ekowisata gunung bulusaraung:pengalaman …

44
Vol. VIII/No. 1/2019 BALAI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM Primata Unik Penghuni Hutan Pattunuang-Karaenta Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung EKOWISATA GUNUNG BULUSARAUNG:PENGALAMAN BERKUNJUNG DAN KONSEP PENGEMBANGAN EKOWISATANYA MONYET EKOR PANJANG PENGHUNI MANGROVE MUARA ANGKE: “PENGEMIS DAN PEMULUNG” BERMASA DEPAN SURAM BERBAGAI BENTUK PEMANFAATAN AREA LAHAN PASCATAMBANG TINJAUAN KRITERIA JENIS TUMBUHAN DAN SATWA DILINDUNGI DI INDOENSIA

Upload: others

Post on 23-Oct-2021

10 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: EKOWISATA GUNUNG BULUSARAUNG:PENGALAMAN …

Vol. VIII/No. 1/2019

BALAI PENELITIANDAN PENGEMBANGAN

TEKNOLOGI KONSERVASISUMBER DAYA ALAM

Primata UnikPenghuni Hutan

Pattunuang-KaraentaTaman Nasional

Bantimurung Bulusaraung

EKOWISATA GUNUNG BULUSARAUNG:PENGALAMAN BERKUNJUNG DAN KONSEP PENGEMBANGAN EKOWISATANYA

MONYET EKOR PANJANG PENGHUNI MANGROVE MUARA ANGKE: “PENGEMIS DAN PEMULUNG” BERMASA DEPAN SURAM

BERBAGAI BENTUK PEMANFAATAN AREA LAHAN PASCATAMBANG

TINJAUAN KRITERIA JENIS TUMBUHAN DAN SATWA DILINDUNGI DI INDOENSIA

Page 2: EKOWISATA GUNUNG BULUSARAUNG:PENGALAMAN …

Klik

ProfilDr. Ir. Dwi Sudharto, M.Si.

[ dan ]Mira Kumala Ningsih Suryanto

20

Tajuk Utama

Artikel

Primata Unik PenghuniHutan Pattunuang-KaraentaTaman Nasional Bantimurung Bulusaraung

Puncak GunungBulusaraung

02

Daftar Isi

16

[ dan]

Mira Kumala NingsihArdiyanto W. Nugroho

Ekowisata Gunung Bulusaraung:Pengalaman Berkunjungdan Konsep PengembanganEkowisatanya

Salam Redaksi 01

08

[ ]Adi Susilo

Monyet Ekor PanjangPenghuni MangroveMuara Angke:“pengemis dan pemulung”bermasa depan suram

25

32[ ]Ulfah Karmila Sari

Berbagai BentukPemanfaatan Area

Lahan Pascatambang

[ dan ]Bina Swasta Sitepu Mukhlisi

Tinjauan KriteriaJenis Tumbuhan dan Satwa Dilindungi

di Indonesia

39

Page 3: EKOWISATA GUNUNG BULUSARAUNG:PENGALAMAN …

Salam Konservasi,

Apakah sahabat konservasi mengenal Tarsius (Tarsius fuscus) dan Monyet Hitam Dare (Macaca maura)? Kedua satwa unik ini dapat dijumpai di Hutan Karaenta Taman Nasional Bantimurung. Namun saat ini, keberadaannya mendapat ancaman kepunahan karena hidup di habitat yang terfragmentasi dan konflik dengan manusia. Mira Kumala Ningsih dan Suryanto akan membahas secara lengkap kedua satwa ini dalam tulisan “Primata Unik Penghuni Hutan Pattunuang-Karaenta Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung”.

Selanjutnya, Mira Kumala Ningsih dan Ardiyanto Wahyu Nugroho akan membagikan keseruannya saat mendaki sekaligus mengkaji implementasi prinsip-prinsip ekowisata Gunung Bulusaraung dalam tulisan berjudul “Ekowisata Gunung Bulusaraung: Pengalaman Berkunjung dan Konsep Pengembangan Ekowisatanya”.

Dalam rubrik artikel, Adi Susilo akan membahas keberadaan dan perubahan perilaku Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) di Suaka Margasatwa Muara Angke (SMMA) dan Hutan Lindung Angke Kapuk (HLAK) dalam tulisan berjudul “Monyet Ekor Panjang Penghuni Mangrove Muara Angke: pengemis dan pemulung bermasa depan suram” .

Selanjutnya, Ulfah Karmila Sari akan membahas pemanfaatan ruang wilayah dalam tulisannya yang berjudul “Berbagai Bentuk Pemanfaatan Area Lahan Pascatambang”. Dalam artikel ini, Ulfa akan memaparkan berbagai bentuk pemanfaatan dan beberapa hal penting yang perlu diperhatikan dalam memanfaatkan lahan pascatambang.

Bina Swasta Sitepu dan Mukhlisi selanjutnya akan mengupas konsep penentuan jenis dilindungi di Indonesia dalam tulisan mereka berjudul “Tinjauan Kriteria Jenis Tumbuhan dan Satwa Dilindungi di Indonesia”. Beberapa telaahan terkait penentuan jenis serta sumbang saran terkait proses penentuan dan langkah strategis pengembangan konsep dituangkan secara ringkas dalam tulisan ini.

Pada edisi ini, Swara Samboja mengetengahkan sosok inspiratif dari BLI KLHK, yaitu Dr. Dwi Sudharto yang saat ini menjabat sebagai Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan (P3HH). Beliau akan berbagi pengalaman dan prestasi membanggakan yang berhasil diraih P3HH di bidang pembangunan sektor kehutanan seperti SVLK, AIKO, dan Xylarium Bogoriense.

Pembaca kami yang budiman, akhir kata, selamat membaca dan salam hangat.

Ishak YassirKepala Balai

PENANGGUNG JAWAB :

DEWAN REDAKSI :

Dr. Ishak Yassir, S.Hut., M.Si.

Prof. Riset. Dr. Chandradewana Boer

Tri Atmoko, S.Hut, M.Si.

Dr. Hendra Gunawan

REDAKSI PELAKSANA :Taufiqurrohman, S.Hut., MPA.Hari Hadiwibowo, S.PSi., M.T.

DESAIN GRAFIS DAN LAYOUT :Agustina Dwi Setyowati, S.Sn.

redaksi

alamat redaksiBalai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Konservasi Sumber Daya AlamJl. Soekarno - Hatta Km. 38 PO BOX 578 Balikpapan 76112 Samboja - Kalimantan Timur Phone. (0542) 7217663, Fax. (0542) 7217665 E-mail : [email protected]

DIPA BPTKSDA 2019

Join usMajalah Swara SambojaGroup Majalah Swara Samboja

Majalah Swara Samboja merupakan majalah ilmiah populer mengenai konservasiyang diterbitkan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam setiap caturwulan (4 bulan) sekali.

Redaksi menerima artikel untuk Majalah Swara Samboja dengan ketentuan sebagai berikut :- Naskah diketik diatas kertas kuarto (A4) dengan huruf Times New Roman 12 point dengan 1,5 spasi dan maksimal 3000 karakter.- Naskah dilengkapi dengan gambar atau foto pendukung dengan resolusi >300 dpi lengkap dengan keterangannya.- Naskah yang masuk akan dikoreksi oleh dewan redaksi dan akan dikembalikan ke penulis sampai naskah dinyatakan siap terbit.

team

Salam Redaksi

Page 4: EKOWISATA GUNUNG BULUSARAUNG:PENGALAMAN …

Tempat dan Tanggal LahirMedan, 17 November 1959

PendidikanS1 Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor,1983S2 Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan,

Institut Pertanian Bogor, 1996S3 Forestry, UPM Malaysia, 1999

JabatanKepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan

Riwayat JabatanPinlak P3RP DAS Musi Kab. OkiKepala Cabang Sub BRLKT Musi Kab. Musi RawasPlt. Kepala Sub Bagian Tata UsahaKasi Program dan LaporanKepala Bidang Program dan AnggaranKepala Bidang Evaluasi Pelaksanaan Rencana KehutananDirektur Pengukuhan dan Penatagunaan Kawasan HutanSekditjen Planologi KehutananDirektur Pengolahan dan Pemasaran Hasil HutanKepala Pusat Litbang Hasil Hutan

Nama LengkapDr. Ir. Dwi Sudharto, M.Si.

MottoBermanfaat untuk umat dan mencari ridha Allah

Profil

Dr. Ir. Dwi Sudharto, M.Si.

PenghargaanInisiator Pengembangan Desa Mandiri Energi Berbasis Aren th 2018Penerima Akreditasi KAN ISO 17025:2008 th 2018Ketua Alumni Diklatpimnas Diklatpim Tk. II Angkatan XXXI th 2011Ketua Kelas Diklatpim Tk. II Angkatan XXXI th 2011Satya Lencana Karya Satya X tahun 2002Satya Lencana Karya Satya XX tahun 2012Satya Lencana Karya Satya XXX tahun 2016Peringkat III Diklatpim Tk.II th 2011Komisi Promosi pada Sidang Terbuka Program Doktor (S-3) Sdr. Laela Nur Aisah tahun 2018

Sertifikat Penetapan P3HH sebagai Pusat Unggulan Iptek tahun 201750 Besar Kategori PPT Pratama Teladan th 2018 Prayoga Sala (Keputusan Menristekdikti Nomor 214/M/KPT/2019 tentang Penerima Anugerah Iptek dan Inovasi 2019)

KeluargaRika Hikmawati (istri)Galih Andika, SE, MM. (anak)Vita Nayunda, SE, MM. (anak)Wira Nastainul Hakim, S.Hut (anak)Muhammad Zikri, SE (menantu)Fevi Rahma Dwi Putri, S.KPm (menatu)M. Zyan Assyraf (cucu)Ramadhanis Umair Hakim (cucu)

02

Frans P

aginta

Page 5: EKOWISATA GUNUNG BULUSARAUNG:PENGALAMAN …

03

Dr. Dwi Sudharto, adalah sosok yang dikenal sebagai pribadi yang berani, tegas, penuh semangat, dan relijius. Sebagai sosok pemimpin, beliau selalu menularkan inspirasi, motivasi, dan nilai-nilai positif kepada siapa pun. Selama 35 tahun meniti karier sebagai ASN di Departemen Kehutanan dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, beliau berhasil menorehkan beberapa prestasi yang membanggakan bagi kemajuan pembangunan sektor kehutanan dan masih dimanfaatkan hingga saat ini seperti SVLK, AIKO, dan Xylarium nomer 1 dunia.

Bagaimana kisah perjalanan hidup beliau selengkapnya? Mari kita simak wawancara Swara Samboja dengan Dr. Dwi Sudharto berikut ini.

Bisa sedikit diceritakan mengenai kehidupan Bapak yang paling mengesankan di masa kecil sampai remaja?

Abah saya seorang guru. Beliau selalu mendidik kami untuk disiplin dan gemar berolahraga agar kami menjadi pribadi yang disiplin dan sportif. Namun, tetap pendidikan agama menjadi nomor satu di keluarga kami. Yang berkesan buat saya adalah saya selalu menjadi ketua kelas saat diklat dan selalu menjadi juara kelas semasa menjalani pendidikan SD, SMP dan SMA.

Jika ada, siapa sosok yang menjadi inspirator bagi perjalanan karier maupun hidup Bapak? Bisa diceritakan secara singkat.

Sosok yang menjadi inspirator saya adalah Abah. Abah adalah sosok yang sangat disegani di lingkungannya. Beliau memiliki prinsip yang kuat. Saya hidup di lingkungan 'preman', namun Abah dapat merangkul semua orang, dan para preman itu tunduk dan patuh kepada Abah. Selain orang tua, sosok yang menjadi inspirator saya adalah Prof. BJ. Habibie. Beliau pribadi yang lugas, pintar, inspiratif, dan inovatif.

Saat menerima penghargaan Prayoga Sala dari Kemenristekdikti, 27 Agustus 2019: “Penghargaan Anugerah Prayoga Sala ini, akan terus memotivasi P3HH-BLI untuk dapat terus berkembang menjadi lembaga penelitian

yang selalu meningkatkan inovasi dalam melakukan riset dan pengembangan serta inovasi untuk mencapai cita-cita lembaga yaitu menjadi lembaga yang mendunia dan memasyarakat serta bermanfaat bagi umat"

Page 6: EKOWISATA GUNUNG BULUSARAUNG:PENGALAMAN …

Bagaimana kisah karier Bapak mulai dari awal meniti jenjang karier hingga mencapai posisi saat ini?

Awal bergabung di Kemenhut, saya dipertemukan dengan sosok yang mewarnai kerja saya selanjutnya, Almh. Ir. Siti Nuril Hamimah (Ibu Iing). Beliau berpesan agar dimanapun kita ditugaskan, kita bekerja dengan baik dan selalu bermanfaat untuk institusi; dan saat kita pergi, orang merasa kehilangan. Dengan prinsip itu, saya bekerja keras, disiplin, dan karier saya meningkat dengan cepat. Saya bekerja pertama kali di di P3RPDAS Musi Palembang, lokasinya di kabupaten. Meski masih yunior, pangkat saya IIIb waktu itu, saya dipromosikan ke Palembang dan dipercaya menjadi Kasi. Saya percaya, pendidikan itu sangat penting, sehingga kemudian saya memilih untuk melanjutkan pendidikan master ke IPB. Saat itu, terbit Peraturan Menteri Kehutanan yang menyatakan jika nilai kita bagus, kita dapat langsung lanjut S3. Saya lulus cum laude, dan saya mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan studi S3 di Malaysia. Selesai sekolah, saya diangkat menjadi Kepala Bidang Program dan Anggaran, Badan Inventarisasi dan Tata Guna Hutan (INTAG) di Jakarta. Kemudian, saya mendapatkan

amanah sebagai Kepala Bidang Evaluasi Pelaksanaan Rencana Kehutanan di Badan Planologi Kehutanan hingga 2006. Pada tahun 2007, saya dipromosikan menjadi Direktur Pengukuhan dan Penatagunaan Kawasan Hutan, dan kemudian menjadi Sekditjen Planologi Kehutanan. Yang paling berkesan, saat di Ditjen Planologi, saya memprakarsai pembentukan Tim Terpadu (Timdu) yang mengawal proses perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan yang sangat banyak terjadi pada saat itu. Timdu beranggotakan lembaga yg mempunyai otoritas ilmiah (LIPI, perguruan tinggi, Litbang), serta instansi terkait di Pusat dan Daerah. Alhamdulillah melalui Timdu, semua usulan dan kasus dapat diteliti secara komprehensif dari sisi hukum, fisik, sosial dan ekonomi. Timdu selanjutnya diformalkan di dalam PP dan Permenhut. Sampai saat ini Timdu masih tetap eksis. Selanjutnya, tahun 2012 hingga 2015, saya menjabat sebagai Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hutandi Ditjen BUK. Semasa menjabat menjadi Direktur PPHH, saya memotori SVLK, Sistem Verifikasi Legalitas Kayu. SVLK, atau Indonesian TLAS (Timber Legality Assurance System), saat itu adalah yang pertama di dunia. SVLK diterapkan secara wajib (mandatory) di

Penyerahan buku Perjalanan Xylarium Bogoriense ke Ibu Menteri LHK

Saat mendampingi Alih Teknologi Identifikasi Jenis Kayu Sucofindo

Deklarasi Xylarium Bogoriense No 1 Dunia dan Peluncuran AIKO tahun 2018

Page 7: EKOWISATA GUNUNG BULUSARAUNG:PENGALAMAN …

05

Indonesia, dan sejak SVLK ini diberlakukan, kasus penebangan liar di Indonesia menurun drastis. SVLK dikembangkan karena ketidakpercayaan dunia akan legalitas kayu Indonesia. Dengan SVLK, ekspor kayu Indonesia meningkat dan masuk ke Uni Eropa melalui jalur hijau. SVLK dan SILK (Sistem Informasi Legalitas Kayu) masuk dalam 40 Inovasi Pelayanan Publik. Indonesia saat ini menjadi pusat rujukan dan tempat belajar pengembangan Timber Legality Assurance Systembagi negara-negara ASEAN dan juga negara lain.

Tahun 2015, saya membuat kiprah lain dengan menjabat sebagai Kepala Pusat Litbang Hasil Hutan Badan Litbang dan Inovasi. Di sini, bersama-sama dengan peneliti di P3HH, kami menghasilkan banyak produk unggulan yang membalik pandangan orang tentang litbang. Xylarium Bogoriense no 1 Dunia, Alat Identifikasi Kayu Otomatis (AIKO-KLHK), teknologi pengolahan limbah batang sawit, teknologi arang kayu dan arang kompos bioaktif, teknologi produksi asap cair, teknologi pengolahan bio-etanol aren, model desa mandiri berbasis aren,

dan perhitungan faktor eksploitasi. Selama saya menjabat, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan ditetapkan sebagai Pusat Unggulan Iptek (PUI) Pemanfaatan Hasil Hutan Tropis, dan puncaknya kami mendapatkan penghargaan Prayoga Sala, atau singkatnya PUI-nya PUI. Tahun lalu, saya juga masuk dalam 50 besar Pejabat Pratama Teladan Nasional.

Dalam karier profesional Bapak di bidang Kehutanan, apa hal yang pal ing membahagiak an dan pal ing mengecewakan?

Prestasi level dunia: SVLK, Xylarium Bogoriense, dan AIKO-KLHK. Yang paling mengecewakan tidak ada, karena semuanya adalah jalan yang harus saya lalui, dan semuanya berujung dengan indah. Semua yang saya jalani ada hikmahnya.

Bapak telah merasakan bekerja di berbagai direktorat, bagaimana cara Bapak menjaga motivasi diri maupun organisasi agar selalu bekerja dengan baik dan

Halo Indonesia Live: AIKO-KLHK

Bersama Dr. Agus Justianto, Kepala Badan Litbang dan Inovasi KLHK, dan Dr. Dr. Tetra Yanuariadi, Projects Manager, Trade and Industry Division,

ITTO, di sela-sela acara IUFRO 2019 di Curitiba, Brazil

Menjelaskan tentang Sistem Verifikasi Legalitas Kayu di hadapan Duta Besar Belgia

Inisiasi Kerjasama Pengembangan Sistem Identifikasi Kayu dengan Bea Cukai

Page 8: EKOWISATA GUNUNG BULUSARAUNG:PENGALAMAN …

maksimal? Nilai-nilai apa yang Bapak internalisasikan ke setiap organisasi yang Bapak pimpin?

Cara saya menjaga motivasi adalah bagi saya kerja itu adalah ibadah dan menjadi ladang amal sehingga kita bekerja itu tidak hanya sekedar menjalankan kewajiban sebagai PNS. Nilai-nilai yang selalu saya tanamkan kepada saya pribadi maupun ke organisasi yang menjadi tanggung jawab saya adalah harus dekat dengan agama, dekat pada yang Maha Kuasa. Satu lagi, bekerja dengan hati dan jadikan agama sebagai sandaran hidup.

Apa mimpi dan cita-cita Bapak yang sudah dan belum terwujud selama karier Bapak di dunia kehutanan?

Yang sudah terwujud adalah in sya Allah saya sudah bisa melaksanakan amanah dari Almh Ibu Iing. Alhamdulilah saat ini saya juga adalah ketua yayasan RSIB, dan yang belum terwujud adalah menjadikan RSIB menjadi rumah sakit syariah pertama di kota Bogor. Saat ini kami sedang mengarah ke sana.

Untuk kehutanan, mimpi yang belum terwujud adalah hutan dapat memberikan manfaat yang luas bagi kesejahteraan masyarakat secara kongkrit secara ekonomi, ekologi, dan budaya. HPH tidak mau menebang, dan HTI tidak mau menanam karena harga jual kayu sangat murah sehingga biaya produksi tidak masuk. Ada sistem yang salah (anomali). Saya ingin agar semua pihak bekerja jujur sehingga adil untuk semua: adil untuk negara, adil untuk hutan, dan adil pengusaha.

Selama masa kepemimpinan Bapak, Puslitbang Hasil Hutan meraih beberapa capaian prestasi di antaranya PUI, Xylarium no 1 di dunia, AIKO, dan terakhir penghargaan Prayoga Sala Kemenristek. Di antara beberapa capaian tersebut, bisa diceriterakan prestasi yang paling berkesan dalam hal prosesnya, hasil maupun implikasinya?

AIKO-KLHK, karena memiliki dampak luas terutama perdagangan kayu dapat dilakukan secara jujur. Bisnis kayu bisa barokah. AIKO-KLHK juga memberikan edukasi kepada masyarakat awam untuk paham mengenai kayu.

Momen bersama keluarga saat aqiqah cucu kedua

Page 9: EKOWISATA GUNUNG BULUSARAUNG:PENGALAMAN …

07

Menurut Bapak apa yang harus diperbaiki/ditingkatkan sehingga hasil penelitian tidak hanya bisa sebagai dasar pengambilan kebijakan Kementerian LHK, akan tetapi juga mengharumkan nama Indonesia di kancah global?

Intinya itu, BLI harus jeli memilah atau mengkaji apa yang dibutuhkan. BLI berfungsi menunjang Eselon 1 lain sehingga jangan berdiri sendiri. Jangan teliti apa yang tidak dibutuhkan. Diharapkan pucuk pimpinan KLHK memandang BLI sebagai center of excellence untuk dasar pengambilan kebijakan sehingga hasil penelitian efektif dan efisien.

Di luar rutinitas kerja sehari-hari, kegiatan lain apa yang Bapak tekuni saat ini?

Saat ini, selain menjalankan amanah sebagai Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan, saya aktif di Rumah Sakit Islam Bogor sebagai ketua yayasan. Saya juga menjadi

Pembina Pesantren Yatim Muara Istiqomah Bogor, Pembina Yayasan Almunadi Medan, dan Pembina Yayasan Lembaga Sosial Dakwah Islam (LSDI) Guru Sudharmo.

Apa pesan Bapak bagi kami para rimbawan muda Indonesia?Taat beribadah.Bekerjalah pakai hati. Jadikan pekerjaan sebagai ladang amal.Kibarkan bendera BLI dengan berlari dan terus berlari, dan jangan menunggu untuk ditiup angin.

Memenuhi Permintaan Men KLHK untuk diseminasi Xylarium Bogoriense No 1 Dunia dan AIKO-KLHK pada momen CAFEO 37 (Conference of ASEAN Federation Engineering Organization) 2019

Page 10: EKOWISATA GUNUNG BULUSARAUNG:PENGALAMAN …

Mira Kumala Ningsih* dan Suryanto**

Primata UnikPenghuni Hutan

Pattunuang-KaraentaTaman Nasional

Bantimurung Bulusaraung

Tajuk Utama

[*Teknisi Litkayasa dan Peneliti pada Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam ]**

Page 11: EKOWISATA GUNUNG BULUSARAUNG:PENGALAMAN …

09

Pendahuluan

Pulau Sulawesi sebagai pusat Wallacea adalah zona biogeografi dengan tingkat endemisme sangat tinggi ''(Chapper, 2018). Dari 127 mamalia di Indonesia, 79 (62%)

endemik di Sulawesi ('Shagir, 2012). Sejumlah 33 jenisnya dapat

ditemukan di Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung, Sulawesi Selatan (TN-Babul, 2017). Dua jenis diantaranya menarik perhatian yaitu tarsius dan monyet hitam dare. Tarsius bahkan diyakini Zulivan (2017) telah meng-inspirasi karakter wajah beberapa tokoh fiksi dalam film Star Wars, The Lord of The Rings dan Trolls. Sementara monyet hitam dare menjadi primata yang dapat dipanggil di Resort Pattunuang-Karaenta, TN-Babul.

Tarsius, Sejatinya Endemik Sulawesi

Tarsius termasuk dalam ordo primata, famili Tarsiidae dan genus Tarsius. Dua genus lain dalam Famili Tarsiidae, yaitu Cephalopachus dan Carlito tidak menjadi subjek penelitian sebanyak Tarsius, sehingga validitas taksonomi untuk dua genus tersebut diperdebatkan (Munds et al. 2018). Sebagaimana

disajikan dalam Gambar 1, tarsius sejatinya endemik Sulawesi dan pulau-pulau kecil disekitarnya.

Genus Tarsius terdiri dari 11 jenis, yaitu Tarsius tarsier, T. fuscus, T. sangirensis, T. pumilus, T. dentatus, T. pelengensis, T. lariang, T. tumpara, T. Wallacei, Tarsius sp.1 dan sp.2. Pada tahun 2017 Sharon Gursky (antropologis) mengungkap Tarsius sp.1 sebagai T. spectrumgurskyae dan Supriatna (Biologis) mengungkap Tarsius sp.2 sebagai T. Supriatnai (Kompas, 2017).

Su

mb

er

: (G

rove

s &

Sh

eke

lle, 2

01

0)

Peta sebaran genus dan spesies Tarsiidae

Page 12: EKOWISATA GUNUNG BULUSARAUNG:PENGALAMAN …

Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa dalam daftar merah International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (Redlist IUCN), satu jenis Tarsius yaitu T. tumpara dalam status sangat terancam kepunahan (critically endangered), 2 jenis lainnya terancam (endangered), 3 jenis dalam status jarang/langka (vulnerable) dan 3 jenis dalam status kekurangan data (data deficient). Saat ini penelitian tentang Tarsius terus dilakukan untuk memperkirakan jumlah populasi tarsius di habitatnya.

Berdasarkan klasifikasi suara dan genenetik, jenis yang sebelumnya bersinonim dengan T. tarsier adalah jenis tersendiri sebagai T. fuscus (Groves & Shekelle, 2010). Sehingga Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.92/Menlhk/Setjen/Kum.1/8/2018 perlu dipertimbangkan untuk dikoreksi yaitu secara spesifik untuk memasukkan jenis T. fuscus yang terpisah dari jenis tarsius Sulawesi atau T. tarsier (nomor urut 125). Status keterancaman T. fuscus kemungkinan meningkat menjadi Critically karena jenis ini hanya hidup di wilayah yang sempit di Sulawesi Selatan, tepatnya di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung dan sekitarnya.

Untuk bisa mengamati tarsius dengan mudah dapat berkunjung ke Pattunuang di penangkaran tarsius. Sulit untuk menemukan tarsius di alam pada siang hari karena merupakan binatang nokturnal atau aktif di malam hari. Seseorang yang masuk ke hutan akan lebih sering mendengar suara tarsius daripada melihat satwa itu secara langsung. Cara terbaik untuk mendeteksi keberadaan adalah melalui bau urinenya yang

10

Tabel 1. Sebelas Jenis Spesies Tarsius di Sulawesi

No. SpesiesNama

IndonesiaSebaran

Status KonservasiHukum Indonesia/IUCN

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

T. tumpara

T. pelengensis

T. sangirensis

T. dentatus Sinonim: T. dianae

T. tarsierSinonim: Tarsius spectrum, T. fuscomanus, T. macrotarsos,T. buffonii, T. fuscus, T. pallassii,T. podje, T. daubentonii

T. lariang

T. pumilus

T. wallacei

T. Fuscus

T. spectrumgurskyae

T. supriatnai

Tarsius Siau

Tarsius Peleng

Tarsius Sangihe

Tarsius Dian

Tarsius Sulawesi

Tarsius Lariang

Tarsius kerdil/Tarsisus Pygmy

Tarsius wallacei

Tarsius Fuscus

Pulau Siau, Sulawesi Utara

Pulau Peleng di sebelah timurSulawesi Tengah

Pulau Sangihe, di sebelah utarapulau Sulawesi

Sulawesi Tengah dan bagian utara Sulawesi Selatan

Sulawesi Selatan

Sulawesi Tengah bagian barat di sekitar lembah sungai Lariang

Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat,dan Sulawesi Selatan

Sulawesi Tengah bagian utara

Sulawesi Selatan

Dilindungi/Critically Endangered.

Dilindungi/Endangered.

Dilindungi/Endangered.

Dilindungi/Vurnerable

Dilindungi/Vurnerable

Dilindungi/Data Deficient

Dilindungi/Data Deficient

Dilindungi/Data Deficient

-

-

-

Sumber : IUCN dan Permen LHK Nomor 92 Tahun 2018

Sh

eke

lle e

t a

l. (2

00

8)

Perbedaan morfologi jenis-jenis tarsius yang terdapat di Sulawesi

Page 13: EKOWISATA GUNUNG BULUSARAUNG:PENGALAMAN …

sangat tajam dan khas di suatu pohon hutan seperti Ficus sp., rumpun bambu atau celah tebing karst. Hewan ini bahkan tidur dan melahirkan dengan terus bergantung pada batang pohon.

Di penangkaran Pattunuang, terdapat sepasang tarsius berwarna cokelat abu-abu dan cokelat muda atau kuning-jingga muda dan sangat lembut mirip beludru. Yang terlihat menonjol adalah sepasang bola mata yang bulat besar dan berwarna kemerah-kemerahan dengan kepala yang dapat berputar hingga 180°. Sepasang tarsius tersebut berlompatan (leaping) dari dahan ke dahan lainnya dan kadang terlihat melompat secara secara vertikal saat ada orang yang memasuki penangkaran. Terlihat pada setiap tangan dan kaki hewan ini memiliki lima jari yang panjang dan dilengkapi dengan kuku, kecuali jari kedua dan ketiga yang memiliki cakar yang digunakan untuk grooming. Memiliki kaki belakang yang panjangnya dua kali lipat dari panjang badannya dan pada bagian bawah jari-jari tangan dan kaki terdapat tonjolan atau bantalan yang memungkinkan tarsius untuk melekat pada berbagai permukaan saat melompat.

Masyarakat Pattunuang menyebut Tarsius fuscus dengan nama balao cengke. Nama Tarsius diambil berdasarkan ciri fisik tubuh mereka yang istimewa, yaitu tulang tarsal atau rangka sendi yang memanjang, memiliki tubuh berukuran sangat kecil dengan panjang tubuh sekitar 10-15 cm dan berat sekitar 80 gram (Alamendah, 2009). Dikenal sebagai insektivor karena mangsa utama adalah jenis-jenis serangga, walaupun terkadang memangsa reptil kecil seperti burung dan kelelawar.

Cara Tarsius mengenali, mencari dan menangkap mangsanya (foraging) dilakukan dengan mendeteksi keberadaan mangsa melalui telinga yang mempunyai pendengaran tajam dengan daun telinganya yang dapat digerak-gerakkan. Kompetitor T. fuscus dalam berburu adalah kelelawar pemakan serangga dan burung insektivor nokturnal. Kompetisi dalam berburu ini dilakukan dengan penanda-penandanya masing-masing, diantaranya melalui lengkingan-lengkingan suara yang khas. Lahir dalam insting predator, T. fuscus juga masuk dalam daftar menu hewan predator lainnya, seperti ular, burung hantu dan biawak. Bahkan primata terkecil ini dapat dimangsa oleh tikus.

Di alam, tarsius hidup dalam kelompok kecil. Setiap kelompok tarsius memiliki daerah teritori yang jelas, ditandai dengan air seni (urine) dan kotoran serta melalui bau badan dan vokalisasi dengan suara lengkingan. Vokalisasi tersebut juga efektif untuk berkomunikasi antara pasangan, anggota kelompok maupun dengan individu dari kelompok lainnya. Teritori dijaga secara ketat dari masuknya kelompok tarsius yang lain. Pelanggaran teritori dapat menyebabkan perkelahian antar kelompok.

Morfologi Tarsius, Inspirasi Tokoh Fiksi

Keunikan morfologi Tarsius diyakini menginspirasi pembuatan karakter fiksi industri film, diantaranya Grand Jedi Master Yoda dalam film Star Wars; The Empire Strikes Back (1980), tokoh fiksi karya George Lucas ini memiliki mata besar, badan kecil, serta telinga dan jari yang panjang.

11

Tarsius yang Menginspirasi Pembuatan Karakter dalam Film

Selain film Star Wars, satwa lucu dan unik ini juga menjadi inspirasi dalam pembuatan karakter Smeagol dalam film The Lord of the Rings dan The Hobbit. Selain itu, terdapat film animasi yang tidak kalah menariknya bagi anak-anak, yaitu Trolls. Dalam hal illustrasi, tarsius juga menjadi karakter satwa yang lucu oleh Akhil Sabu.

Page 14: EKOWISATA GUNUNG BULUSARAUNG:PENGALAMAN …

12

Kemiripan yang disengaja atau tidak disengaja ini adalah sebuah peluang bagi TN-Babul untuk memasukkan Tarsius sebagai ikon tambahan setelah sebelumnya kupu-kupu telah cukup dikenal. Beberapa even dapat diciptakan, dimulai dengan lomba penciptaan karakter Tarsius yang lebih original sebagai brand TN Babul. Karakter yang diciptakan tersebut kemudian dapat digunakan sebagai tokoh atau ikon untuk even lomba mewarnai, pekan Tarsius atau bahkan pembuatan film animasi yang lebih bercerita tentang TN Babul.

Contoh penciptaan karakter Tarsius diantaranya telah dilakukan sekelompok pemuda di Bangka Belitung, yaitu dalam bentuk souvenir atau cendera mata yang memanfaatkan limbah dari cangkang buah ulin.

Monyet Hitam Dare, Penghuni Hutan Karaenta TN-Babul

Selain Tarsius fuscus, di kawasan hutan Pattunuang-Karaenta terdapat spesies primata lain yg tidak kalah uniknya, yaitu monyet hitam Dare (Macaca maura). Macaca maura masuk dalam daftar satwa liar prioritas dan dilindungi (Permen LHK Nomor 98 Tahun 2018, Permenhut No. 57, 2008) serta dalam status terancam punah (endangered) dalam IUCN redlist (Supriatna et al. 2008). Hidup di sebagian kecil wilayah di Sulawesi Selatan dengan kondisi habitat yang terfragmentasi pada area karst, terutama di sekitar kawasan penambangan semen dan sekitarnya. Diperkirakan populasi M. maura telah mengalami penurunan yang tajam dari 1983 hingga 1994, dari 56.000 ekor menjadi di bawah 10.000 (Evans et al. 2001).

Tokoh Dalam Film The Lord of The Rings, dan The Hobbit (kiri), Trolls (tengah) dan ilustrasi oleh Akhil Sabu (kanan)

Contoh Souvenir Karakter Tarsius dari Limbah Cangkang Ulin Macaca maura (atas) dan daerah sebaran di Sulawesi Selatan (bwah, sumber IUCN)

Page 15: EKOWISATA GUNUNG BULUSARAUNG:PENGALAMAN …

13

M. maura diklasifikasikan ke dalam famili Cercopithecidae dan dikenal dengan nama lokal lesang (Pinrang), ceba (Bugis), dare (Makassar). Panjang tubuh monyet hitam dare sekitar 500 – 690 mm, panjang ekor 30 – 35 mm, dengan berat berkisar antara 5-6 kg (Supriatna, 2000). Warna rambut atau bulu bervariasi dari coklat muda hingga coklat kehitaman, dengan warna pucat di bagian tunggingnya. Terkadang terdapat individu yang berwarna putih atau abu-abu karena umur yang tua. Ciri khas monyet-monyet Sulawesi adalah bantalan pada tunggingnya (ischial callocity) yang berbentuk oval yaitu berguna sebagai bantalan pada waktu duduk di pohon atau tempat-tempat yang keras lainnya. Jenis M. maura betina dewasa terjadi perubahan warna pada kulit seksual hingga tungging atau bokong menjadi berwarna kemerah-merahan saat birahi. Hal ini mirip dengan jenis M. nigra (yaki) betina yang menginjak dewasa yang menurut Saroyo (2009) terjadi perubahan pada kulit seksual (sexual skin) apabila sedang birahi atau terjadinya siklus estrus yaitu kulit seksual ini berwarna merah muda dan menutupi perineum hingga tungging serta terjadi fase pembengkakan dan pengempisan. Hal ini yang menandakan bahwa sang betina siap untuk melakukan perkawinan. Hal ini berbeda dengan yang terjadi pada M. maura yaitu tungging tetap rata dan hanya terjadi perubahan warna. Macaca maura di Karaenta (TN-Babul) memiliki karakter sebagai berikut :

1. Sama dengan jenis Macaca lainnya yaitu diurnal atau aktif pada siang hari.

2. Lebih banyak memakan buah (frugivorous) dibandingkan daun-daunan. Selain itu, beberapa jenis serangga dan jamur.

3. Dapat hidup di pohon (arboreal) namun kebanyakan hidup di permukaan tanah (teresterial) karena kerapatan pohon yang rendah di hutan.

4. Tidak membuat sarang.

5. Hidup berkelompok dengan jantan dominan menjadi

pemimpin dalam menentukan pergerakan kelompok.

6. Sering kali terlihat multiple mating yaitu betina dikawini oleh beberapa jantan dalam kelompok tanpa adanya persaingan antar jantan.

7. Sering terjadi interaksi atau perkelahian antar kelompok dalam hal perebutan wilayah tempat makan dan kekuasaan.

8. Mempunyai suara yang unik dibandingkan dengan Macaca Sulawesi lainnya dalam berkomunikasi dan berinteraksi. Panggilan keras pemimpin kelompok (jantan dewasa) mengeluarkan suara seper ti burung (pi…pi…pi…) terutama untuk mengkomunikasikan informasi mengenai lokasi dan gerakan dalam kelompok. Jika bertemu lain kelompok akan bersuara seperti hentakkan 'Ha' atau 'Ga', selain 'pi…pi…pi…'. Bila suara ini terdengar, maka anggota kelompok kembali kearah suara tersebut dengan cepat atau diam dan bersiaga. Bila dare tertangkap, mereka bersuara menyerupai gonggongan anjing (Shagir, 2010).

9. Terjadi perubahan warna bulu pada M. maura yang sudah tua yaitu berubah menjadi warna abu-abu keputihan.

10. Pada M. maura betina yang sedang birahi, bokong atau tungging berwarna kemerah-merahan. Di kawasan hutan Karaenta (TN-Babul) kelompok macaca ini dapat dipanggil oleh beberapa petugas. Biasanya dengan membawa kantung plastik yang berisi parutan jagung sambil bersiul-siul nyaring memanggil kelompok macaca ini. Tidak lama kemudian para macaca penghuni hutan tersebut turun mendekat dan memunguti biji-biji jagung yang disebar di lantai hutan. Dalam satu kelompok terdapat kurang lebih 30 s.d 40 ekor. Di dalam hutan Karaenta ini, mereka biasa beristirahat di pohon-pohon tinggi, batuan dan gua-gua serta pohon-pohon yang sedang berbuah seperti Ficus spp. maupun jenis pohon hutan lainnya. Pada musim kemarau mereka sering

Perbedaan Bokong atau Tungging pada Macaca maura (kiri) dan Macaca nigra (kanan)

Page 16: EKOWISATA GUNUNG BULUSARAUNG:PENGALAMAN …

memasuki gua untuk beristirahat, dan lebih memilih pohon-pohon tinggi untuk beristirahat pada musim hujan. Pergerakan M. maura biasanya dilakukan secara berkelompok, dimulai oleh jantan pimpinan kelompok, kemudian diikuti oleh anggota lain. Pergerakannya dilakukan dengan bergelayut dan meloncat dari pohon ke pohon atau menggunakan keempat anggota tubuhnya (quadropedal) bila berjalan di dahan atau bila turun di tanah.

Ancaman Habitat Bagi Primata Endemik di TN-Babul

Konflik manusia dan satwa liar saat ini terjadi di area karst di TN-Babul. Benturan kepentingan masyarak at dan meningkatnya jumlah penduduk serta kebutuhan-kebutuhan dasar yang menyertainya berimbas pada kawasan karst di TN-Babul. Hal ini merupakan penyebab populasi satwa endemik yang terus menurun. Supriatna (2000) menjelaskan bahwa pembukaan lahan hutan oleh masyarakat dan pemerintah yang awalnya seluas 23.000 km² menjadi hanya 2.800 km², menjadi penyebab menurunnya populasi satwa endemik. Adanya pembangunan infrastruktur jalan dan kegiatan penambangan batu dalam pembuatan semen berakibat pada kelestarian flora dan fauna serta keberadaaan goa-goa yang terdapat di dalamnya juga menjadi terancam. Dari sisi konservasi, pembangunan jalan bisa menggangu kelestarian lingkungan hidup dan alam sekitar. Dan disisi lain, keberadaan jalan sangat penting sebagai jalur distribusi barang dan sarana transportasi bagi masyarakat.

Kehilangan sekitar 88% habitat dan perburuan oleh masyarakat, M. maura menghadapi ancaman kepunahan. Dapat dikatakan bahwa kelestarian karst dan flora kunci seperti Ficus dan Bambusa sangat mempengaruhi kondisi primata endemik di TN-Babul. Flora kunci merupakan habitat dan sumber pakan bagi jenis primata tersebut. Kerusakan habitat

mempengaruhi kondisi flora kunci di kawasan tersebut. Akibatnya terjadi perubahan perilaku pada M. maura yang turun ke jalan untuk meminta makanan dari para pengendara yang melintas. Hal ini menyebabkan banyak kekhawatiran dan menjadi perhatian khusus, terutama oleh pihak pengelola. Beberapa M. maura dilaporkan tertabrak dan atau menjadi penyebab kecelakaan lalu lintas. Berbagai usaha telah dilakukan oleh pihak pengelola seperti pemasangan papan himbauan dan spanduk serta usaha untuk menggiring kawanan M. maura ini untuk kembali ke habitat aslinya.

Saat ini, perubahan perilaku M. maura menjadi perhatian khusus, terutama oleh pihak pengelola. M. Maura turun ke jalan untuk meminta makanan dari para pengendara yang melintas membuat banyak kekhawatiran. Beberapa M. maura dilaporkan tertabrak dan atau menjadi penyebab kecelakaan lalu lintas. Berbagai usaha telah dilakukan oleh pihak pengelola seperti pemasangan papan himbauan dan spanduk serta usaha untuk menggiring kawanan M. maura ini untuk kembali ke habitat aslinya. Namun, faktanya habitat aslinya telah berkurang secara drastis dengan adanya pembangunan infrastruktur jalan dan kegiatan penambangan batu kapur sebagai bahan baku pembuatan semen. Selain itu, keberadaaan goa-goa yang terdapat di dalamnya juga menjadi terancam. Dari sisi konservasi, pembangunan jalan bisa menggangu kelestarian lingkungan hidup dan alam sekitar. Dan disisi lain, keberadaan jalan sangat penting sebagai jalur distribusi barang dan sarana t ranspor tas i bagi masyarak at . Kerusak an habitat mempengaruhi keberadaan karst dan flora kunci seperti Ficus dan Bambusa merupakan habitat dan sumber pakan sangat mempengaruhi kondisi primata endemik di TN-Babul.

Dari beberapa penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa yang menjadi penyebab utama menurunnya populasi satwa primata endemik di kawasan TN-Babul adalah menurunnya kondisi habitat akibat perambahan habitat yang diakibatkan pembukaan hutan dan lahan untuk kegiatan

14

Pemasangan kamera trap dan pemeriksaan kondisi di sekitar sepan

Page 17: EKOWISATA GUNUNG BULUSARAUNG:PENGALAMAN …

15

pembangunan jalan, pertanian, penambangan, pengambilan kayu dan bambu serta perburuan liar oleh masyarakat. Kegiatan ini yang menyebabkan kehilangan habitat bagi satwa endemik yang berada pada wilayah yang sangat kecil dan sering terbatas dan terkadang mengakibatkan mereka terpaksa pindah ke habitat lain dalam daerah-daerah tersebut. Habitat yang merupakan sebuah bentuk kehidupan satu-satunya diserang dan bahkan karena tingkat adaptasi satwa endemik yang kurang di habitat yang tidak biasa dan sensitif terkadang mengakibatkan menurunnya populasi dari spesies endemik. Oleh karena itu, sangat diperlukan kajian yang lebih mendalam tentang dampak bagi satwa dan lingkungan.

Potensi konflik antara manusia dan primata endemik dalam penggunaan sumber daya alam dapat diminimalisir dengan merubah cara pandang konflik tersebut. Budaya masyarakat di dataran tinggi Lindu dan Buton adalah contoh dimana konflik manusia dan satwa dapat diminimalkan (Riley, 2005). Di dataran tinggi Lindu monyet dianggap kerabat oleh bagi orang Lindu. Di Buton, tempat-tempat tertentu di dalam hutan dianggap keramat, sehingga tempat ini dilindungi oleh penduduk setempat.

Penutup1. Spesies Tarsius fuscus dan Macaca maura di TN-Babul adalah

satwa endemik yang unik dan kharismatik namun mendapat ancaman kepunahan karena hidup di habitat yang terfragmentasi dan beberapa kejadian konflik dengan manusia. Dua primata ini dapat dijadikan branding Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung dalam upaya perindungan dan konservasi jenis melalui pendidikan dan promosi ekowisata.

2. Perubahan perilaku dan penurunan populasi satwa akibat degradasi lahan dan perubahan fungsi habitat perlu menjadi perhatian khusus bagi pengelola kawasan TN–Babul dalam upaya pelestarian satwa dan habitat.

3. Diperlukan upaya konservasi yang serius bagi habitat satwa endemik yang mulai rusak.

4. Alternatif pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana dan berkelanjutan dapat mengurangi tekanan/ancaman terhadap spesies primata yang ada di TN-Babul.

5. Pemahaman terhadap pentingnya habitat bagi satwa endemik kepada masyarakat luas, termasuk kepada pemerintah dan aparat penegak hukum harus sering dilakukan.

Daftar Pustaka

Alamendah. 2009. Tarsius Binatang Unik dan Langka. http://salamendah.org. Diakses tanggal 23 November 2018.

Chapper, A. (2018). Language contact and substrate in the languages of Wallacea. In Special issue of Nusa on Contact and substrate in the languages of Wallacea. PART 2. (II, pp. 16). https://doi.org/10.5281/zenodo.1450772.

Evans, B. J., Supriatna, J. and Melnick, D. J. 2001. Hybridization and population genetics of two macaque species in Sulawesi, Indonesia. Evolution 55(8): 1686-1702.

Groves, C., & Shekelle, M. (2010). The Genera and Species of Tarsiidae. International Journal of Primatology. https://doi.org/10.1007/s10764-010-9443-1.

IUCN (International Union for Conservation of Nature). 2011. Red List of Threatened Species. . Diakses tanggal 16 November 2018.

Munds, R. A., Dunn, R. H., & Blomquist, G. E. (2018). Multivariate Craniodental Allometry of Tarsiers. International Journal of Primatology. https://doi.org/10.1007/s10764-018-0034-x.

Riley, E. P. 2005. Ethnoprimatology of Macaca tonkeana: The Interface of Primate Ecology, Human Ecology, and Conservation in Lore Lindu National Park, Sulawesi, Indonesia. Ph.D. thesis, University of Georgia, Athens.

Saroyo. 2009. Lama Kebuntingan Monyet Hitam Sulawesi (Macaca nigra) di Cagar Alam Tangkoko-Batuangus, Sulawesi Utara. https://www.berkalahayati.org. Diakses tanggal 16 November 2018.

Shagir, K. 2010. 'Dare' Monyet Hitam Endemik Sulawesi Selatan. http://www.tn-babul.or. Diakses tanggal 16 November 2018.

Shagir, K. 2012. Primata Kecil Tarsius (Tarsius fuscus) di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. http://www.tn-babul.or. Diakses tanggal 16 November 2018.

Shekelle, M., C. Groves, S.Merker dan J.Supriatna. 2008. Tarsius tumpara: A New Tarsier Species from Siau Island, North Sulawesi. Primate Conservation (23): 55-64.

Supriatna, J dan E. H. Wahyono. (2000). Panduan Lapangan Primata Indonesia, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia.

Supriatna, J., Shekelle, M. & Burton, J. 2008. Macaca maura. The IUCN Red List of Threatened Species 2008: http://dx.doi.org/10.2305/IUCN.UK. 2008.RLTS.T12553A3356200.en. Diakses tanggal 13 Desember 2018.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. 2017. Buku Informasi (The Kingdom of Butterfly, The Spectacular Tower Karst, The Adventurer Paradise). Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Maros.

Zulivan, A. 2017. Tarsius, Primata Asal Sulawesi yang Menginspirasi Karakter Star Wars. https://www.goodnewsfromindonesia.id. Diakses tanggal 24 November 2018.

Page 18: EKOWISATA GUNUNG BULUSARAUNG:PENGALAMAN …

Ekowisata Gunung Bulusaraung:

Pengalaman Berkunjung dan Konsep Pengembangan

Ekowisatanya

Mira Kumala Ningsih* dan Ardiyanto W. Nugroho**[*Teknisi Litkayasa dan Peneliti pada Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam ]**

Ardiyanto

W. Nugroho

Page 19: EKOWISATA GUNUNG BULUSARAUNG:PENGALAMAN …

17

Gunung Bulusaraung merupakan salah satu destinasi wisata yang cukup terkenal di Sulawesi Selatan, dan merupakan bagian dari kawasan Balai Taman Nasional

Bantimurung Bulusaraung (BTN Babul). Tempat ini merupakan salah satu dari 7 destinasi wisata utama BTN Babul, 6 (enam) lainnya adalah Air Terjun Bantimurung, Kawasan Prasejarah Leang-leang, Kawasan Karst Pattunuang Asue, Hutan Karaenta untuk Penelitian dan Pendidikan, Gua Vertikal Leang Pute, dan Pemandian Alam Leang Lodrong. Gunung Bulusaraung dengan ketinggian ± 1.353 meter di atas permukaan laut (mdpl) ini dikelola dengan konsep ekowisata oleh BTN Babul bekerja sama dengan masyarakat setempat. Desa Wisata Tompo Bulu merupakan desa yang terletak di lereng Gunung Bulusaraung dan telah berinisiatif membentuk kelompok ekowisata Dentong untuk mengelola kawasan tersebut (BTN Babul, 2018).

Konsep pengelolaan ekowisata sangat baik sebagai upaya konservasi kawasan hutan seperti kawasan taman nasional karena pada dasarnya konsep ini menawarkan jalan tengah pemanfaatan kawasan hutan secara lestari. Dalam ekowisata, masyarakat lokal yang berperan sebagai pengelola utama akan mendapat keuntungan ekonomi dari pengunjung dan diharapkan mampu meningkatkan perekonomian setempat. Di lain pihak, masyarakat lokal akan menjaga kelestarian kawasan tersebut untuk mempertahankan kunjungan wisatawan.

Namun demikian, banyak tempat wisata yang hanya menempelkan kata “ekowisata” hanya untuk menarik lebih banyak pengunjung. Hal ini karena peminat ekowisata meningkat di berbagai di dunia termasuk Indonesia, bersamaan dengan meningkatnya tren pariwisata global. Padahal, destinasi wisata yang dikelola dengan konsep ekowisata berbeda dengan destinasi wisata alam konvensional karena harus memenuhi beberapa konsep ekowisata dalam pengelolaannya.

Tulisan ini akan memaparkan pengalaman penulis di Gunung Bulusaraung mulai dari berangkat dari kantor BTN Babul sampai ke tempat tujuan dan mengamati secara langsung pengelolaan kawasan ekowisata Gunung Bulusaraung. Kemudian, kami akan menggambarkan suasana di Desa Tompo Bulu termasuk keunikan tradisi yang ada di desa tersebut, serta keadaan Gunung Bulusaraung itu sendiri. Selanjutnya, kami juga akan menelaah sampai sejauh mana implementasi konsep-konsep ekowisata di Gunung Bulusaraung. Pada akhirnya melalui tulisan ini, pembaca diharapkan mampu membedakan destinasi wisata alam yang dikelola dengan konsep ekowisata dengan destinasi wisata alam yang hanya sekedar menyematkan kata ekowisata di dalamnya.

Perjalanan Menuju Gunung Bulusaraung

Tompo Bulu, Desa Wisata dengan Budaya dan Kearifan Lokal

Sebelum berangkat ke lokasi, kami singgah ke kantor BTN Babul di Kabupaten Maros untuk keperluan koordinasi dan konsultasi mengenai kondisi Gunung Bulusaraung. Kemudian, mobil yang kami tumpangi pun berangkat untuk mencari tempat makan siang sebelum melanjutkan perjalanan ke Resort Balocci, Kabupaten Pangkajene Kepulauan (Pangkep). Sepanjang perjalanan, bentangan hamparan karst mengisi pemandangan. Selama kurang lebih 2 jam akhirnya sampailah di wilayah Pangkep. Untuk menuju ke Kantor Resort Balocci, perjalanan yang ditempuh tidaklah mudah. Diperlukan ketangkasan dan keahlian dalam mengemudikan kendaraan di sepanjang jalan karena kondisi jalan yang lumayan ekstrim yaitu jalan semen yang sempit dan berkelok kelok serta menanjak. Sesekali kendaraan harus berhenti bila berpapasan dengan mobil atau kendaraan lain. Klakson mobil harus sering dibunyikan apabila menemui jalan yang berkelok. Apabila kurang berhati-hati maka jurang-jurang yang dalam telah menanti. Perjalanan cukup membuat tegang selama berada dalam mobil.

Dari wilayah Pangkep, sekitar kurang lebih 1 jam akhirnya sampai di Kantor Resort Balocci. Kantor ini merupakan bagian dari BTN Babul. Terdapat sebuah pos registrasi pembayaran retribusi masuk menuju lokasi pendakian, pengunjung wajib membayar tiket retribusi sebesar Rp. 2.500 per orang kepada pihak pengelola dalam hal ini adalah masyarakat dan petugas di Resort Balocci, TN Babul. Selain pos retribusi terdapat pula tempat parkir untuk kendaraan bermotor yang dikelola oleh masyarakat sebagai penghasilan bagi desa dengan tarif Rp. 5.000 per motor. Setelah melakukan registrasi pengunjung dihimbau terlebih dahulu untuk mentaati peraturan selama berada di kawasan pendakian Gunung Bulusaraung. Akhirnya tim memutuskan untuk menginap di salah satu rumah warga yang berada di desa kaki Gunung Bulusaraung yang dijadikan sarana homestay. Setelah beramah-tamah dengan pemilik homestay sambil duduk beristirahat, kami memutuskan untuk berjalan mengelilingi desa dan mewawancarai beberapa penduduk yang ditemui sepanjang jalan guna mengisi waktu sebelum melakukan pendakian yang rencananya akan dimulai pada pukul 2 dini hari guna menyempatkan melihat matahari terbit dari puncak.

Desa Tompo Bulu adalah desa di kaki gunung Bulusaraung yang juga dikenal sebagai desa wisata dengan budaya dan

Page 20: EKOWISATA GUNUNG BULUSARAUNG:PENGALAMAN …

18

kearifan lokal yang khas. Keindahan alam pedesaaan dihiasi dengan rumah-rumah penduduk setempat yang berbentuk panggung mencerminkan rumah asli suku Bugis. Bahasa lokal sehari-harinya saja sudah mencerminkan kekhasan itu, yaitu bahasa Dentong yang merupakan perpaduan antara bahasa Bugis dan Makassar. Warga Tompo Bulu juga masih menjalankan tradisi-tradisi kuno pada waktu tertentu. Misalnya upacara menumbuk padi Mengkal atau Mappadendang yang digelar sebelum panen raya. Tumbukan-tumbukan padi dalam lesung menimbulkan bunyi-bunyian seperti orang berdendang.

Sebagian besar warga desa bermata pencaharian sebagai petani. Hasil pertanian berupa kacang tanah, sehingga bisa diperoleh dengan harga murah disini. Kacang tanah hasil panen dijual di pasar-pasar terdekat bahkan sampai dijual ke kota Makassar. Bagi masyarakat Sulawesi Selatan, kacang tanah dijadikan bumbu dalam memasak coto makasar, pallu basa, kapurung, dan masakan khas lainnya. Selain itu, kacang juga

diolah menjadi berbagai jenis oleh-oleh khas Sulawesi Selatan seperti kacang telur, kacang disco dan kacang olahan lainnya. Pantas saja desa ini sering mendapatkan penghargaan dari pemerintah kabupaten setempat sebagai desa agrowisata.

Penduduk desa Tompo Bulu 100% beragama muslim. Kegiatan-kegiatan keagamaan menjadi rutinitas dalam kehidupan warga disini. Terdapat sebuah masjid dengan ukuran yang cukup besar yaitu Masjid Ja'ami Darussalam yang dapat menampung seluruh jamah. Terlihat para ibu-ibu semua aktif dalam acara pengajian dan acara keagamaan lainnya. Tiap hari masjid ini selalu ramai dengan kegiatan keagamaan. Upacara pernikahan juga menjadi suatu yang unik karena selalu dilakukan pada hari Jum'at sebagai hari sakral bagi umat Islam. Selain itu, setiap pasangan yang baru menikah wajib bertanggung jawab pada kelestarian alam. Mereka harus menanam sembilan jenis pohon setelah melangsungkan pernikahan.

Mira K

umalasari

Masjid di Desa Tompo Bulu (kiri) dan Puskesmas (tengah) dan Sekretariat keluarga sadar hukum “Sipakkamase” (kanan)

Selain masjid, fasilitas umum lainnya juga terdapat di desa ini diantaranya Puskesmas, Rumah Tunggu Kelahiran, Sekretariat keluarga sadar hukum oleh masyarakat Balocci yang diberi nama Sipakkamasedan Posyandu. Akomodasi dan fasilitas pendukung di lokasi wisata ini cenderung memanfaatkan fasilitas milik masyarakat desa. Tidak ada wisma atau penginapan di desa ini. Bagi para pendaki, wisatawan maupun para peneliti yang mau melakukan kegiatan dalam waktu yang cukup lama bisa bermukim di rumah-rumah penduduk yang menyediakan fasilitas homestay. Inilah salah satu bentuk pemberdayaan penduduk disini. Selain homestay, para pengunjung juga bisa memesan makanan selama berada didesa ini dengan tarif yang sudah disepakati sebelumnya.

Salah Satu Homestay di Desa Tompo Bulu

Mira K

umalasari

Page 21: EKOWISATA GUNUNG BULUSARAUNG:PENGALAMAN …

Kepedulian masyarakat dalam menciptakan dan menjaga kebersihan sangatlah tinggi. Saat berjalan mengeilingi desa, terasa suasana nyaman dan asri terpancar jelas disini. Hampir di setiap pekarangan rumah warga dihiasi dengan kembang atau tanaman hias dan hampir tidak akan kita temukan sampah berserakan di desa ini. Setiap rumah terpampang plang dengan tulisan “PKK Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga”.

Setelah puas jalan-jalan mengelilingi desa, kami pun kembali ke homestay dan beristirahat sebelum melakukan pendakian. Tepat pukul 2 dilakukan persiapan untuk berangkat mendaki Gunung Bulusaraung. Tim ditemani oleh seorang PEH (Pengendali Ekosistem Hutan) dan seorang polisi hutan dari kantor BTN Babul serta beberapa pemandu lokal.

Gunung Bulusaraung merupakan pilihan tepat untuk merasakan langsung sensasi lain dari wisata karst yang ada di Sulawesi Selatan. Wisata puncak Gunung Bulusaraung termasuk salah satu wisata minat khusus yang banyak digemari para pelajar, mahasiswa dan komunitas pecinta alam. Selain itu, para peneliti juga sering melakukan penelitian di gunung ini. Berbagai macam penelitian dilakukan di kawasan ini diantaranya survei jenis flora seperti anggrek dan jenis tumbuhan lainnya serta satwa endemik penghuni Gunung Bulusaraung seperti kupu-kupu, musang, Macaca, Tarsius dan jenis satwa lainnya.

Walaupun ketinggiannya tidak begitu mencolok jika dibandingkan dengan gunung-gunung lainnya di Indonesia,

Sensasi Gunung Bulusaraung yang Spektakuler

namun mendaki Gunung Bulusaraung bukanlah perihal yang mudah. Sepanjang jalur pendakian menuju puncak gunung ini, harus melalui areal yang lereng, terjal dan berbatu. Jalur ini tentu akan menguji ketahanan fisik dari para pendaki terutama pendaki pemula seperti kami.

Setelah berdoa pendakianpun dimulai. Pendakian dimulai dengan menyusuri tanggung-tanggul persawahan warga yang didampingi oleh seorang staf BTN Babul yang dikenal dengan nama Bang Jack. Selanjutnya, tim memasuki kerimbunan hutan yang berada di zona inti TN Babul. Terdapat 10 pos peristirahatan termasuk pos terakhir yang berada di puncak pendakian. Setiap pos mempunyai karakteristik jalur yang beragam. Ada yang mendatar dan ada pula yang mendaki hingga kemiringan 80 derajat. Dari pos 1 sampai pos 5 pendakian medan yang dilalui cukup terjal dengan kondisi jalan yang menanjak.

Pada pos 8 terdapat lokasi yang strategis untuk menikmati keindahan alam dari ketinggian walaupun belum sampai ke lokasi puncak. Di lokasi ini bisa dijadikan spot foto yang menarik bagi pengunjung yang ingin mengabadikan keindahan alam melalui ketinggian. Dari arah kejauhan terlihat pemandangan alam yang luas dan hijau yang menyejukkan mata.

Selanjutnya di pos 9 terdapat lokasi camping ground yang dipakai pendaki untuk mendirikan tenda. Di pos inilah para pendaki bisa menghilangkan kepenatan mereka mendaki sambil menikmati sejuknya udara pegunungan di bawah pepohonan pinus yang menjulang dan rindang. Terdapat mata air yang di lokasi ini memudahkan pendaki untuk memenuhi kebutuhan konsumsi selama berkemah. Di pos ini juga para

19

Ardiyanto

W. Nugroho

Lokasi Berkemah di Pos 9 Gunung Bulusaraung

Page 22: EKOWISATA GUNUNG BULUSARAUNG:PENGALAMAN …
Page 23: EKOWISATA GUNUNG BULUSARAUNG:PENGALAMAN …

Mira K

umala N

ingsih

Puncak Gunung Bulusaraungmenawarkan landscapeyang sangat indah

Page 24: EKOWISATA GUNUNG BULUSARAUNG:PENGALAMAN …

22

pendaki dapat menikmati momen matahari terbit di puncak gunung. Perjalanan dari pos kesembilan menuju puncak Gunung Bulusaraung memakan waktu sekitar tiga puluh menit. Dari atas puncak, pendaki dapat menyaksikan pemandangan indah dari hamparan Karst Maros yang luas menjadi bonus pendakian ke gunung ini.

Selanjutnya pos 10, di pos inilah letak puncaknya gunung Bulusaraung. Di lokasi puncak gunung kami menyaksikan keindahan alam yang luar biasa. Pemandangan hamparan bukit karst yang luas tersebar di ketinggian lebih rendah ditambah sejuknya semilir angin yang berhembus membuat kami tidak merasakan panas matahari yang membakar kulit. Perjumpaan dengan beberapa pendaki lainnya menambah keceriaan di puncak gunung ini. Dengan berfoto bersama dengan para pendaki mulai dari tingkat pelajar, mahasiswa, komunitas pecinta alam dan organisasi lainnya menambah keakraban diantara kami sambil menikmati keindahan alam dan menghabiskan waktu liburan.

Setelah puas berada di puncak Gunung Bulusaraung, kami akhirnya turun dan kembali ke homestay. Di tengah perjalanan, terlihat awan mendung yang semakin gelap pertanda akan turun hujan. “Jika musim hujan datang, hanya awan putih yang terlihat. Sehingga gunung ini disebut Bulusaraung, yang dalam bahasa Bugis-Makassar, berarti gunung yang dipayungi awan” kata Bang Jack.

Kami pun mempercepat langkah kami untuk cepat sampai di homestay. Hujan turun lumayan lebat setelah kami sampai di homestay. Singkong goreng dan kacang telur telah menanti kami, makanan ringan sederhana yang disediakan oleh

ibu pemilik homestay. Sambil istirahat dan menikmati hidangan, terlihat beberapa anggrek yang sedang berbunga dan dipelihara oleh putra ibu pemilik hotel. Anggrek-anggrek yang dipelihara disini merupakan spesies anggrek endemik dari Gunung Bulusaraung. Setelah mandi dan makan, kami pun berkemas untuk melanjutkan perjalanan menuju kota Makassar. Pilihan menginap kali ini di salah satu hotel yang dekat dengan Pantai Losari agar dapat leluasa menikmati keindahan pantai dan jajanan khas Makassar.

Tempat wisata yang dikelola dengan konsep ekowisata berbeda dengan tempat wisata massal maupun wisata alam konvensional karena terdapat beberapa prinsip utama yang harus dipenuhi dalam konsep ekowisata. Dalam artikel yang

disusun oleh Blamey (2001) di buku yang berjudul “The

Encyclopedia of Ecotourism”, terdapat 3 prinsip utama ekowisata, yaitu: (1) destinasi wisata merupakan wisata alam; (2) implementasi pendidikan konservasi lingkungan dan budaya yang ditujukan kepada pengunjung dan masyarakat sekitar; (3) pengelolaan secara lestari oleh masyarakat lokal. Kemudian,

Sekartjakrarini (2009) menambahkan prinsip “kendali” dalam

konsep ekowisata untuk konteks Indonesia, yang berarti usaha untuk mengendalikan atau mencegah dampak negatif destinasi ekowisata dari kegiatan operasional. Dari keempat prinsip tersebut, dari hasil observasi serta wawancara dengan beberapa pihak, dijabarkan implementasi masing-masing prinsip ekowisata di Gunung Bulusaraung (Tabel 1).

Konsep ekowisata di Gunung Bulusaraung

Tabel 1. Prinsip-prinsip utama ekowisata dan implementasinya di Gunung Bulusaraung, TN Bantimurung-Bulusaraung, Sulawesi Selatan

Prinsip ekowisata Implementasi

Merupakan wisata alam

Pendidikan lingkungan dan budaya setempat

Gunung Bulusaraung merupakan jenis wisata alam dengan atraksi utama adalah kegiatan pendakian dan perkemahan. Lokasi ini menawarkan pemandangan alam yang indah dan suasana sejuk pegunungan.

Pendidikan lingkungan secara tidak langsung dilakukan dengan cara pencegahan sampah plastik. Barang-barang yang berpotensi menimbulkan sampah terutama plastik dihitung dan dicatat. Ketika pulang, para pengunjung diwajibkan lapor dan harus membawa kembali sampah sesuai dengan jumlah barang ketika masuk. Apabila jumlah sampah tidak sesuai maka pengunjung akan dikenai denda sejumlah uang.

Pengenalan budaya Bugis-Makassar dilakukan oleh pengelola dengan menampilkan berbagai tarian dan upacara adat setempat. Terdapat beberapa jenis kegiatan tradisional seperti; Tudang Sipulung (musyawarah desa), Mappadendang (syukuran pasca panen), Tari Mappepe-pepe (tarian sakral yang dilakukan oleh para pemuda desa), Ma'raga-raga (ketangkasan Bola Raga), Tari Kalabbirang (tari persembahan pada raja), Tari Makkampiri (tari wujud syukur pasca panen kemiri), Upacara Appalili (upacara sebelum masa tanam padi), serta Upacara Kotto Boko (ritual pasca panen padi)

Page 25: EKOWISATA GUNUNG BULUSARAUNG:PENGALAMAN …

Penguatan Pengelolaan Ekowisata

Kelima prinsip utama ekowisata di kawasan ekowisata Gunung Bulusaraung telah terpenuhi, namun terdapat beberapa hal yang berpotensi untuk ditingkatkan atau dilengkapi pada masing-masing prinsip tersebut untuk menunjang kelestarian di wilayah tersebut (Tabel 2).

Tabel 2. Penguatan prinsip-prinsip utama ekowisata berserta contohnya di Gunung Bulusaraung, TN Bantimurung-Bulusaraung, Sulawesi Selatan

23

Pengelolaan lestari

Upaya konservasi

Partisipasi masyarakat lokal

Kendali

Bentuk pengelolaan lestari kawasan Gunung Bulusaraung adalah dengan pemanfaatan Gunung Bulusaraung sebagai obyek ekowisata berdasarkan aturan dan konsep yang berlaku. Hal ini sesuai dengan prinsip kelestarianya itu memanfaatkan alam tanpa harus mengorbankan kebutuhan di masa depan.

Upaya konservasi oleh masyarakat desa lebih difokuskan pada kegiatan perlindungan hutan dari ancaman kebakaran. Langkah tersebut dilakukan dengan membentuk suatu kelompok khusus yang akan bergerak aktif jika terjadi kebakaran hutan. Kelompok ini mendapatkan pembinaan dan supervisi langsung dari BTN Babul. Kebakaran hutan merupakan ancaman utama terhadap kelestarian kawasan tersebut.

Kegiatan rehabilitasi di wilayah ini juga dilakukan namun dalam porsi yang relatif kecil

Masyarakat setempat berpartisipasi aktif dalam pengelolaan kawasan wisata sebagai pemandu, operator tiket masuk, homestay dan warung makan.

Namun masyarakat belum terlibat jauh dalam aspek perencanaan dan pengelolaan.

Aspek kendali di kawasan wisata ini berhubungan dengan upaya pengendalian sampah plastik, terutama oleh para pengunjung. Pihak pengelola memberlakukan hukuman denda apabila pengunjung terbukti melanggar aturan, yaitu bila jumlah sampah plastik tidak sesuai dengan jumlah awal ketika masuk.

Prinsip ekowisata Upaya penguatan Contoh

Merupakan wisata alam

Pendidikan lingkungan dan budaya setempat

Pengelolaan lestari

Upaya konservasi

Partisipasi masyarakatl okal

Kendali

Penambahan atraksi memanfaatkan keindahan alam setempat

Pendidikan lingkungan dan konservasi bagi warga setempat dan pengunjung

Pengaturan jumlah kunjunganPenelitian monitoring perubahan kawasanUpaya melestarikan budaya lokal

Alokasi sebagian keuntungan untuk kegiatan konservasi yang tertuang dalam dokumen perencanaan

Pelibatan masyarakat dalam kegiatan perencanaan dan pengembangan kedepan

Mekanisme kontrol di lapangan

Pembuatan spot foto instagrammablePengadaan festival budaya

Untuk warga desa, bisa dibuatkan pemilahan sampahUntuk pengunjung bisa dibuatkan papan nama jenis-jenis pohon endemikImplementasi prinsip reduce, reuse dan recycle dalam beberapa aspek kegiatan

Penelitian mengenai carrying capacity untuk mengetahui jumlah pengunjung maksimal yang bisa ditampung oleh tempat tersebut.Monitoring flora dan fauna secara periodic

Kegiatan konservasi bisa dilakukan dengan rehabilitasi lahan, penanaman tumbuhan pakan hewan endemik setempat.

Training peningkatan kapasitas SDM masyarakat

Petugas atau pemandu melakukan kontrol di sepanjang jalur pendakian dan secara persuasif mengajak pengunjung untuk tidak merusak lingkungan.

Page 26: EKOWISATA GUNUNG BULUSARAUNG:PENGALAMAN …

24

Pembuatan spot foto sebagai atraksi tambahan di beberapa tempat di Gunung Bulusaraung diharapkan akan menambah daya tarik terhadap pengunjung terutama bagi pengunjung yang sering berinteraksi dengan media sosial. Hal ini didukung oleh semakin populernya penggunaan media sosial yang terkait dengan meningkatnya penggunaan internet dalam beberapa tahun terakhir di Indonesia. Pada saat yang sama, tren pariwisata domestik juga meningkat. Sebagai gambaran, data dari Badan Pusat Statistik (2015) menyebutkan jumlah wisatawan baik mancanegara maupun domestik yang berkunjung ke Sulawesi Selatan meningkat signifikan dari sekitar 2 juta orang pada tahun 2009 menjadi sekitar 7,3 juta orang ditahun 2015. Kemudian, penelitian yang dilakukan oleh

Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (2017) mencatat

bahwa pengguna internet di negara ini pada tahun 2017 adalah 143,26 juta dengan presentase pengakses media sosial sebanyak 87% dari total jumlah penduduk Indonesia 262 juta orang.

Pendidikan lingkungan di Gunung Bulusaraung dapat diarahkan kepada generasi muda pada tahap awal pembentukannya. Hal ini penting agar tercipta generasi muda yang lebih sadar terhadap lingkungan di masa depan. Penelitian

yang dilakukan oleh Peake et al. (2009) menyebutkan bahwa

pendidikan lingkungan di usia muda relatif lebih mudah dilakukan dalam pendidikan konservasi bagi pengunjung tempat wisata berkonsep ekologi. Meskipun demikian, materi dan metode penyampaian materi kepada pengunjung harus tetap diperhatikan.

Tanggungjawab untuk meningkatkan peran masyarakat lokal dalam pengelolaan destinasi ekowisata Gunung Bulusaraung ada di pihak BTN Babul. Di lain pihak, terdapat juga keterbatasan dan ada kemampuan sumber daya manusia di BTN tersebut. Dalam hal ini alternatif solusianya adalah pihak BTN Babul dapat menginisiasi kerjasama dengan organisasi non pemerintah ataupun institusi pendidikan terdekat.

Pengalaman menikmati tempat wisata Gunung

Bulusaraung sangat luar biasa karena mampu memberikan i n f o r m a s i b a g a i m a n a p r i n s i p - p r i n s i p e k o w i s a t a diimplementasikan dengan relatif baik. Desa Tompobulu mempunyai keunggulan budaya dan kearifan lokal yang dapat

Penutup

diintegrasikan dalam pengelolaan kawasan wisata Gunung Bulusaraung. Selain itu, warga desa tersebut juga mampu mengambil peran dalam pengelolaan wisata di tempat tersebut. Warga desa juga mendapatkan manfaat positif dari pengelolaan ekowisata Gunung Bulusaraung baik secara ekonomi maupun lingkungan. Untuk BTN Babul, kerjasama dengan warga setempat akan memberikan manfaat dalam menjaga kelestarian kawasan, sedangkan pemerintah daerah mendapatkan manfaat berupa peningkatan pendapatan warganya.

Namun demikian, terdapat beberapa hal yang perlu ditingkatkan dalam implementasi prinsip-prinsip ekowisata Gunung Bulusaraung, seperti: penambahan atraksi; pelibatan masyarakat dalam perencanaan dan pengelolaan ekowisata; upgrading upaya pendidikan lingkungan bagi pengunjung dan masyarakat sekitar; dan penelitian tentang daya dukung kawasan. Hal tersebut sebaiknya perlu dilakukan untuk mempertahankan kondisi lingkungan di kawasan tersebut sehingga generasi penerus masih dapat menikmati keindahan alam Gunung Bulusaraung.

Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonsia. (2017). Infografis Penetrasi dan Perilaku P e n g g u n a I n t e r n e t I n d o n e s i a . R e t r i e v e d f r o m I n d o n e s i a : http://www.teknopreneur.com/Diakses tanggal 8 Mei 2018

Badan Pusat Statistik. 2015. Banyaknya Wisatawan Mancanegara dan Domestik Provinsi Sulawesi Se latan, 2009 - 2013. Retr ieved July 2 , 2019, f rom https://sulsel.bps.go.id/statictable/2015/10/07/152/banyaknya-wisatawan-mancanegara-dan-domestik-provinsi-sulawesi-selatan-2009---2013.html

Blamey, R. K. 2001. Principles of ecotourism. In: WEAVER, D. B. (ed.) The encyclopedia of ecotourism. United Kingdom: CABI Publishing.

BTN Babul. 2018. Kawasan Wisata Pegunungan Bulusaraung [Online]. Makassar: Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Available: http://www.tn-b a b u l . o r g / i n d e x . p h p ? o p t i o n = c o m _ c o n t e n t & v i e w =article&id=522&Itemid=221 [Accessed 7 Februari 2019].

KSDAE-KLHK. 2018. Ada yang Baru di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung [Online]. Jakarta, Indonesia: Direktorat Jendral Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Available: http://ksdae.menlhk.go.id/topnews/2612/ada-yang-baru-di-taman-nasional-bantimurung-bulusaraung.html [Accessed 7 Februari 2019].

Sekartjakrarini, S. 2009. Konsep Eco-tourism untuk Lanskap Trowulan. [Online]. Jakarta: IdeA ( I n n o v a t i v e D e v e l o p m e n t f o r E c o A w a r e n e s s ) . A v a i l a b l e : https://caretourism.files.wordpress.com/2009/12/ trowulan1.pdf [Accessed 3 Maret 2017].

Daftar Pustaka

Page 27: EKOWISATA GUNUNG BULUSARAUNG:PENGALAMAN …

Artikel

Adi Susilo[Peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan, Bogor]

Monyet Ekor PanjangPenghuni Mangrove Muara Angke:

“pengemis dan pemulung”bermasa depan suram

Sofian Iskandar

Page 28: EKOWISATA GUNUNG BULUSARAUNG:PENGALAMAN …

BS S

itepu

26

Muara Angke lebih dikenal sebagai kampung nelayan dan tempat pelelangan ikan di Jakarta Utara. Kawasan ini telah berkembang sangat pesat

sebagai salah satu pusat bisnis dan hunian mewah di Jakarta Utara. Namun siapa sangka di kawasan yang sangat padat penduduk ini terdapat juga Suaka Margasatwa Muara Angke (SMMA) dan Hutan Lindung Angke Kapuk (HLAK) yang merupakan bagian kawasan hutan mangrove terakhir di provinsi DKI Jakarta. Keberadaannya seperti oase di padang pasir. Dua kawasan hutan mangrove ini menyatu dalam satu tapak tetapi dikelola oleh dua institusi yang berbeda. SMMA dikelola oleh Departemen Kehutanan sedangkan HLAK dikelola oleh Pemerintah Daerah Tingkat I DKI Jakarta.

Ekosistem mangrove adalah ekosistem peralihan antara darat dan laut dan berfungsi tidak hanya sebagai pengumpul bahan organik tetapi juga sebagai tempat berlindung bagi berbagai jenis satwa liar, tempat memijah bagi beragam jenis ikan dan udang serta sebagai pelindung pantai. Kawasan hutan mangrove SMMA merupakan hutan mangrove tepi sungai (reverine mangrove forest) karena terletak di sempadan sungai Angke sehingga sangat dipengaruhi oleh air tawar. Karakteristik utama tipe hutan mangrove seperti ini adalah teraliri air pasang harian dan sering tergenang luapan air sungai. Pada musim hujan, ketinggian air meningkat dan salinitas menurun karena masuknya air tawar dari hulu. Sedangkan di Hutan Lindung Angke Kapuk selain hutan mangrove tepi sungai terdapat pula fringe mangrove forest (hutan mangrove tepi pantai). Mangrove tepi pantai merupakan mangrove yang tumbuh disepanjang pantai sehingga terpapar langsung dengan pasang surut air laut, gelombang laut dan angin laut yang kuat. Dengan demikian mangrove tepi pantai tidak menerima nutrien seperti halnya mangrove tepi sungai.

Dua kawasan hutan mangrove tersebut dihuni oleh berbagai jenis satwa liar antara lain 63 jenis burung hutan dan 28 jenis burung air, dimana 17 jenis diantaranya merupakan jenis yang dilindungi. Jenis reptil yang umum adalah biawak (Varanus salvator). Selain itu dapat pula dijumpai kadal (Mabouya multifasciata), ular sanca (Phyton reticulatus), kobra (Naja sputatix), welang (Bungarus fasciatus), ular kadut (Hamalopsis buccata), ular cincin (Dipsadomorphis dendrophilus) dan ular daun (Dryopsis sp). Mamalia yang hidup di kawasan ini hanya monyet ekor panjang. Jenis lainnya seperti lutung (Presbtis cristata), berang-berang (Aonyx cinerea), Harpestes javanicus dan kucing congkok atau kucing mangrove (Felis veverina) tidak lagi teramati (Noor 2002). Kawasan hutan mangrove Muara Angke ini semakin hari semakin merosot kualitasnya sebagai habitat satwa liar, karena tekanan pengembangan ekonomi di sekitarnya, pembangunan reklamasi, pencemaran lingkungan dan lain-lain. Dengan menggunakan berbagai sumber pustaka ilmiah, paper ini membahas kehidupan monyet ekor panjang di SMMA dan HLAK yang perilakunya sudah menyerupai “pengemis” dan “pemulung” serta memiliki masa depan yang suram.

Asal Muasal Nama Muara Angke

Kata Angke berasal dari bahasa Sanskerta yang artinya sungai yang dalam. Namun demikian ada versi asal muasal nama angke yang lebih menarik. Di awal abad ke 16 Kerajaan Banten membantu pasukan perang kerjaaan Demak yang sedang menggempur benteng Portugis di Suda Kelapa (sekarang Jakarta). Pasukan perang dari Banten ini dipimpin oleh seorang panglima perang bernama Tubagus Angke yang bermarkas di tepi suatu sungai. Di kemudian hari sungai tersebut dinamai Kali Angke dan ujung hilirnya dinamai Muara Angke. Versi lain menyebutkan bahwa pada bahasa Hokkian kata ang artinya merah dan ke artinya sungai. Sungai yang berair jenih ini pernah berubah merah karena airnya bercampur darah dari pembantaian 10.000 orang Tionghoa di Glodok oleh Belanda di tahun 1740.

Page 29: EKOWISATA GUNUNG BULUSARAUNG:PENGALAMAN …

27

Monyet Ekor Panjang

Nama monyet ekor panjang berkait dengan morfologinya dimana ekornya lebih panjang dari badannya. Nama ilmiahnya adalah Macaca fascicularis. Nama populer lainnya adalah “crab-eating macaque” karena suka memangsa kepiting. Monyet ekor panjang umum dipakai untuk pertunjukkan topeng monyet keliling. Ciri morfologi monyet ekor panjang yang paling penting adalah adanya kantung pipi yang berguna untuk menyimpan makanan sementara. Dalam situasi tergesa-gesa atau tidak aman, monyet ekor panjang memasukkan makanannya ke dalam kantong pipi. Bila situasi aman makanan kemudian diproses, dikeluarkan, dikunyah dan ditelan. Secara morfologi monyet ekor panjang termasuk jenis primata yang berukuran tubuh kecil. Berat badan jantan dewasa berkisar antara 3,5-8 kg, sedangkan berat badan betina dewasa sekitar 3 kg. Warna tubuh bervariasi, mulai dari abu-abu sampai kecoklatan, pada bagian wajahnya berwarna abu-abu. Anak yang baru lahir berambut kehitaman. Jenis primata ini sudah dapat kawin pada umur 3.5 hingga 5 tahun. Monyet ekor panjang hidup dalam kelompok yang terdiri atas banyak jantan dan banyak betina. Suatu kelompok monyet ekor panjang dapat

terdiri lebih dari 100 individu. Betina yang sedang menyusui dapat hamil kembali sehingga perkembangan populasi bisa sangat pesat. Jenis primata ini adalah satwa liar yang populasinya sangat melimpah di Indonesia. Kemampuan adaptasi yang tinggi mendukung tersebarnya populasi monyet ekor panjang di berbagai tipe habitat.

Habitat monyet ekor panjang meliputi hutan hujan tropis, hutan musim, hutan rawa mangrove, dan hutan montana, serta dapat ditemui pula di daerah tepi pantai dan sungai (Giri 2014). Persebaran monyet ekor panjang yakni dari Sumatera, Kalimantan, Bangka dan Belitung serta pulau-pulau sekitarnya, Jawa, Bali dan sekitarnya, Sumba, Sumbawa dan Flores. Monyet ekor panjang juga tersebar hingga luar Indonesia, yakni di Myanmar, Indo-Cina, Filipina dan Semenanjung Malaya (Supriatna 2000).

SMMA ditetapkan sebagai Suaka Margasatwa melalui SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No 097/Kpts-II/1998 dengan total luas 25,02 ha dan merupakan suaka margasatwa terkecil di Indonesia. SMMA dikelola sebagai kawasan suaka bagi berbagai jenis burung terutama burung air. Di bagian Barat, SMMA berbatasan dengan Perumahan Pantai Indah Kapuk, pada bagian Timur berbatasan dengan Kali Angke yang menyatu dengan pemukiman nelayan Muara Angke, pada sisi Utara berbatasan langsung dengan HLAK dan pada sisi Selatan berbatasan dengan areal perumahan Pantai Indah Kapuk.

HLAK seluas 44,76 ha ditetapkan sebagai hutan lindung berdasarkan surat Keputusan Direktorat Jenderal Inventarisasi dan Tata Guna Hutan No.08/KPPS/VII-4/1994. HLAK berfungsi sebagai kawasan perlindungan pantai dari abrasi air laut, dan intrusi air laut. HLAK terbentang mulai dari hutan wisata Kamal sampai batas muara Sungai Angke. Pada bagian utara, kawasan ini berbatasan langsung dengan Laut Jawa sedangkan pada bagian selatan berbatasan dengan Perumahan Pantai Indah Kapuk dan SMMA.

SMMK dan HLAK berada dalam satu tapak secara administratif terletak di Kelurahan Kapuk Muara, Kecamatan

oPenjaringan, Jakarta Utara secara geografis terletak antara 6 06”-o o o6 10” LS, dan 106 43”-106 48” BT (Gambar 2).

Kehidupan Monyet ekor panjang

di SMMA dan HLAK

Gambar 1. Monyet ekor pajang (Macaca fascicularis)

Sofian Iskandar

Page 30: EKOWISATA GUNUNG BULUSARAUNG:PENGALAMAN …

28

Hasil analisis vegetasi pada SMMA tercatat 29 jenis tumbuhan yang didominasi oleh pidada (Sonneratia caseolaris), nyamplung (Calophyllum inophyllum), dan Mindi (Melia azedarach). Dari 29 jenis tersebut 19 jenis masuk dalam jenis pakan monyet ekor panjang. Sementara pada HLAK tercatat 34 jenis tumbuhan yang didominasi oleh api api Avicennia marina, ketapang (Terminalia catappa) dan sengon (Falcataria moluccana). Dari 34 jenis tersebut 25 jenis diantaranya pohon pakan monyet ekor panjang.

Jenis pakan alami monyet ekor panjang pada tiap kelas umur ternyata berbeda. Individu muda lebih memilih buah yang lebih kecil dan memiliki daging buah lunak serta porsi makan yang lebih banyak. Individu yang lebih dewasa memilih buah yang lebih besar dan sedikit keras dengan porsi makan yang lebih sedikit daripada individu muda monyet ekor panjang. Perbedaan total jenis pakan, bagian yang di makan dan frekuensi makan monyet ekor panjang disebabkan oleh beberapa hal yakni jenis yang mendominasi, musim berbuah, kebutuhan nutrisi, kemampuan mencari makan, dan kompetisi dalam satu kelompok (Safitri 2017).

Gambar 2. Lokasi Suaka Margasatwa Muara Angke dan Hutan Lindung Angke Kapuk

Safitr

i

SMMA menjadi salah satu dari 12 destinasi wisata pesisir di Jakarta Utara. Meskipun demikian untuk memasuki SMMA kita harus memperoleh SIMAKSI (Surat Ijin Masuk Kawasan Konservasi) terlebih dahulu dari Kantor Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) DKI Jakarta. SMMA dikenal oleh masyarakat sekitar sebagai cagar alam. Hal ini disebabkan karena dahulu kawasan hutan ini adalah Cagar Alam Muara Angke.

Untuk keterangan lebih lanjut maka dapat menghubungi pihak pengelola di alamat:Balai Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) DKI JakartaJalan Salemba Raya No. 9 Jakarta Pusat 10440Telp/Faks : 62-21-3158142E-mail : [email protected]

Page 31: EKOWISATA GUNUNG BULUSARAUNG:PENGALAMAN …

29

Satu kelompok monyet ekor panjang umumnya terdiri dari 6 hingga 100 individu Penelitian Safitri (2017) menyebutkan terdapat 6 kelompok dengan total 195 individu dalam SMMA dan HLAK. Satu kelompok terdiri dari 16 hingga 48 individu. Bila dibandingkan dengan perhitungan populasi oleh YIARI (Yayasan Inisiasi Alam Rehabilitasi Indonesia) di tempat yang sama pada tahun 2011 dan 2015 terdapat kenaikan populasi seperti terlihat pada Gambar 3.

Baik SMMA maupun HLAK terbuka untuk pengunjung karena memiliki kawasan wisata, sehingga monyet ekor panjang sering menjadi “pengemis” meminta makan dari pengunjung yang datang. Pengunjung biasanya memberi makan pisang dan kacang. Monyet ekor panjang juga sering berperilaku sebagai pemulung mengais sampah. Makanan sampah di kawasan SMMA berasal dari aliran Kali Angke, sedangkan sampah di kawasan HLAK berasal dari laut dan warga sekitar yang sengaja membuang sampah ke dalam kawasan. Monyet ekor panjang bersifat oportunis sehingga senang mengeksploitasi segala sumber makanan yang ada di habitatnya. Hasil penelitian Safitri (2017) menunjukkan bahwa porsi pakan tidak alami (dari pengunjung dan sampah) mencapai lebih dari 40 % baik bagi monyet yang hidup di SMMA maupun HLAK.

Monyet ekor panjang di kawasan Muara Angke umumnya memilih mangrove jenis Rhizophora apiculata untuk dijadikan pohon tidur. Rhizophora apiculata yang dimanfaatkan oleh monyet ekor panjang memiliki ketinggian kurang lebih 20 meter dan diameter pohon 40 cm. Karakter jenis pohon ini dipilih oleh monyet ekor panjang agar dapat memandang dan mengetahui keadaan sekitarnya untuk menghindari predator atau persaingan dengan kelompok monyet ekor panjang lainnya. Monyet ekor panjang tidur di bagian cabang tajuk pohon yang rindang, di cabang bagian tepi sepertiga dari tajuk pohon. Lokasi pemilihan pohon tidur ini juga berdekatan dengan sumber air, hal ini sebagai strategi monyet ekor panjang untuk menghindari predator sehingga ketika ada ancaman predator, monyet ekor panjang langsung dapat terjun ke air dan berenang menghindari predator. Monyet ekor panjang terkonsentrasi di sekitar tepian sungai dan pantai.

Tabel 1. Perbandingan pemilihan pakan alami oleh monyet ekor panjang di SMMA dan HLAK

Kelas umur PeringkatJenis pakan

Nama lokal Nama ilmiah

Anakan

Muda

Dewasa betina

Dewasa jantan

123

123

123

123

PidadaKetapangTimun tikus

PidadaBeringinKetapang

PidadaSentroApi-api

BeringinKetapangApi-api

Sonneratia caseolarisTerminalia catappaCoccinia grandis

Sonneratia caseolarisFicus benjaminaTerminalia catappa

Sonneratia caseolarisCentrosema molleAvicennia marina

Ficus benjaminaTerminalia catappaAvicennia marina

Sumber: Safitri (2017)

Gambar 3. Peningkatan populasi monyet ekor

panjang dari tahun 2011 hingga 207

Populasi monyet ekor panjangdi SMMA dan HLAK

250

200

150

100

50

02011 2015 2017

Populasi monyet ekor panjang dapat berkembang dengan cepat serta cepat beradaptasi dengan keadaan lingkungannya. Jika pakan alami telah habis di alam, monyet ekor panjang akan keluar habitat untuk mencari alternatif pakan lain seperti rumput dan pepohonan di perumahan warga.

Page 32: EKOWISATA GUNUNG BULUSARAUNG:PENGALAMAN …

30

adanya dampak lanjutan. Para pemancing ikan dan pemburu burung menggunakan pematang tambak untuk memasuki kawasan SMMA. Tambak juga menghalangi pasang surut sehingga sebagian kawasan tidak mendapatkan cukup pasokan air laut untuk menjaga tingkat salinitas alaminya mangrove. Gangguan lainnya adalah terdapat pula rumah penduduk di mulut Muara Angke yang masih masuk dalam kawasan SMMA. Selain itu terdapat pula tempat parkir kapal. Diperkirakan terdapat lebih dari 400 kapal parkir di dalam kawasan SMMA.

Meskipun kawasan SMMA merupakan kawasan konservasi dan HLAK merupakan kawasan lindung tetapi dua kawasan ini sudah tercemar berat sejak lebih dari 30 tahun yang lalu. Hasil penelitian Hutagalung dan Syamsu (1987), menyimpulkan bahwa kawasan Muara Angke sudah tercemar dengan logam berat hingga diatas ambang batas maksimum. Senyawa logam berat (merkuri, timbal, tembaga dan kadmium) sulit terurai sehingga sulit dihilangkan dari lingkungan. Pencemaran logam berat dapat menganggu kesehatan makhluk hidup karena akan terakumulasi dalam tubuh melalui rantai makanan. Pada

Permasalahan di Muara Angke

Hutan mangrove merupakan ekosistem yang unik, tempatnya yang berkisar antara pantai dan muara sungai menghubungkan darat dan lautan yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan mangrove adalah ekosistem yang peka terhadap perubahan lingkungan sehingga meningkatnya eksploitasi hutan mangrove oleh manusia akan menurunkan kualitas dan kuantitas hutan mangrove. Pada awalnya tutupan vegetasi di SMMA adalah hutan mangrove, namun saat ini hanya tersisa skitar 22% yang berpenutupan pohon sedangkan sisanya sekitar 78% dari luas kawasan adalah areal terbuka denga penutupan tumbuhan bawah (Noor 2002).

Di dalam kawasan SMMA bagian Utara terdapat 2,5 ha tambak yang diusahakan oleh masyarakat. Tambak tersebut diklaim sebagai hak milik. Dengan demikian pada lokasi tersebut tidak dapat dilakukan pengelolaan tanpa menimbulkan konflik dengan masyarakat pemilik tambak. Keberadaan tambak di dalam kawasan juga telah mendorong

Gambar 4. Sampah di Hutan Lindung Angke Kapuk dan larangan memberi makan

Safitr

i

Page 33: EKOWISATA GUNUNG BULUSARAUNG:PENGALAMAN …

31

mulanya logam berat mencemari dan tersimpan dalam tanah selanjutnya akan terserap ke dalam jaringan tumbuhan melalui akar dan daun. Tumbuhan yang telah tercemari logam berat menjadi sumber pencemaran bagi satwa liar yang mengkonsumsinya dan akan terakumulasi dalam tubuhnya. Logam yang berhasil masuk ke dalam tubuh satwa 95% akan di”alirkan” oleh darah ke organ tubuh hingga masuk ke dalam jaringan tubuh baik jaringan lunak maupun jaringan keras. Pada jaringan lunak logam berat merupakan racun (Darmono 2010). Kadar logam berat dalam rantai makanan dapat meningkat (biomagnifikasi) sehingga konsentrasi kadar logam paling tinggi akan ditemukan pada konsumen terakhir (Aulia 2017).

Pencemaran Muara Angke cenderung meningkat. Mungkin hal ini terkait dengan meningkatnya jumlah industri di Jakarta. Air dan berbagai jenis biota laut serta tumbuhan yang hidup di perairan Muara Angke telah berkadar merkuri, timbal, tembaga dan kadmium yang telah melewati ambang batas yang ditetapkan. Kontaminasi logam berat pada tumbuhan bisa melalui tiga cara yaitu pemakaian pestisida dan insektisida yang berlebihan, tanah tempat tumbuh yang sudah terkontaminasi logam berat dan sumber air yang sudah terkontaminasi logam berat. Sumber air dan sedimen di SMMA dan HLAK telah tercemar berat oleh logam Hg, Cu, Cd dan Pb sehingga tumbuhan mangrove yang tumbuh di lingkungan tersebut terkontaminasi oleh logam Hg, Pb, Cd dan Cu. Tumbuhan penyusun habitat monyet ekor panjang di SMMA dan HLAK seperti pidada (Sonneratia caseolaris), nypa (Nypa fruticans), petai cina (Leucaena leucocephala) dan eceng gondok (Eichornia crassipes) merupakan pakan alami monyet ekor panjang. Hasil penelitian Aulia (2017) menunjukkan bahwa dua sample monyet ekor panjang dari SMMA ditemukan bioakumulasi logam berat. Kadar logam berat yang berada pada organ hati, ginjal, limpa, testis dan epididimis serta paru-paru telah berada di atas batas toleransi. Dua sample monyet tersebut telah mengalami degenerasi dan nekrosis pada sel hati dan tubulus ginjal. Kerusakan sel lain juga terjadi pada beberapa organ. Kerusakan sel pada sampel dua monyet ekor panjang tentunya disebabkan oleh akumulasi logam berat pada jaringan tubuh kedua monyet ekor panjang.

SMMA dan HLAK merupakan kawasan hutan magrove terakhir di Jakarta yang dihuni oleh monyet ekor panjang. Nasib monyet ekor panjang ini menyedihkan karena harus menjadi pengemis meminta-minta makanan dari pengunjung dan menjadi pemulung mengais makanan tambahan dari sampah.

Penutup

Perilaku ini mungkin disebabkan karena merosotnya kualitas habitat sehingga tidak tersedia cukup pakan alami. Jenis ini juga bermasa depan suram bukan hanya karena kualitas habitat yang semakin merosot dan terisolir dalam “lautan” peradaban modern tetapi juga karena telah terjadi bioakumulasi logam berat pada jaringan monyet ekor panjang yang kemungkinan akan berpengaruh pada menyusutnya populasi di masa depan.

Perlu dilakukan rehabilitasi hutan mangrove untuk meningkatkan kualitas habitat. Perlu peningkatan perlindungan kawasan untuk mencegah masuknya gangguan dari pematang tambak sehingga tidak dimasuki para pemburu burung dan pemancing ikan serta pencuri kayu.

Kawasan konservasi tidak dapat dikelola secara eksklusif tanpa mempertimbangkan wilayah di sekelilingnya, karena kawasan konservasi merupakan bagian integral dari wilayah yang lebih besar di sekelilingnya. Dengan demikian keberhasilan pengelolaan kawasan konservasi untuk pelestarian insitu juga tergantung pada unsur-unsur di luar kawasan

Aulia R. 2017. Bioakumulasi logam berat pada monyet ekor panjang (Macaca fascicularis Raffles, 1821) di Suaka Margasatwa Muara Angke. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, IPB, Bogor.

Darmono. 2010. Lingkungan Hidup dan Pencemaran: Hubungannya dengan Toksikologi Logam Berat. Jakarta: UI-Press

Giri, M. S. 2014. Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) di Desa Baru Pangkalan Jambu Kec. Pangkalan Jambu, Kab. Merangin [internet]. [diacu 2018 Agustus 1] Tersedia dari: http://www.kerinciseblat.dephut.go.id.

Hutagalung HP, Syamsu S. 1987. Heavy metal content in some seafoods collected from Muara Angke fish auction place, Jakarta. Mar. Res. Indonesia. 26: 51-58.

Noor, I.Y. 2002. Suaka Margasatwa Muara Angke: Evaluasi terhadap statusnya. Program Pasca Sarjana, IPB. Bogor

Prabawa, A., E. Riani dan Y. Wardiatno. 2014. Pengaruh pencemaran logam berat terhadap struktur populasi dan organ tubuh rajungan (Portunus pelagicus LIIN). Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan 4(1): 17 – 23.

Safitri S. 2017. Keanekaragaman Jenis Pakan dan Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis Raffles,1821) di Kawasan Suaka Margasatwa MuaraAngke dan Hutan Lindung Angke Kapuk [skripsi] Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Supriatna, J. 2000. Panduan Lapangan Primata Indonesia. Jakarta (ID): Yayasan Obor Indonesia.

Daftar Pustaka

Page 34: EKOWISATA GUNUNG BULUSARAUNG:PENGALAMAN …

32

Tidak bisa dipungkiri usaha pertambangan sangat menggiurkan dalam menghasilkan keuntungan. Karena keuntungan yang besar itu pula, banyak sekali kegiatan

pertambangan bermunculan di Indonesia, baik dijalankan oleh perusahaan ataupun tambang yang dikelola oleh masyarakat. Adanya kegiatan pertambangan membawa dampak positif yang bisa dirasakan langsung yaitu berkurangnya pengangguran di wilayah tersebut dan meningkatkan perekonomian masyarakat. Selain itu, wilayah tersebut menjadi tumbuh dan makin berkembang.

Selain berdampak positif, juga terdapat dampak negatif dari kegiatan pertambangan. Tentu saja kerusakan lingkungan akibat dari pembukaan lahan tersebut. Bentuk dari dampak kerusakan lingkungan pascatambang yaitu adanya lahan terbuka yang bersifat marginal dan lubang tambang. Selain itu juga adanya dampak turunan berupa tanah longsor pada area lahan terbuka. Hal ini pernah terjadi di Kecamatan Sanga-sanga tahun 2018, longsor pada area pemukiman dan jalan raya yang berbatasan langsung dengan area produksi tambang (Mongabay, 2018).

Hasil bumi dari sektor tambang tidak selamanya menjadi komoditas utama dan primadona. Dengan masa ijin tertentu dan hasil bumi yang selalu dikeruk tentu saja memiliki batasan jumlah tertentu. Hal ini pula menjadi suatu hal yang perlu diwaspadai, apabila suatu perusahaan tambang di daerah tersebut sudah mulai tidak beroperasi lagi. Suatu daerah yang penduduknya menggantungkan hidup dari sektor tambang, tentu saja hal tesebut akan menjadi sesuatu yang menakutkan, pastinya banyak masyarakat yang mengalami penurunan pendapatan, termasuk pendapatan daerah. Hal ini pernah terjadi di daerah Appalachia, Viriginia Barat, merupakan kota yang terkenal dengan kota tambang di Amerika, tahun 1960an hampir menjadi kota mati setelah kegiatan produksi tambang mulai mengalami penurunan. Untuk mengantisipasi hal tersebut tentunya perlu ada suatu persiapan yang direncanakan secara baik. Perencanaan tersebut setidaknya dapat menyulap dengan memanfaatkan area reklamasi dan lubang tambang menjadi sesuatu yang yang bermanfaat. Manfaat tersebut pun bukan hanya untuk mengantisipasi dampak turunan yang akan terjadi akan tetapi diharapkan dapat meningkatkan perekonomian masyarakat sek itar area i j in usaha pertambangan dan memperbaiki kualitas lingkungan.

Berbagai Bentuk PemanfaatanArea Lahan Pascatambang

Ulfah Karmila Sari[Peneliti pada Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam]

Deny A

di Putr

a

Page 35: EKOWISATA GUNUNG BULUSARAUNG:PENGALAMAN …

33

3P tersebut, setiap pemegang ijin pertambangan memiliki program tertentu yang melibatkan masyarakat dalam berbagai kegiatan sosial yang dilakukan. Umumnya program Community Development (Comdev) atau Community Social Responsibility (CSR).

Program comdev atau CSR tersebut dimana perusahaan melakukan aksi sosial bagi masyarakat yang mau bekerjasama dalam meningkatkan perekonomian masyarakat sekaligus memperbaiki lingkungan. Umumnya masyarakat yang terlibat dalam program-program tersebut adalah masyarakat sekitar area tambang dengan jarak tertentu dari perusahaan tersebut. Masyarakat yang terlibat pula bukan hanya perorangan ada juga dalam bentuk kelompok masyarakat. Kelompok masyarakat ataupun perorangan tersebut dibantu baik dari segi dana ataupun dari segi ilmu dengan terlibat penuh dalam kegiatan pelatihan-pelatihan yang diselengarakan oleh perusahaan. Tentunya pelatihan-pelatihan tersebut bertujuan membuat kelompok masyarakat binaan menjadi mandiri dan maju dalam perekonomian.

Hal ini tentu saja berbeda dengan masyarakat yang tinggal di area tambang dimana ijin pengelolaan tambang tersebut hanya dikelola oleh perusahaan kecil atau tambang masyarakat. Dalam kasus seperti ini sangat perlu melibatkan pemerintah setempat. Perlu adanya bantuan ataupun dorongan pemerintah setempat untuk turut serta mengelola area yang akan dimanfaatkan pasca kegiatan tambang. Melalui bentuk kerjasama atau kemitraan antara pemerintah setempat, pemegang ijin usaha dan kelompok masyarakat, perencanaan dan pengelolaan pemanfaatan lahan pascatambang diharapkan lebih optimal.

Rekayasa bentang alam, lubang-lubang tambang, termasuk aliran air asam tambang (AAT) dari lubang ke Settling Pond (tempat pengolahan AAT) dapat digunakan sebagai habitat baru bagi burung-burung air (Soendjoto, 2016). Hasil kegiatan rekayasa bentang alam tersebut dilaporkan terdapat 15 spesies burung air yang sering datang ke area tersebut. Lokasi tersebut berada di Kalimantan Selatan. Dengan rekayasa bentang alam menjadi lahan basah dan dimana lokasi area bekas tambang tersebut dekat dengan sungai ataupun rawa sehingga membuat burung-burung tersebut mempunyai tempat baru. Selain itu daerah tersebut berpotensi sebagai tempat untuk budidaya burung Belibis. Di Kalimantan Selatan, burung Belibis banyak dibudidayakan atau diternakan, karena tingginya peminat akan mengonsumsi burung Belibis tersebut.

Bentuk Pemanfaatan Lubang Tambang

Ÿ Berpotensi sebagai habitat baru bagi jenis burung air

Tulisan ini diharapkan memberikan informasi secara umum tentang bentuk pemanfaatan dari area lahan pascatambang baik lahan terbuka maupun lubang tambang. Melalui informasi bentuk pemanfaatan ini pula setidaknya masyarakat sekitar tambang dapat ikut berperan dalam memanfaatkan area lahan pascatambang dalam bentuk kerjasama dengan pemegang ijin usaha pertambangan dan pemerintah setempat.

Terbukanya lapangan pekerjaan di sektor tambang, banyak menyerap tenaga kerja dari pemukiman yang dekat dengan area produksinya dibandingkan mengambil tenaga kerja dari luar daerah. Berakhirnya masa kerja ataupun pemutusan hubungan kerja karena masa ijin produksi dan eksplorasi perusahaan tambang tentu ikut mempengaruhi perekonomian masyarakat sekitar. Menurut Sianipar et al (2013), masyarakat sekitar perusahaan dapat menjadi bagian dalam kegiatan perusahaan dengan melakukan kegiatan pemberdayaan. Dengan kegiatan pemberdayaan ini, tanggung jawab perusahaan yaitu tanggung jawab sosial dan tanggung jawab lingkungan dapat terpenuhi. Selain melibatkan masyarakat perlu juga memperhatikan faktor lingkungan dalam kegiatan tersebut. Hal ini umumnya disebut dengan prinsip “Triple Bottom Line” atau dikenal dengan konsep People (Masyarakat), Planet (Lingkungan), Profit (Pendapatan) (3P) oleh John Elkington melalui konsep pembangunan berkelanjutan. Profit atau pendapatan bukan saja keuntungan yang diterima oleh perusahaan tetapi juga harus menghasilkan keuntungan bagi masyarakat dan lingkungan, terutama perbaikkan lingkungan; People atau masyarakat yang dimaksud tentu saja masyarakat yang berada disekitar perusahaan tersebut sehingga semua terlibat langsung dalam berbagai kegiatan. Sedangkan Planet atau alam merupakan lingkungan dimana kegiatan tersebut berlangsung, diharapkan dengan kegiatan tersebut dapat memperbaiki kualitas lingkungan sehingga saling menguntungkan satu sama lain.

Dengan konsep tersebut pemanfaatan area bekas tambang dapat lebih optimal dan berkelanjutan. Selain itu akan lebih bermanfaat lagi apabila menghasilkan suatu produk atau jasa, sehingga konsep 3P memiliki “Pasar” yang dapat menghasilkan keuntungkan bagi masyarakat. Masyarakat akhirnya bisa mandiri tanpa menggantungkan pendapatannya dari sektor tambang akan tetapi juga dari sektor lainnya seperti sektor kehutanan, sektor pariwisata maupun sektor peternakan sambil memperbaiki kualitas lingkungan.

Tentu saja tidak serta-merta masyarakat langsung bisa terlibat penuh dalam hal tersebut. Dengan mengadopsi konsep

Mengapa perlu melibatkan masyarakat sekitar area tambang ?

Page 36: EKOWISATA GUNUNG BULUSARAUNG:PENGALAMAN …

34

Ÿ Tempat budidaya ikan

Ÿ Tempat Pemrosesan Akhir

Di Virginia Barat, terdapat budidaya ikan Salvelinus alpinus (termasuk famili Salmonidae) di bekas kolam tambang batu bara. Kegiatan ini awalnya untuk mengurangi jumlah pengangguran di Appalachia, Virginia Barat, kerena komoditas tambang batu bara mulai berkurang (Simmons et al, 2001). Dengan berbagai macam perlakuan, akhirnya AAT di bekas lubang tambang dapat digunakan. Ini pula diadaptasi oleh PT KPC (Kaltim Prima Coal) Sangatta, membuat budidaya ikan lokal dalam keramba. Maidie et al ( 2010) mengungkapkan budidaya ikan lokal di bekas lubang batu bara dengan sistem keramba dengan jenis ikan Repang, (B. schwanenfeldii), Puyau (O. kappenii), Pepuyu (A. testudineus) cukup aman dikonsumsi. Saat ini ikan yang di budidayakan di Keramba PT KPC yaitu ikan Patin, Ikan Lele, Bawal dan Nila ini berdasarkan hasil studi banding ke PT KPC oleh tim balitek KSDA Samboja.

Menurut Yassir (2016) pemanfaatan lubang tambang tidak hanya untuk budidaya ikan tawar dan ekowisata, tetapi juga untuk keperluan lainnya seperti Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) sampah dan embung air. Pegiat Lingkungan tersebut menginisiasi terbentuknya TPA di Kecamatan Samboja, ini dilatarbelakangi banyaknya lubang tambang di Kecamatan Samboja dan tidak adanya TPA di Kecamatan tersebut, sehingga mencemari sungai-sungai dan lingkungan sekitar. Tersedia TPA saat ini di Kecamatan Samboja dengan memanfaatkan salah satu lubang tambang bukan hanya memperbaiki lingkungan sekitar akan tetapi membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekitar untuk ikut mengelola TPA tersebut dibawah pengelolaan pemerintah setempat.

Ÿ Tempat budidaya Enceng gondok untuk bahan kerajinan

Ÿ Tempat wisata

Enceng gondok (Eichornia crassipers) merupakan jenis tanaman yang mampu menyerap logam berat (Iriadenta, 2010 dan Meyzillia dan Darsiharjo, 2017). Di Provinsi Bangka Belitung, Enceng gondok yang merupakan tanaman jenis floating digunakan sebagai tanaman yang dapat memperbaiki kualitas air asam tambang. Potensi dari tumbuhan tersebut juga digunakan sebagai tanaman yang menghasilkan energi baru yang bersumber dari biogas (Meyzllia dan Darsiharjo 2017). Melalui prinsip ekonomi kreatif, Enceng gondok juga mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat sebagai bahan kerajinan tangan dan hasilnya dapat dijual.

Kawasan Desa Sungai Abit, Kota Banjarbaru, Kalimantan Selatan tepatnya dipinggir jalan Cempaka-Kiram terdapat wisata burung. Lokasi wisata ini merupakan bekas area pertambangan batubara era 1990-an. Selain wisata burung, di Bandar Lampung pun terdapat bekas tambang pasir yang dijadikan lokasi pemancingan. Lokasi wisata tersebut terdapat bangunan seperti pondok-pondok diatas danau maupun dipinggir danau yang dibangun sedemikian rupa untuk tempat wisatawan menikmati kegemarannya, memancing ikan. Selain itu terdapat tempat wisata terkenal di Malaysia yaitu Taman Tasik Cempaka Malaysia merupakan hasil “sulapan” dari lubang tambang timah menjadi water park.

Keramba Apung PT KPC tempat budidaya ikan konsumsi

Dwi Wahyu M

enta

r, Deny A

di Putr

ai

Page 37: EKOWISATA GUNUNG BULUSARAUNG:PENGALAMAN …

35

Ÿ Peternakan Sapi

Di Sangatta, Kutai Timur terdapat peternakan sapi yang dikelola oleh perusahan tambang PT Kaltim Prima Coal. Peternakan sapi tersebut yang disebut Pusat Peternakan Sapi Terpadu atau disingkat PESAT berada di area bekas salah satu pit, yaitu Pit Jupiter. Di peternakan sapi tersebut terdapat 40 Sapi perah yang menghasil susu sekitar 8-10 lt/hari. Hasil dari susu tersebut umumnya dibuat yoghurt dan susu siap minum dimana pemasaran hasilnya tersebut dibantu oleh masyarakat sekitar melalui koperasi. Di PESAT ini terdapat dokter hewan yang mengontrol kesehatan sapi tersebut dan dibantu oleh tenaga kerja lokal yang mengurusi kebutuhan pakan sapi. Pakan sapi tersebut berupa rumput gajah pun ditanam di area bekas pit tersebut. Area tersebut memang khusus ditanami pakan untuk sapi. Selain itu terdapat bangunan yang khusus untuk mengolah hasil susu sapi tersebut menjadi bahan yang siap untuk dijual. .

Bentuk Pemanfaatan Area Terbuka Area Pascatambang

Ÿ Pengembangan Tanaman lokal

Umumnya tanaman yang sering digunakan dalam kegiatan revegetasi lahan bekas tambang yaitu jenis fast growing. Tanaman jenis cepat tumbuh tersebut biasanya merupakan jenis tanaman dari luar daerah setempat. Padahal pemilihan tanaman asli daerah tersebut perlu juga dipertimbangkan. Adman et al, 2017 menjelaskan Laban (Vitex pubescans) merupakan jenis tanaman lokal yang mampu beradaptasi dan mampu tumbuh di lahan pascatambang. Laban juga dapat meningkatkan unsur hara dalam tanah. Pemilihan Laban bukan hanya karena jenis ini merupakan tanaman lokal saja, akan tetapi lebih pada manfaatnya, yaitu sebagai kayu pertukangan, bahan baku obat dan sebagai bioenergi (kayu bakar).

Area Peternakan Sapi dan Bentuk Olahan

Deny A

di Putr

a, Dwi Wahyu M

enta

ri

Page 38: EKOWISATA GUNUNG BULUSARAUNG:PENGALAMAN …

36

Ÿ Penangkaran Rusa Sambar

Selain PESAT di area bekas tambang batu bara PT KPC juga terdapat area yang sudah direklamasi digunakan sebagai tempat penangkaran Rusa Sambar. Berdasarkan hasil penelitian Gersetiasih dan Heriyanto (2017) area reklamasi bekas lahan tambang batu bara di PT KPC memenuhi syarat sebagai habitat penangkaran rusa dengan daya dukung 8 individu/ha. Saat ini area yang dijadikan lokasi penangkaran rusa yaitu area TBA. Di penangkaran Rusa TBA ini dipekerjakan tenaga kerja lokal yang bertugas memonitoring keberadaaan rusa, ketersedian pakan dan minum. Dengan adanya penangkaran Rusa ini bukan hanya menjadi tempat konservasi ek-situ bagi satwa, akan tetapi juga menjadi lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekitar perusahaan tersebut.

Konservasi Eksitu, Penangkaran Rusa TBA

Deny A

di Putr

a, Dwi Wahyu M

enta

ri

Page 39: EKOWISATA GUNUNG BULUSARAUNG:PENGALAMAN …

37

Ÿ Peternakan Ayam Petelur

Area reklamasi juga bisa digunakan sebagai area peternakan ayam petelur, dimana masyarakat dengan sistem koperasi bisa terlibat. Baik sebagai tenaga pekerja pengurus peternakan tersebut juga bisa sebagai tenaga pemasaran.Tentu saja hal ini perlu dukungan dari perusahaan tersebut dengan memberi ijin ke masyarakat untuk menggunakan lahan tersebut. Di area reklamasi PT KPC, peternakan ayam petelur telah dibangun dibawah pengelolaan PT KPC dan koperasi Kodim Sangatta. Area pemasarannya masih sekitar kota Sangatta.

Berbagai macam bentuk pemanfaatan lahan terbuka dan lubang tambang di area pascatambang tentu tidak saja serta merta langsung dimanfaatkan. Perlu adanya suatu proses kajian kelayakan akan penggunaan lahan. Hal ini sebagai bentuk antisipasi timbulnya dampak lain dalam penggunaan area pascatambang, seperti dampak kesehatan dan dampak sosial. Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan dalam membuat rencana pemanfaatan lahan pascatambang antara lain:

Hal-Hal yang perlu diperhatikan dalam memanfaatkan lahan pascatambang

Ÿ Status Lahan

Ÿ Lokasi dan Aksesibilitas

Hal yang sangat penting sebelum menyulap lahan pascatambang menjadi suatu yang dapat dimanfaatkan yaitu status lahan area tersebut. Perlu adanya kejelasan status penggunaan lahan tersebut. Hal ini menghindari konflik yang terjadi kedepannya. Akan lebih baik jika status area tersebut jelas secara hukum, contohnya saja area tersebut sudah berstatus direklamasi dan dihibahkan khusus dengan perjanjian tertentu kepada kelompok masyarakat untuk pemanfaatan lahan tersebut.

Lokasi dan aksesibilitas juga ikut mempengaruhi dalam mengoptimalkan pemanfaatan lahan pascatambang. Sebagai contoh untuk pemanfaatan lubang tambang untuk wisata air, apabila jaraknya terlalu jauh dengan masyarakat dan akses jalan yang sulit untuk ditempuh tentunya akan sepi pengunjung untuk pergi berwisata ke lokasi tersebut. Berbeda halnya jika lubang tersebut digunakan sebagai Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) untuk sampah, tentu saja lokasinya harus jauh dari pemukiman untuk menghindari dampak lainnya seperti polusi udara (menimbulkan bau) bagi masyarakat sekitar yang bermukim di daerah tersebut.

Area Reklamasi yang dijadikan tempat peternakan ayam petelur

Deny A

di Putr

a, Dwi Wahyu M

enta

ri

Page 40: EKOWISATA GUNUNG BULUSARAUNG:PENGALAMAN …

Ÿ Umur area reklamasi/revegetasi

Ÿ Kualitas Air dan Tanah

Bentuk pemanfaatan lahan pascatambang sebagai tempat penangkaran Rusa sambar tentunya harus memperhatikan umur dari area tersebut. Hal ini berkaitan dengan habitat yang akan dijadikan sebagai tempat konservasi ek-situ. Persyaratan utama dalam konservsasi ek-situ yaitu habitat baru yang mendekati kondisi habitat alami (Alikodra, 2002). Setidaknya semakin tua umur area reklamasi semakin meningkat pula pertumbuhan tanaman pada area tersebut. Dengan begitu semakin banyak pula pakan bagi Rusa sambar. Hal ini dikuatkan dari hasil penelitian Gersetiasih dan Heriyanto (2017) dimana area reklamasi yang cocok dijadikan penangkaran Rusa sambar berumur dari 10 tahun ketas.

Menurut Meyzilia dan Darsiharho (2017) semakin tua umur suatu lubang tambang belum tentu semakin berkurang pula kandungan logam berat pada air. Untuk itu perlu adanya penelitian lebih lanjut terhadap kualitas air, begitu pula pada tanah. Ini diharapkan untuk mengurangi dampak turunan, seperti dampak kesehatan. Contohnya saja pemanfaatan lubang tambang untuk budidaya ikan. Kualitas air pada kolam tersebut harus memenuhi standar budidaya ikan. Menurut Wedemeyer (1996) perlu adanya syarat atau batasan tertentu terhadap kondisi lingkungan ikan budidaya. Hal ini agar pertumbuhan ikan dalam kondisi lingkungan tertentu tidak terhambat. Selain itu diharapkan agar ikan yang dikonsumsi tidak memiliki kandungan logam berat diatas ambang batas.

Selain keempat hal diatas ada pula beberapa hal lainnya yang perlu diperhatikan, Menurut Meyana, et all (2015) kedalaman lubang tambang, luasan pemanfaatan area, jenis bentuk pemanfaatan area dan model pengelolaan yang akan digunakan sangat penting dalam membuat arahan dan strategi dalam membangun pemanfaatan lubang tambang. Hal ini agar pemanfaataan lahan pascatambang dapat berjalan optimal sehingga bukan hanya meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar akan tetapi juga ikut memperbaiki kualitas lingkungan.

Area pascatambang termasuk lubang- lubang pascatambang sebagaimana sudah diatur dalam Permen ESDM No. 7 tahun 2014 tentang Pelaksanaan Reklamasi dan Pasca Tambang pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, harus melakukan kegiatan reklamasi; pengembangan sosial & ekonomi; pemeliharaan hasil reklamasi dan

Penutup

38

pemantauan dari program pasca tambang. Melalui konsep 3P (Planet, People dan Profit) pelaksanaan dari peraturan tersebut dapat terlaksana dengan baik, bukan hanya meningkatkan perekonomian masyarakat ataupun membuat masyarakat lebih mandiri tanpa menggantungkan hidupnya dari sektor tambang akan tetapi dapat memperbaiki kualitas lingkungan juga. Selain itu diharapakan pula dari konsep tersebut menciptakan “Pasar “ (market) bagi hasil usaha atau jasa yang diciptakan. Tentu saja dalam membangun suatu model pemanfaatan area lahan pascatambang harus memperhatikan hal-hal penting seperti status ijin lahan pengelolan, lokasi, kualitas air dan tanah, umur area reklamasi dan lainnya. Hal ini untuk menghindari dampak turunan lainnya, jangan sampai menjadi boomerang untuk kedepannya.

Daftar Pustaka

Alikodra, H.S. 2002.Pengelolaan Satwa Liar (Jilid 1). Bogor, Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan IPB.

Apriando, T.2018. Rumah Roboh Dan Jalan Longsor Di Sanga-Sanga, Perusahaan Batubara Kena Sanksi. https://www.mongabay.co.id/2018/12/04/ruah-roboh-dan-jalan-longsor-di-sanga-sanga-perusahaan-batubara-kena-sanksi/. Publikasi 4 Desember 2018.

Adman, B., I. Mediawati1 And I. Yassir.2018. Potensi Laban (Vitex Pinnata L.) Untuk Revegetasi Lahan Pascatambang Batu Bara. Prosiding Seminar Nasional Silvikultur Ke-5.Banjarbaru.

Garsetiasih, R dan N.M. Heriyanto. 2017. Potensi Hutan Reklamasi Bekas Tambang Batu Bara, Sangata,Kalimantan Timur untuk Penangkaran Rusa Sambar (Rusa unicolor). Buletin Plasma Nutfah 23(2):127–136 2017.

Maidie, A., Udayana, D., Isriansyah, I., Almady, I.F., Susanto, A., Sukarti, K., Sulistiawaty, Manage, I., Tular, E. 2010. Pemanfaatan Kolam Pengendap Tambang Batu Bara Untuk Budidaya Ikan Lokal Dalam Keramba. Jurnal Riset Akuakultur. 5(3), 437-448.

Meyana, L., Sudadi, U., Tjahjono, B. 2015. Arahan Dan Strategi Pengembangan Areal Bekas Tambang Timah Sebagai Kawasan Pariwisata Di Kabupaten Bangka.Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam Dan Lingkungan Vol. 5 No. 1 (Juli 2015): 51-60.

Meyzilla, D dan Darsiharjo. 2017. Pemanfaatan Kolong Bekas Galian Tambang Timah untuk Budidaya Enceng Gondok di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Jurnal Pendidikan Geografi Vol.17 No. 2 (Oktober 2017): 153-158.

Sianipar, C. P. M., Yudoko, G., Adhiutama, A., & Dowaki, K. 2013. Community empowerment through appropriate technology: Sustaining the sustainable development. Procedia Environmental Sciences, 17, 1007-1016.

Simmons, J. A., Summerfelt, S. T., & Lawrance, M. I. 2001. Mine water aquaculture: a West Virginia, USA success story. Global Aquacult.Advocate, 4(3), 57-59.

Soendjoto, M. A.2016.Perairan Buatan di Lahan Tambang Batu Bara bagi Beberapa Spesies Burung.Warta Konservasi Lahan Basah, Vo. 24 No 3, Desember 2016.

Ya s s i r, I . , 2 0 1 6 . L u b a n g P a s c a t a m b a n g B a t u B a r a , U n t u k A p a ? http://kaltim.tribunews.com/2016/20/14/lubang-pascatambang-batu-bara-untuk-apa. Di download tanggal 2 Februari 2017.

Page 41: EKOWISATA GUNUNG BULUSARAUNG:PENGALAMAN …

39

dikeluarkannya jenis-jenis Tengkawang (Shorea spp.) dari daftar dilindungi akan menyudahi kebingungan masyarakat atas pemanenan buah tengkawang yang secara hukum tidak dibenarkan, namun secara de facto tidak pernah ada masalah dalam proses perdagangannya. Begitu juga dengan jenis-jenis dari kantung semar yang beberapa jenis (e.g. Nephentes gracilis) diketahui memiliki penyebaran sangat luas dan populasinya masih banyak, saat ini telah memiliki daftar jenis lebih spesifik sehingga tidak menyasar seluruh jenis dari genus Nephentes.

Peningkatan dan penurunan status perlindungan, baik dari daftar jenis tahun 1999 dan Permen LHK No. 20, 92, dan 106 tahun 2018, masih banyak menimbulkan pertanyaan yang masih belum terjawab hingga saat ini. Salah satunya adalah kriteria apa saja dan bagaimana proses penilaian kriteria dalam penentuan jenis-jenis yang dilindungi.

Secara formal, ada tiga kriteria yang disebutkan dalam PP No.7 tahun 1999 pasal 5 ayat 1, yaitu: 1) mempunyai populasi yang kecil, 2) adanya penurunan yang tajam pada jumlah individu di alam, dan 3) memiliki daerah penyebaran yang terbatas (endemik).

Ketiga kriteria ini secara sepintas telah memenuhi seluruh aspek yang diperlukan dalam menentukan tingkat keterancaman dan kebutuhan untuk dilindung dari suatu jenis. Namun, jika ditelaah lebih lanjut, ternyata ketiga kriteria ini harus dipenuhi secara bersama-sama berdasarkan pasal 5 ayat 2. Hal ini akan menjadi kendala pada penilaian terhadap jenis-jenis bernilai ekonomis tinggi yang memiliki sebaran sangat luas namun populasinya terus menurun akibat pemanenan dan kerusakan habitat (e.g. Scorodocarpus borneensis). Walaupun demikian, pada daftar jenis terbaru terdapat juga beberapa jenis

Kriteria Jenis Dilindungi

PendahuluanIndonesia memiliki kekayaan keanekaragaman hayati

yang tinggi. Kekayaan hayati tersebut perlu dilindungi dan dijaga kestariannya sehingga dapat memberikan manfaat secara lestari. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah adalah dengan menetapkan jenis-jenis satwa dan tumbuhan dilindungi di Indonesia. Namun peraturannya telah terbit sejak tahun 1999 sehingga saat ini kondisinya sudah out of date. Terbitnya Peraturan Menteri LHK No. 20 tahun 2018 pada awalnya disambut gembira oleh para pegiat konservasi sebagai pembaharuan terhadap daftar jenis dilindungi. Setidaknya ada 241 jenis atau 26% penambahan jenis dilindungi dari daftar terdahulu. Jumlah jenis dilindungi terbanyak adalah dari kelompok burung (Aves) sebanyak 562 jenis dari keseluruhan total 921 jenis. Walaupun masih jauh dari perkiraan jumlah jenis dengan status Near Threatened (NT) hingga Exctinct in the Wild (EW) didaftar IUCN yang mencapai lebih dari 3.000 jenis, namun penambahan ini tentu saja lebih baik.

Sayangnya, hanya terpaut dua dan enam bulan setelah terbitnya Permen LHK No. 20 tahun 2018, terbit kembali PermenLHK 92/2018 dan 106/2018 yang merevisi daftar jenis tersebut. Revisi tersebut telah mengurangi setidaknya 17 jenis tumbuhan dan satwa menjadi status tidak dilindungi. Kecaman kemudian muncul, seiring juga dengan dukungan, dari para pegiat konservasi dan penyuka satwa dan tumbuhan liar. Dengan pengurangan ini, beberapa jenis yang memiliki nilai konservasi dan ekonomi tinggi kembali dapat dipanen di alam dan diperjualbelikan secara bebas di pasar.

Harus diakui, beberapa jenis memang telah menjadi sorotan masyarakat dikarenakan penggunaan dan pemanenannya di alam telah menjadi salah satu sumber pendapatan sejak turun temurun. Sebagai contoh,

Tinjauan Kriteria Jenis Tumbuhan dan Satwa Dilindungi di Indonesia

Bina Swasta Sitepu dan Mukhlisi[Peneliti pada Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam]

Page 42: EKOWISATA GUNUNG BULUSARAUNG:PENGALAMAN …

40

pada data dan informasi dasar jenis-jenis satwa dan tumbuhan di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh minimnya penelitian dasar perihal taksonomi dan klasifikasi satwa dan tumbuhan di Indonesia. Sebagai contoh adalah jenis tabat barito (Ficus deltoidea) yang memiliki kompleksitas dalam morfologi. Indonesia merupakan pusat penyebaran jenis ini, dan diduga memiliki sembilan dari 14 varietas yang berhasil diklasifikasi (Berg, 2005). Luasnya penyebaran jenis ini (Sum., Kal., Sul., Jawa) menyebabkan secara keseluruhan tidak dilindungi, namun jika diperhatikan secara mendalam terdapat varietas yang memiliki sebaran terbatas secara wilayah maupun ekosistem (e.g. var. longifolia hanya ditemukan di Sumatra Barat dan Brunei).

Selain ketiga kriteria di atas, setidaknya ada dua hal yang perlu dipertimbangkan dalam penentuan jenis dilindungi dengan memperhatikan perkembangan ilmu pengetahuan saat ini, yaitu:

1. Sistem regenerasi biologis jenis. Setiap jenis memiliki sistem regenerasi yang unik dan terkadang menjadi penyebab penurunan populasi di alam. Sebagai contoh, jenis tumbuhan dengan karakteristik berumah dua (biseksual) memiliki kerentanan beregenerasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan tumbuhan berumah satu (uniseksual). Ketiadaan salah satu tipe bunga (jantan atau betina) akan menyebabkan stagnasi dan dalam jangka panjang adalah penurunan populasi (baik secara tajam maupun tidak). Selain itu, beberapa jenis juga memiliki angka produksi benih dan anakan, maupun keberhasilan untuk hidup (survival rate) yang sangat rendah. Pada satwa juga terdapat jenis-jenis yang memerlukan iklim mikro yang khusus untuk mendukung proses keberhasilan reproduksi maupun perkembangan menuju individu dewasa.

2. Kemampuan jenis satwa dan tumbuhan dalam menghadapi perubahan iklim. Aspek ini menjadi sangat penting dengan mempertimbangkan kondisi iklim dan laju kerusakan habitat asli. Kriteria ini menjadi penting karena beberapa jenis sangat rentan akan perubahan iklim yang ditandai dengan kenaikan suhu lingkungan dan perubahan habitat. Sebagian besar penelitian masih berkutat pada jenis komersial dan budidaya, namun sangat minim pada jenis-jenis liar dan memiliki nilai konservasi tinggi.

Penambahan kriteria di atas dapat berakibat pada meningkatnya jenis yang mendapatkan status dilindungi. Pada satu sisi, ini akan meningkatkan kewaspadaan kita pada kondisi hidupan liar yang sering kali menjadi "warga" kelas dua dalam penentuan arah pembangunan. Di sisi lain, ini akan meningkatkan ketidakpuasan dan protes dari pihak tertentu yang memiliki mata pencaharian dari perdagangan satwa dan tumbuhan alam, maupun masyarakat sekitar hutan yang menggantungkan hidupnya dari sumber daya hutan.

Untuk mengantisipasi keresahan tersebut, sosialisasi dan peningkatan pemahaman masyarakat tentang regulasi pemanfaatan jenis dilindungi yang sudah ada sejak lama yaitu SK Menhut No. 447 tahun 2003 dan PP No. 8 Tahun 1999.

Alternatif Tambahan Kriteria Jenis Dilindungi

tidak endemik yang telah dimasukkan menjadi jenis dilindungi dikarenakan temuan populasi di lapangan yang sangat kecil (e.g. Camptostemon philippinense, Koompassia spp.). Hal ini menunjukkan adanya ambiguitas dalam pemahaman pelaksanaan kriteria tersebut. Jika memang dapat menggunakan salah satu atau seluruh kriteria, maka dapat diperjelas dalam ayat 2 sehingga akan lebih memberi kepastian hukum terhadap pelaksanaan kriteria-kriteria tersebut.

Penilaian kriteria pertama menimbulkan pertanyaan lanjutan tentang proses monitoring dan inventarisasi berkala terkait populasi jenis-jenis satwa dan tumbuhan yang ada di Indonesia. Sepengetahuan penulis, hingga saat ini, belum ada perangkat hukum yang mengatur proses penilaian populasi satwa dan tumbuhan secara berkala. Fakta di lapangan menunjukkan laju kehilangan habitat (dan isinya) sangat tinggi, sehingga proses penilaian saat ini tentu menjadi bias jika hanya mengandalkan data dari areal konservasi, hutan produksi maupun kawasan hutan lainnya. Hal ini disebabkan beberapa jenis juga memiliki habitat pada kawasan areal penggunaan lain, baik yang berhutan maupun tidak. Penggunaan istilah jumlah populasi kecil juga tidak memiliki kepastian secara numerik sebagai standar "kecil". Apakah jumlah individu 1, 10, 100 atau 1.000 dianggap populasi kecil?, dan bagaimana hubungannya dengan luasan dan spesifikasi habitat sebagai acuan kepadatan populasi?

Salah satu alternatif penetuan populasi kecil adalah penggunaan Populasi Minimum Lestari (Minimum Population Viable/MPV) yang memprediksi jumlah populasi terkecil yang diperlukan suatu jenis untuk lestari pada habitat tertentu pada jangka waktu tertentu (Rai, 2003; Shafer, 1981). Konsep ini dipengaruhi oleh populasi saat ini, kemampuan reproduksi, tingkat kematian, dan faktor lingkungan dan ekologi (Flather et al, 2011; Traill et al, 2010). Penelitian khusus mengenai MPV lebih didominasi oleh jenis-jenis satwa dibandingkan dengan jenis tumbuhan, walaupun terkadang informasi populasi juga tersedia pada penelitian ekologi dan model populasi jenis tumbuhan (Lyngdoh et al., 2018 ).

Ketidakpastian juga ditemukan pada kriteria kedua tentang penurunan populasi yang tajam. Bagaimana menentukan penurunan jika angka awalnya saja kita belum pernah tahu. Apalagi jika kita telaah jenis-jenis yang hanya ditemukan sekali berdasarkan informasi herbarium, museum zoologi maupun catatan penelitian yang sangat usang. Ini sekaligus menunjukkan sangat minimnya kita akan data dasar keanekaragaman hayati yang tidak hanya melulu perihal pemanfaatan dan nilai guna saja. Seharusnya kita percaya bahwa semua makhluk hidup yang diciptakan Tuhan YME pasti berguna bagi bumi ini. Saat ini penentuan populasi lebih didominasi oleh tingkat kehadiran (absence-presence) atau luasan kerusakan habitat suatu jenis yang memiliki nilai bias jika tidak didukung oleh data awal yang baik.

Perihal endemisitas juga masih sangat abu-abu. Luasnya areal yang belum dieksplorasi dan banyaknya jenis-jenis yang belum dapat diidentifikasi membuat lubang besar tambahan

Kriteria 1: Populasi kecil

Kriteria 2: Penurunan populasi yang tajam

Kriteria 3: Memiliki sebaran terbatas (endemisitas)

Page 43: EKOWISATA GUNUNG BULUSARAUNG:PENGALAMAN …

Regulasi ini mengatur pemanfaatan jenis dilindungi seperti penangkaran satwa dan tumbuhan, kebijakan perdagangan generasi F2, kuota jenis, dan aspek lainnya yang terkait. Sebetulnya tidak ada yang perlu dikhawatirkan jika ada penambahan jenis dilindungi, karena sebagian populasi jenis dilindungi tetap bisa diperjualbelikan secara bebas asalkan berasal dari generasi F2 hasil penangkaran. Adanya penangkaran justru membantu mendorong peningkatan populasi dari masyarakat tanpa mengganggu populasi di alam, sehingga kuota perdagangan juga dapat ditingkatkan berdasarkan data ketersedian di penangkar.

Sebagai contoh, dikeluarkannya kembali 5 jenis burung (Murai batu, Cucak rowo, Jalak suren, Anis bentet kecil, dan Anis sangihe) dari daftar jenis dilindungi sebetulnya tidak perlu terjadi, jika pemahaman terhadap kriteria jenis dilindungi dan pemanfaatannya oleh masyarakat dipahami bersama. Jalak bali adalah salah satu jenis dilindungi yang sukses dalam upaya peningkatan populasi burung yang hampir punah melalui penangkaran, bahkan sebagian telah dilepaskan kembali ke alam.

Implementasi kriteria-kriteria jenis dilindungi berdasarkan PP No. 7 Tahun 1999 tentunya membutuhkan upaya besar dan komitmen tinggi dari seluruh stakeholder yang bergerak di bidang konservasi. Selain itu, dibutuhkan pemahaman bersama terkait kriteria yang akan dijadikan acuan. Beberapa langkah strategis yang dapat dilakukan untuk menunjang konsistensi dan penyempurnaan kriteria jenis satwa dan tumbuhan dilindungi di antaranya adalah sebagai berikut:

1. Regulasi terkait inventarisasi dan monitoring populasi yang bersifat mandatory Perlu regulasi yang jelas mengenai pihak yang berkewajiban dalam melakukan monitoring dan inventarisasi populasi satwa dan tumbuhan di alam dan penangkaran. Regulasi ini akan mengatur tentang siapa saja yang akan berperan, tata waktu pelaksanaan, pembiayaan, metode pelaksanaan, dan diseminasi hasil kegiatan. Dengan regulasi ini, ketersediaan data dan informasi secara lestari akan memberikan kepastian secara ilmiah dan hukum akan dasar penentuan jenis dilindungi, atau bahkan dikeluarkannya suatu jenis dari status dilindungi.

2. Penyusunan peta dasar sebaran satwa liar dan tumbuhan dilindungi secara nasionalDibandingkan dengan beberapa negara lain (e.g. USA, Australia) yang sudah punya pangkalan data dan peta sebaran satwa liar dan tumbuhan terkini, Indonesia masih sangat ketinggalan jauh. Padahal, ketersediaan peta ini mempermudah kegiatan survei agar lebih rinci, efektif dan efisien. Selain itu, modeling terhadap tingkat kerentanan jenis terhadap perubahan iklim/habitat juga dapat dibangun dengan menggunakan data spasial yang tersedia didukung dengan data lingkungan dan cuaca.

3. Sinergi dan kolaborasi studi antar lembagaOtoritas keilmuan yang diberikan pada LIPI menyebabkan lembaga ini memiliki tanggung jawab yang besar dengan

Rekomendasi langkah strategis

sumber daya yang masih sangat terbatas. Di sisi lain, lembaga-lembaga lain (pemerintah dan swasta) juga memiliki kompetensi dalam penelaahan ekologi populasi dan konservasi jenis satwa dan tumbuhan. Tanpa mengabaikan kolaborasi yang telah ada, mungkin diperlukan pengaturan secara formal dan jelas (poin 1) terkait peran para pihak dalam mendukung penyediaan informasi kepada otoritas keilmuan yang memiliki sumber daya terbatas.

4. Revisi regulasi terkaitPenambahan kriteria seperti tertulis di atas akan berdampak pada perlunya revisi pada PP No. 7 tahun 1999, khususnya pada pasal lima tentang kriteria satwa dilindungi. Selain itu, diperlukan penambahan regulasi terkait monitoring populasi jenis satwa dan tumbuhan secara reguler yang secara umum dapat ditautkan pada PP No. 7 tahun 1999 ataupun menjadi regulasi sendiri sesuai amanat pada pasal 7 dalam bentuk Permen atau Perka. Secara mendesak, Permen LHK No. 92 dan No. 106 tahun 2018 perlu dipertimbangkan untuk tinjau kembali dengan memperhatikan kriteria jenis dilindungi dan ketersediaan data populasi dari jenis satwa dan tumbuhan terkini yang disediakan oleh LIPI selaku otoritas keilmuan dengan lebih banyak melibatkan tenaga ahli di lembaga lainnya. Penggunaan data lain (e.g. hasil inventarisasi pohon di RKT IUPHHK, data penangkaran burung), seharusnya mendapatkan verifikasi dan persetujuan dari LIPI untuk dapat digunakan sebagai pertimbangan penentuan populasi jenis tumbuhan dan satwa.

Penentuan jenis tumbuhan dan satwa dilindungi dengan menggunakan kriteria yang jelas, terukur dan mengacu pada tiga pilar konservasi merupakan upaya negara dalam mengelola sumber daya alam biotik yang ada di Indonesia. Penggunaan teknologi dan metode terkini diharapkan dapat menjadi landasan pelaksanaan kriteria tersebut, sehingga data dan hasil analisis yang didapatkan selalu aktual secara faktual dan metodologi. Kolaborasi antar lembaga juga penting untuk diaplikasikan mengingat tidak semua lembaga memiliki tenaga ahli yang sesuai dengan bidang diperlukan dalam penentuan jenis satwa dan tumbuhan dilindungi. Pada akhirnya, konsistensi dalam pelaksanaan peraturan yang berlaku dan penggunaan kaidah keilmuan menjadi hal yang utama untuk memberikan kepastian hukum maupun ilmiah.

Berg, C.C., Corner, E.J.H. and Nooteboom, H.P., 2005. Flora Malesiana. Series I, Seed plants. Volume 17, Part 2: (Ficus). Nationaal Herbarium Nederland.

Flather, C.H., Hayward, G.D., Beissinger, S.R. and Stephens, P.A., 2011. Minimum viable populations: is there a 'magic number'for conservation practitioners?. Trends in ecology & evolution, 26(6), pp.307-316.

Rai, U.K., 2003. Minimum sizes for viable population and conservation biology. Our Nature, 1(1), pp.3-9. https://doi.org/10.3126/on.v1i1.297

Shaffer, M. L. 1981. Minimum population sizes for species conservation. BioScience 31: 131-134

Traill, L.W., Brook, B.W., Frankham, R.R. and Bradshaw, C.J., 2010. Pragmatic population viability targets in a rapidly changing world. Biological Conservation, 143(1), pp.28-34.

Penutup

Daftar Pustaka

Moraceae

Lyngdoh, M., Chettri, A., Adhikari, D. and Barik, S.K., 2018. Metapopulation modelling of threatened plants to assess conservation status and determine minimum viable population size. Curr Sci, 114(3), pp.532-538.

41

Page 44: EKOWISATA GUNUNG BULUSARAUNG:PENGALAMAN …

Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam

(0542) 7217663 (0542) [email protected]

Jl. Soekarno - Hatta Km. 38 PO BOX 578 Balikpapan 76112 Phone. , Fax.

E-mail :Samboja - Kalimantan Timur

Join us

Majalah Swara SambojaGroup Majalah Swara Samboja 9 772089 742003