dinamika perkawinan adat

56
BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Perkawinan Adat Dalam sejarah (lontara’) diketahui bahwa masyarakat Bugis pada umumnya dan masyarakat Bone khususnya, awalnya hanya mengenal kepercayaan yang bersifat animisme yang kita kenal sebagai bentuk kebudayaan asli. Kemudian setelah masuknya kebudayaan India (Hindu), barulah menjadi penganut agama monoisme. Selanjutnya Islam masuk sekitar abad ke- 14 yang menyebabkan terjadinya asimilasi antara ajaran Islam dengan ajaran Hindu, bahkan tidak terlepas dari kepercayaan leluhur tradisional yang bersifat animisme yang dianggap sebagai kebudayaan asli. Proses Islamisasi berlangsung secara intensif dengan pendekatan persuasif terhadap kepercayaan leluhur dan ajaran Hindu. Oleh karena itu, penerimaan ajaran Islam oleh penganut kepercayaan animisme dan ajaran Hindu berlangsung dengan cepat dan cukup mudah. Hal ini terlihat sangat jelas pada prosesi perkawinan adat masayarakat Bugis, Makassar di Sulawesi Selatan dan bahkan bagi masyarakat Mandar di Sulawesi Barat dan pada acara-acara adat tradisi lainnya. 1

Upload: amin-baharussalam

Post on 19-Jan-2016

157 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

Sejarah dan Budaya, Bugis Makssar

TRANSCRIPT

Page 1: dinamika perkawinan adat

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Perkawinan Adat

Dalam sejarah (lontara’) diketahui bahwa masyarakat Bugis pada umumnya

dan masyarakat Bone khususnya, awalnya hanya mengenal kepercayaan yang bersifat

animisme yang kita kenal sebagai bentuk kebudayaan asli. Kemudian setelah

masuknya kebudayaan India (Hindu), barulah menjadi penganut agama monoisme.

Selanjutnya Islam masuk sekitar abad ke- 14 yang menyebabkan terjadinya asimilasi

antara ajaran Islam dengan ajaran Hindu, bahkan tidak terlepas dari kepercayaan

leluhur tradisional yang bersifat animisme yang dianggap sebagai kebudayaan asli.

Proses Islamisasi berlangsung secara intensif dengan pendekatan persuasif

terhadap kepercayaan leluhur dan ajaran Hindu. Oleh karena itu, penerimaan ajaran

Islam oleh penganut kepercayaan animisme dan ajaran Hindu berlangsung dengan

cepat dan cukup mudah. Hal ini terlihat sangat jelas pada prosesi perkawinan adat

masayarakat Bugis, Makassar di Sulawesi Selatan dan bahkan bagi masyarakat

Mandar di Sulawesi Barat dan pada acara-acara adat tradisi lainnya.

Masalah perkawinan adalah merupakan ikatan lahir bathin antara laki-laki dan

perempuan (suami isteri) yang berlaku secara universal bagi seluruh umat manusia

dimuka bumi. Dalam masyarakat Bugis Bone, sebagaimana masyarakat lain di

Nusantara ini, upacara perkawinan atau pernikahan menandai dimulainya jalinan

hubungan berdasarkan cinta kasih yang sah menurut adat (aturan-aturan duniawi)

dan agama (aturan-aturan ukhrawi). Berawal dari peristiwa perkawinan itulah suami

isteri dapat menapaki masa depannya, membina rumah tangga dan melanjutkan

keturunannya.

Upacara perkawinan (pernikahan) yang dalam bahasa Bugis disebut – tudang

botting (duduk pengantin) bukan hanya menyatukan dua orang menjadi sepasang

suami isteri, tetapi juga menyatukan dua rumpun keluarga yang lebih besar yaitu

keluarga dari pihak mempelai laki-laki dan keluarga dari pihak mempelai wanita.

1

Page 2: dinamika perkawinan adat

Penyatuan kedua keluarga besar tersebut dalam bahasa Bugis disebut –silorongeng

(saling mengulurkan tangan) atau –mappasideppe mabelae (mendekatkan yang jauh).

Begitu pentingnya masalah perkawinan itu, sehingga dikalangan masyarakat

Bugis - Makassar di Sulawesi Selatan dan juga dikalangan masyarakat Mandar di

Sulawesi Barat dikenal beberapa ungkapan yang dialamatkan kepada orang yang

belum atau terlambat mendapatkan jodoh untuk melangsungkan perkawinan.

Misalnya, bagi anak yang mulai menanjak dewasa baik laki-laki maupun perempuan

yang belum menikah, dikatakan; – de’pa nabbatang tau (belum sempurna sebagai

manusia). Sedangkan bagi laki-laki atau perempuan yang berusia lanjut dan tidak

pernah menikah, dikatakan – lajo (pohon yang tidak berbuah). Biasa juga diistilahkan

– nawelei pasa (ketinggalan pasaran).

Oleh karena itu perkawinan dianggap bukan hanya bersifat duniawi, tetapi juga

bersifat sakral dan ukhrawi. Perkawinan adalah sesuatu yang sangat penting bagi

seseorang, karena merupakan babak baru dalam kehidupannya untuk membentuk

keluarga sebagai unit terkecil dari suatu masyarakat. Dalam masyarakat Bugis-

Makassar, orang tua yang telah berhasil mengawinkan anaknya baik laki-laki

maupun peremuan, selalu mengatakan; - mabbatang tauni anakku (anakku telah

menjadi manusia sempurna). Berdasarkan ungkapan tersebut, timbul suatu kesan

bahwa bagi anak yang mulai dewasa dan belum menikah, dianggap belum menjadi

manusia yang sempurna.

Sebenarnya pandangan masyarakat Bugis Bone tentang perkawinan dan tata

cara pelaksanaannya, pada dasarnya memiliki persamaan dengan daerah lainnya di

Sulawesi Selatan. Hanya saja dalam segi-segi kecil sering ditemukan perbedaan-

perbedaan yang tidak terlalu prinsipil. Misalnya, acara – ripaddupai yang masih

sering dijumpai di daerah Sidenreng Rappang, Soppeng dan daerah-daerah

sekitarnya, merupakan hal yang tidak ditemukan di daerah lain.

Acara – ripaddupai ini dilaksanakan di rumah mempelai wanita yang dipandu

oleh seorang indo’ botting (juru rias pengantin). Pada saat mempelai laki-laki selesai

membuka pakaian pengantin, disiapkan sembilan lembar sarung untuk dipakai.

2

Page 3: dinamika perkawinan adat

Kesembilan lembar sarung tersebut dipasangkan kepada mempelai laki-laki yang

dimulai dari kepala sampai ke kaki. Satu lembar diantaranya diikatkan di pinggang

untuk dipakai tidur, sedangkan yang lainnya dilepas dan disimpan kembali.

Menurut berbagai sumber, makna dari pada acara ripaddupai itu adalah agar

mempelai laki-laki kelak dapat mengetahui bahwa diantara banyak sarung yang ada

dalam rumah isterinya, hanyalah sarung isterinya yang berhak dipakainya. Artinya

banyak keluarga dan kerabat isterinya, tetapi yang menjadi miliknya hanyalah

isterinya yang telah dinikahinya.

Contoh lain adalah acara – jai kamma’ yang sampai sekarang masih sering kita

jumpai di daerah Wajo dan sekitarnya. Acara ini juga dilakukan di rumah mempelai

wanita setelah selesai acara – mappasikarawa (saling menjamah) atau – mappasewa

ada (saling bertegur sapa). Acara - jai kamma’ ini yaitu selembar kain putih yang

dililitkan kepada kedua mempelai, kemudian kedua ujungnya dijahit. Hal ini

mengandung makna bahwa keduanya diharapkan untuk sehidup - semati, artinya

selamat sejahtera menjalani kehidupan ini sampai tua.

2. Jenis-jenis Perkawinan

Melihat dari proses pelaksanaannya, dalam masyarakat Bugis Bone dikenal

beberapa jenis perkawinan, antara lain ;

a) Perkawinan yang dilaksanakan berdasarkan peminangan.

Jenis ini berlaku secara turun temurun bagi masyarakat Bugis Bone yang

bersifat umum, baik golongan bangsawan maupun bagi masyarakat biasa.

Perbedaannya hanya dari tata cara pelaksanaannya, yakni bagi golongan bang-

sawan, melalui proses yang panjang dengan upacara adat tertentu. Sedangkan

bagi masyarakat biasa dilaksanakan secara sederhana sesuai kemampuan.

b) Perkawinan silariang (kawin lari).

Jenis perkawinan yang dilaksanakan tidak berdasarkan peminangan, tetapi

karena kedua belah pihak mengadakan mufakat untuk lari ke rumah penghulu

untuk minta perlindungan dan selanjutnya dinikahkan.

Sebenarnya dalam masyarakat Bugis B o n e peristiwa – silariang (melarikan

3

Page 4: dinamika perkawinan adat

diri untuk dinikahkan) adalah suatu perbuatan yang mengakibatkan – siri’ bagi

keluarga perempuan. Dahulu apabila terjadi peristiwa seperti itu, maka pihak

keluarga perempuan yang disebut – to masiri’ selalu berusaha untuk menegak-

kan siri’ dengan cara mencari dan bahkan bisa terjadi pembunuhan terhadap

lelaki yang melarukan keluarganya.

Tetapi menurut ketentuan adat, apabila keduanya telah berada dalam rumah

anggota adat (sekarang pemerintah), atau setidak-tidaknya telah sempat mem-

buang pakaian atau songkoknya dalam pekarangan rumah anggota adat tersebut

yang berarti keduanya telah berada dalam rumah anggota adat, maka ia tidak

bisa lagi diganggu. Anggota adat (pemerintah) dan setelah masuknya Islam

ditangani oleh penghulu, harus berupaya untuk menikahkannya.

Untuk maksud tersebut, diadakanlah hubungan kepada orang tua perempuan

(to masiri’) guna dimintai persetujuannya. Tetapi biasa terjadi orang tua

dan

keluarga perempuan tidak mau memberikan persetujuannya, karena merasa

dipermalukan (dipakasiri’). Bahkan sering terjadi orang tua yang dipakasiri itu,

menganggap anaknya yang melarikan diri itu sudah meninggal dunia – ripaop-

pangi tana (ditutup dengan tanah), dikeluartkan dalam garis keturunan, tidak

lagi diakui sebagai anaknya. Apabila ini terjadi, maka jalan lain adalah pihak

adat (penghulu) menikahkannya yang sekarang dikenal dengan istilah - wali

hakim.

Tetapi walaupun keduanya telah dinikahkan, namun hubungan antara orang tua

serta keluarga dekat perempuan dengan laki-laki yang melarikan anaknya itu,

tetap berbahaya. Oleh karena itu, selama keduanya belum diterima kembali

untuk rujuk yang dalam bahasa Bugis disebut - maddeceng (minta maaf), kedua

to silariang (orang yang melarikan diri) tersebut harus selalu menghindar untuk

bertemu dengan orang tua dan keluarga terdekat perempuan tersebut.

c. Syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.

Sesuai dengan adat yang berlaku dalam masyarakat Bugis B o n e , persya-

4

Page 5: dinamika perkawinan adat

ratan lebih banyak dibebankan kepada pihak laki-laki. Disamping ia harus

mampu menyiapkan sejumlah materi dan uang, juga harus menyiapkan diri

untuk menjadi nakhoda dalam melayarkan bakhtera rumah tangga yang akan

dibinanya nanti. Dapat dikatakan bahwa hampir seluruh pembiayaan dalam

pelaksanaan perkawinan, ditanggung oleh laki-laki, karena disamping harus

menaikkan - doi menre (uang belanja), juga harus membawa persembahan

yang sekarang ini dikenal dengan nama – leko (sirih pinang) yang nilainya tidak

sedikit.

Disamping itu, apabila calon mempelai laki-laki berasal dari daerah luar, maka

kepadanya diharuskan membayar – pallawa tana. Besarnya pallawa tana diten-

tukan oleh pemuka adat setempat (pemerintah) atau penghulu dimana mempelai

wanita itu berdomisili. Pallawa tana itu merupakan tanda atau pengakuan bagi

calon mempelai laki-laki bahwa dirinya siap mengikuti segala aturan-aturan

adat dan aturan-aturan agama yang berlaku di daerah itu.

Setelah menikah, maka seluruh tanggung jawab terhadap isterinya baik menge-

nai keselamatan dan kesejahteraannya menjadi bebannya. Oleh karena itu

dalam masyarakat Bugis Bone dikenal suatu ungkapan bahwa seorang laki-

laki baru bisa kawin setelah ”mampu mengelilingi dapur sebanyak tujuh kali

dalam sehari”. Dapur adalah tempat memasak seluruh kebutuhan

(makanan atau minuman) yang berarti seluruh keperluan rumah tangga

menjadi tanggung jawab laki-laki.

Jadi ungkapan – mampu mengelilingi dapur sebanyak tujuh kali dalam sehari,

artinya seorang laki-laki barulah dianggap mampu untuk kawin apabila segala

yang diperlukan untuk dimasak di dapur dapat dipenuhinya.

d. Usia perkawinan.

Usia perkawinan yang sekarang ini diatur dalam Undang-Undang No.1 Tahun

1974 tentang Perkawinan, yakni usia minimal 16 tahun bagi perempuan dan 19

tahun bagi laki-laki. Hal ini dimaksudkan agar kedua calon mempelai tersebut

memiliki kematangan dalam berumah tangga, agar dapat memenuhi tujuan

5

Page 6: dinamika perkawinan adat

luhur dari suatu perkawinan yaitu mendapat keturunan yang baik dan sehat.

Dahulu, usia perkawinan tidak ada pembatasan sehingga sering terjadi anak di

bawah umur, sudah dinikahkan - botting ana’ana’ artinya kawin kanak-kanak.

Tetapi mereka berdua masih tetap tinggal di rumah orang tua masing-masing

dan nanti setelah keduanya akil balig (menanjak dewasa), barulah dipertemu-

kan untuk hidup sebagai suami isteri. Hal seperti itu masih berlaku sampai

pada akhir abad ke – 19. Bahkan sebahagian kalangan berpendapat bahwa

keadaan yang demikian berlangsung hingga pertengahan abad ke – 20.

e. Perkawinan yang dilarang.

Sejak dahulu adat yang berlaku dalam masyarakat Bugis B o n e melarang

perkawinan antara dua orang (laki-laki dan perempuan) yang masih memiliki

hubungan darah yang dekat, seperti;

- Seorang pria dilarang kawin dengan wanita yang menurunkannya (ibu/nenek)

baik melalui ayah maupun melalui ibu.

- Seorang pria dilarang kawin dengan wanita yang menurun darinya (anak/

cucu/cicit) baik keturunan anak pria maupun keturunan anakwanita.

- Seorang pria dilarang kawin dengan wanita dari keturunan ayah atau dari ke-

turunan ibu (saudara kandung/anak dari saudara kandung).

- Seorang pria dilarang kawin dengan wanita saudara dari yang menurunkan

(saudara kandung ayah /saudara kandung ibu/ saudara kakek atau nenek baik

dari ayah maupun dari ibu).

Dari hal yang disebutkan di atas, berarti seorang pria dilarang kawin dengan

seorang wanita dalam garis keturunan lurus ke atas dan kebawah tanpa batas.

Apabila hal ini terjadi, maka oleh masyarakat Bugis menganggapnya sebagai

peristiwa – malaweng (perbuatan haram menurut Islam). Sesuai hukum adat

yang berlaku dalam masyarakat Bone, keduanya ditenggelamkan di laut seba-

gai makanan ikan, karena merupakan pelanggaran hukum adat yang berat.

3. Masalah Perjodohan

Dahulu, masalah pemilihan jodoh (pasangan hidup) bagi masyarakat Bugis

6

Page 7: dinamika perkawinan adat

B o n e selalu dipilihkan oleh orang tua. Kedua mempelai nanti saling kenal

setelah duduk di pelaminan atau setelah masing-masing membuka pakaian

pengantin yang ditandai dengan suatu acara yang disebut–ripasiewa ada (disuruh

saling menyapa).

Dalam memilih jodoh orang Bugis Bone biasanya memperhatikan faktor-faktor

sebagai berikut ;

a) Faktor obyektif, yaitu adanya kesiapan untuk berumah tangga yang dititik berat-

kan pada masalah ekonomi, kedewasaan, mental, karakter, kecerdasan dsb.

b) Faktor subyektif, yaitu adanya dasar saling cinta mencintai. Dahulu faktor ini

lahir setelah terlaksananya perkawinan, karena pada umumnya mempelai dijo-

dohkan oleh orang tua dan tidak saling mengenal.

Dalam masyarakat Bugis B o n e dikenal adanya pelapisan sosial yang sam-

pai sekarang masih sering menjadi pertimbangan dalam hal perjodohan. Seorang

yang berasal dari golongan bangsawan selalu mempertimbangkan untuk memilih

jodoh dari golongan masyarakat biasa, golongan hamba (ata) yang pernah dike-

nal pada zaman lampau. Dahulu, hubungan antara anak bangsawan dengan anak

orang biasa, apalagi anak seorang hamba (ata) dianggap suatu pelanggaran yang

disebut – nasoppa’i tekkenna artinya tertusuk oleh tongkatnya sendiri.

Hal yang memungkinkan seorang lelaki yang berasal dari golongan biasa dapat

mengawini wanita dari golongan bangsawan, adalah harus memiliki kelebihan

seperti – to warani (pemberani), to sugi (orang kaya), cendekiawan atau pemim-

pin agama.

________________

7

Page 8: dinamika perkawinan adat

BAB II

TAHAPAN-TAHAPAN MENUJU PERKAWINAN

Untuk menuju kepada suatu perkawinan bagi masyarakat Bugis Bone, tidak

segampang membeli barang di pasar. Tetapi melalui beberapa pase dengan rentang

waktu yang agak panjang serta melibatkan orang tua, kerabat dan keluarga.

Perkawinan dianggap ideal apabila pase-pase yang telah menjadi ketentuan adat dan

agama tersebut dilalui.

Perkawinan dianggap sangat penting dalam kehidupan seseorang, karena

merupakan babak baru untuk membentuk keluarga sebagai unit terkecil dari suatu

masyarakat. Sesuai dengan sifat dan watak orang Bugis yang religius dan menguta-

makan kekeluargaan, maka untuk menuju kepada suatu perkawinan diperlukan

partisipasi keluarga dan kerabat untuk merestui perkawinan tersebut.

Bagi orang tua yang mempunyai anak laki-laki yang sudah mulai dewasa,

merasa terbebani oleh suatu kewajiban untuk mengawinkannya. Oleh karena itu

berbagai upaya harus dilakukannya, mulai dari masalah pendanaan sampai kepada

masalah siapa nantinya yang bakal dijodohkan kepada anaknya tersebut.

Dalam hal cari mencari jodoh (pasangan) yang kelak akan berlanjut kejenjang

perkawinan dikalangan orang Bugis, Makassar, termasuk oang Mandar di Sulawesi

Barat, pada umumnya lebih banyak dilakukan oleh pihak kerabat atau keluarga laki-

laki. Sementara pihak wanita hanya menunggu datangnya lamaran dari seorang laki-

laki yang bakal menjadi jodohnya dan berlanjut kejenjang perkawinan. Akan tetapi

beban psykologis (kekhawatiran) tentang tidak adanya jodoh bagi seorang gadis, juga

dirasakan oleh orang tuanya sebagaimana yang dirasakan oleh orang tua laki-laki.

Sebelum acara perkawinan dilangsungkan, maka ada beberapa pase yang harus

dilalui. Pase-pase tersebut adalah sebagai berikut ;

1. Mammanu’manu’.

Mammanu’manu’ adalah merupakan langkah awal yang dilakukan oleh orang

tua laki-laki yang bermaksud mencarikan jodoh (pasangan) anaknya yang akan

8

Page 9: dinamika perkawinan adat

berlanjut kejenjang perkawinan. Mammanu’manu’ artinya melakukan kegiatan

seperti burung yang terbang kesana kemari. Tujuannya adalah untuk menemukan

seorang gadis yang kelak akan dilamarnya. Setelah menemukan seorang gadis yang

menurut pertimbangan bisa dijadikan isteri oleh anaknya, maka dilanjutkanlah

kegiatan itu kepada langkah selanjutnya yang disebut – mappese’pese’ (menyelidiki).

Biasanya orang yang melakukan kegiatan mappese’pese’ itu adalah dari

keluarga dekat sang gadis tersebut. Tugasnya adalah melakukan penelusuran tentang

berbagai hal mengenai keadaan gadis tersebut, misalnya bagaimana tingkah lakunya,

apakah tidak mengidap suatu penyakit menular, tidak cacat mental dan sebagaiya.

Setelah persyaratan tersebut dimiliki oleh sang gadis, maka dibuatlah suatu

kesepakatan dalam keluarga untuk melanjutkan ke langkah berikutnya yaitu

meminang.

Untuk melakukan peminangan ini yang dalam bahasa Bugis disebut – massuro,

biasanya diutus beberapa orang yang dianggap dewasa dan disegani. Tetapi

sebelumnya, diutus satu atau dua orang untuk – mabbaja laleng (merintis jalan).

Mereka datang ke rumah perempuan yang akan dilamar dan menyampaikan kepada

orang tuanya atau keluarga dekatnya tentang maksud peminangan tersebut. Setelah

mendapat persetujuan dari pihak orang tua gadis, barulah kembali mempersiapkan

rencana peminangan tersebut

Lalu orang tua atau keluarga perempuan yang akan dilamar, menghubungi

beberapa keluarganya untuk turut menghadiri peminangan yang telah disepakati

antara – pabbaja laleng tersebut. Tentu saja bagi pihak orang tua dan keluarga laki-

laki belum bisa merasa puas, sebab dalam acara peminangan sebentar akan muncul

berbagai tuntutan dari pihak perempuan. Misalnya, pihak orang tua dan keluarga

perempuan menelusuri lebih jauh tentang asal-usul laki-laki tersebut yang dalam

bahasa Bugis disebut – mattuttung lampe.

2. Meminang (massuro).

Meninang dalam bahasa Bugis disebut – massuro atau madduta, yaitu

mengutus beberapa orang ke rumah perempuan yang akan dilamar. Biasanya orang

9

Page 10: dinamika perkawinan adat

yang diutus tersebut adalah orang-orang yang mengetahui tentang seluk beluk dan

cara meminang. Pertama-tama ia harus mengemukakan maksudnya dengan penuh

sopan santun agar orang tua dan keluarga perempuan yang akan dilamarnya tidak

merasa tersinggung.

Salah seorang dari rombongan - to madduta (orang yang melakukan tugas me-

minang) mengemukakan maksud kedatangannya dengan kata-kata yang halus yang

bersifat ungkapan-ungkapan yang bermakna. Sementara orang yang menerimanya

juga menjawabnya dengan kata-kata yang halus pula serta penuh makna simbolis.

Berikut ini adalah salah satu contoh dialog antara – to madduta (orang yang

membawa lamaran) dengan to riaddutai (orang yang akan menerima lamaran);

+ To madduta ; Iyaro bunga puteta- tepu tabbaka toni – engkanaga sappona. (Bunga

putih yang sedang mekar, apakah sudah memiliki pagar?).

- To riaddutai ; De’ga pasa ri kampotta - balanca ri liputta mulinco mabela. (Apa-

kah tidak ada pasar di kampung anda, jualan ditempat anda

sehingga anda pergi jauh?).

+ To madduta ; Engka pasa ri kampokku – balanca ri lipukku– naekiya nyawami

kusappa. (Ada pasar di kampungku, jualan di tempatku, tetapi yang

kucari adalah hati yang suci/budi pekerti yang baik).

- To riaddutai ; Iganaro maelo ri bunga puteku – temmakkedaung – temmakkecolli’

(Siapakah yang berminat terhadap bunga putihku, tidak berdaun,

tidak pula berpucuk).

Setelah pihak perempuan mendengar bahwa pihak laki-laki benar-benar ingin

melamar, dengan segala kerendahan hati ia berkata ;”Narekko makkoitu adatta –

soroni tangngaka – nakubali tangnga toi. (Kalau begitu maksud anda, kembalilah

mempelajari keluarga kami dan saya juga mempelajari keluarga anda).”

Dengan kata-kata to riaddutai seperti ini, adalah pertanda bahwa lamaran bakal

diterima. Sementara pihak perempuan segera melakukan musyawarah dengan

keluarganya untuk membicarakan berbagai hal seperti besarnya uang belanja, uang

10

Page 11: dinamika perkawinan adat

mahar, hari pernikahan dan sebagainya. Pihak laki-laki pun kembali melakukan hal

yang sama guna membicarakan persiapan menjelang perkawinan.

3. Acara Mappettu Ada.

Setelah terjadi kesepakatan bahwa lamaran pihak laki-laki telah diterima baik

oleh pihak orang tua perempuan, maka ditentukanlah waktu pelaksanaan acara –

mappettu ada (memutuskan segala apa yang diperlukan) dalam pelaksanaan

pernikahan nanti. Dalam acara mappettu ada, dibicarakanlah berbagai hal yang

berhubungan dengan pelaksanaan pernikahan yang meliputi ;

a) Tanra Esso (Penentuan Hari Pernikahan).

Penentuan hari pernikahan baik pihak laki-laki maupun pihak perempuan

mempertimbangkan tentang waktu-waktu yang luang bagi keluarga. Kalau keluarga

terdiri dari petani, maka biasanya dipilih waktu selesai panen. Sedangkan kalau

keluarga terdiri dari pegawai, maka dipilih waktu libur atau hari minggu.

Biasanya yang paling banyak menentukan hari pernikahan adalah dari pihak

perempuan, sementara pihak laki-laki hanya mengikuti. Dalam masyarakat Bugis,

hari-hari hajatan seperti pernikahan, selamatan dan sebagainya ditentukan oleh orang

pintar di kampung itu.

b) Doi menre (uang belanja).

Sesudah menetapkan hari pernikahan (tanra esso), maka hal yang paling

penting adalah besarnya uang naik yang harus diberikan oleh pihak laki-laki kepada

pihak perempuan. Sekarang ini untuk menetapkan uang belanja pihak perempuan

selalu melihat harga yang berlaku dipasaran. Kalau pihak perempuan menghendaki

pesta pernikahan itu ramai, maka uang belanja yang diminta juga tinggi. Kecuali

kalau antara laki-laki dan perempuan ada saling pengertian, maka biasanya

diserahkan saja kepada pihak laki-laki tentang berapa kemampuannya.

Menurut aturannya uang belanja ini merupakan biaya yang diberikan oleh

pihak laki-laki kepada pihak perempuan dalam rangka pelaksanaan pesta pernikahan

tersebut. Dalam acara – mappettu ada tersebut memang telah dibicarakan bahwa

apabila sesudah menikah dan terjadi masalah, misalnya laki-laki tidak mampu untuk

11

Page 12: dinamika perkawinan adat

memberikan nafkah batin kepada isterinya, sehingga terjadi perceraian, maka uang

belanja tersebut tidak dikembalikan.

c) Sompa (mahar).

Sompa atau mahar adalah pemberian pihak laki-laki kepada perempuan yang

dinikahinya, berupa uang atau benda, sebagai salah satu syarat sahnya pernikahan.

Jumlah sompa sebagaimana yang diucapkan oleh mempelai laki-laki pada saat

pernikahan (akad nikah), menurut ketentuan adat jumlahnya bervariasi menurut

tingkatan kebangsawanan seseorang.

Sompa yang berlaku sejak lama di daerah Bugis, dinilai dengan mata uang

lama (Portugal) yang disebut real (orang Bugis menyebutnya - rella). Bagi bangsawan

tinggi sompa atau maharnya dinyatakan dengan – kati senilai 88 real, ditambah satu

orang hamba (ata) senilai 40 real dan satu ekor kerbau senilai 25 real. Sompa bagi

perempuan dari kalangan bangsawan tinggi disebut – sompa bocco (sompa puncak)

yang bisa mencapai 14 kati. Sedangkan bagi perempuan dari kalangan bangsawan

menengah ke bawah, hanya satu kati, bagi orang baik-baik (to deceng), setengah kati,

kalangan orang biasa, seperempat kati.

Adapun tingkatan-tingkatan sompa menurut adat Bugis, adalah sebagai

berikut;

- Bangsawan tinggi = 88 real.

- Bangsawan menengah = 44 real.

- Arung Palili = 40 real.

- To deceng = 28 real.

- To maradeka = 20 real.

- Hamba (ata) = 10 real.

4. Acara Mappasiarekeng dan Mappaenre Balanca

Dalam pelaksanaannya orang biasa menggabungkan pada acara – mappettu ada

dengan acara – mappasiarekeng dan – meppenre balanca. Itu tergantung dari

kesempatan kedua belah pihak (laki-laki dan perempuan) dengan berbagai

pertimbangan misalnya, mengirit biaya dan mengefesienkan waktu.

12

Page 13: dinamika perkawinan adat

Acara mappasiarekeng (menguatkan kembali apa yang telah dibicarakan) dan

mappaenre balanca (membawa sejumlah uang belanja) sesuai kesepakatan antara

pihak laki-laki dengan pihak perempuan pada saat mappettu ada. Rombongan pihak

laki-laki terdiri dari laki-laki dan perempuan yang berpakaian adat dan dipimpin oleh

seorang yang dituakan. Begitu pula pihak perempuan menyambut kedatangan

rombongan pihak laki-laki dengan pakaian adat pula.

Pihak laki-laki membawa sirih pinang untuk – mappaota (menyuguhkan

sesuatu) berupa ;

a. tujuh ikat daun sirih

b. tujuh biji buah pinang

c. tujuh potong gambir

d. tujuh bungkus kapur

e. tujuh bungkus tembakau

Semua jenis benda tersebut mengandung makna penghargaan kepada calon

mempelai wanita termasuk seluruh keluarganya. Sebagaimana kebiasaan masyarakat

Bugis B o n e pada masa lampau yaitu mengunyah daun sirih, maka pemberian daun

sirih dengan segala kelengkapannya, seperti ; pinang, tembakau,gambir,kapur, dan

lain-lain, merupakan penghargaan yang sangat tinggi pada masa lampau.

Selain itu, pihak laki-laki membawa pula barang berupa satu buah cincin dan

dua lembar sarung. Cincin dan sarung tersebut, dipasangkan kepada calon mempelai

wanita setelah acara mappasiarekeng selesai. Cincin dan sarung tersebut dimaksud-

kan sebagai tanda ikatan yang dalam bahasa Bugis disebut – passeo (pengikat) dari

calon mempelai laki-laki kepada calon mempelai wanita.

Pada saat mappasiarekeng, adakalanya uang belanja untuk calon mempelai

wanita diserahkan pula yang disaksikan oleh segenap yang hadir. Jumlah uang

belanja tersebut telah disepakati pada saat mappettu ada. Selanjutnya acara

mappasiarekeng ditutup dengan pembacaan doa yang dipimpin oleh orang yang

dituakan oleh pihak calon mempelai wanita.

13

Page 14: dinamika perkawinan adat

5. Mappada (mengundang).

Mappada atau mattampa (mengundang) dilakukan baik oleh pihak laki-laki

maupun pihak perempuan untuk memberi informasi kepada segenap keluarga, handai

tolan tentang akan dilaksanakannya pesta pernikahan tersebut. Kegiatan ini biasanya

dilaksanakan tujuh hari sebelum acara puncak. Dahulu sebelum adanya alat

percetakan, kegiatan mappada atau mattampa dilakukan oleh beberapa orang wanita

atau laki-laki untuk menyampaikan secara lisan kepada segenap keluarga tentang

rencana pernikahan tersebut. Oleh karena itu, kegiatan ini disebut juga madduppa

atau mappaisseng.

Orang yang melakukan kegiatan madduppa atau mattampa itu, terdiri dari laki-

laki dan perempuan dengan berpakaian adat lengkap. Biasanya berpasang-pasangan

yaitu jumlah laki-laki sama dengan jumlah perempuan. Selain itu, jumlah orang yang

akan melakukan kegiatan – mappada atau mattampa disesuaikan dengan tingkat

kebangsawanan orang yang akan ripada. Kalau orang yang akan – ripada atau –

ritampai tersebut tergolong bangsawan tinggi, maka – pattampa berjumlah 12 orang,

bangsawan menengah enam orang, dan masyarakat biasa empat atau dua orang.

Mereka yang melakukan kegiatan – mattampa disebut – pattampa, membawa

rokok yang disodorkan kepada orang yang riduppai (diundang) sebagai tanda bahwa

undangan telah disampaikan. Dahulu sebelum orang mengenal tembakau dan pada

umumnya makan sirih, maka yang dibawa adalah siring pinang. Dewasa ini, hal

seperti sudah jarang kita jumpai.

6. Mappasau (mandi sauna).

Beberapa hari sebelum pesta pernikahan dilaksanakan, calon mempelai wanita

dirawat dengan cara – mappasau (mandi uap). Tujuannya adalah agar keringat dan

bau badan menjadi segar. Setiap mandi pagi atau petang diharuskan memakai – bedda

lotong (bedak hitam) yang terbuat dari beras yang digoreng sampai hangus lalu

ditumbuk sampai halus. Disamping itu, selama beberapa hari sebelum pesta

pernikahan- nya, calon mempelai wanita diharuskan selalu memakai bedak basah atau

lulur. Hal ini dilakukan agar kulit calon mempelai wanita kelihatan bercahaya.

14

Page 15: dinamika perkawinan adat

Adapun peralatan yang digunakan untuk mappasau adalah belanga yang terbuat

dari tanah liat. Belanga tersebut berisi air yang dicampur dengan ramuan, seperti daun

sukun, daun pandan, rampa patappulo (rempah 40 macam) dan akar-akar yang

harum. Belanga yang berisi air dan ramuan tersebut ditutup mulutnya dengan daun

pisang dan diletakkan di atas tungku. Setelah mendidih, belanga tersebut diangkat dan

diletakkan disuatu tempat, kemudian calon mempelai wanita disuruh untuk berdiri di

atasnya dengan berselimut sarung.

Setelah beberapa saat mappasau, keringat calon mempelai wanita kelihatan

menetes yang berarti uap air ramuan tersebut telah meresap ke seluruh tubuhnya.

Barulah dimandikan dengan air biasa, tetapi tetap dicampur dengan berbagai macam

daun dan bunga yang harum, seperti ;

a. Daun asiri yang bermakna – siri’.

b. Daun srikaya bermakna – kekayaan.

c. Daun tebu bermakna – rasa manis.

d. Daun waru bermakna – kesuburan.

e. Bunga canaguri bermakna – kekuatan.

f. Bunga cabberu bermakna – keceriaan

Sementara bagi calon mempelai laki-laki tidak perlu melakukan hal-hal; seperti

di atas, tetapi ia tetap harus menjaga kesehatan dan staminanya. Misalnya, mandi

dengan teratur, merapikan rambut, janggut dan kumis. Disamping itu, biasanya calon

mempelai laki-laki dilarang bepergian jauh untuk menghindari bahaya. Dalam

masyarakat Bugis ada semacam kepercayaan bahwa calon mempelai itu mudah

terkena bahaya yang disebut – raporaponna (rentang dengan bahaya).

7. Cemme passili (mandi tolak bala).

Cemme passili (mandi tolak bala) dilakukan sebagai permohonan kepada

Allah SWT agar dijauhkan dari segala macam bahaya. Acara ini dilaksanakan pada

pagi hari ketika matahari mulai muncul di sebelah timur. Cemme passili dilakukan

oleh calon mempelai laki-laki dan calon mempelai wanita untuk memasuki acara –

mappacci pada malam harinya.

15

Page 16: dinamika perkawinan adat

Tata cara pelaksanaannya dipandu oleh – indo’ botting (juru rias pengantin)

dengan mendudukkan calon mempelai di atas sebuah kelapa yang masih utuh yang

diletakkan di atas loyang besar. Calon mempelai memakai baju dan sarung yang baru

yang sebentar akan diserahkan kepada indo’ botting yang mamandikannya. Selama

prosesi mandi tolak bala itu berlangsung, lilin (dahulu pesse pelleng) harus selalu

menyala.

Air yang akan digunakan untuk cemme passili harus dilekke (diambil) dengan

suatu acara khusus yang dilakukan oleh indo’ botting. Disamping itu, air yang akan

dimandikan kepada calon mempelai tersebut dicampur dengan ramuan-ramuan

seperti yang dipakai pada saat mandi sauna (mappasau). Dahulu, masyarakat Bugis

menggunakan air dari sumur yang dianggap keramat. Tetapi sekarang karena hal

seperti itu sulit untuk dilakukan, maka orang yang akan melakukan cemme passili

cukup mengambilnya dari sumber air yang ada dalam rumah.

Setelah cemme passili dilaksanakan, sore harinya calon mempelai dirias untuk

melakukan acara mappacci pada malam harinya. Pakaian yang digunakan sama

dengan pakaian yang akan digunakan pada malam resepsi pernikahan. Semua

pengiring seperti bali botting, passeppi dan anak botting juga dirias.

8. Mappaenre Leko (Sirih pinang)

Leko’ (bahasa Makassar) artinya – daun sirih yang pada zaman dahulu sangat

dibutuhkan oleh orang-orang Bugis, Makassar di Sulawesi Selatan. Mengunyah daun

sirih yang dicampur dengan pinang, gambir, kapur serta gulungan tembakau sebagai

penyeka, merupakan kebiasaan warga masyarakat Sulawesi Selatan sebelum adanya

rokok. Kebiasan ini berlangsung hingga pertengahan abad ke – 20, bahkan hingga

kini masih sering dijumpai orang-orang tua yang mengunyah sirih.

Oleh karena itu pada zaman dahulu daun sirih dengan segala kelengkapannya

tadi, merupakan barang yang sangat istimewa dan bernilai tingi. Menyuguhkan sirih

yang dalam bahasa Bugis disebut – mappaota kepada seseorang, adalah bentuk

penghargaan yang dianggap memiliki nilai budaya – sipakatau – sipakalebbi yang

merupakan ciri khas sifat-sifat orang Bugis Bone.

16

Page 17: dinamika perkawinan adat

Dalam perkembangannya, menyuguhkan atau mempersembahkan sesuatu

kepada seseorang, dianggap tidak memiliki nilai sipakatau dan sipakalebbi tanpa

diikuti dengan daun sirih dengan segala kelengkapannya yang akhirnya disebut ”sirih

pinang”. Begitu pula pemberian calon mempelai laki-laki kepada clon mempelai

wanita yang diantarkan sebelum berlangsungnya akad nikah yang kemudian dikenal

dengan istilah – mappaenre leko’.

Dahulu, dalam masyarakat Bugis Bone persembahan yang diantar oleh

keluarga calon mempelai laki-laki ke rumah calon mempelai wanita sebelum acara

pernikahan, disebut – mappaenre ota atau mappaota. Tetapi seiring dengan

perkembangan dimana antara masyarakat Bugis Bone dengan masyarakat Makassar

semakin tidak ada batas pergaulan, maka ada kecendrungan orang-orang Bugis Bone

ikut-ikutan memakai istilah – leko’ (sirih pinang).

Mappaenre leko’ biasanya dilakukan dua kali, pertama pada acara

mappasiarekeng atau meppetu ada yang disebut - leko’ caddi. Kedua pada acara –

mappaenre botting atau acara pernikahan yang disebut – leko’ lompo. Perbedaannya

hanya dari segi jumlah barang yang dibawa, yairtu leko’ caddi jumlahnya sedikit,

sedangkan pada leko lompo jumlahnya lebih banyak dan lebih lengkap. Misalnya,

kalau calon mempelai wanita adalah keturunan bangsawan tinggi, maka jumlah

bosara yang berisi kue-kue tradisioanl sebanyak 14 buah. Sedangkan bagi orang biasa

jumlahnya hany sampai 12 buah.

Adapun yang diantarkan oleh pihak keluarga calon mempelai laki-laki kepada

calon mempelai wanita, antara lain ;

- Daun sirih beberapa ikat;

- Pinang satu tandang;

- Tembakau;

- Gambir;

- Kapur secukupnya;

- Gula merah;

- Kelapa satu tandang;

17

Page 18: dinamika perkawinan adat

- Pisang satu tandang;

- Tebu beberapa batang;

- Buah srikaya;

- Nenas;

- Jeruk;

- Dan beberpa jenis buah-buahan lainnya.

Disamping itu, bosara yang jumlahnya 12 atau 14 buah berisi kue-kue

tradisional seperti; ondeonde, cucuru’ te’ne, baje’, dodoro’, doko’doko’ utti, dan

sebagainya. Selanjutnya alat-alat kecantikan, alat-alat untuk mandi, pakaian dan

perhiasan sesuai kemapuan pihak laki-laki. Bahkan ada yang mengharuskan calon

mempelai laki-laki membawa dua ekor ayam (jantan dan betina) yang oleh orang

Bugis disebut – pattampa baja (pengundang siang). Sepasang ayam tersebut bagi

orang Bugis mengandung makna bahwa suami isteri nantinya akan murah rezeki dan

banyak anak.

Para pengantar terdiri dari laki-laki atau perempuan dengan pakaian adat

lengkap diiringi dengan bunyi-bunyian seperti gendang, gong, pui’pui dan sebagainya

yang dapat menambah meriahnya acara mappaenre leko’ tersebut. Setelah sampai di

rumah calon mempelai wanita kesemua bawaan tersebut diserahkan kepada keluarga

calon mempelai wanita.

9. Acara Mappacci.

Pada hakekatnya acara –mappacci termasuk sebagai rangkaian suatu

perkawinan. Mappacci memiliki makna simbolis yaitu membersihkan atau mensuci-

kan diri dari berbagai hal yang buruk sebelum memasuki hari perkawinan. Oleh

karena itu, acara yang oleh masyarakat Bugis dianggap sebagai suatu yang penting,

dilakukan baik oleh calon mempelai laki-laki maupun calon mempelai wanita.

Mappacci berasal dari kata – pacci (daun pacar) yaitu semacam tumbuhan yang

oleh orang Bugis daunnya biasa digunakan sebagai – belo kanuku (hiasan/pemerah

kuku), terutama pada saat memasuki bulan Ramadhan. Kemudian dari kata pacci

dikonotasikan menjadi kata paccing (bersih atau suci) yang diyakini akan memiliki

18

Page 19: dinamika perkawinan adat

makna bagi kedua calon mempelai. Dengan demikian acara mappacci mempunyai arti

simbolis yaitu kebersihan dan kesucian sebagai suatu unsur yang sangat diperlukan

sebelum memasuki acara puncak dari prosesi perkawinan.

Acara mappacci disebut juga -tudampenni (duduk malam) dilaksanakan di

rumah masing-masing calon mempelai pada malam hari sebelum pelaksanaan resepsi

pernikahan yang disebut tudabbotting (duduk pengantin) pada malam berikutnya.

Pelaksanaan acara mappacci ini hanya dihadiri oleh kerabat, keluarga dan tetangga

terdekat kedua calon mempelai.

Sebelum acara mappacci atau tudampenni dilaksanakan, pada sore harinya

keluarga kedua calon mempelai melakukan kegiatan yang disebut –mallekke’ pacci

(pengambilan daun pacci/pacar). Kalau calon mempelai tersebut adalah keturunan

bangsawan, maka tempat mallekke’ pacci dilakukan di rumah raja atau pemangku

adat. Sedangkan bagi calon mempelai yang hanya berasal dari orang kebanyakan

(masyarakat biasa), maka tempat mallekke pacci dilakukan di rumah kerabat

terdekatnya saja.

Apabila calon mempelai berasal dari keturunan bangsawan, maka yang

melakukan mallekke’ pacci adalah keluarga yang terdiri atas pria dan wanita, tua,

muda, dengan pakaian adat lengkap. Iring-iringannya adalah sebagai berikut;

1. pembawa tombak

2. pembawa tempat sirih

3. pembawa bosara yang berisi kue-kue

4. pembawa daun pacci yang dipayungi dengan lellu

5. pembawa alat bunyi-bunyian berupa gendang, gong, anabbeccing dan lain-lain.

Apabila calon mempelai tersebut berasal dari orang kebanyakan, maka yang

akan melakukan mallekke’ pacci cukup satu atau dua orang keluarga terdekatnya juga

dengan pakaian adat lengkap. Langsung melakukannya di rumah kerabat calon

mempelai atau langsung mengambil daun pacci pada pohonnya.

Acara mappacci yang oleh masyarakat Bugis diyakini mengandung makna

simbolis kebersihan dan kesucian bagi calon mempelai baik laki-laki maupun

19

Page 20: dinamika perkawinan adat

perempuan. Artinya baik calon mempelai laki-laki maupun calon mempelai wanita

dianggap masih suci dan bersih, oleh karena itu bagi calon mempelai yang berstatus

janda atau duda, tidak lagi ada acara mappacci.

Perlengkapan acara mappacci bagi orang Bugis semuanya mengandung makna

simbolis yang diyakini dapat membawa berkah kepada kedua calon mempelai.

Misalnya, daun pacci sebagai bahan utama dari pada acara ini mengandung makna

kebersihan dan kesucian. Begitu bermaknanya daun pacci bagi masyarakat Bugis,

sehingga dikenal ungkapan; -Duwami kuwala sappo – belona kanukue na unganna

panasae – artinya hanya dua yang kujadikan pagar bagi diriku, hiasan kuku (pacci)

dan bunga nangka. Bunga nangka dalam bahasa Bugis yaitu – lempu yang diartikan

sebagai kejujuran.

Adapun kelengkapan acara mappacci lainnya, adalah sebagai berikut ;

1. Bantal yang terbuat dari kain , berisi kapuk atau kapas, sebagai alas kepala pada

saat tidur, melambangkan kesuburan.

2. Pucuk daun pisang yang diletakkan di atas bantal, melambangkan kehidupan yang

berkesinambungan, sebagaimana keadaan pohon pisang yang setiap saat terjadi

pergantian daun. Bagi masyarakat Bugis diartikan sebagai kelanjutan keturunan.

3. Sarung Bugis (lipa sabbe) sebanyak tujuh lembar diletakkan secara berlapis-lapis

di atas pucuk daun pisang, melambangkan martabat atau harga diri, karena sarung

bagi orang Bugis, Makassar di Sulawesi Selatan dan juga bagi orang Mandar di

Sulawesi Barat, merupakan penutup aurat. Tujuh lembar mengandung makna

kebenaran, yakni – tuju dalam bahasa Bugis berarti benar, - mattujui berarti ber-

guna. Berdasarkan pengartian ini, para keluarga calon mempelai mengharapkan

setelah melangsungkan perkawinan, pada hari-hari mendatang keduanya berguna

baik bagi dirinya sendiri, maupun terhadap keluarga dan orang lain.

4. Daun nangka (Bugis – daun panasa) yang dihubung-hubungkan satu sama lainnya

sehingga berbentuk tikar bundar, diletakkan di atas tujuh lembar sarung tadi. Daun

panasa oleh orang Bugis menghubungkan dengan kata – menasa (cita-cita atau

pengharapan). Hal ini mengandung makna agar calon mempelai nantinya setelah

20

Page 21: dinamika perkawinan adat

menikah memiliki pengharapan untuk membina rumah tangga dalam keadaan

sejahtera dan murah rezeki.

5. Benno (kembang beras) ditaruh dalam sebuah piring dan diletakkan berdekatan

dengan tempat daun pacci. Benno memiliki makna agar calon mempelai nantinya

setelah berumah tangga dapat berkembang dan berketurunan yang dilandasi cinta

kasih, penuh kedamaian dan kesejahteraan.

6. Pesse’ pelleng yaitu alat penerang masa lalu sebelum orang mengenal minyak

bumi dan listrik. Pesse’ pelleng terbuat dari kemiri yang ditumbuk halus dan di-

campur dengan sedikit kapas agar mudah untuk merekatkan pada lidi.

Dewasa ini karena pesse’ pelleng sudah sangat sulit untuk ditemukan, maka

orang menggantinya dengan lilin. Lilin beberapa batang yang telah dinyalakan

itu diletakkan berdekatan dengan tempat benno dan daun pacci, yang mengandung

makna agar calon mempelai dalam menempuh masa depannya senantiasa menda-

pat petunjuk dari Allah SWT.

7. Air yang ditaruh dalam sebuah mangkok sebagai tempat mencuci tangan bagi

orang yang akan melakukan acara mappacci, baik sebelum mengambil daun pacci

maupun sesudah melakukan acara mappacci tersebut.

Setelah semua kelengkapan tersebut dipersiapkan, maka calon mempelai yang

telah dirias sebagaimana layaknya pengantin didudukkan di atas lamming

(pelaminan). Calon mempelai yang didampingi oleh seorang – indo’ botting (juru rias

pengantin) menghadapi bantal dengan segala kelengkapannya tadi. Kedua belah

tangannya diletakkan di atas bantal dengan posisi telapak tangan menghadap ke atas.

Hal ini dimaksudkan agar dapat menerima daun pacci yang akan diberikan oleh

orang-orang yang akan melakukan mappacci.

II. 10. Mappaenre Botting.

Sebagai acara puncak dari prosesi perkawinan adalah saat – mappaenre botting

yaitu mempelai laki-laki diantar ke rumah mempelai wanita. Pada hari itu orang

Bugis menyebutnya – mata gau’ (puncak acara), atau biasa juga disebut sebagai

- esso appabbottingeng (hari pengantin). Orang-orang yang mengantar mempelai

21

Page 22: dinamika perkawinan adat

laki-laki ke rumah mempelai wanita disebut – pampawa botting (pengantar

pengantin) yang terdiri dari laki-laki dan perempuan dengan pakaian adat.

Setelah berada di depan rumah mempelai wanita, mempelai laki-laki bersama

pengiringnya dijemput oleh keluarga perempuan yang berjumlah empat orang

atau lebih terdiri dari laki-laki atau perempuan. Mereka berpakaian adat dan mem-

bawa sirih pinang (sekarang rokok) atau benda apa saja sebagai tanda bahwa

mempelai laki-laki berserta rombongannya telah diperkenankan memasuki

rumah mempelai wanita. Sementara di depan pintu rumah mempelai wanita

berjejer sejumlah penjemput laki-laki dan perempuan dengan pakaian adat.

Seorang perempuan tua menunggu di pintu sambil menebarkan beras ke arah

mempelai laki-laki pada saat mulai menginjak anak tangga pertama.

Selanjutnya mempelai laki-laki dituntun menuju – lamming (pelaminan) yang

telah tersedia dan para pengiringnya disilahkan megambil tempat untuk duduk.

Beberapa saat kemudian, akad nikahpun dimulai dengan tuntunan wali atau

pegawai syara’ yang ditunjuk sebagai wakil dari orang tua mempelai wanita. Sete-

lah mengucapkan – ijab qabul (akad nikah), mempelai laki-laki yang dituntun oleh

seorang laki-laki yang berpengalaman masuk ke kamar mempelai wanita untuk

- makkarawa (memegang) bahagian-bahagian tubuh mempelai wanita sebagai

tanda bahwa keduanya sudah sah untuk bersentuhan.

Tetapi menurut adat kebiasaan, pemegang kunci pintu kamar mempelai wanita

tidak akan membuka pintu sebelum diberi uang oleh pengantar mempelai laki-

laki. Uang yang menjadi persyaratan itu disebut – pattimpa tange’ (pembuka

pintu). Begitu pula ketika mempelai laki-laki telah berada dalam kamar mempelai

wanita, dihadang lagi dengan suatu persyaratan yang disebut – patimmpa boco’

(pembuka kelambu). Setelah semuanya dipenuhi oleh pengantar mempelai laki-

laki, barulah mempelai laki-laki diperkenankan duduk dekat mempelai wanita

untuk melakukan sentuhan yang dipandu oleh pengantarnya.

Menurut kebiasaan, pengantar mempelai laki-laki berusaha untuk mengarahkan

mempelai laki-laki agar dapat menyentuh bahagian tubuh mempelai wanita yang

22

Page 23: dinamika perkawinan adat

dianggap memiliki makna simbolis. Misalnya, berusaha menyentuh ubun-ubun

mempelai wanita atau bahagian leher dengan harapan setelah menjadi isteri yang

sah akan selalu tunduk kepada suaminya. Ada pula yang meraba perut, dengan

harapan bahwa kehidupannya kelak tidak akan mengalami kesulitan. Oleh

masyarakat Bugis, Makassar, begitu pula masyarakat Mandar meyakini bahwa

sentuhan pertama sang suami akan menentukan berhasil tidaknya membina

rumah tangga dikemudian hari.

Setelah acara makkarawa, kedua mempelai dililit dengan selembar kain kemu-

dian keduanya berlomba untuk berdiri. Menurut keyakinan jika mempelai laki-

laki berdiri lebih dulu, maka isteri akan tunduk kepadanya, begitu pula sebalik-

nya. Oleh karena itu, dalam acara ini baik mempelai laki-laki maupun mempelai

wanita selalu berusaha untuk mendahului.

Kedua mempelai selanjutnya diantar untuk duduk di pelaminan untuk meneri-

ma tamu-tamu.Masing-masing mempelai didampingi oleh orang tua dan keluarga

serta passeppi yang disebut ana’ botting. Setelah perjamuan dan para tetamu kem-

bali barulah kedua mempelai berganti pakaian.

PAKAIAN DAN PERHIASAN PENGANTIN

1. Pakaian mempelai pria terdiri atas ;

a) Baju bella dada

b) Tope yaitu sejenis sarung yang modelnya sama dengan rok wanita, pinggirnya

dihiasi dengan emas atau perak.

c) Sigara’ yaitu hiasan penutup kepala

d) Passapu dengan ambara yaitu sapu tangan dengan hiasannya

e) Keris pasattimpo/tatarapeng yaitu hulu dan sarungnya terbuat dari emas atau

perak.

f) Potto naga yaitu gelang tangan yang berbentuk ular naga

g) Sembang atau selempang

h) Sulara (celana)

i) Talibennang yaitu pengikat keris

23

Page 24: dinamika perkawinan adat

j) Maili yaitu sejenis mainan yang tergantung pada keris

2. Pakaian dan Perhiasan Mempelai Wanita terdiri atas ;

a) Waju ponco (baju bodo) yang dihiasi rante patimbang dan toboro

b) Tope dengan rantenya

c) Passapu : selendang dengan mainannya

d) Sulara (celana)

e) Salepe (ikat pinggang)

f) Bossa atau kalaru : gelang bersusun atau getangan panjang

g) Lola : gelang tangan bagian atas atau bawah bossa atau kalaru

h) Geno mabbule (kalung berantai)

i) Rante kote : kalung panjang yang diikatkan bila dipakai

j) Geno sibatu : kalung yang mainannya hanya satu

k) Sima’ taiya : pengikat lengan baju

l) Bangkara’ : anting-anting panjang

m) Saloko : mahkota

n) Pinang goyang : hiasan sanggul berupa kembang yang goyang

o) Bunga eka : sunting rambut

p) Bunga simpolong : kembang sanggul

q) Poddo simpolong : pembungkus sanggul

3. Pengiring setiap pengantin membawa :

a) Teddung (payung)

b) Bessi (tombak)

c) E p u ( tempat sirih)

d) Ammiccung (tempat ludah)

e) Appatettongeng tai bani (tempat memancang tai bani / lilin)

Setiap mempelai diiringi pula oleh bali botting atau passeppi yang pakaiannya

sama dengan mempelai, baik warna maupun modelnya. Dahulu, pakaian adat dalam

suatu upacara tertentu yang melambangkan suatu kehidmatan mempunyai

24

Page 25: dinamika perkawinan adat

pembatasan dari segi warna utamanya bagi perempuan. Warna baju bodo pada zaman

dahulu dibatasi pemakainya, antara lain sebagai berikut:

a) warna hijau hanya untuk putri bangsawan

b) warna merah lombok / merah darah untuk gadis remaja

c) warna merah tua untuk orang yang sudah kawin

d) warna ungu untuk janda

e) warna hitam untuk wanita yang sudah tua

f) warna putih untuk inang pengasuh

Akan tetapi dewasa ini tidak ada lagi pembatasan seperti di atas, tergantung

dari selera pemakainya. Selain itu dalam masyarakat Bugis Bone dikenal pula lipa’

(sarung) yang coraknya lebar (cure’ lebba’). Pada umumnya lipa’ (sarung) dipakai

oleh wanita atau laki-laki dengan tidak ada klasifikasi tentang bangsawan atau orang

biasa.

Pakaian adat untuk laki-laki adalah baju yang berbentuk jas tutup (bella dada),

songko recca’ yang terbuat dari serat pelepah daun lontar yang dianyam. Biasanya

pinggiran songko recca’ tersebut dianyami dengan emas atau perak yang juga

memiliki nilai-nilai tertentu. Tebal tipisnya pinggiran songko yang dalam bahasa

Bugis disebut – pamiring- tergantung dari status sosial pemakainya. Makin tebal

makin menunjukkan tingginya kebangsawanan pemakainya. Sementara yang tidak

memiliki pinggiran, biasanya dipakai oleh orang biasa atau guru kampung.

II. 11. Mapparola.

Acara – mapparola (mengikutkan) yaitu mempelai perempuan diantar oleh

keluarga dan sanak saudaranya ke rumah mempelai laki-laki. Pelaksanaannya

biasanya setelah acara akad nikah atau keesokan harinya, dengan pakaian seperti

pada hari pernikahan. Pesta pernikahan tersebut berpindah dari rumah mempelai

perempuan ke rumah mempelai laki-laki yang dihadiri oleh para undangan. Sebagai

tanda syukur pihak keluarga pengantin laki-laki kembali mappaota (memberi sesuatu)

kepada mempelai perempuan.

25

Page 26: dinamika perkawinan adat

Selanjutnya pada hari ketiga, kedua mempelai kembali ke rumah mempelai

perempuan, tetapi tidak lagi berpakaian pengantin. Begitu pula pengantarnya tidak

lagi seramai pada saat – mappaenre botting dan mapparola. Baik mempelai maupun

pengantar yang dalam bahasa Bugis disebut – pampawa, semuanya berpakaian biasa.

Pada malam harinya orang tua mempelai laki-laki datang ke rumah mempelai

perempuan – massita baiseng (menemui besan). Kemudian pada hari keempat, kedua

mempelai kembali ke rumah mempelai laki-laki untuk – mabbenni tellumpenni

(bermalam tiga malam). Pengantarnya hanya terdiri dari keluarga dekat pengantin

perempuan seperti orang tua atau saudaranya. Tetapi sekarang ini pada umumnya –

mabbenni tellumpenni itu hanya dilaksanakan satu malam saja.

Dengan selesainya prosesi tersebut, maka selesailah sudah rangkaian acara

perkawinan dan kedua pasang suami isteri tersebut memulai hidup baru. Acara-acara

lainnya seperti kunjungan keluarga, ziarah kubur dan lain-lain, dilaksanakan

berdasarkan kesepakatan antara keduanya.

________________

26

Page 27: dinamika perkawinan adat

BAB III P E N U T U P

1. Kesimpulan

Banyak makna kehidupan yang dapat dipetik dari prosesi perkawinan adat

dalam masyarakat Bugis Bone. Tahap demi tahap pelaksanaannya mengandung nilai-

nilai yang sakral sebagai warisan budaya leluhur yang tetap menarik untuk dikaji dan

dipahami oleh generasi sekarang.

Prosesi perkawinan adat masyarakat Bugis Bone yang puncaknya ditandai

dengan suatu acara yang disebut – tudang botting (duduk pengantin), merupakan

anugrah dari Allah SWT bukan saja kepada dua orang (suami isteri) yang telah

melangsungkan perkawinan tersebut, tetapi juga kepada segenap keluarga, kerabat

dan handai tolan yang dalam bahasa Bugis disebut – sompung lolo ikut merasakan

dan terlibat sebagai penanggung jawab.

Peristiwa pernikahan yang menjadi awal dari jalinan hubungan yang didasari

cinta kasih, menjadi pengikat bagi insan berlainan jenis kelamin (laki-laki dan

perempuan) merupakan babak baru untuk menapaki masa depan, membina rumah

tangga dan melanjutkan keturunan. Perkawinan dan tata cara pelaksanaannya dalam

masyarakat Bugis Bone menjadi tanggung jawab seluruh keluarga baik dari pihak

laki-laki maupun dari pihak perempuan. Oleh karena itu seseorang yang akan

memilih pasangan hidup (jodoh), apakah ia dipilihkan oleh orang tua atau memilih

sendiri selalu mempertimbangkan berbagai faktor, seperti kepantasan, kesesuaian

pikiran dan sebagainya.

Sebelum pilihan ditetapkan, masyarakat Bugis Bone biasanya mempertim-

bangkan faktor-faktor, antara lain apakah pasangan hidup yang natinya akan bersama-

sama membina mahligai rumah tangga dapat memahami tujuan luhur dari suatu

27

Page 28: dinamika perkawinan adat

perkawinan yaitu – siatting lima – sitonra ola – tessibelleang (berpegangan tangan,

menuju kesuatu arah dan tidak saling menghianati).

Pada masa lampau, pranata sosial yang sangat menonjol dalam masyarakat

Bugis Bone tentang perkawinan, adalah pembatasan perkawinan yang disebabkan

status sosial seseorang. Misalnya, seorang anak bangsawan tinggi apakah ia laki-laki

atau perempuan dilarang kawin dengan anak orang biasa apalagi anak seorang

keturunan – ata (hamba). Tetapi dewasa ini, sejalan dengan perkembangan zaman

pranata sosial seperti itu sedikit demi sedikit mengalami perubahan. Masyarakat

mulai tidak mempermasalahkan hal-hal seperti itu, tetapi derajat kebangsawanan

seseorang ditentukan oleh status sosial yang dimilikinya, seperti berpangkat, sarjana,

kaya dan sebagainya.

28

Page 29: dinamika perkawinan adat

KATA PENGANTAR

Acara perkawinan adat akan tetap tumbuh dalam masyarakat Bugis Bone yang

memiliki budaya dan agama. Walaupun lambat laun akan mengalami perubahan-

perubahan dalam batas waktu dan ruang tertentu, tetapi adat sebagai unsur budaya

tetap menempati posisi penting dalam kehidupan masyarakat. Terutama menyangkut

tata cara perkawinan yang merupakan warisan leluhur yang sangat mulia.

Ada beberapa tahap yang dianggap penting dalam tata cara perkawinan adat

dalam masyarakat Bugis Bone khususnya dan masyarakat Bugis Sulawesi Selatan

pada umumnya. Tahap-tahap tersebut diuraikan dengan singkat dan sederhana dalam

buku ini, diantaranya ada yang merupakan adat kebiasaan yang berlaku secara turun

temurun, ada pula yang merupakan acara sakral dan religius.

Nilai-nilai luhur sebagai warisan budaya bagi masyarakat Bugis Bone yang

tergambar lewat simbol-simbol dalam tata cara pelaksanaan perkawinan adat, dewasa

ini telah banyak yang terlupakan. Oleh karena itu, penulis dengan penuh keterbatasan

berupaya menggali dan mengangkat kembali sebagai unsur budaya yang perlu

dilestarikan, sebagai pranata sosial yang sangat bermakna dalam kehidupan

masyarakat secara umum.

Penulis sangat menyadari bahwa isi dan materi yang diangkat dalam buku ini

masih jauh dari kesempurnaan. Dengan demikian dengan senang hati, penulis

berharap adanya masukan-masukan baik berupa kritikan maupun saran yang

bertujuan melengkapi buku ini. Semoga dengan kritikan dan saran dari pembaca,

sehingga buku ini dapat berguna bagi warga masyarakat Bone khususnya dan warga

masyarakat Sulawesi Selatan pada umumnya.

P e n u l i s,

29i

Page 30: dinamika perkawinan adat

KATA PENGANTAR

KEPALA DINAS KEBUDAYAN DAN PARIWISATAKABUPATEN BONE

Adalah suatu upaya yang menjadi keinginan kuat bagi Pemerintah Daerah

Kabupaten Bone untuk menerbitkan buku yang dapat menghadirkan keterangan-

keterangan seputar prosesi perkawinan adat Bugis Bone. Hal ini dimaksudkan untuk

bahan acuan bagi masyarakat di dalam melaksanakan perkawinan.

Dengan terbitnya buku yang berjudul “Dinamika Perkawinan Adat dalam

Masyarakat Bugis Bone”, yang disusun oleh Saudara Drs. Asmat Riady

Lamallongeng setidaknya menjadi suatu jawaban dari keinginan tersebut di atas

sekaligus menjadi bahan masukan bagi berbagai kalangan, utamanya bagi warga

masyarakat Bone dimana pun ia berada.

Alhamdulillah, kehadiran buku dimaksud berhasil diwujudkan melalui Dinas

Kebudayaan & Pariwisata Bone, sekalipun masih dalam konsepsi sederhana. Tetapi

kami selaku penanggung jawab selalu optimis bahwa keberadan buku ini nantinya

akan memberi manfaat terhadap upaya pengembangan budaya dalam masyarakat

Bone.

Watampone, November 2007

Kepala Dinas,

Drs. H. Abubakar, M.M.

30

ii

Page 31: dinamika perkawinan adat

31