mpkt a buku ajar 1

176
i PROGRAM PENGEMBANGAN KEPRIBADIAN PENDIDIKAN TINGGI MATA KULIAH PENGEMBANGAN KEPRIBADIAN TERINTEGRASI A BUKU AJAR I Kekuatan dan Keutamaan Karakter, Filsafat, Logika, dan Etika Bagus Takwin Fristian Hadinata Saraswati Putri

Upload: isfarial-reihan-raisuli

Post on 30-Nov-2015

1.078 views

Category:

Documents


11 download

TRANSCRIPT

i

PROGRAM PENGEMBANGAN KEPRIBADIAN PENDIDIKAN TINGGI

MATA KULIAH

PENGEMBANGAN KEPRIBADIAN TERINTEGRASI A

BUKU AJAR I

Kekuatan dan Keutamaan Karakter,

Filsafat, Logika, dan Etika

Bagus Takwin Fristian Hadinata Saraswati Putri

ii

UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK, 2012

BUKU AJAR I

Filsafat, Logika, Etika, dan

Kekuatan dan Keutamaan Karakter

iii

Pengantar Buku Ajar MPKT A

Pendidikan yang Mengembangkan Kapabilitas dan Memerdekakan Manusia Indonesia

Bagus Takwin

1. Pendahuluan

Konsep pendidikan yang memadai mensyaratkan konsep manusia yang memadai.

Manusia sebagai makhluk yang dididik dan makhluk yang mendidik merupakan ihwal atau

isu sentral dalam pendidikan. Berbicara tentang pendidikan pada dasarnya adalah berbicara

tentang manusia.

Siapa manusia dalam konsep pendidikan Indonesia dan apa yang ditujunya?

Pertanyaan ini jarang dibahas dewasa ini. Sudah beberapa kali sistem pendidikan Indonesia

diubah tetapi konsep tentang manusia yang semestinya mendasarinya malah makin kabur.

Idealnya, pendidikan adalah proses menjadi dan menentukan diri sebagai pribadi.

Pengertian ini mengindikasikan adanya penguatan daya-daya subjektif dalam pendidikan.

Subjektivitas adalah potensi khas manusia, yang hanya mungkin muncul pada manusia.

Subjektivitas adalah syarat kemerdekaan. Orang yang merdeka, ketika ia secara subjektif

menentukan tindakan-tindakannya, menginterupsi status quo dan mampu mempertanggung-

jawabkan dirinya.

Ki Hadjar Dewantara1 mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah menghasilkan

manusia merdeka. Sejalan dengan Ki Hadjar, Slamet Iman Santoso2 mengemukakan bahwa

tugas pendidikan adalah pembinaan watak atau karakter (Santoso, 1979). Sebagai kepribadian

yang dievaluasi berdasarkan nilai dan norma tertentu, watak juga mengandung unsur

subjektivitas. Karakter adalah hasil aktualisasi subjektivitas.

Kita teringat kepada Muhammad Hatta (1932/1998) yang menyatakan bahwa

pendidikan nasional Indonesia diselenggarakan untuk menuju Indonesia Merdeka. Ia

1 Tokoh pergerakan nasional yang hari lahirnya dijadikan Hari Pendidikan Nasional Indonesia. 2 Pelopor Pendidikan Psikologi di Indonesia dan pemrakarsa IKIP Jakarta.

iv

menganggap pendidikan sebagai ikhtiar pembentukan karakter di tataran individual dan

pembangunan bangsa di tataran kolektif. Meskipun tak mengabaikan perlunya kecakapan dan

keterampilan untuk menafkahi hidup, Hatta sangat mementingkan pembentukan karakter

melalui pendidikan. Orang yang berkarakter kuat adalah orang yang memiliki keutamaan

dan mampu menggunakan kekuatan-kekuatan pribadinya untuk memutuskan dan mengambil

tindakan yang baik untuk dirinya dan sekaligus untuk lingkungannya. Dengan kata lain,

orang yang berkarakter kuat adalah orang yang merdeka, orang yang memanfaatkan daya-

daya subjektifnya, karena dia memiliki keleluasaan dan pilihan-pilihan dalam hidupnya dan

mampu mencari alternatif-alternatif baru dari apa yang sedang terjadi. Itulah sebabnya

mengapa Hatta menekankan bahwa pendidikan nasional Indonesia mendidik rakyat supaya

insaf akan kedaulatan dirinya dan paham akan makna dan maksud dasar kedaulatan rakyat.

Istilah Bildung dalam bahasa Jerman, yang dalam bahasa Inggris berarti ‘becoming

and being somebody’ dapat mewakili pendidikan secara lebih memadai. Dalam Bahasa,

Indonesia, Bildung dapat diartikan mengembangkan dan menjaga kesatuan diri, serangkaian

proses yang juga mensyaratkan subjektivitas. Dengan demikian, pendidikan lebih dari

sekadar pemerolehan pengetahuan dan keterampilan. Pendidikan adalah proses yang

bertujuan memfasilitasi individu untuk membentuk dan mengembangkan dirinya.

Kemampuan membentuk dan mengembangkan diri sendiri hanya mungkin dilakukan oleh

orang-orang yang merdeka.

Universitas Indonesia3 melalui program-program pendidikannya berusaha untuk

mencapai tujuan pendidikan, memfasilitasi mahasiswanya menjadi manusia-manusia yang

merdeka, menjadi orang-orang yang mempunyai karakter yang kuat. Kekuatan itu dapat

digolongkan atas enam kelompok, yakni rasa ingin tahu atau minat terhadap dunia, rasa cinta

pemelajaran, pikiran yang kritis dan terbuka, orisinalitas dan kecerdasan praktis, kecerdasan

sosial atau kecerdasan emosional, dan perspektif atau kemampuan memahami beragam

perspektif yang berbeda dan memadukannya secara sinergis untuk pencapaian hidup yang

baik. Keenam kekuatan itu sekaligus juga merupakan nilai yang mendasari, memandu dan

menjadi patokan penyelenggaraan pendidikan di UI.

Salah satu wujud usaha UI untuk menghasilkan orang-orang yang berkarakter kuat

adalah penyelenggaraan Mata Kuliah Pengembangan Kepribadiaan Terintegrasi.4 Tulisan ini

merupakan pengantar yang sekaligus memuat kerangka pikir dari penyelenggaraan MPKT di

UI. 3 Untuk selanjutnya disingkat menjadi UI. 4 Untuk selanjutnya disingkat menjadi MPKT.

v

2. Memerdekakan dan Meningkatkan Kapabilitas

Pendidikan bagi Ki Hadjar Dewantara (2004) adalah aktivitas untuk menghasilkan

manusia merdeka, dalam pengertian tidak hidup terperintah; berdiri tegak karena kekuatan

sendiri; dan cakap mengatur hidupnya dengan tertib. Merdeka di sini mencakup pengertian

merdeka secara fisik, mental, dan rohani. Namun kemerdekaan pribadi itu dibatasi oleh tertib

damainya kehidupan bersama dan ini mendukung sikap-sikap seperti keselarasan,

kekeluargaan, musyawarah, toleransi, kebersamaan, demokrasi, tanggung jawab, dan disiplin.

Lebih khusus lagi, yang dimaksud dengan manusia merdeka adalah orang yang

mampu berkembang secara utuh dan selaras dalam segala aspek kemanusiaannya, serta

mampu menghargai dan menghormati kemanusiaan setiap orang. Oleh karena itu, bagi Ki

Hadjar, dalam konteks pendidikan, pepatah “educate the head, the heart, and the hand”

sangat tepat (Dewantara, 2004).

Kita dapat menelururi konsep manusia yang mendasari konsep pendidikan Ki Hadjar

Dewantara. Menurutnya manusia memiliki daya jiwa yaitu cipta, karsa, dan karya.

Pengembangan manusia menuntut pengembangan semua daya secara seimbang.

Pengembangan yang terlalu menitikberatkan satu daya saja akan menghasilkan ketidakutuhan

perkembangan sebagai manusia. Pendidikan yang menekankan aspek intelektual belaka

hanya akan menjauhkan peserta didik dari masyarakatnya. Payung pendidikan mencakup

payung nasionalistik, yaitu budaya nasional, bangsa yang merdeka dan mandiri—baik secara

politis, ekonomis, maupun spiritual; dan payung universal, yaitu hukum alam yang berlaku

atas segala sesuatu yang merupakan wujud dari kehendak Tuhan.

Konsep “manusia merdeka” dari Ki Hadjar Dewantara memiliki implikasi dalam

ranah pendidikan. Ia menyatakan bahwa prinsip dasar pendidikan adalah kemerdekaan,

merdeka dari segala hambatan cinta, kebahagiaan, keadilan, dan kedamaian yang tumbuh

dalam diri (hati) manusia. Suasana yang dibutuhkan dalam dunia pendidikan adalah suasana

yang berprinsip kekeluargaan, kebaikan hati, empati, cinta kasih, dan penghargaan terhadap

setiap orang yang terlibat di dalamnya. Dengan dasar itu maka hak setiap individu hendaknya

dihormati.

Pendidikan hendaknya membantu peserta didik untuk menjadi merdeka dan

independen secara fisik, mental, dan spiritual. Pendidikan tidak boleh hanya mengembangkan

aspek intelektual sebab hal itu akan memisahkan peserta didik dari orang kebanyakan.

Pendidikan juga hendaknya memperkaya setiap individu, memperkuat rasa percaya diri, dan

vi

mengembangkan harga diri. Dalam pada itu, perbedaan di antara pribadi-pribadi harus tetap

dipertimbangkan. Lulusan didik yang dihasilkan adalah lulusan yang berkepribadian

merdeka, sehat fisik, sehat mental, cerdas, menjadi anggota masyarakat yang berguna, dan

bertanggung jawab atas kebahagiaan dirinya dan kesejahteraan orang lain. Dengan kata lain,

pendidikan menghasilkan pribadi yang berkarakter kuat.

Metode pendidikan yang memerdekakan didasari oleh kepedulian, dedikasi, dan

kecintaan kepada sesama manusia. Pendidikan harus dapat memfasilitasi siswa untuk

memperoleh pengalaman yang dapat dijadikan media pemelajaran yang mencakup

pemelajaran tentang konsekuensi logis dari tindakan—sesuai dengan hukum sebab-akibat—

dan kesadaran akan pentingnya belajar bagi kehidupan siswa dalam keseharian mereka.

Orang yang belajar tidak hanya meniru atau mencerminkan apa yang yang diajarkan,

melainkan menciptakan sendiri pengertian.

Sejalan dengan pandangan pendidikan Ki Hadjar, pendidikan di UI menekankan

pentingnya mahasiswa menyadari alasan dan tujuan dia belajar. Ia perlu dihindarkan dari

pendidikan yang hanya menghasilkan orang yang sekadar menurut dan melakukan perintah.

Dari Ki Hadjar Dewantara (2004) kita mendapat pemahaman bahwa mendidik merupakan

daya-upaya yang sengaja dilakukan untuk memajukan hidup dan menumbuhkan budi-pekerti

(yang mencakup rasa, pikiran, dan roh) dan badan peserta didik dengan jalan pengajaran,

teladan dan pembiasaan. Menurutnya, tidak boleh ada perintah dan paksaan dalam

pendidikan.

Pemikiran yang lebih operasional tentang pendidikan adalah pemikiran Amartya Sen.5

Menurut Sen, pendidikan bertujuan untuk menghasilkan kapabilitas (capability) pada peserta

didik (Walker dan Unterhalter, 2007). Meskipun istilah yang digunakan Sen adalah

“kapabilitas”, implikasi logisnya sama dengan istilah “merdeka” dalam pemikiran Ki Hadjar

Dewantara, yaitu orang yang berkarakter kuat.

Sen mendefinisikan kapabilitas sebagai “a person’s ability to do valuable acts or

reach valuable states of being; [it] represents the alternative combinations of things a person

is able to do or be” (Sen 1993:30). Kapabilitas merujuk kepada kemampuan pribadi untuk

melakukan tindakan berharga atau mencapai keadaan diri yang berharga. Kapabilitas

mewakili adanya kemungkinan atau keleluasaan pada diri seseorang untuk menemukan

kombinasi alternatif dari hal-hal yang dapat dilakukan atau dicapainya. Dengan demikian,

kapabilitas adalah kesempatan atau kemerdekaan untuk mencapai apa yang secara reflektif

5 Ekonom India kelahiran Bengali, pemenang Nobel Ekonomi tahun 1998.

vii

dinilai berharga oleh individu. Kapabilitas dalam terminologi Sen merupakan inti dari

kemerdekaan (Dreze dan Sen 1995).

Dalam pemikiran awalnya, Sen (1985) mengajukan lima komponen yang terkait erat

dengan kapabilitas:

1. kemerdekaan nyata, yaitu adanya pilihan dan alternatif bagi setiap orang yang

membuatnya leluasa menjalani dan mencapai tujuan hidupnya

2. kemampuan mengelola dan mengubah sumber daya menjadi kegiatan-kegiatan yang

bernilai

3. kegiatan-kegiatan yang menghasilkan kebahagiaan

4. keseimbangan faktor materialistik dan nonmaterialistik dalam mencapai kesejahteraan, dan

5. distribusi kesempatan dalam masyarakat.

Pendekatan ini menekankan kapabilitas fungsional, yaitu kemerdekaan substantif

seperti kemampuan untuk hidup sampai hari tua, keterlibatan dalam transaksi ekonomi, atau

partisipasi dalam kegiatan politik. Hal-hal yang terkandung dalam makna kemerdekaan

substantif, menurut pendekatan ini, lebih beralasan untuk dinilai berharga ketimbang

kegunaan (utility) seperti kesenangan, pemenuhan hasrat atau pilihan. Kemerdekaan subtantif

juga dinilai lebih berharga daripada akses ke sumber daya seperti penghasilan, komoditi, dan

aset.

Kemiskinan dipahami sebagai kapabilitas yang tercerabut (deprived capability). Patut

dicatat, penekanan pendekatan ini tidak hanya pada bagaimana orang secara aktual berfungsi,

melainkan juga pada kapabilitasnya, yaitu pilihan praktis untuk berfungsi dalam hal-hal

penting jika ia menginginkannya. Seseorang dapat mengalami kapabilitas yang tercerabut,

misalnya dalam hal pengabaian, penindasan oleh pemerintah, kurangnya sumber daya

finansial, atau kesadaran palsu. Sebaliknya, perlu ditekankan pula, kesejahteraan seseorang

juga dipengaruhi oleh keberadaan orang lain. Sen (1993) menekankan, kebebasan memilih

cara hidup yang memungkinkan seseorang mencapai kesejahteraan, dalam banyak hal

dibantu oleh pilihan-pilihan orang lain. Salah jika kita berpikir bahwa pencapaian prestasi

kita masing-masing merupakan hasil pilihan pribadi semata. Pencapaian prestasi setiap orang

membutuhkan kebersamaan dengan orang lain.

Signifikansi dari ide Sen ini terletak pada kontrasnya dengan ide lain tentang

bagaimana kita memutuskan apa yang adil (fair) dalam distribusi sumber daya. Kapabilitas

atau kemerdekaan dan keadilan adalah setali tiga uang. Keadilan hanya bermakna pada orang

yang merdeka, pada orang yang memiliki kapabilitas untuk menentukan apa yang penting

dan berharga baginya.

viii

Ki Hadjar dan Sen sama-sama melihat pendidikan dari hal yang paling mendasar,

yakni dari konsep manusia, tujuan akhir pendidikan, dan apa yang terbaik bagi kehidupan

bersama. Ini membedakan pendekatan mereka dengan pendekatan lainnya yang tampaknya

memisahkan pendidikan dari aspek-aspek lain dari kemanusiaan.

Sebagai contoh dari perbedaan itu, konsep pendidikan lain menggunakan ide tentang

distribusi yang diletakkan pada apa yang ditentukan oleh pihak luar sebagai yang terbaik

untuk menciptakan kesempatan maksimum atau mencapai hasil yang memadai. Umpamanya,

menurut konsep ini, sekolah bagi siswa adalah alat untuk memenuhi tuntutan-tuntutan dunia

kerja. Sementara menurut Ki Hadjar dan Sen, pendidikan merupakan proses yang

memfasilitasi pertemuan peserta didik dengan dunia, khususnya dengan masyarakat, sehingga

nantinya ia dapat hidup di masyarakatnya secara bermakna dan memberikan kontribusi dalam

pengembangan masyarakat itu. Peserta didik juga difasilitasi untuk dapat memberi makna

kepada dirinya sendiri dan kepada dunia. Keberfungsiannya dalam masyarakat didasari oleh

kebebasan kesempatan yang meleluasakannya memilih cara hidup dan kontribusinya dalam

masyarakat (Unterhalter 2003).

3. Kapabilitas dan Fungsi

Kapabilitas berbeda dengan fungsi. Fungsi bertujuan untuk memperoleh manfaat sedangkan

kapabilitas adalah potensi untuk mencapai fungsi (Sen 1980). Membaca, berbicara

menyampaikan gagasan, mengambil peran dalam masyarakat, menjawab pertanyaan,

bertindak hati-hati dan cermat, serta menggunakan alat untuk membuat kerajinan tangan

adalah fungsi. Mendapat kesempatan untuk belajar dan keleluasaan untuk berpikir,

kesempatan untuk bekerja dengan kondisi yang memungkinkan untuk menjadi produktif dan

memperoleh penghargaan merupakan contoh dari kapabilitas. Secara konseptual, kapabilitas

dapat dipahami sebagai refleksi kebebasan untuk mencapai fungsi-fungsi yang bernilai (Sen,

1992). Perbedaan fungsi dan kapabilitas dapat juga dipahami sebagai perbedaan antara

pencapaian prestasi aktual dan kesempatan untuk berprestasi.

Pembedaan fungsi dari kapabilitas sangat penting terutama dalam evaluasi pendidikan

(Walker dan Unterhalter, 2007). Evaluasi hanya atas fungsi dari pendidikan saja memberikan

terlalu sedikit informasi tentang seberapa baik seseorang berlaku dalam kehidupannya.

Pencapaian yang sama oleh dua orang yang berbeda bisa saja memiliki cerita yang berbeda di

belakangnya. Misalnya, yang satu mencapainya dengan mudah karena kesempatan dan

fasilitasnya tersedia, sedangkan yang lain mengorbankan banyak hal untuk mencapai itu.

Sebagai contoh, untuk mencapai nilai ujian nasional di atas standar kelulusan, boleh jadi

ix

siswa-siswa di satu sekolah mencapainya dengan cara belajar seperti yang biasa mereka

lakukan sehari-hari, sementara di sekolah lain para siswa dipaksa mengabaikan pelajaran lain

yang tidak disertakan dalam ujian nasional agar dapat memperoleh nilai yang baik dalam

ujian nasional.

Kemerdekaan dan keagenan (agency) merupakan dua konsep sentral dalam

pendekatan kapabilitas (Walker dan Unterhalter, 2007). Dua konsep ini perlu diperjelas

dalam kerangka pendekatan kapabilitas. Dalam kerangka ini, orang dipahami sebagai

partisipan aktif dalam perkembangan ketimbang sebagai pengamat yang pasif. Keagenan

berarti bahwa setiap orang adalah manusia yang terhormat, yang bertanggung jawab

membentuk hidupnya dalam arahan tujuan yang berarti. Dengan kata lain, orang tidak

dibentuk atau diinstruksikan untuk berpikir, melainkan membentuk dan mengelola dirinya

sendiri untuk menjalani hidup yang mengarahkan kepada pencapaian tujuan-tujuannya.

Tujuan-tujuan itu boleh jadi tidak niscaya membuat individu lebih senang atau lebih nyaman,

tetapi hal itu dicapai melalui penalaran reflektif. Dalam pendidikan, setiap orang

diperlakukan sebagai agen dari pemelajarannya, menjadi agen atau instrumen bagi

pemelajaran orang lain, dan menjadi penerima dari keagenan orang lain.

Sebagai agen, peserta didik layak memperoleh perhatian dari pendidik dan sekolah

dalam ikhtiar-ikhtiar untuk mengembangkan mereka sebagai manusia yang merdeka. Bagi Ki

Hadjar dan Sen, keterlibatan siswa dalam pembentukan kehidupan dan perolehan kesempatan

untuk merefleksikan keagenannya merupakan hal yang sangat penting untuk perubahan sosial

yang positif. Keagenan pada dirinya sendiri penting untuk kemerdekaan individu, juga secara

instrumental dibutuhkan untuk tindakan kolektif dan partisipasi demokrasi. Dengan kata lain,

keagenan pada individu diperlukan untuk perkembangan masyarakat (Sen, 1990). Orang

melatih dan mengembangkan keagenannya secara individual serta lewat kerja sama dengan

orang lain (Walker dan Unterhalter, 2007). Melalui kesempatan pendidikan dan proses yang

memadai, setiap orang dapat belajar menguatkan keagenan dan kemerdekaannya.

Keagenan juga merupakan kunci bagi kebahagiaan atau kesejahteraan (well-being)

seseorang (Alkire, 2002). Sama halnya dengan pemelajaran, pemahaman diri sendiri sebagai

agen, yang tindakan-tindakan dan kontribusinya diperhitungkan dalam dunia pendidikan,

tidak berlangsung sekali jadi dalam waktu yang cepat. Pembentukan kesadaran tentang diri

sendiri sebagai agen berlangsung dalam proses yang panjang dan lama, proses yang sekaligus

meng-ada (being) dan menjadi (becoming). Dengan membangun keagenan di dalam dan

melalui praktik pendidikan, kita membuka kemungkinan untuk menginterupsi hubungan yang

x

dipaksakan dalam pendidikan yang cenderung mengaitkan sumber-sumber yang dimiliki

pemelajar dengan manfaat (Walker dan Unterhalter, 2007).

4. Pendekatan Yang Digunakan Penyelenggara Pendidikan di UI

Dengan dasar pertimbangan keagenan, perlu dipertanyakan apakah pemelajar yang berbeda

diakui—secara sosial dan edukasional—memiliki klaim yang setara terhadap sumber daya

dan kesempatan. Ini merupakan persoalan yang saat ini sedang dihadapi Indonesia. UI

berusaha menyelesaikan persoalan ini. Marilah kita cermati apa yang berlangsung umum

dalam proses pendidikan di Indonesia.

Pada kenyataannya, di Indonesia terdapat perbedaan akses ke sumber dan

kesempatan, di antara para lulusan dari sekolah yang dianggap bermutu dan yang kurang

bermutu, terutama lulusan perguruan tinggi. Secara sosial tuntutan fungsional terhadap para

lulusan perguruan tinggi jauh lebih tinggi daripada tuntutan terhadap kapabilitas mereka.

Mereka diharapkan sudah siap berfungsi begitu mereka memasuki dunia kerja. Fungsi yang

dituntut dari lulusan itu adalah fungsi yang sudah ditentukan oleh pemberi kerja. Mereka

harus siap bekerja dengan fungsi yang sangat khusus. Ternyata, tidak semua lulusan

perguruan tinggi—seperti juga lulusan SMA—dapat diserap oleh dunia kerja yang

membutuhkan fungsi khusus. Di sisi lain, selama dalam pendidikan mereka tidak

dipersiapkan untuk memiliki kapabilitas sehingga mereka seperti tak punya kesempatan dan

tak mampu melihat kemungkinan lain di luar menjadi orang “bayaran,” yakni orang yang

bekerja pada orang lain, misalnya pemerintah atau perusahaan.

Perguruan tinggi di Indonesia umumnya menjadikan keterserapan lulusannya oleh

dunia kerja sebagai salah satu indikasi keberhasilan mereka mendididik. Semakin banyak dan

semakin cepat lulusan mereka terserap oleh perusahaan atau lembaga pemberi kerja, semakin

besar rasa keberhasilan mereka mendidik mahasiswa-mahasiswanya. Dari situ dapat kita lihat

bahwa kebanyakan—kalau tidak dapat dikatakan semua—perguruan tinggi di Indonesia

masih menggunakan pendekatan utilitarian yang mementingkan pengajaran fungsi dan

mengejar manfaat yang spesifik. Pendidikan yang berikhtiar untuk menghasilkan kapabilitas

atau kemerdekaan pada siswa-siswanya masih sangat langka.

Dalam kajian penelusuran (tracer study) atas sejauh mana efektivitas proses

pendidikan melalui identifikasi kegiatan-kegiatan para lulusannya, informasi yang digali ialah

sejauh mana fungsi-fungsi dimiliki oleh lulusan. Umumnya dalam kajian itu hanya

ditanyakan waktu tunggu untuk mendapatkan pekerjaan pertama, besarnya gaji pertama,

posisi atau jabatan di tempat kerja awal dan saat ini, kesesuaian ilmu dengan bidang

xi

pekerjaan, kebutuhan keilmuan dalam melaksanakan pekerjaannya, serta saran dan kritik

untuk kebutuhan pengembangan jurusan. Pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan

kapabilitas sangat jarang.

UI berupaya mengubah kecenderungan itu. Pemikiran tentang pengembangan

kapabilitas dan bukan melulu pembentukan fungsi yang menjadi tujuan pendidikan tinggi

diindikasikan oleh kajian penelusuran yang dilakukan oleh UI. Dari kuesioner dan laporan

hasil kajian itu, ada indikasi bahwa pendidikan di UI menekankan juga pentingnya

pengembangan kapabilitas dalam pendidikan. Mahasiswanya diberi kesempatan dan

difasilitasi untuk meningkatkan kapabilitasnya melalui berbagai pengalaman belajar: selain

pengalaman belajar di dalam kelas dan di laboratorium, ada juga pengalaman belajar di

masyarakat, di perusahaan atau di instansi pemerintah; belajar dalam organisasi dan dalam

pergaulan; serta belajar mandiri. Pendidikan yang memungkinkan terbentuknya keterampilan

hidup, keterampilan generik atau keterampikan lunak (soft-skill) pun dilakukan oleh UI.

Beberapa pelajaran juga disajikan dengan metode yang memungkinkan mahasiswa

memperoleh kesempatan untuk meningkatkan kapabilitasnya, seperti keterlibatan dalam

penelitian sebagai bagian dari mata ajar metodologi penelitian, pengalaman bekerja sama

dalam tim, fasilitasi keterampilan komunikasi lisan dan tertulis, kepemimpinan, manajemen

organisasi, serta kesempatan untuk berpartisipasi dalam proses pemberdayaan masyarakat.

Metode pemelajaran yang digunakan pun beragam dan memungkinkan pengembangan

kapabilitas mahasiswa. Melalui kajian penelusuran, UI mencoba melihat sejauh mana

pendidikan yang bertujuan meningkatkan kapabilitas itu berpengaruh dan berperan dalam

kehidupan lulusannya di masyarakat. Kini usaha untuk menekankan pengembangan

kapabilitas pada mahasiswa UI dalam keseluruhan kurikulumnya semakin besar porsinya.

Sebagai wacana, pendidikan yang bertujuan meningkatkan dan menyetarakan

kapabilitas sudah sering dikemukakan di Indonesia. Namun pada praktiknya, belum banyak

penyelenggara pendidikan yang sungguh-sungguh berikhtiar meningkatkan dan

menyetarakan kapabilitas. Umumnya pendidikan di Indonesia belum ditujukan untuk

menghasilkan manusia yang merdeka atau berkarakter kuat. Dalam banyak hal pendidikan

dilakukan semata-mata untuk menghasilkan penguasaan fungsi oleh para siswa; itu pun

masih belum efektif.

Di tingkat pendidikan yang lebih rendah (SMA, SMP, dan SD), bahkan pendidikan

yang menghasilkan fungsi pun, pengembangan kapabilitas belum berjalan. Kecenderungan

guru-guru mencekoki murid dengan informasi yang harus dihafal, atau menunjukkan cara-

cara tertentu yang tak boleh ditawar atau dikritik mendorong siswa untuk sekadar menghafal,

xii

menjadi orang yang pasif menyerap informasi, dan kurang memiliki inisiatif, apalagi

kreativitas. Praktik pendidikan, baik penyekolahan, pembiasaan, maupun peneladanan, jauh

dari pencapaian tujuan menghasilkan manusia merdeka. Bahkan, kapabilitas terkesan tak

terpikirkan oleh kebanyakan penyelenggara sekolah, guru, dan orang tua.

5. UI Memperjuangkan Kapabilitas dan Kemerdekaan

Untuk mengubah kecenderungan pendidikan di Indonesia yang lebih mementingkan fungsi

ketimbang kapabilitas, UI memulainya dengan evaluasi yang menekankan pentingnya

pengembangan kapabilitas, misalnya melalui kajian penelusuran. Kemudian, pemelajaran

diarahkan kepada usaha pengembangan kapabilitas dengan menggunakan pelbagai metode

pembelajaran. Metode-metode itu ialah kolaborasi (collaborative learning) dalam

membentuk pengetahuan dan menyelesaikan masalah; pemelajaran berdasarkan masalah

(problem-based learning); pemagangan; penyelesaian proyek bersama; penugasan

(internship) di beberapa lembaga atau komunitas di masyarakat seperti kuliah kerja nyata

(KKN); fasilitasi untuk terlibat dalam kegiatan ekstrakurikuler, seminar dan diskusi lainnya;

pelibatan mahasiswa dalam kegiatan riset; serta pemanfaatan mahasiswa dalam

penyelenggaraan administrasi pendidikan.

Evaluasi terhadap pemelajaran pun mulai ditekankan pada sejauh mana kapabilitas

mahasiswa berkembang. Penekanan evaluasi pada kapabilitas ketimbang pada fungsi

merupakan kontribusi berarti untuk pembahasan keadilan sosial dalam pendidikan, termasuk

peningkatan perhatian kepada gagasan keagenan dan identitas. Dengan evaluasi terhadap

kapabilitas, kita dapat menemukan hal-hal yang memperlemah dan memperkuat kapabilitas.

Temuan-temuan dalam kajian penelusuran yang dilakukan telah memberikan banyak

masukan bagi perbaikan kualitas pendidikan di UI. Temuan itu memungkinkan UI untuk

memikirkan strategi, metode, dan teknik peningkatan kapabilitas yang sekaligus merupakan

peningkatan keagenan dan kemerdekaan.

Evaluasi kapabilitas juga memungkinkan penyelenggara pendidikan memahami

persoalan-persoalan yang ada pada para peserta didik dengan identitas tertentu, baik

individual maupun kolektif. Pemahaman terhadap permasalahan identitas itu dapat membantu

penentuan strategi dan rancangan pendidikan yang sesuai dengan identitas peserta didik.

Dengan demikian persoalan identitas mereka dapat diselesaikan bersamaan dengan

peningkatan penghargaan mereka terhadap identitas kolektif dan identitas diri mereka

masing-masing.

xiii

Bagaimana evaluasi itu dilakukan? Dengan kerangka apa? UI belajar dari para

pemikir yang bergulat dengan persoalan pendidikan dan evaluasinya. Pelbagai pemikiran

tentang pendidikan dapat dikelompokkan menjadi dua arus. Pertama, arus pemikiran yang

fokus pada bagaimana sekolah mereproduksi ketaksetaraan dan ketakadilan sosial melalui

maldistribusi dan pembungkaman (di antaranya Bowles dan Gintis, 1976, Bourdieu dan

Passeron, 1977; Aikman, 1999; Bowles dan Gintis, 2002; Kwesiga, 2002; Ball 2003). Kedua,

mereka yang menyadari bagaimana kondisi di sekolah atau situs pemelajaran lainnya

menawarkan sumber daya atau kondisi yang melaluinya pemelajar dapat melawan atau

mengubah ketaksetaraan (di antaranya Stromquist, 1998; Brighouse, 2002; Lynch dan Baker

2005; McLeod, 2005).

UI memadukan kedua pendekatan itu dengan satu tujuan yang memiliki dua sisi.

Tujuan itu, yang mensyaratkan kesetaraan dan keadilan sosial, adalah kesejahteraan dan

kebahagiaan manusia yang di dalamnya tercakup kapabilitas dan kemerdekaan. Tidak

tercapainya kesejahteraan, juga kapabilitas dan kemerdekaan, boleh jadi karena ada

ketidaksetaraan dan ketidakadilan, tetapi bisa juga karena upaya-upaya untuk mencapai

kesetaraan dan keadilan memang tidak dilakukan. Perlu ditekankan di sini, hilangnya

ketidaksetaraan dan ketidakadilan tidak dengan sendirinya berarti tercapainya kesetaraan dan

keadilan. Oleh karena itu, usaha untuk menghilangkan ketaksetaraan dan ketidakadilan usaha

untuk menghadirkan kesetaraan dan keadilan harus dilakukan secara bersama-sama. Di satu

sisi, tujuan itu dicapai dengan mengurangi ketidaksetaraan dan ketidakadilan sosial. Di sisi

lain, hal itu dicapai dengan meningkatkan kesetaraan dan keadilan sosial.

Sejalan dengan beberapa pemikir yang mengedepankan kapabilitas (di antaranya Sen,

1992, 1993; Nussbaum, 1997, 2002, 2004, 2006), di tataran individu, pendidikan di UI dan

evaluasinya diselenggarakan dengan dasar kesejahteran dan kebahagiaan manusia sebagai

tujuan. Secara operasional, kapabilitas dan kemerdekaan dapat ditingkatkan melalui

pendidikan dengan memfasilitasi peserta didik menjadi orang yang belajar sepanjang hayat,

memiliki gairah menjalani kehidupan, berani mengambil risiko, mampu berpikir kritis, dan

memecahkan masalah, mampu melihat sesuatu secara berbeda, mampu bekerja (baik secara

independen maupun bersama orang lain), kreatif, peduli dan rela memberikan kontribusi

kepada komunitas, merawat hal-hal yang baik, memiliki integritas dan menghargai diri

sendiri, memiliki keberanian moral, mampu menggunakan dunia di sekelilingnya secara

konstruktif, mampu berbicara, menulis, membaca dan bekerja secara baik, serta sungguh-

sungguh menikmati hidup dan pekerjaannya. Semua itu merupakan kapabilitas yang

xiv

diperlukan manusia untuk dapat menjadi sejahtera dan bahagia. Evaluasi pendidikan di

tataran individu dilakukan untuk mengetahui sejauh mana hal itu semua telah dicapai.

UI mendorong berkembangnya kapabilitas para mahasiswa dan dosennya. Di

antaranya dengan memberikan beasiswa kepada mahasiswa yang kurang mampu secara

finansial, menyediakan pelayanan kesehatan dan fasilitas fisik dengan dasar kesetaraan,

memberlakukan sistem biaya operasional pendidikan (BOP) berkeadilan yang menggunakan

prosedur subsidi silang, melibatkan mahasiswa dalam riset, dan mendorong dan memfasilitasi

dosen-dosen melakukan riset sesuai dengan bidang minatnya.

Dasar dari kebijakan itu adalah kesadaran bahwa meskipun setiap orang memiliki

potensi untuk memperoleh kapabilitas dan kemerdekaan, aktualisasinya memerlukan

perjuangan yang tak ringan. Dengan kata lain, kapabilitas dan kemerdekaan harus

diperjuangkan. Pendidikan yang merupakan bagian dari aktivitas mengembangkan dan

menjaga kesatuan diri setiap pribadi dalam rangka partisipasi mengembangkan dunia pun

harus diperjuangkan. UI mengupayakan agar kesetaraan pendidikan itu dapat dicapai secara

aktual. Pembedaan BOP, sebagai contoh, dilakukan dengan mempertimbangkan kepentingan

mahasiswa yang kurang mampu secara finansial dengan memberikan keringanan biaya kuliah

atau beasiswa penuh kepada mereka.

UI juga mengupayakan kemerdekaan dari tuntutan dan penindasan rezim manfaat,

kekuasaan industri, dan pasar tenaga kerja dengan meleluasakan dosen-dosennya melakukan

riset-riset sesuai dengan minat dan bidang keahliannya, terlepas dari apakah riset-riset itu

dibutuhkan oleh pasar atau tidak. Lalu, dengan bekal hasil riset mereka, para dosen itu

mengajar dan mengembangkan kapabilitas mahasiswa. UI, tentu saja, juga mementingkan

manfaat, bekerja sama dengan industri, dan ikut mendukung tersedianya tenaga kerja yang

kompeten. Namun, di atas semua itu, UI terutama mendidik mahasiswa agar berkarakter kuat,

mempunyai kapabilitas, dan merdeka sebagai tujuan utamanya.

6. MPKT Sebagai Usaha Pengembangan Kapabilitas Mahasiswa UI

Dengan dasar konsep pendidikan sebagai usaha pengembangan kapabilitas dan bertujuan

menghasilkan manusia merdeka, maka MPKT diselenggarakan. Penyelenggaraannya

merupakan wujud dari komitmen UI untuk mengembangkan kapabilitas mahasiswanya.

Buku ajar yang memuat bahan-bahan bacaan ini merupakan satu alat pendidikan yang

dimaksudkan untuk menjadi salah satu rujukan yang dapat dimanfaatkan oleh mahasiswa,

khususnya dalam bagian MPKT A yang lebih menekankan dasar-dasar ilmu pengetahuan

xv

sosial dan humaniora. Bahan bacaan ini hanyalah salah satu alat yang melengkapi metode

pemelajaran yang mengutamakan keaktifan mahasiswa dalam proses belajar-mengajar. Ada

banyak alat bantu lain seperti disain instruksional dalam bentuk buku rancangan

pembelajaran, formulir evaluasi, peralatan pendukung presentasi, laboratorium, peralatan

komputer dan internet, serta alat-alat lain yang disesuaikan dengan jenis dan bentuk

pemelajaran mahasiswa. Selain itu, buku ajar ini hanya memuat informasi yang terbatas dan

oleh karena itu mahasiswa diharapkan dan didorong untuk juga memanfaatkan sumber-

sumber bacaan lain untuk memperkaya pengetahuan mereka.

Buku ajar ini memuat bahan-bahan bacaan mengenai kekuatan dan keutamaan

karakter, filsafat, logika yang sekaligus juga memuat materi berpikir kritis, etika,

pengembangan diri individu, kehidupan sosial yang mencakup masyarakat dan bangsa, dan

kebudayaan. Bahan-bahan itu dimasukkan ke dalam tiga buku. Buku I memuat dasar-dasar

yang dibutuhkan dalam usaha perolehan dan penerapan pengetahuan, yaitu Filsafat, Logika,

Etika, dan Kekuatan dan Keutamaan Karakter. Buku II berisi pokok-pokok Manusia,

Masyarakat, dan Kesadaran Lingkungan. Buku III memuat materi tentang Bangsa dan

Negara, khususnya Bangsa dan Negara Indonesia.

MPKT A sebagai bagian dari MPKT keseluruhan merupakan usaha untuk

mengembangkan kapabilitas mahasiswa UI. Pelajaran-pelajaran yang dapat diperoleh di

dalamnya bukan hanya mengenai fungsi yang harus dimiliki mahasiswa dalam memenuhi

tuntutan masyarakatnya, melainkan lebih daripada itu, yakni pelajaran tentang bagaimana

kapabilitas mahasiswa dapat dikembangkan sehingga ia dapat mengembangkan dirinya

sendiri dan masyarakatnya.

xvi

DAFTAR PUSTAKA untuk Pengantar

Aikman, S. 1999. Intercultural Education and Literacy: An Ethnographic Study of Indigenous Knowledge and Learning in the Peruvian Amazon Studies in Written Language and Literacy 7. Amsterdam: John Benjamins.

Alkire, S. 2002. Valuing Freedoms: Sen’s Capability Approach and Poverty Reduction. Oxford: Oxford University Press.

Ball, S. 2003. Class Strategies and the Education Market: The Middle Classes and Social Advantage. London: Routledge Falmer.

Bourdieu, P. dan Passeron, J.-C. 1977 (cet. ke-2). Reproduction in Education, Society and Culture. London: Sage.

Bowles, S. dan Gintis, H. 1976. Schooling in Capitalist America. New York: Basic Books.

———. 2002. “Schooling in Capitalist America Revisited.” Dalam Sociology of Education, 75 (2): 1–18.

Brighouse, H. 2002. “What Rights (if any) Do Children Have?” Dalam The Moral and Political Status of Children (suntingan A. Archard dan C. MacLeod). Oxford: Oxford University Press.

Brighouse, H. dan Swift, A. 2003. “Defending Liberalism in Education Theory.” Dalam Journal of Education Policy, 18:355–373.

Dewantara, K. H. 2004. Karya K. H. Dewantara, Bagian Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.

Dreze, J. dan Sen, A. 1995. India: Economic Development and Social Opportunity. Oxford: Oxford University Press.

Hatta, M. 1932/1988. Ke Arah Indonesia Merdeka: Karya Lengkap Bung Hatta, Buku 1: Kebangsaan dan Kerakyatan, hlm. 21—30. Jakarta: Penerbit PT Pustaka LP3ES Indonesia.

Kwesiga, J. 2002. Women’s Access to Higher Education in Africa: Uganda’s Experience. Kampala: Fountain Publishers.

Lynch, K. dan Baker, J. 2005. “Equality in Education: An Equality of Condition Perspective.” Dalam Theory and Research in Education 3:131–164.

xvii

McLeod, Julie. 2005. “Feminists Re-reading Bourdieu: Old Debates and New Questions about Gender Habitus and Gender Change.” Dalam Theory and Research in Education, 3:7–9.

Nussbaum, M. C. 2000. Women and Human Development: The Capabilities Approach. Cambridge: Cambridge University Press.

Robeyns, I. 2005. “The Capability Approach: A Theoretical Survey.” Dalam Journal of Human Development, 6(1) 93-114.

Santoso, S. I. 1979. Pembinaan Watak Tugas Utama Pendidikan. Jakarta: Univeritas Indonesia.

Sen, Amartya. 1979. “Utilitarianism and Welfarism.” Dalam The Journal of Philosophy, LXXVI, 463-489.

———. 1980. “Equality of What?” Dalam The Tanner Lectures on Human Values (suntingan S. McMurrin). Salt Lake City: University of Utah Press.

———. 1985. Commodities and Capabilities. Oxford: Oxford University Press

———. 1992. Inequality Re-examined. Oxford: Oxford University Press.

———. 1993. “Capability and Well-being” dalam Nussbaum dan Sen, The Quality of Life.

———. 1999. Development as Freedom. Oxford: Oxford University Press.

———. 2002. Rationality and Freedom. Cambridge, MA: Harvard University Press.

———. 2004. “Capabilities, Lists and Public Reason: Continuing the Conversation.” Dalam Feminist Economics, 10:77–80.

Stromquist, Nelly. 1998. “Empowering Women through Knowledge: Politics and Practices” dalam International Cooperation in Basic Education. Stanford, CA: SIDEC.

Unterhalter, E. 2003. “The Capabilities Approach and Gendered Education: An Examination of South African Complexities.” Dalam Theory and Research in Education, 1 (1): 7–22.

Walker, M. dan Unterhalter, E. (editor). 2007. Amartya Sen’s Capability Approach and Social Justice in Education. New York: Palgrave MacMillan.

xviii

DAFTAR ISI

PENGANTAR …………………………………………………………………..……… iii

DAFTAR PUSTAKA untuk Pengantar ………………………………………..………. xvi

DAFTAR ISI…………………………………………………………………………….. xviii

BAB I: KEKUATAN DAN KEUTAMAAN KARAKTER

1. Pendahuluan……………………………………………………..…………. 1

2. Kepribadian dan Karakter……….……………………...………………….. 2

3. Kekuatan dan Keutamaan Karakter………………………..……………….. 4

4. Membedakan Keutamaan, Kekuatan Karakter dan Tema Situasional….… 4

5. Kriteria Karakter yang Kuat…………………………………….………… 6

6. Keutamaan dan Kekuatan Karakter yang Membentuknya……….………… 7

7. Karakter dan Spiritualitas……………………………….……….………… 12

8. Keutamaan Karakter dan Kebahagiaan……………………………………. 15

DAFTAR PUSTAKA untuk Bab I.................................................................... 17

BAB II: DASAR-DASAR FILSAFAT

1. Pendahuluan……… ……………………………………………....……….. 18

2. Pengertian Filsafat……….………………………………………....………. 20

3. Cabang dan Aliran Filsafat………..…………………………...…………… 26

4. Alternatif Langkah Belajar Filsafat……………………………………....… 34

DAFTAR PUSTAKA untuk Bab II …............................................................. 38

BAB III: DASAR-DASAR LOGIKA……………………………………………..…….. 39

1. Apakah Logika Itu?...............................………………..……………...….. 39

2. Kategori…………………..…………………………………..……….....… 43

3. Term, Definisi dan Divisi…………………..……………………….……… 48

xix

3.1 Term…………………………………………..………..……….……… 48

3.2 Definisi…………………………………………………………………. 49

3.2.1 Penggolongan Definisi…………………………………………… 50

3.2.2 Aturan Membuat Definisi………………………………………… 51

3.3 Divisi……………………………………………………………………. 52

3.3.1 Divisi Real atau Aktual…………………………………………… 52

3.3.2 Divisi Logis……………………………………………………….. 53

3.3.3 Aturan Pembuatan Divisi…………………………………………. 53

4. Kalimat, Pernyataan, dan Proposisi..………………………….……….…… 54

4.1 Pengertian Kalimat, Pernyataan, dan Proposisi………..……….……… 54

4.2 Pernyataan Sederhana dan Pernyataan Kompleks……………………… 56

4.3 Jenis-Jenis Pernyataan Kompleks………………………….…………… 58

4.3.1 Negasi……………………………………………………………... 58

4.3.2 Konjungsi…………………………………………………………. 59

4.3.3 Disjungsi………………………………………………………….. 61

4.3.4 Kondisional……………………………………………………….. 62

4.3.5 Hubungan Kondisional: Kondisi Niscaya dan Kondisi yang

Mencukupi………………………………………………………… 64

4.4 Hubungan Antar-pernyataan………………………………..…….…….. 65

4.4.1 Kesimpulan Langsung: Oposisi dan Proposisi…………………… 66

4.4.2 Konsistensi dan Inkonsistensi……………………………………. 68

4.4.3 Implikasi, Ekuivalensi, dan Independensi Logis…………………. 68

5. Penalaran…………..………………………………………….……………. 70

5.1 Penyimpulan Langsung……………………………...………….…….. 70

5.2 Penyimpulan Tak Langsung………………………..……………….….. 71

5.3 Dua Jenis Penalaran….…………………………………………………. 72

5.4 Kesalahan Penyimpulan………………………………………………… 72

5.5 Argumentasi…………………………………………………………….. 73

6. Argumen Deduktif…………………………………….………………….…. 74

6.1 Definisi Penalaran Deduktif (Deduksi)…………………………………. 74

6.2 Karakteristik Penalaran Deduktif…….…………………………………. 74

6.3 Silogisme………………………..………………………………….…… 75

6.3.1 Silogisme Kategoris………………………………………………. 76

6.3.2 Delapan Hukum Silogisme……………………………………….. 76

xx

6.3.3 Silogisme Hipotetis………………………………………………. 79

6.3.4 Bentuk-bentuk Umum Argumen yang Sahih……………………. 79

7. Argumen Induktif……………………….…………………………….……. 81

7.1 Definisi Induksi………………………………………………………… 81

7.1.1 Induksi Enumeratif (Generalisasi Induktif)………………………. 84

7.1.2 Spesifikasi Induktif: Silogisme Statistikal……………………….. 88

7.1.3 Induksi Eliminatif atau Diagnostik……………………………….. 92

8. Sesat Pikir…………………………………….……………………………... 100

8.1 Pengertian Sesat Pikir (Fallacies)……………………………………….. 100

8.2 Sesat Pikir Formal………………………………………………………. 101

8.3 Sesat Pikir Nonformal………………………………………………….. 104

9. Kesalahan Umum Dalam Penalaran Induktif………………………………. 109

9.1 Menilai Penalaran Induktif dengan Standar Deduktif………………….. 110

9.2 Kesalahan Generalisasi…………………………………………………. 112

9.2.1 Generalisasi yang Terburu-buru (Kebalikan dari Kesalahan

Kecelakaan)………………………………………………………. 112

9.2.2 Kesalahan Kecelakaan……………………………………………. 113

9.3 Kesalahan Penggunaan Bukti Secara Salah……………………………. 116

9.3.1 Kesimpulan yang Tidak Relevan…………………………………. 116

9.3.2 Kesalahan Bukti yang Ditahan…………………………………… 117

9.4 Kesalahan Statistikal…………………………………………………… 119

9.4.1 Kesalahan Sampel yang Bias (Statistik yang Bias)………………. 119

9.4.2 Kesalahan Percontoh yang Kecil (Ststistik yang Tidak Cukup)…. 120

9.4.3 Kesalahan Penjudi (Gambler’s Fallacy)………………………...... 122

9.5 Kesalahan Kausal………………………………………………………. 123

9.5.1 Mengacaukan Sebab dan Akibat…………………………………. 124

9.5.2 Mengabaikan Penyebab Bersama………………………………… 125

9.5.3 Kesalahan Penyebab yang Salah (Kesalahan Post Hoc)…………. 126

9.5.4 Mengacaukan Penyebab yang Berupa Necessary Condition dengan

Sufficient Condition……………………………………………… 127

9.6 Kesalahan Analogi……………………………………………………… 129

DAFTAR PUSTAKA untuk Bab III…..………................................................. 132

BAB IV: DASAR-DASAR ETIKA………………………………………………………. 133

xxi

1. Perbedaan Etika dan Moralitas...................................................................... 133

2. Klasifikasi Etika…………………………………………………………….. 135

2.1 Etika Normatif………………………………………………………….. 136

2.2 Etika Terapan…………………………………………………………… 137

2.3 Etika Deskriptif…………………………………………………………. 138

2.4 Metaetika……………………………………………………………….. 140

3. Realisme Etis dan Non-Realisme Etis..…………………………………….. 141

3.1 Realisme Etis……………………………………………………………. 141

3.2 Nonrealisme Etis………………………………………………………... 142

4. Empat Jenis Pernyataan Etika………………………………………………. 143

5. Kegunaan Etika…………………………………………..…………………. 145

6. Immanual Kant dan Etika Kewajiban.……………………………………… 146

7. John Stuart Mill dan Konsep Etika Utilitarian…………………………….. 149

8. W.D Ross; Intuisi dan Kewajiban……………………..…………………… 152

DAFTAR PUSTAKA untuk Bab IV ………………........................................ 156

1

BAB I KEKUATAN DAN KEUTAMAAN KARAKTER

Bagus Takwin 1. Pendahuluan

Persoalan karakter belakangan ini mencuat kembali. Ada banyak pembahasan tentang

karakter di dalam diskusi dan seminar. Bermunculan juga lembaga pendidikan yang diberi

label “pendidikan karakter”. Program-program pendidikan dari pemerintah pun mulai banyak

memberi penekanan pada pendidikan karakter. Kecenderungan ini adalah kecenderungan

yang baik jika memang persoalan karakter dibidik secara tepat, dan juga jika pendidikan

karakter yang dimaksud bukan label saja.

Pembentukan karakter memang menjadi salah satu kunci dari kemajuan dan

pembangunan bangsa. Jauh-jauh hari Bung Hatta (1932/1988) sudah menekankan pentingnya

pembentukan karakter bersama dengan pembangunan rasa kebangsaan dan peningkatan

pengetahuan serta keterampilan (Hatta, 1988). Ki Hadjar Dewantara menegaskan bahwa

tujuan pendidikan adalah memerdekakan manusia. Manusia yang merdeka adalah manusia

dengan karakter yang kuat (Dewantara, 2004). Pembentukan karakter juga merupakan isu

penting dalam pendidikan mengingat tujuan pendidikan adalah pembentukan watak atau

karakter (Santoso, 1979).

Dalam psikologi, khususnya psikologi positif, belakangan ini pembahasan tentang

karakter dengan kekuatan dan keutamaannya cukup menonjol. Dalam rangka memahami

kebahagiaan, mereka sampai pada pengertian bahwa kebahagiaan yang otentik adalah

perpaduan perasaan-perasaan positif dan penilaian-penilaian terhadap hidup yang memuaskan

berdasarkan kekuatan dan keutamaan karakter. Kebahagian otentik bersumber pada diri

sendiri dan pada kekuatan dan keutamaan karakter, tetapi bukan berasal dari hal-hal lain di

luar diri sendiri. Dengan kekuatan dan keutamaan karakter, orang dapat menghasilkan

perasaan-perasaan positif dalam situasi apa pun. Ia juga dapat melihat sisi-sisi baik dari

hidupnya sehingga ia dapat memberikan penilaian positif pula kepada hidupnya. Oleh sebab

itu, pendidikan karakter juga merupakan usaha untuk membantu peserta didik mencapai

kebahagiaan.

2

Jika kita pikirkan dengan lebih mendalam lagi, kekuatan karakter bersumber pada

keberadaan manusia sebagai makhluk spiritual. Manusia memiliki daya-daya spiritual yang

memberikan kebebasan kepadanya untuk melampaui apa yang ada di sini dan saat ini.

Dengan spiritualitasnya, manusia mengatasi dan melampaui keterbatasannya sebagai

makhluk alamiah. Spiritualitas manusia merupakan dasar dari kekuatan karakter.

Kemampuan manusia untuk memperbaiki diri dan dunianya dari waktu ke waktu bersumber

pada daya-daya spiritualnya.

Dalam bab ini akan dibahas pengertian karakter dengan merujuk kepada Allport

(1937;1961). Selanjutnya akan dibahas kekuatan dan keutamaan karakter yang sudah

dihimpun oleh Peterson dan Seligman (2004) dari pendekatan psikologi positif. Kemudian

dibahas spiritualitas sebagai dasar kekuatan karakter.

2. Kepribadian dan Karakter

Karakter bukan kepribadian meskipun keduanya berkaitan erat. Perlu dibahas lebih

dulu apa yang dimaksud dengan kepribadian mengingat istilah ini sering dipertukarkan

dengan karakter. Selain itu, penjelasan tentang karakter akan lebih mudah dilakukan dengan

menjelaskan kepribadian terlebih dahulu.

Allport (1937:48) mendefinisikan kepribadian sebagai “...the dynamic organization

within the individual of those psychophysical system that determine his unique adjustment to

his environment” (“…organisasi dinamis dari keseluruhan sistem psiko-fisik dalam diri

individu yang menentukan penyesuaian dirinya yang unik terhadap lingkungannya”).

Dari definisi itu dapat dipahami bahwa kerpibadian manusia—sebagai hal yang

terorganisasi—tidak acak, dan unsur-unsurnya tidak bekerja sendiri-sendiri. Kepribadian

manusia adalah kesatuan yang teratur dengan unsur-unsur yang berkaitan satu sama lain.

Allport juga memandang kepribadian manusia sebagai sesuatu yang dinamis. Artinya,

kepribadian manusia terus bergerak dan berkembang, tidak berhenti atau terhenti pada satu

titik. Kepribadian manusia tampil dalam perilaku yang melibatkan aspek psikis seperti

berpikir, mempercayai dan merasakan sesuatu. Kepribadian juga tampil dalam perilaku yang

melibatkan aspek fisik manusia seperti berjalan, berbicara dan melakukan tindakan-tindakan

motorik.

Organisasi, dinamika, dan interaksi antara psikis dan fisik manusia dalam

kepribadiannya menentukan penyesuaian dirinya yang unik terhadap lingkungannya. Di sini

terkandung pengertian bahwa baik faktor internal diri manusia maupun faktor eksternal

(lingkungan)-nya mempengaruhi kepribadian manusia. Manusia memiliki otonomi dalam

3

dirinya tetapi, di sisi lain, ia juga menyesuaikan diri dengan lingkungannya secara unik.

Dengan keunikan itu, seorang manusia berbeda dari manusia lainnya.

Allport (1937; 1961) menambahkan beberapa pengertian yang menyangkut kepribadian

sebagai berikut. Pertama, kepribadian dapat dipahami sebagai perpaduan dari sifat-sifat

(traits) mayor dan minor yang masing-masing dapat berdiri sendiri dan dikenali. Kedua, sifat

kepribadian (personality trait) merupakan suatu mekanisme paduan antara faktor-faktor

biologis, psikologis, dan sosial yang mengarahkan individu kepada kegiatan-kegiatan spesifik

dalam suatu keadaan yang spesifik. Ketiga, seorang ahli psikologi dapat mengatakan bahwa

dirinya “memahami” orang lain hanya jika keseluruhan sejarah hidup orang itu telah

ditelitinya, hanya jika “hidup” orang itu diamati, dan hanya jika orang itu sendiri ikut

berkontribusi dalam proses penilaian terhadap dirinya sendiri (self-evaluation).

Allport cenderung untuk tidak memilah-milah dan menganalisis motif, keinginan, dan

perilaku sebagai hal yang terpisah satu sama lain, melainkan menganggapnya sebagai hal-hal

yang saling mempengaruhi. Allport (1961) melihat manusia sebagai keseluruhan yang utuh

berdasarkan pembentukan sifat-sifat dasarnya. Oleh karena itu, dalam memahami kepribadian

seseorang perlu diketahui sejarah hidup, latar belakang budaya, ambisi, cita-cita, karakter,

motif, dan sifatnya serta keterkaitan semua itu dalam pembentukan kepribadiannya.

Pemahaman tentang unsur-unsur kepribadian berdasarkan analisis terhadap unsur-unsurnya

masing-masing itu baru merupakan langkah awal untuk membantu pemahaman tentang

keseluruhan kepribadian. Pada akhirnya, sintesis dari unsur-unsur itulah yang merupakan

gambaran kepribadian.

Allport (1937) mendefinisikan karakter sebagai kepribadian yang dievaluasi. Artinya,

karakter adalah segi-segi kepribadian yang ditampilkan keluar dari, dan disesuaikan dengan

nilai dan norma tertentu. Karakter, dengan demikian, adalah kumpulan sifat mental dan etis

yang menandai seseorang. Kumpulan ini menentukan orang seperti apa pemiliknya. Karakter

juga menentukan apakah seseorang akan mencapai tujuan secara efektif, apakah ia apa

adanya dalam berurusan dengan orang lain, apakah ia akan taat kepada hukum, dan

sebagainya.

Karakter diperoleh melalui pengasuhan dan pendidikan meskipun potensialitasnya ada

pada setiap orang. Untuk membentuk karakter yang kuat, orang perlu menjalani serangkaian

proses pemelajaran, pelatihan dan peneladanan. Seperti yang sudah disebutkan di atas,

pendidikan pada intinya merupakan proses pembentukan karakter.

4

3. Kekuatan dan Keutamaan Karakter

Identifikasi karakter yang merupakan pengenalan terhadap keutamaan tertentu pada

diri seseorang dapat dilakukan melalui pengenalan terhadap ciri-ciri keutamaaan yang tampil

dalam perilaku khusus dan respons secara umum dari orang itu. Peterson dan Seligman

(2004) mengembangkan klasifikasi keutamaan beserta pendekatan metodik untuk

mengidentifikasinya. Mereka mengatakan bahwa karakter yang kuat adalah karakter yang

bercirikan keutamaan-keutamaan yang merupakan keunggulan manusia. Di sini keutamaan

sebagai kekuatan karakter dibedakan dari bakat dan kemampuan. Mereka juga menjelaskan

kondisi situasional yang dapat memunculkan atau menyurutkan kekuatan-kekuatan itu,

pelatihan atau pembinaan yang dapat dilakukan untuk mengembangkan karakter yang kuat,

serta hasil-hasil positif yang dapat diperoleh seseorang yang memiliki keutamaan.

Penggalian, pengenalan, dan pengukuran keutamaan dapat dilakukan melalui teknik

inventori, skala sikap, wawancara mendalam, diskusi kelompok terarah (focus-group

discussion) dan simulasi. Pada prinsipnya, semua teknik itu membutuhkan ahli yang

memahami konstruk karakter dan keutamaan, terutama dalam proses penafsiran dan

pemaparan keseluruhan karakter subjek yang diteliti. Tetapi, dalam pelaksanaannya, beberapa

teknik dapat digunakan oleh lebih banyak orang yang terlebih dahulu dilatih dalam waktu

singkat.

4. Membedakan Keutamaan, Kekuatan Karakter dan Tema Situasional

Peterson dan Seligman (2004) mengemukaan tiga level konseptual dari karakter, yaitu

keutamaan, kekuatan dan tema situasional dari karakter. Pembedaan ini berguna untuk

kepentingan pengenalan, pengukuran dan pendidikan karakter. Komponen karakter yang baik

tampil dalam level abstraksi yang berbeda sehingga pengenalannya dalam kenyataan praktis

pun memerlukan pendekatan yang berbeda. Cara mengenali keutamaan berbeda dengan cara

mengenali kekuatan karakter, juga berbeda dengan cara mengenali tema situasional.

Hubungan antara keutamaan, kekuatan dan tema situasional karakter bersifat

hierarkis. Keutamaan berada di level atas, lalu kekuatan di level tengah, dan tema situasional

di level bawah. Dalam keseharian, kita terlebih dahulu mengenali tema situasional dari

karakter. Ketika orang menampilkan serangkaian perilaku dalam situasi tertentu, kita dapat

mengenai tema situasional tertentu dari karakter, tetapi kita belum dapat menyimpulkan

bahwa orang itu memiliki kekuatan tertentu. Kita dapat lebih memastikan kekuatan apa yang

dimiliki orang itu jika kita dapat mengenali bahwa orang itu juga menampilkan perilaku-

perilaku sesuai tema situasional tertentu dalam beberapa situasi. Kemudian, jika dalam

5

berbagai situasi dan dalam rentang waktu yang relatif lama, seseorang menunjukkan berbagai

kekuatan tertentu secara konsisten, baru kita dapat mengenali keutamaan orang itu.

Keutamaan merupakan karakteristik utama dari karakter (Peterson & Seligman,

2004). Para filsuf dan agamawan menjadikan keutamaan sebagai nilai moral oleh karena itu

keutamaan dianggap sebagai dasar dari tindakan yang baik. Berbagai perilaku dapat dinilai

berdasarkan keutamaan yang secara umum terdiri dari: kebijaksanaan, courage (kesatriaan),

kemanusiaan, keadilan, pengendalian atau pengelolaan diri, dan transendensi. Enam kategori

besar keutamaan ini muncul secara konsisten dalam survei sejarah sehingga dinilai sebagai

keutamaan universal. Peterson dan Seligman (2004) pun menegaskan bahwa enam

keutamaan ini universal dan mungkin memiliki dasar pada manusia secara biologis. Enam

keutamaan ini harus ada di atas batas nilai standar pada individu yang dipercaya sebagai

orang yang memiliki karakter yang baik.

Kekuatan karakter adalah unsur psikologis, lebih tepatnya, proses yang

mendefinisikan keutamaan. Dengan kata lain, keutamaan dapat dicapai melalui pencapaian

kekuatan karakter. Untuk kepentingan pengukuran dan pendidikan karakter, kekuatan

karakter adalah karakteristik yang dijadikan indikator untuk mengenali adanya satu atau lebih

keutamaan pada diri seseorang. Peterson dan Seligman (2004) memberi contoh berikut ini.

Keutamaan kebijaksanaan dapat dicapai melalui kekuatan seperti kreativitas, rasa ingin tahu,

cinta pembelajaran, keterbukaan pikiran, dan perspektif (memiliki “gambaran besar”

mengenai kehidupan). Untuk memiliki keutamaan kebijaksanaan, orang harus memiliki

kekuatan-kekuatan ini. Kekuatan karakter ini memiliki kesamaan peran dan pengaruh dalam

keterlibatannya menghasilkan pengetahuan. Perolehan dan penggunaan pengetahuan

melibatkan kekuatan-kekuatan ini. Tetapi, kekuatan-kekuatan ini juga berbeda satu sama lain.

Sekali lagi, kita mengenali semua kekuatan ini di setiap tempat dan dihargai meski jarang

orang menampilkannya. Selain itu, tidak harus semua kekuatan tampil untuk dapat menyebut

seseorang berkarakter baik. Orang yang memiliki satu atau dua kekuatan ini saja dapat

dikatakan berkarakter baik, bahkan dapat disebut memiliki keutamaan kebijaksanaan.

Tema situasional dari karakter adalah kebiasaan khusus yang mengarahkan orang

untuk mewujudkan kekuatan karakter dalam situasi tertentu. Pengenalan rinci terhadap tema

situasional membutuhkan pengenalan terhadap situasi dari satu tempat ke tempat lain.

Sebagai contoh, survei oleh The Gallup Organization mengenali ratusan tema yang relevan

dengan kinerja prima di tempat kerja, di antaranya empati, inklusivitas (menghargai

perbedaan dan terbuka pada siapa saja), dan positivitas (berpikir positif) yang mencerminkan

kebaikan hati yang tercakup dalam kekuatan cinta dan kecerdasan sosial, serta tercakup

6

dalam keutamaan kemanusiaan (Peterson dan Seligman, 2004). Munculnya tema situasional

bergantung pada karakteristik tempat beradanya seseorang. Tema situasional dapat muncul

dalam lingkungan yang meleluasakan individu tampil apa adanya, jujur dan tulus. Dari sini

dapat dipahami bahwa lingkungan juga berperanan penting dalam memfasilitasi munculnya

kekuatan karakter melalui pemunculan tema situasional. Semakin banyak dan sering tema

situasional ditampilkan semakin terbentuk kekuatan karakter. Dalam pendidikan karakter,

perancangan lingkungan yang memfasilitasi tampilnya tema situasional menjadi faktor

penting untuk pembentukan karakter yang baik.

5. Kriteria karakter yang kuat

Apa yang menjadi kualitas dari kekuatan karakter pribadi dan bagaimana

mengenalinya?

Peterson dan Seligman (2004) mengemukakan kriteria dari karakter yang kuat

sehingga kita dapat mengenalinya dalam kehidupan sehari-hari. Berikut ialah kriteria dari

karakter yang kuat.

1. Karakter yang ciri-cirinya (keutamaan yang dikandungnya) memberikan sumbangan

terhadap pembentukan kehidupan yang baik untuk diri sendiri dan sekaligus untuk orang

lain.

2. Ciri-ciri atau kekuatan yang dikandungnya secara moral bernilai sebagai sesuatu yang

baik bagi diri sendiri dan orang lain, bahkan walaupun tak ada keuntungan langsung yang

dihasilkannya.

3. Penampilan ciri-ciri itu tidak mengganggu, membatasi atau menghambat orang-orang di

sekitarnya.

4. Kekuatan karakter tampil dalam rentang tingkah laku individu yang mencakup pikiran,

perasaan, dan tindakan, serta dapat dikenali, dievaluasi dan diperbandingkan derajat kuat-

lemahnya.

5. Karakter yang kuat dapat dibedakan dari ciri-ciri yang berlawanan dengannya.

6. Kekuatan karakter diwadahi oleh model atau kerangka pikir ideal.

7. Kekuatan karakter dapat dibedakan dari sifat positif yang lain tetapi yang saling terkait

secara erat.

8. Dalam konteks dan ruang lingkup tertentu, kekuatan karakter tertentu menjadi ciri yang

mengagumkan bagi orang-orang yang mempersepsinya.

9. Boleh jadi tidak semua ciri karakter yang kuat muncul pada seseorang, tetapi kebanyakan

dari ciri-ciri karakter yang kuat tampil pada orang itu.

7

10. Kekuatan karakter memiliki akar psiko-sosial; potensinya ada dalam diri sendiri, dan

aktualitanya dipengaruhi oleh lingkungan sosial.

Peterson (2006) percaya bahwa orang memiliki tanda kekuatan yang sama dengan

yang disebut Allport sebagai personal traits (sifat pribadi) satu dekade lalu. Kekuatan

karakter itu yang dimiliki, dihargai, dan seringkali dilatih orang. Dalam penelitian Peterson,

ditemukan bahwa hampir setiap orang dapat secara cepat mengenali sekumpulan kekuatan

yang mereka ia miliki, sekita 2 sampai 5 kekuatan pada setiap orang.

6. Keutamaan dan Kekuatan Karakter Yang Membentuknya

Dalam usaha membentuk karakter, diperlukan pemahaman mengenai apa yang saja

keutamaan dan kekuatan karakter yang sejauh ini sudah dikembangkan oleh manusia.

Peterson dan Seligman (2004) berusaha untuk membuat daftar kekuatan karakter pribadi.

Daftar ini masih terus dilengkapi dan tidak tertutup terhadap penambahan. Seperti teori

ilmiah lainnya, teori tentang kekuatan karakter adalah subyek yang siap untuk diubah sesuai

dengan bukti yang ditemukan dari waktu ke waktu. Berikut ini 24 kekuatan karakter yang

tercakup dalam 6 kategori keutamaan.

Kebijaksanaan dan Pengetahuan

Kebijaksanaan dan pengetahuan merupakan keutamaan yang berkaitan dengan fungsi

kognitif, yaitu tentang bagaimana mendapatkan dan menggunakan pengetahuan. Ada enam

kekuatan yang tercakup dalam keutamaan ini, yaitu (1) kreativitas, orisinalitas dan

kecerdasan praktis, (2) rasa ingin tahu atau minat terhadap dunia, (3) cinta akan

pembelajaran, (4) pikiran yang kritis dan terbuka, dan (5) perspektif atau kemampuan

memahami beragam perspektif yang berbeda dan memadukannya secara sinergis untuk

pencapaian hidup yang baik.

Kreativitas memberikan kemampuan untuk berpikir dengan cara baru dan produktif

dalam membuat konsep dan menyelesaikan pekerjaan. Bersama dengan kekuatan orisinalitas

dan kecerdasan praktis, kreativitas memungkinkan orang yang memilikinya untuk dapat

menemukan solusi atau produk orisinal serta mampu menemukan cara-cara yang cerdik

untuk untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari.

Keingintahuan mencakup minat, dorongan untuk mencari kebaruan, keterbukaan

terhadap pengalaman. Kekuatan ini menjadikan orang memiliki minat dalam pengalaman

8

yang sedang berlangsung baik untuk kepentingan diri sendiri maupun orang lain, serta

melakukan penjelajahan dan penemuan.

Keterbukaan pikiran mencakup kemampuan membuat penilaian dan berpikir kritis.

Kekuatan ini memampukan orang yang memilikinya untuk berpikir mendalam dan

menyeluruh tentang berbagai hal, memeriksa mereka dari semua sisi, serta menimbang semua

bukti memadai.

Cinta pembelajaran memampukan orang yang memilikinya menguasai keterampilan,

topik, dan cabang pengetahuan baru, baik dengan cara belajar sendiri maupun secara formal

dalam lembaga pendidikan. Dengan kekuatan ini, orang mau terus belajar dan terus menerus

mengembangkan dirinya menjadi lebih.

Kekuatan perspektif menjadikan orang yang memilikinya mampu memberikan nasihat

bijak kepada orang lain serta memiliki cara untuk melihat dunia yang masuk akal bagi diri

sendiri dan orang lain. Dengan keutamaan ini, orang dapat memahami berbagai perspektif

yang ada dan menemukan benang merah di antara perspektif.

Kemanusiaan dan Cinta

Kemanusiaan dan cinta merupakan keutamaan yang mencakup kemampuan

interpersonal dan bagaimana menjalin pertemanan dengan orang lain. Keutamaan ini terdiri

atas kekuatan (1) baik dan murah hati, (2) selalu memiliki waktu dan tenaga untuk membantu

orang lain, mencintai dan membolehkan diri sendiri untuk dicintai, serta (3) kecerdasan sosial

dan kecerdasan emosional.

Kekuatan Kemanusiaan adalah kekuatan interpersonal yang melibatkan

kecenderungan dekat dan berteman dengan orang lain. Kekuatan cinta membuat orang

mampu menjalin hubungan dekat dengan orang lain, khususnya yang bercirikan kegiatan

berbagi dan peduli yang saling membalas.

Kekuatan kebaikan hati mencakup kedermawanan, pemeliharaan, perawatan, kasih

sayang, dan altruistik menjadikan orang mau berbagi kesenangan dan kebaikan dengan orang

lain. Orang dengan kekuatan ini menjadi berbuat baik sebagai bagian dari pengembangan

dirinya.

Kecerdasan sosial mencakup kecerdasan emosional dan kecerdasan intrapersonal

memampukan orang yang memilikinya memahami motif dan perasaan orang lain, serta

memahami motif dan perasaan diri sendiri. Orang dengan kekuatan ini dapat menempatkan

diri sesuai dengan kebutuhan orang lain tanpa mengorbankan kebutuhan diri sendiri. Mereka

mengembangkan dirinya sekaligus juga mengembangkan orang lain.

9

Kesatriaan (Courage)

Keutamaan kesatriaan (courage) merupakan kekuatan emosional yang melibatkan

kemauan kuat untuk mencapai suatu tujuan meskipun mendapat halangan atau tentangan,

baik eksternal maupun internal. Keutamaan ini mencakup empat kekuatan, yaitu (1) untuk

menyatakan kebenaran dan mengakui kesalahan, (2) ketabahan atau kegigihan, tegus dan keras

hati, (3) integritas, kejujuran, dan penampilan diri dengan wajar, serta (4) vitalitas,

bersemangat dan antusias.

Kekuatan Keberanian mencakup kekuatan emosional yang melibatkan pelaksanaan

kehendak untuk mencapai tujuan dalam menghadapi oposisi eksternal dan internal membuat

orang tahan menghadapi ancaman dan tantangan. Orang dengan kekuatan ini kehendaknya

tidak menyusut ketika berhadapan dengan kesulitan-kesulitan yang dihadapi seperti rasa nyeri

atau keletihan. Kekuatan ini memampukan orang bertindak atas keyakinan meskipun tidak

populer.

Ketabahan atau kegigihan mencakup ketekunan dan kerajinan adalah kekuatan yang

memampukan orang untuk menyelesaikan apa sudah dimulai, bertahan dalam suatu

rangkaian pencapaian tindakan meskipun ada hambatan. Orang dengan kekuatan ini mampu

menyesuaikan kata-kata dan perbuatan, serta berpegang pada prinsip dalam berbagai situasi,

bahkan situasi yang menghambat dan mengancam.

Integritas yang mencakup otentisitas (keaslian), kejujuran dan penampilan diri yang

wajar adalah kekuatan yang membuat orang mampu menampilkan diri secara tulus. Orang

dengan kekuatan ini mengambil tanggung jawab atas perasaan dan tindakannya. Ia mau

bertanggung jawab untuk semua perbuatannya dan menjalankan tugas-tugas secara jujur.

Vitalitas mencakup semangat, antusiasme, semangat, dan penuh energi adalah

kekuatan yang membuat orang dapat menjalani kehidupan penuh dengan kegembiraan,

semangat dan energi. Orang dengan kekuatan ini merasa hidup, aktif dan penuh daya juang.

Keadilan

Keutamaan keadilan (justice) mendasari kehidupan yang sehat dalam suatu

masyarakat. Ada tiga kekuatan yang tercakup di sini, yakni 1) kewarganegaraan atau

kemampuan mengemban tugas, dedikasi dan kesetiaan demi keberhasilan bersama, 2)

kesetaraan (equity dan fairness) perlakuan terhadap orang lain atau tidak membeda-bedakan

perlakuan yang diberikan kepada satu orang dengan yang diberikan kepada orang lain, dan 3)

10

kepemimpinan. Keadilan adalah kekuatan sipil yang mendasari kehidupan masyarakat yang

sehat.

Kewarganegaraan mencakup tanggung jawab sosial, loyalitas dan kesiapan kerja

dalam tim membuat orang dapat bekerja dengan baik sebagai anggota kelompok yang setia

kepada kelompok.

Kesetaraan adalah kekuatan yang membuat orang memperlakukan semua orang sama

di hadapan keadilan, bukan membiarkan keputusan atau perasaan pribadi yang bias tentang

orang lain. Kekuatan ini menghindarkan orang dari prasangka primordial seperti rasisme dan

stereotipe. Orang dengan kekuatan ini mementingkan kesejahteraan orang lain seperti

kesejahteraannya sendiri.

Kepemimpinan adalah kekuatan yang mendorong orang sebagai anggota kelompok

atau sebagai pemimpin untuk menyelesaikan tugas dan pada saat yang sama menjaga

hubungan yang baik dengan orang lain dalam kelompok. Orang dengan kekuatan ini dapat

menempatkan diri dan bekerja secara prima baik sebagai pemimpin maupun sebagai

bawahan.

Pengelolaan Diri

Pengelolaan diri (temperance) adalah keutamaan untuk melindungi diri dari segala

akibat buruk yang mungkin terjadi di kemudian hari karena perbuatan sendiri. Di dalamnya

tercakup kekuatan (1) pemaaf dan pengampun, (2) pengendalian diri, (3) kerendahan hati, dan

(4) kehati-hatian (prudence). Keutamaan ini melindungi terhadap kemungkinan hidup

berlebihan atau berkurangan, serta menjaga orang berada di situasi yang tepat. Kata lain yang

dapat digunakan untuk keutamaan ini adalah ugahari.

Pengampunan dan belas kasihan adalah kekuatan yang memberikan orang

kemampuan untuk mengampuni mereka yang telah berbuat salah, menerima kekurangan

orang lain, memberikan orang kesempatan kedua, dan tidak pendendam. Kekuatan ini

membuat orang percaya kepada kemampuan manusia untuk berbuat baik dan menghindarkan

diri dari pesimisme terhadap kebaikan manusia.

Pengendalian diri adalah kekuatan yang memampukan orang mengetahui apa yang

masuk akal dan tidak masuk akal untuk dilakukan sehingga dapat memilih hal-hal yang

masuk akan untuk dilakukannya. Kekuatan ini membuat orang dapat disiplin, mengendalikan

selera dan emosi mereka. Orang dengan kekuatan ini dapat menentukan tindakan-tindakan

yang tepat bagi dirinya sehingga tidak merugikan diri sendiri dan orang lain.

11

Kerendahan hati atau kesederhanaan adalah kekuatan yang membuat orang

mengedepankan prestasi daripada pengakuan atas keberhasilan. Orang dengan kekuatan ini

tidak melakukan kebaikan hanya untuk diri mereka sendiri. Prestasi bagi orang dengan

kekuatan ini bukan tentang diri sendiri, melainkan untuk sebanyak mungkin orang. Mereka

tida menilai diri sendiri sebagai lebih atau khusus dibandingkan orang lain.

Kehati-hatian adalah kekuatan yang membuat orang selalu berhati-hati dalam memilih

seseorang, tidak mengambil risiko yang tidak semestinya, tidak mengatakan atau melakukan

hal-hal yang nantinya mungkin akan disesali.

Transendensi

Transendensi merupakan keutamaan yang menghubungkan kehidupan manusia

dengan seluruh alam semesta dan memberi makna kepada kehidupan. Di dalam keutamaan

ini tercakup kekuatan (1) penghargaan terhadap keindahan dan kesempurnaan; (2)

kebersyukuran (gratitude) atas segala hal yang baik, (3) penuh harapan, optimis, dan

berorientasi ke masa depan, semangat dan gairah besar untuk menyongsong hari demi hari;

(4) spiritualitas: memiliki tujuan yang menuntun kepada kebersatuan dengan alam semesta,

serta (5) menikmati hidup dan selera humor yang memadai. Keutamaan Transendensi adalah

kekuatan yang menempa orang untuk dapat memahami koneksi yang ada di alam semesta,

memahami daya-daya yang lebih besar dari manusia, serta memperoleh dan memberikan

makna.

Penghargaan terhadap keindahan dan keunggulan yang mencakup kekaguman,

keheranan, peningkatan kesadaran adalah kekuatan yang membuat orang mampu menghargai

keindahan, keunggulan, keterampilan, dan kinerja yang baik dalam berbagai ranah

kehidupan. Pada diri sendiri, orang dengan kekuatan ini terdorong juga untuk menghasilkan

keindahan, keunggulan, keterampilan dan kinerja yang baik. Kekuatan ini juga membuat

orang mampu menangkap inspirasi atau gugahan untuk menampilkan diri lebih baik.

Syukur adalah kekuatan yang menbuat orang dapat menyadari dan berterima kasih

atas hal baik yang terjadi, serta meluangkan waktu untuk mengungkapkan terima kasih.

Orang dengan kekuatan ini menerima apa yang ada dalam kehidupan sebagai anugrah dan

berkah sehingga selalu berusaha menampilkan perilaku yang baik sebagai ungkapan terima

kasihnya.

Harapan mencakup optimisme, menjalani hidup secara positif dari waktu ke waktu,

dan pikiran yang berorientasi ke masa depan adalah kekuatan yang membuat orang selalu

mengharapkan yang terbaik di masa depan dan bekerja untuk mencapainya. Orang dengan

12

kekuatan ini selalu optimistik menjalan hidup, berusaha terus menerus untuk lebih baik, dan

percaya bahwa yang baik selalu dapat dicapai dalam hidup.

Spiritualitas mencakup religiusitas, iman, dan adanya tujuan hidup adalah kekuatan

yang membuat orang memiliki keyakinan koheren tentang tujuan yang lebih tinggi, makna

hidup, dan makna alam semesta. Orang dengan kekuatan ini menampilkan perilaku yang

konsisten dan koheren sebagai bagian dari usaha mencapai tujuan hidupnya dan berusaha

menyesuaikan diri dan aktivitasnya dengan daya-daya yang lebih besar di alam semesta.

Kekuatan menikmati hidup dan humor membuat orang dapat menjalani hidup yang

penuh suka-cita, menyukai tertawa dan menggoda orang untuk menghasilkan keceriaan,

membawa dirinya dan orang lain kepada situasi yang membuat tersenyum, serta melihat sisi

terang dari kehidupan. Orang dengan kekuatan ini menjalani hidup secara ringan meski

dalam situasi-situasi yang sulit dan berat.

Tabel 4.1: Kekuatan dan Keutamaan Karakter No. Keutamaan Kekuatan 1.

Kognitif: Kebijaksanaan dan pengetahuan

kreativitas, rasa ingin tahu, keterbukaan pikiran, mencintai kegiatan belajar, perspektif (memiliki “gambaran besar” mengenai kehidupan).

2. Interpersonal: Kemanusiaan

cinta kasih, kebaikan hati (murah hati, dermawan, peduli, sabar, penyayang, menyenangkan dan cinta altruisitik), serta memiliki kecerdasan sosial.

3. Emosional: Kesatriaan

keberanian untuk menyatakan kebenaran dan mengakui kesalahan, teguh dan keras hati, integritas (otentisitas, jujur), serta bersemangat dan antusias.

4. Kewarganegaraan (Civic): Berkeadilan

citizenship (tanggung jawab sosial, kesetiaan, mampu bekerjasama), fairness (memperlakukan orang setara dan adil), serta kepemimpinan.

5. Menghadapi dan mengatasi hal-hal yang tak menyenangkan: Pengelolaan-diri (Temperance)

pemaaf dan pengampun, kerendahatian, hati-hati dan penuh pertimbangan, serta regulasi-diri.

6. Spiritual: Transendensi

apresiasi keindahan dan kesempurnaan, penuh rasa terima kasih, harapan (optimis, berorientasi ke masa depan), spritualitas (religiusitas, keyakinan, tujuan hidup), serta menikmati hidup dan humor,

7. Karakter dan Spiritualitas

Manusia memiliki kemampuan untuk memahami keterkaitan dirinya dengan seluruh

alam semesta, juga keterkaitan semua hal yang ada di alam semesta. Kekuatan-kekuatan yang

13

tercakup dalam keutamaan karakter transendensi memungkinkan manusia memahami

keterkaitan itu. Dengan kekuatan-kekuatan itu manusia dapat memaknai apa yang ada di

dunia dalam hubungannya dengan hal lain dan dalam konteks keseluruhan semesta.

Pemaknaan terhadap keseluruhan alam ini dimungkinkan adanya pada manusia meskipun

secara fisik ia terbatas dan tak pernah dapat mengenali keseluruhan dunia secara empirik.

Kekuatan dalam keutamaan transendensi ditandai oleh kemampuan untuk

membayangkan apa yang mungkin ada di luar situasi yang dialami kini dan di sini.

Pembayangan itu dapat menggerakkan manusia untuk melampaui situasi kini dan di sini,

mewujudkan apa yang dibayangkannya itu menjadi situasi nyata yang memberikan kebaruan

bagi dunia. Kemampuan membayangkan apa yang mungkin ada dan kemampuan melampaui

situasi kini dan di sini mensyaratkan adanya kemampuan memahami keterkaitan semua unsur

alam semesta. Daya yang memungkinkan manusia untuk melakukan itu semua disebut

spiritualitas.

Istilah spiritualitas mempunyai pengertian yang luas dan menghasilkan penafsiran

yang berbeda-beda. Meskipun tak ada kesatuan pengertian, secara umum kita dapat

memahami fenomena spiritualitas dari berbagai pengertian yang ada dan pernah diajukan

oleh beberapa ahli. Dengan pertimbangan itu, pemaparan beberapa pengertian spiritualitas di

sini diharapkan dapat memberikan pemahaman tentang apa itu spiritualitas. Dalam salah satu

pengertiannya, spiritualitas merujuk kepada sesuatu yang teramat religius, sesuatu yang

berkaitan dengan roh (spirit) dan hal-hal yang sakral. Pembicaraan tentang spiritualitas

merujuk kepada hal-hal yang berhubungan dengan roh dan hal-hal sakral lainnya yang

dianggap berkaitan dengan roh, misalnya Tuhan dan makhluk-makhluk di luar manusia yang

memiliki sifat dan kekuatan gaib. Di dalamnya juga terkandung pengertian tentang

bagaimana kita bersikap dan memperlakukan hal-hal yang gaib dan sakral itu.

Pandangan lain menunjukkan bahwa spiritualitas tidak terpisah dari kehidupan sehari-

hari. Ia adalah pengalaman yang terjadi di tengah keseharian hidup manusia. Spiritualitas

memberikan kedalaman dan integritas kepada kehidupan manusia sebagai makhluk yang

hidup dalam kebudayaan, tempat, dan waktu tertentu. Perbedaan-perbedaan yang ada

antarmasyarakat hanya gejala yang tampil di permukaan. Di bagian yang lebih dalam, setiap

masyarakat memiliki dasar spiritualitas yang universal. Spiritualitas terpancar dari dalam

semua struktur sosial yang ada dalam setiap masyarakat dan dalam tampilan fisik. Setiap

peristiwa fisik dapat membawa manusia kepada aspek spiritual jika manusia meningkatkan

kepekaannya. Dengan menghayati kehidupan sehari-hari, seseorang dapat merasakan

pengalaman spiritual yang mendalam.

14

Narayanasamy (dalam McSherry, 1998) menegaskan bahwa tidak ada satu pun

definisi dari spiritualitas yang otoritatif. Burnard (1988, dalam McSherry, 1998) melihat

spiritualitas dapat merujuk kepada pengertian yang berbeda pada orang yang berbeda.

Menurutnya semua individu memiliki spiritualitas yang khas dan khusus bagi diri mereka,

terlepas dari orientasi religius dan kepercayaan yang dianutnya. Meskipun begitu, Burnard

menilai definisi spiritualitas yang dikemukakan oleh Murray dan Zentner (1989, dalam

McSherry, 1998) mendekati pengertian yang universal dan komprehensif. Mereka

mendefinisikan spiritualitas demikian:

“. . . a quality that goes beyond religious affiliation, that strives for inspirations, reverence, awe, meaning and purpose, even in those who do not believe in any god. The spiritual dimension tries to be in harmony with the universe, and strives for answers about the infinite, and comes into focus when the person faces emotional stress, physical illness or death.”

Definisi Murray dan Zentner tersebut mengusulkan spiritualitas harus ditempatkan

dalam konteks keseluruhan alam semesta dan keterkaitan isi dunia ini. Spiritualitas

melampaui afiliasi terhadap agama tertentu. Spiritualitas merupakan suatu kualitas yang juga

dapat dicapai bahkan oleh mereka yang tidak percaya kepada Tuhan. Pada intinya, dimensi

spiritual manusia selalu berusaha melakukan penyelarasan dengan alam semesta dan

menjawab pertanyaan tentang yang tak terbatas. Definisi ini menunjukkan spiritualitas

sebagai hal yang kompleks dan memiliki kaitan dengan banyak variabel. Segala hal yang ada

di alam semesta ini terkait dengan spiritualitas.

Dengan demikian, spiritualitas dapat dipahami sebagai dasar kekuatan dan keutamaan

karakter manusia. Kekuatan yang terkandung dalam keutamaan transendensi merupakan

kekuatan yang menghubungkan kehidupan manusia dengan seluruh alam semesta dan

memberi makna kepada kehidupan. Sebagaimana disebutkan di atas, dalam keutamaan

transendensi ada penghargaan terhadap keindahan dan kesempurnaan. Penghargaan ini

memberikan dasar bagi manusia untuk menjalani hidup secara bermakna, optimis, dan selalu

memperjuangkan kebaikan. Penghargaan ini juga menyebabkan kekuatan karakter yang lain

menjadi penting dalam rangka memperjuangkan kehidupan yang indah dan sempurna. Tanpa

penghargaan akan kehidupan yang indah dan sempurna, kita tidak dapat mengembangkan

kekuatan karakter pada diri kita sebab kita akan cenderung pesimis, masa bodoh, semena-

mena, dan membiarkan saja hal-hal buruk terjadi, jika kita memaknai hidup sebagai hal yang

buruk, jelek, dan kacau-balau. Kita memperjuangkan kehidupan yang baik jika kita percaya

bahwa dalam hidup kita ada yang baik, indah, dan sempurna yang perlu diperjuangkan terus.

15

Dengan pemaknaan terhadap hidup yang baik, indah dan mengandung kesempurnaan,

kita membangun rasa syukur dan terima kasih atas segala hal baik, indah dan sempurna itu.

Kita pun dapat hidup dengan penuh harapan, optimis dan berorientasi ke masa depan. Dengan

itu kita memaknai adanya tujuan kehidupan di masa depan. Kita meningkatkan spiritualitas,

menambah daya untuk mencapai tujuan yang menuntun kepada kebersatuan dengan alam

semesta. Harapan, rasa optimis, dan rasa syukur memberi kita kemampuan untuk memaafkan

dan mengampuni sebab kita tetap dapat melihat kemungkinan segala sesuatu akan menjadi

lebih baik lagi di masa depan. Kita pun dapat menikmati hidup dan mempunyai selera humor

yang memadai sebab pikiran-pikiran positif yang kita hasilkan selalu membantu kita

menemukan hal yang baik, indah, dan sempurna dalam hidup kita. Dengan kenikmatan dan

kepuasan hidup, kita menghasilkan semangat dan gairah besar dalam diri kita untuk

menyongsong hari demi hari. Integritas yang mencakup kejujuran dan kesiapan menghadapi

berbagai situasi secara teguh menjadi benang yang menjalin semua keutamaan lain dalam

menjalani kehidupan agar terus bergerak ke arah yang lebih baik.

Karakter selalu didasari oleh spirtualitas. Daya-daya spiritual menjadi kekuatan kita

untuk bertahan dan setia menuju satu tujuan. Daya-daya itu menghindarkan kita dari godaan

dan menguatkan kita saat berada dalam situasi yang sulit. Pikiran bahwa apa yang kita hadapi

saat ini dan di sini selalu dapat kita lampaui memberikan harapan kepada kita untuk menjadi

lebih baik dan lebih baik lagi. Dengan daya-daya spiritual, manusia dapat melampaui dirinya,

berkembang terus sebagai makhluk yang self-trancendence (selalu mampu berkembang

melampaui dirinya). Dengan demikian, ketika kita berbicara tentang karakter maka kita juga

berbicara tentang spiritualitas, tentang daya-daya yang menguatkan dan mengembangkan

manusia untuk mencapai kehidupan yang lebih baik.

8. Keutamaan Karakter dan Kebahagiaan

Pembentukan karakter erat sekali hubungannya dengan pencapaian kebahagiaan. Pada

akhirnya, orang dengan watak atau karakter yang kuat adalah orang yang berbahagia,

mandiri, dan memberi sumbangan positif kepada masyarakatnya. Peterson dan Seligman

(2004) memaparkan berbagai hasil penelitian yang menunjukkan keberadaan potensi setiap

keutamaan karakter itu pada diri manusia. Dengan demikian, setiap orang memiliki potensi

untuk mencapai kebahagiaan, dan potensi untuk menjalani hidup yang baik; tinggal

bagaimana mengaktualisasikannya. Seligman (2004) menyebutkan tiga kebahagiaan, yaitu

memiliki makna dari semua tindakan yang dilakukan, mengetahui kekuatan tertinggi, dan

menggunakan kekuatan tertinggi untuk melayani sesuatu yang dipercayai sebagai hal yang

16

lebih besar dari diri sendiri. Jelaslah bahwa ketiga bentuk kebahagiaan ini berkaitan erat

dengan keutamaan dan kekuatan karakter manusia. Jelas juga bahwa ketiga hal itu merupakan

kategori spiritual. Ketiganya dimungkinkan oleh daya-daya spiritual manusia. Singkatnya,

kebahagiaan manusia mensyaratkan pemanfaatan daya-daya spiritualnya.

Menurut Seligman, tidak ada jalan pintas untuk mempersingkat pencapaian

kebahagiaan. Kebahagiaan hanya dapat dicapai dengan memandang hidup sebagai hal yang

bermakna dan berharga, mengenali diri sendiri dan menemukan kekuatan-kekuatan kita, lalu

memanfaatkan kekuatan-kekuatan itu untuk kepentingan yang lebih besar. Jadi, jika kita

ingin bahagia, maka kita harus mulai dengan belajar berpikir positif, memandang hidup dan

orang lain sebagai hal yang baik, serta memaknai dunia dan seisinya sebagai kebaikan yang

dianugerahkan kepada kita.

Pendidikan harus diarahkan kepada ketiga kebahagiaan itu. Peserta didik difasilitasi

dan dilatih untuk selalu memaknai setiap tindakan yang dilakukannya. Mereka juga

difasilitasi untuk memahami kekuatan dan keutamaan tertinggi yang dimiliki manusia. Lalu

mereka difasilitasi dan dibiasakan untuk melayani atau mengerjakan hal-hal yang lebih besar

dari mereka sendiri. Perpaduan dari tiga kebahagiaan dan keutamaan-keutamaan karakter

merupakan bahan dari pendidikan karakter. Materi-materi itu yang diajarkan kepada peserta

didik dengan berbagai cara yang memungkinkan terbentuknya pengetahuan dan

keterampilan, bahkan, lebih jauh lagi, sampai terbentuknya sifat-sifat yang merupakan

keutamaan.

Jika dipahami bahwa inti pendidikan adalah pembentukan karakter maka

seharusnyalah dicamkan pula bahwa setiap pendidikan adalah pembentukan karakter. Dengan

demikian tidak diperlukan “pendidikan karakter” khusus di luar pendidikan secara

keseluruhan; juga tak diperlukan pelatihan pembentukan karakter. Tetapi belakangan kita

menyaksikan pendidikan secara umum seperti dipisahkan dari pembentukan karakter

sehingga diperlukan usaha khusus untuk menyelenggarakan “pendidikan karakter” sebelum

nanti pembentukan karakter kembali menjadi inti dari pendidikan.

17

DAFTAR PUSTAKA

Allport, G. W. 1937. Personality: A Psychological Interpretation. New York: Holt.

Allport, G. W. 1961. Becoming: Basic Consideration for a Psychology of Personality. New Haven: Yale University Press.

Dewantara, K. H. 2004. Karya K. H. Dewantara, Bagian Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.

Hatta, M. 19932/1988. “Ke Arah Indonesia Merdeka.” Dalam Karya Lengkap Bung Hatta (Buku 1): Kebangsaan dan Kerakyatan, hlm. 211—30. Jakarta: Penerbit PT Pustaka LP3ES Indonesia.

McSherry, W. 1998. “Nurses’ Perceptions of Spirituality and Spiritual Care Nursing Standard.” 13, 4, 36-40. Situs Web: http://www.nursing-standard.co.uk/archives/vol13-04/research.htm.

Peterson, C. (2006). A Primer in Positive Psychology. New York: Oxford University Press

Peterson, C. dan Seligman, M. E. P. 2004. Character Strengths and Virtues: A Handbook and Classification. Oxford: Oxford University Press.

Radhakrishnan, Sarvepalli, dll. (ed.). 1957. History of Philosophy: Eastern and Western, Vol. I. London: George Allen & Unwin.

Ross, L. 1995. “The Spiritual Dimension: Its Importance to Patient’s Health, Well-being and Quality of Life and Its Implications for Nursing Practice.” Dalam International. Journal of Nursing Studies, 32, 5, 451-468.

Santoso, S. I. 1979. Pembinaan Watak Tugas Utama Pendidikan. Jakarta: Universitas Indonesia.

Seligman, M. P. E. 2004. “Interview with Martin Seligman.” Dalam Edge, 23 Maret 2004.

18

BAB II DASAR-DASAR FILSAFAT

Bagus Takwin

1. Pendahuluan

Tulisan ini menyajikan secara singkat hal-hal yang mendasar atau prinsip-prinsip dasar

tentang filsafat. Dengan demikian, materi yang disajikan di sini boleh dikatakan hanya berupa

pengantar filsafat disertai identitas utamanya sebagai perkenalan. Pokok bahasan yang termuat

dalam bab ini terdiri atas pengertian, cabang, dan aliran filsafat, serta alternatif langkah belajar

dan manfaat filsafat.

Sebelum masuk ke pembahasan topik-topik tersebut, terlebih dahulu akan dibahas alasan

perlunya kita yang mendalami ilmu pengetahuan atau sains belajar filsafat. Di pendahuluan ini

juga dibahas hubungan filsafat dengan kekuatan dan keutamaan karakter.

Mengapa ilmuwan masih perlu filsafat?

Penjelasan tentang hubungan antara filsafat dan ilmu pengetahuan dapat kita temui dalam

literatur filsafat ilmu. Filsafat ilmu berkaitan dengan asumsi, fondasi, metode, dan implikasi dari

ilmu pengetahuan. Kajian ini juga berkaitan dengan penggunaan dan manfaat ilmu pengetahuan,

serta eksplorasi apakah hasil ilmiah sungguh-sungguh menghasilkan kebenaran. Filsafat ilmu

juga mempertimbangkan masalah yang berlaku untuk ilmu tertentu (misalnya filsafat biologi

atau filsafat fisika). Beberapa filsuf ilmu juga menggunakan hasil kontemporer ilmu pengetahuan

untuk memperoleh kesimpulan tentang filsafat. Di sisi lain, filsafat ilmu berurusan dengan

pertanyaan-pertanyaan yang tak dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan.

19

Ada alasan karya pemenang Hadiah Nobel fisika 1932, Weiner Heisenberg, mengenai

fisika abad ke-20 diberi judul Physics and Philosophy (Fisika dan Filsafat). Juga ada alasan hasil

karya Karl Popper disebut filsafat ilmu. Keduanya memberikan indikasi yang kuat bahwa filsafat

dan ilmu pengetahuan saling membutuhkan. Meski ada pertentangan pendapat mengenai

hubungan antara ilmu pengetahuan dan filsafat, dewasa ini hubungan keduanya erat lagi dewasa

ini. Setidaknya, ada tiga bidang kajian filsafat yang dibutuhkan ilmu pengetahuan untuk menjadi

dasar bagi aktivitas-aktivitasnya mencari pengetahuan.

1. Etika. Ilmuwan dituntut bertindak secara etis, baik dalam aktivitas mencari pengetahuan

maupun dalam penerapan pengetahuan. Sejarah menunjukkan bahwa tanpa dasar etis,

ilmu pengetahuan dapat menghasilkan kerugian dan kerusakan di dunia.

2. Epistemologi. Sebagai bidang filsafat yang mengkaji pengetahuan, epistemologi

diperlukan oleh ilmu pengetahuan untuk memberi dasar bagi perolehan pengetahuan.

Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan epistemologi juga merupakan pertanyaan yang

perlu diajukan ilmu pengetahuan. Bagaimana kita mengetahui apa yang kita ketahui?

Sejauh mana ilmu pengetahuan dapat bekerja tanpa mengkaji pengetahuan? Apa itu

pengetahuan? Apa yang membuat pengetahuan benar dan bagaimana kita

mengetahuinya? Pertanyaan-pertanyaan ini perlu dijawab baik oleh filsafat maupun ilmu

pengetahuan. Ilmu pengetahuan membutuhkan jawaban, setidaknya pendekatan kerja

yang akan digunakan dalam penelitian, yang biasanya tampil dalam bentuk paradigma

ilmiah.

3. Logika. Bagaimana kita tahu bahwa pengetahuan yang kita peroleh dihasilkan dari

metode rasional? Apa itu metode rasional? Bagaimana kita memastikan pikiran yang

digunakan dalam usaha perolehan pengetahuan yang benar adalah pikiran yang tepat?

20

Untuk dapat menjawab ini semua dibutuhkan filsafat logika. Tanpa logika, filsafat dan

ilmu pengetahuan tidak dapat memastikan langkah-langkah perolehan pengetahuan yang

benar.

Lalu, mengapa filsafat dibahas beriringan dengan pengembangan kekuatan dan keutamaan

karakter? Apa hubungan antara keduanya?

Karakter dan filsafat memiliki hubungan yang saling menguatkan. Filsafat memang

mengandalkan pikiran karena untuk mencapai kebenaran diperlukan pikiran. Tetapi berfilsafat

tidak hanya menggunakan pikiran. Berfilsafat berarti juga melibatkan keseluruhan diri untuk

terlibat dalam pencarian kebenaran. Ada syarat-syarat berfilsafat yang melibatkan sifat-sifat baik

manusia.

Dari sini dapat dipahami bahwa berfilsafat membutuhkan kekuatan dan keutamaan

karakter. Filsafat yang berarti cinta kebenaran menuntut orang yang menekuninya memiliki

keutamaan pengetahuan dan kebijaksanaan beserta kekuatan-kekuatan yang tercakup di

dalamnya. Tetapi, berfilsafat juga merupakan sebuah cara untuk membangun karakter. Aktivitas

dalam filsafat mencakup kegiatan berpikir, mencari kemungkinan lain dari situasi, menjaga

kesetiaan, berani mengambil risiko, dan sebagainya merupakan aktivitas yang dapat menguatkan

karakter. Dengan dasar itu, maka filsafat dipelajari beriringan dengan pengembangan karakter.

2. Pengertian Filsafat

Kata filsafat pertama kali ditemukan dalam tulisan sejarawan Yunani Kuno, Herodotus

(484-424 SM). Ia menggunakan kata kerja “berfilsafat” dalam percakapannya dengan Croesus

yang kemudian menyampaikan kepada Solon bahwa ia mendengar Solon telah melakukan

perjalanan melalui berbagai negeri untuk berfilsafat digerakkan oleh hasrat akan pengetahuan.

21

Kata “berfilsafat” di situ mengindikasikan bahwa Solon mencari pengetahuan untuk pengetahuan

semata. Kata filosof atau filsuf berasal dari kata philosophos yang berati pencinta kebijaksanaan;

philos berarti kebijaksanaan, dan sophos berarti pecinta dari kata dasar sophia yang berarti cinta.

Ada dugaan yang tak dapat dilacak catatan tertulisnya bahwa kata filsafat dapat dilacak

lebih jauh lagi asalnya pada Pythagoras (sekitar 582-500 SM). Dugaan itu didasarkan pada

tulisan Cicero (106-43 SM), Diogenes Laertes dan Iamblichus. Sebagaimana dikatakan oleh

Cicero (terjemahan King, 1945), cerita tentang penggunaan kata filsafat itu terdapat dalam

percakapan Pythagoras dengan Leon, penguasa Phlius di Peloponnesus. Pythagoras menjelaskan

dirinya sebagai filsuf, dan berkata bahwa urusannya adalah menyelidiki hakikat benda-benda.

Penjelasan Cicero diperkuat oleh Laertes (terjemahan Hicks, 1931) dan Iamblichus (terjemahan

Burch, 1965). Dari ketiganya, dapat disimpulkan bahwa berbeda dari orang-orang kebanyakan

yang mencari ketenaran atau kemasyuran (doxa), filsuf mencari kebenaran (aletheia, kalliston

theorian).

Penggunakan kata filsuf selanjutnya digunakan oleh beberapa penulis Yunani, di antaranya

Xenophon (430-354 SM) dan Plato (427-347 SM). Pengertian filsuf dalam tulisan-tulisan mereka

adalah orang yang mencurahkan diri dan hidupnya untuk mencari kebijaksanaan atau untuk

melakukan pembelajaran. Dalam arti sempitnya, filsuf adalah orang yang menyelidiki dan

mendiskusikan sebab-sebab benda dan kebaikan tertinggi (Thayer, 2011).

Dalam dialog Plato, Phaedrus, ditemukan penggunaan kata filsuf melalui paparan

Socrates:

“…to all of them we are to say that if their compositions are based on knowledge of the truth, and they can defend or prove them, when they are put to the test, by spoken arguments, which leave their writings poor in comparison of them, then they are to be called, not only poets, orators, legislators, but are worthy of a higher name, befitting the serious pursuit of their life… Wise, I may not call them; for that is a great name

22

which belongs to God alone,―lovers of wisdom or philosophers is their modest and befitting title.” (Plato, terjemahan Jowett, 1892: 488)

Orang-orang yang gagasan dan pemikirannya didasari oleh pengetahuan tentang kebenaran

dan dapat mempertahankannya dengan argumentasi yang kuat patut disebut filsuf. Mereka

adalah pencinta kebijaksanaan.

Apa yang dilakukan oleh filsuf kemudian disebut filsafat. Dari asal katanya dalam bahasa

Yunani Kuno yaitu philos (cinta) dan sophia (kebijaksanaan) maka artinya adalah cinta akan

kebenaran atau kebijaksanaan (wisdom). Definisi ini masih terlalu umum sebab ada banyak juga

usaha untuk memperoleh kebenaran yang bukan filsafat. Untuk itu perlu dirumuskan sebuah

definisi filsafat yang lebih spesifik. Jika kita pelajari lebih lanjut pemikiran-pemikiran filosofis

sejak Yunani Kuno hingga abad ke-21, filsafat dapat didefinisikan sebagai usaha manusia

untuk memahami segala perwujudan kenyataan secara kritis, radikal dan sistematis.

Dari definisi itu dapat disimpulkan bahwa filsafat adalah usaha. Sebuah usaha adalah

sebuah proses, bukan semata produk. Dengan demikian, yang pertama-tama memiliki sifat

sistematis, kritis dan radikal adalah proses memperoleh pengetahuan. Filsafat sebagai sebuah

upaya adalah sebuah proses yang terus menerus berlangsung, tak ada kata putus, berlangsung

terus hingga kini. Proses itu berisi aktivitas-aktivitas untuk memahami segala perwujudan

kenyataan atau apa yang ada (being). Hasrat filsafat adalah memahami apa yang ada dan

mungkin ada. Apa yang hendak diketahui filsafat tak terbatas, oleh karena itu proses pemahaman

itu berlangsung terus menerus.

Meski produk filsafat berupa pemikiran filosofis mencerminkan proses pencariannya dan

merupakan pelajaran penting, tidak tepat jika dalam memahami filsafat kita hanya fokus pada

produknya. Sebagai produk, filsafat dapat terkesan sebagai barang jadi, sesuatu yang telah

selesai. Bisa jadi, jika kita lihat produknya saja kalimat-kalimat dalam filsafat tampil sebagai

23

resep, ibarat resep masakan, tinggal diikuti petunjuknya mulai dari bahan sampai cara memasak,

jadilah makanan yang siap santap. Atau sebaliknya kalimat-kalimat dalam filsafat tampil sebagai

kerumitan yang sulit dimengerti, membuat orang gentar dan berpikir bahwa filsafat bukan urusan

orang kebanyakan. Itu bisa terjadi jika kita tidak memahami prosesnya. Padahal, filsafat

semestinya ditujukan kepada siapa saja, kepada semua orang. Filsafat mengupayakan

pengetahuan universal. Lebih penting lagi, filsafat mengupayakan berlangsungnya proses

pencarian pengetahuan universal.

Jika filsafat hanya dianggap sebagai sebuah produk yang sudah selesai, maka akan terjadi

kontradiksi dalam pengertian filsafat. Filsafat yang memiliki sifat kritis tidak mungkin

merupakan barang yang jadi. Setidaknya, sebagai produk filsafat adalah pemikiran yang perlu

dikaji, direfleksikan dan dikritik lagi.

Istilah kritis dalam pengertian filsafat berasal dari istilah latin kritein yang berarti memilah-

milah dan kritikos yang berarti kemampuan menilai. Sifat kritis filsafat mengandung dua

pengertian ini. Berfilsafat berarti memilah-milah obyek yang dikaji dan memberi penilaian

terhadap obyek itu. Dalam berfilsafat, para filsuf memilah satu hal dari hal lainnya untuk

diperbandingkan. Hasil perbandingan kemudian dinilai guna mengetahui hubungan antara hal.

Penilaian diberikan dalam bentuk yang paling sederhana seperti “lebih kecil” atau “lebih besar”

hingga bentuk yang kompleks seperti “hubungan sebab-akibat” dan “dialektika” (perpaduan dua

hal yang berlawanan dengan dasar pemikiran yang lebih abstrak).

Secara lebih khusus lagi kritis di sini diartikan sebagai terbuka pada kemungkinan-

kemungkinan baru, dialektis (menjajaki kemungkinan perpaduan dua hal yang bertentangan),

tidak membakukan dan membekukan pikiran-pikiran yang sudah ada, serta selalu hati-hati dan

waspada terhadap berbagai kemungkinan kebekuan pikiran. Berfilsafat berarti juga berpikir

24

kritis. Lebih khusus lagi, yang dimaksud berpikir kritis di sini adalah usaha yang dilakukan

secara aktif untuk memahami dan mengevaluasi informasi dengan tujuan menentukan apakah

informasi itu diterima, ditolak atau belum dapat diputuskan penerimaannya karena belum jelas.

Sifat utama filsafat yang lain adalah radikal. Istilah radikal berasal dari kata radix yang

berarti akar. Radikal berarti mendalam, sampai ke akar-akarnya. Pemahaman yang ingin

diperoleh dari kegiatan filsafat adalah pemahaman yang mendalam. Berpikir kritis

memungkinkan orang untuk dapat berpikir radikal. Dengan berpikir kritis yang sifatnya luas dan

mendalam, orang tidak begitu saja menerima apa yang ada, melainkan mencermati, menemukan

masalah dan “lubang-lubang” pada pengetahuan yang sudah ada, lalu mencari pejelasan baru

yang lebih lengkap. Penjelasan baru itu bisa jadi menggantikan penjelasan terdahulu,

membongkar dasar dan mencabut akar-akar pemikiran sebelumnya. Sifat radikal pada filsafat

memungkinkannya memahami persoalan sampai ke akar-akarnya dan mengajukan penjelasan

yang mendasar.

Berfilsafat dilakukan secara sistematis. Asal kata sistematis adalah systema yang berarti

keteraturan, tatanan dan saling keterkaitan. Sistematis di sini memiliki pengertian bahwa upaya

memahami segala sesuatu itu dilakukan menurut suatu aturan tertentu, runut dan bertahap, serta

hasilnya dituliskan mengikuti suatu aturan tertentu pula. Sifat sistematis itu disertai dengan

jaminan langkah-langkah berpikir yang tepat. Dengan kata lain, sifat sistematis dalam filsafat

sekaligus mencakup sifat logis. Dari sini dapat dipahami bahwa filsafat mencakup logika.

Artinya, filsafat selalu memegang keyakinan akan daya argumen dan penalaran. Logika yang

digunakan dalam filsafat merupakan logika baru untuk jamannya. Jika kita cermati pemikiran

para filsuf besar dunia, maka kita temukan di sana logika yang mereka gunakan untuk

memahami perwujudan kenyataan yang dikaji.

25

Berdasarkan pengertian filsafat yang sudah dipaparkan di sini, dapat disimpulkan bahwa

berpikir filosofis berarti merenung yang bukan mengkhayal atau melamun. Merenung yang

dimaksudkan adalah berkontemplasi, yaitu berpikir mendalam, kritis, dan universal dengan

konsentrasi tinggi yang terfokus atau menitikberatkan pada segi usaha mengetahui sesuatu.

Seorang filsuf bernama Jacques Maritain mengatakan, “Filsafat ialah suatu kebijaksanaan dan

sifatnya pada hakikatnya berupa usaha mengetahui. Mengetahui dalam arti paling penuh serta

paling tegas, yaitu mengetahui dengan kepastian berdasarkan sebab-sebabnya mengapa barang

sesuatu itu seperti keadaannya, tidak bisa lain dari itu” (Kattsoff, 2004:65). Usaha mengetahui

yang dilakukan melalui filsafat dengan cara berpikir, harus mengikuti kriteria yang sekaligus

merupakan ciri berpikir filosofis yang disarikan berikut ini. Filsafat merupakan pemikiran yang

sistematis. Perenungan filosofis ialah percobaan untuk menyusun suatu sistem pengetahuan yang

rasional untuk memahami dunia tempat kita hidup, maupun untuk memahami diri kita sendiri.

Perenungan itu dapat dilakukan oleh perseorangan, sama seperti cara bertanya kepada diri

sendiri, dan bisa juga secara berkelompok yang diisi dengan dialog yang bersifat analitis dan

kritik secara timbal balik.

Hasrat filosofis ialah berpikir secara ketat. Kegiatan filosofis sesungguhnya merupakan

perenungan atau pemikiran yang sifatnya kritis, tidak begitu saja menerima sesuatu, mengajukan

pertanyaan, menghubungkan gagasan yang satu dengan yang lainnya, menanyakan “mengapa”,

dan mencari jawaban yang lebih baik dari jawaban pertama (pandangan awal). Suatu perenungan

filosofis harus bersifat koheren atau runtut (tidak boleh mengandung pernyataan-pernyataan yang

saling bertentangan alias tidak runtut (inconsistent)). Dua pernyataan yang saling bertentangan

(contradictory), tidak mungkin kedua-duanya benar.

26

Perenungan kefilsafatan berusaha menyusun suatu bagian konsepsional yang

merupakan hasil generalisasi dan abstraksi dari pengalaman tentang hal-hal serta proses-proses,

satu demi satu. Di antara yang dibicarakan itu adalah pemikiran itu sendiri. Filsafat merupakan

hasil menjadi sadarnya manusia mengenai dirinya sendiri sebagai pemikir, dan menjadi kritisnya

manusia terhadap dirinya sendiri sebagai pemikir di dalam dunia yang dipikirkannya. Jadi,

seorang filsuf pada hakikatnya membicarakan tiga hal, yaitu dunia di sekitarnya, dunia yang ada

dalam dirinya, dan perbuatan berpikir itu sendiri. Dalam filsafat tidak boleh ada misteri. Misteri

adalah sesuatu yang gelap, belum terpecahkan, bahkan bisa jadi tidak akan pernah terpecahkan

karena gaib. Misteri yang telah terpecahkan turun statusnya menjadi problem. Problem adalah

sesuatu masalah yang dapat dipecahkan (ada ilmu untuk itu: how to solve the problem). Objek

filsafat haruslah menyangkut sesuatu yang nyata dan jelas. Pada dasarnya filsafat menelaah

segala masalah yang dapat dipikirkan oleh manusia. Namun, masalah yang dipikirkan itu harus

jelas, bukan yang misterius. (Kattsoff, 2004:1—5.)

3. Cabang dan Aliran Filsafat

Ada berbagai cara untuk membagi filsafat menjadi cabang-cabang yang memiliki obyek

kajian khusus. Kita dapat menemukan pembagian filsafat berdasarkan sistematika permasalahan

(Gazalba, 1979) atau area kajian filsafat yang secara garis besar terdiri dari ontologi,

epistemologi dan axiologi. Kita juga bisa menemukan pembagian filsafat berdasarkan obyek

kajian dengan cabang-cabang di antaranya filsafat alam, filsafat matematika, filsafat ilmu,

filsafat sejarah, filsafat ketuhanan, filsafat bahasa, filsafat agama dan filsafat politik.

Di sini kita akan fokus pada pembagian filsafat berdasarkan sistematika permasalahannya.

Seperti yang sudah disebut, filsafat secara sistematis terbagi menjadi 3 bagian besar:

27

Epistemologi dlm arti sempit

Metodologi

Logika

2

1

Ontologi

Metafisika

Etika

Estetika

3

Gambar 1. Diagram pembagian bidang filsafat

Filsafat Ilmu

1) Ontologi yaitu bagian filsafat yang mengkaji tentang ‘ada’ (being) atau tentang apa yang

nyata;

2) Epistemologi yaitu bagian filsafat yang mengkaji hakikat dan ruang lingkup

pengetahuan; dan

3) Axiologi yaitu bidang filsafat yang mengkaji nilai-nilai yang menentukan apa yang

seharusnya dilakukan manusia.

Ontologi

Istilah ontologi berasal dari dua kata bahasa Latin, yaitu onta yang berarti ‘ada’ dan logia

yang berarti ‘ilmu’, ‘kajian’, ‘prinsip’ atau ‘aturan’. Ontologi secara umum didefinisikan sebagai

studi filosofis tentang hakikat ada (being), eksistensi, atau realitas, serta kategori dasar

keberadaan dan hubungan mereka. Ontologi secara tradisional dianggap sebagai cabang utama

filsafat. Tetapi belakangan, banyak filsuf modern dan pascamodern yang mengabaikan ontologi

dan tidak memiliki pemikiran ontologis, atau menganggap ontologi bukan bagian penting dari

filsafat. Meskipun demikian, masih banyak filsuf yang masih menganggap penting ontologi.

28

Sebagai bidang kajian filsafat tentang ‘ada’, ontologi dalam arti umum dibagi dua menjadi

dua subbidang, yaitu ontologi (dalam arti khusus) dan metafisika. Ontologi dalam arti khusus

mengkaji ‘ada’ yang keberadaannya tidak disangsikan lagi. Dalam ontologi kita berfilsafat

tentang sesuatu yang keberadaannya dipersepsi secara fisik dan tertangkap oleh indra. Sedangkan

metafisika mengkaji ‘ada’ yang masih disangsikan kehadirannya.

Kata metafisika berasal dari kata tameta dan taphysika. Tameta berarti di balik atau

dibelakang. Taphysika berarti sesuatu yang bersifat fisikal, dapat ditangkap bentuknya oleh

indra. Berdasarkan asal katanya itu, metafisika diartikan sebagai “kenyataan di balik fisika” atau

“kenyataan yang bentuknya tak terjangkau oleh indra”. Metafisika berhubungan dengan obyek-

obyek yang tidak dapat dijangkau secara inderawi karena obyek itu melampaui sesuatu yang

bersifat fisik. Secara fisik ‘ada’ itu tidak tampak namun oleh sebagian orang dianggap ada,

misalnya jiwa, ilusi, eksistensi Tuhan, dan sebagainya.

Dalam perkembangannya, pengertian metafisika bergeser menjadi suatu cabang filsafat

yang mengkaji hal-hal (being) yang masih disangsikan kehadirannya. Metafisika berhubungan

dengan objek-objek yang tidak dapat dijangkau secara inderawi karena objek itu melampaui

sesuatu yang bersifat fisik. Secara fisik ‘hal’ itu tidak tampak namun oleh sebagian orang

dianggap ada, misalnya jiwa, ilusi, eksistensi Tuhan, dan sebagainya. Dapat dikatakan pula

bahwa metafisika adalah cabang filsafat yang mengkaji realitas yang supra-inderawi dibalik

gejala-gejala fisik.

Beberapa ahli filsafat memberi pengertian yang berbeda-beda terhadap metafisika. Salah

satunya Whiteley (1977) yang mendefinisikan metafisika sebagai “The theory of the nature of

the universe as a whole, and of those general prinsiples which are true of everything that exist.”

Menurutnya metafisika adalah teori tentang sifat-sifat alamiah keberadaan dunia sebagai suatu

29

keseluruhan, dan teori yang merupakan prinsip umum itu dapat menjelaskan secara benar segala

sesuatu yang ada di alam semesta ini.

Epistemologi

Epistemologi adalah cabang filsafat yang mengkaji teori-teori tentang sumber-sumber,

hakikat, dan batas-batas pengetahuan. Oleh karenanya kajian ini masuk juga dalam ruang

lingkup epistemologi. Pertanyaan epistemologis yang hendak dijawab di sini adalah bagaimana

proses perolehan pengetahuan pada diri manusia dan sejauh mana ia dapat mengetahui. Dalam

epistemologi terdapat empat cabang yang lebih kecil (1) epistemologi dalam arti sempit; (2)

filsafat ilmu; (3) metodologi; dan (4) logika.

Epistemologi dalam arti sempit merupakan cabang filsafat yang mengkaji hakikat

pengetahuan yang ditelusuri melalui 4 pokok, yaitu 1) sumber pengetahuan, 2) struktur

pengetahuan, 3) keabsahan pengetahuan, dan 4) batas-batas pengetahuan. Pengetahuan di sini

adalah pengetahuan umum atau pengetahuan sehari-hari (knowledge) atau pengetahuan yang

berguna bagi manusia secara praktis (eksistensial pragmatis).

Filsafat ilmu pengetahuan merupakan cabang filsafat yang mengkaji ciri-ciri dan cara-cara

memperoleh ilmu pengetahuan (science). Pengetahuan yang dikaji berbeda dengan pengetahuan

pada epistemologi dalam arti sempit. Dalam filsafat ilmu pengetahuan, yang menjadi obyek

adalah pengetahuan ilmiah atau ilmu pengetahuan (science). Berbeda dengan pengetahuan

sehari-hari (knowledge), pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang sistematis, diperoleh

dengan menggunakan metode-metode tertentu, logis dan teruji kebenarannya.

Metodologi adalah cabang filsafat yang mengkaji cara-cara dan metode-metode ilmu

pengetahuan memperoleh pengetahuan secara sistematis, logis, sahih (valid), dan teruji. Di sini

30

cara dan metode ilmu pengetahuan dikaji sejauh mana kesahihannya dalam kegiatan menemukan

ilmu pengetahuan. Di dalamnya termasuk juga kritik dan upaya pengujian keabsahan cara kerja

dan metode ilmu pengetahuan. Selain mengkaji cara-cara dan metode-metode yang sudah ada,

dalam metodologi dikaji pula kemungkinan-kemungkinan cara dan metode baru.

Seperti yang sudah disinggung terdahulu, logika adalah kajian filsafat yang mempelajari

teknik-teknik dan kaidah-kaidah penalaran yang tepat. Yang menjadi satuan penalaran dalam

logika adalah argumen yang merupakan ungkapan dari putusan (judgment). Penalaran

berlangsung lewat argumen sebagai kelompok proposisi. Proposisi tersusun dari premis ke

kesimpulan lewat proses penyimpulan (inference). Logika berkaitan dengan filsafat ilmu dan

metodologi ilmu. Proposisi adalah pernyataan untuk mengiyakan (afirmasi) atau menyangkal

(negasi) sesuatu yang dapat diujicoba, di dalamnya termasuk bahasa kognitif. Proposisi terdiri

dari pokok yang dibicarakan (subyek), apa yang disangkal atau diiyakan (predikat), dan

hubungan yang sifatnya menyatukan atau memisahkan (kopula). Secara umum ada dua jenis

argumen: 1) induktif dan 2) deduktif. Argumen induktif bergerak dari premis-premis khusus ke

kesimpulan atau premis umum. Argumen deduktif bertolak dari premis umum ke premis atau

kesimpulam khusus. Penilaiannya adalah valid atau invalid. Induksi menghasilkan pengetahuan

yang tidak niscaya, melainkan boleh jadi. Kadar kebolehjadiannya dapat diukur lewat statistik

dengan penilaian kuat atau lemah.

Axiologi

Axiologi adalah bidang filsafat yang mencoba menjawab pertanyaan “Apa yang dilakukan

manusia dan apa yang seharusnya dilakukan manusia?” Di sini yang dibicarakan adalah nilai-

nilai (kata axiologi sendiri dapat diartikan sebagai nilai-nilai yang menjadi sumbu perilaku

31

penghayatan dan pengamalan manusia). Axiologi mengkaji pengalaman dan penghayatan dari

perilaku-perilaku manusia. Di dalamnya dibahas tentang nilai apa yang berkaitan dengan

kebaikan dan apakah itu perilaku baik. Selain itu juga dibicarakan tentang nilai rasa manusia

yang dikaitkan dengan keindahan. Cabang filsafat yang termasuk dalam axiologi adalah etika

dan estetika.

Etika adalah cabang filsafat yang mengkaji nilai apa yang berkaitan dengan kebaikan dan

apakah itu perilaku baik. Cabang ini meliputi apa dan bagaimana hidup yang baik, menjadi orang

yang baik, berbuat baik, dan menginginkan hal-hal yang baik dalam hidup. Kata etika menunjuk

dua hal. Pertama: disiplin ilmu yang mempelajari nilai-nilai dan pembenarannya. Kedua: pokok

permasalahan disiplin ilmu itu sendiri yaitu nilai-nilai hidup manusia yang sesungguhnya dan

hukum-hukum tingkah laku manusia. Dalam etika kita juga mempelajari moralitas dan alasan-

alasan yang lebih abstrak mengapa manusia berbuat dan tidak berbuat sesuatu.. Etika bukanlah

sekedar kumpulan perintah dan larangan (‘harus’ dan ‘jangan’) tetapi merupakan satu sistem

nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang terpadu secara teratur untuk mencapai masyarakat yang

berbudaya dan hidup bahagia. Estetika mengkaji pengalaman dan penghayatan manusia dalam

menanggapi apakah sesuatu itu indah atau tidak. Jadi estetika membahas soal-soal keindahan

yang dipersepsi oleh manusia.

Pada dasarnya, pembahasan tentang nilai menyangkut banyak cabang pengetahuan yang

berkaitan atau bersangkutan dengan masalah nilai yang khusus seperti ekonomi, estetika, etika,

agama, dan epistemologi. Dari lima cabang ilmu tersebut, ada tiga nilai yang berbeda namanya,

tetapi mempunyai persamaan dalam penafsiran. Etika berkaitan dengan masalah kebaikan;

epistemologi dengan masalah kebenaran; dan estetika dengan masalah keindahan. Kebaikan,

32

kebenaran, dan keindahan merupakan tiga serangkai yang bertalian dan saling melengkapi. Dari

sudut pandang filsafat, baik, benar, dan indah membentuk kesatuan makna.

Kattsoff (2004:324) berpendapat bahwa istilah “nilai” mempunyai bermacam makna,

yakni mengandung nilai (artinya, berguna); merupakan nilai (artinya, ‘baik’ atau ‘benar’ atau

‘indah’); mempunyai nilai (artinya, merupakan objek keinginan, mempunyai kualitas yang dapat

menyebabkan orang mengambil sikap menyetujui atau mempunyai sikap nilai tertentu); dan

memberi nilai (artinya, menanggapi sesuatu sebagai hal yang diinginkan atau sebagai hal yang

menggambarkan nilai tertentu). Pembicaraan tentang nilai mempunyai spektrum atau jangkauan

yang sangat luas. Penjelasan Kattsoff tentang cara penggunaan kata nilai dapat kita jadikan

pedoman dalam pemakaiannya. Menurut Kattsoff, sesuatu benda atau perbuatan dapat

mempunyai nilai, dan karena itu dapat dinilai. Hal-hal tersebut di bawah ini dapat mempunyai

nilai karena mengandung nilai atau menggambarkan suatu nilai. Suatu pernyataan mengandung

nilai kebenaran, dan karena itu bernilai sebagai pemberitahuan. Suatu lukisan mempunyai nilai

keindahan, dan karena itu bernilai bagi mereka yang menghargai seni. Seorang ilmuan memberi

nilai kepada pernyataan-pernyataan yang benar, dan pencinta keindahan memberi nilai kepada

karya-karya seni.

Aliran Filsafat

Pemahaman terhadap filsafat dapat juga dilakukan melalui pemahaman terhadap tokoh-

tokoh dan aliran-alirannya. Seorang filsuf biasanya terfokus pada satu atau dua wilayah

sistematika saja. Hanya Immanuel Kant yang menjelajahi ketiga wilayah sistematika filsafat

secara lengkap lewat tiga bukunya: Critic of Pure Reason, Critic of Practical Reason, dan Critic

of Judgement. F.W. Nietzsche, seorang filsuf Jerman, hanya menelaah wilayah epistemologi,

33

metafisika, estetika dan etika. Filsuf-filsuf lain yang cukup terkenal dan berpengaruh di

antaranya Rene Descartes, David Hume, F.G.W. Hegel, Edmund Husserl, Karl Marx dan

Bertrand Russell.

Dalam perkembangan filsafat, berbagai aliran, berbagai isme bermunculan. Berikut

adalah beberapa aliran yang cukup berpengaruh dalam sejarah perkembangan filsafat:

a. Rasionalisme: aliran dalam filsafat yang berpandangan bahwa semua pengetahuan bersumber

dari akal (rasio), ditegaskan di sini bahwa akal yang mampu mendapatkan pengetahuan

secara jernih (clear) dan lugas/terpilah (distinct) tentang realitas.

b. Empirisme: aliran dalam filsafat yang menekankan pengalaman sebagai sumber pengetahuan.

c. Kritisisme: aliran filsafat yang dibangun oleh filsuf besar: Imanuel Kant. Aliran ini pada

dasarnya adalah kritik terhadap rasionalisme dan empirisme yang dianggap terlalu ekstrem

dalam mengkaji pengetahuan manusia. Akal menerima bahan-bahan yang belum tertata dari

pengalaman empirik, lalu mengatur dan menertibkannya dalam kategori-kategori.

d. Idealisme: aliran filsafat yang berpendirian bahwa pengetahuan adalah proses-proses mental

ataupun proses-proses psikologis yang sifatnya subyektif. Materi tidak memiki kedudukan

yang independen melainkan hanya merupakan materialisasi dari pikiran manusia.

e. Vitalisme: aliran filsafat yang memandang hidup tidak dapat sepenuhnya dijelaskan secara

mekanis karena pada hakikatnya manusia berbeda dengan benda mati. Manusia memiliki

kehendak yang mampu mengubah keadaannya yang statis menjadi lebih dinamis.

f. Fenomenologi: aliran filsafat yang mengkaji penampakan (gejala-gejala) dan memandang

gejala dan kesadaran selalu saling terkait.

34

4. Alternatif Langkah Belajar Filsafat

Ada banyak cara untuk belajar filsafat sesuai dengan pesatnya perkembangan filsafat

sehingga sekarang kini. Para filsuf mengembangkan cara belajar filsafat sesuai dengan

pendekatan yang digunakannya. Dalam tulisan ini dikemukakan satu alternatif langkah belajar

filsafat yang umum dipakai oleh para filsuf, juga oleh ahli filsafat dan ilmuwan untuk

memecahkan masalah filsafat secara umum dan mengkaji aliran filsafat tertentu.

Secara umum, filsuf berusaha memperoleh makna istilah-istilah dengan cara melakukan

analisis terhadap istilah-istilah itu berdasarkan pengenalan obyeknya dalam kenyataan. Analisis

didefinisikan sebagai pemilahan bagian-bagian satu satu hal berdasarkan kategori yang relevan.

Analisis terhadap istilah dilakukan dengan memilah-milah bagian makna atau isi pikiran dari

istilah berdasarkan kategori tertentu. Meski pada dasarnya para filsuf memulai filsafat dari

benda-benda dan bukan dari kata atau istilah, pemakaian istilah yang tepat harus dilakukan.

Bahasa adalah medium filsafat dan oleh karena itu istilah dan pernyataan yang merupakan

bagian dari bahasa menjadi penting dalam filsafat. Analisis terhadap istilah merupakan langkah

penting yang harus dilakukan untuk mendapatkan makna yang tepat dan memadai.

Setelah analisis istilah, filsuf berusaha untuk memadukan hasil-hasil penyelidikannya

melalui aktivitas sintesis. Dalam aktivitas sintesis, filsuf membanding-bandingkan bagian-bagian

dari makna istilah yang dihasilkan dari aktivitas analisis. Lalu ia mencari benang merah antar-

bagian untuk kemudian menemukan kesamaan makna di antara mereka. Dari situ diperoleh satu

makna istilah yang komprehensif yang memayungi semua bagian sekaligus menjelaskan

hubungan antar-bagian istilah.

Penggunaan analisis dan sintesis dalam filsafat ini disebut metode analisis-sintesis.

Metode ini merupakan metode yang paling banyak digunakan oleh filsuf. Menganalisis adalah

35

melakukan pemeriksaan konsepsional terhadap istilah-istilah yang digunakan atau pernyataan-

pernyataan yang dibuat. Tujuannya adalah (1) memperoleh makna baru yang terkandung dalam

istilah-istilah yang bersangkutan, dan (2) menguji istilah-istilah itu melalui penggunaannya, atau

dengan melakukan pengamatan terhadap contoh-contohnya. Analisis istilah berarti perincian

istilah atau pernyataan ke dalam bagiannya sedemikian rupa sehingga orang dapat melakukan

pemeriksaan terhadap makna yang dikandungnya. Tujuan pemeriksaan ini adalah penentuan

makna apa yang akan diberikan.

Menurut Kattsoff (2004), secara filosofis analisis adalah pengumpulan semua

pengetahuan yang dapat dikumpulkan oleh manusia untuk menyusun suatu pandangan tentang

dunia. Sedangkan sintesis dapat didefinisikan sebagai aktivitas menemukan benang merah antar-

bagian yang dipilah berdasarkan kategori tertentu untuk kemudian menemukan kesamaan makna

di antara bagian-bagian itu.

Secara ringkas, Kattsoff (2004:34-38) mengemukakan langkah-langkah umum yang

disarankan dalam menganalisis dan sintesis.

1. Memastikan adanya masalah yang diragukan kesempurnaan atau kelengkapannya.

2. Masalah umumnya terpecahkan dengan mengikuti dua langkah, yakni menguji prinsip-prinsip

kesahihannya dan menentukan sesuatu yang tak dapat diragukan kebenarannya (untuk

menyimpulkan kebenaran yang lain).

3. Meragukan dan menguji secara rasional segala hal yang ada sangkut pautnya dengan

kebenaran.

4. Mengenali apa yang dikatakan orang lain mengenai masalah yang bersangkutan dan menguji

penyelesaian-penyelesaian mereka.

5. Menyarankan suatu hipotesis yang kiranya memberikan jawaban atas masalah yang diajukan.

36

6. Menguji konsekuensi-konsekuensi dengan melakukan verifikasi terhadap hasil-hasil

penjabaran yang telah dilakukan.

7. Menarik simpulan mengenai masalah yang mengawali penyelidikan.

Metode belajar filsafat sebenarnya bukan hanya dapat digunakan untuk belajar filsafat,

melainkan juga dapat dimanfaatkan dalam pembelajaran di bidang ilmu pengetahuan lain.

Kegiatan-kegiatan yang dilakukan filsuf untuk menemukan pengetahuan diperlukan juga oleh

bidang ilmu lain. Selain sifat filsafat, kritis, radikal dan sistematis, cara filsuf menemukan

pengetahuan juga dimanfaatkan oleh ilmuwan untuk menemukan pengetahuan. Hanya saja, para

ilmuwan sangat mementingkan juga bukti empirik dari penjelasan tentang gejala. Bagi ilmuwan,

cara berpikir filosofis, yaitu kritis, radikal dan sistematis ditambah dengan bukti empirik harus

muncul bersama untuk menghasilkan solusi permasalahan yang dianggap paling tepat atau paling

benar.

Secara umum, disadari atau tidak, filsafat digunakan manusia untuk menyelesaikan

masalah yang dihadapinya. Jika orang menyadarinya, maka lebih banyak lagi manfaat berpikir

filosofis yang dapat diperoleh. Dengan berpikir filosofis orang dapat berpikir mendalam dan

mendasar. Orang juga dapat memperoleh kemampuan analisis, berpikir kritis dan logis sehingga

ia mampu juga berpikir secara luas dan menyeluruh. Berpikir filosofis juga membuat orang dapat

berpikir sistematis dalam mengumpulkan pengetahuan sebanyak mungkin secara tertata. Berpikir

filosofis juga membantu orang untuk menjajaki kemungkinan baru sehingga dapat memperoleh

pengetahuan baru. Orang dapat terus menerus menambah pengetahuannya dengan berpikir

filosofis. Di sisi lain, berpikir filosofis juga memberikan kesadaran kepada orang mengenai

keterbatasan pengetahuannya. Kesadaran akan masih banyaknya hal yang tidak diketahui

37

membuat orang menjadi rendah hati, terbuka dan siap untuk memperbaiki pengetahuannya.

Dengan demikian, berpikir filosofis merupakan satu cara untuk membangun keutamaan

pengetahuan dan kebijaksanaan dengan kekuatan-kekuatan yang dikandungnya.

38

DAFTAR PUSTAKA

Diogenes Laertes, Lives of Eminent Philosophers, VIII, 8 (Loeb Classical Library, trans. R.D. Hicks, Harvard University Press, 1931, Vol II. pp. 327 & 329)

Gazalba, Sidi. (1979). Sistematika Filsafat. Jakarta: Bulan Bintang.

Kattsoff, Louis O. (2004). Dasar-dasar Filsafat (terjemahan Soejono Soemargono). Cetakan ke-9. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.

Iamblichus, The Life of Pythagoras, chap. XII. (translated by R. Burch from De vita Pythagorica liber, ed. [A.M. Hakkert, 1965], pp. 39-41).

Jowett, B. (1892). The Dialogues of Plato, 3rd Edition. Oxford: Clarendon.

Thayer, J.H. (2011). Thayer’s Greek Lexicon. Electronic Database. Biblesoft, Inc.

Whiteley, C.H. (1977). An Introduction to Metaphysics. Hassocks Eng. and Atlantic Highlands, N.J: Harvester Press.

39

BAB III DASAR-DASAR LOGIKA

Bagus Takwin

1. Apakah Logika Itu?

Secara umum, logika dikenal sebagai cabang filsafat, tetapi ada juga ahli yang

menempatkannya sebagai cabang matematika. Kedua bidang kajian ini menempatkan logika

sebagai dasar berpikir dalam memperoleh, mencermati dan menguji pengetahuan. Logika

dapat diartikan sebagai kajian tentang prinsip, hukum, metode, dan cara berpikir yang benar

untuk memperoleh pengetahuan yang benar.

Jika ditempatkan sebagai cabang filsafat, logika dapat diartikan sebagai cabang dari

filsafat yang mengkaji prinsip, hukum dan metode berpikir yang benar, tepat dan lurus. Jika

ditempatkan sebagai matematika maka logika merupakan cabang matematika yang mengkaji

seluk-beluk perumusan pernyataan atau persamaan yang benar, khususnya pernyataan yang

menggunakan bahasa formal. Bahasa formal adalah bahasa buatan yang dibedakan dari

bahasa alamiah. Bahasa formal di sini merujuk kepada rangkaian simbol matematis seperti

yang biasa kita jumpai dalam literatur matematika. Sedangkan bahasa alamiah, atau bahasa

non-formal, adalah bahasa yang umumnya kita gunakan sehari-hari dalam berkomunikasi.

Dari sejarah filsafat kita mengenal Aristoteles sebagai filsuf yang pertama kali

membeberkan hal-ihwal logika secara komprehensif. Sebelumnya ada beberapa filsuf Yunani

Kuno yang sudah mengemukakan prinsip-prinsip berpikir dan pemerolehan pengetahuan

seperti Parmenides, Zeno, dan Pythagoras. Tetapi penjelasan khusus dan menyeluruh tentang

bagaimana pikiran manusia bekerja dan dapat memperoleh pengetahuan yang benar baru

ditulis secara sistematis oleh Aristoteles.

Penggunaan istilah logika untuk menyebut cabang filsafat yang mengkaji prinsip,

aturan, dan metode berpikir yang benar bukan berasal dari Aristoteles melainkan dari

Alexander Aphrodisias sekitar permulaan abad ke-3 M. Sebelumnya istilah logika dipakai

oleh Cicero (abad ke-1 M) yang menggunakan kata logika dalam arti ‘seni berdebat’.

Aristoteles sendiri menggunakan istilah analitika untuk merujuk kepada penyelidikan

terhadap argumentasi-argumentasi yang bertitik tolak dari putusan-putusan yang sudah

dipastikan kebenarannya, serta dialektika untuk penyelidikan terhadap argumentasi-

40

argumentasi yang bertitik tolak dari putusan-putusan yang belum pasti kebenarannya

(Bertens, 1999).

Dalam matematika, logika dikaji dalam kaitannya dengan upaya menyusun bahasa

matematika yang formal, baku, dan jernih maknanya, serta dalam kajian tentang penyimpulan

dan pembuatan pernyataan yang benar. Tradisi penggunaan dan pengkajian logika dalam

matematika sudah sangat lama dilakukan sehingga matematika tak dapat dipisahkan dari

logika, dan keduanya saling melengkapi. Bertrand Russell dan Alfred North Whitehead

bahkan menyatakan bahwa matematika adalah logika murni. Istilah logika klasik (classical

logic, classical elementary logic, atau classical first-order logic) merujuk kepada kajian

tentang logika dalam matematika. Kata klasik di situ mengindikasikan betapa sudah

menyatunya logika dan matematika, yang sudah dianggap sebagai dua sisi dari satu keping

mata uang.

Terlepas dari latar belakang kajian dan penemuannya serta klasifikasinya dalam

penggolongan ilmu, logika merupakan alat yang dibutuhkan dalam kajian berbagai ilmu

pengetahuan dan juga dalam kehidupan sehari-hari. Logika, di samping etika, dapat dipahami

sebagai asas pengaturan alam dan isinya yang dikembangkan manusia. Alam yang pada

awalnya tampil di hadapan manusia sebagai sesuatu yang tak termaknai dan sebagai

ketidakteraturan mendorong manusia untuk memaknainya dan untuk memberikan arti kepada

unsur-unsurnya dan penjelasan kepada dinamikanya. Alam, yang awalnya tak terpahami dan

terkesan tak teratur, pelan-pelan namun pasti mulai terpahamkan. Pemaknaan dan pengaturan

itu dari waktu ke waktu berkembang semakin sistematis dan komprehensif. Logika berperan

di sana, mulai dari penamaan benda-benda berdasarkan prinsip identitas (X = X) hingga

penemuan beragam hubungan antara unsur alam melalui penalaran analogis, deduktif, dan

induktif. Logika memungkinkan manusia memahami seluk-beluk dan dinamika alam berserta

isinya, menerangkan, meramal, dan menata alam. Berbagai persoalan manusia terselesaikan

dengan bantuan logika. Meskipun belum semua persoalan selesai sementara berbagai

persoalan baru sudah muncul—termasuk persoalan yang disebabkan oleh penggunaan (dan

penyalahgunaan) logika—tak dapat dimungkiri bahwa logika sudah membantu manusia

meningkatkan kualitas hidupnya dan mengembangkan peradabannya seperti yang kita

saksikan sekarang. Sebagai asas pengaturan, logika menjelaskan bahwa alam yang awalnya

tampak sebagai kekacau-balauan (chaos) sebenarnya merupakan jagat raya (cosmos) yang

teratur.

Kembali lagi ke logika sebagai cabang filsafat. Secara filosofis, logika adalah kajian

tentang berpikir atau penalaran yang benar. Penalaran merupakan aktivitas mental yang

41

bertujuan memperoleh pengetahuan; dengan kata lain, penalaran merupakan aktivitas

epistemik. Penalaran adalah proses penarikan kesimpulan berdasarkan alasan yang relevan.

Dalam logika dikaji bagaimana berlangsungnya proses penarikan kesimpulan yang mencakup

unsur-unsur dari proses, langkah-langkah, serta hukum, prinsip dan aturan-aturannya.

Untuk dapat menjelaskan karakteristik penaralan yang benar serta mengapa dan

bagaimana itu dapat dihasilkan, logika menggunakan pemahaman tentang standar kebenaran

yang diperoleh dari epistemologi yang merupakan cabang filsafat yang mengkaji hakikat

pengetahuan. Di samping itu, sebagai bagian dari epistemologi dalam arti luas, logika juga

memerlukan dasar-dasar pengetahuan yang dikaji oleh epistemologi, yang mencakup segi-

segi sumber pengetahuan, batas pengetahuan, struktur pengetahuan, dan keabsahan

pengetahuan. Sebuah sistem logika didasari oleh asumsi tentang sumber pengetahuan, apakah

pengetahuan itu dianggap bersumber dari pikiran, pengalaman atau dari hal-hal lain. Dalam

sistem logika yang komprehensif juga ditentukan batas-batas kemampuan manusia untuk

mengetahui, jenis pengetahuan yang dapat diperoleh, dan syarat-syarat dari pengetahuan

sehingga dapat dipahami manusia. Struktur pengetahuan yang berkaitan dengan bagaimana

pengetahuan terkumpul, tersusun, dan tertata sedemikian rupa dalam diri manusia juga

mendasari sebuah sistem logika. Lalu, untuk menentukan benar atau tidaknya sebuah

penalaran sebuah sistem logika perlu didasari oleh syarat-syarat dari keabsahan pengetahuan.

Dapat dikatakan bahwa logika merupakan dasar filosofis dari matematika. Ini

disebabkan oleh asas epistemologis matematika yang berakar pada filsafat. Belakangan,

mereka yang membahas matematika kebanyakan adalah filsuf, seperti Bertrand Russell,

Alfred North Whitehead dan Gottlob Frege. Di sisi lain, matematika juga banyak memberi

masukan kepada logika, bahkan dianggap sebagai logika murni oleh Russell dan Whitehead

dalam buku mereka yang berjudul Principia Mathematica (1925). Dalam pengertiannya

sebagai kajian tentang penalaran yang benar, logika memunculkan pertanyaan-pertanyaan

yang relevan dengan aspek matematis dari logika. Dua di antaranya ialah bagaimana

pembuatan kesimpulan dari prinsip-prinsip umum yang sudah ada dan validitasnya

berhubungan dengan penalaran yang benar? Dan bagaimana matematika sebagai proses

pembuatan kesimpulan khusus berdasarkan hukum-hukum umum dapat dipahami dari segi

logis; dan, sebaliknya, bagaimana logika dipahami dari sudut pandang matematika?

Sebagai kajian tentang penalaran, logika juga berhubungan erat dengan bahasa

alamiah yang sehari-hari dipakai oleh manusia. Untuk berkomunikasi, orang bernalar dengan

menggunakan bahasa alamiah. Ini juga berkaitan dengan matematika. Hal ini menimbulkan

sejumlah pertanyaan: bagaimana matematika dapat diterapkan di dalam kenyataan non-

42

matematik? Bagaimana matematika dapat menjelaskan realitas sehari-hari? Bagaimana

matematika dapat digunakan untuk melakukan penalaran yang benar? Apa dasar

epistemologis dari matematika sehingga dapat digunakan untuk membuat penalaran yang

benar?

Buku ini tidak akan menjelaskan bagaimana logika dan matematika saling

berhubungan, dan juga tidak menjelaskan secara khusus dan rinci hubungan antara bahasa

dan penalaran sehari-hari dengan logika. Uraian tadi hanya sekadar menunjukkan secara

singkat bahwa logika berkaitan erat dengan matematika sehingga beberapa simbol

matematika digunakan di dalam logika. Logika juga berkaitan dengan pemahaman manusia

dalam kesehariannya karena sama-sama menggunakan bahasa sebagai medianya.

Di atas sudah dibahas secara umum tentang dua pengertian logika, yakni sebagai

cabang filsafat dan sebagai cabang matematika. Sebelum pembahasan lebih khusus tentang

logika, di sini dikemukakan dua pengertian lain dari logika, yakni logika sebagai kajian

tentang kebenaran khusus atau fakta dan logika sebagai kajian ciri-ciri atau bentuk umum

dari putusan (bahasa Inggris: judgment). Sebagai kajian tentang kebenaran khusus, logika

merupakan ilmu pengetahuan yang bertujuan menjelaskan kebenaran atau fakta tertentu,

sama halnya dengan ilmu pengetahuan lain yang bertujuan menjelaskan kebenaran lainnya.

Kebenaran logis dapat dipahami sebagai kebenaran paling umum, satu kebenaran yang

dikandung oleh semua kumpulan kebenaran lain yang hendak dijelaskan oleh ilmu

pengetahuan. Dalam pengertian ini logika berbeda dari biologi karena logika lebih umum;

tetapi, di pihak lain, sama dengan biologi, yaitu sebagai ilmu pengetahuan yang bertujuan

mencapai kebenaran tertentu. Pengertian logika ini sering kali diasosiasikan dengan Gottlob

Frege (1848-1925), ahli matematika dan filsuf dari Jerman. Konsepsi logika ini secara dekat

diasosiasikan dengan satu pernyataan yang diperoleh dengan menggunakan logika secara

fundamental tentang kesimpulan-kesimpulan tertentu dan tentang semua konsekuensi logis

dari tiap kesimpulan itu. Pengertian logika di sini dapat dipulangkan kepada asal katanya,

logos, dari Herakleitos yang berarti ‘aturan’, ‘prinsip’, atau ‘kata-kata yang menjelaskan

realitas’.

Kebenaran logis dalam pengertian ini merupakan satu kebenaran yang diungkapkan

dengan representasi yang secara logis tidak mengikuti asumsi apa pun. Kebenaran logis ini

dapat dipahami juga sebagai asumsi dasar atau postulat atau prinsip pertama yang mencukupi

dirinya sendiri (self-sufficient reason). Dalam pengertian lain, kebenaran logis adalah satu

pernyataan yang kebenarannya dijamin sejauh makna dari konstanta logisnya tetap, terlepas

dari apa makna bagian lain yang menyertainya.

43

Dalam arti kajian ciri-ciri atau bentuk umum dari putusan atau bentuk pikiran dari

putusan, logika dapat dipahami sebagai kajian yang mempelajari unsur-unsur putusan dan

susunannya dengan tujuan untuk memperoleh pola atau bentuk umum dari proses pembuatan

putusan. Satu contoh bentuk kegiatan dari logika ini adalah penyelidikan tentang struktur

hubungan antara subjek dan predikat dari berbagai putusan yang ada; penelitian tentang jenis

putusan, dan bagaimana pikiran manusia menggunakan bentuk-bentuk pernyataan tertentu

untuk membuat kesimpulan. Fokus kajian dari logika ini adalah pikiran, representasi

linguistik, meskipun pikiran dan bahasa saling terkait erat. (Putusan terdapat dalam pikiran

dan diungkapkan dengan tanda-tanda konvensional yang dapat diinderai.) Kajian ini

berurusan dengan berbagai bentuk putusan, bukan bentuk kalimat seperti yang dipelajari oleh

linguistik meskipun dalam praktiknya keduanya mirip karena sama-sama menggunakan

bahasa sebagai alat ekspresi utamanya. Berbeda dengan bentuk dari bahasa sebagai

representasi linguistik yang konstan terlepas dari apa pun isinya, bentuk pikiran diperoleh

melalui abstraksi dari isi pikiran.

2. Kategori

Manusia berpikir dengan menggunakan kategori. Contohnya, kita mengenal kursi

sebagai perabot, kucing sebagai makhluk hidup, mobil sebagai kendaraan, dan rumah sebagai

tempat tinggal. Perabot, makhluk hidup, kendaraan, dan tempat tinggal adalah contoh

kategori yang digunakan untuk mengenali dan mengelompokkan benda-benda. Sejak anak

dapat mengenali dunia, kategori digunakan untuk mengenali obyek-obyek di dunia.

Pada awalnya kategori yang digunakan sangat sederhana dan umum seperti lebih

besar dan lebih kecil, atau lebih jauh dan lebih dekat, atau lebih keras atau lebih lembut.

Kemudian kategori yang lebih kompleks dikemba ngkan, seperti makhluk hidup

yang bernafas dengan paru-paru, tempat tinggal yang layak huni dan nyaman, dan

sebagainya.

Selain itu, ada hierarki kategori, baik berdasarkan sifat umum atau khusus, maupun

sifat kompleks atau simpleks. Makhluk hidup, contohnya, merupakan kategori yang lebih

umum dari hewan yang didefinisikan sebagai makhluk hidup yang berindera. Contoh lain, zat

merupakan kategori yang lebih umum dari zat cair dan zat padat. Dilihat dari

kompleksitasnya, hotel lebih adalah kategori yang lebih kompleks daripada rumah karena

pada hotel ada karakteristik yang lebih banyak daripada pada rumah, seperti memiliki

44

fasilitas ruang tidur yang dapat disewakan, ruang makan bersama, lobi, tempat parkir,

pegawai hotel, tarif menginap, dan lain-lain.

Para filsuf membantu kita untuk mengenali benda-benda secara lebih sistematis dan

koheren dengan mengajukan kategori-kategori dasar dari semua yang ada dan mungkin ada di

dunia. Aristoteles adalah filsuf pertama yang menggunakan istilah kategori dalam filsafat dan

mengajukan jenis-jenis kategori yang menurutnya dapat diterapkan pada semua benda yang

ada di dunia. Untuk memahami secara lengkap apa yang dimaksud dengan kategori oleh

Aristoteles kita perlu membaca dua kutipan berikut ini.

“We should distinguish the kinds of predication (ta genê tôn katêgoriôn) in which the four predications mentioned are found. These are ten in number: what-it-is, quantity, quality, relative, where, when, being-in-a-position, having, doing, undergoing. An accident, a genus, a peculiar property and a definition will always be in one of these categories.” (Topics I.9, 103b20-25 dalam Owen (ed.), 1968; Smith, 2000)

“Of things said without any combination, each signifies either substance or quantity or quality or a relative or where or when or being-in-a-position or having or doing or undergoing. To give a rough idea, examples of substance are man, horse; of quantity: four-foot, five-foot; of quality: white, literate; of a relative: double, half, larger; of where: in the Lyceum, in the market-place; of when: yesterday, last year; of being-in-a-position: is-lying, is-sitting; of having: has-shoes-on, has-armor-on; of doing: cutting, burning; of undergoing: being-cut, being-burned.” (Categories 4, 1b25-2a4, tr. Ackrill, 1961)

Dari dua kutipan tersebut, diketahui bahwa Aristoteles membagi segala sesuatu dalam

sepuluh kategori mencakup (1) substansi’ (2) kualitas, (3) kuantitas atau ukuran, (4) relasi

(relatio), (5) aksi (actio), (6) reaksi atau terkena aksi (pasif, menderita, pasio), (7) waktu

(kapan), (8) lokasi (dimana), (9) posisi (dalam arti posisi fisik atau posture, silus) dan (10)

memiliki atau mengenakan (habitus).

Bagi Aristoteles, ke-10 kategori yang diajukannya bukan hanya berkaitan dengan

logika tetapi lebih jauh lagi berkaitan dengan segala hal yang ada dan mungkin ada di dunia

ini. Penentuan kesepuluh kategori itu berangkat dari penggolongan dari seluruh ‘ada’ (being).

Ia membagi ‘ada’ menjadi ‘ada bagi diri sendiri’ dan ‘ada bagi yang lain’. Dari dua jenis ada

ini lalu diturunkan lagi hingga diperoleh sepuluh kategori tempat setiap hal dapat dimasukkan

ke dalam salah satu kategori itu (lihat gambar 3. Skema kategori menurut Aristoteles dalam

Bittle, 1950: 55). Dari sini dapat dipahami bahwa dasar dari kategori adalah pengetahuan

tentang ada yang menjadi pembahasan utama dalam metafisika dan ontologi. Dengan

penentuan sepuluh kategori, Aristoteles telah mengklaim bahwa ia memahami segala hal

sebagai ‘ada’ (being).

Filsuf setelah Aristoteles yang mengemukakan pemikiran mengenai kategori adalah

Immanuel Kant. Kant (dalam Takwin, 2005) memandang manusia sebagai agen aktif dengan

45

pikiran sebagai pusat aktivitasnya. Menurut Kant pikiran manusia sudah memiliki

pengetahuan bawaan dalam bentuk kategori-kategori.

Pengetahuan bawaan yang secara tegas tak dapat ditolak keberadaannya adalah

kerangka pemahaman ruang dan waktu. Menurut Kant, setiap pemahaman tentang sesuatu

selalu dalam kerangka ruang dan waktu. Pengetahuan apa pun selalu terkait dengan kualitas-

kualitas serta kuantitas-kuantitas ruang dan waktu. Sejauh berkaitan dengan pengalaman,

manusia selalu berpikir dalam kerangka ruang dan waktu. Setiap benda yang diperoleh dari

pencerapan indrawi selalu dipahami dalam kerangka ruang dan waktu. Benda-benda sendiri

pada dirinya tidak mengandung kualitas dan kuantitas ruang dan waktu. Manusialah yang

menempatkan mereka dalam kerangka ruang dan waktu. Dengan demikian dapat disimpulkan

bahwa pemahaman tentang ruang dan waktu tidak diperoleh dari pengalaman. Pengetahuan

tentang ruang dan waktu sudah ada pada diri manusia, dibawanya sejak lahir. Pemahaman

tentang ruang dan waktu sudah ada dalam pikiran manusia sebagai pengetahuan bawaan.

Selain ruang dan waktu, menurut Kant, manusia juga memiliki pengetahuan bawaan

berupa kategori-kategori. Dari analisis dan abstraksinya terhadap berbagai macam putusan

dan bentuk-bentuk intelektualnya, Kant menemukan bahwa fungsi berpikir manusia yang

tetuang dalam putusan-putusan dapat dikategorikan dalam empat kelompok besar, kuantitas

(quantity), kualitas (quality), relasi (relation) dan modalitas (modality). Masing kelompok

terdiri dari tiga momenta yang biasa disebut sebagai kategori. Kuantitas mencakup kategori

universal, partikular dan singular. Kualitas mencakup kategori afirmatif, negatif dan infinit.

Relasi mencakup kategori kategorikal, hipotetikal dan disjunktif. Modalitas mencakup

kategori problematik (problematical), asertorik (assertorical) dan apodeiktik (apodeictical).

Dari segi kuantitasnya, setiap pernyataan atau putusan selalu dapat digolongkan

sebagai universal atau partikular. Kuantitas universal atau partikular dari sebuah pernyataan

ditentukan oleh ekstension (keluasan) dari term (istilah) subjek pernyataan. Jika ekstension

term subjek mencakup keseluruhan individu yang diwakili oleh term itu maka pernyataan

yang menyertakan term subjek ini adalah universal. Jika ekstension term subjek hanya

mencakup sebagian individu yang diwakili oleh term itu maka pernyataan yang menyertakan

term subjek ini adalah partikular. Contoh: ‘Semua manusia adalah makhluk hidup.’

Pernyataan ini adalah pernyataan universal karena term manusia yang dalam pernyataan ini

merupakan subjek memiliki ekstension yang mencakup semua individu yang tergolong

sebagai manusia. Contoh lain: ‘Beberapa filsuf adalah rasionalis.’ Pernyataan in adalah

pernyataan partikular karena term filsuf yang dalam pernyataan ini merupakan subjek

memiliki ekstension yang hanya mencakup sebagain filsuf. Jika term subjek memiliki

46

ekstension yang hanya mencakup satu saja maka term ini adalah term ini masuk dalam

kategori singular. Dalam logika umum (general logic) ketika term singular digunakan dalam

pernyataan maka pernyataan itu adalah pernyataan universal. Namun bagi Kant pernyataan

dengan term subjek singular perlu dibedakan dari pernyataan universal dan pernyataan

partikular. Contoh: pernyataan ‘Tuhan mendasari hukum moral.’ Term ‘Tuhan’ dalam

pernyataan ini adalah term singular karena merujuk hanya pada satu hal saja, Tuhan. Dengan

memahami bahwa term ‘Tuhan’ sebagai term singular, bahwa hukum moral yang dimaksud

dalam pernyataan tersebut adalah hukum moral tertentu dan bukan hukum moral yang lain.

Dari segi kualitasnya, setiap pernyataan dapat dibedakan apakah itu afirmatif, negatif

atau infinit. Sebuah pernyataan memiliki kualitas afirmatif jika itu mengafirmasi atau

mengiyakan suatu hal. Contoh: ‘Hari ini hujan.’ Sebuah pernyataan memiliki kualitas negatif

jika itu menegasi atau menidakkan/membukankan suatu hal. Contoh: ‘Hari ini tidak hujan.’

Sebuah pernyataan memiliki kualitas infinit jika pernyataan itu mengungkapkan sesuatu yang

tak terbatas. Contoh: ‘Jiwa manusia abadi.’ Dari segi waktu, keberadaan jiwa manusia tak

terbatas. Perlu dipahami di sini bahwa dalam logika umum pernyataan infinit ini digolongkan

sebagai pernyataan afirmatif karena secara logis itu mengafirmasi sesuatu, misalnya

mengafirmasi bahwa jiwa adalah abadi. Pernyataan ‘jiwa manusia abadi’ secara logis

memiliki pengertian yang definit karena dapat dibedakan dengan pernyataan-pernyataan lain

yang mengungkap hal-hal yang terbatas seperti ‘Daya ingat manusia terbatas.’ Namun Kant

membedakan pernyataan-pernyataan infinit dari pernyataan afirmatif untuk memahami

pernyataan-pernyataan a priori sintetik. Sesuatu yang infinit, tak terbatas ruang dan waktu,

perlu diandaikan ada untuk kepentingan praktis menjaga keteraturan dunia.

Dari segi relasi, pernyataan-pernyataan yang ada dapat digolongkan sebagai

kategorikal, hipotetikal atau disjunktif. Sebuah pernyataan termasuk dalam kategori

kategorikal jika pernyataan itu dapat langsung dinilai benar salahnya tanpa tergantung pada

kondisi dan situasi tertentu, juga tidak tergantung pada tempat dan waktu. Contoh: ‘Makhluk

hidup bernafas.’ Sejauh sesuatu itu adalah makhluk hidup, maka di mana pun dan kapan pun,

dalam keadaan bangun atau tidur, ia pasti bernafas, tidak mungkin tidak. Sebuah pernyataan

termasuk kategori hipotetikal jika benar atau salahnya tergantung pada kondisi atau situasi

tertentu. Contoh: ‘Jika hari ini turun hujan maka jalan basah.’ Basah tidaknya jalan

ditentukan oleh hujan-tidaknya hari ini. Penyataaan disjunktif ditentukan berdasarkan

hubungan oposisi logis yang saling meng-ekslusi atau saling meniadakan antara satu dan

lainnya. Contoh: ‘Dunia terjadi kalau tidak karena kebetulan semata atau karena ada yang

menciptakan.’ Pernyataan ini mengandung dua kemungkinan yang satu sama lain saling

47

meniadakan yaitu ‘kebetulan belaka’ dan ‘ada yang menciptakan.’ Tidak mungkin keduanya

sekaligus benar, salah satu pasti salah. Jika yang satu benar maka yang lain salah. Pernyataan

disjunktif mengandung seluruh hubungan yang ada dalam ruang-lingkup pikiran karena

setiap kemungkinan yang ada dalam ruang-lingkup pikiran dapat dinyatakan dengan

pernyataan disjunktif lepas dari apakah kemungkinan-kemungkinan itu secara logis

berhubungan satu sama lain atau tidak. Semua hal yang tak dapat diungkapkan baik secara

kategorikal maupun hipotetikal dapat diungkapkan secara disjunktif.

Dari segi modalitas, setiap pernyataan dapat digolongkan sebagai pernyataan

problematik, asertorik atau apodeiktik. Sebuah pernyataan adalah problematik jika apa yang

diungkap dengan pernyataan itu masih berupa kemungkinan. Contoh: ‘Manusia dapat hidup

di bulan.’ Apa yang dikemukakan pernyataan ini masih berupa kemungkinan. Sejauh ini

manusia belum dpaat hidup di bulan tetapi hal itu mungkin karena sudah ada manusia yang

mendarat di bulan. Sebuah pernyataan adalah asertorik jika apa yang diungkap dengan

pernyataan itu nyata dan sudah terjadi. Contoh: ‘Manusia mampu membuat pesawat ulang-

alik.’ Sebuah pernyataan adalah apodeiktik jika apa yang diungkap dengan pernyataan itu

merupakan sesuatu yang pasti terjadi, dengan kata lain apa yang diungkapkan oleh

pernyataan itu merupakan keharusan atau keniscayaan. Contoh: ‘Manusia harus makan agar

dapat bertahan hidup.’

Dalam pandangan Kant, kategori-kategori yang sudah diuraikan di atas merupakan

ide bawaan. Kategori-kategori itu terkandung dalam pikiran manusia dan menjadi kerangka

bagi rasionalitas manusia.

Filsuf berikutnya yang mengemukakan mengenai kategori adalah Georg Wilhelm

Friedrich Hegel. Hegel (Takwin, 2005) mengartikan kategori sebagai ide-ide yang

menjelaskan realitas. Ia menggunakan skema triadik sebagai prinsip bagi penentuan kategori

dan menemukan sekitar 272 kategori. Berbeda dari Aristoteles dan Kant, Hegel menyatakan

bahwa jenis-jenis kategori dan jumlahnya yang tepat tidak dapat ditentukan sebelum sistem

realitas dijelaskan secara lengkap. Ia lalu mengubah arti kategori menjadi sekedar pernyataan,

konsep atau prinsip dasar dalam sistem filsafat.

Di awal abad ke-20, kita temukan Charles Sanders Pierce (10 September 1839-19

April 1914) memahami kategori sebagai istilah-istilah paling umum yang dapat digunakan

untuk membagi-bagi atau menggolong-golongkan pengalaman. Kategori-kategori, dalam

pandangan Pierce (Takwin, 2005), mencerminkan tiga predikat atau hubungan. Tiga kategori

utama menurutnya adalah (1) firstness; (2) secondness; dan (3) thirdness. Masing-masing

kategori ini berperan dalam pola pemaknaan monadic, dyadic dan polyadic. Whitehead

48

menggunakan pernyataan tradisional tentang kategori dan mengelaborasi satu set kategori

yang berisi 37 kategori yang menjadi dasar bagi penjelasan semua pengalaman.

Pendapat tentang kategori yang mengkritik penggolongan kategori dari filsuf-filsuf

sebelumnya dikemukakan oleh Gilbert Ryle. Ryle (1949) berpendapat bahwa kategori

berjumlah tak terhingga dan tak teratur. Totalitas dari kategori tidak terletak pada prinsip

yang menentukan hirarki dari jenis-jenis hal yang tak terbatas. Totalitas kategori tidak dapat

ditentukan polanya. Jumlah kategori yang tak terhingga dan sifatnya yang tak beraturan

menjadikan mereka tak terangkum dalam satu prinsip. Dengan ketidakteraturannya itu, maka

secara tegas kesalahan kategori terutama bukan terletak pada ketidaktepatan menempatkan

suatu hal dalam kategori tertentu tetapi lebih pada memaksakan sesuatu dalam kategori

tertentu. Kesalahan kategorikal bagi Ryle dimulai dari penentuan sejumlah kategori yang

diklaim sebagai fundamental, dasar dan mutlak. Dari sini kesalahan-kesalahan pemahaman

selanjutnya terjadi. Bagi Ryle, siapa pun dapat menentukan kategori apa pun tetapi tak ada

yang berhak mengklaim satu sistem kategori sebagai benar dan mutlak sementara sistem yang

lain salah. Saat ini kata ‘kategori’ digunakan kebanyakan filsuf untuk merujuk pada jenis-

jenis fundamental tanpa menentukan apa saja jenis-jenis itu. Padahal kategori-kategori yang

ada, menurut Ryle, tidak terbatas pada apa yang dirumuskan oleh filsuf-filsuf itu dan tidak

terbatas pula jumlahnya.

Pada dasarnya, pemikiran mengenai kategori dari berbagai filsuf memberi pelajaran

kepada kita bahwa dalam mengenali dan memahami benda-benda, kita perlu cermat dan hati-

hati. Kita tidak dapat sembarangan mengartikan satu hal dan tidak dapat mencampuradukan

kategori yang satu dengan kategori yang lain. Meski, seperti yang dinyatakan oleh Ryle, jenis

kategori tak terbatas, kita perlu tetap menggunakan aturan dan disiplin dalam menggunakan

kategori. Kita dapat menggunakan kategori yang kita anggap sesuai dengan kebutuhan kita

dalam mencari pengetahuan, tetapi kita harus konsisten dan koheren dalam menggunakannya.

3. Term, Definisi dan Divisi1

3.1 Term

Setiap hal yang diinderai dan dipersepsi dibentuk oleh pikiran menjadi ide. Hasil dari

pembentukan ini adalah konsep. Setiap konsep ditandakan dalam bentuk term. Rangkaian

term yang bermakna adalah pernyataan. Term dan pernyataan merupakan bagian dari bahasa.

1 Sebagian dari pasal yang menjelaskan term, definisi dan divisi disadur dari C.N. Bittle, The Science of Correct Thinking: Logic (Milwaukee, 1950).

49

Bahasa adalah sarana bagi manusia untuk menyampaikan kepada orang lain dan menerima

ide dari orang lain.

Term merupakan tanda untuk menyatakan suatu ide yang dapat diinderai (sensible)

sesuai dengan pakat (conventional). Tanda itu dapat bersifat formal dan instrumental. Tanda

formal digunakan berdasarkan kesamaan antara tanda dan yang ditandai seperti gambar,

potret, film, dan huruf hieroglif. Tanda instrumental digolongkan atas dua, yakni tanda

alamiah dan tanda konvensional. Tanda alamiah digunakan berdasarkan kaitan alamiah antara

tanda dan yang ditandai, misalnya asap menandai api, rasa sakit menandai gangguan pada

tubuh, dan tangis menandai kesedihan. Tanda konvensional digunakan berdasarkan

kesepakatan sejumlah orang tertentu pada waktu tertentu, misalnya sandi Morse, tanda lalu-

lintas, dan bahasa.

Secara umum term adalah tanda yang didasarkan pada kelaziman, bukan tanda alamiah.

Hal ini terlihat dari adanya berbagai bahasa di dunia. Jika semua term bersifat alamiah maka

akan terdapat hanya satu bahasa di dunia. Tetapi kita melihat bahwa untuk hal yang sama,

bahasa-bahasa menggunakan term-termnya sendiri. Sebagai contoh, untuk term ‘kursi’

bahasa Indonesia memakai kursi, bahasa Inggris chair, dan bahasa Belanda stuhl.

Suatu term sering kali mempunyai bermacam-macam arti. Jika dikelompokkan,

setidaknya ada tiga jenis makna term dan penggabungannya dalam kalimat, yakni makna

denotatif, makna kesan (sense), dan makna emotif. Makna denotatif merujuk kepada satu arti

yang tertera dalam kamus; sering disebut makna sesungguhnya, namun penentuan ‘makna

sesungguhnya’ ini dilakukan berdasarkan kesepakatan. Makna kesan (sense) ialah makna

term berdasarkan penggabungannya dengan kata lain; dalam hal ini term dapat memiliki

makna lain, misalnya penggunaan term hati pada kalimat “Saya sakit hati” berbeda dengan

“Semur hati itu enak sekali”. Makna emotif ialah makna term yang didasarkan pada perasaan

atau emosi, sikap--baik secara tersurat maupun secara tersirat. Term keras hati secara

denotatif memiliki makna yang sama dengan keras kepala, namun keras hati sering kali

diartikan sebagai ‘teguh’ atau ‘tahan godaan’, sedangkan keras kepala sering diartikan

sebagai ‘tidak mau mengalah’ atau ‘tidak mau mendengarkan orang lain’.

3.2 Definisi

Untuk menyamakan pengertian dan menghindari kesalahan penafsiran terhadap term

diperlukan definisi. Di samping itu, definisi juga diperlukan untuk dapat memahami sebuah

kalimat secara jelas dan sesuai dengan maksud yang ingin disampaikan. Definisi adalah

pernyataan yang menerangkan hakikat suatu hal. Definisi menjawab pertanyaan, “Apakah

50

itu?” Untuk dapat mendefinisikan suatu term kita harus tahu persis tentang hal yang

didefinisikan.

Kendala yang sering muncul dalam pembuatan definisi adalah keterbatasan

pengetahuan dan keterbatasan term. Keterbatasan pengetahuan sering menghasilkan definisi

yang terlalu luas. Keterbatasan term memungkinkan penggunaan term yang sama untuk

mewakili hal yang berbeda. Kedua kendala ini menyebabkan sulit dicapai definisi yang

100% menjelaskan hal yang hendak didefinisikan.

3.2.1 Penggolongan definisi

Menurut kesesuaiannya dengan hal atau kenyataan yang diwakilinya ada dua jenis

definisi, yakni definisi nominal (definisi sinonim) dan definisi real (definisi analitik). Definisi

nominal ialah definisi yang menerangkan makna kata seperti yang dimuat dalam kamus,

misalnya introspeksi berarti ‘menilai diri sendiri’, inspeksi ‘memeriksa’, dan kursi ‘tempat

duduk’. Definisi real adalah definisi yang menerangkan arti hal itu sendiri. Pembuatannya

menuntut dilakukannya analisis terhadap hal yang akan didefinisikan terlebih dahulu. Sebagai

contoh, sikap adalah ‘kecenderung memberikan tanggapan secara positif atau negatif

terhadap objek tertentu’ dan HP adalah ‘daya gerak yang ada dalam mesin yang dinyatakan

dengan daya gerak seekor kuda’.

Definisi real dibedakan atas dua, yakni definisi esensial dan definisi deskriptif. Definisi

esensial menerangkan inti (esensi) dari suatu hal dengan menyebutkan genus dan diferentia-

nya. Genus adalah kelompok besar atau kelas dari hal yang akan dijelaskan, sedangkan

diferentia adalah ciri khas yang hanya ada pada hal yang didefinisikan. Ciri khas inilah yang

membedakan suatu hal dengan hal lain dalam genus atau kelompok yang sama. Sebagai

contoh, dalam “Manusia adalah makhluk rasional”, makhluk adalah genusnya dan rasional

adalah diferentia spesifiknya. Definisi ini adalah definisi yang ideal dan mendekati

pengertian hal yang hendak didefinisikan.

Definisi deskriptif mengemukakan segi-segi yang positif tetapi belum tentu esensial

mengenai suatu hal. Definisi deskriptif dibedakan atas empat, yakni definisi distingtif,

definisi genetik, definisi kausal, dan definisi aksidental. Definisi distingtif menunjukkan

properti, misalnya “Oksigen adalah gas yang tak berwarna, tak berbau, tak mempunyai rasa,

1105 kali dari berat udara, dan mencair pada suhu di bawah -115 derajat C”. Definisi

genetik menyebutkan asal mula atau proses terjadinya suatu hal, misalnya “Air adalah zat

yang terjadi dari gabungan 2 atom Hidrogen dan 1 atom oksigen,” dan “Lingkaran adalah

bentuk geometris yang terdiri dari garis-garis lurus yang sama panjang yang terletak pada

51

bidang datar dan berawal dari satu titik pusat”. Definisi kausal menunjukkan penyebab atau

akibat dari sesuatu hal, misalnya “Lukisan adalah gambar yang dibuat oleh seorang

seniman”, dan “Arloji adalah alat penunjuk waktu”. Definisi aksidental tidak mengandung

hal-hal yang esensial dari suatu hal, misalnya “Dijual rumah. Luas tanah 170 m2. Bangunan

bertingkat dan pekarangan tertata rapi. Lokasi: Jln. Macan No. 30 Jakarta Pusat.

Dilengkapi telepon dan AC. Lingkungan nyaman, aman, dan tentram”.

Definisi real jarang dapat tercapai sepenuhnya karena sering kali ada karakteristik yang

tak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Kadang-kadang perumusannya terkendala karena

kurangnya pengetahuan si pembuat definisi. Ada term yang tidak dapat didefinisikan karena

berhubungan langsung dengan indera, misalnya manis, pahit, dan sakit. Ada juga term yang

sulit didefinisikan karena sangat umum, misalnya ada (hanya dapat didefinisikan dengan

cara membandingkannya dengan tidak ada yang merupakan term di luar term yang

didefinisikan). Contoh lain ialah satu, benda, dan hal.

Di samping definisi yang telah diuraikan di atas, ada juga definisi yang dibuat dengan

menggunakan contoh, misalnya “Minuman yang sehat itu, di antaranya ialah air dan hasil

perasan buah segar”. Pernyataan seperti ini sebenarnya kurang memadai sebagai definisi

karena tidak mencakup keseluruhan ide yang terkandung dalam term atau hal yang

didefinisikan.

3.2.2 Aturan membuat definisi

Pembuatan definisi yang memadai untuk digunakan dalam pemikiran logis harus

mengikuti aturan-aturan berikut ini. Pertama, definisi harus lebih jelas dari yang

didefinisikan; jika tidak, maka definisi akan kehilangan fungsinya. Untuk itu harus

diperhatikan catatan-catatan berikut ini. Term-term yang muluk seperti contoh berikut,

“Manusia adalah alam semesta yang mengejawantah” dan “Kewibawaan adalah pancaran

nurani dan kedigjayaan manusia” harus dihindari. Demikian pula term-term yang sulit

dimengerti (tidak lazim), misalnya definisi pemimpin berikut ini yang diberikan kepada orang

yang bukan penutur bahasa Jawa, “Pemimpin adalah orang yang bersifat ing ngarso sung

tulodo, ing madyo mbangun karso, tut wuri handayani”.

Kedua, definisi tidak boleh mengandung ide atau term dari yang didefinisikan seperti

pada contoh “Binatang adalah hewan yang mempunyai indera” dan “Emosi adalah gejolak

perasaan”. Definisi semacam ini disebut definisi sirkular (circular definition).

Ketiga, definisi dan yang didefinisikan harus dapat dibolak-balik dengan pas, misalnya

“Buku adalah sejumlah kertas yang terjilid”. Kalau dibalik, “Sejumlah kertas yang terjilid

52

adalah buku”. Contoh yang salah ialah “Kecap adalah penyedap masakan”. Jika urutannya

dibalik menjadi, “Penyedap masakan adalah kecap” maka pernyataan itu menjadi salah

karena penyedap makanan belum tentu kecap.

Keempat, definisi harus dinyatakan dalam kalimat positif. Kalimat ingkar atau negatif

seperti “Gembira adalah keadaan tidak sedih” atau “Manusia bukan binatang” tidak

memenuhi syarat definisi.

Dalam tulisan jenis sastra ada kekecualian dalam pembuatan definisi karena

pendefinisian di situ umumnya bukan dalam rangka menjelaskan hal tertentu secara harafiah,

melainkan untuk memberi kesan tertentu. Sastra juga memakai teknik gaya bahasa yang tidak

harus mengikuti tata cara pembuatan definisi tersebut di atas. Tulisan-tulisan retorika yang

mementingkan makna sense dan pengaruh tulisan terhadap pembaca atau pendengar juga

tidak harus mengikuti tata cara pembuatan definisi itu.

3.3 Divisi

Selain dapat dijelaskan apa artinya, term juga dapat diuraikan dengan kriteria tertentu

menjadi bagian-bagian. Penguraian term itu biasa disebut divisi. Divisi adalah uraian suatu

keseluruhan ke dalam bagian-bagian berdasarkan satu kesamaan karakteristik tertentu.

Pembagian dalam bentuk divisi merupakan upaya lain untuk menjelaskan term. Ada beberapa

jenis divisi, yakni divisi real (atau aktual) dan divisi logis.

3.3.1 Divisi real atau aktual

Penguraian dengan divisi real atau aktual dilakukan berdasarkan bagian-bagian yang

ada pada objek itu sendiri—baik fisik maupun metafisik—terlepas dari aktivitas mental

manusia. Divisi berdasarkan bagian fisik dilakukan berdasarkan faktor-faktor fisik yang dapat

dipisahkan, satu dari yang lain. Bagian itu dapat berupa bagian yang esensial atau bagian

yang integral. Bagian-bagian yang essensial ialah bagian-bagian yang harus lengkap. Jika

salah satu di antaranya hilang maka hilang pula eksistensi keseluruhannya, misalnya

“Manusia terdiri dari badan dan jiwa”, “air terdiri dari oksigen dan hidrogen”, “garam

dapur terdiri dari sodium dan klorin”, dan “mobil terdiri dari mesin dan ‘tubuh’”. Bagian-

bagian yang integral ialah bagian-bagian yang tidak harus lengkap. Jika salah satu

anggotanya hilang, hal itu tidak mlenyapkan eksistensi atau esensi halnya. Bagian yang

integral terbagi atas dua, yakni yang homogen dan yang heterogen. Bagian-bagian yang

homogen ialah segolongan unsur yang menjadi bagian dari sesuatu hal, misalnya “Air terdiri

dari titik-titik”, “Api terdiri dari percikan-percikan”, dan “Pasir terdiri dari butir-butir”.

53

Sementara itu, bagian-bagian yang heterogen ialah bagian-bagian—yang tidak segolongan—

dari sesuatu hal, misalnya “Manusia terdiri dari kaki, tangan, dan mata”, dan “Masyarakat

terdiri dari golongan kaya dan miskin”.

Divisi berdasarkan bagian metafisik dilakukan berdasarkan bagian-bagian yang

merupakan esensi dari sesuatu hal yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain karena dalam

kenyataannya bagian-bagian itu merupakan ketunggalan, misalnya “Manusia terdiri dari

rasio, indera, nyawa, dan tubuh”. Bagian-bagian ini tidak terpisahkan. Dalam pembuatan

divisi real sebaiknya dilakukan observasi, analisis, dan abstraksi terhadap hal yang akan

diuraikan. Observasi, analisis, dan abstraksi ini diperlukan untuk memahami hal yang akan

diuraikan sehingga penguraiannya tidak bertentangan dengan kenyataan dari hal itu.

3.3.2 Divisi Logis

Dalam divisi logis mental manusialah yang membagi keseluruhan hal menjadi bagian-

bagian. Kita menambahkan unsur-unsur tertentu kepada suatu hal untuk menjadikannya kelas

atau sub-kelas, misalnya “Hal”, “Hal yang hidup”, “Hal hidup yang berindera (= hewan)”,

“Hal hidup yang berindera dan berakal (= manusia)”. Kegiatan menambahkan elemen-

elemen ini, yang merupakan kegiatan dari divisi logis, disebut sintesis.

3.3.3 Aturan Pembuatan Divisi

Divisi harus dibuat memadai; artinya, jumlah semua bagian harus sama dengan keseluruhan.

Ada sejumlah aturan yang harus diikuti dalam pembuatan divisi.

1) Tidak boleh ada bagian yang terlewati.

2) Bagian tidak boleh melebihi keseluruhan.

3) Tidak boleh ada bagian yang meliputi bagian yang lain.

4) Divisi harus jelas dan teratur.

5) Jumlah bagian harus terbatas; kalau kebanyakan akan kacau. Jika diperlukan, dibuat sub-

bagian.

Berikut adalah contoh divisi yang salah, “Pengguna terminal terdiri dari pengendara

kendaraan bermotor, supir kendaraan umum, pengendara kendaraan tak bermotor,

mahasiswa/pelajar, pedagang kaki lima, ibu rumah tangga, pejalan kaki, penumpang

kendaraan umum, dan karyawan.” Pembagian divisi ini salah karena hal-hal berikut ini.

Pertama, ada bagian yang terlewati (petugas terminal juga menggunakan terminal sebagai

tempat kerjanya). Kedua, ada bagian yang meliputi bagian yang lain (mahasiswa bisa saja

sekaligus pengendara kendaraan bermotor atau tak bermotor; penumpang kendaraan umum

54

bisa saja sekaligus mahasiswa/pelajar, ibu rumah tangga, dan karyawan). Ketiga, dasar

pembagiannya tidak jelas (apakah berdasarkan jenis pekerjaan, lama atau sebentarnya di

jalan, atau penggunaan kendaraan?). Keempat, jumlah bagian terlalu banyak.

4. Kalimat, Pernyataan, dan Proposisi2

4.1. Pengertian Kalimat, Pernyataan, dan Proposisi

Perhatikanlah kalimat-kalimat berikut. (1) “Hari ini cuaca cerah.” (2) “Apakah kamu

sudah sarapan tadi pagi?” (3) “Jawab pertanyaan saya.” Kalimat-kalimat itu merupakan tiga

kalimat yang berbeda. Kalimat (1) adalah kalimat berita, yaitu kalimat yang memberitakan

hal tertentu. Kalimat (2) adalah kalimat tanya; isinya merupakan pertanyaan tentang hal

tertentu. Kalimat (3) adalah kalimat perintah yang isinya menyerukan atau memerintahkan

orang untuk melakukan hal tertentu. Dalam kehidupan sehari-hari, untuk berkomunikasi kita

menggunakan kalimat, baik kalimat berita, kalimat perintah, maupun kalimat tanya. Secara

umum, kalimat didefinisikan sebagai: serangkaian kata yang disusun berdasarkan aturan-

aturan tata bahasa dalam suatu bahasa, dan dapat digunakan untuk tujuan menyatakan,

menanyakan, atau memerintahkan sesuatu hal.

Benar atau salahnya struktur suatu kalimat ditentukan berdasarkan kaidah atau aturan

tata bahasa suatu bahasa. Penilaian terhadap kalimat terutama dalam hal apakah susunan atau

bangunan kata yang membentuk kalimat tepat atau tidak. Secara umum, struktur kalimat

berita terdiri dari subjek-predikat-objek, misalnya, “Saya memakai baju”. Dalam kalimat itu,

saya adalah subjek, memakai predikat, dan baju objek. Kalimat tanya umumnya dibuat

dengan menggunakan kata yang dilengkapi dengan bentuk akhir -kah, seperti apakah,

adakah, sudahkah, pernahkah, dan maukah. Bisa juga kalimat tanya hanya terdiri dari satu

kata, seperti “Mau?” atau “Ada?” Dalam bahasa lisan kalimat tanya ditandai dengan intonasi

tertentu; dalam bahasa tulis ditandai dengan tanda tanya [?]. Kalimat perintah umumnya

dimulai dengan kata kerja, seperti “Pergi kau!”, atau dengan kata larangan seperti “Jangan

datang lagi.” Kalimat perintah bisa saja hanya terdiri dari satu kata. Dalam bahasa lisan,

kalimat perintah dengan satu kata ditandai dengan intonasi yang menunjukkan ketegasan,

sedang dalam bahasa tulisan kalimat ini diakhiri dengan tanda titik [.] dan kadang-kadang

dengan tanda seru [!].

2 Sebagian dari pasal yang membahas kalimat, pernyataan, dan proposisi ini disadur dari buku A. K.Bierman dan R. N. Assali, The Critical Thinking Handbook (New Jersey, 1994). Penyaduran itu dilakukan dengan bantuan dari Judithia A. Wirawan.

55

Salah satu jenis kalimat adalah pernyataan (bahasa Inggris statement) yang dalam

praktiknya sama dengan kalimat berita. Tetapi, pernyataan memiliki pengertian yang lebih

khusus. Pernyataan adalah kalimat yang digunakan untuk membuat suatu klaim atau

menyampaikan sesuatu yang bisa benar atau salah.

Kalimat yang berupa pertanyaan atau perintah berbeda dari pernyataan karena

pertanyaan dan perintah tidak bisa benar dan sekaligus salah. Pernyataan memiliki nilai

kebenaran (truth value). Artinya, suatu pernyataan bisa dinilai benar atau salah, misalnya

pernyataan “Hari ini hujan turun” benar jika sesuai dengan kenyataan bahwa hari ini

memang hujan. Tetapi jika kenyataan menunjukkan bahwa hari ini tidak hujan, maka

pernyataan itu salah. Suatu pernyataan tidak bisa benar dan salah sekaligus. Jika ada

pernyataan yang mengandung benar dan salah sekaligus, maka itu adalah paradoks yang

merupakan satu bentuk kesalahan dalam berpikir.

Dalam literatur logika dan ilmu pengetahuan, kita juga menemukan term proposisi

(dari kata bahasa Inggris proposition). Proposisi ialah makna yang diungkapkan melalui

pernyataan, atau dengan kata lain arti atau interpretasi dari suatu pernyataan. Sebagai analogi,

jika kata mengungkapkan konsep atau ide (konsep/ide = makna kata), maka pernyataan

mengungkapkan proposisi (proposisi = makna pernyataan). Proposisi juga dapat dipahami

sebagai makna dari kalimat berita, mengingat bahwa pernyataan merupakan kalimat berita

yang dapat dinilai benar atau salah.

Berikut ialah tiga hal yang menjadi konsekuensi dari definisi kalimat, pernyataan dan

proposisi tersebut. Pertama, kalimat yang tidak bermakna atau tidak koheren tidak

mengungkapkan proposisi apa pun. Misalnya, deretan kata penerangan tapi kecepatan

membaca tidak mengungkapkan proposisi apa pun karena penerangan dan kecepatan

membaca di sini tidak mempunyai hubungan yang jelas dan penggunaan kata tapi di sini

tidak tepat. Kedua, pernyataan atau kalimat yang berbeda dapat mengungkapkan proposisi

yang sama, misalnya, “Rina adalah adik Yanto” merupakan proposisi yang sama dengan

“Yanto adalah kakak Rina.” Ketiga, kalimat atau pernyataan yang sama dapat

mengungkapkan proposisi yang berbeda, misalnya, “Masyarakat Jakarta adalah masyarakat

yang majemuk” dapat mengungkapkan proposisi yang berbeda-beda, antara lain “Masyarakat

Jakarta terdiri dari banyak etnis” atau “Masyarakat Jakarta terdiri dari banyak agama” dan

“Masyarakat Jakarta merupakan keturunan dari perpaduan suku tertentu.” Lalu, bagaimana

kita dapat mengetahui apa proposisi yang ingin diungkapkan suatu kalimat atau pernyataan?

Kita dapat memastikannya melalui pencermatan terhadap informasi non-bahasa atau konteks

atau dengan menggunakan kalimat lain yang lebih jelas dan khusus.

56

Kalimat atau pernyataan yang boleh ditafsirkan lebih dari satu makna (multi-tafsir)

dapat menyebabkan kita salah dalam memahami dan menanggapinya. Jika kita menggunakan

hasil pemaknaan itu dalam pembuatan keputusan, maka kita pun bisa salah membuat

keputusan dan menanggung kerugian akibat kesalahan itu. Oleh karena itu, perlu dihindari

penggunaan kalimat atau pernyataan yang multi-tafsir dengan membuat pernyataan yang

baik, yang jelas maknanya. Untuk membuat suatu pernyataan yang baik, perlu dilakukan hal-

hal berikut. Pertama, membangun suatu kalimat yang mengungkapkan suatu proposisi.

Kedua, mengusahakan supaya proposisi yang ingin diungkapkan menjadi jelas. Akhirnya,

membuat pernyataan mengenai nilai kebenaran kalimat itu.

Biasanya langkah-langkah itu tidak disadari ketika seseorang menyusun suatu

pernyataan. Oleh karena itu orang perlu berlatih membuat pernyataan yang baik agar terbiasa.

Tanpa latihan, orang cenderung membuat kalimat yang multi-tafsir atau tidak jelas

maknanya. Bahkan orang bisa saja membuat kalimat atau pernyataan yang tidak koheren

sehingga sama sekali tidak dapat dimaknai.

Kesalahan yang mungkin terjadi dalam pembuatan kalimat atau pernyataan adalah

yang berikut. 1) Kalimatnya tidak koheren sehingga tidak dapat dimaknai oleh pendengar

atau pembaca. 2) Kalimatnya sudah koheren tetapi proposisi apa yang dimaksudkan tidak

jelas sehingga dapat menyebabkan salah tafsir. 3) Tidak menunjukkan dengan jelas bahwa

kita sedang menyatakan nilai kebenaran dari kalimat kita (dan bukannya sedang bertanya,

mencoba sound system, berspekulasi, atau berlatih drama). Dalam bahasa lisan, kesalahan ini

seringkali disebabkan oleh salah intonasi. Dalam bahasa tulis, hal ini seringkali timbul karena

kesalahan penggunaan tanda baca.

4.2 Pernyataan Sederhana dan Pernyataan Kompleks

Secara umum, berdasarkan proposisi yang dikandung, ada dua jenis pernyataan, yaitu

pernyataan sederhana dan pernyataan kompleks. Pernyataan sederhana adalah pernyataan

yang hanya mengandung satu proposisi, misalnya, “Anak itu menangis”. Pernyataan

kompleks adalah pernyaataan yang mengandung lebih dari satu proposisi, misalnya, “Selain

gemar membaca buku, Adi juga senang menulis cerita pendek”. Pernyataan ini mengandung

dua proposisi, yaitu “Adi gemar membaca buku” dan “Adi senang menulis cerita pendek”.

Proposisi yang dikandung oleh suatu pernyataan juga disebut komponen logika dari

pernyataan. Komponen logika adalah komponen yang turut menentukan benar atau salahnya

suatu pernyataan. Oleh karena sebuah pernyataan ditentukan benar-salahnya berdasarkan

57

makna yang diungkapkannya atau proposisinya, maka komponen logika suatu pernyataan

dapat dipahami dari proposisi pernyataan itu.

Tidak semua kalimat kompleks (kalimat yang mengandung lebih dari satu komponen)

merupakan pernyataan kompleks, karena komponen itu belum tentu merupakan komponen

logika. Sebagai contoh, “Saya harap kamu belajar giat” memang merupakan kalimat

kompleks tetapi termasuk jenis pernyataan sederhana karena hanya mengandung satu

proposisi atau satu komponen logika. Yang menentukan benar atau tidaknya pernyataan itu

adalah “saya harap”. Jika kenyataannya saya berharap kamu belajar giat maka pernyataan

itu benar. Tetapi jika kenyataannya saya tidak berharap kamu belajar giat maka pernyataan

itu salah.

Perhatikan kalimat-kalimat berikut ini.

(1) Tidak benar bahwa anak itu nakal. (2) Rani pikir anak itu nakal.

Pernyataan yang dikandung dalam kalimat (1) adalah ‘[Hal] itu (anak itu nakal) tidak

benar’ dan “Anak itu nakal”. Dalam pernyataan pertama, anak itu nakal merupakan

komponen logika karena benar atau salahnya komponen itu turut menentukan benar atau

salahnya pernyataan itu: jika kenyataannya benar bahwa anak itu nakal, maka pernyataan itu

adalah salah, sedangkan jika kenyataannya tidak benar bahwa anak itu nakal, maka

pernyataan itu adalah benar. Kalimat ini mengandung dua proposisi.

Pernyataan yang terkandung dalam kalimat (2) adalah ‘Rani pikir [x]’ dan ‘Anak itu

nakal.’ Dalam pernyataan itu, anak itu nakal bukan komponen logika karena benar atau

salahnya hal itu tidak menentukan benar atau salahnya pernyataan: apakah kenyataan anak

itu nakal atau tidak nakal, tidak menentukan apakah benar bahwa Rani berpikir anak itu

nakal. Nilai kebenaran pernyataan kedua ada pada: apakah benar bahwa Rani pikir anak itu

nakal, ataukah Rani tidak berpikir bahwa anak itu nakal. Kalimat ini hanya mengandung satu

proposisi. Demikianlah anak itu nakal merupakan komponen logika dalam kalimat (1), tetapi

bukan komponen logika dalam kalimat (2). Jadi, kalimat (1) merupakan pernyataan

kompleks, sedangkan kalimat (2) merupakan pernyataan sederhana.

Biasanya, komponen yang mengikuti kata-kata yang menunjukkan sikap atau

pendapat pribadi, seperti pikir, harap, kira, dan percaya bukan merupakan komponen logika.

Dalam percakapan sehari-hari, komponen-komponen dalam pernyataan kompleks sering kali

tidak diungkapkan secara lengkap, seperti diperlihatkan oleh contoh-contoh berikut.

(1) Kalau kamu tidak mau pergi, tidak usah. (Lengkapnya: Kalau kamu tidak mau pergi, kamu tidak usah pergi.)

58

(2) Mengingat kamu punya kehendak sendiri, kamu boleh memilih untuk ikut atau tidak. (Lengkapnya: Kamu punya kehendak sendiri, jadi kamu boleh memilih untuk ikut atau kamu boleh memilih untuk tidak ikut.)

(3) Kuda tidak satu spesies dengan keledai. (Lengkapnya: Tidak benar bahwa kuda satu spesies dengan keledai.)

4.3 Jenis-jenis Pernyataan Kompleks

Hubungan di antara proposisi atau pernyataan sederhana dalam pernyataan kompleks

ditunjukkan oleh penggunaan kata penghubung seperti tidak, dan, atau, jika, dan maka. Kata-

kata yang menghubungkan pernyataan-pernyataan sederhana—sehingga terbentuk satu

pernyataan kompleks—dan menjelaskan hubungan-hubungan yang terdapat di antara

pernyataan-pernyataan sederhana itu disebut kata penghubung logis atau kata penghubung

kalimat. Kata penghubung itu digunakan untuk membangun struktur logika dari pernyataan

kompleks.

Berdasarkan hubungan di antara proposisi-proposisi yang terkandung dalam

pernyataan kompleks, ada empat jenis pernyataan kompleks, yaitu:

1) Negasi (bukan P)

2) Konjungsi (P dan Q), dan

3) Disjungsi (P atau Q)

4) Kondisional (Jika P maka Q)

Secara umum struktur logika terdiri atas empat jenis seperti yang sudah disebutkan di atas.

Dalam praktiknya, tidak mudah menemukan struktur logika suatu pernyataan atau

suatu argumen. Hal itu dapat terjadi karena 1) ada lebih dari satu cara untuk mengungkapkan

keempat jenis pernyataan kompleks tersebut di atas, dan 2) struktur logika suatu pernyataan

sering kali tersembunyi. Untuk dapat menemukan struktur logika dari pernyataan-pernyataan,

kita perlu mempelajari struktur logika dari keempat pernyataan kompleks itu.

4.3.1 Negasi

Negasi dari suatu pernyataan sederhana adalah pengingkaran atas pernyataan itu. Jika

A adalah suatu pernyataan, negasinya adalah “Tidak benar bahwa A”. Ini disingkat menjadi

“Bukan-A” atau “Bukan (A).” Suatu pernyataan dan negasinya tidak mungkin benar kedua-

duanya, atau salah kedua-duanya. Benar atau salahnya (nilai kebenaran) suatu negasi

tergantung pada nilai kebenaran komponen logikanya. Karena itu, negasi termasuk

pernyataan kompleks, bukan pernyataan sederhana.

59

Dalam percakapan sehari-hari, kita jarang menyatakan negasi dalam kalimat, “Tidak

benar bahwa…” melainkan kita cukup menyingkatnya dengan kata tidak, misalnya:

(1) Orang jujur tidak bisa berbohong. (‘Tidak benar bahwa orang jujur bisa berbohong’.)

(2) Kamu tidak pernah mengajak saya makan-makan. (‘Tidak benar bahwa kamu mengajak

saya makan-makan’.)

Perhatikan bahwa penafsiran dari contoh (2) sebenarnya agak kurang tepat. Untuk

menafsirkan “Kamu tidak pernah mengajak saya jalan-jalan” diperlukan teknik logika lebih

lanjut, yang akan dijelaskan kemudian.

Kata-kata yang maknanya berlawanan (antonim) tidak berarti bahwa kata-kata saling

menegasikan. Misalnya, “Brian membenci Ratih,” bukan negasi dari “Brian mencintai

Ratih.” Negasi dari “Brian membenci Ratih” adalah “Brian tidak membenci Ratih”. Bisa saja

terjadi bahwa Brian tidak mencintai Ratih tetapi juga tidak membenci Ratih. Umpamanya,

jika Brian tidak mengenal Ratih sama sekali, atau Brian dan Ratih berteman, maka mereka

tidak saling mencintai dan juga tidak saling membenci. Dengan kata lain, “Brian membenci

Ratih” menunjukkan bahwa Brian mempunyai sikap negatif terhadap Ratih. Sementara itu,

“Brian tidak mencintai Ratih” hanya menunjukkan bahwa Brian tidak mempunyai afeksi

positif terhadap Ratih, namun itu tidak harus berarti Brian membenci Ratih. “Brian membenci

Ratih” merupakan suatu pernyataan sederhana.

Negatif ganda pada umumnya membentuk pernyataan positif seperti pada contoh-

contoh berikut.

(1) Pikiran manusia tidak tak terbatas. (Pikiran manusia terbatas.)

(2) Jangan sekali-sekali tidak membayar pajak. (Bayarlah pajak.)

4.3.2 Konjungsi

Suatu pernyataan kompleks yang komponen logikanya dihubungkan dengan kata dan

disebut konjungsi atau kalimat konjungtif. Jika P dan Q adalah pernyataan yang merupakan

komponen, bentuk standar dari konjungsi adalah P dan Q. Komponen-komponennya

(masing-masing P dan Q) disebut konjung. Sebagai contoh, pernyataan kompleks “Indonesia

dan Malaysia berasaskan demokrasi” terbentuk dari dua pernyataan sederhana, masing-

masing “Indonesia berasaskan demokrasi” dan “Malaysia berasaskan demokrasi”.

Jumlah konjung dalam suatu kalimat konjungsi tidak harus dua, tapi bisa juga lebih,

misalnya, “Indonesia, Malaysia dan Australia berasaskan demokrasi”. Pernyataan kompleks

ini terdiri dari tiga pernyataan sederhana, yaitu “Indonesia berasaskan demokrasi”,

“Malaysia berasaskan demokrasi”, dan “Australia berasaskan demokrasi”.

60

Suatu konjungsi benar bila semua konjungnya benar, dan salah jika salah satu

konjungnya salah. Sebagai contoh, pernyataan “Indonesia dan Malaysia berasaskan

demokrasi” benar jika dalam kenyataannya memang “Indonesia berasaskan demokrasi” dan

“Malaysia berasaskan demokrasi”. Jika semua salah atau salah satu pun konjungnya salah,

maka konjungsi salah. Pernyataan “Manusia dan burung adalah makhluk rasional” salah

karena pernyataan “Burung adalah makhluk rasional” salah.

Ada kata lain di samping dan yang fungsinya kurang lebih sama. Perhatikanlah

contoh-contoh berikut.

(1) Saya mau nasi dan daging, tetapi sayur tidak. (Saya mau nasi, dan saya mau daging, tapi

saya tidak mau sayur.)

(2) Walaupun miskin, dia bahagia. (Dia miskin dan dia bahagia.)

(3) Anto datang ke rapat itu, begitu pula Yana. (Anto datang ke rapat itu dan Yana datang ke

rapat itu.)

(4) Kami berhasil; namun demikian, kami menyadari kekurangan kami. (Kami berhasil, dan

kami menyadari kekurangan kami.)

Penggunaan tapi, walaupun, dan lain-lain itu mengandung arti lebih dari sekadar dan.

Tetapi, secara logis, nilai kebenaran “Dia miskin dan dia bahagia” sama dengan nilai

kebenaran “Walaupun dia miskin, dia bahagia”. Artinya, jika “Dia miskin dan dia bahagia”

benar, maka “Walaupun dia miskin, dia bahagia” juga benar. Sebaliknya, jika “Dia miskin

dan dia bahagia” salah, maka “Walaupun dia miskin, dia bahagia” juga salah.

Penggunaan kata dan kadang-kadang taksa atau ambigu (ambiguous). Contohnya,

“Joko dan Patmo memenangkan perlombaan maraton.” Pernyataan ini dapat

diinterpretasikan menjadi:

1) Joko memenangkan perlombaan maraton dan Patmo memenangkan perlombaan maraton

(konjungsi), atau

2) Pasangan Joko dan Patmo memenangkan perlombaan maraton (pernyataan sederhana).

Untuk mengetahui interpretasi mana yang benar, digunakan konteks atau informasi lain

yang tersedia. Jika kita yang menyampaikan pernyataan itu, sebaiknya kita menggunakan

pernyataan yang lebih lengkap dan jelas. Meskipun ada konteks, kemungkinan salah tafsir

tetap besar. Oleh sebab itu, penggunaan pernyataan yang taksa atau bertafsir ganda harus

dihindari.

Menurut logika, urutan konjungsi boleh dibolak-balik tanpa mempengaruhi nilai

kebenarannya, misalnya “Saya ingin makan nasi dan minum teh” dapat dibalik menjadi

“Saya ingin minum teh dan makan nasi.” Kedua pernyataan ini sama saja arti dan nilai

61

kebenarannya. Namun, dalam kasus-kasus tertentu, urutannya tidak dapat dibalik. Sebagai

contoh, pernyataan “Made meninggal dunia dan dibakar” berbeda maknanya dengan “Made

dibakar dan meninggal dunia” karena urutannya berbeda.

4.3.3 Disjungsi

Pernyataan kompleks yang komponen logikanya dihubungkan dengan kata atau

disebut disjungsi atau pernyataan disjungtif. Jika P dan Q adalah pernyataan yang merupakan

komponen pernyataan kompleks, bentuk standar dari disjungsi adalah P atau Q, misalnya

“Joko atau Padmo yang memenangkan pertandingan bulu tangkis”. Komponen-

komponennya (masing-masing P dan Q) disebut disjung. Jumlah disjung dalam suatu

disjungsi tidak harus dua, tetapi bisa juga lebih, misalnya, “Joko atau Padmo atau Riski yang

memenangkan pertandingan bulu tangkis”. Urutan disjung dalam suatu disjungsi tidak

mempengaruhi nilai kebenarannya. A atau B secara logis ekuivalen dengan B atau A.

Umpamanya, “Joko atau Padmo yang memenangkan pertandingan bulu tangkis” sama

maknanya dengan “Padmo atau Joko yang memenangkan pertandingan bulu tangkis”.

Suatu disjungsi benar bila paling sedikit salah satu disjungnya benar, dan salah jika

semua disjungnya salah. Jadi, A atau B benar jika A benar, B benar, atau A dan B benar.

Sedangkan A atau B salah jika A dan B salah. Disjungsi “Joko atau Padmo yang

memenangkan pertandingan bulu tangkis” benar jika salah satu konjungnya benar, misalnya

“Joko yang memenangkan pertandingan bulu tangkis.” Disjungsi “Joko atau Padmo yang

memenangkan pertandingan bulu tangkis” salah jika baik pernyataan “Joko yang

memenangkan pertandingan bulu tangkis” maupun “Padmo yang memenangkan

pertandingan bulu tangkis” salah. Penggunaan kata atau seperti ini disebut atau-inklusif.

Dalam percakapan sehari-hari, kadang-kadang kata atau digunakan sebagai atau-

eksklusif, yang berarti bahwa hanya salah satu dari disjungnya yang benar, misalnya “Anto

ada di Jakarta atau di Bandung” (tidak mungkin kedua disjungnya benar). Dalam teori-teori

logika, yang dipakai adalah atau-inklusif. Jika dalam teori logika, kita ingin mengungkapkan

suatu hubungan atau -eksklusif, maka struktur logikanya menjadi A atau B dan bukan (A

dan B), misalnya “Anto ada di Jakarta atau dia ada di Bandung dan tidak benar bahwa dia

ada di Jakarta sekaligus dia ada di Bandung”.

Perhatikan penulisan struktur logika, jika kita menggunakan bentuk negasi tanpa

tanda kurung, maka hasilnya menjadi ambigu seperti ini: A atau B dan bukan -A dan B.

62

4.3.4 Kondisional

Pernyataan kompleks yang komponen logikanya dihubungkan dengan jika…, maka…

disebut pernyataan kondisional atau hipotetisis. Jika P dan Q adalah pernyataan yang

merupakan komponen, bentuk standar dari konjungsi adalah Jika P maka Q. Pernyataan

dalam anak kalimat yang mengandung kata jika disebut anteseden, dan pernyataan dalam

anak kalimat yang mengandung kata maka disebut konsekuen.

Nilai kebenaran suatu pernyataan kondisional agak rumit penentuannya. Hal ini

menyebabkan timbulnya pandangan yang berbeda-beda. Salah satu di antaranya (yang dianut

oleh para ahli logika formal) ialah pandangan kondisional material, yang menyatakan bahwa

suatu pernyataan kondisional dianggap salah hanya jika antesedennya benar dan

konsekuennya salah. Perhatikan pernyataan hari hujan dan tanah basah yang masing-masing

benar. Menurut syarat kondisional material, hal itu berarti bahwa jika hari hujan maka tanah

basah adalah benar, semrntara jika hari hujan maka tanah kering salah; jika hari cerah, maka

tanah basah adalah benar, dan jika hari cerah maka tanah kering benar. Nilai kebenaran

kondisional material tidak tergantung pada hubungan antara komponen-komponennya karena

kondisional material tidak melihat isi dari pernyataan yang menjadi komponennya.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita menggunakan pernyataan kondisional untuk

menggambarkan hubungan antara komponen-komponennya, misalnya jika Maulana minum

alkohol 1 liter, maka ia akan mabuk untuk menunjukkan hubungan kausal; jika binatang itu

termasuk mamalia, maka dia pasti menyusui untuk menunjukkan hubungan konseptual; dan

jika seseorang termasuk mahasiswa, maka dia pasti terdaftar secara resmi sebagai orang

yang belajar di perguruan tinggi untuk menunjukkan hubungan definisional. Kebenaran

pernyataan-pernyataan itu tergantung pada hubungan antara anteseden dengan konsekuennya

juga. Tetapi dari sudut pandang logika murni, maka yang dianut adalah kondisional material.

Secara logika, jika A, maka B ekuivalen dengan jika tidak B, maka tidak A. Kedua bentuk ini

disebut kontrapositif.

Pernyataan kondisional yang mempunyai anteseden yang salah disebut kondisional

yang berlawanan dengan kenyataan. Dari sudut pandang kondisional material, nilai

kebenaran kondisional seperti ini adalah benar.

Dalam kehidupan sehari-hari, tidak jarang orang menggunakan bentuk kondisional

bukan untuk menggambarkan hubungan kondisional, misalnya jika saya jadi kamu, saya

akan minta melamar (kamu sebaiknya melamar); di gudang ada payung, kalau kamu mau

(kamu boleh ambil payung di gudang); kalau laki-laki itu kamu bilang ganteng, maka saya

adalah Arjuna (laki-laki itu tidak ganteng). Untuk membedakan mana pernyataan kondisional

63

yang sesungguhnya dan mana yang bukan, digunakan akal sehat dan ingatan tentang

kenyataan-kenyataan yang dirujuk dalam pernyataan.

Ada banyak cara untuk mengungkapkan pernyataan kondisional, yang semuanya

dapat dikembalikan ke bentuk standar Jika A, maka B. Kadang-kadang jika suatu bentuk

kondisional yang tidak standar diterjemahkan ke bentuk standar, maka artinya berubah,

misalnya “Saya senang hanya jika saya berhasil menjadi juara 1”. Jika diubah ke bentuk

standar menjadi “Jika saya senang, maka saya berhasil menjadi juara 1”, maka artinya pun

berubah jika kita menerjemahkan ‘Kesenangan saya menyebabkan saya menang’ke dalam

bentuk kontrapositifnya menjadi “Jika saya tidak menang, maka saya tidak senang” maka

artinya menjadi lebih masuk akal. Oleh sebab itu, dalam mengubah suatu bentuk kondisional

menjadi bentuk standarnya, kita harus melihat apakah bentuk standar ataukah bentuk

kontrapositifnya yang lebih dapat “menangkap” arti sesungguhnya dari pernyataan asalnya.

(Periksa Tabel 2.1.)

Tabel 2.1: Pernyataan Kondisional dan Bentuk Standarnya

Pernyataan Kondisional Bentuk Standar

Hanya manusia yang dapat menggunakan simbol.

Jika suatu makhluk menggunakan simbol, maka makhluk itu adalah manusia.

Jika MS, maka M. Di mana ada api, di situ ada oksigen. Jika ada api, maka ada oksigen.

Jika A, maka O. Saya tidak mau pergi kecuali dibiayai. Jika saya tidak dibiayai, saya tidak mau

pergi. Jika tidak D, tidak P.

Kamu boleh menyetir mobil hanya jika kamu sudah punya SIM A.

Jika kamu belum punya SIM A, kamu tidak boleh menyetir mobil.

Jika tidak SA, tidak MM. Tidak mungkin kamu datang ke rapat itu

tapi tidak melihat aku. Jika kamu pergi ke rapat itu, maka kamu

melihat aku. Jika R, maka M.

Syarat untuk hidup sejahtera adalah sehat. Jika tidak sehat, maka tidak bisa hidup sejahtera.

Jika tidak S, maka tidak S.

Pengenalan terhadap kontrapositif dari suatu pernyataan akan berguna pada saat kita

berusaha mengenal struktur logika dari suatu pernyataan atau argumen yang rumit. Ada

aturan informal yang mengatakan bahwa kita boleh mengganti kata kecuali dengan jika tidak.

64

Namun karena mengandung negasi, maka kalimat yang baru bisa jadi sangat rumit. Sebagai

contoh, jika kalimat “Dodo tidak akan mengaku kecuali tidak ada sanksi atas perbuatannya”

kita ubah sesuai dengan aturan informal itu, maka kita akan memperoleh “Dodo tidak akan

mengaku jika tidak ada sanksi atas perbuatannya”. Kemudian, kalimat yang baru itu dibalik

susunannya menjadi bentuk standar, “Jika tidak tidak ada sanksi atas perbuatannya, Dodo

tidak akan mengaku”, sehingga kita memperoleh dua bentuk negasi (tidak [ada...] dan tidak

[akan ...]). Jika kedua negasi itu diubah menjadi positif, maka pernyataan itu menjadi “Jika

ada sanksi atas perbuatannya, Dodo tidak akan mengaku”. Demikian pula, jika kita mau,

kita dapat mengubahnya menjadi kontrapositifnya, “Jika Dodo mengaku, maka [itu berarti]

tidak ada sanksi atas perbuatannya”.

4.3.5 Hubungan Kondisional: Kondisi Niscaya dan Kondisi yang Mencukupi

Ada dua kondisi yang merupakan bentuk khusus dari hubungan kondisional, yaitu

yang mencukupi (sufficient condition, S) dan kondisi niscaya (necessary condition, N). Hanya

jika pernyataan kondisional Jika S maka N adalah benar. Contoh:

1. Menghasilkan sperma merupakan kondisi yang mencukupi untuk membuktikan bahwa

seseorang adalah laki-laki.

2. Jenis kelamin laki-laki merupakan kondisi niscaya untuk menghasilkan sperma.

3. Jika seseorang menghasilkan sperma, maka dia laki-laki.

Oleh karena pernyataan kondisional digunakan untuk menggambarkan hubungan

tertentu antara komponennya, maka kondisi yang mencukupi dan niscaya juga demikian. Ada

lima jenis hubungan itu, yang berikut ini didaftarkan beserta contohnya.

1) Kausal

a. Mencabut jantung Dul merupakan kondisi yang mencukupi untuk membunuhnya. b. Jika kita mencabut jantung Dul, maka kita membunuhnya.

2) Konseptual

a. Kondisi niscaya untuk tergolong manusia adalah mampu menggunakan simbol. b. (i) Jika B adalah manusia, maka dia pasti mampu menggunakan simbol. c. (ii) Jika B tidak mampu menggunakan simbol, maka dia pasti bukan manusia.

3) Definisional

a. Kondisi niscaya dan mencukupi untuk disebut mahasiswa adalah orang yang terdaftar secara resmi sebagai pelajar di perguruan tinggi.

65

b. Jika seseorang adalah mahasiswa, maka dia adalah orang yang terdaftar secara resmi sebagai pelajar di perguruan tinggi, dan jika ia adalah orang yang terdafatar secara resmi sebagai pelajar di perguruan tinggi maka ia adalah seorang mahasiswa. Seseorang adalah mahasiswa jika dan hanya jika dia adalah orang yang terdafatar secara resmi sebagai pelajar di perguruan tinggi.

4) Regulatori

a. Lulus Ujian Masuk Perguruan Tinggi merupakan kondisi niscaya untuk kuliah di universitas negeri.

b. (i) Jika seseorang dapat kuliah di universitas negeri secara sah, maka ia lulus Ujian Masuk Perguruan Tinggi.

c. (ii) Jika seseorang tidak lulus Ujian Masuk Perguruan Tinggi, maka dia tidak dapat kuliah di universitas negeri secara sah.

5) Logis

a. Menjadi kucing hitam adalah kondisi niscaya untuk berwarna hitam. b. Jika seekor binatang adalah kucing hitam, maka warnanya hitam.

Ada kondisi yang niscaya sekaligus mencukupi untuk suatu situasi. Kondisi ini

diungkapkan dalam bentuk X jika dan hanya jika Y, misalnya, “Makhluk hidup jika dan

hanya jika bernafas”. Ini bisa dibalik menjadi, “Bernafas jika dan hanya jika makhluk

hidup”. Contoh lain, “Mahkluk adalah manusia jika dan hanya jika makhluk itu adalah

makhluk rasional.” Ada juga kondisi niscaya dan mencukupi yang berlaku hanya dalam

konteks tertentu. Umpamanya, dalam suatu ruangan yang penuh oksigen dan hidrogen,

menyalakan korek api merupakan kondisi yang mencukupi untuk terjadinya ledakan, namun

tidak dalam konteks lain.

4.4 Hubungan Antar-pernyataan

Ada pengetahuan tertentu yang dapat langsung disimpulkan dari suatu pernyataan.

Oleh para ahli logika, ini disebut hubungan langsung. Misalnya, jika benar bahwa semua

manusia pasti akan mati maka dapat disimpulkan bahwa Sokrates, seorang manusia, pasti

akan mati. Ada beberapa jenis hubungan seperti itu yang masing-masing diterapkan di bawah

ini.

66

4.4.1 Kesimpulan Langsung: Oposisi dari Proposisi

Pernyataan kategorikal adalah pernyataan yang terdiri dari subjek dan predikat yang

membenarkan atau menidakkan bahwa individu adalah anggota suatu kelompok. Ada empat

jenis pernyataan kategorikal, yakni yang berikut.

A: Semua S adalah P. (Universal-afirmatif) E: Tidak ada S yang P. (Universal-negatif) I: Beberapa S adalah P. (Partikular-afirmatif) O: Beberapa S bukan P. (Partikular-negatif)

Hubungan antara keempat jenis pernyataan kategorikal dapat digambarkan dalam

segi-empat oposisi pada Bagan 2.1.

Bagan 2.1: Segiempat Oposisi

A: Semua S adalah P. Kontrari E: Tidak ada S yang P.

I: Beberapa S adalah P. Subkontrari O: Beberapa S bukan P.

Kontradiksi (A dan O; E dan I)

Dalam hubungan ini, tidak mungkin keduanya benar dan tidak mungkin keduanya salah

(Salah satu pasti benar). Umpamanya, “Makhluk hidup bernafas” adalah benar, dan

“Beberapa makhluk hidup tidak bernafas” adalah salah.

Kontrari (A dan E)

Dalam hubungan ini tidak mungkin keduanya benar, tapi mungkin saja keduanya salah.

Sebagai contoh, jika “Semua melati berwarna putih” adalah benar, maka “Tidak ada mawar

Sub-alternasi Kontradiktori

67

berwarna merah” adalah salah. Akan tetapi, apabila “Semua mawar berwarna merah” adalah

salah, dan “Tiada mawar berwarna merah” juga salah.

Subkontrari (I dan E)

Dalam hubungan ini mungkin saja keduanya benar, tetapi tidak mungkin keduanya salah,

misalnya “Beberapa orang sedang sedih” adalah benar, dan “Beberapa orang tidak sedang

sedih” juga benar.

Subalternasi (A dan I; E dan O)

Jika superalternasinya (A atau E) benar, maka subalternasinya (I atau O) benar. Umpamanya,

jika “Semua manusia bernafas” (A) adalah benar, maka “Beberapa manusia bernafas” (I)

juga benar. Jika subalternasinya (I atau O) benar, maka superalternasinya (A atau E) belum

tentu benar: jika “Beberapa orang tidak terpelajar” (O) adalah benar, maka “Semua orang

tidak terpelajar” (E) bisa benar, bisa salah. Jika subalternasinya (I atau O) salah, maka

superalternasinya (A atau E) pasti salah.

Dalam logika tradisional, yang disebut kontrari adalah pernyataan bentuk A terhadap

pernyataan bentuk E. Namun, di sini setiap dua pernyataan yang memenuhi definisi di atas

dapat dianggap sebagai kontrari. Kontradiksi dan kontrari cukup sering disebut “lawan” dari

suatu pernyataan, namun keduanya berbeda satu sama lain. Dalam kehidupan sehari-hari,

memang cukup sering orang mengacaukan keduanya. Untuk lebih memahami perbedaan di

antara keduanya, perhatikanlah contoh pada Tabel 2.2 berikut.

Tabel 2.2: Perbedaan dan Bentuk Kontrari dengan Kontradiksinya

Pernyataan Kontrari Kontradiksi

Semua mawar berwarna merah.

Semua mawar berwarna kuning.

Beberapa mawar tidak berwarna merah.

Semua angsa berwarna putih.

Tiada angsa mawar berwarna putih.

Beberapa angsa tidak berwarna putih.

Tidak ada orang yang bermoral.

Semua orang bermoral. Beberapa orang bermoral.

Rumah saya hijau. Rumah saya putih. Rumah saya tidak hijau. Dia selalu jujur. Dia tidak pernah jujur. Dia kadang-kadang jujur. Beratnya lebih dari 50 kg. Beratnya kurang dari 50 kg. Beratnya 50 kg atau kurang.

Secara logis, kontradiksi suatu pernyataan sama dengan negasi dari pernyataan itu.

Oleh sebab itu, semua pernyataan yang merupakan kontradiksi dari pernyataan X (misalnya

68

Semua melati berwarna putih), pada dasarnya adalah ekuivalen dari pernyataan bukan-X

(Tidak benar bahwa semua melati berwarna putih). Sedangkan ada banyak pernyataan yang

merupakan kontrari dari pernyataan X namun tidak saling ekuivalen, misalnya “Semua melati

berwarna kuning”, “Semua melati berwarna hijau”, dan “Tiada melati berwarna putih.”

Pernyataan kompleks juga memiliki kontradiksi dan kontrari. Kontradiksi pernyataan

“Ia orang yang baik hati dan [ia] orang yang terpelajar” ialah “Ia bukan orang yang baik

hati sekaligus terpelajar”, yang secara logis ekuivalen dengan “Ia bukan orang yang baik

hati atau [ia] bukan orang yang terpelajar.” Sedangkan kontrarinya adalah “Ia bukan orang

yang baik hati dan [ia] bukan orang yang terpelajar”, yang secara logis ekuivalen dengan

“Tidak benar bahwa ia orang yang baik hati ataupun orang yang terpelajar”.

4.4.2 Konsistensi dan Inkonsistensi

Dua pernyataan disebut inkonsisten jika, dan hanya jika keduanya tidak mungkin benar pada

saat yang bersamaan. Pada kondisi yang sebaliknya, dua pernyataan itu disebut konsisten;

artinya, kedua pernyataan itu mungkin sama-sama benar pada saat bersamaan. Pernyataan

“Saya adalah laki-laki” dan “Saya bukan laki-laki” merupakan contoh dua pernyataan yang

inkonsisten dan “Saya adalah laki-laki” dan “Saya adalah dosen” merupakan contoh dua

pernyataan yang konsisten.Pernyataan yang termasuk inkonsisten adalah kontrari dan

kontradiksi. (Lihat Tabel 2.3.)

Tabel 2.3: Pernyataan yang Konsisten dan yang Inkonsisten

Pernyataan Konsisten Inkonsisten Ada anyelir Ada anggrek. Tidak ada anyelir. Dia harus belajar. Dia harus belajar logik. Dia tidak boleh belajar. Dia X dan Y. Dia X. Dia bukan Y. Jika A maka B. Jika B maka A. A dan bukan-B.

4.4.3 Implikasi, Ekuivalensi, dan Independensi Logis

Tiga jenis hubungan antar-pernyataan adalah implikasi, ekuivalensi dan independensi

logis. Ketiga jenis hubungan ini sering muncul dalam keseharian kita dan sering pula

dipertukarkan pengertiannya; tidak jarang orang memperlakukan hubungan yang satu sebagai

hubungan yang lain. Misalnya, independensi logis diperlakukan seolah-olah implikasi, dan

sebaliknya. Untuk memahami ketiga jenis hubungan itu, dan untuk menghindari kesalahan

69

dalam penggunaannya, kita perlu memahami pengertian masing-masing dan bagaimana

penggunaannya.

Implikasi Pernyataan P mengimplikasikan pernyataan Q ketika secara logis tidak mungkin P benar dan

Q salah pada waktu yang bersamaan. Perhatikan contoh-contoh berikut.

Pernyataan P mengimplikasikan Pernyataan Q Semua melati berwarna putih. Beberapa melati berwarna putih. Aten adalah seorang guru. Aten mempunyai murid. Saya gemuk dan pendek. Joko adalah laki-laki.

Saya gemuk. Joko menghasilkan sperma.

Ekuivalensi

Dua pernyataan secara logis ekuivalen bila keduanya saling mengimplikasikan. Jadi

dua pernyataan yang secara logis ekuivalen memiliki makna yang sama. Begitu pula

sebaliknya, dua pernyataan yang memiliki makna yang sama berarti secara logis keduanya

ekuivalen. Berikut ini adalah beberapa pernyataan yang secara logis ekuivalen.

1. Negasi dari suatu konjungsi [Bukan (P dan Q)] ekuivalen dengan disjungsi dari negasi

konjung-konjungnya [Bukan-P atau Bukan-Q], misalnya “Kita tidak akan pergi ke

perpustakaan sekaligus ke pertandingan basket” ekuivalen dengan “Kita tidak pergi ke

perpustakaan atau kita tidak pergi ke pertandingan basket”.

2. Negasi dari suatu disjungsi [Bukan-(P atau Q)] ekuivalen dengan konjungsi dari negasi

disjung-disjungnya [Bukan-P dan Bukan-Q], misalnya “Tidak benar bahwa Doni atau

Yanto akan gagal” ekuivalen dengan “Doni tidak akan gagal dan Yanto juga tidak akan

gagal”.

3. Suatu pernyataan kondisional [Jika P maka Q] ekuivalen dengan pernyataan yang

menolak bahwa antesedennya benar dan konsekuennya salah [Bukan-(P dan bukan-Q)],

misalnya “Jika orang itu melahirkan anak, maka dia pasti perempuan” ekuivalen dengan

“Tidak mungkin orang itu melahirkan anak namun bukan perempuan”.

4. Suatu disjungsi [P atau Q] ekuivalen dengan pernyataan kondisional yang antesedennya

merupakan negasi dari salah satu disjung dan konsekuennya adalah disjung yang lain

[Jika Bukan-P maka Q, atau Jika Bukan-Q maka P], misalnya “Kita pergi ke Bangkok

70

atau ke Bali” ekuivalen dengan “Jika kita tidak pergi ke Bangkok maka kita pergi ke

Bali”, atau “Jika kita tidak pergi ke Bali maka kita pergi Bangkok”.

Independensi Logis

Dua pernyataan disebut secara logis independen jika secara logis tidak berhubungan; jadi,

kedua pernyataan maupun negasinya tidak saling mengimplikasikan. Umpamanya,

pernyataan “Ratno sedang belajar” dan “Anti tahu tempat membeli sepatu yang murah”

secara logis independen karena keduanya tidak saling berhubungan. Contoh lain, pernyataan

“Embun menetes di pagi hari” secara logis independen dengan pernyataan “Aku sedang

bersedih”.

5. Penalaran

Penalaran adalah penarikan kesimpulan berdasarkan alasan-asalan yang relevan. Alasan-

alasan itu dapat berupa bukti, data, informasi akurat, atau penjelasan tentang hubungan antara

beberapa hal. Penalaran berlangsung dalam pikiran. Ungkapan verbal dari penalaran adalah

argumentasi.

Dalam pasal ini akan diuraikan dua jenis penalaran, syarat penalaran yang benar, dan

kesalahan dalam penalaran. Sebelum itu, penyimpulan langsung dan prinsip-prinsip logika

yang mendasari penalaran akan dijelaskan terlebih dahulu.

5.1 Penyimpulan Langsung

Fungsi akal manusia adalah mencapai kebenaran. Proses pencapaian kebenaran dimulai dari

pengenalan terhadap gejala dan pembentukan ide itu sendiri. Tetapi kebenaran tidak terdapat

dalam Ide. Kebenaran terdapat dalam putusan (judgement). Kalau putusan kita sesuai dengan

kenyataan, maka kita mencapai kebenaran objektif. Atas dasar kebenaran-kebenaran

semacam inilah pengetahuan mengalami kemajuan.

Kebenaran pertama-tama dapat dicapai melalui penyimpulan langsung (immediate

inference), yaitu penyimpulan yang ditarik sesuai dengan prinsip-prinsip logika. Prinsip-

prinsip logika terdiri atas prinsip identitas, prinsip kontradiksi, dan prinsip tanpa nilai tengah

(excluded middle). Prinsip identitas menyatakan bahwa X = X; artinya, sesuatu adalah

sesuatu itu sendiri. Prinsip kontradiksi menyatakan bahwa jika X = X maka tidak mungkin X

tidak sama dengan X; artinya, sesuatu adalah dirinya sendiri, tidak mungkin sesuatu itu

sekaligus bukan dirinya sendiri. Prinsip tanpa nilai tengah menyatakan bahwa untuk proposisi

71

apa pun, proposisi itu hanya dapat benar atau salah; tidak mungkin diperoleh sebuah

proposisi yang benar sekaligus salah, atau setengah salah atau setengah benar.

Penyimpulan langsung dilakukan melalui indera, umpamanya memberikan putusan

bahwa mawar berwarna merah (putusannya: mawar merah), hari sedang hujan, matahari

bersinar, atau saat ini pagi hari. Penyimpulan langsung menghasilkan pengetahuan dasar bagi

manusia. Pengalaman empirik yang menjadi sumber pengetahuan itu. Akan tetapi

penyimpulan langsung tidak membawa kita beranjak jauh dari informasi-informasi asal

sehingga tidak dapat menambah pengetahuan lebih banyak lagi. Kita perlu mengetahui

kebenaran-kebenaran dari berbagai hal yang tidak dapat dibuktikan dengan penyimpulan

langsung maupun pembuktian melalui panca indera, seperti contoh-contoh berikut. Apakah

matahari mengelilingi bumi atau bumi mengelilingi matahari? Apakah jiwa manusia berbeda

dengan jiwa binatang? Apakah matahari itu jauh atau dekat? Apakah bulan besar atau

kecil? Benarkah jiwa itu kekal?

5.2 Penyimpulan Tak Langsung

Untuk dapat memperoleh pengetahuan yang benar tentang hal-hal yang tidak dapat

dibuktikan dengan penyimpulan langsung atau indera, kita perlu membandingkan ide-ide.

Penyimpulan melalui perbandingan ide-ide adalah penyimpulan tak langsung. Putusan yang

dihasilkan bukan hasil dari pengenalan langsung terhadap gejala, melainkan hasil dari

mempertemukan dua ide yang diperbandingkan dengan perantaraan ide ketiga yang sudah

diketahui sebelumnya.

Di atas (pasal 4.1) telah kita bahas cara membenarkan atau mengingkari suatu ide atas

dasar satu ide yang lain (negasi, oposisi dari proposisi, dan lain-lain). Tetapi dalam

kenyataannya kita tidak selalu dapat membuat putusan hanya berdasarkan dua ide (kita dalam

keadaan ragu). Untuk itu diperlukan ide ketiga. Proses membandingkan dua ide dengan

melibatkan ide ketiga untuk menghubungkan dua ide itulah yang disebut penalaran. Dengan

kata lain, penalaran adalah penyimpulan tak langsung atau penyimpulan dengan

menggunakan perantara (mediate inference).

Berdasarkan prinsip identitas kita dapat menyimpulkan bahwa

Jika ide 1 = ide 3, dan ide 2 = ide 3, maka ide 2 = ide 1.

Berdasarkan prinsip kontradiksi kita dapat menyimpulkan bahwa

Jika ide 1 ≠ ide 3, dan

72

ide 2 = ide 3, maka ide 1 ≠ ide 2.

Kedua prinsip dan turunannya yang menjadi dasar-dasar dari penalaran.

5.3 Dua Jenis Penalaran

Ada dua jenis penaralan, yaitu deduksi atau penalaran deduktif dan induksi atau penalaran

induktif. Kedua jenis penalaran ini diperlukan dalam proses pencapaian kebenaran.

Pemanfaatan keduanya telah menghasilkan pengetahuan yang berguna bagi manusia dan

membawa peradaban manusia menjadi semaju yang kita saksikan saat ini.

Deduksi adalah proses penalaran yang dengannya kita membuat suatu kesimpulan

dari suatu hukum, dalil, atau prinsip yang umum kepada suatu keadaan yang khusus yang

tercakup dalam hukum, dalil, atau prinsip yang umum itu. Umpamanya, kita meragukan

apakah putri malu mempunyai indera atau tidak. Tetapi ilmu pengetahuan sudah menetapkan

dalil bahwa hakikat suatu tanaman adalah tidak berindera. Maka kita dapat melakukan

inferensi berikut.

Semua tanaman tak berindera. Puteri malu adalah tanaman.

Jadi: Puteri malu tak berindera.

Kita juga dapat mulai dengan proposisi hipotetis, misalnya:

Penjahat itu sehat atau gila. Ia sehat.

Jadi: Ia tidak gila.

Penyimpulan melalui deduksi disebut juga silogisme.

Induksi adalah proses penalaran yang dengannya kita menyimpulkan hukum, dalil,

atau prinsip umum dari kasus-kasus khusus (individual).

Contoh:

Air, di mana pun, di muka bumi atau di laut, pada tingkat permukaan laut akan membeku pada nol derajat Celcius.

Tetapi air di mana pun adalah air belaka. Jadi: Semua air pada tingkat permukaan laut membeku pada nol derajat Celcius.

5.4 Kesalahan Penyimpulan

Manusia tidak jarang memperoleh pengetahuan yang tidak benar karena adanya

kesalahan dalam proses penyimpulan. Kesalahan penyimpulan digolongkan atas dua, yakni

kesalahan material dan kesalahan formal. Kesalahan material adalah kesalahan putusan yang

73

digunakan sebagai pertimbangan yang seharusnya memberikan fakta atau kebenaran. Mari

kita lihat contoh berikut. Berdasarkan pengamatan orang melihat setiap hari matahari tampak

bergerak dari timur ke barat, dulu orang menyimpulkan bahwa matahari mengelilingi bumi.

Lalu kesimpulan ini digunakan untuk menjelaskan susunan alam semesta. Oleh karena

putusan (kesimpulan) yang digunakan untuk menjelaskan susunan alam semesta salah, maka

penjelasan tentang alam semesta pun salah.

Kesalahan formal ialah kesalahan yang berasal dari urutan penyimpulan yang tidak

konsisten. Sebagai contoh, untuk menjelaskan perilaku korupsi digunakan penalaran berikut

ini yang merupakan penalaran sirkular.

Tanya: Mengapa petugas hukum dapat disogok? Jawab: Karena gaji mereka kecil. Tanya: Mengapa gaji petugas hukum kecil? Jawab: Karena ekonomi tidak tumbuh secara baik. Tanya: Mengapa ekonomi tidak tumbuh secara baik? Jawab: Karena hukum tidak berjalan dengan baik. Tanya: Mengapa hukum tidak berjalan dengan baik? Jawab: Karena petugas hukum dapat disogok.

Kesalahan penalaran ini muncul dalam beragam bentuk. Bentuk-bentuk kesalahan

penyimpulan dan penalaran akan dibahas di pasal 8.

5.5 Argumentasi

Sebagaimana telah dikemukakan di atas, ungkapan verbal dari penalaran atau

penyimpulan tak langsung adalah argumentasi. Di dalam argumentasi terkandung term yang

merupakan ungkapan verbal dari ide dan proposisi yang merupakan ungkapan verbal dari

putusan.

Proposisi yang dijadikan dasar dari kesimpulan disebut premis atau anteseden. Subjek

(S) dan Predikat (P) dari kesimpulan masing-masing disebut ekstrem minor dan ekstrem

mayor yang cakupannya lebih luas dari subjek. Ungkapan dari ide ketiga yang

menghubungkan ide pertama dan ide kedua yang diperbandingkan dalam argumentasi disebut

term tengah (middle term, disingkat M). Premis yang mengandung term mayor disebut

premis mayor. Premis yang mengandung term minor disebut premis minor. Ketentuan ini

baku, terlepas dari posisi premis-premis itu dalam argumentasi. Perhatikan contoh berikut.

(1) Premis mayor: Semua hewan (M) adalah mahluk (P). Premis Minor: Semua belut (S) adalah hewan (M). Ergo : Semua belut (S) adalah mahluk (P).

(2) Premis Minor: Semua besi (S) adalah logam (M).

74

Premis Mayor: Semua logam (M) adalah unorganik (P). Ergo : Semua besi (S) adalah unorganik (P).

Term tengah (M) harus muncul di premis mayor maupun premis minor sebagai

perbandingan, tetapi tidak boleh muncul dalam kesimpulan.

Ada dua macam argumentasi yang umum digunakan dalam logika, yaitu silogisme

kategoris dan silogisme hipotetis. Silogisme kategoris adalah argumentasi yang menggunakan

proposisi kategoris yang oleh Aristoteles disebut analitika. Silogisme hipotetis adalah

argumentasi yang menggunakan proposisi hipotetis (silogisme hipotetis) yang oleh

Aristoteles disebut dialektika.

6. Argumen Deduktif

6.1 Definisi Penalaran Deduktif (Deduksi)

Deduksi adalah bentuk argumen yang kesimpulannya niscaya mengikuti premis-

premisnya. Lazimnya deduksi juga dipahami sebagai pembuatan pernyataan khusus

berdasarkan pernyataan-pernyataan yang lebih umum. Pernyataan khusus itu disebut

kesimpulan dan pernyataan-pernyataan yang lebih umum disebut premis. Dalam deduksi

kesimpulan diturunkan dari premis-premisnya. Menerima premis tetapi menolak kesimpulan

adalah tidak konsisten.

Penalaran deduktif adalah proses perolehan kesimpulan yang terjamin validitasnya

jika bukti yang tersedia benar dan penalaran yang digunakan untuk menghasilkan kesimpulan

tepat. Kesimpulan juga harus didasari hanya oleh bukti yang sudah ada sebelumnya.

Kesimpulan tidak boleh mengandung informasi baru tentang materi.

6.2 Karakteristik Penalaran Deduktif

Penalaran deduktif—yang sering digunakan untuk menulis esai argumentatif—

diawali dengan generalisasi yang dianggap benar (self-evident) yang menghasilkan premis-

premis, lalu dari situ diturunkan kesimpulan yang koheren dengan premis-premisnya. Premis

dan kesimpulan harus berkesesuaian dan tertata dalam bentuk argumentasi tertentu. Bentuk

deduksi yang paling umum digunakan adalah silogisme yang terdiri atas premis mayor,

premis minor, kesimpulan. Bentuk argumentasi ikut menentukan sahih (valid) atau tidaknya

penalaran deduktif. Sebagaimana sudah disebutkan di atas, dalam penalaraan deduktif

kesimpulan bersifat lebih khusus daripada premis-premisnya. Penalaran deduktif bertujuan

75

untuk menentukan putusan yang sahih tentang hal khusus tertentu berdasarkan pemahaman

tentang hal-hal yang lebih umum.

6.3 Silogisme

Silogisme berasal dari kata Yunani syllogismos yang berarti ‘kesimpulan’. Silogisme

adalah jenis argumen logis yang kesimpulannya diturunkan dari dua proposisi umum

(premis) yang berbentuk prosisi kategoris.

Dilihat dari bentuknya, penilaian terhadap silogisme adalah sahih (valid) atau tidak

sahih (invalid). Silogisme sahih jika kesimpulannya dibuat berdasarkan premis-premisnya

dengan bentuk-bentuk yang tepat. Sedangkan penilaian benar (true) diberikan jika silogisme

valid dan klaimnya akurat (informasinya sesuai dengan fakta). Perhatikanlah contoh berikut.

(1) Premis Mayor : Semua politikus adalah laki-laki. Premis Minor : Sri adalah politikus. Kesimpulan : Maka, Sri adalah laki-laki.

Sahih atau tidak sahihkah silogisme ini? Jawabnya “sahih”. Jika kita tahu bahwa Sri adalah

perempuan maka silogisme itu tidak benar karena pernyataan tidak sesuai dengan kenyataan.

(2) Premis Mayor: Semua ayah adalah laki-laki. Premis Minor: Dino adalah laki-laki. Kesimpulan : Maka, Dino adalah ayah.

Silogisme ini tidak sahih karena term tengahnya yaitu term yang muncul di kedua premis,

dalam hal ini laki-laki merujuk kepada semua anggota dari kelompok laki-laki, bukan hanya

kepada ayah atau Dino.

(3) Premis Mayor: Tidak ada seorang pun yang ditolak menjadi mahasiswa karena ketidakmampuan fisik.

Premis Minor: Tunarungu adalah ketidakmampuan fisik. Kesimpulan : Maka, tunarungu akan ditolak menjadi mahasiswa karena

ketidakmampuan fisik.

Silogisme ini juga tidak sahih karena salah satu premisnya negatif sehingga hanya dapat

memiliki kesimpulan negatif.

(4) Premis Mayor : Mahasiswa yang tidak belajar bisa jadi akan lulus ujian. Premis Minor : Dono adalah mahasiswa yang belajar. Kesimpulan : Maka, Dono bisa jadi akan lulus ujian.

Silogisme ini sahih karena memenuhi hukum-hukum silogisme.

76

6.3.1 Silogisme Kategoris

Bentuk dasar silogisme kategoris ialah: Jika A adalah bagian dari C maka B adalah bagian

dari C (Adan B adalah anggota dari C). Silogisme kategoris ini mengikuti hukum “Semua

atau Tidak Sama Sekali” (All or None atau Dictum de Omni et Nullo); artinya, berlaku untuk

seluruh anggota kelas, atau tidak sama sekali. Tidak dikenal “ada sebagian” dan “tidak ada

sebagian”. Sebagai contoh, kalau kelas ikan memiliki insang, maka tidak mungkin ada

anggotanya yang tak berinsang; dan kalau kelas merpati adalah burung, maka tak mungkin

ada merpati yang bukan burung.

Dengan mengikuti hukum “Semua atau Tidak Sama Sekali” itu dapat dibuat silogisme

seperti berikut:

(1) Semua makhluk hidup (M) bernafas (P). Semua burung (S) adalah makhluk hidup (M).

Jadi: Semua burung (S) bernafas (P).

yang dirumuskan menjadi

Semua M adalah P. Semua S adalah P.

Jadi: Semua S adalah P.

atau silogisme berikut:

(2) Tiada hewan (M) berkaki tiga (P). Semua beruang (S) adalah hewan (M).

Jadi: Tiada beruang (S) berkaki tiga (P).

yang dirumuskan menjadi

Tiada M yang P. Semua S adalah M.

Jadi: Tiada S yang P.

6.3.2 Delapan Hukum Silogisme

Silogisme tunduk kepada delapan hukum yang masing-masing diterapkan berikut ini.

(Keterangan: P = Predikat/mayor; S = Subjek/minor; M = Term tengah (Middle term); u =

Universal; p = partikular; + = afirmatif; dan − = negatif.)

Hukum 1: Silogisme hanya mengandung tiga term.

Semua tanaman (M1) adalah hidup (P).

77

Semua batu (S) adalah mineral (M2). Jadi: Semua batu (S) adalah/tidak (?) hidup (P).

Buku (P) mempunyai halaman (M). Rumah (S) mempunyai halaman (M).

Jadi: Rumah (S) adalah buku (P).

Halaman di sini bermakna ganda (equivocal), silogisme di atas mempunyai empat term.

Hukum 2: Term mayor atau term minor tidak boleh menjadi universal dalam kesimpulan

jika dalam premis hanya bersifat pertikular.

uM + pP Semua manusia adalah hewan. uS − uM Tak ada binatang yang manusia. uS − uP Tak ada binatang yang hewan.

Yang salah adalah P (disebut illicit mayor). uM − uP Tiada burung yang menyusui. uM + pS Semua burung adalah hewan berkaki dua. uS − uP Tiada hewan berkaki dua yang menyusui.

Yang salah adalah S (disebut illicit minor).

Hukum 3: Term tengah tidak boleh muncul dalam kesimpulan.

M + P Aristoteles adalah filsuf. M + S Aristoteles adalah misikin. M + S/P Aristoteles adalah filsuf yang miskin.

M dalam silogisme itu tidak lagi berfungsi sebagai pembanding, melainkan menjadi salah

satu bagian dari kesimpulan. Dengan demikian, kesimpulan yang terjadi bukanlah

merupakan putusan baru.

Hukum 4: Term tengah harus digunakan sebagai proposisi universal dalam premis-premis, setidak-tidaknya satu kali.

uP + pM Semua orang mati. uS + pM Semua artis mati. uS + pP Semua artis adalah orang.

Silogisme ini seakan-akan benar, oleh karena kebetulan posisi term-term itu adalah

sebagai berikut:

78

M (mati) mempunyai ekstensi yang paling benar.

P (orang) mempunyai ekstensi yang lebih kecil dan termasuk dalam M.

S (artis) mempunyai ekstensi yang paling kecil dan termasuk dalam P.

Tetapi perhatikanlah silogisme berikut:

uP + pM Semua orang mati. uS + pM Semua kucing mati. uS + pP Semua kucing adalah orang.

Dalam silogisme ini, kesalahannya sangat nyata karena walaupun P (orang) dan S

(kucing) sama-sama termasuk dalam ekstensi dari M (mati), tetapi P dan S tidak saling

meliputi (berdiri sendiri-sendiri). Pelanggaran hukum 4, seperti yang terdapat dalam kedua

silogisme di atas, disebut Undistributed Middle

Hukum 5: Jika kedua premis afirmatif, maka kesimpulan juga afirmatif.

M + P Semua mamalia menyusui. S + M Beberapa kuda adalah mamalia. S − P Beberapa kuda tidak menyusui.

Hukum 6: Tidak boleh kedua premis negatif, setidaknya salah satu harus afirmatif.

M − P Tiada binatang yang batu. S − M Tiada intan yang binatang. S − P Tiada intan yang batu.

Hukum 7: Kalau salah satu premis negatif, kesimpulan harus negatif. Kalau salah satu premis partikular, kesimpulan harus partikular.

Fase I.

P − M Tiada perokok yang bebas nikotin. S + M Balita bebas nikotin. S + P Balita adalah perokok.

Fase II.

M + P Semua manusia adalah mahluk rasional. pS + M Sebagian hewan adalah manusia. uS + P Semua hewan adalah mahluk rasional.

M − P Tiada karbon yang putih. pS + M Sebagian zat padat adalah karbon. uS − P Tiada zat padat yang putih.

79

Hukum 8: Tidak boleh kedua premis partikular, setidaknya salah satu harus universal.

pM + pP Beberapa orang adalah tukang becak. pS + pM Beberapa bule adalah orang. pS + pP Beberapa bule adalah tukang becak.

Silogisme itu dapat benar walaupun kedengarannya agak janggal (mungkin saja ada orang

bule yang bekerja sebagai tukang becak). Tetapi kalau kata-kata tukang becak diganti dengan

berkulit hitam, maka kesalahan karena pelanggaran hukum ke-8 ini akan sangat nyata.

pM + pP Beberapa pakar agama adalah orang Indonesia. pS − uM Beberapa penduduk Depok bukan pakar agama. pS − uP Beberapa penduduk Depok bukan orang Indonesia.

6.3.3 Silogisme Hipotetis

Dalam logika, silogisme hipotetis memiliki dua penggunaan. Dalam logika proposisional,

silogisme mengungkapkan aturan-aturan penyimpulan, sedangkan dalam sejarah logika ia

berperan sebagai teori konsekuensi.

Silogisme hipotetis berbeda dengan silogisme kategoris dan tunduk kepada aturan

tersendiri. Dalam silogisme hipotetis, premis pertama (premis mayor) menampilkan kondisi

yang tak tentu (“jika P, maka Q”) atau masalah (“atau P atau Q”; “P dan Q tidak dapat

benar dua-duanya”). Premis pertama itu harus diselesaikan secara memadai oleh premis

kedua (premis minor) sehingga kesimpulan yang sahih dapat dihasilkan. Penyelesaian

masalah selalu dalam bentuk afirmasi atau negasi.

Secara lebih sederhana dapat dikatakan bahwa premis mayor silogisme hipotetis

adalah proposisi hipotetis sedangkan premis minor dan kesimpulannya adalah proposisi

kategoris. Dalam silogisme hipotetis, tidak term mayor, term minor atau term tengah. Premis

mayor terdiri atas anteseden dan konsekuen. Sebagai contoh, dalam pernyataan “Jika hari

hujan, maka tanah basah”, hari hujan adalah anteseden dan tanah basah adalah konsekuen.

6.3.4 Bentuk-bentuk Umum Argumen yang Sahih

Ada tiga bentuk dasar dari silogisme hipotetis, yaitu modus ponens yang mengafirmasi

anteseden, modus tollens yang menolak konsekuen, dan silogisme hipotetis dengan rantai

kondisional. Berikut ini ketiga bentuk dasar silogisme hipotetis.

1) Mengafirmasi anteseden (modus ponens)

P → Q

P

80

Q Contoh:

Jika psikologi adalah ilmu pengetahuan maka psikologi menggunakan metode. Psikologi adalah ilmu pengetahuan. Psikologi menggunakan metode.

2) Menolak konsekuensi (modus tollens)

P → Q - Q - P

Contoh:

Jika astrologi adalah ilmu pengetahuan maka astrologi menggunakan metode. Astrologi tidak menggunakan metode. Astrologi bukan ilmu pengetahuan.

3) Silogisme Hipotetis (Rantai Kondisional)

P → Q Q → R P → R

Contoh:

Jika psikologi adalah ilmu pengetahuan maka psikologi menggunakan metode. Jika psikologi menggunakan metode maka psikologi sistematis. Jika psikologi adalah ilmu pengetahuan maka psikologi sistematis.

Selain ketiga bentuk itu, ada bentuk-bentuk lain yang lebih kompleks. Berikut ini

adalah tiga di antaranya.

1) Silogisme Disjungtif

P V Q - P

Q Contoh:

Psikologi adalah ilmu ramal atau psikologi bersifat ilmiah. Psikologi bukan ilmu ramal. Psikologi bersifat ilmiah.

2) Dilema Konstruktif

(P → Q) & (R → S)

81

P V R Q V S

Contoh:

(Jika psikologi adalah ilmu pengetahuan maka psikologi didasari prinsip sebab-akibat.) dan (Jika manusia dikaji oleh psikologi maka kehendak bebas adalah objek kajian psikologi.)

Psikologi adalah ilmu pengetahuan atau manusia dikaji oleh psikologi Psikologi didasari prinsip sebab-akibat atau kehendak bebas adalah kajian psikologi

3) Dilema Destruktif

(P → Q) & (R → S) ~ Q V ~R ~ P V ~ R

Contoh:

(Jika psikologi adalah ilmu pengetahuan maka psikologi didasari prinsip sebab-akibat) dan (Jika manusia dikaji oleh psikologi maka kehendak bebas adalah objek kajian psikologi).

Psikologi tidak didasari prinsip sebab-akibat atau manusia tidak dikaji oleh psikologi.

Psikologi bukan ilmu pengetahuan atau kehendak bebas bukan objek psikologi. 7. Argumen Induktif3

7.1. Definisi Induksi

Istilah argumen induktif atau induksi biasanya mencakup proses-proses inferensial dalam

mendukung atau memperluas keyakinan kita pada kondisi yang mengandung risiko atau

ketidakpastian. Argumen induktif dapat dipahami sebagai hipotesis yang mengandung risiko

dan ketidakpastian.

Ketidakpastian dalam argumen induktif muncul dalam dua area yang berhubungan,

yaitu dalam premis-premis argumen dan dalam asumsi-asumsi inferensial argumen. Mari kita

ambil sebuah contoh kasus: “Jono mati tertembak”. Argumen berikut ini merupakan argumen

deduktif yang sahih yang dapat diberikan untuk mendukung pernyataan bahwa “Andi

membunuh Jono”.

3 Pasal tentang induksi ini disadur dari buku A. K. Bierman dan R. N. Assali, The Critical Thinking Handbook (New Jersey, 1994). Penyaduran itu dilakukan dengan bantuan dari Judithia A. Wirawan.

82

Andi lari dari kamar Jono dengan membawa pistol. Siapa pun yang lari dari kamar Jono dengan membawa pistol

pasti membunuh Jono. Andi membunuh Joon. Jika kita menerima bahwa premis-premis argumen ini benar, maka kita juga harus

menerima bahwa kesimpulannya benar. Informasi dalam premis-premis itu secara logis tidak

mencakup pernyataan apa pun yang merupakan kontradiksi dari kesimpulan. Para ahli logika

menggambarkan hal ini sebagai berikut: isi informasi dari premis-premis mencakup isi

informasi dari kesimpulan. Tidak ada informasi dalam kesimpulan di luar apa yang sudah ada

dalam premis-premisnya.

Seandainya orang yang mengajukan argumen itu merasa tidak pasti akan kebenaran

premis pertama, yaitu dia tidak merasa benar-benar pasti bahwa Andi yang lari dari kamar itu

(mungkin saksi matanya tidak sepenuhnya dapat dipercaya), maka dia hanya dapat

mengeluarkan argumen induktif (Garis dua berarti ‘jadi, ada kemungkinan bahwa…’.)

Kemungkinan besar, Andilah yang lari dari kamar Jono dengan membawa pistol.

Siapa pun yang lari dari kamar Jono pasti membunuh Jono. Andi membunuh Jono.

Jelas bahwa kalaupun kita menerima bahwa premis-premis argumen ini benar, kita tidak

harus menerima bahwa kesimpulannya benar. Bisa saja orang yang mengajukan argumen ini

punya alasan-alasan yang tidak dapat dibantah mengenai kebenaran premis kedua, namun

argumen ini tetap tidak dapat menjamin bahwa Andilah yang membunuh Jono. Kesimpulan

bahwa Andi membunuh Jono telah melebihi apa yang dapat dideduksi dari premis-premisnya.

Kemungkinan lain, asumsi inferensialnyalah yang tidak pasti benar sehingga orang

yang mengajukan argumen terpaksa membuat argumen induktif. Misalnya, dia melihat

sendiri Andi lari dari kamar Jono dengan membawa pistol. Hanya itu bukti yang dimilikinya.

Berdasarkan bukti itu, dia menyimpulkan bahwa Andi membunuh Jono. Ini berarti dia

mengambil kesimpulan terlalu cepat karena dia tidak merasa pasti akan kebenaran asumsi

inferensialnya, padahal asumsi ini dibutuhkan untuk dapat menarik kesimpulan dari bukti

yang ada. Argumennya menjadi seperti ini: Andi lari dari kamar Jono dengan membawa pistol. Kemungkinan, orang yang lari dari kamar Jono dengan membawa

pistol telah membunuh Jono. Andi telah membunuh Jono.

83

Premis-premis dalam argumen ini juga tidak menjamin kebenaran kesimpulannya. Karena

orang yang mengajukan argumen masih merasa tidak pasti akan kebenaran asumsi yang

menjembatani bukti (pada premis pertama) dengan kesimpulan, maka dia hanya menyatakan

bahwa asumsi itu mungkin terjadi. Sama seperti contoh argumen induktif yang pertama,

dalam argumen ini pun informasi pada kesimpulan melampaui apa yang dapat dideduksi dari

premis-premisnya.

Dalam semua argumen induktif, ada premis atau asumsi inferensial yang lemah yang

mencerminkan ketidakpastian karena informasi ada yang kurang lengkap. Pada contoh yang

pertama, argumen tidak memiliki bukti yang kuat untuk menjamin kebenaran kesimpulannya.

Pada contoh yang kedua, argumen tidak memiliki jembatan inferensial yang kuat untuk

mendeduksi kesimpulan dari bukti yang ada.

Jadi, karakteristik semua argumen induktif adalah bahwa dalam kondisi

ketidakpastian atau kurangnya informasi, kita langsung mengambil kesimpulan dengan risiko

bahwa kita mengambil kesimpulan yang salah. Penalaran induktif yang baik berusaha

meminimalkan risiko sehingga kita lebih sering mengambil kesimpulan yang benar daripada

yang salah, dan berusaha memperhitungkan risiko itu dengan akurat. Panduan umum untuk

melakukan penalaran induktif yang baik adalah yang berikut. 1) Usahakanlah mengumpulkan

semua informasi yang tersedia yang berhubungan dengan topik argumen sebelum mengambil

kesimpulan mengenai topik itu. Kita menginginkan kesimpulan yang kecil kemungkinannya

menjadi batal jika ada informasi baru. 2) Cobalah mengeliminasi kesimpulan lain yang juga

konsisten dengan bukti yang ada sebelum meyakini kesimpulan pilihan kita. 3) Jangan

membuat kesimpulan jika kita menilai bahwa premis-premis yang kita miliki terlalu lemah.

Karena argumen induktif mempunyai karakteristik ketidakpastian, kesimpulan dari

suatu argumen induktif sering disebut hipotesis. Suatu hipotesis adalah suatu proposisi yang

diterima secara tentatif untuk menjelaskan fakta-fakta atau bukti-bukti tertentu. Kesimpulan

dari suatu argumen induktif sering kali merupakan pernyataan yang dapat menjelaskan

mengapa informasi dalam premis-premisnya benar. Misalnya, hipotesis bahwa Andi

membunuh Jono dapat menjelaskan mengapa Andi lari dari kamar Jono dengan membawa

pistol.

Sejalan dengan itu, strategi untuk membangun dan mengevaluasi argumen induktif

adalah menentukan apakah kesimpulan yang diambil dari premis-premis yang ada merupakan

penjelasan terbaik mengapa premis-premis bukti benar. Para ahli logika menggambarkan hal

ini sebagai berikut: argumen induktif yang baik sebagai “kesimpulan yang merupakan

84

penjelasan terbaik dari bukti.” Sayang sekali, tidak ada metode yang sederhana untuk

mengevaluasi argumen induktif jika dibandingkan dengan pengukuran validitas argumen

deduktif. Terlebih lagi, ada banyak kesulitan filosofis di sekitar konsep dukungan induktif,

dan apakah induksi dapat dijadikan alat untuk mendapatkan pengetahuan.

Walaupun ada masalah-masalah teoretis, para ahli logika sering kali setuju mana yang

termasuk dalam penalaran induktif yang baik. Kita dapat membedakan kapan bukti-bukti

yang ada sudah cukup untuk mengambil kesimpulan dan kapan tidak, jika kita mempunyai

akal sehat dan pengalaman, dan berefleksi dengan teliti.

7.1.1 Induksi Enumeratif (Generalisasi Induktif)

Induksi enumeratif, atau generalisasi induktif, adalah proses yang menggunakan premis-

premis yang menggambarkan karakteristik sampel untuk mengambil kesimpulan umum

mengenai kelompok asal sampel itu. Induksi jenis argumen ini merupakan argumen induktif

yang paling terkenal. Begitu terkenalnya jenis argumen ini sampai-sampai beberapa penulis

mendefinisikan argumen induktif sebagai argumen yang “bergerak dari premis-premis

partikular ke kesimpulan umum.” Namun, sebenarnya bentuk ini hanyalah salah satu bentuk

saja dari argumen induktif.

Perhatikanlah contoh-contoh argumen berikut ini dan polanya:

(1) Kami mengobservasi 27.830 ekor angsa di Inggris dan menemukan bahwa setiap angsa tersebut berwarna putih. Kami menyimpulkan dari bukti ini bahwa semua angsa putih.

Pola Argumen 1:

X1 mempunyai karakteristik P. X2 mempunyai karakteristik P. Dasar bukti atau X3 mempunyai karakteristik P. tabel konfirmasi : Xn mempunyai karakteristik P. (n=27.830) Semua X mempunyai karakteristik P.

(2) Saya pergi ke New York untuk pertama kalinya minggu lalu. Orang pertama yang saya

tanyai tentang jalan ke Carnegie Hall bersikap sangat kasar dan menyuruh saya mundur.

Saya bertanya kepada orang kedua, dan dia juga kasar dan menyumpahi saya supaya

pergi. Saya bertanya kepada tujuh orang lagi, dan setiap orang mengusir saya tanpa

menolong saya. Akhirnya, orang kesepuluh yang saya tanya memberi tahu saya jalan ke

Carnegie Hall. Dari sini, saya menyimpulkan bahwa hampir semua orang New York

bersikap kasar kepada pendatang yang menanyakan jalan.

85

Pola Argumen 2:

X1 mempunyai karakteristik R. X2 mempunyai karakteristik R. X3 mempunyai karakteristik R. Tabel konfirmasi : X10 tidak mempunyai karakteristik R. Kebanyakan X mempunyai karakteristik R.

(3) Dari 200.000 cip (chip) yang dibuat dengan proses baru kami bulan lalu, diambil secara

acak (random) 1.000 buah untuk diuji. Hanya 50 buah dari sampel itu yang cacat, yang

berarti 95% buah sampel lainnya sempurna. Kita menyimpulkan bahwa proses

pembuatan cip yang baru ini menghasilkan sekitar 95% cip yang sempurna, dan hanya

5% yang cacat. Pola Argumen 3:

X1 mempunyai karakteristik G. X2 mempunyai karakteristik G. X3 mempunyai karakteristik G. : X950 mempunyai karakteristik G. Tabel konfirmasi X951 tidak mempunyai karakteristik G. X952 tidak mempunyai karakteristik G. X953 tidak mempunyai karakterisitk G. : X1000 tidak mempunyai karakteristik G. Sekitar 95% X mempunyai karakteristik G.

Dalam masing-masing argumen itu, premis-premisnya merupakan contoh dari

individu-individu yang mempunyai karakteristik tertentu. Kesimpulannya

menggeneralisasikan bahwa individu dari kelompok itu mempunyai karakteristik itu sampai

dengan batas tertentu. Pada contoh (1), batasnya adalah 100%, dan kesimpulannya

merupakan generalisasi universal, yaitu semua individu mempunyai karakteristik tersebut.

Pada dua contoh lainnya, korelasinya tidak mencapai 100%. Kesimpulannya berupa

generalisasi statistikal yang memperkirakan persentase individu yang mempunyai

karakteristik tersebut. Perkiraan ini masih belum jelas pada contoh (2), tetapi jauh lebih jelas

pada contoh (3).

86

Secara umum induksi enumeratif dapat dianggap sebagai argumen dari sampel.

Individu yang diobservasi merupakan sampel yang diambil dari populasi yang lebih besar,

yang kebanyakan anggotanya belum diobservasi. Berdasarkan karakteristik yang diobservasi

pada sampel, kesimpulan dibuat mengenai populasi secara keseluruhan.

Dalam pola-pola argumen yang digambarkan di atas, pernyataan-pernyataan yang

menggambarkan hasil observasi individual didaftarkan. Ini disebut tabel konfirmasi. Secara

lebih umum, karena premis-premis ini mengandung data yang digunakan sebagai bukti dalam

membuat kesimpulan, maka premis-premis ini disebut dasar induksi atau dasar bukti atau,

lebih sederhana lagi, data atau bukti.

Tabel konfirmasi tidak selalu dibuat. Kalaupun dibuat, hal itu dilakukan pada proses

pengumpulan bukti dan jarang sekali dicantumkan pada pernyataan argumen. Namun, bukti

lebih sering diringkas dalam bentuk statistik mengenai sampel yang diobservasi. Agar dapat

diterima, argumen yang berdasarkan sampel harus mempunyai asumsi bahwa sampel itu

representatif terhadap populasi dan cukup besar sehingga dapat menyediakan perkiraan yang

terandalkan (reliable). Kalaupun tidak disebutkan, asumsi ini selalu merupakan premis atau

asumsi inferensial yang implisit dalam argumen induktif yang baik. Oleh sebab itu, pola

generalisasi induktif yang baik adalah sebagai berikut:

N persen dari sampel S yang diambil dari F yang diobservasi mempunyai karakteristik G.

Sampel S cukup besar dan representatif terhadap F. Kira-kira N persen dari F mempunyai karakteristik G.

Induksi enumeratif sangat bervariasi dalam hal kualitas pengumpulan dan presentasi

datanya, dan dalam kekuatan kesimpulannya. Karena itu, kita dapat menggunakan pola

argumen ini sebagai perkiraan kasar untuk mengevaluasi argumen jenis ini secara cepat. Kita

dapat menggunakan model ini untuk melakukan rekonstruksi kekuatan suatu induksi

enumeratif. Dari sini terlihat bagaimana suatu argumen dapat ditingkatkan kekuatannya.

Dalam argumen (1) di atas, N=100% sehingga kesimpulannya merupakan generalisasi

universal untuk semua angsa. Rekonstruksi kekuatan argumen (1) adalah sebagai berikut: 100% dari sampel yang diobservasi sejumlah 27.830 angsa

di Inggris berwarna putih. Sampel sebesar 27.830 cukup besar dan representatif terhadap

semua angsa. Semua angsa berwarna putih.

87

Kebenaran premis pertama dari argumen ini dapat dipertanyakan, misalnya seseorang dapat

meragukan apakah semua unggas yang diobservasi memang benar-benar angsa. Namun jika

bukti dikumpulkan dengan hati-hati, fokus kritik terhadap argumen ini terletak pada premis

kedua.

Dalam semua argumen yang didasarkan pada suatu sampel, selalu harus

dipertanyakan apakah sampelnya cukup besar dan representatif terhadap populasi sehingga

kesimpulannya dapat dipercaya. Mengambil kesimpulan yang terlalu kuat berdasarkan

sampel yang terlalu kecil berarti melakukan percontoh salah (error sampel) yang tidak cukup.

Membuat kesimpulan berdasarkan sampel yang tidak representatif berarti melakukan

percontoh salah yang bias.

Dalam kasus ini, percontoh atau sampelnya nampaknya cukup besar untuk menjamin

kesimpulan mengenai semua angsa. Namun kita dapat melihat bahwa observasi hanya

dilakukan pada angsa di Inggris sementara kesimpulannya mengenai semua angsa. Jadi, jika

kita menduga bahwa angsa di Inggris berbeda dari angsa pada umumnya, dapat

dipertanyakan apakah sampelnya representatif. Argumen ini akan lebih kuat jika lebih

dimiripkan dengan pola di atas, yaitu dengan melemahkan kesimpulannya sampai dengan

batas semua angsa di Inggris saja. Dengan demikian, argumen (2) dapat direkonstruksi

kekuatannya menjadi:

Sebanyak 9 dari 10 orang New York sampel yang diobservasi (90%) bersikap kasar pada pendatang yang menanyakan jalan.

10 orang itu merupakan sampel yang cukup besar dan representatif dari orang New York.

Kira-kira 9 dari 10 (90%) orang New York bersikap kasar pada

pendatang yang menanyakan jalan.

Jelas bahwa kesimpulan ini bukanlah hasil dari penyelidikan yang sistematis. Kemungkinan

besar, seperti yang terjadi pada banyak argumen sehari-hari, tidak diduga atau diharapkan

bahwa argumennya akan dianalisis dan dievaluasi secara detil.

Kelemahan argumen kedua tampak jelas setelah direkonstruksi. Percontoh sejumlah

10 orang terlalu kecil untuk membuat kesimpulan secara meyakinkan mengenai orang New

York pada umumnya. Di samping itu, juga tidak disebutkan bagaimana percontohnya dipilih

sehingga kita tidak tahu apakah percontoh itu representatif. Lagi pula, premis yang satunya

lagi, yakni bahwa 9 dari 10 orang sampel yang diobservasi dan bersikap kasar kepadanya

ketika dia menanyakan jalan baru diduga saja sebagai orang New York. Kita membutuhkan

88

bukti tambahan apakah orang-orang itu memang orang New York dan apakah mereka

menganggapnya pendatang. Singkatnya, argumen kedua itu belum memenuhi pola argumen,

dan premis-premisnya tidak sepenuhnya relevan dengan kesimpulannya.

Jadi, dengan memeriksa argumen berdasarkan pola induksi enumeratif, kita

mengungkapkan kemungkinan bahwa suatu argumen ternyata tidak kuat. Dengan demikian,

argumen (3) dapat direkonstruksi menjadi:

95% dari 1000 cip yang dipilih secara acak dari semua cip yang dibuat bulan lalu dengan proses baru merupakan cip yang baik.

1000 cip itu merupakan percontoh yang cukup besar dan representatif dari semua cip yang dibuat dengan proses baru.

Kira-kira 95% dari cip yang dibuat dengan proses baru merupakan

cip yang baik. Argumen (3) cukup mendekati pola induksi enumeratif. Dengan asumsi bahwa premis

pertama benar, argumen ini boleh dikatakan kuat. Memilih cip secara acak berarti

kemungkinannya sangat besar bahwa percontoh itu representatif terhadap populasi.

Berdasarkan teori statistik, sampel sebesar itu cukup besar untuk mendukung kesimpulan

dengan probabilitas 99%, dan kira-kira 95% dianggap sebagai interval di sekitar 95%, plus

atau minus 3% (jadi, dari 92% sampai 98%).

Satu masalah dalam argumen (3) adalah bahwa sampel dipilih dari cip yang dibuat

bulan lalu, dan kesimpulannya mengenai cip yang dibuat dengan proses baru. Pola di atas

menuntut bahwa populasi yang disebutkan di kesimpulan sama dengan populasi asal sampel.

Ini berarti cip yang dibuat dengan proses baru harus merupakan cip yang dibuat dengan cara

yang sama dengan cip yang dibuat bulan lalu.

7.1.2 Spesifikasi Induktif: Silogisme Statistikal

Silogisme statistikal merupakan argumen yang menggunakan generalisasi statistik tentang

suatu kelompok untuk mengambil kesimpulan mengenai suatu sub-kelompok atau anggota

individual dari kelompok itu. Silogisme statistikal—jenis spesifikasi induktif yang paling

umum digunakan sehari-hari—merupakan kebalikan dari proses generalisasi induktif. Dalam

konteks profesional atau ilmiah— yang menggunakan teori-teori matematika untuk menarik

kesimpulan mengenai sampel dari informasi mengenai populasi yang lebih besar—spesifikasi

statistik jauh lebih kompleks..

89

Penyimpulan dalam silogisme statistikal bergerak dari generalisasi mengenai suatu

kelompok ke kesimpulan yang lebih spesifik mengenai satu anggota kelompok itu atau lebih.

Bentuk standar silogisme statistikal ialah yang berikut:

N persen dari M adalah P. Semua S adalah M.

(Kira-kira) N persen dari S adalah P.

Argumen jenis ini dapat atau tidak dapat diterima, tergantung pada seberapa tepat

generalisasi statistikalnya dinyatakan. Mari kita perhatikan contoh Hampir semua M adalah

P atau Kebanyakan M adalah P. Jelas bahwa silogisme statistikal yang menggunakan

generalisasi yang samar-samar seperti ini tidak layak diyakini sepenuhnya.

Apakah suatu argumen dapat diterima atau tidak juga tergantung pada apa yang kita

ketahui mengenai anggota S dan sejauh mana anggota S itu representatif terhadap M. Jika

situasi anggota S itu tidak sama, maka penerapan generalisasi itu pada percontoh S patut

dipertanyakan. Bila S sangat kecil jika dibandingkan dengan M, atau S adalah individu

tunggal, maka dapat atau tidak dapat diterimanya argumen tergantung pada ukuran N selain

pada ketepatan premis statistiknya. Misalnya, jika hanya 55% siswa di suatu kelas adalah

murid baru, maka kesimpulan kita bahwa seorang siswa tertentu di kelas itu adalah murid

baru dapat dikatakan lemah. Jika N sama dengan 100%, argumen jenis ini menjadi silogisme

kategorial, dan kesimpulannya menjadi deduktif.

Contoh-contoh berikut akan memperjelas uraian di atas:

Sembilan dari 10 orang Indian di Amerika Serikat tinggal di daerah reservasi. Jadi, kemungkinannya sangat besar bahwa sekitar 90% suku Sioux tinggal di daerah reservasi.

90% dari orang Indian di Amerika Serikat tinggal di daerah reservasi. Suku Sioux adalah orang Indian. (implisit) Kira-kira 90% suku Sioux tinggal di daerah reservasi.

Karena hampir semua politisi di Washington dapat mengeja kata kentang dan karena Wakil Presiden adalah seorang politisi di Washington, maka kemungkinannya sangat besar bahwa dia dapat mengeja kata itu.

Hampir semua politisi di Washington dapat mengeja kata kentang. Wakil Presiden adalah seorang politisi di Washington. Wakil Presiden dapat mengeja kata kentang.

90

Pada pandangan pertama, kedua argumen itu tampak cukup kuat. Dalam argumen (1),

generalisasi bahwa 90% orang Indian tinggal di daerah reservasi dihubungkan dengan suku

Sioux, suatu sub-kelompok dari kelompok orang Indian. Namun, kesimpulan ini masih goyah

sebelum kita yakin bahwa tidak ada perbedaan yang relevan antara suku Sioux dengan

populasi orang Indian secara keseluruhan. Walaupun kita berasumsi bahwa statistik 90%

didapatkan dari sampel yang representatif, tetap ada masalah dalam menerapkan persentase

ini pada suku Sioux. Statistik dalam premis itu mungkin didapatkan dari hasil sensus: berapa

rasio jumlah orang Indian yang tinggal di daerah reservasi terhadap perkiraan jumlah

populasi orang Indian keseluruhan. Jika memang demikian, berarti data ini mengabaikan

kenyataan bahwa suku-suku Indian sangat berbeda dalam adat dan kebiasaan hidup. Ada

kemungkinan lain juga, yakni misalnya, suku Sioux tidak wajib tinggal di reservasi khusus

sehingga banyak yang tinggal di tempat lain.

Argumen (2) tampak sangat kuat. Memang ada masalah kecil, yaitu ketidakspesifikan

premis pertama, namun argumen ini masih dapat diterima karena sangat kecil

kemungkinannya ada penelitian mengenai kemampuan mengeja para politisi. Argumen ini

menggunakan akal sehat—yaitu bahwa hampir semua politisi atau orang dewasa yang

berpendidikan dapat mengeja kata yang sederhana seperti kentang. Jadi, kita dapat

mengganggap pernyataan hampir semua politisi di Washington berarti tidak kurang dari 90%,

sehingga kesimpulan mengenai Wakil Presiden termasuk sangat kuat (kecuali ada alasan

untuk meyakini bahwa Wakil Presiden mempunyai masalah khusus dalam hal mengeja).

Dua contoh berikut menyajikan masalah yang menarik, yang tampaknya lebih mirip

prediksi daripada silogisme statistikal.

Karena 9 dari 10 kartu yang tersisa di tumpukan itu bergambar hati, kartu berikutnya yang diambil pasti bergambar hati.

90% dari 10 kartu yang tersisa di tumpukan itu bergambar hati. Kartu berikutnya yang diambil merupakan salah satu dari 10 kartu

yang tersisa di tumpukan itu. (implisit) Kartu berikutnya yang diambil bergambar hati.

Setiap pengacara yang pernah kita temui bersifat agresif. Karena orang yang akan kita temui adalah pengacara, kemungkinan besar dia juga agresif.

100% pengacara yang pernah kita temui bersifat agresif. Orang yang akan kita temui adalah pengacara. Orang yang akan kita temui bersifat agresif.

91

Argumen (3) tampaknya memprediksi kejadian di masa depan dan bukannya mengambil

kesimpulan mengenai anggota suatu kelompok berdasarkan generalisasi mengenai kelompok

itu secara keseluruhan. Namun, kartu berikutnya yang diambil dari tumpukan merupakan

anggota tumpukan yang sudah mempunyai karakteristik yang relevan (yakni, bergambar hati)

sejak sebelum kartu itu diambil. Jadi, kita dapat mengabaikan aspek prediktif dari kesimpulan

itu. Argumen (3) merupakan argumen silogisme statistikal yang sangat kuat. Jika kita tahu

bahwa tumpukan itu tidak diatur dan kocokannya jujur, maka tidak ada masalah atau pun

informasi yang dapat memperlemah argumen itu. Kemungkinannya 9 berbanding 1 bahwa

kesimpulannya benar.

Contoh (4) bukanlah silogisme statistik, walaupun tampak mirip contoh (3). Orang

yang akan kita temui yang tercantum dalam premis dan kesimpulan bukanlah anggota dari

kelompok pengacara yang pernah kita temui yang tercantum dalam generalisasi. Jadi,

argumen ini bukanlah contoh langsung dari spesifikasi statistikal. Argumen ini tampaknya

merupakan prediksi mengenai seorang pengacara yang belum ditemui berdasarkan sampel

pengacara yang pernah ditemui.

Satu bentuk rekonstruksi dari contoh (4) mungkin ialah argumen dua langkah yang

terdiri dari generalisasi induktif yang diikuti oleh silogisme statistikal:

100% dari sampel pengacara yang diobservasi bersifat agresif. Sampel yang diobservasi cukup besar dan representatif terhadap

semua pengacara. (implisit) Kira-kira 100% pengacara bersifat agresif. Orang yang akan kita temui adalah pengacara. Orang yang akan kita temui bersifat agresif.

Di sini kita juga menghilangkan aspek prediktif dari silogisme statistikalnya. Jelas bahwa

dapat atau tidak dapat diterimanya argumen ini tergantung pada kebenaran premis implisitnya

dan pada hal lain yang kita ketahui mengenai orang yang akan kita temui.

Masalah yang timbul adalah kita tidak dapat yakin apakah rekonstruksi di atas

memang merupakan apa yang dimaksud si pembicara. Ada kekemungkinan lain, yaitu si

pembicara tidak memaksudkan observasinya mengenai pengacara yang pernah mereka temui

sebagai generalisasi mengenai semua pengacara, melainkan hanya mengenai pengacara yang

mereka temui. Jadi, rekonstruksinya mungkin seperti ini.

100% pengacara yang pernah kita temui bersifat agresif. Sampel yang kita observasi cukup besar dan representatif terhadap semua

pengacara yang kita temui (atau akan kita temui).

92

Kira-kira 100% pengacara yang (akan) kita temui bersifat agresif. Orang yang akan kita temui adalah pengacara yang (akan) kita temui. Orang yang akan kita temui bersifat agresif.

Rekonstruksi ini—tampaknya merupakan rekonstruksi yang aneh dan rumit—dari

argumen (4). Pertama, mengapa pembicara membatasi kesimpulannya hanya pada pengacara

yang pernah atau yang akan dia temui. Mungkin sejauh itu dia baru bertemu dengan

pengacara pengadilan New York saja dan semuanya cenderung agresif. Namun jika

demikian, argumen ini gugur dan kita masih membutuhkan informasi lebih jauh mengenai

orang yang akan mereka temui untuk menentukan apakah dia adalah seorang pengacara

pengadilan New York.

Kedua, keanehan rekonstruksi yang kedua ini menunjukkan bahwa mungkin argumen

(4) memang merupakan prediksi yang mencoba memprediksi kejadian di masa depan

berdasarkan bukti observasi di masa lalu. Prediksi ini menyangkut seorang pengacara yang

belum diobservasi, yang bukan merupakan anggota kelompok yang sudah diobservasi. Jika

memang demikian, maka pernyataan ini bukanlah argumen dua langkah yang terdiri dari

generalisasi induktif dan silogisme statistikal, melainkan sebuah prediksi.

7.1.3 Induksi Eliminatif atau Diagnostik

Argumen induktif eliminatif atau diagnostik mempunyai premis-premis yang

menggambarkan suatu konfigurasi fakta atau data yang berbeda-beda, yang merupakan bukti

dari kesimpulannya. Kesimpulan ini didukung oleh bukti-bukti diagnostik yang ada, yang

menghapus adanya kemungkinan kesimpulan lain sebagai penjelasan terbaik atas bukti-bukti

itu. Induksi jenis ini menghasilkan kesimpulan yang merupakan penjelasan terbaik, tetapi

tidak statistikal.

Dengan induksi enumeratif kita menyimpulkan bahwa semua burung gagak berwarna

hitam berdasarkan observasi bahwa gagak ini hitam, gagak itu hitam, begitu juga gagak-

gagak lain, dan seterusnya. Dalam argumen eliminatif atau diagnostik, datanya tidak berupa

repetisi dari jenis observasi yang sama. Umpamanya kita mendengar suara orang berteriak-

teriak marah, barang-barang pecah, dan pintu dibanting di apartemen sebelah. Kita

menyimpulkan bahwa tetangga kita sedang bertengkar. Kita memutuskan bahwa ini adalah

penjelasan yang paling mungkin dari apa yang kita dengar, karena kita tahu bahwa mereka

bukan aktor yang sedang berlatih akting, dan juga tidak mempunyai sound system yang

sangat baik yang mungkin menipu kita.

93

Bukti-bukti dalam argumen induktif mana pun tidak pernah menjamin

kesimpulannya. Premis-premis dari argumen induktif dapat mendukung beberapa kesimpulan

yang berbeda dan bertentangan. Kesimpulan-kesimpulan itu disebut kesimpulan rival atau

hipotesis rival. Dalam induksi diagnostik, orang yang mengajukan argumen meneliti bukti-

bukti untuk membuat kesimpulan berupa hipotesis yang paling mungkin menjelaskan bukti-

bukti itu. Argumen diagnostik yang kuat harus mempunyai cukup bukti untuk menghapuskan

semua kecuali satu hipotesis rival. Hipotesis yang tersisa itu merupakan kesimpulan yang

paling mungkin.

Tidak seperti pada penyimpulan deduktif, kemampuan membuat kesimpulan induktif

yang merupakan penjelasan terbaik biasanya tergantung pada keahlian dan pengetahuan si

pembicara mengenai topik yang dibahas, dan bukan pada pengetahuan mengenai bahasa dan

aturan pengambilan kesimpulan. Contoh kasus yang merupakan paradigma dari induksi

diagnostik adalah diagnosis dokter mengenai penyakit pasien dari konfigurasi gejala, hasil

pemeriksaan laboratorium, dan bukti-bukti lain. Penalaran diagnostik atau eliminatif

barangkali merupakan jenis penalaran induktif sehari-hari yang paling umum. Walaupun

biasanya tidak dilakukan seteliti dokter, induksi jenis ini merupakan dasar dari pengetahuan

sehari-hari kita mengenai dunia di sekitar kita. Perhatikanlah contoh berikut.

1. Jimmy demam, dia kelihatan lemah, dan ada bintik-bintik kecil berwarna merah di wajahnya. Karena dia belum pernah kena cacar air sebelumnya, kemungkinan dia kena cacar air sekarang.

Jimmy demam. Dia kelihatan lemah. Bukti Ada bintik-bintik kecil berwarna merah di wajahnya. Dia belum pernah kena cacar air. Kondisi pembatas Orang dengan gejala seperti itu, yang belum pernah Hipotesis bantuan kena cacar air sebelumnya, barangkali kena cacar air. (implisit) Jimmy kena cacar air.

2. Kita yakin bahwa akan ada serangan musuh di sektor selatan karena ada

pengumpulan pasukan di sektor itu dan komandan mereka ada di situ. Terlebih lagi, mengingat keadaan pasukan mereka, kesempatan terbaik mereka untuk menang adalah dengan menyerang sektor selatan sekarang. Ini adalah kesempatan yang kemungkinannya kecil untuk mereka lewatkan.

Ada pengumpulan pasukan di sektor selatan. Komandan mereka ada di sektor itu. Bukti Mengingat keadaan pasukan mereka, kesempatan

terbaik mereka untuk menang adalah dengan menyerang

94

sektor selatan sekarang. Hipotesis Kecil kemungkinannya musuh melewatkan kesempatan untuk bantuan

menang. Akan ada serangan musuh di sektor selatan.

3. Jethro menunjukkan ekspresi tidak enak di wajahnya, dan wajahnya memerah.

Mereka mengatakan dia sering malu bila berada dekat perempuan yang tidak dikenalnya. Karena dia sedang berbicara dengan Harriet dan dia tidak mengenal Harriet, kita dapat menyimpulkan bahwa dia mungkin sedang malu. Hal itu juga dapat menjelaskan mengapa dia terus mencari pintu keluar.

Jethro menunjukkan ekspresi tidak enak di wajahnya. Wajahnya memerah. Bukti Dia terus mencari pintu keluar. Jethro sedang berbicara dengan Harriet. Kondisi pembatas Harriet adalah perempuan yang tidak dikenal Jethro. Dia sering malu bila berada di dekat perempuan yang Hipotesis bantuan

tidak dikenalnya. Jethro malu.

Contoh-contoh itu mengandung unsur-unsur yang merupakan ciri khas dari argumen

diagnostik, yaitu premis-premis yang mengungkapkan bukti, kondisi pembatas, dan hipotesis

bantuan.

a. Bukti

Bukti dalam suatu argumen diagnostik adalah informasi dalam premis yang harus dapat

dijelaskan oleh kesimpulan dari argumen tersebut. Bukti disebut juga data diagnostik.

Informasi lain dalam premis dapat dibedakan dari bukti; informasi itu tidak harus dapat

dijelaskan oleh kesimpulan.

Pada contoh (1), bukti atau data diagnostiknya adalah “Jimmy demam, tampak lemah,

dan ada bintik-bintik kecil warna merah di wajahnya”. Kesimpulan apa pun yang diambil dari

bukti ini harus dapat menjelaskannya. Jadi, hipotesis bahwa “Jimmy kena cacar air”

menjelaskan mengapa dia demam, tampak lemah, dan ada bintik-bintik di wajahnya. Jika

hipotesis itu tidak dapat menjelaskan bukti yang ada, maka kita tidak dapat mengambil

kesimpulan bahwa dia kena cacar air berdasarkan bukti ini. Tetapi kesimpulan ini tidak perlu

menjelaskan semua informasi dalam premis. Misalnya, kesimpulan tidak perlu menjelaskan

mengapa Jimmy belum pernah kena cacar air sebelumnya. Itu bukan bagian dari data

diagnostik.

95

Pada contoh (2), kesimpulan bahwa musuh akan menyerang di sektor selatan dapat

menjelaskan mengapa ada pengumpulan pasukan di sana dan mengapa komandan mereka ada

di sana. Informasi itu adalah bukti. Namun kesimpulan tidak dapat digunakan untuk

menjelaskan mengapa saat itu adalah kesempatan terbaik mereka untuk menang dan mengapa

mereka tidak akan melewatkan kesempatan itu. Premis-premis yang disebut terakhir ini

membantu mengeliminasi hipotesis rival, namun tidak termasuk bukti.

Informasi dalam premis, di samping data diagnostik, dapat berfungsi mengeliminasi

hipotesis rival. Informasi seperti ini dapat menjelaskan kondisi atau konteks tempat bukti

dipahami sebagai bukti dari kesimpulan. Ini disebut kondisi pembatas.

Bukti untuk pengambilan kesimpulan induktif bukan berupa informasi yang sudah

diberi label, atau terisolasi, sehingga kita tinggal menggunakannya, melainkan informasi

yang sangat banyak yang harus dipilih sebagai data yang kita yakini relevan untuk

mendukung kesimpulan kita. Jadi, data yang terpilih menjadi bukti bagi kesimpulan dalam

konteks yang kita batasi. Konteks ini hampir selalu mengandung informasi faktual yang

bukan merupakan bagian dari data diagnostik.

b. Kondisi Pembatas

Kondisi pembatas dalam suatu argumen induktif diagnostik terdiri dari premis-premis faktual

tambahan yang membatasi konteks argumen dan digunakan untuk menunjukkan bagaimana

bukti mengarah ke kesimpulan. Kondisi pembatas secara logis berbeda dari bukti karena

tidak harus dijelaskan oleh kesimpulan. Kondisi pembatas adalah keadaan faktual yang

membantu menunjukkan mengapa kesimpulan itu adalah penjelasan yang paling mungkin

dari bukti dan bukannya kesimpulan rival.

Beda contoh (1), misalnya, pembicara menyatakan fakta bahwa Jimmy belum pernah

kena cacar air sebelumnya dalam menyimpulkan bahwa Jimmy kena cacar air. Fakta ini

bukan bukti menurut definisi kita. Namun, fakta ini mendukung kesimpulan karena

mengeliminasi kemungkinan bahwa Jimmy sudah mempunyai kekebalan terhadap cacar

air—kemungkinan yang akan menggugurkan kesimpulan bahwa Jimmy sekarang kena cacar

air. Informasi lain yang diketahui dapat juga berfungsi sebagai fakta yang membantu

menunjuk ke arah cacar air sebagai penjelasan yang paling mungkin dari bukti. Misalnya,

jika Jimmy baru-baru ini bertemu dengan anak-anak yang sedang menderita cacar air, maka

fakta ini adalah kondisi pembatas yang penting. Dengan hipotesis pembantu bahwa cacar air

menular, fakta ini dapat membantu menunjukkan mengapa cacar air merupakan penjelasan

terbaik atas bukti yang ada.

96

Pembicara pada contoh (3) memilih fakta bahwa Jethro sedang berbicara dengan

Harriet sebagai informasi yang relevan dengan kesimpulannya bahwa Jethro sedang malu.

Fakta ini bukan bukti atau data diagnostik untuk kesimpulan itu karena kesimpulan bahwa

Jethro malu tidak menjelaskan mengapa dia berbicara dengan Harriet. Namun fakta ini

menerangkan keadaan Jethro. Begitu pula, fakta bahwa Jethro tidak mengenal Harriet tidak

dapat dijelaskan oleh kesimpulan. Fakta-fakta ini adalah kondisi pembatas, yang dengan

bantuan hipotesis pembantu turut menunjukkan mengapa “malu” adalah penjelasan yang

paling mungkin dari bukti-bukti yang ada. Singkatnya, kondisi pembatas menggambarkan

keadaan faktual atau konteks di mana bukti dapat mendukung kesimpulan.

Bukti dan kondisi pembatas adalah fakta atau pernyataan yang dianggap benar oleh

pembicara dalam mengambil kesimpulan. Kedua hal ini tidak termasuk hipotesis karena

dianggap tentatif atau teoretis, tetapi dianggap sebagai fakta dan benar.

c. Hipotesis Bantuan

Hipotesis bantuan dalam suatu argumen adalah hipotesis yang membantu menunjukkan

bagaimana bukti, dalam kondisi pembatas, dapat diyakini mengarah pada kesimpulan. Dalam

argumen diagnostik, hipotesis pembantu juga dapat membantu menunjukkan bagaimana

kesimpulan, dalam kondisi pembatas, merupakan penjelasan yang paling mungkin dari bukti

yang ada. Hipotesis pembantu dapat berupa generalisasi, hukum alam, atau pernyataan

tentatif yang digunakan pembicara untuk menarik kesimpulan berupa penjelasan terbaik.

Hipotesis pembantu mungkin mengandung pernyataan spekulatif atau interpretatif yang

menunjukkan mengapa si pembicara yakin kesimpulannya mungkin benar, dan mengapa

kesimpulan rival mungkin tidak benar.

Pada contoh (2), misalnya, kedua hipotesis pembantu tidak dianggap sebagai fakta.

Keduanya tidak termasuk bukti maupun kondisi pembatas. Hipotesis pertama, yang

didasarkan pada bukti dan keahlian pembicara, berspekulasi bahwa kesempatan terbaik bagi

musuh untuk menang adalah dengan menyerang sektor selatan. Hipotesis kedua berspekulasi

mengenai motivasi musuh untuk menang dengan menyatakan bahwa kemungkinannya kecil

mereka akan melewatkan kesempatan terbaik mereka untuk menang. Hipotesis ini membantu

mengikat bukti pada kesimpulan bahwa musuh akan menyerang sektor selatan, dan juga

membantu membatalkan kemungkinan kesimpulan lain. Jadi, misalnya, jika menyerang

sektor selatan merupakan kesempatan terbaik mereka untuk menang, kemungkinannya kecil

bahwa mereka mengumpulkan pasukan di sektor itu untuk menyamarkan serangan di sektor

lain.

97

Pada contoh (1), pembicara menganggap bukti dan kondisi pembatasnya sebagai

sesuatu yang benar, dan dia tidak mengemukakan hipotesis pembantu. Dari sudut

pandangnya, fakta-fakta yang mendukung kesimpulannya bahwa Jimmy kena cacar air sudah

jelas dan tidak ada masalah. Kita menambahkan pernyataan implisit bahwa orang yang

berada dalam kondisi seperti Jimmy mungkin sedang menderita cacar air. Pernyataan implisit

ini merupakan generalisasi yang membantu menunjukkan mengapa bukti itu dapat diyakini

mengarah ke kesimpulan.

Argumen induktif sehari-hari tidak berupa unsur-unsur yang diberi label seperti contoh

di atas. Argumen ini biasanya dinyatakan secara tidak lengkap, lebih tidak lengkap daripada

argumen deduktif. Dalam penalaran induktif, di mana ketidakpastian sering kali dominan,

kesimpulan sering kali tergantung pada pengambilan kesimpulan tanpa menyebutkan banyak

detil-detil. Keahlian dan pengalaman pembicara, intuisi, aturan umum, dan spekulasi sering

kali berperan dalam pengambilan kesimpulan. Ini membuat rekonstruksi argumen menjadi

sulit.

Namun, biasanya, kita dapat mengkategorikan premis-premis dalam kebanyakan

argumen induktif ke dalam tiga tipe di atas, yakni bukti, kondisi pembatas, dan hipotesis

pembantu. Dalam mengemukakan argumen diagnostik atau eliminatif, bukti adalah apa yang

dianggap benar oleh pembicara. Dia harus menyatakan bukti ini secara eksplisit; tidak

mungkin ada bukti yang implisit.

Sebaliknya, kondisi pembatas dan hipotesis pembantu sering kali tidak dinyatakan dan

dibiarkan implisit. Dalam kasus seperti itu, kita harus menggunakan pengetahuan kita

mengenai topik argumen, imajinasi kita dalam memikirkan kesimpulan-kesimpulan rival

yang mungkin, dan logika kita dalam memutuskan kondisi pembatas dan hipotesis pembantu

apa saja yang diperlukan pembicara untuk membuat kesimpulan induktif yang dapat diterima.

Singkatnya, kita perlu tahu banyak mengenai topik argumen atau tahu banyak pengetahuan

umum jika kita ingin menjadi evaluator penalaran induktif yang efektif.

Latihan 7.1 (Hipotesis Induktif dan Ketidakpastian) Perhatikan informasi yang diberikan dalam masing-masing soal berikut. Rumuskanlah suatu

hipotesis yang dapat ditarik dari informasi yang ada. Kemudian, susunlah argumen untuk

hipotesis itu dalam pola standar. Selanjutnya, sebutkan informasi lain apakah yang harus

Anda cari untuk mengkonfirmasi hipotesis Anda. Akhirnya, bayangkan dan tuliskan

98

informasi yang akan membuat Anda mempertayakan atau menolak hipotesis yang telah Anda

buat.

Contoh: Sepuluh saksi mata menyatakan bahwa mereka melihat Andi berlari dari kamar

tempat Jono ditembak dan dia memegang pistol di tangannya. Kesepuluh saksi mata mendengar Andi berteriak bahwa dia senang Jono sudah mati.

Jawaban:

Sepuluh saksi mata menyatakan bahwa mereka melihat Andi berlari dari kamar tempat Jono ditembak.

Kesepuluh saksi mata menyatakan bahwa dia memegang pistol di tangannya.

Kesepuluh saksi mata mendengar Andi berteriak bahwa dia senang Jono sudah mati.

Andi menembak dan membunuh Jono.

1) Informasi yang mengkonfirmasi: Pistol yang dipegang Andi memang merupakan pistol

yang digunakan untuk membunuh Jono. Perhatikan informasi tambahan yang berikut.

Laporan forensik mengenai waktu Jono meninggal bersamaan dengan waktu Andi dilihat

lari dari kamar itu. Andi mempunyai motif membunuh Jono. Tidak ada orang lain yang

terlihat meninggalkan tempat kejadian.

2) Informasi yang mendiskonfirmasi: Laporan polisi menunjukkan bahwa Jono ditembak

dengan pistol yang berbeda dari yang dipegang Andi. Kesepuluh saksi mata adalah

anggota suatu geng yang bermusuhan dengan Andi dan telah bersumpah untuk

mencelakainya.

Soal pertanyaan:

1. Dua puluh orang yang makan di Rumah Makan Joe pada hari Kamis malam sakit parah

dan harus dirawat di rumah sakit. Kedua puluh orang itu makan kerang mentah.

2. Enam jawaban dari sepuluh soal di lembar ujian John dan Tammy sama persis.

3. Nilai ulangan Jimmy di sekolah sangat jelek. Dia sering bersikap cemas dan terlalu

bersemangat. Dia sering bersama Mark, seorang siswa yang tahun lalu diskors dari

sekolah karena ketahuan menggunakan obat-obatan terlarang.

99

Latihan 7.2 (Induksi Enumeratif) Jawablah soal-soal berikut. Buatlah struktur induksinya jelas dan usahakan semirip mungkin

dengan bentuk generalisasi induktif yang sudah dijelaskan dalam uraian di atas. Kemudian

diskusikanlah sejauh mana kesimpulannya didukung oleh bukti-bukti yang ada. Dalam

berdiskusi, jangan lupa membahas masalah-masalah apa saja—seperti relevansi, cukup atau

tidaknya data, dan apakah data representatif atau tidak—yang ada sehingga Anda sulit

menerima kesimpulan itu berdasarkan bukti-bukti yang ada. Jika mungkin, buatlah

kesimpulan yang lebih lemah yang lebih sesuai dengan data yang ada. 1. Hanya dua puluh persen dari 1000 orang California yang dipilih secara acak mengatakan

bahwa mereka percaya presiden telah berusaha mencoba merangsang pertumbuhan

ekonomi. Berdasarkan itu, kita menyimpulkan bahwa pemeringkat (rating) positif

terhadap presiden di bidang ekonomi turun hingga di bawah 25%.

2. Memang benar apa yang mereka dikatakan tentang pengendara sepeda motor. Mereka

adalah orang yang paling antisosial dan sopan santunnya sangat buruk serta cenderung

melakukan tindak kekerasan. Kami pergi ke pertemuan kelompok Bay Area Marauders,

suatu kelompok sepeda motor Hell Angel yang berpusat di San Fransisco. Dari dua puluh

orang yang kami wawancarai, lima orang mengaku pernah masuk penjara. Sepuluh orang

menjawab secara kasar dan menyuruh kami pergi sebelum mendapat masalah. Empat

orang terakhir menolak menjawab pertanyaan dan memaksa kami keluar dari tempat itu.

Latihan 7.3 (Silogisme Statistikal) Jika mungkin, buatlah rekonstruksi dari argumen dalam soal-soal berikut ini sehingga

menjadi silogisme statistikal. Jika argumen itu tidak dapat direkonstruksi menjadi bentuk

silogisme statistikal, jelaskan mengapa demikian. Akhirnya, diskusikanlah secara kritis

mengapa Anda menerima atau menolak argumen itu dan diskusikan juga alasannya. 1. Kebanyakan orang yang tinggal di Bell Air kaya raya. Jadi, keluarga yang tinggal di

sebelah rumah keluarga Reagan kemungkinan besar kaya raya.

2. Begini, Joe. Orang tua mencintai anak-anaknya. Jadi, walaupun tampaknya orang tuamu

bertingkah laku seolah-olah tidak mencintaimu, ingatlah bahwa mereka mencintaimu.

100

3. Setiap kali kita pergi ke rumah keluarga Quigley, mereka pasti sedang bertengkar.

Mungkin mereka juga akan bertengkar hari Minggu besok ketika kita ke sana. Barangkali

sebaiknya kita tidak usah ke sana.

Latihan 7.4 (Induksi Diagnostik) Gambarkanlah struktur argumen-argumen induktif dalam soal-soal berikut. Dalam gambaran

Anda itu, tunjukkan premis mana yang berisi bukti, kondisi pembatas, dan hipotesis

pembantu. Jika Anda mengalami kesulitan dalam menentukan kategori yang tepat untuk salah

satu premis, jelaskan mengapa. Selanjutnya, sebutkan satu asumsi implisit yang menurut

Anda dapat memperkuat argumen itu, dan tentukan apakah asumsi itu berfungsi sebagai

kondisi pembatas atau hipotesis pembantu jika diikutsertakan dalam argumen. Akhirnya,

diskusikan secara singkat mengapa Anda menerima atau menolak argumen itu. 1. Wajah Jimmy berbintik-bintik merah. Tony, anak tetangga, sedang menderita cacar air.

Mungkin Jimmy juga menderita penyakit itu. Cacar air, ‘kan, menular?

2. Kami tahu bahwa pasien itu merasa mual, muntah-muntah, dan rambutnya rontok selama

tiga minggu sebelum dirawat di rumah sakit. Di beberapa bagian tubuhnya ada luka-luka

menganga. Kami juga tahu bahwa dia bekerja di suatu reaktor nuklir selama setahun

terakhir. Bukti ini mengarah kepada kesimpulan bahwa dia menderita keracunan radiasi.

Tentu saja, kami masih harus melakukan beberapa tes.

8. Sesat Pikir

8.1. Pengertian Sesat Pikir (Fallacies)

Sesat pikir menurut logika tradisional adalah kekeliruan dalam penalaran berupa

penarikan kesimpulan-kesimpulan dengan langkah-langkah yang tidak sah, yang disebabkan

oleh dilanggarnya kaidah-kaidah logika. Menurut Copi, sesat pikir adalah perbincangan yang

mungkin terasa betul, tetapi yang setelah diuji terbukti tidak betul. Perhatikanlah contoh

berikut.

(1) Kalau hujan turun, maka tanah basah. Tanah basah. Jadi hujan turun.

(2) Kalau manusia mati tak bernafas.

Susi, seorang manusia, tak bernafas Jadi Susi mati.

101

Argumentasi di atas salah karena dalam kedua argumentasi itu, “hujan” dan ”tak

bernafas” masing-masing adalah kondisi yang mencukupi (sufficient condition), bukan

kondisi niscaya (necessary condition); dengan kata lain, hubungannya asimetris. Hujan

memang menyebabkan tanah basah, tetapi tanah basah belum tentu karena hujan. Mati sudah

tentu tak bernafas, tetapi tak bernafas belum tentu mati.

Sebetulnya tidak ada penggolongan sesat pikir yang sempurna, tetapi penggolongan

dari Copi (1986) dapat digunakan sebagai pegangan untuk mengenali sesat pikir.

8.2. Sesat Pikir Formal

A. Dalam Deduksi

Dalam deduksi, penalaran ditentukan oleh bentuknya. Jika sebuah penalaran bentuknya tidak

sesuai dengan bentuk deduksi yang baku, maka penalaran itu tidak sahih dan tergolong sesat

pikir.

1. Empat Term (Four Terms)

Seperti namanya, sesat pikir jenis empat term terjadi jika ada empat term yang diikutsertakan

dalam silogisme padahal silogisme yang sahih hanya mempunyai tiga term. Contoh berikut

ini mengandung kesalahan empat term.

Rumah mempunyai halaman. Buku mempunyai halaman.

Jadi: Buku adalah rumah.

Kesalahan terletak pada kata halaman yang mempunyai makna ganda sehingga ada tambahan

term. Halaman rumah dan halaman buku berbeda maknanya karena merujuk kepada dua ide

yang berbeda. Jadi, terdapat empat term dalam silogisme di atas, yang seharusnya hanya tiga.

2. Term tengah yang tidak terdistribusikan (undistributed middle terms)

Pengertian dari term tengah yang tidak terdistribusikan adalah silogisme kategoris yang term

tengahnya tidak memadai menghubungkan term mayor dan term minor, misalnya

Kucing makan daging. Anto makan daging.

Jadi: Anto adalah kucing.

3. Proses Ilisit (Illicit process)

Proses ilisit adalah perubahan tidak sahih dari term mayor atau term minor seperti pada

contoh berikut.

102

Banyak orang Indonesia pemalas. Pemalas tidak bisa maju.

Jadi: Orang Indonesia tidak bisa maju.

Kesalahan silogisme ini terletak pada peralihan dari banyak orang Indonesia yang merujuk

kepada sebagian orang Indonesia (partikular) ke orang Indonesia yang merujuk kepada

semua orang Indonesia (universal).

4. Premis-premis afirmatif tetapi kesimpulannya negatif

Sesat pikir ini terjadi jika dalam premis digunakan proposisi afirmatif (pernyataan yang

menyatakan sesuatu secara positif) tetapi dalam kesimpulan digunakan proposisi negatif

(pernyataan yang menegasi sesuatu). Perhatikanlah contoh berikut.

Semua orang Indonesia adalah manusia. Sebagian orang Indonesia adalah ahli logika.

Jadi: Sebagian orang Indonesia bukan ahli logika.

Meskipun diketahui bahwa sebagian orang Indonesia adalah ahli logika, tidak ada informasi

yang menyebutkan sebagian lagi bukan ahli logika. Kesimpulan “Sebagian orang Indonesia

bukan ahli logika” tidak dapat diturun dari dua premis dalam silogisme ini. Kesimpulan yang

dapat dibuat adalah “Sebagian ahli logika adalah manusia”. Dalam deduksi, yang dijadikan

dasar penilaian sahih atau tidaknya argumen adalah bentuknya. Bentuk yang benar harus

benar untuk semua argumen, apa pun isi materialnya. Memang dalam silogisme di atas

terkesan argumennya tetapi jika kita gunakan untuk silogisme berikut, maka dapat diketahui

bahwa bentuk itu tidak sahih.

Semua orang Indonesia adalah manusia. Sebagian orang Indonesia bernafas.

Jadi: Sebagian orang Indonesia tidak bernafas.

5. Premis negatif dan kesimpulan afirmatif

Sesat pikir ini terjadi jika dalam premis digunakan proposisi negatif tetapi dalam kesimpulan

digunakan proposisi afirmatif, misalnya

Tiada hewan yang berkaki tiga. Semua hewan peka terhadap rangsang.

Jadi: Semua yang peka terhadap rangsang berkaki tiga.

103

6. Dua premis negatif

Sesat pikir dua premis negatif terjadi jika dalam silogisme kedua premis yang digunakan

adalah proposisi negatif. Perhatikanlah contoh-contoh berikut.

(1) Tiada hewan yang berkaki tiga. Tiada hewan dapat membuat alat.

Jadi: Semua yang dapat membuat alat bukan hewan. Meskipun terkesan benar, silogisme ini tidak sahih karena tidak ada kesimpulan yang dapat

diturunkan dari dua proposisi negatif. Kesimpulan dalam silogisme ini tidak memberi

tambahan pengetahuan baru. Berikut ini dua contoh lain sesat pikir berbentuk dua premis

negatif.

(2) Tiada hewan yang berpikir. Semua hewan tidak dapat membuat alat.

Jadi: Semua yang dapat membuat alat berpikir.

(3) Tiada buku Jono yang mudah dibaca. Tiada buku yang mudah dibaca bermutu.

Jadi: Semua buku Jono bermutu.

7. Mengafirmasi konsekuensi

Sesat pikir mengafirmasi konsekuensi adalah pembuatan kesimpulan yang diturunkan dari

pernyataan yang hubungan antara anteseden dan konsekuensinya tidak niscaya tetapi

diperlakukan seolah-olah hubungan itu suatu keniscayaan. Perhatikan contoh berikut.

Kalau lampu menyala, perabot-perabot di rumah saya nampak. Perabot-perabot di rumah saya nampak.

Jadi: Lampu menyala.

Bentuk penalaran ini salah sebab perabot-perabot rumah saya nampak bukan hanya karena

diterangi oleh cahaya lampu, melainkan dapat juga karena hal lain, misalnya diterangi oleh

sinar matahari. Jadi dapat saja terjadi perabot-perabot di rumah saya nampak tetapi lampu tak

menyala, misalnya pada siang hari.

8. Menolak anteseden

Sesat pikir menolak anteseden juga merupakan pembuatan kesimpulan yang diturunkan dari

pernyataan yang hubungan antara anteseden dan konsekuensinya tidak niscaya tetapi

diperlakukan seolah-olah hubungan itu suatu keniscayaan. Tetapi dalam bentuk ini yang

ditolak adalah antesedennya. Perhatikan contoh berikut.

Jika guru pandai maka murid pandai.

104

Murid tidak pandai. Jadi: Guru tidak pandai.

Murid tidak pandai bisa saja karena tidak cerdas atau tidak pernah masuk kelas. Hubungan

antara guru pandai dan murid pandai berlaku dalam situasi dengan kondisi-kondisi tertentu.

Jika kondisi itu tidak dipenuhi maka hubungan itu tidak berlangsung. Jadi murid tidak pandai

belum tentu karena guru tidak pandai.

9. Mengiyakan suatu pilihan dalam suatu susunan argumentasi disjungsi subkontrer (atau)

Sesat pikir ini terjadi jika hubungan atau di antara dua hal diperlakukan sebagai

pengingkaran oleh hal yang satu terhadap hal yang lain. Atau belum tentu menunjukkan suatu

pengingkaran. Perhatikan contoh berikut.

Hari hujan atau panas. Hari hujan.

Jadi: Hari tidak panas.

Hari hujan belum tentu tidak panas karena hari hujan dan panas tidak saling mengingkari.

10. Mengingkari suatu pilihan dalam suatu disjungsi yang kontrer (dan)

Bentuk sesat pikir ini terjadi jika dua hal yang dihubungkan dengan kata dan diperlakukan

seolah-olah nilai kebenaran (benar atau tidak benar) dari gabungan keduanya sama dengan

nilai kebenaran dari setiap hal yang digabungkan, atau nilai tidak benar dari gabungan dari

dua hal itu seolah-olah disebabkan oleh salah satunya. Perhatikan contoh berikut.

Nativisme dan empirisme tidak benar. Nativisme benar. Empirisme tidak benar.

Jika tidak digabungkan, baik nativisme maupun empirisme bisa saja sama-sama benar. Yang

membuat tidak benar adalah penggabungan keduanya.

8.3. Sesat Pikir Nonformal

1. Perbincangan dengan ancaman

Dalam sesat pikir ini kebenaran dari kesimpulan didasarkan kepada ancaman, misalnya “Saya

menerima penyataan bahwa bumi ini pusat dunia karena jika tidak maka nyawa saya

terancam”.

105

2. Salah guna (Abusive)

Sesat pikir salah guna adalah penyalahgunaan pertimbangan-pertimbangan yang secara logis

tidak relevan, misalnya

Parpol dan Golkar mendukung Orde Baru. Golkar yang melahirkan Orde Baru.

Jadi: Golkar yang paling mendukung Orde Baru.

3. Argumentasi berdasarkan kepentingan (circumstantial)

Sesat pikir ini timbul sebagai akibat dari penarikan kesimpulan secara logis melainkan untuk

kepentingan pihak yang termaksud seperti pada contoh berikut.

Agar persatuan pemuda dapat dipertahankan, maka si X harus menjadi ketua organisasi pemuda. Karena X sudah berumur 40 tahun, maka dalam anggaran dasar organisasi pemuda itu, definisi pemuda ditetapkan sampai umur 45 tahun.

4. Argumentasi berdasarkan ketidaktahuan

Argumentasi berdasarkan ketidaktahuan adalah argumentasi yang menilai sesuatu—tindakan

atau pernyataan—benar berdasarkan ketidaktahuan, bukan berdasarkan isi dan bentuk

argumentasinya. Orang membenarkan sebuah keputusan, meskipun salah, hanya dengan

alasan ia tidak tahu. Lalu orang lain menerima dan tidak menyalahkan keputusan itu dengan

alasan bahwa orang yang membuat keputusan tidak tahu. Perhatikanlah contoh berikut.

Kami memilih Suyadi sebagai dekan meskipun ia belum memenuhi syarat karena kami tidak tahu bahwa ia tak memenuhi syarat, jadi kami tak bisa disalahkan.

5. Argumentasi berdasarkan belas kasihan

Argumentasi belas kasihan adalah argumentasi yang menilai benar atau salahnya sesuatu

berdasarkan belas kasihan, bukan berdasarkan isi dan bentuk argumennya. Orang

membenarkan sebuah keputusan, meskipun salah, hanya dengan alasan kasihan. Lalu orang

lain menerima dan tidak menyalahkan keputusan itu dengan alasan orang yang membuat

keputusan merasa belas kasihan. Perhatikanlah contoh berikut.

Andi memang salah dan menurut peraturan ia harus dihukum, tetapi kasihan jika ia dihukum, hidupnya sudah susah, jadi kami tak dapat menyalahkannya dan tak menghukumnya.

106

6. Argumentasi yang disangkutkan dengan orang banyak

Sesat pikir jenis ini adalah argumentasi yang menjadikan apa yang dipercaya oleh

kebanyakan orang sebagai dasar penentuan benar atau salahnya argumentasi. Orang

membenarkan sebuah keputusan dengan alasan semua orang berpendapat demikian.

Perhatikanlah contoh berikut.

Semua orang juga tahu Muhidin bersalah, oleh karena itu Muhidin pasti salah.

7. Argumentasi dengan kewibawaan ahli walaupun keahliannya tidak relevan

Sesat pikir jenis ini adalah argumentasi yang membenarkan kesimpulan berdasarkan

kewibawaan ahli walaupun keahliannya tidak relevan. Isi dan bentuk argumentasi tidak

dicermati dan tidak dijadikan dasar penentuan benar atau salahnya kesimpulan. Misalnya,

menerima kesimpulan tentang perilaku seseorang yang dinilai melanggar kejahatan karena

beberapa profesor sosiologi menyalahkan perilaku itu. Contoh berikut ini merupakan sesat

pikir jenis ini.

Internet berbahaya bagi generasi muda. Hal ini disampaikan oleh Prof. Herdin. Apa yang dikatakan profesor benar karena dia ahli. Jadi internet memang berbahaya bagi generasi muda.

8. Accident atau argumentasi berdasarkan ciri-ciri tak esensial

Sesat pikir accident adalah argumentasi yang menjadikan satu sifat yang berbeda atau yang

sama sebagai dasar untuk menyimpulkan bahwa dari dua hal semuanya sama atau semuanya

berbeda. Perhatikan contoh berikut.

Bangsa Indonesia tidak sama dengan bangsa Jepang. Jadi, semua orang Indonesia tidak sama dengan semua orang Jepang.

9. Perumusan yang tergesa-gesa (converse accident)

Sesat pikir perumusan yang tergesa-gesa adalah pembuatan kesimpulan yang didasari oleh

alasan tak memadai atau tanpa alasan sama sekali. Berikut ini dua contohnya.

(1) Semua pegawai negeri adalah koruptor karena kita menemui banyak koruptor dalam keseharian kita.

(2) Semua mahasiswa malas membaca.

10. Sebab yang salah

Sesat pikir sebab yang salah adalah pembuatan kesimpulan berdasarkan satu dugaan yang tak

terbukti dan tetap dipertahankan meskipun bukti menunjukkan bahwa kesimpulan itu salah.

Misalnya pernyataan bahwa penyakit disebabkan oleh kemasukan setan. Lalu setannya diusir,

107

penyakitnya tetap ada. Tetapi tetap dipercaya bahwa penyakit disebabkan oleh kemasukan

setan.

11. Penalaran sirkular

Sesat pikir penalaran sirkular menjadikan kesimpulan sebagai alasan. Alasan yang digunakan

secara substansial tidak berbeda dengan keseimpulan. Sesat pikir ini juga dapat muncul

dalam argumentasi yang menggunakan kesimpulan yang masih harus dibuktikan sebagai

pangkal pikir. Periksalah dua contoh berikut.

(1) Petugas hukum dapat disogok karena penghasilannya rendah. Penghasilan hakim rendah karena ekonomi buruk. Ekonomi buruk karena hukum tidak berfungsi. Hukum tidak berfungsi karena petugas hukum dapat disogok.

(2) A adalah orang yang jujur. Itu terbukti dari ucapan-ucapannya sendiri kemarin.

12. Sesat pikir karena terlalu banyak pertanyaan yang harus dijawab sehingga jawaban tak

sesuai dengan pertanyaan Ketika seseorang menerima banyak pertanyaan dan tak sempat mencermati pertanyaan itu

satu per satu, ia bisa saja menjawab sekenanya sehingga terjadi kekeliruan dalam

penalarannya. Argumentasi yang dibangunnya menjadi sesat pikir. Sesat pikir jenis ini

menghasilkan kesimpulan yang tak jelas dan tak berkaitan dengan alasan yang digunakan.

Umpamanya, seorang polisi ditanya oleh banyak wartawan setelah peristiwa meledaknya

bom di sebuah hotel, lalu menjawab bahwa pelakunya adalah orang-orang yang anti NKRI

dan ingin menjatuhkan pemerintahan tanpa ada bukti dan tak ada koherensi dalam

argumentasinya.

13. Kesimpulan tak relevan.

Sesat pikir kesimpulan tak relevan adalah argumentasi yang kesimpulannya tidak sejalan

dengan alasannya, misalnya

(1) Rumah di ujung jalan itu sering kemalingan karena warna catnya hijau.

(2) Orang tua lebih tahu dan lebih pintar dari anak-anaknya karena anak-anak itu

dilahirkan orang tuanya.

108

14. Makna ganda (equivocation)

Sesat pikir makna ganda adalah argumen yang menggunakan term yang bermakna ganda

sehingga kesimpulannya tidak jelas dan dapat diubah-ubah berdasarkan pemaknaan terhadap

term itu. Argumentasi dengan makna ganda merupakan sesat pikir karena makna kata dapat

dipilih untuk maksud-maksud tertentu. Perhatikanlah contoh berikut.

Politisi yang dituduh menjelek-jelekkan presiden itu diamankan oleh pemerintah sebab jika dibiarkan akan mengganggu stabilitas keamanan. Oleh karena itu, pemerintah tidak melanggar HAM.

Kata diamankan dapat berarti ‘ditangkap’, ‘dipenjarakan’, atau ‘dilarang berbicara di muka

umum’. Contoh kata lain yang bermakna ganda ialah ditindak yang dapat berarti ‘dipukuli’,

‘ditangkap’ atau ‘ditembak’.

15. Makna ganda ketata-bahasaan (amphiboly)

Sesat pikir dapat juga terjadi karena argumentasi yang dikemukakan menggunakan term-term

yang bermakna ganda jika dilihat dari tata bahasa, misalnya kata mata yang dapat digunakan

dengan makna yang lain seperti dalam matahari, mata kuliah, mata sapi, mata hati, mata

kaki, dan mata-mata. Berikut ini contoh argumentasi yang merupakan sesat pikir makna

ganda ketata-bahasaan.

Diri seseorang tercermin dari hatinya. Hati yang baik mencerminkan diri yang baik. Hati yang buruk mencerminkan diri yang buruk.

Kata hati dalam argumentasi di atas dapat bermakna ganda. Term hati di situ tidak merujuk

kepada organ hati, melainkan kepada perasaan, intuisi, atau nurani. Argumentasi itu menjadi

sesat pikir karena hati yang dimaksud tak dapat dikenali secara jelas merujuk kepada

objeknya sehingga tak dapat dibuktikan benar atau salah. Argumentasi yang dicontohkan di

atas tidak bermakna karena proposisi-proposisinya tidak jelas maknanya.

16. Sesat pikir karena perbedaan logat atau dialek bahasa

Sesat pikir dapat terjadi karena adanya perbedaan logat atau dialek bahasa atau cara menamai

sesuatu tetapi perbedaan itu tidak disadari. Sebagai contoh, mobil di Medan disebut motor

dan motor dinamakan kereta, sedangkan di Jakarta kereta berarti ‘kereta api’. Perbedaan ini

dapat menghasilkan sesat pikir jika tidak diklarifikasi.

109

17. Kesalahan komposisi

Sesat pikir kesalahan komposisi adalah argumentasi yang memperlakukan kebenaran pada

bagian sebagai kebenaran keseluruhan. Dalam membuat keputusan, misalnya, manusia sering

kali dirugikan oleh perasaan, lalu disimpulkan bahwa perasaan pasti merugikan manusia.

Intinya, benar pada bagian dianggap benar pada keseluruhan.

18. Kesalahan divisi

Sesat pikir kesalahan divisi adalah argumen yang serta-merta menyimpulkan bahwa

karakteristik dari keseluruhan pasti ada pada bagian-bagiannya. Dalam sesat pikir ini,

kebenaran keseluruhan dianggap sebagai kebenaran pada bagian-bagiannya. Umpamanya,

manusia adalah makhluk yang berpikir, oleh karena itu kaki dan tangan manusia pun berpikir.

19. Generalisasi tak memadai

Sesat pikir generalisasi yang tak memadai adalah argumentasi yang kesimpulannya

didasarkan pada data atau fakta yang tak memadai. Misalnya, generalisasi berdasarkan

sampel yang terlalu kecil atau menggunakan sampel tertentu untuk membuat kesimpulan

tentang populasi yang berbeda.

9. Kesalahan Umum Dalam Penalaran Induktif4

Kesalahan-kesalahan yang dibahas di pasal ini merupakan ringkasan dari jenis-jenis

kesalahan yang dapat terjadi dalam pengambilan kesimpulan secara induktif. Kesalahan-

kesalahan itu sering disebut dengan nama yang cukup umum dalam percakapan sehari-hari

mengenai argumen induktif dan statistik. Namun perlu diingat bahwa memberi nama pada

jenis-jenis kesalahan dalam suatu argumen tidak sama dengan menganalisis dan

mengevaluasi argumen itu. Tidak semua orang tahu nama kesalahan. Selain itu, nama

kesalahan juga tidak selalu digunakan secara tepat dan konsisten.

Anda harus selalu siap memberikan kritik dengan cara melakukan teknik-teknik

rekonstruksi dan evaluasi yang telah dijelaskan pasal-pasal sebelumnya. Jika Anda

menyebutkan bahwa suatu argumen mengandung kesalahan tertentu, Anda harus siap untuk

menjelaskan apa arti nama kesalahan yang Anda sebutkan itu, dan untuk menunjukkan letak

premis atau kesimpulan yang patut dipertanyakan.

4 Pasal tentang kesalahan umum dalam penalaran induksi ini disadur dari buku A. K. Bierman dan R. N. Assali, The Critical Thinking Handbook (New Jersey, 1994). Penyaduran itu dilakukan dengan bantuan dari Judithia A. Wirawan.

110

9.1 Menilai Penalaran Induktif dengan Standar Deduktif

Kita tahu banyak hal tentang dunia ini. Dari semua pengetahuan yang kita miliki, sebagian

besar kita peroleh dari pengalaman dan dokumentasi mengenai pengalaman orang lain. Tanpa

pengetahuan empiris, kita tidak mungkin bertahan hidup. Pada akhirnya, kita mendasarkan

pengetahuan empiris kita pada penalaran induktif. Untungnya, dunia kita cukup seragam dan

tearatur sehingga pengetahuan yang kita peroleh dengan cara ini cukup kokoh. Misalnya, kita

tahu bahwa kita tidak dapat terbang ke luar angkasa, bahwa roti yang kita makan tidak bisa

tiba-tiba berubah menjadi kodok, bahwa tanah yang kita injak akan tetap diam di bawah kaki

kita. Ini semua adalah bagian dari dunia yang kita kenal baik.

Deduksi memungkinkan kita memastikan kebenaran pengetahuan kita hanya jika kita

yakin akan kebenaran premis-premisnya. Informasi yang terdapat dalam kesimpulan deduksi

tidak melampaui informasi yang terdapat dalam premis-premis asal kesimpulan itu. Pada

akhirnya, agar dapat mendukung premis-premis dalam argumen deduktif dan untuk

menambah informasi empiris kita, kita harus mengandalkan induksi.

Kita tidak perlu menolak suatu kesimpulan induktif semata-mata karena bukti-

buktinya tidak dapat menjamin kebenaran kesimpulan itu. Jaminan memang bukan

karakteristik induksi, dan kita jangan menilai argumen induktif dengan standar deduktif. Kita

jangan terlalu skeptis dalam menghadapi suatu argumen induktif, cukup kalau kita

menerapkan keraguan yang masuk akal (reasonable doubt). Batasan suatu keraguan yang

masuk akal tergantung pada konteks argumen, dan terutama pada konseksuensi dari diterima

atau ditolaknya kesimpulan dari argumen itu. Standar keraguan yang masuk akal dalam

menerima suatu gosip yang tidak berbahaya, atau bertaruh kecil-kecilan pada balap kuda,

jangan dibuat setinggi standar pada saat memutuskan apakah seseorang bersalah dalam suatu

pengadilan kriminal.

Jadi, jika kita sudah secara berhati-hati mengevaluasi bukti-bukti dalam suatu

argumen dan telah mempertimbangkan hipotesis-hipotesis rival yang paling mungkin, dan

jika argumen itu lolos semua tes yang kita lakukan, maka kita boleh menerima

kesimpulannya. Jika kita mau, kita dapat mengawali pernyataan kita dengan kata-kata seperti

sejauh pengetahuan saya atau kecuali ada tambahan bukti yang bertentangan. Dengan

melakukan hal itu, tidak ada orang yang dapat mengatakan pemikiran kita salah. Mereka

boleh saja mengkritik kita karena telah mengabaikan hipotesis rival yang mungkin atau

karena kurang banyak mempertanyakan bukti yang ada. Tetapi kita tidak dapat dituduh

111

melakukan penalaran yang buruk ketika kita menarik suatu kesimpulan yang didukung

dengan baik namun tidak dijamin oleh premis-premisnya.

Jika ada yang mengkritik kita dengan mengatakan bahwa kita telah melakukan

penalaran yang buruk, maka kritik itu sendiri sudah merupakan pemikiran yang buruk. Harus

dicamkan bahwa menilai induksi dengan standar deduksi adalah suatu kesalahan. Standar itu

tidak mungkin dicapai. Jika kita terus mengikuti standar itu, kita tidak akan pernah memiliki

banyak pengetahun yang dapat kita yakini.

Satu latihan yang baik agar kita tidak terjerumus ke dalam kesalahan ini adalah

dengan memikirkan kembali keyakinan-keyakinan yang kita miliki. Kita akan mendapati

bahwa kebanyakan dari keyakinan kita tidak didukung oleh argumen deduktif yang baik dan

kuat. Keyakinan-keyakinan itu belum terbukti sepenuhnya, tetapi kita tetap bertindak atas

dasar itu dengan cukup percaya diri.

Tuntutan yang keterlaluan biasanya muncul ketika kita menilai pernyataan orang lain.

Ini adalah kesalahan yang umum pada orang yang baru belajar logika. Kesalahan ini dapat

menyangkut penalaran induktif apa pun, dan dari jenis yang mana pun. Kesalahan-kesalahan

induktif yang akan dibahas selanjutnya dalam pasal ini akan berlaku lebih spesifik.

Latihan 8.1 (Mendukung Pernyataan dengan Deduksi dan Induksi) 1. Sebutkan lima pernyataan penting tentang dunia yang Anda yakini kebenarannya tanpa

keragu-raguan, tetapi yang Anda yakin tidak dijamin dengan penalaran deduktif.

2. Untuk masing-masing pernyataan berikut, jika Anda yakin bahwa pernyataan itu benar,

sebutkan apakah Anda akan membuat argumen yang mendukungnya dengan dasar

deduksi atau induksi, dan gambarkan secara singkat bagaimana Anda membuat argumen

itu. Sebaliknya, jika Anda yakin pernyataan itu salah, pilih dan buatlah argumen untuk

negasi dari pernyataan tersebut. Jika Anda merasa bahwa pernyataan itu tidak benar dan

tidak salah, jelaskan mengapa.

(1) Ratu Inggris adalah seorang perempuan.

(2) Paus Yohanes Paulus menentang aborsi.

(3) Sinterklas benar-benar ada.

112

9.2 Kesalahan Generalisasi

9.2.1 Generalisasi yang Terburu-buru (Kebalikan dari Kesalahan Kecelakaan)

Kesalahan ini merupakan kesalahan yang sering dilakukan. Kita seringkali senang

“merapikan” dunia dengan memasukkannya dalam kategori-kategori dan menggeneralisasi

pengalaman kita. Namun generalisasi harus dilakukan dengan berhati-hati. Bahkan

generalisasi dalam ilmu pengetahuan yang dibuat dengan sangat hati-hati pun sering kali

salah.

Karena bukti-bukti dalam suatu argumen induktif sejalan dengan lebih dari satu

kesimpulan, kita menarik kesimpulan yang lebih lemah atau lebih kuat, atau bahkan

kesimpulan yang bertentangan, berdasarkan bukti yang sama. Kesimpulan mana yang kita

tarik tergantung pada interpretasi kita mengenai data dan sejauh mana kita berhati-hati. Kita

melakukan kesalahan generalisasi yang terburu-buru jika kita memilih untuk menarik

kesimpulan yang umum dari data yang kurang. Kita juga melakukan kesalahan yang sama

jika kita membuat generalisasi yang lebih kuat atau lebih luas daripada yang diijinkan oleh

bukti-bukti yang ada, atau membuat generalisasi dari informasi yang tidak lengkap.

Kesalahan itu merupakan akibat dari pembuatan generalisasi berdasarkan bukti yang

tidak cukup, tidak lengkap, atau bias. Perhatikanlah contoh berikut.

(1) Ya, saya tahu Mike baru dioperasi. Tapi itu, ‘kan, sudah lebih dari sebulan yang lalu, dan dia tentunya sudah sembuh sekarang. Masalahnya adalah dia seharusnya menyerahkan laporannya sekarang. Ini cukup menunjukkan bahwa kita tidak akan pernah dapat mengandalkan Mike untuk melakukan pekerjaannya dengan benar.

(2) Saya sudah bertemu dengan hampir setengah dari anggota perkumpulan itu waktu saya mau mendaftar di sana. Semuanya pemabuk dan memakai “obat.” Ya, saya yakin mereka semua pasti seperti itu. Makanya, kamu jangan banyak bergaul dengan Sam. Dia, ‘kan, anggota perkumpulan itu.

Dalam masing-masing contoh itu, si pembicara menarik kesimpulan yang tidak tepat.

Pada contoh (1), si pembicara menggeneralisasi bahwa berdasarkan satu kesalahan yang

dilakukan Mike kita tidak akan pernah dapat mengandalkannya. Ini saja sudah merupakan

generalisasi yang terburu-buru. Namun seandainya si pembicara mempunyai lebih banyak

contoh mengenai ketidakbertanggungjawaban Mike pun, kesimpulannya tetap tidak tepat

karena dia tidak memperhatikan kondisi Mike. Dia tahu bahwa Mike baru dioperasi, tapi

tidak mencari tahu apakah Mike mengalami komplikasi yang memperlama masa

penyembuhannya. Ini merupakan informasi yang relevan, dan si pembicara seharusnya tidak

113

menarik kesimpulan mengenai keterandalan Mike dengan informasi yang tidak lengkap. Dia

belum mengetahui semua faktanya.

Pada contoh (2), hampir setengah populasi memang merupakan sampel yang cukup

besar untuk mengambil kesimpulan mengenai perkumpulan itu. Tetapi si pembicara

menggeneralisasi semua anggota perkumpulan itu pemabuk dan pemakai “obat.” Ini penting

karena dia lalu mencela anggota lain berdasarkan kesimpulan ini. Jelas bahwa pernyataan

universal mengenai semua anggota tidak tepat. Kesimpulan ini terlalu kuat, walaupun

sampelnya cukup besar. Terlebih lagi, dia bertemu dengan anggota yang mengurus

pendaftaran. Ini mungkin merupakan informasi yang relevan. Orang-orang ini mungkin

melebih-lebihkan kebiasaan mereka agar dapat menarik perhatian calon anggota baru. Jadi,

bukti yang didasarkan pada perilaku anggota yang sedang melakukan rekrutmen mungkin

kurang dapat diandalkan. Si pembicara seharusnya tidak menggunakannya untuk melompat

ke kesimpulan yang universal.

Menanggapi Generalisasi yang Terburu-buru

Cara terbaik untuk mengalahkan generalisasi yang terburu-buru adalah dengan menemukan

bukti yang berlawanan atau argumen yang berlawanan untuk menunjukkan bahwa

kesimpulan si pembicara salah. Generalisasi universal merupakan generalisasi yang paling

mudah digugurkan. Tetapi bukti yang berlawanan tidak selalu tersedia, dan orang yang

melakukan generalisasi yang terburu-buru sering kali menolak bukti yang berlawanan itu jika

generalisasi yang mereka lakukan tidak universal (tetapi terburu-buru). Jadi, kita harus

mencoba meyakinkan si pembicara bahwa kesimpulannya tidak tepat dengan cara

mengomentari kesalahan bukti atau sampelnya yang bias.

Kita mungkin perlu mengajarinya mengenai bagaimana membuat kesimpulan yang

lebih tepat atau yang lebih lemah. Lalu kita dapat mengajaknya menerima kesimpulan yang

lebih lemah berdasarkan bukti yang ada, kemudian menunjukkan bahwa ada alternatif

kesimpulan lain yang mungkin benar. Jika kesimpulannya sama sekali mengawur, proses

yang gradual ini mungkin dapat membantu kita mengajaknya meninggalkan kesimpulan itu.

9.2.2 Kesalahan Kecelakaan

Kita hidup berdasarkan aturan dan generalisasi yang mengatur perilaku kita,

mengorganisasikan pengalaman kita, dan membantu kita meringkas pengetahuan kita. Tetapi

generalisasi sering kali mempunyai kekecualian. Bahkan hukum yang paling tepat pun

114

mempunyai batas-batas penerapan, dan untuk menentukan kapan hukum itu dapat diterapkan

dan kapan tidak, dibutuhkan keterampilan profesional.

Kesalahan ini muncul ketika suatu prinsip umum salah diterapkan pada contoh atau

situasi yang sebenarnya tidak termasuk dalam prinsip umum tersebut. Si pembicara

menerapkan generalisasi atau aturan secara salah supaya kesimpulannya yang kurang tepat

dapat diterima, atau untuk memaksakan kepatuhan pada aturan itu. Si pembicara sering kali

menganggap bahwa aturan atau prinsip itu tanpa kekecualian dan menolak, untuk

mempertimbangkan bahwa mungkin ada kasus yang sangat luar biasa sehingga jatuh di luar

jangkauan prinsip itu.

Sebagian orang menganggap ini merupakan kebalikan dari kesalahan generalisasi

yang terburu-buru. Generalisasi yang terburu-buru bergerak dari kasus yang tidak umum atau

tidak representatif ke generalisasi yang tidak tepat. Kesalahan kecelakaan menerapkan suatu

generalisasi pada kasus yang tidak umum atau “kecelakaan” yang sebenarnya tidak termasuk

dalam generalisasi itu. Kesalahan ini dapat terjadi, baik pada argumen deduktif maupun

induktif. Perhatikanlah contoh berikut.

(1) Begini, Bu. Saya tahu anak Ibu berusia 12 bulan. Tapi aturan di bioskop ini jelas. Tidak ada orang yang berusia di bawah 18 tahun yang boleh menonton film untuk orang dewasa. Jadi, Ibu lebih baik pulang saja.

(2) Orang tua sebaiknya tidak menipu anaknya dengan mengatakan hal-hal yang tidak benar. Jadi, Anda bersalah jika mengatakan pada anak Anda bahwa Sinterklas membawa hadiah untuk mereka sementara sebenarnya Andalah yang membeli hadiah itu.

Dalam masing-masing kasus di atas, si pembicara menerapkan prinsip umum pada kasus

kekecualian yang sebenarnya tidak termasuk. Pada contoh (1), kita tahu bahwa larangan

menonton film orang dewasa berlaku bagi anak-anak di bawah umur yang sudah bisa

menonton film dan yang mungkin mendapat pengaruh buruk dengan melihat film itu. Bayi

sebenarnya tidak termasuk di dalamnya, tetapi si penjaga bioskop memberlakukan aturan itu

secara kaku. Berdasarkan penerapan aturan secara salah, dia mengambil kesimpulan yang

tidak tepat, yaitu bahwa ibu itu harus pergi dengan bayinya.

Pada contoh (2), aturan moral yang melarang kita untuk berbohong diterapkan secara

salah pada mitos anak-anak tentang Sinterklas. Kita memperkaya hidup kita dengan mitos,

permainan, cerita, dan drama. Kita biasanya tidak menerapkan prinsip bahwa berbohong itu

salah pada fiksi anak-anak yang menyenangkan. Namun, si pembicara bersikukuh

115

melakukannya. Dia menerapkan prinsip yang baik pada kasus yang tidak tepat. Kesalahan ini

sering kali dilakukan oleh orang yang dogmatis dan birokrat.

Menanggapi Kesalahan Kecelakaan

Sayangnya, orang yang melakukan kesalahan ini mungkin akan bersikeras dan tidak mau

mendengarkan penjelasan kita. Tanggapan terbaik adalah mencoba membuat si pembicara

paham bahwa aturan atau prinsip itu sengaja dibuat samar-samar. Kebanyakan aturan atau

hukum tidak dapat mencakup semua keadaan yang mungkin terjadi. Pembuat hukum

memperhitungkan hal ini dengan cara sengaja menyediakan ruang untuk interpretasi si

penerap hukum pada waktu membuat hukum tertulis.

Kemudian kita dapat mencoba membuat si pembicara memahami tujuan yang

diinginkan oleh aturan tersebut. Dengan cara ini kita dapat menunjukkan bahwa dia

menghalangi dicapainya tujuan itu, atau dia menghalangi dicapainya tujuan lain yang lebih

penting, jika dia bersikeras menerapkan aturan itu secara salah. Untuk itu mungkin Anda

perlu mengemukakan prinsip lain yang lebih tinggi, yang tujuannya harus didahulukan

daripada tujuan aturan yang diperdebatkan.

Cara lain adalah mencoba menemukan situasi yang sangat tidak umum sehingga dia

terpaksa menerima kekecualian untuk aturannya. Misalnya, si pembicara memegang prinsip

bahwa orang harus menghindari obat terlarang, khususnya morfin. Ajukan kasus seseorang

yang jantungnya harus dioperasi: apakah pasien itu tidak boleh mendapatkan morfin sebagai

obat bius? Jika dia setuju bahwa morfin boleh dipakai dalam kasus itu, kita dapat mulai

mendiskusikan kapan aturan itu dapat diterapkan dan kapan tidak. Ini adalah sebuah langkah

besar.

Jika hal itu sulit dilakukan, carilah contoh aturan lain yang disetujuinya—tetapi ada

kekecualiannya yang jelas—yang pasti akan diterimanya. Ini dapat menunjukkan kepadanya

melalui analogi bahwa dalam aturan yang begitu keras dipegangnya itu pun mungkin ada

kekecualian. Jika dia tidak mengakui adanya kekecualian pada aturan mana pun,

menyerahlah!

Latihan 9.2 (Kesalahan Generalisasi) Untuk masing-masing soal berikut ini, coba cari si pembicara ingin membujuk kita untuk

meyakini apa? Lalu jelaskan apakah ada kesalahan dalam soal itu dan apa kesalahannya.

Akhirnya, sebutkan nama kesalahan yang terjadi.

116

1. Saya sudah minta Dorothy pergi dengan saya dua kali. Dia selalu menolak dengan

mengatakan bahwa dia ingin pergi dengan teman-teman kelas baletnya. Jelaslah bahwa

dia dan teman-teman baletnya tidak suka dekat-dekat dengan laki-laki.

2. Jelas bahwa sebagian besar orang California setuju dengan aborsi. Pada survei di daerah

perumahan West Hollywood, 89% menjawab bahwa perempuan seharusnya punya hak

untuk meminta aborsi, dan negara harus menyediakan dana bagi perempuan yang tidak

mampu membayar.

3. Memang benar, Pak. Saya tahu istri Bapak sakit dan Bapak merasa harus mengemudi

dengan cepat sampai-sampai melanggar batas kecepatan maksimal. Tetapi tugas saya

adalah menegakkan hukum. Hukum kita jelas. Jadi, saya terpaksa menilang Bapak karena

mengebut. Tolong tanda tangani formulir tilang ini, Pak, lalu Bapak boleh pergi. Istri

Bapak kelihatannya sudah parah.

9.3 Kesalahan Penggunaan Bukti Secara Salah

9.3.1 Kesimpulan Yang Tidak Relevan

Kesalahan karena kesimpulan yang tidak relevan muncul ketika orang menarik kesimpulan

yang salah dari bukti yang ada. Biasanya bukti yang ada itu dapat digunakan untuk

mendukung kesimpulan yang berhubungan atau mirip, sehingga kesalahan ini sulit dilacak.

Walaupun dapat terjadi, baik dalam penalaran deduktif maupun penalaran induktif, kesalahan

ini lebih sering muncul pada penalaran induktif karena konteksnya lebih rumit sehingga kita

lebih mungkin menarik kesimpulan yang salah. Perhatikanlah contoh kasus berikut ini.

(1) Buktinya jelas. Mark selalu bekerja keras. Dia adalah seorang pemuda yang tegas dan cinta tanah air. Dia sopan, tulus, dan tidak pernah berpikiran buruk tentang orang lain. Jadi, dia pasti cocok masuk ke fakultas kedokteran.

(2) Masyarakat Amerika pasti senang dengan pemerintah yang sekarang. Lima puluh lima persen responden kami menjawab “Ya” ketika ditanya “Apakah Anda merasa lebih sejahtera sekarang daripada empat tahun yang lalu?”

Dalam masing-masing kasus, si pembicara menarik kesimpulan yang sangat tidak

relevan dengan bukti yang tersedia. Pada contoh (1), karakteristik pribadi Mark yang

disebutkan sebagai bukti mungkin membuat Mark termasuk kategori orang baik, tapi tidak

cukup dan bahkan tidak perlu untuk membuatnya calon mahasiswa kedokteran yang berhasil.

Jika kita tidak mempunyai bukti tentang nilai dan bakat Mark di bidang kedokteran, kita

jangan menerima ajakan si pembicara untuk menarik kesimpulan yang salah.

117

Pada contoh (2), tidak ada kesimpulan yang dapat ditarik dari bukti yang ada. Pertama,

kata senang merupakan kesimpulan yang buruk jika tidak tercakup di dalam pertanyaan

survei. Kedua, kalaupun pertanyaan survei itu “Apakah Anda merasa lebih senang…,” term

itu tetap terlalu luas untuk digunakan. Yang lebih parah lagi, kita tidak tahu siapa yang

menjadi percontoh survei itu. Siapa tahu, mereka adalah keluarga presiden semua, sementara

si pembicara membuat pernyataan tentang seluruh masyarakat.

Walaupun informasinya dapat diandalkan dan percontohnya baik, kita sebaiknya tidak

menarik kesimpulan mengenai seorang individu berdasarkan jawaban kuesioner. Bukti ini

hanya dapat menjamin satu kesimpulan, yaitu bahwa 55% dari populasi yang diwakili oleh

sampelnya yang menjawab “Ya” atas pertanyaaan yang diajukan itu. Singkatnya,

kesimpulannya sama sekali tidak relevan dengan premisnya.

Menanggapi Kesalahan Kesimpulan yang Tidak Relevan

Kalau kita dapat mengidentifikasi adanya kesalahan itu dalam suatu argumen, tanggapannya

mudah. Kita tinggal berkeras bahwa si pembicara tetap pada buktinya. Jika dia ingin kita

menerima kesimpulannya, dia harus memberikan argumen. Dengan melakukan kesalahan ini,

berarti dia tidak memberikan argumen yang logis. Masalahnya adalah bagaimana

mengidentifikasi kesalahan ini. Satu-satunya cara agar tidak terjerumus ke dalam kesalahan

ini adalah dengan melatih ketelitian dalam menilai bukti.

9.3.2 Kesalahan Bukti yang Ditahan

Kesalahan karena bukti yang ditahan terjadi ketika pembicara menarik kesimpulan yang tidak

tepat dengan mengabaikan, menahan, atau meminimalkan derajat pentingnya suatu bukti

yang bertentangan dengan kesimpulan. Kesalahan ini tidak hanya mencakup

disembunyikannya suatu bukti secara sengaja supaya kesimpulannya diterima, tetapi juga

yang tidak disengaja. Kasus tidak sengaja sering terjadi ketika keyakinan sudah sedemikian

kuatnya sehingga kita menolak mempertimbangkan bukti apa pun yang mungkin

bertentangan. Kesalahan ini juga termasuk tidak ditelitinya berbagai sudut pandang dari

sebuah topik sehingga kesimpulan ditarik secara tidak adil bagi pihak-pihak tertentu.

Perhatikanlah contoh berikut.

(1) Tidak ada orang waras yang akan mau tinggal di San Fransisco. Di situ banyak kabut dan lembab. Lalu tempatnya berbukit-bukti curam sehingga menyetir menjadi berbahaya sekali. Belum lagi gempa bumi yang selalu siap

118

menyerang. Jadi, jelas bahwa sama sekali tidak ada alasan mengapa orang akan senang tinggal di San Fransisco.

(2) Frank, kita akan menghadapi jaksa penuntut yang keras. Kita akan kalah kalau dia tahu bahwa ada saksi yang melihat perampokan ini. Kita memang sudah tahu, tapi itu tugas dia untuk mencari tahu. Jadi, argumen kita tidak akan menyinggung-nyinggung kemungkinan adanya saksi mata, ya?

Pada contoh (1), si pembicara, baik sengaja ataupun tidak, hanya berfokus pada aspek

yang tidak menyenangkan dari San Fransisco. Jika memang cuma itu yang ada di San

Fransisco, maka dia mempunyai argumen yang kuat. Tetapi dia tidak mempertimbangkan

kelebihan hidup di San Fransisco. Dari akal sehat saja kita tahu bahwa tidak mungkin kota itu

hanya mempunyai kejelekan melulu. Jadi, kita belum dapat menerima kesimpulannya; kita

masih membutuhkan informasi lebih lanjut untuk sampai kepada suatu kesimpulan yang lebih

tepat.

Pada contoh (2), si pengacara menyatakan bahwa dia akan menahan suatu bukti. Orang

mungkin berpikir bahwa argumen apa pun yang dihasilkan dalam kondisi seperti ini pasti

mengandung kesalahan bukti yang ditahan. Tetapi dalam sistem peradilan kita, hal itu tidak

salah. Jaksa penuntut harus membuktikan kesalahan terdakwa. Tugas mereka adalah

mengumpulkan bukti-bukti. Jika si pengacara mengungkapkan bukti yang memberatkan

kliennya, maka si pengacara justru telah melanggar kewajibannya terhadap kliennya. Maka,

dalam keadaan ini, si pengacara tidak bersalah menahan bukti.

Menanggapi Kesalahan Bukti yang Ditahan

Dalam situasi yang kooperatif, lebih baik kita mengajukan semua bukti yang relevan

sehingga suatu kesimpulan yang logis dapat ditarik. Untuk memperoleh kebenaran, memang

diperlukan semua bukti yang relevan. Dalam situasi seperti ini, bukti yang tertahan lebih

mungkin merupakan akibat kecerobohan dan sudut pandang yang terlalu sempit. Diskusi

yang jujur, terbuka, dan terstruktur biasanya dapat menunjukkan hal apa yang masih terlewat.

Memang sulit sekali untuk tetap rasional tanpa terpengaruh oleh emosi pada saat

bertentangan pendapat dengan orang lain. Oleh karena itu, dalam situasi demikian, kita harus

berusaha mempertanyakan pandangan kita sendiri. Kita harus berusaha keras menemukan

bukti yang bertentangan yang mungkin dapat menggugurkan kesimpulan kita. Kita juga harus

mencoba menemukan argumen yang paling kuat yang mendukung sudut pandang lawan kita.

Usaha ini dapat membantu memastikan bahwa tidak ada bukti yang tertahan dan penalaran

yang salah dapat diminimalkan.

119

9.4 Kesalahan Statistikal

Metodologi statistik dikembangkan terutama untuk menghindari kesalahan-kesalahan yang

dibahas di sini. Jadi, kemungkinannya kecil bahwa seorang ahli statistik yang kompeten dan

profesional akan melakukan kesalahan ini. Namun, dunia adalah suatu tempat yang rumit.

Dan bahkan seorang profesional yang sangat berhati-hati pun kadang-kadang tanpa sengaja

mengabaikan kondisi yang sebenarnya membuat data mereka menjadi bias atau menarik

kesimpulan yang melampaui data yang ada. Kesalahan ini lebih umum dibuat dalam

penelitian yang dilakukan oleh para amatiran atau mereka yang kekurangan dana sehingga

tidak dapat melakukan penelitian secara mendetil. Kesalahan ini pun sering muncul dalam

argumen sehari-hari, yaitu yang mengambil kesimpulan secara terburu-buru dari pengalaman

pribadi saja. Dalam usaha kita untuk memahami dunia, kita sering kali kurang teliti. Dua

kesalahan pertama dari tiga yang akan kita bahas sering disebut kesalahan pemercontohan

(sampling error).

9.4.1 Kesalahan Sampel yang Bias (Statistik yang Bias)

Kesalahan ini dilakukan ketika data yang digunakan untuk menarik kesimpulan statistik

diambil dari sampel yang tidak representatif terhadap populasi. Ahli statistik profesional

mencoba menghilangkan bias ini melalui pemercontohan acak (random sampling) dan teknik

pemercontohan lain. Percontoh yang tidak dipilih secara acak merupakan percontoh yang bias

dan tidak dapat digunakan untuk menarik kesimpulan mengenai populasi.

(1) Kami yakin bahwa kebanyakan akademisi akan lebih senang jika mereka mempunyai akses ke komputer pribadi mereka dari universitas. Kesimpulan ini kami dapatkan karena 90% dari responden kuesioner yang kami sebarkan melalui e-mail menjawab “Ya” atas pertanyaan, “Apakah Anda akan lebih senang jika ada komputer pribadi di kantor Anda?”

(2) Waktu saya di Paris, saya hampir selalu diperlakukan dengan kasar oleh pelayan ketika makan di restoran. Ya, orang Perancis memang sangat kasar pada orang Amerika. Saya sangat tidak menyarankan kamu berlibur ke Perancis musim panas ini.

Semua argumen pada contoh di atas kelihatannya didasarkan pada prosedur penelitian

yang sangat amatir. Kesimpulannya ditarik berdasarkan percontoh yang sangat bias. Pada

contoh (1), sampelnya bias karena tidak semua akademisi mempunyai e-mail. Jadi, tidak

semua akademisi mendapat kesempatan yang sama untuk menjadi sampel. Selain itu,

akademisi yang menggunakan e-mail kemungkinan besar akan bias ke arah menyukai akses

120

komputer yang lebih banyak. Jadi, sampel berupa pengguna e-mail tidak representatif untuk

semua akademisi. Kesimpulan ini seharusnya diperlemah menjadi populasi akademisi

pengguna e-mail saja.

Pembicara pada contoh (2) melakukan kesalahan berupa perumusan argumen yang

lebih didasarkan pada prejudis dan emosi pribadi daripada penalaran. Kesimpulannya tentang

semua orang Perancis didasarkan pada percontoh sejumlah pelayan Paris yang melayaninya

di restoran. Percontoh ini bias dalam beberapa aspek. Pertama, sebagian dari populasi orang

Perancis, misalnya yang bukan penduduk Paris, tidak mempunyai kesempatan untuk menjadi

sampel. Kedua, percontoh ini bias, bahkan untuk penduduk Paris sekalipun karena tidak

semua penduduk Paris menjadi pelayan, dan otomatis tidak termasuk sampel. Karena kita

tidak tahu batasan perilaku yang kasar menurut pembicara, dan kita juga tidak tahu di

restoran seperti apa dan bagaimana perilaku si pembicara sendiri ketika dia memperoleh data

itu, maka sampelnya sama sekali tidak berguna, bahkan untuk populasi pelayan Paris.

Akhirnya, karena kita tidak tahu berapa banyak pelayan yang kasar kepadanya, sampelnya

bisa saja terlalu kecil. Dan ini mengarahkan kita ke kemungkinan sumber kesalahan

pemercontohan (sampling) berikutnya.

9.4.2 Kesalahan Percontoh yang Kecil (Statistik yang Tidak Cukup)

Kesalahan ini terjadi ketika pembicara menggunakan sampel yang terlalu kecil sehingga

kesimpulannya tidak dapat dipercaya. Kesalahan ini juga terjadi ketika kesimpulannya sangat

dipercayai sementara ukuran sampelnya sedang-sedang saja. Dalam penelitian statistik yang

profesional, ukuran sampel ditentukan sedemikian rupa untuk mengurangi batas kesalahan

yang mungkin terjadi pada kesimpulan.

Dalam situasi sehari-hari, sampel yang besar biasanya membantu mengurangi

kemungkinan bias. Makin banyak observasi yang kita lakukan, makin kecil kemungkinan

observasi yang kita lakukan menjadi bias. Tetapi kita sering kali terlalu tidak sabar dan

ceroboh sehingga tidak menarik kesimpulan hanya dengan sampel yang tidak cukup besar

dan bias, melainkan juga berdasarkan bukti yang terlalu sedikit. Di pihak lain, kita sering kali

terpaksa membuat keputusan secara cepat sementara kita tidak mempunyai cukup waktu

untuk melakukan penelitian yang mendalam. Kita harus bertindak berdasarkan informasi

yang ada. Dalam situasi seperti itu, hal yang terbaik adalah bertindak berdasarkan informasi

yang kita miliki walaupun tidak lengkap. Hanya saja harus disadari bahwa kesimpulan kita

itu sangat mungkin lemah. Perhatikanlah contoh berikut.

121

(1) Saya bertemu Larry kemarin, dan dia sangat menyebalkan. Dua kali saya mencoba bercakap-cakap dengannya, dan dia selalu cemberut dan menggerutu. Kemudian ketika saya mengajukan satu pertanyaan kepadanya, dia mengabaikan saya dan pergi. Jelas bahwa kepribadiannya sangat tidak menyenangkan. Saya tidak mau berurusan apa pun dengannya lagi.

(2) Saya bertemu Larry hari ini, dan dia menyebalkan. Dua kali dia bersikap kasar kepada saya, dan pada kesempatan ketiga dia mengabaikan saya ketika saya mengajukan satu pertanyaan kepadanya. Mungkin dia sedang tidak enak hati. Jadi, saya tidak akan mendekatinya lagi hari ini. Tetapi saya perlu bantuannya segera, jadi saya akan coba lagi besok, mungkin mood-nya sudah bagus. Saya akan mendekatinya dengan sangat hati-hati. Dia sedang punya masalah, ya? Atau dia memang selalu begitu?

 (3) Ya, penelitian ilmiah yang dilakukan para ahli dengan sampel anak-anak SD

menunjukkan bahwa 95% dari kelompok uji kami ternyata lubang giginya lebih sedikit setelah menggosok gigi dengan Grit secara teratur. Jadi, pastikan bahwa anak-anak Anda menggunakan pasta gigi Grit.

Pada contoh (1), pembicara melakukan kesalahan yaitu menarik kesimpulan yang

terlalu kuat berdasarkan sampel yang terlalu kecil. Tiga kali observasi atas perilaku seseorang

tidak cukup untuk menarik kesimpulan mengenai populasi yang mencakup seluruh

perilakunya secara umum. Karena observasinya berlangsung pada waktu yang sangat

berdekatan dan dua kejadian yang pertama mungkin mempengaruhi yang ketiga, maka si

pembicara juga mungkin melakukan kesalahan percontoh yang bias.

Kesalahan pada contoh (1) menjadi jelas ketika kita membahas contoh (2). Di sini

pembicara tidak menarik kesimpulan umum mengenai semua perilaku Larry. Dia membatasi

kesimpulannya hanya pada populasi perilaku Larry hari ini. Dengan sampel yang ada,

kesimpulannya lebih dapat dipercaya. Dan dia memang masih berencana untuk membuat

lebih banyak observasi pada hari berikutnya. Karena dia perlu berinteraksi dengan Larry, dia

menggunakan data-data yang sudah dimilikinya untuk membuat keputusan mengenai

bagaimana dia harus berperilaku terhadap Larry di kemudian hari. Dia juga mencari

informasi mengenai Larry untuk membantunya menginterpretasi hasil observasinya dan

menarik kesimpulan yang lebih dapat dipercaya. Jadi, dia menarik kesimpulan yang tentatif

atau yang lebih lemah dulu untuk menentukan bagaimana dia harus bertindak dan mencoba

mengumpulkan lebih banyak data. Ini merupakan cara yang baik jika kita hanya mempunyai

data yang terbatas dengan sampel yang tidak cukup sementara kita harus bertindak sebelum

ada lebih banyak data.

122

Pada contoh (3), kita melihat jenis iklan yang cukup umum. Masalah pertama, si

pembicara tidak memberi tahu ukuran sampelnya. Dengan asumsi bahwa adanya undang-

undang periklanan telah memaksa perusahaan itu benar-benar melakukan penelitian dan

bukannya mengada-ada tentang data itu, kita tetap harus meragukan laporan hasilnya karena

sangat mungkin kesimpulan ini didasarkan pada sampel yang tidak cukup besar dan yang

telah dipilih supaya hasilnya menguntungkan perusahaan.

9.4.3 Kesalahan Penjudi (Gambler’s Fallacy)

Peristiwa yang terjadinya hanya secara kebetulan, misalnya hasil lemparan koin atau dadu,

merupakan hal yang berdiri sendiri. Artinya, hasil lemparan suatu koin tidak mempengaruhi

hasil lemparan berikutnya. Kita sudah melempar koin lima ratusan sepuluh kali misalnya, dan

keluarnya selalu gambar garuda, meskipun sebenarnya probabilitas lemparan koin itu (yang

tidak berat sebelah) menghasilkan gambar garuda dan gambar melati, masing-masing 0,50.

Kesalahan penjudi mengabaikan kaidah probabilitas. Nama kesalahan ini berasal dari

kepercayaan para penjudi, yaitu bahwa keberuntungan akan berbalik kepadanya jika dia

sudah mengalami kesialan berturut-turut. Kesalahan ini terjadi ketika seseorang

menyimpulkan bahwa suatu kejadian yang sebenarnya berdiri sendiri dipengaruhi atau

probabilitas kemunculannya diubah oleh sederatan kejadian yang mendahuluinya.

Perhatikanlah contoh berikut.

(1) Joe sudah menebak 20 kali dengan benar. Kali ini, dia akan salah menebak. Saya akan bertaruh melawannya.

(2) Kita menghadapi perampok yang cukup cerdik. Dia beraksi lima atau enam kali di satu tempat, lalu pindah ke kota lain. Ini adalah perampokannya yang keenam di San Diego. Setelah ini dia pasti beraksi di tempat lain.

Dalam contoh (1), si pembicara melakukan kesalahan penjudi. Dua puluh kali menebak

dengan benar memang jarang terjadi. Suatu saat Joe akan salah menebak kecuali dia main

curang. Tetapi kemungkinan dia menebak benar atau salah pada lemparan dadu berikutnya

tetap sama. Si pembicara melakukan kesalahan jika dia menyimpulkan bahwa Joe pasti akan

salah kali ini, kalau pun Joe ternyata benar-benar salah menebak.

Contoh (2) kelihatannya merupakan argumen yang baik. Si pembicara mengandalkan

suatu keteraturan yang dilihatnya dalam perilaku kriminal si perampok. Dia mempunyai

alasan yang cukup baik untuk meyakini bahwa enam perampokan yang telah terjadi di San

Diego akan mempengaruhi tempat kejadian perampokan yang ketujuh. Jadi, dia tidak

123

melakukan kesalahan penjudi karena kejadian yang diprediksinya bukan kejadian yang

tergantung pada kebetulan.

Menanggapi Kesalahan Penjudi

Satu-satunya tanggapan yang dapat dikemukakan untuk menghadapi orang yang melakukan

kesalahan penjudi adalah mencoba mengajarinya tentang teori probabilitas. Kita dapat

menggunakan pengalamannya yang sudah-sudah yang menyangkut kesalahan ini, tetapi

kemungkinan besar perilakunya tetap tidak akan berubah. Jadi, hal terbaik yang dapat kita

lakukan adalah berhati-hati supaya jangan terpengaruh oleh argumen yang mengandung

kesalahan penjudi.

Latihan 8.3 (Kesalahan Statistik dan Penggunaan Bukti secara Salah)

Pada masing-masing soal berikut, tentukan si pembicara sedang mencoba mempengaruhi kita

untuk menerima apa. Jelaskan kesalahan dalam soal itu, jika ada, dan sebutkan namanya.

1. Saya pernah mencoba makan seekor kerang. Terus terang saja, kawan, tidak akan pernah

lagi, tidak akan pernah lagi.

2. Harapan hidup perempuan Amerika adalah 76 tahun. Harapan hidup laki-laki Amerika 72

tahun. Jadi, harapan hidup orang Amerika secara umum adalah 74 tahun.

3. Sudah ada jutaan orang yang meninggal, dan belum ada satu pun yang kembali untuk

memberi tahu kita tentang kehidupan setelah mati. Jadi, tunggu saja, cepat atau lambat

seseorang pasti akan datang kembali untuk memberi tahu kita tentang hal itu.

9.5 Kesalahan Kausal

Jika terdapat hubungan kausal di antara dua kejadian X dan Y, ada tiga kasus yang mungkin,

yaitu (1) X menyebabkan Y; (2) Y menyebabkan X; dan (3) X dan Y sama-sama disebabkan

oleh Z.

Jika kita menyimpulkan bahwa X menyebabkan Y, sementara sebenarnya Y yang

menyebabkan X, maka kita melakukan kesalahan mengacaukan sebab dan akibat. Jika kita

menyimpulkan bahwa X menyebabkan Y atau Y menyebabkan X, sementara yang benar

ialah bahwa keduanya sama-sama disebabkan oleh Z, maka kita mengabaikan penyebab

bersama. Kedua kesalahan ini kadang-kadang disebut kesalahan penyebab-gejala.

Jika kita menyimpulkan bahwa X menyebabkan Y semata-mata berdasarkan fakta

bahwa X mendahului Y, maka kita melakukan kesalahan penyebab yang salah (post hoc).

124

Penyebab sering kali dibedakan menjadi necessary condition atau sufficient condition

bagi akibatnya. Jika kita salah menganggap suatu penyebab yang berupa necesarry condition

dengan penyebab yang berupa sufficient condition, atau sebaliknya, maka kita telah

mengacaukan necessary condition dengan sufficient condition.

9.5.1 Mengacaukan Sebab dan Akibat

Kesalahan ini terjadi ketika suatu hubungan kausal salah diinterpretasi. Si pembicara salah

menginterpretasi bukti sehingga menyimpulkan bahwa Y disebabkan oleh X sementara

sebenarnya Y-lah yang menyebabkan X, Kesalahan ini sering kali merupakan akibat dari

interpretasi yang ceroboh atas bukti yang tersedia dan kemalasan untuk menyelidiki lebih

lanjut sebelum menarik kesimpulan. Perhatikanlah contoh berikut.

Jika Sam mulai minum, dia jadi tidak menyenangkan. Dia tidak gembira, ingin berhenti bekerja dan dia mengatakan dia tidak punya alasan untuk hidup. Sungguh, dia harus berhenti minum. Minum-minum membuatnya jadi orang yang depresi.

Dalam contoh ini, korelasi antara minum-minum yang dilakukan Sam dengan

ketidakgembiraannya belum menunjukkan bahwa minum-minumlah yang menyebabkan

ketidakgembiraannya itu. Kemungkinannya sama besar bahwa karena tidak gembira dia

minum-minum. Si pembicara perlu menyelidiki dan mencari bukti lebih lanjut untuk

mencoret kesimpulan rival ini. Kesalahan ini lebih mudah dihindari jika akibatnya jelas

terpisah dari sebab, dan timbulnya setelah sebab. Kita paling mungkin melakukan kesalahan

ini ketika sebab dan akibatnya merupakan kondisi yang terjadi bersamaan atau ketika akibat

timbul dalam jangka panjang. Situasi yang kompleks membutuhkan analisis yang hati-hati

dan cermat sebelum kita dapat mengambil kesimpulan yang paling mungkin.

Menanggapi Kesalahan Mengacaukan Sebab dan Akibat

Jika si pembicara hanya ceroboh dalam menilai bukti yang ada, kita cuma perlu menunjukkan

kepadanya bahwa bukti yang ada juga dapat mendukung hubungan kausal yang sebaliknya.

Lalu usulkan bahwa dia perlu melakukan penelitian lebih lanjut sebelum menarik

kesimpulan. Jika dia menolak usulan itu dan mengajukan argumen kausal yang spekulatif

untuk mendukung interpretasinya atas data yang ada, coba tunjukkan bahwa hubungan kausal

yang diajukannya itu memang hanya spekulasi saja yang tidak didukung oleh data empiris.

125

Mintalah dia memberikan data empiris, lalu nilailah data yang diberikannya. Siapa tahu,

mungkin kesimpulannya dapat diterima.

9.5.2 Mengabaikan Penyebab Bersama

Kesalahan karena mengabaikan penyebab bersama terjadi ketika seorang pembicara

menyimpulkan bahwa X adalah penyebab Y sementara sebenarnya keduanya merupakan

akibat dari sebab lain. Kesalahan ini dan pengacauan sebab dan akibat juga disebut kesalahan

penyebab-gejala. Contoh berikut akan menunjukkan mengapa disebut demikian. Jimmy demamnya sangat tinggi. Itu yang menyebabkan wajahnya berbintik-bintik merah.

Dalam contoh itu, si pembicara menyimpulkan bahwa demam Jimmy menyebabkan bintik-

bintik merah di wajahnya. Walaupun mungkin saja hal itu benar—karena memang ada orang

yang kulitnya jadi berbintik-bintik merah jika dia demam—namun kesimpulan ini tidak dapat

dipercaya tanpa bukti lebih lanjut. Jika Jimmy menderita cacar air, maka baik demam

maupun bintik-bintiknya merupakan akibat atau gejala dari penyakit Jimmy. Jadi, sama

seperti pada kesalahan mengacaukan sebab dan akibat, tanggapan kita selalu adalah bahwa

kita membutuhkan lebih banyak bukti dan analisis dalam suatu situasi yang kompleks

sebelum kita dapat mempercayai kesimpulan apa pun.

Menanggapi Kesalahan Mengabaikan Penyebab Bersama

Sama seperti pada kesalahan mengacaukan sebab dan akibat, kesalahan ini sering kali

merupakan akibat dari kurang sadarnya pembicara bahwa hubungan dan kondisi kausal boleh

jadi merupakan masalah yang rumit, dan bahwa kita seharusnya menarik kesimpulan hanya

setelah menilai data dengan sangat hati-hati. Namun, bahkan dengan berhati-hati pun, tetap

ada kemungkinan terdapat kesalahan dalam situasi kausal yang kompleks sehingga

kesimpulan kita harus tetap tentatif.

Oleh sebab itu, tanggapan kita atas kesalahan ini seharusnya sama dengan tanggapan

atas kesalahan mengacaukan sebab dan akibat. Kita mencoba untuk memaksa si pembicara

menilai kembali buktinya atau memberi bukti empiris yang mendukung analisisnya. Kita

menyediakan alternatif hubungan kausal untuk menjadi tandingan bagi kesimpulannya.

Perbedaannya adalah, kita bukan memaksanya mengakui kemungkinan bahwa hubungan

kausalnya terbalik, tapi bahwa ada faktor penyebab yang terabaikan.

126

9.5.3 Kesalahan Penyebab Yang Salah (Kesalahan Post Hoc)

Cukup sering kita jumpai satu contoh kejadian kausal saja sudah cukup bagi kita untuk

menarik kesimpulan yang benar mengenai apa yang terjadi. Kita melihat sebuah bom jatuh

dengan akibat ada ledakan. Kita menyentuh kompor yang menyala dan tangan kita terbakar.

Dalam kasus-kasus seperti ini, kita bahkan tidak mempertanyakan hubungan kausal antara

kejadian-kejadian itu. Pengetahuan umum kita tentang dunia dapat digunakan untuk

menjelaskan hubungan kausal pada kejadian-kejadian itu.

Kesalahan penyebab yang salah juga disebut kesalahan post hoc, ergo propter hoc. Ini

merupakan kata-kata dalam bahasa Latin yang artinya ‘sesudah ini, maka, karena ini’. Orang

yang melakukan kesalahan ini sering disebut melakukan penalaran post-hoc. Kita melakukan

kesalahan penalaran post hoc ketika kita menyimpulkan—tanpa dasar yang cukup kuat—

semata-mata hanya karena Y mengikuti X, maka X pasti penyebab Y. Kesalahan dalam

argumen seperti ini adalah bahwa kesimpulannya merupakan pernyataan kausal yang kurang

didukung oleh bukti, dan tidak ada informasi tambahan maupun hipotesis pembantu yang

membuat hubungan kausal itu masuk akal. Memang, kita sering kali menentang penalaran

seorang pembicara dengan mengajukan alternatif analisis kausal dari situasi yang

diperdebatkan. Perhatikanlah contoh berikut.

(1) Ya, anak muda, begitu mereka mulai menambahkan fluor pada air minum di kota ini, teman-teman saya mulai meninggal kena serangan jantung. Tidak boleh itu. Memang, kita tidak boleh bermain-main dengan alam. Delapan puluh tahun makan asam garam dunia sudah menunjukkan itu padaku.

(2) Setan kulit putih itu punya kekuatan untuk membunuh dengan suara. Kemarin, saya melihat salah satu dari mereka mengangkat sebuah tongkat. Setelah suara yang sangat keras, timbul lubang pada kijang itu yang mengeluarkan darah sehingga kijang itu mati. Seorang setan kulit putih lain mengangkat tongkat, mengeluarkan suara keras, dan seekor kijang lain jatuh mati. Ini terjadi berulang-ulang, selain pada kijang juga pada hewan ternak. Saya mencoba mengangkat tongkat dan berteriak “Dor!” sekeras-kerasnya. Sayangnya, suara saya tidak cukup keras untuk membunuh seekor laba-laba pun, apalagi salah satu dari setan kulit putih itu.

Dalam masing-masing kasus, si pembicara menemukan korelasi yang positif antara dua

kondisi atau kejadian. Apa yang terjadi sebelum akibat dianggap sebagai sebab, dan itu

menjadi satu-satunya bukti yang diberikan untuk menarik kesimpulan.

Pada contoh (1), si pembicara secara implisit menyimpulkan bahwa minum air yang

mengandung fluor telah menyebabkan teman-temannya meninggal kena serangan jantung.

Namun, tanpa bukti lebih lanjut, kesimpulannya belum dapat dipercaya. Dia melakukan

127

kesalahan penalaran post hoc. Karena dia berusia 80 tahun, barangkali teman-temannya pun

sudah tua juga, dan mereka meninggal karena memang sudah lanjut usia. Tentu saja,

mungkin ada hubungan kausal antara minum air yang menandung fluor dengan serangan

jantung pada orang lanjut usia, tetapi tanpa penelitian dan bukti lebih lanjut, hipotesis ini

tidak dapat diterima.

Dalam contoh (2), si pembicara sudah benar menghubungkan suara senjata dengan

kematian. Tetapi hubungan itu adalah korelasi, bukan kausal. Karena kita tahu bagaimana

sebuah senjata dapat membunuh, dengan mudah kita dapat menerangkan kepadanya bahwa

dia telah salah menginterpretasikan bukti yang dimilikinya.

Menanggapi Kesalahan Penyebab yang Salah

Tanggapan atas kesalahan tentang penyebab sama dengan cara menghadapi kesalahan-

kesalahan kausal sebelumnya. Kita meminta si pembicara menilai kembali data yang ada

untuk membuatnya menyadari bahwa dia mungkin telah salah menginterpretasikannya. Jika

dia cuma ceroboh dan jika kita tahu penyebab yang sebenarnya, kita cukup menjelaskan

kepadanya letak kesalahannya. Ini yang terjadi pada contoh (2). Cara lain adalah kita dapat

menjelaskan padanya mengapa korelasi tidak sama dengan hubungan kausal. Lalu, mintalah

kepadanya untuk memberikan lebih banyak bukti yang menunjukkan hubungan kausal antara

kejadian-kejadian itu.

9.5.4. Mengacaukan Penyebab Yang Berupa Necessary Condition dengan Sufficient

Condition

Kesalahan ini terjadi ketika seseorang salah menganggap atau mengacaukan suatu penyebab

yang merupakan necessary condition dengan penyebab yang merupakan sufficient condition

bagi akibatnya. Ini paling mungkin terjadi jika pembicara tidak memahami term-term

kondisional seperti yang telah dijelaskan di pasal 1. Perhatikanlah contoh berikut.

(1) Donna, kamu bilang jika saya ingin membuat kue yang bagus, saya harus menggunakan telur segar. Saya sudah mencobanya. Tapi kue yang saya buat jadi bantat dan tidak enak. Pesta saya jadi berantakan. Saya tidak akan pernah mengikuti nasehatmu lagi.

(2) Profesor, Bapak mengatakan bahwa saya tidak akan dapat A untuk mata kuliah ini kecuali saya mendapat nilai 80 pada ujian akhir. Dan saya memang dapat 80. Tetapi Bapak berbohong. Bapak hanya memberi saya nilai B. Saya ingin protes.

128

Pada contoh (1), maksud pernyataan Donna adalah bahwa telur segar merupakan bahan

yang diperlukan (necessary) untuk membuat kue yang baik. Kita tidak tahu apakah si

pembicara melaksanakan juga necessary condition lainnya seperti oven yang panas. Dalam

kasus ini, ia menyimpulkan bahwa telur yang segar sudah memadai (sufficient) untuk

menghasilkan kue yang baik. Ini jelas salah. Orang sering salah paham mengenai term

kondisional. Kata-kata seperti hanya dan kecuali sering kali digunakan untuk mewakili

kondisi yang perlu (necessary) sekaligus memadai (sufficient). Penggunaan kata-kata secara

kacau seperti ini menunjukkan bahwa mereka tidak memahami secara jelas struktur bahasa.

Pada contoh (2), si pembicara juga melanggar hal ini. Dia beranggapan bahwa sang

profesor berkata bahwa mendapat nilai 80 pada ujian akhir merupakan syarat yang memadai

untuk memperoleh nilai A untuk mata kuliah itu. Pernyataan sang profesor memaksudkan

nilai 80 sebagai syarat yang perlu (necessary condition). Mungkin sang profesor harus

mengungkapkan maksudnya dengan lebih jelas jika dia tahu bahwa orang sering

menyalahartikan term kondisional. Karena kita tidak tahu apa lagi yang sebenarnya dikatakan

oleh sang profesor, kita tidak dapat menyalahkan salah satu pihak. Namun berdasarkan bukti-

bukti yang ada, protes si pembicara tidak dapat diterima.

Menanggapi Kesalahan Mengacaukan Syarat yang Perlu dengan Syarat yang Memadai Cara terbaik untuk menghadapi kesalahan ini adalah mencoba mencegahnya. Harus

dipastikan bahwa kita menggunakan term-term secara benar dan bahwa orang lain memahami

apa yang kita katakan. Karena orang sering kali tidak memahami term kondisional, harus

digunakan cara lain untuk membuat maksud kita jelas. Jika kesalahan ini terjadi, kita perlu

menerangkan arti term kondisional. Salah satu cara yang dapat digunakan adalah

menunjukkan contoh yang jelas di mana kesalahan seperti ini terjadi. Contoh (1) merupakan

contoh yang cukup jelas. Coba pikirkan contoh lain juga. (Lihat kembali pasal 1 yang

membahas term kondisional. )

Latihan 9.4 (Kesalahan Kausal) Untuk masing-masing soal berikut, identifikasilah si pembicara sedang ingin mempengaruhi

kita untuk meyakini apa. Jelaskan kesalahannya, jika ada, dan sebutkan namanya.

1. Tentu saja Tanya mendapat nilai bagus. Dia, ‘kan, anak emas guru.

129

2. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 90% dari mereka yang merokok berat juga

minum paling sedikit 5 gelas kopi setiap hari. Menurut saya cukup jelas bahwa banyak

merokok menyebabkan orang banyak minum kopi.

3. Mati aku. Aku tadi melakukan apa, ya? Begitu aku masuk ke restoran itu, Jill berdiri dan

pergi dengan terburu-buru lewat pintu belakang. Aku pasti melakukan suatu kesalahan

sehingga dia pergi seperti itu.

9.6 Kesalahan Analogi

Kesalahan analogi terjadi ketika orang menggunakan analogi yang tidak tepat atau yang

menyesatkan dalam argumennya. Dari sudut pandang logika, argumen analogi bukanlah

argumen yang paling baik. Analogi dapat merupakan cara pandang yang original, kreatif, dan

menohok pikiran. Namun analogi tidak dapat menggantikan argumentasi langsung mengenai

suatu sudut pandang. Ketika pembicara menggunakan analogi yang buruk atau tidak cocok,

argumennya seharusnya ditolak. Sayangnya, orang-orang tetap saja mungkin terpengaruh.

Perhatikanlah contoh berikut.

Negara itu seperti sebuah kapal, dengan presiden sebagai kapten kapalnya. Seperti juga seorang kapten harus dipatuhi tanpa dipertanyakan, demikian pula seorang presiden harus mendapat kesetiaan dan kepatuhan dari kabinetnya.

Analogi dalam contoh ini merupakan analogi yang buruk. Pertama, ada banyak aspek

yang membuat sebuah negara sangat berbeda dengan sebuah kapal. Salah satu aspek yang

paling penting adalah: kapal selalu berada dalam situasi yang berubah dengan cepat, penuh

stres dan bahaya. Ini menuntut tindakan yang terpadu dan segera. Negara tidak demikian,

kecuali dalam keadaan perang atau ketika menghadapi masalah seperti bencana alam atau

masalah-masalah mendesak lainnya. Biasanya, kita mempunyai waktu untuk mendiskusikan

dan merefleksikan situasi yang ada sehingga keputusan yang diambil pun lebih bijaksana.

Karena itulah kapten diberi kekuasaan yang mirip diktator sementara presiden lebih baik

tidak. Jadi, kesimpulan yang diperoleh dari argumen di atas lemah.

Kedua, dasar analogi itu lemah. Bahkan dalam situasi yang sangat berbahaya pun, tidak

benar bahwa kapten harus dipatuhi tanpa dipertanyakan; misalnya, apakah si pembicara akan

tetap meyakini pendapatnya jika kaptennya mabuk atau gila. Lalu, apakah presiden harus

dipatuhi jika dia gila, atau jika dia memerintahkan bawahannya untuk melakukan tindakan

kriminal atau tindakan yang melawan undang-undang dasar? Seperti juga seorang anak buah

kapal wajib melawan perintah kapten, begitu juga kabinet wajib melawan presiden dalam

kasus seperti itu. Jadi, kesimpulan di atas tidak dapat diterima.

130

Menanggapi Analogi yang Salah

Secara umum, ada dua cara menanggapi analogi yang salah. Pertama, dengan menunjukkan

bahwa hal-hal yang dianalogikan mempunyai terlalu banyak perbedaan yang relevan

sehingga kesimpulannya tidak meyakinkan. Ini seperti respon pertama kita pada contoh di

atas. Kedua, dengan menunjukkan kelemahan analogi itu, dengan cara melanjutkan analogi

itu hingga mencapai kesimpulan yang tidak dapat diterima si pembicara. Ini seperti kritik

kedua kita pada contoh di atas. Si pembicara mungkin menjawab bahwa kita tidak boleh

terlalu serius menanggapi analogi ini. Ini, ‘kan, hanya analogi. Kita dapat menyetujui bahwa

ini memang hanyalah analogi. Lalu, mintalah alasan lain yang lebih langsung untuk

meyakinkan kita akan kebenaran kesimpulannya.

Latihan 9.5 (Analogi yang Salah) Untuk masing-masing soal berikut, identifikasilah: si pembicara sedang ingin mempengaruhi

kita untuk meyakini apa. Jelaskan kesalahannya, jika ada, dan jelaskan juga bagaimana Anda

akan menyerang analogi ini. 1. Kalau kamu memancung kepala seseorang, maka organnya yang lain tidak akan dapat

lagi berfungsi, dan orang itu akan mati. Begitu pula kalau kamu memenggal kepala suatu

negara, maka negara itu akan mengalami kekacauan untuk beberapa waktu, dan sudah

pasti negara itu akan hancur dengan berjalannya waktu atau menjadi sasaran empuk bagi

negara-negara tetangganya. Jadi, mengkudeta pemerintah yang sudah mapan tidak akan

pernah menguntungkan negara mana pun.

2. Menghisap rokok sama saja dengan menelan arsenik. Keduanya sudah terbukti

menyebabkan kematian. Jadi, jika kamu tidak ingin menelan sesendok arsenik, maka

kamu pun seharusnya tidak ingin terus merokok.

3. Dunia ini seperti sebuah jam. Keduanya merupakan sistem yang terdiri dari bagian-bagian

yang bergerak, yang diatur secara sangat tepat, mempunyai keseimbangan dan gerakan

yang seragam dan berulang-ulang. Karena jam diciptakan oleh seseorang, maka dunia

juga pasti mempunyai pencipta. Pencipta itu kita sebut Tuhan.

Latihan 9.6 (Kesalahan Induksi) Untuk masing-masing soal berikut, identifikasilah: si pembicara sedang ingin mempengaruhi

kita untuk meyakini apa. Jelaskan kesalahannya, jika ada, dan sebutkan nama kesalahan itu.

131

1. Saya minum vodka dicampur air pada hari Senin, dan saya mabuk. Saya minum scotch

dicampur air pada hari Selasa, dan saya mabuk. Saya minum wiski dicampur air pada hari

Rabu, dan saya mabuk. Nah, jelas, bukan? Minum air membuat kita mabuk.

2. Jenny merokok berat, dan ketika dia tidak merokok, dia mengunyah tembakau.

Kemungkinan dia akan menderita kanker paru-paru atau kanker mulut.

3. Penelitian menunjukkan bahwa siswa yang mendapat nilai baik belajar sekitar tiga jam

setiap hari. Kamu ingin mendapat nilai baik, ‘kan? Yang perlu kamu lakukan cuma

belajar sekitar tiga jam setiap hari.

132

DAFTAR PUSTAKA

Ackrill, J. L. 1961. Aristotle’s Categories and De Interpretatione. Clarendon Aristotle Series. Oxford: Clarendon Press.

Bertens, K. 1999. Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Bierman, A. K. dan Assali, R. N. 1994. The Critical Thinking Handbook. New Jersey: Prenctice Hall.

Bittle, C. N. 1950. The Science of Correct Thinking: Logic. Milwaukee: The Bruce Publishing Company.

Copi, I. M. dan Cohen, C. 1990 (ed. ke-8). Introduction to Logic. Ohio: Macmillan.

Dolhenty, J. 2001 (ed. ke-9). The Problem of Knowledge: A Brief Introduction to Epistemology. Oregon: The Radical Academy.

Owen, G. E. L., ed. 1968. Aristotle on Dialectic: The Topics. Proceedings of the Third Symposium Aristotelicum. Cambridge: Cambridge University Press.

Ryle, G. 1949. The Concept of Mind, London: Hutchinson.

Smith, Robin. 2000. “Aristotle’s Logic” [email protected] dalam situs web Stanford Encyclopedia of Philosophy.

Takwin, B. 2005. Kesadaran Plural: Sebuah Sintesis Rasionalitas Dan Kehendak Bebas. Yogyakarta: Jalasutra.

BAB IV

DASAR-DASAR ETIKA

Fristian Hadinata dan L.G. Saraswati Putri

1. Perbedaan Etika dan Moralitas

Ada dua kata yang seringkali rancu penggunaanya, yaitu etika dan moralitas. Etika

dan moralitas memang dua kata berhubungan erat dan seringkali orang mengunakan

dua kata tersebut secara bergantian, tetapi tidak tepat (Graham, 2010, 1). Kita dapat

memahami perbedaan antara dua kata tersebut dengan cara yang lebih baik, jika kita

mencoba untuk memahami apa makna dua kata tersebut dari interpretasi yang paling

dasar.

Gambar 1 Perbedaan Etika dan Moralitas

Secara etimologis, istilah etika berasal dari kata Yunani " thikosē " yang bearti "adat",

"kebiasaan", atau "watak" (Pritchard, 2012, 1). Dalam perkembangannya, etika

mengacu kepada seperangkat aturan-aturan, prinsip-prinsip atau cara berpikir yang

menuntun tindakan dari suatu kelompok tertentu. Akan tetapi, kata etika spesifik

mengacu kepada studi sistematis dan filosofis tentang bagaimana kita seharusnya

bertindak (Borchert, 2006, 279). Dalam pengertian yang terakhir ini, etika adalah

133

cabang ilmu filsafat yang menyelidiki suatu sistem prinsip moral dan berusaha untuk

menjawab pertanyaan-pertanyaan radikal seperti:

Apa artinya baik?

Apa itu keputusan moral?

Apakah moral itu subjektif atau objektif?

Bagaimana menjalani kehidupan yang baik?

Tidak heran jika etika disebut juga filsafat atas moral. Etika punya fokus tentang

bagaimana kita mendefinisikan sesuatu itu baik atau tidak. Dalam rangka untuk

melihat perilaku yang dapat diterima atau tidak dalam situasi tertentu, maka perilaku

etis didefinisikan.

Lain halnya dengan moralitas berasal dari kata Latin "moralis" yang berarti "tata

cara", "karakter", atau "perilaku yang tepat" (Pritchard, 2012, 1). Secara terminologis

moralitas sering kali dirujuk sebagai diferensiasi dari keputusan dan tindakan antara

yang baik atau yang tidak baik. Moralitas mengacu pada nilai baik atau tidak baik

yang disepakati dan diadopsi dalam suatu lingkungan tertentu (Borchert, 2006, 280).

Moralitas biasanya didefinisikan melalui otoritas tertentu. Artinya, moralitas lebih

dipahami sebagai suatu keyakinan untuk menjalani hidup yang baik. Karena itu sistem

moralitas seringkali sangat bergantung dengan komutitasnya, misalnya agama atau

budaya tertentu. Lebih lanjut, konsep tentang moral bisa berubah dari waktu ke waktu

dan mengambil makna baru.

Moralitas sangat berhubungan dengan etika karena hal itu adalah objek kajiannya.

Etika adalah suatu abstraksi dalam memahami atau mendefinisikan moral dengan

melakukan refleksi atasnya. Etika membahas persoalan moral pada situasi tertentu

dengan pendekatan tertentu pula. Sedang moralitas tergantung pada pilihan individu,

keyakinan atau agama dalam menentukan hal yang benar atau salah, baik atau buruk.

134

Ada asumsi penting terkait masalah penjelasan moral tentang tanggung jawab etis.

Asumsi tersebut di dalam etika, yaitu pentingnya kehendak bebas di dalam

pertanggungjawaban etis (Sidgwick, 2004, 10), sedang dalam soal moralitas hal ini

biasanya tidak terlalu dipentingkan. Jika pengandaian tentang kehendak bebas tidak

ada maka pertanggungjawaban etis tidak bisa diajukan. Hal ini karenakan apa yang

dilakukan seseorang tidak lebih dari sesuatu yang dikontrol. Dengan kata lain,

seseorang tidak bisa diminta pertanggung jawaban etis ketika seseorang itu tidk punya

kehendak bebas --seperti yang boneka yang dikontrol seorang dalang. Asumsi seperti

ini yang menjadi kajian-kajian etika.

2. Klasifikasi Etika

Etika bisa dibagi menjadi berberapa bidang sebagai berikut:

Gambar 2 Pembagian Bidang Etika

135

Jika kita sederhanakan maka akan menjadi sebagai berikut:

Gambar 3 Empat Bidang Etika Utama

2. 1. Etika Normatif

Etika normatif merupakan cabang etika yang penyelidikannya terkait dengan

pertimbangan-pertimbangan tentang bagaimana seharusnya seseorang bertindak

secara etis. Dengan kata lain, etika normatif adalah sebuah studi tindakan atau

keputusan etis. Di samping itu, etika normatif berhubungan dengan pertimbangan-

pertimbangan tentang apa saja kriteria-kriteria yang harus dijalankan agar sautu

tindakan atau kepusan itu menjadi baik (Kagan, 1997, 2).

Dalam etika normatif ini muncul teori-teori etika, misalnya etika utilitarianisme, etika

deontologis, etika kebajikan dan lain-lain. Suatu teori etika dipahami bahwa hal

tersebut mengajukan suatu kriteria tertentu tentang bagaimana sesorang harus

bertindak dalam situasi-situasi etis (Williams, 2006, 72). Dalam pengajukan kriteria

norma tersebut, teori etika akan memberikan semacam pernyataan yang secara

normatif mengandung makna seperti "Fulan seharusnya melakukan X" atau "Fulan

seharusnya tidak melakukan X".

Harus dipahami bahwa setiap teori etika didasarkan pada sebuah kriteria tertentu

tentang apa yang etis untuk dilakukan. Kriteria ini disusun berdasarkan prioritas, di

mana dari kriteria umum bisa diturunkan menjadi prinsip-prinsip etis yang lebih

konkret. Dengan begitu, suatu tindakan dapat disebut etis jika ada kondisi-kondisi

136

tertentu yang memenuhi prinsip-prinsip etis yang diturunkan dari kriteria umum

dalam sebuh teori etika normatif tersebut.

Misalnya pada teori etika utilitarian, kriteria umum itu adalah suatu tindakan dianggap

benar atau baik jika menghasilkan utilitas paling besar bagi semua orang yang

terpengaruh oleh tindakan atau keputusan tersebut, termasuk orang yang melakukan

tindakan. Lain halnya dengan teori etika deontologis Kant yang punya kriteria umum

sebagai berikut: "Bertindaklah seolah-olah maksim tindakan Anda melalui keinginan

Anda sendiri dapat menjadi sebuah Hukum Alam yang Universal" (Tännsjö, 2008,

56-58).

2. 2. Etika Terapan

Etika terapan merupakan sebuah penerapan teori-teori etika secara lebih spesifik

kepada topik-topik kontroversial baik pada domain privat atau publik seperti perang,

hak-hak binatang, hukuman mati dan lain-lain. Etika terapan ini bisa dibagi menjadi

etika profesi, etika bisnis dan etika lingkungan. Secara umum ada dua fitur yang

diperlukan supaya sebuah permasalahan dapat dianggap sebagai masalah etika

terapan.

Pertama, permasalahan tersebut harus kontroversial dalam arti bahwa ada kelompok-

kelompok yang saling berhadapan terkait dengan permasalahan moral. Masalah

pembunuhan, misalnya tidak menjadi masalah etika terapan karena semua orang

setuju bahwa praktik tersebut memang dinilai tidak bermoral. Sebaliknya, isu kontrol

senjata akan menjadi masalah etika terapan karena ada kelompok yang mendukung

dan kelompok yang menolak terhadap isu kontrol senjata.

Kedua, sebuah permasalahan menjadi permasalahan etika terapan ketika hal itu punya

dimensi dilema etis. Meskipun ada masalah yang kontroversial dan memiliki dampak

penting terhadap masyarakat, hal itu belum tentu menjadi permasalahan etika terapan.

Kebanyakan masalah yang kontroversial di masyarakat adalah masalah kebijakan

sosial. Tujuan dari kebijakan sosial adalah untuk membantu suatu masyarakat tertentu

berjalan secara efisien yang dilegitimasinya disandarkan pada konvensi tertentu,

seperti undang-undang, peraturan-peraturan dan lain-lain (Debashis, 2007, 28-30).

137

Berbeda dengan permasalahan etis yang lebih bersifat universal, seperti kewajiban

untuk tidak berbohong, dan tidak terbatas pada suatu masyarakat tertentu saja.

Seringkali memang isu-isu kebijakan sosial tumpang tindih dengan isu-isu moralitas.

Namun, dua kelompok isu tersebut bisa dibedakan dengan mengunakan kedua

pendekatan yang dilakukan di atas.

Dengan begitu bisa dimengerti bahwa istilah etika terapan digunakan untuk

menggambarkan upaya untuk menggunakan metode filosofis mengidentifikasi apa

saja yang benar secara moral terkait dengan tindakan dalam berbagai bidang

kehidupan manusia. Misalnya, bioetika yang berhubungan dengan mengidentifikasi

pendekatan yang benar untuk persoalan-persoalan seperti euthanasia, penggunaan

embrio manusia dalam penelitian dan lain-lain.

2.3. Etika Deskriptif

Etika deskriptif merupakan sebuah studi tentang apa yang dianggap 'etis' oleh individu

atau masyarakat. Dengan begitu, etika deskriptif bukan sebuah etika yang mempunyai

hubungan langsung dengan filsafat tetapi merupakan sebuah bentuk studi empiris

terkait dengan perilaku-perilaku individual atau kelompok. Tidak heran jika etika

deskriptif juga dikenal sebagai sebuah etika komparatif yang membandingkan antara

apa yang dianggap etis oleh satu individu atau masyarakat dengan individu atau

masyarakat yang lain serta perbandingan antara etika di masa lalu dengan masa

sekarang. Tujuan dari etika deskriptif adalah untuk menggambarkan tentang apa yang

dianggap oleh seseorang atau masyarakat sebagai bernilai etis serta apa kriteria etis

yang digunakan untuk menyebut seseorang itu etis atau tidak (Kitchener, 2000, 3).

Penyelidikan etka deskriptif juga melibatkan tentang apa yang dianggap oleh

seseorang atau masyarakat sebagai sesuatu yang ideal. Artinya, kajian ini melihat apa

yang bernilai etis dalam diri seseorang atau masyarakat merupakan bagian dari suatu

kultur yang diwariskan dari satu generasi ke generasi yang lain. Akan tetapi, etika

deskriptif juga memberikan gambaran tentang mengapa satu prinsip etika bisa

ditinggalkan oleh genarasi berikutnya.

138

Oleh karena itu, etika deskriptif melibatkan stud-studi empris seperti psikologi,

sosiologi dan antropologi untuk memberikan suatu gambaran utuh. Di sini antropologi

dan sosiologi mampu memberikan segala macam informasi mengenai bagaimana

masyarakat di masa lalu dan sekarang menciptakan standar moral dan bagaimana

masyarakat itu ingin orang bertindak. Sedang, psikologi bisa melakukan sebuah studi

tentang bagaimana seseorang punya kesadaran tentang apa itu baik dan buruk serta

bagaimana seseorang membuat keputusan moral dalam situas nyata dan situasi

hipotetis (Kitchener, 2000, 3).

Akan tetapi, etika deskriptif bisa digunakan dalam argumentasi filosofis terkait

dengan masalah etis tertentu. Observasi yang dilakukan oleh ilmu-ilmu empiris dalam

etika deskripsi seringkali menjadi argumen untuk relativisme etis. Beragamnya

fenomena dan perilaku etis di antarbudaya memberikan pemahaman bahwa apa yang

baik dan buruk tidaklah absolut, tetapi relatif. Dalam konteks ini, moralitas dianggap

relatif pada tingkat antarbudaya. Hal ini juga memberikan pemahaman bahwa

moralitas merupakan sebuah konstruksi sosial sehingga sangat tergantung kepada

subjek etis dalan lingkungannya.

Ringkasnya, etika deskriptif mempertanyakan dua hal berikut:

1. Apa yang seseorang atau masyarakat klaim sebagai "baik"?

2. Bagaimana orang bertindak secara nyata ketika berhadapan dengan masalah-

masalah etis?

2. 4. Metaetika

Metaetika berhubungan dengan sifat penilaian moral. Fokus dari metaetika adala arti

atau makna dari pernyataan-pernyataan yang ada di dalam etika. Dengan kata lain,

metaetika merupakan kajian tingkat kedua dari etika. Artinya, pertanyaan yang

diajukan dalam metaetika adalah apa makna jika kita berkata bahwa sesuatu itu baik?

Metaetika juga bisa dimengerti sebagai sebuah cara untuk melihat fungsi-fungsi

pernyataan-pernyataan etika, dalam arti bagaimana kita mengerti apa yang dirujuk

dari pernyataan-pernyataan tersebut dan bagaimana pernyataan itu didemonstrasikan

sebagai sesuatu yang bermakna.

139

Perkembangan metaetika awalnya merupakan jawaban atas tantangan dari Positivisme

Logis yang berkembang pada abad 20-an (Lee, 1986, 8). Kalangan pendukung

Positivisme Logis berpendapat bahwa jika tidak bisa memberikan bukti yang

menunjukkan sebuah pernyataan itu benar, maka pernyataan itu tidak bermakna.

Ketika prinsip dari Positivisme Logis juga diujikan kepada pernyataan-pernyataan

etis, maka pernyataan-pernyataan itu harus berdasarkan bukti. Ringkasnya, jika tidak

ada bukti, maka tidak ada makna.

Di sini kata kuncinya adalah apa yang dikenal dengan "naturalistic fallacy", yaitu

dianggap akan melakukan kesalahan jika kita menarik suatu pernyataan tentang apa

yang seharusnya dari pernyataan tentang apa yang ada. Kesulitan dari bahasa etika

adalah penyataan-pernyataannya tidak selalu berupa fakta. Disinilah peran sentral dari

metaetika yang mengembangkan berbagai cara untuk menjelaskan apa yang dimaksud

dengan bahasa etika dengan intensi bahwa pernyataan-pernyataan etis punya makna.

Dalam pembahasan ini metaetika biasanya terbagi menjadi dua, yaitu realisme etis

dan nonrealisme etis.

3. Realisme Etis dan Non-Realisme Etis

Ada satu persoalan penting di dalam etika, yaitu pernyataan etika itu objektif atau hal

itu bergantung kepada subjek etika itu sendiri. Persoalan ini menghasilkan dua aliran

besar terkait dengan cara melihat pernyataan etika atau kualitas etis tersebut, yaitu

realisme etis dan nonrealisme etis (Callcut, 2009, 46).

3.1. Realisme Etis

Gagasan realisme etis berpusat pada manusia menemukan kebenaran etis yang

memiliki eksistensi independen di luar dirinya. Konsekuensinya, realisme etis ini

mengajarkan bahwa kualitas etis atau tidak ada secara independen dari manusia dan

pernyataan etis memberikan pengetahuan tentang dunia objektif. Dengan kata lain,

properti etis terlepas dari apa yang orang pikirkan atau rasakan. Hal ini disebut

dengan fakta etis tentang fakta sebuah tindakan. Artinya, jika seseorang mengatakan

bahwa tindakan tertentu salah, maka hal itu adalah kualitasnya yang salah dan itu

harus ada di sana dan bersifat independen.

140

Apa yang diungkapkan di atas biasanya dikenal juga dengan istilah absolutisme etis.

Gagasannya bersandar pada adanya aturan-aturan universal yang tidak berubah dan

berlaku setiap bagi semua orang. Absolutisme etis berpendapat bahwa ada beberapa

aturan moral yang selalu benar dan aturan-aturan tersebut dapat ditemukan serta

berlaku untuk semua orang. Dengan kata lain, tindakan tidak etis atau tindakan yang

melanggar aturan-aturan yang ditemukan itu berkualitas salah di dalamnya sendiri,

terlepas dari keadaan atau konsekuensi dari tindakan-tindakan itu sendiri.

Absolutisme etis mengambil pandangan kemanusiaan universal dan berkeyakinan

bahwa ada satu perangkat aturan untuk semua orang, misalnya seperti Deklarasi Hak

Asasi Manusia.

Masalah bagi etika realis adalah manusia mengikuti keyakinan etis yang berbeda-

beda. Jika memang ada kebenaran etis yang nyata di luar sana, maka manusia

seharusnya bisa menemukannya dan punya keyakinan etis yang sama. Artinya,

realisme etis dalam bentuk absolutisme etis tidak sesuai dengan keragaman budaya

dan tradisi. Di samping keberatan itu, absolutisme moral yang tidak memperhitungkan

konsekuensi dari suatu tindakan atau keadaan etis untuk menghasilkan fakta etis.

Padahal konsekuensi dan keadaan etis itu sangat relevan dengan dengan kategori

tindakan itu baik atau buruk.

3.2. Nonrealisme Etis

Keberatan terhadap realisme etis di atas menimbulkan cara melihat persoalan etis

yang disebut dengan nonrealisme etis. Gagasan utama dari nonrealisme etis adalah

manusia yang menciptakan kebenaran etis (Callcut, 2009, 46). Nonrealisme etis ini

sangat terkait dengan relativisme etis. Relativisme etis yang mengatakan bahwa jika

Anda melihat budaya yang berbeda atau melihat periode yang berbeda dalam sejarah,

Anda akan menemukan bahwa hal itu memiliki aturan etis yang berbeda pula. Oleh

karena itu, masuk akal untuk mengatakan bahwa apa yang "baik" mengacu pada

kelompok tertentu di mana orang-orang menyetujuinya menjadi sesuatu yang "baik"

(Williams, 2006, 157). Dengan kata lain, relativisme menghormati keragaman budaya

dan tindakan manusia yang berbeda pula dalam cara merespon situasi yang berbeda.

141

Akan tetapi, ada persoalan juga di dalam relativisme etis. Diantaranya adalah kita

merasa bahwa aturan etis memiliki nilai kualitas yang lebih tinggi daripada sekedar

kesepekatan umum dari sekelompok orang. Terkadang kita berpikir bahwa kita bisa

menjadi "baik tanpa sesuai dengan semua aturan masyarakat. Misalnya, keputusan

untuk menjadi seorang vegetarian terkait dengan hak-hak hewan dinilai "baik", walau

masyarakata melihat hal itu bukanlah suatu perkara yang terkait dengan masalah etis,

bahkan memakan daging dianjurkan.

Lebih jauh, relativisme memiliki masalah dengan persoalan tirani mayoritas. Dalam

relativisme etis, jika kebanyakan orang dalam suatu masyarakat setuju dengan aturan

tertentu, itulah akhir dari masalah etis. Apa yang diabaikan dari relativisme etis adalah

banyaknya perbaikjan yang terjadi di dunia dikarenakan orang menentang pandangan

etika yang berlaku --relativisme etis punya kecenderungan untuk menganggap orang-

orang seperti itu berperilaku "buruk". Persoalan yang paling mendasar dari

relativisme etis adalah setiap pilihan "etis atau tidak" menjadi sewenang-wenang

dikarenakan terkait dengan keelompok sosial atau budaya itu sendiri sebagai landasan

etika. Artinya, relativisme moral tidak menyediakan cara untuk mengatasi perbedaan

moral antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain.

4. Empat Jenis Penyataan Etika

Pengkajian terhadap permasalahan etis pada dasarnya bisa dilakukan dengan

mengajukan pertanyaan sebagai berikut: Ketika seseorang mengatakan "pembunuhan

itu tidak baik" apa yang dimaksudkannya sesungguhnya? Pertanyaan ini adalah

pertanyaan sederhana, tetapi hal ini adalah cara yang sangat berguna untuk

mendapatkan gagasan yang jelas tentang apa yang terjadi ketika orang berbicara

tentang isu-isu etis.

Kita bisa melihat ketika orang mengucapkan pernyataan "pembunuhan itu tidak baik",

orang merujuk pada hal yang berbeda. Perbedaan ini memberikan pendekatan yang

berbeda pula untuk melihat persoalan etis (Johnson dan Reath, 2011, 472). Kita dapat

menunjukkan beberapa hal yang berbeda ketika Anda mengatakan 'pembunuhan

adalah tidak baik' dengan menulis ulang pernyataan tersebut untuk menunjukkan apa

yang benar-benar dimaksud oleh Anda sebagai berikut:

142

1. Saya mungkin bermaksud membuat pernyataan tentang fakta etis, seperti

"pembunuhan itu adalah salah". Hal ini adalah realisme moral. Realisme moral

didasarkan pada gagasan bahwa ada fakta-fakta nyata dan objektif terkait

masalah etis di alam semesta. Pernyataan etis dinilai memberikan informasi

faktual tentang kebenaran.

2. Saya mungkin bermaksud hendak menyatakan tentang perasaan saya sendiri

seperti, "saya tidak menyetujui pembunuhan". Hal ini adalah subjektivisme.

Subjektivisme mengajarkan bahwa penilaian etis tidak lebih dari pernyataan

perasaan atau sikap seseorang. Di sini, pernyataan etis tidak mengandung

kebenaran faktual tentang kebaikan atau keburukan. Artinya, Jika seseorang

mengatakan sesuatu itu baik atau buruk, apa yang dia maksudkan tidak lebih

dari perasaan positif atau negatif yang dia miliki terkait sesuatu itu. Jadi, jika

seseorang mengatakan 'pembunuhan adalah tidak baik, apa yang dia apa yang

dia maksud adalah dia tidak menyetujui pembunuhan. Dalam konteks ini,

pernyataan dinilai benar jika orang tersebut memegang sikap yang tepat atau

memiliki perasaan yang tepat seperti yang diungkapkannya. Dengan kata lain,

pernyataan akan salah, jika ternyata orang tesebut tidak memiliki perasaan

tersebut.

3. Saya mungkin bermaksud untuk mengekspresikan perasaan saya saja

"tidak ada kompromi dengan pembunuhan". Hal ini adalah emotivisme.

Emotivisme adalah pandangan bahwa klaim moral adalah tidak lebih dari

ekspresi persetujuan atau ketidaksetujuan. Hal ini seperti subjektivisme, tetapi

dalam emotivisme pernyataan moral tidak memberikan informasi tentang

perasaan pembicara tentang topik tetapi ungkapan perasaan itu sendiri. Ketika

sebuah emotivis mengatakan "pembunuhan adalah salah" apa yang dimaksud

seperti mengatakan "tidak ada kompromi pembunuhan" atau hanya

mengekspresikan wajah ngeri ketika mendengar kata "pembunuhan" dan lain-

lain. Dengan kata lain, jika dilihat dari emotivisme ketika seseorang membuat

penilaian moral apa yang ditunjukkan adalah perasaan tentang sesuatu.

4. Saya mungkin bermaksud ingin memberikan instruksi atau larangan, seperti

"jangan melakukan pembunuhan". Hal ini adalah preskriptivisme. Gagasan

preskriptivisme berfokus pada pernyataan etis adalah petunjuk atau

rekomendasi. Jadi jika saya mengatakan sesuatu itu baik, artinya saya

143

merekomendasikan kepada Anda untuk melakukannya. Sedang, jika saya

mengatakan sesuatu itu buruk, apa yang saya katakan sebenarnya adalah Anda

jangan melakukannya. Hampir selalu ada unsur preskriptif dalam suatu

pernyataan etis. Misalnya, "menghina itu tindakan yang buruk" dapat ditulis

sebagai "orang tidak boleh menghina".

5. Kegunaan Etika

Etika sebenarnya tidak secara langsung mengharuskan orang mengikuti hasil

analisisnya. Hal ini dikarenakan etika sebagai bagian dari filsafat menekankan jika

seseorang menyadari bahwa secara etis lebih baik untuk melakukan sesuatu, maka

akan menjadi tidak rasional untuk orang tidak melakukannya. Artinya tidak ada

intensi dari etika untuk menekan orang untuk melakukan suatu tindakan atau

keputusan etis sesuai dengan pedoman-pedoman tertentu. Akan tetapi, ada kegunaan

dari etika dapat dirumuskan.

Etika menyediakan alat-alat analisis untuk berpikir tentang isu-isu moral.

Dalam konteks ini etika dapat menyediakan sebuah gambaran utuh dan lebih

mengedepankan rasionalitas ketika berhadapan dengan isu-isu tersebut. Memnag

sebagian besar masalah moral yang sering terjadi melibatkan persoalan emosional.

Dalam situasi seperti itu, kita sering membiarkan perasaan-perasaan yang menentukan

keputasan moral kita, sedang nalar kita hanya mengikuti arus perasan-perasaan

tersebut. Di sinilah peran etika, yaitu menawarkan suatu prinsip-prinsip yang

memungkinkan kita untuk mengambil pandangan yang lebih jernih dalam melihat isu-

isu moral. Dengan kata lain, etika memberikan sebuah peta moral atau kerangka

berpikir yang bisa digunakan untuk menemukan jalan keluar dari masalah-masalah

moral yang sulit.

Di satu sisi, melalui menggunakan kerangka etika, dua orang yang saling

berdebat mengenai masalah moral dapat menemukan apa yang mereka tidak sepakat

tentang sesuatu, bisa menyadari bahwa mereka hanyalah tidak sepakat pada salah satu

bagian tertentu dari masalah tersebut. Artinya kedua orang tersebut secara umum

setuju pada sesuatu yang lain yang lebih luas mengenai masalah moral tersebut. Di

sisi lain, ada ekspektasi tersedianya jawaban yang benar dan tunggal untuk satu

pertanyaan etis. Bahkan ketika kita tidak bisa mengetahui apa yang benar, kita tetap 144

menyukai gagasan bahwa untuk satu masalah etis, ada satu jawaban yang tepat. Akan

tetapi, sering tidak ada satu jawaban yang benar. Apa yang ditawarkan etika biasanya

adalah beberapa jawaban yang tepat, atau hanya beberapa jawaban sedikit lebih baik

daripada jawaban yang lain. Setidaknya, seseorang dapat memilih antara jawaban-

jawaban tersebut.

Memang harus dimengerti bahwa etika tidak selalu memberi jawaban yang

tepat untuk masalah moral. Hal ini karenakan masalah-masalah moral, seringkali tidak

ada jawaban yang tunggal. Dalam hal ini, seperangkat prinsip etika hanya dapat

diterapkan untuk kasus-kasus tertentu saja. Akan tetapi pada dasarnya semua jenis

prinsip-prinsip etika dapat menghilangkan kebingungan dan memperjelas masalah.

Hal ini dikarenkan persoalan moral sangat sulit dan komplek (Hinman, 2012, 1-6).

Persoalan etis sangat sulit dikarenakan hal itu memaksa kita untuk mengambil

tanggung jawab atas pilihan dan tindakan kita sendiri daripada langsung kembali pada

aturan-aturan dan adat istiadat.

Satu masalah etika adalah hal itu sering digunakan sebagai senjata. Jika

sebuah kelompok percaya bahwa aktivitas tertentu adalah "salah", kemudian dengan

prinsip-prinsip etika digunakan sebagai pembenaran untuk menyerang mereka yang

melakukan aktivitas tersebut.Akan tetapi, etika bukan soal sekedar mencari

pembenaran atas apa yang kita yakin tentang soal benar atau salah dalam suatu

tindakan atau keputusan. Etika memberikan pertimbangan untuk yang melampaui

kepentingan diri sendiri. Dengan kata lain etika sangat memperhitungkan bukan

hanya diri sendiri, tetapi juga orang lain. Dalam konteks ini, etika berkaitan dengan

kepentingan orang lain secara lebih luas.

6. Immanual Kant dan Etika Kewajiban

Dalam karyanya Critique of Practical Reason, Immanuel Kant membahas secara

filosofis tentang apa yang dimaksud dengan moral. Prinsip moral dapat muncul dari

berbagai sumber, diserap dari nilai-nilai agama, kaidah norma masyarakat, maupun

dari hukum yang dibuat oleh negara. Hal-hal ini dapat menjadi referensi bagaimana

seseorang bertingkah laku dan membedakan manakah baik dan buruk. Tetapi bagi

Immanuel Kant, sikap etis tidak datang dari luar individu tersebut. Mengapa

demikian? Ini berkaitan erat dengan era dimana Kant mempopulerkan filsafatnya, ia

145

selalu berkata Sapere Aude! Bila diterjemaahkan, berarti beranilah berpikir secara

mandiri, semangat ini tercermin juga didalam filsafatnya.

Sapere Aude dalam pengertian Kant mendorong individu bahkan dalam urusan

bersikap etis, individu harus dapat memikirkan dan bertindak atas kehendaknya

sendiri. Berbicara tentang tindakan etis, tentunya kita membicarakan tentang agen

moral itu sendiri. Telah dijelaskan sekilas, bahwa untuk Kant, individu harus memiliki

kehendak sendiri untuk berkarakter baik serta bertindak sesuai moral. Namun agen

moral yang dibicarakan oleh Kant, darimanakah ia tahu prinsip mana yang harus ia

jalankan atau tidak? Tentunya ini tidak semudah bila seseorang mematuhi ajaran

agama atau aturan yang sudah ditetapkan masyarakat. Prinsip moral dari Kant

mengharuskan adanya kesadaran untuk bersikap etis.

Meskipun prinsip moral datang dari rasio praktis individu tersebut sebagai agen

moral, Immanuel Kant menekankan bahwa sifat dari prinsip moral itu bukanlah

sesuatu yang partikular, karena untuknya ada hukum universal dimana hukum

tersebut merupakan muara dari segala tujuan etis. Kant menekankan bahwa prinsip ini

bekerja bila setiap orang memperlakukan orang lain dengan prinsip bahwa yang

diperbuat secara individual berdampak serta perlu diperhitungkan dalam tataran

universal, “aku harus melakukan tindakan moral yang dapat diterima sebagai prinsip

moral yang universal”. Uniknya dari prinsip Kant ini, walaupun tujuan besar dari

sikap moral adalah untuk mencapai kebaikan bersama tetapi tujuan itu dicapai secara

kesadaran individual yang memiliki otonomi.

Dalam prinsip moral Kant, ia menekankan betapa mendasarnya konsep kewajiban

sebagai dasar dari segala perbuatan etis. Konsep kewajiban inilah yang kemudian

dikenal sebagai prinsip deontologis, yakni yang menyatakan bahwa suatu tindakan

memiliki nilai moral yang baik bila tindakan itu terlepas dari kepentingan individu,

dan hanya bertujuan terhadap prinsip kewajiban tersebut, “kehendak baik tidak

menjadi baik karena apa yang diakibatkan ataupun yang dicapainya,--ataupun

kesesuaiannya untuk mencapai suatu tujuan akhir: kehendak baik itu dinyatakan baik

karena ia menginginkan kebaikan itu sendiri.”1

Pertanyaan yang timbul adalah; darimanakah kita mengetahui perbuatan mana yang

memiliki nilai kebaikan yang intrinsik secara universal? Bagi Kant, pengetahuan akan 1 .lih (ed) John Cottingham, bagian Immanuel Kant, hlm. 382

146

kebaikan itu datang dari rasio praktis kita. Apa yang dimaksud dengan rasio praktis?

Rasio praktis adalah kecerdasan yang datang dari individu sebagai agen moral, yakni

ketika pemahaman tentang kebaikan dan mampu menyesuaikan pilihan-pilihannya

dengan apa yang dipertimbangkan baik secara universal. Tetapi akal tidak cukup bagi

suatu perbuatan yang sesuai moral, untuk Kant, akal harus dijalani dengan kehendak,

tetapi kehendak ini hanya memusatkan pada kewajiban, tidak pada motif untuk

menguntungkan dirinya atau tujuan akhir tertentu.

Prinsip moral oleh Kant, tidak lagi menjadi argumen etis, tetapi menjadi keharusan,

karena itulah dinyatakan sebagai Imperatif Kategoris. Ada unsur mengikatnya, dan

mengharuskan kita untuk bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip moral tersebut.

Contoh yang bisa disimak adalah tentang berbohong. Dalam perspektif Kant

berbohong adalah suatu tindakan yang melanggar kebaikan, mengapa? Karena

berbohong secara umum dapat menyebabkan ketidaknyamanan, berbohong kita

ketahui sebagai sesuatu hal yang tidak baik, ini bisa disepakati secara universal

menurut Kant. Tetapi problem filosofis yang muncul adalah bagaimana bila

berbohong untuk suatu tujuan yang baik, benarkah tindakan tersebut? Dalam prinsip

kewajiban, tentunya meskipun berbohong itu untuk suatu hasil akhir yang baik tetap

tidak bisa dikatakan sebagai tindakan yang memiliki nilai moral.

Hal lain yang disampaikan oleh Kant adalah bagaimana ketika melakukan tindakan

etis meski terlepas dari motif individual, hal ini tetaplah dianggap sebagai tindakan

yang bernilai moral. Kant memberikan contoh misalnya seseorang yang tidak

menyukai kehidupannya, karena kehidupannya sangat menyengsarakan, bila

mengikuti keinginannya ia ingin segera mengakhiri kehidupannya, tetapi ia menolak

melakukan hal itu karena membunuh diri dianggap sebagai sesuatu yang tidak baik

secara universal. Meski seseorang yang tidak menyukai prinsip-prinsip kewajiban

tetapi tetap menjalankannya, bagi Kant tindakan itu memiliki nilai moral. Ini untuk

menunjukan bahwa tindakan yang dilakukan individu haruslah datang dari kesadaran

akan kewajiban untuk berbuat baik, karena hal ini bukanlah pilihan yang berdasarkan

motif atau kesenangan, tetapi atas dasar kewajiban, maka ada penekanan pada

keharusan itu.

Contoh lainnya adalah perbuatan menolong orang lain, meskipun menolong orang

lain adalah tindakan yang baik, bagi Kant, tindakan ini tidak terlalu relevan apakah

147

datang dari rasa belas kasih, maupun empati. Suatu tindakan menolong orang lain

haruslah datang dari rasa kewajiban, terlepas dari motif pribadi individu tersebut.

Bagi Kant, contoh ini menekankan bahwa prinsip moral dilaksanakan bukan karena

prinsip tersebut sesuai dijalankan untuk suatu tujuan akhir semata, tetapi demi

kewajiban atas kebaikan itu sendiri. Kewajiban itu sifatnya mengingkat dan terlepas

dari kepentingan dari individual tersebut.

Etika kewajiban dari Kant mengingatkan kita betapa pentingnya perbuatan moral

yang patuh pada suatu prinsip moral bahwa kebaikan tersebut intrinsik adanya. Bahwa

suatu tindakan dinyatakan benar atau baik dapat diperiksa oleh rasio praktis kita.

Sebagai agen moral yang bebas dan memiliki kecerdasan, Kant menjelaskan bahwa

melalui kecerdasaannya manusia dapat mencapai pada pemahaman tentang konsep

kebaikan universal. Dimana pemahamannya ini mewajibkannya untuk bersikap etis,

dan melakukan tindakan etis tanpa melibatkan perasaan atau memikirkan tentang

hasilnya saja, tetapi tegas untuk mematuhi suatu prinsip moral, “Kewajiban adalah

tindakan yang dilaksanakan atas dasar keharusan yang dilakukan dikarenakan ada rasa

hormat terhadap hukum.”2

7. John Stuart Mill dan Konsep Etika Utilitarian

Teori moral dalam filsafat dapat dipahami menjadi dua aliran besar, yang pertama

adalah deontologis, seperti yang telah dibahas pada bagian Immanuel Kant, yang

kedua adalah kaum konsekuensialis. Apa yang dimaksud dengan etika

konsekuensialis? Pandangan konsekuensialis menyatakan bahwa segala tindakan

dianggap bernilai secara moral bila mempertimbangkan hasil akhir dari tindakan

tersebut. Tentunya pendekatan konsekuensialis kaum utilitarian sangat bertolak

belakang dengan konsep imperatif dari Immanuel Kant. Konsekuensialis justru

menegaskan bahwa suatu tindakan itu dapat dinilai baik bila menyebabkan

kebahagiaan bagi individu serta orang-orang disekitarnya. Motif terhadap apa yang

dianggap menyebabkan kebahagiaan dianggap oleh kaum konsekuensialis menjadi

dasar dari suatu perbuatan moral.

Adapula tokoh yang mengembangkan paham etis utilitarian adalah John Stuart Mill.

Utilitarianisme, dari akar kata utility, yang berarti kegunaan, menganggap bahwa

dorongan utama bagi seseorang untuk bersikap etis adalah untuk mencapai 2 Ibid. hlm. 384

148

kebahagiaan, “Kredo yang menerima prinsip moral utility, atau kebahagiaan sebagai

fondasi moral meyakini bahwa tindakan dianggap sebagai suatu kebenaran sejauh

tindakan itu memproduksi serta mempromosikan kebahagiaan, akan menjadi

kesalahan bila berlaku terbalik dari kebahagiaan itu.”3 Cukup jelas dalam pernyataan

ini, bahwa apa yang dianggap secara moral baik adalah keadaan yang menimbulkan

kebahagiaan. Tetapi seringkali pernyataan kaum utilitarian disalahartikan menjadi

pandangan yang secara general memperbolehkan apapun untuk mencapai kebahagian,

inilah kritik terutama bagi kaum utilitarian.

Mill membantah argumen ini dengan mengatakan bahwa seolah-olah pandangan etis

kaum utilitarian terlampau meninggikan kesenangan ragawi semata. Mill menyatakan

bahwa pandangan utilitarian tidak sesederhana itu dalam menggunakan kata

kebahagiaan. Konsep kebahagiaan sebagai suatu tujuan seseorang sesungguhnya

bukanlah murni milik Mill, seorang pemikir Yunani kuno yang bernama Epikurus

yang pertama kali mengutarakan gagasan tersebut. Untuk Mill ada perbedaan

mendasar antara paham Utility yang ia gagas, dan miliki pendahulunya Epikurus,

kelalaian utama dari Epikurus adalah tidak membahas konsep kebahagiaan secara

mendetil. Dikemudiannya Mill mengkoreksi pandangan dari Epikurus, dengan

menyebutkan bahwa jenis kenikmatan atau kebahagiaan ada yang tinggi dan rendah.

Hirarki ini menjadi penting dalam konsep etis kaum utilitarian, karena Mill berupaya

menyampaikan bahwa ada tingkatan dalam kebahagiaan, dimana pengejaran etis

berurusan dengan kebahagiaan yang bertingkat tinggi, karena itulah kebahagiaan itu

memiliki nilai moral. Klarifikasi ini menunjukan bahwa kebahagiaan yang memiliki

nilai moral atau yang bertujuan etis bagi Mill adalah jenis kebahagiaan yang utama

atau tertinggi, misalnya, kebahagiaan disaat melakukan aktivitas hobi, dengan

kebahagiaan yang didapatkan ketika melakukan kebaikan untuk orang lain bertempat

di tingkatan yang amat berbeda. Itulah konteks kata kebahagiaan sebagai suatu tujuan

etis. Permasalahan yang timbul adalah bila kebahagiaan yang kita tuju sebagai

tindakan yang bermoral, harus dilalui dengan sesuatu yang menyengsarakan kita?

Bukankah prinsip utility menjadi berkontradiksi?

Tentunya problem filosofis ini memberatkan logika dari argumen etis para utilitarian,

tetapi Mill menjawab, bahwa selain adanya tingkatan-tingkatan dari kebahagiaan, atau

3 Ibid. bagian John Stuart Mill, hlm. 388149

klasifikasi kebahagiaan, tentunya tingkatan ini mengimplikasikan suatu anggapan

bahwa tidak semua kebahagiaan itu memuaskan kita secara sempurna. Mill secara

gamblang menyatakan bahwa kita harus menyadari bahwa tidak ada kepuasan yang

sempurna itu, meskipun demikian kita harus berupaya untuk memaksimalisasikan

kebahagiaan. Misalnya dalam satu contoh, ketika seseorang harus mengalami rasa

sakit mendonorkan darah demi membantu seorang temannya yang sedang sekarat,

tindakan ini pada dasarnya memang menyengsarakannya, tetapi kebahagiaan untuk

melihat temannya sembuh, atau untuk menolong temannya memberikan kebahagiaan

yang melampaui rasa sakitnya.

Contoh ini juga dapat digunakan untuk memahami pandangan etis kaum utilitarian

yang sangat berbeda dengan deontologi Kantian. Mill mengkritik bagaimana Kant

dengan mudahnya meniadakan peran individu yang memiliki kesadaran untuk

bermotif moral. Pada filsafat moral Kant, ia menekankan bahwa individu tidak boleh

memiliki kepentingan disaat ia berbuat kebaikan, tujuannya adalah kewajiban

terhadap kebaikan itu sendiri. Mill menganggap prinsip deontologi ini sangatlah tidak

realistis, karena mengabaikan aspek kepekaan individu untuk berkendak serta

menginginkan kebaikan. Menginginkan kebaikan dalam arti utilitarian adalah

keinginan kebaikan tidak saja untuk individu itu sendiri, tetapi mencakup orang-orang

yang mungkin mendapatkan dampak dari perbuatan itu. Atas alasan inilah Mill

menekankan niat baik serta pertimbangan kebahagiaan untuk sebanyak mungkin

orang-orang.

Prinsip etis utilitarian ini untuk mengenyahkan anggapan bahwa bila prinsip terutama

manusia adalah kebahagiaan maka ia hanya akan melakukan sesuatu hal yang

menguntungkan bagi dirinya sendiri, sebaliknya karena ia menyadari bahwa

kebahagiaan itu untuk kebahagiaan semuanya, maka ia terdorong untuk bersikap etis.

Mengapa motif menjadi sedemikian penting untuk kaum utilitarian? Mill menjelaskan

bahwa hanya ketika seseorang berkeinginan untuk bertindak etis maka ia dapat

mempertanggung jawabkan pilihan yang telah ia lakukan. Ia tidak dapat mengelak

dengan mengatakan bahwa, ia hanya menjalankan suatu perintah, atau ia hanya

mengikuti hukum tanpa memikirkan akibatnya. Motif dan konsekuensi menjadi dua

hal yang sangat penting dalam prinsip etis utilitarian, karena seseorang bermotif untuk

150

berbuat baik, maka ia diharuskan untuk mempertimbangkan hasil akhir dari pilihan

yang akan ia ambil.

Penjelasan dari John Stuart Mill memberikan kita perspektif yang berbeda tentang

suatu tindakan moral. Bila pandangan yang mendominasi adalah pandangan yang

mengatakan bahwa prinsip moral itu didasari atas kewajiban, Mill mengkritik dengan

mengatakan bahwa kebahagiaan adalah tujuan dari kita bertindak yang bernilai moral.

Sebagai konsekuensialis, Mill menjelaskan bahwa dalam melakukan apapun kita

terpaut dengan hasil akhir dari suatu pilihan, dan bagi kaum utilitarian, konsekuensi

yang dipikirkan adalah bagaimana multiplikasi suatu kebahagiaan, dan menghindari

kesengsaraan. Seperti yang telah ditekankan oleh Mill, kebijaksanaan yang utama

serta memiliki nilai moral adalah mengejar kebahagiaan, “Dengan demikian,

meningkatkan kebahagiaan, menurut etika utilitarian, merupakan objek dari

kebijaksanaan” 4

8. W.D Ross; Intuisi dan Kewajiban

Telah dibahas dua aliran besar dalam filsafat moral, yakni pandangan deontologi

dengan pandangan konsekuensialis. Dalam bagian ini akan dibahas tentang

bagaimana pandangan moral intuitif dari seorang etikus bernama W.D Ross. Bila

Kant menegaskan bahwa rasio praktis memungkinkan kita memisahkan mana

kebaikan dan mana keburukan, atau maxim kewajiban yang harus kita lakukan, dalam

pandangan Ross, ia menggunakan penjelasan intuisi. Apa yang dimaksud dengan

intuisi?

Ross berargumen bahwa seseorang mengetahui secara intuitif perbuatan apa yang

bernilai baik maupun buruk. Ia mengkritik pandangan utilitarian yang terlalu

menekankan pada konsep kebahagiaan, bahkan mensejajarkan kebahagiaan sebagai

kebaikan. Bagi Ross, kebahagiaan tidak dapat secara mudah disamakan dengan

kebaikan, justru kebaikan adalah bentuk nilai moral yang lebih tinggi. Jadi tujuan

moral adalah mencapai kebaikan bukan kebahagiaan. Ross mengkritik pandangan etis

dari kaum utilitarian sebagai pandangan hedonistik, yakni bertujuan hanya pada

kebahagiaan tanpa membedah lebih tajam perbedaan mendasar antara kebahagiaan

dan kebaikan. Meskipun ketika seseorang berbuat kebaikan dan kebaikan itu

menyebabkan rasa senang, kesenangan itu tidak relevan dengan suatu prinsip moral. 4 Ibid. hlm. 390

151

Justru untuk Ross, yang dipertimbangkan sebagai sesuatu yang signifikan adalah

benarnya tindakan individu itu.

Senada dengan Kant, Ross adalah seorang filosof moral yang menekankan bahwa

tindakan etis haruslah terlepas dari kepentingan individual. Bila dalam argumen

utilitarian ditekankan bahwa motif merupakan hal yang mendasar, bagi Ross, motif

menunjukan bahwa seseorang bertindak etis bukan karena tindakan itu benar secara

prinsipil, tapi tindakan itu menguntungkan baginya. Ross berargumen bahwa di luar

dari kebahagiaan terdapat berbagai hal yang menurutnya lebih tepat untuk dijadikan

prinsip tindakan moral yakni kebaikan melalui karakter yang mulia, atau berdasarkan

intelegensia. Sehingga untuk Ross premis yang mengatakan bahwa kebenaran moral

adalah memperbanyak kebahagiaan bagi semakin banyak orang dikoreksi menjadi

kebenaran moral adalah memperbanyak kebaikan bagi semakin banyak orang.

Pembedaan antara kebahagiaan dan kebaikan bagi Ross menjadi pembeda penting,

bahwa dari kedua hal tersebut kebaikan adalah yang tertinggi.

Meskipun terdapat keserupaan dalam filsafat moral Ross dengan Kant, ada perbedaan

penting antara Ross dan Kant. Ross mengkritik kewajiban sempurna dari Kant. Ia

mendebat bahwa kewajiban sempurna mengandaikan bahwa tidak ada perselisihan

menyangkut tindakan moral mana yang harus diprioritaskan. Bagi Ross, kita kerap

dibenturkan dengan dilema moral yang tidak dapat secara sederhana diselesaikan

dengan prinsip mengikat imperatif Kant. Di satu sisi Ross menyetujui adanya

kewajiban, tetapi kewajiban yang ia maksudkan bukanlah kewajiban sempurna yang

dijelaskan oleh Kant, melainkan kewajiban dengan syarat atau kondisional.

Untuk mempermudah pembedaan kewajiban imperatif Kant dengan kewajiban

kondisional dari Ross adalah melalui contoh berikut. Prinsip moral dari Kant akan

melarang kita dari tindakan berbohong karena menurut Kant berbohong melanggar

prinsip kewajiban imperatif yang universal. Tetapi bagaimana bila keadaannya,

seseorang harus memilih antara berbohong atau mengatakan kejujuran, tetapi hasil

dari kejujurannya akan menyebabkan kematian orang lain? Dari contoh semacam ini

Ross memaparkan bahwa secara intuitif kita memahami mana prioritas dalam dilema

moral semacam ini. Jika kita menggunakan perspektif Kant maka secara imperatif

individu itu harus menyampaikan kejujuran, meski kejujuran itu menyebabkan

kematian orang lain, karena prinsip moral dari Kant mengandalkan kewajiban yang

152

mengikat dan bukan didasarkan pada hasil akhir dari tindakan. Ross mengkritik

konsep kewajiban menurut Kant. Dari perspektif Ross, justru dari pilihan antara

kejujuran dan kematian, kita memiliki pemahaman bahwa nyawa seseorang jauh lebih

mendesak untuk didahulukan.

Ide moral semacam ini disebut oleh Ross sebagai Prima Facie. Menurut Ross,

“Prima facie menunjukan bahwa sesungguhnya pada pandangan awal yang muncul

adalah situasi moral yang hanya kemunculan semata, tetapi apa yang dimaksud

dengan Prima Facie adalah situasi moral yang dapat ditelaah secara objektif.”5

Penelaahan secara objektif yang dimaksud oleh Ross adalah bahwa pada faktanya

manusia memiliki kecerdasan untuk membandingkan pilihan moral manakah yang

paling menyebakan kebaikan utama. Melalui cara ini, menurut Ross, maka kita dapat

menghindarkan generalisasi yang dapat mengakibatkan keburukan, seperti dalam

contoh menyampaikan kejujuran yang mengakibatkan kematian bagi orang lain.

Prima Facie menekankan tentang bagaimana seseorang merefleksikan pilihan-pilihan

moralnya, sebelum ia bertindak.

Ross menyebutkan tentang berbagai macam kewajiban yang membutuhkan

pertimbangan individu dalam kejadian-kejadian aktual, ia menyusunya sebagai

berikut: (1) fidelitas (kesetiaan) atau yang menyangkut perihal bagaimana seseorang

memegang janji atau komitmennya; (2) kewajiban atas rasa terimakasih ketika kita

berkewajiban atas jasa yang sudah ditunjukan oleh orang lain; (3) kewajiban

berdasarkan keadilan; hal ini menyangkut perihal pembagian yang merata yang

berhubungan dengan kebaikan orang banyak, (4) kewajiban beneficence, atau

bersikap dermawan, dan menolong orang lain sebagai tanggung jawab sosial, (5)

kewajiban untuk merawat dan menjaga diri sendiri, (6) kewajiban untuk tidak

menyakiti orang lain.

Enam tipe dari Prima Facie yang dijelaskan oleh Ross menunjukan bahwa dalam

kondisi-kondisi tertentu kita kerap terbentur untuk memutuskan di antara pilihan-

pilihan moral. Dalam suatu situasi yang amat mendesak, Ross menekankan pada

kemampuan intuitif manusia untuk mengambil keputusan. Keputusan ini ditujukan

untuk mencari tahu pilihan manakah yang dimungkinkan menyebabkan kebaikan

yang tertinggi. Pertimbangan intuitif ini bagi Ross sangat vital karena intuisi bukanlah

5 Ibid. bagian W.D Ross, hlm. 407153

pertimbangan yang serampangan, tetapi pertimbangan yang menggunakan segala

aspek kecerdasan dan sensibilitas individu. Dengan demikian maka ia dapat

menghindarkan dirinya dari pilihan yang menyebabkan keburukan untuk dirinya

maupun terhadap orang disekitarnya.

DAFTAR PUSTAKA

Borchert, Donald M (Ed.). 2006. Encyclopedia of Philosophy Vol. III. Farmington Hills: Thomson Gale

Callcut, Daniel. 2009. Reading Bernard Williams. London dan New York: Routledge

Debashis, Guha. 2007. Practical and Professional Ethics Vol. 1: The Primer of Applied Ethics. New Delhi: Concept Publishing Co

Graham, Gordon. 2010. Theories of Ethics: An Introduction to Moral Philosophy with a Selection of Classic Readings. London dan New York: Routledge

Hinman, Lawrence M. 2012. Ethics: A Pluralistic Approach to Moral Theory. California: Wadsworth Publishing

154

Johnson, Oliver A. dan Reath, Andrews. 2011. Ethics: Selections from Classic and Contemporary Writers. California: Wadsworth Publishing

Kagan, Shelly. 1997. Normative Ethics. New York: Dimensions of Philosophy

Kitchener, Karen Strohm. 1999. Foundations of Ethical Practice, Research, and Teaching in Psychology and Counseling. London: Lawrence Erlbaum Associates

Lee, Keekok. 1985. A New Basis for Moral Philosophy (International Library of Philosophy). London: Routledge Kegan & Paul

MacIntyre, Alasdair. 1997. A Short History of Ethics: A History of Moral Philosophy from the Homeric Age to the Twentieth Century. London dan New York: Routledge

Pritchard, Michael S. 2012. What is Ethics?. Michigan: Department of Philosophy, Western Michigan University & Theodore Goldfarb

Sidgwick, Henry. 2004. Outlines of the History of Ethics. Montana: Kessinger Publishing

Tännsjö, Torbjörn. 2008 Understanding Ethics: Introduction to Moral Theory. Edinburgh: Edinburgh University Press

Williams, Bernard. 2006. Ethics and the Limits of Philosophy. London dan New York: Routledge

Cottingham, John. 1996. An Anthology: Western Philosophy. UK: Blackwell Publisher

Singer, Peter. 1993. Practical Ethics. New York: Cambridge University Press.

155