makalah sei kelompok kitaaa
TRANSCRIPT
TUGAS TERSTRUKTUR MATA KULIAH SISTEM EKONOMI ISLAM
TEORI PERILAKU PRODUSEN
Oleh :
Riska Dewi A (C1C009004)
Liantina R.C.W (C1C009037)
Diah Ayu Paramita (C1C009039)
Laela Yunita D.W (C1C009052)
Dian Lavina (C1C009058)
KEMENTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS EKONOMI
JURUSAN AKUNTANSI
PURWOKERTO
2011
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb
Puji Syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah mencurahkan
rahmat serta hidayah-Nya. Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi besar
Muhammad SAW dan para pengikutnya hingga akhir zaman sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “ Teori Perilaku Produsen”.
Terima kasih juga kami sampaikan kepada kedua orang tua kami yang telah memberi
doa, semangat dan dukungannya kepada kami. Tak lupa pula kami sampaikan banyak terima
kasih kepada semua pihak yang telahmembantu dalam pembuatan dan penyelesaian makalah
ini baik secara langsung maupun tidak langsung.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih terdapat banyak kekurangan dan jauh dari
sempurna. Maka dari itu, kami mengharapkan saran dan kritik yang membangun guna
perbaikan di kesempatan yang akan datang.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb
Purwokerto, April 2011
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ………………………………………………………… i
BAB I : PENDAHULUAN ………………………………………………………… 1
BAB II : ISI
A. Pengertian dan Ruang Lingkup Produksi Menurut Islam ………………… 2
B. Tujuan Produksi Menurut Islam ………………………………………… 4
C. Motivasi Produsen dalam Berproduksi ………………………………… 7
D. Formulasi Mashlahah bagi Produsen …………………………………
E. Penurunan Kurva Penawaran …………………………………………
BAB III : PENUTUP …………………………………………………………….
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………….
BAB I
PENDAHULUAN
Produksi merupakan kegiatan mengahasilkan barang dan jasa. Produksi merupakan
aktivitas ekonomi yang sangat menunjang kegiatan konsumsi. Tanpa produksi, konsumen
tidak akan dapat mengonsumsi barang dan jasa yang dibutuhkan. Produksi dan konsumsi
merupakan mata rantai yang saling berkaitan dan tidak bisa saling dilepaskan.
Pada dasarnya, prinsip-prinsip yang berlaku pada konsumsi, juga berlaku pada
produksi. Jika konsumen mengonsumsi barang dan jasa bertujuan untuk memperoleh
mashlahah, produsen memproduksi barang dan jasa juga dimaksudkan untuk mendapat
mashlahah. Dengan demikian, produsen dan konsumen memiliki tujuan yang sama, yaitu
mencapai mashlahah.
BAB II
ISI
Teori Perilaku Produsen
Bab ini akan membahas perilaku produsen, meliputi motivasi dan tujuannya dalam
berproduksi, perilaku yang berkaitan dengan upaya meraih maslahah, hingga prinsip dan
nilai yang harus dipegangnya. Perilaku produsen ini kemudian akan menjadi dasar kurva
penawaran dipasar. Pemaparan kegiatan produksi pada masa Rasulullah SAW, serta sejarah
kegiatan produksi menurut Al-Qur’an.
A. Pengertian dan Ruang Lingkup Produksi Menurut Islam
Definisi Produksi Secara Umum
Produksi adalah kegiatan manusia untuk menghasilkan barang dan jasa yang
kemudian dimanfaatkan oleh konsumen. Pada mulanya, seseorang memproduksi sendiri
barang dan jasa yang dibutuhkan. Seiring dengan semakin beragamnya kebutuhan, seseorang
tak dapat lagi memproduksi semua barang yang dibutuhkan, tetapi memperolehnya dari orang
lain melaui pertukaran. Saat ini, tidak ada seorang pun di dunia yang mampu mencukupi
kebutuhannya dengan memproduksinya sendiri. Secara teknis, produksi adalah proses
transformasi input menjadi output. Namun, definisi produksi menurut ilmu ekonomi menjadi
lebih luas mencakup tujuan produksi serta karakter yang melekat pada kegiatan tersebut.
Komentar Pakar Ekonom Muslim Kontemporer tentang Produksi :
Kahf (1992)
Kegiatan produksi dalam perspektif Islam adalah usaha manusia untuk memperbaiki tidak
hanya kondisi fisik materialnya, tetapi juga moralitas, sebagai sarana untuk mencapai tujuan
hidup sebagaimana digariskan dalam Islam, yaitu kebahagiaan dunia dan akhirat (falah).
Mannan (1992)
Menekankan pentingnya motif altruisme bagi produsen yang Islami, sehingga ia menyikapi
dengan hati-hati konsep Pareto Optimality dan Given Demand Hypothesis yang banyak
dijadikan sebagai konsep dasar produksi dalam ekonomi konvensional.
Rahman (1995)
Menekankan pentingnya keadilan dan kemerataan produksi (distribusi output produksi secara
merata ke seluruh lapisan masyarakat).
Ul Haq (1996)
Tujuan produksi adalah memenuhi kebutuhan yang bersifat fardhu kifayah, yaitu kebutuhan
yang bagi banyak orang pemenuhannya menjadi keharusan.
Siddiqi (1992)
Produksi sebagai proses penyediaan barang dan jasa dengan memperhatikan keadilan dan
mashlahahnya bagi masyarakat. Sepanjang produsen telah berlaku adil dan membawa
kebaikan bagi masyarakat, ia telah bertindak secara Islami.
Dari beberapa definisi ekonom Muslim tersebut, produksi dalam perspektif Islam
akan mengerucut pada manusia dan eksitensinya, meskipun beberapa definisi tersebut
berusaha mengelaborasi dari perspektif yang berbeda. Dengan demikian, segala kepentingan
manusia yang sejalan dengan moral Islam, harus menjadi fokus dan target utama kegiatan
produksi. Produksi adalah proses mencari, mengalokasikan dan mengolah sumber daya
menjadi output dalam rangka meningkatkan mashlahah bagi manusia. Jadi, produksi
mencakup aspek tujuan maupun karakter yang melekat pada kegiatan tersebut.
B. Tujuan Produksi menurut Islam
Kegiatan produksi merupakan respon dari kegiatan konsumsi, atau sebaliknya.
Kegiatan produksi menciptakan barang dan jasa, sedangkan kegiatan konsumsi menggunakan
barang dan jasa tersebut. Sehingga, konsumsi dan produksi merupakan mata rantai yang
saling berkaitan. (Gambar 6.1). Karena itu, kegiatan produksi harus sejalan dengan konsumsi.
Jika keduanya tidak sejalan, kegiatan ekonomi tidak akan berhasil mencapai tujuan yang
diinginkan.
Contoh, dalam Islam terdapat larangan mengonsumsi minuman beralkohol. Jika ada
individu yang memproduksi minuman beralkohol kemudian dapat memasarkannya secara
bebas, maka tujuan ekonomi Islami tidak akan tercapai.
Gambar 6.1
Pada dasarnya, tujuan kegiatan produksi adalah untuk memperoleh mashlahah
maksimum dari sudut pandang produsen. Dengan kata lain, tujuan produksi adalah
menyediakan barang dan jasa yang memberikan mashlahah maksimum bagi konsumen.
Secara spesifik, tujuan produksi adalah meningkatkan kemashlahatan melalui:
A. Pemenuhan Kebutuhan Manusia pada Tingkat Moderat
Pemenuhan kebutuhan manusia pada tingkat moderat, akan menimbulkan 2 implikasi:
1. Produsen hanya akan menghasilkan barang dan jasa yang menjadi kebutuhan (needs),
meskipun belum tentu merupakan keinginan (wants) konsumen. Barang dan jasa yang
dihasilkan harus punya manfaat riil bagi kehidupan Islami, tidak sekadar memberikan
kepuasan maksimum sehingga menyebabkan prinsip customer satisfaction atau given
demand hypothesis yang jadi pegangan produsen kapitalis tak dapat diimplementasikan
begitu saja.
2. Kuantitas produksi tidak boleh berlebihan, tetapi hanya sebatas kebutuhan yang wajar.
B. Menemukan Kebutuhan Masyarakat dan Upaya Pemenuhannya
Meskipun produksi berfungsi menyediakan sarana kebutuhan manusia, bukan berarti
bahwa produsen sekadar bersikap reaktif terhadap kebutuhan konsumen. Sebaliknya,
produsen harus proaktif, kreatif, dan inovatif untuk menemukan berbagai barang dan jasa
yang dibutuhkan masyarakat.
Sikap proaktif ini harus berorientasi kedepan, yang berarti:
Menghasilkan barang dan jasa yang bermanfaat bagi kehidupan mendatang.
Menyadari bahwa sumber daya ekonomi tidak hanya diperuntukkan bagi manusia
sekarang, tetapi juga untuk generasi mendatang.
Orientasi kedepan ini akan mendorong aktivitas riset dan pengembangan, efisiensi
untuk menjaga kesinambungan, dan kegiatan produksi yang berwawasan lingkungan.
C. Menyediakan Barang dan Jasa di Masa Depan
Dalam ekonomi konvensional, saat ini mulai dikembangkan konsep pembangunan
yang berkesinambungan (sustainable development) yang pada dasarnya bertujuan
menyediakan pembangunan yang memadai bagi generasi yang akan datang.
Dalam dunia nyata, seringkali terjadi hubungan berkebalikan (trade off) antara
kegiatan ekonomi saat ini dengan masa depan dikarenakan kecenderungan manusia
mementingkan diri sendiri, yaitu semakin banyak produksi saat ini, semakin sedikit cadangan
bagi masa depan. Untuk itu, produksi dalam perspektif Islam haruslah memperhatikan
pembangunan yang berkesinambungan (sustainable development).
D. Pemenuhan Sarana bagi Kegiatan Sosial dan Ibadah Kepada Allah
Tujuan produksi sebagai pemenuhan sarana bagi kebutuhan sosial dan ibadah kepada
Allah, sejatinya merupakan tujuan produksi yang paling orisinal dalam ajaran Islam. Dengan
kata lain, tujuan produksi adalah untuk mendapatkan berkah, meskipun secara fisik belum
tentu dirasakan oleh pengusaha itu sendiri.
Selain itu, tujuan produksi sebagai sarana kegiatan sosial dan ibadah akan membawa
implikasi yang luas, sebab produksi tidak akan selalu menghasilkan keuntungan materi.
Kegiatan produksi tetap harus berlangsung meskipun tidak menghasilkan keuntungan
material, karena akan memberikan keuntungan yang lebih besar yaitu pahala di akhirat.
Meskipun produksi hanya menyediakan sarana kebutuhan manusia tidak berarti
bahwa produsen sekadar bersikap reaktif terhadap kebutuhan konsumen. Produen harus
proaktif, kreatif dan inovatif. Sikap proaktif ini juga harus berorientasi ke depan (future
view), dalam arti: Pertama, menghasilkan barang dan jasa yang bermanfaat bagi kehidupan
masa mendatang, Kedua, menyadari bahwa sumber daya ekonomi, baik natural resources
atau non natural resources, tidak hanya diperuntukkan bagi manusia yang hidup sekarang,
tetapi juga untuk generasi mendatang.
Kegiatan Produksi Umat Terdahulu
Begitu pentingnya kegiatan produksi, sehingga banyak dijumpai baik dalam Al-quran
maupun hadits. Rasulullah Saw bersabda : “Nabi daud adalah tukang besi pembuat senjata,
Nabi Adam adalah seorang petani, Nabi Nuh seorang tukang kayu, Nabi Idris seorang tukang
jahit, dan Nabi Musa adalah penggembala.” (HR Al-Hakim)
Beberapa kegiatan produksi yang dilakukan umat Nabi terdahulu antara lain
berdasarkan infromasi yang tersebar dalam Al-quran antara lain:
1. industri besi, baja, dan kuningan.
2. industri perhiasan emas, perak, mutiara dan sutera.
3. industri minyak nabati dan pertambangan.
4. industri kulit, tekstil, dan kaca.
5. industri keramik, batu bata, dan bangunan.
6. industri perkapalan.
C. Motivasi Produsen dalam Berproduksi
Motivasi utama bagi produsen adalah mencari keuntungan material (uang) secara
maksimal dalam ekonomi konvensional sangatlah dominan, meskipun kemungkinan juga
masih terdapat motivasi lainnya. Menurut pendapat Milton Friedman seorang Nobel laureate
di bidang ekonomi menunjukan bahwa satu-satunya fungsi dunia usaha (business) adalah
untuk melakukan aktivitas yang ditujukan untuk meningkatkan keuntungan, sepanjang hal ini
berdasarkan pada aturan main yang ada. Dengan kata lain, mereka hanya perlu berpartisipasi
dalam persaingan bebas dan terbuka tanpa adanya kecurangan dan pemalsuan/penipuan.
Keuntungan maksimal telah menjadi insetif yang teramat kuat bagi produsen untuk
melaksanakan produksi. Akibatnya, motivasi untuk mencari keuntungan maksimal sering kali
menyebabkan produsen mengabaikan etika dan tanggung jawab sosialnya, meskipun
mungkin tidak melakukan pelanggaran hukum formal dan terkadang ada juga yang
menggunakan berbagai cara untuk mencapai keuntungan maksimal. Motivasi produsen sering
kali merugikan pihak lain sekaligus diri sendiri.
Dalam pandangan ekonomi Islam, motivasi produsen semestinya sejalan dengan
tujuan produksi dan tujuan kehidupan produsen itu sendiri. Tujuan produksi adalah
menyediakan kebutuhan material dan spiritual untuk menciptakan mashlahah, maka motivasi
produsen tentu saja juga mencari mashlahah dimana hal ini juga sejalan dengan tujuan
kehidupan seorang muslim. Dengan demikian, produsen dalam pandangan ekonomi Islam
adalah mashlahah maximizer. Mencari keuntungan melalui produksi dan kegiatan bisnis lain
memang tidak dilarang, sepanjang berada dalam bingkai tujuan dan hukum Islam.
A. Keuntungan, Kerja, dan Tawakal
Keabsahan keuntungan bagi kegiatan prouksi dalam ekonomi Islam tidak perlu
disangsikan lagi. Ajaran Islam bersikap sangat positif dan proaktif terhadap upaya manusia
untuk mencari keuntungan. Sepanjang cara yang dilakukan tidak melanggar syariat. Upaya
mencari keuntungan merupakan konsekuensi dari aktivitas kerja produktif yang dilakukan
seseorang, sementra keuntungan itu sendiri merupakan rezeki yang diberikan Allah kepada
hamba-Nya. Dalam pandangan Islam, kerja bukanlah sekedar aktivitas yang bersifat duniawi,
tetapi memiliki nilai transendensi. Kerja merupakan sarana untuk mencari penghidupan serta
untuk mensyukuri nikmat Allah yang diberikan kepada makhluk-Nya. Kerja merupakan salah
satu cara yang Hallalan thayyibah untuk memperoleh harta (maal) dan hak milik (al milk)
yang sangat dibutuhkan untuk kehidupan. Dengan Kerja seseorang dapat memperoleh hak
milik yang sah sehingga orang lain tidak dapat mengganggunya. Kerja juga merupakan
aktivitas yang menjadikan manusia bernilai/berguna di mata Allah dan Rasul-Nya, serta di
mata masyarakat. Harga diri manusia dapat dilihat dari apa yang dikerjakannya. Menurut
Ibnu Khaldun, kerja merupakan implementasi fungsi kekhalifahan manusia yang diwujudkan
dalam menghasilkan suatu nilai tertentu yang ditimbulkan dari hasil kerja.
Rasullulah Muhammad Saw., para nabi dan para sahabat adalah para pekerja keras
dan selalu menganjurkan agar manusia bekerja keras. Sebagaimana disampaikan dalam
kotak, di samping bertugas menyampaikan risalah Allah, mereka memiliki berbagai profesi
yang dilakukan secara professional. Berikut ini beberapa hadits yang memberikan anjuran
untuk bekerja:
“ Tidak ada satu makanan pun yang dimakan seseorang itu lebih baik daripada makanan
hasil usaha sendiri.” ( HR Bukhari )
“ Barangsiapa di malam hari merasakan kelelahan dari upaya keterampilan kedua
tangannya di siang hari maka dia diampuni dosanya ( oleh Allah ).” (HR Tabrani)
“ Tidak ada seorang laki-laki yang menanam tanaman (bekerja) kecuali Allah mencatat
baginya pahala (sebesar) apa yang keluar dari tanaman tersebut.” (HR Abu Dawud dan
Hakim)
Kebalikan dari kerja keras adalah pengangguran dan sikap bermalas-malasan. Islam
sangat membenci pengangguran, peminta-minta dan sikap pasif dalam mencari maal. Allah
telah memberikan suatu perumpamaan yang tegas tentang perbedaan antara penganggur dan
peminta-minta ini dengan seorang yang bekerja sebagai seorang yang bisu dan tuli dengan
orang yang waras. Rang yang bisu dan tuli akan menjadi beban orang yang menanggungnya
sehingga dia akan tehina dan relatif sulit untuk berbuat kebaikan. Sebaliknya, orang yang
bekerja akan memiliki kekuatan untuk menegakkan kebaikan dan keadilan sehingga
mendapatkan kedudukan yang mulia.
Sebagian orang juga bersikap sangat pasif dalam bekerja dengan alasan bertawakal (berserah
diri) kepada Allah. Mereka tidak bekerja atau hanya bekerja seadanya dengan alasan berserah
diri pada pemberian Allah. Kadangkala mereka juga beralasan bahwa karena rejeki telah
diatur oleh Allah, maka tidak diperlukan kerja keras (sebab kalau Allah memberi pasti rejeki
datang dengan sendirinya). Ketawakalan kepada Allah seharusnya diwujudkan dalam kerja
keras, sebab Allah tidak menurunkan rejekinya begitu saja dari langit. Keadaan seseorang
tidak akan berubah jika manusia itu sendiri tidak berusaha untuk merubahnya sendiri.
B. Kegiatan Produksi pada Masa Rasullullah Muhammad Saw.
Masyarakat Islam pada dasarnya adalah masyarakat produktif, sebagaimana telah
ditunjukkan dalam sejarah industry pada masa Rasulullah. Tercatat bahwa pada masa
Rasullulah terdapat kurang lebih 178 buah usaha industrti dan bisnis barang dan jasa yang
menggerakkan perekonomian masyarakat pada masa itu.
Di antara berbagai industri tersebut, terdapat 12 macam yang menonjol, yaitu :
1. Pembuatan senjata dan segala usaha dari besi
2. Perusahaan tenun – menenun
3. Perusahaan kayu dan pembuatan rumah/bangunan
4. Perusahaan meriam dari kayu
5. Perusahaan perhiasan dan kosmetik
6. Arsitektur perumahan
7. Perusahaan alat timbangan dan jenis lainnya
8. Pembuatan alat-alat berburu
9. Perusahaan perkapalan
10. Pekerjaan kedokteran dan kebidanan
11. Usaha penerjemahan buku
12. Usaha kesenian dan kebudayaan lainnya
D. Formulasi Maslahah bagi Produsen
Mashlahah terdiri dari dua komponen yaitu manfaat (fisik dan non fisik) dan berkah.
Dalam konteks produsen yang menaruh perhatian pada keuntungan/profit, maka manfaat ini
berupa keuntungan material (maal). Keuntungan ini bisa dipergunakan untuk maslahah
lainnya seperti maslahah fisik, intelektual, maupun sosial.
Untuk rumusan mashlahah yang menjadi perhatian produsen adalah:
M ¿ π+ B
Dimana M menunjukkan mashlahah, π adalah keuntungan, dan B adalah berkah.
Dalam hal ini berkah itu sendiri di definisikan, dimana produsen akan menggunakan proksi
yang sama dengan yang dipakai oleh konsumen dalam mengidentifikasinya, yaitu adanya
pahala pada produk atau kegiatan yang bersangkutan. Adapun keuntungan merupakan selisih
antara pendapatan totalnya/total costnya. Rumusnya yaitu :
π = TR – TC
Pada dasarnya berkah akan diperoleh apabila produsen menerapkan prinsip dan nilai
Islam dalam kegiatan produksinya. Penerapan ini sering kali menimbulkan biaya ekstra yang
relatif besar dibandingkan jika mengabaikannya. Di sisi lain, berkah yang diterima
merupakan kompensasi yang tidak secara langsung diterima produsen atau berkah revenue
(BR) dikurangi dengan biaya untuk mendapatkan berkah tersebut atau berkah cost (BC),
yaitu:
B = BR – BC = – BC
Dalam persamaan di atas penerimaan berkah dapat diasumsikan nilainya nol atau
secara indrawi tidak dapat diobservasi karena berkah memang tidak secara langsung selalu
berwujud material. Dengan demikian, maslahah sebagaimana didefinisikan pada persamaan
sebelumnya bisa ditulis kembali menjadi:
M = TR – TC – BC
Pada persamaan di atas, ekspresi berkah (BC) menjadi faktor pengurang karena
berkah tidak bisa datang dengan sendirinya melainkan harus dicari dan diupayakan
kehadirannya sehingga kemungkinan akan timbul beban ekonomi atau bahkan inisial dalam
rangka itu. Oleh karena itu, muslim yang berorientasi pada berkah akan rela mengeluarkan
biaya yang lebih tinggi guna mencari berkah dari langit maupun muka bumi yang akan
diberikan Allah. Berkah dari langit akan berupa pahala yang kelak diterimanya di akhirat,
sementara berkah di bumi dapat berwujud segala hal yang memberikan kebaikan dan manfaat
bagi produsen sendiri atau juga manusia secara keseluruhan. Komitmen produsen terhadap
hak-hak tenaga kerja, misalnya akan meningkatkan etos, loyalitas, dan produktivitas tenaga
kerja terhadap produsen. Akibatnya para tenaga kerja akan bekerja dengan lebih baik
sehingga pada akhirnya juga akan menguntungkan produsen itu sendiri. Komitmen tersebut
juga akan meningkatkan citra positif produsen di mata masyarakat sehingga kemungkinan
juga akan meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap produsen. Hal ini diwujudkan dalam
bentuk peningkatan permintaan masyarakat terhadap barang dan jasa yang dihasilkan
produsen. Jadi, upaya mencari berkah dalam jangka pendek memang menurunkan
keuntungan (karena adanya biaya berkah), tetapi untuk jangka panjang kemungkinan justru
akan meingkatkan keuntungan (karena meningkatnya permintaan).
Berkah di bumi juga dapat berwujud kebaikan dan manfaat yang diterima masyarakat
secara keseluruhan. Biaya lebih yang harus dikeluarkan oleh satu produsen tentu tidak ada
nilainya jika dibandingkan dengan manfaat yang akan diterima oleh masyarakat secara
keseluruhan.
Adanya biaya untuk mencari berkah (BC) tentu saja akan membawa implikasi
terhadap harga barang dan jasa yang dihasilkan produsen. Harga jual produk adalah harga
yang telah mengakomodasi pengeluaran berkah tersebut, yaitu:
BP = P + BC
Sehingga rumusan maslahah di atas akan berubah menjadi:
M = BTR – TC - BC
Selanjutnya dengan pendekatan kalkulus terhadap persamaan di atas, maka bisa
ditemukan pedoman yang bisa digunakan oleh produsen dalam memaksimumkan maslahah
atau optimum mashlahah condition (OMC) yaitu:
BP dQ = dTC + dBC
Jadi, optimum maslahah condition dari persamaan di atas menyatakan bahwasanya
maslahah akan maksimum jika nilai dari unit terkahir yang diproduksi (BPdQ) sama dengan
perubahan (tambahan) yang terjadi pada biaya total (dTR) dan pengeluaran berkah total
(dBC) pada unit terkahir yang diproduksi. Jika nilai dari unit terakhir yang diproduksi (BPdQ)
masih lebih besar dari pengeluarannya dTC + dBC, maka produsen akan mempunyai
dorongan untuk menambah jumlah produksi lagi. Dan jika nilai unit terakhir hanya pas untuk
membayar kompensasi yang dikeluarkan dalam rangka produksi unit tersebut, dTC + dBC
maka tidak ada lagi dorongan bagi produsen untuk menambah produksi lagi. Kondisi ini
menunjukkan bahwa produsen dikatakan berada pada posisi keseimbangan (equilibrium) atau
optimum.
Selanjutnya, jika BTR merupakan pendapatan total yang telah mengandung berkah,
dan BP adalah harga produk yang telah mempertimbangkan berkah, maka pendapatan total :
BTR = BPQ
Sementara itu, biaya total TC adalah semua biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi
barang. Dalam hal ini, biaya yang dikeluarkan berkaitan dengan input, sehingga:
TC = f (I)
Sedangkan input, sangat tergantung pada seberapa banyak kuantitas produksi (Q), sehingga:
I = g (Q)
Berkah yang terbentuk dalam produk (BR) akan mengikuti proses produksi, tepatnya, berkah
akan muncul jika input yang dipakai adalah input yang mengandung berkah, selain proses
produksinya juga proses yang mendatangkan berkah:
BR = h (I)
Sehingga, diperoleh bahwa mashlahah yang diperoleh ditentukan oleh banyaknya input yang
dipakai:
M = m (I) dengan I = g (Q) → M = j (Q)
Setiap produsen akan selalu berusaha untuk memperoleh mashlahah maksimum. Kondisi
mashlahah maksimum (optimum mashlahah condition) ini akan diperoleh melalui maksimasi
fungsi mashlahah sebagai berikut:
E. Penurunan Kurva Penawaran
Kurva penawaran adalah kurva yang menunjukkan hubungan antara tingkat harga
dengan jumlah produk yang ditawarkan oleh produsen. Dengan kata lain, kurva penawaran
menunjukkan respon produsen dalam memasok produk terhadap perkembangan harga di
pasar. Kurva penawaran diturunkan dari perilaku produsen yang berorientasi untuk mencapai
tingkat mashlahah maksimum.
Sebagai contoh kasus, misalnya kita sedang memproduksi suatu barang dengan harga
jual Rp 171 (kolom BP). Untuk memproduksi 1 unit barang tersebut, dibutuhkan biaya total
Rp 140, sedangkan 2 unitdiperlukan biaya Rp 145, dan seterusnya (kolom TC). Untuk
mendapatkan kegiatan produksi yang mengandung berkah, untuk 1 unitnya diperlukan biaya
sebesar Rp 18, untuk 2 unit diperlukan biaya Rp 20, dan seterusnya (kolom BC). Untuk
memudahkan pembahasan, diberikan ilustrasi pada Tabel 1.
Tabel 1
Maksimasi Mashlahah Produsen (asumsi harga Rp 171)
Q dQ BP TC dTC BC dBC BP.dQ dTC+dBC
1 1 171 140 - 18 - 171 -
2 1 171 145 145 20 20 171 165
3 1 171 291 146 41 21 171 167
4 1 171 293 147 43 22 171 169
5 1 171 295 148 45 23 171 171
6 1 171 297 149 47 24 171 173
7 1 171 299 150 49 25 171 175
8 1 171 301 151 51 26 171 177
9 1 171 303 152 53 27 171 179
10 1 171 305 153 55 28 171 181
11 1 171 307 154 57 29 171 183
Q = unit yg diproduksi
dQ = tambahan jumlah yg diproduksi BP = harga jual unit yg diproduksi
TC = biaya total produksi
dTC = tambahan biaya bagi unit terakhir
BC = pengeluaran utk memperoleh berkah
dBC = tambahan pengeluaran utk memperoleh berkah
Untuk mengetahui proses maksimasi mashlahah, perhatikan dua kolom terakhir. Pada
baris kedua sampai keempat, dari tiga kolom tersebut didapat informasi bahwa pendapatan
yang diperoleh oleh produsen dari memproduksi unit yang terakhir (BP.dQ), masih melebihi
biaya produksi dan biaya untuk menghasilkan berkah (dTC+dBC). Kondisi demikian
mendorong produsen untuk menambah jumlah produksinya.
Pada unit ke-5, nilai tambahan pendapatan dari hasil produksi unit terakhir tepat sama
dengan jumlah biaya produksi dan pengeluaran untuk memperoleh berkah (BP.dQ =
dTC+dBC). Kondisi inilah yang dikenal sebagai Optimum Mashlahah Condition (OMC).
Pada titik ini, produsen akan berhenti menambah jumlah produksinya.
Pada unit ke-6 dan seterusnya, Pada dua kolom terakhir dari baris-baris ini
menunjukkan bahwa nilai tambahan pendapatan yang diperoleh dari memproduksi unit
terakhir tidak mampu menutup biaya dan pengeluaran untuk memperoleh berkah (BP.dQ <
dTC+dBC). Kondisi ini akan mengakibatkan kerugian bagi produsen, sehingga produsen
sebaiknya berhenti pada jumlah unti produksi sebesar 5 unit, jika tidak ia akan rugi.
Kemudian, jika harga produk mengalami kenaikan, misalnya harga jual naik menjadi
Rp 181, sementara semua hal lain diasumsikan tetap (ceteris paribus). Untuk lebih jelasnya,
mari kita lihat di Tabel 2.
Tabel 2
Maksimasi Mashlahah Produsen (asumsi harga Rp 181)
Q dQ BP TC dTC BC dBC BP. dQ dTC+dBC
1 1 181 140 - 18 - 181 -
2 1 181 145 145 20 20 181 165
3 1 181 291 146 41 21 181 167
4 1 181 293 147 43 22 181 169
5 1 181 295 148 45 23 181 171
6 1 181 297 149 47 24 181 173
7 1 181 299 150 49 25 181 175
8 1 181 301 151 51 26 181 177
9 1 181 303 152 53 27 181 179
10 1 181 305 153 55 28 181 181
11 1 181 307 154 57 29 181 183
Dengan cara yang sama seperti Tabel 1, kita bisa menemukan bahwa produsen akan
memproduksi sebanyak 10 unit agar mashlahah yang diperoleh maksimal. Pada unit 10, nilai
unit terakhir yang diproduksi sama degan tambahan biaya total dan tambahan biaya berkah
yang dikeluarkan, yaitu Rp 181. Diatas jumlah output 10 unit, tambahan biaya total dan
tambahan biaya berkah lebih besar daripada nilai unit terakhir, sehingga merugikan produsen.
Dari ilustrasi di atas, tampak bahwa titik optimum produksi naik sejalan dengan
kenaikan harga, dan sebaliknya. Sehingga, semakin tinggi harga, semakin banyak output
yang harus dihasilkan produsen agar titik optimum tercapai. Dengan kata lain, output yang
ditawarkan produsen akan semakin banyak jika harga mengalami kenaikan, dan sebaliknya.
Pola hubunga jumlahoutput yang ditawarkan produsen dengan tingkat harga produk, dapat
dilihat dari kurva penawaran pada Gambar 1.
Kurva Penawaran
Gambar 1
Hukum penawaran adalah “jika harga naik, ceteris paribus, maka jumlah barang yang
akan diproduksi dan ditawarkan ke pasar akan naik, demikian pula sebaliknya.
Nilai-nilai Islam dalam Produksi
Upaya produsen untuk memperoleh mashlahah yang maksimum dapat terwujud jika
produsen mengaplikasikan nilai-nilai Islam. Dengan demikian, seluruh kegiatan produksi
terkait pada tatanan nilai Islami, mulai dari mengorganisasikan faktor produksi, proses
produksi, hingga pemasaran dan pelayanan. Metwally (1992) mengatakan, “perbedaan
perusahaan Islam dari perusahaan-perusahaan non-Islami tak hanya pada tujuannya, tetapi
juga pada kebijakan-kebijakan ekonomi dan strategi pasarnya.”
Nilai-nilai Islam yang relevan dengan produksi dikembangkan dari tiga nilai utama
dalam ekonomi islam, yaitu: khilafah, adil dan takaful. Secara lebih rinci nilai-nilai Islam
dalam produksi meliputi:
1. Berorientasi jangka panjang (generasi mendatang maupun akhirat).
2. Menepati janji dan kontrak.
3. Memenuhi takaran, ketetapan, kelugasan, dan kebenaran.
4. Berpegang teguh pada kedisiplinan dan dinamis.
5. Menghargai prestasi/produktivitas.
6. Mendorong ukhuwah sesama pelaku ekonomi.
7. Menghormati hak milik individu.
8. Mengikuti syarat sah dan rukun akad/transaksi.
9. Adil dalam bertransaksi.
10. Memiliki wawasan sosial.
11. Membayar upah tepat waktu dan layak.
12. Menghindari jenis dan proses produksi yang diharamkan dalam Islam.
Penerapan nilai-nilai diatas dalam produksi tidak saja mendatangkan berkah namun
juga berkah bagi produsen. Kombinasi keuntungan dan berkah yang diperoleh oleh produsen
merupakan satu mashlahah yang akan memberi kontribusi bagi tercapainya falah. Dengan
cara ini, produsen akan memperoleh kebahagiaan hakiki, yaitu kemuliaan tidak saja di dunia,
tetapi juga di akhirat.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Kegiatan produksi dalam perspektif islam mengutamakan harkat kemuliaan manusia.
Tujuan kegiatan produksi dalam islam adalah menyediakan barang dan jasa yang
memberikan mashlahah maksimum bagi konsumen yang diwujudkan dalam
pemenuhan kebutuhan manusia pada tingkat moderat, menemukan kebutuhan
masyarakat dan pemenuhannya, menyiapkan persediaan barang dan jasa di masa
depan, serta memenuhi sarana bagi kegiatan social dan ibadah kepada Allah SWT.
Produsen dalam pandanga ekonomi islam adalah mashlahah maximizer. Mencari
keuntungan sah-sah saja, selama masih sesuai tujuan dan hukum islam. Mashlahah
bagi produsen terdiri dari dua komponen, yaitu keuntungan dan berkah.
Kondisi mashlahah maksimum tercapai bila nilai dari unit terakhir yang diproduksi
(BPdQ) sama dengan perubahan yang terjadi pada biaya total (dTR) dan pengeluaran
berkah total (dBC). Jika dirumuskan menjadi BPdQ = dTR + dBC.
Dalam hokum penawaran, jika harga naik, ceteris paribus, maka jumlah barang yang
akan diproduksi dan ditawarkan ke pasar akan naik, demikian pula sebaliknya.
Seluruh kegiatan produksi hendaknya didasarkan pada nilai-nilai islam, agar tercapai
kebahagiaan dunia dan akhirat (falah).
DAFTAR PUSTAKA
P3EI Universitas Islam Indonesia.2008.Ekonomi Islam.Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.