mangrove
DESCRIPTION
Deskripsi mangroveTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hutan mangrove sering disebut hutan bakau atau hutan payau. Dinamakan hutan
bakau oleh karena sebagian besar vegetasinya didominasi oleh jenis bakau, dan disebut hutan
payau karena hutannya tumbuh di atas tanah yang selalu tergenang oleh air payau. Arti
mangrove dalam ekologi tumbuhan digunakan untuk semak dan pohon yang tumbuh di
daerah intertidal dan subtidal dangkal di rawa pasang tropika dan subtropika. Tumbuhan ini
selalu hijau dan terdiri dari bermacam-macam campuran yang mempunyai nilai ekonomis
baik untuk kepentingan rumah tangga (rumah, perabot) dan industri (pakan ternak, kertas,
arang).
Hutan-hutan bakau menyebar luas di bagian yang cukup panas di permukaan bumi,
terutama di sekeliling khatulistiwa pada wilayah tropika dan sedikit di subtropika. Luas hutan
bakau Indonesia antara 2,5 hingga 4,5 juta hektar, merupakan mangrove yang terluas di
dunia. Melebihi Brazil (1,3 juta ha), Nigeria (1,1 juta ha) dan Australia (0,97 ha) (Spalding
dkk, 1997 dalam Noor dkk, 1999). Menurut Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan
Perhutanan Sosial (RLPS) tahun 1999 luas potensial hutan mangrove Indonesia adalah
8,6 juta ha yang terdiri atas 3,8 juta ha terdapat di kawasan hutan dan 4,8 juta ha
terdapat di luar kawasan hutan. Sementara itu berdasarkan kondisinya diperkirakan
bahwa 1,7 juta (44,73 %) hutan mengrove di dalam kawasan hutan dan 4,2 juta ha (87,50
%) hutan mangrove di luar kawasan hutan dalam keadaan rusak (Saparinto, 2007).
Mangrove mempunyai kecenderungan membentuk kerapatan dan keragaman struktur
tegakan yang berperan penting sebagai perangkap endapan dan perlindungan terhadap erosi
pantai. Sedimen dan biomassa tumbuhan mempunyai kaitan erat dalam memelihara efisiensi
dan berperan sebagai penyangga antara laut dan daratan, bertanggung jawab atas
kapasitasnya sebagai penyerap energi gelombang dan menghambat intrusi air laut ke daratan.
Selain itu, mangrove menghasilkan habitat untuk perlindungan bagi hewan-hewan muda dan
permukaannya bermanfaat sebagai substrat perlekatan dan pertumbuhan dari banyak
organisme epifit (Nybakken et al, 1986).
1
Hutan ini tumbuh khususnya di tempat-tempat di mana terjadi pelumpuran dan
akumulasi bahan organik. Baik di teluk-teluk yang terlindung dari gempuran ombak, maupun
di sekitar muara sungai di mana air melambat dan mengendapkan lumpur yang dibawanya
dari hulu.
Ekosistem hutan bakau bersifat khas, baik karena adanya pelumpuran yang
mengakibatkan kurangnya aerasi tanah; salinitas tanahnya yang tinggi; serta mengalami daur
penggenangan oleh pasang-surut air laut. Hanya sedikit jenis tumbuhan yang bertahan hidup
di tempat semacam ini, dan jenis-jenis ini kebanyakan bersifat khas hutan bakau karena telah
melewati proses adaptasi dan evolusi.
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari Hutan Mangrove?
2. Apa saja fungsi dari Hutan Mangrove?
3. Permasalahan apa saja yang terjadi pada Hutan Mangrove?
4. Apa saja dampak yang di timbulkan dari permasalahan tersebut ?
C. Tujuan
Untuk menjelaskan definisi dari Hutan Mangrove, fungsi dari Hutan Mangrove tersebut,
keanekaragaman yang berada dalam ekosistem Hutan Mangrove, permasalahan yang di
alami, dan dampak yang di timbulkan.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Mangrove
Hutan Mangrove adalah suatu komunitas tumbuhan atau suatu individu jenis
tumbuhan yang membentuk komunitas tersebut di daerah pasang surut. Hutan mangrove
adalah tipe hutan yang secara alami dipengaruhi oleh pasang surut air laut, tergenang pada
saat pasang naik dan bebas dari genangan pada saat pasang rendah. Ekosistem mangrove
adalah suatu sistem yang terdiri atas lingkungan biotik dan abiotik yang saling berinteraksi di
dalam suatu habitat mangrove.
Istilah mangrove merujuk pada dua konsep yang berbeda. Pertama mangrove
dideskripsikan sebagai kelompok spesies tumbuhan halofit, yang hidup disepanjang areal
pantai yang dipengaruhi oleh pasang tertinggi sampai daerah mendekati ketinggian rata-rata
air laut yang tumbuh di daerah tropis dan sub-tropis, yang dikelompokkan dalam 8 famili dan
di 12 genus (Wisel 1972 dalam Lugo dan Snedaker, 1974) seperti dibawah ini :
Avicenniaceae Myrsinaceae Avicennia sp. Aegiceras sp. Chenopodiaceae Plumbaginaceae Suaeda monoica Aegialitis sp. Combretaceae Rhizophoraceae Laguncularia sp. Rhizophora sp. Lumnitzera sp. Bruguiera sp. Meliaceae Ceriops sp. Conocarpus sp. Sonneratiaceae Xylocarpus sp. Sonneratia sp.
Rujukan yang kedua, mangrove merupakan komunitas tumbuhan yang kompleks
dan bertumbuh pada sepanjang garis pantai tropis sampai sub tropis (Lugo dan Snedaker,
1974). Schimper (1903) dalam Lugo dan Snedaker (1974) mendefinisikan mangrove
sebagai formasi yang berada dibawah pasang tertinggi. Kosekuensinya Schimper dan
banyak ilmuwan lainnya banyak menggunakan istilah hutan tidal sebagai sinomin dari
hutan mangrove. Namun mangrove yang “sebenarnya” mungkin hanya tumbuh pada
sebagian zona tidal, mangrove mungkin dapat tumbuh jauh dibawah surut terendah dan
3
pasang tertinggi, atau bahkan pada lautan yang tidak mempunyai pasang surut sekalipun
(Lugo dan Snedaker, 1974)
Vegetasi mangrove terbesar di Asia Tenggara terdapat pada Indonesia yaitu
sekitar 60% dari total keseluruhan hutan mangrove di Asia Tenggara (Giesen dkk, 2007),
mangrove di Asia Tenggara adalah mangrove dengan tingkat perkembangan dan
diversitas spesies yang paling baik di dunia (Giesen & Wulffraat, 1998 dalam Giesen
dkk, 2007). Total keseluruhan mangrove di Asia Tenggara ada 268 spesies yang berhasil
di indetifikasi, termasuk 129 spesies pohon dan semak, 50 spesies darat (termasuk 27
spesies rumput, dan rumput yang berpenampilan seperti pohon), 28 spesies yang climber,
28 spesies epifit, 24 spesies pakis/paku-pakuan, 7 spesies palem, 1 spesies pandan, dan
satu spesies cycad, termasuk 52 spesies yang hanya dapat di temukan pada habitat
mangrove, kelompok ini disebut sebagai “spesies mangrove sejati” termasuk didalamnya
42 jenis pohon dan semak (Annex 1) dan sekitar 18 % spesies tersebut bersifat endemic
(Giesen, 2007). Saenger et al (1983) mencacat ada 60 spesies ekslusif pada habitat
mangrove, dari hasil catatan tersebut terlihat bahwa Asia Tenggara mempunyai bagian
dari “spesies mangrove sejati” terbanyak di dunia. Samudra Hindia bagian utara dan
bagian pasifik utara-barat (merentang dari Laut Merah ke Jepang dan Indonesia)
merupakan wilayah dibumi dengan tingkat diversitas mangore tertinggi. (Giesen dkk,
2007).
4
Tabel 1. Spesies mangrove yang endemic di Asia Tenggara
Jenis-jenis mangrove di Indonesia merupakan yang tertinggi di dunia, seluruhnya
tercatat 89 spesies yang terbagi menjadi 35 jenis pohon, 5 jenis terna, 9 jenis perdu, 9
jenis liana, 29 jenis efifit dan 2 jenis parasit (Nontji, 1987). Beberapa jenis mangrove
yang dijumpai di pesisir Indonesia adalah bakau (Rhizophora spp), api-api (Avicennia
spp), bogem (Sonneratia spp), tancang (Bruguiera spp), nyirih (Xylocarpus spp), tengar
(Ceriops spp), dan buta-buta (Excoecaria spp).
Menurut Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (RLPS)
Tahun 1999 luas potensial hutan mangrove Indonesia adalah 8,6 juta ha yang terdiri atas
3,8 juta ha terdapat di kawasan hutan dan 4,8 juta ha terdapat di luar kawasan hutan.
Sementara itu berdasarkan kondisinya diperkirakan bahwa 1,7 juta (44,73%) hutan
mangrove di dalam kawasan hutan dan 4,2 juta ha (87,50%) hutan mangrove di luar
kawasan hutan dalam keadaan rusak. Menurunnya ekosistem mangrove di wilayah pesisir
dapat dilihat dari luas hutan mangrove Indonesia yang diperkirakan 4,25 juta ha saat ini
hanya tinggal 2,5 juta ha (Therik, 2008) dan luas hutan mangrove di NTT adalah 1.830 ha
atau hanya 0.04% dari luas hutan mangrove di Indonesia (Atmawidjaja et al, 1986).
5
Mangrove pada wilayah Nusa Tenggara mempunyai luas 3000 ha yang sekarang
ini termasuk pada area yang terlindung seperti pada Taman Nasional Komodo di Flores
dan Taman Marga Satwa Pulau Menipo di Amarasi (Giesen dkk, 2007).
Berikut adalah data distribusi hutan mangrove dan tingkat kerusakannya yang disadur
dari Therik, 2006
Tabel 2. Data Distribusi Hutran Mangrove dan Tingkat Kerusakan
Sumber : Therik, 2008
Menurut Istomo et al (1992), ciri khusus habitat vegetasi mangrove adalah
keadaan tanah yang berlumpur atau berpasir, salinitas, penggenangan, pasang surut, dan
kandungan oksigen tanah. Untuk itu vegetasi mangrove akan beradaptasi melalui
perubahan dan ciri khusus fisiologi, morfologis, fenologi, fisiognomi, dan komposisi
struktur vegetasinya. Ekosistem hutan mangrove dengan sifatnya yang khas dan
kompleks menyebabkan hanya organisme tertentu saja yang mampu bertahan dan
berkembang. Kenyataan ini menunjukkan keanekaragaman jenis fauna hutan mangrove
6
yang berafinitas lautkecil, tetapi kepadatan masing-masing jenis umunya besar
(Kartawinata et al, 1979).
Adaptasi pohon mangrove terhadap keadaan tanah (lumpur) dan kekurangan
oksigen dalam tanah adalah pembentukan morfologi sistem perakaran yang berfungsi
sebagai akar nafas (Pneumatofora) dan penunjang tegaknya pohon. Menurut Bengen et al
(2004), ada empat bentuk sistem perakaran pada hutan mangrove, yaitu; Akar lutut,
seperti yang terdapat pada Bruguiera spp; Akar cakar ayam, seperti yang terdapat pada
Sonneratia spp, Avicennia spp, dan kadang-kadang Xylocarpus moluccensis; Akar
tongkat/penyangga, seperti yang terdapat pada Rhizophora spp; dan Akar papan seperti
yang terdapat pada Ceriops spp.
Vegetasi mangrove mempunyai tampilan zonasi seperti gerombol (seperti pada
gambar 1 dan 2), yang berhubungan dengan tipe tanah (lumpur, pasir atau peat (tanah
gemuk)), terekspos terhadap gelombang, salinitas, aliran air tawar. Lebar zona mangrove
biasanya tidak lebih dari 4 km (Giesen dkk, 2007). Pada daerah pantai yang longsor atau
curam lebar vegetasi mungkin bisa mencapai 50 km karena keberadaan mangrove yang
jarang, sementara pada beberapa daerah eustaria dan tempat-tempat ternaung, lebar teluk
yang dangkal dapat mencapai 18 km seperti pada suangai Sembilan di Sumatra Selatan
(Danielsen & Verheugt et al, 1990) atau bahkan bisa mencapai 30 km seperti pada teluk
Bintuni, Papua (Erftemeijer et al., 1989)
7
Watson (1928) dalam Kusmana et al (1995) berpendapat bahwa hutan mangrove
dapat dibagi menjadi lima bagian berdasarkan frekuensi air pasang, yaitu; zonasi yang
terdekat dengan laut, akan didominasi oleh Avicennia spp dan Sonneratia spp, tumbuh
pada lumpur lunak dengan kandungan organik yang tinggi. Avicennia spp tumbuh pada
substrat yang agak keras, sedangkan Avicennia alba tumbuh pada substrat yang agak
lunak; zonasi yang tumbuh pada tanah kuat dan cukup keras serta dicapai oleh beberapa
air pasang. Zonasi ini sedikit lebih tinggi dan biasanya didominasi oleh Bruguiera
cylindrica; ke arah daratan lagi, zonasi yang didominasi oleh Rhyzophora mucronata dan
Rhyzophora apiculata. Jenis Rhyzophora mucronata lebih banyak dijumpai pada kondisi
yang agak basah dan lumpur yang agak dalam. Pohon-pohon yang dapat tumbuh setinggi
35-40 m. Pohon lain yang juga terdapat pada hutan ini mencakup Bruguiera parviflora
dan Xylocarpus granatum; hutan yang didominasi oleh Bruguiera parviflora kadang-
kadang dijumpai tanpa jenis pohon lainnya; hutan mangrove di belakang didominasi oleh
Bruguiera gymnorrhiza.
Menurut Bengen dan Dutton et al (2004) dalam Northcote dan Hartman (2004)
zonasi mangrove dipengaruhi oleh salinitas, toleransi terhadap ombak dan angin,
toleransi terhadap lumpur (keadaan tanah), frekuensi tergenang oleh air laut. Zonasi yang
menggambarkan tahapan suksesi yang sejalan dengan perubahan tempat tumbuh.
Perubahan tempat tumbuh sangat bersifat dinamis yang disebabkan oleh laju
pengendapan atau pengikisan. Daya adaptasi tiap jenis akan menentukan komposisi jenis
tiap zonasi.
8
Gambar 2. Schematic cross-section of a small mangrove island near Kimbe, West New Britain province, Papua New Guinea
Gambar 3. Schematic cross-section of a coastal area on Bintan Island, Riau province, Indonesia
9
Mangrove merupakan vegetasi spesifik di wilayah pantai sehingga
keberadaannya mempunyai karakteristik tersendiri. Chapman et al (1984)
mengelompokkan mangrove menjadi dua kategori yaitu :
1. Vegetasi mangrove inti yaitu mangrove yang mempunyai peran ekologi utama
dalam formasi mangrove, seperti Rhizophora, Bruguiera, Ceriops,Sonneratia,
Avicennia, Lumnitzera, Nypa dan Derris.
2. Vegetasi mangrove pinggiran (peripheral) yaitu mang-rove yag secara ekologi
berperan dalam formasi mang-rove tetapijuga berperan penting dalam formasi
hutan lain, seperti Cerbera, Acrostichum, Hibiscus, Heritlera, dan sebagainya.
Pengelompokan lain yang dilakukan Tomlinson (1984) dalam Saparinto (2007)
membagi flora mangrove menjadi tiga kelompok
1. Flora mangrove mayor (mangrove sebenarnya) yaitu flora yang mempunyai
kemampuan membentuk tegakan murni dan secara dominan mencirikan struktur
komunitas, secara morfologi mempunyai bentuk adaptif khusus terhadap
lingkungan dan mempunyai mekanisme fisiologis dalam mengontrol kadar garam.
Contohnya Avicennis, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, dan Nypa.
2. Flora mangrove minor; yaitu flora yang tidak mampu membentuk tegakan murni,
sehingga secara mofologis tidak berperan dominan dalam struktur komunitas.
Contohnya : Excoecaria, Xylocarpusl Heritiera, Aegiceras, Aegialitis, Pemphis,
dan lainnya.
3. Asosiasi mangrove, contohnya Cerbera, Acanthus, Der-ris, Calamus, dan
lainnya
B. Fungsi Hutan Mangrove
Hutan mangrove mempunyai tiga fungsi utama bagi kelestarian sumber daya, yakni :
(1) Fungsi fisik, hutan mangrove secara fisik menjaga dan menstabilkan garis pantai serta
tepian sungai, pelindung terhadap hempasan gelombang dan arus, mempercepat
pembentukan lahan baru serta melindungi pantai dari erosi laut/abrasi (green belt). (2) Fungsi
biologis adalah sebagai tempat asuhan (nursery ground), tempat mencari makanan (feeding
10
ground) ) untuk berbagai organisme yang bernilai ekonomis khususnya ikan dan udang,
tempat berkembang biak (spawning ground), sebagai penghasil serasah/zat hara yang cukup
tinggi produktivitsnya, dan habitat berbagai satwa liar antara lain, reptilia, mamalia, hurting
dan lain-lain. Selain itu, hutan mangrove juga merupakan sumber plasma nutfah. (3) Fungsi
ekonomi yakni kawasan hutan mangrove berpotensi sebagai tempat rekreasi (ecotourism),
lahan pertambakan, dan penghasil devisa dengan produk bahan baku industri. ( Saparinto,
2007).
Tabel 3. Quantitative list of plant products in Southeast Asia
Selain itu, secara khusus hutan mangrove juga berguna sebagai perangkap zat-zat
pencemar dan limbah, mempercepat perluasan lahan, mengolah limbah organik, dan
sebagainya. Setiap saat pantai terancam abrasi akibat arus dan gelombang laut yang
selalu bergerak. Tanpa keberadaan hutan mangrove dan hutan pantai, sangat besar
peluang pinggir pantai tergerus oleh arus dan gelombang yang terus menerpanya.
Beberapa contoh hasil penelitian juga menunjukkan fungsi hutan mangrove dan
hutan pantai dalam meredam energi arus gelombang laut, seperti tergambar dari hasil
penelitian Pratikto et al. (2002) dan Instiyanto dkk et al (2003). Pratikto melaporkan
bahwa hutan mangrove di Teluk Grajagan - Banyuwangi mampu mereduksi atau
mengurangi energi gelombang yang menerpa kawasan pantai tersebut. Istiyanto dkk
11
melalui pengujian laboratorium juga menyimpulkan bahwa rumpun bakau (Rhizophora)
memantulkan, meneruskan, dan menyerap energi gelombang tsunami yang diwujudkan
dalam perubahan tinggi gelombang tsunami ketika menjalar melalui rumpun tersebut.
Disamping itu Hutan Mangrove juga memiliki manfaat yang lain, yaitu
menyediakan buffer, bakau juga berinteraksi dengan laut. Sedimen terperangkap oleh
akar mencegah pendangkalan habitat laut yang berdekatan di mana air keruh mungkin
dapat membunuh karang atau padang rumput melimpahi lamun. Selain itu, tanaman
bakau dan sedimen telah terbukti untuk menyerap polusi, termasuk logam berat.
Mangrove juga sangat efektif dalam menyimpan karbon.
Vegetasi mangrove juga dapat menyerap dan mengurangi pencemaran (polutan).
Jaringan anatomi tumbuhan mangrove mampu menyerap bahan polutan, misalnya
penelitian Darmiyati et al dkk tahun 1995 menemukan jenis Rhizophora mucronata dapat
menyerap 300 ppm Mn, 20 ppm Zn, 15 ppm Cu dan penelitian Saefullah et al, 1995
menginformasikan pada daun Avicennia marina terdapat akumulasi Pb ³ 15 ppm, Cd ³ 0,5
ppm, Ni ³ 2,4 ppm. Unsur-unsur tersebut merupakan pulutan berupa logam berat jika
berada dilingkungan akan berbahaya bagi flora lain dan fauna, termasuk bagi manusia.
Dengan demikian hutan mampu mereduksi polutan dari lingkungan.
Ekosistem hutan mangrove memiliki produktivitas yang tinggi. Seorang peneliti,
White et al (1987) melaporkan produktivitas primer ekosistem mangrove ini sekitar 400-
500 gram karbon/m2/tahun adalah tujuh kali lebih produktif dari ekosistem perairan
pantai lainnya. Oleh karenanya, ekosistem mangrove mampu menopang keanekaragaman
jenis yang tinggi.
12
Tabel 4. Economic value of various mangrove products
C. Masalah yang dihadapi oleh hutan mangrove
Bila diamati dan dipahami dengan baik, Hutan Mangrove mempunyai banyak
manfaat yang mendukung kelangsungan kehidupan manusia. Namun, manusia selalu merasa
belum puas dan ingin mendapatkan lebih banyak keuntungan, sehingga menggunakan segala
upaya untuk memperoleh keuntungan yang besar walaupun harus merusak ekosistem Hutan
Mangrove.
Kerusakan hutan mangrove di Indonesia mencapai 70% dari total potensi mangrove
yang ada seluas 8.6 juta hectare, yaitu 48% atau seluas 4,51 juta hektare rusak sedang dan
23% atau 2,15 juta hektare dalam kondisi rusak berat. Seperti yang telah diutarakan oleh
Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad dalam keterangannya ketika membuka
Jambore Mangrove di Pantai Depok, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah, Ia mengatakan
bahwa kerusakan sebagian besar hutan mangrove di Indonesia diakibatkan oleh ulah
manusia, baik berupa konversi mangrove menjadi pemanfaatan lain seperti pemukiman,
industeri, rekreasi dan lain sebagainya
Seperti contoh kasus yang terjadi di daerah Sumatera Utara yaitu adanya pengalihan
fungsi lahan hutan mangrove menjadi tambak masyarakat dan dikonversi lagi menjadi lahan
kelapa sawit. Seperti yang sudah kita ketahui hutan mangrove atau bakau adalah hutan yang
tumbuh di atas rawa-rawa berair payau, terletak pada garis pantai dan dipengaruhi pasang-
13
surut air laut. Hutan ini tumbuh khususnya di tempat-tempat di mana terjadi pelumpuran dan
akumulasi bahan organik baik di teluk-teluk yang terlindung dari gempuran ombak, maupun
di sekitar muara sungai di mana air melambat dan mengendapkan lumpur yang dibawanya
dari hulu.
Hal-hal utama yang menjadi permasalahan dan penyebabnya antara lain, (1)
Tekanan penduduk untuk kebutuhan ekonomi yang tinggi sehingga permintaan konversi
mangrove juga semakin tinggi. Penduduk disini lebih mementingkan kebutuhannya sendiri-
sendiri dibandingkan kepentingan ekologis dan kepedulian akan dampak lingkungan hidup.
Banyaknya pihak yang tidak bertanggung jawab juga dengan meminta untuk mengkonversi
lahan mangrove tapi setelah dikonversi lahan tersebut mereka tidak menindak lanjutinya.
Mereka lebih paham bahwa manfaat dengan dikonversinya hutan mangrove menjadi tambak
dan lahan kelapa sawit akan lebih menguntungkan padahal kalau ditinjau secara keuntungan
jangka panjang hutan mangrove akan lebih bermanfaat. (2) Perencanaan dan pengelolaan
sumber daya pesisir di masa lalu bersifat sangat sektoral. Dari sini kita mengetahui bahwa
pengelolaan yang sektoral ini akan mengakibatkan terjadinya perusakan hutan mangrove
berat yang akan berdampak pada masa yang akan datang. Kemudian rendahnya kesadaran
masyarakat tentang konversi dan fungsi ekosistem mangrove. (3) Hutan rawa dalam
lingkungan yang asin dan anaerob di daerah pesisir selalu dianggap daerah yang yang
marginal atau sama sekali tidak cocok untuk pertanian dan akuakultur. Namun karena
kebutuhan lahan pertanian dan perikanan yang semakin meningkat maka hutan mangrove
dianggap sebagai lahan alternative. Reklamasi seperti itu telah memusnakan ekosistem
mangrove dan juga mengakibatkan efek – efek yang negatif teradap perikanan di perairan
pantai sekitarnya.
Rusminarto et al. (1984) dalam pengamatannya di areal hutan mangrove di Tanjung
Karawang menjumpai 9 jenis nyamuk yang berada di areal tersebut. Dilaporkan bahwa
nyamuk Anopheles sp., nyamuk jenis vektor penyakit malaria, ternyata makin meningkat
populasinya seiring dengan makin terbukanya pertambakan dalam areal mangrove. Ini
mengindikasikan kemungkinan meningkatnya penularan malaria dengan makin terbukanya
areal-areal pertambakan perikanan. Kajian lain yang berkaitan dengan polutan, dilaporkan
oleh Gunawan dan Anwar (2005) yang menemukan bahwa tambak tanpa mangrove
14
mengandung bahan pencemar berbahaya merkuri (Hg) 16 kali lebih tinggi dari perairan hutan
mangrove alami dan 14 kali lebih tinggi dari tambak yang masih bermangrove (silvofishery).
Saat ini sedang diteliti, di mana kandungan merkuri diserap (pohon mangrove, biota dasar
perairan, atau pun ikan).
D. Dampak permaslahan yang terjadi
Dampak ekologis secara umum akibat berkurang dan rusaknya ekosistem mangrove
adalah hilangnya berbagai spesies flora dan fauna yang berasosiasi dengan ekosistem
mangrove, yang dalam jangka panjang akan mengganggu keseimbangan ekosistem mangrove
khususnya dan ekosistem pesisir umumnya. Selain itu, menurunnya kualitas dan kuantitas
hutan mangrove telah mengakibatkan dampak yang sangat mengkhawatirkan, seperti abrasi
yang selalu meningkat, penurunan tangkapan perikanan pantai, intrusi air laut yang semakin
jauh ke arah darat, malaria dan lainnya.
Pada ekosistem mangrove, rantai makanan yang terjadi adalah rantai makanan
detritus. Sumber utama detritus adalah hasil penguraian guguran daun mangrove yang jatuh
ke perairan oleh bakteri dan fungi (Romimohtarto dan Juwana et al, 1999).
Gambar Rantai Makanan
15
Rantai makanan detritus dimulai dari proses penghancuran luruhan dan ranting
mangrove oleh bakteri dan fungi (detritivor) menghasilkan detritus. Hancuran bahan organic
(detritus) ini kemudian menjadi bahan makanan penting (nutrien) bagi cacing, crustacea,
moluska, dan hewan lainnya (Nontji, et al 1993). Setyawan et al dkk (2002) menyatakan
nutrient di dalam ekosistem mangrove dapat juga berasal dari luar ekosistem, dari sungai
atau laut. Lalu ditambahkan oleh Romimohtarto dan Juwana et al (1999) yang menyatakan
bahwa bakteri dan fungi tadi dimakan oleh sebagian protozoa dan avertebrata.
Kemudian protozoa dan avertebrata dimakan oleh karnivor sedang, yang selanjutnya
dimakan oleh karnivor tingkat tinggi. Karena dengan adanya lahan hutan mangrove yang
dikonversi ini fauna-fauna baik itu pemangsa maupun yang dimangsa akan berpindah ke
lahan yang belum mengalami kerusakan. Contohnya saja spesies monyet dan bangau
mungkin tidak aka ada lagi karena spesies ikan yang ada akan berkurang dan habitat mereka
telah rusak. Pengaruh bahan-bahan kimia dari pupuk pertanian juga. Secara tidak langsung
akan mengubah siklus biogeokimianya karena unsur-unsur yang ada akan berubah dan
berkurang.
Ternyata dengan adanya lahan perkebunan kelapa sawit ini tentu saja akan
menurunkan tingkat kualitas tanah sebagai salah satu indikator dan pemegang peranan
penting didalam ekosistem apalagi dengan semua aspek fungsi ekologis yang dimilikinya.
Juga akan terjadi pendangkalan perairan pantai karena pengendapan sedimen yang sebelum
hutan mangrove dikonversi mengendap dihutan mangrove. Dengan begitu hutan mangrove
yang asalnya tempat pemijahan ikan dan udang secara alami akan beralih fungsi dan bahkan
tidak berfungsi lagi sebagai tempat pemijahan. Sebagaimana kita ketahui bahwa lahan
tersebut secara struktur akan berubah dan mungkin tercemar oleh bahan-bahan kimia yang
berasal dari pupuk pertanian untuk lahan kelapa sawit. Sehingga dengan melihat tingkat
degradasi dan konversi pada areal hutan mangrove tersebut maka harus direncanakan suatu
penelitian untuk mengetahui dan mengkaji kualitas tanah sebagai akibat dari konversi
mangrove yang telah dilakukan. (Anonim, 2009)
16
Dari situ kita tahu bahwa dengan adanya lahan konversi baik itu menjadi tambak atau
pun lahan perkebunan kelapa sawit. Ternyata akan merusak ekositem mangrove dan akan
mengubah struktur kimia fisika dan fungsi ekologisnya yaitu rantai makanan, rantai energy
dan siklus biogeokimianya. Seharusnya kita menyadari dan menyadarkan masyarakat akan
fungsi dan peranan masing-masing ekosistem karena untuk ke depannya alam ini akan
merugikan kita apabila kita merusaknya. Mungkin secara waktu dekat lahan kelapa sawit
akan menguntungkan tapi untuk jangka panjang dan dampak yang ditimbulkan akan
merugikan. persepsi yang menganggap mangrove merupakan sumber daya yang kurang
berguna yang hanya cocok untuk pembuangan sampah atau dikonversi untuk keperluan lain
harus diluruskan. Karena apabila persepsi keliru tersebut tidak dikoreksi, maka masa depan
hutan mangrove Indonesia dan juga hutan mangrove dunia akan menjadi sangat suram.
Oleh karena itu, diperlukan solusi yang dapat menolong ekosistem Hutan Mangrove
tersebut dari segala ancaman. Berikut adalah beberapa solusinya: Pertama,
Keterlibatan/partisipasi Masyarakat. Peran serta atau keterlibatan masyarakat dalam upaya
pengembangan wilayah, khususnya rehabilitasi hutan mangrove sangan penting dan perlu
dilakukan. Pemerintah baik pusat maupun daerah harus memberikan kesempatan pada
masyarakat untuk ikut serta terlibat dalam pengelolaan dan pelestarian hutan mangrove.
Selanjutnya masyarakat perlu diberikan bimbingan dan penyuluhan tentang arti pentingnya
hutan mangrove pada kehidupan ini terutama kehidupan di masa yang akan datang.
Masyarakat harus tahu bahwa keberhasilan merehabilitasi hutan mangrove akan
berdampak pada adanya peningkatan pembangunan ekonomi- khususnya dalam bidang
perikanan, pertambakan, industri, pemukiman, rekreasi dan lain-lain. Kayu tumbuhan
mangrove dapat dimanfaatkan sebagai bahan bangunan dan kayu bakar, bahan tekstil dan
penghasil tanin, bahan dasar kertas, keperluan rumah tangga, obat dan minuman, dan masih
banyak lagi lainnya. Hutan mangrove juga berfungsi untuk menopang kehidupan manusia,
baik dari sudut ekologi, fisik, maupun sosial ekonomi misalnya untuk menahan ombak,
menahan intrusi air laut ke darat, dan sebagai habitat bagi biota laut tertentu untuk bertelur
dan pemijahannya. Hutan mangrove dapat pula dikembangkan sebagai wilayah baru dan
untuk menambah penghasilan petani tambak dan nelayan, khususnya di bidang perikanan dan
garam.
17
Kedua, Penegakan Hukum. Setelah masyarakat dilibatkan dalam pengelolaan,
pengembangan hutan mangrove dan diberi penyuluhan atau wawasan mengenai arti
pentingan lingkungan hutan mangrove, maka pemerintah harus menindaklanjuti dengan
menegakkan hukum sesuai dengan ketetapan undang-undang yang berlaku. Masyarakat baik
perorangan maupun berkelompok atau perseroan harus ditindak tegas bilamana melakukan
pelanggaran. Selama ini yang terjadi adalah di samping pemerintah kurang dalam
memberikan bimbingan dan penyuluhan terhadap masyarakat, aspek penegakan hukum pun
sangat lemah. Apalagi jika yang melanggar seorang pejabat atau pengusaha kaya. Sering kali
si pelanggar dapat dengan mudah terbebas dari jeratan hukum.
18
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Ekosistem Hutan Mangrove sangat berperan penting terhadap kehidupan makhluk
hidup. Bila keseimbangan ekosistem Hutan Mangrove terganggu ataupun dengan sengaja
dirusak, maka secara langsung hal tersebut akan berdampak pada kelangsungan hidup
makhluk hidup, baik manusia, tumbuhan maupun hewan, sebab beberapa makhluk hidup
bergantung pada ekosistem Hutan Mangrove.
Selain itu, bila Hutan Mangrove di alih fungsikan menjadi tambak, lalu dialih
fungsikan lagi menjadi perkebunan kelapa sawit, hal itu tidak dapat memberikan investasi
yang lama disebabkan salinitas diwilayah tersebut sangat tinggi, dan juga jenis tanah yang
digunakan sebagai perekebunan tersebut kurang cocok untuk mendukung pertumbuhan dan
perkembangan tanaman kelapa sawit,serta hal itu hanya akan menurunkan kualitas tanah.
Dan juga, bila ekosistem Hutan Mangrove terusik, secara tidak langsung akan
berdampak pada ekosistem yang lain, karena ekosistem yang satu dengan yang lain saling
memiliki keterkaitan atau hubungan. Disamping itu, flora fauna yang hidup dalam ekosistem
tersebut dapat terganggu pertumbuhan dan perkembangannya, dan yang paling parah flora
fauna tersebut punah. Bila hal itu terjadi, maka manusia pun akan merasakan dampaknya
sendiri.
B. Saran
Ada beberpa saran atau solusi yang dapat membantu menjaga dan memlihara ataupun
membudidayakn Hutan Mangrove, yaitu : 1) Mengharidi pertemuan kota dan menyambaikan
suara keberatan atas pembangunan mengganggu habitat satwa liar maupun suatu ekosistem,
2) Pelajari semua tetang pentinganya Rawa Mangrove, dan membuat orang lain terkesan
mengenai pentingnya Rawa Mangrove terhadap keanekaragaman hayati di Bumi, 3) gunakan
produk yang ramah lingkungan untuk mengurangi polusi air.
19
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2011. Hutan Mangrove. Di unduh dari
http://www.mediaindonesia.com/webtorial/klh/index.php?ar_id=NjkxOQ
Anwar, Chairil dan Hendra Gunawan. 2011. Departermen Kehutanan. di unduh dari
www.dephut.go.id/files/Chairil_Hendra.pdf
Saparinto C, 2007. Pendayagunaan Ekosistem Mangrove. Edisi Pertama, Cetakan Kesatu. Dahara Prize. Semarang
Giesen W, Wulffraat S, Zieren M and Scholten L, 2007. Mangrove Guidebook For Southeast Asia. FAO and Wetlands International.
Lugo A. E and Snedaker S. C, 1974. The Ecology of Mangroves. Department of Natural Resources, Commonwealth of Puerto Rico and Resource Management Systems Program, School of Forest Resources and Conservation, University of Florida.
Soeroyo, 1988. Hutan Mangrove di Pantai Paradiso, Kupang Nusa Tenggara Timur. LIPI. Jakarta
Talib M F, 2008. Struktur dan Pola Zonasi (Sebaran) Mangrove Serta Makrozoobenthos yang Berkoeksistensi, dI Desa Tanah Merah dan Oebelo Kecil Kabupaten Kupang. Skripsi Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor
Therik W. M. A, 2008. Mangrove Ku Sayang, Mangrove Ku Malang. Studi Tentang Pelestarian Mangrove dan Kehidupan Masyarakat Petani Garam di Kelurahan Oesapa Barat, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur. Kertas Diskusi dan Advokasi # 5. Institute of Indonesia Tenggara Timur Studies
20