makalah filsafat umum new.docx
DESCRIPTION
MakalahTRANSCRIPT
TUGAS
MAKALAH
FILSAFAT ILMU
OLEH:
KELOMPOK 3
DIPPOS SAGALA (KETUA KELOMPOK)
INTON SARLIS
HERPINA
ITA SRI HANDAYANI
HAJAR ASWAD
RISMAN
IMAN CAHIYA ANGRAINI
FITRIS
RISNAWATI
JURUSAN SASTRA INDONESIAFAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2014
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................... i
DAFTAR ISI.......................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang....................................................................... 1
B. Rumusan Masalah................................................................ 1
C. Tujuan Masalah..................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Ruang Lingkup dan Kedudukan Filsafat Ilmu.................... 2
B. Hubungan Filsafat Ilmu dengan Epistemologi................... 3
C. Hubungan Filsafat Ilmu dengan cabang Filsafat lain......... 8
D. Hubungan Filsafat Ilmu dengan Ilmu – Ilmu..................... 12
BAB III PENTUP
A. Kesimpulan....................................................................... 19
B. Saran................................................................................. 19
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah SWT, yang telah menciptakan manusia dan alam seisinya
untuk makhluknya serta mengajari manusia tentang al-qur’an dan kandungannya, yang
dengan akal pikiran sebagai potensi dasar bagi manusia untuk menimbang sesuatu itu baik
atau buruk, menciptakan hati nurani sebagai pengontrol dalam tindak tanduk, yang telah
menciptakan fisik dalam sebagus bagusnya rupa untuk mengekspresikan amal ibadah kita
kepada-Nya. Segala puji bagi Allah sang Maha Kuasa pemberi hidayah, yang semua jiwa
dalam genggaman-Nya, kasih kaming-Mu mulia tak terperi. Rahman dan Rahim-Nya telah
menyertai kami sehingga dapat menyelesaikan penulisan makalah ini.
Sholawat bermutiarakan salam senantiasa kita haturkan kepada revolusionar muslim
sejati baginda Muhammad SAW, serta para sahabatnya yang telah membebaskan umat
manusia dari lembah kemusyrikan dan kejahiliyahan menuju alam yang bersaratkan nilai-
nilai tauhid dan bertaburan cahaya ilmu pengetahuan dan kebenaran. Dalam makalah ini,
penulis berupaya semaksimal mungkin menyajikan makalah dalam bentuk yang mudah
dibaca. Namun, penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih banyak kekurangan.
Tiada yang dapat kami ucapkan sebagai balas budi kami selain untaian ucapan terima
kasih dan doa, agar semua amal kebaikan selama ini penuh dengan iringan rahmat dan ridho
Allah SWT. Sehingga dicatat sebagai amalan makbulan’indallah. Amin. Kami berharap
semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca dan semuanya, khususnya bagi penulis sendiri.
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Filsafat dan ilmu pada dasarnya adalah dua kata yang saling terkait, baik secara
substansial maupun historis, karena kelahiran ilmu tidak lepas dari peranan filsafat. Filsafat
telah merubah pola pemikiran bangsa Yunani dan umat manusia dari pandangan mitosentris
menjadi logosentris. Perubahan pola pikir tersebut membawa perubahan yang cukup besar
dengan ditemukannya hukum-hukum alam dan teori-teori ilmiah yang menjelaskan
bagaimana perubahan-perubahan itu terjadi, baik yang berkaitan dengan makro kosmos
maupun mikrokosmos. Dari sinilah lahir ilmu-ilmu pengetahuan yang selanjutnya
berkembang menjadi lebih terspesialisasi dalam bentuk yang lebih kecil dan sekaligus
semakin aplikatif dan terasa manfaatnya. Filsafat sebagai induk dari segala ilmu membangun
kerangka berfikir dengan meletakkan tiga dasar utama, yaitu ontologi, epistimologi dan
axiologi. Maka Filsafat Ilmu menurut Jujun Suriasumantri merupakan bagian dari
epistimologi (filsafat ilmu pengetahuan yang secara spesifik mengkaji hakekat ilmu
(pengetahuan ilmiah). Dalam pokok bahasan ini akan diuraika pengertian filsafat ilmu, dan
obyek yang menjadi cakupannya.
B. Rumusan masalah
1. Apa saja ruang lingkup dan kedudukan filsafat ilmu?
2. Apa hubungan Filsafat Ilmu dengan epistemologi?
3. Apa hubungan Filsafat Ilmu dengan cabang filsafat lain?
4. Apa hubungan Filsafat Ilmu dengan ilmu – ilmu?
C. Tujuan Masalah.
1. Memahami ruang lingkup dan kedudukan filsafat ilmu?
2. Mengetahui hubungan Filsafat Ilmu dengan epistemologi?
3. Mengetahui hubungan Filsafat Ilmu dengan cabang filsafat lain?
4. Mengetahui hubungan Filsafat Ilmu dengan ilmu – ilmu?
BAB II PEMBAHASAN
A. Ruang Lingkup Dan Kedudukan Filsafat Ilmu
Ruang lingkup filsafat ilmu dan bidang filsafat sebagai keseluruhan pada dasarnya
men -cakup dua pokok bahasan, yaitu pertama, membahas sifat pengetahuan ilmiah, dan
kedua menelaah cara-cara mengusahakan pengetahuan ilmiah pada pokok bahasan pertama
filsafat ilmu berhubungan erat dengan filsafat pengetahuan atau epistemologi, yang
merupakan bidang kajian filsafat yang secara umum menyelidiki syarat-syarat serta bentuk
pengetahuan manusia. Pada pokok bahasan kedua yakni terkait dengan pokok soal cara-cara
mengusahakan pengetahuan ilmiah, filsafat ilmu erat hubungannya dengan logika dan
metodologi, dan dalam hal ini kadang-kadang filsafat ilmu dijumbuhkan pengertiannya
dengan metodologi. Jadi filsafat ilmu ialah penyelidikan filosofis tentang ciri-ciri
pengetahuan ilmiah dan cara-cara untuk memperolehnya. Dengan kata lain filsafat ilmu
sesungguhnya merupakan penyelididkan lanjutan.
Filsafat ilmu dikelompokkan menjadi dua yaitu :
1. Filsafat ilmu umum, yang mencakup kajian tentang persoalan kesatuan, keseragaman,
serta hubungan diantara segenap ilmu. Kajian ini terkait dengan masalah hubungan antara
ilmu dengan kenyataan, kesatuan, perjenjangan, susunan kenyataan, dan sebagainya.
2. Filsafat ilmu khusus, yaitu kajian filsafat ilmu yang membicarakan kategori-kategori
serta metode-metode yang digunakan dalam ilmu-ilmu tertentu atau dalam kelompok-
kelompok ilmu tertentu, seperti dalam kelompok ilmu alam, kelompok ilmu masyarakat,
kelompok ilmu tehnik dan sebagainya (beerling dkk, 1986: 40) dalam (filsafat ilmu
sebagai dasar pengembangan ilmu pengetahuan, 2007: 44).
Filsafat ilmu dapat pula dikelompokan berdasarkan model pendekatan, yaitu:
1. Filsafat ilmu terapan, yaitu filsafat ilmu yang mengkaji pokok pikiran kefilsafatan yang
melatarbelakangi pengetahuan normatif dunia ilmu. Pada kajian ini dunia ilmu bertemu
dengan dunia filsafat. Jadi filsafat ilmu terapan tidak bertitik tolak dari dunia filsafat
melainkan dari dunia ilmu. Dengan kata lain filsafat ilmu terapan merupakan deskripsi
pengetahuan normatif. Filsafat ilmu terapan sebagai pengetahuan normatif mencakup:
a. Pengetahuan yang berupa pola pikir hakekat keilmuan.
b. Pengetahuan mengenai model praktek ilmiah yang diturunkan dari pola pikir.
c. Pengetahuan mengenai berbagai sarana ilmiah.
d. Serangkaian nilai yang bersifat etisyang terkait dengan pola pikir dengan model
praktek yang khusus.Misal: etika profesi.
Dengan filsafat ilmu terapan maka menjadi jelaslah saling hubungan antara objek-objek
dengan metode-metode, antara masalah-masalah yang hendak dipecahkan dengan tujuan
penyelidikan ilmiah, antara pendekatan secara ilmiah dengan pengolahan bahan-bahan
secara ilmiah.
2. Filsafat ilmu murni, yaitu bentuk kajian filsafat ilmu yang dilakukan dengan menelaah
secara kritis dan eksploratif terhadap materi kefilsafatan, membuka cakrawala terhadap
kemungkinan berkembangnya pengetahuan normatif yang baru. Bila filsafat ilmu terapan
berangkat dari ilmu khusus menuju kajian filosofis, filsafat ilmu murni mengambil arah
sebaliknya, yaitu berangkat dari kajian filosifis terhadap asumsi-asumsi dasar yang ada
dalam ilmu, misalnya terkait dengan anggapan dasar tentang “realitas” dalam ilmu-ilmu
khusus dan konsekuensinya pada pemahaman terhadap “realitas” secara keseluruhan.
B. Hubungan filsafat ilmu dengan epistemologi
Filsafat ilmu secara sistematis merupakan cabang dari rumpun kajian epistemologi.
Epistemologi sendiri mempunyai dua cabang yaitu filsafat pengetahuan (theories of
knowledge) dan filsafat ilmu (theory of science). Objek material filsafat pengetahuan yaitu
gejala pengetahuan, sedang objek material filsafat ilmu yaitu mempelajari gejala-gejala ilmu
menurut sebab terpokok. Dalam epistemologi yang dibahas adalah objek pengetahuan,
sumber dan alat untuk memperoleh alat pengetahuan, kesadaran dan metode, validitas
pengetahuan, dan kebenaran pengetahuan (Verhak dan Haryono, 1989: 3). Dalam (Tim
Dosen).
Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, 2007: 46). Ilmu merupakan pengetahuan yang
diatur secara sistematis dan langkah-langkah pencapaiannya dipertanggungjawabkan secara
teoritis. Filsafat pengetahuan memeriksa sebab-musabab pengetahuan dengan bertitik tolak
pada gejala pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari. Filsafat pengetahuan menggali
kebenaran, kapasitas dan tahap-tahapnya, objektivitasnya, abstraksi, intuisi, asal pengetahuan
dan arah pengetahuan. Yang membedakan ilmu dari pengetahuan adalah metode ilmiah.
(Verhak dan Haryono, 1989: 3). Dalam (Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM,
2007: 46) (Verhak dan Haryono, 1989: 12). Dalam (Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas
Filsafat UGM, 2007: 46).
Epistemologi akan menunjukkan asumsi dasar ilmu, agar penelaahan filsafat ilmu
tidak terpaku pada ragam objek material ilmu. Pertanyaan dari ontologi “apakah karakter
pengetahuan kita tentang dunia?” Pertanyaan ontologi dan epistemologi tidak dijawab dengan
penyelidikan empiris yang terkait dengannya. Pertanyaan filsafat dipecahkan bukan dengan
penyelidikan empiris, tetapi dipecahkan dengan penalaran. Dengan bantuan telaah
epistemologi maka akan didapat pemahaman hakiki tentang karakter dari objek ilmu. Misal:
terdapat karakter yang berbeda antara ilmu-ilmu alam dan ilmu sosial humaniora dalam hal
objek material, yakni bahwa ilmu alam memiliki karakter objek yang deterministik,
sedangkan ilmu sosial-humaniora memiliki karakter objek yang indeterministik dan penuh
motivasi.
Munculnya persoalan epistemologi bukan mengenai suatu prosedur penyelidikan
ilmiah, tetapi dengan mempertanyakan: “mengapa prosedur ini dan bukan yang lain?”, “apa
jaminannya, bila ada, metode itu membuktikan yang lainnyakah?”. Dalam konteks ilmu
sosial, filsafat mempertanyakan metode dan prosedur yang dipergunakan peneliti sosial dari
disiplin sosial apapun yang membuat mereka superior (dan memberi mereka otoritas
intelektual terbesar). Apa dasar klaim otoritas intelektualnya?.
Relevansi problem filsafat muncul dari fakta bahwa setiap perangkat riset atau
prosedur tidak dapat diterangkan dengan memisahkan pandangan khusus tentang dunia.
Tidak ada tehnik atau metode penyelidikan ilmiah yang memperkokoh dirinya sendiri.
Berbagai status instrumen riset pada dasarnya tergantung pada jastifikasi epistemologis.
Instrumen riset tidak dapat dipisahkan dari teori, sebagai peralatan riset, mereka bekerja
hanya bersama-sama dengan asumsi-asumsi tentang hakekat dunia fisik, masyarakat,
keberadaan manusia, dan bagaimana mereka mengetahuinya.
Ilmu alam, terkait secara pokok dalam term-term positivistik, mempelajari sesuatu
yang objektif, tidak hidup, dunia fisik. Masyarakat, hasil akal manusia, adalah subyektif,
emotif sebaik intelektual. Apa yang kita tunjuk sebagai causal, mekanistik dan pengukuran
berorientasikan model eksplanasi adalah tidak memadai, karena kesadaran manusia tidak
ditentukan oleh kekuatan alam. Tingkah laku masyarakat manusia adalah selalu mengandung
nilai, dan pengetahuan reliabel tentang kebudayaan hanya dapat digapai dengan cara
mengisolasi ide-ide umum, opini, atau tujuan khusus sejarah masyarakat. Itu membuat
tindakan sosial adalah penuh makna subyektif.
Toulmin dalam (Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, 2007: 47).
Mengatakan bahwa epistemologi tidak berakar pada periode pemikiran, tidak terkait pada
prosedur praktis dan problem-problem yang secara historis berkaitan dengan disiplin. Misal:
debat metodologis ilmu sosial tidak dapat dipahami secara bebas dari tempat budaya yang
lebih luas dari penemuan-penemuan yang dihasilkan oleh riset awal yang didasarkan pada
asumsi epistemologis yang berbeda, yaitu seperti pada ilmu alam
Alat untuk memperoleh ilmu pengetahuan sangat tergantung dari asumsi terhadap
objek. Demikian juga telaah dalam filsafat ilmu, sarana dan alat untuk memproses ilmu harus
selaras atau konsisten dengan karakter objek material ilmu. Disini timbul perbedaan
paradigma yang disebabkan oleh karakter objek yang berbeda. Misal antara ilmu alam dan
ilmu sosial-humaniora terdapat perbedaan metode dan sarana yang dipakai.
Adapun validitas/keabsahan yang merupakan bukti bahwa suatu ilmu adalah benar
secara epistemologis bukanlah sesuatu yang didatangkan dari luar, melainkan ia adalah hasil
atau konsekuensi dari metode penyelidikan dan hasil penyelidikan. Oleh karena itu masalah
validitas apakah ukurannya cocok (realiable) atau tidak itu tergantung pada metode dan
karakter objek. Sehingga jenis ilmu yang satu dan lainnya tidak sama. Dengan kata lain kita
tidak bisa menguji metode dan hasil ilmu yang satu dari teropong ilmu lainnya. Misal: ilmu-
ilmu empiris validitas untuk produk ilmunya harus-lah empiristis (Hindes Barry, 1977: 5-6)
dalam (Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, 2007: 48).
1. Asumsi Beberapa Jenis Objek Ilmu
Dewasa ini kita sudah memasuki masa spesialisasi ilmu, kita hanya tahu masing-
masing metodologi ilmu kejuruan. Namun kita juga harus mempunyai wawasan yang luas
tentang metodologi ilmu-ilmu pada umumnya, yang didalamnya dijabarkan perbedaan-
perbedaan yang terdapat diantara masing-masing ilmu. Dalam khasanah filsafat ilmu, kita
banyak mengenal bentuk ilmu, jenis ilmu, dan paradigma ilmu. Dari berbagai bentuk, jenis
dan paradigma ilmu tersebut maka kita dapat memperoleh gambaran adanya ragam, tingkat
dan aliran ilmu.
a. Ilmu Alam dan Empiris
Ilmu empiris berpandangan sebagai berikut: ilmu mempelajari objek-objek empiris di
alam semesta ini. Ilmu mempelajari berbagai gejala dan peristiwa yang menurut anggapannya
mempunyai manfaat bagi kehidupan manusia. Jadi berdasarkan objek telaahnya maka ilmu
dapat disebut sebagai suatu pengetahuan empiris. Ilmu membatasi diri hanya pada kejadian
yang bersifat empiris, dimana objek-objek yang berada di luar jangkauan pengalaman
manusia tidak termasuk bidang penelaahan ilmu (Yuyun, 1981: 6) dalam (Tim Dosen Filsafat
Ilmu Fakultas Filsafat UGM, 2007: 48).
Ilmu empiris mempunyai beberapa asumsi mengenai objek (empiris), antara
lain:
1) Menganggap objek-objek tertentu mempunyai keserupaan satu sama lain, yaitu dalam
hal: bentuk, struktur, dan sifat, sehingga ilmu tidak bicara mengenai kasus individual,
melainkan suatu kelas tertentu.
2) Menganggap bahwa suatu benda tidak mungkin mengalami perubahan dalam jangka
waktu tertentu. Kelestarian relatif dalam jangka waktu tertentu ini memungkinkan kita
untuk melakukan pendekatan keilmuan terhadap objek yang sedang diselidiki.
3) Menganggap tiap gejala bukan merupakan suatu kejadian yang bersifat kebetulan, tiap
gejala mempunyai pola tertentu yang bersifat tetap dengan urutan-urutan kejadian yang
sama (Paul Niddich dalam Yuyun S, 1981: 7-9) yang dikutif dari (Tim Dosen Filsafat
Ilmu Fakultas Filsafat UGM, 2007: 48).
Namun ilmu tidak menuntut adanya hubungan kausalitas yang mutlak, sehingga
kejadian tertentu harus diikuti oleh kejadian yang lain, melainkan bahwa suatu kejadian
mempunyai kemungkinan atau (peluang) besar untuk mengakibatkan terjadinyakejadian lain.
Ilmu tentang objek empiris pada dasarnya merupakan abstraksi yang disederhanakan, hal itu
perlu, sebab kejadian alam sangat komplek.
Kegiatan yang dilakukan dalam ilmu alam tidak merupakan objek penelitian ilmu
alam, sebab praktek ilmu alam merupakan suatu aktifitas manusiawi yang khas. Manusia
memang dapat terlibat sebagai subjek dan sebagai objek, dengan kata lain manusia adalah
yang mempraktekkan dan diprakteki.
b. Ilmu Abstrak
Ilmu formal seperti halnya matematika, logika, filsafat, dan statistika adalah jenis
ilmu yang berfungsi sebagai penopang tegaknya ilmu-ilmu lainnya. Ilmu yang tergolong
formal pada umumnya berasumsi bahwa objek ilmu adalah bersifat abstrak, tidak kasat mata,
dan tidak terikat oleh ruang dan waktu. Objek dapat berupa konsep dan bilangan,berada
dalam pemikiran manusia.
c. Ilmu-Ilmu Sosial dan Kemanusiaan
Ilmu kemanusiaan mencakup juga ilmu-ilmu sosial, ia merupakan ilmu empiris yang
yang mempelajari manusia dalam segala aspek hidupnya, ciri khasnya, tingkah lakunya baik
perseorangan maupun bersama, dalam lingkup kecil maupun besar.
Objek material ilmu sosial adalah lain sama sekali dengan objek material dalam ilmu
alam yang bersifat deterministik. Objek material dalam ilmu sosial adalah berupa suatu
tingkah laku dalam tindakan yang khas manusia, ia bersifat bebas dan tidak bersifat
deterministik, ia mengandung: pilihan, tanggung jawab, makna, pengertian, pernyataan privat
dan internal, konvensi, aturan, motif dan sebagainya, oleh karena itu tidak cocok apabila
diterapi dengan predikat “sebab-akibat”.
Konsekuensi epistemologis dari perdebatan tersebut diawali dengan tidak
memadainya metodologi ilmu alam untuk memahami fenomena manusia kecuali sebagai
objek alamiah. Kerja dari penelitian empiris adalah untuk menemukan secara persis pola
yang menghubungkan antara aturan-aturan, motif, situasi, hubungan sosial dan tingkah laku,
dan memformulasikannya sebagai pembawa keteraturan. Tentu saja data mentah sebagai
realitas sosial objektif mempunyai status subjektif, karena terkait dengan nilai-nilai,
kepercayaan, ideologi. Lantas apakah ilmu sosial dapat digolongkan sebagai ilmu yang
subjektif?, padahal semua ilmu mengklaim dirinya menafsirkan data secara objektif.
Ilmu berbeda-beda terutama tidak karena objek material berbeda, tetapi khususnya
karena mereka berbeda menurut objek formal. Objek ilmu kemanusiaan yaitu manusia
sebagai keseluruhan. Ia melampaui status objek benda-benda disekitarnya. Peneliti dalam
penelitian ilmu sosial juga berada pada taraf yang sama sebagai objek. Perbedaan tersebut
juga menimbulkan perbedaan pendekatan, dimana dalam rangka cara berpikir ilmu-ilmu alam
adalah univok, sedangkan dalam rangka ilmu-ilmu sosial maka cara berpikirnya analog:
setiap lingkungan masyarakat “sama” namun dalam “kesamaannya” itu juga berbeda. Karena
ciri khas di atas, maka ilmu-ilmu kemanusiaan harus menggunakan titik pangkal dan
kriterium kebenaran yang berbeda dari ilmu-ilmu lainnya. Titik pangkal berbeda karena
peneliti tidak lagi berada di luar objek penelitian, dengan kata lain subjek terlibat dalam
penelitian tentang sesamanya (Veuger dan Haryono, 1989: 70) dalam (Tim Dosen Filsafat
Ilmu Fakultas Filsafat UGM, 2007: 50).
Dalam ilmu manusia kita menghadapi keadaan bahwa praktek ilmiah sebagai aktivitas
manusiawi merupakan juga objek penelitian ilmu manusia. Misal: merupakan objek
psikologi, karena praktek ilmiah merupakan kegiatan psikis; merupakan aspek sosiologi,
karena praktek ilmiah merupakan kegiatan sosial; objek ilmu sejarah, karena praktek ilmiah
merupakan kegiatan historis.
Dalam ilmu kemanusiaan, manusia dari dalam terlibat dalam aktivitas-aktivitasnya
sendiri. Hal itu merupakan sumber informasi tentang motivasi intern manusia. Namun hal itu
sekaligus membuat menipu kita, kecuali kalau ia kritis.
d. Ilmu Sejarah
Ciri ilmu sejarah dibandingkan dengan ilmu empiris lainnya yaitu sifat objek
materialnya, yaitu data-data peninggalan masa lampau baik berupa kesaksian, alat-alat,
makam, rumah, tulisan, karya seni. Semuanya itu mirip dengan objek material ilmu
kealaman, karena sama-sama sebagai benda mati. Namun objek ilmu sejarah tidak dapat
dikenai eksperimen karena menyangkut masa lampau dan tidak dapat dibalikkan lagi. Sering
peninggalan sejarah tertelan oleh masa, terlindung dan merupakan saksi bisu, bahkan sering
hilang. Karena sering banyak hal yang mempengaruhi kemurnian objek manusiawi berkaitan
dengan sikap menilai dari subjek penelitian, maka objektivitas ilmu sejarah sebagai ilmu
kemanusiaan menjadi problem dalam menentukan patokan objektivitas.
2. Taraf-Taraf Kepastian Subjektivitas dan Objektivitas Ilmu
a. Evidensi
Evidensi objek pengetahuan berkenaan dengan taraf kepastian kepastian
pengetahuan yang dapat dicapai subjek dalam ilmu-ilmu terjadi berdasarkan evidensi
objek yang dikenal. Evidensi dan kepastian itu perlu dilihat dari sudut kesatuan asli
subjek dan objek dalam gejala pengetahuan manusia pada umumnya. Misal: dalam
filsafat, evidensi objek bersangkutan dialami subjek dengan cara mendalam. Dengan
demikian mutu kepastian adalah meyakinkan dan paling tinggi, paling bebas, sekaligus
paling pribadi.
a.1. Dalam ilmu-ilmu empiris
Semua ilmu empiris, termasuk ilmu-ilmu kemanusiaan mengejar kepastian. Namun
taraf kepastian konkret dalam ilmu-ilmu empiris bersifat bebas. Artinya tidak pernah ada
paksaan pada akal agar sesuatu disetujui. Dengan kata lain evidensi dalam ilmu-ilmu empiris
selalu bersifat nisbi, sehingga perlu disetujui berdasarkan pilihan bebas tanpa paksaan.
Makin dekat bidang ilmu tertentu pada pengalaman manusia seutuhnya, maka makin
besar kesatuan subjek-objek, sehingga makin kurang pula peran subjek dalam kesatuan itu.
Jadi evidensi dan kepastian diwarnai subjektivitas yang membangun. Misal: dalam filsafat
dan humaniora.
Makin jauh bidang ilmu tertentu dari pengalaman manusia seutuhnya, maka makin
kurang kesatuan subjek objek, sehinga makin kurang pula peran subjek dalam kesatuan itu.
Jadi evidensi dan kepastian lebih diwarnai oleh objektivitas (di luar pengalaman subjektif).
Misal: dalam ilmu alam.
a.2. Dalam ilmu-ilmu pasti
Dalam context of discovery sebagaimana ilmu yang lain memang ilmu pastipun masih
dalam taraf coba-coba. Sedangkan dalam context of justification, maka tidak ada hipotesa
lagi, melainkan ungkapan-ungkapan yang bersifat aksiomatis dan dalil-dalil. Ia berlaku tanpa
terikat ruang dan waktu. Memang ilmu-ilmu pasti tidak bersifat empiris, sehingga sifat
evidensinya bersifat mutlak. Sekali seorang ilmuwan memilih sistem tertentu maka ia sudah
tidak bebas lagi untuk meragukan atau menolak hasil sistem ilmu yang bersangkutan
(Verhak, 1989: 116) dalam (Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, 2007: 52).
Ilmu alam agak jauh dari pengalaman konkrit, sebab sifatnya eksak. Tidak saja
keeksakan dalam konsep-konsepnya. Konsep dalam ilmu alam jauh dari pengalaman yang
terbuka (bersifat eksklusif). Isi konsep dan isi observasi berkaitan secara univok. Konsep-
konsep yang dipakai dalam ilmu alam agak jauh dari data-data dri pengalaman yangterbuka
bagi setiap orang, sehingga ilmu alam sukar untuk dimengerti bagi orang yang bukan ahli.
Lagi pula ilmu alam dalam dalam menyelididki realitas jasmani terus-menerus memperluas
sarana observasinya, sehingga peran indera berkurang. Contoh: melihat data cukup dengan
membaca petunjuk grafik, jarum.
b. Objektivitas.
Ilmu dikatakan objektif karena ilmu mendekati fakta-faktanya secara metodis, artinya
menurut cara penelitian yang dikembangkan oleh subjek yang mengenal. Misal: ilmu alam
berhasil menyalurkan pengaruh subjektif, sehingga terbentuk ilmu yang benar-benar
intersubjektif. Kesulitan khusus bagi ilmu-ilmu manusia yaitu bahwa ilmu-ilmu itu dalam
praktek tidak dapat melakukan eksperimen secara netral. Misal: tidak bisa menguji coba
terlebih dahulu pelbagai bentuk sosial. Walaupun pengalaman eksperimental dalam ilmu-
ilmu manusia diperlukan, maka hal yang memungkinkan yaitu arah menuju kemanusiaan
yang lebih baik serta utuh (Van Peursen, 1986: 64) dalam (Tim dosen filsafat ilmu Fakultas
Filsafat UGM, 2007: 52). Objektivitas ilmu alam adalah objektivitas yang
menyangkut apa yang diberikan sebagai objek. Ojek tidak mesti berupa suatu benda, tetapi
objek itu merupakan sesuatu yang tampak bagi indera manusia (panca indera). Ilmu alam
maupun ilmu sosial adalah non-refleksif sejauh tidak mampu menjawab pertanyaan-
pertanyaan mengenai kodratnya sendiri sebagai ilmu dengan mempergunakan sarana-sarana
teoritis dan eksperimentalnya.
C. Hubungan Filsafat Ilmu dengan Cabang Filsafat lain
Filsafat ilmu bersinggungan dengan bagian-bagian filsafat sistematik lainnya, seperti
ontologi (ciri-ciri susunan kenyataan), filsafat pengetahuan (hakekat serta otensitas
pengetahuan), logika (penyimpulan yang benar), metodologi (konsep metode), dan filsafat
kesusilaan (nilai-nilai serta tanggungjawab).
Pertama, Ontologi adalah cabang filsafat yang mempersoalkan masalah “ada” dan
meliputi persoalan sebagai berikut: apakah artinya “ada”, apakah golongan-golongan dari hal
yang ada?, apakah sifat dasar kenyataan dan ada yang terakhir?, apa cara-cara yang berbeda
dalam mana entitas dari kategori logis yang berlainan (objek fisik, pengertian universal,
abstraksi dalam bilangan) dapat dikatakan ada?
Filsafat ilmu berkaitan dengan ontologi karena filsafat ilmu dalam telaahnya terhadap
ilmu akan menyelidiki landasan ontologis dari suatu ilmu. Landasan ontologis ilmu dapat
dicari dengan menanyakan apa asumsi ilmu terhadap objek materi maupun objek formal?,
apakah objek bersifat phisik ataukah bersifat kejiwaan?
Kedua, Epistemologi adalah teori tentang pengetahuan. Dalam epistemologi yang
dibahas adalah objek pengetahuan, sumber dan alat untuk memperoleh pengetahuan,
kesadaran dan metode, validitas pengetahuan, dan kebenaran pengetahuan. Epistemologi
berkaitan dengan pemilahan dan kesesuaian antara realisme atas pengetahuan: tentang
proposisi, konsep-konsep, kepercayaan, dan sebagainya., dan realisme tentang objek, secara
terpilih disusun dalam term “objek real”, fenomena, pengalaman, data indera, dan lainnya.
Epistemologi berusaha untuk memaparkan dan menjawab problem-problem yang muncul
dalam area tertentu, misal: positivisme logis. Semua epistemologi meletakkan beberapa
oposisi sebagai penyusun teori pengetahuan, tujuannya yaitu meletakkan yang
memungkinkan bagi suatu pengetahuan. Misal: teori-fakta, manusia-dunia, transendental
subjektif-transendental objektif. Epistemologi meliputi konsepsi yang spesifik tentang
“subjek”, “objek” dan hubungan keduanya, dan itu dievaluasi dan menderivasikan keterangan
untuk mengevaluasi pengetahuan dari “pengetahuan” tentang hubungan. Spesifikasi
epistemologis tentang kriteria validitas semua pengetahuan harus memperkirakan validitas
pengetahuan yang mendahuluinya, yang darinya spesifikasinya diderivasi.
Ketiga, Logika adalah cabang filsafat yang persoalannya begitu luas dan rumit,
namun ia berkisar pada persoalan penyimpulan, khususnya berkenaan dengan prinsip-prinsip
dan aturan-aturan yang absah. Penyimpulan yaitu proses penalaran guna mendapat pengertian
baru dari satu atau lebih proposisi yang diterima sebagai benar, dan kebenaran dari
kesimpulan itu diyakini terkandung dalam kebenaran proposisi yang belakangan. Tatanan
logis adalah merupakan syarat mutlak bagi suatu ilmu. Pernyataan-pernyataan dan
kesimpulan-kesimpulan mengenai esensi-esensi dan sebab-sebab dari objek dalam bidang
pengetahuan tertentu tidak bisa dihitung secara sewenang-wenang, tetapi harus ditata dan
diklasifikasi sesuai dengan prinsip tertentu dan mengikuti metode tertentu. Penyelidikan
mengenai “cara-cara memperoleh pengetahuan ilmiah” bersangkutan dengan susunan logik
dan metode logik, urutan serta hubungan antara pelbagai langkah dalam penyelidikan
ilmiah.dan bersangkutan pula dengan, susunan logik serta metodologik, urutan serta
hubungan antara unsur-unsur serta struktur-struktur yang berlaku dalam pemikiran ilmiah.
Namun persoalan-persoalan logika yang penting dalam kaitannya dengan ilmu yaitu:
apakah ciri-ciri suatu sistem aksiomatik, bagaimana kita dapat memastikan bahwa suatu
aksioma sesungguhnya bukan suatu dalil yang dapat diturunkan dari aksioma yang lain?,
apakah sekumpulan aksioma tertentu akan menghasilkan semua yang dapat dikatakan dalam
bidangnya?. Bagaimanakah kita dapat mengetahui bahwa kesimpulan aksioma tersebut tidak
akan pernah menghasilkan sesuatu yang salah? (The Liang Gie: 1977: 186) dalam (Filsafat
Ilmu, 2007: 54).
Keempat, Metodologi yaitu berkaitan dengan suatu konsep metode, ia
mempersoalkan: apakah arti suatu metode, apakah sifat dasar metode, apakah ada metode
yang khas bagi ilmu?, apakah ada kaitan antara tujuan suatu penyelidikan dengan metode
yang hrus dipakai?. Disinyalir dalam ilmu-ilmu terdapat derajat kebebasan yang tinggi antara
tujuan dan metode.
Filsafat ilmu mempersoalkan masalah metodologik, yaitu mengenai azas-azas serta
alasan apakah yang menyebabkan ilmu dapat memperoleh predikat “pengetahuan ilmiah”.
Filsafat akan mencari prinsip metodis suatu ilmu, sebab prinsip metodis merupakan titik tolak
penyelidikan suatu ilmu. Fungsi metodologi yaitu menguji metode yang dipergunakan untuk
menghasilkan pengetahuan yang valid. Metodologi meletakan prosedur yang dipergunakan
untuk menguji proposisi. Prosudur ini dijastifikasi maknanya dengan argumen filosofis.
Adalah jelas metodologi-metodologi mengklaim untuk menentukan prosudur yang benar bagi
ilmu, harus memperkirakan bentuk pengetahuan yang didalamnya beberapa pengertian
superior dihasilkan dalam ilmu. Ilmu diperkirakan valid hanya bila hasilnya sesuai dengan
prosedur: yang diperkirakan tidak dapat disahkan oleh ilmu. Metodologi meletakkan aturan
bagi prosedur praktek ilmu, penderivasian makna pengetahuan dibuktikan oleh filsafat.
Metodologi adalah produk filsafat dan ilmu-ilmu adalah realisasi dari metodologi (Barry
Hindes, 1977: 5) dalam (Filsafat Ilmu, 2007: 55).
Perkiraan metodologis mungkin diderivasi dari epistemologi, yakni suatu konsepsi
bentuk pengetahuan yang memungkinkan dicapainya pengetahuan yang valid (dari ontologi
tentang apa yang eksis). Karakter pengetahuan sangat berhubungan dengan apa yang menjadi
sifat esensial dari objek penyelidikan.
Kelima, Etika, yaitu cabang filsafat yang mempersoalkan baik dan buruk. Dalam
kaitannya dengan ilmu yaitu berkaitan dengan tujuan ilmu, tanggungjawab ilmu terhadap
masyarakat.
Hubungan filsafat ilmu dengan etika dapat mengarahkan ilmu agar tidak
mencelakakan manusia, melainkan membimbing ilmu agar dapat menjadi sarana
mensejahterakan manusia. Ilmu bertendensi untuk membuka tabir/kedok dari kemutlakan-
kemutlakan alam yang oleh sejarah diangkat menjadi kemutlakan budaya. Tujuan ilmu yang
memperoleh pengertian lebih mendalam tentang motif-motif tingkah laku manusia yang
diliputi kegelapan supaya manusia menjadi lebih utuh, dewasa, dan bebas (Van Melsen,
1985: 123-4) dalam (Filsafat Ilmu, 2007: 55).
D. Hubungan Filsafat Ilmu dengan Ilmu-Ilmu.
Perkembangan ilmu yang makin cepat ini juga dialami oleh banyak ilmu serta
pengaruhnya yang semakin besar terhadap kehidupan masyarakat. Untuk itu sudah saatnya
kita memberi perhatian yang besar terhadap filsafat ilmu, sehingga kita dapat mengatasai
keterkungkungan spesialisasi ilmu.
1. Perbedaan Filsafat dan Ilmu
Filsafat dan ilmu mempunyai banyak persamaan. Kedua bidang tersebut tumbuh dari
sikap refleksif, sikap bertanya, dan dilandasi oleh kecintaan yang tidak memihak terhadap
kebenaran. Hanya saja kalau filsafat dengan metodenya mampu mempertanyakan keabsahan
dan kebenaran ilmu, sedang ilmu dengan metodenya tidak mampu mempertanyakan asumsi
limu, metode ilmu, kebenaran ilmu, dan keabsahan ilmu. Ilmu tertentu menyelidiki bidang-
bidang yang terbatas, sedang filsafat lebih bersifat inklusif dan bukan eksklusif, ia berusaha
untuk memasukkan dalam pengetahuannya apa yang bersifat umum untuk segala bidang dan
untuk pengalaman manusia pada umumnya. Dengan begitu filsafat berusaha mendapatkan
pandangan yang lebih komperhensif tentang benda-benda (Titus dkk, 1984: 283) dalam
(Filsafat Ilmu, 2007: 56).
Ilmu dalam pendekatannya lebih analitik dan diskriptif: ia berusaha untuk
menganalisa scara keseluruhan pada unsur-unsur yang menjadi bagian-bagiannya, serta
menganalisa organisme kepada anggota-anggotanya. Filsafat lebih sintetik atau sinoptik:
menghadapi sifat dan kualitas alam dan kehidupan sebagai keseluruhan. Filsafat berusaha
menggabungkan benda-benda dalam sintesa yang interpretatif dan menemukan arti benda-
benda. Jika ilmu condong untuk menghilangkan faktor-faktor pribadi dan menganggap sepi
nilai-nilai demi menghasilkan objektivitas, maka filsafat mementingkan personalitas, nilai-
nilai dan bidang pengalaman (Titus dkk, 1984: 283) dalam (Filsafat Ilmu, 2007: 56).
2. Spesialisasi Ilmu
Dewasa ini setiap pengetahuan terpisah satu dari yang lainnya. Ilmu terpisah dari
moral, moral terpisah dari seni, dan seni terpisah dari ilmu. Kita tidak lagi memiliki
pengetahuan yang utuh, melainkan terpotong-potong. Spesialisasi pendidikan, pekerjaan, dan
kemajuan diberbagai bidang pengetahuan menyebabkan jurang pemisahsemakin lebar. Ilmu
semakin diperluas juga diperdalam oleh para ilmuannya, dengan demikian timbul suatu
subdisiplin yang akhirnya dapat menjadi disiplin yang berdiri sendiri.
3. Kerja Sama Filsafat dengan Ilmu
Dalam beberapa abad terakhir filsafat telah mengembangkan kerjasama yang erat dengan
ilmu. Filsafat dan ilmu kedua-duanya memakai metode pemikiran refleksif dalam usaha
menghadapi fakta-fakta dunia dan kehidupan. Keduanya menunjukkan sikap yang kritik,
dengan pikiran terbuka dan kemauan yang tidak memihak untuk mengetahui kebenaran,
mereka berkepentingan untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. (Titus dkk, 1984:283) )
dalam (Filsafat Ilmu, 2007: 61).
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
Berpikir filsafat berarti berpikir untuk menemukan kebenaran secara tuntas. Analisis
filsafat tentang hakekat ilmu harus ditekankan kepada upaya keilmuan dalam mencari
kebenaran, yang selanjutnya terkait secara erat dengan aspek-aspek moral, seperti kejujuran.
Analisis filsafat ilmu tidak boleh berhenti pada upaya untuk meningkatkan penalaran
keilmuan melainkan sekaligus harus mencakup pendewasaan moral keilmuan (Yuyun, 1981:
43) dalam (Filsafat Ilmu, 2007: 61).
Filsafat ilmu mempunyai wilayah lebih luas dan perhatian lebih transendent daripada
ilmu-ilmu. Maka dari itu filsafat pun mempunyai wilayah lebih luas daripada penyelidikan
tentang cara kerja ilmu-ilmu. Filsafat ilmu bertugas meneliti hakekat ilmu. Diantaranya
paham tentang kepastian, kebenaran, dan objektivitas (Verhak, 1989: 108) dalam (Filsafat
Ilmu, 2007: 61).
Filsafat ilmu harus merupakan pengetahuan tentang ilmu yang didekati secara filsafat
dengan tujuan untuk lebih memfungsionalkan wujud keilmuan baik secara moral, intelektual,
maupun sosial. Filsafat ilmu harus mencakup bukan saja pembahasan mengenai ilmu itu
sendiri beserta segenap perangkatnya melainkan sekaligus kaitan ilmu dengan berbagai aspek
kehidupan, seperti pendidikan, kebudayaan, moral, sosial dan politik. Demikian juga
pembahasan yang bersifat analitis dari tiap-tiap unsur bahasan harus diletakkan dalam
kerangka berpikir secara keseluruhan (Yuyun, 1981: 39) dalam (Filsafat Ilmu, 2007: 61).
B. SARAN
Adapun saran saya dari makalah ini adalah, Semoga dengan adanya makalah yang
kami buat ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan pendengar. Agar kita semua bisa lebih
memahami apa itu filsafat ilmu.
DAFTAR PUSTAKA
Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat Universitas Gaja Mada (UGM), 2010.