memahami adatdigilib.unimed.ac.id/35444/1/memahami adat perkawinan...adat perkawinan di simalungun....

39

Upload: others

Post on 28-Feb-2021

22 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Memahami adatdigilib.unimed.ac.id/35444/1/Memahami Adat Perkawinan...adat perkawinan di Simalungun. Menurut editor, naskah ini menjadi salah satu tulisan terbaik yang membahas tentang
Page 2: Memahami adatdigilib.unimed.ac.id/35444/1/Memahami Adat Perkawinan...adat perkawinan di Simalungun. Menurut editor, naskah ini menjadi salah satu tulisan terbaik yang membahas tentang

Memahami adat

PERKAWINAN SIMALUNGUN: Pinaikkat, Naniasokan, & Marlualua

serta Implikasi Sosialnya

Page 3: Memahami adatdigilib.unimed.ac.id/35444/1/Memahami Adat Perkawinan...adat perkawinan di Simalungun. Menurut editor, naskah ini menjadi salah satu tulisan terbaik yang membahas tentang
Page 4: Memahami adatdigilib.unimed.ac.id/35444/1/Memahami Adat Perkawinan...adat perkawinan di Simalungun. Menurut editor, naskah ini menjadi salah satu tulisan terbaik yang membahas tentang

Ketentuan hukum adat

Simalungun mengharuskan

perkawinan dilakukan ideal

melalui ‘adat pinaikkat’

(diberangkatkan dengan

baik) bagi ‘palahou boru’

(mengawinkan perempuan).

Peresmian perkawinan

(pamasumasuon

partongahjabuon)

dilakukan dengan ‘adat

Marpanayok’ yakni

penyematan bulang,

rudang saidangan & boras

tenger yang dilakukan

calon mertuanya di

kediaman laki-laki calon

suaminya (pargotongni).

Kemudian, seorang laki-laki

berkewajiban melalukan

‘adat parunjukon’

(meresmikan seorang

perempuan menjadi

istrinya).

Keberangkatan perempuan ke ‘rumah baru-nya’ (panlakkah ni boru laho hu

jabu-ni) sebagai ‘inang na bayu’ (ibu yang baru) di kediaman laki-laki,

yakni sebagai istri (sinrumah) dari suaminya (pargotongni), atau menjadi

menantu (parumaen) dari mertuanya (simatuani), sesuai ketentuan adat

Simalungun, dikategori pada tiga ketentuan adat yakni: (i) Pinaikkat,

(ii) Naniasokan, dan (iii) Marlualua.

Mansen Purba

Page 5: Memahami adatdigilib.unimed.ac.id/35444/1/Memahami Adat Perkawinan...adat perkawinan di Simalungun. Menurut editor, naskah ini menjadi salah satu tulisan terbaik yang membahas tentang
Page 6: Memahami adatdigilib.unimed.ac.id/35444/1/Memahami Adat Perkawinan...adat perkawinan di Simalungun. Menurut editor, naskah ini menjadi salah satu tulisan terbaik yang membahas tentang

Erond L. Damanik

(Editor & Pendahuluan)

Memahami adat

PERKAWINAN SIMALUNGUN: Pinaikkat, Naniasokan, & Marlualua

serta Implikasi Sosialnya

Mansen Purba

(Penulis)

Simetri Institute

Medan

2019

Page 7: Memahami adatdigilib.unimed.ac.id/35444/1/Memahami Adat Perkawinan...adat perkawinan di Simalungun. Menurut editor, naskah ini menjadi salah satu tulisan terbaik yang membahas tentang

Sanksi Pelanggaran Pasal 72

Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta

(1) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan

sebagaimana di maksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat

(2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu)

bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000.00 (satu juta rupiah), atau

pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.

5.000.000.000 (lima milyar rupiah).

(2) Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau

menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak

Cipta atau Hak Terkait dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan penjara

paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000

(lima ratus juta rupiah)

Page 8: Memahami adatdigilib.unimed.ac.id/35444/1/Memahami Adat Perkawinan...adat perkawinan di Simalungun. Menurut editor, naskah ini menjadi salah satu tulisan terbaik yang membahas tentang

Peta Afdeeling Simalungun, 1917

Sumber: Juandaha Raya P. Dasuha

Peta Kabupaten Simalungun, 2019

Provinsi Sumatera Utara

Page 9: Memahami adatdigilib.unimed.ac.id/35444/1/Memahami Adat Perkawinan...adat perkawinan di Simalungun. Menurut editor, naskah ini menjadi salah satu tulisan terbaik yang membahas tentang

Memahami Adat Perkawinan Simalungun:

Pinaikkat, Naniasokan, & Marlualua serta Implikasi Sosialnya

@ Mansen Purba/penulis

@Erond L. Damanik/editor & pendahuluan

cetakan pertama 1984 (edisi bahasa Simalungun)

cetakan kedua 2019 (edisi bahasa Indonesia)

Palatino linotype, size 11 (14,9 x 21 Cm), 240 halaman

ISBN: 978-623-7300-02-1

hak cipta 1984 pada penulis @ Mansen Purba

diterbitkan pertama sekali oleh Komite Bina Budaya Simalungun

Judul asli: ‘Pangarusion pasal adat Perkawinan Simalungun’

Dilarang mengutip sebahagian atau seluruh isi buku ini dengan cara

apapun termasuk dengan cara penggunaan mesin fotokopi atau

mengalihkan menjadi e-book tanpa seizin sah dari penerbit.

desain sampul & layout: Tim Simetri Institute

editor dan penterjemah: Erond L. Damanik

edisi bahasa Indonesia diterbitkan Simetri Institute, Medan-20225-

Sumatera Utara; e-mail: [email protected]

dicetak Sigma Printshop, Yogyakarta

isi diluar tanggungjawab percetakan

Page 10: Memahami adatdigilib.unimed.ac.id/35444/1/Memahami Adat Perkawinan...adat perkawinan di Simalungun. Menurut editor, naskah ini menjadi salah satu tulisan terbaik yang membahas tentang

i

Pengantar penerbit

uku yang Anda pegang dan baca ini adalah edisi terbit

ulang tahun 2019 dari edisi aslinya berbahasa

Simalungun yang terbit pertamakali tahun 1984 dengan

judul: ‚Pangarusion pasal Adat Perkawinan Simalungun‛.

Buku ini ditulis oleh Mansen Purba dengan latarbelakang

Sarjana Hukum (SH) sehingga tidak mengherankan apabila

paradigmanya beranjak dari perspektif hukum adat guna

mendeskripsikan tentang perkawinan bagi orang Simalungun.

Itulah sebabnya, pemaparan dalam buku ini lebih

memfokuskan diri pada hubungan kausal (sebab-akibat)

berupa munculnya hukum adat (istiadat) perkawinan bagi

orang Simalungun berikut implikasi sosialnya.

Buku ini dapat diterbitkan ulang setelah mengalami

perdebatan panjang antara penerbit dan penterjemah

merangkap editor sekaligus yang memberikan pendahuluan

pada naskah ini, yakni Saudara Erond L. Damanik. pada

awalnya, dengan berat hati, pengajar di Universitas Negeri

Medan ini menjelaskan kesulitan penterjemahan ke dalam

bahasa Indonesia apalagi beliau bukan sarjana bahasa. Itulah

sebabnya, proses penterjemahan naskah ini memakan waktu

kurang lebih 2 (dua) bulan. Pada bagian-bagian tertentu di

naskah ini, penterjemah berupaya menyadurnya menjadi

semacam frasa karena kesulitan mengalihbahasakannya dari

Bahasa Simalungun. ia juga menambahkan penjelasan untuk

memperkuat pendapat pada naskah aslinya. Terdapat juga

beberapa catatan kaki sebagai penguat terhadap pernyataan

penulisnya. Keseluruhan upaya ini diperbuat untuk

B

Page 11: Memahami adatdigilib.unimed.ac.id/35444/1/Memahami Adat Perkawinan...adat perkawinan di Simalungun. Menurut editor, naskah ini menjadi salah satu tulisan terbaik yang membahas tentang

ii

menambah daya nalar pembaca pada fokus bahasan tentang

adat perkawinan di Simalungun.

Menurut editor, naskah ini menjadi salah satu tulisan

terbaik yang membahas tentang adat perkawinan di

Simalungun. Pendapat ini pula yang mendorong kami untuk

segera mengupayakan penerbitan buku ini dalam bahasa

Indonesia sehingga kaum terdidik, generasi muda, dan

pemerhati budaya Simalungun dapat menikmatinya dengan

baik. Demikian pula buku ini diharapkan dapat menjadi

referensi bagi sebagian orang Simalungun yang kurang

memahami Bahasa Simalungun.

Buku ini sangat layak sebagai referensi akademik. Buku ini

disusun oleh penulisnya melalui pemahaman yang mendalam

terhadap adat perkawinan di Simalungun. Pengalaman dan

pengetahuan itulah yang menuntun penulisnya untuk

menyatukan tulisan-tulisan berserakan menjadi satu naskah

utuh yang diberi judul: ‘Pangarusion pasal Adat Perkawinan

Simalungun’. Metodenya menggunakan etnografi dengan

paradigma hukum adat sehingga buku ini sangat layak

dijadikan sebagai bahan bacaan bagi mahasiswa, pengajar,

orang Simalungun maupun penikmat budaya di manapun

berada. Semoga!

Medan, pertengahan Juni 2019

Penerbit

Page 12: Memahami adatdigilib.unimed.ac.id/35444/1/Memahami Adat Perkawinan...adat perkawinan di Simalungun. Menurut editor, naskah ini menjadi salah satu tulisan terbaik yang membahas tentang

iii

Kata Pengantar

ejak lama sudah ada keinginan dari banyak orang

Simalungun yang menginginkan adanya buku

(referensi) menyoal pemahaman tentang Adat

Perkawinan menurut dan/atau bagi orang Simalungun. Buku

dimaksud ‘diharapkan’ dapat menjadi semacam pedoman

(semacam Standard Operasional Prosedur) bagi orang

Simalungun yang akan menikah. Tidak mungkin lagi

berharap pada yang lazim terjadi selama ini, ataupun belajar

dan mengalami dari dalam berdasarkan kebiasaan-kebiasaan

umum sewaktu kerja adat (horja adat). Tentulah, terdapat

kesulitan luar biasa apabila hanya ikut-ikutan saja sewaktu

terdapat kerja adat sebab menimbulkan rasa sungkan untuk

bertanya pada sesuatu hal yang tidak dimengerti sama sekali.

Demikian pula terasa sulit menentukan yang semestinya dan

yang mana pula yang bukan semestinya. Seringkali, pekerjaan

adat dilakukan tanpa ada pembeda (mardosdos) yang tampak.

Dengan adanya buku kecil ini, diharapkan dapat

memenuhi sebagian hasrat ataupun keinginan dari seluruh

keinginan dan hasrat yang pernah ada itu. Walaupun terasa

sulit menjadi acuan umum yakni sebagai referensi standard

adat perkawinan bagi keseluruhan orang Simalungun namun

keberadaan buku ini dapat dijadikan sebagai pelengkap

referensinya. Setidaknya, dapat dijadikan sebagai permulaan

percakapan dan musyawarah (parsahapan bani panriahan)

sewaktu memulai pekerjaan adat.

Bagi sebagian orang yang berkeinginan menjadi ahli

(expert) adat, tentulah buku ini tidak memberi banyak

manfaat. Isi (content) buku ini lebih diupayakan sebagai bahan

S

Page 13: Memahami adatdigilib.unimed.ac.id/35444/1/Memahami Adat Perkawinan...adat perkawinan di Simalungun. Menurut editor, naskah ini menjadi salah satu tulisan terbaik yang membahas tentang

iv

bacaan bagi banyak orang yang ingin melakukan pekerjaan

adat daripada menjadi ahli adat. Itulah sebabnya buku ini

tidak memiliki kelebihan daripada buku lainnya--soal

perkawinan adat Simalungun--yang pernah ada.

Kelebihannya hanyalah bahwa isi buku ini lebih banyak

menyuguhkan deskripsi tentang arti dan makna pekerjaan-

pekerjaan adat serta istiadat yang harus dilakukan. Kelihatan,

ada begitu banyak keinginan banyak orang untuk melakukan

pekerjaan adat namun cenderung dilakukan sembarang saja

tanpa mengetahui apa yang dilakukannya itu. Selain itu,

perkerjaan adat ini dilakukan untuk sekedar pamer kekayaan

dan kehormatan saja. Kecenderungan ini menjadi dasar

terpinggirkannya atau terabaikannya hakekat, arti dan makna

adat perkawinan yang sesungguhnya. Berdasar pada

kenyataan inilah maka buku ini diberi judul ‚Memahami Adat

Perkawinan Simalungun‛ (Pangarusion pasal Adat Perkawinan

Simalungun).

Pada saat kita membaca buku ini, kita akan menemukan

semacam kumpulan karangan (bunga rampai) yang disusun

menjadi satu naskah buku. Cara ini dipilih karena

ketidaktercukupan waktu untuk menyusunnya kembali.

Sebenarnya, pernyataan ini hanyalah alasan terhadap apa

yang telah diungkapkan dan dituliskan pada naskah ini sebab

telah banyak oranglain yang mengungkapkannya (pada

waktu Seminar maupun Majalan Bulanan). Isi buku ini

tidaklah seluruhnya berasal dari naskah yang pernah

diterbitkan, hanya sebagian saja yakni bagian yang dirasakan

cukup urgen dan signifikan.

Sebelum pengantar (buha sahap) ini diakhiri, terlebih dahulu

dijelaskan beberapa hal pokok yang dianggap sebagai dasar

menuliskan naskah ini. Tidak dapat dipungkiri bahwa dari

Page 14: Memahami adatdigilib.unimed.ac.id/35444/1/Memahami Adat Perkawinan...adat perkawinan di Simalungun. Menurut editor, naskah ini menjadi salah satu tulisan terbaik yang membahas tentang

v

banyak adat Simalungun di jaman dahulu, hanya adat

perkawinan (partongahjabuan) saja yang terus dihidupkan

orang Simalungun hingga dewasa ini. Kenyataan seperti ini

tidak terlepas dari Politik Nasional yang terjadi di seluruh

Indonesia. Sebagian besar telah diadopsi menjadi Hukum

Nasional seperti Hukum Tanah, Hukum Waris, Hukum

Perserikatan (berorganisasi), Hukum Administrasi dan lain-

lain. Hanya ‘hukum keluarga’ yang diberikan keleluasaan

sesuai dengan adat (istiadat) yang diwarisinya.

Seperti kita ketahui, kebudayaan menjadi identitas dari

suatu daerah termasuk etnik. Selama masih hidup dan terus

dikembangkan kebudayaan itu, selama itu pulalah ia dikenal.

Bagi kita etnik Simalungun, hanya faktor kebudayaan menjadi

pengikat (pemersatu) yakni menunjukkan sebagai orang

Simalungun. Dari segi kewilayahan atau tempat (parianan)

telah dibagi-bagi menjadi daerah kekuasaan dan administrasi

negara. Salah satu atribut kebudayaan yang disebutkan

terdahulu adalah adat perkawinan (partongahjabuan).

Mungkin saja terdapat pikiran atau pertanyaan dalam diri

kita tentang keharusan menjalankan adat sewaktu perkawinan

putra (paunjuk anak) atau perkawinan putri (palahou boru).

Alasannya ialah adanya keinginan untuk menunjukkan

identitas sebagai orang Simalungun. Keinginan ini patut

diapresiasi dan disanjung karena tidak mengurangi keinginan

sebagai bagian dari identitas Nasional Indonesia. Namun, kita

mesti cermat. Jika kita benar-benar berkeinginan

menunjukkan identitas Simalungun, maka seharusnya

diperlakukan sesuai aturan semestinya bahwa adat

perkawinan Simalungun berbeda dengan adat perkawinan

lainnya. Seumpama adat kita sudah lebih original dan dikenal

(samou), tentulah identitas kitapun semakin dikenal.

Page 15: Memahami adatdigilib.unimed.ac.id/35444/1/Memahami Adat Perkawinan...adat perkawinan di Simalungun. Menurut editor, naskah ini menjadi salah satu tulisan terbaik yang membahas tentang

vi

Walaupun banyak orang mencari persamaan adat perkawinan

Simalungun dengan etnik lain, tetapi janganlah pencaharian

itu menyebabkan hilangnya identitas kita.

Masih terdapat persoalan lain yang mesti kita pikirkan

pada saat melakukan pekerjaan adat terutama menyoal adat

perkawinan. Persoalan ini adalah keinginan untuk dapat

masuk dalam keramaian adat (loulouan adat) serta

mengeratkan hubungan kekerabatan dan kekeluargaan

(pardiha-dihaon). Keinginan ini adalah cukup baik karena turut

membantu mendekatkan diri pada persatuan kita (hasadaonta).

Hal ini disebabkan oleh faktor kekeluargaan menjadi cara

memperluas Simalungun.

Melalui pembacaan terhadap buku ini, kiranya cukup jelas

bahwa hanya melalui adat perkawinan-lah kita dapat masuk

pada keramaian adat. Kenyataan ini terjadi sebab perkawinan

bagi orang Simalungun bukanlah semata-mata menyatukan

seorang putra (parana) dan putri (panakboru) tetapi sekaligus

menyatukan keseluruhan keluarga dan kerabat pihak putra

dan putri yang menikah. Seperti kata pepatah Simalungun

‚siganda-sigandua, urat ni podom-podom, na sada gabe dua, na tolu

gabe onom‛ [siganda-sugandua, akar dari podom-podom, yang satu

menjadi dua, yang tiga menjadi enam].

Akhir dari pengantar ini, terimakasih (diatei tupa)

disampaikan kepada ipar (lawei) Saden Saragih Sumbayak

yang telah menyediakan waktunya untuk berdiskusi tentang

narasi naskah ini sebelum diterbitkan. Demikian pula kepada

Samuel Purba yang bersedia memulai percakapan untuk

memperdalam (pasaksakkon) isi buku in sejak permulaan

menyusun hingga penerbitannya. Apresiasi dan terimakasih

turut disampaikan kepada Tarianus Sigumonrong yakni sosok

pertama yang memberi bekal bagi saya untuk tekun belajar

Page 16: Memahami adatdigilib.unimed.ac.id/35444/1/Memahami Adat Perkawinan...adat perkawinan di Simalungun. Menurut editor, naskah ini menjadi salah satu tulisan terbaik yang membahas tentang

vii

adat Simalungun. Tidak lupa, kata terimakasih disampaikan

kepada orang Simalungun yang disebut sebagai tempat

bertanya tentang adat (panukkunan adat), yang tidak disangka

ternyata memiliki kemampuan penjelasan adat sewaktu

menyusun naskah ini. Apresiasi yang sama disampaikan

kepada berbagai pihak yang menyelenggarakan adat selama

ini sebagai materi dalam menyusun naskah ini. Mereka ini

bukan sekedar sarana mengumpulkan pengetahuan tetapi

juga dijadikan sebagai bahan perenungan (parsujian)

pengetahuan.

Tidak lupa, apresiasi dan terimakasih disampaikan kepada

ipar (lawei) Rasyiman Saragih Sumbayak (Percetakan Tapian

Raya) yang melihat urgensi dan siginifikansi buku ini bagi

orang Simalungun, sehingga bersedia memampukan diri

mendahulukan pembiayaan pencetakan naskah ini. Demikian

ucapan terimakasih disampaikan kepada Guru Lambert

Sinaga yang bersedia menyediakan waktu dan pikirannya

mempersiapkan sketsa atau peraga sehingga tersedia gambar

yang disisipkan (insert) dalam buku ini. Kepada pembaca,

harapan saya agar meluangkan waktunya untuk membaca

dan mengkritisi buku kecil ini sehingga memungkinkan revisi

(perbaikan) pada kekurangannya. Kiranya, karena pembacaan

kita terhadap buku ini sehingga berguna bagi kita orang

Simalungun, ataupun bagi kalangan yang berminat

memahami tentang adat perkawinan Simalungun.

Medan, April 1984

Mansen Purba

Page 17: Memahami adatdigilib.unimed.ac.id/35444/1/Memahami Adat Perkawinan...adat perkawinan di Simalungun. Menurut editor, naskah ini menjadi salah satu tulisan terbaik yang membahas tentang

viii

Page 18: Memahami adatdigilib.unimed.ac.id/35444/1/Memahami Adat Perkawinan...adat perkawinan di Simalungun. Menurut editor, naskah ini menjadi salah satu tulisan terbaik yang membahas tentang

ix

Daftar Isi

Pengantar penerbit .................................................................... i

Kata pengantar ......................................................................... iii

Daftar isi ................................................................................... ix

Daftar gambar .......................................................................... xi

Daftar lampiran ....................................................................... xii

Pendahuluan (Erond L. Damanik) .......................................... xiii

Bab I Memahami adat perkawinan Simalungun .............. 1

Bab II Adat mengawinkan Laki-laki (paunjuk anak) ......... 21

Bab III Tata kerja adat mengawinkan laki-laki .................. 29

A. Kerja adat sebelum perkawinan ....................... 29

1. Mengikat percakapan (tanda hata) ............... 29

2. Peneguhan janji (indahan pakkombari) .......... 33

3. Pemberitahun ke paman ............................. 34

4. Meminang (pajabu parsahapan) ..................... 35

5. Mufakat keluarga inti (riahtongah jabu) ....... 44

6. Penguatan janji (manggong/pudun saud) ...... 47

7. Penjemputan perempuan (maralob) ............. 47

B. Kerja adat perkawinan (paroh ni boru) .............. 59

C. Kerja adat setelah perkawinan ......................... 64

1. Menerima pemberian panuppaki .................. 64

2. Mengantar makanan empat malam ............ 67

3. Memenuhi rasa rindu (paulag limbas) .......... 69

4. Bertandang ke rumah paman ...................... 71

Bab IV Adat mengawinkan perempuan ............................. 75

Bab V Tata kerja adat mengawinkan perempuan ............ 85

Menjemput tanda mufakat (tanda hata) ............ 86

Menjemput parhombaran .................................... 87

Menjemput pinangan (pajabu parsahapan) ........ 88

Page 19: Memahami adatdigilib.unimed.ac.id/35444/1/Memahami Adat Perkawinan...adat perkawinan di Simalungun. Menurut editor, naskah ini menjadi salah satu tulisan terbaik yang membahas tentang

x

Rencana penjemputan (manggong) ................... 92

Memohon berkat (mamuhun) ............................ 92

Memberi makan calon pengantin ..................... 93

Menjemput bantuan kerabat (riahtongah jabu) . 93

Menerima penjemputan (paralob) ..................... 95

Menjemput pendamping (pakkasomanini) ...... 100

Menjemput makanan empat malam .............. 100

Menjemput rindu (paulag limbas) .................... 102

Bab VI Adat Perkawinan Naniasokan ................................ 105

Bab VII Adat Perkawinan Marlualua (Kawin lari) ............ 115

Bab VIII Menggenapi kewajiban adat (Mangadati) ............. 125

Bab IX Ketentuan adat terhadap parunjukon .................... 137

A. Saudara (Sanina) .............................................. 139

B. Pemberi istri (Tondong) .................................... 145

C. Penerima pengantin perempuan (Boru) ......... 153

D. Kerabat dan handaitolan (hade-hade) .............. 159

Bab X Kedudukan adat yang telah menikah .................. 163

Bab XI Perkawinan yang bukan adat ............................... 171

A. Perkawinan incest (mardawan begu) ................ 173

B. Perkawinan kumpul kebo (maruhur bai) ........ 174

Glosarium ............................................................................... 179

Lampiran ................................................................................ 195

Tentang penulis...................................................................... 201

Tentang editor ........................................................................ 203

Page 20: Memahami adatdigilib.unimed.ac.id/35444/1/Memahami Adat Perkawinan...adat perkawinan di Simalungun. Menurut editor, naskah ini menjadi salah satu tulisan terbaik yang membahas tentang

xi

Daftar Gambar

Gambar 1 Pengantin Simalungun mengenakan bulang &

gotong pada adat Marpanayog, peresmian

Pamasumasuon partongahjabuan .............................. 19

Gambar 2 Penyematan Boras Tenger (Sejemput Beras)

pada pengantin Adat Marpanayog, peresmian

Pamasumasuon Partongahjabuan .............................. 20

Gambar 3 Mambulangi dan Manggotongi pada adat

Marpanayog, peresmian pamasumasuon

partongahjabuan di Simalungun.............................. 28

Gambar 4 Menuntun pengantin ke rumah pasca

penyematan bulang & gotong adat marpanayog

pamasumasuon partongahjabuan ........................... 104

Gambar 5 Menjemput indahan dapotan partongahjabuan

adat marpanayog etnik Simalungun ..................... 104

Gambar 6 Sketsa keberangkatan perempuan ke rumahnya

(marhajabuan) adat Pinaikkat, Naniasokan &

Marlualua ............................................................... 111

Gambar 7 Pengantin pada adat paunjuk anak,

peresmian pamasumasuon partongahjabuon .......... 112

Gambar 8 Penyuguhan Dayok Binatur (gulai ayam yang

disusun di pinggan) pada adat Simalungun ...... 112

Gambar 9 Tinombu (tombuan), penganan adat pada

Marhajabuan dan Marujunggoluh

Sayur Matua di Simalungun ................................. 113

Gambar 10 Nitak Siangsiang, penganan pada setiap

kerja adat Sukacita (malas ni uhur) di

Simalungun .......................................................... 114

Gambar 11 Demban (sirih), media adat di Simalungun........ 134

Gambar 12 Dayok Binatur, media adat di Simalungun ......... 135

Page 21: Memahami adatdigilib.unimed.ac.id/35444/1/Memahami Adat Perkawinan...adat perkawinan di Simalungun. Menurut editor, naskah ini menjadi salah satu tulisan terbaik yang membahas tentang

xii

Daftar Lampiran

Lamp. 1 Tata kerja adat Pinaikkat Palahou Boru ...................... 197

Lamp. 2 Tata kerja adat pinaikkat Paunjuk Anak...................... 198

Lamp. 3 Tata kerja perkawinan adat Naniasokan.................... 199

Lamp. 4 Tata kerja adat Marlualua .......................................... 200

Page 22: Memahami adatdigilib.unimed.ac.id/35444/1/Memahami Adat Perkawinan...adat perkawinan di Simalungun. Menurut editor, naskah ini menjadi salah satu tulisan terbaik yang membahas tentang

xiii

Pendahuluan

Marpanayog & Marunjuk:

Inti pokok adat perkawinan bagi dan menurut

orang Simalungun

oleh:

Erond L. Damanik

Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial

Universitas Negeri Medan

1. Pengantar

ertama-tama, kami (editor) harus mengapresiasi tulisan

Bapak Mansen Purba tentang Pemahaman Adat

Perkawinan Orang Simalungun (pangarusion pasal Adat

Perkawinan Simalungun) yang terbit pertama kali dalam Bahasa

Simalungun tahun 1984. Apresiasi ini dilontarkan bukan

karena indahnya susunan kalimat yang dipergunakan

ataupun karena ditulis dalam Bahasa Simalungun. Namun,

lebih kepada penjelasannya yang lebih masuk akal perihal

P

Page 23: Memahami adatdigilib.unimed.ac.id/35444/1/Memahami Adat Perkawinan...adat perkawinan di Simalungun. Menurut editor, naskah ini menjadi salah satu tulisan terbaik yang membahas tentang

xiv

munculnya adat yang mengatur tentang perkawinan (adat

marhajabuan) menurut orang Simalungun.

Sepanjang yang kami ketahui dari pembacaan terhadap

sejumlah literatur tentang adat perkawinan bagi orang

Simalungun, penjelasan buku inilah yang cukup masuk akal

dan lagi memuaskan. Namun demikian, walaupun

menjelaskan tentang ‘adat perkawinan’ di Simalungun, buku

ini kurang tepat dianggap sebagai ‘semacam manual

prosedur’ atau tata cara tentang pelaksanaan adat

perkawinan. Tentulah sangat berbeda antara apa yang disebut

dengan ‘pangarusion pasal adat perkawinan’ (pemahaman

tentang adat perkawinan) dan prosedur pelaksanaan adat

perkawinan.

Konsepsi yang pertama lebih menekankan pada

munculnya adat yang memuat ketentuan dan mengatur

tentang perkawinan. Walaupun di dalamnya terdapat

rangkaian ritual (upacara) adat yang mesti dilakukan pada

saat perkawinan, tetapi penjelasan itu lebih mengarap pada

hubungan kausal (sebab akibat) yakni mengapa dan

bagaimana rangkaian ritual adat perkawinan itu harus di

lakukan. Penjelasan terkait konsepsi inilah yang melahirkan

implikasi-implikasi sosial yakni struktur sosial ‘sitolu

sahundulan, silima saodoran’ (tiga serangkai dan lima

serombongan), istilah-istilah penyebutan dalam kekerabatan

(term of addres), kedudukan sosial adat, peran sosial adat dan

tanggungjawab sosial adat. Keseluruhan komponen ini

terlahir karena adanya perkawinan yang mengikat dua

keluarga sosial (pihak paranak dan parboru) serta sitolu

sahundulan lima saodoran dari masing-masing keluarga kedua

belah pihak.

Page 24: Memahami adatdigilib.unimed.ac.id/35444/1/Memahami Adat Perkawinan...adat perkawinan di Simalungun. Menurut editor, naskah ini menjadi salah satu tulisan terbaik yang membahas tentang

xv

Konsepsi yang kedua yakni prosedur pelaksanaan

ketentuan adat mengarah pada pelaksanaan adat berupa

upacara atau ritual (horja-horja adat sibahenon) pada

perkawinan itu sendiri. Adapun yang menjadi fokus dan

lokusnya adalah penjelasan tentang rangkaian acara yang

berintikan hak dan kewajiban sosial dari keluarga inti (nuclear

family) kedua belah pihak (hasuhuton bolon paranak dan parboru)

serta peranan dari sitolu sahundulan silima saodoran dari

masing-masing kedua belah pihak. Bila-pun dewasa ini

terdapat beragam pelaksanaan adat perkawinan Simalungun,

maka yang berbeda itu adalah prosedur adatnya (akibat) dan

bukan pada penyebab adanya adat perkawinan itu (sebab).

Misalnya, adat perkawinan di sekitar Pematangraya

berbeda dengan di Sipolha, Tigaras, Haranggaol (daerah yang

berbatas dengan etnik Toba), ataupun di Silimahuta,

Saranpadang, Tambakbawang (daerah yang berbatas dengan

etnik Karo), ataupun di Bangunpurba, Kotarih, Sarbelawan

(yang berbatas dengan Melayu), ataupun di Pematangsiantar,

dan Pardagangan hingga Hutabayuraja yang menjadi daerah

percampuran multi-etnik. Perbedaan tatacara adat

perkawinan di Simalungun ini sangat dipengaruhi tiga hal:

(i) posisi Simalungun yang menjadi tetangga etnik Toba,

Karo, dan Melayu serta etnik Jawa yang hidup di

wilayah Simalungun memiliki tatacara adat

perkawinan yang berbeda-beda sehingga

mengakibatkan saling adopsi atau saling pinjam,

(ii) kawin campur (intermarriage) yang sudah kerab terjadi

dan membutuhkan ‘kombinasi adat’ dari dua keluarga

yang berbeda etnik, dan

(iii) pengaruh agama samawi yakni Islam (Melayu dan

Jawa) serta Kristen yang membutuhkan adaptasi

Page 25: Memahami adatdigilib.unimed.ac.id/35444/1/Memahami Adat Perkawinan...adat perkawinan di Simalungun. Menurut editor, naskah ini menjadi salah satu tulisan terbaik yang membahas tentang

xvi

(penyesuaian) adat ke dalam ketentuan agama-nya

masing-masing.

Penjelasan buku ini beranjak dari perspektif hukum sesuai

latar belakang penulisnya. Berdasar pada perspektif hukum

ini, ditemukan hubungan kausal (sebab-akibat) atas

munculnya suatu ketentuan adat perkawinan berikut

implikasi-implikasi sosialnya. Selain itu, penulisnya berupaya

menjelaskan kebiasaan-kebiasaan yang mengatur tentang

perkawinan di Simalungun sebelum masuknya Agama

Samawi dan Hukum Positif (Negara). Namun, sebagaimana

diakui penulisnya, ketentuan adat perkawinan Simalungun

tampaknya harus ‘takluk’ ketika masuknya agama samawi

(Islam dan Kristen) maupun hukum positif (negara).

Agama menuntut penyesuaian adat ke dalam agama

(bukan agama ke dalam adat) atau bila perlu menolaknya

sehingga merubah bentuk rekoknisi terhadap sah atau

tidaknya sebuah perkawinan. Perkawinan secara agama juga

demikian. Ada kalanya perkawinan secara agama ini

dianggap sah walaupun melanggar ketentuan adat.

Selanjutnya, perkawinan agama inipun harus mendapatkan

pengakuan negara. Karena itu, perkawinan secara agama dan

adat harus takluk kepada hukum positif (negara) dimana

perkawinan dianggap sah apabila telah didaftarkan pada

catatan sipil. Oleh karena itu, perkawinan seseorang dianggap

sah secara adat, tetapi dianggap tidak sah menurut agama

maupun negara. Sebaliknya, perkawinan catatan sipil maupun

agama cenderung dianggap sah walaupun tidak sah berdasar

ketentuan adat. Singkatnya, dewasa ini perkawinan dianggap

sah apabila memenuhi ketentuan adat, agama serta diakui

oleh negara.

Page 26: Memahami adatdigilib.unimed.ac.id/35444/1/Memahami Adat Perkawinan...adat perkawinan di Simalungun. Menurut editor, naskah ini menjadi salah satu tulisan terbaik yang membahas tentang

xvii

Penulis buku ini berupa menghadirkan narasi-narasi cerdas

tentang perkawinan yang bermula dari adanya kebiasaan

sosial berupa aturan untuk perkawinan dalam bentuk

sederhana. Kebiasaan dalam perkawinan ini menjadi embrio

lahirnya hukum adat yakni ketentuan-ketentuan yang

mengatur tentang perkawinan. Selanjutnya, hukum adat

perkawinan ini memiliki sangksi hukum adat bagi setiap

orang yang melanggar atau mengingkarinya. Apabila adat

perkawinan dilanggar, selain memiliki sangksi maka adat

masih menyisakan mekanisme sosial tersendiri untuk

mengembalikan marwah pelanggaarnya. Pelanggaran paling

kontras ialah dikenalnya perkawinan yang sama sekali tidak

mengindahkan ketentuan adat (marhajabuan na so adat) yaitu:

(i) perkawinan incest (mardawan begu) seperti incest

keluarga inti maupun incest klan (marga), dan

(ii) perkawinan ‘kumpul kebo’ atau marjabu uhuruhur

ataupun marjabu maruhur bai.

Pertologan adat pada dua pelanggaran adat paling parah ini

tidak dapat dilakukan kecuali kepada anak-anak mereka

dikemudian hari.

Adat perkawinan Simalungun seperti dijelaskan

penulisnya memiliki mekanisme tersendiri dalam mengatur

perkawinan itu untuk terwujudnya keteraturan sosial (social

order). Misalnya, ketentuan hukum adat Simalungun

mengharuskan bahwa perkawinan itu dilaksanakan secara

ideal yakni ‘adat pinaikkat’ (diberangkatkan dengan baik) bagi

‘palahou boru’ (mengawinkan perempuan) serta ‘adat

parunjukon’ (meresmikan seorang perempuan menjadi istri)

bagi ‘paunjuk anak’ (mengawinkan seorang laki-laki). Baik

keluarga pihak parboru dan paranak telah mufakat untuk

Page 27: Memahami adatdigilib.unimed.ac.id/35444/1/Memahami Adat Perkawinan...adat perkawinan di Simalungun. Menurut editor, naskah ini menjadi salah satu tulisan terbaik yang membahas tentang

xviii

melaksanakan partongahjabuan dari putra putri mereka sesuai

dengan ketentuan pinaikkat yakni melaksanakan kewajiban

adat yang lengkap (adat na gok).

Apabila ketentuan hukum adat ‘yang ideal’ tentang

perkawinan ini tidak dapat dilakukan, maka mekanisme adat

berikutnya adalah ‘adat naniasokan’. Pada ketentuan adat ini,

keluarga pihak paranak dan parboru telah mufakat untuk

menikahkan putra putrinya. Namun, karena sesuatu dan lain

hal, maka ketentuan dan kewajiban adat belum dapat

dilaksanakan secara tuntas. Peresmian perempuan sebagai

istri (sinrumah) dilakukan di kediaman laki-laki dengan

melaksanakan ‘parunjukon’. Akan tetapi, ‘keluarga baru’ dan

orangtua dari pihak paranak harus menggenapi kewajiban

adatnya pasca-perkawinan yang disebut dengan ‘menggenapi

kewajiban adat’ atau mangadati (ngunduh mantu) di kediaman

keluarga pihak perempuan. Pada adat naniasokan, keluarga

pihak parboru hadir di parunjukon di kediaman pihak paranak.

Apabila ketentuan adat yang kedua ini juga tidak dapat

dilaksanakan, maka mekanisme adat yang ketiga adalah

marlualua atau kawin lari. Faktornya mungkin beragam.

Dalam mekanisme ini, salah satu pihak keluarga kurang

menyetujui rencana perkawinan padahal putra dan putrinya

sudah sepakat berumahtangga. Dampak penolakan ini maka

seorang perempuan berangkat menemui (mangayaki) calon

suaminya (pargotongni) dengan meninggalkan partadingan di

tempat yang mudah terjangkau seperti Parborasan (tempat

beras). Kemudian, pihak paranak melakukan parunjukon di

kediamannya tanpa atau dengan dihadiri oleh keluarga pihak

parboru. Kelak, keluarga baru ini harus melakukan

penggenapan terhadap kewajiban adat kepada keluarga pihak

parboru jika seandainya telah umbuk riah (telah mufakat). Jadi,

Page 28: Memahami adatdigilib.unimed.ac.id/35444/1/Memahami Adat Perkawinan...adat perkawinan di Simalungun. Menurut editor, naskah ini menjadi salah satu tulisan terbaik yang membahas tentang

xix

perkawinan (partongahjabuan) pada orang Simalungun

dilakukan melalui tiga ketentuan adat, yakni:

(i) pinaikkat atau kemufakatan perkawinan dimana

perempuan diberangkatkan orangtuanya dengan baik

ke rumah calon suaminya dan kewajiban adat digenapi

dengan tuntas (adat na gok),

(ii) naniasokan yakni kemufakatan perkawinan dimana

perempuan diberangkatkan orangtuanya secara hati-

hati ke rumah calon suaminya dan kewajiban adat

digenapi melalui mekanisme mangadati (ngunduh

mantu), dan

(iii) marlualua atau kawin lari, yakni kurangnya

kemufakatan perkawinan dimana perempuan tidak

diberangkatkan oleh orangtuanya dengan baik menuju

rumah calon suaminya. Kewajiban adat melalui

mekanisme mangadati dapat digenapi pada waktu

ketika kemufakatan dicapai kedua belah pihak.

Selain ketiga jenis adat perkawinan ini, maka yang lainnya

bukanlah perkawinan adat (marhajabuan na so adat) sebab

tidak memenuhi kriteria atau ketentuan adat tentang

perkawinan di Simalungun, yaitu:

(i) perkawinan incest (mardawan begu) baik incest keluarga

inti maupun incest klan,

(ii) perkawinan kumpul kebo (marjabu uhuruhur), dan

(iii) perkawinan yang direbut atau dipaksa (nanirobut)

Selain itu, perkawinan adat Simalungun tidak mengenal

adanya konsepsi atau istilah perkawinan yakni:

(i) alob dear (dijemput dengan baik) yakni keluarga paranak

menjemput dengan baik perempuan ke rumah parboru.

Page 29: Memahami adatdigilib.unimed.ac.id/35444/1/Memahami Adat Perkawinan...adat perkawinan di Simalungun. Menurut editor, naskah ini menjadi salah satu tulisan terbaik yang membahas tentang

xx

(ii) taruhon jual (antar dan jual) yakni perempuan di antar

orangtuanya untuk ‘dijual’ kepada keluarga pihak laki-

laki, dan

(iii) marlualua dear (kawin lari dengan baik) yakni

perkawinan yang ‘kurang direstui keluarga’ tetapi

dianggap baik sebagai solusi untuk mengawinkan

pasangan yang berencana membentuk rumahtangga

baru.

Pada penjelasan-penjelasan inilah, penulisnya (Mansen Purba)

pantas mendapatkan apresiasi karena telah memberikan

perspektif baru melihat dan memahami tentang ketentuan

(hukum) adat perkawinan bagi orang Simalungun. Namun,

buku ini masih menyisakan ruang yang kurang di bahas

secara spesifik dalam buku ini seperti ‘tobus huning’

(pernyataan penebusan pengantin perempuan kepada

orangtuanya), ‘pardalan ni suhi ni ampang’ (empat penjuru yang

memiliki kedudukan adat di Simalungun) dan lain-lain.

namun demikian, apabila dicermati secara seksama, maka

kedua hal ini sudah dijelaskan meskipun tidak disebut dengan

tobus huning ataupun suhi ni ampang.

Demikian halnya tentang percampuran adat di Simalungun

yang belum di bahas secara mendalam. Akan tetapi, naskah

ini sudah lebih memadai sebagai stimulus bagi yang ingin

memperdalam tentang adat perkawinan di Simalungun.

Kiranya, sangat jelas maksud kalimat pertama judulnya yakni

‘pangarusion’ atau ‘pemahaman’ tentang adat perkawinan bagi

Simalungun.

Page 30: Memahami adatdigilib.unimed.ac.id/35444/1/Memahami Adat Perkawinan...adat perkawinan di Simalungun. Menurut editor, naskah ini menjadi salah satu tulisan terbaik yang membahas tentang

xxi

2. Marpanayog dan Marunjuk: pokok adat perkawinan di

Simalungun

Sistem perkawinan (marriage system) orang Simalungun adalah

eksogami klan (clan excogamy) yakni ketentuan perkawinan

yang dapat dilakukan antar klan (marga) yang berbeda dan

dilarang (ditabukan) kawin sesama marga. Perkawinan

sesama anggota keluarga inti atau keluarga batih (nuclear

family) sangat dilarang karena incest (mardawan begu). Sama

halnya dengan perkawinan sesama klan (anggota klan yang

sama atau dipersamakan) yang juga dilarang (tabu) karena

mardawan begu.

Tidak satupun ketentuan adat di Simalungun yang

mewajibkan perkawinan mangulaki (mengulangi) yaitu

marboru ni tulang (cross-cousin marriage) yakni menjemput putri

paman sebagai calon istri, ataupun maranak ni amboru (cross

cousin marriage) yakni menemui anak amboru sebagai calon

suami. Akan tetapi, adakalanya cross-cousin marriage ini

disarankan dengan maksud tertentu seperti:

(i) menjaga kekentalan dan keakraban (intimacy)

kekerabatan atau kekeluargaan,

(ii) memelihara dan merawat faktor-faktor produksi

terutama tanah (dan kemungkinan alasan politis), dan

(iii) alasan lain yang masuk akal seperti anjuran orangtua,

mencegah penyakit genetik, kemurnian asal usul

(hasusuran) dan lain-lain.

Sistem garis keturunan perkawinan adat Simalungun ialah

patrilineal yakni menarik pewarisan keturunan dari kaum laki-

laki. Dalam hal ini, kontras terlihat dari klan (marga) bahwa

hanya klan dari pihak laki-laki yang diwariskan kepada anak-

anaknya. Demikian pula sistem pewarisan yang terjadi pada

Page 31: Memahami adatdigilib.unimed.ac.id/35444/1/Memahami Adat Perkawinan...adat perkawinan di Simalungun. Menurut editor, naskah ini menjadi salah satu tulisan terbaik yang membahas tentang

xxii

perkawinan orang Simalungun ialah patriarchat yakni

dominasi laki-laki dalam hukum waris. Dalam hal ini,

meskipun anak perempuan mendapatkan warisan dari

orangtuanya, tetapi jumlahnya tidak sebanding dengan apa

yang diterima oleh kaum laki-laki. Bagian ini menjadi menarik

pada kajian gender di lingkungan masyarakat yang patriarki.

Walaupun sistem keturunan bersifat patrilineal sama halnya

sistem pewarisan bersifat patriarchat yakni di dominasi laki-

laki, tetapi kemunculan adat tentang perkawinan justru

muncul dari kaum perempuan (sinaboru) dan bukan dari laki-

laki (sidalahi). Dalam arti bahwa, adat perkawinan

Simalungun cenderung mengatur bagaimana perempuan

diperlakukan atau diberangkatkan orangtuanya menjadi calon

istri dari seorang laki-laki yang menjadi suaminya. Dalam

bahasa yang lain disebut, bahwa adat perkawinan

Simalungun mengatur tentang bagaimana seorang perempuan

lahou hu jabu ni (berangkat ke rumahnya), guna membentuk

partongahjabuon (berumahtangga) yakni menjadi istri

(sinrumah) dari suaminya (pargotongni) ataupun menjadi

parumaen (menantu) dari simatuani (mertuanya) maupun

menjadi inang na bayu (ibu yang baru) di kediaman pihak

suaminya. Berdasar pada ketentuan adat ini, maka di

Simalungun dikenal tiga cara adat memberangkatkan

perempuan ke rumah baru-nya (panlakkah ni boru lahou hu jabu

ni) yakni:

a) pinaikkat yaitu perempuan diberangkatkan orangtuanya

dengan baik ke rumah calon suaminya,

b) naniasokan yakni perempuan diberangkatkan

orangtuanya secara hati-hati ke rumah calon suaminya,

dan

Page 32: Memahami adatdigilib.unimed.ac.id/35444/1/Memahami Adat Perkawinan...adat perkawinan di Simalungun. Menurut editor, naskah ini menjadi salah satu tulisan terbaik yang membahas tentang

xxiii

c) marlualua yakni perempuan melarikan diri ke rumah

calon suaminya.

Adapun yang disebut pinaikkat apabila diberangkatkan

dengan baik-baik oleh orangtuanya serta ketentuan adat akan

dijalankan secara tuntas (adat na gok), sedangkan naniasokan

adalah orangtua memberangkatkan putrinya menikah hanya

saja adatnya belum dilakukan seluruhnya, dan kawin lari

(marlua-lua) adalah perkawinan yang sama sekali

mengabaikan ketentuan adat memberangkatkan perempuan.

Berdasar pada ketentuan ini, maka keluarga pihak mempelai

atau pengantin perempuan (pihak parboru) disebut

‘mengawinkan anak perempuan’ (palahou boru), sedangkan

keluarga pihak mempelai atau pengantin laki-laki disebut

‘mengawinkan anak laki-laki’ (paunjuk anak).

Namun demikian, berangkatnya perempuan ke rumah laki-

laki bukanlah pertanda perempuan dan laki-laki telah sah

atau resmi melakukan perkawinan. Rekognisi atau pengakuan

terhadap sah atau resminya perkawinan antara seorang

anakgadis (panakboru) dengan laki-laki dewasa (parana atau

garama) sesuai ketentuan adat Simalungun dilihat dari telah

atau belum dilakukannya adat marpanayok dan adat parunjukon

di rumah orangtua dari pengantin laki-laki. Dapat dikatakan

bahwa eksistensi perkawinan (hajongjongan ni sada

partongahjabuan) menurut adat Simalungun bukan dilihat dari

bagaimana perempuan itu berangkat dari rumah orangtuanya

ke rumah laki-laki tetapi yang paling menentukan adalah

ketika adat marpanayok telah dilakukan di rumah calon

mertuanya (parsaud ni boru marpanayok i rumah ni simatuani).

Demikian pula laki-laki telah melakukan adat parunjukon atas

kehadiran perempuan di rumah orangtuanya (parsaud ni anak

Page 33: Memahami adatdigilib.unimed.ac.id/35444/1/Memahami Adat Perkawinan...adat perkawinan di Simalungun. Menurut editor, naskah ini menjadi salah satu tulisan terbaik yang membahas tentang

xxiv

marunjuk i rumah ni namatorasni). Kedua hal ini menjadi inti

pokok (sentrum) adat perkawinan di Simalungun.

Dengan kata lain, baik pinaikkat, naniasokan dan marlualua

bertumpu pada satu pengakuan adat untuk meresmikan atau

mensahkan sekaligus memberkati pembentukan rumahtangga

baru (pamasumasuon partongahjabuan) antara seorang

perempuan dan laki-laki di rumah orangtua mempelai laki-

laki. Sesuai ketentuan adat perkawinan Simalungun, seorang

perempuan dikatakan resmi menikah apabila ia telah

melakukan adat marpanayog, yaitu:

(i) penyematan bulang di kepala perempuan yang baru

tiba (mambulangi),

(ii) kemudian perempuan ini dimohonkan duduk di

sebelah luluan (ipahundul i luluan), dan

(iii) selanjutnya penyematan beras di kepala perempuan

yang baru (ijujungi boras tenger).

(iv) Ibu mertua melakukan pengakuan sebagai inang na

bayu (ibu yang baru) di rumahnya.

Pada waktu penyematan bulang di depan gerbang (horbangan)

atau pintu rumah, perempuan ini mengambil posisi setengah

berdiri dan pada waktu penyematan beras, ia mengambil

posisi duduk di sebelah luluan. Pada waktu menyematkan

boras tenger di kepalanya, ibu dari laki-laki yang menjadi

suaminya atau mertuanya memberikan pengakuan terhadap

perempuan ini sebagai ‘inang na bayu’ (ibu yang baru) di

keluarga pihak paranak. Lalu, ia mengambil beras dan

menaburkannya ke seisi rumah seraya menyatakan diatei tupa

(terima kasih) dan horas (tanda selamat). Dengan begitu,

perempuan ini telah resmi menjadi ibu yang baru atau istri

dari suaminya ataupun menjadi menantu dari mertuanya. Di

Page 34: Memahami adatdigilib.unimed.ac.id/35444/1/Memahami Adat Perkawinan...adat perkawinan di Simalungun. Menurut editor, naskah ini menjadi salah satu tulisan terbaik yang membahas tentang

xxv

pundaknya terdapat beban adat dan sosial yang maha berat

untuk kelangsungan hidup dan kesinambungan sosialnya di

kemudian hari.

Setelah adat marpanayog bagi perempuan selesai, sesuai

ketentuan adat maka laki-laki berkewajiban

menyelenggarakan adat parunjukon yakni semacam tanda

perayaan syukur terhadap adat marpanayog. Adat marunjuk

searti dengan ‘unjuk’ atau meneguhkan dengan cara

memperlihatkan pada khalayak bahwa mereka telah menjadi

pasangan suami-istri yang sah. Kepada mereka berdua yang

telah dipakaikan bulang dan gotong serta diikat pada satu hiou

(kain tenunan khas Simalungun), maka keduanya telah

menjadi keluarga baru.

Perayaan adat parunjukon dapat dilakukan melalui pesta

(resepsi umum) atau partonggoan (resepsi kecil-kecilan)

dengan cara marurup mangan (jamuan makan bersama). Jika

melaksanakan resepsi umum maka ketentuan adatnya adalah

menjalankan panganan banggal (penganan kebesaran),

panganan pinatunggung (penganan kehormatan) maupun

potongan daging khusus kepada yang berhak menerima (gori).

Bisa juga sekedar menjalankan partonggoan yang hanya

mengundang kerabat inti saja (hade-hade sindohor).

Sewaktu parunjukon inilah, momen terbaik bagi khalayak

ataupun teman satu kampung (hasoman sahuta) untuk jamuan

makan bersama (marurup mangan) sekaligus mengantar

pemberiannya (tuppak). Pada jaman dahulu, lamanya

parunjukon adalah 8 (delapan) hari, dan selama itulah

sipanuppak datang membawa satu ekor ayam dan satu bakul

beras berupa pemberian (gift) untuk manuppaki (membantu)

keluarga baru yang terbentuk di kampung (huta) mereka.

Page 35: Memahami adatdigilib.unimed.ac.id/35444/1/Memahami Adat Perkawinan...adat perkawinan di Simalungun. Menurut editor, naskah ini menjadi salah satu tulisan terbaik yang membahas tentang

xxvi

Untuk lebih jelasnya tentang adat marpanayog dan marunjuk

ini kami menyarankan agar membaca tuntas naskah yang

ditulis oleh Mansen Purba yang kami terbitkan ulang edisi

ber-ISBN dan bahasa Indonesia. Namun, kami sarankan juga

untuk berupaya mendapatkan naskah edisi bahasa

Simalungun sehingga dapat lebih mudah menangkap arti dan

makna sesuai kontekstual dan pembacaan sebagai orang

Simalungun.

Sebagai catatan, kami perlu menegaskan bahwa pengaruh

agama samawi sangat terasa pada adat perkawinan

Simalungun. Misalnya pada orang Simalungun Kristen, maka

adat marpanayog bagi perempuan dewasa ini dilakukan sehabis

pemberkatan (pamasumasuon) dari Gereja yakni di halaman

rumah mempelai laki-laki yakni mambulangi dan

mamborastengeri. Sedangkan laki-laki dipakaikan gotong dan di

borastengeri. Pada orang Simalungun Islam, pasca momen

Akad Nikah di hadapan Pejabat Agama (Kadi), maka

dilakukan pemakaian seperangkat pakaian adat Simalungun

(bulang dan gotong) sebagai realisasi adat marpanayog dan

marunjuk. Pasca acara adat dan agama, maka perkawinan itu

di daftarkan ke negara yakni di kantor Pencatatan Sipil.

Dengan cara itu, maka secara adat, agama dan negara barulah

perkawinan itu dianggap sah (resmi).

3. Implikasi sosial adat perkawinan: penutup

Sebelum pendahuluan ini kami akhiri, ada baiknya kami

deskripsikan tentang implikasi sosial dari adat perkawinan.

Dalam hal ini, perkawinan bukanlah dipandang semata-mata

berhubungan dengan bentuk rekoknisi ataupun pengakuan

sah tentang keteraturan sosial (social order) terhadap hubungan

seksual yaitu regenerasi (marniombah atau mangargari).

Page 36: Memahami adatdigilib.unimed.ac.id/35444/1/Memahami Adat Perkawinan...adat perkawinan di Simalungun. Menurut editor, naskah ini menjadi salah satu tulisan terbaik yang membahas tentang

xxvii

Meskipun tujuan ini menjadi salah satu signifikansi

perkawinan, tetapi dalam perspektif adat tidaklah terfokus

pada regenerasi itu melainkan pada upaya penciptaan

keteraturan sosial yang nyata bagi masyarakat. Keteraturan

sosial ini merupakan implikasi sosial yang terlihat dari

banyak hal sebagaimana disebutkan terdahulu yakni:

(i) melahirkan implikasi-implikasi sosial yakni struktur

sosial ‘sitolu sahundulan, silima saodoran’ (tiga serangkai

dan lima serombongan), yang berarti kerjasama

(kolaborasi) antara setiap struktur pada sistem yang

dinamis antara hasuhutan bolon (tuan rumah), tondong,

tondong ni tondong, boru, dan boru ni boru. Kokohnya

sebuah keluarga di Simalungun, ditentukan oleh

struktur dan sistem sosial yang saling menopang ini.

Kami selalu mengandaikan bahwa struktur ini adalah

tampak depan (fasade) rumahbolon Simalungun yang

berbentuk pentagon (segilima). Si tolu sahundulan

(hasuhuton, boru dan tondong) berada di puncak yang

berbentuk segitiga, sementara dua struktur lainnya

(tondong ni tondong dan boru ni boru atau boru mintori)

berada di pondasi berbentuk trapesium. Menyatunya

kedua segitiga dan trapesium ini menjadi model

tampak depan rumahbolon Simalungun yakni silima

saodoran berbentuk pentagon. Trapesium ini

menyerupai sebuah perahu (solu) yang akan membawa

keluarga inti mengarungi samudra luas kehidupan

sosial yang nyata. Dewasa ini, struktur dan sistem

sosial ini tidak hanya terfokus pada penyelenggaraan

adat semata, tetapi dapat ditingkatkan ke jenjang yang

lebih tinggi dan bermartabat seperti saling menopang

dalam ekonomi, sekolah, pertanian, dan aktifitas

Page 37: Memahami adatdigilib.unimed.ac.id/35444/1/Memahami Adat Perkawinan...adat perkawinan di Simalungun. Menurut editor, naskah ini menjadi salah satu tulisan terbaik yang membahas tentang

xxviii

politik baik suka maupun duka yakni implikasi sosial

kegotongroyongan (haroan bolon) guna mencapai

tujuan nyata (sapangambei manoktok hitei).

(ii) Bertahannya istilah-istilah penyebutan dalam

kekerabatan (term of addres). Istilah kekerabatan

bermula dari perkawinan. Seorang gadis (panakboru)

yang menikah disebut istri (sinrumah), seorang laki-laki

(parana) yang menikah disebut suami (pargotong). Di

lingkungan keluarga barunya, perempuan ini bisa

menjadi nasikaha atau nasianggi (kakak atau adik ipar),

parumaen (menantu) dari mertuanya. Di keluarga

perempuan, mereka menjadi boru, laki-laki menjadi

hela (menantu), ataupun orangtua mereka yang saling

besanan. Kenyataan ini masih berada di lingkungan

nuclear family di keluarga inti kedua belah pihak.

Belum lagi melingkupi extended family (keluarga luas)

serta struktur dan sistem sosial sitolu sahundulan lima

saodoran. Perkawinan di Simalungun bukan hanya

mengikat satu orang laki-laki dan perempuan tetapi

sekaligus mengawinkan dua keluarga besar dari pihak

paranak dan parboru. Perkawinan menciptakan kerabat

(hade-hade sindohor) dan bukan kerabat (hade-hade

nalegan).

(iii) kedudukan sosial adat, peran sosial dan

tanggungjawab sosial adat. Perkawinan yang

membentuk sitolusahundulan; silima saodoran

menciptakan kedudukan sosial yang berimplikasi pada

peran sosial adatnya. Kedudukan dan peran sosial ini

bukalah statis melainkan dinamis. Peran sosial ini

membutuhkan tanggungjawab bukan hanya pada

persoalan adat semata tetapi juga dalam setiap aktifitas

Page 38: Memahami adatdigilib.unimed.ac.id/35444/1/Memahami Adat Perkawinan...adat perkawinan di Simalungun. Menurut editor, naskah ini menjadi salah satu tulisan terbaik yang membahas tentang

xxix

sosial baik bukan sengketa maupun sengketa

(partinggilan), ataupun sukacita (malas ni uhur) dan

dukacita (pusok ni uhur). Keluarga baru ini memiliki

kedudukan dan peran sosial untuk membina relasi

sosial yanng terbentuk karena perkawinan itu maupun

meneruskan adat istiadat yang berhubungan dengan

orangtua dari kedua belah pihak, baik horja malas ni

uhur maupun pusok ni uhur. Karena itu, hubungan baik

antar sesama struktur yang bergerak dinamis ini akan

menciptakan kebaikan bersama dalam keluarga inti

dan keluarga luas. Itulah sebabnya, hubungan

kekerabatan (pardihadihaon) pada etnik Simalungun

sangat diperlukan guna mempertahankan dan

membina eksistensi sosial dari suatu perkawinan

(hajonjongan ni parumahtanggaon).

Kiranya, implikasi sosial perkawinan sesuai adat ini

menimbulkan efek sistematis serta terstruktur pada

kehidupan sosial dan adat pada orang Simalungun. Berbeda

halnya jika perkawinan itu tidak dilakukan sesuai ketentuan

adat (partongahbajuan na so adat) seperti incest (mardawan begu)

maupun maruhur bai, dimana keluarga tersebut telah

mengabaikan kedudukan sosial, peran sosial dan

tanggungjawab sosialnya. Mereka terbuang dan terlempar

jauh dari struktur dan sistem sosial sitolu sahundulan lima

saodoran. Itulah sebabnya, para pelanggar adat perkawinan

seperti ini harus marjuma modom atau keluar menjauh dari

kampung untuk menahan aib dari rasa malu.

Bagaimanapun juga, adat memiliki fungsi sosial yakni

menciptakan keteraturan sosial. Ia adalah pranata sosial yang

melahirkan struktur dan sistem sosial yang saling mengikat

Page 39: Memahami adatdigilib.unimed.ac.id/35444/1/Memahami Adat Perkawinan...adat perkawinan di Simalungun. Menurut editor, naskah ini menjadi salah satu tulisan terbaik yang membahas tentang

xxx

setiap struktur pada satu sistem dinamis untuk mencapai

tujuan bersama. Tujuan itu adalah laksana sebuah ‘keluarga

baru’ (rumah na bayu) yang memuat individu-individu yang

terikat oleh kedudukan, peran dan tanggungjawab sosial.

Daripadanya, diperoleh sistem nilai dan makna untuk

memeroleh arti kehidupan sosial sebagai manusia yang zoon

politicon yakni beradat dan beradab dan bukan homo lupus

(pemangsa bagi manusia lain).

Medan, Awal Juni 2019

Erond L. Damanik