medikolegal skenario 1

26
MALPRAKTEK DEFINISI DAN PENYEBAB tindakan tenaga profesional (profesi) yang bertentangan dengan standard operating procedure (SOP), kode etik profesi, serta undang-undang yang berlaku—baik disengaja maupun akibat kelalaian—yang mengakibatkan kerugian dan kematian terhadap orang lain. Batasan pengertian tersebut dapat diketahui bahwa malpraktik sebenarnya tidak hanya terjadi pada kelompok profesi dokter saja. Tetapi juga dapat terjadi pada kelompok profesi lainnya seperti advokat (pengacara), notaris, akuntan, dan profesi lainnya. Malpraktek kedokteran kini terdiri dari 4 hal : (1) Tanggung jawab kriminal, (2) Malpraktik secara etik, (3) Tanggung jawab sipil, dan (4) Tanggung jawab public Malpraktek Kriminal. Malpraktek kriminal terjadi ketika seorang dokter yang menangani sebuah kasus telah melanggar undang-undang hukum pidana. Malpraktik dianggap sebagai tindakan kriminal dan termasuk perbuatan yang dapat diancam hukuman. Hal ini dilakukan oleh Pemerintah untuk melindungi masyarakat secara umum. Perbuatan ini termasuk ketidakjujuran, kesalahan dalam rekam medis, penggunaan ilegal obat – obat narkotika, pelanggaran dalam sumpah dokter, perawatan yang lalai, dan tindakan pelecehan seksual pada pasien yang sakit secara mental maupun pasien yang dirawat di bangsal psikiatri atau pasien yang tidak sadar karena efek obat anestesi. Peraturan hukum mengenai tindak kriminal memang tidak memiliki batasan antara tenaga profesional dan anggota masyarakat lain. Jika perawatan dan tata laksana yang dilakukan dokter dianggap mengabaikan atau tidak bertanggung jawab, tidak baik, tidak dapat dipercaya dan keadaan - keadaan yang tidak menghargai nyawa dan keselamatan pasien maka hal itu pantas untuk menerima hukuman. Dan jika kematian menjadi akibat dari tindak malpraktik yang dilakukan, dokter tersebut dapat dikenakan tuduhan tindak kriminal pembunuhan. Tujuannya memiliki maksud yang baik namun secara tidak langsung hal ini menjadi berlebihan. Seorang dokter dilatih untuk membuat keputusan medis yang sesuai dan tidak boleh mengenyampingkan pendidikan dan latihan yang telah dilaluinya serta tidak boleh membuat keputusan yang tidak bertanggung jawab tanpa mempertimbangkan dampaknya. Ia juga tidak boleh melakukan tindakan buruk atau ilegal yang tidak bertanggung jawab dan tidak boleh mengabaikan tugas profesionalnya kepada pasien. Dia juga harus selalu peduli terhadap kesehatan pasien. (http://www.harian-aceh.com/opini/85-opini/3050-malpraktik.html ) (http://cetrione.blogspot.com/2008/12/malpraktek-definisi-malpraktek- adalah.html ) 1

Upload: anugrah-nurul-fitri

Post on 25-Nov-2015

90 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

pbl

TRANSCRIPT

MALPRAKTEK

DEFINISI DAN PENYEBAB

tindakan tenaga profesional (profesi) yang bertentangan dengan standard operating procedure (SOP), kode etik profesi, serta undang-undang yang berlakubaik disengaja maupun akibat kelalaianyang mengakibatkan kerugian dan kematian terhadap orang lain. Batasan pengertian tersebut dapat diketahui bahwa malpraktik sebenarnya tidak hanya terjadi pada kelompok profesi dokter saja. Tetapi juga dapat terjadi pada kelompok profesi lainnya seperti advokat (pengacara), notaris, akuntan, dan profesi lainnya.

Malpraktek kedokteran kini terdiri dari 4 hal :

(1) Tanggung jawab kriminal,

(2) Malpraktik secara etik,

(3) Tanggung jawab sipil, dan

(4) Tanggung jawab public

Malpraktek Kriminal. Malpraktek kriminal terjadi ketika seorang dokter yang menangani sebuah kasus telah melanggar undang-undang hukum pidana. Malpraktik dianggap sebagai tindakan kriminal dan termasuk perbuatan yang dapat diancam hukuman. Hal ini dilakukan oleh Pemerintah untuk melindungi masyarakat secara umum. Perbuatan ini termasuk ketidakjujuran, kesalahan dalam rekam medis, penggunaan ilegal obat obat narkotika, pelanggaran dalam sumpah dokter, perawatan yang lalai, dan tindakan pelecehan seksual pada pasien yang sakit secara mental maupun pasien yang dirawat di bangsal psikiatri atau pasien yang tidak sadar karena efek obat anestesi. Peraturan hukum mengenai tindak kriminal memang tidak memiliki batasan antara tenaga profesional dan anggota masyarakat lain. Jika perawatan dan tata laksana yang dilakukan dokter dianggap mengabaikan atau tidak bertanggung jawab, tidak baik, tidak dapat dipercaya dan keadaan - keadaan yang tidak menghargai nyawa dan keselamatan pasien maka hal itu pantas untuk menerima hukuman. Dan jika kematian menjadi akibat dari tindak malpraktik yang dilakukan, dokter tersebut dapat dikenakan tuduhan tindak kriminal pembunuhan. Tujuannya memiliki maksud yang baik namun secara tidak langsung hal ini menjadi berlebihan. Seorang dokter dilatih untuk membuat keputusan medis yang sesuai dan tidak boleh mengenyampingkan pendidikan dan latihan yang telah dilaluinya serta tidak boleh membuat keputusan yang tidak bertanggung jawab tanpa mempertimbangkan dampaknya. Ia juga tidak boleh melakukan tindakan buruk atau ilegal yang tidak bertanggung jawab dan tidak boleh mengabaikan tugas profesionalnya kepada pasien. Dia juga harus selalu peduli terhadap kesehatan pasien.

(http://www.harian-aceh.com/opini/85-opini/3050-malpraktik.html)

(http://cetrione.blogspot.com/2008/12/malpraktek-definisi-malpraktek-adalah.html)

Malpraktek berasal dari malpractice yang pada hakekatnya adalah kesalahan dalam menjalankan profesi yang timbul sebagai akibat adanya kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan oleh dokter, dalam arti lain malpraktek adalah kesalahan dalam menjalankan profesi medis yang tidak sesuai dengan standar profesi medis dalam menjalankan profesinya. (D. Veronica Komalawati. 2000). Namun kadang-kadang malpraktek dikaitkan dengan penyalahgunaan keadaan karena keinginan untuk mencari keuntungan pribadi semata. Tidak jarang pula dengan menggunakan alasan tidak adanya informed consent, pasien menggugat atau menuntut ganti rugi kepada dokter dengan tuduhan malpraktek.

Menurut John D. Blum, malpraktek diartikan sebagai bentuk kelalaian profesi dalam bentuk luka atau cacat yang dapat diukur yang terjadi pada pasien sehingga pasien mengajukan gugatan atau tuntutan ganti rugi sebagai akibat langsung dari tindakan dokter (Hermin Hadiati Koeswadji. 1998)Sebab Timbulnya MalpraktekPelayanan kesehatan pada dasarnya bertujuan untuk melaksanakan upaya pencegahan dan pengobatan suatu penyakit, termasuk di dalamya pelayanan medis yang didasarkan atas dasar hubungan individual antara dokter dengan pasien yang membutuhkan kesembuhan atas penyakit yang dideritanya. Dokter merupakan pihak yang mempunyai keahlian di bidang medis atau kedokteran yang dianggap memiliki kemampuan dan keahlian untuk melakukan tindakan medis. Sedangkan pasien merupakan orang sakit yang awam akan penyakit yang dideritanya dan mempercayakan dirinya untuk diobati dan disembuhkan oleh dokter. Oleh karena itu dokter berkewajiban memberikan pelayanan medis yang sebaik-baiknya bagi pasien. Pelayanan medis ini dapat berupa penegakkan diagnosis dengan benar sesuai dengan prosedur, pemberian terapi, melakukan tindakan medis sesuai standar pelayanan medis serta memberikan tindakan wajar yang memang diperlukan untuk kesembuhan penyakit yang diderita pasien (M. Yusuf Hanafiah. 1999).Dalam hubungan antara dokter dan pasien, masing-masing pihak mempunyai hak dan kewajiban. Dokter berkewajiban memberikan pelayanan medis mulai dari tanya jawab (anamnesa), kemudian dilakukan pemeriksaan fisik oleh dokter terhadap pasiennya. Dokter akan menentukan diagnosa penyakit yang diderita pasien. Setelah diagnosis ditegakkan barulah dokter memutuskan jenis terapi atau tindakan medis yang akan dilakukan kepada pasien (Hermin Hadiati Koeswadji. 1998).Dalam bidang pengobatan, dokter dan pasien menyadari bahwa tidak mungkin dokter menjamin upaya pengobatan akan selalu berhasil sesuai dengan keinginan pasien atau keluarganya. Dokter hanya berupaya secara maksimal secara hati-hati dan cermat berdasarkan ilmu pengetahuan dan pengalamannya dalam menangani penyakit dalam rangka mengusahakan kesembuhan penyakit pasiennya.

Sedangkan, Pasien mempunyai kewajiban memeriksakan diri sedini mungkin tentang penyakit yang dideritanya dengan memberikan informasi yang benar dan lengkap berkaitan dengan penyakitnya. Pasien juga wajib mematuhi petunjuk dan nasehat yang dianjurkan dokter berkaitan dengan makan, minum maupun istirahat yang cukup. Selain itu pasien harus merasa yakin kalau dokter akan berupaya maksimal dalam mengobati penyakitnya sehingga pasien harus kooperatif dan tidak menolak apabila diperiksa dokter.

Dalam tindakannya, seorang dokter terkadang harus dengan sengaja menyakiti atau menimbulkan luka pada tubuh pasien. Misalnya dokter bedah yang melakukan pembedahan terhadap suatu organ tubuh pasien. Oleh karena itu dalam setiap pembedahan, dokter harus berhati-hati agar luka yang diakibatkannya tidak menimbulkan masalah dikemudian hari, seperti terjadinya infeksi nosokomial.Selain itu juga sering terjadinya kealpaan / kelalaian yang merupakan bentuk kesalahan yang tidak berupa kesengajaan, akan tetapi juga bukan merupakan sesuatu yang terjadi karena kebetulan. Jadi dalam kelapaan ini tidak ada niat jahat dari pelaku / petindak. Kealpaan / kelalaian dan kesalahan dalam melaksanakan tindakan medis menyebabkan terjadinya ketidakpuasan pasien terhadap dokter dalam melaksanakan upaya pengobatan sesuai profesi kedokteran. Kealpaan dan kesalahan tersebut menyebabkan kerugian berada pada pihak pasien.

KLASIFIKASI

Malpraktek dapat terjadi karena :

Tindakan yang disengaja ( misconduct)

Tindakan kelalaian ( negligence)

Ketidak mahiran ( lack of skill )

Tindakan yang disengaja ( misconduct)

Kesengajaan yang dapat dilakukan dalam bentuk :

-pelanggaran ketentuan etik

-pelanggaran ketentuan disiplin profesi

-pelanggaran hukum administrasi, hukum pidana dan perdata seperti melakukan kesengajaan yang merugikan pasien

-pelanggaran wajib simpan rahasia kedokteran

-penyerangan seksual

-berpraktek tanpa SIP

-sengaja melanggar standar

-berpraktek diluar kompetensi

Tindakan kelalaian ( negligence)

Kelalaian ada 3 bentuk :

a. Malfeasance

( melakukan tindakan yang melanggar hukum/ tidak tepat / tidak layak

Misal ; melakukan tindakan medis tanpa indikasi yang memadai

b. Misfeasance

( malakukan pilihan tindakan medis yang tepat tetapi dilakuakn dengan tidak tepat

Misal : melakukan tindakan medis menyalahi/ tidak sesuai prosedur

c. Nonfeasance

( tidak melakukan tindakan medis yang merupakan kewajiban baginya

Syarat terjadinya kelalaian, harus memenuhi 4 unsur :

1. Adanya kewajiban untuk melakukan / tidak melakukan sesuatu

2. Adanya pelanggaran / kegagalan memenuhi kewajiban tersebut

3. Adanya kerugian/ cedera pada pasien

4. Adanya hubungan kausalitas antara pelanggaran / kegagalan memebuhi kewajiban tersebut dengan cedera/ kerugian.

Klasifikasi malpraktek :

1) Malpraktek kriminal ( pidana )

a. Bersifat kesengajaan

- abirsi tanpa indikasi medik

-euthanasia

-membocorkan rahasia kedokteran

-surat keterangan palsu

b. Bersifat kecerobohan

-melakukan tindakan medis tidak lege artis

-tidak melakukan rekam medik

-melakukan tindakan medis tanpa informed concent

c. Bersifat kelalaian

-alpa/ kurang berhati-hati sehingga pasien menderita luka-luka.

2) Malpraktek sipil ( perdata )

3) Malpraktek Administrasi

4) Malpraktek Etik

Penyebab terjadinya kelalaian / malpraktek :

Masalah komunikasi dokter- pasien

Informasi tidak jelas

Masalah manusia (SDM)

Berhubungan dengan pasien

Transfer pengetahuan didalam organisasi

Pola SDM/ alur tugas

Kegagalan teknik pelaksanaan

Kebijakan dan prosedur tidak lengkap

PENANGANAN PENUDUHAN MALPRAKTEK

Suatu tuntutan hukum perdata, dalam hal ini sengketa antara pihak dokter dan rumah sakit berhadapan dengan pasien dan keluarga atau kuasanya, dapat diselesaikan melalui dua cara, yaitu cara litigasi (melalui proses peradilan) dan cara non litigasi (di luar proses peradilan).

Apabila dipilih penyelesaian melalui proses pengadilan, maka penggugat akan mengajukan gugatannya ke pengadilan negeri di wilayah kejadian, dapat dengan menggunakan kuasa hukum (pengacara) ataupun tidak. Dalam proses pengadilan umumnya ingin dicapai suatu putusan tentang kebenaran suatu gugatan berdasarkan bukti-bukti yang sah (right-based) dan kemudian putusan tentang jumlah uang ganti rugi yang "layak" dibayar oleh tergugat kepada penggugat. Dalam menentukan putusan benar-salahnya suatu perbuatan hakim akan membandingkan perbuatan yang dilakukan dengan suatu norma tertentu, standar, ataupun suatu kepatutan tertentu, sedangkan dalam memutus besarnya ganti rugi hakim akan mempertimbangkan kedudukan sosial-ekonomi kedua pihak (pasal 1370-1371 KUH Perdata).

Apabila dipilih proses di luar pengadilan (alternative dispute resolution), maka kedua pihak berupaya untuk mencari kesepakatan tentang penyelesaian sengketa (mufakat). Permufakatan tersebut dapat dicapai dengan pembicaraan kedua belah pihak secara langsung (konsiliasi atau negosiasi), ataupun melalui fasilitasi, mediasi, dan arbitrasi, atau cara-cara kombinasi. Fasilitator dan mediator tidak membuat putusan, sedangkan arbitrator dapat membuat putusan yang harus dipatuhi kedua pihak. Dalam proses mufakat ini diupayakan mencari cara penyelesaian yang cenderung berdasarkan pemahaman kepentingan kedua pihak (interest-based, win-win solution), dan bukan right-based. Hakim pengadilan perdata umumnya menawarkan perdamaian sebelum dimulainya persidangan, bahkan akhir-akhir ini hakim memfasilitasi dilakukannya mediasi oleh mediator tertentu.

Dalam hal tuntutan hukum tersebut diajukan melalui proses hukum pidana, maka pasien cukup melaporkannya kepada penyidik dengan menunjukkan bukti-bukti permulaan atau alasan-alasannya. Selanjutnya penyidiklah yang akan melakukan penyidikan dengan melakukan tindakan-tindakan kepolisian, seperti pemeriksaan para saksi dan tersangka, pemeriksaan dokumen (rekam medis di satu sisi dan bylaws, standar dan petunjuk di sisi lainnya), serta pemeriksaan saksi ahli. Visum et repertum mungkin saja dibutuhkan penyidik. Berkas hasil pemeriksaan penyidik disampaikan kepada jaksa penuntut umum untuk dapat disusun tuntutannya. Dalam hal penyidik tidak menemukan bukti yang cukup maka akan dipikirkan untuk diterbitkannya SP3 atau penghentian penyidikan.

Selain itu, kasus medikolegal dan kasus potensial menjadi kasus medikolegal, juga harus diselesaikan dari sisi profesi dengan tujuan untuk dijadikan pelajaran guna mencegah terjadinya pengulangan di masa mendatang, baik oleh pelaku yang sama ataupun oleh pelaku lain. Dalam proses tersebut dapat dilakukan pemberian sanksi (profesi atau administratif) untuk tujuan penjeraan, dapat pula tanpa pemberian sanksi - tetapi memberlakukan koreksi atas faktor-faktor yang berkontribusi sebagai penyebab terjadinya "kasus" tersebut. Penyelesaian secara profesi umumnya lebih bersifat audit klinis, dan dapat dilakukan di tingkat institusi kesehatan setempat (misalnya berupa Rapat Komite Medis, konferensi kematian, presentasi kasus, audit klinis terstruktur, proses lanjutan dalam incident report system, dll), atau di tingkat yang lebih tinggi (misalnya dalam sidang Dewan Etik Perhimpunan Spesialis, MKEK, Makersi, MDTK, dll). Bila putusan MKEK menyatakan pihak medis telah melaksanakan profesi sesuai dengan standar dan tidak melakukan pelanggaran etik, maka putusan tersebut dapat digunakan oleh pihak medis sebagai bahan pembelaan.

Langkah-Langah Penanganan Kasus

Berbicara mengenai langkah-langkah tindakan kita dalam menghadapi kemungkinan adanya tuntutan hukum, seharusnya dimulai dari langkah pencegahan. Dalam upaya ini dimasukkan perspektif safety di setiap langkah prosedur atau tindakan medis dengan juga melibatkan proses manajemen risiko. Dengan perspektif safety berarti meyakini bahwa faktor-faktor yang berkontribusi dalam keberlangsungan layanan medis, baik perangkat keras (hardware) dan perangkat lunak (software), maupun sumber daya manusia (liveware atau brainware) sudah berorientasi kepada keselamatan.

Dalam hal telah terjadi peristiwa yang potensial menjadi kasus tuntutan hukum, maka profesional wajib menganalisis peristiwa tersebut untuk menemukan apakah "kesalahan" yang telah terjadi dan kemudian melakukan koreksi, guna mencegah terulangnya peristiwa serupa di kemudian hari. Untuk dapat melakukan hal itu, ia harus membuat catatan tentang kronologi peristiwa dan menjelaskan alasan masing-masing tindakannya, dan menandatanganinya (semacam pernyataan affidavit). Hal ini bisa dicapai apabila ia memiliki dokumen (rekam medis) yang cukup lengkap, termasuk informed consent dan catatan yang terkait. Apabila lebih dari satu orang yang terlibat dalam kasus tersebut, maka mereka harus membahasnya bersama untuk dapat saling melengkapi "jalannya ceritera" - tanpa melakukan manipulasi fakta.

Apabila tingkat potensial menjadi kasus medikolegalnya cukup tinggi, maka kasus tersebut dilaporkan ke atasan (ketua KSMF atau Komite Medik) untuk dibahas bersama. Institusi kesehatan yang relatif kecil dan memiliki staf medis yang terbatas mungkin sukar membahas kasus yang "spesialistik" dengan baik, maka harus berupaya untuk mengundang pakar dari organisasi profesi atau perhimpunan spesialis terkait. Dalam audit klinis tersebut dilakukan pembahasan tentang keadaan pasien, situasi-kondisi yang merupakan "tekanan", diagnosis kerja dan diagnosis banding, indikasi medis dan kontra-indikasi, alternatif tindakan, informed consent, komunikasi, prosedur tindakan dibandingkan dengan standar, penyebab peristiwa yang menuju ke peristiwa medikolegal, penanganan peristiwa tersebut saat itu, diagnosis akhir, dan kesimpulan apakah prosedur medis dan alasannya telah dilakukan sesuai dengan standar profesi atau SOP yang cocok dengan situasi-kondisi kasus.

Keseluruhan yang dilakukan di atas adalah juga merupakan langkah-langkah persiapan menghadapi komplain pasien, atau bahkan menghadapi somasi dan gugatan di kemudian hari. Di samping itu profesional terkait kasus tersebut harus melihat kembali dokumen kompetensi (keahlian) dan kewenangan medis (perijinan), serta kompetensi / kewenangan medis khusus (dokumen pelatihan/workshop, pengakuan kompetensi, pengalaman, dll) yang berkaitan dengan kasus.

Pertimbangan apakah kasus akan diselesaikan di pengadilan ataukah dengan cara perdamaian perlu dibahas pada waktu tersebut. Kasus yang secara nyata merupakan kesalahan pihak medis dan dinilai "undefensable" sebaiknya diselesaikan dengan cara non litigasi. Sebaliknya, kasus yang secara nyata tidak memiliki titik lemah di pihak medis dapat dipertimbangkan untuk diselesaikan melalui sidang pengadilan. Kadang-kadang terdapat kasus "abu-abu" atau "kasus ringan" yang penyelesaian cara non litigasi mungkin akan lebih "menguntungkan" dari segi finansial daripada memilih cara penyelesaian litigasi.

Kepada pasien dan/atau keluarganya harus diberikan penjelasan yang memuaskan tentang terjadinya peristiwa tersebut, penyebabnya atau kemungkinan penyebabnya, tindakan yang telah dilakukan untuk mencegah atau mengatasinya, tindakan yang masih diperlukan, dan peluang kesembuhannya di masa mendatang. Apabila pasien meninggal dunia, maka penjelasan tentang sebab kematian yang cukup rinci diperlukan. Keberhasilan penjelasan ini sangat bergantung kepada kualitas penjelasan yang telah diberikan sewaktu memperoleh informed consent. Keluhan atau komplain pasien dan/atau keluarganya harus direspons dengan segera dan adekuat. Alangkah lebih baik apabila penjelasan dilakukan oleh tim dokter terkait didampingi oleh salah seorang direktur dan wakil dari Komite Medis.

Apabila di kemudian hari datang somasi, maka tim dokter segera berkonsultasi dengan atasan dan penasehat hukum terkait. Tenaga medis dan staf lain yang terlibat pada kasus tersebut haruslah berada dalam satu pihak yang solid dengan rumah sakit agar tidak mudah digoyang oleh pihak penuntut. Suatu pertemuan dan penjelasan yang adekuat seringkali dapat meredakan permasalahan. Tidak sedikit yang berlanjut ke pembicaraan tentang "kompensasi" finansial di luar pengadilan. Cara tersebut dirasakan cukup efektif untuk mencegah kasus ke pengadilan yang membawa berbagai dampak. Proses di pengadilan dianggap dapat merusak citra pofesional, mengganggu bisnis, berbiaya tinggi dan makan waktu lama. Namun, sebagian kecil kasus mungkin masih akan maju ke pengadilan.

Tidak jarang, sebagaimana akhir-akhir ini sering terjadi, pasien dan kuasanya mengungkapkan kasusnya kepada publik melalui media massa - dilihat dari sisi mereka dengan persepsi mereka sendiri. Tulisan, tayangan atau pernyataan yang sangat menyudutkan rumah sakit atau menyesatkan persepsi masyarakat sebaiknya segera direspons oleh rumah sakit dengan memberikan informasi yang adekuat tanpa harus membuka rahasia kedokteran.

Dalam kasus pidana dugaan kelalaian yang mengakibatkan cedera atau kematian, penanganan awalnya boleh dianggap sama dengan di atas. Selanjutnya proses pemeriksaan oleh penyidik diikuti dengan patuh, dengan memberikan pembelajaran kepada penyidik di bidang medis dan medikolegal. Di wilayah hukum Polda Metro Jaya disepakati untuk mengajukan satu atau dua orang saksi ahli di bidang yang dibutuhkan, satu berasal dari organisasi profesi (MKEK) dan satu dari kalangan akademisi (dosen Fakultas Kedokteran).

Guna menghadapi hal itu, organisasi profesi (PDSp) membentuk semacam "dewan pakar" atau "dewan kehormatan pembina", yang akan menilai kasus dari sisi profesi dan kemudian akan menjadi saksi ahli - menyampaikan hasil pembahasan peer-group tersebut kepada penyidik.

ALUR HUKUM

A. MKEK :

Dalam hal seorang dokter diduga melakukan pelanggaran etika kedokteran (tanpa melanggar norma hukum), maka ia akan dipanggil dan disidang oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) IDI untuk dimintai pertanggung-jawaban (etik dan disiplin profesi)nya. Persidangan MKEK bertujuan untuk mempertahankan akuntabilitas, profesionalisme dan keluhuran profesi. Saat ini MKEK menjadi satu-satunya majelis profesi yang menyidangkan kasus dugaan pelanggaran etik dan/atau disiplin profesi di kalangan kedokteran. Di kemudian hari Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI), lembaga yang dimandatkan untuk didirikan oleh UU No 29 / 2004, akan menjadi majelis yang menyidangkan dugaan pelanggaran disiplin profesi kedokteran.

Proses persidangan etik dan disiplin profesi dilakukan terpisah dari proses persidangan gugatan perdata atau tuntutan pidana oleh karena domain dan jurisdiksinya berbeda. Persidangan etik dan disiplin profesi dilakukan oleh MKEK IDI, sedangkan gugatan perdata dan tuntutan pidana dilaksanakan di lembaga pengadilan di lingkungan peradilan umum. Dokter tersangka pelaku pelanggaran standar profesi (kasus kelalaian medik) dapat diperiksa oleh MKEK, dapat pula diperiksa di pengadilan tanpa adanya keharusan saling berhubungan di antara keduanya. Seseorang yang telah diputus melanggar etik oleh MKEK belum tentu dinyatakan bersalah oleh pengadilan, demikian pula sebaliknya.

Persidangan MKEK bersifat inkuisitorial khas profesi, yaitu Majelis (ketua dan anggota) bersikap aktif melakukan pemeriksaan, tanpa adanya badan atau perorangan sebagai penuntut. Persidangan MKEK secara formiel tidak menggunakan sistem pembuktian sebagaimana lazimnya di dalam hukum acara pidana ataupun perdata, namun demikian tetap berupaya melakukan pembuktian mendekati ketentuan-ketentuan pembuktian yang lazim.

Dalam melakukan pemeriksaannya, Majelis berwenang memperoleh :

1. Keterangan, baik lisan maupun tertulis (affidavit), langsung dari pihak-pihak terkait (pengadu, teradu, pihak lain yang terkait) dan peer-group / para ahli di bidangnya yang dibutuhkan

2. Dokumen yang terkait, seperti bukti kompetensi dalam bentuk berbagai ijasah/ brevet dan pengalaman, bukti keanggotaan profesi, bukti kewenangan berupa Surat Ijin Praktek Tenaga Medis, Perijinan rumah sakit tempat kejadian, bukti hubungan dokter dengan rumah sakit, hospital bylaws, SOP dan SPM setempat, rekam medis, dan surat-surat lain yang berkaitan dengan kasusnya.

Majelis etik ataupun disiplin umumnya tidak memiliki syarat-syarat bukti seketat pada hukum pidana ataupun perdata. Bars Disciplinary Tribunal Regulation, misalnya, membolehkan adanya bukti yang bersifat hearsay dan bukti tentang perilaku teradu di masa lampau. Cara pemberian keterangan juga ada yang mengharuskan didahului dengan pengangkatan sumpah, tetapi ada pula yang tidak mengharuskannya. Di Australia, saksi tidak perlu disumpah pada informal hearing, tetapi harus disumpah pada formal hearing (jenis persidangan yang lebih tinggi daripada yang informal). Sedangkan bukti berupa dokumen umumnya disahkan dengan tandatangan dan/atau stempel institusi terkait, dan pada bukti keterangan diakhiri dengan pernyataan kebenaran keterangan dan tandatangan (affidavit).

Dalam persidangan majelis etik dan disiplin, putusan diambil berdasarkan bukti-bukti yang dianggap cukup kuat. Memang bukti-bukti tersebut tidak harus memiliki standard of proof seperti pada hukum acara pidana, yaitu setinggi beyond reasonable doubt, namun juga tidak serendah pada hukum acara perdata, yaitu preponderance of evidence. Pada beyond reasonable doubt tingkat kepastiannya dianggap melebihi 90%, sedangkan pada preponderance of evidence dianggap cukup bila telah 51% ke atas. Banyak ahli menyatakan bahwa tingkat kepastian pada perkara etik dan disiplin bergantung kepada sifat masalah yang diajukan. Semakin serius dugaan pelanggaran yang dilakukan semakin tinggi tingkat kepastian yang dibutuhkan.

Perkara yang dapat diputuskan di majelis ini sangat bervariasi jenisnya. Di MKEK IDI Wilayah DKI Jakarta diputus perkara-perkara pelanggaran etik dan pelanggaran disiplin profesi, yang disusun dalam beberapa tingkat berdasarkan derajat pelanggarannya. Di Australia digunakan berbagai istilah seperti unacceptable conduct, unsatisfactory professional conduct, unprofessional conduct, professional misconduct dan infamous conduct in professional respect. Namun demikian tidak ada penjelasan yang mantap tentang istilah-istilah tersebut, meskipun umumnya memasukkan dua istilah terakhir sebagai pelanggaran yang serius hingga dapat dikenai sanksi skorsing ataupun pencabutan ijin praktik.

Putusan MKEK tidak ditujukan untuk kepentingan peradilan, oleh karenanya tidak dapat dipergunakan sebagai bukti di pengadilan, kecuali atas perintah pengadilan dalam bentuk permintaan keterangan ahli. Salah seorang anggota MKEK dapat memberikan kesaksian ahli di pemeriksaan penyidik, kejaksaan ataupun di persidangan, menjelaskan tentang jalannya persidangan dan putusan MKEK. Sekali lagi, hakim pengadilan tidak terikat untuk sepaham dengan putusan MKEK.

Eksekusi Putusan MKEK Wilayah dilaksanakan oleh Pengurus IDI Wilayah dan/atau Pengurus Cabang Perhimpunan Profesi yang bersangkutan. Khusus untuk SIP, eksekusinya diserahkan kepada Dinas Kesehatan setempat. Apabila eksekusi telah dijalankan maka dokter teradu menerima keterangan telah menjalankan putusan.(http://korandemokrasiindonesia.wordpress.com/2009/12/11/etika-kedokteran-indonesia-dan-penanganan-pelanggaran-etika-di-indonesia/)

B. MDKI :

Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia merupakan lembaga otonom dari Konsil Kedokteran Indonesia, dan dalam menjalankan tugasnya bersifat independen, serta bertanggung jawab kepada Konsil Kedokteran Indonesia. Berkedudukan di ibu kota negara Republik Indonesia.

Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran di tingkat provinsi dapat dibentuk oleh Konsil Kedokteran Indonesia atas usul Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia.Pimpinan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia terdiri atas seorang ketua, seorang wakil ketua, dan seorang sekretaris. Keanggotaan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia terdiri atas 3 (tiga) orang dokter gigi dan organisasi profesi masing-masing, seorang dokter dan seorang dokter gigi mewakili asosiasi rumah sakit, dan 3 (tiga) orang sarjana hukum.

Anggota Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia ditetapkan oleh Menteri atas usul organisasi profesi. Masa bakti keanggotaan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 adalah 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan. Pimpinan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia dipilih dan ditetapkan oleh rapat pleno anggota. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan pimpinan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia diatur dengan Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia.

Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia bertugas:

1. Menerima pengaduan, memeriksa, dan memutuskan kasus pelanggaran disiplin dokter dan dokter gigi yang diajukan

2. Menyusun pedoman dan tata cara penanganan kasus pelanggaran disiplin dokter atau dokter gigi.

Pelanggaran disiplin adalah pelanggaran terhadap aturan aturan dan/atau ketentuan penerapan keilmuan dalam pelaksanaan pelayanan yang seharusnya diikuti oleh dokter dan dokter gigi. Sebagian dari aturan dan ketentuan tersebut terdapat dalam UU Praktik Kedokteran, dan sebagian lagi tersebar didalam Peraturan Pemerintah, Permenkes, Peraturan KKI, Pedoman Organisasi Profesi, KODEKI, Pedoman atau ketentuan lain. Pelanggaran disiplin pada hakikatnya dibagi menjadi:

1. Melaksanakan praktik kedokteran dengan tidak kompeten.

2. Tugas dan tanggung jawab profesional pada pasien tidak dilaksanakan dengan baik.

3. Berperilaku tercela yang merusak martabat dan kehormatan profesi kedokteran.

Setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau gigi dalam menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia. Pengaduan sekurang-kurangnya harus memuat:

1. identitas pengadu;

2. nama dan alamat tempat praktik dokter atau dokter gigi dan waktu tindakan dilakukan dan

3. alasan pengaduan. Pengaduan sebagaimana dimaksud diatas, tidak menghilangkan hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang berwenang dan/atau menggugat kerugian perdata ke pengadilan.

Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia memeriksa dan memberikan keputusan terhadap pengaduan yang berkaitan dengan disiplin dokter dan dokter gigi. Apabila dalam pemeriksaan ditemukan pelanggaran etika, Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia meneruskan pengaduan pada organisasi profesi. Keputusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia mengikat dokter, dokter gigi, dan Konsil Kedokteran Indonesia. Keputusan dapat berupa dinyatakan tidak bersalah atau pemberian sanksi disiplin. Sanksi disiplin dapat berupa:

1. pemberian peringatan tertulis;

2. rekomendasi pencabutan surat tanda registrasi atau surat izin praktik; dan/atau

3. kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi.

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan fungsi dan tugas Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia, tata cara penanganan kasus, tata cara pengaduan, dan tata cara pemeriksaan serta pemberian keputusan diatur dengan Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia.

(http://www.ilunifk83.com/peraturan-dan-perijinan-f16/konsil-kedokteran-indonesia-t252.htm)

Dalam hal tenaga kesehatan didakwa telah melakukanciminal malpractice,harus dibuktikan apakah perbuatan tenaga kesehatan tersebut telah memenuhi unsur tidak pidanya yakni :

a. Apakah perbuatan(positif actataunegatif act)merupakan perbuatan yang tercelab. Apakah perbuatan tersebut dilakukan dengan sikap batin(mens rea)yang salah (sengaja, ceroboh atau adanya kealpaan). Selanjutnya apabila tenaga perawatan dituduh telah melakukan kealpaan sehingga mengakibatkan pasien meninggal dunia, menderita luka, maka yang harus dibuktikan adalah adanya unsur perbuatan tercela (salah) yang dilakukan dengan sikap batin berupa alpa atau kurang hati-hati ataupun kurang praduga.

Dalam kasus atau gugatan adanyacivil malpracticepembuktianya dapat dilakukan dengan dua cara yakni :

1. Cara langsung

Oleh Taylor membuktikan adanya kelalaian memakai tolok ukur adanya 4 D yakni :

1. Duty(kewajiban)

Dalam hubungan perjanjian tenaga perawatan dengan pasien, tenaga perawatan haruslah bertindak berdasarkan

(1) Adanya indikasi medis(2) Bertindak secara hati-hati dan teliti(3) Bekerja sesuai standar profesi(4) Sudah ada informed consent.

1. Dereliction of Duty (penyimpangan dari kewajiban)Jika seorang tenaga perawatan melakukan asuhan keperawatan menyimpang dari apa yang seharusnya atau tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut standard profesinya, maka tenaga perawatan tersebut dapat dipersalahkan.

1. Direct Causation (penyebab langsung)2. Damage (kerugian)Tenaga perawatan untuk dapat dipersalahkan haruslah ada hubungan kausal (langsung) antara penyebab(causal)dan kerugian(damage)yang diderita oleh karenanya dan tidak ada peristiwa atau tindakan sela diantaranya., dan hal ini haruslah dibuktikan dengan jelas. Hasil(outcome)negatif tidak dapat sebagai dasar menyalahkan tenaga perawatan.

Sebagai adagium dalam ilmu pengetahuan hukum, maka pembuktiannya adanya kesalahan dibebankan/harus diberikan oleh si penggugat (pasien).

2. Cara tidak langsung

Cara tidak langsung merupakan cara pembuktian yang mudah bagipasien, yakni dengan mengajukan fakta-fakta yang diderita olehnyasebagai hasil layanan perawatan (doktrin res ipsa loquitur).Doktrinres ipsa loquiturdapat diterapkan apabila fakta-fakta yang ada memenuhi kriteria:

a. Fakta tidak mungkin ada/terjadi apabila tenaga perawatan tidak lalaib. Fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung jawab tenaga perawatanc. Fakta itu terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien dengan perkataan lain tidak adacontributory negligence.gugatan pasien .

Tuduhan akan adanya Malapraktik sebenarnya bukan hanya ditujukan pada mereka yang berprofesi sebagai Tenaga Kesehatan yang salah satunya adalah Dokter, akan tetapi tuduhan Malapraktik dapat dituduhkan kepada semua kelompok Profesionalis, yaitu apakah mereka itu kelompok Wartawan, Advokat, Paranormal dan kelompok lainnya. Pengertian Malapraktik selama ini banyak diambil dari kalangan mereka yang berprofesi sebagai tenaga kesehatan, terutama Dokter.

Sedang batasan pengertian umum tentang Malpraktik di kalangan tenaga kesehatan adalah ; Seseorang tenaga kesehatan dalam memberikan tanggungjawab profesinya kepada pasien dilakukan di luar prosedure dan stardard profesi pada umumnya yang berakibat cacat dan matinya sang pasien. Namun rumusan akan standard profesi yang bersifat baku, khususnya bagi tenaga kesehatan (Dokter) secara tegas belum ada dirumuskan di dalam undang-undang.

Pembelaan Dapat Dilakukan Seorang Dokter Jika Diisukan Melakukan Penelantaran. Meskipun seorang pasien mengajukan kasus prima facie bahwa dokter telah melakukan penelantaran, bahkan mengajukan bukti bahwa dokter tersebut tidak memberikan kenyamanan pelayanan kesehatan sesuai standar media yang diharapkan oleh pasien pada waktu tertentu atau berdasarkan kepercayaan pada doktrin res ipsa loquitur (Bukti bukti berbicara untuk dirinya sendiri), hukum membolehkan seorang dokter untuk membela dirinya, selain penyangkalan tindakan penelantaran. Pembelaan yang dapat dilakukan, antara lain :1. Perkiraan resiko tindakan pada pasien2. Keikutsertaan terjadinya penelantaran oleh pasien sendiri3. Bahwa penelantaran tersebut bukan untuk melindungi dokter tersebut melainkan orang lain, misal perawat.

Tenaga kesehatan dapat digugat berdasarkan pasal 1365 KUH Perdata Jo. pasal 55 UU No.23 tahun 1992 dan dapat dituntut pidana berdasarkan pasal 359, 360 dan 361 KUHP, pasal 80, 81, 82 dari UU No.23 tahun 1992 dan ketentuan pidana lainnya. Di samping hak-hak pasien, disini perlu juga kita kemukakan sedikit tentang hak-hak tenaga kesehatan khususnya para dokter. Adapun mengenai hak-hak dokter dapat dikemukakan sbb : Hak untuk berkerja menurut standard profesi medis, hak menolak untuk melaksanakan tindakan medis yang tidak dapat ia pertanggungjawabkan secara profesional, hak untuk menolak yang menurut suara hatinya tidak baik, hak mengakhiri hubungan dengan pasien jika ia menilai kerjasamanya dengan pasien tidak ada gunanya lagi, hak atas privacy dokter, hak atas ikhtikat baik dari pasien dalam pelaksanaan kontrak terapeutik (penyembuhan), hak atas balas jasa, hak untuk membela diri dan hak memilih pasien namun hak ini tidak mutlak sifatnya. Jadi disini dapat ditarik kesimpulan bahwa Malapraktik erat hubungannya dengan pelanggaran terhadap standard profesi medik, pelanggaran prosedure tindakan medik, dan bagi pelanggarnya tentu dapat digugat, dituntut pidana dan diberi sanksi administratif berupa pencabutan ijin praktik. Dokter dikatakan melakukan malpraktek jika:

- Dokter kurang menguasai iptek kedokteran yang sudah berlaku umum dikalangan profesi kedokteran

- Memberikan pelayanan kedokteran dibawah standar profesi (tidak lege artis)

- Melakukan kelalaian yang berat atau memberikan pelayanan dengan tidak hati-hati

- Melakukan tindakan medik yang bertentangan dengan hukum

Jika dokter hanya melakukan tindakan yang bertentangan dengan etik kedokteran, maka ia hanya telah melakukan malpraktek etik. Untuk dapat menuntut penggantian kerugian kerena kelalaian, maka penggugatan harus dapat membuktikan adanya 4 unsur berikut:

- Adanya suatu kewajiban bagi dokter terhadap pasien

- Dokter telah melanggar standar pelayanan medik yang lazim dipergunakan

- Penggugat telah menderita kerugian yang dapat dimintakan ganti ruginya

- Secara faktual kerugian itu disebabkan oleh tindakan dibawah standar

Ungkapan malpraktik medis secara langsung pada kasus klinis dengan outcome yang tidak diinginkan adalah tidak tepat atau tidak adil (tidak fair). Istilah yang sebenarnya netral sebelum ada pembuktian adalah adverse clinical incident, adverse event, atau medical accident, yang umumnya digunakan dalam perpustakaan Inggris (dalam kepustakaan Amerika lebih sering digunakan kata-kata medical error sejak dini, yang juga tidak netral). Adverse clinical incident atau medical accident menggambarkan peristiwa atau kejadian klinis yang cocok atau yang berlawanan dengan harapan, tanpa menetapkan dulu apa penyebab kejadian yang tidak diinginkan itu dan siapa yang bersalah. Ini sesuai dengan asas hukum praduga tak bersalah, sampai kesalahan benar-benar terbukti.

Menurut Guwandi malpraktik adalah (Guwandi, J. 1994, 18):a. Melakukan suatu hal yang seharusnya tidak boleh dilakukan oleh dokter atau dokter gigi;b. Tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan atau melalaikan kewajiban (negligence).c. Melanggar suatu ketentuan menurut atau berdasarkan peraturan perundang-undangan.Seorang dokter atau dokter gigi yang menyimpang dari standar profesi dan melakukan kesalahan profesi belum tentu melakukan malpraktik medis yang dapat dipidana, malpraktik medis yang dipidana membutuhkan pembuktian adanya unsur culpa lata atau kalalaian berat dan pula berakibat fatal atau serius (Ameln, Fred, 1991). Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 359 KUHP, pasal 360, pasal 361 KUHP yang dibutuhkan pembuktian culpa lata dari dokter atau dokter gigi. Dengan demikian untuk pembuktian malpraktik secara hukum pidana meliputi unsur :1) Telah menyimpang dari standar profesi kedokteran;2) Memenuhi unsur culpa lata atau kelalaian berat; dan3) Tindakan menimbulkan akibat serius, fatal dan melanggar pasal 359, pasal 360, KUHP.

Adapun unsur-unsur dari pasal 359 dan pasal 360 sebagai berikut :1) Adanya unsur kelalaian (culpa).2) Adanya wujud perbuatan tertentu .3) Adanya akibat luka berat atau matinya orang lain.4) Adanya hubungan kausal antara wujud perbuatan dengan akibat kematian orang lain itu.UPAYA PENCEGAHANDengan adanya kecenderungan masyarakat untuk menggugat tenaga medis karena adanya malpraktek diharapkan tenaga dalam menjalankan tugasnya selalu bertindak hati-hati, yakni:a. Tidak menjanjikan atau memberi garansi akan keberhasilan upayanya, karena perjanjian berbentuk daya upaya (inspaning verbintenis) bukan perjanjian akan berhasil (resultaat verbintenis).b. Sebelum melakukan intervensi agar selalu dilakukan informed consent.c.Mencatat semua tindakan yang dilakukan dalam rekam medis.d.Apabila terjadi keragu-raguan, konsultasikan kepada senior atau dokter.e.Memperlakukan pasien secara manusiawi dengan memperhatikan segala kebutuhannya.f.Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan masyarakat sekitarnya.(http://excellent-lawyer.blogspot.com/2010/04/malpraktek-vs-uu-kesehatan.html)

(http://cetrione.blogspot.com/2008/12/malpraktek-definisi-malpraktek-adalah.html)

DASAR HUKUM

Dari segi hukum kelalaian atau kesalahan akan terkait dengan sifat perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab. Seseorang dikatakan mampu bertanggung jawab apabila dapat menyadari makna yang sebenarnya dari perbuatannya. Dan suatu perbuatan dikategorikan sebagai criminal malpractice apabila memenuhi rumusan delik pidana yaitu perbuatan tersebut harus merupakan perbuatan tercela dan dilakukan sikap batin yang salah berupa kesengajaan, kecerobohan atau kealpaan (Safitri Hariyani. 2005).Criminal malpractice yang berupa kesengajaan seperti melakukan aborsi tanpa adanya indikasi medik, tidak melakukan pertolongan terhadap seseorang yang dalam keadaan emergency, membuat visum et repertum yang tidak benar serta memberikan keterangan yang tidak benar pada sidang pengadilan dalam kapasitas sebagai ahli. Perihal malpraktek dalam hukum pidana ada beberapa pasal yang mengaturnya antara lain :

a. Pasal 359 KUHP yaitu karena kesalahannya menyebabkan orang mati.

b. Pasal 360 KUHP yaitu karena kesalahannya menyebabkan orang lain luka berat.

c. Pasal 361 KUHP yaitu karena kesalahannya melakukan suatu jabatan atau pekerjaannya hingga menyebabkan mati atau luka berat maka akan dihukum berat.

d. Pasal 299, 348, 349, 350 KUHP mengenai pengguguran kandungan tanpa indikasi medik.

Dalam ilmu hukum pidana, suatu perbuatan dikatakan sebagai perbuatan pidana apabila memenuhi semua unsur yang telah ditentukan dalam suatu aturan perundang-undangan pidana. Pasal 1 KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) menyatakan tiada suatu perbuatan yang dapat dipidana, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan itu terjadi. Perbuatan pidana dapat bersifat kesengajaan maupun kealpaan, karena itu berdasarkan ilmu hukum pidana criminal malpractice apakah masuk delik kesengajaan atau kealpaan? Criminal malpractice bersifat delik kesengajaan apabila ada unsur dengan sengaja yaitu perbuatan pidana yang didasarkan pada sengaja untuk melakukan perbuatan pidana tersebut. Jadi perbuatan itu didasari sepenuhnya oleh pelaku perbuatan pidana (Kompas, 22 Oktober 2004).Pada Criminal Malpractice, pembuktiannya didasarkan pada terpenuhinya semua unsur pidana. Pembuktianpun tunduk pada hukum acara pidana yang berlaku yaitu KUHAP. Dalam pasal 184 KUHAP disebutkan tentang alat-alat bukti yang dapat digunakan untuk membuktikan perbuatan pidana yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Perbuatan dikatakan terbukti sebagai perbuatan pidana apabila berdasarkan minimal dua alat bukti tersebut penyidik memperoleh keyakinan bahwa perbuatan tersebut merupakan perbuatan pidana.

Kealpaan atau kelalaian merupakan salah satu unsur dari Pasal 359 KUHP yang terdiri dari unsur kelalaian, wujud perbuatan tertentu, akibat kematian orang lain serta hubungan kausal antara wujud perbuatan dengan akibat kematian orang lain tersebut. Berdasarkan pengertian malpraktek, maka dapat dikatakan bahwa malpraktek terdiri dari unsur-unsur adanya unsur kesalahan / kelalaian dokter dalam menjalankan profesinya, adanya wujud perbuatan tertentu (mengobati / merawat pasien), adanya akibat luka berat atau matinya orang lain (pasien), adanya hubungan kausal bahwa luka berat atau kematian tersebut merupakan akibat dari perbuatan dokter yang mengobati pasien dengan tidak sesuai standar pelayanan medis.

Unsur-unsur tersebut memenuhi rumusan pasal 359 KUHP, bila pasien dan atau penyidik dapat membuktikan adanya keempat unsur tersebut maka pasal 359 KUHP dapat diterapkan kepada dokter yang melakukan malpraktek. Namun untuk menentukan suatu kelalaian yang dilakukan oleh seorang dokter bukanlah hal yang mudah karena banyak faktor yang mempengaruhi dan menjadi latar belakang terjadinya kasus tersebut.INFORMED CONCENT

DEFINISIMenurut PerMenKes no 290/MenKes/Per/III/2008 dan UU no 29 th 2004 Pasal 45 serta Manual Persetujuan Tindakan Kedokteran KKI tahun 2008. maka Informed Consent adalah persetujuan tindakan kedokteran yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekatnya setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut. Menurut Lampiran SKB IDI No. 319/P/BA./88 dan Permenkes no 585/Men.Kes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medis Pasal 4 ayat 2 menyebutkan dalam memberikan informasi kepada pasien / keluarganya, kehadiran seorang perawat / paramedik lainnya sebagai saksi adalah penting.

KLASIFIKASI

Secara umum bentuk persetujuan yang diberikan pengguna jasa tindakan medis (pasien) kepada pihak pelaksana jasa tindakan medis (dokter) untuk melakukan tindakan medis dapat dibedakan menjadi tiga bentuk, yaitu :

Persetujuan Tertulis, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang mengandung resiko besar, sebagaimana ditegaskan dalam PerMenKes No. 585/Men.Kes/Per/IX/1989 Pasal 3 ayat (1) dan SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 butir 3, yaitu intinya setiap tindakan medis yang mengandung resiko cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan tertulis, setelah sebelumnya pihak pasien memperoleh informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medis serta resiko yang berkaitan dengannya (telah terjadi informed consent)

Persetujuan Lisan, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang bersifat non-invasif dan tidak mengandung resiko tinggi, yang diberikan oleh pihak pasien

Persetujuan dengan isyarat, dilakukan pasien melalui isyarat, misalnya pasien yang akan disuntik atau diperiksa tekanan darahnya, langsung menyodorkan lengannya sebagai tanda menyetujui tindakan yang akan dilakukan terhadap dirinya.

DASAR HUKUMA. UU No. 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit :Dasar hukumnya: Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 , Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 34 ayat (3)

Dalam pasal 28H ayat (1) UUD 1945 disebutkan bahwa setiap orang berhak memperoleh pelayanan kesehatan, sedangkan pada pasal 34 ayat (3) dinyatakan Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.

Kewajiban Rumah Sakit :

Kewajiban RS melindungi dan memberikan bantuan hukum bagi semua petugas RS dalam melaksanakan tugas;

Daam kaitan dan tanggung jawab secara Perdata terhadap semua kegiatan yang dilakukan oleh tenaga kesehatannya sesuai dengan bunyi pasal 1367 ayat (3) KUH Perdata. (baca selengkapnya di UU No.44 Tahun 2009)

Upaya pencegahan malpraktik dari rumah sakit :

RS hanya mempekerjakan tenaga kesehatan yang kompeten, dan ada program pelatihan dan pengembangan yang berkelanjutan

RS menyediakan regulasi (norma), standar-standar, prosedur, dan criteria (patokan/parameter), dan dijalankan secara konsisten

RS menyediakan organisasi yang menunjang kerja bermutu misalnya dengan mengajukan system akreditasi dan atau ISO

Mengalihkan resiko profesi kepada pihak Asuransi

Menyikapi secara bijak sejak dini apabial ditemukan potensi tuntutanSistem perlindungan jika terjadi perkara :

RS harus memiliki sistim untuk melakukan koordinasi, konsolidasi, untuk menganalisis kasus, menemukan kesalahan bial ada, menentukan posisi hukumnya, dan menetukan langkah-langkah mengatasinya

RS memiliki organisasi yang mamapu memebrikan advokasi/pendampingan, dari sisi hukum maupun sisi teknis dan administrative

(http://www.konsultanrumahsakit.com/home/index.php?page=detail&cat=2&id=177)

B. UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan :Terdiri dari 5 dasar pertimbangan perlunya dibentuk undang-undang kesehatan yaitu pertama; kesehatan adalah hak asasi dan salah satu unsur kesejahteraan, kedua; prinsip kegiatan kesehatan yang nondiskriminatif, partisipatif dan berkelanjutan. Ketiga; kesehatan adalah investasi. Keempat; pembangunan kesehatan adalah tanggung jawab pemerintah dan masyarakat, dan yang Kelima adalah bahwa undang-undang kesehatan no 23 tahun 1992 sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan, tuntutan dan kebutuhan hukum dalam masyarakat.

Penjelasannya dari Undang-undang ini adalah Mewujudkan derajat kesehatan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan keadaan kesehatan yang lebih baik dari sebelumnya. Derajat kesehatan yang setinggi-tingginya mungkin dapat dicapai pada suatu saat sesuai dengan kondisi dan situasi serta kemampuan yang nyata dari setiap orang atau masyarakat. Upaya kesehatan harus selalu diusahakan peningkatannya secara terus menerus agar masyarakat yang sehat sebagai investasi dalam pembangunan dapat hidup produktif secara sosial dan konomis. Terdapat 205 pasal dalam undang-undang tersebut.Tindakan medis yang dilakukan tanpa izin pasien, dapat digolongkan sebagai tindakan melakukan penganiayaan berdasarkan KUHP Pasal 351 ( trespass, battery, bodily assault ). Menurut Pasal 5 Permenkes No 290 / Menkes / PER / III / 2008, persetujuan tindakan kedokteran dapat dibatalkan atau ditarik kembali oleh yang memberi persetujuan, sebelum dimulainya tindakan ( Ayat 1 ). Pembatalan persetujuan tindakan kedokteran harus dilakukan secara tertulis oleh yang memberi persetujuan ( Ayat 2 ).

(http://www.ilunifk83.com/peraturan-dan-perijinan-f16/informed-consent-t143.htm)(http://arali2008.wordpress.com/2010/01/19/membaca-undang-undang-republik-indonesia-nomor-36-tahun-2009-tentang-kesehatan/)

Aspek Hukum Perdata, suatu tindakan medis yang dilakukan oleh pelaksana jasa tindakan medis (dokter) tanpa adanya persetujuan dari pihak pengguna jasa tindakan medis (pasien), sedangkan pasien dalam keadaan sadar penuh dan mampu memberikan persetujuan, maka dokter sebagai pelaksana tindakan medis dapat dipersalahkan dan digugat telah melakukan suatu perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer). Hal ini karena pasien mempunyai hak atas tubuhnya, sehingga dokter dan harus menghormatinya;Aspek Hukum Pidana, informed consent mutlak harus dipenuhi dengan adanya pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penganiayaan. Suatu tindakan invasive (misalnya pembedahan, tindakan radiology invasive) yang dilakukan pelaksana jasa tindakan medis tanpa adanya izin dari pihak pasien, maka pelaksana jasa tindakan medis dapat dituntut telah melakukan tindak pidana penganiayaan yaitu telah melakukan pelanggaran terhadap Pasal 351 KUHP.TUJUAN Memberikan perlindungan kepada pasien terhadap tindakan dokter yang sebenarnya tidak diperlukan dan secara medik tidak ada dasar pembenarannya yang dilakukan tanpa sepengetahuan pasiennya

Memberi perlindungan hukum kepada dokter terhadap suatu kegagalan dan bersifat negatif, karena prosedur medik modern bukan tanpa resiko, dan pada setiap tindakan medik ada melekat suatu resiko ( Permenkes No. 290/Menkes/Per/III/2008 Pasal 3 )

Perlunya dimintakan informed consent dari pasien karena informed consent mempunyai beberapa fungsi sebagai berikut :1. Penghormatan terhadap harkat dan martabat pasien selaku manusia2. promosi terhadap hak untuk menentukan nasibnya sendiri3. untuk mendorong dokter melakukan kehati-hatian dalam mengobati pasien4. menghindari penipuan dan misleading oleh dokter5. mendorong diambil keputusan yang lebih rasional6. mendorong keterlibatan publik dalam masalah kedokteran dan kesehatan7. sebagai suatu proses edukasi masyarakat dalam bidang kedokteran dan kesehatan.

Pada prinsipnya informed consent deberikan di setiap pengobatan oleh dokter. Akan tetapi, urgensi dari penerapan prinsip informed consent sangat terasa dalam kasus-kasus sebagai berikut :1. dalam kasus-kasus yang menyangkut dengan pembedahan/operasi2. dalam kasus-kasus yang menyangkut dengan pengobatan yang memakai teknologi baru yang sepenuhnya belum dpahami efek sampingnya.3. dalam kasus-kasus yang memakai terapi atau obat yang kemungkinan banyak efek samping, seperti terapi dengan sinar laser, dll.4. dalam kasus-kasus penolakan pengobatan oleh klien5. dalam kasus-kasus di mana di samping mengobati, dokter juga melakukan riset dan eksperimen dengan berobjekan pasien.KETENTUAN

Persetujuan yang ditanda tangani oleh pasien atau keluarga terdekatnya tersebut, tidak membebaskan dokter dari tuntutan jika dokter melakukan kelalaian.Tindakan medis yang dilakukan tanpa persetujuan pasien atau keluarga terdekatnya, dapat digolongkan sebagai tindakan melakukan penganiayaan berdasarkan KUHP Pasal 351.

Informasi/keterangan yang wajib diberikan sebelum suatu tindakan kedokteran dilaksanakan adalah:

1. Diagnosa yang telah ditegakkan.2. Sifat dan luasnya tindakan yang akan dilakukan.

3. Manfaat dan urgensinya dilakukan tindakan tersebut.

4. Resiko resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi daripada tindakan kedokteran tersebut.

5. Konsekwensinya bila tidak dilakukan tindakan tersebut dan adakah alternatif cara pengobatan yang lain.

6. Kadangkala biaya yang menyangkut tindakan kedokteran tersebut.

Resiko resiko yang harus diinformasikan kepada pasien yang dimintakan persetujuan tindakan kedokteran :

a. Resiko yang melekat pada tindakan kedokteran tersebut.

b. Resiko yang tidak bisa diperkirakan sebelumnya.

Dalam hal terdapat indikasi kemungkinan perluasan tindakan kedokteran, dokter yang akan melakukan tindakan juga harus memberikan penjelasan ( Pasal 11 Ayat 1 Permenkes No 290 / Menkes / PER / III / 2008 ). Penjelasan kemungkinan perluasan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud dalam Ayat 1 merupakan dasar daripada persetujuan ( Ayat 2 ).

Pengecualian terhadap keharusan pemberian informasi sebelum dimintakan persetujuan tindakan kedokteran adalah:

Dalam keadaan gawat darurat ( emergensi ), dimana dokter harus segera bertindak untuk menyelamatkan jiwa. Keadaan emosi pasien yang sangat labil sehingga ia tidak bisa menghadapi situasi dirinya. Ini tercantum dalam PerMenKes no 290/Menkes/Per/III/2008.

Rekam Medis

Definisi :

1. Edna K Huffman:berkas yang menyatakan siapa, apa, mengapa, dimana, kapan dan bagaimana pelayanan yang diperoleb seorang pasien selama dirawat atau menjalani pengobatan.

2. Permenkes No. 749a/Menkes!Per/XII/1989:berkas yang beiisi catatan dan dokumen mengenai identitas pasien, basil pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lainnya yang diterima pasien pada sarana kesebatan, baik rawat jalan maupun rawat inap.

3. Gemala Hatta: kumpulan fakta tentang kehidupan seseorang dan riwayat penyakitnya, termasuk keadaan sakit, pengobatan saat ini dan saat lampau yang ditulis oleb para praktisi kesehatan dalam upaya mereka memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien.

4. Permenkes No. 749a/Menkes!Per/XII/1989 Menurut Waters dan Murphy: Kompendium (ikhtisar) yang berisi informasi tentang keadaan pasien selama perawatan atau selama pemeliharaan kesehatan.

(http://astaqauliyah.com/2007/10/rekam-medis-defenisi-dan-kegunaannya/)

Isi Rekam Medis :

1. Data medis atau data klinis: segala data tentang riwayat penyakit, hasil pemeriksaan fisik, diagnosis, pengobatan serta hasilnya, laporan dokter, perawat, hasil pemeriksaan laboratorium, ronsen dsb. Data-data ini merupakan data yang bersifat rahasia (confidential) sebingga tidak dapat dibuka kepada pibak ketiga tanpa izin dari pasien yang bersangkutan kecuali jika ada alasan lain berdasarkan peraturan atau perundang-undangan yang memaksa dibukanya informasi tersebut.

2. Data sosiologis atau data non-medis:segala data lain yang tidak berkaitan langsung dengan data medis, seperti data identitas, data sosial ekonomi, alamat dsb. Data ini oleh sebagian orang dianggap bukan rahasia, tetapi menurut sebagian lainnya merupakan data yang juga bersifat rahasia (confidensial).

(http://astaqauliyah.com/2007/10/rekam-medis-defenisi-dan-kegunaannya/)

A. Penyelenggaraan :

Secara garis besar penyelenggaraan Rekam Medis dalam Permenkes tersebut diatur sebagai berikut:

Rekam Medis harus segera dibuat dan dilengkapi seluruhnya setelah pasien menerima pelayanan (pasal 4). Hal ini dimaksudkan agar data yang dicatat masih original dan tidak ada yang terlupakan karena adanya tenggang waktu. Setiap pencatatan Rekam Medis harus dibubuhi nama dan tanda tangan petugas pelayanan kesehatan. Hal ini diperlukan untuk memudahkan sistim pertanggung-jawaban atas pencatatan tersebut (pasal 5)

Pada prinsipnya isi Rekam Medis adalah milik pasien, sedangkan berkas Rekam Medis (secara fisik) adalah milik Rumah Sakit atau institusi kesehatan. Pasal 10 Permenkes No. 749a menyatakan bahwa berkas rekam medis itu merupakan milik sarana pelayanan kesehatan, yang harus disimpan sekurang-kurangnya untuk jangka waktu 5 tahun terhitung sejak tanggal terakhir pasien berobat. Untuk tujuan itulah di setiap institusi pelayanan kesehatan, dibentuk Unit Rekam Medis yang bertugas menyelenggarakan proses pengelolaan serta penyimpanan Rekam Medis di institusi tersebut.

(http://astaqauliyah.com/2007/10/rekam-medis-defenisi-dan-kegunaannya/)

B. Manfaat :Permenkes no. 749a tahun 1989 menyebutkan bahwa Rekam Medis memiliki 5 ,manfaat yaitu:

1. Sebagai dasar pemeliharaan kesehatan dan pengobatan pasien

2. Sebagai bahan pembuktian dalam perkara hukum

3. Bahan untuk kepentingan penelitian

4. Sebagai dasar pembayaran biaya pelayanan kesehatan dan

5. Sebagai bahan untuk menyiapkan statistik kesehatan.

Dalam kepustakaan dikatakan bahwa rekam medis memiliki 5 manfaat, yang untuk mudahnya disingkat sebagai ALFRED, yaitu:

1. Adminstratlve value: Rekam medis merupakan rekaman data adminitratif pelayanan kesehatan.

2. Legal value: Rekam medis dapat.dijadikan bahan pembuktian di pengadilan

3. Financial value: Rekam medis dapat dijadikan dasar untuk perincian biaya pelayanan kesehatan yang harus dibayar oleh pasien

4. Research value: Data Rekam Medis dapat dijadikan bahan untuk penelitian dalam lapangan kedokteran, keperawatan dan kesehatan.

5. Education value: Data-data dalam Rekam Medis dapat bahan pengajaran dan pendidikan mahasiswa kedokteran, keperawatan serta tenaga kesehatan lainnya. (http://astaqauliyah.com/2007/10/rekam-medis-defenisi-dan-kegunaannya/)

C. Penyimpanan:

Rekam Medis harus disimpan dan dijaga kerahasiaan oleh dokter, dokter gigi dan pimpinan sarana kesehatan. Batas waktu lama penyimpanan menurut Peraturan Menteri Kesehatan paling lama 5 tahun dan resume rekam medis paling sedikit 25 tahun.

(http://inamc.or.id/download/Manual%20Rekam%20Medis.pdf)

MALPRAKTEK DALAM ISLAM

MUQADDIMAH

Berobat merupakan salah satu kebutuhan vital umat manusia. Banyak orang rela mengorbankan apa saja untuk mempertahankan kesehatannya atau untuk mendapatkan kesembuhan. Di sisi lain, para dokter adalah manusia biasa yang tidak terlepas dari kesalahan. Demikian juga paramedis yang bekerja di bidang pelayanan kesehatan. Kemajuan teknologi tidak serta merta menjamin menutup pintu kesalahan. Meski pada dasarnya memberikan pelayanann sebagai pengabdian, mereka juga bisa jadi tergoda oleh keuntungan duniawi, sehingga mengabaikan kemaslahatan pasien.

Karenanya, diperlukan aturan yang adil yang menjamin ketenangan bagi pasien dan pada saat yang sama memberikan kenyamanan bagi para profesional bidang kesehatan dalam bekerja. Tentu Islam sebagai syariat akhir zaman yang sempurna ini telah mengatur semuanya. Tulisan sederhana ini mencoba menggali khazanah literatur para ulama Islam dalam hal persoalan yang akhir-akhir ini mencuat kembali, yakni malpraktek.

PENGERTIAN MALPRAKTEK

Malpraktek berasal dari kata 'malpractice' dalam bahasa Inggris . Secara harfiah, 'mal' berarti 'salah', dan 'practice' berarti 'pelaksanaan' atau 'tindakan', sehingga malpraktek berarti 'pelaksanaan atau tindakan yang salah' [1]. Jadi, malpraktek adalah tindakan yang salah dalam pelaksanaan suatu profesi. Istilah ini bisa dipakai dalam berbagai bidang, namun lebih sering dipakai dalam dunia kedokteran dan kesehatan. Artikel ini juga hanya akan menyoroti malpraktek di seputar dunia kedokteran saja.

Perlu diketahui bahwa kesalahan dokter atau profesional lain di dunia kedokteran dan kesehatan- kadang berhubungan dengan etika/akhlak. Misalnya, mengatakan bahwa pasien harus dioperasi, padahal tidak demikian. Atau memanipulasi data foto rontgen agar bisa mengambil keuntungan dari operasi yang dilakukan. Jika kesalahan ini terbukti dan membahayakan pasien, dokter harus mempertanggungjawabkannya secara etika. Hukumannya bisa berupa ta'zr [2], ganti rugi, diyat, hingga qishash [3].

Malpraktek juga kadang berhubungan dengan disiplin ilmu kedokteran. Jenis kesalahan ini yang akan mendapat porsi lebih dalam tulisan ini.

BENTUK-BENTUK MALPRAKTEK

Malpraktek yang menjadi penyebab dokter bertanggung-jawab secara profesi bisa digolongkan sebagai berikut:

1. Tidak Punya Keahlian (Jahil)

Yang dimaksudkan di sini adalah melakukan praktek pelayanan kesehatan tanpa memiliki keahlian, baik tidak memiliki keahlian sama sekali dalam bidang kedokteran, atau memiliki sebagian keahlian tapi bertindak di luar keahliannya. Orang yang tidak memiliki keahlian di bidang kedokteran kemudian nekat membuka praktek, telah disinggung oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sabda beliau:

"Barang siapa yang praktek menjadi dokter dan sebelumnya tidak diketahui memiliki keahlian, maka ia bertanggung-jawab" [4]

Kesalahan ini sangat berat, karena menganggap remeh kesehatan dan nyawa banyak orang, sehingga para Ulama sepakat bahwa mutathabbib (pelakunya) harus bertanggung-jawab, jika timbul masalah dan harus dihukum agar jera dan menjadi pelajaran bagi orang lain.

2. Menyalahi Prinsip-Prinsip Ilmiah (Mukhlafatul Ushl Al-'Ilmiyyah)

Yang dimaksud dengan pinsip ilmiah adalah dasar-dasar dan kaidah-kaidah yang telah baku dan biasa dipakai oleh para dokter, baik secara teori maupun praktek, dan harus dikuasai oleh dokter saat menjalani profesi kedokteran [5].

Para ulama telah menjelaskan kewajiban para dokter untuk mengikuti prinsip-prinsip ini dan tidak boleh menyalahinya. Imam Syfi'i rahimahullah misalnya- mengatakan: "Jika menyuruh seseorang untuk membekam, mengkhitan anak, atau mengobati hewan piaraan, kemudian semua meninggal karena praktek itu, jika orang tersebut telah melakukan apa yang seharusnya dan biasa dilakukan untuk maslahat pasien menurut para pakar dalam profesi tersebut, maka ia tidak bertanggung-jawab. Sebaliknya, jika ia tahu dan menyalahinya, maka ia bertanggung-jawab."[6] Bahkan hal ini adalah kesepakatan seluruh Ulama, sebagaimana disebutkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah [7].

Hanya saja, hakim harus lebih jeli dalam menentukan apakah benar-benar terjadi pelanggaran prinsip-prinsip ilmiah dalam kasus yang diangkat, karena ini termasuk permasalahan yang pelik.

3. Ketidaksengajaan (Khatha')

Ketidaksengajaan adalah suatu kejadian (tindakan) yang orang tidak memiliki maksud di dalamnya. Misalnya, tangan dokter bedah terpeleset sehingga ada anggota tubuh pasien yang terluka. Bentuk malpraktek ini tidak membuat pelakunya berdosa, tapi ia harus bertanggungjawab terhadap akibat yang ditimbulkan sesuai dengan yang telah digariskan Islam dalam bab jinayat, karena ini termasuk jinayat khatha' (tidak sengaja).

4. Sengaja Menimbulkan Bahaya (I'tid')

Maksudnya adalah membahayakan pasien dengan sengaja. Ini adalah bentuk malpraktek yang paling buruk. Tentu saja sulit diterima bila ada dokter atau paramedis yang melakukan hal ini, sementara mereka telah menghabiskan umur mereka untuk mengabdi dengan profesi ini. Kasus seperti ini terhitung jarang dan sulit dibuktikan karena berhubungan dengan isi hati orang. Biasanya pembuktiannya dilakukan dengan pengakuan pelaku, meskipun mungkin juga factor kesengajaan ini dapat diketahui melalui indikasi-indikasi kuat yang menyertai terjadinya malpraktek yang sangat jelas. Misalnya, adanya perselisihan antara pelaku malpraktek dengan pasien atau keluarganya.

PEMBUKTIAN MALPRAKTEK

Agama Islam mengajarkan bahwa tuduhan harus dibuktikan. Demikian pula, tuduhan malparaktek harus diiringi dengan bukti, dan jika terbukti harus ada pertanggungjawaban dari pelakunya. Ini adalah salah satu wujud keadilan dan kemuliaan ajaran Islam. Jika tuduhan langsung diterima tanpa bukti, dokter dan paramedis terzhalimi, dan itu bisa membuat mereka meninggalkan profesi mereka, sehingga akhirnya membahayakan kehidupan umat manusia. Sebaliknya, jika tidak ada pertanggungjawaban atas tindakan malpraktek yang terbukti, pasien terzhalimi, dan para dokter bisa jadi berbuat seenak mereka.

Dalam dugaan malpraktek, seorang hakim bisa memakai bukti-bukti yang diakui oleh syariat sebagai berikut:

1. Pengakuan Pelaku Malpraktek (Iqrr ).

Iqrar adalah bukti yang paling kuat, karena merupakan persaksian atas diri sendiri, dan ia lebih mengetahuinya. Apalagi dalam hal yang membahayakan diri sendiri, biasanya pengakuan ini menunjukkan kejujuran.

2. Kesaksian (Syahdah).

Untuk pertanggungjawaban berupa qishash dan ta'zr, dibutuhkan kesaksian dua pria yang adil. Jika kesaksian akan mengakibatkan tanggung jawab materiil, seperti ganti rugi, dibolehkan kesaksian satu pria ditambah dua wanita. Adapun kesaksian dalam hal-hal yang tidak bisa disaksikan selain oleh wanita, seperti persalinan, dibolehkan persaksian empat wanita tanpa pria. Di samping memperhatikan jumlah dan kelayakan saksi, hendaknya hakim juga memperhatikan tidak memiliki tuhmah (kemungkinan mengalihkan tuduhan malpraktek dari dirinya) [8].

3. Catatan Medis.

Yaitu catatan yang dibuat oleh dokter dan paramedis, karena catatan tersebut dibuat agar bisa menjadi referensi saat dibutuhkan. Jika catatan ini valid, ia bisa menjadi bukti yang sah.

BENTUK TANGGUNG JAWAB MALPRAKTEK

Jika tuduhan malpraktek telah dibuktikan, ada beberapa bentuk tanggung jawab yang dipikul pelakunya. Bentuk-bentuk tanggung-jawab tersebut adalah sebagai berikut:

1. Qishash

Qishash ditegakkan jika terbukti bahwa dokter melakukan tindak malpraktek sengaja untuk menimbulkan bahaya (i'tida'), dengan membunuh pasien atau merusak anggota tubuhnya, dan memanfaatkan profesinya sebagai pembungkus tindak kriminal yang dilakukannya. Ketika memberi contoh tindak kriminal yang mengakibatkan qishash, Khalil bin Ishaq al-Maliki mengatakan: "Misalnya dokter yang menambah (luas area bedah) dengan sengaja. [9]"

2. Dhamn (Tanggung Jawab Materiil Berupa Ganti Rugi Atau Diyat)

Bentuk tanggung-jawab ini berlaku untuk bentuk malpraktek berikut:

a. Pelaku malpraktek tidak memiliki keahlian, tapi pasien tidak mengetahuinya, dan tidak ada kesengajaan dalam menimbulkan bahaya.

b. Pelaku memiliki keahlian, tapi menyalahi prinsip-prinsip ilmiah.

c. Pelaku memiliki keahlian, mengikuti prinsip-prinsip ilmiah, tapi terjadi kesalahan tidak disengaja.

d. Pelaku memiliki keahlian, mengikuti prinsip-prinsip ilmiah, tapi tidak mendapat ijin dari pasien, wali pasien atau pemerintah, kecuali dalam keadaan darurat.

3. Ta'zr berupa hukuman penjara, cambuk, atau yang lain.

Ta'zr berlaku untuk dua bentuk malpraktek:

a. Pelaku malpraktek tidak memiliki keahlian, tapi pasien tidak mengetahuinya, dan tidak ada kesengajaan dalam menimbulkan bahaya.

b. Pelaku memiliki keahlian, tapi menyalahi prinsip-prinsip ilmiah

1