tinpus ekowisata

14
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi dan Prinsip Ekowisata Ekowisata merupakan kegiatan wisata yang menaruh perhatian besar terhadap kelestarian sumberdaya pariwisata. Masyarakat ekowisata internasional mengartikannya sebagai perjalanan wisata alam yang bertanggungjawab dengan cara mengonservasi lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal (responsible travel to natural area that conserves the environment and improves the well-being of local people) (TIES, 2000 dalam Damanik dan Weber, 2006). Dari definisi ini ekowisata dapat dilihat dari tiga perspektif, yakni: pertama, ekowisata sebagai produk; kedua, ekowisata sebagai pasar; ketiga, ekowisata sebagai pendekatan pengembangan. Sebagai produk, ekowisata merupakan semua atraksi yang berbasis pada sumberdaya alam. Sebagai pasar, ekowisata merupakan perjalanan yang diarahkan pada upaya-upaya pelestarian lingkungan. Akhirnya sebagai pendekatan pengembangan, ekowisata merupakan metode pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya pariwisata secara ramah lingkungan. Disini kegiatan wisata yang bertanggungjawab terhadap kesejahteraan masyarakat lokal dan pelestarian lingkungan sangat ditekankan dan merupakan ciri khas ekowisata. Pihak yang berperan penting dalam ekowisata bukan hanya wisatawan tetapi juga pelaku wisata lain (tour operator) yang memfasilitasi wisatawan untuk menunjukkan tanggungjawab tersebut (Damanik dan Weber, 2006). Ekowisata merupakan suatu bentuk wisata yang mengadopsi prinsip-prinsip pariwisata berkelanjutan yang membedakan dengan bentuk wisata lain. Didalam praktik hal ini terlihat dalam bentuk kegiatan wisata yang; a) secara aktif menyumbang kegiatan konservasi alam dan budaya; b) melibatkan masyarakat lokal dalam perencanaan, pengembangan, dan pengelolaan wisata serta memberikan sumbangan positif terhadap kesejahteraan mereka; dan c) dilakukan dalam bentuk wisata independen atau diorganisasi dalam bentuk kelompk kecil (UNEP, 2000; Heher, 2003 dalam Damanik dan Weber, 2006). Dalam kaitannya ini From (2004) dalam Damanik dan Weber, (2006) menyusun tiga konsep dasar yang lebih operasional tentang ekowisata, yaitu sebagai berikut:

Upload: bumikentingan-tourtravel

Post on 28-Jan-2016

276 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

ekoiwisata

TRANSCRIPT

Page 1: Tinpus Ekowisata

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi dan Prinsip Ekowisata

Ekowisata merupakan kegiatan wisata yang menaruh perhatian besar

terhadap kelestarian sumberdaya pariwisata. Masyarakat ekowisata internasional

mengartikannya sebagai perjalanan wisata alam yang bertanggungjawab dengan

cara mengonservasi lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal

(responsible travel to natural area that conserves the environment and improves

the well-being of local people) (TIES, 2000 dalam Damanik dan Weber, 2006).

Dari definisi ini ekowisata dapat dilihat dari tiga perspektif, yakni: pertama,

ekowisata sebagai produk; kedua, ekowisata sebagai pasar; ketiga, ekowisata

sebagai pendekatan pengembangan. Sebagai produk, ekowisata merupakan semua

atraksi yang berbasis pada sumberdaya alam. Sebagai pasar, ekowisata merupakan

perjalanan yang diarahkan pada upaya-upaya pelestarian lingkungan. Akhirnya

sebagai pendekatan pengembangan, ekowisata merupakan metode pemanfaatan

dan pengelolaan sumberdaya pariwisata secara ramah lingkungan. Disini kegiatan

wisata yang bertanggungjawab terhadap kesejahteraan masyarakat lokal dan

pelestarian lingkungan sangat ditekankan dan merupakan ciri khas ekowisata.

Pihak yang berperan penting dalam ekowisata bukan hanya wisatawan tetapi juga

pelaku wisata lain (tour operator) yang memfasilitasi wisatawan untuk

menunjukkan tanggungjawab tersebut (Damanik dan Weber, 2006).

Ekowisata merupakan suatu bentuk wisata yang mengadopsi prinsip-prinsip

pariwisata berkelanjutan yang membedakan dengan bentuk wisata lain. Didalam

praktik hal ini terlihat dalam bentuk kegiatan wisata yang; a) secara aktif

menyumbang kegiatan konservasi alam dan budaya; b) melibatkan masyarakat

lokal dalam perencanaan, pengembangan, dan pengelolaan wisata serta

memberikan sumbangan positif terhadap kesejahteraan mereka; dan c) dilakukan

dalam bentuk wisata independen atau diorganisasi dalam bentuk kelompk kecil

(UNEP, 2000; Heher, 2003 dalam Damanik dan Weber, 2006).

Dalam kaitannya ini From (2004) dalam Damanik dan Weber, (2006)

menyusun tiga konsep dasar yang lebih operasional tentang ekowisata, yaitu

sebagai berikut:

Page 2: Tinpus Ekowisata

8

Pertama, Perjalanan outdoor dan di kawasan alam yang tidak menimbulkan

kerusakan lingkungan. Dalam wisata ini orang biasanya menggunakan

sumberdaya hemat energi, seperti tenaga surya, bangunan kayu, bahan daur ulang,

dan mata air. Sebaliknya kegiatan tersebut tidak mengorbankan flora dan fauna,

tidak mengubah topografi lahan dan lingkungan dengan mendirikan bangunan

yang asing bagi lingkungan dan budaya masyarakat setempat.

Kedua, wisata ini mengutamakan penggunaan fasilitas transportasi yang

diciptakan dan dikelola masyarakat kawasan itu. Prinsipnya, akomodasi yang

tersedia bukanlah perpanjangan tangan hotel internasional dan makanan yang

ditawarkan juga bukan makanan berbahan baku impor, melainkan semuanya

berbasis produk lokal. Oleh sebab itu wisata ini memberikan keuntungan langsung

bagi masyarakat lokal.

Ketiga, perjalanan wisata ini menaruh perhatian besar pada lingkungan alam

dan budaya lokal. Para wisatawan biasanya banyak belajar dari masyarakt lokal

bukan sebaliknya mengurangi mereka. Wisatawan tidak menuntut masyarakat

lokal agar menciptakan pertunjukan dan hiburan ektra, tetapi mendorong mereka

agar diberi peluang untuk menyaksikan upacara dan pertunjukan yang sudah

dimiliki oleh masyarakat setempat.

Dari definisi di atas dapat diidentifikasi beberapa prinsip ekowisata (TIES,

2000 dalam Damanik dan Weber, 2006), yakni sebagai berikut:

a). Mengurangi dampak negatif berupa kerusakan atau pencemaran lingkungan

dan budaya lokal akibat kegiatan wisata.

b). Membangun kesadaran dan penghargaan atas lingkungan dan budaya di

destinasi wisata, baik pada diri wisatawan, masyarakat lokal maupun pelaku

wisata lainnya.

c). Menawarkan pengalaman-pengalaman positif bagi wisatawan maupun

masyarakat lokal melalui kontak budaya yang lebih intensif dan kerjsama

dalam pemeliharaan atau konservasi obyek daya tarik wisata.

d). Memberikan keuntungan finansial secara langsung bagi keperluan bagi

keperluan konservasi melalui kontribusi atau pengeluaran ekstra wisatawan.

e). Memberikan keuntungan finansial dan pemberdayaan bagi masyarakat lokal

dengan menciptakan produk wisata yang mengedepankan nilai-nilai lokal.

Page 3: Tinpus Ekowisata

9

f). Meningkatkan kepekaan terhadap situasi sosial, lingkungan dan politik di

daerah tujuan wisata.

g). Menghormati hak asasi manusia dan perjanjian kerja, dalam arti memberikan

kebebasan kepada wisatawan dan masyarakat lokal untuk menikmati atraksi

wisata sebagai wujud hak azasi, serta tunduk pada aturan main yang adil dan

disepakati bersama dalam pelaksanaan transaksi-transaksi wisata.

Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 33 Tahun 2009 bahwa

prinsip pengembangan ekowisata meliputi: (1) kesesuaian antara jenis dan

karakteristik ekowisata; (2) konservasi, yaitu melindungi, mengawetkan, dan

memanfaatkan secara lestari sumberdaya alam yang digunakan untuk ekowisata;

(3) ekonomis, yaitu memberikan manfaat untuk masyarakat setempat dan menjadi

penggerak pembangunan ekonomi di wilayahnya serta memastikan usaha

ekowisata dapat berkelanjutan; (4) edukasi, yaitu mengandung unsur pendidikan

untuk mengubah persepsi seseorang agar memiliki kepedulian, tanggung jawab,

dan komitmen terhadap pelestarian lingkungan dan budaya; (5) memberikan

kepuasan dan pengalaman kepada pengunjung; (6) partisipasi masyarakat, yaitu

peran serta masyarakat dalam kegiatan perencanaan, pemanfaatan, dan

pengendalian ekowisata dengan menghormati nilai-nilai sosial-budaya dan

keagamaan masyarakat di sekitar kawasan; dan (7) menampung kearifan lokal.

Menurut Yulianda (2007), konsep pembangunan ekowisata hendaknya

dilandasi pada prinsip dasar ekowisata yang meliputi :

1. Mencegah dan menanggulangi dampak dari aktifitas wisatawan terhadap alam

dan budaya, pencegahan dan penanggulangan disesuaikan dengan sifat dan

karakter alam budaya setempat.

2. Pendidikan konservasi lingkungan; Mendidik pengunjung dan masyarakat

akan pentingnya konservasi.

3. Pendapatan langsung untuk kawasan; Retribusi atau pajak konservasi

(conservation tax) dapat digunakan untuk pengelolaan kawasan.

4. Partisipasi masyarakat dalam perencanaan; Merangsang masyarakat agar

terlibat dalam perencanaan dan pengawasan kawasan.

5. Penghasilan bagi masyarakat; Masyarakat mendapat keuntungan ekonomi

sehingga terdorong untuk menjaga kelestarian kawasan.

Page 4: Tinpus Ekowisata

10

6. Menjaga keharmonisan dengan alam; Kegiatan dan pengembangan fasilitas

tetap mempertahankan keserasian dan keaslian alam.

7. Daya dukung sebagai batasan pemanfaatan; Daya tampung dan

pengembangan fasilitas hendaknya mempertimbangkan daya dukung

lingkungan.

8. Konstribusi pendapatan bagi negara (pemerintah daerah dan pusat).

Menurut Yulianda (2007) Ekowisata bahari merupakan kegiatan wisata

pesisir dan laut yang dikembangkan dengan pendekatan konservasi laut dengan

memanfaatkan karakter sumberdaya pesisir dan laut. Pengelolaan ekowisata

bahari merupakan suatu konsep pengelolaan yang memprioritaskan kelestarian

dan memanfaatkan sumberdaya alam dan budaya masyarakat. Konsep

pengelolaan ekowisata tidak hanya berorientasi pada keberlanjutan tetapi juga

mempertahankan nilai sumberdaya alam dan manusia. Agar nilai-nilai tersebut

terjaga maka pengusahaan ekowisata tidak melakukan eksploitasi sumberdaya

alam, tetapi hanya menggunakan jasa alam dan budaya untuk memenuhi

kebutuhan fisik, pengetahuan dan fisikologis penunjung. Dengan demikian

ekowisata bukan menjual tempat (destinasi) atau kawasan melainkan menjual

filosofi. Hal inilah yang membuat ekowisata mempunyai nilai lestari dan tidak

akan mengenal kejenuhan pasar.

2.2 Pengembangan Ekowisata Dalam Kawasan konservasi

Kawasan hutan yang dapat berfungsi sebagai kawasan wisata yang berbasis

lingkungan adalah kawasan pelestarian alam (Taman Nasional, Taman Hutan

raya, Taman wisata Alam), kawasan suaka alam (Suaka Margasatwa) dan hutan

lindung melalui kegiatan wisata alam terbatas serta Hutan produksi yang

berfungsi sebagai Wana Wisata (Ridwan, 2000).

Pengembangan ekowisata di dalam kawasan hutan dapat menjamin keutuhan

dan kelestarian ekosistem hutan. Ecotraveler menghendaki persyaratan kualitas

dan keutuhan ekosistem. Oleh karenanya terdapat beberapa butir prinsip

pengembangan ekowisata yang harus dipenuhi. The Ecotourism Society

(Eplerwood 1999 dalam Fandeli 2000) menyebutkan ada tujuh prinsip dalam

kegiatan ekowisata yaitu: (1) Mencegah dan menanggulangi dari aktivitas

wisatawan yang mengganggu terhadap alam dan budaya; (2) Pendidikan

Page 5: Tinpus Ekowisata

11

konservasi lingkungan; (3) Pendapatan langsung untuk kawasan; (3) Partisipasi

masyarakat dalam perencanaan; (4) Meningkatkan penghasilan masyarakat; (5)

Menjaga keharmonisan dengan alam; (6) Menjaga daya dukung lingkungan; (7)

Meningkatkan devisa buat pemerintah.

Menurut Ridwan (2000) bahwa pengembangan ekowisata harus

melibatkan berbagai unsur seperti: pengunjung atau ekowisatawan, sumber daya

alam, pengelola, masyarakat setempat, kalangan bisnis termasuk tour operator,

pemerintah, lembaga swadaya masyarakat dan lain sebagainya. Pada prinsipnya

pengembangan ekowisata yang baik merupakan simbiosis antara konservasi dan

pembangunan, namun kemungkinan timbulnya konflik kepentingan antara pelaku

ekowisata bisa terjadi.

Perencanaan pengembangan ekowisata diantaranya mengacu pada

perencanaan perlindungan dan pelestarian lingkungan, perencanaan penggunaan

lahan dan tata ruang. Perencanaan ekowisata merupakan bagian dari proses

pemanfaatan dari sumberdaya dan berkelanjutan yang terkoordinasi dan interaktif

berdasarkan aspek pelestarian ekologis kawasan, biodiversitas, dan nilai sosial

dalam keterlibatan wisatawan bersama masyarakat lokal. Daerah pesisir adalah

merupakan sumberdaya alam yang cukup penting bagi kehidupan. Berbagai

aktifitas sosial dan ekonomi membutuhkan lokasi pesisir yang memiliki nilai

lansekap, habitat alam dan sejarah yang tinggi, yang harus dijaga dari kerusakan

secara sengaja maupun tidak sengaja. Perencanaan tata ruang (zonasi) wilayah

pesisir, berperan untuk menyerasikan kebutuhan pembangunan dengan kebutuhan

untuk melindungi, melestarikan, dan meningkatkan kualitas lansekap, lingkungan

serta habitat flora dan fauna (Darwanto 1998). Rencana zonasi wilayah pesisir

diperlukan untuk menjaga kelestarian pantai dan untuk meningkatkan

kesejahteraan masyarakat.

Sebagaimana diketahui bahwa pembangunan wilayah pesisir mempunyai

ruang lingkup yang luas, meliputi banyak aspek dan sektor pembangunan, maka

perlu optimalisasi pemanfaatan sumberdaya melalui pengelolaan yang terpadu,

agar kebutuhan manusia dapat terpenuhi sekaligus menjaga sumberdaya alam agar

tetap lestari dan berkelanjutan. Bengen (2005) bahwa salah satu cara untuk

mencapai keseimbangan antara ketersediaan sumberdaya dan kebutuhan manusia

Page 6: Tinpus Ekowisata

12

adalah menetapkan jenis dan besaran aktifitas manusia sesuai dengan kemampuan

lingkungan untuk menampungnya. Artinya, setiap aktifitas pembangunan disuatu

wilayah harus didasarkan pada analisis kesuaian lingkungan.

Selanjutnya menurut Bengen (2005), analisis kesesuaian lingkungan harus

mencakup aspek ekologis, sosial dan ekonomis yaitu:

1). Aspek ekologis; dapat didekati dengan menganalisis:

a. Potensi maksimum sumberdaya berkelanjutan. Berdasarkan analisis ilmiah

dan teoritis, dihitung potensial atau kapasitas maksimum sumberdaya untuk

menghasilkan barang dan jasa (goods and services) dalam jangka waktu

tertentu.

b. Kapasitas daya dukung (carrying capacity). Daya dukung didefinisikan

sebagai tingkat pemanfaatan sumberdaya alam atau ekosistem secara

berkesinambungan tanpa menimbulkan kerusakan sumberdaya alam dan

lingkungannya.

c. Kapasitas penyerapan limbah (assimilative capacity). Kapasitas penyerapan

limbah adalah kemampuan sumberdaya alam dapat pulih (misalnya air,

udara, tanah) untuk menyerap limbah aktifitas manusia. Kapasitas ini

bervariasi akibat faktor eksternal seperti cuaca, temperature dan aktifitas

manusia.

2). Aspek Sosial

Aspek sosial dapat ditilik dari penerimaan masyarakat terhadap aktifitas yang

akan dilakukan, mencakup dukungan sosial/terhindar dari konflik

pemanfaatan, terjaganya kesehatan masyarakat dari akibat pencemaran,

budaya, estetika,keamanan dan kompatibilitas.

3). Aspek Ekonomi

Aspek ekonomi dapat ditinjau dari kelayakan usaha dari aktifitas yang akan

dilaksanakan. Analisisnya meliputi : revenue cost ratio (R/C), net present

value (NPV), net benefit cost ratio (net B/C), internal rate return (IRR) dan

analisis sensitivitas (sensitivy analysis).

2.3. Konsep Pengelolaan Taman Nasional

Berdasarkan undang-undang RI nomor 5 Tahun 1990, Taman nasional

adalah kawasan pelestarian alam (KPA) yang mempunyai ekosisten asli dan

Page 7: Tinpus Ekowisata

13

dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu

pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi. Taman

nasional mempunyai fungsi pokok sebagai berikut:

1. Sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan;

2. Sebagai pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan atau satwa liar

beserta ekosistemnya;

3. Untuk pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya.

Pengelolaan taman nasional dalam mencapai tujuan, fungsi dan peranannya

dilakukan sistem zonasi. Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor:

P.56/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional, bahwa zona

taman nasional terdiri dari:

1. Zona inti

2. Zona rimba; zona perlindungan bahari untuk wilayah perairan

3. Zona pemanfaatan

4. Zona lain, antara lain; zona tradisional, zona rehabilitasi, zona religi, budaya

dan sejarah serta zona khusus.

Berdasarkan Peraturan pemerintah No 28 Tahun 2011 tentang Kawasan

Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam pada pasal 8 menyebutkan bahwa

suatu kawasan ditunjuk sebagai kawasan Taman Nasional apabila telah memenuhi

kriteria sebagai berikut:

1. Memiliki sumberdaya alam hayati dan ekosistem yang khas dan unik yang

masih utuh dan alami serta gejala alam yang unik;

2. Memiliki satu atau beberapa ekosistem yang masih utuh;

3. Mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelangsungan proses ekologis

secara alami; dan

4. Merupakan wilayah yang dapat dibagi kedalam zona inti, zona pemanfaatan,

zona rimba, dan/atau zona lainnya sesuai dengan keperluan.

Taman nasional dalam konteks pembangunan berkelanjutan memiliki peran

yang sangat penting. Menurut MacKinnon et al. (1993), sumbangan taman

nasional sebagai salah satu kawasan yang dilindungi dalam pelestarian

sumberdaya alam dan kelangsungan pembangunan, antara lain:

Page 8: Tinpus Ekowisata

14

1. Sebagai wahana pengembangan ilmu pengetahuan, yaitu wahana kegiatan

penelitian biologi dan konservasi in-situ.

2. Sebagai wahana pendidikan lingkungan, yaitu wahana untuk meningkatkan

pemahaman dan kepedulian masyarakat di sekitar kawasan taman nasional

dan pengunjung atau masyarakat luas tentang konservasi.

3. Mendukung pengembangan budidaya tumbuhan dan penangkaran satwa

dalam rangka mendukung pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi

sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar.

4. Sebagai wahana kegiatan wisata alam dalam rangka mendukung pertumbuhan

industri pariwisata alam dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

5. Sumber plasma nutfah dan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa

sekaligus untuk mendukung upaya pelestarian kekayaan keanekaragaman

hayati asli.

6. Untuk melestarikan ekosistem hutan sebagai pengatur tata air dan iklim mikro

serta sumber mata air bagi masyarakat di sekitar taman nasional.

2.4. Manajemen Kolaboratif

Istilah manajemen kolaboratif dipakai secara luas dan meliputi berbagai

aktifitas seperti pengelolaan hutan partisipatif, kehutanan masyarakat atau sosial,

pengelolaan hutan bersama dan proyek-proyek pembangunan konservasi (Fisher

1995). Manajemen kolaboratif diterapkan pada lahan dan hutan adat, swasta,

Negara dan pada pengelolaan kawasan lindung. Petheram et al. (2004)

mengemukakan bahwa kolaborasi adalah suatu proses yang melibatkan orang-

orang yang secara konstruktif mengeksplorasi perbedaan dan tujuan mereka

kemudian mencari dan mengembangkan rencana mereka untuk merubah

manajemen yang menyenangkan untuk semua pihak.

Fisher (1995) mengemukakan empat asumsi dalam manajemen kolaboratif

yaitu: (1) penggunaan masyarakat memerlukan kontrol lokal yang terus

meningkat atas penggunaan sumberdaya dan pengambilan keputusan; (2)

keterlibatan stakeholders yang semakin besar akan menghasilkan taraf hidup yang

lebih berkesinambungan; (3) pengakuan legitimasi atas keragaman yang berbeda-

beda dan (4) pembangunan dan konservasi tidak selalu bertentangan. Mengacu

pada asumsi terakhir, manajemen kolaboratif mengakui nilai-nilai lingkungan dan

Page 9: Tinpus Ekowisata

15

kebutuhan untuk menggunakan dan mengelola sumberdaya untuk menjamin

kesinambungan ekologis. Berkaitan dengan keyakinan ini, masih ada peluang

untuk menemukan cara mencapai tujuan ekonomi tanpa mengorbankan standar

lingkungan hidup.

Pengelolaan hutan secara kolaboratif dapat dipandang sebagai pemberian

kekuasaan yang lebih besar kepada masyarakat lokal dan pengakuan otoritas

manajemen mereka secara formal. Semakin lama, masyarakat menuntut

manajemen kolaboratif sebagai bagian dari gerakan politik masyarakat akar

rumput, tidak peduli bagiamana kolaborasi itu diprakarsai atau dibangun, akhirnya

mau tidak mau konflik harus dihadapi.

Manajemen kolaborasi yang diharapkan sebagaimana adalah posisi ditengah

dimana terjadi pembagian tugas dan tanggungjawab yang berimbang antara

pemerintah dengan stakeholders lainnya. Ada negosiasi dalam mengambil

keputusan dan mengembangkan kesepakatan-kesepakatan khusus dalam

pengelolaan kawasan lindung. Manajemen kolaboratif meliputi sejumlah proses

untuk membantu membangun dan memelihara seperangkat prinsip dan praktek

yang sama-sama disetujui dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Pentingnya

pengelolaan konflik dalam kerangka manajemen kolaboratif bervariasi dari stuasi

kesituasi lain bergantung pada derajat dan skala konflik yang ada atau yang

berpotensi ada.

Kolaborasi pengelolaan Kawasan Pelestarian Alam sangat penting dalam

pelaksanaan suatu kegiatan atau penanganan suatu masalah dalam rangka

membantu meningkatkan efektivitas pengelolaan kawasan pelestarian alam

secara bersama dan sinergis oleh para pihak atas dasar kesepahaman dan

kesepakatan bersama sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Para pihak yang dimaksud adalah semua pihak yang memiliki minat, kepedulian,

atau kepentingan dengan upaya konservasi Kawasan Pelestarian Alam, antara

lain: Lembaga pemerintah pusat, Lembaga pemerintah daerah (eksekutif dan

legislatif), masyarakat setempat, LSM, BUMN, BUD, swasta nasional,

perorangan maupun masyarakat internasional, Perguruan

Tinggi/Universitas/Lembaga Pendidikan/Lembaga Ilmiah. Peran serta para pihak

meliputi kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan oleh para pihak yang timbul atas

Page 10: Tinpus Ekowisata

16

minat, kepedulian, kehendak dan atas keinginan sendiri untuk bertindak dan

membantu dalam mendukung pengelolaan Kawasan Pelestarian Alam (Dephut,

2004b).

Kassa (2009) mengemukakan setidaknya ada tujuh faktor kunci yang

menentukan keberhasilan konsep kolaborasi dalam pengelolaan Taman Nasional

Lore Lindu yaitu : (1) partipasi stakeholders, (2) negosiasi, (3) konsensus, (4)

batas teritori, (5) kejelasan hak dan tanggungjawab stakeholders, (6) pengakuan

terhadap hak lahan adat, (7) penerapan sanksi adat.

2.5. Analisis Stakeholders

Stakeholders mencakup semua aktor atau kelompok yang mempengaruhi

dan/atau dipengaruhi oleh kebijakan, keputusan dan tindakan dari sebuah proyek.

Stakeholders juga mencakup kategori yang lebih samar dari ‘generasi masa

depan’, ‘ketertarikan nasional’, dan ‘masyarakat yang lebih luas’. Stakeholders

menyajikan suatu sistem dengan tujuan, sumber dan sensitivitas yang berasal dari

mereka sendiri. Istilah lain yang digunakan untuk menggantikan istilah

‘stakeholders’ dalam bahasa sehari-hari dan perbedaan konotasi yang sangat tipis

diantaranya adalah ‘aktor’, ‘aktor kunci,’ ‘kelompok aktor’, ‘aktor sosial’, dan

‘partai’ (Groenendijk, 2003).

Menurut Reed et al. (2009), analisis stakeholders dilakukan dengan cara: (1)

Melakukan identifikasi stakeholders; (2) mengelompokkan dan membedakan

antar stakeholders; dan (3) menyelidiki hubungan antar stakeholders. Identifikasi

stakeholders merupakan proses yang dilakukan secara berulang, hingga

ditetapkan stakeholders yang benar-benar mengetahui permasalahan. Jika

pembatasan telah ditetapkan sejak awal, maka stakeholders memang dapat lebih

mudah terindetifikasi. Namun hal ini mengandung resiko bahwa beberapa

stakeholders akan terabaikan, dan tentu saja identifikasi ini tidak relevan lagi.

Menurut Colfer et al. (1999) untuk mengidentifikasi stakeholders dilakukan

melalui pemberian skor 1 (tinggi), 2 (sedang), dan 3 (rendah) terhadap dimensi

antara lain kedekatan dengan kawasan, hak-hak yang sudah ada, ketergantungan,

kemiskinan, pengetahuan lokal, dan intergrasi budaya.

Setelah para stakeholders terindetifikasi, maka langkah selanjutnya yaitu

mengelompokkan dan membedakan antar stakeholders. Menurut Eden dan

Page 11: Tinpus Ekowisata

17

Ackermann (1998) yang dikutif oleh Bryson (2004) dan Reed et al. (2009)

metode analisis yang digunakan yaitu menggunakan matriks pengaruh dan

kepentingan dengan mengklasifikasikan stakeholder ke dalam Key players,

context setters, subjects, dan crowd. Pengaruh (influence) merujuk pada kekuatan

(power) yang dimiliki stakeholders untuk mengontrol proses dan hasil dari suatu

keputusan. Kepentingan (importance) merujuk pada kebutuhan stakeholders di

dalam pencapaian output dan tujuan (Reed et al. 2009).

Key player merupakan stakeholders yang aktif karena mereka mempunyai

kepentingan dan pengaruh yang tinggi terhadap pengembangan suatu proyek.

Context setter memiliki pengaruh yang tinggi tetapi sedikit kepentingan. Oleh

karena itu, mereka dapat menjadi resiko yang signifikan untuk harus dipantau.

Subjects memiliki kepentingan yang tinggi tetapi pengaruhnya rendah dan

walaupun mereka mendukung kegiatan, kapasistasnya terhadap dampak mungkin

tidak ada. Namun mereka dapat menjadi pengaruh jika membentuk aliansi dengan

stakeholders lainnya. Crowd merupakan stakeholders yang memiliki sedikit

kepentingan dan pengaruh terhadap hasil yang diinginkan dan hal ini menjadi

pertimbangan untuk mengikutsertakannya dalam pengambilan keputusan.

Pengaruh dan kepentingan akan mengalami perubahan dari waktu ke waktu,

sehingga perlu menjadi bahan pertimbangan.

Penyusunan matriks pengaruh dan kepentingan dilakukan atas dasar pada

deskripsi pertanyaan responden yang dinyatakan dalam ukuran kuantitatif (skor)

dan selanjutnya dikelompokkan menurut krieteria. Analisis stakeholders

dilakukan dengan penafsiran matriks kepentingan dan pengaruh stakeholders

terhadap pengembangan ekowisata di TNTC dengan menggunakan stakeholders

grid dengan bantuan microssoft Excel. Untuk menentukan angka pada setiap

indikatornya, kemudian disandingkan sehingga membentuk koordinat.

Penyelidikan hubungan antara stakeholders secara deskriftip digambarkan

kedalam matriks actor-linkage. Stakeholders yang terindetifikasi ditulis dalam

baris dan kolom tabel yang menggambarkan hubungan antar stakeholders. Kata

kunci yang digunakan untuk menggambarkan hubungan ini yaitu berkonflik,

saling mengisi atau bekerjasama (Reed et al. 2009).

Page 12: Tinpus Ekowisata

18

2.6. Analisis Kebijakan

Kebijakan merupakan serangkaian kegiatan/tindakan yang diusulkan

seseorang, kelompok atau pemerintah agar dapat mencapai tujuan yang dimaksud

(Carl F, 1969:79 dalam Agustino L, 2008). Menurut Dunn (2003), analisis

kebijakan (Policy Analisys) adalah disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan

berbagai metode pengkajian multiple dalam konteks argumentasi dan debat politik

untuk menciptakan secara kritis menilai dan mengkomunikasikan pengetahuan

yang relevan dengan kebijakan dalam satu atau lebih tahapan proses pembuatan

kebijakan. Analisis kebijakan dilakukan untuk menciptakan secara kritis penilaian

dan mengkomunikasikan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan dalam satu

atau lebih tahapan proses pembuatan kebijakan. Analisis kebijakan dapat juga

didefinisikan sebagai pengkomunikasian, atau penciptaan dan penilaian kritis,

pengetahuan yang relevan dengan kebijakan.

Dalam analisis kebijakan, prosedur umumnya yaitu (1) pemantauan, (2)

peramalan (prediksi), (3) evaluasi, (4) rekomendasi (preskripsi), dan (5)

perumusan masalah. Proses analisis kebijakan merupakan serangkaian aktifitas

intelektual yang dilakukan dalam proses kegiatan yang pada dasarnya bersifat

politis. Aktivitas politis tersebut sering sebagai proses pembuatan kebijakan dan

divisualisasi sebagai serangkaian tahap yang saling bergantung yang diatur

menurut urutan waktu penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan,

implementasi kebijakan, dan penilaian kebijakan. Analisis kebijakan dapat

menghasilakan informasi yang relevan dengan kebijakan pada suatu, beberapa

atau seluruh tahapan dari proses kebijakan, tergantung pada tipe masalah yang

dihadapi dalam sebuah permasalahan.

Keberhasilan kebijakan sangat ditentukan oleh sumberdaya manusia,

institusi, dan organisasi yang juga harus memiliki kemampuan untuk melakukan

rekayasa ulang. Menurut Person (1995), dalam model proses suatu penetapan

kebijakan dapat dikaji dari input dan output. Faktor-faktor input terdiri dari

persepsi, organisasi, tuntutan, dukungan dan keluhan. Unsur kebijakan antara lain

adalah regulasi, distribusi, redistribusi, kapitalisasi dan nilai-nilai etika. Outputnya

antara lain adalah aplikasi, penegakan hukum, interpretasi, evaluasi, legitimasi,

modifikasi, penyesuaian, dan penarikan diri atau pengingkaran.

Page 13: Tinpus Ekowisata

19

Ilmu kebijakan dibangun untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat

melalui perannya dalam upaya meningkatkan kualitas keputusan, yang diperoleh

dari proses perumusan tujuan kebijakan, mengenali permasalahan kebijakan, dan

mencari jalan pemecahan masalah kebijakan. Pengetahuan analisis kebijakan

berkembang pesat, apabila: 1) Terjadi keterpaduan antara praktisi dan akademisi

atas dasar pengalaman, hasil-hasil renungan, dan hasil-hasil penelitian, 2)

Menyatukan peranan sistem nilai kedalam studi kebijakan, 3) Peningkatan

kualitas proses refleksi dan pengambilan keputusan, 4) Kemampuan mengaitkan

berbagai bidang kajian dengan praktik kebijakan, 5) Kemampuan membuat

kerangka permasalahan kebijakan, 6) Kemampuan meningkatkan kredibilitas

pelaksana studi kebijakan (Eriyatno, 1989).

Analisis kebijakan publik bertujuan memberikan rekomendasi untuk

membantu para pembuat kebijakan dalam upaya memecahkan masalah-masalah

publik. Di dalam analisis kebijakan publik terdapat informasi-informasi berkaitan

dengan masalah-masalah publik serta argumen-argumen tentang berbagai

alternatif kebijakan, sebagai bahan pertimbangan atau masukan kepada pihak

pembuat kebijakan.

Analisis kebijakan publik berdasarkan kajian kebijakannya dapat dibedakan

antara analisis kebijakan sebelum adanya kebijakan publik tertentu dan sesudah

adanya kebijakan publik tertentu. Analisis kebijakan sebelum adanya kebijakan

publik berpijak pada permasalahan publik semata sehingga hasilnya benar-benar

sebuah rekomendasi kebijakan publik yang baru. Keduanya baik analisis

kebijakan sebelum maupun sesudah adanya kebijakan mempunyai tujuan yang

sama yakni memberikan rekomendasi kebijakan kepada penentu kebijakan agar

didapat kebijakan yang lebih berkualitas. Dunn (2003) membedakan tiga bentuk

utama analisis kebijakan publik, yaitu:

1. Analisis kebijakan prospektif yang berupa produksi dan transformasi

informasi sebelum aksi kebijakan dimulai dan diimplementasikan. Analisis

kebijakan disini merupakan suatu alat untuk mensintesakan informasi untuk

dipakai dalam merumuskan alternatif dan preferensi kebijakan yang

dinyatakan secara komparatif, diramalkan dalam bahasa kuantitatif dan

Page 14: Tinpus Ekowisata

20

kualitatif sebagai landasan atau penuntun dalam pengambilan keputusan

kebijakan.

2. Analisis Kebijakan Retrospektif adalah sebagai penciptaan dan transformasi

informasi sesudah aksi kebijakan dilakukan. Terdapat 3 tipe analis

berdasarkan kegiatan yang dikembangkan oleh kelompok analis ini yakni

analisis yang berorientasi pada disiplin, analisis yang berorientasi pada

masalah dan analis yang berorientasi pada aplikasi. Tentu saja ketiga tipe

analisis retrospektif ini terdapat kelebihan dan kelemahan.

3. Analisis kebijakan yang terintegrasi merupakan bentuk analisis yang

mengkombinasikan gaya operasi para praktisi yang menaruh perhatian pada

penciptaan dan transformasi informasi sebelum dan sesudah tindakan

kebijakan diambil. Analisis kebijakan yang terintegrasi tidak hanya

mengharuskan para analis untuk mengkaitkan tahap penyelidikan retrospektif

dan perspektif, tetapi juga menuntut para analis untuk terus menerus

menghasilkan dan mentransformasikan informasi setiap saat.