lp dan jurnal ppok ali

49
BAB II TINJAUAN TEORI I. DEFINISI Penyakit Paru Obstruktif Kronik (COPD) merupakan suatu istilah yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru-paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisiologi utamanya. Ketiga penyakit yang membentuk satu kesatuan yang dikenal dengan COPD adalah : Bronchitis kronis, emfisema paru-paru dan asthma bronchiale (S Meltzer, 2001 : 595)?. Tetapi dalam suatu Negara, yang termasuk didalam COPD adalah emfisema paru- paru dan Bronchitis Kronis. Nama lain dari copd adalah "Chronic obstructive airway disease " dan "ChronicObstructive Lung Diseases (COLD)" II. ANATOMI DAN FISIOLOGI Anatomi fisiologi Paru-paru Merupakan sebuah alat tubuh yang sebagian besar terdiri dari gelembung-gelembung (gelembung hawa = alveoli). Gelembung- gelembung alveoli ini terdiri dari sel-sel epitel dan endotel. Jika dibentangkan luas permukaannya lebih kurang 90 m 2 pada lapisan inilah terjadi pertukaran udara, O 2 masuk ke dalam darah dan C02 dikeluarkan dari darah. Banyaknya gelembung paru-paru ini kurang lebih 700.000.000 buah (paru-paru kiri dan kanan). Pembagian paru-paru; paru-paru dibagi 2 (dua) : 1. Paru-paru kanan, terdiri dari 3 lobus (belah paru), Lobus Pulmo dekstra superior, Lobus media, dan lobus inferior. Tiap lobus tersusun oleh lobulus. 2. Paru-paru kiri, terdiri dari; Pulmo sinester lobus superior dan lobus inferior. Tiap-tiap lobus terdiri dari belahan- belahan yang lebih kecil bernama segment.

Upload: goonerss-alie

Post on 21-Oct-2015

71 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

Page 1: LP Dan Jurnal PPOK Ali

BAB IITINJAUAN TEORI

I. DEFINISI

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (COPD) merupakan suatu istilah yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru-paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisiologi utamanya. Ketiga penyakit yang membentuk satu kesatuan yang dikenal dengan COPD adalah : Bronchitis kronis, emfisema paru-paru dan asthma bronchiale (S Meltzer, 2001 : 595)?.

Tetapi dalam suatu Negara, yang termasuk didalam COPD adalah emfisema paru- paru dan Bronchitis Kronis. Nama lain dari copd adalah "Chronic obstructive airway disease " dan "ChronicObstructive Lung Diseases (COLD)"

II. ANATOMI DAN FISIOLOGI

Anatomi fisiologi Paru-paru

Merupakan sebuah alat tubuh yang sebagian besar terdiri dari gelembung-gelembung (gelembung hawa = alveoli). Gelembung-gelembung alveoli ini terdiri dari sel-sel epitel dan endotel. Jika dibentangkan luas permukaannya lebih kurang 90 m2 pada lapisan inilah terjadi pertukaran udara, O2 masuk ke dalam darah dan C02 dikeluarkan dari darah. Banyaknya gelembung paru-paru ini kurang lebih 700.000.000 buah (paru-paru kiri dan kanan).

Pembagian paru-paru; paru-paru dibagi 2 (dua) :

1. Paru-paru kanan, terdiri dari 3 lobus (belah paru), Lobus Pulmo dekstra superior, Lobus media, dan lobus inferior. Tiap lobus tersusun oleh lobulus.

2. Paru-paru kiri, terdiri dari; Pulmo sinester lobus superior dan lobus inferior. Tiap-tiap lobus terdiri dari belahan-belahan yang lebih kecil bernama segment.

Paru-paru kiri mempunyai 10 segmen yaitu; 5 (lima) buah segment pada lobus superior, dan 5 (lima) buah segment pada inferior. Paru-paru kanan mempunyai 10 segmen yaitu;5 (lima) buah segmen pada lobus superior; 2 (dua) buah segmen pada lobus medialis, dan 3 (tiga) buah segmen pada lobus inferior. Tiap-tiap segmen ini masih terbagi lagi menjadi belahan-belahan yang bernama lobulus.

Diantara lobulus satu dengan yang lainnya dibatasi oleh jaringan ikal yang berisi pembuluh-pembuluh darah getah bening dan saraf-saraf, dalam tiap-tiap lobulus terdapat sebuah bronkiolus. Di dalam lobulus, bronkiolus ini bercabang-cabang banyak sekali, cabang-cabang ini disebut duktus alveolus. Tiap-tiap duktus alveolus berakhir pada alveolus yang diameternya antara 0,2 - 0,3 mm.

Letak paru-paru.

Page 2: LP Dan Jurnal PPOK Ali

Pada rongga dada datarannya menghadap ke tengah rongga dada/kavum mediastinum. Pada ba-gian tengah iiu tcrdapal lampuk paiu-paru alau hilus Pada mediastinum depan terletak jantung. Paru-paru dibungkus oleh selaput yang bernama pleura. Pleura dibagi menjadi 2 (dua):

1. Pleura viseral (selaput dada pembungkus) yaitu selaput paru yang langsung membungkus paru-paru.

2. Pleura parietal yaitu selaput yang melapisi rongga dada sebelah luar

Antara kedua pleura ini terdapat rongga (kavum) yang disebut kavum pleura. Pada keadaan normal, kavum pleura ini vakum/hampa udara sehingga paru-paru dapat berkembang kempis dan juga terdapat sedikit cairan (eskudat) yang berguna untuk meminyaki permukaannya (pleura), menghindarkan gesekan antara paru-paru dan dinding dada dimana sewaktu bernapas bergerak.

Pembuluh darah pada paru

Sirkulasi pulmonar berasal dari ventrikel kanan yang tebal dinding 1/3 dan tebal ventrikel kiri, Perbedaan ini menyebabkan kekuatan kontraksi dan tekanan yang ditimbulkan jauh lebih kecil dibandingkan dengan tekanan yang ditimbulkan oleh kontraksi ventrikel kiri. Selain aliran melalui arteri pulmonal ada darah yang langsung mengalir ke paru-paru dad aorta melalui arteri bronkialis. Darah ini adalah darah "kaya oksigen" (oxyge-nated) dibandingkan dengan darah pulmonal yang relatif kekurangan oksigen.

Darah ini kembali melalui vena pulmonalis ke atrium kiri. Arteri pulmonalis membawa darah yang sedikit mengandung 02 dari ventrikel kanan ke paru-paru. Cabang-cabangnya menyentuh saluran-saluran bronkial sampai ke alveoli halus. Alveoli itu membelah dan membentuk jaringan kapiler, dan jaringan kapiler itu menyentuh dinding alveoli (gelembung udara). Jadi darah dan udara hanya dipisahkan oleh dinding kapiler.

Dari epitel alveoli, akhirnya kapiler menjadi satu sampai menjadi vena pulmonalis dan sejajar dengan cabang tenggorok yang keluar melalui tampuk paru-paru ke serambi jantung kiri (darah mengandung 02), sisa dari vena pulmonalis ditentukan dari setiap paru-paru oleh vena bronkialis dan ada yang mencapai vena kava inferior, maka dengan demikian paru-paru mempunyai persediaan darah ganda.

Kapasitas paru-paru. Merupakan kesanggupan paru-paru dalam menampung udara didalamnya. Kapasitas paru-paru dapat dibedakan sebagai berikut :

1. Kapasitas total. Yaitu jumlah udara yang dapat mengisi paru-paru pada inspirasi sedalam-dalamnya. Dalam hal ini angka yang kita dapat tergantung pada beberapa hal: Kondisi paru-paru, umur, sikap dan bentuk seseorang,

2. Kapasitas vital. Yaitu jumlah udara yang dapat dikeluarkan setelah ekspirasi maksima.l Dalam keadaan yang normal kedua paru-paru dapat menampung udara sebanyak ± 5 liter

3. Waktu ekspirasi. Di dalam paru-paru masih tertinggal 3 liter udara. Pada waktu kita bernapas biasa udara yang masuk ke dalam paru-paru 2.600 cm3 (2 1/2 liter)

4. Jumlah pernapasan. Dalam keadaan yang normal: Orang dewasa: 16 - 18 x/menit, Anak-anak kira-kira : 24 x/menit, Bayi kira-kira : 30 x/menit, Dalam keadaan tertentu keadaan

Page 3: LP Dan Jurnal PPOK Ali

tersebut akan berubah, misalnya akibat dari suatu penyakit, pernafasan bisa bertambah cepat dan sebaliknya.

Beberapa hal yang berhubungan dengan pernapasan; bentuk menghembuskan napas dengan tiba-tiba yang kekuatannya luar biasa, akibat dari salah satu rangsangan baik yang berasal dari luar bahan-bahan kimia yang merangsang selaput lendir di jalan pernapasan. Bersin. Pengeluaran napas dengan tiba-tiba dari terangsangnya selaput lendir hidung, dalam hal ini udara keluar dari hidung dan mulut

III. KLASIFIKASI

Penyakit yang termasuk dalam kelompok penyakit paru obstruksi kronik adalah sebagai berikut;Bronkitis kronikBronkitis merupakan definisi klinis batuk-batuk hampir setiap hari disertai pengeluaran dahak, sekurang-kuranganya 3 bulan dalam satu tahun dan terjadi paling sedikit selama 2 tahun berturut-turut.

EtiologiTerdapat 3 jenis penyebab bronchitis akut, yaitu :

1. Infeksi : stafilokokus, sterptokokus, pneumokokus, haemophilus influenzae.2. Alergi3. Rangsang : misal asap pabrik, asap mobil, asap rokok dll

Bronchitis kronis dapat merupakan komplikasi kelainan patologik yang mengenai beberapa alat tubuh, yaitu :

1. Penyakit Jantung Menahun, baik pada katup maupun myocardium. Kongesti menahun pada dinding bronchus melemahkan daya tahannya sehingga infeksi bakteri mudah terjadi.

2. Infeksi sinus paranasalis dan Rongga mulut, merupakan sumber bakteri yang dapat menyerang dinding bronchus.

3. Dilatasi Bronchus (Bronchiectasi), menyebabkan gangguan susunan dan fungsi dinding bronchus sehingga infeksi bakteri mudah terjadi.

Rokok, yang dapat menimbulkan kelumpuhan bulu getar selaput lender bronchus sehingga drainase lendir terganggu. Kumpulan lendir tersebut merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri

Patofisiologi

Page 4: LP Dan Jurnal PPOK Ali

Bronchitis akut dapat timbul dalam serangan tunggal atau dapat timbul kembali sebagai eksaserbasi akut dari bronchitis kronis. Pada infeksi saluran nafas bagian atas, biasanya virus, seringkali merupakan awal dari serangan bronchitis akut. Dokter akan mendiagnosa bronchitis kronis jika klien mengalami batuk atau produksi sputum selama beberapa hari + 3 bulan dalam 1 tahun dan paling sedikit dalam 2 tahun berturut-turut.Bronchitis timbul sebagai akibat dari adanya paparan terhadap agent infeksi maupun non-infeksi (terutama rokok tembakau). Iritan akan menyebabkan timbulnya respon inflamasi yang akan menyebabkan vasodilatasi, kongesti, edema mukosa dan bronchospasme.

Klien dengan bronchitis kronis akan mengalami :

1. Peningkatan ukuran dan jumlah kelenjar mukus pada bronchi besar, yang mana akan meningkatkan produksi mukus.

2. Mukus lebih kental3. Kerusakan fungsi cilliary sehingga menurunkan mekanisme pembersihan mukus. Oleh

karena itu, "mucocilliary defence" dari paru mengalami kerusakan dan meningkatkan kecenderungan untuk terserang infeksi. Ketika infeksi timbul, kelenjar mukus akan menjadi hipertropi dan hiperplasia sehingga produksi mukus akan meningkat.

4. Dinding bronchial meradang dan menebal (seringkali sampai dua kali ketebalan normal) dan mengganggu aliran udara. Mukus kental ini bersama-sama dengan produksi mukus yang banyak akan menghambat beberapa aliran udara kecil dan mempersempit saluran udara besar. Bronchitis kronis mula-mula mempengaruhi hanya pada bronchus besar, tetapi biasanya seluruh saluran nafas akan terkena.

5. Mukus yang kental dan pembesaran bronchus akan mengobstruksi jalan nafas, terutama selama ekspirasi. Jalan nafas mengalami kollaps, dan udara terperangkap pada bagian distal dari paru-paru. Obstruksi ini menyebabkan penurunan ventilasi alveolar, hypoxia dan asidosis.

6. Klien mengalami kekurangan oksigen jaringan ; ratio ventilasi perfusi abnormal timbul, dimana terjadi penurunan PaO2. Kerusakan ventilasi dapat juga meningkatkan nilai PaCO2.

7. Klien terlihat cyanosis. Sebagai kompensasi dari hipoxemia, maka terjadi polisitemia (overproduksi eritrosit). Pada saat penyakit memberat, diproduksi sejumlah sputum yang hitam, biasanya karena infeksi pulmonary.

8. Selama infeksi klien mengalami reduksi pada FEV dengan peningkatan pada RV dan FRC. Jika masalah tersebut tidak ditanggulangi, hypoxemia akan timbul yang akhirnya menuju penyakit cor pulmonal dan CHF

Emfisema paru

Emfisema paru merupakan suatu definisi anatomik, yaitu suatu perubahan anatomik paru yang ditandai dengan melebarnya secara abnormal saluran udara bagian distal bronkus terminalis, yang disertai kerusakan dinding alveolus. Sesuai dengan definisi tersebut, maka jika ditemukan kelainan berupa pelebaran ruang udara (alveolus) tanpa disertai adanya destruksi jaringan maka keadaan ini sebenarnya tidak termasuk emfisema, melainkan hanya sebagai "overinflation".

Page 5: LP Dan Jurnal PPOK Ali

Patogenesis

Terdapat 4 perubahan patologik yang dapat timbul pada klien emfisema, yaitu:

1. Hilangnya elastisitas paru. Protease (enzim paru) merubah atau merusakkan alveoli dan saluran nafas kecil dengan jalan merusakkan serabut elastin. Akibat hal tersebut, kantung alveolar kehilangan elastisitasnya dan jalan nafas kecil menjadi kollaps atau menyempit. Beberapa alveoli rusak dan yang lainnya mungkin dapat menjadi membesar.

2. Hyperinflation Paru Pembesaran alveoli mencegah paru-paru untuk kembali kepada posisi istirahat normal selama ekspirasi.

3. Terbentuknya Bullae Dinding alveolar membengkak dan berhubungan untuk membentuk suatu bullae (ruangan tempat udara) yang dapat dilihat pada pemeriksaan X ray.

4. Kollaps jalan nafas kecil dan udara terperangkap Ketika klien berusaha untuk ekshalasi secara kuat, tekanan positif intratorak akan menyebabkan kollapsnya jalan nafas

Tipe Emfisema

Terdapat tiga tipe dari emfisema :

1. Emfisema Centriolobular. Merupakan tipe yang sering muncul, menghasilkan kerusakan bronchiolus, biasanya pada region paru atas. Inflamasi berkembang pada bronchiolus tetapi biasanya kantung alveolar tetap bersisa.

2. Emfisema Panlobular (Panacinar). Merusak ruang udara pada seluruh asinus dan biasanya termasuk pada paru bagian bawah. Bentuk ini bersama disebut centriacinar emfisema, timbul sangat sering pada seorang perokok.

3. Emfisema Paraseptal. Merusak alveoli pada lobus bagian bawah yang mengakibatkan isolasi dari blebs sepanjang perifer paru. Paraseptal emfisema dipercaya sebagai sebab dari pneumothorax spontan. Panacinar timbul pada orang tua dan klien dengan defisiensi enzim alpha-antitripsin. Pada keadaan lanjut, terjadi peningkatan dyspnea dan infeksi pulmoner, seringkali Cor Pulmonal (CHF bagian kanan) timbul.

PatofisiologEmfisema merupakan kelainan dimana terjadinya kerusakan pada dinding alveolar, yang mana akan menyebabkan overdistensi permanen ruang udara. Perjalanan udara terganggu akibat dari perubahan ini. Kesulitan selama ekspirasi pada emfisema merupakan akibat dari adanya destruksi dinding (septum) diantara alveoli, kollaps jalan nafas sebagian dan kehilangan elastisitas recoil.

Pada saat alveoli dan septa kollaps, udara akan tertahan diantara ruang alveolar (disebut blebs) dan diantara parenkim paru (disebut bullae). Proses ini akan menyebabkan peningkatan ventilatory pada "dead space" atau area yang tidak mengalami pertukaran gas atau darah. Kerja

Page 6: LP Dan Jurnal PPOK Ali

nafas meningkat dikarenakan terjadinya kekurangan fungsi jaringan paru untuk melakukan pertukaran oksigen dan karbon dioksida.

Emfisema juga menyebabkan destruksi kapiler paru, lebih lanjut terjadi penurunan perfusi oksigen dan penurunan ventilasi. Pada beberapa tingkat emfisema dianggap normal sesuai dengan usia, tetapi jika hal ini timbul pada awal kehidupan (usia muda), biasanya berhubungan dengan bronchitis kronis dan merokok

Asma

Asma merupakan suatu penyakit yang dicirikan oleh hipersensitivitas cabang-cabang trakeobronkial terhadap pelbagai jenis rangsangan. Keadaan ini bermanifestasi sebagai penyempitan saluran-saluran napas secara periodic dan reversible akibat bronkospasme

Bronkiektasis

Bronkiektasis adalah dilatasi bronkus dan bronkiolus kronik yang mungkin disebabkan oleh berbagai kondisi, termasuk infeksi paru dan obstruksi bronkus, aspirasi benda asing, muntahan, atau benda-benda dari saluran pernapasan atas, dan tekanan terhadap tumor, pembuluh darah yang berdilatasi dan pembesaran nodus limfe

IV. ETIOLOGI

Etiologi penyakit ini belum diketahui. Penyakit ini dikaitkan dengan faktor-faktor risiko yang terdapat pada penderita antara lain:

1. Merokok sigaret yang berlangsung lama2. Polusi udara3. Infeksi peru berulang4. Umur5. Jenis kelamin6. Ras7. Defisiensi alfa-1 antitripsin8. Defisiensi anti oksidan

Pengaruh dari masing-masing faktor risiko terhadap terjadinya PPOK adalah saling memperkuat dan faktor merokok dianggap yang paling dominan

V. PATOFISIOLOGI

Fungsi paru mengalami kemunduran dengan datangnya usia tua yang disebabkan elastisitas jaringan paru dan dinding dada makin berkurang. Dalam usia yang lebih lanjut, kekuatan kontraksi otot pernapasan dapat berkurang sehingga sulit bernapas.

Fungsi paru-paru menentukan konsumsi oksigen seseorang, yakni jumlah oksigen yang diikat oleh darah dalam paru-paru untuk digunakan tubuh. Konsumsi oksigen sangat erat hubungannya

Page 7: LP Dan Jurnal PPOK Ali

dengan arus darah ke paru-paru. Berkurangnya fungsi paru-paru juga disebabkan oleh berkurangnya fungsi sistem respirasi seperti fungsi ventilasi paru.

Faktor-faktor risiko tersebut diatas akan mendatangkan proses inflamasi bronkus dan juga menimbulkan kerusakan pada dinding bronkiolus terminalis. Akibat dari kerusakan akan terjadi obstruksi bronkus kecil (bronkiolus terminalis), yang mengalami penutupan atau obstruksi awal fase ekspirasi. Udara yang mudah masuk ke alveoli pada saat inspirasi, pada saat ekspirasi banyak terjebak dalam alveolus dan terjadilah penumpukan udara (air trapping).

Hal inilah yang menyebabkan adanya keluhan sesak napas dengan segala akibatnya. Adanya obstruksi pada awal ekspirasi akan menimbulkan kesulitan ekspirasi dan menimbulkan pemanjangan fase ekspirasi. Fungsi-fungsi paru: ventilasi, distribusi gas, difusi gas, maupun perfusi darah akan mengalami gangguan (Brannon, et al, 1993).

VI. TANDA DAN GEJALA

Tanda dan gejala akan mengarah pada dua tipe pokok:

1. Mempunyai gambaran klinik dominant kearah bronchitis kronis (blue bloater).2. Mempunyai gambaran klinik kearah emfisema (pink puffers).

Tanda dan gejalanya adalah sebagai berikut:

1. Kelemahan badan2. Batuk3. Sesak napas4. Sesak napas saat aktivitas dan napas berbunyi5. Mengi atau wheeze6. Ekspirasi yang memanjang7. Bentuk dada tong (Barrel Chest) pada penyakit lanjut8. Penggunaan otot bantu pernapasan9. Suara napas melemah10. Kadang ditemukan pernapasan paradoksal11. Edema kaki, asites dan jari tabuh

VII. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah sebagai berikut:

Page 8: LP Dan Jurnal PPOK Ali

1. Pemeriksaan radiologis

2.             Pemeriksaan faal paru

3.             Analisis gas darah

4.             Pemeriksaan EKG

5.             Kultur sputum, untuk mengetahui petogen penyebab infeksi.

6.             Laboratorium darah lengkap

1. Pemeriksaan radiologistPada bronchitis kronik secara radiologis ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:

1. Tubular shadows atau farm lines terlihat bayangan garis-garis yang parallel, keluar dari hilus menuju apeks paru. Bayangan tersebut adalah bayangan bronkus yang menebal.

2. Corak paru yang bertambah

Pada emfisema paru terdapat 2 bentuk kelainan foto dada yaitu:

3. Gambaran defisiensi arteri, terjadi overinflasi, pulmonary oligoemia dan bula. Keadaan ini lebih sering terdapat pada emfisema panlobular dan pink puffer.

4. Corakan paru yang bertambah.5. Pemeriksaan faal paru

Pada bronchitis kronik terdapat VEP1 dan KV yang menurun, VR yang bertambah dan KTP yang normal. Pada emfisema paru terdapat penurunan VEP1, KV, dan KAEM (kecepatan arum ekspirasi maksimal) atau MEFR (maximal expiratory flow rate), kenaikan KRF dan VR, sedangkan KTP bertambah atau normal. Keadaan diatas lebih jelas pada stadium lanjut, sedang pada stadium dini perubahan hanya pada saluran napas kecil (small airways). Pada emfisema kapasitas difusi menurun karena permukaan alveoli untuk difusi berkurang.

2. Analisis gas darahPada bronchitis PaCO2 naik, saturasi hemoglobin menurun, timbul sianosis, terjadi vasokonstriksi vaskuler paru dan penambahan eritropoesis. Hipoksia yang kronik merangsang pembentukan eritropoetin sehingga menimbulkan polisitemia. Pada kondisi umur 55-60 tahun polisitemia menyebabkan jantung kanan harus bekerja lebih berat dan merupakan salah satu penyebab payah jantung kanan.

3. Pemeriksaan EKGKelainan yang paling dini adalah rotasi clock wise jantung. Bila sudah terdapat kor pulmonal terdapat deviasi aksis kekanan dan P pulmonal pada hantaran II, III, dan aVF. Voltase QRS rendah Di V1 rasio R/S lebih dari 1 dan V6 rasio R/S kurang dari 1. Sering terdapat RBBB inkomplet.

4. Kultur sputum, untuk mengetahui petogen penyebab infeksi.

Page 9: LP Dan Jurnal PPOK Ali

5. Laboratorium darah lengkap6.7. 4.         Pemeriksaan diagnostik8.    Test faal paru9. 1)        Kapasitas inspirasi menurun10. 2)        Volume residu : meningkat pada emphysema, bronkhitis dan asthma11. 3)        FEV1 selalu menurun = derajat obstruksi progresif Penyakit Paru Obstruktif Kronik12. 4)        FVC awal normal ® menurun pada bronchitis dan astma.13. 5)        TLC normal sampai meningkat sedang (predominan pada emphysema).14.15.16.17.    Transfer gas (kapasitas difusi).18. Pada Penyakit Paru Obstruktif Kronik Transfer gas relatif baik.19. Pada emphysema : area permukaan gas menurun.20. ¯21. Transfer gas (kapasitas difusi).menurun22.23.    Darah : 24. Hb dan Hematokrit meningkat pada polisitemia sekunder.25. Jumlah darah merah meningkat26. Eo dan total IgE serum meningkat.27. Analisa Gas Darah ® gagal nafas kronis.28. Pulse oksimetri ® SaO2 oksigenasi menurun.29. Elektrolit menurun oleh karena pemakaian deuritika pada cor pulmunale.30.31.    Analisa Gas Darah32. PaO2 menurun, PCO2 meningkat, sering menurun pada astma. PH normal asidosis,

alkalosis respiratorik ringan sekunder.33.34.    Sputum : 35. Pemeriksaan gram kuman/kultur adanya infeksi campuran.36. Kuman patogen >> :37. Streptococcus pneumoniae.38. Hemophylus influenzae.39. Moraxella catarrhalis.40.41.    Radiologi :42. Thorax foto (AP dan lateral).43. Hiperinflasi paru-paru, pembesaran jantung dan bendungan area paru-paru.44.45. Pada emphysema paru :46.   Distensi >47.   Diafragma letak rendah dan mendatar.48.   Ruang udara retrosternal > (foto lateral).49.   Jantung tampak memanjang dan menyempit.

Page 10: LP Dan Jurnal PPOK Ali

50.    Bronkogram : menunjukkan dilatasi bronkus, kolap bronkhiale pada ekspirasi kuat.51.52.    EKG.53. Kelainan EKG yang paling dini adalah rotasi clock wise jantung. Bila sudah terdapat Kor

Pulmonal terdapat deviasi aksis ke kanan dan P- pulmonal pada hantaran II, III dan aVF. Voltase QRS rendah. Di V1 rasio R/S lebih dari 1 dan di V6 V1 rasio R/S kurang dari 1. Sering terdapat RBBB inkomplet.

54.55. 5.         Lain-lain perlu dikaji Berat badan, rata-rata intake cairan dan diet harian.

VIII. PENATALAKSANAAN

Tujuan penatalaksanaan PPOK adalah:

1. Memeperbaiki kemampuan penderita mengatasi gejala tidak hanya pada fase akut, tetapi juga fase kronik.

2. Memperbaiki kemampuan penderita dalam melaksanakan aktivitas harian.3. Mengurangi laju progresivitas penyakit apabila penyakitnya dapat dideteksi lebih awal.

Penatalaksanaan PPOK pada usia lanjut adalah sebagai berikut:

1. Meniadakan faktor etiologi/presipitasi, misalnya segera menghentikan merokok, menghindari polusi udara.

2. Membersihkan sekresi bronkus dengan pertolongan berbagai cara.3. Memberantas infeksi dengan antimikroba. Apabila tidak ada infeksi antimikroba tidak

perlu diberikan. Pemberian antimikroba harus tepat sesuai dengan kuman penyebab infeksi yaitu sesuai hasil uji sensitivitas atau pengobatan empirik.

4. Mengatasi bronkospasme dengan obat-obat bronkodilator. Penggunaan kortikosteroid untuk mengatasi proses inflamasi (bronkospasme) masih kontroversial.

5. Pengobatan simtomatik.6. Penanganan terhadap komplikasi-komplikasi yang timbul.7. Pengobatan oksigen, bagi yang memerlukan. Oksigen harus diberikan dengan aliran

lambat 1 - 2 liter/menit.

Tindakan rehabilitasi yang meliputi:

1. Fisioterapi, terutama bertujuan untuk membantu pengeluaran secret bronkus.2. Latihan pernapasan, untuk melatih penderita agar bisa melakukan pernapasan yang paling

efektif.3. Latihan dengan beban oalh raga tertentu, dengan tujuan untuk memulihkan kesegaran

jasmani.

Page 11: LP Dan Jurnal PPOK Ali

4. Vocational guidance, yaitu usaha yang dilakukan terhadap penderita dapat kembali mengerjakan pekerjaan semula.

Pathogenesis Penatalaksanaan (Medis)

1. Pencegahan : Mencegah kebiasaan merokok, infeksi, dan polusi udara2. Terapi eksaserbasi akut di lakukan dengan :

1. Antibiotik, karena eksaserbasi akut biasanya disertai infeksiInfeksi ini umumnya disebabkan oleh H. Influenza dan S. Pneumonia, maka digunakan ampisilin 4 x 0.25-0.56/hari atau eritromisin 4×0.56/hari Augmentin (amoksilin dan asam klavulanat) dapat diberikan jika kuman penyebab infeksinya adalah H. Influenza dan B. Cacarhalis yang memproduksi B. Laktamase Pemberiam antibiotik seperti kotrimaksasol, amoksisilin, atau doksisiklin pada pasien yang mengalami eksaserbasi akut terbukti mempercepat penyembuhan dan membantu mempercepat kenaikan peak flow rate. Namun hanya dalam 7-10 hari selama periode eksaserbasi. Bila terdapat infeksi sekunder atau tanda-tanda pneumonia, maka dianjurkan antibiotik yang kuat.

2. Terapi oksigen diberikan jika terdapat kegagalan pernapasan karena hiperkapnia dan berkurangnya sensitivitas terhadap CO2

3. Fisioterapi membantu pasien untuk mengelurakan sputum dengan baik.4. Bronkodilator, untuk mengatasi obstruksi jalan napas, termasuk di dalamnya

golongan adrenergik b dan anti kolinergik. Pada pasien dapat diberikan salbutamol 5 mg dan atau ipratopium bromida 250 mg diberikan tiap 6 jam dengan nebulizer atau aminofilin 0,25 - 0,56 IV secara perlahan.

3. Terapi jangka panjang di lakukan :

1. Antibiotik untuk kemoterapi preventif jangka panjang, ampisilin 4×0,25-0,5/hari dapat menurunkan kejadian eksaserbasi akut.

2. Bronkodilator, tergantung tingkat reversibilitas obstruksi saluran napas tiap pasien maka sebelum pemberian obat ini dibutuhkan pemeriksaan obyektif dari fungsi faal paru.

3. Fisioterapi4. Latihan fisik untuk meningkatkan toleransi aktivitas fisik5. Mukolitik dan ekspektoran6. Terapi oksigen jangka panjang bagi pasien yang mengalami gagal napas tipe II dengan

PaO2 (7,3 Pa (55 MMHg)

Rehabilitasi, pasien cenderung menemui kesulitan bekerja, merasa sendiri dan terisolasi, untuk itu perlu kegiatan sosialisasi agar terhindar dari depresi.

IX. KOMPLIKASI

1. HipoxemiaHipoxemia didefinisikan sebagai penurunan nilai PaO2 kurang dari 55 mmHg, dengan

Page 12: LP Dan Jurnal PPOK Ali

nilai saturasi Oksigen <85%. Pada awalnya klien akan mengalami perubahan mood, penurunan konsentrasi dan pelupa. Pada tahap lanjut timbul cyanosis.

2. Asidosis          RespiratoryTimbul akibat dari peningkatan nilai PaCO2 (hiperkapnia). Tanda yang muncul antara lain : nyeri kepala, fatique, lethargi, dizzines, tachipnea.

3. Infeksi RespiratoryInfeksi pernafasan akut disebabkan karena peningkatan produksi mukus, peningkatan rangsangan otot polos bronchial dan edema mukosa. Terbatasnya aliran udara akan meningkatkan kerja nafas dan timbulnya dyspnea.

4. Gagal   jantungTerutama kor-pulmonal (gagal jantung kanan akibat penyakit paru), harus diobservasi terutama pada klien dengan dyspnea berat. Komplikasi ini sering kali berhubungan dengan bronchitis kronis, tetapi klien dengan emfisema berat juga dapat mengalami masalah ini.

5. Cardiac            DisritmiaTimbul akibat dari hipoxemia, penyakit jantung lain, efek obat atau asidosis respiratory.

6. Status  AsmatikusMerupakan komplikasi mayor yang berhubungan dengan asthma bronchial. Penyakit ini sangat berat, potensial mengancam kehidupan dan seringkali tidak berespon terhadap therapi yang biasa diberikan. Penggunaan otot bantu pernafasan dan distensi vena leher seringkali terlihat.

BAB IIIASUHAN KEPERAWATAN PASIEN PPOK

Page 13: LP Dan Jurnal PPOK Ali

Dari seluruh dampak di atas, maka diperlukan suatu asuhan keperawatan yang komprehensif baik bio, psiko, sosial dan melalui proses perawatan yaitu mulai dari pengkajian sampai evaluasi.

Pengkajian

Pengkajian mencakup informasi tentang gejala-gejala terakhir dan manifestasi penyakit sebelumnya. Berikut ini beberapa pedoman pertanyaan untuk mendapatkan data riwayat kesehatan dari proses penyakit:

1. Sudah berapa lama pasien mengalami kesulitan pernapasan?2. Apakah aktivitas meningkatkan dispnea?3. Berapa jauh batasan pasien terhadap toleransi aktivitas?4. Kapan pasien mengeluh paling letih dan sesak napas?5. Apakah kebiasaan makan dan tidur terpengaruh?6. Riwayat merokok?7. Obat yang dipakai setiap hari?8. Obat yang dipakai pada serangan akut?9. Apa yang diketahui pasien tentang kondisi dan penyakitnya?

Data tambahan yang dikumpulkan melalui observasi dan pemeriksaan sebagai berikut:

1. Frekuensi nadi dan pernapasan pasien?2. Apakah pernapasan sama tanpa upaya?3. Apakah ada kontraksi otot-otot abdomen selama inspirasi?4. Apakah ada penggunaan otot-otot aksesori pernapasan selama pernapasan?5. Barrel chest?6. Apakah tampak sianosis?7. Apakah ada batuk?8. Apakah ada edema perifer?9. Apakah vena leher tampak membesar?10. Apa warna, jumlah dan konsistensi sputum pasien?11. Bagaimana status sensorium pasien?12. Apakah terdapat peningkatan stupor? Kegelisahan?13. Hasil pemeriksaan diagnosis seperti :

1. Chest X-Ray :Dapat menunjukkan hiperinflation paru, flattened diafragma, peningkatan ruang udara retrosternal, penurunan tanda vaskular/bulla (emfisema), peningkatan bentuk bronchovaskular (bronchitis), normal ditemukan saat periode remisi (asthma)

2. Pemeriksaan Fungsi Paru : Dilakukan untuk menentukan penyebab dari dyspnea, menentukan abnormalitas fungsi tersebut apakah akibat obstruksi atau restriksi, memperkirakan tingkat disfungsi dan untuk mengevaluasi efek dari terapi, misal : bronchodilator.

3. TLC : Meningkat pada bronchitis berat dan biasanya pada asthma, menurun pada emfisema.

4. Kapasitas Inspirasi : Menurun pada emfisema

Page 14: LP Dan Jurnal PPOK Ali

5. FEV1/FVC : Ratio tekanan volume ekspirasi (FEV) terhadap tekanan kapasitas vital (FVC) menurun pada bronchitis dan asthma.

6. ABGs : Menunjukkan proses penyakit kronis, seringkali PaO2 menurun dan PaCO2 normal atau meningkat (bronchitis kronis dan emfisema) tetapi seringkali menurun pada asthma, pH normal atau asidosis, alkalosis respiratori ringan sekunder terhadap hiperventilasi (emfisema sedang atau asthma).

7. Bronchogram : Dapat menunjukkan dilatasi dari bronchi saat inspirasi, kollaps bronchial pada tekanan ekspirasi (emfisema), pembesaran kelenjar mukus (bronchitis)

8. Darah Komplit : Peningkatan hemoglobin (emfisema berat), peningkatan eosinofil (asthma).

9. Kimia Darah : Alpha 1-antitrypsin dilakukan untuk kemungkinan kurang pada emfisema primer.

10. Sputum Kultur : Untuk menentukan adanya infeksi, mengidentifikasi patogen, pemeriksaan sitologi untuk menentukan penyakit keganasan atau allergi.

11. ECG : Deviasi aksis kanan, gelombang P tinggi (asthma berat), atrial disritmia (bronchitis), gel. P pada Leads II, III, AVF panjang, tinggi (bronchitis, emfisema), axis QRS vertikal (emfisema)

12. Exercise ECG, Stress Test : Menolong mengkaji tingkat disfungsi pernafasan, mengevaluasi keefektifan obat bronchodilator, merencanakan/evaluasi program.

14. Palpasi:

1. Palpasi pengurangan pengembangan dada?2. Adakah fremitus taktil menurun?

15. Perkusi:

1. Adakah hiperesonansi pada perkusi?2. Diafragma bergerak hanya sedikit?

16. Auskultasi:

1. Adakah suara wheezing yang nyaring?2. Adakah suara ronkhi?3. Vokal fremitus nomal atau menurun?

Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan utama pasien mencakup berikut ini:

Page 15: LP Dan Jurnal PPOK Ali

1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan bronkokontriksi, peningkatan produksi sputum, batuk tidak efektif, kelelahan/berkurangnya tenaga dan infeksi bronkopulmonal.

2. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan napas pendek, mucus, bronkokontriksi dan iritan jalan napas.

3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidaksamaan ventilasi perfusi4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dengan

kebutuhan oksigen.5. Risiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia.6. Ganggua pola tidur berhubungan dengan ketidaknyamanan, pengaturan posisi.7. Kurang perawatan diri berhubungan dengan keletihan sekunder akibat peningkatan upaya

pernapasan dan insufisiensi ventilasi dan oksigenasi.8. Ansietas berhubungan dengan ancaman terhadap konsep diri, ancaman terhadap

kematian, keperluan yang tidak terpenuhi.9. Koping individu tidak efektif berhubungan dengan kurang sosialisasi, ansietas, depresi,

tingkat aktivitas rendah dan ketidakmampuan untuk bekerja.10. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi, tidak mengetahui

sumber informasi.

Masalah kolaboratif/Potensial komplikasi yang dapat terjadi termasuk:

1. Gagal/insufisiensi pernapasan2. Hipoksemia3. Atelektasis4. Pneumonia5. Pneumotoraks6. Hipertensi paru7. Gagal jantung kanan

Intervensi Keperawatan

1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan bronkokontriksi, peningkatan produksi sputum, batuk tidak efektif, kelelahan/berkurangnya tenaga dan infeksi bronkopulmonal.

1. Tujuan: Pencapaian bersihan jalan napas klien2. Intervensi keperawatan:

1. Beri pasien 6 sampai 8 gelas cairan/hari kecuali terdapat kor pulmonal.2. Ajarkan dan berikan dorongan penggunaan teknik pernapasan

diafragmatik dan batuk.3. Bantu dalam pemberian tindakan nebuliser, inhaler dosis terukur, atau

IPPB4. Lakukan drainage postural dengan perkusi dan vibrasi pada pagi hari dan

malam hari sesuai yang diharuskan.

Page 16: LP Dan Jurnal PPOK Ali

5. Instruksikan pasien untuk menghindari iritan seperti asap rokok, aerosol, suhu yang ekstrim, dan asap.

6. Ajarkan tentang tanda-tanda dini infeksi yang harus dilaporkan pada dokter dengan segera: peningkatan sputum, perubahan warna sputum, kekentalan sputum, peningkatan napas pendek, rasa sesak didada, keletihan.

7. Berikan antibiotik sesuai yang diharuskan.8. Berikan dorongan pada pasien untuk melakukan imunisasi terhadap

influenzae dan streptococcus pneumoniae.2. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan napas pendek, mukus, bronkokontriksi

dan iritan jalan napas.

1. Tujuan: Perbaikan pola pernapasan klien2. Intervensi:

1. Ajarkan klien latihan bernapas diafragmatik dan pernapasan bibir dirapatkan.

2. Berikan dorongan untuk menyelingi aktivitas dengan periode istirahat. Biarkan pasien membuat keputusan tentang perawatannya berdasarkan tingkat toleransi pasien.

3. Berikan dorongan penggunaan latihan otot-otot pernapasan jika diharuskan.

3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidaksamaan ventilasi perfusi

1. Tujuan: Perbaikan dalam pertukaran gas2. Intervensi keperawatan:

1. Deteksi bronkospasme saat auskultasi .2. Pantau klien terhadap dispnea dan hipoksia.3. Berikan obat-obatan bronkodialtor dan kortikosteroid dengan tepat dan

waspada kemungkinan efek sampingnya.4. Berikan terapi aerosol sebelum waktu makan, untuk membantu

mengencerkan sekresi sehingga ventilasi paru mengalami perbaikan.5. Pantau pemberian oksigen.

4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dengan kebutuhan oksigen.

1. Tujuan: Memperlihatkan kemajuan pada tingkat yang lebih tinggi dari aktivitas yang mungkin.

2. Intervensi keperawatan:

1. Kaji respon individu terhadap aktivitas; nadi, tekanan darah, pernapasan.2. Ukur tanda-tanda vital segera setelah aktivitas, istirahatkan klien selama 3

menit kemudian ukur lagi tanda-tanda vital.

Page 17: LP Dan Jurnal PPOK Ali

3. Dukung pasien dalam menegakkan latihan teratur dengan menggunakan treadmill dan exercycle, berjalan atau latihan lainnya yang sesuai, seperti berjalan perlahan.

4. Kaji tingkat fungsi pasien yang terakhir dan kembangkan rencana latihan berdasarkan pada status fungsi dasar.

5. Sarankan konsultasi dengan ahli terapi fisik untuk menentukan program latihan spesifik terhadap kemampuan pasien.

6. Sediakan oksigen sebagaiman diperlukan sebelum dan selama menjalankan aktivitas untuk berjaga-jaga.

7. Tingkatkan aktivitas secara bertahap; klien yang sedang atau tirah baring lama mulai melakukan rentang gerak sedikitnya 2 kali sehari.

8. Tingkatkan toleransi terhadap aktivitas dengan mendorong klien melakukan aktivitas lebih lambat, atau waktu yang lebih singkat, dengan istirahat yang lebih banyak atau dengan banyak bantuan.

9. Secara bertahap tingkatkan toleransi latihan dengan meningkatkan waktu diluar tempat tidur sampai 15 menit tiap hari sebanyak 3 kali sehari.

5. Risiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan dispnea, kelamahan, efek samping obat, produksi sputum dan anoreksia, mual muntah.

1. Tujuan: Kebutuhan nutrisi klien terpenuhi.2. Intervensi keperawatan:

1. Kaji kebiasaan diet, masukan makanan saat ini. Catat derajat kesulitan makan. Evaluasi berat badan dan ukuran tubuh.

2. Auskultasi bunyi usus3. Berikan perawatan oral sering, buang sekret.4. Dorong periode istirahat I jam sebelum dan sesudah makan.5. Pesankan diet lunak, porsi kecil sering, tidak perlu dikunyah lama.6. Hindari makanan yang diperkirakan dapat menghasilkan gas.7. Timbang berat badan tiap hari sesuai indikasi.

6. Gangguan pola tidur berhubungan dengan ketidaknyamanan, pengaturan posisi.

1. Tujuan: Kebutuhan tidur terpenuhi2. Intervensi keperawatan:

1. Bantu klien latihan relaksasi ditempat tidur.2. Lakukan pengusapan punggung saat hendak tidur dan anjurkan keluarga

untuk melakukan tindakan tersebut.3. Atur posisi yang nyaman menjelang tidur, biasanya posisi high fowler.4. Lakukan penjadwalan waktu tidur yang sesuai dengan kebiasaan pasien.5. Berikan makanan ringan menjelang tidur jika klien bersedia.

7. Kurang perawatan diri berhubungan dengan keletihan sekunder akibat peningkatan upaya pernapasan dan insufisiensi ventilasi dan oksigenasi.

1. Tujuan: Kemandirian dalam aktivitas perawatan diri2. Intervensi:

Page 18: LP Dan Jurnal PPOK Ali

1. Ajarkan mengkoordinasikan pernapasan diafragmatik dengan aktivitas seperti berjalan, mandi, membungkuk, atau menaiki tangga.

2. Dorong klien untuk mandi, berpakaian, dan berjalan dalam jarak dekat, istirahat sesuai kebutuhan untuk menghindari keletihan dan dispnea berlebihan. Bahas tindakan penghematan energi.

3. Ajarkan tentang postural drainage bila memungkinkan.8. Ansietas berhubungan dengan ancaman terhadap konsep diri, ancaman terhadap

kematian, keperluan yang tidak terpenuhi.

1. Tujuan: Klien tidak terjadi kecemasan2. Intervensi keperawatan:

1. Bantu klien untuk menceritakan kecemasan dan ketakutannya pada perawat.

2. Jangan tinggalkan pasien sendirian selama mengalami sesak.3. Jelaskan kepada keluarga pentingnya mendampingi klien saat mengalami

sesak.9. Koping individu tidak efektif berhubungan dengan kurang sosialisasi, ansietas, depresi,

tingkat aktivitas rendah dan ketidakmampuan untuk bekerja.

1. Tujuan: Pencapaian tingkat koping yang optimal.2. Intervensi keperawatan:

1. Mengadopsi sikap yang penuh harapan dan memberikan semangat yang ditujukan pada pasien.

2. Dorong aktivitas sampai tingkat toleransi gejala3. Ajarkan teknik relaksasi atau berikan rekaman untuk relaksasi bagi pasien.4. Daftarkan pasien pada program rehabilitasi pulmonari bila tersedia.5. Tingkatkan harga diri klien.6. Rencanakan terapi kelompok untuk menghilangkan kekesalan yang sangat

menumpuk.10. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi, tidak mengetahui

sumber informasi.

1. Tujuan: Klien meningkat pengetahuannya.2. Intervensi keperawatan:

1. Bantu pasien mengerti tentang tujuan jangka panjang dan jangka pendek; ajarkan pasien tentang penyakit dan perawatannya.

2. Diskusikan keperluan untuk berhenti merokok. Berikan informasi tentang sumber-sumber kelompok.

Page 19: LP Dan Jurnal PPOK Ali

DAFTAR PUSTAKA

1. Danu Santoso Halim,Dr.SpP : Ilmu Penyakit Paru, Jakarta 1998, hal :169-192.2. Darmojo; Martono (1999) Buku Ajar Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut), Jakarta:

Balai penerbit FKUI3. Doenges, Marilynn E. (1999) Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk

Perencanaan dan Pendokumentasian Pasien, alih bahasa: I Made Kariasa, Ni Made Sumarwati, edisi 3, Jakarta: EGC

4. Carpenito, Lynda Juall (1997) Buku Saku Diagnosa Keperawatan, alih bahasa: Yasmin Asih, edisi 6, Jakarta: EGC

5. G.Simon : Diagnostik Rontgen, cetakan ke-2, Erlangga, 1981, hal :310-312.6. Gofton, Douglas : Respiratory Disease, 3rd edition, PG Publishing Pte Ltd, 1984, page :

346-379.7. Grainger, Allison : Diagnostic Raddiology An Anglo American Textbook of Imaging,

second edition, Churchil Livingstone, page :122.8. Harrison : Principle of Internal Medicine, 15th edition, McGraw-Hill, page : 1491-1493.9. Harrison : Prinsip Prinsip Ilmu Penyakit Dalam, edisi 13, volume ketiga, Jakarta8.20003,

hal :1347-1353.10. Kapita Selekta Kedokteran, edisi ketiga, Media Aesculapius 1999, Jakarta, hal : 480-482.11. Long Barbara C. (1996) Perawatan medical Bedah Suatu pendekatan Proses keperawatan,

alih bahasa: Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Padjajaran Bandung, Bandung.

12. Lothar, Wicke, Atlas Radiologi, edisi 3, Penerbit Buku Kedokteran 1985, page: 157.

Page 20: LP Dan Jurnal PPOK Ali

13. Meschan : Analysis of Rontgen Signs in General Radiology, Volume II, page : 954,990-993.

14. Nugroho, Wahjudi (2000) Keperawatan Gerontik, edisi 2, Jakarta: EGC15. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (2001) Buku Ajar Ilmu

Penyakit Dalam Jilid II, edisi ketiga, Jakarta: balai Penerbit FKUI16. Price Sylvia Anderson (1997) Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, alih

bahasa: Peter Anugerah, Buku Kedua, edisi 4, Jakarta: EGC 15.17. Smeltzer, Suzanne C. (2001) Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &

Suddarth, alih bahasa: Agung Waluyo (et. al.), vol. 1, edisi 8, Jakarta: EGC

Penyakit Paru Obstruktif Kronik Sebagai Penyakit SistemikFeni Fitriani, Faisal Yunus, Wiwien Heru Wiyono dan Budhi Antariksa

Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI – RS Persahabatan, Jakarta PENDAHULUAN 

            Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit yang mempunyai karakteristik keterbatasan jalan napas yang tidak sepenuhnya reversibel. Gangguan yang bersifat progresif ini disebabkan inflamasi kronik akibat pajanan partikel atau gas beracun yang terjadi dalam waktu lama dengan gejala utama sesak napas, batuk dan

Page 21: LP Dan Jurnal PPOK Ali

produksi sputum.1,2 Beberapa penelitian terakhir menemukan bahwa PPOK sering disertai dengan kelainan ekstra paru yang disebut sebagai efek sistemik pada PPOK.3,4 American Thoracic Society (ATS) melengkapi pengertian PPOK menjadi suatu penyakit yang dapat dicegah dan diobati ditandai dengan keterbatasan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel. Keterbatasan aliran udara ini bersifat progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi paru abnormal terhadap partikel atau gas beracun  terutama disebabkan oleh rokok. Meskipun PPOK mempengaruhi paru, tetapi juga menimbulkan konsekuensi sistemik yang bermakna.5,6

Keterbatasan aktiviti merupakan keluhan utama penderita PPOK yang sangat mempengaruhi kualiti hidup. Disfungsi otot rangka  merupakan hal utama yang berperan dalam keterbatasan aktiviti penderita PPOK. Inflamasi sistemik, penurunan berat badan, peningkatan risiko penyakit kardiovaskuler, osteoporosis dan depresi merupakan manifestasi sistemik PPOK.4,5,7,8 Efek sistemik ini penting dipahami dalam penatalaksanaan PPOK sehingga didapatkan strategi terapi  baru yang memberikan kondisi dan prognosis lebih baik untuk penderita PPOK.3 

RESPONS INFLAMASI PARU PADA PPOK 

            Sejumlah penelitian menemukan bahwa proses inflamasi pada PPOK tidak hanya berlangsung di paru tetapi juga secara sistemik, yang ditandai dengan peningkatan kadar C-reactive protein (CRP), tumor necrosis factor-α (TNF- α), interleukin 6 (IL-6) serta IL-8. Respons sistemik ini menggambarkan progresiviti penyakit paru dan selanjutnya berkembang menjadi penurunan massa otot rangka (muscle wasting), penyakit jantung koroner dan aterosklerosis.9 Mekanisme molekuler dan seluler pada PPOK dapat dilihat pada gambar 1.6

Page 22: LP Dan Jurnal PPOK Ali

Gambar 1. Mekanisme molekuler dan seluler pada

PPOK Dikutip dari (6)

 

Pajanan gas beracun mengaktifkan makrofag alveolar dan sel epitel jalan napas dalam membentuk faktor kemotaktik, penglepasan faktor kemotaktik menginduksi mekanisme infiltrasi sel-sel hematopoetik pada paru yang dapat menimbulkan kerusakan struktur paru. Infiltrasi sel ini dapat menjadi sumber faktor kemotaktik yang baru dan memperpanjang reaksi inflamasi paru menjadi penyakit kronik dan progresif.6 Makrofag alveolar penderita PPOK meningkatkan penglepasan

Page 23: LP Dan Jurnal PPOK Ali

IL-8 dan TNF-α. Ketidakseimbangan proteinase dan antiproteinase serta ketidakseimbangan oksidan dan antioksidan berperan dalam patologi PPOK. Proteinase menginduksi inflamasi paru, destruksi parenkim dan perubahan struktur paru. Kim & Kadel. dikutip dari 6  menemukan peningkatan jumlah neutrofil yang nekrosis di jalan napas penderita PPOK dapat menyebabkan penglepasan elastase dan reactive oxygen species (ROS) yang menyebabkan hipersekresi mukus.6 

Respons epitel jalan napas terhadap pajanan gas atau asap rokok berupa peningkatan jumlah kemokin seperti IL-8, macrophage inflamatory protein-1 α (MIP1-α) dan monocyte chemoattractant protein-1 (MCP-1). Peningkatan jumlah Limfosit T yang didominasi oleh CD8+ tidak hanya ditemukan pada jaringan paru tetapi juga pada kelenjar limfe paratrakeal. Sel sitotoksik CD8+ menyebabkan destruksi parenkim paru dengan melepaskan perforin dan granzymes. CD8+ pada pusat jalan napas merupakan sumber IL-4 dan IL-3 yang menyebabkan hipersekresi mukus pada penderita bronkitis kronik.6  

MEKANISME INFLAMASI SISTEMIK 

            Penyakit Paru Obstruktif Kronik tidak hanya menyebabkan respons inflamasi paru yang abnormal tapi juga menimbulkan inflamasi sistemik termasuk stress oksidatif sistemik, aktivasi sel-sel inflamasi di sirkulasi sistemik dan peningkatan sitokin proinflamasi.3 Efek sistemik PPOK dapat dilihat pada tabel 1. Respons inflamasi sistemik ditandai dengan mobilisasi dan aktivasi sel inflamasi ke dalam sirkulasi. Proses inflamasi ini merangsang sistem hematopoetik terutama sumsum tulang untuk melepaskan leukosit dan trombosit serta merangsang hepar untuk memproduksi acute phase protein seperti CRP dan fibrinogen. Acute phase protein akan meningkatkan pembekuan darah yang merupakan prediktor angka kesakitan dan kematian pada penyakit kardiovaskular sehingga menjadi pemicu terjadi trombosis koroner, aritmia dan gagal jantung.9,10 

Tabel 1. Efek sistemik PPOK

Inflamasi sistemik

 Stress oksidatifAktivasi sel inflamasiPeningkatan kadar plasma sitokin dan akut fase protein

Nutrisi abnormal dan penurunan berat badan

 Peningkatan resting energy expenditureKomposis tubuh abnormalMetabolisme asam amino abnormal

Disfungsi otot rangka

 Hilangnya massa ototStruktur/ fungsi abnormalKeterbatasan latihan

Efek sistemik potensial lainnya

Page 24: LP Dan Jurnal PPOK Ali

 Efek kardiovaskularEfek sistem sarafEfek osteoskeletal

  Dikutip dari (3)

Banyak penelitian menemukan bahwa respons inflamasi  paru terhadap pajanan gas atau asap rokok ditandai dengan peningkatan jumlah neutrofil, makrofag dan limfosit T yang didominasi oleh CD8+, peningkatan konsentrasi sitokin proinflamasi seperti leukotrien B4, IL-8 dan TNF-α dan bukti bahwa stress oksidatif disebabkan oleh inhalasi asap rokok atau sel inflamasi yang diaktifkan. Perubahan respons inflamasi yang sama juga ditemukan pada sirkulasi sistemik. Konsep ini merupakan kunci untuk memahami efek sistemik PPOK.3

Stres oksidatif mencakup semua perubahan fungsi atau struktur yang disebabkan oleh ROS. Penilaian kadar ROS secara in vivo adalah sulit karena waktu paruhnya sangat pendek sementara yang bisa dilihat adalah konsekuensi biologiknya  atau melalui fingerprint.3 Ketidakseimbangan oksidan dan antioksidan diduga sebagai patogenesis PPOK yang tidak hanya ditemukan pada jalan napas dan jaringan paru tetapi juga pada darah tepi. Banyak penelitian menyatakan bahwa peningkatan oksidan dapat terjadi karena peningkatan jumlah neutrofil dalam jaringan paru perokok dan penderita PPOK. Efek ini dapat dideteksi dalam plasma berupa peningkatan petanda stres oksidan diikuti dengan penurunan kapasiti antioksidan.11

Rahman dkk.dikutip dari 12 menemukan ketidak seimbangan status reduksi oksidasi pada perokok dan penderita PPOK eksaserbasi akut. Peningkatan stres oksidatif yang menetap dalam plasma penderita PPOK dibuktikan dengan penemuan kadar lipid peroxidation yang tinggi.12

            Peningkatan kadar beberapa mediator sitokin ditemukan pada penderita PPOK stabil. Nougera dkk.dikutip dari 19 melakukan penelitian terhadap penderita PPOK stabil menemukan peningkatan ekspresi Mac-1 (CD11b/CD18) dalam sirkulasi dan kadar yang rendah dari soluble intercellular adhesion mollecule (SICAM)-1 dibanding kontrol.7,13 Penilaian ekspresi guanine nucleotide binding proteins (G protein) dengan mengabaikan kondisi klinis penderita PPOK menemukan hilangnya imunoreactivity G-α yang bermakna dalam sirkulasi neutrofil.3 Sauleda dkk. dikutip dari 11 melaporkan peningkatan aktiviti enzim sitokrom oksidase penderita PPOK dibanding dengan orang sehat. Sitokrom oksidase adalah suatu enzim terminal dalam rantai pernapasan di mitokondria. Keadaan ini berhubungan secara bermakna dengan beratnya penyakit dan derajat obstruksi. Aktiviti sitokrom oksidase meningkat pada otot rangka penderita PPOK dibandingkan dengan orang normal.13    

Perubahan sejumlah mediator inflamasi seperti TNF-α, IL-8 ditemukan berupa peningkatan kadar acute phase protein walaupun pada penderita PPOK stabil. TNF-α mengatur proses inflamasi pada tingkat multiseluler dengan cara merangsang peningkatan ekspresi molekul adesi leukosit dan sel endotel selain itu juga dengan meningkatkan pengaturan sitokin proinflamasi lainnya (IL-8 dan IL-6) serta menginduksi angiogenesis.13 Proses eksaserbasi PPOK sebagian berhubungan dengan peningkatan inflamasi pada bronkus dan sistemik. Secara umum proses

Page 25: LP Dan Jurnal PPOK Ali

inflamasi akan ditentukan oleh keseimbangan antara mediator pro dan antiinflamasi.14

Penelitian untuk menilai kadar sistemik mediator anti inflamasi sudah dilakukan terhadap soluble IL-1 receptor type II (sIL-IRII) decoy receptor IL-1 dan soluble TNF receptor 55 dan 75 (sTNF-R55 dan sTNF-R75) yang menghambat aktiviti biologi TNF-α. Pada penderita PPOK stabil ditemukan peningkatan bermakna sTNF-R55 dibandingkan dengan kontrol sTNF-R57 cenderung meningkat. Tidak ada perbedaan yang terlihat pada kadar sIL-IRII antara penderita PPOK dengan kontrol. 11,13 

Peranan Nitric Oxide 

            Nitric oxide (NO) merupakan radikal bebas yang dibentuk dari asam amino L-arginin oleh Nitric Oxide Synthase (NOS) dan ditemukan pada otot dalam 3 bentuk isoform NOS. Bentuk pertama endothelial constitutive NOS (eNOS) berfungsi mempertahankan tekanan pembuluh darah tetap rendah dan mencegah perlengketan leukosit serta platelet ke dinding pembuluh darah. Bentuk kedua neuronal constitutive NOS (nNOS) berperan sebagai neuromodulator atau neuromediator. Bentuk ketiga inducible isoforms NOS (iNOS) melalui rangsangan inflamasi dapat menghasilkan NO 1000 kali lebih banyak. Kelebihan jumlah NO akan diubah menjadi bentuk peroksinitrit (ONOO-) yang mempunyai efek sitotoksik. Pada penderita PPOK ditemukan kadar iNOS yang meningkat pada otot.15 Peningkatan kadar iNOS menyebabkan proses penghancuran protein, meningkatkan proses apoptosis dan menyebabkan kegagalan kontraksi otot sehingga berpotensi sebagai penyebab

keterbatasan toleransi latihan pada penderita PPOK.3 

Penurunan massa sel tubuh pada PPOK 

            Penurunan massa sel tubuh merupakan manifestasi sistemik yang penting pada PPOK dan terlihat berupa kehilangan lebih dari 40% actively metabolizing tissue. Perubahan massa sel tubuh diketahui melalui penurunan berat badan dan penurunan massa lemak bebas. Massa lemak bebas dapat dibagi 2 yaitu kompartemen intraseluler atau  massa sel tubuh  dan kompartemen ekstraseluler. Kompartemen intraseluler menggambarkan bagian pertukaran energi sedangkan kompartemen ekstraseluler menggambarkan substansi di luar sel. Kerusakan jaringan umumnya terjadi pada penderita PPOK dengan prevalensi 20% pada penderita PPOK stabil dan 35% pada penderita yang menjalani rehabilitasi medik.7 Massa lemak bebas yang hilang mempengaruhi proses pernapasan, fungsi otot perifer, kapasiti latihan dan status kesehatan. Penurunan berat badan mempunyai efek negatif terhadap prognosis penderita PPOK.3,7 Schols dkk.dikutip dari 16 melakukan penelitian retrospektif terhadap 400 penderita PPOK. Penelitian ini menemukan bahwa indeks massa tubuh (IMT) kurang dari 25 kg/m2, umur dan PaO2 rendah merupakan prediktor yang bermakna terhadap peningkatan angka kematian sementara  Landbo dkk.dikutip dari

17 menyatakan prognosis yang buruk pada penderita PPOK bila IMT kurang dari  20 kg/m2. 16,17

Beberapa penelitian menunjukkan hubungan langsung antara kadar TNF-α dan laju metabolik istirahat serta hubungannya dengan peningkatan kadar acute phase protein. Tumor necrosis factor-α berhubungan dengan percepatan metabolisme dan perubahan protein serta peningkatan berkurangnya berat badan pada penderita PPOK.4 Inflamasi sistemik menyebabkan metabolisme yang berlebihan dan

Page 26: LP Dan Jurnal PPOK Ali

menginduksi respons katabolik. Beberapa mekanisme yang dapat menimbulkan peningkatan laju metabolisme antara lain pemakaian obat β2 agonis pada penderita PPOK, proses inflamasi serta hipoksia jaringan.3

Penderita PPOK  cenderung mengalami kaheksia daripada malnutrisi. Asupan nutrisi penderita PPOK biasanya normal  bahkan lebih besar daripada normal sedangkan asupan nutrisi pada malnutrisi memang kurang. Laju metabolisme penderita PPOK biasanya meningkat tidak seperti pada penderita malnutrisi namun respons penderita PPOK terhadap asupan nutrisi seringkali buruk.3 Mekanisme lain yang menerangkan kaheksia adalah hubungan antara sitokin dengan leptin. Leptin adalah protein yang disintesis oleh jaringan lemak  dan berperan dalam keseimbangan energi. Kadar leptin berkurang pada penderita PPOK dengan berat badan rendah.4 Gangguan ketidakseimbangan energi berhubungan dengan peningkatan kadar leptin sebagai respons inflamasi sitemik selama eksaserbasi. Leptin juga berperan dalam imuniti sel T, angiogenesis, reproduksi dan kontrol ventilasi.11

            Ketidakseimbangan proses pemecahan dan penggantian protein juga berperan dalam proses penurunan massa sel tubuh. Penderita PPOK stabil yang tidak mengalami kerusakan jaringan tetap menunjukkan keseimbangan antara proses pemecahan dan pembentukan protein.7 Perubahan hormon juga berhubungan dengan perubahan protein. Insulin, Growth hormon (GH), insulin-like growth factors (IGFs) merupakan hormon anabolik yang membantu sintesis protein sementara glukokortikoid merangsang proses proteolisis pada jaringan otot. Insulin menekan proses pemecahan protein. Growth hormon meningkatkan massa lemak bebas, merangsang produksi hepar dan sekresi IGF-1.3

            Resistensi GH terjadi pada keadaan katabolisme saat inflamasi. Keadaan puasa dan katabolik berhubungan dengan penurunan GH yang terikat pada reseptor, ekspresi gen IGF-1 dan IGF-1 yang terikat protein. Perubahan IGF-1 selama katabolisme diterangkan sebagai mekanisme adaptasi untuk membantu pengurangan proses anabolik pada saat stres atau saat IGF-1 meningkat di jaringan. Pemberian IL-1 dan TNF-α pada hewan percobaan berhubungan dengan kadar IGF-1 plasma yang rendah dan penurunan sintesis protein. Sintesis protein yang dirangsang oleh IGF-1 dihambat pada saat mioblas terpajan TNF-α.11

            Hormon anabolik seperti testosteron bekerja pada otot dengan dua cara. Pertama dengan merangsang efek anabolik protein melalui reseptor androgen, kedua dengan menghambat katabolik protein melalui netralisasi efek glukokortikoid. Penurunan kadar testosteron total dan bebas pada penderita PPOK telah banyak dilaporkan. Pemberian glukokortikoid sistemik dosis rendah sebagai antiinflamasi masih sering digunakan. Perlu penelitian lebih lanjut mengenai keseimbangan hormon anabolik dan katabolik pada PPOK untuk mendapatkan strategi terapi yang lebih tepat. 13

Page 27: LP Dan Jurnal PPOK Ali

Pengecilan Otot           

            Proses pemecahan protein sel pada otot merupakan keadaan yang sering didapatkan sebagai respons terhadap asidosis, infeksi atau asupan kalori yang tidak adekuat. Selama keadaan ini, otot dan kulit akan kehilangan protein dalam jumlah lebih besar dibandingkan organ-organ viseral sedangkan otak tidak terpengaruh. Pengurangan massa otot pada penderita PPOK terutama terdapat pada ekstremiti bawah.7 Jalur adenosine triphosphate (ATP) tergantung pada ubiquitin-proteasom berperan dalam peningkatan proteolisis pada berbagai tipe atropi otot. Pengaruh TNF-α pada sel otot rangka berupa pengurangan kandungan protein total dan hilangnya adult myosin heavy chain. Guttridge dkk.dikutip dari 7 melaporkan TNF-α merangsang aktivasi nuclear factor κ β (NF- κ β) untuk menghambat diferensiasi otot rangka dengan menekan myoD-mRNA pada saat pasca transkripsi. Tumor necrosis factor-α dan interferon γ (IFγ) mempengaruhi regulasi otot rangka melalui penghambatan terbentuknya serat-serat otot baru, degenerasi serat-serat otot yang baru dibentuk dan menyebabkan ketidakmampuan memperbaiki kerusakan otot rangka.13 Sitokin inflamasi diduga berperan pada pengecilan otot melalui penghambatan difrensiasi miogen melalui jalur NF- κ β dan secara langsung menghambat NF- κ β seperti yang terlihat pada pengurangan otot berhubungan dengan kaheksia. Proses kematian sel yang terprogram atau apoptosis juga berperan pada pengecilan otot.18 

Perubahan metabolisme otot 

            Penurunan serabut otot tipe 1 dan peningkatan relatif serabut tipe 2 didapatkan pada otot rangka perifer penderita PPOK stabil, hal ini menunjukkan perubahan proses oksidatif ke glikolisis. Metabolisme glikolisis menghasilkan ATP yang lebih kecil daripada metabolisme oksidatif sehingga sangat berpengaruh pada metabolisme energi otot rangka penderita PPOK.7 Kadar laktat meningkat lebih cepat selama latihan pada penderita PPOK, keadaan ini berhubungan dengan berkurangnya enzim oksidasi pada otot tungkai bawah. Kadar glutamat didapatkan rendah pada penderita PPOK. Glutamat berperan dalam menyediakan posfat energi tinggi melalui proses metabolik dan menjadi prekursor antioksidan glutation dan sintesis glutamin dalam otot. Kadar glutamat dan glutation yang rendah juga didapatkan pada penderita emfisema. Proses asidosis laktat yang terjadi lebih awal selama latihan pada penderita PPOK berhubungan dengan penurunan kadar glutamat otot.11 

Disfungsi otot rangka 

            Disfungsi otot rangka pada penderita PPOK meliputi perubahan anatomi dan fungsi. Perubahan anatomi terjadi pada komposisi serat otot dan atropi sementara perubahan fungsi berupa perubahan kekuatan, ketahanan dan aktiviti enzim.  Semua ini akan mempengaruhi kapasiti latihan serta kualiti hidup penderita. Peranan diafragma lebih dominan daripada otot rangka dalam proses pernapasan pada

Page 28: LP Dan Jurnal PPOK Ali

penderita PPOK. Hipoksia jaringan dan inflamasi sistemik yang menetap merupakan faktor penyebab disfungsi otot rangka.3,19

            Stress oksidatif pada penderita PPOK dibuktikan dengan peningkatan kadar sitokin sirkulasi dan acute phase reactant termasuk IL-6, IL-8, TNF-α, TNF-R55, TNF-R75, CRP dan lipopolisakarida terikat protein. Semua sel inflamasi ini terlihat lebih aktif pada penderita PPOK. Neutrofil darah tepi memperlihatkan perluasan kemotaksis, proses proteolisis ekstraselular, menghasilkan lebih banyak ROS serta meningkatkan ekspresi MAC. Aktiviti sitokrom oksidase lebih meningkat pada PPOK dan peningkatan ini berhubungan dengan petanda nonspesifik terhadap aktivasi limfosit pada penyakit inflamasi kronik. 20 

Efek kardiovaskular 

            Penyakit pembuluh darah jantung sering ditemukan pada PPOK karena keduanya mempunyai faktor risiko yang sama seperti merokok, usia lanjut dan inaktiviti. Pajanan asap rokok atau particulate matter menghasilkan inflamasi sistemik seperti terlihat pada gambar 2. Respons inflamasi ini berupa respons fase akut dengan peningkatan pembekuan darah, penglepasan mediator inflamasi ke dalam sirkulasi selanjutnya mengaktifkan endotelin dan merangsang sumsum tulang melepaskan leukosit dan trombosit. Keadaan ini meningkatkan resiko penyakit vaskular, menyebabkan ketidakstabilan plak aterosklerosis sehingga menjadi ruptur dan menyebabkan trombosis.3,9

Page 29: LP Dan Jurnal PPOK Ali

Gambar 2. Mekanisme inflamasi paru yang

menginduksi penyakit vaskular

Dikutip dari (9)Efek terhadap sistem saraf 

            Perubahan metabolisme bioenergi penderita PPOK diperlihatkan dengan nuclear magnetic resonance spectroscopy, hal ini mungkin disebabkan oleh proses adaptasi terhadap kondisi hipoksia kronik. Tingginya prevalens depresi mungkin berhubungan dengan respons terhadap kondisi kelemahan yang menetap akibat penyakit kronik. Perubahan sistem saraf otonom yang abnormal dilaporkan terutama pada penderita dengan berat badan rendah dan berhubungan dengan pengaturan irama sirkadian leptin. Pemberian leptin mempunyai efek penting terhadap fungsi saraf endokrin, pengaturan appetite dan berat badan. Kadar leptin yang rendah berhubungan dengan patogenesis disfungsi otot rangka dan penurunan berat badan pada penderita PPOK. 3,9 

Efek terhadap tulang rangka 

            Prevalens osteoporosis meningkat pada penderita PPOK, hal ini dapat disebabkan oleh banyak faktor seperti malnutrisi yang menetap, merokok, terapi

Page 30: LP Dan Jurnal PPOK Ali

steroid dan inflamasi sistemik.  Keadaan emfisema dan osteoporosis ditandai dengan hilangnya jaringan paru atau jaringan tulang. Gambaran tulang yang mengalami osteoporosis hampir sama dengan jaringan paru yang mengalami emfisema. 3 

TERAPI TERBARU PPOK 

Inflamasi kronik pada PPOK berlangsung pada jalan napas kecil dan parenkim paru yang melibatkan neutrofil, makrofag dan CD8+.  Proses ini menyebabkan fibrosis dan penyempitan pada jalan napas kecil serta destruksi parenkim akibat bermacam-macam protease seperti neutrofil elastase dan matriks metaloproteinase (MMP). Berdasarkan mekanisme inflamasi seluler dan molekuler yang terjadi pada PPOK,  timbul pemikiran untuk mengembangkan terapi yang dapat mengontrol inflamasi dan proses destruksi yang terjadi seperti terlihat pada gambar 3. 21

Gambar 3. Target terapi PPOK berdasarkan

mekanisme inflamasi Dikutip dari (21)

1. Berhenti merokok

Merokok merupakan penyebab utama PPOK dan berhenti merokok merupakan

Page 31: LP Dan Jurnal PPOK Ali

terapi yang sejauh ini dapat mengurangi progeresiviti penyakit. Proses inflamasi di jaringan masih terus berlangsung walaupun sudah berhenti merokok. Kecanduan nikotin merupakan masalah utama yang menjadi target terapi. Terapi pengganti nikotin hanya menunjukkan keberhasilan 5-15%. Saat ini sedang dikembangkan vaksin yang mampu menetralisir nikotin dalam darah.22 Jorenby dkk.dikutip dari 23

menemukan Bupropion yang merupakan suatu anti depresan cukup berhasil bila digunakan sebagai terapi berhenti merokok. Pemberian bupropion selama 6-9 minggu memberikan keberhasilan berhenti merokok sebesar 18% dibandingkan dengan nikotin skin patch 9% dan plasebo 6%. Obat ini ditoleransi dengan baik dan hanya menimbulkan efek samping berupa serangan epilepsi sekitar 0,1% pada penderita.23 

2. Bronkodilator baru

Tiopropium bromid merupakan antikolinergik kerja lama. Inhalasi Tiopropium bromid sebanyak 1 kali sehari memberikan efek bronkodilator yang lebih efektif daripada pemberian ipratropium bromid sebanyak 4 kali sehari. Penelitian jangka panjang memperlihatkan perbaikan gejala dan kualiti hidup yang bermakna serta berkurangnya eksaserbasi pada penderita PPOK yang mendapat Tiopropium bromid. Obat ini menjadi pilihan bronkodilator dan mempunyai efek yang lebih baik bila dikombinasi dengan β2 agonis kerja lama.21 

3. Antagonis Mediator

Sejumlah mediator inflamasi berperan dalam proses inflamasi PPOK dan proses ini tetap berlangsung walaupun penderita sudah berhenti merokok. Inflamasi neutrofil merupakan karakteristik PPOK dan pemberian terapi ditujukan pada mediator yang berperan dalam pengaturan dan aktivasi netrofil ini seperti yang terlihat pada tabel 2.13 

Tabel 2. Antagonis mediator untuk PPOK

  - Antagonis leukotrin B4 (LTB4): LY29311, SC-53228, CP-105696, SB 201146, BIIL284

  - Penghambat 5’lipoksigenase: zileuton, Bay x1005

  - Penghambat kemokin

       Antagonis IL-8: antagomis CXCR2, SB225002

       Antagonis monocyte chemotactic protein (MCP), antagonis CCR2

  - Penghambat TNF: antibodi monoklonal, soluble receptors, TNF-α converting enzymes inhibitors

  - Antioksidan: stable glutathione analogues

  - Penghambat iNOS: l-N6-(1-imminoethyl)lysine (L-NIL)

  Dikutip dari (21)

a. Penghambat leukotrin B4 (LTB4)

Leukotrin B4 merupakan chemoattractant neutrofil dan meningkatkan produksi

Page 32: LP Dan Jurnal PPOK Ali

sputum penderita PPOK. Dua subtipe LTB4  yaitu reseptor BLT1 diekspresikan oleh granulosit dan monosit serta reseptor BLT2 diekspresikan oleh limfosit T. Antagonis BLT1 yaitu LY29311 sedang dikembangkan untuk terapi inflamasi neutrofil. Antagonis reseptor LTB4 yang selektif seperti SC-53228, CP-105696, SB201146 dan BIIL284 juga sedang dikembangkan.22 

b. Penghambat kemokin

Kadar IL-8 meningkat pada sputum penderita PPOK dan berhubungan dengan beratnya penyakit. Antagonis IL-8 berupa antibodi monoklonal dapat menghambat respons kemotaktik neutrofil pada hewan percobaan. Antagonis CXCR2, antagonis MCP atau antagonis CCR2 masih dalam tahap uji klinis.21 

c. Penghambat TNF-α

Antibodi monoklonal (infliximal®) dan soluble receptors TNF-α (etanercept®) efektif digunakan pada penyakit kronik. Pemakaian jangka lama tidak menyenangkan untuk penderita karena harus disuntikkan secara berulang.21,22  

d. Antioksidan

 N-acetyl cystein (NAC) meningkatkan produksi GSH (glutation). Pemberian NAC peroral menunjukkan pengurangan eksaserbasi PPOK. Antioksidan yang lebih efektif seperti senyawa glutation yang stabil, analog dengan SOD serta obat berbasis selenium sedang dikembangkan.21

3.5. Penghambat iNOS

Stres oksidatif menyebabkan peningkatan penglepasan NO dari iNOS yang akan  menghasilkan radikal bebas peroksinitrit. Penghambat selektif iNOS seperti N6-(1-imminoethyl)lysine (L-NIL) dapat mengurangi penglepasan NO jangka panjang.22

 

4.Terapi anti inflamasi baru  

Terapi inhalasi kortikosteroid yang digunakan pada penderita PPOK diduga dapat mencegah progresiviti penyakit tetapi pada kenyataannya kortikosteroid tidak mengurangi progresiviti penyakit dan tidak menghambat inflamasi neutrofil yang diinduksi oleh ozon pada manusia bahkan sebaliknya dapat memperpanjang masa hidup neutrofil. Alasan lain yang menyebabkan resistensi kortikosteroid adalah efek hambatan asap rokok pada histon deasetilase yaitu suatu enzim yang dibutuhkan kortikosteroid untuk menekan gen inflamasi. Beberapa jenis anti-inflamasi baru yang dikembangkan sebagai terapi PPOK dapat dilihat pada tabel 3.21 

Page 33: LP Dan Jurnal PPOK Ali

Tabel 3. Obat anti-inflamasi baru untuk PPOK 

  - Penghambat posfodiesterase-4: SB207499, CP80633, CDP 840

  - Penghambat NF-κβ: penghambat proteasom, penghambat dari NF-κβ inhibitor, 1κβ-α  gene transfer

  - Penghambat molekul adesi: anti CD11/CD18, anti ICAM-1, penghambat E-selektin

  - Interleukin 10 dan analog

  - Penghambat p38 mitogen activated protein (MAP) kinase : SB 203580, SB 220025, RWJ 67657

  - Penghambat posfoinositid (PI)-3 kinase-γ

  - Imunomodulator:  penghambat CD8+

  Dikutip dari (21)

a. Penghambat posfodiesterase-4 (PDE-4)

            Penghambat fosfodiesterase-4 merupakan PDE yang diekspresikan pada neutrofil, CD8+ dan makrofag. Diduga penghambatan PDE akan dapat mengontrol inflamasi pada PPOK secara efektif. Penghambat fosfodiesterase-4 seperti cilomilast dan roflumilas sedang dikembangkan dan bermakna dalam menghambat pelepasan TNF-α oleh monosit.21,24 

b. Penghambat NF-κβ

NF-κβ mengatur ekspresi IL-8, TNF-α dan MMP. Efek hambatan jangka lama terhadap NF-κβ dapat menekan sistem imun dan mengganggu kekebalan tubuh. Tikus percobaan yang kekurangan NF-κβ  akan mati akibat sepsis.21 

c. Penghambat molekul adesi

Pengerahan neutrofil, monosit, T sel sitotoksik pada paru dan jalan napas  bergantung kepada ekspresi molekul adesi. Pemberian TBC 129 dapat menghambat molekul adesi E-selektin pada endotel, adesi granulosit dan  neutrofil. Perlu dipikirkan bahwa hambatan terhadap neutrofil akan meningkatkan kejadian infeksi.21 

d. Interleukin 10

Sitokin IL-10 mempunyai aksi antiinflamasi yang luas, mekanisme kerjanya menghambat sekresi TNF-α dan IL-8, menurunkan ekspresi MMP  dan meningkatkan ekspresi tissue inhibitor matrix metalloproteinase (TIMP). Pemberian secara injeksi selama beberapa minggu dapat ditoleransi dengan baik sehingga dapat menjadi terapi yang potensial untuk PPOK.21 

e. Penghambat p38 mitogen activated protein (MAP) kinase

Mitogen activated protein kinase berperan dalam inflamasi kronik. Penghambat

Page 34: LP Dan Jurnal PPOK Ali

nonpeptida seperti  SB 203580, SB 239063, RWJ 67657 merupakan penghambat p38MAP kinase. SB 239063 terbukti mengurangi infiltrasi neutrofil setelah inhalasi endotoksin dan menurunkan konsentrasi IL-6, MMP-9 pada bilasan bronkoalveolar (BAL) tikus percobaan. Pemberian secara inhalasi dianggap aman.21,22 

f. Penghambat posfoinositid (PI)-3 kinase (PI-3K)

Posfoinositid (PI)-3 kinase merupakan kelompok enzim yang meningkatkan pembentukan lipid second messenger yang mengatur beberapa peristiwa seluler termasuk pengerahan dan aktivasi neutrofil. Hambatan terhadap PI-3K akan menyebabkan gangguan pada migrasi dan aktivasi neutrofil sama baiknya dengan hambatan limfosit T dan fungsi makrofag.21 

5.   Penghambat Protease 

Hambatan terhadap enzim proteolitik atau peningkatan antiprotease endogen diduga akan menguntungkan dan dapat mencegah progresiviti obstruksi jalan napas penderita PPOK. Antiprotease endogen yang diberikan antara lain α1-antitripsin, penghambat leukoprotease, elafin dan penghambat MMP. Pemberian ONO-5046 dan FR 901277 berpotensi menghambat elastase neutrofil  yang menginduksi cedera paru pada hewan percobaan. Obat ini dapat diberikan secara inhalasi dan sistemik.22,25 

6. Agen remodeling  

Mekanisme obstruksi pada PPOK adalah karena hilangnya elastisiti dan rekoil parenkim paru akibat proteolisis jaringan paru. Kerusakan ini tidak dapat diperbaiki tetapi hanya dapat dicegah oleh terapi tertentu.  Asam retinoat meningkatkan jumlah alveoli pada tikus percobaan dan mengembalikan perubahan histologis, fisiologis yang diinduksi oleh terapi elastase. Asam retinoat mengaktifkan reseptornya yang berperan sebagai faktor transkripsi untuk mengatur gen yang berfungsi dalam pertumbuhan dan difrensiasi sel. Perlu penelitian lebih lanjut apakah temuan ini dapat diaplikasikan pada manusia.21 

7. Hantaran Obat

Pemberian bronkodilator dengan cara inhalasi dosis terukur (IDT) atau inhalasi bubuk kering kurang berfungsi pada penderita emfisema dan bronkitis kronik karena proses inflamasi dan destruksi terjadi di parenkim dan jalan napas kecil. Perlu dipikirkan pemberian inhalasi dengan ukuran partikel yang jauh lebih kecil sehingga mencapai bagian perifer paru.22

Obat baru untuk PPOK sangat diperlukan mengingat proses inflamasi terus berlanjut walaupun penderita sudah berhenti merokok. Faktor lingkungan seperti asap dapur, polutan, perokok pasif serta inhalasi zat toksin lainnya perlu diperhatikan karena juga dapat menyebabkan PPOK. Peranan faktor genetik perlu

Page 35: LP Dan Jurnal PPOK Ali

dipertimbangkan karena hanya sekitar 10-20% perokok yang dapat berkembang menjadi PPOK. Penelitian lebih lanjut diperlukan berdasarkan mekanisme molekuler dan seluler yang menjadi patogenesis PPOK sehingga dapat dikembangkan terapi yang lebih baik terhadap penyakit ini.22,26 

KESIMPULAN 

1. Penyakit paru obstruktif kronik merupakan penyakit yang menimbulkan kelainan secara sistemik seperti penurunan berat badan, penyakit kardiovaskuler, osteoporosis dan depresi.

2. Proses inflamasi pada PPOK tidak hanya terjadi di paru tapi secara sistemik dan tetap berlangsung walaupun proses berhenti merokok sudah dilakukan.

3. Perlu pemahaman mekanisme molekuler dan seluler yang mendasari proses PPOK untuk mendapatkan strategi terapi yang lebih baik.

4. Terapi baru pada PPOK yang berdasarkan kepada mekanisme molekuler dan seluler cukup menjanjikan dan masih memerlukan penelitian lebih lanjut.

DAFTAR PUSTAKA

1. Mangunnegoro H, Amin M, Yunus F, Abdullah A, Widjaja A, Surjanto E dkk.. PPOK pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia. Edisi revisi. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia; 2004.p.vii.

2. NHLBI/ WHO workshop report. Global inisiatif for chronic obstructive pulmonary disease. Geneva: WHO; 2001.p.6-95.

3. Agusti AGN, Noguera A, Sauleda J, Sala E, Pons J, Busquets X. Systemic effect of chronic obstructive pulmonary disease. Eur Respir J 2003;21:347-60.

4. Andreassen H, Vestbo J. Chronic obstructive pulmonary disease as systemic disease: an epidemiological perspective. Eur Respir J 2003;22suppl: 2-4.

5. Rennard SI. Chronic obstructive pulmonary disease, linking outcomes and pathobiology of disease modification. Proc Am Thorac Soc 2006;3:276-80.

6. Dahesia M. Pathogenesis of COPD. Clin Applied Immunol Rev 2005;5:339-51.7. Wouters EFM, Creutzberg EC, Schols AMWJ. Systemic effects of COPD. Chest

2002;121suppl:127-30.8. Gan WQ, Man SFP, Senthilselvan A, Sin DD. Association between COPD and systemic

inflammation: a systematic review and a metaanalysis. Thorax 2004;59:574-80.9. Eeden SF, Yeung A, Quinlam K, Hogg JC. Systemic response to ambient particulate

matter. Proc Am Thorac Soc 2005;2:61-7.10. Donalson GC, Seemungal TAR, Patel IS, Bhowmik A, Wilkinson TMA, Hurst JR.

Airway and systemic inflammation and decline in lung function in patients with COPD. Chest 2005;128:1995-2004.

11. Wouters EFM. Chronic obstructive pulmonary disease 5: Systemic effect of COPD. Thorax 2002;57:1067-70.

12. Rahman I, Morrison D, Donalson K, MacNee W. Systemic oxidative stress in asthma, COPD and smokers. Am J Respir Crit Care Med 1996; 154: 1055-60.

13. Wouters EFM. Local and systemic inflammation in COPD. Proc Am Thorac Soc

Page 36: LP Dan Jurnal PPOK Ali

2005;2:26-33.14. Repine JE, Bast A, Lankhorst and the oxidative stress studying group. Oxidative stress

in chronic obstructive pulmonary disease. Am J Respir Crit Care Med 1997; 156:341-57.15. Oca MM, Torres SH, Sanctis D, Mata A, Hernandez N, Talamo C. Skeletal muscle

inflammation and nitric oxide in patients with COPD. Eur Respir J 2005;26:390-7.16. Schols AMWJ, Slangen J, Volovics L, Wouters EFM. Weight loss is reversible factor in

the prognosis of chronic obstructive pulmonary disease. Am J Respir Crit Care Med 1998;157:1791-7.

17. Landbo C, Prescott E, Lange P, Vestbo J, Amdal TP. Prognostic value of nutritional status in chronic obstructive pulmonary disease. Am J Respir Crit Care Med 1999; 160:1856-61.

18. Macnee W. Oxidant/antioxidats and COPD. Chest 2000;117suppl:303-17.19. Noguera A, Busquets X, Sauleda J. Expression of adhesion molecules and G protein in

circulating neutrophils in chronic obstructive pulmonary disease. Am J Respir Crit Care Med 1998;158:1664-8.

20. Oudijk EJD, Nijhuis EHJ, Zwank MD, Graaf EA, Mager HJ, Coffer P et al. Systemic inflammation in COPD visualised by gene profiling in peripheral blood neutrophils. Thorax 2005;60:538-44.

21. Barnes PJ. Chronic obstructive pulmonary disease 12: New treatment for COPD. Thorax 2003;58:803-8.

22. Buhl R, Farmer SG. Future direction in the pharmacologic therapy of COPD. Proc Am Thorac Soc 2005;2:89-93.

23. Jorenby DE, Leischow SJ, Nides MA. A controlled trial of sustained release bupropion, a nicotine patch or both for smoking cessation. N Engl J Med 1999;340: 685-91.

24. Sturton G, Fitzgerald M. Phospodiesterase inhibitors for the treatment of COPD. Chest 2002;121suppl:192-196.

25. Stockley RA. Neutrophils and protease/ antiprotease imbalance. Am J Respir Crit Care Med 1999;160:549-52.

26. Debigare R, Cote CH, Maltais F. Peripheral muscle wasting in chronic obstructive pulmonary disease. Am J Respir Crit Care Med 2001;164:1712-17.

MI