mpkt a buku ajar i.pdf

176
i PROGRAM PENGEMBANGAN KEPRIBADIAN PENDIDIKAN TINGGI MATA KULIAH PENGEMBANGAN KEPRIBADIAN TERINTEGRASI A BUKU AJAR I Kekuatan dan Keutamaan Karakter, Filsafat, Logika, dan Etika Bagus Takwin Fristian Hadinata Saraswati Putri

Upload: allifnalieulinnuha

Post on 24-Sep-2015

358 views

Category:

Documents


9 download

TRANSCRIPT

  • i

    PROGRAM PENGEMBANGAN KEPRIBADIAN PENDIDIKAN TINGGI

    MATA KULIAH

    PENGEMBANGAN KEPRIBADIAN TERINTEGRASI A

    BUKU AJAR I

    Kekuatan dan Keutamaan Karakter,

    Filsafat, Logika, dan Etika

    Bagus Takwin Fristian Hadinata Saraswati Putri

  • ii

    UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK, 2012

    BUKU AJAR I

    Filsafat, Logika, Etika, dan

    Kekuatan dan Keutamaan Karakter

  • iii

    Pengantar Buku Ajar MPKT A

    Pendidikan yang Mengembangkan Kapabilitas dan Memerdekakan Manusia Indonesia

    Bagus Takwin

    1. Pendahuluan Konsep pendidikan yang memadai mensyaratkan konsep manusia yang memadai.

    Manusia sebagai makhluk yang dididik dan makhluk yang mendidik merupakan ihwal atau

    isu sentral dalam pendidikan. Berbicara tentang pendidikan pada dasarnya adalah berbicara

    tentang manusia.

    Siapa manusia dalam konsep pendidikan Indonesia dan apa yang ditujunya?

    Pertanyaan ini jarang dibahas dewasa ini. Sudah beberapa kali sistem pendidikan Indonesia

    diubah tetapi konsep tentang manusia yang semestinya mendasarinya malah makin kabur.

    Idealnya, pendidikan adalah proses menjadi dan menentukan diri sebagai pribadi.

    Pengertian ini mengindikasikan adanya penguatan daya-daya subjektif dalam pendidikan.

    Subjektivitas adalah potensi khas manusia, yang hanya mungkin muncul pada manusia.

    Subjektivitas adalah syarat kemerdekaan. Orang yang merdeka, ketika ia secara subjektif

    menentukan tindakan-tindakannya, menginterupsi status quo dan mampu mempertanggung-

    jawabkan dirinya.

    Ki Hadjar Dewantara1 mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah menghasilkan

    manusia merdeka. Sejalan dengan Ki Hadjar, Slamet Iman Santoso2 mengemukakan bahwa

    tugas pendidikan adalah pembinaan watak atau karakter (Santoso, 1979). Sebagai kepribadian

    yang dievaluasi berdasarkan nilai dan norma tertentu, watak juga mengandung unsur

    subjektivitas. Karakter adalah hasil aktualisasi subjektivitas.

    Kita teringat kepada Muhammad Hatta (1932/1998) yang menyatakan bahwa

    pendidikan nasional Indonesia diselenggarakan untuk menuju Indonesia Merdeka. Ia

    1 Tokoh pergerakan nasional yang hari lahirnya dijadikan Hari Pendidikan Nasional Indonesia. 2 Pelopor Pendidikan Psikologi di Indonesia dan pemrakarsa IKIP Jakarta.

  • iv

    menganggap pendidikan sebagai ikhtiar pembentukan karakter di tataran individual dan

    pembangunan bangsa di tataran kolektif. Meskipun tak mengabaikan perlunya kecakapan dan

    keterampilan untuk menafkahi hidup, Hatta sangat mementingkan pembentukan karakter

    melalui pendidikan. Orang yang berkarakter kuat adalah orang yang memiliki keutamaan

    dan mampu menggunakan kekuatan-kekuatan pribadinya untuk memutuskan dan mengambil

    tindakan yang baik untuk dirinya dan sekaligus untuk lingkungannya. Dengan kata lain,

    orang yang berkarakter kuat adalah orang yang merdeka, orang yang memanfaatkan daya-

    daya subjektifnya, karena dia memiliki keleluasaan dan pilihan-pilihan dalam hidupnya dan

    mampu mencari alternatif-alternatif baru dari apa yang sedang terjadi. Itulah sebabnya

    mengapa Hatta menekankan bahwa pendidikan nasional Indonesia mendidik rakyat supaya

    insaf akan kedaulatan dirinya dan paham akan makna dan maksud dasar kedaulatan rakyat.

    Istilah Bildung dalam bahasa Jerman, yang dalam bahasa Inggris berarti becoming

    and being somebody dapat mewakili pendidikan secara lebih memadai. Dalam Bahasa,

    Indonesia, Bildung dapat diartikan mengembangkan dan menjaga kesatuan diri, serangkaian

    proses yang juga mensyaratkan subjektivitas. Dengan demikian, pendidikan lebih dari

    sekadar pemerolehan pengetahuan dan keterampilan. Pendidikan adalah proses yang

    bertujuan memfasilitasi individu untuk membentuk dan mengembangkan dirinya.

    Kemampuan membentuk dan mengembangkan diri sendiri hanya mungkin dilakukan oleh

    orang-orang yang merdeka.

    Universitas Indonesia3 melalui program-program pendidikannya berusaha untuk

    mencapai tujuan pendidikan, memfasilitasi mahasiswanya menjadi manusia-manusia yang

    merdeka, menjadi orang-orang yang mempunyai karakter yang kuat. Kekuatan itu dapat

    digolongkan atas enam kelompok, yakni rasa ingin tahu atau minat terhadap dunia, rasa cinta

    pemelajaran, pikiran yang kritis dan terbuka, orisinalitas dan kecerdasan praktis, kecerdasan

    sosial atau kecerdasan emosional, dan perspektif atau kemampuan memahami beragam

    perspektif yang berbeda dan memadukannya secara sinergis untuk pencapaian hidup yang

    baik. Keenam kekuatan itu sekaligus juga merupakan nilai yang mendasari, memandu dan

    menjadi patokan penyelenggaraan pendidikan di UI.

    Salah satu wujud usaha UI untuk menghasilkan orang-orang yang berkarakter kuat

    adalah penyelenggaraan Mata Kuliah Pengembangan Kepribadiaan Terintegrasi.4 Tulisan ini

    merupakan pengantar yang sekaligus memuat kerangka pikir dari penyelenggaraan MPKT di

    UI. 3 Untuk selanjutnya disingkat menjadi UI. 4 Untuk selanjutnya disingkat menjadi MPKT.

  • v

    2. Memerdekakan dan Meningkatkan Kapabilitas Pendidikan bagi Ki Hadjar Dewantara (2004) adalah aktivitas untuk menghasilkan

    manusia merdeka, dalam pengertian tidak hidup terperintah; berdiri tegak karena kekuatan

    sendiri; dan cakap mengatur hidupnya dengan tertib. Merdeka di sini mencakup pengertian

    merdeka secara fisik, mental, dan rohani. Namun kemerdekaan pribadi itu dibatasi oleh tertib

    damainya kehidupan bersama dan ini mendukung sikap-sikap seperti keselarasan,

    kekeluargaan, musyawarah, toleransi, kebersamaan, demokrasi, tanggung jawab, dan disiplin.

    Lebih khusus lagi, yang dimaksud dengan manusia merdeka adalah orang yang

    mampu berkembang secara utuh dan selaras dalam segala aspek kemanusiaannya, serta

    mampu menghargai dan menghormati kemanusiaan setiap orang. Oleh karena itu, bagi Ki

    Hadjar, dalam konteks pendidikan, pepatah educate the head, the heart, and the hand

    sangat tepat (Dewantara, 2004).

    Kita dapat menelururi konsep manusia yang mendasari konsep pendidikan Ki Hadjar

    Dewantara. Menurutnya manusia memiliki daya jiwa yaitu cipta, karsa, dan karya.

    Pengembangan manusia menuntut pengembangan semua daya secara seimbang.

    Pengembangan yang terlalu menitikberatkan satu daya saja akan menghasilkan ketidakutuhan

    perkembangan sebagai manusia. Pendidikan yang menekankan aspek intelektual belaka

    hanya akan menjauhkan peserta didik dari masyarakatnya. Payung pendidikan mencakup

    payung nasionalistik, yaitu budaya nasional, bangsa yang merdeka dan mandiribaik secara

    politis, ekonomis, maupun spiritual; dan payung universal, yaitu hukum alam yang berlaku

    atas segala sesuatu yang merupakan wujud dari kehendak Tuhan.

    Konsep manusia merdeka dari Ki Hadjar Dewantara memiliki implikasi dalam

    ranah pendidikan. Ia menyatakan bahwa prinsip dasar pendidikan adalah kemerdekaan,

    merdeka dari segala hambatan cinta, kebahagiaan, keadilan, dan kedamaian yang tumbuh

    dalam diri (hati) manusia. Suasana yang dibutuhkan dalam dunia pendidikan adalah suasana

    yang berprinsip kekeluargaan, kebaikan hati, empati, cinta kasih, dan penghargaan terhadap

    setiap orang yang terlibat di dalamnya. Dengan dasar itu maka hak setiap individu hendaknya

    dihormati.

    Pendidikan hendaknya membantu peserta didik untuk menjadi merdeka dan

    independen secara fisik, mental, dan spiritual. Pendidikan tidak boleh hanya mengembangkan

    aspek intelektual sebab hal itu akan memisahkan peserta didik dari orang kebanyakan.

    Pendidikan juga hendaknya memperkaya setiap individu, memperkuat rasa percaya diri, dan

  • vi

    mengembangkan harga diri. Dalam pada itu, perbedaan di antara pribadi-pribadi harus tetap

    dipertimbangkan. Lulusan didik yang dihasilkan adalah lulusan yang berkepribadian

    merdeka, sehat fisik, sehat mental, cerdas, menjadi anggota masyarakat yang berguna, dan

    bertanggung jawab atas kebahagiaan dirinya dan kesejahteraan orang lain. Dengan kata lain,

    pendidikan menghasilkan pribadi yang berkarakter kuat.

    Metode pendidikan yang memerdekakan didasari oleh kepedulian, dedikasi, dan

    kecintaan kepada sesama manusia. Pendidikan harus dapat memfasilitasi siswa untuk

    memperoleh pengalaman yang dapat dijadikan media pemelajaran yang mencakup

    pemelajaran tentang konsekuensi logis dari tindakansesuai dengan hukum sebab-akibat

    dan kesadaran akan pentingnya belajar bagi kehidupan siswa dalam keseharian mereka.

    Orang yang belajar tidak hanya meniru atau mencerminkan apa yang yang diajarkan,

    melainkan menciptakan sendiri pengertian.

    Sejalan dengan pandangan pendidikan Ki Hadjar, pendidikan di UI menekankan

    pentingnya mahasiswa menyadari alasan dan tujuan dia belajar. Ia perlu dihindarkan dari

    pendidikan yang hanya menghasilkan orang yang sekadar menurut dan melakukan perintah.

    Dari Ki Hadjar Dewantara (2004) kita mendapat pemahaman bahwa mendidik merupakan

    daya-upaya yang sengaja dilakukan untuk memajukan hidup dan menumbuhkan budi-pekerti

    (yang mencakup rasa, pikiran, dan roh) dan badan peserta didik dengan jalan pengajaran,

    teladan dan pembiasaan. Menurutnya, tidak boleh ada perintah dan paksaan dalam

    pendidikan.

    Pemikiran yang lebih operasional tentang pendidikan adalah pemikiran Amartya Sen.5

    Menurut Sen, pendidikan bertujuan untuk menghasilkan kapabilitas (capability) pada peserta

    didik (Walker dan Unterhalter, 2007). Meskipun istilah yang digunakan Sen adalah

    kapabilitas, implikasi logisnya sama dengan istilah merdeka dalam pemikiran Ki Hadjar

    Dewantara, yaitu orang yang berkarakter kuat.

    Sen mendefinisikan kapabilitas sebagai a persons ability to do valuable acts or

    reach valuable states of being; [it] represents the alternative combinations of things a person

    is able to do or be (Sen 1993:30). Kapabilitas merujuk kepada kemampuan pribadi untuk

    melakukan tindakan berharga atau mencapai keadaan diri yang berharga. Kapabilitas

    mewakili adanya kemungkinan atau keleluasaan pada diri seseorang untuk menemukan

    kombinasi alternatif dari hal-hal yang dapat dilakukan atau dicapainya. Dengan demikian,

    kapabilitas adalah kesempatan atau kemerdekaan untuk mencapai apa yang secara reflektif

    5 Ekonom India kelahiran Bengali, pemenang Nobel Ekonomi tahun 1998.

  • vii

    dinilai berharga oleh individu. Kapabilitas dalam terminologi Sen merupakan inti dari

    kemerdekaan (Dreze dan Sen 1995).

    Dalam pemikiran awalnya, Sen (1985) mengajukan lima komponen yang terkait erat

    dengan kapabilitas:

    1. kemerdekaan nyata, yaitu adanya pilihan dan alternatif bagi setiap orang yang

    membuatnya leluasa menjalani dan mencapai tujuan hidupnya

    2. kemampuan mengelola dan mengubah sumber daya menjadi kegiatan-kegiatan yang

    bernilai

    3. kegiatan-kegiatan yang menghasilkan kebahagiaan

    4. keseimbangan faktor materialistik dan nonmaterialistik dalam mencapai kesejahteraan, dan

    5. distribusi kesempatan dalam masyarakat.

    Pendekatan ini menekankan kapabilitas fungsional, yaitu kemerdekaan substantif

    seperti kemampuan untuk hidup sampai hari tua, keterlibatan dalam transaksi ekonomi, atau

    partisipasi dalam kegiatan politik. Hal-hal yang terkandung dalam makna kemerdekaan

    substantif, menurut pendekatan ini, lebih beralasan untuk dinilai berharga ketimbang

    kegunaan (utility) seperti kesenangan, pemenuhan hasrat atau pilihan. Kemerdekaan subtantif

    juga dinilai lebih berharga daripada akses ke sumber daya seperti penghasilan, komoditi, dan

    aset.

    Kemiskinan dipahami sebagai kapabilitas yang tercerabut (deprived capability). Patut

    dicatat, penekanan pendekatan ini tidak hanya pada bagaimana orang secara aktual berfungsi,

    melainkan juga pada kapabilitasnya, yaitu pilihan praktis untuk berfungsi dalam hal-hal

    penting jika ia menginginkannya. Seseorang dapat mengalami kapabilitas yang tercerabut,

    misalnya dalam hal pengabaian, penindasan oleh pemerintah, kurangnya sumber daya

    finansial, atau kesadaran palsu. Sebaliknya, perlu ditekankan pula, kesejahteraan seseorang

    juga dipengaruhi oleh keberadaan orang lain. Sen (1993) menekankan, kebebasan memilih

    cara hidup yang memungkinkan seseorang mencapai kesejahteraan, dalam banyak hal

    dibantu oleh pilihan-pilihan orang lain. Salah jika kita berpikir bahwa pencapaian prestasi

    kita masing-masing merupakan hasil pilihan pribadi semata. Pencapaian prestasi setiap orang

    membutuhkan kebersamaan dengan orang lain.

    Signifikansi dari ide Sen ini terletak pada kontrasnya dengan ide lain tentang

    bagaimana kita memutuskan apa yang adil (fair) dalam distribusi sumber daya. Kapabilitas

    atau kemerdekaan dan keadilan adalah setali tiga uang. Keadilan hanya bermakna pada orang

    yang merdeka, pada orang yang memiliki kapabilitas untuk menentukan apa yang penting

    dan berharga baginya.

  • viii

    Ki Hadjar dan Sen sama-sama melihat pendidikan dari hal yang paling mendasar,

    yakni dari konsep manusia, tujuan akhir pendidikan, dan apa yang terbaik bagi kehidupan

    bersama. Ini membedakan pendekatan mereka dengan pendekatan lainnya yang tampaknya

    memisahkan pendidikan dari aspek-aspek lain dari kemanusiaan.

    Sebagai contoh dari perbedaan itu, konsep pendidikan lain menggunakan ide tentang

    distribusi yang diletakkan pada apa yang ditentukan oleh pihak luar sebagai yang terbaik

    untuk menciptakan kesempatan maksimum atau mencapai hasil yang memadai. Umpamanya,

    menurut konsep ini, sekolah bagi siswa adalah alat untuk memenuhi tuntutan-tuntutan dunia

    kerja. Sementara menurut Ki Hadjar dan Sen, pendidikan merupakan proses yang

    memfasilitasi pertemuan peserta didik dengan dunia, khususnya dengan masyarakat, sehingga

    nantinya ia dapat hidup di masyarakatnya secara bermakna dan memberikan kontribusi dalam

    pengembangan masyarakat itu. Peserta didik juga difasilitasi untuk dapat memberi makna

    kepada dirinya sendiri dan kepada dunia. Keberfungsiannya dalam masyarakat didasari oleh

    kebebasan kesempatan yang meleluasakannya memilih cara hidup dan kontribusinya dalam

    masyarakat (Unterhalter 2003).

    3. Kapabilitas dan Fungsi Kapabilitas berbeda dengan fungsi. Fungsi bertujuan untuk memperoleh manfaat sedangkan

    kapabilitas adalah potensi untuk mencapai fungsi (Sen 1980). Membaca, berbicara

    menyampaikan gagasan, mengambil peran dalam masyarakat, menjawab pertanyaan,

    bertindak hati-hati dan cermat, serta menggunakan alat untuk membuat kerajinan tangan

    adalah fungsi. Mendapat kesempatan untuk belajar dan keleluasaan untuk berpikir,

    kesempatan untuk bekerja dengan kondisi yang memungkinkan untuk menjadi produktif dan

    memperoleh penghargaan merupakan contoh dari kapabilitas. Secara konseptual, kapabilitas

    dapat dipahami sebagai refleksi kebebasan untuk mencapai fungsi-fungsi yang bernilai (Sen,

    1992). Perbedaan fungsi dan kapabilitas dapat juga dipahami sebagai perbedaan antara

    pencapaian prestasi aktual dan kesempatan untuk berprestasi.

    Pembedaan fungsi dari kapabilitas sangat penting terutama dalam evaluasi pendidikan

    (Walker dan Unterhalter, 2007). Evaluasi hanya atas fungsi dari pendidikan saja memberikan

    terlalu sedikit informasi tentang seberapa baik seseorang berlaku dalam kehidupannya.

    Pencapaian yang sama oleh dua orang yang berbeda bisa saja memiliki cerita yang berbeda di

    belakangnya. Misalnya, yang satu mencapainya dengan mudah karena kesempatan dan

    fasilitasnya tersedia, sedangkan yang lain mengorbankan banyak hal untuk mencapai itu.

    Sebagai contoh, untuk mencapai nilai ujian nasional di atas standar kelulusan, boleh jadi

  • ix

    siswa-siswa di satu sekolah mencapainya dengan cara belajar seperti yang biasa mereka

    lakukan sehari-hari, sementara di sekolah lain para siswa dipaksa mengabaikan pelajaran lain

    yang tidak disertakan dalam ujian nasional agar dapat memperoleh nilai yang baik dalam

    ujian nasional.

    Kemerdekaan dan keagenan (agency) merupakan dua konsep sentral dalam

    pendekatan kapabilitas (Walker dan Unterhalter, 2007). Dua konsep ini perlu diperjelas

    dalam kerangka pendekatan kapabilitas. Dalam kerangka ini, orang dipahami sebagai

    partisipan aktif dalam perkembangan ketimbang sebagai pengamat yang pasif. Keagenan

    berarti bahwa setiap orang adalah manusia yang terhormat, yang bertanggung jawab

    membentuk hidupnya dalam arahan tujuan yang berarti. Dengan kata lain, orang tidak

    dibentuk atau diinstruksikan untuk berpikir, melainkan membentuk dan mengelola dirinya

    sendiri untuk menjalani hidup yang mengarahkan kepada pencapaian tujuan-tujuannya.

    Tujuan-tujuan itu boleh jadi tidak niscaya membuat individu lebih senang atau lebih nyaman,

    tetapi hal itu dicapai melalui penalaran reflektif. Dalam pendidikan, setiap orang

    diperlakukan sebagai agen dari pemelajarannya, menjadi agen atau instrumen bagi

    pemelajaran orang lain, dan menjadi penerima dari keagenan orang lain.

    Sebagai agen, peserta didik layak memperoleh perhatian dari pendidik dan sekolah

    dalam ikhtiar-ikhtiar untuk mengembangkan mereka sebagai manusia yang merdeka. Bagi Ki

    Hadjar dan Sen, keterlibatan siswa dalam pembentukan kehidupan dan perolehan kesempatan

    untuk merefleksikan keagenannya merupakan hal yang sangat penting untuk perubahan sosial

    yang positif. Keagenan pada dirinya sendiri penting untuk kemerdekaan individu, juga secara

    instrumental dibutuhkan untuk tindakan kolektif dan partisipasi demokrasi. Dengan kata lain,

    keagenan pada individu diperlukan untuk perkembangan masyarakat (Sen, 1990). Orang

    melatih dan mengembangkan keagenannya secara individual serta lewat kerja sama dengan

    orang lain (Walker dan Unterhalter, 2007). Melalui kesempatan pendidikan dan proses yang

    memadai, setiap orang dapat belajar menguatkan keagenan dan kemerdekaannya.

    Keagenan juga merupakan kunci bagi kebahagiaan atau kesejahteraan (well-being)

    seseorang (Alkire, 2002). Sama halnya dengan pemelajaran, pemahaman diri sendiri sebagai

    agen, yang tindakan-tindakan dan kontribusinya diperhitungkan dalam dunia pendidikan,

    tidak berlangsung sekali jadi dalam waktu yang cepat. Pembentukan kesadaran tentang diri

    sendiri sebagai agen berlangsung dalam proses yang panjang dan lama, proses yang sekaligus

    meng-ada (being) dan menjadi (becoming). Dengan membangun keagenan di dalam dan

    melalui praktik pendidikan, kita membuka kemungkinan untuk menginterupsi hubungan yang

  • x

    dipaksakan dalam pendidikan yang cenderung mengaitkan sumber-sumber yang dimiliki

    pemelajar dengan manfaat (Walker dan Unterhalter, 2007).

    4. Pendekatan Yang Digunakan Penyelenggara Pendidikan di UI Dengan dasar pertimbangan keagenan, perlu dipertanyakan apakah pemelajar yang berbeda

    diakuisecara sosial dan edukasionalmemiliki klaim yang setara terhadap sumber daya

    dan kesempatan. Ini merupakan persoalan yang saat ini sedang dihadapi Indonesia. UI

    berusaha menyelesaikan persoalan ini. Marilah kita cermati apa yang berlangsung umum

    dalam proses pendidikan di Indonesia.

    Pada kenyataannya, di Indonesia terdapat perbedaan akses ke sumber dan

    kesempatan, di antara para lulusan dari sekolah yang dianggap bermutu dan yang kurang

    bermutu, terutama lulusan perguruan tinggi. Secara sosial tuntutan fungsional terhadap para

    lulusan perguruan tinggi jauh lebih tinggi daripada tuntutan terhadap kapabilitas mereka.

    Mereka diharapkan sudah siap berfungsi begitu mereka memasuki dunia kerja. Fungsi yang

    dituntut dari lulusan itu adalah fungsi yang sudah ditentukan oleh pemberi kerja. Mereka

    harus siap bekerja dengan fungsi yang sangat khusus. Ternyata, tidak semua lulusan

    perguruan tinggiseperti juga lulusan SMAdapat diserap oleh dunia kerja yang

    membutuhkan fungsi khusus. Di sisi lain, selama dalam pendidikan mereka tidak

    dipersiapkan untuk memiliki kapabilitas sehingga mereka seperti tak punya kesempatan dan

    tak mampu melihat kemungkinan lain di luar menjadi orang bayaran, yakni orang yang

    bekerja pada orang lain, misalnya pemerintah atau perusahaan.

    Perguruan tinggi di Indonesia umumnya menjadikan keterserapan lulusannya oleh

    dunia kerja sebagai salah satu indikasi keberhasilan mereka mendididik. Semakin banyak dan

    semakin cepat lulusan mereka terserap oleh perusahaan atau lembaga pemberi kerja, semakin

    besar rasa keberhasilan mereka mendidik mahasiswa-mahasiswanya. Dari situ dapat kita lihat

    bahwa kebanyakankalau tidak dapat dikatakan semuaperguruan tinggi di Indonesia

    masih menggunakan pendekatan utilitarian yang mementingkan pengajaran fungsi dan

    mengejar manfaat yang spesifik. Pendidikan yang berikhtiar untuk menghasilkan kapabilitas

    atau kemerdekaan pada siswa-siswanya masih sangat langka.

    Dalam kajian penelusuran (tracer study) atas sejauh mana efektivitas proses

    pendidikan melalui identifikasi kegiatan-kegiatan para lulusannya, informasi yang digali ialah

    sejauh mana fungsi-fungsi dimiliki oleh lulusan. Umumnya dalam kajian itu hanya

    ditanyakan waktu tunggu untuk mendapatkan pekerjaan pertama, besarnya gaji pertama,

    posisi atau jabatan di tempat kerja awal dan saat ini, kesesuaian ilmu dengan bidang

  • xi

    pekerjaan, kebutuhan keilmuan dalam melaksanakan pekerjaannya, serta saran dan kritik

    untuk kebutuhan pengembangan jurusan. Pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan

    kapabilitas sangat jarang.

    UI berupaya mengubah kecenderungan itu. Pemikiran tentang pengembangan

    kapabilitas dan bukan melulu pembentukan fungsi yang menjadi tujuan pendidikan tinggi

    diindikasikan oleh kajian penelusuran yang dilakukan oleh UI. Dari kuesioner dan laporan

    hasil kajian itu, ada indikasi bahwa pendidikan di UI menekankan juga pentingnya

    pengembangan kapabilitas dalam pendidikan. Mahasiswanya diberi kesempatan dan

    difasilitasi untuk meningkatkan kapabilitasnya melalui berbagai pengalaman belajar: selain

    pengalaman belajar di dalam kelas dan di laboratorium, ada juga pengalaman belajar di

    masyarakat, di perusahaan atau di instansi pemerintah; belajar dalam organisasi dan dalam

    pergaulan; serta belajar mandiri. Pendidikan yang memungkinkan terbentuknya keterampilan

    hidup, keterampilan generik atau keterampikan lunak (soft-skill) pun dilakukan oleh UI.

    Beberapa pelajaran juga disajikan dengan metode yang memungkinkan mahasiswa

    memperoleh kesempatan untuk meningkatkan kapabilitasnya, seperti keterlibatan dalam

    penelitian sebagai bagian dari mata ajar metodologi penelitian, pengalaman bekerja sama

    dalam tim, fasilitasi keterampilan komunikasi lisan dan tertulis, kepemimpinan, manajemen

    organisasi, serta kesempatan untuk berpartisipasi dalam proses pemberdayaan masyarakat.

    Metode pemelajaran yang digunakan pun beragam dan memungkinkan pengembangan

    kapabilitas mahasiswa. Melalui kajian penelusuran, UI mencoba melihat sejauh mana

    pendidikan yang bertujuan meningkatkan kapabilitas itu berpengaruh dan berperan dalam

    kehidupan lulusannya di masyarakat. Kini usaha untuk menekankan pengembangan

    kapabilitas pada mahasiswa UI dalam keseluruhan kurikulumnya semakin besar porsinya.

    Sebagai wacana, pendidikan yang bertujuan meningkatkan dan menyetarakan

    kapabilitas sudah sering dikemukakan di Indonesia. Namun pada praktiknya, belum banyak

    penyelenggara pendidikan yang sungguh-sungguh berikhtiar meningkatkan dan

    menyetarakan kapabilitas. Umumnya pendidikan di Indonesia belum ditujukan untuk

    menghasilkan manusia yang merdeka atau berkarakter kuat. Dalam banyak hal pendidikan

    dilakukan semata-mata untuk menghasilkan penguasaan fungsi oleh para siswa; itu pun

    masih belum efektif.

    Di tingkat pendidikan yang lebih rendah (SMA, SMP, dan SD), bahkan pendidikan

    yang menghasilkan fungsi pun, pengembangan kapabilitas belum berjalan. Kecenderungan

    guru-guru mencekoki murid dengan informasi yang harus dihafal, atau menunjukkan cara-

    cara tertentu yang tak boleh ditawar atau dikritik mendorong siswa untuk sekadar menghafal,

  • xii

    menjadi orang yang pasif menyerap informasi, dan kurang memiliki inisiatif, apalagi

    kreativitas. Praktik pendidikan, baik penyekolahan, pembiasaan, maupun peneladanan, jauh

    dari pencapaian tujuan menghasilkan manusia merdeka. Bahkan, kapabilitas terkesan tak

    terpikirkan oleh kebanyakan penyelenggara sekolah, guru, dan orang tua.

    5. UI Memperjuangkan Kapabilitas dan Kemerdekaan Untuk mengubah kecenderungan pendidikan di Indonesia yang lebih mementingkan fungsi

    ketimbang kapabilitas, UI memulainya dengan evaluasi yang menekankan pentingnya

    pengembangan kapabilitas, misalnya melalui kajian penelusuran. Kemudian, pemelajaran

    diarahkan kepada usaha pengembangan kapabilitas dengan menggunakan pelbagai metode

    pembelajaran. Metode-metode itu ialah kolaborasi (collaborative learning) dalam

    membentuk pengetahuan dan menyelesaikan masalah; pemelajaran berdasarkan masalah

    (problem-based learning); pemagangan; penyelesaian proyek bersama; penugasan

    (internship) di beberapa lembaga atau komunitas di masyarakat seperti kuliah kerja nyata

    (KKN); fasilitasi untuk terlibat dalam kegiatan ekstrakurikuler, seminar dan diskusi lainnya;

    pelibatan mahasiswa dalam kegiatan riset; serta pemanfaatan mahasiswa dalam

    penyelenggaraan administrasi pendidikan.

    Evaluasi terhadap pemelajaran pun mulai ditekankan pada sejauh mana kapabilitas

    mahasiswa berkembang. Penekanan evaluasi pada kapabilitas ketimbang pada fungsi

    merupakan kontribusi berarti untuk pembahasan keadilan sosial dalam pendidikan, termasuk

    peningkatan perhatian kepada gagasan keagenan dan identitas. Dengan evaluasi terhadap

    kapabilitas, kita dapat menemukan hal-hal yang memperlemah dan memperkuat kapabilitas.

    Temuan-temuan dalam kajian penelusuran yang dilakukan telah memberikan banyak

    masukan bagi perbaikan kualitas pendidikan di UI. Temuan itu memungkinkan UI untuk

    memikirkan strategi, metode, dan teknik peningkatan kapabilitas yang sekaligus merupakan

    peningkatan keagenan dan kemerdekaan.

    Evaluasi kapabilitas juga memungkinkan penyelenggara pendidikan memahami

    persoalan-persoalan yang ada pada para peserta didik dengan identitas tertentu, baik

    individual maupun kolektif. Pemahaman terhadap permasalahan identitas itu dapat membantu

    penentuan strategi dan rancangan pendidikan yang sesuai dengan identitas peserta didik.

    Dengan demikian persoalan identitas mereka dapat diselesaikan bersamaan dengan

    peningkatan penghargaan mereka terhadap identitas kolektif dan identitas diri mereka

    masing-masing.

  • xiii

    Bagaimana evaluasi itu dilakukan? Dengan kerangka apa? UI belajar dari para

    pemikir yang bergulat dengan persoalan pendidikan dan evaluasinya. Pelbagai pemikiran

    tentang pendidikan dapat dikelompokkan menjadi dua arus. Pertama, arus pemikiran yang

    fokus pada bagaimana sekolah mereproduksi ketaksetaraan dan ketakadilan sosial melalui

    maldistribusi dan pembungkaman (di antaranya Bowles dan Gintis, 1976, Bourdieu dan

    Passeron, 1977; Aikman, 1999; Bowles dan Gintis, 2002; Kwesiga, 2002; Ball 2003). Kedua,

    mereka yang menyadari bagaimana kondisi di sekolah atau situs pemelajaran lainnya

    menawarkan sumber daya atau kondisi yang melaluinya pemelajar dapat melawan atau

    mengubah ketaksetaraan (di antaranya Stromquist, 1998; Brighouse, 2002; Lynch dan Baker

    2005; McLeod, 2005).

    UI memadukan kedua pendekatan itu dengan satu tujuan yang memiliki dua sisi.

    Tujuan itu, yang mensyaratkan kesetaraan dan keadilan sosial, adalah kesejahteraan dan

    kebahagiaan manusia yang di dalamnya tercakup kapabilitas dan kemerdekaan. Tidak

    tercapainya kesejahteraan, juga kapabilitas dan kemerdekaan, boleh jadi karena ada

    ketidaksetaraan dan ketidakadilan, tetapi bisa juga karena upaya-upaya untuk mencapai

    kesetaraan dan keadilan memang tidak dilakukan. Perlu ditekankan di sini, hilangnya

    ketidaksetaraan dan ketidakadilan tidak dengan sendirinya berarti tercapainya kesetaraan dan

    keadilan. Oleh karena itu, usaha untuk menghilangkan ketaksetaraan dan ketidakadilan usaha

    untuk menghadirkan kesetaraan dan keadilan harus dilakukan secara bersama-sama. Di satu

    sisi, tujuan itu dicapai dengan mengurangi ketidaksetaraan dan ketidakadilan sosial. Di sisi

    lain, hal itu dicapai dengan meningkatkan kesetaraan dan keadilan sosial.

    Sejalan dengan beberapa pemikir yang mengedepankan kapabilitas (di antaranya Sen,

    1992, 1993; Nussbaum, 1997, 2002, 2004, 2006), di tataran individu, pendidikan di UI dan

    evaluasinya diselenggarakan dengan dasar kesejahteran dan kebahagiaan manusia sebagai

    tujuan. Secara operasional, kapabilitas dan kemerdekaan dapat ditingkatkan melalui

    pendidikan dengan memfasilitasi peserta didik menjadi orang yang belajar sepanjang hayat,

    memiliki gairah menjalani kehidupan, berani mengambil risiko, mampu berpikir kritis, dan

    memecahkan masalah, mampu melihat sesuatu secara berbeda, mampu bekerja (baik secara

    independen maupun bersama orang lain), kreatif, peduli dan rela memberikan kontribusi

    kepada komunitas, merawat hal-hal yang baik, memiliki integritas dan menghargai diri

    sendiri, memiliki keberanian moral, mampu menggunakan dunia di sekelilingnya secara

    konstruktif, mampu berbicara, menulis, membaca dan bekerja secara baik, serta sungguh-

    sungguh menikmati hidup dan pekerjaannya. Semua itu merupakan kapabilitas yang

  • xiv

    diperlukan manusia untuk dapat menjadi sejahtera dan bahagia. Evaluasi pendidikan di

    tataran individu dilakukan untuk mengetahui sejauh mana hal itu semua telah dicapai.

    UI mendorong berkembangnya kapabilitas para mahasiswa dan dosennya. Di

    antaranya dengan memberikan beasiswa kepada mahasiswa yang kurang mampu secara

    finansial, menyediakan pelayanan kesehatan dan fasilitas fisik dengan dasar kesetaraan,

    memberlakukan sistem biaya operasional pendidikan (BOP) berkeadilan yang menggunakan

    prosedur subsidi silang, melibatkan mahasiswa dalam riset, dan mendorong dan memfasilitasi

    dosen-dosen melakukan riset sesuai dengan bidang minatnya.

    Dasar dari kebijakan itu adalah kesadaran bahwa meskipun setiap orang memiliki

    potensi untuk memperoleh kapabilitas dan kemerdekaan, aktualisasinya memerlukan

    perjuangan yang tak ringan. Dengan kata lain, kapabilitas dan kemerdekaan harus

    diperjuangkan. Pendidikan yang merupakan bagian dari aktivitas mengembangkan dan

    menjaga kesatuan diri setiap pribadi dalam rangka partisipasi mengembangkan dunia pun

    harus diperjuangkan. UI mengupayakan agar kesetaraan pendidikan itu dapat dicapai secara

    aktual. Pembedaan BOP, sebagai contoh, dilakukan dengan mempertimbangkan kepentingan

    mahasiswa yang kurang mampu secara finansial dengan memberikan keringanan biaya kuliah

    atau beasiswa penuh kepada mereka.

    UI juga mengupayakan kemerdekaan dari tuntutan dan penindasan rezim manfaat,

    kekuasaan industri, dan pasar tenaga kerja dengan meleluasakan dosen-dosennya melakukan

    riset-riset sesuai dengan minat dan bidang keahliannya, terlepas dari apakah riset-riset itu

    dibutuhkan oleh pasar atau tidak. Lalu, dengan bekal hasil riset mereka, para dosen itu

    mengajar dan mengembangkan kapabilitas mahasiswa. UI, tentu saja, juga mementingkan

    manfaat, bekerja sama dengan industri, dan ikut mendukung tersedianya tenaga kerja yang

    kompeten. Namun, di atas semua itu, UI terutama mendidik mahasiswa agar berkarakter kuat,

    mempunyai kapabilitas, dan merdeka sebagai tujuan utamanya.

    6. MPKT Sebagai Usaha Pengembangan Kapabilitas Mahasiswa UI Dengan dasar konsep pendidikan sebagai usaha pengembangan kapabilitas dan bertujuan

    menghasilkan manusia merdeka, maka MPKT diselenggarakan. Penyelenggaraannya

    merupakan wujud dari komitmen UI untuk mengembangkan kapabilitas mahasiswanya.

    Buku ajar yang memuat bahan-bahan bacaan ini merupakan satu alat pendidikan yang

    dimaksudkan untuk menjadi salah satu rujukan yang dapat dimanfaatkan oleh mahasiswa,

    khususnya dalam bagian MPKT A yang lebih menekankan dasar-dasar ilmu pengetahuan

  • xv

    sosial dan humaniora. Bahan bacaan ini hanyalah salah satu alat yang melengkapi metode

    pemelajaran yang mengutamakan keaktifan mahasiswa dalam proses belajar-mengajar. Ada

    banyak alat bantu lain seperti disain instruksional dalam bentuk buku rancangan

    pembelajaran, formulir evaluasi, peralatan pendukung presentasi, laboratorium, peralatan

    komputer dan internet, serta alat-alat lain yang disesuaikan dengan jenis dan bentuk

    pemelajaran mahasiswa. Selain itu, buku ajar ini hanya memuat informasi yang terbatas dan

    oleh karena itu mahasiswa diharapkan dan didorong untuk juga memanfaatkan sumber-

    sumber bacaan lain untuk memperkaya pengetahuan mereka.

    Buku ajar ini memuat bahan-bahan bacaan mengenai kekuatan dan keutamaan

    karakter, filsafat, logika yang sekaligus juga memuat materi berpikir kritis, etika,

    pengembangan diri individu, kehidupan sosial yang mencakup masyarakat dan bangsa, dan

    kebudayaan. Bahan-bahan itu dimasukkan ke dalam tiga buku. Buku I memuat dasar-dasar

    yang dibutuhkan dalam usaha perolehan dan penerapan pengetahuan, yaitu Filsafat, Logika,

    Etika, dan Kekuatan dan Keutamaan Karakter. Buku II berisi pokok-pokok Manusia,

    Masyarakat, dan Kesadaran Lingkungan. Buku III memuat materi tentang Bangsa dan

    Negara, khususnya Bangsa dan Negara Indonesia.

    MPKT A sebagai bagian dari MPKT keseluruhan merupakan usaha untuk

    mengembangkan kapabilitas mahasiswa UI. Pelajaran-pelajaran yang dapat diperoleh di

    dalamnya bukan hanya mengenai fungsi yang harus dimiliki mahasiswa dalam memenuhi

    tuntutan masyarakatnya, melainkan lebih daripada itu, yakni pelajaran tentang bagaimana

    kapabilitas mahasiswa dapat dikembangkan sehingga ia dapat mengembangkan dirinya

    sendiri dan masyarakatnya.

  • xvi

    DAFTAR PUSTAKA untuk Pengantar

    Aikman, S. 1999. Intercultural Education and Literacy: An Ethnographic Study of Indigenous Knowledge and Learning in the Peruvian Amazon Studies in Written Language and Literacy 7. Amsterdam: John Benjamins.

    Alkire, S. 2002. Valuing Freedoms: Sens Capability Approach and Poverty Reduction. Oxford: Oxford University Press.

    Ball, S. 2003. Class Strategies and the Education Market: The Middle Classes and Social Advantage. London: Routledge Falmer.

    Bourdieu, P. dan Passeron, J.-C. 1977 (cet. ke-2). Reproduction in Education, Society and Culture. London: Sage.

    Bowles, S. dan Gintis, H. 1976. Schooling in Capitalist America. New York: Basic Books.

    . 2002. Schooling in Capitalist America Revisited. Dalam Sociology of Education, 75 (2): 118.

    Brighouse, H. 2002. What Rights (if any) Do Children Have? Dalam The Moral and Political Status of Children (suntingan A. Archard dan C. MacLeod). Oxford: Oxford University Press.

    Brighouse, H. dan Swift, A. 2003. Defending Liberalism in Education Theory. Dalam Journal of Education Policy, 18:355373.

    Dewantara, K. H. 2004. Karya K. H. Dewantara, Bagian Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.

    Dreze, J. dan Sen, A. 1995. India: Economic Development and Social Opportunity. Oxford: Oxford University Press.

    Hatta, M. 1932/1988. Ke Arah Indonesia Merdeka: Karya Lengkap Bung Hatta, Buku 1: Kebangsaan dan Kerakyatan, hlm. 2130. Jakarta: Penerbit PT Pustaka LP3ES Indonesia.

    Kwesiga, J. 2002. Womens Access to Higher Education in Africa: Ugandas Experience. Kampala: Fountain Publishers.

    Lynch, K. dan Baker, J. 2005. Equality in Education: An Equality of Condition Perspective. Dalam Theory and Research in Education 3:131164.

  • xvii

    McLeod, Julie. 2005. Feminists Re-reading Bourdieu: Old Debates and New Questions about Gender Habitus and Gender Change. Dalam Theory and Research in Education, 3:79.

    Nussbaum, M. C. 2000. Women and Human Development: The Capabilities Approach. Cambridge: Cambridge University Press.

    Robeyns, I. 2005. The Capability Approach: A Theoretical Survey. Dalam Journal of Human Development, 6(1) 93-114.

    Santoso, S. I. 1979. Pembinaan Watak Tugas Utama Pendidikan. Jakarta: Univeritas Indonesia.

    Sen, Amartya. 1979. Utilitarianism and Welfarism. Dalam The Journal of Philosophy, LXXVI, 463-489.

    . 1980. Equality of What? Dalam The Tanner Lectures on Human Values (suntingan S. McMurrin). Salt Lake City: University of Utah Press.

    . 1985. Commodities and Capabilities. Oxford: Oxford University Press

    . 1992. Inequality Re-examined. Oxford: Oxford University Press.

    . 1993. Capability and Well-being dalam Nussbaum dan Sen, The Quality of Life.

    . 1999. Development as Freedom. Oxford: Oxford University Press.

    . 2002. Rationality and Freedom. Cambridge, MA: Harvard University Press.

    . 2004. Capabilities, Lists and Public Reason: Continuing the Conversation. Dalam Feminist Economics, 10:7780.

    Stromquist, Nelly. 1998. Empowering Women through Knowledge: Politics and Practices dalam International Cooperation in Basic Education. Stanford, CA: SIDEC.

    Unterhalter, E. 2003. The Capabilities Approach and Gendered Education: An Examination of South African Complexities. Dalam Theory and Research in Education, 1 (1): 722.

    Walker, M. dan Unterhalter, E. (editor). 2007. Amartya Sens Capability Approach and Social Justice in Education. New York: Palgrave MacMillan.

  • xviii

    DAFTAR ISI

    PENGANTAR .. iii

    DAFTAR PUSTAKA untuk Pengantar ... xvi

    DAFTAR ISI.. xviii

    BAB I: KEKUATAN DAN KEUTAMAAN KARAKTER

    1. Pendahuluan... 1

    2. Kepribadian dan Karakter...... 2

    3. Kekuatan dan Keutamaan Karakter.... 4

    4. Membedakan Keutamaan, Kekuatan Karakter dan Tema Situasional. 4

    5. Kriteria Karakter yang Kuat. 6

    6. Keutamaan dan Kekuatan Karakter yang Membentuknya. 7

    7. Karakter dan Spiritualitas.. 12

    8. Keutamaan Karakter dan Kebahagiaan. 15

    DAFTAR PUSTAKA untuk Bab I.................................................................... 17

    BAB II: DASAR-DASAR FILSAFAT

    1. Pendahuluan ...... 18

    2. Pengertian Filsafat...... 20

    3. Cabang dan Aliran Filsafat..... 26

    4. Alternatif Langkah Belajar Filsafat.... 34

    DAFTAR PUSTAKA untuk Bab II ............................................................. 38

    BAB III: DASAR-DASAR LOGIKA.... 39

    1. Apakah Logika Itu?...................................... 39

    2. Kategori......... 43

    3. Term, Definisi dan Divisi... 48

    Allifna

  • xix

    3.1 Term..... 48

    3.2 Definisi. 49

    3.2.1 Penggolongan Definisi 50

    3.2.2 Aturan Membuat Definisi 51

    3.3 Divisi. 52

    3.3.1 Divisi Real atau Aktual 52

    3.3.2 Divisi Logis.. 53

    3.3.3 Aturan Pembuatan Divisi. 53

    4. Kalimat, Pernyataan, dan Proposisi.... 54

    4.1 Pengertian Kalimat, Pernyataan, dan Proposisi... 54

    4.2 Pernyataan Sederhana dan Pernyataan Kompleks 56

    4.3 Jenis-Jenis Pernyataan Kompleks. 58

    4.3.1 Negasi... 58

    4.3.2 Konjungsi. 59

    4.3.3 Disjungsi.. 61

    4.3.4 Kondisional.. 62

    4.3.5 Hubungan Kondisional: Kondisi Niscaya dan Kondisi yang

    Mencukupi 64

    4.4 Hubungan Antar-pernyataan..... 65

    4.4.1 Kesimpulan Langsung: Oposisi dan Proposisi 66

    4.4.2 Konsistensi dan Inkonsistensi. 68

    4.4.3 Implikasi, Ekuivalensi, dan Independensi Logis. 68

    5. Penalaran.... 70

    5.1 Penyimpulan Langsung...... 70

    5.2 Penyimpulan Tak Langsung..... 71

    5.3 Dua Jenis Penalaran.. 72

    5.4 Kesalahan Penyimpulan 72

    5.5 Argumentasi.. 73

    6. Argumen Deduktif... 74

    6.1 Definisi Penalaran Deduktif (Deduksi). 74

    6.2 Karakteristik Penalaran Deduktif.. 74

    6.3 Silogisme... 75

    6.3.1 Silogisme Kategoris. 76

    6.3.2 Delapan Hukum Silogisme.. 76

  • xx

    6.3.3 Silogisme Hipotetis. 79

    6.3.4 Bentuk-bentuk Umum Argumen yang Sahih. 79

    7. Argumen Induktif... 81

    7.1 Definisi Induksi 81

    7.1.1 Induksi Enumeratif (Generalisasi Induktif). 84

    7.1.2 Spesifikasi Induktif: Silogisme Statistikal.. 88

    7.1.3 Induksi Eliminatif atau Diagnostik.. 92

    8. Sesat Pikir.... 100

    8.1 Pengertian Sesat Pikir (Fallacies).. 100

    8.2 Sesat Pikir Formal. 101

    8.3 Sesat Pikir Nonformal.. 104

    9. Kesalahan Umum Dalam Penalaran Induktif. 109

    9.1 Menilai Penalaran Induktif dengan Standar Deduktif.. 110

    9.2 Kesalahan Generalisasi. 112

    9.2.1 Generalisasi yang Terburu-buru (Kebalikan dari Kesalahan

    Kecelakaan). 112

    9.2.2 Kesalahan Kecelakaan. 113

    9.3 Kesalahan Penggunaan Bukti Secara Salah. 116

    9.3.1 Kesimpulan yang Tidak Relevan. 116

    9.3.2 Kesalahan Bukti yang Ditahan 117

    9.4 Kesalahan Statistikal 119

    9.4.1 Kesalahan Sampel yang Bias (Statistik yang Bias). 119

    9.4.2 Kesalahan Percontoh yang Kecil (Ststistik yang Tidak Cukup). 120

    9.4.3 Kesalahan Penjudi (Gamblers Fallacy)...... 122

    9.5 Kesalahan Kausal. 123

    9.5.1 Mengacaukan Sebab dan Akibat. 124

    9.5.2 Mengabaikan Penyebab Bersama 125

    9.5.3 Kesalahan Penyebab yang Salah (Kesalahan Post Hoc). 126

    9.5.4 Mengacaukan Penyebab yang Berupa Necessary Condition dengan

    Sufficient Condition 127

    9.6 Kesalahan Analogi 129

    DAFTAR PUSTAKA untuk Bab III................................................... 132

    BAB IV: DASAR-DASAR ETIKA. 133

  • xxi

    1. Perbedaan Etika dan Moralitas...................................................................... 133

    2. Klasifikasi Etika.. 135

    2.1 Etika Normatif.. 136

    2.2 Etika Terapan 137

    2.3 Etika Deskriptif. 138

    2.4 Metaetika.. 140

    3. Realisme Etis dan Non-Realisme Etis.... 141

    3.1 Realisme Etis. 141

    3.2 Nonrealisme Etis... 142

    4. Empat Jenis Pernyataan Etika. 143

    5. Kegunaan Etika... 145

    6. Immanual Kant dan Etika Kewajiban. 146

    7. John Stuart Mill dan Konsep Etika Utilitarian.. 149

    8. W.D Ross; Intuisi dan Kewajiban.. 152

    DAFTAR PUSTAKA untuk Bab IV ........................................ 156

  • 1

    BAB I KEKUATAN DAN KEUTAMAAN KARAKTER

    Bagus Takwin 1. Pendahuluan

    Persoalan karakter belakangan ini mencuat kembali. Ada banyak pembahasan tentang

    karakter di dalam diskusi dan seminar. Bermunculan juga lembaga pendidikan yang diberi

    label pendidikan karakter. Program-program pendidikan dari pemerintah pun mulai banyak

    memberi penekanan pada pendidikan karakter. Kecenderungan ini adalah kecenderungan

    yang baik jika memang persoalan karakter dibidik secara tepat, dan juga jika pendidikan

    karakter yang dimaksud bukan label saja.

    Pembentukan karakter memang menjadi salah satu kunci dari kemajuan dan

    pembangunan bangsa. Jauh-jauh hari Bung Hatta (1932/1988) sudah menekankan pentingnya

    pembentukan karakter bersama dengan pembangunan rasa kebangsaan dan peningkatan

    pengetahuan serta keterampilan (Hatta, 1988). Ki Hadjar Dewantara menegaskan bahwa

    tujuan pendidikan adalah memerdekakan manusia. Manusia yang merdeka adalah manusia

    dengan karakter yang kuat (Dewantara, 2004). Pembentukan karakter juga merupakan isu

    penting dalam pendidikan mengingat tujuan pendidikan adalah pembentukan watak atau

    karakter (Santoso, 1979).

    Dalam psikologi, khususnya psikologi positif, belakangan ini pembahasan tentang

    karakter dengan kekuatan dan keutamaannya cukup menonjol. Dalam rangka memahami

    kebahagiaan, mereka sampai pada pengertian bahwa kebahagiaan yang otentik adalah

    perpaduan perasaan-perasaan positif dan penilaian-penilaian terhadap hidup yang memuaskan

    berdasarkan kekuatan dan keutamaan karakter. Kebahagian otentik bersumber pada diri

    sendiri dan pada kekuatan dan keutamaan karakter, tetapi bukan berasal dari hal-hal lain di

    luar diri sendiri. Dengan kekuatan dan keutamaan karakter, orang dapat menghasilkan

    perasaan-perasaan positif dalam situasi apa pun. Ia juga dapat melihat sisi-sisi baik dari

    hidupnya sehingga ia dapat memberikan penilaian positif pula kepada hidupnya. Oleh sebab

    itu, pendidikan karakter juga merupakan usaha untuk membantu peserta didik mencapai

    kebahagiaan.

  • 2

    Jika kita pikirkan dengan lebih mendalam lagi, kekuatan karakter bersumber pada

    keberadaan manusia sebagai makhluk spiritual. Manusia memiliki daya-daya spiritual yang

    memberikan kebebasan kepadanya untuk melampaui apa yang ada di sini dan saat ini.

    Dengan spiritualitasnya, manusia mengatasi dan melampaui keterbatasannya sebagai

    makhluk alamiah. Spiritualitas manusia merupakan dasar dari kekuatan karakter.

    Kemampuan manusia untuk memperbaiki diri dan dunianya dari waktu ke waktu bersumber

    pada daya-daya spiritualnya.

    Dalam bab ini akan dibahas pengertian karakter dengan merujuk kepada Allport

    (1937;1961). Selanjutnya akan dibahas kekuatan dan keutamaan karakter yang sudah

    dihimpun oleh Peterson dan Seligman (2004) dari pendekatan psikologi positif. Kemudian

    dibahas spiritualitas sebagai dasar kekuatan karakter.

    2. Kepribadian dan Karakter Karakter bukan kepribadian meskipun keduanya berkaitan erat. Perlu dibahas lebih

    dulu apa yang dimaksud dengan kepribadian mengingat istilah ini sering dipertukarkan

    dengan karakter. Selain itu, penjelasan tentang karakter akan lebih mudah dilakukan dengan

    menjelaskan kepribadian terlebih dahulu.

    Allport (1937:48) mendefinisikan kepribadian sebagai ...the dynamic organization

    within the individual of those psychophysical system that determine his unique adjustment to

    his environment (organisasi dinamis dari keseluruhan sistem psiko-fisik dalam diri

    individu yang menentukan penyesuaian dirinya yang unik terhadap lingkungannya).

    Dari definisi itu dapat dipahami bahwa kerpibadian manusiasebagai hal yang

    terorganisasitidak acak, dan unsur-unsurnya tidak bekerja sendiri-sendiri. Kepribadian

    manusia adalah kesatuan yang teratur dengan unsur-unsur yang berkaitan satu sama lain.

    Allport juga memandang kepribadian manusia sebagai sesuatu yang dinamis. Artinya,

    kepribadian manusia terus bergerak dan berkembang, tidak berhenti atau terhenti pada satu

    titik. Kepribadian manusia tampil dalam perilaku yang melibatkan aspek psikis seperti

    berpikir, mempercayai dan merasakan sesuatu. Kepribadian juga tampil dalam perilaku yang

    melibatkan aspek fisik manusia seperti berjalan, berbicara dan melakukan tindakan-tindakan

    motorik.

    Organisasi, dinamika, dan interaksi antara psikis dan fisik manusia dalam

    kepribadiannya menentukan penyesuaian dirinya yang unik terhadap lingkungannya. Di sini

    terkandung pengertian bahwa baik faktor internal diri manusia maupun faktor eksternal

    (lingkungan)-nya mempengaruhi kepribadian manusia. Manusia memiliki otonomi dalam

  • 3

    dirinya tetapi, di sisi lain, ia juga menyesuaikan diri dengan lingkungannya secara unik.

    Dengan keunikan itu, seorang manusia berbeda dari manusia lainnya.

    Allport (1937; 1961) menambahkan beberapa pengertian yang menyangkut kepribadian

    sebagai berikut. Pertama, kepribadian dapat dipahami sebagai perpaduan dari sifat-sifat

    (traits) mayor dan minor yang masing-masing dapat berdiri sendiri dan dikenali. Kedua, sifat

    kepribadian (personality trait) merupakan suatu mekanisme paduan antara faktor-faktor

    biologis, psikologis, dan sosial yang mengarahkan individu kepada kegiatan-kegiatan spesifik

    dalam suatu keadaan yang spesifik. Ketiga, seorang ahli psikologi dapat mengatakan bahwa

    dirinya memahami orang lain hanya jika keseluruhan sejarah hidup orang itu telah

    ditelitinya, hanya jika hidup orang itu diamati, dan hanya jika orang itu sendiri ikut

    berkontribusi dalam proses penilaian terhadap dirinya sendiri (self-evaluation).

    Allport cenderung untuk tidak memilah-milah dan menganalisis motif, keinginan, dan

    perilaku sebagai hal yang terpisah satu sama lain, melainkan menganggapnya sebagai hal-hal

    yang saling mempengaruhi. Allport (1961) melihat manusia sebagai keseluruhan yang utuh

    berdasarkan pembentukan sifat-sifat dasarnya. Oleh karena itu, dalam memahami kepribadian

    seseorang perlu diketahui sejarah hidup, latar belakang budaya, ambisi, cita-cita, karakter,

    motif, dan sifatnya serta keterkaitan semua itu dalam pembentukan kepribadiannya.

    Pemahaman tentang unsur-unsur kepribadian berdasarkan analisis terhadap unsur-unsurnya

    masing-masing itu baru merupakan langkah awal untuk membantu pemahaman tentang

    keseluruhan kepribadian. Pada akhirnya, sintesis dari unsur-unsur itulah yang merupakan

    gambaran kepribadian.

    Allport (1937) mendefinisikan karakter sebagai kepribadian yang dievaluasi. Artinya,

    karakter adalah segi-segi kepribadian yang ditampilkan keluar dari, dan disesuaikan dengan

    nilai dan norma tertentu. Karakter, dengan demikian, adalah kumpulan sifat mental dan etis

    yang menandai seseorang. Kumpulan ini menentukan orang seperti apa pemiliknya. Karakter

    juga menentukan apakah seseorang akan mencapai tujuan secara efektif, apakah ia apa

    adanya dalam berurusan dengan orang lain, apakah ia akan taat kepada hukum, dan

    sebagainya.

    Karakter diperoleh melalui pengasuhan dan pendidikan meskipun potensialitasnya ada

    pada setiap orang. Untuk membentuk karakter yang kuat, orang perlu menjalani serangkaian

    proses pemelajaran, pelatihan dan peneladanan. Seperti yang sudah disebutkan di atas,

    pendidikan pada intinya merupakan proses pembentukan karakter.

  • 4

    3. Kekuatan dan Keutamaan Karakter Identifikasi karakter yang merupakan pengenalan terhadap keutamaan tertentu pada

    diri seseorang dapat dilakukan melalui pengenalan terhadap ciri-ciri keutamaaan yang tampil

    dalam perilaku khusus dan respons secara umum dari orang itu. Peterson dan Seligman

    (2004) mengembangkan klasifikasi keutamaan beserta pendekatan metodik untuk

    mengidentifikasinya. Mereka mengatakan bahwa karakter yang kuat adalah karakter yang

    bercirikan keutamaan-keutamaan yang merupakan keunggulan manusia. Di sini keutamaan

    sebagai kekuatan karakter dibedakan dari bakat dan kemampuan. Mereka juga menjelaskan

    kondisi situasional yang dapat memunculkan atau menyurutkan kekuatan-kekuatan itu,

    pelatihan atau pembinaan yang dapat dilakukan untuk mengembangkan karakter yang kuat,

    serta hasil-hasil positif yang dapat diperoleh seseorang yang memiliki keutamaan.

    Penggalian, pengenalan, dan pengukuran keutamaan dapat dilakukan melalui teknik

    inventori, skala sikap, wawancara mendalam, diskusi kelompok terarah (focus-group

    discussion) dan simulasi. Pada prinsipnya, semua teknik itu membutuhkan ahli yang

    memahami konstruk karakter dan keutamaan, terutama dalam proses penafsiran dan

    pemaparan keseluruhan karakter subjek yang diteliti. Tetapi, dalam pelaksanaannya, beberapa

    teknik dapat digunakan oleh lebih banyak orang yang terlebih dahulu dilatih dalam waktu

    singkat.

    4. Membedakan Keutamaan, Kekuatan Karakter dan Tema Situasional

    Peterson dan Seligman (2004) mengemukaan tiga level konseptual dari karakter, yaitu

    keutamaan, kekuatan dan tema situasional dari karakter. Pembedaan ini berguna untuk

    kepentingan pengenalan, pengukuran dan pendidikan karakter. Komponen karakter yang baik

    tampil dalam level abstraksi yang berbeda sehingga pengenalannya dalam kenyataan praktis

    pun memerlukan pendekatan yang berbeda. Cara mengenali keutamaan berbeda dengan cara

    mengenali kekuatan karakter, juga berbeda dengan cara mengenali tema situasional.

    Hubungan antara keutamaan, kekuatan dan tema situasional karakter bersifat

    hierarkis. Keutamaan berada di level atas, lalu kekuatan di level tengah, dan tema situasional

    di level bawah. Dalam keseharian, kita terlebih dahulu mengenali tema situasional dari

    karakter. Ketika orang menampilkan serangkaian perilaku dalam situasi tertentu, kita dapat

    mengenai tema situasional tertentu dari karakter, tetapi kita belum dapat menyimpulkan

    bahwa orang itu memiliki kekuatan tertentu. Kita dapat lebih memastikan kekuatan apa yang

    dimiliki orang itu jika kita dapat mengenali bahwa orang itu juga menampilkan perilaku-

    perilaku sesuai tema situasional tertentu dalam beberapa situasi. Kemudian, jika dalam

    Allifna

    Allifna

    Allifna

    Allifna

    Allifna

    Allifna

    Allifna

    Allifna

    Allifna

  • 5

    berbagai situasi dan dalam rentang waktu yang relatif lama, seseorang menunjukkan berbagai

    kekuatan tertentu secara konsisten, baru kita dapat mengenali keutamaan orang itu.

    Keutamaan merupakan karakteristik utama dari karakter (Peterson & Seligman,

    2004). Para filsuf dan agamawan menjadikan keutamaan sebagai nilai moral oleh karena itu

    keutamaan dianggap sebagai dasar dari tindakan yang baik. Berbagai perilaku dapat dinilai

    berdasarkan keutamaan yang secara umum terdiri dari: kebijaksanaan, courage (kesatriaan),

    kemanusiaan, keadilan, pengendalian atau pengelolaan diri, dan transendensi. Enam kategori

    besar keutamaan ini muncul secara konsisten dalam survei sejarah sehingga dinilai sebagai

    keutamaan universal. Peterson dan Seligman (2004) pun menegaskan bahwa enam

    keutamaan ini universal dan mungkin memiliki dasar pada manusia secara biologis. Enam

    keutamaan ini harus ada di atas batas nilai standar pada individu yang dipercaya sebagai

    orang yang memiliki karakter yang baik.

    Kekuatan karakter adalah unsur psikologis, lebih tepatnya, proses yang

    mendefinisikan keutamaan. Dengan kata lain, keutamaan dapat dicapai melalui pencapaian

    kekuatan karakter. Untuk kepentingan pengukuran dan pendidikan karakter, kekuatan

    karakter adalah karakteristik yang dijadikan indikator untuk mengenali adanya satu atau lebih

    keutamaan pada diri seseorang. Peterson dan Seligman (2004) memberi contoh berikut ini.

    Keutamaan kebijaksanaan dapat dicapai melalui kekuatan seperti kreativitas, rasa ingin tahu,

    cinta pembelajaran, keterbukaan pikiran, dan perspektif (memiliki gambaran besar

    mengenai kehidupan). Untuk memiliki keutamaan kebijaksanaan, orang harus memiliki

    kekuatan-kekuatan ini. Kekuatan karakter ini memiliki kesamaan peran dan pengaruh dalam

    keterlibatannya menghasilkan pengetahuan. Perolehan dan penggunaan pengetahuan

    melibatkan kekuatan-kekuatan ini. Tetapi, kekuatan-kekuatan ini juga berbeda satu sama lain.

    Sekali lagi, kita mengenali semua kekuatan ini di setiap tempat dan dihargai meski jarang

    orang menampilkannya. Selain itu, tidak harus semua kekuatan tampil untuk dapat menyebut

    seseorang berkarakter baik. Orang yang memiliki satu atau dua kekuatan ini saja dapat

    dikatakan berkarakter baik, bahkan dapat disebut memiliki keutamaan kebijaksanaan.

    Tema situasional dari karakter adalah kebiasaan khusus yang mengarahkan orang

    untuk mewujudkan kekuatan karakter dalam situasi tertentu. Pengenalan rinci terhadap tema

    situasional membutuhkan pengenalan terhadap situasi dari satu tempat ke tempat lain.

    Sebagai contoh, survei oleh The Gallup Organization mengenali ratusan tema yang relevan

    dengan kinerja prima di tempat kerja, di antaranya empati, inklusivitas (menghargai

    perbedaan dan terbuka pada siapa saja), dan positivitas (berpikir positif) yang mencerminkan

    kebaikan hati yang tercakup dalam kekuatan cinta dan kecerdasan sosial, serta tercakup

    Allifna

    Allifna

    Allifna

    Allifna

    Allifna

    Allifna

    Allifna

    Allifna

    Allifna

    Allifna

    Allifna

    Allifna

    Allifna

    Allifna

  • 6

    dalam keutamaan kemanusiaan (Peterson dan Seligman, 2004). Munculnya tema situasional

    bergantung pada karakteristik tempat beradanya seseorang. Tema situasional dapat muncul

    dalam lingkungan yang meleluasakan individu tampil apa adanya, jujur dan tulus. Dari sini

    dapat dipahami bahwa lingkungan juga berperanan penting dalam memfasilitasi munculnya

    kekuatan karakter melalui pemunculan tema situasional. Semakin banyak dan sering tema

    situasional ditampilkan semakin terbentuk kekuatan karakter. Dalam pendidikan karakter,

    perancangan lingkungan yang memfasilitasi tampilnya tema situasional menjadi faktor

    penting untuk pembentukan karakter yang baik.

    5. Kriteria karakter yang kuat

    Apa yang menjadi kualitas dari kekuatan karakter pribadi dan bagaimana

    mengenalinya?

    Peterson dan Seligman (2004) mengemukakan kriteria dari karakter yang kuat

    sehingga kita dapat mengenalinya dalam kehidupan sehari-hari. Berikut ialah kriteria dari

    karakter yang kuat.

    1. Karakter yang ciri-cirinya (keutamaan yang dikandungnya) memberikan sumbangan

    terhadap pembentukan kehidupan yang baik untuk diri sendiri dan sekaligus untuk orang

    lain.

    2. Ciri-ciri atau kekuatan yang dikandungnya secara moral bernilai sebagai sesuatu yang

    baik bagi diri sendiri dan orang lain, bahkan walaupun tak ada keuntungan langsung yang

    dihasilkannya.

    3. Penampilan ciri-ciri itu tidak mengganggu, membatasi atau menghambat orang-orang di

    sekitarnya.

    4. Kekuatan karakter tampil dalam rentang tingkah laku individu yang mencakup pikiran,

    perasaan, dan tindakan, serta dapat dikenali, dievaluasi dan diperbandingkan derajat kuat-

    lemahnya.

    5. Karakter yang kuat dapat dibedakan dari ciri-ciri yang berlawanan dengannya.

    6. Kekuatan karakter diwadahi oleh model atau kerangka pikir ideal.

    7. Kekuatan karakter dapat dibedakan dari sifat positif yang lain tetapi yang saling terkait

    secara erat.

    8. Dalam konteks dan ruang lingkup tertentu, kekuatan karakter tertentu menjadi ciri yang

    mengagumkan bagi orang-orang yang mempersepsinya.

    9. Boleh jadi tidak semua ciri karakter yang kuat muncul pada seseorang, tetapi kebanyakan

    dari ciri-ciri karakter yang kuat tampil pada orang itu.

    Allifna

    Allifna

  • 7

    10. Kekuatan karakter memiliki akar psiko-sosial; potensinya ada dalam diri sendiri, dan

    aktualitanya dipengaruhi oleh lingkungan sosial.

    Peterson (2006) percaya bahwa orang memiliki tanda kekuatan yang sama dengan

    yang disebut Allport sebagai personal traits (sifat pribadi) satu dekade lalu. Kekuatan

    karakter itu yang dimiliki, dihargai, dan seringkali dilatih orang. Dalam penelitian Peterson,

    ditemukan bahwa hampir setiap orang dapat secara cepat mengenali sekumpulan kekuatan

    yang mereka ia miliki, sekita 2 sampai 5 kekuatan pada setiap orang.

    6. Keutamaan dan Kekuatan Karakter Yang Membentuknya

    Dalam usaha membentuk karakter, diperlukan pemahaman mengenai apa yang saja

    keutamaan dan kekuatan karakter yang sejauh ini sudah dikembangkan oleh manusia.

    Peterson dan Seligman (2004) berusaha untuk membuat daftar kekuatan karakter pribadi.

    Daftar ini masih terus dilengkapi dan tidak tertutup terhadap penambahan. Seperti teori

    ilmiah lainnya, teori tentang kekuatan karakter adalah subyek yang siap untuk diubah sesuai

    dengan bukti yang ditemukan dari waktu ke waktu. Berikut ini 24 kekuatan karakter yang

    tercakup dalam 6 kategori keutamaan.

    Kebijaksanaan dan Pengetahuan

    Kebijaksanaan dan pengetahuan merupakan keutamaan yang berkaitan dengan fungsi

    kognitif, yaitu tentang bagaimana mendapatkan dan menggunakan pengetahuan. Ada enam

    kekuatan yang tercakup dalam keutamaan ini, yaitu (1) kreativitas, orisinalitas dan

    kecerdasan praktis, (2) rasa ingin tahu atau minat terhadap dunia, (3) cinta akan

    pembelajaran, (4) pikiran yang kritis dan terbuka, dan (5) perspektif atau kemampuan

    memahami beragam perspektif yang berbeda dan memadukannya secara sinergis untuk

    pencapaian hidup yang baik.

    Kreativitas memberikan kemampuan untuk berpikir dengan cara baru dan produktif

    dalam membuat konsep dan menyelesaikan pekerjaan. Bersama dengan kekuatan orisinalitas

    dan kecerdasan praktis, kreativitas memungkinkan orang yang memilikinya untuk dapat

    menemukan solusi atau produk orisinal serta mampu menemukan cara-cara yang cerdik

    untuk untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari.

    Keingintahuan mencakup minat, dorongan untuk mencari kebaruan, keterbukaan

    terhadap pengalaman. Kekuatan ini menjadikan orang memiliki minat dalam pengalaman

    Allifna

    Allifna

  • 8

    yang sedang berlangsung baik untuk kepentingan diri sendiri maupun orang lain, serta

    melakukan penjelajahan dan penemuan.

    Keterbukaan pikiran mencakup kemampuan membuat penilaian dan berpikir kritis.

    Kekuatan ini memampukan orang yang memilikinya untuk berpikir mendalam dan

    menyeluruh tentang berbagai hal, memeriksa mereka dari semua sisi, serta menimbang semua

    bukti memadai.

    Cinta pembelajaran memampukan orang yang memilikinya menguasai keterampilan,

    topik, dan cabang pengetahuan baru, baik dengan cara belajar sendiri maupun secara formal

    dalam lembaga pendidikan. Dengan kekuatan ini, orang mau terus belajar dan terus menerus

    mengembangkan dirinya menjadi lebih.

    Kekuatan perspektif menjadikan orang yang memilikinya mampu memberikan nasihat

    bijak kepada orang lain serta memiliki cara untuk melihat dunia yang masuk akal bagi diri

    sendiri dan orang lain. Dengan keutamaan ini, orang dapat memahami berbagai perspektif

    yang ada dan menemukan benang merah di antara perspektif.

    Kemanusiaan dan Cinta

    Kemanusiaan dan cinta merupakan keutamaan yang mencakup kemampuan

    interpersonal dan bagaimana menjalin pertemanan dengan orang lain. Keutamaan ini terdiri

    atas kekuatan (1) baik dan murah hati, (2) selalu memiliki waktu dan tenaga untuk membantu

    orang lain, mencintai dan membolehkan diri sendiri untuk dicintai, serta (3) kecerdasan sosial

    dan kecerdasan emosional.

    Kekuatan Kemanusiaan adalah kekuatan interpersonal yang melibatkan

    kecenderungan dekat dan berteman dengan orang lain. Kekuatan cinta membuat orang

    mampu menjalin hubungan dekat dengan orang lain, khususnya yang bercirikan kegiatan

    berbagi dan peduli yang saling membalas.

    Kekuatan kebaikan hati mencakup kedermawanan, pemeliharaan, perawatan, kasih

    sayang, dan altruistik menjadikan orang mau berbagi kesenangan dan kebaikan dengan orang

    lain. Orang dengan kekuatan ini menjadi berbuat baik sebagai bagian dari pengembangan

    dirinya.

    Kecerdasan sosial mencakup kecerdasan emosional dan kecerdasan intrapersonal

    memampukan orang yang memilikinya memahami motif dan perasaan orang lain, serta

    memahami motif dan perasaan diri sendiri. Orang dengan kekuatan ini dapat menempatkan

    diri sesuai dengan kebutuhan orang lain tanpa mengorbankan kebutuhan diri sendiri. Mereka

    mengembangkan dirinya sekaligus juga mengembangkan orang lain.

    Allifna

    Allifna

  • 9

    Kesatriaan (Courage)

    Keutamaan kesatriaan (courage) merupakan kekuatan emosional yang melibatkan

    kemauan kuat untuk mencapai suatu tujuan meskipun mendapat halangan atau tentangan,

    baik eksternal maupun internal. Keutamaan ini mencakup empat kekuatan, yaitu (1) untuk

    menyatakan kebenaran dan mengakui kesalahan, (2) ketabahan atau kegigihan, tegus dan keras

    hati, (3) integritas, kejujuran, dan penampilan diri dengan wajar, serta (4) vitalitas,

    bersemangat dan antusias.

    Kekuatan Keberanian mencakup kekuatan emosional yang melibatkan pelaksanaan

    kehendak untuk mencapai tujuan dalam menghadapi oposisi eksternal dan internal membuat

    orang tahan menghadapi ancaman dan tantangan. Orang dengan kekuatan ini kehendaknya

    tidak menyusut ketika berhadapan dengan kesulitan-kesulitan yang dihadapi seperti rasa nyeri

    atau keletihan. Kekuatan ini memampukan orang bertindak atas keyakinan meskipun tidak

    populer.

    Ketabahan atau kegigihan mencakup ketekunan dan kerajinan adalah kekuatan yang

    memampukan orang untuk menyelesaikan apa sudah dimulai, bertahan dalam suatu

    rangkaian pencapaian tindakan meskipun ada hambatan. Orang dengan kekuatan ini mampu

    menyesuaikan kata-kata dan perbuatan, serta berpegang pada prinsip dalam berbagai situasi,

    bahkan situasi yang menghambat dan mengancam.

    Integritas yang mencakup otentisitas (keaslian), kejujuran dan penampilan diri yang

    wajar adalah kekuatan yang membuat orang mampu menampilkan diri secara tulus. Orang

    dengan kekuatan ini mengambil tanggung jawab atas perasaan dan tindakannya. Ia mau

    bertanggung jawab untuk semua perbuatannya dan menjalankan tugas-tugas secara jujur.

    Vitalitas mencakup semangat, antusiasme, semangat, dan penuh energi adalah

    kekuatan yang membuat orang dapat menjalani kehidupan penuh dengan kegembiraan,

    semangat dan energi. Orang dengan kekuatan ini merasa hidup, aktif dan penuh daya juang.

    Keadilan

    Keutamaan keadilan (justice) mendasari kehidupan yang sehat dalam suatu

    masyarakat. Ada tiga kekuatan yang tercakup di sini, yakni 1) kewarganegaraan atau

    kemampuan mengemban tugas, dedikasi dan kesetiaan demi keberhasilan bersama, 2)

    kesetaraan (equity dan fairness) perlakuan terhadap orang lain atau tidak membeda-bedakan

    perlakuan yang diberikan kepada satu orang dengan yang diberikan kepada orang lain, dan 3)

    Allifna

    Allifna

    Allifna

    Allifna

  • 10

    kepemimpinan. Keadilan adalah kekuatan sipil yang mendasari kehidupan masyarakat yang

    sehat.

    Kewarganegaraan mencakup tanggung jawab sosial, loyalitas dan kesiapan kerja

    dalam tim membuat orang dapat bekerja dengan baik sebagai anggota kelompok yang setia

    kepada kelompok.

    Kesetaraan adalah kekuatan yang membuat orang memperlakukan semua orang sama

    di hadapan keadilan, bukan membiarkan keputusan atau perasaan pribadi yang bias tentang

    orang lain. Kekuatan ini menghindarkan orang dari prasangka primordial seperti rasisme dan

    stereotipe. Orang dengan kekuatan ini mementingkan kesejahteraan orang lain seperti

    kesejahteraannya sendiri.

    Kepemimpinan adalah kekuatan yang mendorong orang sebagai anggota kelompok

    atau sebagai pemimpin untuk menyelesaikan tugas dan pada saat yang sama menjaga

    hubungan yang baik dengan orang lain dalam kelompok. Orang dengan kekuatan ini dapat

    menempatkan diri dan bekerja secara prima baik sebagai pemimpin maupun sebagai

    bawahan.

    Pengelolaan Diri

    Pengelolaan diri (temperance) adalah keutamaan untuk melindungi diri dari segala

    akibat buruk yang mungkin terjadi di kemudian hari karena perbuatan sendiri. Di dalamnya

    tercakup kekuatan (1) pemaaf dan pengampun, (2) pengendalian diri, (3) kerendahan hati, dan

    (4) kehati-hatian (prudence). Keutamaan ini melindungi terhadap kemungkinan hidup

    berlebihan atau berkurangan, serta menjaga orang berada di situasi yang tepat. Kata lain yang

    dapat digunakan untuk keutamaan ini adalah ugahari.

    Pengampunan dan belas kasihan adalah kekuatan yang memberikan orang

    kemampuan untuk mengampuni mereka yang telah berbuat salah, menerima kekurangan

    orang lain, memberikan orang kesempatan kedua, dan tidak pendendam. Kekuatan ini

    membuat orang percaya kepada kemampuan manusia untuk berbuat baik dan menghindarkan

    diri dari pesimisme terhadap kebaikan manusia.

    Pengendalian diri adalah kekuatan yang memampukan orang mengetahui apa yang

    masuk akal dan tidak masuk akal untuk dilakukan sehingga dapat memilih hal-hal yang

    masuk akan untuk dilakukannya. Kekuatan ini membuat orang dapat disiplin, mengendalikan

    selera dan emosi mereka. Orang dengan kekuatan ini dapat menentukan tindakan-tindakan

    yang tepat bagi dirinya sehingga tidak merugikan diri sendiri dan orang lain.

    Allifna

    Allifna

    Allifna

  • 11

    Kerendahan hati atau kesederhanaan adalah kekuatan yang membuat orang

    mengedepankan prestasi daripada pengakuan atas keberhasilan. Orang dengan kekuatan ini

    tidak melakukan kebaikan hanya untuk diri mereka sendiri. Prestasi bagi orang dengan

    kekuatan ini bukan tentang diri sendiri, melainkan untuk sebanyak mungkin orang. Mereka

    tida menilai diri sendiri sebagai lebih atau khusus dibandingkan orang lain.

    Kehati-hatian adalah kekuatan yang membuat orang selalu berhati-hati dalam memilih

    seseorang, tidak mengambil risiko yang tidak semestinya, tidak mengatakan atau melakukan

    hal-hal yang nantinya mungkin akan disesali.

    Transendensi

    Transendensi merupakan keutamaan yang menghubungkan kehidupan manusia

    dengan seluruh alam semesta dan memberi makna kepada kehidupan. Di dalam keutamaan

    ini tercakup kekuatan (1) penghargaan terhadap keindahan dan kesempurnaan; (2)

    kebersyukuran (gratitude) atas segala hal yang baik, (3) penuh harapan, optimis, dan

    berorientasi ke masa depan, semangat dan gairah besar untuk menyongsong hari demi hari;

    (4) spiritualitas: memiliki tujuan yang menuntun kepada kebersatuan dengan alam semesta,

    serta (5) menikmati hidup dan selera humor yang memadai. Keutamaan Transendensi adalah

    kekuatan yang menempa orang untuk dapat memahami koneksi yang ada di alam semesta,

    memahami daya-daya yang lebih besar dari manusia, serta memperoleh dan memberikan

    makna.

    Penghargaan terhadap keindahan dan keunggulan yang mencakup kekaguman,

    keheranan, peningkatan kesadaran adalah kekuatan yang membuat orang mampu menghargai

    keindahan, keunggulan, keterampilan, dan kinerja yang baik dalam berbagai ranah

    kehidupan. Pada diri sendiri, orang dengan kekuatan ini terdorong juga untuk menghasilkan

    keindahan, keunggulan, keterampilan dan kinerja yang baik. Kekuatan ini juga membuat

    orang mampu menangkap inspirasi atau gugahan untuk menampilkan diri lebih baik.

    Syukur adalah kekuatan yang menbuat orang dapat menyadari dan berterima kasih

    atas hal baik yang terjadi, serta meluangkan waktu untuk mengungkapkan terima kasih.

    Orang dengan kekuatan ini menerima apa yang ada dalam kehidupan sebagai anugrah dan

    berkah sehingga selalu berusaha menampilkan perilaku yang baik sebagai ungkapan terima

    kasihnya.

    Harapan mencakup optimisme, menjalani hidup secara positif dari waktu ke waktu,

    dan pikiran yang berorientasi ke masa depan adalah kekuatan yang membuat orang selalu

    mengharapkan yang terbaik di masa depan dan bekerja untuk mencapainya. Orang dengan

    Allifna

    Allifna

    Allifna

  • 12

    kekuatan ini selalu optimistik menjalan hidup, berusaha terus menerus untuk lebih baik, dan

    percaya bahwa yang baik selalu dapat dicapai dalam hidup.

    Spiritualitas mencakup religiusitas, iman, dan adanya tujuan hidup adalah kekuatan

    yang membuat orang memiliki keyakinan koheren tentang tujuan yang lebih tinggi, makna

    hidup, dan makna alam semesta. Orang dengan kekuatan ini menampilkan perilaku yang

    konsisten dan koheren sebagai bagian dari usaha mencapai tujuan hidupnya dan berusaha

    menyesuaikan diri dan aktivitasnya dengan daya-daya yang lebih besar di alam semesta.

    Kekuatan menikmati hidup dan humor membuat orang dapat menjalani hidup yang

    penuh suka-cita, menyukai tertawa dan menggoda orang untuk menghasilkan keceriaan,

    membawa dirinya dan orang lain kepada situasi yang membuat tersenyum, serta melihat sisi

    terang dari kehidupan. Orang dengan kekuatan ini menjalani hidup secara ringan meski

    dalam situasi-situasi yang sulit dan berat.

    Tabel 4.1: Kekuatan dan Keutamaan Karakter No. Keutamaan Kekuatan 1.

    Kognitif: Kebijaksanaan dan pengetahuan

    kreativitas, rasa ingin tahu, keterbukaan pikiran, mencintai kegiatan belajar, perspektif (memiliki gambaran besar mengenai kehidupan).

    2. Interpersonal: Kemanusiaan

    cinta kasih, kebaikan hati (murah hati, dermawan, peduli, sabar, penyayang, menyenangkan dan cinta altruisitik), serta memiliki kecerdasan sosial.

    3. Emosional: Kesatriaan

    keberanian untuk menyatakan kebenaran dan mengakui kesalahan, teguh dan keras hati, integritas (otentisitas, jujur), serta bersemangat dan antusias.

    4. Kewarganegaraan (Civic): Berkeadilan

    citizenship (tanggung jawab sosial, kesetiaan, mampu bekerjasama), fairness (memperlakukan orang setara dan adil), serta kepemimpinan.

    5. Menghadapi dan mengatasi hal-hal yang tak menyenangkan: Pengelolaan-diri (Temperance)

    pemaaf dan pengampun, kerendahatian, hati-hati dan penuh pertimbangan, serta regulasi-diri.

    6. Spiritual: Transendensi

    apresiasi keindahan dan kesempurnaan, penuh rasa terima kasih, harapan (optimis, berorientasi ke masa depan), spritualitas (religiusitas, keyakinan, tujuan hidup), serta menikmati hidup dan humor,

    7. Karakter dan Spiritualitas

    Manusia memiliki kemampuan untuk memahami keterkaitan dirinya dengan seluruh

    alam semesta, juga keterkaitan semua hal yang ada di alam semesta. Kekuatan-kekuatan yang

  • 13

    tercakup dalam keutamaan karakter transendensi memungkinkan manusia memahami

    keterkaitan itu. Dengan kekuatan-kekuatan itu manusia dapat memaknai apa yang ada di

    dunia dalam hubungannya dengan hal lain dan dalam konteks keseluruhan semesta.

    Pemaknaan terhadap keseluruhan alam ini dimungkinkan adanya pada manusia meskipun

    secara fisik ia terbatas dan tak pernah dapat mengenali keseluruhan dunia secara empirik.

    Kekuatan dalam keutamaan transendensi ditandai oleh kemampuan untuk

    membayangkan apa yang mungkin ada di luar situasi yang dialami kini dan di sini.

    Pembayangan itu dapat menggerakkan manusia untuk melampaui situasi kini dan di sini,

    mewujudkan apa yang dibayangkannya itu menjadi situasi nyata yang memberikan kebaruan

    bagi dunia. Kemampuan membayangkan apa yang mungkin ada dan kemampuan melampaui

    situasi kini dan di sini mensyaratkan adanya kemampuan memahami keterkaitan semua unsur

    alam semesta. Daya yang memungkinkan manusia untuk melakukan itu semua disebut

    spiritualitas.

    Istilah spiritualitas mempunyai pengertian yang luas dan menghasilkan penafsiran

    yang berbeda-beda. Meskipun tak ada kesatuan pengertian, secara umum kita dapat

    memahami fenomena spiritualitas dari berbagai pengertian yang ada dan pernah diajukan

    oleh beberapa ahli. Dengan pertimbangan itu, pemaparan beberapa pengertian spiritualitas di

    sini diharapkan dapat memberikan pemahaman tentang apa itu spiritualitas. Dalam salah satu

    pengertiannya, spiritualitas merujuk kepada sesuatu yang teramat religius, sesuatu yang

    berkaitan dengan roh (spirit) dan hal-hal yang sakral. Pembicaraan tentang spiritualitas

    merujuk kepada hal-hal yang berhubungan dengan roh dan hal-hal sakral lainnya yang

    dianggap berkaitan dengan roh, misalnya Tuhan dan makhluk-makhluk di luar manusia yang

    memiliki sifat dan kekuatan gaib. Di dalamnya juga terkandung pengertian tentang

    bagaimana kita bersikap dan memperlakukan hal-hal yang gaib dan sakral itu.

    Pandangan lain menunjukkan bahwa spiritualitas tidak terpisah dari kehidupan sehari-

    hari. Ia adalah pengalaman yang terjadi di tengah keseharian hidup manusia. Spiritualitas

    memberikan kedalaman dan integritas kepada kehidupan manusia sebagai makhluk yang

    hidup dalam kebudayaan, tempat, dan waktu tertentu. Perbedaan-perbedaan yang ada

    antarmasyarakat hanya gejala yang tampil di permukaan. Di bagian yang lebih dalam, setiap

    masyarakat memiliki dasar spiritualitas yang universal. Spiritualitas terpancar dari dalam

    semua struktur sosial yang ada dalam setiap masyarakat dan dalam tampilan fisik. Setiap

    peristiwa fisik dapat membawa manusia kepada aspek spiritual jika manusia meningkatkan

    kepekaannya. Dengan menghayati kehidupan sehari-hari, seseorang dapat merasakan

    pengalaman spiritual yang mendalam.

  • 14

    Narayanasamy (dalam McSherry, 1998) menegaskan bahwa tidak ada satu pun

    definisi dari spiritualitas yang otoritatif. Burnard (1988, dalam McSherry, 1998) melihat

    spiritualitas dapat merujuk kepada pengertian yang berbeda pada orang yang berbeda.

    Menurutnya semua individu memiliki spiritualitas yang khas dan khusus bagi diri mereka,

    terlepas dari orientasi religius dan kepercayaan yang dianutnya. Meskipun begitu, Burnard

    menilai definisi spiritualitas yang dikemukakan oleh Murray dan Zentner (1989, dalam

    McSherry, 1998) mendekati pengertian yang universal dan komprehensif. Mereka

    mendefinisikan spiritualitas demikian:

    . . . a quality that goes beyond religious affiliation, that strives for inspirations, reverence, awe, meaning and purpose, even in those who do not believe in any god. The spiritual dimension tries to be in harmony with the universe, and strives for answers about the infinite, and comes into focus when the person faces emotional stress, physical illness or death.

    Definisi Murray dan Zentner tersebut mengusulkan spiritualitas harus ditempatkan

    dalam konteks keseluruhan alam semesta dan keterkaitan isi dunia ini. Spiritualitas

    melampaui afiliasi terhadap agama tertentu. Spiritualitas merupakan suatu kualitas yang juga

    dapat dicapai bahkan oleh mereka yang tidak percaya kepada Tuhan. Pada intinya, dimensi

    spiritual manusia selalu berusaha melakukan penyelarasan dengan alam semesta dan

    menjawab pertanyaan tentang yang tak terbatas. Definisi ini menunjukkan spiritualitas

    sebagai hal yang kompleks dan memiliki kaitan dengan banyak variabel. Segala hal yang ada

    di alam semesta ini terkait dengan spiritualitas.

    Dengan demikian, spiritualitas dapat dipahami sebagai dasar kekuatan dan keutamaan

    karakter manusia. Kekuatan yang terkandung dalam keutamaan transendensi merupakan

    kekuatan yang menghubungkan kehidupan manusia dengan seluruh alam semesta dan

    memberi makna kepada kehidupan. Sebagaimana disebutkan di atas, dalam keutamaan

    transendensi ada penghargaan terhadap keindahan dan kesempurnaan. Penghargaan ini

    memberikan dasar bagi manusia untuk menjalani hidup secara bermakna, optimis, dan selalu

    memperjuangkan kebaikan. Penghargaan ini juga menyebabkan kekuatan karakter yang lain

    menjadi penting dalam rangka memperjuangkan kehidupan yang indah dan sempurna. Tanpa

    penghargaan akan kehidupan yang indah dan sempurna, kita tidak dapat mengembangkan

    kekuatan karakter pada diri kita sebab kita akan cenderung pesimis, masa bodoh, semena-

    mena, dan membiarkan saja hal-hal buruk terjadi, jika kita memaknai hidup sebagai hal yang

    buruk, jelek, dan kacau-balau. Kita memperjuangkan kehidupan yang baik jika kita percaya

    bahwa dalam hidup kita ada yang baik, indah, dan sempurna yang perlu diperjuangkan terus.

  • 15

    Dengan pemaknaan terhadap hidup yang baik, indah dan mengandung kesempurnaan,

    kita membangun rasa syukur dan terima kasih atas segala hal baik, indah dan sempurna itu.

    Kita pun dapat hidup dengan penuh harapan, optimis dan berorientasi ke masa depan. Dengan

    itu kita memaknai adanya tujuan kehidupan di masa depan. Kita meningkatkan spiritualitas,

    menambah daya untuk mencapai tujuan yang menuntun kepada kebersatuan dengan alam

    semesta. Harapan, rasa optimis, dan rasa syukur memberi kita kemampuan untuk memaafkan

    dan mengampuni sebab kita tetap dapat melihat kemungkinan segala sesuatu akan menjadi

    lebih baik lagi di masa depan. Kita pun dapat menikmati hidup dan mempunyai selera humor

    yang memadai sebab pikiran-pikiran positif yang kita hasilkan selalu membantu kita

    menemukan hal yang baik, indah, dan sempurna dalam hidup kita. Dengan kenikmatan dan

    kepuasan hidup, kita menghasilkan semangat dan gairah besar dalam diri kita untuk

    menyongsong hari demi hari. Integritas yang mencakup kejujuran dan kesiapan menghadapi

    berbagai situasi secara teguh menjadi benang yang menjalin semua keutamaan lain dalam

    menjalani kehidupan agar terus bergerak ke arah yang lebih baik.

    Karakter selalu didasari oleh spirtualitas. Daya-daya spiritual menjadi kekuatan kita

    untuk bertahan dan setia menuju satu tujuan. Daya-daya itu menghindarkan kita dari godaan

    dan menguatkan kita saat berada dalam situasi yang sulit. Pikiran bahwa apa yang kita hadapi

    saat ini dan di sini selalu dapat kita lampaui memberikan harapan kepada kita untuk menjadi

    lebih baik dan lebih baik lagi. Dengan daya-daya spiritual, manusia dapat melampaui dirinya,

    berkembang terus sebagai makhluk yang self-trancendence (selalu mampu berkembang

    melampaui dirinya). Dengan demikian, ketika kita berbicara tentang karakter maka kita juga

    berbicara tentang spiritualitas, tentang daya-daya yang menguatkan dan mengembangkan

    manusia untuk mencapai kehidupan yang lebih baik.

    8. Keutamaan Karakter dan Kebahagiaan

    Pembentukan karakter erat sekali hubungannya dengan pencapaian kebahagiaan. Pada

    akhirnya, orang dengan watak atau karakter yang kuat adalah orang yang berbahagia,

    mandiri, dan memberi sumbangan positif kepada masyarakatnya. Peterson dan Seligman

    (2004) memaparkan berbagai hasil penelitian yang menunjukkan keberadaan potensi setiap

    keutamaan karakter itu pada diri manusia. Dengan demikian, setiap orang memiliki potensi

    untuk mencapai kebahagiaan, dan potensi untuk menjalani hidup yang baik; tinggal

    bagaimana mengaktualisasikannya. Seligman (2004) menyebutkan tiga kebahagiaan, yaitu

    memiliki makna dari semua tindakan yang dilakukan, mengetahui kekuatan tertinggi, dan

    menggunakan kekuatan tertinggi untuk melayani sesuatu yang dipercayai sebagai hal yang

    Allifna

  • 16

    lebih besar dari diri sendiri. Jelaslah bahwa ketiga bentuk kebahagiaan ini berkaitan erat

    dengan keutamaan dan kekuatan karakter manusia. Jelas juga bahwa ketiga hal itu merupakan

    kategori spiritual. Ketiganya dimungkinkan oleh daya-daya spiritual manusia. Singkatnya,

    kebahagiaan manusia mensyaratkan pemanfaatan daya-daya spiritualnya.

    Menurut Seligman, tidak ada jalan pintas untuk mempersingkat pencapaian

    kebahagiaan. Kebahagiaan hanya dapat dicapai dengan memandang hidup sebagai hal yang

    bermakna dan berharga, mengenali diri sendiri dan menemukan kekuatan-kekuatan kita, lalu

    memanfaatkan kekuatan-kekuatan itu untuk kepentingan yang lebih besar. Jadi, jika kita

    ingin bahagia, maka kita harus mulai dengan belajar berpikir positif, memandang hidup dan

    orang lain sebagai hal yang baik, serta memaknai dunia dan seisinya sebagai kebaikan yang

    dianugerahkan kepada kita.

    Pendidikan harus diarahkan kepada ketiga kebahagiaan itu. Peserta didik difasilitasi

    dan dilatih untuk selalu memaknai setiap tindakan yang dilakukannya. Mereka juga

    difasilitasi untuk memahami kekuatan dan keutamaan tertinggi yang dimiliki manusia. Lalu

    mereka difasilitasi dan dibiasakan untuk melayani atau mengerjakan hal-hal yang lebih besar

    dari mereka sendiri. Perpaduan dari tiga kebahagiaan dan keutamaan-keutamaan karakter

    merupakan bahan dari pendidikan karakter. Materi-materi itu yang diajarkan kepada peserta

    didik dengan berbagai cara yang memungkinkan terbentuknya pengetahuan dan

    keterampilan, bahkan, lebih jauh lagi, sampai terbentuknya sifat-sifat yang merupakan

    keutamaan.

    Jika dipahami bahwa inti pendidikan adalah pembentukan karakter maka

    seharusnyalah dicamkan pula bahwa setiap pendidikan adalah pembentukan karakter. Dengan

    demikian tidak diperlukan pendidikan karakter khusus di luar pendidikan secara

    keseluruhan; juga tak diperlukan pelatihan pembentukan karakter. Tetapi belakangan kita

    menyaksikan pendidikan secara umum seperti dipisahkan dari pembentukan karakter

    sehingga diperlukan usaha khusus untuk menyelenggarakan pendidikan karakter sebelum

    nanti pembentukan karakter kembali menjadi inti dari pendidikan.

    Allifna

    Allifna

    Allifna

    Allifna

  • 17

    DAFTAR PUSTAKA

    Allport, G. W. 1937. Personality: A Psychological Interpretation. New York: Holt.

    Allport, G. W. 1961. Becoming: Basic Consideration for a Psychology of Personality. New Haven: Yale University Press.

    Dewantara, K. H. 2004. Karya K. H. Dewantara, Bagian Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.

    Hatta, M. 19932/1988. Ke Arah Indonesia Merdeka. Dalam Karya Lengkap Bung Hatta (Buku 1): Kebangsaan dan Kerakyatan, hlm. 21130. Jakarta: Penerbit PT Pustaka LP3ES Indonesia.

    McSherry, W. 1998. Nurses Perceptions of Spirituality and Spiritual Care Nursing Standard. 13, 4, 36-40. Situs Web: http://www.nursing-standard.co.uk/archives/vol13-04/research.htm.

    Peterson, C. (2006). A Primer in Positive Psychology. New York: Oxford University Press

    Peterson, C. dan Seligman, M. E. P. 2004. Character Strengths and Virtues: A Handbook and Classification. Oxford: Oxford University Press.

    Radhakrishnan, Sarvepalli, dll. (ed.). 1957. History of Philosophy: Eastern and Western, Vol. I. London: George Allen & Unwin.

    Ross, L. 1995. The Spiritual Dimension: Its Importance to Patients Health, Well-being and Quality of Life and Its Implications for Nursing Practice. Dalam International. Journal of Nursing Studies, 32, 5, 451-468.

    Santoso, S. I. 1979. Pembinaan Watak Tugas Utama Pendidikan. Jakarta: Universitas Indonesia.

    Seligman, M. P. E. 2004. Interview with Martin Seligman. Dalam Edge, 23 Maret 2004.

  • 18

    BAB II DASAR-DASAR FILSAFAT

    Bagus Takwin

    1. Pendahuluan

    Tulisan ini menyajikan secara singkat hal-hal yang mendasar atau prinsip-prinsip dasar

    tentang filsafat. Dengan demikian, materi yang disajikan di sini boleh dikatakan hanya berupa

    pengantar filsafat disertai identitas utamanya sebagai perkenalan. Pokok bahasan yang termuat

    dalam bab ini terdiri atas pengertian, cabang, dan aliran filsafat, serta