majalah lisa royani mita 105070207111013

23
HUBUNGAN POLA KONSUMSI FAST FOOD (MAKANAN CEPAT SAJI) DENGAN PENINGKATAN BERAT BADAN ANAK USIA PRASEKOLAH (4-6 TAHUN) DI TK NEGERI PEMBINA 1 MALANG Oleh: Lisa Royani Mita 1 , Dr.dr.Achdiat Agoes Sp,S, Ns. Septi Dewi Rachmawati, S.Kep.,MNg 2 1 Mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Kedokteran, Universitas Brawijaya 2 Dosen Program Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Kedokteran, Universitas Brawijaya *Alamat korespondensi Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran, Universitas Brawijaya Jl. Veteran Malang 65145 HP: 085749434447, Email: [email protected] ABSTRAK Pola konsumsi fast food semakin meningkat setiap tahunnya, hal ini menyebabkan Indonesia menjadi negara ke sepuluh paling banyak masyarakatnya mengkonsumsi fast food. Ketidakseimbangan gizi yang terdapat pada fast food mampu mengakibatkan peningkatan berat badan jika dikonsumsi secara berlebihan. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui hubungan pola konsumsi fast food (makanan cepat saji) dengan peningkatan berat badan anak usia prasekolah 4-6 tahun. Desain penelitian yaitu deskriptif analitik dengan pendekatan cross sectional. Teknik sampling menggunakan Purposive Sampling dengan jumlah 73 responden. Pengumpulan data menggunakan kuesioner pola konsumsi fast food. Data dianalisa menggunakan Uji Spearman. Hasil penelitian didapatkan hubungan yang signifikan (p value = 0,000) dengan arah korelasi positif. Penelitian ini menyimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pola konsumsi fast food dengan peningkatan berat badan. Semakin sering konsumsi fast food maka semakin tinggi kenaikan berat badan anak preschool. Saran bagi institusi pendidikan untuk memberikan informasi dan rekomendasi yang tepat terkait pola konsumsi fast food pada anak serta memantau berat badan secara berkala baik dirumah ataupun di sekolah secara reguler. Kata Kunci: Pola Konsumsi Fast Food, Peningkatan Berat Badan 1

Upload: yeni-erlina

Post on 25-Sep-2015

217 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

majalah

TRANSCRIPT

HUBUNGAN POLA KONSUMSI FAST FOOD (MAKANAN CEPAT SAJI) DENGAN PENINGKATAN BERAT BADAN ANAK USIA PRASEKOLAH (4-6 TAHUN) DI TK NEGERI PEMBINA 1 MALANGOleh:Lisa Royani Mita1, Dr.dr.Achdiat Agoes Sp,S, Ns. Septi Dewi Rachmawati, S.Kep.,MNg21Mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Kedokteran, Universitas Brawijaya 2Dosen Program Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Kedokteran, Universitas Brawijaya*Alamat korespondensiProgram Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran, Universitas Brawijaya Jl. Veteran Malang 65145 HP: 085749434447, Email: [email protected] konsumsi fast food semakin meningkat setiap tahunnya, hal ini menyebabkan Indonesia menjadi negara ke sepuluh paling banyak masyarakatnya mengkonsumsi fast food. Ketidakseimbangan gizi yang terdapat pada fast food mampu mengakibatkan peningkatan berat badan jika dikonsumsi secara berlebihan. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui hubungan pola konsumsi fast food (makanan cepat saji) dengan peningkatan berat badan anak usia prasekolah 4-6 tahun. Desain penelitian yaitu deskriptif analitik dengan pendekatan cross sectional. Teknik sampling menggunakan Purposive Sampling dengan jumlah 73 responden. Pengumpulan data menggunakan kuesioner pola konsumsi fast food. Data dianalisa menggunakan Uji Spearman. Hasil penelitian didapatkan hubungan yang signifikan (p value = 0,000) dengan arah korelasi positif. Penelitian ini menyimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pola konsumsi fast food dengan peningkatan berat badan. Semakin sering konsumsi fast food maka semakin tinggi kenaikan berat badan anak preschool. Saran bagi institusi pendidikan untuk memberikan informasi dan rekomendasi yang tepat terkait pola konsumsi fast food pada anak serta memantau berat badan secara berkala baik dirumah ataupun di sekolah secara reguler. Kata Kunci: Pola Konsumsi Fast Food, Peningkatan Berat Badan

ABSTRACTFast food consumption patterns has increased every year, this leads to Indonesia to become the country's top ten most people consume fast food. An imbalance of nutrients found in fast food could lead to increased weight if consumed in excess. The purpose of this study was to determine the correlation between patterns of fast food consumption and increased body weight in preschool children (4-6 years old). Design of the research was descriptive analytic with cross sectional approach. The sampling technique used was Purposive Sampling with total of 73 respondents. Data collection was conducted using the questionnaire fast food consumption patterns. The Data were analyzed using the Spearman Test. Results of the study found that there was a significant positive correlation (p value = 0.000). It meant that the higher fast food consumption patterns, the higher increased body weight in children. It is suggested that it is essential for educational institutions to provide accurate information and recommendation in term of recommended fast food consumption patterns in children. It is also important to monitor the increase of body weight regularly at home and school.

9

PENDAHULUAN

Di dalam era globalisasi telah terjadi perubahan gaya hidup dan pola selera makan yang mengarah pada pola konsumsi fast food yang sudah populer di Amerika dan Eropa. Budaya makan pun telah berubah menjadi tinggi lemak jenuh dan karbohidrat sederhana, rendah serat dan rendah zat gizi mikro (Khomsan, 2004). Hal ini menyebabkan munculnya masalah gizi di Negara berkembang khususnya Indonesia. Pada umumnya masalah gizi yang masih mendominasi Kurang Energi Protein (KEP), Anemia besi, Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY), kurang vitamin A (KVA) dan obesitas terutama dikota-kota besar. Berat badan dipengaruhi oleh faktor genetik, lingkungan, dan nutrisi yang dikonsumsi (Safitri, 2004). Prevalensi overweight (kelebihan berat badan) dan obesitas (kegemukan) dilaporkan cenderung meningkat pada semua kelompok jenis kelamin dan usia, termasuk pada usia anak prasekolah. Menurut data statistik World Health Organization (WHO), prevalensi gizi lebih pada balita secara global meningkat dari 4.2% pada tahun 1990 menjadi 6.7% pada tahun 2010. Angka ini diperkirakan akan terus meningkat menjadi 7.8% pada tahun 2015 dan 9.1% pada tahun 2020. Prevalensi anak balita gizi lebih di Indonesia sendiri dari tahun 2005-2011 mencapai 11.2%. Angka ini lebih tinggi dibandingkan prevalensi di negara Vietnam (3%), Philipina (3.3%), Thailand (8%). Prevalensi gemuk pada balita secara nasional meningkat pada tahun 2007 dari 12.2% menjadi 14.0% pada tahun 2010 (Riskesdas, 2007). Meningkatnya angka kegemukan disebabkan oleh perubahan gaya hidup dan pola makan yang dijalankan tidak sesuai dengan kaidah hidup sehat. Sebelumnya kegemukan lebih banyak terjadi pada orang dewasa, tetapi saat ini kegemukan juga banyak di derita oleh anak-anak. Faktor utama penyebab kegemukan adalah keseimbangan positif, yaitu pemasukan energi melalui konsumsi pangan yang melebihi pengeluaran energi untuk metabolisme basal dan aktivitas fisik. Keseimbangan energi yang positif terjadi apabila pemasukan energi lebih besar dibanding dengan pengeluaran energi, selain konsumsi pangan dan aktivitas fisik, terdapat faktor lain yang dapat menyebabkan kegemukan yaitu faktor genetik dan hormone (Almatsier, 2002). Usia 4-6 tahun merupakan masa yang penting untuk melatih kebiasaan yang sehat dalam segala aktivitas anak. Hal yang perlu diperhatikan dalam masa tumbuh kembang anak usia 4-6 tahun adalah pemberian nutrisi yang seimbang serta diiringi dengan olahraga dan tidur yang teratur (Safitri, 2004). Pada masa ini terutama usia 4-6 tahun, merupakan masa yang tepat untuk mengatasi gizi lebih dan gizi kurang. Perlunya penanganan gizi lebih pada usia prasekolah bertujuan untuk menunda adiposity rebound (peningkatan IMT setelah usia 6 tahun). Hal ini disebabkan jika peningkatan IMT setelah usia 6 tahun terjadi lebih awal (sebelum usia 6 tahun), risiko kegemukan diusia dewasa menjadi meningkat. Dari beberapa penelitian menyebutkan bahwa peningkatan jumlah kegemukan pada anak-anak saat ini karena anak-anak lebih senang mengkonsumsi fast food (Harimurti, 2008 dalam Masi, 2013). Fast food atau yang sering di sebut Junk food adalah makanan cepat saji yang diperoleh dari makanan yang disajikan dengan sedikit waktu dan tidak perlu menunggu waktu lagi semenjak makanan dipesan sampai dengan disajikan. Kehadiran fast food dalam industri makanan di Indonesia bisa mempengaruhi pola makan para anak-anak di kota. Beberapa tahun terakhir ini, banyak di dirikan tempat-tempat penjualan fast food di beberapa kota besar di Indonesia terutama ditempat yang strategis di Mall, supermarket bahkan bermunculan dipinggiran jalan. Peningkatan prevalensi gizi lebih (kelebihan berat badan dan kegemukan) pada anak prasekolah kemungkinan besar merupakan dampak dari perubahan kebiasaan makan dan aktivitas fisik beberapa tahun terakhir ini. Perubahan ini mengarah kepada peningkatan konsumsi makanan tinggi energi, tinggi lemak, rendah serat dan durasi menonton televisi. Perubahan kecil dari kedua kebiasaan lama ini secara teori dapat berpengaruh besar pada komposisi tubuh (Mardatillah, 2008). Beberapa hasil penelitian menunjukkan adanya keterkaitan antara konsumsi fast food dengan kejadian obesitas. Masi et al. (2013) Mengemukakan terdapat hubungan antara konsumsi fast food dengan kejadian kejadian obesitas pada anak SD di kota Manado. Anak yang mempunyai asupan energi konsumsi fast food diatas rata-rata asupan anak tidak obesitas berisiko 2,35 kali lebih besar untuk menjadi obesitas dibandingkan anak yang mempunyai asupan dibawah rata-rata asupan anak tidak mengalami obesitas.Berdasarkan data market size beberapa sektor Industri di Indonesia (SWA 01/XXIII/Februari 2008) Pada tahun 2008, pertumbuhan industri makanan di Indonesia mencapai 19, 4% hal ini mengindikasikan bahwa konsumen fast food semakin meningkat setiap tahunnya. Dari data survey AC Nielsen online customer (2007), mendapatkan hasil bahwa 28% masyarakat Indonesia mengonsumsi fast food minimal satu minggu sekali 33% di antaranya mengonsumsi saat makan siang. Tidak mengherankan jika Indonesia menjadi negara ke sepuluh yang paling banyak masyarakatnya mengonsumsi makanan fast food (Dwi, 2012 dalam Masi, 2013). Menurut Khomsan (2002), fast food dikatakan negatif karena ketidakseimbangannya (dari segi porsi serta komposisi sayuran sehingga kekurangan vitamin dan mineral), tinggi garam dan rendah serat (merupakan faktor pemicu munculnya penyakit hipertensi), serta sumber lemak dan kolesterol. Ketidakseimbangan zat gizi dalam tubuh dapat terjadi jika fast food di jadikan sebagai pola makan setiap hari. Kelebihan kalori, lemak, dan natrium akan terakumulasi dalam tubuh dan dapat menimbulkan berbagai penyakit degenerative (tekanan darah tinggi, ateroksklerosis, jantung koroner, dan diabetes mellitus, serta kegemukan) (Novitasari, 2005). Berat badan merupakan ukuran antropometri yang terpenting pada masa bayi dan balita. Berat badan merupakan hasil peningkatan atau penurunan semua jaringan yang ada pada tubuh. Saat ini berat badan dipakai sebagai indikator yang terbaik untuk mengetahui keadaan gizi dan tumbuh kembang anak, hal ini karena sensitive terhadap perubahan berat badan meskipun sedikit, pengukuran secara objektif dan dapat diulangi (Soetjiningsih, 1995). Taman Kanak-kanak Pembina I Malang yang berada di pusat kota Malang merupakan salah satu TK Negeri terfavorit di kota Malang. Pada umumnya anak-anak yang bersekolah di TK tersebut berasal dari golongan ekonomi menengah keatas. TK Pembina I Malang berlokasi didekat pusat perbelanjaan atau Mall dan restoran cepat saji. Berdasarkan data presurvei yang dilakukan peneliti di TK tersebut terdapat peningkatan berat badan selama sebulan terakhir yang tejadi pada peserta didik di TK Pembina I Malang. Berdasarkan uraian permasalahan, maka peneliti ingin meneliti hubungan konsumsi fast food pada peningkatan berat badan usia prasekolah 4-6 tahun. Dengan adanya Penelitian ini di harapkan peneliti bisa memberikan edukasi untuk para orang tua dan guru untuk mengatur asupan dan pola makan yang di konsumsi anak-anak serta dapat mencapai status gizi yang lebih baik. Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan pola konsumsi fast food (makanan cepat saji) dengan peningkatan berat badan anak usia prasekolah 4-6 tahun.Peneltian ini bermanfaat baik secara teoritis maupun praktis. Secara teoritis dapat menjadi dapat mengaplikasikan teori yang telah dipelajari serta meningkatkan wawasan dan keterampilan pengolahan dan analisis data dan menuangkan dalam bentuk karya ilmiah sebagai wadah untuk mengembangkan kemampuan peneliti dalam menulis karya ilmiah. Serta diperolehnya pengalaman belajar dan pengetahuan dalam melakukan penelitian. Bagi masyarakat dan sekolah Meningkatkan tingkat pengetahuan masyarakat mengenai fast food, hal yang berpengaruh dan pentingnya pengetahuan tersebut untuk mencapai status gizi yang lebih baik.METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode Probability Sampling yaitu dengan teknik purposive Sampling dengan metode pendekatan Cross Sectional (Nursalam, 2003). Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah semua anak yang mengkonsumsi fast food dengan rentang usia 4-6 tahun yang mengikuti pendidikan TK Negeri Pembina I di kota Malang, dengan jumlah 90 siswa, dengan besar sampel sebanyak 73 responden. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret-April 2014.Variable dependen adalah pola konsumsi fast food sedangkan variable independen peningkatan beratb badan. Instrument yang digunakan untuk pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan kuesioner pola konsumsi fast food untuk mengukur jumlah, jenis, serta frekuensi konsumsi fast food dengan 24 pertanyaan dimana terdapat 12 pertanyaaan jumlah dan jenis dan 12 pertanyaan untuk frekuensi ,sedangkan alat pengukur berat badan yaitu timbangan merk SMIC ZT 120 dengan spesifikasi max :120 kg,Tinggi meteran 200 cm. Total skor pada kuesioner pola konsumsi fast food dikategorikan menjadi tinggi (70%-100%), sedang (69%-40%), dan jarang (0%-39%). Sedangkan pada peningkatan berat badan dibagi menjadi beberapa kategori, berat badan turun, berat badan konstan, berat badan meningkat 100-1000 gram, berat badan meningkat >1000-2000 gram, berat badan meningkat >2000 gram. Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis dengan menggunakan uji spearmen. Uji Spearman digunakan untuk mengetahui hubungan antara pola konsumsi fast food dengan peningkatan berat badan bila datanya berbentuk ordinal. HASIL PENELITIANAnalisa deskriptif ini dimaksudkan untuk menggambarkan distribusi dari karakteristik responden. Peneliti memperoleh data mengenai usia, jenis kelamin, dan berat badan anak. Hasil rekapitulasi distribusi dari karakteristik responden dapat dilihat sebagai berikut:A. Karakteristik RespondenKelompok Usia respondenJumlahPersentase

4 tahun1217

5 tahun1419

6 tahun4764

Total73 responden100

1. Karakteristik Usia Responden

Jenis KelaminJumlahPersentase

Laki-laki3548

Perempuan3852

Total73 responden100

2. Karakteristik jenis kelamin responden

3. Karakteristik berat badan respondenBerat badanJumlahPersentase

20 kg5170

Total73 responden100

B. Data Khusus1. Data Pola Konsumsi Fast Food

Berdasarkan data hasil penelitian pola konsumsi fast food di TK Negeri Pembina I Malang didapatkan bahwa pola konsumsi fast food tingkat sedang yaitu sebanyak 5 responden (7%) dan pola konsumsi fast food tingkat sering yaitu sebanyak 68 responden (93%). Distribusi pola konsumsi fast food berdasarkan usia responden ditunjukkan pada gambar dibawah ini:

Dari gambar menunjukkan bahwa responden sebagian besar berusia 6 tahun memiliki pola konsumsi fast food sering sebanyak 44 responden (60%) dan untuk kategori sedang 3 (4%), usia 5 tahun kategori sering sebanyak 14 (19%), sedangkan usia 4 tahun kategori sering 10 responden (14%) dan kategori sedang 2 responden (3%).Distribusi pola konsumsi fast food berdasarkan jenis kelamin responden ditunjukkan pada gambar dibawah ini: Dari gambar menunjukkan bahwa responden yang berjenis kelamin laki-laki memiliki pola konsumsi fast food tingkat sering sebanyak 35 responden (48%), sedangkan untuk perempuan berjumlah 33 (45%) untuk kategori sering, kategori konsumsi sedang sebanyak 5 responden (7%).Distribusi pola konsumsi fast food dengan berat badan responden ditunjukkan pada gambar dibawah ini: Dari gambar menunjukkan bahwa responden dengan berat badan konstan kategori konsumsi sering 4 (5%), kategori berat badan turun dengan tingkat konsumsi sedang 3 (4%), sedangkan kategori sering 2 (3%), sedangkan konsumsi fast food kategori sering sebanyak 33 responden (45%) terjadi peningkatan berat badan 100-1000 gram, dan peningkatan berat badan 1100-2000 gram 29 responden (40%).2. Data berat badanVariabel Berat Badan di TK Negeri Pembina I Malang secara keseluruhan disajikan dalam bentuk gambar dibawah ini: Berdasarkan data hasil penelitian berat badan di TK Negeri Pembina I Malang didapatkan bahwa sebagian besar anak memiliki peningkatan berat badan 100-1000 gram 35 responden (45%), peningkatan 1100-2000 gram 29 (40%), sebanyak 5 responden (7%) mengalami penurunan berat badan, sedangkan yang tidak mengalami peningkatan atau penurunan berat badan atau konstan sebanyak 4 responden (5%). Distribusi berat badan berdasarkan usia responden ditunjukkan pada gambar dibawah ini:

Dari gambar menunjukkan bahwa responden sebagian berusia 6 tahun memiliki peningkatan berat badan 100-1000 g sebanyak 25 responden (34%), meningkat 1100-2000 g 17 (23%). Sedangkan untuk berat badan konstan 2 (3%), dan menurun 3 (4%).Distribusi berat badan berdasarkan jenis kelamin responden ditunjukkan pada gambar dibawah ini:

Dari gambar menunjukkan bahwa responden yang berjenis kelamin perempuan memiliki peningkatan berat badan 100-1000 g sebanyak 19 responden (26%) dan pada laki-laki 16 responden (22%), peningakatan 1100-2000 g perempuan 16 (22%), laki-laki 13 (18%).Penurunan berat badan pada perempuan sebanyak 1 (%), laki-laki sebanyak (1%). Sedangkan berat badan konstan perempuan 2 (3%) dan laki-laki 2 (3%).ANALISA DATAAnalisis statistik menggunakan SPSS 16 for windows. Data dianalisis menggunakan uji Spearman. Dari hasil uji Spearman didapatkan nilai p(value) adalah 0,000 dan untuk nilai adalah 0,05. Dapat terlihat bahwa p(value) < , yang artinya bahwa terdapat hubungan pola konsumsi fast food dengan peningkatan berat badan. Didapatkan pula bahwa nilai Koefisien Korelasi adalah 0,506 sehingga dapat diketahui bahwa besar hubungan antara pola konsumsi fast food dapat menyebabkan peningkatan berat badan adalah sebesar 26%. Sedangkan untuk 74% merupakan faktor lain yang tidak diteliti oleh peneliti yang dapat menyebabkan peningkatan berat badan. Dari hasil Koefisien Korelasi juga terdapat tanda positif pada koefisien tersebut, hal ini menjelaskan bahwa hubungan antara pola konsumsi fast food dengan peningkatan berat badan adalah berbanding lurus, yang artinya bahwa semakin sering pola konsumsi fast food maka peningkatan berat badan semakin meningkat atau sebaliknya.

PEMBAHASANA. Pola Konsumsi Fast Food Anak Usia Prasekolah (4-6 Tahun)Dari hasil penelitian dan analisa data yang telah dilakukan, didapatkan hasil bahwa sebagaian besar tingkat pola konsumsi fast food anak adalah sering (63 responden atau 93%), kemudian sebagian pola konsumsi anak adalah sedang (5 responden atau 7%) dan untuk kategori jarang tidak ada atau (0%). Hasil ini sejalan dengan penelitian Suryaalamsyah (2009), bahwa anak-anak yang mengalami kegemukan mengkonsumsi fast food dengan frekuensi sering yaitu lebih dari 2 kali dalam seminggu sedangkan anak dengan berat badan normal mengkonsumsi fast food pada frekuensi jarang 1-2 kali dalam seminggu. Masi et al. (2013), Mengemukakan terdapat hubungan antara konsumsi fast food dengan kejadian kejadian obesitas pada Anak SD di kota Manado, anak yang mempunyai asupan energi konsumsi fast food diatas rata-rata asupan anak tidak obesitas berisiko 2,35 kali lebih besar untuk menjadi obesitas dibandingkan anak yang mempunyai asupan dibawah rata-rata asupan anak tidak mengalami obesitas dan peningkatan berat badan.Berdasarkan hasil tersebut, maka ada beberapa analisa yang dapat dilihat. Pola konsumsi fast food anak dapat dihubungkan dengan beberapa faktor yang berhubungan dengan pola konsumsi fast food yaitu aspek sosial ekonomi, informasi pangan, kesukaan. Aspek sosial ekonomi Menurut Penelitian Meilany (2001), Meningkatnya pendapatan berarti memperbesar peluang untuk membeli pangan dengan kualitas dan kuantitas yang lebih baik dibandingkan dengan keluarga dengan tingkat pendapatan rendah. Subyek penelitiannya sebanyak 51.8% yaitu anak obesitas berasal dari keluarga dengan tingkat pendapatan menengah ke atas, dengan pendapatan perkapita tingkat tinggi. Status sosial ekonomi tinggi mempunyai uang lebih banyak, oleh sebab itu kemampuan untuk membeli fast food yang kandungan energi tinggi dan lebih besar (Bowman, 2004).Faktor selanjutnya adalah informasi pangan sangat mempengaruhi konsumsi fast food Sumber informasi yang berkenaan dengan makanan dapat berupa iklan, promosi, pengalaman masa lalu maupun pengaruh orang-orang terkemuka serta lingkungan sosial terdekat yang dijumpai. Dari berbagai sumber informasi yang ada pada saat ini, iklan yang terdapat pada media televisi merupakan sumber informasi yang cukup efektif dalam menyampaikan informasi tentang produk makanan terutama fast food (Engel, 2001). Hasil penelitian Nikmah (2007) terhadap restoran McDonald's menyatakan bahwa promosi yang dilakukan oleh McDonald's bertujuan untuk mengkomunikasikan informasi dari produsen ke konsumen sehingga menarik minat konsumen untuk membeli produk yang ditawarkan. Selain itu promosi juga berfungsi menciptakan kesadaran konsumen akan merek McD, meningkatkan citra merek McD dan meningkatkan nilai penjualan produk. Selain televisi lingkungan sekolah juga dapat dijadikan sebagai sumber informasi pangan, dengan menyediakan menu kantin maupun katering makan siang dengan menu fast food. Selain iklan yang terdapat dalam media cetak maupun elektronik, teman dan keluarga juga merupakan sumber informasi penting tentang produk makanan baru, karena seseorang cenderung lebih mudah menerima informasi pangan dari orang-orang terdekat khususnya keluarga (Suryaalamsyah, 2009).Dari beberapa faktor diatas, faktor Kesukaan adalah faktor terakhir yang mempengaruhi konsumsi fast food, kesukaan terhadap makanan diperoleh dari pengalaman di lingkungan keluarga sejak masih kecil yang dilanjutkan sampai tumbuh dewasa. Makanan yang disukai anggota keluarga biasanya akan disukainya dan yang tidak disukai anggota keluarganya mungkin tidak disukainya juga. Pengalaman yang menjadi dasar terbentuknya pemilihan terhadap makanan meliputi tekstur, bau, rupa dan rasa terhadap suatu makanan (Sanjur 1982).B. Peningkatan Berat Badan Anak Usia Prasekolah (4-6 Tahun)Pada penelitian ini semua berat badan anak yang dijadikan sampel secara umum rata-rata mengalami peningkatan berat badan, tetapi ada beberapa variasi pada hasil penelitian bahwa sebagian besar anak memiliki peningkatan berat badan 100-1000 gram 35 responden (45%), peningkatan 1100-2000 gram 29 (40%), sebanyak 5 responden (7%) mengalami penurunan berat badan, sedangkan yang tidak mengalami peningkatan atau penurunan berat badan atau konstan sebanyak 4 responden (5%). Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan sebagian besar anak mengalami peningkatan berat badan.Hasil ini sejalan dengan penelitian terdahulu bahwa proporsi kejadian kelebihan berat badan anak usia prasekolah lebih banyak di temukan pada anak usia prasekolah dengan frekuensi mengkonsumsi fast food 2 kali dalam seminggu (40%) dibanding pada anak yang memiliki frekuensi mengkonsumsi fast food 2 kali dalam seminggu (20,4%). Anak yang mengkonsumsi fast food 2 kali dalam seminggu berpeluag 2,6 kali lebih besar untuk mengalami gizi lebih dibanding anak yang memiliki frekuensi makan fast food 2 kali dalam seminggu (Suminarti, 2013).Berat badan merupakan ekspresi atau deskripsi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variable tertentu atau merupakan indikator dari baik buruknya penyediaan atau pemenuhan dari zat gizi yang diserap oleh tubuh. Pola dan menu makan yang tidak teratur tanpa memikirkan besar kalori dan zat gizi yang diperlukan oleh tubuh akan berdampak pada anak yang kekurangan gizi sehingga sehingga tubuh akan terjadi penurunan berat badan. Demikian juga sebaliknya apabila anak mengalami kelebihan gizi maka berat tubunya akan meningkat. Berat badan sering digunakan sebagai cara untuk mengevaluasi keseimbangan antara asupan makanan yang masuk kedalam tubuh dengan energy yang digunakan atau dikeluarkan untuk beraktivitas. Pola konsumsi makanan yang tidak seimbang sangat berpengaruh pada berat badan. Berdasarkan hasil tersebut, maka ada beberapa analisa yang dapat dilihat. Berat badan anak dapat dihubungkan dengan beberapa faktor yang berhubungan dengan peningkatan berat badan anak yaitu, konsumsi makanan, aktivitas fisik, genetic, hormone, serta konsumsi fast food.Konsumsi Makanan jika makanan seharinya-harinya mengandung energi yang melebihi kebutuhan. Biasanya terjadi pada anak yang cepat merasa lapar dan tidak mau menahan rasa lapar nya. Kosumsi makanan sehari-hari dapat dilihat berdasarkan umur, berat badan, tinggi badan dan jenis kelamin. Banyak atau sedikitnya zat gizi yang dikonsumsi melalui makanan menentukan status gizi seseorang. Dapat dikatakan bahwa konsumsi makanan merupakan faktor langsung yang berpengaruh pada status gizi. Kelebihan konsumsi makanan yang tidak diimbangi dengan pengeluaran energi yang mencukupi dan aktifitas yang kurang menyebabkan timbulnya obesitas.Faktor kedua adalah aktivitas fisik yaitu gerakan tubuh yang dihasilkan oleh otot-otot rangka yang dihasilkan sebagai sebagai suatu pegeluaran tenaga (dinyatakan kilo-kalori), yang meliputi pekerjaan, waktu senggang dan aktivitas sehari-hari. Aktivitas fisik tersebut memerlukan usaha ringan, sedang atau berat yang dapat menyebabkan perbaikan memerlukan usaha ringan, sedang atau berat yang dapat menyebabkan perbaikan kesehatan bila dilakukan secara teratur. Seseorang yang kurang melakukan aktivitas fisik menyebabkan tubuh kurang menggunakan energi yang tersimpan di dalam tubuh. Oleh karena itu, jika asupan energi berlebihan tanpa diimbangi dengan aktivitas fisik yang sesuai maka secara berkelanjutan dapat mengakibatkan obesitas. Cara yang paling mudah dan umum untuk meningkatkan pengeluaran energi adalah dengan melakukan latihan fisik atau gerak badan. Berdasarkan data Riskesdas (2007), kurang aktivitas fisik paling tinggi berdasarkan umur terdapat pada kelompok 75 tahun ke atas (76,0%) dan umur 10-14 tahun (66,9%). Berdasarkan tingkat pendidikan, semakin tinggi pendidikan semakin tinggi prevalensi kurang aktivitas fisik. Prevalensi kurang aktivitas fisik pada penduduk perkotaan (57,6%) lebih tinggi dibanding penduduk pedesaan (42,4%). Salah satu aktivitas yang dapat dilakukan anak usia sekolah adalah dengan rutin berolahraga sehingga pengeluaran energi dapat seimbang. Selain itu dapat pula meningkatkan aktivitas fisiknya dengan mengikuti kegiatan-kegiatan ekstrakuliler di sekolah maupun di luar sekolah. Aktivitas fisik merupakan variabel untuk pengeluaran energi, oleh karena itu aktivitas fisik dijadikan salah satu perilaku untuk penurunan berat badan. Berdasarkan beberapa penelitian mengungkapkan apabila beraktivitas fisik dengan intensitas yang cukup selama 60 menit dapat menurunkan berat badan dan mencegah untuk peningkatan berat badan kembali.Faktor selanjutnya adalah Genetik, Orang-orang yang menderita kegemukan lebih sering mempunyai orang tua yang juga kegemukan. Bila salah seorang diantara bapak dan ibunya menderita kegemukan maka 40-50% dari anak-anak menjadi gemuk dan kemungkinan bertambah menjadi 70-80% apabila kedua orangtuanya menderita kegemukan. Bayi yang lahir dari kedua orangtua yang kegemukan mempunyai kemungkinan akan gemuk 90% (Laurentia, 2004).Hormon adalah faktor selanjutnya yang mempengaruhi berat badan. Menurut hipotesa para ahli, Depo Medroxy Progetseron acetat (DMPA) merangsang pusat pengendalian nafsu makan dihipotalamus yang menyebabkan akseptor makan lebih banyak dari pada biasanya (Hartanto, 2004). Sistem pengontrol yang mengatur perilaku makanan terletak pada suatu bagian otak yang disebut hipotalamus. Hipotalamus mengandung lebih banyak pembuluh darah dari daerah lain diotak, sehingga lebih mudah dipengaruhi oleh unsur kimiawi darah. Dua bagian hipotalamus yang mempengaruhi penyerapan makanan yaitu hipotalamus lateral (HL) yang menggerakkan nafsu makan (awal atau pusat makan), hipotalamus ventromedial (HVM) yang bertugas menggerakkan nafsu makan (pemberian pusat kenyang). Dari hasil suatu penelitian diadapat bahwa jika HL rusak atau hancur maka individu menolak untuk makan atau minum (diberi infus). Sedangkan kerusakan pada bagian HVM maka seseorang akan menjadi rakus dan kegemukan (Mutadin, 2002).Faktor terakhir yang mempengaruhi berat badan adalah Pola Konsumsi fast food, Pola makanan masyarakat perkotaan yang tinggi kalori dan lemak serta rendah serat memicu peningkatan jumlah penderita obesitas. Masyarakat diperkotaan cenderung sibuk, biasanya lebih menyukai mengkonsumsi fast food, dengan alasan lebih praktis. Meskipun, mereka mengetahui bahwa nilai kalori yang terkandung dalam makanan cepat saji sangat tinggi, dan didalam tubuh kelebihan kalori akan diubah dan disimpan menjadi lemak tubuh (Soeharto, 2001). C. Hubungan Pola Konsumsi Fast Food Dengan Peningkatan Berat Badan Anak Usia Prasekolah (4-6 Tahun)Istilah fast food pertama kali diperkenalkan di amerika serikat tahun 1950 an dan menjadi pola makan dominan diantara anak-anak. Jumlah restoran fast food sampai saat ini diperkirakan ada 247.115 unit diseluruh Negara (Bowman, et al. 2004). Menurut Betram (1975) diacu dalam suryaalamsyah (2009), fast food merupakan istilah mengandung dua arti berbeda, namun keduanya sama-sama mengacu pada penghidangan dan konsumsi makanan secara cepat. Kedua arti tersebut adalah sebagai berikut: 1) fast food dapat diartikan sebagai makanan yang dihidangkan dan dikonsumsi seminimal mungkin, 2) fast food juga dapat diartikan sebagai makanan yang dapat dikonsumsi secara cepat. Pada umumnya restoran-restoran fast food yang ada di Indonesia menggunakan pola franchising atau waralaba dan biasanya menggunakan nama atau merek yang sudah mendunia seperti Mc Donald, Kentucky fried Chicken, Pizza Hut dan sebagainya (suryaalamsyah, 2009). Menurut khomsan (2006), pangan di restoran fast food tersusun dari berbagai jenis bahan yang tidak baik dalam tubuh. Jenis fast food seperti fried chicken, kentang goreng, burger, pizza, hotdog, dll. Menurut purwati et al. (2005). Salah satu penyebab kegemukan adalah kesalahan dalam memilih makanan (makanan cepat saji) hanya karena prestise atau gengsi semata. Fast food banyak mengandung lemak, kalori, gula berlebih, dan garam yang tinggi. Pendapat yang sama dinyatakan oleh Misnadiarly (2007) bahwa mengkonsumsi fast food memiliki andil dalam peningkatan berat badan. Terdapat beberapa kandungan berbahaya dalam tubuh jika di konsumsi secara terus menerus seperti sodium (Na), Monosodium glutamate (MSG), gula buatan, Saturated fat, kolesterol, lemak, dan zat kimia lainnya (Wulansari, 2008).Sodium yang banyak terdapat dalam fast food dapat meningkatkan aliran dan tekanan darah sehingga bisa membuat tekanan darah tinggi. Tekanan darah tinggi juga akan berpengaruh munculnya gangguan ginjal, penyakit jantung dan stroke. Lemak jenuh yang juga banyak terdapat dalam fast food, yang berbahaya bagi tubuh karena zat tersebut merangsang organ hati untuk memproduksi banyak kolesterol. Kolesterol sendiri didapat dengan dua cara, yaitu oleh tubuh itu sendiri dan ada juga yang berasal dari produk hewani yang kita makan dan dimasak terlalu lama. Kolesterol banyak terdapat dalam daging, telur, ayam, ikan, mentega, susu dan keju. Bila jumlahnya banyak, kolesterol dapat menutup saluran darah dan oksigen yang seharusnya mengalir ke seluruh tubuh. Tingginya jumlah lemak jenuh dalam makanan cepat saji akan menimbulkan kanker, terutama kanker usus dan kanker payudara. Kanker payudara merupakan pembunuh terbesar setelah kanker usus. Lemak dari daging, susu, dan produk-produk susu merupakan sumber utama dari lemak jenuh (Wulansari, 2008).Monosodium Glutamat (MSG) adalah garam L-asam glutamate (GLU) yang merupakan asam amino pembentuk protein yang sangat penting bagi makluk hidup (Wulansari, 2008). Tubuh manusia memproduksi sendiri senyawa glutamate untuk kepentingan metabolisme, fungsi otak, dan sebagai sumber tenaga (Winarno, 2004). Beberapa penelitian menyebutkan MSG berlebihan dapat menyebabkan timbulnya berbagai masalah kesehatan seperti kegemukan, lerusakan otak, kerusakan sistem syaraf, depresi sampai kaku. Hal itu disebabkan glutamate yang ada dalam makanan seperti daging, dan beberapa sayuran ada dalam bentuk terikat dengan asam amino lain membentuk protein (Wulansari, 2008).Fast food juga mengandung banyak gula, terutama gula buatan, tidak baik untuk kesehatan karena dapat menyebabkan penyakit gula atau diabetes, kerusakan gigi dan obesitas. Minuman bersoda, cake, dan cookies mengandung banyak gula dan sangat sedikit vitamin serta mineralnya. Minuman bersoda mengandung paling banyak gula, sedangkan kebutuhan gula dalam tubuh tidak boleh lebih dari 4 g atau satu sendok teh sehari (Septiyani, 2011). Pemanis buatan ini mempunyai tingkat kemanisan 200-700 kali gula. Dalam namadagang dikenal dengan nama Gucide, Glucide, Garantose, Saccharol, dan sikosa. Pemanis buatan banyak menimbulkan bahaya bagi kesehatan manusia. Sakarin memunculkan banyak gangguan bagin kesehatan, kehilangan daya ingat, bingung, insomnia (Wulansari, 2008). Selanjutnya Sorbitol, suatu poliol (alcohol gula), bahan pemanis yang ditemukan dalam berbagai produk makanan. Kemanisan sorbitol sekitar 60% dari kemanisan sukrosa (Gula tebu) dengan ukuran kalorinya sekitar sepertiganya. Jika terlalu banyak sorbitol dihasilkan di dalam sel, dapat menyebabkan kerusakan sel syaraf otak (Wulansari, 2008). Aspartam sering di gunakan karena tingkat kemanisannya yang tinggi, tetapi rendah kalori dan aman untuk penderita DM. Tapi seperti zat-zat kimia yang lainnya, aspartame tetap memiliki efek sampingnya, salah satunya masalah psikologis seperti depresi, gelisah, perubahan tingkah laku, phobia, dan berkurangnya daya ingat (Wulansari, 2008).Bahan lain yang biasanya banyak terdapat dalam fast food saturated fat. Saturated fat berbahaya untuk tubuh, karena merangsang hati untuk memproduksi banyak kolesterol. Di samping itu, jumlah saturated fat yang tinggi akan menimbulkan kanker, terutama kanker usus da kanker payudara. Lemak dari daging, susu, dan produk-produk susu merupakan sumber utama dari saturated fat ini (Wulansari, 2008).Selanjutnya adalah Kolesterol, dihasilkan tubuh dengan dua cara, Ada yang diproduksi sendiri didalam tubuh dan ada yang berasal dari produk hewan yang dimakan. Idealnya tidak perlu menambahkan kolesterol masuk dalam tubuh karena tubuh sebenarnya sudah menghasilkan kolesterol sendiri. Kolesterol banyak terdapat dalam daging, daging ayam, ikan, telur, mentega, susu, dan keju. Dalam jumlah banyak, kolesterol dapat menutup saluran darah dan oksigen yang seharusnya mengalir ke seluruh tubuh. Hal ini sangat berbahaya bila aliran darah dan oksigen yang masuk ke dalam otak yang basanya di sebut stroke (Wulansari, 2008).Menurut Depkes RI (2008), Lemak merupakan zat makanan penting bagi kesehatan tubuh manusia.Selain itu lemak juga merupakan sumber energi yang lebih efektif di banding karbohidrat dan protein. Lemak juga berfungsi sebagai sumber pelarut bagi vitamin-vitamin A, D, E dan K (Winarno, 2004). Kadar lemak yang sangat tinggi dalam bahan pangan bisa di kategorikan sebagai fast food yang dapat menimbulkan kanker, terutama kanker dan kanker payudara (Wulansari, 2008)Menurut Depkes RI (2008), zat aditif adalah zat yang ditambahkan ke dalam makanan atau minuman yang bertujuan memberikan rasa, warna yang menarik, dan supaya makanan atau pun minuman tersebut dapat bertahan lama. Zat aditif ini sama sekali tidak mengandung dalam fast food seperti aroma sintesis, salisilat sintesis. Dari berbagai zat penyusun fast food, zat-zat kimia merupakan zat pencetus utama dan terbanyak yang menyebabkan penurunan kemampuan kognitif dimana zat adiktif yang terkandung di dalamnya dapat mengganggu aktivitas massa penghantar syaraf otak neurotransmitter sehingga syaraf menerima pesan tidak dapat memahami sinyal listrik yang dikirim. Hal ini akan berakibat pada penurunan kemampuan kognitif seperti penurunan daya ingat konsentrasi, daya ingat, dan daya pikir.Berdasarkan hasil analisa data didapatkan bahwa 4 responden (5%) memiliki pola konsumsi fast food sering tidak mengalami pengalami peningkatan atau penurunan berat badan (konstan), 3 responden (4%) memiliki pola konsumsi fast food sedang mengalami penurunan berat badan, Kolom selanjutnya menampilkan hasil bahwa 33 responden (45%) dengan pola konsumsi sering memiliki peningkatan berat badan 100-1000 gram, sedangkan peningkatan berat badan 1100-2000 gram 29 responden (40%).Berdasarkan hasil analisa data mengetahui hubungan pola konsumsi fast food dengan peningkatan berat badan anak usia prasekolah (4-6 tahun) di TK Pembina I Malang dengan menggunakan anlisa statistik nonparametrik dari Spearman Rank, didapatkan nilai korelasi adalah (r) 0.506 dan nilai signifikansi (p) sebesar 0.000. Dari hasil uji korelasi tersebut dapat disimpulkan bahwa korelasi antar kedua variabel mempunyai hubungan yang signifikan karena nilai p