makalah hkm islam ukw

Upload: achmadbahri2

Post on 18-Jul-2015

334 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

HARTA BERSAMA AKIBAT PERCERAIAN

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Perkawinan adalah ikatan yang suci antara pria dan wanita dalam suatu rumah tangga. Melalui perkawinan dua insan yang berbeda disatukan, dengan segala kelebihan dan kekurangan masing-masing. Perkawinan yang diadakan ini diharapkan dapat berlangsung selama-lamanya, sampai ajal memisahkan. Walaupun perkawinan itu ditujukan untuk selama-lamanya, tetapi ada kalanya terjadi hal-hal tertentu yang menyebabkan perkawinan tidak dapat diteruskan, misalnya salah satu pihak berbuat serong dengan orang lain, terjadi pertengkaran terusmenerus antara suami isteri, suami/isteri mendapat hukuman lima tahun penjara atau lebih berat, dan masih banyak lagi alasan-alasan yang menyebabkan perceraian. Adanya perceraian membawa akibat hukum terputusnya ikatan suami isteri. Apabila dalam perkawinan ada harta, maka perceraian juga membawa akibat hukum terhadap harta bersama. Di lain pihak akibat perceraian terhadap harta kekayaan adalah harus dibaginya harta bersama antara suami isteri tersebut. Dalam masalah harta bersama, sering terjadi sengketa antara suami dan istri yang harus diselesaikan di pengadilan. Sengketa ini berkisar dalam masalah perebutan harta yang diakui sebagai milik pribadi, padahal harta itu adalah harta bersama. Perceraian dalam istilah ahli fiqih disebut talak atau furqah. Talak berarti membuka ikatan atau membatalkan perjanjian. Furqah berarti bercerai, yang merupakan lawan dari berkumpul.Kemudian kedua perkataan ini dijadikan istilah oleh para ahli fiqih yang berarti perceraian antara suami istri. Untuk melakukan perceraian pihak yang ingin melakukan perceraian harus mengajukan gugatan perceraian ke Pengadilan. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 39 ayat (1) UU No. 1 Th.

1974 yang menentukan bahwa Pengadilan hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan, setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Jadi jika dalam sidang-sidang pengadilan, hakim dapat mendamaikan kedua belah pihak yang akan bercerai itu, maka perceraian tidak jadi dilakukan. Dalam hal ini adanya ketentuan bahwa perceraian harus dilakukan di depan sidang Pengadilan, semata-mata ditujukan demi kepastian hukum dari perceraian itu sendiri. Seperti diketahui bahwa putusan yang berasal dari lembaga peradilan mempunyai kepastian hukum yang kuat, dan bersifat mengikat para pihak yang disebutkan dalam putusan itu. Dengan adanya sifat yang mengikat ini, maka para pihak yang tidak mentaati putusan Pengadilan dapat dituntut sesuai dengan hukum yang berlaku. Sebagai contoh, bekas suami yang tidak mau memberikan biaya hidup yang ditentukan oleh Pengadilan selama isteri masih dalam masa iddah atau tidak mau memberikan biaya pemeliharan dan pendidikan anak yang di wajibkan kepadanya, dapat dituntut oleh bekas istri dengan menggunakan dasar putusan Pengadilan yang telah memberikan kewajiban itu kepada bekas suami. Adapun Pengadilan yang berwenang memeriksa dan memutus perkara perceraian ialah Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam. Setelah perkawinan putus karena perceraian, maka sejak perceraian itu mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dalam arti telah tidak ada upaya hukum lain lagi oleh para pihak, maka berlakulah segala akibat putusnya perkawinna karena perceraian. Untuk masalah harta kekayaan setelah perceraian, diatur di dalam Pasal 37 UU No. 1 Th. 1974, yang berbunyi Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Di dalam Penjelasan Pasal 37 UU No. 1 Th. 1974 dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan hukumnya masing-masing adalah hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lainnya.

B. PEMBATASAN MASALAH

Berdasarkan latar berlakang masalah di atas dapat di rumuskan permasalahan sebagai pokok bahasan adalah pandangan Hukum Islam terhadap Harta bersama Akibat Perceraian.

C. PERUMUSAN MASALAH Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah sebagai berikut : 1. Harta Bersama Dalam Perundangan 2. Harta Perkawinan Dalam Hukum Adat 3. Harta Perkawinan Dalam Hukum Agama

D. TUJUAN PENULISAN 1. Tujuan Umum Adapun yang menjadi tujuan umum penulisan tugas ini adalah : 1. Untuk Mengetahuai bagaimanakah Pandangan Harta Bersama menurut pandangan hukum Islam dan hukum Adat terhadap harta bersama tersebut Untuk Mengetahui Bagaimanakah akibat Hukumnya terhadap Harta Bersama setelah putusnya perkawinan akibat perceraian.

2.

2. Tujuan Khusus Adapun yang menjadi Tujuan Khusus Penulisan Tugas ini adalah: Untuk menambah wawasan dan pengetahuan tentang Ilmu Hukum, khususnya tentang Pembagian Harta Bersama menurut Hukum Islam 2. Untuk dapat diambil manfaat ataupun hikmahnya bagi kita semua dalam masalah pembagian harta bersama. 3. Sebagai syarat penilaian dalam mata kuliah Hukum Islam di Fakultas Hukum. 4. Bagaimana cara penyelesaian jika terjadi sengketa yang berkaitan dengan pembagian harta bersama setelah terjadinya perceraian Menurut Hukum Islam. 1. BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. PEMBAGIAN HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN AKIBAT PERCERAIAN MENURUT HUKUM ADAT JAWA DAN HUKUM ISLAM MENURUT MOH. FURQON H.R. Di dalam Al-Quran disebutkan bahwa perkawinan itu adalah untuk menciptakan kehidupan keluarga antara suami istri dan anak-anak serta orang tua agar tercapai suatu kehidupan yang aman dan tenteram (sakinah), pergaulan yang saling mencintai (mawaddah) dan saling menyantuni (rahmah) dan di dalam Undang-undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 (Pasal l) disebutkan bahwa perkawinan itu ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa dan juga disertai dengan tujuan-tujuan yang ingin diciptakan dengan berlangsungnya perkawinan ini. Ini adalah bentuk ideal yang ingin diciptakan didalam berlangsungnya suatu rumah tangga.Karena kita ketahui bahwa dengan dilangsungkannya suatu perkawinan kita telah masuk dalam suatu tatanan kehidupan yang baru, yaitu tatanan kehidupan adat, tatanan kehidupan kekerabatan, tatanan kehidupan ketetanggaan sehingga tidak sedikit terjadi pergesekan-pergesekan yang ditimbulkan sehingga menimbulkan dampak baik itu positif maupun dampak yang negatif.Masalah perkawinan termasuk masalah yang fundamentil bagi setiap manusia yang sudah dewasa dan akibat daripadanya sangat mempengaruhi pula kepada kehidupan manusia umumnya, sebab rumah tangga itu merupakan unit kecil (kelompok kecil) dari masyarakat. Aman tenteramnya suatu negara, banyak dipengaruhi oleh aman dan tenteramnya setiap kelompok itu. Untuk memenuhi segala kebutuhan yang bertalian dengan masalah perkawinan yang banyak aspeknya itu, hukum Islam telah menjelaskan dengan sangat lengkap yang pada dasarnya tidak hanya mengatur tata cara pelaksanaan perkawinan saja melainkan juga mengatur segala persoalan yang erat hubungannya dengan perkawinan yang mana dalam hal ini adalah pengaturan dan pembagian harta kekayaan dalam perkawinan setelah perkawinan itu putus.Dalam suatu perkawinan haruslah ada suatu harta yang digunakan untuk menunjang kehidupan perkawinan mereka yaitu sesuatu yang diperlukan untuk menunjang hidup dan kehidupan sepanjang perkawinan mereka, oleh karena itu diadakannya pembagian harta kekayaan dalam perkawinan. Membahas masalah harta kekayaan bersama dalam perkawinan memerlukan pemikiran dalam tiga dimensi, sebelum perkawinan yang menyangkut harta kekayaan yang dibawa masing-masing kedalam perkawinan. Selama perkawinan adalah mengenai harta kekayaan yang didapat oleh suami istri selama dalam perkawinan.

Sedangkan setelah perkawinan yaitu pembahasan mengenai kedudukan masing-masing terhadap kekayaan tersebut. Sehubungan dengan permasalahan tersebut diatas dalam penulisan makalah ini, penulis ingin mengkaji mengenai pembagian harta bersama dalam perkawinan akibat perceraian menurut hukum adat dan hukum Islam yang terkemas dalam suatu rumusan : (1) Bagaimanakah kedudukan harta bersama menurut pandangan hukum Islam;

(2) Bagaimanakah akibat hukumnya terhadap harta bersama setelah putusnya perkawinan akibat perceraian. Dalam suatu perkawinan terdapat beberapa jenis harta benda yaitu : harta bawaan, harta bersama, harta yang diperoleh karena hadiah dan harta yang diperoleh karena warisan. Dari beberapa jenis harta benda tersebut mempunyai status hukum yang berbeda satu dengan yang lainnya. Karena memang di dalam Islam tidak dijelaskan mengenai pembagian harta bersama tersebut tetapi ada beberapa aturan hukum yang bisa dimasukkan dengan dipersamakan atau diqiyaskan dan dalam hal ini harta bersama tersebut bisa dimasukkan dalam syirkah yaitu percampuran harta kekayaan yang diperoleh suami atau istri selama masa adanya perkawinan atas usaha suami atau istri sendiri-sendiri atau atas usaha mereka bersama-sama. Begitupun mengenai harta kekayaan usaha sendiri-sendiri, sebelum perkawinan dan harta yang berasal bukan dari usaha salah seorang mereka atau bukan dari usaha mereka berdua, tetapi berasal dari pemberian atau warisan atau lainnya yang khusus teruntuk mereka masing-masing, dapat tetap menjadi milik masing-masing baik yang diperolehnya sebelum perkawinan maupun yang diperolehnya sesudah mereka dalam ikatan suami istri tetapi dapat pula mereka syirkahkan dan dalam hal syirkah harta bersama suami istri ini dalam islam digolongkan pada Syirkah Abdan Mufawadah yaitu perkongsian tenaga dan perkongsian tak terbatas.Ketika terjadi perceraian antara suami istri tersebut maka antara suami dan istri mempunyai hak yang sama terhadap harta bersama dalam arti apabila terjadi perceraian maka harta bersama dibagi dua secara rata antara suami istri berdasarkan rasa kekeluargaan dan kekerabatan an tarodhin yaitu dibagi 1:1. Meskipun juga sering terjadi pembagian secara musyawarah kerabat menurut perbandingan 1:2, pihak laki-laki yang mendapatkan lebih banyak, tidak lain hal ini merupakan pengaruh hukum waris Islam. Pada akhir penulisan ini, ada beberapa saran yang dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan khususnya bagi masyarakat yang menganut agama Islam yang seharusnya konsekwen dengan ajaran

agamanya dan menempatkan secara proporsional antara hukum Islam dan hukum adat dalam kehidupan hukum di masyarakat. Perkawinan adalah suatu perbuatan yang harus dilakukan oleh setiap manusia yang hidup di dunia ini. Karena hal itu merupakan kebutuhan biologi yang dimiliki oleh manusia selain kebutuhan dalam kehidupan sehari-hari, ada kebutuhan-kebutuhan lain yang sesama manusia tidak ada perbedaan. Seperti makan, minum, rasa aman dan rasa senang dan sebagainya. Perkawinan juga merupakan awal dari hidup bersama yang diatur dalam aturan hukum, antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri, dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berarti terciptanya hubungan antara suami dengan isteri dengan baik, oleh kerena itu dalam rumah tangga dibutuhkan kedewasaan dalam berfikir agar dapat mengatasi segala masalah yang timbul antara suami dan istri. Suatu perkawinan menyebabkan terjadinya hubungan hukum antara seorang laki-laki (sebagai suami) dan seorang perempuan (sebagai isteri). Akibat selanjutnya adalah timbulnya hak dan kewajiban antara suami isteri secara seimbang. Suami sebagai kepala keluarga sedangkan isteri sebagai ibu rumah tangga wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir dan batin. Suami harus melindungi isterinya dan isteri wajib mengatur urusan rumah tangga atau sesuai dengan kesepakatan bersama. Namun dalam kenyataannya prinsip-prinsip berumah tangga tersebut selalu tidak dilaksanakan, bahkan diabaikan baik oleh suami maupun oleh istri. Selain prinsip-prinsip yang disebutkan diatas banyak faktor lagi yang dapat memicu timbulnya konfelik dalam rumah tangga mulai dari faktor ekonomi sampai mengenai perilaku sehari-hari, dapat juga dengan kehadiran pihak ketiga dalam rumah tangga merupakan salah satu pemicu ketidak harmonisan dalam rumah tangga. Pihak ketiga disini yang dimaksud yaitu seperti suami menikah lagi tanpa sepengetahuan isteri pertama ataupun sebaliknya, bahkan faktor tidak mempunyai anak dalam rumah tangga tersebut yang sering menimbulkan konfelik dalam rumah tangga. Bila masalah-masalah tersebut tidak dapat diselesaikan dengan baik antara suami istri, maka biasanya suatu perkawinan bisa berakhir dengan perceraian. Bila suatu perceraian terjadi dalam suatu rumah tangga bukan berarti masalah dalam rumah tangga tersebut juga telah selesai, tetapi malahan meninggalkan persoalaan baru lagi baik dari mantan istri maupun mantan suami misalnya : hak asus terhadap anak yang dilahirkan dalam perkawinan tersebut (jika menpunyai anak), selain itu juga

yang sering menjadi masalah dalam suatu perceraian yang terjadi adalah masalah pembagian harta bersama (harta gono-gini) dan harta bawaan antara mantan suami dan mantan istri. Persoalan mengenai pembagian harta bersama ini harus diselesaikan, karena hal ini untuk kebaikan kedua belah pihak. Pasangan suami istri yang telah bercerai justru semakin diributkan dengan masalah pembagian harta gono-gini yang memang terkenal rumit. Bahkan keributan itu selalu berujung pada semakin panasnya siding-sidang perceraian di Pengadilan Agama, masing-masing pihak saling mengklaim bahwa dirinya yang berhak mendapatkan jatah harta gono-gini lebih besar dibandingkan pasangannya. Selain masalah harta gono-gini yang selalu menimbulkan masalah pada saat terjadinya percerain adalah mengenai harta bawaan yang dibawah masing-masing pihak pada saat perkawinan berlangsung, karena pasangan suami istri yang telah bercerai tersebut beranggapan bahwa harta bawaah adalah harta milik mereka bersama jadi masing- masing pihak merasa berhak atas harta tersebut. AKIBAT PERCERAIAN TERHADAP ANAK DAN HARTA BERSAMA BAGI YANG BERAGAMA ISLAM SETELAH DIBERLAKUKANNYA UU NO. 1 TH. 1974 Akibat Hukum Perceraian Akibat hukum dari penjatuhan talak, terutama yang berkaitan dengan suami isteri adalah terputusnya hubungan suami isteri dan hukum ikatan lainnya, baik bagi suami maupun isteri. Akan tetapi mereka masih dapat menyambungnya kembali pada kasus talak raji dalam tenggang waktu iddah atau melangsungkan perkawinan kembali ketika masa tenggang waktu itu habis. Hal yang sama juga dilakukan bagi wanita-wanita yang bertalak bain sughra. Di samping itu, baik suami maupun isteri tidak serta merta lepas dari kewajiban dan hak.[1] Menurut ulama fiqh, istri dalam iddah talak raji masih memperoleh nafkah dan tempat tinggal terutama bila ia sedang hamil. Pendapat ini didasari oleh firman Allah swt. QS. Ath-Thalaq (65): 6 Terjemahnya: Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga melahirkan.[2]

Kewajiban suami isteri memberi nafkah dan tempat tinggal bagi mantan isterinya, menimbulkan hak lebih bagi suami untuk mempertahankan isterinya kembali daripada orang lain. Pada saat yang sama isteri pun berkewajiban untuk menjaga dirinya dengan tidak menerima lamaran apalagi menikah dengan orang lain selama tenggang waktu iddah belum habis. Menurut pasal 156 Kompilasi Hukum Islam, akibat hukum putusnya perkawinan karena perceraian adalah 1. Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya. Kecuali bila ibunya meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh: Wanita-wanita dalam garis lurus dari Ibu, Ayah, Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah, Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan, Wanita-wanita kerabt sedarah menurut garis samping dari Ibu, atau Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah secara berturut-turut. 2. Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayah dan ibunya 3. Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula. 4. Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus dirinya sendiri (21 tahun).[3] Menurut Prof. Drs. C.S.T. Kansil, SH dan Cristine ST Kansil, SH, MH. Akibat dari suatu perceraian adalah: 1. Pernikahan dan pencampuran harta pernikahan berakhir 2. Kewajiban suami untuk memberi nafkah pada isteri atau sebaliknya, kewajiban mana dengan perceraian diubah menjadi tunjangan suami atau isteri kepada isteri atau suami yang menang dalam tuntutan perceraian 3. Jika bekas suami/isteri setelah menungguh 1 tahun, satu sama lain menikah untuk kedua kalinya, maka segala akibat pernikahan pertama hidup kembali, seolah-olah tidak ada perceraian (232a BW) 4. Hal keempat yang dihentikan oleh suatu perceraian adalah kekuasaan orang tua terhadap anaknya di bawah umur.[4]

Menurut Pasal 41 Undang-Undang Perkawinan juga membicarakan akibat yang ditimbulkan oleh perceraian. Adapun bunyi pasalnya adalah sebagai berikut: 1. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasaran kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak, pengadilan memberi keputusannya. 2. Bapak bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bila mana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut. 3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.[5] Ruang Lingkup Harta Bersama Yang dimaksud ruang lingkup harta bersama, mencoba memberi penjelasan bagaimana cara menentukan apakah suatu harta bersama termasuk atau tidak sebagai obyek harta bersama antara suami isteri dalam suatu perkawinan. Memang benar, baik Pasal 35 Ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 maupun yurisprudensi telah menentukan segala harta yang diperoleh selama perkawinan dengan sendirinya menurut hukum menjadi harta bersama. Akan tetapi, tentu tidak sesederhana itu penerapannya dalam konkreto, masih diperlukan analisa dan keterampilan dalam penerapannya. Analisa dan keterampilan penerapan itu yang akan dicoba diuraikan melalui pendekatan yurisprudensi atau putusan-putusan pengadilan.[6] Harta yang dibeli selama perkawinan Patokan pertama untuk menentukan apakah suatu barang termasuk harta bersama atau tidak. Ditentukan pada saat pembelian setiap barang yang dibeli selama perkawinan, maka harta tersebut menjadi obyek harta bersama suami isteri tanpa mempersoalkan:

Apakah suami atau isteri yang memberi; Apakah harta terdaftar atas nama isteri atau suami; Apakah harta itu terletak dimana.

Begitu patokan umum menentukan barang yang dibeli selama perkawinan. Apa saja yang dibeli selama perkawinan berlangsung otomatis menjadi harta bersama. Tidak menjadi soal siapa diantara suami isteri yang membelinya. Juga tidak menjadi masalah atas nama isteri atau suami harta itu terdaftar. Juga tidak peduli apakah

harta itu terletak dimanapun. Yang penting, apakah harta itu dibeli selama perkawinan, dengan sendirinya menurut hukum harta tersebut menjadi obyek harta bersama. Penegasan ketentuan yang demikian telah dianut secara permanen oleh yurisprudensi. Salah satu di antaranya, dapat dikemukakan putusan Mahkamah Agung tanggal 5 Mei 1971 No. 803 K/SIP/1970.[7] Dalam putusan ini dijelaskan harta yang dibeli oleh suami atau isteri di tempat yang jauh dari tempat tinggal mereka adalah termasuk harta bersama suami isteri jika pembelian dilakukan selama perkawinan. Lain halnya jika uang pembelian barang berasal dari harta pribadi suami atau isteri. Jika uang pembeli barang secara murni berasal dari harta pribadi, barang yang dibeli tidak termasuk obyek harta bersama. Harta yang seperti ini tetap menjadi milik pribadi suami atau isteri. Hal itu dapat dilihat dalam kaidah yang tertuang dalam putusan Mahkamah Agung tanggal 16 Desember 1975 No. 151K/Sip/1974.[8] dalam putusan ini ternyata harta yang dibeli berasal dari harta pribadi isteri, maka Mahkamah Agung menegaskan Barang-barang yang dituntut bukanlah barang gono gini antara (Suami dan isteri), karena barang-barang tersebut dibeli dari harta bawaan (harta asal) milik istri. Sewaktu perkawinan masih berlangsung isterimenjual harta pribadinya. Dari hasil penjualan harta pribadi (harta bawaan), isteri telah membeli berbagai jenis barang, maka menurut hukum, oleh karena barang-barang yang dibeli berasal dari harta pribadi isteri, harta-harta itu tetap menjadi milik pribadi, sekalipun pembeliannya terjadi selama perkawinan. Dalam kasus yang demikian tetap berlaku asas: Harta isteri tetap menjadi hak milik isteri dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya. Asas ini dalam kompilasi hukum Islam dirumuskan dalam pasal 86 ayat (2). Harta yang dibeli dan dibangun sesudah perceraian yang dibiayai dari harta bersama Patokan berikut untuk menentukan suatu barang termasuk obyek harta bersama, ditentukan oleh asal-usul uang biaya pembelian atau pembangunan barang yang bersangkutan, meskipun barang itu dibeli atau dibangun sesudah terjadi perceraian. Misalnya suami isteri selama perkawinan berlangsung mempunyai harta dan uang simpanan dikuasi oleh suami, dan belum dilakukan pembagian. Dari uang simpanan tersebut suami membeli atau membangun rumah. Dalam kasus seperti ini, rumah yang dibeli atau dibangun suami sesudah terjadi perceraian, namun jika uang pembeli atau biaya pembangunan yang demikian tetap termasuk ke dalam obyek harta bersama. Praktek dan penerapan yang demikian sejalan dengan jiwa

putusan Mahkamah Agung tanggal 5 Mei 1970 No. 803K/Sip/ 1970. Yakni apa saja yang dibeli, jika uang pembeliannya berasal dari harta bersama. Penerapan yang seperti ini harus dipegang secara teguh untuk menghindari manipulasi dan itikad buruk suami atau isteri. Karena penerapan yang seperti ini, hukum tetap dapat menjangkau harta bersama sekalipun harta itu telah berubah menjadi barang lain. Sekalipun harta bersama yang semula berupa tanah atau kebun telah diubah dan ditukar suami atau isteri menjadi gedung atau uang, maka barang tersebut tetap melekat secara mutlak wujud harta bersama. Sekiranya hukum tidak mampu menjangkau hal yang seperti itu, akan banyak terjadi manipulasi harta bersama, sesaat sesudah terjadinya perceraian, dengan pengharapan agar dia dapat menguasai seluruh harta bersama. Tindakan dan itikad yang seperti ini bertentangan dengan hukum dan kepatutan. Maka untuk mengatasinya, asas kemutlakan harta bersama harus tetap melekat pada setiap barang dalam jenis dan bentuk apapun asal barang itu berasal dari harta bersama walaupun wujud barang yang baru itu diperoleh atau dibeli sesudah perceraian terjadi. Harta yang dapat dibuktikan diperoleh selama perkawinan Patokan ini sejalan dengan kaidah hukum harta bersama, yakni semua harta yang diperoleh selama perkawinan dengan sendirinya menjadi harta bersama. Namun kita sadar, dalam suatu sengketa perkara harta bersama, tentu tidak semulus dan sesederhana itu. Pada umumnya, pada setiap perkara harta bersama, pihak yang digugat selalu akan mengajukan bantahan bahwa harta yang digugat bukan harta bersama, adalah milik pribadi tergugat. Hak pemilikan tergugat bisa dialihkannya berdasar atas hak pembelian, warisan atau hibah. Apabila tergugat mengajukan dalih yang seperti itu, patokan untuk menentukan apakah sesuatu barang termasuk obyek harta bersama atau tidak, ditentukan oleh kemampuan dan keberhasilan penggugat membuktikan, bahwa harta-harta yang digugat benar-benar diperoleh selama perkawinan berlangsung, dan uang pembeliannya tidak berasal dari uang pribadi. Patokan yang semacam itu tertuang secara jelas dalam putusan Pengadilan Tinggi Medan tanggal 20 November 1975.[9] Pelawan tidak membuktikan bahwa rumah dan tanah terperkara diperoleh sebelum perkawinannya dengan suaminya dan juga malah terbukti bahwa sesuai dengan tanggal izin bangunan, rumah tersebut dibangun di masa perkawinan dengan suaminya, dengan demikian dapat disimpulkan rumah dan tanah terperkara adalah harta bersama antara suami dan isteri sekalipun tanah dan rumah terdaftar atas nama isteri.

Putusan ini dalam tingkah Kasasi dikuatkan oleh Mahkamah Agung (30 Juli 1974 No. 808.K/Sip/1974). Dalam putusan ini telah ditentukan oleh masalah atas nama siapa harta terdaftar bukan faktor yang menggugurkan keabsahan suatu harta menjadi obyek harta bersama. Asal harta yang bersangkutan dapat dibuktikan diperoleh selama perkawinan serta pembiayaannya berasal dari harta bersama, maka harta tersebut termasuk obyek harta bersama. Malahan bukan hanya apabila suatu harta terdaftar atas nama isteri atau suami, tetapi suatu harta yang didaftar atas nama adik suami atau isteri, tetap dianggap sebagai harta bersama asal dapat dibuktikan bahwa harta itu diperoleh selama perkawinan. Hal ini dapat diambil dalam putusan Pengadilan Tinggi Medan tanggal 30 Desember 1971 No.389/1971, putusan mana dikuatkan Mahkamah Agung dalam tingkat Kasasi tanggal 23 Mei 1973 No. 1031.K/Sip/1972. Dalam putusan ini Pengadilan Tinggi Medan mempertimbangkan sekalipun toko dan barang-barang yang ada di dalamnya telah diusahai dan dialihnamakan atas nama adik suami, tetapi akan terbukti bahwa toko tersebut dibeli sewaktu perkawinan dengan isteri, maka harta tersebut sekalipun sudah dipindahkan kepada orang lain harus dinyatakan harta bersama yang diperhitungkan pembagiannya di antara suami isteri dengan adanya perceraian di antara mereka. Penghasilan Harta Bersama dan Harta Bawaan Penghasilan yang tumbuh dari harta bersama, sudah logis akan jatuh menambah jumlah harta bersama. Tumbuhnya pun berasal dari harta bersama, sudah semestinya hasil tersebut menjadi harta bersama. Akan tetapi bukan hanya yang tumbuh dari harta bersama yang jatuh menjadi obyek harta bersama di antara suami isteri, juga termasuk penghasilan yang tumbuh dari harta pribadi suami isteri, akan jatuh menjadi obyek harta bersama. Dengan demikian fungsi harta pribadi dalam perkawinan, ikut menopang dan meningkatkan kesejahteraan keluarga. Sekalipun hak dan pemilikan harta pribadi mutlak berada di bawah kekuasaan pemiliknya. Namun harta pribadi tidak terlepas fungsinya dari kepentingan keluarga. Barang pokoknya memang tidak boleh diganggu gugat, tetapi hasil yang tumbuh daripadanya, jatuh menjadi obyek harta bersama. Ketentuan ini berlaku sepanjang suami isteri tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Jika dalam perjanjian perkawinan tidak diatur mengenai hasil yang timbul dari harta pribadi, maka seluruh hasil yang diperoleh dari harta pribadi suami isteri jatuh menjadi obyek harta bersama. Misalnya rumah yang dibeli dari hasil harta pribadi bukan jatuh menjadi harta pribadi tapi jatuh menjadi harta bersama. Oleh karena itu, harus dibedakan harta yang dibeli dari hasil penjualan harta pribadi dengan harta yang diperoleh dari hasil yang timbul dari harta pribadi. Dalam hal harta dibeli dari hasil penjualan

harta pribadi tetapi secara mutlak menjadi harta pribadi. Untuk itu, lihat kembali penegasan Putusan Mahkamah Agung tanggal 16 Desember 1975 No. 151K/Sip/1974 (Barang yang dituntut bukanlah gono-gini antara Abdullah dan Fatimah karena barang-barang tersebut dibeli dari harta-harta bawaan milik Fatimah). Begitupun milik pribadi yang ditukar dengan barang lain tetap mutlak jatuh menjadi milik pribari, namun hasil yang timbul dari harta pribadi jatuh menjadi harta bersama.[10] Segala Penghasilan Pribadi Suami Isteri Menurut putusan Mahkamah Agung tanggal 11 Maret 1971 No. 454 K/Sip/1970.[11] Segala penghasilan pribadi suami isteri baik dari keuntungan yang diperoleh dari perdagangan masing-masing ataupun hasil perolehan masing-masing pribadi sebagai penguasai jatuh menjadi harta bersama suami isteri. Jadi, sepanjang mengenai penghasilan pribadi suami isteri tidak terjadi pemisahan. Malahan dengan sendirinya terjadi penggabungan ke dalam harta bersama. Penggabungan hasil pribadi dengan sendirinya terjadi menurut hukum sepanjang suami isteri tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.

BAB III PEMBAHASAN HARTA PERKAWINAN 1. Harta Bersama Dalam Perundangan Di dalam KUH Perdata ( BW ) tentang Harta Bersama menurut Undang undang dan pengurusanya, diatur dalam Bab VI pasal 119 138, yang terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama tentang Harta Bersama Menurut Undang undang ( pasal 119-123), Bagian kedua tentang pengurusan Harta Bersama pasal ( 124 125 ) dan bagian ketiga tentang pembubaran gabungan Harta Bersama dan hak untuk melepaskan diri dari padanya ( pasal 126138 ). Menurut KUH Perdata sejak dilangsungkanya perkawinan, maka menurut hukum terjadi harta bersama menyeluruh antara suami isteri, sejauh hal itu tidak diadakan ketentuan ketentuan dalam perjanjian perkawinan. Harta bersama itu selama perkawinan berjalan tidak boleh ditiadakan atau dirubah dengan suatu persetujuan suami - istri ( pasal 119 ). Berkenaan dengan soal keuntungan, maka harta bersama itu meliputi barang barang bergerak dan barang barang tidak bergerak suami isteri itu, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, juga barang barang yang mereka peroleh secara Cuma Cuma, kecuali bila dalam hal terakhir ini yang mewariskan atau yang menghibahkan menentukan kebalikanya dengan tegas ( pasal 120 ). Menurut UU No. 1 Tahun 1974 bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Sedangkan harta bawaan dari suami istri masing masing baik sebagai hadiah atau warisan berada di bawah penguasaan masing masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain ( pasal 35 ayat 1-2 ). Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. Sedangkan harta bawaan masing masing suami isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya ( pasal 36 ayat 1-2 ) Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama di atur menurut hukumnya masing masing. Yang di maksud dengan hukumnya masing masing ialah hukum agama, hukum adat dan hukum hukum hukum lainnya.. Dengan demikian UU nO. 1- 1974 lebih mendekati hukum adat dan hukum lain dan menjauhi hukum perdata Eropah yang jauh

berbeda dari hukum indonesia. Hal mana tidak berarti bahwa Hukum perkawinan nasional kita telah menerima hukum adat yang menyangkut harta perkawinan. Memang ia mungkin sesuai bagi keluarga /rumah tangga yang bersifat parental, tetapi tidak sesuai dengan keluarga / rumah tangga yang bersifat patrilineal maupun matrilinial. Oleh karenanya di dalam undang undang dipakai kaidah sepanjang para pihak tidak menentukan lain atau kaidah diatur menurut hukumnya masing masing . 2. Harta Perkawinan Dalam Hukum Adat Menurut Hukum Adat harta perkawinan itu terdiri dari: - Harta Bawaan ( Lampung: sesan; jawa: gawaan; Batak: ragiragi ) - Harta Pencaharian ( Minangkabau: Harta Suarang; Jawa: ganagini; Lampung: massow besesak ) dan - Harta peninggalan ( Harta Pusaka, Harta warisan ) dapat di tambahkan pula dengan - Harta pemberian ( Hadiah, Hidah dll ). Kedudukan harta perkawinan tersebut tergantung pada bentuk perkawinan yang terjadi, hukum adat setempat dan keadaan masyarakat adat bersangkutan, apakah masyarakat itu masih kuat mempertahankan garis keturunan patrilineal, matrilinial atau parental / bilateral, ataukah berpegang teguh pada hukum agama, ataukah sudah maju dan mengikuti perkembangan zaman. Pada umumnya masyarakat yang bersifat Patrilinial, karena masih mempertahankan garis keturunan pria, maka bentuk perkawinan yang kebanyakan berlaku adalah bentuk perkawinan dengan pembayaran jujur ( kecuali masyarakat bali yang tidak memakai uang jujur dan harta bawaan dari kerabat ), di mana setelah perkawinan istri masuk dalam kekerabatan suami dan pantang cerai. Pada golongan masyrakat patrilinial ini pada dasarnya tidak ada pemisahan harta bersama dan harta bawaan ( hadiah / warisan ). Kesemua harta yang masuk dalam ikatan perkawinan menjadi harta bersama atau harta persatuan yang di kuasai oleh suami sabagai kepala keluarga/ rumah tangga. Semua perbuatan hukum yang menyangkut harta perkawinan harus diketahuai dan disetujui oleh suami, istri tidak boleh bertindak sendiri atas harta bawaanya tanpa persetujuan suami. Malahan diantara harta bersama atau harta bawaan yang bernilai adat segala sesuatunya bukan hanya suami yang menguasai tetapi juga termasuk kerabat bersangkutan. Dalam masyarakat yang mempertahankan garis keturunan wanita ( matrilinial ), perkawinan yang banyak berlaku adalah dalam bentuk perkawinan semenda ( tanpa pembayaran uang jujur )

dimana setelah terjadi perkawinan suami masuk ke kerabatan isteri atau tunduk pada penguasaan pihak isteri. Pada golongan matrilinial antpat terpisah dari harta pencaharian ( harta bersama ) dapat terpisah dari harta bawaan isteri dan harta bawaan suami , termasuk juga harta hadiah atau warisan yang di bawa mamsing masing ke dalam perkawinan. Denga demikian harta yang dikuasai bersama harta bersama (b harta pencaharian ) sedangkan hartalainya tetap di kuasai ileh suami/istri masing . Jika terjadi perceraian, maka yang menjadi masalah perselisihan Adalah mengenai harta pencaharian/harta bersama sedangkan harta lainya seperti harta bawaan tidak menjadi masalah perselisihan, kecuali apabila harta bawaan itu terlibat bercampur ke dalam harta bersama. Dalam masyarakat yang berdasarkan keorangtuaan atau parental yang hanya terikat pada hubungan keluarga serumah tangga dibawah pimpinan ayah dan ibu dan tidak terikat dengan kekerabatan yang luas,maka perkawinan yang banyak terjadi adlah dalam bentuk perkawinan bebas atau perkawinan mandiri dimana kedudukan suami istri setelah perkawinan seimbang sama dan bebas menentukan kediaman sendiri,maka harta perkawinannya mendekati apa yang diatur dalam UU No.1 /1974 yaitu adanya harta bersama yang dikuasai oleh suami istri bersama dan adanya harta bawaan yang tetap dikuasai dan dimilikik masing2 suami dan istri kecuali ditentukan dengan ketentuan yang lain. 3.HARTA PERKAWINAN DALAM HUKUM AGAMA ISLAM Tidak disetiap negeri Islam terjadi sengketa pembagian harta bersama antara suami istri.Sengketa seperti ini hanya mungkin terjadi dalam masyarakat dimana disitu terdapat harta bersama,adanya apa yang disebut harta bersama dalam sebuah rumah tangga pada mulanya didasarkan atas urf atau adat istiadat sebuah negri yang tidak memisahkan antara hak milik suami istri.Harta pencarian suami selama dalam perkawinan adalah harta suami,bukan dianggap harta istri.Istri berkewajiban memelihara harta suami yang berada dalam rumah. Harta hasil pencarian milik suami adalah hak milik suami,dan sebaliknya penghasilan istri adalah hak milik istri.Kelemahannya jika istri sama sekali tidak berpenghasilan,berarti istri tidak punya harta,dan jika suami meninggal dunia istri hanya mendapat pembagian harta warisan dari harta peninggalan suami.Istri dalam hal ini tidak mendapat pembagian harta bersama.Jika salah seorang meninggal dunia maka yang menjadi persoalan hanyalah tentang pembagian harta warisan.Demikian juga tidak terjadi permasalahan jika terjadi perceraian,karena tidak ada apa yang

disebut dengan harta bersama ,maka jika terjadi perceraian masalah yang berhubungan dengan harta yang menjadi persoalan adalah apakah istri berhak menerima nafkah selama masa iddah.adat istiadati seperti ini masih terdapat sampai hari ini disebagian dunia islam. Harta bawaan dari suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing2 sebagai hadiah atau warisan,adalah dibawah penguasaan masing2 sepanajang kedua belah pihak tidak menetukan lain ( pasal 35 1- 7 ) Mengenai harta bersama,selama tidak da perjanjian perkawinan maka suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.Mengenai harta bawaan masing2 suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya ( Pasal 36 1-2 ) Apabila perkawinan putus karena perceraian sepanjang tidak ada perjanjian perkawinan maka harta bersama diatur menurut ketentuan sebagai berikut: a. Demi kelangsungan hdup dan pendidikan anak2nya,yang tidak tahu akibat perceraian orang tuanya, anak2 mereka janganlah dijadikan korban yang tidak bersalah dengan adanya perceraian tersebut,maka dalam hal ini perlu diperhatikan benar2,bahwa anak2 pun memepunyai hak atas harta benda bersama tadi. b. Harta bersama selama didapat dalam perkawinan dibagi menurut ketentuan 1/3 untuk suami,1/3 untuk istri ,1/3 untuk anaknya c. Selama anak2 masih dibawah umur dan harat benda milik anak2 nya itu diserahkan kepad wali ( salah satu dari oarang tuanya ayah atau ibu )

BAB IV PENUTUP A. KESIMPULAN

1. Hukum Islam tidak mengatur tentang harta bersama dan harta bawaan ke dalam ikatan perkawinan yang ada hanya menerangkan tentang adanya hak milik pria atau weanita serta mas kawin ketika perkawinan berlangsung. Didalam AlQuran sebagaiman di singgung Hazairin 1975:30 .Bagi pria ada bagian daripada apa yang mereka usahan dan bagi para wanita ada bagian dari apa yang mereka usahakan. 2. Dalam hubungan dengan perkawinan ayat tersebut dapat dipahami bahwa ada kemungkinan dalam suatu perkwinan akan ada harta bawaan dari istri yang terpisah dari harta suami dan masing masing suami dan istri menguasai dan memiliki hartanya sendiri sendiri. Sedangkan Harta bersama ( harta pencarian ) milik bersama suami istri tidak ada, dan harta bawaan istri itu kemudian bertambah dengan mas kawin yang di terimanya dari suaminya ketika berlangsungnya perkawinan atau masih merupakan hutang jika belum dipenuhi suami ketika perkawinan itu. 3. Kewajiaban suami adalah memberi nafkah lahir bathin kepada istri dan membahagiakan istri tidak menyusahkan istri, bukan sebaliknya namun demikian tidak berarti suami istri tidak saling membantu dalam membangun keluarga / rumah tangga asal saja segala sesuatunya dilakukan dengan baik dengan musyawarah satu sama lain. Di dalam Al- Quran dikatakan di katakan : ..Dan orang orang yang menerima seruan Tuhanya dan mendirikan sholat, sedang urusan mereka dengan musyawarah antara mereka; dan mereka nafkahkan sebagian dari rizky yang kami berikan kepada mereka. ( Q 42-38 ). 4. Dengan demikian berdasarkan ayat tersebut maka walaupun urusan rumah tangga adalah kewajiban semata mata suami, tentunya dalam keadaan sulit dalam kehidupan sehari hari, untuk sandang ,pangan, untuk pendidikan anak, hendaknya dibatasi bersama dengan musyawarah mufakat dengan istri dan anggota keluarga. Isteri yang baik iman dan taqwanya kepada Allah SWT tidak akan keberatan harta miliknya digunakan untuk kepentingan bersama. Hanya suami harus menyadari bahwa urusan rumah tangga itu adalah tanggung jawabnya bukan tanggung jawab istrinya. 5. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa harta adalah ibarat pedang bermata dua bisa berfungsi menghubungkan silatuhrahmi dan bisa juga memutus silatuhrami DAFTAR PUSTAKA

Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Bulan Bintang, Jakarta, 2004, hal. 156. Soemiyati, 2003. Hukum Perkawinan Islam dan Undangundang Perkawinan (Undang-undang No. 1 Th. 1974 tentang Perkawinan, Liberty, Yogyakarta, hal. 103. Ibid., hal. 128. Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, BPFH UII, Yogyakarta, 1995, hal. Rahmat Hakim, op.cit., h. 159 M. Yahya Harahap, op.cit., h. 302 Departemen Agama RI, Al-Quran dan op.cit., h. 946 Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam (Suatu Analisis dari Undang- Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam)(Cet. IV; Jakarta: Bumi Aksara. 2002), h. 163 Amiur Nuruddin, Azhari Kamal Taringan, op.cit., h. 219 C.X.T. Kansil, Cristine St Kansil, Modul Hukum Perdata (Termasuk Asas-asas Hukum Perdata), Jilid I (Cet. IV; Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2004), h. h. 108-109 Yurisprudensi Jawa Barat 1969-1972, h. 31 Rangkuman Yurisprudensi MARI, II. h. 80. Lihat Mahkamah Agung, 30 Juli 1974, No. 808K/Sip/1974 Lihat Yurisprudensi Jawa Barat 1969-1972, h. 32 M. Yahya Harahap, op.cit., h. 306 Soleman Kete, SH, MHum. Materi Kuliah Hukum Perdata.2011 Siti Ramlah Usman, SH, MHum. Sari Kuliah Hukum Islam.2011 ABDURRAHMAN,S.H. Himpunan Peraturan Perundangundangan tentang perkawinan, edisi pertama, Akademika Pressindo CV Jakarta.

TUGAS HUKUM ISLAM

OLEH KELOMPOK IV NURUL KUMTIANAWATI 10310105 2. FEDDY TOELLE 10310127 3. DOMINGGUS LIMA 10310126 4. GEOVANI UMBU DELO : 5. BERHANSEN NABEN 09310179 6. ATRION O. LOA 10310124 7. SIKTUS T. SERAN 10310125 8.IDRIS E. SELY :1.

: : : 10310128 : : : 10310129

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS KRISTEN ARTHA WACANA

KUPANG 2011