makalah hukum kesehatan
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Cita-cita bangsa Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan Undang-
Undang Dasar 1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,
dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi, dan keadilan sosial. Dalam rangka mencapai cita-cita bangsa diselenggarakan
pembangunan nasional di semua bidang kehidupan yang berkesinambungan, yang
merupakan suatu rangkaian pembangunan yang menyeluruh, terpadu dan terarah.
Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang
Kesehatan sejak tanggal 17 September 1992, ini berarti bahwa semua tenaga
kesehatan, yaitu setiap orang yang mengabdikan dirinya di bidang kesehatan serta
memiliki pengetahuan dan keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan
untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan
dikenai peraturan tersebut. (Hermien Hadiati Koeswadji, 1999, h. 17). Telah
diketahui umum bahwa pada waktu seseorang memasuki jabatan dokter atau tenaga
kesehatan lain yang termasuk dalam kualifikasi profesi kesehatan telah diikat oleh
suatu etika yang tertuang dalam lafal sumpah jabatan yang diucapkan pada waktu
menerima jabatan tersebut.
B. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui mengapa etika profesi menjadi landasan moral bekerjanya
seorang dokter
2. Untuk mengetahui bagaimana hubungan antara seorang dokter dengan pasiennya.
3. Untuk mengetahui sejarah hubungan antara dokter dan pasien.
4. Mengetahui bagaimana komunikasi antara dokter dan pasien.
5. Untuk mengetahui bagaimana pentingnya informasi dalam hubungan antara dokter
dengan pasien
6. Untuk mengetahui informasi apa saja yang berhubungan dengan informed
consent (persetujuan tindakan medik).
BAB II
PEMBAHASAN
A. Etika Profesi Sebagai Landasan Moral Bekerjanya Dokter
Meningkatnya sorotan masyarakat terhadap profesi kesehatan (baca dokter),
disebabkan karena berbagai perubahan, antara lain adanya kemajuan di bidang ilmu
pengetahuan di bidang kedokteran dan teknologi bidang kedokteran. Bila perubahan tersebut
tidak disertai komunikasi yang balk antara dokter sebagai pemberi jasa kesehatan dengan
pasien sebagai penerima jasa kesehatan hal ini akan menimbulkan kesalahpahaman yang
berakibat timbulnya konflik.
Sorotan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan dan profesi dokter merupakan
suatu kritik yang baik terhadap profesi dokter. Dengan adanya kritik dan sorotan tersebut
diharapkan para dokter dapat meningkatkan profesi dan pelayanannya kepada masyarakat
pada umumnya dan pasien pada khususnya.
Dalam memberikan pelayanan kesehatan (medik) kepada individu atau perorangan,
keluarga atau komunitas diperlukan tatanan dan landasan filosofi yang mengarahkan pada
tanggungjawab moral yang esensial dalam pelaksanaannya dimana inti dari falsafah ini
adalah penghormatan terhadap hak dan martabat manusia sebagai insan hamba Tuhan. Fokus
etik kesehatan ini pada dasarnya ditujukan pada sikap dan perilaku manusia yang mempunyai
ciri dan nilai tersendiri. Nilai atau valuemerupakan hak setiap individu untuk mengatur
perilakunya tersendiri dalam rangka menentukan langkah-langkah yang patut dilaksanakan
sebagai cetusan dari hati nurani yang dalam. Nilai dipengaruhi lingkungan dan pendidikan.
dan hal ini akan membentuk atau menjadikan seseorang atas kepribadiannya dan
membedakan dengan pribadi orang lain. Permasalahan etik dan hukum di bidang kesehatan,
dewasa ini terutama bersumber dari kurangnya penghayatan dalam memahami nilai-nilai
dasar manusia itu sendiri.
Dewasa ini hampir tidak ada bidang kehidupan yang tidak terjamah oleh hukum,
baik sebagai norma maupun sebagai sikap manusia yang mempunyai hasrat untuk hidup
teratur, tenteram dan penuh kedamaian. Hukum mengakui bahwa hubungan kehidupan antar
manusia itu menimbulkan rasa puas dan menyenangkan. Sebagai contoh adalah rumah sakit,
dimana tempat ini merupakan suatu sarana sebagai suatu sistem sarana kesehatan yang
memerlukan kerjasama yang terkoordinasi dan terintegrasi antar unit dari para tenaga
kesehatan berdasarkan pada akhlak, moral, kesopanan atauethos dan kesadaran tinggi akan
tugas dan kewajibannya masing-masing.
Kode Etik Kedokteran Indonesia, yang merupakan tuntunan perilaku para dokter
dalam menjalankan profesi mediknya, maupun Lafal Sumpah Dokter yang secara filosofis
berisikan pesan-pesan moral dan akhlak yang wajib untuk diikuti oleh para dokter dalam
hubungan dokter dengan pasien. Dokter yang lalai mengikuti tuntunan tersebut dimana atas
kelalaiannya itu berakibat merugikan orang lain atau pasien, dokter dapat dituduh telah
melakukan malpraktik. Setiap orang yang mengetahui kepentingannya dirugikan atas
tindakan dokter dalam menjalankan praktik kedokterannya dapat mengadukan secara tertulis
kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia. Dalam pengaduan tersebut
harus memuat:
1. identitas pengadu;
2. nama dan alamat tempat praktik dokter waktu tindakan dilakukan; dan
3. dan/ atau alasan pengaduan (perhatikan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004).
Apabila dalam pemeriksaan ditemukan pelanggaran etik, Majelis Kehormatan
Disiplin Kedokteran Indonesia akan meneruskan pengaduan pada organisasi profesi, dalam
hal ini IDI. Keputusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia dapat berbentuk
dokter dinyatakan tidak bersalah atau pemberian sanksi disiplin.
Sanksi disiplin ini dapat berupa:
a. pemberian peringatan tertulis;
b. rekomendasi pencabutan surat tanda registrasi atau surat ijin praktik
c. dan/atau kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kedokteran
(Pasal 69 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004).
B. Hubungan Antara Dokter dan Pasien
Dalam kepustakaan ditemukan ciri khusus pekerjaan/ dokter tersebut, yaitu
sebagaimana dikemukakan oleh Freidsod dan Wilson (Komalawati, V., 993 : 38) sebagai
berikut Menurut Freidson, pekerjaan dokter dilakukan dalam kamar konsultasi yang tertutup
atau dalam kamar tidur, bahkan pada umumnya dokter memberikan jasanya kepada individu
dan bukan pada kumpulan orang atau lapisan sosial.
Sedangkan hubungan yang sangat pribadi antara dokter dengan pasien dilukiskan
oleh Wilson sebagai hubungan antara pendeta dengan jamaah yang mengutarakan
perasaannya. Oleh karena itu ada anggapan bahwa dalam menangani penyelamatan atau
penyembuhan penyakit pasien diperlukan keakrabannya. Pengakuan pribadi yang sangat
penting bagi eksplorasi atas jiwa atau diri sendiri, sangat membutuhkan suatu keadaan yang
terlindung, dan kamar konsultasi dokter mungkin merupakan analog modern yang tepat untuk
tempat suci yang aman pada gereja pada abad-abad pertengahan. Dengan demikian pasien
senantiasa percaya kepada kemampuan dokter, kepada siapa pasien menyerahkan nasibnya.
Pasien merasa beruntung dan tenteram apabila dokter berusaha dengan sungguh-sungguh
untuk menyembuhkan penyakitnya. Adanya perkembangan kehidupan manusia dan pengaruh
meningkatnya budaya manusia serta hubungan antar bangsa atau negara yang semakin
mudah, lama-lama keadaan demikian mengalami perubahan. Disamping itu dengan makin
meningkatnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap tanggung jawab atas
kesehatan maka kepercayaan yang semula tertuju pada kemampuan dokter secara pribadi
mulai bergeser pada ilmunya. Timbul kesadaran masyarakat untuk menuntut suatu hubungan
yang seimbang dan tidak lagi sepenuhnya pasrah kepada dokter.
Berdasarkan ciri yang ditemukan dalam profesi, pekerjaan dokter mempunyai ciri
khusus antara lain merupakan hubungan yang sangat pribadi karena didasarkan pada
kepercayaan. Kepercayaan antara dokter dengan pasien tidak hanya didasarkan pada hak-hak
dan kewajiban yang timbul dari masing-masing pihak yang diatur oleh hukum, tetapi
kepercayaan tersebut timbul atas dasar nilai-nilai moral yang dimiliki setiap dokter
sebagaimana tertuang dalam KODEKI, khususnya pada Pasal 10, 11 dan 12 tentang
Kewajiban Dokter Terhadap Penderita (Hendrojono Soewono).
Hubungan antara dokter dengan pasien juga dikemukakan oleh Dassen telah
mengalami perkembangan sebagaimana dikutip oleh Soekanto (1987 :2) sebagai berikut:
1. Pasien pergi ke dokter karena merasa ada sesuatu yang membahayakan kesehatannya. Segi
psycho-biologisnya memberikan suatu peringatan bahwa dirinya menderita sakit. Dalam hal
ini dokter dianggap sebagai pribadi yang dapat menolongnya karena kemampuannya secara
ilmiah. Dokter mempunyai kedudukan lebih tinggi dan peranan yang lebih penting daripada
pasien (dari sudut pandangan pasien).
2. Pasien pergi ke dokter, karena mengetahui dirinya sakit dan dokter akan mampu
menyembuhkannya. Dalam hat ini, pasien menganggap kedudukannya sama dengan dokter,
tetapi peranan dokter lebih penting darinya.
3. Pasien pergi ke dokter untuk mendapatkan pemeriksaan yang intensif dan mengobati
penyakit yang ditemukan. Hal ini mungkin diperintahkan oleh pihak ketiga. Dalam hal ini
terjadi pemeriksaan yang bersifat preventif.
Dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 khususnya pada
alinea kelima dikaitkan dengan hubungan antara dokter dengan pasien dapat dilihat sebagai
berikut berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap dokter dan dokter gigi, maraknya
tuntutan hukum yang diajukan masyarakat dewasa ini seringkali diidentikkan dengan
kegagalan upaya penyembuhan yang dilakukan oleh dokter dan dokter gigi. Bila hal ini
dikaitkan dengan pendapat Elledson dan Wilson kondisi hubungan antara dokter dengan
pasien yang dilukiskan sebagai hubungan sebagai hubungan antara pendeta dengan
jamaahnya sudah tidak cocok lagi. Sedangkan bila dikaitkan dengan pendapat Dassen, bahwa
dalam hubungan antara dokter dengan pasien, pasien mengakui bahwa kedudukan dokter
lebih tinggi karena memiliki kemampuan ilmiahnya sehingga lebih berperanan dari dirinya
dalam upaya penyembuhan dirinya (pasien).
Berbagai upaya perlindungan hukum yang dilakukan dalam memberikan
perlindungan menyeluruh kepada masyarakat sebagai penerima pelayanan kesehatan,
terhadap tindakan dokter atau dotter gigi sebagai pemberi pelayanan kesehatan telah banyak
dilakukan oleh pemerintah dengan melakukan pembuatan undang-undang atau peraturan
pemerintah dan peraturan menteri. Tetapi akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi di bidang kedokteran yang begitu cepat, menjadikan perkembangan hukum ataupun
peraturan-peraturan yang mengatur hubungan antara dokter dengan pasien menjadi tidak
seimbang. Perangkat hukum yang mengatur hubungan dokter dengan pasien dalam rangka
penyelenggaraan praktik kedokteran (dan kedokteran gigi ) dirasakan belum memadai, karena
selama ini masih didominasi oleh kebutuhan formal dan kepentingan pemerintah, sedangkan
porsi profesi masih sangat kurang. Oleh karena itu untuk menjembatani kepentingan kedua
belah pihak serta untuk melakukan penilaian terhadap kemampuan obyektif seorang dokter
dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, diperlukan pembentukan badan yang
independen yaitu Konsil Kedokteran Indonesia (Pasal 4 Undang-Undang Nomor 29 Tahun
2004).
Akan tetapi menurut Dassen jika hubungan antara dokter dengan pasien itu
didasarkan pada asuransi sosial, maka hubungan itu tidak dapat dilihat terlepas dari
keseluruhan hubungan antara, pelayanan kesehatan dan masyarakat. Dengan kata lain, jika
asuransi itu oleh pemerintah dijadikan sebagai salah satu usaha untuk memberikan jaminan
sosial, (social insurance) kepada masyarakat, maka hubungan antara dokter dengan pasien
merupakan hubungan individual yang tidak terlepas dari masyarakat. Dengan demikian
apabila dokter yang bersangkutan merupakan pegawai sebuah rumah sakit, maka tindakannya
juga terikat pada hubungan dengan rumah sakit yang bersangkutan dan peraturan yang lain.
Sehubungan dengan hal di atas, dalam kepustakaan dapat ditemukan
pendapat Leenen, yang dikutip oleh Lamintang (1991: 63-65) yang mengemukakan
sejumlah gejala yang telah berperan sehingga terjadi perubahan mengenai hubungan antara
dokter dengan pasien, antara lain:
1. Posisi tidak bebas dari seorang pasien yang karena terpaksa harus mencari pertolongan
yang tidak sesuai dengan keinginannya. Ketidakbebasan ini mengakibatkan semakin
meningkatnya pasien rumah sakit, karena adanya perubahan lingkungan hidup, dan silat serta
lamanya proses penyakit pada penyakit kronis, sehingga pasien jauh dari dokter.
2. Sifat profesional para dokter terhadap pasiennya. Sifat profesional itu didasarkan pada
pengetahuannya, cara berfikirnya dan dengan metodenya sendiri. Dalam rangka pemberian
pertolongan, para dokter menterjemahkan problema dan seorang pasien ke dalam bahasa
profesional ini, karena tindakan yang sifatnya tidak profesional tidak boleh dilakukannya.
Kerugiannya adalah proses pemberian bantuan itu telah tidak diketahui oleh pasien. Dengan
demikian, sifat sebagai profesional dalam hal tertentu telah menjauhkan hubungan antara
dokter dengan pasien.
3. Faktor lain yang menjauhkan hubungan antara dokter dengan pasien adalah kenyataan,
bahwa permintaan untuk mendapatkan pertolongan itu telah datang secara besar-besaran
sehingga dikerahkan aparat pemberi pertolongan. Dengan aparat seperti itu, hubungan
menjadi tidak teratur dan telah menjauhkan hubungan antara satu dengan yang lainnya. Baik
pasien maupun para pemberi pertolongan menjadi tidak senang dengan proses semacam itu.
4. Birokrasi merupakan gejala tambahan yang menjauhkan hubungan di dalam organisasi.
Birokrasi itu mempunyai pengaruh yang merenggangkan hubungan antara dokter dengan
pasien.
5. Pelayanan kesehatan dari hari ke hari telah diatur sesuai dengan keahlian. Kepentingan
pribadi telah memberikan tempat bagi suatu lembaga pemberi pertolongan disusun secara
rasional dan obyektif. Oleh karena pengkhususan seperti itu maka pelayanan kesehatan
memperoleh sifat sebagai suatu industri, sehingga meniadakan hubungan pribadi antara
dokter dengan pasien.
6. Pertumbuhan sistem registrasi, antara lain dibuat secara otomatis di dalam bank data.
Registrasi itu seringkali mempunyai pengaruh terhadap pemberian pertolongan, antara lain
karena pemberi pertolongan itu sendiri telah menentukan syarat, norma dan menggariskan
prosedur. Perilaku yang bersifat pribadi itu adalah tidak sesuai di dalam suatu sistem
registrasi. Registrasi itu juga dapat memberikan gambaran yang salah mengenai seorang
pasien dan dapat menimbulkan pengaruh negatif pada hubungan antara dokter dengan pasien.
7. Hubungan antara dokter dengan pasien telah tidak bersifat pribadi lagi. karena
pengkhususan di dalam pelayanan kesehatan. Problematik seorang pasien telah dipotong-
potong dalam bagian yang kecil, demikian juga hubungannya dengan para pemberi
pertolongan. Problema yang dihadapi pasien hanya dilihat sebagian saja, sehingga tidak bisa
diselesaikan seluruhnya Para pemberi pertolongan jumlahnya semakin sedemikian besar,
sehingga mempengaruhi hubungan yang bersifat pribadi antara dokter dengan pasien.
8. Perkembangan masyarakat dan pelayanan kesehatan memaksa dokter menghadapi
problema yakni untuk membuat pertimbangan antara kepentingan pasien dengan kepentingan
lainnya, bahkan antara para dokter sendiri dapat. berhadapan dengan suatu konflik antar
kepentingan dalam menghadapi pasiennya.
Mengomentari uraian di atas dapat diperoleh kesimpulan bahwa sikap profesional
dokter seringkali mengakibatkan dokter tidak mampu melihat suatu problema yang dihadapi
pasiennya sendiri, atau menimbulkan kecenderungan dokter bertindak obyektif, tanpa
memperhatikan hak-hak dasar pasien sebagaimana diatur dalam dokumen internasional. Juga
bila dikaitkan dengan Sumpah Dokter dan KODEKI disini dokter sadar atau tidak sadar telah
berbuat hal-hal yang menyimpang. Hal yang demikian ini dilakukan dokter menurut penulis
karena dokter takut tidak dapat memenuhi standar profesionalnya.
C. Sejarah Perkembangan Hubungan Dokter Dengan Pasien
Hubungan antara dokter dengan pasien telah berjalan secara tradisi secara
berkesinambungan sejak dari masa Hipocrates sampai pertengahan abad kedua puluhan. Pada
saat ini tradisi ini kemudian mulai diganti atau paling tidak dilengkapi. Perkembangan ilmiah,
teknologi dan sosial pada saat itu menimbulkan dengan cepat perubahan-perubahan dalam
ilmu biologis dan pelayanan kesehatan. Perkembangan-perkembangan ini merupakan
tantangan bagi konsep-konsep dan kewajiban-kewajiban moral para tenaga kesehatan dan
masyarakat yang berlaku pada saat penderita yang sakit atau mengalami kecacatan.
Walaupun konsep-konsep moral yang lama dan masa kini banyak mengandung refleksi dan
hubungan antara profesi kesehatan dengan pasien, namun hal ini masih mengecewakan
dipandang dari segi etik biologis kontemporer.
Salah satu hasil penelitian yang akan penulis angkat adalah hasil penelitian yang
dilakukan oleh Russel, yang dikutip oleh Lumenta (Komalawati. V., 1999:43). Hasil
penelitian Russel menunjukkan bahwa hubungan antara dokter dengan pasien lebih
merupakan hubungan kekuasaan, yaitu hubungan antara pihak yang aktif memiliki wewenang
dengan pihak yang pasif dan lemah serta menjalankan peran kebergantungan. Namun, besar
kemungkinan dapat dibina suatu hubungan yang sempurna, agar kedua belah pihak dapat
berperan dan berinteraksi secara aktif dan saling mempengaruhi.
Selanjutnya dikatakan oleh Suprapti Samil di dalam KODEK 1980 bahwa istilah
etik terbentuk dari dua perkataan yaitu “mores of a community” dan “ethos of the people”.
Lebih dua ribu tahun, Plato sudah merasa perlu untuk mempertahankan konsep kebenaran
dan konsep kebenaran ini melandasi etik akademik. Dalam mencari kebenaran, peran filsafat
ilmu sebagai bagian dari bidang humaniora amatlah penting. Filsafat ilmu bertugas menelaah
dan menggali sebab musabab terutama dari gejala ilmu pengetahuan, di antara paham tentang
kepastian, kebenaran dan obyektifitas. Kebenaran, kepastian dan obyektifitas inilah dipakai
sebagai pegangan para profesional, tidak terkecuali dokter dalam melakukan kewajibannya
melayani masyarakat yang membutuhkannya. Kembali mengenai hubungan antara dokter
dengan pasien, dalam kepustakaan telah banyak diteliti para ahli, baik di bidang medik
maupun di bidang sosiologik dan antropologik.
Bila dari hasil-hasil penelitian tersebut di atas dikaitkan dengan praktik pelayanan
medik di Indonesia. dalam kenyataannya pasien yang datang dan memilih dokter umum
secara sukarela masih sangat kurang. Hal ini dimungkinkan karena faktor-faktor tertentu
antara lain faktor budaya dan utamanya faktor ekonomi. Pasien yang merasa sakit akan
mendatangi dokter yang terdekat (PUSKESMAS) untuk berusaha mendapatkan pengobatan.
Di sini hubungan antara dokter dengan pasien sebagai pihak yang membutuhkan jasa dari
dokter sebagai pemberi jasa kurang seimbang. Hal ini disebabkan, menurut pandangan pasien
dokter ada di pihak yang mempunyai nilai lebih dan kepada dokter inilah pasien sangat
menggantungkan diri untuk penyembuhan penyakitnya. Hubungan antara dokter dengan
pasien dalam kondisi ini lebih merupakan hubungan kekuasaan.
Sebagai catatan, perlu penulis kemukakan pandangan pemerintah bahwa kesehatan
sebagai hak azasi manusia harus diwujudkan dalam bentuk pemberian berbagai upaya
kesehatan kepada seluruh masyarakat melalui penyelenggaraan pembangunan kesehatan yang
berkualitas dan terjangkau oleh masyarakat masih jauh terwujud dan merupakan suatu dilema
yang harus segera dipecahkan.
Dilema yang dimaksud disini adalah bahwa ternyata masing-masing kedudukan
dokter dalam hubungan dokter dengan pasien itu mempunyai dampak terhadap peran pasien
dalam hubungan pelayanan medik. Oleh karena itu untuk menilai mutu dan penampilan
pelayanan medik dari dokter diperlukan beberapa variabel dan ketentuan dalam menentukan
faktor yang paling berpengaruh dalam kemampuan pasien.
D. Komunikasi Antara Dokter Dengan Pasien
Pada hakekatnya, manusia yang diciptakan sebagai makhluk individu dan makhluk
sosial selalu hidup berkelompok demi untuk mempertahankan hidupnya.
Hidup berkelompok antar individu ini dapat terjadi dan berjalan dengan lancar
sesuai dengan yang diinginkan setiap individu harus dilaksanakan melalui komunikasi.
Demikian pula halnya hubungan antara dokter dengan pasiennya akan berjalan dengan baik
dan lancar bila dilakukan komunikasi dua belah pihak guna mendapatkan suatu pengertian
atas dua kepentingan yang berbeda. Di satu pihak, pasien mencari dokter dalam usaha untuk
mendapatkan upaya penyembuhan atas penyakit yang dideritanya. Sedangkan dokter sebagai
seorang profesional dan pemberi jasa berkewajiban untuk memberikan jasa melalui ilmu dan
pengetahuan yang dimilikinya kepada mereka yang membutuhkannya.
Tanpa didasari dengan komunikasi yang baik antara keduanya, kondisi yang
demikian ini akan menimbulkan benturan antara dua kepentingan yang merugikan baik bagi
pengguna jasa maupun pemberi jasa kesehatan. Karenanya, di dalam pelayanan kesehatan
faktor komunikasi merupakan faktor yang sangat menentukan.
Kata komunikasi berasal dari bahasa Latin communicare, yang berarti menjadikan
sesuatu milik bersama. Adapun yang dimaksud dengan sesuatu adalah isi atau tujuan suatu
pesan, sehingga terjadi saling pengertian antara pihak yang melakukan kegiatan. Dari
berbagai definisi tentang komunikasi dapat ditarik intinya yaitu bahwa komunikasi
merupakan kegiatan pengoperan lambang yang mengandung makna. Menurut Susanto, yang
disitri oleh Komalawati, V., bahwa komunikasi dimulai sebagai suatu kegiatan pra-integrasi
diantara para pihak (1999:47). Dalam suatu kepustakaan ada pula pihak yang mengartikan
bahwa komunikasi ditujukan untuk memberikan informasi, tetapi harus diingat bahwa tidak
semua komunikasi ditujukan untuk menyampaikan informasi dan membentuk pengertian,
atau, sebagai proses untuk mempengaruhi orang lain. Komunikasi merupakan penerimaan,
pengolahan, penyimpanan informasi dan menghasilkan informasi kembali (Jalaludin, 1992).
Setiap penggunaan proses komunikasi, para komunikan dan komunikator (dalam
proses komunikasi peran ini saling bertukar) harus mendengar dengan teliti, menyelidiki
dengan mendalam, menganalisis hubungan dan perihal apa saja yang telah dikatakan dan hal
apa yang telah dialami oleh pembicara. Selain itu untuk dapat berbicara dengan baik,
komunikator juga harus mengadakan analisis bukan hanya terhadap komunikannya tetapi
juga terhadap hal-hal yang akan dikatakan kepada komunikannya. Komunikator harus
mengatur hal-hal yang dianggap terpenting, mana yang kurang penting, mana yang lebih baik
dikatakan.
Dikaitkan dalam hubungan antara dokter dengan pasien yang merupakan hubungan
interpersonal, maka adanya komunikasi atau yang sering dikatakan sebagai “wawancara
pengobatan” amat sangat diperlukan. Dari beberapa hasil penelitian yang ditemukan dalam
kepustakaan antara lain dari Foster dan Anderson sebagaimana ditulis Komalawati, V.,
membuktikan bahwa esensi dari hubungan antara dokter dengan pasien terletak dalam
wawancara pengobatan ini.
Dari berbagai kesulitan yang dihadapi dalam hubungan interpersonal antara dokter
dengan pasien ternyata masalah yang berhubungan dengan komunikasi merupakan kesulitan
yang umum. Sehubungan dengan hal tersebut ada beberapa contoh kesulitan mengenai
komunikasi yang diangkat dari pendapat Foster dan Anderson (1986: 146) antara lain
Seorang dokter Inggris di California menasehati seorang ibu Meksiko mengenai cara
menyapih bayi yaitu dengan mengatakan “pakailah ikat dada dan kurangi minum cairan”.
Ternyata walaupun wanita itu mengerti sedikit bahasa Inggris tetap kata-kata itu sulit
dipahaminya sedangkan harga diri dan rasa malu menghalanginya untuk meminta penjelasan
dari dokter tersebut.
Seorang anak kecil dari pasangan imigran dari daerah Selatan Detroit dibawa ke kamar
darurat sebuah rumah sakit besar untuk mendapatkan jahitan pada luka di kepalanya.
Ayahnya telah diberitahu bahwa anaknya harus dibawa kembali seminggu lagi untuk dibawa
jahitannya. Ayah itu memahami sepenuhnya kata-kata dokter tersebut, tetapi ternyata
kemudian jahitan anaknya itu dibuka olehnya dengan menggunakan gunting kuku. Hal itu
dilakukannya, karena sebenarnya ia merasa keberatan dan memberontak untuk membayar
$22 untuk pertolongan darurat anaknya. Di samping itu, yang lebih penting adalah kenyataan
bahwa ia harus ke kamar bedah untuk membuka jahitan itu. Hal ini merupakan sesuatu yang
mengerikan.
Memperhatikan kedua kasus di atas, hal tersebut tidak mengherankan. Kalau
memperhatikan tentang batasan komunikasi yang telah penulis ungkapkan di depan, bahwa
komunikasi adalah merupakan suatu kegiatan yang berisi suatu pesan, berita dan keterangan
mengenai hal tertentu, dengan tujuan untuk disebarluaskan dan seterusnya, disini terjadi
ketidaklancaran atau penyumbatan komunikasi di antara dua pihak yaitu antara dokter dengan
pasien. Penyumbatan atau ketidaklancaran itu terjadi pertama adalah faktor pendidikan.
Faktor ini akan mempengaruhi daya tangkap pasien atau instruksi dokter yang harus dia
lakukan. Faktor kedua adalah faktor sosial budaya, dimana hal ini ditandai dengan masalah
bahasa dan adat istiadat, misal masalah harga diri, timbul rasa malu dan sebagainya. Faktor
lain, sebagai tambahan adalah faktor psikologis. Yaitu masalah harga diri dan malu untuk
bertanya serta rasa takut ke kamar bedah karena hal tersebut dirasakan sangat mengerikan.
Hasil penelitian lain yang dilakukan di klinik pediatric rumah sakit anak di Los
Angeles menunjukkan bahwa hal yang tidak disukai para ibu dalam perawatan yang
diberikan kepada anaknya adalah tingkah laku para dokter yang efisien, tidak akrab dan
kelihatan tidak acuh. Namun, dalam sampel sebanyak 800 responden ditemukan bahwa para
dokter pada umunya merasa bersikap ramah, dan hanya kurang dari para ibu cenderung
mempunyai kesan bahwa para dokter bertingkah laku efisien, tidak akrab dan tidak acuh.
Selain itu, hasil wawancara menunjukkan bahwa para dokter lebih banyak berbicara daripada
para ibu pasien. Hal ini membuktikan bahwa pertemuan antara dokter dengan pasien (ibu
pasien) cenderung memberikan hasil yang lebih baik, jika ibu pasien terlibat dalam
pembicaraan yang aktif dengan dokter. Dari hasil penelitian ini, juga diperoleh gambaran
bahwa 76 % para ibu menyatakan sangat dan cukup puas. Akan tetapi hampir separuh dari
para ibu itu meninggalkan ruang praktik dokter masih dengan pertanyaan tentang sebab
penyakit yang sebenarnya yang diderita oleh anaknya.
Harapan yang tinggi dari para ibu yang datang ke klinik adalah bahwa para dokter
akan bersikap ramah dan simpatik, tidak hanya kepada anaknya tetapi juga kepada
orangtuanya yang cemas. Namun rekaman menunjukkan bahwa hanya kurang dari 5% saja
dari pembicaraan dokter yang bersifat akrab atau ramah (Foster dan Anderson, 1986: 145-
145).
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Foster dan Anderson tersebut di atas, ada
beberapa hal yang dapat diungkap yaitu:
1. Pasien datang ke dokter dengan perasaan cemas, khawatir dan bingung karena anaknya
sakit dan ingin segera mendapatkan pertolongan dari dokter.
2. Dokter dalam, wawancara kesehatan ini lebih mendominasi pembicaraan, tanpa
memberikan kesempatan pada pasien (ibu bayi) untuk mengutarakan atau menginformasikan
keluhan perihal penyakit yang diderita anaknya.
3. Dokter kurang memperhatikan faktor budaya, sosial termasuk disini faktor pendidikan
pasien, yang tidak begitu paham mengerti hal-hal atau penyebab penyakit pasien, sehingga
saat pasien meninggalkan ruang praktik dokter masih bertanya-tanya dalam hati, apa yang
menjadi penyebab penyakit anaknya.
4. Dokter telah bekerja dengan efektif dan efisien dalam menangani penyakit pasien, tetapi
kondisi demikian dirasakan pasien kurang menghormati hak pasien, diantaranya adalah
dokter kurang memperhatikan pasien yang sangat cemas karena anaknya yang sakit dan tidak
memberikan Kesempatan untuk berdialog. Disini pasien merasa secara psikologis tertekan.
5. Dokter menempatkan posisinya lebih tinggi dari pasien, hal ini tercermin adanya
ketidakberdeyaan pasien untuk mengutarakan keinginannya untuk bertanya, antara lain
mengenal, penyakit yang dideritanya.
6. Dokter kurang menyadari, bahwa diruang tunggu, ruang bedah/ operasi, kondisi pasien
secara psikologis sangat rawan, mudah marah, gampang tersinggung, karenanya diharapkan
dokter harus bersikap ramah, membimbing dan bersikap sabar.
Mengenai kondisi dan ketidakberdayaan pasien tersebut pada dasarnya disebabkan
karena ketidaktahuan pasien mengenal cara yang baik untuk mengatasi keluhan atas penyakit
yang dideritanya. Mengenai hal ini dalam kepustakaan ditemui hasil penelitian yang
dikemukakan oleh Fuchs (Waitzkin dan Waterman, 1993:113), bahwa ketidaktahuan
konsumen dalam bidang kesehatan bersumber pada tiga penyebab. Pertama, adanya
ketidakpastian tentang efek pelayanan terhadap individu. Orang awam tidak mengetahui nilai
dari suatu prosedur atau pengobatan tertentu, khususnya bila terdapat ketidaksepakatan
dikalangan profesi medik sendiri. Kedua, karena pelayanan medik tidak dapat
diperjualbelikan, maka konsumen cenderung untuk tidak mengembangkan pengetahuan
tentang masalah pengobatan, atau tentang kemana sebaiknya meminta pertolongan. Ketiga,
profesi medik tidak berusaha memberikan informasi kepada pasiennya.
E. Informasi Dalam Hubungan Antara Dokter Dengan Pasien
Dalam KODEKI terdapat pasal-pasal tentang kewajiban dokter terhadap pasien yang
perlu diperhatikan. Ada beberapa hak-hak pasien yang berkaitan dengan masalah informasi
dalam hubungan antara dokter dengan pasien diantaranya adalah:
1. hak memperoleh penjelasan tentang diagnosis dan terapi dari dokter yang mengobati;
2. hak penjelasan tentang riset kedokteran yang akan diikutinya;
3. hak atas rekam medik atas hal pribadi.
Dari beberapa hal di atas, jelas bahwa hak memperoleh informasi atau penjelasan,
merupakan hak pasien yang penting dan paling utama, dan bahkan dalam tindakan-tindakan
khusus diperlukan Persetujuan Tindakan Medik (PTM) yang harus ditandatangani pasien atau
keluarganya.
Dari semula telah dikemukakan bahwa dari data yang terdapat dalam RM bila diolah
menurut keperluannya bisa menjadi sumber informasi kesehatan. Informasi yang dimaksud
antara lain adalah mengenai jumlah kunjungan rawat jalan (out pasient ), rawat inap (in
pasient), jenis penyakit, lama penyakit-penyakit tertentu, obat-obatan yang dipakai dan lain
sebagainya.
Dalam membicarakan tentang informed consent, (tentulah mengenai masalah
informasi atau penjelasan banyak yang harus diberikan kepada pasien atau keluarga. Hal-hal
yang perlu diinformasikan tersebut antara lain mengenai (1) kapan informasi
disampaikan (when); (2) siapa yang harus menyampaikan (who); (3) informasi apa yang
harus disampaikan (what); dan (4) informasi yang mana (which) yang perlu disampaikan.
Dalam Permenkes No.585 Tahun 1989 tentang PTM dinyatakan bahwa dokter harus
menyampaikan informasi atau penjelasan kepada pasien keluarga diminta atau tidak diminta,
jadi informasi harus disampaikan.
Pertanyaan, yang dapat diajukan dalam masalah ini ialah Apakah yang dimaksud
dengan informasi tersebut? Informasi berasal dari kata informare, yang sebenarnya berarti
memberi bentuk. Menurut kamus Echols (1990), to inform berarti “memberitahukan”,
dan information berarti “keterangan”. Jadi, informasi adalah pemberitahuan tentang sesuatu
agar orang dapat membentuk pendapatnya berdasarkan sesuatu yang diketahuinya.
F. Informasi Yang Berhubungan dengan Informed Consent
Adapun informasi yang perlu diberikan dan dijelaskan dengan kata-kata sederhana
yang dimengerti oleh pasien atau keluarganya menurut J. Guwandi (2004:45) meliputi:
- risiko yang melekat (inherent) pada tindakan tersebut;
- kemungkinan timbulnya efek samping;
- alternatif lain (jika ada) selain tindakan yang diusulkan; dan
- kemungkinan yang terjadi jika tindakan itu tidak dilakukan.
Permenkes tentang informed consent Pasal 1 Huruf a menyatakan bahwa persetujuan
tindakan medis/ informed consent adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau
keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medis yang akan dilakukan terhadap
pasien tersebut; sedangkan tindakan medis menurut Pasal I Huruf b adalah suatu tindakan
yang dilakukan terhadap pasien berupa diagnostik atau terapeutik.
Sebelum memberikan Pertindik (persetujuan tindakan kedokteran) pasien
seharusnya menerima informasi tentang tindakan medis yang diperlukan, namum ternyata
mengandung risiko. Pertindik harus ditandatangani oleh penderita atau keluarga terdekatnya
dan disahkan minimum satu orang saksi dari pihak pasien. Informasi dan penjelasan yang
perlu diberikan dalam Pertindik meliputi hal-hal berikut:
1. Informasi harus diberikan, baik diminta maupun tidak.
2. Informasi tidak diberikan dengan mempergunakan istilah kedokteran yang tidak dimengerti
oleh orang awam.
3. Informasi diberikan sesuai dengan tingkat pendidikan, kondisi, dan situasi pasien
4. Informasi diberikan secara lengkap dan jujur, kecuali jika dokter menilai bahwa informasi
tersebut dapat merugikan kesehatan pasien, atau pasien menolak untuk diberikan informasi.
Dalam hal ini informasi dapat diberikan kepada keluarga terdekat.
5. Informasi dan penjelasan tentang tujuan dan prospek keberhasilan tindakan medis yang
akan dilakukan.
6. Informasi dan penjelasan tentang tata cara tindakan medis yang akan dilakukan.
7. Informasi dan penjelasan tentang risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi.
8. Informasi dan penjelasan tentang alternatif tindakan medis lain yang tersedia serta
resikonya masing-masing.
9. Informasi dan penjelasan rentang prognosis penyakit apabila tindakan medis tersebut
dilakukan.
1. Untuk tindakan bedah atau tindakan invasif lain, informasi harus diberikan oleh dokter yang
melakukan operasi, atau dokter lain dengan sepengetahuan atau petunjuk dokter yang
bertanggung jawab.
1. Untuk tindakan yang bukan bedah atau tindakan yang tidak invasif lainnya, informasi dapat
diberikan oleh dokter lain atau perawat dengan sepengetahuan atau petunjuk dokter yang
bertanggung jawab.
Kewajiban untuk memberikan informasi dan penjelasan berada di tangan dokter
yang akan melakukan tindakan medis. Dokterlah yang paling bertanggung jawab untuk
melakukan informasi dan penjelasan yang diperlukan. Apabila dokter yang akan melakukan
tindakan medis berhalangan untuk memberikan informasi dan penjelasan maka dapat
diwakilkan pada dokter lain dengan sepengetahuan dokter yang bersangkutan.
Pasal 2 Ayat (1) Permenkes tentang Pertindik menentukan bahwa semua tindakan
medis yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan. Bentuk persetujuan
itu sendiri dapat diberikan secara tertulis maupun lisan. Dalam praktiknya, Perrindik dapat
diberikan oleh pasien dengan cara-cara berikut.
1. Dinyatakan (expressed) secara lisan atau tertulis. Dalam hal ini bila yang dilakukan lebih
dari prosedur pemeriksaan dan tindakan bisa yang mengandung risiko, misalnya
pembedahan.
2. Dianggap diberikan (implied or tacit consent), yaitu dalam keadaan biasa atau dalam
keadaan darurat. Persetujuan diberikan pasien secara tersirat tanpa pernyataan tegas yang
disimpulkan dokter dari sikap dan tindakan pasien misalnya tindakan media berupa
pemberian suntikan penjahitan luka, dan sebagainya. Apabila pasien dalam keadaan gawat
darurat tidak sadarkan diri dan keluarganya tidak ada di tempat, sedangkan dokter
memerlukan tindakan segera, maka dokter dapat melakukan tindakan medis tertentu yang
terbaik menurut dokter (persetujuannya disebutinformed consent, dalam arti bila pasien
dalam keadaan sadar, maka pasien dianggap akan menyetujui tindakan yang dilakukan
dokter).
G. Hak Untuk Memberikan Informed Consent
Dalam Pertindik yang berhak memberikan persetujuan atau penolakan untuk
dilakukannya tindakan medis tertentu setelah mendapatkan informasi, berturut-turut
adalah sebagai:
1. Pasien sendiri apabila telah berumur 21 tahun (telah dewasa) atau telah menikah
yang dalam keadaan sadar dan sehat mental.
2. Pasien di bawah umur 21 tahun, persetujuan atau penolakan diberikan oleh ayah/
ibu kandung atau saudara-saudara kandung.
3. Pasien di bawah umur 21 tahun dan tidak mempunyai orang tua/ wali atau orang
tua/ wali berhalangan hadir, persetujuan atau penolakan diberikan oleh keluarga
terdekat atau induk semang (guardian).
4. Pasien dewasa yang menderita gangguan mental, persetujuan atau penolakan
diberikan oleh orang tua/ wali/ curator/ saudara-saudara kandung.
5. Pasien dewasa yang berada di bawah pengampunan (curatele), persetujuan atau
penolakan diberikan oleh wali/ curator.
6. Pasien dewasa yang telah menikah persetujuan atau penolakan diberikan oleh
suami/ istri, ayah/ ibu kandung, anak-anak kandung, saudara-saudara kandung.
Pelaksanaan Pertindik dinyatakan benar apabila memenuhi ketentuan sebagai
berikut:
1. Persetujuan atau penolakan tindakan medis diberikan untuk tindakan medis yang
dinyatakan secara spesifik.
2. Persetujuan atau penolakan tindakan medis diberikan tanpa paksaan.
3. Persetujuan atau penolakan tindakan medis diberikan oleh seseorang (pasien) yang
sehat mental dan memang berhak untuk memberikannya dari segi hukum.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ada 3 (tiga) macam pertanggungjawaban hukum dokter dalam melakukan
perawatan/ transaksi terapeutik, yaitu tanggung jawab dalam hukum perdata, hukum
pidana, dan hukum disipliner.
Untuk dapat diajukan ke pengadilan berdasarkan perbuatan melawan hukum
harus dipenuhi 4 (empat) syarat sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1365 BW, yaitu:
(1) Pasien harus menderita kerugian;
(2) Ada kesalahan/ kelalaian (perorangan, rumah sakit, juga termasuk kesalahan/
kelalaian pegawainya);
(3) Ada hubungan kausal antara kerugian dan kesahihan;
(4) Perbuatan itu melanggar hukum.
Agar terhindar dari tuntutan ganti rugi, dokter dalam melakukan perawatan
terhadap pasien hams tidak boleh menyimpang dari standar profesi yang telah
digariskan, bertindak secara hati-hati menurut standar profesi seperti seorang dokter
yang mempunyai kemampuan rata-rata dalam bidang keahlian yang sama, dalam
situasi, dan kondisi yang sama untuk mencapai tujuan pengobatan secara konkrit.
Pertanggung jawaban dalam hukum pidana berbeda dengan pertanggung jawaban
dalam hukum perdata. Hukum pidana adalah bagian dari hukum publik, karena itu
tekanan utamanya adalah kepentingan umum/ masyarakat. Untuk adanya pertanggung
jawaban dalam hukum pidana harus dipenuhi 3 (tiga) syarat yaitu:
(1) Harus ada perbuatan yang dapat dipidana;
(2) Perbuatan tersebut bertentangan dengan hukum;
(3) Harus ada kesalahan.
B. Saran
Harus diingat, bahwa Ilmu Kedokteran adalah Ilmu pengetahuan berdasar
pada pengalaman “evidence based” dan bukan ilmu pasti, sehingga basil akhir yaitu
pengobatan atau suatu tindakan medik tidak ada yang 100% pasti berhasil. Hash akhir
suatu pengobatan atau tindakan medik merupakan suatu ‘probabilitas”. Bila
suatu “probabilitas” keberhasilannya tinggi, maka tindakan medik itu secara
profesional dapat di pertanggung jawabkan.