makalah filsafat ilmu bab 13

41
1 TELAAH TERHADAP BUKU “THE PHILOSOPHY OF MATHEMATICS EDUCATION” KARYA PAUL ERNEST Chapter 13: Investigation, Problem Solving and Pedagogy Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah “Filsafat Ilmu” Dosen Pengampu : Dr. Budi Usodo, M.Pd. Disusun oleh: Wahyu Utomo NIM. S851208007 Nando Yanuansa NIM. S851208037 Muh. Zuhair Zahid NIM. S851208035 Aris Kurniawan NIM. S851208087 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET

Upload: muhammad-zuhair-zahid

Post on 04-Aug-2015

889 views

Category:

Documents


55 download

DESCRIPTION

ini makalah Telaah terhadap buku Paul Ernest "the philosophy of math education"bab 13 nya

TRANSCRIPT

1

TELAAH TERHADAP BUKU “THE PHILOSOPHY OF

MATHEMATICS EDUCATION” KARYA PAUL ERNEST

Chapter 13: Investigation, Problem Solving and Pedagogy

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

“Filsafat Ilmu”

Dosen Pengampu : Dr. Budi Usodo, M.Pd.

Disusun oleh:

Wahyu Utomo NIM. S851208007

Nando Yanuansa NIM. S851208037

Muh. Zuhair Zahid NIM. S851208035

Aris Kurniawan NIM. S851208087

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2012

2

BAB I

PENDAHULUAN

Pendidikan matematika terdiri dari dua kata; pendidikan dan matematika.

Ribuan intelektual mendefinisikan masing-masing kata tersebut dalam bahasa

mereka sendiri. Matematika dimaknai berbeda oleh kaum absolutis dan fallibilis

Sementara di sisi lain, pendidikan dimaknai berbeda antara kaum industrial,

humanis tua, ataupun konstruktivisme sosial.

Paul Ernest adalah salah seorang penganut aliran filsafat konstruktivisme

sosial dalam matematika. Dialah yang mengajukan pertanyaan yang akhirnya

menjadi diskusi panjang “Apakah matematika itu ditemukan (discovered) ataukah

diciptakan (invented)?”. Ernest lahir di New York pada tahun 1944 dan tinggal di

Inggris sejak ia kecil. Sejak awal, Ernest telah memutuskan untuk mempelajari

matematika dan filsafat sejak ia menjadi mahasiswa sampai akhirnya meraih gelar

Ph.D. dalam bidang filsafat pendidikan matematika. Kini ia menjabat sebagai

professor emeritus dalam bidang pendidikan matematika di Universitas Exeter,

Inggris. Karya Ernest yang terkenal ada dua, yakni Social Constructivism as a

Philosophy of Mathematics dan The Philosophy of Mathematics Education. Kedua

karya ini menegaskan posisi Ernest dalam bidang pendidikan matematika, yakni

sebagai penganut aliran konstruktivisme sosial.

Buku Ernest The Philosophy of Mathematics Education adalah buku yang

memiliki alur sistematik, dimana Ernest pertama kali membahas hakekat

matematika dan berlanjut pada pembahasan ideologi-ideologi yang ada dalam

pendidikan. Seluruh pembahasan Ernest mengerucut di bab terakhir, bab ke-13:

Investigation, Problem Solving and Pedagogy. Di bab inilah Ernest menelurkan

ide-ide dan harapan penggunaan pembelajaran berbasis pemecahan masalah

dalam rangka mencapai tujuan sejati dari pendidikan.

Makalah ini akan membahas tentang bab terakhir dari The Philosophy of

Mathematics Education karya Ernest. Selain dalam rangka pemenuhan tugas mata

kuliah Filsafat Ilmu, diharapkan makalah ini dapat memberikan kontribusi dalam

memahami maksud dari Ernest dalam bab ini. Pemakalah menyadari berbagai

3

kekurangan yang ada dalam makalah ini, dari mulai sistematika penulisan yang

masih belum terstruktur dengan baik, sampai pada subyektifitas pemakalah dalam

memahami alur dan maksud pemikiran Ernest. Karenanya kritik, saran, dan

diskusi kritis mengenai makalah ini sangat diharapkan demi perbaikan makalah

ini di kemudian hari.

4

BAB II

PEMBAHASAN

Bab 13 dalam buku The Philosophy of Mathematics Education berjudul

Investigation, Problem Solving and Pedagogy membahas tentang inkuiri sebagai

salah satu pendekatan dalam pengajaran matematika. Pemecahan masalah

(problem solving) sendiri dipakai dalam kurikulum pendidikan matematika

Indonesia, terlihat dari salah satu poin tujuan pembelajaran matematika sekolah

yakni “memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan

mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat,

dalam pemecahan masalah”.

A. ISI BUKU THE PHILOSOPHY OF MATHEMATICS EDUCATION,

CHAPTER 13: INVESTIGATION, PROBLEM SOLVING AND PEDAGOGY

1. Matematika sebagai Hasil Pengajuan dan Pemecahan Masalah Manusia

Di awal bab, Ernest menyebutkan beberapa pendapat ahli terkait

pembahasan masalah. Seperti pendapat Laudan bahwa pemecahan masalah akan

menjadi karakteristik penting dari metodologi ilmiah asalkan terjadi dalam

konteks tertentu dan memungkinkan diskusi kritis. utipErnest juga meng Hallett

yang mengusulkan bahwa masalah harus memainkan peran kunci dalam evaluasi

teori matematika. Lebih lanjut, bagi Hallett, teori-teori dan penelitian dalam

matematika harus dilihat dari kacamata pragmatis dengan pertanyaan “sejauh

mana mereka membantu pemecahan masalah”. Pendekatan ini mengakui

pentingnya masalah dalam kemajuan ilmu pengetahuan, tetapi lebih fokus pada

“pembenaran” daripada penciptaan teori. Pendapat ini ditentang oleh Popper

dengan yang lebih tidak memandang remeh arti penemuan dan pengembangan

teori.

Ernest juga menyebutkan bahwa logika deduktif sebagai “ciri yang paling

menonjol dari matematika”, akhirnya berkembang dan makin menonjol seiring

dengan munculnya teorema-teorema dan pembuktian. Pemakalah menangkap

bahwa Ernest menonjolkan sisi “logika deduktif” matematika ini karena baginya

5

matematika yang berawal dari pemecahan masalah sebagai matematika kon-

tekstual, nampak bertolak belakang dengan konsep tradisional matematika

tersebut.

Selanjutnya Ernest menceritakan sejarah metode ilmiah dari sejak era

Renaissance sampai dapat berdiri mapan seperti sekarang. Berikut tokoh yang

dianggap penting oleh Ernest:

1. Bacon mengusulkan metode induksi untuk sampai pada hipotesis, dimana

hipotesis ini kemudian menjadi sasaran pengujian. Dalam rangka

memfasilitasi usul hipotesis induktif, ia mengusulkan pembangunan tabel

sistematis yang akan menunjukkan persamaan dan perbedaan dari hal yang

diteliti.

2. Descartes mengusulkan prosedur lanjut, yang secara eksplisit makin menuju

ke arah penemuan matematika. Termasuk di dalamnya adalah

penyederhanaan pertanyaan, pencacahan berurutan, pemunculan contoh-

contoh untuk memfasilitasi generalisasi induktif, penggunaan diagram untuk

membantu pemahaman, simbolisasi hubungan, representasi hubungan

dengan persamaan aljabar, dan penyederhanaan persamaan. Prosedur ini

menginspirasi banyak prosedur yang diterbitkan 350 tahun kemudian

sebagai alat bantu untuk mengajarkan pemecahan masalah.

3. Whewell mengusulkan model penemuan dengan tiga tahap: (1) klarifikasi,

(2) colligation (induksi), dan (3) verifikasi, yang masing-masing memiliki

sejumlah komponen dan metode. Teori Whewell ini lebih banyak berkaitan

dengan ilmu pengetahuan empirik, namun sangat bisa digunakan dalam

matematika. Whewell sendiri adalah pengikut Kant yang percaya bahwa

“kebenaran yang diperlukan” terjadi di dalam matematika dan ilmu

pengetahuan.

4. Adalah Polya yang akhirnya menginisiasi model pemecahan masalah untuk

matematika, yakni (1) memahami masalah, (2) merancang rencana dan

melaksanakannya, dan (3) melihat ke belakang (mungkin maksudnya

mengevaluasi).

6

Sejarah proses penemuan dalam matematika tercatat sangat panjang dan

sebanding dengan penemuan manusia itu sendiri. Poincaré dan Hadamard

memberikan komentar bahwa peran intuisi dan kesadaran dalam penemuan-

penemuan matematika. Bagi mereka, matematikawan besar memiliki “ruang-

ruang matematis” khusus yang memungkinkan mereka untuk menembus tabir

misterius sekitarnya, menembus 'realitas matematika', dan mencapai kebenaran

sejati.

Selanjutnya, Ernest melihat kegiatan dan wacana matematika berlangsung

pada tiga tingkat; matematika formal, matematika informal, dan matematika

sosial. Dalam masyarakat Barat, dan khususnya, dalam budaya profesional

matematika, pola ordinal ini dinilai dalam tingkatan yang menurun. Semisal

wacana matematika formal disediakan untuk presentasi pembenaran matematika,

yang menempati derajat tinggi. Wacana matematika informal berlangsung pada

tingkat yang lebih rendah -dan tentunya- diberikan nilai yang lebih rendah.

Sementara jika kita renungkan, aktivitas matematika dan kreativitas matematika

secara alami terjadi pada tingkat informal, dan tentunya aktivitas ini memiliki

status profesional yang lebih rendah.

Bagi Ernest, istilah “penganut konstruktivisme sosial” disematkan pada

orang yang menganggap bahwa dalam matematika terjadi hubungan antara

subyektivitas dan obyektivitas pengetahuan. Hal ini berarti bagi penganut

konstruktivisme sosial konteks “penemuan” (kreasi) dan “pembuktian” tidak bisa

sepenuhnya dipisahkan. Pembuktian dalam matematika merupakan produk

kreativitas manusia yang berwujud konsep, dugaan, dan teori.

Konstruktivisme sosial mengidentifikasi semua pelajar matematika sebagai

pencipta matematika, namun hanya mereka yang mendapatkan persetujuan kritis

masyarakat matematika yang dapat menghasilkan pengetahuan bonafid yaitu baru

(Ernest menyebutnya matematika yang yang disahkan). Aktivitas matematika dari

siapapun yang produktif serta melibatkan pengajuan dan pemecahan masalah,

secara kualitatif tidak berbeda dari aktivitas profesional matematika lain.

Matematika non-produktif tidak menawarkan hal yang sama, karena pada

7

dasarnya “reproduksi teori” adalah lawan dari “kreativitas”, dan Ernest

menyebutnya dengan 'matematika beku'.

2. "Masalah" dan Investigasi dalam Pendidikan

Mengingat bahwa sebagian besar dari matematika adalah bermula dari

masalah manusia dan pemecahannya, maka pembahasan bab terakhir ini akan

terkait dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip sebagai berikut:

Matematika sekolah harus bersumber dari masalah pengajuan dan pemecahan

masalah manusia

Permintaan dan penyelidikan harus menempati posisi penting dalam

kurikulum matematika sekolah.

Fakta bahwa matematika adalah fallible (dapat dislahkan, tidak absolut) dan

merupakan konstruksi manusia –yang subyektif--, hendaknya menjadi salah

satu pertimbangan dalam menyusun kurikulum.

Pedagogi yang digunakan harus diawali dengan proses dan penyelidikan

terfokus.

Salah satu hasil dari prinsip-prinsip ini bahwa istilah “matematika untuk

semua” bergeser menjadi “matematika oleh semua”.

a. “Masalah” dan Investigasi: Beberapa Perbedaan

Pembelajaran matematika dengan pemecahan masalah dan investigasi telah

dikenal luas dalam dunia pendidikan matematika Inggris sejak Cockcroft (1982).

Di belahan dunia lain, pemecahan masalah dapat ditelusuri lebih jauh ke masa

lalu, setidaknya untuk Brownell (1942) dan Polya (1945), dan mungkin tokoh-

tokoh sebelumnya. Pada tahun 1980, dalam tinjauan selektif penelitian dalam

pemecahan masalah matematika, Lester (1980) mengutip 106 referensi penelitian,

mewakili hanya sebagian kecil dari apa yang telah diterbitkan pada saat itu.

Dalam pendidikan matematika Inggris, pemecahan masalah dan investigasi

mungkin pertama kali muncul di tempat kejadian pada tahun 1960-an, dalam

Asosiasi Guru Matematika (1966) dan Asosiasi Guru di Sekolah Tinggi dan

Departemen Pendidikan (1967).

8

Salah satu kesulitan dalam membahas pembelajaran pemecahan masalah

dan pembelajaran investigasi adalah bahwa konsep-konsep ini tidak jelas dan

dipahami secara berbeda oleh penulis yang berbeda. Namun, ada kesepakatan

bahwa dua hal tersebut berhubungan dengan matematika inkuiri (penemuan).

Karenanya, pembahasan selanjutnya melangkah pada matematika berbasis inkuiri,

mulai dari fokus, proses, sampai sisi pedagogisnya.

1) Obyek Permintaan

Objek inkuiri adalah masalah dan titik awal investigasi. Salah satu

definisi masalah adalah 'suatu situasi di mana seorang individu atau kelompok

dipanggil untuk melakukan tugas, dimana tugas tersebut tidak memiliki cara

yang mudah untuk menentukan solusi … Perlu ditambahkan bahwa definisi

ini meng-asumsikan adanya keinginan dari individu atau kelompok untuk

melakukan tugas tersebut' (Lester, 1980, halaman 287). Definisi ini

menunjukkan masalah sebagai suatu “tugas tidak biasa” yang membutuhkan

kreativitas untuk diselesaikan. Penyelesaian masalah ini akan memunculkan

relativitas dari masing-masing orang. Maksudnya adalah tiap-tiap orang akan

memunculkan ide-ide berbeda dalam usahanya memecahkan masalah

tersebut. Ini akan berefek pula pada penyusunan kurikulum matematika,

dimana penyusunan kurikulum pasti akan membawa siswa menuju satu

definisi, algoritma, atau bahasa sederhananya rumus tertentu. Penyusunan

kurikulum juga akan terkait dengan posisi siswa dalam belajar. Penyusunan

kurikulum matematika akan terkait dengan posisi siswa sebagai individu dan

kelompok. Siswa bukanlah suatu wadah kosong yang bias langsung diisi

dengan aturan kurikulum tertentu. Siswa memiliki keunikan masing-masing

sebagai individu, dan juga keunikan yang diakibatkan dari adat dan kebiasaan

masyarakat di sekitarnya. Secara lebih spesifik, bahwasanya tujuan

pendidikan matematika bagi seorang guru dan siswa-siswanya adalah

kompleks, sehingga sangat naïf jika dilakukan simplifikasi (penggampangan)

dalam menyusun kurikulum.

Sementara konsep investigasi dipermaslahkan karena dua sebab.

Pertama, meskipun 'investigasi' adalah kata benda, namun sebenarnya kata

9

investigasi memiliki makna yang berujung pada penemuan (inkuiri). Sebuah

kamus mendefinisikan investigasi sebagai “proses investigasi, pencarian,

penemuan, pengujian sistematik, penelitian yang hati-hati”. Dalam

pendidikan matematika terjadi pergeseran makna, investigasi adalah sebuah

penyelidikan matematika dengan pijakan awalnya adalah pertanyaan

matematika atau situasi tertentu. Pengertian ini menjadikan guru sebagai

pusat pembelajaran yang bertugas “merekayasa investigasi”, yang tentunya

bertolak belakang dengan pandangan siswa sebagai pusat pembelajaran, yang

memandang investigasi sebagai aktivitas peserta didik.

Masalah kedua adalah bahwa ketika penyelidikan dapat dimulai dengan

situasi matematika atau pertanyaan, fokus kegiatan bergeser sebagai

pertanyaan baru yang diajukan, dan situasi baru yang dihasilkan dan

tereksplorasi. Di mana obyek penyelidikan bergeser dan didefinisikan ulang

oleh penanya. Ini berarti bahwa itu adalah nilai terbatas untuk

mengidentifikasi penyelidikan dengan situasi pembangkit aslinya.

Masalah kedua adalah ketika investigasi (penyelidikan) dimaknai

sebagai kegiatan yang dimulai dengan munculnya situasi matematika atau

pertanyaan tertentu, lalu bergeser pada pengajuan permasalahan baru,

pemunculan situasi baru, dan eksplorasi situasi tersebut. Di sinilah obyek

penyelidikan bergeser, berubah, dan didefinisikan ulang oleh peserta didik

(inquirer). Sifat eksplorasi yang nampak liberal ini akan menyulitkan

pendefinisian investigasi sebagai aktifitas yang terkait dengan situasi

pembangkit aslinya (dalam bahasa lain, dengan titik awal investigasi itu

sendiri).

2) Proses Penyelidikan

Jika masalah diidentifikasi sebagai “pertanyaan”, proses pemecahan

masalah matematika adalah kegiatan mencari jalan untuk jawabannya.

Namun proses ini tidak dapat mensyaratkan jawaban yang didapat akan

tunggal dan unik, untuk sebuah pertanyaan mungkin akan memiliki beberapa

solusi, atau tidak sama sekali. Semakin kompleks solusi yang didapat, berarti

tingkat permasalahan yang diajukan semakin tinggi. Dalam bahasa lain,

10

pengertian pemecahan masalah adalah menemukan “jalur” menuju solusi,

atau –meminjam bahasa ilmu geografi- adalah menemukan “rute menuju

tujuan yang diinginkan” (dalam paragraph selanjutnya kalimat “rute menuju

tujuan yang diinginkan” ini akan disebut metafora geografis [terjemahan

bebas penulis dari bahasa asli buku geographical metaphor]).

Terkait dengan metafora ala ilmu geografi ini, Polya menjelaskan;

"Untuk memecahkan masalah adalah untuk menemukan cara di mana tidak ada cara yang dikenal, untuk mencari jalan keluar dari kesulitan, untuk menemukan jalan keluar dari halangan, untuk mencapai tujuan yang diinginkan yang tidak segera dicapai, dengan cara yang tepat” (Krulik dan Reys, 1980, halaman 1)

Sejak era Nilsson (1971) telah muncul dasar bagi beberapa penelitian

tentang pemecahan masalah dalam matematika, yang memanfaatkan gagasan

tentang “ruang solusi (solution space)” atau “ruang dari keadaan (state-

space)” sebagai representasi dari masalah. Metafora geografis yang telah

disebutkan di atas diwujudkan dalam bentuk ilustrasi yang berbentuk diagram

himpunan semua ruang yang dapat diperoleh dari keadaan awal. Keadaan

awal suatu masalah sendiri adalah himpunan semua ekspresi yang telah

diperoleh dari pernyataan awal masalah sampai saat tertentu (Lester, 1980,

halaman 293). Kekuatan dari gagasan –metafora geografis- ini adalah semua

proses dapat semua langkah dalam proses dapat disajikan (dalam sebuah

diagram; bahasa pemakalah: di-list), dan “jalur alternatif” yang disebut

“proses” tadi akan menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan langkah-

langkah yang disajikan. Kelemahannya adalah semua kemungkinan yang

muncul dari kondisi awal, bahkan kondisi-kondisi yang belum muncul, belum

terpikir, atau bahkan yang tidak mungkin muncul tetap depandang sebagai

sesuatu yang belum muncul (as pre-existing) dan membutuhkan penemuan

agar bisa muncul. Perlu dipahami bahwa gagasan investigasi dalam

pengertian metafora geografis ini cenderung cocok untuk penganut absolutis

daripada platonis (dalam koridor cara pandang terhadap matematika).

Metafora geografis juga diterapkan pada proses penyelidikan

matematika. “Penekanannya adalah pada mengeksplorasi bagian matematika

11

ke segala arah. proses perjalanannya (bukan tujuannya)” (Pirie, 1987,

halaman 2). Di sini penekanannya adalah pada eksplorasi wilayah yang tidak

diketahui, daripada perjalanan menuju ke tujuan tertentu. Jadi ketika proses

pemecahan masalah matematika digambarkan sebagai konvergen, investigasi

matematika adalah hal yang berbeda (HMI, 1985).

Bell et al. (1983) mengusulkan suatu model dari proses penyidikan,

dengan empat langkah: merumuskan masalah, pemecahan masalah, verifikasi,

integrasi. Menurutnya, “Di sini kata ‘investigasi’ digunakan dalam upaya

untuk menghimpun segala macam cara memperoleh pengetahuan”. (Bell

dkk., 1983, halaman 207). Mereka berpendapat bahwa penyelidikan

matematika adalah bentuk khusus, dengan komponen karakteristiknya

sendiri; yakni abstraksi, representasi, pemodelan, generalisasi, pembuktian,

dan simbolisasi. Pendekatan ini memiliki ciri berupa penentuan sejumlah

proses mental yang terlibat dalam investigasi matematika (dan pemecahan

masalah). Sementara penulis lain, seperti Polya (1945) berpendapat bahwa

investigasi mencakup banyak komponen dari model sebagai proses

pemecahan masalah. Perbedaan utama antara Polya dan Bell adalah

masuknya perumusan atau pengajuan masalah (problem posing), yang

mendahului pemecahan masalah. Namun, walau model yang diusulkan oleh

dua tokoh tadi memiliki dasar empiris, tidak ada alasan dan justifikasi

rasional yang dapat dijadikan acuan untuk memilih salah satu model.

3) Pedagogi Berbasis Inkuiri

Dalam bab ini, Ernest membuat sebuah tabel untuk membedakan

pendekatan penemuan terbimbing, pemecahan masalah, dan pendekatan

investigasi, dipandang dari hal-hal yang dilakukan guru dan murid ketika

menggunakan salah satu metode. Tabel 13.1. disajikan sebagai berikut.

12

Diterjemahkan oleh pemakalah:

Metode Hal yang dilakukan guru Hal yang dilakukan siswa

Penemuan terbimbing Mengajukan masalah, atau memilih

situasi dengan tujuan yang sudah

dibayangkan

Membimbing siswa menuju solusi

atau tujuan tadi

Mengikuti petunjuk yang diberikan

guru

Pemecahan Masalah Mengajukan masalah

Meninggalkan metode pencarian

solusi terbuka untuk dicari sendiri

oleh siswa

Mencari jalan sendiri untuk

memecahkan masalah

Pendekatan investigasi Memilih situasi awal untuk mengarahkan

siswa

Mendefinisikan masalah

dengan situasi yang ada

Melakukan pemecahan dengan

cara mereka sendiri

Tabel di atas menggambarkan pergeseran pembelajaran dari penemuan

terbimbing, pemecahan masalah, dan pendekatan investigasi tidak hanya

terkait dengan proses matematika. Pergeseran juga terjadi dalam ranah

kontrol guru dalam hal jawaban, metode yang dipakai peserta didik, sampai

pada konten materi pelajaran. Peserta didik lebih bisa menentukan solusi

13

mana menerapkan metode dan solusi yang akan mereka pakai, bahkan bisa

memilih konten pelajaran yang ingin mereka pelajari. Pergeseran ke

pendekatan yang lebih berorientasi penyelidikan melibatkan peningkatan

otonomi pelajar dan aturan pembelajaran yang bebas ditentukan sendiri. Jika

iklim kelas –dengan aturan yang bebas dan ditentukan sendiri-- seperti ini

bias dijaga konsistensinya, siswa akan dapat dibimbing sampai pada tahap

kemandirian untuk menentukan interaksi, aturan dalam kelas, dan akses ke

berbagai bahan pembelajaran.

Pemecahan masalah dan investigasi matematika sebagai pendekatan

pengajaran memerlukan pertimbangan konteks sosial kelas, dan

membutuhkan satu hubungan yang kuat antara guru dan siswa. Pemecahan

masalah memungkinkan pelajar untuk berkreasi dalam pembelajaran dan

dalam situasi yang baru, dengan guru masih mempertahankan kendali atas

konten dan instruksi. Jika pendekatan investigasi diterapkan sampai tahap

memungkinkan siswa untuk mengajukan masalah dan pertanyaan untuk

selanjutnya diselidiki dengan cara yang relatif bebas, akan terjadi

pembelajaran berbasis pemberdayaan (empowering) dan pelibatan siswa

(emansipatoris). Namun, hal lain yang perlu diperhatikan adalah adalah

komunikasi dalam pengalaman kelas dengan berbasis pada pandangan bahwa

matematika itu progresif dan fallible. Ini akan berakibat pada keunikan dan

relatifitas dari masing-masing jawaban dan metode yang diajukan siswa,

bukan berpusat pada manusia yang aktif sebagai pembuat pengetahuan.

b. Persepsi yang Berbeda terhadap “Masalah” dan Investigasi

Beberapa perbedaan yang sudah disebutkan dalam subbab sebelumnya

menyebabkan perbedaan-perbedaan yang muncul dalam memahami “Masalah”

dan Investigasi dan penggunaannya dalam pembelajaran matematika. Berikut

perbedaan-perbedaan tersebut

14

1) Penolakan terhadap Pendekatan Pemecahan Masalah dan Inves-

tigasi

Reaksi negatif terkuat untuk masalah dan investigasi muncul dari akibat

pandangan bahwa pendekatan ini tidak pantas digunakan untuk matematika

sekolah. Hal ini didasarkan pada persepsi bahwa matematika sekolah adalah

konten yang berorientasi, dan bahwa fungsi utamanya adalah untuk

menanamkan keterampilan matematika dasar. Pendekatan ini dipandang

sebagai sesuatu yang sembrono, menyia-nyiakan waktu, dan sebuah “kerja

keras” yang mubazir.

Ini adalah respon dari kelompok yang memandang pendidikan sebagai

lahan penyuplai kebutuhan industri. Kelompok ini secara sempit melihat isi

matematika dengan epistemologi dualistik nya. Bagi mereka, pembelajaran

adalah model transmisi otoriter, dan setiap usaha meningkatkan otonomi

siswa dalam pembelajaran sangat ditentang.

2) Penggabungan Pendekatan Pemecahan Masalah dan Investigasi Se-

bagai Konten

Kelompok kedua menganggap pendekatan ini perlu untuk dimasukkan

sebagai “konten” dari kurikulum matematika. Kelompok ini memandang

bahwa pendekatan ini dapat memperkaya konten matematika. Namun aliran

absolut yang mereka anut membuat mereka mengabaikan penyelidikan

sebagai salah satu unsur penting dalam pendekatan ini.

Burghes (1984), yang mewakili perspektif ini, merumuskan investigasi

dalam (1) penyelidikan eureka (teka-teki), (2) investigasi eskalator ('proses'

atau masalah kombinatorial), (3) keputusan terhadap masalah dan (4) masalah

nyata. Secara keseluruhan pendekatan pemecahan masalah dan investigasi

diidentifikasi sebagai objek penyelidikan, dan diperlakukan sebagai tambahan

isi kurikulum, ini terjadi jika pemodelan matematika tidak dipahami sebagai

suatu proses.

15

3) Pemecahan Masalah dan Investigasi Sebagai Pedagogi

Kelompok ketiga melihat pemecahan masalah dan investigasi sebagai

pendekatan pedagogis dengan kurikulum keseluruhan, dan bukan hanya

sebuah tambahan. Pandangan ini prihatin dengan peran manusia dalam

perkembangan ilmu pengetahuan, dan karenanya mendukung proses

pemecahan masalah dan investigasi masuk dalam kurikulum matematika.

Penggabungan penuh proses ini ke dalam kurikulum, termasuk problem

posing, mengarah ke pedagogi pemecahan masalah dan pedagogi investigatif.

Perspektif kelompok ini terfokus pada bagaimana memberikan fasilitas

bagi pengembangan kreativitas individual peserta didik, dan pemecahan

masalah dan investigasi dianggap mampu meewujudkannya. Jadi pemecahan

masalah dan investigasi dipahami dari segi proses yang dialami siswa dan

juga segi pendekatan pedagogis yang diadopsi di dalam kelas. Lingkungan

belajar, situasi belajar, dan hal-hal lain terkait pembelajaran disusun dengan

hati-hati terstruktur dan didesain agar memungkinkan terjadi eksplorasi

matematika di dalamnya, serta memungkinkan siswa untuk merumuskan dan

mengejar penyelidikan mereka sendiri. Peran guru dipahami sebagai manajer

lingkungan dan sumber belajar, serta sebagai fasilitator pembelajaran. Materi

dibatasi situasi matematika murni, dengan topik tematik yang 'aman' dari isu-

isu politik. Penekanannya pada individu siswa dan minat siswa, bukan pada

konteks sosial struktural tempat mereka akan hidup, akan belajar, dan akan

mencari nafkah.

Inilah yang membedakan kelompok ketiga dengan kelompok

industrialis. Kelompok ini tidak memandang pembelajaran matematika

sebagai sebuah “pembekalan” keahlian-keahlian yang mereka butuhkan

ketika nanti mereka bekerja, namun lebih memandang pembelajaran

matematika sebagai pembelajaran yang memperhatikan minat siswa

Dalam kelompok ini, ada pula yang menambahkan dimensi sosial-

politik dalam pertimbangan penyusunan kurikulum pembelajaran. Pedagogi

yang diadopsi oleh pendekatan ini akan melibatkan sejumlah fitur menuju ke

arah investigasi, seperti tugas kooperatif berkelompok, diskusi, dan

16

kemandirian siswa. Semua ini dapat dipergunakan bersama dengan perspektif

pendidik progresif. Yang diperhatikan dalam pendekatan semacam ini adalah

penggunaan masalah-masalahn sosial yang relevan, dengan menggunakan

berbagai bahan otentik seperti koran, statistik resmi, dan masalah sosial lain.

Untuk pendidik masyarakat (mungkin bermakna penyuluh.), pedagogi ini bias

menjadi sarana untuk mengembangkan keterampilan kewarganegaraan dan

keterlibatan sosial masyarakat.

c. Hubungan antara Epistemologi dan Pedagogi

Sejumlah laporan resmi dan otoritatif yang dipublikasikan

merekomendasikan penggabungan pemecahan masalah dalam pengajaran

matematika sekolah. Contoh di Inggris adalah laporan Cockcroft (1982) dan

Inspektorat Kerajaan (1985), sedang di Amerika Serikat adalah laporan dari

NCTM (1980, 1989).

Namun, salah satu hambatan bagi reformasi kurikulum tersebut adalah

penafsiran yang berbeda terhadap berbagai publikasi ilmiah tersebut. Konsep

pemecahan masalah dan investigasi tentu akan berasimilasi dengan perspektif

penafsir, dan dipahami dengan caranya masing-masing. Performa guru dalam

memakai pendekatan tergantung pada bagaimana guru memandang matematika.

Bukti empiris menunjukkan bahwa guru dapat memberi penafsiran secara sempit

pada pendekatan pemecahan masalah dan investigasi. Lerman (1989a), misalnya,

menjelaskan bagaimana pendekatan investigasional dalam matematika sekolah

ditumbangkan oleh pandangan bahwa hanya ada hasil tunggal yang benar dan

unik, (yang tentu saja diakibatkan oleh filosofi matematika absolute yang masih

dianut).

Kendala kedua adalah implementasi. Kendala ini melibatkan hubungan

antara teori-teori pengajaran dan pembelajaran, yang mendasari praktek

pembelajaran di kelas. Pada skala besar, ini adalah perbedaan antara “rencana”

dan “kurikulum yang diajarkan”. Pada skala kecil, kendala ini berupa perbedaan

antar teori-teori yang dianut oleh masing-masing guru dalam melaksanakan

pembelajaran. Beberapa studi telah mengungkapkan guru yang menganut

17

pemecahan masalah sebagai pendekatan pengajaran matematika pada prakteknya

hanyalah semacam espositori dengan ditambah penambahan masalah (Cooney,

1983; 1985, Thompson, 1984; Brown, 1986).

Penyebabnya adalah karena konteks sosial guru yang bersangkutan ikut

andil dalam proses pembelajaran yang berlangsung. Misalnya, adalah sulit bagi

guru untuk merubah pakem pembelajaran yang sudah ada dalam suatu sekolah

tertentu. Ernest menyebutkan bahwa dalam sekolah yang sama, guru-guru yang

diteliti cenderung menggunakan praktek kelas yang sama, dan tidak

mempertimbangkan bagaimana pandangan sang guru terhadap matematika.

Singkatnya, keyakinan sang guru terhadap ideologi matematika tertentu masih

kalah pengaruhnya dengan kondisi sosial tempat guru mengajar. Gambar 13.1

menunjukkan hubungan yang terlibat dalam keputusan praktik kelas yang diambil.

Gambar 13.1: The relationship between espoused and enacted beliefs

of the mathematics teacher

18

Gambar tersebut menunjukkan bahwa salah satu komponen ideologi guru,

yakni pandangan filosofisnya terhadap matematika mendasari dua komponen

sekunder, yakni teori mengajar dan belajar matematika. Dua komponen sekunder

ini akan menjadi dasar diambilnya suatu model belajar, termasuk penggunaan

sumber daya pembelajaran yang dipilih, termasuk teks matematika. Penting

diketahui bahwa teks yang dipakai guru ketika melakukan pembelajaran

menunjukkan alur pandangan epistemologinya, bagaimana melihat teks sebagai

penentu penting sifat dari kurikulum yang diimplementasikan. Panah ke bawah

pada gambar menunjukkan arah pengaruh utama. Isi dari komponen kepercayaan

yang lebih tinggi tercermin dalam sifat komponen yang lebih rendah. Dan karena

model berlaku saling terkait, seperti teori yang dianut belajar dan mengajar, maka

garis horisontal ditarik antara mereka.

Sebenarnya faktor yang dapat dimunculkan untuk menjelaskan berbagai

masalah yang disebutkan di atas adalah konteks sosial dari pembelajaran itu

sendiri. Konteks sosial memiliki pengaruh yang sangat besar. Konteks sosial yang

dibicarakan di sini mencakup hal yang sangat luas, seperti karakteristik siswa itu

sendiri, harapan apa saja yang didapat dalam pembelajaran, kurikulum yang

dilembagakan, sistem penilaian dan sistem persekolahan nasional. Konteks sosial-

lah yang mengarahkan guru, dalam menyusun pembelajaran di kelas. Tentu model

diilustrasikan dalam Gambar 13.1 masih sangat sederhana, karena sejatinya

hubungan antar komponen pembelajaran jauh lebih kompleks dan jauh lebih

mekanistik daripada yang ada dalam gambar.

3. Kelebihan Pembelajaran Berbasis Pemecahan Masalah

Pembelajaran berbasis pemecahan masalah, merupakan pendekatan

pengajaran emansipatoris, dan ketika berhasil dilaksanakan, akan mampu

memberdayakan peserta didik secara epistemologis (dalam arti peserta didik

mengetahui darimana suatu konsep diperoleh). Hal ini dapat mendorong siswa

aktif untuk mengetahui dan menciptakan pengetahuan sendiri, sekaligus

melegitimasi pengetahuan itu sebagai matematika, setidaknya dalam konteks

sekolah.

19

Telah dikatakan bahwa itu adalah bentuk --dan bukan isi dari pendidikan--

yang memiliki dampak terbesar untuk matematika. Pandangan ini ditentang dalam

Bab 11, di mana dalam bab tersebut ada pendapat yang menganggap bahwa

pandangan hirarkis terhadap pengetahuan berkontribusi pada pembentukan

kembali --jika bukan reproduksi-- kesenjangan sosial melalui pendidikan.

Implikasi ini dari hal ini terkait dengan baik isi dan bentuk materi pengajaran,

meskipun mungkin mustahil untuk berpikir bahwa dua hal ini dapat dipisahkan.

Untuk mencerminkan sikap konstruktivis sosial (atau bahkan pandangan absolut

progresif matematika), pedagogi jenis problem posing harus mencakup pula

tinjauan terhadap konten serta pendekatan pengajaran.

a. Melawan “Reproduksi” dalam Kurikulum Matematika

Dari beberapa ideology yang muncul dalam buku ini, hanya pendidik

progresif yang berideologi perubahan sosial. Ideologi ini berusaha untuk

memberdayakan peserta didik untuk menjadi sadar dan kemudian mengambil

kendali dari hidup mereka untuk menantang kekuatan reproduksi di tempat kerja,

sekolah dan masyarakat. Cara yang bias dipakai untuk mencapai hal ini adalah

melalui penggunaan problem posing dalam pembelajaran. Pendekatan ini

mencoba untuk meminimalkan atau mengeksplisitkan hirarki kekuatan

tersembunyi yang dicontohkan di dalam kelas, dimana hirarki ini memainkan

peran penting dalam penerimaan diam-diam terhadap hirarki sosial yang ada

dalam masyarakat.

Persamaan Hak dalam Mempelajari Matematika

Ada masalah-masalah khusus dari reproduksi sosial dalam masyarakat,

yang mencakup persamaan hak bagi semua orang dalam hal matematika.

Semua orang berhak mempelajari dan bahkan memunculkan teori baru

tentang matematika, tidak terkecuali etnis-etnis minoritas, terutama kulit

hitam, dan wanita (dibahas dalam bab 12). Pedagogi problem posing, berbasis

ideologi pendidik publik. Dapat menjadi solusi untuk masalah ini, dengan

member kesempatan yang sama bagi kulit hitam dalam matematika dan

sekolah. Karenanya masyarakat memerlukan pengajaran matematika yang

20

anti-rasis. Demikian juga, untuk memperbesar peluang perempuan mengakses

matematika, masyarakat memerlukan pembelajaran yang anti-seksis (tidak

membeda-bedakan gender). Semua solusi ini bersandar pada pedagogi

problem posing, yang diusulkan karena sifatnya yang memberdayakan semua

peserta didik.

b. “Menumbangkan” Tujuan Pembelajaran Sempit dalam Kurikulum

Pada subbab ini, Ernest bermaksud mengkritisi pengembangan kurikulum

nasional di Amerika yang menurutnya adalah kurikulum yang bermaksud

“mematikan skill” dan “mematikan profesionalisme guru” (‘deskill’ and de-

professionalize teachers) jika ditinjau dari ketatnya konten dan cara evaluasi

pembelajaran matematika yang ada di dalamnya. Bagi Ernest, pengembangan

kurikulum matematika di Amerika bersumber pada ideologi utilitarian yang

berbasis pada keyakinan bahwa pendidikan adalah “pemasok utama dari

kebutuhan industri”. Pemasukan dan pelembagaan pemecahan masalah dan cara

penilaian hasil belajarnya (assesment) ke dalam kurikulum matematika berfungsi

untuk membiasakan cara berpikir matematika strategis, yang merampas sisi

emansipatoris pemecahan masalah. Dalam subbab ini pula, Ernest ingin

menunjukkan bahwa dalam pengembangan kurikulum tersebut, terdapat

ambiguitas dan kontradiksi yang dapat menjadi celah bagi pembaca bukunya

untuk meng-counter dan melawan tujuan sempit ideologi utilitarian yang dianut

kurikulum nasional Amerika.

Konsep pemecahan masalah dan investigasi memiliki arti yang berbeda

sesuai perspektif penafsiran masing-masing subyek. Perbedaan yang paling

menonjol terdapat pada kelompok yang menganut penggunaan pendekatan

pemecahan masalah dan investigasi untuk sekedar “mereproduksi” pengetahuan

matematika, dan kelompok yang menggunakannya dalam pembelajaran

matematika berbasis pemberdayaan. Dari sini akan muncul perbedaan penting

yang akan muncul dan bisa diperdebatkan, konsep relevansi penggunaan

pendekatan ini dan keterkaitannya dengan pendidikan kewarganegaraan.

21

1) Relevansi

Relevansi memiliki makna “hal-hal yang menunjukkan apa yang

dianggap tepat oleh seseorang”. Perspektif utilitarian yang diwakili oleh

kalangan industri memandang matematika sebagai satu kemampuan dasar

yang harus dimiliki oleh buruh, yang berakibat kurikulum matematika

haruslah disusun sedemikian rupa sehingga mampu menelurkan pekerja-

pekerja baru yang mampu menjadi sumber daya industri. Sementara bagi

pendidik progresif, matematika harus relevan dengan minat dan kebutuhan

peserta didik. Kurikulum matematika yang relevan menurut perspektif ini

harus memungkinkan peserta didik untuk terlibat secara matematis dalam

konteks sosial mereka, dengan cara pembelajaran yang memberdayakan, yang

membuat siswa secara mandiri mampu menyusun pembelajaran ala mereka

sendiri. Dari sini nampak pertentangan dan ambiguitas antarkedua pandangan

tersebut.

Selanjutnya adalah ambiguitas dalam hal pendidikan kewarganegaraan.

Satu pandangan berpendapat bahwa seorang warga negara dikatakan aktif jika

ikut berpartisipasi dalam aktivitas-aktivitas soial yang ada dalam

masyarakatnya dan patuh pada aturan. Pandangan ini sekali lagi adalah milik

absolutis dan kaum pedagogi industrial. Seperti sebelumnya, pandangan ini

bertentangan dengan pandangan kaum konstruktivis. Bagi kaum

konstruktivis, dengan sistem pembelajaran berbasis pemecahan masalah,

hendaknya ikut mendidik masyarakat untuk kritis dalam memahami berbagai

kondisi, keteraturan, dan hal-hal lain yang “nampak” baik di mata sistem

yang berkuasa. Pembelajaran “kritis” semacam inilah yang diharapkan dapat

menjadi satu pola “penyadaran” bagi masyarakat sehhingga tidak

dininabobokkan oleh keteraturan yang ada. Bagi mereka, pedagogi problem

posing, akan mampu memberdayakan peserta didik untuk dapat

mengembangkan keterampilan yang luas, mampu terlibat dengan isu-isu

sosial kontemporer dan akhirnya menjadi warga negara kritis. Di titik inilah,

aliran konstruktivis akan berlawanan arah dengan kaum utilitarian.

22

2) Kontradiksi

Ernest dalam pembahasan mengenai kontradiksi mengawalinya dengan

menyebut Kurikulum Nasional yang dibuat Pemerintah Inggris modern

sebagai satu “langkah keras” dalam upaya mengambil alih sistem pendidikan

dan untuk mendikte tujuan-tujuan dan hasilnya. Sempitnya tujuan yang

dirumuskan kurikulum ini, bagi Ernest malah membuatnya nampak sebagai

sesuatu yang anti-pendidikan.

Pendapat Ernest ini akan dapat kita pahami jika kita mengacu pada

pertanyaan “apakah tujuan pendidikan itu?”. Pertanyaan ini telah diulas

dalam bab 6, dalam subbab 2 (Aims in Education: An Overview). Secara

ringkas, misalnya kaum industrial trainer meyakini pendidikan sebagai suatu

transfer pengetahuan dalam upaya pemenuhan kebutuhan industri, dan “kaum

humanis tua” yang berpendapat pendidikan adalah substrukstur dari upaya

“pelanggengan” terhadap nilai, kultur, ataupun struktur sosial yang ada. Bagi

Ernest, tujuan pendidikan semacam ini sangat sempit dan cenderung anti-

pendidikan itu sendiri. Menurut pemakalah, Ernest cenderung masuk dalam

golongan konstruktivis yang memandang pendidikan bertujuan untuk

memanusiakan manusia.

Sekali lagi, Ernest membenturkan kaum industri dan teknologis-

pragmatis di satu sisi, dengan pendidik konstruktivis di sisi yang lain. Bagi

Ernest, penggunaan pendekatan pemecahan masalah dalam kurikulum

nasional akan memunculkan kontradiksi. Kontradiksi yang muncul

disebabkan karena sifat pendekatan ini akan berhadapan diametral dengan

ideologi kaum industri yang menjadi pendukung utama susunan kurikulum

nasional saat ini.

Ernest selanjutnya menyebutkan masih mungkinnya pembelajaran berbasis

pemecahan masalah bangkit dan digunakan di tengah kurikulum yang didesain

oleh kaum industrialis. Bagi Ernest, meskipun kurikulum nasional dalam

matematika memberikan aturan yang cenderung kaku dalam hal konten materi

yang diajarkan dan cara mengevaluasinya, namun tetap saja ada celah-celah yang

23

dapat dimasuki oleh model pembelajaran pemecahan masalah. Terbukti saat ini

dewan penyusun kurikulum (entah di Inggris atau Amerika yang ia maksud), telah

menyarankan penggunaan pendekatan pembelajaran ini.

Menurut Ernest, kontradiksi dalam sebuah sistem pendidikan dapat

digunakan untuk menumbangkan kekuatan ideologi industrialis yang melekat

dalam kurikulum tersebut melalui pedagogi problem posing. Namun, untuk

sampai pada tingkat pembelajara emansipatoris, pembelajaran harus berhasil

dalam melibatkan peserta didik. Pembelajaran tersebut harus didasarkan pada

pengakuan peserta didik dan guru sebagai agen epistemologis. Ernest mengakhiri

bab ini dengan menyebut guru sebagai faktor yang akan menentukan

pembelajaran problem posing, dimana guru tidak hanya berposisi sebagai

pengaajar, namun juga sebagai insan peneliti yang akan memberikan kontribusi

teoritik dalam kajian pembelajaran ini.

4. Kesimpulan

Tema bab ini adalah refleksi dari hakekat matematika sebagai aktivitas

pemecahan masalah dan pembelajaran dengan basis pemecahan masalah sebagai

pembelajaran yang emansipatoris. Dengan pendekatan ini, tujuan pembelajaran

matematika akan bergeser pada tingakat sosial yang yang lebih tinggi, yang

termasuk di dalamnya; pemenuhan potensi manusia, kesadaran sosial dan

kebutuhan untuk perubahan sosial, serta perlawanan terhadap ketidakadilan,

khususnya ketidakadilan dalam ras dan gender. Tujuan pendidikan semacam ini

tidaklah bertentangan dengan perkembangan individual manusia dan

pengembangan kreativitas matematika. Masing-masing dari ideologi pendidikan

matematika didorong oleh filsafat matematika tertentu yang –pastinya-- akan

berekses pada kurikulum pembelajaran matematika. Inilah bahasan utama dari

buku ini, yakni berusaha menguji pernyataan:

Suka atau tidak, semua proses pembelajaran matematika berpijak pada filsafat matematika (Thom, 1971, p. 204)

24

Dan juga untuk menjawab argumen:

Masalahnya, bukanlah tentang pertanyaan “bagaimana cara terbaik untuk mengajar?” namun, “apakah sesungguhnya matematika itu?”... Kontroversi tentang … mengajar tidak bisa diselesaikan tanpa berhadapan dengan masalah tentang sifat matematika. (Hersh, 1979, p.34)

B. KOMENTAR PEMAKALAH TERHADAP ISI BUKU

Paul Ernest dikenal sebagai filsuf konstruktivis sosial dalam hal pendidikan

sehingga dalam buku yang ia tulis, tercermin bagaimana ia memperjuangkan agar

pendidikan (khususnya pendidikan matematika) dapat dinikmati oleh semua

orang. Dalam buku The Philosophy of Mathematics Education, Ernest sejak

bagian awal bukunya berusaha memberikan pemahaman pada pembaca mengenai

berbagai macam cara pandang terhadap matematikadan pendidikan matematika,

termasuk di dalamnya berbagai filsafat dan ideologi yang menjadi pangkal dari

berbagai teori pembelajaran matematika. Dan di ujung bukunya, dalam bab 13,

Ernest mulai menunjukkan posisi berdirinya, yakni sebagai penganut

konstruktivisme sosial yang berhadapan secara diametral dengan kaum absolutis

dan kaum industrial.

Profesor emeritus filsafat pendidikan matematika di Universitas Exeter,

Inggris ini dalam bagian terakhir bukunya mengusulkan bagaimana “proses”

pencarian kebenaran dalam matematika harusnya mendapat tempat yang lebih

tinggi. Tidak sekedar berada di wilayah matematika informal yang cenderung

dianggap berada pada tingkat yang lebih rendah -dan tentunya- diberikan nilai

sosial dan status profesional yang lebih rendah. Usulan ini menurut pemakalah

sangatlah bagus jika mampu diterapkan. Bagaimana proses penemuan sebuah

konsep, teori, rumus, ataupun teorema akan mendapat tempat yang lebih

terhormat. Matematika tidak lagi berorientasi pada hasil semata, namun bergeser

pada proses “bagaiamana” teori, rumus, dan konsep matematika itu ditemukan.

Penghargaan terhadap proses penemuan ini akan mendorong munculnya

kreasi-kreasi baru dalam matematika, mendorong siswa mengeluarkan seluruh

potensi yang ia miliki. Siswa tidak lagi “tersiksa” karena muatan kurikulum yang

25

tidak berorientasi pada kebutuuhan mereka. Pada poin inilah Ernest berulang kali

menyebut “kaum industrialis” sebagai oposan. Bagi Ernest, kaum industrialislah

yang menjadi aktor pembentukan kurikulum dengan muatan-muatannya yang

berorentasi pada kebutuhan industri. Siswa –dalam pandangan kaum industrialis

— diposisikan sebagai generasi “buruh” (employee) yang harus dibekali dengan

kompetensi tertentu. Kompetensi yang dimaksud oleh kaum industrialis ini tentu

saja adalah hal-hal yang harus dimiliki seorang buruh ketika ia bekerja di suatu

perusahaan atau industri tertentu. Bagi Ernest, pembelajaran dengan orientasi

semacam ini akan menyebabkan kejumudan dalam matematika, Ernest

menyebutnya “matematika yang beku”. Kebekuan yang muncul karena

pembelajaran matematika hanya berfungsi mereproduksi teori-teori yang sudah

ada. Siswa hanya mendapatkan teori dan materi matematika yang sudah

ditemukan matematikawan sebelumnya, hanya terima jadi tanpa mencari

bagaimana teori itu terbentuk.

Di akhir bab ini, Ernest mengungkapkan harapannya yang lebih besar dan

berskala nasional. Ernest menginginkan pembelajaran berbasis pemecahan

masalah dapat ikut andil dalam usaha perlawanan terhadap sistem pendidikan

(kurikulum khususnya) yang hanya bertujuan sempit dan cenderung berlawanan

dengan tujuan pendidikan secara umum. Ernest lalu menyebutkan berbagai

ambiguitas dan kontradiksi yang muncul dalam kurikulum nasional, dan

diharapkan kelemahan-kelemahan tersebut dapat dijadikan celah untuk

memperkuat posisi pembelajaran berbasis pemecahan masalah sebagai upaya

pencerdasan masyarakat dan perwujudan pendidikan kritis.

26

BAB III

PENUTUP

Dalam bab 13 buku The Philosophy of Mathematics Education ini,

Ernest menitikberatkan pembahasan pada pendekatan pemecahan masalah

dan investigasi dalam pembelajaran matematika. Ernest dalam bab ini

berulang kali membenturkan kelompok industrialis (selaku absolutis yang

selalu berusaha menciptakan pembelajaran yang berbasis pada “reproduksi”

ide-ide dan gagasan matematika) dengan konstruktivis sosial (kelompok

yang menginginkan pembelajaran matematika bagi siswa dapat me-

munculkan kreativitas dan ide-ide matematika baru).

Ernest juga mengkritik pandangan umum yang seolah membagi

aktifitas matematika dalam hirarki tertentu, dan cenderung menempatkan

aktifitas-aktifitas matematika siswa pada tingkatan paling rendah. Ernest

juga menelurkan konsep “matematika oleh semua”, sebuah konsep yang

menginginkan pembelajaran matematika yang tidak rasialis dan seksis.

Di akhir bab ini, Ernest memberikan argumen-argumen terkait

ambiguitas dan kontradiksi yang ada pada kurikulum, dimana ambiguitas

dan kontradiksi tersebut bisa menjadi celah bagi pendidik untuk menerapkan

pembelajaran dengan pendekatan pemecahan masalah. Ernest mencoba

menyadarkan pembaca buku ini, bahwa pendidikan dan pembelajaran

matematika tidak sebatas belajar, mengajar, kelas, sekolah, atau hal-hal

teknis lain. Pembelajaran matematika bisa manjadi pola pembelajaran

pemberdayaan publik, yang mampu menyadarkan masyarakat, mendidik

mereka untuk kritis dengan strata dan keadaan sosial yang mereka alami.

Dan akhirnya Ernest menutup bab ini dengan mengingatkan kembali

pembaca akan pentingnya posisi filsafat matematika sebagai landasan bagi

pembelajaran matematika.