makalah filsafat modern
TRANSCRIPT
Makalah Filsafat Modern
Kata Pengantar :Puji syukur kita panjatkan kehadirat allah swt yang telah memberikan rahmat serta
karunianya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan makalah ini yang
Alhamdulillah tepat pada waktunya yang berjudul “ Filsafat Modern”.
Makalah ini berisikan tentang pengetahuan filsafat modern serta para tokoh-tokoh dari
filsafat modern itu serta kejadian-kejadian apa saja yang terjadi pada abad ke-19 .
Kita menyadari bahwa pada makalah ini masih jauh dari kesempurnaan masih banyak
terdapat kesalahan baik dalam kata-kata ataupun pengertian mengenai filsafat modern itu.
Akhir kata kami ucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah berperan ikut
serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Apabila banyak kesalahan dalam
kata ataupun penulisan kami mohon maaf dan kepada allah kami mohon ampun. Semoga
allah swt senantiasa meridhoi segala urusan kita. Amin.
Palembang,13 Oktober 2012
Penulis
Daftar Isi
Kata Pengantar. . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .1
Daftar Isi. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .2
Pendahuluan latar belakang masalah. . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 3
Pembahasan latar belakang filsafat. . .. . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . .4
Karakteristik filsafat modern. . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 5-8
Aliran-aliran filsafat modern. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 9
a. Rasionalisme. . . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 9-10
b. Empirisme. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 11-12
c. Kritisme. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .13-14
Ciri pokok Filsafat Modern. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 15
Penutup. . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . 16
A. PENDAHULUAN
I. Latar Belakang Masalah
Filsafat modern, adalah wacana filsafat yang lahir sebagai respon terhadap Suasana
filsafat sebelumnya. Kefilsafatan sebelum masa modern adalah kefilsafatan yang bercorak
tradisional, yang bisa diartikan “berfilsafat dengan cara-cara lama”, sebagaimana arti kata
tradisional berbanding terbalik dengan arti kata modern yang mermakna sebagai “sesuatu
yang baru”. Makna modern (sesuatu yang baru), mencakup segenap sendi-sendi kehidupan
social dan budaya manusia yang terkait dengan dimensi materil dan spiritualnya pada seputar
bagaimana cara mengetahui yang benar, kevalidan sesuatu, struktur pengetahuan itu sendiri
dan implementasi nilai-nilai yang terkandung dalam pengetahuan manusia.
Lahirnya filsafat dalam ruang sejarah manusia tidak dapat dilepaskan dari kondisi
yang melingkupinya. Demikianpun dengan wacana filsafat modern, selain dapat diartikan
sebagai filsafat yang merespon (mengkritisi, membongkar, kadang-kadang menguatkan)
tradisi dalam kurun waktu tertentu, modern juga mengandung nilai-nilai kesinambungan yang
kontinyu, berdasarkan keadaanya. Kebebasan berfikir selalu dibatasi oleh kekuasaan gereja,
hingga kondisi ini melahirkan sebuah kegelisahan intelektual oleh para ilmuan yang
bermuara pada lahirnya revolusi berfikir yang berontak terhadap keadaan tersebut. Suasana
ini menjadi latar sejarah lahirnya filsafat modern yang kelak menjadi penentu bangkitnya
Eropa modern dengan segala aspeknya (renaisance).
Dengan demikian filsafat modern berarti filsafat yang mengandung kebaruan
berdasarkan waktunya, corak epistemologinya dan dinamika yang terjadi pada seputar
metodologi dan kerakteristiknya. Untuk memfokuskankan pembahsan makalah ini, maka
kami merumuskan sub-sub masalah sebagai berikut:
Bagaimana latar sejarah filsafat modern dan lahirnya renaissance ?
Bagaimana karakteristik filsafat modern ?
Aliran-aliran pokok dalam filsafat modern ?
B. PEMBAHASAN
1. Latar Sejarah Filsafat Modern,dan Lahirnya Reneisance
Sejarah filsafat terdiri dari tiga periode. Periode pertama, adalah periode klasik,
sebagai kelanjutan era kuno yang dimulai dari Athena, Alexsanderia, dan pusat-pusat
pemikiran Helenistik dan Roma. Periode kedua, adalah periode pertengahan dan periode
ketiga, adalah periode modern yang dilanjutkan dengan periode post-modernisme.
Socrates masuk pada kategori era klasik bersama para filosof lainnya, semisal Plato
yang menjadi muridnya dan kemunculan Aristoteles sebagai murid dari Plato menjadi puncak
keemasan era filsafat klasik. Filsafat Plato menemukan sebuah realitas sejati yang disebutnya
sebagai dunia ide yang merangkum segala bentuk Kebenaran berdasarkan ide atau sisi
rasionalitas manusia.
Baginya realitis fisik adalah refleksi terhadap dunia ide. Berbeda dengan muridnya,
Aristoteles memperkenalkan paham realisme. Menurutnya realitas adalah benda-benda
konkrit yang menciptakan kesatuan antara bentuk dan subtansi.
Setelah masa Aristoteles, wacana kefilsafatan menjadi redup.Kerakteristik filsafat
Barat abad pertengahan adalah pembenaran terhadap otoritas Kitab. Salah seorang yang
terkenal pada masa itu adalah Thomas Aquinas (1225-1274 M), K. St. Bona Venture (1221-
1257M). Pemikiran mereka berusaha untuk merekonsiliasi antara akal dan wahyu. Mereka
berusaha menjabarkan dogma-dogma Kristen dengan ajaran filsafat.
Akal pada waktu itu bagaikan hamba perempuan untuk memuaskan nafsu “kelaki-
lakian” teologi Kristen. Seorang tokoh lain yang muncul pada waktu itu adalah St. Agustinus
(1354-1430M) bahkan tidak percaya dengan kekuatan akal dalam mencari kebenaran apapun.
Baginya kebenaran sepenuhnya terbenam, berada dalam wahyu Tuhan (teks). Singkatnya,
pada masa itu, persoalan epistemologi mengalami kepiluan dan penderitaan di bawah tafsir
tunggal para agamawan yang sekaligus menjadi penguasa politik pada zaman tersebut .
Kekuasaan keagamaan yang tumbuh berkembang selama abad pertengahan di Eropa
tampaknya menyebabkan terjadinya supremasi Semitik di atas alam pikiran Hellenistik. Di
lain pihak, orang merasa dapat memadukan Hellenisme yang bersifat manusiawi intelektual
dengan ajaran agama yang bersifat samawi-supernatural. Dari sinilah tumbuh rasionalisme,
empirisme, idelisme, dan positivisme yang kesemuanya memberikan perhatian yang amat
besar terhadap problem pengetahuan nonmetafisika (bukan agama) dan lahirlah babakan baru
yakni babak modern yang ditandai dengan gerakan renaissance yang merentang dari abad 14
M hingga abad 16.
Reneisance dalam bahasa Prancis dan Inggris berarti kelahiran kembali atau kebangkitan
kembali. Dalam bahasa latin, kata renaissance diidentikkan dengan arti kata, nascentia,
nascor, yang bermakna kelahiran, lahir, dilahirkan. Istilah ini meliputi suatau zaman di mana
setiap orang merasa dilahirkan kembali dalam keadaban.
Zaman tersebut menekankan otonomi atau kedaulatan manusia dalam berfikir,
bereksplorasi, bereksprimen dalam mengembangkan seni sastra dan ilmu pengetahuan di
Eropa. Manifestasi utama dari gerakan ini adalah; gerakan humanisme, eksistensialisme dan
naturalisme dengan menerjemahkan kembali sumber-sumber Yunani dan Romawi yang
mengantar terbukanya pemikiran manusia terhadap illmu-ilmu baru (modern). Dalam bidang
agama istilah renaissance ditandai dengan terusiknya kemapanan agama Kristen yang
mengarah pada reformasi protestan.
2. Karakteristik Filsafat Moderen
Reneisance Eropa yang mengantar babak modern, memicu berkembangnya filsafat yang
bercorak empirik. Akibatnya metodologipun berkembang ke induksi-eksprimentasi. Tokoh-
tokoh yang membuka jalan ke gerbang ini antara lain adalah, Copernicus, Kepler, Galileo,
Isac Newton dll.
Lahirnya metodologi baru pada era ini akibat terjadinya pergeseran paradigma filsafat.
Manusia melihat, merasakan dan menyadari adanya potensi pada dirinya untuk menentukan
kebenaran, tolak ukur dan validitasnya lewat metode penginderaan-observasi, eksprimen
terhadap realitas fisik melahirkan cara yang selanjutnya disebut metode ilmiah. Efek metode
ini melahirkan teori holosentris (Copernicus), Kepler mengganti teologi langit skolastisisme
dengan fisika langit. Demikian juga dengan Galileo yang menurunkan derajat alam sebagai
benda yang memiliki kualitas ketuhanan menjadi benda alam yang matematis-kuantitatif
(profan). Newton, sang jenius, berhasil menumbangkan kosmologi gereja yang menganut
paham teologis-skolastik dengan prinsip determinisme mekanika universal. Kebebasan dan
kreativitas berpikir ini menimbulkan kemarahan pihak gereja yang merasa otoritasnya
terancam sehingga kaum gerejawan memilih jalan suram dengan menghukum mereka bahkan
membunuhnya.
Keberhasilan ilmu-ilmu empirik yang diraih pada masa Reneisans menjadikan filsafat,
terutama epistemologi rasional-intuitif, mengalami kemunduran. Gereja terjebak dalam reaksi
ekstrim dengan memutuskan kemampuan akal dan ilmu serta membentengi ajarannya dengan
perisai kalbu dan keimanan. Sesuatu yang sangat apologis.
Di sisi lain kegemilangan ilmu-ilmu alam (fisika) dengan Newton sebagai tokoh
utamanya telah membangkitkan semangat empirisme rasional-materialistik dibidang
astronomi, biologi, psikologi, sosiologi, maupun filsafat. Laplace misalnya, berani
mengatakan bahwa teori astronomi yang dibangunnya tidak membutuhkan hipotesis tentang
peran Tuhan untuk menjelaskan asal-usul alam semesta. Begitu juga Darwin yang menafikan
keterlibatan Tuhan dalam kehidupan organis, yang berjalan sendiri melalui prinsip mekanika
hukum evolusi yaitu seleksi alamiah.
Demikian juga dengan Freud yang memandang konsep Tuhan bagi orang-orang
beragama sebagai ide ilusif karena berasal dari imajinasi ketidakberdayaan manusia dalam
menghadapi fenomena yang ada diluar dirinya. Sedangkan bagi Durkheim, kekuatan
supranatural atau hal-hal yang gaib tidak lebih dari kekuatan-kekuatan listrik yang
terkonsentrasi dalam diri manusia, sehingga ia tidak bercaya pada metafisika atau Tuhan.
Menurutnya, yang lebih pantas disebut sebagai Tuhan adalah masyarakat, karena masyarakat
mampu mengakomodasi hal-hal diyakini sebagai sifat-sifat Tuhan.
Kemudian tak ketinggalan pula Karl Marx mengatakan agama adalah candu, konsep
surga dan kerajaan Tuhan di akhirat adalah refleksi penderitaan kaum proletar sebagai
manuver kaum borjuis untuk menyembunyikan realitas sosial yang sebenarnya, agar
kedudukan mereka sebagai tuan tanah tetap kukuh dan memonopoli alat-alat produksi hingga
mereka tetap menguasai roda ekonomi sekaligus aman dari kemarahan kaum proletar. Agama
tidak lain dari konstruk borjuis bukan berasal dari dunia gaib. Demikianlah dampak dari
traumatisasi masyarakat Eropa terhadap agama yang kemudian mencari penenangnya pada
ilmu pengetahuan yang berubah makna tidak lebih sebagai ilmu-ilmu alam dan ilmu sosial
dengan menjadikan eksprimen dan observasi sebagai pisau analisis metodologis.
Selanjutnya, Pranarka menjelaskan bahwa zaman modern ini telah membangkitkan
gerakan Aufklarung, suatu gerakan yang meyakini bahwa dengan bekal pengetahuan,
manusia secara natural akan mampu membangun tata dunia yang sempurna. Optimisme
Aufklarung serta perpecahan dogmatik doktriner antara berbagai macam aliran sebagai akibat
dari pergumulan filsafat modern yang menjadi multi-aplikatif telah menghasilkan krisis
budaya.
Semua itu menunjukkan bahwa perkembangan filsafat tampaknya berjalan dalam
dialektika antara pola absolutisasi dan pola relativisasi, yang ditandai dengan lahirnya aliran-
aliran dasar seperti skeptisisme, dogmatisme, relativisme, dan realisme. Namun, di samping
itu, tumbuh pula kesadaran bahwa pengetahuan itu adalah selalu pengetahuan manusia.
Bukan intelek atau rasio yang mengetahui, manusialah yang mengetahui. Kebenaran dan
kepastian adalah selalu kebenaran dan kepastian di dalam hidup dan kehidupan manusia.
Peradaban Eropa modern terbentang mulai dari abad -15 hingga abad ke-19 dengan watak
pemberontakannya terhadap periode pertengahan. Bertrand Russel, sebagaimana dikutip oleh
Rodliyah Khuzai, mengemukakan lima perbedaan antara periode modern dibanding periode
pertengahan.
1. Pertama, berkurangnya otoritas gereja dan meningkatnya otoritas ilmu.
2. Kedua, kekuasaan gereja yang semula dominan mulai berkurang dan digantikan
fungsinya oleh raja.
3. Ketiga, jika abad pertengahan manusia berusaha memahami dunia (theorical science),
maka masa modern manusia berusaha mengubah dunia yaitu (practical Science).
4. Keempat, jika pada masa pertengahan manusia yang berusaha memahami dunia dan
tidak sesuai dengan isi kitab suci maka akan dihukum. Tetapi pada masa modern
penolakan terhadap kitab suci dianggap sah jika menemukan sebuah teori yang
dilandasi oleh ilmu pengetahuan.
5. Kelima, kebebasan dari otoritas gereja menimbulkan individualisme atau bahkan
anarkisme.
Berman mengidentifikasi tiga fase perbedaan secara historis perkembangan modernitas
dari abad ke-13 hingga abad ke-18.
1. Pertama, pengalaman kehidupan modern.
2. Kedua, revolusi Prancis dan munculnya pergolakan sosial, politik, serta kehidupan individu
yang berkenaan dengan gelombang revolusi besar pada 1790.
3. Ketiga, kemudian terjadi peleburan proses modernisasi dan perkembangan budaya dunia
modern yang lebih mempercepat perubahan di bidang sosial dan kehidupan politik yang
berdampak munculnya bentuk pengalaman baru.
Berman menyoroti modernitas dari sisi gejolak sosial politik yang terjadi. Dia melihat
struktur masyarakat Eropa modern di bangun dari beberapa momen perubahan sosial politik
yang melanda Eropa dari rentang waktu abad 13 Masehi hingga abad 18 Masehi. Gejolak
sosial politik diyakini sebagai bagian dari dampak dinamis prinsip-prinsip perkembangan
ilmu pengetahuan.
Modernisasi juga berhubungan dengan industrialisasi. Ia petunjuk jalan untuk
memperlihatkan kunci bagi modernitasi dalam mengubah kesadaran masyarakat. Dalam
artian luas, modernisasi dapat dipahami sebagai sebuah keberanian dan pengakuan kesadaran
sebagai kekuatan dalam dirinya. Dengan demikian, era modern ditandai dengan usaha
manusia untuk mengoptimalkan potensi diri dalam mengindera, berpikir, dan melakukan
berbagai eksprimen mengelola alam.
Ciri pengetahuan modern tidak terlepas dari dua aliran besar pemikiran yang dikenal dengan
rasionalisme dan empirisme. Kedua aliran ini, menjadi kerakteristik epistemologi Barat yang
memancing lahirnya pemikiran-pemikiran lain, semisal kritisme, fenomenologi, positivisme,
postpositivisme, strukturalisme, postrukturalisme, posmoderen hingga teori kritis mazhab
Frankfurt. Ragam kerakteristik pemikiran-pemikiran tersebut sebagai bagian dari gejala
renaisans, dan kaum intelektual Eropa mengalami demam “kontras-paradigmatik”.
3. Aliran-Aliran Pokok Dalam Filsafat Modern
a. Rasionalisme
Usaha kritis dalam filsafat adalah untuk memeriksa kembali nilai pengetahuan manusia.
Hal ini di pandang sebagai usaha manusia untuk membedakan apa yang mantap dengan apa
yang rapuh di dalam keyakinan-keyakinan umum. Namun kesulitannya adalah menemukan
norma untuk melaksanakan pembedaan ini. Apakah ciri hkas dari pengetahuan yang kokoh
yang membedakannya dari pengetahuan yang palsu ? Salah satu usaha radikal dan cerdik
untuk menjawab persoalan ini ialah dengan metode yang dikenal nama metode rasional.
Rasionalisme. Mazhab ini dipelopori oleh Rene descartes (1596-1650), seorang filosof
Prancis yang digelar sebagai bapak filsafat modern. Setelah lama merenung ia munculkan
untuk menghidupkan kembali pemikiran filsafat idealitas yang berakar pada idealisme Plato.
Ia melahirkan prinsip yang terkenal cagito ergo sum (aku berpikir maka aku ada). Dalam
pencarian pondasi yang kuat bagi pengetahuan, ia memutuskan untuk tidak menerima
kebetulan-kebetulan dan menolak semua yang tidak pasti.
Dalam hal, Kennet T Gallagher menyebutnya sebagai skeptisme moderat, lawan dari
skeptisme absolut dimana Descartes mengistilahkan metodenya sebagi keraguan metodis
Universal. Ia menggunakan keraguan untuk mengatasi keraguan. Salah satu cara untuk
mengetahui sesuatu yang pasti dan tidak dapat diragukan adalah dengan melihat seberapa
jauh sesuatu itu dapat diragukan.
Menurut Decartes observasi melalui penginderaan, kadang-kadang menipu manusia,
konsekwensinya manusiapun kadang melakukan kesalahan dalam penalaran. Namun jika
manusia “membuang” semua dimensi inderawinya, maka kalaupun ada, apalagi yang tersisa?
Dia mengatakan;
Kita harus mengakui benda-benda jasmani ada. Namun, mungkin benda-benda
tersebut tidak persis sama seperti yang saya tangkap dengan indera, sebab pemahaman
dengan indera ini dalam banyak hal sangat kabur dan kacau; tetapi kita sekurang-kurangnya
harus mengakui bahwa semua benda yang saya pahami di dalamnya dengan jelas dan
disting...haruslah sungguh-sungguh dipahami sebagai obyek luar.
Bagi Descartes dunia yang nampak oleh indera tidak akan mampu memberikan
keyakinan benar, seperti oase di tengan pada pasir. Oleh karena apa yang nampak bahkan
tubuh kita sendiri, nampaknya sangat meragukan, sehingga tidak ada satupun yang nyata
kecuali keraguan itu sendiri.
Ketika segalanya nampak meragukan, tentu saja saat itu ada sesuatu yang melakukan
tindakan meragu, yaitu “aku” yang sedang ragu, berpikir dan sadar. Inilah pengetahuan yang
terang dan jelas (clara et distincta) kebenaran yang tidak lagi terbagi. Ide seperti ini ini, clara
et distincta, adalah cita-cita kesempurnaan bagi suatu pengetahuan dan hanya yang tak
terbatas yang menyebabkan ide itu ada dalam diri manusia. Dan yang sempurna itulah tuhan.
Oleh karena itu
Tuhan adalah aksistensi yang jelas dengan sendirinya. Dia-lah yang menjamin
keberadaan akal manusia, sehingga kerja akal turut dalam dalam jaminan Tuhan. Maka
konsepsi akal mengenai jumlah, letak dan ukuran, semua obyek yang bersifat materi pastilah
benar. Pada posisi ini manusia mampu memahami kebenaran secara obyektif. Oleh karena itu
rasionalisme Descartes memandang ilmu pengetahuan bersifat obyektif.
Descartes mengajukan tiga jenis subtansi dasar yaitu; Tuhan, pikiran dan materi.
Tuhan adalah subtansi utama yang menciptakan dua subtansi yang lain. Pikiran
sesungguhnya adalah kesadaran ia tidak mengambil tempat dalam ruang, karena tidak dapat
dibagi. Sedangkan dunia luar atau badan adalah materi yang cenderung mengalami perluasan
(ekstensa) dan mengambil tempat dalam ruang, karenanya dapat dipecah menjadi bagian-
bagian kecil. Alam atau materi adalah kumpulan dari bagian-bagian kecil yang bekerja
menurut hukum mekanik. Dengan demikian tubuh manusia, sebagai alam materi, seperti
mesin otomatis atau arloji yang dapat bekerja sendiri meskipun lepas dari pembuatnya.
Secara demikian Descartes, sebagai tokoh sentral rasionalisme modern, memandang
bahwa alam materi hanya dapat dipahami dengan metode analisis, yaitu mereduksi realitas
material menjadi bagian-bagian kecil dan matematika adalah bahasannya. Tuhan berlaku
sebagai penjamin keberadaan akal dan materi, tuhan menciptakan alam seperti seorang
menciptakan jam yang sekali jadi tidak ada lagi hubungan dengan penciptanya. Hubungan
pencipta dengan yang diciptakan hanyalah berlaku sebagai hubungan pertama.
Epistemologi rasionalitas-Cartesian jelas memisahkan antara pengetahuan alam
materi dengan pengetahuan alam metafisik. Alam materi hanya dapat diperoleh melalui
analisis, eksprimentasi, sedangkan kebenaran tentang Tuhan atau kebenaran yang bersifat
metafisik berhenti secara sederhana. Tuhan tetap aman pada tempatnya sebagai pencipta,
selain itu tidak ada “tempat” untuk Tuhan.
Mengenai hal ini Kennet T Gallagher menyebut pandangan Descartes sebagai
pandangan dikotomis yang dilain sisi menegaskan pandangan mekanis mengenai alam
semesta yang memungkinkan kemajuan pesat di dalam sains, tetapi memperlakukan manusia
seperti “hantu yang merasuki sebuah mesin” yang bekerja dengan hukum mekanika mesin.
Pada realitas ini, Descartes menimbulkan masalah lain yaitu tentang akal budi manusia yang
sangat rumit, terkait dengan segala dimensi idealitasnya.
Selain Descartes, rasionalisme abad 17 memiliki beberapa tokoh sentral seperti Spinoza
(1632-1677), Lebnis (1648-1716). Kebanyakan para filosof rasionalis tertap mempertahankan
eksistensi Tuhan, walaupun tetap terjadi pemisahan radikal antara alam dengan Tuhan.
b. Empirisme
Empirisme pertama kali diperkenalkan oleh filsuf dan negarawan Inggris Francis
Bacon pada awal-awal abad ke-17. Ia bermaksud meninggalkan ilmu pengetahuan yang lama
karena dipandang tidak memberi kemajuan tidak mem- beri hasil yang bermanfaat, dan tidak
memberikan hal-hal yang baru bagi kehidupan.Akan tetapi perkembangan pemikiran
empirisme ini di desain secara lebih sistemik oleh John Locke yang kemudian dituangkan
dalam buku- nya “Essay Concerning Human Understanding (1690)”.John Locke memandang
bahwa nalar seseorang pada waktu lahirnya adalah ibarat sebuah tabula rasa, sebuah batu tulis
kosong tanpa isi, tanpa pengetahuan apapun.
Lingkungan dan pengalamanlah yang menjadikannya berisi. Pengalaman indrawi
menjadi sumber pengetahuan bagi manusia dan cara mendapatkannya tentu saja lewat
observasi serta pemanfaatan seluruh indra manusia. John Locke adalah orang yang tidak
percaya terhadap konsepsi intuisi dan batin.
Menurut John Locke ide dalam benak manusia didapatkan melalui pengalaman atau
aposteriori. Ide manusia lalu terbagi dua yaitu ide sederhana dan ide kompleks. Ide sederhana
didapatkan melalui penginderaan yang disebut sensasi, sedangkan ide kompleks ialah refleksi
terhadap ide sederhana yang kemudian membentuk persepsi. Pengetahuan yang rumit harus
dapat dilacak kembali pada penginderaan yang sederhana, jika tidak akan beresiko menjadi
pengetahuan yang keliru, karenanya harus ditolak.
Bagi Locke persepsi manusia dapat membedakan dua kualitas pada benda, yaitu
kualitas primer dan kualitas sekunder. Kawalitas primer bersifat riil yang terdapat pada benda
itu sendiri, seperti; kepadatan, keluasan, bentuk, gerak, berat, jumlah dan lain-lain. ide yang
timbul dari kualitas primer merepresentasikan benda secara akurat, kualitas inilah yang
merupakan bagian esensial dalam kerakteristik kebenaran pengetahuan. Karena itu ilmu
bersifat obyektif yang dikarenakan berdasarnya nilai pada indera yang merefleksikan kualitas
primer pada benda. Selain kualitas primer ide juga merupakan kualitas lain ketika
mempersepsi kualitas sekunder seperti, warna, bau, rasa, suara, yang bergantung pada
kemampuan persepsi manusia, karena tidak menggambarkan realitas sejati dan mungkin saja
meleset sehingga tidak terjamin kebenarannya.
Oleh karena itu ide yang muncul dari kualitas sekunder bersifat subyektif.
Berdasarkan pemahaman ini maka pengetahuan manusia tentang Tuhan dengan sendirinya
bersifat subyektif. Karena berdasarkan teori ini, ide tentang Tuhan dapat dirasakan melalui
eksistensi diri, bahwa diri manusia adalah sesuatu yang ada. Sesuatu yang ada hanya tercipta
dari keabadian dan ketiadaan tidak mungkin mengahasilkan sesuatu. Pengetahuan manusia
yang bersumber dari eksistensi dirinya bermula dari eksistensi yang lebih luas atau eksistensi
abadi dan inilah yang disebut Tuhan. Namun sayangnya pengetahuan manusia mengenai
eksistensi tergolang dalam kualitas sekunder, dimana kualitas sekunder mungkin saja keliru.
Karena itu meskipun metode Locke mengakui ide tentang Tuhan namun ide tersebut
sangatlah samar dan meragukan. Hanya sains yang jelas dan terang serta pasti, karena
berangkat dari kualitas primer yang mengambarkan dunia materi secara akurat meskipun
dunia yang digambarkan adalah dunia yang tak bernyawa dan tidak berbeda dari mesin.
Filsuf empirisme lainnya adalah Hume. Ia memandang manusia sebagai sekumpulan
persepsi (a bundle or collection of perception). Manusia hanya mampu menangkap kesan-
kesan saja lalu menyimpulkan kesan-kesan itu seolah-olah berhubungan. Pada kenyataannya,
menurut Hume, manusia tidak mampu menangkap suatu substansi. Apa yang dianggap
substansi oleh manusia hanyalah kepercayaan saja. Begitu pula dalam menangkap hubungan
sebab-akibat. Manusia cenderung menganggap dua kejadian sebagai sebab dan akibat hanya
karena menyangka kejadian-kejadian itu ada kaitannya, padahal kenyataannya tidak
demikian. Selain itu, Hume menolak ide bahwa manusia memiliki kedirian (self). Apa yang
dianggap sebagai diri oleh manusia merupakan kumpulan persepsi saja.
c. Kritisme
Skeptisme yang dibangun oleh Hume secara perlahan mengilhami munculnya
pemikiran kritis asal jerman bernama Immanuel Kant (1724-1804). Dalam sebuah
pengakuannya Kant menyataklan bahwa Hume-lah yang membangunkannya dari ketidak
sadaran dogmatis yang dialaminya. Mulanya Kant mengaku rasionalisme lalu kemudian
empirisme datang mempegaruhinya. Namun Kant tidak sepenuhnya di bawah pengaruh
empirisme dan tidak menerima metodenya dengan begitu saja, karena dia menganggap
emperisme membangun keraguaan terhadap akal budi. Walaupun dia mengakui kebenaran
pengatahuan indera sambil tetap juga mengakui kebenaran akal budi, tetapi syarat-syaratnya
harus tetap dicari, yaitu dengan menyelidiki atau mengkritik pengetahuan akal budi dan akan
diterangkan apa sebabnya, dengan demikian pengetahuan menjadi mungkin, itulah sebabnya
mengapa aliran Kant disebut kritisme.
Kant merupanya menggabungkan empirisme dan rasioaliosme dengan mencari sintesis
antara keduanya. Dalam pandangan Kant, manusia tidak dapat mengetahui dunia hanya
dengan nalar dan observasi. Kemampuan manusia terbatas dalam memahami hakekat dunia,
tetapi tidak berarti dunia tidak dapat dipahami oleh manusia.
Pengakuan keterbatasan ini dikemukakan Kant lewat teori kritiknya, yaitu; usaha-usaha
untuk meninjau batas-batas pengetahuan manusia lewat realitas. Menurutnya realitas
memiliki hal empirik dan transendental. Sesuatu yang transendental adalah sesuatu yang pasti
kebenarannya, sehingga ia bersifat laten dan harus diterima tanpa ada kritikan. Oleh karena
itu ia berada diluar tapal batas pengetahuan manusia, yang oleh Khan disebut noumena. Akan
tetapi yang transendental itu memililki refleksi empirik, yaitu apa yang nampak sebagai citra
dari noumena dan dapat diketahui manusia sebagai fenomena.
Pengetahuan adalah tidak lebih dari sebentuk keputusan yang terdiri dari pengetahuan
apriori dan pengetahuan apestriori. Pengetahuan apriori terlepas dari pengalaman yang
disebut sebagai keputusan analitik. Pengetahuan apestriori bersumber dari indera yang
menghasilkan keputusan sintesis. Menurut Khan, pengetahuan analitik tidak memajukan ilmu
pengetahuan karena penemuan-penemuan baru tidak dapat menemuikan jalan untuk
berhubungan untuk berhuungan dengan dunia materi. Sebaliknya pengetahuan sintetis
melalui indera tidak mempunyai validitas ilmiah karena indera hanya berhubungan dengan
sesuatu yang tunggal dan terpisah. Oleh karena itu Khan mencoba meakukan terbosan baru
yaitu adanya pernyataan sintetik yang bersifat opriori. Teori mengatakan bahwa benak
manusia tidak hanya bersifat fassif menerima data-data inderawi, tetapi justru aktif,
memaksakan strukturnya kedata-data inderawi.
Berpikir menurut Khan tidak hanya menerima kesan inderawi, tetapi juga membuat
keputusan tentang apa yang kita alami. Pengetahuan manusia muncul dari dua sumber utama
dalam benak; pertama, fakultas pencerapan, kedua, fakultas pemahaman yang membuat
keputusan pada data indera dan diperoleh melalui fakultas pertama. Fakultas pencerapan
menerima data inderawi dan menatanya dengan kategori ruang dan waktu, sedangkan
fakultas pemahaman menyatakan pengalaman yang diterima pencerapan, melalui kategori-
kategori apriori untuk ditata higga menjadi keputusan. Kategori yang dimaksud ialah
kuantitas, kualitas, rasio dan modalitas.
Karena bentuk-bentuk intelektual ini adalah apriori, ia mempuanyai sifat universal dan
pasti. Kategori-kategori tersebut merupakan syarat apriori yang memungkinkan suatu
keputusan tentang obyek. Pikiran manusia mampu mengetahui benda-benda sebagaimana ia
nampak sesuai dengan kategori atau bentuk-bentuk intelektual, tetapi Ia tidak dapat sampai
pada hakekat pengetahuan tentang obyek. Kant berpendapat bahwa pengetahuan tidak perlu
melampaui pengalaman, karena penampakan obyek indera menjadi wilayah obyektif yang
akan menyatakan pengetahuan ilmiah. Dengan mengetahui keteraturan pada dunia eksternal
melalui kategori-kategori, manusia akan mengetahui secara akurat mengenai obyek
sebagaimana adanya hingga fakta dapat dipahami. Dengan demikian pengetahuan bersifat
obyektif karena benak manusia mampu memahaminya secara benar melalui kategori-kategori
yang bersifat pasti.
Pemikiran yang dikembangkan oleh Khan jelas memisahkan antara fenomena dan
neomena antara dunia materi dan dunia metafisika, serta antara akal dan Tuhan. Manusia
hanya akan mampu menangkap fenomena melalui dunia materi, sedangkan nomena dan
metafisika tidak dapat dipahami. Begitu pula halnya akal dan kebebasannya, tidak mungkin
memahami Tuhan sebab paradigma ilahiyah hanya dapat diyakini melalui moral berdasarkan
perasaan.
Ciri pokok filsafat modern adalah:
1. pertama, bebas nilai, subyek peneliti harus mengambil jarak dari semesta dan bersikap
imparsial-netral.
2. Kedua, fenomenalisme, yaitu pengetahuan yang absah hanya berfokus pada fenomena
alam semesta, sehingga proposisi-propososi metafisika seperti “keberadaan Tuhan”
ditolak mentah-mentah karena ia adalah proposisi tak berarti, tidak masuk akal, sebab
tidak ada pembuktian indrawinya, oleh karena itu Tuhan dan wacana-wacana spritual
dalam kacamata positivisme dianggap nonsense.
3. Ketiga, nominalisme. Kenyataan satu-satunya adalah individual partikuler, sedangkan
unversalisme adalah penamaaan semata.
4. Keempat, reduksionisme. Semesta direduksi menjadi fakta-fakta yang dapat
dipersepsi.
5. Kelima naturalisme. Peristiwa-peristiwa alam adalah keteraturan yang menisbikan
penjelasan adikodrati.
6. Keenam, mekanisme. Semua gejala-gejala alam bekerja secara determinis-mekanis
seperti mesin.
C. PENUTUP
1. Kesimpulan
Suasana kefilsafatan abad pertengahan yang bercorak teosentris, dan latar belakang
masyarakat Eropa yang terkekang oleh otoritas geraja, menimbulkan pemberontakan terhadap
nilai-nilai (tradisi) gerejawi, menjadi penyebab lahirnya renaissance dan filsafat modern.
Karakteristik filsafat modern adalah antroposentrisme, Manusia melihat, merasakan dan
menyadari adanya potensi pada dirinya untuk menentukan kebenaran (eksistensialisme), tolak
ukur dan validitasnya lewat metode penginderaan-observasi atau eksprimen terhadap realitas
fisik yang melahirkan cara yang selanjutnya disebut metode ilmiah.
Aliran-aliran pokok dalam filsafat modern adalah, rasionalisme, empirisme, kritisme dan
derivasinya.
BAB IPENDAHULUAN
Tujuan kita mempelajari studi filsafat ini akan mengetahui dunia filsafat minimal
mengetahui tentang pembahasan apa yang kita bahas hari ini. Kita tidak dapat memungkiri
untuk memasuki masa filsafat modern. Maka dari itu kita harus mempelajari berbagai macam
tentang filsafat modern yakni salah satunya yang kita bahas tentang Aliran Filsafat modern
yang kami mengambil beberapa pembahasan tentang aliran filsafat modern, yakni Aliran
Rasionalisme, Aliran Empirisme, Aliran Kritisme dan Aliran Idealisme.
Dari beberapa pembahasan itu tentunya memliki ciri tersendiri, dalam pembahasan ini
kita akan mengetahui pengertian, cirri, serta tokoh-tokoh yang mempelopori tentang Aliran
yang ada pada bagian aliran filsafat modern ini. Dengan adanya pembahasan ini, harapan kita
nantinya bisa membuka pikiran kita untuk mengenali filsafat ini dan kita termotivasi untuk
mempelajari apa yang akan kita pelajari dalam ilmu filsafat umum ini.
Demikian penyajian tentang beberapa aliran filsafat modern, ini kami sajikan belum
begitu lengkap da masih banyak yang harus di perbaiki.
BAB II
PEMBAHASAN
A. RASIONALISME
1. Pengertian Rasionalisme
Rasionalisme adalah paham yang mendasarkan pada rasio sebagai sumber kebenaran
tertinggi, materialisme yang meletakkan materi sebagai nilai tertinggi, empirisme yang
mendasarkan atas kebenaran fakta empiris (yang dapat ditangkap oleh indra manusia) serta
individualisme yang meletakkan nilai dari kebebasan individu sebagai nilai tertinggi dalam
segala aspek kehidupan masyarakat dan Negara.
Rasionalisme ini di pelopori oleh Rene Descartes (1596-1650) yang juga sekaligus di
sebut bapak Filsafat Modern. Ia ahli dalam ilmu alam, ilmu hukum dan kedokteran. Ia
menyatakan bahwa ilmu pengetahuan harus satu, tanpa bandingannya, harus di susun oleh
satu orang sebagai bangunan yang berdiri sendiri menurut satu metode yang umum.
Rene Descartes yang mendirikan aliran Rasionalisme berpendapat bahwa sumber
pengetahuan yang dapat di percaya adalah akal. Hanya pengetahuan yang di peroleh lewat
akallah yang memenuhi syarat yang di tuntut oleh semua ilmu pengetahuan ilmiah. Latar
belakang rasionalisme adalah keinginan untuk membebaskan diri dari segala pemikiran
tradisional (skolastik), yang pernah di terima, tetapi ternyata tidak mampu menangani hasil-
hasil ilmu pengetahuan yang di hadapi.
B. EMPIRISME
1. Pengertian Empirisme
Empirisme adalah pengetahuan yang mendasarkan kepada kepastian dan hanya di
peroleh lewat indra (empiri), dan empirilah salah satu sumber pengetahuan. Melalui empiri
ini dapat menghasilkan sebuah hasil yang pasti karena tidaka hanya di pikirkan namun empiri
di sini butuh pembuktian secara nyata dan benar-benar telah ada pembuktian melalui
percobaan.
Ada beberapa tokoh yang mempelopori aliran Empiris ini di antaranya yaitu,
Thomas Hobbes (1588-1679) seorang ahli pikir dari inggris dalam tulisannya ia menyusun
suatu system pemikiran yang berpangkal pada dasar-dasar empiris, di samping itu juga
meneriam metode dalam ilmu alam yang matematis. Pendapat ia Filsafat adalah suatu ilmu
pengetahuan tentang akibat-akibat atau tentang gejala-gejala yang di peoleh sebabnya.
Sasaran filsafat adalah fakta yaitu mencari sebab-sebabnya.
Tokoh empirisme yang selanjutnya ialah John Locke (1932-1704) ia di lahirkan di
Wrington Inggris. Ia menyukai filsafat dan teologi. Dalam penelitiannya ia memakai istilah
sensation dan Reflection. Sensation adalah suatu yang dapat berhubungan dengan dunia luar,
tetapi manusia tidak dapat mengerti dan meraihnya. Dan Reflection adalah pengenalan intuitif
yang memberikan pengetahuan kepada manusia yang sifatnya lebih baik dari pada sensation.
Walau bagaimanapun juga manusia harus mendahulukan sensation. Hal yang demikian di
karenakan manusia saat di lahirkan dalam keadaan putih bersih (Tabula rasa) yaitu jiwa itu
kosong bagaikan kertas putih yang belum tertulis. Pengalamanlah yang membentuk jiwa
seseorang.
C. KRITISME
A. Pengertian Kritisme
Kritisme adalah mengadakan penyelidikan terhadap peran ilmu pengetahuan. Yang
pada mulanya di abad ke 18 menyelesaikan pertentangan antara rasionalisme dan empirisme
semakin berlanjut. Dari kedua pendapat tersebut Immanual Kant (1724-1804) mencoba
untuk menyelesaikan persoalan di atas. Pada mulanya menimbulkan masalah, yang mana
yang sebenarnya dikatakan sumber pengetahuan? Rasio atau Empiri yang pada awalnya
berebut otonomi.
Pada saat itu Kant mengikuti rasionalisme, tapi ia kemudian terpengaruh oleh
empirisme. Walau demikian Kant tidak mudah menerimanya karena ia mengetahui bahwa
empiris terkandung skep-tisisme. Kant Mengakui peranan akal dan keharusan empiri,
kemudian di cobanya melakukan sintesis. Walaupun semua pengetahuan bersumber dari akal
(Rasionalisme), tapi adanya pengertian timbul dari benda (Empiris).
Dengan begitu artinya Kant mengevaluasi tentang kedua pendapat tersebut untuk di
jadikan bahan perbandingan yang menemukan pendapatnya yaitu aliran Kritisme, ia
mengkritisi dari kedua pendapat tersebut dengan menggabungkan antara Rasio dan Empiri
yang menjadi aliran Kritisme. Ia menawarkan pendapatnya melalui kritisi terhadap kedua
pendapat tersebut. Metode berpikirnya di sebut kritis. Walaupun ia mendasarkan diri pada
nilai yang tertinggi dari akal, tetapi ia tidak mengingkari adanya persoalan yang melampaui
akal. Sehingga akal mengenal batas-batasnya.
D. IDEALISME
1. Pengertian Idealisme
Idealisme adalah mencari suatu dasar yakni suatu metafisika yang di temukan lewat
dasar tindakan sebagai sumber yang sekonkret-konkretnya. Titik tolak tersebut dipakai
sebagai dasar untuk membuat suatu kesimpulan tentang keseluruhan yang ada.
Adapun pelopor Aliran Idealisme diantaranya yaitu : J.G. Fichte (1762-1814),
F.W.J. Scheling (1775-1854), G.W.F. Hegel (1770-1831), Schopenhauer (1788-1860).
Dari sekian pelopor idealism ini ada satu yang mencapai puncak perkembangannya yaitu
murid dari Immanual Kant turun kepada Hegel. Hegel lahir di Jerman, yang berpengaruh
begitu besar sampai di luar jerman. Menjadi seorang Profesor Ilmu Filsafat sampai
meninggal. Beljar dari Kant ia merasa belum puas tentang ilmu pengetahuan yang dibatasi
secara kritis. Menurut pendapatnya, segala peristiw didunia ini hanya dapat di mengerti jika
suatu syarat di penuhi, yaitu peristiwa-peristiwa itu secara otomatis mengandung penjelasan-
penjelasannya. Ide yang berpikir itu sebenarnya adalah gerak yang menimbnulkan gerak lain.
Artinya, gerak yang menimbulkan tesis, kemudian menimbulkan anti tesis, kemudian timbul
tesis yang menimbulkan gerak baru, yang nantinya menimbulakn antithesis dan seterusnya.
Inilah yang di sebut dengan dialektika. Proses dialektika inilah yang menjelaskan segala
peristiwa.
E. ANALISA
Dari beberapa aliran filsafat modern ini membutuhkan pemikiran yang logis di
utamakan. Karena setiap pedapat mengemukakan berdasarkan apa yang dapat di terima oleh
akal. Namun dari sekian aliran yang menjadi dasar Filsafat Modern adalah aliran
Rasionalisme. Karena dari aliran rasionalisme ini melahirkan pemikiran baru untuk
membandingkan dan meneruskan untuk mencari kebenaran yang pasti. Ketidakpuasan
dengan aliran rasionalisme ini timbul sebuah pemikiran baru untuk membuktikan dari hasil
rasio ini. Dari itu maka timbul pula aliran Empirisme yang mengedepankan fakta yang
mencari sebab-sebabnya.
Kedua aliran tersebut membuat timbulnya masalah baru, yang mana seharusnya
menjadi sumber pengetahuan? Akhirnya lahir pendapat lain yakni alira Kritisme yang
menyatukan antara pertentangan rasio dan empiri. Dengan mengkritisi kedua aliran tersebut
maka timbul pemikiran baru yang menyumbangkan atau menawarkan sebuah pemikiran
untuk di jadikan aliran baru. Mengetahui hal ini juag ada dari beberapa ahli pikir yang belum
puas dengaqn pendapat kritisme ini. Dengan alasan bahwa belum puas dengan batas
kemampuan akal, karena akal murni adalah tidak akan dapat mengenal hal yang berada di
luar pengalaman. Maka timbul pula pemikiran baru dengan nama alirannya yaitu aliran
Idealisme yang mengedepankan pencarian suatu dasar yaitu suatu system metafisika yang di
temukan lewat dasar tindakan, sebagai sumber yang sekonkret-konkretnya.
Dari pejelasan di atas dapat kita ketahui bahwa Filsafat modern ini mengedepankan
kemajuan dalam hal pemikiran yang bertititik tolak pada aliran yang pertama. Pemikiran
yang berkembang yang menimbulkan pemikiran baru yang di tawarkan oleh para ahli pikir.
BAB III
PENUTUP
1. KESIMPULAN
Rasionalisme adalah paham yang mendasarkan pada rasio sebagai sumber kebenaran
tertinggi. Rasionalisme ini di pelopori oleh Rene Descartes (1596-1650) yang juga sekaligus
di sebut bapak Filsafat Modern. Dengan pendapatnya pengetahuan yang di peroleh lewat
akallah yang memenuhi syarat yang di tuntut oleh semua ilmu pengetahuan ilmiah.
Empirisme adalah pengetahuan yang mendasarkan kepada kepastian dan hanya di
peroleh lewat indra (empiri). Ada beberapa tokoh yang mempelopori aliran Empiris ini di
antaranya yaitu, Thomas Hobbes (1588-1679) seorang ahli pikir dari inggris dalam
tulisannya ia menyusun suatu system pemikiran yang berpangkal pada dasar-dasar empiris.
Tokoh empirisme yang selanjutnya ialah John Locke (1932-1704) ia di lahirkan di Wrington
Inggris. Ia menyukai filsafat dan teologi. Dalam penelitiannya ia memakai istilah sensation
dan Reflection.
Kritisme adalah mengadakan penyelidikan terhadap peran ilmu pengetahuan. Yang
pada mulanya di abad ke 18 menyelesaikan pertentangan antara rasionalisme dan empirisme
semakin berlanjut. Dari kedua pendapat tersebut Immanual Kant (1724-1804) mencoba
untuk menyelesaikan persoalan di atas.
Idealisme adalah mencari suatu dasar yakni suatu metafisika yang di temukan lewat
dasar tindakan sebagai sumber yang sekonkret-konkretnya. Adapun pelopor Aliran Idealisme
diantaranya yaitu : J.G. Fichte (1762-1814), F.W.J. Scheling (1775-1854), G.W.F. Hegel
(1770-1831), Schopenhauer (1788-1860).
2. SARAN DAN PESAN
Semoga dengan sedikit penjelasan tentang aliran filsafat ini kita bisa memahami
bagaimana para ahli pemikir yang memikirkankan tentang sesuatu yang ditelitinya walaupun
hanya sedikit. Kami juga sebagai pemakalah dari tema ini sangat mengharapkan masukan
dari teman-teman ataupun bapak yang sekaligus sebagai dosen pengampu kami untuk
memberikan sedikit motivasi terhadap makalah yang kami buat ini secara bersama.
Demikianlah ynag dapat kami sampaikan, kami ucapkan terimakasi
BIBLIOGRAFI
Ahmadi, Asmoro, 2010. Filsafat Umum. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Bab IPENDAHULUAN
Tidak dapat dipungkiri, zaman filsafat modern telah dimulai. Secara historis, zaman
modern dimulai sejak adanya krisis zaman pertengahan selama dua abad (abad ke-14 dan ke-
15), yang ditandai dengan munculnya gerakan Renaissance. Renaissance berarti kelahiran
kembali, yang mengacu pada gerakan keagamaan dan kemasyarakatan yang bermula di Italia
(pertengahan abad ke-14). Tujuan utamanya adalah merealisasikan kesempurnaan pandangan
hidup Kristiani dengan mengaitkan filsafat Yunani dengan ajaran agama Kristen. Selain itu,
juga dimaksudkan untuk mempersatukan kembali gereja yang terpecah-pecah.
Di samping itu, para humanis bermaksud meningkatkan suatu perkembangan yang
harmonis dari keahlian-keahlian dan sifat-sifat alamiah manusia dengan mengupayakan
kepustakaan yang baik dan mengikuti kultur klasik. Renaissance akan banyak memberikan
segala aspek realitas. Perhatian yang sungguh-sungguh atas segala hal yang konkret dalam
lingkup alam semesta, manusia, kehidupan masyarakat dan sejarah.
Pada masa itu pula terdapat upaya manusia untuk member tempat kepada akal yang
mandiri. Akal diberi kepercayaan yang lebih besar karena adanya suatu keyakinan bahwa
akal pasti dapat menerangkan segala macam persoalan yang diperlukan juga pemecahannya.
Hal ini dibuktikan adanya perang terbuka terhadap kepercayaan yang dogmatis dan terhadap
orang-orang yang enggan menggunakan akalnya.
Asumsi yang digunakan, semakin besar kekuasaan akal akan dapat diharapkan lahir
dunia baru yang penghuninya dapat merasa puas atas dasar kepemimpinan akal yang sehat.
Aliran yang menjadi pendahuluan ajaran filsafat modern ini didasarkan pada suatu kesadaran
atas yang individual dan yang konkret.
Bermula dari William Ockham (1295-1349), yang mengetengahkan Via Moderna
(jalan modern) dan Via Antiqua (jalan kuno). Akibatnya manusia didewa-dewakan, manusia
tidak lagi memusatkan pikirannya kepada Tuhan dan Surga. Akibatnya, terjadi perkembangan
ilmu pengetahuan secara pesat dan membuahkan sesuatu yang mengagumkan. Di sisi lain,
nilai filsafat merosot karena dianggap ketinggalan zaman. Dalam era filsafat modern, yang
kemudian dilanjutkan dengan era filsafat abad ke-20, muncullah berbagai aliran pemikiran.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Aliran Filsafat Modern
Filsafat modern (abad 15 – sekarang) berkembang beberapa paham yang menguatkan
kedudukan humanisme sebagai dasar dalam perkembangan hidup manusia dan pengetahuan.
Paham rasionalisme me-nyatakan bahwa akal merupakan alat terpenting untuk memperoleh
dan menguji penge-tahuan. Kedaulatan rasio diakui sepenuhnya dengan menyisihkan
pengetahuan indra. Menurut Rene Descartes (paham rasionalisme dan skeptisme),
pengetahuan yang benar harus berangkat dari kepastian. Untuk memastikan kebenaran
sesuatu, segala sesuatu harus diragukan terlebih dahulu. Keragu-raguan membuat manusia
bertanya/mencari ja-waban untuk memperoleh kebenaran yang pasti (manusia harus berpikir
rasional untuk mencapai kebenaran).
Pada paham empirisme, segala sesuatu yang ada dalam pikiran didahului oleh pengalaman
indrawi. Pengetahuan dikembangkan dari pengalaman indra secara konkrit dan bukan dari
rasio. Menurut John Locke (empirisme dan naturalisme), pikiran awal-nya kosong. Isi pikiran
(ide) berasal dari pengalaman indrawi (lahiriah dan batiniah) ter-hadap substansi (benda) di
alam. David Hume (skeptisme dan empirisme) mengatakan ide atau konsep didalam pikiran
berasal dari persepsi (kesan terhadap pengalaman indra-wi) dan gagasan (konsep makna dari
kesan) terhadap suatu substansi, bukan dari substansinya. Sementara menurut Francis Bacon,
pengetahuan merupakan kekuatan untuk menguasai alam. Pengetahuan diperoleh dengan
metode induksi melalui eksperi-men dan observasi terhadap suatu fenomena yang ingin
dikaji. Paham lainnya adalah idealisme yang dianut Barkeley: ada disebabkan oleh adanya
persepsi; dan paham idealisme – kritisisme yang dikembangkan Imanuel Kant. Menurut
Kant, hakikat fisik adalah jiwa (spirit) dan pengetahuan adalah hasil pemikiran yang
dihubungkan dengan pengalaman indrawi. Paham ini menggabungkan konsep rasionalisme
dengan empiris-me. Paham positive-empiris (Aguste Comte) menyatakan bahwa realita
berjalan sesuai dengan hukum alam sehingga pernyataan pengetahuan harus bisa diamati,
diulang, diu-kur, diuji dan diramalkan. Sementara paham pragmatisme William James
menyatakan kebenaran suatu pernyataan diukur dari kriteria apakah pernyataan tersebut
bersifat fungsional (bermanfaat) dalam kehidupan praktis. Pernyataan dianggap benar jika
kon-sekuensi dari pernyataan tersebut memiliki kegunaan praktis bagi manusia.
Filsafat kuno dan abad pertengahan. Di masa ini, pertanyaan tentang asal usul alam
mulai dijawab dengan pendekat-an rasional, tidak dengan mitos. Subjek (manusia) mulai
mengambil jarak dari objek (alam) sehingga kerja logika (akalpikiran) mulai dominan.
Sebelum era Socrates, kaji-an difokuskan pada alam yang berlandaskan spekulasi metafisik.
Menurut Heraklitos (535-475 SM), realita di alam selalu berubah, tidak ada yang tetap (api
sebagai simbol perubahan di alam) sementara Parmenides (515-440 SM) mengatakan bahwa
realita di alam merupakan satu kesatuan yang tidak bergerak sehingga perubahan tidak
mungkin terjadi.
Pada era Socrates, kajian filosofis mulai menjurus pada manusia dan mulai ada
pemikiran bahwa tidak ada kebenaran yang absolut. Beberapa filosof populernya adalah
Socrates (479-399 SM), Plato (427-437 SM) dan Aristotles (384-322 SM). Socrates
mendefinisikan, menganalisis dan mensintesa kebenaran objektif yang universal melalui
metode dialog (dialektika). Satu pertanyaan dijawab dengan satu jawaban. Plato
mengembangkan konsep dualisme (adanya bentuk dan persepsi). Ide yang ditangkap oleh
pikiran (persepsi) lebih nyata dari objek material (bentuk) yang dilihat indra. Sifat persepsi
tidak tetap dan bisa berubah, sementara bentuk adalah sesuatu yang tetap. Aristoteles
menyatakan bahwa materi tidak mungkin tanpa bentuk karena ia ada (eksis). Fil-suf ini juga
memperkenalkan silogisme, yaitu penggunaan logika berdasarkan analisis bahasa guna
menarik kesimpulan. Silogisme memiliki dua premis mayor dan satu ke-simpulan sehingga,
suatu pernyataan benar harus sesuai dengan minimal dua pernyataan pendukung. Logika ini
disebut juga dengan logika deduktif yang mengukur valid tidak-nya sebuah pemikiran.
Pada abad pertengahan (abad 12–13 SM) mulai dilakukan analisis rasional terha-dap
sifat-sifat alam dan Allah, analisis suatu kejadian/materi, bentuk, ketidaknampakan, logika
dan bahasa. Salah satu filsufnya adalah Thomas Aquinas (1225-1274).Di dalam masa
pertumbuhan dan perkembangan filsafat Eropa (kira-kira selama 5 abad) belum
memunculkan ahli fikir (filosof), akan tetapi setelah abad ke-6 Masehi, barulah muncul para
ahli pikir yang mengadakan penyelidikan filsafat. Jadi, filsafat Eropa yang mengawali
kelahiran filsafat barat abad pertengahan.
Filsafat Barat Abad Pertengahan (476 – 1492) juga dapat dikatakan sebagai “abad gelap”.
Ciri-ciri pemikiran filsafat barat abad pertengahan adalah: Cara berfilsafatnya dipimpin oleh
gereja
Berfilsafat di dalam lingkungan ajaran Aristoteles Berfilsafat dengan pertolongan
Augustinus dan lain-lain.
Masa abad pertengahan ini terbagi menjadi dua masa yaitu masa Patristik dan masa
Skolastik. Masa Skolastik terbagi menjadi Skolastik Awal, Skolastik Puncak, dan Skolastik
Akhir.
A. Masa Patristik
1. Gambaran Umum Patristik berasal dari kata Patres (bentuk jamak dari Pater) yang berarti
bapak-bapak. Yang dimaksudkan adalah para pujangga gereja dan tokoh-tokoh gereja yang
sangat berperan sebagai peletak dasar intelektual kekristenan. Mereka fokus pada
pengembangan teologi tetapi tidak lepas dari wilayah kefilsafatan.
2. Tokoh-tokoh terpenting Bapak Gereja terpenting pada masa itu antara lain Tertullianus
(160-222), Justinus, Clemens dari Alexandria (150-251), Origenes (185-254), Gregorius dari
Nazianza (330-390), Basilus Agung (330-379), Gregorius dari Nyssa (335-394), Dionysius
Areopagita, Johanes Damascenus, Ambrosius, Hyeronimus, dan Agustinus (354-430).
Tertullianus, Justinus, Clemens dari Alexandria, dan Origenes adalah pemikir-pemikir pada
masa awal patristik. Gregorius dari Nazianza, Basilus Agung, Gregorius dari Nyssa,
Dionysius Areopagita,dan Johanes Damascenus adalah tokoh-tokoh pada masa patristik
Yunani. Sedangkan Ambrosius, Hyeronimus, dan Agustinus adalah pemikir-pemikir yang
menandai masa keemasan patristic Latin.
Masa keemasan patristik Yunani didorong oleh Edik Milan yang dikeluarkan Kaisar
Constatinus Agung tahin 313 yang menjamin kebebasan beragama bagi umat Kristen.
Agustinus adalah seorang pujangga gereja dan filsuf besar. Setelah melewati kehidupan masa
muda yang hedonistis, Agustinus kemudian memeluk agama Kristen dan menciptakan sebuah
tradisi filsafat Kristen yang berpengaruh besar pada abad pertengahan. Karyanya yang
terpenting adalah Confessiones (pengakuan-pengakuan) dan De Civitate Dei (tentang kota
Allah).
Agustinus menentang aliran skeptisisme (aliran yang meragukan kebenaran). Menurut
Agustinus skeptisisme itu sebetulnya merupakan bukti bahwa ada kebenaran. Orang ragu-
ragu itu sebenarnya bukti bahwa dia tidak ragu-ragu tehadap satu hal yaitu bahwa ia ragu-
ragu. Orang yang ragu-ragu itu sebetulnya berpikir, dan siapa yang harus berpikir harus ada.
Aku ragu-ragu maka aku berpikir, aku berpikir maka aku berada. Menurut Agustinus, Allah
menciptakan dunia ex nihilo (konsep yang kemudian juga diikuti oleh Thomas Aquinos).
Artinya, dalam menciptakan dunia dan isinya, Allah tidak menggunakan bahan. Jadi, berbeda
dengan konsep yang diajarkan Plato bahwa me on merupakan dasar atau materi segala
sesuatu. Filsafat patristik mengalami kemunduran sejak abad V hingga abad VIII. Di barat
dan timur tokoh-tokoh dan pemikir-pemikir baru dengan corak pemikiran yang berbeda
dengan masa patristik.
B. Masa Skolastik ( skolastik barat )
Istilah Skolastik adalah kata sifat yang berasal dari kata school, yang berarti sekolah.
Jadi, skolastik berati aliran atau yang berkaitan dengan sekolah.
Terdapat beberapa pengertian dari corak khas skolastik, sebagai berikut :
a. Filsafat yang mempunyai corak semata-mata agama.
b. Filsafat yang mengabdi pada teologi atau filsafat yang rasional.
c. Suatu sistem filsafat yang termasuk jajaran pengetahuan alam kodrat.
d. Filsafat Nasrani karena banyak dipengaruhi oleh ajaran gereja.
Dalam perkembangannya, periode skolastik Kristen terbagi menjadi tiga masa. Yaitu,
Skolastik Awal (abad 9 – 12 M), Skolastik Keemasan (abad 13–14 M), dan Skolastik Akhir
(abad 14–15 M).
Setiap masa memiliki cirinya masing-masing. Skolastik awal ditandai dengan kebangkitan
pemikiran dari kungkungan gerejawan yang telah membatasi filsafat. Atau, setidaknya
mengarahkan filsafat agar sesuai dengan doktrin-doktrin agama. Walaupun filsafat belum
sepenuhnya lepas dari pemikiran teologi kristiani. Masa skolastik keemasan, kajian pemikiran
Aristoteles jadi ciri utama. Seiring dengan menjamurnya kajian pemikiran para filosof klasik
(Yunani) di dunia Islam, filosof di Eropa juga ikut terpengaruh. Mereka turut serta
memperdalam filsafat dan ilmu pengetahuan. Tampak dari semakin banyaknya universitas
pendidikan ilmu pengetahuan yang dibuka.
Tokoh-tokoh terpenting pada masa skolastik adalah Boethius (480-524), Johanes Scotus
Eurigena (810-877), Anselmus dari Canterbury (1033-1109), Petrus Abelardus (1079-1142),
Albertus Agung (1205-1280), Thomas Aquinos (1225-1274), Johanes Duns Scotus (1226-
1308), Guliemus dari Ockham (1285-1349), dan Nicholaus Cusanus (1401-1464).
Johanes Scotus Eurigena mengajar di sekolah istana yang didirikan oleh Karel Agung.
Anselmus adalah seorang uskup yang terkenal dengan semboyan Credo Ut Intelligam (saya
percaya agar saya mengerti). Artinya, dengan percaya orang akan mendapatkan pemahaman
lebih dalam tentang Allah.
Thomas Aquinos dijuluki pangeran masa skolastik. Ia adalah seorang biarawan ordo
dominikan, mengajar di Paris, Jerman, dan Italia. Thomas Aquinos berpendapat bahwa
filsafat harus mengabdi teologi, waktu itu dikenal ungkapan Philosophia Est Ancilla
Theologiae.
Manusia dapat mengenal Allah dengan menggunakan rasio. Tetapi, pengenalan itu hanya
melalui ciptaan-ciptaan. Thomas membuktikan adanya Allah melalui rangkaian argumentasi
yang dikenal dengan Quinqae Viae (Lima Jalan) yaitu: Gejala adanya perubahan atau gerakü
Gejala sebab dan akibatü Gejala kontingensiüAdanya hierarki kesempurnaanü Finalitas
duniaü
Manusia terdiri dari tubuh dan jiwa. Jiwa merupakan forma dan tubuh merupakan materinya.
Keduannya tidak dapat dipisahkan dan merupakan satu substansi.
Pada skolastik akhir, terjadi stagnansi pemikiran filsafat. Menurunnya minat berfilsafat dan
nyaris tidak ada pemikiran original yang terlahir. Sebagian besar pemikiran filsafat pada
masa ini hanya mengikuti pemikiran-pemikiran para filosof sebelumnya.
Keadaan ini akhirnya menjadi salah satu sebab dimulainya pemikiran filsafat pada fase
berikutnya, yaitu filsafat modern. Ditandai dengan munculnya renaissance sekitar abad XV
dan XVI M. Yang bermaksud melahirkan kembali kebudayaan klasik Yunani-Romawi secara
paripurna.
Pengaruh Filsafat Abad Pertengahan terhadap Pemikiran Islam
Latar belakang dimulainya filsafat abad pertengahan adalah sikap ekstrem para pemuka
agama Nasrani di dunia Barat (Eropa) pada 476-1492 M. Pada masa ini, para pemuka agama
Nasrani (pihak gereja) membatasi aktivitas berpikir para filosof. Berdalih keimanan, segala
potensi akal yang bertentangan dengan keyakinan para gerejawan, dibabat habis. Para filosof
dianggap murtad, dihukum berat (dikucilkan) hingga hukuman mati.
Akibatnya, ilmu pengetahuan terhambat dan nyaris tidak berkembang. Semuanya diatur
oleh doktrin-doktrin gereja yang berdasarkan keyakinan buta (fanatik). Sehingga, filsafat
abad pertengahan disebut juga dengan nama abad kegelapan. Masa saat peradaban manusia
dikungkung oleh banyak ketidaktahuan.
Namun, fakta sejarah ini tidak berlaku di dunia Islam (Timur Tengah). Islam mulai
disiarkan oleh Nabi Muhammad SAW ( lahir pada 20 April tahun 571 M ) sekitar tahun 612
di Mekkah. Setelah ia mendapatkan wahyu ketika ia berusia 40 tahun ( 611 M ). Karena
penyebaran agama baru ini mendapat tantangan dari lingkungannya, Muhammad kemudian
pindah (hijrah) ke Madinah pada tahun 622. Dari sinilah Islam berkembang ke seluruh dunia.
Sampai tahun 750, wilayah Islam telah meliputi Jazirah Arab, Palestina, Afrika Utara, Irak,
Suriah, Persia, Mesir, Sisilia, Spanyol, Asia Kecil, Rusia, Afganistan, dan daerah-daerah di
Asia Tengah. Pada masa ini yang memerintah ialah Bani Umayyah dengan ibu kota
Damaskus. Islam dipercaya tiba di Indonesia langsung dari Timur Tengah melalui jasa para
pedagang Arab muslim sekitar abad ke-7 M.
Berpusat di Bagdad, peradaban manusia tumbuh subur seiring dengan perkembangan
filsafat yang pesat. Di sini, filsafat tidak dianggap sebagai ancaman. Bahkan, filsafat jadi
sumbu utama maju dan berkembangnya ilmu pengetahuan (science) dan teknologi. Bermitra
harmonis dengan nilai-nilai agama.
Bagdad sebagai pusat peradaban Islam, dikenal sebagai negeri 1.001 malam karena
tingginya perababan yang dimiliki. Bagdad pun dikenal memiliki perpustakaan terbesar di
dunia pada saat itu. Lebih dari satu juta buku tersimpan.
Filsafat Islam merupakan filsafat yang seluruh cendekianya adalah muslim. Ada sejumlah
perbedaan besar antara filsafat Islam dengan filsafat lain. Pertama, meski semula filsuf-filsuf
muslim klasik menggali kembali karya filsafat Yunani terutama Aristoteles dan Plotinus,
namun kemudian menyesuaikannya dengan ajaran Islam. Kedua, Islam adalah agama tauhid.
Maka, bila dalam filsafat lain masih 'mencari Tuhan', dalam filsafat Islam justru Tuhan 'sudah
ditemukan, dalam arti bukan berarti sudah usang dan tidak dbahas lagi, namun filsuf islam
lebih memusatkan perhatiannya kepada manusia dan alam, karena sebagaimana kita ketahui,
pembahasan Tuhan hanya menjadi sebuah pembahasan yang tak pernah ada finalnya.
Skolastik Islam ( Skolastik Timur ) Ciri utama dari skolastik Islam adalah dikajinya
kembali pemikiran para filosof klasik, seperti Socrates, Plato, dan terutama Aristoteles.
Telaah-telaah pemikiran mereka, kemudian dikembangkan dan disesuaikan untuk menjawab
tantangan pada masa itu.
Para ahli fikir skolastik Islam di antaranya Al-Kindi, Al-Farabi, Ar-Razi, Ibnu Sina, Al-
Gazali, Ibnu Khaldun, Ibnu Rusyd, dan lain-lain. Di tangan para filosof skolastik Islam ini,
sumbangan pemikiran dari para filosof sebelumnya (filosof klasik), dapat dipahami dan dikaji
lebih mendalam.
Termasuk jadi bahan utama perkembangan filsafat di Eropa, yaitu berkontribusi dalam
periode skolastik Kristen. Dan, memberikan spirit kebebasan berpikir para filosof.
Diwarnai situasi dalam komunitas Islam di Timur Tengah, abad 8 s/d 12 M. Abad ke-5 s/d
abad ke-9 Eropa penuh kericuhan oleh perpindahan suku-suku bangsa dari utara. Pemikiran
filsafat praktis tidak ada. Sebaliknya di Timur Tengah. Sejak hadirnya agama Islam dan
munculnya peradaban baru yang bercorak Islam, ada perhatian besar kepada karya-karya
filsuf Yunani. Itu bukan tanpa alasan. Pada awal abad 8 krisis kepemimpinan melanda Timur
Tengah; amanat Nabi seperti terancam untuk menjadi pudar dan dalam situasi tak menentu
itu dikalangan pada mukmin muncullah deretan panjang ahli pikir yang ingin berbuat sesuatu,
berpangkal pada penggunaan akal dan azas-azas rasional, dan menyelamatkan Islam.
1. Mashab Mu'tazila (725 - 850 - 1025 M) Meminjam konsep-konsep pemikiran Yunani dan
melihat akal sebagai pendukung iman. Pengakuan akal sebagai sumber pengetahuan (selain
sumber wahyu) mendorong penelitian tentang manusia (kodrat, martabat dan tabiatnya).
Mengikuti etika Aristoteles, karena akal membuat manusia mampu membedakan baik dan
buruk, maka berbuat baik adalah wajib. Pemimpin harus mewajibkan umatnya berbuat baik,
masing-masing warga menjauhkan diri dari perbuatan tercela. Daripadanya dijabarkan
hubungan antar-manusia dan antar-bangsa, dan hak azasi (kemauan bebas) manusia. Mashab
Mu'tazila ada pada pendapat bahwa Al Qur'an tercipta, artinya "dirumuskan oleh manusia,
dengan latar belakang tempat dan zaman yang khusus". Maka para Mu'tazila membaca Al
Qur'an dengan kacamata rasionalis.
2. Mashab falsafah pertama (830 - 1037 M) Berhaluan neoplatonis dan aristoteles. Kata
"falsafah" dipakai untuk mengartikan filsafat hellenis dalam kosakata bahasa Arab, ahli
fikirnya disebut "faylasuf" ("falasifa - jamak). Empat tokol besar : al-Kindi (800-870 M), al-
Razi (865 - 925 M), al-Farabi (872 - 950 M) dan Ibn-Sina (980 - 1037 M). Menggumuli
masalah klasik "perbedaan antara dhat dan wujud" ("distinctio realis inter essentiam et
existentiam"). Mereka ada pada pendapat, bahwa akal adalah pendamping iman. Dengan akal
kita mengenal Tuhan, ilmu tertinggi bagi manusia. Akal itu menghakimi segala-galanya, dan
tidak boleh dihakimi oleh sesuatu yang lain. Kelakuan kita harus ditentukan oleh akal semata-
mata". Ibn Sina (Avicenna) berusaha menggabungkan filsafat Aristoteles dan Neoplatonisme.
Dia menganut ajaran manansi plotinos, dan mengatakan Allah menyelenggarakan dunia
secara tidak langsung melalui intelek aktif yang berasl dari intelek pertama.
3. Mashab pemikiran ketiga disebut pula Kalam Ashari Berpusat di Bagdad, dan bercorak
atomisme (yang dicetuskan pertama kali oleh Democritus, 370 sM), dan bergumul dengan
soal sebab-musabab, kebebasan manusia, dan keesaan Tuhan. Para tokohnya: al-Ash'ari (873-
935 M), al-Baqillani (?-1035), dan al-Ghazali (1065-1111 M). Pandangan yang bercorak
atomistis berpangkal pada pendapat bahwa peristiwa alam dan perbuatan manusia tidak lain
daripada kesempatan atau tanda penciptaan langsung dari Tuhan. Daya alami serta hubungan
wajib sebab-akibat dalam penciptaan itu tidak ada. Segala sesuatu terjadi oleh campur tangan
al-Khaliq. Tiap kejadian terdiri atas deretan terputus-putus atom-atom, tanpa ada hubungan
kausal. "Kami menyangkal bahwa makan dan minum menyebabkan kenyang". Yang ada
hanya monokausalitas mutlak illahi. Apabila tampak sesuatu akibat dari suatu tindakan, maka
itu hanya semu, karena Allah menghendaki hal itu. Tuhan mahakuasa dan mendalangi setiap
kegiatan insani. Manusia tidak memiliki kehendak bebas, yang bebas itu hanya semua saja.
Manusia hanya boneka atau wayang dalam pergelaran semalam suntuk. "Bila manusia
bertindak baik, itulah ditentukan Allah sesuai rahmatNya; bila dia berbuat jahat itu
dikehendaki Allah sesuai keadilanNya". Dalam "Al-Tahafut al-filasifah" al-Ghazali membuat
sistematisasi atas filsafat dalam 20 dalil dan membuat kajian dan bantahan yang keras atas
tiap-tiap dalil itu. Empat dari 20 dalil diberi nilai kufurat. Ilmu sebagai pengetahuan sesuatu
melalui sebab-sebabnya dimungkiri; seluruh pengetahuan ilmiah adalah sia-sia. Secara
singkat "al-aql laysa lahu fi'l-shar' majal" -- untuk akal tiada tempat dalam agama.
4. Jauh dari pusat khilafat Abbasiyah di Timur Tengah, di kawasan yang dikenal sebagi
Maghrib al-Aqsa (Barat jauh: Afrika barat laut, jazirah Andalusia, yaitu Spanyol sekarang)
berkembanglah pusat Islam dalam kesenian, ilmu pengetahuan dan filsafat. Ibn Bajjah (1100-
1138 M), Ibn Tufail (? - 1185), dan Ibn Rushd ("Averroes") (1126-1198 M) merupakan 3
filsuf utama dalam perioda Filsafat Kedua (1100 - 1195 M) ini. Ciri para filsuf ini pada
umumnya menolak haluan anti-rasional Al Ghazali. Ibn Bajjah menegaskan adalah tugas
seorang filsuf untuk meningkatkan martabat hidupnya dengan merenungkan kenyataan rohani
sampai akhir hayat. Akal adalah hal yang paling berharga yang dikaruniakan Tuhan kepada
abdiNya yang setia.
Ibn Tufayl terkenal oleh buku roman filsafi yang berjudul Risalat HAYY IBN YAQZAN fi
asrar al -himah al-mashiriyyah. Ibnu Rushd dikenal oleh 3 kelompok karyanya: tafsir atas
Aristoteles, karangan polemis (tentang karya-karya filsafat di kawasan timur) dan karangan
apologetis (yang membela Islam dari ancaman dari dalam). Tahafut al-tahafut merupakan
serangan frontal atas al-Tahafut al-filasifah al-Ghazali. Menolak pandangan al-Ghazali,
ditegaskannya bahwa ilmu secara esensial adalah pengetahuan sesuatu berdasarkan sebabnya.
Kita menanggapi hubungan sebab-akibat dengan pancaindera, dan memahaminya sebagai
nyata dengan akal. Dengan akibat atau setiap perubahan diciptakan secara langsung oleh
iradat ilahi tanpa pengantaraan sebab tercipta (wasa'ith), seluruh dunia dimerosotkan menjadi
kaos dan irasional, tanpa tata-tertib, tanpa nizam atau inayah. Itu bertentangan dengan akal
sehat dan menentang wahyu Qur'an, yang melukiskan dunia sebagai karya teratur Allah yang
maha bijaksana. Karya apologetisnya (2 buku yang ditulis pada tahun 1179 M) juga membela
hak hidup filsafat dalam Islam, baik sebagai ilmu otonom, maupun sebagai ilmu bantu dalam
teologi. Rushd melihat filsafat sebagai "sahabat al-shari'at w'ahat al-ruzdat", teman teologi
ibarat saudari sesusuan. Filsafat diwajibkan oleh al-Qur'an, agar manusia dapat memuji karya
Tuhan di dunia ini. Bila studi hukum (fiqh) tidak disertai studi filsafat, fiqh membuat budi
sempit dan memalsukan agama. Pengaruh Ibn Rushd sang filsuf dari Cordova itu terhadap
alam pikiran Islam selanjutnya mungkin tidak seberapa, dia bahkan dikatakan hanya
mewariskan "sekeranjang buku seberat sosok mayatnya". Tetapi naskahnya populer di Eropa,
khususnya di lingkungan kampus Universitas Paris, dan menyebar dari sana. Dengan
karyanya, Aristoteles yang dijuluki "Sang Filsuf" diperkenalkan mutiara pemikirannya oleh
Ibn Rushd yang oleh karena itu mendapat julukan "Sang Komentator". Sebagai akibatnya,
obor perenungan filsafati Yunani, seperti diarak melalui Timur Tengah ke Barat Jauh oleh
para filsuf muslim (yang sering hidup menderita), dan dengan itu diestafetkan kepada para
filsuf Eropa (Barat) dan ke seluruh dunia. Itulah sumbangan berharga para filsuf muslim
dalam khazanah perenungan tak kunjung henti manusia dalam menemukan jati diri dan
realitas di sekelilingnya.
Pengaruh Filsafat Abad Pertengahan terhadap Filsafat Modern.
Pada abad pertengahan, perkembangan alam pikiran di Barat amat terkekang oleh keharusan
untuk disesuaikan dengan ajaran agama (doktrin gereja). Perkembangan penalaran tidak
dilarang, tetapiharus disesuaikan dan diabdikan pada keyakinan agama.
Masa filsafat modern diawali dengan munculnya renaissance sekitar abad XV dan XVI M,
yang bermaksud melahirkan kembali kebudayaan klasik Yunani-Romawi. Problem utama
masa renaissance, sebagaimana periode skolastik, adalah sintesa agama dan filsafat dengan
arah yang berbeda. Era renaissance ditandai dengan tercurahnya perhatian pada berbagai
bidang kemanusiaan, baik sebagai individu maupun sosial. Di antara filosof masa renaissance
adalah Francis Bacon (1561-1626). Ia berpendapat bahwa filsafat harus dipisahkan dari
teologi. Meskipun ia meyakini bahwa penalaran dapat menunjukkan Tuhan, tetapi ia
menganggap bahwa segala sesuatu yang bercirikan lain dalam teologi hanya dapat diketahui
dengan wahyu, sedangkan wahyu sepenuhnya bergantung pada penalaran. Hal ini
menunjukkan bahwa Bacon termasuk orang yang membenarkan konsep kebenaran ganda
(double truth), yaitu kebenaran akal dan wahyu. Puncak masa renaissance muncul pada era
Rene Descartes (1596-1650) yang dianggap sebagai Bapak Filsafat Modern dan pelopor
aliran Rasionalisme. Argumentasi yang dimajukan bertujuan untuk melepaskan diri dari
kungkungan gereja. Hal ini tampak dalam semboyannya “cogito ergo sum” (saya berpikir
maka saya ada). Pernyataan ini sangat terkenal dalam perkembangan pemikiran modern,
karena mengangkat kembali derajat rasio dan pemikiran sebagai indikasi eksistensi setiap
individu. Dalam hal ini, filsafat kembali mendapatkan kejayaannya dan mengalahkan peran
agama, karena dengan rasio manusia dapat memperoleh kebenaran. Kemudian muncul aliran
Empirisme, dengan pelopor utamanya, Thomas Hobbes (1588-1679) dan John Locke (1632-
1704). Aliran Empirisme berpendapat bahwa pengetahuan dan pengenalan berasal dari
pengalaman, baik pengalaman batiniah maupun lahiriah. Aliran ini juga menekankan
pengenalan inderawi sebagai bentuk pengenalan yang sempurna. Di tengah gegap
gempitanya pemikiran rasionalisme dan empirisme, muncul gagasan baru di Inggris, yang
kemudian berkembang ke Perancis dan akhirnya ke Jerman. Masa ini dikenal dengan
Aufklarung atau Enlightenment atau masa pencerahan sekitar abad XVIII M.
Pada abad ini dirumuskan adanya keterpisahan rasio dari agama, akal terlepas dari
kungkungan gereja, sehingga Voltaire (1694-1778) menyebutnya sebagai the age of reason
(zaman penalaran). Sebagai salah satu konsekwensinya adalah supremasi rasio berkembang
pesat yang pada gilirannya mendorong berkembangnya filsafat dan sains. Meskipun
demikian, di antara pemikir zaman aufklarung ada yang memperhatikan masalah agama,
yaitu David Hume (1711-1776). Menurutnya, agama lahir dari hopes and fears (harapan dan
penderitaan manusia). Agama berkembang melalui proses dari yang asli, yang bersifat
politeis, kepada agama yang bersifat monoteis. Kemudian Jean Jacques Rousseau (1712-
1778) berjuang melawan dominasi abad pencerahan yang materialistis dan atheis. Ia
menentang rasionalisme yang membuat kehidupan menjadi gersang. Ia dikenal dengan
semboyannya retournous a la nature (kembali ke keadaan asal), yakni kembali menjalin
keakraban dengan alam.
Tokoh lainnya adalah Imanuel Kant (1724-1804). Filsafatnya dikenal dengan Idealisme
Transendental atau Filsafat Kritisisme. Menurutnya, pengetahuan manusia merupakan sintesa
antara apa yang secara apriori sudah ada dalam kesadaran dan pikiran dengan impresi yang
diperoleh dari pengalaman (aposteriori). Ia berusaha meneliti kemampuan dan batas-batas
rasio. Ia memposisikan akal dan rasa pada tempatnya, menyelamatkan sains dan agama dari
gangguan skeptisisme.
Tokoh idealisme lainnya adalah George Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831). Filsafatnya
dikenal dengan idealisme absolut yang bersifat monistik, yaitu seluruh yang ada merupakan
bentuk dari akal yang satu, yakni akal yang absolut (absolut mind). Ia memandang agama
Kristen yang dipahaminya secara panteistik sebagai bentuk terindah dan tertinggi dari segala
agama.
Sementara di Inggris, Jeremy Benthem (1748-1832) dengan pemikiran-pemikirannya
mengawali tumbuhnya aliran Utilitarianisme. Utility dalam bahasa Inggris berarti kegunaan
dan manfaat. Makna semacam inilah yang menjadi dasar aliran Utilitarianisme. Tokoh lain
aliran ini adalah John Stuart Mill (1806-1873) dan Henry Sidgwick (1838-1900). Menurut
aliran utilitarianis bahwa pilihan terbaik dari berbagai kemungkinan tindakan perorangan
maupun kolektif adalah yang paling banyak memberikan kebahagiaan pada banyak orang.
Kebahagiaan diartikan sebagai terwujudnya rasa senang dan selamat atau hilangnya rasa sakit
dan was-was. Hal ini bukan saja menjadi ukuran moral dan kebenaran, tetapi juga menjadi
tujuan individu, masyarakat, dan negara.
Aliran filsafat yang lain adalah Positivisme. Dasar-dasar filsafat ini dibangun oleh Saint
Simon dan dikembangkan oleh Auguste Comte (1798-1857). Ia menyatakan bahwa
pengetahuan manusia berkembang secara evolusi dalam tiga tahap, yaitu teologis, metafisik,
dan positif. Pengetahuan positif merupakan puncak pengetahuan manusia yang disebutnya
sebagai pengetahuan ilmiah. Sesuai dengan pandangan tersebut kebenaran metafisik yang
diperoleh dalam metafisika ditolak, karena kebenarannya sulit dibuktikan dalam kenyataan.
Auguste Comte mencoba mengembangkan Positivisme ke dalam agama atau sebagai
pengganti agama. Hal ini terbukti dengan didirikannya Positive Societies di berbagai tempat
yang memuja kemanusiaan sebagai ganti memuja Tuhan. Perkembangan selanjutnya dari
aliran ini melahirkan aliran yang bertumpu kepada isi dan fakta-fakta yang bersifat materi,
yang dikenal dengan Materialisme.
Tokoh aliran Materialisme adalah Feurbach (1804-1872). Ia menyatakan bahwa kepercayaan
manusia kepada Allah sebenarnya berasal dari keinginan manusia yang merasa tidak bahagia.
Lalu, manusia mencipta Wujud yang dapat dijadikan tumpuan harapan yaitu Tuhan, sehingga
Feurbach menyatakan teologi harus diganti dengan antropologi. Tokoh lain aliran
Materialisme adalah Karl Marx (1820-1883) yang menentang segala bentuk spiritualisme. Ia
bersama Friederich Engels (1820-1895) membangun pemikiran komunisme pada tahun 1848
dengan manifesto komunisme. Karl Marx memandang bahwa manusia itu bebas, tidak terikat
dengan yang transendental. Kehidupan manusia ditentukan oleh materi. Agama sebagai
proyeksi kehendak manusia, bukan berasal dari dunia ghaib. Periode filsafat modern di Barat
menunjukkan adanya pergeseran, segala bentuk dominasi gereja, kependetaan dan anggapan
bahwa kitab suci sebagai satu-satunya sumber pengetahuan diporak-porandakan. Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa abad modern merupakan era pembalasan terhadap zaman
skolastik yang didominasi gereja.
2.2 Pokok Ajaran Filsafat Modern
Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki segala sesuatu yang ada secara
mendalam dengan menggunakan akal sampai pada hakikatnya. Asal filsafat ada tiga, yakni
keheranan, kesangsian, dan kesadaran akan keterbatasan. Sesungguhnya pemikiran filsafat
banyak dipengaruhi oleh lingkungan. Perkembangan filsafat terdiri dari berbagai zaman yang
merupakan usaha untuk menghidupkan kembali kebudayaan klasik (Yunani – Romawi). Pada
zaman modern ini manusia dianggap sebagai titik focus dari kenyataan.
2.2.1 Rasionalisme
Rene Descartes yang mendirikan aliran rasionalisme berpendapat bahwa sumber
pengetahuan yang dapat dipercaya adalah akal. Hanya pengetahuan yang diperoleh lewat
akallah yang memenuhi syarat yang dituntut oleh semua pengetahuan ilmiah. Dengan akal
dapat diperoleh kebenaran dengan metode deduktif, seperti yang dicontohkan dalam ilmu
pasti.
Latar belakang munculnya rasionalisme adalah keiginan untuk membebaskan diri dari
segala pemikiran tradisional (skolastik), yang pernah diterima, tetapi ternyata tidak mampu
menangani hasil-hasil ilmu pengetahuan yang dihadapi.
Descartes menginginkan cara yang baru dalam berpikir, maka diperlukan titik tolak
pemikiran yang pasti yang dapat ditemukan dalam keragu-raguan, Cogito ergo sum (saya
ragu-ragu berarti saya berpikir, dan oleh karena itu saya ada). Jelasnya, bertolak dari
keragua untuk mendapat kepastian.
2.2.2 Empirisme
Karena adanya kemajuan ilmu pengetahuan dapat dirasakan manfaatnya, pandangan
orang terhadap filsafat mulai merosot. Hal ini terjadi karena filsafat dianggap tidak berguna
lagi bagi kehidupan . pada sisi lain, ilmu pengetahuan besar sekali manfaatnya bagi
kehidupan. Kemudian beranggapan bahwa pengetahuan yang bermanfaat, pasti dan benar
hanya diperoleh lewat indera, dan inderalah satu-satunya sumber pengetahuan. Pemikiran
tersebut lahir dengan nama empirisme. Empirisme berasal dari kata empeira yang berarti
kepercayaan terhadap pengalaman. Jadi empirisme merupakan pandangan atau sikap yang
menekankan pada peranan pengalaman dalam mencari pengetahuan.
2.2.3 Kritisme
Filsafat kritisme disebut juga filsafat zaman pencerahan (Aufklarung), muncul abad
ke-18 dimana lahirnya filsafat kritisme ini dilatarbelakangi pertentangan antara rasionalisme
dengan empirisme.
Dan seorang ahli pikir dari Jerman mencoba menyelesaikan persoalan ini dengan
sebuah analisa. Akhirnya ia mengakui peranan akal dan keharusan empiri, kemudian
dicobanya mengadakan sintesis. Walaupun semua pengetahuan bersumber pada akal
(rasionalisme), tetapi adanya pengertian timbul dari benda (empirisme). Ibarat burung terbang
harus mempunyai sayap (rasio) dan udara (empiri).
2.2.4 Idealisme
Peristiwa di dunia ini hanya dapat dimengerti apabila suatu syarat dipenuhi, yaitu jika
peristiwa-peristiwa itu sudah secara otomatis mengandung penjelasan-penjelasannya. Ide
yang berpikir itu sebenarnya adalah gerak yang menimbulkan gerak lain. Artinya geraka yang
menimbulkan tesis, kemudian menimbulkan anti tesis (gerak yang bertentangan), kemudian
muncul sintesis yang merupakan tesis baru, yang nantinya menimbulkan antithesis dan
seterusnya. Inilah yang disebut dengan dialektika. Proses dialektika inilah yang menjelaskan
segala peristiwa.
2.2.5 Positivisme
Filsafat positivisme lahir pada abad ke-19. Titik tolak pemikirannya, apa yang telah
diketahui adalah yang factual dan yang positif, sehingga metafisika ditolaknya. Maksud
positif adalah segala gejala dan segala yang tampak seperti apa adanya, sebatas pengalaman-
pengalaman objektif. Jadi setelah fakta diperolehnya, fakta-fakta tersebut diatur agar dapat
memberikan semacam asumsi (proyeksi) ke masa depan.
2.2.6 Materialisme
Filsafat materialisme berpandangan bahwa hakikat materialisme adalah materi, bukan
rohani, spiritual atau supernatural. Pandangan materialisme banyak persamaannya dengan
naturalisme. Bahkan ada filsuf yang menyamaka keduanya, khususnya yang disebut dengan
naturalisme materialistis. Hal ini didasarkan pada beberapa alas an. Pertama karena
pandangan materialism banyak kaitan dan persamaannya dengan rumpun ilmu-ilmu alam.
Kedua karena sama-sama menentang filsafat moral dan agama.
Tidak ada kejadian yang tidak dapat diteliti secara alamiah. Apa yang disebut alamiah
atau riil pastilah mempunyai sifat atau wujud material atau fisik, sekalipun mungkin
tampaknya tidak demikian kepada kita. Dengan demikian, sintesis kedua paham ini
beranggapan bahwa apapun yang ada, pada akhirnya dapat dikembalikan kepada materi.
2.2.7 Pragmatisme
Pragmatisme berasal dari kata pragma yang artinya tindakan atau perbuatan dimana
pragma berasal dari bahasa Yunani. Maka filsafat pragmatism berarti suatu aliran yang
mengajarkan bahwa yang benar adalah apa saja yang membuktikn dirinya sebagai yang benar
dengan akibat-akibat yang bermanfaat secara praktis.
2.2.8 Ekstensialisme
Ekstensialisme berasal dari kata ekstensi dimana ekstensi ini berasal dari kata eks
yang berarti ke luar dan sistensi atau sisto yang berarti berdiri. Jadi ekstensialisme berarti
berdiri dengan keluar dari diri sendiri yang berarti manusia dalam keberadaannya itu sadar
bahwa dirinya ada dan segala sesuatu keberadaannya ditentukan oleh akunya.
Ekstensialisme merupakan aliran filsafat yang memandang berbagai gejala berdasar
pada eksistensinya. Artinya bagaimana manusia berada (bereksistensi) dalam dunia.
2.2.9 Marxisme
Marxisme adalah aliran filsafat yang ditunjukan kepada ajaran Karl Marx. Aliran
marxisme lahir dari suatu pertemuan dari tempat-tempat Karl Marx dalam sejarah ide-ide dan
suatu detik sejarah perjuangan kelas-kelas yaitu kelahiran gerakan tubuh. Ajaran filsafat Karl
Marx disebut juga materialism diakletik dan disebut juga materialism historis.
2.2.10 Antiteisme atau Ateisme
Anti Teisme atau ateisme merupakan aliran filsafat yang ingin mewujudkan sejarah
manusia tanpa Tuhan. Dalam aliran ini Tuhan dan agama dipandang sebagai formula jahat
yang diterapkan dalam setiap fitnah melawan manusia di dunia. Pokok-pokok filsafatnya
mengenai kehendak manusia, manusia sempurna, dan kritikan terhadap agama.
2.2.11 Filsafat Hidup
Aliran filsafat ini lahir akibat dari reaksi dengan adanya kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi yang menyebabkan industrialisasi semakin pesat. Hal ini mempengaruhi pola
pikir manusia. Peranan akal pikiran hanya digunakan untuk menganalisis sampai menyusun
suatu sintesis baru. Bahkan alam semesta atau manusia dianggap sebagai mesin yang tersusun
dari beberapa komponen dan bekerja sesuai dengan hukum-hukumnya.
2.3 Para Ahli Pendukung Filsafat Modern
Dengan adanya aliran-aliran filsafat modern, barang tentu ada pula para ahli yang
melatarbelakangi lahirnya aliran filsafat tersebut. Dan seiring berkembangnya aliran-aliran
filsafat tersebut, bertambah pulalah pendukung teori-teori yang dikemukakan setiap aliran.
Dan beberapa nama yang terkenal dalam lingkup filsafat modern antara lain Rene Descartes
(1596-1650), B. Spinoza (1632-1677), dan G. Leibniz (1646-1716).
2.3.1 Rasionalisme
Rene Descartes (1596-1650)
Beliau disebut-sebut sebagai bapak filsafat modern. Ia ahli dalam ilmu alam, ilmu hukum,
dan ilmu kedokteran. Beliau adalah pendiri aliran filsafat rasionalisme dengan semboyan
yang terkenal adalah Cogito ergo sum (saya berpikir maka saya ada)
Spinoza (1632-1677)
Filsuf ini mempunyai nama asli Baruch Spinoza. Setelah ia mengucilkan diri dari agama
Yahudi, ia mengubah namanya menjadi Benedictus de Spinoza. Spinoza ternyata mengikuti
pemikiran Descartes. Tokoh ini juga menjadikan substansi sebagai tema pokok dalam
metafisikanya dan juga mengikuti metode Descartes.
Leibniz (1646-1716)
Memiliki nama lengkap Gottfried Eilhelm von Leibniz, ia adalah seorang filsuf yang berasal
dari Jerman, juga seorang matematikawan,fisikawan, dan sejarawan. Baginya, pusat
metafisika adalah ide tentang substansi yang dikembangkan dalam konsep monade.
Metafisika Leibniz sama-sama memusatkan perhatian pada substansi. Menurut Leibniz, alam
semesta ini adalah prinsip akal yang mencukupi, yang secara sederhana dapat dirumuskan,
“sesuatu harus mempunyai alasan”.
2.3.2 Empirisme
Thomas Hobbes (1588-1679)
Beliau seorang ahli pikir Inggris yang dalam pendidikannya gagal dalam belajar logika
Skolastik dan fisika, karena ia lebih tertarik mengikuti jejak gurunya yang beraliran
Aristotelian. Sumbangan terbesar sebagai seorang ahli pikir adalah suatu system materialistis
yang besar, termasuk juga perikehidupan organis dan rohaniah. Dalam bidang kenegaraan ia
mengemukakan teori Kontrak Sosial.
John Locke (1632-1704)
Seorang ahli hukum kelahiran Inggris yang menyukai filsafat dan teologi, juga mendalami
ilmu kedokteran dan penelitian kimia. Dalam mencapai kebenaran, sampai seberapa jauh
(bagaimana) manusia dapat memakai kemampuannya.
Beliau terkenal dengan istilah sensation dan reflection yang digunakan dalam penelitiannya.
Beliau beranggapan bahwa tiap pengetahuan yang diperoleh manusia terdiri dari sensation
dan reflection.
2.3.3 Kritisme
Immanuel Kant (1724-1804)
Kant adalah penyempurna filsafat zama pencerahan (Aufklarung). Ia berusaha mendamaikan
pertentangan antara rasionalisme dengan empirisme. Hal terpenting yang perlu diingat adalah
bahwa Kant membagi filsafat menjadi empat bagian (cabang) yaitu :
- Metafisika yang menjawab pertanyaan Apakah yang dapat saya harapkan dari hidup ini?
- Epistemologi yang menjawab pertanyaan Apa yang dapat saya ketahui?
- Antropologi yang menjawab pertanyaan Apakah yang boleh saya perbuat?
- Etika yang menjawab pertanyaan Apakah yang boleh saya perbuat?
2.3.4 Idealisme
George Berkeley (1685-1753)
J. G Fichte (1762-1814) dan F.W.J Schelling (1775-1854)
Mereka berpendapat bahwa seluruh realitas (kebenaran) adalah bersifat subjektif. Pengertian
subjek disini tidak hanya mengacu pada persona tertentu, tetapi yang lebih pokok dan utama
adalah mengacu pada Aku (ego) Absolut atau ditinjau dari sudut agama yang disebut Tuhan.
Hanya dengan adanya dunia mejadikan Aku aktif dan mempunyai arti etis. Baik Aku maupun
Bukan Aku, tidak merupakan dualism mutlak, sebab keduanya dapat dikembalikan kepada
satu sumber, yaitu Aku Mutlak (Ego Mutlak).
Hegel (1770-1831)
Hakikat roh adalah ide yang berpikir. Dan hakikat ide yang berpikir adalah gerak. Gerak yang
terjadi (sebagai tesis) bukan merupakan gerak yang berjalan lurus, tetapi gerak yang
menimbulkan gerak lain yang berlawanan (anti tesis). Adanya tesis dan anti tesis ini
menimbulkan gerak baru sebagai suatu sintesis.
Susuai dengan dialektika roh, maka filsafat Hegel disususn menjadi tiga tahap yaitu :
- Tahap pertama ketika roh berada dalam dirinya sendiri yang disebut logika.
- Tahap kedua ketika roh keluar dari dirinya sendiri, sehingga roh berada dalam keadaan yang
berbeda dengan dirinya sendiri dan disebut filsafat alam.
- Tahap ketiga ketika roh kembali pada dirinya sendiri dan disebut filsafat roh.
2.3.5 Positivisme
August Comte (1798-1857)
Seorang filsuf kenamaan dari Perancis yang terkenal sebagai Bapak Sosiologi. Menurut
pendapat Beliau perkembangan pemikiran manusia berlangsung dalam tiga tahap, tahap
teologis, tahap metafisis, dan tahap ilmiah/positif. Tahap-tahap tersebut berlaku pada setiap
individu (dalam perkembangan rohani) juga di bidang ilmu pengetahuan.
2.3.6 Materialisme
Tokoh dalam aliran ini adalah Ludwig Feuerbach (1804-1872). Menurutnya hanya alamlah
yang ada. Manusia adalah alamiah juga.
2.3.7 Pragmatisme
William James (1842-1910)
Menurut pandangan Beliau, tiada kebenaran yang mutlak, berlaku umum, yang bersifat tetap,
yang berdiri sendiri, lepas dari akal yang mengenal. Sebab pengalaman mengatakan apa yang
kita anggap benar dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya.
John Dewey (1859 M)
Sebagai penganut filsafat pragmatisme, John Dewey menyatakan bahwa tugas filsafat adalah
memberikan pengarahan dalam tindakan hidup manusia. Filsafat tidak boleh larut dalam
pemikiran-pemikiran metafisis yang kurang praktis dan tidak ada faedahnya.
2.3.8 Ekstensialisme
Soren Kierkegaard (1813-1855)
Pemikirannya bahwa kebenaran itu tidak berada pada suatu system yang umum tetapi berada
dalam eksistensi yang individu, yang konkret. Karena eksistensi manusia penuh dengan dosa,
hanya iman kepada Kristus sajalah yang dapat mengatasi perasaan bersalah karena dosa.
Martin Heidegger (1905 M)
Menurutnya, keberadaannya hanya akan dapat dijawab melalui jalan antologi, artinya jika
persoalan ini dihubungkan dengan manusia dan dicari artinya dalam hubungan itu. Metode
ini disebut dengan metode fenemologis. Jadi dalam hal ini yang terpenting adalah
menemukan arti kebenaran itu.
J.P Sartre (1905-1980)
Eksistensi manusia mendahului esensinya. Pandangan ini sanga janggal sebab biasanya
sesuatu harus ada esensinya terlebih dahulu sebelum kebenarannnya. Filsafat ekstensialisme
membicarakan cara berada di dunia ini, terutama cara berada manusia. Dengan kata lain
filsafat ini menempatkan cara wujud-wujud manusia sebagai tema sentral pembahasannya.
2.3.9 Marxisme
Tokoh dalam aliran ini adalah Karl Marx, ia adalah seorang filsuf yang mencontoh beberapa
metode dari Hegel dan Feuerbach. Dari Hegel ia mengambil metode dialektika dan dari
Feuerbach ia mengambil metode materialism. Marx beranggapan bahwa dalam masyarakat
komunis dengan sendirinya agama akan lenyap, karena agama merupakan ekspresi kepapaan
manusia. Menurutnya, agama adalah candu rakyat.
2.3.10 Antiteisme atau Ateisme
Tokoh filsafat dalam aliran ini adalah Friedrich Nietzche (1844-1890). Pokok-pokok
filsafatnya diantaranya merupakan dasar dan sumber tingkah laku manusia.
2.3.11 Filsafat Hidup
Henri Bergson (1859-1941)
Pemikirannya alam semesta ini merupakan suatu organisme yang kreatif, tetapi
perkembangannya tidak sesuai dengan implikasi logis. Hanya beberapa yang berhasil
membentuk suatu organisme kreatif dan mempunyai daya hidup (elan vital). Dengan adanya
elan vital tersebut diharapkan manusia akan mampu melahirkan segala tindakannya.
2.4 Keterkaitan Filsafat Modern dengan Filsafat Dewasa Ini
Filsafat modern dimulai pada zaman Descartes dimana ia berkiblat pada paham
rasionalisme, hingga berkembang pada paham-paham dibawahnya.
Sekarang ini terdapat dua aliran pemikiran filsafat yang mempunyai pengaruh besar,
tetapi aliran-aliran ini belum dapat dikatakan sebagai aliran yang membuat sejarah. Hal ini
terjadi karena aliran-aliran ini masih dianggap baru.
Sesungguhnya filsafat modern jika dikaitkan dengan filsafat dewasa ini memiliki
kedudukan yang sama, karena pada filsafat dewasa ini, juga terdapat atau terselip ajaran-
ajaran dari aliran filsafat zaman modern. Hanya saja, ajaran-ajaran tersebut mengalami lebih
banyak sintesis, sehingga kuantitas dari aliran filsafat dewasa ini cenderung lebih sedikit.
Namun secara kualitas, lebih banyak memunculkan analisis-analisis baru yang mendukung
ajaran-ajaran aliran filsafat zaman modern. Dan wajarlah jika filsafat dewasa ini dikatakan
sebagai pelengkap atau bahkan penyempurna dari ajaran filsafat zaman modern.
BAB III
PENUTUP
Filsafat Modern, dimana Istilah modern berasal dari kata latin “moderna” yang artinya
“sekarang”, “baru” atau “saat kini”. Dari pengertian dasar tersebut kita dapat mengasumsikan
bahwa didalam kehidupan modern muncul kesadaran waktu akan era yang baru.
Pada zaman modern filsafat dari berbagai aliran muncul. Pada dasarnya corak
keseluruhan filsafat modern itu mengambil warna pemikiran filsafat sufisme Yunani, sedikit
pengecualian pada Kant. Paham – paham yang muncul pada garis besarnya adalah
rasionalisme, idealisme, dan empirisme. Dan paham-paham yang merupakan pecahan dari
aliran itu.
Descartes, Spinoza, Leibniz, Kant, Hegel, August Comte dan John Dewey adalah
beberapa nama dari ahli-ahli yang mempelopori dan mendukung teori-teori aliran filsafat
modern. Selain nama-nama tersebut, masih banyak ahli yang turut berpartisipasi mendukung
teori yang lahir di zaman filsafat modern.
Filsafat yang lahir di zaman sekarang, sebenarnya tidak berbeda jauh dari filsafat
zaman modern. Karena pada dasarnya, filsafat yang muncul di masa sekarang merupakan
pengembangan dari ajaran filsafat yang telah ada di zaman filsafat modern, dan kini
mengalami sintesis yang menjadikan jumlahnya menjadi relative lebih sedikit daripada aliran
filsafat zaman modern.
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, Asmoro. 1994. Filsafat Umum. Jakarta. Raja Grafindo Persada.
Bakhtiar, Amsal. 2004. Filsafat Ilmu. Jakarta. Raja Grafindo Persada.
Ihsan, Fuad. 2010. Filsafat Ilmu. Jakarta. Rineka Cipta.
Poedjawijatna. 1986. Pembimbing ke Arah Alam Filsafat. Jakarta. Bina Aksara
Rindjin, Ketut. 1986. Pengantar Filsafat Ilmu dan Ilmu Sosial Dasar. Jakarta. Ganeca Exact
Bandung.
http://munzaro.blogspot.com/2010/06/mengenali-prinsip-prinsip-dasar.html
http://amma06.blogspot.com/2009/02/tokoh-tokoh-filsafat-modern.html