makalah kelompok 5 modul 1 blok 10

Upload: yuji-aditya

Post on 13-Oct-2015

74 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

tatalaksanan malaria terkini. suatu tantangan masa depan yang belum memiliki pengobatan secara maksimal

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUANA. Latar belakang

Dalam diskusi ini, kami dituntut untuk bekerja sama dalam membahas mengenai modul lima, tentang Infeksi Tropis Protozoa, khususnya mengenai malaria dan demam tyfoid hingga pembahasan pembahasan lain yang mendukung pemahaman kita terhadap modul kali ini

Dalam diskusi ini, kami dituntut untuk menguasai modul ini karena termasuk salah satu materi blok sepuluh tentang, khususnya tentang malaria dan demam tyfoid. Oleh karena itu melalui diskusi kelompok kecil ini kami berusaha untuk mengetahui semua hal yang berkenaan dengan infeksi tropis protozoa.

B. Manfaat modul

Adapun manfaat modul ini ialah diharapkan mahasiswa mampu menjelaskan mengenai malaria, bagaimana penyebaran, pengobatan, serta yang lainnya juga mengenai demam tyfoid. Dalam modul ini, harus mengetahui bagaimana malaria dan demam tyfoid itu agar pengetahuan dapat di aplikasikan dalam kehidupan.

Skenario

Modul 1 Penyakit Infeksi Protozoa

Guruku Malang. . .

Mustafa (25 thn) seorang guru yang baru bertugas di daerah pedalaman Kutai Timur datang ke dokter dengan kondisi lemah, tidak ada nafsu makan dan sakit kepala. Dia mengalami demam paroksismal yang diawali rasa dingin dan diikuti dengan panas yang tinggi, kondisi ini pernah ia alami 4 hari yang lalu dan saat ini terulang kembali, Mustafa telah mengkonsumsi obat antibiotic dan antipiretik yang dia beli sendiri tetapi kondisinya tidak juga membaik. Tanda-tanda splenomegali dan terlihat dari pucat ada wajah dan daerah konjungtiva pada mata. Pemerikaan widal test negative tetapi pada pemeriksaan thin film didapat bentuk tropozoit dengan nilai parasetemia 4 %.

Step 1

1. Demam paroksismal adalah demam yang ditandai dengan 3 tanda khas : mengigil ( sekujur tubuh bergetar (2-60menit), panas ( suhu meningkat, muka merah, kulit kering (max 2 jam), berkeringat ( orang sudah mulai merasa suhu menurun (50-60 menit)

2. Pemeriksaan thin film adalah pemeriksaan darah tepi yang biasa didapat dari ujung jari biasa untuk mengetahui bentuk protozoa dilakukan test positif > 100.000 dalam eritrosit.

3. Spenomegali adalah pembesaran pada limfa disebabkan penghancuran sel darah merah yang berlebih.

4. Widal test adalah test untuk mengetahui demam typhoid, pemeriksaan agglutinin pada pasien dan mengetahui adanya salmonella typhii.

5. Parasitemia adalah parasit yang terdapat di dalam darah dengan satuan % ( perbandingan : parasit / parasit dalam darah.

Step 2

1. Mengapa kondisinya lemah dan sakit kepala?

2. Apa dan mengapa yang menyebabkan demam paroksismal?

3. Mengapa demam yang 4 hari yang lalu terulang lagi?

4. Mengapa setelah minum antibiotic dan antipiretik tidak terjadi perubahan?

5. Apa yang menyebabkan mengalami splenomegali dan anemia pada darah dan konjungtiva mata?

Step 3

1. Pengaruh dari kondisi tubuh Mustafa karena ada pengaruh luar yang mempengaruhi kondisi Mustafa.

Sakit kepala( karena adanya stimulus

Sakit kepala dan lemah : karena adanya benda asing yang mempengaruhi system imun pada Mustafa

Apabila system imun tak adekuat : apabila benda asing dari luar sehingga harus berhadapan system imun. Apabila benda asing terlalu banyak akan mengakibatkan system imun tidak kuat dapat mengakibatkan gejala tersebut.

2. Pathogenesis demam paroksismal : bergantung pada jenis infeksi berbea juga panasnya .

Mengigil : karena adanya respon terhadap panas karena suhu lingkungan < dari tubuh untuk meningkatkan metabolisme basal.

(apabila adanya anemia akan menurunkan metabolise basal)

Panas : karena adanya mediator-mediator kimia protozoa /benda asing masuk tubuh jadi suhu tubuh kita merespon dengan adanya makrofag-makrofag dan system imun lainnya sehingga menyebabkan manifestasi tubuh seperti panas.

Berkeringat : suatu manifestasi karena suhu tinggi maka untuk mengurangi panas dengan pengeluaran keringat.

3. Infeksi Malaria: ada sebagian protozoa/ sumbernya tidak hilang jadi dapat relaps pada keadaan tertentu.

Siklus dari nfeksi protozoa asih berada dalam aliran darah. Apabila sudah terdapat di hati akan melakukan perbanyakan dari sesame aseksual.

4. Antibiotic dan antipiretik diberikan pada plasmodium tidak aka nada efek apa-apa karena resisten trhadap obat tersebut.

Antipiretik ( menghambat pengeluaran mediator-mediator kimia si pencetus.

5. Anemia ( karena pembentukan eritrosit terhambat di RES sehingga tidak terbentuk eritrosit. Sel darah merah benyak terinfeksi dengan parasit maka terjadi hemolisis pada eritrosit yang tidak diimbangi pada pembentukan eritrosit.

Step 4

Step 5

Malaria dan Demam Tyfoid

Definisi

Etiologi

Epidemiologi

Pathogenesis

Diagnose

Terapi

Monitoring

Step 6

Belajar Mandiri

Step 7

MALARIA

Definisi

Adalah penyakit infeksi parasit yang di sebabkan oleh plasmodium yang menyerang eritrosit dan di tandai dengan di temukannya bentuk aseksual didalam darah . Infeksi malaria meberikan gejala demam, menggigil, aneia dan splenomegali. Dapat berlangsung akut ataupun kronik. Infeksi malaria dapat berlangsung tanpa komplikasi ataupun mengalami komplikasi sistemik yang dikenal sebagai malaria berat. Sejenis infeksi parasit yang meyerupai malaria ialah infeksi babesiosa yang menyebabkan babesiosis

Etiologi

Penyebab infeksi malaria ialah plasmodium, yang selain menginfeksi manusia juga menginfeksi binatang seperti golongan burung, reptile dan manusia. Termasuk genus plasmodium dan family plamodidae. Plasmodium ini pada manusia menginfeksi eritrosit ( sel darah merah ) dan mengalami pembiakan aseksual di jaringan hati dan eritrosit. Pembiakan seksual terjadi pada tubuh nyamuk yaitu anopheles betina. Secara keseluruhan ada lebih dari 100 plasmodium yang menginfeksi binatang ( 82 pada jenis burung dan reptile dan 22 pada binatang primata )

Epidemiologi

Daur Hidup Parasit Malaria

Infeksi parasit malaria pada manusia mulai bila nyamuk anopheles betina menggigit manusia dan nyamuk akan melepaskan sporozoit kedalam pembuluh darah dimana sebagian besar dalam waktu 45 menit akan menuju kehati dan mulailah perkembangan aseksual ( intrahepatic schizogony atau pre-erytrocytes schyzogony ). Perkembangan ini memerlukan waktu 5,5 hari untuk plasmodium falciparum dan 15 hari untuk plasmodium malariae. Setelah sel parenkim hati terinfeksi, terbentuk sizont hati yang apabila pecah akan mengeluarkan banyak merozoit ke sirkulasi darah. Pada plasmodium vivax dan plasmodium ovale, sebagian parasit di dalam sel hati membentuk hipnozoit yang dapat bertahan sampat bertahun- tahun, dan bnetuk ini yang akan menyebabkan terjadinya relaps pada malaria.

Setelah berada dalam sirkulasi darah merozoit akan menyerang eritrosit dan measuk melalui reseptor permukaan eritrosit. Pada P. vivax reseptor ini berhubungan dengan factor antige Duffy Fya atau Fyb. Hal ini menyebabkan individu dengan golongan darah Duffy negative tidak terinfeksi malaria vivax. Reseptor untuk P.falciparum diduga suatu glycophorins, sedangkan pada P.malriae dan P.Ovale belum diketahui. Dalam waktu kurang dari 12 jam parasit berubah menjadi bentuk ring, pada P.falciparum menjadi bentuk stereo headphones, yang mengandung kromatin dalam intinya di kelilingi sitoplasma. Parasrit tumbuh seteah mamkan hemoglobin dan dalam metabolismenya membentuk pigment yang disebut hemozin yang dapat dilihat secara mikroskopik. Eritrosit yang berpararit menjadi lebih elastic dan dinding berubah lonjong. Pada P. falciparum dinding eritrosit membentuk tonjolan yang di sebut knob yang nantinya penting dalam proses cyttoadherence dan resetting. Setelah 36 jam invasi kedalam erirosit, parasit berubah menjadi sizont, dan bila sizont pecah akan mengelurkan 6-36 merozoit dan siap menginfeksi eritrosit yang lain. Siklus aseksual ini pada P. falciparum P.vavax dan P. Ovale ialah 48 jam dan pada P. Malariae adalah 72 jam.

Di dalam darah sebagian parasit akan membentuk gamet jantan dan betina, dan bila nyamuk menghisap darah manusia yang sakit akan terjadi siklus aseksual dalam tubuh nyamuk.Setelah terjadi perkawinan akan terbentuk zygote dan menjadi lebih bergerak menjadi ookinet yang menmbus dinding perut nyamuk dan akhirnya membentuk oocyst yang akan menjadi mask dan mengeluarkansporozoit yang akan bermigrasi ke kelenjar ludah nyamuk dan siap menginfeksi manusia.

Tingginya side positive rate (SPR) menentukan endemisitas sesuatu daerah dan pola klinis penyakit malaria akan berbeda. Secara tradisiendemitas daerah di bagi menjadi :

HIPOENDEMIK: bila parsit rate atau spleen rate 0-10%

MESOENDEMIK: bila parasit rate atau spleen rate 10-50%

HIPERENDEMIK : bila parasit rate atau spleen rate 50-75%

HOLOENDEMIK: bila parasit rate atau spleen rate > 75%

Parasit rate dan spleen rate di tentukan pada pemeriksaan anak-anak usia 2-9 tahun. Pada daerah holoendemik banyak penderita anak-anak dengan anemia berat, pada daerah hiperendemik dan mesoendemik mulai banyak malaria serebral pada usia kanak-kanak (2-10 tahun ), sedangkan pada daerah hipoendemik / daerah tidak stabil banyak di jumpai malaria serebral, malaria dengan gangguan fungsi hati atau gangguan fungsi ginjal pada usia dewasa.

PATOGENESIS dan PATOLOGI

Stelah melalui jaringan P.Falciparum melepasakan 18-24 merozoit ke dalam sirkulasi. Merozoit yang dilepaskan akan masuk dal sel RES di limpa dan mengalami fagositosis serta filtrasi. Merozoit yang lolos dari filtrasi dan fagositosis di limpa akan mengivasi eritrosit. Selanjutnya parasit berkembang biak secara aseksual dalam erirosit. Bentuk aseksual parasit dalam eritrosit ( EP ) inilah yang bertanggung jawab dalam patogenessa terjadinya malaria pada manusia. Patogenesa malaria yang banyak di teliti adalah patogenesa malaria yang di sebabkan oleh P. Falciparum.

Patogenesis malaria falciparum di pengaruhi oleh factor parasit dan factor penjamu (host). Yang termasuk factor parasit adalah intensitas transmisi, densitas parasit dan virulensi parasit. Sedangkan yang masuk dalam factor penjamu adalah tingkat endemisitas daerah tempat tinggal, genetic, usia status nutrisi dan status imunologi. Parsit dalam eritrosit (EP) secara garis besar mengalami 2 stadium, yaitu stadium cincin pada 24 jam I dan stadium matur pada 24 jam ke II Permukaan EP stadium matur akan mengalmi penonjolan dan membentuk knob dengan Histidin Rich-Protein_I (HRP-1) sebagai komponen utamanya. Selanjutnya bila EP tersebut mengalami merogoni, akan di lepaskan toksin malaria berupa GPI yaitu glikosifosfatidilinositol yang merangsang pelepasan TNF- dan interleukin-1 (IL-1) dari makrofag.

Sitoadherensi adalah perlekatan antara EP stadium matur pada permukaan endotel vaskuler. Perlekatan terjadi dengan cara molekul adhesive yang terletak di permukaan knob EP melekat dengan melekat denagn molekul-molekul adhesive yang terletak di permukaan endotel vascular. Molekul adhesive di permukaan knob EP secara kolektif di sebut PfEMP-1, P falciparum erythrosyte membrane protein-1. Molekul adhesive di permukaan sel endotel vascular adalah CD36, trombospondin, intercellular adhesion molecule 1 ( ICAM-1), vascular cell adhesion molecule-1 (VCAM) endothel leucocyte adhesion molecule-1 (ELAM-1) dan glycosaminoglycan chondroitin sulfate A.PfEMP-1 merupakan protein-protein hasil ekspresi genetic oleh sekelompok gen yang berada di permukaan knob. Kelompok gen ini desebut gen VAR. Gen VAR mempunyai kapasitas variasi entigenik yang sangat besar.

Sekuestrasi.Sitoadheren menyebabkan EP matur tidak beredar kembali dalam sirkulasi. Parasit dalam eritrosit matur yang tinggal dalam jaringan mikrovaskular di sebut EP matur yang mengalami sekuestrasi. Hanya P. Falciparum yang mengalami sekuestrasi, karena pada plasmodium lainnya seluruh siklus terjadi pada organ-organ vital dan hampir semua jaringan dalam tubuh. Sekuestrasi tertinggi terdapat di otak, di ikuti dengan hepar dan ginjal, paru jantung, usus dan kulit. Sekuestrasi ini di duga memegang peranan utama dalam patofisiologi malaria berat.

Rosetting adalah berkelompok EP matur yang diseubungi 10 atau lebih eritrosit yang non-parasit. Plasmodium yang dapat melakukan resetting. Rosetting menyebabkan obstruksi alaran darah local/ dalam jaringan sehingga mempermudah terjadinya sitoaheren.

Sitokin. Terbentuk dari sel endotel monosit dan makrofag setelah mendapat stimulasi dari malaria toksin (LPS, GPI). Sitokin ini anatara lain TNF- ( tumor necrosis factor-alpha), interleukin-1 (IL-1), Interleukin-6 (IL-6), interleukin -3 (IL-3). LT (limphotoxin) dan interferon-gamma ( INF-) . Dari beberpa penelitian di buktikan bahwa Penderita malaria serbral yang meninggal atau dengan komplikasi berat seperti hipoglikemia mempunyai kadar TNF- , IL-1, IL-6 lebih rendah dari malaria serebral. Walaupun demikian hasil ini tidak konsisten karena juga di jumpai penderita malaria yang mati dengan TNF normal/rendah atau pada malaria serebral yang hidup dengan sitokin yang tinggi. Oleh karenanya di duga adanaya peran dari neurotransmitter yang lain sebagai free-radical dalam kakade ini seperti nitrit-oxide sebagai factor yang penting dalam patogenesa malaria berat.

Nitrit Oksida. Akhir-akhir ini banyak di teliti peran mediator nitrit oksid (NO) baik dalam menumbuhkan malaria berat terutama malaria serbral, maupun sebaliknya NO justru memberikan efek protektif karena membatasi perkembangan parasit dan menurunkan ekspresi molekuladhesi. Di duga produksi NO local di organ terutama otak yang berlebihan dapat mengganggu fungsi organ tersebut. Sebaliknya pendapat lain menyatakan kadar NO yang tepat, memberikan perlindungan terhadap malaria berat, di tunjukan dari rendahnya kadar nitrat dan nitrit total pada cairan serebrospinal. Anak-anak penderita malaria serebral di afrika, mempunyai kadar arginin pada pasien tersebut rendah. Masalah peransitokin proinflamsi dan NO pada pathogenesis malaria berat masih controversial banyak hipotesis yang belum dapat di buktikan dengan jelas dan hasil berbagai penelitian sering saling bertentangan.

Siklus Hidup

Parasit berkembang biak secara aseksual dalam tubuh manusia. Sporozoit masuk ke dalam darah melalui gigitan nyamuk. Setelah setengah jam masuk ke dalam hati membentuk siklus pre-eritrositer (trofosoi-schizont-merozoit). Merozoit sebagian masuk kembali ke dalam hati meneruskan siklus eksoeritrositer sedang sebagian lain masuk ke dalam darah membentuk siklus eritrositer (merozoit- tropozoit muda-tropozoit tua-Schizont-schizont pecah merozoit yang memasuki eritrosit baru). Sebagian merozoit memulai gemetogoni, membentuk mikro dan makrogametosit. Wakt antar masuknya sporezoit sampai timbulnya gejala disebut masa tunas intrinsik yang lamanya antara 8-29 hari; tergantung dari daya tahan tubuh dan spesies plasmodium (pada palsmodium falciparum sangat pendek).

Parasit berkembang biak secara seksual dalam tubuh nyamuk. Dalam lambung nyamuk, makro dan mikrogametosit berkembang menjadi makro dan mikrogamet, yang akan membentuk zigot (ookinet). Ookinet kemudian menembus dinding nyamuk membentuk ookista yang membentuk banyak. Sporozoit ini dilepaskan dan masuk ke dalam kelenjar ludah nyamuk. Waktu antara nyamuk menghisap darah yang mengandung gematosit sampai mengandung sporozoit dalam kelenjar liurnya disebut masa tunas ekstrinsik.

Manusia merupakan hospes perantara sedangkan nyamuk adalah hospes definitif untuk infeksi plasmodium ini. Siklus kehidupan aseksual (skizogoni) ditemukan pada manusia, sedangkan siklus kehidupan parasit yang seksual (sporogoni) ditemukan pada nyamuk. Dalam siklus aseksual 1 eritrosit yang terinfeksi akan menghasilkan 6-32 merozit pada setiap kejadian sporulasi. Infeksi oleh plasmodium malaria merupakan infeksi yang paling ringan, hanya eritrosit matang yang diserang, siklus aseksual berlangsung 72 jam, jadi setelah 72 jam timbul generasi baru (merozoit) yang akan menyerang eritrosit yang lain. Jumlah merozoit pun hanya 6-12 saja dari hasil sporulasi dalam 1 eretrosit. Hanya terjadi 1-2% saja eritrosit yang terinfeksi (parasitemia). Infeksi, oleh plasmodium falciparum merupakan yang terberat, karena parasit ini menyerang baik retikulosit maupun eritrosit matang, skizogoni berlangsung cepat dalam 36-48 jam.

Dari 1 eritrosit dihasilkan banyak merozoit (20-30 merozoit). Selain itu juga terjadi perubahan fisik pada eritrosit yang tidak dijumpai pada infeksi plasmodium lainnya yaitu eritrosit yang terinfeksi lebih mudah saling melekat pada endotel kapiler, membentuk trombus (aglutinasi) eritrosit yang terinfeksi jadi lebih tipis, lebih besar diameternya dan mudah pecah di dalam sistem retikuloendotelial.

Pada setiap adanya destruksi eritrosit timbul demam yang paroxismal periodik mungkin timbul karena reaksi alergi terhadap zat pirogen yag memang bebas pada waktu sporulasi perjalanan khas demam malaria.

Ketiga stadium pada gambar tersebut berlangsung 3-4 jam, kadang-kadang 6-12 jam, lalu disusul periode tidak demam (apireksia). Juga terjadi vasokonstriksi disusul vasodilatasi yang seirama dengan rasa menggigil dan demam. Pada infeksi oleh plasmodium falciparum, vasodilatasi ini dapat disertai dengan hipotensi. Banyaknya eritrosit yang pecah menimbulkan anemia. Pigmen malaria (hemozoria) akan diambil oleh leukosit sigmen dan monosit lalu dideposit ke dalam trabekula dan pulpa merah limpa dan sistem retikulendotelial lainnya (hati dan otak). Limpa akan membesar karena kongesti dan hiperplase sistem retikuloendotelial.

Perbedaan Morfolgis Dari Keempat Jenis MalariaP. vivaxP. FalciparumP. MalariaeP. Ovale

1. Siklus pra-eritrosit+ 8 hari6 hari15-21 hari15 hari

2. Sikus Eritorit48 jam36-8 jam72 jam48 jam

3. Dalam Eritrosit :

- Titik schuffner

- Titik Maurer

- Bentuk oval eritrosit+

-

--

+

--

-

-+

-

-

4. Parasit

- Semua bentuk pada darah tepi

- Bentuk akole

- Bentuk, cincin dengan 2 inti

- Bentuk pita

- Gametosit berbentuk pisang+

jarang

jarang

-

-Jarang

+

+

-

++

+

+

-

++

-

-

+

5. Jumlah Morozoit14-2420-326-128-12

Patogenesa

Proses masuknya parasit dimulai saat masuknya sporozoit ke peredaran darah melalui gigitan nyamuk Anopheles betina. Sporozit sporozoit tersebut kemudian akan memasuki sel-sel parenkim hati (hepatosit). Masuknya sporozoit ke hepatosit merupakan awal pembentukan skizon hati, dan periode ini disebut dengan siklus eksoeritrositik primer atau siklus skizogoni preeritrositik yang berlangsung selama kurang lebih 2 minggu sejak kejadian gigitan nyamuk. Sporozoit dalam hepatosit akan berkembang menjadi skizon hati yang matang yang akhirnya pecah dan mengeluarkan ribuan merozoit, masuk ke dalam aliran darah. Siklus preeritrositik tersebut hanya terdiri dari satu generasi skizogoni. Pada infeksi P.vivax dan P.ovale terjadi hal khusus, yaitu sebagian sporozoit di hepatosit akan tetap berada dalam stadium istirahat (hipnozoit) yang dapat bertahan beberapa bulan atau selama kondisi lingkungan belum memungkinkan untuk tumbuh lebih lanjut. Bila kondisi kekebalan hospes menurun maka hipnozoit akan membelah diri dan akan menjadi skizon hati, kemudian pecah dan merozoit-merozoit akan masuk ke aliran darah seperti yang terjadi pada siklus eksoeritrositik sebelumnya. Bentuk hipnozoit inilah yang bertanggung jawab atau menyebabkan terjadinya relaps pada malaria.

Selanjutnya merozoit akan masuk ke sel eritrosit, untuk memulai siklus eritrositik. Ada 4 tahap invasi merozoit kedalam eritrosit, yaitu:

1. penempelan (attachment) merozoit pada eritrosit. Proses ini melibatkan protein MSP-1 sebagai ligand dan protein eritrosit Band-3 sebagai reseptor.

2. reorientasi merozoit. Setelah menempel, merozoit akan mengadakan reorientasi sehingga ujung apicalnya akan berhubungan dengan eritrosit. Proses ini melibatkan organela apical yaitu micronemes, Rhopties, dan Dense granule.3. pembentukan tight junction. Setelah reorientasi terjadi ikatan yang kuat antara merozoit dan eritrosit. Protein yang berada di organ micronemes seperti EBA untuk P.falciparum dan duffy binding protein untuk P.vivax berikatan dengan protein glychoporin pada eritrosit. Pada area junction ini membran eritrosit mengalami invaginasi akan terbentuk parasitophorus vacuolar membran (PMV).

4. masuknya merozoit kedalam eritrosit melalui PMV. Proses ini dibantu oleh serine protease dari merozoit yang akan memecah sitoskeleton eritrosit.

Selanjutnya parasit masuk ke dalam eritrosit, dan eritrosit akan mengalami perubahan baik struktur maupun biomolekuler sel lebih lanjut.

Merozoit berubah bentuk menjadi trofozoit, yaitu stadium vegetatif yang berinti satu. Stadium ini memanfaatkan sebagian dari sitoplasma eritrosit (hemoglobin) untuk metabbolisme, sehingga pada trofozoit yang sudah tua terlihat adanya pigmen dalam eritrosit. Trofozoit kemudian membelah, dimulai dari inti, kemudian sitoplasmanya, dan berkembang dalam eritrosit, lalu berubah menjadi skizon, suatu stadium yang berinti banyak sebagai hasil perkembangan dan pembelahan inti trofozoit. Selanjutnya eritrosit yang mengandung skizon matng pecah, dan keluarlah merozoit merozoit bersel tunggal ke dalam aliran darah, lalu memasuki eritrosit baru dan mengulangi siklus eritrositik. Rangkaian peristiwa dalam siklus eritrositik ini berkaitan dengan timbulnya serangan demam yang spesifik pada penderita malaria. Siklus yang periodik ini menimbulkan gejala febris berulang, sesuai dnegan periode siklus eritrositik masing-masing spesies, yaitu setiap 48 jam untuk P.vivax dan P.ovale, setiap 36-42 jam untuk P.falciparum, dan 72 jam untuk P.malariae. pada infeksi primer gejala febris tersebut dapat berulang terus sampai proses terhenti karena pengaruh obat atau karena adanya penekanan oleh sistem kekebalan tubuh.

Kemudian eritrosit akan berubahbentuk / biomolekuler (knob), kemudian akan terjadi obstruksi pembuluh darah organ melalui Sithoadherens (eritrosit yang mengandung parasit melekat ke permukaan endotel pre kapiler dan post kapiler), Rosseting (PRBC melekat dengan 2 atau lebih eritrosit non parasit), Sequestration.

Dasar timbulnya penyekit pada infeksi plasmodium falsiparum adalah adanya proses hipoksia akibat obstruksi dari pembuluh darah organ dalam. Mekanisme obstruksi dapat melalui serangkaian peristiwa yaitu cytoadherens, sequestration, dan rosetting.1. sitoadherens adalah melekatnya PRBC matang ke permukaan endotel pembuluh darah . mekanisme ini hanya terjadi di pembuluh darah kapiler dan postkapiler.

2. sekuestrasi

3. rosetting, adalah suatu fenomena perlekatan antara satu PRBC dengan dua atau lebih eritrosit nonparasit. Bila ikatan ini melibatkan lebih dari 10 eritrosit (PRBC dan non-PRBC), maka bentuknya akan menjadi seperti bunga (rosette), sehingga fenomena ini disebut sebagai proses rosetting.

Gambaran klinis malaria bervariasi, diduga karena hasil interaksi yang cukup kompleks antara antigen parasit dengan respon kekebalan hospes. Hal ini tergantung dari beberapa faktor, baik faktor yang berasal dari parasit maupun yang berasal dari hospesnya.

Faktor parasit

Faktor parasit yang berpengaruh terhadap berat ringannya penyakit malaria adalah intensitas transmisi, densitas parasit, dan virulensi parasit.

1. Intensitas transmisi sangat berpengaruh terhadap derajat parasitemia. Makin banyak jumlah gigitan nyamuk, makin banyak sporozoit yang diinokulasi, dan makin banyak pula generasi siklus hidup parasit di dalam tubuh hospes. Bila parasit yang berasal dari galur yang berbeda, maka semakin banyak parasit yang akan lolos dari deteksi sistem imun tubuh hospes.

2. Densitas/kepadatan parasit sangat berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas akibat malaria, khususnya malaria falsiparum. Kepadatan 100.000 parasit/ul darah pada umunya berakibat fatal, dan bila kepadatan tersebut bertambah mortalitas juga meningkat.

3. Virulensi parasit ditentukan oleh jemis dan galur parasit, yang berhubungan dengan kemampuan multiplikasi, daya invasi parasit ke eritrosit dan kemampuan parasit mengadakan perlekatan dengan sel-sel lain termasuk endotel kapiler, serta kemampuan menginduksi produksi sitokin dan mediator-mediator kimia yang lain.

Faktor hospes

Beberapa faktor pada hospes yang dapat berperan dalam patogenesis malaria antara lain adalah endemisitas, umur, status gizi, dan status immunologi.

1. Didaerah dengan endemisitas rendah, malaria berat dapat terjadi pada semua golongan umur. Di daerah hiperendemis, malaria berat sering dijumpai pada anak balita, sedangkan orang dewasa kebanyakan hanya menderita malaria ringan.

2. golongan umur yang memiliki resiko tinggi akibat malaria adalah anak umur 6 bulan 4 tahun. Bayi sampai usia 3-6 bulan yang lahir dari ibu yang imun, masih memiliki imunitas yang diperoleh ibunya, sehingga walaupun ada hiperparasitemia dan adakalanya demam, tetapi jarang mengalami malaria berat.

3. malaria berat jarang terjadi pada anak anak dengan status gizinya jelek. Defisiensi zat besi dan riboflavin dilaporkan memiliki efek protektif terhadap terjadinya malaria berat, sebaliknya pemberian suplemen besi pada penderita malaria yang anemia justru memperparah keadaan pasien.

4. status dan respon imun seseorang sangat menentukan manifestasi klinis serta perkembangan penyakit malaria lebih lanjut.

Imunitas terhadap malaria sangat kompleks, karena melibatkan hampir seluruh komponen sistem imu, baik imunitas yang timbul secara alami maupun didapat karena adanya infeksi, yang spesifik maupun nonspesifik, humoral maupun seluler.

Jenis dan tingkat kekebalan alami terhadap malaria sebagian besar ditentukan oleh faktor genetik. Dilaporkan bahwa kelainan pada eritrosit yang bersifat genetik seperti anemia bulan sabit, thallasemia, defisiensi enzim G6PD, dan lain-lain ternyata justru mempunyai efek perlindungan terhadap malaria. Ini akibat kondis micro-envirovment dalam eritrosit yang mengalami kelainan tersebut tidak maksimal pertumbuhannya.

Respon imun nonspesifik merupakan efektor utama dan pertama dalam mekanisme perlawanan terhadap infeksi . respon imun ini terutama dilaksanakan oleh makrofag, monosit, PMN, sel NK, beberapa mediator kimia berupa sitokin, baik yang bersifat penghambat pertumbuhan parasit (sitostatik), maupun yang membunuh parasit(sitotoksik).

Respon imun yang spesifik diprakarsai oleh sel limfosit T dan limfosit B. Imunitas spesifik terhadap malaria memiliki beberapa ciri khusus, yaitu :

a. spesies spesifik, artinya imunitas yang timbul berbeda-beda, tergantung spesies apa yang menginvasi.

b. Strain/varian spesifik, artinya seseorang yang sudah imun/kebal di suatu daerah endemis masih bisa sakit bila pergi ke daerah endemis lain, karena strain plasmodium di kedua daerah tersebut tidak sama.

c. Stage spesific, artinya imunitas yang timbul adalah spesifik untuk stadium tertentu dari plasmodium, karena setiap stadium menghasilkan antigen yang berbeda-beda, seperti

Stadium sporozoit : CPS, STARP. SALSA, dan SSP-2

Stadium merozoit : MSP/MSA-1, MSA-2, MSP-3, RAP-1

Stadium trofozoit : RESA, HRP-1, MESA, HSP-70

Selain ciri-ciri spesifik yang disebutkan diatas, ada ciri spesifik lain dari imunitas malaria, yaitu timbulnya imunitas yang lambat. Umumnya imunitas yang protektif baru muncul saat individu tersebut telah dewasa atau mengalami infeksi berulang-ulang.

MANIFESTASI KLINIK

Manifetasi klinik penyakit malaria sangat bervariasi, jenis maupun derajatnya, yaitu : bias berupa sakit kepala ringan, demam dan badan terasa lemah, pucat, nafsu makan menurun, berkeringat, sakit kepala berat, penurunan kesadaran sampai koma bahkan sampai meninggal dunia. Gejala utama penyakit malariaadalah demam yang spesifik, tetapi terkadang sangat bervariasi dan sulit dibedakan dengan demam karena penyakit lain. Pola manifestasi klinik yang spesifik pada malaria disebut trias malaria atau gejala utama (cardinal signs) yang dipakai untuk petunjuk ke arah dugaan malaria, yaitu ;

Demam paroksismal

Anemia

Splenomegali

Sebelum timbul gejala spesifik tersebut, tidak selalu dijumpai gejala-gejala prodromal. Serangan demam biasanya baru muncul beberapa hari setelah terjadinya gigitan nyamuk. Masa sejak gigitan nyamuk sampai timbulnya gejala demam, disebut masa tunas intrinsik. Lamanya masa tunas intrinsik tergantung pada beberapa faktor, antara lain : jenis/spesies parasit yang menginfeksi, intensitas infeksi, pengobatan yang pernah diperoleh sebelumnya, cara penularan dan tingkat kekebalan individu yang bersangkutan. Pada penularan secara alamiah, masa tunas terjadi beberapa hari setelah selesainya siklus pre eritrositik. Hal ini berbeda untuk masing-masing spesies, yaitu : sekitar 12 hari untuk Plasmodium falciparum, 13-17 hari untuk Plasmodium vivax dan Plasmodium ovale, dan 28-30 hari untuk Plasmodium malariae. Pada penularan non alami, misalnya akibat transfuse maka gejala demam dapat timbul 2-3 hari lebih awal, karena parasit yang terbawa darah donor sudah dalam siklus eritrositik.

Pola demam pada malaria ini sangat klasik dan spesifik, berupa serangkaian gejala yang terdiri dari tiga stadium berurutan, yaitu :

1. Stadium Dingin (cold stage)

Stadium ini dimulai dengan timbulnya rasa dingin. Penderita menggigil, nadi cepat tapi lemah, bibir dan jari-jari sianotik, kulit kering dan pucat, disertai muntah, dan pada anak-anak bias terjadi kejang. Stadium ini berlangsung sekitar 15 menit sampai 1 jam.

2. Stadium Demam (hot stage)

Pada stadium ini penderita mulai merasa panas, muka nampak merah, kulit kering, sakit kepala yang hebat dan sering disertai muintah. Nadi menjadi kuat dan cepat, suhu badan dapat meningkat sampai 41oC atau lebih. Stadium ini berlangsung antara 2-4 jam, seiring dengan irama siklus eritrositik, yaitu : disebabkan pecahnya eritrosit berisi skizon matang dan masuknya merozoit ke sel darah merah baru. Pada Plasmodium vivax dan Plasmodium ovale skizon menjadi matang setiap 48 jam, sehingga demam timbul setiap hari tiga (tertian fever). Pada Plasmodium malariae serangan timbul dengan interval 72 jam atau setiap hari ke empat (quartan fever) , sedangkan/pada Plasmodium falciparum serangan demam timbul dengan interval lebih pendek dari Plasmodium vivax, yaitu : 36-48 jam (sub tertian fever). Seringkali siklus eritrositik tidak terjadi secara simultan, atau mungkin juga terdiri dari lebih dari satu generasi atau koloni parasit, sehingga demam terjadi setiap hari. Demam yang timbul karena hal ini disebut sebagai quotidian paroxysm.

3. Stadium Berkeringat (sweating stage)

Stadium ini terjadi setelah serangan demam berakhir. Penderita biasanya berkeringat banyak sekali, suhu badan menurun drastic, penderita dengan nyenyak dan setelah bangun boleh dikatakan hampir tidak ada keluhan, kecuali badan lemah. Stadium ini berlangsung selam 2-4 jam.

Trias malaria ini secara keseluruhan dapat berlangsung 6-10 jam, lebih sering terjadi pada infeksi Plasmodium vivax, pada Plasmodium falciparum menggigil dapat berlangsung berat ataupun tidak ada. Periode tidak panas berlangsung 12 jam pada Plasmodium falciparum, 36 jam pada Plasmodium vivax dan Plasmodium ovale, 60 jam pada Plasmodium malariae.

Keadaan anemia merupakan gejala yang sering dijumpai pada infeksi malaria. Anemia lebih sering dijumpai pada penderita daerah endemic pada anak-anak dan ibu hamil. Beberapa mekanisme terjadinya anemia ialah :

1. Pengrusakkan eritrosit oleh parasit

2. Hambatan eritropoesis yang sementara

3. Hemolisis karena proses complement mediated immune complex4. Eritrofagositosis

5. Penghambatan pengeluaran retikulosit

Pembesaran limpa (splenomegali) sering dijumpai pada penderita malaria, limpa akan teraba setelah 3 hari dari serangan infeksi akut, limpa menjadi bengkak, nyeri dan hiperemis. Limpa merupakan organ yang penting dalam pertahanan tubuh terhadap infeksi malaria, penelitian pada binatang percobaan limpa menghapuskan eritrosit yang terinfeksi melalui perubahan metabolism, antigenic dan rheological dari eritrosit yang terinfeksi.

Dijumpainya riwayat demam dengan anemia dan splenomegali merupakan petunjuk untuk diagnosa infeksi malaria khususnya di daerah endemik.

Dikenal beberapa keadaan klinik dalam perjalanan infeksi malaria ialah :

a) Serangan primer

Yaitu keadaan mulai dari akhir masa inkubasi dan mulai terjadi serangan paroksismal yang terdiri dari dingin/menggigil, panas dan berkeringat. Serangan paroksismal ini dapat pendek atau panjang tergantung dari perbanyakan parasit dan keadaan imunitas penderita.

b) Periode laten

Yaitu periode tanpa gejala dan tanpa parasitemia selama terjadinya infeksi malaria. Biasanya terjadi di antara 2 keadaan paroksismal. Periode laten dapat terjadi sebelum serangan primer ataupun sesudah serangan primer dimana parasit sudah tidak ada di peredaran darah tapi infeksi masih berlangsung.

c) Recrudescense

Yaitu berulangnya gejala klinik dan parasitemia dalam masa 8 minggu sesudah berakhirnya serangan primer. Recrudescense dapat terjadi sesudah periode laten dari serangan primer.

d) Recurrence

Yaitu berulangnya gejala klinik atau parasitemia setelah 24 minggu berakhirnya serangan primer. Keadaan ini juga menerangkan apakah gejala klinik disebabkan oleh kehidupan parasit berasal dari bentuk di luar eritrosit (hipnozoit) atau parasit dari bentuk eritrositik.

e) Relapse

Yaitu berulangnya gejala klinik atau parasitemia yang lebih lama dari waktu diantara serangan periodic dari infeksi primer. Istilah relaps dipakai untuk menyatakan berulangnya gejala klinik setelah periode yang lama dari masa laten sampai 5 tahun dan biasanya terjadi karena infeksi tidak sembuh atau oleh bentuk di luar eritrosit (hati) pada malaria vivax atau ovale.

IMUNOLOGI PADA MALARIA

Hasil berbagai penelitian terakhir telah menyumbangkan banyak pengetahuan tentang mekanisme imunitas terhadap malaria walau belum seluruhnya jelas. Secara umu dikatakan imunitas terhadap malaria sangat kompleks karena melibatkan hamper seluruh komplemen system imun baik imunitas spesifik maupun non spesifik, imunitas humoral maupun seluler yang timbul akibat didapat sebagai akibat infeksi. Selain itu tampaknya imunitas spesifik timbulnya lambat dan hanya bersifat jangka pendek (short lived), serta barangkali tidak ada imunitas yang permanen.

Imunitas Alamiah

Kekebalan alamiah terhadap malaria sebagian besar merupakan mekanisme non-imunologis berupa kelainan genetic pada eritrosit atau hemoglobin (Hb).

1. HbS (sickle cell trait). Kelainan ini timbul karena penggantian asam amino valine dengan asam glutamate pada posisi 57 pada rantai hemoglobin. Bentuk heterozigot dapat mencegah timbulnya malaria berat, tetapi tidak melindungi dari infeksi. Mekanisme perlindungannya belum jelas, diduga karena eritrosit Hb S yang terinfeksi parasit lebih mudah dirusak di sistim retikuloendotelial, dan/atau karena penghambatan pertumbuhan parasit akibat tekanan O2 intraeritrosit rendah serta perubahan kadar kalium intrasel yang akan mengganggu pertumbuhan parasit, atau karena adanya akumulasi bentuk heme yang toksik bagi parasit.2. Hb C. Kelainan ini bnayak terdapat di Negara-negara Afrika Barat, timbul akibat penggantian asam amino glutamate dengtan lysine pada posisi 6 rantai hemoglobin. Bentuk homozigot dapat menghambat pertumbuhan parasit diduga karena menghambat merozoit keluar dari eritrositt. Sering pula dijumpai kelainan gabungan Hb S dan Hb C.3. Hb E. Kelainan ini merupakan varian Hb yang paling umum dijumpai di dunia. Banyak terdapat di Asia Tenggara. Disebabkan mutasi tunggal yaitu asam amino glutamine diganti dengan lisin pada posisi 26 dari rantai globin. Mekanisme perlindungannya belum jelas, mungkin Karena eritrosit Hb E yang terinfeksi plasmodium lebih mudah difagositosis oleh system imun.4. Thalasemia. Mekanisme perlindungannya belum jelas, barangkali karena eritrosit penderita thalasemia bila terinfeksi plasmodium lebih bnayak mengekspresikan antigen parasit di permukaan selnya hingga akan mengikat lebih banyak antibody hingga memudahkan pembersihan oleh system imun. Selain itu eritrosit penderita thalasemia banyak mengandung Hb F yang kurang menyokong pertumbuhan parasit.5. Defisiensi glukosa 6 phosphat dehidrogenase (G6PD). Perlindungan terhadap malaria hanya tampak pada wanita heterozigot. Mekanismenya belum jelas, barangkali karena parasit harus beradaptasi untuk tumbuh pada 2 populasi eritrosit dengna defisiensi enzim G6PD dan eritrosit dengan enzim normal, hal ini akan mengakibatkan terganggunya pertumbuhan parasit.6. Ovalositosis herediter. Kelainan bentuk sitoskeleton eritrosit yang diturunkan secara autosomal dominan ini jelas member perlindungan terhadap malaria. Mekanismenya karena membrane erotrosit ovalositosis yang kaku lebih tahan terhadap masuknya merozoit, selain itu lingkungna eritrosit intrasel tidak menguntungkan bagi parasit.7. Golongan Duffy negative. Individu dengan golongan darah Duffy negative kebal terhadap infeksi P. vivax. Antigen Duffy yang merupakan reseptor untuk kemokin (Duffy antigen reseptor for chemokines/DARC) pada permukaan eritrosit ini merupakan tempat perlekatan dengan antigen pada merozoit P.vivax. Tanpa adanya antigen ini merozoit tidak akan dapat masuk kedalam eritrosit. 8. HLA ( Human Leucocyte Antigen). HLA dapat mencegah timbulnya malaria berat. Diduga jenis molekul HLA yang terdapat pada permukaan hepatosit ini dapat mengikat lebih banyak antigen Liver stage specific Anrigen 1 (LSA-1) dari sporozoit hingga lebih mudah dikenali oleh limfosit T sitotoksik CD8+ dan selanjutnya memudahkan pembasmian parasit. Imunitas Non-spesifik (non adaptive/innate)

Sporozoit yang masuk darah segera dihadapi system imun tubuh, mula-mula oleh respon imun non-spesifik dan selanjutnya oleh respon imun spesifik. Respon imun non spesifik ini penting karena merupkaan efektor pertama dalam memberikan perlawanan terhadap infeksi, terutama dilaksanakan oleh beberapa sel system imun dan sitokin serta limpa.

a. Makrofag dan monosit. Merupakan sel efektor penting dalam [erlindungan terhadap plasmodium, menseresi sitokin guna mengaktifkan makrofag lainnya, mensekresi interleukin 12 (IL-12) untuk merangsang sel natural killer (NK cell) untuk menghasilkan sitokin interferon- , dan yang penting adalah sel penyaji antigen kepada limfosit T. kemampuan fagositosis dan spesifitas makrofga dapat ditingkatkan oleh sitokin yang dihasilkan sel limfosit T helper yaitu IFN- dan IL-2.b. Leukosit polimorfoneklear (PMN)/neutrofil. Neutrofil bekerja dengan memfagositosis parasit. Aktivitasnya akan meningkat jika dirangsang olehj sitokin IFN- dan TNF-. Yang dihasikan oleh makrofag dan limfosit T-helper. Neitrofil dan fagositosik lainnya membunuh parasit dengan cara menggunakan radikal bebas baik yang O2 dependent seperti superoksid ataupun yang O2 independent seperti nitrit oksid.c. Sitokin. Sitokin berperan aktif menghambat pertumbuhan parasit (sitostatik), maupun membunuh parasit (sitotoksik), atau berfungsi sebagai factor pertumbuhan bagi sel-sel efektor imun lainnya.d. Komplemen. Protein ini bekerja sama dengan antibody untuk mngopsonisasi eritrosit yang terinfeksi parasit, karena kadarnya akan menurun sesuai dengna bertanya penyakit. Pada malaria komplemen termasuk diaktifkan secara jalur klasik.e. Limpa. Organ ini diduga merupakan tempat utama dan terpenting dalam perlindungan terhadap malaria. Limpa mempunyai beberapa fungsi yaitu tempat filtrasi eritrosit yang terinfeksi parasit, filtrasi eritrosit yang mengalami deformitas, dan eritrosit yang terikat oleh antibody beerta komplemen untuk selanjtnya dirusak oleh makrofag. Selain system imun untuk menentukan komponen imunitas mana yang diaktifkan missal pengaktifan subset limfosit Th1 dan Th2.f. Sel NK. Sel ini juga mempunyai fungsi fagositosis eritrosit yang terinfeksi parasit. Aktifitasnya akan diperkuat oleh sitokin IL-2 dan IFN- serta antibody melalui mekanisme AADC (Antibody dependent sellular cytotoxicity)Imunitas Spesifik

a. Species spesifik. Pengetahuan ini didapat sewaktu dulu P.vivax digunakan sebagai terpai untuk pengobatan neurosipilis. Ternyata penderita yang pernah terinfeksi P.vivax masih dapat terinfekis P. falciparum namun tahan terhadap unfeksi ulang P.vivax. hal ini menunjukkan imuntas terhadap malaria bersifat species spesifik. b. Strain spesifik. Pada percobaan seseorang pernah terinfeksi dengan suatu strain parasit, akan kebal bila dipaparkan ulang dengan strain homolog, namun bila dipaparkan dengan strain heterolog akan terjadi infeksi walaupun mungkin lebih ringan.c. Spesifik terhadap stadium siklus parasit (stage specific). Imunitas pada stadium aseksual ekstraerotrositer berbeda dengan stadium eritrositer, demikian pula dengan stadium seksual. Kekebalan terhadap stadium sporozoit atau merozoit tidak member kekebalan terhadap stadium gametosit, demikian pula sebaliknya. Stage specific ini timbul karena parasit menghasiulkan antigen yang berbeda beda pada masing-masing siklus yang selanjutnya akan merangsang produksi bermaca-macam antobodi spesifik atau mengaktifkan komponen imunitas seluler. Diperkirakan pada fase aseksual saja terdapat lebih dari 2000 antigen.DIAGNOSIS MALARIA

Diagnosis Klinik Epidemiologik

Diagnosis malaria biasanya dilakukan secara klinik dan epidemiologik, yaitu berdasarkan ada tidaknya gejala klinis dan riwayat perjalanan penyakit yang mengarah ke diagnosis malaria. Tetapi bila daerah tersebut tidak endemik untuk malaria, melainkan juga untuk penyakit tropik yang lain, maka diagnosis berdasarkan riwayat penyakit menjadi sulit. Oleh karena itu penyakit-penyakit lain memberi gejala febris seperti demam tifoid, demam dengue, demam semak ( scrub thypus ), leptospirosis, infeksi saluran kemih dan infeksi saluran pernapasan bagian atas ( ISPA ) perlu dipertimbangkan sebagai diagnosis banding. Diagnosis malaria berdasarkan gejala klinis saja belum bisa dipertanggung jawabkan, karena lebih dari 50 % penderita demam yang diduga malaria ternyata tidak mengandung parasit di dalam darahnya, dan sebaliknya kurang lebih 15 % penderita demam yang tidak diduga malaria, ternyata pada pemeriksaan darah rutinditemukan parasit. Anamnesis yang jeli selain riwayat kunjungan ke daerah malaria, pernah mendapat transfusi darah atau pernah mengalami demam yang serupa sebelumnya, merupakan pertanyaan yang penting untuk mendukung diagnosis.

Diagnosis Mikroskopik

Diagnosis pasti penyakit malaria baru ditegakkan bila pada pemeriksaan sediaan darah penderita ditemukan parasit di dalam darah. Sampai sekarang cara ini dijadikan gold standard untuk diagnosis malaria. Hasil pemeriksaan sediaan darah yang negatif tidak dapat menyingkirkan diagnosis malaria, karewna apabila penderita pernah mendapat obat anti malaria, di dalam darahnya mungkin mengandung parasit dalam jumlah yang kecil, sehingga berada di bawah ambang mikroskopik.

Pada pemeriksaan mikroskopik sebaiknya dibuat sediaan darah tetes tebal dan hapusan tipis. Pemeriksaan darah tetes tebal dikerjakan secara rutin di lapangan. Metode ini lebih unggul dibandingkan dengan pemeriksaan sediaan darah tipis, terutama untuk kasus dengan infeksi ringan, karena selain caranya lebih muda, kemungkinan diperoleh hasil positif lebih besar. Sebaliknya, sediaan darah tetes tipis mempunyai keunggulan dibandingkan sediaan darah tebal, yaitu apabila kita ingin mengidentifikasi spesies dan stadium parasit di dalam eritrosit dengan lebih teliti dan jelas.

Pengukuran Derajat Parasitemia atau Kepadatan Parasit

Untuk mengukur derajat parasitemia atau kepadatan parasit dalam darah penderita, dapat dilakukan dengan menghitung jumlah ( N ) parasit aseksual ( trofozoit bentuk cincin, trofozoit stadium lanjut atau akizon ) pada sediaan tipis ataupun tebal. Pada sediaan darah tebal, kepadatan parasit dapat dihitung terhadap 200 sel leukosit dengan menggunakan rumus :

Hitung Parasit ( Parasit Count ) = N x jumlah leukosit / mm3 darah

200

Bila jumlah parasit pada sediaan tetes tebal adalah 100/200 leukosit, sedang jumlah leukosit adalah 8000 / l darah, maka hitung parasit adalah 8000/200 X 100 parasit = 4000 / l darah. Di lapangan, kepadatan parasit dari pemeriksaan darah tetes tebal sering dilaporkan dengan metode semi kuantitatif, yaitu dengan memberi kode plus 1 ( + ) sampai dengan plus 4 ( ++++ ), dengan interpretasi sebagai berikut :

+: 1 10 parasit per 100 lapang pandang.

++: 11- 100 parasit per 100 lapang pandang.

+++: 1 10 parasit per satu lapng pandang.

++++: 11 100 parasit per satu lapang pandang.

Pada keadaan infeksi berat, sulit dinyatakan dengan penandaan ++++, karena dapat diartikan mulai 11 sampai ratusan ribu parasit per lapang pandang. Oleh karena itu untuk infeksi yang berat dianjurkan untuk melakukan hitung parasit dari sediaan tetes tipis. Pada sediaan darah tipis, kepadatan parasit dapat dihitung dengan menghitung jumlah parasit ( N ) terhadap 1000 SDM lalu mengalikannya dengan jumlah SDM per mikroliter darah, sesuai dengan rumus :

Hitung Parasit ( Parasit Count ) = N X jumlah SDM / mm3 darah

1000

Bila dijumpai lebih dari satu inti parasit dalam satu eritrosit ( double chromatine atau double infection ), maka dihitung sebagai satu parasit.

Bila jumlah parasit pada sediaan tetes tipis adalah 50 / 1000 eritrosit, berarti 5 % sel-sel darah sudah terinfeksi oleh parasit. Bila jumlah eritrosit 5 juta / l darah, maka jumlah parasitnya adalah 5 juta / 1000 X 100 parasit = 250.000 parasit / l darah.

Diagnosis Mikroskopik dengan Pengecatan Acridine Orange dan Metode Quantitative Bufy Coat (QBC)

Metode ini adalah metode pewarnaan khusus, dengan mengecat sediaaan hapusan darah yang ada menggunakan zat warna acridine orange. Zat warna ini mempunyai sifat dan afinitas yang spesifik terhadap parasit malaria, sehingga menghasilkan warna yang lebih mudah diamati. metode pengecatan ini dikembangkan menjadi metode kuantitatif, dengan menggunakan pipa kapiler yang sudah berisi bahan pewarna acridine, kemudian disentrifugasi sehingga sel-sel darah berikut parasit yang terkandung di dalamnya terpisah pada lapisan-lapisan tertentu (buffy coat), lalu diperiksa di bawah mikroskop fluoresen dan dihitung jumlahnya. Dikatakan bahwa metode QBC ini 10 kali lebih sensitif dibanding cara klasik. beberapa penelitian menyebutkan bahwa sensitifitasnya setara dengan metode klasik (98,9%) dan spesefitasnya sekita 94%. Dibandingkan dengan pemeriksaan sediaan darah biasa yang sampai saat ini masih merupakan gold standard, cara ini mempunyai keunggulan, yaitu metodenya yang relatif mudah dan tidak memerlukan keahlian khusus bagi pemeriksanya. Kelemahannya adalah metode QBC masih terhitung mahal dan tidak tersedia di laboratorium-laboratorium standar.

Diagnosis Imunologik/Serologik

metode imunologi/serologi didisain untuk mendetekasi adanya antibodi spesifik terhadap parasit malaria, atau dengan antigen spesifik Plasmodium maupun eritrosit yang terinfeksi Plasmodium. Prinsip yang dipakai dalam metode ini adalah terjadinya reaksi pembentukan kompleks antigen-antibodi.

a. Deteksi antigen

Antigen malaria dapat ditemukan dalam SDM ataupun dalam serum penderita akut sebagai antigen bebas. Penelitian imunoserelogi dengan target antigen spesifik plasmodium, terus dikembangkan terutama menggunakan teknik Radioimmunoassay (RIA) dan Enzyme immunoassay (ELISA = Enzyme Linked Immunoassay). Kedua teknik ini banyak dikembangkan karena mempunyai sensitivitas yang tinggi, yaitu 0,01-0,001 unit atau setara dengan 500-50 parasit per mikroliter darah. RIA dilaporkan lebih sensitif, tetapi karena menggunakan bahan radioaktif (sebagai detektor) yang mempunyai waktu paruh pendek dan berbahaya bagi kesehatan pemeriksa, maka teknik ini kurang praktis untuk dipakai pemeriksaan rutin dibanding ELISA. Metode ELISA lebih praktis karena detektor yang digunakan adalah enzim yang direaksikan dengan substrat kromogen, yang menghasilkan intensitas warna sebanding dengan kadar bahan yang diperiksa.

Metode yang relatif baru untuk mendeteksi adanya antigen Plasmodium falciparum ini adalah modifikasi ELISA dengan teknik immunokromatografi, yang menjadikan teknik inimakin praktis. Beberapa jenis tes untuk deteksi antigen yang telah dipasarkan antara lain Dipstick test atau ICT (Immunochromatographic Test) , ParaSight F test dan Determine Malaria Pf. Antigen yang dideteksi adalah Histidin Rich Protein II (HRP II) of P. falciparum, yaitu protein yang disekresi oleh eritrosit terinfeksi P. falciparum. Prinsip yang mendasari tes ini adalah sandwich ELISA, yaitu antibodi spesifik terhadap HRP II liposome sebagai konjugat berkromogen yang yang ditambahkan ke dalamnya. metode ini relatif mudah dan tidak memerlukan keahlian khusus bagi pemeriksa, tetapi masih relatif mahal, sehingga penggunaannya dalam praktek masih terbatas. Caranya mengambil darah dari ujung jari dengan tabung kapiler, dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Ditambhakan reagens untuk melisiskan darah sehingga HRP II yang terdapat di dalam SDM keluar dari sel. Campuran darah tersebut diteteskan ke strip yang mengandung antibodi monoklonal terhadap HRP II dan ditambahkan reagen yang mengandung antibodi poliklonal terhadap HRP II, yang mengandung zat warna. Kemudian darah dibersihkan dengan ditetesi deterjen. Bila hasilnya positif, tampak pita berwarna merah muda di bawah pita/garis kontrol.

b. Deteksi Antibodi

Metode diagnostik dengan mendeteksi antibodi terhadap parasit malaria telah dikenal sejak tahun 1962 dan terus berkembang sampai sekarang. Antibodi spesifik terhadap malaria dapat dideteksi lebih kurang 2 (dua) minggu setelah infeksi primer. Deteksi antibodi dikembangkan dengan target yang berbeda-beda dan antigen pelacak yang berbeda-beda pula. Di kenal beberapa jenis metoda antara lain IFAT (Indirect Immunofluorescent Test), Haemagglutination/Latex Agglutination Test, IFA (Indirect fluorescent Antibody Assay) atau ELISA (Enzyme Linked Immunoassai) untuk mendeteksi antibodi terhadap MSA-I (Merozoite Surface Antigen-I) atau Avidin-Bioton-Peroxidase Complex ELISA untuk mendeteksi antibodi terhadap Circumsporozoite Protein.Adanya antibodi sebagai respon imun dari infeksi malaria tidak dapat digunakan sebagai parameter infeksi tersebut sedang berlangsung atau telah lewat, oleh karena itu tes/deteksi antibodi tidak dapat digunakan untuk tes diagnostik, tetapi lebih bermanfaat pada penelitian epidemiologi.

Deteksi DNA Parasit Dalam Darah

Diagnosis malaria juga dapat dilkukan dengan mendeteksi DNA parasit dalam darah penderita, dengan menggunakan berbagai tekhnik biomolekuler.

a. Teknik Hibridisasi

Teknik hibridasi dengan menggunakan pelacak DNA, mempunyai tingkat sensitivitas dan spesifitas yang cukup tinggi. Teknik ini dapat digunakan untuk mendeteksi infeksi dengan kepadatan parasit yang rendah ( 40 parasit / 50 mm3 darah ).

b. Teknik PCR

Teknik polymerase Chain Reaction ( PCR ) merupakan cara baru untuk mendeteksi DNA parasit dengan menggunakan enzim polymerase untuk memperbanyak sekuen DNA. Cara ini lebih sensitif dan spesifik dari pada menggunakan pelacak DNA. Dengan teknik ini, DNA parasit diperbanyak ribuan kali, sehingga dapat mendapat kurang dari 10 parasit dari 20 mikroliter darah.

Kedua cara ini masih sulit dan mahal, sehingga belum dapat diaplikasikan secara luas.

DIAGNOSIS MALARIA

Diagnosis malaria ditegakkan Seperti diagnosis penyakit Iainnya berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan Iaboratorium Diagnosis pasti malaria harus ditegakkan dengan pemeriksaan sediaan darah secara mikroskopik atau tes diagnostic cepat.

A. Anamnesis

Pada anamnesis sangat penting diperhatikan:

1. Keluhan utama: demam, menggigil, berkeringat dan dapat disertai sakit kepala, mual, muntah, diare dan nyeri otot atau pegal-pegal

2. Riwayat berkunjung dan bermalam 1-4 minggu yang lalu ke daerah endemik malaria

3. Riwayat tinggal di daerah endemik malaria

4. Riwayat sakit malaria

5. Riwayat minum obat malaria satu bulan terakhir

6. Riwayat mendapat transfusi darah

B. Pemeriksaan fisik

1. Malaria tanpa komplikasi:

a. Demam (pengukuran dengan termometer 37,5C)

b. Konjungtiva atau telapak tangan pucat

c. Pembesaran limpa (splenomegali)

d. Pembesaran hati (hepatomegali)

2. Malaria dengan komplikasi dapat ditemukan keadaan dibawah ini:

a. Gangguan kesadaran dalam berbagai derajat

b. Keadaan umum yang lemah (tidak bisa duduk/berdiri)

c. Kejang-kejang

d. Panas sangat tinggi

e. Mata atau tubuh kuning

Catatan : penderita tersangka malaria berat harus segera dirujuk untuk mendapat kepastian diagnosis secara mikroskopik dah penanganan Iebih lanjut.

C. Diagnosis Atas Dasar Pemeriksaan Laboratorium

1. Pemeriksaan dengan mikroskopPemeriksaan sediaan darah (SD) tebal dan tipis di Puskesmas/Iapangan/rumah sakit untuk menentukan:

a. Ada tidaknya parasit malaria (positif atau negatif).

b. Spesies dan stadium plasmodium

c. Kepadatan parasit

Untuk penderita tersangka malaria berat perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

d. Bila pemeriksaan sediaan darah pertama negatif, perlu diperiksa ulang setiap 6 jam sampai 3 hari berturut-turut.

e. Bila hasil pemeriksaan sediaan darah tebal selama 3 hari berturut-turut tidak ditemukan parasit maka diagnosis malaria disingkirkan.

2. Pemeriksaan dengan tes diagnostik cepat (Rapid Diagnostic Test)Mekanisme kerja tes ini berdasarkan deteksi antigen parasit malaria, dengan menggunakan metoda imunokromatografi, dalam bentuk dipstik Tes ini sangat bermanfaat pada unit gawat darurat, pada saat terjadi kejadian luar biasa dan di daerah terpencil yang tidak tersedia fasilitas lab serta untuk survey tertentu.

Hal yang penting lainnya adalah penyimpanan RDT ini sebaiknya dalam lemari es tetapi tidak dalam freezer pendingin.

3. Pemeriksaan penunjang untuk malaria berat:

a. Darah rutin

b. Kimia darah lain (gula darah, serum bilirubin, SGOT & SGPT, alkali fosfatase, albumin/globulin, ureum, kreatinin, natrium dan kalium, anaIisis gas darah

c. EKG

d. Foto toraks

e. Analisis cairan serebrospinalis

f. Biakan darah dan uji serologi

g. Urinalisis.

DIAGNOSA BANDING

Demam merupakan salah satu gejala malaria yang paling menonjol, yang juga dijumpai pada hampir semua penyakit infeksi seperti infeksi virus pada sistem respiratorius, influenza, demam dengue, demam typhoid, dan infeksi bakterial lainnya seperti pneumonia, ISK, dan tuberculosis. Pada malaria berat, diagnosa banding tergabtung manifestasi malaria berat. Pada malaria dengan ikterus, diagnosa banding adalah demam typhoid dengan hepatitis, kolesistitis, abses hati, dan leptospirosis. Hepatitis pada saat timbul ikterus, biasanya tidak dijumpai demam lagi. Pada malaria serebral, harus dibedkan dengan infeksi pada otak lainnya, seperti meningitis, ensephalitis, typhoid encelophati, dan tripanososmiasis.

1. Demam Dengue

Gejala

demam tipe bifasik

trombositopenia 15 Tahun

1Kina *)3 X 1/23 X 1 3 X 11/2 3 X (2-3)

Tetrasiklin---*)4 X 1**)

Primakuin -3/411/222-3

2 - 7Kina *)3 X 1/23 X 1 3 X 11/2 3 X (2-3)

Tetrasiklin---*)4 X 1**)

*) Dosis diberikan kg/bb**) 4x250 mg Tatrasiklin

Untuk penderita malaria mix (P.falciparum + P.vivax) dapat diberikan pengobatan obat kombinasi peroral selama tiga hari dengan dosis tunggal harian sebagai berikut:

Amodiakuin basa = 10 mg/kgbb dan Artesunat = 4 mg/kgbb ditambah dengan primakuin 0,25 mg/ kgbb selama 14 hari.

Malaria mix = Artesunat + Amodiakuin + Primakuin

Tabel III.1.4Pengobatan malaria mix (P. Falciparum + P. Vivax)

Hari Jenis ObatJumlah tablet perhari menurut kelompok umur

0-1 Bulan 2-11 Bulan1 - 4 Tahun 5 - 9 Tahun 10-14 Tahun >15 Tahun

1Artesunat1/41/21234

Amodiakuin1/41/21234

Primakuin--)1/211 1/22

2Artesunat1/41/21234

Amodiakuin1/41/21234

Primakuin--1/211 1/22

3Artesunat1/41/21234

Amodiakuin1/41/21234

3-14Primakuin--1/211 1/22

2. Pengobatan malaria vivaks, malaria ovale, malaria malariae

A. Malaria vivaks dan ovaleLini pertama pengobatan malaria vivaks dan malaria ovale adalah seperti yang tertera dibawah ini:

Lini Pertama = Klorokuin + Primakuin

Kombinasi ini digunakan sebagai pilihan utama untuk pengobatan malaria vivaks dan malaria ovale.

Klorokuin

Klorokuin diberikan 1 kali per-hari selama 3 hari, dengan dosis total 25 mg basa/kgbb.

Primakuin

Dosis Primakuin adalah 0.25 mg/kgbb per hari yang diberikan selama 14 hari dan diberikan bersama klorokuin.Seperti pengobatan malaria falsiparum, primakuin tidak boleh diberikan kepada: ibu hamil, bayi 15 Tahun

H1Klorokuin 1/41/21233-4

Primakuin--1/41/23/41

H2Klorokuin 1/41/21233-4

Primakuin--1/41/23/41

H3Klorokuin 1/8 1/41/211 1/22

Primakuin--1/41/23/41

H4-14Primakuin--1/41/23/41

Pengobatan malaria vivaks resisten klorokuin

Lini kedua : Kina + Primakuin

Primakuin

Dosis Primakuin adalah 0,25 mg/kgbb per hari yang diberikan selama 14 hari. Seperti pengobatan malaria pada umumnya, primakuin tidak boleh diberikan kepada Ibu hamil, bayi < 1tahun, dan penderita defisiensi G6-PD. *) Dosis kina adalah 30mg/kgbb/hari yang diberikan 3 kali per hari. Pemberian kina pada anak usia di bawah 1 tahun harus dihitung berdasarkan berat badan.

Dosis dan cara pemberian primakuin adalah sama dengan cara pemberian primakuin pada malaria vivaks terdahulu yaitu 0.25 mg/kgbb perhari selama 14 hari.

Tabel III.2.2 Pengobatan malaria vivaks resisten klorokuin

Hari Jenis ObatJumlah tablet perhari menurut kelompok umur

0-1 Bulan 2 - 11 Bulan1 - 4 Tahun 5 - 9 Tahun 10 - 14 Tahun >15 Tahun

1-7Kina*)*)3 X 1/23 X 13 X 1 1/23 X 3

1 - 14Primakuin--1/41/23/41

*) Dosis diberikan kg/bb

B. Pengobatan malaria vivaks yang relaps

Pengobatan kasus malaria vivaks relaps (kambuh) sama dengan regimen sebelumnya hanya dosis perimakuin ditingkatkan Klorokuin diberikan 1 kali per-hari selama 3 hari, dengan dosis total 25 mg basa/kgbb dan primakuin diberikan selama 14 hari dengan dosis 0,5 mg/kgbb/hari. Dosis obat juga dapat ditaksir dengan memakai tabel dosis berdasarkan golongan Umur penderita tabel III.2.3.

Tabel III.2.3. Pengobatan malaria vivaks yang relaps (kambuh)

Hari Jenis ObatJumlah tablet perhari menurut kelompok umur

0-1 Bulan 2 - 11 Bulan1 - 4 Tahun 5 - 9 Tahun 10 - 14 Tahun >15 Tahun

H1Klorokuin1/41/21233-4

Primakuin--1/211 1/22

H2Klorokuin1/41/21233-4

Primakuin--1/211 1/22

H3Klorokuin1/81/41/211 1/22

Primakuin--1/211 1/22

H4 -14Primakuin--1/211 1/22

Khusus. untuk penderita defisiensi enzim G6PD yang dapat diketahui melalui anamnesis ada keluhan atau riwayat warna urin coklat kehitaman setelah minum obat (golongan sulfa, primakuin, kina, klorokuin dan lain-lain), maka pengobatan diberikan secara mingguan.

Klorokuin diberikan 1 kali per-minggu selama 8 sampai dengan 12 minggu, dengan dosis 10 mg basa/kgbb/kali Primakuin juga diberikan bersamaan dengan klorokuin setiap minggu dengan dosis 0,76 mg/kgbb/kali

Tabel: III.2..3.1. Pengobatan malaria vivaks penderita defislensi G6PD

Lama minggu Jenis ObatJumlah tablet perhari menurut kelompok umur

0-1 Bulan 2 - 11 Bulan1 - 4 Tahun 5 - 9 Tahun 10 - 14 Tahun >15 Tahun

8 s/d12Klorokuin1/41/21233-4

8 s/d12Primakuin--3/41 1/22 1/43

C. Pengobatan malaria malariae

Pengobatan malaria malariae cukup diberikan dengan klorokuin 1 kali per-hari selama 3 hari, dengan dosis total 25 mg basa/kgbb Pengobatan juga dapat diberikan berdasarkan golongan umur penderita tablel III.2.4.

Tabel III.2.4. Pengobatan malaria malariae

HariJenis ObatJumlah tablet perhari menurut kelompok umur

0-1 Bulan 2 - 11 Bulan1 - 4 Tahun 5 - 9 Tahun 10 - 14 Tahun >15 Tahun

1Klorokuin1/41/21233-4

2Klorokuin 1/41/21233-4

3Klorokuin1/81/41/211 1/22

3. Catatan

a. Fasilitas pelayanan kesehatan dengan sarana diagnostik malaria dan belum tersedia obat kombinasi artesunat + amodiakuin, Penderita dengan infeksi Plasrnodium falciparurn diobati dengan sulfadoksinpirimetamin (SP) untuk membunuh parasit stadium aseksual.

Obat ini diberikan dengan dosi tunggal sulfadoksin 25 mg/kgbb atau berdasarkan dosis pirimetamin 1,25 mg/kgbb Primakuin juga diberikan untuk membunuh parasit stadium seksual dengan dosis tunggal 0,75 mg/kgbb Pengobatan juga dapat diberikan berdasarkan golongan umur penderita seperti pada tabel III.3.1.

Tabel III.3.1. Pengobatan malaria falsiparum di sarana kesehatan tanpa tersedia obat artesunat-amodiakuin

Hari Jenis ObatJumlah tablet perhari menurut kelompok umur

15 Tahun

H1SP-3/41 1/223

Primakuin-3/41 1/222-3

Pengobatan malaria falsiparum gagal atau alergi SP

Jika pengobatan dengan SP tidak efektif (gejala klinis tidak memburuk tetapi parasit aseksual tidak berkurang atau timbul kembali) atau penderita mempunyai riwayat alergi terhadap SP atau golongan sulfa lainnya, penderita diberi regimen kina + doksisiklin/tetrasiklin + primakuin.

Pengobatan alterflatif = Kina + Doksisiklin atau Tetrasiklin + Primakuin

Pemberian obat dapat diberikan berdasarkan golongan umur seperti tertera pada tabel III.3.2. dan tabel III.3.3 Dosis maksimal penderita dewasa yang dapatdiberikan untuk kina 9 tablet, dan primakuin 3 tablet. Selain pemberian dosis berdasarkan berat badan penderita, obat dapat diberikah berdasarkan golongan umur seperti tertera pada table III.3.2.

Tabel III.3.2. Pengobatan lini kedua untuk malaria falsiparum

Hari Jenis ObatJumlah tablet perhari menurut kelompok umur

15 Tahun

1Kina *)3 X 1/23 X 13 X 1 1/23 X (2-3)

Dosisiklin---2 X 1**)2 X 1 ***)

Primakuin -3/41 1/2 22-3

2Kina *)3 X 1/23 X 13 X 1 1/2 3 X (2-3)

Dosisiklin---2 X 1**)2 X 1***)

*) Dosis diberikan kg/bb**) 2x 50mg Doksisiklin***) 2x100 mg Doksisiklin

Tabel III.3.3. Pengobatan lini kedua untuk malaria falsiparum

Hari Jenis ObatJumlah tablet perhari menurut kelompok umur

0-11 Tahun1 - 4 Tahun 5 - 9 Tahun 10 - 14 Tahun >15 Tahun

1Kina *)3 X 1/23 X 13 X 1 1/23 X (2-3)

Tetrasiklin---*)4 X 1**)

Primakuin-3/41 1/222-3

2Kina*)3 X 1/23 X 13 X 1 1/23 X (2-3)

Tetrasiklin---*)4 x 1**)

*) Dosis diberikan kg/bb**) 4x 250 mg Tetrasiklin

b. Fasilitas pelayanan kesehatan tanpa sarana diagnostik malaria. Penderita dengan gejala klinis malaria dapat diobati sementara dengan regimen klorokuin dan primakuin. Pemberian klorokuin 1 kali per-hari selama 3 hari, dengan dosis total 25 mg basa/kgbb. Primakuin diberikan bersamaan dengan klorokuin pada hari pertarna dengan dosis 0,75 mg/kgbb. Pengobatan juga dapat diberikan berdasarkan golongan umur penderita seperti pada tabel III.3.4.

Tabel III.3.4. Pengobatan terhadap penderita suspek malaria

Hari Jenis ObatJumlah tablet perhari menurut kelompok umur

0-1 Tahun2 - 11 Tahun 1 - 4 Tahun 5-9 Tahun10 - 14 Tahun >15 Tahun

1Klorokuin1/41/21233-4

Primakuin--3/41 1/2 22-3

2Klorokuin1/41/21234

3Klorokuin1/81/41/211 1/22

B. PENGOBATAN MALARIA DENGAN KOMPLIKASI

Definisi malaria berat/komplikasi adalah ditemukannya Plasmodium falciparum stadium aseksual dengan satu atau beberapa manifestasi klinis dibawah ini (WHO,1997):

1. Malaria serebral (malaria otak)

2. Anemia berat (Hb 40 C pada orang dewasa, >41 C pada anak)

Perbedaan manifestasi malaria berat pada anak dan dewasa dapat dilihat pada tabel III.4.1

Tabel III.4.1. Manifestasi Melaria Berat Pada Anak dan Dewasa

Manifestasi malaria berat pada Anak Manifestasi malaria berat pada Dewasa

Koma (malaria serebral) Distres pernafasan Hipoglikemia (sebelum terapi kina)Anemia berat

Kejang umum yang bertulang Asidosis metabolikKolaps sirkulasi, syok hipovolemia,hipotensi (tek. sistolik410C)Hemoglobinuria (blackwater fever)Perdarahan spontanGagal ginjal

Komplikasi terbanyak pada anak :Hipoglikemia (sebelum pengobatan kina) Anemia berat.

Keterangan : Anemia berat ( Hb 570C, iodisasi, dan klorinisasi)

Pengunjung ke daerah ini harus minum air yang telah melalui pendidihan, menjauhi makanan segar(sayur/buah)

Vaksinasi secara menyeluruh pada masyarakat setempat maupun pengunjung

e. Vaksinasi

Indikasi vaksinasi:

Tindakan preventif berupa vaksinasi tifoid bergantung pada faktor resiko yang berkaitan yaitu individual atau populasi dengan situasi epidemiologisnya:

Populasi: anak usia sekolah di daerah endemik, personil militer, petugas rumah sakit, laboratorium kesehatan, industri makanan/minuman

Individual: pengunjung/wisatawan ke daerah endemik, orang yang kontak erat dengan pengidap tifoid (karier)

Anak usia 2-5 tahun toleransi dan respon imunologisnya sama dengan anak usia lebih besar

KANDUNGAN

RUTE

UMUR

ONSET KEBAL

ULANGAN

1. Polisakarida iv

Inj sc

>2 tahun

1 minggu

3 tahun

2. Bakteri yang dilemahkan

a. Oral

b. Caps

c. liq

6 tahun

2 minggu

1 tahun

Tindakan preventif sebagai upaya pencegahan penularan dan peledakan kasus luar biasa (KLB) demam tifoid mencakup banyak aspek.

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Melalui hasil belajar mandiri yang telah didiskusikan pada diskusi kelompok kecil (DKK) ke-2, kami memperoleh beberapa kesepakatan yang telah didiskusikan sebelumnya. Malaria adalah penyakit yang bersifat akut maupun kronis. Infeksi tropis yang disertai dengan gejala demam, splenomegali, anemia yang disebabkan oleh Plasmodium terdiri dari P. Falciparum, P. Vivax, P. Malariae, P. Ovale. Serta bagaimana demam tyfoid itu sendiri.SARAN

Mengingat masih banyaknya kekurangan dari kelompok kami, baik dari segi diskusi kelompok, penulisan tugas tertulis dan sebagainya, untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran dari dosen-dosen yang mengajar baik sebagai tutor maupun dosen yang memberikan materi kuliah, dari rekan-rekan angkatan 2008 dan dari berbagai pihak demi kesempurnaan laporan

DAFTAR PUSTAKA

1. Gandahusda s, 1998, Parasit kedokteran, Fakultas kedokteran universitas Indonesia, hal 171-209

2. Harijanto, 2000, Malaria, Epidiomologi, patogenesis, manifestasi klinik dan penangganannya. EGC, hal 17-127

3. Sutrisna, 2003, malaria secara ringkas : Dari pengetahuan dasar sampai terapan, penerbit Buku Kedokteran EGC, hal: 21-44

4. Robert,L.S, dan Janovy, 2000, Foundation of Parasitology edisi 6, Mc Graw Hill Companies,Inc, page.141-157

5. Leventhal.R, Cheadle.R.F, 2000. Medical Parasitology; A-self instructional text,F.A.Davis Company, Philidelphia,page 115-121

6. John.M.V, 1992, Medical Parasitology, 7th-ed, W.B. Sounders Company, Philidelphia,p 96-125

7. Marquardt.W.C, Demaree. R.S, Grieve.R.B, 2000, Parasitology Vector Biology,2th ed, Haecourt/ Academic Press, page 187-206

INFEKSI

anamnesis

Kondisi : lemah, nafsu makan (-), sakit kepala, demam paroksismal

Antibiotic dan antipiretik

Pem. Fisik

Spenomegali dan anemia

Pem. Lab

Widal test dan thin film

Gambar 5. Siklus Hidup Plasmodium

Gambar 6. Patogenesis Malaria