mpkt a buku ajar 3

181
PROGRAM PENGEMBANGAN KEPRIBADIAN PENDIDIKAN TINGGI MATA KULIAH PENGEMBANGAN KEPRIBADIAN TERINTEGRASI A BUKU AJAR III BANGSA, NEGARA, DAN PANCASILA Tim Penulis: R. Ismala Dewi Slamet Soemiarno Agnes Sri Poerbasari Eko A. Meinarno 1

Upload: yelsi-gusmaini

Post on 05-Aug-2015

773 views

Category:

Documents


24 download

TRANSCRIPT

PROGRAM PENGEMBANGAN KEPRIBADIAN PENDIDIKAN TINGGI

MATA KULIAH PENGEMBANGAN KEPRIBADIAN TERINTEGRASI A

BUKU AJAR III

BANGSA, NEGARA, DAN PANCASILA

Tim Penulis:

R. Ismala DewiSlamet Soemiarno

Agnes Sri PoerbasariEko A. Meinarno

UNIVERSITAS INDONESIADEPOK, 2012

1

BAB I

BANGSA INDONESIA

Sebagai negara kebangsaan (nation state), Indonesia merupakan kumpulan dari berbagai

ikatan primordial—agama, suku, ras, bahasa, budaya, daerah, dan adat—yang berbeda satu

sama lain. Kemajemukan bangsa Indonesia dengan perbedaan-perbedaan yang ada itu

menimbulkan berbagai masalah integrasi dan konflik yang berkaitan dengan keberadaan dasar

dan ideologi bangsa yaitu Pancasila dan UUD 1945 sebagai pengikat bangsa, faktor-faktor

pemersatu bangsa lainnya, serta jati diri bangsa.

1. Pengertian Bangsa dan Suku Bangsa

Secara konseptual, yang dimaksud dengan bangsa adalah sekelompok masyarakat

yang bersamaan asal keturunan, adat, bahasa, dan sejarahnya, serta berpemerintahan sendiri.

Contoh: Bangsa Indonesia, India, dsb.1 Sekelompok masyarakat yang membentuk suatu

bangsa, sebagaimana definisi bangsa tersebut tidaklah sesederhana itu. Suatu bangsa

terbentuk melalui suatu proses perjalanan sejarah, yang berbeda dengan bangsa lain.

Keberadaan suatu bangsa pun sering kali dipengaruhi oleh interaksinya dengan bangsa-bangsa

lain.

Sebagai suatu bangsa, Indonesia mempunyai ciri atau corak yang khas. Ciri khas itu

muncul karena latar belakang sejarah pembentukannya yang berbeda dengan bangsa lain.

Salah satu ciri khas bangsa Indonesia yang menonjol adalah bahwa bangsa Indonesia dibentuk

oleh kesatuan dari berbagai suku bangsa sehingga disebut bangsa yang majemuk.

Mengenai pengertian konsep suku bangsa, Koentjaraningrat memberikan penjelasan

sebagai berikut. Tiap kebudayaan yang hidup dalam suatu masyarakat yang dapat berwujud

1 Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta, 2002), hlm. 102.

2

Setelah membaca bab ini mahasiswa mampu memahami konsep bangsa

dan membangun sikap terbuka dan kritis terhadap kemajemukan bangsa

Indonesia dalam hubungannya dengan masalah integrasi, konflik, faktor-

faktor pemersatu bangsa, serta jati diri bangsa.

sebagai komunitas desa, kota, kelompok kekerabatan, atau kelompok adat lainnya,

menampilkan corak khas tertentu yang terutama dilihat oleh orang luar yang bukan warga

masyarakat bersangkutan. Corak khas tersebut dapat dilihat pada unsur-unsur kebudayaan

yang ada pada komunitas itu, misalnya hasil kebudayaan fisik dan pranata-pranata yang ada

pada pola sosial khusus. Kekhasan corak kebudayaan pada suatu masyarakat itu yang

membedakannya dengan masyarakat lainnya. Dalam etnografi (deskripsi atau tulisan tentang

bangsa-bangsa), suatu kebudayaan dengan corak khas itu dinamakan suku bangsa atau

kelompok etnik (ethnic group).

Di antara kedua istilah di atas —suku bangsa dan kelompok etnik—istilah yang lebih

tepat bagi kelompok masyarakat dengan corak yang khas tersebut adalah suku bangsa, bukan

kelompok etnik karena suku bangsa merupakan golongan sosial bukan kelompok sosial.

Golongan sosial dan kelompok sosial merupakan dua konsep mengenai kesatuan-kesatuan

sosial atau unsur-unsur masyarakat. Kedua konsep itu mempunyai pengertian yang berbeda.

Golongan sosial merupakan suatu kesatuan manusia yang ditandai oleh suatu ciri tertentu,

yang mempunyai ikatan identitas sosial. Kelompok sosial merupakan suatu masyarakat karena

memenuhi syarat-syaratnya yaitu adanya sistem interaksi antara para anggota, adat-istiadat

serta sistem norma yang mengatur interaksi itu, kontinuitas, serta adanya rasa identitas yang

mempersatukan semua anggota tadi. Di samping ketiga ciri tadi, suatu kesatuan manusia yang

disebut kelompok juga mempunyai ciri tambahan yaitu organisasi dan sistem kepemimpinan

dan selalu tampak sebagai kesatuan-kesatuan dari individu-individu yang pada masa-masa

tertentu, secara berulang, berkumpul dan kemudian bubar lagi.

Suku bangsa sebagai golongan sosial adalah golongan manusia yang terikat oleh

identitas dan kesadaran akan “kesatuan kebudayaan”. Kesadaran dan identitas itu sering kali

dikuatkan pula oleh kesatuan bahasa. “Kesatuan kebudayaan” tersebut bukan ditentukan oleh

pihak luar, misalnya ahli antropologi, ahli kebudayaan, atau ahli lainnya, dengan metode-

metode analisis ilmiah, melainkan oleh warga kebudayaan itu sendiri.

Contoh kebudayaan suku bangsa yang diuraikan di atas ialah kebudayaan Sunda yang

merupakan suatu kesatuan kebudayaan yang berbeda dengan kebudayaan Jawa atau Batak.

Kesatuan kebudayaan Sunda itu bukan ditentukan oleh pihak luar, melainkan karena orang-

orang Sunda sadar bahwa di antara mereka ada keseragaman mengenai kebudayaan mereka,

yang mempunyai kepribadian dan identitas khusus, yang berbeda dengan kebudayaan lain.

Apalagi adanya bahasa Sunda, yang berbeda dengan bahasa Jawa atau Batak, menyebabkan

3

semakin tingginya kesadaran akan kepribadian khusus tadi. (Koentjaraningrat, 2002: 263—

266.)

Menurut Suparlan, suku bangsa merupakan kategori atau golongan sosial yang

askriptif yaitu keanggotaan dalam suku bangsa tersebut diperoleh bersama dengan kelahiran,

yang mengacu kepada asal orang tua yang melahirkan dan asal daerah tempat seseorang

dilahirkan. Sebagai golongan sosial, suku bangsa terwujud sebagai perorangan atau individu

dan kelompok. Sebagai kelompok, suku bangsa terwujud sebagai keluarga, komuniti,

masyarakat, atau juga berupa perkumpulan suku bangsa. Sebagai kelompok, suku bangsa

mempunyai ciri-ciri berikut.

1. Suku bangsa merupakan satuan kehidupan yang secara biologi mampu berkembang biak

dan lestari, yaitu dengan adanya keluarga yang dibentuk melalui perkawinan.

2. Suku bangsa mempunyai kebudayaan bersama yang merupakan pedoman bagi kehidupan

mereka, dan secara umum berbeda dengan kelompok suku bangsa lain.

3. Keanggotaan di dalam suku bangsa bercorak askriptif.

Keanggotaan seseorang di dalam sebuah suku bangsa yang bercorak askpritif berbeda

dari keanggotaan seseorang di dalam sebuah kelas sosial atau kelompok profesi yang

coraknya diperoleh melalui prestasi kerja atau usaha. Keanggotaan seseorang di dalam suatu

suku bangsa adalah keanggotaan terus-menerus atau untuk selamanya, sedangkan

keanggotaan di dalam kelas sosial atau kelompok profesi akan hilang pada waktu yang

bersangkutan tidak lagi mampu menunjukkan kemampuan ekonomi yang menjadi ciri-ciri

dari kelas sosial yang di dalamnya dia tergolong atau pada waktu seseorang itu tidak lagi

mengerjakan profesi yang selama ini ditekuninya. (Suparlan, 2005: 3—6.)

Sebagai makhluk sosial, setiap orang mempunyai lebih dari satu jati diri atau identitas

diri. Sebagai bagian dari bangsa Indonesia maka jati diri seseorang merupakan jati diri bangsa

Indonesia. Mengingat bangsa Indonesia merupakan bangsa yang didukung oleh kesatuan dari

aneka suku bangsa, maka diperlukan pemahaman terhadap suku-suku bangsa tersebut. Corak

jati diri atau identitas diri bangsa Indonesia sangat ditentukan oleh jati diri suku-suku bangsa

pendukung bangsa Indonesia. Jati diri suku bangsa atau kesukubangsaan termasuk salah satu

di antara jati diri yang dapat menjadi jati diri utama, atau dapat juga menjadi jati diri yang

menempel dan memperkuat jati diri utama seseorang. Oleh karena itu interaksi antar-suku

bangsa, yang masing-masing mempunyai corak jati diri yang berbeda itu, perlu pula

dilakukan dengan tetap mengedepankan jati diri sebagai bangsa Indonesia. Permasalahan

4

bangsa Indonesia sebagai bangsa yang majemuk berkaitan dengan interaksi antar-suku bangsa

akan diuraikan lebih lanjut pada sub-bab mengenai masyarakat majemuk bangsa Indonesia.

2. Indonesia Bangsa yang Majemuk

Menurut Haviland, masyarakat majemuk adalah masyarakat yang memiliki

keberagaman pola-pola kebudayaan (societies that have a diversity of cultural patterns)

(Haviland, 2000: 386). Lebih lanjut ia mengemukakan bahwa suatu masyarakat yang

majemuk akan melahirkan kebudayaan majemuk, yang merupakan interaksi sosial dan politik

dari orang-orang yang cara hidup dan cara berpikirnya berbeda dalam suatu masyarakat

(Haviland, 2000: 805).

Yang dimaksud dengan bangsa, menurut kamus istilah antropologi, adalah kumpulan

manusia yang biasanya terikat karena kesatuan bahasa dan kebudayaan dalam arti umum, dan

biasanya menempati wilayah tertentu di muka bumi. Pengertian bangsa ini tidak jauh berbeda

dengan yang dikemukakan oleh Haviland yaitu suatu komunitas orang-orang yang

memandang dirinya sebagai “kesatuan manusia” yang didasari oleh nenek moyang, sejarah,

masyarakat, institusi, ideologi, bahasa, wilayah, dan sering kali kepercayaan yang sama

(Haviland, 2000: 664).

a. Kemajemukan Bangsa Indonesia sebagai Realitas

Di samping pengertian bangsa dalam arti kenegaraan tersebut di atas, bangsa

Indonesia terdiri dari berbagai bagian lagi yang disebut sebagai suku bangsa. Berbagai suku

bangsa tersebut ialah suku bangsa Jawa, Sunda, Minangkabau, Batak, Aceh, dan lain-lain.

Masing-masing suku bangsa itu mempunyai kebudayaan sendiri, yang berbeda dengan suku

bangsa lainnya, yaitu berbeda bahasa, adat-istiadat, cara hidup, dan sebagainya.

Sesungguhnya suku bangsa itu masing-masing merupakan satu bangsa dalam arti etnik, yaitu

kebulatan kemasyarakatan yang mempunyai kebudayaan sendiri, karena berasal dari satu

keturunan.

Indonesia merupakan bangsa yang majemuk dengan aneka suku bangsa yang

membentuk satu kesatuan yaitu bangsa Indonesia. Berdasarkan data sensus penduduk tahun

2010 dari Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah suku bangsa di Indonesia adalah sebanyak

5

1.128 suku bangsa, dengan jumlah penduduk keseluruhannya sebanyak 237.556.363 orang, dan

dengan luas wilayahnya sekitar 1.910.931 km2.2

Menurut Suparlan, Indonesia adalah sebuah masyarakat yang terdiri atas masyarakat-

masyarakat suku bangsa yang secara bersama-sama mewujudkan diri sebagai satu bangsa atau

nasion, yaitu bangsa Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia dikatakan sebagai sebuah

masyarakat yang majemuk karena mengenal tiga sistem yang digunakan sebagai acuan atau

pedoman di dalam kehidupan warga masyarakatnya. Sistem-sistem itu adalah 1) sistem

nasional, 2) sistem suku bangsa, dan 3) sistem tempat-tempat umum. Sebagai sebuah bangsa,

masyarakat Indonesia hidup dalam sebuah satuan politik yaitu sebuah negara kesatuan yang

menempati sebuah wilayah yang dinamakan Negara Republik Indonesia. Sebagai sebuah

masyarakat yang terdiri atas sejumlah suku bangsa, hubungan-hubungan sosial di antara

warga suku bangsa yang berbeda itu lazim berlangsung di tempat-tempat umum (pasar,

tempat-tempat hiburan, kegiatan-kegiatan sosial bersama) yang menjadikan fungsi tempat-

tempat umum tersebut menjadi penting untuk berinteraksi. (Suparlan, 2005: 54—60.)

Aneka suku bangsa yang terdapat dalam Negara Republik Indonesia adalah sama

banyak jumlahnya dengan bahasa-bahasa mereka, yang disebut bahasa daerah (Loebis, 1979:

10—11). Kemajemukan bangsa Indonesia merupakan suatu realita yang tidak dapat diingkari.

Oleh karena itu, aneka suku bangsa yang ada perlu disikapi dengan kesadaran akan Indonesia

sebagai bangsa yang satu.

Bentuk pluraritas bangsa Indonesia setidaknya dapat dilihat dalam dua macam yaitu 1)

pluralitas horizontal, misalnya keberagaman etnis, agama dan bahasa, dan 2) pluralitas

vertikal, misalnya keanekaragaman profesi, tingkat ekonomi, dan pendidikan. Di samping itu,

bentuk pluralitas bangsa Indonesia dapat pula dilihat dari keberagaman kelompok, lapisan,

dan golongan (meskipun substansinya sama dengan bentuk pluralitas yang disebutkan

terdahulu). Keberagaman kelompok berkaitan antara lain dengan keberagaman kelompok

etnik, afiliasi politik, dan agama yang dianut.

b. Masalah-Masalah Terkait Pluralitas Bangsa Indonesia

2 Rusman Heriawan, Kepala BPS, dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi XI DPR RI, Rabu tanggal 3 Februari 2010.

6

Konsekuensi dari pluralitas atau heterogenitas masyarakat Indonesia adalah potensi

terjadinya konflik atau integrasi. Konflik berpotensi terjadi apabila terdapat cara pandang

tertentu seperti sikap etnosentrisme atau primordialisme, yang diwujudkan antara lain dalam

bentuk stereotip etnik pada suku bangsa lain. Di sisi lain integrasi bangsa dapat didorong oleh

aspek-aspek seperti pengalaman sejarah yang sama, tujuan yang sama, bahasa dan simbol-

simbol yang sama sebagai identitas kebangsaan.

Mengapa kemajemukan masyarakat menjadi salah satu sebab munculnya persoalan

konflik atau masalah integrasi bangsa di Indonesia? Hal ini dapat dijelaskan dengan

menunjukkan bahwa keberagaman suku bangsa di Indonesia menimbulkan beberapa

konsekuensi ketika anggota masyarakat dari berbagai suku bangsa itu berinteraksi satu sama

lain. Dalam interaksi antar-anggota masyarakat yang berbeda suku bangsa itu akan muncul

jati diri suku bangsa atau kesukubangsaan masing-masing yang diakui oleh anggota

masyarakat dari suatu suku bangsa maupun oleh anggota masyarakat suku bangsa lainnya

dalam interaksi yang terjadi. Acuan jati diri suku bangsa adalah kebudayaan suku bangsa

yang terwujud dalam bentuk atribut-atribut yang menjadi ciri-ciri dari suku bangsa masing-

masing pelaku dalam suatu interaksi.

Kebudayaan yang dimiliki oleh suatu keluarga atau kelompok kerabat pada dasarnya

adalah kebudayaan suku bangsa. Sebuah masyarakat yang anggota-anggotanya secara

langsung atau tidak langsung berasal dari satu keturunan yang sama, atau yang selama

beberapa generasi menempati suatu wilayah, adalah sebuah masyarakat suku bangsa.

Masyarakat suku bangsa ini, sama halnya dengan keluarga atau kelompok kekerabatan, adalah

sebuah masyarakat suku bangsa dengan kebudayaan suku bangsa.

Pada masyarakat suku bangsa, kebudayaan suku bangsa menjadi sebuah acuan utama

dalam menghadapi lingkungan sosial budaya dari masyarakat tersebut. Dalam masyarakat

luas yang heterogen atau majemuk, kebudayaan masing-masing suku bangsa berisikan

keyakinan-keyakinan mengenai ciri-ciri suku-suku bangsa dan mencakup juga pengetahuan

mengenai diri atau suku bangsa sendiri yang berbeda dengan suku bangsa lainnya. Perbedaan

atau pertentangan dengan suku bangsa lainnya itu—secara sadar atau tidak sadar—

memunculkan keberadaan jati diri suku bangsa sendiri dan jati diri suku-suku bangsa lainnya.

Pengetahuan mengenai suku bangsa sendiri dan suku-suku bangsa lainnya yang hidup

bersama-sama dalam sebuah masyarakat akan memunculkan keyakinan-keyakinan mengenai

kebenaran yang subjektif terkait dengan pengetahuan mengenai ciri-ciri suku-suku bangsa

7

lainnya itu. Pengetahuan anggota masyarakat suatu suku bangsa terhadap suatu suku bangsa

lainnya berisikan konsep-konsep yang sering kali digunakan sebagai acuan dalam

menghadapi anggota-anggota suku-suku bangsa lainnya itu. Konsep-konsep ini disebut

stereotip (stereotype), dan stereotip dapat berkembang menjadi prasangka (prejudice).

Sebuah stereotip mengenai sesuatu suku bangsa biasanya muncul dari pengalaman

seseorang atau sejumlah orang dalam berhubungan dengan para pelaku dari suku bangsa itu.

Dari sejumlah pengalaman yang terbatas itu, yang dipahami dengan mengacu pada

kebudayaannya, muncullah pengetahuan yang diyakini kebenarannya dan menjadi bagian dari

kebudayaan suku bangsa tertentu, yaitu pengetahuan mengenai ciri-ciri suku bangsa itu.

Pengetahuan yang dipunyai oleh seseorang atau sejumlah anggota masyarakat suku bangsa

mengenai sesuatu suku bangsa tersebut kemudian disebarluaskan kepada sesama anggota

masyarakat sehingga pengetahuan yang sifatnya terbatas mengenai ciri-ciri sesuatu suku

bangsa tersebut menjadi sebuah pengetahuan yang bersifat umum dan baku yang diyakini

kebenarannya. Padahal, sebenarnya, pengetahuan itu amat terbatas dan subjektif karena

berisikan interpretasi dari pengalaman si pelaku sendiri yang terbatas jumlah dan ruang

lingkupnya tetapi kemudian digeneralisasi sebagai ciri-ciri dari sesuatu suku bangsa tersebut.

Demikianlah pengetahuan itu disebut stereotip. (Suparlan, 2005: 3—6.)

Berkaitan dengan permasalahan masyarakat Indonesia yang majemuk, Jatiman

mengemukakan bahwa akar dari bangsa Indonesia adalah satuan sosial atau kelompok yang

berbeda-beda dalam suku bangsa, agama dan ras (SARA). Oleh sebab itulah maka

permasalahan integrasi nasional berkaitan dengan konflik dalam hal SARA. Namun lebih jauh

dikemukakan bahwa permasalahan yang sesungguhnya bukan hanya itu melainkan juga

kesepakatan bangsa tentang keberadaan Pancasila dan UUD 1945 sebagai cita-cita, mengingat

bahwa integrasi bangsa Indonesia dilandasi oleh kesamaan nasib dan kesamaan cita yang

kemudian secara konkret dituangkan dalam Pancasila dan UUD 1945.

Kemajemukan masyarakat Indonesia dengan keberagaman kelompok, lapisan dan

golongan melahirkan keberagaman kebudayaan pula. Kebudayaan yang beragam itu

menyebabkan sistem hukum yang ada juga beragam, di samping hukum negara dan hukum

internasional. Kemajemukan budaya melahirkan kemajemukan hukum, mengingat hukum

merupakan aspek kebudayaan yang memiliki fungsi sebagai pedoman bertingkah laku dan

fungsi kontrol sosial. Hukum merupakan aturan yang menjadi pedoman hidup seseorang atau

8

suatu masyarakat. Aturan tersebut antara lain adalah aturan adat, aturan agama, dan aturan

nasional.

Aturan adat ialah orientasi nilai, atau norma/pedoman hidup yang mengatur

bagaimana masyarakat adat berperilaku. Orientasi nilai ini sangat ditentukan oleh pranata-

pranata primordial dan ikatan kekerabatan yang dijaga melalui mitos-mitos lama, yaitu

persamaan nenek moyang, persilangan darah, dan daerah asal. Sebagai contoh, di Maluku

Tengah ada aturan adat yang dinamakan pela, yakni kewajiban-kewajiban yang oleh orang-

orang Maluku Tengah diakui dan harus dipenuhi berdasarkan perjanjian di antara nenek

moyang mereka di masa lalu. Perjanjian itu biasanya dibuat antara dua klen atau negeri, yang

di dalamnya ditentukan bahwa para warga klen atau negeri itu dan keturunannya akan selalu

saling membantu dan mereka tidak boleh mengadakan hubungan perkawinan. Aturan adat

hanya dapat hidup pada perangkat sosial yang paling dasar, yaitu klen (clan), seperti suku di

Minang, marga di Tapanuli, dan soa di Maluku Tengah (Ihromi, 1986: 4—7).

Aturan agama tidak ditentukan oleh pranata kekerabatan, melainkan oleh kesamaan

keyakinan religius yang melintasi dan meniadakan perbedaan asal-usul, bahkan ras dan

golongan.

Aturan nasional merupakan produk dari pranata politik nasional. Biasanya aturan ini

dikembangkan dalam bentuk produk hukum formal yang mencakup masalah ekonomi, sosial,

politik dan budaya, misalnya kebijakan politik, kebijakan ekonomi, dan peraturan perundang-

undangan.

Masyarakat memiliki tingkat kepatuhan yang berbeda-beda kepada ketiga orientasi

nilai tersebut. Hal ini disebabkan mobilitas sosial yang berbeda di dalam seting persekutuan

hidup tertentu. Ketiga pedoman perilaku di atas merupakan pemberi dasar kehidupan kesatuan

bangsa dan kemajemukan masyarakat Indonesia. Ketiganya juga menjadi pertimbangan utama

dalam sistem pengelolaan konflik.

Masalah integrasi dan konflik merupakan konsekuensi dari suatu masyarakat yang

majemuk. Hal ini sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor pemersatu bangsa Indonesia

sebagaimana diuraikan berikut ini.

3. Faktor-faktor Pemersatu Bangsa Indonesia

Ada beberapa faktor yang dapat dijadikan perekat atau pemersatu bangsa, antara lain:

1) latar belakang sejarah bangsa, 2) Pancasila dan UUD 1945, 3) simbol-simbol atau

9

lambang-lambang persatuan bangsa, dan 4) kebudayaan nasional. Faktor-faktor itu tidak

berdiri sendiri-sendiri melainkan saling terkait satu sama lain sebagai landasan bagi

tumbuhnya jati diri bangsa. Di samping itu, keberadaan faktor-faktor itu perlu selalu dijaga

untuk dapat tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

a. Latar Belakang Sejarah Bangsa Indonesia

Terbentuknya Negara Indonesia (state building) terjadi melalui suatu proses panjang

sejarah pembentukan Bangsa Indonesia (nation building) terlebih dahulu. Sebagaimana telah

dikemukakan, Indonesia merupakan kumpulan suku bangsa dalam satu kesatuan, yaitu bangsa

Indonesia, yang mempunyai bahasa kesatuan, yaitu bahasa Indonesia, dan satu negara, yaitu

negara Republik Indonesia. Kata bangsa di sini ialah bangsa dalam arti politis (kenegaraan),

yaitu sebagai pendukung dari negara.

Perjalanan panjang sejarah bangsa Indonesia secara garis besar diawali dengan

timbulnya kesadaran rakyat untuk menjadi bangsa. Bangsa Indonesia yang terbentuk itu

berusaha dengan kuat, berjuang membentuk Negara Indonesia merdeka. Setelah merdeka,

seluruh rakyat Indonesia yang berada di dalam negara Indonesia berjuang untuk mengisi

kemerdekaannya dengan pembangunan untuk mencapai kesejahteraan rakyatnya (Simbolon,

1995: xviii—xix).

Dalam proses perjalanan bangsa Indonesia yang berjuang untuk menjadi bangsa yang

merdeka dan kemudian membangun bangsanya, dilakukan upaya-upaya untuk mencapai

keseimbangan antara kepentingan masyarakat di satu pihak dan kekuasaan (negara) di lain

pihak. Keseimbangan tersebut diwujudkan dalam bentuk lembaga atau pranata (institutions)

yang merupakan aturan-aturan, baik yang formal seperti undang-undang atau peraturan,

maupun yang informal seperti adat, kebiasaan, dan tata krama. Dalam hal ini lembaga

berfungsi sebagai pengatur hubungan antarmanusia. Lembaga dengan aturan-aturan di

dalamnya itu terdapat di setiap kehidupan kelompok masyarakat.

Berbeda dengan istilah “lembaga” (dalam arti sebagai institusi, organisasi atau

wadah), “pranata” adalah suatu sistem norma khusus yang menata suatu rangkaian tindakan

berpola mantap guna memenuhi suatu keperluan khusus dari manusia dalam kehidupan

masyarakat. Lembaga (institute) adalah badan atau organisasi yang melaksanakan aktivitas

itu. Dalam menjalankan kehidupannya, individu-individu dalam suatu masyarakat banyak

melakukan tindakan dalam berinteraksi antara yang satu dengan yang lainnya. Di antara

10

semua tindakannya yang berpola tadi, ada yang merupakan tindakan-tindakan yang

dilakukannya menurut pola-pola yang tidak resmi, dan ada yang menurut pola-pola yang

resmi. Sistem-sistem yang menjadi wahana yang memungkinkan warga masyarakat itu

berinteraksi menurut pola-pola resmi, dalam ilmu sosiologi dan antropologi disebut pranata

(bahasa Inggris institution), bukan lembaga (institute) (Koentjaraningrat, 2002: 162—171).

Pranata yang terkait dengan rangkaian upaya mencapai keseimbangan antara kepentingan

masyarakat di satu pihak dan kekuasaan (negara) di lain pihak selalu ada di setiap masyarakat,

baik pada kondisi masyarakat yang masih sederhana maupun yang sudah kompleks.

Pranata atau lembaga dalam rangkaian upaya tersebut di atas ada di setiap tahap

pembentukan bangsa Indonesia, yang kemudian dalam tahap selanjutnya akan membentuk

negara Indonesia. Tahap awal pembentukan bangsa Indonesia dimulai dengan tahap

persebaran penduduk ke Indonesia pada masa prasejarah. Tahap berikutnya—secara berturut-

turut— ialah kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha, kerajaan-kerajaan Islam, kedatangan Portugis,

pendudukan VOC dan penjajahan Belanda, pendudukan Jepang, dan masa kemerdekaan.

Dalam sejarah persebaran penduduk ke Indonesia, berdasarkan penelitian terhadap

fosil-fosil yang ditemukan antara lain di beberapa desa di daerah lembah Bengawan Solo,

ternyata manusia Indonesia tertua sudah ada kira-kira satu juta tahun yang lalu. Waktu itu

dataran Sunda masih merupakan daratan, Asia Tenggara merupakan bagian benua dan bagian

kepulauan yang masih bersambung menjadi satu. Persebaran manusia yang masuk ke

Indonesia merupakan manusia dengan ciri-ciri Austro-Melanosoid (ciri-ciri ras penduduk

pribumi Australia, sebelum orang kulit putih menduduki benua itu) yang menyebar ke Papua.

Ketika itu Papua masih menjadi satu dengan benua Australia, dan terpisah ketika jaman es

keempat berakhir. Selain di Papua, manusia Austro-Melanosoid juga berada di Jawa,

Sumatera, dan Sulawesi Selatan.

Di samping pengaruh dari ras Austro-Melanosoid, manusia Indonesia juga

dipengaruhi oleh ras Mongoloid. Ras Mongoloid berasal dari Asia Timur yang menyebar ke

selatan melalui kepulauan Ryukyu, Taiwan, Filipina, Sangir, dan masuk ke Sulawesi (sampai

ke Sulawesi Selatan). Mengingat manusia Austro-Melanosoid juga masuk sampai ke Sulawesi

Selatan, maka daerah Sulawesi Selatan dapat dianggap sebagai tempat perpaduan antara

berbagai macam pengaruh kebudayaan dan percampuran antara berbagai ras manusia, yang

datang dari berbagai tempat (Koentjaraningrat, 1981: 2—20).

11

Catatan sejarah lainnya menjelaskan bahwa persebaran penduduk Indonesia, atau

rakyat kerajaan kuno Nusantara berasal dari daerah Cina Selatan (propinsi Yunan). Mereka

dikenal sebagai ras Melayu, yang datang secara bergelombang. Dua gelombang terpenting

adalah Proto-Melayu, yang datang sekitar 3000 tahun lalu, dan Deutro-Melayu, sekitar 2000

tahun yang lalu. Proto-Melayu (Melayu-Polynesia) tersebar dari Madagaskar sampai ke

Pasifik Timur. Kebudayaannya masih merupakan kebudayaan batu (neolithicum). Berbeda

dengan Proto-Melayu, Deutro-Melayu sudah membawa kebudayaan besi.

Persebaran penduduk melalui proses rumit dan perjalanan panjang melalui berbagai

wilayah di dunia tersebut di atas menjadi awal terbentuknya penduduk Indonesia. Penduduk

Indonesia atau masyarakat Nusantara pada waktu itu diperintah oleh raja-raja. Ciri pokoknya

adalah pembauran manusia dari berbagai ras dan daerah asal, sebagai ciri “bhinneka tunggal

ika.”

Tahap kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha, memberikan pengaruh kepada kebudayaan

bangsa Indonesia. Catatan sejarah kerajaan Hindu diperoleh dari batu-batu bertulis yang ada

di Jawa Barat, di daerah sungai Cisadane, Bogor, dan di pantai Kalimantan Timur, daerah

Muara Kaman, Kutai, sekitar abad IV Masehi. Menurut ahli sejarah purbakala Indonesia,

kerajaan-kerajaan yang disebut dalam tulisan-tulisan pada batu-batu tadi merupakan kerajaan-

kerajaan Indonesia asli, yang hidup makmur berkat perdagangan dengan negara-negara di

India Selatan. Raja-rajanya mengadopsi konsep-konsep Hindu dengan cara mengundang ahli-

ahli dan orang-orang pandai dari golongan Brahmana (pendeta) di India Selatan yang

beragama Wisnu dan Brahma.

Tahap kerajaan-kerajaan Islam juga memberikan pengaruh kepada kebudayaan

Indonesia. Kerajaan-kerajaan Islam muncul bersamaan dengan penyebaran agama Islam

melalui hubungan perdagangan. Para penyebar dakwah atau mubaligh mengajarkan agama

Islam kepada para pedagang penduduk asli yang kemudian menyebarkannya kepada

penduduk lainnya. Kerajaan Islam di Nusantara yang dipengaruhi oleh kerajaan atau

kesultanan Islam di tanah Arab ialah—antara lain—Kerajaan Samudera Pasai di Aceh,

Kerajaan Mataram di Jawa, serta Kesultanan Ternate dan Kesultanan Tidore di Maluku.

Tahap kekuasaan lokal Nusantara di atas merupakan kekuasaan raja-raja sebelum

kedatangan bangsa-bangsa Barat, baik yang dipengaruhi oleh Hindu-Buddha maupun Islam.

Menurut beberapa penafsiran dari fakta sejarah yang ada, sifat kekuasaan lokal Nusantara

tersebut terpusat di tangan raja. Hal ini berakibat pada rendahnya tingkat kelembagaan dan

12

kepastian, serta kerasnya penggunaan kekuasaan yang ada bahkan menimbulkan peristiwa

berdarah sehingga pada akhirnya kekuasaan raja-raja tersebut runtuh (Simbolon, 1995: 6—

32).

Tahap setelah kekuasaan raja-raja di Nusantara adalah tahap kolonialisasi atau tahap

pejajahan bangsa Indonesia oleh VOC (1602—1800) yang diteruskan oleh Belanda (1800—

1942), dan Jepang (1942—1945). Akibat perang di Eropa, kekuasaan atas Indonesia pernah

diambil alih oleh Inggris (1811—1816).

Masa penjajahan yang dialami bangsa Indonesia dari 1602—1945 itu juga merupakan

proses panjang pembentukan bangsa Indonesia yang berasal dari berbagai suku bangsa.

Proses pembentukan bangsa Indonesia tersebut merupakan salah satu ciri dari suatu proses

yang disebut unintended consequences. Istilah ini dapat diartikan sebagai terjadinya akibat

yang tidak diperhitungkan dari tindakan yang dilakukan terhadap suatu susunan kehidupan,

baik tindakan-tindakan yang dicita-citakan dan direncanakan, maupun yang tidak. Dalam hal

ini pengembangan kebangsaan Indonesia merupakan akibat yang tidak diperhitungkan oleh

penguasa kolonial terhadap susunan kehidupan masyarakat yang kini disebut sebagai bangsa

Indonesia. Ini terjadi karena masyarakat Indonesia bukanlah peralatan otomatis yang

reaksinya selalu dapat diperhitungkan oleh penggunanya (Simbolon, 1995: xxii).

Dalam masa penjajahan Belanda, perlakuan-perlakuan kolonial terhadap bangsa

Indonesia justru menjadi pemicu munculnya kesadaran berbangsa yang satu sebagai bangsa

Indonesia. Hal ini tentu tidak diinginkan dan tidak diduga oleh Belanda yang ingin tetap

bertahan sebagai penguasa kolonial di Nusantara. Dua peristiwa bersejarah yang

menunjukkan adanya kesadaran berbangsa yang satu sebagai bangsa Indonesia yang ingin

merdeka dari penjajahan yang terjadi antara tahun 1899 sampai 1942 ialah Kebangkitan

Nasional yang ditandai oleh berdirinya Boedi Oetomo (20 Mei 1908) dan ikrar Sumpah

Pemuda (28 Oktober 1928). Masa ini merupakan salah satu dampak politik etis yang mulai

diperjuangkan sejak masa Multatuli (dr. Douwes Dekker).

Politik etis merupakan kebijakan pemerintahan kolonial Belanda yang seolah-olah

memberikan kebaikan-kebaikan kepada bangsa Indonesia sebagai tanda balas budi. Namun

sesungguhnya hal itu dilakukan dalam rangka mempertahankan statusnya sebagai penguasa di

tanah jajahan. Dalam melakukan politik etis untuk mempertahankan kekuasaannya,

pemerintah kolonial Belanda selalu berupaya menanamkan pengaruhnya kepada para

penguasa pribumi melalui birokrasi dan melalui pendidikan bagi generasi penerus para

13

penguasa. Para pemuda dari kalangan elit itu dididik oleh Belanda untuk menjadi penguasa

yang mengabdi kepada pemerintah kolonial Belanda. Mereka dididik di berbagai lembaga

pendidikan Belanda, baik di Indonesia—yang umumnya dipusatkan di Pulau Jawa—maupun

di Negeri Belanda. Tanpa disadari, Belanda telah mendorong dan menciptakan ruang gerak

terjadinya interaksi antar-berbagai suku bangsa melalui interaksi antarpemuda dari kalangan

elit suku bangsa. Interaksi ini terjadi terutama di dalam berbagai institusi buatan Belanda, baik

pemerintah maupun swasta, yang bergerak di bidang pemerintahan maupun pendidikan.

Di dalam institusi pendidikan terjadi interaksi yang intensif antara pemuda-pemuda

yang berasal dari berbagai daerah di seluruh Indonesia, tidak hanya yang berada di Pulau

Jawa, tetapi juga yang di negeri Belanda. Melalui interaksi itu tumbuhlah benih-benih

solidaritas baru yaitu perasaan senasib sebagai bangsa yang terjajah. Ikatan solidaritas ini

terus berkembang menjadi suatu semangat persatuan sebagai satu bangsa yang menginginkan

kemerdekaannya. Keadaan itulah yang mendorong Kebangkitan Nasional yang ditandai oleh

lahirnya kelompok kebangsaan Boedi Utomo pada tanggal 20 Mei tahun 1908.

Hal yang sama juga memunculkan lahirnya Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober

1928, yaitu semangat persatuan yang berkembang dari berbagai suku bangsa yang saling

berinteraksi, yang dirumuskan dalam satu kesepakatan dalam bentuk ikrar bahwa mereka:

“Bertumpah darah satu Indonesia, Berbangsa satu Indonesia, dan Menjunjung bahasa

persatuan bahasa Indonesia.” Solidaritas yang menumbuhkan semangat persatuan ini

melahirkan cita-cita membangun bangsa Indonesia yang merdeka dan berdaulat. Kebangkitan

Bangsa dan Sumpah Pemuda merupakan tonggak sejarah yang menandai kelahiran bangsa

Indonesia dari berbagai suku bangsa melalui kesepakatan normatif.3

Bangsa Indonesia menghadapi babak baru dalam sejarah perjuangan bangsa yang

dimulai dari masa pembentukan bangsa sampai masa pembentukan Negara Indonesia yang

merdeka dan berdaulat, yaitu Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Proklamasi kemerdekaan

bangsa Indonesia dilaksanakan pada hari Jumat tanggal 17 Agustus 1945 oleh Soekarno dan

Mohammad Hatta di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta. Tanggal 17 merupakan tanggal

yang sengaja dipilih Bung Karno dengan alasan tertentu sebagaimana terungkap dalam dialog

antara Bung Karno dengan para pemuda yang menculik dan membawanya ke

Rengasdengklok: “Dengan suara rendah ia (Bung Karno) mulai berbicara, ‘Yang paling

penting di dalam peperangan dan revolusi adalah saatnya yang  tepat. … Saya tidak dapat

3 Sardjono Jatiman, “Integrasi Bangsa: Antara Kesepakatan Normatif dan Kenyataan Empirik,” makalah yang disampaikan pada Seminar Nasional Tinjauan Kritikal tentang Integrasi Bangsa, Depok, 16—17 Januari 1996.

14

menerangkan dengan pertimbangan akal, mengapa tanggal 17 lebih memberi harapan

kepadaku. Akan tetapi saya merasakan di dalam kalbuku, bahwa itu adalah saat yang baik.

Tanggal 17 adalah angka suci. Pertama-tama kita sedang  berada  dalam bulan suci

Ramadhan, waktu kita semua  berpuasa, ini berarti saat yang paling suci  bagi kita. Tanggal

17 besok hari Jumat, hari Jumat itu  Jumat legi, Jumat yang berbahagia, Jumat  suci. Al-

Qur'an diturunkan tanggal 17, orang Islam sembahyang 17 rakaat, oleh karena itu  kesucian

angka 17 bukanlah buatan manusia’” (Hardi, 1984: 61).

Penjajahan terhadap bangsa Indonesia berhasil diakhiri dengan proklamasi

kemerdekaaan yang memanfaatkan keadaan setelah Jepang dibom oleh Amerika Serikat pada

tanggal 6 Agustus 1945 di atas kota Hiroshima. Melalui Panitia Persiapan Kemerdekaan

Indonesia (PPKI; dalam bahasa Jepang disebut Dokuritsu Junbi Inkai) Indonesia menegaskan

keinginan dan tujuan mencapai kemerdekaan Indonesia. Setelah bom atom kedua dijatuhkan

di atas Nagasaki pada tanggal 9 Agustus 1945, yang menyebabkan Jepang menyerah kepada

sekutu, maka Indonesia memanfaatkan keadaan dengan memproklamasikan kemerdekaannya.

PPKI adalah panitia baru, yang dibentuk untuk melanjutkan tugas Badan Penyelidik

Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI; dalam bahasa Jepang disebut Dokuritsu

Junbi Cosakai) yang sebelumnya telah dibentuk pada 29 April 1945. PPKI dibentuk pada

tanggal 12 Agustus 1945 (bukan 7 Agustus 1945 karena pada tanggal 7 Agustus 1945 yang

terjadi hanyalah pemberian izin oleh pemerintahan Jepang di Tokyo untuk mendirikan PPKI,

sedangkan pembentukannya secara resmi adalah pada tanggal 12 Agustus 1945). Tugas

BPUPKI adalah menyiapkan Rancangan Undang-Undang Dasar guna menyongsong

kemerdekaan, sedangkan PPKI dibentuk untuk menyatakan atau mengesahkan kemerdekaan

dan melakukan peralihan kekuasaan dari negara jajahan menjadi negara merdeka (Kusuma,

2004: 1—13).

Setelah melalui tahap pembentukan bangsa dan tahap pembentukan negara, tahap

perkembangan bangsa Indonesia selanjutnya adalah tahap mengisi kemerdekaan yang telah

diproklamasikan oleh Soekarno dan Moh. Hatta. Namun setelah proklamasi kemerdekaan 17

Agustus tahun 1945, Negara Indonesia yang masih baru itu masih mengalami berbagai ujian

untuk mempertahankan kemerdekaannya itu. Kerajaan Belanda ketika itu ingin menjajah

kembali Indonesia dengan alasan Indonesia dulunya adalah bagian sah dari kerajaan Belanda,

namun diambil alih oleh Jepang karena Belanda yang bergabung dengan sekutu-sekutunya

telah kalah perang dengan Jepang pada tahun 1941. Pada perkembangan selanjutnya, dengan

15

kekalahan Jepang dalam perang Pasifik pada tahun 1945, maka Belanda mengklaim bahwa

Indonesia secara hukum internasional kembali menjadi bagian dari kerajaan Belanda.

Indonesia baru berhasil mempertahankan kemerdekaannya setelah melalui berbagai

upaya seperti perang yang disebut revolusi kemerdekaan sebagai perang konvensional, dan

‘perang’ diplomasi melalui perundingan-perundingan antar pemerintah kedua negara, sampai

akhirnya dicapai persetujuan melakukan Perjanjian Meja Bundar yang berhasil memaksa

Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia. Namun pengakuan itu disertai syarat Negara

Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) diubah menjadi Negara Republik Indonesia Serikat.

Setelah syarat dipenuhi, yaitu NKRI diubah menjadi NRIS berdasarkan Konstitusi RIS 1949

pada tanggal 29 Desember 1949, maka sejak itu secara de jure Belanda mengakui

kemerdekaan Indonesia, bukan 17 Agustus 1945 (Mahfud, 2009: 120-122).

Setelah proklamasi dan masa transisi sampai tahun 1949, mulailah masa Demokrasi

Liberal (1950—1959), yang secara berturut-turut diikuti oleh era Demokrasi Terpimpin—

yang kemudian disebut Orde Lama—(1959—1965), Orde Baru (1966—1998), dan era

Reformasi (1998—sekarang) Proses pembentukan Negara dan hal-hal yang berhubungan

dengan negara akan diuraikan lebih lanjut dalam bab II mengenai negara Indonesia.

b. Pancasila dan UUD 1945

Persatuan suku-suku bangsa menjadi bangsa Indonesia dalam suatu negara

memerlukan dasar dan ideologi negara sebagai landasan berbangsa dan bernegara, yaitu

Pancasila dan UUD 1945. Pancasila adalah dasar dan ideologi negara Indonesia yang

disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI. Dengan demikian Pancasila merupakan

kaidah-kaidah penuntun dalam kehidupan sosial, politik, dan hukum. UUD 1945, yang

mencantumkan Pancasila dalam bagian pembukaaannya, merupakan hukum dasar yang

mengatur prinsip-prinsip dan mekanisme ketatanegaraan untuk menjamin demokrasi, dan juga

memasang rambu-rambu untuk menjaga keutuhan bangsa. Dengan kata lain, Pancasila dan

UUD 1945 merupakan dasar pemersatu dan pengikat untuk menjamin keberlangsungan

integrasi dan demokrasi di Negara Indonesia.

Mengingat pentingnya Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, maka

keberadaannya harus dipertahankan dan butir-butir muatannya diamalkan agar kelangsungan

dan keutuhan bangsa dan negara tetap terjaga. Dalam kenyataannya persoalan Pancasila

bukan hanya masalah menghapal lima butir Pancasila, namun banyak persoalan atau kendala

16

dalam pengamalannya yang terkait dengan kondisi dan kesadaran masyarakat dalam

kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sebagai dasar dan ideologi negara, Pancasila dapat dilihat sekurang-kurangnya dari

tiga aspek, yakni aspek filosofis, yuridis, dan politis. Secara filosofis, Pancasila merupakan

dasar keyakinan tentang masyarakat yang dicita-citakan serta dasar bagi penyelenggaraan

negara yang dikristalisasikan dari nilai-nilai yang telah tumbuh dan berkembang serta berakar

jauh dari kehidupan leluhur atau nenek moyang bangsa Indonesia. Secara yuridis, Pancasila

merupakan cita hukum (rechtside) yang harus dijadikan dasar dan tujuan setiap hukum di

Indonesia. Oleh sebab itu hukum di Indonesia harus berdasar pada Pancasila. Isi hukum

konsisten atau sesuai dengan Pancasila, mulai dari hukum yang hierarkinya paling atas sampai

dengan yang paling bawah. Secara politis, Pancasila dipandang sebagai kesepakatan luhur

(modus vivendi) yang mempersatukan semua ikatan primordial ke dalam satu bangsa yaitu

bangsa Indonesia dalam prinsip persatuan.

Selain Pancasila, UUD 1945 juga merupakan perekat integrasi dan pengawal

demokrasi di Indonesia. UUD 1945 memuat dasar aturan politik mengenai mekanisme

ketatanegaraan yang demokratis, yang juga menjamin integrasi bangsa dan negara. Hal itu

diwujudkan antara lain melalui pemilihan umum (pemilu) yaitu pemilihan pejabat-pejabat

publik tertentu secara jujur dan adil dan melalui pengawasan dan perimbangan (checks and

balances) antar-lembaga-lembaga kekuasaan.

Lembaga-lembaga kekuasaan itu adalah kekuasaan kehakiman yang mengawal hukum

bagi setiap perbuatan pemerintah dan rakyat yang mengancam integrasi atau mengancam

tatanan dan aturan main. Kekuasaan eksekutif, selain menjalankan roda pemerintahan, juga

mengawal negara menghadapi ancaman terhadap persatuan dan kesatuan bangsa melalui

kekuatan pertahanan dan keamanan. Demikian pula dengan kekuasaan lainnya yaitu yudikatif,

melalui peradilan melawan setiap gerakan disintegratif, dan kekuasaan dari lembaga legislatif

yang melakukannya secara politik melalui pembentukan undang-undang. Semua lembaga

kekuasaan negara tersebut harus bekerja secara sinergis.

Beberapa muatan dari UUD 1945 yang mengikat bangsa dalam kesatuan bangsa

Indonesia adalah yang berikut.

1) Pasal 1 ayat (1) menegaskan bahwa Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk

Republik. Pasal ini juga dipagari oleh pasal lainnya yaitu Pasal 18 dan Pasal 37 ayat (5).

17

2) Pasal 1 ayat (2) menegaskan bahwa kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilaksanakan

menurut UUD, yang menunjukkan bahwa sebagai negara kebangsaan Indonesia menganut

prinsip dan sistem demokrasi.

3) Pasal 1 ayat (3) menegaskan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Artinya,

setiap kegiatan bangsa dan negara haruslah berdasarkan hukum (nomokrasi). Demokrasi

harus berjalan di atas prosedur hukum dengan segala falsafah dan tata urut perundang-

undangan yang mendasarinya. Demokrasi tanpa nomokrasi dapat menjadi anarki dan

dapat mengancam integrasi bangsa.

4) Pasal 26 mengatur mengenai warga negara dan penduduk, yang sekarang tidak lagi

membedakan orang Indonesia asli dan yang tidak asli. Perbedaan tersebut hanya

menunjukkan latar belakang sejarah tetapi tidak untuk membedakan hak dan kewajiban

secara diskriminatif.

5) Pasal 30 mengatur tugas pertahanan dan keamanan yang masing-masing dilakukan oleh

Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) terhadap

ancaman dari luar maupun perpecahan di dalam negeri.

Bagaimana mempertahankan Pancasila dan UUD 1945 juga menyangkut ketahanan

nasional bangsa Indonesia. Menurut Sunardi, ketahanan nasional adalah “kondisi dinamis

suatu bangsa yang berisi keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan untuk

mengembangkan kekuatan nasional dalam menghadapi dan mengatasi segala macam

ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan, baik yang datang dari luar maupun dari dalam,

secara langsung maupun tidak langsung membahayakan integritas, indentitas, kelangsungan

hidup bangsa dan negara serta perjuangan mengejar tujuan pembangunan nasional” (Sunardi,

2004: 190—195).

Ketahanan nasional diperlukan agar Negara Indonesia sebagai Negara Kebangsaan

dapat berlangsung. Namun ketahanan nasional merupakan salah satu saja dari sekurang-

kurangnya tiga syarat berlangsungnya Negara Kebangsaan, yaitu kedaulatan, nasionalisme,

dan ketahanan (Mahmud MD, 2009: 40—54).

Ancaman terhadap ketahanan nasional atau disintegrasi bangsa dapat berasal dari luar

maupun dari dalam negeri Indonesia sendiri. Contoh ancaman dari luar ialah westernisasi atau

“pembaratan” yaitu masuknya nilai-nilai budaya Barat yang belum tentu sehat dan sesuai

dengan budaya Indonesia, yang melanda masyarakat Indonesia, terutama kaum muda.

Contoh ancaman dari dalam negeri ialah kesenjangan taraf hidup masyarakat yang masih

18

tinggi, korupsi yang merajalela, pertentangan antarkelompok, dan lemahnya penegakan

hukum.

c. Simbol-simbol/Lambang-lambang Persatuan Bangsa

Di samping berbagai istilah yang dikenakan kepada diri manusia, seperti manusia

sebagai insan akali dan makhluk sosial, manusia juga disebut manusia budaya yang dengan

kegiatan akalnya dapat mengubah dan bahkan menciptakan realitas dengan menggunakan

sistem perlambangan, misalnya bahasa atau lambang-lambang tertentu lainnya. Artinya,

dalam kehidupan sebagai manusia kita tidak terlepas dari simbol-simbol atau lambang-

lambang. Umpamanya, Universitas Indonesia menggunakan makara sebagai lambang yang

mempunyai makna khusus di samping sebagai salah satu identitas sebagai suatu perguruan

tinggi. Demikian pula dalam bernegara, rasa keterikatan, solidaritas dan identitas anggota

masyarakatnya dijaga sebagai satu kesatuan bangsa dan negara dengan menggunakan simbol-

simbol atau lambang-lambang persatuan.

Beberapa lambang persatuan itu adalah bendera merah putih, bahasa nasional,

lambang negara, dan lagu kebangsaan “Indonesia Raya”. Penggunaan lambang-lambang

persatuan negara itu diatur dalam UUD 1945: Pasal 35 (mengenai Bendera Merah Putih),

Pasal 36 (mengenai Bahasa Indonesia), Pasal 36A (mengenai lambang negara Garuda

Pancasila), dan Pasal 36B (mengenai lagu kebangsaan “Indonesia Raya”) dan dalam UU No

24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.

Dalam UU Nomor 24 Tahun 2009, dikemukakan bahwa bendera, bahasa, dan lambang

negara, serta lagu kebangsaan Indonesia merupakan sarana pemersatu, identitas, dan wujud

eksistensi bangsa yang menjadi simbol kedaulatan dan kehormatan negara sebagaimana

diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Lambang-lambang tersebut merupakan manifestasi kebudayaan yang berakar pada sejarah

perjuangan bangsa, kesatuan dalam keragaman budaya, dan kesamaan dalam mewujudkan

cita-cita bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.4

d. Kebudayaan Nasional

4 UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 109; Tambahan Lembaran Negara Nomor 5035).

19

Pluralitas bangsa Indonesia bukan hanya keanekaan suku bangsanya saja, melainkan

juga keragaman agama, pelapisan sosial, dan kelompok yang melahirkan kebudayaan yang

beragam pula. Dalam kebudayaan yang beragam itu tentu dapat muncul loyalitas terhadap

suku bangsa atau kelompok, yang dalam skala tertentu dapat menimbulkan primordalisme,

entnosentrisme, dan sikap stereotip etnik terhadap suku bangsa atau kelompok lainnya. Oleh

karena itu, untuk menjaga keutuhan persatuan bangsa dalam Negara Republik Indonesia,

kebudayaan nasional mempunyai arti penting sebagai perekat rasa persatuan sebagai satu

bangsa dan negara.

(1) Konsep Kebudayaan

Secara konseptual, kebudayaan mempunyai arti yang beragam. Keberadaan

kebudayaan tidak terlepas dari adanya suatu masyarakat karena masyarakat merupakan

pendukung dari kebudayaan, dan kebudayaan mengatur bagaimana masyarakatnya itu

berperilaku. Dengan kata lain, kebudayaan ada dalam berbagai aspek kehidupan yang

meliputi cara-cara berlaku, kepercayaan-kepercayaan, sikap-sikap, dan juga hasil dari

kegiatan manusia yang khas pada suatu masyarakat atau kelompok penduduk tertentu, yang

tercermin dalam perilakunya. Semua itu adalah milik bersama para anggota masyarakat

sehingga setiap anggota masyarakat diharapkan melakukan perbuatan yang sesuai dengan

kebudayaannya itu. Kebudayaan tidak diwariskan secara biologis melainkan harus dipelajari,

terutama melalui sarana bahasa.

Unsur-unsur yang ada pada kebudayaan berfungsi sebagai suatu keseluruhan yang

terpadu atau terintegrasi. Kebudayaan ada untuk menangani masalah dan persoalan yang

dihadapi suatu masyarakat. Oleh karena itu kelestarian kebudayaan harus dipelihara sehingga

kebudayaan dapat mengatur anggota-anggota masyarakatnya untuk dapat hidup secara

teratur. Dalam hal ini kebudayaan harus dimiliki bersama dan digunakan untuk menemukan

keseimbangan antara kepentingan pribadi masing-masing orang dan kebutuhan masyarakat

sebagai suatu keseluruhan. Akhirnya, kebudayaan harus memiliki kemampuan untuk berubah

agar dapat menyesuaikan diri dengan keadaan-keadaan baru. (Haviland, 1995: 331—342.)

Konsep kebudayaan muncul dan dikembangkan oleh para ahli antropologi menjelang

akhir abad XIX. Salah satu di antaranya ialah Sir Edward Burnett Tylor, seorang antropolog

Inggris, yang pada tahun 1871 mendefinisikan kebudayaan sebagai:

“kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat, dan lain kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapat

20

atau dipelajari manusia sebagai anggota masyarakat. Kebudayaan terdiri atas segala sesuatu yang dipelajari oleh pola-pola perilaku yang normatif, artinya mencakup segala cara atau pola berpikir, merasakan dan bertindak” (Ranjabar, 2006: 21).

Pada tahun 1950-an, A. L. Kroeber dan Clyde Kluckhohn, mendefinisikan kebudayaan

modern sebagai “seperangkat peraturan standar yang—apabila dipenuhi oleh para anggota

masyarakat—menghasilkan perilaku yang dianggap layak dan dapat diterima oleh para

anggotanya.

R. Radcliffe-Brown (1881-1955), mendefinisikan kebudayaan sebagai “seperangkat

peraturan atau norma yang dimiliki bersama oleh para anggota masyarakat yang kalau—

dilaksanakan oleh para anggotanya—melahirkan perilaku yang oleh mereka dipandang layak

dan dapat diterima.” Masyarakat di sini didefinisikan sebagai “sekelompok orang yang

mendiami suatu daerah tertentu dan yang bersama-sama memiliki tradisi kebudayaan yang

sama” (Haviland, 1995: 331—342).

Koentjaraningrat (2002: 179—185) mendefinisikan kebudayaan yang didasarkan pada

pemikiran mengenai sistem tindakan manusia untuk memenuhi keperluan hidupnya. Sistem

tindakan itu tidak terkandung di dalam gen manusia, sehingga harus dibiasakan melalui

proses belajar, sebagai aspek yang penting, selama manusia hidup. Oleh karena itu

kebudayaan didefinisikan sebagai “keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya

manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan

belajar.” Definisi tersebut sejalan dengan yang dikemukakan E. B. Tylor tersebut di atas.

Secara etimologis kata kebudayaan berasal dari kata buddhaya (bentuk jamak dari

kata buddhi yang berarti ‘budi’ atau ‘akal’ dalam bahasa Sansekerta). Dengan demikian,

kebudayaan dapat diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan akal. Istilah Inggris culture

berasal dari kata Latin colere yang berarti ‘mengolah’ atau ‘mengerjakan’, terutama mengolah

tanah atau ‘bertani’. Istilah ini berkembang artinya sebagai “segala daya upaya serta tindakan

manusia untuk mengolah tanah dan mengubah alam.”

Definisi kebudayaan lain adalah “sebagai pedoman bagi kehidupan manusia yang

secara bersama dimiliki oleh para warga sebuah masyarakat.” Dapat dikatakan pula bahwa

“kebudayaan adalah sebuah pedoman menyeluruh bagi kehidupan sebuah masyarakat dan

para warganya.” Definisi kebudayaan tersebut antara lain dikemukakan oleh Malinowski

(1961) dalam karya-karyanya mengenai kebutuhan-kebutuhan manusia dan pemenuhannya

melalui fungsi dan pola-pola kebudayaan. Kluckhon (1944) melihat kebudayaan sebagai blue

21

print bagi kehidupan manusia. Dalam pada itu Geertz (1973) melihat kebudayaan sebagai

sistem-sistem makna.

Dalam perspektif tersebut kebudayaan terdiri atas konsep-konsep, teori-teori, dan

metode-metode yang diyakini kebenarannya oleh warga masyarakat pemiliknya. Kebudayaan

yang demikian merupakan sistem-sistem acuan yang ada pada berbagai tingkat pengetahuan

dan kesadaran, dan bukan hanya pada tingkat gejala sebagai tingkat kelakuan atau hasil

kelakuan sebagaimana didefinisikan oleh Koentjaraningrat.

Sebagai sistem-sistem acuan, konsep-konsep, teori-teori, dan metode-metode dipilih

secara selektif, mana yang paling sesuai sebagai acuan bagi para pemilik kebudayaan dalam

menghadapi lingkungannya. Pilihan selektif itu digunakan untuk menginterpretasi dan

memanfaatkan lingkungan beserta isinya dalam bentuk tindakan untuk memenuhi kebutuhan

hidup sebagai manusia. Tindakan itu dapat berbentuk dorongan atau motivasi bagi

pemenuhan kebutuhan maupun sebagai tanggapan-tanggapan (response) atas rangsangan

(stimuli) dari lingkungannya.

Kebudayaan dalam kehidupan manusia adalah fungsional dalam struktur kegiatan

untuk pemenuhan kebutuhan hidup sebagai manusia. Kebudayaan merupakan acuan bagi

manusia dalam berhubungan/berinteraksi dan mengidentifikasi berbagai gejala sebagai

kategori-kategori yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya

tersebut (Koentjaraningrat, 2002: 179—185).

(2) Gagasan Kebudayaan Nasional

Mengenai Kebudayaan Nasional (dalam konteks Indonesia), beberapa cendekiawan

mempunyai gagasan berbeda, yang dapat dikelompokkan dalam dua golongan. Golongan

yang pertama menyatakan bahwa suatu pengembangan kebudayaan nasional Indonesia

berlandaskan pada unsur-unsur kebudayaan suku-suku bangsa di daerah. Salah satu tokohnya

adalah Ki Hajar Dewantara, yang mengemukakan bahwa kebudayaan nasional harus unik,

berkepribadian khas, dan bermutu tinggi sehingga dapat memenuhi kebutuhan setiap warga

bangsa Indonesia akan perasaan bangga terhadap bangsanya sendiri dan menjadi identitas

nasionalnya. Disarankan agar unsur-unsur puncak (dalam arti ‘yang paling’) dari kebudayaan

suku-suku bangsa di daerah dan unsur-unsur warisan nenek moyang dijadikan sebagai isi

kebudayaan nasional.

22

Golongan yang kedua menyarankan suatu pengembangan kebudayaan nasional

Indonesia baru, yang lepas dari kebudayaan suku-suku bangsa di daerah dan berorientasi ke

peradaban dunia masa kini. Salah satu tokoh golongan kedua ini adalah Sutan Takdir

Alisjahbana. Gagasannya adalah kebudayaan nasional Indonesia harus dipahami setiap warga

Indonesia. Oleh karena itu unsur-unsur dari kebudayaan nasional tidak dapat diambil dari

kebudayaan suku-suku bangsa di daerah atau dari warisan nenek-moyang. Kebudayaan

nasional Indonesia sebaiknya diciptakan baru karena kebudayaan nasional Indonesia harus

mengacu ke masa depan, mementingkan sains dan teknologi.

Secara teoretis, suatu kebudayaan nasional mempunyai dua fungsi yaitu 1)

memperkuat rasa identitas nasional warga suatu bangsa atau negara dan 2) memperluas rasa

solidaritas nasional warga suatu bangsa atau negara. Berdasarkan dua fungsi itu, sebenarnya

gagasan dari dua golongan cendekiawan di atas saling melengkapi untuk memenuhi kedua

fungsi tadi. Gagasan kebudayaan nasional dari golongan pertama memenuhi fungsi pertama,

dan gagasan kebudayaan nasional dari golongan kedua memenuhi fungsi kedua.

Contoh kebudayaan nasional yang berasal dari puncak-puncak kebudayaan daerah

antara lain adalah Borobudur, batik tradisional, tari-tarian tradisional, angklung, gamelan,

karapan sapi, dan lain-lain, yang merupakan unsur kebudayaan warisan nenek-moyang.

Menurut ahli psikologi E. H. Erikson, rasa identitas diri dapat dikuatkan apabila individu yang

bersangkutan dapat mengacu pada suatu karya unik yang dapat dibanggakan. Oleh karena itu,

identitas nasional dapat dikuatkan oleh hasil-hasil karya unik yang dapat dibanggakan

sebagai hasil karya bangsanya (Koentjaraningrat, 1987a).

Contoh unsur-unsur kebudayaan yang dapat memperkuat rasa solidaritas atau yang

dapat memenuhi fungsi kedua tadi antara lain adalah bahasa nasional (bahasa Indonesia), seni

drama masa kini, seni film, dan sistem hukum nasional. Unsur-unsur ini harus dapat

mengintensifkan komunikasi antar-suku bangsa yang berbeda-beda dan dapat dipahami

maknanya sehingga dapat menumbuhkan toleransi dan solidaritas.

Sebagian besar unsur-unsur kebudayaan nasional tersebut perlu terus dilestarikan dan

dikembangkan. Yang perlu diperhatikan adalah upaya pengembangan kebudayaan nasional

tidak hanya menyangkut pengembangan unsur-unsur bagian kebudayaan saja, tetapi juga

sistem nilai budayanya. Sistem nilai budaya merupakan inti dari suatu kebudayaan (yang

dianggap bernilai tinggi) yang menjiwai semua pedoman yang mengatur tingkah laku warga

kebudayaan yang bersangkutan. Pedoman tingkah laku itu adalah adat-istiadat, sistem norma,

23

aturan etika, aturan moral, aturan sopan-santun, pandangan hidup, dan lain-lain. Menurut C.

Kluckhohn, masalah-masalah dalam kehidupan manusia yang dinilai tinggi dan universal ada

di setiap kebudayaan di dunia itu menyangkut setidaknya lima hal, yaitu 1) masalah makna

atau hakekat hidup manusia, 2) masalah makna pekerjaan/karya dan amal perbuatan manusia,

3) masalah persepsi manusia terhadap waktu, 4) masalah hubungan manusia dengan alam

sekitarnya, dan 5) masalah manusia dengan manusia (Koentjaraningrat, 1987b).

Salah satu dari kebudayaan nasional kita yang perlu terus dikembangkan adalah

hukum nasional. Pembentukan hukum nasional itu harus ditujukan untuk mencapai tujuan-

tujuan negara sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD 1945, yaitu membangun segenap

bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan

kesejahteraan umum, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.

Dalam pembangunan hukum, Pancasila merupakan dasar pencapaian tujuan negara

yang melahirkan kaidah-kaidah penuntun hukum. Kaidah-kaidah bagi hukum yang dibuat di

Indonesia haruslah 1) bertujuan membangun dan menjamin integrasi bangsa Indonesia, baik

secara teritorial maupun secara ideologis; 2) didasarkan pada demokrasi dan nomokrasi

sekaligus; 3) ditujukan untuk membangun keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia; dan

4) didasarkan pada toleransi beragama yang berkeadaban (Mahfud MD, 2009: 52—54).

4. Jati Diri Bangsa

Belakangan ini kita sering melihat gaya hidup masayarakat kita, khususnya kaum

muda, seperti dalam berbahasa, bertingkah laku maupun berbusana (misalnya kebarat-

baratan) yang tidak sesuai dengan nilai budaya bangsa Indonesia. Hal ini menimbulkan

pertanyaan-pertanyaan berkaitan dengan jati dirinya sebagai bagian dari bangsa Indonesia.

Di sini terjadi suatu pemahaman keliru antara menjadi modern dan menjadi seperti

orang Barat, atau antara mordernisasi dengan westernisasi. Menurut Wilbert Moore,

modernisasi adalah penggabungan diri pada masyarakat/bangsa yang telah

mengakumulasikan berbagai hasil dari telaah ilmiah dan menerapkannya, serta menggunakan

hasil temuan ilmiah dan teknologi tersebut untuk memecahkan masalah-masalah yang

dihadapi. Hanya untuk masalah-masalah kebendaan dan fisik teori Moore dapat digunakan.

Haviland mengkritik konsep modernisasi karena, menurutnya, konsep itu bersudut pandang

etnosentris. Artinya, konsep modernisasi ini terbentuk berdasarkan cara pandang satu

24

kelompok masyarakat yang melihat bahwa kebudayaan yang dimilikinya lebih superior

daripada kebudayaan kelompok masyarakat lainnya (Haviland, 2000: 755).

Dewasa ini kita juga sering mendengar berita-berita di televisi atau media lainnya

mengenai banyak peristiwa yang dapat mengarah kepada kondisi disintegrasi bangsa.

Peristiwa-peristiwa itu antara lain ialah konflik/perkelahian antara suku bangsa yang satu

dengan suku bangsa yang lain, atau antara satu kelompok dengan kelompok yang lain, dan

perkelahian massal atau tawuran banyak terjadi di kalangan murid sekolah. Hal ini

menunjukkan, antara lain: lemahnya toleransi terhadap perbedaan pendapat; munculnya

elemen-elemen separatisme dan kedaerahan/primordialisme; penafsiran keliru terhadap

otonomi daerah sebagai federalisme; pendekatan fragmentatif dalam menghadapi persoalan-

persoalan bangsa; ketiadaan atau kelangkaan tokoh panutan; lemahnya perasaan gotong-

royong, solidaritas, dan kemitraan; dan ketidaksepahaman dalam menyikapi proses

globalisasi.5 Semua itu merupakan masalah besar yang dihadapi bangsa Indonesia.

Masalah-masalah tersebut berkaitan dengan rasa kebangsaan anggota masyarakat

sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang juga berhubungan dengan jati diri bangsa. Istilah

jati diri dapat diartikan sebagai ciri-ciri, gambaran, atau keadaan khusus seseorang atau suatu

benda. Jati diri pun diartikan sebagai identitas.6 Jadi jati diri bangsa Indonesia adalah ciri-ciri

atau identitas kita sebagai bangsa Indonesia.

Telaah terhadap jati diri bangsa tidak terlepas dari kondisi bangsa Indonesia yang

berasal dari ikatan-ikatan primordial. Pluralitas bangsa Indonesia adalah suatu kenyataan.

Oleh karena itu perlu ditumbuhkan kesadaran bahwa kebhinekaan bangsa Indonesia

merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang harus diterima sebagai kekayaan bangsa

Indonesia. Perjalanan panjang sejarah bangsa Indonesia, mulai dari pembentukan kesadaran

berbangsa, kemudian pembentukan negara, sampai dengan pengisian kemerdekaan Indonesia

sebagai negara bangsa yang berdaulat, perlu menjadi bahan refleksi kita dalam memandang

keberadaan kita sekarang. Persatuan bangsa perlu terus diupayakan keutuhannya dengan

menyadari jati diri bangsa kita sebagai bangsa Indonesia.

Mengingat bangsa Indonesia berasal dari ikatan-ikatan primordial, maka jati diri

bangsa Indonesia diarahkan pada nilai-nilai yang menunjukkan diri kita sejatinya sebagai

5 Muladi, “Jati Diri Bangsa”, makalah pada Diskusi Panel Revitalisasi Jati Diri Bangsa yang diselenggarakan oleh Biro Organisasi dan Humas, Deputi Mensesneg Bidang Sumber Daya Manusia bersama Biro Kewilayahan dan Wawasan, Deputi Seswapres Bidang Politik, Kantor Sekretariat Negara RI, Jakarta, 14 Juni 2006.

6 Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: 2002), hlm. 462.

25

bangsa Indonesia. Nilai-nilai itu mengikat bangsa Indonesia sebagai satu kesatuan bangsa,

yang terumuskan dalam Pancasila dan UUD 1945. Oleh sebab itulah maka acuan bagi jati diri

bangsa Indonesia sebagai pedoman tertinggi bangsa atau ideologi dan hukum dasar dalam

bernegara adalah Pancasila dan UUD 1945, yang harus dilaksanakan secara benar dan

konsisten.

Di samping itu bentuk dari jati diri bangsa Indonesia dapat dikenali dengan mengacu

kepada kebudayaan nasional, mengingat bangsa Indonesia terdiri dari ikatan-ikatan primordial

atau dari berbagai suku bangsa. Kebudayaan nasional dimaksud adalah yang berlandaskan

pada unsur-unsur kebudayaan suku-suku bangsa di daerah (puncak-puncak kebudayaan

daerah) yang dapat menimbulkan perasaan bangga terhadap bangsa sendiri dan berfungsi

untuk memperkuat rasa identitas nasional warga bangsa atau negara.7 Selain itu jati diri

bangsa juga harus ditopang oleh rasa solidaritas bersama antar-suku bangsa atau antar-ikatan

primordial yang ada di Indonesia. Hal itu dapat dijalankan melalui fungsi kedua kebudayaan

yaitu memperluas rasa solidaritas nasional warga bangsa atau negara. Kebudayaan nasional

itu adalah yang dapat dipahami oleh setiap warga Indonesia, diciptakan baru dan mengacu ke

masa depan.8

Dalam perjalanan bangsa Indonesia selanjutnya, kesadaran akan jati diri bangsa

haruslah terus diperjuangkan, mengingat keberadaan bangsa Indonesia bukanlah di ruang

hampa. Arus globalisasi dengan kemajuan transportasi dan telekomunikasi menjadi salah satu

ancaman dari luar yang perlu disadari dan dihadapi dengan bijaksana oleh segenap bangsa

Indonesia.

Pengalaman sejarah merupakan “guru” yang baik bagi kita sebagai bangsa. Perlu

diresapi bagaimana semangat kebangsaan itu tumbuh di masa lalu. Semangat kebangsaan

sebagai bangsa yang satu itu tumbuh karena perasaan senasib sepenanggungan sebagai bangsa

yang terjajah. Semangat itu diwujudkan dengan lahirnya Kebangkitan Nasional tahun 1908

dan Sumpah Pemuda pada tahun 1928.

Pada saat ini ketika kita sudah merdeka, maka pemahaman musuh bersama itu harus

digantikan dengan masalah-masalah yang melanda bangsa Indonesia yang harus kita hadapi

secara bersama-sama. Perasaan sebagai bagian dari negara kesatuan harus dikembangkan,

7 Lihat uraian di atas mengenai golongan pertama yang mengemukakan mengenai kebudayaan nasional; contohnya ialah batik, tari-tarian, dan masakan tradisional Indonesia.

8 Lihat uraian di atas mengenai golongan kedua yang mengemukakan mengenai kebudayaan nasional; contohnya ialah bahasa nasional dan hukum nasional.

26

antara lain melalui pendekatan kebudayaan dan pengembangan kebudayaan nasional.

Pendekatan kebudayaan sebagai media untuk dapat saling memahami antar-suku bangsa, dan

pengembangan kebudayaan nasional sebagai upaya untuk meningkatkan rasa soliaritas dan

menumbuhkan rasa bangga sebagai bangsa Indonesia.

Di samping itu, dalam pembentukan jati diri bangsa juga diperlukan teladan yang baik

dari pemimpin-pemimpin bangsa yang tangguh, baik yang sudah tiada (pahlawan bangsa)

maupun yang sekarang berkuasa atau menduduki jabatan. Dengan demikian diharapkan

berbagai upaya yang dilakukan akan dapat membentuk jati diri bangsa Indonesia sebagai

bangsa yang bermartabat.

BAB II

NEGARA INDONESIA

27

1. Hakikat Negara

Menurut Ir. Soekarno di hadapan Sidang BPUPKI, “Orang dan tempat tidak dapat

dipisahkan”.9 Oleh karena itu, setelah membangsa orang menyatakan tempat tinggalnya

sebagai negara. Dalam perkembangan selanjutnya mereka membentuk wadah organisasi yang

akan melindungi diri dan tempat tinggalnya. Organisasi itu disebut negara (state). Dalam

pengertian ini, negara meliputi wilayah, rakyat, dan pemerintah yang bersifat konstitutif dan

telah dikukuhkan melalui Konvensi Montevideo.

Ketiga syarat negara itu dapat dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut. Wilayah yang

dimaksud adalah wilayah yang telah dinyatakan sebagai milik bangsa, dan batas-batasnya

ditentukan melalui perjanjian internasional. Rakyat adalah rakyat yang mendiami wilayah

tersebut, yang dapat terdiri atas berbagai golongan sosial, serta harus patuh pada hukum dan

pemerintah yang sah. Pemerintah adalah pemerintah yang berhak mengatur dan berwenang

merumuskan serta melaksanakan peraturan perundang-undangan yang mengikat warganya.

Kepada ketiga syarat tersebut dapat pula ditambahkan adanya pengakuan kedaulatan

dari negara lain (Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, 2001: 36) dan tujuan negara yang

tersurat/tersirat dalam konstitusi. Kedaulatan merupakan ciri yang membedakan organisasi

pemerintah dengan organisasi sosial. Agar mampu menghadapi musuh, negara berhak

menuntut kesetiaan para warganya. Rumusan tujuan nasional dalam konstitusi merupakan

pedoman untuk mencapai tujuan nasional dalam bernegara. Tujuan nasional bangsa Indonesia

tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 (alinea IV) yang antara lain menyatakan “Pemerintah

Negara Indonesia melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, 9 Sekretariat Negara Republik Indonesia, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan

Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) (Jakarta, 1992), hlm. 66.

28

Setelah membaca bab ini, mahasiswa mampu memahami konsep

negara, ideologi, dan konstitusi, serta mampu membangun pikiran yang

terbuka dan kritis terhadap masalah negara dalam arti wilayah, yang

terkait dengan konsep geostrategi dan geopolitik/ wawasan nusantara,

maupun dalam arti institusi/organisasi njegara, yang terkait dengan

sistem pemerintahannya.

memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan

ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan kesejahteraan sosial.”

Menurut Logemann, negara adalah suatu organisasi masyarakat yang bertujuan,

dengan kekuasaannya, mengatur serta menyelenggarakan sesuatu masyarakat. Sementara

menurut Max Weber, negara adalah suatu struktur masyarakat yang mempunyai monopoli

dalam menggunakan kekerasan fisik secara sah dalam sesuatu wilayah. Dengan demikian

negara merupakan alat masyarakat untuk mengatur hubungan manusia dengan masyarakat.

Dalam mengatur hubungan itu, ada legitimasi bagi negara untuk memaksa dengan

kekuasaannya yang sah terhadap semua kolektiva dalam masyarakat.

Di atas telah dikemukakan bahwa negara tidak terlepas dari konsep kedaulatan. Yang

dimaksud dengan kedaulatan adalah konsep mengenai kekuasaan tertinggi dalam suatu

negara. Menurut Jack H. Nagel, dalam setiap analisis mengenai konsep kekuasaan ada dua hal

penting yang terkait yaitu lingkup kekuasaan (scope of power) dan jangkauan kekuasaan

(domain of power). Lingkup kedaulatan adalah gagasan kedaulatan sebagai konsep mengenai

kekuasaan tertinggi yang meliputi proses pengambilan keputusan, misalnya seberapa besar

kekuatan keputusan-keputusan yang ditetapkan itu, baik di lapangan legislatif maupun

eksekutif. Jangkauan kekuasaan meliputi siapa yang menguasai dan apa yang dikuasai, namun

titik beratnya ada pada apa yang dikuasai.

Kedaulatan pada prinsipnya dapat dipegang oleh seseorang, sekelompok orang,

sesuatu badan, atau sekelompok badan yang melakukan legislasi dan administrasi fungsi-

fungsi pemerintahan. Dalam ilmu hukum dikenal lima teori atau ajaran mengenai siapa yang

berdaulat, yaitu teori kedaulatan Tuhan, teori kedaulatan raja, teori kedaulatan negara, teori

kedaulatan hukum, dan teori kedaulatan rakyat.

Ajaran kedaulatan Tuhan menganggap Tuhan sebagai pemegang kekuasaan tertinggi

dalam negara. Dalam praktiknya, kedaulatan Tuhan ini dapat menjelma dalam hukum yang

harus dipatuhi oleh kepala negara atau dapat pula menjelma dalam kekuasaan raja sebagai

kepala negara yang mengklaim wewenang untuk menetapkan hukum atas nama Tuhan.

Ajaran kedaulatan raja beranggapan bahwa rajalah yang memegang kekuasaan

tertinggi dalam suatu negara. Pandangan ini muncul terutama setelah periode sekularisasi

negara dan hukum di Eropa.

Ajaran kedaulatan negara merupakan reaksi terhadap kesewenangan raja yang muncul

bersamaan dengan timbulnya konsep negara bangsa dalam pengalaman sejarah di Eropa.

29

Masing-masing kerajaan di Eropa melepaskan diri dari ikatan negara dunia yang diperintah

oleh raja, yang sekaligus memegang kekuasaan sebagai Kepala Gereja. Ada tiga sifat

kedaulatan yang harus dicermati oleh penyelenggara negara yaitu 1) memaksa, 2) monopoli,

dan 3) mencakup semua. Memaksa berarti bahwa negara memiliki kekuasaan untuk

menggunakan kekerasan fisik secara sah (legal) agar dapat tertib dan aman. Monopoli berarti

bahwa negara mempunyai hak dan kuasa tunggal menetapkan tujuan bersama dari

masyarakat. Mencakup semua berarti bahwa semua peraturan perundang-undangan mengenai

semua orang—warga atau penduduknya. Dari ketiga sifat inilah timbul konsep negara

hukum.

Ajaran kedaulatan hukum menganggap bahwa sesungguhnya negara tidaklah

memegang kedaulatan. Sumber kekuasaan tertinggi adalah hukum dan setiap kepala negara

harus tunduk kepada hukum.

Ajaran kedaulatan rakyat meyakini bahwa yang sesungguhnya berdaulat dalam setiap

negara adalah rakyat. Kehendak rakyat merupakan satu-satunya sumber kekuasaan bagi setiap

pemerintah.

Sebagai teori, tidak satu pun dari kelima ajaran itu yang dapat disebut paling modern.

Akar perkembangan gagasan kedaulatan rakyat tumbuh dari tradisi Romawi kuno, sedangkan

gagasan kedaulatan hukum tumbuh dari tradisi Yunani kuno. Dalam kenyataan saat ini,

hampir semua negara modern menganut asas kedaulatan rakyat. Menurut penelitian Amos J.

Peaslee tahun 1950, 90% negara di dunia dengan tegas mencantumkan dalam konstitusinya

masing-masing bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat, dan kekuasaan pemerintah

bersumber dari kehendak rakyat. Demikian pula halnya dengan di Indonesia. Menurut Pasal 1

ayat (2) UUD 1945, kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-

Undang Dasar.

Konsep kedaulatan rakyat adalah prinsip dasar yang kemudian dikenal sebagai konsep

demokrasi. Secara formal, demokrasi menjadi sesuatu yang diidealkan di tiap negara. Namun,

implementasinya di satu negara berbeda dengan di negara lain. Ini adalah persoalan yang

dihadapi pelaksanaan dalam demokrasi di zaman sekarang.

2. Ideologi dan Konstitusi Negara

Agar kehidupan berbangsa dan bernegara tetap serasi, selaras, dan seimbang,

diperlukan suatu pedoman hidup. Pedoman itu adalah ideologi bangsa dan negara yang digali

30

dari budaya bangsa. Menurut Kaelan, makna ideologi bagi negara adalah 1) mencerminkan

cara berfikir masyarakat, bangsa dan negara, serta membentuk masyarakat menuju cita-cita;

2) merupakan sumber motivasi dan semangat bangsa; dan 3) bersifat terbuka, reformatif dan

dinamis. Ini semua harus tercermin dalam berbagai bidang dan kebijakan program-program

negara. Ideologi negara bagi bangsa Indonesia adalah Pancasila yang ditetapkan di dalam

konstitusi sebagaimana tersurat di dalam Pembukaan UUD 1945. Oleh karena itu, penjabaran

peraturan perundang-undangan dan aspek normatif lainnya, termasuk penyusunan doktrin

bangsa, harus mengacu kepada Pancasila.

Persayaratan lain suatu negara modern adalah adanya konstitusi. Kata konstitusi (dari

bahasa Perancis constituir yang berarti ‘membentuk’) diartikan sebagai pengaturan dasar

pembentukan negara. Orang Belanda menyebutnya grondwet yang mengandung pengertian

aturan dasar atau fundamental law. Yang dimaksud dengan aturan dasar adalah sejumlah

aturan dasar dan ketentuan yang dibentuk untuk mengatur fungsi dan struktur lembaga negara

dan lembaga pemerintah, termasuk kerja sama antara rakyat (masyarakat) dan negara dalam

rangka kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsitusi adalah dokumen tertulis formal yang

merupakan 1) hasil perjuangan politik bangsa di masa lampau; 2) tingkat tertinggi

perkembangan ketatanegaraan bangsa; 3) pandangan pendiri/tokoh bangsa yang hendak

diwujudkan untuk masa sekarang dan yang akan datang; dan 4) suatu keinginan,

perkembangan ketatanegaraan bangsa.

Menurut Budiardjo (2008: 17), dalam negara demokrasi konstitusional, konstitusi

(UUD) berfungsi khas membatasi kekuasaan pemerintah sedemikian rupa sehingga

penyelenggaraan kekuasaan tidak bersifat sewenang-wenang. Konstitusi Indonesia

dimungkinkan untuk diubah melalui 1) sidang legislatif dengan tambahan syarat; 2)

referendum/plebisit; 3) persetujuan ¾ negara bagian; 4) musyawarah khusus (convention).

Menurut UUD 1945, perubahan UUD dimungkinkan, bila sekurang-kurangnya 2/3 daripada

jumlah anggota MPR hadir dan sekurang kurangnya 2/3 dari anggota yang hadir itu setuju.

Perjalanan panjang sejarah pelaksanaan UUD di Indonesia terjadi dalam beberapa

periode, yaitu: 1) periode berlakunya UUD 1945 (18 Agustus 1945—27 Desember 1949); 2)

periode berlakunya Konstitusi RIS 1949 (27 Desember 1949—17 Agustus 1950); 3) periode

UUDS 1950 (17 Agustus 1950—5 Juli 1959); 4) periode kembalinya ke UUD 1945 (5 Juli

1959—1966); 5) periode UUD 1945 masa orde baru (11 Maret 1966—21 Mei 1998); 6)

periode UUD 1945 pasca-orde baru (21 Mei 1998—19 Oktober 1999); dan 7) periode UUD

31

1945 yang diamandemen (1999—sekarang). Pelaksanaan UUD 1945 sebagai konstitusi

negara Indonesia penuh dengan dinamika. Beberapa kali terjadi penyimpangan sehingga perlu

dilakukan upaya-upaya penyempurnaan. Sejarah pemberlakuan dan pengubahan UUD 1945

banyak menimbulkan kontroversi, mulai dari pembentukannya pada tahun 1945 sampai

dengan masa reformasi sekarang ini.

Dalam periode 1945—1949, UUD 1945 tidak dapat dilaksanakan dengan baik karena

kondisi negara dalam masa transisi setelah proklamasi kemerdekaan. Pada masa transisi itu,

Sekutu masuk ke berbagai wilayah Indonesia yang diboncengi oleh Belanda (NICA) setelah

kekalahan Jepang. Indonesia akhirnya berhasil mempertahankan kemerdekaannya, namun

peristiwa itu telah membuat kondisi negara tidak stabil atau tidak dalam keadaan normal

untuk melasanakan UUD 1945 dengan baik. Hal ini dapat ditunjukkan dengan dijalankannya

kekuasaan oleh Presiden dengan bantuan Komite Nasional karena MPR, DPR dan DPA

belum diangkat. Demikian pula yang terjadi pada periode-periode selanjutnya, UUD 1945

mengalami banyak ujian dalam pelaksanaannya (Meliono, dll., 2010: 129—138).

a. Periode UUD 1945—1949

Pada awalnya, rancangan UUD disiapkan oleh Dokuritsu Junbi Coosakai atau

BPUPKI, sebuah badan yang dibentuk oleh pemerintah pendudukan Jepang untuk

menyiapkan sebuah UUD bagi Indonesia apabila dimerdekakan, yang diketuai oleh Radjiman

Wedyodiningrat. Setelah itu BPUPKI dibubarkan dan diganti oleh Dokuritsu Inkai atau PPKI

yang diketuai oleh Soekarno. Pada tanggal 18 Agustus 1945, PPKI ini yang menetapkan

peralihan kekuasaan dari jajahan menjadi negara merdeka setelah sehari sebelumnya

Proklamasi Kemerdekaan dibacakan oleh Soekarno dan Hatta atas nama bangsa Indonesia.

Pada tanggal 18 Agustus 1945 PPKI juga menetapkan UUD 1945 yang sebelumnya telah

disusun oleh BPUPKI dengan sedikit revisi. Meskipun yang menyusun dan yang menetapkan

UUD 1945 dua badan yang berbeda, UUD 1945 tetap sah karena fungsi dan tugas kedua

badan itu memang berbeda. BPUPKI menyusun rancangan UUD, sedangkan PPKI melakukan

peralihan kekuasaan dan menetapkan atau mengesahkan berlakunya UUD.

Dua bulan sejak UUD 1945 diberlakukan, muncul Maklumat X pada tanggal 16

Oktober 1945 karena adanya gerakan untuk tidak memberlakukan UUD 1945 yang dianggap

berwatak fasis dan menjadi sumber otoriterisme. Istilah “maklumat” tidak menjadi persoalan

karena pada saat itu Indonesia belum memiliki UU tentang peraturan perundang-undangan

32

sehingga muncul istilah maklumat atau peraturan. Watak tersebut ditunjukkan dengan

ketentuan Pasal IV Peralihan UUD 1945 yang memberikan kekuasaan MPR, DPR, dan DPA

kepada Presiden dengan bantuan Komite Nasional. Maklumat X 1945 kemudian disusul

dengan Maklumat Pemerintah tertanggal 14 November 1945 yang berisi perubahan sistem

kabinet dari sistem presidensial menjadi sistem parlementer. Dalam praktik kedua maklumat

itu merupakan penyimpangan dari UUD 1945 meskipun secara resmi tidak membatalkan atau

mencabut UUD itu.

b. Periode Konstitusi RIS 1949—1950

Seiring dengan diubahnya bentuk negara kesatuan menjadi negara federal atau

Republik Indonesia Serikat (RIS) sejak tanggal 29 Desember 1949, UUD 1945 secara resmi

diganti dengan Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949 (KRIS 1949). Perubahan bentuk

negara dan konstitusi ini merupakan hasil akhir dari perundingan-perundingan antara

pemerintah Indonesia dan kerajaan Belanda yang ingin menjajah Indonesia kembali setelah

Jepang—yang sedang menduduki Indonesia ketika itu—kalah dalam perang Pasifik 1945.

Indonesia berhasil mempertahankan kemerdekaannya dengan perang konvensional dan

perundingan-perundingan. Hasil dari perundingan-perundingan itu adalah diadakannya

Konferensi Meja Bundar yang berhasil memaksa Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia.

Hasil konferensi itu adalah pengubahan bentuk negara dari NKRI menjadi NRIS, dan juga

pengubahan konstitusi dengan memberlakukan Konstitusi Republik Indonesia Serikat tahun

1949 (KRIS 1949).

c. Periode UUDS 1950—1959

Pada tahun 1950, terhadap bentuk negara federal tersebut di atas, beberapa kalangan

melakukan penolakan karena dianggap sebagai kreasi Belanda (arsiteknya Van Mook) untuk

memecah-belah Indonesia. Oleh karena itu diserukan, antara lain oleh Mohammad Natsir

(tokoh Masyumi), agar Indonesia kembali ke NKRI. Seruan itu disebut “Mosi Integral

Natsir.”

Pada tanggal 17 Agustus 1950, seruan Natsir itu berhasil mendorong lahirnya UU

Federal Nomor 7 Tahun 1950, yang pada pokoknya berisi 1) bentuk negara Indonesia diubah

menjadi negara kesatuan dan 2) Konstitusi RIS 1949 diganti dengan Undang-Undang Dasar

Sementara Tahun 1950 (UUDS 1950). Ada yang mempertanyakan, mengapa digunakan kata

33

sementara. Menurut Mahfud, sejak awal para pemimpin Indonesia sudah melihat bahwa

UUD permanen haruslah dibentuk oleh lembaga negara yang dipilih oleh rakyat melalui

Pemilu agar UUD itu dapat mencerminkan resultante rakyat.

d. Kembali ke UUD 1945—1966 (Dekrit Presiden 5 Juli 1959)

Di dalam UUDS 1950 ditetapkan keharusan mengadakan Pemilu untuk memilih

wakil-wakil rakyat, baik untuk DPR maupun untuk Konstituante. DPR adalah lembaga

legislatif biasa, sedangkan Konstituante merupakan badan khusus yang bertugas menetapkan

UUD bersama pemerintah. Ketentuan konstitusional itu menjadi dasar penyelenggaraannya

Pemilu 1955 untuk memilih anggota DPR dan anggota Konstituante, yang diatur dalam UU

Nomor 7 Tahun 1953.

Setelah Pemilu, sidang Konstituante pun dilaksanakan, namun yang terjadi adalah

perdebatan yang berarut-larut tentang dasar negara. Mengingat perdebatan tersebut berpotensi

membahayakan negara karena muncul berbagai front yang menggambarkan aliran politik

yang panas akibat perdebatan itu, maka pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden Soekarno

mengeluarkan dekrit yang dikenal sebagai Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Isi dekrit itu adalah 1)

pembubaran Konstituante, 2) pencabutan berlakunya UUDS 1950 dan pemberlakuan kembali

UUD 1945, dan 3) (janji) pembentukan MPRS dan DPAS. Beberapa pihak menganggap

bahwa dekrit tersebut inkonstitusional. Bahkan Moh. Hatta dan Prawoto Mangkusasmito

mengatakan dekrit itu adalah kudeta terhadap lembaga negara yang sah. Di pihak lain, tidak

sedikit yang membenarkan dikeluarkannya dekrit itu dengan alasan negara dalam keadaan

bahaya sehingga Presiden dapat mengambil segala tindakan yang diperlukan untuk

menyelamatkan negara.

e. Periode UUD 1945 Masa Orde Baru 1966—1998

Pemerintahan Orde Baru yang semboyannya “Melaksanakan Pancasila dan UUD 1945

secara murni dan konsekuen,” juga melahirkan pemerintahan yang otoriter, terutama

pelanggaran terhadap hak-hak sipil dan hak-hak politik rakyat. Pada masa Orde Baru sistem

politik yang dibangun adalah korporatis atau rezim militer-teknokratis.

34

Yang membedakan otoriterisme Orde Lama dan Orde Baru adalah cara membangun

sistem itu. Pada era Orde Lama, otoriterisme dibangun dengan terang-terangan melanggar

konstitusi, sedangkan pada era Orde Baru, otoriterisme dibangun melalui formalisasi

pemuatan di dalam aturan-aturan secara halus atas masalah-masalah yang sebenarnya

melanggar konstitusi. Artinya, banyak pelanggaran konstitusi dan hukum dilakukan, tetapi

secara prosedural diberi bentuk hukum (dijadikan peraturan perundang-undangan) dulu

sehingga seolah-olah menjadi benar secara hukum (Mahfud MD, 2005: 113—155).

Hasil penelitian Erliyana menunjukkan penyimpangan di masa Orde Baru itu.

Penelitiannya itu dilakukan terhadap Keputusan Presiden (Keppres) RI dalam kurun waktu

dari tahun 1987 hingga 1998, menemukan hal-hal berikut. Pertama, terdapat 351 (87,53%)

Keppres dari 401 yang tidak dimuat dalam Lembaran Negara sehingga secara umum tidak

dapat disebut sebagai peraturan dalam perundang-undangan. Kedua, ada 13 Keppres yang

mengandung penyusupan materi muatan Keppres sebagai peraturan kebijakan (beleidsregel,

policy rules) yang dibuat sejak tahun 1992 sampai dengan tahun 1998 (12 tahun). Ketiga,

terdapat 56 dari 224 Keppres sebagai peraturan kebijakan (beleidsregel, policy rules) yang

melanggar asas larangan melampaui wewenang selama 12 tahun berturut-turut.

Keppres yang melanggar asas larangan melampaui wewenang tersebut terjadi karena

1) adanya pertentangan dengan peraturan perundang-undangan; 2) materi muatan yang bukan

merupakan materi muatan Keppres; 3) pelaksanaan wewenang Menteri yang dilakukan

Presiden; dan 4) materi muatan Keppres sebagai peraturan kebijakan (beleidsregel, policy

rules) tetapi disusupkan dalam materi muatan Keppres sebagai peraturan umum (regeling).

Berdasarkan peraturan-peraturan yang ada, tindakan pemerintah tidak boleh bertentangan

dengan peraturan perundang-undangan atau kepentingan umum, tidak boleh melawan hukum

—baik formal maupun materil dalam arti luas—dan tidak boleh melampaui/menyelewengkan

kewenangan menurut undang-undang. Tindakan pemerintah harus memenuhi legitimasi,

yuridisitas, dan legalitas.

Temuan lain adalah yang menyangkut perkara yang diputus Pengadilan Tata Usaha

Negara dengan Presiden sebagai Tergugat dan Keppres sebagai objek gugatannya. Dari segi

materi muatan, Keppres dapat dibedakan atas yang 1) bersifat mengatur atau sebagai

peraturan umum (regeling), 2) bersifat ketetapan atau penetapan sebagai keputusan

(beschikking), dan 3) bersifat kebijakan sebagai peraturan kebijakan (beleidsregel, policy

rules). Pertimbangan hukum Majelis Hakim, baik pada tingkat pertama, banding, maupun

35

kasasi, belum memilah Keppres dengan rinci sebagai peraturan umum (regeling), keputusan

(beschikking), atau peraturan kebijakan (beleidsregel, policy rules). Oleh karena itu, seluruh

Keppres yang dijadikan objek gugatan oleh hakim dinilai sebagai “peraturan perundang-

undangan” yang memiliki derajat sama dengan undang-undang. Seluruh gugatan kandas

karena dari awal sudah dinyatakan bukan wewenang Pengadilan Tata Usaha Negara,

melainkan merupakan wewenang Mahkamah Agung untuk melaksanakan Hak Uji materil

(Erliyana, 2005: 192—195).

Pada masa Orde Baru, UUD 1945 disakralkan sebagai konstitusi dengan

pemberlakuan sejumlah peraturan yang mempersulit usaha untuk mengubahnya. Peraturan-

peraturan itu, antara lain, ialah 1) Ketetapan MPR Nomor I/MPR/1983 yang menyatakan

bahwa MPR berketetapan untuk mempertahankan UUD 1945 dan tidak berkehendak akan

melakukan perubahan terhadapnya; 2) Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983 tentang

Referendum yang antara lain menyatakan bahwa bila MPR berkehendak mengubah UUD

1945, terlebih dahulu harus meminta pendapat rakyat melalui referendum; 3) Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1985 tentang Referendum, yang merupakan pelaksanaan TAP MPR Nomor

IV/MPR/1983.

f. Periode UUD 1945 Periode 21 Mei 1998—19 Oktober 1998

Munculnya gerakan reformasi pada tahun 1998 merupakan akumulasi dari

kekecewaan atas kondisi rakyat Indonesia yang kian terpuruk karena dilanda krisis yang

berkepanjangan. Krisis itu bukan hanya di bidang ekonomi dan moneter saja, melainkan juga

di bidang politik. Akibat krisis tersebut muncul desakan agar segera dilaksanakan reformasi

menyeluruh terutama di bidang politik, ekonomi, dan hukum. Desakan ini memuncak pada

tuntutan agar dilakukan Sidang Istimewa MPR dan tuntutan (terutama oleh mahasiswa) agar

Presiden Soeharto mundur. Akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto

menyatakan berhenti sebagai Presiden RI, dan digantikan oleh B. J. Habibie yang pada waktu

itu menjabat Wakil Presiden. Periode baru ini sampai dengan tanggal 19 Oktober 1999

dikenal sebagai masa transisi. Pada periode inilah Provinsi Timor Timur lepas dari NKRI.

Pada saat berakhirnya masa transisi pada tanggal 19 Oktober 1999, Sidang Umum MPR 1999

sedang melakukan sidang Perubahan Pertama UUD 1945 pada tanggal 14--21 Oktober 1999.

g. Periode UUD 1945 yang Diamandemen 1998—sekarang (Reformasi)

36

Pada masa reformasi, UUD 1945 tidak lagi disakralkan. Wacana amandemen terhadap

UUD 1945 didasarkan pada suatu kenyataan sejarah selama masa Orde Lama dan Orde Baru,

bahwa penerapan pasal-pasal UUD 1945 merupakan upaya sentralisasi kekuasaan terutama

pada Presiden.

Pada periode pertama (1945-1949) pemerintahan tampil dengan sentralisasi kekuasaan

yang—oleh golongan muda ketika itu—dianggap bersifat fasis karena Presiden memegang

seluruh kekuasaan lembaga negara berdasarkan Aturan Peralihan, Pasal IV, UUD 1945. Pada

periode demokrasi terpimpin (1959—1966) pemerintahan yang dipimpin Presiden Soekarno

bertindak otoriter. Dalam bidang konstitusi dan hukum, misalnya, pelanggaran terhadap

konstitusi dilakukan dengan dikeluarkannya berbagai Penetapan Presiden (Penpres) yang

jelas-jelas inkonstitusional karena berada di luar ketentuan UUD 1945. Pemerintahan Orde

Baru juga melahirkan pemerintahan yang otoriter, terutama dengan pelanggaran terhadap hak-

hak sipil dan hak-hak politik rakyat. Soeharto membangun sistem politik yang korporatis atau

rezim militer-teknokratis. Inilah yang melatarbelakangi politik di masa Orde Baru yang

berupaya melestarikan UUD 1945 (Meliono, dll., 2010: 136).

Yang membedakan otoriterisme Soekarno dan Soeharto adalah cara membangun

sistem itu. Pada era Soekarno, otoriterisme dibangun dengan terang-terangan melanggar

konstitusi. Pada era Soeharto, otoriterisme dibangun melalui formalisasi pemuatan di dalam

aturan-aturan secara halus atas masalah-masalah yang sebenarnya melanggar konstitusi.

Artinya, banyak pelanggaran konstitusi dan hukum dilakukan, tetapi secara prosedural diberi

bentuk hukum (dijadikan peraturan perundang-undangan) dulu sehingga seolah-olah menjadi

benar secara hukum.

Berdasarkan hasil studi oleh sejumlah pakar konstitusi dan ketatanegaraan, terutama di

kampus-kampus, otoriterisme dibangun melalui celah-celah yang dibuka oleh UUD 1945 itu

sendiri. Menurut Deliar Noer, 25 dari 37 pasal UUD 1945 adalah interpretatif sehingga perlu

disempurnakan. Konstruksi pemikiran atas munculnya otoriterisme yang dibangun

berdasarkan peluang yang ada di dalam UUD 1945 ialah bahwa UUD 1945: 1) menganut

sistem yang executive-heavy (meletakkan tumpuan kekuasaan pada Presiden); 2) memuat

pasal-pasal yang ambigu (multi-tafsir); 3) terlalu banyak memuat atribusi kewenangan untuk

mengatur hal-hal penting yang diberikan kepada lembaga legislatif.

Sebelum melakukan amandemen, MPR dalam sidang istimewa tahun 1998 terlebih

dahulu mencabut dan menyatakan tidak berlaku lagi Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983

37

tentang Referendum. Dengan dicabutnya Ketetapan MPR tersebut, MPR tidak perlu lagi

meminta pendapat rakyat untuk mengubah UUD 1945. Sidang istimewa itu juga membuat

Ketetapan MPR Nomor XIII/MPR/1998 tentang pembatasan masa jabatan Presiden dan

Wakil Presiden RI hanya dua kali.

Pada era reformasi, UUD 1945 mengalami empat kali perubahan (amandemen) dalam

kurun waktu 1999—2002 yang ditetapkan dalam Sidang Umum dan Sidang Tahunan MPR.

Perubahan-perubahan itu ialah 1) Perubahan Pertama (Sidang Umum MPR tanggal 14—21

Oktober 1999), 2) Perubahan Kedua (Sidang Umum MPR tanggal 7—18 Agustus 2000), 3)

Perubahan Ketiga (Sidang Umum MPR tanggal 1—9 November 2001), dan 4) Perubahan

Keempat (Sidang Umum MPR tanggal 1—11 Agustus 2002).

Tujuan dilakukannya amandemen bukanlah untuk mengganti UUD 1945 sama sekali,

melainkan merupakan upaya untuk menyempurnakannya tanpa harus menggantikannya.

Munculnya kontroversi pada masa sebelum, ketika, dan sesudah perubahan UUD 1945 adalah

suatu hal yang wajar sebagai wujud dari demokrasi. Menurut K. C. Wheare, konstitusi adalah

resultante atau kesepakatan politik bangsa melalui para pembuatnya (misalnya konstituante

atau badan legislasi) sesuai dengan situasi tempat. Oleh sebab itu adalah suatu keniscayaan

apabila dalam membuat kesepakatan politik itu terjadi kontroversi.

Konstitusi mempunyai arti yang sangat penting bagi penyelenggaraan negara dan

pemerintahan, serta perlindungan hak-hak rakyat. Oleh karena itu, tidak mungkin sebuah

konstitusi dapat lahir tanpa perdebatan dan kontroversi, kecuali dalam keadaan tidak normal

ketika sebuah konstitusi ditetapkan secara sepihak oleh suatu kekuatan penguasa. Dalam

menyikapi kontroversi yang terjadi dalam proses pembentukan atau perubahan konstitusi,

perlu dikedepankan sikap konstitusional, yaitu sikap untuk tunduk kepada, dan melaksanakan

konstitusi dengan sebaik-baiknya, apabila sebuah resultante atau kesepakatan politik sudah

dicapai melalui prosedur yang sah.

Setelah UUD 1945 diubah, beberapa kemajuan telah dicapai, antara lain yang berikut.

Pertama, kehidupan demokrasi tumbuh lebih baik, misalnya yang berkaitan dengan kebebasan

mengeluarkan pendapat. Namun, demokrasi harus tetap bersama-sama dengan nomokrasi,

karena demokrasi tanpa nomokrasi dapat menimbulkan kekacauan atau anarkisme. Kedua,

sekarang pengujian UU terhadap UUD dapat dilakukan. Dulu tidak ada peluang untuk itu

karena diasumsikan bahwa UU itu tidak dapat dibatalkan melalui peninjauan judisial (

judicial review) melainkan hanya dapat dibatalkan dengan peninjauan legislatif (legislative

38

review). Sekarang lembaga legislatif harus berhati-hati atau tidak dapat sembarangan dalam

membuat UU karena produk legislasi pada saat ini sudah dapat diuji oleh lembaga yudisial

yaitu Mahkamah Konstitusi. Ketiga, dulu kekuasaan membentuk UU terletak di tangan

Presiden, namun sekarang berada di tangan DPR sehingga, sebagai perwakilan rakyat, DPR

menjadi lebih berdaya. Pada era reformasi, sudah lebih dari 30 UU yang lahir berdasarkan hak

inisiatif DPR. Pada masa Orde Lama maupun Orde Baru, tidak ada satu pun lahir UU yang

berasal dari hak inisiatif DPR. Keempat, dalam praktik politik, sekarang Presiden tidak dapat

lagi berbuat sewenang-wenang, bukan hanya karena masa jabatannya yang dibatasi menjadi

hanya dua kali, melainkan juga karena Presiden dimungkinkan untuk diberhentikan melalui

penilaian politik dan penilaian hukum dengan alasan-alasan tertentu yang disebutkan di dalam

UUD, namun harus melalui prosedur yang tidak mudah. Kelima, UUD memuat masalah-

masalah HAM secara rinci, yang sebelum diamandemen hanya mengaturnya secara sumir

(Mahfud MD, 2009: 113—155).

3. Negara dalam Arti Wilayah

Berkaitan dengan pernyataan bahwa “Orang dan tempat tinggalnya tidak dapat

dipisahkan,” maka perebutan ruang hidup menjadi hal yang selalu terjadi dan menimbulkan

konflik antarmanusia, yaitu antarindividu, antarkeluarga, antarmasyarakat, dan antarbangsa,

hingga saat ini. Oleh karena itu, agar suatu bangsa dapat mempertahankan ruang hidupnya,

maka bangsa itu harus mempunyai kesatuan cara pandang yang dikenal sebagai wawasan

kebangsaan/wawasan nasional.

Konsep wawasan kebangsaan tentang wilayah mulai dikembangkan sebagai ilmu pada

akhir abad XIX. Oleh karena itu tidaklah salah, apabila kita simak instruksi Kanselir Frederick

Agung dari Prusia kepada para jenderalnya: “Bila kamu tidak tahu tentang wilayah, kamu

tidak dapat berbuat untuk negara, selain kesalahan fatal” (Collins, 1973: 167). Konsep ini

dikenal sebagai geopolitik, yang pada mulanya membahas geografi dari segi politik negara.

Selanjutnya berkembang konsep politik, dalam arti distribusi kekuatan, pada hamparan

geografi negara, sehingga tidaklah berlebihan bahwa geopolitik sebagai ilmu “baru” dicurigai

sebagai upaya pembenaran atas konsep ruang (Sunardi, 2004: 157). Oleh karena itu dalam

pembahasan masalah wawasan nasional, di samping sejarah terjadinya konsep wawasan

nasional perlu pula dibahas teori geopolitik serta implementasinya.

39

Konsep wawasan nasional harus ditindaklanjuti melalui pembuatan konsep

geostrategi. Strategi, menurut Laksda (USN) J. C. Wilie, adalah “rencana aksi untuk

mengakhiri keinginan bersama dan dapat diukur hasilnya” (Collins, 1973: 15). Dalam hal ini

keinginan bersama adalah politik nasional. Pada konsep geostrategi, yang merupakan

pelaksaan dari geopolitik, perlu dilakukan pengkajian mengenai siapa “mitra strategi” dan

“apa lingkungan strategi” yang akan mempengaruhi politik Indonesia. Upaya mencapai

tujuan nasional bangsa perlu dilakukan melalui strategi-strategi yang tidak dapat dilakukan

secara singkat, namun harus dilakukan sepanjang hayat. Untuk keperluan tersebut perlu

disusun pedoman pelaksanaan yang dikenal sebagai politik nasional dan strategi nasional.

Dapat disimpulkan bahwa geopolitik adalah “dunia ideal” yang kita kejar. Geostrategi

adalah “dunia nyata” yang harus diwujudkan. Politik nasional dan strategi nasional

merupakan proses kegiatan untuk mewujudkan kondisi sistem kehidupan nasional. Ketiga

konsep tersebut hendaknya dipahami benar oleh segenap bangsa Indonesia, terutama para

pemuda yang nantinya akan menjadi pemimpin bangsa.

Konsep geopolitik dan geostrategi berkembang seiring dengan kesadaran manusia

untuk berbangsa dan bernegara—mulai dari terbentuknya bangsa, kemudian negara—dan

adanya kemajuan teknologi. Gagasan awal geopolitik ditulis oleh Friedrich Ratzel yang

mengatakan bahwa terbentuknya negara ibarat pertumbuhan makhluk hidup yang

membutuhkan ruang untuk pertumbuhannya, seperti teori Charles Darwin. Gagasan itu

diperkuat oleh tulisan Rudolf Kjellen yang mengatakan bahwa untuk berkembang diperlukan

kekuatan dan intelektual bangsa. Menurutnya, perbatasan negara hanya bersifat sementara

sehingga teorinya dikenal sebagai Teori Kekuatan. Teori mereka ditulis ulang dan menjadi

disertasi Karl Haushofer yang menitikberatkan pembentukan ruang dan kekuatan. Teorinya

itu kemudian menjadi wawasan nasional Jerman, yang terpuruk pasca-Perang Dunia I. Perang

Dunia I sebenarnya merupakan upaya negara Eropa Barat/sekutu untuk membangkitkan

gerakan nasionalisme Eropa Tengah dan Eropa Timur serta Asia dari kekuasaan dinasti yang

sedang berkuasa (Habsburg dan Romanov). Mereka juga ingin mengerdilkan dinasti

Usmaniah (Ottoman) yang menguasai wilayah Balkan, Jazirah Arab, dan Afrika Utara.

Pokok-pokok teori Haushofer adalah yang berikut: 1) negara harus mempunyai ruang

hidup “cukup”; 2) negara harus swasembada; dan 3) dunia dibagi atas empat pan-region dan

setiap pan-region harus dipimpin dan dikendalikan oleh bangsa (ras) unggulan. Keempat pan-

region adalah benua Eropa-Afrika (Jerman); wilayah Rusia-India (Rusia); wilayah Asia

40

Timur, termasuk Australia (Jepang); dan benua Amerika (Amerika Serikat). Konsep yang

bernuansa rasialis ini benar-benar dihayati oleh ras Austro-Jerman. Namun teori Haushofer

didahului beberapa doktrin wawasan yang bersifat pembangunan kemitraan berkaitan dengan

perkembangan teknologi transportasi, telekomunikasi, dan kesenjataan.

Wawasan Maritim yang dikembangkan oleh Walter Raleigh berkaitan dengan

teknologi kapal dan kepelabuhanan Inggris yang lebih unggul dari Spanyol dan Portugis.

Pada wawasan maritim ini orientasi commodities berubah. Konsep itu, antara lain, ialah:

“Siapa yang menguasai laut akan menguasai perdagangan; siapa yang menguasai

perdagangan akan menguasai kekayaan dunia—artinya, akan menguasai dunia.” Konsep itu

menggambarkan perebutan ruang hidup dan laut secara fisik yang tidak dapat dihindari.

Negara pantai yang lemah akan dikuasai oleh Inggris. Sampai dengan Perang Dunia II,

Inggris mengobarkan semangat bangsanya dengan semboyan “Britain rules the waves.”

Alfred T. Mahan mengemukakan bahwa “Sumber daya laut, termasuk akses ke laut,

harus dipertahankan dan dimanfaatkan.” Konsep ini menyebabkan orang berlomba-lomba

mengeksploitasi sumber daya laut sesuai dengan konsep rezim klasik hukum laut yang

beranggapan bahwa laut merupakan hak bersama (common heritage of mankind) dan

pemikiran bahwa yang datang duluan mendapat hak duluan (first come first served).

Wawasan kontitental dikembangkan oleh Halford Mackinder yang beranggapan

bahwa kekayaan dunia terdapat di “Pulau Dunia” yang meliputi benua Eropa, Asia, dan

Afrika. Wilayah dunia yang lain disebut kepulauan dan samudera. Dalam Pulau Dunia

wilayah dibagi atas daerah Jantung dan daerah Bulan Sabit, yang meliputi pantai-pantai Asia

Timur, Asia Selatan, Eropa Selatan dan Eropa Barat. Kekayaan dunia ada di daerah Jantung

—kira-kira Siberia sekarang. Untuk menguasai daerah Jantung perlu dibangun kekuatan darat.

Nicholas Spijkman memperbaiki teori di atas dengan teori Daerah Batas.

Menurutnya, wilayah dunia terdiri atas: 1) daerah jantung (pivot area); 2) Offshore Continent

Land yaitu daerah pantai Eropa dan Asia; 3) Oceanic Belt (pulau dan pantai di luar pantai

Eropa-Asia) termasuk daerah ini Afrika Selatan: dan 4) The New World (benua Amerika).

Wilayah yang akan menjadi daerah penting adalah Offshore continent land. Wilayah ini

merupakan pusat pergolakan dunia karena memiliki sifat maritim dan kontinental. Sedangkan

Amerika merupakan daerah aman dari pergolakan karena untuk menuju Amerika dibutuhkan

teknologi maju.

41

Seiring dengan kemajuan teknologi dirgantara, manusia mulai membangun kekuatan

udara dan menghendaki pembentukan Angkatan Udara (AU) yang terpisah dari Angkatan

Laut dan Angkatan Darat. Alasan utamanya adalah AU dapat beroperasi sendiri dan mampu

menghancurkan musuh di kandang sendiri. Kemenangan terakhir ada pada AU.

a. Ciri Khas Wilayah Indonesia

Secara formal bangsa Indonesia menjadi negara sejak Proklamasi Kemerdekaan.

Wujud keformalan Indonesia adalah berupa 1) rakyat, 2) wilayah (eks Hindia Belanda), 3)

kedaulatan (sejak Proklamasi Kemerdekaan), 4) pemerintah (sejak terpilihnya Presiden), 5)

tujuan negara (mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila), dan 6)

bentuk negara yang berupa negara kesatuan.

Negara dalam arti wilayah dapat dibedakan atas 1) negara daratan yang berbatasan

dengan daratan negara tetangga dan 2) negara yang berbatasan dengan laut, yang dapat

dibedakan atas: a) negara pantai, b) negara pulau, dan c) negara kepulauan. Menurut regim

hukum laut klasik, laut menjadi pemisah dari pulau-pulau. Akibat ketentuan rezim hukum itu,

Indonesia dan banyak negara nasional baru, yang merdeka pasca-Perang Dunia II, menjadi

tidak utuh. Agar utuh dan menjadi satu entitas, Indonesia mengeluarkan Deklarasi

Pemerintah Republik Indonesia, yang kemudian dikenal sebagai Deklarasi Djuanda, pada

tanggal 13 Desember 1957 yang menginginkan pembaharuan “asas negara kepulauan”.

Dengan semakin banyaknya negara merdeka yang baru, maka melalui Sidang Konvensi PBB

tentang Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea, UNCLOS) pada

tahun 1982 di Montego Bay, Jamaica, perjuangan tersebut baru berhasil, setelah 25 tahun.

Merujuk pada Pasal 46 UNCLOS 1982, Negara Kepulauan ialah suatu negara yang

seluruhnya terdiri dari satu kepulauan atau lebih yang dapat mencakup pulau-pulau lainnya.

Istilah “kepulauan” diartikan sebagai suatu gugusan pulau. Yang termasuk gugusan pulau

adalah pulau-pulau, perairan, dan lain-lain wujud alamiah, yang hubungan satu sama lainnya

sedemikian erat sehingga pulau-pulau, perairan dan wujud alamiah lainnya itu merupakan

suatu kesatuan geografi, ekonomi dan politik yang hakiki, atau secara historis dianggap

demikian.

b. Geopolitik Indonesia

42

Ciri khas Negara Kesatuan Republik Indonesia ialah bahwa NKRI 1) merupakan

negara kepulauan; 2) berada di antara dua samudera, yaitu samudera India dan Pasifik, dan di

antara dua benua, yaitu benua Asia dan Australia; serta 3) berada di bawah lintasan

Geostationary Satelite Orbit (GSO) sepanjang 12,8 % GSO bumi. Ciri khas ini menghendaki

bangsa Indonesia memiliki cara padang yang sama dalam upaya mengelola wilayah. Oleh

karena itu disusunlah doktrin Geopolitik Indonesia yang merupakan kesatuan pandang bangsa

tentang diri dan lingkungannya. Geopolitik Indonesia disebut Wawasan Nusantara. Wawasan

Nusantara didefinisikan sebagai cara pandang dan sikap bangsa Indonesia tentang dirinya

yang bhineka, dan lingkungan geografinya yang berwujud negara kepulauan berdasarkan

Pancasila dan UUD 1945.

Pada awal era reformasi istilah Wawasan Nusantara menjadi tidak populer. Para elit

politik enggan menggunakan istilah ini sehingga tidak tercantum lagi dalam Garis-garis Besar

Haluan Negara (GBHN) 1999 (yang terakhir) sebagai wawasan bangsa Indonesia.

Tujuan Wawasan Nusantara adalah untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan

segenap aspek kehidupan nasional yang dikenal sebagai “astagatra”. Astagatra meliputi

geografi, demografi dan sumber daya alam yang merupakan aspek potensi alamiah serta

ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan militer (kini pertahanan-keamanan), yang

merupakan aspek potensi sosial yang turut serta menciptakan ketertiban dan perdamaian

dunia. Oleh karena itu hakikat tujuan Wawasan Nusantara adalah kesatuan dan persatuan

dalam kebhinekaan yang merupakan penjabaran tujuan nasional yang telah diselaraskan

dengan kondisi, posisi, dan potensi geografi dan pedoman pola tindak dan pola pikir

kebijaksanaan nasional.

Wawasan Nusantara sebagai paradigma sistem kehidupan bangsa Indonesia diurutkan

sebagai berikut: 1) Pancasila sebagai filsafat, ideologi bangsa dan dasar negara; 2) UUD-1945

sebagai konstitusi negara; 3) Wawasan Nusantara sebagai geopolitik bangsa Indonesia; 4)

Ketahanan Nasional sebagai geostrategi bangsa dan negara Indonesia; dan 5) Wawasan

Nusantara dan Ketahanan Nasional sebagai doktrin dasar pengaturan kehidupan nasional.

Yang dimaksud dengan doktrin adalah himpunan prinsip atau teori yang diajarkan,

dianjurkan, dan diterima sebagai kebenaran, untuk dijadikan pedoman dalam melaksanakan

kegiatan dalam upaya mencapai tujuan. Doktrin dasar merupakan doktrin yang timbul dari

pemikiran yang bersifat filosofis.

43

Wawasan Nusantara berperan untuk 1) mewujudkan serta memelihara persatuan dan

kesatuan yang serasi dan selaras, segenap aspek kehidupan nasional; 2) menumbuhkan rasa

tanggung jawab atas pemanfaatan lingkungan; 3) menegakkan kekuasaan guna melindungi

kepentingan nasional; dan 4) merentang hubungan internasional dalam upaya ikut

menegakkan perdamaian. Berdasarkan keempat peran itu Wasasan Nusantara dipakai sebagai

1) pola dasar perencanaan pembangunan nasional, 2) pola dasar pemanfaatan lingkungan yang

ada hubungan erat dan saling terkait serta tergantung antara masyarakat dengan ruang

hidupnya, 3) pola dasar implementasi konsep pertahanan-keamanan untuk menjamin segenap

wilayah Indonesia, dan 4) pedoman melaksanakan salah satu tujuan nasional, yaitu ikut serta

dalam upaya perdamaian dunia.

Dengan implementasi konsep pertahanan dan keamanan segenap wilayah Indonesia,

bangsa Indonesia diharapkan mampu memberi makna kepada tanah air, benua maritim, dan

hakikat laut. Tanah air berarti bahwa tanah dan air merupakan satu maujud atau entitas yang

utuh. Benua maritim berarti bahwa air diperlakukan sebagai penyambung daratan dan bukan

sebagai pemisah. Hakikat laut tidak dapat dibagi-bagi tetapi dapat dibedakan dalam rezim

hukum yang mengaturnya.

Konsep Wawasan Nusantara merupakan gambaran “dunia ideal” yang kita kejar dan

hendaknya diikuti oleh konsep “dunia nyata” yang harus diwujudkan. Dunia nyata yang harus

diwujudkan tidak lain adalah konsep geostrategi Indonesia. Konsep itu disebut Ketahanan

Nasional.

c. Geostrategi Indonesia

Untuk melaksanakan konsep Wawasan Nusantara, disusunlah konsep geostrategi yang

disebut ketahanan nasional. Gagasan konsep ketahanan nasional berawal dari pidato Presiden

Soekarno di Kotaraja—kini Banda Aceh—pada tanggal 16 Juni 1948, dalam rangka meninjau

wilayah Indonesia yang tidak diduduki oleh Pemerintah Belanda (NICA). Konsep Presiden

Soekarno itu menekankan pentingnya penyusunan konsep ketahanan jiwa bangsa (Basry,

1995; 50-51).

Setelah pengakuan kedaulatanan pada 1949, garis besar pembangunan politik

Indonesia adalah “nation and character building”, yakni pembangunan jiwa bangsa. Bung

Karno pada tahun 1965 mendirikan Lembaga Pertahanan Nasional (kini Lembaga Ketahanan

Nasional) yang bertugas mempelajari dan membahas masalah ketahanan nasional dan

44

menghasilkan konsep Ketahanan Nasional. Konsep yang dihasilkan pada tahun-tahun 1968

dan 1969 pada awalnya hanya berlaku di Indonesia. Namun, menurut Brigjen TNI

Haryomataram, konsep yang disempurnakan tahun 1972 diharapkan dapat diterapkan di

negara-negara sedang berkembang (Panitia LEMHANNAS, 1980: 85).

Ketahanan Nasional diartikan sebagai kondisi dinamik suatu bangsa yang berisi

keuletan dan ketangguhan, serta kemampuan untuk mengembangkan kekuatan nasional dalam

menghadapi segala ancaman, baik yang datang dari luar maupun dari dalam, yang langsung

atau tidak langsung membahayakan kelangsungan hidup negara dan bangsa Indonesia (Panitia

LEMHANNAS, 1980: 227). Dalam konsep ini, bangsa Indonesia mengutamakan

pembangunan kekuatan sosial sebagai prioritas utama dan pembangunan kekuatan fisik

(keamanan) sebagai prioritas selanjutnya.

Konsep Ketahanan Nasional disusun dengan sistematika seperti dalam konsep

Wawasan Nusantara: Astagatra yang terdiri dari trigatra yaitu aspek kekuatan alamiah

(geografi, kekayaan alam, dan kemampuan penduduk) dan pancagatra berupa aspek kekuatan

sosial (ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan-keamanan) dengan ketentuan

sebagai berikut. Pertama, Pancasila digunakan sebagai kerangka pikir yang komprehensif-

integral. Kedua, dalam pengaturan dan penyelenggaraan negara (kehidupan nasional), masalah

keamanan dan kesejahteraan ibarat sebuah koin. Ketiga, ketahanan nasional merupakan

integrasi dari ketahanan masing-masing aspek kehidupan sosial (ideologi, politik, ekonomi,

sosial budaya, serta pertahanan-keamanan).

Konsep ketahanan nasional merupakan konsep pengaturan keamanan dan

kesejahteraan dalam kehidupan nasional. Hubungan antargatra dalam astagatra dapat

digambarkan demikian: 1) trigatra dan pancagatra merupakan satu kesatuan yang bulat; 2)

ketahanan nasional pada hakikatnya tergantung pada kemampuan bangsa dan negara dalam

memanfaatkan trigatra sebagai modal dasar peningkatan pancagatra; dan 3) kelemahan pada

salah satu gatra dapat mengakibatkan kelemahan pada gatra lainnya dan akan mempengaruhi

kondisi keseluruhan. Oleh karena itu, konsep ketahanan nasional meliputi masa damai

maupun masa perang. Prinsip perang dan damai bangsa Indonesia menjadi satu bagian

integral dengan sifat-sifat 1) cinta damai tetapi lebih cinta kemerdekaan; 2) tidak mengenal

menyerah; dan 3) rela berkorban untuk tanah air.

Menghadapi berbagai kecenderungan regional maupun global, konsep geopolitik dan

geostrategi perlu ditindaklanjuti dengan menyiapkan konsep ketahanan regional. Regional

45

diartikan sebagai kawasan sekitar kita (Sunardi, 2004: 212) dan sekaligus merupakan

lingkungan dan mitra strategis kita. Kita tidak dapat melawan “serbuan” negara-negara maju,

khususnya negara-negara demokrasi liberal yang sudah mapan dengan liberalisasi

perdagangan dan demokrasi politik. Oleh karena itu, bangsa Indonesia mengutamakan

pembangunan kekuatan sosial sebagai prioritas utama dan pembangunan kekuatan fisik

sebagai prioritas selanjutnya.

Kekuatan sosial yang terbina dengan baik secara persuasif akan mampu mengajak

masyarakat untuk membangun kekuatan fisik untuk kesejahteraan dan keamanan negara dan

bangsa. Seperti halnya konsep Wawasan Nusantara, konsep ketahanan nasional juga “tersisih”

di era Reformasi karena keengganan elit politik untuk membicarakan konsep ini, yang

dikonotasikan dengan era sebelumnya—Orde Lama dan Orde Baru.

4. Negara dalam Arti Institusi/Organisasi Negara

Bentuk Negara Republik Indonesia adalah negara persatuan, yaitu negara yang

melindungi dan meliputi segenap bangsa dan seluruh tumpah darahnya; demikian Penjelasan

Pembukaan UUD 1945. Yang tidak boleh dilupakan adalah kehendak rakyat kepulauan

nusantara untuk bersatu sebagai bangsa Indonesia. Artinya, negara Indonesia bukan negara

federasi melainkan negara kesatuan yang kekuasaan utamanya berada di tangan Pemerintah

Pusat. Oleh karena itu masalah desentralisasi perlu dibahas dengan saksama agar kita tidak

terjebak dalam pengertian desentralisasi yang mengarah kepada bentuk negara federal. Untuk

itu perlu direnungkan makna negara menurut Pancasila. Hakikat negara Pancasila adalah

negara persatuan, negara integralistik, negara kebangsaan yang berketuhanan, berkeadaban,

berkerakyatan, dan berkeadilan sosial.

Kedaulatan berkerakyatan berarti bahwa dalam upaya menyelenggarakan kehidupan

kenegaraan kita dituntut hidup berdemokrasi yang sesuai dengan sendi-sendi kehidupan

berbangsa dan bernegara. Asas kedaulatan rakyat bangsa Indonesia telah digariskan di dalam

sila keempat Pancasila. Makna “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam

Permusyawaratan/Perwakilan” adalah bahwa demokrasi kita tidak meniru demokrasi Barat

yang berwatak idividualistik, atau demokrasi sosialis yang lebih mengutamakan

golongan/komunal daripada individu, sehingga dalam menyelesaikan masalah bangsa harus

melalui upaya saling berhadapan (interface). Bangsa Indonesia lebih menekankan keserasian

hidup sehingga lebih mengutamakan musyawarah untuk mufakat dalam setiap penyelesaian

46

persoalan. Dalam musyawarah, pengambilan keputusan dilakukan melalui perwakilan, yang

tidak harus perwakilan politik saja, tetapi juga perwakilan golongan. Perwakilan golongan

meliputi alim ulama (ahli agama), cerdik pandai (ahli ilmu pengetahuan, penghulu adat (ahli

dalam masalah tradisi, adat, serta masalah pemerintahan).

Bangsa Indonesia mengutamakan ajaran agama dan memberikan penghormatan

kepada ketua adat. Ini menandakan bahwa kita selalu menjaga keserasian hidup. Oleh karena

itu perlu direnungkan makna peribahasa “Bulat air karena pembuluh, bulat kata karena

mufakat”. Dalam melakukan musyawarah dan mufakat diperlukan setidaknya tiga pilar yang

mewakili kepentingan masyarakat, sebagaimana telah disebutkan di atas.

Dalam membahas sistem pemerintahan di Indonesia, perlu disimak latar belakang

perkembangan politik di jaman modern—tidak hanya di Indonesia tetapi juga di beberapa

negara Eropa, Asia, dan Afrika. Undang-undang Dasar kita menghendaki Negara Republik

dengan sistem pemerintahan presidensial dengan pemisahan kekuasaan negara dalam tiga

bagian. Dalam perjalanan sejarahnya penerapan sistem tersebut menjadi tidak murni karena

sangat dipengaruhi oleh proses politik dunia pasca-Perang Dunia II.

Pasca-Perang Dunia II, dunia terpecah dalam dua blok yaitu blok demokrasi liberal,

yang dikenal sebagai blok Barat, dan blok komunis atau demokrasi sosialis yang dikenal

sebagai blok Timur. Kedua blok ini berupaya menyeret negara-negara merdeka “baru” yang

dikenal sebagai negara sedang berkembang untuk bergabung dengan mereka masing-masing.

a. Politik Nasional Indonesia

Politik nasional Indonesia merupakan asas, haluan, usaha, dan kebijakan tindakan dari

negara tentang pembinaan dan penggunaan segenap potensi nasional, baik untuk mencapai

tujuan nasional. Pembahasan politik nasional Indonesia mencakup pemisahan kekuasaan

(separation of power), termasuk kelembagaan politik, kedaulatan negara, dan tujuan negara.

Pemisahan kekuasaan di Indonesia adalah pemisahan lembaga-lembaga negara secara

horizontal menurut fungsinya, sebagaimana dinyatakan dalam doktrin Trias Politica. Doktrin

itu membagi kekuasaan negara ke dalam tiga bagian, yaitu kekuasaan legislatif (kekuasaan

membuat undang-undang (rule-making function)), kekuasaan eksekutif (kekuasaan

melaksanakan undang-undang (rule-application function)), dan kekuasaan yudikatif

(kekuasaan mengawasi pelaksanaan undang-undang atau kekuasaan mengadili pelanggaran

undang-undang (rule-adjudication function)).

47

Implementasi pembagian kekuasaan di Indonesia merupakan varian dari Trias Politica

sesuai dengan konstitusi Indonesia, UUD NRI Tahun 1945. Fungsi dan kekuasaan negara itu

tidak dibagi secara terpisah dalam tiga lembaga saja tapi didistribusikan ke dalam enam

lembaga tinggi negara. Setelah UUD 1945 diamandemen—sampai amandemen keempat—ada

satu lembaga tinggi negara yang dihapuskan yaitu Dewan Pertimbangan Agung (DPA), yang

sebelumnya mempunyai kekuasaan konsultatif bagi Presiden, dan ada satu lembaga tinggi

negara baru yang dibentuk yaitu Mahkamah Konstitusi (MK).

Penafsiran Trias politica tidak lagi sebagai pemisahan kekuasaan tetapi sebagai

pembagian kekuasaan. Artinya, hanya fungsi pokok yang dibedakan menurut sifatnya dan

diserahkan kepada badan yang berbeda, tetapi kerja sama di antara fungsi-fungsi tersebut

tetap diperlukan untuk kelancaran organisasi (Budiarjo, 2008: 151—155).

Berdasarkan ketentuan UUD NRI Tahun 1945, kekuasaan yang ada pada negara

didistribusikan kepada 1) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), lembaga tinggi negara

yang memiliki kekuasaan konstitutif yaitu kekuasaan membentuk Undang-Undang Dasar

(Pasal 2 dan 3); 2) Pemerintah negara yaitu Presiden serta Menteri dan aparat di bawahnya,

yang memiliki kekuasaan eksekutif yaitu menjalankan pemerintahan negara (Pasal 4—17) ; 3)

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), lembaga tinggi negara yang memiliki kekuasaan legislatif

yaitu membentuk undang-undang (Pasal 19—22); 4) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK),

lembaga tinggi negara yang memiliki kekuasaan inspektif yaitu melakukan pemeriksaan

keuangan negara (Pasal 23 E—23 G); 5) Mahkamah Agung (MA), lembaga tinggi negara

yang memiliki kekuasaan yudikatif yaitu mengawasi pelaksanaan undang-undang (Pasal 24,

24A—24B, dan 25); dan 6) Mahkamah Konstitusi (MK), lembaga tinggi negara yang

memiliki kekuasaan menguji Undang-Undang Dasar (Pasal 24C dan 25).

Pendistribusian kekuasaan negara pada lembaga-lembaga tinggi negara di atas

merupakan bentuk pembatasan antar-lembaga secara horizontal atau sederajat. Pembatasan

tersebut juga menunjukkan pembagian kewenangan pada beberapa lembaga tinggi negara

sehingga kewenangan tidak didominasi oleh satu lembaga saja. Hal ini memungkinkan

adanya saling kontrol di antara lembaga-lembaga tersebut dalam permasalahan yang

berkaitan. Berikut ini uraian mengenai lingkup kewenangan dari beberapa lembaga negara

tersebut di atas.

Pemerintah atau badan eksekutif adalah organisasi yang berwenang merumuskan dan

melaksanakan keputusan-keputusan yang mengikat bagi seluruh penduduk dalam suatu

48

wilayah. Pemerintah bertindak atas nama negara dan menyelenggarakan kekuasaan negara.

Di negara demokrasi biasanya badan eksekutif terdiri dari kepala negara atau kepala

pemerintahan, beserta menteri-menteri, pegawai negeri sipil, dan militer. Dalam buku ini

pengertian badan eksekutif dipersempit, yakni hanya mencakup kepala negara, kepala

pemerintahan, dan para menterinya. Tugas badan eksekutif, menurut tafsiran tradisional asas

trias politika, hanya melaksanakan kebijakan yang telah ditentukan oleh badan legislatif.

Tetapi pada kenyataannya badan eksekutif lebih luas ruang geraknya dibandingkan dengan

badan legislatif. Untuk memperlancar tugasnya dibentuklah badan pelaksana yang bersifat

permanen dan profesional yakni birokrasi.

Birokrasi dibangun untuk melaksanakan tugas-tugas administrasi yang bersifat teknis

yang tentu tidak dapat ditangani oleh para politisi. Oleh karena itu tidak terelakkan bahwa

kaum ahli perlu ditunjuk. Terdapat kontroversi mengenai perlu tidaknya dibentuk birokrasi.

Harold Laski tidak setuju dibentuk birokrasi dan mengatakan bahwa kekuasaan kaum birokrat

tidak mudah dikendalikan oleh lembaga-lembaga demokratis. Kaum birokrat secara terus-

menerus memperluas ruang lingkup kekuasaannya sehingga sulit dikendalikan. Di sisi lain,

Max Weber setuju dengan adanya lembaga ini dan menyatakan bahwa birokrasi mampu

mencapai efisiensi yang paling tinggi dan bentuk administrasi yang paling rasional karena

birokrasi merupakan pelaksana. Pengendalian dilakukan oleh pemerintah melalui ilmu

pengetahuan. Dalam kaitan ini militer, yaitu angkatan darat, laut, dan udara, adalah bagian

dari birokrasi yang harus langsung di bawah Kepala Negara bukan di bawah Kepala

Pemerintahan.

Badan yudikatif merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan

peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Dalam konsep politik, badan yudikatif

sebenarnya berperan juga sebagai penguji peraturan perundang-undangan (judicial review).

Dalam konsep trias politika klasik, ketiga cabang kekuasaan harus benar-benar dipisahkan

(Budiardjo, 2008: 200). Pada kenyataannya, pemisahanan tidak mungkin dapat dilaksanakan

sepenuhnya, sehingga pada zaman modern ini yang ada adalah distribusi kekuasaan saja.

Artinya, hanya fungsi pokoknya saja yang dipisahkan sedangkan fungsi lainnya yang bersifat

teknis dari ketiga cabang tersebut terjalin satu sama lain. Ini disebabkan semakin

kompleksnya tugas-tugas kenegaraan. Indonesia kini memiliki tiga badan yudikatif yakni

Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), dan Komisi Yudisial. Mahkamah

Agung berfungsi menyelenggarakan peradilan termasuk menguji materi perundang-undangan

49

di bawah UU. Mahkamah Konstitusi berfungsi menguji UU terhadap UUD, memutuskan

sengketa kewenangan lembaga yang kewenangannya diberikan UUD—termasuk

membubarkan partai politik—dan perselisihan hasil pemilihan umum. Merujuk kepada UUD

1945 amandemen keempat tahun 2002, MK wajib memberikan pendapat atas pendapat DPR

tentang dugaan pelanggaran oleh Presiden. Komisi Yudisial mempunyai kewenangan untuk

mengusulkan Hakim Agung dan kewenangan lain dalam rangka menjaga dan menegakkan

kehormatan, keluhuran, martabat, serta perilaku hakim.

Badan legislatif adalah badan yang membuat undang-undang. Anggotanya dianggap

mewakili rakyat. Menurut teori yang berlaku maka rakyatlah yang berdaulat dan mempunyai

suatu kemauan. Badan legislatif dianggap merumuskan kemauan rakyat dengan jalan

menentukan kebijakan umum (public policy) yang mengikat seluruh masyarakat. Dalam

kenyataannya, bentuk dan susunan badan-badan legislatif berbeda pada tiap negara.

Badan legislatif di Indonesia adalah Volksraad (1912—1942), Komite Nasional

Indonesia (1945—1949), DPR dan Senat RIS (1949—1950), DPR Sementara (1950—1956),

DPR Hasil Pemilu (1956—1959), DPR Peralihan (1959—1960), DPR Gotong-Royong

(Demokrasi Terpimpin) (1960—1959), DPR Gotong-Royong (Demokrasi Pancasila) (1966—

1971) DPR hasil Pemilihan Umum secara periodik (1971—sekarang), DPR dan DPD hasil

Pemilihan Umum 2004 dan 2009.

b. Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas provinsi dan setiap provinsi

dibagi atas kabupaten dan kota, yang masing-masing mempunyai pemerintah daerah (Pasal 2,

UU Nomor 32/2004). Pemerintah daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan

pemerintahan menurut asas otonomi dan perbantuan dengan tujuan meningkatkan

kesejahteraan masyarakat, pelayanan, dan daya saing daerah. Untuk menjalankan

pemerintahan daerah dengan otonomi seluas-luasnya, dibentuklah pemerintah daerah yang

terdiri atas kepala daerah dan perangkat daerah dan DPRD.

Urusan pemerintahan yang tidak diturunkan kewenangannya kepada daerah meliputi

politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal, dan agama (Pasal 10

ayat (3) UU Nomor 32 tahun 2004). Kewenangan yang diberikan kepada pemerintah daerah

provinsi meliputi 16 urusan, antara lain perencanaan dan pengendalian pembangunan,

50

perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang, penyelengaraan ketertiban umum dan

ketenteraman masyarakat, serta penyediaan sarana dan prasrana umum.

Urusan pemerintahan provinsi bersifat pilihan sesuai dengan kondisi dan kekhasan

provinsi (Pasal 13, UU Nomor 32 Tahun 2004). Demikian pula kewenangan daerah

kabupaten/kota, namun, dalam skala kabupaten/kota (Pasal 14, UU Nomor 3 Tahun 2004).

Pemerintah provinsi yang berbatasan dengan laut memiliki kewenangan wilayah laut sejauh

12 mil laut, diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan atau ke arah perairan kepulauan,

dan wilayah kabupaten/kota memperoleh 1/3 dari wilayah provinsi. Kewenangan atas

wilayah laut meliputi pengelolaan sumber daya eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan

pengelolaan laut; pengaturan administrasi; pengaturan tata ruang; penegakan hukum terhadap

peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan dari Pemerintah; keikutsertaan

dalam pemeliharaan keamanan; dan keikutsertaan dalam pertahanan kedaulatan negara (Pasal

18, UU Nomor 32 Tahun 2004).

Untuk mendukung jalannya pemerintahan di daerah diperlukan dana, tetapi diakui

bahwa tidak semua daerah mampu mendanai sendiri jalannya roda pemerintahan. Dana untuk

keperluan pembinaan wilayah meliputi Pendapatan Asli Daerah (pendapatan yang diperoleh

daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah) Dana Perimbangan yang berasal dari

Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dengan tujuan mengurangi kesenjangan fiskal

antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah, Pinjaman Daerah yang bertujuan memperoleh

sumber pembiayaan dalam rangka penyelenggaraan urusan Pemerintah Daerah, dan

pendapatan-pendapatan lain yang ditujukan untuk memberikan peluang kepada daerah untuk

memperoleh pendapatan selain yang disebut di atas (UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang

Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah).

Falsafah yang harus diperhatikan oleh seorang pimpinan daerah otonom adalah bahwa

Pemerintah Daerah ada karena ada rakyat yang harus dilayani dan bahwa rakyat adalah

pemberi legitimasi. Oleh karena kebijakannya hendaknya diarahkan kepada pemenuhan bahan

kebutuhan pokok rakyat dan pengaturan daerahnya menjadi tertib dan berkepastian hukum.

Ada di antara kandidat kepala daerah yang kurang menguasai ajaran Wawasan Nusantara

(geopolitik Indonesia) yang setelah terpilih berupaya meningkatkan pendapatan daerah,

namun karena tidak melihat potensi wilayahnya secara keseluruhan, tidak jarang dapat

menyebabkan timbulnya masalah kerusakan lingkungan.

51

Pimpinan daerah, politisi, maupun para pejabat di tingkat pusat, hendaknya

menyadari dan mendalami makna falsafah otonomi daerah sehingga wilayah yang terpencil

tidak menjadi rusak dan terisolasi dari akses nyata maupun maya pada era globalisasi. Daerah

terisolasi atau tertinggal ini dikenal sebagai daerah pedalaman (hinterland). Daerah tertinggal

menjadi persoalan antar-bangsa bila terjadi di perbatasan antar-negara. Daerah ini dikenal

sebagai daerah beranda depan (frontier).

Apabila perbatasan (boundary) merupakan sempadan resmi dari dua negara, maka

beranda depan merupakan batas imajiner dari dua negara. Beranda depan terjadi karena

pengaruh dari negara di luar perbatasan. Sifatnya sangat dinamis dan dapat digeser-geser dan

berada di antara masyarakat bangsa.

Secara politis pengaruh efektif dari pemerintah tidak lagi mencakup seluruh wilayah

kedaulatan tetapi dikurangi luas wilayah sampai dengan batas beranda depan yang sudah

dipengaruhi kekuasaan asing dari seberang perbatasan. Pengaruh asing dapat berawal dari

budaya, ekonomi, sosial, agama, dan ras, yang masuk karena kurang/tidak ditangani oleh

pusat pemerintahan dengan baik. Pengaruh itu kemudian dapat berubah menjadi pengaruh

politik yang berujung pada pemisahan diri masyarakat daerah beranda depan (Sunardi, 2004:

175).

Akibat lain dari pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung ialah munculnya

fenomena rezim keluarga, artinya yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah berasal dari

satu keluarga, misalnya isteri, suami, dan bahkan anak. Hal ini sebenarnya tidak menjadi

masalah apabila si calon memang benar-benar mempunyai kompetensi yang tinggi. Namun,

apabila kualitas kompetensinya rendah maka hal itu akan berdampak pada menurunnya

kualitas kepala daerah yang akan terpilih. Di samping itu, juga mungkin timbul persaingan

yang tidak sehat yang dapat menutup peluang bagi calon lain yang sesungguhnya berpotensi.

Fenomena yang terjadi pada tahun 2011, yang berkaitan dengan masalah otonomi

daerah adalah kemungkinan kebangkrutan yang dialami sejumlah daerah. Kebangkrutan

terjadi bukan semata-mata akibat buruknya perencanaan anggaran daerah, tetapi juga dipicu

oleh persoalan yang lebih serius, yaitu terjadinya proses pembiayaan politik. Ini dapat terjadi

karena calon-calon kepala daerah kurang menyadari bahwa alokasi Anggaran Pendapatan

Belanja Daerah (APBD) sangat terbatas, dengan perbandingan 60% merupakan belanja atau

gaji pegawai, dan hanya 40% untuk pembangunan. Ironisnya, ada beberapa daerah yang

menjadi bangkrut dan tidak dapat membayar gaji pegawai, meskipun telah mendapat dana

52

bagi hasil dari minyak dan gas. Dari sisi anggaran, daerah itu seharusnya lebih makmur

dibandingkan dengan daerah lain. Kebangkrutan di daerah menunjukkan telah terjadi

penyimpangan berkaitan dengan pemerintahan yang baik (good governance).10

Meskipun urusan luar negeri menjadi urusan pemerintah pusat, pemerintah daerah

harus ikut mewaspadai manuver negara lain yang berkepentingan atas wilayah kita. Dengan

telah disahkannya konsep negara kepulauan oleh PBB tahun 1994 (melalui UNCLOS 1982),

timbullah tantangan, ancaman, dan gangguan terhadap Indonesia. Ada empat golongan

negara yang sangat berkepentingan dengan wilayah kita, yaitu negara-negara tetangga

(beberapa negara anggota ASEAN dan Austalia); negara dengan armada perikanan besar

(salah satu di antaranya Jepang); negara pemilik perusahaan perkapalan (sea liners); dan

negara adidaya yang berupaya memperoleh kemudahan untuk manuver armada militernya

dalam rangka melaksanakan strategi global geopolitiknya (Kusumaatmadja, 2003: 25).

Menghadapi negara-negara tetangga, tindakan yang dapat dilakukan setidak-tidaknya

adalah mewaspadai silent occupation dengan pemantapan pembinaan kekuatan maritim

khusus. Menghadapi Australia dengan proyek Australia Maritime Identification Zone

(AMIZ)-nya, Indonesia harus segera mengidentifikasikan pulau-pulau yang tersebar luas.

Menghadapi Malaysia dan Singapura, Indonesia perlu mewaspadai The Five Power Defence

Arrangements (FPDA) yang masih berlaku. Five Power Defence Arrangements adalah

serangkaian hubungan pertahanan yang didasarkan atas perjanjian bilateral antara Inggris,

Australia, Selandia Baru, Malaysia, dan Singapura yang ditandatangani pada tahun 1971.

Lima kekuatan negara tersebut akan saling berkonsultasi apabila terjadi agresi eksternal atau

ancaman serangan terhadap Semenanjung Malaysia (Malaysia Timur tidak termasuk wilayah

tanggung jawab FPDA) atau Singapura. Bentuk-bentuk perhatian terhadap rakyat di daerah

perbatasan perlu terus dilakukan. Kunjungan Presiden atau Wakil Presiden ke perbatasan,

misalnya, akan meningkatkan rasa nasionalisme rakyat.

Tindakan yang perlu dilakukan untuk menghadapi negara yang berkepentingan

dengan perikanan adalah meningkatkan kemampuan nelayan Indonesia sendiri, yaitu

kemampuan dari nelayan pantai menjadi nelayan laut, kemampuan nelayan membaca peta

laut dan menggunakan peralatan navigasi dengan lebih baik; membangun desa pantai yang

diisi oleh keluarga nelayan/pelaut; dan menjadikan nelayan sebagai monitor terhadap

10 Kompas, 12 April 2011.

53

pengganggu negara dalam hal pencurian ikan, pencemaran lingkungan, dan perusakan alat

navigasi laut.

Tindakan yang perlu dilakukan untuk menghadapi negara yang memiliki armada

angkutan laut besar yang ingin tetap berperan dalam era globalisasi adalah penolakan

terhadap penambahan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) oleh International Maritime

Organization tetap diteruskan, karena pada hakikatnya membuat wilayah kita terbuka akan

kontraproduktif dengan Deklarasi Djuanda. Dalam pada itu ALKI perlu diinformasikan lebih

intensif kepada masyarakat maritim Indonesia dengan menindaklanjuti pengawasan secara

proaktif.

Negara adidaya yang sejak semula menentang negara nusantara, kita juga

menghadapinya dengan tetap menolak penambahan ALKI. Penambahan ALKI dapat

berakibat wilayah kita terbuka kembali sehingga laut Nusantara menjadi laut bebas (high sea).

54

BAB III.PANCASILA

Pada bagian ini pembaca diajak untuk kembali mengingat ikatan dasar dari

bangsa Indonesia. Awalnya adalah kelompok, yang memiliki ciri-ciri dasar khusus.

Beberapa di antaranya adalah mempersepsi dan dipersepsi sebagai satu kesatuan,

memiliki tujuan yang sama dan anggota merasa dirinya sebagai bagian kelompok

(Halida, 2009: 168). Dengan demikian, bergabungnya individu dalam satu kelompok

kecil atau besar karena yang dianggap adanya kesamaan-kesamaan tertentu akan dapat

meningkatkan rasa percaya diri dan tujuan yang dapat diraih bersama.

Bagi banyak negara yang baru saja merdeka dan berdaulat, mereka menghadapi

masalah bagaimana membangun rasa kebangsaan. Para pendiri bangsa yang sejak awal

menyadari hal ini, karena pada awalnya yang disebut sebagai bangsa Indonesia , belum

ada. Yang ada adalah kelompok-kelompok besar berdasarkan etnis dan kelompok

berbasis keagamaan. Untuk itu, dari berbagai cara untuk membangun kesatuan dalam

kelompok besar atau bangsa, diajukan pola yang dianggap sama dan dapat diterima oleh

semua pihak. Karena ikatan-ikatan primordial seperti etnis dan agama tidak dapat

dikenakan pada bangsa Indonesia, dibutuhkan ikatan lain yang dianggap umum

sekaligus berbeda dengan bangsa lain. Akhirnya, para pendiri bangsa, khususnya

Soekarno, mencetuskan ide bahwa nilailah yang dapat menimbulkan rasa kesatuan itu.

Soekarno menyebutnya sebagai lima nilai dasar atau yang sekarang dikenal sebagai

Pancasila. Upaya ini adalah sebuah bentuk kreasi sosial yang bermanfaat bagi

pengembangan dan pembedaan kelompok (Tajfel, 1974: 84).

55

Setelah membaca bab ini diharapkan mahasiswa mampu memahami

secara kritis nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, sebagai nilai

dasar berperilaku, dan menerapkannya dalam kehidupan berbangsa dan

bernegara, pada situasi dunia yang dinamis.

A. Menuju Nilai Pancasila

Kekhawatiran dalam melihat Pancasila adalah ketika mengingat bahwa Pancasila

sempat diajarkan dengan cara-cara yang justru membuat masyarakat tidak nyaman.

Dalam kurun waktu tertentu, Pancasila pernah dijadikan mitos (Somantri, 2006: 18),

bahkan untuk menyampaikan Pancasila digunakan cara-cara yang bernuansa

indoktrinasi (Azra, 2010: 10). Melalui program yang disebut sebagai penataran

Pendidikan, Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) oleh pemerintah Orde Baru,

nyaris tak ada institusi yang tidak tersentuh oleh Pancasila. Walau terlihat sukses, justru

Pancasila dianggap tidak lagi menjadi bagian bangsa Indonesia. Sebaliknya, Pancasila

justru menjadi produk milik penguasa yang berorientasi pada pemaksaan kehendak

daripada pengembangan dari nilai berkehidupan dan bermasyarakat bangsa Indonesia

(Wirutomo, 2012: 298). Padahal, Pancasila sejatinya adalah nilai (Kusuma, 2010: 23).

Dengan demikian, sudut pandang dari tulisan ini adalah melihat nilai sebagai landasan

berperilaku. Perilaku ini diaplikasikan sebagai bangsa, warga Negara, dan pada akhirnya

menjadi warga dunia.

Hal mendasar dari nilai adalah suatu konsep yang dianggap baik atau buruk dan

tepat atau tidak tepat yang disepakati oleh masyarakat. Adanya kata “masyarakat”

menandakan bahwa nilai yang diutamakan saling berbeda ada kemungkinan pada tiap

kelompok masyarakat . Dalam konteks bangsa, masing-masing bangsa mempunyai nilai-

nilai yang dianggap paling utama sebagai pandangan hidup bangsa (Rinjin, 2010: 59).

Sebagai contoh, nilai yang utama (core value) bangsa Amerika Serikat (AS) tidak sama

dengan nilai utama India dan nilai utama dari kedua bangsa tadi tidak sama dengan

bangsa Indonesia (Kusuma, 2010: 26-27).

B. Pancasila yang Mewujud dalam Kehidupan Sehari-hari

Nilai dijunjung oleh masyarakat karena memberikan arahan dalam pengambilan

keputusan dan bentuk kegiatannya (Rinjin, 2010: 59). Dengan diketahui nilai yang

dianut dari individu, dapat diperkirakan tingkah lakunya, dalam berbagai situasi

(Rokeach, 1973: 122). Berdasar hal itu, nyaris dipastikan adanya keselarasan antara

nilai dan tingkah laku individu/masyarakat. Misalnya, ditemukan nilai kesetaraan

(equality) lebih tinggi dan berbeda secara cukup berarti pada kelompok mahasiswa yang

56

menjadi anggota dari asosiasi nasional untuk kemajuan orang dari kelompok berwarna

dibandingkan dengan yang bukan anggota (Rokeach, 1973: 123). Nilai yang spesifik,

seperti nilai menolong, juga berhubungan positif dengan sikap untuk mendonasikan

uang untuk penelitian kanker (Maio dan Olson, 1995: 280).

Namun, pada kenyataannya terdapat banyak hal yang tidak menunjukkan

keselarasan antara nilai, karakter, dan tingkah laku individu atau masyarakat di

masyarakat itu sendiri. Dapat saja seseorang yang menjunjung nilai kejujuran

melakukan tindakan tidak terpuji seperti mencuri atau korupsi. Atau dapat terjadi,

tindakan yang baik seperti menyeberangkan lansia di jalan raya oleh seseorang belum

tentu didasari nilai hormat pada lansia tadi. Dengan demikian, antara nilai dan tingkah

laku belum tentu sejalan. Oleh karena itu, terlepas dari hubungan nilai dengan tingkah

laku, nilai amat diyakini sebagai bagian dari diri dan penghubung antara individu dan

masyarakatnya (Hitlin, 2003: 119).

Bagi masyarakat Indonesia Pancasila sebagai nilai merupakan fondasi dari

pembentukan karakter. Karakter adalah segi-segi kepribadian yang ditampilkan keluar

dari dan disesuaikan dengan nilai dan norma tertentu (Allport, 1937 dalam Takwin,

2011: 117). Merujuk pada definisi ini, karakter dapat dipengaruhi oleh dua faktor yakni

nilai dan norma. Kedua faktor ini yang secara alami ada di lingkungan sosial dari

individu. Secara khusus dalam konteks bermasyarakat dan bernegara di Indonesia nilai

yang menjadi rujukan adalah nilai yang terkandung dalam Pancasila.

Harapan bahwa nilai menjadi dasar tingkah laku tidak lepas dari adanya

kekuatan sosial di sekitar individu. Penguatan nilai yang dipegang individu mewujud

pada tingkah-tingkah laku yang disepakati bersama oleh lingkungan sosial. Yang perlu

ditambahkan adalah kemungkinan terjadi sebuah nilai yang dianggap penting dalam

satu kelompok, tidak diterapkan terhadap kelompok lainnya. Sejarah mencatat bahwa

sekitar 1200 SM, suku Doria di kawasan Mediterania amat memedulikan sesama

mereka. Namun, perlakuan mereka terhadap kelompok lain justru sebaliknya, mereka

berlaku kejam dengan melakukan ekspansi terhadap kelompok lain (Gonick, 2006: 226).

C. Mengapa Nilai Pancasila sebagai Fondasi Bertingkah Laku?

Keinginan para pendiri bangsa saat mengemukakan ide Indonesia tentu harus

didasari oleh pemahaman tentang keberagaman yang ada. Keberagaman ini harus

57

dihargai dan dihormati dalam bentuk toleransi yang cukup tinggi. Hal lainnya yang

dipertimbangkan adalah pilihan terbaik untuk membangun negara-bangsa yang khas

seperti Indonesia yaitu penemuan kesamaaan nilai dari beragam nilai yang dianut oleh

kelompok-kelompok yang ada. Ketika tercetus menjelang kemerdekaan, nilai-nilai

umum itu mengandung nilai ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan, demokrasi, dan

keadilan sosial. Untuk selanjutnya, nila-nilai itu disebut sebagai Pancasila yang justru

menekankan toleransi (Somatri, 2006: 23; Ramage, 1995: 1).

Nilai Pancasila juga berhubungan positif sehingga kecenderungan masing-

masing nilai saling menguatkan pemahamannya.. Adapun nilai Pancasila yang selama ini

dikenal adalah yang tertulis dalam butir-butir Pancasila. Menurut Somatri, nilai di dalam

Pancasila tidak terpisahkan satu sama lain. Di sisi lain, dengan sudut pandang psikologi

diketahui bahwa secara empirik nilai dalam Pancasila adalah lima nilai dasar yang di

dalamnya terdapat sub-subnilai yang berdiri sendiri (Suwartono & Meinarno, 2010;

Suwartono & Meinarno, 2011; Markum, Meinarno & Juneman, 2011). Namun, secara

empirik dipastikan bahwa masing-masing nilai berhubungan satu sama lain. Temuan ini

menjadi awal pembuktian bahwa hubungan antarnilai bukan semata wacana yang

sifatnya mengawang-awang, sehingga menjadi yakin bahwa nilai-nilai ini penting bagi

bangsa Indonesia.

Nilai Definisi RincianSila atau nilai pertama, ketuhanan

percaya pada Tuhan dan menjalankan perintah-Nya sesuai dengan keyakinan dan tidak memaksakan kepercayaan pada orang lain

faithfulness, toleransi pada kelompok yang berbeda keyakinan, spirituality and religiousness

Sila kedua, kemanusiaan

mengakui persamaan hak dan kewajiban, sayang pada sesama, menjalin hubungan dengan bangsa lain berdasarkan sikap saling menghormati

respek, fair, courage

Sila ketiga, persatuan

mengutamakan kepentingan bangsa daripada diri/kelompok, cinta tanah air dan bangsa, dan mengembangkan rasa persatuan bagi bangsa.

loyalitas, kewarganegaraan (memiliki pendirian yang kuat terhadap kewajibannya, setia kawan)

Sila keempat, demokrasi

pengambilan keputusan berdasarkan musyawarah untuk kepentingan bersama dengan tidak memaksakan kehendak kepada orang lain, dapat dipertanggungjawabkan dan melaksanakan keputusan yang diambil.

tanggung jawab, harmoni

Sila kelima, keadilan sosial

menjaga keseimbangan hak-kewajiban sosial dengan mawas diri (dalam bentuk kualitas luhur manusia) dan pengembangan diri yang bertujuan untuk memajukan kehidupan sosial.

persahabatan, keadilan dan kerendahatian, menolong

Tabel 1. Nilai Pancasila (Markum, Meinarno & Juneman, 2011)

58

Menjadi Indonesia adalah sesuatu yang khas. Hal ini tidak terlepas dari sejarah

Indonesia yang bukan sebagai perpanjangandari sejarah sebuah kelompok etnis atau

satu golongan agama tertentu. Keadaan ini seperti yang diajukan oleh Pilsudzki bahwa

negaralah yang membentuk bangsa dan bukan sebaliknya sebagaimana umumnya

(Simbolon, 2001 dalam Wirutomo, 2012: 7). Untuk itu, para pendiri bangsa (founding

fathers) bersepakat untuk secara perlahan membangun sebuah bangsa. Salah satu

langkah persiapan itu adalah Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. Ada tiga isu yang

mengemuka dalam Sumpah Pemuda, yakni bangsa, tanah air, dan bahasa persatuan.

Dari ketiga isu ini, yang dapat dikategorikan sebagai sebuah kreativitas sosial dalam

membangun identitas baru bangsa Indonesia adalah adanya bahasa Indonesia.

Keberadaan bahasa bagi sebuah bangsa menjadi penting karena hubungan

antarkelompok di dalamnya dimulai dengan bahasa yang dapat dipahami bersama.

Pemimpin Uni Soviet, Joseph Stalin menempatkan bahasa sebagai unsur dasar penting

dari terbangunnya identitas nasional (Oomen, 2009: 199; Reicher & Hopkins, 2001: 8;

Simpson, 2007: 333).

Nilai Pancasila sering dikaitkan dengan identitas nasional. Hal ini dapat

dimengerti karena Pancasila adalah produk dari masyarakat baru yang mengupayakan

adanya pola kesamaan di dalamnya. Penelitian menunjukkan adanya pola hubungan

yang positif antara identitas nasional dan nilai Pancasila (Meinarno dan Suwartono,

2011). Penelitian yang dilakukan terhadap 165 remaja menujukkan bahwa adanya

hubungan positif antara nilai Pancasila dan identitas nasional. Hasil analisis statistik

lebih lanjut menunjukkan bahwa nilai Pancasila berkontribusi terhadap terbentuknya

identitas nasional Indonesia dari para partisipan remaja tadi. Hasil penelitian ini dapat

menjadi awal pemahaman bahwa nilai Pancasila penting bagi bangsa Indonesia. Langkah

selanjutnya adalah bagaimana mewujudkan nilai-nilai tadi di masyarakat agar tidak sekedar

menjadi wacana sehari-hari.

D. Fondasi Berperilaku sebagai Bangsa

Nilai pertama dari Pancasila adalah ketuhanan. Nilai utama ini mengacu pada

keyakinan pada Tuhan dan hidup dengan menjalankan perintah-Nya tanpa mengganggu

urusan (utamnya) agama masing-masing. Ironisnya data menunjukkan perusakan

59

rumah ibadah semakin meningkat (Dhakidae, 2003 dalam Kusumadewi, 2012: 155).

Pada hal sejarah mencatat kenyataan yang berbeda. Masyarakat Indonesia

membuktikan bahwa menerima perbedaan dalam satu wadah sudah ada sejak zaman

Majapahit. Dalam menjalankan kerajaan Majapahit, Raja Hayam Wuruk memerintahkan

para pejabat urusan agama agar mengatur secara baik pelaksanaan dua agama besar

secara berdampingan, yaitu agama Hindu dan agama Buda (Poseponegoro &

Notosusanto, 1993: 232). Catatan ini penting untuk menjadi contoh bahwa berabad-

abad lalu di Indonesia telah dikenal pemahaman toleransi di bidang keagamaan.

Berdirinya menara masjid Kudus dan makanan sate kerbau (umat Hindu

mengharamkan makan sapi, sebaliknya Muslim mengadakan kurban dengan hewan

ternak semisal sapi) adalah bagian dari sejarah yang menunjukkan keberbedaan dapat

hidup dalam kesatuan.

Nilai kedua Pancasila pada prinsipnya mengakui persamaan hak dan kewajiban,

sayang pada sesama, menjalin hubungan dengan bangsa lain berdasarkan sikap saling

menghormati. Oleh karenanya, harapan utamanya akan tercermin dalam perilaku sebagi

individu dan masyarakat sebagai bangsa. Cerminan tingkah laku dari nilai kedua sebagai

bangsa adalah ketika mengakui bangsa-bangsa lain yang menyatakan diri merdeka dan

berdaulat sesuai dengan prosedur yang berlaku. Ketika ada sebuah kedaulatan yang

berbasis penjajahan atas bangsa lain, Indonesia belum dapat menerima hal itu. Di sisi

lain, dalam kehidupan sehari-hari nilai ini dapat mewujud dalam keberanian untuk

menyatakan suatu hal yang benar di tengah situasi yang kurang selaras. Dalam

kehidupan sehari-hari, kita melihat bahwa perokok tidak mengidahkan hak dasar dari

orang-orang di sekitarnya. Saat ia menghembuskan asap rokok, maka orang lain yang

tidak merokok “dipaksa merokok bersama”. Menjadi aneh, ketika para perokok

mendengung-dengungkan hak untuk merokok sebagai hal utama, hak menghirup udara

bersih bagi non-perokok dan bahkan untuk perokok itu sendiri.

Dari lima nilai Pancasila, nilai ketiga berupaya untuk mengutamakan

kepentingan bangsa daripada diri/kelompok, cinta tanah air dan bangsa, dan

pengembangan rasa persatuan bagi bangsa. Berbagai bentuk tingkah laku dapat

dilakukan untuk membuat konkret nilai ini hadir di masyarakat. Salah satu

pengejawantahan nilai patriotisme juga dapat dilihat dalam produksi film tentang

kebangsaan. Amerika Serikat dengan industri film Hollywood menjadi buktinya. Mereka

60

memberi slot atau bagian khusus untuk film bertema perjuangan dengan latar Amerika

Serikat, misalnya The Patriot dan Indepence Day. Uniknya, mereka merilis film-film

tersebut pada bulan Juli atau menjelang Juli. Industri pertelevisian dan film Indonesia

juga mulai melakukan hal yang sama. Acara-acara yang menggugah patriotisme

disuguhkan dan bahkan film-film layar lebar dengan tema yang sama mulai berani

merilis dengan film-film bertema umum lainnya, seperti gambar berikut.

Gambar 3.1. Contoh poster film yang dibuat untuk menunjukkan jati diri bangsa.

Pada nilai keempat Pancasila mengetengahkan tema demokrasi. Pada dasarnya

demokrasi memosisikan rakyat sebagai pemegang kedaulatan penuh atas dirinya. Jauh

sebelum merdeka, bangsa Indonesia sudah mengenal pola demokrasi yang hidup di

masyarakat. Misalnya, ada mekanisme rapat desa di berbagai komunitas di pulau-pulau

nusantara. Tan Malaka pernah mengklaim bahwa demokrasi yang merupakan wujud

kedaulatan rakyat sudah dikenal sekitar abad XIV, setidaknya di Minangkabau. Di sana,

seorang raja tidak bisa semena-mena pada rakyatnya karena secara prinsip raja dibatasi

oleh sistem yang mengutamakan logika dan keadilan. Jika tidak dipenuhi, perintah raja

akan ditolak (Malaka dalam Latif, 2011: 387).

Upaya untuk mengejawantahkan nilai kelima dalam Pancasila sebagai bangsa

Indonesia telah diupayakan sebelumnya. Dalam keseharian kita sering mendengar

istilah gotong-royong, sebuah aktivitas bantuan kepada pihak lain yang meminta secara

santun untuk menyelesaikan satu tugas agar tercapai tujuan bersama (Koentjaraningrat,

1977: 6; Marzali, 2005: 159). Pada masyarakat desa yang agraris, membangun saluran

61

air untuk sawah pribadinya jelas bukan sekadar pekerjaan pribadi, melainkan terkait

pula dengan warga lain. Maka, hak untuk mendapatkan air seiring dengan kewajiban

menjaga sumber dan saluran air untuk pertaniannya. Contoh lain menunjukkan bahwa

nilai kelima diwujudkan untuk membangun karakter. Isu plagiarisme memperlihatkan

kurang mawas diri dalam mengamati hak dari kewajiban menjalankan tanggung jawab

sebagai peneliti.

Gambar 3.2. Wilayah Indonesia

E. Berlaku sebagai Warga Negara

UUD 1945 yang didasari Pancasila juga telah mewujudkan hak dan kewajiban.

Hak-hak dan kewajiban ini yang membuat hubungan individu dan negara mencapai

keselarasan. Rida (1988: 124-125) menyatakan bahwa nilai (Pancasila) yang diamalkan

tentu memenuhi tanggung jawab individu sebagai warga negara.

Nilai pertama dari Pancasila yang menekankan pada perintah-Nya sesuai dengan

keyakinan dan tidak memaksakan kepercayaan pada orang lain bagi masyarakat

Indonesia tampaknya menjadi hal alami. Walaupun Islam menjadi agama yang

mayoritas bagi penduduk, masih terdapat kelompok agama lain yang penganutnya

adalah sesama warga Indonesia. Keyakinan masing-masing umat sangat dihargai,

bahkan dalam UUD 1945 diberikan porsi khusus yakni dalam bab XI pasal 29. Sebagai

warga negara, nilai ini mendasari tingkah laku umat agama tertentu pada umat agama

lainnya. Konsekuensinya adalah dalam kehidupan sehari-hari; kehidupan ibadah

masing-masing agama bukan urusan yang dapat dicampuri oleh umat lain. Di sisi lain

pemerintah juga menjaga kehidupan bertoleransi ini dengan membuat peraturan-

62

peraturan yang mengakomodasi nilai ini daripada peraturan yang bersifat memaksa

atau memiliki kecenderungan-kecenderungan mengabaikan hak dasar suatu kelompok

agama. Kejadian-kejadian seperti penolakan peribadatan dari satu kelompok agama

jelas tidak sesuai dengan nilai pertama dari Pancasila.

Pola menegakkan nilai kedua dari Pancasila bagi warga Indonesia dapat terlihat

sejak awal kemerdekaan. Upaya mendasar dilakukan, misalnya, dengan tidak membeda-

bedakan perlakuan atas ras atau warna kulit. Agak berbeda dengan Amerika Serikat

(AS) yang sejak merdeka hingga tahun 1960-an, pemerintahnya melakukan kebijakan

segregrasi khususnya dalam hal warna kulit berlaku di segala aspek kehidupan

(Meinarno, Widianto, Halida, 2011: 78). Mereka melakukan kebijakan segregrasi mulai

dari kebijakan publik yang berdampak pada layanan publik. Sebagai perbandingan,

Indonesia tidak membedakan hak suara dalam pemilu, pada kelompok perempuan atau

kelompok etnis tertentu sejak merdeka hingga sekarang.

Namun, harus didiakui pula bahwa masih terdapat kesenjangan dalam

mewujudkan nilai kedua ini. Ini dapat dilihat, di antaranya, pada kebijakan pemerintah

atas pendidikan masih belum diterjemahkan dengan baik oleh pemerintah maupun

masyarakat. Masih terjadi ketimpangan akses pendidikan bagi warga secara khusus

pada kelompok masyarakat tertentu. Seda, Febriana, Agustin, dan Shakuntala

menemukan bahwa partisipasi perempuan dalam pendidikan masih di bawah lelaki

sejak 1971 hingga 2004. Salah satu penyebab keadaan ini adalah kecenderungan

masyarakat mengutamakan anak lelaki untuk bersekolah daripada anak perempuan.

Tidak hanya akses sekolah, untuk angka buta huruf juga masih lebih tinggi perempuan

dua kali lipat daripada lelaki. Alasan yang mengemuka masih sama, yakni pembedaan

perlakuan berbasis jenis kelamin (Seda dkk.2012: 187-189). Kejadian ini sangat

berlawanan dengan upaya mewujudkan nilai kedua dari Pancasila. Jika bertahan, pola

ini akan mengganggu pada penurunan kesejahteraan di aspek lainnya, semisal,

tingginya angka kematian ibu (AKI) karena kurangnya pemahaman kesehatan

reproduksi pada kelompok perempuan yang umumnya diberikan di sekolah.

Sebagai warga negara, upaya untuk mewujudkan nilai ketiga dapat dikatakan

cukup mudah. Menjadi warga negara yang berbahasa Indonesia adalah salah satunya,

karena merupakan amanat dari UUD 194511. Dengan tidak menafikan keberadaan 742

11 UUD 1945, Bab XV, pasal 36

63

bahasa daerah (Summer Institute of Linguistic, 2006 dalam Lauder, 2007: 9) di seluruh

Indonesia, penggunaan bahasa Indonesia dilakukan dalam konteks keseharian di dalam

lingkungan akademis. Penulisan ilmiah dengan berbahasa Indonesia yang baik dan

benar memupuk rasa persatuan bagi para penulisnya karena adanya kebakuan yang

dipahami setara secara bersama-sama. Dengan demikian, komunikasi antarilmuwan

nasional juga mencapai keselarasan yang pada akhirnya menunjang rasa kesatuan

sebagai ilmuwan dan warga negara Indonesia.

Keseharian kita sebagai warga negara dan secara khusus menjadi warga di

tempat kita berinteraksi sosial dapat menjadi ajang mengekspresikan nilai keempat.

Bagi masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya, pemilihan ketua RT yang demokratis,

tanpa adanya pemaksaan kehendak dari pihak lain dapat menjadi ekspresi nilai

keempat. Ketua RT terpilih melakukan pengambilan keputusan-keputusan yang

mengacu pada kepentingan bersama, seperti keamanan dan kebersihan lingkungan.

Tentunya hal ini dilakukan agar langkah yang diambil dapat dipertangungjawabkan

secara individu sebagai keputusan bersama. Nilai keempat inilah yang mendasari kita

sebagai warga dapat memahami keputusan yang diambil dari pemimpin (yang dipilih

bersama) untuk kemaslahatan bersama. Dengan pemahaman ini, setidaknya dapat

mengurangi potensi konflik yang didasari pada ketidakpuasan dalam berpendapat dan

oposisional terhadap langkah yang diambil pemimpin.

Nilai kelima dari Pancasila hanya dapat dimaknai sebagai nilai sosial semata.

Padahal dalam penjabarannya, dimungkinkan peningkatan kualitas manusia Indonesia

berdasar nilai ini. Peningkatan kreativitas diri yang menjadikan kehidupan masayarakat

menuju yang lebih baik saat ini sangat dibutuhkan. Dalam keseharian kita melihat

jumlah pengangguran berlatar pendidikan tinggi perlahan meningkat dari tahun ke

tahun. Maka, membicarakan nilai kelima dalam konteks mahasiswa dan sarjana menjadi

relevan. Bahwa sesungguhnya sarjana adalah harapan masyarakat dikarenakan proses

pendidikan di perguruan tinggi yang membekali mahasiswa dalam pola pikir yang

berbasis ilmu pengetahuan, maka diharapkan muncul ide-ide kreatif yang dapat

membantu masyarakat memecahkan masalah. Bagi para sarjana, upaya membuat

peluang kerja menjadi prioritas daripada mencari pekerjaan.

F. Berlaku sebagai Warga Global

64

Sebagai warga dunia, masyarakat Indonesia juga ikut dalam dinamika dunia.

Keikutsertaan ini bukan selalu atas dasar politik, melainkan masih banyak hal lainnya.

Untuk itu, di masa depan kesiapan warga negara Indonesia untuk lebih dapat berkiprah

di dunia nyaris tanpa batas ini akan semakin dibutuhkan. Catatan terpenting adalah

perilaku dari individu Indonesia tetap didasari nilai-nilai dasar masyarakat Indonesia.

Indonesia sebagai bagian dari masyarakat dunia mengupayakan kehidupan

beragama yang toleran. Nilai Pancasila bahkan dianggap sebagai religiously friendly

ideology oleh Juergensmeyer (2010 dalam Azra, 2010: 11). Walaupun pernyataan

Juergensmeyer dikaitkan dengan ideologi, Pancasila sebagai nilai juga mendasari corak

kehidupan interaksi umat beragama Indonesia. Mengacu pada nilai Pancasila,

khususnya nilai pertama, warga Indonesia akan menjadi bagian dari aksi yang toleran.

Keadaan ini tidak dapat dinafikan karena Indonesia secara pasti menjadi tempat

perlintasan beragam kebudayaan. Mulder (1999 dalam Kusumadewi, 2012: 135-136)

melihat bahwa Indonesia menjadi model yang khas dari tumbuhnya semangat

keagamaan yang bercorak kebudayaan lokal. Ini dapat diartikan bahwa masyarakat

Indonesia berkontribusi dalam memaknai agama-agama yang hadir di Indonesia.

Kontribusi ini penting bagi masyarakat dunia, sehingga dapat menjadi model dari

toleransi antar-umat beragama di dunia.

Upaya menyelaraskan perilaku dengan nilai kedua dalam konteks global

sebenarnya juga ada dalam kehidupan sehari-hari. Kita dapat memulainya untuk tidak

melakukan pembedaan-pembedaan yang didasari prasangka. Pemahaman lanjut dari

situasi ini adalah terciptanya tatanan sosial yang lebih baik. Sebagai contoh, penerapan

kewarganegaraan khususnya pada anak hasil pernikahan WNI dan WNA sampai usia 18

tahun dinyatakan sebagai WNI. Hal ini membuat anak terlindungi dari masalah tanpa

kewarganegaraan atau kewarganegaraan ganda. Bagi negara lain asal dari salah satu

orang tua anak tadi, perlakuan ini juga bermakna perlindungan manusia untuk

mendapatkan hak-hak dasar kewarganegaraan. Ini adalah kesepakatan universal yang

diakui bersama, sehingga negara itu pada akhirnya memandang Indonesia sebagai

negara yang mengakui hak asasi manusia. Pada akhirnya terbangunlah hubungan saling

menghormati antarnegara.

Pengejawantahan nilai ketiga dari Pancasila dalam konteks global adalah dengan

menjadi bagian kegiatan ekonomi dunia yang berorientasi nasional. Sejak memasuki

65

krisis moneter 1997, pintu impor semakin terbuka yang memungkinkan segala produk

masuk ke dalam negeri. Akibatnya, konsumen disuguhkan banyak pilihan. Kondisi ini

secara prinsip tidak salah, tetapi di sisi lain produk dalam negeri perlahan tersisih.

Hanya dengan alasan harganya tidak kompetitif, konsumen membeli produk impor yang

bukan hanya menyisihkan produk dalam negeri, tetapi juga menghancurkan perusahaan

lokal. Untuk itu nilai ketiga dari Pancasila yang menekankan cinta tanah air perlu

diangkat kembali untuk memperkuat ketahanan ekonomi nasional. Hal ini tidak hanya

berlaku di Indonesia. Langkah mengutamakan produk yang dapat dihasilkan dalam

negeri sebelum membeli produk buatan luar negeri juga dilakukan oleh negara-negara

maju. Negara-negara maju menutupi kepentingan dalam negeri melalui mekanisme

perdaganagn dunia seperti Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Mereka berupaya

menjaga agar produk asing tidak membanjiri pasar lokalnya sehingga

petani/pengusaha/masyarakat tetap sejahtera. Dengan demikian, nilai ketiga Pancasila

masih relevan untuk diangkat menjadi dasar bagi peningkatan ketahanan nasional.

Pengejawantahan nilai keempat dalam kehidupan global bagi negara dan

masyarakat terlihat dalam kebijakan dan tingkah laku. Dalam konteks pemerintah,

Indonesia mengambil peran yang sesuai dengan nilai tadi. Sebagai anggota ASEAN

sekaligus ketua ASEAN tahun 2011, Indonesia mengambil posisi tidak mengucilkan

Myanmar. Pada saat yang sama, hampir semua negara Barat tengah mengembargo

Myanmar dan meminta ASEAN ikut menekan. Langkah Indonesia cukup mengejutkan,

dengan tidak mengisolasi Myanmar bahkan intensif membuka jalur diplomatik.

Terbukanya jalur diplomatik justru membuat Myanmar lebih membuka diri yang pada

akhirnya embargo negara-negara Barat mulai berkurang. Indonesia memahami bahwa

cara tersebut tidak populer di mata bangsa-bangsa Barat, tetapi diplomasi ala Indonesia

mampu membuat Myanmar mengambil kebijakan-kebijakan dalam dan luar negeri yang

cenderung terbuka dan dapat diterima masyarakat internasional.

Kontribusi Indonesia untuk masalah pembangunan dunia yang berkeadilan sosial

semestinya dapat dilakukan dengan kemampuan dasar ekonomi kerakyatan Indonesia.

Salah satu bentuknya adalah koperasi. Koperasi sebagai pengejawantahan

pembangunan ekonomi yang memiliki wajah sosial dapat menjadi solusi bagi pola

pembangunan negara-negara dunia ketiga yang jumlahnya lebih banyak daripada

66

negara maju. Hal ini penting karena muncul gejala kegagalan ekonomi kapitalis sejak

2008 yang dimulai di AS dan menjalar ke Eropa sampai tulisan ini dibuat (2012). Model

ekonomi komunis sudah rubuh terlebih dahulu, yakni saat bubarnya Uni Soviet tahun

1991. Di sinilah peluang Indonesia untuk ikut dalam mendesain ulang tatanan

mekanisme ekonomi, karena koperasi bertujuan menyejahterakan anggota bukan

menguatkan kapital dari investor atau pemodal. Setidaknya peraih nobel 2006,

Muhammad Yunus dari Bangladesh, berbekal konsep arisan amat menekankan

kesejahteraan anggotanya. Yang kemudian model ini dianggap baik oleh dunia. Dengan

demikian, dibutuhkan sedikit sentuhan dari para sarjana agar nilai kelima dari Pancasila

dapat menjadi bagian dari solusi atas masalah ekonomi dunia saat ini dan masa depan.

G.Penutup

Nilai bagi semua individu dan kelompok adalah bagian dari pembentukan

tingkah laku yang diharapkan dalam masyarakatnya, dari tingkat individu hingga

tingkat bangsa. Nilai yang ada dalam Pancasila merupakan nilai dasar untuk aktivitas

bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara serta menjadi warga dunia. Dengan demikian,

Pancasila menjadi penentu dari corak kehidupan masyakat Indonesia.

67

Gambar 3.3. Indonesia adalah warga dunia.

Nilai-nilai yang ada dalam Pancasila oleh sebagian orang dianggap universal.

Artinya dapat berlaku atau hadir di semua masyarakat di dunia. Jika asumsi ini

digunakan, nilai Pancasila juga dapat diacu oleh warga dunia pula. Setidaknya, sebagai

nilai yang mendasari tingkah laku warga Indonesia, tingkah lakunya juga selaras dengan

warga dunia.

Hal yang terpenting dari Pancasila adalah upaya kita mencoba menerapkannya

dalam kehidupan. Ketika nilai tidak menjadi rujukan tingkah laku, perlahan nilai akan

memudar dan hilang. Kondisi ini beranalogi ketika Pancasila tidak menjadi acuan

perilaku, nilai Pancasila akan tergantikan oleh nilai lain atau bahkan hilang. Hilangnya

Pancasila memudarkan pula semangat ikatan nasional sebagai bangsa Indonesia, yang

dapat berujung pada rubuhnya rumah nusantara,yakni Indonesia. Bukankah itu berarti

mengkhianati mimpi para pejuang dan pendiri bangsa Indonesia?

BAB IV

68

KEWARGANEGARAAN

Ketika Bung Hatta kuliah di Belanda pada tahun 1920-an, ia merasakan pedihnya

menjadi penduduk di bawah pemerintahan kolonial Belanda. Dalam pergaulan internasional ia

merasa tersisih karena masalah kebangsaan. Ia merasa bahwa sebagai penduduk di wilayah

jajahan, ia direndahkan. Bertolak dari pengalaman itu, Bung Hatta menyimpulkan, “Jika satu

bangsa mulia, maka individu-individunya juga dihargai, tetapi jika tidak memiliki

kebangsaan, maka seseorang tidak dipandang di dunia internasional” (Hatta, 1953: 51).

Pengalaman Bung Hatta merupakan pengalaman tentang pentingnya arti kebangsaan

(nationality). Kebangsaan sering kali diidentikkan dengan kewarganegaraan, dan keduanya

tidak dapat dipisahkan ketika kita mengkaji tentang negara maupun pemerintahan.

Kewarganegaraan (dalam bahasa Inggris, citizenship dan Latin, civis) telah lama

menjadi objek pemikiran. Kajian ini telah muncul sejak masa Yunani Kuno (± 400 SM) dan

masa Kerajaan Romawi (± 1 M). Kata civis sendiri pertama kali digunakan pada masa

kerajaan Romawi untuk merujuk kepada orang-orang kaya dan para tuan tanah. Merekalah

yang memperoleh hak-hak istimewa. Hak-hak sebagai civis tidak diberikan kepada rakyat

biasa maupun rakyat di wilayah kekuasaan kerajaan (Poole, 1999: 85—86).

Apa yang dialami rakyat biasa di kerajaan Romawi, juga pernah dialami bangsa

Indonesia, tepatnya ketika bangsa ini berada di bawah pemerintahan kolonial Belanda.

Kebijakan-kebijakan Belanda tidak hanya melahirkan sistem pembedaan status (diskriminasi)

yang dilandasi perbedaan warna kulit, antara bangsa kulit putih dan pribumi, tetapi juga

melanggengkan stratifikasi sosial yang merupakan warisan sistem kerajaan, yakni antara

golongan priyayi dan rakyat biasa.

69

Setelah membaca bab ini mahasiswa mampu memahami saling pengaruh

antara hak dan kewajiban negara dan warga negara, membuat penilaian

kritis atas pelaksanaan hak dan kewajiban warga negara, serta mampu

bersikap terbuka dan kritis bagi implementasi hak dan kewajiban warga

negara di masyarakat.

Ketidaksetaraan dan penindasan Belanda terhadap rakyat biasa akhirnya menjadi

pemicu gerakan nasionalisme Indonesia, hingga akhirnya berdirilah negara Indonesia pada

tahun 1945. Di dalam proses penyiapan negara yang merdeka dan berdaulat itu, para tokoh

pergerakan mengadakan sidang-sidang di BPUPKI dan PPKI untuk menyusun UUD. Hasil

sidang-sidang itu adalah UUD 1945 yang di dalamnya dinyatakan, antara lain, pengakuan

kesetaraan bagi seluruh rakyat atau warga negara, seperti tercermin dalam hak dan kewajiban

bagi setiap warga negara.

Untuk memahami hak dan kewajiban warga negara, maka pokok-pokok bahasan dalam

bab ini dibagi menjadi empat bagian, yakni yang berikut. 1) Apa yang dimaksud dengan

kewarganegaraan dan siapakah warga negara Indonesia? 2) Prinsip-prinsip dasar apa yang

melandasi hubungan timbal-balik antara negara dan warga negara? 3) Bagaimana

implementasi hak dan kewajiban warga negara? 4) Evaluasi kritis terhadap pelaksanaan hak

dan kewajiban warga negara.

1. Apa yang Dimaksud dengan Kewarganegaraan?

Secara umum kewarganegaraan dapat dipahami sebagai segala sesuatu yang

menyangkut warga negara. Namun demikian, pemahaman yang sederhana ini memiliki

sejarah panjang dan kompleks. Sebagai objek pemikiran, kewarganegaraan telah muncul sejak

masa Yunani Kuno (± 400 SM). Pada masa itu, warga negara diidentikkan dengan orang

bebas. Sebaliknya, para budak dan—dalam konteks saat itu—kaum perempuan serta anak-

anak tidak dikategorikan sebagai orang bebas sehingga mereka tidak dapat disebut sebagai

warga negara.

Orang-orang bebas yang dikategorikan sebagai warga negara memiliki status

istimewa, antara lain dapat berpartisipasi dalam penyusunan undang-undang dan dalam

pelaksanaan administrasi negara, dalam aktivitas keagamaan dan budaya, serta dapat masuk

dinas militer—yang penting artinya bagi pertahanan negara. Aktivitas-aktivitas tersebut

menunjukkan bahwa pusat kehidupan warga negara mencakup setiap aspek kehidupan, mulai

dari politik, agama, budaya, hingga pertahanan negara. Warga negara dalam pengertian masa

Yunani Kuno juga dapat dikatakan lebih menekankan kemampuan seseorang untuk

mengemban tanggung jawab negara (Poole, 1999: 25).

Pada masa kerajaan Romawi (± 1 M), kewarganegaraan pada awalnya dimaknai

sebagai pemilikan atas status istimewa bagi para tuan tanah dan orang-orang kaya.

70

Selanjutnya, seiring dengan meluasnya imperium Romawi, timbullah tuntutan-tuntutan rakyat

di wilayah-wilayah taklukan. Rakyat yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda

menuntut diperlakukan secara terhormat seperti warga kerajaan Roma. Selain itu mereka juga

menuntut perlindungan dari kerajaan. Jadi kewarganegaraan tidak lagi diartikan sebagai rasa

tanggung jawab terhadap negara, melainkan lebih merupakan tuntutan legal agar rakyat di

wilayah taklukan diperlakukan setara dengan rakyat/warga kerajaan.

Perubahan penting mengenai pengertian kewarganegaraan terjadi di abad XVIII dan

XIX. Pada abad XVIII, khususnya di Eropa Barat, terjadi perubahan luar biasa dalam hal

bentuk negara, ketika model monarki absolut secara berangsur-angsur digantikan dengan

bentuk negara-bangsa modern. Bila dalam monarki absolut rakyat biasa menjadi abdi raja,

maka dalam negara modern, rakyat merupakan warga negara. Perubahan radikal itu

dimungkinkan oleh terjadinya pelembagaan prinsip-prinsip nasionalisme, demokrasi,

republik, dan nilai-nilai Hak Asasi Manusia di negara-bangsa modern (Habermas, 1996: 185

—289.)

Sumbangan prinsip nasionalisme adalah terciptanya kesadaran nasional dan solidaritas

rakyat yang berlandaskan faktor-faktor budaya, bahasa, sejarah, dan kesamaan keturunan.

Rakyat yang telah bersatu karena faktor-faktor tersebut semakin diperkuat oleh kesadaran

nasionalnya karena negara pun mulai melembagakan 1) nilai HAM yang menghargai

kebebasan individu dan menjunjung kesetaraan bagi seluruh warga negara, 2) prinsip negara

republik yang mengakui otonomi politik warga negara, dan 3) prinsip demokrasi yang

mendorong partisipasi aktif warga negara dalam kehidupan politik. Ketiga prinsip tersebut

memberikan pengakuan bahwa warga negara memiliki status legal yang kemudian terwujud

dalam hak-hak sipil.

Status legal yang dimiliki tiap warga negara memiliki konsekuensi terhadap

pendefinisian bangsa. Bangsa yang semula dianggap sebagai komunitas yang disatukan oleh

faktor budaya, bahasa, kesamaan nasib, dan sejarah, kini mendapat pengakuan baru sebagai

kesatuan warga negara yang setara dan memiliki status legal. Dengan status legal itu,

hubungan negara dan warga negara dikonsepsikan sebagai hubungan timbal-balik, yang

membuat warga negara melihat negara sebagai organisasi untuk mengejar kesejahteraan dan

kebahagiaan. Status legal, dalam wujud hak-hak sipil, merupakan seperangkat hak bagi

individu untuk mencapai tujuan-tujuan hidupnya. Pemenuhan tujuan ini bagi warga negara

merupakan bentuk tanggung jawab dan kewajiban negara (Habermas, 1996: 285—289).

71

Sementara itu, di pihak warga negara pun terdapat kesadaran bahwa mereka wajib

berkorban untuk memelihara dan mempertahankan kemerdekaan negara-bangsa. Mereka

sadar bahwa hanya dalam negara yang merdeka dan berdaulatlah kebebasan dan otonomi

politik mereka terjamin. Hubungan negara dan warga negara dalam arti kesetaraan dan status

legal itu yang kini menjadi kata kunci dalam pembahasan tentang kewarganegaraan.

Dikatakan demikian karena memasuki abad XXI, tidak ada satu negara pun yang tidak

mendefiniskan batas-batas sosialnya tanpa mengacu kepada hak-hak warga negara untuk

membatasi siapa yang menjadi warga negaranya dan siapa yang bukan.

2. Siapakah Warga Negara Indonesia?

Berikut ini dipaparkan sejarah singkat status penduduk Indonesia pada masa

pemerintahan kolonial Belanda dan masa pascakemerdekaan.

a. Status Rakyat Indonesia pada Masa Pemerintahan Kolonial Belanda (Kasus: Status

Rakyat di Jawa)

Sebelum bangsa Belanda menguasai Indonesia, khususnya Pulau Jawa, situasi

masyarakat saat itu sudah tersusun secara hierarkis. Puncak hierarki adalah raja dan keluarga.

Anak tangga di bawahnya diduduki oleh para pejabat tinggi yang mengabdi raja, anak tangga

di bawahnya lagi diduduki kaum ulama, militer, dan elit politik lain yang memiliki kekuasaan

legal. Dalam masyarakat yang hierarkis demikian, raja berhak menuntut kebaktian dari rakyat.

Rakyat biasa adalah abdi raja yang tidak memiliki kebebasan individu, apalagi otonomi

politik. Jadi, konsep kewarganegaraan belum dikenal.

Pada abad XVII, Belanda mulai meneguhkan kedaulatannya di Jawa, dan kekuasaan

raja-raja di Jawa pun mulai melemah. Secara berangsur-angsur Belanda memisahkan staf

administrasi kerajaan dari pengawasan raja dan kemudian mengubahnya menjadi dinas sipil.

Dengan kebijakan itu, Belanda telah membangun pemerintahan tidak langsung, yaitu

memerintah rakyat dengan perantaraan elit birokrat Jawa yang dikenal sebagai golongan

priyayi. Setelah struktur politik berubah, struktur masyarakat pun ikut berubah dengan

munculnya hubungan kolonial yang mirip dengan sistem kasta, yaitu keanggotaan dalam

masyarakat ditentukan oleh kelahiran dan stratifikasi sosial yang ditentukan oleh ras.

Diskriminasi rasial tampak jelas dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh, hanya orang

Belanda yang dapat menduduki jabatan puncak, sementara penduduk pribumi hanya

72

mendapat jabatan rendahan. Dalam pergaulan sosial pun terdapat pemisahan fisik. Orang-

orang Jawa dilarang memasuki perkumpulan, lapangan olah raga, sekolah, dan permukiman

orang Belanda (Kartodirdjo, 1999: 206, 209, 211).

Hubungan kolonial tidak hanya menciptakan diskriminasi rasial, melainkan juga

melanggengkan sistem masyarakat yang bercorak feodal. Belanda tidak menghapus

kekuasaan raja-raja sama sekali sehingga keluarga raja dan kaum bangsawan masih mendapat

tempat yang tinggi dalam hierarki masyarakat. Hierarki masyarakat tradisional ini diperkuat

lagi dengan kebijakan kolonial untuk mengangkat elit administrasi atau birokrasi yang dahulu

adalah abdi raja. Kaum elit yang diangkat di tiap kabupaten kemudian melahirkan kelas

tersendiri di masyarakat, yang disebut golongan priyayi. Elit priyayi tersusun sebagai berikut:

para bupati berada di puncak birokrasi, disusul oleh patih, wedana, mantri, dan juru tulis.

Jenjang-jenjang jabatan tersebut kemudian digolongkan atas “priyayi gedhe” dan “priyayi

cilik.” Barulah lapisan di bawah priyayi cilik diisi mayoritas rakyat kecil yang disebut “wong

cilik” (Kartodirdjo, 1999: 83).

Wong cilik merupakan massa terbesar yang tidak memiliki kesempatan, baik dalam

pendidikan maupun dalam politik. Pada masa kolonial terdapat empat kategori sekolah, yaitu:

sekolah Eropa dengan model sekolah di negeri Belanda, sekolah bagi pribumi dengan bahasa

Belanda sebagai bahasa pengantar, sekolah pribumi dengan pengantar bahasa daerah, dan

sekolah dengan sistem pribumi. Kategori sekolah yang demikian ketat menyebabkan

terbatasnya kesempatan penduduk pribumi, khususnya wong cilik. Untuk dapat diterima

masuk ke sekolah dengan sistem Belanda, harus dipenuhi syarat berikut: orang tua adalah elit

yang memiliki kedudukan tinggi dalam birokrasi kolonial. Untuk memasuki sekolah dengan

pengantar bahasa Belanda pun, calon murid harus berasal dari keluarga dengan status pegawai

negeri tertentu dan dengan gaji tertentu pula.

Terbatasnya kesempatan untuk memasuki sekolah berstandar Eropa dan sekolah

dengan pengantar bahasa Belanda menyebabkan terbatas pula kesempatan kaum terpelajar

pribumi mendapat pekerjaan di birokrasi pemerintahan kolonial. Lulusan sekolah-sekolah

tersebut yang berhasil memperoleh kedudukan dalam birokrasi, memiliki status terhormat di

masyarakat dan mereka hidup dengan gaya hidup priyayi. Sementara itu, mereka yang tidak

memilih bekerja di birokrasi di kemudian hari banyak yang menjadi tokoh-tokoh pergerakan

nasional.

73

Di bidang politik, pemerintah kolonial sangat otokratis dan menerapkan sentralisasi

dengan birokrasi yang amat ketat. Pejabat-pejabat Belanda ditempatkan di tingkat keresidenan

hingga distrik. Mereka menjabat sebagai penasihat merangkap pengawas pejabat-pejabat

pribumi.

Baru pada tahun 1903, yakni setelah diberlakukannya Undang-undang desentralisasi

dan otonomi penduduk, lembaga politik berupa Badan Perwakilan didirikan. Dalam

pelaksanaannya, UU desentralisasi hanya mewujudkan demokratisasi dalam arti minimal,

karena dewan daerah tidak mampu mencapai seluruh rakyat. Anggota-anggotanya hanya

terdiri dari orang Belanda dan elit pribumi yang terpilih karena mekanisme penunjukan dan

pemilihan tidak langsung. Pendek kata, desentralisasi tidak mampu mendorong partisipasi

politik rakyat dan bahkan organisasi atau pertemuan politik dilarang oleh pemerintah

(Kartodirdjo, 1999: 43—44).

Pada tahun 1916 pemerintah kolonial memberi angin segar dengan membentuk

volksraad atau dewan rakyat. Namun keberadaannya tidak dapat disamakan dengan parlemen.

Volksraad hanya berfungsi sebagai penasihat yang tidak memiliki kekuasaan untuk

merancang anggaran dan membuat undang-undang. Halnya demikian karena parlemen di

Belandalah yang sesungguhnya memegang kekuasaan legislatif di Hindia Belanda.

Perubahan besar terjadi pada tahun 1925, yaitu terbitnya UU Tata Pemerintahan

Belanda. Volksraad diubah menjadi badan ko-legislatif dengan kekuasaan untuk mengajukan

petisi mengubah UU serta mengundangkannya. Namun, sejauh itu, volksraad masih juga

belum mampu mendorong demokratisasi. Sebagai contoh, komposisi keanggotaan masih

didominasi orang Belanda, sistem pemilihan dilakukan secara tidak langsung, hak pilih rakyat

dibatasi dengan syarat bahwa hanya mereka yang berpenghasilan sedikitnya f300 (tiga ratus

gulden)/tahunlah yang boleh memilih, padahal massa rakyat hanya berpenghasilan rata-rata

f40—f50/tahun.

Kebijakan pendidikan dan politik tersebut menunjukkan bahwa pemerintahan kolonial

tidak berkehendak membangun kesetaraan dan otonomi politik bagi penduduk Indonesia.

Bangsa Indonesia—khususnya masyarakat Jawa—semakin terpilah-pilah, baik karena

diskriminasi rasial maupun karena sistem masyarakat yang feodalistis. Pemerintah Belanda

memang telah mengatur status penduduk Indonesia dalam Nederlandsch Onderdaan. Namun

demikian, status penduduk belum menunjukkan status kewarganegaraan yang sesungguhnya.

Di tanah jajahan, tetap dibedakan status warga negara Belanda dan status penduduk pribumi.

74

Menurut perundang-undangan yang berlaku (tahun 1854, 1892, 1910), di Hindia Belanda

terdapat tiga kategori kewargaan, yakni Belanda, pribumi (dengan status sebagai bawahan

Belanda), dan bangsa Timur Asing (Kartodirdjo, 1999: 48, 192).

b. Status Rakyat Indonesia Pascakemerdekaan

Dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 tertulis, “. . . pemerintahan Negara

Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia. . .” Siapa saja yang tercakup dalam

pengertian bangsa Indonesia di sini? UUD 1945 dirumuskan oleh tokoh-tokoh pergerakan

nasional dengan latar belakang yang beragam. Mereka mempunyai latar belakang agama yang

berbeda, demikian pula suku dan ras serta daerah asal. Ada yang berasal dari Jawa, Sumatera,

Ambon, Sulawesi, Arab, Tionghoa, dan lain-lain. Perumus UUD juga bukan hanya laki-laki,

melainkan juga tokoh-tokoh pergerakan perempuan. Kesemuanya mewakili berbagai

golongan dan aliran politik. Sejak awal, keberagaman masyarakat telah menjiwai perumusan

UUD 1945, dan keberagaman tersebut dapat disatukan karena kepedulian yang luar biasa dari

para tokoh akan kepentingan rakyat. Sumbangan pemikiran mereka antara lain adalah

rumusan tentang bangsa Indonesia. Yang ditetapkan sebagai bangsa Indonesia adalah bangsa

Indonesia asli atau bangsa lain yang disahkan dengan UU sebagai warga negara.12 Ketentuan

terakhir ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia menerima keturunan Arab, Tionghoa, atau

bangsa lain—yang telah lama menetap di Indonesia—sebagai warga negara Indonesia.

Satu hal yang patut ditekankan di sini adalah bahwa menurut UUD 1945 warga negara

memiliki status legal yang sama, dengan segala hak dan kewajiban yang melekat di dalamnya.

Sebagai tambahan, dalam UUD 1945, Pasal 26, tertera pula kata-kata penduduk selain warga

negara. Yang dimaksud dengan penduduk adalah WNI dan orang asing yang tinggal di

Indonesia. Orang asing tentu tidak dapat menikmati hak dan melaksanakan kewajiban yang

sama dengan WNI. Kata penduduk disebutkan karena terkait dengan kedaulatan negara-

negara lain.

c. Menjadi Warga Negara Indonesia

Secara prosedural, kewarganegaraan Indonesia diatur dalam undang-undang tentang

kewarganegaraan. Sejak kemerdekaan ada beberapa UU tentang kewarganegaraan yang telah

dikeluarkan, yaitu UU RI Nomor 3 Tahun 1946, UU RI Nomor 62 Tahun 1958, UU RI

12 Lihat UUD 1945, Pasal 26.

75

Nomor 4 Tahun 1969, UU RI Nomor 3 Tahun 1976, dan UU RI Nomor 12 Tahun 2006.

Selain UU juga terdapat peraturan-peraturan lain berupa Keputusan Presiden, Instruksi

Presiden, Peraturan Pemerintah maupun Surat Keputusan Bersama Menteri Kehakiman dan

Menteri Dalam Negeri. Perubahan-perubahan UU tersebut mencerminkan adanya dinamika

dalam masyarakat maupun interaksi penduduk antarbangsa yang begitu cepat. Pelarian orang-

orang yang mencari suaka politik, perkawinan antarbangsa, masalah kriminal oleh pelaku

kejahatan lintas negara, dsb. merupakan beberapa fenomena yang dapat menggambarkan

semakin peliknya masalah kewarganegaraan sehingga hampir setiap negara harus mampu

mendefinisikan kembali siapa yang dimaksud dengan warga negaranya.

Dalam UU Nomor 12 Tahun 2006 disebutkan empat asas yang digunakan untuk

menentukan kewarganegaraan yakni ius sanguinis, ius solii, kewarganegaraan tunggal, dan

kewarganegaraan ganda. Asas ius sanguinis merupakan asas yang menentukan

kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan. Asas ius soli merupakan asas yang

menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan negara tempat kelahiran (diberlakukan

terbatas bagi anak-anak dan diatur dalam UU). Asas kewarganegaraan tunggal merupakan

asas yang menetapkan satu kewaraganegaraan bagi setiap orang. Asas kewarganegaraan

ganda merupakan asas yang menentukan kewarganegaraan ganda bagi anak-anak yang diatur

dalam UU.13 Indonesia tidak mengakui penduduk dengan kewarganegaraan ganda (bipatride),

kecuali anak-anak dan penduduk tanpa kewarganegaraan.

Kewarganegaraan Indonesia dapat diperoleh atas dasar: 1) kelahiran, 2) pemberian

status, 3) pengangkatan, 4) permohonan, 5) naturalisasi, 6) perkawinan, dan 7) kehormatan.

Dengan dasar kelahiran, seseorang secara otomatis menjadi WNI karena ayah dan ibunya

adalah WNI. Ketentuan ini merupakan implementasi dari asas keturunan (ius sanguinis): anak

tetap WNI, walau dia dilahirkan di luar negeri. Tujuannya adalah untuk mencegah apatride.

Untuk menghindari kasus tanpa kewarganegaraan atau kewarganegaraan ganda, negara

dapat memberikan status warga negara bagi anak yang dilahirkan di luar negeri dengan salah

satu orang tua (ayah atau ibu) adalah WNI, sedangkan yang satu lagi bukan WNI.

Dengan dasar pengangkatan, seorang anak WNA—yang berumur 5 tahun (atau kurang)—

yang diangkat anak oleh WNI dapat memperoleh kewarganegaraan Indonesia.

Atas dasar permohonan, kewarganegaraan Indonesia dapat diberikan kepada anak

berusia 18 tahun, yang ayah dan ibunya memiliki kewarganegaraan yang berbeda, WNI dan

13 Lihat Penjelasan UU RI Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, dalam UU Nomor 12 Tahun 2006 (Jakarta: Visimedia) hlm. 27-28.

76

asing (WNA). Pada awalnya ia menjadi WNA, namun kemudian ingin menjadi WNI untuk

mengikuti ayah atau ibunya yang berkewarganegaraan Indonesia. Pemerintah dapat

mengabulkan permohonannya setelah ia meninggalkan kewarganegaraan sebelumnya, agar

tidak terjadi kewarganegaan ganda.

Kewarganegaraan Indonesia dapat diberikan kepada orang asing yang sungguh-sungguh

ingin menjadi WNI melalui naturalisasi.

Dengan perkawinan, demi kesatuan kewarganegaraan dalam keluarga, pihak suami atau

istri yang berstatus WNA dapat mengikuti pasangannya yang berstatus WNI dengan syarat

bahwa ia harus melepaskan kewarganegaraan sebelumnya terlebih dahulu.

Negara dapat memberikan kewarganegaraan kehormatan kepada orang-orang asing

tertentu yang telah berjasa kepada negara, namun hal itu tidak boleh mengakibatkan yang

bersangkutan memiliki kewarganegaraan ganda. Pemberian kewarganegaraan kehormatan itu

dilakukan oleh Presiden setelah memperoleh pertimbangan DPR.

d. Kehilangan Kewarganegaraan Indonesia

Bila seseorang telah menjadi WNI, negara akan mengakuinya untuk seumur

hidupnya, sekalipun ia bertempat tinggal di luar negeri. Namun WNI dapat kehilangan

kewarganegaraannya karena hal-hal berikut ini:14 a) atas kemauan sendiri menjadi WNA; b)

melanggar asas kewarganegaraan tunggal (ketentuan ini berlaku bagi WNI yang memiliki

kewarganegaraan asing dan tidak mau melepaskan status WNA-nya); c) masuk dinas tentara

asing tanpa seizin Presiden; d) tinggal di luar wilayah negara Indonesia, tidak dalam rangka

dinas negara selama 5 tahun berturut-turut dan, sebelum jangka 5 tahun berakhir, dengan

sengaja tidak menyatakan keinginannya untuk mempertahankan kewarganegaraannya, serta

setiap 5 tahun berikutnya yang bersangkutan tidak mengajukan pernyataan ingin tetap

menjadi WNI; dan e) perkawinan dengan WNA (kententuan ini berlaku bagi, WNI,

perempuan atau laki-laki yang menikah dengan pasangan dari negara yang memiliki peraturan

bahwa orang asing yang menikah dengan warga negaranya harus menjadi warga negaranya

pula). Oleh negara, kewarganegaraan seseorang dapat dinyatakan hilang karena pada

prinsipnya negara tidak menginginkan warga negaranya memiliki loyalitas ganda, terhadap

Indonesia dan terhadap negara lain. WNI yang telah kehilangan kewarganegaraannya secara

otomatis membebaskan dirinya dari hak dan kewajiban sebagai WNI.

14 Lihat UU Nomor 12 Tahun 2000, Bab IV, tentang Kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia, Pasal 23, 26, dan 28.

77

WNI yang telah kehilangan kewarganegaraanya karena mengikuti orang lain (status

suami/istri yang WNA) pada prinsipnya dapat diberi kesempatan untuk kembali menjadi

WNI, dengan syarat bahwa ia tidak lagi mengikuti status suami/istrinya. Demikian pula

dengan anak-anak yang sebelumnya mengikuti status ayah/ibu yang berkewarganegaraan

asing.15

3. Prinsip-Prinsip dalam Hubungan Timbal-Balik: Negara dan Warga Negara

Hubungan antara negara dan warga negara merupakan hubungan timbal-balik yang

melibatkan unsur hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak. Hubungan itu secara mendasar

terbangun dari tujuan awal terbentuknya negara Indonesia, sebagaimana tertuang dalam alinea

keempat Pembukaan UUD 1945: 1) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh

tumpah darah Indonesia, 2) memajukan kesejahteraan umum, 3) mencerdaskan kehidupan

bangsa, dan 4) ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,

perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Untuk mencapai tujuan tersebut, UUD telah menetapkan prinsip-prinsip dasar16 yang

menjadi pedoman berbangsa dan bernegara bagi pemerintahan maupun rakyat. Prinsip-prinsip

itu meliputi sila-sila Pancasila, prinsip negara kesatuan yang berbentuk republik, prinsip

kedaulatan rakyat, dan prinsip negara hukum.17

Prinsip negara kesatuan. Negara kesatuan merupakan bentuk negara di mana

wewenang legislatif dipusatkan dalam satu badan legislatif nasional/pusat. Kekuasaan terletak

pada pemerintah pusat dan tidak pada pemerintah daerah. Pemerintah pusat memiliki

wewenang untuk menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada daerah berdasarkan hak

otonomi (sistem desentralisasi), tetapi pada tahap terakhir, kekuasaan tertinggi tetap di tangan

pemerintah pusat.

Dalam negara kesatuan, kedaulatan tak terbagi karena pemerintah pusat memegang

kedaulatan ke luar maupun ke dalam. Konstitusi negara kesatuan tidak mengakui badan

legislatif lain selain badan legislatif pusat. Jika pemerintah daerah mengeluarkan peraturan

bagi daerahnya, hal itu tidak berarti bahwa daerah itu berdaulat sebab pengawasan kekuasaan

tertinggi tetap di tangan pemerintah pusat. Dengan demikian, bagi warga negara di dalam

15 Ketentuan mengenai hal ini diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2006, bab V, tentang Syarat dan Tata Cara Memperoleh Kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia, Pasal 31 dan 37.

16 Lihat sila-sila Pancasila dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945.17 Lihat UUD 1945 (sebelum dan sesudah amandemen), Pasal 1, tentang Bentuk dan Kedaulatan Negara.

78

negara yang berbentuk kesatuan, hanya ada satu pemerintahan saja (Strong, sebagaimana

dikutip Budiardjo, 2008: 269—270).

Pertimbangan para pendiri bangsa atas bentuk negara kesatuan adalah agar di bawah

pemerintah pusat tidak ada negara lagi, seperti di negara federal atau konfederasi. Hakikat

dari pertimbangan tersebut adalah upaya untuk menghindari terjadinya perpecahan bangsa

dan negara; atau, dengan kata lain, untuk mencegah timbulnya provinsialisme yang memberi

peluang kepada gerakan separatisme. Namun ketetapan atas bentuk negara kesatuan juga

diiringi oleh satu ketentuan pula, yakni bahwa pemerintah pusat tetap memperhatikan

kepentingan daerah.

Prinsip Kedaulatan Rakyat. Kedaulatan merupakan hak atau kekuasaan tertinggi

untuk memerintah. Kedaulatan rakyat berarti rakyat memiliki hak atau kekuasaan tertinggi

untuk memerintah diri mereka sendiri. Bangsa Indonesia memiliki sejarah panjang dalam

mewujudkan kedaulatan rakyat. Dalam sidang-sidang BPUPKI dikemukakan pertimbangan

bahwa kedaulatan rakyat merupakan bentuk kedaulatan yang dianggap dapat mencegah

terjadinya negara kekuasaan yang absolut atau negara penindas. Agar negara tidak menjadi

negara penindas, para perumus UUD 1945, khususnya Bung Hatta, menekankan pentingnya

jaminan pada rakyat dalam bentuk kemerdekaan untuk berpikir. Usulan para perumus

kemudian tertuang dalam Pasal 28 UUD 1945 (sebelum amandemen). Hasil rumusan

BPUPKI kemudian tertuang dalam UUD 1945 yang menyatakan bahwa kedaulatan rakyat

dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Kedaulatan rakyat dalam MPR

dicerminkan dalam komposisi keanggotaan yang terdiri dari wakil-wakil golongan (seperti

serikat pekerja, golongan tani, dsb.) dan wakil-wakil daerah. Kekuasaan MPR adalah

menetapkan UUD dan GBHN, serta mengangkat Presiden dan wakil Presiden. Dalam UUD

1945 (sebelum amandemen), MPR memegang kekuasaan tertinggi dan Presiden adalah

penyelenggara pemerintahan negara.

MPR sebagai pemegang kedaulatan rakyat mengalami ujian berat khususnya pada masa

Orde Baru. Dalam negara telah terjadi penyelewengan kekuasaan yang diawali oleh dominasi

mutlak dalam kehidupan politik, yang telah menyulut Gerakan Reformasi dan berakhir

dengan pengunduran diri Presiden Soeharto (Budiardjo, 2008: 313). Setelah itu, terjadi

perubahan politik yang signifikan yaitu berlangsungnya demokratisasi untuk mewujudkan

kedaulatan rakyat. Perubahan diawali dengan melakukan empat kali amandemen terhadap

UUD 1945; dua di antaranya ialah masa jabatan Presiden dibatasi dan warga negara berhak

79

memilih pasangan Presiden dan wakil Presiden secara langsung. Pemilihan langsung juga

dilakukan terhadap anggota DPR dan kepala daerah. Selain itu, juga diberlakukan

desentralisasi—yaitu penyerahan wewenang pemerintah pusat pada daerah otonom untuk

mengatur dan mengurus urusan pemerintahan daerah. Pemerintah daerah juga mengalami

demokratisasi dengan dihilangkannya kedudukan kepala daerah sebagai penguasa tunggal dan

DPRD menjadi lembaga legislatif daerah.

Dalam UUD 1945 (sesudah amandemen), perubahan terbesar menyangkut MPR adalah

MPR tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara, pemegang dan pelaksana

kedaulatan rakyat. Keanggotaan MPR kini mencakup unsur DPR dan DPD. MPR kini

berkedudukan sebagai salah satu lembaga negara yang setara dengan DPR, DPD, BPK, MA

dan MK, MPR tidak lagi memiliki kewenangan untuk menetapkan GBHN, mengeluarkan

Ketetapan (TAP) MPR (kecuali untuk menetapkan Wakil Presiden menjadi Presiden bila

Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan atau tidak dapat melakukan kewajibannya)

(Budiardjo, 2008: 350). Lantas siapa pemegang kedaulatan rakyat saat ini?

UUD 1945 sesudah amandemen telah menetapkan pasal-pasal yang menjamin

kedaulatan rakyat dapat terwujud (lihat perubahan pasal tentang masa jabatan Presiden,

penetapan pemilihan Presiden secara langsung dan desentralisasi). Namun, yang paling

mendasar dalam amandemen UUD adalah kedaulatan tersebut diwujudkan melalui pemilu,

yaitu dengan memilih wakil-wakil rakyat di DPR/DPRD serta memilih Presiden dan kepala

daerah secara langsung. Jika pejabat-pejabat terpilih tersebut gagal mengemban amanat

rakyat, UUD memberi hak kepada rakyat (melalui MPR dan atas usul DPR) untuk

memberhentikan Presiden18 serta hak untuk tidak memilih kembali anggota-anggota

DPR/DPRD yang tidak dapat melayani rakyat.

Prinsip Negara Republik. Ide republik secara teoretis mendukung kedaulatan rakyat.

Prinsip ini mengisyaratkan adanya kebebasan—bukan dalam arti liberal, yaitu kebebasan dari

intervensi pihak (negara) lain, tetapi dalam arti independensi, yaitu kebebasan dari dominasi

pihak lain. Kebebasan rakyat dalam negara republik selalu disertai oleh tanggung jawab

rakyat untuk mempertahankan independensi negara. Bentuk tanggung jawab ini merupakan

aktivitas politik atau partisipasi warga negara untuk membentuk diri sekaligus membangun

negara (Poole, 1999: 83). Jadi, dengan adanya prinsip independensi, maka dalam negara yang

18 Lihat UUD 1945 sesudah amandemen, pasal 7A.

80

berbentuk republik diharapkan tidak ada lagi dominasi dari negara lain dan di tingkat warga

negara tidak ada lagi perbudakan atau ketergantungan kepada orang lain.

Bentuk negara republik merupakan ketetapan yang dipilih oleh semua tokoh bangsa

yang merumuskan UUD. Keputusan tersebut dilandasi oleh pengalaman bangsa yang pernah

hidup dalam bentuk kerajaan yang despotis dan feodalis serta pemerintahan kolonial Belanda

yang menindas. Republik merupakan bentuk yang dapat mencerminkan kedaulatan rakyat

ketimbang bentuk negara lainnya seperti monarki yang melanggengkan dinasti (kekuasaan

turun-temurun). Dalam negara republik, negara akan merumuskan kesejahteraan dan

kemerdekaan rakyat dalam berpendapat, berkumpul, dsb.

Prinsip Negara Hukum. Prinsip ini menuntut pemerintahan agar berjalan dengan

tuntunan hukum dan bukan dengan kekuasaan. Hukum, khususnya UUD, merupakan sumber

norma yang mengatur pemerintahan maupun rakyat. Dalam UUD terkandung cita-cita bangsa,

sistem pemerintahan dan kerangka kerja bagi pemerintah. UUD berisi otoritas tertinggi yang

daripadanya seluruh kekuasaan cabang-cabang pemerintahan dan pejabat-pejabat terpilih

berasal dan diatur. Begitu pentingnya UUD sehingga setiap Presiden yang dilantik harus

mengucapkan sumpah untuk memegang teguh UUD dan menjalankan segala UU dan

peraturan-peraturan dengan selurus-lurusnya.19

Dalam UUD terkandung pula prinsip-prinsip dasar yang mengikat negara dan warga

negara yaitu Pancasila, negara kesatuan dengan bentuk republik, kedaulatan rakyat dan negara

hukum.20 Prinsip-prinsip dasar tersebut selanjutnya tercermin dalam pasal-pasal menyangkut

hak dan kewajiban warga negara—yang tidak dapat terpenuhi tanpa kehadiran institusi

politik/negara; sebaliknya, kemerdekaan suatu negara tidak dapat dipertahankan tanpa

kesadaran nasional (nasionalisme) warga negara. Hubungan inilah yang melahirkan

kewajiban bagi tiap warga negara untuk memelihara dan mempertahankan negara. Sementara

itu, untuk mendapatkan hak itu negara harus menjalankan kewajibannya, yaitu memberikan

kondisi bagi terpenuhinya hak-hak warga negara. Kewajiban negara, dalam UUD 1945, telah

termaktub dalam tujuan negara sebagaimana digariskan dalam Pembukaan UUD 1945

(sebelum dan sesudah amandemen).

4. Hak dan Kewajiban Warga Negara

19 Lihat Lafal Sumpah Presiden selengkapnya dalam UUD 1945 sesudah amandemen, Pasal 9.20 Di sini tidak hanya dalam konteks warga negara sebagai individu yang memiliki otonomi politik tetapi juga

sebagai manusia yang memiliki otonomi pribadi.

81

Secara umum, hak merupakan klaim yang dibuat oleh orang atau kelompok yang satu

terhadap yang lain atau terhadap masyarakat. Klaim atau tuntutan tersebut adalah klaim yang

sah atau dapat dibenarkan, karena orang yang mempunyai hak bisa menuntut bahwa orang

lain akan memenuhi atau menghormati hak itu (Bertens, 2000: 178—179). Ada beberapa jenis

hak yang kita kenal, yaitu a) hak legal dan moral, b) hak khusus dan umum, c) hak positif dan

hak negatif, d) hak individual dan sosial (Bertens, 2000: 179—187).

Hak legal adalah hak yang berdasarkan hukum, berasal dari undang-undang, peraturan

hukum, atau dokumen legal lainnya. Umpamanya, ketika pemerintah mengeluarkan peraturan

tentang kenaikan gaji pegawai negeri, maka setiap pegawai negeri berhak mendapat tunjangan

itu. Hak moral adalah hak yang berfungsi dalam sistem moral. Contohnya ialah sepasang

suami istri yang berjanji untuk saling setia, atau seseorang peminjam uang berjanji untuk

mengembalikan uang yang dipinjamnya dari orang lain. Hak moral belum tentu merupakan

hak legal, tetapi banyak hak moral yang sekaligus juga merupakan hak legal. Misalnya, janji

antarteman, yang dilakukan secara pribadi, hanya terbatas pada hak moral saja. Sedangkan

hak legal belum tentu menampilkan nilai etis sehingga harus dikritik dengan norma moral.

Sebagai contoh, negara-negara kolonial di masa silam sering mengetengahkan hak-hak legal

mereka untuk menguasai wilayah jajahan, namun tentu dipertanyakan nilai etis dari

penjajahan itu sendiri.

Hak khusus timbul karena relasi khusus antar-beberapa orang atau karena fungsi

khusus yang dimiliki seseorang terhadap orang lain, misalnya hak orang tua untuk dihormati

anak-anaknya, hak untuk menggunakan gelar doktor setelah menyelesaikan persyaratan untuk

mendapat gelar tersebut, dsb. Hak umum diperoleh seseorang bukan karena hubungan atau

fungsi tertentu, melainkan semata-mata karena ia manusia. Hak ini sering disebut hak asasi

manusia.

Dengan hak negatif, seseorang bebas melakukan sesuatu atau memiliki sesuatu;

dengan kata lain, siapa pun tidak boleh menghalangi seseorang melakukan atau memiliki

sesuatu. Contohnya ialah hak atas kehidupan, kesehatan, keamanan, kepemilikan, hak

beragama, berkumpul, mengemukakan pendapat, dan mengikuti hati nurani. Konkretnya ialah

bahwa, antara lain, negara atau siapa pun tidak boleh menghalangi seseorang menulis

pendapatnya di surat kabar. Hak positif adalah hak seseorang yang membolehkan orang lain

berbuat sesuatu untuknya. Sebagai contoh, semua orang yang terancam bahaya berhak bahwa

82

orang lain membantu menyelamatkannya. Contoh lain adalah hak atas makanan, pendidikan,

pelayanan kesehatan, dan pekerjaan yang layak.

Hak individual dan hak sosial sering disebut dalam Deklarasi Universal tentang Hak

Asasi Manusia (DUHAM). Hak individual ialah hak yang dimiliki individu terhadap negara;

negara tidak dapat menghalangi individu mewujudkan hak ini. Contohnya ialah hak

mengikuti hati nurani, hak beragama, hak berserikat, dan hak mengemukakan pendapat. Hak

individual termasuk hak-hak negatif. Sementara yang dimaksud dengan hak sosial adalah hak

yang dimiliki seseorang sebagai anggota masyarakat seperti hak atas pekerjaan yang layak

dan hak atas pendidikan. Hak ini bersifat positif.

Apakah hak selalu memiliki hubungan timbal-balik dengan kewajiban? Kewajiban

memang sering kali memiliki hubungan timbal-balik dengan hak, namun hubungan itu tidak

bisa dikatakan mutlak dan tanpa pengecualian. Dalam konteks kehidupan bermasyarakat dan

bernegara, kita lihat bahwa pemenuhan hak-hak negatif atau hak-hak individual hampir selalu

sesuai dengan kewajiban seseorang untuk menghormati orang lain yang sedang menikmati

hak-haknya. Pemenuhan hak-hak sosial memang agak rumit. Sebagai contoh, setiap orang

memiliki hak atas pendidikan. Tetapi itu tidak berarti bahwa saya sebagai guru memberi

pengajaran kepada orang-orang tertentu. Hak sosial semacam ini sesuai dengan kewajiban

masyarakat, atau negara, untuk mengatur kehidupan sedemikian rupa sehingga setiap warga

negara memperoleh apa yang menjadi haknya. Hak-hak sosial ekuivalen dengan keadilan

sosial.

a. Hak Asasi Manusia

Pembahasan tentang hak dan kewajiban tidak akan lengkap bila hak asasi manusia tidak

dimasukkan. Pengetahuan tentang sejarah penegakan HAM dapat membantu memahami arti

penting HAM dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Sejarah

penegakan HAM merupakan sejarah perjuangan manusia untuk menjadi manusia dan untuk

melepaskan diri dari penyiksaan, penindasan, perbudakan, genosida, dsb. Dari perspektif

sejarah, kesadaran atas HAM dalam diri manusia dan pada bangsa-bangsa dapat

dikelompokkan ke dalam tiga generasi (Budiardjo, 2008: 212). Generasi pertama lahir di

negara-negara Barat, yaitu generasi yang melahirkan kesadaran akan hak-hak sipil dan politik.

Generasi kedua merupakan generasi dengan kesadaran akan hak ekonomi, sosial, dan budaya,

yang diperjuangkan oleh negara-negara sosialis pada masa Perang Dingin (tahun 1945—

83

1970-an). Pemikiran tentang HAM pada generasi kedua ini didukung oleh banyak pemikir

Barat serta negara-negara yang baru merdeka di Asia-Afrika. Generasi ketiga ialah generasi

yang memiliki kesadaran untuk memperjuangkan hak atas perdamaian dan hak atas

pembangunan di negara-negara Dunia Ketiga.

Perjuangan HAM dari generasi pertama yang lahir di Eropa Barat ditandai oleh

penandatanganan Magna Charta di Inggris pada tahun 1215. Ketika itu, Raja John “dipaksa”

untuk mengakui hak kelompok aristokrat yaitu hak untuk diperiksa di muka hakim (habeas

corpus). Hak ini sendiri dituntut sebagai imbalan atas dukungan kaum aristokrat dalam

membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan kegiatan perang.

Perumusan HAM semakin berkembang seiring dengan munculnya pemikiran-pemikiran

tentang hak alamiah manusia yang digaungkan untuk menentang pemikiran bahwa hak

memerintah berasal dari wahyu ilahi yang pada waktu itu dianut oleh raja-raja. Hak alamiah,

sebagaimana dikemukakan oleh John Locke (1632—1704) dan pemikir lain seperti Jean

Jacque Rousseau, meliputi hak atas hidup, hak akan kebebasan, dan hak untuk memiliki harta

benda. Di samping itu juga muncul pemikiran bahwa penguasa yang memerintah harus

mendapat persetujuan rakyat. Hasil pemikiran dan perjuangan HAM terbesar pada XVII dan

XVIII itu adalah hancurnya monarki absolut yang memberi kewenangan kepada raja untuk

bertindak sewenang-wenang terhadap rakyatnya. Namun demikian, pada masa itu hanya

kelompok aristokrat dan kelas menengah saja yang dapat menikmati HAM, sementara rakyat

biasa tetap dipandang sebagai abdi yang harus menerima perintah dari penguasa. Hak asasi

yang berhasil mereka perjuangkan itu masih terbatas pada hak politik seperti hak atas

kebebasan dan kesetaraan serta hak untuk menyatakan pendapat. Hak-hak tersebut dituangkan

dalam Bill of Rights di Inggris pada tahun 1689 dan satu abad kemudian dalam Bill of Rights

di AS (1783) dan Declaration des droits de l’homme et du citoyen di Prancis (1789).

Menginjak awal abad XX, terjadi banyak peristiwa penting di dunia yang

mempengaruhi generasi kedua perjuangan HAM, yaitu 1) Depresi Besar yang bermula di AS

dan kemudian menjalar ke penjuru dunia pada tahun 1929—1934; 2) tampilnya Hitler sebagai

pemimpin Jerman yang menyebabkan pembunuhan jutaan orang Yahudi di kamp konsentrasi;

3) meletusnya dua Perang Dunia; dan 4) tampilnya blok negara sosialis dan komunis.

Peristiwa-peristiwa tersebut menyebabkan penderitaan yang luar biasa pada jutaan manusia:

mati karena kelaparan, peperangan, dan genosida.

84

Rumusan HAM warisan liberalisme yang menekankan hak-hak alamiah ternyata tidak

memadai sehingga perlu semakin dipertajam dan bahkan direinterpretasikan. Hak-hak yang

semula disebut hak alamiah diubah menjadi HAM (human rights) yang menekankan

kebebasan individu yang meliputi hak untuk menyatakan pendapat dan hak untuk mendirikan,

dan bergabung dalam organisasi. Perubahan paling signifikan dibandingkan dengan keadaan

pada abad XVII dan XVIII adalah bahwa hak-hak politik diberikan kepada seluruh rakyat

dengan tujuan untuk melindungi setiap individu dari penyalahgunaan kekuasaan pemerintah.

Tokoh-tokoh yang memperjuangkan hak-hak tersebut antara lain ialah Presiden F. D.

Roosevelt dari AS yang merumuskan empat kebebasan, yaitu kebebasan berbicara dan

menyatakan pendapat, kebebasan beragama, kebebasan dari ketakutan, dan kebebasan dari

kemiskinan.

Kemajuan HAM pada generasi kedua juga ditandai oleh kesadaran untuk merumuskan

HAM yang diakui di seluruh dunia sebagai standar universal bagi tingkah laku manusia

(Budiardjo, 2008: 218). PBB telah merintis upaya ini dengan mencanangkan Deklarasi

Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) pada tahun 1948 dan kemudian diperkuat dengan

dua kovenan internasional tentang hak politik dan sipil dan hak ekonomi, sosial, dan budaya.

Yang menarik dari generasi kedua ini adalah upaya-upaya negara-negara blok sosialis

dan negara-negara yang baru merdeka (negara-negara “Dunia Ketiga”) untuk

mengembangkan hak-hak sosial dan ekonomi yang meliputi hak atas pekerjaan, hak atas

penghidupan yang layak, dan hak atas pendidikan. Mencuatnya tuntutan akan hak-hak

tersebut antara lain adalah sebagai reaksi terhadap rumusan HAM negara-negara Barat yang

lebih menonjolkan kebebasan individu dan hak politik ketimbang hak-hak sosial dan ekonomi

yang sangat dibutuhkan untuk mengatasi kemiskinan. Selain itu, berbeda dengan pelaksanaan

hak politik dalam pemikiran liberal yang membatasi peran pemerintah, maka pelaksanaan

hak-hak sosial dan ekonomi justru mendorong pemerintah untuk terlibat dalam berbagai

aspek kehidupan masyarakat.

Generasi ketiga dimotori oleh Dunia Ketiga (negara-negara berkembang yang tersebar

di Asia-Afrika dan baru merdeka setelah PD II) sehingga hak-hak yang diajukan pun

mencerminkan kepentingan masyarakat di wilayah itu. Upaya mereka mulai menonjol pada

tahun 1980-an, dengan tekanan pada hak atas perdamaian dan hak atas pembangunan. Selain

itu, konsep kekhasan nasional, wilayah, latar belakang budaya dan agama juga diterima

sebagai bahan pertimbangan. Penerimaan terhadap upaya negara-negara Dunia Ketiga ini

85

dinyatakan dalam Deklarasi Wina (Juni 1993). Isi deklarasi itu merupakan kompromi antara

negara-negara Barat dan negara-negara Dunia Ketiga. Sumbangan Indonesia dalam forum itu

adalah penekanan pada perlunya hak asasi ditingkatkan dalam konteks kerja sama

internasional atas dasar penghormatan terhadap kesetaraan negara-negara yang berdaulat dan

terhadap identitas nasional masing-masing (Budiardjo, 2008: 244—245).

b. HAM dalam UUD 1945

Pembicaraan tentang hak dan kewajiban WNI tentu harus melibatkan UUD sebagai

sumber atau landasan otoritas bagi rakyat untuk menikmati hak dan memenuhi kewajibannya

sebagai warga negara. Terdapat perbedaan yang cukup signifikan, khususnya menyangkut

pasal-pasal berisi HAM, dalam UUD 1945 sebelum amandemen dan yang sesudah

amandemen. Dalam UUD 1945 sebelum amandemen, pasal tentang HAM tidak dicantumkan

secara khusus sehingga timbul pertanyaan, apa yang melatarbelakangi para perumus UUD

1945 sehingga mereka tidak memasukkan pasal-pasal tersebut? Perdebatan di antara para

tokoh bangsa dalam sidang-sidang BPUPKI bermuara pada rumusan hak-hak warga negara.

Secara historis, sebagian besar pemikiran para tokoh itu dilatarbelakangi oleh

antikolonialisme dan antiliberalisme. Mereka pun telah melihat bahwa rumusan HAM dari

negara-negara Barat sendiri sangat bercorak liberal dan individualistis, dan gagal

menghapuskan kemiskinan di negara-negara Barat yang saat itu diguncang depresi. Di

samping itu, alam liberalisme juga ditandai oleh semakin tajamnya konflik buruh–majikan

dan juga timbulnya persaingan antarnegara. Dampak persaingan antarnegara inilah yang

kemudian melahirkan kolonialisme dan imperalisme.

Melihat dampak-dampak tersebut, para tokoh tersebut menjadi yakin bahwa untuk

mencapai cita-cita masyarakat adil dan makmur, maka nilai keadilan sosial, kekeluargaan, dan

gotong-royong merupakan nilai yang tepat untuk menjiwai pembentukan pasal-pasal

mengenai hak warga negara. Nilai keadilan sosial, khususnya, juga diyakini dapat membawa

perdamaian dunia bila diterapkan oleh bangsa-bangsa lain. Dengan latar belakang sejarah

tersebut, para tokoh bangsa yang merumuskan hak-hak warga negara sependapat bahwa HAM

tidak perlu dimasukkan secara khusus. Namun, mereka tetap berpegang pada prinsip

kedaulatan rakyat, sehingga rakyat tetap diberi hak untuk mengeluarkan pendapat dan

bersidang, serta hak kesetaraan di hadapan hukum dan dalam pemerintahan. Kemerdekaan

atau hak tersebut harus diberikan untuk mencegah terjadinya negara kekuasaan. Selain prinsip

86

kedaulatan rakyat, sila-sila Pancasila juga sangat mewarnai perumusan hak-hak warga negara

seperti terlihat dari sila keadilan sosial dalam perumusan hak pendidikan, pemeliharaan fakir

miskin dan anak terlantar oleh negara, dan dari sila pertama yang menjiwai pasal tentang

kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk

beribadat menurut agama dan kepercayaannya.21

Pasal-pasal tentang hak warga negara tetap tak berubah hingga terjadinya amandemen

UUD 1945. Perubahan terjadi setelah bangsa Indonesia menempuh jalan gelap pada masa

Orde Baru. Sejumlah peristiwa atau kasus yang terjadi, seperti Daerah Operasi Militer (DOM)

di Aceh, kasus Tanjung Priok, kasus Talang Sari, kasus Marsinah, kasus Semanggi I dan II,

kasus Trisakti, dan kerusuhan di Ambon dan Poso telah menimbulkan jatuhnya banyak

korban. Hal ini menyadarkan anggota masyarakat untuk berjuang menegakkan HAM di

Indonesia. Tuntutan mereka bergaung dalam Gerakan Reformasi pada tahun 1998. Akhirnya,

di bawah pemerintahan Megawati ditetapkankanlah TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang

HAM yang kemudian menjadi UU Nomor 39 Tahun 1999 yang di dalamnya juga ditetapkan

hak perempuan dan anak. Secara formal, perjuangan penegakan HAM mencapai puncaknya

dengan masuknya pasal-pasal khusus mengenai HAM dalam UUD 1945 sesudah amandemen.

HAM melengkapi hak-hak sosial warga negara yang sangat ditekankan dalam UUD 1945

sebelum amandemen. Secara umum, HAM dalam UUD meliputi hak untuk hidup, hak untuk

mengembangkan diri, hak untuk memperoleh keadilan, hak untuk perlindungan diri dan bebas

dari penyiksaan, serta hak untuk memperoleh suaka politik dari negara lain. Hak-hak sosial

pun semakin dijamin dengan penegasan atas hak atau jaminan sosial.22 Perubahan signifikan

lainnya adalah pencantuman batasan-batasan terhadap hak warga negara.

c. Implementasi Hak dan Kewajiban Warga Negara dalam Kehidupan Sehari-hari

Secara formal, hak dan kewajiban penduduk Indonesia telah ditetapkan dalam UUD.

Hak-hak itu meliputi hak umum, hak negatif dan positif, serta hak individual dan sosial.

Bagaimana implementasi hak dan kewajiban tersebut dalam kehidupan sehari-hari secara

praktis? Untuk melihat aspek praktis dari pasal-pasal tentang hak warga negara, maka berikut

ini hak-hak itu akan diuraikan dalam tiga kategori, yakni keamanan, kesetaraan, dan

kemerdekaan.

21 Lihat UUD 1945 (sebelum amandemen) Pasal 27, 29, 31 dan 34. Lihat juga perdebatan para tokoh bangsa Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1992: 206—209, 222—223.

22 Selengkapnya, lihat pasal 28 A–J, UUD 1945 (sesudah amandemen).

87

(1) Keamanan

Dalam Pembukaan UUD disebutkan bahwa salah satu tujuan negara adalah melindungi

segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Tujuan ini tentu akan

diemban sebagai kewajiban tiap pemerintah untuk menjamin keamanan negara dan

keselamatan penduduk yang tinggal di wilayah Indonesia. Perlindungan dan jaminan

pemerintah atas keamanan ini diperlukan oleh setiap orang karena ancaman terhadap

penduduk bisa datang dari luar yaitu serangan bangsa lain, dan secara internal berupa

tindakan kriminal. UUD 1945 sesudah amandemen telah menetapkan pasal-pasal tentang

HAM. Hal ini berarti bahwa dalam kehidupan sehari-hari setiap orang juga dijamin

keamanannya terhadap tindakan negara yang tidak adil, misalnya tindakan penangkapan tanpa

alasan yang mencukupi. Bila terjadi kekeliruan dalam penangkapan, penahanan, atau

penuntutan, maka seseorang dapat meminta ganti rugi. UU tentang prosedur ini secara khusus

diatur dalam KUHAP.23

(2) Kesetaraan

Seluruh warga negara tanpa memandang suku, agama, budaya, aliran politik, profesi dan

status sosial-ekonomi diperlakukan setara. Kesetaraan ini menempatkan setiap warga negara

mendapat pengakuan, jaminan, perlindungan, kepastian yang adil, dan perlakuan yang sama

di hadapan hukum.24

(3) Kemerdekaan (indepedensi)

Kata kemerdekaan kita jumpai pada alinea pertama Pembukaan UUD 1945. Dalam

kehidupan berbangsa dan bernegara, kemerdekaan negara-bangsa merupakan prasyarat bagi

kemerdekaan tiap-tiap warga negara. Kemerdekaan di sini bermakna lebih dari kebebasan

dalam pengertian liberal, karena kemerdekaan menempatkan individu sebagai “persona” atau

pribadi yang bermartabat di dalam negara. Inilah hakikat individu sebagai warga negara yang

tidak hanya diposisikan di hadapan lembaga-lembaga hukum dalam negara, melainkan juga

memiliki hak untuk mengajukan tuntutan terhadap negara. Bersamaan dengan itu, pengakuan

terhadap hak itu juga menuntut tanggung jawab untuk memelihara dan mempertahankan

23 UU RI No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Pasal 95.24 Lihat Pasal 27 UUD 1945 (sesudah amandemen).

88

kemerdekaan negara. Tanggung jawab untuk ini sendiri bukanlah bentuk paksaan melainkan

merupakan bentuk aktivitas bebas warga negara, yang dilakukan dengan penuh kesadaran

(Poole, 1999: 83).

Bila ditinjau lebih jauh, aktivitas politik yang dilakukan tiap-tiap warga negara

sebenarnya juga merupakan sarana untuk memenuhi hak-haknya. Hal ini dijelaskan berikut

ini.

Hak untuk mengeluarkan pendapat dan mendapatkan informasi.25 Dalam

kehidupan sehari-hari kita melihat pemerintah membuat kebijakan-kebijakn yang berpengaruh

luas seperti menaikkan harga dasar listrik (TDL), mencabut subsidi bahan bakar minyak

(BBM), meningkatkan pajak penjualan, jaminan sosial, dsb. Dalam menghadapi keijakan-

kebijakan tersebut, hak untuk mengeluarkan pendapat dan mendapat informasi tentu harus

dipergunakan untuk mengawal pemerintah agar bertindak untuk kepentingan seluruh rakyat.

Rakyat harus mengetahui apa yang dikerjakan pemerintah, dapat menyuarakan pendapat

mereka, dan bersikap kritis bila ternyata dampak kebijakan tersebut tidak untuk kepentingan

seluruh rakyat. Hak untuk mendapatkan informasi juga berarti mengetahui hak-hak, dan

menggunakannya bila diperlukan. Sebagai contoh, dalam kehidupan sehari-hari sering kali

aparat negara melakukan salah tangkap terhadap seseorang yang tidak bersalah. Jika warga

negara tersebut sadar akan hak-haknya maka ia pun dapat terhindar dari perlakuan yang tidak

adil tersebut. Kemerdekaan untuk mengeluarkan pendapat dan memperoleh informasi juga

terkait erat dengan kebebasan pers karena pemenuhan akan hak tersebut akan mengacu

kepada sarana-sarana untuk mengeluarkan pendapat dalam wujud tulisan, seperti koran,

majalah, buku, dsb., serta sumber-sumber informasi modern seperti radio, televisi, dan

internet.

Hak berserikat. Dengan kemerdekaan berserikat, rakyat dapat membentuk

organisasi-organisasi, mulai dari klub olah raga, asosiasi profesi, hingga partai politik.

Rakyat juga dijamin haknya untuk hadir dalam rapat umum, kampanye, dsb.

Hak untuk memeluk agama dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya

masing-masing. Dengan hak yang telah ditetapkan dalam pasal 29 ini26 pemerintah menjamin

rakyat untuk menjalankan ajaran agama mereka. Sesuai dengan prinsip kesetaraan, maka

pemerintah tidak akan memperlakukan rakyat secara berbeda karena agama yang dipeluknya.

25 Lihat Pasal 28 dan 28 F, UUD 1945 (sesudah amandemen).26 Lihat Pasal 29, UUD 1945.

89

Hak untuk memilih dalam pemilu. Hak untuk memilih merupakan salah satu hak

yang penting sekaligus merupakan bentuk tanggung jawab warga negara. Dalam pemilihan

umum, warga negara memilih orang-orang yang akan duduk dalam pemerintahan dan suara

pemilih merupakan mandat bagi pemerintah yang terpilih. Jadi, kalau ternyata bahwa mereka

yang terpilih tidak mampu menjalankan tugasnya dengan baik maka warga negara berhak

untuk tidak memilihnya kembali pada pemilu berikutnya. Pemenuhan hak ini secara

bertanggung jawab akan memastikan pergantian kepemimpinan secara tertib dan damai.

Hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan. Dalam kehidupan bermasyarakat

kita menjumpai persoalan-persoalan yang begitu kompleks dan tidak dapat diatasi oleh

pemerintah semata-mata. Masalah itu antara lain ialah kemiskinan, pengangguran, dan

kekerasan dalam rumah tangga. Penyelesaian masalah-masalah tersebut mengundang

partisipasi aktif warga negara, baik secara individu maupun melalui organisasi semacam

lembaga swadaya masyarakat (LSM), lembaga bantuan hukum, atau bentuk lembaga lain

untuk membantu meringankan beban masyarakat. Dengan demikian partisipasi dalam

pemerintahan tidak hanya berupa hak untuk memilih atau dipilih untuk menduduki jabatan-

jabatan pemerintah, tetapi juga partisipasi aktif dalam kehidupan masyarakat.

d. Batasan-batasan terhadap Hak dan Kebebasan Warga Negara

Dengan pemenuhan hak-hak warga negara tidak dapat diartikan bahwa warga negara

dapat melaksanakan haknya tanpa batasan. Dalam kehidupan sehari-hari kita mengenal bahwa

kebebasan manusia memiliki batasan-batasan. Seiring dengan itu maka Pasal 73 dan 74 UU

Nomor 39 Tahun 1999, dan Pasal 28 UUD 1945 tentang HAM telah mengatur batasan-

batasan tentang hak dan kebebasan warga negara. Hal itu dilakukan untuk menjamin

pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan orang lain,

kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa.

Hak atau kemerdekaan untuk mengeluarkan pendapat sangat penting dalam negara

yang menganut sistem demokrasi karena dengan itu warga negara dapat memperoleh

informasi, menyuarakan pendapat, berdiskusi, dsb. Demokrasi akan berkembang bila warga

negara dapat menggunakan hak berpendapat itu tanpa rasa takut. Namun, warga negara tidak

boleh menyalahgunakan hak untuk berpendapat dan berbicara serta kebebasan pers dengan

tujuan untuk mencemarkan nama baik orang lain, menghasut, berbohong, atau membocorkan

90

rahasia negara yang dapat membahayakan negara. Pihak yang nama baiknya dicemarkan

berhak meminta perlindungan dari yang berwajib. Hal ini diatur dalam KUHP Pasal 310.

Menyuarakan pendapat dengan cara unjuk rasa juga diatur agar tidak mengganggu

ketertiban umum. Sebagai contoh, pengunjuk rasa wajib memberitahukan rencananya kepada

aparat negara terlebih dahulu agar unjuk rasa itu berjalan tertib dan tidak menggangu hak

orang lain, misalnya pengguna jalan raya. Kebebasan berserikat pun memiliki batasan-

batasan, misalnya kegiatan kelompok tidak akan ditoleransi bila melanggar ketertiban umum

atau menggunakan cara-cara kekerasan untuk menekan kelompok-kelompok lain.

Dari batasan-batasan terhadap kebebasan warga negara dapat dilihat bahwa hak warga

negara bukanlah tak terbatas, karena hak warga negara, sebagai seorang individu, harus

berhadapan dengan hak orang lain dan hak masyarakat. Pihak negara (pemerintah) dapat

menetapkan UU atau peraturan-peraturan yang membatasi hak-hak warga negara. Hal itu

dilakukan untuk menjaga keamanan dan keselamatan warga negara dan ketertiban masyarakat

secara umum. Dengan kesadaran bahwa orang lain dan masyarakat juga memiliki hak-hak

yang harus dipenuhi, maka tiap warga negara diharapkan menyadari bahwa untuk memenuhi

hak-haknya secara penuh ia pun wajib menghargai hak-hak orang lain pula.

e. Kewajiban Warga Negara

Pembicaraan tentang hak warga negara selalu berbarengan dengan kewajiban warga

negara. Kewajiban warga negara menuntutnya melakukan sesuatu dan jika dia tidak

melakukannya maka dia dapat dikenai denda atau, dalam kasus tertentu, bahkan dapat

dipenjara. Kewajiban menuntut pemenuhannya walaupun warga negara (mungkin) enggan

melakukannya. Berbeda dengan kewajiban, warga negara juga memiliki tanggung jawab,

yaitu apa yang seharusnya dilakukan. Tanggung jawab sebenarnya merupakan bentuk

kewajiban juga, tetapi pemenuhannya hanya secara sukarela atau tanpa paksaan. Seperti

halnya pemenuhan hak-hak warga negara, pemenuhan kewajiban warga negara juga

merupakan tindakan yang memastikan penyelenggaraan negara berjalan baik.

Beberapa kewajiban yang harus dijalankan setiap warga negara, antara lain ialah 1)

menjunjung/mematuhi hukum dan pemerintahan, 2) membela negara, 3) membayar pajak, 4)

mengikuti pendidikan dasar (wajib sekolah), dan 5) menghormati hak asasi orang lain.

91

(1) Menjunjung/mematuhi hukum dan pemerintahan27

Kalau negara menerapkan prinsip hukum, maka konsekuensinya adalah bahwa hukum

harus dijunjung, baik oleh pemerintah maupun oleh warga negara. Bilamana hukum tidak

dipatuhi, maka sulit bagi pemerintah untuk menegakkan ketertiban, melindungi keamanan dan

keselamatan warga negara, serta melindungi harta milik mereka. Hukum dapat berupa

peraturan lalu lintas, hukum pidana—yang mengatur agar tindakan seseorang/sekelompok

orang tidak merugikan pihak lain—dan berbagai peraturan yang ditujukan agar masyarakat

dapat hidup bersama dengan rukun.

(2) Membela negara

Membela negara merupakan salah satu kewajiban warga negara yang penting.28

Pemenuhan kewajiban ini akan memastikan keamanan negara dan bangsa, dan dengan

demikian juga keamanan warga negara.

(3) Membayar pajak

Pajak merupakan sumber pendapatan negara yang penting. Penggunaannya antara

lain ialah untuk membangun fasilitas yang amat vital seperti pembangunan jalan, gedung-

gedung pemerintah dan berbagai fasilitas lain. Pajak juga digunakan untuk gaji aparat negara,

seperti tentara dan polisi yang bertugas untuk mempertahankan keamanan negara dan

menjaga ketertiban rakyat, serta pegawai birokrasi yang bertugas melayani rakyat.

(4) Mengikuti pendidikan dasar (wajib sekolah)29

Bagi warga negara, sekolah merupakan sarana yang penting untuk

mempersiapkannya menjadi warga negara yang baik. Melalui sekolah seseorang mendapatkan

pendidikan yang bukan hanya berupa pengetahuan melainkan juga keterampilan dan

kemampuan dasar sebagai warga negara—seperti kemampuan menyuarakan pendapat dalam

bentuk lisan dan tulisan, kemampuan untuk mencari dan memilah informasi, dsb. Di

Indonesia, sejauh ini, yang diwajibkan bagi warga negara adalah mengikuti pendidikan dasar.

27 Lihat Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 (sesudah amandemen).28 Lihat Pasal 27 ayat (3) UUD 1945 (sesudah amandemen).29 Lihat Pasal 31 ayat (2) UUD 1945 (sesudah amandemen).

92

(5) Menghormati hak asasi orang lain30

Menghormati hak asasi orang lain merupakan syarat agar hak kita sendiri juga

dihormati orang lain. Rasa saling hormat mengarah kepada terciptanya ketertiban dalam

kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dalam kehidupan sehari-hari, interaksi

sosial merupakan peristiwa yang tidak dapat dihindari, misalnya di dalam keluarga, tempat

kerja, dan kampus. Dalam interaksi-interaksi tersebut tidak jarang dijumpai adanya perbedaan

pendapat atau bahkan konflik. Solusi dari konflik disebut menghormati hak asasi bila tidak

melibatkan tindak kekerasan, tidak menghasut, tidak menjarah harta milik orang lain, tidak

melarang orang beribadah menurut agama atau kepercayaannya atau, dalam hal perusahaan,

pimpinan perusahaan tidak melakukan tindakan seperti tidak membayar gaji pegawai, dan

dalam hal yang melibatkan kaum muda, tidak melakukan keributan yang menggangu

kenyamanan orang lain.

Bersamaan dengan kewajiban untuk menghormati hak asasi orang lain, warga

negara juga memiliki tanggung jawab untuk menghormati hak-hak orang lain yang tidak

sependapat dengannya. Warga negara diharapkan mampu menghargai dan menerima

pendapat orang lain tanpa memandang latar belakang budaya, agama, aliran politik, dsb.

Tingkah laku menghormati dan menerima pendapat orang lain ini disebut toleransi. Toleransi

sangat dibutuhkan dalam negara dengan sistem demokrasi, karena di alam demokrasi, tiap

orang memiliki hak untuk mengeluarkan pendapat. Bila pertukaran ide tidak disertai oleh

toleransi maka akan terjadi kebuntuan. Kebuntuan berpotensi terjadi di masyarakat yang

memiliki keberagaman latar belakang. Dalam konteks ini, tiap warga negara memiliki

tanggung jawab untuk menghargai pendapat orang lain.

Di samping menghargai keberagaman, warga negara juga wajib menghargai hak

orang lain dengan cara ikut memelihara berbagai fasilitas umum yang digunakan banyak

orang, seperti memelihara kebersihan halte bus, tidak merusak peralatan telepon umum, dsb.

5. Kewajiban dan Hak Negara

Di atas telah dikemukakan bahwa negara dan warga negara memiliki hubungan

timbal-balik, seperti yang tercermin dalam hak dan kewajiban masing-masing pihak. Hak dan

kewajiban negara (pemerintah) dan warga negara bersumber dari, dan diatur dalam UUD.

30 Lihat Pasal 28 J, UUD 1945 (sesudah amandemen).

93

Kewajiban negara secara implisit termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 yakni pada alinea

keempat yang berisi tujuan negara yang harus dilaksanakan setiap pemerintahan yakni

melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan

kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan melaksanakan ketertiban dunia

yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Keempat tujuan

tersebut yang menjiwai kewajiban dan tanggung jawab negara sebagaimana tertuang dalam

pasal-pasal UUD,31 yaitu bahwa negara harus membuat kebijakan-kebijakan untuk dapat

memenuhi hak-hak warga negara, yaitu hak atas kehidupan, hak beragama, hak

mengemukakan pendapat, hak untuk mendapat pekerjaan yang layak, pendidikan, dan

seterusnya.

Pemenuhan kewajiban negara tentu memiliki konsekuensi bagi warga negara—yang

pada gilirannya menjadi hak negara. Warga negara wajib memelihara dan mempertahankan

kemerdekaan negara dan sejumlah kewajiban warga negara yang lain sebagaimana telah

diuraikan pada subbab sebelumnya. Hal itu menunjukkan bahwa upaya bela negara, mematuhi

hukum, membayar pajak, dan lain-lain merupakan aktivitas-aktivitas warga negara untuk

memenuhi hak negara. Hanya melalui tindakan timbal-balik dalam pemenuhan hak dan

kewajiban masing-masing pihak—negara dan warga negara—tujuan negara akan tercapai,

dan, sebaliknya, hak-hak warga negara akan terpenuhi pula.

6. Evaluasi Kritis terhadap Hubungan Timbal-balik antara Negara dan Warga Negara

Bila negara lain seperti AS memiliki piagam hak asasi yang terpisah dari UUD,

Indonesia tidak demikian. UUD 1945 (sebelum amandemen) telah mencakup hak asasi di

dalamnya. Hak-hak tersebut termuat dalam Pasal 27—31 yaitu tentang hak di bidang politik,

ekonomi, sosial, dan budaya (Budiardjo, 2008: 248).

Pencantuman hak-hak tersebut memiliki latar belakang sejarah yang menarik.

Penjajahan Belanda di Indonesia telah menyebabkan para pendiri bangsa bersikap kritis

terhadap paham-paham seperti liberalisme, kapitalisme, kolonialisme, dan individualisme.

Liberalisme misalnya telah digunakan negara-negara Barat untuk merumuskan hak asasi.

Liberalisme pula yang mendorong adanya kompetisi bebas antarnegara sehingga timbul

benih-benih kolonialisme yang berakibat pada penjajahan, terutama di Asia dan Afrika.

Liberalisme dan kapitalisme yang dipraktikkan tanpa batas, pada masa tahun 1930-an juga

31 Lihat Pasal 27 ayat (1) dan (2); Pasal 28; Pasal 28 A–J; Pasal 29 ayat (2); Pasal 30 ayat (1); Pasal 31 ayat (1) dan (2); Pasal 32 ayat (1) dan (2); Pasal 34 ayat (1), (2), dan (3), UUD 1945 (sesudah amandemen).

94

menyebabkan krisis ekonomi di negara-negara Barat dan memicu terjadinya perang

antarnegara. Dampak penerapan liberalisme dan kapitalisme tersebut telah menyadarkan

tokoh-tokoh bangsa bahwa hak-hak politik seperti hak mengeluarkan pendapat dan berserikat

yang ditekankan di alam liberalisme tidak mampu mengangkat kesejahteraan masyarakat atau

kesetaraan di bidang ekonomi, padahal kesejahteraan merupakan masalah krusial bagi negara-

negara yang baru merdeka seperti Indonesia. Sebagai jawaban atas masalah tersebut, maka

dalam perumusan UUD, keadilan sosial lebih ditekankan.32 Namun, di tengah kuatnya arus

pemikiran untuk lebih menekankan hak atau kemerdekaan warga negara di bidang sosial dan

ekonomi, ada tokoh seperti Hatta yang tetap kokoh untuk mencantumkan hak rakyat untuk

mengeluarkan pendapat dan berserikat. Tujuan pencantuman hak tersebut tidak lain untuk

mencegah timbulnya negara kekuasaan yang berpotensi menindas rakyat.

Dengan diterimanya usulan-usulan tentang pencantuman hak mengeluarkan pendapat

dan berserikat, maka UUD 1945 sebelum amandemen telah mencantumkan hak-hak politik,

sosial, ekonomi, dan budaya. Ada satu hal yang membanggakan dan patut diketengahkan di

sini, yakni bahwa UUD 1945 memuat hak-hak kolektif, seperti hak bangsa untuk menentukan

nasib sendiri (lihat Pembukaan UUD 1945), hak ekonomi dan sosial seperti hak mendapat

pengajaran, hak atas penghidupan yang layak, hak untuk fakir miskin dan anak terlantar, dst.

Pencantuman hak-hak tersebut dilakukan mendahului Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia

(DUHAM) yang baru diundangkan tiga tahun kemudian, yakni pada tahun 1948 (Budiardjo,

2008: 244). Dengan demikian, dari sudut sejarah pemikiran, kita patut menghargai pemikiran-

pemikiran tokoh pendiri bangsa kita.

Pembicaraan tentang pemikiran tentu tidak akan lengkap bila tidak mencakup aspek

tindakan dalam bentuk kebijakan negara di bidang pemenuhan hak-hak warga negara

sebagaimana tercantum dalam UUD. Dari sejarah perjalanan bangsa terlihat bahwa kebebasan

mengeluarkan pendapat, kebebasan berserikat, dan kebebasan pers tidak dapat dinikmati

sepenuhnya oleh warga negara, karena adanya batasan-batasan seperti pembubaran partai

politik dan pembredelan pers, dan tindakan sewenang-wenang seperti kekerasan militer

(pemberlakuan daerah operasi militer /DOM) di Aceh, kasus Tanjung Priok, dan kasus

Trisakti. Faktor-faktor tersebut, bersama-sama dengan keterpurukan ekonomi dan masalah-

masalah korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang kronis, telah mendorong berbagai elemen

masyarakat melakukan gerakan reformasi untuk mengakhiri pemerintahan Soeharto.

32 Lihat Pasal 31, Pasal 33, Pasal 34 UUD 1945 (sebelum amandemen).

95

Satu hal yang menarik dan patut dipelajari dari peristiwa-peristiwa tersebut adalah

bahwa ketika negara menjadi negara kekuasaan maka negara (dalam hal ini pemerintah)

memakai kekuasaan untuk menafsirkan UUD demi kepentingan kekuasaan itu sendiri

sehingga dalam praktik rakyat menjadi pihak yang tertindas. Pada masa Orde Baru, sering kali

terjadi ketidaksamaan persepsi antara pemerintah dan masyarakat tentang konsep

“kepentingan umum” dan “keamanan nasional”. Dalam tafsiran pemerintah, tidak jelas kapan

kepentingan individu berakhir dan kepentingan umum mulai. Sebagai contoh, dalam kasus

penggusuran, penduduk diminta menyerahkan lahannya untuk pendirian fasilitas rumah sakit.

Dalam kasus seperti ini, masyarakat biasanya tidak mempersoalkannya, tetapi dalam kasus

penggusuran untuk pendirian pusat komersial, interpretasi tentang “kepentingan umum” dapat

bertolak belakang karena dapat dipandang sebagai pelanggaran hak asasi. Demikian pula

interpretasi tentang “keamanan”, tidak pernah jelas kapan keamanan terancam dan kapan

unjuk rasa masih dapat ditoleransi sebagai upaya untuk mengeluarkan pendapat. Kekuasaan

menafsir “kepentingan umum”, “keamanan umum” dan “stabilitas nasional” merupakan

monopoli negara (Budiardjo, 2008: 251—253). Negara dengan demikian telah menampilkan

diri sebagai negara kekuasaan.

Menghadapi situasi demikian, maka memasuki era Reformasi, berbagai elemen

masyarakat menuntut penguatan hak asasi. Upaya ini berhasil dengan diundangkannya UU RI

Nomor 39 Tahun 1999. Pemberlakuan dan pelaksanaan UU itu merupakan kemajuan hak-hak

asasi politik, seperti hak untuk mengeluarkan pendapat, hak berserikat, dan kebebasan pers

yang kini dapat dinikmati rakyat secara bebas. Selain itu, terbitnya UU Nomor 23 Tahun 2004

tentang penghapusan kekerasaan dalam rumah tangga telah menguatkan hak asasi perempuan.

Dalam UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang kewarganegaraan RI terdapat pasal yang

mengesahkan status anak yang terlahir dari ibu WNI dan ayah WNA. Dengan UU ini, status

anak yang terlahir dari ibu WNI adalah mengikuti kewarganegaraan ibunya sampai ia dapat

menentukan statusnya sendiri pada usia 18 tahun. UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang

pemberantasan tindak pidana perdagangan orang diterbitkan agar bila perkawinan berakhir

dengan perceraian, hak asuh anak tetap pada ibu.

Adapun pemenuhan hak-hak politik ternyata tidak diimbangi dengan pemenuhan hak

warga negara di bidang sosial-ekonomi dan budaya. Saat ini Indonesia masih terbelit oleh

masalah pengangguran, pendidikan dan kesehatan yang mahal, kemiskinan, dan korupsi.

Kebijakan-kebijakan pemerintah ternyata belum mampu memenuhi tujuan-tujuan yang

96

digariskan dalam Pembukaan UUD 1945. Kesejahteraan dan keadilan sosial masih jauh dari

harapan. Masalah kesetaraan di hadapan hukum pun masih menjadi persoalan sehingga timbul

rasa ketidakadilan di kalangan rakyat.

Di pihak warga negara, yang juga patut mendapat perhatian khusus adalah bahwa

perilaku kebebasan tanpa batas seperti tindak anarki, amuk massa, tindakan-tindakan yang

tidak mencerminkan toleransi dalam hidup beragama, perilaku korupsi, dsb. merupakan

cermin melemahnya kesadaran akan pentingnya hukum untuk ketertiban bersama dan

menciptakan keadilan.

Dengan melihat keadaan yang dikemukakan di atas, dapat dikatakan bahwa masalah

keamanan, kesetaraan, dan kebebasan tetap menjadi masalah penting dalam hidup berbangsa

dan bernegara. Pemenuhan hak-hak warga negara di ketiga bidang tersebut memerlukan peran

negara. Namun, mengingat permasalahan dalam masyarakat begitu rumit dan beragam, negara

juga membutuhkan partisipasi warga negara. Partisipasi politik warga negara merupakan

kekuatan penyeimbang bagi kekuasaan negara. Melalui hubungan kerja sama atau hubungan

timbal-balik antara negara dan warga negaralah penyelenggaraan negara dapat terarah pada

cita-cita bersama sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD 1945.

BAB VINDONESIA DAN DUNIA INTERNASIONAL

97

Setelah membaca bab ini mahasiswa mampu memahami dinamika

hubungan antarbangsa di dunia, serta mampu membangun sikap

terbuka dan kritis terhadap peran politik Indonesia di dunia

internasional.

1. Hubungan Antarbangsa

Hubungan antarbangsa tidak selamanya serasi karena menyangkut kepentingan

nasional masing-masing. Kepentingan nasional antara dua bangsa/negara dapat berbeda,

malah saling berbenturan. Perbedaan kepentingan yang menimbulkan pertentangan biasanya

disebut konflik. Dalam perkembangannya konflik dapat meruncing dan berlanjut dengan

penggunaan senjata. Keadaan terakhir itu disebut perang.

Gambaran plastis hubungan antara dua negara dapat dijelaskan sebagai berikut.

Pertama, integrasi (kerja sama); hal ini dapat terjadi karena kepentingan dua negara sejalan.

Kedua, konflik (pertentangan); hal ini dapat terjadi karena kepentingan masing-masing negara

saling bertentangan. Untuk yang kedua ini, ada beberapa cara penyelesaiannya yaitu tindak

kekerasan, penekanan atau pemaksaan (coersion), dan akomodasi. Tindak kekerasan biasanya

berupa penyelesaian dengan perang bersenjata. Dalam hal penekanan atau pemaksaan,

biasanya salah satu negara melakukan gerakan provokasi agar negara lainnya takut/tunduk,

misalnya dengan mengadakan latihan militer di daerah perbatasan. Akomodasi ialah keadaan

kedua bangsa saling menghormati dengan koeksistensi, kompromi, dan kompetisi kepentingan

secara sehat.

Peningkatan atau eskalasi konflik antarnegara bagaikan sebuah spektrum. Eskalasi

dimulai apabila salah satu negara merasa dirugikan yaitu ketika, umpamanya, upayanya untuk

memakai produksi sendiri terganggu. Keadaan ini biasanya berlanjut dengan peningkatan tarif

bea masuk, kuota perdagangan, pembatasan peredaran valuta asing, konsesi dagang dengan

negara (mitra) tertentu, hal yang sudah barang tentu akan dibalas oleh negara yang tidak

mendapat konsesi dengan cara boikot dan/atau sabotase atas barang negara “lawan” (yang

tidak memberi konsesi). Keadaan ini, yang mirip dengan keadaan perang tetapi tanpa

penggunaan senjata, disebut perang dingin.

Dalam perang dingin dapat terjadi “perang terbatas” dengan tanda-tanda seperti

penahanan kapal “lawan” dengan muatannya, insiden perbatasan, dan huru-hara yang

dikendalikan dari luar. Perang panas atau perang terbuka dimulai dengan pencaplokan atau

aneksasi teritorial, kemudian pernyataan perang yang dilanjutkan dengan penggunaan satuan-

98

satuan Angkatan Perang (Darat, Laut, dan Udara). Bahkan perang dapat menjadi tidak

terkendali apabila tidak segera diselesaikan. Perang tidak terkendali apabila kedua pihak

menggunakan senjata nuklir, biologi, dan kimia (Eccles, 1959: 13).

Untuk mengatasi eskalasi seperti itu masing-masing negara biasanya menyiapkan

warga negaranya untuk ikut serta dalam upaya pembelaan negara maupun upaya pertahanan-

keamanan. Bagi bangsa Indonesia kedua upaya ini merupakan hak dan kewajiban. Hal ini

diatur dalam Pasal 27 ayat (3) dan pasal 30 ayat (1) UUD 1945. Ini merupakan keunikan

hukum tentang hak dan kewajiban warga negara di Indonesia.

Sejarah konflik antarmanusia, antarmasyarakat maupun antarbangsa selalu melibatkan

masyarakat atau bangsa lain sehingga terbentuk blok-blok. Pada abad XVII dua blok yang

saling berhadapan adalah dinasti Bourbon di Eropa Barat dengan dinasti Hapsburg di Eropa

Tengah. Pasca-Perang Dunia I, sekitar tahun 1920-an dunia seolah-olah dibagi hanya atas dua

sebagai dunia Barat dan sisanya, yaitu negara-negara yang dianggap tidak dipengaruhi oleh

Barat (Huntington, 1998: 23—26). Dalam pengertian ini negara koloni dianggap masuk ke

blok Barat. Pada pertengahan abad XX, pasca-Perang Dunia (masa perang dingin), di

samping blok Barat dan blok Timur muncul pula blok lain yaitu negara-negara yang baru

merdeka.

2. Peran Indonesia dalam Hubungan Antarbangsa

Butir keempat dari tujuan nasional Indonesia sebagaimana tertulis pada Alinea

keempat Pembukaan UUD 1945 asli merupakan “politik bebas aktif”. Kebijakan politik

bebas aktif dilakukan untuk menghadapi kenyataan adanya dua blok negara pemenang Perang

Dunia II. Pembentukan kedua blok didasarkan pada ideologi yang berkembang pada abad

XX, masing-masing blok liberal (blok Barat) dan blok sosialis (blok Timur). Kedua blok itu

berupaya menyelesaikan konflik dengan perang dingin, yang sebenarnya merupakan upaya

koersi kedua blok tersebut. Blok Barat merangkul mantan musuhnya dalam Perang Dunia II,

Jerman Barat, dan dimasukan dalam pakta pertahanan Atlantik Utara (NATO). Jepang

dirangkul dan dipayungi oleh Amerika Serikat selama Jepang bersedia menjadi negara

demokrasi liberal, termasuk sistem agraria dan pendidikan (Robert, 2004: 1062). Akibatnya,

Jepang dan Jerman Barat menjadi raksasa ekonomi baru dengan tingkat kesejahteraan tinggi.

Kedua negara itu mengalahkan negara-negara pemenang perang; Jerman Barat, misalnya,

lebih pesat perekonomiannya daripada Prancis. Ini tidak lain karena Jepang dan Jerman Barat

99

meminimalkan biaya keamanan nasionalnya yang telah dipayungi oleh blok Barat (sekutu).

Kedua blok (Barat dan Timur) berupaya menarik negara-negara merdeka baru ke dalam blok

mereka masing-masing.

Dalam pada itu, Indonesia bersama India, Pakistan, Sri Langka dan Myanmar (dahulu

Birma) berupaya agar negara baru tidak terseret ke dalam salah satu kubu, dengan maksud

agar dapat meredakan ketegangan dunia. Gerakan yang dipelopori Indonesia itu mendapat

respons dari Mesir pasca-tergulingnya monarki dan berhasil mengadakan Konferensi Asia

Afrika di Bandung pada tahun 1955 yang menjadi cikal-bakal Gerakan Non-Blok. Pada era

Perang Dingin 1960-an ke dalam blok baru itu kemudian bergabung Yugoslavia yang sedikit

merenggang dengan blok negara-negara demokrasi sosialis. Negara-negara Amerika Latin

yang sebelumnya pro Barat, pada era ini bergabung dengan negara-negara Asia dan Afrika.

Negara-negara yang tergabung dalan gerakan non-blok dikenal sebagai negara dunia ketiga

atau negara sedang berkembang (NSB). Dalam gerakan ini Indonesia termasuk negara

pemrakasa (Huntington, 1998: 24—25).

Gerakan non-blok berperan penting dalam meredam konflik atau perang dingin.

Namun, sangat disayangkan bahwa pimpinan (elit politik) negara-negara pemrakasa kurang

memberi kesempatan kepada generasi yang lebih muda sehingga terkesan kurang demokratis.

Sepeninggal mereka, gerakan non-blok menjadi kurang efektif, apalagi setelah krisis ekonomi,

sosial, budaya, dan politik melanda negara-negara anggotanya, mengingat bahwa syarat utama

gerakan ini adalah kestabilan politik pada masing-masing negara peserta.

Di era “Perang Dingin 1960-an” juga terjadi krisis politik di Indonesia. Presiden

Soeharto sebagai kepala pemerintahan memprioritaskan pengamanan dalam negeri dan

sekaligus pembangunan ekonomi dalam negeri. Secara tidak langsung arah politik kita

cenderung ke demokrasi liberal. Gerakan selanjutnya berupaya melakukan pemurnian

ideologi Pancasila dan UUD 1945 secara konsekuen dan merumuskan paradigma tata

kehidupan nasional dengan menyusun doktrin-doktrin dasar. Legitimasi doktrin-doktrin dasar

adalah Wawasan Nusantara sebagai geopolitik dan Ketahanan Nasional sebagai geostrategi

melalui ketetapan MPR. Implementasi kedua doktrin itu dalam politik luar negeri dimulai

dengan upaya pembangunan stabilitas politik dan ekonomi di kawasan regional. Hubungan

dengan negara tetangga yang selama itu “kurang baik” dibangun kembali dengan mendirikan

perhimpunan negara Asia Tenggara (Association of South East Asia Nations, ASEAN).

100

3. Berbagai Kecenderungan di Era Globalisasi

Dekade akhir abad XX dan awal abad XXI disebut masa (era) globalisasi. Pada masa

ini setiap negara menjadi negara terbuka untuk perdagangan bebas. Era globalisasi ditandai

oleh kemajuan teknologi dalam bidang transportasi—terutama setelah pesawat terbang

digunakan sebagai angkutan masal, baik untuk penumpang maupun barang—telekomunikasi

—yang kini telah berkembang menjadi teknologi informatika—serta semangat perdagangan

bebas. Pada era ini pula orang terdorong menjadi warga negara dunia (kosmopolit). Negara

maju dan kaya mencita-citakan dunia tanpa batas. Dunia tanpa batas akan merugikan bangsa

yang sedang berkembang apabila bangsa itu tidak memiliki karakter nasional yang kuat dan

intelektual yang tinggi. Tidaklah mengherankan apabila akan terjadi konflik antarnegara

maupun interen negara nasional yang dipicu oleh perbedaan persepsi mengenai nilai-nilai

dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Konflik fisik masih terjadi baik dalam rangka perebutan wilayah secara fisik maupun

melalui maya, yaitu melalui pengaruh budaya, ekonomi dan sebagainya, yang berawal dari

perebutan sumber daya alam. Oleh karena itu tidaklah salah apabila Wright berkata bahwa

perang fisik dipicu oleh 1) dunia yang “menciut” sebagai akibat kemajuan teknologi

transportasi, 2) “percepatan” jalannya sejarah sebagai akibat kemajuan teknologi

telekomunikasi, 3) penemuan persenjataan baru (yang lebih modern), dan 4) kebangkitan

demokrasi. Dari keempat penyebab perang itu, tiga di antaranya menyebabkan penggunaan

sumber daya alam—terutama yang tidak dapat diperbaharui—yang berlebihan. Oleh karena

itu isu era globalisasi diidentikkan dengan pemanasan global dan perebutan wilayah sumber

daya alam (Wright, 1942: 4—7).

Di era ini muncul konsep “dunia tanpa batas” yang pada hakikatnya adalah

perkembangan dari berdirinya perusahaan-perusahaan multinasional (multinational

corporations), yang tidak lain merupakan bentuk liberalisasi ekonomi dunia. Dalam konsep

ini seorang pembeli dianggap sebagai raja, tetapi dalam kenyataannya dia terpaksa membeli

barang hanya demi menjaga gengsi—memakai merek tertentu. Persaingan penjualan hasil

produk akan dimenangkan oleh perusahaan yang mampu merakit barang berkat penyebaran

teknologi (dispersion of technology). Perusahaan besar akan tetap membina perusahaan kecil

dan mungkin ikut membiayai penelitian dan pengembangan sehingga produknya dijadikan

modal tetap sebagai biaya tetap (fixed cost). Masalah mata uang dan negara (currency and

country) akan menjadi kendala apabila perusahaan itu dimiliki oleh satu negara. Oleh karena

101

itu perusahaan yang berupaya mempengaruhi konsumen menjadi perusahaan multi-nasional

yang didirikan oleh beberapa negara (Ohmae, 1991: 34—71).

Berdasarkan uraian di atas, tidaklah salah apabila dikatakan bahwa era globalisasi

merupakan bentuk kolonisasi perusahaan multinasional melalui dunia maya, yang mengarah

kepada penjajahan sosial, budaya, ekonomi, dan ideologi, dan tidak mustahil juga akan

mengarah kepada tindak-tindak kriminal antarnegara. Sudah barang tentu konsep ini akan

ditolak oleh negarawan dan politisi nasional yang patriotik. Akibat lanjutannya, tidak

mustahil terjadi tindak-tindak kriminal yang diikuti oleh gerakan politik yang akan berakhir

dengan kejatuhan negara nasional baru.

Pada awal era globalisasi, blok demokrasi sosialis mendapat bencana multi-dimensi

yang berawal dengan krisis ekonomi, berlanjut dengan krisis politik, dan berakhir dengan

kebangkitan demokrasi, terutama sejak runtuhnya tembok Berlin. Akibatnya, banyak negara

demokrasi sosialis terpaksa harus segera melakukan perubahan dengan menyesuaikan diri

dengan mitra dan lingkungan strategisnya. Semangat untuk mengadakan perubahan segera

dan cepat juga melanda banyak negara lain, termasuk negara maju.

Euforia runtuhnya tembok Berlin dan keinginan terbentuknya dunia tanpa batas

menjadikan banyak negara menjadi tidak aman dan damai. Timbul konflik, baik antarnegara

maupun di dalam negara nasional sendiri. Konflik-konflik yang semula berbasis ekonomi

banyak diselesaikan melalui politik sambil menunjukkan identitas masyarakat (Huntington,

1998: 21). Banyak negara nasional pecah menjadi negara kecil yang berbasis etnik.

Kelompok-kelompok etnik saling berhadapan dan berjuang untuk kepentingan etniknya dan

tidak jarang diselesaikan dengan kekerasan.

Kecenderungan politik sebenarnya menjadi penyebab awal kebangkitan demokrasi,

terutama di negara-negara blok Timur dan di negara-negara sedang berkembang. Krisis

ekonomi dianggap sebagai penyebab awal kecenderungan ekonomi global. Dalam hal ini

sistem politik negara-negara Barat dianggap “lebih baik” daripada yang dilaksanakan di

negara-negara blok Timur dan di negara-negara sedang berkembang. Oleh karena itu isu-isu

demokrasi dan hak asasi manusia yang didengung-dengungkan Barat menjadi mendunia.

Kecenderungan ekonomi terjadi karena pergeseran pusat perekonomian dunia ke arah

kawasan negara-negara Pasifik. Perusahaan-perusahaan Amerika Serikat dan Kanada bergeser

ke Barat karena melihat kesempatan yang lebih besar. Jepang muncul menjadi raksasa

102

ekonomi. Negara-negara Eropa yang takut ditinggalkan berupaya “tampak” ikut berperan.

Rusia juga bereaksi dengan berusaha menampakkan kekuatannya di kawasan Pasifik,

Kecenderungan sosial budaya juga diakibatkan oleh kemajuan teknologi

telekomunikasi dengan makin berkembangnya teknik informatika. Apa yang terjadi di dunia

pada saat yang bersamaan dapat diketahui melalui media elektronik di rumah-rumah

masyarakat lainnya. Budaya dan kearifan lokal bersaing ketat dengan budaya pop yang

mendunia. Kecenderungan yang mengutamakan hak daripada kewajiban mulai ditinggalkan

sehingga muncul Gerakan Tanggung Jawab Insani (Human Responsibilities Movement). Oleh

karena itu, pendidikan kepribadian dan karakter perlu dibangun dengan baik dan terus-

menerus.

Kecenderungan bentuk pertahanan keamanan dipengaruhi oleh runtuhnya blok Timur

yang merupakan isyarat perubahan pada visi, misi, strategi, dan konsep politik nasional.

Konsep visi dan misi pertahanan keamanan diciptakan oleh masing-masing negara. Namun

yang patut diwaspadai adalah keinginan Barat, terutama negara-negara Anglo-Sakson

(Amerika Serikat, Inggris, Kanada, Australia, dan Selandia Baru) untuk tetap menguasai

dunia. Kalau pada abad pertengahan kolonialisme berbentuk fisik, maka kini berbentuk

demokrasi dan ekonomi liberal. Isu-isu yang mereka kembangkan adalah perang melawan

terorisme internasional dan penegakan demokrasi.

Pada era ini, dunia seolah-olah pecah karena pengaruh perkembangan kebangkitan

budaya bangsa (Huntington, 1998: 207). Timbul benturan budaya yang berlanjut dengan

pecahnya negara nasional menjadi negara yang bersifat etnik atau agama. Sudan menjadi

negara terakhir (sampai dengan tahun 2011) yang pecah menjadi negara nasional yang

bersifat etnik dengan menjadi Sudan (dengan mayoritas penduduk beragama Islam) dan

Sudan Selatan (dengan mayoritas penduduk Kristen dan yang belum beragama).

Berdirinya negara-negara nasional baru dengan pendekatan budaya/etnik dan agama

menambah pengelompokan satuan budaya. Banyaknya satuan budaya dapat dikelompokkan

menjadi satuan budaya besar yang merupakan garis perbatasan (frontier) budaya. Menurut

Huntington kini ada sembilan satuan budaya besar atau utama. Kesembilan garis perbatasan

budaya tersebut adalah 1) budaya Barat yang meliputi negara-negara dengan mayoritas

penduduk Kristen Barat yang juga dikenal sebagai negara-negara Barat modern sekuler; 2)

budaya Amerika Latin, mulai dari Mexico hingga Argentina (kecuali tiga negara Guyana (eks

jajahan Inggris, Belanda, dan Perancis); 3) budaya Afrika, mulai dari Afrika Tengah sampai

103

ke Selatan; 4) budaya Islam di wilayah yang mayoritas penduduknya beragama Islam yang

mencakup a) Afrika Utara, b) sebagian Balkan, c) Somalia, d) sebagian wilayah eks Uni

Sovyet, dan e) Indonesia; 5) budaya Sinik yang meliputi wilayah Cina, Vietnam, dan Korea;

6) budaya Hindu; 7) budaya Kristen Ortodoks yang meliputi wilayah dengan mayoritas

penganut agama Kristen Ortodoks di perbatasan sebelah Timur dari Eropa Tengah hingga eks

Uni Sovyet; 8) budaya Buddha di daerah Asia Tenggara; dan 9) budaya Jepang (Sinto) yang

meliputi Jepang, termasuk Sachalin Utara. Garis perbatasan ini saling mempengaruhi melalui

budaya, sosial, ajaran agama, etnik, dan perdagangan dan mungkin dapat mengarah ke politik

kekuatan (Huntington, 1998: 27, 28, 159).

4. Indonesia dan Globalisasi

Indonesia pada awal era ini juga dilanda bencana nasional, yang berawal dari krisis

ekonomi dan moneter dan kemudian berkembang menjadi krisis budaya yang menyentuh

segenap sendi kehidupan bangsa. Masyarakat kita berpikir dan bertindak cepat atas dasar

intuisi tanpa memperhitungkan akibat perilakunya. Salah satu akibatnya adalah budaya

kekerasan menjadi menonjol. Penggunaan kekerasan yang menonjol ini juga merupakan

salah satu cerminan dari kebangkitan demokrasi (Wright, 1942: 4—7).

Pasca-robohnya Federasi Uni Sovyet, blok Barat—terutama negara-negara dengan

latar belakang mayoritas etnik Anglo-Sakson—kehilangan musuh. Mereka tetap berusaha

melebarkan pengaruhnya ke arah negara yang lemah sebagai perwujudan konsep ruangnya.

Apabila pada masa lalu (awal abad XX) konsep ruang diwujudkan melalui mekanisme politik

dan militer, maka pada masa pasca-Perang Dingin hal itu diwujudkan melalui kekuatan

ekonomi. Pada era globalisasi upaya mereka itu dilakukan dengan dalih demokratisasi di

negara yang kurang demokratis, upaya melindungi dan membantu gerakan hak asasi manusia,

dan memerangi terorisme. Negara-negara itu memiliki kekuasaan mutlak sehingga Lord

Acton (1834—1902) mengatakan “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts

absolutely” (Cohen dan Cohen, 1980: 1).

Untuk menghadapi kondisi ini, kerja sama bilateral saja tidak cukup sehingga harus

dikembangkan kerja sama regional dan internasional. Kerja sama itu tidak dalam bentuk pakta

pertahanan, karena hal itu akan mengarah kepada perlombaan pengembangan kesenjataan.

Kerja sama regional dan internasional hendaknya merupakan implikasi doktrim geopolitik

dan geostrategi dalam dimensi internasional dan ditujukan untuk meningkatkan daya tawar

untuk menghadapi negara-negara adidaya.

104

Dimensi internasional doktrim ketahanan nasional dijabarkan melalui konsep

ketahanan regional. Wilayah regional diartikan sebagai daerah sekitar negara dengan

penekanan pada wilayah yang homogen atas dasar ciri geostrategis dan dapat berupa

persamaan ras, budaya, dan sumber daya. Pembentukan kesatuan negara regional diharapkan

meningkatkan ketahanan nasional masing-masing negara anggota. Oleh karena itu ketahanan

regional sangat tergantung pada semangat kebersamaan di antara anggota dan adaptasi

sesama anggota, dengan komponen stabilitas politik, kekuatan ekonomi, dan kekuatan militer

yang siaga.

Kerja sama regional merupakan strategi untuk menghadapi negara yang lebih kuat

sehingga negara-negara anggota mempunyai posisi tawar yang lebih kuat pada era

perdagangan global. Pada kasus ini Indonesia telah memprakarsai pembentukan

Perhimpunan Negara Asia Tenggara (Association of South East Asia Nations, ASEAN) pada

tahun 1967, yang pada awalnya terdiri dari lima negara, yakni Filipina, Indonesia, Malaysia,

Singapura, dan Thailand. Jumlah negara anggota ASEAN pada saat ini telah berkembang

menjadi sepuluh negara yaitu setelah Brunei Darussalam, Kamboja, Laos, Myanmar (dahulu

Burma), dan Vietnam bergabung.

Konsep pembentukan ASEAN ini merupakan konsep geostrategi berlapis. Bagi

Indonesia ASEAN merupakan lapis pertama geostrategi, sedangkan keikutsertaan Indonesia

dalam Asia-Pasific Economic Cooperation (APEC) merupakan konsep geostrategis lapis

kedua. Kerja sama regional lapis pertama sesungguhnya merupakan posisi garis perbatasan

budaya karena terbentuk berdasarkan kesamaan budaya.

Konsep ASEAN kini banyak dikembangkan pada era globalisai dengan pembentukan

badan atau forum seperti 1) South East Asia Association for Regional Cooperation (SAARC),

2) South-Pacific Forum (SPF), dan 3) Gulf Countries Council. Bahkan kini negara-negara

Eropa daratan membentuk Uni Eropa, meskipun sebelumnya telah terbentuk pesatuan negara-

negara Skandinavia yaitu Swedia, Norwegia, dan Denmark, dan persatuan negara-negara

BENELUX (Belgia, Nederlan, dan Luksemburg), Ini menunjukkan bahwa proksimitas

geografi lebih diutamakan untuk mempermudah kohesi dan respon bersama menghadapi

perubahan global yang tidak menentu.

Untuk menghadapi negara-negara sedang berkembang, negara maju—baik adidaya

maupun negara “kecil”—menciptakan hambatan yang seolah-olah “wajar” dengan ketentuan-

ketentuan seperti: 1) eco-labeling, 2) International Standard Organization Code, dan 3)

105

International Safety Management Code. Untuk itu diperlukan daya tawar kolektif (collective

bargaining power) dari negara-negara sedang berkembang sekawasan. Konsep inilah yang

merupakan konsep ketahanan nasional Indonesia yang disebut ketahanan berlapis.

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku dan Makalah

Anderson, B. 2001. Komunitas-komunitas Terbayang (terjemahan). Yogyakarta. Insist Press dan Pustaka Pelajar.

106

Asshiddiqie, Jimly. 1994. Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia. Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve.

Azra, A. 2010. Revisitasi Pancasila. Dalam Rindu Pancasila. Penyunting: Mulyawan Karim. Jakarta. Penerbit Buku Kompas.

Basry, M. Hasan. 1995. Untuk Apa Kita Merdeka: Kumpulan Amanat Bung Karno di Sumatera dalam Masa Perang Kemerdekaan 1945--1948. Jakarta: KOPKAR PTP.

Basrie, Chaidir. 1995. Wawasan Nusantara. Jakarta: LIH ITI.

Bertens, K. 2000. Etika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Cohen, J,M & M.J,. 1980. The Pinguin Dictionary of Quotations. Middlesex:.....

Collins, John M. 1973. Grand Strategy: Principle and Practices. Annapolis, Ma: US Naval Institute.

Departemen Luar Negeri. 1983. Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut. Jakarta: Direktorat Perjanjian Internasional.

Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. 2001. Kapita Selekta Pendidikan Kewarganegaraan (untuk Mahasiswa): Bagian I & II. Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.

Djalal, Hasjim. 1995. Indonesia and the Law of the Sea. Jakarta: CSIS.

Eccles, Henry E. 1959. Logistics in the National Defense. Harrisburg, Pa: Stackpole Coy.

Ember, Carol R. dan Ember, Melvin. 1996. Anthropology (edisi ke-9). New Jersey: Prentice-Hall, Inc.

Erliyana, Anna. 2005. Keputusan Presiden: Analisis Keppres RI 1987—1998. Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Front Pembela Proklamasi ‘45. 2002. Evaluasi ST MPR 2002 Perubahan UUD 1945. Jakarta: FPP ‘45.

Gonick, L. 2006. Kartun Riwayat Peradaban. Jiid 1. Jakarta. Kepustakaan Populer Gramedia.

Habermas, Jurgen. 1996. “The European Nation State: Its Achievements and Its Limits, on the Past and Future of Sovereignty and Citizenship”, dalam Gopal Balakrishnan (ed.), Mapping the Nation. London: Verso.

Halida, R. 2009. Individu dalam Kelompok. Dalam Psikologi sosial. Penyunting: Sarlito W Sarwono dan Eko A Meinarno. Jakarta. Salemba Humanika.

Hardi. Lasmidjah. 1984. Samudera Merah Putih 19 September 1945. Jilid 1. Jakarta: Pustaka Jaya.

Hatta, Muhammad. 1953. Kumpulan Karangan s.v. Tudjuan dan Politik Pergerakan Nasional di Indonesia. Jakarta: Penerbitan dan Balai Buku Indonesia.

Haviland, W. A. 1995. Antropologi. Jakarta: Erlangga.

107

____________. 2000. Anthropology (ed. ke-9). Orlando: Harcourt, Inc.

Hitlin, S. 2003. Values as the Core of Personal Identity: Drawing Links Between Two Theories of Self. Social Psychology Quarterly; Jun 2003; 66; 2.

Huntington, Samuel T. 1998. The Clash of Civilization and the Remaking of World Order, London: Tochtone Books.

Ihromi, T.O. 1986. Bianglala Hukum. Bandung: Tarsito.

__________, (ed.). 1993. Bunga Rampai Antropologi Hukum. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Kaelan, M. S. 2002. Pendidikan Pancasila Edisi Reformasi. Yogyakarta: Paradigma.

Kartodirdjo, Sartono. 1999. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional Jilid 2. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Koentjaraningrat. 1981. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.

Koentjaraningrat. 1977. Sistem gotong-royong dan jiwa gotong royong. Berita Antropologi. Terbitan khusus, th. IX No. 30, Pebruari 1977.

______________. 1985. Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia.

______________. 1987a. “Kebudayaan Nasional Indonesia,” Kompas, 9 Maret 1987.

______________. 1987b. “Orientasi Nilai Budaya dalam Kebudayaan Nasional Indonesia,” Kompas, 11 Maret 1987.

_______________. 2002. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.

Kusuma, A. B. 2004. Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945. Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Kusuma, RMAB. 2010. Konsistensi Nilai Pancasila dalam Penyelenggaraan Negara. Dalam konsistensi Nilai-nilai Pancasila dalam UUD 1945 dan Implementasinya. Yogyakarta. PSP-Press.

Kusumaatmadja, Mochtar. 2003. Konsep Hukum Negara Nusantara pada Konvensi Hukum Laut III. Bandung: Alumni.

Kusumadewi, LR. 2012. Relasi Sosial Antarkelompok Agama di Indonesia: Integrasi atau Disintegrasi? Dalam Sistem sosial Indonesia. Penyunting: Paulus Wirutomo. Jakarta. UI Press.

Latif, Y. 2011. Negara Paripurna: Historitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama.

Lauder, MRMT. 2007. Sekilas Mengenai Pemetaan Bahasa. Jakarta. Fakultas Ilmu Budaya Indonesia-Akbar Media Eka Sarana.

Lembaga Pertahanan Nasional. 1995. Wawasan Nusantara. Jakarta: Balai Pustaka–Lemhannas.

108

Loebis, Ali Basja. 1979. Asas-asas Ilmu Bangsa-Bangsa. Jakarta: Erlangga.

Mahfud MD, Moh. 2009. Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

Maio, GR., Olson, JM. Relations between Values, Attitudes, and Behavioral Intentions: The Moderating Role of Attitude Function. Journal of Experimental Social Psychology. 31, 266-285. 1995

Markum, ME., Meinarno, EA., Juneman. 2011. Hubungan Pancasila dan Identitas Nasional: Masihkah Remaja Kita Mengingatnya? Laporan penelitian hibah riset pascasarjana Universitas Indonesia tahun 2011.

Marzali, A. 2005. Antropologi & Pembangunan Indonesia. Jakarta. Prenada Media.

Meinarno, EA. 2011. How Pancasila form the national identity of Indonesian people? Proceeding International Conference of Revisited Asian Society. 21-24 Juli. Yogyakarta.

Meinarno, EA., Widianto, B., Halida, R. 2011. Manusia dalam Kebudayaan dan Masyarakat: Pandangan Antropologi dan Sosiologi. Jakarta. Salemba Humanika.

Mirhad, R. P., Purnomo. 1973. Geopolitik dan Geostrategi Indonesia, (diktat untuk KRA) Jakarta: Lembaga pertahanan Nasional.

Morgenthau, Hans J. 2006 (direvisi oleh Thompson dan Clinton). Polititcs among Nations: The Struggle for Power and Peace. New York: Mc Graw Hill.

Ohmae, Kenichi. 1991. The Borderless World, Power and Strategy in the Interlined Economy. London: Fontana.

Oomen, TK. (2009). Kewarganegaraan, Kebangsaan, & Etnisitas: Mendamaikan Persaingan Identitas. Yogyakarta. Kreasi Wacana.

Panitia Lemhannas. 1980. Bunga Rampai Ketahanan Nasional: Konsepsi dan Teori. Jakarta: Ripers Utama.

Poesponegoro, MD., Notosusanto, N. 1993. Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta. Balai Pustaka

Poole, Ross. 1999. Nation and Identity. New York: Routledge.

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Ramage, DE. 1995. Politics in Indonesia: Democracy, Islam and the Ideology of Tolerance. London. Routledge.

Ranjabar, Jacobus. 2006. Sistem Sosial Budaya Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Reicher, S., Hopkins, N. 2001. Self and Nation: Categorization, Contestation and Mobilization. London. Sage Publication.

109

Rida, Z. 1988. Pembangunan Nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 Mewujudkan Masyarakat Berbudaya Pancasila. Tesis strata dua Program Studi Pengkajian Ketahanan Nasional. Universitas Indonesia. Tidak dipublikasikan.

Rinjin, K. 2010. Pandangan Hidup Bangsa Indonesia dan Dasar Falsafah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam konsistensi Nilai-nilai Pancasila dalam UUD 1945 dan Implementasinya. Yogyakarta. PSP-Press.

Rokeach, M. 1973. The Nature of Human Values. The Free Press. New York.

Robert, J. M. 2004. The New Peguin History of the World. London: .....

Seda, FSSE., Febriana, E., Agustin, SM., Shakuntala, RRS. 2012. Relasi Gender dalam Masyarakat Indonesia. Dalam Sistem sosial Indonesia. Penyunting: Paulus Wirutomo. Jakarta. UI Press.

Sekretariat Negara Republik Indonesia. 1992. Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia.

Simbolon, Parakitri T. 1995. Menjadi Indonesia, Buku I: Akar-akar Kebangsaan Indonesia. Jakarta: Kompas.

Simpson, A. 2007. Indonesia. Dalam Language & national identity in Asia. Penyunting: Andrew Simpson. Oxford. Oxford University Press.

Somantri, GR. 2006. Pancasila dalam Perubahan Sosial-Politik Indonesia Modern. Dalam restorasi Pancasila: Mendamaikan politik identitas dan modernitas. Penyunting: Irfan Nasution dan Ronny Agustinus. Jakarta.

Sunardi, R.M. 2004. Pembinaan Ketahanan Bangsa dalam Rangka Memperkokoh Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Jakarta: Kuaternita Adidarma.

Suparlan, Parsudi. 2005. Suku Bangsa dan Hubungan Antar Suku Bangsa. Jakarta: Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian.

Suwartono, C., Meinarno, EA. 2010. The Measurement of Pancasila: An Effort to make Psychological Measurement from Pancasila Values. Dipaparkan dalam seminar CICP, Yogyakarta, Juli 2010

Suwartono, C., Meinarno, EA. 2011. Construct Validation of Pancasila Scale: An Empirical Report. Proceeding International Conference of Revisited Asian Society. 21-24 Juli. Yogyakarta.

Tajfel, H. 1974. Social Identity and Intergroup Behavior. Social Science Information. 13, 65, pp. 65-93.

Takwin, B. 2011. Kekuatan dan Keutamaan Karakter sebagai Hasil dari Daya-daya Spiritual. Dalam Buku ajar 1: Filsafat, logika, etika, dan kekuatan dan keutamaan

110

karakter. Penyunting: Bagus Takwin, Lamuddin Finoza, H Zakky Mubarak. Depok. Universitas Indonesia.

Tim Pengajar Antropologi Budaya Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 2000. Buku Ajar Antropologi Budaya. Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Wirutomo, P. 2012. Integrasi Sosial Masyarakat Indonesia: Teori dan Konsep. Dalam Sistem sosial Indonesia. penyunting: Paulus Wirutomo. UI Press. Jakarta.

Wirutomo, P. 2012. Menyongsong Masa Depan Integrasi Masyarakat Indonesia. Dalam Sistem sosial Indonesia. penyunting: Paulus Wirutomo. Jakarta. UI Press.

Wright, Quincy. 1942. Study of War. Chicago: The University of Chicago Press.

B. Undang-undang

Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 (sebelum dan sesudah Amandemen I sampai dengan IV).

_________. Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

_________. Undang-Undang Nomor 24 Tahun1992 tentang Penataan Ruang.

_________. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

_________. Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

_________. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.

_________. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.

_________. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.

_________. Undang-Undang No 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5035.

Daftar Gambar

Gambar The Patriot: http://www.swotti.com/tmp/swotti/cacheDGHLIHBHDHJPB3Q=RW50ZXJ0YWLUBWVUDC1NB3ZPZXM=/imgthe%20patriot3.jpg

Gambar wafer Tango: http://www.google.co.id/imgres?q=wafer+tango&hl=id&gbv=2&tbm=isch&tbnid=excensyo8KZYhM:&imgrefurl=http://www.indowebster.web.id/showthread.php%3Ft%3D160748%26page%3D91&docid=JZLESngNxFZcgM&imgurl=http://img51.imageshack.us/img51/8526/tangovanillasugarfree.jpg&w=200&h=165&ei=06TeT-

111

PgMM_jrAfehZ3IDQ&zoom=1&iact=hc&vpx=165&vpy=244&dur=2182&hovh=132&hovw=160&tx=81&ty=98&sig=110374437010778634995&page=1&tbnh=132&tbnw=160&start=0&ndsp=12&ved=1t:429,r:6,s:0,i:88&biw=1366&bih=558

Gambar wafer Loacker: http://www.google.co.id/imgres?q=wafer+loacker&hl=id&gbv=2&tbm=isch&tbnid=1_lf60mhSPmISM:&imgrefurl=http://caloriecount.about.com/calories-loacker-wafers-i183107&docid=Fo5jl3JxNikwQM&imgurl=http://static.caloriecount.about.com/images/medium/loacker-wafers-sandwich-hazelnut-101966.jpg&w=200&h=200&ei=P6beT637AsXsrAfwweGsDQ&zoom=1&iact=hc&vpx=335&vpy=249&dur=1064&hovh=160&hovw=160&tx=60&ty=104&sig=110374437010778634995&page=4&tbnh=160&tbnw=160&start=57&ndsp=18&ved=1t:429,r:1,s:57,i:254&biw=1366&bih=558

Gambar poster film Garuda di dadaku: http://www.google.co.id/imgres?q=garuda+di+dadaku&hl=id&gbv=2&tbm=isch&tbnid=VLacUBdcY2u90M:&imgrefurl=http://bicarafilm.com/baca/2011/07/13/yuk-nonton-shooting-garuda-di-dadaku-2.html&docid=Jufl8WJ9zzhvUM&imgurl=http://bicarafilm.com/images/medium/2325-poster.jpg&w=400&h=300&ei=j6feT8vXDofOrQfhldXGDQ&zoom=1&biw=1366&bih=558

Gambar peta Indonesia:

Gambar peta dunia: gambar dunia: http://www.google.co.id/imglanding?q=world+map&hl=id&gbv=2&tbs=isch:1&tbnid=wJmeQu2avHIOMM:&imgrefurl=http://vectorya.com/freevectors/art-designs/free-vector-world-map/&imgurl=http://vectorya.com/gallery/data/media/8/A_large_blank_world_map_with_oceans_marked_in_blue.gif&zoom=1&w=4500&h=2234&iact=hc&ei=zP7hTLH-CcPQceTg8YsM&oei=wP7hTLzEEYq8vgOE9KjVDg&esq=2&page=2&tbnh=80&tbnw=161&start=8&ndsp=10&ved=1t:429,r:7,s:8&biw=1024&bih=388 (Nov. 2010)

DATA PENULIS

R. Ismala Dewi adalah tenaga pengajar tetap di Fakultas Hukum Universitas Indonesia untuk Mata Kuliah Antropologi Budaya, Antropologi Hukum, dan Ilmu Budaya Dasar. Kemudian sebagai Koordinator Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian Terintegrasi (MPKT) - PDPT UI di FHUI, serta Dosen MPKT di lingkungan Universitas Indonesia. Latar belakang

112

pendidikan adalah Sarjana Hukum (S1) dari Fakultas Hukum UI, Magister Hukum (S2) Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dan Doktor (S3) dari Program Pascasarjana S3 Bidang Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum UI. Selain sebagai tenaga pengajar di UI, juga sebagai Ketua Unit Penjaminan Mutu Akademik FHUI, dan aktif dalam berbagai kegiatan yang berkaitan dengan disiplin ilmu hukum, serta kegiatan pengabdian pada masyarakat.

Slamet Soemiarno, pengajar luar biasa UI, Mk Pendidikan Kewarganegaraan sejak 1995. Pendikab S-1 Administrasi Negara di Sekolah Tinggi Ilmu Admininistrasi, Lembaga Adminstrasi Negara R.I. dan S-2 Pengkajian Ketahaan Nasional di Fakultas Pacasarjana Universitas Indonesia. Pendidikan jenjang diawali AAU hingga SESKOAU. Sebelum bergabung dengan UI (MKU dan Tim PDPT), sebagai dosen/widyaiswara luar biasa pada Proyek Pendidikan Latihan Departemen Keuangan R.I dan SESPANAS Lembaga Addministrasi Negara dengan bahan ajar Administrasi Perlengkapan Pemerintah., di samping tetap sebagai anggota TNI AU di kesatuan wilayah, pemeliharaan, pendidikan dan keanggotaan Legislatif

Agnes Sri Poerbasari, adalah fasilitator PDPT UI – MPKT di lingkungan Univesitas Indonesia. Latar belakang pendidikannya adalah S1 jurusan Hubungan Internasional di FISIP Universitas Airlangga, dan S2 di Program Studi Kajian Wilayah Amerika, Program Pascasarjana Universitas Indonesia.

Eko A. Meinarno, adalah pengajar tetap di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Minatnya terhadap kondisi sosial membuatnya berkecimpung di Psikologi dengan peminatan Psikologi Sosial. Bentuk konkretnya adalah menjadi anggota tim ajar Psikologi Lintas Budaya (2004–2009), Psikologi Sosial (2001-sekarang), Antropologi (2001–2007) dan Individu, Kebudayaan, dan Masyarakat (2008-2012). Latar pendidikan strata dua (S-2) adalah Antropologi dari FISIP UI dan strata satu (S-1) Psikologi UI. Beberapa bentuk karyanya adalah dalam bentuk artikel dalam jurnal nasional, tulisan dalam buku nasional dan internasional. Aktivitas lain adalah menjadi anggota APsyA (Asian Psychological Association) dan anggota dewan editor pada beberapa jurnal psikologi nasional.

113