makalah hukum kesehatan - santi nastiti

52
Informed Consent Sebagai Upaya Preventif Tindakan Malpraktek disusun oleh: Santi Nastiti, 0906490411 Disusun Sebagai Tugas Makalah untuk Mata Kuliah Hukum Kesehatan FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK, 2012

Upload: santi-nastiti

Post on 11-Jul-2016

85 views

Category:

Documents


37 download

DESCRIPTION

Hukum KesehatanTugas KuliahInformed Consent

TRANSCRIPT

Page 1: Makalah Hukum Kesehatan - Santi Nastiti

Informed Consent Sebagai Upaya Preventif

Tindakan Malpraktek

disusun oleh:

Santi Nastiti, 0906490411

Disusun Sebagai Tugas Makalah

untuk Mata Kuliah Hukum Kesehatan

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA

DEPOK, 2012

Page 2: Makalah Hukum Kesehatan - Santi Nastiti

i

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena hanya

atas berkah limpahan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas makalah ini

dengan baik dan tepat waktu.

Makalah ini membahas mengenai “Informed Consent, Sebagai Upaya

Preventif Tindakan Malpraktek”. Makalah ini disusun selain dalam rangka

menyelesaikan tugas akhir semester mata kuliah Hukum Kesehatan, juga untuk

mengetahui lebih dalam bagaimana informed consent, sebagai upaya preventif

tindakan malpraktek.

Dalam proses penulisan makalah ini, tentunya penulis mendapatkan

bimbingan, arahan, koreksi dan saran, untuk itu rasa terima kasih penulis

sampaikan kepada seluruh pihak yang membantu penyelesaian makalah ini.

Akhir kata, tak ada gading yang tak retak. Begitu pula isi dari makalah ini.

Penulis berharap para pembaca memberikan saran dan kritik yang membangun

untuk kemajuan penulis di masa mendatang.

Depok, 14 Mei 2012

Penulis

Page 3: Makalah Hukum Kesehatan - Santi Nastiti

ii

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ........................................................................................... i

DAFTAR ISI ......................................................................................................... ii

ABSTRAK ............................................................................................................ 1

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 2

1.1. Latar Belakang Masalah ............................................................................... 2

1.2. Rumusan Masalah ......................................................................................... 2

1.3. Tujuan Penulisan Makalah ........................................................................... 3

1.4. Metode Penelitian ......................................................................................... 4

BAB II PEMBAHASAN ...................................................................................... 5

2.1.Definisi Pasien, Dokter, dan Rumah Sakit ...................................................... 5

2.1.1. Definisi Pasien ....................................................................................... 5

2.1.2. Definisi Dokter ...................................................................................... 5

2.1.3. Definisi Rumah Sakit ............................................................................. 8

2.2.Hubungan Hukum Antara Pasien dan Dokter ................................................. 9

2.2.1. Berdasarkan Perjanjian (Ius contractu) ................................................. 9

2.2.2. Berdasarkan Undang-Undang (Ius delicto) ............................................ 10

2.3.Tinjauan Informed Consent ............................................................................. 12

2.3.1. Informed Consent Sebagai Hak Pasien .................................................. 12

2.3.2. Pengertian Informed Consent ................................................................ 15

2.3.3. Kode Etik Kedokteran dan Informed Consent ..................................... 16

2.3.4. Aspek Perdata Informed Consent .......................................................... 18

2.3.5. Aspek Pidana Informed Consent ........................................................... 25

2.3.6. Aspek Administratif Informed Consent ................................................ 27

2.3.7. Alasan-Alasan yang Mengecualikan Informed Consent ....................... 29

2.4.Malpraktek Kedokteran ................................................................................... 32

2.4.1. Definisi Malpraktek Kedokteran ........................................................... 32

Page 4: Makalah Hukum Kesehatan - Santi Nastiti

iii

2.4.2. Malpraktek dan Kaitannya dengan Pengertian Standar profesi

kedokteran ............................................................................................. 33

2.4.3. Jenis-Jenis Malpraktek .......................................................................... 36

2.4.4. Penanggulangan Malpraktek Medis ...................................................... 38

2.4.4.1.Pada Bidang Kedokteran .......................................................... 38

2.4.4.2.Pada Bidang Hukum ................................................................. 39

2.5.Tanggung Jawab Perawat dan Rumah Sakit .................................................... 40

2.5.1. Tanggung Jawab Perawat ...................................................................... 40

2.5.2. Tanggung Jawab Rumah Sakit ............................................................... 41

BAB IV PENUTUP ............................................................................................... 43

4.1. Kesimpulan .................................................................................................... 43

4.2. Saran .............................................................................................................. 45

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 46

Page 5: Makalah Hukum Kesehatan - Santi Nastiti

1

ABSTRAK

Makalah ini membahas masalah Informed Consent, Sebagai UpayaPreventif Tindakan Malpraktek. Sebelumnya diuraikan terlebih dahulubagaimana aspek etis dan aspek hukum informed consent, bilamana informedconsent dikesampingkan, bagaimana aspek hukum tindakan malpraktek,bagaimana tanggung jawab perawat dan rumah sakit dalam hal terjadi tindakanmalpraktek, dan bagaimana informed consent sebagai upaya preventif tindakanmalpraktek. Penulis menyarankan, agar dalam pemberian penjelasan terkaitdengan informed consent seyogyanya disampaikan dalam bahasa yang sederhanadan mudah dimengerti oleh pasien. Selain itu, dalam hal menyikapi permasalahan-permasalahan di atas, perlulah kiranya upaya-upaya preventif, baik dari doktermaupun pasien. Data untuk makalah ini penulis peroleh dengan menggunakanmetode studi kepustakaan.

Kata Kunci: Informed Consent; Malpraktek.

Page 6: Makalah Hukum Kesehatan - Santi Nastiti

2

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Pekerjaan dokter mempunyai ciri khusus, antara lain merupakan hubungan

yang sangat pribadi karena didasarkan pada kepercayaan. Pasien senantiasa harus

percaya kepada kemampuan dokter yang menanganinya. Namun keadaan

demikian lama-kelamaan mengalami perubahan, sehubungan dengan

perkembangan yang terjadi dalam pelbagai bidang kehidupan. Dengan semakin

meningkatnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap tanggung jawab

atas kesehatannya sendiri, maka kepercayaan yang semula tertuju pada

kemampuan dokter secara pribadi, sekarang bergeser pada kemampuan ilmunya.

Timbul kesadaran masyarakat untuk menuntut suatu hubungan yang seimbang

dan tidak lagi sepenuhnya pasrah kepada dokter.1 Husein Kerbala mengatakan

bahwa selain kepercayaan tidak lagi pada dokter secara pribadi, akan tetapi

kepada kemampuan ilmu kedokteran, perubahan pola hubungan dokter-pasien

terjadi karena:

a. ada kecenderungan untuk menyatakan bahwa kesehatan itu bukan lagi keadaan

tanpa penyakit, akan tetapi berarti kesejahteraan fisik, mental dan sosial.

b. semakin banyaknya peraturan yang memberikan perlindungan hukum kepada

pasien.

Dengan demikian terlihat hubungan dokter-pasien tidak hanya bersifat medis

semata, tetapi juga bersifat sosial, yuridis dan ekonomis.2

1 Veronica Komalawati, “Peranan Informed Consent dalam Transaksi Terapeutik

(Persetujuan dalam Hubungan Dokter dan Pasien)”, cetakan ke-2, (Bandung: PT Citra Aditya

Bakti, 2002), hal 38-39.

2 Husein Kerbala, “Segi-Segi Etis dan Yuridis Informed Consent”, cetakan ke-1, (Jakarta:

PT Penebar Swadaya, 1993), hal 38.

Page 7: Makalah Hukum Kesehatan - Santi Nastiti

3

Di Indonesia, kasus Dokter Setyaningrum pada tahun 1980-an untuk

pertama kalinya menggugah kesadaran masyarakat akan hubungan yang seimbang

antara dokter dengan pasien. Sejak kasus itu mencuat, terjadi perubahan pola

hubungan pasien-dokter dari paternalistik menjadi partnership.3 Pasien menjadi

sadar akan hak-haknya, antara lain hak atas informasi dan hak memberikan

persetujuan yang umum disebut dengan informed consent.

Banyak kasus bermunculan setelah kasus dr. Setyaningrum, dimana pasien

atau keluarga pasien menggugat dan menuntut tenaga medis dalam berbagai kasus

malpraktek. Kasus-kasus seperti “Keluarga Bayi Jared-Jayden dan RS Omni”

serta “Keluarga Bayi Ismi dan RS Borromeus” baru-baru ini merupakan contoh

nyata fenomena ini. Dari sini terlihat, pemahaman Informed Consent yang

memadai amat dibutuhkan sebagai upaya preventif tindakan malpraktek.

Permasalahan ini yang hendak penulis angkat, apa dan bagaimana “Informed

Consent, Sebagai Upaya Preventif Tindakan Malpraktek”.

1.2.Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang makalah di atas, maka dapat

dirumuskan permasalahan makalah ini sebagai berikut.

1. Bagaimana aspek etis dan aspek hukum informed consent?

2. Bilamana informed consent dikesampingkan?

3. Bagaimana aspek hukum tindakan malpraktek?

4. Bagaimana tanggung jawab perawat dan rumah sakit dalam hal terjadi

tindakan malpraktek?

5. Bagaimana informed consent sebagai upaya preventif tindakan

malpraktek?

1.3. Tujuan Penulisan Makalah

3 Tempo Online, “Vonis Bebas Untuk Profesi Dokter”, diakses dari

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1984/08/25/HK/mbm.19840825.HK41200.id.html,

pada tanggal 7 April 2012 pukul 12.53 WIB.

Page 8: Makalah Hukum Kesehatan - Santi Nastiti

4

Untuk lebih mengarahkan dalam pembahasan nantinya, perlu kiranya

diketahui apa yang menjadi tujuan penulisan makalah ini. Yang menjadi tujuan

penulisan makalah ini adalah sebagai berikut.

1. Mengetahui bagaimana aspek etis dan aspek hukum informed consent?

2. Mengetahui bilamana informed consent dikesampingkan?

3. Mengetahui bagaimana aspek hukum tindakan malpraktek?

4. Mengetahui bagaimana tanggung jawab perawat dan rumah sakit dalam

hal terjadi tindakan malpraktek?

5. Mengetahui bagaimana informed consent sebagai upaya preventif tindakan

malpraktek?

1.4. Metode Penelitian

Data penulisan makalah ini diperoleh dengan metode studi kepustakaan.

Metode studi kepustakaan yaitu suatu metode dengan membaca telaah pustaka

tentang “Informed Consent, Sebagai Upaya Preventif Tindakan Malpraktek”.

Selain itu penulis juga memperoleh data dari internet.

Page 9: Makalah Hukum Kesehatan - Santi Nastiti

5

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Definisi Pasien, Dokter, dan Rumah Sakit

2.1.1. Definisi Pasien

Pasien adalah orang yang berdasarkan pemeriksaan dokter dinyatakan

menderita penyakit mengidap penyakit baik di dalam tubuh maupun di dalam

jiwanya.4 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290/MENKES/PER/III/2008

tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran membedakan pasien dengan

menggunakan istilah “pasien yang kompeten” dan “pasien”. Berdasarkan Pasal 1

angka 7 Permenkes ini, “pasien yang kompeten” adalah pasien dewasa atau bukan

anak menurut peraturan perundang-undangan atau telah/pernah menikah, tidak

terganggu kesadaran fisiknya, mampu berkomunikasi secara wajar, tidak

mengalami kemunduran perkembangan (retardasi) mental dan tidak mengalami

penyakit mental sehingga mampu membuat keputusan secara bebas. Dalam

kaitannya dengan informed consent, pasien yang kompeten ini berhak

memberikan persetujuan tindakan kedokteran (Pasal 13 ayat (1) Peraturan Menteri

Kesehatan Nomor 290/MENKES/PER/III/2008). Lebih lanjut mengenai ini akan

dibahas dalam sub-bab “Aspek Perdata Informed Consent” dan sub-bab “Alasan-

Alasan yang Mengecualikan Informed Consent”.

2.1.2. Definisi Dokter

Berdasarkan Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009

tentang Kesehatan, “Tenaga Kesehatan” adalah setiap orang yang mengabdikan

diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan

melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan

kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. Upaya kesehatan adalah setiap

kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara terpadu, terintregasi

4 Husein, op.cit., hal 36.

Page 10: Makalah Hukum Kesehatan - Santi Nastiti

6

dan berkesinambungan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan

masyarakat dalam bentuk pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan,

pengobatan penyakit, dan pemulihan kesehatan oleh pemerintah dan/atau

masyarakat (Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang

Kesehatan). Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang

Tenaga Kesehatan menyatakan bahwa tenaga kesehatan terdiri dari:

a. tenaga medis;

b. tenaga keperawatan;

c. tenaga kefarmasian;

d. tenaga kesehatan masyarakat;

e. tenaga gizi;

f. tenaga keterapian fisik;

g. tenaga keteknisian medis.

Tenaga medis menurut Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah ini meliputi

dokter dan dokter gigi. UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran

memberikan definisi dokter dan dokter gigi. Pasal 1 ayat (2) menjelaskan Dokter

dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi, dan dokter gigi

spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam

maupun di luar negeri yang diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia sesuai

dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 35 ayat (1) UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran

menyebutkan bahwa; “Dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda

registrasi mempunyai wewenang melakukan praktik kedokteran sesuai dengan

pendidikan dan kompetensi yang dimiliki...” Apa itu surat tanda registrasi? Surat

tanda registrasi didefinisikan dalam Pasal 1 Angka 8 UU ini; “Surat tanda

registrasi dokter dan dokter gigi adalah bukti tertulis yang diberikan oleh Konsil

Kedokteran Indonesia kepada dokter dan dokter gigi yang telah diregistrasi”.

Menurut Pasal 1 Angka 5 UU ini, Registrasi adalah pencatatan resmi terhadap

Page 11: Makalah Hukum Kesehatan - Santi Nastiti

7

dokter dan dokter gigi yang telah memiliki sertifikat kompetensi dan telah

mempunyai kualifikasi tertentu lainnya serta diakui secara hukum untuk

melakukan tindakan profesinya. Sertifikat kompetensi menurut Pasal 1 Angka 4

UU ini adalah surat tanda pengakuan terhadap kemampuan seorang dokter atau

dokter gigi untuk menjalankan praktik kedokteran di seluruh Indonesia setelah

lulus uji kompetensi. Selain itu, dalam Pasal 36 ayat (1) UU ini disebutkan bahwa;

“Setiap dokter dan dokter gigi yang akan melakukan praktik kedokteran di

Indonesia wajib memiliki SIP”. SIP adalah akronim dari Surat Izin Praktik, yaitu

bukti tertulis yang diberikan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota kepada dokter dan

dokter gigi yang telah memenuhi persyaratan untuk menjalankan praktik

kedokteran (Pasal 1 angka 3 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor

512/MENKES/PER/IV/2007 tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik

Kedokteran). Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 512/MENKES/PER/IV/2007,

Pasal 19 ayat (1) menyatakan bahwa dokter dan dokter gigi dalam melaksanakan

praktik kedokteran harus sesuai dengan kewenangan dan kompetensi yang

dimiliki serta kewenangan lainnya yang ditetapkan oleh Konsil Kedokteran. Pasal

19 ayat (2) Permenkes ini menyebutkan ketentuan dalam Pasal 19 ayat (1) dapat

disimpangi dokter dan dokter gigi dalam rangka gawat darurat guna penyelamatan

jiwa atau pencegahan kecacatan pasien.

Apa makna dari surat tanda registrasi, Registrasi, Sertifikat kompetensi,

dan SIP? Semua itu adalah bentuk pengakuan pemerintah bahwa seorang dokter

atau dokter gigi mempunyai kewenangan untuk melakukan praktik kedokteran di

Indonesia. Kewenangan tersebut pada asasnya terbatas pada apa yang tercantum

dalam SIP. Meskipun demikian, peraturan perundang-undangan memungkinkan

seorang dokter atau dokter gigi dapat melampaui kewenangannya manakala

kondisi gawat darurat guna penyelamatan jiwa atau pencegahan kecacatan pasien.

Jadi, apa definisi dokter? Walaupun dalam peraturan perundang-undangan

tidak diberikan definisi dokter, dokter spesialis, dokter gigi atau pun dokter gigi

spesialis, namun dari uraian di atas dapat disimpulkan, definisinya dalam konteks

yuridis formal di Indonesia. Dokter tak hanya seseorang yang menjalani

pendidikan di suatu fakultas kedokteran (dokter gigi: pendidikan di fakultas

Page 12: Makalah Hukum Kesehatan - Santi Nastiti

8

kedokteran gigi; dokter spesialis: melanjutkan pendidikan spesialisasi tertentu)

lalu mendapat ijazah untuk pendidikannya itu menurut peraturan hukum positif.

Tetapi juga telah mendapat pengakuan pemerintah dalam hal kewenangan

menyelenggarakan praktik kedokteran tertentu.

2.1.3. Definisi Rumah Sakit

Siregar dan Amalia menyatakan bahwa rumah sakit adalah suatu

organisasi yang kompleks, menggunakan gabungan ilmiah khusus dan

rumit, dan difungsikan oleh berbagai kesatuan personel terlatih dan terdidik

dalam menghadapi dan menangani masalah medik modern, yang semuanya

terikat bersama-sama dalam maksud yang sama, untuk pemulihan dan

pemeliharaan kesehatan yang baik.5

Definisi Rumah Sakit terdapat dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun

2009 tentang Rumah Sakit (selanjutnya disebut dengan UU Rumah Sakit) yang

menyatakan: “Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang

menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang

menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat (Pasal 1

Angka 1)”.

Setiap penyelenggara Rumah Sakit wajib memiliki izin, yang terdiri dari

izin mendirikan dan izin operasional. Izin sebagaimana dimaksud itu diberikan

setelah memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini

(Pasal 25 UU Rumah Sakit).

Adapun fungsi Rumah Sakit Menurut Pasal 5 UU Rumah Sakit yaitu:

a. penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai

dengan standar pelayanan rumah sakit;

5 Widi Hariyanti, “Analisis Teori Antrian Sebagai Penentu Optimalisasi Pelayanan

Konsumen Pada Intalasi Farmasi Rumah Sakit Umum Klipang Di Semarang”, Jurnal Bisnis dan

Kewirausahaan, Vol. 2 Nomor 3 April 2009, Hal 248.

Page 13: Makalah Hukum Kesehatan - Santi Nastiti

9

b. pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan

kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan

medis;

c. penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam

rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan;

dan

d. penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi

bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan

memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan;

2.2. Hubungan Hukum Antara Pasien dengan Dokter

Seperti yang telah dikemukakan di atas, hubungan dokter dengan pasien

mempunyai aspek hukum di samping aspek-aspek lainnya. Salah satu aspek

hukum yang penting adalah aspek hukum perikatan. Menurut KUHPerdata,

perikatan dapat lahir dari “Perjanjian (Ius contractu)” dan “Undang-undang (Ius

delicto)”.

2.2.1. Berdasarkan Perjanjian (Ius contractu)

Timbulnya hubungan hukum antara dokter-pasien berdasarkan perjanjian

mulai terjadi saat pasien datang ke tempat praktek dokter atau ke rumah sakit dan

dimulainya anamnesa dan pemeriksaan oleh dokter. Dari seorang dokter harus

dapat diharapkan bahwa ia akan berusaha sebaik mungkin untuk menyembuhkan

pasiennya.6

Ada dua kategori perjanjian dalam hukum perdata, yakni sebagai berikut.7

1. Resultaatsverbintenis, yaitu perikatan berdasarkan hasil kerja (prestasinya

berupa hasil). Misalnya kontrak antara dokter gigi dengan pasiennya untuk

membuat gigi palsu, juga dokter ahli kecantikan dan dokter spesialis bedah

6 Veronica, Op.cit.

7 Fred Ameln, “Kapita Selekta Hukum Kedokteran”, cet. ke-1, Grafikatama Jaya, 1991,

hal 42-43.

Page 14: Makalah Hukum Kesehatan - Santi Nastiti

10

plastik dengan pasiennya, serta dokter ahli orthopedi yang membuat prothesa

kaki untuk pasiennya.

2. Inspanningsverbintenis, yaitu perikatan berdasarkan daya upaya/usaha yang

maksimal. Di sini dokter tidak menjanjikan kesembuhan, tetapi berjanji

berdaya upaya maksimal untuk kesembuhan pasien. Contohnya kontrak

terapuetik8 dokter-pasien.

Di samping bentuk Resultaatsverbintenis dan Inspanningsverbintenis,

menurut Husein Kerbala, ada perjanjian yang merupakan bentuk antara

keduanya. Suatu operasi usus buntu yang dilakukan di kota besar dengan rumah

sakit yang relatif lengkap dan modern peralatannya dengan dokter-dokter

spesialisasi yang cukup berpengalaman, maka operasi itu dapat dimasukkan dalam

Resultaatsverbintenis. Namun bila operasi usus buntu itu dilakukan di sebuah

puskesmas atau di rumah sakit di kota kecil yang serba terbatas peralatan dan

tenaga medisnya, maka tidak dapat dikategorikan dalam Resultaatsverbintenis,

tetapi tepat dimasukkan Inspanningsverbintenis.9

2.2.2. Berdasarkan Undang-Undang (Ius delicto)10

8 Menurut Husein Kerbala, kontrak terapeutik yang disebut juga dengan transaksi

terapeutik adalah suatu perjanjian antara dokter dengan pasien untuk melakukan tindakan

terapeutik atau pengobatan. Lihat, Husein Kerbala, op.cit., hal 38. Terhadap hubungan hukum

yang terjadi antara pasien dengan dokter menurut beliau lebih tepat digunakan istilah perjanjian

medis atau kontrak medis yaitu suatu hubungan hukum antara dokter dengan pasiennya mengenai

hal-hal yang menyangkut medis. Istilah perjanjian medis ini lebih luas dari kontrak terapeutik,

karena perjanjian medis ini dapat mencakup sampai tindakan terapi. Terminologi tersebut di atas

juga dipakai dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 tentang

Persetujuan Tindakan Kedokteran. Pasal 1 angka 3 Permenkes ini menyebutkan tindakan

kedokteran adalah suatu tindakan medis berupa preventif, diagnostik, terapeutik atau rehabilitatif

yang dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien. Sehingga dapat disimpulkan bahwa

Permenkes sepakat dengan Husein Kerbala bahwa definisi tindakan terapeutik lebih sempit

cakupannya daripada tindakan medis.

9 Ibid., Husein, hal 39.

10 J. Guwandi, “Dokter, Pasien, dan Hukum”, (Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia, 2007), hal 4.

Page 15: Makalah Hukum Kesehatan - Santi Nastiti

11

Di Indonesia hal ini diatur di dalam KUHPerdata pasal 1365 tentang

perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) yang berbunyi:

Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada

seorang yang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan

kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.

Arrest Hoge Raad 31 Januari 1919 telah merumuskan perbuatan

melanggar hukum “sebagai suatu tindakan atau non-tindakan yang atau

bertentangan dengan kewajiban si pelaku, atau bertentangan dengan susila baik,

atau kurang hati-hati dan ketelitian yang seharusnya dilakukan di dalam

masyarakat terhadap seseorang atau barang orang lain”.

Jika seorang dokter tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan di atas,

maka ia dapat dianggap telah melakukan pelanggaran hukum. Melanggar

ketentuan yang ditentukan oleh undang-undang karena tindakannya bertentangan

dengan asas kepatutan, ketelitian serta sikap hati-hati yang seharusnya dapat

diharapkan daripadanya dalam pergaulan sesama warga masyarakat.

Jika dikaitkan dengan Hukum Kedokteran, maka masih timbul pertanyaan

apakah yang dimaksud dengan “kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian” itu?

Jawabannya adalah standar-standar dan prosedur profesi medik di dalam

melakukan suatu tindakan medik tertentu. Namun Standar-standar tersebut juga

bukan sesuatu yang tetap karena pada waktu-waktu tertentu terhadapnya haruslah

diadakan evaluasi untuk dapat memgikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi.

Namun tidak saja terhadap suatu perbuatan yang dilakukan, tetapi juga

terhadap suatu kelalaian yang menyebabkan kerugian terhadap orang lain dapat

pula dimintakan penggantian kerugian. Hal ini dirumuskan di dalam pasal 1366

KUHPerdata yang berbunyi:

Setiap orang bertanggung-jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan

perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang

hati-hatinya.

Page 16: Makalah Hukum Kesehatan - Santi Nastiti

12

Selain itu seseorang juga bertanggung-jawab terhadap tindakan atau

kelalaian/kurang hati-hati dari orang yang berada di bawah perintahnya. Hal ini

dirumuskan di dalam pasal 1367 KUHPerdata yang berbunyi:

Seseorang tidak saja bertanggung-jawab untuk kerugian yang disebabkan

perbuatannya sendiri, tetapi juga kerugian yang disebabkan perbuatan orang-

orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan barang-barang yang berada

di bawah pengawasannya.

2.3. Tinjauan Informed Consent

2.3.1. Informed Consent Sebagai Hak Pasien

Perikatan medis yang lahir dari perjanjian medis merupakan hubungan

hukum yang bersifat timbal balik. Sebagai hubungan hukum yang bersifat timbal

balik, perjanjian medis selalu mempunyai dua segi yang isinya hak di satu pihak

dan kewajiban di pihak lainnya. Dengan lain perkataan bahwa hak pihak pertama

merupakan kewajiban pihak kedua dan sebaliknya kewajiban pihak pertama itu

merupakan hak bagi pihak kedua. Demikian juga dengan hubungan hukum antara

dokter dengan pasiennya pun terdapat hak dan kewajiban.

Pada literatur hukum kesehatan terdapat beberapa hak pasien antara lain:11

a) Hak atas informasi

b) Hak memberikan persetujuan

c) Hak memilih dokter

d) Hak memilih sarana kesehatan (Rumah Sakit)

e) Hak atas rahasia kedokteran

f) Hak menolak pengobatan/perawatan

g) Hak menolak suatu tindakan medis tertentu

h) Hak untuk menghentikan pengobatan/perawatan (di Rumah Sakit tersedia

formulir keluar paksa)

i) Hak atas second opinion (pendapat kedua)

j) Hak melihat rekam medis/hak “inzage” rekam medis

11 Fred, op.cit., hal 40.

Page 17: Makalah Hukum Kesehatan - Santi Nastiti

13

Butir a dan b dinamakan “informed consent”.

Berkaitan dengan informed consent sebagai hak pasien di satu sisi, di sisi

lain lain pasien juga mempunyai kewajiban memberikan penjelasan lengkap,

sebanyak mungkin tentang penyakitnya. Kewajiban pasien ini dapat dikaitkan

dengan hak dokter atas “itikad baik” pasien.12

Informed Consent diatur dalam Undang-Undang No. 36 Tahun 2009

tentang Kesehatan, salah satunya Pasal 8 yang menyebutkan Setiap orang berhak

memperoleh informasi tentang data kesehatan dirinya termasuk tindakan dan

pengobatan yang telah maupun yang akan diterimanya dari tenaga kesehatan.

Pasal 22 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga

Kesehatan menyebutkan kewajiban dari tenaga kesehatan antara lain adalah

memberikan informasi yang berkaitan dengan kondisi dan tindakan yang akan

dilakukan serta meminta persetujuan terhadap tindakan yang akan dilakukan.

Selain itu dalam pasal 22 ayat (1) ini juga disebutkan tenaga kesehatan diwajibkan

untuk menghormati hak-hak pasien, yang dalam penjelasan pasal Peraturan

Pemerintah ini dikatakan hak-hak pasien itu meliputi hak atas informasi dan hak

untuk memberikan/menolak persetujuan. Informed Consent juga diatur dalam

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 tentang

Persetujuan Tindakan Kedokteran. Berikut beberapa pasal yang mengatur

mengenai informed consent.

Pasal 2

Ayat (1): Semua tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien harus

mendapat persetujuan.

Ayat (3): Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah

pasien mendapat penjelasan yang diperlukan tentang perlunya tindakan

kedokteran dilakukan.

Pasal 7

12 Ibid., hal 53

Page 18: Makalah Hukum Kesehatan - Santi Nastiti

14

(1) Penjelasan tentang tindakan kedokteran harus diberikan langsung kepada

pasien dan/atau keluarga terdekat, baik diminta maupun tidak diminta.

(2) Dalam hal pasien adalah anak-anak atau orang yang tidak sadar, penjelasan

diberikan kepada keluarganya atau yang mengantar.

(3) Penjelasan tentang tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) sekurangkurangnya mencakup:

a. Diagnosis dan tata cara tindakan kedokteran;

b. Tujuan tindakan kedokteran yang dilakukan;

c. Altematif tindakan lain, dan risikonya;

d. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan

e. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.

f. Perkiraan pembiayaan.

Pasal 8

(1) Penjelasan tentang diagnosis dan keadaan kesehatan pasien dapat meliputi :

a. Temuan klinis dari hasil pemeriksaan medis hingga saat tersebut;

b. Diagnosis penyakit, atau dalam hal belum dapat ditegakkan, maka

sekurangkurangnya diagnosis kerja dan diagnosis banding;

c. Indikasi atau keadaan klinis pasien yang membutuhkan dilakukannya

tindakan kedokteran;

d. Prognosis apabila dilakukan tindakan dan apabila tidak dilakukan

tindakan.

(2) Penjelasan tentang tindakan kedokteran yang dilakukan meliputi :

a. Tujuan tindakan kedokteran yang dapat berupa tujuan preventif,

diagnostik, terapeutik, ataupun rehabilitatif.

b. Tata cara pelaksanaan tindakan apa yang akan dialami pasien selama

dan sesudah tindakan, serta efek samping atau ketidaknyamanan yang

mungkin terjadi.

c. Alternatif tindakan lain berikut kelebihan dan kekurangannya

dibandingkan dengan tindakan yang direncanakan.

d. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi pada masing-masing

alternatif tindakan.

Page 19: Makalah Hukum Kesehatan - Santi Nastiti

15

e. Perluasan tindakan yang mungkin dilakukan untuk mengatasi keadaan

darurat akibat risiko dan komplikasi tersebut atau keadaan tak terduga

lainnya.

(3) Penjelasan tentang risiko dan komplikasi tindakan kedokteran adalah semua

risiko dan komplikasi yang dapat terjadi mengikuti tindakan kedokteran yang

dilakukan, kecuali:

a. risiko dan komplikasi yang sudah menjadi pengetahuan umum

b. risiko dan komplikasi yang sangat jarang terjadi atau yang dampaknya

sangat ringan

c. risiko dan komplikasi yang tidak dapat dibayangkan sebelumnya

(unforeseeable)

(4) Penjelasan tentang prognosis meliputi:

a. Prognosis tentang hidup-matinya (ad vitam);

b. Prognosis tentang fungsinya (ad functionam);

c. Prognosis tentang kesembuhan (ad sanationam)

2.3.2. Pengertian Informed Consent

Pada dasarnya, hubungan dokter dengan pasien yang dikenal dengan

kontrak terapeutik itu bertumpu pada dua macam hak manusia, yaitu:

a. Hak untuk menentukan nasib sendiri (the right to self determination/TROS)

b. Hak atas informasi (the right to information)

Dengan kedua hak dasar itu dokter dan pasien bersama-sama menemukan terapi

(cara penyembuhan) yang paling tepat akan diterapkan pada diri pasien. Dari sini

pangkal informed consent lahir. 13

Berikut beberapa pendapat yang pernah disampaikan mengenai definisi

informed consent.

a. Secara harfiah, informed consent terdiri dari dua kata yaitu informed dan

consent. Informed berarti telah mendapat penjelasan atau keterangan atau

13 Husein, op.cit., hal 56-57, mengutip Hermien K., “Hukum kedokteran di Dunia

Internasional”, makalah disampaikan pada Simposium Medical Law, Jakarta, 6-7 Juni 1983, hal 1.

Page 20: Makalah Hukum Kesehatan - Santi Nastiti

16

informasi. Sedangkan consent itu berarti suatu persetujuan atau mengizinkan.

Dengan demikian informed consent itu berarti suatu persetujuan yang

diberikan setelah mendapat informasi (informed).14

b. D. Veronica Komalawati merumuskan pengertian informed consent sebagai:15

“...suatu kesepakatan atau persetujuan pasien atas upaya medis yang akan

dilakukan dokter terhadap dirinya setelah pasien mendapat informasi dari

dokter mengenai upaya medis yang dapat dilakukan menolong dirinya

disertai informasi mengenai segala risiko yang mungkin terjadi.”

c. Di dalam Patient Bill of Rights atau American Hospital Assosiation, informed

consent dirumuskan sebagai:

“The patient has the right to receive from his physician information

necessary to give. Informed Consent prior to the start of any procedure

and/or treatment.” 16

d. Menurut Black’s Law Dictionary maka dikatakan bahwa informed consent

adalah: A person's agreement to allow something to happen, made with full

knowledge of the risks involved and the alternatives. For the legal profession,

informed consent is defined in Model Rule of Professional Conduct l.O(e). 2.

A patient's knowing choice about a medical treatment or procedure, made

after a physician or other healthcare provider discloses whatever information

a reasonably prudent provider in the medical community would give to a

patient regarding the risks involved in the proposed treatment or procedure. -

Also termed knowing consent. 17

2.3.3. Kode Etik Kedokteran dan Informed Consent

14 Ibid., hal 57.

15 Ibid., mengutip Veronica Komalawati, “Hukum dan Etika dalam Praktek Kedokteran”,

(Jakarta Pustaka Sinar Harapan, 1989), hal 86.

16 Ibid., mengutip Fred Ameln, “Informed Consent: Pada Perjanjian Medis Dokter/Dokter

Gigi, Beberapa Aspek Yuridis dan Etis”, disampaikan pada Seminar Informed Consent di RSPP

Jakarta, 30 Agustus 1991, hal 21.

17 Bryan A. Garner, Ed., “Black's Law Dictionary 9th ed., (St. Paul Min: West Group,

2009), hal 375.

Page 21: Makalah Hukum Kesehatan - Santi Nastiti

17

Dari segi etik, penerapan informed consent dianggap sebagai upaya dokter

untuk membuktikan kesungguhannya dalam mematuhi primum non nocere

(yang paling diutamakan adalah untuk tidak mencelakakan pasien), serta

prinsip mengutamakan kepentingan pasien. Dokter yang memegang prinsip

primum non nocere akan selalu menerima apa pun yang diputuskan oleh

pasiennya. Sehingga dapat dikatakan bahwa aspek etik dari informed consent

sangatlah luas dan besar dan menjadi landasan moral bagi kalangan tenaga

kesehatan, khususnya para dokter.18

Dalam profesi kedokteran, dikenal adanya suatu kode etik yang disusun

berdasarkan asas etik. Dasar etik tersebut berlaku sejak zaman Hippocrates dan

merupakan asas yang tidak pernah berubah, yang secara universal dipakai di

seluruh dunia. Jika dijabarkan terdapat enam asas dalam profesi kedokteran

yakni:19

1. Asas menghormati otonomi pasien

Pasien mempunyai kebebasan untuk mengetahui apa yang akan

dilakukan oleh dokter serta memutuskan apa yang terbaik bagi dirinya

sendiri sehingga kepadanya perlu diberikan informasi yang cukup.

Pasien berhak untuk dihormati pendapat dan keputusannya, dan tidak

boleh dipaksa. Untuk itu maka perlu adanya informed consent.

2. Asas kejujuran

Dokter hendaknya mengatakan hal yang sebenarnya secara jujur

akan apa yang terjadi , apa yang akan dilakukan, serta akibat/risiko

yang dapat terjadi.

3. Asas tidak merugikan

Dokter berpedoman pada primum non nocere, tidak melakukan

tindakan yang tidak perlu, dan mengutamakan tindakan yang tidak

merugikan pasien, serta mengupayakan risiko fisik, risiko psikologis,

maupun risiko sosial akibat tindakan tersebut seminimal mungkin.

18 Husein, op.cit., hlm. 90.

19 Ari Yunanto dan Helmi, “Hukum Pidana Malpraktik Medik”, (Yogyakarta: Andi

Offset, 2010), hlm. 9.

Page 22: Makalah Hukum Kesehatan - Santi Nastiti

18

4. Asas manfaat

Semua tindakan dokter yang dilakukan terhadap pasien harus

bermanfaat bagi pasien guna mengurangi penderitaan atau

memperpanjang hidupnya. Untuk itu dokter wajib membuat rencana

perawatan/tindakan yang berlandaskan pada pengetahuan yang sahih

dan dapat berlaku secara umum.

5. Asas kerahasiaan

Dokter harus menghormati kerahasiaan pasien, meskipun pasien

tersebut sudah meninggal dunia.

6. Asas keadilan

Dokter harus berlaku adil, tidak memandang kedudukan atau

kepangkatan, tidak memandang kekayaan, dan tidak berat sebelah

dalam merawat pasien.

Dari asas tersebut kemudian disusun peraturan kode etik kedokteran

Indonesia yang menjadi landasan bagi setiap dokter untuk mengambil keputusan

etik dalam melakukan tugas profesinya sebagai seorang dokter. Kode etik

kedokteran yang berlaku sekarang dinyatakan mulai berlaku pertama kali dengan

Keputusan Menteri Kesehatan No. 434/Men. Kes/Sk/X/1983 tentang Berlakunya

Kode Etik Kedokteran Indonesia (Kodeki) bagi para dokter di seluruh Indonesia,

baik yang menjadi anggota IDI maupun yang tidak menjadi anggota IDI. Kodeki

berisi tentang kewajiban umum, kewajiban dokter terhadap penderita, kewajiban

dokter terhadap teman sejawat, dan kewajiban dokter terhadap diri sendiri.20

2.3.4. Aspek Perdata Informed Consent

Telah dijelaskan di muka bahwa informed consent merupakan hubungan

hukum yang lahir dari perjanjian medis. Perjanjian medis yang termasuk perikatan

medis merupakan perikatan pada umumnya yang berlaku ketentuan-ketentuan

umum hukum perikatan sebagaimana diatur dalam Buku III Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata. Dengan demikian, syarat sahnya perjanjian medis juga

kontrak terapeutik antara dokter dengan pasien haruslah memenuhi ketentuan

20 Husein, op. cit., hlm. 91.

Page 23: Makalah Hukum Kesehatan - Santi Nastiti

19

dalam KUHPerdata Buku III Bab II Bagian Kedua Tentang Syarat-Syarat yang

Diperlukan Untuk Sahnya Suatu Perjanjian. Syarat sahnya suatu perjanjian dalam

pasal 1320 Buku III Bab II Bagian Kedua KUHPerdata disebutkan ada empat,

yaitu:

1) Sepakat mereka yang mengikat dirinya;

2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

3) Suatu hal tertentu;

4) Suatu sebab yang halal.

Dua syarat pertama, dinamakan syarat-syarat subjektif, karena mengenai

orang-orangnya atau subjeknya yang mengadakan perjanjian, sehingga dapat

dimintakan pembatalannya pada pengadilan manakala syarat subjektif ini tidak

terpenuhi. Sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat-syarat objektif

karena mengenai perjanjiannya sendiri atau objek dari perbuatan hukum yang

dilakukan itu. Syarat objektif ini apabila tidak terpenuhi maka perjanjiannya batal

demi hukum.21

Ad. 1) Sepakat mereka yang mengikat dirinya

Pasal 1321 KUHPerdata menyebutkan bahwa kesepakatan harus diberikan

tanpa adanya kekhilafan, atau diperolehnya tidak dengan dengan paksaan atau

penipuan. Subekti menjelaskan dengan sepakat atau juga dinamakan perizinan,

dimaksudkan bahwa kedua subjek yang mengadakan perjanjian itu harus

bersepakat, setuju, seiya-sekata mengenai hal-hal pokok dari perjanjian yang

diadakan itu. Apa yang dikehendaki pihak satu, juga dikehendaki pihak yang lain.

Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal-balik.22

Paksaan terjadi, jika seseorang memberikan persetujuannya karena takut

suatu ancaman. Misalnya rahasianya akan dibuka jika ia tidak menyetujui suatu

perjanjian. Yang diancam harus mengenai suatu perbuatan yang dilarang undang-

21 Subekti (a), “Hukum Perjanjian”, cet. ke-12, (Jakarta: Penerbit Intermasa, 2002), hal

17.

22 Ibid.

Page 24: Makalah Hukum Kesehatan - Santi Nastiti

20

undang. Jikalau yang diancam itu suatu perbuatan yang diizinkan oleh undang-

undang, misalnnya ancaman akan menggugat yang bersangkutan di depan hakim

dengan penyitaan barang, itu tidak dapat dikatakan suatu paksaan.23

Kekhilafan dapat terjadi, baik menyangkut subjek maupun objeknya.24

Misalnya, seseorang yang ingin mengobati penyakitnya datang ke seorang dokter.

Sebenarnya ia ingin berobat kepada seorang dokter spesialis, tetapi karena

ketidaktahuannya ia datang ke dokter umum. Sebaliknya dokter umum itu

mengira bahwa calon pasien itu tahu bahwa dirinya memang hanya seorang dokter

umum dan sungguh ingin berobat kepadanya.25 Kekhilafan mengenai objeknya,

terjadi jika hal yang dijadikan objek perjanjian itu sesungguhnya bukan yang

dimaksudkan oleh pihak-pihak.26

Penipuan terjadi, apabila satu pihak dengan sengaja memberikan

keterangan-keterangan yang tidak benar, disertai dengan kelicikan-kelicikan,

sehingga pihak lain terbujuk karenanya untuk memberikan perizinan.27

Adapun dalam menyatakan persesuaian kehendak itu, dapat dilakukan

dengan berbagai cara, baik secara tegas (expressed contract) mapun diam-diam

(implied contract). Dalam bentuk Expressed Contract sifat atau luas jangkauan

pemberian pelayanan pengobatan sudah ditawarkan oleh sang dokter yang

dilakukan secara nyata dan jelas, baik secara tertulis maupun secara lisan. Dalam

bentuk Implied Contract adanya kontrak disimpulkan dari tindakan-tindakan para

pihak. Timbulnya bukan karena adanya persetujuan, tetapi dianggap ada oleh

23 Subekti (b), “Pokok-Pokok Hukum Perdata”, cet. ke-31, (Jakarta: PT Intermasa, 2003),

hal 135.

24 Ibid.

25 Agus Sardjono, “Buku Ajar (Buku A) Hukum Dagang”, (Depok: Fakultas Hukum

Universitas Indonesia, 2004), hal 13.

26 Ibid.

27 Subekti (b), op.cit.

Page 25: Makalah Hukum Kesehatan - Santi Nastiti

21

hukum berdasarkan akal sehat dan keadilan. Maka jika seorang pasien datang ke

suatu klinik medis dan sang dokter mengambil riwayat penyakitnya, memeriksa

keadaan fisik pasien dan memberikan pengobatan yang diperlukan, maka

dianggap tersirat sudah ada hubungan kontrak antara pasien dan dokter.28

Menurut Veronica Komalawati, jika dihubungkan dengan perjanjian medis

(Veronica menyebutnya dengan transaksi terapeutik) sebagai hubungan

interpersonal, maka yang disebut informed consent untuk dilakukan tindakan

medis merupakan konstruksi dari persesuaian kehendak yang harus dinyatakan

baik oleh dokter maupun pasien setelah masing-masing menyatakan kehendaknya

sehingga masing-masing telah mendapatkan informasi secara bertimbal balik.

Oleh karena itu, informed consent diartikan sebagai persetujuan setelah

informasi.29

Bentuk informed consent tidak harus tertulis, tetapi bisa secara lisan.

Ketentuan mengenai ini tercantum dalam Pasal 2 ayat (2) Peraturan Menteri

Kesehatan Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan

Kedokteran yang bunyinya: “Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dapat diberikan secara tertulis maupun lisan.” Namun untuk tindakan kedokteran

yang mengandung risiko tinggi harus memperoleh persetujuan tertulis yang

ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan (Pasal 3 ayat (1)

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290/MENKES/PER/III/2008). Berikut Pasal

3 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 tentang

Persetujuan Tindakan Kedokteran.

Pasal 3

(1) Setiap tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi harus

memperoleh persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak

memberikan persetujuan.

28 J. Guwandi, op.cit., hal 20.

29 Veronica, op.cit., hal 156.

Page 26: Makalah Hukum Kesehatan - Santi Nastiti

22

(2) Tindakan kedokteran yang tidak termasuk dalam ketentuan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan dengan persetujuan lisan.

(3) Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dalam

bentuk pernyataan yang tertuang dalam formulir khusus yang dibuat untuk

itu.

(4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan dalam

bentuk ucapan setuju atau bentuk gerakan menganggukkan kepala yang

dapat diartikan sebagai ucapan setuju.

(5) Dalam hal persetujuan lisan yang diberikan sebagaimana dimaksud pada

ayat (2) dianggap meragukan, maka dapat dimintakan persetujuan tertulis.

Ad 2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

Pada dasarnya orang yang membuat perjanjian harus cakap menurut

hukum. Cakap menurut hukum maksudnya orang tersebut mempunyai

kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum. Setiap orang adalah cakap untuk

membuat perikatan-perikatan, jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak

cakap (Pasal 1329 KUHPerdata). Tak cakap membuat suatu perjanjian adalah

(Pasal 1330 KUHPerdata):

a. Orang-orang yang belum dewasa;

b. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;

c. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan undang-undang, dan

pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang

membuat perjanjian tertentu.

Dengan berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka

istri telah dianggap cakap untuk melakukan perbuatan hukum.

Selain kecakapan berlandaskan faktor usia, kecakapan juga ditentukan

berdasarkan faktor kesehatan mental.30 Kecakapan juga ditentukan oleh undang-

30 Agus Sardjono, op.cit., hal 14, mengutip J. David Reitzel, et al., “Contemporary

Business Law, Principles and Cases”, ed. ke-4, (Mc.Graw-Hill Book Company, 1986), hal 142.

Page 27: Makalah Hukum Kesehatan - Santi Nastiti

23

undang.31 Misalnya, seorang tenaga kesehatan yang melakukan tindakan medis

haruslah tenaga kesehatan yang telah memperoleh Surat Izin Praktek dan tindakan

medis tersebut adalah sebatas tindakan (wewenang) yang memang ditulis dalam

Surat Izin Praktek Tenaga Kesehatan itu dan peraturan perundang-undangan yang

berlaku. Seringkali ditemui kasus dimana seorang tenaga kesehatan melampaui

wewenangnya, misalnya kasus seorang dokter gigi yang membuka klinik

kecantikan untuk operasi plastik padahal ia hanya mempunyai Surat Izin Praktek

(SIP) sebagai dokter gigi yanbg tentu saja wewenangnya sebatas tindakan medis

oleh dokter gigi yang tercantum dalam SIP itu. Lebih lanjut mengenai SIP akan

dibahas dalam sub-bab “Aspek Administratif Informed Consent”.

Ad 3) Suatu hal tertentu

Sebagai syarat ketiga disebutkan bahwa suatu perjanjian harus mengenai

suatu hal tertentu, artinya apa yang diperjanjikan hak-hak dan kewajiban kedua

belah pihak jika timbul suatu perselisihan.32 Barang yang dimaksud paling sedikit

ditentukan jenisnya (Pasal 1333 ayat (1) KUHPerdata). Tidaklah menjadi

halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu terkemudian dapat

ditentukan atau dihitung (Pasal 1333 ayat (2) KUHPerdata).

Menurut Veronica Komalawati, dihubungkan dengan objek dalam

perjanjian medis, maka urusan yang dimaksudkan adalah sesuatu yang perlu

ditangani, yaitu berupa upaya penyembuhan. Upaya penyembuhan tersebut harus

dapat dijelaskan karena dalam pelaksanaannya diperlukan kerja sama yang

didasarkan sikap saling percaya antara dokter dan pasien. Oleh karena upaya

penyembuhan yang akan dilakukan itu harus dapat ditentukan, maka diperlukan

adanya standar pelayanan medik.33

31 Ibid.

32 Subekti (a), op.cit., hal 18.

33 Veronica, op.cit., hal 164.

Page 28: Makalah Hukum Kesehatan - Santi Nastiti

24

Dengan demikian, dapat terlihat bahwa ketentuan mengenai objek

perjanjian ini erat kaitannya dengan masalah: (1) pelaksanaan upaya medik sesuai

dengan standar pelayanan medik yang meliputi standar pelayanan penyakit dan

standar pelayanan penunjang; serta (2) masalah infomasi yang diberikan harus

tidak melebihi dari yang dibutuhkan oleh pasien. Jadi jika dokter tidak dapat

menentukan dan menjelaskan, atau memberikan informasi mengenai upaya medik

yang akan dilakukannya, maka berarti syarat ini tidak terpenuhi.34

Ad 4) Suatu sebab yang halal

Syarat terakhir adalah sebab yang halal. Sebab yang halal maksudnya

adalah isi dari suatu perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang,

ketertiban umum dan kesusilaan. Pengertian tidak boleh bertentangan dengan

undang-undang di sini adalah undang-undang yang bersifat melindungi

kepentingan umum, sehingga jika dilanggar akan membahayakan kepentingan

umum.35 Misalnya, menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang

Kesehatan menentukan bahwa tindakan pengguguran kandungan merupakan

perjanjian dengan sebab terlarang, kecuali berdasarkan indikasi kedaruratan medis

dan kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi

korban perkosaan dengan syarat-syarat yang telah ditentukan undang-undang ini

(Pasal 75 dan Pasal 76).

Lalu bagaimana bila perjanjian terapeutik dilakukan oleh tenaga kesehatan

dalam rangka melakukan pekerjaan di bawah Rumah Sakit? Dalam kaitan dengan

tanggung jawab Rumah Sakit, maka pada prinsipnya Rumah Sakit bertanggung-

jawab secara perdata terhadap semua kegiatan yang dilakukan oleh tenaga

kesehatannya sesuai dengan bunyi pasal 1367 (3) KUHPerdata. Selain itu, Rumah

34 Ibid., hal 165.

35 Akhmad Budi Cahyono dan Surini Ahlan Sjarif, “Mengenal Hukum Perdata”, ed. ke-1,

cet. ke-1, (Jakarta: CV Gitama Jaya, 2008), hal 132, mengutip Hardijan Rusli, “Hukum Perjanjian

Indonesia dan Common Law”, cet. ke-2, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996), hal 99.

Page 29: Makalah Hukum Kesehatan - Santi Nastiti

25

Sakit bertanggung jawab atas wanprestasi dan melawan hukum (1243, 1370,

1371, dan 1365 KUHPerdata) bila tindakan itu dilakukan pegawainya.36

2.3.5. Aspek Pidana Informed Consent

Telah dibahas bahwa sebelum tindakan medik dilakukan diperlukan

persetujuan pasien. Mengapa seorang pasien harus memberikan persetujuan itu;

misalnya suatu operasi? Dilihat dari aspek pidananya, hal ini dikaitkan dengan

Pasal 351 KUHP dimana diatur hal penganiayaan. Jika seseorang menusukkan

pisau ke dalam badan seseorang lain.yang menimbulkan luka, perbuatan ini

merupakan penganiayaan. Jika seseorang membius orang lain, ini pun termasuk

penganiayaan. Jika seseorang yang membius tersebut kebetulan seorang dokter,

maka tindakan itu tetap penganiayaan.37

Tindakan-tindakan itu bukan suatu penganiayaan menurut Hukum Pidana

manakala:38

a. orang yang dilukai tersebut memberikan persetujuan;

b. tindakan medik itu berdasarkan suatu indikasi medik, dan ditujukan pada

suatu tujuan yang konkrit; serta

c. tindakan medik itu dilakukan sesuai ilmu kedokteran.

Ad. a. Orang yang dilukai tersebut memberikan persetujuan

Telah dikemukakan di muka bahwa keharusan memberikan persetujuan

disyaratkan adanya pemberian informasi terlebih dahulu. Telah dijelaskan pula

bahwa hanya dalam keadaan-keadaan tertentu, persetujuan seperti itu tidak

disyaratkan, misalnya pasien tidak mampu mengucapkan keinginannya atau dalam

keadaan darurat. Dalam hal yang terakhir itu, bukan menjadi masalah teori mana

yang akan dipergunakan yakni berkenaan dengan permasalahan apakah tindakan

36 Fred, op.cit., hal. 71.

37 Fred, op.cit., hal 43-44.

38 H.J.J Leenen, Pelayanan Kesehatan dan Hukum”, Eds., A.F. Lamintang, (Bandung:

Binacipta, 1991), hal 154-156.

Page 30: Makalah Hukum Kesehatan - Santi Nastiti

26

medis itu merupakan suatu penganiayaan atau tidak, khususnya tentang

bagaimana caranya tindakan tersebut jangan sampai termasuk dalam

pengertiannya. Jika adanya persetujuan itu pada umumnya tidak dapat

membenarkan adanya suatu penyimpangan terhadap standar profesional medis,

maka hanya dalam satu hal adanya suatu persetujuan itu dapat membuat suatu

tindakan medis yang tidak diindikasikan menjadi suatu tindakan yang dapat

dibenarkan, yakni jika tindakan tersebut sifanya tidak terlarang secara etis.

Ad. b. tindakan medik itu berdasarkan suatu indikasi medik, dan ditujukan pada

suatu tujuan yang konkrit

Itu berarti bahwa perawatan medis sesuai dengan standar profesional

secara medis yang berlaku, harus ditujukan pada tujuan ilmu kedokteran.

Tindakan itu juga harus dibenarkan secara etis. Selanjutnya cara yang dipakai itu

harus sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai, instrumen-instrumen yang dipakai

itu memang diperlukan, dan terdapat keseimbangan antara cara yang dipakai

dengan tujuan yang ingin dicapai. Kegunaan secara intrumental itu dianggap

tidak ada misalnya: jika suatu tindakna medis yang sifatnya beray itu telah

diterapkan pada suatu perasaan sakit yang ringan; jika dilakukan suatu tindakan

medis yang sifatnya tidak perlu; jika kepada pasien telah tidak diberikan

“pencegah rasa sakit” dalam jumlah yang memadai dan lain-lain. Suatu

penanganan yang tidak dapat dipertangungjawabkan secara intrumental atau

menurut tujuan itu harus diberikan kualifikasi sebagai suatu penganiayaan.

Sebagai suatu kekecualian dapat terjadi bahwa bagi seorang pasien itu terdapat

perbedaan antara tujuan dengan pelayanan, misalnya pada percobaan-percobaan

pada manusia, tetapi jika orang menginginkan agar tindakan tersebut tidak dapat

disebut sebagai suatu tindakan yan sifatnya melawan hukum secara material,

maka tindakan itu harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan bagi suatu

percobaan.

Ad. c. tindakan medik itu dilakukan sesuai ilmu kedokteran.

Masalahnya di sini adalah berkenaan dengan ketelitian melakukan

tindakan medis, baik pada waktu melakukan pemeriksaan untuk membuat

Page 31: Makalah Hukum Kesehatan - Santi Nastiti

27

diagnosa maupun pada waktu melakukan terapi, dan berkenaan dengan ketelitian

memberikan sarana pencegah rasa sakit dan memberikan pelayanan.

Syarat-syarat yang disebutkan dalam huruf b dan huruf c di atas juga dapat

disebut dengan “bertindak lege artis” (bertindak menurut standar profesional

medis). Dengan demikian, menurut Leenen, maka suatu pembedahan yang

dilakukan dengan hati-hati dan didasarkan pada indikasi yang baik itu, jika karena

suatu hal ternyata gagal, tidaklah bersifat melawan hukum.39

Jika dokter memenuhi ketiga syarat itu, maka ia tidak dapat dikenakan

pasal 351 KUHP tentang penganiayaan. Ketiga syarat itu harus semua dipenuhi.

Satu sama lain saling berhubungan. Upaya ini menurut Leenen meniadakan “de

materieele wederechtelykheid”, yaitu menghilangkan sifat yang bertentangan

dengan hukum. Fred Ameln menyebutnya dengan “Buitenwettelyke schuld-

uitsluitingsgrond” atau dasar peniadaan culpa di luar undang-undang. Selain itu

juga dikenal prinsip AVAS yang berarti “afwezighyd van alle schuld”, tidak

terdapat suatu kelalaian sama sekali.40

2.3.6. Aspek Administratif Informed Consent

Dalam hukum administratif, masalah kualifikasi yuridis berkenaan antara

lain dengan kewenangan yuridis untuk melakukan tindakan medis. Kewenangan

yuridis untuk melakukan tindakan medis salah satu wujudnya adalah Surat Izin

Praktek yang diberikan aparatur negara yang berwenang kepada tenaga kesehatan.

Dalam Surat Izin Praktek dituliskan Ruang Lingkup kewenangan tenaga

kesehatan.

Dasar hukum Surat Izin Praktek adalah Pasal 23 ayat (1), (2), dan (3)

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (selanjutnya disebut

UU Kesehatan) sebagai berikut.

39 Ibid.

40 Fred, Op.cit.

Page 32: Makalah Hukum Kesehatan - Santi Nastiti

28

ayat (1) Tenaga kesehatan berwenang untuk menyelenggarakan pelayanan

kesehatan.

ayat (2) Kewenangan untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan bidang

keahlian yang dimiliki.

ayat (3) Dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan, tenaga kesehatan wajib

memiliki izin dari pemerintah.

Penjelasan Pasal 23 ayat (1) menyatakan “kewenangan yang dimaksud dalam ayat

ini adalah kewenangan yang diberikan berdasarkan pendidikannya setelah melalui

proses registrasi dan pemberian izin dari pemerintah sesuai dengan peraturan

perundang-undangan”.

Selain dalam UU Kesehatan, mengenai surat izin praktek juga diatur

dalam Pasal 4 dan Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang

Tenaga Kesehatan.

Pasal 4

(1) Tenaga kesehatan hanya dapat melakukan upaya kesehatan setelah tenaga

kesehatan yang bersangkutan memiliki ijin dari Menteri.

(2) Dikecualikan dari pemilikan ijin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bagi

tenaga kesehatan masyarakat.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai perijinan sebagaimana dimaksud dalam ayat

(1) diatur oleh Menteri.

Pasal 5

(1) Selain ijin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), tenaga medis dan

tenaga kefarmasian lulusan dari lembaga pendidikan di luar negeri hanya

dapat melakukan upaya kesehatan setelah yang bersangkutan melakukan

adaptasi.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai adaptasi sebagaimana dimaksud dalam ayat

(1) diatur oleh Menteri.

Page 33: Makalah Hukum Kesehatan - Santi Nastiti

29

Surat Izin Praktek diatur lebih lanjut di dalam Peraturan Menteri

Kesehatan, sebagai berikut.

(1) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 512/MENKES/PER/IV/2007 tentang

Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran

(2) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor HK.02.02./MENKES/149/I/2010

tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan

(3) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor HK.02.02./MENKES/148/I/2010

tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Perawat

2.3.7. Alasan-Alasan yang Mengecualikan Informed Consent

Pasal 4 ayat (1) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor

290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran

menyebutkan dalam keadaan gawat darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien

dan/atau mencegah kecacatan tidak diperlukan persetujuan tindakan kedokteran.

Hal ini berarti ada keadaan dimana informed consent tak harus dipenuhi. Di

samping ketentuan dalam Permenkes itu, juga terdapat doktrin mengenai keadaan-

keadaan yang dapat menjadi alasan dikesampingkannya informed consent.

Alasan-alasan yang dapat mengecualikan informed consent adalah sebagai

berikut.41

a. Pasien yang akan menjalani pengobatan dengan “placebo” (sugestif

therapeuticum) 42

Kadangkala ada orang yang datang kepada dokter mengungkapkan

keluhan-keluhan penyakitnya (pusing, sakit kepala, dan lain-lain). Tetapi hasil

pemeriksaan dan diagnosa dokter menyatakan orang ini secara medis tidak

mengidap suatu penyakit apa pun. Mengapa demikian? Mereka ini hanya

“merasa” saja sakit. Perasaan ini terus dipupuk dan diikuti sehingga perasaan

sakitnya makin parah.

41 Ibid., hal 46.

42 Husein, op.cit., hal 73

Page 34: Makalah Hukum Kesehatan - Santi Nastiti

30

Terhadap pasien yang demikian dokter akan mengobatinya dengan cara

placebo, yakni diberi suatu obat yang sebenarnya bukan obat (hanya kembang

gula, vitamin) tetapi diberi aturan minum seperti obat pada umumnya. Jadi terapi

yang digunakan juga harus berbentuk sugesti “sugestif-therapeuticum”. Karena

timbulnya penyakit yang dirasakan itu dari sugesti. Kepada pasien yang demikian,

dokter tidak mungkin menyampaikan diagnosa dan terapi yang dilakukan.

Penyampaian informasi itu justru akan merusak rencana terapi dan proses

penyembuhan.

b. Pasien yang akan merasa dirugikan bila mendengar informasi tersebut43

Bila keadaan pasien sudah sangat parah dan labil, misalnya berpenyakit

lemah jantung yang sudah akut, maka dokter dapat menyampingkan hak pasien

tersebut atas informasi. Bila hasil diagnosa menunjukkan pasien mengalami

komplikasi dengan penyakit lever, dan lain-lain maka informasi tentang ini dapat

disampaikan kepada keluarga pasien yang berwenang.

c. Pasien yang sakit jiwa44

Dapat dipahami jika pasien ini dapat dikesampingkan hak informasinya

karena ia tidak akan mampu memahami informasi dokter, terutama pasien yang

sakitnya telah parah sehingga sama sekali tidak dapat berkomunikasi lagi.

d. Pasien yang belum dewasa45

Tentang kelompok pasien belum dewasa, Prof Leenen membedakannya

ke dalam dua kelompok, yakni: (1) Grup A: yang masih anak (de

jongereminderjarige); dan (2) Grup B: yang sudah mendekati kedewasaan (de

Oudere minderjarige). Sukar untuk menarik suatu batas umur antara Grup A dan

Grup B dan di sini dapat dipakai “The Major-Minor Rule” yaitu orang yang

43 Ibid.

44 Ibid.

45 Fred, op.cit., hal 46

Page 35: Makalah Hukum Kesehatan - Santi Nastiti

31

belum dewasa dapat dikategorikan grup B jika mereka oleh dokter dinilai cukup

matang untuk menerima infomasi tentang penyakitnya.

Secara hukum perdata, seseorang dinyatakan dewasa pada umur 21 tahun

(Pasal 330 KUHPerdata). Walaupun demikian, banyak contoh bahwa orang yang

belum dewasa sudah dianggap mampu bertindak menurut hukum tanpa izin orang

tua. Hal ini disebut terobosan umur dewasa di dalam hukum. Misalnya untuk

hukum perdata membuat testamen 18 tahun. Misalnya untuk hukum pidana:

- Pada umur 16 tahun seseorang diberlakukan hukum pidana untuk orang

dewasa (Pasal 45 KUHPidana).

- Mengajukan pengaduan pada delik aduan (klachtdelichten) 16 tahun.

Sampai saat ini belum ada peraturan perundang-undangan mengenai

kesehatan yang mengatur batas dewasa dalam melakukan perjanjian terapeutik.

e. Pasien Tidak Sadar

Pada literatur Leenen, dikemukakan adanya suatu “fiksi yuridis”. Fiksi

yuridis menyatakan bahwa seseorang dalam keadaan tidak sadar akan menyetujui

apa yang pada umumnya disetujui oleh pasien yang berada dalam keadaan sadar

pada situasi dan kondisi sakit yang sama. Fred Ameln menyebutnya dengan

“presumed consent”. Prof. W. Van der Mijn mengatakan bahwa hal paien yang

dalam kondisi tidak sadar dapat dikaitkan pula dengan pasal 1354 KUHPerdata

yag mengatur “Zaakwaarneming” atau perwakilan sukarela, yaitu suatu sikap

tindak yang pada dasarnya pengambil-alih tanggung jawab dengan bertindak

menolong pasien dan bila pasien telah sadardokter bisa bertanya apakah

perawatan diteruskan atau ingin tukar dokter atau ingin memperoleh second

opinion. Selain itu, jikalau dokter harus melakukan tindakan medis untuk

menyelamatkan jiwa (life saving) seorang pasien yang tidak sadar, maka ia tidak

memerlukan informed consent dari siapa pun. Ini juga disebut oleh Fred Ameln

sebagai “presumed consent”.

Oleh karena itu, persetujuan untuk pasien yang tidak sadar, tergantung

dokter:

Page 36: Makalah Hukum Kesehatan - Santi Nastiti

32

(1) Bisa menunggu sampai keluarganya datang atau sampai siuman, tanpa

membahayakan jiwa pasien.

(2) Segera melakukan tindakan medik atas dasar:

a. Live-saving

b. Fiksi hukum (Leenen)

c. Zaakwaarneming (van der Mijn)

2.4. Malpraktek Kedokteran

2.4.1. Definisi Malpraktek Kedokteran

Menurut The Advanced Learner’s Dictionary of Current English by

Hornby Cs. 2-nd edition, Oxford University Press, London Malpraktek dalam

bahasa Inggris disebut “malpractice” yang berarti “wrongdoing” atau “neglect of

duty”. Dalam Coughlin’s Dictionary of Law terdapat perumusan malpractice yang

dikaitkan dengan kesalahan profesi: Malpractice is Professional misconduct on

the part of a professional person, such as a physician, dentist, veterinarian.

Malpractice may be the result of ignorance, neglect, or lack of skill or fidelity in

the performance of professional duties; intentional wrongdoing; or illegal or

unethical practice. Jika pengertian ini diterapkan di bidang kedokteran maka

dapat dikatakan seorang dokter melakukan malpraktek jika ia melakukan suatu

tindakan medik yang salah (wrong doing) atau ia tidak atau tidak cukup mengurus

pengobatan/perawatan pasien (neglect the patient by giving not enough care to the

patient).46 Black’s Law Dictionary Ed. ke-9 menggunakan istilah medical

malpractice, yaitu “A doctor's failure to exercise the degree of care and skill that

a physician or surgeon of the same medical specialty would use under similar

circumstances”.47

Malpraktek menurut Ninik Mariyanti, SH, dapat diuraikan sebagai

berikut:48

46 Fred, op.cit., hal 83-84.

47 Bryan, op.cit., hal 1073.

48 Ninik Mariyanti, “Malpraktek Kedokteran Dari Segi Hukum Pidana dan Perdata”,

(Jakarta: Bina Aksara, 1998), hlm 38.

Page 37: Makalah Hukum Kesehatan - Santi Nastiti

33

a. Dalam arti umum, malpraktek merupakan suatu praktek (khususnya praktek

dokter)yang buruk dan tidak memenuhi standar yang telah dilakukan oleh

profesi.

b. Dalam arti khusus, dilihat dari pasien malpraktek dapat terjadi dalam:

Menentukan diagnosis, misalnya diagnosisnya sakit maag tapi ternyata

pasien sakit lever.

Menjalankan operasi, misalnya: seharusnya yang dioperasi mata sebelah

kanan tetapi yang dilakukan pada mata kiri.

Selama menjalankan perawatan.

Sesudah perawatan, tentu saja dalam batas waktu yang telah ditentukan

Menurut Antonius P.S. Wibowo, SH Medical Malpractice diartikan

sebagai kesalahan dalam melaksanakan profesi medis berdasarkan standar profesi

medis. Dengan banyaknya kasus malpraktek yang terjadi, barangkali menandakan

bahwa aparat kesehatan masih kurang profesional. Atau merupakan bukti bahwa

pelayanan kesehatan masih belum memadai.49

2.4.2. Malpraktek dan Kaitannya dengan Pengertian Standar profesi

kedokteran 50

Tentang standar profesi kedokteran ada berbagai perumusan dari beberapa

ahli hukum, antara lain Leenen dan tentang tanggung gugat (liability) seorang

dokter dari “Supreme Court” Canada. Keputusan Supreme Court of Canada 1956

tentang “Principle of Liability of a Doctor” menyatakan: “The doctor has to

possess the skill, knowledge, and judgement of the average of the group of

technicians to which he belong”. Unsur skill dan average dalam keputusan

Supreme Court of Canada ini ditemui pula dalam perumusan Leenen mengenai

standar profesi kedokteran , yaitu: “Berbuat secara teliti atau seksama menurut

ukuran medik, sebagai seorang dokter yang memiliki kemampuan rata-rata

(average) dibanding dengan dokter dari kategori keahlian medik yang sama,

49 Antonius P.S. Wibowo, “Kumpulan Karangan Ilmiah Populer di Media Cetak”,

(Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Katolik Indonesia Atma jaya,1998), hlm.21.

50 Fred, op.cit., hal hal 86-90.

Page 38: Makalah Hukum Kesehatan - Santi Nastiti

34

dalam situasi kondisi yang sama dengan sarana upaya (middelen) yang sebanding

atau proposional dengan tujuan konkrit tindakan atau perbuatan medik tersebut”.

Unsur standar profesi kedokteran yang terdapat dalam rumusan Leenen:

a) Berbuat secara teliti atau seksama (zorgvuldig handelen) dikaitkan dengan

culpa atau kelalaian. Bila seorang dokter yang bertindak “onvoorzichteg”,

tidak teliti, tidak berhati-hati maka ia memenuhi unsur kelalaian; bila ia

sangat tidak berhati-hati ia memenuhi culpa lata.

b) Sesuai ukuran ilmu medik (volgens de medische standaard).

c) Kemampuan rata-rata (average) dibanding kategori keahlian medik yang

sama (gemiddelde bewaamheid van gelijke medische categorie).

d) Situasi dan Kondisi yang sama (gelijke omstandigheden).

e) Sarana upaya (middelen) yang sebanding atau proposional (asas

proposionalitas) dengan tujuan konkret tindakan atau perbuatan medik

tersebut.

Kelima unsur dari standar ini harus dipakai untuk menguji apakah suatu

perbuatan medik merupakan malpraktek atau tidak. Ternyata unsur perumusan

Standar profesi kedokteran menurut Leenen yang paling lengkap dan memiliki

lebih banyak unsur yang sangat relevan.

Terdapat beberapa pengertian pada perumusan Leenen yang memerlukan

penjelasan:

a. Ukuran Medis

Ukuran medis merupakan unsur yang paling penting dari Standar

profesi kedokteran . Tiap perbuatan medis seorang dokter harus sesuai ukuran

medis yang berlaku. Pengertian ukuran medis menurut Leenen dapat

dirumuskan sebagai: “suatu cara melakukan tindakan medis dalam suatu

kasus yang konkret menurut suatu ukuran tertentu yang didasarkan pada ilmu

medik dan pengalaman.

Harus disadari bahwa sukar sekali untuk memberikan kriterium yang

eksak untuk dipakai pada tiap tindakan medik karena perbedaan situasi

kondisi dan pula fisik pasien yang berbeda-beda yang dapat menghasilkan

reaksi yang berbeda pula walaupun diberikan terapi yang sama.

Page 39: Makalah Hukum Kesehatan - Santi Nastiti

35

b. Tujuan Medik

Tindakan para tenaga kesehatan harus ditujukan pada perbaikan situasi

pasien. Menurut Leenen, tujuan ilmu kedokteran dapat dirumuskan sebagai

berikut :

i. Menyembuhkan dan mencegah penyakit;

ii. Meringankan penderitaan;

iii. Mengantar pasien (comforting) termasuk mengantar menghadapi akhir

hidup; dan

iv. Asas keseimbangan.

Ketentuan mengenai Standar Profesi ini telah termuat dalam undang-

undang. Pasal 24 ayat (1) UU Kesehatan mengatakan bahwa Tenaga kesehatan

yang telah memperoleh Surat Izin Praktek harus memenuhi ketentuan kode etik,

standar profesi, hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan

standar prosedur operasional. Menurut Pasal 24 ayat (2) UU Kesehatan tersebut,

ketentuan mengenai kode etik dan standar profesi sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) diatur oleh organisasi profesi. Di dalam pasal 51 huruf a Undang-Undang

Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran (selanjutnya disebut UU

Praktek Kedokteran) yang menyatakan bahwa Dokter atau dokter gigi dalam

melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban salah satunya

memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur

operasional serta kebutuhan medis pasien.

Apa yang dimaksud standar profesi dan standar prosedur operasional?

Penjelasan Pasal 50 UU Praktek Kedokteran memberikan batasan definisinya,

yakni: “Yang dimaksud dengan “standar profesi” adalah batasan kemampuan

(knowledge, skill and professional attitude) minimal yang harus dikuasai oleh

seorang individu untuk dapat melakukan kegiatan profesionalnya pada

masyarakat secara mandiri yang dibuat oleh organisasi profesi. Yang dimaksud

dengan “standar prosedur operasional” adalah suatu perangkat

instruksi/langkah-langkah yang dibakukan untuk menyelesaikan suatu proses

kerja rutin tertentu. Standar prosedur operasional memberikan langkah yang

Page 40: Makalah Hukum Kesehatan - Santi Nastiti

36

benar dan terbaik berdasarkan konsensus bersama untuk melaksanakan berbagai

kegiatan dan fungsi pelayanan yang dibuat oleh sarana pelayanan kesehatan

berdasarkan standar profesi”.

2.4.3. Jenis-Jenis Malpraktek51

Malpraktek terdiri dari dua bentuk, yaitu malpraktek etika dan malpraktek

yuridis, ditinjau dari segi etika profesi dan segi hukum.

a. Malpraktek Etika

Yang dimaksud dengan malpraktek etika adalah dokter melakukan

tindakan yang bertentangan dengan etika kedokteran. Di Indonesia, terdapat Kode

Etik Kedokteran (KODEKI) yang dikeluarkan oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI),

berisikan seperangkat standar etis, prinsip, aturan atau norma yang berlaku untuk

dokter. Mengenai KODEKI ini telah dibahas pada awal tulisan ini.

Malpraktek etika sering terjadi seiring dengan kemajuan teknologi

kedokteran yang makin canggih, cepat dan mempermudah tenaga medis dalam

melakukan tindakan medis. Contohnya adalah pemeriksaan laboratorium. Sering

ada kasus di mana pemeriksaan laboratorium sebenarnya tidak diperlukan asalkan

dokter yang bersangkutan mau memeriksa dengan teliti. Namun dokter tetap

mengirimkan pasiennya ke laboratorium karena pihak laboratorium berjanji

memberikan ‘hadiah’ pada sang dokter. Contoh lain adalah di pemberian obat.

Banyak perusahaan obat yang memberi berbagai janji pada dokter agar obat

tersebut disertakan dalam resep.

Albert R. Jonsen dkk, menganjurkan empat pedoman bagi para dokter

untuk mengambil keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan secara etis dan

moral, yakni :

Menentukan indikasi medisnya.

Mengetahui apa yang menjadi pilihan pasien untuk dihormati.

51 Antonius, op.cit., hal.31-35.

Page 41: Makalah Hukum Kesehatan - Santi Nastiti

37

Mempertimbangkan dampak tindakan yang akan dilakukan terhadap mutu

kehidupan pasien.

Mempertimbangkan hal-hal kontekstual yang terkait dengan situasi kondisi

pasien, misalnya, aspek sosial, ekonomi, hukum, budaya, dan sebagainya.

b. Malpraktek Yuridik

Soedjatmiko membedakannya menjadi tiga bentuk, yaitu

1. Malpraktek Perdata (Civil Practice)

Terjadi ketika terdapat hal-hal yang menyebabkan tidak terpenuhinya isi

perjanjian dalam transaksi teurapetik oleh tenaga kesehatan, atau terjadinya

perbuatan melanggar hukum yang menimbulkan kerugian pada pasien. Terdapat

beberapa syarat agar suatu perbuatan dianggap melawan hukum, yaitu adanya

suatu perbuatan (baik berbuat maupun tidak berbuat), perbuatan tersebut

melanggar hukum (baik tertulis atau tidak tertulis), adanya suatu kerugian, ada

hubungan sebab akibat antara perbuatan melanggar hukum dengan kerugian yang

diderita.

Agar dapat memperoleh ganti rugi, pasien harus dapat membuktikan

bahwa tindakan itu malpraktek dalam empat unsur yaitu:

Adanya suatu kewajiban dari dokter terhadap pasien.

Dokter melanggar standar pelayanan medik yang lazim digunakan.

Pasien telah menderita kerugian yang dapat dimintakan ganti ruginya.

Kerugian tersebut disebabkan oleh pelayanan di bawah standar.

Namun, tidak semua tindakan malpraktek dokter harus digugat terlebih

dahulu oleh pasien. Ada kalanya kasus tersebut langsung masuk ke pengadilan

apabila melihat dari fakta yang ada, dan dokterlah yang harus membuktikan

bahwa ia tidak bersalah. Misalnya saja, di satu kasus di mana gunting operasi

tertinggal di perut pasien. Gunting tersebut merobek perut pasien dari dalam dan

Page 42: Makalah Hukum Kesehatan - Santi Nastiti

38

pasien tersebut meninggal. Gunting di perut pasien menjadi barang bukti sehingga

tim operasi saat itu dapat dijatuhkan perkara.

2. Malpraktek Pidana (Criminal Malpractice)

Terjadi apabila pasien meninggal dunia atau cacat akibat ketidakhati-

hatian dari dokter atau tenaga kesehatan lainnya. Terdapat tiga bentuk malpraktek

pidana, yaitu:

Malpraktek pidana karena kesengajaan, misalnya adalah melakukan aborsi

tanpa indikasi medis yang membenarkan, eutanasia, hingga membocorkan

rahasia pasien.

Malpraktek pidana karena kecerobohan, misalnya melakukan tindakan medis

tanpa disetujui oleh pasien.

Malpraktek pidana karena kealpaan, misalnya kesalahan operasi yang

menyebabkan pasien cacat atau meninggal dunia.

c. Malpraktek Administratif

Terjadi apabila ada pelanggaran hukum administrasi negara yang berlaku,

misalnya menjalankan praktek tanpa surat izin praktek atau menjalankan praktek

tanpa membuat catatan medik.

2.4.4. Penanggulangan Malpraktek Medis52

2.4.4.1. Pada Bidang Kedokteran

Karena malpraktek berhubungan dengan kemampuan tenaga medis,

maka yang perlu diusahakan pada bidang kedokteranini adalah penjagaan kualitas

medik. Penjagaan kualitas medik dapat dicapai dengan melakukan Audit Medik

(Medical Auditing). Yang dimaksud dengan audit medik adalah evaluasi secara

sistematis dari kualitas pelayanan medik. Hal ini diatur dalam undang-undang

karena berhubungan dengan salah satu kewajiban dokter yaitu menjaga

52 Soerjono Soekanto, “Aspek Hukum Kesehatan Suatu Kumpulan Catatan”, (Jakarta:

Penerbit IND-HILL-CO, 1989), hal 36-40.

Page 43: Makalah Hukum Kesehatan - Santi Nastiti

39

kerahasiaan pasien. Segala hal yang berhubungan dengan pasien, yang diketahui

melalui audit, tetap harus dirahasiakan oleh para anggota tim audit medik. Audit

medik dapat dilaksanakan dalam rumah sakit maupun praktek pribadi para dokter.

Audit medik dapat dibagi menjadi tiga metode:

1. Prospectief

2. Retrospectif. Metode ini banyak dipakai oleh para tenaga kesehatan.

3. Simultaan

Audit medik juga dapat dibagi menjadi :

1. Proses pelaynan hasil

2. Pengadaan

3. Pendapat pasien

Selain audit medik, untuk menjaga kualitas pelayanan kedokteran rumah

sakit dapat membentuk Malpractice Review Committee yang bertugas membahas

keadaan rumah sakit mengenai kesalahan personil rumah sakit secara periodik.

Sidang tim komisi dilakukan untuk mempelajari kesalahan-kesalahan tersebut

demi perbaikan pelayanan rumah sakit.

2.4.4.2. Pada Bidang Hukum

Cara menanggulangi malpraktek melalui bidang hukum adalah dengan

mempertahankan suatu tingkat kualitas profesional kedokteran yang tinggi

melalui Hukum Disiplin Tenaga Kesehatan.Tujuan dari diciptakannya Hukum

Disiplin Tenaga Kesehatan ini adalah sebagai berikut:

a. Melindungi masyarakat

Dengan hukum disiplin ini, kepentingan masyarakat dapat dilindungi

dalam hal menerima pelayanan kesehatan yang berkualitas tinggi, sehingga

kerugian yang disebabkan oleh kelalaian dan kesalahan dapat dihindari.

b.Memberikan kepastian hukum kepada tenaga kesehatan (termasuk dokter)

Page 44: Makalah Hukum Kesehatan - Santi Nastiti

40

Dengan hukum disiplin ini, pihak tenaga kesehatan juga mendapat

kepastian hukum seperti pasien sehingga dapat menjalankan tugasnya dengan

nyaman.

2.5.Tanggung Jawab Perawat dan Rumah Sakit53

2.5.1. Tanggung Jawab Perawat

Peranan perawat juga sangat besar dalam pelaksanaan informed consent.

Meskipun hal tersebut bukan merupakan kewenangan perawat, melainkan

kewenangan dokter yang dapat didelegasikan kepada perawat. Untuk penelaahan

mengenai tanggung jawab perawat maka dapat dibedakan perawat atas:

1. Perawat yang bekerja untuk mendapatkan gaji dari dokter

2. Perawat yang bekerja untuk digaji oleh rumah sakit dan diperbantukan kepada

dokter

Untuk perawat yang bekerja dan digaji oleh seorang dokter, maka pada

umumnya dokterlah yang bertanggung jawab terhadap tindakan perawat yang

dilakukan atas perintah dokter, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1367

KUHPerdata. Akan tetapi apabila perawat melakukan sesuatu tindakan medik

yang tidak sesuai dengan ijazah yang ia miliki, perawat itu sendiri yang harus

bertanggung jawab. Apabila seorang perawat di dalam praktik diperintahkan

untuk meminta tanda tangan dari seorang pasien pada formulir persetujuan, maka

perawat tersebut secara etik moral harus bertanya terlebih dahulu kepada pasien,

apakah ia telah mendapat keterangan atau informasi dari dokter akan penyakit dan

tindakan medik yang akan dilakukan dokter terhadap dirinya, serta apakah ia telah

memahami keterangan tersebut.

Selanjutnya untuk perawat yang bekerja dan diberi gaji oleh rumah sakit

dan diperbantukan kepada dokter maka rumah sakit secara perdata bertanggung

jawab atas tindakan-tindakan yang dilakukan oleh perawat. Terhadap tanggung

jawab rumah sakit ini, dapat digunakan konstruksi pasal 1367 KUHPerdata,

karena perawat dalam menjalankan tugas keperawatannya di rumah sakit itu atas

53 Husein, op.cit., hal 96-97.

Page 45: Makalah Hukum Kesehatan - Santi Nastiti

41

dasar perintah dari pihak rumah sakit. Namun dalam hal-hal tertentu maka

perawat pun tetap harus bertanggung-jawab atas yang ia lakukan sendiri.

2.5.2. Tanggung Jawab Rumah Sakit

Secara umum dalam kaitannya dengan tanggung jawab rumah sakit maka

pada dasarnya rumah sakit bertanggung jawab secara perdata terhadap semua

tindakan medis maupun non medis di rumah sakit itu. Hal ini juga berdasarkan

pasal1367 KUHPerdata.

Apabila tanggung jawab rumah sakit dikaitkan dengan hal pelaksanaan

informed consent, maka tanggung jawab tersebut meliputi tigal hal, yaitu:

1. Tanggung jawab yang berkaitan dengan personalia

Rumah sakit secara umum bertanggung jawab atas tindakan-

tindakan yang dilakukan oleh personalia rumah sakit, yang dilakukan

dalam melaksanakan tugasnya masing-masing. Khusus mengenai tindakan

dokter maka dokter dalam hubungannya dengan rimah sakit dapat

dibedakan atas:

a. Dokter-in atau dokter purnawaktu (full time)

Dokter mendapat gaji dari rumah sakit yang bersangkutan dan ia

merupakan karyawan dari rumah sakit itu, sehingga pasien hanya

mempunyai perikatan perawatan dengan rumah sakit, sehingga rumah

sakit ikut bertanggung jawab atas tindakan dokternya.

b. Dokter-out atau dokter tamu

Dalam kaitannya dengan pelaksanaan informed consent bagi suatu

tindakan medik yang dokter tersebut ambil maka hanya dokter itulah

yang bertanggung jawab.

2. Tanggung jawab yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas

Rumah sakit dalam pelaksanaan informed consent bertanggung jawab

untuk untuk menyediakan formulir yang dibutuhkan. Pada dasarnya

formulir-formulir tersebut secara formil, berkasnya adalah milik rumah

sakit sedangkan isinya merupakan hak pasien. Akhirnya rumah sakit wajib

memeriksa setiap persyaratan administratif termasuk formulir persetujuan

Page 46: Makalah Hukum Kesehatan - Santi Nastiti

42

tindakan medis atau formulir operasi sebelum tindakan medis atau operasi

itu dilakukan. Hal ini berkaitan dengan tanggung jawab yang dipikul

rumah sakit terhadap kelengkapan administratif.

3. Tanggung jawab yang berkaitan dengan duty of care

Duty of care diartikan dengan kewajiban memberi perawatan. Hal ini

sebenarnya terletak dalam bidang medik dan perawatan, sehingga

penilaiannya juga harus ditafsirkan oleh kedua bidang tersebut. Mengenai

hal yang sangat berkaitan dengan duty of care untuk saat ini adalah unit

emergensi atau unit gawat darurat.

Apabila emergensi dikaitkan dengan hal informed consent, maka

dalam keadaan emergensi kewajiban untuk memberikan informasi dan

kewajiban untuk memberikan persetujuan pasien atau keluarganya lebih

dahulu sebelum tindakan medik dilakukan tidak berlaku bila:

1) Keadaan mengharuskan segera dilakukan operasi

Dalam pasal 45 ayat (2) UU Rumah Sakit menyebutkan bahwa

Rumah Sakit tidak dapat dituntut dalam melaksanakan tugas dalam

rangka penyelamatan jiwa manusia.

2) Consent express tidak mungkin diperoleh dalam waktu singkat dari:

i. Pasien sendiri karena berada dalam keadaan tidak sadar, atau

dari keluarga terdekat yang berwenang untuk bertindak atas

namanya

ii. Jika tidak segera dilakukan pembedahan akan sangat

membahayakan kesehatan atau jiwa pasien.

Oleh sebab itu dalam kadaan emergensi digunakan “presumed

consent” artinya dokter seolah-olah telah mendapat persetujuan dari

pasien secara diam-diam. Namun dalam pasal 45 ayat (1) UU Rumah Sakit

menyebutkan bahwa Rumah Sakit tidak bertanggung jawab secara hukum

apabila pasien menolak pengobatan, setelah adanya penjelasan medis yang

komprehensif.

Page 47: Makalah Hukum Kesehatan - Santi Nastiti

43

BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

1. Dari segi etik, penerapan informed consent dianggap sebagai upaya dokter

untuk membuktikan kesungguhannya dalam mematuhi primum non nocere

(yang paling diutamakan adalah untuk tidak mencelakakan pasien), serta

prinsip mengutamakan kepentingan pasien. Sehingga dapat dikatakan bahwa

aspek etik dari informed consent sangatlah luas dan besar dan menjadi

landasan moral bagi kalangan tenaga kesehatan, khususnya para dokter.

Dalam profesi kedokteran, dikenal adanya suatu kode etik yang disusun

berdasarkan asas etik. Kode etik kedokteran yang berlaku sekarang

dinyatakan mulai berlaku pertama kali dengan Keputusan Menteri Kesehatan

No. 434/Men. Kes/Sk/X/1983 tentang Berlakunya Kode Etik Kedokteran

Indonesia (Kodeki) bagi para dokter di seluruh Indonesia.

Dari segi hukum, seorang dokter juga terikat aturan-aturan hukum, yang

meliputi hukum perdata yang mengatur kaedah-kedah hukum dalam

hubungan antar individu dalam masyarakat, hukum pidana yang berisi aturan

hukum yang bersifat publik dan mengatur masalah tindak pidana yang timbul

dalam masyarakat serta menyelesaikan tindak pidana tersebut, serta hukum

administrasi. Dengan demikian di dalam menjalankan tugasnya, seorang

dokter di samping harus mematuhi etika kedokteran juga harus mematuhi

hukum yang berlaku.

2. Pasal 4 ayat (1) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor

290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran

menyebutkan dalam keadaan gawat darurat, untuk menyelamatkan jiwa

pasien dan/atau mencegah kecacatan tidak diperlukan persetujuan tindakan

kedokteran. Selain itu, terdapat doktrin mengenai alasan-alasan yang dapat

mengecualikan informed consent, yaitu sebagai berikut. (1) Pasien yang akan

menjalani pengobatan dengan “placebo” (sugestif therapeuticum); (2) Pasien

Page 48: Makalah Hukum Kesehatan - Santi Nastiti

44

yang akan merasa dirugikan bila mendengar informasi tersebut; (3) Pasien

yang sakit jiwa; (4) Pasien yang belum dewasa; dan (5) Pasien Tidak Sadar.

3. Dilihat dari segi hukum, malpraktek ada tiga, yakni Malpraktek Perdata,

Malpraktek Pidana, dan Malpraktek Administratif, Malpraktek

Perdata,Terjadi ketika terdapat hal-hal yang menyebabkan tidak terpenuhinya

isi perjanjian dalam transaksi teurapetik oleh tenaga kesehatan, atau

terjadinya perbuatan melanggar hukum yang menimbulkan kerugian pada

pasien. Pada Malpraktek Pidana, terdapat tiga bentuk malpraktek. Pertama,

malpraktek pidana karena kesengajaan, misalnya adalah melakukan aborsi

tanpa indikasi medis yang membenarkan, eutanasia, hingga membocorkan

rahasia pasien. Kedua, malpraktek pidana karena kecerobohan, misalnya

melakukan tindakan medis tanpa disetujui oleh pasien. Ketiga, malpraktek

pidana karena kealpaan, misalnya kesalahan operasi yang menyebabkan

pasien cacat atau meninggal dunia. Malpraktek Administratif terjadi apabila

ada pelanggaran hukum administrasi negara yang berlaku, misalnya

menjalankan praktek tanpa surat izin praktek atau menjalankan praktek tanpa

membuat catatan medik.

4. Peranan perawat juga sangat besar dalam pelaksanaan informed consent.

Meskipun hal tersebut bukan merupakan kewenangan perawat, melainkan

kewenangan dokter yang dapat didelegasikan kepada perawat. Untuk

perawat yang bekerja dan digaji oleh seorang dokter, maka pada umumnya

dokterlah yang bertanggung jawab terhadap tindakan perawat yang dilakukan

atas perintah dokter, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1367 KUHPerdata.

untuk perawat yang bekerja dan diberi gaji oleh rumah sakit dan

diperbantukan kepada dokter maka rumah sakit secara perdata bertanggung

jawab atas tindakan-tindakan yang dilakukan oleh perawat. Terhadap

tanggung jawab rumah sakit ini, dapat digunakan konstruksi pasal 1367

KUHPerdata. Akan tetapi apabila perawat melakukan sesuatu tindakan medik

yang tidak sesuai dengan ijazah yang ia miliki, perawat itu sendiri yang harus

bertanggung jawab. Mengenai tanggung jawab Rumah Sakit, apabila

tanggung jawab rumah sakit dikaitkan dengan hal pelaksanaan informed

consent dan personalia, maka pada dasarnya rumah sakit bertanggung jawab

Page 49: Makalah Hukum Kesehatan - Santi Nastiti

45

secara perdata terhadap semua tindakan medis maupun non medis di rumah

sakit itu. Hal ini juga berdasarkan pasal 1367 KUHPerdata.

5. Dengan adanya informed consent ini, diharapkan dapat diminimalisasi

sengketa kedokteran yang terjadi atau yang dewasa ini sering disebut sebagai

malpraktik, walaupun pada kenyataannya sengketa kedokteran hingga saat ini

masih seringkali terjadi dan masih banyak ditemui pasien yang tidak

mengetahui hak-hak mereka sebagai pasien. Kemudian perlu juga

digarisbawahi terkait minimalisasi sengketa kedokteran dengan adanya

informed consent bukan berarti bahwa informed consent merupakan sarana

yang dapat membebaskan dokter dari tanggung jawab hukum jika terjadi

malpraktik. Malpraktik adalah masalah lain yang erat kaitannya dengan

pelaksanaan pelayanan medis yang tidak sesuai dengan standar. Meskipun

sudah mengantongi informed consent, tetapi jika pelaksanaannya tidak sesuai

standar, maka dokter tetap harus bertanggung jawab atas kerugian yang

terjadi.

3.2. Saran

1. Dalam pemberian penjelasan terkait dengan informed consent seyogyanya

disampaikan dalam bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti oleh

pasien karena bahasa kedokteran banyak menggunakan istilah asing yang

tidak dapat dimengerti oleh orang yang awam dalam bidang kedokteran,

sehingga penjelasan dengan menggunakan bahasa kedokteran, tidak akan

membawa hasil apa-apa, malah akan membingungkan pasien.

2. Dalam hal menyikapi permasalahan-permasalahan di atas, perlulah kiranya

upaya-upaya preventif, baik dari dokter maupun pasien. Misalnya untuk

dokter agar selalu dilakukan informed consent seperti yang telah

dipaparkan di atas dan untuk pasien diharapkan dapat aktif untuk meminta

hak atas informasi terhadap tindakan medis yang dilakukan dokter

terhadapnya.

Page 50: Makalah Hukum Kesehatan - Santi Nastiti

46

DAFTAR PUSTAKA

BUKU:

Ameln, Fred. Kapita Selekta Hukum Kedokteran. cet. ke-1. Jakarta: Grafikatama

Jaya, 1991.

Cahyono, Akhmad Budi dan Surini Ahlan Sjarif. Mengenal Hukum Perdata. ed.

ke-1. cet. ke-1. Jakarta: CV Gitama Jaya, 2008.

Garner, Bryan A. Ed. Black's Law Dictionary 9th ed. St. Paul Min: West Group,

2009.

Guwandi, J., “Dokter, Pasien, dan Hukum”. Jakarta: Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia, 2007.

Hariyanti, Widi. “Analisis Teori Antrian Sebagai Penentu Optimalisasi Pelayanan

Konsumen Pada Intalasi Farmasi Rumah Sakit Umum Klipang Di

Semarang”, Bisnis dan Kewirausahaan. Vol. 2 (2009): 248.

Kerbala, Husein. Segi-Segi Etis dan Yuridis Informed Consent. cetakan ke-1.

Jakarta: PT Penebar Swadaya, 1993.

Komalawati: Veronica. Peranan Informed Consent dalam Transaksi Terapeutik

(Persetujuan dalam Hubungan Dokter dan Pasien). Cetakan ke-2.

Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2002.

Leenen, H.J.J. Pelayanan Kesehatan dan Hukum. Eds. A.F. Lamintang. Bandung:

Binacipta, 1991.

Mariyanti, Ninik. Malpraktek Kedokteran Dari Segi Hukum Pidana dan Perdata.

Jakarta: Bina Aksara, 1998.

Sardjono, Agus. Buku Ajar (Buku A) Hukum Dagang. Depok: Fakultas Hukum

Universitas Indonesia, 2004.

Page 51: Makalah Hukum Kesehatan - Santi Nastiti

47

Soekanto, Soerjono. Aspek Hukum Kesehatan Suatu Kumpulan Catatan. Jakarta:

Penerbit IND-HILL-CO, 1989.

Subekti. Hukum Perjanjian. cet. ke-12. Jakarta: Penerbit Intermasa, 2002.

- - -. Pokok-Pokok Hukum Perdata. cet. ke-31. Jakarta: PT Intermasa, 2003.

Wibowo, Antonius P.S. Kumpulan Karangan Ilmiah Populer di Media Cetak.

Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Katolik Indonesia Atmajaya,1998.

Yunanto, Ari dan Helmi. Hukum Pidana Malpraktik Medik. Yogyakarta: Andi

Offset, 2010.

INTERNET:

Tempo Online, “Vonis Bebas Untuk Profesi Dokter”, Style Sheet.

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1984/08/25/HK/mbm.198408

25.HK41200. id.html (7 April 2012)

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN:

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek

Kedokteran

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit

Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 512/MENKES/PER/IV/2007 tentang Izin

Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor HK.02.02./MENKES/149/I/2010 tentang

Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor HK.02.02./MENKES/148/I/2010 tentang

Izin dan Penyelenggaraan Praktik Perawat

Page 52: Makalah Hukum Kesehatan - Santi Nastiti

48

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 tentang

Persetujuan Tindakan Kedokteran

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 512/MENKES/PER/IV/2007 tentang Izin

Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 585/MENKES/PER/IX/1989 tentang

Persetujuan Tindakan Medik