memahami adatdigilib.unimed.ac.id/35444/1/memahami adat perkawinan...adat perkawinan di simalungun....
TRANSCRIPT
Memahami adat
PERKAWINAN SIMALUNGUN: Pinaikkat, Naniasokan, & Marlualua
serta Implikasi Sosialnya
Ketentuan hukum adat
Simalungun mengharuskan
perkawinan dilakukan ideal
melalui ‘adat pinaikkat’
(diberangkatkan dengan
baik) bagi ‘palahou boru’
(mengawinkan perempuan).
Peresmian perkawinan
(pamasumasuon
partongahjabuon)
dilakukan dengan ‘adat
Marpanayok’ yakni
penyematan bulang,
rudang saidangan & boras
tenger yang dilakukan
calon mertuanya di
kediaman laki-laki calon
suaminya (pargotongni).
Kemudian, seorang laki-laki
berkewajiban melalukan
‘adat parunjukon’
(meresmikan seorang
perempuan menjadi
istrinya).
Keberangkatan perempuan ke ‘rumah baru-nya’ (panlakkah ni boru laho hu
jabu-ni) sebagai ‘inang na bayu’ (ibu yang baru) di kediaman laki-laki,
yakni sebagai istri (sinrumah) dari suaminya (pargotongni), atau menjadi
menantu (parumaen) dari mertuanya (simatuani), sesuai ketentuan adat
Simalungun, dikategori pada tiga ketentuan adat yakni: (i) Pinaikkat,
(ii) Naniasokan, dan (iii) Marlualua.
Mansen Purba
Erond L. Damanik
(Editor & Pendahuluan)
Memahami adat
PERKAWINAN SIMALUNGUN: Pinaikkat, Naniasokan, & Marlualua
serta Implikasi Sosialnya
Mansen Purba
(Penulis)
Simetri Institute
Medan
2019
Sanksi Pelanggaran Pasal 72
Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
(1) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan
sebagaimana di maksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat
(2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu)
bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000.00 (satu juta rupiah), atau
pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.
5.000.000.000 (lima milyar rupiah).
(2) Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau
menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak
Cipta atau Hak Terkait dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000
(lima ratus juta rupiah)
Peta Afdeeling Simalungun, 1917
Sumber: Juandaha Raya P. Dasuha
Peta Kabupaten Simalungun, 2019
Provinsi Sumatera Utara
Memahami Adat Perkawinan Simalungun:
Pinaikkat, Naniasokan, & Marlualua serta Implikasi Sosialnya
@ Mansen Purba/penulis
@Erond L. Damanik/editor & pendahuluan
cetakan pertama 1984 (edisi bahasa Simalungun)
cetakan kedua 2019 (edisi bahasa Indonesia)
Palatino linotype, size 11 (14,9 x 21 Cm), 240 halaman
ISBN: 978-623-7300-02-1
hak cipta 1984 pada penulis @ Mansen Purba
diterbitkan pertama sekali oleh Komite Bina Budaya Simalungun
Judul asli: ‘Pangarusion pasal adat Perkawinan Simalungun’
Dilarang mengutip sebahagian atau seluruh isi buku ini dengan cara
apapun termasuk dengan cara penggunaan mesin fotokopi atau
mengalihkan menjadi e-book tanpa seizin sah dari penerbit.
desain sampul & layout: Tim Simetri Institute
editor dan penterjemah: Erond L. Damanik
edisi bahasa Indonesia diterbitkan Simetri Institute, Medan-20225-
Sumatera Utara; e-mail: [email protected]
dicetak Sigma Printshop, Yogyakarta
isi diluar tanggungjawab percetakan
i
Pengantar penerbit
uku yang Anda pegang dan baca ini adalah edisi terbit
ulang tahun 2019 dari edisi aslinya berbahasa
Simalungun yang terbit pertamakali tahun 1984 dengan
judul: ‚Pangarusion pasal Adat Perkawinan Simalungun‛.
Buku ini ditulis oleh Mansen Purba dengan latarbelakang
Sarjana Hukum (SH) sehingga tidak mengherankan apabila
paradigmanya beranjak dari perspektif hukum adat guna
mendeskripsikan tentang perkawinan bagi orang Simalungun.
Itulah sebabnya, pemaparan dalam buku ini lebih
memfokuskan diri pada hubungan kausal (sebab-akibat)
berupa munculnya hukum adat (istiadat) perkawinan bagi
orang Simalungun berikut implikasi sosialnya.
Buku ini dapat diterbitkan ulang setelah mengalami
perdebatan panjang antara penerbit dan penterjemah
merangkap editor sekaligus yang memberikan pendahuluan
pada naskah ini, yakni Saudara Erond L. Damanik. pada
awalnya, dengan berat hati, pengajar di Universitas Negeri
Medan ini menjelaskan kesulitan penterjemahan ke dalam
bahasa Indonesia apalagi beliau bukan sarjana bahasa. Itulah
sebabnya, proses penterjemahan naskah ini memakan waktu
kurang lebih 2 (dua) bulan. Pada bagian-bagian tertentu di
naskah ini, penterjemah berupaya menyadurnya menjadi
semacam frasa karena kesulitan mengalihbahasakannya dari
Bahasa Simalungun. ia juga menambahkan penjelasan untuk
memperkuat pendapat pada naskah aslinya. Terdapat juga
beberapa catatan kaki sebagai penguat terhadap pernyataan
penulisnya. Keseluruhan upaya ini diperbuat untuk
B
ii
menambah daya nalar pembaca pada fokus bahasan tentang
adat perkawinan di Simalungun.
Menurut editor, naskah ini menjadi salah satu tulisan
terbaik yang membahas tentang adat perkawinan di
Simalungun. Pendapat ini pula yang mendorong kami untuk
segera mengupayakan penerbitan buku ini dalam bahasa
Indonesia sehingga kaum terdidik, generasi muda, dan
pemerhati budaya Simalungun dapat menikmatinya dengan
baik. Demikian pula buku ini diharapkan dapat menjadi
referensi bagi sebagian orang Simalungun yang kurang
memahami Bahasa Simalungun.
Buku ini sangat layak sebagai referensi akademik. Buku ini
disusun oleh penulisnya melalui pemahaman yang mendalam
terhadap adat perkawinan di Simalungun. Pengalaman dan
pengetahuan itulah yang menuntun penulisnya untuk
menyatukan tulisan-tulisan berserakan menjadi satu naskah
utuh yang diberi judul: ‘Pangarusion pasal Adat Perkawinan
Simalungun’. Metodenya menggunakan etnografi dengan
paradigma hukum adat sehingga buku ini sangat layak
dijadikan sebagai bahan bacaan bagi mahasiswa, pengajar,
orang Simalungun maupun penikmat budaya di manapun
berada. Semoga!
Medan, pertengahan Juni 2019
Penerbit
iii
Kata Pengantar
ejak lama sudah ada keinginan dari banyak orang
Simalungun yang menginginkan adanya buku
(referensi) menyoal pemahaman tentang Adat
Perkawinan menurut dan/atau bagi orang Simalungun. Buku
dimaksud ‘diharapkan’ dapat menjadi semacam pedoman
(semacam Standard Operasional Prosedur) bagi orang
Simalungun yang akan menikah. Tidak mungkin lagi
berharap pada yang lazim terjadi selama ini, ataupun belajar
dan mengalami dari dalam berdasarkan kebiasaan-kebiasaan
umum sewaktu kerja adat (horja adat). Tentulah, terdapat
kesulitan luar biasa apabila hanya ikut-ikutan saja sewaktu
terdapat kerja adat sebab menimbulkan rasa sungkan untuk
bertanya pada sesuatu hal yang tidak dimengerti sama sekali.
Demikian pula terasa sulit menentukan yang semestinya dan
yang mana pula yang bukan semestinya. Seringkali, pekerjaan
adat dilakukan tanpa ada pembeda (mardosdos) yang tampak.
Dengan adanya buku kecil ini, diharapkan dapat
memenuhi sebagian hasrat ataupun keinginan dari seluruh
keinginan dan hasrat yang pernah ada itu. Walaupun terasa
sulit menjadi acuan umum yakni sebagai referensi standard
adat perkawinan bagi keseluruhan orang Simalungun namun
keberadaan buku ini dapat dijadikan sebagai pelengkap
referensinya. Setidaknya, dapat dijadikan sebagai permulaan
percakapan dan musyawarah (parsahapan bani panriahan)
sewaktu memulai pekerjaan adat.
Bagi sebagian orang yang berkeinginan menjadi ahli
(expert) adat, tentulah buku ini tidak memberi banyak
manfaat. Isi (content) buku ini lebih diupayakan sebagai bahan
S
iv
bacaan bagi banyak orang yang ingin melakukan pekerjaan
adat daripada menjadi ahli adat. Itulah sebabnya buku ini
tidak memiliki kelebihan daripada buku lainnya--soal
perkawinan adat Simalungun--yang pernah ada.
Kelebihannya hanyalah bahwa isi buku ini lebih banyak
menyuguhkan deskripsi tentang arti dan makna pekerjaan-
pekerjaan adat serta istiadat yang harus dilakukan. Kelihatan,
ada begitu banyak keinginan banyak orang untuk melakukan
pekerjaan adat namun cenderung dilakukan sembarang saja
tanpa mengetahui apa yang dilakukannya itu. Selain itu,
perkerjaan adat ini dilakukan untuk sekedar pamer kekayaan
dan kehormatan saja. Kecenderungan ini menjadi dasar
terpinggirkannya atau terabaikannya hakekat, arti dan makna
adat perkawinan yang sesungguhnya. Berdasar pada
kenyataan inilah maka buku ini diberi judul ‚Memahami Adat
Perkawinan Simalungun‛ (Pangarusion pasal Adat Perkawinan
Simalungun).
Pada saat kita membaca buku ini, kita akan menemukan
semacam kumpulan karangan (bunga rampai) yang disusun
menjadi satu naskah buku. Cara ini dipilih karena
ketidaktercukupan waktu untuk menyusunnya kembali.
Sebenarnya, pernyataan ini hanyalah alasan terhadap apa
yang telah diungkapkan dan dituliskan pada naskah ini sebab
telah banyak oranglain yang mengungkapkannya (pada
waktu Seminar maupun Majalan Bulanan). Isi buku ini
tidaklah seluruhnya berasal dari naskah yang pernah
diterbitkan, hanya sebagian saja yakni bagian yang dirasakan
cukup urgen dan signifikan.
Sebelum pengantar (buha sahap) ini diakhiri, terlebih dahulu
dijelaskan beberapa hal pokok yang dianggap sebagai dasar
menuliskan naskah ini. Tidak dapat dipungkiri bahwa dari
v
banyak adat Simalungun di jaman dahulu, hanya adat
perkawinan (partongahjabuan) saja yang terus dihidupkan
orang Simalungun hingga dewasa ini. Kenyataan seperti ini
tidak terlepas dari Politik Nasional yang terjadi di seluruh
Indonesia. Sebagian besar telah diadopsi menjadi Hukum
Nasional seperti Hukum Tanah, Hukum Waris, Hukum
Perserikatan (berorganisasi), Hukum Administrasi dan lain-
lain. Hanya ‘hukum keluarga’ yang diberikan keleluasaan
sesuai dengan adat (istiadat) yang diwarisinya.
Seperti kita ketahui, kebudayaan menjadi identitas dari
suatu daerah termasuk etnik. Selama masih hidup dan terus
dikembangkan kebudayaan itu, selama itu pulalah ia dikenal.
Bagi kita etnik Simalungun, hanya faktor kebudayaan menjadi
pengikat (pemersatu) yakni menunjukkan sebagai orang
Simalungun. Dari segi kewilayahan atau tempat (parianan)
telah dibagi-bagi menjadi daerah kekuasaan dan administrasi
negara. Salah satu atribut kebudayaan yang disebutkan
terdahulu adalah adat perkawinan (partongahjabuan).
Mungkin saja terdapat pikiran atau pertanyaan dalam diri
kita tentang keharusan menjalankan adat sewaktu perkawinan
putra (paunjuk anak) atau perkawinan putri (palahou boru).
Alasannya ialah adanya keinginan untuk menunjukkan
identitas sebagai orang Simalungun. Keinginan ini patut
diapresiasi dan disanjung karena tidak mengurangi keinginan
sebagai bagian dari identitas Nasional Indonesia. Namun, kita
mesti cermat. Jika kita benar-benar berkeinginan
menunjukkan identitas Simalungun, maka seharusnya
diperlakukan sesuai aturan semestinya bahwa adat
perkawinan Simalungun berbeda dengan adat perkawinan
lainnya. Seumpama adat kita sudah lebih original dan dikenal
(samou), tentulah identitas kitapun semakin dikenal.
vi
Walaupun banyak orang mencari persamaan adat perkawinan
Simalungun dengan etnik lain, tetapi janganlah pencaharian
itu menyebabkan hilangnya identitas kita.
Masih terdapat persoalan lain yang mesti kita pikirkan
pada saat melakukan pekerjaan adat terutama menyoal adat
perkawinan. Persoalan ini adalah keinginan untuk dapat
masuk dalam keramaian adat (loulouan adat) serta
mengeratkan hubungan kekerabatan dan kekeluargaan
(pardiha-dihaon). Keinginan ini adalah cukup baik karena turut
membantu mendekatkan diri pada persatuan kita (hasadaonta).
Hal ini disebabkan oleh faktor kekeluargaan menjadi cara
memperluas Simalungun.
Melalui pembacaan terhadap buku ini, kiranya cukup jelas
bahwa hanya melalui adat perkawinan-lah kita dapat masuk
pada keramaian adat. Kenyataan ini terjadi sebab perkawinan
bagi orang Simalungun bukanlah semata-mata menyatukan
seorang putra (parana) dan putri (panakboru) tetapi sekaligus
menyatukan keseluruhan keluarga dan kerabat pihak putra
dan putri yang menikah. Seperti kata pepatah Simalungun
‚siganda-sigandua, urat ni podom-podom, na sada gabe dua, na tolu
gabe onom‛ [siganda-sugandua, akar dari podom-podom, yang satu
menjadi dua, yang tiga menjadi enam].
Akhir dari pengantar ini, terimakasih (diatei tupa)
disampaikan kepada ipar (lawei) Saden Saragih Sumbayak
yang telah menyediakan waktunya untuk berdiskusi tentang
narasi naskah ini sebelum diterbitkan. Demikian pula kepada
Samuel Purba yang bersedia memulai percakapan untuk
memperdalam (pasaksakkon) isi buku in sejak permulaan
menyusun hingga penerbitannya. Apresiasi dan terimakasih
turut disampaikan kepada Tarianus Sigumonrong yakni sosok
pertama yang memberi bekal bagi saya untuk tekun belajar
vii
adat Simalungun. Tidak lupa, kata terimakasih disampaikan
kepada orang Simalungun yang disebut sebagai tempat
bertanya tentang adat (panukkunan adat), yang tidak disangka
ternyata memiliki kemampuan penjelasan adat sewaktu
menyusun naskah ini. Apresiasi yang sama disampaikan
kepada berbagai pihak yang menyelenggarakan adat selama
ini sebagai materi dalam menyusun naskah ini. Mereka ini
bukan sekedar sarana mengumpulkan pengetahuan tetapi
juga dijadikan sebagai bahan perenungan (parsujian)
pengetahuan.
Tidak lupa, apresiasi dan terimakasih disampaikan kepada
ipar (lawei) Rasyiman Saragih Sumbayak (Percetakan Tapian
Raya) yang melihat urgensi dan siginifikansi buku ini bagi
orang Simalungun, sehingga bersedia memampukan diri
mendahulukan pembiayaan pencetakan naskah ini. Demikian
ucapan terimakasih disampaikan kepada Guru Lambert
Sinaga yang bersedia menyediakan waktu dan pikirannya
mempersiapkan sketsa atau peraga sehingga tersedia gambar
yang disisipkan (insert) dalam buku ini. Kepada pembaca,
harapan saya agar meluangkan waktunya untuk membaca
dan mengkritisi buku kecil ini sehingga memungkinkan revisi
(perbaikan) pada kekurangannya. Kiranya, karena pembacaan
kita terhadap buku ini sehingga berguna bagi kita orang
Simalungun, ataupun bagi kalangan yang berminat
memahami tentang adat perkawinan Simalungun.
Medan, April 1984
Mansen Purba
viii
ix
Daftar Isi
Pengantar penerbit .................................................................... i
Kata pengantar ......................................................................... iii
Daftar isi ................................................................................... ix
Daftar gambar .......................................................................... xi
Daftar lampiran ....................................................................... xii
Pendahuluan (Erond L. Damanik) .......................................... xiii
Bab I Memahami adat perkawinan Simalungun .............. 1
Bab II Adat mengawinkan Laki-laki (paunjuk anak) ......... 21
Bab III Tata kerja adat mengawinkan laki-laki .................. 29
A. Kerja adat sebelum perkawinan ....................... 29
1. Mengikat percakapan (tanda hata) ............... 29
2. Peneguhan janji (indahan pakkombari) .......... 33
3. Pemberitahun ke paman ............................. 34
4. Meminang (pajabu parsahapan) ..................... 35
5. Mufakat keluarga inti (riahtongah jabu) ....... 44
6. Penguatan janji (manggong/pudun saud) ...... 47
7. Penjemputan perempuan (maralob) ............. 47
B. Kerja adat perkawinan (paroh ni boru) .............. 59
C. Kerja adat setelah perkawinan ......................... 64
1. Menerima pemberian panuppaki .................. 64
2. Mengantar makanan empat malam ............ 67
3. Memenuhi rasa rindu (paulag limbas) .......... 69
4. Bertandang ke rumah paman ...................... 71
Bab IV Adat mengawinkan perempuan ............................. 75
Bab V Tata kerja adat mengawinkan perempuan ............ 85
Menjemput tanda mufakat (tanda hata) ............ 86
Menjemput parhombaran .................................... 87
Menjemput pinangan (pajabu parsahapan) ........ 88
x
Rencana penjemputan (manggong) ................... 92
Memohon berkat (mamuhun) ............................ 92
Memberi makan calon pengantin ..................... 93
Menjemput bantuan kerabat (riahtongah jabu) . 93
Menerima penjemputan (paralob) ..................... 95
Menjemput pendamping (pakkasomanini) ...... 100
Menjemput makanan empat malam .............. 100
Menjemput rindu (paulag limbas) .................... 102
Bab VI Adat Perkawinan Naniasokan ................................ 105
Bab VII Adat Perkawinan Marlualua (Kawin lari) ............ 115
Bab VIII Menggenapi kewajiban adat (Mangadati) ............. 125
Bab IX Ketentuan adat terhadap parunjukon .................... 137
A. Saudara (Sanina) .............................................. 139
B. Pemberi istri (Tondong) .................................... 145
C. Penerima pengantin perempuan (Boru) ......... 153
D. Kerabat dan handaitolan (hade-hade) .............. 159
Bab X Kedudukan adat yang telah menikah .................. 163
Bab XI Perkawinan yang bukan adat ............................... 171
A. Perkawinan incest (mardawan begu) ................ 173
B. Perkawinan kumpul kebo (maruhur bai) ........ 174
Glosarium ............................................................................... 179
Lampiran ................................................................................ 195
Tentang penulis...................................................................... 201
Tentang editor ........................................................................ 203
xi
Daftar Gambar
Gambar 1 Pengantin Simalungun mengenakan bulang &
gotong pada adat Marpanayog, peresmian
Pamasumasuon partongahjabuan .............................. 19
Gambar 2 Penyematan Boras Tenger (Sejemput Beras)
pada pengantin Adat Marpanayog, peresmian
Pamasumasuon Partongahjabuan .............................. 20
Gambar 3 Mambulangi dan Manggotongi pada adat
Marpanayog, peresmian pamasumasuon
partongahjabuan di Simalungun.............................. 28
Gambar 4 Menuntun pengantin ke rumah pasca
penyematan bulang & gotong adat marpanayog
pamasumasuon partongahjabuan ........................... 104
Gambar 5 Menjemput indahan dapotan partongahjabuan
adat marpanayog etnik Simalungun ..................... 104
Gambar 6 Sketsa keberangkatan perempuan ke rumahnya
(marhajabuan) adat Pinaikkat, Naniasokan &
Marlualua ............................................................... 111
Gambar 7 Pengantin pada adat paunjuk anak,
peresmian pamasumasuon partongahjabuon .......... 112
Gambar 8 Penyuguhan Dayok Binatur (gulai ayam yang
disusun di pinggan) pada adat Simalungun ...... 112
Gambar 9 Tinombu (tombuan), penganan adat pada
Marhajabuan dan Marujunggoluh
Sayur Matua di Simalungun ................................. 113
Gambar 10 Nitak Siangsiang, penganan pada setiap
kerja adat Sukacita (malas ni uhur) di
Simalungun .......................................................... 114
Gambar 11 Demban (sirih), media adat di Simalungun........ 134
Gambar 12 Dayok Binatur, media adat di Simalungun ......... 135
xii
Daftar Lampiran
Lamp. 1 Tata kerja adat Pinaikkat Palahou Boru ...................... 197
Lamp. 2 Tata kerja adat pinaikkat Paunjuk Anak...................... 198
Lamp. 3 Tata kerja perkawinan adat Naniasokan.................... 199
Lamp. 4 Tata kerja adat Marlualua .......................................... 200
xiii
Pendahuluan
Marpanayog & Marunjuk:
Inti pokok adat perkawinan bagi dan menurut
orang Simalungun
oleh:
Erond L. Damanik
Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Medan
1. Pengantar
ertama-tama, kami (editor) harus mengapresiasi tulisan
Bapak Mansen Purba tentang Pemahaman Adat
Perkawinan Orang Simalungun (pangarusion pasal Adat
Perkawinan Simalungun) yang terbit pertama kali dalam Bahasa
Simalungun tahun 1984. Apresiasi ini dilontarkan bukan
karena indahnya susunan kalimat yang dipergunakan
ataupun karena ditulis dalam Bahasa Simalungun. Namun,
lebih kepada penjelasannya yang lebih masuk akal perihal
P
xiv
munculnya adat yang mengatur tentang perkawinan (adat
marhajabuan) menurut orang Simalungun.
Sepanjang yang kami ketahui dari pembacaan terhadap
sejumlah literatur tentang adat perkawinan bagi orang
Simalungun, penjelasan buku inilah yang cukup masuk akal
dan lagi memuaskan. Namun demikian, walaupun
menjelaskan tentang ‘adat perkawinan’ di Simalungun, buku
ini kurang tepat dianggap sebagai ‘semacam manual
prosedur’ atau tata cara tentang pelaksanaan adat
perkawinan. Tentulah sangat berbeda antara apa yang disebut
dengan ‘pangarusion pasal adat perkawinan’ (pemahaman
tentang adat perkawinan) dan prosedur pelaksanaan adat
perkawinan.
Konsepsi yang pertama lebih menekankan pada
munculnya adat yang memuat ketentuan dan mengatur
tentang perkawinan. Walaupun di dalamnya terdapat
rangkaian ritual (upacara) adat yang mesti dilakukan pada
saat perkawinan, tetapi penjelasan itu lebih mengarap pada
hubungan kausal (sebab akibat) yakni mengapa dan
bagaimana rangkaian ritual adat perkawinan itu harus di
lakukan. Penjelasan terkait konsepsi inilah yang melahirkan
implikasi-implikasi sosial yakni struktur sosial ‘sitolu
sahundulan, silima saodoran’ (tiga serangkai dan lima
serombongan), istilah-istilah penyebutan dalam kekerabatan
(term of addres), kedudukan sosial adat, peran sosial adat dan
tanggungjawab sosial adat. Keseluruhan komponen ini
terlahir karena adanya perkawinan yang mengikat dua
keluarga sosial (pihak paranak dan parboru) serta sitolu
sahundulan lima saodoran dari masing-masing keluarga kedua
belah pihak.
xv
Konsepsi yang kedua yakni prosedur pelaksanaan
ketentuan adat mengarah pada pelaksanaan adat berupa
upacara atau ritual (horja-horja adat sibahenon) pada
perkawinan itu sendiri. Adapun yang menjadi fokus dan
lokusnya adalah penjelasan tentang rangkaian acara yang
berintikan hak dan kewajiban sosial dari keluarga inti (nuclear
family) kedua belah pihak (hasuhuton bolon paranak dan parboru)
serta peranan dari sitolu sahundulan silima saodoran dari
masing-masing kedua belah pihak. Bila-pun dewasa ini
terdapat beragam pelaksanaan adat perkawinan Simalungun,
maka yang berbeda itu adalah prosedur adatnya (akibat) dan
bukan pada penyebab adanya adat perkawinan itu (sebab).
Misalnya, adat perkawinan di sekitar Pematangraya
berbeda dengan di Sipolha, Tigaras, Haranggaol (daerah yang
berbatas dengan etnik Toba), ataupun di Silimahuta,
Saranpadang, Tambakbawang (daerah yang berbatas dengan
etnik Karo), ataupun di Bangunpurba, Kotarih, Sarbelawan
(yang berbatas dengan Melayu), ataupun di Pematangsiantar,
dan Pardagangan hingga Hutabayuraja yang menjadi daerah
percampuran multi-etnik. Perbedaan tatacara adat
perkawinan di Simalungun ini sangat dipengaruhi tiga hal:
(i) posisi Simalungun yang menjadi tetangga etnik Toba,
Karo, dan Melayu serta etnik Jawa yang hidup di
wilayah Simalungun memiliki tatacara adat
perkawinan yang berbeda-beda sehingga
mengakibatkan saling adopsi atau saling pinjam,
(ii) kawin campur (intermarriage) yang sudah kerab terjadi
dan membutuhkan ‘kombinasi adat’ dari dua keluarga
yang berbeda etnik, dan
(iii) pengaruh agama samawi yakni Islam (Melayu dan
Jawa) serta Kristen yang membutuhkan adaptasi
xvi
(penyesuaian) adat ke dalam ketentuan agama-nya
masing-masing.
Penjelasan buku ini beranjak dari perspektif hukum sesuai
latar belakang penulisnya. Berdasar pada perspektif hukum
ini, ditemukan hubungan kausal (sebab-akibat) atas
munculnya suatu ketentuan adat perkawinan berikut
implikasi-implikasi sosialnya. Selain itu, penulisnya berupaya
menjelaskan kebiasaan-kebiasaan yang mengatur tentang
perkawinan di Simalungun sebelum masuknya Agama
Samawi dan Hukum Positif (Negara). Namun, sebagaimana
diakui penulisnya, ketentuan adat perkawinan Simalungun
tampaknya harus ‘takluk’ ketika masuknya agama samawi
(Islam dan Kristen) maupun hukum positif (negara).
Agama menuntut penyesuaian adat ke dalam agama
(bukan agama ke dalam adat) atau bila perlu menolaknya
sehingga merubah bentuk rekoknisi terhadap sah atau
tidaknya sebuah perkawinan. Perkawinan secara agama juga
demikian. Ada kalanya perkawinan secara agama ini
dianggap sah walaupun melanggar ketentuan adat.
Selanjutnya, perkawinan agama inipun harus mendapatkan
pengakuan negara. Karena itu, perkawinan secara agama dan
adat harus takluk kepada hukum positif (negara) dimana
perkawinan dianggap sah apabila telah didaftarkan pada
catatan sipil. Oleh karena itu, perkawinan seseorang dianggap
sah secara adat, tetapi dianggap tidak sah menurut agama
maupun negara. Sebaliknya, perkawinan catatan sipil maupun
agama cenderung dianggap sah walaupun tidak sah berdasar
ketentuan adat. Singkatnya, dewasa ini perkawinan dianggap
sah apabila memenuhi ketentuan adat, agama serta diakui
oleh negara.
xvii
Penulis buku ini berupa menghadirkan narasi-narasi cerdas
tentang perkawinan yang bermula dari adanya kebiasaan
sosial berupa aturan untuk perkawinan dalam bentuk
sederhana. Kebiasaan dalam perkawinan ini menjadi embrio
lahirnya hukum adat yakni ketentuan-ketentuan yang
mengatur tentang perkawinan. Selanjutnya, hukum adat
perkawinan ini memiliki sangksi hukum adat bagi setiap
orang yang melanggar atau mengingkarinya. Apabila adat
perkawinan dilanggar, selain memiliki sangksi maka adat
masih menyisakan mekanisme sosial tersendiri untuk
mengembalikan marwah pelanggaarnya. Pelanggaran paling
kontras ialah dikenalnya perkawinan yang sama sekali tidak
mengindahkan ketentuan adat (marhajabuan na so adat) yaitu:
(i) perkawinan incest (mardawan begu) seperti incest
keluarga inti maupun incest klan (marga), dan
(ii) perkawinan ‘kumpul kebo’ atau marjabu uhuruhur
ataupun marjabu maruhur bai.
Pertologan adat pada dua pelanggaran adat paling parah ini
tidak dapat dilakukan kecuali kepada anak-anak mereka
dikemudian hari.
Adat perkawinan Simalungun seperti dijelaskan
penulisnya memiliki mekanisme tersendiri dalam mengatur
perkawinan itu untuk terwujudnya keteraturan sosial (social
order). Misalnya, ketentuan hukum adat Simalungun
mengharuskan bahwa perkawinan itu dilaksanakan secara
ideal yakni ‘adat pinaikkat’ (diberangkatkan dengan baik) bagi
‘palahou boru’ (mengawinkan perempuan) serta ‘adat
parunjukon’ (meresmikan seorang perempuan menjadi istri)
bagi ‘paunjuk anak’ (mengawinkan seorang laki-laki). Baik
keluarga pihak parboru dan paranak telah mufakat untuk
xviii
melaksanakan partongahjabuan dari putra putri mereka sesuai
dengan ketentuan pinaikkat yakni melaksanakan kewajiban
adat yang lengkap (adat na gok).
Apabila ketentuan hukum adat ‘yang ideal’ tentang
perkawinan ini tidak dapat dilakukan, maka mekanisme adat
berikutnya adalah ‘adat naniasokan’. Pada ketentuan adat ini,
keluarga pihak paranak dan parboru telah mufakat untuk
menikahkan putra putrinya. Namun, karena sesuatu dan lain
hal, maka ketentuan dan kewajiban adat belum dapat
dilaksanakan secara tuntas. Peresmian perempuan sebagai
istri (sinrumah) dilakukan di kediaman laki-laki dengan
melaksanakan ‘parunjukon’. Akan tetapi, ‘keluarga baru’ dan
orangtua dari pihak paranak harus menggenapi kewajiban
adatnya pasca-perkawinan yang disebut dengan ‘menggenapi
kewajiban adat’ atau mangadati (ngunduh mantu) di kediaman
keluarga pihak perempuan. Pada adat naniasokan, keluarga
pihak parboru hadir di parunjukon di kediaman pihak paranak.
Apabila ketentuan adat yang kedua ini juga tidak dapat
dilaksanakan, maka mekanisme adat yang ketiga adalah
marlualua atau kawin lari. Faktornya mungkin beragam.
Dalam mekanisme ini, salah satu pihak keluarga kurang
menyetujui rencana perkawinan padahal putra dan putrinya
sudah sepakat berumahtangga. Dampak penolakan ini maka
seorang perempuan berangkat menemui (mangayaki) calon
suaminya (pargotongni) dengan meninggalkan partadingan di
tempat yang mudah terjangkau seperti Parborasan (tempat
beras). Kemudian, pihak paranak melakukan parunjukon di
kediamannya tanpa atau dengan dihadiri oleh keluarga pihak
parboru. Kelak, keluarga baru ini harus melakukan
penggenapan terhadap kewajiban adat kepada keluarga pihak
parboru jika seandainya telah umbuk riah (telah mufakat). Jadi,
xix
perkawinan (partongahjabuan) pada orang Simalungun
dilakukan melalui tiga ketentuan adat, yakni:
(i) pinaikkat atau kemufakatan perkawinan dimana
perempuan diberangkatkan orangtuanya dengan baik
ke rumah calon suaminya dan kewajiban adat digenapi
dengan tuntas (adat na gok),
(ii) naniasokan yakni kemufakatan perkawinan dimana
perempuan diberangkatkan orangtuanya secara hati-
hati ke rumah calon suaminya dan kewajiban adat
digenapi melalui mekanisme mangadati (ngunduh
mantu), dan
(iii) marlualua atau kawin lari, yakni kurangnya
kemufakatan perkawinan dimana perempuan tidak
diberangkatkan oleh orangtuanya dengan baik menuju
rumah calon suaminya. Kewajiban adat melalui
mekanisme mangadati dapat digenapi pada waktu
ketika kemufakatan dicapai kedua belah pihak.
Selain ketiga jenis adat perkawinan ini, maka yang lainnya
bukanlah perkawinan adat (marhajabuan na so adat) sebab
tidak memenuhi kriteria atau ketentuan adat tentang
perkawinan di Simalungun, yaitu:
(i) perkawinan incest (mardawan begu) baik incest keluarga
inti maupun incest klan,
(ii) perkawinan kumpul kebo (marjabu uhuruhur), dan
(iii) perkawinan yang direbut atau dipaksa (nanirobut)
Selain itu, perkawinan adat Simalungun tidak mengenal
adanya konsepsi atau istilah perkawinan yakni:
(i) alob dear (dijemput dengan baik) yakni keluarga paranak
menjemput dengan baik perempuan ke rumah parboru.
xx
(ii) taruhon jual (antar dan jual) yakni perempuan di antar
orangtuanya untuk ‘dijual’ kepada keluarga pihak laki-
laki, dan
(iii) marlualua dear (kawin lari dengan baik) yakni
perkawinan yang ‘kurang direstui keluarga’ tetapi
dianggap baik sebagai solusi untuk mengawinkan
pasangan yang berencana membentuk rumahtangga
baru.
Pada penjelasan-penjelasan inilah, penulisnya (Mansen Purba)
pantas mendapatkan apresiasi karena telah memberikan
perspektif baru melihat dan memahami tentang ketentuan
(hukum) adat perkawinan bagi orang Simalungun. Namun,
buku ini masih menyisakan ruang yang kurang di bahas
secara spesifik dalam buku ini seperti ‘tobus huning’
(pernyataan penebusan pengantin perempuan kepada
orangtuanya), ‘pardalan ni suhi ni ampang’ (empat penjuru yang
memiliki kedudukan adat di Simalungun) dan lain-lain.
namun demikian, apabila dicermati secara seksama, maka
kedua hal ini sudah dijelaskan meskipun tidak disebut dengan
tobus huning ataupun suhi ni ampang.
Demikian halnya tentang percampuran adat di Simalungun
yang belum di bahas secara mendalam. Akan tetapi, naskah
ini sudah lebih memadai sebagai stimulus bagi yang ingin
memperdalam tentang adat perkawinan di Simalungun.
Kiranya, sangat jelas maksud kalimat pertama judulnya yakni
‘pangarusion’ atau ‘pemahaman’ tentang adat perkawinan bagi
Simalungun.
xxi
2. Marpanayog dan Marunjuk: pokok adat perkawinan di
Simalungun
Sistem perkawinan (marriage system) orang Simalungun adalah
eksogami klan (clan excogamy) yakni ketentuan perkawinan
yang dapat dilakukan antar klan (marga) yang berbeda dan
dilarang (ditabukan) kawin sesama marga. Perkawinan
sesama anggota keluarga inti atau keluarga batih (nuclear
family) sangat dilarang karena incest (mardawan begu). Sama
halnya dengan perkawinan sesama klan (anggota klan yang
sama atau dipersamakan) yang juga dilarang (tabu) karena
mardawan begu.
Tidak satupun ketentuan adat di Simalungun yang
mewajibkan perkawinan mangulaki (mengulangi) yaitu
marboru ni tulang (cross-cousin marriage) yakni menjemput putri
paman sebagai calon istri, ataupun maranak ni amboru (cross
cousin marriage) yakni menemui anak amboru sebagai calon
suami. Akan tetapi, adakalanya cross-cousin marriage ini
disarankan dengan maksud tertentu seperti:
(i) menjaga kekentalan dan keakraban (intimacy)
kekerabatan atau kekeluargaan,
(ii) memelihara dan merawat faktor-faktor produksi
terutama tanah (dan kemungkinan alasan politis), dan
(iii) alasan lain yang masuk akal seperti anjuran orangtua,
mencegah penyakit genetik, kemurnian asal usul
(hasusuran) dan lain-lain.
Sistem garis keturunan perkawinan adat Simalungun ialah
patrilineal yakni menarik pewarisan keturunan dari kaum laki-
laki. Dalam hal ini, kontras terlihat dari klan (marga) bahwa
hanya klan dari pihak laki-laki yang diwariskan kepada anak-
anaknya. Demikian pula sistem pewarisan yang terjadi pada
xxii
perkawinan orang Simalungun ialah patriarchat yakni
dominasi laki-laki dalam hukum waris. Dalam hal ini,
meskipun anak perempuan mendapatkan warisan dari
orangtuanya, tetapi jumlahnya tidak sebanding dengan apa
yang diterima oleh kaum laki-laki. Bagian ini menjadi menarik
pada kajian gender di lingkungan masyarakat yang patriarki.
Walaupun sistem keturunan bersifat patrilineal sama halnya
sistem pewarisan bersifat patriarchat yakni di dominasi laki-
laki, tetapi kemunculan adat tentang perkawinan justru
muncul dari kaum perempuan (sinaboru) dan bukan dari laki-
laki (sidalahi). Dalam arti bahwa, adat perkawinan
Simalungun cenderung mengatur bagaimana perempuan
diperlakukan atau diberangkatkan orangtuanya menjadi calon
istri dari seorang laki-laki yang menjadi suaminya. Dalam
bahasa yang lain disebut, bahwa adat perkawinan
Simalungun mengatur tentang bagaimana seorang perempuan
lahou hu jabu ni (berangkat ke rumahnya), guna membentuk
partongahjabuon (berumahtangga) yakni menjadi istri
(sinrumah) dari suaminya (pargotongni) ataupun menjadi
parumaen (menantu) dari simatuani (mertuanya) maupun
menjadi inang na bayu (ibu yang baru) di kediaman pihak
suaminya. Berdasar pada ketentuan adat ini, maka di
Simalungun dikenal tiga cara adat memberangkatkan
perempuan ke rumah baru-nya (panlakkah ni boru lahou hu jabu
ni) yakni:
a) pinaikkat yaitu perempuan diberangkatkan orangtuanya
dengan baik ke rumah calon suaminya,
b) naniasokan yakni perempuan diberangkatkan
orangtuanya secara hati-hati ke rumah calon suaminya,
dan
xxiii
c) marlualua yakni perempuan melarikan diri ke rumah
calon suaminya.
Adapun yang disebut pinaikkat apabila diberangkatkan
dengan baik-baik oleh orangtuanya serta ketentuan adat akan
dijalankan secara tuntas (adat na gok), sedangkan naniasokan
adalah orangtua memberangkatkan putrinya menikah hanya
saja adatnya belum dilakukan seluruhnya, dan kawin lari
(marlua-lua) adalah perkawinan yang sama sekali
mengabaikan ketentuan adat memberangkatkan perempuan.
Berdasar pada ketentuan ini, maka keluarga pihak mempelai
atau pengantin perempuan (pihak parboru) disebut
‘mengawinkan anak perempuan’ (palahou boru), sedangkan
keluarga pihak mempelai atau pengantin laki-laki disebut
‘mengawinkan anak laki-laki’ (paunjuk anak).
Namun demikian, berangkatnya perempuan ke rumah laki-
laki bukanlah pertanda perempuan dan laki-laki telah sah
atau resmi melakukan perkawinan. Rekognisi atau pengakuan
terhadap sah atau resminya perkawinan antara seorang
anakgadis (panakboru) dengan laki-laki dewasa (parana atau
garama) sesuai ketentuan adat Simalungun dilihat dari telah
atau belum dilakukannya adat marpanayok dan adat parunjukon
di rumah orangtua dari pengantin laki-laki. Dapat dikatakan
bahwa eksistensi perkawinan (hajongjongan ni sada
partongahjabuan) menurut adat Simalungun bukan dilihat dari
bagaimana perempuan itu berangkat dari rumah orangtuanya
ke rumah laki-laki tetapi yang paling menentukan adalah
ketika adat marpanayok telah dilakukan di rumah calon
mertuanya (parsaud ni boru marpanayok i rumah ni simatuani).
Demikian pula laki-laki telah melakukan adat parunjukon atas
kehadiran perempuan di rumah orangtuanya (parsaud ni anak
xxiv
marunjuk i rumah ni namatorasni). Kedua hal ini menjadi inti
pokok (sentrum) adat perkawinan di Simalungun.
Dengan kata lain, baik pinaikkat, naniasokan dan marlualua
bertumpu pada satu pengakuan adat untuk meresmikan atau
mensahkan sekaligus memberkati pembentukan rumahtangga
baru (pamasumasuon partongahjabuan) antara seorang
perempuan dan laki-laki di rumah orangtua mempelai laki-
laki. Sesuai ketentuan adat perkawinan Simalungun, seorang
perempuan dikatakan resmi menikah apabila ia telah
melakukan adat marpanayog, yaitu:
(i) penyematan bulang di kepala perempuan yang baru
tiba (mambulangi),
(ii) kemudian perempuan ini dimohonkan duduk di
sebelah luluan (ipahundul i luluan), dan
(iii) selanjutnya penyematan beras di kepala perempuan
yang baru (ijujungi boras tenger).
(iv) Ibu mertua melakukan pengakuan sebagai inang na
bayu (ibu yang baru) di rumahnya.
Pada waktu penyematan bulang di depan gerbang (horbangan)
atau pintu rumah, perempuan ini mengambil posisi setengah
berdiri dan pada waktu penyematan beras, ia mengambil
posisi duduk di sebelah luluan. Pada waktu menyematkan
boras tenger di kepalanya, ibu dari laki-laki yang menjadi
suaminya atau mertuanya memberikan pengakuan terhadap
perempuan ini sebagai ‘inang na bayu’ (ibu yang baru) di
keluarga pihak paranak. Lalu, ia mengambil beras dan
menaburkannya ke seisi rumah seraya menyatakan diatei tupa
(terima kasih) dan horas (tanda selamat). Dengan begitu,
perempuan ini telah resmi menjadi ibu yang baru atau istri
dari suaminya ataupun menjadi menantu dari mertuanya. Di
xxv
pundaknya terdapat beban adat dan sosial yang maha berat
untuk kelangsungan hidup dan kesinambungan sosialnya di
kemudian hari.
Setelah adat marpanayog bagi perempuan selesai, sesuai
ketentuan adat maka laki-laki berkewajiban
menyelenggarakan adat parunjukon yakni semacam tanda
perayaan syukur terhadap adat marpanayog. Adat marunjuk
searti dengan ‘unjuk’ atau meneguhkan dengan cara
memperlihatkan pada khalayak bahwa mereka telah menjadi
pasangan suami-istri yang sah. Kepada mereka berdua yang
telah dipakaikan bulang dan gotong serta diikat pada satu hiou
(kain tenunan khas Simalungun), maka keduanya telah
menjadi keluarga baru.
Perayaan adat parunjukon dapat dilakukan melalui pesta
(resepsi umum) atau partonggoan (resepsi kecil-kecilan)
dengan cara marurup mangan (jamuan makan bersama). Jika
melaksanakan resepsi umum maka ketentuan adatnya adalah
menjalankan panganan banggal (penganan kebesaran),
panganan pinatunggung (penganan kehormatan) maupun
potongan daging khusus kepada yang berhak menerima (gori).
Bisa juga sekedar menjalankan partonggoan yang hanya
mengundang kerabat inti saja (hade-hade sindohor).
Sewaktu parunjukon inilah, momen terbaik bagi khalayak
ataupun teman satu kampung (hasoman sahuta) untuk jamuan
makan bersama (marurup mangan) sekaligus mengantar
pemberiannya (tuppak). Pada jaman dahulu, lamanya
parunjukon adalah 8 (delapan) hari, dan selama itulah
sipanuppak datang membawa satu ekor ayam dan satu bakul
beras berupa pemberian (gift) untuk manuppaki (membantu)
keluarga baru yang terbentuk di kampung (huta) mereka.
xxvi
Untuk lebih jelasnya tentang adat marpanayog dan marunjuk
ini kami menyarankan agar membaca tuntas naskah yang
ditulis oleh Mansen Purba yang kami terbitkan ulang edisi
ber-ISBN dan bahasa Indonesia. Namun, kami sarankan juga
untuk berupaya mendapatkan naskah edisi bahasa
Simalungun sehingga dapat lebih mudah menangkap arti dan
makna sesuai kontekstual dan pembacaan sebagai orang
Simalungun.
Sebagai catatan, kami perlu menegaskan bahwa pengaruh
agama samawi sangat terasa pada adat perkawinan
Simalungun. Misalnya pada orang Simalungun Kristen, maka
adat marpanayog bagi perempuan dewasa ini dilakukan sehabis
pemberkatan (pamasumasuon) dari Gereja yakni di halaman
rumah mempelai laki-laki yakni mambulangi dan
mamborastengeri. Sedangkan laki-laki dipakaikan gotong dan di
borastengeri. Pada orang Simalungun Islam, pasca momen
Akad Nikah di hadapan Pejabat Agama (Kadi), maka
dilakukan pemakaian seperangkat pakaian adat Simalungun
(bulang dan gotong) sebagai realisasi adat marpanayog dan
marunjuk. Pasca acara adat dan agama, maka perkawinan itu
di daftarkan ke negara yakni di kantor Pencatatan Sipil.
Dengan cara itu, maka secara adat, agama dan negara barulah
perkawinan itu dianggap sah (resmi).
3. Implikasi sosial adat perkawinan: penutup
Sebelum pendahuluan ini kami akhiri, ada baiknya kami
deskripsikan tentang implikasi sosial dari adat perkawinan.
Dalam hal ini, perkawinan bukanlah dipandang semata-mata
berhubungan dengan bentuk rekoknisi ataupun pengakuan
sah tentang keteraturan sosial (social order) terhadap hubungan
seksual yaitu regenerasi (marniombah atau mangargari).
xxvii
Meskipun tujuan ini menjadi salah satu signifikansi
perkawinan, tetapi dalam perspektif adat tidaklah terfokus
pada regenerasi itu melainkan pada upaya penciptaan
keteraturan sosial yang nyata bagi masyarakat. Keteraturan
sosial ini merupakan implikasi sosial yang terlihat dari
banyak hal sebagaimana disebutkan terdahulu yakni:
(i) melahirkan implikasi-implikasi sosial yakni struktur
sosial ‘sitolu sahundulan, silima saodoran’ (tiga serangkai
dan lima serombongan), yang berarti kerjasama
(kolaborasi) antara setiap struktur pada sistem yang
dinamis antara hasuhutan bolon (tuan rumah), tondong,
tondong ni tondong, boru, dan boru ni boru. Kokohnya
sebuah keluarga di Simalungun, ditentukan oleh
struktur dan sistem sosial yang saling menopang ini.
Kami selalu mengandaikan bahwa struktur ini adalah
tampak depan (fasade) rumahbolon Simalungun yang
berbentuk pentagon (segilima). Si tolu sahundulan
(hasuhuton, boru dan tondong) berada di puncak yang
berbentuk segitiga, sementara dua struktur lainnya
(tondong ni tondong dan boru ni boru atau boru mintori)
berada di pondasi berbentuk trapesium. Menyatunya
kedua segitiga dan trapesium ini menjadi model
tampak depan rumahbolon Simalungun yakni silima
saodoran berbentuk pentagon. Trapesium ini
menyerupai sebuah perahu (solu) yang akan membawa
keluarga inti mengarungi samudra luas kehidupan
sosial yang nyata. Dewasa ini, struktur dan sistem
sosial ini tidak hanya terfokus pada penyelenggaraan
adat semata, tetapi dapat ditingkatkan ke jenjang yang
lebih tinggi dan bermartabat seperti saling menopang
dalam ekonomi, sekolah, pertanian, dan aktifitas
xxviii
politik baik suka maupun duka yakni implikasi sosial
kegotongroyongan (haroan bolon) guna mencapai
tujuan nyata (sapangambei manoktok hitei).
(ii) Bertahannya istilah-istilah penyebutan dalam
kekerabatan (term of addres). Istilah kekerabatan
bermula dari perkawinan. Seorang gadis (panakboru)
yang menikah disebut istri (sinrumah), seorang laki-laki
(parana) yang menikah disebut suami (pargotong). Di
lingkungan keluarga barunya, perempuan ini bisa
menjadi nasikaha atau nasianggi (kakak atau adik ipar),
parumaen (menantu) dari mertuanya. Di keluarga
perempuan, mereka menjadi boru, laki-laki menjadi
hela (menantu), ataupun orangtua mereka yang saling
besanan. Kenyataan ini masih berada di lingkungan
nuclear family di keluarga inti kedua belah pihak.
Belum lagi melingkupi extended family (keluarga luas)
serta struktur dan sistem sosial sitolu sahundulan lima
saodoran. Perkawinan di Simalungun bukan hanya
mengikat satu orang laki-laki dan perempuan tetapi
sekaligus mengawinkan dua keluarga besar dari pihak
paranak dan parboru. Perkawinan menciptakan kerabat
(hade-hade sindohor) dan bukan kerabat (hade-hade
nalegan).
(iii) kedudukan sosial adat, peran sosial dan
tanggungjawab sosial adat. Perkawinan yang
membentuk sitolusahundulan; silima saodoran
menciptakan kedudukan sosial yang berimplikasi pada
peran sosial adatnya. Kedudukan dan peran sosial ini
bukalah statis melainkan dinamis. Peran sosial ini
membutuhkan tanggungjawab bukan hanya pada
persoalan adat semata tetapi juga dalam setiap aktifitas
xxix
sosial baik bukan sengketa maupun sengketa
(partinggilan), ataupun sukacita (malas ni uhur) dan
dukacita (pusok ni uhur). Keluarga baru ini memiliki
kedudukan dan peran sosial untuk membina relasi
sosial yanng terbentuk karena perkawinan itu maupun
meneruskan adat istiadat yang berhubungan dengan
orangtua dari kedua belah pihak, baik horja malas ni
uhur maupun pusok ni uhur. Karena itu, hubungan baik
antar sesama struktur yang bergerak dinamis ini akan
menciptakan kebaikan bersama dalam keluarga inti
dan keluarga luas. Itulah sebabnya, hubungan
kekerabatan (pardihadihaon) pada etnik Simalungun
sangat diperlukan guna mempertahankan dan
membina eksistensi sosial dari suatu perkawinan
(hajonjongan ni parumahtanggaon).
Kiranya, implikasi sosial perkawinan sesuai adat ini
menimbulkan efek sistematis serta terstruktur pada
kehidupan sosial dan adat pada orang Simalungun. Berbeda
halnya jika perkawinan itu tidak dilakukan sesuai ketentuan
adat (partongahbajuan na so adat) seperti incest (mardawan begu)
maupun maruhur bai, dimana keluarga tersebut telah
mengabaikan kedudukan sosial, peran sosial dan
tanggungjawab sosialnya. Mereka terbuang dan terlempar
jauh dari struktur dan sistem sosial sitolu sahundulan lima
saodoran. Itulah sebabnya, para pelanggar adat perkawinan
seperti ini harus marjuma modom atau keluar menjauh dari
kampung untuk menahan aib dari rasa malu.
Bagaimanapun juga, adat memiliki fungsi sosial yakni
menciptakan keteraturan sosial. Ia adalah pranata sosial yang
melahirkan struktur dan sistem sosial yang saling mengikat
xxx
setiap struktur pada satu sistem dinamis untuk mencapai
tujuan bersama. Tujuan itu adalah laksana sebuah ‘keluarga
baru’ (rumah na bayu) yang memuat individu-individu yang
terikat oleh kedudukan, peran dan tanggungjawab sosial.
Daripadanya, diperoleh sistem nilai dan makna untuk
memeroleh arti kehidupan sosial sebagai manusia yang zoon
politicon yakni beradat dan beradab dan bukan homo lupus
(pemangsa bagi manusia lain).
Medan, Awal Juni 2019
Erond L. Damanik