jaminan perspektif hkm islam.odt

Download JAMINAN PERSPEKTIF HKM ISLAM.odt

If you can't read please download the document

Upload: ana-galang

Post on 14-Aug-2015

278 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

PENERAPAN HUKUM JAMINAN DALAM PEMBIAYAAN DI PERBANKAN SYARIAH

A. Pendahuluan

Sebagai dari

lembaga

intermediary

keuangan, bank syariah memiliki kegiatan utama berupa penghimpunan dana masyarakat melalui simpanan dalam bentuk giro, tabungan, dan deposito yang menggunakan prinsip wadiah yand dlamanah (titipan), dan mudharabah (investasi bagi hasil). Kemudian menyalurkan kembali dana tersebut kepada masyarakat umum dalam berbagai bentuk skim , seperti skim jual beli/al-bai (murabahah, salam, dan istishna), sewa (ijarah), dan bagi hasil (musyarakah dan mudharabah), serta produk pelengkap, yakni fee based service,seperti hiwalah qard (utang bank).[1] (alih piutang), Dalam utang wakalah hal piutang), (perwakilan, ini rahn agency), kafalah (gadai), (garansi masyarakat

menyerahkan dananya pada bank syariah pada dasarnya tanpa jaminan yang bersifat kebendaan dan semata-mata hanya dilandasai oleh kepercayaan bahwa pada waktunya dana tersebut akan kembali ditambah dengan sejumlah keuntungan (return). Oleh karena itu, untuk menjaga kepercayaan masyarakat tersebut, bank harus melaksanakan prinsip kehati-hatian (prudential).

Berdasarkan

prinsip

tersebut, bank syariah menerapkan sistem analisis yang ketat dalam penyaluran dananya melalui pembiayaan, di antaranya dengan mempersyaratkan adanya jaminan[2] skim mudharabah. bagi pihak nasabah yang hendak mengajukan pembiayaan, termasuk pembiayaan yang menggunakan

Permasalahan nota benenya jaminan merupakan akad

yang

muncul

adalah bolehkah perbankan mengenakan jaminan untuk akad mudharabah yang kepercayaan hukum (amanah)?, Islam bagaimana serta konsep dan

menurut

aplikasinya di perbankan syariah?

Tulisan berikut akan mencoba membahas beberapa persoalan di atas dengan sistematika pembahasan yang meliputi; konsep jaminan dalam hukum Islam, urgensi jaminan dalam produk pembiayaan syariah, jaminan dalam pembiayaan mudharabah, dan pengikatan jaminan dalam perspektif hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia.

B. Pembahasan

1. Konsep Jaminan Dalam Hukum Islam

Secara umum jaminan dalam hukum Islam (fiqh) dibagi menjadi dua; jaminan yang berupa orang (personal guarancy) dan jaminan yang berupa harta benda. Yang pertama sering dikenal dengan istilah dlaman atau kafalah. Sedangkan yang kedua dikenal dengan istilah rahn. Oleh karena itu, pembahasan berikut akan mengulas kedua macam istilah tersebut menurut hukum Islam.

a. Kafalah

Kafalah menurut etimologi berarti al-dhamanah, hamalah , dan zaaamah, ketiga istilah tersebut memilki arti yang sama, yakni menjamin atau menanggung.[3]. Sedangkan menurut terminologi Kafalah adalah Jaminan yang diberikan oleh kafiil (penanggung) kepada pihak ketiga atas kewajiban/prestasi yang harus ditunaikan

pihak kedua (tertanggung).

Kafalah diisyaratkan oleh Allah SWT. pada Al-Quran Surat Yusuf ayat 72; Penyeru itu berseru, Kami kehilangan piala raja dan barang siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh makanan (seberat) beban unta dan aku menjamin terhadapnya dan juga hadis Nabi saw; Pinjaman hendaklah dikembalikan dan yang menjamin hendaklah membayar (H.R. Abu Dawud).

Kafalah dinilai sah menurut hukum Islam kalau memenuhi rukun dan syarat yaitu: ,

1. Kafiil membelanjakan harta (mahjur) dan dilakukan dengan kehendaknya sendiri. 2. Makful oleh orang yang menjamin, ridha (menerima), dan ada ketika terjadinya akad menjaminan. 3. Makful menjamin, dan masih hidup (belum mati). 4. Madmun bih anhu (orang yang berutang/ yang dijamin), disyaratkan diketahui oleh yang lah (orang yang berpiutang/berhak menerima jaminan), syaratnya ialah diketahui ( orang yang menjamin), disyaratkan sudah baligh, berakal, tidak dicegah

atau makful bih (hutang/kewajiban yang dijamin), disyaratkan; merupakan hutang/prestasi yang harus dibayar atau dipenuhi, menjadi tanggungannya ( makful anhu), dan bisa diserahkan oleh penjamin (kafiil). 5. Lafadz ijab qabul, disyaratkan keadaan lafadz itu berarti menjamin, tidak digantungkan kepada seauatu dan tidak berarti sementara.[4] Kafalah dibagi menjadi dua bagian, yaitu kafalah dengan jiwa (kafalah bi al-nafs) dan kafalah dengan harta (kafalah bi al-maal). Kafalah dengan yang jiwa ia dikenal pula dengan Kafalah bi al-Wajhi, yaitu adanya kesediaan pihak penjamin (al-Kafil, al-Dhamin atau al-Zaim) untuk menghadirkan orang tanggung kepada yang ia janjikan tanggungan (Makful lah).

Kafalah yang kedua ialah kafalah harta, yaitu kewajiban yang mesti ditunaikan oleh dhamin atau kafil dengan pembayaran (pemenuhan) berupa harta. Kafalah harta ada tiga kedua, kafalah dengan penyerahan benda, yaitu kewajiban menyerahkan benda-benda tertentu yang ada di tangan orang lain, seperti mengembalikan barang yang di-ghashab dan menyerahkan barang jualan kepada pembeli, ketiga, kafalah dengan aib, maksudnya adalah jaminan bahwa jika barang yang dijual ternyata mengandung cacat, karena waktu yang terlalu lama atau karena hal-hal lainnya, maka penjamin (pembawa barang) bersedia memberi jaminan kepada penjual untuk memenuhi kepentingan pembeli (mengganti barang yang cacat tersebut). macam, yaitu: pertama, kafalah bi al-Dayn, yaitu kewajiban membayar hutang yang menjadi beban orang lain,

b. Rahn.

Secara

etimologi,

kata

ar-rahn

berarti

tetap,

kekal,

dan

jaminan.

Akad

ar-rahn

dalam

istilah

hukum

positif

disebut dengan barang jaminan/agunan.

Sedangkan mengikat. [5]

menurut

istilah

ar-rahn

adalah Harta yang dijadikan pemiliknya sebagai jaminan utang yang bersifat

Berdasarkan dimana

definisi

yang

berasal

dari

ulama

madzhab Maliki tersebut, obyek jaminan dapat berbentuk materi, atau manfaat, keduanya merupakan harta menurut jumhur ulama. Benda yang dijadikan barang jaminan (agunan) tidak harus diserahkan secara aktual, tetapi boleh juga penyerahannya secara hukum, seperti menjadikan sawah sebagai jaminan (agunan), sehingga yang diserahkan adalah surat jaminannya (sertifikat sawah).[6]

Berbeda Syafi'iyah Menjadikan berutang itu. [7]

dengan dan

definisi materi

di

atas, (barang)

menurut

ulama adalah: sebagai utangnya

Hanabilah,

ar-rahn

jaminan utang, yang dapat dijadikan pembayar utang apabila orang yang tida k bisa membayar

Definisi

ini

mengandung

pengertian

bahwa

barang

yang boleh dijadikan jaminan (agunan) utang itu hanya yang bersifat materi; tidak termasuk manfaat sebagaimana yang dikemukakan ulama madzhab Maliki. Barang jaminan itu boleh dijual apabila utang tidak dapat dilunasi dalam waktu yang kedua belah pihak. disepakati

Para ulama fiqh mengemukakan bahwa akad ar-rahn dibolehkan dalam Islam berdasarkan al-Qur'an dan sunnah Rasul.[8] Dalam surat al-Baqarah, 2: 283:

Rahn

dinilai

sah

menurut

hukum Islam, apabila telah memenuhi rukun dan syarat sebagai berikut:

a. cakap

Syarat

yang

terkait bertindak

dengan

orang hukum.

yang

berakad

adalah

Kecakapan ulama

bertindak hukum, menurut jumhur ulama adalah orang yang telah baligh dan berakal. cukup berakal akad ar-rahn yang dilakukan anak kecil yang sudah mumayyiz ini mendapatkan persetujuan dari walinya. saja. Oleh sebab itu menurut mereka anak kecil yang mumayyiz boleh melakukan akad rahn, dengan syarat Sedangkan menurut Hanafiyah, kedua belah pihak yang berakad tidak disyaratkan baligh tetapi

b.

Syarat

shigat

(lafal).

Ulama

Hanafiyah

mengatakan

dalam akad itu ar-rahn tidak dikaitkan dengan syarat tertentu atau dikaitkan dengan masa yang akan datang karena ar-rahn sama dengan akad jual beli. Apabila sedangkan utang belum terbayar, maka ar-rahn itu diperpanjang satu bulan; atau pemberi utang mensyaratkan harta agunan itu boleh ia manfaatkan. Syafiiyah itu, maka syarat itu diperbolehkan, tetapi apabila syarat itu bertentangan dengan tabiat agunan boleh dimanfaatkan), termasuk syarat yang tidak sesuai dengan tabiat ar-rahn, karenanya syarat itu dinyatakan batal. Syarat yang dibolehkan itu, misalnya, untuk sahnya ar-rahn itu, pihak pemberi utang minta agar akad itu disaksikan oleh dua orang saksi. Sedangkan akad ar-rahn maka syaratnya batal. Kedua syarat dalam contoh di atas (perpanjangan ar-rahn satu bulan dan dan Ulama Malikiyah, Hanabilah akad akadnya itu dibarengi sah. dengan Misalnya syarat orang tertentu atau dikaitkan dengan masa yang akan datang, maka syaratnya batal, yang berutang mensyaratkan apabila tenggang waktu utang telah habis dan

mengatakan apabila syarat itu adalah syarat yang mendukung kelancaran akad

syarat

yang

batal,

misalnya,

disyaratkan bahwa agunan itu tidak boleh dijual ketika ar-rahn itu jatuh tempo dan orang yang berutang tidak mampu membayarnya.

c. boleh

Syarat

al-marhum

bihi

(utang)

adalah:

(1)

merupakan

hak yang wajib dikembalikan kepada orang tempat berutang. (2) Utang itu dilunasi dengan agunan itu. (3) Utang itu jelas dan tertentu.

d. boleh

Syarat

al-marhun

(barang

yang

dijadikan

agunan), menurut para pakar fiqh, adalah: (1) barang jaminan (agunan) itu dijual dan nilainya seimbang dengan utang, (2) barang jaminan itu bernilai dan dapat dimanfaatkan, (3) barang jaminan itu jelas dan tertentu, (4) agunan itu milik sah orang yang berutang, (5) barang jaminan itu tidak terkait dengan hak orang lain, (6) barang jaminan itu merupakan harta yang utuh, tidak bertebaran dalam beberapa tempat, dan (7) barang jaminan itu boleh diserahkan baik materinya maupun manfaatnya. [9]

Di sepakat

samping

syarat-syarat

di

atas,

para

ulama

fiqh itu

menyatakan

bahwa

ar-rahn

baru dianggap sempurna apabila barang yang dirahn-kan itu secara hukum sudah berada di tangan pemberi utang, dan uang yang dibutuhkan telah diterima peminjam uang. Apabila barang jaminan itu berupa benda tidak bergerak, seperti rumah dan tanah, cukup surat jaminan tanah atau surat-surat rumah itu yang dipegang oleh pemberi utang. Syarat yang terakhir (kesempurnaan ar-rahn) oleh para sebagai surat al-Baqarah, qabdh 2: 283 menyatakan ulama al-marhun " fa rihanun disebut (barang magbudhah"

jaminan dikuasai secara hukum). Syarat ini menjadi penting karena Allah dalam (barang jaminan itu dikuasai [secara hukum]).

Apabila barang jaminan itu telah dikuasai oleh pemberi utang, maka akad ar-rahn bersifat

mengikat

bagi

kedua

belah

pihak.

Oleh

sebab

itu, utang itu terkait dengan barang jaminan, sehingga apabila utang tidak dapat dilunasi, barang jaminan dapat dijual dan utang dibayar. Apabila dalam penjualan barang jaminan itu ada kelebihan, maka wajib dikembalikan kepada pemiliknya.[10]

Dari atas,

uraian jelas

tentang bahwa

kedua

konsep

jaminan jaminan

di di

eksistensi

akui dalam hukum Islam. Untuk jaminan yang diberikan oleh pihak lain atas kewajiban/prestasi yang harus dilaksanakan oleh pihak yang dijamin (debitur) kepada pihak yang berhak menerima pemenuhan kewajiban/prestasi (kreditur) disebut dengan kafalah. Sedangkan jaminan yang terkait dengan benda/harta yang harus diberikan debitur (orang yang berhutang) kepada kreditur (orang yang berpiutang) disebut dengan rahn.

Sebagai (kebendaan), kebendaan mendahului yang

perbandingan, dan jaminan

dalam imateriil

sistem (perorangan, dalam

yang

berlaku

di

Indonesia jaminan digolongkan menjadi 2 macam, yaitu jaminan materiil borgtocht). arti Jaminan hak di mempunyai ciri-ciri kebendaan memberikan

atas benda-benda tertentu dan mempunyai sifat melekat dan mengikuti benda bersangkutan. Sedangkan jaminan perorangan tidak memberikan hak mendahului atas benda-benda tertentu, tetapi hanya dijamin oleh harta kekayaan seorang lewat orang yang menjamin pemenuhan perikatan yang bersangkutan.[11]

2. Urgensi Jaminan Dalam Produk Pembiayaan Syariah

Berbeda dengan perbankan konvensional yang dalam penyaluran dananya menggunakan skim kredit, di perbankan syariah penyaluran dana menggunakan skim pembiayaan. Pembiayaan adakalanya dengan mengambil keuntungan berdasarkan margin keuntungan (profit margin) , seperti dalam akad jual beli murabahah, salam, istishna dan ijarah, juga dikenal pembiayaan yang menggunakan prinsip bagi hasil, yaitu melalui akad musyarakah dan mudharabah. Kedua akad pembiayaan ini dilihat dari ciri hasnya sangat berbeda sekali dengan akad yang lain. Di antara perbedaan menonjol adalah bahwa bank syariah dalam penyaluran dananya kepada nasabah penerima pembiayaan tidak dapat dipastikan memperoleh keuntungan tertentu (modal pembiayaan ditambah return) sebagaimana dalam skim pembiayaan yang mengambil keuntungan berdasarkan margin keuntungan. Akan tetapi, justru pihak bank sangat memungkinkan mengalami kerugian bila usaha nasabahnya mengalami kegagalan atau kebangkurutan, inilah konsekwensi dari skim pembiayaan dengan prinsip bagi hasil (profit and loss sharing). Namun, sebaliknya bila usaha nasabah berhasil maka akan memperoleh bagi hasil yang mungkin lebih besar bila dibandingkan penyaluran dana melalui skim pembiayaan berdasarkan margin keuntungan, ini karena di antara kedua pihak (bank dan nasabah) telah ada kesepakatan bagi hasilnya, yang biasanya berkisar 30%:70%, 40%:60%, atau 50%:50%.

Atas dasar tingkat spekulasi yang tinggi dalam skim pembiayaan, maka umumnya bank syariah sangat berhati-hati dalam melakukan penyaluran dana melalui skim ini. Apalagi kalau mengingat bahwa bank syariah sebagaimana bank konvensional merupakan lembaga intemediary keuangan. Di mana dana yang dikelola oleh bank sebagian besar merupakan dana pihak ketika (nasabah kreditur) baik yang berupa dana tabungan (titipan/wadiah) maupun dana investasi yang berupa deposito (mudharabah atau musyarakah). Dan sebagaimana lazimnya bahwa

dana nasabah tersebut sewaktu-waktu atau dalam jangka waktu tertentu akan diambil kembali oleh nasabah dengan tambahan keuntungan baik yang berupa bagi hasil (bila berupa dana investasi) atau bonus (bila berupa dana titipan).

Sebagai wujud sikap kehati-hatian bank dalam melakukan penyaluran dananya melalui skim pembiayaan melalui bagi hasil ini, sebelum memberikan kredit atau pembiayaan, bank syariah harus melakukan penilaian yang seksama terhadap kemampuan, perkreditan of Economy). modal, (Character, Capital, agunan, Capacity, dan Collateral dan usaha dari Nasabah Debitur. watak, prospek Condition

Kelima unsur tersebut yang sering disebut 5C

Memang (nasabah

secara

teoritis

bahwa

yang

terpenting

pertama-pertama adalah karakter dari nasabah calon penerima pembiayaan debitur), karena jika karakternya baik, sekalipun kondisi yang lainnya buruk, nasabah debitur akan tetap berusaha serius dan dengan jujur melaporkan hasil usahanya dengan mengembalikan dana pembiayaan yang disertai bagi hasilnya. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa pada kenyataannya jaminan sangat menentukan tingkat keamanan pembiayaan yang disalurkan oleh bank. Di samping itu, Keberadaan agunan menjadi sangat penting, dan hal ini berhubungan dengan filosofi dasar dari dana bank sebagaimana disinggung di atas, yaitu bahwa dana bank adalah dana nasabah, dana masyarakat, yang oleh karenanya harus dilindungi dan digunakan secara sangat hati-hati.

Atas

dasar

beberapa

pertimbangan di atas, maka pengajuan pembaiayaan di bank syariah yang menggunakan skim musyarakah ataupun mudhrabah dikenakan kewajiban memberikan anggunan. Padahal secara teoritis, pengenaan kewajiban memberikan anggunan

kepada

nasabah

debitur

untuk

skim/akad

musyarakah

dan

mudharabah

bertentangan dengan prinsip dasar kedua akad tersebut, yang dalam hukum Islam dikenal dengan akad kepercayaan (amanah). Pembahasan tentang status akad amanah dalam skim pembiayaan terutama melalui akad mudharabah di perbankan syariah akan dibahas dalam sub bab berikutnya.

Kenyataan masih menyimpan persoalan menunjukkan

di status

atas, hukumnya dari sisi

meskipun hukum Islam,

bahwa jaminan mutlak diperlukan untuk memberikan kepastian bahwa dana tersebut dapat dikembalikan, atau setidaknya bank tidak akan mengalami kerugian yang terlalu besar, jika misalnya ternyata hanya dapat mengeksekusi agunan atau jaminan yang telah diberikan, karena debitur bertindak semaunya atau asal-asalan dalam menjalankan usaha bisnisnya.

Dalam rangka melaksanakan

hukum sistem kehati-hatian

positif (prudential)

Indonesia yang harus antara

terdapat berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur jaminan dalam dilakukan oleh indutri perbankan, termasuk perbankan syariah. perundang-undangan tersebut Peraturan

lain dapat dilihat dalam ketentuan-ketentuan UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang telah diubah dengan UU No. 10 tahun 1998, peraturan perundang-undangan Bank Indonesia dan KUH Perdata. Berikut akan disebutkan beberapa pasal perundang-undangan di atas yang terkait dengan urgensitas jaminan di perbankan:

a.

Dalam

UU

No.

10

tahun

1998

terdapat

pada

pasal

pasal

8

dan penjelasanya pasal 8 ayat (1) serta pasal 12 A ayat (1) berikut ini:

...Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, Bank umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atau itikad baik

dan kemampuan serta kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan (pasal 8 ayat (1))

Kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah yang diberikan bank mengandung resiko, sehingga dalam peleksanaannya bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan atau pembiayaan berdarkan prinsip syariah yang sehat. Untuk mengurangi resiko tersebut, jaminan pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dalam arti keyakinan atas kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan merupakan faktor penting yang harus diperhatikan bank. Untuk memperoleh keyakinan tersebut, sebelum memberikan kredit, bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha dari Nasabah Debitur. Mengingat bahwa agunan sebagai salah satu unsur pemberian kredit, maka apabila berdasarkan unsurunsur lain telah dapat diperoleh keyakinan atas kemampuan Nasabah Debitur mengembalikan utangnya, agunan dapat hanya berupa barang, proyek atau hak tagih yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan. Tanah........(penjelasan pasal 8 ayat (1))

Bank Umum dapat membeli sebagian atau seluruh agunan, baik melalui pelelangan maupun di luar pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik agunan atau berdasarkan kuasa untuk menjual di luar lelang dari pemilik agunan dalam Nasabah Debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada bank, dengan ketentuan agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan secepatnya.(Pasal 12 A ayat (1))

b. Dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 5/7/PBI/2003 tentang kaualitas Aktiva Produktif Bagi Bank Syariah pasal 2 (ayat 1) dan penjelasannya, dan pada PAPSI (Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia) tahun 2003 Bank Indonesia:

Penanaman dana Bank Syariah pada Aktiva Produktif wajib dilaksanakan berdasarkan prinsip kehati-hatian. (Pasal 2 (ayat 1))

Yang dimaksud dengan prinsip kehati-hatian dalam penanaman dana yaitu penanaman dana dilakukan antara lain berdasarkan: 1) .Analisis kelayakan usaha dengan memperhatikan sekurang-kurangnya faktor 5C (Character, Capital, Capacity, Condition ofeconomy & Collateral); 2). Penilaian terhadap aspek prospek usaha, kondisi keuangan dan kemampuan membayar. (Penjelasan Pasal 2).

Pada prinsipnya dalam pembiaayaan mudharabah tidak dipersyaratkan adanya jaminan, namun agar tidak terjadi moral hazard berupa penyimpangan oleh pengelola dana, pemilik dana dapat meminta jaminan dari pengelola dana atau pihak ketiga. Jaminan ini hanya dapat dicairkan apabila pengelola dana terbukti melakukan pelanggaran terhadap hal-hal yang telah disepakati bersama dalam akad (PAPSI 2003, h. 58)

c. Dalam KUH Perdata pasal 1131 dan pasal 1132 berikut ini:

Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada

maupun yang baru ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan. (pasal 1131)

Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya; pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi bagi menurut keseimbangan yaitu menurut besar-kecilnya piutang masing-masing kecuali apabila di antara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan. (pasal 1132)

3. Jaminan Dalam Pembiayaan Mudharabah

Mudharabah adalah kesepakatan antara pemilik modal (shahibul maal) untuk menyertakan modalnya keuntungan yang diperoleh menjadi milik bersama dan dibagi menurut kesepakatan bersama. [12] kepada pekerja (pengusaha) untuk diinvestasikan, sedangkan

Dalam pemilik dana atau (shahibul maal) dan

konteks

perbankan,

pembiayaan mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara bank sebagai nasabah sebagai pengelola dana (mudharib)

untuk melakukan kegiatan usaha dengan nisbah pembagian hasil (keuntungan kerugian, profit and loss sharing) menurut kesepakatan dimuka.

Dalam pembiayaan mudharabah hubungan antara pihak bank dengan dengan pihak nasabah pengelola dana di dasarkan pada prinsip kepercayaan (amanah), maksudnya

pengelola dana (mudharib) dipercaya untuk mengelola modal mudharabah, dia tidak dikenakan ganti rugi (dhaman) atas kerusakan, kemusnahan, atau kerugian yang menimpanya selama tidak disebabkan atas kelalaian, kecerobohan, atau tindakannya yang melanggar syarat dalam perjanjian.[13] Karena kepercayaan merupakan prinsip terpenting dalam transaksi pembiayaan mudharabah, maka mudharabah dalam istilah bahasa inggris disebut trust financing atau trust investment. Prinsip inilah yang membedakan pembiayaan yang menggunakan akad mudharabah dengan akad-akad lainnya.

Atas dasar prinsip tidak di atas, pihak pemilik jaminan modal apapun (shahibul dari mal) pada untuk prinsipnya dapat menuntut mudharib

mengembalikan modal atau modal dengan keuntungan. Jika pihak shahibul mal mempersyaratkan pemberian jaminan dari nasabah pengelola (mudharib) dan menyatakan hal ini dalam syarat kontrak, maka kontrak mudharabah tersebut menurut karena mayoritas bertentangan [14] ulama (jumhur ulama) dasar tidak akad sah (ghair shahih) dalam dengan prinsip amanah

mudharabah.

Meskipun dalam

fiqih

tidak

mengizinkan pemilik modal/investor untuk menuntut jaminan dari mudharib, kenyataannya, bank-bank Islam umumnya benar-benar meminta beragam bentuk jaminan, baik dari mudharib sendiri maupun dari pihak ketiga. Namun mereka menegaskan kinerja mudharib International mempersyaratkan bank. Demikian sesuai Islamic Bank for bagi juga, dengan Investment syarat-syarat and Development, pemohon salah satu kontrak. misalnya, pendanaan klausul bahwa jaminan tidak dibuat untuk memastikan kembalinya modal, tetapi untuk memastikan bahwa

mudharabah untuk menyatakan jenis jaminan yang dapat mereka berikan kepada dalam kontrak mudharabah pada Faisal Islamic Bank of Egypt dinyatakan bahwajika terbukti bahwa mudharib menyalahgunakan atau tidak sungguh-

sungguh melindungi barang-barang atau dana-dana, atau bertindak bertentangan dengan syarat-syarat investor, maka mudharib harus menanggung kerugian, dan harus memberikan jaminan sebagai pengganti kerugian semacam ini.[15] Di Indonesia, sebagaimana yang telah di uraikan di atas, praktek pengenaan jaminan untuk pembiayaan mudharabah sah adanya baik berdasarkan UU No. 10 tahun 1998 tentang perbankan maupun menurut peraturan Bank Indonesia. Bahkan Majelis Ulama melalui lembaga Dewan Syariah Nasional (DSN) juga membolehkan praktek jaminan tersebut.[16]

Berangkat fiqh

dari

fenomina

di

atas, dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan antara konsep mudharabah dalam klasik, dengan aplikasinya di perbankan syariah, di antaranya mengenai persoalan jaminan yang harus diberikan mudharib kepada pihak shahibul mal dalam hal ini bank syariah.

Menyikapi Abu

persoalan

ini,

para ahli hukum Islam kontemprer, di antaranya adalah Muhammad Abdul Munim Zaid dalam bukunya Nahwa Tathwiri Nidhami al-Mudharabah fi al-Masharif al-Islamiyah,[17] dan sangat penting keberadaannya atas dasar 2 (dua) alasan berikut ini: pertama, pada ini tradisional konteks mudharabah yang (mudharabah perbankan dilakukan tsunaiyah) berbeda hanya yang syariah dengan melibatkan dua saat mudharabah pihak menyatakan bahwa jaminan untuk pembiayaan mudharabah dalam praktek perbankan syariah diperbolehkan

shahibul maal dan mudharib, di mana keduanya sudah saling bertemu secara langung (mubasyarah) dan mengenal satu dengan lainnya. Sementara praktek mudharabah di perbankan syariah saat ini, Bank berfungsi sebagai lembaga intermediari memudharabahkan dana shahibul mal yang jumlahnya banyak kepada mudharib

lain, dan shahibul maal yang jumlahnya banyak tersebut tidak bertemu langsung dengan mudharib sehingga mereka tidak bisa mengetahui dengan pasti kredibilitas dan di kapabilitas antaranya mudharib. dengan Oleh karena itu, untuk menjaga kepercayaan penerima kedua, komitmen yang dengan hal Zaid dalam nilai-nilai kepercayaan (trust) Munim dan Abdul Abu akhlak kejujuran. Berkaitan dari nasabah investor, bank syariah harus menerapkan asas prudential, mengenakan jaminan kepada nasabah pembiayaan. situasi dan kondisi masyarakat saat ini telah berubah dalam hal terhadap luhur, ini, seperti

karyanya yang lain Al-Dhaman fi al-Fiqh al-Islamyjuga menyatakan bahwa faktor terbesar yang menjadi hambatan perkembangan Perbankan Syariah, khususnya dalam bidang investasi adalah rendahnya moralitas para nasabah penerima dana pembiayaan dalam hal kejujuran (al-shidq) dan memegang amanah (al-amanah).[18] Oleh sebab itu, larangan jaminan dalam mudharabah karena bertentangan dengan prinsip dasarnya yang bersifat amanah bisa berubah karena adanya perubahan kondisi obyektif masyarakat dalam bidang moralitas. sesuai dengan kaidah al hukmu yaduru maa illat wujudan wa adaman. Artinya: Keberadaan hukum ditentukan oleh ada atau tidaknya illat (alasan). Jika illat berubah maka akibat hukumnya pun berubah.

Namun demikian, meskipun jaminan dalam mudharabah dalam praktek perbankan saat ini diperbolehkan, tetapi disyaratkan bahwa jaminan tersebut harus didasarkan pada tujuan menjaga agar tidak terjadi moral hazard berupa penyimpangan oleh pengelola dana (taqshir al-amiil), bukan bertujuan mengembalikan modal bank atau sebagai ganti rugi (dhaman) setiap kerugian atas kegagalan usaha mudharib secara mutlak.[19] Oleh karena itu, jaminan hanya dapat dicairkan apabila pengelola dana terbukti melakukan pelanggaran (taaddi), kelalaian (taqshir), atau menyalahi kesepakatan yang telah ditentukan (mukhalafatu al syurut).[20] Di samping itu, kewajiban adanya jaminan dalam mudharabah tidak harus dibebankan kepada mudharib tetapi bank dapat meminta jaminan kepada pihak ketiga yang akan menjamin mudharib bila melakukan kesalahan.[21] Dalam konsep fiqh jaminan oleh pihak ketiga dikenal dengan akad kafalah sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya.

4.

Pengikatan

Jaminan/Agunan

Menurut

Peraturan

Perundang-Undangan Di Indonesia dan Hukum Islam

a. Pengikatan Jaminan/Agunan Dalam Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia

Dalam praktek perkreditan atau pembiayaan, keberadaan agunan sebagai jaminan tambahan ternyata menjadi hal yang lebih diutamakan oleh bank dibandingkan dengan sekedar jaminan berupa keyakinan bahwa debitur akan mampu mengembalikan kredit atau pembiayaan yang diterimanya. Di samping itu, untuk lebih meyakinkan bahwa agunan yang diberikan akan mampu menjamin pengembalian kredit atau pembiayaan bila terjadi wanprestasi, maka agunan yang diserahkan oleh debitur harus dilakukan pengikatan.[22]

Pengikatan jaminan/agunan merupakan perjanjian accessoir (perjanjian buntut atau perjanjian turutan), sedangkan perjanjian pokoknya dalam konteks perbankan berupa pemberian kredit atau pembiayaan. Oleh karena itu, berdasarkan doktrin hukum maka perjanjian accessoir dibuat berdasarkan suatu perjanjian pokok. Bila perjanjian pokok hapus maka perjanjian accessoir juga harus dihapuskan. Sehubungan dengan itu, perjanjian kredit atau pembiayaan adalah perjanjian pokok dan perjanjian pengikatan jaminan/agunan adalah perjanjian accessoir. Dengan demikian untuk pengamanan pemberian kredit atau pembiayaan seharusnya setelah perjanjian ditandatangani segera dilakukan perjanjian pengikatan jaminan kredit atau pembiayaan.[23]

Mengenai

pengikatan

jaminan

kredit atau pembiayaan dapat diikuti berbagai ketentuan hukum yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang lembaga jaminan dalam kaitannya dengan suatu utang-piutang.

Di Indonesia setelah Tahun 1996, yakni sejak lahirnya UU. No. 4 Tahun 1996 tentang tanggungan atas tanah dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah, pengikatan jaminan (anggunan) kredit atau pembiayaan di bank melalui lembaga jaminan dapat dilakukan melalui gadai, hipotik, hak tanggungan, dan fidusia.[24] Adapun uraian singkat mengenai masing-masing bentuk lembaga jaminan adalah sebagai berikut:

1. Gadai

Lembaga jaminan yang disebut Gadai diatur oleh ketentuan pasal 1150 sampai dengna pasal 1160 KUH Perdata. Gadai merupakan lembaga jaminan yang digunakan untuk mengikat jaminan utang yang berupa barang-barang bergerak antara lain berupa barang-barang perhiasan (misalnya kalung emas dan gelang emas), surat berharga dan surat yang mempunyai harga (misalnya saham dan sertifikat deposito), mesin-mesin yang tidak terpasang secara tetap di tanah atau bangunan (misalnya genset), dan sebagainya.

Pengikatan jaminan melalui Gadai memberikan jaminan kebendaan kepada krediturnya sebagai pemegang Gadai, artinya kreditur mempunyai hak menagih pelunasan piutangnya atas benda yang diikat dengan Gadai tersebut.

Pengikatan jaminan melalui Gadai memberikan hak didahulukan atau hak preferen kepada kreditur sebagai pemegang Gadai, artinya kreditur tersebut akan memperoleh pembayaran didahulukan atas

piutangnya dari hasil pencairan (penjualan) benda yang diikat dengna Gadai dibandingkan dengan kreditur-kreditur lainnya.[25]

2.

Hipotik

Lembaga Hipotik pada saat ini hanya digunakan untuk mengikat jaminan utang yang berupa kapal laut berukuran bobot 20 m3 atau lebih sesuai dengan ketentuan pasal 314 KUH Dagang dan UU No.21 tahun 1992 tentang Pelayaran, dengan mengacu antara lain kepada ketentuan Hipotik yang tercantum dalam KUH Perdata.

Pengikatan kapal laut melalui Hipotik memberikan kepastian hukum bagi kreditur sesuai dengan dibuatnya akta dan sertifikat Hipotik yang dalam praktek pelaksanaannya adalah berupa Akta Hipotik berdasarkan perjanjian pinjaman dan Akta Kuasa Memasang Hipotik. [26]

3. Hak Tanggungan

Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan Pemberiannya kepada kreditur merupakan tertentu terhadap ikutan kreditur-kreditur dari lain. perjanjian

pokok yaitu perjanjian yang menimbulkan hubungan hukum hutang piutang yang dijamin pelunasannya.[27]

4. Fidusia

Semula bentuk jaminan ini tidaklah diatur dalam perundang-undangan melainkan berkembang atas dasar yurisprudensi, di Indonesia baru diatur dalam

undang-undang

pada

tahun

1999

dengan

lahirnya Undang-undang Nomor 42 tahun 1999 tentang jaminan Fidusia.

Fidusia merupakan pengembangan dari lembaga Gadai, oleh karena itu yang menjadi objek jaminannya yaitu barang bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan. Berdasarkan ketentuan umum dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 42 tahun 1999 tersebut, Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.[28]

b. Pengikatan Jaminan/Agunan Menurut Hukum Islam

Konsep tentang pengikatan agunan dalam hukum Islam (fiqh) terdapat dalam pembahasan tentang rahn yang merupakan bentuk jaminan kebendaan dalam hukum Islam sebagaimana yang telah diuraikan di atas. Hal yang menarik yang perlu mendapat penekanan kembali tentang persoalan rahn dalam kaitannya dengan pengikatan agunan adalah beberapa persoalan berikut ini; pertama, merupakan piutang?, obyek rahn akad kedua, (al-qabdh, possession) yang bolehkah tidak dalam bentuk apakah akad rahn bersifat penguasaan penguasaan

accessoir (ikutan, tambahan) atau akad yang terpisah dengan akad utang

fisik tetapi berupa bukti surat? Dan Ketiga, apa saja akibat hukum yang lahir dari akad rahn?

Sebagaimana yang diuraikan sebelumnya, pengertian rahn adalah menjadikan barang/materi sebagai jaminan utang, yang dapat dijadikan pembayar utang

apabila

orang

yang

berutang

tidak

bisa

membayar

utangnya

itu.

Dari pengertian ini jelas bahwa rahn sangat terkait dengan akad hutang piutang. Akan tetapi, berkaitan dengan apakah rahn merupakan akad pokok atau akad accessoir (tambahan, ikutan), hal ini dapat diketahui dari proses kelahiran akad ini.

Para akad dengan harga lahir saya yang yang

ulama

fiqh

membagi kewajiban

proses (al-dain),

terjadinya seperti

akad penjual

rahn yang

menjadi tiga bentuk; pertama, akad rahn yang terjadi bersamaan dengan melahirkan mensyaratkan penyerahan rahn (jaminan/gadai) terhadap pembelian barang ditunda (muajjal). Kedua, akad rahn yang terjadi sebelum

setelah akad hutang piutang yang memerlukan jaminan. Ketiga, akad rahn yang akad yang melahirkan kewajiban (pembayaran hutang), seperti perkataan seorang jaminkan/gadaikan emas ini kepadamu, dan berikan kepadaku hutang 1 (satu) juta rupiah..!!. Dari ketiga bentuk akad tersebut dua yang pertama disepakati oleh para ulama, sedangkan yang terakhir hanya diperbolehkan menurut madzhab Maliki dan Hanafi. Sedangkan menurut Madzhab Syafii dan Hambali Akad rahn yang mendahului akad hutang piutang tersebut tidak sah karena menurut mereka rahn merupakan akad yang mengikuti kewajiban (al-rahn taabiun lilhaqqi).[29] Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan perjanjian pengikatan jaminan yang merupakan perjanjian acessoir, yakni perjanjian yang lahir setelah perjanjian utang piutang menurut hukum Islam diperbolehkan, bahkan disepakati oleh para ulama (ittifaq al-madzhahib). Hal ini sesuai dengan bentuk kedua dari proses terjadinya akad rahn yang lahir setelah akad utang piutang yang melahirkan kewajiban pembayaran.

Sementara

berkaitan

pengikatan

jaminan

yanng

melalui

lembaga jaminan seperti hak tanggungan, fiducia, dan hipotik yang dalam proses penjaminanya hanya melalui bukti surat atau akta/sertifikat kepemilikan barang yang dijaminkan, misalnya dalam bentuk sertifikat tanah, sertifikat hipotik, dan surat kepemilikan mobil (BPKB), maka persoalan ini sangat terkait dengan

perbedaan ulama fiqh tentang maksud penguasaan (al-qabdh, possession) obyek (barang yang digadaikan) yang menjadi syarat rahn. Mayoritas ulama (madzhab Hanafi, yang memberikan hak kebendaan kepada krediturnya. Sementara itu, Madzhab Maliki, penguasaan obyek menurut rahn Syafii dan Hanabilah) memaknai al-qabdh sebagai penguasaan barang secara fisik, ini hampir sama dengan konsep gadai dalam KUH Perdata

tersebut tidak harus dalam bentuk penguasaan fisik barang tetapi segala sarana yang bisa menggantikan kedudukannya dapat dijadikan sebagai jaminan atas hutang, seperti sertifikat tanah, sertifikat hipotik dan bentuk-bentuk surat tanda kepemilikan barang lainnya.[30] Dari kedua pendapat tersebut, pendapat kedua tampaknya lebih relevan untuk saat ini atas dasar pertimbangan efektifitas dan efisiensi proses penjaminan. Apalagi, menurut Wahbah Zuhaili, maksud keharusan penguasaan obyek rahn tersebut bukan semata-mata aturan syariah yang bersifat harus diterima apa adanya, taken for granted (taabbudy), tetapi tujuannya adalah untuk menjamin kreditur yang menerima barang jaminan agar merasa tenang dan percaya piutangnya akan dikembalikan. Oleh karena itu, jika melalui bukti surat atau sertifikat kepemilikan ketenangan maka sah hukumnya.[31] barang jaminan telah mampu menjamin kepercayaan dan kreditur

Selanjutnya, jaminan wajib (kreditur)

akibat antara lain;

hukum 1). 4).

yang

timbul hutang dengan

setelah obyek atau

sempurnanya akad rahn dengan diserahkannya barang jaminan kepeda penerima terkaitnya Kreditur jaminan secara utuh, 2). Kreditur berhak menahan obyek jaminan, 3). Kreditur menjaga obyek jaminan, dilarang menggunakan memanfaatkan obyek jaminan , 5). Kreditur berhak menuntut obyek jaminan dijual bila hutangnya tidak mampu dibayar, 6). Kreditur wajib mengembalikan obyek jaminan lain.[32] setelah hutang debitur telah dilunasi. al-imtiyaz, preferen) 7). Kreditur memiliki hak dari kreditur-kreditur didahulukan (haqqu

Dari

uraian

tentang

beberapa

akibat

hukum

yang

muncul

setelah sempunanya akad rahn tersebut, terdapat banyak kesamaan antara konsep

pengikatan jaminan melalui lembaga jaminan dalam sistem perundang-undangan di Indonesia dengan konsep rahn. Oleh karena itu, bagi lembaga keungan syariah, seperti perbankan syariah atau gadai syariah yang ada di Indonesia, yang menerapkan sistem pengikatan jaminan dalam pemberian kredit atau pembiayaan kepada nasabahnya, tentu saja dapat menerapkan sistem jaminan yang saat ini telah ada dan berlaku di negara ini. Wallahu alam bi shawwab.

C. KesimpulanDari uraian tentang penerapan hukum jaminan dalam pembiayaan di perbankan syariah di atas, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:

1. Konsep jaminan dalam hukum Islam di kenal dengan dua istilah, yaitu kafalah dan rahn. Untuk jaminan yang diberikan oleh pihak lain atas yang kewajiban/prestasi yang harus dilaksanakan oleh pihak yang dijamin (debitur) kepada kafalah. Sedangkan jaminan yang terkait dengan benda/harta yang harus diberikan debitur (orang yang berhutang) kepada kreditur (orang yang berpiutang) disebut dengan rahn. pihak berhak menerima pemenuhan kewajiban/prestasi (kreditur) disebut dengan

2. Keberadaan sangat penting mengingat bank merupakan lembaga intermediary yang menerima jaminan dalam produk pembiayaan di perbankan syariah sebagaimana perbankan konvensional

amanat financial dari para nasabahnya . Dalam kaitan ini jaminan merupakan wujud daei kehati-hatian (prudential) bank dalam mengelola dana dari para nasabahnya.

3. Jaminan dalam pembiayaan yang menggunakan skim mudharabah menurut kesepakatan para ulama klasik adalah dilarang dan menyebabkan tidak sahnya akad karena bertentangan dengan prinsip amanah yang mendasari akad ini. Akan tetapi, sebagian ulama kontemporer dan berdasarkan aplikasi diperbankan syariah saat ini, jaminan dalam pembiayaan mudharabah diperbolehkan tetapi bukan dimaksudkan untuk memastikan kembalinya modal, melainkan untuk memastikan bahwa kinerja mudharib sesuai dengan syarat-syarat kontrak dan untuk menjaga agar tidak terjadi moral hazard berupa penyimpangan oleh pengelola dana (taqshir apabila al-amiil). pengelola Oleh dana karena itu, jaminan melakukan hanya dapat dicairkan (taaddi), terbukti pelanggaran

kelalaian (taqshir), atau menyalahi kesepakatan yang telah ditentukan (mukhalafatu al syurut)

4. Pengikatan diatur dalam sistem perundang-undangan di Indonesia.Pengikatan jaminan dapat dilakukan melalui lembaga jaminan seperti gadai, hipotik, hak tanggungan, dan fiducia. Dalam hukum Islam konsep tentang pengikatan jaminan dikenal denga istilah rahn. tidak bertentangan dengan hukum Islam. Walaupun dalam beberapa hal pada internal Secara umum, ketentuan yang terdapat dalam pengikatan jaminan dalam sistem hukum di Indonesia jaminan untuk meyakinkan kreditur akan kembalinya kredit atau pembiayaan yang disalurkan kepada nasabah telah

madzhab hukum Islam terdapat perbedaan pendapat dalam beberapa persoalan.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Saeed, Islamic Banking and Interest: a Study of Riba And Its Contemporary Interpretation, Arif maftuhin (penerjemah), Menyoal Bank Syariah, Jakarta: Paramadina, 2004, Cet. 2

Ibn Rusyd, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid, Indonesia: Dar al-Ihya, t.t, jilid. II

Ibnu 'Abidin, Radd al-Muhktar ala ad-Durr al-Mukhtar, Beirut: Dar al-Fikr, 1963, Jilid V, As Sarakhsi, al Mabsut, Beirut: Dar al Fikr, tt., Jilid XXI

Ibnu Qudamah, al-Mughni, Riyadh: Matabah al-Haditsah, t.th , Jilid IV

Ichwan Syam dkk, Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional, Jakarta: DSN-MUI dan BI, 2003

Ad-Dardir,Syarh al-Shagir bi Syarh ash-Shawi, Mesir : Dar al-Fikr, 1978, Jilid III

Imam al-Kasani, Badai al-Shanai fi Tartib al-Syarai, Kairo: t.pn, 1969, Jilid VI

M. Bahsan, Penilaian Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, Jakarta: CV. Rejeki agung, 2002

Muhammad Abdul Munim Abu Zaid, Al-Dhaman fi al-Fiqh al-Islamy wa Tathbiqatuhu fi al-Masharif al-Islamiyah, Mesir: al-Mahad al-Alamy li al-Fikr al-Islamy, 1996

Muhammad Abdul Munim Abu Zaid, Nahwa Tathwiri Nidhami al-Mudharabah fi al-Masharif al-Islamiyah, , Mesir: al-Mahad al-Alamy li al-Fikr al-Islamy, 2000

Muhammad Jumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditiya Bakti, 2000

Jual-Beli Kredit Dalam Pandangan Hukum Islam Jual Beli Kredit (sell or buy on credit/installment) dalam bahasa Arabnya disebut Bai bit Taqsth yang pengertiannya menurut istilah syariah, ialah: menjual sesuatu dengan pembayaran yang diangsur dengan cicilan tertentu, pada waktu tertentu, dan lebih mahal daripada pembayaran kontan/tunai.

(Syarh Majallah al-Ahkm, no 157, vol III/110, Majallah asy-Syariah wad Dirsah Al-Islmiyyah, Fak Syariah, Kuwait University, edisi VII, Syaban 1407, hal. 140, Al-Maurid, hal. 354, Lisanul Arab, vol VII/377-378) Jumhur ulama membolehkan praktik jual beli kredit (bai bit taqsth) tanpa bunga, di antaranya adalah Imam Al-Khaththabi dalam Syarh Mukhtashar Khall (IV/375), Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmah Fataw (XXIX/498-500), Imam Syaukani dalam Nailul Authr (V/249-250), Ibnu Qudamah dalam Al-Mughn, dengan menukil pendapat Thawus, Hakam dan Hammad yang membolehkannya (IV/259). Demikian pula ulama mutaakhkhirin, seperti Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullh dalam majalah al-Iqtishd al-Islmiy, I/42 no. 11 th. 1402H di mana beliau mengatakan: Saya pernah ditanya tentang hukum jual-beli sekarung gula pasir dan sebagainya, yang dicicil sampai pada waktu yang telah ditentukan dengan ketentuan harga yang lebih tinggi daripada kontan. Maka saya jawab, muamalah ini sah. Sebab jual-beli kontan berbeda dengan jual-beli kredit, sementara seluruh umat Islam mengamalkan muamalah ini. Jadi, mereka telah sepakat atas bolehnya jual-beli ini. Syekh Abdul Wahhab Khallaf pun, seperti dimuat dalam majalah Liwul Islm, no. 11 hlm. 122, juga memandangnya halal. Fatwa Muktamar pertama Al-Mashraf al-Islmiy di Dubai yang dihadiri oleh 59 ulama internasional, fatwa Direktorat Jenderal Riset, Dakwah dan Ifta serta Komisi Fatwa Kementrian Waqaf dan Urusan Agama Islam Kuwait semua sepakat bahwa tidak ada larangan bagi penjual menentukan harga secara kredit lebih tinggi daipada ketentuan harga kontan. Penjual boleh saja mengambil keuntungan dari penjualan secara kredit dengan ketentuan dan perhitungan yang jelas. (Majallah asy-Syarah, Kuwait, Rajab 1414, hlm.264, Majallah al-Iqtishd al-Islmiy, I/3 th 1402, hlm. 35, Majallah al-Buhts alIslmiyyah, no. 6 Rabi Tsani, 1403H, hlm.270) Dalil syariah dalam membolehkan akad jual-beli kredit (bai bit taqsth) diambil dari dalil-dalil alQuran yang menghalalkan praktik bai (jual-beli) secara umum, di antaranya firman Allah: 4 Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba (QS al-Baqarah/2: 275) Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya (QS al-Baqarah/2 : 282) Namun para ulama ketika membolehkan jual-beli secara kredit dengan ketentuan selama pihak penjual dan pembeli mengikuti kaidah dan syarat-syarat keabsahannya sebagai berikut: 1. Harga barang ditentukan jelas dan pasti diketahui pihak penjual dan pembeli. 2. Pembayaran cicilan disepakati kedua belah pihak dan tempo pembayaran dibatasi sehingga terhindar dari parktik bai gharar, (bisnis penipuan). 3. Harga semula yang sudah disepakati bersama tidak boleh dinaikkan lantaran pelunasannya melebihi waktu yang ditentukan, karena dapat jatuh pada praktik riba. 4. Seorang penjual tidak boleh mengeksploitasi kebutuhan pembeli dengan cara menaikkan harga terlalu tinggi melebihi harga pasar yang berlaku, agar tidak termasuk kategori bai mudhtharr (jual-beli dengan terpaksa) yang dikecam Nabi s.a.w.. Menganai pertanyaan tentang jual-beli mobil secara kredit yang banyak dilakukan orang dengan bunga tertentu, fatwa Direktorat Jenderal Riset, Dakwah dan Ifta menjelaskan bahwa jika dalam jual-beli kredit terdapat kenaikan harga (bunga) lantaran terlambatnya pelunasan dari pihak pembeli, maka menurut ijma ulama tidak sah, karena di dalamnya terkandung unsur riba jahiliyah yang diharamkan

Islam. (Majallah al-Buhts al-Islmiyah, no. 6 Th. 1403, hlm 270) Kalaupun terpaksa harus membeli secara kredit dari penjual barang yang memberlakukan sistem bunga ini, maka pembeli realitasnya harus yakin mampu mencicil dan melunasinya tepat waktu tanpa harus terjerat pembayaran bunga tunggakan, agar terhindar dari laknat Rasulullah s.a.w. karena membayar uang riba. Kartu kredit pada hakikatnya sebagai sarana mempermudah proses jual-beli yang tidak tergantung kepada pembayaran kontan dengan membawa uang tunai yang sangat riskan. Status hukumnya menurut fiqih kontemporer adalah sebagai objek atau media jasa kaflah (jaminan). Perusahaan perbankan dalam hal ini yang mengeluarkan kartu kredit (bukti kaflah) sebagai penjamin (kafl) bagi pengguna kartu kredit tersebut dalam transaksi jual beli. Oleh karena itu berlaku di sini hukum masalah kaflah. Para ulama membolehkan sistem dan praktik kaflah dalam muamalah berdasarkan dalil al-Quran, as-Sunnah dan Ijma. Allah berfirman: dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya. (QS. Yusuf/12: 72) Abdullah ibn Abbas mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kata zam dalam ayat tersebut adalah kafl. Sabda Nabi saw.: Az-Zam Ghrim artinya; orang yang menjamin berarti berutang (sebab jaminan tersebut). (HR. Abu Dawud, at-Tirmudzi, Ibnu Hibban). Ulama sepakat (ijma) tentang bolehnya praktik kaflah karena lazim dibutuhkan dalam muamalah. (Lihat, Subulus Salm, III/62, Al-Mabsuth, XIX/160, Al-Mughni, IV/534, Mughnil Muhtj, II/98). Kaflah pada dasarnya adalah akad tabarru (suka-rela) yang bernilai ibadah bagi penjamin karena termasuk kerjasama dalam kebajikan (tawun alal birri), dan penjamin berhak meminta gantinya kembali kepada terutang, sepantasnyalah ia tidak meminta upah atas jasanya tersebut, agar aman/jauh dari syubhat. Tetpi kalau terutang sendiri yang memberinya sebagai hadiah atau hibah untuk mengungkapkan rasa terima kasihnya, maka sah sah saja. Tetapi jika penjamin sendiri yang mensyaratkan imbalan jasa (semacam uang iuran administrasi kartu kredit dan sebagainya) tersebut dan tidak mau menjamin dengan sukarela, maka dibolehkan bagi pengguna jasa jaminan memenuhi tuntutan tersebut bila diperlukan seperti kebutuhan yang lazim dalam perjalanan studi, bisnis, kegiatan sosial, urusan pribadi dan sebagainya. Tetapi bisnis jasa kartu kredit tersebut boleh selama dalam prakteknya tidak bertransaksi dengan sistem riba yaitu memberlakukan ketentuan bunga bila pelunasan utang kepada penjamin lewat jatuh tempo pembayaran atau menunggak. Disamping itu ketentuan uang jasa kafalah tadi tidak boleh terlalu mahal sehingga memberatkan pihak terutang atau terlalu besar melebihi batas rasional, agar terjaga tujuan asal dari kafalah, yaitu jasa pertolongan berupa jaminan utang kepada merchant, penjual barang atau jasa yang menerima pembayaran dengan kartu kerdit tertentu. (Lihat, Dr. Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh alIslmiy wa Adillatuh, vol. V/130-161) Dengan demikian dibolehkan bagi umat Islam untuk menggunakan jasa kartu kredit (credit card) yang tidak memakai sistem bunga. Namun bila terpaksa atau tuntutan kebutuhan mengharuskannya menggunakan kartu kredit biasa yang memakai ketentuan bunga, maka demi kemudahan transaksi dibolehkan memakai semua kartu kredit dengan keyakinan penuh menurut kondisi finansial dan

ekonominya mampu membayar utang dan komitmen untuk melunasinya tepat waktu sebelum jatuh tempo agar tidak membayar utang. Hal itu berdasarkan prinsip fiqih Saddudz Dzarah, artinya sikap dan tindakan prefentif untuk mencegah dari perbuatan dosa. Sebab, hukum pemakan dan pemberi uang riba adalah sama-sama haram berdasarkan riwayat Ibnu Masud bahwa: . Rasulullah s.a.w. melaknat pemakan harta riba, pembayar riba, saksi transaksi ribawi dan penulisnya. (HR. al-Bukhari, Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah dari Ali ibn Abi Thalib).