lp asma
DESCRIPTION
LP ASMATRANSCRIPT
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN
PADA PASIEN ASMA BRONKIAL
DISUSUN OLEH:
KOMANG NOVIANTARI
1302105006
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
2016
A. Konsep Dasar Penyakit
1. Definisi/Pengertian
Asma adalah penyakit jalan nafas obstruktif intermiten, reversible dimana trakea
dan brokhi berespon dalam secara hiperaktif terhadap stimuli tertentu (Smeltzer
& Bare, 2002).
Asma adalah suatu penyakit dengan ciri meningkatnya respon trakea dan
bronkus terhadap berbagai rangsangan dengan manifestasi adanya penyempitan
jalan napas yang luas dan derajatnya dapat berubah-ubah, baik secara spontan
maupun sebagai hasil pengobatan (Muttaqin, 2008).
Asma adalah suatu penyakit yang dicirikan oleh hipersensitivitas cabang-cabang
trakeobronkhial terhadap berbagai jenis rangsangan (Pierce, 2007).
Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banyak
sel dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan
hiperresponsivitas saluran napas yang menimbulkan gejala episodik berulang
berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat, batuk terutama malam hari dan
atau dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi saluran napas
yang luas, bervariasi dan sering kali bersifat reversible dengan atau tanpa
pengobatan (Boushey, 2005).
Asma merupakan sebuah penyakit kronik saluran napas yang terdapat di seluruh
dunia dengan kekerapan bervariasi yang berhubungan dengan dengan
peningkatan kepekaan saluran napas sehingga memicu episode mengi berulang
(wheezing), sesak napas (breathlessness), dada rasa tertekan (chest tightness),
dispnea, dan batuk (cough) terutama pada malam atau dini hari. (PDPI, 2006;
GINA, 2009).
Menurut National Heart, Lung and Blood Institute (NHLBI, 2007), pada
individu yang rentan, gejala asma berhubungan dengan inflamasi yang akan
menyebabkan obstruksi dan hiperesponsivitas dari saluran pernapasan yang
bervariasi derajatnya.
Berdasarkan beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa Asma
merupakan penyempitan jalan napas yang disebabkan karena hipersensitivitas
cabang-cabang trakeobronkhial terhadap stimuli tertentu.
2. Epidemiologi
Asma merupakan penyakit kronik yang paling umum di dunia, dimana terdapat
300 juta penduduk dunia yang menderita penyakit ini. Asma dapat terjadi pada
anak-anak maupun dewasa, dengan prevalensi yang lebih besar terjadi pada anak-
anak (GINA, 2003). Menurut data studi Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT)
di berbagai propinsi di Indonesia, pada tahun 1986 asma menduduki urutan kelima
dari sepuluh penyebab kesakitan (morbiditas) bersama-sama dengan bronkitis
kronik dan emfisema. Pada SKRT 1992, asma, bronkitis kronik, dan emfisema
sebagai penyebab kematian (mortalitas) keempat di Indonesia atau sebesar 5,6%.
Lalu pada SKRT 1995, dilaporkan prevalensi asma di seluruh Indonesia sebesar 13
per 1.000 penduduk (PDPI, 2006). Dari hasil penelitian Riskesdas, prevalensi
penderita asma di Indonesia adalah sekitar 4%. Menurut Sastrawan, dkk (2008),
angka ini konsisten dan prevalensi asma bronkial sebesar 5–15%.
3. Penyebab/Faktor Presdiposisi
Secara umum faktor risiko asma dipengaruhi atas factor genetik dan faktor
lingkungan (National Institutes of Health, 2007)
1. Faktor Genetik
a) Atopi/alergi
Hal yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui
bagaimana cara penurunannya. Penderita dengan penyakit alergi biasanya
mempunyai keluarga dekat yang juga alergi. Dengan adanya bakat alergi
ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asma bronkial jika terpajan
dengan faktor pencetus.
b) Hipereaktivitas bronkus
Saluran napas sensitif terhadap berbagai rangsangan alergen maupun iritan.
c) Jenis kelamin
Pria merupakan risiko untuk asma pada anak. Sebelum usia 14 tahun,
prevalensi asma pada anak laki-laki adalah 1,5-2 kali dibanding anak
perempuan. Tetapi menjelang dewasa perbandingan tersebut lebih kurang
sama dan pada masa menopause perempuan lebih banyak.
d) Obesitas
Obesitas atau peningkatan Body Mass Index (BMI) merupakan faktor risiko
asma. Mediator tertentu seperti leptin dapat mempengaruhi fungsi saluran
napas dan meningkatkan kemungkinan terjadinya asma. Meskipun
mekanismenya belum jelas, penurunan berat badan penderita obesitas
dengan asma, dapat memperbaiki gejala fungsi paru, morbiditas dan status
kesehatan.
2. Faktor lingkungan
a) Alergen dalam rumah (tungau debu rumah, spora jamur, kecoa, serpihan
kulit binatang seperti anjing, kucing, dan lain-lain).
b) Alergen luar rumah (serbuk sari, dan spora jamur).
3. Faktor lain
a) Alergen makanan
Contoh: susu, telur, udang, kepiting, ikan laut, kacang tanah, coklat, kiwi,
jeruk, bahan penyedap pengawet, dan pewarna makanan.
b) Alergen obat-obatan tertentu
Contoh: penisilin, sefalosporin, golongan beta lactam lainnya, eritrosin,
tetrasiklin, analgesik, antipiretik, dan lain lain.
c) Bahan yang mengiritasi
Contoh: parfum, household spray, dan lain-lain.
d) Asap rokok bagi perokok aktif maupun pasif
Asap rokok berhubungan dengan penurunan fungsi paru. Pajanan asap
rokok, sebelum dan sesudah kelahiran berhubungan dengan efek berbahaya
yang dapat diukur seperti meningkatkan risiko terjadinya gejala serupa
asma pada usia dini.
e) Polusi udara dari luar dan dalam ruangan
f) Exercise-induced asthma
Pada penderita yang kambuh asmanya ketika melakukan aktivitas/olahraga
tertentu. Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika
melakukan aktivitas jasmani atau olahraga yang berat. Lari cepat paling
mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena aktivitas
biasanya terjadi segera setelah selesai aktivitas tersebut.
g) Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi
asma. Atmosfer yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu
terjadinya serangan asma. Serangan kadang-kadang berhubungan dengan
musim, seperti: musim hujan, musim kemarau, musim bunga (serbuk sari
beterbangan).
4. Patofisiologi
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor, antara lain
alergen, virus, dan iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut. Asma
dapat terjadi melalui 2 jalur, yaitu jalur imunologis dan saraf otonom. Jalur
imunologis didominasi oleh antibodi IgE, merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I
(tipe alergi), terdiri dari fase cepat dan fase lambat. Reaksi alergi timbul pada orang
dengan kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibodi IgE abnormal dalam
jumlah besar, golongan ini disebut atopi. Pada asma alergi, antibodi IgE terutama
melekat pada permukaan sel mast pada interstisial paru, yang berhubungan erat
dengan bronkiolus dan bronkus kecil. Bila seseorang menghirup alergen, terjadi
fase sensitisasi, antibodi IgE orang tersebut meningkat. Alergen kemudian
berikatan dengan antibodi IgE yang melekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini
berdegranulasi mengeluarkan berbagai macam mediator. Beberapa mediator yang
dikeluarkan adalah histamin, leukotrien, faktor kemotaktik eosinofil dan bradikinin.
Hal itu akan menimbulkan efek edema lokal pada dinding bronkiolus kecil, sekresi
mukus yang kental dalam lumen bronkiolus, dan spasme otot polos bronkiolus,
sehingga menyebabkan inflamasi saluran napas. Pada reaksi alergi fase cepat,
obstruksi saluran napas terjadi segera yaitu 10-15 menit setelah pajanan alergen.
Spasme bronkus yang terjadi merupakan respons terhadap mediator sel mast
terutama histamin yang bekerja langsung pada otot polos bronkus.
Pada fase lambat, reaksi terjadi setelah 6-8 jam pajanan allergen dan bertahan
selama 16-24 jam, bahkan kadang-kadang sampai beberapa minggu. Sel-sel
inflamasi seperti eosinofil, sel T, sel mast dan Antigen Presenting Cell (APC)
merupakan sel-sel kunci dalam patogenesis asma.
Pada jalur saraf otonom, inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast
intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran
napas. Peregangan vagal menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator
inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel jalan
napas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa,
sehingga meningkatkan reaksi yang terjadi. Kerusakan epitel bronkus oleh mediator
yang dilepaskan pada beberapa keadaan reaksi asma dapat terjadi tanpa melibatkan
sel mast misalnya pada hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap, kabut dan SO2.
Pada keadaan tersebut reaksi asma terjadi melalui refleks saraf. Ujung saraf eferen
vagal mukosa yang terangsa menyebabkan dilepasnya neuropeptid sensorik
senyawa P, neurokinin A dan Calcitonin Gene-Related Peptide (CGRP).
Neuropeptida itulah yang menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, edema
bronkus, eksudasi plasma, hipersekresi lendir, dan aktivasi sel-sel inflamasi.
Hipereaktivitas bronkus merupakan ciri khas asma, besarnya hipereaktivitas
bronkus tersebut dapat diukur secara tidak langsung, yang merupakan parameter
objektif beratnya hipereaktivitas bronkus. Berbagai cara digunakan untuk
mengukur hipereaktivitas bronkus tersebut, antara lain dengan uji provokasi beban
kerja, inhalasi udara dingin, inhalasi antigen, maupun inhalasi zat nonspesifik.
5. Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya, asma bronkhial dapat diklasifikasikan menjadi 3 tipe,
yaitu:
1) Ekstrinsik (alergik)
Asma ekstrinsik ditandai dengan adanya reaksi alergik yang disebabkan oleh
faktor-faktor pencetus spesifik (alergen), seperti serbuk bunga, bulu binatang,
obat-obatan (antibiotic dan aspirin) dan spora jamur. Oleh karena itu jika ada
faktor-faktor pencetus spesifik seperti yang disebutkan di atas, maka akan
terjadi serangan asthma ekstrinsik. Pasien dengan asma ekstrinsik
biasanya sering dihubungkan dengan adanya suatu predisposisi genetik
terhadap alergi dalam keluarganya.
2) Intrinsik (non alergik)
Ditandai dengan adanya reaksi non alergi yang bereaksi terhadap pencetus yang
tidak spesifik atau tidak diketahui, seperti udara dingin atau bisa juga
disebabkan oleh adanya infeksi saluran pernafasan dan emosi. Serangan asma
ini menjadi lebih berat dan sering sejalan dengan berlalunya waktu dan dapat
berkembang menjadi bronkhitis kronik dan emfisema. Beberapa pasien akan
mengalami asma gabungan.
3) Asthma gabungan
Bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai karakteristik dari bentuk
alergik dan non-alergik.
(Smeltzer & Bare, 2002)
Berdasarkan derajat penyakitnya, asma dapat diklasifikasikan menjadi (PDPI,
2006):
No Derajat Asma Gejala Gejala Malam Faal Paru
1 Intermitten - Gejala <1x/minggu
- Tanpa gejala antar
serangan
≤2 kali sebulan- VEP1 atau
APE ³80%
- Variabilitas APE
- Serangan singkat <20%
2 Persisten
ringan
- Gejala >1x/minggu
tetapi <1x/hari
- Serangan dapat
mengganggu aktivitas dan
tidur
> 2 kali
sebulan
- VEP1 atau
APE ³80%
- Variabilitas APE
20-30%
3 Persisten
sedang
- Gejala setiap hari
- Serangan mengganggu
aktivitas dan tidur
> 2 kali sebulan- VEP1 atau APE
60-80%
- Variabilitas APE
>30%
4 Persisten
berat
- Gejala terus menerus
- Sering kambuh
- Aktivitas fisik terbatas
Sering - VEP1 atau
APE >60%
Berdasarkan derajat serangan (GINA, 2006):
Parameter Klinis,
Fungsi Faal
Paru,Laboratoriu
m
Ringan Sedang Berat
Ancaman
Henti
Napas
Sesak (breathless) Aktivitas:
Berjalan
Bayi :
Menangis
keras
Aktivitas:Berbicar
a
Bayi :
Tangis pendek dan
lemah, kesulitan
menetek/makan
Aktivitas:Istiraha
t
Bayi :
Tidak mau
makan/minum
Posisi Bisa
berbaring
Lebih suka duduk Duduk bertopang
lengan
Bicara Kalimat Penggal kalimat Kata-kata
Sianosis Tidak ada Tidak Ada Ada Nyata
Wheezing Sedang,
sering
hanya
Nyaring sepanjang
ekspirasi dan
Sangat nyaring
terdengar tanpa
Tidak
terdenga
pada
akhir
ekspirasi
inspirasi
stetoskop r
Penggunaan otot
bantu napas
Biasanya
tidak
Biasanya ya Ya Gerakan
paradok
torako-
abdomina
l
Retraksi Dangkal,
retraksi
interkosta
l
Sedang,ditambah
retraksi
suprasternal
Dalam, ditambah
napas cuping
hidung
Dangkal/
hilang
Frekuensi nadi Normal Takikardi Takikardi Bradikard
i
Frekuensi napas Takipneu Takipneu Takipneu Bradipne
u
6. Gejala Klinis
a. Gejala awal dapat berupa batuk terutama pada malam atau dini hari, sesak
napas, napas berbunyi (mengi) yang terdengar jika pasien menghembuskan
napasnya, rasa berat di dada, dahak sulit keluar (Direktorat Bina Farmasi dan
Klinik, 2007).
b. Gejala yang berat adalah keadaan gawat darurat yang mengancam jiwa atau
disebut juga stadium kronik (status asmatikus). Yang termasuk gejala yang
berat adalah serangan batuk yang hebat, sesak napas yang berat dan tersengal-
sengal, sianosis (kulit kebiruan, yang dimulai dari sekitar mulut), sulit tidur dan
posisi tidur yang nyaman adalah dalam keadaan duduk, kesadaran menurun,
thorak seperti barel chest, tampak tarikan otot sternokleidomastoideus,
sianosis, suara nafas melemah bahkan tak terdengar (silent Chest) (Direktorat
Bina Farmasi dan Klinik, 2007).
Menurut Smeltzer & Bare (2002) manifestasi klinis dari asma, diantaranya:
a. Tiga gejala umum asma adalah batuk, dispnea dan mengi. Serangan asma
biasanya bermula mendadak dengan batuk dan rasa sesak dalam dada, disertai
dengan pernapasan lambat, mengi dan laborius.
b. Sianosis karena hipoksia
c. Gejala retensi CO2 : diaforesis, takikardia, pelebaran tekanan nadi.
7. Pemeriksaan Fisik
Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pemeriksaan fisik dapat normal
(GINA, 2009). Kelainan pemeriksaan fisik yang paling umum ditemukan pada
auskultasi adalah mengi. Pada sebagian penderita, auskultasi dapat terdengar
normal walaupun pada pengukuran objektif (faal paru) telah terdapat penyempitan
jalan napas. Oleh karena itu, pemeriksaan fisik akan sangat membantu diagnosis
jika pada saat pemeriksaan terdapat gejala-gejala obstruksi saluran pernapasan
(Chung, 2002). Sewaktu mengalami serangan, jalan napas akan semakin mengecil
oleh karena kontraksi otot polos saluran napas, edema dan hipersekresi mukus.
Keadaan ini dapat menyumbat saluran napas; sebagai kompensasi penderita akan
bernapas pada volume paru yang lebih besar untuk mengatasi jalan napas yang
mengecil (hiperinflasi). Hal ini akan menyebabkan timbulnya gejala klinis berupa
batuk, sesak napas, dan mengi (GINA, 2009)
8. Pemeriksaan Diagnostik
a. Spirometer
Alat pengukur faal paru, selain penting untuk menegakkan diagnosis juga untuk
menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan (Bernstein, 2003). Spirometri
adalah mesin yang dapat mengukur kapasitas vital paksa (KVP) dan volume
ekspirasi paksa detik pertama (VEP1). Pemeriksaan ini sangat tergantung
kepada kemampuan pasien sehingga diperlukan instruksi operator yang jelas
dan kooperasi pasien. Untuk mendapatkan nilai yang akurat, diambil nilai
tertinggi dari 2-3 nilai yang diperiksa. Sumbatan jalan napas diketahui dari nilai
VEP1 < 80% nilai prediksi atau rasio VEP1/KVP < 75%. Selain itu, dengan
spirometri dapat mengetahui reversibiliti asma, yaitu adanya perbaikan VEP1
>15 % secara spontan, atau setelah inhalasi bronkodilator (uji bronkodilator),
atau setelah pemberian bronkodilator oral 10-14 hari, atau setelah pemberian
kortikosteroid (inhalasi/oral) 2 minggu.
b. Peak flow meter/PFM
Peak flow meter merupakan alat pengukur faal paru sederhana, alat tersebut
digunakan untuk mengukur jumlah udara yang berasal dari paru. Oleh karena
pemeriksaan jasmani dapat normal, dalam menegakkan diagnosis asma
diperlukan pemeriksaan obyektif (spirometer/FEV1 atau PFM). Spirometer
lebih diutamakan dibanding PFM oleh karena; PFM tidak begitu sensitif
dibanding FEV. untuk diagnosis obstruksi saluran napas, PFM mengukur
terutama saluran napas besar, PFM dibuat untuk pemantauan dan bukan alat
diagnostik, APE dapat digunakan dalam diagnosis untuk penderita yang tidak
dapat melakukan pemeriksaan FEV1 (Bernstein, 2003).
c. X-ray dada/ Thoraks
Dilakukan untuk menyingkirkan penyakit yang tidak disebabkan asma
(Bernstein, 2003). Pada serangan asma yang ringan, gambaran radiologik paru
biasanya tidak menunjukkan adanya kelainan.
d. Pemeriksaan IgE.
Uji tusuk kulit (skin prick test) untuk menunjukkan adanya antibodi IgE
spesifik pada kulit. Uji tersebut untuk menyokong anamnesis dan mencari
faktor pencetus. Uji alergen yang positif tidak selalu merupakan penyebab
asma. Pemeriksaan darah IgE Atopi dilakukan dengan cara radioallergosorbent
test (RAST) bila hasil uji tusuk kulit tidak dapat dilakukan (pada der-
mographism) (Bernstein, 2003).
e. Petanda inflamasi.
Derajat berat asma dan pengobatannya dalam klinik sebenarnya tidak
berdasarkan atas penilaian obyektif inflamasi saluran napas. Gejala klinis dan
spirometri bukan merupakan petanda ideal inflamasi. Penilaian semi-kuantitatif
inflamasi saluran napas dapat dilakukan melalui biopsi paru, pemeriksaan sel
eosinophil dalam sputum, dan kadar oksida nitrit udara yang dikeluarkan
dengan napas. Analisis sputum yang diinduksi menunjukkan hubungan antara
jumlah eosinophil dan Eosinophyl Cationic Protein (ECP) dengan inflamasi dan
derajat berat asma. Biopsi endobronkial dan transbronkial dapat menunjukkan
gambaran inflamasi, tetapi jarang atau sulit dilakukan di luar riset (Bernstein,
2003).
f. Uji Hipereaktivitas Bronkus/HRB.
Pada penderita yang menunjukkan FEV1 >90%, HRB dapat dibuktikan dengan
berbagai tes provokasi. Provokasi bronkial dengan menggunakan nebulasi
droplet ekstrak alergen spesifik dapat menimbulkan obstruksi saluran napas
pada penderita yang sensitif. Respons sejenis dengan dosis yang lebih besar,
terjadi pada subyek alergi tanpa asma. Di samping itu, ukuran alergen dalam
alam yang terpajan pada subyek alergi biasanya berupa partikel dengan
berbagai ukuran dari 2 um sampai 20 um, tidak dalam bentuk nebulasi. Tes
provokasi sebenarnya kurang memberikan informasi klinis dibanding dengan
tes kulit. Tes provokasi nonspesifik untuk mengetahui HRB dapat dilakukan
dengan latihan jasmani, inhalasi udara dingin atau kering, histamin, dan
metakolin (Bernstein, 2003).
g. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan darah lengkap diperlukan untuk menunjang dalam menegakkan
diagnostik.
h. Pemeriksaan AGD
Analisa gas darah Hanya dilakukan pada penderita dengan serangan asma berat
atau status asmatikus.
9. Diagnosis/Kriteria Diagnosis
Untuk dapat mendiagnosis asma, diperlukan pengkajian kondisi klinis serta
pemeriksaan penunjang (Bernstein, 2003).
a) Anamnesis
Ada beberapa hal yang harus diketahui dari pasien asma antara lain: riwayat
hidung ingusan atau mampat (rhinitis alergi), mata gatal, merah, dan berair
(konjungtivitis alergi), dan eksema atopi, batuk yang sering kambuh (kronik)
disertai mengi, flu berulang, sakit akibat perubahan musim atau pergantian
cuaca, adanya hambatan beraktivitas karena masalah pernapasan (saat
berolahraga), sering terbangun pada malam hari, riwayat keluarga (riwayat
asma, rinitis atau alergi lainnya dalam keluarga), memelihara binatang di dalam
rumah, banyak kecoa, terdapat bagian yang lembab di dalam rumah. Untuk
mengetahui adanya tungau debu rumah, tanyakan apakah menggunakan karpet
berbulu, sofa kain bludru, kasur kapuk, banyak barang di kamar tidur. Apakah
sesak dengan bau-bauan seperti parfum, spray pembunuh serangga, apakah
pasien merokok, orang lain yang merokok di rumah atau lingkungan kerja, obat
yang digunakan pasien, apakah ada beta blocker, aspirin atau steroid.
(Bernstein, 2003).
b) Pemeriksaan Klinis
Untuk menegakkan diagnosis asma, harus dilakukan anamnesis secara rinci,
menentukan adanya episode gejala dan obstruksi saluran napas. Pada
pemeriksaan fisis pasien asma, sering ditemukan perubahan cara bernapas, dan
terjadi perubahan bentuk anatomi toraks. Pada inspeksi dapat ditemukan; napas
cepat, kesulitan bernapas, menggunakan otot napas tambahan di leher, perut
dan dada. Pada auskultasi dapat ditemukan; mengi, ekspirasi memanjang
(Bernstein, 2003).
c) Pemeriksaan Penunjang
1) Spirometer
Sumbatan jalan napas diketahui dari nilai VEP1 < 80% nilai prediksi atau
rasio VEP1/KVP < 75%. Selain itu, dengan spirometri dapat mengetahui
reversibiliti asma, yaitu adanya perbaikan VEP1 >15 % secara spontan, atau
setelah inhalasi bronkodilator (uji bronkodilator), atau setelah pemberian
bronkodilator oral 10-14 hari, atau setelah pemberian kortikosteroid
(inhalasi/oral) 2 minggu.
2) Pemeriksaan IgE.
Uji tusuk kulit (skin prick test) untuk menunjukkan adanya antibodi IgE
spesifik pada kulit. Uji tersebut untuk mendukung anamnesis dan mencari
faktor pencetus. Uji alergen yang positif tidak selalu merupakan penyebab
asma. Pemeriksaan darah IgE Atopi dilakukan dengan cara
radioallergosorbent test (RAST) bila hasil uji tusuk kulit tidak dapat
dilakukan (pada der-mographism) (Bernstein, 2003).
3) Petanda inflamasi.
Analisis sputum yang diinduksi menunjukkan hubungan antara jumlah
eosinophil dan Eosinophyl Cationic Protein (ECP) dengan inflamasi dan
derajat berat asma. Biopsi endobronkial dan transbronkial dapat
menunjukkan gambaran inflamasi, tetapi jarang atau sulit dilakukan di luar
riset (Bernstein, 2003).
4) Uji Hipereaktivitas Bronkus/HRB.
Pada penderita yang menunjukkan FEV1 >90%, HRB dapat dibuktikan
dengan berbagai tes provokasi. Provokasi bronkial dengan menggunakan
nebulasi droplet ekstrak alergen spesifik dapat menimbulkan obstruksi
saluran napas pada penderita yang sensitif. Respons sejenis dengan dosis
yang lebih besar, terjadi pada subyek alergi tanpa asma.
5) Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan darah lengkap dapat ditemukan lekositosis dengan
neutrofil yang meningkat menunjukkan adanya infeksi, eosinofil darah
dapat meningkat > 250/mm3.
6) Pemeriksaan X-RayBeberapa tanda yang menunjukkan yang khas untuk asma adanya hiperinflasi, penebalan dinding bronkus, vaskulasrisasi paru
7) Pemeriksaan AGD
Analisa gas darah hanya dilakukan pada penderita dengan serangan asma
berat atau status asmatikus. Pada keadaan ini dapat terjadi hipoksemia,
hiperkapnia dan asidosis respiratorik. Pada asma ringan sampai sedang
PaO2 normal sampai sedikit menurun, PaCO2 menurun dan terjadi alkalosis
respiratorik. Pada asma yang berat PaO2 jelas menurun, PaCO2 normal atau
meningkat dan terjadi asidosis respiratorik.
10. Terapi/Tindakan Penanganan.
Tujuan utama dari penatalaksanaan asma adalah dapat mengontrol manifestasi
klinis dari penyakit untuk waktu yang lama, meningkatkan dan mempertahankan
kualitas hidup agar penderita asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam
melakukan aktivitas sehari-hari. GINA (2009) dan PDPI (2006) menganjurkan
untuk melakukan penatalaksanaan berdasarakan kontrol. Untuk mencapai dan
mempertahankan keadaan asma yang terkontrol terdapat dua faktor yang perlu
dipertimbangkan, yaitu:
a) Medikasi
Menurut PDPI (2006), medikasi asma dapat diberikan melalui berbagai cara
seperti inhalasi, oral dan parenteral. Dewasa ini yang lazim digunakan adalah
melalui inhalasi agar langsung sampai ke jalan napas dengan efek sistemik
yang minimal ataupun tidak ada. Macam–macam pemberian obat inhalasi
dapat melalui inhalasi dosis terukur (IDT), IDT dengan alat bantu (spacer), Dry
powder inhaler (DPI), breath–actuated IDT, dan nebulizer. Medikasi asma
terdiri atas pengontrol (controllers) dan pelega (reliever).
1. Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang, terutama untuk asma
persisten, yang digunakan setiap hari untuk menjaga agar asma tetap
terkontrol (PDPI, 2006). Menurut PDPI (2006), pengontrol, yang sering
disebut sebagai pencegah terdiri dari Glukokortikosteroid inhalasi dan
sistemik, Leukotriene modifiers , Agonis β-2 kerja lama (inhalasi dan oral),
Metilsantin (teofilin), Kromolin (Sodium Kromoglikat dan Nedokromil
Sodium
2. Pelega adalah medikasi yang hanya digunakan bila diperlukan untuk cepat
mengatasi bronkokonstriksi dan mengurangi gejala – gejala asma. Prinsip
kerja obat ini adalah dengan mendilatasi jalan napas melalui relaksasi otot
polos, memperbaiki dan atau menghambat bronkokonstriksi yang berkaitan
dengan gejala akut seperti mengi, rasa berat di dada, dan batuk. Akan tetapi
golongan obat ini tidak memperbaiki inflamasi jalan napas atau
menurunkan hipersensitivitas jalan napas. Pelega terdiri dari Agonis β-2
kerja singkat, Kortikosteroid sistemik, Antikolinergik (Ipratropium
bromide), Metilsantin.
b) Penatalaksanaan non Medikamentosa:
1. Saat serangan
- pemberian oksigen, bila ada tanda-tanda hipoksemia, baik atas dasar
gejala klinik maupun hasil analisa gas darah.
- pemberian cairan, terutama pada serangan asma yang berat dan yang
berlangsung lama ada kecenderungan terjadi dehidrasi. Dengan
menangani dehidrasi, viskositas mukus juga berkurang dan dengan
demikian memudahkan ekspektorasi.
- drainase postural atau chest physioterapi, untuk membantu pengeluaran
dahak agar supaya tidak timbul penyumbatan.
- menghindari paparan alergen.
2. Diluar serangan
- Pendidikan/penyuluhan
Penderita perlu mengetahui apa itu asma, apa penyebabnya, apa
pengobatannya, apa efek samping macam-macam obat, dan bagaimana
dapat menghindari timbulnya serangan. Menghindari paparan alergen.
Imti dari prevensi adalah menghindari paparan terhadap alergen.
- Imunoterapi/desensitisasi.
Penentuan jenis alergen dilakukan dengan uji kulit atau provokasi
bronkial. Setelah diketahui jenis alergen, kemudian dilakukan
desensitisasi.
- Relaksasi/kontrol emosi.
untuk mencapai ini perlu disiplin yang keras. Relaksasi fisik dapat
dibantu dengan latihan napas.
11. Komplikasi
Berbagai komplikasi menurut Mansjoer (2008) yang mungkin timbul adalah:
1) Pneumothoraks
Pneumothoraks adalah keadaan adanya udara di dalam rongga pleura. Keadaan
ini dapat menyebabkan kolaps paru yang lebih lanjut lagi dapat menyebabkan
kegagalan napas.
2) Status asmatikus
Serangan asma akut yang sangat parah, berkepanjangan, dan tidak merespon
terapi biasa secara memadai. Hal ini disebabkan oleh penyempitan saluran napas
akibat bronkospasme yang sedang berlangsung, edema, dan penyumbatan lendir.
3) Pneumomediastinum
Pneumomediastinum dari bahasa Yunani pneuma “udara”, juga dikenal sebagai
emfisema mediastinum adalah suatu kondisi dimana udara hadir di mediastinum.
Pertama dijelaskan pada 1819 oleh Rene Laennec, kondisi ini dapat disebabkan
oleh trauma fisik atau situasi lain yang mengarah ke udara keluar dari paru-paru,
saluran udara atau usus ke dalam rongga dada.
4) Atelektasis
Atelektasis adalah pengkerutan sebagian atau seluruh paru-paru akibat
penyumbatan saluran udara (bronkus maupun bronkiolus) atau akibat pernafasan
yang sangat dangkal.
5) Gagal napas
Gagal napas dapat tejadi bila pertukaran oksigen terhadap karbodioksida dalam
paru-paru tidak dapat memelihara laju konsumsi oksigen dan pembentukan
karbondioksida dalam sel-sel tubuh.
6) Bronkhitis
Bronkhitis atau radang paru-paru adalah kondisi di mana lapisan bagian dalam
dari saluran pernapasan di paru-paru yang kecil (bronkhiolis) mengalami
bengkak. Selain bengkak juga terjadi peningkatan produksi lendir (dahak).
Akibatnya penderita merasa perlu batuk berulang-ulang dalam upaya
mengeluarkan lendir yang berlebihan, atau merasa sulit bernapas karena
sebagian saluran udara menjadi sempit oleh adanya lendir.
B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Identitas pasien
b. Keluhan utama klien
c. Pemeriksaan fisik
d. Pemeriksaan tanda-tanda vital
• Tekanan Darah
• Nadi
• Frekuensi pernapasan
• Suhu tubuh
e. Pemeriksaan laboratorium
f. Pengkajian 11 Pola Fungsional Gordon
1. Pola persepsi dan Manajemen kesehata
Perawat perlu menanyakan pengetahuan tentang kesehatan, pengetahuan
preventif.
2. Pola nutrisi, cairan dan metabolic
Perawat perlu menanyakan pola makan, masukan cairan, tipe makanan
dan cairan, berat badan, nafsu makan, pilihan makanan
3. Pola Eliminasi
Perawat perlu menanyakan pola BAB/Defekasi, alat bantu, obat, pola
BAK.
4. Pola latihan- aktivitas
Perawat perlu menanyakan latihan, rekreasi, aktivitas sehari-hari,
pemenuhan ADL.
5. Pola istirahat dan tidur
Perawat perlu menanyakan kualitas dan kuantitas tidur serta istirahat
6. Pola konsep diri dan persepsi diri
Perawat perlu menanyakan fungsi panca indera, bahasa, persepsi pasien
terhadap nyeri
7. Pola kognitif- perceptual
Perawat perlu menanyakan persepsi diri, pola emosional
8. Pola peran dan hubungan
Perawat perlu menanyakan peran dan tanggung jawab
9. Pola reproduksi- seksual
Perawat perlu menanyakan kualitas seksual dan Reproduksi
10. Pola koping dan toleransi stress
Perawat perlu menanyakan kemampuan mengendalikan stress, kukungan/
coping saat menghadapi masalah.
11. Pola keyakinan dan nilai
Perawat perlu menanyakan nilai, tujuan, keyakinan, spiritual, konflik
2. Diagnosa Keperawatan dan Masalah Kolaborasi
a. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan penyakit (asma)
ditandai dengan batuk, terdapat suara napas tambahan, terdapat sputum dalam
jumlah banyak, mengi, penggunaan otot bantu pernapasan.
b. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan penyakit (asma) ditandai
dengan dispnea, pernapasan dengan cuping hidung, pernapasan bibir,
penggunaan otot aksesorius untuk bernapas, perubahan kedalaman pernapasan.
c. Risiko Respon Alergi dengan faktor resiko substansi lingkungan (seperti spora
jamur, debu, serbuk sari bunga)
d. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
penyakit (asma) ditandai dengan kurang minat pada makanan, penurunan
badan, membrane mukosa pucat, berat badan 20% atau lebih dibawah berat
badan ideal.
e. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen ditandai dengan menyatakan merasa letih dan lemah.
f. Gangguan pola tidur berhubungan dengan fisiologis penyakit ditandai dengan
pasien mengeluh kesulitan untuk tidur, perubahan pola tidur normal.
g. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan ditandai dengan
gelisah, mengekspresikan kekhawatiran, peningkatan rasa ketidakberdayaan,
bingung, menyesal, peningkatan ketegangan, gemetar, kesulitan berkonsentrasi,
melamun.
3. Rencana Asuhan Keperawatan
NoDiagnosa
Keperawatan
Tujuan dan Kriteria
HasilIntervensi Rasional Evaluasi
1 Ketidakefektifan
bersihan jalan
napas berhubungan
dengan penyakit
(asma) ditandai
dengan batuk,
terdapat suara
napas tambahan,
terdapat sputum
dalam jumlah
banyak, mengi,
penggunaan otot
bantu pernapasan.
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama ...x 24
jam, diharapkan jalan napas
pasien paten, dengan
kriteria hasil :
NOC Label :
Respiratory Status: Airway
Patency
1. Tidak ada suara napas
tambahan
2. Tidak ada penggunaan
otot bantu pernapasan
3. Tidak terdapat akumulasi
sputum
4. Tidak batuk dan mengi
NIC Label :
Airway Management
1. Posisikan pasien untuk
memaksimalkan potensi
ventilasi (semifowler
300)
2. Keluarkan secret
dengan dorongan batuk
atau suction
3. isntruksikan bagaimana
cara batuk efektif
kepada pasien
4. Auskultasi suara nafas
pasien
5. Ajarkan pasien
bagaimana cara
menggunakan ihaler
Airway Management
1. Posisi yang lebih tinggi
dapat meningkatkan
pengembangan dinding
dada sehingga dapat
memperlancar ventilasi
serta memudahkan
pengeluaran sekret.
2. Batuk atau suction dapat
membantu pasien untuk
mengeluarkan secret yang
terakumulasi di saluran
pernapasan sehingga
kembali dapat mematenkan
jalan nafas pasien
3. Batuk efektif diajarkan
S:
O:
- Tidak ada suara
napas tambahan
- Tidak ada
penggunaan otot
bantu pernapasan
- Tidak terdapat
akumulasi sputum
- Tidak batuk dan
mengi
A:
Berdasarkan tujuan
yang di harapkan
semua tujuan tercapai
P:
Pertahankan kondisi
klien dengan intervensi
sesuai dengan resep
dokter
6. Atur penanganan
dengan memberikan
nebulizer pada pasien.
Oxygen Therapy
1. Bersihan mulut, hidung
dan trachea pasien dari
sekret
2. Pertahankan jalan nafas
pasien agar tetap paten
3. Pasang oksigen sesuai
dengan kebutuhan
oksigen pasien
4. Pantau humidifier pada
alat oksigen yang
terpasang
agar pasien dapat
mengeluarkan sekret
dengan maksimal secara
mandiri tanpa bantuan alat
terlebih dahulu. Cara nya
yaitu dengan beritahu
pasien menarik nafas
dalam, menahan nafas 2
detik kemudian batukan
sebanyak 2 sampai 3 kali
4. Penurunan aliran udara
terjadi pada area yang
konsolidasi . bunyi nafas
bronkial dapat terdengar
pada area konsolidasi
sedangkan bunyi ronkhi
dapat terdengar pada saat
inspirasi dan ekspirasi
sebagai respon terhadap
pengumpulan cairan, secret
kental dan adanya
baru khususnya dengan
Health Education
obstruksi.
5. Inhaler merupakan obat
pereda sesak nafas yang
digunakan dengan cara
disemprotkan kemulut
pasien sehingga pasien
merasa lebih lega.
6. Pemberian nebulizer
berfungsi dalam
mengencerkan sekret yang
terkumpul di saluran nafas
pasien sehingga dapat
dikeluarkan dengan mudah.
Oxygen Therapy
1. Membersihkan mulut,
hidung dan trachea dari
sekret dilakukan agar pada
saat pemberian terapi
oksigen, oksigen yang
masuk tetap optimal
2. Jalan nafas dipertahankan
agar tetap paten berfungsi
agar oksigen yang masuk
dapat optimal.
3. Pemasangan oksigen
dilakukan sesuai dengan
kebutuhan oksigen yang
diperlukan oleh pasien
sehingga pasien tidak
mengalami kelebihan
oksigen yang dapat
memperburuk kondisi
pasien juga.
4. Pemantauan humidifier
sangat penting karena
berfungsi dalam
melembabkan gas oksigen
yang bersfiat kering
sehingga tidak mengiritasi
saluran nafas pasien.
2 Ketidakefektifan
pola napas
berhubungan
dengan penyakit
(asma) ditandai
dengan dispnea,
pernapasan dengan
cuping hidung,
pernapasan bibir,
penggunaan otot
aksesorius untuk
bernapas,
perubahan
kedalaman
pernapasan.
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama ...x 24
jam, diharapkan pola napas
pasien dapat teratasi
dengan kriteria hasil:
NOC Label:
Respiratory Status:
Ventilation
1. Frekuensi pernapasan
normal (12-20
kali/menit)
2. Pola napas teratur
3. Tidak ada sesak napas
4. Tidak ada pursed lips
breathing
5. Tidak ada penggunan
otot bantu napas
Vital Sign
1. TD dalam rentang
normal (120/80 mmHg)
NIC Label:
Respiratory Monitoring
1. Pantau laju, kedalaman,
ritme dan upaya
pernapasan pasien
2. Pantau pola pernapasan
pasien
3. Pantau nilai PFT,
kapasitas vital, volume
tidal dan volume
cadangan
inspirasi/ekspirasi pasien
4. Pantau sesak nafas dan
keadaan yang dapat
meningkatkan dan
memperburuk sesak
pasien
Ventilation Assistance
Respiratory Monitoring
1. Sebagai data dasar untuk
mengetahui apakah terjadi
kelainan pada proses
pernapasan pasien
2. Pola pernapasan yang
tidak normal merupakan
tanda adanya kelainan pada
fungsi pernapasan pasien
3. Nilai PFT digunakan untuk
menguji kemampuan
bernafas pasien
4. Sekret atau sputum yang
dikeluarkan memiliki
berbagai karakteristik
seperti warna, kekentalan
dan bercampur darah atau
tidak. Sputum tersebut
dianalisis untuk
S:
Pasien mengatakan
sudah tidak sesak
O:
- Frekuensi
pernapasan normal
(12-20 kali/menit)
- Pola napas teratur
- Tidak ada pursed
lips breathing
- Tidak ada
penggunan otot
bantu napas
- TD dalam rentang
normal (120/80
mmHg)
- Nadi dalam rentang
normal (60-100x
per menit)
A:
Berdasarkan tujuan
2. Nadi dalam rentang
normal (60-100x per
menit)
1. Posisikan pasien
dengan benar dan
nyaman
2. Dorong pasien untuk
tarik nafas dalam
dengan perlahan
3. Bantu pasien dengan
pemeriksaan spirometer
4. Ajarkan teknik bernafas
dengan bibir dirapatkan
5. Ajarkan teknik latihan
bernafas
6. Ajukan program
kekuatan otot
pernapasan dan atau
endurance training
Vital Sign Monitoring
1. Pantau tekanan darah
dan nadi pasien.
mengetahui penyebab dari
kelainan tersebut.
5. Dengan memantau kondisi
apa yang dapat
memperburuk sesak nafas
pasien sehingga dapat
memberitahu pasien agar
tidak melakukan hal-hal
yang mampu memperburuk
kondisinya jadi dapat
sebagai tindakan
pencegahan.
Ventilation Assistance
1. Posisi yang benar dapat
mengurangi sesak pasien
dan memberikan
kenyamanan dapat
membantu dalam
pernapasan pasien.
yang di harapkan
semua tujuan tercapai
P:
Pertahankan kondisi
klien dengan intervensi
baru khususnya dengan
Health Education
2. Tarik nafas dalam secara
perlahan dapat memenuhi
asupan oksigen yang harus
masuk ke tubuh dan dapat
merilekskan pasien.
3. Pemeriksaan spirometer
digunakan untuk
mengetahui fungsi
fisiologis paru-paru pasien
sehingga dapat mengetahui
kelainan yang dialami
pasien.
4. Bernafas dengan bibir
dirapatkan dapat
melambatkan ekspirasi,
mencegah kolaps unit paru,
dan membantu pasien
untuk mengendalikan
frekuensi serta kedalaman
pernapasan yang
memungkinkan pasien
untuk control terhadap
dyspnea dan perasaan
panik.
5. Latihan bernafas dilakukan
dengan pernapasan
diafragmatik yang dapat
mengurangi frekuensi
pernapasan, meningkatkan
ventilasi alveolar, dan
terkadang membantu
mengeluarkan udara
sebanyak mungkin selama
ekspirasi.
6. Latihan otot pernapasan
dilakukan apabila pasien
telah menjalani latihan
pernapasan diafragmatik.
Latihan ini dapat
membantu menguatkan
otot-otot pernapasan
pasien. Latihan ini
mengharuskan pasien
bernafas terhadap suatu
tahanan selama 10 sampai
15 menit setiap hari.
Vital Sign Monitoring
1. Untuk mengetahui keadaan
umum pasien dan menilai
keberhasilan
terapi/tindakan yang
diberikan.
3 Risiko Respon
Alergi dengan
faktor resiko
substansi
lingkungan (seperti
spora jamur, debu,
serbuk sari bunga)
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama ...x24
jam diharapkan pasien
tidak mengalami risiko
alergi berulang atau asma
tidak muncul/kambuh
dengan kriteria hasil:
NOC Label: Health
NIC Label:
Allergy Management
1. Identifikasi penyebab
alergi (seperti spora
jamur, debu, serbuk sari
bunga).
2. Beritahu pasien dan
keluarga dalam
mencegah situasi yang
Allergy Management
1. Dengan identifikasi
dapat mengetahui
pencetus yang dapat
menyebabkan respon
alergi
2. Dapat mencegah secara
dini terjadinya resiko
respon alergi
S:
Pasien mengatakan
mengerti dengan HE
yang diberikan.
O:
Pasien tampak
mengerti dan
melakukan HE yang
diberikan misalnya
Promoting Behavior
1. Mampu mengontrol
lingkungan yang
menjadi pencetus
alergi.
dapat menimbulkan
risiko alergi
3. Diskusikan kepada
pasien dan keluarga
dalam mengontrol
lingkungan yang dapat
mencetuskan risiko
alergi (seperti
terpapar/menghirup
debu, bulu binatang,
spora jamur, serbuk sari
bunga).
3. Pengetahuan yang
diberikan kepada pasien
dan keluarga secara dini
dapat membantu dalam
mengontrol terjadinya
resiko respon alergi
melakukan pencegahan
situasi yang
menyebabkan alergi.
A:
Berdasarkan tujuan
yang di harapkan
semua tujuan tercapai
P:
Pertahankan kondisi
pasien, menganjurkan
kepada pasien dan
keluarga untuk selalu
mencegah situasi yang
dapat menimbulkan
risiko alergi.
4 Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh
berhubungan
dengan penyakit
(asma) ditandai
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama ...x 24
jam, diharapkan kebutuhan
nutrisi pasien terpenuhi,
dengan kriteria hasil :
NIC Label :
Nutrition Management
1. Tanyakan apakah pasien
memiliki alergi terhadap
makanan tertentu.
2. Kolaborasi dengan ahli
Nutrition Management
1. Alergi terhadap makanan
menjadi indikator makanan
apa saja yang boleh dan
tidak boleh dikonsumsi oleh
S:
Pasien mengatakan
memiliki keinginan
untuk makan
O:
- Asupan nutrisi
dengan kurang
minat pada
makanan,
penurunan badan,
membrane mukosa
pucat, berat badan
20% atau lebih
dibawah berat
badan ideal.
NOC Label :
Appetite
1. Memiliki keinginan
untuk makan dan
memiliki keinginan
terhadap makanan
Nutritional Status
1. Asupan nutrisi yang
adekuat
2. Jumlah cairan dan
makanan yang diterima
sesuai dengan
kebutuhan tubuh pasien
3. Rasio berat badan dan
tinggi badan dalam
rentang normal (IMT
18,5-22,9)
Hidration
1. Turgor kulit normal
(cubitan kembali < 2
detik)
gizi untuk menentukan
jumlah kalori dan nutrisi
yang dibutuhkan pasien.
3. Anjurkan asupan kalori
yang tepat sesuai umur,
aktivitas dan gaya hidup
4. Sediakan makanan
pilihan yang disesuaikan
dengan keinginan dan
kondisi pasien.
5. Monitor jumlah nutrisi
dan kandungan kalori.
6. Berikan informasi tentang
kebutuhan nutrisi.
Nutrition Therapy
1. Lakukan pengkajian
lengkap mengenai
nutrisi klien.
2. Pilih suplemen nutrisi
jika diperlukan.
pasien dalam pemenuhan
nutrisinya.
2. menentukan metode diet
yang memenuhi asupan
kalori dan nutrisi yang
optimal.
3. Asupan kalori yang tepat
sesuai dengan umur,
aktivitas dan gaya hidup
dapat memenuhi intake
nutrisi yang optimal.
4. Jenis makanan merupakan
faktor yang mempengaruhi
keinginan/nafsu makan
seseorang.
5. Jumlah asupan nutrisi dan
kandungan kalori harus
tepat sesuai dengan
kebutuhan pasien.
6. Pasien dapat mengetahui
mengenai kebutuhan atau
adekuat
- Jumlah cairan dan
makanan yang
diterima sesuai
dengan kebutuhan
tubuh pasien
- Rasio berat badan
dan tinggi badan
dalam rentang
normal (IMT 18,5-
22,9)
- Turgor kulit normal
(cubitan kembali <
2 detik)
- Membran mukosa
lembab
- Intake dan output
cairan seimbang
A:
Berdasarkan tujuan
yang di harapkan
2. Membran mukosa
lembab
3. Intake dan output cairan
seimbang
Fluid Management
1. Pantau berat badan pasien
setiap hari
2. Pertahankan intake yang
akurat dan catat output
cairan
3. Monitor status hidrasi
(membran mukosa
lembab, nadi normal (60-
80 kali per menit))
4. Berikan cairan apabila
diperlukan
5. Tingkatkan intake cairan
peroral
6. Berikan cairan infus
(melalui IV) bila
diperlukan
kecukupan nutrisi yang
harus di penuhi sehingga
penting untuk memberikan
informasi
Nutrition Therapy
1. Mengetahui status nutrisi
klien sangat penting
sehingga dapat melakukan
intervensi yang tepat.
2. Suplemen diberikan untuk
meningkatkan asupan nutrisi
pasien selain dari intake
makanan.
Fluid Management
1. 60% berat tubuh adalah
volume cairan sehingga
apabila pasien mengalami
kekurangan cairan dapat
tercermin dari berat tubuh
pasien
semua tujuan tercapai
P:
Pertahankan kondisi
klien dengan intervensi
baru khususnya dengan
Health Education
2. Untuk menjaga
keseimbangan cairan tubuh
dan mengetahui
perkembangan cairan pasien
3. Status hidrasi
mencerminkan
keseimbangan cairan di
dalam tubuh
4. Pemberian cairan dilakukan
untuk memenuhi kebutuhan
cairan pasien dan menjaga
keseimbangan cairan pasien
5. Pemberian cairan peroral
dapat meningkatkan intake
cairan untuk memenuhi
kebutuhan cairan pasien
6. Pemberian cairan infus
dapat dilakukan untuk
memenuhi kebutuhan cairan
yang tidak mampu dipenuhi
dengan intake peroral
5 Intoleransi aktivitas
berhubungan
dengan
ketidakseimbangan
antara suplai dan
kebutuhan oksigen
ditandai dengan
menyatakan merasa
letih dan lemah.
Setelah dilakukan asuhan
keperawatan
selama ......x24 jam klien
dapat melaporkan
peningkatan aktivitas
dengan kriteria hasil :
NOC Label:
Activity Tolerance
1. Tanda – tanda vital
dalam batas normal
2. Klien dapat melakukan
aktivitas dan istirahat
dengan tenang
3. Klien melakukan
aktivitas sesuai dengan
kemampuan
4. Klien tidak
menunjukkan tanda –
tanda keletihan
NIC Label:
Activity Therapy
1. Kolaborasikan dengan
Tenaga Rehabilitasi
Medik dalam
merencanakan program
terapi yang tepat
2. Bantu untuk memilih
aktivitas konsisten yang
sesuai dengan
kemampuan fisik,
psikologi dan sosial.
3. Fasilitasi aktivitas
pengganti ketika pasien
memiliki keterbatasan
energi dan peningkatan
frekuensi pernapasan
4. Kaji pasien dan keluarga
untuk mengidentifikasi
defisit aktivitas
Activity Therapy
1. Perencanaan program terapi
yang tepat bertujuan untuk
melatih dan meningkatkan
energy pasien secara
bertahap sehingga nantinya
dapat beraktivitas secara
optimal
2. Untuk menghindari pasien
tidak melakukan aktivitas
yang telah ditentukan
3. Ketika aktivitas lain yang
dilakukan menyebabkan
gangguan pada pasien
misalnya sesak napas,bisa
dilakukan aktivitas lain yang
lebih ringan yang tidak
menimbulkan gangguan
4. Untuk dapat menentukan
S:
O:
- Tanda – tanda vital
dalam batas normal
- Klien dapat
melakukan
aktivitas dan
istirahat dengan
tenang
- Klien melakukan
aktivitas sesuai
dengan
kemampuan
- Klien tidak
menunjukkan tanda
– tanda keletihan
- Sesak napas tidak
memburuk saat
beraktivitas normal
A:
Berdasarkan tujuan
Endurance
1. Sesak napas tidak
memburuk saat
beraktivitas normal
Energy management
1. Monitor respons repirasi
ketika beraktivtas
2. Pilih intervensi yang tepat
untuk mengatasi
penyebab kelemahan,
berikan intervensi
farmakologi dan non-
farmakologi
3. Batasi stimulasi
lingkungan yang dapat
mengganggu waktu
istirahat pasien
penyebab kelemahan yang
menyebabkan tidak dapat
melakukan aktivitas secara
optimal dan dapat
membenahi kausa
Energy management
1. Untuk mengetahui
perkembangan kondisi
pasien saat beraktivitas
2. Kelemahan dapat teratasi
apabila etiologi kelemahan
itu teratasi. Untuk
mengatasi kelemahan, dapat
dilakukan intervensi
nonfarmakologi dan
berkolaborasi dengan
dokter menggunakan
intervensi farmakologi
apabila kelemahan tidak
segera teratasi
yang di harapkan
semua tujuan tercapai
P:
Pertahankan kondisi
klien dengan intervensi
baru khususnya dengan
Health Education
menggunakan teknik
nonfarmakologi
3. Kondisi lingkungan yang
tenang dapat menunjang
peningkatan istirahat dan
tidur pasien sehingga pasien
dapat beristirahat dengan
tenang dan nyaman dengan
begitu pemulihan energi
dapat dicapai.
6 Gangguan pola
tidur berhubungan
dengan fisiologis
penyakit ditandai
dengan pasien
mengeluh kesulitan
untuk tidur,
perubahan pola
tidur normal.
Setelah diberikan asuhan
keperawatan selama ...x24
jam diharapkan pola
istirahat dan tidur pasien
tidak terganggu, dengan
kriteria hasil:
NOC Label
Sleep
1. Pasien dapat tidur
minimal 5 – 8 jam/hari
Environmental Management Comfort
1. Berikan tempat tidur yang nyaman
2. Kontrol atau hindari adanya kebisingan
3. Batasi pengunjung4. Hindari kegiatan yang
tidak diperlukan dan sesuaikan dengan pola tidur klien
5. Ajarkan teknik relaksasi
Environmental Management Comfort
1. Mengatur pola tidur2. Mengurangi gangguan
tidur3. Mengurangi gangguan
tidur4. Meningkatkan kualitas
tidur
5. Membantu pasien untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas tidurnya
S:
Pasien mengatakan
tidak mengantuk,
badan lebih segar,
tidak letih dan lebih
rileks serta tidak sering
menguap
O:
- Pasien dapat tidur 8
jam sehari
A:
2. Pasien mengatakan tidak
mengantuk, badan lebih
segar, tidak letih dan
lebih rileks serta tidak
sering menguap
Sleep Enhancement
1. Jelaskan pentingnya tidur yang cukup selama masa sakit pada klien
2. Instruksikan pada pasien, untuk menghindari jam makan pada saat akan tidur karena akan mengganggu pola tidur
3. Identifikasi jika adanya obat tidur yang dikonsumsi oleh klien
Sleep Enhancement
1. Memberikan informasi dasar kepada klien
2. Mengurangi gangguan tidur
3. Memberi informasi dasar dalam rencana keperawatan
Berdasarkan tujuan
yang di harapkan
semua tujuan tercapai
P:
Pertahankan kondisi
klien dengan intervensi
baru khususnya dengan
Health Education
7 Ansietas
berhubungan
dengan perubahan
status kesehatan
ditandai dengan
gelisah,
mengekspresikan
kekhawatiran,
peningkatan rasa
ketidakberdayaan,
bingung, menyesal,
Setelah dilakukan asuhan
keperawatan selama …x24
jam, diharapkan ansietas
pada pasien dapat ditangani
dengan kriteria hasil, yaitu:
NOC Label:
Anxiety Self-Control
1. Dapat menghilangkan
pencetus dari ansietas
2. Dapat mencari informasi
untuk menurunkan
NIC Label:
Anxiety Reduction
1. Anjurkan pasien untuk
bersikap tenang, sehingga
mampu mendekati
ketenangan
2. Berikan informasi factual
tentang diagnosis,
pengobatan, dan
prognosis dari penyakit
1. Tindakan yang tepat agar
kekhawatiran dapat
berkurang
2. Untuk membantu
menurunkan ansietas terkain
kurangnya informasi
3. Untuk mendapat dukungan
dari pihak lain sehingga
dapat menurunkan ansietas
Coping Enhancement
S:
- Pasien mengatakan
sudah dapat
menentukan hal
apa yang akan
dilakukan ketika
gejala muncul
kembali
- Pasien mengatakan
lebih nyaman
O:
peningkatan
ketegangan,
gemetar, kesulitan
berkonsentrasi,
melamun.
ansietas
3. Dapat merencanakan
strategi koping jika
berhadapan dalam situasi
tertekan
Coping
1. Klien mampu
mengidentifikasi pola
koping yang efektif
2. Klien mampu
mengidentifikasi pola
koping yang tidak
efektif
3. Klien melaporkan
peningkatan
kenyamanan
psychological
klien
3. Anjurkan keluarga untuk
selalu bersama dengan
pasien
Coping Enhancement
1. Kaji dan diskusikan
respon alternative dalam
sebuah situasi
2. Tingkatkan pemahaman
kepada klien mengenai
proses penyakitmya
3. Anjurkankan untuk
bersikap realistis sebagai
cara untuk mengatasi
perasaan tidak berdaya
4. Anjurkan klien untuk
mengevaluasi perilakunya
1. Menentukan respon yang
tepat untuk mengatasi
ansietas
2. Untuk meningkatkan
pengetahuan klien mengenai
penyakitnya agar memiliki
mekanisme koping yang
efektif
3. Untuk meningkatkan
kepercayaan diri dan koping
positif.
4. Untuk membantu klien
menentukan tindakan yang
dapat dilakukan untuk
mengatasi stressnya.
- Klien mampu
mengidentifikasi
pola koping yang
efektif
- Klien mampu
mengidentifikasi
pola koping yang
tidak efektif
A:
Berdasarkan tujuan
yang di harapkan
semua tujuan tercapai
P:
Pertahankan kondisi
klien dengan intervensi
baru khususnya dengan
Health Education
DAFTAR PUSTAKA
Bernstein JA. 2003. Asthma in handbook of allergic disorders. Philadelphia: Lipincott
Williams & Wilkins, USA.
Boushey, Homer A. Jr., David B. Corry, John V. Fahy, Esteban G. Burchard, Prescott G.
Woondruff. 2005. Asthma dalam Mason, Robert J, John F. Murray, V. Curtney
Broaddus, Jay A. Nadel, editor. Textbook of Respiratory Medicine. Volume Two.
Fourth Edition. Pennsylvania: Elsevier.
Bulechek, Gloria M., Butcher, Howard K., Dochterman, Joanne M. and Wagner, Cheryl
M. 2013. Nursing Interventtions Classification (NIC), Sixth Edition.USA : Mosby
Elsevier
Chung, K.F., 2002. Clinician’s Guide to Asthma. United States of America: Oxford
University Press.
Global strategy for asthma management and prevention. National Institutes of Health,
2007.
Global Initiative for Asthma (GINA). 2006. Global Burden of Asthma-Global Initiative for
Asthma. Available from: http://www.ginasthma.com/download.asp?intId=29
[Accessed at 24 Januari 2016]
Herdman, T. H. Kamitsuru, S. 2014. NANDA International Nursing Diagnoses: Definitions
& Classifications, 2015-2017. Oxford: Wiley Blackwell.
Mansjoer S, Suprohaita., Wardhani, W., Setiowulan, W. 2008. Kapita Selekta Kedokteran
Jilid II. Jakarta: Media Aesculapius.
Moorhead, Sue., Jonson, Marion., Mass, Meridean L. and Swanson, Elizabeth. 2008.
Nursing Outcomes Classification (NOC), Fifth Edition. St. Louis Missouri : Mosby
Elsevier
Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika
National Education and Prevention Program (NAEPP). 2007. Guidelines for the diagnosis
and management of asthma. United States: National Heart, Lung and Blood Institute
(NHLBI) of National institutes of Health (NIH) Publication.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). 2006. ASMA: Pedoman Diagnosis &
Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta.
Sastrawan, I.G.P., Suryana, K., dan Ngurah Rai I.B., 2008. Prevalensi Asma Bronkial
Atopi pada Pelajar di Desa Tenganan. Jurnal Penyakit Dalam Volume 9, Nomor 1,
Januari 2008.
Smeltzer, Suzzane C. dan Bare, Brenda G. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth Edisi 8 Volume 1. Jakarta: ECG