makalah filsafat hukum

Upload: imuel-muliana

Post on 14-Oct-2015

111 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

tugas makalah filsafat hukum

TRANSCRIPT

BAB I

BAB I FUNGSI FILSAFAT HUKUM

Filsafat hukum telah memegang peranan di dalam memimpin semua telaah tentang lembaga-lembaga manusia selama 2400 tahun yang lalu, mulai dari pemikir-pemikir Yunani yang hidup dalam abad kelima sebelum masehi, yang bertanya apakah hak itu yang ditetapkan oleh kodrat alam atau hanya oleh pengundangan dan konvensi, sampai kepada ahli-ahli kemasyarakatan dewasa ini, yang mencari tujuan-tujuan, dasar ethic dan asas-asas yang kekal dari pengawasan social ?

Bila pemikiran hukum secara filsafat dari jaman yang silam merupakan suatu kekuatan di dalam menyelenggarakan peradilan pada masa ini, telah lama dibuktikan oleh perjuangan secara terus-menerus dari hukum tata usaha Negara di Amerika Sarikat dengan perumusan konstitusional abad ke-19 tentang tiga klasifikasi kekuasana pemerintah dari Aristoteles, satu dinding batu hokum alam yang terhadpanya telah menemui kegagalan daya upaya orang yang hendak mengakhiri perang prive di dalam perselisihan perselisihan di lapangan industri. Dan telah lama pula dibuktikan oleh pengertian tentang konstitusi aas (superconstitution) yang dengan lgika dapat dicari asalnya. Daripadanya konstitusi konsitusi tertulis dewasa ini merupakan penerminan yang kabur dan tak sempurna, serta leha menjadi satu tindangan bagi perundang-undangan sosial dalam abad ke-19 dan dalam dasawarsa pertama dari abad ke-20 ini.

Sesungguhnya kerja pengadilan pengadilan tiap hari tidak pernah lebih lengkap dibentuk oleh gagasan gagasan filsafat yang abstrak daripada yang telah dicapai dalam abad ke-19 ketika ahli ahli hukum suka meremehkan filsafat, dan sarjana-sarjana hukum analitis percaya bahwa mereka telah menegakkan satu ilmu hukum yang sanggip mencukupkan kebutuhan sendiri, yang sama sekali tidak memerlukan suatu alat filsafat.

Filsafat telah menjadi seorang abdi yang berguna dalam semua tingkatan dari apa yang pantas kita sebutkan perkembangan hukum. Tetapi pada beberapa tingkatan dia merupakan seorang abdi yang keja, dan pada tingkatan lain, dia adalah seorang majikan. Filsafat itu telah digunakan untuk meruntuhkan kekuasaan tradisi yang sudah usang, untuk memetahkan peraturan peraturan yang dipaksanakan oleh pihak penguasa, yang tidak membiarkan adanya perubahan bagi penggunaan baru, yang telah mengubah efeknya secara praktis. Dan filsafat itu telah dipergunakan pula untuk pemasukan unsur baru dari luar ke dalam hukum, dan membuat tubuh tubuh baru hukum dari bahan bahan baru ini, untuk menyusun dan memberi sistem kepada bahan bahan hukum yang ada, serta untuk memperkuat kaida-kaida dan lembaga-lembaga yang sudah ditetapkan, apabil sama pertumbuhan telah diiringi oleh masa kestabilan dan masa rekonstruksi formal samata-mata. Itulah yang betul-betul telah dicapai oleh filsafat. Tetapi senantiasa tujuan yang diakui sendiir oleh filsfat itu jauh lebih tinggi lagi. Filsafat sudah bherdaya upaya memberikan saut gambarna lengkap dan penghabisan pengawasan sosial; dan sudah dicobanya pula membuat peta kesusilaan, hukum dan politik untuk segenap masa. Filsafat hukum mempunyai kepercayaan bahwa dia dapat menemukan kenyataan hukum yang kekal, tidak akan berubah-ubah, tempat kita berpijak dan dapat memberi kita kesanggupan untuk menegakkan satu hukum yang sempurna, yang dengan mungkin dapat diterbitkan hubungan manusia untuk selama-lamanya, hingga lenyap ketidakpastian dan diperoleh kebebasan dari kebutuhan akan adanya perubahan.

Kita tidak boleh mengejek tujuan yang tinggi dan keyakinan yang mulia ini. Sebab tujuan dan keyakinan ini tidak sedikit merupakan faktor faktor di dalam kekuasaan filsafat hukum untuk melakukan hal-hal yang kurang luhur, yang dalam keseluruhannya adalah tulang punggung dan semanagt dari apa-apa yang telah dicapai oleh hukum. Sebab daya upaya untuk melaksanakan program yang lebih luas, telah mengajak filsafat hukum secara kebetulan untuk melakukan apa-apa yang akan segera berfaedah dan praktis; dan pengalaman dalam melakukan yang disebut kemudian ini, seolah-olah dia sub specie aeternitatis, telah memberikan harga yang kekal kepada apa yang pada lahirnya merupakan hasil tambahan dari penyelidikan filsafat.

Ada dua kebutuhan yang mendorong pemikiran filsafat tentang hukum. Di satu pihak adalah kepentingan masyarakat yang sangat besar dalam keselamatan umum, yang sebagai satu kepentingan di dalam perdamaian dan ketertiban mendorong permulaan timbulnya hukum, telah menyebabkan orang mencari suatu dasar yang tetap bagi penerbitan tindakan manusia yang harus mengendalikan kesewenang-wenangan, baik dari pihak penguasa mauun pihak perseorangan, serta menjamin satu ketertiban masyarakat yang kokoh dan stabil. Pada pihak lain, tekanan dari kepentingan masyarakat yang kurang langsung, dan kebutuhan akan merukunkannya dengan kebutuhan keamanan umum kebutuhan terus-menerus akan mengadakan kompromi karena perubahan yang terus-menerus terjadi di dalam masyarakat senantiasa menuntut supaya diadakan penyesuaian kembali, setidak-tidaknya bagian yang kecil-kecil dari ketertiban sosial. Kebutuhan tersebut menuntut terus-menerus supaya perintah hukum diperiksa dan disesuaikan lagi dengan situasi yang tak terduga. Keadaan ini menyebabkan orang mencari asas-asas perkembangan hukum, yang dengannya orang hendak menghindari peraturan-peraturan penguasa, yang mereka takuti, atau merek tidak tahu bagaimana cara menolaknya, tetapi tidak dapat lagi diterapkan dengan menguntungkan. Tetapi asas-asas perubahan dan pertumbuhan ini mungkin dengan mudahnya akan terukti bahwa dia bertentangan dengan keamanan umum, dan penting untuk mendamaikan dan mempersatukan dengan gagasan tentang satu dasar yang tetap dari ketertiban hukum.

Demikianlah filosuf telah berdaya-upaya membangun teori tentang hukum dan teori tentang pembuatan undang-undang, dan mencoba mempersatukannya dengan suatu gagasan yang akhirnya memecahkan persoalan, yang sama dengan tugas menghasilkan satu hukum yang sempurna, yang harus berdiri teguh selama-lamanya. Esmejak pembuat undang-undang meningalkan percobaanya hendak memelihara keamanan umum, karena percaya bahwa tubuh kasus dari undang-undang yang dibuat manusia adalah dititahkan oleh Tuhan, atau wahyu Tuhan, atau telah disahkan oleh Tuhan. Mereka terpaksa bergumul dengan masalah, bagaimana seharusnya membutukan kepada umat manusia, bahwa hukum adalah suatu yang telah selesai ditetapkan, yang kekuasaanya tidak dipersoalkan lagi. Dan di samping itu mereka memberi kesanggupan kepada hukum untuk tetap melaksanakan penyesuaian dan kadang-kadang perubahan radikal di bawah tekanan hasrat manusia yagn berubah-ubah dan tiada batasnya itu

Ahli filsafat telah berusaha memecahkan manusia ini dengan bahan-bahan dari sistem hukum yang betul-betul berlaku pada suatu masa dan suatu tempat, atau dengan bahan-bahan hukum dari masa yang silam, yang dipakai sebagai alas oleh generasinya yang membangun filsafat hukum. Karena itu dipandang dari dekat, filsafat hukum itu merupakan percobaan untuk memberikan satu uraian yang masuk akal mengenai hukum pada suatu waktu dan pada suatu tempat, atau daya upaya untuk merumuskan satu teori umum tentang ketertiban hukumguna memenuhi kebutuhan perkembangan hukum pada suatu masa tertentu, atau percobaan untuk menyatakan secara unversal hasil dari dua percobaan yang disebut lebih dulu, dan menjadikannya cukup bagi hukum dimana-mana dan kapan saja. Para penulis sejarah filsafat hukum telah menghadapkan pandangan terutama kepada percobaan yang ketiga, tetapi ini adlaha bagian yang sangat sedikit harganya dari filsafat hukum. Jika kita perhatikan dengan seksama filsafat di masa silam dengan mengarahkan pandangan kepada hukum yang berlaku pada suatu waktu dan di suatu tempat dan kebutuhan dari tingkatan perkembangan hukum yang dalam hukum kebutuhan tersebut dirumuskan maka kita akan dapat menghargakannya dengan lebih cepat; dan mempergunakannya bagi tujuan sekarang seberapa jauh hukum dari suatu waktu dan di suatu tempat atau tingkatan perkembangan hukum itu sama atau berbeda dengan keadaan dewasa ini.

Kita mengenal hukum Yunani semenjak permukaan adanya satu ketertiban hukum, seperti yang digambarkan di dalam sajak sajak Homerus, sampai kepada perkembangan lembaga- lembaga perniagaan pada jaman Hellas. Pada tingkatan pertma raja-raja menjatuhkan putusan mengenia perkara-perkara tertentu dengan ilham yang diterima baginda dari dewa-dewa. Pada tingkatan kedua, menjatuhkan putusan menurut kebiasaan yang telah menjadi satu tradisi yang dipegang oleh satu golongan kecil yang berkuasa (oligarchy). Kemudian rakyat menuntut supaya putusan itu disiarkan, dan sebagai hasilnya terciptalah satu himpunan undang-undang. Pad amulanya pengundangan itu sifatnya tidak lebih dari pernyataan. Tetapi biasanya tidak sukar melangkah dari publikasi kebiasaan yang telah ditetapkan ke arah publikasi perubahan, seolah olah perubahan itu telah menjadi kebiasaan yang dengan demikian ke arah perubahan yang disadari dan diakui, dan peraturan baru yang sengaja dibuat dengan tindakan legisltif. Hukum di Athena dalam abad kelima dan keempat sebelum masehi adalah satu tradisi yang sudah dikodifikasikan, yang ditambah dengan perundang-undangan baru dan diindividualisasikan dalam penerapannya dengan peradilan yang diselenggarakan oleh majelis rakyat yang besar. Jadi meskipun sudah dituliskan secara formal, undang-undang itu masih tetap dapat berubah-berubah seperti hukum primitif, dan dapat memberikan satu filsafat bagi hukum Romawi pada tingkatan keadilan yang ditentukan menurut perasaan kadilan (equity) dan hukum alam, satu masa yang lain dari kecairan hukum (legal fluidity). Perkembangan satu hukum yang sejati (strict law) dari bahan-bahan primitif yang dikodifikasikan, yang Roma beruntung dapat mendahului tingktan equity dan hukum alam, di Yunani tidak terjadi. Karena itu kaidah-kaidah hukum diterapkan dengan equity yang diindividuallisasikan, suatu hal yang mengingatkan kita pada dorit coutumier di Perancis satu cara penerapan, yang dengan segala cirinya yang baik, harus didahului oleh satu himpunan dari hukum sejati, yang dilaksanakan dan dipahami sebaik-baiknya, jika hasilnya dikehendaki agar cocok dengan keamanan umum di dalam satu ketertiban sosial yang cocok dengan keamanan umum di dalam satu ketertiban sosial yang kompleks. Dalam jaminan klasil di Athena, perkataan vouos, yang berarti baik kebiasaan dan undang-undang, maupun hukum dan tidak adanya keseragaman dalam pelaksaana, yang telah menjadi ciri dari hukum primitif, dan mendorong orang memikirkan kenyataan yang terdapat dibelakang kekacauan itu. Kita dapat mengerti bahan-bahanlah yang dijadikan landasan kerja oleh filosuf-filosuf Yunani. Jika kita perhatikan satu peringatan yang diberikan oleh Demosthenes kepada satu juri di Athena, manusia harus mematuhi hukum, katanya karena tempat alasan : (1) karena hukum itu dititahkan oleh Tuhan, (2) karena hukum itu adalah satu tradisi yang diaarkan oleh orang-orang yang bijaksana, yang mengetahui kebiasaan-kebiasaan lama yang baik, (3) karena hukum itu adalah kesimpulan dari kaidah-kaidah kesusilaan yang abadi dan tak berubah-ubah, dan (4) karena hukum itu adalah persetujuan yang mengikat manusia seorang kepada yang lainnya, sebab menetapi janji merupakan satu kewajiban moral. Tidak lama sesudah itu orang tidak percaya lagi bahwa perintah hukum itu diwahyukan oleh Tuhan, dan juga tidak lama sesudah itu orang tidak menganggap lagi bahwa hukum adalah satu tradisi yang terdiri dari kebiasaanlama mengenai putusan. Filosuf filosuf mencari satu dasar yang lebih baik bagi perintah hukum itu di dalam asas-asas hak yang abadi. Sementara itu, setidak-tidaknya dalam teori plitik, banyak diantara perintah hukum itu adalah persetujuan yang dibuat oleh warga-warga negra kota Anthena mengenai bagaimana seharusnya kelakuan mereka apabila timbul perbenturan kepentingan yang tak dapat dielakkan di dalam kehidupan merek sehari-hari. Yang diperlukan di atas segalanya adalah suatu teori tentang wewenang hukum, yang ahrus memikulkan iktan akal yang sehat ke bahu mereka yang membuat undang-undang, ke bahu mereka yang menerapkannya, dan ke bahu mreka yang tunduk kepada undang-undang di dalam satu ketertiban hukum yang belum berbentuk.

Satu dasar yang kokoh bagi wewenang hukum, dipasang di atas suatu yang lebih stabil daripada kemauan manusia dan kekuasaan mereka yang memerintah untuk melakasnakan kehendaknya, buat sementara waktu diperlukan pula untuk masalah pengawasan sosial di Yunani. Supaya dapat terpelihara keamanan umum dan keamanan lembaga-lembaga sosial di tengah satu perjuangan antara golongan-olongan di dalam satu kesewenang-wenanggan merek,a yang berkuasa, yang membanggakan dirinya keturunan dewa-dewa, supaya dapat dibujuk dan dipksa baik oleh kaum bangasawan maupun rakyat yang rendah derajatnya, supaya dengan tertib terpelihara status quo social, maka janganlah diceritakan kepada mereka bahwa hukum itu bukan satu anugrah dari Tuhan.

Juga tidak patut dikatakan, bahwa yang menyakiti kaum bangsa-bangas berupa sekelumit perundang-undangan rakyat yang radikal, yang diundangkan atas anjuran seorang penghasut rakyat, harus diaati, karena sudah diajarkan oleh orang-orang budiman yang mengalami kebiasaan lama yang baik; dan tidak akan dikatakan pula bahwa Rakyat (demos) yang marah ditekan oleh satu tradisional kepunyaan golongannya, adalah terikat olehnya sesuatu yang disetujui semua warga kta. Kebutuhan dari ketertiban masyarakat meminta adanya satu pemisahan antara vous dan revouisjoueva (antara hukum dan kaida-kaidah hukum). Minos, jika betul-betul satu percakapan dari Plato, namun cukup menunjukkan ciri Plato, serta sangat dekat waktunya dengan Plat telah menyinggung soal pemisahan ini, dan memberikan kepada kita satu kunci bagi masalah hukum pada jaman itu Satu contoh lain boleh dibaca di dalam perincangan yang terkenl dari Aristoteles di dalam Ethika Niomachea. Memang ada artinya apabila pemikir-pemikir Yunani selalu menguhungkan kebiasaan dengan perundangngan,hal ini pada masa ini yang dianggap berlawanan. Inilah dasar yang formal dari wewnang hukum. Demikianlah Aristoteles mempertimangkan, bukan hukum alam dan hukum positif, melainkan apa yang adil pada dirinya, adil menurut kodrat alamnya atau adil di dalam gagasannya dan apa yang memperoleh tuntuan haknya untuk bersifat adil dari konvensi dan pengundangan. Yang diundangkan itu, kata Aristoteles, dapat bersifat adil hanya jika mengenai barang-barang yang tak membeda-bedakan menurut tabiatnya. Jika apabila satu kota yang baru dibangun kembali memilih serang jendaral Sprata yang hidup sebagai pemberi nama, tidak seorang pun diwajibkan oleh kdorat alam untuk berkorban kepada Brasidas seperti kepada seorang Poyang, tetapi ia diwajibkan oleh undang-undang. Tambahan lagi ini adalah soal konvensi yang mengharuskan warga kota warga di dalam satu masyarakat yang dibentuk menurut teladan atu kekerabatan yang teratur, mempunyai satu moyang bersama yang berjiwa pahlawan, tak perduli bagaimana ia menurut ukuran kesusilaan. Pembedaan itu dipusakan kepada ilmu hukum modern oleh Thomas Aquio, diwujudkan di dalam pikiran hukum Inggris Amerika oleh Blacstone, dan telah menjadi satu bahan. Tetapi sebagai satu doktrin tentang mala prhibita dan mala in se pembedaan ini keluar dari kerangkanya. Satu contoh dari pembedaan antara hukum dan kaidah hukum telah menjadi dasar bagi satu penarikan garis sewenang-wenang antara tindakan ayng menurut tradisi antisosial, yang dihukum oleh hukum kebiasaan, dan pelanggaran terhadap kepentingan sosial yang baru-baru ini atau sebagiannya diakui, yang pada masa terakhir ini dikenakan hukuman. Meskiun pemisahan antara apa yang adil dan hak menurut kodrat alam dan apa yang adil karena kebiasaan atau pengundangan telah mempunyai sejarah yang panjang dan subur di dalam ilmu hukum filsafat, dan merasakan satu kekuatan di dalam menyelenggarakan peradilan. Satu menduga bhwa sumbangan yang kekal dari filsafat hukum Yunani akan ditemukan di dalam pembedaan antara hukum dan kaidah-kaidah hukum, yang terletak di belakangnya dan mempunyai arti semua tingkatan perkembangan hukum. Ahli-ahli hukum Romawi mkulai berkenalan dengan filsafat di dalam masa peralihan dari hukum sejati (strict law) kepada tingkatan equity (pelaksanaan hukum bukan berdasarkan undang-undang yang tertulis melainkan berdasarkan jiwa keadilan) dan hukum alam; dan perkenalan itu erat hubungannya dengan kesanggupan yang diberikan kepada mereka untuk menempuh maas peralihan itu. di pandang dari satu pendirian hukum semata-mata, hukum Yunani masih pada tingkatan primitif. Hukum dan kesulitan besarnya masih belum dapat dibedakan. Karena itu pemikiran ahli-ahli filsafat Yunani yang masih pada suatu tingkatan yang belum mengadakan perbedaan antara hukum dan kaidah kesusilaa mengakibatkan adanya idenifikasi yang disahkan oleh undang-undang, dan yang dibolehkan oleh kesusilaan di dalam pemikiran sarjana-sarjana hukum yang telah merupakan ciri dari hukum Romawi klasik. Tetapi hukum sejati itu jelas bersifat tak perduli terhadap kaidah kesusilaan, dan dalam banyak hal yang penting sangat berbeda dengan gagasan moral pada masa itu. tetapi pembedaan yang diadakan oleh bangsa Yunani antara yang adil menurut kodrat alam dengan yang adil karena konvensi atau pengundangan segera dibayangkan oleh situasi serupa itu. Tambahan lagi bentuk hukum pada akhir masa Republik dan pada awal masa Kekaisaran telah menimbulkan satu teori tentang hukum sebagai sesuatu yang majemuk, yang terdiri dari perintah-perintah yang lebih satu jenisnya dan langsung ditegakkan di atas wewenang yang dasarnya lebih dari satu. Cicero menyebutkan satu persatu bentuk hukum yang tujuh jumlahnya. Tiga diantaranya tidak ditemukan lagi di dalam tulisan tulisan mengenai hukum di Roma sesudah itu. rupanya pada masa Cicero bentuk hukum yang tiga itu tidak ada lagi, sudah tidak merupakan bentuk hukum yang berlaku dan efektif. Empat selebihnya, yaitu undang-undang dari badan legislatif, keputusan senat, perintah penguasan dan wewenang orang-orang yang ahli dalam hukum, menjadi tiga : undang-undang dari badna legislatif, perintah dari penguasan dan pertimbangan sarjana hukum berdasarkan tradisi hukum. Dan yang tiga ini sesuai dengan tiga macam unsur yang menjadi hukum. Pertama adalah ius civuile : Luh Duabelas (Twelve Tables) undang-undang yang dibuat sesudahnya, interprestasi dari yang dua ini, dan hukum tradisional dari kota.

Kedua, banyak sekali kaidah, sebagian besar berbentuk hukum acara, yang termaktub di dalam perintah perintah penguasa. Di sinilah mulai titik pertumbuhan hukum, dan pertumbuhan ini masih berlangsung terus dengan melalui saluran ini. Dan hukum bagian ini sesungguhnya telah mencapai bentuknya yang berakhir di bawah pemerintah Hadrianus.

Ketiga, tulisan-tulisan dari ahli-ahli hukum (jurisconsults). Titik permulaan dari pertumbuhan hukum juga terdapat di sini, dan ini adalah bentuk hukum yang terpenting dalam jaman klasik, dari masa Kaisar Augustus sampai abad ketiga masehi. Hukum bagian ini memperoleh bentuknya yang penghabisan di dalam Digest dari Justinianus. Di antara tiga unsur tersebut, yang pertama dianggap orang pada mulanya sebagai kebiasaan yang dinyatakan dan disiarkan. Kemudian dia dianggpa berdasarkan atas wewenang negara. Ini sudah tentu bersifat setempat dan khusus untuk Roma saja. Dalam bentuknya berdasarkan kekuasaan legistlatif dari rakyat Roma, yang hanya ditambah dengan penafsiran perintah badan legislatif dengan satu-satunya wewenang, yaitu diterima sebagai hukum kebiasaan. Dalam bahasa Yunani, dia berdaarkan konvensi dan pengundangan.

Yang kedua adalah yang dimaksud dengan kaidah-kaidah yang ditaati oleh bangsa-bangsa beradab, dan mengenai hukum dagang mungkin sekali kaidah yang mendekatinya. Selain ini, menurut gagasan kuno mengenai hukum perorangan, kaidah yang berlaku di tengah bangsa-bangsa yang berada adalah satu hukum yang pantas untuk diterapkan pada warganegara dan bukan warganegara. Dalam bahasa Yunani, kaidah ini dinamakan hukum oleh konvensi. Dasar dari unsur yang ketiga ialah akal semata-mata. Ahli hukum tidak mempunyai kekuasaan leistlatif dan imperium. Wewenang dari responsum ahli hukum itu, baru saja hukum tidak merupakan satu tradisi golongan lagi, dapat ditemukan di dalam kewajaran dirinya; di dalam seruan yang dihadapkannya kepada akal sehat dan perasaan keadilan dari indeks. Di dalam bahasa Yunani, jika itu hukum maka dia adalah hukum kodrat alam. Tatkala muncul ahli-ahli hukum profesional, perindahan titik pertumbuhan hukum ke arah penulisan hukum, dan peralihan dari hukum sebuah ktoa menjadi satu hukum dunia menurut adnaya satu ilmu hukum, satu teori yang memberikan satu uraian yang rasional mengenai tiga macam kumpulan kaidah dipandang dari sudut itu teri tadi akan memberi kesanggupan kepada sarjana hukum agar yang ada, mereka dapat mempergunakannya sebagai hukum untuk seluruh dunia.

Pada masa itu ahli-ahli hukum menghadapi masalah yang terus-menerus sulit, yaitu bagaimana caranya memelihara kestabilan di samping membolehkannya adanya perubahan. Apalagi masa dari Kaisar Ausgustus sampai kepada perempat kedua dari abad ketiga masehi, adalah satu masa pertumbuhan. Tetapi pertumbuhan itu bleh disifatkan revolusioner jika kita bandingkan hukum pada akhir disifatkan revolusioner jika kita bandingkan hukum pada masa akhir itu dengan hukum dari generasi sebelum Cicero. Juriscounsults adalah ahli-ahli hukum yang praktis. Yang selalu mengjai pusat perhatian besar mereka adalah kemampuan umum. Sementara sebagai satu cita-cita menere mengindektifikasikan hukum dengan kesusilaan, mereka masih tetap menaati hukum semata di masa saja dapat diterapkan, dan mereka juga tidak mengembangkan perintah dengan jalan aalogi, menurut teknik tradisional yang terkenal, apabila mereka menghadapi tingkatan baru dari soal-soal lama. Karena itu apa yang bagi bangsa Yunani merupakan satu pembeaan antra hak oleh kodrat alam dan hak oleh konvensi atau pengundangan, bagi ahli-ahli hukum Romawi telah menjadi satu pembedaan antara hukum oleh kodrat alam dan hukum oleh kebiasan atau perundang-undangan. Perkatana latin yang sama maknanya dengan Cicero dikalov (yang hak atau yang adil) telah menjadi perkataan mereka untuk hukum. Mereka yang menyebut ius apa yang dinamakan lex oleh Cicero. Pengertian yang mempunyai dua makna ini, mengakibatkan orang menganggap sama apa yang seharusnya (what ought to be) dan apa seadanya (what is), telah memebrikan satu dasar ilmiah bagi keperayaan ahli-ahli hukum itu, bahwa apabila dan di mana mereka tidak terikat oleh hukum, mereka hanya menerangkan alasan dan keadilan dari sesuatu hal, supaya mereka dapat meletakkan dasar hukumnya. Perlu diingat, bahwa alam bagi orang-orang Yunani yang hidup dalam jaman purba itu mempunyai arti yang tidak sama dengan pengertin kita yang telah dipengaruhi oleh gagasan evolusi. Kata orang, bagi bangsa Yunani apel dalam (natural apple) bukanlah buah apel yang tumbuh liar di dalam hutan, induk dari apel ayng kita tanam di kebun sekarang, melainkan buah apel yang keemas dari Hespertides.

Benda yang alamiah (natural) adalah benda yang menyatakan selengkap-lengkapnya cita (idea) dari benda itu. Kerna itu hukum alam (natural law) adalah apa yang dengan sempurna menyatakan cita hukum, dan satu kaidah dari hukum alam adalah satu kaidah yang sempurna menyatakan cita hukum diterapkan kepada subyek itu perkembangan yang sempurna. Bagi tujuan hukum kenyataan itu di dapati di dalam hukum alam yang ideal, yang sempurna dan alatnya adalah penggunaan akalnya oleh ahli hukum. Perundang-undangan dan perintah penguasa, selama kedua tidak mempunyai lain dari satu dasar positif dari wewenag politik, hanya merupakan ituruan yang tak sempurna dan fana dari kenyataan hukum ini.

Demikian sarjana-sarnaja hukum sampai kepada doktrin ratio legis asas hukum alam di belakang kaidah hukum, yang dari dulunya begitu subur, baik untuk faedah yang praktis maupun bagi kekacuan teori dalam menafsirkannya. Begitulah mereka sampai kepada doktrin yang mempergunakan analogi untuk semua kaidah hukum itu mempunyai analogi, selama bersendikan kenyataan hukum. Sebegitu jauh kaidah hukum itu mewujudkan atau merealisasikans atu asas hukum alam.

Hukum alam adalah satu teori filsafat untuk satu pertumbuhan. Teori filsafat ini timbul untuk memenuhi kebutuhan dari tingkat equity, dan hukum alam, satu masa-masa kredit yang beasr dari sejarah hukum. Meskipun begitu, seperti telah kita lihat, pertuimbuhan yang paling cepat pun tidak membiarkan ahlil hukum mengabaikan tuntutan stabilitas. Teori hukum alam itu telah disempurnakan sebagai satu alat pertumbuhan, sebagai satu alat untuk membuat satu hukum dunia dasar hukum sejati lama dari kota Roma. Tetapi ia juga disempurnakan sebagai satu alat untuk mengarahkan dan mengatur pertumbuhan hukum supaya dapat memelihara keamanan umum. Sarjana hukum mempunyai tugas membangun dan membentuk hukum atas dasar bahan-bahan setempat yang lama, supaya dapat dijadikan satu alat buat memuaskan kehendak satu dunia seluruhnya, dan disamping itu menjamin keseragaman dan sifatnya yang dapat dinyatakan sebagai hukum. Ini mereka lakukan dengan menerapkan satu teknik baru tetapi dikenal sebagai bahan-bahan lama. Teknik adalah penggunaaan akal di lapangan hukum (legal reason), tetapi penggunaan akal hukum yang diidentifikasikan dengan akal sewajar-wajarnya (natural reason) dan disempurnakan serta diterapkan di bawah pengaruh satu cita-cita dilsafat. Konepsi tentang hukum alam sebagai sesuatu yang menurutnya semua hukum positif hanya bersifat pernyataan, sebagai sesuatu yang harus dijadikan ukuran bagi kaidah yang ada, dan dengannya semua kaidah itu sedapat mungkin disesuaikan, dan dia yang membentuk kaidah baru, dia yang memperluas dan membatasi kaidah lama dalam penerapannya, konsepsi itu adalah satu instrumen yang berkuasa di tangan sarjana hukum dan memungkinkan mereka mencapai kemajuan dalam menunaikan tugas mereka, yaitu membangun hukum dengan kepercayanan yang teguh. Tetapi percobaan sarjana yang hendak menjaid ius civile satu hukum untuk dunia, memerlukan sesuatu yang lebih daripada satu dorongan teoretis saja. Inilai yang dinamakan satu proses perkembangan analogi dengan perluasan di sini dan pembatasan di sana, satu proses pengambilan kesimpulan umum, pertama dalam bentuk pepatah-pepatah hukum dan kemudian dengan meletakkan asas-aas yang luas; dan proses memasang jalan baru dengan hati-hati, membimbing dan mengemudikannya dengan melakukan berbagai kekhialafan dan kesalahan. Proses ini sama besar dengan percobaan yang telah dilakukan oleh hakim-hakim Inggris Amerika yang satu dilakukan oleh hakim-hakim Inggris Amerika yang telah berhail memberi kesanggupan untuk membuat satu hukum dunia atas dasar perintah-perintah hukum di negeri Inggris dalam abad ke-17. Proses serupa itu memerlukan sesuatu yang akan memberikan arah kepada pemikiran arjana-sarjana hukum, akan memberikan isi yang pasti kepada cita-cita akan menyediakan satu saluran bagi pikiran hukum yang ditentukan dengan sewajarnya. Kebutuhan ini dipenuhi dengan teori filsafat tentang tabiat benda-benda dan hukum alam di sesuaikan dengan tabiat benda-benda itu. dalam prakteknya, hukum yang dibuat oleh sarjana hukum dan hakim telah dibentuk dengan sadar atau tidak oleh gagasan untuk apa hukum itu dan teori-teori tentang tujuan hukum.

Pada tingkatan permulaan dari hukum, manusia tidak mempunyai konsepsi dan hasrat yang lebih besar daripada mengatur satu masyarakat yang damai seberapa mungkin. Tetapi bangsa Yunani lekas memperoleh satu konepsi yang lebih baik tentang cara memelihara status aquo di dalam masyarakat dengan cara yang tertib dan damai. Apabila teori hukum alam diterapkan kepada konepsi itu, kita memperoleh pengertian tentang satu bentuk yang dicita-citakan dari status quo sosial satu bentuk yang menyatakan sifatnya, satu bentuk yang sempurna dari organisasi sosial pada suatu peradaban tertentu sebagai yang harus diteruskan dan dipelihara oleh ketertiban hukum. Demikianlah hakim dari sarjana hukum memperoleh satu penunjuk jalan yang dulu banyak memantunya. Hakim dan sarjana hukum itu harus menmgukur semua istuasi dengan satu bentuk yang dicita-citakan dari ketertiban sosial pada suatu waktu dan di suatu tempat, dan mereka harus mengukur semua dituasi dengan satu bentuk yang dicita-citakan dari ketertiban sosial pada suatu waktu di suatu tempat, dan mereka harus membentuk hukum begitu rupa. Kita akan menjumpai gagasan ini di dalam berbagai bentuk di sepanjang sejarah berikutnya dari filsafat hukum. Dan gagasan ini merupakan sumbangan tetap yang diberikan oleh Roma kepada filsafat hukum. Baru saja perkembangan hukum secara ilmiah memulai sejarahnya dalam abad-abad pertengahan, hukum bersentuhan lagi dengan filsafat, karena yang dua ini dipelajari juga di universitas-universitas. Apakah kebutuhan masyarakat yang harus dicukupkan oleh filsafat pada masa itu ?

Sesudah lama hidup di dalam masa yang penuh dengan kekacuan, perpecahan dan penggunaan kekerasan, manusia akhirnya menginginkan ketertiban, organisasi dan perdamanain. Mereka menuntut adanya satu filsafat yang akan menegakkan kewibawan dan memberikan alasan bagi keinginan mereka yang hendak memaksakan satu ikatan hukum terhadap masyarakat. Masa itu adalah masa peralihan dari hukum primitif pada siku-siku Jerman kepada satu hukum keras, dengan perantaran resepsi hukum Romawi sebagai perundang-undangan kebiasaan Jerman yang sedikit banyaknya melandani hukum Romawi, seperti terjadi di tanah Perancis Utara, atau dengan deklarasi hukum kebiasaan di dalam laporan putusan pengadilan pusat yang kuat, seperti di negeri Inggris. Dengan demikian tibalah dengan segera satu masa hukum sejati. Dengan percaya penuh kepada pertimbangan dialektik dari pangkal dalil yang diberikan oleh orang-orang yang berwenang, dan yakin kepada logika yang formal, serta menjadikan masalah pokok penempatan akal sebagai satu dasar di bawah kekuasaan, filsafat scholastik telah menyambut dengan tepat tuntutan ini. Dan tidaklah keliru jika para komentator dan penafir mutakhir (postglossator) dari abad ke-14 dan ke-15 dianggap sebagai sarjana-sarjana hukum cholastik. Sebab sebagian besar adalah filsafat yang begitu lengkap menckupkan kebutuhan pada masa itu, sehingga para komentator dan glassator dapat membentuk hukum Romawi daru Justinianus sehingga dapat diterima dan dijalankan di benua Eropa sembilan abad kemudian. Sementara mereka membaut penjelasan menjadi hukum, bukannya teks sebagiamana mestinya, dan banyak perubahan serta perbaikan yang mereka adakan karena mereka harus mengubah dan memperbaiki hukum itu supaya dapat diselaraskan dengan satu ketertiban sosial yang berkelainan seluruhnya, maka metode prekembangan dialektik dari pangkal dalil yang mutlak dan tak dapat dipungkiri menunjukkan bahwa yang mereka lakukan itu adalah mengembangkan kesimpuilan yang kogius dari satu teks yang mempunyai autoritas.

Orang-orang dapat menerima hukum Bortolus selama mereka percaya bahwa itu hanyalah perkembangan logis dari isi semuloa dari undang-undang Justinianus yang mengikat. Menarik sekali apabila diperhatikan sikap Fostesque yang menerapkan ini kepada kaidah hukum adat Inggris (common law) pada tingkatan hukum sejati. Ia menganggap bahwa kaidah itu adalah asas-asas yang dibca di dalam tulisan-tulisan pra komentator Aristoteles, bahwa kaidah itu bleh disamakan engan aksioma dair seoran ghali ilmu ukur. Waktunya belum tiba untuk menyangsikan semua kaidah, atau asas atau aksioma itu. Yang dibutuhkan ialah mencari alasan untuk membenarkan kenginan manusia supaya diperintah oleh akidah yang ditetapkan dan merukunkan setidak-tidaknya pada lahirnya perubahan dan pertumbuhan yang tidak dapat dielakkan dalam semua hukum, dengan kebutuhan yang dirasakan rang mempunyai satu kaidah yang ditetapkan, tidak berubah-ubah dan mempunyai autritas. Filsafat hukum telah berjasa besar dalam hal ini dan saya berani mengatakan telah memusakkan sebagai satu sumbangan tetap kepada ilmu hukum, metode yang menjamin kepastian dengan perkembangan hukum dan sisi konsepsi yang telah dibatasi maknanya oleh ahli-ahli hukum yang mempunyai wewenang.

Pada waktu runtuhnya organisasi masyarakat feodal, perkembangan perdagangan dan datangnya penemuan, penjajahan, dan eksploatasi sumber kekayaan alam di benua baru, bersama dengan timbulnya bangsa-bansa yang menggantikan kumpulan yang longgar dari daerah yang dikuasai oleh pacal raja, menuntut adanya atu hukum nasional yang diseragaman di dalam wilayah nasional. Starkey mengusulkan kodifikasi kepada Raja Henry VII dan Dumoulin di tanah Perancis dengan maksud agar suatu waktu dapat di kodifikasikan. Sarjana sarjana hukum dan ahli-ahli theologi Protestan dalam abad ke-16 menemukan satu dasar dilafat untuk memenuhi keinginan ini masa itu di dalam negara yang diatur dari theologi, semata-mata berdasarkan akal, suaut hal yang mencerminkan keperayaan yang tiada hingganya kepada akal, yang timbul bersama Renaissance.

Demikian sarjana hukum nasional masing-masingnya mungkin menyempurakan interpretasinya tentang hukum alam dan mempergunakan akal sendiri, sebagaimana tiap orang Kristen mungkin menafsirkan Tuhan untuk dirinya sendiri seperti yang ditunjukan jalannya oleh akal dan hati nuraninya. Sebaliknya, sarjana-sarjana hukum Katholik dari golongan Kontra-Reformasi mendapati satu dasar filsafat bagi pemuasan keinginan yang serupa di dalam satu konsepsi tentang hukum alam sebagai satu sistem pembatasan terhadap tindakan manusia yang menyatakan berakal, dan hukum positif sebagai satu sistem yang ideal yang menyatakan sifat suatu negara yang disatukan. Untuk masa itu gagasan ini dipergunakan untuk mengabdi kepada satu kekuasana raja yang bertambah besar, dan berwujud di dalam teori Byzantium, tentang kedaulatan yang telah menjadi klasik di dalam hukum publik. Di dalam hukum privat gagasan ini menimbulkan perubahan yang sangat berlainan. Sebab satu masa pertumbuhan yang baru, yang dituntut oleh masyarakat yang bertambah luas dan putusnya ikatan penguasa, sudah datang untuk mengajukan tuntutan baru yang berlainan seluruhnya terhadap filsafat. Dengan mempergunakan bahan-bahan dari Romawi, para glassator dan komentator telah membuat atau mementuk hukum untuk satu masyarakat yang statuis, yang dapat mencakupkan kebutuhan setempat, dan hidup untuk akhirnya, yang menghormati penguasan karena penguasa itu telah menyelematkannya dari apa yang ditakutinya, yang menganggap lebih penting keamanan lembaga-lembaga sosial dan mengabaikan kehidupan perseorangan, karena menurut susunan ketetanegaranya tiap tiap individu dapat mencapai tingkat kemuliaan hidup yang paling tinggi, jika ia hidup di dalam hidup orang lain, yang kebesarannya merupakan kebesaran mereka yagn mengabdikan kepadanya. Pada abad ke-17 dan ke-18 sarjana-sarjana hukum diminta membuat atau membentu satu hukum dari bahan bahan Romawi yang telah diubah dalam jaman Pertengahan untuk memenuhi kehendak satu masyarakat yang aktif dan berubah-ubah, dimana satu tempat saling bergantungan dengan tempat lain, yang memusatkan perhatiannya kepada dunia ini saja, masyarakat yang tidak sabar terhadapa pihak penguasa karena pengusa itu merintangi daya upaya untuk mencapai apa yang di inginkan, dan individualitas srta dengan cemburu menjaga kebebasnya, karena mereka menganggap penonjolan dirinya yang bebas dari tiap individu adalah suatu milik yang aling tinggi nilanya. Di negeri Inggris hukum sejati dibuat untuk masyarakat Inggirs yang feodal dari bahan-bahan hukum Jerman Kuno, yang kadnag-kadang diromawikan pada lahirnya, diubah begitu supaya dapat dilakukan tigas penyelenggaraan peradilan di dalam satu dunia yang baru.

Sebagai akibat, maka datanglah satu masa perkembangan hukum yang menyolok sekali persamannya dengan masa klasik dari hukum Romawi. Dan sekali lagi filsafat memegang pimpinan. Sekali lagi dimasukkan pula ke dalan hukum gagasan dari luar hukum. Sekali lagi hukum dan moral dianggap sama di alam pemikiran sarjana-sarjana hukum. Sekali lagi orang memandang sebagai satu ajaran yang hidup, bahwa seluruh hukum positif adalah pernyatana dari hukum serta memperoleh wewenangan yang sebenarnya dari kaidah hukum alam yang diterangkan. Sekali lagi idealisme hukum mendorong sarjana hukum untuk meninjau tiap sudut dari hukum yang berlaku, mengukur kaidahnya dengan akal, serta membentuk, memperluas membatasi, atau membangun sekali lagi supaya bangunan hukum yang sungguh-sungguh berlaku boleh merupakan satu salisan yang persis serupa dengan yang dicita-citakan. Tetapi teori hukum alam yang dimaksud pula mulanya untuk satu masyarakat yang disusun berdaasrkan kekerabatan dan dikembangkan untuk satu masyarakat yang berdasarkan hubungan, tidak memadi lagi bagi satu masyarakat yang mengangap dirinya sebagai satu himpunan indivcidu dan disusun kembali berdasarkan penonkolan diri yang bersaingan. Dan sekali lagi ius yang mempunyai dua makna, yang dapat berarti bukan saja hak dan hukum, tetapi juga satu hak, dipaksakan memberikan manfaatnya, dan ius naturale memberikan hak-hak asasi (natural rights). Yang menjadi tujuan terakhir bukanlah bukum alam seperti sediakala, bukan asja prinsip-prinsip yang berkaku abadi, tetapi hak-hak asasi, kaifiat-kaifiat (qualities) tertentu yang melekat pada diri manusia dan dibuktikan oleh akal, hak-hak yang dijamin oleh hukum alam, dan patut dilaksanakan oleh hukum positif.

Hak-hak asasi ini kemudian menjadi suatu laknat bagi pemikiran tentang hukum. Namun pada masanya hak-hak asasi itu telah memberikan jasa-jasa yang besar. Dengan dipengaruhi toeri ini sarjana-sarjana hukum mengerjakan satu skema dari hak-hak yang bersenidkan hukum, yang secara efektif meliputi hampir seluruh lapangan kepentingan perseorangan yang bersangkutan dengan harga benda. Teori ini memasang satu landasan ilmiah di bawah skema dari jaman Pertengahan tentang tuntutan dan kewajiban yang ditimbulkan oleh hubungan antara raja dan kepala-kepala penyewa tanahnya. Dengan memakai landasn inilah hakim-hakim mengembangkan hak-hak orang Inggris yang mereka warisi dari jaman dulu, dan memungkinkan hak-hak orang Inggris yang berbeda hukum adatnya menjadi hak-hak asasi manusia, yang termaktub di dalam Undang-Undang tentang Hak-hak Asasi (Bill of Rights). Demikianlah teori itu berguna satu kekangan yang diperlukan untuk menhan pertumbuhan berlebih-lebi9han yang didorong oleh teori hukum alam. Teori ini memberikan satu kebekuan yang diperlukan pada satu amsa tatkala hukum terancam akan menjadi cair seluruhnya. Dan pengaruh yang mengokohkan ini diperkuat oleh satu kalangan lain. Juriscounsult Romawi adalah seorang guru merangkapiflosuf dan ahli yang memraktekan hukum. Sebagai seorang ahli hukum, yang selalu diperhatikan adalah syarat-syarat keamanan umum, sehingga dirasakan penting sekali kesanggupan untuk memberi nasihat dengan kepastian, apakah yang harus dilakukan oleh pengadilan dalam menyelesaikan suatu perkara tertentu. Sarjana-sarjana dalam menyelesaikan suatu perkara tertentu. Sarjana-sarjana dan ahli filsafat. Untunglah mereka sudah dilatih untuk menerima hukum Romawi sebagai suatu yang mempunyai wewenang tertinggi dan demikian memberi kesanggupan untuk mengisi hukum alam itu dengan menganggapnya sama dengan satu bentuk yang dicitacitakan, yang mereka ketahui dan yang mereka sudah dapatkah latihan di dalamnya. Sebagaimana Jurisconsult Romawi tidak dapat dibanggakan sebagai mengandung wewenang, sarjana-sarjana hukum tersebut menganggap bahwa hukum Romawi merealisasikan akal, yang perinciannya telah dibetulkan oleh satu kritik yang bersendikan ilmu falsafat hukum. Kedua gagasan ini, hak-hak asasi dan satu bentuk yang ideal dari hukum yang sungguh berlaku pada suatu waktu dan di suatu tempat sebagai ketertiban hukum dari alam, telah diwariskan dan disiapkan untuk penggunaan baru dalam abad ke-19. Di dalam hukum yang tmbuh pada abad ke-17 dan 18, gagasan ini tidak lain dari pembimbing yang menuntut pertumbuhan itu ke dalam saluran tertentu, serta menjamin kelangsungan dan kekekalan di dalam prekembangan kaidah dan dokterin. Apakah hak-hak asasi dipahamkan sebagai kaifiat manusia alamiah (natural man) ataukah sebagia kesimpulan dari satu persetujuan yang menyatakan tabiat manuia, yang menjadi pokok persoalan, bukanlah sarjana hukum harus tidak menyinggung perkra itu supaya dengan menciptakan sesuatu perintah baru atau dalam membentuk lagi sesuatu doktrin lama, ia jangan melanggar satu hak dasar, melainkan harus mengugnakan akalnya dengan bebas dan kemahirannya untuk membentuk kaidah, doktrin dan lembaga yang boleh dipakainya sebagai alat untuk mencapai cita-cita hidup mansia di dalam satu status naturalis. Satu hal yang harus kita ingat ialah karena status naturalis adalah satu keadaan yang menyatakan cita-cita manusia sebagai satu makhluk yang rasional.

Jika satu reaksi dari penghalusan formal yang berlebih-lebihan dari abad ke-18 sampai mengindentidifikasikan status naturlis ini dengan kesederhanaan primitif, menurut pendapat sarjana hukum, itu adalah kesederhanaan dari satu cita-cita rasional yang menggantikan sistem hukum yang penuh kesulitan seluk-beluknya, yang telah menjadi beku di dalam gagasan mereka pada tingkatan hukum sejati. Begitulah Pothier, ketika memperbincangkan kategori perjanjian menurut hukum Romawi, dan menolaknya untuk prinsip alamiah bahwa manusia, sebagai satu makhluk susila menerapkan bahwa sistem Romawi yang kompleks dan sewenang-wenang itu, dibuat dari tambahan beruturut-turut pada berbagai waktu kepada satu persediaan primitif yang sempir dari janji-janji yang dapat dipaksakan oleh hukum, tidka diikuti karena ia jauh dari kesederhanaan.

Selanjutnya, bentuk yang ideal dari hukum yang betul-betul berlaku, yang memberikan isi kepada hukum alam, bukanlah satu bentuk yang dicita-citakan dari asas-asas yang didapati di dalam sejarah, yang mengekang perkembangan untuk segala masa di dalam ikatan yang ditetapkan di dalam sajarah, seperti di dalam abad ke-9 tetapi satu bentuk ideal dari ratio logis dari akal di belakang kaidah manusia yang berkala, yang hanya dituntun oleh akal yang hati nurani di dalam hubungannya dengan manusia lain yang sama, dituntun pula oleh akalnya. Daya upaya yang hendak menetapkan bagian hukum yang dapat diubah, yang hendak membuat peta-peta hukum untuk segala masa, menunjukkan gejala peralihan ke arah kematangan hukum. Usaha yang dilakukan orang dalam abad-abad ke-18 untuk menyelenggarakan kodifikasi yang diikuti oleh kegiatan kodifikasi di benua Eropa, dimana dituang hasil pertumbuhan selama dua abad di dalam bentuk yang sistematis, yang dipakai sebagai dasar dari satu permulaan hukum yang baru, menurut bentuknya adalah berdasarkan teori hukum alam. Dengan mengerahkan kekuatan akal semata-mata, sarjana hukum dapat menyempurnakan satu sistem deduksi yang komlit dari taniat manusia dan merumuskannya di dalam astu kitab undang-undang yang sempurna. Biarlah, biarkanlah ia berbuat demikian. Ini bukanlah cara berpikir dari satu masa pertumbuhan telah tercapai dan orang meminta teori filsafat dari satu hukum alam untuk melakukan satu tugas baru. Pada akhir abad ke-18, Lord Kenyon telah menetapkan bahwa pembaruan oleh Mansfiled tidak bleh diteruskan lagi, bahkan setengah dari pembaruan itu harus dibatalkan equity harus sgera dituang di dalam satu sistematik oleh Lrod Eldon dan hampir ditetapkan dan diselesaikan seperti hukum sendiri. Dan dalam garis besarnya hukum dagang sudah diresapi selengkapnya, meskipun untuk perincian diperlukan waktu dua daswarsa. Tambahan lagi gerakan yang bertujuan mengadakan perbaikan di dalam perundang-undangan yang mengiringkannya hanya melaksanakan sampai kepada yang kecil-kecil gagasan yang masuk ke dalam hukum selama dua abad sebelumnya. Selama beberapa waktu hukum hanya menghimpunkan apa yang sudah dipungut selama masa pertumbuhan, dan tugas sarjan hukum ialah menyusun, menyelaraskan dan membuat sistematiknya, dan bukan menciptakannya.

Serupa itu pulalah hukum dikodifikasikan di Eropa Kontinental. Sampai pada akhir abad 19, kitab undang-undang (codes) pada hakikatnya berbicara dari masa akhir abad ke-18 meskipun bilamana saja orang membuatnya, dan dengan sedikit kecualinya, semuanya adalah merupakan salinan dari kitab undang-undang Perancis dari tahun 1804. Karena tidak ada kitab undang-undang, pengaruh mazhab sejarah memimpin satu gerakan kembali kepada undang-undang Kaisar Justinianus, yang akan banyak melenyapkan kemajuan yang sudah dicapai dalam abad-abad terakhir. Untuk sementara waktu kegiatan sarjana-sarana hukum dikerahkan ke jurusan analisa, klasifikasi serta mengadakan sistem, dan ini dianggap sebagai satu-satunya tugas ereka bial kitab undang-undang sudah diperoleh, yang harus dikerjakan oleh para sarjana hukum semata-mata selama sratur tahun yang akan datang, ialah mengembangkan analisa dan memberikan uruaian dogmatik tentang teks sebagai satu pernyataan yang lengkap dan terakhir dari hukum. Masa itu bleh kita anggap sebagai satu masa dari kematangan hukum sebagaimana anggapan sarjana-sarjana hukum pada masa itu. Hukum dianggap sudah lengkap dan mencukupi dirinya, tanpa ada lagi pertentangan di dalam undang-undang dan tidak ada lagi kekerangannya. Yang masih diperlukan ialah penyusunanya, perkembangan yang logis dari kesimpulan tentang beberapa kaidah dan konsepsinya, dan peraturan yang sistematis mengenai beberapa bagiannya. Perundang-undangan baru mungkin diperlukan sewaktu-waktu supaya dapat disingkirkan undang-undang kolot yang masih ada, meskipun telah diadakan pembersihan selama dua abad yang lalu. Selanjutnya, sejarah dan analisa yang melahirkan gagasan di belakang jalan pekembangan doktrin hukum dan memaparkan konsekuensinya yang logis, semuanya aalah alat yang diperlukan oleh seorang sarjaan hukum. Ia akan segera terpengaruh ntuk tidak memperdulikan filsafat, dan kerakali menyerahkan hal itu kepada ilmu perundang-undangan, yang di dalam batas-batas sempit boleh jadi masih ada kemungkinakan untuk berpikir-pikir tentang penciptaan.

Berbeda dengan abad-abad sebelumnya, dalam abad ke-19 yang tidak akan mendpat kemajuan tanpa filsafat hukum. Hamun yang kita jumpai bukan satu metode filsafat yang diakui secara universual, melainkan empat tipe yang jelas berbeda-beda. Tetpai semua tipe ini membawakan haisl-hasil terakhir yang sama, dan ditandai oleh semangat yang sama, dan merupakan kekangan yang sama terhadap kegiatan hukum. Semau tipe itu adalah cara untuk menari kebenran bagi keinginan hukum pada suatu waktu, yang tumbuh dair tekanan kepentingan di dalam keamanan memperoleh harta benda dan keamanan melakukan transaksi dalam satu masa perluasan ekonomi dan perusahan industri.

Di Amerika Serikat, semenjak hukum alam dari pengarang-pengarang tentang hukum publik dalam abad ke-18 telah menjadi klasik, kita banyak bersanadr pada satu corak (variant) Amerika dari hukum alam. Tetapi dai bukanlah hukum alam yang menyatakan tabiat manusia. Yang lebih dinyatakan adalah sifat pemerintah. Satu bentuk dari corak ini disebabkan oleh satu doktrin di Amerika Serikat, bahwa hukum adat Inggris mempunyai kekuatan hanya sejauh dia dapat diterapkan doktrin ini secara filsafat memandang satu bentuk yang ideal dari hukum adat Inggris yang diteima sebagai hukum alam, dan menganggap hukum alam itu sebagai satu kumpulan deduksi dari / atau kesimpulan mengenai lembga-lembaga Amerika atau sifat dari susunan ketetanegaraan Amerika Serikat. Di dalam satu generasi Mahkamah Agung di salah satu negara bgian telah menetapkan secara dogmatis, bahwa hak anak sulung mewarisi tanah peninggalan (yang masih mungkin di salah satu negara bagian yang paling tua dan asli) tidak dapat hidup bersama dengan aksioma konstitusi yang menjamin pada tiap negara bagian satu bentuk republik bagi pemerintahannya.

Tetapi lebih umum lagi, hukum alam yang bercorak Amerika itu tumbuh dari usaha hendak mencapai pernyataan filsfat tentang kekuasan pengadilan terhadap perundang-undangan yang tidak konstitusional. Konstitusi itu menerapkan tentang prinsip dari hukum konstitusional alamiah (natural consitutional law) yang hrus didekukasikan dari sifat pemerinta yang bebas. Karena itulah soal konstitusional selalu merupakan soal penafsiran konstitusi belaka. Soal itu adalah mengenai makna dokumen konsitusi, hanya dalam bentuknya. Pada pokoknya semua adalah soal satu hukum konstitusional umum, yang jauh di atas teksnya; soal apakah pengundangan sebelum mengadilan sesuai dengan asas-asas hukum alam yang merupakan tempat kembalinya semua konstitusi dan melakat di dalam inti gagasan tentang satu pemerintah yang mempunyai kekuasan terbatas, yang ditegakkan oleh rakyat yang bebas. Sekarang karena pengadilan, dengan sedikit keculinya, telah menginggalkan cara berpikir ini, dan mahkamah tertinggi di Amerika Serikat telah menerapkan pembatasan dari amandemen kelima dan keempatbelas sebagai ukuran hukum, maka setengah orang yang berkata, bahwa bangsa Amerika tidak mempunyai lagi hukum konstitusional. Sebab bagaimana akan terdapat hukum, jiak tidak ada satu himpunan kaidah yang menerangkan satu hukum alam, yang di atas semua pengundangan yang dilakukan manusia ? Interprestasi dari satu naskah yang tertulis, tak perduli siapa yang mengundangkan, mungkin dikuasai oleh hukum, tetapi sesungguhnya tidak dapat menghasilkan hukum. Gagasan itu sukar lenyapnya. Dalam bahasa abad ke-18 pengadilan Amerika Serikat mencoba membaut hukum positif, dan khususnya perundang-undangan Amerika Serikat melahirkan sifat lembaga politik di negeri itu. pengadilan mencoba membentuk hukum positif dan mengekangnya supaya dapat memberikan efek kepada satu cita-cita dari susunan ketatanegarna. Kemudian dalam abad ke-19, hukum alam sebagai satu dedukasi dari lembaga Amerika, atau dadri pemerintah yang bebas membuka jalan bagi satu teori yang bersendikan metafisika dan sejarah yang lalu disempurnakan di Eropa kontinental. Hak-hak asasi daerah dedukasi dari satu bukti dasar dari kemauan bebas pada tiap orang, yang dapat dipertunjukkan oleh metafisika, dan hukum alam adalah satu batu ujian yang ideal terhadap hukum positif, yang dapat menjamin keutuhan hak-hak asasi ini. Sejarah menunjukkan kepada kita gagasan tentang kebebasan individual yang mewujudkan dirinya di dalam lembaga, kaidah dan doktrin hukum. Ilmu hukum mengembangkan gagasan ini sampai kepada akibatnya logis dan memberi kita satu kritik hukum, yang dengan mungkin kita terbebas dari percobaan yang sia-sia untuk menegakkan perintah hukum di ayas minimum yang perlu untuk menjamin hidup bersama yang selarasn antara seseorang dengan sesama manusia. Cara berpikir ini cocok sekali dengan satu konsepsi tentang hukum yang menganggapnya berdiri antara individu yang abstrak dan masyarakat, satu cara berpikir yang diambil oleh hukum Amerika dari hasil memperhatikan perlisihan antara pengadilan dan raja di tanah Inggris dalam abad ke-17. Orang akan gampang mengambil kesimpulan umum, bahwa perselisihan itu sebagai satu perselisihan antar aperseroangan dan masyarkat,m dan akan menjadi lebih mudah dilakukan, apabila hak-hak orang Inggris yang berdasarkan hukum adatnya (common law) dijamin oleh pengadilan hukum adat terhadap tindakan raja, telah menjadi hak-hak asasi manusia yang dilindungi terhdaap perseorangan lain dan terhadap gangguan negra leh undang-undang tentang hak-hak asasi.

Di tanah Inggris dan Amerika berpaling kepada teori utilitis-analitis. Pembuat undang-undang harus dipimpin oleh satu asas kegunaan (tuility). Dan yang hrus menjadi patokan bagi pembuat undang-undang ialah yang akan memberikan kebahagiaan kepada jumlah individu yang paling besar. Sarjana hukum harus mencari asas-asas universal dengan menganalisa hukum yang betul-betul berlaku. Ia tidak mencampri kegiatan mencipta hukum. Tugasnya ialah mengembangkan dengan teratur dan secara logis asas-asas yang dicapai dengan menganalisa apa yang didapatinya sudah diberikan oleh hukum, serta memperbaiki bentuk hukum dengan membaut satu sistem merukunkan detailnya secara logis. Karena ada anggapan, bahwa kehabagiaan bagi sebagian besar manusia dapat dicapai dengan memberikan maksimum kebebasan kepada tiap orang untuk mengemukakan diri dalam membela hak-hakya, maka sebagai akibatnya pembuat undang-undang membela hak-haknya, maka sebagai akibatnya pembuat undang-undang harus bekerja secara formal memperbaiki hukum dan menjadikannya lebih dapat dikenal seperti kata Bentham, smentara sarjana hukum melakukan fungsi yang terbatas pula serupa itu, seberapa sanggupnya menglah bahan yang secara eksklusif disebbakan oleh hukum sendiri. Maka sudah sewajarkan apabila sarjana-sarjana hukum yang menganut aliran metafisi, atau historis, atau analitis ada akhir abad yang lamapu selalu bersedia mengatakan, bahwa berbagai cara yang mereka pakai, bukan saling mengucilkan, melainkan saling tambah-tambahan. Menjelang akhir abad yang lalu satu aliran pemikiran hukum yang positivitis-sosilogis nampaknya telah mendesak aliran metafisis-historis dan utilitias-analitis. Semua fenomena ditentukan oleh hukum-hukum alam yang tak terelakkan, yang dapat dikemukakan dengan jalan pengamatan. Fenomena moral dan sosial, dan karena itu menjadi fenomena hukum adalah dikuasasi sama sekali oleh hukum dan di luar kekuasaan pengawasan manusia yang dilakukan dengan sadar, sebagaimana herakan planet-planet di atas kekuasana manuia. Kita mungkin dapat masyarakat dan dapat belajar menundukkan diri dengan bijaksna di bawah hukum itu, dan bukannya secara ceroboh dan bodoh menantangnya. Dan sarjana hukum sendiri tak berdaya, kecuali jika ia mengtahui cara menghubungkan liku-liku yang tak terhindari dari perkembangan hukum dan menyelamatkan kita dari melakukan perlawanan yang sia-sia terhadap hukum yang tak teretakkan yang menguasai evolusi hukum. Banyak orang yang menggabungkan cara berpikir ini dengan atau menegaggaknya di atas teori metafisi historis, dan dengan benihnya berjuang melawan perundang-undangan sosial pada dasawarsa terakhir dari abad ke-19 dan dasawarsa pertama dari abad ke-20 ini dengan epsimisme hukum yang berat sebagai pangkalanya. Pada akhirnya kelihatan, bahwa gagasan Yunani tentang apa yang adil menurut kodrat alam, apa yang bentuk Romawi merupakan hukum alam, dan apa yang berbentukhak-hak asasi dalam abad ke-18 serta telah memajukan satu ilmu yang kreatif selama ilmu serupa itu ada, lama kelamaan habis kemungkinanya.

Tetapi dewasa ini kita mendengar bahwa hukum alam bangkit lagi. Filsafat hukum sedang menegakkan kepalanya di mana-mana di dunia. Ktia diminta supaya mengukur kaidah, doktrin, lembaga dan memipin penerapan hukum dengan menunjuk kepada tujuan hukum, serta mengukur semua kaidah, koktrin dan lembaga itu dengan rendahnya bagi masyarakat. Kita telah diajak menempatkan soal hukum dan penerapan hukum di bawah cita-cita kemasyarakat dari suatu masa dan di suatu tempat. Kita diminta untuk merumuskan hipotesa hukum dari peradaban suatu masa dan suatu tempat dan mengukur hukum dan penerapan hukum itu dengan hiesa tadi, supaya hukum itu boleh melanjutkan peradaban, dan supaya bahan hukum yang dipusakakan oleh peradaban di masa lalu bleh dibuat menjadi alat, guna memelihara dan melanjutkan peradaban pada waktu ini. Kepada kita dikatakan, bahwa pengamatan menunjukkan bukti bahwa tiap orang saling bergantungan di dalam masyarakat, karena mereka mempunyai kepentingan yang bersamaan dan buktikan pula oleh adanya pembagian kerja, (suatu kenyataan pokok di dalam kehidupan manusia), dan kita diminta supaya menilai hukum dan penerapan hukum secara fungsional, mengukur sampai dimana fungsinya memajukan atau merintangi saling bergantungan (interpedence) ini. Sebab sudah lewat masanya hukum merasa cukup sendiri. Dan sudah selesai pula pekerjaan mengasimilasikan apa yang diterima dan dimasukkan ke dalam hukum dari luar selama masa equity dan hukum alam. Pada pokoknya sudah habis pual kemungkinan untuk mengembangkan secara analitis dan historis bahan-bahan klasik. Sementara sarjana-sarjana hukum melaksanakan tugas ini, satu ketertiban sosial baru telah dibangun, dan mengajukan tuntuan baru dan mendesak ketertiban hukum dengan banyak sekali keinginan yang belum dipuaskan. Sekali lagi kita harus menegakkan, dan bukan memperbaiki saja; kita harus menciptakan, bukan hanya mengatur dan membuat sistematik serta merukunkan secara logis hal yang kecil-kecil. Kita haus membandingkan hukum dewasa ini mengenai hal-hal seperti perbuatan melanggar hukum atau keginaan publik atau hukum administrastif dengan hukum satu generasi yang lalu, untuk melihat bahwa kita sedang pada satu tingkatan peralihan baru. Stelah membandingkan, kita akan mengetahui bahwa pesimsme di dalam kalangan hukum pada waktu yang baru saja silam, yang timbul untuk mencegah kita mengambil lebih banyak saja silam, sedang apa-apa yang sudah diambil itu tetap belum dicernakan, epsimisme itu tidak akan menolong kita lagi. Apabila sudah dibandingkan kita akan melihat bahwa sarjana hukum di masa depan akan sangat membutuhkan beberapa teori fisafat baru tentang hukum, akan meminta beberapa konsepsi baru tentang tujuan hukum, dan di samping itu akan menghendaki beberapa konsepsi filsafat baru yang menguatkan untuk menjaga keamanan umum, supaya hukum yang kita pusakakan kepadanya dibuatnya begitu rupa sehingga dapat dicapai keadilan pada masa dan tempatnya. PAGE 2