makalah disolusi

17
TUGAS TERSTRUKTUR BIOFARMASETIKA DISOLUSI Disusun oleh Kelompok 2 Wildatus Sholihah G1F012004 Hesti Pri Haryani G1F012034 Nisadiyah Faridatus Shahih G1F012064 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

Upload: nisadiyah-faridatus-shahih

Post on 22-Nov-2015

954 views

Category:

Documents


133 download

DESCRIPTION

bbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbb

TRANSCRIPT

TUGAS TERSTRUKTURBIOFARMASETIKA

DISOLUSI

Disusun oleh Kelompok 2Wildatus Sholihah G1F012004Hesti Pri Haryani G1F012034Nisadiyah Faridatus Shahih G1F012064

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAANUNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMANFAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATANJURUSAN FARMASIPURWOKERTO2014BAB IPENDAHULUANA. Latar BelakangDalam dunia kefarmasian para apoteker dan pakar-pakar kimia senantiasa merancang sediaan obat supaya mampu merancang terobosan baru dalam menciptakan suatu produk yang berkualitas, baik dari segi kesetabilan obat maupun efek yang ditimbulkan. Sudah sepantasnya sebagai seorang farmasis harus selalu menggali informasi terkini mengenai teknologi obat dari berbagai segi.Diantara semua sifat dan reaksi yang penting untuk diketahui bersama, yang akan dibahas yaitu mengenai disolusi suatu zat. Disolusi merupakan suatu tahapan yang yang sangat berperan penting dalam menentukan hasil suatu efek obat dalam tubuh manusia. Laju disolusi atau kecepatan melarut obat-obat yang relatif tidak larut dalam air telah lama menjadi masalah pada industri farmasi. Obat-obat tersebut umumnya mengalami proses disolusi yang lambat demikian pula laju absorpsinya. Dalam hal ini partikel obat terlarut akan diabsorpsi pada laju rendah atau bahkan tidak diabsorpsi seluruhnya. Dengan demikian absorpsi obat tersebut menjadi tidak sempurna.Suatu bahan obat yang diberikan dengan cara apapun, harus memiliki daya larut dalam air untuk kemanjuran terapeutiknya. Senyawa-senyawa yang relatif tidak dapat dilarutkan mungkin memperlihatkan absorpsi yang tidak sempurna, atau tidak menentu sehingga menghasilkan respon terapeutik yang minimum. Daya larut yang ditingkatkan dari senyawa-senyawa ini mungkin dicapai dengan menyiapkan lebih banyak turunan yang larut, seperti garam dan ester dengan teknik seperti mikronisasi obat atau kompleksasi. Melihat pentingnya tentang disolusi dalam suatu sediaan maka dibuatah makalah ini sebagai suatu manfaat dan pengetahuan bagi para farmasis.

B. Tujuan Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu :1. Memenuhi tugas mata kuliah Biofarmasetika2. Mengetahi dan memahami disolusi obat dalam dunia farmasiC. Rumusan masalah1. Apa definisi dari disolusi?2. Apa saja model pelepasan (disolusi) suatu obat?3. Apa saja faktor yang dapat mempengaruhi kecepatan dan laju disolusi?4. Bagaimana metode penentuan dan alat kecepatan disolusi?

BAB IIISI

A. DefinisiDisolusi adalah suatu proses dimana kandungan aktif dari obat, terlarut dalam suatu pelarut. Disolusi suatu tablet adalah jumlah atau persen zat aktif dari suatu sediaan padat yang larut pada suatu waktu tertentu dalam kondisi baku misal pada suhu, kecepatan pengadukan dan komposisi media tertentu, Sedangkan bioavailabilitas menyatakan kecepatan dan jumlah obat aktif yang mencapai sirkulasi sistemik Menurut definisi yang sederhana, dua produk obat yang mempunyai dosis yang sama disebut bioekivalen apabila jumlah dan kecepatan obat aktif yang dapat mencapai sirkulasi sistemik dari keduanya tidak mempunyai perbedaan yang signifikan (Isnawati A dkk, 2003; Shargel E, dkk, 1988; Martin A, dkk, 1993; Eipistein S, 2003; Gibaldi M, 1984).Uji disolusi ialah suatu metode fisika-kimia, digunakan dalam pengembangan produk dan pengendalian mutu sediaan obat berdasarkan pengukuran parameter kecepatan pelepasan dan melarut zat berkhasiat dari sediaannya. Uji disolusi ini dapat digunakan untuk mengetahui bioavailabilitas suatu obat, karena hasil disolusi berkorelasi secara erat dengan ketersediaan hayati suatu obat dalam tubuh. Sedangkan uji bioekivalensi merupakan cara untuk menilai aktivitas obat di dalam tubuh (Stoklosa MJ, 1991).Laju disolusi suatu obat adalah kecepatan perubahan dari bentuk padat menjadi terlarut dalam medianya setiap waktu tertentu. Jadi, disolusi menggambarkan kecepatan obat larut dalam media disolusi. Kecepatan disolusi adalah suatu ukuran yang menyatakan banyaknya suatu zat terlarut dalam pelarut tertentu setiap satuan waktu. Suatu hubungan yang umum menggambarkan proses disolusi zat padat telah dikembangkan oleh Noyes dan Whitney dalam bentuk persamaan berikut (Astuti, 2008) :

Keterangan :dM.dt-1 : kecepatan disolusiD : koefisien difusiS : luas permukaan zat Cs : kelarutan zat padatC : konsentrasi zat dalam larutan pada waktuh : tebal lapisan difusiDalam teori disolusi atau perpindahan massa, diasumsikan bahwa selama proses disolusi berlangsung pada permukaan padatan terbentuk suatu lapisan difusi air atau lapisan tipis cairan yang stagnan dengan ketebalan h. Bila konsentrasi zat terlarut di dalam larutan (C) jauh lebih kecil daripada kelarutan zat tersebut (Cs) sehingga dapat diabaikan, maka harga (Cs-C) dianggap sama dengan Cs. Jadi, persamaan kecepatan disolusi dapat disederhanakan menjadi :

B. Model pelepasan (disolusi) obatModel pelepasan yang dikenal dalam sistem penghantaran obat cukup banyak, seperti controlled release, sustain release, delayed release, continous release, prolong release, depot, gradual release, long term release, programe release, proportionate release, protracted release, repository, retrad, slow release, dan lain-lain. Istilah baku yang digunakan dalam USP XXIII ada dua, yaitu delayed release dan extended release.Delayed release atau lepas tunda adalah sediaan yang bertujuan untuk menunda pelepasan obat sampai sediaan telah melewati lambung, sedangkan extended release atau sustaine release atau lepas lambat adalah suatu sediaan yang dibuat sedemikian rupa sehingga zat aktif akan tersedia selama jangka waktu tertentu setelah obat diberikan.C. Faktor kecepatan dan laju disolusiBeberapa faktor yang dapat mempengaruhi kecepatan disolusi suatu zat (Astuti, 2008) :1. SuhuMeningginya suhu umumnya memperbesar kelarutan (Cs) suatu zat yang bersifat endotermik serta memperbesar harga koefisien difusi zat. Menurut Einstein, koefisien difusi dapat dinyatakan melalui persamaan berikut:

Keterangan :D : koefisien difusir : jari-jari molekulk : konstanta Boltzman : viskosita pelarutT : suhu

2. ViskositasTurunnya viskositas pelarut akan memperbesar kecepatan disolusi suatu zat sesuai dengan persamaan Einstein. Meningginya suhu juga menurunkan viskositas dan memperbesar kecepatan disolusi.

3. pH PelarutpH pelarut sangat berpengaruh terhadap kelarutan zat-zat yang bersifat asam atau basa lemah.Untuk asam lemah :

Jika (H+) kecil atau pH besar maka kelarutan zat akan meningkat. Dengan demikian, kecepatan disolusi zat juga meningkat.Untuk basa lemah :

Jika (H+) besar atau pH kecil maka kelarutan zat akan meningkat. Dengan demikian, kecepatan disolusi juga meningkat (Astuti, 2008).4. PengadukanKecepatan pengadukan akan mempengaruhi tebal lapisan difusi (h). jika pengadukan berlangsung cepat, maka tebal lapisan difusi akan cepat berkurang.5. Ukuran PartikelJika partikel zat berukuran kecil maka luas permukaan efektif menjadi besar sehingga kecepatan disolusi meningkat.6. PolimorfismeKelarutan suatu zat dipengaruhi pula oleh adanya polimorfisme. Struktur internal zat yang berlainan dapat memberikan tingkat kelarutan yang berbeda juga. Kristal meta stabil umumnya lebih mudah larut daripada bentuk stabilnya, sehingga kecepatan disolusinya besar.7. Sifat Permukaan ZatPada umumnya zat-zat yang digunakan sebagai bahan obat bersifat hidrofob. Dengan adanya surfaktan di dalam pelarut, tegangan permukaan antar partikel zat dengan pelarut akan menurun sehingga zat mudah terbasahi dan kecepatan disolusinya bertambah.Laju disolusi obat secara in vitro dipengaruhi beberapa faktor, antara lain (Astuti, 2008):1. Sifat fisika kimia obat.Sifat fisika kimia obat berpengaruh besar terhadap kinetika disolusi. Luas permukaan efektif dapat diperbesar dengan memperkecil ukuran partikel. Laju disolusi akan diperbesar karena kelarutan terjadi pada permukaan solut. Kelarutan obat dalam air juga mempengaruhi laju disolusi. Obat berbentuk garam, pada umumnya lebih mudah larut dari pada obat berbentuk asam maupun basa bebas. Obat dapat membentuk suatu polimorfi yaitu terdapatnya beberapa kinetika pelarutan yang berbeda meskipun memiliki struktur kimia yang identik. Obat bentuk kristal secara umum lebih keras, kaku dan secara termodinamik lebih stabil daripada bentuk amorf, kondisi ini menyebabkan obat bentuk amorf lebih mudah terdisolusi daripada bentuk kristal.

2. Faktor alat dan kondisi lingkungan.Adanya perbedaan alat yang digunakan dalam uji disolusi akan menyebabkan perbedaan kecepatan pelarutan obat. Kecepatan pengadukan akan mempengaruhi kecepatan pelarutan obat, semakin cepat pengadukan maka gerakan medium akan semakin cepat sehingga dapat menaikkan kecepatan pelarutan. Selain itu temperatur, viskositas dan komposisi dari medium, serta pengambilan sampel juga dapat mempengaruhi kecepatan pelarutan obat.

3. Faktor formulasi.Berbagai macam bahan tambahan yang digunakan pada sediaan obat dapat mempengaruhi kinetika pelarutan obat dengan mempengaruhi tegangan muka antara medium tempat obat melarut dengan bahan obat, ataupun bereaksi secara langsung dengan bahan obat. Penggunaan bahan tambahan yang bersifat hidrofob seperti magnesium stearat, dapat menaikkan tegangan antar muka obat dengan medium disolusi. Beberapa bahan tambahan lain dapat membentuk kompleks dengan bahan obat, misalnya kalsium karbonat dan kalsium sulfat yang membentuk kompleks tidak larut dengan tetrasiklin. Hal ini menyebabkan jumlah obat terdisolusi menjadi lebih sedikit dan berpengaruh pula terhadap jumlah obat yang diabsorpsi.

D. Metode penentuan kecepatan disolusiPenentuan kecepatan disolusi suatu zat dapat dilakukan melalui metode (Teti, 2011) :1. Metode SuspensiSerbuk zat padat ditambahkan ke dalam pelarut tanpa pengontrolan eksak terhadap luas permukaan partikelnya. Sampel diambil pada waktu-waktu tertentu dan jumlah zat yang larut ditentukan dengan cara yang sesuai.2. Metode Permukaan KonstanZat ditempatkan dalam suatu wadah yang diketahui luasnya sehingga variable perbedaan luas permukaan efektif dapat diabaikan. Umumnya zat diubah menjadi tablet terlebih dahulu, kemudian ditentukan seperti pada metode suspensi.Penentuan dengan metode suspensi dapat dilakukan dengan menggunakan alat uji disolusi tipe dayung seperti yang tercantum pada USP. Sedangkan untuk metode permukaan tetap, dapat digunakan alat seperti diusulkan oleh Simonelli dkk sebagai berikut :

. Gambar 1. Alat disolusi (Martin, 2008)Uji disolusi dapat dilakukan dengan menggunakan dua tipe alat, yaitu (Depkes RI, 1995):1. Alat 1 (Metode Basket)Alat terdiri atas wadah tertutup yang terbuat dari kaca atau bahan transparan lain yang inert, dilengkapi dengan suatu motor atau alat penggerak. Wadah tercelup sebagian dalam penangas sehingga dapat mempertahankan suhu dalam wadah 37 0,5 C selama pengujian berlangsung. Bagian dari alat termasuk lingkungan tempat alat diletakkan tidak dapat memberikan gerakan, goncangan, atau getaran signifikan yang melebihi gerakan akibat perputaran alat pengaduk. Wadah disolusi dianjurkan berbentuk silinder dengan dasar setengah bola, tinggi 160-175 mm, diameter dalam 98-106 mm, dengan volume sampai 1000 ml. Batang logam berada pada posisi tertentu sehingga sumbunya tidak lebih dari 2 mm, berputar dengan halus dan tanpa goyangan yang berarti. Suatu alat pengatur mempertahankan kecepatan alat. 2. Alat 2 (Metode Dayung)Sama seperti alat 1, tetapi pada alat ini digunakan dayung yang terdiri atas daun dan batang sebagai pengaduk. Batang dari dayung tersebut sumbunya tidak lebih dari 2 mm dan berputar dengan halus tanpa goyangan yang berarti. Jarak antara daun dan bagian dalam dasar wadah dipertahankan selama pengujian berlangsung. Daun dan batang logam yang merupakan satu kesatuan dapat disalut dengan suatu penyalut inert yang sesuai. Sediaan dibiarkan tenggelam ke dasar wadah sebelum dayung mulai berputar.

Daftar PustakaAstuti, Widyani Ketut, dkk, 2008, Buku Ajar Farmasi Fisika, Jurusan Farmasi, FMIPA Universitas Udayana, Bukit Jimbaran.Depkes RI, 1995, Farmakope Indonesia Edisi IV, Dirjen POM : Jakarta.Eipstein S, Cryer B, Ragi S, Zanchetta JR, Walliser J, Chow J, et al, 2003, Disintegration / dissolution profiles of copies of Fosamax (alendronate), Current Medical Research and Opinion 19: 783.Gibaldi M, 1984, Biopharmaceutics and clinical pharmacokinetics, 3 rd edition, Lea and Febiger, Philadelphia.Indrawati, Teti, 2011, Sistem Penghantaran Obat Baru Peroral dengan Pelepasan Terkontrol, Vol. 2 No. 1 ISSN 2086-7816.Isnawati A, Alegantina S, Arifin KM, 2003, Profil disolusi dan penetapan kadar tablet kotrimoksazol generik berlogo dan tablet dengan nama dagang. Media Litbang Kesehatan; XIII (2): 21.Martin A, Swarbick J, Cammarata A, 1993, Farmasi fisik; Dasar-dasar Farmasi Fisik dalam Ilmu Farmasetik Edisi Ketiga, UI Press, Jakarta.Martin, Alred,dkk, 2008, Farmasi Fisik, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.Shargel L, BC Andrew, 1988, Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan Edisi Kedua, Airlangga University Press Surabaya.Stoklosa MJ, Ansel HC, 1991, Pharmaceutical Calculations 9th Edition, Lea and Febiger, London.