan
dengan Pasal 31 ayat (23) UUD 1945.
3. Bahwa Pasal 86 ayat (1) UU Pendidikan Tinggi bertentangan dengan
Alinea IV Pembukaan dan Pasal 31 ayat (1) dan ayat (5) UUD 1945,
karena: (a) Fasilitasi dan pemberian insentif kepada dunia usaha,
masyarakat, dan perorangan untuk memberikan bantuan kepada Perguruan
Tinggi telah melanggar pokok fikiran dalam Alinea IV tentang filosofi
pendidikan nasional; (b) mereduksi tanggung jawab negara atas pendidikan
dengan memberi kesempatan kepada dunia usaha dan industri untuk terlibat
dalam pendanaan pendidikan tinggi: (c) menyebabkan dekonstruksi pada
dunia pendidikan tinggi Indonesia, dari pembentukan pendidikan tinggi
yang berkualitas menjadi pendidikan tinggi yang menerapkan pradigma
dunia usaha yang mengutamakan profit oriented; (d) Pasal a quo akan
berakibat pada perubahan kurikulum Perguruan Tinggi yang lebih
disesuaikan dengan kebutuhan dunia usaha dan dunia industri.
4. Bahwa Pasal 90 UU Pendidikan Tinggi bertentangan dengan Alinea IV
Pembukaan, Pasal 28C ayat (1) dan Pasal 28E ayat (1) UUD NRI 1945
karena: (a) menghambat pemenuhan hak konstitusional warga negara atas
pendidikan, khususnya pendidikan tinggi yang dijamin dalam Alinea IV
Pembukaan UUD NRI 1945, Pasal 28C ayat (1), dan Pasal 28E ayat (1); (b)
merupakan pelanggaran kewajiban konstitusional pemerintah untuk
menyediakan pembiayaan untuk pendidikan tinggi; dan (c) pemberian izin
63
kepada perguruan tinggi Negara lain di wilayah Negara kesatuan Republik
Indonesia bertentangan dengan kewajiban Negara melalui Perguruan Tinggi
Negeri untuk menyelenggarakan pendidikan tinggi ( Prof. Dr. Sofian Effen
didalam Perkara di Mahkamah Konstitusi No. 103/PUU/-X/2012 tentang
Pengujian Undang-undang Republik Indonesia No 12 tahun 2012 tentang
Pendidikan Tinggi terhadap UUD NRI 1945).
Dan disisi lain, penjelasan dari Sekretaris DPT Ditjen Dikti yakni Prof. Ir.
Nizam, M.Sc., Ph.D. yang mewakili pemerintah Indonesia menjelaskan beberapa
poin penting Undang-Undang Pendidikan No.12 tahun 2012 antara lain;
1. UU dikti tidak bertentangan dengan UUD 1945dan disusun atas
perintah konstitusi (UUD 1945 Pasal 31 ayat 3 dan 5) tetapi
melengkapi/komplementer dengan UU Sisdiknas.
2. Pemerintah dan masyarakat bersama UU dikti berusaha mengerem laju
liberalisasi dan komersialisasi.
3. Undang-Undang Pendidikan Tinggi (UU Dikti) dibuat untuk mengatasi
mahalnya biaya pendidikan tinggi.
4. Perguruan tinggi asing boleh menyelenggarakan pendidikan tinggi
selama bersifat nirlaba, sehingga tidak terjadi komersialisasi pendidikan.
5. Boleh selama mengikuti peraturan perundangan dan sejalan dengan
kepentingan nasional, sehingga tidak terjadi liberalisasi pendidikan.
6. Boleh selama bekerjasama dengan PT dalam negeri, sehingga tidak
membunuh PT dalam negeri. PT Asing juga harus mendapat izin
Pemerintah.
7. Pemerintah mengatur daerah di mana PT asing boleh beroperasi, jenis
perguruan tinggi, serta program studi yang boleh diselenggarakan.
Namun dibalik pandangan dari kesaksian Prof. Sofian Efendi di Mahkamah
Konstitusi penulis menilai masih ada beberapa kebijakan positif yang didapat dari
UU No.12 tahun 2012 yang dirangkum oleh penulis yakni diantaranya;
1.Menurut pasal 31 “Pendidikan Jarak Jauh”
(1) Pendidikan jarak jauh merupakan proses belajar mengajar yang
dilakukan secara jarak jauh melaluipenggunaan berbagai media
komunikasi.(2) Pendidikan jarak jauh sebagaimana dimaksud pada ayat
64
(1) bertujuan:a. memberikan layanan Pendidikan Tinggi kepada kelompok
Masyarakat yang tidak dapat mengikutiPendidikan secara tatap muka atau
reguler; danb. memperluas akses serta mempermudah layanan
PendidikanTinggi dalam Pendidikan danpembelajaran. (3) Pendidikan
jarak jauh diselenggarakan dalamberbagai bentuk, modus, dan
cakupan yang didukung oleh sarana dan layanan belajar serta sistem
penilaian yang menjamin mutu lulusan sesuai denganStandar Nasional
Pendidikan Tinggi. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai
penyelenggaraan pendidikan jarak jauh sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Menteri.
2. Menurut pasal 32 ―Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan
Khusus”
(1) Program Studi dapat dilaksanakan melaluipendidikan khusus bagi
Mahasiswa yang memilikitingkat kesulitan dalam mengikuti proses
pembelajaran dan/atau Mahasiswa yang memilikipotensi kecerdasan dan
bakat istimewa.(2) Selain pendidikan khusus sebagaimana
dimaksudpada ayat (1) Program Studi juga dapat dilaksanakan
melalui pendidikan layanan khusus dan/ataupembelajaran layanan
khusus.(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Program Studi
yangmelaksanakan pendidikan khusus sebagaimanadimaksud pada ayat
(1) dan pendidikan layanankhusus dan/atau pembelajaran layanan
khusussebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalamPeraturan
Menteri.
3. Menurut pasal Pasal 50 “Kerja Sama Internasional Pendidikan
Tinggi”
(1) Kerja sama internasional Pendidikan Tinggi merupakan proses
interaksi dalam pengintegrasian dimensi internasional ke dalam kegiatan
akademik untuk berperan dalam pergaulan internasional tanpa kehilangan
nilai-nilai keindonesiaan.(2) Kerja sama internasional harus didasarkan
pada prinsip kesetaraan dan saling menghormati dengan mempromosikan
Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan nilai kemanusiaan yang memberi
manfaat bagi kehidupan manusia.(3) Kerja sama internasional mencakup
bidang Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian kepada Masyarakat.(4)
Kerja sama internasional dalam pengembangan Pendidikan Tinggi dapat
dilakukan, antara lain, melalui: a. hubungan antara lembaga Pendidikan
Tinggi di Indonesia dan lembaga Pendidikan Tinggi negara lain dalam
kegiatan penyelenggaraan Pendidikan yang bermutu; b. pengembangan
pusat kajian Indonesia dan budaya lokal pada Perguruan Tinggi di dalam
dan di luarnegeri; dan c. pembentukan komunitas ilmiah yang mandiri. (5)
Kebijakan nasional mengenai kerja sama internasional Pendidikan Tinggi
ditetapkan dalam Peraturan Menteri.
65
4. Menurut pasal 51-53 ”PENJAMINAN MUTU”
(1) Pendidikan Tinggi yang bermutu merupakan Pendidikan Tinggi yang
menghasilkan lulusan yang mampu secara aktif mengembangkan
potensinya danmenghasilkan Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi yang
berguna bagi Masyarakat, bangsa, dan negara. (2) Pemerintah
menyelenggarakan sistem penjaminan mutu Pendidikan Tinggi untuk
mendapatkanPendidikan bermutu. Pasal 52 (1) Penjaminan mutu
Pendidikan Tinggi merupakankegiatan sistemik untuk meningkatkan mutu
Pendidikan Tinggi secara berencana dan berkelanjutan. (2) Penjaminan
mutu sebagaimana dimaksud padaayat (1) dilakukan melalui penetapan,
pelaksanaan, evaluasi, pengendalian, dan peningkatan estándar Pendidikan
Tinggi.(3) Menteri menetapkan sistem penjaminan mutu Pendidikan
Tinggi dan Standar Nasional PendidikannTinggi. (4) Sistem penjaminan
mutu Pendidikan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) didasarkan
pada Pangkalan Data Pendidikan Tinggi.Pasal 53Sistem penjaminan mutu
Pendidikan Tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (2) terdiri
atas: a. sistem penjaminan mutu internal yang dikembangkanoleh
Perguruan Tinggi; dan b. sistem penjaminan mutu eksternal yang
dilakukanmelalui akreditasi.
5. Menurut Pasal 57 “Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi”
(1) Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi merupakan satuan kerja
Pemerintah di wilayah yang berfungsi membantu peningkatan mutu
penyelenggaraan Pendidikan Tinggi.(2) Lembaga Layanan Pendidikan
Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk oleh Menteri. (3)
Menteri menetapkan tugas dan fungsi lembaga sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) sesuai dengan kebutuhan. (4) Menteri secara berkala
mengevaluasi kinerja lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Dibalik kelebihan dan kekurangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi No.
20 Tahun 2012 dalam skripsi ini mencoba memaparkannya, sebagai refleksi dari
pemahaman konsep Neoliberalisme dalam studi Hubungan Internasional yang
berada pada diskurusus Ekonomi Politik Internasional yang menjadi dasar pijakan
WTO dan GATS. Skripsi ini menilai neoliberalisme dalam kerangka ekonomi
66
politik internacional sudah menjadi dasar dalam peletakan sebuah kebijakan di
Indonesia, khususnya pada UU Dikti ini yang tak terlepas dari pengaruh
instrumen WTO dan GATS. Skripsi ini memaparkan tentang bagaimana
perjalanan konsep neoliberalisme dalam pedidikan yang mulai masuk di era tahun
90-an melalui kerangka IMF dan World Bank serta kini dilanjutkan oleh
instrumen WTO dan GATS.
67
BAB V
KESIMPULAN
Dampak Konsensus Washington dan ratifikasi pemerintah Indonesia
terhadap kebijakan GATS atas Undang-Undang Pendidikan Tinggi No.12 tahun
2012, menimbulkan dampak terhadap privatisasi dan liberalisasi pendidikan
khususnya pada Pendidikan Tinggi. Pada skripsi ini melihat akar permasalahan
liberalisasi pendidikan tinggi diawali dengan IMF dan World Bank, selanjutnya
berkembang menuju GATS lalu implementasi GATS melalui UU BHP atau UU
No.20 tahun 2003 yang berhasil di makzulkan dan terkini adalah UU Perguruan
Tinggi No.12 tahun 2012.
Pengaruh Konsensus Washington terhadap pendidikan sebenarnya terjadi
pada saat krisis Asia tahun 1996 yang lebih dikenal dengan krisis moneter. Pada
saat itu Negara-negara debitur IMF dan World Bank terjebak dalam skenario
Konsensus Washington yang termaktub pada butir pelepasan sebagian tanggung
jawab Negara terhadap aspek sosial dan pendidikan berupa privatisasi, yang
artinya privatisasi pendidikan di Indonesia telah dimulai pada fase ini. Tahun
1999, melalui PP No.60 dan PP No.61. Pada PP No.60 pasal 115 menjelaskan
bahwa setiap peguruan tinggi berhak menerima, menyimpan, dan mengelola
keuangan secara otonom. Oleh karena itu, sumbangan di luar SPP (sumbangan
pendanaan pendidikan), uang registrasi, dan TPP (tungangan pendanaan
pendidikan), tidak termasuk dalam Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Inilah yang menjadi dasar pijakan pertama privatisasi pada Pendidikan Tinggi.
68
Selanjutnya penyelenggaraan pendidikan tinggi oleh Pemerintah melalui bentuk
Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (BHMN), yaitu UGM, UI, ITB,
IPB, USU, UPI, UNAIR, berlangsung pada tahun 2000.
Konsepsi Konsensus Washington menjadi pilar utama IMF dan World
Bank dalam menetapkan kebijakannya, terutama di negara-negara berkembang.
Dalam hal ini Indonesia yang merupakan salah satu negara di Asia yang
melaksanakan formulasi Konsensus Washington yang masuk melalui Letter Of
Inten mau tidak mau suka tidak suka masuk dalam skenario Konsensus
Washington. Konsep tersebut masuk melalui liberalisasi pendidikan berupa
privatisasi pendidikan dengan mengurangi peran pemerintah dalam urusan
pendidikan dalam hal ini khususnya Pendidikan Tinggi, partisipasi masyarakat,
bantuan dari pihak swasta serta asing dan otonomi perguruan tinggi.
Sejalan dengan hal tersebut rupanya WTO melalui GATS telah
menjalankan aksi serupa sebagai bentuk penyempurnaan dari privatisasi
pendidikan dan dampak globalisasi. Indonesia masuk anggota WTO pada tahun
1995 dengan diterbitkanya Undang-Undang No.7 Tahun 1994 tanggal 2
Nopember 1994 tentang pengesahan (ratifikasi) ―Agreement Establising the
World TradeOrganization”, maka Indonesia secara resmi telah menjadi anggota
WTO dan semua persetujuan yang ada di dalamnya telah sah menjadi bagian dari
legislasi nasional. Selanjutnya konsepsi mengenai GATS, penyediaan jasa
pendidikan merupakan salah satu dari 12 sektor jasa lainnya yang akan
diliberalisasi. Liberalisasi perdagangan sektor jasa pendidikan berdampingan
dengan liberalisasi layanan kesehatan, teknologi informasi dan komunikasi, jasa
69
akuntansi, serta jasa-jasa lainnya. Sejak tahun 2000, negosiasi perluasan
liberalisasi jasa dalam GATS dilakukan dengan model initial offer dan initial
request. Dimana setiap negara bisa mengirimkan initial request yaitu daftar
sektor-sektor yang diinginkan untuk dibuka di negara lain. Negara diwajibkan
meliberalisasi sektor-sektor tertentu yang dipilihnya sendiri atau disebut initial
offer. Perundingan untuk perluasan akses pasar jasa ini dilakukan secara bilateral
oleh masing-masing negosiator jasa tiap negara di Jenewa, yang apabila
disepakati akan berlaku multilateral.
Sejak diberlakukannya GATS pada sektor pendidikan, maka Indonesia
sebagai negara anggota WTO harus meratifikasi aturan main dalam sektor
pendidikan. Di Indonesia aturan tersebut menjelma kedalam UU No.20 tahun
2003 tentang Sisdiknas dan UU No.9 tahun 2009 tentang BHP. Kedua UU
tersebut terlihat jelas mengenai privatisasi dan liberalisasi pendidikan, yang berisi
antara lain; Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (pasal 50 ayat 6) menyebutkan bahwa perguruan tinggi
menentukan kebijakan dan memiliki otonomi dalam mengelola pendidikan di
lembaganya. Selanjutnya disebutkan dalam Undang-Undang yang sama (pasal 51
ayat 1-2) bahwa: (a) pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan
dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan
minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah3, dan (b)
pengelolaan satuan pendidikan tinggi dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi,
akuntabilitas, jaminan mutu, dan evaluasi yang transparan. Sementara itu,
70
pengelolaan satuan pendidikan non-formal dilakukan oleh Pemerintah,
pemerintah daerah, dan atau masyarakat (UU No. 20 Tahun. 2003, pasal 52 ayat
1). Berdasarkan berbagai aturan di atas, melalui pemaparan pasal-pasal tersebut
diatas tidak menyebutkan secara terang-terangan mengenai bentuk-bentuk
privatisasi maupun liberalisasi pendidikan. Namun dengan pemberian otonomi
dikhawatirkan bahwa pendidikan dapat terserat pada liberalisasi pendidikan. Dan
inilah produk dari GATS tentang liberalisasi pendidikan.
Setelah dibatalkannya UU No. 20 Tahun 2003 oleh mahkamah konstitusi
melalui Putusan Nomor 11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009 pada tanggal 31
Maret 2010 maka pemerintah melakukan perbaikan dengan membuat PP No.
17/2010, tentang: Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan PP. No 14/2010,
tentang: Pendidikan Kedinasan. Namun sekali lagi kedua PP tersebut masih
berbau Privatisasi dan Liberalisasi. Lalu pada tahun 2012 melalui UU No.12
Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi Pemerintah melakukan aspek-aspek
liberalisasi pendidikan melalui kerjasama Internasional pendidikan, otonomi
Perguruan Tinggi, peran serta mayarakat dalam pendanaan Pendidikan Tinggi,
dan pembiyaan Perguruan Tinggi oleh pihak swasta berprinsip nirlaba.
Melalui skripsi ini diharapkan dapat memahami mengenai dampak
Konsensus Washington dan Ratifikasi Indonesia terhadap kebijakan GATS
khususnya terhadap pendidikan di Indonesia yang berawal dari IMF, World Bank,
Konsensus Washington, WTO, dan berakhir di GATS.
71
Daftar Pustaka
Ali, Husein Muhammad. Menyingkap Rahasia Besar dibalik Liberalisasi
Pendidikan. 2012 [diakses 14 jan
2013]http://edukasi.kompasiana.com/2012/11/11/ menyingkap-rahasia-
besar-di-balik-liberalisasi-pendidikan-508235.html
Antisipasi Rencana Ratifikasi GATS, UGM : 2005 di akses
http://www.ugm.ac.id/id/post/page?id=102
Balaam, David N. dan Michael Veseth. Introduction to International Political
Economy 3rd edtion. New Jersey: Pearson Education Inc, 2005.
Bastian, Indra. Model Pengelolaan Privatisasi. Yogyakarta: BPFE, 2000.
Cano, Guiomar Alonso, dkk. (eds.). 2005: kebudayaan Perdagangan dan
Globalisasi: 25 Tanya Jawab. Yogyakarta: Kanisius.
”Current Commitments under the GATS in Educational Services”. OECD/US
Forum on Trade in Educational Services Washington, DC, U.S.A2002
Dwi, Inggried Wedhaswary. Lulus SNMPTN, Kok, Bayarnya Mahal
Juga?.[diakses 15 Juni 2013] http://edukasi.kompas.com
Effendi, Sofian.Didalam Perkara di Mahkamah Konstitusi No. 103/PUU/-
X/2012 tentang Pengujian Undang-undang Republik Indonesia No
12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi terhadap UUD NRI 1945
Efendi, Sofian. GATS: Neo-imprialisme modern dalam Pendidkan. Yogyakarta :
UGM, 2005
Ferdiansyah, R. “Globalisasi dan Kebijakan Ekonomi Indonesia Pasca Orde
Baru : Perspektif Joseph E. Stiglitz” 2011 [di unduh 12 juli 2013]
http://perpus.umy.ac.id/katalog/detail_skripsi.php?what=skripsi&id=2007
000213&recid=3362
―General Agreement on Trade in Services‖, diakses dari
http://www.wto.org/english/docs_e/legal_e/26-gats_01_e.htm pada 1
0ktober 2011 pukul 20.30
Gilpin, Robert. 2001. ―The New Global Economic Order‖, dalam Global Political
Economy: Understanding the International Economic Order, Princeton:
Princeton University Press.
72
Gilpin, Robert. 2001. ―The Nature of Political Economy‖, dalam Global Political
Economy: Understanding the International Economic Order, Princeton:
Princeton University Press.
Gilpin, Robert. 2001. ―The Study of International Political Economy‖, dalam
Global Political Economy: Understanding the International Economic
Order, Princeton: Princeton University .
Hadi, Syamsul.et al. Post Washington Consensus dan Politik Privatisasi di
Indonesia. Jakarta: Margin Kiri, 2007.
Hadi, Syamsul Krisis. Global Rezim Internasional Dan Perdagangan Bebas.
2011. [di unduh 12 juli 2013]http://www.igj.or.id/
Hadi, Syamsul.et al. Strategi Pembangunan Indonesia Pasca IMF. Jakarta:
Granit, 2004.
Hadi, Syamsul et.al. Globalisasi, neoliberalisme, dan pembangunan lokal: studi
tentang Kawasan Ekonomi Khusus. Institute for Global Justice.
Jakarta:2011
Hatta. Perdagangan Internasional dalam Sistem GATT-WTO. Bandung: Refika
Aditama , 2006.
Heywood, Andrew. Politics 2nd edition. New York: Palgrave, 2002.
Husein, Ruslan. Wajah Buruk Dunia Pendidikan. 2008 [di unduh 15 juli
2013]http://putrakeadilan.blogspot.com/2008/10/wajah-buruk-dunia-
pendidikan.html
Humas UGM, Antisipasi Rencana Ratifikasi GATS, UGM : 2005 (diperoleh dari :
http://www.ugm.ac.id/id/post/page?id=102)
IMF. Apakah Dana Moneter Internasional Itu?. Washington DC : 2003[diakses
15Juni 2013]http://www.imf.org/external/pubs/ft/exrp/what/IND/whati.pdf
Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi 4. Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta
: Gramedia, 2008
Knight, Jane. Trade in Higher Education Services: The Implications of GATS.
United Kingdom : International Strategic and service, 2002
Malarangeng, Rizal. Mendobrak Sentralisme: Ekonomi Indonesia 1986-1992,
Jakarta: KPG, 2002.
73
Marshall Reinsdorf and Matthew J. Slaughter . International Trade in Services
and Intangibles in the Era of Globalization . University of Chicago Press
USA : 2009
Mas’oed, Mochtar. Tantangan Internasional Dan Keterbatasan Nasional:
Analisis Ekonomi-Politik Tentang Globalisasi Neoliberal,UGM
“Menko Perekonomian: Pemutusan IMF Mendadak Berisiko Besar” Economy
Tue, 11 Jun 2002 17:38:00 WIB diakses dari
http://cybernews.cbn.net.id/cbprtl/Cybernews/detail.aspx?x=Economy&y=
Cybernews%7C0%7C0%7C3%7C3639
Yogyakarta: 2002
Moleong, Lexy J. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya,
2004.
Nalle , Viktor . ―Mengembalikan Tanggung Jawab Negara dalam Pendidikan:
Kritik Terhadap Liberalisasi Pendidikan dalam UUSISDIKNAS” Jurnal
Konstitusi Volume 8 Nomor 4 Agustus. Jakarta : 2011
Nur, M. Tajudin. “Liberalisasi Pendidikan : Sebuah Wacana Kontroversial”
Jurnal Visi Pendidikan tahun. Jakarta : 2012
Nurdin, ―Pro-Kontra Undang-Undang BHP Dalam Konteks Mutu Pendidikan‖.
Jurnal Administrasi Pendidikan Vol. Ix No. 1 April. Bandung :2009
“Letter of Intent Indonesia and IMF” diperoleh dari
(http://www.imf.org/external/np/loi/1113a98.htm#matrix)
“Letter of Inten Indonesia and IMF” . Jakarta:1998 di akses dari
http://www.imf.org/external/np/loi/103197.htm
Perkin, John. Confessions of an economic hit man: pengakuan seorang ekonom
perusak. Jakarta: Abdi Tandur, 2005.
74
“Peraturan Presiden No.60 Tahun 1999 Tentang Perguruan Tinggi”. Diakses
Melalui(http://www.unsrat.ac.id/files/pdf_file/Aturan%20Pemerintah/pp60
-th1999-usr.pdf)
“Peraturan Presiden No.61 Tahun 1999 Tentang Pendidikan Tinggi”. Diakses
Melalui (http://www.dikti.go.id/files/atur/PP61-1999.pdf)
Purbayanto. Kemana (Arah) Perguruan Tinggi BHMN. Jakarta : 2011 di unduh
dari http://purbayanto.com/cetak.php?id=46
Purba, Raimon Jony. “Neoliberalisme Dan Ekonomi Politik Indonesia Studi
Kasus: Penerapan Kebijakan Privatisasi Pendidikan Di Indonesia” 2008.
2008 [di unduh 12 juli 2013]
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30632/4/Chapter%20I.pdf
Ravenhill, John. ―The Study of Global Political Economy‖, Oxford: Oxford
University Press. 2008
Studi Manajemen Utang Luar Negeri Dan Dalam Negeri Pemerintah Dan
Assessment Terhadap Optimal Borrowing. 2004.) Studi Manajemen Utang
Luar Negeri Dan Dalam Negeri Pemerintah Dan Assessment Terhadap
Optimal Borrowing.2004.
Setiawan, Dani. Liberalisasi Pendidikan dan WTO 2003 [diakses 15 Juni 2013]
http://oc.its.ac.id/ambilfile.php?idp=126
Saprin, The Policy Roots of Economic Crisis and Poverty, the Report of
Structural Adjusment Participatory Review International Network,
London: Zed Books, 2004.
Serra, Narcis dan Joseph E. Stiglitz. The Washington Consensus Reconsidered
Towards a New Global Governance. New York : Oxford university press ,
2008.
Suara Merdeka. Pembatalan UU BHP Munculkan Masalah Baru.[diakses 15 Juni
2013] http://suaramerdeka.com
Stiglitz, Josepth E. Globalization and Its Discontents. London: Penguin Books,
2002.
Stiglitz, Joseph E. Making Globalization Work : Menyiasati Globalisasi Menuju
Dunia Yang Lebih Adil (Hc). Jakarta: Mizan, 2009.
75
Stiglitz, Joseph E. Washington Consensus Arah Menuju Jurang kemiskinan,
INFID, Jakarta, 2002
Tirtosudarmo, Riwanto. Mencari Indonesia: Demografi Politik Pasca
Soeharto. Jakarta: LIPI Press, 2007.
Toemion, Theo F. Uang dan malapetaka dunia hancurnya neokapitalisme dan
neoliberalisme. Jakarta: Verbum Publishing, 2009.
Tajuddin, M. Liberalisasi. Pendidikan: Sebuah Wacana Kontroversial .2010
“Tanya-Jawab Seputar Uu Dikti Nomor 12 Tahun 2012”
oleh Prof. Ir. Nizam, M.Sc., Ph.D. (Sekretaris DPT Ditjen Dikti) diakses
melalui (http://luk.tsipil.ugm.ac.id/atur/UU122012/tanyajawab.html)
T, May Rudy. Hubungan Internasional Kontemporer dan Masalah-Masalah
global. Bandung: PT Refika Aditama, 2003.
“Undang-Undang No.22 Tahun 1961 Tentang Perguruan Tinggi”. Diakses
Melalui (http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_22_1961.htm)
―Undang-Undang No.2 Tahun 1989 Tentang Sisdiknas‖. Diakses Melalui
(http://www.hukumonline.com/pusatdata/downloadfile/lt4c3d44a89102b/p
arent/17215)
“Undang-Undang No.20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas”. Diakses Melalui
(http://riau.kemenag.go.id/file/file/produkhukum/fcpt1328331919.pdf)
“Undang-Undang No.9 Tahun 2009 Tentang Badan Hukum Pendidikan”.
Diakses Melalui
(http://datahukum.pnri.go.id/index.php?option=com_phocadownload&vie
w=category&download=1036:uu9tahun2009&id=21:tahun-
2009&Itemid=27)
Wibowo dan Francis Wahono (ed), Neoliberalisme, Yogyakarta: Cinderalas
Pustaka Cerdas, 2003.
Wiliamson, John. “A Short History of The Washington Consensus” Fundación
CIDOB for a conference. Barcelona, September 24–25, 2004.
Wiliamson, John. The Washington Consensus as Policy Prescription for
Development A lecture in the series "Practitioners of Development"
delivered at the World Bank on January 13, 2004. The author is indebted
to colleagues at the Institute for International Economics
76
Wiliamson, John. The Washington Consensus as Policy Prescription for
Development. January 13, 2004. The author is indebted to colleagues
at the Institute for International Economics
Wahab, Rochmat. Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PT-BHMN)
Ditinjau Dari Perspektif Filosofis Dan Sosiologis. Jakarta, 2004
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 12 TAHUN 2012
TENTANG
PENDIDIKAN TINGGI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan kepada
Pemerintah untuk mengusahakan dan
menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional
yang meningkatkan keimanan, ketakwaan kepada
Tuhan Yang Maha Esa, dan akhlak mulia dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa serta
memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan
menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan
bangsa untuk kemajuan peradaban serta
kesejahteraan umat manusia;
b. bahwa pendidikan tinggi sebagai bagian dari sistem
pendidikan nasional memiliki peran strategis dalam
mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan
ilmu pengetahuan dan teknologi dengan
memperhatikan dan menerapkan nilai humaniora
serta pembudayaan dan pemberdayaan bangsa
Indonesia yang berkelanjutan;
c. bahwa untuk meningkatkan daya saing bangsa dalam
menghadapi globalisasi di segala bidang, diperlukan
pendidikan tinggi yang mampu mengembangkan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta menghasilkan
intelektual, ilmuwan, dan/atau profesional yang
berbudaya dan kreatif, toleran, demokratis,
berkarakter tangguh, serta berani membela
kebenaran untuk kepentingan bangsa;
d. bahwa . . .
- 2 -
d. bahwa untuk mewujudkan keterjangkauan dan
pemerataan yang berkeadilan dalam memperoleh
pendidikan tinggi yang bermutu dan relevan dengan
kepentingan masyarakat bagi kemajuan,
kemandirian, dan kesejahteraan, diperlukan
penataan pendidikan tinggi secara terencana, terarah,
dan berkelanjutan dengan memperhatikan aspek
demografis dan geografis;
e. bahwa untuk menjamin penyelenggaraan pendidikan
tinggi diperlukan pengaturan sebagai dasar dan
kepastian hukum;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d,
dan huruf e perlu membentuk Undang-Undang
tentang Pendidikan Tinggi;
Mengingat : Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 31 Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PENDIDIKAN TINGGI.
BAB I . . .
- 3 -
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,
bangsa, dan negara.
2. Pendidikan Tinggi adalah jenjang pendidikan setelah
pendidikan menengah yang mencakup program
diploma, program sarjana, program magister,
program doktor, dan program profesi, serta program
spesialis, yang diselenggarakan oleh perguruan
tinggi berdasarkan kebudayaan bangsa Indonesia.
3. Ilmu Pengetahuan adalah rangkaian pengetahuan
yang digali, disusun, dan dikembangkan secara
sistematis dengan menggunakan pendekatan
tertentu, yang dilandasi oleh metodologi ilmiah
untuk menerangkan gejala alam dan/atau
kemasyarakatan tertentu.
4. Teknologi adalah penerapan dan pemanfaatan
berbagai cabang Ilmu Pengetahuan yang
menghasilkan nilai bagi pemenuhan kebutuhan dan
kelangsungan hidup, serta peningkatan mutu
kehidupan manusia.
5. Humaniora adalah disiplin akademik yang mengkaji
nilai intrinsik kemanusiaan.
6. Perguruan . . .
- 4 -
6. Perguruan Tinggi adalah satuan pendidikan yang
menyelenggarakan Pendidikan Tinggi.
7. Perguruan Tinggi Negeri yang selanjutnya disingkat
PTN adalah Perguruan Tinggi yang didirikan
dan/atau diselenggarakan oleh Pemerintah.
8. Perguruan Tinggi Swasta yang selanjutnya disingkat
PTS adalah Perguruan Tinggi yang didirikan
dan/atau diselenggarakan oleh masyarakat.
9. Tridharma Perguruan Tinggi yang selanjutnya
disebut Tridharma adalah kewajiban Perguruan
Tinggi untuk menyelenggarakan Pendidikan,
penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
10. Penelitian adalah kegiatan yang dilakukan menurut
kaidah dan metode ilmiah secara sistematis untuk
memperoleh informasi, data, dan keterangan yang
berkaitan dengan pemahaman dan/atau pengujian
suatu cabang ilmu pengetahuan dan teknologi.
11. Pengabdian kepada Masyarakat adalah kegiatan
sivitas akademika yang memanfaatkan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi untuk memajukan
kesejahteraan masyarakat dan mencerdaskan
kehidupan bangsa.
12. Pembelajaran adalah proses interaksi mahasiswa
dengan dosen dan sumber belajar pada suatu
lingkungan belajar.
13. Sivitas Akademika adalah masyarakat akademik
yang terdiri atas dosen dan mahasiswa.
14. Dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan
dengan tugas utama mentransformasikan,
mengembangkan, dan menyebarluaskan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi melalui Pendidikan,
Penelitian, dan Pengabdian kepada Masyarakat.
15. Mahasiswa . . .
- 5 -
15. Mahasiswa adalah peserta didik pada jenjang
Pendidikan Tinggi.
16. Masyarakat adalah kelompok warga negara
Indonesia nonpemerintah yang mempunyai
perhatian dan peranan dalam bidang Pendidikan
Tinggi.
17. Program Studi adalah kesatuan kegiatan Pendidikan
dan pembelajaran yang memiliki kurikulum dan
metode pembelajaran tertentu dalam satu jenis
pendidikan akademik, pendidikan profesi, dan/atau
pendidikan vokasi.
18. Standar Nasional Pendidikan Tinggi adalah satuan
standar yang meliputi standar nasional pendidikan,
ditambah dengan standar penelitian, dan standar
pengabdian kepada masyarakat.
19. Pemerintah pusat, selanjutnya disebut Pemerintah,
adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang
kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
20. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau
walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah.
21. Kementerian adalah perangkat pemerintah yang
membidangi urusan pemerintahan di bidang
pendidikan.
22. Kementerian lain adalah perangkat pemerintah yang
membidangi urusan pemerintahan di luar bidang
pendidikan.
23. Lembaga Pemerintah Nonkementerian yang
selanjutnya disingkat LPNK adalah lembaga
pemerintah pusat yang melaksanakan tugas
pemerintahan tertentu.
24. Menteri . . .
- 6 -
24. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang pendidikan.
Pasal 2
Pendidikan Tinggi berdasarkan Pancasila, Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka
Tunggal Ika.
Pasal 3
Pendidikan Tinggi berasaskan:
a. kebenaran ilmiah;
b. penalaran;
c. kejujuran;
d. keadilan;
e. manfaat;
f. kebajikan;
g. tanggung jawab;
h. kebhinnekaan; dan
i. keterjangkauan.
Pasal 4
Pendidikan Tinggi berfungsi:
a. mengembangkan kemampuan dan membentuk watak
serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa;
b. mengembangkan Sivitas Akademika yang inovatif,
responsif, kreatif, terampil, berdaya saing, dan
kooperatif melalui pelaksanaan Tridharma; dan
c. mengembangkan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
dengan memperhatikan dan menerapkan nilai
Humaniora.
Pasal 5 . . .
- 7 -
Pasal 5
Pendidikan Tinggi bertujuan:
a. berkembangnya potensi Mahasiswa agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, terampil, kompeten, dan
berbudaya untuk kepentingan bangsa;
b. dihasilkannya lulusan yang menguasai cabang Ilmu
Pengetahuan dan/atau Teknologi untuk memenuhi
kepentingan nasional dan peningkatan daya saing
bangsa;
c. dihasilkannya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
melalui Penelitian yang memperhatikan dan
menerapkan nilai Humaniora agar bermanfaat bagi
kemajuan bangsa, serta kemajuan peradaban dan
kesejahteraan umat manusia; dan
d. terwujudnya Pengabdian kepada Masyarakat berbasis
penalaran dan karya Penelitian yang bermanfaat
dalam memajukan kesejahteraan umum dan
mencerdaskan kehidupan bangsa.
BAB II
PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN TINGGI
Bagian Kesatu
Prinsip dan Tanggung Jawab Penyelenggaraan
Pendidikan Tinggi
Pasal 6
Pendidikan Tinggi diselenggarakan dengan prinsip:
a. pencarian kebenaran ilmiah oleh Sivitas Akademika;
b. demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif
dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai
agama, nilai budaya, kemajemukan, persatuan, dan
kesatuan bangsa;
c. pengembangan . . .
- 8 -
c. pengembangan budaya akademik dan pembudayaan
kegiatan baca tulis bagi Sivitas Akademika;
d. pembudayaan dan pemberdayaan bangsa yang
berlangsung sepanjang hayat;
e. keteladanan, kemauan, dan pengembangan kreativitas
Mahasiswa dalam pembelajaran;
f. pembelajaran yang berpusat pada Mahasiswa dengan
memperhatikan lingkungan secara selaras dan
seimbang;
g. kebebasan dalam memilih Program Studi berdasarkan
minat, bakat, dan kemampuan Mahasiswa;
h. satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka
dan multimakna;
i. keberpihakan pada kelompok Masyarakat kurang
mampu secara ekonomi; dan
j. pemberdayaan semua komponen Masyarakat melalui
peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian
mutu layanan Pendidikan Tinggi.
Pasal 7
(1) Menteri bertanggung jawab atas penyelenggaraan
Pendidikan Tinggi.
(2) Tanggung jawab Menteri atas penyelenggaraan
Pendidikan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) mencakup pengaturan, perencanaan, pengawasan,
pemantauan, dan evaluasi serta pembinaan dan
koordinasi.
(3) Tugas dan wewenang Menteri atas penyelenggaraan
Pendidikan Tinggi meliputi:
a. kebijakan umum dalam pengembangan dan
koordinasi Pendidikan Tinggi sebagai bagian dari
sistem pendidikan nasional untuk mewujudkan
tujuan Pendidikan Tinggi;
b. penetapan . . .
- 9 -
b. penetapan kebijakan umum nasional dan
penyusunan rencana pengembangan jangka
panjang, menengah, dan tahunan Pendidikan
Tinggi yang berkelanjutan;
c. peningkatan penjaminan mutu, relevansi,
keterjangkauan, pemerataan yang berkeadilan, dan
akses Pendidikan Tinggi secara berkelanjutan;
d. pemantapan dan peningkatan kapasitas
pengelolaan akademik dan pengelolaan sumber
daya Perguruan Tinggi;
e. pemberian dan pencabutan izin yang berkaitan
dengan penyelenggaraan Perguruan Tinggi kecuali
pendidikan tinggi keagamaan;
f. kebijakan umum dalam penghimpunan dan
pendayagunaan seluruh potensi masyarakat untuk
mengembangkan Pendidikan Tinggi;
g. pembentukan dewan, majelis, komisi, dan/atau
konsorsium yang melibatkan Masyarakat untuk
merumuskan kebijakan pengembangan Pendidikan
Tinggi; dan
h. pelaksanaan tugas lain untuk menjamin
pengembangan dan pencapaian tujuan Pendidikan
Tinggi.
(4) Dalam hal penyelenggaraan pendidikan tinggi
keagamaan, tanggung jawab, tugas, dan wewenang
dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang agama.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab
Menteri atas penyelenggaraan Pendidikan Tinggi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tugas dan
wewenang Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua . . .
- 10 -
Bagian Kedua
Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Paragraf 1
Kebebasan Akademik, Kebebasan Mimbar Akademik, dan
Otonomi Keilmuan
Pasal 8
(1) Dalam penyelenggaraan Pendidikan dan
pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
berlaku kebebasan akademik, kebebasan mimbar
akademik, dan otonomi keilmuan.
(2) Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
Sivitas Akademika melalui pembelajaran dan/atau
penelitian ilmiah dengan menjunjung tinggi nilai-nilai
agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan
peradaban dan kesejahteraan umat manusia.
(3) Pelaksanaan kebebasan akademik, kebebasan
mimbar akademik, dan otonomi keilmuan di
Perguruan Tinggi merupakan tanggung jawab pribadi
Sivitas Akademika, yang wajib dilindungi dan
difasilitasi oleh pimpinan Perguruan Tinggi.
Pasal 9
(1) Kebebasan akademik sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (1) merupakan kebebasan Sivitas
Akademika dalam Pendidikan Tinggi untuk
mendalami dan mengembangkan Ilmu Pengetahuan
dan Teknologi secara bertanggung jawab melalui
pelaksanaan Tridharma.
(2) Kebebasan . . .
- 11 -
(2) Kebebasan mimbar akademik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (1) merupakan wewenang profesor
dan/atau Dosen yang memiliki otoritas dan wibawa
ilmiah untuk menyatakan secara terbuka dan
bertanggung jawab mengenai sesuatu yang berkenaan
dengan rumpun ilmu dan cabang ilmunya.
(3) Otonomi keilmuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (1) merupakan otonomi Sivitas
Akademika pada suatu cabang Ilmu Pengetahuan
dan/atau Teknologi dalam menemukan,
mengembangkan, mengungkapkan, dan/atau
mempertahankan kebenaran ilmiah menurut kaidah,
metode keilmuan, dan budaya akademik.
Paragraf 2
Rumpun Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Pasal 10
(1) Rumpun Ilmu Pengetahuan dan Teknologi merupakan
kumpulan sejumlah pohon, cabang, dan ranting Ilmu
Pengetahuan yang disusun secara sistematis.
(2) Rumpun Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. rumpun ilmu agama;
b. rumpun ilmu humaniora;
c. rumpun ilmu sosial;
d. rumpun ilmu alam;
e. rumpun ilmu formal; dan
f. rumpun ilmu terapan.
(3) Rumpun Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
ditransformasikan, dikembangkan, dan/atau
disebarluaskan oleh Sivitas Akademika melalui
Tridharma.
Paragraf 3 . . .
- 12 -
Paragraf 3
Sivitas Akademika
Pasal 11
(1) Sivitas Akademika merupakan komunitas yang
memiliki tradisi ilmiah dengan mengembangkan
budaya akademik.
(2) Budaya akademik sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) merupakan seluruh sistem nilai, gagasan,
norma, tindakan, dan karya yang bersumber dari
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi sesuai dengan asas
Pendidikan Tinggi.
(3) Pengembangan budaya akademik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan interaksi
sosial tanpa membedakan suku, agama, ras,
antargolongan, jenis kelamin, kedudukan sosial,
tingkat kemampuan ekonomi, dan aliran politik.
(4) Interaksi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dilakukan dalam pembelajaran, pencarian kebenaran
ilmiah, penguasaan dan/atau pengembangan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi serta pengembangan
Perguruan Tinggi sebagai lembaga ilmiah.
(5) Sivitas Akademika berkewajiban memelihara dan
mengembangkan budaya akademik dengan
memperlakukan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
sebagai proses dan produk serta sebagai amal dan
paradigma moral.
Pasal 12
(1) Dosen sebagai anggota Sivitas Akademika memiliki
tugas mentransformasikan Ilmu Pengetahuan
dan/atau Teknologi yang dikuasainya kepada
Mahasiswa dengan mewujudkan suasana belajar dan
pembelajaran sehingga Mahasiswa aktif
mengembangkan potensinya.
(2) Dosen . . .
- 13 -
(2) Dosen sebagai ilmuwan memiliki tugas
mengembangkan suatu cabang Ilmu Pengetahuan
dan/atau Teknologi melalui penalaran dan penelitian
ilmiah serta menyebarluaskannya.
(3) Dosen secara perseorangan atau berkelompok wajib
menulis buku ajar atau buku teks, yang diterbitkan
oleh Perguruan Tinggi dan/atau publikasi ilmiah
sebagai salah satu sumber belajar dan untuk
pengembangan budaya akademik serta pembudayaan
kegiatan baca tulis bagi Sivitas Akademika.
Pasal 13
(1) Mahasiswa sebagai anggota Sivitas Akademika
diposisikan sebagai insan dewasa yang memiliki
kesadaran sendiri dalam mengembangkan potensi diri
di Perguruan Tinggi untuk menjadi intelektual,
ilmuwan, praktisi, dan/atau profesional.
(2) Mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
secara aktif mengembangkan potensinya dengan
melakukan pembelajaran, pencarian kebenaran
ilmiah, dan/atau penguasaan, pengembangan, dan
pengamalan suatu cabang Ilmu Pengetahuan
dan/atau Teknologi untuk menjadi ilmuwan,
intelektual, praktisi, dan/atau profesional yang
berbudaya.
(3) Mahasiswa memiliki kebebasan akademik dengan
mengutamakan penalaran dan akhlak mulia serta
bertanggung jawab sesuai dengan budaya akademik.
(4) Mahasiswa berhak mendapatkan layanan Pendidikan
sesuai dengan bakat, minat, potensi, dan
kemampuannya.
(5) Mahasiswa dapat menyelesaikan program Pendidikan
sesuai dengan kecepatan belajar masing-masing dan
tidak melebihi ketentuan batas waktu yang
ditetapkan oleh Perguruan Tinggi.
(6) Mahasiswa . . .
- 14 -
(6) Mahasiswa berkewajiban menjaga etika dan menaati
norma Pendidikan Tinggi untuk menjamin
terlaksananya Tridharma dan pengembangan budaya
akademik.
Pasal 14
(1) Mahasiswa mengembangkan bakat, minat, dan
kemampuan dirinya melalui kegiatan kokurikuler dan
ekstrakurikuler sebagai bagian dari proses
Pendidikan.
(2) Kegiatan kokurikuler dan ekstrakurikuler
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilaksanakan melalui organisasi kemahasiswaan.
(3) Ketentuan lain mengenai kegiatan kokurikuler dan
ekstrakurikuler sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dalam statuta Perguruan Tinggi.
Bagian Ketiga
Jenis Pendidikan Tinggi
Paragraf 1
Pendidikan Akademik
Pasal 15
(1) Pendidikan akademik merupakan Pendidikan Tinggi
program sarjana dan/atau program pascasarjana
yang diarahkan pada penguasaan dan pengembangan
cabang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
(2) Pembinaan, koordinasi, dan pengawasan pendidikan
akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berada dalam tanggung jawab Kementerian.
Paragraf 2 . . .
- 15 -
Paragraf 2
Pendidikan Vokasi
Pasal 16
(1) Pendidikan vokasi merupakan Pendidikan Tinggi
program diploma yang menyiapkan Mahasiswa untuk
pekerjaan dengan keahlian terapan tertentu sampai
program sarjana terapan.
(2) Pendidikan vokasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat dikembangkan oleh Pemerintah sampai
program magister terapan atau program doktor
terapan.
(3) Pembinaan, koordinasi, dan pengawasan pendidikan
vokasi berada dalam tanggung jawab Kementerian.
Paragraf 3
Pendidikan Profesi
Pasal 17
(1) Pendidikan profesi merupakan Pendidikan Tinggi
setelah program sarjana yang menyiapkan Mahasiswa
dalam pekerjaan yang memerlukan persyaratan
keahlian khusus.
(2) Pendidikan profesi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi
dan bekerja sama dengan Kementerian, Kementerian
lain, LPNK, dan/atau organisasi profesi yang
bertanggung jawab atas mutu layanan profesi.
Bagian Keempat . . .
- 16 -
Bagian Keempat
Program Pendidikan Tinggi
Paragraf 1
Program Sarjana, Program Magister, dan Program Doktor
Pasal 18
(1) Program sarjana merupakan pendidikan akademik
yang diperuntukkan bagi lulusan pendidikan
menengah atau sederajat sehingga mampu
mengamalkan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
melalui penalaran ilmiah.
(2) Program sarjana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menyiapkan Mahasiswa menjadi intelektual dan/atau
ilmuwan yang berbudaya, mampu memasuki
dan/atau menciptakan lapangan kerja, serta mampu
mengembangkan diri menjadi profesional.
(3) Program sarjana wajib memiliki Dosen yang
berkualifikasi akademik minimum lulusan program
magister atau sederajat.
(4) Lulusan program sarjana berhak menggunakan gelar
sarjana.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai program sarjana
diatur dalam Peraturan Menteri.
Pasal 19
(1) Program magister merupakan pendidikan akademik
yang diperuntukkan bagi lulusan program sarjana
atau sederajat sehingga mampu mengamalkan dan
mengembangkan Ilmu Pengetahuan dan/atau
Teknologi melalui penalaran dan penelitian ilmiah.
(2) Program . . .
- 17 -
(2) Program magister sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) mengembangkan Mahasiswa menjadi
intelektual, ilmuwan yang berbudaya, mampu
memasuki dan/atau menciptakan lapangan kerja
serta mengembangkan diri menjadi profesional.
(3) Program magister wajib memiliki Dosen yang
berkualifikasi akademik lulusan program doktor atau
yang sederajat.
(4) Lulusan program magister berhak menggunakan gelar
magister.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai program magister
diatur dalam Peraturan Menteri.
Pasal 20
(1) Program doktor merupakan pendidikan akademik
yang diperuntukkan bagi lulusan program magister
atau sederajat sehingga mampu menemukan,
menciptakan, dan/atau memberikan kontribusi
kepada pengembangan, serta pengamalan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi melalui penalaran dan
penelitian ilmiah.
(2) Program doktor sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengembangkan dan memantapkan Mahasiswa
untuk menjadi lebih bijaksana dengan meningkatkan
kemampuan dan kemandirian sebagai filosof
dan/atau intelektual, ilmuwan yang berbudaya dan
menghasilkan dan/atau mengembangkan teori
melalui Penelitian yang komprehensif dan akurat
untuk memajukan peradaban manusia.
(3) Program doktor wajib memiliki Dosen yang
berkualifikasi akademik lulusan program doktor atau
yang sederajat.
(4) Lulusan . . .
- 18 -
(4) Lulusan program doktor berhak menggunakan gelar
doktor.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai program doktor
diatur dalam Peraturan Menteri.
Paragraf 2
Program Diploma, Magister Terapan, dan Doktor Terapan
Pasal 21
(1) Program diploma merupakan pendidikan vokasi yang
diperuntukkan bagi lulusan pendidikan menengah
atau sederajat untuk mengembangkan keterampilan
dan penalaran dalam penerapan Ilmu Pengetahuan
dan/atau Teknologi.
(2) Program diploma sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) menyiapkan Mahasiswa menjadi praktisi yang
terampil untuk memasuki dunia kerja sesuai dengan
bidang keahliannya.
(3) Program diploma sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) terdiri atas program:
a. diploma satu;
b. diploma dua;
c. diploma tiga; dan
d. diploma empat atau sarjana terapan.
(4) Program diploma sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) wajib memiliki Dosen yang berkualifikasi
akademik minimum lulusan program magister atau
sederajat.
(5) Pada program diploma satu sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) huruf a dan program diploma dua
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dapat
menggunakan instruktur yang berkualifikasi
akademik minimum lulusan diploma tiga atau
sederajat yang memiliki pengalaman.
(6) Lulusan . . .
- 19 -
(6) Lulusan program diploma berhak menggunakan gelar
ahli atau sarjana terapan.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai program diploma
diatur dalam Peraturan Menteri.
Pasal 22
(1) Program magister terapan merupakan kelanjutan
pendidikan vokasi yang diperuntukkan bagi lulusan
program sarjana terapan atau sederajat untuk
mampu mengembangkan dan mengamalkan
penerapan Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi
melalui penalaran dan penelitian ilmiah.
(2) Program magister terapan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) mengembangkan Mahasiswa menjadi
ahli yang memiliki kapasitas tinggi dalam penerapan
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi pada profesinya.
(3) Program magister terapan wajib memiliki Dosen yang
berkualifikasi akademik lulusan program doktor atau
yang sederajat.
(4) Lulusan program magister terapan berhak
menggunakan gelar magister terapan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai program magister
terapan diatur dalam Peraturan Menteri.
Pasal 23
(1) Program doktor terapan merupakan kelanjutan bagi
lulusan program magister terapan atau sederajat
untuk mampu menemukan, menciptakan, dan/atau
memberikan kontribusi bagi penerapan,
pengembangan, serta pengamalan Ilmu Pengetahuan
dan Teknologi melalui penalaran dan penelitian
ilmiah.
(2) Program . . .
- 20 -
(2) Program doktor terapan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) mengembangkan dan memantapkan
Mahasiswa untuk menjadi lebih bijaksana dengan
meningkatkan kemampuan dan kemandirian sebagai
ahli dan menghasilkan serta mengembangkan
penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi melalui
penelitian yang komprehensif dan akurat dalam
memajukan peradaban dan kesejahteraan manusia.
(3) Program doktor terapan wajib memiliki Dosen yang
berkualifikasi akademik lulusan program doktor atau
yang sederajat.
(4) Lulusan program doktor terapan berhak
menggunakan gelar doktor terapan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai program doktor
terapan diatur dalam Peraturan Menteri.
Paragraf 3
Program Profesi dan Program Spesialis
Pasal 24
(1) Program profesi merupakan pendidikan keahlian
khusus yang diperuntukkan bagi lulusan program
sarjana atau sederajat untuk mengembangkan bakat
dan kemampuan memperoleh kecakapan yang
diperlukan dalam dunia kerja.
(2) Program profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi yang
bekerja sama dengan Kementerian, Kementerian lain,
LPNK, dan/atau organisasi profesi yang bertanggung
jawab atas mutu layanan profesi.
(3) Program profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
menyiapkan profesional.
(4) Program . . .
- 21 -
(4) Program profesi wajib memiliki Dosen yang
berkualifikasi akademik minimum lulusan program
profesi dan/atau lulusan program magister atau yang
sederajat dengan pengalaman kerja paling singkat
2 (dua) tahun.
(5) Lulusan program profesi berhak menggunakan gelar
profesi.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai program profesi
diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 25
(1) Program spesialis merupakan pendidikan keahlian
lanjutan yang dapat bertingkat dan diperuntukkan
bagi lulusan program profesi yang telah
berpengalaman sebagai profesional untuk
mengembangkan bakat dan kemampuannya menjadi
spesialis.
(2) Program spesialis sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi
bekerja sama dengan Kementerian, Kementerian lain,
LPNK dan/atau organisasi profesi yang bertanggung
jawab atas mutu layanan profesi.
(3) Program spesialis sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) meningkatkan kemampuan spesialisasi dalam
cabang ilmu tertentu.
(4) Program spesialis wajib memiliki Dosen yang
berkualifikasi akademik minimum lulusan program
spesialis dan/atau lulusan program doktor atau yang
sederajat dengan pengalaman kerja paling singkat
2 (dua) tahun.
(5) Lulusan program spesialis berhak menggunakan gelar
spesialis.
(6) Ketentuan . . .
- 22 -
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai program spesialis
diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Paragraf 4
Gelar Akademik, Gelar Vokasi, dan Gelar Profesi
Pasal 26
(1) Gelar akademik diberikan oleh Perguruan Tinggi yang
menyelenggarakan pendidikan akademik.
(2) Gelar akademik terdiri atas:
a. sarjana;
b. magister; dan
c. doktor.
(3) Gelar vokasi diberikan oleh Perguruan Tinggi yang
menyelenggarakan pendidikan vokasi.
(4) Gelar vokasi terdiri atas:
a. ahli pratama;
b. ahli muda;
c. ahli madya;
d. sarjana terapan;
e. magister terapan; dan
f. doktor terapan.
(5) Gelar profesi diberikan oleh Perguruan Tinggi yang
menyelenggarakan pendidikan profesi.
(6) Gelar profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
ditetapkan oleh Perguruan Tinggi bersama dengan
Kementerian, Kementerian lain, LPNK dan/atau
organisasi profesi yang bertanggung jawab terhadap
mutu layanan profesi.
(7) Gelar profesi terdiri atas:
a. profesi; dan
b. spesialis.
(8) Ketentuan . . .
- 23 -
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai gelar akademik,
gelar vokasi, atau gelar profesi diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
Pasal 27
(1) Selain gelar doktor sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 26 ayat (2) huruf c, Perguruan Tinggi yang
memiliki program doktor berhak memberikan gelar
doktor kehormatan kepada perseorangan yang layak
memperoleh penghargaan berkenaan dengan jasa-
jasa yang luar biasa dalam Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi dan/atau berjasa dalam bidang
kemanusiaan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai gelar doktor
kehormatan diatur dalam Peraturan Menteri.
Pasal 28
(1) Gelar akademik, gelar vokasi, atau gelar profesi hanya
digunakan oleh lulusan dari Perguruan Tinggi yang
dinyatakan berhak memberikan gelar akademik, gelar
vokasi, atau gelar profesi.
(2) Gelar akademik, gelar vokasi, atau gelar profesi hanya
dibenarkan dalam bentuk dan inisial atau singkatan
yang diterima dari Perguruan Tinggi.
(3) Gelar akademik dan gelar vokasi dinyatakan tidak sah
dan dicabut oleh Menteri apabila dikeluarkan oleh:
a. Perguruan Tinggi dan/atau Program Studi yang
tidak terakreditasi; dan/atau
b. perseorangan, organisasi, atau penyelenggara
Pendidikan Tinggi yang tanpa hak mengeluarkan
gelar akademik dan gelar vokasi.
(4) Gelar profesi dinyatakan tidak sah dan dicabut oleh
Menteri apabila dikeluarkan oleh:
a. Perguruan . . .
- 24 -
a. Perguruan Tinggi dan/atau Program Studi yang
tidak terakreditasi; dan/atau
b. perseorangan, organisasi, atau lembaga lain yang
tanpa hak mengeluarkan gelar profesi.
(5) Gelar akademik, gelar vokasi, atau gelar profesi
dinyatakan tidak sah dan dicabut oleh Perguruan
Tinggi apabila karya ilmiah yang digunakan untuk
memperoleh gelar akademik, gelar vokasi, atau gelar
profesi terbukti merupakan hasil jiplakan atau
plagiat.
(6) Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara
Pendidikan Tinggi yang tanpa hak dilarang
memberikan gelar akademik, gelar vokasi, atau gelar
profesi.
(7) Perseorangan yang tanpa hak dilarang menggunakan
gelar akademik, gelar vokasi, dan/atau gelar profesi.
Bagian Kelima
Kerangka Kualifikasi Nasional
Pasal 29
(1) Kerangka Kualifikasi Nasional merupakan
penjenjangan capaian pembelajaran yang
menyetarakan luaran bidang pendidikan formal,
nonformal, informal, atau pengalaman kerja dalam
rangka pengakuan kompetensi kerja sesuai dengan
struktur pekerjaan diberbagai sektor.
(2) Kerangka Kualifikasi Nasional sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) menjadi acuan pokok dalam penetapan
kompetensi lulusan pendidikan akademik, pendidikan
vokasi, dan pendidikan profesi.
(3) Penetapan kompetensi lulusan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Menteri.
Bagian Keenam . . .
- 25 -
Bagian Keenam
Pendidikan Tinggi Keagamaan
Pasal 30
(1) Pemerintah atau Masyarakat dapat
menyelenggarakan pendidikan tinggi keagamaan.
(2) Pendidikan tinggi keagamaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) berbentuk universitas, institut, sekolah
tinggi, akademi dan dapat berbentuk ma’had aly,
pasraman, seminari, dan bentuk lain yang sejenis.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pendidikan tinggi
keagamaan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketujuh
Pendidikan Jarak Jauh
Pasal 31
(1) Pendidikan jarak jauh merupakan proses belajar
mengajar yang dilakukan secara jarak jauh melalui
penggunaan berbagai media komunikasi.
(2) Pendidikan jarak jauh sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) bertujuan:
a. memberikan layanan Pendidikan Tinggi kepada
kelompok Masyarakat yang tidak dapat mengikuti
Pendidikan secara tatap muka atau reguler; dan
b. memperluas akses serta mempermudah layanan
Pendidikan Tinggi dalam Pendidikan dan
pembelajaran.
(3) Pendidikan jarak jauh diselenggarakan dalam
berbagai bentuk, modus, dan cakupan yang didukung
oleh sarana dan layanan belajar serta sistem
penilaian yang menjamin mutu lulusan sesuai dengan
Standar Nasional Pendidikan Tinggi.
(4) Ketentuan . . .
- 26 -
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan
pendidikan jarak jauh sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dalam Peraturan
Menteri.
Bagian Kedelapan
Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus
Pasal 32
(1) Program Studi dapat dilaksanakan melalui
pendidikan khusus bagi Mahasiswa yang memiliki
tingkat kesulitan dalam mengikuti proses
pembelajaran dan/atau Mahasiswa yang memiliki
potensi kecerdasan dan bakat istimewa.
(2) Selain pendidikan khusus sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) Program Studi juga dapat dilaksanakan
melalui pendidikan layanan khusus dan/atau
pembelajaran layanan khusus.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Program Studi yang
melaksanakan pendidikan khusus sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan pendidikan layanan
khusus dan/atau pembelajaran layanan khusus
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam
Peraturan Menteri.
Bagian Kesembilan
Proses Pendidikan dan Pembelajaran
Paragraf 1
Program Studi
Pasal 33
(1) Program pendidikan dilaksanakan melalui Program
Studi.
(2) Program . . .
- 27 -
(2) Program Studi memiliki kurikulum dan metode
pembelajaran sesuai dengan program Pendidikan.
(3) Program Studi diselenggarakan atas izin Menteri
setelah memenuhi persyaratan minimum akreditasi.
(4) Program Studi dikelola oleh suatu satuan unit
pengelola yang ditetapkan oleh Perguruan Tinggi.
(5) Program Studi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mendapatkan akreditasi pada saat memperoleh izin
penyelenggaraan.
(6) Program Studi wajib diakreditasi ulang pada saat
jangka waktu akreditasinya berakhir.
(7) Program Studi yang tidak diakreditasi ulang
sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat dicabut
izinnya oleh Menteri.
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai metode
pembelajaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
pemberian izin Program Studi sebagaimana dimaksud
pada ayat (3), dan pencabutan izin Program Studi
sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diatur dalam
Peraturan Menteri.
Pasal 34
(1) Program Studi diselenggarakan di kampus utama
Perguruan Tinggi dan/atau dapat diselenggarakan di
luar kampus utama dalam suatu provinsi atau di
provinsi lain melalui kerja sama dengan Perguruan
Tinggi setempat.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan
Program Studi di kampus utama Perguruan Tinggi
dan/atau di luar kampus utama sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan
Menteri.
Paragraf 2 . . .
- 28 -
Paragraf 2
Kurikulum
Pasal 35
(1) Kurikulum pendidikan tinggi merupakan seperangkat
rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan
bahan ajar serta cara yang digunakan sebagai
pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran
untuk mencapai tujuan Pendidikan Tinggi.
(2) Kurikulum Pendidikan Tinggi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dikembangkan oleh setiap Perguruan
Tinggi dengan mengacu pada Standar Nasional
Pendidikan Tinggi untuk setiap Program Studi yang
mencakup pengembangan kecerdasan intelektual,
akhlak mulia, dan keterampilan.
(3) Kurikulum Pendidikan Tinggi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib memuat mata kuliah:
a. agama;
b. Pancasila;
c. kewarganegaraan; dan
d. bahasa Indonesia.
(4) Kurikulum Pendidikan Tinggi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan melalui kegiatan
kurikuler, kokurikuler, dan ekstrakurikuler.
(5) Mata kuliah sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dilaksanakan untuk program sarjana dan program
diploma.
Pasal 36
Kurikulum pendidikan profesi dirumuskan bersama
Kementerian, Kementerian lain, LPNK, dan/atau
organisasi profesi yang bertanggung jawab atas mutu
layanan profesi dengan mengacu pada Standar Nasional
Pendidikan Tinggi.
Paragraf 3 . . .
- 29 -
Paragraf 3
Bahasa Pengantar
Pasal 37
(1) Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara wajib
menjadi bahasa pengantar di Perguruan Tinggi.
(2) Bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa
pengantar dalam program studi bahasa dan sastra
daerah.
(3) Bahasa asing dapat digunakan sebagai bahasa
pengantar di Perguruan Tinggi.
Paragraf 4
Perpindahan dan Penyetaraan
Pasal 38
(1) Perpindahan Mahasiswa dapat dilakukan antar:
a. Program Studi pada program Pendidikan yang
sama;
b. jenis Pendidikan Tinggi; dan/atau
c. Perguruan Tinggi.
(2) Ketentuan mengenai perpindahan Mahasiswa
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Peraturan Menteri.
Pasal 39
(1) Lulusan pendidikan vokasi atau lulusan pendidikan
profesi dapat melanjutkan pendidikannya pada
pendidikan akademik melalui penyetaraan.
(2) Lulusan pendidikan akademik dapat melanjutkan
pendidikannya pada pendidikan vokasi atau
pendidikan profesi melalui penyetaraan.
(3) Ketentuan . . .
- 30 -
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyetaraan lulusan
pendidikan vokasi atau lulusan pendidikan profesi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
penyetaraan lulusan pendidikan akademik
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam
Peraturan Menteri.
Pasal 40
(1) Lulusan Perguruan Tinggi negara lain dapat
mengikuti Pendidikan Tinggi di Indonesia setelah
melalui penyetaraan.
(2) Ketentuan mengenai penyetaraan lulusan Perguruan
Tinggi negara lain sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.
Paragraf 5
Sumber Belajar, Sarana, dan Prasarana
Pasal 41
(1) Sumber belajar pada lingkungan pendidikan tinggi
wajib disediakan, difasilitasi, atau dimiliki oleh
Perguruan Tinggi sesuai dengan Program Studi yang
dikembangkan.
(2) Sumber belajar sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat digunakan secara bersama oleh beberapa
Perguruan Tinggi.
(3) Perguruan Tinggi menyediakan sarana dan prasarana
untuk memenuhi keperluan pendidikan sesuai
dengan bakat, minat, potensi, dan kecerdasan
Mahasiswa.
Paragraf 6 . . .
- 31 -
Paragraf 6
Ijazah
Pasal 42
(1) Ijazah diberikan kepada lulusan pendidikan akademik
dan pendidikan vokasi sebagai pengakuan terhadap
prestasi belajar dan/atau penyelesaian suatu program
studi terakreditasi yang diselenggarakan oleh
Perguruan Tinggi.
(2) Ijazah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diterbitkan oleh Perguruan Tinggi yang memuat
Program Studi dan gelar yang berhak dipakai oleh
lulusan Pendidikan Tinggi.
(3) Lulusan Pendidikan Tinggi yang menggunakan karya
ilmiah untuk memperoleh ijazah dan gelar, yang
terbukti merupakan hasil jiplakan atau plagiat,
ijazahnya dinyatakan tidak sah dan gelarnya dicabut
oleh Perguruan Tinggi.
(4) Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara
Pendidikan Tinggi yang tanpa hak dilarang
memberikan ijazah.
Paragraf 7
Sertifikat Profesi dan Sertifikat Kompetensi
Pasal 43
(1) Sertifikat profesi merupakan pengakuan untuk
melakukan praktik profesi yang diperoleh lulusan
pendidikan profesi yang diselenggarakan oleh
Perguruan Tinggi bekerja sama dengan Kementerian,
Kementerian lain, LPNK, dan/atau organisasi profesi
yang bertanggung jawab atas mutu layanan profesi,
dan/atau badan lain sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) Sertifikat . . .
- 32 -
(2) Sertifikat profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diterbitkan oleh Perguruan Tinggi bersama dengan
Kementerian, Kementerian lain, LPNK, dan/atau
organisasi profesi yang bertanggung jawab terhadap
mutu layanan profesi, dan/atau badan lain sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara
Pendidikan Tinggi yang tanpa hak dilarang
memberikan sertifikat profesi.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikat profesi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
Pasal 44
(1) Sertifikat kompetensi merupakan pengakuan
kompetensi atas prestasi lulusan yang sesuai dengan
keahlian dalam cabang ilmunya dan/atau memiliki
prestasi di luar program studinya.
(2) Serifikat kompetensi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diterbitkan oleh Perguruan Tinggi bekerja
sama dengan organisasi profesi, lembaga pelatihan,
atau lembaga sertifikasi yang terakreditasi kepada
lulusan yang lulus uji kompetensi.
(3) Sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dapat digunakan sebagai syarat untuk
memperoleh pekerjaan tertentu.
(4) Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara
Pendidikan Tinggi yang tanpa hak dilarang
memberikan sertifikat kompetensi.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikat kompetensi
diatur dalam Peraturan Menteri.
Bagian Kesepuluh. . .
- 33 -
Bagian Kesepuluh
Penelitian
Pasal 45
(1) Penelitian di Perguruan Tinggi diarahkan untuk
mengembangkan Ilmu pengetahuan dan Teknologi,
serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan
daya saing bangsa.
(2) Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh Sivitas Akademika sesuai dengan
otonomi keilmuan dan budaya akademik.
(3) Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilaksanakan berdasarkan jalur kompetensi dan
kompetisi.
Pasal 46
(1) Hasil Penelitian bermanfaat untuk:
a. pengayaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi serta
pembelajaran;
b. peningkatan mutu Perguruan Tinggi dan kemajuan
peradaban bangsa;
c. peningkatan kemandirian, kemajuan, dan daya
saing bangsa;
d. pemenuhan kebutuhan strategis pembangunan
nasional; dan
e. perubahan Masyarakat Indonesia menjadi
Masyarakat berbasis pengetahuan.
(2) Hasil Penelitian wajib disebarluaskan dengan cara
diseminarkan, dipublikasikan, dan/atau dipatenkan
oleh Perguruan Tinggi, kecuali hasil Penelitian yang
bersifat rahasia, mengganggu, dan/atau
membahayakan kepentingan umum.
(3) Hasil . . .
- 34 -
(3) Hasil Penelitian Sivitas Akademika yang diterbitkan
dalam jurnal internasional, memperoleh paten yang
dimanfaatkan oleh industri, teknologi tepat guna,
dan/atau buku yang digunakan sebagai sumber
belajar dapat diberi anugerah yang bermakna oleh
Pemerintah.
Bagian Kesebelas
Pengabdian Kepada Masyarakat
Pasal 47
(1) Pengabdian kepada Masyarakat merupakan kegiatan
Sivitas Akademika dalam mengamalkan dan
membudayakan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
untuk memajukan kesejahteraan umum dan
mencerdaskan kehidupan bangsa.
(2) Pengabdian kepada Masyarakat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam berbagai
bentuk kegiatan sesuai dengan budaya akademik,
keahlian, dan/atau otonomi keilmuan Sivitas
Akademika serta kondisi sosial budaya masyarakat.
(3) Hasil Pengabdian kepada Masyarakat digunakan
sebagai proses pengembangan Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi, pengayaan sumber belajar, dan/atau
untuk pembelajaran dan pematangan Sivitas
Akademika.
(4) Pemerintah memberikan penghargaan atas hasil
Pengabdian kepada Masyarakat yang diterbitkan
dalam jurnal internasional, memperoleh paten yang
dimanfaatkan oleh dunia usaha dan dunia industri,
dan/atau teknologi tepat guna.
Bagian Keduabelas . . .
- 35 -
Bagian Keduabelas
Kerja sama Penelitian dan Pengabdian Kepada
Masyarakat
Pasal 48
(1) Perguruan Tinggi berperan aktif menggalang kerja
sama antar Perguruan Tinggi dan antara Perguruan
Tinggi dengan dunia usaha, dunia industri, dan
Masyarakat dalam bidang Penelitian dan Pengabdian
kepada Masyarakat.
(2) Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Masyarakat
mendayagunakan Perguruan Tinggi sebagai pusat
Penelitian atau pengembangan Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi.
(3) Perguruan Tinggi dapat mendayagunakan fasilitas
Penelitian di Kementerian lain dan/atau LPNK.
(4) Pemerintah memfasilitasi kerja sama dan kemitraan
antar Perguruan Tinggi dan antara Perguruan Tinggi
dengan dunia usaha dan dunia industri dalam bidang
Penelitian.
Bagian Ketigabelas
Pelaksanaan Tridharma
Pasal 49
(1) Ruang lingkup, kedalaman, dan kombinasi
pelaksanaan Tridharma dilakukan sesuai dengan
karakteristik dan kebutuhan setiap jenis dan program
Pendidikan Tinggi.
(2) Ketentuan mengenai ruang lingkup, kedalaman, dan
kombinasi pelaksanaan Tridharma sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan
Menteri.
Bagian Keempatbelas . . .
- 36 -
Bagian Keempatbelas
Kerja Sama Internasional Pendidikan Tinggi
Pasal 50
(1) Kerja sama internasional Pendidikan Tinggi
merupakan proses interaksi dalam pengintegrasian
dimensi internasional ke dalam kegiatan akademik
untuk berperan dalam pergaulan internasional tanpa
kehilangan nilai-nilai keindonesiaan.
(2) Kerja sama internasional harus didasarkan pada
prinsip kesetaraan dan saling menghormati dengan
mempromosikan Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan
nilai kemanusiaan yang memberi manfaat bagi
kehidupan manusia.
(3) Kerja sama internasional mencakup bidang
Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian kepada
Masyarakat.
(4) Kerja sama internasional dalam pengembangan
Pendidikan Tinggi dapat dilakukan, antara lain,
melalui:
a. hubungan antara lembaga Pendidikan Tinggi di
Indonesia dan lembaga Pendidikan Tinggi negara
lain dalam kegiatan penyelenggaraan Pendidikan
yang bermutu;
b. pengembangan pusat kajian Indonesia dan budaya
lokal pada Perguruan Tinggi di dalam dan di luar
negeri; dan
c. pembentukan komunitas ilmiah yang mandiri.
(5) Kebijakan nasional mengenai kerja sama
internasional Pendidikan Tinggi ditetapkan dalam
Peraturan Menteri.
BAB III . . .
- 37 -
BAB III
PENJAMINAN MUTU
Bagian Kesatu
Sistem Penjaminan Mutu
Pasal 51
(1) Pendidikan Tinggi yang bermutu merupakan
Pendidikan Tinggi yang menghasilkan lulusan yang
mampu secara aktif mengembangkan potensinya dan
menghasilkan Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi
yang berguna bagi Masyarakat, bangsa, dan negara.
(2) Pemerintah menyelenggarakan sistem penjaminan
mutu Pendidikan Tinggi untuk mendapatkan
Pendidikan bermutu.
Pasal 52
(1) Penjaminan mutu Pendidikan Tinggi merupakan
kegiatan sistemik untuk meningkatkan mutu
Pendidikan Tinggi secara berencana dan
berkelanjutan.
(2) Penjaminan mutu sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan melalui penetapan, pelaksanaan,
evaluasi, pengendalian, dan peningkatan standar
Pendidikan Tinggi.
(3) Menteri menetapkan sistem penjaminan mutu
Pendidikan Tinggi dan Standar Nasional Pendidikan
Tinggi.
(4) Sistem penjaminan mutu Pendidikan Tinggi
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) didasarkan
pada Pangkalan Data Pendidikan Tinggi.
Pasal 53 . . .
- 38 -
Pasal 53
Sistem penjaminan mutu Pendidikan Tinggi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 51 ayat (2) terdiri atas:
a. sistem penjaminan mutu internal yang dikembangkan
oleh Perguruan Tinggi; dan
b. sistem penjaminan mutu eksternal yang dilakukan
melalui akreditasi.
Bagian Kedua
Standar Pendidikan Tinggi
Pasal 54
(1) Standar Pendidikan Tinggi terdiri atas:
a. Standar Nasional Pendidikan Tinggi yang
ditetapkan oleh Menteri atas usul suatu badan
yang bertugas menyusun dan mengembangkan
Standar Nasional Pendidikan Tinggi; dan
b. Standar Pendidikan Tinggi yang ditetapkan oleh
setiap Perguruan Tinggi dengan mengacu pada
Standar Nasional Pendidikan Tinggi.
(2) Standar Nasional Pendidikan Tinggi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan satuan
standar yang meliputi standar nasional pendidikan,
ditambah dengan standar penelitian, dan standar
pengabdian kepada masyarakat.
(3) Standar Nasional Pendidikan Tinggi dikembangkan
dengan memperhatikan kebebasan akademik,
kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan
untuk mencapai tujuan Pendidikan Tinggi.
(4) Standar Pendidikan Tinggi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b terdiri atas sejumlah standar
dalam bidang akademik dan nonakademik yang
melampaui Standar Nasional Pendidikan Tinggi.
(5) Dalam . . .
- 39 -
(5) Dalam mengembangkan Standar Pendidikan Tinggi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
Perguruan Tinggi memiliki keleluasaan mengatur
pemenuhan Standar Nasional Pendidikan Tinggi.
(6) Menteri melakukan evaluasi pelaksanaan Standar
Pendidikan Tinggi secara berkala.
(7) Menteri mengumumkan hasil evaluasi dan penilaian
Standar Pendidikan Tinggi kepada Masyarakat.
(8) Ketentuan mengenai evaluasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (6) diatur dalam Peraturan Menteri.
Bagian Ketiga
Akreditasi
Pasal 55
(1) Akreditasi merupakan kegiatan penilaian sesuai
dengan kriteria yang telah ditetapkan berdasarkan
Standar Nasional Pendidikan Tinggi.
(2) Akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan untuk menentukan kelayakan Program
Studi dan Perguruan Tinggi atas dasar kriteria yang
mengacu pada Standar Nasional Pendidikan Tinggi.
(3) Pemerintah membentuk Badan Akreditasi Nasional
Perguruan Tinggi untuk mengembangkan sistem
akreditasi.
(4) Akreditasi Perguruan Tinggi dilakukan oleh Badan
Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi.
(5) Akreditasi Program Studi sebagai bentuk
akuntabilitas publik dilakukan oleh lembaga
akreditasi mandiri.
(6) Lembaga akreditasi mandiri sebagaimana dimaksud
pada ayat (5) merupakan lembaga mandiri bentukan
Pemerintah atau lembaga mandiri bentukan
Masyarakat yang diakui oleh Pemerintah atas
rekomendasi Badan Akreditasi Nasional Perguruan
Tinggi.
(7) Lembaga . . .
- 40 -
(7) Lembaga akreditasi mandiri sebagaimana dimaksud
pada ayat (6) dibentuk berdasarkan rumpun ilmu
dan/atau cabang ilmu serta dapat berdasarkan
kewilayahan.
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai akreditasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Badan
Akreditasi Nasional Pendidikan Tinggi sebagaimana
dimaksud pada ayat (4), dan lembaga akreditasi
mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur
dalam Peraturan Menteri.
Bagian Keempat
Pangkalan Data Pendidikan Tinggi
Pasal 56
(1) Pangkalan Data Pendidikan Tinggi merupakan
kumpulan data penyelenggaraan Pendidikan Tinggi
seluruh Perguruan Tinggi yang terintegrasi secara
nasional.
(2) Pangkalan Data Pendidikan Tinggi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berfungsi sebagai sumber
informasi bagi:
a. lembaga akreditasi, untuk melakukan akreditasi
Program Studi dan Perguruan Tinggi;
b. Pemerintah, untuk melakukan pengaturan,
perencanaan, pengawasan, pemantauan, dan
evaluasi serta pembinaan dan koordinasi Program
Studi dan Perguruan Tinggi; dan
c. Masyarakat, untuk mengetahui kinerja Program
Studi dan Perguruan Tinggi.
(3) Pangkalan Data Pendidikan Tinggi dikembangkan dan
dikelola oleh Kementerian atau dikelola oleh lembaga
yang ditunjuk oleh Kementerian.
(4) Penyelenggara . . .
- 41 -
(4) Penyelenggara Perguruan Tinggi wajib menyampaikan
data dan informasi penyelenggaraan Perguruan Tinggi
serta memastikan kebenaran dan ketepatannya.
Bagian Kelima
Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi
Pasal 57
(1) Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi merupakan
satuan kerja Pemerintah di wilayah yang berfungsi
membantu peningkatan mutu penyelenggaraan
Pendidikan Tinggi.
(2) Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dibentuk oleh Menteri.
(3) Menteri menetapkan tugas dan fungsi lembaga
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan
kebutuhan.
(4) Menteri secara berkala mengevaluasi kinerja lembaga
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
BAB IV
PERGURUAN TINGGI
Bagian Kesatu
Fungsi dan Peran Perguruan Tinggi
Pasal 58
(1) Perguruan Tinggi melaksanakan fungsi dan peran
sebagai:
a. wadah pembelajaran Mahasiswa dan Masyarakat;
b. wadah pendidikan calon pemimpin bangsa;
c. pusat . . .
- 42 -
c. pusat pengembangan Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi;
d. pusat kajian kebajikan dan kekuatan moral untuk
mencari dan menemukan kebenaran; dan
e. pusat pengembangan peradaban bangsa.
(2) Fungsi dan peran Perguruan Tinggi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui
kegiatan Tridharma yang ditetapkan dalam statuta
Perguruan Tinggi.
Bagian Kedua
Bentuk Perguruan Tinggi
Pasal 59
(1) Bentuk Perguruan Tinggi terdiri atas:
a. universitas;
b. institut;
c. sekolah tinggi;
d. politeknik;
e. akademi; dan
f. akademi komunitas.
(2) Universitas merupakan Perguruan Tinggi yang
menyelenggarakan pendidikan akademik dan dapat
menyelenggarakan pendidikan vokasi dalam berbagai
rumpun Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi dan
jika memenuhi syarat, universitas dapat
menyelenggarakan pendidikan profesi.
(3) Institut merupakan Perguruan Tinggi yang
menyelenggarakan pendidikan akademik dan dapat
menyelenggarakan pendidikan vokasi dalam sejumlah
rumpun Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi
tertentu dan jika memenuhi syarat, institut dapat
menyelenggarakan pendidikan profesi.
(4) Sekolah . . .
- 43 -
(4) Sekolah Tinggi merupakan Perguruan Tinggi yang
menyelenggarakan pendidikan akademik dan dapat
menyelenggarakan pendidikan vokasi dalam satu
rumpun Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi
tertentu dan jika memenuhi syarat, sekolah tinggi
dapat menyelenggarakan pendidikan profesi.
(5) Politeknik merupakan Perguruan Tinggi yang
menyelenggarakan pendidikan vokasi dalam berbagai
rumpun Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi dan
jika memenuhi syarat, politeknik dapat
menyelenggarakan pendidikan profesi.
(6) Akademi merupakan Perguruan Tinggi yang
menyelenggarakan pendidikan vokasi dalam satu
atau beberapa cabang Ilmu Pengetahuan dan/atau
Teknologi tertentu.
(7) Akademi Komunitas merupakan Perguruan Tinggi
yang menyelenggarakan pendidikan vokasi setingkat
diploma satu dan/atau diploma dua dalam satu atau
beberapa cabang Ilmu Pengetahuan dan/atau
Teknologi tertentu yang berbasis keunggulan lokal
atau untuk memenuhi kebutuhan khusus.
Bagian Ketiga
Pendirian Perguruan Tinggi
Pasal 60
(1) PTN didirikan oleh Pemerintah.
(2) PTS didirikan oleh Masyarakat dengan membentuk
badan penyelenggara berbadan hukum yang
berprinsip nirlaba dan wajib memperoleh izin Menteri.
(3) Badan penyelenggara sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dapat berbentuk yayasan, perkumpulan, dan
bentuk lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(4) Perguruan . . .
- 44 -
(4) Perguruan Tinggi yang didirikan harus memenuhi
standar minimum akreditasi.
(5) Perguruan Tinggi wajib memiliki Statuta.
(6) Perubahan atau pencabutan izin PTS dilakukan oleh
menteri sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pendirian PTN dan
PTS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai
dengan ayat (5) serta perubahan atau pencabutan izin
PTS sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur
dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian Keempat
Organisasi Penyelenggara Perguruan Tinggi
Pasal 61
(1) Organisasi penyelenggara merupakan unit kerja
Perguruan Tinggi yang secara bersama melaksanakan
kegiatan Tridharma dan fungsi manajemen sumber
daya.
(2) Organisasi penyelenggara sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) paling sedikit terdiri atas unsur:
a. penyusun kebijakan;
b. pelaksana akademik;
c. pengawas dan penjaminan mutu;
d. penunjang akademik atau sumber belajar; dan
e. pelaksana administrasi atau tata usaha.
(3) Organisasi penyelenggara Perguruan Tinggi diatur
dalam Statuta Perguruan Tinggi.
Bagian Kelima . . .
- 45 -
Bagian Kelima
Pengelolaan Perguruan Tinggi
Pasal 62
(1) Perguruan Tinggi memiliki otonomi untuk mengelola
sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan
Tridharma.
(2) Otonomi pengelolaan Perguruan Tinggi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan
dasar dan tujuan serta kemampuan Perguruan
Tinggi.
(3) Dasar dan tujuan serta kemampuan Perguruan Tinggi
untuk melaksanakan otonomi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dievaluasi secara mandiri oleh
Perguruan Tinggi.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai evaluasi dasar dan
tujuan serta kemampuan Perguruan Tinggi untuk
melaksanakan otonomi sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) diatur dalam Peraturan Menteri.
Pasal 63
Otonomi pengelolaan Perguruan Tinggi dilaksanakan
berdasarkan prinsip:
a. akuntabilitas;
b. transparansi;
c. nirlaba;
d. penjaminan mutu; dan
e. efektivitas dan efisiensi.
Pasal 64
(1) Otonomi pengelolaan Perguruan Tinggi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 62 meliputi bidang akademik
dan bidang nonakademik.
(2) Otonomi . . .
- 46 -
(2) Otonomi pengelolaan di bidang akademik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
penetapan norma dan kebijakan operasional serta
pelaksanaan Tridharma.
(3) Otonomi pengelolaan di bidang nonakademik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
penetapan norma dan kebijakan operasional serta
pelaksanaan:
a. organisasi;
b. keuangan;
c. kemahasiswaan;
d. ketenagaan; dan
f. sarana prasarana.
Pasal 65
(1) Penyelenggaraan otonomi Perguruan Tinggi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 dapat
diberikan secara selektif berdasarkan evaluasi kinerja
oleh Menteri kepada PTN dengan menerapkan Pola
Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum atau
dengan membentuk PTN badan hukum untuk
menghasilkan Pendidikan Tinggi bermutu.
(2) PTN yang menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan
Badan Layanan Umum sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) memiliki tata kelola dan kewenangan
pengelolaan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(3) PTN badan hukum sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) memiliki:
a. kekayaan awal berupa kekayaan negara yang
dipisahkan kecuali tanah;
b. tata kelola dan pengambilan keputusan secara
mandiri;
c. unit . . .
- 47 -
c. unit yang melaksanakan fungsi akuntabilitas dan
transparansi;
d. hak mengelola dana secara mandiri, transparan,
dan akuntabel;
e. wewenang mengangkat dan memberhentikan
sendiri Dosen dan tenaga kependidikan;
f. wewenang mendirikan badan usaha dan
mengembangkan dana abadi; dan
g. wewenang untuk membuka, menyelenggarakan,
dan menutup Program Studi.
(4) Pemerintah memberikan penugasan kepada PTN
badan hukum untuk menyelenggarakan fungsi
Pendidikan Tinggi yang terjangkau oleh Masyarakat.
(5) Ketentuan mengenai penyelenggaraan otonomi PTN
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 66
(1) Statuta PTN ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
(2) Statuta PTN Badan Hukum ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah.
(3) Statuta PTS ditetapkan dengan surat keputusan
badan penyelenggara.
Pasal 67
Penyelenggaraan otonomi perguruan tinggi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 64 pada PTS diatur oleh badan
penyelenggara sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 68
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan Perguruan
Tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 dan Pasal
65 diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian Keenam . . .
- 48 -
Bagian Keenam
Ketenagaan
Paragraf 1
Pengangkatan dan Penempatan
Pasal 69
(1) Ketenagaan perguruan tinggi terdiri atas:
a. Dosen; dan
b. tenaga kependidikan.
(2) Dosen dan tenaga kependidikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diangkat dan ditempatkan di
Perguruan Tinggi oleh Pemerintah atau badan
penyelenggara.
(3) Setiap orang yang memiliki keahlian dan/atau
prestasi luar biasa dapat diangkat menjadi Dosen
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 70
(1) Pengangkatan dan penempatan Dosen dan tenaga
kependidikan oleh Pemerintah dilakukan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Pengangkatan dan penempatan Dosen dan tenaga
kependidikan oleh badan penyelenggara dilakukan
berdasarkan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(3) Badan penyelenggara sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) wajib memberikan gaji pokok serta tunjangan
kepada Dosen dan tenaga kependidikan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Menteri . . .
- 49 -
(4) Menteri dapat menugasi Dosen yang diangkat oleh
Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di
PTN untuk peningkatan mutu Pendidikan Tinggi.
(5) Pemerintah memberikan insentif kepada Dosen
sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai penugasan Dosen
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan pemberian
insentif kepada Dosen sebagaimana dimaksud pada
ayat (5) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 71
(1) Pemimpin PTN dapat mengangkat Dosen tetap sesuai
dengan Standar Nasional Pendidikan Tinggi atas
persetujuan Pemerintah.
(2) PTN memberikan gaji pokok dan tunjangan kepada
Dosen tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(3) Pemerintah memberikan tunjangan jabatan
akademik, tunjangan profesi, dan/atau tunjangan
kehormatan kepada Dosen tetap sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengangkatan Dosen
tetap pada PTN sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dalam Peraturan Menteri.
Paragraf 2
Jenjang Jabatan Akademik
Pasal 72
(1) Jenjang jabatan akademik Dosen tetap terdiri atas
asisten ahli, lektor, lektor kepala, dan profesor.
(2) Jenjang . . .
- 50 -
(2) Jenjang jabatan akademik Dosen tidak tetap diatur
dan ditetapkan oleh penyelenggara Perguruan
Tinggi.
(3) Dosen yang telah memiliki pengalaman kerja 10
(sepuluh) tahun sebagai Dosen tetap dan memiliki
publikasi ilmiah serta berpendidikan doktor atau
yang sederajat, dan telah memenuhi persyaratan
dapat diusulkan ke jenjang jabatan akademik
profesor.
(4) Batas usia pensiun Dosen yang menduduki jabatan
akademik profesor ditetapkan 70 (tujuh puluh)
tahun dan Pemerintah memberikan tunjangan
profesi serta tunjangan kehormatan.
(5) Menteri dapat mengangkat seseorang dengan
kompetensi luar biasa pada jenjang jabatan
akademik profesor atas usul Perguruan Tinggi.
(6) Ketentuan mengenai jenjang jabatan akademik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemberian
tunjangan profesi serta tunjangan kehormatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dan
pengangkatan seseorang dengan kompetensi luar
biasa sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur
dalam Peraturan Menteri.
Bagian Ketujuh
Kemahasiswaan
Paragraf 1
Penerimaan Mahasiswa Baru
Pasal 73
(1) Penerimaan Mahasiswa baru PTN untuk setiap
Program Studi dapat dilakukan melalui pola
penerimaan Mahasiswa secara nasional dan bentuk
lain.
(2) Pemerintah . . .
- 51 -
(2) Pemerintah menanggung biaya calon Mahasiswa yang
akan mengikuti pola penerimaan Mahasiswa baru
secara nasional.
(3) Calon Mahasiswa sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) yang telah memenuhi persyaratan akademik
wajib diterima oleh Perguruan Tinggi.
(4) Perguruan Tinggi menjaga keseimbangan antara
jumlah maksimum Mahasiswa dalam setiap Program
Studi dan kapasitas sarana dan prasarana, Dosen
dan tenaga kependidikan, serta layanan dan sumber
daya pendidikan lainnya.
(5) Penerimaan Mahasiswa baru Perguruan Tinggi
merupakan seleksi akademis dan dilarang dikaitkan
dengan tujuan komersial.
(6) Penerimaan Mahasiswa baru PTS untuk setiap
Program Studi diatur oleh PTS masing-masing atau
dapat mengikuti pola penerimaan Mahasiswa baru
PTN secara nasional.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai penerimaan
Mahasiswa baru PTN secara nasional diatur dalam
Peraturan Menteri.
Pasal 74
(1) PTN wajib mencari dan menjaring calon Mahasiswa
yang memiliki potensi akademik tinggi, tetapi kurang
mampu secara ekonomi dan calon Mahasiswa dari
daerah terdepan, terluar, dan tertinggal untuk
diterima paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari
seluruh Mahasiswa baru yang diterima dan tersebar
pada semua Program Studi.
(2) Program Studi yang menerima calon Mahasiswa
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
memperoleh bantuan biaya Pendidikan dari
Pemerintah, Pemerintah Daerah, Perguruan Tinggi,
dan/atau Masyarakat.
Pasal 75 . . .
- 52 -
Pasal 75
(1) Warga negara asing dapat diterima menjadi
Mahasiswa pada Perguruan Tinggi.
(2) Penerimaan Mahasiswa warga negara asing
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
memenuhi persyaratan:
a. kualifikasi akademik;
b. Program Studi;
c. jumlah Mahasiswa; dan
d. lokasi Perguruan Tinggi.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan
penerimaan Mahasiswa warga negara asing
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam
Peraturan Menteri.
Paragraf 2
Pemenuhan Hak Mahasiswa
Pasal 76
(1) Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau Perguruan
Tinggi berkewajiban memenuhi hak Mahasiswa yang
kurang mampu secara ekonomi untuk dapat
menyelesaikan studinya sesuai dengan peraturan
akademik.
(2) Pemenuhan hak Mahasiswa sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan dengan cara memberikan:
a. beasiswa kepada Mahasiswa berprestasi;
b. bantuan atau membebaskan biaya Pendidikan;
dan/atau
c. pinjaman dana tanpa bunga yang wajib dilunasi
setelah lulus dan/atau memperoleh pekerjaan.
(3) Perguruan . . .
- 53 -
(3) Perguruan Tinggi atau penyelenggara Perguruan
Tinggi menerima pembayaran yang ikut ditanggung
oleh Mahasiswa untuk membiayai studinya sesuai
dengan kemampuan Mahasiswa, orang tua
Mahasiswa, atau pihak yang membiayainya.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemenuhan hak
Mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sampai dengan ayat (3) diatur dalam Peraturan
Menteri.
Paragraf 3
Organisasi Kemahasiswaan
Pasal 77
(1) Mahasiswa dapat membentuk organisasi
kemahasiswaan.
(2) Organisasi kemahasiswaan paling sedikit memiliki
fungsi untuk:
a. mewadahi kegiatan Mahasiswa dalam
mengembangkan bakat, minat, dan potensi
Mahasiswa;
b. mengembangkan kreativitas, kepekaan, daya kritis,
keberanian, dan kepemimpinan, serta rasa
kebangsaan;
c. memenuhi kepentingan dan kesejahteraan
Mahasiswa; dan
d. mengembangkan tanggung jawab sosial melalui
kegiatan Pengabdian kepada Masyarakat.
(3) Organisasi kemahasiswaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) merupakan organisasi intra Perguruan
Tinggi.
(4) Perguruan Tinggi menyediakan sarana dan prasarana
serta dana untuk mendukung kegiatan organisasi
kemahasiswaan.
(5) Ketentuan . . .
- 54 -
(5) Ketentuan lain mengenai organisasi kemahasiswaan
diatur dalam statuta perguruan tinggi.
Bagian Kedelapan
Akuntabilitas Perguruan Tinggi
Pasal 78
(1) Akuntabilitas Perguruan Tinggi merupakan bentuk
pertanggungjawaban Perguruan Tinggi kepada
Masyarakat yang terdiri atas:
a. akuntabilitas akademik; dan
b. akuntabilitas nonakademik.
(2) Akuntabilitas Perguruan Tinggi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib diwujudkan dengan
pemenuhan Standar Nasional Pendidikan Tinggi.
(3) Akuntabilitas Perguruan Tinggi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui sistem
pelaporan tahunan.
(4) Laporan tahunan akuntabilitas Perguruan Tinggi
dipublikasikan kepada Masyarakat.
(5) Sistem pelaporan tahunan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) diatur sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Bagian Kesembilan
Pengembangan Perguruan Tinggi
Paragraf 1
Umum
Pasal 79
(1) Pemerintah memfasilitasi kerja sama antar Perguruan
Tinggi dan antara Perguruan Tinggi dengan dunia
usaha, industri, alumni, Pemerintah Daerah,
dan/atau pihak lain.
(2) Pemerintah . . .
- 55 -
(2) Pemerintah mengembangkan sistem pengelolaan
informasi Pendidikan Tinggi.
(3) Pemerintah mengembangkan sistem pembinaan
berjenjang melalui kerja sama antar Perguruan
Tinggi.
(4) Pemerintah mengembangkan sumber pembelajaran
terbuka yang dapat dimanfaatkan oleh seluruh Sivitas
Akademika.
(5) Pemerintah mengembangkan jejaring antar Perguruan
Tinggi dengan memanfaatkan teknologi informasi.
Paragraf 2
Pola Pengembangan Perguruan Tinggi
Pasal 80
(1) Pemerintah mengembangkan secara bertahap pusat
unggulan pada Perguruan Tinggi.
(2) Pemerintah mengembangkan paling sedikit 1 (satu)
PTN berbentuk universitas, institut, dan/atau
politeknik di setiap provinsi.
(3) PTN sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilaksanakan berbasis Tridharma sesuai dengan
potensi unggulan daerah untuk mendukung
kebutuhan pembangunan nasional.
Pasal 81
(1) Pemerintah bersama Pemerintah Daerah
mengembangkan secara bertahap paling sedikit 1
(satu) akademi komunitas dalam bidang yang sesuai
dengan potensi unggulan daerah di kabupaten/kota
dan/atau di daerah perbatasan.
(2) Akademi . . .
- 56 -
(2) Akademi komunitas sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan berbasis kebutuhan daerah
untuk mempercepat kemajuan dan kesejahteraan
masyarakat.
Pasal 82
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangan
Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79
sampai dengan Pasal 81 diatur dalam Peraturan Menteri.
BAB V
PENDANAAN DAN PEMBIAYAAN
Bagian Kesatu
Tanggung Jawab dan Sumber Pendanaan Pendidikan
Tinggi
Pasal 83
(1) Pemerintah menyediakan dana Pendidikan Tinggi
yang dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara.
(2) Pemerintah Daerah dapat memberikan dukungan
dana Pendidikan Tinggi yang dialokasikan dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Pasal 84
(1) Masyarakat dapat berperan serta dalam pendanaan
Pendidikan Tinggi.
(2) Pendanaan Pendidikan Tinggi yang diperoleh dari
Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat diberikan kepada Perguruan Tinggi dalam
bentuk:
a. hibah . . .
- 57 -
a. hibah;
b. wakaf;
c. zakat;
d. persembahan kasih;
e. kolekte;
f. dana punia;
g. sumbangan individu dan/atau perusahaan;
h. dana abadi Pendidikan Tinggi; dan/atau
i. bentuk lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 85
(1) Perguruan Tinggi dapat berperan serta dalam
pendanaan Pendidikan Tinggi melalui kerja sama
pelaksanaan Tridharma.
(2) Pendanaan Pendidikan Tinggi dapat juga bersumber
dari biaya Pendidikan yang ditanggung oleh
Mahasiswa sesuai dengan kemampuan Mahasiswa,
orang tua Mahasiswa, atau pihak lain yang
membiayainya.
Pasal 86
(1) Pemerintah memfasilitasi dunia usaha dan dunia
industri dengan aktif memberikan bantuan dana
kepada Perguruan Tinggi.
(2) Pemerintah memberikan insentif kepada dunia usaha
dan dunia industri atau anggota Masyarakat yang
memberikan bantuan atau sumbangan
penyelenggaraan Pendidikan Tinggi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 87 . . .
- 58 -
Pasal 87
Pemerintah dan Pemerintah Daerah dapat memberikan
hak pengelolaan kekayaan negara kepada Perguruan
Tinggi untuk kepentingan pengembangan Pendidikan
Tinggi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Bagian Kedua
Pembiayaan dan Pengalokasian
Pasal 88
(1) Pemerintah menetapkan standar satuan biaya
operasional Pendidikan Tinggi secara periodik dengan
mempertimbangkan:
a. capaian Standar Nasional Pendidikan Tinggi;
b. jenis Program Studi; dan
c. indeks kemahalan wilayah.
(2) Standar satuan biaya operasional Pendidikan Tinggi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi dasar
untuk mengalokasikan anggaran dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara untuk PTN.
(3) Standar satuan biaya operasional sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) digunakan sebagai dasar oleh
PTN untuk menetapkan biaya yang ditanggung oleh
Mahasiswa.
(4) Biaya yang ditanggung oleh Mahasiswa sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) harus disesuaikan dengan
kemampuan ekonomi Mahasiswa, orang tua
Mahasiswa, atau pihak lain yang membiayainya.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar satuan
biaya operasional Pendidikan Tinggi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan
Menteri.
Pasal 89 . . .
- 59 -
Pasal 89
(1) Dana Pendidikan Tinggi yang bersumber dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 dialokasikan
untuk:
a. PTN, sebagai biaya operasional, Dosen dan tenaga
kependidikan, serta investasi dan pengembangan;
b. PTS, sebagai bantuan tunjangan profesi dosen,
tunjangan kehormatan profesor, serta investasi dan
pengembangan; dan
c. Mahasiswa, sebagai dukungan biaya untuk
mengikuti Pendidikan Tinggi.
(2) Dana Pendidikan Tinggi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a untuk PTN badan hukum diberikan
dalam bentuk subsidi dan/atau bentuk lain sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Ketentuan mengenai bentuk dan mekanisme
pendanaan pada PTN badan hukum diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
(4) Dana Pendidikan Tinggi yang bersumber dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
bantuan dana yang disediakan oleh Pemerintah
daerah untuk penyelenggaraan Pendidikan Tinggi di
daerah masing-masing sesuai dengan kemampuan
daerah.
(5) Pemerintah mengalokasikan dana bantuan
operasional PTN dari anggaran fungsi Pendidikan.
(6) Pemerintah mengalokasikan paling sedikit 30% (tiga
puluh persen) dari dana sebagaimana dimaksud pada
ayat (5) untuk dana Penelitian di PTN dan PTS.
(7) Dana Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
dikelola oleh Kementerian.
BAB VI . . .
- 60 -
BAB VI
PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN TINGGI OLEH
LEMBAGA NEGARA LAIN
Pasal 90
(1) Perguruan Tinggi lembaga negara lain dapat
menyelenggarakan Pendidikan Tinggi di wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Perguruan Tinggi lembaga negara lain sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sudah terakreditasi dan/atau
diakui di negaranya.
(3) Pemerintah menetapkan daerah, jenis, dan Program
Studi yang dapat diselenggarakan Perguruan Tinggi
lembaga negara lain sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
(4) Perguruan Tinggi lembaga negara lain sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib:
a. memperoleh izin Pemerintah;
b. berprinsip nirlaba;
c. bekerja sama dengan Perguruan Tinggi Indonesia
atas izin Pemerintah; dan
d. mengutamakan Dosen dan tenaga kependidikan
warga negara Indonesia.
(5) Perguruan Tinggi lembaga negara lain sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib mendukung
kepentingan nasional.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perguruan Tinggi
lembaga negara lain sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) sampai dengan ayat (5) diatur dalam
Peraturan Menteri.
BAB VII . . .
- 61 -
BAB VII
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 91
(1) Masyarakat berperan serta dalam pengembangan
Pendidikan Tinggi.
(2) Peran serta Masyarakat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan dengan cara:
a. menentukan kompetensi lulusan melalui organisasi
profesi, dunia usaha, dan dunia industri;
b. memberikan beasiswa dan/atau bantuan
Pendidikan kepada Mahasiswa;
c. mengawasi dan menjaga mutu Pendidikan Tinggi
melalui organisasi profesi atau lembaga swadaya
masyarakat;
d. menyelenggarakan PTS bermutu;
e. mengembangkan karakter, minat, dan bakat
Mahasiswa;
f. menyediakan tempat magang dan praktik kepada
Mahasiswa;
g. memberikan berbagai bantuan melalui tanggung
jawab sosial perusahaan;
h. mendukung kegiatan Penelitian dan Pengabdian
kepada Masyarakat;
i. berbagi sumberdaya untuk pelaksanaan
Tridharma; dan/atau
j. peran serta lainnya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
BAB VIII . . .
- 62 -
BAB VIII
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 92
(1) Perguruan Tinggi yang melanggar ketentuan Pasal 8
ayat (3), Pasal 18 ayat (3), Pasal 19 ayat (3), Pasal 20
ayat (3), Pasal 21 ayat (4), Pasal 22 ayat (3), Pasal 23
ayat (3), Pasal 24 ayat (4), Pasal 25 ayat (4), Pasal 28
ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), atau ayat (7), Pasal
33 ayat (6), Pasal 35 ayat (3), Pasal 37 ayat (1), Pasal
41 ayat (1), Pasal 46 ayat (2), Pasal 60 ayat (5), Pasal
73 ayat (3) atau ayat (5), Pasal 74 ayat (1), Pasal 76
ayat (1), Pasal 78 ayat (2), atau Pasal 90 ayat (5)
dikenai sanksi administratif.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara bantuan biaya Pendidikan
dari Pemerintah;
c. penghentian sementara kegiatan penyelenggaraan
Pendidikan;
d. penghentian pembinaan; dan/atau
e. pencabutan izin.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam
Peraturan Menteri.
BAB IX
KETENTUAN PIDANA
Pasal 93
Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara Pendidikan
Tinggi yang melanggar Pasal 28 ayat (6) atau ayat (7),
Pasal 42 ayat (4), Pasal 43 ayat (3), Pasal 44 ayat (4),
Pasal 60 ayat (2), dan Pasal 90 ayat (4) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau
pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah).
BAB X . . .
- 63 -
BAB X
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 94
Penyelenggaraan Perguruan Tinggi oleh Kementerian lain
dan LPNK diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 95
Sebelum terbentuknya lembaga akreditasi mandiri,
akreditasi program studi dilakukan oleh Badan Akreditasi
Nasional Perguruan Tinggi.
Pasal 96
Lembaga layanan Pendidikan Tinggi harus sudah
dibentuk paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-
Undang ini diundangkan.
Pasal 97
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
a. izin pendirian Perguruan Tinggi dan izin
penyelenggaraan Program Studi yang sudah
diterbitkan dinyatakan tetap berlaku.
b. pengelolaan Perguruan Tinggi harus menyesuaikan
dengan ketentuan Undang-Undang ini paling lambat
2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.
c. pengelolaan Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik
Negara dan Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik
Negara yang telah berubah menjadi Perguruan Tinggi
yang diselenggarakan Pemerintah dengan pola
pengelolaan keuangan badan layanan umum
ditetapkan sebagai PTN Badan Hukum dan harus
menyesuaikan dengan ketentuan Undang-Undang ini
paling lambat 2 (dua) tahun.
d. pengelolaan . . .
- 64 -
d. pengelolaan keuangan Perguruan Tinggi Badan
Hukum Milik Negara sebagaimana dimaksud dalam
huruf c mengikuti Pola Pengelolaan Keuangan Badan
Layanan Umum sampai dengan diterbitkannya
peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini.
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 98
(1) Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini
harus ditetapkan paling lambat 2 (dua) tahun
terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
(2) Peraturan Pemerintah tentang bentuk dan mekanisme
pendanaan PTN Badan Hukum ditetapkan paling
lambat 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini
diundangkan.
Pasal 99
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua
peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003
Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4301) yang berkaitan dengan
Pendidikan Tinggi dinyatakan masih tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam
Undang-Undang ini.
Pasal 100
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar . . .
- 65 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Undang-Undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Disahkan di Jakarta
Pada tanggal 10 Agustus 2012
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 10 Agustus 2012
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 158
Salinan sesuai dengan aslinya
KEMENTERIAN SEKRETARIAT NEGARA RI
Asisten Deputi Perundang-undangan
Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat,
ttd.
Wisnu Setiawan
- 66 -
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 12 TAHUN 2012
TENTANG
PENDIDIKAN TINGGI
I. UMUM
Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki tujuan sebagaimana
diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu “…melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi, dan keadilan sosial...”.
Untuk mewujudkan tujuan tersebut Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan agar
Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem
pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan
kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka
mencerdaskan bangsa yang diatur dalam undang-undang. Selain itu
pada Pasal 31 ayat (5) mengamanahkan agar Pemerintah memajukan
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai
agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta
kesejahteraan umat manusia.
Melalui . . .
- 67 -
Melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, negara telah memberikan kerangka yang jelas
kepada Pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan nasional yang
sesuai dengan amanat Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Meskipun demikian masih
memerlukan pengaturan agar Pendidikan Tinggi dapat lebih berfungsi
dalam mengembangkan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dengan
memperhatikan dan menerapkan nilai Humaniora untuk
pemberdayaan dan pembudayaan bangsa.
Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi sebagai bagian yang tak
terpisahkan dari penyelenggaraan pendidikan nasional, tidak dapat
dilepaskan dari amanat Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Di samping itu, dalam rangka
menghadapi perkembangan dunia yang makin mengutamakan basis
Ilmu Pengetahuan, Pendidikan Tinggi diharapkan mampu
menjalankan peran strategis dalam memajukan peradaban dan
kesejahteraan umat manusia.
Pada tataran praktis bangsa Indonesia juga tidak terlepas dari
persaingan antarbangsa di satu pihak dan kemitraan dengan bangsa
lain di pihak lain. Oleh karena itu, untuk meningkatkan daya saing
bangsa dan daya mitra bangsa Indonesia dalam era globalisasi,
diperlukan Pendidikan Tinggi yang mampu mewujudkan dharma
pendidikan, yaitu menghasilkan intelektual, ilmuwan dan/atau
profesional yang berbudaya, kreatif, toleran, demokratis, dan
berkarakter tangguh, serta berani membela kebenaran demi
kepentingan bangsa dan umat manusia. Dalam rangka mewujudkan
dharma Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, diperlukan
Pendidikan Tinggi yang mampu menghasilkan karya Penelitian dalam
cabang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang dapat diabdikan bagi
kemaslahatan bangsa, negara, dan umat manusia.
Perguruan . . .
- 68 -
Perguruan Tinggi sebagai lembaga yang menyelenggarakan Pendidikan
Tinggi Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, harus memiliki
otonomi dalam mengelola sendiri lembaganya. Hal itu diperlukan agar
dalam pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di Perguruan
Tinggi berlaku kebebasan akademik dan mimbar akademik, serta
otonomi keilmuan. Dengan demikian Perguruan Tinggi dapat
mengembangkan budaya akademik bagi Sivitas Akademika yang
berfungsi sebagai komunitas ilmiah yang berwibawa dan mampu
melakukan interaksi yang mengangkat martabat bangsa Indonesia
dalam pergaulan internasional.
Perguruan Tinggi sebagai garda terdepan dalam mencerdaskan
kehidupan bangsa, dengan mengembangkan Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi untuk memajukan kesejahteran umum dan keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Huruf a
Yang dimaksud dengan "asas kebenaran ilmiah" adalah
pencarian, pengamatan, penemuan, penyebarluasan dan
pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang
kebenarannya diverifikasi secara ilmiah.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “asas penalaran” adalah
pencarian, pengamatan, penemuan, penyebarluasan dan
pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang
mengutamakan kegiatan berpikir.
Huruf c . . .
- 69 -
Huruf c
Yang dimaksud dengan “asas kejujuran” adalah
pendidikan tinggi yang mengutamakan moral akademik
Dosen dan Mahasiswa untuk senantiasa mengemukakan
data dan informasi dalam Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi sebagaimana adanya.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “asas keadilan” adalah
Pendidikan Tinggi menyediakan kesempatan yang sama
kepada semua warga negara Indonesia tanpa memandang
suku, agama, ras dan antargolongan, serta latar belakang
sosial dan ekonomi.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “asas manfaat” adalah Pendidikan
Tinggi selalu berorientasi untuk kemajuan peradaban dan
kesejahteraan umat manusia.
Huruf f
Yang dimaksud dengan "asas kebajikan" adalah
Pendidikan Tinggi harus mendatangkan kebaikan,
keselamatan dan kesejahteraan dalam kehidupan Sivitas
Akademika, Masyarakat, bangsa, dan negara.
Huruf g
Yang dimaksud dengan "asas tanggung jawab" adalah
Sivitas Akademika melaksanakan Tridharma serta
mewujudkan kebebasan akademik, kebebasan mimbar
akademik, dan/atau otonomi keilmuan, dengan
menjunjung tinggi nilia-nilai agama dan persatuan
bangsa serta peraturan perundang-undangan.
Huruf h
Yang dimaksud dengan "asas kebhinnekaan" adalah
Pendidikan Tinggi diselenggarakan dalam berbagai
cabang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dengan
memperhatikan dan menghormati kemajemukan
Masyarakat Indonesia dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Huruf i . . .
- 70 -
Huruf i
Yang dimaksud dengan “asas keterjangkauan” adalah
bahwa Pendidikan Tinggi diselenggarakan dengan biaya
Pendidikan yang ditanggung oleh Mahasiswa sesuai
dengan kemampuan ekonominya, orang tua atau pihak
yang membiayainya untuk menjamin warga negara yang
memiliki potensi dan kemampuan akademik memperoleh
Pendidikan Tinggi tanpa hambatan ekonomi.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Karya penelitian antara lain berupa invensi dan inovasi
dalam Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang mampu
meningkatkan taraf hidup untuk menjadi bangsa yang
maju.
Pasal 6
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e . . .
- 71 -
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Yang dimaksud dengan “sistem terbuka” adalah
penyelenggaraan Pendidikan Tinggi memiliki sifat
fleksibilitas dalam hal cara penyampaian, pilihan dan
waktu penyelesaian program, lintas satuan, jalur dan
jenis Pendidikan (multi entry multi exit system).
Yang dimaksud dengan “multimakna” adalah Pendidikan
yang diselenggarakan dengan berorientasi pada
pembudayaan, pemberdayaan, pembentukan watak dan
kepribadian, serta berbagai kecakapan hidup.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “akademik” dalam “kebebasan
akademik” dan “kebebasan mimbar akademik” adalah
sesuatu yang bersifat ilmiah atau bersifat teori yang
dikembangkan dalam Pendidikan Tinggi dan terbebas dari
pengaruh politik praktis.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 9 . . .
- 72 -
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “Dosen yang memiliki otoritas dan
wibawa ilmiah untuk menyatakan secara terbuka dan
bertanggung jawab mengenai sesuatu yang berkenaan
dengan rumpun ilmu dan cabang ilmunya” adalah Dosen
yang telah memiliki kualifikasi doktor atau setara.
Profesor merupakan jabatan akademik tertinggi pada
Perguruan Tinggi yang mempunyai wewenang
membimbing calon doktor.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Rumpun ilmu agama merupakan rumpun Ilmu
Pengetahuan yang mengkaji keyakinan tentang
ketuhanan atau ketauhidan serta teks-teks suci
agama antara lain ilmu ushuluddin, ilmu syariah,
ilmu adab, ilmu dakwah, ilmu tarbiyah, filsafat
dan pemikiran Islam, ekonomi Islam, ilmu
pendidikan agama Hindu, ilmu penerangan
agama Hindu, filsafat agama Hindu, ilmu
pendidikan agama Budha, ilmu penerangan
agama Budha, filsafat agama Budha, ilmu
pendidikan agama Kristen, ilmu pendidikan
agama Katholik, teologi, misiologi, konseling
pastoral, dan ilmu pendidikan agama Khong Hu
Cu.
Huruf b . . .
- 73 -
Huruf b
Rumpun ilmu Humaniora merupakan rumpun
Ilmu Pengetahuan yang mengkaji dan mendalami
nilai kemanusiaan dan pemikiran manusia,
antara lain filsafat, ilmu sejarah, ilmu bahasa,
ilmu sastra, ilmu seni panggung, dan ilmu seni
rupa.
Huruf c
Rumpun ilmu sosial merupakan rumpun Ilmu
Pengetahuan yang mengkaji dan mendalami
hubungan antar manusia dan berbagai fenomena
Masyarakat, antara lain sosiologi, psikologi,
antropologi, ilmu politik, arkeologi, ilmu wilayah,
ilmu budaya, ilmu ekonomi, dan geografi.
Huruf d
Rumpun ilmu alam merupakan rumpun Ilmu
Pengetahuan yang mengkaji dan mendalami alam
semesta selain manusia, antara lain ilmu
angkasa, ilmu kebumian, biologi, ilmu kimia, dan
ilmu fisika.
Huruf e
Rumpun ilmu formal merupakan rumpun Ilmu
Pengetahuan yang mengkaji dan mendalami
sistem formal teoritis, antara lain ilmu komputer,
logika, matematika, statistika, dan sistema.
Huruf f
Rumpun ilmu terapan merupakan rumpun Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi yang mengkaji dan
mendalami aplikasi ilmu bagi kehidupan manusia
antara lain pertanian, arsitektur dan
perencanaan, bisnis, pendidikan, teknik,
kehutanan dan lingkungan, keluarga dan
konsumen, kesehatan, olahraga, jurnalistik,
media massa dan komunikasi, hukum,
perpustakaan dan permuseuman, militer,
administrasi publik, pekerja sosial, dan
transportasi.
Ayat (3) . . .
- 74 -
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dalam hal pendidikan akademik rumpun ilmu agama,
tanggung jawab penyelenggaraan dilakukan oleh menteri
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
agama berkoordinasi dengan Menteri.
Pasal 16
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pendidikan vokasi” adalah
pendidikan yang menyiapkan Mahasiswa menjadi
profesional dengan keterampilan/kemampuan kerja
tinggi.
Kurikulum pendidikan vokasi disiapkan bersama dengan
Masyarakat profesi dan organisasi profesi yang
bertanggung jawab atas mutu layanan profesinya agar
memenuhi syarat kompetensi profesinya.
Dengan demikian pendidikan vokasi telah mencakup
pendidikan profesinya.
Ayat (2) . . .
- 75 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Kerja sama dengan Kementerian, Kementerian lain, LPNK,
dan/atau organisasi profesi, antara lain penetapan
standar kompetensi, penetapan kualifikasi lulusan,
penyusunan kurikulum, penggunaan sumber belajar, dan
uji kompetensi.
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “berbudaya” adalah sikap dan
perilaku yang senantiasa berdasarkan sistem nilai,
norma, dan kaidah Ilmu Pengetahuan, yang menjunjung
tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20 . . .
- 76 -
Pasal 20
Ayat (1)
Mahasiswa program magister yang memiliki kemampuan
luar biasa dapat melanjutkan ke program doktor setelah
sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun mengikuti program
magister tanpa harus lulus program magister terlebih
dahulu.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “sederajat” adalah kompetensi
dengan mengacu pada Kerangka Kualifikasi Nasional
Indonesia.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7) . . .
- 77 -
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Mahasiswa program magister terapan yang memiliki
kemampuan luar biasa dapat melanjutkan ke program
doktor terapan setelah paling sedikit (1) satu tahun
mengikuti program magister tanpa harus lulus program
magister terlebih dahulu.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Program profesi merupakan tanggung jawab dan
kewenangan Kementerian, Kementerian lain, LPNK,
dan/atau organisasi profesi yang bertanggung jawab atas
mutu layanan profesi. Oleh karena itu, Perguruan Tinggi
hanya dapat menyelenggarakannya bekerja sama dengan
Kementerian, Kementerian lain, LPNK, dan/atau
organisasi profesi.
Program . . .
- 78 -
Program profesi dapat menggunakan nama lain yang
sederajat seperti program profesi dokter, insinyur,
apoteker, notaris, psikolog, guru/pendidik, wartawan
sesuai ketentuan Kementerian, Kementerian lain, LPNK,
dan/atau organisasi profesi yang bertanggung jawab atas
mutu layanan profesi.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Program spesialis dapat menggunakan nama lain yang
sederajat dan memiliki tingkatan, antara lain program
dokter spesialis dan subspesialis, program insinyur
profesional pratama, madya, dan utama, sesuai
ketentuan Kementerian, Kementerian lain, LPNK,
dan/atau organisasi profesi yang bertanggung jawab atas
mutu layanan profesi.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6) . . .
- 79 -
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Gelar profesi antara lain digunakan oleh profesi dokter yang
disingkat dr., profesi apoteker disingkat apt., dan profesi
akuntan disingkat Akt.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31 . . .
- 80 -
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Izin Program Studi yang berkaitan dengan ilmu agama
diberikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang agama.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Pencabutan izin Program Studi yang berkaitan dengan
ilmu agama dilakukan oleh menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
agama.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35 . . .
- 81 -
Pasal 35
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “mata kuliah agama”
adalah pendidikan untuk membentuk Mahasiswa
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak
mulia.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “mata kuliah Pancasila”
adalah Pendidikan untuk memberikan
pemahaman dan penghayatan kepada Mahasiswa
mengenai ideologi bangsa Indonesia.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “mata kuliah
kewarganegaraan” adalah pendidikan yang
mencakup Pancasila, Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara
Kesatuan Republik Indonesia dan Bhineka
Tunggal Ika untuk membentuk Mahasiswa
menjadi warga negara yang memiliki rasa
kebangsaan dan cinta tanah air.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “kegiatan kurikuler” adalah
serangkaian kegiatan yang terstruktur untuk mencapai
tujuan Program Studi.
Yang . . .
- 82 -
Yang dimaksud dengan “kegiatan kokurikuler” adalah
kegiatan yang dilakukan oleh Mahasiswa secara
terprogram atas bimbingan dosen, sebagai bagian
kurikulum dan dapat diberi bobot setara satu atau dua
satuan kredit semester.
Yang dimaksud dengan “kegiatan ekstrakurikuler” adalah
kegiatan yang dilakukan oleh Mahasiswa sebagai
penunjang kurikulum dan dapat diberi bobot setara satu
atau dua satuan kredit semester.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Ayat (1)
Sumber belajar dapat berbentuk antara lain, alam
semesta, lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif,
rumah sakit pendidikan, laboratorium, perpustakaan,
museum, studio, bengkel, stadion, dan stasiun penyiaran.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3) . . .
- 83 -
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “sertifikat profesi” antara lain
sertifikat pendidik yang diterbitkan oleh Perguruan Tinggi
yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk
meneyelenggarakan program pengadaan tenaga pendidik
sebagaimana diatur dalam undang-undang yang
mengatur mengenai guru dan dosen.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 44
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “keahlian dalam cabang ilmunya”
adalah kemampuan seseorang yang diakui oleh
Masyarakat karena keahlian praktis, seperti potong
rambut, desain grafis, montir, dan bentuk keahlian
praktis lainnya.
Yang dimaksud dengan “prestasi di luar program
studinya” adalah keahlian lain yang tidak berkaitan
langsung dengan program studinya, seperti Mahasiswa
kedokteran yang meraih juara renang, Mahasiswa teknik
mesin yang terampil dalam jurnalistik atau fotografi, dan
sebagainya.
Ayat (2) . . .
- 84 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 45
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “penelitian dilaksanakan
berdasarkan jalur kompetensi” adalah Penelitian yang
diberikan kepada Dosen yang memiliki kualifikasi
akademik lulusan program doktor tanpa melalui
kompetisi.
Yang dimaksud dengan “penelitian berdasarkan jalur
kompetisi” adalah Penelitian yang diberikan kepada
Dosen dengan cara berkompetisi.
Pasal 46
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “wajib disebarluaskan” adalah
Penelitian yang didanai oleh Pemerintah dan/atau
Pemerintah Daerah.
Yang . . .
- 85 -
Yang dimaksud dengan “hasil Penelitian yang bersifat
rahasia, menganggu, dan/atau membahayakan
kepentingan umum” adalah Penelitian yang sifat dan
hasilnya berkaitan dengan rahasia atau keselamatan
negara sehingga tidak dapat atau tidak boleh diketahui,
dimiliki, dan dimanfaatkan oleh pihak yang tidak berhak.
Dipublikasikan artinya bahwa hasil Penelitian dimuat
dalam jurnal ilmiah yang terakreditasi dan/atau buku
yang telah diterbitkan oleh Perguruan Tinggi atau
penerbit lainnya dan memiliki International Standard Book
Number (ISBN).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup Jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54 . . .
- 86 -
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “sesuai dengan kebutuhan”
adalah kebutuhan yang didasarkan pada karakteristik
atau profil Perguruan Tinggi di wilayah tertentu.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pendirian PTS yang menyelenggarakan pendidikan
keagamaan mendapatkan izin menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
agama.
Yang . . .
- 87 -
Yang dimaksud dengan “prinsip nirlaba” adalah prinsip
kegiatan yang tujuannya tidak untuk mencari laba,
sehingga seluruh sisa hasil usaha dari kegiatan harus
ditanamkan kembali ke Perguruan Tinggi untuk
meningkatkan kapasitas dan/atau mutu layanan
Pendidikan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Huruf a
Yang dimaksud dengan “prinsip akuntabilitas” adalah
kemampuan dan komitmen untuk
mempertanggungjawabkan semua kegiatan yang
dijalankan Perguruan Tinggi kepada semua pemangku
kepentingan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Akuntabilitas antara lain dapat
diukur dari rasio antara Mahasiswa dan Dosen,
kecukupan sarana dan prasarana, penyelenggaraan
pendidikan yang bermutu, dan kompetensi lulusan.
Huruf b . . .
- 88 -
Huruf b
Yang dimaksud dengan “prinsip transparansi” adalah
keterbukaan dan kemampuan menyajikan informasi yang
relevan secara tepat dan akurat kepada pemangku
kepentingan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “prinsip nirlaba” adalah prinsip
kegiatan yang tujuannya tidak untuk mencari laba,
sehingga seluruh sisa hasil usaha dari kegiatan harus
ditanamkan kembali ke Perguruan Tinggi untuk
meningkatkan kapasitas dan/atau mutu layanan
pendidikan.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “prinsip penjaminan mutu”
adalah kegiatan sistemik untuk memberikan layanan
Pendidikan Tinggi yang memenuhi atau melampaui
standar nasional pendidikan tinggi serta peningkatan
mutu pelayanan pendidikan secara berkelanjutan.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “efektivitas dan efisiensi” adalah
kegiatan sistemik untuk memanfaatkan sumber daya
dalam penyelenggaraan Pendidikan Tinggi agar tepat
sasaran dan tidak terjadi pemborosan.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3) . . .
- 89 -
Ayat (3)
Huruf a
PTN Badan Hukum dapat memanfaatkan
kekayaan berupa tanah dan hasil
pemanfaatannya menjadi pendapatan PTN Badan
Hukum.
Kekayaan berupa tanah tersebut tidak dapat
dipindahtangankan atau dijaminkan kepada
pihak lain.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (4)
PTN badan hukum merupakan PTN yang sepenuhnya
milik negara dan tidak dapat dialihkan kepada
perseorangan atau swasta. Untuk melaksanakan fungsi
Pendidikan Tinggi yang berada dalam lingkup tanggung
jawab Kementerian, Pemerintah memberikan kompensasi
atau menanggung sebagian biaya yang telah dikeluarkan
oleh PTN badan hukum.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 66 . . .
- 90 -
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Ayat (1)
Huruf a
Dosen terdiri atas Dosen tetap dan Dosen tidak
tetap.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “tenaga kependidikan”
adalah anggota Masyarakat yang mengabdikan
diri dan diangkat untuk menunjang
penyelenggaraan Pendidikan Tinggi antara lain,
pustakawan, tenaga administrasi, laboran dan
teknisi, serta pranata teknik informasi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “orang yang memiliki keahlian
dan/atau prestasi luar biasa” adalah dimaksudkan untuk
memenuhi Dosen pada semua program Pendidikan Tinggi
terutama pada program diploma satu dan program
diploma dua.
Ketentuan peraturan perundang-undangan yang
dimaksud adalah undang-undang yang mengatur
mengenai guru dan dosen.
Pasal 70 . . .
- 91 -
Pasal 70
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Perjanjian kerja atau kesepakatan kerja memuat tentang
gaji pokok, penghasilan yang melekat pada gaji,
penghasilan lain dan jaminan kesejahteraan sosial serta
maslahat tambahan sesuai dengan undang-undang yang
mengatur mengenai guru dan dosen.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 71
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “dosen tetap” adalah Dosen yang
tidak diangkat oleh Pemerintah (bukan pegawai negeri
sipil/bukan aparatur sipil negara).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73 . . .
- 92 -
Pasal 73
Ayat (1)
Pola penerimaan Mahasiswa secara nasional dan bentuk
lain hanya berlaku bagi Mahasiswa program sarjana dan
program diploma.
Yang dimaksud dengan “bentuk lain” adalah pola
penerimaan Mahasiswa baru yang dilakukan secara
mandiri oleh Perguruan Tinggi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) . . .
- 93 -
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “beasiswa” adalah
dukungan biaya Pendidikan yang diberikan
kepada Mahasiswa untuk mengikuti dan/atau
menyelesaikan Pendidikan Tinggi berdasarkan
pertimbangan utama prestasi dan/atau potensi
akademik.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “bantuan biaya
pendidikan” adalah dukungan biaya Pendidikan
yang diberikan kepada Mahasiswa untuk
mengikuti dan/atau menyelesaikan Pendidikan
Tinggi berdasarkan pertimbangan utama
keterbatasan kemampuan ekonomi.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “pinjaman dana tanpa
bunga” adalah pinjaman yang diterima oleh
Mahasiswa tanpa bunga untuk mengikuti
dan/atau menyelesaikan Pendidikan Tinggi
dengan kewajiban membayar kembali setelah
lulus dan mendapatkan pendapatan yang cukup.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79 . . .
- 94 -
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Cukup jelas.
Pasal 83
Cukup jelas.
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85
Cukup jelas.
Pasal 86
Cukup jelas.
Pasal 87
Hak pengelolaan kekayaan negara dapat berbentuk antara lain,
hak pengelolaan lahan, laut, pertambangan, perkebunan, hutan,
dan museum.
Pasal 88
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Standar satuan biaya operasional”
adalah biaya penyelenggaraan Pendidikan Tinggi di luar
investasi dan pengembangan. Biaya investasi antara lain
biaya pengadaan sarana dan prasarana serta sumber
belajar.
Ayat (2) . . .
- 95 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 89
Ayat (1)
Huruf a
Anggaran untuk PTN dialokasikan oleh
Pemerintah dalam Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara dan/atau oleh Pemerintah daerah
dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Huruf b
Anggaran untuk PTS dialokasikan oleh
Pemerintah dalam Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara dan/atau oleh Pemerintah daerah
dalam Anggaran dan Pendapatan Belanja Daerah
dalam bentuk, antara lain hibah, bantuan
program kegiatan Pendidikan, Penelitian, dan
Pengabdian kepada Masyarakat sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Selain bantuan pendanaan, PTS dapat
memperoleh bantuan tenaga Dosen yang diangkat
oleh Pemerintah.
Huruf c . . .
- 96 -
Huruf c
Dukungan biaya untuk mengikuti Pendidikan
Tinggi bagi Mahasiswa dapat diberikan dalam
bentuk beasiswa, bantuan atau membebaskan
biaya Pendidikan, dan/atau pinjaman dana tanpa
bunga.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “dana bantuan operasional”
adalah dana Kementerian di luar Penerimaan Negara
Bukan Pajak yang dialokasikan dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara untuk membantu biaya
operasional layanan Tridharma.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 90
Cukup jelas.
Pasal 91
Cukup jelas.
Pasal 92
Cukup jelas.
Pasal 93
Cukup jelas.
Pasal 94 . . .
- 97 -
Pasal 94
Cukup jelas.
Pasal 95
Cukup jelas.
Pasal 96
Cukup jelas.
Pasal 97
Cukup jelas.
Pasal 98
Cukup jelas.
Pasal 99
Cukup jelas.
Pasal 100
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5336
KETERANGAN SAKSI
Prof. Dr. Sofian Effendi
dalam
Perkara di Mahkamah Konstitusi No. 103/PUU/-X/2012
tentang
Pengujian Undang-undang Republik Indonesia No 12 tahun 2012
tentang Pendidikan Tinggi
terhadap
UUD NRI 1945
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Yang Mulia Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi,
Sehubungan dengan permohonan pengujian Undang Undang Republik Indonesia
No 12 tahun 2012, selanjutnya disebut UU Pendidikan Tinggi, terhadap Undang
Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, selanjutnya disebut UUD NRI
1945, yang dimohonkan oleh M. Nurul Fajri, dkk, selaku perwakilan Forum Peduli
Pendidikan Universitas Andalas yang selanjutnya disebut Pemohon, sesuai
registrasi di kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Nomor 103/PUU/-X/2012 tanggal 8
Oktober 2012, dengan perbaikan permohonan No. 111/PUU-X/2012 tanggal 3
Desember 2012, perkenankan saya sebagai Saksi Fihak Pemerintah memberikan
keterangan sebagai berikut:
A. Pokok Permasalahan
Pokok permasalahan yang diajukan oleh Pemohon adalah sebagai berikut:
1. Bahwa Pasal 64 UU Pendidikan Tinggi bertentangan dengan Pasal 28C ayat
(1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (4), Pasal 31 ayat (1) dan ayat (4) UUD
1945, karena Otonomi Perguruan Tinggi di bidang akademik dan non-
akademik, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64: (a) membuka peluang
dan melegitimasi perguruan tinggi untuk menerapkan komersialisasi
pendidikan tinggi; (b) membuka kesempatan kepada perguruan tinggi
untuk mengelola keuangan seperti sebuah sebuah korporasi;
(c) penyerahan otonomi non-akademik kepada PT badan hukum
merupakan bentuk pelepasan tanggung jawab dan kontrol Negara
terhadap pendidikan tinggi yang berkeadilan dan diskriminatif, sehungga
bertentangan dengan UUD NRI 1945 Pasal 31 ayat (1); dan (d) membuka
kesempatan kepada perguruan tinggi untuk melakukan abuse of power
Versi: 20 Februari 2013
Comment [A1]: non-akademik
2
dalam bidang ketenagaan karena pegawai perguruan tinggi akan tunduk
kepada perguruan tinggi sebagaimana ditetapkan dalam UUD NRI 1945
Pasal 28 D ayat (1); dan Pasal a quo melanggar Pasal 28 C ayat (1)
karena tidak memberikan kesempatan yang sama kepada setiap
warganegara untuk menikmati pendidikan tinggi.
2. Bahwa Pasal 65 ayat (1) sepanjang frasa “atau dengan membentuk
PTN badan hukum” serta ayat (3) dan ayat (4) UU Pendidikan Tinggi
bertentangan dengan Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I
ayat (4), Pasal 31 ayat (1) dan ayat (4) UUD 1945, karena: (a) otonomi
Perguruan Tinggi menjadikan pendidikan tinggi barang publik (public
good) yang merupakan fungsi dan tanggungjawab Pemerintah.
Penyelenggaraan pendidikan tinggi oleh PTN badan hukum menjadikan
pendidikan tinggi barang privat, sehingga bertentangan dengan amanat
Pasal 31 ayat (2) UUD NRI 1945; (b) bahwa bentuk PT Badan Hukum
Pendidikan sudah dinyatakan Mahkamah bertentangan dengan UUD NRI
1945 dengan Putusan Perkara No. 11-14-21-126-136 PUU-VII-2009;
(c) bahwa pemberian otonomi dapat menimbulkan praktek komersialisiasi
yang dilakukan oleh pengelola PTN; (d) bahwa pemberian otonomi
kepada perguruan tinggi negeri terutama di bidang keuangan berpotensi
memberikan kewenangan kepada institusi perguruan tinggi untuk
memungut dan memberlakukan berbagai bentuk biaya pungutan kepada
mahasiswa (masyarakat) dan dapat menyulitkan akses masyarakat
ekonomi lemah, sehigga bertentangan dengan ketentuan Pasal 28 C ayat
(1); dan (e) bahwa pemberian otonomi kepada PTN yang menerapkan
Pola Pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum (PPK-BLU) berarti
memberikan kemandirian pengelolaan dibidang keuangan oleh PTN
belum tentu menyediakan pendidikan murah bagi masyarakat, sehingga
bertentangan dengan Pasal 31 ayat (23) UUD 1945.
3. Bahwa Pasal 86 ayat (1) UU Pendidikan Tinggi bertentangan dengan
Alinea IV Pembukaan dan Pasal 31 ayat (1) dan ayat (5) UUD 1945,
karena: (a) Fasilitasi dan pemberian insentif kepada dunia usaha,
masyarakat, dan perorangan untuk memberikan bantuan kepada
Perguruan Tinggi telah melanggar pokok fikiran dalam Alinea IV tentang
filosofi pendidikan nasional; (b) mereduksi tanggung jawab negara atas
3
pendidikan dengan memberi kesempatan kepada dunia usaha dan
industri untuk terlibat dalam pendanaan pendidikan tinggi:
(c) menyebabkan dekonstruksi pada dunia pendidikan tinggi Indonesia,
dari pembentukan pendidikan tinggi yang berkualitas menjadi pendidikan
tinggi yang menerapkan pradigma dunia usaha yang mengutamakan
profit oriented; (d) Pasal a quo akan berakibat pada perubahan kurikulum
Perguruan Tinggi yang lebih disesuaikan dengan kebutuhan dunia usaha
dan dunia industri.
4. Bahwa Pasal 90 UU Pendidikan Tinggi bertentangan dengan Alinea IV
Pembukaan, Pasal 28C ayat (1) dan Pasal 28E ayat (1) UUD NRI 1945
karena: (a) menghambat pemenuhan hak konstitusional warga negara
atas pendidikan, khususnya pendidikan tinggi yang dijamin dalam
Alinea IV Pembukaan UUD NRI 1945, Pasal 28C ayat (1), dan Pasal 28E
ayat (1); (b) merupakan pelanggaran kewajiban konstitusional pemerintah
untuk menyediakan pembiayaan untuk pendidikan tinggi; dan (c)
pemberian izin kepada perguruan tinggi Negara lain di wilayah Negara
kesatuan Republik Indonesia bertentangan dengan kewajiban Negara
melalui Perguruan Tinggi Negeri untuk menyelenggarakan pendidikan
tinggi.
B. Keterangan Saksi
Sebagai saksi yang ikut terlibat dalam penyusunan rancangan UU
Perguruan Tinggi perkenankan saya memberikan keterangan tentang
pemikiran dan suasana kebatinan dalam penyusunan pasal-pasal yang
dimintakan uji materiil oleh Pemohon sebagai berikut:
1. Penyusunan RUU Pendidikan Tinggi berawal dari penugasan Dirjen
Dikti kepada Dewan Pendidikan Tinggi, khususnya Majelis
Pengembangan, Dewan Pendidikan Tinggi. Saksi adalah salah
seorang anggota Majelis Pengembangan-DPT. Seingat saya dalam
pembahasan tentang RUU Pendidikan Tinggi baik pada Majelis
Pengembangan DPT, pada DPT, pada Panja RUU PT yang dibentuk
Komisi X DPR, yang seluruhnya berlangsung hampir dua tahun, sejak
Oktober 2010 sampai disahkan oleh DPR pada 16 Juli 2012, para
penyusun sangat dijiwai oleh semangat ingin melaksanakan cita-cita
4
para pendiri Negara Bangsa dan para penyusun UUD NRI 1945 untuk
“mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan, termasuk
pendidikan tinggi.”
2. Penyusunan UU Pendidikan Tinggi bertujuan untuk menyediakan
landasan hukum Kebijakan Umum Pendidikan Tinggi 2012-2014 guna
mengatasi masalah-masalah pokok pendidikan nasional Indonesia
menjelang ulang tahun ke 100 Negara Republik Indonesia. Seperti
diungkapkan oleh Professor Hal Hill dan Dr. Thee Kian Wee dalam
laporan mereka “Indonesian Universities: Cathing Up and Opening Up”
(Canberra, Australian Natonal University, 2011), “walau pun
pendidikan tinggi Indonesia telah menunjukkan kemajuan sangat pesat
dalam kurun waktu 6 dekade, dari sekitar 2000 mahasiswa pada 1946
menjadi 4,7 juta pada 2011, dari hanya 2 PT menjadi 3600 PT, namun
hanya 5 persen dari seluruh PT nasional yang merupakan PT terbaik
Indonesia, dan semuanya PTN. Namun, kemajuan PTN sangat
terhambat oleh pengelolaan PT yang komplek, status tidak jelas, dan
kurang terkait dan kurang didukung oleh pembiayaan yang sesuai
standar global. Tanpa otonomi PTN Indonesia sukar mencapai status
sebagai PT kaliber dunia dan bahkan status PT kaliber Asia.”
3. Para penyusun juga sangat menyadari gencarnya gerakan globalisasi
pendidikan yang dimotori oleh World Trade Organization (WTO) yang
merupakan upaya untuk mendorong komersialisasi dan komoditisasi
sektor jasa termasuk 4 bidang layanan pendidikan yang bertujuan
memaksimalisasi keuntungan dengan menjadikan pelayanan
pendidikan tinggi sebagai jasa yang diperdagangkan (tradable
services). Dalam menyikapi globalisasi pendidikan tinggi, para
penyusun memperhatikan sekali reaksi keras dari para ahli pendidikan
dunia antara lain, Derek Bok sebagaimana tertulis dalam buku
terbarunya “Universities in the Marketplace: The commercialization of
Higher Education” (2012), dan Phillips G. Altbach dalam artikelnya
“Higher Education and the WTO: Globalization Runs Amok” (2003).
Kedua ahli pendidikan ini melalui buku dan tulisannya selalu
mengingatkan pemerintah negara berkembang akibat merugikan
globalisasi bagi negara-negara tersebut. Altbach, misalnya,
5
mengingatkan bahwa WTO sedang melakukan kodifikasi regulasi
untuk mengatur perdagangan pendidikan tinggi, sehingga nantinya
perdagangan pendidikan tinggi diatur sama dengan perdagangan
pisang serta komoditi lainnya. Kodifikasi tersebut akan sangat
membelenggu kebebasan suatu Negara dalam merumuskan tugas
dan fungsi perguruan tinggi dalam menguasai ilmu pengetahuan dan
teknologi serta menanamkan nilai-nilai luhur bangsa melalui
pendidikan tinggi. Globalisasi pendidikan sudah melanda Indonesia
sejak ditetapkannya UU No 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal
yang menetapkan bidang usaha yang tertutup dan terbuka untuk
penanaman modal asing (Pasal 13 ayat 1) dan PP 36 tahun 2010
tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup dan Bidang Usaha Yang
Terbuka untuk Penanaman Modal. Dalam Daftar tersebut dicantumkan
Bidang Pendidikan yang Terbuka untuk Penenaman Modal adalah: (1)
Pendidikan Nonformal; (2) Pendidikan Anak Usia Dini; (3) Pendidikan
Dasar dan Menengah; dan (4) Pendidikan Tinggi. Karena itu bila UU
Pendidikan Tinggi tidak mengatur ketentuan tentang perguruan tinggi
asing di wilayah NKRI, globalisasi pendidikan tinggi akan menimbulkan
kerugian yang lebih besar karena pelaksanaan jasa pendidikan tinggi
harus menerapkan regulasi yang ditetapkan WTO. Disamping itu
Indonesia tidak akan dapat menghambat dampak merugikan dari “illicit
trade” atau perdagangan gelap pendidikan tinggi, karena yang
beroperasi di Indonesia kebanyakan adalah PT tanpa akreditisasi.
4. Karena itu sebagian besar anggota Majelis Pengembangan
Pendidikan Tinggi Indonesia lebih menerima pandangan Organisasi
Pendidikan dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO)
yang lebih mendorong internasionalisasi pendidikan sebagai gerakan
kebudayaan untuk meningkatkan mutu pendidikan negara-negara
berkembang melalui kerjasama lembaga pendidikan lintas negara.
Jadi semangat UU Pendidikan tinggi adalah anti komersialisasi dan
anti komoditisasi pendidikan tinggi, bukan sebaliknya seperti pendapat
Pemohon.
5. Pemberian otonomi perguruan tinggi secara selektif tidak mengubah
hakekat pendidikan tinggi menjadi private good. Dalam menilai
6
pendidikan apakah public good atau private good penyusun UU
Pendidikan Tinggi berpegang pada pandangan para penyusun UUD
NRI 1945 sebagaimana tercantum dalam risalah Sidang BPUPKI
tanggal 16 Juli 1945 dan Risalah Sidang Panitia Perisapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 18 Agustus 1945 ketika
menyusun Ps 31 UUD 1945. Ketua PPKI Ir. Soekarno pada Sidang
PPKI tanggal 18 Agustus 1945 menyatakan “pelaksanaan tugas
pemerintah dalam memenuhi hak warganegara atas pendidikan
dilakukan dengan menerapkan “leerplicht” atau wajib belajar.” (Setneg,
1998: 557). Dalam Amandemen Keempat UUD NRI 1945 Penjelasan
UUD 1945 yang mengacu pada kesimpulan Rapat PPKI tanggal 18
Agustus dijadikan norma dalam Pasal 31 ayat (2) yang menetapkan
“Setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan
pemerintah wajib membiayainya.” Berdasarkan ketentuan UUD NRI
1945 Pasal 31 ayat (2) tersebut yang diartikan sebagai barang publik
adalah pendidikan wajib 9 tahun atau 12 tahun seperti diterapkan
dibeberapa provinsi. Kecuali di Negara yang menerapkan faham
welfare state seperti Negara-negara Skandinavia atau Negara sosialis
seperti Kuba, di banyak negara pendidikan tinggi dipandang sebagai
quasi-public good. Menyadari bahwa penetapan pendidikan sebagai
public good perlu dukungan pajak tinggi, yang tidak dapat
dilaksanakan di Indonesia, Pemerintah mengundang masyarakat
untuk ikut mendirikan sekolah mulai dari tingkat PAUD sampai
pendidikan tinggi. Pandangan ini dapat dibaca dalam “Garis-Garis
Besar Pengajaran dan Pendidikan” yang merupakan Naskah
Akademik penyusunan Pasal 31 UUD 1945. Pembiayaan pendidikan
tinggi tidak sepenuhnya merupakan tanggung jawab pemerintah, tetapi
kewajiban bersama antara pemerintah, pemerintah daerah, dan
masyarakat. Bahwa pendidikan tinggi bukan sepenuhnya public good
dibuktikan dengan dominannya peranan masyarakat dalam
penyelenggaraan pendidikan tinggi. Di Indonesia saat ini terdapat
3.600 Perguruan Tinggi, dan dari jumlah tersebut hanya terdapat 92
PTN, atau sekitar 2,5 persen. Sisanya, 97,5 persen, adalah milik
swasta. Dugaan saya pengeluaran Pemerintah dan pemerintah daerah
7
untuk pendidikan tinggi hanya sekitar 25 persen dari pengeluaran
nasional. Walau pun demikian anggaran pendidikan tinggi yang
disediakan pemerintah sebesar Rp. 39 Trilyun digunakan untuk
membiayai 92 PTN dan memberi bantuan dosen, beasiswa, dan
subsidi kepada PTS.
6. Pemerintah melaksanakan tugas konstitusional “mencerdaskan
kehidupan bangsa” antara lain melalui: (a) Meningkatkan mutu dan
relevansi pendidikan tinggi; (b) Memperluas keterjangkauan
pendidikan tinggi dengan meningkatkan Angka Partisipasi Kasar
(APK) Perguruan Tinggi; dan (c) Menyeleraskan komposisi lulusan PT
dengan Rencana Jangka Panjang Pembagnunan Nasional (RPJPN)
2004-2025 dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN) 2010-2014 dan Master Plan Percepatan Pembangunan
Ekonomi Indonesia (MP3EI). Pada 2012 APK Indonesia baru
mencapai 27 persen, masih tertinggal dari Negara maju Asia
Tenggara. APK Malaysia, 38 persen, Muangthai 46 persen, dan
Filipina, 60 persen. Pendidikan Tinggi Indonesia yang terlalu
menitikberatkan pada program studi akademik (87,5 persen) dan
sisanya 12,5 persen menempuh pendidikan vokasi yang sangat
diperlukan oleh industri yang sedang didorong pertumbuhannya oleh
Pemerintah. Akibatnya posisi teknisi yang diperlukan untuk
pembangunan industri nasional diisi oleh teknisi asing, yang saat ini
sudah berjumlah 86.000 orang. Pandangan Pemohon bahwa UU
Perguruan Tinggi hanya menghasilkan “janitor, operator, dan manager
yang diperlukan dunia usaha” jelas bertentangan dengan
perkembangan kebutuhan tenaga kerja nasional sebagaimana
ditunjukkan oleh statistik tenaga kerja nasional. Menurut Badan Pusat
Statistik pada 2012 terdapat 110,8 juta pekerja di Indonesia dan dari
jumlah tersebut yang bekerja di sektor publik atau Pemerintah kurang
lebih 5 persen atau 5,5 juta PNS dan non-PNS. Kebutuhan tenaga
kerja sebanyak 3-3,5 juta orang pertahun dalam berbagai disiplin ilmu,
teknologi dan kompetensi yang diperlukan industri masa depan jelas
merupakan salah satu tugas utama Perguruan Tinggi nasional. Kalau
pemerintah hanya menyelenggarakan pendidikan tinggi akademik
8
seperti yang diinginkan Pemohon, maka kebutuhan industri akan
tenaga teknisi yang berjumlah sekitar 75-80 persen dari kebutuhan
tenaga kerja per tahun akan diisi oleh tenaga kerja asing yang tidak
bisa dihambat kedatangannya ke Indonesia sejak Indonesia menjadi
anggota World Trade Organization (WTO) dan menandatangani Pakta
Perdagangan Bebas di Bogor pada 2007.
7. Untuk menyediakan lulusan PT yang sesuai dengan kebutuhan
industri nasional Pemerintah pada 2025 berencana meningkatkan APK
dua kali lipat dari APK 1012. Artinya jumlah mahasiswa yang masuk
PT akan mencapai 13 juta mahasiswa pada 2025, sehingga
menghasilkan kira-kira 3 juta lulusan PT per tahun. Untuk mencapai
tujuan ini diperlukan biaya Rp. 223 Trilyun per tahun buat
menyediakan tingkat pendidikan tinggi dengan standar mutu nasional.
Untuk mencapai pendidikan tinggi dengan mutu setingkat pendidikan
tinggi Malaysia dan Muangthai diperlukan anggaran minimal 2 kali
jumlah tersebut. Untuk mencapai pendidikan tinggi bermutu setingka
Singapura diperlukan biaya 3 kali standar biaya nasional. Untuk
mendukung biaya pendidikan tinggi yang besar itu dibanyak Negara
Pemerintah memfasilitasi sumbangan pembiayaan dari dunia usaha,
terutama untuk penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
8. Kesimpulan Pemohon bahwa Pasal 64, Pasal 65, Pasal 86, dan Pasal
90 UU Pendidikan Tinggi merupakan pelepasan tanggung jawab
Negara dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi juga sangat
bertentangan dengan kenyataan bahwa pembiayaan yang disediakan
pemerintah dalam kurun waktu 11 tahun telah meningkat 30 kali lipat.
Antara 2001 sampai 2012 pengeluaran Pemerintah Indonesia untuk
pendidikan telah meningkat lebih dari 30 kali lipat, dari Rp. 9,701
Trilyun pada 2001 menjadi Rp. 281 Trilyun pada 2012. Dari jumlah
tersebut Rp. 180 Trilyun dialokasi untuk pendidikan dasar dan
menengah yang telah diserahkan kewenangannya ke Daerah. Sisanya
sebesar Rp. 110 Trilyun dikelola oleh 12 kementerian dan lembaga
yang mempunyai program pendidikan tinggi dan pendidikan
kedinasan. Pada 2012 dari anggaran yang dikelola Kempdikbud
9
adalah Rp. 69 T, diantaranya sejumlah Rp 29 Trilyun dialokasikan
untuk pendidikan tinggi. Pada APBN 2013 pagu anggaran untuk
bidang pendidikan berjumlah Rp. 320 Trilyun. Dari alokasi tersebut Rp.
210 Trilyun ditransfer ke Daerah untuk penyelenggaraan PAUD dan
pendidikan menengah. Alokasi anggaran pendidikan untuk
Kemendikbud berjumlah Rp. 74,08 Trilyun, termasuk Rp. 39,08 Trilyun
untuk Pendidikan Tinggi. Artinya biaya pendidikan yang disediakan
oleh Pemerintah per mahasiswa untuk 2,5 juta mahasiswa PTN dan
sebagian PTS lebih kurang dari Rp. 15,6 juta per mahasiswa. Jumlah
biaya Rp. 15,6 juta per mahasiswa masih belum memenuhi satuan
biaya rerata per mahasiswa sebesar Rp. 30 juta per mahasiswa per
tahun. Dibandingkan dengan satuan biaya pendidikan tinggi per
mahasiswa di Malaysia misalnya, pengeluaran Pemerintah untuk
pendidikan tinggi per mahasiswa baru mencapai sepertiga
pengeluaran di Negara jiran.
9. Salah satu cara untuk memperbaiki manajemen keuangan PTN adalah
dengan menerapkan best practices managemen keuangan korporasi,
bukan dengan menjadikan perguruan tinggi negeri suatu korporat.
Asas keuangan korporat seperti cost effectiveness, efisen,
transparansi, dan akuntabel, saat ini dipratekkan di banyak organisasi
pemerintahan, bukan hanya PTN otonom. Para penyusun UU
Pendidikan Tinggi menganut faham bahwa pelayanan pendidikan
harus dilaksanakan secara nirlaba. Karena itu semangat UU
Pendidikan Tinggi menentang pembentukan korporasi Perguruan
Tinggi yang bertujuan mencari keuntungan dilarang di Indonesia.
10. Pandangan Pemohon bahwa pemberian otonomi Perguruan Tinggi
membuka peluang terjadinya “abuse of power” karena adanya dua
sistem keuangan dan dua sistem kepegawaian berbeda dari
pandangan para penyusun UU Pendidikan Tinggi. Reformasi
kepegawaian pendidik dan tenaga kependidikan perguruan tinggi
negeri adalah amanat UU Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan
Dosen, Pasal 52 ayat (2), yang berbunyi “dosen diangkat oleh pejabat
yang berwenang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.”
RUU Aparatur Sipil Negara yang sedang dalam dalam proses
10
penyelesaian menetapkan adanya dua jenis kepegawaian negeri yaitu
Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai Negeri dengan Perjanjian
Kerja (PNPK) pada insntansi Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
Karena RUU Aparatur Sipil Negara setelah disahkan akan menjadi lex
specialis hukum kepegawaian Indonesia, maka semua ketentuan
tentang kepegawaian pada instansi Pemerintah harus mengacu pada
UU Aparatur Sipil Negara. Jadi pandangan bahwa akan terjadi
kerancuan hukum, apalagi abuse of power karena pemberian otonomi
Perguruan Tinggi seperti pandangan Pemohon, adalah kesimpulan
yang kurang didukung oleh fakta. Penyusunan pasal tentang
ketenagaan mengacu pada UU Guru dan Dosen, dan UU No 8 tahun
1976 jo UU No 43 tahun 1999 mau pun pada RUU Aparatur Sipil
Negara.
11. Ketika menyusun UU Pendidikan Tinggi para penyusun sangat
menyadari adanya Putusan Mahkamah Konstitusi dengan Putusan No.
11-14-21-126-136 PUU-VII-2009. Namun para penyusun menyadari
pula bahwa amar keputusan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi
menyatakan bahwa Undang-Undang Nomor 9 tahun 2009 tentang
Badan Hukum Pendidikan bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan
karenanya dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat,
karena UU BHP memaksakan penyeragaman semua lembaga
penyelenggara pendidikan formal mulai tingkat PAUD sampai PT
yang didirikan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat
menjadi Badan Hukum Pendidikan. Penyeragaman badan hukum itu
yang bertentangan dengan hak asasi atas kebhinnekaan lembaga
pendidikan yang sudah dikenal dan diakui oleh masyarakat Indonesia.
Sebaliknya UU Pendidikan Tinggi merupakan pelaksanaan cita-cita
penyusun UUD 1945 sebagaimana disampaikan oleh Ir. Soekarno,
Prof. Dr. Soepomo, dan Mr. Soemitro Kolopaking, anggota-angota
BPUPKI dalam sidang–sidang BPUPKI tanggal 16 Juli 1945, mau pun
dalam sidang PPKI pada 17 Agustus 1945. Secara lebih eksplisit
disampaikan oleh Prof Dr. Soepomo dan Mr. Soemitro Kolopaking
dalam Kongres Pendidikan Nasional Kedua di Surakarta pada 4-6
Agustus 1947.
11
12. Prof. Dr. Soepomo dalam sidang BPUPKI risalah rapat-rapat BPUPKI
ketika membahas rancangan UUD 1945 sebagaimana yang dimuat
dalam Penjelasan UUD 1945 menyatakan sebagai berikut: “Undang-
undang dasar negara mana pun tidak dapat dimengerti kalau hanya
dibaca teksnya saja. Untuk mengerti sungguh-sungguh maksudnya
UUD dari suatu Negara, kita harus mempelajari juga bagaimana
terjadinya teks itu, harus diketahui keterangan-keterangan dan juga
harus diketahui dalam apa teks itu dibikin.”
13. Untuk memahami pasal-pasal dalam UUD 1945 yang dipakai dalam
perkara ini perlu dibaca risalah sidang-sidang BPUPKI tanggal 16 Juli
1945, khususnya naskah akademis penyusunan Ps 31 UUD NRI 1945
yang berjudul “Garis Garis Besar Pendidikan dan Pengajaran,” dan
Risalah Sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)
tanggal 18 Agustus 1945 (Setneg, 1998: 557), dan Sidang-Sidang
PPKI ketika menyusun UUD 1945. Untuk memahami bagaimana
suasana kebatinan dari UUD NRI 1945 mungkin perlu digali notulen
Sidang Panja Perubahan UUD 1945 dan Sidang Komisi dan Sidang
Pleno MPR masa bakti 1998-2004, ketika UUD NRI 1945 disusun.
Untuk memahami kerangka pemikiran dan suasana kebatinan yang
mendasari penyusunan UU No 12 tahun 2012, notulen rapat Majelis
Pengembangan Pendidikan, Dewan Pendidikan Tinggi, risalah rapat
Panja RUU PT Komisi X, notulen Rapat Komisi X, dan notulen Rapat
Pleno DPR masa bhakti 2010-2014, adalah sumber yang harus dibaca
oleh setiap orang yang ingin memahami semangat kebatinan yang
mendasari penyusunan UU PT.
14. Menurut pendapat saya argumentasi-argumentasi yang dibangun oleh
Para Pemohon untuk membuktikan pelanggaran pasal-pasal dalam
UU No 12 tahun 2012 terhadap Ps 28C, 28D, 28I, dan 31 UUD NRI
1945 tidak dilandasi oleh pemahaman yang akurat dan benar tentang
pasal-pasal mau pun semangat kebatinan para penyusun UUD 1945
mau pun UUD UUD NRI 1945. Misalnya ketika para Pemohon
menyatakan bahwa UU No 12 tahun 2012 Pasal 65 ayat (1) sepanjang
frasa “… atau dengan membentuk PTN badan hukum … “serta ayat
(3) dan (4) bertentangan dengan ketentuan yang tercantum dalam
12
Alinea IV Pembukaan UUD karena Para Pemohon menganggap
dengan menjadi badan hukum, maka serta merta PTN akan berubah
menjadi badan hukum usaha yang bertujuan mengkomersialkan
layanan pendidikan tinggi. Hukum ketatanegaraan Indonesia yang
diacu oleh penyusun UU Pendidikan Tinggi, mengenal adanya
beberapa bentuk badan hukum yaitu Negara, provinsi, kabupaten,
kota, dan badan dan lembaga dibentuk oleh penyelenggara
kekuasaan negara dengan undang-undang seperti Bank Indonesia.
PTN badan hukum yang ditetapkan dalam UU pendidikan jelas bukan
badan hukum usaha sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) Pasal 1653.
15. Dalam penyusunan UU No 12 tahun 2012, khususnya Pasal 64 ayat
(1), kami mengikuti pandangan penyusun UUD 1945 sebagaimana
disampaikan oleh Ir. Soekarno, Ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia, dalam Sidang Pertama PPKI pada 18 Agustus 1945 bahwa
untuk melaksanakan kewajiban konstitutional Pemerintah dalam
memenuhi hak warganegara akan pendidikan, Pemerintah
melaksanakan leerplicht atau wajib belajar (Setneg, 1998: 557).
Sesuai kemampuan keuangan Pemerintah, sejak 2004 Pemerintah
menetapkan pendidikan wajib 9 tahun, atau sampai SLTP. Di
beberapa daerah misalnya Kalimantan Timur bahkan menetapkan
wajib belajar 12 tahun. Pendidikan menengah dan pendidikan tinggi
diluar leerplicht 9 tahun statusnya adalah semi public good.
16. Pemenuhan hak konstitusional warganegara akan pendidikan melalui
wajib belajar 9 sampai 12 tahun tersebut merupakan pelaksanaan dari
Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia, khususnya Pasal 26
yang berbunyi sebagai berikut:
“Setiap orang berhak mendapat pendidikan. Pendidikan harus
gratis, setidak-tidaknya untuk tingkat sekolah rendah dan
pendidikan dasar. Pendidikan rendah harus diwajibkan.
Pendidikan teknik dan jurusan umum harus terbuka bagi setiap
orang, dan pendidikan tinggi harus secara adil dapat diakses oleh
semua orang, berdasarkan kepantasan dan kewajaran.”
13
C. Kesimpulan
Berdasarkan apa yang saya dengar, saya alami, dan saya ketahui
ketika ikut dalam penyusunan UU Pendidikan Tinggi dapat saya
rumuskan kesimpulan sebagai berikut:
1. Dalam penyusunan UU Pendidikan Tinggi para penyusun tidak
setuju penetapan PTN sebagai badan hukum usaha, tetapi
sebagai badan hukum publik yang dibentuk oleh pemegang
kekuasaan pemerintahan Negara untuk menjalankan fungsi
tertentu pemerintahan atau pelayanan publik. Karena itu
pemberian otonomi kepada perguruan tinggi negeri kepada PTN
dengan Undang-Undang Pendidikan Tinggi BUKAN merupakan
pelepasan kewajiban konstitusional Pemerintah untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana diamanatkan
dalam Alinea IV Pembukaan UUD NRI 1945. Seperti halnya
badan hukum publik provinsi, kabupaten dan kota yang diberikan
otonomi, PTN yang diberikan otonomi adalah badan hukum
publik yang dibentuk dengan undang-undang untuk
menyelenggarakan layanan pendidikan tinggi. Pemberian
otonomi kepada PT tidak melegitimasi komersialisasi pendidikan
tinggi, tetapi sebaliknya, MENETAPKAN perguruan tinggi
sebagai kegiatan NIRLABA, yang melarang komersialisasi
pendidikan tinggi. Dengan demikian tidak benar kesimpulan
Pemohon bahwa Pasal 65 ayat (1) sepanjang frasa “atau dengan
membentuk PTN badan hukum”, serta ayat (3) dan ayat (4)
BERTENTANGAN dengan UUD NRI 1945.
2. Pemberian Otonomi kepada PTN merupakan pelaksanaan dari
cita-cita founding fathers dan penyusun UUD 1945 sebagaimana
diucapkan oleh Prof. Dr. Soepomo dan Prof. Mr. Soenaria
Kolopaking dalam Kongres Pendidikan Kedua di Surakarta pada
4-6 Agustus 1945. Prof. Mr. Kolopaking menyampaikan kepada
Kongres sebagai berikut:
a. Negara harus menyelenggarakan universiteit. Inisiatitif
partikelir dapat meyelenggarakan Universitteit atau suatu
14
tjabang perguruan tinggi djika dipenuhi sjarat-sjarat jang
dtetapkan oleh Negara dengan undang-undang.
b. Universiteit negatra dibentuk sebagai badan hukum dengan
mempunyai kemerdekaan (otonomi) seluas-luasnya dalam
mengabdi pada ilmu pengetahuan.
Para penyusun memahami bahwa otonomi Perguruan Tinggi
merupakan pelaksanaan Deklarasi UNESCO tentang Kebebasan
Akademik dan Otonomi Perguruan Tinggi dalam rangka
Peringatan 40 Tahun Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi
Manusia di Lima pada 1988. Jadi TIDAK BENAR pandangan
Para Pemohon bahwa otonomi perguruan tinggi menghambat
pelaksanaan hak warganegara atas pendidikan tinggi. Otonomi
perguruan tinggi juga tidak bertujuan mentransformasi pendidikan
umumnya dan pendidikan tinggi khususnya menjadi barang privat
(private good). Selaku unit pelaksana di bawah Kemendikbud,
PTN adalah tetap milik Negara yang ditugaskan untuk
melaksanakan kewajiban konstitusional pemerintah untuk
menyelenggarakan pendidikan tinggi. Akses masyarakat ekonomi
lemah terjamin dengan mewajibkan PTN otonomi
mengalokasikan 20 persen penerimaan mahasiswa per tahun
untuk keluarga ekonomi lemah.
3. Pemberian otonomi pendidikan tinggi kepada PTN adalah dalam
rangka memenuhi hak atributif perguruan tinggi sebagai lembaga
ilmu pengetahuan, seni, dan budaya. Otonomi bidang keuangan
dan ketenagaan diberikan agar perguruan tinggi tidak “terpasung”
oleh aturan perbendaharaan Negara yang sangat ketat, sehingga
menghambat pelaksanaan fungsi tridharma perguruan tinggi.
4. TIDAK BENAR pendapat Para Pemohon bahwa pengaturan
perizinan dan persyaratan untuk pendirian Perguruan Tinggi
Asing di wilayah NKRI menghambat pemenuhan hak
warganegara akan pendidikan tinggi. UU Penanaman Modal dan
PP No 36 tahun 2010 telah menetapkan pendidikan tinggi
sebagai bidang usaha yang terbuka untuk penanaman modal.
15
Apabila UU Pendidikan Tinggi tidak mengatur persyaratan dan
izin masuknya PT Asing di wilayah Indonesia, diperkirakan akan
terjadi “illicit trade of higher education” karena lembaga PT asing
yang masuk ke wilayah Indonesia menjadi bebas, dan lembaga
PT Asing yang berdiri di Indonesia bukannya Harvard University
Cabang Padang atau Oxford Universiy Cabang Bukit Tinggi,
tetapi perguruan tinggi tanpa akreditisasi di negaranya sendiri.
Menghadapi pertumbuhan ekonomi Indonesia di masa depan, PT
Indonesia perlu mengembangkan kurikulum yang sesuai dengan
keperluan knowledge industry guna merealisasikan cita-cita
bangsa untuk menjadikan Indonesia ekonomi terbesar ketujuh
dunia. Sebab kalau tidak, berjuta-juta kesempatan kerja yang
diciptakan oleh dunia usaha akan diisi oleh lulusan PT Negara
lain yang tidak dapat dilarang masuknya ke Indonesia, terutama
untuk mengisi pekerjaan yang keahliannya tidak dihasilkan oleh
PT nasional. Jadi, pandangan Pemohon bahwa perubahan
kurikulum yang lebih beroritentasi pada lapangan kerja bukan
merupakan persekongkolan antara PT dengan pemilik modal,
tetapi merupakan misi sakral lembaga pendidikan tinggi yang
menentukan nasib bangsa Indonesia di masa depan. Demikian
pula TIDAK BENAR pandangan Para Pemohon bahwa UU PT
Pasal 90 telah menghambat pemenuhan hak konstitusional
warga negara atas pendidikan, khususnya pendidikan tinggi,
yang dijamin dalam Alinea IV Pembukaan UUD NRI 1945, Pasal
28C ayat (1), dan Pasal 28E ayat (1). Para penyusun UU
Perndidikan Tinggi berpendapat menjamin hak warganegara
untuk mendapat pendidikan tinggi tidak sama dengan menjamin
kebebasan warganegara untuk memperoleh pendidikan tinggi
yang diperlukan untuk membangun potensi setiap warganegara
setinggi-tingginya.
Demikianlah keterangan saya sebagai saksi berdasarkan fakta dan kejadian
yang saya alami dan saya ketahui sebagai Saksi yang ikut serta dalam
16
penyusunan UU Pendidikan Tinggi. Terima kasih atas perhatian Ketua dan
anggota Majleis Hakim terhormat.
Jakarta, 20 Februari 2013
Saksi Pemerintah,
Sofian Effendi
1
TANYA-JAWAB SEPUTAR UU DIKTI NOMOR 12 TAHUN 2012
oleh Prof. Ir. Nizam, M.Sc., Ph.D.
(Sekretaris DPT Ditjen Dikti)
1. Apakah UU Pendidikan Tinggi (UU Dikti) Konstitusional?
UU Dikti bersifat konstitusional karena disusun, dan disahkan oleh lembaga dan melalui
proses yang sah secara konstitusional.
UU Dikti juga disusun atas dasar perintah konstitusi (UUD 1945 Pasal 31 ayat 3 dan 5)
dan melengkapi/komplementer dengan UU Sisdiknas, di mana ada amanat bagi
Pemerintah untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta humaniora
yang diamanatkan sebagai pencerdasan kehidupan bangsa dan membangun peradaban.
UU Dikti juga tidak memuat materi yang melanggar dasar konstitusi (UUD 1945).UU
Diktimenjamin hak–hak warga negara yang diatur dalam konstitusi seperti hak berserikat
dan berkumpul (Pasal 28 UUD 1945) dan hak-hak lainnya, baik institusional maupun
individual. Karena itu, UU Dikti ini bersifat konstitusional.
2. Betulkah UU Pendidikan Tinggi Pro Liberalisasi dan Komersialisasi Pendidikan?
UU Dikti secara jelas mempertegas tanggung jawab Negara dalam penyelenggaraan
pendidikan tinggi.
Saat ini gejala liberalisasi dan komersialisasi pendidikan semakin kuat, antara lain
ditandai dengan penyelenggaraan pendidikan untuk mencari keuntungan, pungutan biaya
pendidikan yang tidak diatur, kurangnya perlindungan hak-hak akses masyarakat untuk
mendapatkan pendidikan tinggi, tidak kuatnya peran negara dalam mengatur sistem
pendidikan tinggi dan melindungi publik, keluarnya sektor pendidikan dari daftar negatif
investasi, dsb. Menguatnya mekanisme pasar bebas dalam penyelengaraan pendidikan
tinggi di tengah kesenjangan sosial ekonomi dan daya beli masyarakat yang rendah akan
berdampak pada semakin lebarnya kesenjangan sosial-ekonomi masyarakat. Peran
Pemerintah sebagai regulator dan penanggung jawab penyelenggaraan sistem pendidikan
haruslah dipertegas melalui Undang-undang. UU Dikti justru disiapkan untuk mengerem
laju liberalisasi dan komersialisasi pendidikan tinggi di Indonesia. UU Dikti menegaskan
bahwa institusi pendidikan tinggi harus bersifat nirlaba, tidak boleh dilepaskan pada
mekanisme pasar bebas, tetapi lebih pada fungsi sosial pengemban amanah konstitusi
untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan membangun peradaban bangsa.
Menguatnya anarkisme pasar bebas pendidikan tinggi menjadikan anak-anak orang
miskin akan selamanya sulit memasuki gerbang perguruan tinggi. Dapat kita bayangkan
seandainya mereka adalah anak-anak emas potensial bagi masa depan Indonesia, maka
negara-bangsa ini jelas akan rugi besar di masa mendatang. Dengan tidak adanya payung
regulasi yang kuat yang dimiliki oleh Pemerintah maka laju liberalisasi dan
komersialisasi yang dilakukan oleh penyelenggara pendidikan tinggi di Indonesia akan
sulit untuk dibendung. Karena itu, melalui UU Dikti inilah nantinya liberalisasi dan
komersialisasi pendidikan tinggi bisa direm lajunya oleh Pemerintah bersama-sama
2
PT dan masyarakat.Fungsi Pemerintah sebagai penyelenggara sistem pendidikan tinggi
dipertegas, regulasi sistem dibangun, dan afirmasi yang dibutuhkan untuk memastikan
akses masyarakat pada pendidikan tinggi agar melahirkan generasi emas bagi kemajuan
bangsa dapat dilakukan.
UU Dikti menekankan prinsip nirlaba dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi,
mengatur tentang penetapan biaya satuan pendidikan, mengharuskan penerimaan
mahasiswa baru tidak boleh dikomersialkan, serta hal-hal lain yang meregulasi sistem
pendidikan tinggi agar tidak liberal dan tidak komersial.
3. Apakah UU Pendidikan Tinggi
Menghalangi atau Memperkecil Peluang Masyarakat Miskin dan Kelas Menengah
ke Bawah untuk Memperoleh Pendidikan Tinggi di Indonesia?
UU Pendidikan Tinggi justru memberikan perlindungan dan jaminan bagi kalangan
masyarakat miskin dan kelas menengah ke bawah untuk bisa memasuki perguruan tinggi
di Indonesia.
Dengan tidak adanya payung regulasi yang bagus dalam mengatur penyelenggaraan
pendidikan tinggi di Indonesia, siapa yang bisa menjamin masyarakat kalangan menengah
ke bawah mendapatkan akses masuk ke PTN dan PTS yang bagus?
Siapakah yang berani bertaruh dan bisa menjamin agar setiap PTN dan PTS selalu
memberikan kuota yang memadai agar akses masyarakat miskin kelas menengah ke
bawah bisa bersekolah di PTN dan PTS favorit?
Adanya UU Pendidikan Tinggi jelas diperlukan untuk menjamin adanya keterjangkauan
dan akses masyarakat miskin kelas menengah bawah agar mereka bisa mengembangkan
potensinya bagi kemajuan bangsa dan negara kita di masa depan.
UU Dikti mengamanahkan adanya afirmasi untuk menjadikan pendidikan tinggi
terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat secara berkeadilan, seperti pembebasan biaya
seleksi masuk PTN, keharusan PTN mencari dan menjaring calon mahasiswa berpotensi
yang kurang mampu secara ekonomi dan dari daerah 3T (terluar, terdepan, tertinggal)
sekurangnya 20%, dan biaya pendidikan tinggi yang ditanggung mahasiswa dipungut
sesuai dengan kemampuan mahasiswa.
4. Apakah UU Pendidikan Tinggi Sangat Etatis?
UU Dikti menjaga keseimbangan antara kebutuhan dan perlindungan masyarakat,
otonomi perguruan tinggi, dan tanggung jawab Negara. Hal itu barangkali yang memberi
kesan UU Dikti bersifat etatis. Hal yang harus dipahami adalah tidak semua Etatisme
bersifat negatif. Etatisme yang negatif adalah kalau kekuasaan yang diatur, dimiliki dan
dijalankan oleh Negara melalui Pemerintah dilakukan dengan pola otoritarianisme,
totalitarianisme dan fasisme. Etatisme diperlukan untuk mencegak ultra liberalisme yang
berujung pada “anarkhisme”. Menguatnya komersialisasi dan liberalisasi dalam
penyelenggaraan pendidikan tinggi yang cenderung merugikan masyarakat maka
Etatisme sangat diperlukan untuk menjamin dan melindungi kepentingan publik. Tidak
benar bahwa UU Dikti sangat etatis, karena otonomi Pendidikan Tinggi tetap dijamin
bahkan dilindungi oleh Negara.
3
Menguatnya kebutuhan penyelenggaraan pendidikan tinggi di satu sisi dan di sisi lain
kecenderungan meningkatnya biaya yang harus ditanggung oleh masyarakat yang hendak
menempuh pendidikan tinggi, dimana mereka mengeluhkan hal tersebut. Etatisme di sini
bukan sebagai bentuk pengekangan ataupun campur tangan secara berlebihan dari negara,
namun Etatisme justru dijalankan lebih sebagai bentuk tanggung jawab
negara/Pemerintah untuk mengelola pendidikan tinggi sebagaimana amanah konstitusi.
Fakta obyektif menunjukkan bahwa kondisi PTN dan PTS akan sulit berkembang tanpa
campur tangan Pemerintah. Bahkan banyak PTN dan PTS yang menunjukkan
ketergantungan yang tinggi kepada Pemerintah. Di sisi lain, belum ada payung hukum
yang kuat dimana Pemerintah dalam memfasilitasi dan mendorong kemajuan PTN dan
PTS serta memberikan perlindungan kepada kepentingan publik.
Etatisme memastikan tanggung jawab Negara dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi
termasuk dalam pendanaan PTN maupun PTS; melindungi masyarakat dari
komersialisasi dan liberalisasi pendidikan tinggi; melindungi masyarakat dari
penyelenggaraan pendidikan tinggi yang tidak bermutu, jual-beli ijazah dan gelar;
memperluas akses hingga ke Kabupaten/Kota dan daerah tertinggal, terdepan, dan terluar;
serta melakukan afirmasi jaminan hak akses masyarakat yang berpotensi namun kurang
mampu secara ekonomi untuk mendapatkan pendidikan tinggi.
5. Betulkah UU Pendidikan Tinggi tidak memberi otonomi yang seharusnya (otonomi
setengah hati)?
UU Dikti mengamanahkan pada Pemerintah untuk memfasilitasi otonomi PT agar
bermanfaat bagi masyarakat, Negara, dan ilmu pengetahuan. Bukan otonomi untuk
otonomi itu sendiri. Sehingga tidak benar kalau dikatakan otonomi setengah hati, justru
Pemerintah memberikan kepercayaan sepenuhnya bagi kampus dalam mengembangkan
otonomi akademik. UU Dikti justru mengamanahkan dan menjamin otonomi perguruan
tinggi, kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan.
Kebebasan akademik merupakan prinsip penting dalam pendidikan tinggi, agar ilmu
pengetahuan dan teknologi bisa berkembang dengan baik. Namun Otonomi harus disertai
dengan akuntabilitas atau otonomi yang bertanggung jawab dan transparan kepada publik.
Karena otonomi yang tidak bertanggung jawab (tanpa akuntabilitas) justru dapat
disalahgunakan dan bahkan dapat tidak sejalan dengan kepentingan bangsa.UU Dikti
mempertegas aspek otonomi akademik dan non-akademik serta akuntabilitasnya. Kedua
jenis otonomi tersebut harus dijalankan dengan arif dan bijaksana, transparan,
bertanggung-jawab dan memberikan kemanfaatan seluas-luasnya bagi masyarakat.
Oleh karena itu, apa yang dikatakan sebagian kalangan bahwa UU Dikti ini cenderung
memberikan otonomi setengah hati, adalah tidak tepat. Yang lebih tepat adalah “otonomi
yang bertanggung jawab” sesuai dengan kapasitas (status) dari masing-masing PT. Hal ini
sesuai dengan amar putusan Mahkamah Konstitusi agar tidak terjadi penyeragaman
bentuk perguruan tinggi. Keragaman perguruan tinggi sangat dihargai dalam UU Dikti,
termasuk dalam menyelenggarakan otonomi perguruan tinggi. Adanya kemampuan yang
berbeda dari masing-masing PT diwadahi melalui pilihan ragam bentuk tata kelola PTN,
4
sementara untuk PTS bentuk tata kelola diserahkan sepenuhnya pada badan
penyelenggaranya.
6. Mampukah UU Pendidikan Tinggi mengatasi mahalnya biaya pendidikan?
Undang-Undang Pendidikan Tinggi (UU Dikti) dibuat untuk mengatasi mahalnya biaya
pendidikan tinggi. Memang biaya pendidikan tinggi yang bermutu di manapun di dunia
relatif cukup tinggi dibanding pendidikan dasar dan menengah. Oleh karena itu harus ada
regulasi dan afirmasi agar hak akses warga negara tidak terhambat karena alasan
ekonomi. Banyak pasal di dalam UU Dikti yang mengatur dan memastikan perlindungan
hak akses pendidikan tinggi tersebut. Antara lain memastikan tanggung jawab Pemerintah
dalam pendanaan pendidikan tinggi; penetapan standar satuan biaya operasional
pendidikan oleh Pemerintah;menetapkan biaya yang ditanggung mahasiswa disesuaikan
dengan kemampuan ekonomi mahasiswa; pembebasan biaya seleksi masuk PTN;
keharusan 20% mahasiswa baru PTN dari mahasiswa berpotensi yang kurang mampu
secara ekonomi; larangan komersialisasi penerimaan mahasiswa baru; keharusan bagi PT
untuk tidak mencari keuntungan melalui pendidikan (bersifat nirlaba); kewajiban bagi
Pemerintah untuk menyediakan biaya operasional PTN; penyediaan beasiswa, bantuan
biaya pendidikan, kredit mahasiswa tanpa bunga; pendanaan pendidikan tinggi oleh
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah; mendorong partisipasi dunia usaha dan dunia
industri untuk membantu perguruan tinggi; dsb.
7. Apakah UU Pendidikan Tinggi diskriminatif terhadap PTS?
PTN didirikan dan diselenggarakan oleh Pemerintah, sementara PTS didirikan dan
diselenggarakan oleh masyarakat, sehingga pada dasarnya kedua lembaga tersebut
berbeda. Tanggung jawab utama tentunya berada pada pendiri/penyelenggara perguruan
tinggi. Meskipun demikian, karena PTS juga mengemban misi pencerdasan kehidupan
bangsa, maka UU Dikti mengamanahkan Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk turut
serta membiayai PTS, antara lain dengan pemberian tunjangan jabatan dosen, tunjangan
kehormatan profesor, dana penelitian, beasiswa bagi dosen untuk studi lanjut, beasiswa
bagi mahasiswa, bahkan bantuan untuk biaya investasi dan pengembangan. Perhatian dan
dukungan Negara untuk PTS semacam ini jarang sekali dijumpai di negara lain. Dalam
hal otonomi akademik baik PTN maupun PTS memiliki kedudukan yang sama. Dalam
hal otonomi tata kelola, PTN diatur oleh Pemerintah selaku pendiri dan penyelenggara,
sementara PTS diserahkan sepenuhnya pada masing-masing badan penyelenggaranya.
8. Apakah UU Pendidikan Tinggi hanya pepesan kosong (terlalu banyak memberikan
janji, namun sulit diwujudkan)?
UU Dikti disusun untuk mengantisipasi peluang dan tantangan pembangunan bangsa
Indonesia di masa kini dan masa depan. Oleh karena itu banyak hal yang hendak
dikembangkan untuk memperkuat pendidikan tinggi yang bermutu di Indonesiadan
memperluas akses bagi seluruh warga masyarakat. UU Dikti ini bukan pepesan kosong, di
dalamnya ada kewajiban Pemerintah untuk menyediakan biaya operasional Perguruan
Tinggi Negeri (PTN), mengalokasikan biaya penelitian sebesar 30% BOPTN untuk PTN
dan PTS, membebaskan biaya seleksi mahasiswa baru secara Nasional, dan masih banyak
lagi hal-hal lain. Dengan keterbatasan anggaran Negara, tentunya tujuan mulia tersebut
dicapai secara bertahap disesuaikan dengan kemampuan, namun prioritas dan amanahnya
5
sudah jelas. Dengan demikian UU Dikti merupakan landasan hukum dan fondasi
pembangunan yang kuat untuk mewujudkan kemajuan pendidikan tinggi di Indonesia di
masa kini dan masa depan.
UU Dikti menegaskan peran dan tanggung jawab Pemerintah dalam pendanaan
pendidikan tinggi, dalam pengembangan pendidikan tinggi di setiap provinsi,
pengembangan akademi komunitas di setiap kabupaten/kota, serta pengembangan
perguruan tinggi secara keseluruhan. UU Dikti meletakkan arsitektur pengembangan
pendidikan tinggi ke masa depan untuk kemajuan dan kesejahteraan bangsa dan Negara.
Untuk mengimplementasikan UU Dikti dibutuhkan Peraturan Pemerintah dan Peraturan
Menteri sebagai bentuk perundangan yang lebih rinci dan teknis. Karena merupakan
fondasi pengembangan pendidikan tinggi secara komprehensif, maka UU Dikti
mengamanahkan beberapa PP dan Permen agar amanah UU ini dapat diimplementasikan
secara utuh.
9. Apakah dalam UU Pendidikan Tinggi terlalu banyak yang diatur?
UU Dikti memberikan otonomi pada masing-masing perguruan tinggi sesuai dengan misi
dan mandat masing-masing perguruan tinggi.
UU Dikti lebih banyak memberikan tugas dan tanggung jawab yang lebih besar kepada
Pemerintah untuk memajukan Pendidikan Tinggi.
Karena pendidikan tinggi meliputi aspek yang sangat luas dan harus komprehensif, mulai
dari peran dan tanggung jawab negara, penyelenggaraan pendidikan tinggi, pendirian
perguruan tinggi, hingga pengembangan peradaban bangsa, maka dengan sendirinya
lingkup pengaturan dalam UU Dikti cukup luas. UU Dikti hanya mengatur tentang dasar-
dasar dan kerangka umum pengaturan yang menekan aspek keterjangkauan, akses,
pemerataan dan relevansi antara perkembangan ilmu dengan dunia kerja/kebutuhan
masyarakat, negara dan bangsa. Peratuan operasionalnya ada di dalam PP dan Permen.
10. Apakah UU Pendidikan Tinggi reinkarnasi dari UU BHP?
UU Dikti bersifat luas tentang pendidikan tinggi secara utuh/keseluruhan, sehingga
lingkup pengaturannya komprehensif. Perihal badan hukum hanya merupakan bagian
kecil dari UU Dikti sebagai bentuk fasilitasi dan pengaturan Negara untuk
terselenggaranya otonomi perguruan tinggi negeri.
Substansi dan filosofi UU Diktisangat berbeda dengan UU BHP. Pada UU Dikti, subtansi
dan filosofi mengatur aspek penyelenggaraan Pendidikan Tinggi sebagai Sub-Sistem
Pendidikan Nasional secara utuh/komprehensif. Sedang UU BHP, secara subtantif dan
filosofis hanya berfokus pada aspek Badan Hukum Pendidikan dan Tata Kelola PT.Tidak
ada kaitan legal-formal antara UU DIKTI dengan UU BHP.
Dalam UU BHP tugas dan peran Pemerintah lebih sedikit, sehingga komersialisasi dan
liberalisasi pendidikan justru sulit dikontrol oleh Pemerintah, akibatnya masyarakat
cenderung dirugikan. Hal ini berbeda dengan UU Dikti. UU Dikti, justru dimaksudkan
untuk mengantisipasi peluang komersialisasi dan liberalisasi sebagai penyalahgunaan
prinsip otonomi PT, baik PTS maupun PTN.
6
11. Apakah UU Pendidikan Tinggi menyalahi (bertentangan) dengan konstitusi?
Tidak satupun pasal dalam UU DIKTI yang melanggar konstitusi. UU DIKTI justru
disusunkan untuk menjalankan amanah Konstitusi (dalam Pembukaan UUD 1945 Pasal
31 ayat 3 dan ayat 5, sertamelengkapi UU Sisdiknas). UU Dikti justru mengatur tanggung
jawab Negara dalam memenuhi hak konstitusional masyarakat untuk mendapatkan
pendidikan serta menjamin akses ke pendidikan tinggi secara non diskriminatif.
UU Dikti justru dimaksudkan untuk memberikan jaminan kepada publik agar Pemerintah
benar-benar mengembangkan sub-sistem pendidikan tinggi yang : 1) menyediakan akses
dan keterjangkauan yang luas bagi seluruh lapisan masyarakat serta afirmasi bagi
masyarakat kurang mampu secara ekonomi; 2) terjaminnya mutu pendidikan tinggi; 3)
tata kelola yang transparan dan bertanggung jawab;
12. Apakah UU Pendidikan Tinggi membuka pintu masuk bagi PT Asing dan akan
membunuh PTS-PTS di Indonesia?
Saat ini kita sudah meratifikasi perdagangan bebas, bahkan sektor Pendidikan sudah
dikeluarkan dari daftar negatif investasi. Untuk mengatasi agar sektor pendidikan (tinggi)
tidak menjadi komoditas yang diperjual belikan bahkan membebaskan PT Asing
beroperasi begitu saja di Indonesia diperlukan UU yang dapat meregulasi sistem
pendidikan tinggi kita. Oleh karena itu diperlukan suatu lex specialis (dalam hal ini UU
Dikti) yang dapat mengatur sub-sektor pendidikan tinggi dan meregulasi perguruan tinggi
asing yang akan masuk ke Indonesia. Di beberapa negara (Malaysia, Vietnam, Philippina,
Kamboja, dsb.) perguruan tinggi asing diperbolehkan masuk bahkan dalam bentuk
lembaga komersial dan pemerintahnya bahkan memberikan insentif. Namun di Indonesia,
karena konstitusi kitamengamanahkan bahwa pendidikan (tinggi) tidak boleh menjadi
barang dagangan (harus bersifat nirlaba) serta keinginan masyarakat untuk melindungi
PTN/PTS di dalam Negeri, maka diperlukan pengaturan yang tegas di dalam UU Dikti
tentang kehadiran PT Asing tersebut. Kehadiran PT Asing saat ini diatur melalui
Peraturan Menteri sehingga tidak cukup kuat untuk membendung dan meregulasinya. Di
dalam UU Dikti kehadiran PT Asing dibatasi dengan sangat ketat, bahkan lebih ketat dari
Permen yang ada. Pemerintah menetapkan daerah, jenis dan program studi yang boleh
diselenggarakan; PT Asing tersebut haruslah PT yang bermutu dan wajib bersifat nirlaba,
wajib memperoleh izin Pemerintah, bekerja sama dengan PT di Indonesia, mengutamakan
dosen dan tenaga kependidikan WNI; harus mengajarkan Pancasila, bahasa Indonesia,
kewarga negaraan Indonesia; serta harus mendukung kepentingan Nasional. Ketentuan-
ketentuan tersebut memagari sistem pendidikan tinggi kita dari serangan PT Asing yang
hanya bertujuan komersial namun tetap memberi kesempatan bagi PT Asing yang sesuai
dengan kepentingan Nasional untuk bekerja sama dengan PT di Indonesia
menyelenggarakan pendidikan tinggi yang bermutu.
Dengan demikian kalaupun ada PT Asing yang hadir di Indonesia (mau untuk tidak
komersial/berprinsip nirlaba) diharapkan justru meningkatkan mutu PT yang ada di
Indonesia, karena mereka harus bekerja sama dengan PT di Indonesia.
7
13. Apakah adanya UU Pendidikan Tinggi akan menyebabkan inflasi profesor?
UU Dikti memberi amanat pada Perguruan tinggi untuk mengemban mandat yang luas
dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bermanfaat bagi
pembangunan bangsa, mengembangkan kebajikan dan kekuatan moral untuk mencari dan
menemukan kebenaran ilmiah, dan mengembangkan peradaban bangsa. Profesor sebagai
jabatan akademik tertinggi merupakan ujung tombak pengembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi, membangun budaya akademik, mengembangkan kebajikan dan kearifan,
menemukan kebenaran ilmiah, dan mentransofmasikannya pada dosen-dosen muda dan
mahasiswa. Jabatan akademik profesor memerlukan persyaratan dan kualifikasi akademik
dan pengalaman dalam pendidikan, penelitian, maupun pengabdian kepada masyarakat
yang ketat. Saat ini jumlah profesor di Indonesia masih sangat sedikit dan banyak yang
sudah lanjut usia. Dalam hal kearifan, pengalaman, dan penguasaan ilmu pengetahuan
dan teknologi, tentunya pengalaman panjang seorang profesor sangat berharga dan tidak
mudah digantikan. Oleh sebab itu UU Dikti mengharuskan Negara tetap mempertahankan
profesor hingga usia 70 tahun (saat ini usia tersebut dipandang masih produktif dalam hal
akademik dan memberi kearifan dalam pengembangan ilmu pengetahuan). Sebetulnya
perubahan tersebut hanya memperkuat praktek saat ini di mana batas usia pensiun
seorang profesor adalah 65 tahun tapi dapat diperpanjang hingga 70 tahun.
Namun demikian, jaminan usia pensiun 70 tahun bagi profesor harus pula diikuti dengan
produktifitas dalam dunia akademik sebagai bentuk akuntabilitas dan tanggung jawab
kepada masyarakat. Oleh karena itu UU Dikti juga mengamanahkan agar dosen dan
profesor terus melakukan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tidak
melupakan aspek humaniora dan menyebarluaskannya untuk kepentingan bangsa dan
Negara melalui publikasi ilmiah maupun mendaya gunakan hasil ciptaan melalui HAKI.
Selain dari itu, UU Dikti memperbaiki praktek yang saat ini tidak adil terhadap dosen
pada pendidikan tinggi vokasi (Politeknik, Akademi) dengan memberi kesempatan yang
sama bagi dosen di pendidikan tinggi vokasi untuk mencapai jabatan akademik profesor
bila telah memenuhi syarat.
14. Apakah UU Pendidikan Tinggi justru memperluas dan memperbesar arus
komersialisasi dan privatisasi PTN?
Sebaliknya, UU DIKTI justru menekan arus komersialisasi dan privatisasi PTN.
Mengapa? Karena UU Dikti justru mengatur/meregulasiberbagai aspek dalam
penyelenggaraan pendidikan tinggi oleh PTN yang dapat mengarah pada komersialisasi
pendidikan tinggi. Hal-hal yang diatur secara jelas dalam UU DIKTI, antara lain : 1)
penetapan satuan biaya pendidikan oleh Pemerintah; 2) melindungi calon mahasiswa dari
komersialisasi penerimaan mahasiswa baru; 3) mengharuskan seleksi mahasiswa baru
PTN semata didasarkan pada kemampuan akademik; 4) mengharuskan PTN mencari dan
menjaring calon mahasiswa berpotensi akademik tinggi dari kalangan masyarakat yang
secara ekonomi kurang mampu, serta dari daerah terdepan, terluar, dan tertinggl untuk
diterima paling sedikit 20% dari seluruh mahasiswa baru; 5) biaya pendidikan tinggi yang
ditanggung mahasiswa disesuaikan dengan kemampuan ekonominya; 6) Pemerintah
menyediakan beasiswa, bantuan biaya pendidikan, kredit mahasiswa tanpa bunga, biaya
8
operasional pendidikan tinggi negeri, dsb.; serta pengaturan-pengaturan lain seperti
keharusan berprinsip nirlaba, dsb. Kesemuanya itu untuk memastikan bahwa ke depan
tidak lagi terjadi komersialisasi pendidikan tinggi.
Pada PTN yang otonom (PTN badan hukum) tanggung jawab Pemerintah tetap ada dan
ditekankan di dalam UU Dikti, sehingga tidak terjadi privatisasi dan komersialisasi PTN
meskipun telah menjadi badan hukum. Pendanaan PTN badan hukum tetap menjadi
tanggung jawab Pemerintah, dengan bentuk pendanaan yang sesuai dengan peraturan
perundangan untuk memastikan pendidikan tinggi bermutu yang terjangkau oleh seluruh
masyarakat. Pemberian hak untuk mengelola aset secara luas pada PTN badan hukum
dimaksudkan agar PTN tersebut dapat memanfaatkan sumber dayanya secara optimal
bagi peningkatan mutu pendidikan dan kemajuan PTN tersebut. Pemanfaatan aset harus
sepenuhnya dipergunakan untuk kepentingan pendidikan bukan untuk tujuan
komersial/orientasi profit. PTN badan hukum sepenuhnya menjadi milik negara, tidak
dapat diperjual belikan maupun dipindah tangankan, dengan demikian tidak akan terjadi
privatisasi yang selama ini dikhawatirkan oleh masyarakat.
15. Apakah UU Pendidikan Tinggi melepaskan tanggung jawab Pemerintah?
Sebaliknya, UU Dikti mempertegas tanggung jawab Pemerintah dalam penyelenggaraan
Pendidikan Tinggi di Indonesia. Tanggung jawab Pemerintah yang diamanahkan dalam
UU Dikti meliputi penyelenggaraaan Pendidikan Tinggi mencakup perencanaan,
pengaturan, pengawasan, pemantauan, dan evaluasi serte pembinaan dan koordinasi.
UU DIKTI memberikan banyak kewajiban kepada Pemerintah, seperti pengembangan
sistem penjaminan mutu, pendanaan pendidikan tinggi, pengembangan Perguruan Tinggi,
pembinaan Perguruan Tinggi, penyediaan sistem informasi Pangkalan Data Pendidikan
Tinggi, dsb.
16. Apakah UU Pendidikan Tinggi Diskriminatif?
UU Pendidikan Tinggi tidak bersifat diskriminatif. Sebaliknya UU Pendidikan Tinggi
justru memberikan payung hukum yang komprehensif bagi semua jenis Perguruan Tinggi
di Indonesia, baik PTN dan PTS. Dalam hal penyelenggaraaan akademik baik PTN
maupun PTS tidak dibedakan. Dalam hal tata kelola PTN diatur oleh Pemerintah sebagai
pendiri dan penyelenggaranya, sementara tata kelola PTS diatur oleh badan
penyelenggaranya (hal ini tentu tidak bisa dikatakan sebagai diskriminasi, karena sifatnya
memang berbeda). Di dalam UU Dikti hak hidup PTS sangat diperhatikan bahkan
didukung dengan memberikan berbagai bentuk bantuan dan pembinaan dari Pemerintah
(Pemerintah menanggung tunjangan fungsional dosen bagi PTN maupun PTS, tunjangan
kehormatan profesor bagi PTN maupun PTS, maupun bantuan pengembangan bagi PTS).
Karena PTS didirikan dan diselenggarakan oleh badan hukum penyelenggaranya, hak
yayasan dan hak sejarah yayasan sepenuhnya diakui dan dijunjung tinggi dalam UU
Dikti. Tata kelola PTS diserahkan sepenuhnya pengaturannya pada yayasan atau badan
penyelenggara yang bersifat nirlaba. Hal ini sangat berbeda dengan UU No.9 Tahun 2009
9
tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang telah dibatalkan oleh MK karena
mengharuskan setiap satuan pendidikan untuk berbadan hukum (penyeragaman bentuk).
17. Apakah UU Dikti Memberangus Kebebasan Mahasiswa?
Sebaliknya, justru UU Dikti mengharuskan agar pengembangan potensi Mahasiswa harus
difasilitasi oleh Kampus. Hak berorganisasi mahasiswa secara tegas dilindungi di dalam
UU ini.
UU Dikti melindungi kebebasan dengan diakuinya keberadaan organisasi mahasiswa
(yang dulu hanya di statuta PT, yang bisa dirubah oleh PT).
Melindungi mahasiswa untuk menyelesaikan kuliahnya sesuai dengan waktu yang
dipersyaratkan.
UU DIKTI menegaskan adanya fasilitas pinjaman kepada mahasiswa selama proses
kuliah berlangsung. Bersifat tanpa agunan dan bisa dibayarkan setelah lulus.
18. Betulkah UU Pendidikan Tinggi terlalu memberi kebebasan pada PT?
Tingkat kebebasan berbeda tergantung pada status masing-masing PT.
Tingkat kebebasan yang dimiliki oleh masing-masing PT sesuai dengan kapasitan dan
tanggung jawab yang harus dijalankan oleh masing-masing PT.
Kebebasan yang diberikan kepada masing-masing oleh PT sesungguhnya adalah
kebebasan yang bertanggung jawab sehingga tidak ada kebebasan yang mutlak tanpa
batasan sebagai status masing-masing PT dan konsekuensi tanggung jawab yang harus
dijalankannya sesuai dengan status masing-masing PT.
19. Betulkah UU Pendidikan Tinggi terlalu mengatur keuangan/tarif (sehingga
berlawanan dengan kebutuhan otonomi kampus).
UU Dikti hanya mengatur keuangan/tarif yang bersumber dari mahasiswa. Pengaturan ini
diperlukan agar biaya pendidikan tetap terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat dan
tidak terjadi komersialisasi pendidikan tinggi. Tetapi UU Dikti tidak mengatur keuangan
/tarif yang bersumber di luar dari biaya yang dikeluarkan oleh mahasiswa. Dengan kata di
luar sumber tersebut UU Dikti memberikan keleluasaan kepada masing-masing PT.
Tidak ada jaminan dari semua aspek otonomi kampus itu tidak merugikan masyarakat dan
mahasiswa. Bahkan intreprentasi dan implementasi otonomi kampus masih potensial
untuk disalahgunakan sehingga bisa memunculkan dampak negatif bagi masyarakat dan
mahasiswa (contoh tarif mahal, tidak jaminan kepada mutu pendidikan dan pelayanan
mahasiswa), karena itu pengarutan dibutuhkan agar intrepretasi dan implementasi
otonomi kampus benar-benar dijalankan secara arif dan bijaksana.
20. Apakah UU Pendidikan Tinggi akan memboroskan uang negara untuk membiayai
PTS-PTS?
UU Dikti mempertegas tanggung jawab Pemerintah/Negara dalam pendanaan PTS karena
kontribusinya pada penyediaan pendidikan tinggi, meskipun berbeda dengan PTN karena
sifatnya yang berbeda. UU Dikti ini memberikan sejumlah keuntungan bagi PTS
10
misalnya dari : 1) membayar tunjangan fungsional dosen, tunjangan kehormatan profesor,
2) bantuan investai dan pengembangan, 3) dana penelitian.
UU Dikti sebenarnya mendorong agar PTS lebih bermutu dengan meningkat fasilitas
pendidikan yang diberikan kepada mahasiswa.
Bantuan Pemerintah kepada PTS menunjukkan bahwa UU Dikti ini tidak diskrimintatif
kepada PTS.
21. Betulkah UU Pendidikan Tinggi sarat dengan beragam Peraturan lain seperti PP
dan Permen (birokratisasi pendidikan)?
Pemerintah harus melindungi kepentingan masyarakatdan Negara sehingga Pemerintah
harus mengatur sistem pendidikan tinggi tanpa mencampuri kebebasan akademik dan
otonomi keilmuan yang ada di dalam masing-masing PT.
PTN ditanggung Pemerintah karena PT tersebut adalah lembaga pendidikan yang dikelola
oleh Pemerfintah.
PTN diawasi karena menggunakan dana publik (APBN). Transparansi dan akuntabilitas
penting sesuai dengan semangat UU Kebebasan Informasi Publik (KIP).
PTS tetap diberi kebasan dalam mengelolaan khususnya dana. Hanya saja, yang
ditekankan oleh UU Dikti dimana PTS harus tetap nirlaba, dimana ia tidak memanfaatkan
keuntungannya untuk kepentingan pribadi, atau perusahaan atau bahkan modal/saham
PTS bisa diperjualbelikan di pasar modal.
22. Apakah dengan adanya UU Pendidikan Tinggi justru tidak memungkinkan
investasi (asing) dalam pendidikan tinggi (berlawanan dengan negara-negara lain,
seperti Malaysia, Vietnam, bahkan China yang membuka sektor Dikti untuk
Investasi Asing)?
Perguruan tinggi asing boleh menyelenggarakan pendidikan tinggi selama bersifat
nirlaba, sehingga tidak terjadi komersialisasi pendidikan.
Boleh selama mengikuti peraturan perundangan dan sejalan dengan kepentingan
nasional, sehingga tidak terjadi liberalisasi pendidikan.
Boleh selama bekerjasama dengan PT dalam negeri, sehingga tidak membunuh PT dalam
negeri. PT Asing juga harus mendapat izin Pemerintah.
Pemerintah mengatur daerah di mana PT asing boleh beroperasi, jenis perguruan tinggi,
serta program studi yang boleh diselenggarakan.
Diperoleh dari :
Ir. Djoko Luknanto, M.Sc., Ph.D.
Peneliti Sumberdaya Air
di Laboratorium Hidraulika
Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan, Fakultas Teknik
Universitas Gadjah Mada
Jln. Grafika 2, Yogyakarta 55281, INDONESIA
Tel: +62 (274)-545675, 519788, Fax: +62 (274)-545676, 519788
(melalui http://luk.tsipil.ugm.ac.id/atur/UU12-2012/tanyajawab.html)