sejarah politik hukum adat dan hukum perkawinan

28
SEJARAH HUKUM ADAT A. SEJARAH POLITIK HUKUM ADAT Hukum adat (adatrecht) dipergunakan untuk pertama kalinya secara ilmiyah pada tahun 1893 untuk menamakan hukum yang berlaku bagi golongan pribumi (warga negara Indonesia asli) yang tidak berasal dari perundang-undangna Pemerintah Hindia Belanda. 1. Zaman V.O.C. (1602 – 1800) Penanaman kekuasaan asing secara teratur dan sistematis, dimulai dengan didirikannya kongsi Dagang Hindia Timur atau Verenigde Oost Indische Compangnie (VOC) pada tahun 1602 oleh kongi-kongsi dagang Belanda atas anjuran John van Oldenbarneveld, agar mampu menghadapi persaingan dengan kongsi dagang lainnya. Tanggal 20 Maret 1602 VOC mendapat hak oktroi yang antara lain meliputi pemberian kekuasaan untuk membuat benteng pertahanan, mengadakan perjanjian dengan raja-raja di Indonesia, mengangkat pegawai penuntut keadilan dan sebagainya. Oleh karena itu VOC ini mempunyai dua fungsi, pertama sebagai pedagang dan kedua sebagai lembaga pemerintah yang mempunyai wewenang untuk mengurus

Upload: dewa-gede-agung

Post on 05-Dec-2014

312 views

Category:

Documents


9 download

DESCRIPTION

Sejarah Politik Hukum Adat Dan Hukum Perkawinan

TRANSCRIPT

Page 1: Sejarah Politik Hukum Adat Dan Hukum Perkawinan

SEJARAH HUKUM ADAT

A. SEJARAH POLITIK HUKUM ADAT

Hukum adat (adatrecht) dipergunakan untuk pertama kalinya secara

ilmiyah pada tahun 1893 untuk menamakan hukum yang berlaku bagi

golongan pribumi (warga negara Indonesia asli) yang tidak berasal dari

perundang-undangna Pemerintah Hindia Belanda.

1. Zaman V.O.C. (1602 – 1800)

Penanaman kekuasaan asing secara teratur dan sistematis, dimulai

dengan didirikannya kongsi Dagang Hindia Timur atau Verenigde Oost

Indische Compangnie (VOC) pada tahun 1602 oleh kongi-kongsi dagang

Belanda atas anjuran John van Oldenbarneveld, agar mampu menghadapi

persaingan dengan kongsi dagang lainnya. Tanggal 20 Maret 1602 VOC

mendapat hak oktroi yang antara lain meliputi pemberian kekuasaan untuk

membuat benteng pertahanan, mengadakan perjanjian dengan raja-raja di

Indonesia, mengangkat pegawai penuntut keadilan dan sebagainya.

Oleh karena itu VOC ini mempunyai dua fungsi, pertama sebagai

pedagang dan kedua sebagai lembaga pemerintah yang mempunyai

wewenang untuk mengurus rumah tangganya sendiri.

Pada aman VOC hukum yang berlaku di pusat pemerintahan

dengan di luar itu tidak sama :

a. Di Batavia (Jakarta) sebagai pusat pemerintahan, untuk semua orang

dari golongan bangsa apapun berlakulah “Hukum Kompeni”, yaitu

hukum Belanda. Jadi bagi mereka semuanya berlaku satu macam

hukum (unifikasi) baik dalam lapangan hukum tatanegara, perdata

maupun pidana.

b. Di luar dareah Pusat Pemerintahan, dibiarkan berlaku hukum aslinya,

yaitu hukum adat. Demikian pula pada pengadilan-pengadilan

golongan asli tetap dipergunakan hukum adat.

Page 2: Sejarah Politik Hukum Adat Dan Hukum Perkawinan

Usaha penerbitan itu menghasilkan 4 kodifikasi dan pencatatan

hukum bagi orang Indonesia asli, yaitu :

a. Pada tahun 1750 untuk keperluan Landraad Semarang, dibuatlah suatu

compendium (pegangan, Kitab Hukum) dari Undang-undang orang

Jawa yang terkenal dengan nama “Kitab Hukum Mogharraer yang

ternyata sebagian besar berisi hukum pidana Islam”.

b. Pada tahun 1759 oleh Pimpinan VOC disahkan suatu Compendium

van Clootwijck tentang undang-undang Bumiputera di lingkungan

Kraton Bone dan Ga.

c. Pada tahun 1760 oleh Pimpinan VOC dikeluarkan suatu Himpunan

Peraturan Hukum Islam mengenai nikah, talak dan warisan untuk

dipakai oleh Pengadilan VOC.

d. Oleh Mr. P. Cornelis Hasselaer (Residen Cirebon tahun 1757 – 1765)

diusahakan pembentukan Kitab Hukum Adat bagi hakim-hakim

Cirebon. Kitab hukum adat ini terkenal dengan nama “Pepakem

Cirebon”.

2. Zaman Pemerintahan Daendels (1808 – 1811)

Pada tahun 1795 di Negeri Belanda terjadi perubahan

ketatanegaraan dengan jatuhnya kekuasaan Raja Willem van Oranje dan

berdirilah pemerintaan baru, yaitu Bataafsche Republiek (Republik

Batavia).

Pada tahun 1806 Bataafsche Republik dihapuskan dan diganti

menjadi Kerjaaan Holland yang merupakan bagian dari Kekaisaran

Perancis.

Daendels beranggapan bahwa hukum adat yang berlaku dalam

masyarakat, meskipun mempunyai kelemahan-kelemahan, namun perlu

tetap dipelihara dan ia merasa enggan untuk menggantinya dengan hukum

Eropa. Pada pokoknya hukum adat akan tetap dipertahankan bagi bangsa

Indonesia, namun hukum adat ini tidak boleh diterapkan kalau

bertentangan dengan perintah.

Page 3: Sejarah Politik Hukum Adat Dan Hukum Perkawinan

3. Zaman Pemerintahan Raffles (1811 – 1816)

Dengan banyaknya pengaduan tentang berbagai kecurangan dalam

bidang keuangan dan tindakan Daendels yang sewenang-wenang terhadap

bangsa Indonesia, maka pemerintah kerajaan Belanda mengangkat Jendral

Jan Willem Janssens sebagai pengganti Daendels, yang serah terimanya

dilaksanakan pada tanggal 16 Mei 1811.

Sikap Raffles terhadap hukum adat terlihat jelas dalam

maklumatnya tertanggal 11 Pebruari 1814 yang memuat “Reguiations for

more effectual administration of justice in the Provincial Court of Java”

yang terdiri dari 173 pasal.

Seperti halnya Daendels, Raffles ini juga menganggap bahwa

hukum adat itu tidak lain adalah hukum Islam dan kedudukannya tidak

sederajat tetapi lebih rendah dari hukum Eropa.

4. Masa Antara Tahun 1816 – 1848

Tahun 1816 – 1848 merupakan masa penting dalam hukum adat,

karena merupakan pulihnya kembali pemerintah Kolonial Belanda di

Indonesia, yang merupakan permulaan politik hukum dari Pemerintah

Belanda yang dengan kesadarannya ditujukan kepada bangsa Indonesia.

Dalam reglement tahun 1819 ditentukan bahwa hukum adat pidana akan

dinyatakan berlaku bagi golongan Bumiputera.

Mengenai hukum materiil yang diterapkan oleh Pengadilan-

pengadilan berlaku asas : hukum dari pihak tergugat. Ini berarti bahwa jika

dalam sengketa antara orang Bumiputera dengan orang Eropa yang

menjadi tergugatnya adalah orang Bumiputera, maka yang akan mengadili

adalah Landraad yang akan memperlakukan hukum adat.

5. Masa Antara Tahun 1848 – 1928

Tahun 1848 dapat dianggap sebagai masa permulaan dari politik

Pemerintah Belanda terhadap hukum adat.

Page 4: Sejarah Politik Hukum Adat Dan Hukum Perkawinan

Mereka yang ingin mengganti hukum adat dengan suatu kodifikasi

hukum yang berlaku bagi semua golongan rakyat (unifikasi), pada

umumnya berpendapat bahwa :

a. Hukum adat yang tidak tertulis itu akan menimbulkan ketidakpastian

hukum.

b. Penggunaan sistem hukum adat yang berbeda-beda untuk golongan

penduduk yang berlainan sifatnya dianggap akan menimbulkan

kekacauan dalam asas-asas hukum dan keadilan.

c. Hukum adat itu dinilai lebih rendah dari hukum Eropa dan karena itu

sudah sewajarnya kalau diganti dengan hukum yang lebih baik lagi.

B. SEJARAH PENGGALIAN HUKUM ADAT

1. Sebagai perintis pertama dapat disebut : Marsden, seorang berkebangsaan

Inggris yang pernah menjadi pegawai pemerintahan Hindia-Inggeris.

Dalam bukunya “the History of Sumatera” (tahun 1783) dilaporkan secra

diskriptif tentang pemerintah, adat istiadat dan hukum.

2. Pejabat lain yang memperhatikan hukum adat adalah Gubernur Jendral

Raffles, yang mendapatkan dan mempelajari hukum adat dari daerah-

daerah Kerajaan, yaitu daerah yang penting artinya bagi penggalian bahasa

Jawa, kesusastraan, kesenian dan kebudayaan.

3. Grawfurd yang melihat Hukum Agama hanya merupkan sebagian kecil

dari hukum adat.

4. Pejabat Belanda lainnya yang pernah menggali hukum adat di Indonesia

ialah Gubernur Jenderal Jean Chrestien Baud, yang pada tahun 1829

mendapat kesempatan untuk melindungi hak desa atas tanah (hak ulayat).

5. Prof. Imam Sudiyat, SH menyebutkan adanya Trio penemu hukum adat,

yaitu : Wilken, Liefrinck dan Snouck Hurgronje.

a. Wilken pegawai Pemerintah Hindia Belanda merupakan orang pertama

yang menempatkan hukum adat dalam tempatnya tersendiri di dalam

lingkungan yang luas dari bahan yang ethnologis.

Page 5: Sejarah Politik Hukum Adat Dan Hukum Perkawinan

b. Liefrinck, juga memberi tempat tersendiri pada hukum adat, namun

penyelidikannya terbatas pada masyarakat Bali dan Lombok.

c. Snouck Hurgronje, seorang sarjana sastra yang menjadi politikus dan

mendapat gelar doktor dalam bahasa Semit (Yahudi dan Arab).

Selama tinggal di Indonesia ia berhasil menulis beberapa buku penting

mengenai kebudayaan dan hukum adat yang berlaku di Sumatera,

antara lain “De Atjehers” (1893 dan 1894) dan “Het Gajo Land”

(tahun 1903)

C. SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM ADAT

Sebagian besar dari hukum adat ini tidak tertulis sehingga sukar bagi

pemerintah Hindia Belanda pada waktu itu untuk menentukan hukumnya yang

berlaku bagi bangsa Indonesia Asli. Di antara pembela hukum adat yang

terkenal ialah Prof. Mr. Cornelis van Vollenhoven.

Dari karya van Vollenhoven ini ada 3 hal yang penting dalam

hubungannya dengan pelajaran hukum adat, yaitu :

1. Ia berhasil menghilangkan kesalahfahaman dalam melihat hukum adat,

yang menganggap hukum adat itu identik dengan hukum agama (Islam).

2. Ia membagi wilayah hukum adat Indonesia dalam 19 lingkungan hukum

adat (adatrecht kringen), yang nanti akan kita bicarakan di belakang.

3. Ia sangat gigih membela hukum adat dari usaha pembentuk undang-

undang yang ingin mendesak dan menghilangkan hukum adat, dengan

keyakinan bahwa hukum adat ini merupakan hukum yang hidup, menjiwai

bangsa Indonseia Asli dan mempunyai sistem tersendiri.

Usaha pembelaan van Vollenhoven :

a. Sebelum ada usaha van Vollenhoven, Pemerintah Belanda sudah

berulang-ulang sejak tahun 1955 berusaha menghapuskan hukum adat

bagi golongan bangsa Indonesia Asli dan memperlakukan terhadapnya

hukum yang berlaku bagi golongan Eropa. Pada tahun 1866

Pemerintah Kolonial Belanda hendak menghapuskan hak milik asli

atas tanah dan menggantikan dengan hak eigendom. Tetapi usaha ini

Page 6: Sejarah Politik Hukum Adat Dan Hukum Perkawinan

banyak mendapat tantangan dari para sarjana Belanda, sehingga usaha

tersebut gagal dan sebagai akibatnya terbentuklah “Agrarische Wet”

(Undang-undang Agraria) pada tahun 1870.

b. Tahun 1904 ada rancangan untuk mengubah pasal 104 RR dengan

tujuan memaksakan kepada golongan Bumiputera agar memakai

hukum yang sama dengan hukum yang berlaku di negeri Belanda.

Tetapi van Vollenhoven pada tahun 1905 menentang rencana ini

dengan tulisannya yang berjudul “Geen Juristenrecht voor ger

Inlander” dalam majalah “De XX Eeuw” (abad XX). Sebagai hasilnya

lahirlah suatu undang-undang (Oudejaarswet 1906) yang menentukan

bahwa : hukum Eropa hanya akan diperlakukan terhadap golongan

Bumiputera sekedar hal itu perlu karena kebutuhan masyarakat

mereka; selain itu berlakulah hukum adatnya.

c. Kemudian pada tahun 1913 diumumkan oleh Pemerintah Kolonial

Belanda suatu Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Perdata

(Burgerlijk Wetboek) untuk golongan Indonesia Asli, tetapi untuk

kedua kalinya van Vollenhoven menentang usaha ini, sehingga

Rancangan Undang-undang tersebut ditarik kembali oleh Pemerintah

Belanda.

d. Usaha Pemerintah Kolonial Belanda untuk menghapus hukum adat

masih diteruskna pada tahun 1923, yaitu dengan keluarnya Rancangan

KUH Perdata untuk kedua kalinya, tetapi untuk ke sekian kalinya pula

ditentang lagi oleh van Vollenhoven, sehingga rancangan tersebut pun

ditarik kembali.

Undang-undang Pokok Kehakiman (semual UU No.19 tahun 1964,

kemudian diganti dengan UU No.14 tahun 1970) disebutkan bahwa :

“Segala putusan Pengadilan selain harus memuat alasan-alasan dan

dasar-dasar putusan itu, juga harus memuat pula pasal-pasal tertentu

dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tak

tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili”.

Page 7: Sejarah Politik Hukum Adat Dan Hukum Perkawinan

Berlakunya hukum adat ialah ketentuan pasal 6 Undang-undang Pokok

Agraria (UU No.5 ahun 160), yang menyatakan :

“Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah

hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan

nasional dan negara, yang berdasarkan persatuan bangsa, dengan

sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum

dalam undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya,

segala sesuatu dengan mengindahkan usnur-unsur yang berdasar pada

hukum agama”.

D. SEJARAH LANDASAN HUKUM BERLAKUNYA HUKUM ADAT

Yang dimaksud dengan landasan hukum berlakunya hukum adat di

sini ialah peraturan-peraturan mana yang menetapkan bahwa hukum adat

masih dipergunakan oleh hakim dalam mengadili perkara.

Page 8: Sejarah Politik Hukum Adat Dan Hukum Perkawinan

HUKUM PERKAWINAN ADAT

I. PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG

Indonesia adalah negara kepulauan yang terletak pada garis

khatulistiwa, di antara samudera lautan teduh dan samudera Indonesia. Kita

akan sukar mengemukakan bagaimana ciri-ciri hukum perkawinan adat yang

berlaku dalam berbagai lingkungan masyarakat adat. Walaupun di sana-sini

berbeda-beda, tetapi dikarenakan rumpun asalnya adalah bangsa Melayu,

maka walaupun berbeda-beda masih dapat ditarik persamaan.

Tata tertib adat perkawinan antara masyarakat adat yang satu berbeda

dari masyarakat adat yang lain, antara suku bangsa yang satu berbeda dari

suku bangsa yang lain, antara yang beragama Islam berbeda dari yang

beragama Kristen, Hindu dan lain-lain. Kita sekarang telah mempunyai

Undang-undang perkawinan No 1 tahun 1974, ia merupaan hukum nasional

yang berlaku bagi setiap warna negara Republik Indonesia. Bahkan

dikarenakan perbedaan-perbedaan hukum adat yang berlaku setempat,

seringkali menimbulkan perselisihan antara para pihak yang bersangkutan.

2. PERMASALAHAN

Di kalangan masyarakat adat sendiri istilah hukum adat tidak banyak

dikenal, yang biasa disebut anggota masyarakat ialah “adat” saja, dalam arti

“kebiasaan”. Dengan demikian yang dimaksud Hukum Adat Perkawinan

adalah hukum masyarakat (hukum rakyat) yang tidak tertulis. Selanjutnya

dalam membicarakan hukum adat perkawinan, sebagaimana juga hukum adat

kekerabatan dan lain-lainnya yang mengenai hukum adat kita tidak boleh

terlalu berpegang pada ajaran keputusan.

Page 9: Sejarah Politik Hukum Adat Dan Hukum Perkawinan

Berlakunya hukum adat perkawinan tergantung pada pola susunan

masyarakat adatnya. Di kalangan masyarakat adat diberbagai daerah berlaku

sistim kekerabatan yang berbeda-beda, sehingga hubungan anggota kerabat

yang satu dan yang lain mempunyai hak dan kewajiban yang berbeda-beda

pula.

Yang merupakan permasalahan, sejauh mana undang-undang

perkawinan yang telah berlaku itu dapat diterapkan dengan sempurna di

dalam masyarakat. Prinsip-prinsip atau aas-azas mengenai perkawinan dan

segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang intinya adalah :

a. Perkawinan bertujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia

dan kekal (pasal 1).

b. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing

agamanya dan kepercayaannya (pasal 2)

Masalah lain ialah perkawinan bagi mereka yang telah mencapai umur

21 tahun dapat dilakukan tanpa izin orang tua jadi jika pemuda dan pemudi

telah mencapai umur 21 tahun maka mereka dapat saja meninggalkan rumah

orang tuanya untuk melakukan perkawinan tanpa persetujuan orang tua.

Kemudian di masa sekarang sering pula terjadi perkawinan campuran,

perkawinan yang terjadi antara anggota masyarakat yang berbeda hukum adat.

3. RUANG LINGKUP

Manusia tidak akan dapat berkembang tanpa adanya perkawinan

(wiwaha, Bali). Perkawinan bertujuan membentuk keluarga yang bahagia dan

kekal. Jadi perkawinan menurut hukum adat bersangkut paut dengan urusan

famili, keluarga, masyarakat, martabat dan pribadi. Di kalangan masyarakat

adat yang masih kuat prinsip kekerabatannya berdasarkan ikatan keturunan

(genealogis), maka perkawinan merupakan suatu nilai hidup untuk dapat

meneruskan keturunan, mempertahankan silsilah dan kedudukan sosial yang

bersangkutan.

Page 10: Sejarah Politik Hukum Adat Dan Hukum Perkawinan

Menurut hukum adat suatu ikatan perkawinan bukan saja berarti

bahwa suami dan isteri harus saling bantu membantu, tetapi juga berarti ikut

sertanya orang tua, keluarga atau kerabat kedua pihak untuk menunjang

kebahagiaan dan kekekalan hidup rumah tangga mereka.

4. TUJUAN

Yang menjadi tujuan dari penulisan naskah ini adalah sebagai suatu

usaha untuk dapat mengemukakan tentang hukum adat perkawinan yang pada

kenyatannya masih terlihat berlakunya di lingkungan masyarakat adat di

Indonesia. Dengan demikian maka tulisan ini merupakan pula suatu tinjauan

kembali terhadap bahan-bahan kepustakaan hukum adat.

Dengan telah berlakunya Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun

1974 maka tulisan ini merupakan bahan-bahan yang perlu untuk dipelajari dan

dipahami guna mengetahui sejauh mana Undang-undang tersebut dapat

diterapkan.

Page 11: Sejarah Politik Hukum Adat Dan Hukum Perkawinan

II. PEMINANGAN

1. ARTI MEMINANG

Isilah “meminang” (ngelamar, Jawa, memadik, ngidih, Bali)

mengandung arti “permintaan” yang menurut hukum adat berlaku dalam

bentuk pernyataan kehendak dari atau pihak kepada pihak lain untuk maksud

mengadakan ikatan perkawinan.

2. RASAN SANAK

a. Pertemuan Muda-Mudi

Hubungan yang terjadi antara bujang dan gadis dengan maksud

untuk mengadakan hubungan perkawinan, baik yang berlaku atas

kehendak muda-mudi maupun karena adanya dorongan orang

tua/keluarga.

Berlaku tatacara pertemaun muda-mudi yang antara lain sebagai

berikut :

Pertemuan dapat dilakukan antara bujang dan gadis secara perorangan

dengan diam-diam atau dengan terang diketahui/didiamkan orang

tua/keluarga.

Tempat pertemuan dapat dilakukan di rumah gadis, di rumah

tetangga/kerabat gadis, di temapt-tempat hajatan.

Waktu pertemuan bujang gadis dapat dilakukan pada waktu siang atau

malam dengan berhadapan muka di serambi muka atau belakang

rumah.

Pertemuan bujang gadis ada yang diatur dan diawasi Kepala

bujang dan Kepala gadis, ada pula yang tidak langsung diawasi.

Kebanyakan yang diatur dan diawasi oleh Kepala bujang dan Kepala gadis

jika pertemuan muda-mudi itu dilaksanakan pada waktu ada upacara adat.

Page 12: Sejarah Politik Hukum Adat Dan Hukum Perkawinan

b. Hubungan Hukum Muda-Mudi

Adanya hubungan hukum untuk maksud perkawinan di dalam

“rasan sanak” dapat dibuktikan dengan adanya barang pemberian, surat-

surat, pengakuan bujang dan gadis, keterangan saksi-saksi anggota kerabat

atau tetangga dan pengetahuan orang tua.

Yang dimaksud “tanda mau”, ialah tanda berupa pemberian atau

pertukaran barang pemberian yang dilakukan oleh bujang dan gadis tanpa

kesaksian orang tua-tua.

c. Belarian Untuk Kawin

Hubungan yang berlaku antara bujang dan gadis dalam “rasan

sanak” untuk dapat terwujdunya ikatan perkawinan dapat ditingkatkan

penyelesainnay oleh orang tua-tua dalam “rasan tuha” (“asen tuai”,

Rejang). Tetapi tidak selamanya rasan sanak itu dapat diterima dan

disetujui orang tua salah satu pihak atau kedua pihak.

Latar belakang terjadinya belarian bujang gadis untuk maksud

perkawinan antara lain dikarenakan sebagai berikut :

1. Syarat-syarat pembayaran, pembiayaan dan upacara perkawinan yang

diminta pihak gadis tidak dapat dipenuhi pihak bujang.

2. Gadis belum diizinkan orang tuanya untuk bersuami tetapi dikarenakan

keadaan gadis bertindak sendiri.

3. Orang tua atau keluarga gadis menolak lamaran pihak bujang, lalu

gadis bertindak sendiri

4. Gadis telah bertunangan dengan seseorang pemuda yang tidak disukai

oleh si gadis

5. Gadis dan bujang telah berbuat yang bertentangan dengan hukum adat

dan hukum agama (gadis sudah hamil dan lain-lain).

d. Memaksa Untuk Kawin

Latar belakang terjadinya perbuatan memaksa untuk kawin adalah

antara lain dikarenakan sebagai berikut :

Page 13: Sejarah Politik Hukum Adat Dan Hukum Perkawinan

1. Si gadis meminta agar bujang dan orang tuanya datang melamar, tetapi

pihak bujang datang atau tidak sanggup melamar.

2. Si gadis telah menjanjikan waktunya utnuk belarian dengan bujang

bersangkutan, tetapi ternyata ia ingkar janji

3. Si bujang merasa tidak akan dapat mempersunting si gadis tanpa ia

menempuh jalan melarikannya

4. Si bujang merasa tidak akan dapat mempersunting si gadis tanpa ia

datang meminta kawin dengan orang tuanya.

5. Si gadis merasa tidak akan dapat kawin dengan si bujang tanpa ia

datang meminta kawin dengan orang tuanya.

3. RASAN TUHA

a. Hubungan Orang Tua

Hubungan-hubungan hukum yang berlaku di antara orang tua-tua,

di antara orang tua pihak pria dengan pihak wanita atau sebaliknya.

b. Penjajakan

Usaha penjajakan yang kebanyakan dilakukan dari pihak pria tidak

saja tertuju pada gadis yang sudah mempunyai hubungan kasih cinta

dengan bujang.

c. Peminangan

Apabila dalam usaha penjajakan pihak wanita bersedia menerima

kedatangan utusan resmi dari pihak pria untuk membicarakan peminangan,

maka pihak pria mengirimkan bahan hidangan.

Kedatangan utusan pria yang terdiri dari beberapa orang tua-tua

pria dan wanita di bawah pimpinan telangkai. Pembicaraan utusan pihak

pria dan pihak wanita dapat berlangsung berhadap-hadapan, kecuali

menurut adat setempat hal itu tidak diperkenankan. Bisanya pada

pertemuan resmi yang pertama ini pihak wanita tidak segera menerima

lamaran itu, karena masih akan bertanya pada anak gadis dan

memberitahukan para anggota kerabat lainnya.

Page 14: Sejarah Politik Hukum Adat Dan Hukum Perkawinan

Sebagai tanda pemberitahuan adanya orang datang melamar di

daerah Pasemah kepada kerabat dan tetangga, maka sebagian bahan

makanan yang dibawa pihak pria dibagi-bagikan kepada anggota kerabat

tetangga. Jawaban lamaran yang diterima biasanya disampaikan pada

pertemuan antara utusan pihak pria dan wanita selanjutnya. Jika pihak pria

bersedia memnuhi syarat-syarat di terimanya lamaran oleh pihak wanita,

perundingan selanjutnya diadakan lagi, maka pria dan wanita yang

bersangkutan sudah berada dalam acara pertunangan.

Page 15: Sejarah Politik Hukum Adat Dan Hukum Perkawinan

III. PERTUNANGAN

1. ARTI PERTUNANGAN

Hubungna hukum yang berlaku di antara bujang-gadis dalam rasna

sanai, walauun dapat dibuktikan dengan adnaya pemberian “tanda mau”, baik

beruap barang ataupun uang dari pihak pria kepada phak wanita, hubungan

mana belum merupakan ikatan pertunangan.

Yang dimaksud pertunangan (“tunangan”, Indonesia; “pacangan”,

Jawa; “bakalangan”, Banyuwangi; “buncing”.

2.

Page 16: Sejarah Politik Hukum Adat Dan Hukum Perkawinan

V. ACARA PERKAWINAN ADAT

1. PERKAWINAN ADAT BATAK

Di lingkungan masyarakat adat Batak dalam rangka perkawinan

berlaku “adat naso gok”, yaitu tata cara perkawinan antara pria dan wanita

tanpa melalui acara peminangan dikarenakan sudah terjadi “mangalua”, di

mana si wanita sudah berada di tangan kerabat pria, dan “adat na gok”, yaitu

tata cara perkawinan dengan acara peminangan yang dilakukan oleh orang

tua-tua dari kerabat pria disertai upacara “tarpasu-pasu” yang diadakan di

gereja.

2. PERKAWINAN ADAT MINANGKABAU

Masyarakat adat Minang tidak mengenal acara adat “belarian” untuk

melakukan perkawinan. Jika bujang gadis sudah berkenalan atau orang tua

berkeinginan meminang gadis atau bujang dalam rangka mencarikan jodoh

bagi anak kemenakannya, maka penjajakan dan peminangan dilakukan oleh

orang tua.

Di daerah Pariaman acara peminangan yang dilaksanakan oleh pihak

wanita kepda pihak pria dari golongan bangsawan akan berkisar pada masalah

perundingan mengenai syarat “panjapui” yang berharga tinggi.

3. PERKAWINAN ADAT PALEMBANG

Masyarakat adat kota Palembang tidak mengenal adat pertemuan

muda-mudi seperti berlaku di daerah pedalamannya, apalagi “belarian”. Untuk

maksud mengadakan perkawinan kesemuanay adalah ditentukan dalam “rasan

duo”, acara”rasan mudo” atau “rasan sanak” tidak berlaku di kota Palembang,

oleh karena pada umumnya gadis-gadis di Palembang tidak bebas ke luar dari

rumah (“dipingit”).

Page 17: Sejarah Politik Hukum Adat Dan Hukum Perkawinan

4. PERKAWINAN ADAT LAMPUNG

Tata cara dan upacara perkawinan adat pepadun pada umumnya

berdasarkan perkawinan jujur yang pelaksanaannya dapat dengan cara adat

hibal serba, bumbang aji, intar padang, intar manom, sebambangan. Tata cara

dan upacara adat ini dapat dilakukan apabila tercapai kesepakatan antara pihak

kerabat pria dan kerabat wanita, baik dikarenakan berlakunya rasan sanak,

maupun karena rasan tuha.

a. Hibal Serba

Upacara adat perkawinan hibal serba (“ibal serbou” Abung) harus

dimulai dengan acara “pineng” (meminang) dan “nunang” (bertunangan)

serta “nyamban dudul” (memberi dodol) oleh pihak pria kepada pihak

wanita.

b. Bumbang Aji

Upacara adat perkawinan “bumbang aji” adalah upacara dimana

pihak kerabat mempelai wanita cukup melepas anaknya dengan upacara

sederhana, misalnya hanya menyembelih kambing. Mempelai wanita

diserah terimakan kepada tua-tua adat mempelai pria yang mengambilnya

tanpa musyawarah prowatin adat.

c. Tar Padang

Upacara adat perkawinan “Tar Padang” yang juga disebut “Intar

Padang” (dilepas dengan terang) atau “lapah da wah” (berjalan siang), di

masa lampau dilakukan oleh anggota kerabat punyimbang suku dengan

nilai jujur 8 atau 6 rial. Perundingan antara pemuka adat kerabat pria dan

wanita cukup dilakukan di rumah mempealai wanita. Mempelai pria yang

datang mengambil mempelai wanita berpakaian jas hitam, kain songket

dan ikat kepala (kikat akkin), sedangkan mempelai wanita yang berangkat

dari rumahnya berpakaian baju kurung atau kebaya beludru hitam bertatah

benang emas dengan kudung hitam bersulam benang emas.

Page 18: Sejarah Politik Hukum Adat Dan Hukum Perkawinan

d. Cakak Manuk

Perkawinan dengna acara “cakak manuk” (ayam naik) adalah

perkawinan yang didahului dengan acara lamaran dan perundingan secara

diam-diam antara pihak pria dan pihak wanita tanpa dicampuri oleh tua-

tua punyimbang. Keluarga pihak mempelari wanita melepas

keberangkatan anak wanitanya diambil oleh pihak pria dengan jamuan

hidangan minum kopi. Mempelai pria tidak perlu untuk datang

menyongsong ke rumah pihak wanita, oleh karena si wanit adiambil oleh

beberapa orang wanit adari kerabat pria pada waktu malam hari.

e. Sebambangan

Sebambangan atau belarian bujang gadis untuk mengikat

perkawinan berdasarkan kehendak bujang gadis itu sendiri atau karena

akal tipu (melarikan, “ngebembangken”) dengan kekerasan (“nekep”)

sebenarnya merupakan perbuatna yang melanggar adat dan berakibat

dikenakan hukuman (denda).

5. PERKAWINAN ADAT PASUNDAN

Sebagaimana di daerah lain dalam lingkungan masyarakat adat

Pasundan (Jawa Barat) acara dan upacara perkawinan dimulai dengan acara

“neundeun omong”, yaitu perundingan antara pihak pria dan pihak wanita

yang berwujud penyampaian kata-kata peminangan. Apabila dalam

perundingan antar kedua pihak berjalan lancar dan saling menyetujui untuk

melaksanakan perkawinan anak-anak mereka, maka pihak pria akan

menyampaikan selanjutnya “panyangcang”, yaitu tanda pengikat pertunangan

pria dan wanita bersangkutan.

6. PERKAWINAN ADAT JAWA

Berbeda dari upacara-upacara perkawinan adat yang berlaku di

lingkungan masyarakat adat di luar pulau Jawa, maka upacara perkawinan

adat di Jawa Tengah atau di kalangan masyarakat adat yang berasal dari Jawa

Page 19: Sejarah Politik Hukum Adat Dan Hukum Perkawinan

Tengah, tidak begitu jauh berbeda dengan yang berlaku di lingkungan

masyarakat adat Pasundan.

Di kalangan masyarakat adat Jawa Tengah setelah pihak pria dan pihak

wanita saling menyetujui dalam acara lamaran dan pihak wanita telah

menerima “panjer” atau “paningset” dari pihak pria, maka berlakulah masa

pertunangan dan ditentukanlah hari baik untuk melangsungkan perkawinan.

Dalam mengambil keputusan untuk melakukan perkawinan tidak perlu

meminta persetujuan para anggota kerabat, cukup diselesaikan dan

dimusyawarahkan oleh orang tua dan anggota keluarga terdekatnya.

Page 20: Sejarah Politik Hukum Adat Dan Hukum Perkawinan

VIII. KEDUDUKAN ORANG TUA DAN ANAK

Dengan terjadinya ikatan perkawinan maka suami isteri berkedudukan

sebagai orang tua, sebagai ayah dan ibu dalam satu rumah tangga/keluarga, baik

terhadap anak-anak kandung maupun bukan anak kandung. Oleh karena ada

kalanya sebelum terjai ikatan perkawinan suami atau isteri sudah mempunyai

anak bawaan yang terdiri dari anak tiri, anak angkat, anak pungut atau mungkin

juga anak yang lahir dari perkawinan yang tidak sah, sebagaimana dapat belaku di

kalangan masyarakat adat Jawa, Minahasa, Ambon dan lain-lain.