manajemen gangguan koagulasi pada sepsis

18
1 MANAJEMEN GANGGUAN KOAGULASI PADA SEPSIS Dairion Gatot, Savita Handayani, Henny Syahrini Lubis, Guntur Ginting Divisi Hematologi & Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK-USU/RSUP H Adam Malik/RSUD Dr.Pirngadi Medan Definisi Disseminated intravascular coagulation (DIC) merupakan suatu sindroma klinikopatologis yang ditandai adanya aktivasi koagulasi darah sistemik, produksi fibrin intravaskular, sehingga dapat menyebabkan trombosis pada pembuluh darah yang berukuran kecil dan sedang, bahkan dapat menyebabkan gangguan/kegagalan fungsi organ (gambar 1). 1,2,3 DIC dapat terjadi akibat komplikasi dari infeksi, keganasan solid, keganasan hematologi, penyakit-penyakit obstetrik, trauma, aneurisma, penyakit hati, dan lain sebagainya. Gambaran karakteristik DIC yang muncul memiliki kaitan dengan kelainan yang mendasarinya. Diagnosis dan penanganannya pun harus mempertimbangkan kondisi etiologi yang mendasarinya. DIC yang terjadi pada sepsis, keganasan hematologi ataupun kelainan obstetrik lebih mudah ditangani daripada jika terjadi pada kondisi etiologi keganasan solid. 1 Gambar 1. Proses perjalanan DIC 3,4 Epidemiologi dan Prognosis Epidemiologi DIC dapat terjadi pada 30-50% pasien yang mengalami sepsis, dan 1% dari total keseluruhan pasien yang dirawat inap. DIC dapat terjadi pada seluruh usia, ras dan jenis kelamin.

Upload: doandiep

Post on 31-Dec-2016

243 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: MANAJEMEN GANGGUAN KOAGULASI PADA SEPSIS

1

MANAJEMEN GANGGUAN KOAGULASI PADA SEPSIS

Dairion Gatot, Savita Handayani, Henny Syahrini Lubis, Guntur Ginting

Divisi Hematologi & Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam

FK-USU/RSUP H Adam Malik/RSUD Dr.Pirngadi Medan

Definisi

Disseminated intravascular coagulation (DIC) merupakan suatu sindroma

klinikopatologis yang ditandai adanya aktivasi koagulasi darah sistemik, produksi fibrin

intravaskular, sehingga dapat menyebabkan trombosis pada pembuluh darah yang

berukuran kecil dan sedang, bahkan dapat menyebabkan gangguan/kegagalan fungsi organ

(gambar 1).1,2,3 DIC dapat terjadi akibat komplikasi dari infeksi, keganasan solid, keganasan

hematologi, penyakit-penyakit obstetrik, trauma, aneurisma, penyakit hati, dan lain

sebagainya. Gambaran karakteristik DIC yang muncul memiliki kaitan dengan kelainan yang

mendasarinya. Diagnosis dan penanganannya pun harus mempertimbangkan kondisi

etiologi yang mendasarinya. DIC yang terjadi pada sepsis, keganasan hematologi ataupun

kelainan obstetrik lebih mudah ditangani daripada jika terjadi pada kondisi etiologi

keganasan solid.1

Gambar 1. Proses perjalanan DIC 3,4

Epidemiologi dan Prognosis

Epidemiologi

DIC dapat terjadi pada 30-50% pasien yang mengalami sepsis, dan 1% dari total

keseluruhan pasien yang dirawat inap. DIC dapat terjadi pada seluruh usia, ras dan jenis

kelamin.

Page 2: MANAJEMEN GANGGUAN KOAGULASI PADA SEPSIS

2

Prognosis

Prognosis DIC tergantung dari beratnya koagulopati serta kondisi yang

mendasarinya. Menentukan secara tepat angka mortalitas dan morbiditas pada pasien DIC

sangat sulit. Sebuah studi yang dilakukan oleh the Japanese Association for Acute Medicine

(JAAM) memperlihatkan DIC pada pasien sepsis memiliki mortalitas yang lebih tinggi

dibanding DIC pada pasien-pasien trauma (34,7% vs 10,5%). Sepsis akibat aborsi dengan

infeksi clostridium dan syok yang disertai DIC berat memiliki mortalitas 50%.2,3

Komplikasi

Komplikasi DIC yang mungkin dapat terjadi antara lain: gagal ginjal akut (25%),

perubahan status mental (2%), disfungsi pernafasan (16%), disfungsi hati (19%),

perdarahan (64%) dan trombosis yang mengancam nyawa (pada pasien dengan DIC

sedang-berat hingga berat), tamponade jantung, hemotorak, hematoma intraserebral,

gangren pada jari-jari, syok (14%), kematian.2,5

Etiologi

Etiologi DIC merupakan kondisi yang mendasari munculnya DIC. Beberapa kondisi

yang berkaitan dengan DIC adalah sebagai berikut: 3,6

Sepsis

Bakterial : stafilokokus, streptokokus, pneumokokus, meningokokus, batang

Gram-negatif.

Viral : CMV, hepatitis, varicella

Mikosis

Parasit

Rickettsia

Trauma dan kerusakan jaringan : Cedera kepala, luka bakar luas, emboli lemak,

rhabdomyolisis

Penyakit pembuluh darah : Sindroma Kassabach-Merritt, aneurisma pembuluh

darah besar (misalnya aorta)

Komplikasi obstetri : abrupsio plasenta, emboli cairan amnion, sindroma

kematian janin, abortus septik.

Keganasan : adenokarsinoma (prostat, pankreas, dll), keganasan hematologi

(leukemia promielositik akut)

Kelainan imunologis : reaksi transfusi hemolitik akut, penolakan transplantasi

organ / jaringan, penyakit graft versus host

Obat-obatan : fibrinolitik, aprotinin, warfarin (khususnya pada neonatus dengan

defisiensi protein C), prothrombin concentration complex, amfetamin.

Page 3: MANAJEMEN GANGGUAN KOAGULASI PADA SEPSIS

3

Toksin hewan : ular, serangga

Penyakit hati : gagal hati fulminan, sirosis, fatty liver pada kehamilan

Lain-lain: Syok, sindrom distress pernafasan, transfusi masif

Patofisiologi DIC pada sepsis

Infeksi, khususnya septikemia merupakan kondisi klinis yang paing sering

menyebabkan DIC. Walaupun semua mikroorganisme dapat menyebabkan DIC, bakteri

merupakan patogen yang paling sering menyebabkan DIC. DIC yang nyata dapat terjadi

pada 30-50% pasien yang mengalami sepsis akibat bakteri Gram negatif. Mekanisme yang

terjadi pada proses terjadinya DIC pada pasien sepsis berbeda dari proses yang terlibat

pada leukemia maupun tumor solid.7

Sepsis merupakan sindroma klinis yang sudah dikenal secara luas dan merupakan

respon sistemik host terhadap infeksi. Kunci dari manifestasi klinis DIC sesungguhnya

bukan disebabkan oleh patogen yang menginvasi namun lebih diakibatkan dari kondisi

hipotensi, koagulopati, serta disfungsi multiorgan yang disebabkan oleh sepsis berat

sehingga berujung pada gangguan regulasi mediator-mediator inflamasi pada host.8

Gangguan hematologi yang terlihat pada DIC karena sepsis terdiri dari 4 mekanisme

yang terjadi secara bersama-sama yakni : (1) Kerusakan endotel dan pembentukan trombin

yang diperantarai oleh faktor jaringan (tissue factor) ; (2) Gangguan mekanisme fisiologis

antikoagulasi (misal, penekanan sistem anti-trombin dan protein C sehingga tidak dapat

mengimbangi pembentukan trombin) ; (3) gangguan degradasi fibrin akibat penekanan

sistem fibrinolisis. Hal ini terutama disebabkan oleh tingginya kadar plasminogen activator

inhibitor tipe 1 (PAI-1) yang beredar di sirkulasi, namun pada beberapa bentuk khusus DIC,

fungsi fibrinolisis dapat meningkat sehingga menyebabkan perdarahan ; (4) aktivasi

inflamasi (gambar 2).2,8

Gambar 2. Hubungan/korelasi antara

koagulasi dan inflamasi pada sepsis

yang memiliki ciri khas : aktivasi

koagulasi yang diinduksi oleh

inflamasi bersama-sama dengan

gangguan sistem antikoagulan,

fibrinolisis serta fungsi endotel.

Selanjutnya, pada sepsis, koagulasi

yang terjadi sebaliknya dapat

memperburuk inflamasi.8

Page 4: MANAJEMEN GANGGUAN KOAGULASI PADA SEPSIS

4

Gambaran yang khas pada sepsis adalah terjadinya aktivasi dan disfungsi endotel

mikrovaskular. Hal ini diawali oleh inflamasi akibat komponen dari dinding sel bakteri yang

mengandung berbagai lipopolisakarida (LPS) yang menempel pada permukaan endotel.

Begitu inflamasi dimulai, sejumlah besar mediator-mediator inflamasi langsung dilepas

termasuk sitokin, kemokin dan sistem komplemen. Mediator-mediator ini selanjutnya dapat

berfungsi untuk mengaktivasi sel-sel endotel lainnya. Hal lain yang terjadi adalah pada

sepsis, sel-sel endotel menjadi lebih permeabel sehingga terjadi perpindahan cairan ke

ekstravaskular dan hal ini dapat menyebabkan hipovolemia dan hipotensi. Selain itu, pada

keadaan sepsis, permukaan endotel yang seharusnya memiliki sifat anti-trombotik berubah

menjadi pro-trombotik. Hal ini berkaitan dengan kejadian trombosis dan kegagalan multi

organ (gambar 3).8

Gambar 3. Peran endotel pada kondisi normal dan sepsis. (A) pada kondisi normal. Terdapat lapisan

antikoagulan pada permukaan endotel yang mencegah koagulasi darah melalui ekspresi trombomodulin (TM)

serta reseptor PC endotel (EPCR) yang membantu trombin menghasilkan protein C yang teraktivasi (APC)

melalui tissue factor pathway inhibitor (TFPI) dan anti-trombin (AT) yang menempel di permukaannya dan

mensekresikan tissue-type plasminogen activator (tPA) yng kemudian mendorong terjadinya fibrinolisis. (B) saat

infeksi bakteri masuk dalam aliran darah, aktivasi inflamasi sistemik menyebabkan pelepasan sitokin serta

aktivasi dan disfungsi endotel sehingga terjadi pelepasan mikropartikel-mikropartikel (MPs), apoptosis,

kerusakan endotel (ECs) serta hilangnya fungsi sebagai barier. Proses koagulasi teraktivasi dimulai dari interaksi

antara tissue factor (TF) dengan monosit, MPs dan juga kemungkinan dengan endotelium lainnya serta

pelepasan von Willebrand factor (vWF) yang dapat menyebabkan adhesi platelet pada permukaan subendotelial

serta agregasi trombosit. Produksi glikosaminoglikans (GAGs) mengalami penurunan, sementara protein-protein

antikoagulan seperti TFPI, AT, EPCR dan TM terlepas dari permukaan endotel serta mengalami penurunan

fungsi. Selanjutnya AT dan APC akan terus dikonsumsi. Fungsi fibrinolisis terganggu akibat peningkatan

penghambat utama aktivator plasminogen (PA) yakni PA inhibitor-1 (PAI-1) yang peningkatannya melebihi tPA,

serta peningkatan aktivasi komplemen akibat hilangnya fungsi/aktivitas thrombin-activatable fibrinolysis (TAFI)

yang normalnya mampu menghambat faktor komplemen C3a dan C5a serta bradikinin. Protein-protein

antikoagulan ini selanjutnya akan berperan pada pelepasan sitokin. Tissue factor-factor VIIa (TF-FVIIa), faktor

(F) Xa, serta trombin menimbulkan aktivitas proinflamasi melalui pemotongan PAR-1 dan PAR-2. Pemotongan

PAR-1 oleh APC bergantung pada EPCR dan proses tersebut memodulasi inflamasi dan apoptosis.8

Page 5: MANAJEMEN GANGGUAN KOAGULASI PADA SEPSIS

5

Faktor jaringan dan pembentukan trombin

Trombin dapat dideteksi di dalam sirkulasi pada 3-5 jam setelah terjadinya

bakteremia ataupun endotoxemia. Banyak bukti ilmiah yang menunjukkan peran penting dari

sistem faktor jaringan/faktor VIIa dalam menginisiasi pembentukan trombin. 2

Paparan terhadap TF pada sirkulasi terjadi akibat adanya kerusakan endotelial,

kerusakan jaringan, inflamasi maupun sel tumor yang dapat mengekspresikan molekul

progoagulan (termasuk TF). TF mengaktivasi koagulasi lewat jalur ekstrinsik. Kompleks TF-

VIIa mengaktifkan trombin yang selanjutnya dapat memecah fibrinogen menjadi fibrin dan

secara bersamaan dapat menyebabkan agregasi trombosit. Jalur intrinsik dapat pula

mengalami aktivasi pada kondisi DIC ini hal ini malah dapat menyebabkan hemodinamik

semakin tidak stabil hingga hipotensi. Trombin yang dihasilkan oleh jalur TF/faktor VII

semakin memperkuat proses koagulasi dan inflamasi melalui mekanisme-mekanisme

berikut:2

Aktivasi platelet : peningkatan agregasi dan fungsi trombosit pada koagulasi

Aktivasi faktor VIII, V, dan XI sehingga semakin memperbanyak produksi trombin

Peningkatan aktivasi faktor-faktor proinflamasi melalui reseptor-reseptor yang

teraktivasi oleh protease (PARs/protease-avtivated resceptors)

Aktivasi faktor XIII menjadi XIIIa, sehingga memperbanyak produksi klot fibrin

dari fibrinogen

Aktivasi TAFI (thrombin-activatable fibrinolysis inhibitor) sehingga menyebabkan

klot tahan terhadap proses fibrinolisis.

Meningkatnya ekspresi molekul-molekul adhesi (misal, selektin) sehingga

memicu efek inflamasi leukosit

Faktor VIIa telah diketahui berperan penting sebagai mediator terjadinya koagulasi

intravaskular pada sepsis. Penghambatan jalur faktor VIIa pada sepsis telah diketahui dapat

mencegah progresivitas DIC, dimana penghambatan yang dilakukan pada jalur alternatif lain

tidak terbukti dapat mempengaruhi proses koagulasi. Dalam suatu studi, ditemukan bahwa

penghambatan jalur TF/faktor VII(a) oleh antibodi monoklonal yang spesifik pada aktivitas

TF atau faktor VIIa dapat menghambat pembentukan trombin secara komplit. Dari studi ini

terlihat bahwa jalur ekstrinsik lebih memainkan peran dalam DIC sedangkan jalur intrinsik

tidak terlalu berperan. TF sendiri hingga saat ini belum diketahui dengan pasti darimana

sumbernya. Kemungkinan, TF yang bersirkulasi bersumber dari sel-sel mononuklear

(monosit) ataupun mungkin pula bersumber dari sel-sel endotel yang mengalami injuri.

Namun, peran TF yang diekspresikan oleh sel-sel endotel dalam patogenesis DIC masih

dalam penyelidikan. 2

Page 6: MANAJEMEN GANGGUAN KOAGULASI PADA SEPSIS

6

Gangguan sistem antikoagulan

Pembentukan trombin semestinya diatur sedemikian rupa melalui berbagai

mekanisme hemostasis. Namun, begitu proses koagulasi intravaskular dimulai, mekanisme

tersebut tidak sanggup untuk melakukan kompensasi yang diperlukan. Gangguan fungsi ini

menyebabkan pembentukan trombin semakin besar serta berperan dalam pembentukan

fibrin. Kadar anti-trombin juga berkurang pada keadaan DIC. Hal ini disebabkan oleh:2

Anti trombin terpakai secara terus menerus akibat proses koagulasi yang terus

berlangsung

Estalase yang dihasilkan oleh neutrofil yang teraktivasi mendegradasi anti-

trombin dan protein-protein lainnya.

Kehilangan anti-trombin akibat kebocoran kapiler

Terganggunya produksi anti-trombin terkait kerusakan hati akibat kurangnya

perfusi dan koagulasi mikrovaskular

Rendahnya kadar anti-trombin pada DIC memiliki korelasi dengan peningkatan

mortalitas, khususnya pada pasien dengan sepsis. Kadar anti-trombin yang rendah

mengawali munculnya manifestasi klinis sepsis. Hal ini kemungkinan menunjukkan bahwa

anti-trombin memang terlibat dalam patogenesis DIC dan memiliki kaitan pula dengan

disfungsi organ.2

Selain dari menurunnya jumlah anti-trombin, sistem protein-C juga ternyata

mengalami penekanan yang signifikan. Protein-C bersama dengan protein-S juga termasuk

dalam mekanisme utama kompensasi antikoagulan. Dalam kondisi normal, protein-C

diaktifkan oleh trombin melalui trombomodulin pada permukaan se-sel endotel. Protein-C

yang teraktivasi menghalangi proses koagulasi dengan melakukan pemecahan (proteolitik)

pada faktor Va dan VIIIa serta PAR1 melalui ikatan dengan reseptor protein-C pada sel

endotelial (EPCR/endothelial cell protei-C receptor). Gangguan fungsi protein-C ini terjadi

akibat adanya berkurangnya ekspresi trombomodulin ataupun terjadinya proses inaktivasi

akibat spesies oksigen reaktif (ROC/reactive oxygen species) pada sel-sel endotelial melalui

sitokin-sitokin proinflamatori seperti tumor necrosis factor-alpha (TNF-α) dan interleukin (IL)-

1b. Hal ini telah diketahui dalam suatu pengamatan pada pasien-pasien sepsis akibat

meningokokus. Selain itu, terdapat pula penurunan jumlah zimogen/pro-enzim protein-C

(mekanismenya sama dengan apa yang terjadi pada antitrombin) sehingga semakin

meningkatkan status pro-koagulasi. Lebih lanjut lagi protein-C semakin berkurang akibat

konsumsi yang terus-menerus, kebocoran ekstravaskular, kehilangan lewat ginjal,

berkurangnya produksi protein-C oleh hati serta berkurangnya protein-S bebas yang

bersirkulasi. Penelitian yang dilakukan pada hewan pecobaan yang mengalami koagulasi

akibat inflamasi berat menunjukkan bahwa gangguan terhadap sistem protein-C

Page 7: MANAJEMEN GANGGUAN KOAGULASI PADA SEPSIS

7

meningkatkan mortalitas dan morbiditas, sementara hal sebaliknya terjadi dimana angka

keselamatan meningkat, kegagalan organ berkurang dengan perbaikan terhadap sistem

protein-C.2

TFPI (TF pathway inhibitor) merupakan mekanisme antikoagulan lain yang

mengalami penekanan pada DIC. TFPI dapat menghambat faktor Xa secara reversibel dan

trombin secara ireversibel serta memiliki kemampuan untuk menghambat kompleks TF-VIIa.

Meskipun ternyata kadar TFPI normal pada kondisi sepsis, ternyata pada keadaan DIC

terdapat suatu kondisi insufusiensi relatif. Namun peran TFPI dalam patogenesis DIC masih

belum sepenuhnya dimengerti. Studi eksperimental pada manusia menunjukkan bahwa

pemberian rekombinan TFPI dapat mem-blok pembentukan trombin akibat inflamasi.2.8

Gangguan sistem fibrinolisis

Fibrin intravaskular yang dihasilkan oleh trombin normalnya dieliminasi oleh proses

fibrinolisis. dalam sebuah model eksperimental terlihat bahwa, disaat proses koagulasi

berlangsung pada titik maksimal, maka sistem fibrinolisis justru terhenti. Hal ini dikarenakan

adanya peningkatan kadar PAI-1 plasma secara terus-menerus. Proses ini dimediasi oleh

TNF-2 dan IL-1. Peningkatan kadar PAI-1 muncul sebelum DIC dan hal ini merupakan

pertanda buruknya prognosis. Dalam sebuah studi ditemukan bahwa pada pasien DIC

dengan kegagalan multi organ terdapat peningkatan kadar antigen tissue plasminogen

activator (t-PA) dan PAI-1 disertai berkurangnya kadar α2-antiplasmin dibandingkan dengan

pasien DIC tanpa kegagalan multi-organ. Temuan ini mendukung kesimpulan bahwa

fibrinolisis merupakan mekanisme yang penting untuk mencegah kegagalan multi-organ.2

Namun pada beberapa kondisi yang jarang, DIC dapat muncul dengan karakteristik

hiperfibrinolisis yang berat dimana pada saat yang sama aktivitas sistem koagulasi juga

sedang berada pada titik puncak. Hal ini dapat dijumpai sebagai komplikasi dari leukemia

mieloid akut (M-3 menurut klasifikasi FAB/French-American-British) atau pada beberapa

keganasan berupa adenokarsinoma. Pada keadaan ini, meskipun kondisi hiperfibrinolisis

lebih dominan, namun trombosis yang luas juga tetap muncul secara signifikan. Namun

secara klinis biasanya hal yang menonjol pada pasien ini adalah perdarahan. Secara umum,

terapi anti-fibrinolitik pada pasien DIC tidak direkomendasikan oleh karena hal ini dapat

meningkatkan defisit fibrinolisis dan meningkatkan trombosis.2

Aktivasi inflamasi

Terdapat keterkaitan penting (komunikasi silang) antara jalur inflamasi dan

koagulasi. Kondisi inflamasi dapat meningkatkan aktifitas kaskade pembekuan darah,

sebaliknya peningkatan proses koagulasi dapat meningkatkan kondisi inflamasi itu sendiri.

Selain itu, terdapat pula beberapa faktor lain yang memperberat gangguan keseimbangan

hemostasis sehingga menyebabkan kecenderungan pasien berada dalam status

hiperkoagulasi. Banyak faktor-faktor koagulasi yang mengalami aktivasi pada DIC memiliki

Page 8: MANAJEMEN GANGGUAN KOAGULASI PADA SEPSIS

8

peranan dalam perburukan inflamasi melalui rangsangan pelepasan sitokin-sitokin

proinflamasi oleh sel-sel endotel. Faktor X, trombin, serta kompleks TF-VIIa telah terbukti

dapat menngkatkan proses inflamasi.2

Klasifikasi dan Gambaran Klinis

Klasifkasi

Berdasarkan pemeriksaan laboratorium terhadap fungsi hemostasis, DIC dapat

diibagi menjadi 3 yakni : fase kompensasi, hiperkompensasi dan fase dekompensasi dengan

gambaran laboratorium seperti terlihat pada tabel 1.5

Tabel 1. Pembagian DIC berdasarkan nilai laboratorium 5

Pemeriksaan Kompensasi Hiperkompensasi Dekompensasi

Trombosit Normal Normal Menurun

PTT Normal Normal/meningkat Meningkat

aPTT Normal Normal/meningkat Meningkat

Fibrinogen Normal Normal/meningkat Menurun

D-Dimer +/meningkat +/meningkat ++/sangat meningkat

Gejala klinis

Gejala DIC yang muncul bergantung pada kondisi penyakit yang mendasarinya.

Kondisi-kondisi tersebut antara lain : sepsis atau infeksi berat, trauma (politrauma,

neurotrauma, emboli lemak), destruksi organ (pankreatitis berat), keganasan (tumor

proliferatif, keganasan mieloproliferatif/limfiproliferatif), masalah obstetri (emboli cairan

amnion, abrupsio plasenta), gangguan vaskular (sindroma Kasabach-Merrit, aneurisma

pembuluh darah besar), gagal hati berat, reaksi toksik/imunologik berat (gigitan ular, obat-

obat rekreasional, reaksi transfusi, penolakan transplantasi).2

Gambaran klinis umum meliputi : demam, hipotensi, asidosis, hipoksia dan

proteinuria. Pada sebuah studi yang melibatkan 118 pasien didapatkan gambaran utama

yang terjadi pada pasien-pasien DIC antara lain: (1) perdarahan (64%), dapat berasal dari

gusi, saluran cerna, luka bekas operasi maupun rongga serosa paska operasi, petechiae,

ekimosis, epistaksis, hematoma, purpura, perdarahan dari kateter intra vena maupun kateter

urin (hematuri); (2) gangguan fungsi ginjal (25%) ; (3) gangguan fungsi hati (19%) ; (4)

gangguan pernafasan (16%) ; (5) Syok (14%) ; (6) gangguan susunan saraf pusat (2%).

Selain itu, perlu juga diperhatikan berbagai gejala dan tanda terkait trombosis pembuluh

darah besar (misal deep vein thrombosis [DVT]) dan trombosis mikrovaskular (misal, gagal

ginjal). Perdarahan yang bersumber dari 3 tempat yang tidak saling berhubungan

Page 9: MANAJEMEN GANGGUAN KOAGULASI PADA SEPSIS

9

merupakan suatu tanda DIC. Pada DIC yang melibatkan paru, gejalanya dapat berupa

sesak nafas, batuk darah, serta batuk.2

Pemeriksaan fisik

Pada DIC akut, pemeriksaan fisik yang dapat ditemukan biasanya merupakan bagian

dari kondisi yang menyebabkan/mendasarinya serta sistem/organ yang terlibat. Pada

kondisi DIC kronis ataupun subakut, manifestasi utamanya adalah trombosis sebagai akibat

berlebihnya produksi trombin, tanda-tanda trombo-emboli vena dapat muncul dalam kondisi

seperti ini. Tanda-tanda yang berhubungan dengan sirkulasi adalah sebagai berikut: (1)

tanda-tanda perdarahan spontan dan mengancam jiwa ; (2) tanda-tanda perdarahan

subakut ; (3) tanda-tanda trombosis yang diffus dan terlokalisasi ; (4) perdarahan pada

rongga serosa. Sementara tanda-tanda keterlibatan saraf pusat antara lain: (1) penurunan

kesadaran ataupun sopor dengan penyebab yang tidak spesifik ; (2) defisit neurologis fokal

yang berlangsung sementara. Tanda-tanda keterlibatan sistem kardovaskular antara lain :

(1) hipotensi ; (2) takikardi ; serta (3) kegagalan sirkulasi. Tanda-tanda keterlibatan sistem

pernafasan antara lain : (1) friction rub pleura ; (2) tanda-tanda acute respiratory distress

syndrome (ARDS). Tanda-tanda keterlibatan gastrointestinal antara lain : (1) hematemesis;

(2) hematochezia. Tanda-tanda keterlibatan genitourinaria antara lain: (1) tanda-tanda

azotemia dan gagal ginjal; (2) asidosis; (3) hematuria; (4) oliguria; (5) metrorrhagia: (6)

perdarahan uterus. Tanda-tanda dermatologis antara lain: (1) petechiae; (2) bullae

hemoragik; (3) sianosis akral; (4) nekrosis kulit ekstremitas bawah (purpura fulminan); (5)

infark lokal dan gangrene; (6) perdarahan luka dan hematom di area subkutaneus; (6)

trombosis.2

Diagnosa Banding

Diagnosa banding yang perlu dipikirrkan pada keadaan DIC antara lain: 2

1. Disfibrinogenemia

2. Sindroma hemolitik-uremik

3. Trombositopenia imbas heparin

4. Idiopathic thrombocytopenic purpura (ITP)

5. Thrombotic thrombocytopenic purpura

Diagnosis & Penjajakan

Diagnosis DIC

Diagnosis DIC bisa saja sulit ditegakkan, apalagi pada kasus DIC yang kronis dan

kurang nyata, dimana kelainan klinis dan laboratorium yang dijumpai agak kabur. Tidak ada

satupun pemeriksaan laboratorium rutin ataupun prosedur diagnostik yang telah ditetapkan

yang cukup sensitif sekaligus spesifik dalam mendiagnosis DIC oleh karena itu, diagnosis

Page 10: MANAJEMEN GANGGUAN KOAGULASI PADA SEPSIS

10

DIC harus berdasarkan gabungan dari data klinis dan laboratorium (Grade C, Level IV).2,3

Namun demikian beberapa nilai laboratorium yang sering dijumpai abnormal pada keadaan

DIC antara lain, waktu pembekuan yang memanjang (PT dan aPTT), tingginya kadar

produk-produk degradasi fibrin, peningkatan nilai D-dimer, trombositopenia ringan hingga

berat (98% dari seluruh pasien DIC dan 50% dengan jumlah trombosit <50 x 109/L).

Ditemukannya schistocytes (gambar 3) pada pemeriksaan hapus darah tepi sebagai

pertanda patologis untuk mikroangiopati (10%). Selain itu, pada pemeriksaan darah tepi

dapat pula dijumpai burr cell (gambar 4). Nilai laboratorium yang didapat merupakan nilai

sesaat dan sangat cepat berubah, oleh karena ini pemeriksaan ulangan mesti dilakukan

(Grade B, Level III).2,3

Gambar 4. Sel darah merah yang terfragmentasi/skistosit (Kiri) dan burr cell (Kanan)

Hitung jumlah trombosit

Trombositopenia merupakan suatu pemeriksaan yang sensitif namun tidak spesifik

untuk DIC, pemeriksaan ulangan perlu dilakukan untuk melihat apakah hasil yang

didapatkan merupakan rentang nilai normal trombosit pasien atau memang suatu

trombositopenia yang khas untuk DIC jika didapatkan adanya penurunan dari nilai awal.2,3

Waktu pembekuan darah serta pemeriksaan faktor-faktor koagulasi

Pemeriksaan waktu pembekuan darah (misalnya, aPTT dan PT) biasanya

memperlihatkan adanya pemanjangan pada 50% pasien DIC sebagai akibat berkurangnya

faktor-faktor koagulasi karena konsumsi yang terus menerus. Namun nilai yang normal atau

bahkan memendek dapat pula dijumpai. Keadaan ini dapat terjadi sebagai akibat dari

aktifasi faktor-faktor koagulasi pada sirkulasi seperti thrombin (Xa). Oleh karena itu,

pemeriksaan ini tidak dapat dilakukan untuk menyingkirkan DIC bila hasilnya normal. Dalam

hal monitoring, nilai PT lah yang digunakan untuk memantau DIC, bukan nilai INR. Nilai INR

digunakan untuk pemantauan terapi antikoagulan oral.2,3

Page 11: MANAJEMEN GANGGUAN KOAGULASI PADA SEPSIS

11

Protein C dan antithrombin merupakan 2 antikoagulan alami yang sering dijumpai

menurun jumlahnya pada kondisi DIC. Terdapat beberapa bukti ilmiah yang menganjurkan

untuk menggunakan kedua hal diatas sebagai indikator prognostik. Namun secara umum

pemeriksaannya masih belum tersedia di kebanyakan sentra pelayanan kesehatan,

sehingga aplikasinya masih relatif jarang.2

Pemeriksaan fibrinogen, D-dimer, dan produk degradasi fibrin

Aktifasi fibrin merupakan suatu proses/komponen utama dalam DIC, oleh karenanya

logis jika ditemukan adanya peningkatan nilai fibrin terlarut, maka diagnosis DIC dapat lebih

yakin untuk ditegakkan. Namun pemeriksaan fibrin terlarut juga masih belum tersedia secara

luas bagi para klinisi.2,3

Konsumsi fibrin secara masif pada DIC secara logika akan menyebabkan penurunan

kadar fibrinogen. Hal ini menyebabkan pemeriksaan fibrinogen digunakan secara luas untuk

diagnosis DIC, namun pada kenyataannya, nilai fibrinogen pada keadaan inflamasi justru

meningkat, dan meskipun nilainya akan menurun sejalan dengan progresifitas penyakit,

nilainya jarang mencapai batas bawah nilai normal. Pada sebuah studi, diperlihatkan bahwa

nilai fibrinogen tetap dalam rentang normal pada 57% pasien DIC. Selain itu, dalam studi

lain diperlihatkan bahwa sensitifitas nilai fibrinogen yang rendah dalam mendiagnosis DIC

hanya 28%. Namun pemeriksaan serial fibrinogen memberikan nilai yang lebih bermakna

sebagai petunjuk diagnosis.2,3

Fibrinolisis merupakan salah satu proses yang penting pada DIC, oleh karenanya

seharusnya terdapat bukti dari proses degradasi fibrin yakni berupa peningkatan nilai D-

dimer dan produk-produk degradasi fibrin lainnya. Proses proteolisis terhadap tautan silang

fibrin yang tidak terlarut menghasilkan sebuah neo-epitop unik yang memiliki ciri ikatan D-D

(D-dimer). Pemeriksaan D-Dimer ini memberikan hasil yang lebih bernilai untuk DIC. Selain

itu, pemeriksaan D-diimer berguna untuk membedakan DIC dari kondisi-kondisi yang

memberikan gambaran yang sama berupa penurunan jumlah trombosit, pemanjangan waktu

koagulasi seperti misalnya pada penyakit hati kronis.2

Sistem skoring DIC

Diagnosis DIC didasarkan pada berbagai gambaran klinis serta laboratorium. The

International Society on Thrombosis and Haemostasis (ISTH) mengembangkan sebuah

sistem skoring sederhana untuk mendiagnosis DIC yang jelas/nyata dan DIC yang

kurang/tidak nyata dengan menggunakan parameter laboratorium yang tersedia di hampir

seluruh laboratorium rumah sakit (Grade C, Level IV) seperti terlihat pada gambar 5 dan

gambar 6.2,3

Page 12: MANAJEMEN GANGGUAN KOAGULASI PADA SEPSIS

12

Gambar 5. Sistem skoring untuk DIC yang nyata/overt.9

Gambar 6. Sistem skoring untuk DIC yang tidak nyata/non-overt.9

Skor 5 atau lebih mengindikasikan suatu DIC yang nyata, namun skor kurang dari 5

tidak mengeksklusikan DIC namun dapat berupa suatu DIC yang tidak nyata. Sensitifitas

sistem skoring ini adalah 91-93% dan spesifisitasnya 97-98%. Suatu sudi yang lain

memperlihatkan bahwa skoring ini dapat pula digunakan sebagai indikator prognostik di

ruang rawat intensif, dimana mortalitas sepsis yang disertai DIC ditemukan >40%

sedangkan sepsis tanpa DIC <25%. Setiap poin dalam skor ini memiliki odds ratio 1,29.2

Page 13: MANAJEMEN GANGGUAN KOAGULASI PADA SEPSIS

13

Selain ISTH, terdapat pula sistem skoring lainnya, antara lain yang diberikan oleh

The Japanese Associaton for Acute Medicine (JAAM) seperti terlihat pada gambar 7,

Dimana skoring yang digunakan khusus didesain untuk pasien-pasien dengan kondisi kritis.

Sistem ini telah divalidasi oleh studi-studi prospektif lainnya, dan dapat mendiagnosa DIC

lebih dini dari metode-metode sebelumnya. Penangan yang agresif terhadap DIC dan

kondisi/penyakit yang mendasarinya terbukti mampu meningkatkan keberhasilan dalam

outcome dan mengurangi mortalitas pasien.2

Gambar 7. Sistem skoring DIC berdasarkan Japanese Association for Acute Medicine (JAAM).10

Page 14: MANAJEMEN GANGGUAN KOAGULASI PADA SEPSIS

14

Diagnosis Sepsis

Diagnosis sepsis dapat ditegakkan berdasarkan adanya temuan/sangkaan infeksi

desertai dengan sistemic inflammatory respons syndrome (SIRS) yang ditandai dengan dua

atau lebih kondisi-kondisi berikut : (1) demam (temperatur oral >38oC) atau hipotermia

(<36oC); (2) takipnea (>24 kali/menit); (3) takikardia (heart reate >90 kali/menit); (4)

leukositosis (>12.000/µL), leukopenia (<4.000/µL),atau > 10% bands. Disebut sepsis

berat/sindroma sepsis jika sepsis bersama-sama dengan satu atau lebih tanda disfungsi

organ (gambar 8).11 Sementara itu, syok sepsis merupakan sepsis disertai hipotensi

(tekanan darah sistolik arterial <90 mmHg, atau lebih rendah 40 mmHg dari tekanan darah

rata-rata pasien biasanya) selama satu jam meski telah dilakukan pemberian cairan yang

adekuat. Atau jika pasien membutuhkan vasopresor untuk mempertahankan tekanan darah

sistolik >90 mmHg atau mean arterial pressure > 70 mmHg.11

Gambar 8. Kriteria diagnosis sepsis berat.12

Manajemen DIC pada Sepsis

Pertimbangan umum

Penanganan DIC utamanya ditujukan pada kondisi/kelainan yang mendasarinya

(Grade C, Level IV) sesuai dengan etiologi yang telah disampaikan sebelumnya. Biasanya

kondisi DIC akan menghilang jika kelainan primer/etiologinya berhasil ditangani dengan

baik. Prinsip penanganan DIC antara lain: (1) Suportif, antara lain : resusitasi, stabilisasi

hemodinamik dan tanda vital serta monitoring, bebaskan jalan nafas, nilai dan catat berat

dan luasnya perdarahan serta trombosis, koreksi hipovolemia, koreksi kadar gula darah,

gangguan asam basa dan elektrolit (2) Mengobati penyakit primer/mengatasi infeksi, serta

(3) Menghambat proses patologis DIC.2,5,12

Penanganan DIC harus dilakukan pada rumah sakit yang memiliki fasilitas

perawatan kritis yang memadai serta tenaga subspesialis yang berpengalaman seperti

Page 15: MANAJEMEN GANGGUAN KOAGULASI PADA SEPSIS

15

hematologi, bank darah, ahli bedah. Pasien yang masuk ke rumah sakit tanpa kapabilitas

seperti yang telah disebut diatas, harus segera ditransfer jika keadaan pasien cukup stabil.1,2

Mengahambat proses patologis DIC

Transfusi trombosit

Transfusi trombosit dan faktor-faktor koagulasi jangan semata-mata hanya untuk

tujuan mengkoreksi nilai laboratorium namun lebih ditujukan pada kondisi klinis seperti

perdarahan ataupun persiapan untuk tindakan/prosedur invasif tertentu untuk

meminimalisasi resiko perdarahan (Grade C, Level IV). Nilai ambang batas nilai trombosit

yang perlu ditransfusi cukup beragam, namun kebanyakan klinisi memberikan transfusi

trombosit jika nilai trombosit <20 x 109/L meski tanpa perdarahan. Pada kasus DIC dengan

perdarahan aktif, nilai trombosit trombosit 20x 109/L s/d 50 x 109/L merupakan batas dimana

transfusi trombosit dapat diberikan (dosis 1-2 U/kg/hari) (Grade C, Level IV).1,2,3

Koreksi faktor koagulasi

Pemberian faktor-faktor koagulasi sebelumnya dianggap memperburuk kondisi

karena hal ini dianggap sama dengan “menyiram minyak ke dalam api”. Namun hal ini tidak

terbukti dalam studi-studi ilmiah. Namun secara umum pemberian kriopresipitat dan faktor

koagulasi konsentrat jangan diberikan secara rutin sebagai terapi pengganti pada kasus

DIC. Pemberian FFP bermanfaat dan dapat diberikan pada kondisi perdarahan pada DIC

disertai adanya PT dan aPTT yang memanjang ataupun pada kondisi direncanakan untuk

dilakukan prosedur invasif (Grade C, Level IV).1,2,3 Defisiensi fibrinogen berat (<1 g/l) dapat

dikoreksi dengan pemberian kriopresipitat ataupun fibrinogen konsentrat murni bersama-

sama dengan pemberian fresh frozen plasma (FFP). Faktor-faktor koagulasi yang

mengalami defisiensi akibat konsumsi dapat dikoreksi dengan pemberian FFP, khususnya

jika nilai INR >2.0, aPTT meningkat dua kali lipat, atau jika fibrinogen <100 mg/dL. Dosis

FFP yang dianjurkan adalah 15 mg/kg. Pemeriksaan ulangan terhadap waktu pembekuan

darah (aPTT dan PT) perlu dilakukan untuk memantau defek koagulasi (jika perlu dapat

dilakukan tiap 8 jam). Pada keadaan terdapat defisiensi vitamin K akibat konsumsi,

pemberian vitamin K dapat pula diberikan.1,2

Pemberian kompleks protrombin konsentrat (PCC) memberikan manfaat dimana

hanya diperlukan sedikit volume sehingga pada keadaan pasien yang mengalami

overvolume, pemberian PCC lebih menguntungkan (Grade C, Level IV). Namun terdapat hal

yang merugikan yakni pada PCC terdapat kekurangan faktor koagulasi yang cukup penting

yakni faktor V sementara pada DIC terdapat defisiensi global dari faktor-faktor koagulasi.

Selain itu beberapa literatur menyebutkan pemakaian PCC bisa saja merugikan karena

adanya aktivasi dari faktor-faktor koagulasi yang terdapat dalam PCC tersebut.1,2

Page 16: MANAJEMEN GANGGUAN KOAGULASI PADA SEPSIS

16

Antikoagulan

Heparin harus diberikan pada keadaan yang menunjukkan adanya deposisi fibrin

yang luas namun tanpa adanya perdarahan yang signifikan (4-5 U/kg). Pemberian heparin

bertujuan untuk mencegah trombosis pada keadaan DIC. Pemberian heparin pada dosis

terapeutik diindikasikan jika dijumpai adanya trombo-emboli yang nyata seperti purpura

fulminan, atau iskemik akral. Pada kondisi sepsis berat, pemberian low molecular weight

heparin (LMWH) terbukti lebih superior dalam sebuah uji klinik acak.2 Pada kondisi DIC

dengan adanya resiko tinggi perdarahan, lebih baik diberikan infus heparin kontinu dengan

dosis 10 µ/kg/jam tanpa perlu mencapai target rasio aPTT 1,5-2,5 kali kontrol. Monitoring

sebaiknya hanya dilakukan pada tanda-tanda klinis perdarahan(Grade C, Level IV).3 Pada

kondisi penyakit kritis, pasien DIC yang tidak mengalami perdarahan, direkomendasikan

profilaksis trombo-emboli vena dengan heparin dosis profilaksis atau LMWH (Grade A, Level

IB).1,3

Pemberian protein C yang teraktivasi terbukti bermanfaat untuk kasus DIC yang

disebabkan oleh sepsis oleh karena efek antikoagulasinya. Namun belakangan

peredarannya ditarik dari pasaran karena pada sebuah trial (PROWESS-SHOCK),

pemberian protein C (drotrecogin alfa) tidak menunjukkan adanya manfaat pada angka

keselamatan pasien dengan sepsis berat dan syok sepsis. Demikian pula halnya dengan

pemberian anti-trombin, dimana sebuah studi acak dalam skala besar tidak dapat

menunjukkan manfaat pemberian anti-trombin dalam menurunkan mortalitas pada DIC

(Grade A, Level IB).1,2

Tissue factor pathway inhibitor (TFPI) belakangan ini banyak mendapat perhatian

sebagai terapi yang cukup potensial untuk DIC terkait sepsis. Percobaan yang dilakukan

pada hewan telah memperlihatkan hasil yang cukup menjanjikan untuk menahan laju DIC

dan mencegah kematian serta kerusakan organ. Namun sayangnya, uji fase III terhadap

TFPI pada manusia dengan DIC ternyata tidak menunjukkan manfaat yang signifikan

terhadap penurunan mortalitas.1,2

Trombomodulin rekombinan (rTM) dapat digunakan pada DIC dengan etiologi sepsis

berat dan keganasan hematopoetik. Trombomodulin dapat berikatan dengan trombin dan

memungkinkan aktivasi protein C. Selain itu trombomodulin juga memiliki manfaat untuk

menghambat proses inflamasi melalui ikatannya dengan high-mobility group B (HBGM-1).

Dalam sebuah studi acak terbukti bahwa rTM memberi hasil yang lebih baik dalam

mengendalikan DIC dibandingkan dengan heparin unfractionated, khususnya dalam

mengontrol diathesis perdarahan yang persisten.1,2

Antifibrinolitik

Pemberian antifibrinolitik pada kasus-kasus perdarahan memang terbukti efektif,

namun khusus untuk perdarahan pada DIC, secara umum pemberian antifibrinolitik tidak

Page 17: MANAJEMEN GANGGUAN KOAGULASI PADA SEPSIS

17

direkomendasikan (Grade C, Level IV) kecuali pada perdarahan dalam kasus-kasus jarang

dimana terdapat kondisi hiperfibrinolisis misalnya pada koagulopati yang disebabkan oleh

leukemia promielositik akut (AML-M3), trauma, serta beberapa kasus DIC akibat keganasan

(misal, karsinoma prostat) dengan dosis 1 g tiap 8 jam (Grade C, Level IV).1,2

Kesimpulan

Penyebab tersering DIC adalah sepsis.

Pada DIC yang disebabkan oleh sepsis, terdapat ciri khas yakni, proses

koagulasi diawali oleh kerusakan endotel sebagai penghasil TF

Diagnosis DIC harus dibuat berdasarkan gabungan data klinis dan laboratorium.

Pada DIC oleh karena sepsis, harus terdapat bukti/sangkaan adanya infeksi

Manajemen DIC akibat sepsis mencakup 3 hal yakni: (1) terapi suportif (2)

mengatasi infeksi dan (3) menghentikan proses patologis DIC.

Pemberian terapi yang ditujukan pada penghentian proses patologis DIC ataupun

pemberian faktor-faktor koreksi harus didasarkan pada kondisi klinis, bukan

laboratorium semata

Antikoagulan harus segera diberikan jika terdapat indikasi baik untuk profilaksis

maupun terapeutik

Page 18: MANAJEMEN GANGGUAN KOAGULASI PADA SEPSIS

18

DAFTAR PUSTAKA

1. Wada H, Thachil J, Di Nisio, M, Mathew P, Kurosawa S, Gando S, Kim HK, Nielsen JD,

Dempfle C-E, Levi M, Toh CH. Guidance for diagnosis and treatment of disseminated

intravascular coagulation from harmonization of the recommendations from three

guidelines. J Thromb Haemost 2013; 11: 761–7.

2. Levi M. Disseminated intravascular coagulation. Medscape medical reference. 2014

3. Levi M, Toh CH, Thachil J, Watson HG. Guideline for the diagnosis and management of

disseminated intravascular coagulation. 2009. Blackwell Publishing Ltd, British Journal of

Haematology, 145, 24–33.

4. Levi M, Hate HT. Disseminated intravascular coagulation. 1999. Massachusetts Medical

Society. Volume 341 Number 8.

5. Koagulasi intravaskular disseminata. Dalam Rani AA, Soegondo S, Nazir AUZ, Wijaya

IP, Nafrialdi, Mansjoer A, ed. Panduan Pelayanan Medik – PAPDI. 2009. Interna

Publishing. Hal 201-202.

6. Arruda VR, High KA. Coagulation disorders. In : Longo DL, Kasper DL, Jameson JL,

Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J. Harrison’s principles of internal medicine, ed. 18th ed.

McGraw Hill. New York ; Vol 1, p973-982.

7. Dalainas I. Pathogenesis diagnosis and management of disseminated intravascular

coagulation : a literature review. European Review for Medical and Pharmacological

Sciences. 2008;12: 19-31.

8. Schouten M, Wiersinga WJ, Levi M, Van der Pol T. Inflammation endothelium and

coagulation in sepsis. 2008. Journal of Leucocyte Biology. Volume 83. p536-545. DOI :

10.1189/jlb.0607373.

9. Toh CH, Hoots WK, on behalf of the SSC on Disseminated Intravascular Coagulation of

the ISTH. The scoring system of the Scientific and Standardisation Committee on

Disseminated Intravascular Coagulation of the International Society on Thrombosis and

Haemostasis: a 5-year overview. J Thromb Haemost 2007; 5: 604–6.

10. Gando S, Saoitoh D, Ogura H, Mayumi T, Koseki K, Ikeda T et al. Natural history of

disseminated intravascular coagulaton diagnosed based on the newly established

diagnostic criteria for critically ill patients: Result of a multicenter, prospective survey. Crit

Care Med 2008 Vol. 36, No. 1. DOI: 10.1097/01.CCM.0000295317.97245.2D

11. Munford RS. Severe sepsis and septic shock. Dalam: Longo DL, Kasper DL, Jameson

JL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J, ed. Harrison’s Principles of Internal Medicine, 18th

edition. McGraw-Hill Companies, Inc. Vol 1, Chapter 271. p2223-31

12. Dellinger RP, Levy MM, Rhodes A, Annane D, Gerlach H, Opal SM, et al. Surviving

sepsis campaign: international guidelines for management of severe sepsis and septic

shock: 2013. Critical Care Medicine. Volume 41. p580-637