modul ekowisata

34
PETUNJUK PRAKTIKUM EKOWISATA BAHARI ACARA: EKOWISATA MANGROVE DAN REKREASI PANTAI PENYUSUN: MAULINNA K WARDHANI, S.Kel, M.Si PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN

Upload: syaifuddin

Post on 20-Jan-2016

307 views

Category:

Documents


11 download

TRANSCRIPT

Page 1: Modul Ekowisata

PETUNJUK PRAKTIKUM EKOWISATA BAHARI

ACARA: EKOWISATA MANGROVE DAN REKREASI PANTAI

PENYUSUN:MAULINNA K WARDHANI, S.Kel, M.Si

PROGRAM STUDI ILMU KELAUTANFAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURABANGKALAN

2012

Page 2: Modul Ekowisata

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Wilayah pesisir dan laut merupakan salah satu ekosistem yang sangat

produktif dan dinamis. Oleh karena itu sering kali pembangunan umumnya

terpusat di kawasan tersebut, sehingga sering muncul konflik antar berbagai pihak

yang berkepentingan. Secara umum pihak yang berkepentingan tersebut

dikategorikan dalam sektor pertanian/perikanan, pariwisata, pertambangan,

perhubungan laut, industri maritim dan konservasi. Sektor pariwisata merupakan

kegiatan yang berkembang cepat di wilayah pesisir dan laut, sehingga dapat

meningkatkan pendapatan daerah (Kim dan Kim 1996 dan Orams 1999). Hal ini

dikarenakan kawasan wisata memiliki kekayaan dan keragaman yang tinggi dalam

berbagai bentuk sumber daya alam, sejarah, adat, budaya dan berbagai

sumberdaya dengan keterkaitan ekologisnya (Lawaherilla 2002).

Pembangunan dan pengembangan kegiatan wisata yang berorientasi

terhadap lingkungan harus berhadapan dengan berbagai kegiatan perekonomian

lain (pertanian, pemukiman, perikanan dan industri) yang berpotensi

meningkatkan tekanan terhadap ekologi (Miller 1993; Cicin dan Knecht 1998; dan

Ryan 2002). Oleh karena itu perlu dilakukan perencanaan pemanfaatan sumber

daya laut dan pesisir yang optimal bagi keberlanjutan kawasan ekowisata maupun

yang berpotensi sebagai kawasan ekowisata.

1.2. Tujuan Praktikum

1. Mahasiswa mampu menentukan lokasi potensi ekowisata

2. Mahasiswa mampu menganalisis dan memetakan kawasan ekowisata

3. Mahasiswa mampu menganalisis daya dukung kawasan ekowisata

Page 3: Modul Ekowisata

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pariwisata Pesisir

Sumber daya alam pesisir memiliki potensi yang dapat dimanfaatkan

untuk kepentingan wisata. Aktifitas wisata merupakan suatu bentuk pemanfaatan

sumberdaya alam yang mengandalkan jasa alam untuk kepuasan manusia.

Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1990 tentang

Kepariwisataan, pariwisata adalah kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan

tersebut yang dilakukan secara sukarela serta bersifat sementara untuk menikmati

objek dan daya tarik wisata. Salah satu kenikmatan yang diperoleh dari perjalanan

wisata tersebut merupakan suatu jasa yang diberikan alam kepada manusia,

sehingga manusia merasa perlu untuk mempertahankan keberadaan alam.

Sumberdaya alam yang menjadi obyek wisata dikelompokkan berdasarkan

komoditi, ekosistem dan kegiatan. Obyek komoditi terdiri dari potensi spesies

biota dan material non hayati yang mempunyai daya tarik wisata. Selanjutnya,

obyek ekosistem yang terdiri dari ekosistem pesisir yang mempunyai daya tarik

habitat dan lingkungan. Terakhir, obyek kegiatan merupakan kegiatan yang

terintegrasi di dalam kawasan yang mempunyai daya tarik wisata (Yulianda

2007).

Banyak pengklasifikasian kegiatan wisata oleh para pakar, salah satunya

adalah wisata pesisir yang merupakan kelompok wisata berdasarkan pemanfaatan

sumberdaya dengan obyek ekosistem. Samiyono dan Trismadi (2001)

mendefinisikan kegiatan wisata bahari sebagai kegiatan wisata yang dilakukan

diperairan laut baik yang dilakukan di bawah laut maupun di atas permukaan laut.

Kegiatan wisata bawah laut secara langsung menggunakan terumbu karang

sebagai obyek wisata berupa menyelam, snorkling dan berenang. Sedangkan

kegiatan wisata yang mengarahkan kegiatan wisata pada keindahan alam antara

lain wisata pantai, wisata antropologi dan wisata ilmiah dan wisata yang

menikmati keindahan alam terbuka. Hal yang sama digambarkan Hall (2001)

bahwa konsep wisata bahari lebih pada kegiatan wisata, perjalanan dan rekreasi

yang orientasi kegiatannya berada di kawasan pesisir dan perairan laut. Wong

(1991) dan Sunarto (2000) mendefinisikan pariwisata pesisir merupakan bagian

Page 4: Modul Ekowisata

dari wisata bahari dengan obyek dan daya tarik wisata yang bersumber dari

potensi bentang laut (seascape) maupun bentang darat pesisir (coastal landscape)

dengan jenis kegiatan wisata yang dilandaskan pada daya tarik kelautan dan

terjadi di lokasi atau kawasan yang masih berada pada dua sistem yang komplek,

yaitu sistem pariwisata (the tourism system) dan sistem pesisir (the coastal

system). Hal yang sama juga dikemukakan oleh Yulianda (2007) bahwa kegiatan

wisata yang dapat dikembangkan dengan konsep lingkungan dikelompokkan

dalam wisata pantai dan wisata bahari. Wisata pantai merupakan kegiatan wisata

yang mengutamakan sumberdaya pantai dan budaya masyarakat pantai seperti

rekreasi, olah raga, menikmati pemandangan dan iklim. Wisata pantai terdiri

dibagi dalam dua kategori, yaitu kategori rekreasi dan wisata mangrove.

Hutabarat et al. (2009) menyatakan bahwa wisata mangrove merupakan bentuk

wisata pantai yang kegiatannya menikmati alam habitat mangrove.

2.2. Kriteria Lahan sebagai Obyek Wisata Pesisir

Sunarto (2000); Elly (2009) dan Hutabarat et al. (2009) mengemukakan

bahwa dalam perencanaan dan pengembangan pariwisata pantai/pesisir

memerlukan kesesuaian sumberdaya dan lingkungan pesisir dengan kriteria yang

disyaratkan. Kesesuaian sumberdaya pesisir dan lautan ditujuan untuk

mendapatkan kesesuaian karakteristis sumberdaya wisata. Kesesuaian

karakterisrik sumberdaya dan lingkungan untuk pengembangan wisata yang

berwawasan lingkungan dilihat dari aspek keindahan alam, keamanan dan

keterlindungan kawasan, keanekaragaman biota, keunikan sumberdaya/

lingkungan dan aksesibilitas, yang disesuaikan dengan potensi sumberdaya dan

peruntukananya. Persyaratan sumberdaya dan lingkungan dikelompokkan

berdasarkan jenis kegiatan wisata. Parameter fisik pantai dan perairan lebih

dominan disyaratkan pada wisata pantai selain mempertimbangkan parameter

biologi.

2.3. Daya Dukung Ekowisata

Daya dukung merupakan intensitas penggunaan maksimum terhadap

sumberdaya alam yang berlangsung secara terus-menerus tanpa merusak alam.

Daya dukung juga di definisikan oleh Bengen dan Retraubun (2006) sebagai

Page 5: Modul Ekowisata

tingkat pemanfaatan sumberdaya alam atau ekosistem secara berkesinambungan

tanpa menimbulkan kerusakan sumberdaya alam dan lingkungannya. Dengan

demikian, daya dukung dapat diartikan sebagai kondisi maksimum suatu

ekosistem untuk menampung komponen biotik (makhluk hidup) yang terkandung

di dalamnya dan memperhitungkan faktor lingkungan serta faktor lainnya yang

berperan di alam.

Daya dukung lingkungan terbagi atas daya dukung ekologis (ecological

carrying capacity), daya dukung sosial ( dan daya dukung ekonomis (economic

carrying). Daya dukung ekologis adalah jumlah maksimum biota pada suatu lahan

yang dapat didukung tanpa mengakibatkan kematian karena faktor kepadatan,

serta terjadinya kerusakan lingkungan secara permanen (irrevisible) yang

ditentukan oleh faktor-faktor lingkungan. Daya dukung ekonomi adalah tingkat

produksi (skala usaha) yang memberikan keuntungan maksimum dan ditentukan

oleh tujuan usaha secara ekonomi. Dalam hal ini digunakan parameter-parameter

kelayakan usaha secara ekonomi.

1. Daya Dukung Ekologis

Daya dukung fisik suatu kawasan atau areal merupakan jumlah maksimum

penggunaan atau kegiatan yang dapat diakomodasikan dalam kawasan atau areal

tanpa menyebabkan kerusakan atau penurunan kualitas kawasan tersebut secara

fisik (McLeod and Cooper, 2005). Daya dukung fisik yang merupakan jumlah

maksimum penggunaan atau kegiatan yang dapat diakomodir tanpa menyebabkan

kerusakan atau penurunan kualitas. Daya fisik diperlukan untuk meningkatkan

kenyamanan pengunjung. Daya dukung fisik dapat dikaji melalui berapa besar

kapasitas dan ruang yang tersedia untuk membangun infrastruktur pariwisata guna

kenyamanan wisatawan (Tantrigama, 1998 ; McLeod and Cooper, 2005).

Kemampuan alam dalam mentolerir kegiatan manusia serta

mempertahankan keaslian sumberdaya ditentukan oleh besarnya gangguan yang

kemungkinan akan muncul dari kegiatan wisata. Suasana alami lingkungan juga

menjadi persyaratan dalam menentukan kemampuan tolerir gangguan dan jumlah

pengunjung dalam unit area tertentu. Tingkat kemampuan alam untuk mentolerir

dan menciptakan lingkungan yang alami dihitung dengan pendekatan potensi

ekologis pengunjung. Potensi ekologis pengunjung adalah kemampuan alam

Page 6: Modul Ekowisata

untuk menampung pengunjung berdasarkan jenis kegiatan wisata pada area

tertentu. Potensi ekologis pengunjung dihitung berdasarkan area yan digunakan

untuk beraktifitas dan alam masih mampu untuk mentolerir kehadiran

pengunjung.

2. Daya Dukung Sosial

Konsep daya dukung sosial pada suatu kawasan merupakan gambaran dari

persepsi seseorang dalam menggunakan ruang pada waktu yang bersamaan, atau

persepsi pemakai kawasan terhadap kehadiran orang lain secara bersama dalam

memanfaatkan suatu area tertentu. Konsep ini berkenaan dengan tingkat

comfortability atau kenyamanan.

Daya dukung sosial suatu kawasan dinyatakan sebagai batas tingkat

maksimum dalam jumlah dan tingkat penggunaan dalam suatu kawasan dimana

dalam kondisi yang telah melampaui batas daya dukung ini akan menimbulkan

penurunan dalam tingkat dan kualitas pengalaman atau kepuasan pengguna

(pemakai) pada kawasan tersebut. Daya dukung sosial di bidang pariwisata

dipengaruhi oleh keberadaan infrastruktur wisata, attitude pengunjung

(wisatawan) dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat suatu kawasan

wisata (McLeod dan Cooper, 2005). Namun demikian, intensitas penggunaan

maksimum terhadap sumber daya alam juga membatasi pembangunan fisik yang

dapat mengganggu kesinambungan fisik yang dapat mengganggu kesinambungan

pembangunan wisata tanpa merusak alam.

Hasil wawancara menunjukkan bahwa 75,6 % responsen mendukung

terbangunnya kegiatan ekowisata di kawasan tersebut. Hal ini juga didukung

dengan 92,7 % responden menyatakan senang dengan kedatangan wisatawan di

kawasan tersebut. Berdasarkan besarnya dukungan masyarakat terhadap

pembangunan dan pengembangan ekowisata bahari di Pulau Tabuhan, maka perlu

dilakukan penataan pembangunan fasilitas ekowisata. Hal ini dikarenakan fasilitas

pariwisata merupakan salah satu program pengembangan yang sangat penting.

Tanpa didukung oleh pengembangan fasilitas, maka tujuan program juga tidak

akan optimal. Namun demikian, pengembangan fasilitas harus memperhatikan

daya dukung kawasan. Selain itu, fasilitas dan sarana yang dibangun di kawasan

wisata hendaknya tidak merubah bentang alam, sehingga keaslian alam masih

Page 7: Modul Ekowisata

dapat dipertahankan. Sesuai dengan ketentuan PP No. 18/1994 tentang

Pengusahaan Pariwisata Alam di Zona Pemanfaatan Taman Nasional dan Taman

Wisata Alam, maka areal yang diijinkan untuk pembangunan sarana dan prasarana

adalah 10 % dari luas zona pemanfaatan. Berdasarkan luasan Pulau Tabuhan,

maka sarana dan prasarana yang dapat dibangun di atas pulau hanya seluas 4.8 m2.

Terbatasnya luasan kawasan yang dapat dibangun sebagai fasilitas ekowisata di

atas pulau, maka pembangunan fasilitas utama kegiatan ekowisata dapat

dilakukan di pulau utama (main land).

3. Daya Dukung Ekonomi

Daya dukung ekonomi adalah tingkat produksi (skala usaha) yang

memberikan keuntungan maksimum dan ditentukan oleh tujuan usaha secara

ekonomi pengelolaan usaha wisata. Dalam hal ini digunakan parameter-parameter

kelayakan usaha secara ekonomi, misalnya maksimum keuntungan, maksimum

tenaga kerja yang diserap oleh kegiatan pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil, lama

pengembalian investasi dan multiplier effect usaha tersebut (Tisdell, 1998a;

McLeod dan Cooper, 2005). Produk wisata diperoleh dari kombinasi antara

potensi sumberdaya (resources), modal (capital), tenaga kerja (labour) dan

kemampuan mengelola (management) yang akan dipasarkan sebagai barang

ekonomi.

Sektor ekowisata menyumbangkan peran ekonomi secara mikro maupun

makro. Kegiatan ekowisata dalam aspek mikro ekonomi menghasilkan kajian

produk-produk wisata, kemasan, kualitas dan kuantitas pelaku dan harga.

Umumnya produk wisata memiliki karakteristik yang sama dengan barang

konsumsi. Produk tersebut disajikan dengan karakteristik yang sangat beragam

dan sangat fleksibel dipilih oleh wisatawan. Pada makro ekonomi, sektor

ekowisata membahas tentang pembagian ekonomi, pendapatan dan tenaga kerja

maupun keterkaitan ekonomi. Sektor ekowisata tidak berjalan sendirian dalam

perekonomian suatu wilayah. Ekonomi membutuhkan infrastruktur transportasi,

telekomunikasi, listrik dan air bersih, selain dukungan dari sektor perdagangan

maupun pakaian, makanan dan minuman, baik dari dalam maupun luar negeri

(Sathiendrakumar, 1989). Peran sektor ekowisata dapat dilihat dari ukuran tenaga

Page 8: Modul Ekowisata

kerja, pendapatan PDRB maupun total produksi. Umumnya, besaran pengaruh

masing-masing ukuran sektor ekowisata diperlihatkan melalui nilai pengganda.

Sektor pariwisata di Kabupaten Banyuwangi memberikan kontribusi

terhadap peningkatan PDRB secara signifikan yaitu sebesar 22,04% pada tahun

2004, meningkat menjadi 22,69% pada tahun 2005 dan 23,26% pada tahun 2006.

Hal ini memperlihatkan bahwa ekowisata memberikan peluang dalam

menggerakkan aktifitas perekonomian. Manfaat ekonomi lainnya adalah kenaikan

kesejahteraan penduduk lokal, fisik lingkungan dan budaya di sekitar mereka.

Sebagian pendapatan penduduk lokal yang dapat diidentifikasi adalah jasa

pemandu, pemilik perjalanan, supir, penjual cinderamata atau jasa lainnya. Selain

memperoleh manfaat ekonomi bagi masyarakat dan ekonomi secara nasional,

kegiatan ekowisata juga berdampak pada terancamnya kelestarian sumberdaya

terutama perairan laut yakni melalui pencemaran. Pencemaran lingkungan dan

degradasi sumberdaya perairan laut berdampak pada penurunan nilai ekonomi

wisata. Penurunan nilai manfaat ini disebabkan oleh meningkatnya biaya

konservasi termasuk biaya pengendalian pencemaran (cost of pollution) dan

penurunan penerimaan (revenue) oleh masyarakat dan pajak bagi pemerintah

akibat degradasi sumberdaya atau penurunan kualitas produk wisata. Ini berarti

bahwa penurunan kualitas produk wisata akibat pencemaran lingkungan

menyebabkan penurunan permintaan akan produk wisata bahari (Tisdell, 1998).

Page 9: Modul Ekowisata

3. METODOLOGI

3.1. Alat dan Bahan Praktikum

Alat dan bahan yang kegunaan dalam pengambilan data di lapangan tersaji

dalam Tabel 1 berikut,

Tabel 1 Alat dan Bahan Pengumpulan Data Lapang

No. Alat Satuan Kegunaan1. GPS Menentukan posisi di bumi2. Roll meter 100 m Pengukuran transek3. Tali rafia 100 m Membuat plot4. Secci disk Mengukur kecerahan5. Grab sampler Mengambil Sedimen6. Bola duga m/dt Mengukur arus7. Stopwatch detik Mengukur waktu8. Kompas `` Menentukan arah9. Alat tulis Pencatatan data

3.2. Metode Pengambilan Data

3.2.1. Data Ekologi

A. Ekosistem mangrove

Pengambilan data vegetasi mangrove dilakukan pada setiap kecamatan

dengan masing-masing satu stasiun. Batas terluar pengambilan data vegetasi

dalam praktikum ini adalah jarak 100 m ke arah luar dari titik terluar habitat yang

masih ditumbuhi satu atau lebih tumbuhan mangrove. Seluruh lahan yang terletak

di dalam garis batas tersebut dinyatakan sebagai kawasan di dalam ekosistem

mangrove; sedangkan lahan yang terletak di luar garis batas tersebut dinyatakan

sebagai kawasan di luar atau di sekitar ekosistem mangrove (Setyawan dan

Winarno 2006).

Pengambilan data tersebut pada praktikum ini dilakukan melalui langkah-

langkah sebagai berikut:

1. Pengambilan data vegetasi dilakukan dengan metode belt transect, yaitu

meletakkan belt transect dengan metoda petak. Transek-transek garis diambil

dari arah laut ke arah darat (tegak lurus garis pantai sepanjang zonasi hutan

mangrove) sepanjang 50 meter di daerah intertidal. Transek di lapangan

dilakukan dengan metode kuadrat untuk menentukan distribusi mangrove

Page 10: Modul Ekowisata

berupa kerapatan pohon, dominasi spesies dan obyek penting lain yang

berhubungan dengan kondisi hutan mangrove berdasarkan klasifikasi pohon,

klasifikasi sapling dan klasifikasi seedling (Gambar 1 dan 2).

2. Pengukuran distribusi mangrove dilakukan dengan menggunakan line transek

yang dilakukan dengan cara membuat garis tegak lurus garis pantai yang

masing-masing transek dibuat plot-plot atau petak petak yang berukuran 10 x

10 meter untuk pohon-pohon berdiameter lebih dari 10 cm sebanyak tiga

petak contoh dan jarak antar plot 10 meter (Bengen 2004).

Keterangan:a. Plot 2 x 2 m untuk tingkat semaib. Plot 5 x 5 m untuk tingkat pancang c. Plot 10 x 10 m untuk tingkat pohon

Gambar 1 Skema Petak Contoh Pengambilan Data Mangrove (Bengen, 2004)

Gambar 2 Transek Garis dan Petak Contoh (Plot) Pengukuran Mangrove pada Setiap Zona dari Pinggir Laut ke arah Darat

(Keputusan Menteri Negara lingkungan Hidup No. 201 Tahun 2004)

3. Pada setiap plot dilakukan identifikasi jenis dan dicatat jumlah setiap jenisnya,

serta diukur diamater dan tinggi setiap individu pohon (Kusmana 1997 dalam

Page 11: Modul Ekowisata

Setyawan dan Winarno 2006; Bengen 2004). Apabila belum diketahui nama

jenis tubuhan mangrove yang ditemukan, maka dipotong bagian ranting

lengkap dengan daunnya, dan bila mungkin bunga dan buahnya. Selain itu

juga dilakukan pengamatan dan pencatatan tipe subtrat (lumpur, lempung,

pasir, dan sebagainya) pada setiap petak contoh (Bengen 2004).

4. Data komposisi dan struktur vegetasi ditampilkan dalam bentuk nilai penting

yang merupakan penjumlahan nilai penutupan dan frekuensi relatif yang

dibagi dua (Odum 1971; Barbour et al. 1987 dalam Setyawan dan Winarno

2006). Indeks nilai penting (INP) digunakan untuk mengetahui jenis pohon

dominan di setiap tingkat permudaan.

B. Biota

Keberadaan biota berbahaya yang berada di sekitar kawasan pantai

seperti, bulu babi, ikan-ikan ganas misalnya pari, hiu dan lepu dilakukan

melalui teknik wawancara tidak terstruktur pada masyarakat sekitar kawasan

praktikum. Selain itu, juga dilakukan pengamatan asosiasi biota yang ada di

dalam ekosistem mangrove yang merupakan daya tarik wisata seperti burung,

monyet, ikan, kepiting dan moluska.

3.2.2. Data Sosial Ekonomi

Data sosial ekonomi dalam praktikum ini diambil melalui survei langsung

di lapangan berupa keberadaan tempat-tempat bernilai penting di lokasi praktikum

dan teknik wawancara mengenai pemanfaatan sumberdaya yang ada di sekitar

kawasan oleh masyarakat setempat. Selain itu juga merupakan data sekunder yang

berupa data statistik kawasan praktikum.

3.3. Analisis Data

3.3.1. Parameter Kawasan

Data lapangan yang diperoleh dicatat pada data sheet adalah sebagai berikut:

1. Kecerahan diukur menggunakan secchidisk, dimana perhitungannya adalah

panjang tali pada saat pertama kali secchi disk tidak terlihat (pa) dikurang

panjang tali pada saat pertama kali secchidisk terlihat dari dalam perairan (pb).

Page 12: Modul Ekowisata

2. Kecepatan arus diukur menggunakan bola duga dengan beberapa kali

pengulangan dan dilakukan penghitungan waktu menggunakan stopwatch.

3. GPS digunakan untuk menentukan koordinat geografi stasiun pengamatan

yang dikalibrasi dengan penentuan posisi sesungguhnya di peta, untuk

mengetahui kemiringan lahan, dan ketebalan vegetasi

4. Tipe pantai dan material dasar perairan dilakukan pengambilan sampel di

lapangan dan pengujian serta analisis untuk menentukan jenis sedimen

penyusun kawasan dilakukan di laboratorium.

3.3.2. Parameter Vegetasi

Parameter vegetasi dalam praktikum ini merupakan data nilai habitat yang

dianalisis untuk mengetahui struktur vegetasi, kerapatan pohon, dan dominasi

spesies. Dominasi spesies pada masing-masing lokasi pengamatan dilakukan

dengan menganalisis Indeks Nilai Penting (INP) yang didapatkan dari

penghitungan kerapatan relatif, frekuensi relatif dan penutupan jenis. Prosedur

analisis Indeks Nilai Penting (INP) mengacu kepada Muller-Dombois dan

Ellenberg (1974); Causton (1988); dan Ludwig dan Reynolds (1988) dalam

Bengen (2004); dan Nursal et al. (2005) sebagai berikut :

A. Kerapatan/kepadatan jenis (Ki)

Kerapatan jenis (Ki) merupakan jumlah tegakan jenis ke-i dalam suatu unit

area. Penentuan kerapatan jenis melalui rumus :

Ki=niA

Keterangan :Ki : Kerapatan jenis ke-ini : Jumlah total individu ke-iA : Luas total area pengambilan contoh (m2)

B. Kerapatan/kepadatan Relatif (KRi)

Kerapatan Relatif (KRi) merupakan perbandingan antara jumlah jenis tegakan

ke-i dengan total tegakan seluruh jenis. Penentuan kerapatan relatif (KRi)

menggunakan rumus :

Page 13: Modul Ekowisata

KRi =(ni

∑ n ) X 100 %

Keterangan :KRi : Kerapatan relatifn : Total tegakan seluruh jenisni : Jumlah total individu ke-i

C. Fekuensi Jenis (Fi)

Frekuensi jenis (Fi) yaitu peluang ditemukannya suatu jenis ke-i dalam semua

petak contoh dibandingkan dengan jumlah total petak contoh yang dibuat.

Untuk menghitung frekuensi jenis (Fi) digunakan rumus :

Fi = pi

∑ p

Keterangan :Fi : Frekuensi jenis ke-ipi : Jumlah petak contoh dimana ditemukan jenis ke-in : Jumlah total petak contoh yang dibuat

D. Frekuensi Relatif (FRi)

Ferkuensi relatif (FRi) adalah perbandingan antara frekuensi jenis ke-i dengan

jumlah frekuensi seluruh jenis. Untuk menghitung frekuensi relatif (FRi)

digunakan rumus :

FRi = ( Fi

∑ p ) X 100 %

Keterangan :FRi : Frekuensi jenis ke-iFi : Frekuensi jenis ke-i∑p : Jumlah total petak contoh yang dibuat

E. Penutupan Jenis (Ci)

Penutupan jenis (Ci) adalah luas penutupan jenis ke-i dalam suatu unit area

tertentu.

Ci=∑ BA

A

Dimana,

BA = π DBH² 4

Page 14: Modul Ekowisata

Keterangan :Ci : Penutupan jenis BA : Basal AreaA : Luas total area pengambilan contohDBH : Diameter batang pohon, π : Konstanta (3,1416)

F. Penutupan Relatif (CRi)

Penutupan relatif (CRi) yaitu perbandingan antara penutupan jenis ke-i dengan

luas total penutupan untuk seluruh jenis. Untuk menghitung CRi, maka

digunakan rumus

CRi = ( Ci

∑C ) X 100 %

Keterangan :RCi : penutupan relatifCi : Penutupan jenis ke-iC : Penutupan total untuk seluruh jenis

G. Indeks Nilai Penting (INP)

Indeks Nilai Penting (INP) adalah penjumlahan nilai relatif (KRi), frekuensi

relatif (FRi) dan penutupan relatif (CRi) dari mangrove (Bengen, 2004)

dengan rumus:

INP = KRi + FRi + CRi

Indeks nilai penting suatu jenis berkisar antara 0 – 300. Nilai penting ini

memberikan gambaran tentang peranan suatu jenis mangrove dlam ekosistem

dan dapat juga digunakan untuk mengetahui dominansi suatu spesies dalam

komunitas.

3.3.3. Parameter Sosial Ekonomi

Data nilai sosial dianalisis untuk mengetahui kondisi masyarakat di sekitar

kawasan wisata, peran keberadaan kelembagaan dan pemanfaatan sumberdaya

oleh masyarakat setempat. Analisis berdasarkan data data primer dan sekunder

yang dikumpulkan dari lapang maupun instansi terkait mengenai keberadaan

sumber daya manusia, pemanfaatan langsung dan tidak langsung sumberdaya

alam sekitar kawasan wisata oleh masyarakat sekitar lokasi praktikum.

Page 15: Modul Ekowisata

Tabel 2. Indikator Sosial

Variabel Indikator Skor

1 2 3 4 5

Jumlah Penduduk Jiwa <750750 - 1250

1251 - 1750 1751 - 2250 > 2250

Pertumbuhan penduduk %/th <0,5 0,5-1 1-1,5 1,5-2 >2Kepadatan penduduk jiwa/km2 1-50 51-250 251-400 401-450 >451

Kelompok umur % kel. Umur (15-55 th.) <20 20-40 40-60 60-80 >80

Tingkat pendidikan

% dominasi kelompok pendidikan PT SLA SMP SD tidak

Pendapatan

pengelompokan keluarga

sejahtera (%) <20 20-40 40-60 60-80 >80Sumber: Wardhani dan Sembel (2009)

Tabel 3. Indikator Ekonomi

Variabel Indikator Skor

1 2 3 4 5

Strafikasi sosial keberadaan  tidak ada   ada  

Ttadisi/norma keberadaan  tidak ada   ada  

Pluraslisme % penganut agama

(dominan) <20 20-40 40-60 60-80 >80Konflik sosial frekuensi (%) <20 20-40 40-60 60-80 >80Gangguan kegiatan sekitar frekuensi (%) <20 20-40 40-60 60-80 >80Tingkat pengangguran % <20 20-40 40-60 60-80 >80Gangguan kesehatan prevalensi ISPA <20 20-40 40-60 60-80 >80Persepsi terhadap kegiatan sekitar % <20 20-40 40-60 60-80 >80

Tokoh keberadaan dan

peran  tidak ada   ada  

Sumber: Wardhani dan Sembel (2009)

Tabel 4. Indikator Kelembagaan

Variabel Indikator Skor

1 2 3 4 5 Kelembagaan sosial Keberadaan   ada   tidak  

Page 16: Modul Ekowisata

masyarakat Bentuk Pemilikan dan Penguasaan Fasilitas Keberadaan   monopoli  

tidak monopoli  

Fasilitas Umum Keberadaan   dekat   jauh  

Lokasi tempat wisata Keberadaan  di luar

pemukiman  di dalam

pemukiman  Sumber: Wardhani dan Sembel (2009)

3.3.4. Analisis Kesesuaian Lahan Wisata Pantai

Analisis keruangan untuk kesesuaian bertujuan untuk menentukan daerah

yang dianggap potensial berdasarkan kriteria-kriteria yang berhubungan secara

langsung dengan daerah pesisir yang menjadi objek penelitian (Aronoff 1991).

Kesesuaian kawasan yang dihasilkan dalam kegiatan/analisis ini merupakan

kesesuaian aktual atau kesesuaian pada saat ini (current suitability). Kesesuaian

aktual ini menunjukkan kondisi kawasan saat ini berdasarkan data yang tersedia

dan belum mempertimbangkan asumsi atau usaha perbaikan serta tingkat

pengelolaan yang dapat dilakukan untuk mengatasi berbagai kendala fisik atau

faktor-faktor penghambat yang kemungkinan ada. Potensi wisata pantai

ditentukan berdasarkan zonasi tingkat kerentanan pada peta kerentanan

lingkungan dan sumberdaya sesuai dengan peruntukannya. Hal ini dikarenakan

setiap kegiatan wisata mempunyai persyaratan sumberdaya dan lingkungan yang

sesuai dengan obyek wisata yang akan dikembangkan. Rumus yang digunakan

untuk kesesuaian wisata adalah (Hutabarat et al. 2009):

IKW =∑ [ NiNmaks ] X 100 %

Keterangan:

IKW : Indeks Kesesuaian Wisata

Ni : Nilai Parameter ke-i (bobot x skor)

N maks : Nilai maksimum dari suatu kategori wisata

Penentuan kesesuaian berdasarkan perkalian skor dan bobot yang

diperoleh dari setiap parameter. Keseuaian kawasan dilihat melalui tingkat

persentase kesesuaian dari penjumlahan nilai seluruh parameter. Parameter-

parameter tersebut mempunyai kriteria-kriteria yang berfungsi untuk menentukan

variabel kesesuaian pengembangan wisata pantai dan setiap variabel

Page 17: Modul Ekowisata

menggambarkan tingkat kecocokan untuk penggunaan tertentu. Pada praktikum

ini variabel kesesuaian dibagi menjadi 3 kelas yang didefinisikan sebagai berikut:

Kategori Sangat Sesuai (S1)

Kawasan tidak memiliki pembatas yang serius untuk suatu penggunaan

tertentu secara lestari atau hanya mempunyai pembatas yang kurang berarti

dan tidak berpengaruh secara nyata terhadap kegiatan atau produksi lahan

tersebut, serta tidak akan menambah masukan dari pengusahaan lahan

tersebut.

Kategori Sesuai (S2)

Kawasan yang memiliki pembatas yang agak besar untuk mempertahankan

tingkat pengelolaan yang harus diterapkan. Pembatas tersebut akan

mengurangi aktivitas dan keuntungan yang diperoleh, serta meningkatkan

masukan untuk mengusahakan lahan tersebut.

Kategori Sesuai Bersyarat (S3)

Daerah ini memiliki pembatas-pembatas yang serius untuk mempertahankan

tingkat perlakuan yang harus ditetapkan.

Kategori Tidak Sesuai (N)

Kawasan yang memiliki pembatas permanen/berat, sehingga tidak mungkin

dipergunakan terhadap suatu penggunaan tertentu yang lestari. Oleh karena itu

perlu mencegah segala kemungkinan perlakuan pada daerah tersebut.

Tabel 5 Matriks Kesesuaian Lahan Wisata Wisata Mangrove

No

ParameterBobo

tS1 S2 S3 N Keterangan

1.Ketebalan Mangrove (m)

5 >500>200-500

50-200

<50NilaiSkor:Kelas S1=4Kelas S2=3Kelas S3=2Kelas N=1Nilai Maks: 52

2.Kerapatan Mangrove (100m2)

3>15-25

>10-15

5-10 <5

3. Jenis Mangrove 3 >5 3-5 1-2 04. Pasang Surut (m) 1 0-1 >1-2 >2-5 >5

5.Obyek Biota (Jumlah jenis biota)

1 >4 3-4 2Salah satu biota

Sumber: Modifikasi dari Yulianda (2007)

Page 18: Modul Ekowisata

Tabel 6 Matriks Kesesuaian Lahan untuk Wisata Rekreasi Pantai

No

ParameterBobo

tS1 S2 S3 N

Keterangan

1.

Kedalaman Dasar perairan (m)

5 0-5 6-10 11-15 > 15

NilaiSkor:Kelas S1=4Kelas S2=3Kelas S3=2Kelas N =1Nilai Maks:1122. Tipe Pantai 5

Pasir putih

Pasir putih, sedikit karang

Pasir hitam,

berkarang, sedikit

terjal

Lumpur,berbatu,

terjal

3.Lebar Pantai (m)

5 > 15 10-15 3-<10 < 3

4.Material Dasar Perairan

3 PasirKarangberpasir

Pasir berlumpu

rLumpur

5.Kecepatan Arus (cm/dtk)

3 0-0.17 0.17-0.34 0.34-0.51 > 0.51

6.Kemiringan Pantai (˚)

3 <10 10-25 >25-45 >45

7.Kecerahan Perairan (m)

1 >10 >5-10 3-5 <2

8.Penutupan Lahan Pantai

1

Kelapa,

lahanterbuk

a

SemakBelukar rendah, savana

Belukar tinggi

Hutan bakau,

pemukiman

danpelabuhan

9.Biota Berbahaya

1Tidak ada

Bulu babi

Bulu babi,

ikan pari

Bulu babi,ikan pari,lepu, hiu

10.

Ketersediaan Air Tawar (jarak/km)

1 <0.5 >0.5-1 >1-2 >2

Sumber: Modifikasi dari Yulianda (2007) dan Bakosurtanal (1996)

Tingkat Kesesuaian Wisata Pantai:S1 : Sangat sesuai (nilai 80-100%) S3 : Sesuai bersyarat (nilai 35-<60%)S2 : Cukup sesuai (nilai 60-<80%) N : Tidak sesuai (nilai <35%)

3.3.5. Analisis Daya Dukung Wisata

Page 19: Modul Ekowisata

Potensi ekologis pengunjung dihitung berdasarkan area yan digunakan

untuk beraktifitas dan alam masih mampu untuk mentolerir kehadiran

pengunjung.

Tabel 7 Potensi Ekologis Pengunjung (K) dan Luas Area Kegiatan (Lt)

Jenis Kegiatan Jml Pengunjung (Orang)

Unit Area (Lt)

Keterangan

Wisata Mangrove

1 50 m2 Dihitung panjang track, setiap 1 orang sepanjang 50 m

Rekreasi Pantai 1 50 m2 1 orang setiap 50 m panjang pantaiSumber: Hutabarat et al (2009)

Di sisi lain, faktor yang perlu dipertimbangkan adalah waktu kegiatan

pengunjung (Wp) yang dihitung berdasarkan lamanya waktu yang dihabiskan oleh

pengunjung untuk melakukan kegiatan wisata (Tabel). Waktu pengunjung

diperhitungkan dengan waktu yang disediakan untuk kawasan (Wt). Waktu

kawasan adalah lama waktu areal dibuka dalam satu hari, dan rata-rata waktu

kerja sekitar 8 jam (jam 8-16).

Tabel 8 Prediksi Waktu yang Dibutuhkan untuk Setiap Kegiatan Wisata

No. Kegiatan wisata Waktu yang dibutuhkanWp- (jam)

Total waktu 1 hari Wt-(jam)

1. Wisata mangrove

2 8

2. Rekreasi pantai 3 6Sumber: Hutabarat et al (2009)

Analisis daya dukung ditujukan pada pengembangan wisata bahari dengan

memanfaatkan potensi sumberdaya pesisir, pantai dan pulau-pulau kecil secara

lestari. Hal ini dikarenakan pengembangan ekowisata bahari tidak bersifat

pariwisata masal (mass tourism), mudah rusak dan ruang pengunjung yang sangat

terbatas, sehingga diperlukan penentuan daya dukung kawasan. Metode yang

diperkenalkan untuk menghitung daya dukung pengembangan ekowisata bahari

dengan menggunakan konsep Daya Dukung Kawasan (DDK). DDK adalah

jumlah maksimum pengunjung yang secara fisik dapat ditampung di kawasan

Page 20: Modul Ekowisata

yang disediakan pada waktu tertentu tanpa menimbulkan gangguan pada alam dan

manusia. Perhitungan DDK dalam bentuk rumus sebagai berikut (Hutabarat et al.,

2009):

DDK=K ×Lp¿ ×

Wt℘

Dimana:

DDK : Daya Dukung Kawasan (Orang/hari)

K : Potensi ekologis pengunjung per satuan unit area

Lp : Luas area atau panjang area yang dapat dimanfaatkan

Lt : Unit area untuk kategori tertentu

Wt : Waktu yang disediakan oleh kawasan untuk kegiatan wisata

dalam satu hari

Wp : Waktu yang dihabiskan oleh pengunjung untuk setiap kegiatan

tertentu

Page 21: Modul Ekowisata

DAFTAR PUSTAKA

Aronoff S. 1991. Geographic Information System A Management Perspektive. WDL Publications. Ottawa.

[Bakosurtanal] Badan Koordinator Survei Tanah Nasional. 1996. Pengembangan Prototipe Wilayah Pesisir dan Marina Kupang NTT. Pusat Bina Aplikasi Inderaja dan SIG. Jakarta.

Bengen D G. 2004. Pedoman teknis: Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. PKSPL-IPB. Bogor.

Cicin S, R W Knecht. 1998. Integrated Coastal and Marine Management. Island Press, Washington D.C.

Cicin S, R W Knecht. 1998. Integrated Coastal and Marine Management. Island Press, Washington D.C.

Elly M J. 2009. Sistem Informasi Geografis Menggunakan Aplikasi Arc View 3.2 dan ERMapper 6.4. Graha Ilmu. Yogyakarta.

Hall C M. 2001. Trends in ocean and coastal tourism: the end of the last frontier? Ocean & Coastal Management Vol 44: 601–618 p.

Hutabarat A A, F Yulianda, A Fahrudin, S Harteti, Kusharjani. 2009. Pengelolaan Pesisir dan Laut Secara Terpadu. Pusdiklat Kehutanan Departemen Kehutanan RI. SECEM-Korea International Coorporation Agency. Bogor.

Kim S dan Y Kim. Overview of Coastal and Marine Tourism in Korea. 1996. Journal of Tourism Studies Vol 7 (2): 46–53 p.Lawaherilla N E. 2002. Pariwisata Bahari: Pemanfaatan Potensi Wilayah Pesisir dan Lautan. Makalah Falsafah Sains (PPs 702) Program Pasca Sarjana / S3 Institut Pertanian Bogor.

Miller M. 1993. The Rise of Coastal and Marine Tourism. Ocean & Coastal Management Vol 21 (1–3): 183–99p.

Orams M. 1999. Marine Tourism: Development, Impacts and Management. London: Routledge.

Ryan C. 2002. Equity, Management, Power Sharing and Sustainability Issues of The New Tourism. Tourism Management Vol 23: 17–26 p.

Samiyono, Trismadi. 2001. Peta Pelayaran Wisata Bahari Indonesia. Prosiding Seminar Laut Nasional III. Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia 29-31 Mei. Jakarta.

Page 22: Modul Ekowisata

Setyawan A D, K Winarno. 2006. Permasalahan Konservasi Ekosistem Mangrove di Pesisir Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. . Jurnal Biodiversitas Vol 7 (2): 159-163 hal.

Sunarto. 2000. Kausalitas Poligenik dan Ekuilibrium Dinamik sebagai Paradigma dalam Pengelolaan Ekosistem Pesisir. Prosiding. Seminar Nasional Pengelolaan Ekosistem Pantai dan Pulau-pulau Kecil dalam Konteks Negara Kepulauan. Badan Penerbit Fakultas Geografi Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.

Wardhani M K dan Sembel L. 2009. Rancangan Indikator Kerentanan Kawasan Wisata Pantai. Presentasi Tugas Kerentanan Lingkungan Pesisir dan Lautan. Mayor Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Wong P P. 1991. Coastal Tourism in Southeast Asia. ICLARM Education Series 13. International Centre For Living Aquatic Resources Management, Manila, Philippines: 40 p.

Yulianda F. 2007. Ekowisata Bahari sebagai Alternatif Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir Berbasis Konservasi. (Makalah) Disampaikan pada Seminar Sains 21 Februari 2007 pada Departemen Manajenem Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor.