tradisi larangan perkawinan adat jawa dalam...
TRANSCRIPT
TRADISI LARANGAN PERKAWINAN ADAT JAWA DALAM
PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
(Studi Kasus Tradisi Kebo Balik Kandang Pada Masyarakat Desa Sugihwaras
Kecamatan Prambon Kabupaten Nganjuk Jawa Timur)
HALAMAN JUDUL
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
MOHAMAD ZIAD MUBAROK
(1112044100038)
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H/2017 M
v
ABSTRAK
Mohamad Ziad Mubarok, NIM 1112044100038, Tradisi Larangan
Perkawinan Adat Jawa dalam Perspektif Hukum Islam (Studi Kasus Tradisi Kebo
Balik Kandang pada Masyarakat Desa Sugihwaras Kecamatan Prambon
Kabupaten Nganjuk Jawa Timur), Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 1438/2017 M, 92 Halaman.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan
larangan perkawinan tradisi Kebo Balik Kandang, untuk mengetahui bagaimana
pandangan masyarakat terhadap larangan perkawinan tradisi Kebo Balik Kandang
dan untuk mengetahui pandangan hukum Islam terhadap larangan perkawinan
tradisi Kebo Balik Kandang.
Adapun penelitian ini menggunakan metode kualitatif, dengan melakukan
pendekatan normatif. Penelitian ini juga dapat dikategorikan sebagai penelitian
lapangan (field research), dan merupakan kelanjutan dari penelitian deskriptif
yang bertujuan bukan hanya sekedar memaparkan karakteristik tertentu. Tetapi
juga menganalisa dan menjelaskan mengapa atau bagaimana hal itu terjadi.
Kriteria data yang didapatkan berupa data primer dan sekunder. Teknik
pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, wawancara, dokumentasi,
dan studi pustaka.
Dari hasil penelitian yang penulis lakukan bahwa larangan perkawinan
tradisi Kebo Balik Kandang adalah, laki-laki dan perempuan dilarang
melangsungkan perkawinan jika orang tua mereka dahulu satu desa, dan salah
satu orang tua dari mereka, sebelum melangsungkan perkawinan telah pindah dari
desa tersebut. Tradisi ini menjadi pro kontra di kalangan masyarakatnya, sebagian
masyarakat masih memegang akan tradisi ini dan sebagian masyarakat
menganggap sudah tidak relevan untuk diterapkan di zaman sekarang. Tradisi ini
pada dasarnya bertentangan dengan hukum Islam karena tidak sesuai dengan apa
yang telah di syariatkan Islam dalam praktiknya.
Kata Kunci : Larangan Perkawinan, Tradisi Kebo Balik Kandang Desa
Sugihwaras, Pandangan Hukum Islam Terhadap Larangan
Perkawinan Tradisi Kebo Balik Kandang
Pembimbing : Dr. H. A. Juaini Syukri, Lc, MA
Daftar Pustaka : Tahun 1951 s.d Tahun 2017
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT Tuhan semesta alam yang
telah memberikan nikmat, rahmat, taufik, hidayah dan ridha-Nya kepada penulis
tanpa ada batasan, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat
serta salam senantiasa tercurahkan kepada Baginda Nabi Muhammad SAW,
makhluk yang paling sempurna sebagai suri tauladan umatnya, beserta keluarga,
para sahabat dan pengikutnya yang senantiasa selalu patuh dan ta’at dalam
menjalankan pirintah Allah SWT dan Rasulnya.
Penulisan skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
Sarjana Hukum (SH). Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh
dari kesempurnaan, karena masih banyak terdapat kekhilafan, kekurangan dan
keterbatasan ilmu pengetahuan yang penulis miliki.
Terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari pihak-pihak yang telah
banyak membantu penulis baik dari segi moral maupun materil. Oleh karena itu,
penulis ingin mengucapkan banyak-banyak terima kasih kepada:
1. Kedua orang tua tercinta, Ibunda Hj. Maryati dan Ayahanda H. Abdul
Mujib, yang selalu meberikan cintanya, kasih sayangnya dan yang selalu
memberikan nasihat, motivasi serta alunan doa yang tiada henti terucap
dengan rasa tulus dan ikhlas. Semoga Allah SWT selalu melindungi,
memberi kesehatan dan memberi umur yang panjang untuk mereka. Dan
vii
tidak lupa juga untuk kakak tercantikku Eka Sri Hilayati yang selalu
memberikan semangat, motivasi, doa serta dorongan yang luar biasa.
Semoga Allah membalas semua kebaikan yang berlimpah. Dan kepada
keluarga besar Bapak H. Rudi yang selalu memberikan motivasi dan
dukungan untuk penulis.
2. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. H. Abdul Halim, M.Ag, Ketua Program Studi Hukum Keluarga, yang
selalu memberikan semangat dan motivasi-motivasi kepada penulis.
4. Arif Furqon, M.A. Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga, yang
selalu memberikan pelayanan terbaik.
5. Dr. H. A. Juaini Syukri, Lc, MA, selaku dosen pembimbing, semoga apa
yang telah beliau berikan dapat bermanfaat bagi penulis dan dibalas
dengan kebaikan yang berlimpah.
6. Dr. JM Muslimin, MA. Ph.D, selaku Dosen Pembimbing Akademik, yang
telah meluangkan waktu, tenaga serta pikirannya untuk membimbing
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
7. Staf Perpustakaan Syariah dan Hukum dan Perpustakaan Utama
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah
memfasilitasi penulis dalam mencari referensi penelitian ini.
8. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen di Lingkungan Program Studi Hukum
Keluarga yang dengan sabar telah memberikan ilmu-ilmu kepada penulis.
viii
9. Fitrititis, S.S., yang selalu memberikan semangat dan motivasi kepada
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
10. Ahmad Faiq, S.H., yang telah menemani penulis dalam melakukan
penelitian skripsi ini.
11. Teman-teman seperjuangan, Luthfan Adly, Rahmat Muhajir, Kiyai Hilmi,
Ilham Harsya, Kajo Adit, Choirul Rofiq, Fauzi Nabawi, Rivaldi Fahlevi,
Muhammad Martin, Sufyan Zulkarnain, M Akrom, Komet Syah Ul-Haq,
Naniek, April, Sarifah Dacosta, Putri Shafwatil Huda, Choirunnisa, Alfida
Husna, Aisyah Yusriyah, Moch Anam, Latief, Abdul Qodir Batubara,
Rahmat Ramdani, Habib, Lia Yulianti, dan semua yang selalu memberikan
bantuan dan motivasi.
12. Teman-teman Islamic Family Law 2012, yang selalu memberikan saran
dan masukan dalam menyelesaikan skripsi ini.
13. Teman-teman KKN PRASARTI, Mamih Runi, Yulvie Sabriani, Nisa,
Ismi, Mita Eka Sari, Nia, Galih Sukmana, Falahul Yusuf, Roni Asriadi,
Yasir Muharram, yang selalu memberikan motivasi dan semangat dalam
menyelesaikan skripsi ini.
14. Teman-teman BLUE SCHOOL dan WT ALL BASE, Ogay, Uqonzua,
Alvin Murot, Akmal Maulziandra, Fajri Erfan, Alan Golks, Abet Wisnu,
Anas Satria, Lia, Marha Ulfia, Tika El Hassan, dan semuanya, yang selalu
memberikan dukungan dan motivasi.
15. Perangkat Desa Sugihwaras dan Mayarakat Desa Sugihwaras, Ibu Deno,
Bapak Gunawan, Ibu Setyastuti, Kiai Hanafi, Rrizki Sonia Safitri, Bapak
ix
Bari dan semua Masyarakat Desa Sugihwaras, yang telah memberikan
dukungan, doa serta motivasi kepada penulis, sehingga penulisan skripsi
ini dapat berjalan lancar.
16. Teman-teman dan para senior Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat
Fakultas Syariah dan Hukum dan LKBHMI (Lembaga Kajian dan Bantuan
Hukum Mahasiswa Islam), terimakasih atas saran, support dan
dukungannya.
17. Dan kepada semua pihak yang telah membantu serta memberikan
dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, yang tidak
dapat penulis sebutkan satu persatu, namun tidak mengurangi rasa hormat
dan terima kasih penulis yang sebesar-besarnya.
Semoga Amal dan kebaikan mereka semua dibalas oleh Allah SWT dan
penulis berharap semoga skripsi ini mampu memberikan manfaat yang besar bagi
penulis maupun bagi pembaca.
Jakarta, 7 Juni 2017
Mohamad Ziad Mubarok
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ..................................................... ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN ..................................................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................. iv
ABSTRAK ............................................................................................................. v
KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi
DAFTAR ISI .......................................................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ......................................................................... 1 B. Identifkasi Masalah ................................................................................ 7 C. Batasan dan Rumusan Masalah .............................................................. 8 D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................... 9 E. Metode Penelitian ................................................................................ 10 F. Review Studi Terdahulu ....................................................................... 12 G. Sistematika Penelitian .......................................................................... 15
BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERKAWINAN17
A. Pengertian dan Dasar Hukum Perkawinan ........................................... 17 B. Syarat dan Rukun Perkawinan ............................................................. 27 C. Tujuan dan Hikmah Perkawinan .......................................................... 31 D. Perkawinan yang Terlarang .................................................................. 36
BAB III POTRET DESA SUGIHWARAS DAN LARANGAN
PERKAWINAN TRADISI KEBO BALIK KANDANG
A. Potret Desa Sugihwaras ........................................................................ 49 B. Tradisi Larangan Perkawinan Kebo Balik Kandang pada Masyarakat
Desa Sugihwaras Kecamatan Prambon Kabupaten Nganjuk
Jawa Timur........................................................................................... 59
xi
BAB IV TRADISI LARANGAN PERKAWINAN KEBO BALIK
KANDANG DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
A. Pandangan Masyarakat tentang Tradisi Kebo Balik Kandang .............. 68 B. Pandangan Hukum Islam terhadap Larangan Perkawinan Tradisi Kebo
Balik Kandang ..................................................................................... 72 C. Analisis Penulis .................................................................................... 82
BAB V PENUTUP ............................................................................................... 86
A. Kesimpulan .......................................................................................... 86 B. Saran-Saran .......................................................................................... 87
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 89
LAMPIRAN ......................................................................................................... 95
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan merupakan salah satu fase kehidupan yang lazim
dilakukan oleh setiap manusia (akil baligh), siap secara lahir dan batin serta
memliki rasa tanggung jawab dalam membangun rumah tangga. Setiap orang
yang telah memenuhi persyaratan untuk menikah dianjurkan agar
menginjakkan kakinya kejenjang pernikahan. Jenjang inilah yang menandai
sebuah fase kehidupan yang sangat penting bagi kelangsungan hidup
seseorang pada masa mendatang.1
Allah SWT telah menciptakan makhluk hidup itu berpasang-pasangan
yaitu jantan dan betina, laki-laki dan perempuan. Tetapi manusia tidak sama
dalam hal menyalurkan insting seksualnya dengan makhluk lainnya, yang
bebas mengikuti nalurinya tanpa aturan. Untuk menjaga kehormatan dan
martabat manusia maka Allah memberikan jalan terhormat berdasarkan
kerelaan dalam suatu ikatan yang disebut dengan pernikahan atau
perkawinan. Pernikahan atau perkawinan inilah yang diridhai Allah dan
diabadikan dalam Islam untuk selamanya.2
Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang
Perkawinan menyatakan, “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara
1 Happy Susanto, Nikah Siri Apa Untungnya?, (Jakarta: Visimedia, 2007), cet. Ke-1, h. 1 2 Slamet Abidin dan H. Aminuddin, Fiqih Munakahat 1, (Bandung: Pustaka Setia, 1999),
h. 2
2
seorang pria dan seorang wanita sebagai ikatan suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”. 3
Sedangkan dalam Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam (KHI)
menyebutkan, “Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu
akad yang sangat kuat atau mitsaqon gholidzon untuk mentaati perintah Allah
dan melaksanakannya merupakan ibadah”. 4
Islam memandang ikatan perkawinan sebagai ikatan yang kuat atau
(mitsaqan ghalidzan), ikatan yang suci (transenden), suatu perjanjian yang
mengandung makna magis, suatu ikatan yang bukan saja hubungan atau
kontrak keperdataan biasa, tetapi juga hubungan menghalalkan terjadinya
hubungan badan antara suami istri sebagai penyaluran libido seksual manusia
yang terhormat. Oleh karena itu, hubungan tersebut di pandang sebagai
ibadah.5
Tujuan perkawinan menurut agama Islam ialah untuk mendirikan
petunjuk agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera
dan bahagia. Harmonis dalam menggunakan hak dan kewajiban anggota
keluarga, sejahtera artinya terciptanya ketenangan lahir dan batinnya,
sehingga muncul kebahagiaan, yakni kasih sayang antar anggota keluarga.6
3 Yayasan Peduli Anak Negeri, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan 4 Ditjen Pembinaan Kelembagaan Islam Departemen Agama, Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia, (Jakarta: Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Islam, 2001) 5 Yayan Sofyan, Islam Negara; Tansformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum
Nasional, (Jakarta: RMBooks, 2012). Cet. Ke-2, h. 127 6 Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2010), cet. Ke-4, h. 22
3
Dari perkawinan akan timbul hubungan suami istri dan kemudian
hubungan antara orang tua dengan anak-anaknya. Timbul pula hubungan
kekeluargaan sedarah dan semenda. Oleh karena itu perkawinan mempunyai
pengaruh yang sangat luas, baik dalam hubungan kekeluargaan khususnya,
maupun dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara pada umumnya,
karena perkawinan merupakan titik awal pembentukan keluarga, dan keluarga
merupakan suatu unit terkecil dari suatu bangsa.7
Berbicara mengenai suatu bangsa, Indonesia adalah negara yang
dibangun oleh pilar-pilar keragaman. Baik itu etnik, budaya, adat maupun
agama. Untuk yang terakhir, agama di Indonesia lahir dan berkembang
dengan segala norma yang mengikat setiap penganutnya. Norma tersebut
mulai menyerap dalam institusi masyarakat.8
Usaha untuk mengaplikasikan hukum Islam dalam tiap unsur
kehidupan masyarakat tidak terlepas dari budaya, kebiasaan, dan hukum adat
yang masih dipertahankan di sebagian daerah. Istilah hukum adat adalah
terjemahan dari bahasa Belanda yaitu adatrecht.9 Setiap suku (dalam konteks
Indonesia) memiliki adat istiadat atau kebiasaan tersendiri yang berbeda-
beda. Adat kebiasaan suatu masyarakat dibangun atas dasar nilai-nilai yang
dianggap oleh masyarakat tersebut. Nilai-nilai tersebut diketahui, dipahami
7 Mona Eliza, Pelanggaran Terhadap UU Perkawinan dan Akibat Hukumnya,
(Tangerang Selatan: Adelina Bersaudara, 2009), h. 2 8 Yayan Sopyan, Islam Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam Dalam hukum
Nasional, (Jakarta: PT. Wahana Semesta Intermedia, 2012) h. 11 9 Bushar Muhammad, Asas-Asas Hukum Adat: Suatu Pengantar, (Jakarta: Pradnya
Paramita, 1994), cet. Ke-9, h. 9
4
dan dilaksanakan atas dasar kesadaran masyarakat.10
Termasuk di dalamnya
masalah tentang perkawinan.
Mengenai perkawinan, memang banyak adat yang mengatur di setiap
daerah. Baik itu yang bertentangan dengan syariat Islam maupun tidak. Tidak
dapat kita pungkiri bahwa perkawinan harus mengikuti adat yang berlaku di
daerah tersebut. Perkawinan memanglah salah satu adat yang berkembang
mengikuti berkembangnya masyarakat, namun kepercayaan untuk berpegang
teguh kepada hukum adat masih berlaku di dalam sebuah adat pernikahan
tersebut. Karena hukum akan efektif apabila mempunyai basis sosial yang
relatif kuat. Artinya hukum adat tersebut dipatuhi oleh masyarakat secara
sukarela.11
Sifat dan kebudayaan yang terjadi di masyarakat mewujudkan aturan-
aturan yang berbeda. Tidak menutup kemungkinan perbedaan itu terjadi
terhadap aturan adat dan aturan agama. Perbedaan yang sering kita jumpai di
masyarakat adalah dalam hal perkawinan. Walaupun agama Islam telah
memberikan aturan yang jelas tentang perkawinan, akan tetapi pada
kenyataannya masih banyak ditemukan dalam pelaksanaan dan praktik
perkawinan yang berbeda dikalangan umat Islam.
Tiap suku bangsa mempunyai sistem perkawinan adat yang berbeda.
Sistem perkawinan adat tersebut terbagi menjadi tiga macam, pertama
exogami, yaitu seorang pria dilarang menikah dengan wanita yang semarga
10 A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan
Masalah-Masalah yang Praktis, (Jakarta: Kencana, 2007), cet. Ke-2, h. 78 11 Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), h.
340
5
atau sesuku dengannya. Ia harus menikahi seorang wanita di luar marganya
(klan-patrilineal). Kedua endogami, yaitu seorang pria diharuskan menikahi
wanita dalam lingkungan kerabat (suku, klan atau family) sendiri dan dilarang
menikahi wanita di luar kerabat. Ketiga eleutrogami, yaitu seorang pria tidak
lagi diharuskan atau dilarang untuk menikahi wanita di luar atau pun di dalam
lingkungan kerabat atau suku melainkan dalam batas-batas yang telah
ditentukan hukum Islam dan hukum Perundang-Undangan yang berlaku.12
Dalam sebuah adat atau tradisi terdapat nilai dan norma kehidupan,
yang dimana sangat berguna untuk mencari keseimbangan hidup.13
Nilai dan
norma itu di bentuk sesuai masyarakat setempat, yang pada akhirnya menjadi
sebuah adat istiadat, kepercayaan atau tradisi yang terdapat di dalam
masyarakat pada umumnya merupakan pencerminan nilai budi luhur untuk
masyarakat itu sendiri.
Pada masyarakat Indonesia, khususnya di Pulau Jawa sungguh
terkenal akan ketaatan dan kepatuhan terhadap aturan atau hukum adat yang
berlaku. Salah satu tradisi yang masih di percaya dan masih di pegang teguh
oleh Masyarakat Jawa adalah tradisi Kebo Balik Kandang14
yang ada pada
Masyarakat Desa Sugihwaras Kecamatan Prambon, Kabupaten Nganjuk Jawa
Timur.
12 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990),
h. 67-69 13 Thomas Wiyasa Brawidjaja, Upacara Tradisional Masyarakat Jawa, (Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 2004), h. 9 14 Kebo Balik Kandang adalah tradisi larangan perkawinan adat Jawa, laki-laki dan
perempuan dilarang melangsungkan perkawinan jika orang tua laki-laki mereka dahulu satu desa,
dan salah satu dari orang tua laki-laki mereka, sebelum melangsungkan perkawinan telah keluar
dari desa tersebut.
6
Tradisi Kebo Balik Kandang merupakan tradisi yang masih dipercayai
dan dilakukan oleh masyarakat Desa Sugihwaras, tradisi Kebo Balik Kandang
adalah ayah kedua calon suami istri dilahirkan di desa yang sama, dan seiring
berjalannya waktu, salah satu dari keluarga mereka pindah dari desa
kelahirannya tersebut, maka calon pasangan suami istri tersebut dilarang
menikah, dan jika mereka (calon mempelai) kekeuh untuk melangsungkan
perkawinan atau melanggar tradisi ini, maka di yakini akan menimbulkan
adanya bencana besar dalam keluarga, salah satunya adalah meninggalnya
orang tua dari kedua calon mempelai.15
Islam tidak pernah melarang pernikahan berbeda suku, budaya,
daerah, ataupun berbeda ras. Akan tetapi tradisi bukanlah sesuatu yang harus
di khawatirkan selama tidak bertentangan dengan akidah dan hukum Islam.
Namun permasalahannya apabila tradisi itu tidak sesuai dengan prinsip-
prinsip yang ada dalam agama Islam dan bertentangan, maka sudah
sepantasnya tradisi tersebut ditinggalkan.
Larangan perkawinan seperti tradisi Kebo Balik Kandang ini
merupakan sebuah tradisi penghalang pernikahan bagi seseorang yang ingin
menikah. Sedangkan untuk melihat larangan perkawinan lebih jauh dijelaskan
dalam Pasal 8, 9, dan 10 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan dan Pasal 39 sampai 44 Kompilasi Hukum Islam,16
selain itu
15 Hasil Wawancara dengan Rizki Sonia Safitri, Tokoh Masyarakat Desa Sugihwaras,
(Via Telepon) 22 September 2016 16 Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h. 30-
31
7
larangan yang lain juga disebutkan dalam Alquran seperti yang tertera dalam
QS. Al-Baqarah (1) : 221
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum
mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari
wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu
menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum
mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang
musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang
Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya
mereka mengambil pelajaran” (QS. Al-Baqarah (1) : 221)
Melihat dari permasalahan di atas, penulis menganggap perlu adanya
penelitian dalam permasalahan tradisi seperti ini. Dari uraian yang sudah
dipaparkan di atas maka penulis tertarik untuk mengangkat permasalahan ini
ke dalam sebuah skripsi yang berjudul : “Tradisi Larangan Perkawinan
Adat Jawa dalam Perspektif Hukum Islam (Studi Kasus Tradisi Kebo
Balik Kandang Pada Masyarakat Desa Sugihwaras Kecamatan Prambon
Kabupaten Nganjuk Jawa Timur)”
B. Identifkasi Masalah
1. Tradisi larangan perkawinan Kebo Balik Kandang di Desa Sugihwaras
Nganjuk Jawa Timur
8
2. Tata cara pelaksanaan tradisi Kebo Balik Kandang di Desa Sugihwaras
Nganjuk Jawa Timur
3. Dampak melanggar tradisi larangan perkawinan Kebo Balik Kandang di
Desa Sugihwaras Nganjuk Jawa Timur
4. Asal muasal tradisi larangan perkawinan Kebo Balik Kandang di Desa
Sugihwaras Nganjuk Jawa Timur
5. Perspektif hukum Islam tentang tradisi Kebo Balik Kandang di Desa
Sugihwaras Nganjuk Jawa Timur
C. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Dalam skripsi ini perlu adanya pembatasan masalah agar lingkup
bahasannya tidak terlalu luas dan melebar. Adapun batasan masalah
dalam skripsi ini adalah mengenai persoalan larangan perkawinan tradisi
Kebo Balik Kandang yang ada di Desa Sugihwaras Kecamatan Prambon
Kabupaten Nganjuk Jawa Timur, tata cara tradisi perkawinan, dan
bagaimana Islam serta hukum positif memandang tradisi tersebut.
2. Rumusan Masalah
Sesungguhnya dalam Islam tidak terdapat pembeda ataupun
pengkhususan dalam hal perkawinan bagi setiap orang. Namun dalam
masyarakat Desa Sugihwaras Kecamatan Prambon, Kabupaten Nganjuk
Jawa Timur terdapat pengkhususan bagi sebagian orang yang akan
melakukan perkawinan.
9
Penulis bermaksud mengkaji dan mengungkapkan lebih jauh
mengenai tradisi Kebo Balik Kandang, adapun untuk mempermudah
pembahasan ini penulis merumuskan masalah dalam bentuk pertanyaan
sebagai berikut:
a. Bagaimana tradisi larangan perkawinan Kebo Balik Kandang di Desa
Sugihwaras Nganjuk Jawa Timur?
b. Bagaimana pandangan masyarakat tentang tradisi larangan
perkawinan Kebo Balik Kandang di Desa Sugihwaras Nganjuk Jawa
Timur?
c. Bagaimana Pandangan hukum Islam tentang tradisi larangan
perkawinan Kebo Balik Kandang di Desa Sugihwaras Nganjuk Jawa
Timur?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan suatu penelitian adalah mengungkapkan secara jelas apa yang
ingin dicapai dalam penelitian yang akan dilakukan. Dari pemahaman
tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah :
1. Mengetahui tradisi larangan perkawinan Kebo Balik Kandang.
2. Mengetahui pandangan masyarakat tentang tradisi larangan
perkawinan Kebo Balik Kandang.
3. Mengetahui pandangan hukum Islam tentang tradisi larangan
perkawinan Kebo Balik Kandang.
10
Sejalan dengan tujuan penelitian, maka penelitian ini diharapkan dapat
bermanfaat bagi penulis dan masyarakat.
1. Dapat memberikan sumbangan pemikiran (sebagai informasi ilmiah)
bagi akademisi tentang tradisi larangan perkawinan Kebo Balik
Kandang dalam masyarakat Desa Sugihwaras Kecamatan Prambon,
Kabupaten Nganjuk Jawa Timur.
2. Memberikan pengetahuan kepada masyarakat tentang tradisi Kebo
Balik Kandang dalam masyarakat Desa Sugihwaras Kecamatan
Prambon, Kabupaten Nganjuk Jawa Timur.
3. Menambah khazanah kekayaan budaya lokal yang berkaitan dengan
hukum perkawinan khususnya perkawinan masyarakat Jawa.
E. Metode Penelitian
Metode penelitian adalah cara yang akan ditempuh oleh penyusun
untuk menjawab permasalahan penelitian atau rumusan masalah.17
Adapun
metode yang digunakan dalam penelitian ini untuk mendapatkan hasil yang
maksimal dan optimal maka penyusun menggunakan tahapan-tahapan sebagai
berikut :
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yaitu penelitian
lapangan (field reasecrh) artinya penelitian yang dilakukan dengan cara
terjun langsung ke daerah obyek penelitian untuk mendapatkan data-data
17 Samiaji Sarosa, Penelitan Kualitatif Dasar-Dasar, (Jakarta: Permata Puti Media, 2012),
cet. Ke-1, h. 3
11
yang berkaitan dengan pembahasan yang dibahas, dalam hal ini mengenai
tradisi larangan perkawinan Kebo Balik Kandang dalam perkawinan Jawa.
Data diperoleh dari wawancara dengan tokoh-tokoh masyarakat dan
masyarakat yang masih menjalankan tradisi tersebut. Penulis
menghubungkannya dengan penelitian antropologi yang mempelajari garis
perilaku yang terjadi berulang-ulang dan terus-menerus dilaksanakan,
karena perilaku itulah yang merupakan sesuatu yang menjadi kebiasaan
dan menjadi hukum dalam masyarakat tersebut.18
Adapun sifat penelitian yang digunakan adalah “deskriptik-
analitik” yaitu mengelola dan mendeskripsikan penelitian yang dikaji
dalam tampilan data yang lebih bermakna dan lebih dapat dipahami
sekaligus manganalisis data tersebut.19
2. Pendekatan
Pendekatan yang Penulis gunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan normatif, yaitu pendekatan dengan menggunakan sudut
pandang Islam yakni Penulis akan menggunakan metode ushul fiqh yang
berarti bahwa Alquran, Hadis, dan pendapat para ulama menjadi rujukan
dalam pendekatan ini.
3. Sumber Data Penelitian
Sumber yang digunakan adalah sumber data primer dan data
sekunder.
18 Hilman Hadikusuma, Antropologi Hukum Indonesia, (Bandung: PT. Alumni, 1986), h.
27 19 Nana Sudjana, Tuntunan Penelitian Karya Ilmiah, Makalah-Skripsi-Tesis-Disertasi.
(Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1999), h. 77
12
a. Sumber data primer, yaitu sumber data yang diperoleh dari responden
langsung yaitu pihak masyarakat pemuka adat, tokoh masyarakat,
ulama setempat, dan masyarakat yang memegang tradisi tersebut.
b. Data sekunder, yaitu menjadikan penjelasan mengenai bahan hukum
primer tersebut. Data sekunder dalam penelitian ini adalah studi
kepustakaan, buku-buku, artikel ilmiah, arsip-arsip yang mendukung
atau dokumen-dokumen.
F. Review Studi Terdahulu
Setelah melakukan penelusuran, penulis menemukan beberapa
literatur dari hasil penelitian yang membahas dan mengkaji tentang
permasalahan-permalahan yang berhubungan dengan pernikahan, khususnya
membahas tentang larangan pernikahan, namun penyusun belum menemukan
judul yang sama dengan tema yang diangkat yaitu analisis hukum Islam
terhadap Tradisi Kebo Balik Kandang.
Berdasarkan hasil penelusuran yang penulis lakukan, ditemukan hasil
penulisan yang menyangkut tentang pandangan hukum Islam terhadap
perkawinan adat. Diantaranya adalah sebagai berikut:
Irsyad Rifai Hasibun yang dituangkan dalam bentuk skripsi yang
berjudul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Perkawinan Satu Marga dalam
Masyarakat Batak Angkola, Sumatera Utara”. Dalam hal ini dijelasakan
mengenai larangan perkawinan satu marga dalam adat Batak Angkola, dan
sanksi bagi yang melanggar adat tersebut serta menjelaskan perspektif hukum
13
Islam terhadap perkawinan satu marga. Perbedaan dengan skripsi yang akan
penulis susun adalah terletak pada larangan dan daerah yang akan diteliti,
penulis akan meneliti larangan perkawinan adat Kebo Balik Kandang dalam
perkawinan adat Jawa.20
Septi Muslimah, dalam skripsinya “Larangan Nikah Adu Kalen pada
Masyarakat Banyusoco Playen Gunung Kidul (Tinjauan Normatif
Sosiologis)”. Penelitian ini menjelaskan tentang larangan nikah yang
merupakan tradisi pernikahan yang ada dan diamalkan di Dusun Banyusoco
di mana calon suami istri dalam satu pedusunan berada antara dua tempat
yang berseberangan yang dipisahakan oleh sungai.21
Dalam hal larangan
pernikahan, penelitian ini menitikberatkan pada letak tinggal geografis pelaku
pernikahan, sedangkan dalam penelitian penyusun menitikberatkan pada
larangan menikah pada pelaku pernikahan yang dulunya satu desa dan salah
satu dari mereka keluar dari desa tersebut.
Fasry Helda Dwisuryati, dalam skripsinya “Tinjauan Hukum Islam
terhadap Larangan Menikah pada Bulan Safar di Masyarakat Kecamatan
Sungairaya Kalimantan Selatan”. Skripsi ini menjelaskan, bulan Safar
merupakan bulan panasan dan tidak baik melangsungkan pernikahan, karena
sering terjadi perselisihan yang mengakibatkan perpecahan antara warga
20 Irsyad Rifai Hasibun, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Perkawinan Satu Marga dalam
Masyarakat Batak Angkola, Sumatera Utara, (Skripsi Fakultas Syariah Dan Hukum Uin Syarif
Hidayatullah Jakarta) 21 Septi Muslimah, Larangan Nikah Adu Kalen pada Masyarakat Banyusoco, Playen,
Gunung Kidul Yogyakarta. (Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, 2005)
14
masyarakatnya.22
Dalam hal larangan pernikahan, penelitian ini menitik
beratkan pada waktu bulan tertentu dalam pelaksanaannya, sedangkan dalam
penelitian penyusun menitik beratkan pada pelaku pernikahan yang dulunya
satu desa dan salah satu dari mereka keluar dari desa tersebut.
Muchamad Iqbal Ghozali, dalam skripsinya yang berjudul “Larangan
Menikah pada Dino Ngeblak Tiyang Sepuh di Masyarakat Kampung
Sangrahan Kecamatan Mlati Kabupaten Sleman dalam Perspektif Hukum
Islam”. Larangan itu didasarkan karena pada waktu itu merupakan hari
meninggalnya orang tua, maka sudah sepantasnya sebagai seorang anak
melakukan prihatin pada waktu itu dan memanjatkan doa kepada mereka
yang telah meninggal, dan jangan melakukan acara pesta pora atau
bersenang- senang, karena dianggap tidak menghargai orang tuanya yang
telah Meninggal.23
Dalam hal larangan pernikahan, penelitian ini
menitikberatkan pada waktu pelaksanaannya, sedangkan dalam penelitian
penyusun menitik beratkan pada pelaku pernikahan yang dulunya satu desa
dan salah satu dari mereka keluar dari desa tersebut.
Nur Faidah, dalam skripsinya “Mantenan Adat Satu Suro di Desa
Traji Kecamatan Parakan Kabupaten Temanggung Jawa Tengah Menurut
Tinjauan Hukum Islam”. Skripsi ini menjelaskan tata cara ritual mantenan
pada tanggal satu suro, yang dilaksanakan pada setiap malam tanggal satu
22 Fasry Helda Dwisuryati, Tinjauan Hukum Islam terhadap Larangan Menikah Bulan
Safar di Masyrakat Kecamatan Sungai Raya Kalimantan Selatan, (Skripsi Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Sunan Kalijaga, 2007) 23 Muchamad Iqbal Ghozali, Larangan Menikah pada Dino Geblak Tiyang Sepuh di
Masyarakat Kampung Sanggrahan Kecamatan Mlati Kabupaten Sleman dalam Perspektif Hukum
Islam, (Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, 2012)
15
Suro, waktunya yaitu dimulai menjelang matahari terbenam atau setelah
maghrib. Dalam hal pernikahan, penelitian ini menitik beratkan pada tata cara
pelaksanaannya.24
Sedangkan dalam penelitian ini penyusun menitik beratkan
pada larangan menikah bagi pelaku pernikahan yang dulunya satu desa dan
salah satu dari mereka keluar dari desa tersebut.
Penelitian-penelitian yang penulis sebutkan di atas berbeda dengan
penelitian ini karena penelitian tersebut tidak membahas tentang tradisi Kebo
Balik Kandang yang mana tradisi ini digunakan ketika orang tua dari kedua
calon mempelai pengantin, yang tadinya satu desa, dan salah satu dari orang
tua calon mempelai keluar dari desa tersebut.
G. Sistematika Penelitian
Untuk memperoleh kerangka penelitian dan mengetahui penelitian
selanjutnya, sehingga dapat mempermudah dalam penyusunan skripsi ini,
maka penulis membuat sistematika penulisan yang dijelaskan di bawah ini:
Bab I Dalam bab ini penyusun akan menulis tentang Pendahuluan yang
berisi Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Rumusan Masalah,
Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Review Studi Terdahulu, Metode
Penelitian dan Sistematika Penulisan.
Bab II Menjelaskan tentang gambaran umum tentang perkawinan yeng
meliputi, Pengertian Perkawinan, Dasar Hukum Perkawinan,
24 Nur Faidah, Mantenan Adat Satu Suro di Desa Traji Kecamatan Parakan Kabupaten
Temanggung Jawa Tengah Menurut Tinjauan Hukum Islam, (Skripsi Fakultas Syari’ah, IAIN
Sunan Kalijaga, 2003)
16
Tujuan dan Hikmah Perkawinan, Syarat dan Rukun Perkawinan
dan Perkawinan yang Terlarang.
Bab III Potret Desa Sugihwaras Kecamatan Prambon Kabupaten
Nganjuk Jawa Timur yang terdiri dari, Kondisi Geografis.
Perkembangan Kependudukan, Ekonomi Masyarakat, Demografi
Pendidikan dan Keadaan Sosial Keagamaan, serta Tradisi Larangan
Perkawinan Kebo Balik Kandang.
Bab IV Membahas tentang Tradisi Larangan Perkawinan Kebo Balik
Kandang dari Pandangan Masyarakat dan Pandangan Hukum
Islam.
Bab V Berisikan tentang Kesimpulan dari permasalahan yang dibahas
pada bab-bab sebelumnya dan Saran-saran sebagai solusi dari
permasalahan.
17
BAB II
GAMBARAN UMUM TENTANG PERKAWINAN
Perkawinan sejatinya dilakukan oleh seorang laki-laki dan perempuan
dengan suatu akad yang kuat yang dibuat sungguh-sungguh dengan tujuan untuk
melaksanakan perintah Allah dan membina suatu rumah tangga yang bahagia dan
penuh akan cinta dan kasih sayang. Untuk lebih jelasnya lagi berikut akan
dijelaskan mengenai perkawinan.
A. Pengertian dan Dasar Hukum Perkawinan
1. Pengertian Perkawinan
Secara bahasa perkawinan atau pernikahan berasal dari kata
serapan bahasa Arab yang mempunyai makna menghimpun atau
mengumpulkan. Ilmu fikih mengenal perkawinan dalam dua kata yaitu
“nikah” dan perkataan “zawaj”. Kata “nikah” mempunyai arti sebenarnya
(haqiqat) dan arti kata kiasan (majazy). Arti kata sebenarnya dari kata
“nikah” adalah “dham” yang berarti menghimpit, menindih atau
berkumpul. Sedangkan arti kiasannya ialah “watha” yang berarti setubuh,
atau “aqad” yang berarti mengadakan perjanjian pernikahan.1 Sehingga
kata “nikah” maupun “zawaj” mencakup penghalalan dua perkara yaitu
jima’ (hubungan suami istri) dan aqad (perjanjian).
Secara terminologi perkawinan (nikah) yaitu akad yang
membolehkan terjadinya istimta’ (persetubuhan) antara seorang pria
1 Adil Abdul Min’im Abu Abbas, Ketika Menikah Menjadi Pilihan, (Jakarta: Almahira,
2008), h. 33
18
dengan seorang wanita, selama seorang wanita tersebut bukan dengan
seorang wanita yang diharamkan baik dengan sebab keturunan atau seperti
sebab susuan.2
Menurut fikih, definisi dari perkawinan atau pernikahan di
antaranya adalah:
Menurut syara’ nikah adalah melakukan aqad (perjanjian) antara
calon suami dan istri agar dihalalkan melakukan “pergaulan” sebagaimana
suami istri dengan mengikuti norma, nilai-nilai sosial dan etika agama.
Aqad dalam sebuah pernikahan merupakan pengucapan ijab dari pihak
wali perempuan atau wakilnya dan pengucapan qabul dari pihak calon
suami atau bisa diwakilkan.3
Menurut Imam Hanafi, nikah di definisikan sebagai akad yang
berakibat pada pemilikan “sex” secara sengaja, yang dimaksud dengan
pemilikan seks di sini, pemilikan laki-laki atas kelamin serta seluruh badan
perempuan untuk dinikmati (setubuh). Sudah tentu kepemilikan di sini
bukan kepemilikan hakiki, karena kepemilikan hakiki hanya ada pada
Allah SWT.4 Sedangkan menurut Imam Syafi’i pengertian nikah ialah
suatu aqad (perjanjian) yang dengannya menjadi halal hubungan seksual
antara pria dan wanita.5
2 Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Modern, (Jakarta: Graha Ilmu, 2011), h. 4 3 Mohamad Asmawi, NIkah dalam Perbincangan dan Perbedaan, (Yogyakarta:
Darussalam Perum Griya Suryo Asri, 2004), h. 18 4 Syafiq Hasyim, Hal-Hal Yang Tak Terpikirkan, (Bandung: Mizan, 2001), h. 150 5 M. Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal UU Nomor 1 Tahun 1974 Dari Segi
Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Ind. Hillco-Co, 1990), cet. Ke-2, h. 2
19
Dalam masalah perkawinan ini, para ahli fikih mengartikan
“nikah” menurut arti kiasan. Mereka berbeda pendapat tentang arti kiasan
yang mereka pakai. Imam Hanafi memakai arti “setubuh” sedangkan
Imam Syafi’i memakai arti “mengadakan perjanjian perikatan.”
Perbedaan pendapat antara kedua Imam di atas dalam mengartikan
pengertian, “nikah” merupakan pangkal dari perbedaan-perbedaan
pendapat antara mereka dalam masalah perkawinan pada umumnya.6
Jika ditinjau dari segi adanya kepastian hukum dan pemakaian
perkataan “nikah” dalam Alquran dan Hadis-Hadis, maka “nikah” dengan
arti “perjanjian perikatan” lebih tepat dan banyak dipakai daripada
“nikah” dengan arti “setubuh”.7 Sedangkan di dalam kitab-kitab fikih
klasik akan didapatkan suatu kesimpulan bahwa para ulama fikih
mendefinisikan suatu perkawinan sebagai halalnya hubungan seksual
antara laki-laki dan perempuan.8
Adapun definisi Perkawinan menurut beberapa pakar yang ada di
Indonesia:9
Menurut Sajuti Thalib, Perkawinan adalah suatu perjanjian yang
suci, kuat dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-
6 Kamal Muchtar, Asas-Aasas Hukum Islam tentang Perkawinan, (Jakarta: PT Bulan
Bintang, 1987), cet. Ke-2, h. 2 7 Kamal Muchtar, Asas-Aasas Hukum Islam tentang Perkawinan, (Jakarta: PT Bulan
Bintang, 1987), cet. Ke-2, h. 2 8 Ahmad Tholabi Kharlie dan Asep Syarifuddin Hidayat., Hukum Keluarga di Dunia
Islam Kontemporer, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), cet. Ke-
1, h. 259 9 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Studi
Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No 1/1974 sampai KHI), (Jakarta: Prenada
Media, 2004), h. 40
20
laki dengan seorang perempuan dengan tujuan membentuk keluarga yang
kekal, santun-menyantuni, kasih-mengasihi, tentram dan bahagia.
Hazairin menyatakan bahwa inti dari sebuah perkawinan adalah
hubungan seksual. Menurutnya tidak ada nikah (perkawinan) bila tidak
ada hubungan seksual.
Definisi lain dari perkawinan menurut Lord Penzance seperti yang
dikutip Lili Rasjidi dalam disertasinya mendefinisikan nikah adalah; “I
conceive that marriage as understood in Christendom, maybe defined as
the voluntary for life of one man and one women to the exclusion of all
other”. Intisari dari pengertian di atas ada tiga hal yaitu perkawinan itu
haruslah berdasarkan sukarela. Selanjutnya perkawinan dimaksudkan
untuk seumur hidup dan bersifat monogami.10
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan menyebutkan, “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara
seorang pria dan seorang wanita sebagai ikatan suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.11
Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam, pengertian Perkawinan
dijelaskan lebih spesifik. Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 2 (KHI),
Perkawinan menurut Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat
(mitsaqon gholidzon) untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah. Pengertian akad yang sangat kuat mengandung arti
10 Kama Rusdiana dan Jaenal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta: Lembaga
Penelitian UIN Jakarta dengan UIN Jakarta Press, 2007), cet. Ke-1, h. 3 11 Yayasan Peduli Anak Negeri, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
21
bahwa ikatan perkawinan bukanlah ikatan yang main-main yang dapat
dengan mudahnya dinyatakan berakhir, tanpa adanya alasan-alasan syar’i
yang dapat membenarkannya. Selain itu dengan klausul untuk mentaati
perintah Allah dan menjalankannya merupakan ibadah, maka pelaksanaan
perkawinan, sejak awal haruslah sesuai dengan tuntutan yang telah
digariskan oleh agama.12
Dengan demikian, dari segi hukum, jelaslah bahwa perkawinan
adalah salah satu akad yang suci dan luhur antara laki-laki dan perempuan
yang menjadi sebab sahnya status sebagai suami isteri dan di halalkannya
hubungan seksual dengan tujuan mencapai keluarga yang tentram
(sakinah), penuh kasih sayang, penuh kebajikan dan kerelaan untuk saling
menyantuni.13
2. Dasar Hukum
Hukum nikah (perkawinan) adalah, hukum yang mengatur antara
hubungan manusia dengan sesamanya yang menyangkut penyaluran
biologis antar jasmani, dan hak serta kewajiban yang berhubungan dengan
akibat perkawinan tersebut.14
Untuk membangun rumah tangga yang ideal
harus melalui ikatan perkawinan yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan
ajaran Islam.15
12 Luthfi Surkalam, Kawin Kontrak Dalam Hukum Nasional Kita, (Pamulang-Tangerang:
CV Pamulang Komplek Depag Blok 11/E1 Bambu Apus, 2005), cet. Ke-1, h. 1 13 Sudarsono, Hukum kekeluargaan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), h. 62 14 H.M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat; Kajian Fiqih Nikah Lengkap,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 12 15 Hasanuddin AF, Perkawinan dalam Persfektif Alquran: nikah, talak, cerai, rujuk,
(Jakarta: Nusantara Damai Press, 2009), h. 12
22
Perkawinan adalah suatu perbuatan yang diperintahkan oleh Allah
dan Rasul-Nya. Banyak suruhan-suruhan Allah dalam Alquran untuk
melaksanakan Perkawinan. Berikut akan dijelaskan dasar hukum dari
perkawinan.16
a. Alquran
Ayat-ayat Alquran yang mengatur hal ihwal perkawinan itu ada
sekitar 85 ayat di antara lebih dari 6000 ayat yang tersebar dalam sekitar
22 surat dari 114 surat dalam Alquran. Keseluruhan ayat Alquran tentang
munakahat tersebut disepakati keberadaan (thubut) nya sebagai firman
Allah atau disebut juga dengan qath’iy al-tsubut.17
Firman Allah SWT dalam QS. An-Nuur (24) : 32
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu,
dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu
yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka
miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah
maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.” (QS. An-Nuur (24) :
32)
16 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia; Antara Fikih Munakahat
dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 43 17 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia; Antara Fikih Munakahat
dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 6
23
Dalam QS. An-Nahl (16) : 72
“Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri
dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-
cucu, dan memberimu rezeki dari yang baik-baik. Maka mengapakah
mereka beriman keoada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah?.”
(QS. An-Nahl (16) : 72)
b. Hadis
Bagitu banyak pula suruhan Nabi kepada umatnya untuk
melakukan perkawinan. Diantaranya, seperti dalam hadis Nabi dari Anas
bin Malik menurut riwayat Ahmad dan disahkan oleh Ibnu Hibban:
18(رواه احمد)تزوجوا الودود الولود فإنى مكاثر بكم االمم يوم القيامة
“Kawinlah perempuan-perempuan yang dicintai yang subur,
karena sesungguhnya aku akan berbangga karena banyak kaum di hari
kiamat”. (HR. Ahmad).
Kemudian hadis Nabi dari Abdullah bin Mas’ud muttafaq alaih
yang berbunyi:
يا معشر الشباب من استطاع منكم الباءة فاليتزوج فإنه اغض للبصر واحصن للفرج
19(رواه البخاري و مسلم) يستطع فعليه بالصوم فإنه له وجاء فمن لم
“Wahai generasi muda, barangsiapa di anatara kamu telah
mempunyai kemampuan (secara fisik dan harta), hendaklah ia kawin,
karena perkawinan itu lebih menutup mata dari penglihatan yang tidak
baik dan lebih menjaga kehormatan. Bila ia tidak mampu untuk kawin
18 Muhammad bin Hambal bin Hilal bin Asad Al-Marwazi Al-Baghdadi, al-Musnad al-
Kabir, (Sunan Ahmad, no. 12613, no. 13569), (Lahore, Pakistan: Maktabae Rehmania, 1837) 19 Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari (Bab Nikah no.
1905, 5065, 5066), (Beirut: Bait al Afkar ad-Dauliyah 2002 M/1463 H), h. 1292 dan Muslim,
(IV/128), At-Tirmidzi, (no. 1018), An-Nasa’iy, (VI/56-58), Ad-Darami (II/132) dan Al-Baihaqi
(VII/77)
24
hendaklah ia berpuasa; karena puasa itu baginya pengekang hawa
nafsu”. (HR. Bukhari Muslim).
c. Ijmak Ulama
Dalam persfektif fikih, nikah disyariatkan dalam Islam berdasarkan
Alquran, Sunnah dan Ijma’. Dan dari segi Ijma’, para ulama sepakat
mengatakan nikah itu disyariatkan. Hukum asal suatu perkawinan adalah
boleh atau mubah. Namun dengan melihat kepada sifatnya adalah
sunnatullah.20
Sementara ulama mazhab Syafi’i berpendapat bahwa hukum
asal perkawinan adalah mubah. Sedangkan ulama Zahiriyah berpendapat
bahwa perkawinan wajib dilakukan oleh seseorang yang telah mampu.
Para ulama Malikiyah mutaakhirin berpendapat bahwa nikah itu wajib
untuk sebagian orang, sunnah untuk sebagian lainnya dan mubah untuk
segolongan lainnya.21
Dari hasil penalaran tersebut para ahli fikih menyatakan bahwa
hukum pernikahan dalam Islam tersebut mempunyai lima gradasi hukum,
yaitu hukum yang menjadi wajib, sunnah, mubah atau makruh.
Adapun keterangan kelima hukum tersebut adalah sebagai berikut:
1. Wajib hukumnya menurut jumhur ulama bagi orang yang
mampu untuk menikah dan khawatir akan melakukan
perbuatan zina. Alasannya, dia wajib menjaga dirinya agar
terhindar dari perbuatan haram.
20 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia; Antara Fikih Munakahat
dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 43 21 Abdul Rahman Ghazali, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana 2010), cet. Ke-4, h. 16
25
2. Sunnah hukumnya menurut jumhur ulama bagi orang yang
apabila tidak menikah, sanggup menjaga diri untuk tidak
melakukan perbuatan haram dan, apabila ia menikah, ia yakin
tidak akan mendzalimi dan membawa mudarat kepada istrinya.
3. Haram hukumnya bagi orang yang yakin akan mendzalimi dan
membawa mudarat kepada istrinya karena ketidakmampuan
dalam memberi nafkah lahir dan batin.
4. Makruh hukumnya apabila seseorang secara jasmani cukup
umur walau belum terlalu mendesak. Tetapi belum mempunyai
penghasilan tetap sehingga bila ia kawin akan membawa
kesengsaraan hidup bagi anak dan istrinya.22
Imam Al-Ghazali
mengatakan bahwa seseorang yang mengkhawatirkan
perkawinannya dapat mengurangi semangat beribadah kepada
Allah SWT dan semangat kerja dalam bidang ilmiah, maka
hukumnya lebih makruh lagi.23
5. Mubah hukumnya bagi laki-laki yang tidak terdesak alasan-
alasan yang mewajibkan segera nikah, atau alasan-alasan yang
menyebabkan ia harus menikah, maka hukumnya mubah.
22 Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern, (Yogyakarta: Graha Ilmu,
2011), h. 12 23 Rijaludin F.N, Nasehat Pernikahan, (Jakarta: Pusat Kajian Islam FAI UHAMKA,
2008)
26
d. Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia
Perkawinan menurut Hukum serta Peraturan Perundang-Undangan
yang berlaku.24
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan merumuskan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin
antara seorang pria dengan seorang wanita untuk membentuk rumah
tangga (keluarga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Tuhan yang Maha
Esa. Pertimbangannya ialah sebagai negara yang berdasarkan Pancasila,
dimana sila yang pertamanya ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka
perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan
agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur
lahir/jasmani, tetapi unsur batin/rohani juga mempunyai peranan yang
penting. Membentuk keluarga yang bahagia rapat hubungannya dengan
keturunan yang pula merupakan tujuan perkawinan, memelihara, dan
pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang tua.25
Selain Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974,
Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga mengatur tentang hukum perkawinan,
dengan berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10
Juli 1991 diberlakukannya Kompilasi Hukum Islam yang berisikan
pedoman bagi orang-orang Islam mengenai Perkawinan, Pewarisan dan
24 Sukri Ghazali dkk, Nasihat Perkawinan dalam Islam, (Jakarta, Kuningan mas Offset,
1983), h. 14-15 25 M. Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal UU Nomor 1 Tahun 1974 Dari Segi
Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta, Ind.Hillco-Co, 1990), h. 2
27
Perwakafan.26
Dengan adanya Kompilasi Hukum Islam sangat membantu
para Hakim dalam menyelesaikan setiap masalah perkawinan.
B. Syarat dan Rukun Perkawinan
Perkawinan dalam Islam tidaklah semata-mata sebagai hubungan
atau kontrak keperdataan biasa, akan tetapi ia mempunyai nilai ibadah.
Maka, amatlah tepat jika Kompilasi Hukum Islam menegaskannya sebagai
akad yang kuat (mitsaqon ghalidzan) untuk menaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah.27
Rukun dan syarat perkawinan menentukan suatu perbuatan hukum,
terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut
dari segi hukum. Rukun dan syarat mengandung arti yang sama dalam hal
pernikahan, keduanya merupakan sesuatu yang harus di adakan dalam
pernikahan. Dalam suatu acara pernikahan rukun dan syarat tidak boleh
tertinggal, artinya perkawinan tidak sah apabila rukun dan syaratnya tidak
ada.28
Oleh karena itulah, perkawinan yang sarat nilai dan bertujuan
untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan
26 Kama Rusdiana dan Jaenal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta: Lembaga
Penelitian UIN Jakarta dengan UIN Jakarta Press, 2007), cet. Ke-1, h. 1 27 Ditjen Pembinaan Kelembagaan Islam Departemen Agama, Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia, (Jakarta: Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Islam, 2001) 28 Amir Syarifuddin, Fikih Sunnah, (Bandung: Al-Ma’arif, 1994), jilid 6, h. 18
28
rahmah perlu diatur dengan syarat dan rukun tertentu agar tujuan
disyaratkannya perkawinan tercapai.29
Menurut hukum Islam syarat dan rukun perkawinan adalah:
a. Harus adanya calon laki-laki dan calon pengantin yang telah
aqil dan baligh
b. Adanya persetujuan yang bebas antara kedua calon pengantin
tersebut
c. Harus adanya wali nikah bagi calon pengantin perempuan
d. Harus ada 2 (dua) orang saksi laki-laki muslim yang adil
e. Harus ada mahar (mas kawin) yang diberikan oleh pengantin
laki-laki kepada pengantin wanita
f. Harus ada ijab dan qabul antara pengantin tersebut. Ijab artinya
pernyataan kehendak dari calon pengantin wanita yang diwakili
oleh walinya dan qabul artinya pernyataan kehendaknya
(penerimaan) dari calon pengantin pria kepada calon wanita,
yang tidak boleh berjarak yang lama antara ucapan ijab dengan
pernyataan qabul tersebut.30
Rukun dan syarat perkawinan mengandung arti yang berbeda dari
segi bahasa, bahwa rukun itu adalah sesuatu yang berada di dalam hakikat
29 Ahmad Rafiq, Hukum Keluarga Di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
1998), cet. Ke-3 h 69-72 30 Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara
Peradilan Agama dan Zakat Menurut Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), h. 20
29
dan merupakan bagian atau unsur yang mewujudkannya, sedangkan syarat
adalah sesuatu yang berada di luarnya tidak merupakan unsurnya.31
Adapun kalau kita perhatikan bahwasannya Undang-Undang
Perkawinan sama sekali tidak berbicara tentang rukun perkawinan.
Undang-Undang Perkawinan hanya membicarakan syarat-syarat
perkawinan, yang mana syarat-syarat tersebut lebih banyak berkenaan
dengan unsur-unsur atau rukun perkawinan.32
Menurut Hanafiah, nikah itu terdiri dari syarat-syarat yang
terkadang berhubungan dengan sighat, berhubungan dengan dua calon
mempelai dan berhubungan dengan kesaksian. Menurut Syafi’iyyah syarat
perkawinan itu ada kalanya menyangkut sighat, wali, calon suami-istri dan
juga syuhud (saksi). Berkenaan dengan rukunnya, bagi mereka ada lima,
calon suami-istri, wali, dua orang saksi dan sighat. Menurut Malikiyyah,
rukun nikah itu ada lima, wali, mahar, calon suami-istri dan sighat.
Jelaslah para ulama tidak saja berbeda dalam menggunakan kata
rukun dan syarat tetapi juga berbeda dalam detailnya. Malikiyyah tidak
menempatkan saksi sebagai rukun, sedangkan Syafi’i menjadikan dua
orang saksi sebagai rukun.33
31 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia; Antara Fikih Munakahat
dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2007), h.59 32 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia; Antara Fikih Munakahat
dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 61 33 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia; Studi
Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No 1/1974 sampai KHI, (Jakarta: Prenada
Media, 2004), h. 60-61
30
Adapun syarat-syarat Perkawinan dalam Pasal 6 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan:34
1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai
umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia
atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka
izin yang dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua
yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan
kehendaknya.
4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan
tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali,
orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan
darah dalam garis keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup
dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
5) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut
dalam ayat 2, 3 dan 4 pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara
mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam
daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan
perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin
setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat 2, 3
dan 4 pasal ini.
34 Yayasan Peduli Anak Negeri, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan
31
6) Ketentuan tersebut ayat 1 sampai dengan ayat 5 pasal ini berlaku
sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu
dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.
Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam secara jelas
membicarakan rukun perkawinan sebagaimana yang terdapat dalam pasal
14:35
1. Calon Suami;
2. Calon Istri;
3. Wali Nikah;
4. Dua orang saksi dan;
5. Ijab dan Kabul.
C. Tujuan dan Hikmah Perkawinan
1. Tujuan Perkawinan
Allah SWT mensyari’atkan perkawinan dalam Islam untuk
mecapai tujuan-tujuan yang mulia, di antaranya adalah:
a. Menjaga Keturunan
Dengan perkawinan yang sah, anak-anak akan mengenal ibu,
bapak dan nenek moyangnya, mereka merasa tenang dan damai dalam
masyarakat, sebab keturunan mereka jelas, dan masyarakatpun
menemukan kedamaian, karena tidak ada dari anggota mencurigakan
nasabnya.
35 Ditjen Pembinaan Kelembagaan Islam Departemen Agama, Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia, (Jakarta: Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Islam, 2001)
32
Sebagaimana hal ini terjadi pada kelompok masyarakat yang rusak,
yang disebabkan dekadensi moral, free sex dan perilaku-perilaku
menyimpang, anak-anak yang tidak mengetahui nasab keturunannya, akan
merasa hina dan tidak berguna.
b. Menjaga Wujud Manusia
Tanpa perkawinan yang sah, tidak akan langgeng wujud manusia
di muka bumi ini, sedangkan dengan perkawinan, manusia berkembang
baik melalui lahirnya anak laki-laki dan perempuan. Allah SWT
menerangkan tujuan-tujuan perkawinan kepada kita, dalam firman-Nya:
……..
”Allah menjadikan bagimu istri-istri dari jenis kamu sendiri dan
menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu anak-anak dan cucu-
cucu…..”(QS. An-Nahl (16) : 72)
c. Mengarahkan Penyaluran Kebutuhan Biologis
Islam menyeru pengikutnya untuk melaksanakan perkawinan yang
sah apabila mereka telah mampu dan memenuhi persyaratan, oleh sebab
itu Islam menghalangi tingginya mahar dalam perkawinan dan mengajak
untuk memudahkan jalan menuju perkawinan, Rasulullah saw bersabda:
”Wahai kaum muda, barangsiapa telah sanggup baa’ah
(membiayai kehidupan), maka kawinlah karena pandangan akan lebih
terjaga dan faraj (kemaluan) akan lebih terbentengi, barangsiapa yang
belum sanggup, maka berpuasalah karena ia akan menajdi obat penahan
baginya. (HR. muttafaq’ alaih)”.
33
d. Melindungi Masyarakat dari Dekandensi Moral dan Perilaku
Menyamping
Kelompok masyarakat yang berpegang teguh dengan norma-norma
mulia serta menjauhi perbuatan keji dan kotor, senantiasa mengutamakan
pembangunan pilar-pilar keluarga bahagia, pada gilirannya akan
melahirkan anak-anak yang berguna bagi Negara dan umat serta
kemanusiaan itu sendiri yang selalu tunduk dengan ketentuan-ketentuan
agama serta ikatan-ikatan syariat. Sehingga dapat terjauh dari perilaku
menyimpang dan kebebasan seksual.
e. Menumbuhkan Perasaan Kasih Sayang dan Kebersamaan
Perasaan kasih sayang dan kebersamaan tidak akan terealisasikan
tanpa perkawinan yang sah, sang suami akan merasa terikat dengan
keluarganya, merasakan kedamaian dan ketenangan, pada saat dia pulang
dari kerja dengan segala kelelahan dan kerumitan, ia menemukan
ketentraman, kesejukan dan kelapangan dalam keluarganya.36
Menurut Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin seperti
yang dikutip oleh Abdul Rahman Ghazali menyebutkan bahwa tujuan
perkawinan yaitu: 37
36 Muhamad Fu’ad Syaki, Perkawinan Terlarang; al-misyar (kawin perjalanan), al-‘urfi
(kawin bawah tangan), as-sirri (kawin rahasia), al-mut’ah, (Jakarta: Cendekia Sentra Muslim,
2002), h. 11-15 37 Abdul Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2010), cet. Ke-4, h. 24
34
a. Mendapatkan dan melangsungkan keturunan,
b. Memenuhi hajat manusia untuk menyalurkan syahwatnya dan
menumpuhkan kasih sayang,
c. Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan
kerusakan,
d. Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima
hak serta kewajiban, juga bersungguh-sungguh untuk memperoleh
harta kekayaan yang halal,
e. Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang
tentram atas dasar cinta dan kasih sayang.
Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan menyebutkan bahwasannya tujuan dari perkawinan yang
terdapat dalam Pasal 1 adalah “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara
seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Dari Pasal 1 tersebut jelaslah
bahwa tujuan dari perkawinan adalah membentuk keluarga atau rumah
tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.38
Dalam Kompilasi Hukum Islam, tujuan dari perkawinan menurut Pasal 3
adalah “Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan rumah tangga yang
sakinah, mawaddah dan rahmah”.39
38 Yayasan Peduli Anak Negeri, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan 39 Ditjen Pembinaan Kelembagaan Islam Departemen Agama, Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia, (Jakarta: Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Islam, 2001)
35
2. Hikmah Perkawinan
Sungguh amat jelas bahwa perkawinan yang terjadi pada makhluk
hidup, baik tumbuhan, binatang, maupun manusia adalah untuk
keberlangsungan dan perkembangbiakan makhluk yang bersangkutan.
Alquran Al-Karim mengisyaratkan kepada kita akan adanya hikmah dari
perkawinan, dengan firman Allah SWT.40
“Hai sekalian manusia bertakwalah kamu kepada Tuhanmu, yang
telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan darinya Allah menciptakan
pasangannya, dan dari keduanya Allah memperkembangbiakan banyak
laki-laki dan perempuan. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan
nama-Nya kamu saling meminta, dan (peliharalah) hubungan
silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.”
(QS. An-Nissa’ (4) : 1)
Hikmah perkawinan menurut ajaran Islam adalah untuk
memelihara manusia dari pada pekerjaan maksiat yang dapat
membahayakan diri, harta dan pikiran.41
Sedangkan Menurut Abd. Muhaimin As’ad, hikmah perkawinan
meliputi:
a) Supaya manusia itu hidup berpasang-pasangan, dengan cinta kasih
dan berbagi rasa dalam suka dan duka.
b) Supaya terbina rumah tangga yang damai, tenang dan sejahtera.
40 Mahmud Al-Shabbagh, Tuntunan Keluarga Bahagia Menurut Islam, (Bandung;
Resmaja Rosdakarya, 1991), h. 1-2 41 Amir Taat Nasution, Rahasia Perkawinan Dalam Islam; Tuntunan Keluarga Bahagia,
(Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1994), cet. Ke-3, h. 31
36
c) Supaya lahir keturunan yang sah dan terhomat dalam masyarakat,
sehingga terciptalah masyarakat yang tangguh dan
bertanggungjawab.
d) Supaya terbina hubungan yang rapat dan kait-mengkait bagaikan
rantai yang sangat kuat dan tidak akan putus dari keturunan yang
turun - temurun dari pasangan suami istri itu.
e) Supaya terjadi proses regenerasi yang baik, yang mampu memelihara
dan menanggung kedua orang tua sehingga mereka aman dan
sejahtera, karena diasuh dan di didik oleh orang tuanya dengan
baik.42
D. Perkawinan yang Terlarang
Perkawinan yang tidak sesuai dengan yang di syariatkan dalam
Islam, sangatlah di benci oleh Rasulullah Saw. Karena dari segi tujuan
perkawinannya tidak sesuai dengan yang tertera dalam Alquran dan Hadis.
Misalnya dari segi tujuan perkawinan, tujuannya tidak untuk melanjutkan
keturunan ataupun membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah dan
rahmah tetapi semata-mata untuk memuaskan hawa nafsu, meskipun
dalam perkawinan ini sudah terpenuhi semua syarat dan rukunnya.
Perkawinan seperti inilah yang dilarang dalam Islam.43
Hukum perkawinan telah diatur sedemikian rupa oleh syariah
sehingga ia dapat membentuk suatu umat yang ideal. Untuk mencapai
42 Idhoh Anas, Risalah Nikah ‘Ala Rifaiyyah, (Pekalongan: Al-Asri, 2008), h. 10 43 Kamal Muchtar¸ Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1974), h. 110-116
37
tujuan itu, Alquran dan Sunah telah menjelaskan macam-macam larangan
dalam perkawinan.44
1. Nikah Mut’ah
Nikah mut’ah adalah ikatan tali perkawinan antara seorang laki-
laki dan wanita, dengan mahar yang telah disepakati, disebut dalam akad
sampai pada waktu yang telah ditentukan.45
, nikah mut’ah merupakan
perkawinan yang bersifat sementara atau perkawinan yang mempunyai
jangka waktu, seperti kawin satu hari, satu minggu, satu bulan dan
seterusnya.46
Nikah seperti ini tidak memerlukan wali dan saksi, dan
wanita dapat menikahkan dirinya sendiri dengan pria calon suaminya.47
Perkawinan semacam ini merupakan suatu bentuk perkawinan
terlarang yang dijalani dalam tempo yang singkat untuk mendapatkan
perolehan yang ditetapkan. Mut’ah diperkenankan pada masa awal
pembentukan ajaran Islam, sebelum syariat Islam ditetapkan secara
lengkap. Mut’ah diperbolehkan pada hari-hari permulaan sewaktu
seseorang melakukan perjalanan atau ketika orang-orang sedang
bertempur melawan musuh. Alasan mengapa diperkenankan adalah bahwa
orang-orang yang baru memeluk Islam tengah mulai masa transisi dari
Jahiliyah menuju Islam. Pada masa Jahiliyah, perzinahan merupakan hal
yang sangat wajar sehingga tidak dianggap dosa. Diperkenankannya nikah
44 Abdur Rahman, Perkawinan dalam Syariat Islam, Penerjemah: Basri Ibn Asghari dan
Wadi Masturi, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1992), h. 17 45 Ja’far Murthada Al-Amili, Nikah Mut’ah dalam Islam, (Kajian Ilmiah dari Berbagai
Mazhab), alih bahasa Abu Muhammad Jawad, (Jakarta: Yayasan As-sajjad, 1992), h. 17 46 Sayyid Shabiq, Fikih Sunnah, (Bandung: Al-ma’arif, 1990), h. 57 47 Sudirman Tebba, Sosiologi Hukum Islam, (Yogyakarta: UII Press Indonesia, 2003), cet.
Ke-1, h. 52
38
mut’ah pada masa terdahulu karena orang-orang yang berjuang di medan
tempur belum mempunyai keteguhan iman dan mencoba melakukan zina
semasa perang itu. Sedangkan yang kuat imannya menahan keinginannya
dengan keras untuk mengendalikan hawa nafsunya.48
Setelah syariat Islam mencapai kesempurnaan, maka izin nikah
mut’ah pun diharamkan dan dicabut oleh Rasulullah melalui hadisnya,
diantaranya,
“Sesungguhnya Rasulullah melarang kawin mut’ah dan memakan
daging keledai”. (HR. Bukhari).49
2. Nikah Syighar
Nikah syighar yaitu seorang laki-laki menikahkan seorang
perempuan atau putrinya yang dibawah perwaliannya dengan laki-laki
lain, dengan perjanjian laki-laki lain itu menikahkan pula dengan wanita
dibawah perwaliannya tanpa membayar mahar.50
Al-syighar dalam istilah Arab berarti mempunyai seekor anjing
sewaktu ia lewat melintas. Inilah sebabnya mengapa kata yang sama
dikenakan pada bentuk pernikahan yang tak diinginkan ini karena ada
persamaan dengan menjemput seorang wanita tanpa membayar mas kawin
(mahar) pada waktu menikahkannya.51
48 Abdurrahman I Doi, Perkawinan Dalam Syariat Islam, (Jakarta: PT Rineka Cipta,
1992),
h. 59 49 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia; Studi
Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No 1/1974 sampai KHI, (Jakarta: Prenada
Media, 2004), h. 154 50 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (Bandung: Al-ma’arif, 1990), cet. Ke-7, h. 76 51 Abdurrahman I Doi, Perkawinan Dalam Syariat Islam, (Jakarta: PT Rineka Cipta,
1992), h. 6
39
Pada masa sebelum Islam, syighar diakui sebagai suatu bentuk
perkawinan, akan tetapi setelah datangnya Islam kemudian Rasulullah
melarang perkawinan seperti ini karena perkawinan syighar ini
menghalangi wanita dari haknya untuk mendapatkan mahar.52
3. Nikah Muhalil
Nikah Muhalil ialah suatu perkawinan yang dilakukan oleh seorang
laki-laki terhadap perempuan yang sudah ditalak ba’in (talak tiga) dengan
maksud agar mantan suaminya yang sudah mentalak tiga dapat
menikahinya lagi setelah diceraikan oleh suami yang baru setelah habis
masa ‘iddah-nya.53
Perkawinan semacam ini merupakan perkawinan yang dilarang
dalam Islam, karena tidak sesuai dengan tujuan dari perkawinan yang
sudah di tetapkan dalam Alquran maupun hadis.
Sebenarnya dalam hukum Perkawinan Islam dikenal sebuah asas
yang disebut dengan asas selektivitas. Maksud dari asas ini adalah
seseorang yang hendak menikah harus terlebih dahulu menyeleksi dengan
siapa ia boleh menikah dan dengan siapa ia terlarang untuk menikah.54
Dalam persfektif fikih mengenal adanya larangan perkawinan yang disebut
dengan mahram (orang yang haram dinikahi).
52 Abdurrahman I Doi, Perkawinan Dalam Syariat Islam, (Jakarta: PT Rineka Cipta,
1992), h. 61 53 Ahmidi, H. MD. Ali, Islam dan Perkawinan, (Jakarta: PT. Al-Massrif, 1951), h. 50 54 Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis dari Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), h. 34
40
Ulama fikih telah membagi mahram ini kepada dua macam.
Pertama disebut dengan mahram mu’aqqat (larangan untuk waktu
tertentu) dan kedua mahram mu’abbad (larangan untuk selamanya).
Wanita yang haram dinikahi untuk waktu yang selamanya
(mahram mu’abbad), terbagi kedalam tiga kelompok yaitu, pertama,
wanita-wanita seketurunan (al muharramat min an-nasab), kedua, wanita-
wanita sepersusuan (al muharramat min ar-rada’ah), dan ketiga, wanita-
wanita yang haram dikawini karena hubungan persemendaan (al
muharramat min al-musaharah).
Dalam hal larangan perkawinan ini agaknya Alquran memberikan
aturan yang tegas dan terperinci. Dalam surat An-Nisa’ ayat 22-23 Allah
SWT dengan tegas menyatakan:
“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini
oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya
perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang
ditempuh). Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu
41
yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara
bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan;
anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang
menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu
(mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri
yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu
itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya;
(dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan
menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara,
kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang”.(QS. An-Nisa’ (4) : 22-23)
Berpijak dari pengertian ayat di atas maka para ulama membuat
rumusan-rumusan yang lebih sistematis sebagai berikut:
1. Karena pertalian nasab (hubungan darah)
a. Ibu, nenek (dari garis ibu atau bapak) dan seterusnya ke
atas.
b. Anak perempuan, cucu perempuan dan seterusnya ke
bawah.
c. Saudara perempuan sekandung, seayah dan seibu.
d. Saudara perempuan ibu (bibi atau tante).
e. Saudara perempuan bapak (bibi atau tante).
f. Anak perempuan dari saudara laki-laki sekandung.
g. Anak perempuan dari saudara laki-laki seayah.
h. Anak perempuan dari saudara laki-laki seibu.
i. Anak perempuan saudara perempuan sekandung.
j. Anak perempuan saudara perempuan seayah.
k. Anak perempuan saudara perempuan seibu.
42
2. Karena hubungan semenda
a. Ibu dari istri (mertua).
b. Anak (bawaan) istri yang telah dicampuri (anak tiri).
c. Istri bapak (ibu tiri).
d. Istri anak (menantu).
e. Saudara perempuan istri adik atau kakak ipar selama dalam
ikatan perkawinan.
3. Karena pertalian sepersusuan
a. Wanita yang menyusui seterusnya ke atas.
b. Wanita sepersusuan dan seterusnya menurut garis ke
bawah.
c. Wanita saudara sepersusuan dan kemanakan sesusuan ke
bawah.
d. Wanita bibi susuan dan bibi susuan ke atas.
e. Anak yang disusui oleh istrinya dan keturunannya.55
Sedangkan larangan yang bersifat mahram mu’aqqat (larangan
untuk waktu tertentu) yaitu:56
1. Larangan bilangan
2. Larangan mengumpulkan
3. Larangan kehambaan
4. Larangan kafir
55 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia; Studi
Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No 1/1974 sampai KHI, (Jakarta: Prenada
Media, 2004), h.145-148 56 Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2010), cet. Ke-4, h. 103
43
5. Larangan Ihram
6. Larangan sakit
7. Larangan iddah
8. Larangan perceraian tiga kali bagi suami yang menceraikan
9. Larangan peristrian
Di Indonesia juga memiliki peraturan yang menentukan
perkawinan mana yang diperbolehkan dan perkawinan mana yang dilarang
menurut hukum.57
Dalam Undang-Undang Perkawinan menentukan
beberapa larangan untuk melangsungkan perkawinan yang dimuat dalam
Pasal 8, 9 dan 10.58
Ketentuan-ketentuan dalam Pasal 8, 9 dan 10 Undang-Undang
Perkawinan tersebut telah sangat mendekati ketentuan-ketentuan larangan
perkawinan dalam Islam.59
Pasal 8 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
menyatakan melarang perkawinan antara dua orang yang mempunyai
hubungan darah baik keatas, kebawah maupun garis menyamping,
mempunyai hubungan semenda, hubungan susuan, hubungan saudara
dengan istri dan hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang
berlaku yang melarang untuk kawin. Pasal 9 melarang seseorang yang
masih terikat tali perkawinan dengan orang lain untuk kawin lagi, kecuali
57 R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, ( Bandung: Sumur
Bandung, 1991), h. 34 58 K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1978), h.
27 59 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia:Berlaku Bagi Umat Islam,(Jakarta:
Universitas Indonesia Press, 1986), h. 54
44
ada izin dari Pengadilan. Dan Pasal 10 melarang perkawinan kembali
antara suami istri yang telah bercerai untuk kedua kalinya.60
Untuk mengetahui penjelasan yang lebih rinci dalam pasal 8
Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974 telah diatur dengan jelas
mengenai larangan perkawinan yang menyatakan:
Perkawinan dilarang antara dua orang yang:
a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah
ataupun ke atas.
b. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu
antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan
anatar seorang dengan saudara neneknya.
c. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu dan
ibu/bapak tiri.
d. Berhubungan susuan yaitu otang tua susuan, anak susuan,
saudara susuan dan bibi/paman susuan.
e. Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau
kemenakan dari istri, dalam hal seorang suami beristri lebih
dari seorang.
f. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain
yang berlaku dilarang kawin.
Selanjutnya di dalam Pasal 9 Undang-Undang Perkawinan
menyatakan, seseorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang
60 Asmin, Status Perkawinan Antar Agama: Ditinjau dari Undang-Undang Perkawinan
No.1/1974, (Jakarta: PT Dian Rakyat, 1986), h. 25
45
lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut pada pasal 3
ayat (2) dan pasal 4 undang-undang ini.61
Berbeda dengan Undang-Undang Perkawinan yang hanya memuat
secara singkat hal-hal yang termasuk larangan perkawinan, Kompilasi
Hukum Islam menjelaskannya lebih rinci dan tegas. Bahkan Kompilasi
Hukum Islam dalam hal ini mengikuti sistematika fikih yang telah baku.
Masalah larangan perkawinan ini dimuat pada Bab VI Pasal 39 sampai
Pasal 44. 62
Di dalam Pasal 39 dinyatakan, dilarang melangsungkan
perkawinan anatar seorang pria dengan seorang wanita disebabkan:
1. Karena pertalian nasab:
a. Dengan seorang wanita yang melahirkan atau menurunkannya
atau keturunannya.
b. Dengan seorang wanita keturanan ayah atau ibu.
c. Dengan seorang wanita saudara yang melahirkan.
2. Karena pertalian kerabat semenda:
a. Dengan seorang wanita yang melahirkan istrinya atau bekas
istrinya.
b. Dengan seorang wanita bekas istri orang yang menurunkannya.
61 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia; Studi
Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No 1/1974 sampai KHI, (Jakarta: Prenada
Media, 2004), h.149-150 62 Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2010), cet. Ke-4, h. 114
46
c. Dengan seorang wanita keturunan istri atau bekas istrinya,
kecuali putusnya hubungan perkawinan dengan bekas istrinya
itu qabla ad-dukhul.
3. Karena pertalian sesusuan:
a. Dengan wanita yang menyusuinya dan seterusnya menurut
garis lurus ke atas.
b. Dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis
lurus ke bawah.
c. Dengan seorang wanita saudara sesusuan, dan kemenakan
sesusuan ke bawah.
d. Dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan
ke atas.
e. Dengan anak yang disusui oleh istrinya dan keturunannya.
Sedangkan larangan yang bersifat mahram mu’aqqat (larangan
untuk waktu tertentu) seperti yang termuat pada Pasal 40 Kompilasi
Hukum Islam dinyatakan dilarang melangsungkan perkawinan antara
seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu:
a. Karena wanita yang bersangkutan masih terkait satu
perkawinan dengan pria lain.
b. Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan
pria lain.
c. Seorang wanita yang tidak beragama Islam.
47
Pasal 41 menjelaskan larangan perkawinan karena pertalian nasab
dengan perempuan yang telah dikawini, atau karena sepersusuan.
(1) Seorang pria dilarang memadu istrinya dengan seorang wanita
yang memiliki pertalian nasab atau susuan dengan istrinya
a. Saudara kandung, seayah atau seibu serta keturunannya
b. Wanita dengan bibinya atau kemenakannya
(2) Larangan tersebut pada ayat (1) tetap berlaku meskipun istri-
istrinya telah ditalak raj’i, tetapi masih dalam masa iddah
Larangan kawin juga berlaku bagi seorang laki-laki yang telah
beristri empat orang dan masih terikat dalam perkawinan atau ditalak raj’i
masih dalam masa ‘iddah.
Di dalam Pasal 42 dinyatakan:
Seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang
wanita apabila pria tersebut sedang mempunyai 4 (empat) orang
istri yang keempat-empatnya masih terikat perkawinan atau sedang
yang lainnya dalam masa iddah talak raj’i.
Larangan terhadap istri yang telah ditalak tiga dan di li’an diatur
dalam Pasal 43 yang berbunyi:
(1) Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria:
a. Dengan seorang wanita bekas istrinya yang ditalak tiga kali.
b. Dengan seorang wanita bekas istrinya yang di li’an.
48
(2) Larangan tersebut pada ayat (1) huruf a gugur kalau bekas istrinya
tadi telah kawin dengan pria lain, kemudia perkawinan tersebut
putus ba’da dukhul dan telah habis masa iddahnya.
Selanjutnya di dalam Pasal 44 menyatakan bahwa, seorang wanita
Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan pria yang tidak
beragama Islam.
Tampaknya berkenaan dengan larangan perkawinan yang termuat
dalam fikih, Undang-Undang Perkawinan dan juga Kompilasi Hukum
Islam tidak menunjukkan adanya pergeseran konseptual, hal ini
disebabkan karena masalah larangan perkawinan ini adalah masalah
normatif yang bisa dikatakan sebagai sesuatu yang taken for granted.63
63 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia; Studi
Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No 1/1974 sampai KHI, (Jakarta: Prenada
Media, 2004), h.150-153
49
BAB III
POTRET DESA SUGIHWARAS DAN LARANGAN PERKAWINAN
TRADISI KEBO BALIK KANDANG
A. Potret Desa Sugihwaras
1. Kondisi Geografis
Secara geografis Desa Sugihwaras adalah desa yang terletak di
Kecamatan Prambon Kabupaten Nganjuk Jawa Timur, Desa Sugihwaras
merupakan desa yang kaya akan dengan tanah sawahnya yang terhampar
luas, begitupun dengan luas wilayahnya yang mencapai 283.59 Ha yang
berbatasan dengan Desa/Kelurahan Sonoageng di sebelah Utara,
Rowoharjo di sebelah Selatan, kemudian Watudandang di sebelah Timur,
serta Sumber Kepuh di sebelah Barat.1
Tabel 1.1
Batas Wilayah Desa Sugihwaras
No Batas Wilayah Desa/Kel Kecamatan
1 Sebelah utara Sonoageng Tanjunganom
2 Sebelah Selatan Rowoharjo Tarokan
3 Sebelah Timur Watudandang Ngronggot
Sumber : Badan Pemberdayaan Mayarakat Desa Sugihwaras Kecamatan
Prambon Kabupaten Nganjuk Jawa Timur 2016-2017
1 Asip Data Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa Sugihwaras 2016-2017
50
Lembaga kemasyarakatan Desa (LKD) dari Desa Sugihwaras
terdiri dari 5 Dusun atau dalam bahasa Jawa disebut dengan 5 Dukuan,
dari setiap Dusun yang ada di Desa Sugihwaras masing-masingnya
memiliki kepala dusun, atau dalam bahasa Jawa disebut dengan
Kamituwo. Kamituwo merupakan gelar bagi kepala dusun pada sistem
pemerintahan tingkat desa, terutama di daerah yang masih berlaku sistem
tingkatan jabatan dalam tradisi Jawa.2
Disamping itu lembaga kemasyarakatan Desa Sugihwaras sendiri
juga memliki 59 RT dan 18 RW, dan ruang lingkup dari kepengurusan RT
masing-masing memegang 3 jenis kegiatan yakni dusun, dan untuk ruang
lingkup kegiatan RW memegang 6 jenis kegiatan yakni dusun.3
Orbitasi atau jarak dari Desa Sugihwaras menuju pusat
pemerintahan dapat ditempuh dengan jarak :
- Ibu kota Kecamatan : 2.00 Km
- Ibu kota Kabupaten : 25.00 Km
- Ibu kota Provinsi : 125.00 Km
Adapun untuk luas wilayah penggunaan dari Desa Sugihwaras
sendiri dapat dilihat dari tabel dibawah ini :
2 Hasil Wawancara dengan Dra. Deno Indiyanto, Kepala Desa Sugihwaras, 19 April 2017 3 Arsip Data Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa Sugihwaras 2016-2017
51
Tabel 1.2
Luas Wilayah Desa Sugihwaras Menurut Penggunaan4
No Batas Wilayah Penggunaan Jumlah
1 Luas tanah sawah 79,00 Ha
2 Luas tanah kering 128,00 Ha
3 Luas tanah basah 10, 00 Ha
4 Luas tanah perkebunan 0,00 Ha
5 Luas fasilitas umum 66,59 Ha
6 Luas tanah hutan 0,00 Ha
7 Total Luas 283,59 Ha
Sumber : Badan Pemberdayaan Mayarakat Desa Sugihwaras Kecamatan
Prambon Kabupaten Nganjuk Jawa Timur 2016-2017
2. Perkembangan Kependudukan
Perkembangan kependudukan di Desa Sugihwaras pada tahun
2016 memiliki jumlah penduduk sekitar 9.630 jiwa dan pada tahun 2017
jumlah penduduk dari Desa Sugihwaras bertambah menjadi 13.479 jiwa,
dengan presentase perkembangan untuk laki-laki mecapai 30.63% dan
untuk perempuan 49.21%. Kemudian untuk jumlah kepala keluarga pada
masyarakat Desa Sugihwaras, pada tahun 2016 mencapai 3.033 KK dan
pada tahun 2017 berkembang menjadi 3.700 KK.5
4 Arsip Data Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa Sugihwaras 2016-2017 5 Arsip Data Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa Sugihwaras 2016-2017
52
Adapun rincian dari kependudukan dan kepala keluarga Desa
Sugihwaras dapat dilihat dari tabel sebagai berikut :6
Tabel 1.3
Jumlah Penduduk Desa Sugihwaras
Jumlah Penduduk Laki-laki Perempuan
Tahun 2016 4792 orang 4838 orang
Tahun 2017 6260 orang 7219 orang
Presentasi Perkembangan 30.63 % 49.21 %
Sumber : Badan Pemberdayaan Mayarakat Desa Sugihwaras Kecamatan
Prambon Kabupaten Nganjuk Jawa Timur 2016-2017
Tabel 1.4
Jumlah Keluarga Desa Sugihwaras
Jumalah Keluarga KK Laki-laki KK
Perempuan
Total
KK Tahun 2016 2512 KK 521 KK 3033 KK
KK Tahun 2017 3106 KK 594 KK 3700 KK
Presentasi
Perkembangan
23.65 % 14.01 %
Sumber : Badan Pemberdayaan Mayarakat Desa Sugihwaras Kecamatan
Prambon Kabupaten Nganjuk Jawa Timur 2016-2017
Berdasarkan kedua diagram tabel diatas, bahwasannya
perkembangan kependudukan dari Desa Sugihwaras sangatlah pesat, dapat
6 Arsip Data Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa Sugihwaras 2016-2017
53
dilihat dari jumlah kependudukan yang bertambah dari tahun 2016 sampai
dengan tahun 2017 dengan rata-rata mencapai 2000 orang.
3. Ekonomi Masyarakat
Keadaan ekonomi masyarakat Desa Sugihwaras terfokuskan
kepada mata pencaharian pokok seperti, pertanian, buruh tani, industri,
pegawai negri sipil (PNS), perdagangan dan jasa. Akan tetapi potensi dan
perkembangan mata pencaharian masyarakat Desa Sugihwaras sangat
mendominasi dalam bidang pertanian, karena di sepanjang jalan Desa
Sugihwaras banyak sekali tanah sawah yang dikelola oleh masing-masing
kepala keluarga, khususnya orang deawasa yang telah memiliki anak.
Berbeda dengan dengan anak-anak mereka atau para pemuda disana yang
kebanyakan dari mereka bekerja di luar dari Desa Sugihwaras.
Mata pencaharian pokok dari Desa Sugihwaras yang mendominasi
dalam bidang pertanian dan ternak, dapat dilihat dari pendapatan perkapita
menurut sektor usahanya. Menurut data yang yang penulis peroleh dari
Desa/Kelurahan, jumlah pendapatan dari sektor pertanian untuk setiap
rumah tangga mencapai Rp. 724.000,00, kemudian untuk pendapatan
perkapita dari sektor peternakan untuk setiap rumah tangga hanya sebatas
berjumlah Rp. 575.000,00.7 Selanjutnya untuk mengetahui jenis mata
pencaharian dari masyarakat Desa Sugihwaras dapat dilihat dari diagram
tabel dibawah ini :8
7 Arsip Data Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa Sugihwaras 2016-2017 8 Arsip Data Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa Sugihwaras 2016-2017
54
Tabel 1.5
Data Mata Pencaharian Pokok Desa Sugihwaras
No Jenis Pekerjaan Laki-laki Perempuan
1 Petani 2012 Orang 1124 Orang
2 Buruh Tani 1306 Orang 1325 Orang
3 PNS 76 Orang 98 Orang
4 Peternak 492 Orang 31 Orang
5 Pedagang Keliling 81 Orang 103 Orang
6 Pengrajin Industri Rumah
Tangga
8 Orang 9 Orang
Sumber : Badan Pemberdayaan Mayarakat Desa Sugihwaras Kecamatan
Prambon Kabupaten Nganjuk Jawa Timur 2016-2017
4. Demografi Pendidikan
Masyarakat Desa Sugihwaras merupakan desa yang sangat
potensial, hal ini dapat kita lihat dari data penduduk berdasarkan
pendidikannya, mulai dari masyarakatnya yang tergolong mengenal baca
tulis, kemudian dari tingkat pendidikan masyarakat mulai dari penduduk
yang tamat SD/sederajat dengan jumlah 3679 orang, dan yang tidak tamat
Sd/sederajat berjumlah 13 orang. Kemudian untuk penduduk yang tamat
SLTP/sederajat berjumlah 1601 orang dan yang tidak tamat
SLTP/sederajat berjumlah 23 orang. Adapun untuk masyarakat yang tamat
SLTA/sederajat 41 orang, sedangkan untuk masyarakat yang sedang
55
SLTA/sederajat sekitar 5187 orang. Dan penduduk yang melangsungkan
ke jenjang perguruan tinggi sekiranya berjumlah 2229 orang.
Terlihat dari data diatas bahwa Desa Sugihwaras sangatlah
potensial dari segi pendidikan. Walaupun kebanyakan dari pada orang tua
disana tidak melanjutkan pendidikan mereka ke jenjang yang lebih tinggi,
akan tetapi perhatian masyarakat akan pentingnya pendidikan untuk anak-
anak mereka sangatlah besar, demi mencapai hidup yang lebih baik.9
Adapun untuk lebih jelasnya dapat dilihat dari tabel dibawah ini :
Tabel 1.6
Tingkat dan Jumlah Pendidikan
No. Tingkat Pendidikan Jumlah
1 Tamat SD 3679 Orang
2 Tamat SLTP 1601 Orang
3 Tamat SLTA 5187 Orang
4 Tamat Perguruan Tinggi 2229 Orang
Sumber : Badan Pemberdayaan Mayarakat Desa Sugihwaras Kecamatan
Prambon Kabupaten Nganjuk Jawa Timur 2016-2017
Melihat dari penduduk desa yang memberikan perhatian lebih
terhadap pendidikan, pemerintah Desa Sugihwaras juga memberikan
fasilitas sarana pendidikan dan lembaga pendidikan yang statusnya sudah
terdaftar dan terakreditasi oleh swasta dan juga pemerintah, serta tenaga
pengajar yang cukup berpotensi. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya
data yang telah penulis dapatkan dari pemerintah Desa/Kelurahan yang
9 Arsip Data Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa Sugihwaras 2016-2017
56
bersumber dari Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa Sugihwaras tahun
2016-2017. Lembaga pendidikan yang ada di Desa Sugihwaras terbagi
menjadi dua yaitu, pendidikan formal dan pendidikan formal keagamaan.10
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dari deskripsi diagram dibawah ini :
Tabel 1.7
Sarana Pendidikan Desa Sugihwaras11
No. Sarana Pendidikan Jumlah
1 Gedung SMA/sederajat 1 buah
2 Gedung SD/sederajat 5 buah
3 Gedung TK 3 buah
4 Perpustakaan Desa/Kelurahan 1 buah
5 Taman Baca 1 buah
Sumber : Badan Pemberdayaan Mayarakat Desa Sugihwaras Kecamatan
Prambon Kabupaten Nganjuk Jawa Timur 2016-2017
Tabel 1.8
Pendidikan Formal12
Nama Jumlah Status Kepemilikan Pengajar Siswa
Play Group 1 Terdaftar Swasta 7 72
SD 5 Terdaftar Pemerintah 38 642
SMA 1 Terdaftar Pemerintah 27 466
Sumber : Badan Pemberdayaan Mayarakat Desa Sugihwaras Kecamatan
Prambon Kabupaten Nganjuk Jawa Timur 2016-2017
10 Arsip Data Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa Sugihwaras 2016-2017 11 Arsip Data Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa Sugihwaras 2016-2017 12 Arsip Data Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa Sugihwaras 2016-2017
57
Tabel 1.9
Pendidikan Formal Keagaman
Nama Jumlah Kepemilikan Pengajar Siswa
Sekolah Islam 1 Swasta 8 18
Raudhatul Athfal 1 Swasta 12 164
Ibtidaiyah 1 Swasta 8 18
Sumber : Badan Pemberdayaan Mayarakat Desa Sugihwaras Kecamatan
Prambon Kabupaten Nganjuk Jawa Timur 2016-2017
5. Keadaan Sosial Keagamaan
Mengingat urgensinya kerukunan antar umat beragama, maka
MPR dalam sidangnya pada tahun 1978 melalui ketetapan No.
IVMPR/1978 tentang GBHN BAB IV di bidang agama, menyatakan
bahwa :
Angka 1 huruf b : kehidupan keagamaan dan kepercayaan kepada
Tuhan yang Maha Esa makin dikembangkan, sehingga terbina rukun
diantara sesama umat beragama, diantara sesama penganut kepercayaan
terhadap Tuhan yang maha Esa dalam usaha memperkokoh kesatuan dan
persatuan bangsa dan meningkatkan amal untuk bersama-sama
membangun masyarakat.13
13 Syamsir Salam dan Amir Fadhilah, Sosiologi Pedesaan, (Jakarta: Lembaga Penelitian
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h. 107
58
Diantara umat beragama yang ada di Desa Sugihwaras, yaitu:
warga yang beragama Islam terdapat 13392 orang, beragama Kristen 43
orang, dan untuk warga yang beragama Katolik sebanyak 44 orang.14
Untuk lebih jelasnya keadaan sosial keagamaan di Desa
Sugihwaras dapat dilihat dari tabel berikut :
Tabel 1.10
Agama/Aliran Kepercayaan
Agama Laki-laki Perempuan
Islam 6222 Orang 7170 Orang
Kristen 20 Orang 23 Orang
Katolik 18 Orang 26 Orang
Sumber : Badan Pemberdayaan Mayarakat Desa Sugihwaras Kecamatan
Prambon Kabupaten Nganjuk Jawa Timur 2016-2017
Mayoritas penduduk Desa Sugihwaras kebanyakan dari mereka
adalah pemeluk agama Islam, terlihat dari prasarana peribadatan yang
berada di Desa Sugihwaras memiliki jumlah Masjid sebanyak 8 buah dan
Langgar/Surau/Musholla berjumlah 29 buah. Sedangkan prasarana
peribadatan untuk pemeluk agama Kristen dan Katolik tidak tersedia.15
Pada kenyataannya, tingginya angka pemeluk agama Islam dalam
suatu masyarakat tidak serta merta di iringi dengan tingginya angka
keaktifan dalam menjalankan kegiatan keagamaan. Hal tersebut terjadi di
14 Arsip Data Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa Sugihwaras 2016-2017 15 Arsip Data Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa Sugihwaras 2016-2017
59
masyarakat Desa Sugihwaras, dimana penduduknya mayoritas memeluk
agama Islam namun cenderung pasif dalam melakukan kegiatan dalam
bidang keagamaan.
B. Tradisi Larangan Perkawinan Kebo Balik Kandang pada Masyarakat
Desa Sugihwaras Kecamatan Prambon Kabupaten Nganjuk Jawa
Timur
Masyarakat Jawa biasanya menyebut perkawinan itu dengan istilah
mantu. Yang maksudnya mengantu-antu artinya sangat ditunggu-tunggu.
Sementara pengantin dalam bahasa Jawa adalah pinanganten, yang kata
asalnya berasal dari kapur dan sirih, terdapat pada tumbuh-tumbuhan di
tanah. Pinang dan Ganten ini akhrinya menyatu dalam kuyahan saat orang
makan sirih. Istilah ini maksudnya asam di gunung dan garam di laut,
bertemu dalam belanga. Pengantin laki-laki dan perempuan yang berasal
dari kultur berbeda akan bersatu dalam sebuah harmoni keluarga yang
saling melengkapi kekurangan masing-masing sehingga tercipta keluarga
bahagia.16
1. Sejarah larangan perkawinan tradisi Kebo Balik Kandang di Desa
Sugihwaras
Menurut Kiai Hanafi, salah seorang Tokoh Agama Desa
Sugihwaras, larangan perkawinan tradisi Kebo Balik Kandang adalah
16 M. Hari Wijaya, Tata Cara Penyelenggaraan Perkawinan Adat Jawa (Yogyakarta:
Hanggar Kreator, 2004), h. 13-14
60
tradisi yang di wariskan oleh para raja-raja zaman dahulu kala, yang
dimana daerah Jawa Timur merupakan daerah yang dulunya dikuasai oleh
Belanda dan Kesultanan Yogyakarta, sedangkan daerah Nganjuk sendiri
merupakan mancanegara kesunanan Surakarta. Adanya tradisi larangan
perkawinan Kebo Balik Kandang di Desa Sugihwaras dipengaruhi oleh
kebudayaan asing dan juga pemeluk Agama diluar dari Islam seperti Hindu,
Budha dan Katholik.17
Tradisi atau kebiasaan adalah sesuatu yang telah dilakukan sejak
lama, dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat,
biasanya dari suatu Negara, kebudayaan, waktu, atau agama yang sama.
Menurut Suherman, BA, selaku Kepala Kamituwo 1, memberikan
penejelasan bahwa, tradisi Kebo BaliK Kandang dalam sejarahnya terbagi
menjadi dua macam, pertama, tradisi Kebo Balik Kandang yang dilakukan
ketika seseorang merantau ke tempat lain, kemudian setelah mereka
berhasil mecapai kesuksesan, atau gagal dalam rantauannya mereka
kembali ke tempat asalnya. Kedua, tradisi Kebo Balik Kandang yang tidak
boleh dilakukan ketika akan melangsungkan suatu perkawinan. Misalnya,
“apabila orang tua laki-laki lahir di kota A, kemudian orang tua laki-laki
tersebut pindah ke kota B dan menikah di kota B dengan salah satu
perempuan yang ada di kota B, kemudian seiring berjalannya waktu
keduanya memiliki anak, baik anak itu laki-laki maupun anak perempuan,
setelah anak laki-laki maupun perempuan itu tumbuh dewasa, kedua orang
17 Hasil Wawancara dengan Kiai Hanafi, Tokoh Agama Desa Sugihwaras, 19 April 2017
61
tua tersebut ingin menikahkan anaknya dengan salah seorang yang berasal
dari kota kelahiran orang tua laki-lakinya (kota A), maka hal demikian
dinamakan dengan Kebo Balik Kandang.18
Menurut Suherman, BA, hal semacam tradisi Kebo Balik Kandang
adalah sesuatu yang turun-temurun dari orang-orang zaman dahulu, yang
dipengaruhi oleh bangsa asing yang masuk keperadaban Jawa, baik dari
etnis budaya, suku bangsa maupun Agama.19
2. Pengertian larangan perkawinan tradisi Kebo Balik Kandang
Menurut Kiai Hanafi selaku Tokoh Agama Desa Sugihwaras,
pengertian tradisi Kebo Balik Kandang dalam kiasan Jawa adalah apabila di
uraikan suku katanya satu- persatu, maka arti dari kata “Kebo” dapat
diartikan sebagai “Obyek (orangnya)”, kemudian untuk kata “Balik”
diartikan sebagai “Pulang” dan untuk kata “Kandang” diartikan sebagai
“Rumah”. Jadi kebo kalik kandang adalah larangan perkawinan yang tidak
boleh dilakukan apabila bapaknya dari Desa Sugihwaras (lahir di Desa
Sugihwaras) kemudian ia merantau atau pindah Desa dari Sugihwaras ke
Desa yang lain (Desa B) kemudian ia menetap dan menikah di Desa B,
setelah menikah bapaknya dan istrinya memiliki anak, setelah anaknya
18 Hasil Wawancara dengan Suherman, BA, Kepala Kamituwo (Dusun) 1 Desa
Sugihwaras, 20 April 2017 19 Hasil Wawancara dengan Suherman, BA, Kepala Kamituwo (Dusun) 1 Desa
Sugihwaras, 20 April 2017
62
tumbuh dewasa, bapaknya ingin menikahkan anaknya dengan salah seorang
yang ada di Desa Sugihwaras (Desa kelahiran bapaknya).20
Begitupun dengan Setyastuti salah satu Tokoh Masyarakat Desa
Sugihwaras, Larangan perkawinan tradisi kebo balik kandang adalah tradisi
yang dilakukakan apabila orang tua laki-laki (bapak) lahir di kota A,
kemudian orang tua laki-laki (bapak) tersebut pindah ke kota B dan
menikah di kota B dengan salah satu perempuan yang berada di kota B,
kemudian seiring berjalannya waktu keduanya lalu memiliki anak, baik
anak itu laki-laki maupun perempuan, setelah anak laki-laki maupun
perempuan itu tumbuh dewasa, kedua orang tua tersebut ingin menikahkan
anaknya dengan seseorang yang berasal dari kota kelahiran orang tua laki-
laki (bapak) di kota A.21
Perkawinan menurut adat merupakan perkawinan yang mempunyai
akibat hukum terhadap hukum adat yang berlaku dalam masyarakat
bersangkutan. Setelah terjadinya ikatan perkawinan maka timbul hak-hak
dan kewajiban orang tua (termasuk anggota/kerabat) untuk memberikan
peran serta membina dan memelihara kerukunan, keutuhan dan
kelanggengan dari kehidupan anak-anak mereka yang terkait dalam
perkawinan menurut hukum adat setempat.22
20 Hasil Wawancara dengan Kiai Hanafi, Tokoh Agama Desa Sugihwaras, 19 April 2017 21 Hasil Wawancara dengan Setyastuti, Tokoh Masyarakat Desa Sugihwaras, 20 April
2017 22 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, Menurut: Perundangan, Hukum
Adat dan Agama, (Bandung: CV. Mandar Maju, 2007), h. 46
63
3. Sanksi dari larangan perkawinan tradisi Kebo Balik Kandang
Setiap perkawinan pada adat Jawa biasanya terdapat banyak makna
yang terkandung dalam setiap prosesinya. Hal yang menjadi makna dalam
suatu perkawinan adalah pantangan-pantangan yang ada dan tidak boleh
dilanggar, karena apabila melanggar dari pantangan tersebut dapat
menyebabkan celaka dan tidak langgengnya pernikahan yang di jalaninya.
Mitos dianggap sebagai pengetahuan tentang kata-kata atau ucapan, kata-
kata atau ucapan ini bukan hanya sekedar ucapan biasa tapi dapat di
katakan sebagai ucapan yang suci yang mengandung ilham atau wahyu.
Keberadaan mitos sangat erat kaitannya dengan adat istiadat dan budaya
yang masih bersifat tradisional. Mitos yang telah berlalu tidak mudah
untuk di sisihkan dari kehidupan sehari-hari terutama pada masa lalu
karena jika melanggar pantangan pasti akan kualat atau sering disebut
dengan kata pamali.23
Dalam adat perkawinan Jawa terdapat beragam peraturan adat yang
harus dilaksanakan dan ditinggalkan, salah satunya adalah larangan
perkawinan Kebo Balik Kandang yang terdapat di Desa Sugihwaras
Kecamatan Prambon Kabupaten Nganjuk Jawa Timur.
Menurut Setyastuti, salah satu Tokoh Masyarakat Desa
Sugihwaras, tradisi Kebo Balik Kandang itu adalah tradisi yang sudah
lama ada di masyarakat Desa Sugihwaras, dan menurut beliau, sebagai
masyarakat yang tahu akan tradisi itu, tidak berani untuk melanggarnya,
23 Adeng Muchtar Ghazali, Antropologi Agama: Upaya Memahami Keragaman
Kepercayaan, Keyakinan dan Agama, (Bandung: Alfabeta, 2011), h. 14
64
karena apabila melanggar dari tradisi tersebut dapat membahayakan
keluarga. Menurut beliau, sudah banyak kasus atau kejadian yang terjadi
karena melanggar tradisi tersebut, sebelumnya pernah terjadi kasus seperti,
orang tua laki-laki (bapaknya) berasal dari Desa Sugihwaras, kemudian ia
merantau bersama keluarganya ke Jakarta, setelah di Jakarta bapak
tersebut memiliki rumah, setelah 3 sampai 4 tahun, kemudian bapak
tersebut dan keluarganya kembali lagi ke Desa Sugihwaras dan
menikahkan anak laki-lakinya dengan salah seorang dari Desa Sugihwaras,
setelah anaknya menikah kemudian tinggalah anak laki-laki dan istrinya di
Desa Sugihwaras, setalah itu bapaknya kembali lagi ke Jakarta, selang
beberapa bulan dari pernikahan anaknya, bapak dari anak laki-lakinya
yang menikah, kemudian meninggal. Menurut Ibu Setyastuti, mungkin
kejadian tersebut tidak masuk di akal, akan tetapi itu benar terjadi dan ada
korbannya. Kemudian beliau juga mengungkapkan bahwa tradisi Kebo
Balik Kandang ini jangankan untuk yang sudah berbeda tempat tinggal
atau keluarganya sudah tidak tinggal di Desa Sugihwaras, berbeda gang
rumah saja boleh tidak boleh untuk menikah, akan tetapi kebanyakan
masyarakat di Desa Sugihwaras ini menurut Ibu Setyastuti, masih
memegang tradisi Kebo Balik Kandang.24
Tradisi atau adat adalah kebiasaan turun-temurun dari nenek
moyang yang masih dijalankan dalam masyarakat, baik berupa perkataan
maupun perbuatan yang dilakukan oleh suatu kelompok masyarakat
24 Hasil Wawancara dengan Setyastuti, Tokoh Masyarakat Desa Sugihwaras, 20 April
2017
65
tertentu seakan-akan menjadi penilaian atau anggapan bahwa cara-cara
yang telah ada merupakan cara yang paling baik dan benar.25
Sebenarnya tradisi Kebo Balik Kandang ini tradisi yang di katakan
melarang seseorang melakukan perkawinan apabila bapak dari seseorang
yang ingin melangsungkan perkawinan pindah dari Desa Sugihwaras,
menurut Ibu Setyastuti, makna dari tradisi ini sebenarnya untuk menjaga
dari hal-hal yang tidak di inginkan untuk anak-anak kita dan begitupun
hal-hal yang tidak di inginkan oleh orang tua, menurut beliau, orang tua
bukan melarang anak-anaknya untuk tidak menikah, akan tetapi orang tua
menginginkan anaknya menikah dengan seseorang yang sesuai dan tidak
menyalahi aturan adat yang ada.26
Menurut Drs. Gunawan selaku Kepala Kamituwo 2, apabila
kembali melihat sejarah tradisi Kebo Balik Kandang ini merupakan tradisi
masyarakat Jawa yang hanya sebatas orang Jawa zaman dahulu yang
banyak mengetahui tentang tradisi ini, menurut beliau, orang Jawa zaman
dulu tidak berani untuk melanggar dari tradisi Kebo Balik Kandang ini,
karena menjadi sebuah pantangan tersendiri dan apabila melanggar dari
tradisi Kebo Balik Kandang menurut orang zaman dulu dampak yang
ditimbulkan sangatlah besar yaitu, salah satu keluarganya meninggal, dan
kebanyakan orang menyebutkan keluarga yang meninggal adalah dari
orang tua laki-laki (bapak). Kemudian beliau juga menambahkan bahwa,
25 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia¸
(Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), h. 12 26 Hasil Wawancara dengan Setyastuti, Tokoh Masyarakat Desa Sugihwaras, 20 April
2017
66
dulu pernah ada yang melanggar tradisi ini, dampaknya adalah si anak
yang menikah dengan melanggar tradisi Kebo Balik Kandang tidak diakui
sebagai anak lagi oleh orang tuanya, atau di usir dari rumah orang tuanya,
tapi setelah bertahun-tahun lamanya akhirnya kembali diakui sebagai anak,
dan bahkan tidak terjadi apa-apa terhadap orang tua laki-laki (bapak).
Akan tetapi memang dari perkawinan si anak tersebut tidak terdapat wali
dari orang tuanya melainkan wali dari saudaranya. Dan sebenarnya sah
atau tidaknya suatu perkawinan tergantung dari syarat perkawinan
tersebut, kalau melihat dari perkawinan si anak tersebut sah-sah saja, akan
tetapi memang efek yang ditimbulkan dari kejadian tersebut sangatlah
besar.27
Menurut Bari salah satu Tokoh Masyarakat Desa Sugihwaras,
tradisi semacam Kebo Balik Kandang, memiliki suatu pantangan tersendiri
yang dapat dipercaya apabila kedua pasangan tetap melangsungkan
perkawinan maka akan menimbulkan sesuatu yang tidak di inginkan
seperti, salah satu orang tua laki-laki (bapak) dari kedua pasangan tersebut
meninggal. Dan menurut Bapak Bari sudah banyak korban dari melanggar
tradisi Kebo Balik Kandang ini, banyak saudara-saudara beliau yang
mengalaminya, karena tidak mematuhi tradisi tersebut, dan menurut
beliau, dulu juga pernah ada salah satu tetangga di Desa Sugihwaras,
mereka menyepelekan tradisi ini dan tetap melanggarnya, selang dari tiga
bulan pernikahan, kemudian orang tua laki-laki (bapak) dari kedua
27 Hasil Wawancara dengan Drs. Gunawan, Kepala Kamituwo (Dusun) 2 Desa
Sugihwaras, 20 April 2017
67
pasangan suami istri (anaknya yang menikah) akhirnya meninggal dunia.
Menurut Bapak Bari, sebenarnya banyak sekali korban kejadian dari
melanggar tradisi ini, ada yang setelah mengetahui kejadian tersebut
akhirnya mereka pindah dari Desa Sugihwaras, dan tradisi atau adat yang
ada masih kental di masyarakat, akan tetapi tergantung bagaimana orang-
orang menyikapinya. 28
28 Hasil wawancara dengan Bari Tokoh Msayarakat Desa Sugihwaras, 20 April 2017
68
BAB IV
TRADISI LARANGAN PERKAWINAN KEBO BALIK KANDANG
DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
A. Pandangan Masyarakat tentang Tradisi Kebo Balik Kandang
Pola pikir masyarakat yang sudah berkembang tentunya akan
melihat sebuah realita yang terjadi yang dapat di jangkau oleh nalar dari
masyarakatnya sendiri, tanpa harus memikirkan sesuatu yang menjadi
beban dalam hidup mereka dengan masih mempercayai suatu adat
kebiasaan yang sudah ada sejak zaman dahulu, tradisi atau kebiasaan
turun-temurun yang dilakukan dikalangan masyarakat seolah-olah menjadi
norma yang mengikat.
Adat merupakan wujud ideal dari kebudayaan yang berfungsi
sebagai tata kelakuan. Kebudayaan adalah keseluruhan gagasan dan karya
manusia, yang harus dibiasakannya dengan belajar serta keseluruhan hasil
dari budi dan karyanya. Kata kebudayaan berasal dari kata Sansekerta
buddhayah, ialah bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi” atau akal,
dengan demikian kebudayaan dapat diartikan sebagai hal-hal yang
bersangkutan dengan budi dan akal.1
Bagi sebagian masyarakat Desa Sugihwaras, larangan perkawinan
tradisi Kebo Balik Kandang menjadi tradisi yang masih di pegang teguh
dalam kehidupan sehari-harinya, dengan alasan bahwa menjaga suatu
tradisi adalah kehormatan bagi leluhur-leluhur yang sudah berjuang di
1 Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa (Jakarta: Balai Pustaka, 2000), h. 19
69
zamannya terdahulu, kemudian untuk alasan selanjutnya adalah, untuk
sebagian masyarakat yang masih memegang tradisi tersebut mereka
menganggap bahwa dampak yang ditimbulkan dari melanggar larangan
tradisi Kebo Balik Kandang menjadi sebuah keresahan bagi sebagian
masyarakat. Sedangkan pada kenyataannya tingkat keagamaan penduduk
Desa Sugihwaras untuk masyarakat yang beragama Islam sekitar 13,392
orang (Arsip Data Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa Sugihwaras
2016-207), tidak mempengaruhi terhadap kepercayaan tradisi tersebut.
Untuk sebagian masyarakat yang lain memandang tradisi Kebo
Balik Kandang adalah tradisi yang sudah tidak relevan lagi untuk di
terapkan di zaman sekarang. Mereka beranggapan bahwa dengan tingkat
ekonomi yang terus berkembang, kemudian dengan tingkat pendidikan
masyarakatnya yang lebih maju, menjadi suatu alasan kuat untuk mereka
memilih mana yang lebih baik untuk kedepannya dan mana yang tidak.
Menurut Bari selaku Tokoh Masyarakat Desa Sugihwaras,
memandang tradisi Kebo Balik Kandang pada praktiknya, memang banyak
orang sudah tidak percaya dengan tradisi tersebut, akan tetapi beliau
sebagai masyarakat yang mengetahui dari tradisi Kebo Balik Kandang
masih memegang teguh terhadap tradisi itu, karena kecemasan beliau
dengan adanya dampak yang tersirat di dalam tradisi kebo Balik Kandang,
seakan-akan menjadi sebuah rem untuk berpikir dua kali. Salah satunya
dengan masih menerapkan tradisi tersebut di dalam keluarganya.2
2 Hasil Wawancara dengan Bari, Tokoh Masyarakat Desa Sugihwaras, 20 April 2017
70
Berdasarkan hasil wawancara dengan Rizki Sonia Safitri salah satu
Tokoh Masyarakat Desa Sugihwaras, menurutnya untuk di era globalisasi
seperti ini tradisi Kebo Balik Kandang adalah kepercayaan yang
seharusnya tidak untuk diterapkan, karena sudah tidak relevan lagi,
melihat dari pola piker masyarakat yang terus berkembangakan, jumlah
penduduk yang semakin meningkat dan di tambah lagi dengan adanya
pendidikan yang semakin maju. Akan tetapi menurut beliau, melihat dari
keluarganya yang masih menerapkan tradisi tersebut, menjadi sebuah
kejanggalan (mau tidak mau harus menuruti apa kata orang tua).
Pemikiran kolot yang masih diterapkan dalam keluarganya tidak dapat di
hindarkan, karena telah menjadi hukum yang mengikat walaupun pada
dasarnya hal semacam tradisi Kebo Balik Kandang ini bertentangan
dengan ajaran Islam.3
Begitupun dengan Setyastuti Tokoh Masyarakat Desa Sugihwaras
yang masih memegang dan menerapkan tradisi Kebo Balik Kandang
dalam keluarganya, beliau beralasan bahwa, yang namanya ajal itu pasti
datang, akan tetapi kita tidak tahu datangnya kapan, karena hanya
Tuhanlah yang tahu, kita sebagai manusia hanya sebatas ngawas diri,
karena tradisi ini sudah ada sejak zaman dulu, dan sudah banyak
korbannya, dan menurut beliau, korban yang ada tidak hanya dua, tiga
orang saja akan tetapi banyak, dan “kita kan maunya pernikahan itu
langgeng sampai punya anak, sakinah, mawaddah warrahmah, dan juga
3 Hasil Wawancara dengan Rizki Sonia Safitri, Tokoh Masyarakat Desa Sugihwaras, (Via
Telepon) 22 September 2016
71
kita sebagai orang tua ingin melihat anak kita bahagia dengan
pernikahannya, ingin melihat cucu-cucu kita tumbuh dewasa”, karena
itulah beliau masih mempertahankan dan menerapkan tradisi Kebo Balik
Kandang ini dalam keluarganya.4
Menurut Drs. Heri Kepala Desa Sugihwaras tradisi Kebo Balik
Kandang adalah larangan perkawinan yang tidak boleh dilakukan, karena
apabila dilanggar akan menimbulkan hal-hal yang negatif untuk keluarga.
Dan tradisi semacam Kebo Balik Kandang ini sudah ada sejak lama,
bahkan dapat dikatakan sebagai hukum adat, akan tetapi apabila melihat
dari seiring perkembangan zaman, banyak orang yang sudah tidak
mempercayainya atau mengabaikannya. Akan tetapi beliau berpandangan
bahwa hal semacam Kebo Balik Kandang ini tidak boleh dilakukan oleh
masyarakatnya.5
Seiring dengan semakin berkurangnya ajaran-ajaran adat dan
sedikit demi sedikit mulai mengalami pergeseran peran dalam masyarakat,
dan dibarengi dengan wawasan masyarakat yang sudah berkembang
banyak masyarakat yang sudah mengesampingkan akan hal tradisi kebo
balik kandang, menurut Bapak Gunawan selaku kepala kamituwo 2, tradisi
Kebo Balik Kandangadalah tradisi yang sudah kuno bahkan dapat
dikatakan tradisi yang sudah tidak berlaku lagi untuk zaman sekarang,
mungkin untuk sebagaian masyarakat masih ada yang menganggap tradisi
itu, akan tetapi menurut beliau, kalau kita melihat dari kenyataan yang ada
4 Hasil Wawancara dengan Setyastuti, Tokoh Masyarakat Desa Sugihwaras, 20 April
2017 5 Hasil Wawancara dengan Drs Heri Kepala Desa Sugihwaras, 20 April 2017
72
dan seiring berkembangnya zaman, tradisi seperti Kebo Balik Kandang ini
sudah tidak berlaku untuk zaman sekarang.6
Menurut Dra Deno Kepala Desa Sugihwaras, tradisi Kebo Balik
Kandang ini apabila untuk diterapkan di zaman sekarang, sepertinya sudah
tidak relevan lagi, karena melihat dari perkembangan zaman yang sudah
moderen, dengan melihat kepada ekonomi seseorang yang ingin menikah,
apabila orang berpikir dan melihat kepada ekonomi, mungkin keluarga
yang masih memegang tradisi Kebo Balik Kandang akan berpikir dua kali,
menurut Ibu Deno, kalau untuk sekarang, tergantung melihat dari ekonomi
seseorang yang akan melangsungkan pernikahan.7
B. Pandangan Hukum Islam terhadap Larangan Perkawinan Tradisi
Kebo Balik Kandang
Masyarakat muslim diatur perilakunya oleh hukum Islam, baik itu
yang berkaitan dengan hubungan sosial, maupun hubungan vertikal. Titik
fungsional hukum Islam terus-menerus membentuk struktur sosial
masyarakat muslim dalam menjalani kehidupan sosialnya. Jika dikaji lebih
mendalam, hukum Islam mempunyai perbedaan dengan hukum yang ada
di masyarakat. Hukum Islam adalah peraturan yang di datangkan dari
langit, lewat kreasi intelektual para ulama fikih, dengan memahami pesan
yang tertulis dalam Alquran maupun sunah. Kreasi intelektual itu bersifat
6 Hasil Wawancara dengan Drs. Gunawan Kepala Kamituwo (Dusun) 2 Desa Sugihwaras,
20 April 2017 7 Hasil Wawancara dengan Dra. Deno Kepala Desa Sugihwaras, 20 April 2017
73
nisbi, terkait dengan kemampuan nalar para ulama, sekaligus perubahan
sosial yang ada ketika Islam itu lahir.8
Berbicara mengenai hukum yang ada di masyarakat atau hukum
adat, jika ditinjau sesuai dengan kajian Ushul Fikih, pertama, adat yang
sesuai dengan hukum Islam adalah adat yang berulang-ulang dilakukan,
diterima oleh banyak orang, tidak bertentangan dengan agama, sopan
santun dan budaya yang luhur. Kedua, adat yang tidak sesuai dengan
hukum Islam adalah adat yang berlaku di suatu tempat meskipun merata
pelaksanannya, namun bertentangan dengan agama, undang-undang dan
sopan santun.9
Melihat adat yang ada di masyarakat Jawa, khusunya di Desa
Sugihwaras Kecamatan Prambon Kabupaten Nganjuk Jawa Timur, adat
atau tradisi dari Kebo Balik Kandang adalah adat yang mengatur tentang
larangan perkawinan, seseorang yang ingin melangsungkan perkawinan
terhalang apabila, orang tua laki-laki (bapak) dari kedua calon mempelai
sebelum melangsungkan perkawinan telah berpindah tempat tinggal dari
tempat kelahirannya, dan apabila kedua calon mempelai tetap
melangsungkan perkawinannya, dalam tradisi Kebo Balik Kandang ini
dipercaya salah satu atau kedua dari orang tua laki-laki (bapak) akan
mendapatkan celaka atau wafatnya orang tua laki-laki (bapak).
Pada dasarnya laki-laki adalah pasangan dari wanita, Allah
menciptakan tumbuh-tumbuhan, binatang maupun manusia secara
8 Yayan Sofyan, Islam-Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam Dalam Hukum
Nasional, (Tangerang Selatan: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h. 12 9 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Kharisma Putra Utama, 2011), h. 392
74
berpasang-pasangan, begitupun Alquran memberikan penjelasan dalam
surat Ya-Sin (36) : 36
”Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan
semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri
mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui” (QS. Ya-Sin (36) :
36)
Namun demikian, menurut hukum Islam tidak setiap laki-laki
dibolehkan menikah dengan setiap perempuan. Ada diantara perempuan
yang tidak boleh dinikahi oleh laki-laki tertentu karena antara keduanya
terdapat penghalang, dalam fiqh disebut dengan mawani’ an-nikah. Yaitu
hal-hal, pertalian-pertalian antara seorang laki-laki dengan seorang
perempuan yang menghalangi terjadinya perkawinan dan di haramkan
melakukan akad nikah antara keduanya.10
Larangan perkawinan tersebut
didasarkan pada :
Firman Allah Swt dalam surat An-Nisa (4) : 23
10 M idris ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Sinar Grafika), h 45
75
Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu
yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara
bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan;
anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang
menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu
(mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri
yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu
itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya;
(dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan
menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara,
kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. An-Nisa’ (4) : 23)
Melihat dari surat An-Nisa’ ayat 26 di atas, jika dikaitkan dengan
larangan perkawinan tradisi Kebo Balik Kandang terdapat ketidaksesuaian
antara siapa-siapa yang harus dinikahi dan siapa-siapa yang tidak boleh
dinikahi, dalam tradisi Kebo Balik Kandang, seseorang yang akan
melangsungkan perkawinan terhalang jika bapak dari calon mempelai
berpindah tempat tinggal sebelum melangsungkan perkawinan, kemudian
ketika calon mempelai ingin melakukan perkawinan, hal tersebut tidak
boleh dilakukan atau terhalang.
Melihat dari syarat sahnya perkawinan yang ada dalam Islam, hal-
hal yang harus terlibat dalam suatu perkawinan adalah, pertama, adanya
calon suami, kedua, adanya calon istri, ketiga, ijab dan qabul, keempat,
76
adanya wali dan kelima, adanya dua orang saksi. 11
Akan tetapi berbeda
dengan tradisi Kebo Balik Kandang yang seakan-akan mensyaratkan
perkawinan itu haruslah antara laki-laki dan perempuan yang dimana
orang tua laki-laki (bapaknya) tidak pindah dari tempat kelahirannya.
Alquran memang tidak menjelaskan tentang larangan perkawinan
tradisi Kebo Balik Kandang, akan tetapi Islam tidak pernah melarang
perkawinan berbeda suku bangsa, daerah, ataupun orang tua laki-laki
(bapak) yang pindah dari tempat kelahirannya, seperti halnya larangan
perkawinan tradisi Kebo Balik Kandang. Bahkan Firman Allah Swt dalam
Surat Al-Hujarat (49) : 13 dan Surat Al-Baqarah (1) : 221 menegaskan
bahwa :
Firman Allah Swt dalam QS. Al-Hujarat (49) : 13
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah
orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal.”(QS. Al-Hujarat (49) : 13).
11 Abdul Rhaman Ghazali¸ Fiqh Munakahat,(Jakarta: Kencana, 2010), h. 47
77
Firman Allah Swt dalam QS. Al-Baqarah (1) : 221
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum
mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik
dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu
menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin)
sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik
dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke
neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya.
Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada
manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (QS. Al-Baqarah (1) :
221)
Apabila kita perhatikan surat Al-Hujarat ayat 13 dan surat Al-
Baqarah ayat 221, dalam suarat Al-Hujarat ayat 13, Allah telah
menciptakan seorang laki-laki dan perempuan untuk saling mengenal satu
sama lain dengan cara berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, dan di dalam
surat Al-Baqarah ayat 221, Allah menyuruh kita untuk tidak menikahi
wanita musyrik sebelum dia beriman kepada Allah. Sebenarnya Islam
tidak memberikan batasan untuk seseorang melangsungkan perkawinan,
baik dengan suku manapun, bangsa manapun, bahkan menikahi
perempuan yang berbeda agamapun boleh dengan syarat haruslah
perempuan ahli kitab atau yang sudah beriman. Akan tetapi Islam
melarang menikahi orang yang tidak beriman (musyrik). Boleh dan
78
tidaknya seseorang untuk melangsungkan pernikahan haruslah sesuai
dengan apa yang telah di syariatkan oleh Islam.
Begitupun dengan hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam
Bukhari dan Imam Muslim dari Abu Hurairah r.a bahwasannya :
تنكح المرأة ألربع لمالها ولحسبها ولجمالها ولدينها فاظفر بذات الدين تربت يداك
(رواه البخاري و مسلم)12
"wanita itu boleh dinikahi karena empat hal : 1. karena hartanya.
2. Karena asal-usul(keturunan)nya, 3. Karena kecantikannya, 4. Karena
agamanya. Maka hendaklah kamu berpegang teguh (dengan perempuan)
yang memeluk agama Islam, (jika tidak), akan binasalah kedua tangan-
mu” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dengan memahami hadis diatas tentu seseorang yang akan
melangsungkan pernikahan akan melihat kriteria dari pasangannya dengan
ketentuan yang sudah dijelaskan dalam hadis, dan bahkan yang terpenting
dari kriteria tersebut adalah seseorang yang berpegang teguh pada agama
Islam, bukan dengan kriteria seperti yang ada pada tradisi Kebo Balik
Kandang.
Islam merupakan agama yang fleksibel dan dinamis, cocok untuk
semua kalangan, untuk semua waktu dan kondisi. Islam juga sebenarnya
mengatur tentang kehidupan bermasyarakat. Mengenai bermasyarakat,
dalam Fiqh tidak terlalu membahas mengenai cara bermasyarakat. Namun
itulah fungsi manusia diberikan cara yang Islami. Hukum Islam juga
12 Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shaih Bukhari, (Bab Nikah no.
5090), (Beirut: Bait al-Afkar ad-Dauliyah, 2002 M/1463 H), h. 1298
79
ditetapkan untuk kesejahteraan umat, baik secara perorangan maupun
secara bermasyarakat.13
Ulama sepakat dalam menerima adat. Adat yang dalam
perbuatannya terdapat unsur manfaat dan tidak ada unsur mudharatnya,
atau unsur manfaatnya lebih besar dari unsur mudhratnya, serta adat yang
pada prinsipnya secara substansial mengandung unsur maslahat, namun
dalam pelaksanaannya tidak dianggap baik oleh Islam. Adat dalam bentuk
itu di kelompokkan kepada adat yang shahih.14
Melihat dari segi penilaian baik dan buruknya, adat atau urf terbagi
menjadi 2 macam, yaitu urf shahih dan urf fasid. Urf shahih ialah sesuatu
yang telah saling dikenal oleh manusia dan tidak bertentangan dengan dalil
syara’ juga tidak menghalalkan yang haram dan juga tidak membatalkan
yang wajib. Sedangkan urf fasid yaitu apa yang telah saling dikenal oleh
manusia, akan tetapi bertentangan dengan syariat, atau menghalalkan yang
haram atau membatalkan yang wajib.15
Menurut ulama Hnafiyah, nikah itu terdiri dari syarat-syarat yang
berhubungan dengan shighat, berhubungan dengan dua calon mempelai
dan berhubungan dengan kesaksian. Menurut Syafi’iyyah melihat suatu
perkawinan itu ada kalanya menyangkut sighat dan wali calon suami-istri.
13 Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana 2010), h. 13 14 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 395 15 Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, Penerjemah: Halimuddin, (Jakarta: PT Rineka
Cipta, 2005), h. 105
80
Berkenaan dengan rukunnya, bagi kalangan Syafi’iyyah ada lima syarat,
yaitu, calon suami istri, wali, dua orang saksi dan sighat.16
Sebenarnya syarat perkawinan yang ada di Desa Sugihwaras
Kecamatan Prambon Kabupaten Nganjuk Jawa Timur terdapat kesamaan
dalam ketentuan persyaratan yang ada dalam Islam, akan tetapi yang
mencolok dan berbeda dari tradisi Kebo Balik Kandang adalah seseorang
yang akan melangsungkan perkawinan tidak boleh orang tua laki-laki
(bapak) berpindah atau keluar dari Desa Sugihwaras, dan apabila tetap
kekeuh tetap melangsungkan perkawinan tanpa mempedulikan dampak
dari melanggar tradisi tersebut atau persyaratan yang ada, maka akan
berakibat dengan meninggalnya orang tua laki-laki (bapak) dari kedua
pasangan.
Kalau melihat dari persyaratan yang sudah dikemukakan oleh para
ulama diatas, apabila disandingkan dengan larangan perkawinan tradisi
Kebo Balik Kandang tidaklah sesuai, karena syarat sah seseorang yang
akan melangsungkan pernikahan sudah terpenuhi tanpa harus di batasi
dengan tidak boleh berpindahnya orang tua laki-laki (bapak) seperti tradisi
Kebo Balik Kandang.
Begitupun dengan dampak yang ditimbulkan dalam tradisi Kebo
Balik Kandang disebutkan bahwa apabila seseorang melanggar dari
ketentuan yang sudah ada, salah satu dari orang tua laki-laki (bapak) akan
16 Kama Rusdiana dan Jaenal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta: UIN
Syarifhidayatullah Jakarta Press, 2007), h. 4-5
81
meninggal dunia. Hal ini jelas sangatlah bertentangan dengan Islam,
karena setiap manusia yang dilahirkan di dunia, cepat atau lambat pasti
akan mengalami proses berpisahnya ruh dengan jasad (kematian), akan
tetapi hanya Allah lah yang mengetahuinya. Sebagaimana yang telah
dijelaskan dalam Alquran Surat an-Nahl (16) ayat 70.
Firman Allah Swt dalam surat An-Nahl (16) : 70
"Allah menciptakan kamu, kemudian mewafatkan kamu; dan di
antara kamu ada yang dikembalikan kepada umur yang paling lemah
(pikun), supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatupun yang pernah
diketahuinya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa”
(QS. An-Nahl (16) : 70)
Menurut Kiai Hanafi, salah satu Tokoh Agama Desa Sugihwaras,
melihat bahwa setiap tradisi atau adat yang ada dikalangan masyarakat,
baik itu berupa perkataan maupun perbuatan dari zaman dahulu sampai
sekarang pada praktiknya tetap berlaku. Karena setiap adat atau tradisi
sudah menjadi hukum tersendiri dan memiliki simbol-simbol tertentu
sebagai alat untuk kita generasinya dapat menghormati para leluhur atau
raja-raja yang telah berjuang di zamannya. Begitupun dengan tradisi kebo
balik kandang, sudah menjadi hukum adat, meskipun pada praktiknya
tradisi semacam ini bertentangan dengan hukum Allah, akan tetapi
kembali lagi kepada masyarakatnya yang tahu akan tradisi tersebut dan
bagaimana cara masyarakat menyikapi dari hukum adat itu sendiri,
82
walaupun pada praktiknya banyak orang yang sudah tidak peduli dengan
keberadaan tradisi Kebo Balik Kandang tersebut. 17
Menurut Drs. Gunawan selaku Kepala Kamituwo 2 Desa
Sugihwaras yang juga mengetahui ajaran Agama Islam, beliau mengatakan
bahwa setiap baik dan buruknya suatu perbuatan, apabila bertentangan
dengan ajaran Agama yang kita pegang haruslah di tinggalkan, tanpa harus
memikirkan dampak apa yang akan di dapat.18
Apabila melihat dari sudut pandang Islam, baik itu dalam Alquran
maupun sunnah Nabi, setiap perkara yang bertentangan dengan ajaran
Islam haruslah ditinggalkan. Namun terkadang sesuatu yang ada di
masyarakat, bahkan yang sudah menjadi bagian dari masyarakat walaupun
bertentangan dengan hukum Allah, mereka tetap menjalankannya, karena
kebiasaan yang sudah melekat tidak dapat dengan mudah untuk diubah.
C. Analisis Penulis
Dari seluruh pembahasan yang telah dikemukakan di atas dapat
dipahami bahwa larangan perkawinan tradisi Kebo Balik Kandang
merupakan tradisi yang telah ada sejak zaman dahulu di Desa Sugihwaras,
seorang yang telah berpindah dari desa A ke desa B, dan menetap di desa
B kemudian memiliki keturunan maka ia tidak boleh menikahkan
keturunannya dengan seseorang yang tinggal di Desa A (desa
sebelumnya). Jika perkawinan tersebut tetap dilaksanakan, maka keluarga
17 Hasil Wawancara dengan Kiai Hanafi, Tokoh Agama Desa Sugihwaras, 20 April 2017 18 Hasil Wawancara dengan Drs. Gunawan Kepala Kamituwo (Dusun) 2 Desa
Sugihwaras, 20 April 2017
83
tersebut melanggar dari ketentuan adat yang sudah ditetapkan. Sanksi yang
di dapatkan oleh yang melanggar menurut kepercayaan dari masyarakat
Desa Sugihwaras adalah dengan meninggalnya orang tua pengantin.
Larangan perkawinan dalam hukum Islam telah dijelaskan secara
rinci dalam Alquran surat an-Nisa ayat 43 yang menjelaskan tentang
larangan perkawinan sepertalian darah, dan surat Albaqarah ayat 221 yang
menjelaskan tentang larangan perkawinan dengan laki-laki ataupun
perempuan musyrik. Baik dalam Alquran maupun sunah, tidak
menjelaskan tentang perkawinan yang berbeda tempat tinggal.
Larangan perkawinan tradisi Kebo Balik Kandang yang berada di
Desa Sugihwaras Kecamatan Prambon Kabupaten Nganjuk Jawa Timur,
sebagian dari masyarakatnya masih memegang dan mempercayai akan
tradisi tersebut, dan sebagian lagi sudah tidak mempercayainya.
Bagi sebagian masyarakat yang masih memegang larangan tradisi
Kebo Balik Kandang, apabila peneliti cermati, karena kurangnya keaktifan
masyarakat dalam mengikuti kegiatan keagamaan. Meskipun pada
kenyataannya mayoritas penduduk Desa Sugihwaras beragama Islam
(Tabel Sosial Keagamaan pada Bab III) akan tetapi pada praktiknya masih
banyak masyarakat yang lalai dalam melaksanakan ibadah. Lalu apabila
peneliti melihat, sebagian masyarakat yang masih memegang tradisi
tersebut dipengaruhi karena kondisi geografis masyarakat Desa
Sugihwaras yang aksesnya sangat jauh dari kota dan sebagian
masyarakatnya yang masih mempercayai tradisi tersebut dipengaruhi oleh
84
masyarakatnya yang mata pencahariannya sebatas Petani dan Buruh Tani
(Tabel Mata Pencaharian Pokok pada Bab III). Kemudian dari hasil
wawancara dengan Tokoh Masyarakat Desa Sugihwaras, mereka beralasan
bahwa apabila melanggar dari tradisi tersebut menjadi sebuah kecemasan
tersendiri dengan sanksi atau dampak yang ditimbulkan. Maka dari itulah
mereka masih mempercayai dan bahkan menerapkannya sampai saat ini.
Berbeda dengan sebagian masyarakat yang sudah tidak
mempercayai tradisi Kebo Balik Kandang, mereka beralasan bahwa tradisi
tersebut sudah tidak relevan lagi untuk diterapkan di zaman sekarang. Dari
hasil wawancara dengan Tokoh masyarakat yang sudah tidak
mempercayai tradisi tersebut, mereka beralasan bahwa untuk di zaman era
globalisasi seperti ini, mencari seseorang yang ingin di nikahi tentu akan
melihat dari seberapa besar materi yang dimiliki seseorang tersebut.
Kemudian apabila peneliti cermati, dari sebagain masyarakat yang sudah
tidak mempercayai larangan perkawinan tradisi Kebo Balik Kandang
alasan yang sangat berpengaruh adalah dari pola pikir masyarakat yang
sudah mulai berkembang, kemudian dari segi pendidikan, yang dimana
perhatian masyarakat akan pentingnya pendidikan terhadap anak-anak
mereka sangatlah besar, kemudian dari segi ekonomi, yang dimana anak-
naka dari mereka bekerja keluar daerah dan bagi sebagian masyarakat
yang berpropesi sebagai PNS, mereka sudah tidak mempercayai larangan
perkawinan tradisi Kebo Balik Kandang.
85
Untuk selanjutnya larangan perkawinan tradisi Kebo Balik
Kandang ini apabila peneliti cermati, merupakan adat atau tradisi yang
bertentangan dengan hukum Islam, karena sebagaimana yang telah
dijelaskan diatas bahwa agama Islam tidak memberikan batasan terhadap
seseorang untuk menikah, akan tetapi haruslah yang sesuai dengan apa
yang telah di syariatkan oleh hukum Allah.
Dengan demikian larangan perkawinan tradisi Kebo Balik
Kandang ini dapat menjadi tolak ukur masyarakat, dengan menilai mana
yang boleh dilakukan menurut Islam dan mana yang tidak boleh dilakukan
menurut Islam. Walaupun adat masih melekat pada kehidupan masyarakat
sehingga kebiasaan yang ada tidak bisa dengan mudah untuk di ubah, akan
tetapi masyarakat Jawa khusunya masyarakat Desa Sugihwaras yang
berada di Nganjuk Jawa Timur dapat menyadari bahwa kebiasaan yang
tidak sesuai dengan syariat Islam atau hukum Allah Swt haruslah
ditinggalkan.
86
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penjelasan yang sudah penulis kemukakan di atas, maka dapat
diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Larangan perkawinan tradisi Kebo Balik Kandang adalah tradisi yang
ada di Desa Sugihwaras Kecamatan Prambon Kabupaten Nganjuk
Jawa Timur, larangan perkawinan tradisi kebo balik kandang adalah
tradisi yang dilakukakan apabila orang tua laki-laki (bapak) lahir di
kota A, kemudian orang tua laki-laki (bapak) tersebut pindah ke kota B
dan menikah di kota B dengan salah satu perempuan yang berada di
kota B, kemudian seiring berjalannya waktu keduanya lalu memiliki
anak, baik anak itu laki-laki maupun perempuan, setelah anak laki-laki
maupun perempuan itu tumbuh dewasa, kedua orang tua tersebut ingin
menikahkan anaknya dengan seseorang yang berasal dari kota
kelahiran orang tua laki-laki (bapak) di kota A.
2. Sanksi atau dampak untuk masyarakat dari tradisi Kebo Balik Kandang
yang berada di Desa Sugihwaras adalah dengan meninggalnya orang
tua dari pengantin, apabila kedua calon mempelai pasanganan yang
tetap melangsungkan pernikahan.
3. Pada praktiknya larangan perkawinan tradisi Kebo Balik Kandang
yang ada di Desa Sugihwaras Kecamatan Prambon Kabupaten
87
Nganjuk Jawa Timur, bagi sebagian masyarakatnya masih memegang
dan menerapkan tradisi tersebut dalam keluarga, dengan alasan
kecemasan terhadap sanksi atau dampak yang ditimbulkan, dan apabila
penulis cermati, alasan yang lainnya adalah dengan kepasifan sebagian
masyarakat yang lalai dalam kegiatan keagamaan. Kemudian untuk
sebagian masyarakat sudah tidak mempercayai dari larangan
perkawinan tradisi Kebo Balik Kandang apabila penulis cermati alasan
yang sangat berpengaruh adalah karena perkembangan zaman yang
semakin modern, kemudian pola pikir masyarakat yang terus
berkembangan dengan adanya informasi-informasi yang beredar dalam
media sosial, televisi maupun yang lainnya. Dan larangan perkawinana
tradisi Kebo Balik Kandang yang ada dalam masyarakat Desa
Sugihwaras apabila dilihat dari sudut pandang hukum Islamn terdapat
ketidak sesuain antara syarat perkawinan yang sudah ditentukan dalam
Islam dan syarat yang ada di dalam tradisi Kebo Balik Kandang.
B. Saran-Saran
Melihat penjelasan dari penelitian yang penulis lakukan di atas,
penulis ingin menyampaikan saran-saran kepada semua agar menjadi
masyarakat yang lebih baik. Berkaitan dengan Larangan Perkawinan
Tradisi Kebo Balik Kandang ini agar tidak terjadi salah tafsir maka penulis
akan memberikan beberapa saran yang sesuai dengan apa yang penulis
teliti, diantaranya :
88
1. Hendaklah seseorang yang akan melangsungkan pernikahan untuk
berkonsultasi terlebih dahulu kepada orang yang dituakan agar
mengetahui apa saja tahap-tahap yang harus dilakukan dari awal
sampai selesainya proses adat pernikahan.
2. Seseorang wajib memahami apa itu tradisi dalam suatu adat. Karena
banyaknya hal-hal baru dalam suatu adat istiadat maka diperlukan
pemahaman yang kuat akan hal tersebut. Jangan mengesampingkan
suatu budaya karena kita terlahir dan tumbuh di lingkungan yang
mempunyai budaya adat istiadat masing-masing.
3. Diharapkan kepada seluruh masyarakat Desa Sugihwaras Kecamatan
Prambon Kabupaten Nganjuk Jawa Timur untuk tetap menjaga
kerukunan antar keluarga, mengingat tradisi yang ada menjadi hal
yang sensitif bagi sebagian masyarakat. Dan hendaklah kepada ahli-
ahli hukum keluarga maupun orang yang mengerti agama mengenai
pernikahan, untuk memberikan pembelajaran kepada masyarakat, agar
masyarakat tidak hanya mengacu kepada hal yang sudah ada seperti
adanya adat istiadat, akan tetapi masyarakat dapat berwawasan luas
dengan melihat dari berbagai sudut pandang,baik itu sudut pandang
masyararakat lainnya, maupun sudut pandang agama.
89
DAFTAR PUSTAKA
A. Sumber Tertulis
1. Buku
Alquran dan Terjemahan Departemen Agama Indonesia.
Abbas, Adil Abdul Min’im Abu. Ketika Menikah Menjadi Pilihan, Jakarta:
Almahira, 2008.
Abidin, Slamet dan H. Aminuddin. Fiqih Munakahat 1. Bandung: Pustaka
Setia, 1999.
AF, Hasanuddin. Perkawinan dalam Persfektif Alquran: nikah, talak, cerai,
rujuk. Jakarta: Nusantara Damai Press, 2009.
Al-Amili, Ja’far Murthada. Nikah Mut’ah dalam Islam. (Kajian Ilmiah dari
Berbagai Mazhab), alih bahasa Abu Muhammad Jawad. Jakarta:
Yayasan As-sajjad, 1992.
Al-Baghdadi, Muhammad bin Hambal bin Hilal bin Asad Al-Marwazi. Al-
Musnad al-Kabir. Lahore, Pakistan: Maktabae Rehmania, 1837.
Al-Bukhari, Abu Abdullah Muhammad bin Ismail. Shaih Bukhari. Beirut:
Bait al-Afkar ad-Dauliyah, 2002 M/1463 H.
Ali, Ahmidi, H. MD., Islam dan Perkawinan. Jakarta: PT. Al-Massrif, 1951.
Ali, Zainudin. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika,
2007.
Al-Shabbagh, Mahmud. Tuntunan Keluarga Bahagia Menurut Islam.
Bandung; Resmaja Rosdakarya, 1991.
Anas, Idhoh. Risalah Nikah ‘Ala Rifaiyyah. Pekalongan: Al-Asri, 2008.
Asmawi, Mohamad. Nikah dalam Perbincangan dan Perbedaan, Yogyakarta:
Darussalam Perum Griya Suryo Asri, 2004.
Asmin. Status Perkawinan Antar Agama: Ditinjau dari Undang-Undang
Perkawinan No.1/1974. Jakarta: PT Dian Rakyat, 1986.
Brawidjaja, Thomas Wiyasa. Upacara Tradisional Masyarakat Jawa.
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2004.
90
Djazuli, A. Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam
Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis. cet. Ke-2. Jakarta:
Kencana, 2007.
Doi, Abdurrahman I. Perkawinan Dalam Syariat Islam. Jakarta: PT. Rineka
Cipta, 1992.
Eliza, Mona. Pelanggaran Terhadap UU Perkawinan dan Akibat Hukumnya.
Tangerang Selatan: Adelina Bersaudara, 2009.
F.N, Rijaludin. Nasehat Pernikahan. Jakarta: Pusat Kajian Islam FAI
UHAMKA, 2008.
Ghazali, Abdul Rahman. Fiqih Munakahat. cet. Ke-4. Jakarta: Kencana,
2010.
Ghazali, Adeng Muchtar. Antropologi Agama: Upaya MemahamiKeragaman
Kepercayaan, Keyakinan dan Agama. Bandung: Alfabeta, 2011.
Ghazali, Sukri dkk. Nasihat Perkawinan dalam Islam. Jakarta, Kuningan mas
Offset, 1983.
Hadikusuma, Hilman. Antropologi Hukum Indonesia. Bandung: PT. Alumni,
1986.
Hadikusuma, Hilman. Hukum Perkawinan Adat. Bandung: Citra Aditya
Bakti, 1990.
Hadikusuma, Hilman. Hukum Perkawinan Indonesia, Menurut:
Perundangan, Hukum Adat dan Agama. Bandung: CV. Mandar Maju,
2007.
Hasyim, Syafiq. Hal-Hal Yang Tak Terpikirkan. Bandung: Mizan, 2001.
Khallaf, Abdul Wahab. Ilmu Ushul Fikih, Penerjemah: Halimuddin. Jakarta:
PT Rineka Cipta, 2005.
Kharlie, Ahmad Tholabi dan Asep Syarifuddin Hidayat., Hukum Keluarga di
Dunia Islam Kontemporer. cet. Ke-1. Jakarta: Lembaga Penelitian
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011.
Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka, 2000.
Mardani. Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern. Yogyakarta:
Graha Ilmu, 2011.
91
Muchtar, Kamal. Asas-Aasas Hukum Islam tentang Perkawinan. cet. Ke-2.
Jakarta: PT Bulan Bintang, 1987.
Muhammad, Bushar. Asas-Asas Hukum Adat: Suatu Pengantar. Jakarta:
Pradnya Paramita. cet. Ke-9 1994.
Nasution, Amir Taat. Rahasia Perkawinan Dalam Islam; Tuntunan Keluarga
Bahagia. cet. Ke-3. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1994.
Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam di
Indonesia. Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU
No 1/1974 sampai KHI. Jakarta: Prenada Media, 2004.
Prodjodikoro, R. Wirjono. Hukum Perkawinan di Indonesia. Bandung: Sumur
Bandung, 1991.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa, 2008.
Rafiq, Ahmad. Hukum Keluarga Di Indonesia. cet. Ke-3. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 1998.
Rahman, Abdur. Perkawinan dalam Syariat Islam, Penerjemah: Basri Ibn
Asghari dan Wadi Masturi. Jakarta: PT Rineka Cipta, 1992.
Ramulyo, M. Idris. Tinjauan Beberapa Pasal UU Nomor 1 Tahun 1974 Dari
Segi Hukum Perkawinan Islam. cet. Ke-2. Jakarta: Ind. Hillco-Co,
1990.
Ramulyo, Mohd. Idris. Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis dari
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam.
Jakarta: Bumi Aksara, 1996.
Ramulyo, Mohd. Idris. Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum
Acara Peradilan Agama dan Zakat Menurut Hukum Islam. Jakarta,
Sinar Grafika, 1995.
Rusdiana, Kama dan Jaenal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata. cet Ke-1.
Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta dengan UIN Jakarta Press,
2007.
Sabiq, Sayyid. Fikih Sunnah. cet. Ke-7. Bandung: Al-ma’arif, 1990.
Salam, Syamsir dan Amir Fadhilah, Sosiologi Pedesaan. Jakarta: Lembaga
Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008.
Saleh, K. Wantjik. Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia,
1978.
92
Sarosa, Samiaji. Penelitan Kualitatif Dasar-Dasar. cet. Ke-1. Jakarta:
Permata Puti Media, 2012.
Shata, Abu Bakar Muhammad. I’anat al-Talibin, juz III. Bairut: Dar al-
Kutub, 1999.
Soekanto, Soerjono. Hukum Adat Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2003.
Sofyan, Yayan. Islam Negara; Tansformasi Hukum Perkawinan Islam dalam
Hukum Nasional. Cet. Ke-2. Jakarta: RMBooks, 2012.
Sofyan, Yayan. Islam-Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam
Dalam Hukum Nasional. Tangerang Selatan: UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2011.
Sopyan, Yayan. Islam Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam
Dalam hukum Nasional. Jakarta: PT. Wahana Semesta Intermedia,
2012.
Sudarsono. Hukum kekeluargaan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta, 1991.
Surkalam, Luthfi. Kawin Kontrak Dalam Hukum Nasional Kita. cet. Ke-1.
Pamulang-Tangerang: CV Pamulang Komplek Depag Blok 11/E1
Bambu Apus, 2005.
Susanto, Happy. Nikah Siri Apa Untungnya?. cet. Ke-1. Jakarta: Visimedia,
2007.
Syaki, Muhamad Fu’ad. Perkawinan Terlarang; al-misyar (kawin
perjalanan), al-‘urfi (kawin bawah tangan), as-sirri (kawin rahasia),
al-mut’ah. Jakarta: Cendekia Sentra Muslim, 2002.
Syarifuddin, Amir. Fikih Sunnah. Jilid 6. Bandung: Al-Ma’arif, 1994.
Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia; Antara Fiqh
Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan. Jakarta: Kencana,
2007.
Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh Jilid 2. Jakarta: Kharisma Putra Utama, 2011.
Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqih. Jakarta: Kencana, 2009.
Tebba, Sudirman. Sosiologi Hukum Islam. cet. Ke-1. Yogyakarta: UII Press
Indonesia, 2003.
Thalib, Sayuti. Hukum Kekeluargaan Indonesia: Berlaku Bagi Umat Islam.
Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986.
Tihami, H.M.A dan Sohari Sahrani. Fiqih Munakahat; Kajian Fiqih Nikah
Lengkap. Jakarta: Rajawali Pers, 2009.
93
Wijaya, M. Hari. Tata Cara Penyelenggaraan Perkawinan Adat Jawa.
Yogyakarta: Hanggar Kreator, 2004.
2. Undang-Undang
Ditjen Pembinaan Kelembagaan Islam Departemen Agama, Kompilasi
Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Direktorat Pembinaan Peradilan
Agama Islam, 2001.
Yayasan Peduli Anak Negeri. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan. Jakarta: Lembaran Negara Republik Indonesia, 1974.
3. Arsip, Jurnal, dan Skripsi
Dokumen Badan Pemberdayaan Masyarakat Dan Pemerintah Desa Daerah
Kabupaten Nganjuk Jawa Timur Tahun 2016-2017.
Fasry Helda Dwisuryati, Tinjauan Hukum Islam terhadap Larangan Menika
Bulan Safar di Masyrakat Kecamatan Sungai Raya Kalimantan
Selatan. Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga,
2007.
Irsyad Rifai Hasibun, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Perkawinan Satu
Marga dalam Masyarakat Batak Angkola, Sumatera Utara. Skripsi
Fakultas Syariah Dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Muchamad Iqbal Ghozali, Larangan Menikah pada Dino Geblak Tiyang
Sepuh di Masyarakat Kampung Sanggrahan Kecamatan Mlati
Kabupaten Sleman dalam Perspektif Hukum Islam. Skripsi Fakultas
Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, 2012.
Nana Sudjana, Tuntunan Penelitian Karya Ilmiah, Makalah-Skripsi Tesis-
Disertasi. Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1999.
Nur Faidah, Mantenan Adat Satu Suro di Desa Traji Kecamatan Parakan
Kabupaten Temanggung Jawa Tengah Menurut Tinjauan Hukum
Islam. Skripsi Fakultas Syari’ah, IAIN Sunan Kalijaga, 2003.
Septi Muslimah, Larangan Nikah Adu Kalen pada Masyarakat Banyusoco,
Playen, Gunung Kidul Yogyakarta. Skripsi Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Sunan Kalijaga, 2005.
94
B. Sumber Lisan
Wawanacara pribadi dengan Rizki Sonia Safitri, Tokoh Masyarakat (Via
Telepon), 22 Sepetember 2016.
Wawanacara pribadi dengan Drs. Heri Indiyanto Kepala Desa Sugihwaras, 20
April 2017.
Wawancara pribadi dengan Kiai Hanafi, Tokoh Agama Desa Sugihwaras,
20 April 2017.
Wawancara dengan Bapak Suherman, BA., Kepala Kamituwo 1 Desa
Sugihwaras, 20 April 2017.
Wawancara pribadi dengan Dra. Deno Indiyanto Kepala Desa Sugihwaras, 20
April 2017.
Wawancara pribadi dengan Drs. Gunawan Kepala Kamituwo 2 Desa
Sugihwaras, 20 April 2017.
Wawancara pribadi dengan Setyastuti, Tokoh Masyarakat Desa Sugihwaras,
20 April 2017.
Wawancara pribadi dengan Bari, Tokoh Masyarakat Desa Sugihwaras, 20
April 2017.
LAMPIRAN
HASIL WAWANCARA
Narasumber : Drs. Heri Indiyanto/Ibu Deno Indiyanto
Jabatan : Kepala Desa
Tempat : Desa/Kelurahan Sugihwaras Kecamatan Prambon
Kabupaten Nganjuk Jawa Timur
Tanggal : 20 April 2017
1. Berdasarkan pengetahuan Ibu, apakah yang di maksud dengan tradisi kebo
balik kandang ?
Kebo balik kandang adalah misalnya, bapaknya dari Desa Sugihwaras
kemudian ia merantau atau pindah desa ke kota B, lalu menikah dan
memiliki anak di kota B, setelah itu ia (bapaknya) ingin menikahkan
anaknya dengan seorang yang ada di Desa Sugihwaras, hal itu dinamakan
kebo balik kandang.
2. Bagaimana pandangan Ibu terhadap kebo balik kandang?
Kalau untuk zaman sekarang, hal semacam itu sudah tidak relevan lagi
untuk di terapkan, tergantung bagaimana kondisi ekonomi seseorang untuk
menikah menikah.
3. Dampak apa yang ditimbulkan dari melanggar tradisi kebo balik kandang?
Setahu saya, menurut orang zaman dulu apabila melanggar dari tradisi
tersebut keluarga dari orang yang akan menikah akan wafat.
HASIL WAWANCARA
Narasumber : Kiai Imam Hanafi
Jabatan : Tokoh Masyarakat
Tempat : Kediaman Kiai Imam Hanafi
Tanggal : 20 April 2017
1. Apa yang dimaksud dengan kebo balik kandang dan asal usulnya seperti
apa?
Kebo balik kandang, bapane wong Sugihwaras, pindah Desa kemudian
menikah disana, lalu punya anak, setelah anaknya besar, ingin menikahkan
anaknya di Desa Sugihwaras bersama orang Sugihwaras, hal semacam itu
ndak bole dilakukan, tradisi ini sudah bawaan dari raja-raja zaman dulu
yang ada di masyarakat Jawa.
2. Dampak apa yang akan ditimbulkan apabila melanggar dari tradisi
tersebut?
Menurut kepercayaan orang zaman dulu, bapane sing mati apabila
melanggar dari ketentuan tersebut.
3. Lalu bagaimana Islam memandang tradisi ini dan apakah masih berlaku
tradisi ini?
Boleh-boleh saja, akan tetapi balik lagi kepada imane masing-masing,
karena ini adalah peninggalan hukum adat dari raja-raja zaman dulu dan
masih berlaku, hanya saja orang-orang sudah tidak mempedulikan.
HASIL WAWANCARA
Narasumber : Suherman, BA
Jabatan : Kepala Kamituwo 1 Sugihwaras
Tempat : Kediaman Bapak Suherman, BA
Tanggal : 20 April 2017
1. Sepengetahuan Bapak, apa yang dimaksud dengan tradisi kebo balik
kandang?
Menurut saya, tradisi kebo balik kandang itu ada dua istilah, pertama,
orang yang merantau ke kota misalkan, kemudian setelah lama merantau,
ia kembali ke desanya karena tidak cukup memiliki ekonomi yang tinggi.
Kedua, tradisi kebo balik kandang yang dimana adalah sebuah larangan
perkawinan untuk anak dari bapaknya yang merantau ke luar desa,
kemudian si anak ingin dinikahkan kepada orang Desa Sugihwaras,
menurut orang zaman dulu itu menjadi hal yang tidak boleh dilakukan.
2. Lantas apakah masih berlaku tradisi kebo balik kandang dalam hal
perkawinan?
Menurut saya hal semacam itu sudah tidak berlaku lagi, karena sekarang
orang mikirnya dari kebahagiaan, kalau orang yang ingin menikah
mempunyai ekonomi yang tinggi, kenapa tidak untuk menikah.
3. Menurut Bapak apakah masih berlaku tradisi kebo balik kandang dalam
hal perkawinan?
Kalau untuk zaman sekarang hal semacam itu sudah tidak relevan lagi
untuk diterapkan bahkan hampir hilang, akan tetapi sebagian masyarakat
masih ada yang memegang hal semacam itu, mungkin karena ketakutan
mereka dari dampak yang ditimbulkan apabila melanggar dari tradisi
tersebut.
HASIL WAWANCARA
Narasumber : Ibu Setyastuti
Jabatan : Mayarakat Desa Sugihwaras
Tempat : Kediaman Ibu Setyastuti
Tanggal : 20 April 2017
1. Menurut Ibu, apa yang dimaksud dengan tradisi larangan perkawinan kebo
balik kandang?
Bapane dari Sugihwaras misalken, kemudia ia merantau ke Surabaya, lalu
menikah dan memiliki anak di Surabaya, setelah anaknya besar, bapane
ingin menikahkan anaknya sama orang Desa Sugihwaras, hal semacam itu
orang Jawa tidak berani.
2. Dampak apa yang ditimbulkan dari melanggar tradisi kebo balik kandang
tersebut?
Kalau melanggar tradisi tersebut, atau tetep kekeuh ingin melangsungkan
perkawinan, maka bapak dari calaon mempelai laki-laki dan perempuan
akan mati, karena sudah banyak korbannya, itulah yang menjadi
kecemasan saya, dan makanya saya masih menerapkan tradisi ini di
keluarga saya. Mungkin orang-orang yang diluar Jawa tidak percaya
dengan hal semacam ini, akan tetapi bagi orang Jawa hal semacam ini
benar adanya dan sudah banyak korbannya. Yang namane ajal kan kita
ndak tau datengnya kapan, hanya Tuhan yang tahu, akan tetapi ini menjadi
tolak ukur untuk saya berpikir dua kali.
HASIL WAWANCARA
Narasumber : Bapak Bari
Jabatan : Mayrakat Desa Sugihwaras
Tempat : Kediaman Bapak Bari
Tanggal : 20 April 2017
1. Menurut Bapak, apa yang dimaksud dengan tradisi kebo balik kandang?
Kalau menurut saya, tradisi kebo balik kandang itu pernikahan yang tidak
boleh dilakukan baik laki-laki maupun perempuan apabila bapaknya sudah
keluar dari Desa Sugihwaras.
2. Apakah masih berlaku tradisi kebo balik kandang tersebut?
Di dalam keluarga saya itu masih berlaku dan saya terapkan karena
menjaga sesuatu dari hal-hal yang tidak diinginkan, seperti meninggalnya
orang tua laki-laki dari pihak anak laki-laki maupun perempuan.
HASIL WAWANCARA
Narasumber : Rizki Sonia Safitri
Jabatan : Masyarakat Desa Sugihwaras
Tempat : Via Telepon
Tanggal : 22 September 2016
1. Apa yang dimaksud dengan tradisi Kebo balik kandang?
Menurut saya, ayah kedua calon suami istri dilahirkan di desa yang sama,
dan seiring berjalannya waktu, salah satu dari keluarga mereka pindah dari
desa kelahirannya tersebut, maka calon pasangan suami istri tersebut
dilarang menikah, dan jika mereka (calon mempelai) kekeuh untuk
melangsungkan perkawinan atau melanggar tradisi ini, maka di yakini
akan menimbulkan adanya bencana besar dalam keluarga, salah satunya
adalah meninggalnya orang tua dari kedua calon mempelai.
2. Apakah tradisi tersebut masih berlaku?
Itu tergantung orangnya masing-masing, itu seperti sebuah kepercayaan
dari masing-masing masih keluarga. Akan tetapi di dalam keluarga saya
hal semacam tradisi kebo balik kandang ini masih diterapkan.
3. Lalu menurut Mbak, bagaimana hukum Islam memandang ini?
Kalau menurut saya sih ini bertentangan dengan Islam, karena hal
semacam inikah hal yang mustahil, tapi mau bagaimana lagi, ini sudah
menjadi ketentuan dari keluarga saya.
TOKOH AGAMA DESA SUGIHWARAS
BERSAMA PERANGKAT DESA SUGIHWARAS