makalah fisdas 6 complete

Upload: wiraputra4057

Post on 08-Jul-2015

169 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

FISIKA BINTANG-BINTANGA. Rasional Astronomi merupakan ilmu tertua yang mempelajari alam semesta. Berbeda dengan cabang ilmu lainnya, di astronomi objek yang diamati tidak bisa dipegang karena alam semesta itu sendirilah yang menjadi laboratorium. Hal inilah yang menjadi keunikan astronomi. Salah satu objek yang diamati oleh astronom adalah bintang. Bagi masyarakat awam bintang hanyalah objek yang memancarkan cahaya kelap kelip di malam hari, bertaburan menemani bulan. Namun bagi para astronom, sebuah bintang bisa menceritakan banyak hal. Bukan hanya sekedar penambah suasana romantis. Tapi bagaimana mengamati bintang dan informasi apa yang bisa diperoleh? Darimana informasi itu diperoleh? Bintang merupakan benda langit yang memancarkan cahaya. Terdapat bintang semu dan bintang nyata. Bintang semu adalah bintang yang tidak menghasilkan cahaya sendiri, tetapi memantulkan cahaya yang diterima dari bintang lain. Bintang nyata adalah bintang yang menghasilkan cahaya sendiri. Menurut Ilmu Astronomi definisi bintang adalah semua benda massif(bermassa antara 0,08 hingga 200 massa matahari) yang sedang dan pernah melangsungkan pembangkitan energy melalui reaksi fusi nuklir. Saat mengamati bintang, yang teramati hanyalah sebuah objek kecil yang hampir mirip dengan noktah yang memancarkan cahaya. Lantas apa yang diamati? Cahaya bintang itulah yang diamati oleh para pengamat di bumi, karena cahaya tersebut merupakan pancaran energi dari bintang yang diamati. Dalam pengamatan, digunakan teleskop sebagai alat bantu dan informasi yang diterima biasanya berasal dari pancaran energi pada panjang gelombang tertentu yakni pada panjang gelombang tampak, inframerah dan ultraviolet.

1

B. Jarak Dan Cahaya Bintang1. Jarak dan Paralaksis Bintang

Paralaks adalah perbedaan latar belakang yang tampak ketika sebuah benda yang diam dilihat dari dua tempat yang berbeda (berdasarkan sudut pandang pengamat). Kita bisa mengamati bagaimana paralaks terjadi dengan cara yang sederhana. Acungkan jari telunjuk pada jarak tertentu (misal 30 cm) di depan mata kita. Kemudian amati jari tersebut dengan satu mata saja secara bergantian antara mata kanan dan mata kiri. Jari kita yang diam akan tampak berpindah tempat karena arah pandang dari mata kanan berbeda dengan mata kiri sehingga terjadi perubahan pemandangan latar belakangnya. Perpindahan itulah yang menunjukkan adanya paralaks. Paralaks juga terjadi pada bintang, setidaknya begitulah yang diharapkan oleh pemerhati dunia astronomi ketika model heliosentris dikemukakan pertama kali oleh Aristarchus (310-230 SM). Dalam model heliosentris itu, Bumi bergerak mengelilingi Matahari dalam orbit yang berbentuk lingkaran. Akibatnya, sebuah bintang akan diamati dari tempattempat yang berbeda selama Bumi mengorbit. Dan paralaks akan mencapai nilai maksimum apabila kita mengamati bintang pada dua waktu yang berselang 6 bulan (setengah periode revolusi Bumi). Namun saat itu tidak ada satu orangpun yang dapat mendeteksinya sehingga Bumi dianggap tidak bergerak (karena paralaks dianggap tidak ada). Model heliosentris kemudian ditinggalkan orang dan model geosentrislah yang lebih banyak digunakan untuk menjelaskan perilaku alam semesta. Paralaks baru ditemukan untuk pertama kalinya pada tahun 1837 oleh Friedrich Bessel, seiring dengan teknologi teleskop untuk astronomi yang berkembang pesat sejak Galileo menggunakan teleskopnya untuk mengamati benda langit pada tahun 1609. Bintang yang ia amati adalah 61 Cygni (sebuah bintang di rasi Cygnus/angsa) yang memiliki paralaks 0,29. Ternyata paralaks pada bintang memang ada, namun dengan nilai yang sangat kecil. Hanya keterbatasan instrumenlah yang membuat orang-orang sebelum Bessel tidak mampu mengamatinya. Karena paralaks adalah salah satu bukti untuk model alam semesta heliosentris (yang dipopulerkan kembali oleh Copernicus pada tahun

2

1543), maka penemuan paralaks ini menjadikan model tersebut semakin kuat kedudukannya dibandingkan dengan model geosentris Ptolemy yang banyak dipakai masyarakat sejak tahun 100 SM. Setelah paralaks bintang ditemukan, penghitungan jarak bintang pun dimulai. Lihat ilustrasi di bawah ini untuk memberikan gambaran bagaimana paralaks bintang terjadi. Di posisi A, kita melihat bintang X memiliki latar belakang XA. Sedangkan 6 bulan kemudian, yaitu ketika Bumi berada di posisi B, kita melihat bintang X memiliki latar belakang XB. Setengah dari jarak sudut kedua posisi bintang X itulah yang disebut dengan sudut paralaks. Dari sudut inilah kita bisa hitung jarak bintang asalkan kita mengetahui jarak Bumi-Matahari.

Gambar. 2 Paralaks Bintang Dilihat Dari Orbit Dari geometri segitiga kita ketahui adanya hubungan antara sebuah sudut dan dua buah sisi. Inilah landasan kita dalam menghitung jarak bintang dari sudut paralaks (lihat gambar di bawah). Apabila jarak bintang adalah d, sudut paralaks adalah p, dan jarak Bumi-Matahari adalah 1 SA (Satuan Astronomi = 150 juta kilometer), maka kita dapatkan persamaan sederhana tan p = 1/d atau d = 1/p, karena p adalah sudut yang sangat kecil sehingga, tan p ~ p.

3

Gambar.2 Paralaks Bintang

Jarak d dihitung dalam SA dan sudut p dihitung dalam radian. Apabila kita gunakan detik busur sebagai satuan dari sudut paralaks (p), maka kita akan peroleh d adalah 206265 SA atau 3,09 x 10^13 km. Jarak sebesar ini kemudian didefinisikan sebagai 1 pc (parsec, parsek), yaitu jarak bintang yang mempunyai paralaks 1 detik busur. Pada kenyataannya, paralaks bintang yang paling besar adalah 0,76 yang dimiliki oleh bintang terdekat dari tata surya, yaitu bintang Proxima Centauri di rasi Centaurus yang berjarak 1,31 pc. Sudut sebesar ini akan sama dengan sebuah tongkat sepanjang 1 meter yang diamati dari jarak 270 kilometer. Sementara bintang 61 Cygni memiliki paralaks 0,29 dan jarak 1,36 tahun cahaya (1 tahun cahaya = jarak yang ditempuh cahaya dalam waktu satu tahun = 9,5 trilyun kilometer) atau sama dengan 3,45 pc. Hingga tahun 1980-an, paralaks hanya bisa dideteksi dengan ketelitian 0,01 atau setara dengan jarak maksimum 100 parsek. Jumlah bintangnya pun hanya ratusan buah. Peluncuran satelit Hipparcos pada tahun 1989 kemudian membawa perubahan. Satelit tersebut mampu mengukur paralaks hingga ketelitian 0,001, yang berarti mengukur jarak 100.000 bintang hingga 1000 parsek. Sebuah katalog dibuat untuk mengumpulkan data bintang yang diamati oleh satelit Hipparcos ini. Katalog Hipparcos yang diterbitkan di akhir 1997 itu tentunya membawa pengaruh yang sangat besar terhadap semua bidang astronomi yang bergantung pada ketelitian jarak. Di dalam astronomi, metode yang digunakan dalam penentuan jarak adalah metode paralaks. Paralaks merupakan metode yang digunakan dengan

4

melihat pada pergeseran dua titik tetap relatif satu terhadap yang lain dilihat dari sudut pandang pengamat.a. Paralaks Trigonometri

Penentuan jarak bintang baru berhasil dilakukan pada abad ke-19 dengan menggunakan metode paralaks trigonometri. Akibat dari gerak edar bumi, bintang dekat akan terlihat bergeser terhadap bintang jauh. Dan bintang tersebut seolah bergerak menempuh lintasan ellips relatif terhadap latar belakang bintang yang jauh. Gerak ellips tersebut merupakan pencerminan gerak bumi. Sudut yang dibentuk oleh bumi dan matahari ke bintang inilah yang diebut paralaks bintang. Semakin jauh letak bintang, lintasan ellipsnya makin kecil, paralaksnya juga makin kecil.

Gambar 3. Paralaks Trigonometri

Dengan mengetahui jarak bumi matahari, serta paralaks bintang, jarak bintang bisa diketahui dari hubungan :

Metode paralaks trigonometri hanya bisa digunakan untuk mendapatkan jarak bintang-bintang terdekat (untuk jarak ratusan parsec).b. Paralaks Spektroskopik

Dalam pengamatan, terang suatu bintang diukur dalam satuan magnitudo. Dari pengamatan magnitudo semu bintang serta kelas spektrum bintang juga bisa diketahui. Dengan mendefinisikan magnitudo mutlak bintang sebagai magnitudo bintang yang diandaikan diamati pada jarak yang sama, yaitu 10 parsec. Untuk

5

bintang-bintang jauh, dengan membandingkan kelas spektrum bintang dari hasil pengamatan dengan bintang yang kelas spektrumnya sama dan sudah diketahui jaraknya, magnitudo mutlak bintang bisa diketahui dari hubungan pada temperatur (kelas spektrum dengan M). Selisih magnitudo semu dan magnitudo mutlak akan memberikan harga jarak bintang dari pengamat setelah dikoreksi terhadap serapan antar bintang :

Kondisi tanpa adanya debu akan mempermudah penentuan magnitudo absolut bintang. Untuk bintang dekat, efek debu kecil dan bisa diabaikan.c. Paralaks Rata-rata

Perhitungan jarak bintang dengan paralaks rata-rata dilakukan untuk bintang-bintang yang sangat jauh. Penentuan paraks rata-rata melibatkan sejumlah bintang yang memiliki kelas spektrum dan kelas luminositas yang sama sehingga diharapkan magnitudo mutlak semua bintang dalam gugus akan sama. Untuk menentukan paralaks rata-rata, diamati gerak bintang yang akan memberi informasi jaraknya. Gerak sejati bintang bisa diuraikan dalam 2 komponen yakni komponen komponen

yang searah dengan arah apex-antapex dan

yang tegak lurus arah apex antapex dan tidak terpengaruh gerak

matahari. Bila V x merupakan komponen kecepatan tangensial pada arah maka : V x = 4.74 / p ,

,

yang digunakan adalah harga rata-rata untuk semua

bintang. Paralaks rata-rata sekelompok bintang itu akan memenuhi persamaan : Np = pi dimana pi = 10 0.2 ( M m4 5 ) . Dari pengamatan terhadap p dan mii =1 N

masing-masing bintang, harga magnitudo mutlak bintang kelompok itu bisa ditentukan dari hubungan:M = 5 + 5 log( Np ) 5 log 10i =1 N 0.2 mi

Dari sini harga paralaks masing-masing bintang bisa ditentukan dan jarak bisa diketahui.

6

d. Paralaks Gerak Gugus

Penentuan jarak berdasarkan gerak bintang juga bisa dilakukan dengan mengamati gerak sejati bintang dalam gugus bintang. Untuk gugus yang tidak terlampau jauh, lintasan bintang dalam gugus terlihat memusat pada suatu titik. Titik temu vektor gerak sejati inilah yang disebut titik vertex. Jika A merupakan sudut yang dibentuk oleh gugus bintang dan titik vertex dan V merupakan kecepatan gugus dalam ruang dimana Vr merupakan kecepatan radialnya, maka kecepatan tangensialnya gugus adalah : Vt =V tan A . Dengan mengetahui kecepatan tangensial, jarak bisa diketahui dari hubungan : Vt = 4.74 d , merupakan gerak sejati bintang.

Gambar 4. Paralaks Gerak Gugus e. Paralaks Dinamik

Dalam pengamatan bintang ganda visual, parameter orbit yang dapat ditentukan adalah sudut inklinasi (i), sudut setengah sumbu besar ( ), eksentrisitas orbit (e), periode orbit (P). Hubungan antara sudut setengah sumbu besar ( ) dan setengah sumbu besar

adalah : a = d atau

a = / p dengan

jarak dinyatakan dalam AU sehingga hubungan jarak dan paralaks yang berlaku adalah p=206265/d ; paralaks dalam detik busur. Dari hubungan Hukum Keppler Ketiga didapat :

7

Jika sudut setengah sumbu besar orbit masing-masing bintang adalah dan 2 1 , maka

= + 2 . Dan massa bintang memenuhi : M 1 a1 = M 2 a 2 . 1 dapat ditentukan, dan luminositasnya dapat diketahui :

Pada sistem bintang ganda visual, magnitudo mutlak bolometrik setiap komponen

, dan dari hubungan empirik massa-luminositas: atau Dari hubungan-hubungan ini dapat diketahui jarak bintang jika pada pengamatan bintang ganda visual telah diketahui sebagai berikut :

dengan langkah

Langkah 1 : Pendekatan pertama, anggap massa total Langkah 2 : Tentukan paralaks dari hubungan Langkah 3 : Tentukan magnitudo mutlak bolometrik untuk masing-masing komponen

Langkah 4 : Tentukan massa masing-masing bintang dari hubungan massa-luminositas Langkah 5 : Ulangi langkah 2 Langkah 6 : Ulangi langkah 3 Langkah-langkah ini diulang sampai mendapat beda harga p, M1 dan M2

yang cukup kecil. Jarak bisa didapat dari hubungan paralaks dan jarak : p = 206265/d 2. Terang Bintang Bintang seperti juga matahari adalah benda angkasa yang memancarkan cahaya sendiri. Suatu benda bercahaya yang nampak oleh mata terangnya bergantung pada jarak benda tersebut. Makin jauh jaraknya makin berkurang terangnya. Terang bintang yang tampak oleh pengamat (bumi) adalah merupakan energi dari bintang itu yang diterima oleh pengamat per satuan waktu per satuan luas yang disebut dengan fluks energi yang diyatakan dalam joule/s.m2. Besarnya energi yang dipancarkan oleh suatu bintang ke ruang angkasa per satuan waktu disebut luminositas (I) bintang. Gambar 5.2 memperlihatkan

8

suatu bintang S yang luminositasnya L. berarti bintang memancarkan energy keruang angkasa ke segala arah sebesar L joule per detik (J/s). Pengamat B yang berada pada jarak d dari bintang S juga akan menerima energi yang dipancarkan oleh bintang S ini. Besarnya energi yang diterima oleh pengamat B (bumi) per satuan waktu per satuan luas adalah sebesar E. Dikatakan fluks energi di B adalah E. karena energi yang dipancarkan oleh bintang S telah merambat sejauh d, berarti melalui luas permukaan seluas 4d2. Karena itu besarnya energi yang diterima oleh B per satuan waktu yang sama dengan fluks energi di B adalah E = L/4d2 (5.6)

Terang bintang yang tampak oleh pengamat bergantung pada fluks energy bintang yang sampai di mata pengamat. Bintang tampak terang bila fluks energinya besar dan tampak lemah bila fluks energinya kecil. Dari persamaan (5.6) terlihat bahwa fluks energi ini sebanding dengan luminositas bintang dan berbanding terbalik dengan kuadaran jaraknya dari pengamat. Misalnya, matahari adalah sebenarnya juga sebuah bintang, tetapi karena jaraknya yang sangat dekat dengan bintang lainnya, maka fluks energinya jauh lebih besar sehingga terang matahari adalah merupakan bintang yang terdekat jaraknya ke bumi. Fluks energi matahari yang tiba di bumi adalah 1,95 kalori per cm2 per menit, yang disebut tatapan matahari. Bila tatapan matahari ini kita namakan E maka, E = 1,95 kar per cm2 per menit = 1,37 x 103 j/m2.s Karena jarak bumi matahari telah diketahui d = 1,5 x 1011

m atau sama

dengan 1 SA, maka dengan menggunakan persamaan (5.6) bisa menghitung luminonitas matahari L . L = 4 d2 F = (4) (1,5 x 1011m)2 (1,37 x 103 J/m2.s) = 3,78 x 1025 J.s = 3,9 x 1026 watt = 3,9 x 1020 MW.

9

Ini berarti matahari memancarkan energinya ke ruang angkasa tiap detiknya sebesar 3,9 x 1020 MW. Energi ini sama dengan energi yang dihasilkan oleh semua pembangkit energi buatan manusia di bumi sekarang ini untuk selama tiga juta tahun. Menentukan Jejari Matahari Kebanyakan parameter-parameter bintang dinyatakan dalam satuan SI, tetapi satuan cgs kadang-kadang digunakan (misalnya luminositas dinyatakan dalam satuan erg per detik). Penggunaan satuan cgs lebih bersifat tradisi daripada sebuah konvensi. Seringkali pula massa, luminositas dan jari-jari bintang dinyatakan dalam satuan diketahui parameter-parameter fisisnya. Karena matahari sebagai piringan di bola langit, maka kita bisa menentukan jejarinya dengan mengukur diameter sudut bulatan matahari seperti pada gambar di bawah ini :

R

d

Menentukan jejari matahari dengan mengukur jejari angulernya Dari gambar di atas terlihat bahwa R = d tan , dimana R = jejari matahari D = jarak matahari ke bumi = jejari anguler matahari Dari hasil pengukuran didapat bahwa besarnya jejari anguler matahari = 9600 dan jarak bumi matahari d = 1,5 x 1011 m. Oleh karena itu : R = (1,5 x 1011m) tan 9600 = 6,98 x 108m Dibandingkan dengan jejari bumi R = 6,37 x 106m , berarti : 6,98 x10 8 m = = 109 6,37 x10 6 m

10

Untuk Matahari, parameter-parameter berikut diketahui : Massa Matahari: Luminositas Matahari: Radius Matahari: kg[5] watt[5]

m[6] Skala panjang seperti setengah sumbu besar dari sebuah orbit sistem

bintang ganda seringkali dinyatakan dalam satuan astronomi (AU = astronomical unit), yaitu jarak rata-rata antara Bumi dan Matahari. 3. Magnitudo Bintang Magnitudo adalah suatu sistem skala ukuran kecerlangan bintang. Sistem magnitudo ini dibuat pertama kali oleh Hipparchus pada abad 2 sebelum masehi. Dia membagi terang bintang menjadi 6 kelompok berdasarkan penampakkannya dengan mata telanjang. Bintang yang paling terang diberi magnitudo 1 sedangkan bintang yang paling lemah yang bisa diamati oleh mata telanjang diberi magnitudo 6. Hal yang perlu diperhatikan bahwa semakin terang suatu bintang, semakin kecil magnitudonya. Kelemahan sistem ini adalah tidak adanya suatu standar baku tentang terang bintang dan penentuan skala ini sangat tergantung pada kejelian dan kualitas mata pengamat (karena bersifat kualitatif). Dalam tahun 1830 ilmuwan John Herschel mendapatkan bahwa kepekaan mata dalam menilai terang bintang bersifat logaritmik, dengan rumusan : S = c lag R. Dimana S = intensitas penginderaan, R = stimulus yang menyebabkan dan c = konstanta perbandingan. Bintang yang bermagnitudo 1 ternyata 100 kali lebih terang dibandingkan bintang yang bermagnitudo 6. Berdasarkan fakta ini, terdapat 2 magnitudo, yaitu: 1. Magnitudo Semu Magnitudo semu sebuah bintang adalah kecerahan sebuah bintang yang dilihat oleh pengamat di bumi atau terang bintang yang tampak oleh mata yang diberi simbol M. Hipparchus adalah pengamat bintang-bintang yang sangat terkenal, ia adalah seorang astronom dan matematikawan Yunani purbakala. Ia telah menyusun urutan magnitudo semu bintang-bintang dari skala 1 s/d 6.

11

a. Skala Hipparchus menyatakan bahwa : Tiap perbedaan lima magnitudo sama dengan perbedaan kecerahan Secara seratus umum kali. dapat Bintang-bintang dirumuskan yang bahwa: magnitudonya kecil adalah lebih cerah daripada bintang-bintang yang magnitudonya besar. Tiap perbedaan sebesar a magnitudo sama dengan perbedaan kecerahan kali. Beda magnitudo = beda kecerahan b. Skala Pogson untuk magnitudo (semu) : m - M = -2,5 log (E1/E2) dengan : m = magnitudo (semu) bintang 1 M = magnitudo (semu) bintang 2 E1 = Fluks pancaran yang diterima pengamat dari bintang 1 E2 = Fluks pancaran yang diterima pengamat dari bintang 2 Harga acuan (pembanding standar) skala magnitudo mula-mula digunakan bintang Polaris. Bintang Polaris ditetapkan memiliki magnitudo 2 dan bintang lainnya dibandingkan terhadap bintang Polaris. Bintang Polaris, yang juga bintang kutub langit utara, dipilih karena bintang ini terlihat dari seluruh observatorium yang ada di belahan bumi utara (karena pada masa itu, belahan bumi utara lebih berkembang dan maju secara teknologi). Namun, bintang ini ternyata memiliki kecerlangan yang berubah-ubah (Polaris ternyata adalah sebuah bintang variabel Cepheid) sehingga kecerlangan Polaris tidak bisa digunakan sebagai patokan/standar baku. Karena itu, astronom menentukan bintang - bintang lainnya untuk dijadikan standa Untuk mengukur kecerlangan suatu bintang digunakan alat yang dinamakan fotometer. Prinsip kerjanya adalah dengan memanfaatkan gejala fotolistrik. Efek fotolistrik inilah yang membuat Einstein memperoleh hadiah Nobel (dan bukan karena hukum relativitas). Penerapan efek fotolistrik ini antara lain diterapkan pada sel surya, chip CCD, dll. Cahaya (atau gelombang elektromagnetik lainnya) ketika menyentuh kelompok bahan tertentu akan menyebabkan elektron yang ada di permukaan bahan akan terlepas. Jumlah elektron yang terlepas tergantung dari intensitas radiasi gelombang elektromagnetik yang diterimanya. Jumlah elektron yang dihasilkan ini dapat menghasikan arus listrik yang dapat kita ukur.

12

Dengan prinsip inilah, kita dapat mengukur intensitas cahaya sebuah bintang. Cara terbaik untuk mengukur magnitudo adalah dengan membandingkan kecerlangan suatu bintang dengan bintang standar yang ada di dekatnya. Hal ini disebabkan perbedaan keadaan atmosfer antara kedua bintang (bintang standar dan bintang program/yang diamati) tidaklah besar. Atmosfer Bumi dapat menyerap sebagian cahaya bintang dan besarnya penyerapan tergantung dari ketinggian dan kondisi atmosfer yang dilewati cahaya bintang sebelum sampai ke detektor pengamat. Pada saat ini, sudah banyak bintang standar, baik di langit belahan utara maupun selatan. Magnitudo yang kita bahas di atas merupakan ukuran terang bintang yang kita lihat atau terang semu (ada faktor jarak dan penyerapan yang harus diperhitungkan). Magnitudo yang menyatakan ukuran fluks energi bintang yang kita terima/ukuran terang bintang yang kita lihat/jumlah foton yang kita terima disebut magnitudo semu (apparent magnitude). 2. Magnitudo mutlak Magnitudo mutlak atau magnitudo absolut sebuah bintang adalah magnitudo sesungguhnya yang akan dimiliki oleh sebuah bintang jika bintang diletakkan pada jarak 10 persek (32,6 tahun cahaya ) dari bumi. Persamaan modulus jarak umumnya digunakan dalam menentukan jarak bintang-bintang yang jauh secara tidak langsung (metode indirect). Seperti yang sudah pernah dibahas sebelumnya bahwa metode paralaks trigonometri hanya bisa menentukan jarak secara akurat untuk beberapa bintang dengan jarak kurang dari 500 pc. Untuk bintang yang lebih jauh lagi, perlu digunakan metode-metode tak langsung (indirect). Salah satunya adalah dengan mengukur magnitudo semu bintang lalu memperkirakan magnitudo mutlaknya. Cara memperkirakan magnitudo mutlak ini banyak metode/caranya. Dengan mengetahui magnitudo semu dan perkiraan magnitudo mutlak, maka kita bisa memperkirakan jarak suatu bintang dengan modulus jarak.

13

DATA MAGNITUDO BEBERAPA BINTANG DAN BENDA LANGIT LAINNYA Benda Langit Matahari Bulan Purnama Jupiter Venus Mars Luminositas Relatif Di dalam astronomi, luminositas adalah jumlah cahaya atau energi yang dipancarkan oleh sebuah bintang ke segala arah per satuan waktu. Biasanya satuan luminositas dinyatakan dalam watt (satuan internasional), erg per detik (satuan cgs) atau luminositas matahari. Dengan menganggap bahwa bintang adalah sebuah benda hitam sempurna, maka luminositasnya adalah : Magnitudo -26,8 -12,7 -2,7 -4,4 -2,0 Benda Langit Sirius Aldebaran Betelgeuse Antares Vega Magnitudo -1,5 0,8 0,4 0,98 0,04

dimana L adalah luminositas, adalah tetapan Stefan-Boltzmann, R adalah jarijari bintang dan Te adalah temperatur efektif bintang. Jika jarak bintang dapat diketahui, misalnya dengan menggunakan metodeparalaks, luminositas sebuah bintang dapat ditentukan melalui hubungan :

dengan E adalah fluks pancaran, L adalah luminositas dan d adalah jarak bintang ke pengamat. Kecerlangan intrinsik bintang bisa kita lihat dari pancaran energinya. Semakin besar energi yang dipancarkan, maka bintang tersebut akan semakin terang. Bagi para astronom luminositas didefinisikan sebagai jumlah energi yang dipancarkan bintang setiap detik pada permukaan seluas 1 cm2 kesegala arah. Karena letak bintang yang sangat jauh tentunya tidak mungkin pengamat pergi ke bintang untuk mengetahui berapa jumlah energi yang dipancarkan tersebut. Untuk itu pertama-tama kita harus mengetahui energi total yang diterima pengamat tiap detik pada permukaan seluas 1 cm2. Energi yang diterima pengamat ini bisa didapatkan dari cahaya yang diamati. Sehingga luminositas bisa didapat dari hubungan:

14

E = L/4(pi)d2 Tapi bagaimana dengan jarak ke bintang? Jarak ke bintang bisa diketahui dari hubungan paralaks trigonometri untuk bintang-bintang dekat : d = 1/p Cara lain untuk menentukan jarak bintang-bintang jauh adalah dengan menggunakan hubungan modulus jarak dan kuat cahaya bintang. Pada bintangbintang jauh pengamat bisa mengetahui magnitudo semu bintang saat pengamatan. Sebelumnya kita terlebih dahulu harus mengetahui kelas spektrum bintang yang kita amati, sehingga magnitudo mutlak bintang yakni kuat cahaya yang diandaikan diamati dari jarak yang sama yakni 10 pc bisa didapatkan. Magnitudo mutlak bintang ditentukan dengan mengasumsikan magnitudo mutlak bintang yang diamati sama dengan magnitudo mutlak bintang-bintang dekat yang kelas spektrumnya sudah diketahui. Maka jarak bisa diperoleh dari hubungan : m M = -5 -5 log d Untuk kasus bintang ganda, jarak antara kedua bintang bisa diketahui dari tan sudut yang terbentuk antara kedua bintang dengan pengamat (dengan a adalah setengah sumbu besar). Dengan mengetahui jarak, pengamat sudah bisa menentukan berapa jumlah energi yang dipancarkan bintang setiap detik pada permukaan luas 1 cm2. 4. Modulus Jarak Hubungan antara magnitudo semu (m) dan magnitudo mutlak (M) disebut modulus jarak. Persamaan modulus jarak, yaitu : m M = 5 log d/10 atau d = 10(m-M + 5)/5 Dari persamaan di atas harga (m-M) hanya bergantung pada jarak bintang d saja. Oleh karena itu selisih magnitudo semu dan magnitudo mutlak (m-M) disebut modulus jarak. Makin besar harga (m-M) maka harga d juga makin besar dan sebaliknya. Jadi modulus jarak adalah merupakan ukuran jarak dari suatu bintang yang diukur dalam parsec (pc). Persamaan modulus jarak umumnya digunakan dalam menentukan jarak bintang-bintang yang jauh secara tidak langsung (metode indirect). Seperti yang sudah pernah dibahas sebelumnya bahwa metode paralaks trigonometri hanya bisa menentukan jarak secara akurat untuk beberapa bintang dengan jarak kurang dari 500 pc. Untuk bintang yang lebih jauh lagi, perlu digunakan metode-metode tak

15

langsung (indirect). Salah satunya adalah dengan mengukur magnitudo semu bintang lalu memperkirakan magnitudo mutlaknya. Cara memperkirakan magnitudo mutlak ini banyak metode/caranya. Dengan mengetahui magnitudo semu dan perkiraan magnitudo mutlak, maka kita bisa memperkirakan jarak suatu bintang dengan modulus jarak. C. Warna dan Suhu Bintang Bila kita memperhatikan cahaya bintang dengan lebih cermat akan ternyata bahwa warna cahayanya berbeda-beda, ada yang bercahaya kemerahan, seperti bintang Betelgeuse dan Antares, ada yang cahayanya kebiruan seperti bintang Sirius dan bintang Vega, dan ada pula yang kekuningan seperti bintang Alpa Centauri dan bintang Capella serta ada juga bercahaya keputihan seperti bintang Procyon. Secara teori fisika, perbedaan warna cahaya yang dipancarkan oleh suatu benda yang panas menandakan adanya perbedaan suhu dari benda-benda tersebut seperti halnya dengan benda yang memijar dan memancarkan cahaya, bila suhunya rendah maka radiasi yang dipancarkan berwarna kemerahan, dan bila suhunya tinggi maka radiasi yang dipancarkan makin menguning dan bila suhunya cukup tinggi maka cahaya yang dipancarkan berwarna putih dan kebiruan. Hubungan antara suhu benda dan warna cahaya yang dipancarkan dapat dijelaskan dengan hukum radiasi. 1. Hukum Radiasi Cahaya Bintang sebagai sumber yang memancarkan radiasi dapat dipandang sebagai benda hitam sempurma, maka itu sifat radiasi cahaya bintang dapat dipelajari dari hukum radiasi benda hitam. Setiap benda hitam memancarkan radiasi pada seluruh panjang gelombang. Makin tinggi suhu benda, makin banyak energi yang dipancarkannya. Radiasi pada tiap suhu tertentu terdapat panjang gelombang tertentu pula yang membawakan energi maksimum dan panjang gelombang ini dinamakan panjang gelombang maksimum. Makin tinggi suhu benda ternyata makin pendek panjang gelombang maksimum yang dipancarkannya seperti terlihat pada gambar 5.5. Panjang gelombang maksimum ini diberi simbul , sedang luas kurva menyatakan energi total yang m

16

dipancarkan pada suhu tersebut dimana tampak makin tinggi suhu, luas kurvanya makin besar dan harga nya makin kecil. Dari gambar juga terlihat bahwa T1 < m T2